Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 15
Kini dia
cepat-cepat menghampiri Han Siong yang sudah tak mampu bergerak, kemudian
menyusulkan beberapa tekanan pada jalan darah Han Siong sehingga Han Siong
benar-benar tidak mampu berkutik lagi.
Hay Hay lalu
mengamati wajah yang telentang itu. Memang wajah Han Siong, akan tetapi sinar
mata itu! Sungguh beringas dan penuh kemarahan.
"Keparat,
kau curang! Kubunuh kau!" Han Siong menggerutu dan matanya berkilat marah.
Hay Hay
mencoba untuk mempergunakan kekuatan sihirnya. Dengan pandang matanya yang mencorong
dia menatap wajah itu, menentang pandang matanya, lantas terdengar suaranya
yang dalam dan menggetar penuh kekuatan sihir. "Han Siong, sadarlah.
Engkau Pek Han Siong... dan aku adalah Hay Hay! Sadarlah dan lepaskan pengaruh
kekuasaan dunia kegelapan...!”
Akan tetapi
hasilnya sia-sia belaka. Sepasang mata itu masih berkilat marah dan setelah
beberapa kali mengulang usahanya tanpa hasil, Hay Hay duduk termenung, menjadi
agak bingung. Kalau saja dia tahu di mana adanya tiga orang pendeta Lama itu
sehingga dapat menggempur mereka, tentu Han Siong akan dapat dibebaskan dari
permainan sihir hitam mereka.
Kemudian dia
pun teringat. Batu giok mustika yang dimilikinya! Beberapa tahun yang lalu,
karena merasa berhutang budi kepadanya, seorang jaksa, yaitu Kwan Taijin
(Pembesar Kwan) telah menghadiahkan pusakanya yang sangat berharga, yaitu
sebuah giok mustika yang berwarna belang merah dan hijau. Jaksa dari kota
Siang-tan itu menghadiahkan batu giok itu kepadanya dan sampai sekarang masih
tergantung di lehernya.
Batu giok
mustika itu merupakan obat pencegah racun yang amat mujarab. Segala jenis racun
dapat dihisap dan dilenyapkan dari tubuh oleh batu giok mustika itu. Dan
menurut penuturan jaksa itu, batu giok itu masih mempunyai khasiat lain, yaitu
memiliki kekuatan mukjijat untuk menolak kekuatan setan. Dia belum pernah
membuktikannya, akan tetapi sekarang, apa salahnya kalau dia mencobanya?
Dia segera
melepaskan tali yang mengikat mustika batu giok itu dari lehernya. Kalau dia
mempergunakan totokan pada bagian kepala yang bawah di atas tengkuk dari Han
Siong, yang menjadi pusat penerimaan segala yang datangnya dari luar, tentu
hubungan dengan kekuatan sihir hitam itu akan terputus. Namun hal itu berbahaya
sekali karena Han Siong akan menjadi terputus sama sekali dengan hal-hal di
luar dirinya, dan kalau terlalu lama dapat membuat pemuda itu menjadi hilang
ingatan dan hilang pula daya pikirnya.
Akan tetapi,
jika batu giok ini memang mempunyai kekuatan ajaib yang halus, siapa tahu mampu
membebaskan Han Siong dari pengaruh sihir, atau setidaknya dapat mengurangi
kekuatan sihir itu. Dengan pikiran demikian Hay Hay segera memutuskan untuk
mencoba keampuhan batu giok mustika miliknya.
Hay Hay lalu
menggosok-gosokkan batu giok itu pada seluruh kepala, wajah serta leher,
kemudian ditempelkan hingga lama pada tengkuk sambil terus memperhatikan wajah
Han Siong. Tidak lama kemudian Hay Hay melihat perubahan pada pandang mata itu.
Kalau tadi, ketika dia mulai dengan penggosokan batu giok, sepasang mata itu
nampak berkilat marah, kini kilatan kemarahan itu semakin menipis dan akhirnya
memudar. Tiba-tiba Han Siong membelalakkan matanya dengan pandang mata heran.
"Heiii!
Hay Hay, apa yang kau lakukan ini? Ihhh... aku tertotok!" serunya ketika
dia gagal menggerakkan kaki tangannya.
"Han
Siong, dengarkan baik-baik dengan hati tenang dan sabar. Engkau baru saja sadar
dari pengaruh sihir hitam yang sangat jahat. Tadi engkau menyerangku dan kita
berkelahi, untung dengan akal aku dapat menotokmu roboh. Sekarang coba kau
kerahkan kekuatan batinmu untuk merasakan datangnya serangan pengaruh sihir
itu. Cepat...!”
Hay Hay
mengangkat batu gioknya dan Han Siong yang cerdik segera mentaati perintah Hay
Hay. Benar saja, begitu batu giok di angkat, dia merasakan getaran aneh, akan
tetapi sekarang dia mampu menahannya dengan kekuatan sihirnya sendiri.
“Hay Hay,
ada getaran aneh... begitu kuat untuk menguasai diriku. Ah, ada dorongan agar
aku memusuhimu, membunuhmu...”
“Bagus,
engkau sudah dapat merasakannya dan dapat menguasainya. Dengar baik-baik, Han
Siong. Engkau pertahankan terus dengan kekuatanmu dan peganglah kuat-kuat batu
ini, tempelkan di atas tengkukmu, nah, di sini, dan pengaruh itu akan menipis.
Akan tetapi jangan ditolak sama sekali, melainkan ikuti saja...”
“Kau gila?
Mengikuti pengaruh itu?”
“Maksudku,
ikuti saja kalau pengaruh itu memanggilmu karena hal itu akan membawa kita
kepada yang melepaskan sihir atas dirimu. Aku akan membayangi dari belakang dan
kita bersama akan menumpas mereka!”
“Mereka? Kau
maksudkan... para pendeta Lama itu?”
"Siapa
lagi? Mereka telah mengambil darahmu untuk menyihirmu. Ingat, jangan kau turun
tangan menyerang kalau belum kuberi tanda. Sebaiknya urusanmu dengan Dalai Lama
ini segera diselesaikan agar jangan sampai engkau terganggu lagi!"
"Maksudmu
bagaimana, Hay Hay...?" Han Siong bertanya bingung karena dia masih saja
merasakan tarikan yang kuat dari pengaruh sihir hitam itu.
"Jangan
banyak bicara tetapi dengarkan baik-baik, Han Siong. Pendeta Lama itu sedang
mempengaruhimu agar bermusuhan dengan aku, dan kalau tidak keliru dugaanku, hal
itu bertujuan agar dengan mudah engkau akan dapat mereka bawa ke Tibet.
Bukankah dari dahulu, sejak kau bayi, mereka itu memang hendak membawamu ke
sana? Sekaranglah saatnya yang baik. Engkau telah tahu bahwa engkau disihir,
akan tetapi dengan batu giok itu engkau dapat menolak sihir mereka. Engkau
pura-pura dalam pengaruh sihir mereka dan bila mereka mengajakmu ke Tibet, kau
ikuti saja. Aku membayangimu dari belakang dan kita bersama akan melihat apa
yang sesungguhnya terjadi di sana. Maukah engkau menempuh petualangan baru di
Tibet bersamaku? Tentu akan penuh bahaya dan hebat sekali. Maukah engkau?"
Hay Hay
tidak menyebut tentang Ci Goat karena kalau sampai pemuda itu menyadari apa
yang sudah diperbuatnya dengan Ci Goat maka hal itu akan menjadi pukulan batin
yang sangat berat dan akan melemahkannya sehingga pengaruh sihir itu akan lebih
mudah lagi menguasainya.
“Baik, aku
mengerti. Ahh, dorongan itu makin kuat, menyuruh aku membawa pakaianku dan
pergi dari rumah itu...”
"Bagus,
sekarang kubebaskan engkau dan ikuti saja, Han Siong. Ingat, segera gunakan
batu kemala (giok) itu kalau sampai dorongan itu terlalu kuat. Engkau harus
selalu dapat menguasai dirimu, dan hanya berpura-pura saja taat kepada pengaruh
sihir mereka."
Tanpa
ragu-ragu lagi Hay Hay lalu membebaskan totokan pada tubuh Han Siong. Pemuda
ini dapat bergerak kembali dan Hay Hay mengangguk-angguk.
"Nah,
turutilah perintah melalui pengaruh sihir itu Han Siong."
Keduanya
lalu kembali ke rumah keluarga Ouw, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Kini di dalam telinga Han Siong terdengar jelas perintah bahwa dia harus
membunuh Hay Hay, atau menjauhkan diri dan setelah mengambil pakaian harus
meninggalkan rumah itu tanpa setahu Hay Hay. Tanpa setahu Hay Hay? Akan tetapi
Han Siong segera tersenyum. Hay Hay akan mengetahuinya, yang tidak tahu adalah
mereka yang menyihirnya!
Kedatangan
mereka disambut oleh Ouw Lok Khi yang terlihat bingung dan gelisah sekali.
Betapa terkejut rasa hati Hay Hay ketika mendengar dari tuan rumah itu bahwa
Ouw Ci Goat telah pergi dari dalam kamarnya! Ia mengamati wajah Han Siong yang
mengerutkan alis dan kelihatan terheran-heran. Agaknya Han Siong belum
menyadari apa yang sudah dia lakukan tadi malam, atau menganggapnya sebagai
mimpi saja.
"Kapan
perginya, Paman Ouw? Dan ke mana?"
"Entah
ke mana dan kapan, akan tetapi pagi-pagi sekali tadi dia sudah tidak ada di
dalam kamarnya, dan dia membawa pedangnya. Tadinya, melihat bahwa ji-wi taihiap
(pendekar besar berdua) juga tidak berada di kamar, hati kami merasa lega dan
mengira bahwa dia pergi bersama ji-wi (kalian). Akan tetapi sekarang ji-wi
sudah pulang dan dia... ahhh, ke mana perginya anakku?"
"Hemm,
jangan khawatir, Paman. Kami berdua akan segera pergi mencarinya!" kata
Hay Hay.
Wajah Ouw
Lok Khi kelihatan lega. "Ahh, terima kasih. Kalau ji-wi yang pergi
mencarinya maka hatiku tidak akan khawatir lagi."
Han Siong
lalu mengambil pakaiannya, demikian juga Hay Hay dan tidak lama kemudian,
sesudah matahari naik agak tinggi, Han Siong memberi isyarat kepada Hay Hay
bahwa pengaruh sihir itu mulai memerintahkan agar dia pergi dari situ!
Mereka lalu
pergi meninggalkan rumah Ouw Lok Khi. Setelah tiba di luar kota, Hay Hay
memberi isyarat agar Han Siong terus mengikuti arah yang ditunjukkan dalam
pengaruh sihir, sedangkan dia sendiri mengikuti atau membayangi dari jauh.
***************
Ke mana
perginya Ci Goat? Tadi malam dia sudah mengalami hal yang sama sekali tak
pernah disangkanya. Ketika dia mendengar dari Hay Hay bahwa Pek Han Siong,
pemuda yang dicintanya itu, tidak mungkin dapat menyambut dan membalas
cintanya, dia merasa berduka walau pun duka itu sudah banyak berkurang karena
jasa Hay Hay yang pandai menghiburnya dan menyadarkannya. Akan tetapi bagamana
pun juga malam itu dia tidak dapat tidur dan lebih banyak melamun sambil
berbaring.
Dia belum
tidur ketika ada ketukan daun jendela, dan dapat dibayangkan betapa gembira dan
tegang rasa hatinya ketika mendengar bahwa yang mengetuk daun jendela kamarnya
adalah Pek Han Siong dan pemuda itu minta dibukakan jendela karena ingin
bicara!
Ketegangan
dan kegembiraan itu berubah menjadi lautan kebahagian setelah pemuda itu
melompat ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan langsung merangkulnya!
Hampir dia tidak dapat mempercayai apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya,
disangkanya dia sedang dalam mimpi.
Akan tetapi,
karena pada saat itu dia sedang kehausan kasih sayang, sedang patah hati
setelah tadi mendengar bahwa orang yang dicintanya tidak dapat menerima
cintanya, kini melihat betapa orang yang dicintanya itu datang-datang merangkul
dan menciuminya, Ci Goat kehilangan semua keseimbangan hatinya. Dia hanyut dan
terseret. Dia tidak peduli apa pun yang akan menjadi akibatnya. Dia menyerah
sebulatnya, penuh kepasrahan dan dengan suka rela, bahkan menyambut dengan api
gairah yang menyala-nyala.
Dia dan
kekasihnya itu sampai lupa diri, lupa tempat dan waktu. Sesudah Pek Han Siong
meninggalkannya baru dia terkejut. Selama tenggelam dalam gelombang nafsu
birahi dan kemesraan tadi, keduanya tidak sempat bicara. Dalam keadaan seperti
itu, kata-kata tidak ada artinya lagi. Pikiran tidak lagi bekerja, kesadaran
tidak lagi bergerak. Yang ada hanya satu, yaitu mengikuti dorongan gairah dan
nafsu birahi yang menguasai seluruh diri lahir batin, lain-lain hal tidak masuk
hitungan lagi.
Ci Goat baru
tersentak kaget setelah Han Siong meninggalkannya. Dia kaget bukan main melihat
kenyataan yang tidak masuk di akal itu. Dia sudah menyerahkan diri begitu saja
kepada seorang pria, bahkan menyambut dengan gairah yang sama besarnya! Meski
dia mencinta pria itu dengan seluruh jiwa raganya, namun penyerahan itu sungguh
menyalahi segala peraturan, melanggar kesusilaan dan merendahkan martabatnya
sebagai seorang wanita! Dia tidak menyesal, melainkan terkejut dan juga
terheran mengapa hal seperti itu bisa terjadi!
Dia mengenal
Han Siong bukan sebagai seorang pemuda seperti itu, dan dia sendiri juga
seorang gadis yang memiliki harga diri tinggi. Maka timbul rasa penasaran di
hatinya dan dia pun keluar dari kamarnya, diam-diam membayangi kekasihnya yang
menuju kembali ke kamarnya sendiri itu. Tiba-tiba dia melihat munculnya Hay
Hay, lalu dia mendengarkan percakapan antara Han Siong dan Hay Hay.
Semakin
didengarkan percakapan itu, semakin pucatlah wajah Ci Goat. Bibirnya gemetar
dan kedua matanya segera bercucuran air mata setelah dia mendengar ucapan Hay
Hay, "…engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam!
Engkau sudah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han
Siong!"
Dia juga
mendengar ucapan Han Siong, "Aku tidak akan mengawini gadis mana
pun!"
Kini
mengertilah Ci Goat. Dengan hati hancur dia baru mengerti bahwa segala yang
telah terjadi semalam hanya merupakan sesuatu yang palsu. Kepalsuan yang harus
ditebusnya dengan aib dan kehormatannya. Ternyata Han Siong sama sekali tidak
mencintanya! Han Siong melakukan perbuatan tadi bukan atas kehendaknya sendiri,
bukan karena cintanya, bahkan tanpa disadarinya! Dia melakukannya atas tuntunan
pengaruh sihir atau kekuatan hitam dari pendeta Lama.
Tiga orang
pendeta Lama! Ci Goat tersentak dan cepat dia kembali memasuki kamarnya,
mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya. la tahu ke mana dia harus
pergi. Dia telah mendapat keterangan dari seorang penduduk yang ikut menyerbu
para penjahat bahwa beberapa hari sebelumnya ada tiga orang pendeta Lama
bertanya-tanya tentang orang yang bernama Pek Han Siong alias Sin-tong, dan
mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang hadir dalam pemakaman tiga orang
murid Pek-tiauw-pang. Menurut orang itu, dia bertemu dengan tiga orang pendeta
Lama yang tinggal di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, di
sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam.
Kini,
setelah dia mendengar kekuasaan ilmu hitam dari tiga orang pendeta Lama, dengan
hati penuh duka dan dendam Ci Goat pergi menuju ke bukit itu. Cuaca masih gelap
ketika dengan isak tertahan gadis itu berlari mendaki bukit.
Sesudah tiba
di depan kuil tua itu, Ci Goat mencabut pedangnya dan dengan nekat, tanpa
mengenal rasa takut karena duka dan sakit hati menyesak di dada, dia melompat
dan lari memasuki kuil itu. Di tengah kuil itu, di sebuah ruangan yang luas,
dia melihat tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila menghadapi dupa yang
mengepulkan asap tebal dan di atas lantai terdapat coret-coretan, lilin dan
jimat-jimat.
Biar pun dia
tidak tahu apa artinya semua itu, tetapi Ci Goat dapat menduga bahwa tentu
mereka itu sedang melakukan sihir yang menguasai Han Siong. Hal ini
mengingatkan dia akan keadaan dirinya yang sudah ternoda.
Kalau saja
Han Siong melakukan hal semalam atas dirinya dengan suka rela, atas dasar cinta
dan pemuda itu bersedia mempertanggung jawabkannya, tentu dia tak akan merasa
ternoda karena dia pun menyerah dengan suka rela. Akan tetapi pemuda itu
melakukan hal itu bukan karena cinta, melainkan karena ulah ketiga orang
pendeta Lama ini, di luar kesadarannya dan karena itu tidak mau bertanggung
jawab. Maka semua dendam dan sakit hati gadis itu ditumpahkan kepada ketiga
orang pendeta Lama.
"Pendeta
keparat, kalian layak mampus!" bentaknya dan gadis ini telah meloncat
masuk.
Namun tiga
orang pendeta Lama itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan tidak bergerak
seolah-olah tidak tahu akan kehadiran gadis itu. Dengan kemarahan meluap karena
sakit hatinya, Ci Goat menerjang dan mengayun pedangnya ke arah kepala pendeta
terdekat, yaitu Pat Hoa Lama. Pedangnya menyambar ke arah kepala yang gundul
itu dan Pat Hoa Lama sama sekali tidak menangkis atau mengelak, seakan tidak
tahu bahwa kepalanya sedang dibacok orang dengan sebatang pedang yang tajam.
"Singgg…!
Takkk!"
Ci Goat
kaget bukan main. Pedangnya terpental seolah-olah bertemu dengan baja, bukan
kepala manusia! Pada saat itu pula pinggangnya dipeluk orang dan tahu-tahu
pedangnya sudah dirampas dan tubuhnya sudah ditarik sehingga terjatuh ke atas
pangkuan pendeta Lama yang berada di tengah. Pendeta tinggi kurus Janghau Lama
sudah menangkapnya. Mata yang amat sipit itu kini terbuka dan mulutnya yang
ompong menyeringai.
"Ha-ha-ha-ha,
gadis cantik, engkau datang hendak menemani pinceng? Bagus! Memang pinceng
sedang merasa kesepian. Suheng dan Sute, kalian lanjutkan saja permainan kita,
pinceng ingin bermain-main sejenak dengan gadis manis ini!"
Dua orang
pendeta yang lain seperti tidak tahu atau tak peduli, tetap duduk bersila
seperti patung. Janghau Lama bangkit sambil memondong tubuh Ci Goat.
Gadis itu
merasa ngeri melihat keadaan tiga orang pendeta itu. Dia meronta, akan tetapi
sepasang tangannya tidak dapat bergerak karena keduanya telah dipegang dengan
amat kuatnya oleh tangan kiri Janghau Lama yang jarinya panjang-panjang.
Janghau Lama
membawa Ci Goat ke sudut ruangan itu, lalu dia menjatuhkan diri ke atas lantai
sambil mendekap Ci Goat. Tangan kanannya cepat bergerak dan terdengarlah kain
robek berulang kali pda waktu tangan yang kurus panjang namun amat kuat itu
rnerobek-robek semua pakaian dan merenggutnya lepas dari tubuh Ci Goat.
Jelas bagi
Ci Goat apa yang akan dilakukan pendeta itu terhadap dirinya. Dia merasa tak
berdaya. Kini dia maklum bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan tiga orang
pendeta Lama ini. Melawan pun akan percuma saja karena tentu dia akan diperkosa
tanpa mampu mempertahankan diri sama sekali.
Rasa ngeri
membuat dia rnencari akal. Ketika Janghau Lama nampak terangsang setelah
merenggut lepas semua pakaian Ci Goat, pendeta yang kini telah kelihatan watak
aslinya itu mendengus dan mencium mulut Ci Goat. Gadis ini pura-pura lunglai
dan lemas, tidak melawan lagi seolah membiarkan mulutnya dicium. Akan tetapi
begitu bibir Janghau Lama menempel di mulutnya, dia cepat membuka mulut dan
menggigit bibir itu sekuat tenaga.
"Auhhh…!"
Janghau Lama yang sedang dikuasai nafsu birahi itu menjadi lengah, bibirnya
tergigit hampir putus dan terluka. Dia pun segera melepaskan rangkulannya.
Begitu
merasa betapa dirinya telah bebas, Ci Goat cepat-cepat menggerakkan kepalanya,
dibenturkan sekuatnya pada dinding di dekatnya. Terdengar suara nyaring dan
gadis itu terkulai dengan kepala retak! Dia tewas seketika. Agaknya dia memilih
mati membunuh diri dari pada membiarkan dirinya dinodai pendeta Tibet itu,
yakin bahwa dia tidak mampu melawan, tidak akan mampu menghindarkan diri dari
perkosaan.
Janghau Lama
terkejut melihat gadis itu rebah tak bernyawa lagi, cairan merah bercampur
putih keluar dari retakan kepalanya. Terdengar suara Gunga Lama.
"Sute,
engkau sudah bertindak ceroboh. Gadis itu telah tewas, dan urusan tentu menjadi
kacau. Mari kita cepat memperkuat daya pengaruh kita untuk memanggil Pek Han
Siong ke sini!"
Janghau Lama
tidak berani banyak membantah lagi. Dia telah merasa bersalah. Tadi dia
terlampau dipengaruhi nafsu birahi sehingga dia kurang waspada, mudah dibuat
lengah oleh gadis itu yang membunuh diri. Pada hal dia hanya ingin main-main
sebentar sebelum menawan gadis yang datang mengamuk itu.
Dia tahu
bahwa permainan mereka bertiga kini sudah diketahui orang. Buktinya gadis itu
datang dan menyerang. Hal itu berarti bahwa gadis itu sudah mengetahui atau
setidaknya menduga bahwa mereka memainkan suatu permainan rahasia.
Janghau Lama
cepat kembali ke tempatnya semula dan mereka bertiga mengerahkan seluruh
kekuatan untuk memanggil Pek Han Siong melalui ilmu sihir. Bibir Janghau Lama
terluka dan berdarah.
***************
Han Siong
merasa benar tarikan pengaruh yang amat kuat itu, sesuatu yang
memanggil-manggilnya, yang seperti menyedotnya. Dia mengikuti daya tarikan ini
dan kadang, kalau tarikan itu terasa terlalu kuat, dia meraba batu kemala yang
tergantung pada lehernya dan tersembunyi di balik bajunya, lalu menempelkannya
di atas tengkuknya.
Dan benar
saja. Setiap kali dia melakukan itu, daya tarikan itu menjadi berkurang banyak
sekali kekuatannya. Dengan adanya bukti ini, hatinya menjadi tenang. Apa lagi
mengingat bahwa tidak jauh di belakangnya ada sahabatnya yang sangat boleh
dipercaya, yaitu Hay Hay.
Meski pun
bayangan itu suram muram, namun kini Han Siong mulai dapat mengingat apa yang
terjadi tadi malam. Rasanya bagaikan orang mengenang sebuah mimpi yang sudah
hampir terlupa saja.
Akan tetapi,
setiap kali dia mengingatnya bayangan itu cukup membuat mukanya berubah merah.
Apa yang telah terjadi di dalam kamarnya Ci Goat itu! Bergidik dia mengenangkan
semua itu. Walau pun hanya samar-samar, tapi dia dapat menduga apa yang telah
terjadi.
Di bawah
pengaruh daya sihir yang amat kuat, yang bisa melumpuhkan semua kekuatan
sihirnya sendiri, dia telah dituntun memasuki kamar Ci Goat dan dibangkitkan
oleh gairah yang tidak wajar. Dia dapat pula membayangkan penyambutan Ci Goat.
Gadis itu
jatuh cinta kepadanya, bahkan ketika bersembahyang gadis itu mengaku bahwa dia
mencinta dirinya dengan sepenuh jiwa raganya. Agaknya semalam gadis itu pun
telah menyambutnya dengan suka rela.
Setelah Ci
Goat mendengar dari Hay Hay bahwa dia tak dapat menerima dan membalas cintanya,
tentu gadis itu menjadi patah hati dan berduka. Karena itu, ketika malam itu
dia memasuki kamarnya, agaknya gadis itu memperoleh harapan baru. Dan dia
bergidik bila membayangkan apa yang tentu telah terjadi di antara mereka.
Meski pun
samar-samar namun dia masih ingat, dan bulu tengkuknya segera meremang bila
mana dia membayangkan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya. Walau pun dia
melakukannya di luar kesadarannya, karena terpengaruh sihir, namun hal itu
telah terjadi. Ci Goat kini telah ternoda, dan sebagai seorang jantan dia harus
berani mempertanggung jawabkannya.
Tarikan daya
kekuatan itu menuntunnya ke sebuah bukit dan tak lama kemudian dia telah sampai
di depan sebuah kuil tua. Jantungnya berdebar tegang. Kalau menurutkan suara
hatinya, ingin dia menghajar tiga orang pendeta Lama itu karena mereka sudah
membuat dia tanpa disadarinya telah menodai Ci Goat. Hal ini berarti akan
merubah seluruh jalan hidupnya karena dia harus mengawini gadis itu! Sudah
sepantasnya tiga orang pendeta Lama itu dihajar bahkan dibunuhnya!
Akan tetapi
dia teringat akan nasehat Hay Hay. Memang sebaiknya kalau dia menyelidiki dan
membiarkan dirinya dibawa ke Tibet agar urusan dirinya dengan para Lama di
Tibet segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Jika dia membunuh
tiga orang pendeta Lama ini, maka semua jejak menuju ke Tibet akan terputus dan
terhapus.
Dia memasuki
kuil tua itu karena ada dorongan atau tarikan yang amat kuat dari arah itu.
Ketika dia masuk ke ruangan dalam itu, tiga orang pendeta Lama telah bangkit
berdiri dan menyambutnya dengan sikap hormat.
"Terima
kasih bahwa Sin-tong sudah berkenan menerima undangan kami dan datang ke
sini!" kata Gunga Lama sambil memberi hormat, diturut pula oleh dua orang
sute-nya.
Han Siong
bersikap seperti seorang yang linglung. Dia membalas penghormatan itu, lalu
menjawab dengan suara datar. "Sam-wi lo-suhu ada keperluan apakah
mengundang aku ke sini?"
"Sin-tong,
ketahuilah bahwa engkau adalah calon junjungan kami, engkaulah calon Dalai Lama
yang sejati. Sudah terlampau lama kami menantimu, Sin-tong, dan sekarang
tibalah saatnya engkau ikut bersama kami pergi ke tempat di mana selayaknya
engkau berada, yaitu di Tibet, untuk memimpin kami ke Jalan Terang. Marilah,
ikutilah kami, Sin-tong, kita pergi sekarang juga ke barat."
Di dalam suara
itu terkandung kekuatan mukjijat dan Han Siong kini merasakan getaran yang
sangat kuat. Di hadapan mereka, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kemala
mustikanya yang tergantung di lehernya, maka dia pun mengangguk dan berkata
singkat, "Baiklah, aku menurut."
Tiga orang
pendeta Lama itu girang bukan main dan mereka lalu mengajak Han Siong ke luar
dari kuil itu, langsung menuruni bukit menuju ke barat. Di dalam kesempatan ini
diam-diam Han Siong menggerakkan kalungnya sehingga kemala itu berputar ke tengkuknya
dan seketika dia merasa betapa tekanan atau tarikan yang memaksanya itu
mengendur.
Hal ini
perlu dia lakukan agar dia jangan tenggelam ke dalam pengaruh sihir mukjijat
itu. Di dalam keadaan setengah sadar ini dia masih mampu meneliti apa yang
sesungguhnya terjadi dan dia dapat berpura-pura taat dan tunduk atas permintaan
mereka.
Sementara
itu, Hay Hay yang membayangi di belakang mengambil jalan memutar dan dia
memasuki kuil dari arah belakang. Akan tetapi ketika dia tiba di belakang kuil,
dia melihat tubuh seorang wanita menelungkup. Jelas dia sudah tak bernyawa
lagi.
Hay Hay
cepat menghampiri. Mayat itu masih baru, masih ada darah basah di kepalanya.
Dengan sangat hati-hati dia membalikkan tubuh mayat itu dan hampir dia menjerit
saking kagetnya. Ci Goat! Gadis ini telah mendahului Han Siong, entah bagaimana
bisa sampai ke kuil ini dan terbunuh. Kepalanya pecah!
Pada waktu
melihat tiga orang pendeta Lama sedang mengajak Han Siong pergi ke Tibet,
hatinya panas sekali. Siapa lagi yang membunuh Ci Goat kalau bukan mereka?
Ingin dia menerjang dan menghajar mereka. Tetapi dia lantas teringat akan Han
Siong yang sedang pura-pura takluk di bawah kekuasaan mereka. Tidak, dia harus
bersabar.
Bagaimana
pun juga Ci Goat sudah tewas. Kini tinggal menyelesaikan urusan Han Siong
dengan para pendeta Lama. Kasihan pemuda itu yang semenjak bayi terus
dikejar-kejar sampai sekarang. Dia dan Han Siong harus menyelidiki sedalamnya,
kalau perlu bertemu dengan pimpinan para Lama untuk mengajukan protes. Setelah
urusan Han Siong selesai barulah dia akan membalas kematian Ci Goat yang
penasaran itu, menuntut ketiga orang pendeta Lama ini.
Setelah tiga
orang pendeta Lama dan Han Siong meninggalkan kuil, dan melihat betapa mereka
menuruni bukit menuju ke barat, dia lalu cepat mengubur jenazah Ci Goat dengan
sederhana di belakang kuil itu. Kemudian dia menggunakan ilmu berlari cepat
mengejar ke barat karena dia tadi mendengar bahwa mereka mengajak Han Siong
pergi ke Tibet dan mereka tadi menuruni bukit ke arah barat.
***************
Hari itu
kota Pao-teng amat ramai. Maklum, dua hari lagi rakyat akan merayakan hari raya
Tahun Baru Imlek. Beberapa hari sebelum Sincia (Tahu Baru Imlek) biasanya
orang-orang sibuk berbelanja. Mereka membeli kain dan pakaian baru, juga
membeli beberapa macam bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta.
Para
pedagang pakaian, bahan masakan dan sembahyang yang lebih dulu berpesta pora
mengumpulkan keuntungan karena seperti biasanya, pada hari-hari sebelum Sincia
para pedagang itu akan kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa pula, kalau pembelinya
terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan dari pada persediaannya, maka
harga-harga akan membumbung tinggi sehingga perut para pedagang menjadi semakin
gendut.
Semua orang
nampak berseri wajahnya. Mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan
dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira. Ada para wanita yang bicara
serius sambil berbisik, apa lagi yang dibicarakan kalau bukan desas-desus
tentang wanita lainnya! Memang asyik membicarakan aib atau keburukan orang
lain, karena kita merasa bersih dan tinggi ketika membicarakan kekotoran orang
lain dan merendahkannya,.
Para wanita
yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak yang meninggalkan
rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua
muda. untuk memuaskan mata mereka dan mengagumi gadis-gadis manis yang banyak
berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja.
Daya tarik
lawan jenis yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria
dan wanita, pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua belah
pihak merasakan kegembiraan besar karena bisa saling pandang dan saling senyum.
Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung atau menggoda,
yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu.
Di dalam
kesempatan semacam itu, bukan mustahil dua hati akan bertaut dan merupakan
suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal mala
petaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok
dunia, keadaan semacam ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di
sekitar hubungan antara pria dan wanita.
Seperti
telah menjadi kebiasaan semenjak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sincia
sampai biasanya lima belas hari sesudah Sincia, orang-orang berpesta pora dan
di mana-mana orang memasang petasan hingga keadaan menjadi meriah dan bising.
Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri di
dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak merasa sayang menghamburkan uang
untuk membeli petasan dan membakar petasan seperti sedang bersaing dengan orang
lain. Makin besar petasan yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah
hati.
Di antara
sekian banyaknya orang yang berlalu lalang di jalan raya kota Pao-teng, tampak
seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik
berkeliaran di jalan sebab boleh dibilang pada pagi hari itu semua wanita di
kota Pao teng keluar rumah. Akan tetapi gadis ini memiliki daya tarik
tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu
memandangnya dengan kagum. Bahkan beberapa pria sampai menoleh ke belakang
untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu.
Dia adalah
seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagai
setangkai bunga yang sedang mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur
dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali,
segar kemerahan, dan ujung hidungnya yang mancung dapat bergerak-gerak, lucu
sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, jika mengerling nampak anggun dan
dapat meruntuhkan hati setiap orang pria.
Pakaiannya
dari sutera yang halus dan meski pun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu
rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukanlah seorang miskin. Melihat sebuah
buntalan panjang yang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa dia tentu
seorang gadis pendatang, bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu dia
baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di
punggung.
Gadis manis
itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti yang sudah kita ketahui, dalam
pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan di antara Cia Kui Hong dan
Tang Cun Sek. Sebenarnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan
kalau dia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua
Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. Dia berhasil mengalahkan
Cun Sek, lantas dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan
Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai.
Karena ia
memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan
pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu sute dari ayahnya, untuk
mengurus perkumpulan itu. Dia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk
mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga akan mencari Sim Ki
Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam milik Pulau Teratai Merah yang dibawa
minggat oleh Sim Ki Liong. Ada pun ayah dan ibunya, sesudah menyerahkan
kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah.
Demikianlah
perjalanan singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu dia memasuki kota
Pao-teng. Dia turut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya
yang bergembira ria menyambut datangnya Sincia yang tinggal dua hari lagi. Akan
tetapi di samping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan sedih dan
juga kesepian karena dia teringat pada ayah ibunya, juga kepada kakek dan
neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai.
Pada hari
Sincia, biasanya dia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu
kegembiraan yang khas ketika berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sincia
itu. Sekarang dia menyambut menjelang Sincia seorang diri saja, di tempat asing
di mana dia tidak mempunyai seorang pun kenalan. Dan yang lebih mengesalkan
hatinya lagi, sampai sekian lamanya dia belum dapat menemukan jejak dua orang
yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong.
Pada saat
itu pula terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik oleh empat
ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak
di antara mereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa
kereta itu adalah milik seorang yang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat
dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, juga ada selosin pasukan
mengiringi kereta.
Ketika
kereta itu lewat di depan sebuah toko, seuntai mercon besar-besar yang disulut
oleh pemiliknya tiba-tiba saja meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan
bising. Empat ekor kuda penarik kereta menjadi terkejut, dan dua di antaranya
mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan
dan lari ketakutan sambil berloncatan.
Kusirnya
terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi
kuda-kuda itu semakin ketakutan, terus melonjak-lonjak sehingga kusirnya
terlempar keluar dari atas kereta saking kuatnya guncangan itu! Empat ekor kuda
itu lalu kabur!
Melihat ini,
para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul. Akan tetapi mereka pun tidak
mampu menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin
panik ketika melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka.
Semua orang
terbelalak dan merasa khawatir melihat peristiwa itu terjadi. Mereka yang
mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu
adalah Cang Taijin, yaitu seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal
karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar,
bahkan menjadi tangan kanan kaisar!
Selagi semua
orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang
sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran
melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis
sekali. Dia bukan lain adalah Kui Hong!
Ketika tadi
dia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong
segera lari menghadang dan begitu kereta itu lewat, dia pun mempergunakan
kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan cepat dia menyambar kendali
kuda yang terlepas. Dengan kekuatan sinkang-nya, dia lalu menarik kendali kuda
itu.
Empat ekor
kuda itu meronta, melonjak-lonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk
melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia belaka
dan akhirnya, biar pun mereka itu masih meringkik-ringkik, tetapi mereka tidak
mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau
mereka menghentikan lari mereka sehingga kereta itu pun berhenti.
Pintu kereta
dibuka dari dalam dan keluarlah seorang pria setengah tua bersama seorang
laki-laki muda. Mereka berpakaian serba indah, pakaian bangsawan. Pria yang
usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika
menuruni kereta, tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua
puluh tujuh tahun, nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni
kereta.
Kusir kereta
segera naik ke atas kereta dengan pipi lebam dan pakaian koyak-koyak.
"Terima kasih, Nona, terima kasih...!” katanya sambil menerima kendali
kuda dari tangan gadis itu.
Kui Hong
hanya mengangguk, lalu dia pun melompat turun. Buntalan panjang tadi masih
melekat di punggungnya dan dia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap
tenang seolah-olah apa yang dia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja.
Pembesar itu
menatap kepadanya sambil mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah
mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepada pria itu
juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat dua tangan ke
depan dada.
"Ahhh,
kiranya Cang Taijin yang berada di dalam kereta!" serunya gembira sekali
karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar
yang sangat dikaguminya dan dahulu pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku
Ceng yang setia dan bijaksana.
Sejak tadi
menteri itu sudah merasa mengenal Kui Hong. Sekarang dia melangkah maju dan
mendekat lalu membalas penghormatan gadis itu. "Maafkan aku, rasanya aku
pernah mengenalmu, Nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana.”
Kui Hong
tersenyum, tidak tersinggung walau pun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum,
sebagai seorang pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang,
tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya.
“Memang kita
pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi
pemberontak Kulana...”
"Ahh,
benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu.
Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, lihiap (pendekar wanita)?”
"Nama
saya Cia Kui Hong, Taijin."
"She
Cia? Ahh, sekarang aku ingat. Lihiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan?
Lihiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan
kini, lihiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak
Sun), ini adalah pendekar wanita Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang tadi sudah
menyelamatkan kita. Lihiap, dia ini adalah puteraku Cang Sun."
Kui Hong
memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam dia kecewa. Dia mengenal Cang
Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan
tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, tetapi tidak
memiliki wibawa dan keagungan seperti ayahnya, malah pandang matanya mengandung
kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya.
"Nona
Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu tadi," Cang Sun berkata
sambil tersenyum.
"Cia-lihiap,
agaknya engkau baru saja masuk ke kota ini. Buntalan pakaianmu masih kau
gendong...,” kata pembesar itu.
"Memang,
baru pagi ini saya memasuki kota Pao-teng ini, Taijin."
"Jika
begitu, mari engkau ikut bersama kami, lihiap, menjadi tamu kami yang
terhormat."
"Saya
hanya akan mengganggu dan membikin repot saja, Taijin."
"Ahh,
sama sekali tidak, lihiap. Kami mempunyai rumah di Pao-teng sini, dan
keluargaku akan merasa girang sekali menerimamu sebagai seorang tamu."
"Akan
tetapi saya hendak mengunjungi keluarga paman Cia Sun di dusun Ciang-si-bun di
sebelah selatan kota raja," kata Kui Hong.
Alasan ini
bukan dicari-cari karena memang dia ingin berkunjung ke rumah pendekar Cia Sun.
Sebenarnya Cia Sun masih terhitung paman dari ayahnya, akan tetapi karena usia
Cia Sun sebaya dengan ayahnya, dia sudah biasa menyebutnya paman saja.
Memang
hubungannya dengan keluarga ini cukup dekat. Cia Sun bukan saja mempunyai
hubungan darah dengan ayahnya, akan tetapi isteri Cia Sun yang bernama Tan
Siang Wi juga merupakan seorang tokoh dan murid Cin-ling-pai, murid
kongkong-nya. Dan puteri mereka, Cia Ling juga telah dikenalnya dengan baik
sekali ketika mereka bersama terlibat dalam gerakan pembasmian gerombolan
pemberontak yang dipimpin Kulana. Dia bukan hanya ingin berkunjung, melainkan
juga hendak mencari jejak Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dan bertanya kepada
keluarga pendekar itu kalau-kalau mereka mendengar tentang dua orang yang dicarinya
itu.
"Ciang-si-bun?
Keluarga Cia Sun? Ah, jangan khawatir, akan kami antarkan karena kalau kami
pulang ke kota raja juga melewati dusun itu, dan kami adalah sahabat baik
pendekar Cia Sun! Hari ini kita bermalam di Pao-teng dan besok kita ke kota
raja, singgah di rumah keluarga pendekar Cia Sun. Engkau harus ikut
menggembirakan kami dengan merayakan Sincia di rumah kami di kota raja,
lihiap."
Melihat
sikap yang sangat ramah dan kesungguhan hati pejabat tinggi yang bijaksana itu,
Kui Hong tidak dapat menolak lagi. Dia merasa kurang enak kalau menolak terus
setelah pembesar itu bersikap sedemikian ramahnya. Dan dia pun tahu bahwa
Menteri Cang Ku Ceng ini memiliki kedudukan yang amat tinggi, bahkan dia
dihormati oleh semua pejabat lain. Hal itu telah dilihatnya sendiri ketika
mereka bersama menghadapi gerombolan yang dipimpin Kulana beserta
kawan-kawannya. Sungguh merupakan suatu kehormatan besar yang membanggakan
kalau menjadi tamu pembesar ini, apa lagi tamu kehormatan!
Sesudah Kui
Hong menerima undangannya, Cang Taijin merasa girang bukan main. Dia
mempersilakan Kui Hong duduk di dalam kereta bersamanya, dan menyuruh
puteranya, Cang Sun supaya menunggang kuda. Kemudian kereta yang dikawal itu
meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata banyak orang dengan kagum.
Mereka bukan
saja kagum melihat gadis manis yang menyelamatkan Cang Taijin, dengan
keberanian luar biasa telah mampu menghentikan kereta yang dibawa kabur empat
ekor kuda, namun juga kagum melihat gadis itu menjadi tamu terhormat dari seorang
menteri yang demikian terkenal seperti Cang Taijin.
***************
Cang Ku Ceng
adalah seorang menteri yang bukan saja pandai dan bijaksana, akan tetapi juga
sederhana. Karena ia selalu melaksanakan tugasnya tanpa dinodai perbuatan
korup, seperti pembesar lain yang menyalah gunakan kedudukan untuk memperkaya
diri sendiri, maka kehidupan keluarganya yang hanya mengandalkan pada
penghasilan halal sebagai seorang menteri, tidak terlalu berlebihan.
Isterinya
berasal dari Poa-teng, maka tidak mengherankan apa bila menteri ini mempunyai
sebuah rumah di kota ini. Rumahnya memang besar, akan tetapi tidak terlampau
mewah, tidak seperti rumah para pembesar lain yang walau pun pangkatnya belum
setinggi Cang Taijin, akan tetapi dalam hal kemewahan, menyaingi kehidupan
kaisar sendiri.
Isteri dan
kedua orang selir Cang Taijin menerima Kui Hong dengan gembira dan ramah sekali
sehingga lenyaplah perasaan rikuh dari hati gadis itu. Hanya seorang saja di
dalam keluarga itu yang tidak begitu dia sukai, yaitu Cang Sun. Pemuda ini
selalu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh nafsu. Walau pun di hadapan
ayahnya pemuda itu kelihatan pendiam dan tidak pernah mengganggunya, namun
sinar mata dan senyumnya jelas membayangkan kegenitan yang cabul!
Sesudah
bicara dengan isteri dan dua orang selir Cang Taijin, baru Kui Hong tahu bahwa
pemuda itu adalah putera dari salah seorang di antara dua selir itu, dan hanya
Cang Sun seoranglah keturunan Cang Taijin.
Isteri
Menteri Cang adalah seorang wanita yang lembut dan ramah sekali dan dia segera
akrab dengan Kui Hong. Nampak jelas betapa nyonya yang tidak mempunyai
keturunan itu sangat sayang kepada Kui Hong. Dan melihat keakraban keluarga itu
terhadap dirinya, Kui Hong merasa tidak enak kalau terus disebut lihiap
(pendekar wanita), maka dia minta agar mereka menyebut namanya saja, tanpa
sebutan pendekar wanita.
Setelah
menginap satu malam di rumah keluarga Cang di kota Pao-teng, pada keesokan
harinya Cang Taijin menyuruh puteranya mengantar isteri serta dua orang
selirnya pulang lebih dulu ke kota raja menggunakan sebuah kereta besar, ada
pun dia sendiri bersama Kui Hong akan berkunjung ke rumah keluarga Cia Sun.
Pada waktu komandan pengawal hendak membagi pasukan pengawal, Menteri Cang
tertawa.
"Ha-ha-ha-ha,
aku melakukan perjalanan bersama nona Cia Kui Hong," katanya kepada
komandan pengawal. "Dia sendiri sudah merupakan kekuatan pengawal yang
tidak kalah oleh seratus orang prajurit pengawal!"
Dia
memerintahkan kepala pasukan pengawal itu supaya mengawal kereta keluarganya
saja. Dia sendiri lalu menunggang kuda bersama Kui Hong dan menuju ke dusun
Ciang-si-bun.
***************
Cia Sun
adalah seorang pendekar kenamaan yang memiliki ilmu tinggi. Dia adalah putera
pendekar dari Lembah Naga Cia Han Tong yang menjadi ketua Pek-liong-pang.
Sebagai putera seorang pendekar sakti, juga sempat menjadi murid dari Go-bi
San-jin, maka Cia Sun mempunyai kepandaian yang tinggi. Tetapi wataknya
sederhana dan pendiam, halus berwibawa. Dia tidak pernah menonjolkan diri dan
kini, sesudah usianya empat puluh tiga tahun lebih, dia bahkan jarang sekali
muncul di dunia persilatan.
Dia tinggal
di dusun Ciang-si-bun bersama isterinya yang bernama Tang Siang Wi. Walau pun
isterinya tidak selihai dia, namun Tang Siang Wi yang sekarang berusia empat
puluh satu tahun itu bukanlah wanita lemah. Dia pernah menjadi murid kesayangan
ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kong Liang, juga digembleng oleh isteri ketua
itu. Bahkan pada waktu masih muda wanita ini pernah terkenal di dunia
persilatan dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena
sikapnya yang sangat ganas dan tidak mengenal ampun terhadap para penjahat.
Suami isteri
ini hanya memiliki seorang anak saja, yakni anak perempuan yang bernama Cia
Ling atau selalu di sebut Ling Ling. Ling Ling yang kini berusia delapan belas
tahun itu sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya yang bernama Can Sun
Hok di kota Siang-tan. Can Sun Hok sendiri adalah seorang pemuda perkasa yang
kaya raya.
Setelah Ling
Ling pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk ikut bersama suaminya, maka
Cia Sun dan isterinya hanya hidup berdua dan sering kali merasa kesepian.
Karena dia seorang pendekar besar yang kenamaan, maka beberapa orang pejabat
pemerintah kadang suka minta bantuannya untuk membasmi penjahat dan mengamankan
daerahnya.
Bahkan
sesudah mendengar namanya, Menteri Cang Ku Ceng yang bijaksana dan dapat
menghargai para pendekar lantas menghubunginya dan setelah bercakap-cakap,
Menteri Cang merasa amat cocok dengan Cia Sun sehingga sering kali mereka
saling berkunjung. Terjalinlah persahabatan antara menteri dan pendekar itu.
Di dusun
Ciang-si-bun, Cia Sun dan isterinya dikenal sebagai sepasang suami isteri yang
amat dermawan. Karena semua penduduk dusun itu mengenal siapa mereka, tahu
bahwa suami isteri pendekar itu mempunyai banyak kenalan di kalangan pembesar
tinggi, maka tentu saja mereka semakin dihormati.
Penduduk
dusun Ciang-si-bun tidak akan merasa heran lagi bila mana melihat ada kereta
pembesar dari kota raja yang datang berkunjung ke rumah keluarga pendekar itu,
kereta yang dikawal oleh pasukan yang gagah. Akan tetapi banyak penduduk
memandang heran ketika mereka melihat Menteri Cang datang bersama seorang gadis
cantik yang gagah, berdua saja dan hanya berkuda tanpa pengawal.
Akan tetapi
Cia Sun dan isterinya yang menyambut dua orang tamu itu tak merasa heran
setelah mereka tahu bahwa menteri itu datang bersama Cia Kui Hong yang mereka
kenal sebagai seorang gadis gemblengan yang gagah perkasa. Mereka tadinya agak
pangling, akan tetapi sesudah Kui Hong memperkenalkan diri, isteri Cia Sun,
yaitu Toat-beng Sian-li Tang Siang Wi segera merangkul murid keponakan itu
dengan gembira sekali.
"Aih,
ternyata engkau, Kui Hong! Pantas saja kali ini Cang Taijin datang berkunjung
tanpa pengawal, kiranya ada engkau! Mari, mari, silakan masuk." Ia
menggandeng tangan gadis itu dan diajaknya masuk ke dalam setelah memberi
hormat kepada kepada Cang Taijin.
Cang Taijin
memang seorang pejabat tinggi yang amat bijaksana dan sederhana. Dia tak pernah
mengangkat dirinya tinggi-tinggi karena kedudukannya. Biar pun keluarga Cia Sun
hanya rakyat biasa, akan tetapi sesudah bersahabat, dia tidak memperkenankan
keluarga itu memberi penghormatan yang berlebihan kepadanya, karena itu
sambutan Cia Sun dan isterinya juga sederhana saja.
Sebagai
seorang menteri dia layak dihormati dengan berlutut, akan tetapi menteri ini
tidak mau bila seorang sahabatnya menghormatnya sambil berlutut. Sungguh
merupakan sikap yang amat bijaksana! Karena sikapnya inilah maka Cang Taijin
amat dikenal dan disayang oleh rakyat.
Diam-diam
Cia Sun merasa heran bagaimana menteri itu sekarang berkunjung bersama Kui
Hong, dan mengapa hubungan antara menteri itu dengan puteri ketua Cin-ling-pai
itu nampak demikian akrabnya.
“Kau tentu
heran melihat aku datang ke sini bersama Kui Hong!" pejabat tinggi itu
segera mendahului ketika dia melihat sikap Cia Sun, setelah mereka berempat
duduk di ruangan dalam.
Cia Sun
mengangguk. "Benar sekali, Taijin. Bagaimana Taijin dapat bersama dengan Kui
Hong dan agaknya ada keperluan yang amat penting dalam kunjungan Taijin sekali
ini."
Menteri Cang
menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak, bahkan ini hanya kunjungan
sambil lalu saja, untuk menemani Kui Hong yang memang ingin berkunjung ke sini.
Kau tahu, Taihiap, kemarin, Kui Hong telah menyelamatkan aku dari bahaya
maut!"
"Ahhh…?!"
Cia Sun dan isterinya terkejut mendengar ini.
"Aih,
Cang Taijin terlalu membesarkan, harap Paman dan Bibi tidak menerimanya dengan
sungguh-sungguh. Yang benar, kereta yang ditumpangi Cang Taijin dan puteranya
dibawa kabur oleh empat ekor kuda yang menariknya dan aku hanya menenangkan
kuda-kuda itu. Sebelum itu memang aku sudah pernah berkenalan dengan Cang
Taijin, yaitu ketika penumpasan gerombolan Kulana dahulu itu. Tentu Paman dan
Bibi sudah mendengarnya dari Ling Ling. Oh ya, di mana Ling Ling, Paman? Aku
ingin sekali bertemu dengannya."
Suami isteri
itu memandang kepada Kui Hong. Disebutnya nama puteri mereka itu sudah membuat
hati mereka terasa perih. Telah terjadi mala petaka atas diri puteri mereka,
akan tetapi menurut keterangan Ling Ling, Kui Hong adalah satu-satunya orang
yang dipercaya puteri mereka. Gadis itu tahu pula akan mala petaka yang menimpa
diri Ling Ling.
Peristiwa
itu terjadi pada waktu Ling Ling berada di antara para pendekar yang membantu
Cang Taijin membasmi gerombolan Kulana. Gadis yang sejak kecil telah
mempelajari ilmu silat dan telah menjadi seorang pendekar wanita yang cukup
tangguh, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya kemudian diperkosa seorang
pria!
Tadinya Hay
Hay Si Pendekar Mata Keranjang yang dituduh sebagai pemerkosanya, akan tetapi
akhirnya diketahui bahwa yang melakukan perbuatan jahat itu adalah Ang-hong-cu,
Si Kumbang Merah, jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) yang amat tersohor itu.
Masih baik nasib puteri mereka karena ada seorang pemuda perkasa yang jatuh
cinta padanya, yaitu Can Sun Hok, yang tetap mencintanya dan bahkan meminangnya
biar pun dia tahu akan mala petaka dan aib yang menimpa diri gadis yang dicintanya
itu.
"Ling
Ling telah menikah dan sekarang dia ikut dengan suaminya ke Siang-tan,"
kata isteri Cia Sun singkat.
Berseri
wajah Kui Hong mendengar berita itu. Syukurlah, demikian bisik hatinya. Kiranya
Can Sun Hok, cucu Pangeran Can Seng Ong itu adalah seorang pemuda yang setia
akan kasihnya. Dia tahu bahwa Can Sun Hok seorang pemuda yang baik sekali walau
pun Can Sun Hok pernah mendendam kepada ibunya dan pernah memusuhi ibunya. Hal
itu adalah karena Can Sun Hok hendak membalaskan kematian ibu kandungnya.
Ibu kandung
Can Sun Hok adalah mendiang Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa (Dewi Racun Wangi),
seorang tokoh sesat yang tewas di tangan ibu kandungnya, pendekar Ceng Sui Cin.
Akan tetapi ibunya bisa menyadarkan Sun Hok mengenai kejahatan ibu kandungnya
sehingga pemuda itu mau menghabiskan dendamnya. Hal ini saja sudah
memperlihatkan bahwa Can Sun Hok adalah seorang pemuda yang gagah perkasa.
Hanya seorang gagah saja yang mampu menyadari kesalahan pihaknya sendiri.
Karena itu,
sesudah mendengar keterangan bibinya bahwa kini Ling Ling telah pindah ke rumah
suaminya di kota Siang-tan, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa suami gadis itu
tentulah Can Sun Hok yang rumahnya di kota itu.
"Jadi
dia sudah menikah dengan Can Sun Hok? Bagus sekali! Aku turut merasa bahagia,
Paman dan Bibi. Akan tetapi, kenapa aku tidak diberi tahu? Keluarga kami tidak
ada yang diundang...”
"Maafkan
kami. Atas kehendak mereka berdua, pernikahan itu memang tidak dirayakan.
Karena tidak dirayakan, kami pun tidak mengundang tamu, apa lagi yang dari jauh
karena hanya akan merepotkan saja. Harap maklum,” kata Cia Sun.
Tentu saja
Kui Hong maklum. Dalam keadaan ternoda aib seperti keadaan Ling Ling, dia dapat
memaklumi apa bila pernikahan itu dilakukan secara sederhana dan diam-diam dia
semakin iba kepada Ling Ling dan makin berterima kasih kepada Can Sun Hok.
"Aku
dapat memaklumi, Paman dan Bibi. Tidak mengapalah, kelak bila ada kesempatan
tentu aku akan berkunjung ke rumah mereka di Siang-tan."
"Sebenarnya
urusan apa yang membawamu sampai ke sini, Kui Hong? Apakah engkau hanya pesiar
dan sengaja hendak berkunjung ke rumah kami, ataukah ada kepentingan lainnya?”
Cia Sun bertanya.
Kui Hong
memandang kepada Cang Taijin dan sambil tersenyum menteri ini lalu berkata,
"Apakah kehadiranku mengganggu dan membuat kalian sekeluarga menjadi tidak
leluasa untuk bicara? Kalau begitu, biar aku menyingkir ke ruangan lain lebih
dulu."
"Ah,
tidak sama sekali, Taijin,” kata Kui Hong. "Jangan begitu, membuat saya
merasa tak enak saja. Kalau orang lain mungkin saja kami anggap orang asing
yang tidak berhak ikut mendengar, Taijin, akan tetapi Taijin kuanggap bukan
orang lain lagi. Baiklah, akan saya ceritakan keperluan saya maka sampai ke
sini." Dia lalu memandang kepada paman dan bibinya. "Paman Cia Sun
dan Bibi, sebetulnya perjalananku sekali ini memang membawa tugas atau
keperluan yang amat penting, yaitu mencari dua orang yang jahat. Karena aku
belum dapat menemukan jejak mereka, maka aku mencari ke arah kota raja dan
sekalian hendak berkunjung ke sini, selain sudah rindu juga siapa tahu
kalau-kalau Paman dan Bibi dapat membantuku dan mendengar tentang dua orang
yang kucari-cari itu."
"Siapakah
dua orang jahat yang sedang kau cari itu, Kui Hong? Terus terang saja, sudah
lama sekali aku dan bibimu tak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw sehingga
kami tidak banyak mengetahui tentang mereka yang hidup di dunia sesat,” kata
Cia Sun.
"Aku
pun ingin sekali mendengar siapa yang kau cari itu, Kui Hong. Barangkali aku
dapat membantu pula," kata Menteri Cang Ku Ceng.
"Nama
mereka Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek."
Cia Sun dan
isterinya saling pandang, lalu mereka menggeleng kepala. Dua buah nama itu
tidak ada artinya bagi mereka karena mereka belum pernah mengenalnya. Akan
tetapi Cang Taijin mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.
"Sim Ki
Liong?" katanya perlahan sambil mengingat-ingat nama itu. "Aku
seperti pernah mendengar nama ini, akan tetapi kapan dan di mana?"
“Taijin
tentu pernah mendengarnya karena dia adalah seorang di antara tokoh jahat yang
ikut membantu gerakan pemberontakan Kulana," kata Kui Hong.
"Ah,
benar! Tokoh yang lihai dan berhasil lolos dari kepungan para pendekar. Akan
tetapi nama ke dua itu belum pernah aku mendengarnya."
"Tentu
saja belum, Cang Taijin. Yang bernama Tang Cun Sek itu adalah seorang murid
Cin-ling-pai yang murtad."
"Kui
Hong, kenapa engkau bersusah payah mencari dua orang itu?" Cia Sun
bertanya.
"Sim Ki
Liong pernah menjadi murid Pulau Teratai Merah, namun kemudian dia minggat
sambil membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah,
sedangkan Tang Cun Sek minggat melarikan pedang pusaka Hong-cu-kiam milik
kongkong Cia Kong Liang."
"Aihhh...!"
Tan Siang Wi berseru marah mendengar betapa pedang pusaka milik gurunya
dilarikan orang. "Sungguh kurang ajar benar Tang Cun Sek itu. Murid
Cin-Iing-pai berani berbuat semacam itu!"
"Aneh
sekali memang," kata pula Cia Sun. “Mengapa ada murid Pulau Teratal Merah
juga melarikan sebuah pusaka dari sana?"
Kui Hong
mengangguk. “Sepandai-pandainya orang, sekali waktu dapat saja dia lengah,
Paman. Agaknya sekali ini pun, kedua kongkong (kakek), baik kakek Ceng Thian
Sin dari Pulau Teratai Merah mau pun kakek Cia Kong Liang dari Cin-ling-pai,
keduanya lengah sehingga ada orang jahat dapat menyusup masuk menjadi murid,
yaitu Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek. Aku sudah berjanji kepada kedua kakekku
untuk pergi mencari mereka dan merampas kembali kedua pedang pusaka itu."
"Akan tetapi,
sampai sekarang engkau belum berhasil menemukan jejak mereka?”
Kui Hong
menggeleng kepala. "Aku bertemu dengan Sim Ki Liong ketika kami membantu
Cang Taijin membasmi gerombolan Kulana, akan tetapi tidak berhasil merampas
kembali pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, bahkan dia
berhasil meloloskan diri. Ada pun jejak Tang Cun Sek, sampai sekarang aku belum
menemukannya. Sungguh aku akan merasa tidak enak kepada kedua kakekku bila
gagal merampas kembali kedua batang pedang pusaka."
"Hemmm,
aku pun tidak pernah mendengar berita tentang Sim Ki Liong yang tempo hari
lolos," kata Cang Taijin, "akan tetapi aku akan dapat memerintahkan
orang-orangku agar menyebar para penyelidik untuk mencari jejak dua orang itu.
Jangan khawatir, Kui Hong, engkau tinggallah di rumah kami di kota raja. Aku
yakin orang-orangku yang banyak akan segera dapat menemukan jejak mereka. Yang
seorang lagi... aku tidak pernah mengenal nama Tang Cun Sek. Akan tetapi she
Tang? Hemm, hal itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa yang sampai sekarang
masih terasa tidak enak bagiku. Mungkin engkau dapat membantuku melakukan
penyelidikan di kota raja, Kui Hong."
“Ada
peristiwa hebat dan penting apakah yang terjadi di kota raja, Cang
Taijin?" tanya Cia Sun setelah mempersilakan tamunya minum dan makan
hidangan yang dikeluarkan oleh para pelayan.
Cang Taijin
minum air teh yang dihidangkan, lalu menghela napas panjang. "Sebenarnya
urusan itu amat menggelisahkan, akan tetapi bagi kami juga mengalami kesukaran
untuk memecahkannya, karena menyangkut urusan dalam istana Sribaginda Kaisar!
Mula-mula terjadi penyelewengan yang dilakukan seorang selir Sribaginda dengan
seorang perwira muda she Tang. Tidak ada yang tahu akan peristiwa itu sampai
pada suatu malam, selir itu bersama dayangnya lenyap dari dalam istana. Tak
seorang pun menduga bahwa selir itu kiranya berhubungan gelap dengan perwira
pengawal istana yang bernama Tang Gun itu. Sribaginda menjadi marah sekali dan
sudah menyebar orang untuk mencari selir yang hilang, namun sia-sia belaka
karena disembunyikan oleh Tang Gun, perwira muda yang menjadi kekasihnya
itu."
Cia Sun,
isterinya, dan Kui Hong mendengarkan penuh perhatian. Biar pun agaknya tidak
ada hubungannya dengan mereka, akan tetapi mereka maklum bahwa bila Menteri Cang
Ku Ceng telah menceritakan sesuatu hal, maka tentu urusan itu amat penting.
Cang Taijin kembali meneguk air the, lalu melanjutkan ceritanya.
"Nah,
selagi kaisar marah dan semua petugas sudah hampir putus harapan untuk dapat
menangkap selir dan dayangnya yang melarikan diri secara aneh, muncullah orang
gagah yang bernama Tang Bun An itu. Dan dia telah menangkap Tang Gun dan selir
itu, berikut dayangnya. Dia menghadapkan ketiga orang itu kepada kaisar yang
tentu saja berterima kasih kepadanya. Selir dan dayang itu dihukum menjadi
nikouw, sementara perwira Tang Gun dihukum buang." Menteri Cang berhenti
pula.
"Ahh,
Taijin, kalau begitu, berarti urusannya sudah selesai, bukan? Yang bersalah
sudah ditangkap dan dihukum," kata Kui Hong.
"Urusan
bukan hanya sampai di situ," kata Menteri Cang. "Masih ada
kelanjutannya dan dalam urusan itu terkandung hal-hal yang aneh. Apakah kalian
tidak merasakan sesuatu yang aneh?"
"Hanya
ada satu hal yang sedikit aneh, Taijin. Perwira yang melarikan selir kaisar itu
she Tang, dan penangkapnya juga seorang yang she Tang. Apakah ini kebetulan
saja?" tanya Cia Sun.
Menteri Cang
mengangguk. "Memang hal itu juga menarik perhatian dan sudah kuselidiki
pula. Akan tetapi agaknya tidak terdapat hubungan kekeluargaan antara Tang Bun
An dan Tang Gun itu, karena keduanya hidup sebatang kara dan tidak berkeluarga.
Namun ada hal lain yang amat menarik. Tang Gun telah dijatuhi hukuman buang,
tapi ketika hukuman dilaksanakan dan dia dikawal menuju ke tempat pembuangan,
di tengah perjalanan dua orang pengawal itu dibunuh orang dan Tang Gun
meloloskan diri. Tak seorang pun tahu siapa penolongnya itu."
"Hemm,
sungguh menarik sekali!" kata Kui Hong. "Peristiwa itu penuh
teka-teki."
"Ada
satu hal lain yang kiranya patut kalian ketahui, yaitu bahwa pada saat masih
menjadi perwira pengawal istana, Tang Gun sering kali membual bahwa dia adalah
keturunan Si Kumbang Merah."
"Ahhh...!"
Seruan itu keluar dari tiga mulut pendengarnya, hampir berbareng.
Nama
Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) bukan nama asing bagi mereka, bahkan nama yang
tak pernah mereka lupakan. Bagi Cia Sun suami isteri, nama itu amat dibenci
karena Ang-hong-cu itulah yang pernah memperkosa puteri mereka! Dan bagi Kui
Hong, dia pun sudah terlalu sering mendengar nama itu, bahkan dia pernah
bertemu dengan Ang-hong-cu yang menyamar menjadi Han Lojin.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment