Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 14
Hay Hay dan
Han Siong saling pandang, kemudian Han Siong menjawab, "Sama sekali aku
tidak keberatan untuk bicara dengan sam-wi lo-suhu, akan tetapi lebih dulu aku
ingin tahu siapa sesungguhnya sam-wi ini."
Han Siong
yang cerdik agaknya cukup berhati-hati sehingga dia ingin agar Hay Hay lebih
dulu juga mendengar siapa adanya tiga orang pendeta Lama itu sebelum dia
mengadakan pembicaraan sendirian saja bersama mereka.
Mendengar
ini, tiga orang pendeta itu juga saling pandang, kemudian orang pertama yang
bertubuh tinggi besar menjawab, "Ketahuilah, saudara muda Pek, kami adalah
tiga orang pendeta dari Tibet. Nama pinceng (aku) adalah Gunga Lama."
“Pinceng
bernama Janghau Lama," kata pendeta tinggi kurus yang matanya sangat sipit
dan bersabuk ular hidup.
"Dan
pinceng bernama Pat Hoa Lama," kata pendeta bongkok yang pada punggungnya
terdapat senjata sepasang cakar harimau. Dari nama mereka saja dapat diketahui
bahwa yang dua orang pertama adalah orang-orang Tibet asli, sedangkan orang ke
tiga adalah peranakan Tibet dan Han.
Ouw Lok Khi
yang merupakan seorang berpengalaman, dengan diam-diam juga merasa curiga
melihat tiga orang pendeta Tibet begitu datang lantas ingin berbicara dengan
Pek Han Siong. Maka dia pun mendahului mereka, sesudah mereka memperkenalkan
diri, dia segera maju dan memberi hormat.
"Sam-wi
lo-suhu, kami sangat berterima kasih kepada sam-wi dan untuk memperlihatkan
rasa terima kasih kami, maka kami mengundang sam-wi untuk menjadi tamu kami dan
di sanalah sam-wi dapat berbicara dengan Pek-taihiap secara leluasa tanpa
terganggu. Mari, silakan, sam-wi lo-suhu, Pek-taihiap dan Tang-taihiap."
Diam-diam
dua orang pendekar muda itu bersyukur akan sikap hati-hati dari bekas ketua
Pek-tiauw-pang itu. Tiga orang pendeta itu tertegun, akan tetapi sesudah saling
pandang, mereka mengangguk dan tanpa banyak cakap mereka semua lalu bubaran
meninggalkan kuburan. Para pelayat lain kembali ke rumah masing-masing, ada pun
tiga orang pendeta itu turut bersama Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat. Han Siong dan
Hay Hay juga berjalan mengikuti mereka, dan mereka berdua berjalan paling
belakang.
"Hay
Hay, kurasa mereka tidak berniat buruk walau pun aku tetap akan berhati-hati
sekali dalam menghadapi mereka. Engkau jangan lupa tugasmu!"
"Tugasku...?
Ahh, nona Ouw maksudmu? Jangan khawatir. Kita membagi tugas, engkau bicara
dengan tiga orang pendeta Lama itu dan aku bicara dengan Ouw Ci Goat. He-he,
tugasku lebih menyenangkan, dapat berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis
cantik manis, sedangkan engkau... heh-heh!"
"Dasar
mata keranjang kau!" Han Siong mengomel.
Akan tetapi
Hay Hay hanya tertawa saja, walau pun di dalam hatinya dia harus mengakui bahwa
tugasnya jauh lebih berat. Dia harus menyampaikan kenyataan yang sangat tidak
menyenangkan bagi Ci Goat, dan dia harus mencari akal yang jitu supaya gadis
itu dapat menerima berita yang disampaikannya dengan tabah.
***************
"Ci
Goat, aku ingin bicara denganmu, bolehkah?"
Gadis itu
terkejut. Dia sedang termenung seorang diri di kebun belakang rumah barunya,
rumah yang merupakan peninggalan dari suheng-nya, yaitu mendiang Thio Ki. Dia
sedang termenung dan terkenang akan percakapannya dengan Hay Hay yang pandai
merayu, kemudian terkenang akan ucapan pemuda itu yang di depan Han Siong yang
secara terus terang mengatakan keyakinannya bahwa dia mencinta Han Siong!
Betapa malu
rasa hatinya ketika itu, akan tetapi diam-diam dia pun bersyukur bahwa Hay Hay
sudah mengetahui akan isi hatinya dan mewakilinya menyampaikan hal itu kepada
Han Siong! Kini dia tinggal menanti bagaimana reaksi dari Han Siong setelah
mendengar bahwa dia mencintanya. Diam-diam dia merasa sangat berterima kasih
kepada Hay Hay yang perayu akan tetapi tidak kurang ajar itu.
Ketika ada
suara memanggilnya, dia tersentak kaget dan menoleh. Kiranya Hay Hay yang
memanggilnya. Kedua pipinya menjadi kemerahan, apa lagi mendengar betapa pemuda
ini menyebut namanya begitu saja, padahal biasanya menyebutnya nona!
“Ahhh,
ternyata Tang-taihiap...” katanya sambil bangkit berdiri dari atas bangku yang
tadi didudukinya.
Hay Hay
tersenyum dan agaknya dia pandai membaca hati orang dengan hanya melihat
sikapnya. "Jangan kaget kalau aku menyebut namamu begitu saja, Ci Goat.
Sesudah kita menjadi kenalan dan sahabat baik, rasanya janggal kalau aku harus
menyebutmu nona, apa lagi engkau menyebut taihiap kepadaku, sebut saja toako
(kakak), bukankah engkau juga menyebut begitu kepada Han Siong?"
Kedua pipi
itu semakin merah sehingga nampak amat menggairahkan seperti buah tomat!
Manisnya melebihi madu!
"Baiklah...
Toako. Ehh, tentu saja boleh bicara dengan aku. Silakan duduk...”
Bangku itu
terlalu pendek. Kalau dia harus duduk di sana bersama Ci Goat, tentu mereka
harus duduk berdempetan. Tentu akan senang sekali duduk begitu dekat, akan
tetapi Hay Hay maklum bahwa tentu gadis itu yang akan merasa risih dan rikuh.
Maka dia pun duduk saja di atas batu depan bangku itu, dalam jarak dua tiga
meter.
"Engkau
duduklah, Ci Goat. Aku ingin mengobrol denganmu karena sahabatku Han Siong
lebih senang mengobrol dengan tiga orang pendeta Lama itu dari pada dengan aku
atau engkau!"
Ci Goat
mengerutkan alisnya dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata jelas
membayangkan kekhawatiran. "Tang-taihiap... eh, Toako, sebetulnya siapakah
tiga orang pendeta itu dan apakah maksud mereka hendak menemui dan bicara
dengan Pek-toako? Kemunculan mereka yang tiba-tiba sungguh mencurigakan!"
Sikap gadis
ini yang mengkhawatirkan keadaan Han Siong menambah jelas bagi Hay Hay bahwa
gadis ini memang sudah jatuh cinta kepada Anak Ajaib itu. Dia tidak pernah
dapat melupakan bahwa Pek Han Siong adalah Sin-tong (Anak ajaib) yang menurut
pendapat para pendeta Lama di Tibet, Anak Ajaib adalah seorang anak yang sudah
ditakdirkan dan dipilih menjadi seorang Dalai Lama!
"Jangan
khawatir, Ci Goat. Apa pun yang menjadi maksud mereka, ketiga orang pendeta
Lama itu tak akan mampu mencelakai Han Siong. Di samping dia sendiri mempunyai
ilmu kepandaian yang amat tinggi, masih ada aku di sini yang selalu siap untuk
membantunya andai kata dia terancam bahaya."
Jelas nampak
betapa wajah yang tadinya diliputi kekhawatiran itu sekarang berseri tanda
bahwa hatinya lega. "Ohh, terima kasih, Taihiap... ehh Toako…"
"Sudahlah,
Ci Goat, jangan kita membicarakan orang lain. Aku hendak mengajak engkau
mengobrol tentang diri kita sendiri, tidak membicarakan orang lain."
Kini Ci Goat
dapat tersenyum. Dia sudah mulai mengenal watak pendekar yang ganteng ini.
Watak yang perayu, mata keranjang akan tetapi tetap sopan dan tidak kurang ajar
biar pun agak ‘berani’! Pemuda semacam ini tidak cocok bila ditanggapi dengan
serius, maka sebaiknya dia bersikap ramah dan main-main pula.
"Tang-toako,
engkau ingin bicara tentang apakah?”
"Tentang
cinta!"
Sepasang
mata jeli itu terbelalak dan Hay Hay pun terpesona. Gadis ini memang sudah
cantik, dengan wajahnya yang putih mulus dan berbentuk bulat bagaikan bulan
purnama, juga senyumnya yang memikat. Akan tetapi begitu sepasang mata itu
terbelalak, muncul sepasang bintang yang amat indahnya!
"Apa...
apa maksudmu... ?” Gadis itu bertanya dengan suara lirih dan seketika mukanya
berubah merah.
Hay Hay
tertawa. "He-he-he, adik Ci Goat yang manis, kenapa engkau begitu tersipu
dan terkejut mendengar kata cinta? Apa sih salahnya orang muda berbicara
mengenai cinta? Engkau sudah cukup dewasa, dan aku pun bukan kanak-kanak. Tidak
ada salahnya kalau orang-orang muda seperti kita bicara tentang cinta."
“Tapi... tapi, apa maksudmu?”
Senyum Hay
Hay semakin melebar. Dia tahu kenapa gadis itu tersipu. Tentu disangkanya bahwa
dia akan menyatakan cinta kepada gadis itu! Ah, betapa mudahnya mengaku cinta
kepada gadis-gadis muda cantik, apa lagi yang seperti Ci Goat ini. Akan tetapi
pengakuan cintanya akan merupakan kebohongan besar kalau hal itu dia lakukan.
Tidak, dia
belum pernah jatuh cinta walau pun entah sudah berapa puluh kali dia tertarik
dan suka sekali kepada gadis cantik jelita. Bahkan setiap gadis selalu menarik
hatinya, menimbulkan rasa suka. Akan tetapi jatuh cinta? Rasanya belum pernah!
Perasaannya
terhadap wanita-wanita seperti Ji Sun Bi atau Siok Bi merupakan dorongan nafsu
birahi saja yang dibangkitkan oleh sikap kedua orang wanita itu. Dan memang ada
gadis-gadis yang sangat dikaguminya dan disukanya, seperti misalnya Siangkoan
Bi Lian dan Cia Kui Hong, akan tetapi dia pun tidak tahu apakah dia mencinta
seorang di antara mereka atau tidak.
Dia ingin
bebas, tidak terikat cinta dengan seorang wanita tertentu. Enak bebas, sehingga
dia akan bebas pula mengagumi kecantikan setiap orang wanita yang dijumpainya
tanpa merasa bahwa dia mengkhianati cintanya terhadap wanita tertentu itu!
"Jangan
khawatir, adik manis. Aku tidak bermaksud yang bukan-bukan, melainkan hanya
ingin bicara tentang cinta itu sendiri denganmu, mengingat bahwa engkau adalah
seorang wanita sehingga pandanganmu mengenai cinta tentu berbeda kalau
dibandingkan dengan pendapat seorang pria seperti aku."
"Aku
masih belum mengerti, Toako. Akan tetapi bicaralah, dan aku akan mencoba untuk
mengerti apa yang kau maksudkan," kata gadis itu tabah.
Dia merasa
yakin bahwa pendekar ini tidak akan bicara yang bukan-bukan. Pendekar ini
sendiri yang pernah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Pek Han Siong, maka
tak mungkin kalau kini dia akan begitu tega untuk menyatakan cinta kepadanya!
"Begini,
Ci Goat. Terus terang saja, sampai berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga
tahun sekarang ini, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku tidak tahu apa
cinta itu dan bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Tentu saja aku hanya dapat
mengira-ngira saja sehingga belum tentu benar. Sekarang aku ingin mendengar
dari mulut seorang wanita, bagaimana sesungguhnya rasanya orang jatuh
cinta?"
Ci Goat
tersenyum lega. Pemuda ini memang aneh luar biasa! Mengajak dia berbincang-bincang
tentang cinta, bukan untuk mengaku cinta. Dia sendiri pun baru sekali jatuh
cinta, yaitu sekarang ini jatuh cinta kepada Pek Han Siong. Maka dia lalu
mengenangkan segala perasaan yang dirasakannya selama jatuh cinta ini. Dia
ingin jujur kepada Hay Hay yang ketika mengajukan pertanyaan itu kelihatan
demikian sungguh-sungguh, tidak berkelakar lagi.
"Rasanya
jatuh cinta? Hemmm, aku sendiri pun tidak yakin apakah pendapatku ini benar,
Koko. Akan tetapi... agaknya orang yang sedang jatuh cinta akan selalu
terkenang pada orang yang dicintanya. Kalau siang jadi kenangan, kalau malam
jadi impian. Ingin selalu berdekatan, ingin selalu bersamanya, ingin melihat
dia bahagia, ingin memiliki dan dimiliki selamanya, ingin... ahh, hanya itulah
yang kuketahui."
Hay Hay
memandang dan ada rasa iba di dalam hatinya. Jelas gadis ini sudah jatuh cinta
kepada Han Siong, maka dapat mengatakan itu semua dan ketika mengatakan
perasaan cinta itu, matanya melamun kosong dan pada saat bicara jelas bahwa
perasaannya juga turut berbicara! Kasihan, gadis ini menjatuhkan benih cinta di
atas tanah yang sudah ada tanamannya sehingga benih itu akan sia-sia dan tidak
dapat tumbuh!
"Ahh,
bagus sekali! Hampir tidak ada bedanya dengan yang kubayangkan, Goat-moi (adik
Goat)! Aku setuju sekali dan agaknya memang begitulah perasaan hati orang yang
tengah jatuh cinta. Sekarang aku ingin sekali tahu bagaimana pendapat seorang
wanita terhadap keadaan seorang pria yang gagal dalam cintanya."
"Gagal
dalam cintanya? Apa yang kau maksudkan, Toako?"
"Begini,
adikku. Ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis, jatuh cinta
setengah mati! Namun kemudian dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang
dicintanya mati-matian itu ternyata sudah mencintai seorang pemuda lain!
Cintanya hanya bertepuk sebelah tangan! Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus
dilakukan oleh pemuda yang gagal dalam cintanya itu? Apakah dia harus bunuh
diri di hadapan gadis itu? Ataukah dia harus membunuh kekasih gadis yang
dicintanya itu?"
Gadis itu
mengerutkan sepasang alisnya dan sinar matanya berkilat seperti orang marah,
tanda bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat itu.
"Ihhh…!
Mengapa dia harus membunuh diri atau membunuh kekasih gadis itu? Itu adalah
perbuatan yang bodoh dan jahat!” jawabnya hampir berteriak.
Hay Hay
menyembunyikan senyum dari bibir dan matanya. Dia memandang dengan sikap
penasaran. "Lho! Kenapa bodoh dan jahat, Goat-moi? Bukankah pemuda itu
menjadi sakit hati karena cintanya ditolak dan gadis itu memilih pemuda
lain?"
"Hati
boleh sakit, akah tetapi pikiran harus tetap waras! Mana ada cinta yang
dipaksakan oleh sepihak jika pihak lawan tidak menyambutnya? Cinta harus timbul
dalam hati kedua pihak, baru jadi! Kalau gadis itu menolak cintanya karena
sudah mencintai pemuda lain, maka gadis itu tidak bersalah dan kekasihnya juga
tiak bersalah. Kenapa harus dibunuh? Dan pemuda yang putus cinta lantas
membunuh diri adalah seorang yang bodoh dan tolol! Di dunia ini masih banyak
sekali terdapat gadis-gadis yang mungkin lebih cantik dari pada yang
dicintanya, yang siap untuk menyambut cintanya itu. Eh, Toako... apakah...
apakah engkau pemuda itu? Maafkan aku...”
Hay Hay
tertawa dan dari suara ketawanya saja tahulah Ci Goat bahwa pemuda itu bukan
Hay Hay, maka hatinya terasa lega sekali. "Syukurlah kalau bukan engkau,
Tang-toako!" sambungnya.
"Kita
hanya mengobrol saja tentang cinta dan liku-likunya, tidak menyinggung
seseorang. Pendapatmu tadi memang tepat dan agaknya cocok sekali dengan pendapatku
sendiri."
"Tang-toako,
betapa pun juga... aku merasa kasihan sekali terhadap pemuda itu. Aku tahu
siapa yang kau maksudkan itu dan aku merasa amat kasihan. Sungguh luar biasa
sekali, bagaimana ada seorang gadis yang dapat menolak seorang pria seperti dia
untuk menjadi suaminya...! Ahhh, betapa dia mencinta gadis itu, namun gadis
bodoh itu justru menolak cintanya... apakah dia telah mencintai laki-laki
lain?"
Melihat
gadis itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, Hay Hay mengerutkan alisnya dan
memandang dengan penuh perhatian. "Heii, Goat-moi, apa yang kau bicarakan
itu? Siapa yang kau maksudkan dengan pemuda itu?"
"Aih,
engkau masih pura-pura tidak tahu, Toako? Sebagai seorang sahabat baiknya,
tentu engkau sudah tahu bahwa yang kumaksudkan ialah toako Pek Han Siong.
Tunangannya itu menolak untuk menjadi istrinya."
Tentu saja
Hay Hay tidak tahu akan hal ini, akan tetapi dengan cerdik dia mengangguk.
"Ahh, benar, tentu saja aku tahu mengenai hal itu, hanya tidak kusangka
bahwa ternyata dia sudah bercerita tentang hal itu kepadamu, karena itu aku
tadi tidak menyangka bahwa engkau maksudkan dia. Sekarang sebaiknya kita tidak
membicarakan orang lain dan kita melanjutkan obrolan kita tentang cinta."
Gadis itu
tersenyum. "Bicaralah, Toako. Agaknya engkau memang seorang yang sangat
memperhatikan tentang cinta."
"Tentu
saja, adik manis. Apa artinya hidup tanpa cinta? Bila kita pikir secara
mendalam, tanpa adanya cinta, engkau dan aku tidak akan terlahir di dunia
ini!" Hay Hay tertawa dan biar pun mukanya berubah merah mendengar ucapan
yang penuh arti itu, mau tidak mau Ci Goat juga tertawa.
"Persoalan
cinta apa lagi yang hendak kau kemukakan, Toako?" Dia mulai tertarik
dengan percakapan tentang cinta ini, hal yang tentu saja sangat menjadi
perhatiannya karena dia sendiri pun sedang dilanda cinta.
"Masih
persoalan yang tadi, akan tetapi kini peranannya dibalik. Sekarang seorang
wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria, tetapi ternyata bahwa pria itu
tidak dapat menerima cintanya, atau menolak cintanya karena pria itu telah
memiliki pilihan hati, telah mencinta seorang gadis lain. Nah, kalau demikian
keadaannya, lalu apa yang harus dilakukan gadis itu?"
Sejenak
gadis itu memandang wajah Hay Hay dan pemuda ini pun balas memandang. Dua
pasang mata saling menatap dan Hay Hay melihat betapa sinar mata itu meredup,
wajah itu memucat dan betapa bola mata yang bening itu menjadi basah. Biar pun
mulut gadis itu masih tersenyum, namun senyum itu membuat dia merasa jantungnya
bagaikan disayat, membuat dia ingin merangkul dan menghiburnya karena dia tahu
bahwa gadis itu sudah mengerti, bahwa gadis itu merasa betapa hatinya
ditusuk-tusuk. Suaranya gemetar dan mata itu menunduk, bibir itu menggigil
ketika akhirnya dia berkata,
"Tang-toako,
tolonglah... tolong engkau saja yang mengatakan, apa yang harus dilakukan gadis
itu dalam keadaan seperti itu? Bunuh diri? Atau mencukur gundul rambutnya
lantas menjadi nikouw (pendeta wanita)? Katakanlah, Toako, dan aku akan
mempertimbangkan kata-katamu...”
"Bunuh
diri? Menjadi nikouw? Hanya gadis tolol dan bodoh yang akan melakukan hal itu,
Goat-moi! Seperti kau katakan tadi. Cinta tidak mungkin hanya bertepuk sebelah
tangan. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan! Kalau memang pemuda itu tidak
dapat membalas cintanya karena telah mencinta gadis lain, berarti dia tidak
berjodoh dengan pemuda itu! Dan dia tidak perlu terlalu berduka atau putus asa.
Dunia bukan sebesar buah appel! Di dunia ini masih ada jutaan pemuda yang
mungkin lebih segala-galanya dari pada pemuda yang tidak dapat membalas
cintanya itu! Maka gadis itu harus dapat melupakan pemuda itu, hidup bebas dan
mentertawakan saja kegagalan cintanya, menganggapnya sebagai suatu pengalaman
hidup! Habis perkara!"
Akan tetapi
Hay Hay melihat betapa gadis itu menahan-nahan air matanya, betapa bibir itu
gemetar dan suara itu sukar sekali keluarnya seakan lehernya tercekik ketika Ci
Goat bertanya,
"Toako...
apakah dia masih mencinta gadis yang telah menolaknya itu?”
Sepasang
mata itu kini nampak seperti mata kelinci yang ketakutan, seperti mata yang
penuh harap akan pertolongan, dan air yang tadi menggenang di pelupuk mata,
kini mulai menetes turun, seperti dua butir mutiara perlahan menuruni kedua
pipi yang agak pucat itu.
Hay Hay
merasa terharu sekali, merasa lehernya seperti dicekik sehingga dia tak mampu
mengeluarkan suara. Akan tetapi, biar pun dia tidak tahu benar akan hubungan
Han Siong dengan gadis kekasihnya ini, dia langsung mengambil kesempatan untuk
berterus terang bahwa Han Siong tidak dapat menerima cinta Ci Goat. Maka dia
pun lantas mengangguk, anggukan tanpa kata yang dengan amat tajamnya membabat putus
tali harapan Ci Goat, dan dia pun menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Hay Hay
memandang dengan hati bagaikan diremas. Melihat betapa gadis itu mengguguk dan
air mata mengalir keluar melalui celah jari-jari kedua tangan yang menutupi
muka, di luar kesadarannya dia pun bangkit dan menghampiri Ci Goat, lalu duduk
di sampingnya di atas bangku, merangkul pundaknya dan berkata lembut,
"Sudahlah,
Ci Goat, kuatkan hatimu... tenangkan pikiranmu...”
Sentuhan
lembut dan kata-kata halus itu seperti membuka bendungan di hati Ci Goat. Dia
menjerit dan merangkul, lalu menangis tanpa terbendung lagi, sesenggukan di
atas dada Hay Hay!
Pemuda ini
memeluk, membenamkan wajahnya di kepala yang penuh rambut halus itu, tangannya
mengelus pundak dan kepala, penuh rasa sayang dan iba seperti menghibur seorang
adiknya sendiri.
Karena
hatinya diliputi keharuan yang mendalam, Hay Hay kehilangan kewaspadaannya dan
dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada tiga pasang mata yang mengamatinya dari
jauh. Tiga pasang mata yang mencorong tajam dan penuh kekuatan sihir! Mata tiga
orang pendeta Lama yang agaknya sudah selesai melakukan pembicaraan dengan Han
Siong dan kini mereka meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat tinggal Ouw
Lok Khi.
"Hemmm,
pasangan yang cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan dan gagah!" kata Pat
Hoa Lama.
"Omitohud!"
kata Janghau Lama. "Apakah engkau tergerak dan merasa iri melihat adegan
itu, Sute?"
"Aih,
ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)! Bagaimana engkau dapat berkata seperti
itu? Pinceng hanya mengatakan bahwa mereka itu pasangan yang cocok dan...”
"Ssttt,
kalian jangan ribut dan jangan bertengkar.” Gunga Lama mencela dua orang adik
seperguruannya. "Kita tadi melihat betapa lihainya pemuda itu. Hemm...
sungguh sebuah kesempatan yang baik sekali. Dua orang pemuda itu harus
dipisahkan dahulu, baru kita dapat membawa Sin-tong ke Tibet tanpa
halangan!"
"Bagaimana
caranya, toa-suheng (kakak seperguruan terbesar)?" tanya kedua orang adik
seperguruan itu.
"Ssttt,
serahkan pada pinceng. Mari kita cepat pergi dari sini!"
Sementara
itu, Ci Goat baru merasa lega setelah menumpahkan segala kedukaan hatinya
melalui tangis yang tidak terbendung lagi sampai baju pada bagian dada Hay Hay
basah kuyup, bahkan air mata itu membasahi pula kulit dadanya. Sekarang
tangisnya itu hanya tinggal isak saja.
Kesempatan
ini digunakan oleh Hay Hay untuk mengelus rambut kepala gadis itu. "Nah,
apakah sekarang air matamu telah habis, Goat-moi? Bagus, semua kesedihan kosong
ini harus dilarutkan dengan banjir air mata, biar habis tidak berbekas lagi.
Lebih baik engkau menangis sepuasmu seperti ini dari pada engkau membunuh diri
seperti gadis tolol, atau menjadi nikouw. Wah, kepalamu akan menjadi gundul,
rambutmu yang indah akan lenyap dan tentu engkau akan kelihatan lucu sekali,
lucu dan jelek!"
Kata-kata
itu seperti mengusir sisa-sisa isak di dada Ci Goat. Dia segera melepaskan diri
dan menarik tubuhnya ke belakang, memandang kepada pemuda itu dengan mata merah
dan agak membengkak karena tangis. Akan tetapi mulutnya membentuk senyum pahit.
"Terima,
kasih, Toako, terima kasih. Engkau benar-benar merupakan sahabat dan seperti
seorang kakak yang baik hati. Katakanlah, apakah dia... Pek-toako, tahu bahwa
engkau datang menceritakan semua ini kepadaku?"
Hay Hay
mengangguk. "Dialah yang minta tolong kepadaku supaya aku menyampaikan
kepadamu bahwa tidak mungkin baginya untuk menerima dan membalas cintamu."
"Ohhh...
, tapi... kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri kepadaku... ?"
"Dia
tidak berani, dia tidak tega melihat engkau kecewa."
Gadis itu
mengangguk perlahan, kemudian menarik napas panjang. "Pek-toako memang
seorang yang berwatak budiman, dan... engkau juga, Toako. Semoga kalian berdua
akan selalu mendapat berkah dari Tuhan dan kelak akan hidup berbahagia dengan
isteri pilihan hati masing-masing."
Hay Hay
merasa gembira bukan main. Diraihnya pundak gadis itu, ditariknya dan dia pun
mengecup dahi yang halus itu dengan bibirnya, satu kali saja akan tetapi dengan
sepenuh hatinya, lalu dilepaskannya kembali rangkulannya dan dia pun bangkit
berdiri, sepasang matanya agak basah.
"Engkau
juga, Goat-moi. Engkau adalah gadis yang hebat! Dan aku merasa yakin bahwa
seorang gadis seperti engkau ini kelak pasti akan memperoleh seorang suami yang
amat baik!"
Tadinya Ci
Goat terkejut sekali ketika merasa betapa dirinya diraih kemudian ditarik oleh
pemuda itu. Akan tetapi, ketika dia merasa betapa pemuda itu mencium dahinya
dengan lembut, seperti ciuman dari seorang kakak atau seorang sahabat baik,
ciuman yang sama sekali tidak mengandung nafsu birahi, hatinya menjadi terharu
dan dia pun tadi memeluk pinggang pemuda itu. Sekarang mereka bangkit, keduanya
melangkah mundur dan saling pandang.
"Haiiii,
adik manis, mana senyummu yang tadi? Hayo lekas perlihatkan! Tidak baik kalau
hari hujan melulu, telah tiba saatnya hujan berhenti dan matahari muncul
kembali berseri! Ingat, banyak duka menjadi lekas tua. Sayang sekali kalau
kulit mukamu yang putih mulus dan halus itu berubah berkerut keriput,
bukan?"
Mendengar
ucapan ini, Ci Goat tersenyum. Bibirnya saja tersenyum, akan tetapi matanya
masih mata yang penuh tangis walau pun air matanya sudah habis tertumpah.
"Aku
akan selalu tersenyum kalau ingat kepadamu, Toako. Setiap kali berduka, aku
akan mengenangmu agar aku dapat tersenyum," katanya dan dia pun
membalikkan tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Hay Hay yang berdiri mengikuti
lenggang yang lemah gemulai itu dengan bengong.
Dia langsung
teringat kepada Han Siong. Apa yang terjadi dengan kawannya itu sesudah
mengadakan percakapan dengan tiga orang pendeta Lama? Apakah mereka masih belum
selesai dengan percakapan mereka?
Memang dia
telah menaruh kecurigaan. Maka, setelah Ci Goat meninggalkannya, dia pun
cepat-cepat keluar dari kebun itu menuju ke rumah. Tentu Han Siong mengajak
tiga orang pendeta Lama itu untuk bercakap-cakap di ruangan belakang yang
lebar. Dia melihat Ouw Lok Khi di ambang pintu samping dan memandang kepadanya
sambil tersenyum ramah.
"Tang-taihiap,
kuharap saja engkau akan dapat menghibur hati Ci Goat. Kehancuran
Pek-tiauw-pang membuat hatinya terbenam dalam kedukaan," katanya.
Hay Hay
memandang kepadanya dengan hati bertanya-tanya. Mengapa orang ini berkata
demikian?
"Paman,
agaknya paman belum mengenal betul watak puterimu sendiri. Dia adalah gadis
yang berhati tabah, karena itu aku yakin dia mampu menghadapi serta mengatasi
segala kedukaannya. Oh ya, paman Ouw, bagaimana dengan tiga orang pendeta Lama
tadi? Di manakah mereka sekarang? Apakah masih bercakap-cakap dengan Han
Siong?"
"Mereka
sudah pergi. Percakapan dengan Pek-taihiap berlangsung di ruangan belakang dan tidak
terlalu lama. Mereka itu ramah dan baik sekali."
"Hemm,
di manakah Han Siong sekarang, Paman?"
"Di
dalam kamarnya."
Hay Hay lalu
memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar Han Siong yang berada di sebelah
kamarnya. Rumah peninggalan Thio Ki itu mempunyai lima buah kamar sehingga Han
Siong dan Hay Hay masing-masing mendapatkan sebuah kamar. Kamar besar paling
depan dipakai Ouw Lok Khi, sedangkan kamar Ci Goat berada di ruangan belakang
yang jendelanya menembus kebun.
"Tok-tok-tok!"
Hay Hay mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu.
"Siapa?"
terdengar suara Han Siong.
"Aku,
bolehkah aku masuk?"
Hening
sejenak, lalu terdengar jawaban yang malas-malasan. "Masuklah, Hay
Hay!"
Hay Hay
mendorong daun pintu yang tidak terkunci dari dalam. Dia memperhatikan kamar
itu. Tidak ada sesuatu yang luar biasa, akan tetapi Han Siong nampak rebah
terlentang di atas pembaringannya. Begitu dia masuk, Han Siong langsung bangkit
duduk, nampaknya malas-malasan.
"Heii,
Han Siong apa yang telah terjadi?"
"Tidak
terjadi apa-apa...,” jawabnya, nampak tak bersemangat.
"Ehhh?
Kenapa engkau nampak malas dan tidak bersemangat? Han Siong, ceritakan apa yang
telah terjadi antara engkau dan tiga orang pendeta Lama itu!"
Hay Hay
mendekatinya, lalu membuka daun jendela agar kamar itu nampak lebih terang.
Kemudian, dengan sinar matanya yang mencorong dia mengamati sahabatnya itu
penuh selidik, untuk meneliti apakah sahabatnya itu memperlihatkan tanda-tanda
yang tak wajar atau tidak. Siapa tahu, mungkin saja tiga orang pendeta Lama itu
telah mempergunakan ilmu hitam yang sangat kuat, yang mampu mematahkan
pertahanan Han Siong. Akan tetapi tidak. Matanya tidak melihat tanda-tanda
bahwa sahabatnya itu sedang berada di bawah pengaruh sihir. Juga tidak
menderita luka.
"Sudahlah,
Hay Hay. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang
membuat aku termenung sejak tadi, sesudah tiga orang pendeta Lama itu pergi.
Aku menjadi ragu dan bingung...”
Hay Hay
menarik sebuah kursi lantas duduk di atas kursi yang sudah didekatkan dengan
pembaringan. Mereka saling pandang, kemudian Hay Hay berkata dengan suara
sungguh-sungguh, tidak berkelakar seperti biasa.
"Dengar,
Han Siong. Aku sudah melaksanakan permintaanmu, aku sudah bicara dengan. Ci
Goat, dan telah kujelaskan semua kepadanya bahwa engkau tidak mungkin menerima
dan membalas cintanya karena engkau telah memiliki pilihan hati, seorang gadis
lain."
"Ahhh...
dan dia... dia bagaimana, Hay Hay?" tanya Han Siong, pandang matanya penuh
iba dan gelisah.
"Dia
seorang gadis tabah, Han Siong. Dia dapat menghadapi kenyataan yang bagaimana
pun juga. Jangan khawatir, dia tidak akan membunuh diri, dia tidak akan menjadi
nikouw, dan dia pun dapat melihat bahwa di dunia ini masih terdapat banyak
sekali pemuda hebat yang akan dapat menyambut cintanya. Dia bisa mengatasi
kedukaan dan patah hati, Han Siong."
"Syukurlah
kalau begitu! Terima kasih, Hay Hay, aku sungguh merasa kasihan padanya. Terima
kasih."
"Aku
tidak butuh terima kasih darimu, Han Siong, melainkan butuh keterangan mengenai
tiga orang pendeta Lama tadi. Nah, sesudah aku melaksanakan tugas yang berat
darimu, sekarang kau ceritakanlah apa saja yang kau bicarakan dengan tiga orang
pendeta Lama itu."
Han Siong
tersenyum, akan tetapi Hay Hay melihat betapa wajah itu masih diliputi dengan
keraguan dan kehampaan. "Tiga orang pendeta Lama itu mengaku sebagai
utusan Dalai Lama sendiri, Hay Hay. Menurut mereka, tanpa disengaja mereka
mendengar disebutnya namaku sebagai Sin-tong ketika engkau berjumpa dengan aku
dan menyebutnya secara main-main. Menurut mereka, sudah bertahun-tahun mereka
ditugaskan untuk mencariku tanpa hasil sehingga mereka tidak berani kembali ke
tibet. Setelah bertemu dengan aku, mereka mengatakan bahwa mereka tidak berani
memaksaku kalau aku tidak mau pergi ke Tibet bersama mereka untuk menghadap
Dalai Lama. Mereka mohon kepadaku agar aku suka menolong mereka sehingga mereka
akan berani berani pulang dan tidak takut dengan hukuman dari Dalai lama…”
Sampai di sini Han Siong berhenti.
“Pertolongan
apa yang mereka harapkan darimu, Han Siong?” tanya Hay Hay tak sabar lagi.
“Mereka
minta beberapa tetes darahku...”
“Ahhh…!
Untuk apa? Jangan kau berikan!”
“Mereka itu
memohon kepadaku. Tadinya aku juga tidak mau dan aku bertanya untuk apa mereka
minta darahku. Mereka lalu mengatakan bahwa mereka akan membohongi Dalai Lama
yang sejak dulu tidak pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan diriku. Mereka
akan mengatakan bahwa aku tidak mau diajak ke Tibet sehingga terjadi perkelahin
dan akhirnya aku tewas di tangan mereka. Mereka akan menunjukkan beberapa tetes
darahku kepada Dalai Lama sebagai bukti bahwa aku telah mati,."
"Bohong
itu! Ketika mereka tiba di sana, beberapa tetes darah itu tentu sudah kering,
lagi pula, bagaimana mungkin Dalai Lama akan dapat mengenal darahmu?"
"Tadi
aku juga berkata persis seperti yang kau katakan itu, Hay Hay. Aku tetapi
mereka menjawab bahwa walau pun darah itu sudah mengering, akan tetapi masih
dapat dikenal karena meski pun sudah kering, darahku berbeda dengan darah orang
biasa, darah biasa merah, dan darahku... putih!"
"Bohong!
Omong kosong! Aku tidak percaya! Kalau darahmu putih, tentu engkau akan nampak
pucat seperti mayat yang menyeramkan!"
"Aku
pun tadinya tidak percaya, akan tetapi mereka dapat membuktikannya, Hay
Hay!"
"Membuktikan
bahwa darahmu putih?"
Han Siong
mengangguk. "Mereka lalu mengeluarkan sebotol air yang mereka namakan air
suci dari Tibet, kata mereka air itu keluar dari sebuah sumber di sana, dan air
itulah yang akan menunjukkan keaslian darahku. Seorang dari mereka lalu menusuk
jari telunjuknya dengan jarum, mengeluarkan darahnya sendiri beberapa tetes.
Ketika darah itu ditetesi air dari botol, warnanya tetap merah, bahkan semakin
merah. Kemudian aku diminta untuk mengeluarkan beberapa tetes darah dari
telunjukku. Karena aku juga ingin tahu, kutusuk telunjukku, kukeluarkan
beberapa tetes darah seperti yang dilakukan oleh Pat Hoa Lama. Darahku yang
beberapa tetes itu lalu ditetesi air dari botol dan... seketika berubah putih
seperti kapur!"
"Ihhh!
Itu tentu sihir!"
"Bukan,
Hay Hay. Aku pun menyangka demikian maka aku tetap waspada. Kalau mereka
menyihirku, tentu aku akan merasakan hal itu. Tidak ada pengaruh sihir sama sekali!"
"Lalu
bagaimana?"
"Melihat
bukti itu, dan merasa kasihan bahwa sudah belasan tahun mereka tidak berani
pulang, apa lagi yang diminta hanyalah beberapa tetes darah saja, aku lalu
mengeluarkan beberapa tetes lagi dari ujung telunjukku. Mereka menampungnya dan
membawa darah itu."
"Tetapi
mengapa bukan yang sudah dicampur air dan menjadi putih itu saja yang mereka
bawa?"
Han Siong
tersenyum. "Aneh sekali, Hay Hay. Semua yang kau tanyakan itu sama benar
dengan yang kutanyakan kepada mereka! Aku pun bertanya demikian lalu mereka
berkata bahwa Dalai Lama harus diyakinkan dengan darah murni yang belum
dicampuri air suci. Dalai Lama sendiri yang akan menguji bahwa darah itu adalah
darahku agar dia percaya bahwa aku telah tewas dan dia tidak akan mencariku
lagi. Sebetulnya, yang terakhir inilah yang mendorongku memenuhi permintaan
mereka, Hay Hay. Aku ingin sekali bebas dan tidak dikejar-kejar lagi. Lagi
pula, apa artinya beberapa tetes darah itu?"
"Hemm...
hemm..., aku sendiri tidak tahu apakah beberapa tetes darahmu itu ada artinyal
Akan tetapi siapa tahu? Orang-orang seperti mereka itu sungguh sulit
dimengerti. Mereka orang aneh dan tidak lumrah manusia. Akan tetapi sudahlah.
Engkau sudah memberikan sedikit darahmu, tak dapat ditarik kembali. Akan
tetapi, kenapa sekarang engkau nampak termenung dan engkau tadi mengatakan
bahwa engkau ragu dan bingung! Nah, apa lagi maksudmu?"
"Tentang
darahku itu, Hay Hay. Bukan mengenai darahku yang mereka bawa pergi, akan
tetapi kenapa darahku putih! Benarkah itu? Hal itulah yang membuat aku termangu-mangu
dan bingung. Benarkah darahku aslinya putih dan berbeda dengan manusia lain?
Hal ini yang menggelisahkan hatiku...”
Hay Hay
tersenyum. Melihat bahwa memang tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan,
maka kembali sudah wataknya yang jenaka dan suka bergurau.
"Aih,
biar putih atau biru atau hitam sekali pun, apa bedanya, Han Siong? Kulihat
engkau juga seperti manusia biasa. Mungkin darah putihmu itulah yang membuat
engkau disebut Sin-tong! Aku sendiri belum percaya benar kepada mereka itu.
Kalau engkau yakin bahwa mereka tidak main-main dengan sihir, tentu yang mereka
sebut air suci itu adalah air yang mengandung obat tertentu. Akan tetapi andai
kata mereka berbohong, apa pula maksud mereka? Yang jelas, mereka sudah pergi
dan engkau tidak diganggu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi, namun
engkau jangan meninggalkan kewaspadaan. Dan kukira tidak ada lagi urusan kita
di rumah ini sesudah permintaanmu itu kulaksanakan dengan hasil baik."
Han Siong
tetap saja terlihat lesu. "Aku gembira sekali mendengar bahwa urusan itu
telah kau selesaikan dengan baik, Hay Hay. Akan tetapi sebaiknya kita jangan
pergi sekarang. Pertama, aku masih merasa malas dan ingin beristirahat dulu,
yang ke dua, kita sudah menerima undangan paman Ouw, maka tidak baik kalau
pergi sekarang. Setidaknya, malam ini kita bermalam di sini dan baru besok aku
akan melanjutkan perjalananku.”
“Baiklah,
aku juga belum sempat mengobrol denganmu. Ingin kuketahui pengalaman apa saja
yang kau hadapi semenjak kita berpisah, dan mengapa pula engkau berada di sini,
dari mana hendak kemana...”
“Ah, lain
kali sajalah, Hay Hay. Biarkan aku mengaso sekarang, aku ingin beristirahat.
Biar besok pagi kita berjumpa lagi...”
“Heiii!
Benar yakinkah engkau bahwa tidak terjadi sesuatu apa pun dengan dirimu?” Hay
Hay masih bertanya ketika dia sudah melangkah ke ambang pintu.
“Tidak,
sungguh tidak apa-apa, Hay Hay!” jawab Han Siong tegas.
Hay Hay
menggerakkan kedua pundaknya, lalu keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu
dari luar. Kalau saja Hay Hay tahu! Dan kalau saja Han Siong tahu. Dua orang
pemuda sakti itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah menyangka bahwa pada
saat itu terjadi sesuatu yang amat membahayakan diri Han Siong!
***************
Tiga orang
pendeta Lama itu kini berada di sebuah bangunan kuil tua yang sudah tidak
digunakan lagi, yang terletak di lereng sebuah bukit kecil di luar kota
Hok-lam. Hari sudah mulai sore dan mereka duduk bersila di atas lantai dari
ruangan dalam kuil tua itu yang sudah mereka bersihkan.
"Mari
segera kita mulai," kata Gunga Lama sambil mengeluarkan beberapa buah
barang dari dalam saku jubahnya yang lebar. Ada tasbeh dari tulang manusia,
sebuah tengkorak kecil sebesar kepalan tangan, ada seikat gumpalan rambut dan
tali hitam, ada pula batu kapur dan buntalan-buntalan kain kecil yang
bertuliskan huruf-huruf kuno yang aneh, yaitu jimat-jimat. Semua ini
dikeluarkannya satu demi satu dan ditaruhnya di atas lantai.
Terakhir dia
mengeluarkan sebuah buntalan yang terisi segumpal kapas yang putih. Akan tetapi
merah oleh darah. Darah Han Siong! Darah itu sudah dihisap dan ‘disimpan’ dalam
kapas itu.
"Toa-suheng
(kakak seperguruan tertua), kenapa kita harus menggunakan cara bersusah-payah
seperti ini? Ketika kita bertemu dengan dia, jika kita langsung saja
menyergapnya, apa sih sukarnya menangkap orang muda itu?" tanya Pat Hoa
Lama yang merasa tidak puas melihat cara yang dipergunakan Gunga Lama yang
dianggapnya merepotkan dan tidak praktis.
"Hemm,
apa bila hal itu kita lakukan, ada kemungkinan kita akan gagal, Sute. Sin-tong
itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi dan meski pun kita bertiga tentu
saja tidak perlu takut menghadapinya, tetapi kalau kita tidak dapat mengalahkannya
kemudian terdengar oleh pemuda yang berpakaian biru itu, maka keadaan bisa
berbahaya untuk kita. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang lihai sekali."
"Akan
tetapi, Suheng. Kita bisa mempergunakan kekuatan sihir untuk menundukkan Pek
Han Siong!" Janghau Lama juga membantah.
"Wah,
seperti kalian tidak tahu saja! Pek Han Siong adalah Sin-tong. Hal itu saja
sudah menyulitkan kita untuk mempergunakan sihir, karena di dalam dirinya sudah
ada kekuatan ajaib, ditambah lagi dia telah mempelajari ilmu sihir. Lihat saja
sinar matanya. Terlebih lagi pemuda yang bernama Tang Hay itu! Apakah kalian
tidak melihat betapa dia mengusir tiga orang Pek-lian-kauw itu dengan kekuatan
sihirnya yang ampuh? Menggunakan sihir secara berterang akan lebih berbahaya
lagi. Sekarang kita tempuh jalan yang aman dan hasilnya pasti memuaskan. Kita
harus membuat dua orang pemuda itu bermusuhan dan berpisah, barulah kita dapat
turun tangan. Nah, cukup sudah kata-kata ini, bahkan terlalu banyak. Sekarang
mari kita bekerja. Lihat, sinar matahari mulai suram, saat yang terbaik untuk
mempergunakan tenaga kegelapan.”
Tiga orang
pendeta itu duduk berjajar dan Gunga Lama mulai membuat coretan-coretan dengan
batu kapur di atas lantai. Ada beberapa macam guratan aneh berupa lingkaran
lebar yang diisi lingkaran-lingkaran kecil lainnya, dan pada beberapa sudut
diberi gambar tengkorak. Tengkorak kecil lantas diletakkan di tengah-tengah
lingkaran, kemudian kapas dengan darah Han Siong diletakkan di atas tengkorak
itu, pada ubun-ubunnya. Beberapa batang lilin dinyalakan, dan dibakar pula dupa
yang mengepul tebal.
Tiga orang
pendeta yang duduk bersila itu kemudian mempergunakan tasbeh, membaca mantera
dan doa dalam bahasa Tibet kuno yang aneh didengar. Gunga Lama yang duduk di
tengah dan memimpin upacara sembahyang itu, beberapa kali menggerak-gerakkan
kedua tangannya ke atas dupa berasap, dengan tasbeh digenggam. Kemudian
ditariknya sejumput kapas lantas dibakarnya kapas yang mengandung darah Han
Siong itu di atas dupa membara.
Terdengar
letupan kecil dan muncul nyala api yang hanya sebentar saja menjilat ke atas.
Sementara itu matahari sudah tenggelam ke barat dan ketiga orang pendeta itu
semakin dalam saja tenggelam di dalam kesibukan mereka.
*************
Han Siong
yang rebah di atas pembaringan nampak gelisah. Dia masih pulas, akan tetapi
tubuhnya gelisah dan selalu bergerak miring ke kanan kiri, telentang atau
menelungkup. Sampai sekarang dia masih berpakaian lengkap.
Semenjak
ditinggalkan Hay Hay, dia tidak pernah keluar lagi dari kamarnya. Bahkan dia
mengunci daun pintu dari dalam dan ketika ditawari makan malam, dia menjawab
bahwa dia masih kenyang dan tidak ingin makan. Dia pun minta agar jangan
diganggu karena malam itu dia hendak tidur dan mengaso.
Menjelang
tengah malam tiba-tiba Han Siong bangkit duduk dan dia memijat-mijat kedua
pelipisnya. Kepalanya terasa pening bukan main, akan tetapi sungguh aneh
sekali, wajah Ci Goat terbayang di hadapan matanya, wajah yang bulat dan cantik
manis, tersenyum-senyum kepadanya. Pandang mata gadis itu seperti
memanggil-manggil dan senyumnya amat menantang.
Han Siong
menjadi bingung. Apa lagi ketika dia merasa betapa darahnya seperti bergolak
oleh nafsu birahi yang menyesak dada. Sekilas dia sadar bahwa hal ini tidak
sewajarnya, maka dia pun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga batinnya
untuk melawan.
Akan tetapi
dia malah terbawa hanyut, luluh oleh gairah nafsu sehingga dia merasa tidak
berdaya, membiarkan pikirannya hanyut, mengingat dan mengenang segala
kecantikan dan keindahan tubuh Ci Goat, teringat akan sikap Ci Goat terhadap
dirinya yang sangat memperhatikan dan baik, bahkan teringat akan gadis itu yang
mengaku cinta kepadanya!
Makin hebat
saja kenangan ini sampai tak tertahankan lagi. Dia harus bertemu dengan Ci
Goat. Harus! Dia tidak boleh menyakiti hati Ci Goat. Dia mencinta Ci Goat. Dia
sungguh cinta kepada gadis itu!
Samar-samar
muncul kesadaran di balik semua ini, kesadaran yang mengatakan bahwa semua ini
aneh dan tidak wajar. Akan tetapi kesadaran itu pun kemudian hanyut, bahkan
akhirnya menghilang.
Kini Han
Siong turun dari pembaringan, tubuhnya agak terhuyung seperti orang mabok,
menghampiri jendela dan di lain saat dia sudah keluar dari kamarnya melalui
jendela yang kemudian ditutupkannya kembali. Han Siong bergerak seperti orang
dalam mimpi. Bahkan dia menjadi demikian lengah sehingga dia tidak tahu bahwa
bayangan Hay Hay berkelebat keluar dari kamarnya dan mengintainya!
Semenjak
sore tadi Hay Hay memang tidak pernah tidur. Dia masih merasa curiga melihat
sikap Han Siong, terlebih lagi ketika pemuda itu sama sekali tidak keluar lagi
dari dalam kamarnya, malah menolak ketika ditawari makan malam. Tentu ada
apa-apanya, pikirnya! Sikap Han Siong itu sama sekali tidak wajar.
Walau pun
dia belum sempat bergaul lama dengan Sin-tong (Anak Ajaib) itu, namun dia sudah
dapat menilai wataknya. Maka sejak sore dia tidak tidur, melainkan duduk
bersila di atas pembaringannya dan selalu waspada. Suara sedikit saja di luar
kamarnya tentu akan tertangkap oleh pendengarannya yang dipusatkan, selalu
memperhatikan ke arah kamar Han Siong di sebelahnya. Itulah sebabnya ketika Han
Siong turun dan membuka jendela kamar, dia mendengarnya lalu keluar dengan
cepat namun hati-hati.
Hay Hay
sudah keluar pula dari kamarnya dan mengintai, lalu membayangi Han Siong. Dia
sudah merasa curiga, tentu ‘ada apa-apa’ pada diri Han Siong maka pemuda
perkasa itu bersikap aneh. Entah apa pula yang akan dilakukannya sekarang!
Dengan
jantung berdebar penuh ketegangan dan penasaran Hay Hay terus membayangi dari
jauh. Dia harus berhati-hati karena dia maklum betapa lihainya Han Siong.
Kenyataan bahwa Han Siong tidak mengetahui kalau dia sedang dibayangi itu saja
sudah merupakan suatu keanehan, dan membuktikan bahwa memang telah terjadi
sesuatu yang aneh pada diri Han Siong.
Han Siong
menuju ke ruang belakang. Dia tidak berindap-indap seperti maling melainkan
dengan tenang namun cepat berjalan menuju ke kamar Ci Goat, memutar ke belakang
memasuki kebun dan tidak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu jendela kamar
itu! Dengan mata terbelalak Hay Hay mengintai dari belakang pohon di kebun itu!
"Siapa...?”
Dia mendengar suara Ci Goat dari dalam kamar.
"Aku
Han Siong. Bukalah jendela kamarmu, aku ingin bicara denganmu, Goat-moi!” kata
Han Siong lirih.
"Siong-ko...!"
Terdengar pula suara Ci Goat mengandung keheranan, lalu jendela itu pun dibuka
dari dalam.
Bagai seekor
kucing Han Siong melompat ke dalam kamar itu melalui jendela dan daun jendela
segera ditutup dari dalam! Gawat, pikir Hay Hay dan dia sudah siap siaga untuk
menerjang ke dalam kalau terdengar jerit Ci Goat. Apa bila Han Siong sampai
melakukan perbuatan keji, memperkosa gadis itu, maka dia akan menentangnya
dengan mati-matian! Akan tetapi dia tidak mendengar jerit Ci Goat.
Dia mendekat
dan mendengar ucapan Han Siong yang terengah-engah. "Ci Goat...
Goat-moi... aku... aku cinta padamu...”
"Siong-koko...,
benarkah itu? Benarkah itu, Koko... ?"
Hay Hay
merasa penasaran, maka dia pun mengintai dari celah jendela. Di bawah sinar
sebatang lilin yang kelap-kelip suram, dia melihat betapa kedua orang itu
saling rangkul dan ketika Han Siong menciumi gadis itu seperti orang kesetanan,
Ci Goat sama sekali tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan mesra!
Tak ada lagi
kata-kata terdengar. Dia masih melihat betapa Han Siong memondong tubuh Ci Goat
dan membawanya ke pembaringan, lantas sekali tiup padamlah lilin di atas meja
sehingga kamar itu menjadi gelap, tidak nampak apa pun lagi!
Hay Hay
bengong, lalu menjauhi kamar. Mukanya merah sekali dan dia tertawa haha-hihi
seperti orang sinting. Apakah yang harus dilakukannya kalau sudah begitu? Tak
mungkin dia menerjang masuk!
Betapa akan
malunya mengganggu dua orang yang sedang bermain cinta dengan suka rela! Apa
bila keduanya sudah sama-sama menghendaki, apa hubungannya dengan dia? Jika dia
adalah ayah gadis itu, atau setidaknya saudaranya, tentu dia masih berhak untuk
mencegah dan mengingatkan bahwa mereka berdua itu melakukan perbuatan yang
tidak patut, melanggar ketentuan dan kesusilaan. Akan tetapi dia bukan apa-apa,
hanya orang luar.
Apakah dia
harus memberi tahukan ayah gadis itu? Ahhh, apa gunanya? Kalau memang mereka
berdua sudah saling mencinta, mau apa lagi? Tinggal menikah saja dan dia yang
akan menjadi saksi. Bagaimana pun juga, Han Siong harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya malam itu.
Setelah tiba
di dalam kamarnya, Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, monyet benar Han
Siong itu! Pura-pura alim, tidak tahunya... ha-ha-ha, wah, dalam hal ini aku
kalah olehnya! Sungguh dia melakukan gerak cepat!" Hay Hay tertawa geli
seorang diri. Akan tetapi dia lalu termenung.
Benarkah
watak Han Siong seperti itu? Pura-pura menolak cinta seorang gadis lalu pada
malam harinya menggerumut ke dalam kamar gadis itu? Sungguh sikap yang tidak
pantas dilakukan seorang pendekar seperti Han Siong! Jangan-jangan ada
apa-apanya ini!
Di lain saat
Hay Hay sudah keluar lagi dari dalam kamarnya. Ketika dia mendekati kamar Ci
Goat, dia hanya mendengar bisik-bisik mesra yang membuat wajahnya terasa panas
dan merah sekali, lalu cepat dia menjauhinya lagi.
"Setan!
Bikin aku kebakaran saja!" gerutunya geli.
Dia pun
mengamati dari jauh saja. Dia harus melihat Han Siong keluar dari kamar dara
itu untuk ditegur dan dimintai pertanggungan jawabnya. Dia hendak melihat
bagaimana sikap Han Siong. Apa bila pemuda itu hanya ingin mempermainkan Ci
Goat, mempergunakan kesempatan karena gadis itu jatuh cinta padanya, dan tidak
mau bertanggung jawab, dia akan menghajarnya!
Hemmm, boleh
jadi Han Siong lihai dan dia belum tentu menang, akan tetapi bagaimana pun juga
dia akan menentang dan menantangnya! Han Siong harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya malam ini.
Waktu terasa
merayap sangat lambat bagi Hay Hay. Beberapa kali dia harus menggaruki kulit
tubuhnya yang dikeroyok nyamuk.
"Setan,"
gerutunya, "mereka enak-enak bersenang-senang, aku di sini dikeroyok
nyamuk! Monyet Han Siong agaknya sudah lupa diri dan lupa daratan sampai lupa
waktu. Sudah hampir pagi masih enak-enak saja."
Tiba-tiba
dia melihat jendela kamar Ci Goat terbuka dari dalam dan Han Siong melompat
keluar. Nampak Ci Goat dengan senyum manis dan rambut awut-awutan menutup
kembali daun jendela. Hay Hay cepat mendahului Han Siong yang berjalan kembali
ke kamarnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Barulah Han
Siong terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hay Hay
sudah berada di depannya dengan sikap tidak ramah. Akan tetapi kekagetannya ini
bukan lain karena kemunculan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka itu.
"Han
Siong, bagus sekali, ya! Engkau benar-benar seperti seekor harimau berbulu
domba! Sesudah apa yang kau lakukan terhadap Ci Goat, maka engkau harus
mempertanggung jawabkannya dan mengawini gadis itu dengan resmi!"
"Engkau
tidak berhak mencampuri urusanku! Apa pedulimu? Aku tidak akan mengawini gadis
mana pun!" jawaban ini jelas bukan sikap Han Siong!
"Han
Siong, apa yang kau katakan ini? Engkau telah memasuki kamar seorang gadis dan
tidur dengannya selama semalaman, tetapi engkau tidak mau mengawininya?"
suara Hay Hay lirih karena dia tidak ingin terdengar oleh orang lain.
"Heh
engkau lancang mulut! Apa yang kulakukan adalah urusanku sendiri! Aku tidak
akan mengawini siapa pun dan engkau tidak berhak mencampuri urusanku. Hayo
lekas pergi atau terpaksa aku akan menghajar mulutmu yang lancang!"
Hay Hay
semakin heran dan dia memandang tajam, mempergunakan kekuatan sihirnya. Akan
tetapi dia tidak berhasil membuat Han Siong sadar sehingga dia berkata lagi,
"Pek Han Siong, tidak tahukah engkau siapa aku? Aku Hay Hay, aku Tang Hay
Pendekar Mata Keranjang! Lupakah engkau?"
"Aku
tidak peduli engkau siapa!” bentak Han Siong.
“Aihh,
sungguh celaka! Jelas bahwa engkau telah bertindak di luar kesadaranmu. Celaka!
Kenapa aku tidak menyadari hal ini? Engkau masuk ke kamar Ci Goat karena
dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga
orang pendeta Lama itu, Han Siong! Sadarlah!"
“Keparat,
engkau memang layak dihajar!” Han Siong membentak dan tiba-tiba. dia sudah
menyerang Hay Hay dengan tamparan tangannya yang ampuh.
Akan tetapi
Hay Hay cepat mengelak. Sampai empat kali dia mengelak, dan agar jangan sampai
menarik perhatian orang lain maka dia pun meloncat keluar dari rumah itu sambil
berkata,
"Kalau
engkau memang jantan, mari kita selesaikan urusan ini di luar rumah supaya
tidak mengagetkan orang lain!" Tentu saja tantangannya ini langsung
diterima Han Siong yang cepat melakukan pengejaran ketika melihat lawannya
melarikan diri keluar rumah.
Sesudah tiba
di tempat sunyi, agak jauh dari rumah keluarga Ouw, Hay Hay berhenti dan
menghadapi Han Siong. Dia mengeluarkan bentakan nyaring yang penuh dengan
sinkang untuk membuyarkan semua kekuatan hitam.
"Pek
Han Siong, sadarlah! Semua kekuasaan dari kegelapan sudah lepas darimu! Sinar
terang mengusir kegelapan dan mengembalikan kesadaranmu!" Hay Hay
menggerakkan kedua tangannya ke arah Han Siong. Han Siong terhuyung ke belakang
seperti terdorong oleh kekuatan luar biasa, akan tetapi dia lalu meloncat dan kelihatan
semakin marah.
"Engkau
sungguh manusia jahat dan layak dihajar!" Setelah berkata demikian, Han
Siong sudah menerjang lagi dengan ganasnya.
Hay Hay
terkejut. Kekuasaan apakah yang sedang mencengkeram Han Siong sehingga kekuatan
sihir dalam diri Han Siong ditambah kekuatannya sendiri tidak mampu mengusir
kekuasaan aneh itu? Dia tidak sempat berpikir lebih banyak karena sangatlah
berbahaya menghadapi serangan seorang lawan seperti Han Siong. Dia pun cepat
mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas menyerang untuk
merobohkan Han Siong yang agaknya sudah tidak menguasai dirinya sendiri itu.
Terjadilah
pertandingan yang dahsyat di pagi hari itu, di tempat sunyi luar kota Hok-lam.
Pek Han Siong adalah seorang pemuda perkasa yang menguasai banyak ilmu silat
yang tinggi. Dari orang tuanya yang turun temurun menjadi ketua perkumpulan
Pek-sim-pang, dia sudah mewarisi ilmu silat Pek-sim-pang yang diringkas menjadi
tiga belas jurus. Dari guru-gurunya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan
Toan Hui Cu dia pun menerima gemblengan dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat
tinggi, baik dari aliran sesat karena kedua orang gurunya itu dahulunya berasal
dari dunia sesat, mau pun ilmu-ilmu kesaktian yang ditemukan kedua orang
gurunya itu, yaitu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut, peninggalan seorang
tokoh di antara Delapan Dewa.
Selain itu
dia masih mendapat gemblengan dari Ban Hok Lo-jin, juga seorang di antara
Delapan Dewa, menerima ilmu pukulan sakti Pek-hong Sin-ciang, bahkan dari kakek
ini dia mendapat pelajaran ilmu sihir yang cukup kuat! Pek Han Siong merupakan
seorang pendekar muda yang sukar dicari tandingannya, pandai ilmu silat, pandai
ilmu sihir, dan memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.
Di lain
pihak, Tang Hay atau Hay Hay adalah seorang pemuda gemblengan pula. Dia juga
murid dari dua orang datuk sakti yang termasuk sebagai anggota Delapan Dewa,
yaitu See-thian La-ma dan Ciu-sian Sin-kai. Ilmu-ilmu silatnya disempurnakan
oleh kakek sakti Song Lojin, dan dia juga menerima pelajaran ilmu sihir tingkat
tinggi dari Pek Mau Sianjin.
Di antara
ilmu-ilmu pilihan yang dikuasainya adalah Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus
Pukulan) dari Ciu-sian Sin-kai yang luar biasa ampuhnya, sementara dari
See-thian Lama dia memperoleh dua ilmu yang amat hebat, yaitu Yan-cu Coan-in
ilmu meringankan tubuh yang membuat dia seakan-akan pandai terbang atau dapat
menghilang saking cepatnya gerakannya, dan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw
Poan-san.
Maka
dapatlah dibayangkan alangkah hebatnya ketika dua orang pemuda sakti ini saling
bertemu di dalam sebuah pertandingan! Tentu saja Hay Hay tidak memusuhi Han
Siong yang dia tahu pasti dalam keadaan tidak wajar. Dia selalu mengalah dan
mengandalkan ilmunya Jiau-pouw Poan-san yang membuat semua serangan Han Siong
tidak mengenai dirinya. Akan tetapi, Hay Hay merasa kewalahan juga karena kalau
dia tidak bersungguh-sungguh, sebaliknya Han Siong yang agaknya sudah tidak sadar
lagi siapa dirinya, terus menyerangnya dengan hebat, mengerahkan semua tenaga
dan kepandaiannya!
Sambil
menghindarkan semua serangan Han Siong dengan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw
Poan-san, Hay Hay memutar otaknya. Dia merasa yakin bahwa keadaan Han Siong
tidak sewajarnya. Sudah pasti bahwa pemuda ini sedang dicengkeram kekuasaan
ilmu hitam yang amat jahat dan kuat.
Melihat
sikap pemuda itu, bukan mustahil bahwa semenjak sore tadi kekuasaan itu mulai
mempengaruhinya biar pun belum hebat. Akan tetapi kini kekuasaan itu telah
menguasai Han Siong sepenuhnya! Bukan sihir biasa, dan agaknya mereka yang
menyihirnya tidak berada di tempat itu. Tentu sihir ilmu hitam yang dilakukan
dengan mempergunakan alat-alat dan jimat-jimat, dengan kekuatan mantera dan bantuan
iblis.
"Bukkk!"
Tubuhnya hampir terjengkang dan cepat Hay Hay meloncat lalu menggerakkan kedua
kakinya memainkan langkah ajaibnya.
Setan,
pikirnya. Hampir saja dia celaka karena tadi melamun memikirkan keadaan Han
Siong. Sebuah pukulan ke arah dadanya hampir mengenai sasaran. Untunglah dia
masih sempat memiringkan tubuh dan menerima tonjokan keras itu dengan pangkal
lengannya. Dan merasa betapa pukulan itu keras sekali, Hay Hay maklum bahwa Han
Siong dalam keadaan tidak sadar itu benar-benar menganggap dia seorang musuh
besar!
Sungguh
berbahaya sekali. Dia tidak boleh melamun, namun harus mencurahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya kalau tidak ingin benar-benar dipukul roboh! Akan
tetapi tiba-tiba sekarang dia teringat sesuatu. Tentu darah itu! Darah Han
Siong!
Walau pun
hanya beberapa tetes, darah Han Siong telah diambil oleh tiga orang pendeta
Lama dan tentu melalui darah itulah mereka menyihir Han Siong! Dan dia pun tahu
bahwa dalam ilmu yang berasal dari kegelapan, dari iblis, terdapat ilmu menguasai
semangat dan pikiran orang lain melalui potongan kuku atau rambut, namun yang
paling ampuh adalah dengan mempergunakan darah orang itu!
Pantas semua
usahanya menyadarkan Han Siong dengan kekuatan sihir selalu gagal dan tenaga
atau kekuatan sihir dalam diri Han Siong sendiri tidak mampu menolak pengaruh
jahat itu. Sekarang dia mengerti bahwa tentu semenjak sore tadi Han Siong telah
mulai dikuasai oleh ilmu hitam dan pemuda itu juga dalam keadaan tidak sadar
atau dikuasai sihir ketika memasuki kamar Ci Goat.
Untuk
merobohkan Han Siong bukanlah hal yang mudah. Tingkat kepandaian mereka tak
banyak selisihnya. Dalam keadaan biasa kekuatan sihirnya masih lebih kuat dari
pada Han Siong, akan tetapi pada saat itu ada kekuatan sihir yang sangat
dahsyat menguasai Han Siong sehingga sukar baginya untuk mengalahkan Han Siong
metalui sihir.
Kemudian dia
teringat. Naluri dari watak yang bersih dan baik! Itulah yang paling kuat dan
biar pun nampaknya tidak berdaya karena orangnya dikuasai sihir, namun naluri
itu masih ada dalam dirinya. Naluri ini datang dari kekuasaan Tuhan dan tidak
ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang mampu mengalahkannya!
Pada saat
Han Siong menyerang dengan sebuah tendangan, Hay Hay sengaja bergerak agak
lambat dan menerima tendangan itu dengan perutnya yang telah dilindungi dengan
sinkang agar isi perutnya tidak sampai rusak.
"Desss…!"
Tubuhnya
terjengkang dan dia pun membiarkan tubuhnya berkelojotan sambil
menggeliat-geliat, mulutnya merintih-rintih, "Aduhhh... aduhhhh... mati
aku... engkau membunuhku... ahh… mati aku...!"
Han Siong
berdiri tertegun, matanya terbelalak memandang kepada tubuh Hay Hay yang
sekarang sudah menelungkup tak bergerak, bibirnya gemetar dan berbisik,
"...apa yang kulakukan ini...? Aku... aku membunuhnya...”
Dugaan dan
perhitungan Hay Hay memang tepat. Naluri watak yang baik kini bekerja dan Han
Siong menghampiri tubuh Hay Hay, lantas berlutut. Akan tetapi, sebagai seorang
ahli silat kelas tinggi, Han Siong tetap waspada.
Hay Hay
maklum bahwa dia harus membuat perhitungan yang sangat tepat, tidak boleh salah
sedikit pun. Apa bila dia menyerang pada saat itu, tentu dia akan gagal karena
Han Siong memiliki kewaspadaan tinggi.
Han Siong
memegang pundak Hay Hay dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Kini tubuh
Hay Hay telentang dan nampak betapa ada darah segar keluar dari mulut itu.
"Ahh...
dia... dia mati...!” Han Siong berkata dengan penuh kaget dan penyesalan.
Pada saat
itulah Hay Hay baru menggerakkan tangannya, secepat kilat kedua tangannya telah
melakukan gerakan menotok. Dalam keadaan menyesal dan terkejut itu, terlebih
lagi melihat darah itu dia percaya bahwa orang yang ditendangnya benar-benar
sudah mati, untuk sesaat Han Siong kehilangan kewaspadaannya dan saat itu
digunakan dengan baik oleh Hay Hay.
Han Siong
berusaha melempar tubuh ke belakang, namun satu di antara serangan Hay Hay
tepat mengenai sasaran. Jalan darahnya tertotok lantas dia pun roboh terkulai
lemas! Hay Hay meloncat bangun dengan girang sekali. Ketika ‘berkelojotan’ tadi
dia menggigit lengannya sendiri sampai keluar banyak darah yang berlepotan di
bibirnya!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment