Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 12
MELIHAT Cui
Bhok sudah siap siaga di tengah ruangan yang luas itu, sambil tersenyum Sim Ki
Liong bangkit dari kursinya. Semua anak buah Hek-tok-pang yang masih berlutut
juga memandang dengan hati tegang. Mereka setuju sekali dengan sikap ketua
mereka. Kalau hendak menaluk kepada seseorang, maka terlebih dahulu mereka
harus melihat sendiri bagaimana lihainya orang itu!
"Cui-pangcu,
permintaanmu wajar pula. Aku akan membuktikan bahwa aku memang patut kau taati.
Nah, mulailah!" katanya dan dia berdiri seenaknya saja di depan Cui Bhok
yang bertubuh kokoh kekar itu, berbeda dengan tubuh Sim Ki Liong yang sedang saja
sehingga nampak kecil lemah di depan raksasa itu.
Cui Bhok tak
mau membuang waktu lagi, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mengaum seperti
singa, disusul bentakannya, "Kim-lian Pangcu, lihat seranganku!"
Tubuhnya
langsung menerjang dengan dahsyatnya, kedua tangannya membentuk cakar singa,
kuku jari-jari tangannya terlihat menghitam tanda bahwa kuku-kuku itu
mengandung racun yang sangat berbahaya. Sekali terkena goretan kuku hitam itu
akan mengakibatkan luka melepuh yang sukar disembuhkan kalau tidak memakai obat
pemunah racun buatan ketua Hek-tok-pang itu!
Namun
serangan bertubi-tubi yang berupa cakaran-cakaran dan cengkeraman itu dengan
mudah dapat dihindarkan oleh Sim Ki Liong, hanya dengan gerakan kedua kakinya
saja, kemudian dia membalas dengan tamparan lembut tapi mengandung tenaga yang
dahsyat sehingga hampir saja pundak ketua Hek-tok-pang terkena tamparan. Meski
pun luput dan hanya menyerempet sedikit saja, namun cukup membuat Cui Bhok
terhuyung.
Tentu saja
raksasa ini terkejut dan mulai merasa kagum karena hanya dalam beberapa jurus
saja, bahkan baru satu kali pemuda itu menyerang, dia sudah hampir dirobohkan.
Namun dia masih kurang puas, kurang yakin dan kembali dia menyerang, lebih
ganas dari yang tadi.
Sementara
itu Cun Sek terbelalak! Dia melihat dengan jelas betapa serangan balasan itu,
tamparan yang lembut dan gerakan kaki itu adalah ilmu silat San-in Kun-hoat
(Silat Awan Gunung), sebuah ilmu pilihan dari Cin-ling-pai!
Menghadapi
serangan ganas dari ketua Hek-tok-pang ini, Sim Ki Liong lalu mengeluarkan
bentakan nyaring, sepasang tangannya bergerak dari kanan dan kiri, menangkis
sekaligus menyerang.
Begitu kedua
tangannya bertemu dengan sepasang tangan ketua Kim-lian-pang, Hek-tok Pangcu
Cui Bhok berteriak kaget. Kedua tangannya itu terdorong keras ke belakang dan
sebelum dia sempat menghindarkan diri, ada angin pukulan dari kanan kiri
menyambar ke arah kedua pundaknya. Dia pun roboh terguling, kedua pundaknya
terasa nyeri seolah-olah tulangnya retak-retak!
Dia
terkejut, akan tetapi juga kagum dan takluk. Dia bangkit berdiri lalu menjura
dengan sikap hormat karena dia mendapat bukti betapa lihainya ketua
Kim-lian-pang yang masih amat muda itu.
"Thian-te
Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi)...!" Tak terasa lagi mulut Cun Sek
berseru ketika dia melihat gerakan kedua tangan Sim Ki Liong tadi.
Mendengar
ini, Ki Liong cepat membalik dan sepasang matanya mencorong, memandang ke arah
Cun Sek. Akan tetapi pada saat itu Cui Bhok sudah berkata dengan suara kagum,
"Biar
pun masih amat muda, kiranya Kim-lian Pangcu sungguh memiliki kepandaian yang
sangat hebat. Saya mengaku kalah dan takluk, dan saya akan memperlihatkan
kesetiaan saya kepada Pangcu!" Berkata demikian, tiba-tiba saja raksasa
ini bergerak cepat sekali ke arah para anggotanya yang masih berlutut.
Terdengar
teriakan berturut-turut, kemudian empat orang anak buahnya roboh dan tewas
seketika dengan muka menghitam. Mereka tadi telah diserang dengan cakaran maut
oleh ketua mereka sendiri. Yang menjadi korban adalah dua orang yang tadi terluka
oleh Cun Sek dan dua orang lain yang tingkatannya paling rendah dalam
Hek-tok-pang.
Semua anak
buah Hek-tok-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi hati mereka menjadi lega
ketika ketua mereka tidak menyerang lagi. Cui Bhok lalu mengangkat kedua tangan
ke depan dada sambil menghadap Sim Ki Liong.
"Nah,
Pangcu. Itulah bukti dari kesetiaan kami. Dengan tewasnya empat orang anak buah
saya, maka kini kami yang rugi seorang dibandingkan dengan Kim-lian-pang."
Sim Ki Liong
tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus, engkau memang pantas untuk kami
terima sebagai sekutu dan pembantu, Cui Pangcu!"
Dia lalu
bertepuk tangan, menyuruh pengawal atau anak buahnya untuk menyingkirkan
keempat mayat itu, dan menyuruh anak buahnya untuk menjamu para anggota
Hek-tok-pang yang kini tinggal dua puluh orang itu. Kemudian dia menyuruh para
pelayan supaya menambah arak dan mengeluarkan hidangan untuk menyambut Cui
Bhok. Ketika itulah dia memandang kepada Cun Sek dan bertanya kepada Ji Sun Bi.
"Siapakah
dia ini yang mengenal Thian-te Sin-ciang?"
Ji Sun Bi
tersenyum. "Tadi aku belum sempat mengenalkan dia. Tentu saja dia mengenal
ilmu silatmu yang berasal dari Cin-ling-pai, Pangcu, karena dia adalah seorang
tokoh Cin-ling-pai!"
"Ehhh...!"
Sim Ki Long terkejut bukan kepalang, akan tetapi dengan sikap gagah dia tidak
memperlihatkan kekagetannya, melainkan matanya saja yang memandang tajam kepada
Cun Sek, tetapi kini mengandung kecurigaan. "Mau apa seorang tokoh Cin-ling-pai
datang ke sini?" Pertanyaan ini mengandung terguran kepada Ji Sun Bi.
Sebelum Ji
Sun Bi menjawab, Cun Sek mendahuluinya. "Maaf, Pangcu. Aku tidak sengaja
datang ke sini melainkan diajak oleh Tok-sim Mo-li untuk diperkenalkan kepada
Pangcu."
Mendengar
ini Ji Sun Bi tersenyum dan dia pun cepat menjelaskan. "Pangcu, ketahuilah
bahwa ketika aku turun dari puncak untuk menghadapi Hek-tok-pang, aku
diperingatkan akan lorong beracun yang dibuat Hek-tok-pang oleh saudara Tang
Cun Sek ini. Bukan itu saja, bahkan dialah yang telah menundukkan dan
menaklukkan Hek-tok Pangcu, dan dia membantu pula ketika aku dikeroyok oleh
tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo. Melihat kelihaiannya dan mengenal gerakan
silatnya serta pedangnya yang jelas dari Cin-ling-pai, tadinya aku juga curiga
dan terkejut. Akan tetapi sesudah dia menceritakan keadaannya, kupikir
sebaiknya kalau dia kuajak ke sini agar berkenalan dengan Pangcu. Bagaimana pun
juga, kepandaian Pangcu dan dia datang dari satu sumber, bukan?"
Sim Ki Liong
mulai tertarik dan sekarang dia memandang kepada Cun Sek dengan penuh
perhatian, akan tetapi kecurigaannya telah menipis. "Saudara Tang Cun Sek,
terus terang saja, Cin-ling-pai kami anggap sebagai musuh kami. Maka, harap kau
jelaskan mengapa engkau tidak memusuhi kami, bahkan ingin berkenalan
denganku."
Cun Sek
menarik napas panjang, "Tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang murid
Cin-ling-pai, bahkan aku telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ketua lama
Cia Kong Liang sendiri. Akan tetapi, setelah aku gagal untuk menjadi ketua
Cin-ling-pai yang baru, maka Cin-ling-pai kuanggap sebagai musuh. Aku melarikan
diri dari sana dan biar pun banyak ilmu dari sana yang kukuasai, namun aku
tidak menganggap diriku sebagai seorang Cin-ling-pai," Cun Sek mengepalkan
tinju, masih mendongkol kalau mengingat kekalahannya di Cin-ling-pai.
"Demikianlah
keadaanku, Pangcu. Oleh karena itu Pangcu tak perlu khawatir, aku bukan seorang
anggota Cin-ling-pai lagi, bahkan aku pun membenci Cin-ling-pai! Aku melarikan
diri dari Cin-ling-pai, dan dalam perjalanan untuk mencari jejak ayahku yang
sejak dalam kandungan belum pernah kulihat, secara kebetulan aku lewat di bawah
bukit dan melihat rombongan orang Hek-tok-pang, lalu aku membayangi mereka dan
kubantu Tok-sim Mo-li."
Sim Ki Liong
mengangguk-angguk. "Kalau engkau gagal menjadi ketua Cin-ling-pai, lalu
siapa yang menjadi ketuanya yang baru?"
Dengan suara
gemas Cun Sek menjawab, "Gadis liar itu, Cia Kui Hong!"
Mendengar
ini, mata Sim Ki Liong terbelalak memandang, kemudian dia tertawa bergelak.
Lenyaplah sikap lembut dan sopan ketika dia tertawa dengan mulut terbuka, lalu
mulut itu ditutup sehingga suara ketawanya hanya sampai di tenggorokan.
"Ha-ha-ha...!
he-he-he, Cia Kui Hong? Dia menjadi ketua Cin-ling-pai?" dia tertawa lagi.
"Dara itu yang telah menggagalkanmu?"
"Hemm,
Cia Kui Hong! Lagi-lagi gadis setan itu yang menjadi penghalang. Dia musuh kita
bersama!" kata pula Ji Sun Bi dengan gemas.
Sekarang
Tang Cun Sek yang memandang dengan sinar mata heran kepada dua orang itu. Tentu
saja dia tidak tahu betapa Sim Ki Liong juga sampai terlempar keluar dari Pulau
Teratai Merah tempat tinggal gurunya, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin,
gara-gara kedatangan Cia Kui Hong, cucu luar pendekar sakti itu.
Ada pun Ji
Sun Bi tentu saja tidak pernah dapat melupakan pengalaman pahitnya ketika dia
membantu gerakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan ketika gerombolan pemberontak itu
diserbu oleh para pendekar. Dia sendiri bertanding melawan Cia Kui Hong dan
hampir saja dia tewas ketika dia terjatuh ke dalam tebing!
"Pangcu,
apakah engkau sudah mengenal Cia Kui Hong?" tanya Cun Sek.
Ki Liong
masih tertawa sehingga Ji Sun Bi yang menjawab. "Tentu saja kenal baik! Cia
Kui Hong itu masih terhitung murid keponakannya!"
Cun Sek
terbelalak bingung. Pemuda ini? Usianya masih begitu muda dan dia menjadi paman
guru Kui Hong? Paman guru dari mana? Tak mungkin pemuda ini murid kakek Cia
Kong Liang pula.
Melihat tamu
itu menjadi bingung, sekarang Ki Liong yang melanjutkan keterangan Sun Bi.
"Ketahuilah, Tang-toako, aku adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di
Pulau Teratai Merah!"
"Ahhh...!"
Sungguh hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Cun Sek.
Tentu saja
dia tahu siapa itu Pendekar Sadis! Dan dia pun mengerti sekarang. Memang Kui
Hong adalah cucu Pendekar Sadis, cucu luar, maka kalau pemuda ini murid
Pendekar Sadis, otomatis Kui Hong dapat dianggap sebagai murid keponakannya.
"Akan
tetapi..., kalau begitu... bagaimana pula Pangcu menganggap Kui Hong sebagai
musuh?"
"Dialah
yang menjadi gara-gara sehingga aku terpaksa pergi meninggalkan Pulau Teratai
Merah untuk selamanya, tetapi tidak perlu kujelaskan persoalannya," kata
ketua itu yang tentu saja merasa tidak enak mengingat akan pengalamannya di
Pulau Teratai Merah itu.
Pada waktu
Kui Hong berkunjung ke Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek luarnya,
seketika Ki Liong jatuh jatuh cinta dan tergila-gila kepada gadis itu. Dia
berusaha merayu, namun bukan saja ditolak oleh Kui Hong, bahkan gadis itu
marah-marah dan menyerang dirinya.
Peristiwa
itu diketahui oleh suhu dan subo-nya sehingga dia merasa malu dan malam itu
juga dia melarikan diri meninggalkan Pulau Teratai Merah sambil membawa
benda-benda berharga, bahkan dia juga membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam!
Dia berniat untuk mencari musuh besar pembunuh ayahnya, yaitu Siangkoan Ci
Kang, akan tetapi sampai sekarang usahanya itu belum juga berhasil.
"Dan
bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li? Bagaimana engkau juga mengenal Cia Kui
Hong dan memusuhinya?" tanya Tang Cun Sek.
Dia merasa
girang setelah mendengar keterangan ketua itu yang ternyata murid Pendekar
Sadis sehingga dia tidak merasa heran kalau ketua itu mempunyai ilmu kepandaian
yang demikian hebat. Ketua itu dan dia memiliki dasar ilmu silat yang sama,
yaitu dari Cin-ling-pai walau pun mereka berdua masing-masing memiliki pula
ilmu-ilmu lain.
Ji Sun Bi
menghela napas panjang dan Ki Liong yang menjawab, "Dia pernah bertanding
dan dikalahkan oleh Cia Kui Hong, bahkan hampir saja dia tewas ketika terjatuh
ke dalam jurang tebing yang curam."
Ji Sun Bi
cemberut dan mukanya berubah merah, sepasang matanya berkilat.
"Lain
kali akan kubunuh gadis setan itu!"
Pertemuan
lalu dilanjutkan dengan pesta makan minum untuk menghormati persekutuan baru
itu. Cun Sek diterima dengan tangan terbuka oleh Ki Liong dan mulai saat itu
pula Cun Sek merupakan pembantu utama dari pasangan Ki Liong dan Sun Bi, bahkan
dia pun mulai hari itu menjadi seorang kekasih baru dari Ji Sun Bi yang tak
pernah merasa puas dengan laki-laki itu.
Tentu saja
Kim-lian Pangcu bisa memaklumi hal ini sebab dia memang tak pernah merasa
cemburu, bahkan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Ji Sun Bi untuk mengadakan
hubungan dengan pria mana pun juga, seperti juga Ji Sun Bi tidak peduli dengan
wanita mana ketua itu berhubungan!
Maka
terdapatlah hubungan segi tiga yang amat akrab dan aneh antara Ji Sun Bi, Sim
Ki Liong, dan Tang Cun Sek. Namun tiga sekawan ini merupakan kesatuan yang
berbahaya sekali karena ketiganya mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Apa lagi setelah
kini Hek-tok-pang menjadi sekutu mereka pula.
Perkumpulan
Teratai Emas itu menjadi semakin kuat dan semakin terkenal. Mereka terus
melebarkan sayap kekuasaannya ke kota-kota lain, tetapi mereka tidak bergerak
sebagai pemberontak, malah sebaliknya mereka menyusup ke dalam gedung-gedung
para pejabat dan mendekati para pejabat dengan sogokan-sogokan.
Kemudian
mereka menaklukkan tokoh-tokoh dunia persilatan dengan mengalahkan para
pemimpinnya, namun tidak menanam permusuhan dan kebencian karena setelah
berhasil mengalahkan, mereka lalu mendekati dan menarik bekas lawan itu untuk
menjadi sekutu mereka. Maka makin kuatlah Kim lian-pang di bawah pimpinan Sim
Ki Liong yang dibantu dengan setia oleh Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek itu.
Mulailah
mereka menyebar anak buah Kim-lian-pang yang jumlahnya semakin banyak itu,
selain untuk melebarkan pengaruh juga untuk mulai melakukan penyelidikan
tentang dua orang tokoh persilatan, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Si Kumbang
Merah Ang-hong-cu. Yang pertama untuk sang ketua, dan yang ke dua untuk Tang
Cun Sek.
***************
Pek Han
Siong melangkah lesu. Sebenarnya pemandangan alam di sekitar pegunungan itu
amat indahnya pada pagi hari yang cerah itu, namun tiada keindahan di luar diri
bagi seseorang yang menanggung derita di dalam dirinya. Keindahan bukan
terletak di luar, melainkan di dalam diri. Kalau batin sedang terlanda duka,
apa pun yang dilihat oleh mata akan nampak tidak indah lagi. Dan pada saat itu,
Pek Han Siong sedang dilanda duka.
Cintanya
terhadap Siangkoan Bi Lian ditolak! Gadis itu telah menolak cintanya. Dia dapat
menghargai kejujuran dan keterus terangan Bi Lian, tapi kenyataan itu sungguh
membuat hatinya bagaikan ditusuk. Pedih perih karena kecewa. Apa lagi penolakan
cinta gadis itu dinyatakan di depan suhu dan subo-nya.
Dia tahu
betapa mereka amat menyayangnya, maka dia pun ditarik sebagai calon mantu. Akan
tetapi apa hendak dikata, Bi Lian yang terlibat langsung di dalam urusan
perjodohan itu menolak! Dia pun tidak dapat menyalahkan Bi Lian. Bagaimana dia
bisa menyalahkan seorang gadis karena tidak mencintanya?
Han Siong
menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon. Tubuhnya terasa penat. Semalam
suntuk dia tak pernah berhenti, terus saja berjalan meski pun lambat, tak tentu
arah tujuan sampai pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan itu yang tidak dia
ketahuinya namanya. Tubuhnya lemas karena sudah dua hari dia tidak makan, hanya
minum air, itu pun kalau kebetulan dia melewati sebuah sumber air bersih.
Membiarkan
tubuhnya duduk mengaso tetap saja tidak mampu menghilangkan perasaan dukanya,
malah kini pikirannya melayang-layang, mengenang keadaan dirinya dan semua
peristiwa yang terjadi. Dan hatinya terasa semakin tertekan. Sejak kecil dia
tidak pernah merasakan kebahagiaan, kecuali mungkin saat dia tinggal di kuil
Siauw-lim-si dan menjadi murid suami isteri sakti yang menjadi guru-gurunya,
yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Duka timbul
dari pikiran yang penuh dengan perasaan iba diri. Pikiran mengenang masa lalu
yang penuh dengan kegagalan, atau membayangkan masa depan yang penuh dengan
kesuraman, maka pikiran atau si aku merasa iba terhadap diri sendiri, merasa
nelangsa dan sengsara. Maka datanglah rasa duka.
Duka
menghilangkan kewaspadaan, melenyapkan makna hidup. Hidup bukanlah sekedar
membiarkan diri diseret ke dalam lamunan, membiarkan diri dipermainkan pikiran!
Hidup adalah kenyataan, apa yang ada, tidak peduli apakah kenyataan itu
menyenangkan atau menyusahkan.
Yang senang
atau yang susah adalah pikiran, si-aku yang selalu menghendaki keenakan dan
menghindarkan ketidak enakan. Namun kenyataan hidup adalah seperti apa adanya,
dan menerima kenyataan apa adanya inilah seni paling indah, paling agung dan
paling murni dari kehidupan. Menerima kenyataan seperti apa adanya, tanpa
menilai dan tanpa mengeluh melainkan menyerahkan kepada Tuhan! Tuhan Maha
Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Kasih! Hanya Tuhan yang akan mampu membimbing kita,
lahir mau pun batin.
Kewajiban
kita dalam hidup hanyalah untuk menggunakan segala alat yang ada di tubuh ini
sebagaimana mestinya. Panca indera adalah alat-alat untuk bekerja seperti yang
telah ditentukan dalam tugas masing-masing, termasuk pikiran yang sesungguhnya
merupakan alat untuk berpikir, untuk bekerja, untuk dapat melakukan sesuatu
yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain.
Pikiran
bukanlah alat untuk menyeret kita ke dalam lamunan kosong tentang suka atau
duka. Tak mungkin kita bisa membersihkan pikiran yang bergelimang dengan
daya-daya rendah, pikiran yang penuh nafsu, pikiran yang penuh dengan keinginan
untuk mengejar enak sendiri. Tidak mungkin karena kita yang ingin membersihkan
ini adalah pikiran itu sendiri!
Keinginan
pikiran selalu hanya bersumber pada satu pamrih, yakni mengejar keenakan untuk
diri sendiri. Bisa saja pikiran menciptakan bermacam-macam akal seperti sebutan
muluk-muluk, bertapa, mengasingkan diri, mengheningkan cipta dan segala macam
cara lagi untuk membersihkan batin. Namun semua itu adalah pekerjaan pikiran,
pekerjaan si-aku, usaha dari nafsu pula sebab pikiran itu sendiri bergelimang
nafsu, dikemudikan oleh nafsu. Di balik semua usaha itu terdapat satu pamrih,
yaitu sifat dari nafsu, ialah untuk mengejar keenakan bagi diri sendiri! Karena
itu tak mungkin kita membersihkan pikiran, tidak mungkin nafsu mampu
mengendalikan atau mengalahkan nafsu. Semua ini hanya akal-akalan saja, akalnya
si akal-pikir!
Satu-satunya
kenyataan adalah bahwa yang mampu merubah segalanya itu, yang dapat
membersihkan jiwa dari cengkeraman nafsu, yang bisa menempatkan semua alat
tubuh luar dalam kepada kedudukan dan tugas mereka masing-masing secara utuh
dan benar, hanyalah KEKUASAAN TUHAN! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau
si-aku, yaitu hati dan akal pikiran kita tidak bekerja! Dan kekuasaan Tuhan
akan bekerja apa bila kita menyerah kepadaNya, menyerah dengan penuh
ketawakalan, kepasrahan dan keiklasan, menyerah dengan kesabaran. Kehendak
Tuhan pun terjadilah! Dan inilah satu-satunya kenyataan yang mutlak.
Di dalam
kepasrahan lahir batin ini kita akan menerima semua kenyataan hidup sebagai
kehendak Tuhan, dan karenanya kita akan menghadapinya tanpa keluhan, tanpa
celaan. Bukan berarti kita lalu acuh dan mandeg. Sama sekali tidak! Kita
pergunakan semua alat tubuh luar dalam untuk berusaha! Tuhan yang akan memberi
bimbingan dan tuntunan.
Kalau sudah
begini, apa pun yang terjadi takkan menimbulkan penasaran atau keluhan, apa
lagi duka, selain ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan serta kekuasaanNya yang
mutlak, menyerah, waspada terhadap setiap gerak langkah kita di dalam hidup,
waspada terhadap pikiran kita, ucapan kita, perbuatan kita, seperti kewaspadaan
seseorang yang memegang kemudi kendaraan. Dan Tuhan Maha Kasih!
"Muridku,
Han Siong. Engkau akan terjun ke dunia ramai dan akan menghadapi segala macam
pengalaman hidup. Ingatlah bahwa hidup tidak selalu seperti yang kita
kehendaki. Hidup adalah hidup, merupakan kesatuan dari segala macam peristiwa.
Jika hidup ini kita umpamakan sebagai rasa, maka hidup itu terdiri dari semua
rasa, manis, pedas, masam, gurih, asin, pahit dan sebagainya lagi. Jangan
engkau menghendaki agar hidup ini selalu manis. Bagaimana mungkin engkau dapat
menikmati rasa manis kalau belum merasakan pahit, getir, asin, pedas dan
lain-lainnya itu? Karena itu bersiaplah engkau, jangan terkulai hanya oleh
suatu peristiwa atau keadaan saja, karena apa pun yang terjadi, itu hanyalah
sebagian kecil saja dari hidupmu! Bangkitlah dan senyumlah, terimalah segala
peristiwa dengan tabah, lalu jadikanlah segala pengalaman sebagai guru. Tuhan
selalu besertamu bila mana engkau tabah dan selalu pasrah kepada
kekuasaanNya!"
Entah
kenapa, ketika dia sedang merasa tertekan itu, merasa betapa dirinya
seolah-olah semakin tenggelam ke dalam lautan duka, tiba-tiba saja bayangan
gurunya yang terakhir, yaitu Ban Hok Lojin, kakek yang bertelanjang dada itu,
amat gendut seperti arca Jilaihud, dengan wajah yang selalu terseyum lebar,
salah seorang di antara Delapan Dewa, seperti tampak di depannya dan ucapan
gurunya itu bergema di telinganya.
Seketika
bangkitlah semangat dan batin Han Siong. Dia merasa seperti disiram air dingin.
Betapa bodohnya membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan yang hanya
dibikinnya sendiri. Tadi pikirannya sudah berubah menjadi tangan kejam yang
meremas-remas dan mencengkeram hati dan perasaannya sendiri.
Dia segera
bangkit. Wajahnya tersenyum, matanya yang tadinya sayu itu kini berkilat dan
mencorong, dan pada saat itu pula dia mendengar betapa perutnya berkeruyuk
dengan nyaring!
"Ha-ha-ha!"
Dia tertawa, tertawa bebas lepas seperti orang gila. "Ha-ha-ha, engkau
tolol! Ha-ha, engkau tolol! Terima kasih, Suhu, terima kasih!" Dia lalu
menepuk-nepuk perutnya yang kempis. "Maafkan aku, perut. Aku sampai lupa kepadamu.
Baiklah, sekarang mari kita mencari makanan untukmu!"
Han Siong
melompat dan menuruni bukit itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia harus berhenti
karena di depannya mendadak muncul lima orang dengan senjata pedang di tangan
dan sikap mereka mengancam!
"Keparat,
bersiaplah untuk menerima pembalasan kami!" bentak salah seorang di antara
mereka.
Tentu saja
Han Siong menjadi terbelalak kaget dan merasa heran. Dia memandang penuh
perhatian kepada mereka. Yang tadi berbicara adalah seorang pria setengah tua,
berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah. Di
wajahnya terbayang kegagahan namun diliputi duka dan kemarahan. Pakaiannya
sederhana, akan tetapi serba putih, demikian pula pakaian empat orang lainnya,
pakaian berkabung!
Orang kedua
amat menarik perhatian. Ia adalah seorang gadis yang usianya kurang lebih
delapan belas tahun, wajahnya yang putih halus itu berbentuk bundar, cantik dan
bersih, matanya jeli dan bibirnya tipis, rambutnya panjang dibiarkan berjuntai
ke belakang dalam bentuk dua buah kuncir hitam yang tebal dan panjang sampai ke
pinggul Gadis ini juga memegang sebatang pedang.
Tiga orang
lainnya adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, ketiganya bersikap
garang dan gagah. Seperti orang pertama dan gadis itu, mereka juga berpakaian
serba putih dan wajah mereka diliputi kedukaan dan kemarahan.
"Heii,
nanti dulu!" teriaknya ketika mereka itu secara serentak sudah
menyerangnya tanpa peringatan lebih dahulu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa
mereka itu benar-benar sudah marah sekali kepadanya dan amat membencinya.
Gerakan
pedang mereka ganas dan cepat, juga mengandung tenaga yang cukup kuat. Ilmu
pedang yang sumbernya dari selatan, dikombinasikan dengan tendangan-tendangan
yang menyusul tusukan atau sabetan pedang.
Teriakannya
tidak memperoleh tanggapan dari mereka, bahkan lima orang itu menyerang dengan
hebatnya. Terpaksa Han Siong menggerakkan tubuhnya, berloncatan ke sana sini
dan melihat mereka terus mendesak, dia segera memainkan Kwan Im Sin-kun (Silat
Sakti Kwan Im) yang lemah lembut namun tubuhnya bagaikan sehelai kapas saja
yang sukar untuk dibabat pedang sehingga babatan atau tusukan itu selalu luput.
Tubuhnya menjadi demikian ringan, akan tetapi juga sangat cepat sehingga sampai
belasan jurus, serangan lima orang itu tak pernah mengenai sasaran.
"Heii,
nanti dulu! Mari kita bicara dulu!" teriak Han Siong penasaran.
Karena dia
tidak mengenal mereka, tentu saja dia tak mau membalas, khawatir kalau dia akan
melukai mereka dan hal ini tentu akan menambah kebencian mereka yang belum
diketahui sebabnya. Dia ingin menggunakan ilmu sihir untuk menundukkan mereka,
akan tetapi dia pun khawatir kalau-kalau mereka akan merasa terhina dan
tersinggung sehingga kembali hal itu akan menambah kebencian mereka kepadanya.
Dia akan
menggunakan usaha lain, yaitu memperkenalkan diri karena dia menduga bahwa
tentu mereka itu keliru mengenal orang. Mereka bukan perampok dan sama sekali
tidak nampak seperti orang-orang jahat.
Begitu
mendapat kesempatan, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon sehingga
mengejutkan lima orang pengeroyok itu yang tiba-tiba saja kehilangan lawan dan
mereka semua kini memandang ke atas, ke arah pemuda itu yang sudah berdiri di
atas cabang pohon. Pandang mata mereka kagum akan tetapi juga penuh kebencian.
"Heiii,
apakah ngo-wi (kalian berlima) terlalu banyak minum arak hingga mabok? Aku Pek
Han Siong selama hidupku baru sekali ini melihat ngo-wi, apa lagi bermusuhan.
Mengapa tiada hujan tiada angin ngo-wi menyerang aku demikian ganas dan
kejam?"
Mendengar
ini, lima orang itu saling pandang, dan pria setengah tua tadi berseru lantang,
"Sobat, coba sekali lagi katakan. Siapa namamu?"
Han Siong
tersenyum. Tahulah dia kini bahwa memang mereka sudah keliru menyangka orang,
atau keliru mengenal orang. "Namaku Pek Han Siong, dan selama hidupku
belum pernah aku bertemu dengan ngo-wi."
"Engkau...
bukankah engkau Kim-lian Pangcu? Wajah dan bentuk tubuhmu mirip sekali!"
kata orang tua itu lagi.
"Ayah,
kita baru melihatnya satu kali, itu pun tidak terlalu jelas. Agaknya kita sudah
salah mengenal orang!" kata gadis itu.
Sekarang Han
Siong tertawa. "Ha-ha-ha, Paman yang baik. Orang macam aku ini mana bisa
menjadi pangcu (ketua)? Apa lagi ketua perkumpulan Teratai Emas, bahkan Teratai
Tembaga pun tidak! Aku seorang perantau, tidak memiliki kedudukan apa
pun."
"Wahh...
kalau begitu maafkan kami, orang muda. Ihh, kalian berempat ini mengapa tidak
memberi tahu? Aku sudah tua, mungkin mataku mulai kurang awas, akan tetapi
kalian..." omelnya kepada puterinya dan tiga orang itu.
Han Siong
sudah melompat turun dan gayanya melompat membuat lima orang itu berseru kagum.
Mereka seperti melihat seekor naga atau seekor garuda melayang turun dari atas
pohon itu dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah, sama sekali tidak
terdengar suara!
Diawali oleh
laki-laki setengah tua, kini lima orang itu menyambut Han Siong dengan dua
tangan diangkat di depan dada sebagai tanda penghormatan. Han Siong cepat
membalas penghormatan mereka. Karena mereka kini tidak lagi memusuhinya, dia
pun tidak berani bicara main-main.
"Paman,
seperti kukatakan tadi, aku Pek Han Siong tidak pernah bertemu dengan ngo-wi
sebelumnya. Apa sebabnya ngo-wi medadak menyerangku? Mohon penjelasan, paman,
agar hatiku tidak tegang dan penasaran lagi."
Pria itu
menengok ke kanan kiri, lalu berkata, "Di sini masih daerah kekuasaan
musuh, taihiap. Terlalu lama di sini kita bisa dikepung musuh. Marilah ikut
dengan kami ke tempat tinggal kami, taihiap, dan di sana kami akan menceritakan
semuanya dengan jelas."
Walau pun
dia tersenyum dan merasa tidak enak disebut taihiap (pendekar besar), akan
tetapi Han Siong yang merasa penasaran dan ingin tahu itu mengangguk dan
mengikuti mereka menyusup ke dalam hutan. Dia tertarik melihat ada tanda gambar
seekor burung rajawali putih pada baju mereka berlima, yaitu di dada kiri.
Tentu mereka ini dari sebuah perkumpulan, pikirnya.
Akan tetapi
dia kecelik kalau tadinya dia menyangka akan diajak pergi ke sebuah rumah
perkumpulan besar di salah satu kota terdekat. Dia bukan di ajak ke kota,
melainkan ke sebuah bukit, kemudian mereka mengajaknya masuk ke dalam sebuah
goa besar yang tersembunyi!
Biar pun
demi kesopanan dia diam saja, akan tetapi di dalam hatinya timbul pertanyaan.
Siapakah mereka ini dan perkumpulan apa yang bersarang di sebuah goa
tersembunyi? Mereka ini seperti orang-orang buruan saja, seperti pelarian!
Ternyata di
dalam goa itu terdapat tikar bersih yang terhampar di atas lantai goa. Goa itu
pun cukup besar, cukup untuk menampung puluhan orang! Akan tetapi di situ sunyi
saja, tidak ada orang lain kecuali mereka berenam.
"Silakan
duduk, taihiap. Maafkan, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa duduk di
atas lantai."
"Tidak
mengapa, Paman...," kata Han Siong dengan tenang, walau pun hatinya
semakin tertarik karena keadaan mereka itu jelas tidak sewajarnya.
Sesudah
mereka duduk bersila di atas tikar, mulailah pria setengah tua itu bercerita.
Dia bernama Ouw Lok Khi, ketua dari perkumpulan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan
Rajawali Putih). Dia telah menduda dan mempunyai seorang anak perempuan, yaitu
Ouw Ci Goat, gadis berusia delapan belas tahun yang wajahnya bulat putih dan
manis itu.
Perkumpulan
Rajawali Putih mempunyal anak buah yang cukup banyak, ada empat puluh orang
lebih dan selain mempelajari ilmu silat, perkumpulan ini juga membuka usaha
jasa pengawalan. Nama mereka sudah cukup dikenal sebagai orang-orang yang
menentang kejahatan dan mencari nafkah secara halal.
Namun pada
suatu hari Ouw Lok Khi didatangi oleh seorang utusan dari Kim-lian-pang yang
menuntut supaya perkumpulan Pek-tiauw-pang mau mengakui kekuasaan Kim-lian-pang
dan suka bekerja sama, membagi rejeki, yaitu membagi sebagian dari hasil usaha
perkumpulan itu kepada Kim-lian-pang sebagai upeti atau pengakuan kekuasaan.
Tentu saja
Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi segera menolak dan menganggap permintaan itu
keterlaluan. Perkumpulannya sudah berdiri selama belasan tahun, bagaimana
mungkin sekarang harus mengakui kekuasaan sebuah perkumpulan yang baru saja
muncul dan didirikan di Bukit Kim-lian-san yang agak jauh dari kotanya, yaitu
di Hok-lam?
Akibat
penolakan itu, lalu muncullah seorang pemuda yang mewakili ketua Kim-lian-pang
menantang untuk mengadu kepandaian. Karena marah, Ouw Ci Goat melayani
tantangan pemuda dari Kim-lian-pang itu. Akan tetapi Ci Goat kalah jauh, bahkan
ketika Ouw Lok Khi sendiri maju, dia pun hanya mampu bertahan belasan jurus
saja lalu roboh dan kalah.
Setelah
mengalahkan mereka ayah dan anak, utusan Kim-lian-pang ini kembali membujuk
agar Ouw Pangcu suka takluk dan menyerah. Namun ketua Pek-tiauw-pang ini tidak
sudi menyerah. Juga puterinya dan semua anak buah Pek-tiauw-pang tak sudi
menyerah dan tidak sudi membagikan hasil kerja mereka kepada perkumpulan itu.
"Karena
kami tetap saja menolak, beberapa kali Kim-lian-pang mengirimkan jago-jagonya
untuk menyerang kami. Dan memang mereka mempunyai banyak orang pandai, terutama
sekali kedua orang pembantu ketua, pemuda dan wanita iblis itu! Kami tetap
melakukan perlawanan dan kami tidak mau menyerah biar pun mereka mengancam akan
membunuh kami semua. Akhirnya, tujuh hari yang lalu, benar saja serombongan
orang dari Hek-tok-pang, yaitu perkumpulan jahat yang sudah menjadi anak buah
mereka, menyerbu asrama kami di tepi kota Hok-lam. Kami mengadakan perlawanan
secara mati-matian, akan tetapi mereka mempergunakan racun dan habis binasalah
anak buah Pek-tiauw-pang! Tinggal kami berlima ini yang hidup..." Ketua
Pek-tiauw-pang itu tidak menangis, akan tetapi jelas nampak betapa wajahnya
penuh kedukaan dan penasaran. Juga Ci Goat tidak menangis, akan tetapi dia
mengepal tinju.
"Kami akan
melawan terus sampai mati!" kata gadis itu penuh semangat.
"Akan
tetapi, mengapa tadi paman sekalian mengeroyok aku?" Han Siong bertanya.
"Ketika
orang-orang Hek-tok-pang itu menyerbu, kami sempat melihat tiga orang pimpinan
Kim-lian-pang. Mereka tidak ikut turun tangan, akan tetapi sempat ketuanya
menawarkan perdamaian dengan kami. Akan tetapi untuk terakhir kalinya kami
tetap menolak dan dia pun lalu mengerahkan orang-orang Hek-tok-pang itu.
Ketuanya itulah yang mirip dengan Taihiap. Kami memang sedang mengintai dan
menanti saat yang baik. Kalau pemimpin mereka keluar, maka kami akan menyergap
dan membunuhnya. Ketika Taihiap muncul, kami mengira Taihiap adalah ketua
Kim-lian-pang yang bernama Sim Ki Liong itu."
"Siapa...?!"
Han Siong bertanya, kaget mendengar nama itu.
"Namanya
Sim Ki Liong!"
"Orangnya
masih muda, sekitar dua puluh dua tahun?"
"Betul
sekali, apakah... Taihiap sahabatnya...?" tanya Ci Goat dengan suara
mengandung kekhawatiran. Han Siong menoleh sehingga dua pasang mata bertemu,
bertaut dan gadis itu menundukkan mukanya. Jelas nampak kedua pipi yang putih
halus itu kemerahan.
"Sama
sekali tidak bersahabat, Nona, justru pernah kami saling bermusuhan! Dia pernah
membantu pemberontakan seorang datuk sesat terhadap pemerintah. Dia memang
lihai sekali dan sayang bahwa ketika gerombolan itu diserbu, dia sempat
melarikan diri. Dan siapakah dua orang pembantunya yang lihai itu?"
"Seorang
pemuda yang amat lihai pula bernama Tang Cun Sek," kata Pek-tiauw Pangcu
Ouw Lok Khi. Han Siong mengerutkan alis dan menggeleng kepala, tidak mengenal
nama itu.
"Dan
seorang wanita iblis, yaitu Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi...," kata Ci Goat.
"Aihh,
kiranya siluman betina itu?" kembali Han Siong terkejut. "Dia dulu
juga membantu gerombolan pemberontak, kiranya berhasil menyelamatkan diri.
Ahhh, kalau mereka yang memimpin, tentu Kim-lian-pang merupakan perkumpulan
yang kuat dan juga jahat!"
Mendengar
bahwa pemuda perkasa ini pernah bermusuhan melawan dua orang di antara para
pimpinan Kim-lian-pang, hati kelima orang sisa anggota Pek-tiauw-pang yang
sudah terbasmi hampir habis itu menjadi girang dan timbul kembali harapan
mereka untuk dapat membalas dendam. Ouw Lok Khi cepat-cepat berlutut dan
menghadap pemuda itu sambil berkata,
"Pek
Taihiap, mohon Taihiap sudi menolong kami..."
Terkejut
juga Han Siong ketika melihat orang tua itu berlutut. Cepat dia memegang kedua
pundaknya dan mengangkatnya duduk kembali. 鈥淧angcu, harap jangan begitu. Tanpa kau
minta sekali pun, kalau aku melihat dua orang jahat itu merajalela, sudah pasti
aku akan menentang mereka."
"Aih,
kalau taihiap sudi turun tangan, sudah pasti mereka akan dapat kita hancurkan.
Mari kita menyerbu sarang mereka di puncak Kim-lian-san, Pek Taihiap!"
kata pula ketua Pek-tiauw-pang itu penuh semangat, sedangkan puterinya serta
tiga orang pembantunya juga mengangguk dan penuh semangat. Mereka berlima sudah
siap untuk membalas dendam dengan taruhan nyawa mereka. Akan tetapi Han Siong
tetap tenang dan menggerakkan tangan menyatakan tidak setuju.
"Pangcu,
sungguh tidak bijaksana bila kita menuruti hati yang mendendam saja. Dendam dan
kebencian akan menghilangkan kewaspadaan, dan akhirnya bahkan menyeret kita ke
dalam kehancuran. Seperti yang kau ceritakan tadi, Kim-lian-pang kuat sekali,
di samping dipimpin oleh tiga orang yang lihai, juga dibantu Hek-tok-pang dan
memiliki banyak anak buah. Kita yang hanya enam orang ini mana mungkin mampu
menandingi begitu banyak lawan? Belum lagi jika diingat bahwa sarang
perkumpulan sejahat itu tentu penuh dengan jebakan dan perangkap rahasia."
"Aku
tidak takut!" tiba-tiba Ci Goat berseru sambil mengepal tinju.
Han Siong
tersenyum dan memandang kagum kepada gadis itu. "Kegagahanmu sangat
mengagumkan dan kuhargai, Nona. Akan tetapi, dalam menghadapi lawan yang kuat
dan jumlahnya besar, tidak mungkin kita hanya mengandalkan keberanian.
Keberanian karena dendam akan membuat kita nekat dan tanpa perhitungan, dan aku
tak ingin membiarkan kita semua mati konyol."
Ouw Lok Khi
mengangguk-angguk kemudian menarik napas panjang. "Sekarang baru aku
melihat kebenaran ucapanmu, Taihiap. Memang kami sudah menjadi gila akibat
dendam sehingga kami tidak memperhitungkan bahaya dan kemungkinan kalah. Karena
engkau berada di pihak kami, maka kami menyerahkan kepadamu semua cara untuk
menghadapi musuh."
Han Siong
mengangguk dan menerima penyerahan pimpinan ini tanpa sungkan-sungkan lagi
karena dia tahu bahwa orang-orang yang sedang diamuk dendam kebencian bukan
merupakan pimpinan yang baik.
"Bila
kita hendak menentang gerombolan jahat yang lihai itu, maka setidaknya kita
harus mempunyai pembantu yang cukup berani dan gagah, yang jumlahnya seimbang
dengan jumlah mereka."
"Hal
itu amat mudah, Taihiap. Banyak perkumpulan yang merasa sakit hati terhadap
Kim-lian-pang, namun mereka itu tidak berani bergerak karena merasa tidak kuat
menghadapi kekuatan Kim-lian-pang. Aku akan menghubungi mereka, sebab di antara
mereka banyak terdapat sahabat baikku, dan akan kubujuk mereka supaya suka
bekerja sama. Beberapa perkumpulan persilatan tentu bersedia membantu. Menurut
perkiraanku, jumlah anak buah Kim-lian-pang tidak melebihi seratus lima puluh
orang dan kita akan dapat mengumpulkan lebih banyak lagi."
Han Siong
mengerutkan alisnya. Banyak juga anak buah yang sudah dikumpulkan Sim Ki Liong,
pikirnya. "Apakah tidak mungkin kalau kita minta bantuan dari pasukan
keamanan pemerintah?"
"Ahhh,
itu sama saja dengan bunuh diri!" kata Ouw Lok Khi dengan muka muram.
"Kalau kita melapor, kita malah akan ditangkap lebih dulu! Ketahuilah,
Taihiap, gerombolan Kim-lian-pang itu cerdik dan licik bukan main. Mereka
mendekati para pimpinan pemerintahan daerah dengan jalan menyuap dan menyogok,
mengambil hati mereka, bahkan Kim-lian-pang menunjukkan jasa dengan membasmi
gerombolan penjahat. Kim-lian-pang sendiri tidak pernah melakukan kejahatan.
Mereka hanya menundukkan semua perkumpulan dan memaksa para pimpinan
perkumpulan itu untuk takluk dan membagi hasil rejeki. Mereka memungut pajak
dari mana pun yang menghasilkan banyak uang, dengan dalih menjaga keamanan
mereka. Toko besar, perusahaan dan bahkan rumah-rumah penginapan. Tidak, kita
tidak mungkin dapat mengharapkan bantuan dari pasukan keamanan yang tentu akan
berpihak kepada mereka."
Han Siong
mengerutkan alisnya. Kiranya Sim Ki Liong cerdik sekali, tak mau mengulang
kesalahan mendiang Lam-hai Giam-lo yang memberontak terhadap pemerintah. Kini
dia bahkan mendekati pemerintah atau mendekati pejabat korup yang suka
disogoknya agar mereka berpihak kepadanya! Memang satu-satunya jalan untuk
mengumpulkan pasukan adalah seperti yang diusulkan Ouw Pangcu tadi, yaitu
mengumpulkan orang-orang yang mendendam kepada Kim-lian-pang.
"Baiklah,
Ouw Pangcu. Engkau kumpulkan orang-orang yang mau diajak menyerbu
Kim-lian-pang. Sesudah mereka siap, kita kepung puncak itu kemudian kau ajukan
tantangan kepada Sim Ki Liong untuk mengadu kepandaian di lereng. Aku akan
menghadapinya dan ketika aku sedang bertanding dengan para pimpinan itu, maka
kau kerahkan pasukan kita untuk menyerbu ke atas. Akan tetapi harus
berhati-hati terhadap jebakan dan perangkap."
"Sebaiknya
kita pergunakan api untuk memaksa mereka semua keluar sehingga kita tak perlu
harus menerjang jebakan dan perangkap berbahaya," kata Ouw Lok Khi yang
kini telah tenang, tak lagi didesak dendam yang membuatnya nekat. Han Siong
mengangguk girang.
"Siasatmu
itu tepat sekali, Pangcu. Marilah kita mulai bekerja. Aku akan mempersiapkan
diri dan karena engkau membutuhkan waktu untuk mengumpulkan tenaga bantuan,
maka sebaiknya kalau aku menanti pada rumah penginapan di kota terdekat,"
Han Siong lantas bangkit berdiri.
Ketua
Pek-tiauw-pang itu pun cepat-cepat bangkit. "Taihiap, sebaiknya jika
Taihiap tinggal bersama kami. Walau pun asrama kami di Hok-lam telah
dihancurkan oleh Kim-lian-pang, akan tetapi kami dapat tinggal di rumah seorang
murid kami ini." Dia menunjuk kepada seorang di antara tiga orang anggota
Pek-tiauw-pang itu. "Dia memiliki rumah besar dan kita semua dapat tinggal
untuk sementara di sana."
"Benar
sekali, Pek Taihiap," kata pria berusia tiga puluh tahun itu. "Rumah
kami cukup besar dan kami dapat menyediakan sebuah kamar untuk Taihiap,"
orang itu bernama Thio Ki dan sikapnya ramah.
Karena merasa
bahwa memang lebih baik jika dia tidak berpisah dari lima orang itu, Han Siong
lalu menyetujui dan berangkatlah mereka meninggalkan goa dalam hutan itu, pergi
ke kota Hok-lam. Akan tetapi mereka bersepakat bahwa goa yang tersembunyi itu
akan dijadikan markas baru untuk kegiatan mereka saat melakukan penyerbuan
terhadap Kim-lian-pang karena tempat itu baik sekali, merupakan goa dalam hutan
di bukit yang tidak berjauhan dari Kim-lian-san.
***************
Beberapa
hari saja sesudah dia tinggal di rumah Thio Ki, Han Siong merasa benar bahwa
dia amat dihormati dan diperhatikan. Terutama sekali Ouw Ci Goat. Gadis itu
sendiri yang melayaninya, mencuci pakaiannya, membersihkan kamarnya. Perhatian
Ci Goat terhadap dirinya sungguh membuat dia merasa sungkan dan malu.
Berkali-kali dia melarang gadis itu mencucikan pakaiannya, namun Ci Goat tetap
memaksanya.
"Taihiap
adalah tamu agung kami, bagaimana harus mencuci pakaian sendiri? Lagi pula aku
seorang wanita, sudah selayaknya kalau mencucikan pakaian Taihiap. Harap jangan
sungkan, Taihiap, bukankah kita telah bersahabat dan Taihiap adalah penolong
kami?"
Perhatian
gadis itu bukan hanya dengan cara melayaninya saja, akan tetapi beberapa kali
dia pernah memergoki gadis itu menatapnya dengan pandang mata yang aneh,
pandang mata yang sayu dan seperti orang terpesona, dan kalau tanpa disengaja
dia menengok sehingga mereka bertemu pandang, gadis itu tersipu lalu
menundukkan mukanya dengan cepat, akan tetapi dia masih sempat melihat sepasang
pipi yang tadinya putih halus itu berubah kemerahan. Sungguh aneh sekali!
Dua hari
kemudian mereka hanya berdua saja di rumah itu. Ouw Lok Khi dan tiga orang
murid merangkap anak buahnya, pergi untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan
bala bantuan. Thio Ki memang tinggal seorang diri di rumah itu. Ayah ibunya dan
juga isterinya telah dia ungsikan ke dusun semenjak dia terlibat permusuhan
dengan Kim-lian-pang, dan semua pelayan juga sudah disuruh pulang. Hanya Ci
Goat yang ditinggal di rumah untuk melayani keperluan Han Siong yang mereka
hormati.
"Taihiap,
silakan makan pagi," kata Ci Goat sesudah dia menyiapkan makan pagi di
meja ruangan makan. "Semenjak pagi sekali tadi ayah bersama tiga orang
suheng sudah pergi berkunjung ke Ki-lam untuk mengumpulkan teman. Silakan
Taihiap makan sendiri."
"Ahh,
mari kita makan bersama, Nona. Engkau pun belum makan pagi bukan?"
"Harap
jangan sebut aku nona, tidak enak rasanya... seakan-akan kita ini saling merasa
asing..."
"Tapi
engkau pun menyebut taihiap padaku, Nona."
"Engkau
memang seorang pendekar sakti, pantas disebut taihiap. Akan tetapi aku... ahh,
sebut saja namaku. Namaku Ci Goat."
"Aku
mau menyebutmu adik Ci Goat kalau engkau juga mau merubah sebutan kepadaku.
Panggil saja aku toako (kakak)."
Gadis itu
tersenyum dan kembali kedua pipinya berubah merah sekali. "Baiklah..., Toako."
katanya sambil menunduk. "Silakan makan pagi, Toako."
"Kita
hanya berdua saja di rumah ini, apa salahnya kalau kita makan bersama, Goat-moi
(adik Goat)? Hayolah, bukankah engkau sendiri bilang bahwa kita ini bukan orang
asing?"
Biar pun
masih tersipu, akhirnya Ci Goat mau juga diajak makan bersama. Setelah duduk
berhadapan dekat, hanya terhalang meja makan, barulah Han Siong mendapat
kenyataan bahwa biar pun gadis ini sederhana sekali, wajahnya tanpa bedak dan
gincu, akan tetapi wajah itu sungguh bersih dan manis. Juga sikapnya amat
sederhana, tidak banyak cakap, jarang tertawa, bahkan wajahnya diliputi awan
duka.
Namun mulut
itu selalu membayangkan senyum ramah, senyum dikulum yang membuat wajahnya
tampak manis selalu. Juga ketika dia bicara dan Han Siong memperhatikannya,
gadis itu memiliki gigi yang berderet rapi dan putih bersih.
"Goat-moi,
setelah kita kini menjadi sahabat yang akrab, kiranya sudah sepantasnya jika
aku mendengar lebih banyak tentang dirimu dan ayahmu. Maukah engkau menceritakan
riwayat dan keadaanmu sampai engkau kehilangan tempat tinggal seperti sekarang
ini?" tanya Han Siong ketika mereka baru saja selesai makan dan dia turut
membantu gadis itu membersihkan meja, menyingkirkan sisa makanan dan mencuci
mangkok.
Dara itu menarik
napas panjang. "Tidak banyak yang dapat kuceritakan, Twako, dan yang dapat
diceritakan hanya hal-hal yang menyedihkan saja. Aku sudah kehilangan ibuku
saat berusia kurang dari sepuluh tahun. Semenjak itu aku hidup berdua dengan
ayah dan para suheng, dan aku dididik oleh ayah, mempelajari ilmu silat dan
ilmu baca tulis sekedarnya. Sesudah remaja aku membantu pekerjaan ayah,
kadang-kadang membantu pengawalan kiriman barang bersama para suheng. Kemudian
terjadilah mala petaka yang disebabkan oleh Kim-Iian-pang itu. Hampir semua
anggota perkumpulan kami binasa, hanya tinggal kami berlima. Juga dalam
perkelahian itu aku telah kehilangan... calon suamiku..."
"Ahhh...!
Sungguh menyedihkan! Kasihan sekali engkau, Goat-moi!" kata Han Siong yang
terkejut dan juga ikut bersedih.
Gadis itu
kemudian menarik napas panjang. "Jangan engkau salah duga, Twako. Bagiku
kematiannya tiada bedanya dengan kesedihan melihat para suheng lain yang juga
tewas. Tunanganku itu juga seorang suheng-ku, murid dari ayah. Terus terang
saja, perjodohan itu atas kehendak ayah, namun bagiku dia itu seperti para
suheng yang lain. Aku bahkan sering termenung dan sulit membayangkan dia
menjadi suamiku kelak. Sudahlah, kini dia sudah tidak ada dan semoga dia
mendapatkan tempat yang penuh damai."
Sekarang Han
Siong tidak berani banyak bicara lagi, takut jika mengusik kenangan yang
menyedihkan. Akan tetapi dia maklum bahwa gadis ini tidak mencintai tunangannya
yang tewas itu, dan kalau dia mau dijodohkan dengannya, hal itu hanya karena
dia mentaati perintah ayahnya saja. Secara diam-diam dia menaruh hati iba
kepada gadis yang manis ini yang telah begitu percaya kepadanya sehingga
menceritakan semua tentang dirinya.
"Toako,
sekarang tiba giliranmu. Aku pun ingin sekali mendengar riwayatmu, tentu hebat.
Maukah engkau menceritakan kepadaku, toako?" tanya gadis itu dan mereka
kini duduk di belakang rumah, di atas bangku dalam taman yang bermandikan
cahaya matahari pagi.
"Tidak
ada hal yang menarik, Goat-moi. Ayahku juga seorang pangcu, ketua dari
Pek-sim-pang di daerah Kong-goan yang sangat jauh dari sini, jauh di barat
sana. Sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, dan sekarang aku sedang melakukan
perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan memperbanyak pengetahuan. Kebetulan
saja aku lewat di sini sehingga bertemu dengan kalian berlima."
Han Siong
memang tidak suka terlalu banyak bercerita tentang dirinya, dan agaknya hal ini
terasa pula oleh Ci Goat, maka gadis itu pun tidak mendesak. Hanya ada satu hal
yang sejak tadi agaknya mengganjal hati Ci Goat, dan kini dengan memberanikan
diri, dengan kedua pipi berubah kemerahan ketika dia menatap wajah pemuda itu,
dia pun berkata,
"Toako,
kurasa usiamu jauh lebih tua dari pada aku yang berusia delapan belas
tahun," Jelas bahwa ucapan ini memancing keinginan tahuannya tentang usia
pemuda itu.
Han Siong
tersenyum. "Tentu saja aku jauh lebih tua, adik Goat. Aku sudah berusia
dua puluh dua, hampir dua puluh tiga tahun."
"Ah,
kalau begitu tentu engkau telah berkeluarga, Toako," kata gadis itu cepat
dan sambil lalu, seolah acuh.
Mendengar
pertanyaan ini, Han Siong merasa betapa hatinya tertusuk karena dia teringat
kepada Siangkoan Bi Lian, gadis yang dicintanya namun juga telah menolaknya! Ci
Goat telah berterus terang kepadanya, maka sudah sepantasnya kalau dia pun
berterus terang, sekalian mendapat kesempatan untuk menyalurkan rasa penasaran
dan kekecewaannya.
"Seperti
juga engkau, tadinya aku sudah ditunangkan oleh guru-guruku, tapi pertunangan
itu gagal..."
Dara itu
terbelalak, memandang dengan matanya yang jeli, dan bayangan senyum segera
menghilang dari ujung bibirnya. "Dia... dia juga... mati...?"
Han Siong
menggeleng kepala kemudian menghela napas. "Dia menolak untuk berjodoh
denganku."
"Ahhh...!"
Gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih, "tidak mungkin... tidak
mungkin..."
Han Siong
mengangkat muka, memandang dengan sinar mata heran. "Apanya yang tidak
mungkin, Goat-moi?"
"Bagaimana
mungkin seorang gadis menolak engkau untuk menjadi jodohnya...!" tiba-tiba
gadis itu berhenti bicara dan menundukkan mukanya yang kemerahan, karena dia
merasa betapa dia telah kelepasan bicara, begitu saja mengeluarkan suara hati
melalui mulutnya.
Han Siong
tersenyum pahit, kemudian dia pun berjalan meninggalkan gadis itu menuju ke
kamarnya. Malam itu Han Siong gelisah dan tidak bisa tidur. Percakapan dengan
Ci Goat tadi telah membongkar kenangan lama, membuat wajah Bi Lian selalu
terbayang di depan mata, mendatangkan rasa rindu yang hebat. Ketika Ci Goat
menawarkan makan malam, dia mengatakan bahwa dia tidak lapar dan minta kepada
gadis itu untuk makan malam sendiri.
"Taruh
saja di atas meja, Goat-moi, nanti kalau lapar aku akan mengambilnya sendiri,"
katanya dengan lesu.
Agaknya Ci
Goat juga melihat sikap pemuda yang lesu itu, maka dia pun tidak berani lagi
mengganggunya. Tadi ketika makan siang pun pemuda itu hanya makan sedikit dan
tidak banyak bicara.
Malam telah
larut, namun Han Siong masih rebah termenung tidak dapat pulas. Tiba-tiba
pendengarannya yang tajam menangkap suara di belakang rumah. Dia menjadi curiga
dan cepat dia turun dari pembaringan, mengenakan sepatunya lantas berindap
keluar dari kamarnya, cepat menuju ke belakang rumah.
Kiranya yang
menimbulkan suara itu adalah Ci Goat! Gadis itu keluar dari rumah menuju ke
kebun di belakang sambil membawa buntalan. Han Siong menahan diri tidak
menegur, hanya membayangi dengan perasaan heran. Apa yang hendak dilakukan
gadis itu pada malam hari begini?
Ci Goat
berhenti dekat bangku panjang di mana pagi tadi mereka duduk bercakap-cakap,
lalu dia meletakkan buntalan di atas bangku dan membukanya. Kiranya buntalan
itu terisi alat-alat untuk bersembahyang, seperti hio-swa (dupa biting) dan lain-lain.
Dan gadis itu lalu meletakkan semua persiapan sembahyang di atas bangku,
menyalakan hio dan mulai bersembahyang!
Dara itu
mengucapkan kata-kata permohonan dengan suara bisik-bisik. Dia merasa yakin
bahwa tidak mungkin ada orang yang akan mendengar suaranya yang sangat lirih.
Kebun itu sunyi dan kosong, dan andai kata ada orang didekatnya pun tak akan
bisa menangkap kata-kata doa yang diucapkan sambil berbisik.
Dia salah
perhitungan! Orang biasa mungkin tidak dapat menangkap kata-kata bisikan itu,
namun pendengaran Han Siong lain dari pada orang biasa. Biar pun jarak antara
dia yang berada di balik batang pohon tidak terlalu dekat dengan gadis itu,
namun di tempat yang sesunyi itu dia mampu menangkap kata-kata doa gadis itu
dengan jelas!
Ternyata
gadis itu berdoa untuk dia! Gadis Itu bersembahyang untuk dia. Antara lain yang
didengarnya adalah kata-kata yang membuatnya terharu sekali,
"Ya
Tuhan, Tuhan dari Bumi dan Langit, dengarlah permohonan saya ini. Kalau sampai
terjadi perkelahian dengan Kim-lian-pang kelak, lindungilah Toako Pek Han
Siong, berilah kemenangan padanya atau andai kata dia kalah pun, lindungilah
dia. Jangan sampai aku kehilangan dia pula, ya Tuhan, karena dialah
satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapanku, dialah satu-satunya orang
yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku..."
Han Siong
tidak dapat mendengarkan terus. Dia sudah berkelebat pergi dengan jantung
berdebar dan muka terasa panas. Gadis itu jatuh cinta padanya! Begitu sampai di
dalam kamarnya, kembali dia termenung. Sekali ini bukan membayangkan wajah Bi
Lian, namun yang terbayang adalah wajah Ci Goat, gadis yang bersembahyang bagi
keselamatannya, gadis yang takut kehilangan dia, yang mencintanya dengan jiwa
raganya!
Pada
keesokan harinya dia bersikap biasa, akan tetapi sekarang baru dia mengerti
akan pandangan mata gadis itu yang tadinya dianggap aneh. Ternyata pandangan
mata gadis itu penuh dengan sinar kagum dan cinta! Hal ini membuat dia merasa
rikuh sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan merasa semakin kasihan
kepada gadis itu.
Kalau saja
Ci Goat tahu bahwa hatinya telah melekat pada bayangan Bi Lian dan bahwa tidak
mungkin ada gadis lain di dunia ini yang dapat menjatuhkan cinta hatinya! Dia
hanya mencinta Bi Lian seorang, dan andai kata dia dapat mencinta gadis lain,
tentu tidak akan seperti cintanya kepada Bi Lian.
Sepekan
kemudian siaplah sudah pasukan yang dikumpulkan oleh Ouw Pangcu. Mereka itu
adalah sekumpulan orang-orang gagah dari beberapa perkumpulan silat yang pernah
menerima penghinaan dari Kim-lian-pang. Jumlah mereka tak kurang dari dua ratus
orang!
Mereka yang
bersedia membantu adalah para anggota perkumpulan silat yang rata-rata
mempunyai ilmu silat yang lumayan, dipimpin oleh ketua atau guru masing-masing.
Tentu saja para pimpinan ini pun lihai, satu tingkat dengan ilmu kepandaian Ouw
Pangcu dan jumlah mereka ada enam orang.
Enam orang
ini kemudian dipertemukan dengan Han Siong dan mereka semua merasa kagum kepada
pemuda itu ketika mereka mendengar betapa Han Siong adalah seorang di antara
para pendekar yang pernah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin
mendiang Lam-hai Giam-lo. Mereka lalu mengadakan perundingan dan menyusun
siasat.
Pada hari
yang sudah ditentukan, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi berdiri di lereng Bukit
Kim-lian-san dekat puncak, kemudian beberapa orang anak buahnya melepas anak
panah berapi ke arah puncak. Sesudah beberapa kali melepas panah berapi dan di
antaranya ada yang membakar daun-daun kering dekat puncak, Pek-tiauw Pangcu Ouw
Lok Khi lalu mengeluarkan teriakan nyaring sambil mengerahkan tenaga khikang.
"Haiii,
para pimpinan Klm-lian-pang! Kalau kalian memang gagah perkasa, turunlah dari
puncak dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Sampai tiga
kali dia mengulang teriakannya itu, kemudian bersama semua pasukan yang telah
siap di tempat itu, dia bersembunyi. Kini hanya Han Siong seorang yang menanti
di lapangan rumput di lereng bukit itu, dengan sikap waspada dan hati-hati.
Tidak lama
kemudian nampak bayangan orang berkelebat dari atas dan tahu-tahu di situ sudah
berdiri seorang pria muda yang tampan dan gagah. Tadinya Han Siong mengira
bahwa ketua Kim-lian-pang, yaitu Sim Ki Liong yang muncul sendiri. Akan tetapi
sesudah dia memperhatikan, yang muncul itu adalah seorang pria muda berusia
kira-kira tiga puluh tahun yang tidak dikenalnya.
Pria ini
bertubuh tinggi besar. Wajahnya berkulit putih dan tampan gagah, kedua matanya
mencorong aneh. Pria ini bertangan kosong, tapi sikapnya yang tenang itu, tanpa
senjata, dan pemunculannya yang tiba-tiba bagaikan setan, sudah menunjukkan
bahwa dia adalah seorang lawan yang tangguh.
Pria itu
bukan lain adalah Tang Cun Sek. Para pimpinan Kim-lian-pang marah bukan main
melihat serangan anak panah berapi itu. Walau pun anak panah yang diluncurkan
itu tidak sampai mencapai puncak sehingga tidak mengenai perumahan Kim-lian-pang,
akan tetapi cukup mengejutkan juga, apa lagi ada beberapa batang anak panah
berapi yang sempat mengakibatkan kebakaran sesudah mengenai daun-daun kering di
atas tanah. Anak buah Kim-lian-pang terpaksa harus cepat-cepat memadamkan
kebakaran itu sebelum menjalar dan membakar hutan di dekat puncak.
Ketika
mereka mendengar tantangan yang diteriakkan oleh Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi,
Tang Cun Sek segera berkata kepada Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi bahwa dia akan
menghadapi ketua Pek-tiauw-pang itu.
"Hemm,
aku yakin dia tidak datang sendirian. Tentu banyak kawannya, dan tentu dia
telah membentuk pasukan yang kuat. Kalau tidak, mana dia berani bersikap
seperti itu?" kata Ji Sun Bi yang berhati-hati.
"Aku
pun menduga demikian," kata Sim Ki Liong. "Tang-toako, engkau
keluarlah dulu dan sambut tantangan itu, kami mengikuti dari belakang karena
aku hendak mempersiapkan anak buah lebih dulu untuk bertahan kalau-kalau mereka
berani menyerang ke atas dan kita harus dapat membasmi mereka."
Tan Cun Sek
menyanggupi lalu dia pun berlari turun dari puncak. Ketika dia melihat ada
seorang pemuda berdiri seorang diri di lapangan rumput itu, dia pun cepat
menghampiri dan mereka kini sudah berdiri saling berhadapan dan saling pandang
dalam jarak kurang lebih empat meter saja.
Laksana dua
ekor ayam aduan, mereka berdua saling pandang dengan sinar mata penuh selidik,
seperti hendak mengetahui keadaan lawan masing-masing. Watak Cun Sek yang
tinggi hati membuat dia belum apa-apa sudah memandang rendah terhadap calon
lawan itu.
"Mana
dia ketua Pek-tiauw-pang yang berteriak menantang tadi?" tanyanya.
"Kenapa dia bersembunyi dan siapakah engkau?"
Han Siong
tersenyum tenang. "Memang akulah yang mewakilinya untuk menghadapi para
pimpinan Kim-lian-pang. Di mana adanya ketua Kim-lian-pang? Biarkan dia turun
sendiri untuk menandingiku."
"Keparat,
engkau hanya datang mengantar nyawa. Tak perlu Kim-lian Pangcu yang maju
sendiri, sudah cukup aku untuk menghajarmu, kalau perlu membunuhmu!" kata
Tang Cun Sek sambil melangkah maju.
"Hemm...!
Sayang, sungguh sayang, seorang muda yang gagah seperti engkau ternyata hanya
menjadi kaki tangan iblis-iblis seperti Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi. Tentu
engkaulah yang bernama Tang Cun Sek, bukan? Hemm, apa saja yang kau peroleh
dari mereka? Janji muluk, harta dan juga kecabulan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi itu,
bukan?"
Mendengar
ucapan ini, seketika wajah Cun Sek menjadi merah sekali. Memang ucapan itu
dengan tepat menelanjanginya, maka dapat dibayangkan betapa rasa malu membuat
dia marah bukan main.
"Tutup
mulutmu, keparat busuk!" bentaknya dan dia sudah menerjang dengan dahsyat.
Kedua
tangannya bergerak cepat dan kuat sekali, mendatangkan tenaga yang amat hebat
karena dia sudah mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang
yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Cjn-ling-pai.
Menghadapi
serangan yang dahsyat ini, tentu saja Han Siong tidak berani memandang ringan.
Dari angin pukulan itu saja dia pun maklum bahwa benar seperti yang diduganya,
lawan ini bukanlah lawan yang ringan. Dia pun cepat mengelak.
Tetapi
gerakan Cun Sek memang cepat sekali, karena begitu pukulannya luput, tubuhnya
segera membalik dan kembali dia sudah melakukan serangan bertubi-tubi yang
sambung menyambung.
Han Siong
berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan serangan-serangan itu sambil
memperhatikan gerakan lawan. Diam-diam dia pun terkejut dan heran sekali. Jelas
bahwa pemuda ini menjadi pembantu dua orang muda yang sangat jahat, maka
sepantasnyalah kalau pemuda ini juga seorang tokoh sesat. Akan tetapi kenapa
gerakan silatnya demikian bersih? Bahkan ilmu silatnya sendiri jauh kalah
bersih kalau dibandingkan ilmu silat yang dimainkan penyerangnya itu.
Dia menerima
ilmu-ilmunya dari suhu dan subo-nya, dan memang dua orang gurunya itu pernah
membuat pengakuan bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk sesat sehingga ilmu
mereka pun tidak bersih.
"Bagaimana
pun juga, yang menentukan bersih kotornya suatu ilmu adalah pemakainya,"
demikian suhu-nya pernah berkata. "Sudah menjadi kewajibanmu untuk membuat
seluruh ilmu silat kita menjadi ilmu yang bersih dengan menghilangkan
sifat-sifat yang curang dan licik, menghilangkan penggunaan hawa beracun, dan
terutama sekali menggunakannya untuk menentang kejahatan dan membela keadilan
dan kebenaran!"
Dan selama
ini dia selalu mentaati pesan gurunya itu, bahkan sesudah dia memperoleh
gemblengan dari Ban Hok Lojin, maka ilmu-ilmu dari gurunya dapat disempurnakan
dan dibersihkan.
Setelah
mempelajari gerakan lawan sampai belasan jurus, barulah Han Siong membalas dan
mengingat akan kelihaian lawan, dia pun langsung memainkan ilmu silat Pek-hong
Sin-ciang yang diperolehnya dari Ban Hok Lojin. Begitu dia memainkan ilmu silat
ini, maka terkejutlah Cun Sek. Angin menyambar-nyambar laksana badai dan setiap
kali lengannya bertemu dengan lengan lawan, Cun Sek terdorong sampai terhuyung
ke belakang!
Karena
terkejut, setelah berdiri tegak kembali dia tidak segera menyerang lagi,
melainkan memandang dengan mata mendelik, penuh rasa penasaran dan marah karena
malu.
"Singggg...!"
Ketika
tangan kanannya meraba pinggang, tiba-tiba berkelebat sinar emas dan pedang
pusaka Hong-cu-kiam telah berada di tangan kanannya.
"Keparat!"
Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Han Siong.
"sebelum engkau kubunuh, katakanlah siapa namamu agar jangan sampai engkau
mati tanpa nama!"
Han Siong
tersenyum. Pemuda bernama Tang Cun Sek ini bukanlah orang yang sedang
dicarinya. Yang ingin dilawannya adalah Sim Ki Liong, akan tetapi bagaimana pun
juga, pemuda di depannya ini merupakan seorang pembantu yang amat lihai dari
Sim Ki Liong. Bahkan mungkin tidak kalah dibandingkan dengan Ji Sun Bi, maka
harus ditundukkan!
Apa lagi
pedang yang kini berada di tangannya itu jelas bukan pedang biasa, melainkan
sebatang pedang pusaka yang ampuh. Dari sinarnya saja dia sudah tahu bahwa
pedang tipis yang tadi menjadi sabuk itu amat berbahaya. Padahal dia sendiri
sudah tak memiliki pedang, karena pedang pusaka Kwan-im Po-kiam pemberian
gurunya yang juga menjadi tanda ikatan jodoh sudah dia kembalikan kepada suhu
dan subo-nya. Biarlah, dia hendak menguji dulu sampai di mana kelihaian
lawannya itu.
"Hemm,
namaku Pek Han Siong, kawan. Lebih kusayangkan lagi bahwa pedang pusaka sebaik
itu akan kau pergunakan untuk kejahatan!"
Cun Sek
belum pernah mendengar nama Pek Han Siong, maka baginya nama itu tak ada arti
apa pun. Juga dia melihat lawannya itu masih belum mengeluarkan senjata.
Sebagai seorang yang amat menghargai diri sendiri, Cun Sek merasa penasaran
sekali. Tentu saja dia tidak mau dianggap pengecut karena menyerang orang tanpa
senjata dengan pedang pusakanya, maka dia menantang.
"Pek
Han Siong, tidak perlu banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"
Han Siong
menggelengkan kepalanya. "Aku tidak memegang senjata, tetapi engkau keliru
kalau mengira aku takut menghadapi pedangmu. Aku akan melawan pedangmu dengan
tangan kosong."
"Manusia
sombong, jangan salahkan aku kalau tubuhmu akan terbabat menjadi beberapa
potong. Lihat pedang!" Terdengar suara berdesing dan nampak sinar emas
menyambar ke arah leher Han Siong......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment