Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 13
Han Siong
kagum sekali. Pedang itu bukan saja merupakan pusaka ampuh, akan tetapi juga
digerakkan oleh tangan ahli. Dia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk meloncat
dan mengelak. Namun pedang itu bergerak terus dengan sangat cepatnya sehingga
Han Siong terpaksa harus berloncatan ke sana-sini. Dia semakin kagum.
Tentu saja
ilmu pedang lawan itu sangat hebat karena Cun Sek memainkan ilmu pedang
Cin-ling-pai yang mengandung unsur ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang amat
tinggi tingkatnya. Walau pun dia tidak menguasai Siang-bhok Kiam-sut
sepenuhnya, akan tetapi cukuplah untuk membuat dia menjadi seorang ahli pedang
yang amat lihai.
Namun sekali
ini Cun Sek berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki tingkat lebih tinggi
dalam ilmu silat. Han Siong masih lebih pandai, baik dalam ilmu silat mau pun
lebih kuat dalam ilmu sinkang dan ginkang. Maka, walau pun Cun Sek menyerangnya
bertubi-tubi, tubuh Han Siong berkelebatan dan selalu terhindar dari sambaran
pedang, bahkan kini Han Siong mulai membalas dengan serangan yang tak kalah
ampuhnya, meski hanya mempergunakan tangan dan kaki.
Dengan
Pek-hong Sin-ciang, beberapa kali Han Siong dapat membuat Cun Sek terdesak dan
terhuyung. Bahkan pernah pedang pusaka Hong-cu-kiam di tangannya sudah hampir
terlepas setelah lengan kanannya terkena tendangan kaki Han Siong. Kini Cun Sek
mulai terdesak.
"Haiiitttt...!"
Cun Sek yang menjadi amat penasaran, dengan nekat memutar tubuh setelah tadi
dia menghindarkan diri dari tendangan kaki kiri Han Siong, kemudian sambil berputar,
pedangnya menusuk ke arah perut lawan.
"Hemmm...
huhhhh!" Han Siong membentak dan tangan kirinya mendorong dari samping.
Dengan tangan kosong, dengan telapak tangannya, Han Siong mendorong pedang yang
luar biasa tajamnya itu.
"Plakkk!"
Pedang itu
terpukul menyerong, dan pada saat itu pula tangan kanan Han Siong sudah
menampar ke arah kepala lawan. Cun Sek terkejut bukan main. Telapak tangan
lawan itu mampu menangkis pedangnya, bahkan sekarang tiba-tiba ada angin yang
menyambar ke arah kepalanya. Dia cepat miringkan tubuh dan menarik kepalanya ke
belakang. !
"Plakkk!"
Pundaknya
terkena srempetan telapak tangan Han Siong hingga Cun Sek terpelanting. Ia
terkejut sekali, cepat bergulingan menjauh sambil memutar pedang melindungi
tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun, ternyata lawannya tidak mengejar,
melainkan berdiri tegak sambil memandang kepadanya dengan senyum.
Mulailah Cun
Sek merasa jeri karena dia maklum bahwa dia sedang menghadapi lawan yang
mempunyai ilmu kesaktian. Pada saat itu nampak bayangan berkelebat dan ternyata
Sim Ki Liong sudah berdiri di situ.
Sim Ki Liong
dan Pek Han Siong berdiri saling pandang dengan sinar mata mencorong. Mereka
memang sebaya dan bentuk tubuh mereka juga sama. Keduanya sama tampan, hanya
sikap Ki Liong terlihat lebih halus, kehalusan yang menyembunyikan keliaran
yang terkendali, dan kadang kala mata Ki Liong mencorong aneh dan kejam,
sedangkan Han Siong sebaliknya selalu bersikap tenang sekali.
Ki Liong
segera mengenal Han Siong dan dia pun mengangguk-angguk. "Hemm, kiranya
engkau yang datang membikin ribut. Pek Han Siong, ternyata kini engkau sudah
menjadi jagoan yang mewakili Pek-tiauw-pang. Berapa dia membayarmu? Apakah
dibayar dengan puterinya yang cantik itu?"
Apa bila
orang lain yang menerima ejekan dan penghinaan ini, tentu akan menjadi marah.
Akan tetapi Han Siong adalah seorang pemuda gemblengan. Dia hanya tersenyum,
lantas menjawab dengan halus pula.
"Sim Ki
Liong, engkau sudah tahu siapa engkau dan siapa aku. Setelah gagal membantu
pemberontakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan engkau beruntung dapat meloloskan
diri, kini engkau melakukan kejahatan baru dengan menguasai semua perkumpulan
yang kau peras, juga mempengaruhi para pejabat daerah dan bersekutu dengan
orang-orang jahat. Engkau melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Dan engkau
tahu bahwa sejak menentang Lam-hai Giam-lo hingga sekarang aku selalu akan
menentang segala macam bentuk kejahatan! Aku bukan sekedar wakil Pek-tiauw-pang
saja, melainkan wakil seluruh masyarakat yang menderita karena kejahatanmu. Aku
sudah mendengar bahwa engkau bersekutu dengan Tok-sim Mo-li. Di mana dia
sekarang? Mengapa tidak keluar sekalian?"
Sambil
berkata demikian, Han Siong menendang sebuah batu sebesar kepalan tangan yang
berada di depan kakinya. Batu itu meluncur ke arah semak-semak dan tiba-tiba
saja batu itu tertangkis dan runtuh. Dari balik semak-semak muncullah Tok-sim
Mo-li Ji Sun bi, diikuti oleh tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun
lebih yang kesemuanya berjubah pendeta, dengan rambut panjang digelung ke atas
seperti tosu (pendeta Agama To).
Melihat
munculnya wanita cantik ini, senyum di bibir Han Siong melebar. "Nah,
sekarang baru lengkap, semua biang keladi kekacauan telah berkumpul di
sini!" Ucapan ini sengaja dikeluarkan agak keras karena memang merupakan
isyarat bagi Ouw Pangcu dan kawan-kawannya untuk mulai dengan penyerbuan mereka
ke puncak Kim-lian-san.
"Pek
Han Siong, selamat berjumpa kembali dan selamat jalan ke neraka!" kata Ji
Sun Bi sambil mencabut sepasang pedangnya. "Sekarang saatnya kami membalas
dendam atas kekalahan kami dahulu!"
Sim Ki Liong
sudah maklum akan kelihaian Pek Han Siong. Dia tidak malu-malu lagi untuk
mencabut pula senjatanya, yaitu Gin-hwa-kiam yang berkilauan seperti perak.
Melihat
betapa tiga orang muda yang jahat dan lihai itu sudah mencabut senjata
masing-masing, dan dia tahu bahwa seperti juga Cun Sek, Ki Liong memegang
sebatang pedang pusaka yang ampuh, Han Siong cepat mengerahkan tenaga saktinya.
Sepasang matanya memancarkan cahaya aneh, ada pun suaranya terdengar melengking
tinggi penuh wibawa ketika dia berkata,
"Kalian
bertiga hendak mengeroyokku? Baiklah, aku pun siap untuk melayani kalian satu
lawan satu. Lihat, aku telah menjadi tiga orang seperti kalian!"
Tiga orang
muda itu terbelalak, terkejut bukan main melihat betapa tubuh Han Siong telah
terpecah menjadi tiga dan kini di depan mereka berdiri tiga orang Pek Han
Siong! Ji Sun Bi maklum akan kekuatan sihir yang dipergunakan Han Siong dan
memang dia telah siap untuk menghadapi kemungkinan itu, maka ia cepat berseru
sambil menoleh ke belakang.
"Sam-wi
Susiok (Paman Guru Bertiga), tolong bantulah kami!"
Ji Sun Bi
adalah murid dari mendiang Min-san Mo-ko, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw
yang selain pandai ilmu silat, juga ahli dalam hal ilmu sihir. Ji Sun Bi
sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir selengkapnya, hanya ilmu guna-guna
untuk menjatuhkan hati pria saja. Akan tetapi, berkat gurunya dia mempunyai
hubungan dengan Pek-lian-kauw.
Ketika Ki
Liong menjadi ketua Kim-lian-pang dan dia menjadi pembantu utama atau wakil
ketua, dalam usaha mereka untuk memperkuat Kim-lian-pang, maka Ji Sun Bi
menemui beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw dan berhasil membujuk tiga orang
pendeta Pek-lian-kauw yang terhitung sute (adik seperguruan) mendiang Min-san
Mo-ko, untuk membantu Kim-lian-pang.
Tiga orang
tosu Pek-lian-kauw itu menyanggupi dan kini mereka berada di sana untuk
membantu gerakan-gerakan Kim-lian-pang yang mendatangkan untung besar itu.
Ketika Han Siong muncul, kebetulan mereka berada di puncak sehingga mereka
dapat ikut pula turun menghadapi lawan.
"Jangan
khawatir!" terdengar seorang di antara mereka berseru pada saat Ji Sun Bi
minta bantuan. Tadi mereka sempat melihat betapa pemuda itu menggunakan sihir
yang sangat kuat sehingga mereka sendiri pun terpengaruh dan mereka melihat
betapa tubuh pemuda Itu berubah menjadi tiga.
Mereka
bertiga maklum bahwa kekuatan sihir pemuda itu memang sangat hebat. Mereka tak
akan mampu menandinginya tanpa menggabungkan kekuatan, maka mereka segera duduk
bersila, bergandeng tangan dan mengerahkan kekuatan mereka. Seorang di antara
mereka, yang berada di sudut kki, segera mengeluarkan kata-kata yang juga
melengking tinggi berwibawa.
"Pemuda
itu hanya seorang! Yang dua hanya bayangan dan kami perintahkan agar kedua
bayangan itu lenyap!" Mereka lalu mengeluarkan suara mengaung-ngaung
seperti suara anjing meratapi bulan pada tengah malam, suara yang menyeramkan
dan mengeluarkan getaran kuat.
Ki Liong,
Cun Sek dan Sun Bi memandang kepada Han Siong. Dan benar saja, dua di antara
tubuh Han Siong itu perlahan-lahan lenyap, tinggal seorang lagi saja. Akan
tetapi mendadak menjadi tiga lagi, lalu yang dua lenyap lagi. Maka tahulah
mereka bahwa telah terjadi pertempuran kekuatan sihir antara Han Siong dan tiga
orang tosu Pek-lian-kauw.
Han Siong
sendiri sebetulnya mampu menandingi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw
itu. Akan tetapi suara mereka sungguh amat mengganggunya dan jika dilanjutkan,
dalam keadaan adu tenaga sihir itu kemudian dia dikeroyok tiga, maka keadaannya
berbahaya juga. Karena itu, ketika tiga orang itu mulai menggerakkan pedang, dia
pun menyimpan kekuatan sihirnya dan dirinya berubah menjadi satu lagi.
Ki Liong
sudah menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam dan sinar perak menyambar ke arah Han
Siong. Pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Dia disambut oleh Ji
Sun Bi dengan sepasang pedangnya, sedangkan di belakang pemuda itu Cun Sek juga
sudah menggerakkan pedang Hong-cu-kiam untuk mengeroyok.
Han Siong
melihat gerakan mereka dan maklum bahwa sekali ini dia menghadapi bahaya. Tiga
orang itu adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan
ketiganya memegang senjata. Kalau dia ingin menyelamatkan diri, sebenarnya
mudah saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi dia harus
dapat menahan mereka supaya Ouw Pangcu beserta kawan-kawannya dapat menyerbu
sarang Kim-lian-pang di puncak. Kalau dia melarikan diri, tentu tiga orang ini
akan mengamuk dan mungkin Ouw Pangcu bersama semua kawannya akan terbasmi dan
dibantai!
Tiba-tiba
saja dia mengeluarkan bertakan nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke arah Ji
Sun Bi. Wanita ini terkejut ketika melihat tubuh Han Siong menyambar dari atas
seperti seekor burung garuda. Dia menyambutnya dengan bacokan sepasang
pedangnya yang membuat gerakan menggunting dari kanan kiri!
Gerakan Ji
Sun Bi ini berbahaya sekali terhadap tubuh Han Siong yang sedang melayang dan
menyambar turun. Akan tetapi hal ini sudah di perhitungkan oleh Han Siong.
Melihat wanita itu menggerakkan sepasang pedangnya, dia pun lantas membuat
gerakan dengan tubuhnya sehingga tubuh yang meluncur turun itu mendadak
terlempar ke atas membuat poksai (salto) dengan amat cepatnya. Tentu saja
serangan Ji Sun Bi luput dan kini tubuh Han Siong telah turun di belakang
wanita itu.
Ji Sun Bi
adalah seorang ahli silat yang lihai. Dengan cepat dia memutar tubuhnya hingga
kedua pedangnya juga ikut berputar, yang kanan membabat leher lawan sedangkan
yang kiri menyusul dengan tusukan ke arah perut!
Han Siong
sudah siap menghadapi ini. Dia segera merendahkan tubuh sehingga pedang yang
menyambar leher itu lewat dl atas kepala, lalu dia menggeser kaki ke depan,
sambil miringkan tubuh menghindarkan tusukan tangan kanannya membuat gerakan
mendorong dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah tangan Sun Bi yang
menusukkan pedang.
"Lepaskan!"
bentaknya dan bentakan ini pun mengandung wibawa memerintah yang amat kuat.
Tanpa dapat dicegah lagi pedang itu terlepas dari tangan Sun Bi dan sudah
pindah ke tangan kanan Han Siong.
Sun Bi
terkejut dan cepat ia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh. Akan
tetapi ternyata Han Siong tidak menyusulkan serangan melainkan bermaksud
merampas sebatang pedang saja.
Kini Cun Sek
dan Ki Liang telah menyerang lagi dari kanan kiri. Han Siong mengelak dan
membalas dengan pedang rampasan, juga dengan tamparan tangan kiri. Dia tidak berani
menggunakan pedang itu untuk menangkis. Meski pun pedang rampasan dari Sun Bi
tadi bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang yang baik sekali biar pun
terlalu ringan baginya, tetapi besar sekali kemungkinan akan patah jika
dipergunakan untuk menangkis pedang sinar emas dan pedang sinar perak dari dua
orang muda itu.
Ji Sun Bi
yang marah sekali karena sebatang pedangnya terampas, kini sudah maju pula
menyerang. Segera Han Siong merasa terdesak bukan main. Dia terpaksa
mengeluarkan seluruh ilmu ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini dan hampir
tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan. Bahkan ketika
terpaksa dia menangkis Hong-cu-kiam yang menyambar dahsyat dari belakang, ujung
pedang rampasan itu patah, seperti yang telah dikhawatirkannya.
Sementara
itu, tiga orang tosu itu masih duduk bersila dan kini mereka pun membantu
pengeroyokan dengan serangan suara mereka! Mereka membuat suara yang seperti
tadi, seperti anjing-anjing melolong, sungguh mengerikan dan menyayat hati.
Tentu saja
hanya Han Siong yang merasakan gangguan ini karena lolongan itu memang
ditujukan kepadanya. Kalau saja dia tidak sedang dikeroyok tiga orang lawan
tangguh ini sehingga seluruh perhatiannya harus dicurahkah untuk menyelamatkan
diri menghadapi serangan maut itu, tentu dia akan mampu melawan suara yang
sangat mengganggu itu. Semakin repotlah Han Siong karena serangan suara ini.
Akan tetapi
hatinya segera lega ketika terdengar sorak sorai dibarengi api dan asap yang
mengepul dari puncak. Nampaknya Ouw Pangcu sudah berhasil menyerang dengan anak
panah berapi yang membakar sarang itu, siasat yang digunakan untuk memancing
keluar seluruh anak buah Kim-lian-pang dan Hek-tok-pang.
Tiga orang
pengeroyok itu terkejut sekali melihat kepulan asap dari puncak. Akan tetapi
mereka enggan meninggalkan Han Siong yang sudah terdesak itu karena kalau
pemuda lihai ini tidak dirobohkan lebih dulu, maka tetap saja keadaan mereka
terancam.
"Mari
kita habiskan dia dulu sebelum menyerang yang lain!" kata Sim Ki Liong dan
dia pun segera mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh
kepandaiannya.
Murid
Pendekar Sadis ini memang lihai bukan main dan hanya berselisih sedikit saja
jika dibandingkan dengan Han Siong. Sebab itu desakannya yang diikuti dua orang
kawannya membuat Han Siong kembali terhuyung, dan terpaksa Han Siong
menggerakkan pedang buntungnya untuk menangkis sinar perak yang menyambar ke
arah kepalanya.
"Krakkk...!"
Pedangnya
kembali patah dan kini hanya tinggal sedikit sisanya. Dia membuang gagang
pedang itu dan pada saat itu pula ujung sepatu kaki kanan Ki Liong sempat
menyambar ke arah pahanya sehingga dia pun terpelanting! Namun ketika sinar
perak dan sinar emas menyambar, dengan amat cekatan dia sudah melesat lagi ke
samping sehingga terhindar dari bahaya maut.
Tangannya
kini sudah memegang sebatang ranting pohon yang dipatahkannya ketika dia
meloncat menghindarkan diri tadi Sebatang ranting akan lebih berguna dari pada
pedang rampasan yang kaku tadi. Ranting yang lentur mudah sekali menerima penyaluran
tenaga sinkang dan tidak mudah dipatahkan pedang pusaka.
Mulailah Han
Siong kembali melawan mati-matian. Dia belum mau melarikan diri, hendak memberi
kesempatan kepada Ouw Pangcu hingga berhasil menumpas perkumpulan jahat itu.
Tendangan yang mengenai pahanya tadi tidak menimbulkan luka karena dia tadi
telah melindungi pahanya dengan kekebalan sinkang, dan kini akibatnya hanya
mendatangkan rasa nyeri sedikit. Meski pun demikian tetap saja gerakannya
menjadi agak canggung dan dia pun semakin terdesak, terutama sekali suara
melolong-lolong dari tiga orang tosu itu sungguh membuat dia semakin bingung.
Tiba-tiba
saja nampak bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah muncul lagi
seorang pemuda yang berpakaian biru-biru dengan garis pinggir berwarna kuning.
Kepala dan mukanya tertutup sebuah caping lebar dan di punggungnya terdapat
sebuah buntalan kain kuning. Begitu tiba, pemuda ini tertawa bergelak dan
menghampiri tiga orang tosu itu, tangannya membawa sebatang pendek ranting
pohon.
"Ha-ha-ha,
pantas saja suaranya gaduh sekali. Ternyata di sini ada tiga ekor anjing yang
sedang menggonggong berebut tulang! Nah, ini kuberi tulangnya, boleh kalian
tiga ekor anjing memperebutkannya!" Dia pun melemparkan sepotong kayu tadi
ke arah tiga orang tosu dan sungguh luar biasa sekali.
Tiga orang
tosu yang tadinya bersila dan bergandeng tangan sambil mengeluarkan suara
melolong untuk menyerang Han Siong, kini tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan
saling memperebutkan kayu itu dengan mulut mereka, persis tiga ekor anjing
memperebutkan tulang. Pada saat kepala mereka saling bertumbukan, barulah
mereka sadar dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
"Apa...
apa yang terjadi...?" Mereka bertiga berseru.
Mendengar
suara ketawa, mereka cepat-cepat menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian
biru memakai caping lebar sedang berdiri sambil tertawa geli, mentertawakan
mereka. Tahulah mereka bahwa pemuda ini yang menjadi gara-gara, yang entah
dengan ilmu apa telah memaksa mereka bertiga berlagak seperti tiga ekor anjing!
"Keparat,
engkaulah seekor anjing!" bentak seorang di antara mereka, setengah memaki
untuk membalas penghinaan tadi dan setengah lagi untuk menggunakan tenaga
sihirnya.
Diam-diam
pemuda itu mengerahkan kekuatan sihirnya yang hebat, dan dia pun berkata,
"Betul sekali! Aku seekor anjing raksasa yang akan makan kalian tiga orang
pendeta Pek-lian-kauw! Huk-huk-hukk!"
Tiga orang
pendeta Pek-lian-kauw itu terbelalak memandang kepada pemuda itu yang di dalam
pandang mata mereka tiba-tiba sudah berubah seperti seekor anjing raksasa yang
besarnya seperti sebuah rumah gedung, mulutnya terbuka selebar pintu gerbang
dengan giginya yang besar-besar. Mereka menjadi pucat seketika, tubuh mereka
gemetaran dan seperti dikomando saja, mereka lalu membalikkan tubuh dan lari
tunggang langgang jatuh bangun, bahkan ada yang terkencing-kencing saking
ngerinya karena merasa seolah-olah napas anjing raksasa telah mendengus-dengus
di tengkuk mereka.
Pemuda itu
tertawa bergelak penuh kegembiraan. Han Siong yang semenjak tadi melihat
kehadiran dan perbuatan pemuda berpakaian biru bercaping lebar itu, kemudian
berseru dengan gembira,
"Hentikan
main-mainmu itu, Hay Hay, dan cepat bantulah aku!"
Pemuda yang
disebut Hay Hay itu menoleh dan melihat betapa Han Siong terdesak oleh tiga
orang pengeroyoknya, dia pun tertawa lagi, "Ha-ha-ha, Sin-tong (anak
ajaib), di mana pedang pusakamu yang ampuh itu? Engkau dikeroyok tiga orang
lawan yang memakai senjata, bahkan ada pedang pusaka di situ, dan engkau
bertangan kosong saja. Salahmu sendiri..."
"Sudahlah,
bantu aku dahulu dan nanti baru kita mengobrol!" kata Han Siong lagi
dengan mendongkol. Dia begitu terdesak dan dalam bahaya, tetapi orang ini malah
mengajaknya mengobrol dan bersendau-gurau.
Pemuda
bercaping itu memang Tang Hay, atau di antara kawan-kawannya lebih dikenal
dengan sebutan Hay Hay saja. Seorang pemuda yang sebaya dengan Han Siong. Usia
mereka sama, yaitu dua puluh dua tahun lebih, wajahnya juga tampan, dadanya
bidang tubuhnya sedang dan tegap. Matanya selalu bersinar-sinar, tapi kadang
kala mencorong penuh wibawa, dan mututnya tak pernah ditinggalkan senyum manis.
Pemuda ini
seorang yang amat romantis, juga pengagum keindahan termasuk kecantikan wanita.
Di mana pun berada dia selalu memuji-muji wanita sehingga dia terkenal sebagai
Pendekar Mata Keranjang walau pun kegenitannya itu memiliki batas yang kuat
sehingga belum pernah dia melanggar, belum pernah dia menggauli wanita, baik
dengan perkosaan mau pun dengan suka rela. Kedekatannya dengan wanita tak lebih
dari saling rangkul dan saling cium saja.
Dalam
perjalanan mencari ayahnya, yaitu Ang-hong-cu, tanpa sengaja Hay Hay sampai di
tempat itu dan melihat pertempuran itu. Dia sedang menuju ke kota raja karena
dia sudah mendengar bahwa meski pun tidak ada seorang juga yang mengetahui di
mana adanya si Kumbang Merah, jai-hwa-cat yang sudah lama sekali namanya
dikenal orang akan tetapi akhir-akhir ini tidak ada kabar ceritanya lagi, namun
di kota raja muncul seorang perwira muda disebut Tang-ciangkun yang mengaku
sebagai putera Ang-hong-cu. Biar pun tipis, namun berita ini setidaknya
merupakan suatu hal yang perlu diselidiki. Siapa tahu perwira muda Tang itu
benar dapat membawa dia kepada jejak Ang-hong-cu!
Maka, ketika
melihat ada perkelahian di situ, dia pun tak peduli dan hendak melewatinya
begitu saja, apa lagi dia belum melihat jelas dan tidak tahu siapa yang sedang
berkelahi. Akan tetapi dia lantas tertarik oleh suara melolong-lolong yang
mengandung getaran aneh dan berwibawa itu.
Sebagai
seorang yang sudah mempelajari ilmu sihir secara cukup mendalam, dia dapat
merasakan ketidak wajaran dalam suara itu dan menduga bahwa suara itu
mengandung kekuatan sihir! Maka dia pun tertarik kemudian mendekat. Setelah
mendekat, barulah dia melihat bahwa yang dikeroyok tiga dan terdesak, masih
diserang oleh suara mengandung kekuatan sihir pula, bukan lain adalah Pek Han
Siong!
Dulu Pek Han
Siong pernah menuduhnya memperkosa adik kandungnya, yaitu Pek Eng sehingga Han
Siong memusuhinya dan mereka lalu bertanding dengan hebatnya. Namun akhirnya
Han Siong mengetahui bahwa yang memperkosa adik kandungnya sama sekali bukan
Hay Hay, melainkan Si Kumbang Merah yang ternyata menurut pengakuan Hay Hay adalah
ayah kandung Hay Hay sendiri!
Karena
kenyataan itu, maka permusuhan antara mereka pun lenyap dan tidak ada saling
dendam di antara mereka. Bahkan sesungguhnya, ada hubungan yang amat dekat
antara kedua pemuda ini.
Sejak kecil
Han Siong dianggap sebagai Sin-tong (anak ajaib) oleh para pendeta Lama di
Tibet yang merasa yakin bahwa Han Siong adalah seorang calon Dalai Lama! Maka
anak ini kemudian diperebutkan dan oleh para pendeta Lama hendak dibawa ke
Tibet. Untuk menyelamatkannya, maka Han Siong disembunyikan dan sebagai
gantinya, orang tuanya mengambil Hay Hay yang ketika itu seorang anak tanpa
ayah ibu. Maka terjadilah hal-hal yang amat menarik seperti diceritakan dalam
kisah Pendekar Mata Keranjang.
Setelah
keduanya menjadi pemuda dewasa, dalam cara hidup masing-masing keduanya menjadi
pemuda gemblengan yang pandai ilmu silat, bahkan keduanya juga pandai ilmu
sihir walau pun tingkat Hay Hay jauh lebih tinggi dalam hal sihir menyihir ini.
Sekarang Hay
Hay tidak mau main-main lagi, apa lagi sesudah dia melihat dengan penuh
perhatian dan mengenal dua orang di antara para pengeroyok itu
"Wah-wah-wahh!
Bukankah itu Sim Ki Liong murid murtad dari locianpwe Pendekar Sadis di Pulau
Teratai Merah? Dan yang seorang lagi, bukankah Ji Sun Bi si cantik manis yang
memiliki hati penuh racun? Hayaa, pantas saja engkau terdesak, Han Siong.
Kiranya para pengeroyokmu adalah dua orang yang teramat jahat. Dan siapa pula
yang seorang lagi itu? Heiii! Bukankah itu Hong-cu-kiam yang dibawanya? Dan
ilmu silatnya itu! Han Siong, apa kau lupa lagi dan tidak mengenal ilmu silat
Cin-ling-pai? Dia seorang tokoh Cin-ling-pai!"
Tiba-tiba
Hay Hay telah meloncat ke dalam medan perkelahian itu. Dia sendiri tak pernah
mempergunakan senjata. Cun Sek yang terkejut dan juga marah melihat betapa
pemuda bercaping lebar yang baru muncul ini dapat mengenali pedang serta ilmu
silatnya, sudah menyambutnya dengan tusukan pedang yang cepat dan kuat sekali,
mengarah dada Hay Hay.
Tanpa
disadarinya, ucapan Hay Hay tadi memang sudah menarik perhatian Cun Sek, dia
sudah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Hay Hay! Melihat tusukan pedang
Hong-cu-kiam itu Hay Hay segera miringkan tubuhnya dan berkata dengan suara
nyaring.
"Pedangmu
itu buntung, mana bisa untuk menyerangku?"
Cun Sek
terbelalak. Dia memandang pedangnya yang tahu-tahu sudah menjadi sebatang
pedang buntung yang pendek! Hanya beberapa detik saja dia termangu, namun ini
sudah cukup bagi Hay Hay. Dengan sekali totokan ke arah pergelangan tangan yang
memegang pedang, tahu-tahu Hong-cu-kiam telah berpindah tangan!
Barulah Cun
Sek sadar dan dia menjadi marah sekali. "Kembalikan pedangku!"
bentaknya sambil menerjang dengan tangan kosong.
Akan tetapi
Hay Hay cepat menggerak-gerakkan pedang Hong-cu-kiam sehingga nampak sinar emas
bergulung-gulung mengelilingi tubuh Cun Sek yang menjadi amat bingung dan
khawatir sekali.
"Brett-brett-brett...!"
Nampak
potongan kain berhamburan dan Cun Sek merasa tubuhnya dingin-dingin. Ketika dia
memandang, ternyata sinar pedang emas itu telah menelanjanginya! Pakaian
luarnya sudah robek-robek dan dia berdiri di situ hanya dengan sebuah celana
kolor pendek yang menutupi tubuh bawahnya! Hay Hay tertawa-tawa dan kini dia
menggerakkan pedangnya untuk menyerang Ki Liong!
Sejak tadi
Ki Liong dan Sun Bi sudah kaget setengah mati ketika melihat munculnya Hay Hay,
pemuda yang pernah membuat mereka gentar ketika pemuda ini muncul pula dalam
rombongan para pendekar yang membasmi gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo.
Keduanya segera maklum pula bahwa kemunculan Hay Hay yang di luar dugaan ini
akan menghancurkan semua rencana mereka, bahkan sekarang mereka berada dalam
bahaya besar. Hal ini langsung terbukti ketika dengan amat mudahnya Hay Hay
sudah merampas pedang pusaka Hong-cu-kiam dari tangan Cun Sek yang telah dibuat
tidak berdaya!
Cun Sek
merasa terkejut dan malu bukan main. Dia kemudian menjadi nekat dan sambil
mengeluarkan suara menggeram bagai seekor harimau terluka, dia pun menubruk
dengan nekat ke arah Hay Hay.
Akan tetapi
Hay Hay menyambutnya dengan sebuah tendangan sehingga tubuh Cun Sek terjengkang
lalu terbanting keras ke atas tanah. Karena pemuda itu tadi memegang
Hong-cu-kiam dan memiliki ilmu silat Cin-ling-pai, tentu saja Hay Hay tidak mau
membunuhnya dan hanya merobohkannya tanpa melukai berat.
Setelah
merobohkan Cun Sek, Hay Hay lalu membalik dan kembali menyerang Ki Liong. Murid
Pendekar Sadis yang maklum akan kelihaian Hay Hay ini cepat menangkis dengan
Gin-hwa-kiam.
"Trakkkk!"
Dua pedang
bertemu kemudian melekat! Ki Liong terkejut dan menarik pedangnya, akan tetapi
Hong-cu-kiam yang lemas itu ternyata telah melibat. Ujung Hong-cu-kiam membelit
pedang Gin-hwa-kiam seperti seekor ular saja!
"Han
Siong, cepat kau ambil pedangnya. Pedang itu tak pantas berada di tangannya.
Kita harus kembalikan pedang itu ke Pulau Teratai Merah!" kata Hay Hay
kepada Han Siong sambil mempertahankan pedang lawan dengan libatan pedangnya.
Ji Sun Bi
cepat maju menghalang dan menusukkan pedangnya kepada Han Siong untuk mencegah
pemuda ini mengeroyok Ki Liong. Akan tetapi kini, setelah berhadapan dengan Ji
Sun Bi sendiri, tentu saja Han Siong memandang ringan wanita itu dan dengan
mudah dia membiarkan pedang yang menusuknya itu lewat, kemudian dari samping
tangannya menyambar.
"Plakkk!"
Pundak Sun
Bi terkena tamparan tangan Pek-hong Sin-ciang dan dia pun mengeluh lalu roboh
terkulai.
Kini Han
Siong menerjang Ki Liong yang masih sibuk menarik Gin-hwa-kiam dari libatan
Hong-cu-kiam. Tangan kirinya mencengkeram ke arah tangan murid Pendekar Sadis
itu dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis! Menghadapi serangan
dahsyat ini, terpaksa Ki Liong melepaskan pedangnya lantas berjungkir balik ke
belakang. Pedangnya kini sudah berpindah ke tangan Han Siong.
"Ha-ha-ha,
bagaimana, Han Siong? Kita bunuh saja tiga ekor ular berbisa ini?"
"Jangan,
Hay Hay. Kita bukan pembunuh keji! Kita tangkap saja mereka dan..."
Tiba-tiba
nampak seorang pria raksasa meloncat ke depan mereka dan dia mengebutkan sebuah
kain. Asap atau debu hitam lantas berhamburan dan terdengar pula suara ledakan
yang menimbulkan asap hitam tebal.
"Han
Siong, mundur! Debu itu beracun!" teriak Hay Hay yang segera menyambar
lengan Han Siong dan mengajaknya meloncat jauh ke belakang. Asap hitam menjadi
tabir hingga membuat mereka tidak dapat melihat ke depan. Akan tetapi Hay Hay
melihat kain yang dikebut-kebutkan itu dan dia berbisik,
"Kita
serang kain itu dengan pukulan jarak jauh. Mari!"
Keduanya
mengerahkan tenaga sinkang lantas mendorong dari tempat mereka berdiri ke arah
kain itu. Angin dahsyat langsung menyambar ke arah kain itu dan terdengarlah
jerit parau mengerikan di dalam asap hitam yang gelap itu, lalu keadaan menjadi
sunyi.
Setelah asap
hitam lenyap ditiup angin, mereka hanya melihat pria raksasa tadi yang kini
menggeletak tanpa nyawa di situ dengan muka berubah hitam, sementara kain itu
masih menutupi mukanya. Ki Liong, Cun Sek dan Sun Bi telah lenyap tanpa
meninggalkan jejak. Kiranya pria raksasa itu adalah Hek-tok Pangcu Cui Bhok
yang telah menolong tiga orang pemimpinnya sedangkan bahan peledak yang
mengeluarkan asap hitam tadi dilepas oleh tiga orang tokoh Pek-lian-kauw untuk
menolong teman-temannya.
"Hemm,
mereka telah lolos! Biar kucari dan kukejar mereka!" kata Hay Hay.
"Tidak
perlu lagi" kata Han Siong. "Lebih baik kita turut membantu mereka
yang sekarang sedang membasmi anak buah Kim-lian-pang yang jahat. Anak-anak
buah Hek-tok-pang itu masih berbahaya, aku khawatir akan terjatuh banyak korban
di antara para penyerbu."
"Kim-lian-pang?
Hek-tok-pang? Aku tidak tahu apa yang terjadi di tempat ini," Hay Hay yang
baru saja datang memang tidak tahu sehingga dia bertanya heran.
"Kim-lian-pang
anak buah Sim Ki Liong, dan Hek-tok-pang anak buah dia yang tewas ini.
Sudahlah, nanti saja kujelaskan lebih lanjut, sekarang aku harus membantu
mereka!" kata Han Siong yang segera meloncat pergi dari situ.
"Aku
membantumu!" kata Hay Hay sambil mengejar.
Tentu saja
dia percaya penuh bahwa yang dibela oleh Han Siong pasti berada pada pihak yang
benar. Dia telah mengenal watak Sin-tong ini, seorang pendekar muda gemblengan
yang selalu menentang kejahatan. Apa lagi tadi pun dia telah membuktikan
sendiri bahwa pihak lawan pemuda itu adalah orang-orang yang dia tahu amat
jahat, terutama Ji Sun Bi.
Tentu saja
dia mengenal baik siapa Ji Sun Bi itu! Bagaimana tidak mengenalnya? Bahkan
wanita cantik berwatak cabul itu dapat dibilang merupakan gurunya dalam
bercumbu dan berolah cinta! Wanita yang pertama kali saling peluk dan saling
cium dengannya adalah Ji Sun Bi! Kalau saja batinnya tidak kokoh kuat, tentu
dia sudah kehilangan perjakanya oleh wanita itu.
Dan hampir
saja dia diperkosa ketika Ji Sun Bi dibantu mendiang gurunya, Min-san Mo-ko
yang membuat dia tidak berdaya dengan sihir. Untung muncul Pek Mau Sanjin,
mendiang kakek sakti yang kemudian menjadi gurunya dalam hal ilmu sihir. Dia
sudah mengenal Ji Sun Bi secara baik, dan dengan mengenang peristiwa itu saja,
sudah tentu dia tidak tega untuk membunuhnya! Wanita pertama yang mengajarnya
tentang permainan asmara!
Perhitungan
dan siasat yang digunakan Ouw Pangcu memang tepat. Dia bersama teman-temannya
menghujankan anak panah berapi ke puncak hingga hal ini memancing semua anak
buah Kim-lian-pang dan Hek-tok-pang untuk turun dari puncak, pergi meninggalkan
sarang mereka lalu mengamuk dengan penuh kemarahan. Apa lagi setelah mereka
lihat betapa pimpinan mereka mengepung seorang pemuda lihai.
Hek-tok
Pangcu memimpin anak buahnya mengamuk. Tepat seperti yang dikhawatirkan Han
Siong, dua puluh orang Hek-tok-pang serta pemimpin mereka ini merupakan lawan
berat yang membuat para penyerbu kewalahan. Tapi karena jumlah pihak para penyerbu
jauh lebih banyak, dan para penyerbu itu juga terdiri dari para anggota
perkumpulan silat yang rata-rata pandai ilmu silat, maka pertempuran
berlangsung dengan hebat dan pada kedua pihak telah jatuh korban belasan orang
banyaknya.
Munculnya
Han Siong dan Hay Hay dalam pertempuran itu pada saat yang sangat tepat. Begitu
dua orang pemuda sakti ini terjun ke dalam pertempuran, hanya mempergunakan
kaki tangan karena mereka sudah menyimpan pedang pusaka yang mereka rampas
tadi, tak ingin mempergunakan pedang pusaka yang bukan milik mereka itu untuk
membunuh orang, maka kocar-kacirlah pihak lawan. Semua anak buah Hek-tok-pang
telah roboh dan tewas, dan sebagian besar anak buah Kim-lian-pang juga roboh,
sebagian kecil melarikan diri bahkan ada pula yang terjun ke dalam jurang untuk
menyelamatkan diri.
Dengan
dipimpin oleh Ouw Pangcu, para penyerbu lalu naik ke puncak Kim-Iian-san dan
kedua orang pemuda perkasa itulah yang menjadi pelopor di depan. Mereka berdua
yang meruntuhkan semua penghalang serta jebakan, juga memunahkan segala macam
racun yang disebar dengan membakar rumpun semak belukar pada sepanjang lorong
dan jalan setapak yang menuju ke puncak.
Akhirnya
mereka sampai di puncak, di sarang Kim-lian-pang dan ternyata yang tinggal di
sarang itu hanyalah isteri para anggota bersama anak-anak mereka. Ouw Pangcu
cepat memberi aba-aba agar tak seorang pun boleh mengganggu mereka! Sikap ini
saja sudah membuat Han Siong dan Hay Hay merasa senang sekali, karena itu
mereka tidak merasa menyesal telah membantu gerakan yang dipimpin oleh Ouw
Pangcu yang bijaksana itu.
Oleh Ouw
Pangcu, semua harta benda yang ada di sarang Kim-lian-pang lalu dibagikan
kepada keluarga para anggota Kim-lian-pang. Dia menyuruh mereka semua turun
bukit, kemudian dia membakar sarang itu, disaksikan oleh semua penyerbu yang
bersorak sorai penuh kemenangan dan kepuasan karena mereka semua merasa sakit
hati kepada Kim-lian-pang dan kini mereka telah berhasil membalas dendam dan
membasmi perkumpulan jahat itu.
Setelah api
berkobar membakar sarang gerombolan Kim-lian-pang dan para penyerbu itu tengah
bersorak-sorai, tiba-tiba terdengar suara lantang Ouw Pangcu. "Saudara
sekalian, tanpa bantuan dari pendekar besar Pek Han Siong, tidak mungkin kita
dapat membasmi gerombolan jahat itu. Mari kita berterima kasih kepada Pek
Taihiap!"
Berkata
demikian, Ouw Pang Cu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pek Han Siong,
diikuti oleh puterinya yang tadi juga ikut bertempur dengan gagah dan
mati-matian. Melihat pemimpin penyerbuan itu telah berlutut, semua anggota
penyerbu yang terdiri dari para anggota bermacam perkumpulan segera menjatuhkan
diri berlutut dan menghadap pemuda itu. Hanya Han Siong dan Hay Hay saja yang
berdiri, sedangkan semua orang berlutut. Melihat ini, Hay Hay tersenyum dan
berseru dengan nyaring.
"Hidup
pendekar gagah Pek Taihiap!"
Mendengar
ini, semua orang yang berlutut juga berseru, "Hidup Pek Taihiap! Hidup Pek
Taihiap!"
"Ahh,
engkau gila!" Han Siong memaki Hay Hay yang masih cengar-cengir
menggodanya, kemudian Han Siong menghampiri Ouw Pangcu dan mengangkat bangun
ketua itu dan juga puterinya. Dia ingin membalas kepada Hay Hay, maka katanya
dengan lantang,
"Ouw
Pangcu dan saudara sekalian harap bangun dan jangan berterima kasih kepadaku
saja. Tanpa bantuan pendekar sakti Tang Hay ini, mana aku mampu mengalahkan
para pimpinan Kim-lian-pang? Dia inilah yang sudah membantuku dan dia yang
berjasa besar dalam pertempuran ini. Hidup Pendekar Mata Keranjang Tang
Hay!"
Tentu saja
semua orang merasa heran sekaligus geli mendengar julukan itu. Pendekar Mata
Keranjang? Karena itu mereka pun tidak berani menirukan sorakan Han Siong tadi,
khawatir kalau-kalau menyinggung hati pemuda berpakaian biru dan bercaping
lebar itu. Ouw Pangcu cepat maju memberi hormat kepada Tang Hay.
"Terima
kasih atas bantuan Taihiap!" katanya yang diturut pula oleh Ci Goat,
puterinya. Hay Hay memandang kepada Ci Goat dan tersenyum.
"Aih,
tidak kusangka bahwa di antara banyak orang gagah ini terdapat pula seorang
nona yang gagah perkasa. Han Siong, perkenalkan aku kepada mereka!"
Han Siong
tersenyum mengejek. Pemuda yang satu ini memang sangat payah, pikirnya. Tak
dapat dia menyangkal bahwa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan
dia sendiri merasa sukar untuk dapat menandinginya, juga mempunyai watak gagah
dan bertanggung jawab, seperti yang pernah dibuktikannya pada saat mengakui
Ang-hong-cu sebagai ayahnya.
Akan tetapi
satu hal yang membuat dia merasa kecewa. Pemuda ini memiliki sifat mata
keranjang yang sudah tidak ketulungan lagi! Bagaikan seekor kumbang yang tidak
pernah mau melewatkan setangkai kembang yang indah bermadu. Begitu melihat
wanita, segera saja merasa tertarik!
Memang harus
diakuinya bahwa pada kenyataannya pemuda ini tak pernah mengganggu wanita dalam
arti kata yang sedalam-dalamnya, melainkan hanya karena iseng dan hanya tertarik
untuk berdekatan saja. Namun tentu saja semua orang akan mudah menjatuhkan
kesalahan kepadanya kalau terjadi sesuatu dengan gadis yang didekatinya.
"Ouw
Pangcu dan adik Ci Goat, dia ini adalah seorang pendekar sakti bernama Tang Hay
dan berjuluk..."
"Aihh,
tidak ada julukan bagiku, Han Siong, tidak seperti engkau yang sejak kecil
dijuluki Sin-tong!" Hay Hay mencela.
Tentu saja
ucapannya ini hanya untuk bergurau, tetapi baik dia mau pun Han Siong tidak
menyadari bahwa senda gurau ini ternyata berakibat panjang. Seorang di antara
mereka yang tadi ikut menyerbu, terbelalak mendengar sebutan Sin-tong untuk ke
dua kalinya ini, akan tetapi dia hanya diam saja.
"Hay
Hay, ini adalah Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi dan ini adalah nona Ouw Ci Goat,
puterinya," Han Siong memperkenalkan. .
"Ouw
Pangcu, sungguh beruntung aku dapat berkenalan dengan ketua
Pek-tiauw-pang," kata Hay Hay dengan sikap sopan.
"Aihh,
Tang-taihiap, sekarang Pek-tiauw-pang hanya tinggal namanya saja. Tadinya, yang
tersisa dari pembunuhan yang dilakukan Kim-lian-pang hanya tinggal aku, anakku
ini dan tiga orang murid. Akan tetapi kini tiga orang murid itu pun gugur dalam
pertempuran tadi. Tinggal aku dan puteriku ini, maka mulai saat ini aku adalah
Ouw Lok Khi biasa, bukan lagi seorang pangcu (ketua). Aku sudah terlalu tua
untuk membangun kembali Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi habis."
"Ahh,
kurasa tidak perlu paman Ouw berputus asa. Bukankah di sini masih ada nona Ouw
yang gagah perkasa dan cantik jelita, lagi pula masih muda belia? Dengan
bantuannya, apa sulitnya bagi paman untuk membangun lagi perkumpulan?" Hay
Hay berkata dengan ramah. Dia melihat sepasang mata yang jeli itu terbelalak
mendengar pujian bagi dirinya, akan tetapi terbelalak heran atas keberanian
orang, bukan karena marah!
"Sudahlah,
aku telah menerima kalah. Mari, ji-wi taihiap, marilah ji-wi (kalian) singgah
dulu di rumah muridku Thio Ki yang telah diserahkan kepada kami. Karena dia pun
telah gugur, maka rumahnya kini menjadi tempat tinggal kami untuk
sementara."
Han Siong
hendak menolak, dan hal ini nampak oleh Hay Hay yang bermata tajam, maka Hay
Hay cepat mendahuluinya. "Baiklah, Paman, dan Nona. Terima kasih atas
undangan itu. Mari, Han Siong, kita singgah dulu di rumah paman Ouw agar dapat
mempererat tali persahabatan."
Dengan
ucapan seperti itu, tentu saja Han Siong merasa dilumpuhkan sehingga dia tidak
berani menolak. Bagaimana dia berani menolak bila persinggahan itu dimaksudkan
untuk mempererat persahabatan? Dia lalu mengerling tajam kepada Hay Hay yang
menyeringai lebar karena maklum bahwa kawannya itu mendongkol.
Hay Hay
merasa heran, mengapa dalam pertemuan dengan Han Siong sekali ini, setelah
lenyap semua rasa curiga dan kemarahan di antara mereka, dia kini merasa sangat
akrab dengan Han Siong, seolah-olah mereka adalah dua orang sahabat lama.
Sesudah
menyerahkan pengurusan para jenazah muridnya dan teman-teman lain kepada para
sahabatnya yang ikut dalam penyerbuan itu, Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat lantas
mengajak dua orang pemuda perkasa itu ke rumah Thio Ki yang juga gugur. Tiga
jenazah murid Pek-tiauw-pang, termasuk jenazah Thio Ki, sesudah dirawat
kemudian dimasukkan ke dalam peti dan dibawa ke rumah itu, dijajarkan di
serambi depan.
Malam itu
banyak kenalan yang datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada tiga
jenazah dalam peti mati dan pada keesokan harinya, tiga peti jenazah itu pun
dikuburkan dengan upacara sederhana. Selama itu pula Hay Hay tanpa rikuh lagi
selalu mendekati Ci Goat dan mengajak gadis itu bercakap-cakap dengan sikap
ramah dan akrab sekali! Berbeda dengan Han Siong yang selalu menjauhkan diri
dari gadis itu karena dia merasa tidak enak kalau berdekatan dengan gadis yang
dia ketahui sudah jatuh cinta kepadanya itu.
Hay Hay
melihat gadis itu nampak murung ketika orang-orang mulai menimbuni lubang
kuburan tiga orang murid Pek-tiauw-pang itu dengan tanah. Pada waktu gadis itu
duduk di bawah pohon untuk berlindungi dari sengatan matahari, Hay Hay lalu
mendekatinya dan masih sempat berkelakar untuk memancing percakapan.
Hay Hay juga
duduk di atas sebuah batu, dalam jarak tiga meter dari gadis itu dan tanpa
rikuh-rikuh dia mengamati wajah gadis yang bulat dan berkulit putih mulus itu.
Wajah itu kelihatan muram dan sinar matanya mengandung kedukaan.
Pandang mata
orang biasa saja sudah mengandung getaran yang akan terasa oleh orang yang
dipandang, apa lagi pandang mata Hay Hay yang matanya mengandung kekuatan sihir
yang hebat walau pun pada waktu itu dia tidak mempergunakan kekuatannya. Gadis
itu mengangkat muka dan pandang matanya bertemu dengan mata Hay Hay yang tidak
menyembunyikan sinar kekagumannya.
Melihat
betapa mata pemuda itu terus memandang kepadanya dengan kagum, Ci Goat
mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia lalu teringat akan ucapan Han Siong yang
menjuluki pemuda ini dengan julukan aneh, yaitu Pendekar Mata Keranjang! Jika
melihat pandang mata itu, tidak aneh kalau dia dijuluki mata keranjang!
Dia tidak
berani marah, mengingat bahwa pemuda ini juga seorang penolong besar yang
membuat dia dan ayahnya berhasil membalas dendam dan menghancurkan perkumpulan
Kim-lian-pang bersama antek-anteknya. Maka dia hanya menundukkan kembali
mukanya dengan cepat dan muka yang putih itu berubah kemerahan.
"Heiii,
nona Ouw, mengapa bermuram durja? Alangkah sayangnya kalau bulan purnama
tertutup awan dan matahari terhalang mendung, dunia akan menjadi gelap dan kehilangan
serinya! Nona, kenapa berduka pada hal pagi seindah dan secerah ini?"
Sepasang
pipi yang putih halus itu menjadi semakin merah. Dia diumpamakan bulan dan
matahari! Sungguh kata-kata rayuan maut yang akan dapat membuat wanita tergetar
dan berlonjak kegirangan penuh bangga. Akan tetapi Ouw Ci Goat tersipu malu dan
melirik ke arah Han Siong yang berdiri dekat mereka yang sedang melakukan
pemakaman. Hatinya khawatir sekali.
Dia telah
jatuh cinta kepada Han Siong dan kini Pendekar Mata Keranjang mengeluarkan
kata-kata yang merayunya. Andai kata bukan pendekar ini yang mengeluarkan
kata-kata rayuan itu, tentu akan dijauhinya, tidak dipedulikannya.
Akan tetapi
Hay Hay adalah seorang pendekar yang juga berjasa seperti Han Siong, dan harus
diakuinya bahwa mendengar kata-kata manis laksana madu dari seorang pemuda yang
demikian gagah perkasa dan gantengnya, sungguh merupakan belaian lembut pada
hatinya. Untuk mencegah pemuda itu melanjutkan rayuannya, dia pun menjawab
dengan sikap, pandang mata, dan nada suara yang serius, bahkan hatinya yang
sedang diliputi kedukaan itu membuat kedua matanya basah air mata.
"Taihiap,
bagaimana mungkin aku tidak berduka? Aku sudah kehilangan seluruh saudara
anggota Pek-tiauw-pang yang juga menjadi murid-murid ayah, menjadi
saudara-saudara seperguruanku. Mereka semua tewas, bahkan hari ini tiga orang
yang terakhir pun tewas. Mala petaka besar telah menimpa keluarga kami. Tentu
saja aku berduka sekali, Taihiap."
Hay Hay
tersenyum, "Aihh, nona Ouw, sungguh sayang kalau menghamburkan air mata
dan meremas hati sendiri. Berduka akan membuat wajahmu yang seperti bulan
purnama itu menjadi kerut merut, juga dapat membuat engkau yang muda belia ini
menjadi cepat tua. Nona yang baik, aku ingin bertanya, siapa yang kau tangisi, siapa
yang kau sedihkan itu?"
Gadis itu
memandang heran. Matanya yang agak kemerahan karena tangis itu sekarang agak
terbelalak sehingga Hay Hay memandang kagum. Indahnya mata itu!
"Taihiap,
aneh sekali pertanyaanmu itu. Tentu saja aku menangisi tiga orang suheng yang
tewas itu, semua saudara seperguruanku yang telah tewas oleh para penjahat
Kim-lian-pang!"
"Mengapa
engkau menangisi mereka yang sudah mati? Apakah kalau ditangisi mereka akan
merasa senang di sana, ataukah mereka akan hidup kembali kalau disedihkan?"
Gadis itu
makin terkejut dan heran. "Tentu saja tidak! Pertanyaanmu sungguh aneh
sekali, taihiap. Orang di seluruh dunia ini tentu akan bersedih dan menangis
bila mana kematian orang-orang yang dekat dengan mereka!"
"Ahh,
jadi kalau begitu engkau bersedih dan menangis karena umum melakukannya? Jadi
tangismu itu hanya ikut-ikutan saja? Mari kita bicara tentang kesedihanmu,
perasaanmu sendiri, bukan kesedihan orang-orang lain, Nona yang baik. Nah, mari
mulai kita selidiki. Apakah engkau bersedih untuk mereka? Rasanya tidak
mungkin. Mereka sudah mati dan engkau tidak tahu keadaan mereka. Yang jelas
mereka tidak menderita lagi, jadi tidak ada alasan untuk mengasihani mereka.
Bahkan mereka itu mati sebagai orang-orang gagah, sebagai pendekar yang
menentang kejahatan, maka sepantasnya engkau malah bangga dengan kematian
mereka, bukan berduka. Tidakkah benar demikian, Nona?"
"Aku...
aku tidak tahu... aku menjadi bingung. Kurasa... pendapatmu itu benar juga,
akan tetapi tak mungkin aku berbangga dan tidak berduka. Orang-orang akan
menganggap aku tidak wajar..."
"Justru
sebaliknya! Apa bila tangismu ini kau katakan untuk menangisi mereka yang mati,
maka tangismu itu sama sekali tidak wajar bahkan berpura-pura! Mari kita
membuka mata melihat kenyataan, Nona. Coba jenguk perasaan hatimu sendiri.
Lihat baik-baik apa yang kau rasakan. Benarkah engkau menangis dan bersedih
karena kasihan kepada mereka yang mati? Ataukah engkau bersedih dan menangis
untuk dirimu sendiri, karena engkau merasa kehilangan dan merasa kasihan kepada
dirimu sendiri? Beranikanlah hatimu dan amatilah baik-baik!"
Gadis itu
tertegun. Selama hidupnya baru sekali ini dia mendengar pendapat yang seperti
itu. Bukan, bukan pendapat, melainkan pembukaan kenyataan yang tak dapat dia
bantah lagi. Memang benar, dia menangis dan berduka karena merasa kasihan
terhadap dirinya sendiri, kepada nasib dirinya, sama sekali bukan menangisi
mereka yang mati. Ia berduka karena dia kehilangan saudara dan sahabat baik,
karena dia merasa ditinggalkan. Hal ini nampak jelas sekarang.
"Aku...
aku menjadi bingung... kata-katamu memang benar, Taihiap. Akan tetapi, apakah
aku tidak boleh menangis dan harus bergembira menghadapi kematian para
suheng-ku?"
Hay Hay
tersenyum. "Tidak ada orang yang menyuruhmu menangis atau tertawa, Nona,
juga tidak ada yang melarangmu untuk menangis atau tertawa. Tangis dan tawa
adalah pencurahan dari keadaan hati dan tidak ada orang lain yang mampu
mengatur keadaan hatimu. Yang penting, engkau harus yakin benar apa yang kau
tangiskan atau tawakan, agar tangis dan tawamu tidak menjadi palsu."
Dara itu
termenung, wajahnya kosong dan polos. Tiba-tiba saja Hay Hay tertawa bergelak
sehingga gadis itu menjadi semakin heran dan menatap wajah yang tampan itu.
"Ha-ha-ha,
coba rasakan baik-baik, Nona. Semenjak kita bercakap-cakap, engkau sama sekali
tidak berduka lagi, tidak menangis lagi! Ini menjadi bukti jelas bahwa duka
hanyalah permainan pikiran sendiri belaka! Pikiran mengenang hal-hal yang tidak
menguntungkan diri sendiri. Tadi pikiranmu mengenang tentang kehilangan
saudara-saudaramu sehingga timbul iba diri dan pikiranmu seperti meremas-remas
hatimu sendiri, maka timbullah duka. Begitu pikiranmu terisi perhatian untuk
percakapan kita tadi, kenangan itu pun lenyap dan duka pun hilang tanpa bekas!
Biang keladi susah senang hanyalah kenangan pikiran yang didasari rugi untung
bagi diri pribadi, keduanya saling berlomba menguasai diri kita. Akan tetapi,
kalau harus memilih, mengapa tidak memilih tersenyum dari pada menangis. Kalau
engkau menangis, wajahmu yang cantik itu penuh kerut merut, matamu kemerahan,
juga hidungmu merah dan engkau akan menyeret orang lain untuk menangis pula.
Sebaliknya, kalau engkau tersenyum... hemm, cobalah tersenyum, Nona, dunia akan
turut tersenyum bersamamu. Dan wajahmu yang cantik itu akan menjadi semakin
manis apa bila engkau tersenyum!"
Ci Goat
tidak dapat menahan dirinya lagi untuk tidak tersenyum, dan Hay Hay terpesona.
Alangkah manisnya gadis itu kalau tersenyum! Akan tetapi senyum itu segera
lenyap dan Ci Goat berkata lirih, agak cemberut.
"Taihiap,
harap jangan mempermainkan aku. Kalau ayahku melihat betapa aku senyum-senyum
pada saat mereka menguburkan jenazah tiga orang suheng-ku, tentu ayah akan
marah karena menganggap aku tidak sopan, tidak mengenal aturan, tidak sayang
kepada suheng-suheng-ku, malah mungkin juga aku akan dianggap gila! Apa yang
harus kujawab kalau ayah atau orang lain bertanya kenapa aku justru
tersenyum-senyum dalam keadaan berkabung seperti ini?"
"Katakan
saja bahwa engkau gembira bahwa tiga orang suheng-mu tewas sebagai orang-orang
gagah yang menentang kejahatan. Katakan bahwa engkau sangat gembira karena
sudah menemukan dirimu sendiri seperti apa adanya, tidak berpura-pura, berani
melihat kenyataan hidup!" Hay Hay tersenyum dan kini Ci Goat juga
tersenyum. Gadis ini merasa betapa dadanya lapang dan lega, tidak lagi
tertindih duka yang ternyata hanya dibuat oleh angan-angan pikirannya sendiri!
Dia merasa bebas lepas dan nyaman!
Pada saat
itu Han Siong mendekati mereka. "Wah, ada apa ini kalian amat gembira dan
senyum-senyum. Goat-moi, hati-hati jangan sampai terbuai oleh rayuan maut Si
Pendekar Mata Keranjang!"
"Ha-ha-ha.
Sin-tong! Mana mungkin dia bisa terbuai rayuan? Hatinya sudah melekat pada
seseorang, cintanya hanya ditujukan kepada seseorang!"
Tentu saja
Ci Goat tersipu malu. Ia ingin membantah, akan tetapi karena di situ hadir Han
Siong, dia pun tidak dapat mengeluarkan kata-kata selain, "Ihh,
Taihiap..."
"Hay
Hay, siapakah seseorang yang kau maksudkan itu?" tanyanya ingin tahu
karena dia menduga bahwa tentu Hay Hay ngawur saja, hanya untuk mengoda Ci
Goat.
"Hemmm,
jangan engkau pura-pura tidak tahu! Siapa lagi kalau bukan Sin-tong Pek Han
Siong?"
Han Siong
terbelalak, terkejut dan heran. Juga Ci Goat terkejut, akan tetapi dengan muka
berubah merah sekali dia lalu lari dari situ menuju ke tempat di mana ayahnya
dan orang-orang lain sedang menimbuni tiga makam dengan tanah.
"Hay
Hay, bagaimana engkau bisa tahu? Ataukah engkau ngawur saja?" tanya Han
Siong sambil mendekati Hay Hay, matanya memandang penuh selidik.
"Tahu
apa?" Hay Hay pura-pura tidak tahu untuk mengoda.
"Tahu
bahwa dia mencintaku!"
"Ha-ha,
yang matanya tidak buta tentu tahu! Cara dia memandang kepadamu saja sudah
jelas, belum lagi jika dia berbicara kepadamu, tentu lebih jelas lagi. Rahasia
hati seorang wanita yang tengah jatuh cinta amat mudah diketahui dari pandang
matanya. Ada kalanya matanya bersinar penuh kagum, penuh harap, penuh
penantian. Ada kalanya pula sinar matanya itu redup seperti orang mengantuk,
penuh tantangan, penuh penyerahan, tampak malu-malu, mengandung kegenitan...
ahh, pendeknya jelas sekali. Kalau berbicara, tentu suaranya akan menggetarkan
lagu cinta, disertai senyum dikulum penuh arti, dan andai kata dia hendak
menyembunyikan perasaan cintanya pun pasti akan nampak jelas pada pandang
matanya dan pada suaranya. Ah, dia jatuh cinta tidak ketulungan lagi kepadamu
Sin-tong, maka seharusnya engkau bahagia sekali. Dia seorang gadis yang cantik
manis, gagah perkasa, mudah menerima kebijaksanaan dan hemm... wanita semacam
itu tentu penuh gairah dan panas!"
Hay Hay
tertawa, ada pun Han Siong mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi muram. Akan
tetapi diam-diam dia heran mendengar ucapan Hay Hay itu yang jelas membuktikan
bahwa Hay Hay memang seorang ahli wanita! Untuk menutupi kemuramannya, dia
lantas tersenyum.
"Hay
Hay, engkau betul-betul seorang mata keranjang yang ahli wanita. Bagaimana pula
engkau bisa tahu tentang penuh gairah dan panas itu?"
Hay Hay
tertawa. "Itu mudah saja, sudah ada tanda-tandanya. Lihat saja sinar matanya,
seperti ada apinya. Lihat juga tarikan mulutnya. Bibir itu penuh gairah dan
menantang. Dan bentuk tubuhnya! Hemm, dia seorang wanita pilihan, Han Siong.
Sebaiknya engkau cepat memetik bunga yang sedang mekar cerah dan harum semerbak
itu!"
Han Siong menghela
napas panjang. "Engkau benar, Hay Hay. Memang dia jatuh cinta kepadaku,
dan inilah yang membuat aku pusing. Aku tidak ingin menyakiti hatinya, akan
tetapi aku... aku tidak mungkin dapat membalas cintanya!"
Kini Hay Hay
tertegun, akan tetapi dia segera tersenyum. "Wahai sobat, agaknya engkau
sudah jatuh cinta kepada wanita lain?"
Kembali Han
Siong terkejut dan mengamati wajah Hay Hay dengan tajam, seolah hendak
menjenguk isi hatinya. Kenapa pemuda ini tahu segala?
"Hemm,
bagaimana lagi engkau bisa tahu akan hal itu?"
"Ha-ha-ha-ha,
engkau memang masih hijau dalam soal asmara, sobat! Kalau ada seorang pemuda
menolak cinta seorang gadis sehebat nona Ouw Ci Goat, tentu pemuda itu tidak
waras atau miring otaknya! Karena kulihat engkau ini bukan pemuda yang kurang
waras atau miring otaknya, maka satu-satunya sebab penolakanmu sudah pasti
bahwa engkau telah jatuh cinta kepada wanita lain!"
Han Siong
memandang kagum. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Otaknya demikian cerdas
dan walau pun sikapnya ugal-ugalan dan ceriwis, namun harus diakui bahwa apa
yang diucapkannya memang benar. Dia menarik napas panjang dan kembali dia
teringat kepada Bi Lian, gadis yang dicintanya.
"Engkau
memang benar, Hay Hay. Sesudah secara hebat dan tepat engkau mengetahui keadaan
hati kami, kini aku ingin minta pertolonganmu. Kau ceritakanlah kepada Ci Goat
bahwa aku tidak mungkin dapat menerima cintanya karena aku sudah mempunyai
pilihan hati gadis lain."
Hay Hay
tersenyum. "Wah, tugas berat itu! Kenapa engkau tidak mau berterus terang
saja kepadanya?"
"Ihh,
engkau ini bagaimana? Dia belum pernah mengaku cinta, lalu bagaimana aku akan
menceritakan bahwa aku tidak dapat menerima cintanya? Pula, aku tidak ingin
menyakiti hatinya, sementara engkau yang ahli asmara ini tentu akan dapat
mencari akal agar dia bisa menerima kenyataan ini dengan tabah dan dapat
mengerti penolakanku."
Hay Hay
menepuk mulut sendiri. "Dasar mulut usil! Sekarang tertimpa tugas yang
berat."
"Hemm,
katakan saja bahwa engkau tidak mampu melakukan itu, tidak perlu sungkan dan
mencari-cari alasan!" kata Han Siong cemberut.
"He-he-he,
siapa bilang tidak mampu? Pekerjaan begitu saja, menghadapi wanita, uhhh,
sepele bagiku!"
"Hah,
jadi engkau mau, bukan?" kata Han Siong sambil tersenyum.
Hay Hay
terbelalak. "Setan! Engkau memancing kesanggupanku dengan mengatakan aku
tidak mampu, ya? Engkau penuh akal bulus dan tipu muslihat, Han Siong!"
kata Hay Hay tertawa.
"Aku
hanya mencontoh engkau!"
"Baiklah,
aku menyerah. Aku yang akan menyampaikan kepadanya biar pun hatiku akan hancur
lebur jadi debu melihat seorang gadis menangis karena patah hati. Akan tetapi,
untuk itu engkau harus bersabar dan selama beberapa hari kita tinggal di rumah
keluarga Ouw. Berilah waktu sepekan untukku..."
"Sepekan?
Biar sebulan pun boleh. Engkau tinggal di rumah mereka dan aku melanjutkan
perjalananku."
"Enaknya!
Kalau begitu, aku pun tidak akan sudi! Engkau harus menemani aku di rumah itu
sampai aku selesai dengan tugasku. Bagaimana?"
Han Siong
kembali menghela napas panjang. "Baiklah, mari kita ke sana. Penguburan
itu agaknya telah selesai dan sekarang tinggal sembahyang sebagai penghormatan
terakhir." Mereka lalu bergandeng tangan sebagai dua orang sahabat yang
akrab sekali menuju ke makam baru yang rupanya sudah selesai ditimbuni tanah
itu.
Memang Hay
Hay dan Han Siong saling merasa suka dan akrab, merasa seolah-olah ada
pertalian hubungan di antara mereka. Betapa tidak? Sejak terlahir di dunia ini,
keduanya memang mempunyai hubungan yang dekat sekali, jalan hidup mereka saling
kait mengait secara aneh. Memang bukan sanak bukan kadang, akan tetapi sejak
lahir sampai menjadi besar, Hay Hay menempati hidup Han Siong sehingga
seolah-olah dia menjadi Han Siong ke dua!
Sejak bayi
dia dipakai menjadi pengganti Han Siong yang disembunyikan orang tuanya, lalu
dia mengalami banyak sekali hal hebat karena dia disangka Han Siong. Dan
sesudah dewasa, mereka berdua sama lihainya, mempunyai tingkat kepandaian yang
berimbang, bahkan keduanya menjadi murid orang-orang sakti dan selain menerima
gemblengan ilmu silat, juga keduanya mahir ilmu sihir!
Ketika semua
orang baru selesai bersembahyang untuk memberi penghormatan terakhir di depan
tiga buah makam itu, mendadak terdengar suara kelenengan kecil yang nyaring.
Semua orang segera menengok ke arah suara itu dan melihat tiga orang pendeta
Lama yang berjubah merah dengan langkah lebar menuju ke tempat itu.
Melihat
mereka itu, Han Siong dan Hay Hay saling pandang, lantas Hay Hay tersenyum.
Keduanya sudah mengenal baik para pendeta Lama yang sejak mereka masih kecil
terus berusaha untuk menemukan dan menculik Sin-tong, yaitu Pek Han Siong. Tak
salah lagi, pikir mereka, kemunculan ketiga orang pendeta Lama itu tentu ada
hubungannya dengan urusan lama itu, maka keduanya siap siaga dan waspada.
Mereka segera memperhatikan tiga orang pendeta Lama itu.
Seperti pada
umumnya, tiga orang pendeta Lama itu pun bertubuh jangkung. Orang yang pertama
tinggi besar bagaikan raksasa, dengan kaki tangan yang kokoh kuat. Sepasang
matanya bundar dan amat tajam, mukanya membayangkan kekuatan dan keberingasan.
Orang ini
memikul sebatang tongkat panjang yang dipasangi kelenengan perak kecil yang
mengeluarkan bunyi nyaring bila dia bergerak, dan di ujung lain dari tongkatnya
tergantung sebuah buntalan yang cukup besar. Raksasa berkulit hitam ini agaknya
menjadi pimpinan walau pun usianya sebaya dengan dua orang temannya, yaitu kurang
lebih enam puluh tahun.
Pendeta Lama
yang ke dua berkulit putih dan tubuhnya tinggi kurus. Sepasang matanya nampak
seperti selalu terpejam saking sipitnya. Dia tidak kelihatan membawa senjata
apa pun, akan tetapi kalau orang melihat ke arah pinggangnya, maka orang itu
akan merasa ngeri melihat betapa sabuk di pinggang orang tinggi kurus ini
adalah seekor ular hidup!
Ada pun
pendeta yang ke tiga juga bertubuh jangkung, tetapi agak bongkok sehingga dia
seperti seekor onta. Kulitnya kuning dan wajahnya kekanak-kanakan, kecil
mengkerut. Di punggungnya tergantung sepasang cakar harimau yang sudah diberi
gagang, sepanjang pedang.
Ouw Pangcu
atau sekarang lebih tepat disebut namanya saja, yaitu Ouw Lok Khi karena dia
tidak menjadi ketua lagi mengingat betapa semua anak buahnya sudah tewas,
tinggal dia dan puterinya seorang, segera maju menyambut ketiga orang pendeta
itu. Dia sendiri merasa amat heran ketika melihat munculnya tiga orang pendeta,
namun karena dia yang menyelenggarakan pemakaman untuk ketiga orang muridnya,
maka dia merasa sebagai tuan rumah dan menyambut tiga orang hwesio itu dengan
sikap ramah ramah dan sopan.
"Selamat
datang, sam-wi lo-suhu (tiga bapak guru)! Kami sedang melakukan pemakaman dan
sembahyangan bagi tiga orang murid kami yang tewas dibunuh gerombolan penjahat.
Tidak tahu apakah keperluan sam-wi (kalian bertiga) datang berkunjung ke tempat
ini?"
"Omitohud...,
semoga yang benar selalu mendapatkan perlindungan dan berkah! Pinceng (saya)
bertiga sengaja datang untuk memberi hadiah penghibur bagi kalian yang berduka,
juga untuk menyembahyangkan supaya arwah ketiga orang ini mendapatkan tempat
yang damai abadi. Nah, sekarang terimalah hadiah penghibur yang kami bawa
ini!"
Berbarengan
dengan habisnya ucapan itu, pendeta Lama yang bertubuh raksasa bermata lebar
itu segera menggerakkan tongkatnya dan buntalan itu pun melayang turun ke depan
kaki Ouw Lok Khi. Begitu jatuh ke tanah buntalan itu lalu terlepas dan terbuka,
dan semua orang memandang ngeri melihat bahwa isi buntalan adalah tiga buah
kepala orang yang masih segar, leher yang buntung itu masih berdarah, agaknya
baru saja tiga buah kepala itu dipenggal dari tubuhnya!
"Ohhh...!"
Ouw Lok Khi terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan muka pucat. Hay Hay dan
Han Siong yang sudah siap siaga telah berloncatan ke depan. Sekali lihat saja
mereka berdua mengenali tiga buah kepala itu.
"Ini
adalah kepala para tosu Pek-lian-kauw ahli sihir itu!" seru Hay Hay.
Pendeta Lama
yang tinggi besar itu tertawa, ada pun dua orang temannya berdiri seperti
patung dan hanya menonton. "Ha-ha-ha, benar sekali, orang muda. Bukankah
mereka ini yang menyusahkan kalian? Ehhh, orang muda yang baik, apakah engkau
yang bernama Pek Han Siong?"
Sebelum Hay
Hay menjawab, Han Siong yang sudah mempunyai dugaan buruk terhadap semua
pendeta Lama, segera menjawab, "Akulah yang bernama Pek Han Siong! Tidak
tahu sam-wi lo-suhu mempunyai keperluan apakah dengan aku?"
Tiga orang
pendeta Lama itu menatap kepada Han Siong dengan pandang mata penuh selidik.
Kemudian, melihat sinar mata mencorong pemuda itu yang agaknya seperti penuh
tantangan, pendeta Lama yang tinggi besar itu lalu berkata ramah. "Bagus,
setelah sekian lamanya kami mencari, kebetulan bertemu di sini. Saudara
sekalian, dan juga engkau Pek Han Siong, ketahuilah bahwa kedatangan kami ini
mempunyai iktikad baik. Buktinya, kami sudah membunuh tiga orang tosu yang
telah mengacau di sini dan menimbulkan banyak korban. Terus terang saja, kami
senang bertemu dengan Pek Han Siong dan kami ingin membicarakan suatu hal yang
sangat penting. Akan tetapi sebelum itu, biarlah kami akan membuat sembahyangan
dulu agar roh ketiga orang yang mati ini akan mendapat tempat yang tenang
abadi."
Sesudah
berkata demikian, pendeta Lama yang agak bongkok kemudian mengeluarkan alat
sembahyang dari saku jubahnya yang lebar, yakni dupa, tempat dupa gantung dan
sebagainya. Lalu, disaksikan oleh semua orang, tiga orang pendeta Lama itu
melakukan sembahyang dengan upacara yang aneh bagi mereka yang menyaksikan.
Upacara
sembahyang untuk kematian yang dilakukan oleh para pendeta Lama ini sangat
berbeda dengan apa yang biasa dilakukan oleh para hwesio. Mereka berjalan
mengelilingi tiga buah makam itu, mengucapkan doa dan mantera dengan nada dan
lagu yang asing. Namun bagaimana pun juga Ouw Lok Khi merasa bersyukur dan
berterima kasih kepada tiga orang pendeta itu.
Setelah tiga
orang pendeta Lama itu menyelesaikan upacara sembahyang, mereka lantas
menghampiri Pek Han Siong dan Hay Hay yang sejak tadi menonton upacara itu
dengan penuh perhatian.
"Hati-hatilah,
Han Siong. Aku merasa curiga pada mereka. Kurasa mereka datang karena engkau
dan ada hubungannya dengan dirimu sebagai Sin-tong," Hay Hay berbisik
kepada Han Siong.
Han Siong
setuju dengan pendapat Hay Hay itu dan sejak tadi dia memang sudah merasa
curiga dan bersiap siaga. Kini pendeta yang bertubuh raksasa itu berkata sambil
memberi hormat kepadanya.
"Saudara
muda Pek Han Siong, kami bertiga mohon supaya engkau suka menerima kami yang
ingin bicara dengan engkau tanpa kehadiran orang lain, untuk urusan yang
teramat penting.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment