Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 06
GADIS itu
berwatak demikian terbuka, polos di samping galak dan keras, akan tetapi juga
penuh rahasia baginya. Kadang-kadang gadis itu bersikap manis sekali,
kadang-kadang seperti acuh. Bagaimana kalau nanti Bi Lian menolak? Bagaimana
kalau diam-diam gadis ini telah mempunyai seorang pemuda pilihan hatinya
sendiri? Hal ini membuat dia secara diam-diam merasa gelisah ketika mengikuti
gadis dan ayah ibunya itu dari belakang.
Diam-diam
dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan suhu dan subo-nya melingkar di
pinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ!
Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada
ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya!
Mereka
memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di pinggir sebuah anak sungai
yang airnya jernih, yang mengalir riang berdendang di antara batu-batu sungai.
Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang
lain berada di dusun yang berada di kaki gunung.
Setelah
berada di dalam pondok dan duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang
lunak dan bersih, mereka berempat kemudian bercakap-cakap. Untuk melenyapkan
rasa penasaran di hati Bi Lian, mula-mula Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu
menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang sudah yatim
piatu dan saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin
menebus dosa orang tua mereka, lalu masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si untuk
menjadi hwesio dan nikouw.
"Tapi
agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi
Lian. Engkau pun terlahir dan kami dihukum oleh losuhu Ceng Hok Hwesio,"
kata Toan Hui Cu.
"Kenapa
ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya? tanya Bi Lian sambil menahan
kemarahannya terhadap ketua kuil itu,.
Siangkoan Ci
Kang yang menjawab pertanyaan puterinya. "Kami dihukum agar bertobat dan
bertapa di dalam kamar tahanan masing-masing selama dua puluh tahun...”
"Dua
puluh tahun?" Bi Lian pura-pura terkejut. "Mengapa losuhu itu
menghukum seperti itu?"
"Karena
menurut losuhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa
dengan bertapa dan menyesali perbuatan kami itu," jawab ibunya.
"Ayah
dan Ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah dan Ibu menganggap hukuman itu
sudah pantas?" Bi Lian mendesak.
Suami isteri
itu saling lirik, lantas Siangkoan Ci Kiang menjawab, "Ya, kami
menerimanya dan kami menganggapnya sudah pantas."
"Tidak!
Tidaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia
tergila-gila kepada Ibu, kakek yang tidak tahu malu itu! Ibu tidak mau
melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum Ayah dan Ibu untuk memuaskan
dendamnya!"
"Sumoi...!"
Han Siong berseru menegur.
Suami isteri
itu saling pandang, lalu memandang Han Siong. Siangkoan Ci Kang menarik napas
panjang sebelum bertanya, "Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu?
Dari siapa kalian tahu?"
"Dia
sendiri yang mengaku kepada kami!" Bi Lian menjawab. "Ayah dan Ibu,
tadinya kami masuk ke dalam kamar tahanan Ayah dan Ibu, akan tetapi kami hanya
bertemu dengan losuhu itu dan dia membuat pengakuan ini. Hampir saja aku
membunuhnya!"
"Bi
Lian...!" Toan Hui Cu merangkul puterinya.
Kini Han
Siong turut bicara. "Suhu dan Subo, sebelum bertemu dengan losuhu Ceng Hok
Hwesio, sumoi belum tahu bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo, karena teecu
hanya mengajak sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo yang dia ingat sebagai
guru-gurunya pada saat dia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari Suhu
dan Subo di kuil, kami berjumpa dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui
segalanya kepada kami sehingga sumoi mengetahui bahwa dia adalah puteri Suhu
dan Subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya."
"Aku
heran sekali mengapa Ayah dan Ibu membiarkan saja orang berbuat begitu kejam
terhadap Ayah dan Ibu?" Bi Lian menyambung dengan suara mengandung
penasaran.
Ayahnya
tersenyum. "Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa Ayah
beserta Ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang dahulu ditumpuk
oleh kakek nenekmu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat
bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biar pun sesudah hampir dua puluh
tahun kemudian losuhu itu baru membuat pengakuan, kami tak merasa penasaran
karena di dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah
yang sangat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan
ilmu-ilmu tinggi, bahkan kemudian kami bertemu dengan suheng-mu ini yang
menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok
Hwesio."
"Bahkan
kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian," kata ibunya. "Dia merasa
menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang
sudah begitu tua harus menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan
menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati."
Bi Lian
mengangguk-angguk. "Mungkin benar juga pendapat Ayah dan Ibu. Dia menyiksa
diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi,
kenapa Ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan juga menyuruh mereka
mengakui aku sebagai anaknya?"
"Begini,
Bi Lian," jawab ayahnya. "Ibumu dan aku sudah merundingkan hal itu
baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun dalam kurungan sebagai
orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami
dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa
depanmu. Oleh karena itu, sesudah berpikir masak-masak maka kami menitipkan
engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Kami
selalu mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai
engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat."
"Nah,
itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di
dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak sayang kepadamu! Engkau
tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau teringat kepadamu,
dan hanya demi kebahagiaanmu di masa depan sajalah aku dapat menahan
penderitaan batin yang berat itu...”
Bi Lian
merangkul ibunya. "Aku percaya, Ibu. Aku pun dapat merasakan kasih sayang
Ibu dan Ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu."
"Nah,
sekarang giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu!" kata Siangkoan
Ci Kang kepada puterinya.
"Nanti
dulu, Ayah dan Ibu," kata Bi Lian dengan sikap manja dan 'jual mahal'.
"Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai
dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu."
Toan Hui Cu
tersenyum kemudian mengangguk kepada muridnya. "Kami pun ingin sekali
mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Kini berceritalah,
Han Siong."
"Sumoi,
aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari
Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika masih bayi, terpaksa aku disembunyikan karena
hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si
itu sehingga bertemu dengan suhu dan subo kemudian menjadi muridnya."
"Ya,
aku sudah tahu tentang hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah
adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu,"
kata Bi Lian.
Kini Han
Siong menujukan ceritanya kepada dua orang gurunya. "Ketika Suhu dan Subo
memberi tugas kepada teecu untuk mencari Sumoi, sesungguhnya teecu merasa
bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan Sumoi,
juga teecu tidak tahu harus mencari ke arah mana. Akan tetapi teecu mengambil
keputusan tidak akan kembali menghadap Suhu dan Subo sebelum berhasil menemukan
Sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu Suhu dan Subo, dan juga kenekatan.
Dalam perjalanan itu teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban
Hok Lojin dan teecu diambil murid selama satu tahun!."
"Ban
Hok Lojin?" Siangkoan Ci Kang berseru kaget. "Bukankah dia adalah
salah seorang di antara Delapan Dewa?"
"Suhu
benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) dan
selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu
sihir..."
"Wah,
Ayah dan Ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!"
“Hemm, coba
kau perlihatkan sedikit sihirmu supaya kami dapat melihatnya, Han Siong,"
kata Toan Hui Cu, subo-nya.
“Bagaimana
teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap Suhu dan Subo?” kata Han
Siong.
"Tidak,
Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi
murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kau
pelajari itu," kata suhu-nya.
"Suhu,
menurut keterangan suhu Ban Hok Lojin, ada dua macam ilmu sihir, yaitu yang
disebut ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam adalah sihir yang dipergunakan
orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan yang diajarkan oleh suhu Ban Hok
Lojin hanyalah untuk melindungi diri dari serangan musuh, terutama untuk
menghadapi serangan sihir hitam."
"Kalau
begitu bagus sekali, Han Siong. Nah, perlihatkan sedikit kepada kami supaya
kami menjadi yakin."
"Aihh,
Suheng! Kenapa pelit amat? Hayo perlihatkan kepandaianmu, aku pun ingin sekali
melihatnya," kata Bi Lian.
Han Siong
tersenyum, lantas diam-diam dia mulai mengerahkan kekuatan batinnya untuk
melakukan demonstrasi sihirnya. "Suhu, Subo dan Sumoi, andai kata sekali
waktu teecu kewalahan menghadapi pengeroyokan atau seorang lawan tangguh, teecu
bisa membuat lawan bingung untuk menyelamatkan diri dengan memperbanyak diri
teecu!"
"Memperbanyak
diri?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui ClI bertanya hampir berbareng.
"Apa
maksudmu, Suheng?" Bi Lian juga ingin sekali tahu.
"Suhu,
teecu dapat memperbanyak diri, misalnya menjadi dua seperti ini!"
Suara Han
Siong berwibawa sekali, menggetar dan tiba-tiba saja ayah, ibu dan anak itu
terbelalak melihat betapa tubuh Han Siong benar-benar berubah menjadi dua
orang!
"Atau
menjadi tiga seperti ini!" terdengar lagi suara Han Siong dan sekarang
muncul pula seorang Pek Han Siong yang lain dan berdirilah tiga orang pemuda
yang kembar di depan mereka.
Siangkoan Ci
Kang dan Toan Hui Cu, dua orang tokoh kang-ouw yang sudah mempunyai banyak
pengalaman dan memiliki kepandaian tinggi itu cepat-cepat mengerahkan tenaga
khikang mereka dan memusatkannya kepada pandang mata dan kini lenyaplah dua
orang bayangan Han Siong yang lain, tinggal seorang saja yang asli. Akan tetapi
Bi Lian tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan penglihatan aneh itu dan dia
pun berseru sambil tertawa.
"Wah-wah-wah...!
Kalau aku menjadi lawanmu pasti aku benar-benar akan kebingungan sekali,
Suheng! Yang mana sih engkau yang sesungguhnya?"
Han Siong
tersenyum. Dia pun segera melenyapkan dua bayangannya, lalu menjatuhkan diri
berlutut di hadapan suhu dan subo-nya yang dia tahu dapat menguasai penglihatan
mereka tadi.
"Harap
suhu dan subo suka memaafkan teecu."
Suami isteri
itu saling pandang dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang. "Memang
hebat ilmu sihir itu, Han Siong. Kami sendiri seketika terpengaruh dan memang
ilmu sihir ini dapat menjadi alat pembela diri yang ampuh. Kami ikut merasa
gembira bahwa engkau dilatih oleh seorang sakti seperti locianpwe itu. Sekarang
lanjutkan ceritamu, Han Siong."
"Teecu
lalu pergi berkunjung ke Pek-sim-pang. Di sana teecu bertemu dengan lima orang
pendeta Lama yang hendak memaksa teecu ikut ke Tibet, namun teecu berhasil
mengusir mereka. Kemudian teecu bertemu dengan ayah, ibu dan keluarga
Pek."
"Ah,
syukurlah, Han Siong. Aku ikut merasa gembira bahwa engkau bisa bertemu dengan
orang tuamu dan keluargamu di sana," kata Toan Hui Cu.
"Tetapi
teecu mendengar dari keluarga Pek bahwa adik kandung teecu yang bernama Pek Eng
telah pergi meninggalkan rumah, katanya untuk mencari teecu, kakaknya yang
selama hidupnya belum pernah dilihatnya."
"Ahh,
kasihan sekali adik Pek Eng...,” kata Bi Lian.
"Karena
itu teecu merasa khawatir dan teecu juga tidak lama tinggal di asrama
Pek-sim-pang. Teecu lalu berangkat untuk mencari adik Pek Eng dan juga Sumoi,
teecu mencari dua orang gadis!"
"Dua
orang yang selamanya belum pernah Suheng lihat. Hik-hik, betapa sukarnya
itu...!" Bi Lian tertawa.
"Akhirnya
teecu menemukan jejak adik Pek Eng yang kiranya ditangkap oleh gerombolan
pemberontak Lam-hai Giam-lo yang bersarang di Lembah Yang-ce di Yunan, maka
teecu segera menyusul ke sana dan ternyata teecu menemukan dua-duanya di
sana!"
Kembali Bi
Lian tertawa. "Dua orang yang dicarinya itu telah berkumpul di Yunan,
bahkan sebelum Suheng berjumpa dengan aku atau dengan adik Eng, aku dan adik
Eng sudah menjadi sahabat baik!"
"Pemberontakan
Lam-hai Giam-lo dapat dihancurkan oleh para pendekar, kemudian teecu berhasil
membujuk Sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo di kuil Siauw-lim-si itu."
Han Siong mengakhiri ceritanya.
"Kami
sungguh bersyukur sekali, Han Siong. Engkau bukan saja berhasil melaksanakan
tugasmu dan memenuhi permintaan kami sehingga berhasil baik, akan tetapi juga
dapat menemukan adik kandungmu dan dapat membantu para pendekar untuk
menghancurkan persekutuan pemberontak Lam-hai Giam-lo," kata Siangkoan Ci
Kang. "Nah, sekarang giliranmu untuk bercerita, Bi Lian."
Bi Lian lalu
menceritakan pengalamannya sejak dia diambil murid oleh mendiang Pak-kwi-ong
dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan yang menjadi datuk-datuk
sesat di empat penjuru itu. Kedua orang datuk itu senang sekali melihat Bi Lian
yang ketika itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, manis
lincah dan mempunyai keberanian luar biasa sekali.
Tentu saja
anak kecil yang pemberani itu tadinya mendendam kepada dua orang iblis ini yang
dianggap sebagai pembunuh keluarga Cu, keluarganya! Akan tetapi kedua datuk itu
menyalahkan dua pasang suami isteri iblis yang memusuhi mereka. Dua pasangan
suami isteri iblis itulah yang membujuk rakyat dusun agar mengeroyok mereka
sehingga banyak penduduk dusun tewas, termasuk keluarga Cu. Bi Lian dapat
menerima alasan ini dan dia pun lantas mengalihkan dendamnya kepada dua pasang
suami isteri iblis, yaitu Lam-hai Siang-mo dan Sepasang Suami Isteri Goa Iblis
Pantai Selatan.
"Pelajaran
apa saja yang kau peroleh dari Dua Setan itu?" Toan Hui Cu bertanya.
Bi Lian
memandang kepada ayah ibunya. Ia melihat sinar mata khawatir ierpancar keluar
dari pandang mata kedua orang tuanya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memang merasa amat khawatir bila membayangkan
bahwa anak kandung mereka menjadi murid dua manusia iblis seperti Tung-hek-kwi
dan Pek-kwi-ong yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai dua orang yang
tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat dan kejam yang bagaimana pun juga.
Siangkoan Ci
Kang dan Toan Hui Cu sadar diri. Mereka merasa bahwa mereka adalah keturunan
datuk-datuk jahat sekali, maka mendengar betapa puteri mereka menjadi murid dua
di antara Empat Setan, tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau darah
nenek moyang puterinya itu akan menurun pada batin puterinya.
Bi Lian
tersenyum. "Ayah dan Ibu tak perlu khawatir. Memang aku mempelajari
berbagai ilmu silat tinggi dari mendiang suhu Pek-kwi-ong dan Tung-hek-kwi,
akan tetapi aku tidak sudi mempelajari dan meniru perbuatan mereka yang
kuanggap sangat jahat! Bagaimana pun juga, bimbingan keluarga Cu yang baik,
juga bimbingan Ayah dan Ibu yang ketika itu kuanggap guru, masih meninggalkan
kesan di hatiku sehingga aku tidak terpengaruh oleh watak jahat mereka."
"Sumoi
berkata benar,” Han Siong cepat menyambung. "Sejak bertemu dengan Sumoi,
yang teecu lihat Sumoi mempunyai jiwa pendekar seratus prosen, dan bahkan dia
sudah mendapat julukan Thiat-sim Sian-li sebagai tanda kekerasan hatinya
menghadapi orang-orang jahat.”
“Aihh,
Suheng ini memuji-mujiku di depan Ayah dan Ibu, mau merayu, ya?” tanya Bi Lian
dengan pandang mata nakal menggoda.
Seketika
wajah Han Siong berubah merah. Kalau saja gadis itu tahu bahwa mereka telah
dijodohkan, tentu tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti itu! Siangkoan Ci
Kang dan Toan Hui Cu memandang sambil tersenyum. Mereka tahu bahwa puteri
mereka memiliki watak keras, pemberani, dan polos sehingga ucapan yang
dikeluarkan tadi hanya untuk menggoda Han Siong, tidak mempunyai makna lain.
“Ah, aku
hanya bicara jujur, Sumoi. Kalau engkau bukan berjiwa pendekar tentu tak akan
menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo. Bahkan engkau berjasa besar sekali karena
di tanganmulah Lam-hai Giam-lo tewas!"
"Ahh,
benarkah?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar hal ini
karena mereka berdua maklum akan kelihaian Lam-hai Giam-lo. Apa bila puteri
mereka mampu membunuh iblis itu, tentu puteri mereka itu telah memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa hebatnya!
"Wah,
memang Suheng tukang memuji. Hemm, jangan-jangan Suheng sudah ketularan watak
putera Si Tawon Merah itu!" Tiba-tiba saja Bi Lian termenung karena dia
sekarang teringat pada seorang pemuda yang amat pandai merayu hati wanita,
bahkan dia sendiri pernah terpikat oleh puji-pujian dan rayuan yang keluar dari
mulut pemuda itu.
Pemuda itu
bernama Tang Hay, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan
main, bahkan pandai pula bermain sihir, seorang pemuda pendekar yang gagah
perrkasa. Akan tetapi kemudian ketahuan bahwa pemuda perkasa itu adalah putera
Ang-hong-cu atau Si Kumbang Merah yang terkenal sebagai penghisap kembang atau
seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) perusak dan pemerkosa wanita yang
amat keji!
"Sumoi,
aku tidak memuji, namun bicara secara jujur,” kata Pek Han Siong yang merasa
tidak enak mendengar disebutnya nama putera Ang-hong-cu itu.
"Akan
tetapi benarkah engkau telah berhasil membunuh Lam-hai Giam-lo, Bi Lian?"
tanya Toan Hui Cu heran.
"Ahh,
ibu. Suheng ini bisa saja. Memang aku membunuhnya, akan tetapi bukan sendirian,
melainkan mengeroyoknya bersama dua orang pendekar yang sakti. Kalau aku
sendirian, kiranya tidak akan mampu mengalahkan dia."
"Lanjutkan
ceritamu," kata Siangkoan Ci Kang.
"Selama
belajar ilmu silat dari kedua orang suhu itu, aku diajak merantau tetapi aku
tidak pernah mencampuri urusan suhu. Dan aku sendiri mempergunakan kepandaianku
untuk menentang kejahatan di mana-mana sehingga aku dijuluki Thiat-sim Sian-li
oleh kalangan kang-ouw. Kedua orang suhu lantas merantau ke daerah Yunan di
mana aku menemukan jejak dua pasang suami isteri yang kuanggap sebagai musuh besarku
karena merekalah yang menyebabkan terbasminya keluarga Cu yang kukira
keluargaku sendiri. Dan dalam pengejaran terhadap dua pasang suami isteri itu
kami bertiga kemudian bertemu dengan gerombolan Lam-hai Giam-lo! Suhu
Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi terbujuk oleh mereka dan meski pun aku tak senang,
mereka tetap saja menjadi tamu kehormatan gerombolan pemberontak itu. Malah
suhu Pak-kwi-ong kemudian hendak memaksaku agar menerima pinangan Kulana,
seorang di antara pimpinan para pemberontak berasal dari Birma yang berilmu
tinggi dan kaya raya. Aku tidak sudi, dan ketika suhu Pak-kwi-ong memaksa, suhu
Tung-hek-kwi membelaku. Mereka kemudian saling serang hingga keduanya tewas!
Pada waktu itulah bermunculan para pendekar dan aku lantas bergabung dengan mereka
untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo,
Kulana serta banyak lagi tokoh sesat itu.” Bi Lian mengakhiri kisahnya.
Gadis dan
ayah bundanya itu melepaskan kerinduan masing-masing. Selama beberapa hari
mereka hanya bercakap-cakap saja, saling menceritakan pengalaman mereka lebih
terperinci.
Beberapa
hari kemudian, sehabis makan siang mereka berempat duduk di atas rumput tebal
di luar pondok, di bawah pohon yang rindang. Mereka memang lebih suka
bercakap-cakap sambil duduk di atas rumput ini dari pada di dalam pondok.
Tiba-tiba
saja Toan Hui Cu bertanya kepada Han Siong, "Han Siong, sudahkah engkau
menceritakan kepada sumoi-mu tentang pedang pusaka Kwan-im Pokiam Itu?"
Seketika
wajah Han Siong berubah merah dan dia tak mampu menjawab, hanya meraba gagang
pedang di pinggangnya. Melihat ini, Bi Lian yang menjawab sambil tersenyum.
"Suheng
pernah bercerita bahwa selain menerima ilmu-ilmu yang hebat dari ayah dan ibu,
dia juga menerima pemberian pedang pusaka Kwan-im Pokiam, ibu!"
"Bukan
hanya sebagai pemberian, Bi Lian," kata Hui Cu dan dia segera menoleh
kepada suaminya. Siangkoan Ci Kang mengangguk, agaknya setuju kalau isterinya
menyinggung urusan itu.
"Bukan
hanya sebagai pemberian, lalu sebagai apa, ibu? Hadiah karena Suheng seorang
murid yang baik?" Bi Lian bertanya, mengerling kepada suheng-nya untuk
menggodanya.
"Sebagai...
ikatan, Bi Lian. Ikatan jodoh!"
Bi Lian
terbelalak memandang kepada ibunya, lalu kepada ayahnya. "Ikatan jodoh?
Apa yang ibu maksudkan?" Sementara itu Han Siong menundukkan mukanya yang
menjadi merah sekali.
"Bi
Lian, aku dan ayahmu telah mengambil keputusan, jauh sebelum engkau pulang,
yaitu dua tahun lebih yang lampau, pada waktu suheng-mu berangkat untuk pergi
mencarimu. Keputusan itu adalah bahwa kami berdua menjodohkan engkau dengan Pek
Han Siong, dan pedang pusaka Kwan-im Pokiam itu kami berikan kepadanya sebagai
tanda ikatan jodoh...” Toan Hui Cu tiba-tiba saja menghentikan kata-katanya dan
memandang kepada puterinya dengan wajah khawatir.
Dia melihat
perubahan pada wajah puterinya yang tadinya cerah dan riang itu. Wajah itu kini
menjadi keras, sepasang matanya mencorong dan Bi Lian memandang ayah ibunya
bergantian, lalu menoleh dan memandang kepada Han Siong yang masih menundukkan
mukanya yang merah. Suasana menjadi amat sunyi, kesunyian yang menegangkan
hati, terutama bagi Han Siong.
"Kami
harap engkau akan menerimanya dengan hati terbuka, anakku," kata Siangkoan
Ci Kang. "Kami melihat Han Siong sebagai seorang pemuda yang amat baik,
juga keturunan pendekar, dan selama ini engkau sendiri tentu sudah mengenalnya
dan dapat menilainya sendiri....”
"Justru
itulah, Ayah! Selama ini aku menganggap dia sebagai seorang suheng, seorang
kakak! Suheng, kenapa selama ini engkau diam saja tak pernah memberi tahu
kepadaku tentang jodoh ini?" Dalam pertanyaan itu terkandung penyesalan
dan teguran.
Han Siong
mengangkat mukanya, sikapnya masih tetap tenang sungguh pun dia merasa gugup
sekali. Sesudah beberapa kali menelan ludah untuk menenangkan batinnya yang
terguncang, dia pun lalu menjawab, "Maafkan aku, Sumoi. Aku tidak tega,
aku tidak ingin membuat engkau menjadi sungkan dan malu, maka aku diam saja,
biar Suhu dan Subo sendiri yang memberi tahu akan hal itu."
"Tidak...!
Tidak...! Bagaimana mungkin terjadi ikatan jodoh yang tiba-tiba ini? Aku sudah
menganggapnya sebagai kakakku sendiri! Ayah dan Ibu, sungguh aku tak bisa
menerima keputusan yang begini tiba-tiba!"
Mendengar
kata-kata ini, wajah Han Siong berubah pucat dan seperti tadi, dia pun hanya
menundukkan mukanya.
"Bi
Lian, engkau tak boleh menolak mentah-mentah hanya dengan alasan bahwa engkau
menganggapnya seperti kakak sendiri! Memang benar dia kakak seperguruanmu, akan
tetapi tidak ada hubungan darah sedikit pun antara keluarga kita dan keluarga
Pek," kata Siangkoan Ci Kang sambil mengerutkan alisnya karena kecewa
melihat sikap puterinya yang menolak ikatan jodoh itu.
"Tetapi,
ayah! Bagaimana mungkin orang berjodoh dengan cara begitu saja? Selama ini aku
memandang Suheng sebagai seorang kakak seperguruan, bagaimana tiba-tiba saja
aku memandangnya sebagai tunangan, sebagai calon suami? Orang berjodoh harus
ada perasaan cinta kasih!" bantah Bi Lian dengan polos, sesuai dengan
wataknya. Bagaimana pun juga, dia mewarisi sikap kedua orang gurunya yang polos
dan berandalan.
Toan Hui Cu
juga merasa amat penasaran. Dia mengambil keputusan dalam menghadapi puterinya
yang bicara secara terbuka ini dengan cara yang lebih jujur, karena itu dia pun
berkata kepada Han Siong, "Han Siong, sekarang lebih baik engkau pun
berbicara terus terang saja! Bagaimana perasaan hatimu ketika kami menyatakan
bahwa engkau kami jodohkan dengan puteri kami yang pada waktu itu belum kau
lihat? Engkau memang telah menerimanya dengan patuh, akan tetapi bagaimana
perasaanmu pada saat itu?"
Mendengar
pertanyaan ibunya, wajah Bi Lian menjadi berseri-seri. Ia memang lebih suka
urusan secara terbuka begini dari pada harus menyimpan di dalam hati.
"Suheng,
jawablah sejujurnya. Percayalah, aku tidak akan menyesal atau marah, bahkan aku
akan merasa penasaran dan marah kalau engkau tidak bicara jujur!" katanya
kepada Han Siong.
Pemuda ini
merasa terhimpit sekali. Sejak kecil dia hidup di dalam kuil dan mempelajari
segala macam kebudayaan dan sopan santun, kesusilaan, peraturan untuk
menghormati orang tua, guru, wanita dan orang pandai. Kini dia diharuskan
bicara secara terbuka tanpa tenggang rasa lagi, apa adanya!
Biar pun dia
tidak merasa keberatan dengan cara seperti ini, membicarakan rahasia hati di
hadapan orang lain secara terbuka, namun tentu saja dia harus berkorban
perasaan. Sesudah menghela napas panjang beberapa kali, dia pun memandang
kepada suhu dan subo-nya, lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Suhu
dan Subo, teecu sudah menerima budi besar dari ji-wi yang tak dapat teecu bayar
dengan nyawa sekali pun dan teecu sama sekali tidak menghendaki untuk
menyinggung perasaan atau menyakiti hati Suhu dan Subo. Akan tetapi karena
Suhu, Subo dan juga Sumoi menghendaki jawaban yang sejujurnya dan terbuka, maka
apa yang hendak teecu katakan merupakan suara hati teecu yang sebenarnya dan
sama sekali tidak lagi ditutupi oleh perasaan sungkan."
"Bagus,
Suheng! Begitulah seharusnya sikap orang gagah!" kata Bi Lian dan wajahnya
kini berseri gembira lagi.
"Ketika
Suhu dan Subo memberikan Kwan-im Pokiam ini kepada teecu dan mengatakan bahwa
ji-wi menjodohkan teecu dengan puteri ji-wi, sebenarnya teecu juga merasa amat
terkejut. Tentu saja tidak mungkin teecu dapat menyatakan suka atau tidak suka
karena teecu belum pernah melihat Sumoi. Namun pada waktu itu teecu menerima
sepenuhnya hanya karena terdorong keinginan teecu untuk membalas budi ji-wi
serta menyenangkan hati ji-wi. Teecu merasa yakin bahwa ji-wi tentu telah
memperhitungkannya secara masak dan tidak akan keliru mengambil keputusan. Oleh
karena itulah teecu menerima dan mulai mencari sumoi."
Sepasang
suami isteri itu mengangguk-angguk dan dapat menerima keterangan ini. Juga Bi
Lian mengerti bahwa alasan suheng-nya itu memang tepat, akan tetapi tidak urung
dia mencela.
"Suheng
telah bersikap tidak wajar. Menerima secara membuta seperti itu sungguh bukan
merupakan kebaktian yang benar. Kita harus mempertimbangkan baik-baik macam
tugas yang diperintahkan, siapa pun yang menyuruh kita. Biar pun guru sendiri,
atau orang tua sendiri, apa bila menyuruh kita melakukan hal yang berlawanan
dengan suara hati, sudah sewajarnya jika ditolak. Mentaati karena ingin
rnembalas budi itu namanya ketaatan yang ngawur dan nekat, dan yang akibatnya
dapat membuat diri sendiri menyesal!"
Kembali
suami isteri itu saling pandang. Puteri mereka itu ternyata sudah dewasa benar
dan telah mempunyai kematangan pandangan, walau pun terlalu polos, terlalu
jujur tanpa ditutup-tutupi sehingga mudah menyinggung perasaan orang dan terdengar
kasar.
"Sekarang
katakan, Han Siong. Setelah engkau bertemu dengan Sumoi-mu dan sesudah
melihatnya, bicara bahkan bergaul dengannya, bagaimana pendapatmu? Mengaku saja
terus terang, adakah cinta kasih di dalam hatimu terhadap anak kita Siangkoan Bi
Lian?"
Mendengar
pertanyaan ini kembali wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia memberi
hormat sambil berlutut dan berkata lirih, "Duhai Suhu dan Subo, bagaimana
teecu berani menjawab pertanyaan itu...?”
“Han Siong,
tenangkan hatimu. Tadi Sumoi-mu menuntut agar kita semua bicara secara terbuka.
Kalau dipikir, sikap ini memang benar. Segala macam persoalan bisa dipecahkan
dengan cepat kalau kita bersikap terbuka. Jawablah sejujurnya, Han Siong."
"Suheng,
apakah engkau bukan laki-laki yang jantan? Kita harus jujur, kepada diri
sendiri, kepada orang lain! Manusia yang tidak memiliki kejujuran dan tidak
berani mengakui apa yang berada di dalam hatinya, dia itu hanya seorang
pengecut! Tapi aku yakin, suheng-ku yang gagah ini sama sekali bukan pengecut!"
Bukan main
ucapan gadis itu. Lidahnya seperti pecut yang mencambuk-cambuk dengan tajamnya!
"Baiklah,
Sumoi. Suhu dan Subo, kini teecu mengaku terus terang, begitu teecu bertemu
dengan Sumoi, melihat wajahnya, berbicara dengannya, melihat sikapnya dan
segalanya, teecu langsung jatuh cinta padanya!"
Suami isteri
itu saling pandang dan tersenyum, akan. tetapi Bi Lian terbelalak keheranan
memandang suheng-nya. "Waahhh! Benarkah itu, Suheng? Ataukah engkau hanya
terikat oleh janji dan balas budi? Bagaimana mungkin begitu mendadak kau jatuh
cinta, dan..... aku sama sekali tidak pernah melihat sikapmu yang mencinta itu,
tidak pernah engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau cinta padaku!"
"Mana
aku berani, Sumoi?"
“Ahh, kenapa
tidak berani? Dalam cinta mencinta, pertama-tama yang dibutuhkan adalah
kejujuran pula!"
"Sudahlah,
Bi Lian, kini suheng-mu sudah mengaku sejujurnya bahwa dia mencintamu.
Sekarang, bagaimana dengan engkau? Setelah bertemu dan bergaul dengan
suheng-mu, bagaimana pendapatmu? Tidakkah dia amat pantas menjadi calon
suamimu? Katakanlah, apakah engkau dapat membalas cinta kasihnya?"
“Wah, aku
masih bingung, Ibu. Aku memang suka sekali pada Suheng, suka dan kagum, dan
terus terang saja, aku bangga mempunyai seorang Suheng seperti dia. Jarang pula
ada pemuda sebaik Suheng! Akan tetapi cinta? Sama sekali hal itu tak pernah
kupikirkan. Andai kata dia tidak memperkenalkan diri sebagai suheng-ku, mungkin
saja hal itu akan kupikirkan karena selama ini aku pun belum pernah bergaul
dengan seorang kawan pria seakrab dengan Suheng. Aku menganggap dia sebagai
kakak, dan aku tidak tahu apakah aku dapat mencintanya sebagai seorang calon
suami. Aku pun tidak yakin akan cintanya yang begitu tiba-tiba, apa lagi
dilatar belakangi ketaatan serta hutang budi kepada Ayah dan Ibu!”
"Lalu
bagaimana keputusanmu, Bi Lian? Maukah engkau menerima ikatan jodoh dengan
suheng-mu?" tanya Siangkoan Ci Kang.
"Tidak,
Ayah. Aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan."
"Bi
Lian," kata ibunya. "Tahukah engkau berapa usiamu sekarang?"
"Kalau
tidak salah dua puluh tuhun, ibu. Apa hubungannya usia dengan perjodohan?"
"Aihh,
Bi Lian, usia dua puluh sudah terlalu terlambat bagi seorang gadis untuk
berjodoh," kata ibunya.
Gadis itu
tersenyum lebar. "Tidak, ibu. Bagiku perjodohan tidak ada hubungannya
dengan usia. Yang ada hubungannya hanyalah cinta kasih. Dan terus terang saja,
aku suka dan kagum kepada Suheng, akan tetapi aku tidak... atau belum
mencintanya seperti seorang calon suami."
"Jadi
jelasnya, engkau menolak, Bi Lian?" kata Siangkoan Ci Kang.
"Sebaiknya
ikatan jodoh itu dibatalkan dahulu saja, Ayah. Jangan ada pengikatan. Kelak,
bila aku yakin bahwa aku cinta kepada Suheng dan dia juga cinta kepadaku, mudah
saja dilakukan ikatan kembali!"
"Bi
Lian! Engkau mengecewakan hati ayah ibumu!" kata Siangkoan Ci Kang.
"Maafkan,
Ayah dan Ibu. Apakah Ayah dan Ibu ingin memaksaku dan membikin hidupku
selanjutnya kecewa dan merana? Senangkah Ayah dan Ibu jika aku menurut hanya
untuk berbakti? Itu hanya akan menjadi pernikahan paksaan, Ayah dan Ibu. Suheng
menikah karena ingin membalas budi, dan aku menikah hanya untuk berbakti.
Pernikahan macam apa itu? Maukah Ayah dan Ibu begitu?"
Suami isteri
itu saling pandang dan menghela napas panjang. Terus terang saja, mereka tidak
menghendaki pernikahan anaknya seperti itu. "Lalu apa yang menjadi
kehendakmu sekarang, Bi Lian? Apakah engkau sudah mempunyai seorang calon jodoh
pilihan hatimu sendiri? Kalau benar demikian, katakanlah terus terang. Kami
sudah ingin melihat engkau berumah tangga, mengingat usiamu sudah cukup
dewasa," kata ibu gadis itu.
Sementara
itu, sejak tadi Han Siong hanya menundukkan mukanya. Hatinya terasa perih dan
perasaannya terpukul hebat oleh penolakan sumoi-nya. Dia dipaksa untuk berterus
terang di hadapan suhu dan subo-nya, dan setelah dia berterus terang menyatakan
cinta kasihnya dengan menekan rasa malunya, kini dengan terus terang pula Bi
Lian menolak cintanya! Padahal dia sudah ditunangkan dengan sumoi-nya itu.
Bagaimana pun juga dia adalah seorang laki-laki maka tentu saja dia merasa
harga dirinya terbanting keras.
“Maaf, Suhu,
Subo dan Sumoi. Teecu harap agar Suhu dan Subo tidak terlalu menekan Sumoi dan
urusan perjodohan ini supaya dihabiskan sampai di sini saja. Sumoi memang
benar. Perjodohan hanya dapat dilakukan kalau ada cinta kasih kedua pihak.
Teecu yang tidak tahu diri, berani lancang mencinta Sumoi. Oleh karena itu,
Suhu dan Subo, maafkan teecu dan sebaiknya jika Kwan-im Po-kiam ini teecu
kembalikan kepada Suhu dan Subo, sebagai tanda bahwa tidak ada lagi ikatan
perjodohan antara Sumoi dan teecu."
Dengan dua
tangannya pemuda itu menyerahkan pedang pusaka itu kepada kedua orang gurunya.
Siangkoan Ci Kang terpaksa menerima pedang itu dengan kedua tangan pula,
menarik napas panjang lalu berkata kepada muridnya,
"Han
Siong, engkaulah yang harus dapat memaafkan kami berdua. Mungkin kami terlalu
terburu-buru mengikatkan tali perjodohan antara anak kami dan engkau, sama
sekali tidak menyangka bahwa akan timbul penolakan dari pihak puteri kami.
Engkau benar, memang sebaiknya kalau ikatan jodoh itu diputuskan. Apa bila
Tuhan memang menghendaki kalian berjodoh, kelak tentu kalian akan dapat saling
mencinta. Tetapi andai kata tidak, itu berarti bahwa memang Tuhan tidak
menghendaki kalian menjadi suami isteri."
"Han
Siong, keputusanmu ini bijaksana sekali dan engkau kembali sudah memperlihatkan
kebaktianmu pada kami. Dengan kebijaksanaanmu ini maka engkau telah membebaskan
guru-gurumu dari keadaan yang tidak enak. Terima kasih, muridku," kata
subo-nya sambil tersenyum dengan hati terharu. Nyonya ini melihat betapa
muridnya sangat budiman dan alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau puterinya
mau menjadi isteri Han Siong!
Bi Lian
bertepuk tangan, wajahnya penuh senyum dan berseri gembira, kemudian dengan
sikap manja dan lincah dia pun melangkah mendekati Han Siong lantas memberi
hormat dengan merangkapkan kedua tangan di dadanya.
"Bagus,
bagus sekali! Aku pun sangat berterima kasih kepadamu, Suheng! Nah, kau lihat,
keputusanmu ini membuat engkau menjadi pahlawan dalam keluarga kami! Ayah dan
Ibu terbebas dari perasaan tidak enak dan aku pun merasa bebas dari ikatan
kebaktian yang kulanggar. Kini aku bisa menghadapi dan memandangmu dengan wajar
sebagai seorang sumoi terhadap suheng-nya yang baik hati! Terima kasih,
Suheng."
Biar pun
wajah pemuda itu tidak memperlihatkan sesuatu, namun sesungguhnya hatinya bagai
diremas-remas. Dia tidak menyalahkan suhu dan subo-nya, juga tidak menyalahkan
sumoi-nya, melainkan menyesali diri sendiri. Memang nasib dirinya yang selalu
buruk dan sial, sejak dia dilahirkan.
Tapi betapa
pun juga, dalam hal ini dia merasa bahwa dia yang bersalah karena lemah.
Mengapa dia begitu mudah jatuh cinta? Andai kata dia tidak jatuh cinta kepada
Bi Lian, maka pembatalan ikatan jodoh ini tentu tidak terlampau menyakitkan
hatinya.
Cinta kita bergelimang
nafsu, karena itu selalu mendatangkan suka duka, puas kecewa, nikmat sengsara.
Cinta kita menimbulkan ikatan, menciptakan belenggu. Cinta kita mirip jual beli
di pasar. Kita membeli dengan pengorbanan diri, kesetiaan, penyerahan, untuk
memperoleh yang lebih menguntungkan dan lebih menyenangkan, yaitu
pengorbanannya, kesetiaannya, penyerahan dirinya, serta kesenangan-kesenangan
lain yang kita nikmati darinya. Kalau semua itu tidak terdapat oleh kita
sebagai imbalan, maka cinta kita pun menguap ke udara dan tidak berbekas lagi,
bahkan kadang kala berubah menjadi benci.
Cinta kita
selalu menyembunyikan pamrih demi kesenangan diri sendiri. Adakah cinta tanpa
pamrih? Adakah cinta yang tidak mengandung pengajaran kepentingan diri sendiri?
Adakah cinta yang tidak menimbulkan ikatan, yang memberi kebebasan? Dapatkah
kita manusia memiliki cinta kasih seperti itu?
Han Siong
menderita akibat dari pada cinta seperti itu. Dia mencinta, tentu saja dengan
pamrih agar yang dicintanya itu pun membalas cintanya, menjadi miliknya. Ketika
ternyata bahwa gadis yang dicintanya itu tidak membalas cintanya dan tak mau
menjadi miliknya, maka hatinya pun kecewa, malu dan timbullah duka.
"Sumoi,
harap jangan terlampau memujiku. Aku telah membuat Suhu, Subo, dan Sumoi rmerasa
tidak enak saja. Semua salahku sendiri karena sesungguhnya akulah yang tidak
tahu diri."
"Han
Siong, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Engkau hanya mentaati permintaan kami
saja, dan kamilah yang sesungguhnya bersalah," kata Siangkoan Ci Kang.
"Jangan
putus asa, Han Siong. Bagaimana pun juga Bi Lian hanya terkejut karena berita
yang mendadak itu. Biarlah dia berpikir dan mempertimbangkan. Apa bila kalian
memang berjodoh, kelak ikatan ini tentu akan dapat disambung kembali,"
kata Toan Hui Cu yang juga merasa kasihan sekali kepada murid tersayang itu.
"Sudahlah,
Ayah dan Ibu, jangan mengulurkan harapan baru bagi Suheng agar kelak dia tidak
akan menderita kekecewaan lagi. Suheng, kurasa sekarang ini belum waktunya bagi
kita berdua untuk memikirkan soal perjodohan! Masih banyak tugas menunggu di
depan. Lupakah Suheng akan nasib adik kandung Suheng itu? Apakah Suheng akan
membiarkan saja si jahanam Ang-hong-cu itu?"
Mendengar
ini Han Siong mengerutkan kedua alisnya, wajahnya berubah merah dan dia termenung.
Terbayanglah segala peristiwa yang terjadi ketika dia bersama para pendekar
lainnya menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo.
Di dalam
perjuangan para pendekar ketika menghadapi para pemberontak yang dipimpin
persekutuan itu, muncul seorang tokoh yang juga membantu gerakan para pendekar,
tapi tokoh itu ternyata adalah seorang tokoh hitam yang namanya sudah amat
terkenal, yaitu Ang-hong-cu, si Kumbang Merah yang senang menghisap kembang.
Seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal suka memperkosa
serta merayu banyak wanita. Celakanya, di antara banyak wanita yang
diperkosanya itu termasuk pula Pek Eng, adik kandungnya!
Pek Eng
diperkosa orang. Tadinya semua tuduhan ditimpakan kepada Tang Hay, seorang
pendekar muda yang selain sakti, pandai ilmu silat, juga amat kuat ilmu
sihirnya. Bahkan terjadi bentrok antara dia dan Tang Hay dan kesalah pahaman
ini tentu akan berlarut-larut kalau saja kemudian tidak diketahui bahwa
pemerkosa Pek Eng itu sama sekali bukanlah Tang Hay, melainkan Ang-hong-cu,
penjahat cabul yang namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.
Akan tetapi
dia tidak segera mencari penjahat itu untuk membalaskan penghinaan yang menimpa
diri adik kandungnya, melainkan menyibukkan diri untuk mengantarkan sumoi-nya
kepada suhu dan subo-nya, tentu saja dengan pamrih tersembunyi bahwa dia akan
dijodohkan dengan gadis yang menarik hatinya itu. Wajahnya seketika berseri
ketika dia diingatkan oleh sumoi-nya tentang hal itu, dan dadanya penuh dengan
getaran semangat.
"Engkau
benar sekali, Sumoi! Aku harus mencari manusia jahat itu supaya dia tidak dapat
merajalela dan mendatangkan bencana bagi banyak orang yang tidak berdosa."
Dia lalu berlutut memberi hormat kepada suhu dan subo-nya.
”Suhu dan
Subo, sesudah teecu berhasil membawa pulang Sumoi dan mengantarkannya kepada
Suhu dan Subo, maka selesailah tugas teecu dan teecu mohon diperkenankan untuk
pergi, melaksanakan tugas lain, tugas keluarga teecu sendiri."
Suami isteri
itu merasa tidak enak sekali terhadap murid mereka, namun kepergian murid
mereka itu justru akan dapat menghilangkan rasa tidak enak itu, maka keduanya
memberi persetujuan tanpa banyak cakap lagi. Pemuda itu berpamit, memberi
hormat lantas pergi meninggalkan kedua gurunya dan juga sumoi-nya, gadis yang
dicintanya.
Setelah
pemuda itu pergi, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mendengar lebih banyak dari
puteri mereka tentang Ang-hong-cu Si Kumbang Merah, dan tentang adik kandung
Han Siong yang menjadi salah satu di antara para wanita yang menjadi korban
kejahatan jai-hwa-cat itu.
***************
Kota Shu-lu
tidak begitu besar namun cukup ramai dan di kota ini bahkan terdapat sebuah
rumah penginapan Hok-lai-koan yang memiliki kamar cukup banyak serta sebuah
rumah makan. Karena rumah penginapan ini memiliki rumah makan sendiri, maka
banyak orang luar kota kalau terpaksa menginap di kota Shu-lu lebih senang
bermalam di sini dari pada di rumah penginapan lain. Kalau di Hok-lai-koan
sudah penuh barulah pengunjung kota itu terpaksa mencari rumah penginapan lain.
Hampir setiap hari rumah penginapan itu penuh tamu, dan dengan sendirinya rumah
makan itu pun selalu ramai karena semua tamu yang bermalam di situ juga makan
di rumah makan itu.
Pemilik
rumah makan itu bernama Gui Lok, seorang pria berusia empat puluh lima tahun
yang perutnya gendut dan orangnya ramah. Gui Lok ini ahli masak dan pandai
bergaul, pandai menjilat dan mata duitan.
Isterinya
yang pertama sudah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang
sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, cantik manis dan ramah walau pun agak
pendiam. Gui Lok telah menikah lagi, dengan seorang janda muda yang usianya
baru dua puluh lima tahun, cantik dan genit. Ketiga orang ini semua turun
tangan mengurus rumah penginapan dan rumah makan mereka.
Walau pun di
kedua tempat itu sudah terdapat pegawai-pegawai yang bertugas, namun ayah ibu
dan anak itu selalu saja membantu, kadang-kadang di rumah penginapan, akan
tetapi lebih sering di rumah makan. Gui Lok sering membantu di dapur memberi
petunjuk kepada para tukang masak, sedangkan isterinya dan puterinya membantu
di luar.
Hal ini
menambah semaraknya rumah makan itu karena keduanya merupakan dua orang wanita
yang cantik manis. Isteri Gui Lok dengan kecantikan yang genit memikat, ada pun
Gui Ai Ling dengan kecantikan seorang gadis yang baru saja mekar bagaikan
setangkai bunga segar.
Pagi itu
para tamu rumah penginapan sudah berada di rumah makan itu untuk sarapan pagi.
Ada yang memesan bubur ayam, ada pula yang makan bakmi atau makan bakpao,
bahkan mereka yang gembul pagi-pagi sudah memesan nasi dengan lauk pauknya!
Di antara
para tamu itu nampak seorang pemuda duduk seorang diri di sudut luar rumah
makan. Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, mempunyai
tubuh sedang namun tegap dengan dadanya yang bidang. Matanya bersinar-sinar
mencorong, mulutnya tersenyum-senyum dan memang pemuda ini memiliki wajah cerah
yang manis.
Hidungnya
mancung dan pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis kuning.
Pemuda yang juga menjadi tamu rumah penginapan itu agaknya sehabis sarapan
hendak segera pergi ke luar kota karena di atas mejanya terdapat sebuah caping
lebar pelindung panas dan hujan.
Nampaknya
dia seorang pemuda sederhana biasa saja. Terdapat ribuan orang pemuda seperti
dia dan kehadirannya di sana sama sekali tidak menarik perhatian orang, kecuali
isteri dan puteri Gui Lok karena pemuda itu memang dapat dibilang tampan dan
sikapnya menarik.
Akan tetapi,
siapa pun yang telah mengenal pemuda ini pasti akan terkejut sekali melihat
kehadirannya karena pemuda ini sebenarnya sama sekali bukan orang muda biasa saja,
melainkan seorang pemuda gemblengan, murid dari dua orang di antara Delapan
Dewa, kemudian digembleng lagi dalam hal ilmu sihir oleh mendiang Pek Mau
San-jin dan masih beruntung pula dapat menjadi murid kakek Song Lo-jin yang
aneh dan sakti. Pemuda ini bernama Tang Hay, atau lebih dikenal dengan sebutan
Hay Hay saja.
Seperti
halnya pendekar Pek Han Siong, semenjak kecil kehidupan Hay Hay juga diliputi
penuh rahasia, menjadi rebutan dan sering terancam bahaya maut. Bahkan
kehidupannya pada masa dia masih bayi erat hubungannya dengan Pek Han Siong.
Ibunya sudah
tewas sejak dia masih bayi dan dia bahkan tidak tahu siapa nama ibunya. Ibunya
adalah seorang gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu,
dan Si Kumbang Merah itu meninggalkan ibunya setelah mengandung. Ibunya
membunuh diri di laut bersamanya, akan tetapi dia sendiri diselamatkan oleh
mendiang kakek Pek Khun, yaitu kakek buyut dari Pek Han Siong.
Dia kemudian
diaku anak oleh Pek Kong, ayah Pek Han Siong. Dia dijadikan pengganti Pek Han
Siong yang dilarikan secara diam-diam karena anak itu dianggap Sin-tong dan
diperebutkan oleh para pendeta Lama di Tibet karena dianggap sebagai calon guru
besar di Tibet!
Pada saat
dia masih bayi dan menjadi anak keluarga Pek, pengganti Pek Han Siong, dia
diculik oleh suami isteri Lam-hai Siang-mo! Ia kemudian diambil anak oleh
sepasang iblis itu dan namanya menjadi Siangkoan Hay, karena Lam-hai Siang-mo
itu terdiri dari suami Siangkoan Leng dan isteri Ma Kim Li, dua orang datuk
sesat yang amat jahat.
Dalam usia
tujuh tahun, dia yang masih dianggap sebagai sin-tong kembali diperebutkan lagi
di antara orang-orang dunia kang-ouw sampai akhirnya dia mendengar bahwa
dirinya bukanlah putera kandung Lam-hai Siang-mo! Dia lalu melarikan diri dan dikejar-kejar
oleh para kang-ouw hingga akhirnya dia diselamatkan oleh See-thian Lama atau
Gobi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa, lalu menjadi muridnya. Selama
beberapa tahun sempat pula dia menjadi murid Ciu-sian Sin-kai, juga seorang di
antara Delapan Dewa.
Demikianlah,
berturut-turut dia menjadi murid dari orang-orang sakti sehingga sekarang Hay
Hay menjadi seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian. Bukan saja ilmu
silatnya tinggi, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang cukup hebat!
Pemuda ini
memiliki watak periang. Suka bergembira dan menggoda orang, juga pandai sekali
merayu wanita dengan kata-kata manis sehingga para wanita mudah sekali jatuh
cinta atau setidaknya tertarik padanya. Akan tetapi, biar pun hal ini agaknya
diwarisinya dari ayahnya yang tidak pernah dijumpainya, namun dia bukan seorang
perusak wanita, bukan seorang pria cabul yang suka memperkosa atau
mempermainkan wanita. Biar pun karena ulahnya itu dia dijuluki Pendekar Mata
Keranjang, namun sifat mata keranjangnya itu hanya di kulit saja, hanya di luar
karena dia selalu menjaga agar jangan sampai dia mengganggu atau berjinah
dengan wanita.
Pada waktu
para pendekar menentang pemberontakan yang dipimpin oleh persekutuan Lam-hai
Giam-lo, Hay Hay juga turut membantu para pendekar, bahkan dia terlibat secara
langsung. Dia berjasa besar dalam perjuangan itu, akan tetapi karena sifatnya
yang mata keranjang, maka dialah yang dituduh ketika ada beberapa orang gadis
menjadi korban perkosaan Ang-hong-cu! Dan di tempat itu pula baru Hay Hay
mendapat kenyataan bahwa Ang-hong-cu, penjahat keji perusak wanita itu, tak
lain adalah ayah kandungnya sendiri!
Dia lalu
mengambil keputusan untuk menebus dosa ayahnya itu, bukan hanya dengan
perbuatan-perbuatan baik sebagai seorang pendekar, namun terutama sekali dia
harus dapat menangkap ayah kandungnya sendiri supaya orang itu mempertanggung
jawabkan semua dosanya. Dia harus menangkap Si Kumbang Merah!
Demikianlah
riwayat singkat dari Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata
Keranjang! Padahal, sampai dia berusia dua puluh dua tahun itu, dia masih
seorang perjaka tulen! Dan pada pagi hari itu dia duduk di dalam rumah makan
karena malam tadi dia bermalam di rumah penginapan Hok-lai-koan.
Sekarang Hay
Hay enak-enak duduk seorang diri, menanti datangnya pesanannya, yaitu bubur
ayam dan air teh panas. Dia tidak tahu betapa sejak dia datang, dia sudah
menarik perhatian dua orang wanita cantik, ibu tiri dan anak pemilik rumah
makan itu.
Pada saat
dia melamun, dia mendengar suara langkah kaki halus menghampirinya. Tentu saja
suara ini amat halus dan lirih, tidak terdengar di antara suara bising para
tamu, akan tetapi cukup jelas bagi telinga Hay Hay yang amat terlatih. Dia
mengira pesanannya yang datang, maka dia menoleh dan seketika wajahnya berseri
dan matanya bersinar-sinar.
Seorang
gadis berusia tujuh belas tahun yang berwajah manis kini sudah berdiri di dekat
mejanya, memandang kepadanya dengan senyum yang manisnya mengalahkan madu!
Dengan ramah sekali gadis itu bertanya tanpa malu-malu kepadanya,
"Apakah
kongcu (tuan muda) belum dilayani? Apakah kongcu sudah memesan makanan dan
minuman?"
Hay Hay
tertegun. Sukar baginya untuk menduga bahwa gadis manis ini adalah seorang di
antara para pelayan rumah makan itu. Gadis semanis ini? Dia pun mengangguk
sambil tersenyum, "Sudah, aku sudah pesan kepada seorang pelayan tadi.
Bubur dan air teh."
"Kalau
begitu harap tunggu sebentar, kongcu. Maafkanlah jika pelayanannya kurang cepat
karena banyaknya tamu.”
"Tidak
mengapa, nona. Meski pun harus menunggu setahun di sini, kalau ada nona yang
menemani bicara, sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar bagiku. Aduhh,
betapa sayangnya...!"
Gadis Itu
memandang dengan kedua pipi berubah merah. Meski pun pemuda ganteng ini
memujinya, akan tetapi pujian itu tidak kasar dan kurang ajar, berbeda dengan
para tamu pria lain yang biasanya suka mengeluarkan kata-kata kotor, tidak
bersusila dan bahkan kurang ajar kepadanya.
"Kongcu,
apanya yang sayang?" tanyanya, ingin tahu apa yang dimaksudkan pemuda ini.
"Ketika
tadi aku melihat engkau berdiri seanggun itu, aku pun mengira sedang bermimpi
bertemu bidadari! Ketika nona bicara, kusangka seorang puteri bangsawan yang
menjadi tamu restoran ini. Sungguh sayang gadis secantik jelita nona ini, yang
anggun, manis dan elok, ternyata seorang pelayan. Di sini tempat umum maka nona
tentu akan selalu digoda orang. Mengapa nona secantik ini tidak tinggal saja di
rumah dan melakukan pekerjaan lain?"
Wajah itu
kini berubah semakin merah, akan tetapi bukan karena marah. Kecantikannnya
dipuji setinggi langit, disamakan dengan bidadari, disangka puteri bangsawan!
Hati gadis mana yang tak akan berdebar penuh rasa bangga kalau dipuji-puji
seperti ini oleh seorang pria yang ganteng? Apa lagi pujian itu sama sekali
tidak kurang ajar, bahkan mengandung nasehat.
"Aih,
kongcu ini bisa saja memuji orang!" katanya sambil menggigit bibirnya dan
matanya mengerling malu-malu akan tetapi hatinya senang bukan main.
"Sebetulnya aku bukanlah pelayan rumah makan ini, kongcu. Ayahku pemilik
rumah penginapan dan rumah makan ini, aku hanya ikut membantu para pekerja di
sini."
"Ah,
kalau begitu aku bersikap kurang hormat dan telah lancang bicara!" Hay Hay
segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu. "Silakan
duduk, nona. Sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berjumpa dan berkenalan
denganmu. Namaku Hay Hay, dan nona...?"
"Ai
Ling..., mari ke sini! Ada tamu datang, sambutlah!" Tiba-tiba terdengar
suara seorang wanita lain.
"Hemm,
namamu Ai Ling, nona? Nama yang sangat manis, semanis orangnya," kata Hay
Hay.
Akan tetapi
gadis itu sudah menjauhinya sambil berseru. “Baik, ibu!”
Dan dia pun
cepat pergi menuju ke pintu masuk untuk menyambut tamu-tamu yang baru datang.
Sementara itu Hay Hay kembali menjadi bengong sesudah melihat orang yang datang
membawa baki terisi bubur dan minuman teh yang dipesannya, yaitu wanita yang
tadi menegur Ai Ling, dan yang disebut ibu oleh gadis itu.
Ibunya gadis
itu? Mana mungkin? Wanita yang datang dengan lenggang yang aduhai ini paling
banyak berusia dua puluh lima tahun! Seorang wanita yang sudah matang, dengan
tubuh denok montok dan penuh lekuk lengkung yang menggairahkan, wajahnya putih
dan cantik manis, hanya sayang bedak dan gincu yang dipakainya agak terlalu
tebal, dengan pakaian yang indah dan mahal, rambut digelung rapi dengan hiasan
menarik. Dengan lenggang yang lemah gemulai seperti penari ahli, wanita ini
datang menghampirinya dan tersenyum manis kepada Hay Hay.
“Maaf kalau
agak lambat, kongcu. Inilah pesananmu. Bubur ayam dan minuman air teh, bukan?”
katanya sambil meletakkan hidangan itu di atas meja.
Dia berdiri
dekat sekali dengan Hay Hay sehingga pemuda ini dapat mencium keharuman
semerbak keluar dari pakaian wanita ini. Dia masih bengong mengamati wanita
ini, tetapi akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata,
"Terima
kasih, akan tetapi... tidak salahkah pendengaranku? Tadi Ai Ling menyebut
ibu..., tidak kelirukah aku?"
Wanita itu
adalah isteri Gui Lok bernama Kim Hwa. Dengan sikap genit dia mengerling kepada
pemuda ganteng yang semenjak tadi memang amat menarik perhatiannya itu, lalu
tersenyum cerah sehingga nampak kilatan giginya yang putih.
"Engkau
tidak keliru, kongcu. Aku adalah Kim Hwa, ibu tiri dari Ai Ling. Kenapa kongcu
meragukan?"
Hay Hay
menarik napas panjang lagi. "Aihhh, siapa yang tidak ragu-ragu? Engkau
masih begini muda, cantik jelita lagi, pantasnya menjadi kakak dari Ai Ling,
jika kalian enci adik barulah pantas. Ternyata engkau ibu tirinya? Sungguh,
kalian adalah dua orang wanita yang sama cantik manisnya, pantas saja rumah
makan ini selalu penuh. Kalian bagaikan dua tangkai bunga mawar indah yang
menghiasi tempat ini sehingga banyak kumbang beterbangan dan berkeliaran di
sini...!"
Senyum di
wajah yang cantik genit itu makin cerah dan sepasang mata yang menantang itu
makin berseri, "Ihhh, kongcu. Rayuanmu maut! Engkau sendiri seorang pemuda
yang amat menarik hati. Siapakah namamu, orang muda yang tampan?"
"Namaku
Hay Hay...”
“Hay Hay, di
kamar nomor berapa?"
"Kamar
bagian belakang, nomor tujuh."
"Kongcu,
malam nanti lewat jam dua belas, kalau babi itu sudah pulas, aku ingin datang
berkunjung ke kamarmu...," berkata demikian, wanita itu lalu pergi
meninggalkan mejanya sambil membawa baki kosong, melempar senyum dan kerling
tajam yang membuat Hay Hay bengong di atas bangkunya!
Bukan main,
pikirnya. Nyonya muda itu dengan mudah saja menjanjikan permainan kotor
dengannya! Tak salah lagi, tentu yang dimaksudkan babi itu adalah suaminya,
atau ayah Ai Ling!
Pada saat
itu pula dari pintu belakang yang menembus ke dapur justru muncul seorang
laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, seorang pria yang
bertubuh gendut sekali, dan yang melihat sikapnya tentu dia adalah majikan
rumah makan itu! Benar saja, pria gendut itu menggapai kepada Kim Hwa dan
wanita genit itu segera menghampirinya dan mereka bicara bisik-bisik, keduanya
memandang ke arah tamu baru yang datang dan disambut oleh Ai Ling.
Melihat ini,
Hay Hay juga langsung menoleh dan memandang ke arah gadis manis yang menyambut
tamu baru itu. Tamu itu seorang lelaki berusia lima puluh tahun, tinggi besar
laksana raksasa dengan pakaian mewah. Seorang hartawan besar, akan tetapi
wajahnya menyeramkan dan menakutkan karena kulit muka yang hitam itu penuh
dengan bopeng, yaitu cacat bekas penyakit cacar yang membuat kulit mukanya
kasar dan kelihatan kotor.
Matanya agak
besar sebelah, hidungnya amat besar dan mulutnya juga lebar. Akan tetapi
lagaknya jelas menunjukkan bahwa dia adalah orang kaya dan royal, lagak khas
seorang hartawan yang yakin akan ‘harga dirinya’ yang diukur dengan kepadatan
kantungnya.
Di belakang
hartawan raksasa ini kelihatan tiga orang yang juga tidak menyembunyikan lagak
mereka sebagai tukang-tukang pukul atau pengawal dari si hartawan tinggi besar.
Dengan lengan baju disingsingkan, pinggang dihias golok, dada dibusungkan dan
kepala ditegakkan tinggi, langkah satu-satu laksana harimau berjalan, tiga
orang itu seakan-akan memasang kedudukan mereka di atas dada agar semua orang
tahu.
Dengan sikap
manis, seperti kalau menerima tamu rumah makan itu, Ai Ling menyambut empat
orang tamu ini, akan tetapi sekali ini senyum yang menghias wajah yang manis
itu agak dibuat-buat. Di dalam hatinya, gadis ini tidak suka kepada tamu
hartawan itu karena hartawan Coa ini sudah terkenal sekali sebagai seorang mata
keranjang yang sering kali mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksakan
kehendaknya.
Selain
sebagai seorang hartawan, Coa Wan-gwe ini juga seorang yang dianggap sebagai
majikan dari para penjahat yang ada di sekitar kota Shu-lu. Dengan hartanya dan
dengan kekuasaannya karena dia pandai mendekati para pejabat, juga dengan
banyaknya tukang pukul yang menjadi pengawalnya, maka dia ditakuti oleh semua
orang. Bahkan orang ini menguasai pula semua tempat pelesir di kota Shu-lu dan
kota-kota lain yang berdekatan dengan kota raja.
Di samping
banyaknya orang yang merasa takut dan diam-diam membencinya, banyak pula
orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari hartawan ini, dan orang-orang
seperti ini tidak segan-segan untuk menjilat dan mencari muka. Kalau Gui Lok
sendiri dan puterinya, Ai Ling, diam-diam merasa tidak suka bahkan membenci dan
takut kepada Coa Wan-gwe, sebaliknya Kim Hwa selalu bersikap manis terhadap
hartawan itu. Dia maklum akan kekuasaan dan kekayaan hartawan ini, bahkan sadar
pula bahwa apa bila keluarga suaminya tidak membikin senang hati hartawan ini,
maka perusahaan suaminya terancam kebangkrutan.
Kalau
hartawan itu sampai memusuhi mereka, maka tidak sukar baginya untuk memaksa
suaminya agar menutup rumah penginapan dan rumah makannya, dengan menggunakan
kekerasan dan siapakah yang akan berani membela suaminya? Semua pembesar di
kota Shu-lu, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, semuanya telah
berada dalam genggaman tangan Coa Wan-gwe, bagaikan boneka-boneka yang dapat
menari menurut kehendak hartawan itu.
Ketika makan
di rumah makan mereka tiga hari yang lalu, ketika dilayani oleh Kim Hwa,
hartawan itu sudah membisikkan hasrat hatinya untuk ‘memetik’ bunga rumah makan
itu, yaitu Ai Ling! Mendengar hal ini tentu saja hati Kim Hwa diliputi rasa
takut. Namun secara diam-diam dia juga merasa girang karena semenjak menjadi
isteri Gui Lok, sebetulnya dia membenci Ai Ling.
Maka dia
lalu membujuk suaminya supaya menyerahkan Ai Ling kepada Coa Wan-gwe, untuk
menjadi selir yang entah ke berapa kalinya. Gui Lok tidak setuju dan
marah-marah kepada isterinya, akan tetapi dia pun merasa khawatir sekali dan
tidak berani menentang kehendak Coa Wan-gwe karena dia tahu betapa bahayanya
menentang kehendak orang itu.
Ketika pada
pagi hari itu sang hartawan muncul bersama tiga orang tukang pukulnya, Gui Lok
tak berani keluar dari dapur. Isterinya cepat menyuruh Ai Ling menyambut tamu
baru itu, kemudian dia pun cepat memasuki dapur dan setengah menyeret suaminya
keluar.
"Lihat,
alangkah besar rasa cinta Coa Wan-gwe kepada anak kita," bisik Kim Hwa
kepada suaminya yang memandang dengan muka agak pucat. "Lihatlah sinar
matanya kepada Ai Ling. Aih, kalau engkau memiliki menantu dia, maka
kedudukanmu tentu akan meningkat tinggi dan di Shu-lu ini tidak ada seorang pun
yang berani kepadamu."
Sementara
itu, Ai Ling sudah menyambut tamu-tamu itu dengan sikap manis dibuat-buat,
"Selamat pagi, lo-ya (tuan besar), dan silakan duduk di sudut sana. Masih
ada beberapa meja kosong untuk lo-ya sekalian," kata Ai Ling dengan senyum
buatan.
Coa Wan-gwe
bengong memandang gadis yang manis itu. Seperti setangkai bunga yang sedang
mekar semerbak, pikirnya. Ia mengangguk-angguk, lalu berkata, "Ai Ling,
engkau sediakan bakmi dan panggang babi, juga arak yang cukup untuk kami, dan
engkau sendiri harus melayani aku pagi ini. Jangan khawatir, nanti akan kuberi
hadiah yang banyak, Ai Ling, manis....!" Tiga orang tukang pukulnya
tertawa-tawa dan Ai Ling tersipu.
"Maaf,
lo-ya, saya masih memiliki banyak pekerjaan. Akan tetapi pesan lo-ya akan saya
sampaikan. Silakan duduk!" Gadis itu lalu setengah berlari masuk ke dalam.
Sejak tadi
Hay Hay menyaksikan semua yang terjadi itu. Telinganya yang sangat terlatih itu
dapat menangkap bisikan hartawan tinggi besar muka bopeng ketika mengajak Ai
Ling untuk melayaninya dan diam-diam dia merasa tidak senang kepada orang
tinggi besar itu. Sikapnya begitu pongah dan congkak, seperti telah biasa
memerintah, dan sinar matanya begitu penuh nafsu seolah-olah menggerayangi
tubuh Ai Ling dari atas ke bawah. Orang ini berbahaya sekali, pikirnya dan dia
mengkhawatirkan keselamatan Ai Ling.
Dia melihat
betapa Ai Ling terlibat ribut-ribut mulut dengan ayah dan ibu tirinya, biar pun
mereka hanya berbisik-bisik. Nampak olehnya di balik pintu ke dapur itu betapa
Ai Ling menggelengkan kepalanya keras-keras seperti menolak, sedangkan Kim Hwa
memegang pundaknya dan seperti membujuk-bujuk, sementara Gui Lok yang gendut
seperti babi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan bingung dan khawatir
.
Kini nampak
Kim Hwa yang mengantar seorang pelayan membawakan pesanan makanan dan minuman
untuk hartawan itu. Sesudah mengatur hidangan di atas meja dan pelayan itu
pergi, Kim Hwa berbisik kepada hartawan itu, suaranya manis dibuat-buat.
"Harap
Coa tai-ya sudi memaafkan Ai Ling. Dasar anak pemalu dan dia banyak pekerjaan
di dalam, maka tidak dapat melayani tai-ya. Biarlah saya yang melayani di
sini." Dengan sikap manis sekali dia kemudian menuangkan arak ke dalam
cawan untuk hartawan itu, sedangkan ketiga orang tukang pukul itu memandang
nyonya muda itu dengan senyum-senyum senang.
Akan tetapi
hartawan itu cemberut. "Hemm, apakah engkau belum menyampaikan hasrat
hatiku kepadanya dan kepada suamimu?"
"Sudah,
tai-ya."
"Dan
suamimu tidak setuju?" Sepasang mata hartawan itu memandang penuh ancaman.
"Ahh,
tidak, tidak! Mana mungkin dia berani? Dia menyerahkan kepada saya dan kepada
puterinya. Percayalah, tai-ya pasti akan mendapatkan apa yang tai-ya inginkan
itu," kata Kim Hwa dengan sikap manis.
Semenjak
tadi Hay Hay terus mendengarkan. Kebetulan sekali meja yang dihadapi oleh
rombongan hartawan itu tidak begitu jauh dari tempat duduknya sehingga
pendengarannya yang sangat tajam dapat menangkap semua percakapan itu walau pun
dilakukan dengan berbisik-bisik dan lirih.
"Hemmm,
nyonya Gui, dengar baik-baik. Aku sudah tidak sabar lagi. Malam ini aku akan
bermalam di rumah penginapan suamimu. Sediakan kamar yang terbaik, dan malam
nanti aku benar-benar mengharapkan dia berada di dalam kamarku! Apa bila
perintahku sekali ini tidak ditaati, kelak jangan menyesal kalau keluarga dan
perusahaan suamimu menjadi berantakan!"
Wajah wanita
itu nampak amat ketakutan, "Baik, tai-ya, jangan khawatir...,” lalu
suaranya menjadi semakin lirih, "Bagaimana pun juga, saya akan berusaha
sekuatnya agar dapat mendorongnya ke kamar tai-ya. Akan tetapi karena dia
sangat pemalu, harap tai-ya suka menunggu sampai lewat tengah malam, kalau
perlu saya akan memaksanya "
Hartawan
tinggi besar itu tersenyum lebar dan menjilati bibirnya, kemudian mengeluarkan
sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. "Tidak perlu dengan paksaan, kau
gunakan ini. Campurkan dalam makanan atau minumannya dan dia akan menjadi mabok
dan tidak akan melawan lagi."
Kim Hwa
menerima bungkusan itu, lalu melayani hartawan Coa beserta tiga orang tukang
pukulnya makan minum hingga mereka menjadi setengah mabok. Sementara itu Hay
Hay sudah meninggalkan rumah makan. Hatinya panas sekali....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment