Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 04
Kui Hong
bukan saja sudah menguasai ilmu San-in Kun-hoat dengan sangat baik, akan tetapi
sesudah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah,
gadis ini telah memiliki sinkang yang amat kuat. Juga kakek dan neneknya
menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam gerakan semua ilmu silat yang telah
dikuasainya sehingga ilmu itu menjadi semakin ampuh karena seolah-olah telah
disempurnakan oleh dua orang ahli silat yang sakti!
Oleh karena
itu, menghadapi lima orang suheng-nya, biar pun seorang di antara mereka ahli
San-in Kun-hoat, dara ini memang jauh lebih matang, lebih cepat karena
menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) gemblengan neneknya, juga memiliki
sinkang (tenaga sakti) gemblengan kakeknya. Walau pun dikeroyok oleh lima
orang, Kui Hong menguasai keadaan karena semua serangan yang sudah dikenalnya
dengan baik itu dapat dielakkan dengan kecepatan gerakan tubuhnya, dan jika tak
sempat mengelak, setiap tangkisannya membuat tubuh penyerangnya terdorong ke
belakang.
Akhirnya
lima orang itu harus mengakui keunggulan sumoi mereka. Mereka tahu bahwa dalam
perkelahian sungguh-sungguh, sudah sejak tadi mereka akan roboh seorang demi
seorang! Ciok Gun yang lebih dulu melompat ke belakang diikuti empat orang
murid lain.
"Hebat,
ilmu kepandaianmu sekarang amat hebat, sumoi. Sungguh membuat kami semua kagum
dan membuka mata kami bahwa keturunan ketua dan guru kami memang hebat!"
Mendengar
ucapan Ciok Gun itu, semua murid menjadi gembira karena tadinya banyak di
antara murid Cin-ling-pai kebingungan, merasa kehilangan pimpinan, seperti
sekumpulan anak ayam ditinggalkan induknya ketika ketua mereka, Cia Hui Song,
bertapa di makam isterinya yang kedua, sedangkan ketua lama, Cia Kong Liang
hanya bersemedhi di dalam kamarnya tanpa mau mencampuri urusan luar, dan Sui
Cin juga bersikap acuh terhadap perkumpulan itu karena bagaimana pun juga, dia
merasa bukan haknya untuk memimpin Cin-ling-pai. Akan tetapi sekarang muncul
Cia Kui Hong yang demikian lihai, maka para murid mempunyai harapan untuk dapat
memperoleh seorang pemimpin yang pandai dan boleh diandalkan, juga yang ahli
dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai.
"Hidup
nona Cia Kui Hong!" teriak para murid. Ada yang menyebut sumoi, suci, dan
juga nona! Kui Hong menjura ke arah mereka dengan sikap merendah.
"Para
suheng dan sute, harap jangan terlalu memuji padaku. Ketahuilah, aku memperoleh
kemajuan karena aku tekun dan giat berlatih, juga aku sudah menerima bimbingan
kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku mengajak kalian
berlatih bukannya untuk pamer, melainkan karena aku melihat kelesuan di antara
kalian. Marilah kita berlatih dengan baik, karena kalau bukan kita siapa lagi
yang harus menegakkan nama besar Cin-ling-pai! Dan bagaimana kita akan mampu
menegakkan nama besar Cin-ling-pai bila kita lemah dan malas berlatih?
Ketahuilah, aku membawa berita baik, yaitu bahwa mulai hari ini ayahku, yaitu
ketua kalian, telah meninggalkan tempat pertapaan dan akan memimpin Cin-ling-pai
seperti biasa."
Mendengar
ini semua murid segera bersorak gembira sekali karena berita ini merupakan
berita baik. Kui Hong mencari dengan matanya dan akhirnya dia melihat pemuda
tinggi besar bermuka putih yang bernama Tang Cun Sek itu, murid Cin-Iing-pai
yang baru dan amat disuka oleh kakeknya, yang menurut kakeknya lihai sekali
karena sebelum masuk menjadi anggota Cin-ling-pai sudah mempunyai banyak macam
ilmu silat yang tinggi. Dia melihat pemuda itu di sudut, turut pula bertepuk
tangan dengan para murid lain.
Tiba-tiba
seorang murid lain yang berdiri di dekat Tang Cun Sek, yakni murid bertubuh
kurus yang dikenal oleh Kui Hong sebagai seorang murid lama dan terhitung
suheng-nya, berusia tiga puluh lima tahun, bangkit berdiri dan berkata dengan
suara nyaring,
"Tentu
saja kami gembira sekali mendengar berita itu, Cia-sumoi, akan tetapi kami
pernah mendengar bahwa nanti akan diadakan pemilihan ketua baru untuk
Cin-ling-pai. Sampai di mana kebenaran berita itu?"
Kui Hong
kembali bertemu pandang dengan Tang Cun Sek dan ia melihat betapa pemuda itu
memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seakan-akan tertarik sekali dan
ingin benar mendengar jawabannya atas pertanyaan itu.
Gadis itu
tersenyum. Tentu saja para murid itu juga telah mendengar akan hal ini, karena
bukankah kakeknya juga mendengar? Dia mengangguk dan memandang ke sekeliling.
"Memang
benar, ayahku telah memberi tahu pula kepadaku bahwa dalam waktu dekat ini akan
diadakan pesta di Cin-ling-pai, pertama untuk merayakan hari ulang tahun ke
tujuh puluh dari kakekku..."
"Hidup
dan panjang umur lo-pangcu!" terdengar para murid Cin-ling-pai serentak
berseru untuk menghormati ketua lama yang akan merayakan ulang tahunnya itu.
"Dan
yang kedua, memang ayahku berniat untuk mengangkat seorang ketua Cin-ling-pai
yang baru. Hal ini adalah karena ayah dan ibuku hendak pergi merantau dan tidak
baik kalau Cin-ling-pai dibiarkan tanpa ketua," sambung Kui Hong.
"Mengapa
mesti susah-susah mencari ketua baru? Nona Cia Kui Hong sangat lihai dan amat
pantas menjadi pengganti ketua!" terdengar teriakan seorang murid dan
ucapan ini kembali mendapat sambutan sorak-sorai, tanda bahwa sebagian besar
dari para murid itu setuju jika Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai. Mereka
sudah melihat kelihaian Kui Hong dan juga merasa senang sekali kalau ketua
mereka seorang gadis yang demikian cantik dan gagah perkasa!
Sejenak Kui
Hong memperhatikan wajah Tang Cun Sek. Akan tetapi pemuda tinggi besar yang
bermuka putih itu kelihatan tenang saja, malah tersenyum dan mengangguk-angguk
tanpa menyatakan setuju, akan tetapi juga tidak menentang.
Wajah Kui
Hong yang menjadi merah, "Aihh, para Sute dan Suheng ini ada-ada saja. Aku
hanya seorang wanita, bagaimana dapat menjadi seorang ketua yang harus
menghadapi banyak tantangan dan persoalan? Aku paling tidak suka dengan
kesibukan, apa lagi kalau harus mempergunakan otak memikirkan banyak persoalan.
Aku ingin bebas. Kurasa Cin-ling-pai memiliki cukup banyak murid yang pandai
dan pantas untuk menjadi ketua, kalau memang ayah menghendaki adanya seorang
ketua baru," berkata demikian, kembali Kui Hong melayangkan pandang matanya
kepada Tang Cun Sek yang masih diam saja, tidak membuat tanggapan apa pun.
"Sudahlah,
kita menanti datangnya saat itu dan kita lihat saja nanti. Bagaimana pun juga,
seorang calon ketua Cin-ling-pai haruslah benar-benar seorang yang selain
pandai ilmu silat Cin-ling-pai juga bijaksana. Tentu kepandaiannya itu akan
diuji lebih dulu, dan kurasa para susiok dan pemuka Cin-ling-pai juga sudah
siap untuk menghadapi peristiwa besar itu. Sekarang, siapa lagi yang ingin
berlatih silat dengan aku?"
Dengan
gembira para murid Cin-ling-pai itu lalu bergantian maju dan berlatih silat
dengan gadis puteri ketua itu yang ternyata pandai dalam semua ilmu silat
perkumpulan mereka. Dan Kui Hong tidak segan-segan untuk memberi petunjuk dan
bimbingan kepada mereka dengan hati tulus.
Demikianlah,
semenjak Kui Hong pulang ke Cin-ling-pai banyak di antara para murid yang
memperoleh kegembiraan baru dan mereka mulai rajin lagi berlatih silat.
Sementara itu Cia Hui Song sibuk mengirim surat undangan kepada para tokoh
pendekar dan pimpinan perkumpulan persilatan besar untuk menghadiri pesta yang
akan diadakan dengan dua peristiwa penting, yaitu pertama untuk merayakan hari
ulang tahun ayahnya yang ke tujuh puluh tahun, dan ke dua untuk mengadakan
pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai dengan disaksikan oleh para tokoh yang
hadir.
Dan tanpa
diketahui orang lain kecuali ketua Cin-ling-pai itu dan anak isterinya, pesta
itu pun diam-diam diadakan untuk merayakan pertemuan serta bersatunya keluarga
mereka setelah berpisah batin selama kurang lebih empat tahun lamanya. Sesudah
mengirimkan surat-surat undangan, Cin-ling-pai sibuk membuat persiapan untuk
menyambut datangnya hari baik itu dan tempat-tempat darurat dipersiapkan untuk
menampung para tamu.
Cin-ling-pai
adalah sebuah perkumpulan besar yang sudah sangat terkenal. Keluarga Cia yang
sejak turun temurun memimpin Cin-ling-pai juga dikenal sebagai
pendekar-pendekar gagah perkasa, dan para murid perkumpulan ini juga belum
pernah ada yang melakukan penyelewengan sehingga nama Cin-ling-pai amat
dihormati dan disegani dunia kang-ouw, ditakuti golongan hitam dan dikagumi
para pendekar.
Oleh karena
itu para tokoh persilatan yang telah menerima undangan dari pihak Cin-ling-pai
memerlukan datang untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, juga untuk
menyaksikan pemilihan ketua baru yang tentunya akan menarik sekali. Seperti
telah lajim dilakukan di kalangan persilatan, penggantian ketua selalu
diramaikan dengan ujian ilmu silat, bahkan di dalam kesempatan itu tidak jarang
terjadi adu ilmu.
Juga berita
bahwa Cin-ling-pai hendak mengangkat seorang ketua di antara para murid, bukan
keturunan langsung dari ketua yang sekarang, merupakan hal yang amat menarik
bagi para tokoh kang-ouw. Sedikit sekali di antara mereka yang menerima
undangan tidak menyempatkan diri untuk datang hadir.
Pada hari
yang sudah ditentukan, para tamu berdatangan mendaki Gunung Cin-ling-san. Para
murid kepala Cin-ling-pai menyambut mereka dengan sikap hormat, lantas mereka
dipersilakan masuk ke dalam taman yang luas di belakang rumah induk. Memang
taman itu sudah dipersiapkan untuk pesta ini.
Sebuah taman
yang amat luas dan kini telah dihias dan kursi-kursi berpencaran di antara
tanaman bunga. Di tengah taman yang lapang itu dibangun sebuah panggung dan
pihak tuan rurnah duduk di deretan kursi yang diletakkan di sudut, menghadap ke
arah semua tamu yang duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke panggung.
Ternyata Cia
Hui Song, ketua Cin-ling-pai tak ingin membuat pesta besar-besaran. Tamu yang
diundang tidak banyak, dan mereka yang sudah datang semua itu hanya berjumlah
kurang lebih seratus lima puluh orang, terdiri dari berbagai macam golongan,
tokoh-tokoh persilatan, pimpinan perkumpulan silat, dan orang-orang penting
dalam dunia persilatan.
Walau pun
tamu yang diundang tidak begitu banyak, namun mereka mewakili tokoh-tokoh yang
terpenting. Suasana pesta itu pun cukup meriah karena Cin-ling-pai mendatangkan
rombongan musik, nyanyian dan tari yang kenamaan, juga mendatangkan koki yang
telah berpengalaman.
Tentu saja
tamu yang diundang itu hanyalah tokoh-tokoh kalangan persilatan yang tinggal di
daerah Propinsi Shensi saja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar
seperti Sian, Han-cung, Pao-ci, Yen-an dan sebagainya. Namun semua perkumpulan
persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai telah
diwakili oleh wakil masing-masing yang terdapat di Propinsi Shensi karena
kebetulan sekali di propinsi ini terdapat murid-murid pandai dari perkumpulan
besar itu yang dapat mewakili perkumpulan masing-masing.
Para tamu
secara bergiliran memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang yang duduk di
sudut panggung. Karena telah bertahun-tahun selalu mengeram diri di dalam
kamarnya dan bersemedhi, maka kakek ini pun merasa lemah kalau terlalu lama
berdiri, maka dia menyambut penghormatan para tamu sambil duduk.
Puteranya,
Cia Hui Song atau ketua Cin-ling-pai, berdiri di sebelah kanannya. Dialah yang
membalas setiap ucapan selamat para tamu itu dengan penghormatan, mewakili
ayahnya yang hanya duduk sambil tersenyum dan mengangguk-angguk terhadap setiap
para tamu yang menghaturkan selamat kepadanya.
Sesudah
memberi kesempatan kepada para tamu untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong
Liang, Cia Hui Song lantas memberi ucapan selamat datang kepada para tamu dan
pesta pun dimulailah dengan meriah. Rombongan pemain musik, penari dan penyanyi
mulai memperlihatkan kemahiran mereka, maka taman itu pun penuh dengan senyum
dan tawa di antara mengalirnya arak dan anggur harum sebagai teman hidangan
yang serba lezat karena dibuat oleh koki yang pandai.
Para tamu
mulai makan minum sambil mengobrol dengan gembira. Ada pula yang makan minum
sambil menikmati tontonan yang amat menarik, yaitu tari-tarian dan nyanyian
yang dilakukan para gadis cantik. Mereka semua bergembira, terutama sekali
karena mereka tahu bahwa sesudah makan minum mereka akan disuguhi tontonan yang
sedang mereka nanti-nantikan, bahkan yang sudah mendorong mereka untuk hadir
dalam pesta itu, yaitu pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai.
Para tamu
muda tak ada hentinya mengerling ke arah panggung di mana duduk seorang gadis
yang amat menarik perhatian mereka, apa lagi sesudah mereka mendengar bahwa
gadis yang cantik jelita dan gagah itu bukan lain adalah puteri ketua
Cin-ling-pai! Nama Cia Kui Hong sudah banyak dikenal orang kalangan persilatan
karena gadis ini termasuk seorang di antara para pendekar yang telah ikut
membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Apa lagi mereka pun
mendengar bahwa gadis cantik dan gagah perkasa itu, yang usianya sudah sembilan
belas tahun, bagaikan setangkai bunga mawar sedang mekar mengharum dengan
indahnya, belum menikah, bahkan belum bertunangan!
Sesudah
pesta makan minum selesai, Cia Hui Song lalu bangkit dan melangkah maju ke
tengah panggung, menghaturkan terima kasih kemudian memberi tahu kepada para
tamu bahwa kini Cin-ling-pai hendak mengadakan pemilihan ketua baru dan dia
berharap agar para tamu suka menjadi saksi.
"Harap
Cia-pangcu (Ketua Cia) suka memberi tahu kepada kami kenapa pangcu hendak
mengadakan pemilihan ketua baru? Bukankah pangcu adalah ketuanya dan
Cin-ling-pai sudah mendapat banyak kemajuan selama dalam bimbingan
pangcu?" terdengar seorang tamu berseru.
Para tamu
lainnya mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan pertanyaan itu karena memang
rata-rata mereka merasa heran akan pemilihan ketua Cin-ling-pai secara
tiba-tiba ini, pada hal ketuanya masih muda dan memiliki ilmu kepandaian
tinggi.
Mendengar
pertanyaan ini, Hui Song tersenyum ramah dan mengangguk. Dia memang sudah
mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan seperti itu.
"Harap
cu-wi (anda sekalian) tidak salah sangka. Sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang
aneh dalam perkumpulan kami dan pemilihan ketua baru ini wajar saja. Tidak lain
karena saya bersama isteri ingin merantau dan karena merasa tidak baik jika
meninggalkan Cin-ling-pai tanpa seorang ketua, maka sebelum pergi kami hendak
mengadakan pemilihan ketua baru. Kami sengaja memilih hari ini agar ada cu-wi
yang dapat menjadi saksi."
Keterangan
Cia Hui Song ini agaknya dapat diterima karena tidak ada lagi di antara para
tamu yang mengajukan pertanyaan. Cia Hui Song kemudian menyerahkan pimpinan
untuk pemilihan ketua baru itu kepada ayahnya. Baru sekarang Cia Kong Liang
yang sudah tua itu nampak bersemangat setelah puteranya menyerahkan pimpinan
kepadanya. Dia masih tetap duduk di atas kursinya, akan tetapi suaranya
terdengar lantang ketika dia berkata,
"Semua
murid dan anggota Cin-ling-pai tanpa terkecuali, harap semuanya berkumpul di
dekat panggung!"
Maka
berkumpullah semua murid Cin-ling-pai, bahkan mereka yang tadinya bertugas jaga
atau ikut melayani tamu, kini ikut pula berkumpul. Setelah semua murid
berkumpul dekat panggung, menempati bagian belakang panggung supaya tidak
menghalangi pandangan para tamu yang duduk di kursi menghadap panggung, ketua
lama Cia Kong Liang berkata kembali, nada suaranya tegas dan berpengaruh.
"Sekarang
dimulai tahap pertama, yaitu para murid diberi kesempatan untuk mengajukan
calon-calon yang mereka pilih!"
Semenjak ada
pernyataan ketua Cin-ling-pai bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru, maka
sudah terjadi semacam persaingan di antara para murid Cin-ling-pai. Di satu
pihak ada yang memilih Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua.
Gouw Kian
Sun ini berusia hampir empat puluh tahun, dan dialah yang dapat dikata murid
Cin-ling-pai terpandai di waktu itu. Dia adalah sute dari Cia Hui Song, atau
murid dari Cia Kong Liang dan murid ini sudah menguasai seluruh ilmu silat
Cin-ling-pai. Bahkan dialah yang selama ini mengurus sebagian besar tugas di
Cin-ling-pai ketika Hui Song bertapa di makam isterinya yang ke dua dan Cia
Kong Liang mengeram diri di dalam kamarnya. Oleh Cia Hui Song dia diangkat pula
menjadi pembantu utama.
Gouw Kian
Sun ini seorang yang tidak memiliki keluarga, tidak punya orang tua dan dia
belum menikah sungguh pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Orangnya
sangat rajin, setia terhadap Cin-ling-pai, bertanggung jawab serta pendiam.
Semua murid tingkat atas maklum belaka bahwa Gouw Kian Sun memiliki ilmu
kepandaian silat yang menonjol dan hanya berada di bawah tingkat kepandaian
ketua sendiri! Karena itu, maka sebagian murid memilih dan mengajukan dia
sebagai calon ketua.
Tetapi ada
sebagian murid yang memilih Tang Cun Sek! Hal ini adalah karena mereka itu
percaya akan kelihaian Tang Cun Sek yang menguasai banyak ilmu silat selain
ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mereka menganggap bahwa kalau Cun Sek menjadi ketua,
tentu mereka akan bisa mempelajari ilmu-ilmu silat yang baru. Di samping itu,
juga Tang Cun Sek yang pendiam itu menarik perhatian, terutama sesudah para
murid tahu bahwa Tang Cun Sek agaknya disayang oleh ketua lama, yaitu kakek Cia
Kong Liang!
Sebelum Kui
Hong pulang ke Cin-ling-san, para murid terbagi menjadi dua kelompok yang
memilih dua orang ini, akan tetapi sesudah gadis itu pulang, banyak di antara
para murid yang condong memilih gadis puteri ketua itu menjadi pangcu (ketua)
yang baru! Maka, ketika kakek Cia Kong Liang menyuruh para murid memilih dan mengajukan
calon ketua terdengarlah teriakan-teriakan yang menyebut tiga nama.
"Gouw
Kian Sun!"
"Tang
Cun Sek!"
"Nona
Cia Kui Hong...!"
Demikianlah
terdengar para murid meneriakkan nama calon masing-masing. Mendengar disebutnya
nama Cia Kui Hong itu, Cia Hui Song saling pandang dengan isterinya, Ceng Sui
Cin. Mereka tidak menyangka bahwa ada sebagian murid yang memilih puteri mereka
sebagai calon ketua baru!
Akan tetapi
karena mereka berada pada suatu upacara pemilihan, tentu saja mereka tidak
dapat menyatakan sesuatu dan suara dari para murid pada waktu seperti itu
mempunyai hak dan kekuasaan. Mereka hanya memandang kepada puteri mereka yang
juga nampak terkejut mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon ketua!
Akan tetapi
Kui Hong pun hanya tersenyum saja karena merasa tidak enak jika menolak begitu
saja. Diapun sudah tahu akan peraturan pemilihan seperti ini, harus tunduk
kepada suara banyak dan yang berhak menentukan adalah suara terbanyak. Jika dia
menyatakan penolakannya, maka sama saja dengan melanggar peraturan yang sudah
diadakan oleh perkumpulannya sendiri, atau sama saja dengan mengkhianati
Cin-ling-pai.
Akan tetapi
gadis yang cerdik ini diam-diam membayangkan bagaimana kalau dia menjadi ketua,
terikat oleh tugas dan kewajiban. Diam-dim dia merasa ngeri dan dalam benaknya
sudah diaturnya bagaimana supaya dia dapat mengatasi hal itu. Dia pun sudah
mengenal Gouw Kian Sun yang dipanggilnya susiok, seorang yang setia kepada
Cin-ling-pai, pandai dan juga bijaksana.
Dan dara ini
pun tahu bahwa calon ke dua, Tang Cun Sek, adalah orang yang didukung oleh
kakeknya, juga mempunyai banyak pendukung di antara para murid Cin-ling-pai.
Biar pun dia sendiri belum membuktikan, dia mendengar bahwa Tang Cun Sek adalah
orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Bahkan menurut keterangan
kakeknya, pemuda tinggi besar bermuka putih itu mempunyai kepandaian silat yang
tingkatnya tidak berada di bawah tingkat ayahnya atau ibunya! Sungguh hal ini
sukar untuk dapat dipercayanya.
Ayahnya
adalah murid dari mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa,
ada pun ibunya adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, kongkong-nya yang amat
sakti dan neneknya yang juga tak kalah saktinya! Kalau benar Tang Cun Sek ini
mempunyai tingkat kepandaian seperti ayahnya atau ibunya, tentu dia lihai bukan
main dan mudah diduga bahwa tingkat kepandaian susiok-nya, Gouw Kian Sun yang
menjadi calon pertama itu tidak akan mampu mengalahkannya.
Tentu saja
diam-dlam Kui Hong condong memilih susiok-nya yang sudah dikenal benar
wataknya. Setelah dia bicara dengan ayah ibunya tentang Tang Cun Sek, ternyata
bahwa ayah ibunya agaknya juga tidak begitu setuju apa bila orang ini menjadi
ketua baru, akan tetapi ayah ibunya juga merasa sungkan terhadap kakeknya.
"Kami
sendiri belum pernah membuktikan sampai di mana kelihaiannya," demikian
antara lain Cia Hui Song menjawab pertanyaan puterinya mengenai Tang Cun Sek.
"Akan tetapi ketika dia mohon menjadi murid Cin-ling-pai, sikapnya amat
baik sehingga tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan dia memang berbakat
sekali karena semua ilmu silat Cin-ling-pai dapat dikuasainya dengan baik,
bahkan yang bagaimana sukar pun. Dan dia pun amat tekun belajar, bahkan paling
menonjol dalam hal ketekunannya."
"Dan
bagaimana pun juga harus kami akui bahwa sikapnya amat baik. Dia pendiam, tidak
banyak cakap dan tidak banyak ulah, bahkan rajin pula bekerja. Tak ada alasan
bagi kami untuk merasa kecewa atau tidak suka kepadanya."
"Dan
agaknya ayah memang amat suka kepada pemuda itu. Entah mengapa kakekmu itu
sering memanggilnya, dan bahkan hanya Tang Cun Sek yang diperkenankan memasuki
pondoknya, kemudian bahkan mengharuskan murid itu yang melayani kakekmu,"
kata Hui Song.
"Ayah
dan Ibu, agaknya kakek sudah condong memilih dia sebagai ketua baru, bahkan
kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa murid itu pantas menjadi jodohku. Hemmm,
agaknya kakek sudah suka bukan main kepada Tang Cun Sek itu."
Ayah dan
ibunya saling pandang dan tersenyum. "Mengenai hal itu, terserah kepadamu,
anakku," kata Ceng Sui Cin. "Ayahmu dan aku memang sudah ingin sekali
mempunyai mantu dan cucu, tetapi tentang jodohmu, kami menyerahkan sepenuhnya
pada pilihanmu. Biar pun kakekmu serta ayah dan ibumu telah menyukai seorang
calon suamimu, namun kalau engkau sendiri tidak suka dan tidak setuju, siapa
pun tak akan dapat memaksamu."
Mendengar
ucapan ibunya itu, Kui Hong lalu merangkul dan mencium pipi ibunya dengan hati
yang girang dan terharu. Ucapan ibunya itu saja telah menunjukkan betapa
besarnya cinta kasih ayah dan ibunya kepadanya.
"Terima
kasih, Ayah dan Ibu. Semoga saja aku dapat menemukan seorang jodoh yang akan
menyenangkan hati kita semua, juga termasuk hati kakek."
Kini hati
Kui Hong merasa tidak enak. Yang diajukan oleh para murid Cin-ling-pai hanya
dua orang saja, tiga dengannya. Dan di antara kedua orang itu, agaknya Tang Cun
Sek yang lebih unggul. Apakah dia harus memperebutkan kedudukan ketua dengan
Tang Cun Sek? Padahal dia sama sekali tak ingin menjadi ketua! Tetapi
membiarkan Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru? Hal inilah yang
diragukannya sebab dia belum tahu benar bagaimana watak orang baru itu. Bahkan
ayah dan ibunya juga belum mengenal wataknya dengan baik. Dia lalu mendekati
ibunya dan berbisik.
"Ibu,
bagaimana ini? Aku tidak ingin menjadi ketua. Apakah kita harus membiarkan Cun
Sek menjadi ketua baru? Apakah susiok Gouw Kian Sun mampu mengalahkannya dalam
ujian ilmu silat?"
Ibunya
kemudian balas berbisik kepadanya. "Dengar, Kui Hong. Terus terang saja,
aku pun masih belum percaya kepadanya. Kalau memang dia seorang murid yang
baik, tentu dia tidak mengandalkan kepandaian dari luar untuk merebut
kemenangan dan menduduki jabatan ketua! Tentu dia akan mengalah dan membiarkan
susiok-mu Gouw Kian Sun yang menjadi ketua baru. Karena itu lihat saja
baik-baik, dan kalau perlu engkau harus menjadi penghalang agar dia tidak
menjadi ketua dengan jalan kekerasan atau mempergunakan kepandaian silat yang
datang dari luar Cin-ling-pai. Mengertikah engkau?"
Kui Hong
mengangguk dan pada saat itu terdengar suara kakek Cia Kong Liang, lantang
berwibawa, "Apakah hanya tiga orang itu yang dijadikan calon oleh para
murid?"
Terdengar
para murid Cln-ling-pai menjawab berbareng seperti sarang lebah diusik, tetapi
semua membenarkan pertanyaan ketua lama itu. Akan tetapi di antara para tamu
tiba-tiba saja nampak seorang laki-laki bangkit berdiri dari kursinya. Dia
seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, dan dia adalah seorang
di antara para wakil Bu-tong-pai.
"Maaf,
Cia Locianpwe (orang tua gagah Cia). Bolehkah kami ikut mengajukan pertanyaan
karena walau pun bukan anggota Cin-ling-pai namun kami hadir di sini sebagai
saksi."
Kakek Cia
Kong Liang tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Tentu saja boleh.
Silakan!"
"Locianpwe,
apakah yang berhak menjadi calon ketua hanya murid atau anggota Cin-ling-pai
saja? Bagaimana kalau ada orang luar yang hendak masuk pula menjadi calon dan
menghadapi ujian, ingin menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru?"
Kakek Cia
Kong Liang kemudian memperlebar senyumnya. "Sungguh aneh pertanyaan itu,
orang muda yang gagah. Kurasa tidak ada perkumpulan silat di dunia ini yang
akan membolehkan orang luar menjadi ketua mereka. Dan kami pun tidak
terkecuali. Tentu saja yang berhak menjadi calon ketua hanyalah seorang murid
Cin-ling-pai."
"Maaf,
Locianpwe," kata lagi orang itu. "Telah bertahun-tahun kami mengenal
Cin-Iing-pai, dan banyak murid-murid utama Cin-ling-pai yang kami kenal sebagai
pendekar-pendekar budiman. Saudara Gouw Kian Sun juga kami kenal sebagai
seorang anggota Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan sudah selayaknya kalau dia
terpilih menjadi calon ketua. Juga nona Cia Kui Hong, sudah sepatutnya pula
menjadi calon sebab dia adalah seorang puteri Cia Pang-cu. Akan tetapi orang ke
tiga yang namanya disebut tadi, Tang Cun Sek, sama sekali tidak kami kenal.
Apakah dia seorang anggota Cin-ling-pai?"
Mendengar
pertanyaan ini, berkerut kening Tang Cun Sek, namun hanya Kui Hong yang agaknya
memperhatikan perubahan pada wajahnya. Gadis itu melihat betapa sinar mata Cun
Sek seperti mengeluarkan api ditujukan kepada si pembicara.
"Tang
Cun Sek memang seorang anggota baru," kata kakek Cia Kong Liang.
"Baru empat tahun dia menjadi murid Cin-ling-pai, maka dia pun berhak untuk
menjadi calon ketua."
"Empat
tahun?" Orang Bu-tong-pai itu berseru heran. "Locianpwe, bagaimana
mungkin seorang murid yang baru empat tahun mempelajari ilmu-ilmu dari
Cin-ling-pai tahu-tahu dapat diangkat menjadi ketua? Tentu ilmu silatnya belum
ada artinya sama sekali!"
"Tidak,
biar pun dia baru empat tahun menjadi murid Cin-ling-pai, namun sebelumnya dia
sudah menguasai banyak macam ilmu silat tinggi. Kalau dia tidak mempunyai
kepandaian tinggi, bagaimana mungkin dia dipilih?" Agaknya kakek itu ingin
menyudahi percakapan ini, maka dia pun segera berseru dengan suara lantang,
"Tiga orang calon yang terpilih supaya maju dan naik ke atas
panggung!"
Yang muncul
lebih dahulu adalah Tang Cun Sek. Karena seperti para murid Cin-ling-pai
lainnya dia pun berdiri di bawah panggung maka kini dia meloncat ke atas
panggung yang tingginya sekepala orang itu. Agaknya dia memang ingin
memperlihatkan kepandaiannya karena ketika dia meloncat, seperti terbang saja
tubuhnya melayang naik jauh lebih tinggi dari panggung itu, berjungkir balik
tiga kali sebelum dia turun ke atas panggung.
Agaknya,
untuk minta maaf atas perbuatannya yang seperti memamerkan kepandaian ini,
begitu kedua kakinya turun, dia langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan
kakek Cia Kong Liang, memberi hormat kepada kakek yang terhitung kakek gurunya
itu.
Cia Kong
Liang memandang dengan wajah berseri, "Cun Sek, bangkitlah dan berdirilah
di tengah panggung agar dikenal oleh semua tamu."
Akan tetapi
Cun Sek tak segera bangkit berdiri, melainkan cepat memberi hormat kepada Cia
Hui Song dan Ceng Sui Cin yang disebutnya suhu dan subo. Barulah dia bangkit
dan mundur sampai ke tengah panggung, kemudian membalik dan menghadap ke arah
para tamu sambil menjura dan bersoja (memberi hormat dengan kedua tangan
dirangkap di depan dada).
Para murid
yang menjagoinya bertepuk tangan menyambut kehadiran orang muda tinggi besar
ini. Melihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi
besar bermuka putih, tampan dan gagah, sepasang matanya mencorong, para tamu
diam-diam memandang kagum.
Sementara
itu Gouw Kian Sun juga meloncat ke atas panggung, meloncat biasa saja lalu
menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan suheng-nya. Dan
berbareng dengan itu, Kui Hong juga melangkah maju, berlutut di dekat
susiok-nya.
"Suhu
dan Suheng, sesungguhnya teecu tidak berani maju secara lancang untuk menjadi
calon ketua, tetapi teecu didorong oleh para anggota Cin-ling-pai yang memilih
teecu."
Kui Hong
yang berlutut di sampingnya cepat berkata, cukup keras untuk didengar semua
orang, "Susiok, mengapa begitu? Engkaulah satu-satunya orang yang paling
tepat untuk menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!"
"Kian
Sun! Kui Hong, bangkitlah dan berdiri di tengah panggung untuk memperkenalkan
diri kepada para tamu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru dengan
suara nyaring.
Kian Sun dan
Kui Hong bangkit lantas berdiri di tengah panggung seperti yang dilakukan Cun
Sek, dan para murid Cin-ling-pai yang mendukung mereka menyambut dengan tepuk
tangan dan sorak sorai.
Kembali
terdengar suara kakek Cia Kong Liang yang menyuruh ketiga orang calon yang
terpilih itu untuk duduk, lalu dengan lantang dia memberi tahu kepada para tamu
dan para murid Cin-ling-pai bahwa kini pemilihan ketua baru itu akan dimulai.
Pertama-tama, ketiga orang calon itu diharuskan memperlihatkan keahlian mereka
dalam Ilmu Silat Cin-ling-pai untuk dinilai. Para penilainya, di samping kakek
Cia Kong Liang sendiri, juga Cia Hui Song sebagai pangcu dan tujuh orang murid
tertua yang menjadi suheng dan sute ketua.
"Calon
ketua Tang Cun Sek, perlihatkanlah kemampuanmu!" terdengar kakek Cia Kong
Liang berseru.
Pemuda
tinggi besar itu bangkit berdiri, berjalan ke tengah panggung, memberi hormat
ke arah kakek itu bersama para wasit, kemudian menjura ke arah para tamu dan
mulailah dia bersilat. Dia menggerakkan tubuhnya dan memainkan Ilmu Silat
Thai-kek Sin-kun, sebuah di antara ilmu-ilmu silat yang ampuh dari
Cin-ling-pai.
Ilmu ini
memang sangat indah, dan sekarang dimainkan dengan gerakan sempurna, juga
dengan pengerahan tenaga sakti yang membuat setiap gerakan tangan atau kaki
pemuda itu mengeluarkan suara angin mencuit sehingga para tamu dapat merasakan
betapa ada angin menyambar-nyambar dari arah panggung.
Secara
diam-diam Kui Hong sendiri terkejut bukan main karena dia dapat pula merasakan
sambaran angin itu, maka tahulah gadis ini bahwa Tang Cun Sek memang seorang
yang amat tangguh! Dia mengikuti semua gerakan pemuda itu dan walau pun
permainan Silat Thai-kek Sin-kun itu amat hebat, akan tetapi dia masih dapat
melihat suatu kekakuan atau ketidak wajaran yang menunjukkan bahwa ilmu silat
itu sudah 'berbau' ilmu silat lain yang menjadi dasar gerakan pemuda itu. Hanya
di dalam pandangan mata seorang ahli sajalah hal ini akan dapat nampak.
Kui Hong
tahu bahwa para wasit yang terdiri dari kakeknya, ayahnya dan para supek dan
susiok-nya, yang semuanya adalah ahli-ahli Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tentu
akan dapat melihatnya pula. Hanya saja, kenyataan ini dapat menimbulkan dua
macam tanggapan. Pertama adalah tanggapan bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimainkan
pemuda itu menjadi bertambah indah dan ampuh, namun yang ke dua adalah
kenyataan bahwa ilmu itu tidak dimainkan secara murni lagi sehingga gerakan Cun
Sek dapat dianggap kurang tepat.
Dan secara
diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa ilmu silat Thai-kek Sin-kun yang
dimainkan pemuda itu memang hebat sekali, biar pun dia sendiri tidak melihat
kemajuan dalam segi keindahannya karena 'berbau' dasar ilmu silat lain, namun
gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang hebat. Pemuda ini akan
menjadi lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Sekarang dia
percaya akan keterangan kongkong-nya bahwa Cun Sek ini memiliki tingkat
kepandaian yang setara dengan ayah serta ibunya. Harus diakuinya sendiri bahwa
andai kata dia belum digembleng secara keras oleh kakeknya dan neneknya di
Pulau Teratai Merah, maka dia sendiri bukanlah tandingan anggota baru Cin-ling-pai
ini.
Tiba-tiba
saja Cun Sek merubah ilmu silatnya dan dia kini memainkan ilmu silat Thian-te
Sin-ciang, satu di antara ilmu silat yang amat tangguh dari perguruan
Cin-ling-pai. Seperti juga Thai-kek Sin-kun tadi, ilmu ini pun dalam pandangan
Kui Hong berbau gerakan ilmu asing sungguh pun harus diakuinya bahwa
gerakan-gerakan pemuda itu cepat sekali dan semua pukulannya mengandung tenaga
yang kadang bertentangan sebagai ciri khas ilmu silat Thian-te Sin-kun, tenaganya
kadang keras dan kadang lunak.
Berturut-turut
Cun Sek memainkan sebagian dari ilmu-ilmu silat yang lain seperti San-in
Kun-hwat, dan bahkan Im-yang Sin-kun yang merupakan ilmu simpanan dari ketua
lama Cia Kong Liang. Kini mengertilah Cia Hui Song dan isterinya bahwa
diam-diam ayahnya telah mendidik pemuda itu dengan ilmu silat simpanan ini.
Bukan itu
saja, bahkan yang terakhir, pemuda itu menghunus sebatang pedang. Semua orang
merasa silau ketika ada sinar emas berkilat dan pemuda itu sudah memainkan ilmu
pedang Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang paling rahasia dari Cin-ling-pai
dan yang hanya diajarkan kepada murid-murid tingkat tertinggi saja! Dan pedang
yang digunakan itu bukan lain adalah Hong-cu-kiam, pedang yang dapat digulung,
pedang pusaka milik kakek Cia Kong Liang.
Kembali Cia
Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dan mereka mengerti bahwa
pemuda ini benar-benar telah dipilih oleh ayah mereka. Tentu kakek itu yang
telah mengajarkan ilmu pedang itu dan memberikan pedang Hong-cu-kiam pula!
Kui Hong
sendiri merasa betapa perutnya panas. Dia adalah cucu tunggal dari kongkong-nya
sebelum terlahir adik tirinya, Cia Kui Bu. Akan tetapi kongkong-nya itu belum
pernah meminjamkan pedang pusaka itu kepadanya! Kini tahu-tahu kakeknya sudah
memberikan atau meminjamkan pedang itu kepada pemuda ini. Dan kembali dia
mengerutkan alisnya, maklum benar betapa tangguhnya pemuda ini dengan pedang
pusaka Hong-cu-kiam itu.
Semua tamu
yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia persilatan nampak mengangguk-angguk dan kagum
pada saat melihat betapa sinar emas itu bergulung-gulung mengelilingi tubuh
pemuda itu yang sudah lenyap ditelan gulungan sinar emas! Tiba-tiba sinar itu
lenyap dan nampaklah pemuda yang gagah itu berdiri tegak dengan pedang sudah
melingkar pada pinggangnya, memberi hormat ke empat penjuru yang langsung
disambut sorak sorai dan tepuk tangan dari para pendukungnya, juga dari
sebagian para tamu yang merasa kagum.
Dengan
anggunnya pemuda itu segera berlutut memberi hormat kepada Cia Kong Liang,
kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya, baru dia mundur ke pinggir panggung
dan duduk bersila dengan sikap sopan. Tang Cun Sek memang seorang pemuda yang
pandai membawa diri. Orangnya gagah, dengan wajah tampan ganteng berkulit
putih, tubuhnya tinggi besar sehingga pantaslah dia menjadi seorang pendekar.
Kakek Cia
Kong Liang terlihat gembira melihat sambutan semua orang terhadap pemuda yang
disukanya itu. Memang dia menyukai Cun Sek, dan hal ini tidak dapat disalahkan.
Memang pemuda itu pandai sekali mengambil hati, bukan dengan menjilat-jilat,
melainkan dengan sikapnya yang sangat sopan dan baik.
Selama
menjadi murid Cin-ling-pai belum pernah dia memperlihatkan sikap yang tercela.
Selain tampan dan gagah, juga dia pantas menjadi murid kebanggaan Cin-ling-pai,
dan menurut penglihatan Cia Kong Liang pemuda itu sangat pantas menjadi cucu
mantunya, menjadi suami Cia Kui Hong!
Karena
itulah maka selama ini dia sendiri secara tekun sudah menggembleng pemuda itu
dengan ilmu-ilmu silat simpanannya, bahkan menyerahkan pedang pusaka
Hong-cu-kiam kepadanya. Bukankah pemuda itu adalah calon ketua Cin-ling-pai
sekaligus calon cucu mantunya? Sudah sepatutnya mewarisi pedang pusakanya itu.
"Sekarang
calon ketua Gouw Kian Sun, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek ini
berkata. Gouw Kian Sun adalah muridnya sendiri, murid Cin-ling-pai yang paling
pandai, tentu saja kalau tanpa memperhitungkan Cun Sek.
Gouw Kian
Sun maju, lantas memberi hormat kepada Cia Kong Liang sebagai gurunya, kemudian
kepada Cia Hui Song dan isterinya sebagai suheng dan juga ketua Cin-ling-pai,
dan dengan sikap tenang dia pun lalu melangkah ke tengah panggung. Setelah
memberi hormat kepada para penonton, dia pun mulai bersilat.
Seperti yang
dipertontonkan oleh Tang Cun Sek tadi, ia juga memainkan semua ilmu silat
Cin-ling-pai walau pun tidak semua jurus dikeluarkan, hanya dipilih jurus-jurus
yang paling baik saja. Permainannya mantap dan menunjukkan kemahiran serta
kematangan. Walau pun kecepatannya tidak seperti yang dipertontonkan Cun Sek
tadi, juga sambaran angin pukulannya tidak sedahsyat pemuda tadi, tetapi semua
yang ahli dalam ilmu silat Cin-ling-pai maklum bahwa inilah ilmu silat
Cin-ling-pai yang asli.
Di lubuk
hatinya yang paling dalam, kakek Cia Kong Liang sendiri harus mengakui bahwa
permainan silat Gouw Kian Sun itu memang sudah mendekati kesempurnaan,
gerakan-gerakannya mantap dan matang. Dan dia pun bukan tidak tahu bahwa
gerakan silat Cun Sek tadi berbau percampuran gerakan silat asing. Akan tetapi
karena dia sudah condong untuk memilih Cun Sek yang dipercayanya akan mampu
memimpin Cin-ling-pai dengan baik dan bisa memajukan perkumpulan itu, maka dia
pun memberi nilai yang lebih tinggi kepada pemuda itu.
Berbeda
dengan Tang Cun Sek yang tadi menutup permainan silatnya dengan jurus Ilmu
Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), kini Gouw Kian Sun menutup
ujiannya dengan permainan tongkat berpasangan yang disebut Siang-liong-pang
(Tongkat Sepasang Naga). Dalam ilmu mempergunakan senjata ini pun gerakan Kian
Sun sangat mantap dan jelas dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Cia
Hui Song sendiri diam-diam memuji kemajuan sutenya ini.
Ketika pria
berumur empat puluh tahun itu berhenti bersilat, para pendukungnya bertepuk
tangan memuji, termasuk Kui Hong yang bertepuk tangan paling keras dan panjang!
Dara ini secara terang-terangan mendukung susiok-nya itu.
Namun pada
saat itu pula suara kongkong-nya sudah menyebut namanya sebagai tanda bahwa
tiba saatnya dia diharuskan menunjukkan kemampuannya bersilat sebagai salah
seorang di antara tiga orang calon ketua yang dipilih oleh para anggota
Cin-ling-pai.
"Kongkong,
haruskah aku turut maju pula? Bukankah sudah jelas bahwa ilmu silat susiok tadi
jauh lebih baik dan asli? Susiok Gouw Kian Sun adalah orang yang paling cocok
dan tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru menggantikan ayah kalau
ayah memang mengundurkan diri!" Suaranya lantang didengar semua orang dan
kakeknya mengerutkan kening.
"Cia
Kui Hong," kakeknya berkata dengan suara yang lantang pula. "Menurut
peraturan pemilihan ketua, setiap calon harus maju dan memperlihatkan
kemampuannya. Sesudah itu baru diadakan pertandingan untuk menentukan siapa di
antara para calon yang paling pandai sehingga tepat untuk menjadi ketua
Cin-ling-pai yang baru. Nah, kini perlihatkanlah kemampuanmu!"
Kui Hong
menghela napas panjang. Dia telah mengenal watak kakeknya yang keras hati.
Kakeknya ini sudah menganggap bahwa Tang Cun Sek yang paling tepat untuk
menjadi ketua karena memang dianggapnya paling baik. Dan agaknya kakeknya sudah
demikian yakin akan kemenangan Tang Cun Sek!
Tidak, dia
yang akan menentangnya, bukan menentang kehendak kakeknya, akan tetapi
menggagalkan pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai! Kalau perlu dia sendiri
akan turun tangan dan menjadi pengganti ayahnya! Tentu saja dia harus mampu
mengalahkan Tang Cun Sek dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena
dia maklum betapa lihainya pemuda pilihan kakeknya itu.
Kalau pemuda
itu berhasil memenangkan pemilihan ketua dan menjadi ketua baru, tentu kakeknya
akan melanjutkan niatnya menjodohkan pemuda itu dengannya. Memang harus dia
akui bahwa Cun Sek seorang pemuda yang tampan, gagah dan pandai ilmu silatnya,
baik pula sikapnya. Akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu pada diri pemuda itu
yang tidak disukainya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dan apakah gerangan
sesuatu itu.
Ketika Kui
Hong bangkit dan berjalan ke tengah panggung, para pendukungnya segera
menyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah. Juga para tamu banyak yang
bertepuk tangan, terutama sekali para undangan.
Memang Kui
Hong nampak cantik bukan kepalang. Dia mengenakan celana biru dan baju merah
muda, dengan sabuk berwarna kuning keemasan. Rambutnya digelung ke atas dan
dihias tusuk sanggul dari emas yang berbentuk burung Hong dengan mata intan.
Bibirnya tersenyum manis sekali, matanya tajam bersinar. Gadis berusia sembilan
belas tahun ini bagai kembang yang sedang mekar semerbak mengharum. Bukan hanya
nampak cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali.
Pada saat
dia memberi hormat kepada para tamu, semua orang tersenyum dan yang tua
mengangguk-angguk sedangkan yang muda ramai bertepuk tangan. Sepasang mata Cun
Sek juga menyinarkan api penuh kagum, dan diam-diam dia membayangkan betapa
akan senangnya jika dia dapat menjadi ketua Cin-ling-pai dengan dara jelita itu
duduk di sisinya sebagai isterinya!
Sambil
mengamati dara yang semenjak kepulangannya ke Cin-ling-pai telah membuatnya
tergila-gila itu, Tang Cun Sek mengenang keadaan dirinya dan riwayatnya
sendiri. Dia tak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Pada saat dia sudah
mulai dapat berpikir, dia mengajukan pertanyaan kepada ibunya kenapa dia
memiliki she (nama keturunan) Tang, pada hal ayahnya seorang hartawan she Thio.
Ibunya
dengan terus terang menceritakan bahwa ketika ibunya menikah dengan hartawan
Thio, dia sudah menjadi seorang janda yang masih sangat muda, baru berusia dua
puluh tahun, ada pun Cun Sek berusia tiga tahun. Ibunya melahirkan ketika
berusia tujuh belas tahun, masih muda sekali. Mengenai ayah kandungnya, dengan
sepasang alis berkerut ibunya bercerita begini:
"Ayah
kandungmu adalah seorang she Tang. Aku sendiri tidak tahu namanya karena dia
tak pernah mengaku, akan tetapi dia adalah seorang yang sakti dan dia
memperkenalkan julukannya sebagai Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah). Dan aku pun
bukan isterinya, dia... dia memaksaku dengan ancaman mati sehingga aku terpaksa
melayaninya. Selama tiga bulan dia sering datang ke kamarku di malam hari dan
setelah aku mengandung, dia pun meninggalkan aku dan hanya meninggalkan benda
ini agar kelak engkau mengenalnya. Inilah benda itu," demikian cerita
ibunya sambil menyerahkan sebuah benda kecil yang selalu disimpan olehnya
secara rahasia dan tak pernah terpisah dari tubuhnya. Benda itu sebuah mainan
berbentuk seekor kumbang merah terbuat dari emas dan permata. Hanya itulah yang
diketahuinya tentang ayah kandungnya.
"Orangnya
tampan sekali dan pandai merayu, tubuhnya sedang, akan tetapi dia seperti
iblis, datang dan pergi seperti pandai menghilang saja," demikian kata ibu
kandungnya.
Sejak
berusia tiga tahun dia hidup di rumah gedung Thio Wan-gwe (Hartawan Thio) yang
dipanggilnya ayah karena memang merupakan ayah tirinya. Agaknya ayah tirinya tak
mau mengakuinya sebagai anak sendiri sehingga ibunya terpaksa memberinya she
Tang, yaitu nama keturunan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang juga
she Tang.
Sebagai
putera keluarga kaya raya, walau pun hanya anak angkat saja, dia hidup serba kecukupan,
mewah dan dimanja, tetapi semenjak kecil Cun Sek memiliki kecerdikan yang lebih
dari anak-anak biasa. Pada mulanya dia mempelajari kesusasteraan dengan sangat
tekun, akan tetapi setelah berusia sepuluh tahun, dia mempergunakan banyak uang
yang diperoleh dari ibunya untuk belajar ilmu silat!
Diam-diam
dia menanam bibit dendam kebencian kepada orang yang oleh ibunya disebut
Ang-hong-cu, ayah kandungnya sendiri karena orang itu setelah memperkosa ibunya
dan ibunya mengandung dia kemudian meninggalkan ibunya begitu saja! Karena
ibunya selalu menuruti permintaannya dan Cun Sek menghamburkan banyak sekali
uang, dia pun bisa mempelajari banyak macam ilmu silat. Karena dia memang
berbakat sekali, maka dia pun dapat menguasai bermacam-macam ilmu silat.
Akan tetapi
ada satu kelemahan dalam diri pemuda yang cerdik dan berbakat, juga penuh
semangat ini. Semenjak berusia enam belas tahun dia telah mulai memperhatikan
wanita. Bukan sekedar memperhatikan, bahkan dia mulai terangsang bila bertemu
wanita cantik.
Ayah tirinya
mempunyai lima orang selir dan di antara mereka, ada dua orang selir yang masih
sangat muda, berusia delapan belas tahun. Dua orang selir ini mulai bermain
mata dengan Cun Sek yang berusia enam belas tahun. Hal yang sukar untuk
dihindarkan pun terjadilah!
Cun Sek
mulai bermain cinta dengan dua orang selir muda itu. Kedua orang selir itu yang
menjadi guru Cun Sek dan membuat dia seakan-akan seekor kuda yang terlepas dari
kendali, menjadi liar dan menjadi seorang pengumbar nafsu yang tidak ketulungan
lagi!
Akhirnya
persaingan dan kebencian di antara para selir membuat hubungan itu diketahui
oleh Thio Wan-gwe yang mendapat bisikan dari selir yang lain. Dan Cun Sek
tertangkap basah! Ayah tirinya marah sekali kemudian Cun Sek diusirnya!
Pemuda ini
juga memiliki harga diri yang tinggi. Merasa bahwa dia memang bukan anak
kandung hartawan itu, maka dia pun pergi sambil membawa banyak sekali emas
permata yang didapat dari ibunya yang amat memanjakannya. Mulailah Tang Cun Sek
bertualang, bebas seperti seekor burung di udara!
Dengan
hartanya yang sangat banyak, dia mencari guru demi guru silat yang pandai dan
mempelajari pelbagai llmu silat, baik dari golongan putih mau pun dari
gerombolan hitam. Selain itu dia pun sering mengumbar nafsunya, berkecimpung
dalam dunia kesenangan bersama wanita-wanita pelacur. Dan dia pun menjadi
seorang kongcu hidung belang yang kaya raya dan yang menghambur-hamburkan uang
untuk dilayani para wanita cantik dan menerima pelajaran silat dari guru-guru
yang pandai.
Akhirnya Cun
Sek pun mulai bosan dengan pergaulannya dalam dunia pelacuran itu dan
melanjutkan kehausannya akan ilmu silat sampai dia pergi mengunjungi guru-guru
yang pandai di puncak-puncak gunung, mengangkat guru kepada siapa saja yang dia
anggap mempunyai kepandaian tinggi.
Berkat
pengetahuannya yang cukup luas melalui bacaan, disertai sikap pandai membawa
diri, maka banyak sudah orang-orang pandai di dunia persilatan menganggap dia
sebagai seorang calon pendekar budiman sehingga mereka pun tidak segan untuk
mengajarkan ilmu silat mereka kepada pemuda ini. Bahkan, pada saat mendengar
tentang Cin-ling-pai, Tang Cun Sek dalam usia dua puluh enam tahun kemudian
datang menghadap pimpinan Cin-ling-pai untuk menjadi murid perkumpulan silat
yang besar dan terkenal itu.
Demikianlah
riwayat yang dikenang kembali oleh Tang Cun Sek pada saat dia mengamati gadis
cantik di panggung itu. Tentu saja dia menyimpan rapat-rapat riwayatnya ini
sebagai rahasia pribadinya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Tang Cun Sek
seorang pemuda yatim piatu yang suka mempelajari ilmu silat tinggi, dan karena
sikapnya memang sangat baik, sopan dan halus, pandai membawa diri dan pandai
menyenangkan hati orang lain melalui sikap dan tutur sapanya, dia pun diterima
menjadi anggota Cin-ling-pai dan dapat mempelajari ilmu-ilmu silat milik
Cin-ling-pai. Demikian pandainya dia menyenangkan hati orang sehingga kakek Cia
Kong Liang sendiri sampai terpikat dan berkenan mengajarkan ilmu-ilmu simpanan
Cin-ling-pai kepada pemuda ini.
Kini Kui
Hong sudah mulai bersilat. Seperti dua orang calon sebelumnya, Kui Hong juga
memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Dia langsung mengerahkan seluruh tenaga
berikut kepandaiannya karena dia ingin melebihi Cun Sek dalam segala-galanya!
Sebagai
keturunan ketua Cin-ling-pai, dalam hal ilmu silat Cin-ling-pai tentu saja dia
telah menguasai semua ilmu dengan baik. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan
Gouw Kian Sun, tentu saja dia masih kalah matang karena susiok-nya itu sudah
menguasai ilmu-ilmu ini selama puluhan tahun, dan terutama sekali karena setiap
hari Gouw Kian Sun selalu mempraktekkannya untuk melatih para murid
Cin-ling-pai.
Akan tetapi,
karena gadis ini baru saja langsung digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau
Teratai Merah, maka dia telah memperoleh kemajuan hebat dalam hal sinkang dan
ginkang sehingga ketika bergerak tubuhnya bagai kilat menyambar-nyambar.
Kecepatan gerakannya melebihi kecepatan Cun Sek dan hal ini memang disengaja
oleh Kui Hong untuk mengurangi kesan baik yang diperoleh Cun Sek dalam pameran
silatnya tadi.
Kini tubuh
gadis ini sukar diikuti pandangan mata. Tubuhnya berkelebat-kelebat menjadi
bayangan warna-warni, merah biru dan kuning, sementara angin menyambar-nyambar
ke semua penjuru karena dorongan tangan serta tendangan kakinya. Para penonton
sampai terpesona karena apa yang diperlihatkan Kui Hong itu memang sangat indah
dan amat hebat pula. Cun Sek sendiri terpesona dan dia semakin tergila-gila
kepada gadis itu.
Sesudah
memainkan beberapa macam ilmu silat Cin-ling-pai, Kui Hong lantas mencabut
sepasang pedang pemberian dari neneknya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang
Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam sehingga nampak dua gulung sinar
hitam. Dan gadis ini segera memainkan kedua pedangnya itu dengan ilmu pedang
Hok-mo Siang-kiam-sut yang dipelajarinya dari neneknya!
Bukan main
hebatnya ilmu pedang ini. Terdengar suara mengaung-ngaung tinggi rendah yang
diselingi suara berdesing-desing, dan yang nampak hanyalah dua gulungan cahaya
hitam yang menyeramkan dan dahsyat sekali. Tidak aneh karena ilmu pedang ini
adalah ilmu dari nenek gadis itu yang bernama Toan Kim Hong. Pada waktu
mudanya, Toan Kim Hong ini sudah terkenal dengan menyamar sebagai seorang nenek
berjuluk Lam Sin dan termasuk seorang di antara tokoh-tokoh dan para datuk aneh
di empat penjuru dunia!
Seluruh
murid Cin-ling-pai memandang bingung. Permainan sepasang pedang itu tidak
mereka kenal sama sekali! Biar pun amat hebat, namun jelas bukan ilmu silat
Cin-ling-pai, maka mereka saling pandang dengan heran walau pun hati mereka
merasa kagum sekali. Baru dimainkan sendirian saja sudah dapat terlihat jelas
betapa ampuh dan kuatnya ilmu sepasang pedang itu, membuat orang merasa jeri.
Setelah
selesai bersilat pedang pasangan dan memberi hormat kepada penonton, semua tamu
bertepuk tangan memuji. Banyak di antara tamu yang tidak hafal akan ilmu-ilmu
Cin-ling-pai dan mengira bahwa ilmu bermain sepasang pedang itu pun merupakan
ilmu dari Cin-ling-pai. Melihat sambutan meriah yang diberikan para tamu kepada
cucunya, Cia Kong Liang menggapai dan memanggil cucunya itu. Setelah Kui Hong
duduk di dekatnya, dia menegur.
"Kui
Hong, kalau tidak salah, engkau tadi memainkan ilmu pedang dari nenekmu di
Pulau Teratai Merah! Itu bukan ilmu dari Cin-ling-pai!" Teguran itu
mengandung nada yang tidak senang. Memang sejak dahulu tokoh Cin-ling-pai ini
tidak begitu suka terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, terutama isteri
Pendekar Sadis yang tadinya seorang datuk sesat!
Akan tetapi
Kui Hong adalah seorang gadis yang keras hati pula, dan dia tidak akan sudi
mengalah terhadap siapa pun juga apabila merasa bahwa dia benar. Mendengar
teguran kongkong-nya itu, dia pun berkata, walau pun suaranya lirih namun
terdengar tegas.
"Kongkong,
siapa pun tahu bahwa permainan Tang Cun Sek tadi tidak asli sebab berbau ilmu
silat dari luar, akan tetapi kongkong tidak menegur atau mencelanya. Aku
sengaja memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam agar dia tahu bahwa aku pun mempunyai
ilmu lain di luar ilmu-ilmu Cin-ling-pai asli."
Kakek itu
mengenal watak cucunya ini, maka dia menghela napas panjang lantas berkata
lantang, "Ketiga orang calon ketua telah memperlihatkan kepandaiannya
masing-masing! Ternyata ketiganya memiliki tingkat yang sudah tinggi dan juga
matang dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Oleh karena itu, untuk menentukan
siapa yang paling pandai di antara mereka, akan diadakan pertandingan antara
mereka. Pertama kali akan berhadapan calon pertama dan ke dua, yaitu Tang Cun
Sek dan Gouw Kian Sun!"
Dua orang
itu memberi hormat lalu menuju ke tengah panggung. Sebelum pemilihan itu dimulai,
mereka sudah menerima petunjuk dari ketua Cin-ling-pai bahwa pertandingan itu
diadakan menurut pilihan kedua calon yang berhadapan, dengan tangan kosong
ataukah dengan senjata. Dan mengingat bahwa semua calon adalah anggota keluarga
perguruan sendiri, maka tentu saja mereka harus dapat menjaga agar jangan
sampai melukai lawan dengan parah, apa lagi sampai membunuhnya. Pertandingan
semacam ini membutuhkan keahlian dan kemampuan yang mendalam, yaitu mengenai
sasaran tanpa mendatangkan luka parah.
Dengan
sikapnya yang memang selalu menyenangkan, Tang Cun Sek memberi hormat kepada
lawannya yang masih terhitung susiok-nya sendiri, bahkan susiok ini pulalah
yang lebih banyak membimbingnya dalam latihan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai,
kemudian berkata,
"Susiok,
maafkan bila hari ini teecu memberanikan diri menjadi calon lawan susiok karena
terpaksa dipilih sebagai calon. Teecu menyerahkan kepada susiok cara apa yang
susiok pilih."
Ucapan ini
memang halus dan sopan, namun tidak urung mengandung nada menantang dan bahkan
memandang rendah kepada sang paman guru sehingga pemuda itu bersikap mengalah
dan mempersilakan susiok-nya itu memilih cara pertandingan. Dia seolah-olah
hendak melayani saja.
Gouw Kian
Sun memandang tajam, lalu menarik napas. Dia pun bukan seorang bodoh. Dia tahu
bahwa suhu-nya, ketua lama, condong berpihak dan memilih pemuda ini, dan dia
pun tahu bahwa sebelum menjadi murid Cin-ling-pai, pemuda ini sudah memiliki
ilmu silat yang tinggi. Meski pada mulanya dia menaruh curiga dan tidak mengerti
kenapa pemuda yang sudah pandai ini mau menjadi murid Cin-ling-pai, akan tetapi
melihat betapa suhu-nya amat menyayang pemuda ini, maka dia pun menghilangkan
kecurigaannya.
"Cun
Sek, kita adalah orang sendiri, tak perlu mempergunakan senjata. Engkau atau
pun aku yang menjadi ketua, apa bedanya? Mari kita mulai, dengan tangan kosong
saja."
"Tahan
dulu!" Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru keras lantas dia menyuruh seorang
murid Cin-ling-pai supaya mengambil dua batang mouw-pit (pena bulu) dan tinta
bak. Kemudian dia pun berkata kepada dua orang calon ketua itu. "Agar
lebih mudah menentukan siapa pemenangnya, kalian gunakanlah mouw-pit yang sudah
dicelup tinta untuk saling serang. Pada akhir pertandingan, siapa yang ternyata
lebih banyak terkena goresan atau totokan hitam pada pakaiannya, dialah yang
kalah."
Baik Cun Sek
mau pun Gouw Kian Sun menerima baik perintah ini, apa lagi memang tak akan
terasa enak dalam hati kalau sampai mereka saling melukai. Betapa pun pandainya
mereka, jika sampai terjadi sebuah pertandingan yang seimbang baik kekuatan mau
pun kemahiran ilmunya, bukan tidak mungkin mereka takkan mampu mengendalikan
diri dan kesalahan tangan melukai lawan. Dengan mouw-pit mereka dapat menotok
atau mencoret pada bagian tubuh yang tertutup pakaian, biar pun tidak perlu
menotok keras, cukup kalau sudah menodai bagian pakaian itu sebagai bukti bahwa
mereka berhasil saling melukai.
Pertandingan
itu pun dimulai. Karena mouw-pit itu panjangnya hanya sejengkal dan dijepit di
antara jari tangan yang terkepal, maka pertandingan itu lebih menyerupai
pertandingan tangan kosong. Mereka berdua kini berhadapan, kedua tangan
terkepal sambil menjepit mouw-pit di tangan masing-masing, memasang kuda-kuda
yang sama, yaitu kuda-kuda dari ilmu silat Thian-te Sin-ciang.
"Silakan,
susiok!" kata Cun Sek.
Ucapan ini
juga nampaknya saja dia menghormati susiok-nya agar menyerang lebih dulu,
padahal mereka berdua sama tahu bahwa dalam hal pertandingan semacam ini,
seperti halnya latihan saja karena masing-masing mempergunakan ilmu silat yang
sama, siapa menyerang lebih dahulu maka memiliki titik kelemahan.
Gouw Kian
Sun mengeluarkan seruan keras sebagai isyarat serangannya dan Cun Sek mengelak
sambil membalas, dan mulailah keduanya serang menyerang mempergunakan ilmu
silat Thian-te Sin-ciang. Mereka bertanding dengan pengerahan tenaga dan
seluruh kepandaian sehingga nampak seru sekali. Mereka saling serang dan
mengganti ilmu-ilmu silat mereka.
Bagi para
ahti silat Cin-ling-pai, nampak betapa setiap kali lawannya mendesak dan dia
berada dalam ancaman pukulan atau lebih tepat colekan mouw-pit, Cun Sek tidak
segan-segan untuk mempergunakan suatu gerakan yang menyimpang atau bukan
gerakan ilmu silat Cin-ling-pai. Suatu gerakan reflek untuk menghindarkan diri
dari serangan dan dalam gerakan ini secara otomatis akan keluar ilmu yang bukan
merupakan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang dikuasainya!
Akan tetapi
gerakan kedua orang jagoan ini demikian cepat sehingga kalau bukan ahli silat
Cin-ling-pai, hal ini tidak akan nampak. Bahkan para murid Cin-ling-pai yang
belum mencapai tingkat tertinggi juga tidak dapat membedakannya. Hanya Cia Kong
Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong, dan beberapa orang murid
kepala saja yang dapat mengetahuinya.
Seperti
sudah ditentukan dalam peraturan adu kepandaian itu, setelah sebatang hio (dupa
biting) yang di awal pertandingan tadi dinyalakan kini habis terbakar, maka
pertandingan langsung dihentikan dan para wasit menghitung jumlah noda yang
terdapat pada pakaian masing-masing. Tentu saja dengan mudah dapat dilihat
bahwa pada pakaian Gouw Kian Sun lebih banyak terdapat noda dan coretan. Hal
ini berarti bahwa dia telah kalah.
Dengan
diam-diam Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Mulailah dia merasa tidak suka
terhadap Cun Sek, bukan karena iri, bukan karena dia dinyatakan kalah,
melainkan dia melihat betapa murid keponakan itu ternyata seorang yang amat
curang dan licik. Dia tadi melihat Cun Sek banyak menggunakan jurus ilmu silat
lain yang dibaurkan dengan jurus ilmu silat Cin-ling-pai.
Bukan itu
saja kelicikan pemuda itu. Juga dia tadi melihat betapa setiap menyerangnya,
pemuda itu menggerak-gerakkan kedua mouw-pitnya sedemikian rupa sehingga tinta
bak dari ujung bulu pena itu memercik hingga menodai pakaiannya! Percikan yang
membuat noda pada pakaiannya itu bukan seluruhnya disebabkan tepatnya serangan
kedua mouw-pit di tangan Cun Sek, melainkan sebagian besar karena percikan
itulah. Dari hal ini saja dapat diketahui alangkah curangnya pemuda itu. Dalam
pengumpulan noda pada pakaian lawan, tentu saja Cun Sek memperoleh kemenangan
yang banyak.
Dengan sikap
gembira kakek Cia Kong Liang lalu mengumumkan bahwa pemenangnya adalah Tang Cun
Sek, calon ketua nomor satu dan sekarang akan diadakan pertandingan antara
calon nomor satu dengan calon nomor tiga. Untuk itu Cun Sek diharuskan berganti
pakaian yang bersih lebih dahulu karena pakaiannya sudah berlepotan noda hitam.
Sementara
menanti calon lawannya berganti pakaian, kesempatan itu dipergunakan oleh Kui
Hong untuk mendekati kongkong-nya. Dia tahu bahwa kalau Tang Cun Sek sampai
bisa menjadi calon ketua yang memperoleh banyak pendukung, bahkan sekarang
mampu mengalahkan Gouw Kian Sun, hal itu adalah karena dukungan kakeknya ini.
"Kongkong,"
bisiknya dan hanya kakeknya seorang yang dapat mendengarnya. "Kenapa
kongkong membolehkan Cun Sek itu melakukan kecurangan? Dia menggunakan banyak
jurus di luar ilmu silat Cin-ling-pai ketika melawan susiok Gouw Kian Sun,
bahkan dia juga menodai pakaian Gouw-susiok dengan percikan-percikan dari
mouw-pitnya."
Kakeknya
memandang kepadanya dan menjawab dalam bisikan pula. "Kui Hong, hal itu
menunjukkan kecerdikannya. Dialah yang paling tepat untuk memimpin perkumpulan
kita, dapat menambah ragamnya ilmu silat kita. Kiranya engkau tidak perlu maju
lagi, cucuku. Untuk apa seorang wanita menjadi ketua? Kalau engkau menjadi
isterinya, itu baru tepat."
Kui Hong
tidak menjawab, melainkan pergi menjauhkan diri dari kakeknya dengan muka
cemberut. Sialan, pikirnya. Kakeknya sudah benar-benar dipengaruhi oleh Tang
Cun Sek sehingga sudah bertekad bulat untuk mendukung pemuda itu menjadi ketua
Cin-ling-pai. Bukan itu saja, malah agaknya bertekad untuk menjodohkan pemuda
itu dengannya......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment