Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 16
Han Lojin
ini pun malah membantu para pendekar dalam membasmi gerombolan Kulana! Bahkan
lebih dari itu. Di dalam penyamarannya sebagai Ang-hong-cu, Han Lojin ini
diakui oleh Hay Hay sebagai ayah kandungnya! Dan sekarang, Tang Gun itu mengaku
sebagai keturunannya, berarti bahwa Tang Gun adalah seayah dengan Hay Hay.
Tentu saja hal itu mengejutkan hati mereka bertiga yang mendengar keterangan
Menteri Cang Ku Ceng.
"Kalau
begitu, sangat boleh jadi orang yang membebaskan Tang Gun adalah Si Kumbang
Merah sendiri!" kata Kui Hong.
Pembesar itu
mengangguk-angguk. "Memang boleh jadi, akan tetapi siapa tahu? Sebelum
kami dapat menangkap Tang Gun yang menjadi buronan, kami tak akan bisa
mengetahui siapa yang membebaskannya. Akan tetapi yang akan kubicarakan ini adalah
urusan lain. Mengenai Tang Gun, biarlah tak perlu kita pikirkan karena dia
sudah menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Ada soal lain yang memusingkan
akan tetapi juga mengkhawatirkan bagiku, yaitu mengenai Tang Bun An."
"Orang
yang menangkap Tang Gun dan selir Sribaginda itu, Taijin?" tanya Cia Sun.
“Ada apa
dengan dia ?” tanya Kui Hong.
"Tang
Bun Ang sudah berjasa dengan menangkap selir dan Tang Gun, maka Sribaginda
tentu saja tidak akan melupakan jasanya. Dia sudah diangkat menjadi seorang panglima
yang memimpin seluruh pasukan pengawal istana!"
"Wah,
tinggi benar kedudukan itu!" seru Cia Sun.
"Hemmm,
apakah dia mempunyai kemampuan untuk menjadi komandan seluruh pasukan pengawal
istana?" Tan Siang Wi turut pula bertanya. Walau pun dia tidak banyak
cakap, namun nyonya ini juga amat tertarik dan mencurahkan perhatian karena
yang dibicarakan itu amat penting dan tadi menyangkut pula nama Ang-hong-cu.
"Tentu
saja dia tidak diterima secara begitu saja. Dia telah diuji oleh Sribaginda dan
diadu melawan Perwira Coa, raksasa yang sangat kuat dan lihai, jagoan di antara
para perwira pengawal. Dan dia menang! Agaknya Tang Bun An itu memang memiliki
ilmu silat yang lihai sekali, dan memang pantas dia menjadi komandan pasukan
pengawal. Semenjak dia menjadi komandan pengawal, keamanan dan ketertiban di
istana lebih terjamin.”
"Kalau
begitu, apa yang menjadi persoalannya?" tanya Kui Hong heran.
Menteri Cang
Ku Ceng menghela napas panjang. "Sebetulnya urusan ini terlampau kecil
untuk ditangani oleh seorang pejabat tinggi, bahkan dapat memalukan. Karena itu
para pejabat tinggi di kota raja pura-pura tidak tahu saja bila mendengarnya,.
Akan tetapi, biar pun aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa, namun hatiku selalu
gelisah akan keselamatan Sribaginda Kaisar. Semua ini disebabkan oleh
desas-desus yang bocor dari istana bahwa kalau dahulu terjadi aib karena
penyelewengan seorang selir dengan perwira Tang Gun, maka kini terjadi aib yang
lebih besar lagi!”
Sebagai
seorang gadis, tentu saja Kui Hong merasa rikuh dan malu untuk mendesak dan
minta penjelasan mengenai penyelewengan dan aib seperti itu, walau pun hatinya
tertarik sekali.
"Ada
terjadi penyelewengan apa lagi, Taijin?" Tan Siang Wi yang bertanya.
"Ada
desas-desus bahwa kini sudah terjadi penyelewengan lagi, bukan oleh seorang dua
orang selir, bahkan semua selir terlibat, melakukan penyelewengan dengan
seorang laki-laki!"
"Ahh,
bagaimana mungkin itu? Bukankah istana dijaga ketat oleh para pengawal luar dan
dalam, bahkan masih banyak pula para thai-kam (laki-laki kebiri) yang berjaga
di bagian puteri?" seru Cia Sun.
"Itulah
sebabnya maka berita itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya
sehingga sukar sekali bagi kami untuk melakukan tindakan. Bahkan para thai-kam
sendiri tidak ada yang membenarkan adanya desas-desus itu. Pernah hal itu
disinggung secara halus kepada Hong-houw (permaisuri), akan tetapi beliau
marah-marah dan mengatakan bahwa selama dia berada di istana maka hal kotor itu
takkan mungkin terjadi! Nah, kalau permaisuri sendiri sudah mengatakan
demikian, apa yang dapat kami lakukan?"
"Taijin,
kalau demikian halnya, maka mungkin desas-desus itu hanya kabar bohong saja
yang timbul karena pengaruh peristiwa yang lalu antara seorang selir dan Tang
Gun itu."
"Kurasa
tidak sesederhana itu, Kui Hong. Engkau tentu tahu bahwa kalau ada asap, biar
pun sedikit, tentu ada apinya. Kalau ada desas-desusnya, tentu ada kenyataannya."
Kui Hong
mengerutkan kedua alisnya. "Maaf, Taijin, akan tetapi saya tidak
sependapat. Bagaimana kalau desas-desus itu sengaja disiarkan oleh seseorang
untuk menjatuhkan fitnah?"
“Kurasa
tidak demikian karena desas-desus itu mula-mula keluar dari mulut seorang
thai-kam tua yang mati karena sakit. Beberapa saat sebelum mati dia
mengeluarkan ucapan itu, bahwa para selir tidak ada yang setia, semuanya
melakukan penyelewengan dengan seorang pria.”
"Dan
pria itu…?" Kui Hong mendesak.
"Itulah!
Thai-kam itu tidak sempat menceritakan siapa lelaki itu. Andai kata dia
menyebut nama pun, siapa percaya? Tidak mungkin kami bertindak tanpa
bukti,."
"Dan
Taijin agaknya sudah mempunyai prasangka siapa lelaki itu?"
Pembesar itu
menghela napas dan menggelengkan kepala. “Aku tidak mau sembarangan menuduh.
Hanya menurut penyelidikanku, orang yang bernama Tang Bun An itu memang aneh.
Sesudah dia menjadi seorang komandan pasukan pengawal, memang dia bersikap
baik, sopan santun, tegas, bahkan dia juga sering memberi latihan silat yang
baik kepada anggota pasukannya. Akan tetapi, apa bila kita menjenguk keadaan di
rumah tinggalnya, hemm...!”
"Mengapa,
Taijin?" tanya Cia Sun.
"Dia
tidak berkeluarga, akan tetapi di rumahnya penuh dengan wanita-wanita muda yang
cantik! Bahkan kumpulan wanita-wanita itu lebih banyak dan lebih cantik dari
pada para selir Sribaginda sendiri! Dan menurut keterangan yang kuperoleh, Tang
Bun An itu masih terus mengumpulkan wanita, sering mengganti yang lama dengan
yang baru. Kabarnya dia memang seorang lelaki yang gila wanita!"
"Hemm,
tapi apa hubungannya hal itu dengan penyelewengan para selir?" tanya Cia
Sun.
"Memang
tidak ada kaitannya, hanya harus diingat bahwa yang berkuasa dalam urusan
keamanan di istana adalah Tang Bun An, dan mengingat bahwa dia adalah seorang
yang gila wanita...”
"Berapa
usianya, Taijin?" tiba-tiba Kui Hong bertanya.
"Menurut
pengakuannya, sudah lima puluh lima tahun, akan tetapi kelinatannya jauh lebih
muda."
"Ihhh...!"
Kui Hong berseru dan bangkit berdiri. "Dialah itu!"
"Siapa,
Kui Hong?" Pembesar itu memandang kepadanya dengan tajam.
"Ang-hong-cu...!”
“Ahhh...!”
Cia Sun dan isterinya berseru dan mereka pun bangkit berdiri.
Menteri Cang
Ku Ceng tersenyum kemudian mengangkat kedua tanganya. “Harap kalian tenang dan
silakan duduk kembali.” Kui Hong, Cia Sun dan Tan Siang Wi duduk kembali.
Pembesar itu mengangguk kepada Kui Hong dan berkata, "Dugaanku juga persis
seperti dugaanmu, akan tetapi setelah kuteliti kembali, ternyata tak ada alasan
untuk menyangka bahwa Tang Bun An adalah Si Kumbang Merah atau yang dulu
menyamar sebagai Han Lojin. Biar pun usianya sebaya dan kesukaannya sama...”
“Akan tetapi
ada hal yang belum Taijin ketahui. Si Kumbang Merah itu juga she Tang!"
kata Kui Hong, teringat bahwa Hay Hay adalah she Tang, yaitu nama selengkapnya
Tang Hay.
Mendengar
ini, sepasang mata pembesar itu terbelalak. "Ahhh, benarkah itu? Dan nama
lengkapnya?”
"Saya
tidak tahu nama lengkapnya, Taijin, akan tetapi jelas bahwa dia she Tang."
"Hemm,
kalau begitu dia semakin mencurigakan. Akan tetapi persamaan nama keturunan
bukan merupakan bukti yang sah. Bisa saja orang lain mempunyai she yang sama.
Aku sudah mengenal Han Lojin dan tahu akan ciri-cirinya, tetapi Tang Bun An ini
sama sekali berbeda dengan Han Lojin. Agaknya Han Lojin lebih kurus dan lebih
tinggi, juga Han Lojin memelihara kumis dan jenggot yang rapi, akan tetapi Tang
Ciangkun ini mukanya bersih dan halus tanpa jenggot atau pun kumis. Juga
sikapnya, gerak-gerik dan suaranya sangat berbeda."
"Taijin,
ada ilmu penyamaran yang dengan mudah akan dapat mendatangkan
perbedaan-perbedaan itu. Tinggi orang dapat ditambah dengan ganjal dalam
sepatu. Gerak gerik dan sikap dapat dibuat-buat, dan suara dapat diubah kalau
mulut mengulum sesuatu. Jenggot dan kumis dapat dicukur...”
"Benar,
Kui Hong, akan tetapi andai kata benar bahwa Tang Bun An adalah Si Kumbang
Merah atau Han Lojin, berarti Tang Gun itu adalah puteranya sendiri. Bagaimana
mungkin dia menangkap dan mencelakai puteranya sendiri?"
Mereka tertegun
dan termenung, akan tetapi hati mereka semua tertarik sekali. Kemudian Kui Hong
bertanya, "Tadi paduka mengatakan bahwa saya. dapat membantu paduka, lalu
bantuan apa yang dapat saya lakukan, Taijin?"
"Menurut
suara hatiku, perubahan di dalam istana itu, geger tentang penyelewengan para
selir itu, mulai terjadi semenjak Tang Bun An menjadi komandan pasukan
pengawal. Oleh sebab itu menurut pendapatku dia pasti terlibat atau setidaknya
dia mengetahui apa yang terjadi di istana dan kalau benar para selir itu
menyeleweng, siapa pria yang berani mati menodai istana itu. Dan sekarang aku
bertekad untuk menyelidiki keadaan dalam istana, khususnya dalarn istana bagian
puteri. Oleh karena itu, hanya engkaulah yang akan dapat menolong dan
membantuku, Kui Hong."
"Bagaimana
caranya, Taijin."
"Nanti
hal itu akan kita rundingkan dulu di rumahku, Kui Hong. Yang penting,
bersediakah engkau membantuku, demi keselamatan kaisar dan keamanan
negara?"
"Saya
bersedia, Taijin!”
"Bagus,
bagus! Legalah hatiku, Kui Hong! Aih, kalau saja engkau selalu dapat berdekatan
denganku, sebagai anakku... atau sebagai... mantuku, aku akan selalu merasa
aman dan senang."
“Ihhh,
Taijin...!” Kui Hong berkata tersipu dengan kedua pipi berubah merah.
"Apa
salahnya? Cia-taihiap, bagaimana menurut pendapatmu? Sudah pantaskah jika Kui
Hong menjadi mantuku? Atau kalau dia tidak cocok dengan puteraku, bagaimana
kalau dia menjadi anak angkatku?"
Cia Sun
saling pandang dengan isterinya dan mereka mengangguk-angguk.
"Paduka
adalah seorang menteri yang dikenal pandai dan bijaksana, sedangkan Kui Hong
adalah seorang gadis pendekar yang gagah perkasa dan budiman, tentu saja sudah
cocok dan pantas sekali, Taijin!" kata Cia Sun dan tentu saja Kui Hong
menjadi semakin tersipu malu.
Setelah
bercakap-cakap hingga tengah hari, Menteri Cang kemudian berpamit dan dia pun
mengajak Kui Hong melanjutkan perjalanan berkuda menuju ke kota raja. Kui Hong
yang menganggap bahwa tugas yang hendak diserahkan kepadanya sangat penting,
mengikuti pembesar itu dengan hati yang terasa tegang karena dia akan berurusan
dengan istana kaisar!
***************
Walau pun
dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya besar di tangan tiga orang pendeta Lama
yang sakti itu, akan tetapi Pek Han Siong tidak merasa gentar, bahkan dia
berbesar hati. Tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu sihir yang amat
berbahaya itu dapat dia hadapi dengan perlindungan batu giok mustika yang dia
terima dari Hay Hay.
Di samping
itu dia pun merasa yakin bahwa Hay Hay selalu membayanginya dan selalu siap
untuk membantunya bila mana dirinya terancam bahaya maut. Dan sebagai seorang
sahabat, dia dapat mengandalkan kemampuan Hay Hay. Jika mereka berdua yang maju
bersama, maka dia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun.
Han Siong
bahkan merasa gembira mengingat akan ajakan Hay Hay untuk bertualang ke Tibet.
Memang urusannya dengan Dalai Lama harus diselesaikan dengan baik. Jika tidak,
selama hidupnya dia akan dibayangi ancaman dari Tibet yang agaknya tidak pernah
mau menghentikan usaha mereka untuk menculik dan membawanya ke Tibet untuk
dijadikan Dalai Lama!
Dan bertualang
bersama seorang sahabat seperti Hay Hay tentu akan menggembirakan. Bukan hanya
karena Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan dan juga memiliki
ilmu sihir yang kuat, namun dia juga sudah mengenal Hay Hay sebagai seorang
pendekar yang gagah perkasa dan baik budi walau pun mata keranjang tidak
ketulungan lagi. Kini dia mulai mengenal Hay Hay. Memang mata keranjang, akan
tetapi tidak pernah melakukan pelanggaran susila.
Akan tetapi
kegembiraan itu segera lenyap bila dia teringat kepada Ouw Ci Goat, teringat
akan peristiwa yang terjadi di malam jahanam itu. Biar pun di luar
kesadarannya, biar pun dia telah menggauli Ci Goat di luar kehendaknya dan di
bawah pengaruh ilmu hitam yang jahat, namun dia harus bertanggung jawab! Dan
inilah yang amat menyusahkan hatinya. Dia harus mengawini Ci Goat untuk menebus
aib yang diderita gadis itu, akan tetapi hal itu akan dilakukannya secara
terpaksa karena sesungguhnya, walau pun dia merasa suka dan kasihan kepada Ci
Goat, namun dia tidak mencintanya.
Han Siong
mengira bahwa perjalanan menuju Tibet itu tentu akan memakan waktu yang sangat
lama. Namun sungguh di luar dugaannya bahwa ketika mereka tiba di perbatasan
Tibet, tiga orang pendeta Lama itu bukannya melanjutkan perjalanan ke barat,
melainkan mengajaknya menuju ke sebuah bukit.
Pada saat
tiga orang pendeta Lama itu mengajak membelokkan perjalanan menuju bukit,
mereka baru saja tiba di sebuah dusun yang indah di perbatasan Tibet. Dusun ini
bernama Wang-kan di kaki Pegunungan Ning-jing-san, di sebelah timur Sungai
Lan-cang (Mekong). Tiga orang pendeta Lama itu mengajak Han Siong singgah pada
sebuah kedai makan di dusun Wang-kan itu, sebuah kedai yang menjual makanan
cia-jai (pantang daging).
Ketika tiga
orang pendeta Lama bersama Han Siong memasuki kedai yang cukup besar itu, para
pelayan segera menyambut mereka dengan sikap hormat. Agaknya ketiga orang
pendeta Lama ini tidak asing di situ dan melihat sikap para pelayan itu, mereka
nampak takut-takut sehingga Han Siong dapat menduga bahwa tiga orang pendeta
ini merupakan tokoh-tokoh yang ditakuti orang di daerah itu. Padahal kota
Lasha, ibu kota Tibet di mana Dalai Lama tinggal, masih cukup jauh dari situ.
"Hidangkan
sayur dan roti terbaik, kami lapar sekali. Juga arak yang tua, hawanya begini
dingin dan kami ingin menghangatkan badan,” kata Pat Hoa Lama, orang yang
termuda di antara tiga pendeta Lama itu.
Han Siong
tak merasa heran mendengar pendeta itu memesan minuman arak, minuman yang
biasanya dipantang oleh para pendeta. Selama dalam perjalanan tiga orang
pendeta Lama itu bukan saja minum arak, bahkan tidak pantang daging pula! Dan
para pelayan di kedai makan itu pun agaknya tidak merasa heran.
Hal ini saja
sudah aneh dan tidak sewajarnya, pikir Han Siong. Memang ada banyak hal yang
mencurigakan pada tiga orang pendeta Lama ini. Pernah pada suatu malam ketika
Han Siong pura-pura pulas, dia mendengar ketiga orang pendeta Lama ini
membicarakan wanita, pengalaman mereka dengan para wanita dan dia mendapat
kesan bahwa mereka pun agaknya tidak pantang menggauli wanita!
Orang-orang
macam apakah para pendeta Lama ini, yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama?
Padahal menurut apa yang pernah didengarnya, Dalai Lama serta para pendeta Lama
di Tibet adalah orang-orang yang memusatkan seluruh kehidupan mereka untuk
urusan rohani, bukan saja pantang makanan barang berjiwa dan pantang minuman
keras, juga pantang bergaul dengan wanita dan menjauhi kesenangan dunia. Namun
tiga orang pendeta Lama ini makan daging, minum arak dan bicara tentang wanita!
Akan tetapi
tentu saja Han Siong pura-pura tidak mempedulikan semua itu. Setiap malam dia
selalu merasa betapa ada daya tarik yang amat kuat, dan dia tahu bahwa pada
saat seperti itu, tiga orang pendeta Lama itu memperkuat pengaruh ilmu hitam
mereka kepada dirinya dan dia pun berpura-pura jatuh di bawah pengaruh mereka.
Kalau timbul dorongan supaya dia tidur pulas, dia pun pura-pura tidur! Padahal,
dengan bantuan pengaruh batu giok mustika, dia mampu menolak semua pengaruh
ilmu hitam itu, diperkuat oleh tenaga saktinya sendiri.
Ketika
hidangan dikeluarkan, tanpa ragu dan tanpa rikuh lagi Han Siong juga ikut
makan. Diam-diam dia menduga di mana adanya Hay Hay dan apakah kawannya itu pun
sedang makan. Dia kagum bukan main karena selama dalam perjalanan ini dia tak pernah
melihat bayangan Hay Hay. Begitu pandainya Hay Hay membayangi perjalanan mereka
sehingga sama sekali tidak sampai terlihat atau terdengar oleh mereka yang
dibayangi.
Selagi
mereka makan dan hampir selesai, tiba-tiba saja masuklah seorang tamu baru dan
melihat betapa tiga orang pendeta itu menoleh dengan mata terbelalak kagum, Han
Siong pun melirik. Dan dia pun merasa kagum. Gadis yang memasuki kedai itu
memang pantas untuk dikagumi oleh setiap orang pria.
Seorang
gadis yang bentuk tubuhnya tinggi semampai dan padat, dengan lekuk lengkung
yang sempurna, dada bidang membusung, leher panjang, pinggang ramping dan
pinggul besar dan bulat. Wajahnya manis sekali dan rambutnya yang hitam panjang
dikuncir dua seperti kebiasan gadis Tibet. Kulit mukanya putih kemerahan dan
segar, sepasang mata sipit akan tetapi bersinar tajam, sepasang alis yang hitam
sekali, subur namun bentuknya kecil panjang melengkung, hidungnya agak besar seperti
hidung kebanyakan orang Tibet. Namun mulutnya kecil, dengan sepasang bibir yang
penuh dan kemerahan karena sehat.
Pakaiannya
sederhana dan ringkas, pakaian wanita Tibet pada umumnya. Yang menarik, pada
ikat pinggangnya terselip sebatang pecut yang biasanya dipergunakan orang untuk
menggembala ternak.
Han Siong
yang melirik merasa heran sekali. Apakah gadis yang usianya paling banyak
delapan belas tahun ini seorang gadis penggembala? Akan tetapi, ketika dia
melangkah masuk ke dalam kedai makan itu, langkahnya bebas dan tegap, sama
sekali tidak malu-malu seperti kebiasan gadis dusun. Bahkan sepasang mata yang
sipit itu dengan terbuka melihat ke kanan kiri dan memandang kepada tiga orang
pendeta Lama penuh perhatian.
Kemudian,
ketika gadis itu memandang kepadanya, sepasang alis yang hitam subur itu
berkerut. Hanya sebentar karena gadis itu sudah disambut oleh seorang pelayan
tua yang tersenyum ramah kepadanya.
"Heii,
nona Mayang! Kiranya engkau sudah kembali lagi dari mengantar domba-domba itu
menyeberangi Sungai Lan-cang? Silakan duduk, hendak makan sayur labu kesukaanmu
itu?"
Dara itu
tersenyum dan Han Siong semakin kagum. Indah bukan main deretan gigi seperti
mutiara teratur rapi itu ketika gadis yang disebut Mayang itu tersenyum.
“Benar, Paman,
sudah menyeberang dengan selamat. Ya, aku ingin makan dengan sayur labu, dan
tolong beri anggur manis."
Pelayan itu
mengangguk-angguk dan kini Han Siong melihat betapa ketiga orang pendeta Lama
itu berbisik-bisik di depannya. Dia pura-pura tidak melihat atau mendengar,
seperti orang yang setengah sadar, akan tetapi diam-diam dia memperhatikan dan
mendengar Pat Hoa Lama yang dia tahu paling cabul dan mata keranjang itu
berbisik kepada dua orang temannya.
"Wah,
Suheng, tidak kusangka di sini terdapat yang seperti dia! Hebat...! Ahh,
sebaiknya kalau malam ini kita bermalam di sini semalam. Bagaimana?"
Gunga Lama
yang paling tua di antara mereka, menyeringai!
"Dasar
engkau rakus dan mata keranjang, Sute. Baiklah, namun harus aku yang pertama
kali menghisap madu kembang itu."
Mereka
bertiga menyeringai dengan lagak genit dan diam-diam Han Siong mengerahkan
tenaga batinnya untuk bersabar agar mukanya tidak membuka rahasia hatinya.
Meski pun dia tidak mengenal gadis itu, tetapi kalau tiga orang monyet tua ini
hendak mengganggu gadis itu, terpaksa dia akan turun tangan menghalangi mereka.
Biar sandiwaranya gagal tidak mengapa, karena bagaimana pun juga dia tidak rela
membiarkan kekejian terjadi di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk
menentangnya.
Sesudah
selesai makan, Pat Hoa Lama bangkit dari tempat duduknya dan dengan lagak
seorang pendeta sejati, dia pun menghampiri meja gadis manis itu dan merangkap
kedua tangan di depan dada sambil membungkuk.
"Omitohud...,
semoga engkau dilimpahi berkah yang membuat hidupmu bahagia, Nona."
Gadis yang
sedang makan itu mengangkat wajahnya dan memandang kepada pendeta Lama yang
berdiri di depannya. Han Siong melirik dan dia pun melihat betapa sepasang mata
pendeta Lama itu mencorong penuh wibawa, maka tahulah dia bahwa Pat Hoa Lama
telah menggunakan sihir untuk mempengaruhi gadis itu!
Akan tetapi
dia belum berani melakukan sesuatu, hendak melihat terlebih dulu bagaimana
perkembangan selanjutnya. Kalau sudah mencapai titik berbahaya bagi gadis itu,
barulah dia akan turun tangan dengan resiko permainan sandiwaranya akan
ketahuan. Dia melihat gadis itu mengejap-ngejapkan matanya yang sipit, lalu dia
pun berkata dengan lembut,
"Maafkan
aku, lo-suhu. Sayang sekali aku belum menerima upah menggiring sekelompok domba
itu menyeberang sehingga hari ini tak mungkin aku bisa menyerahkan sumbangan
kepadamu. Uangku hanya cukup untuk pembayar makanan ini. Maaf, dan lain kali
saja.”
Pat Hoa Lama
kelihatan tersenyum dan mengangguk-angguk. “Omitohud, Nona memang dermawan dan
bijaksana. Tidak mengapa, Nona. Malam nanti pun masih belum terlambat kalau
Nona hendak menyerahkan kebaktian. Pinceng menanti di gubuk peristirahatan, di
luar pintu gerbang barat dusun ini. Nah, sampai malam nanti, Nona. Kami
tunggu!"
Dalam
kalimat terakhir ini terkandung getaran kuat yang terasa pula oleh Han Siong.
Dia melihat nona itu mengangguk, maka diam-diam Han Siong marah bukan main. Dia
dapat menduga bahwa tentu gadis itu telah terpengaruh sihir dan mudah diduga
bahwa malam nanti gadis itu tentu akan datang ke tempat yang dijanjikan Pat Hoa
Lama, datang seperti seekor kijang muda menyerahkan diri kepada sekelompok
serigala yang haus darah dan buas!
Biarlah,
pikir Han Siong. Kalau sampai terjadi gadis itu nanti datang dan tampak
terancam bahaya barulah dia akan turun tangan. Syukur kalau Hay Hay yang
membayangi mereka tahu pula akan bahaya yang mengancam gadis Tibet bernama
Mayang itu dan Hay Hay yang turun tangan menyelamatkannya supaya dia tak usah
membuka rahasia permainan sandiwaranya.
Tiga orang
pendeta Lama itu mengajak Han Siong bangkit dan mereka menghampiri meja kasir.
Pada saat Han Siong melirik, dia melihat gadis itu justru sedang mengamati
mereka dengan penuh perhatian. Sungguh celaka, pikir Han Siong gemas, tentu
gadis itu benar-benar sudah terpengaruh sihir! Pat Hoa Lama yang agaknya
mengenal baik pemilik kedai itu, setelah membayar lalu bertanya lirih kepada
pemilik kedai makan.
"Siapakah
gadis penggembala itu?"
"Ahh,
lo-suhu maksudkan Mayang? Dia bukan gadis dusun ini dan pekerjaannya adalah
mengawal atau menggiring kelompok domba atau ternak lain dari satu ke lain
daerah. Dia terkenal cekatan dan dapat dipercaya, juga pandai sekali menggiring
ternak yang ratusan ekor banyaknya. Ia memang gadis luar biasa. Kenapa lo-suhu
bertanya tentang Mayang? Dia puteri seorang janda, begitu kami dengar, sudah
tidak berayah lagi."
"Omitohud,
kasihan sekali," kata Pat Hoa Lama sambil merangkapkan kedua tangan di
depan dada. “Kami hendak mendoakan gadis itu, dan siapa tahu barang kali kami
dapat mengabarkan tentang pekerjaannya sehingga kelak banyak saudagar ternak
yang akan menggunakan tenaganya.”
Mereka lalu
meninggalkan kedai itu dan keluar dari dusun Wang-kan. Ketika tiba di luar
pintu gerbang, dari jauh nampaklah sebuah gubuk yang berdiri di tepi jalan, di
luar sebuah hutan kecil. Agaknya gubuk ini memang sengaja dibangun penduduk
Wang-kan sebagai tempat peristirahatan.
Agaknya
orang-orang daerah itu memang mempunyai kebiasaan membangun bangunan gubuk
sederhana di luar dusun sebagai tempat peristirahatan bagi para pendatang yang
tidak memiliki keluarga di dusun itu atau sebagai tempat peristirahatan bagi
para perantau dan pedagang yang kebetulan lewat di dusun itu.
Gubuk itu
sederhana sekali, lantainya tanah dan hanya ada sebuah ruangan dan sebuah
kamar. Di lantai tanah kering itu terdapat jerami kering dan di dalam kamar ada
sebuah dipan kayu sederhana dan kasar, ditilami dengan jerami kering sebagai
kasurnya. Walau pun sederhana tempat itu cukup bersih. Agaknya para pendatang
yang mempergunakan tempat itu pun tahu diri dan selalu membersihkan tempat itu
sebelum meninggalkannya.
"Kita
berhenti di sini dan malam ini kita bermalam di gubuk ini," kata Gunga
Lama kepada Han Siong. Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Sikapnya
amat penurut dan taat seperti orang yang kehilangan semangat sehingga tiga
orang pendeta Lama itu merasa lega.
"Kau
mengasolah di dalam kamar itu, Pek Han Siong. Tetapi malam nanti engkau tidur
di ruangan ini karena kamar itu akan kami pakai," kata Pat Hoa Lama sambil
menyeringai.
Kembali Han
Siong mengangguk lalu dia pun memasuki kamar itu dan merebahkan diri di atas
dipan berkasur jerami kering. Dengan pendengarannya yang sudah terlatih tajam
itu dia mengetahui bahwa ketiga orang pendeta Lama itu duduk bersila di atas
jerami yang menilami lantai tanah di ruangan dan mereka berbisik-bisik.
Han Siong
lalu mengerahkan pendengarannya dan kembali perutnya terasa panas karena mereka
itu membicarakan gadis bernama Mayang tadi! Mereka menanti gadis itu seperti
segerombolan serigala yang telah mengilar melihat seekor kijang yang datang
mendekati tempat persembunyian mereka.
Han Siong
turun dari dipan, hati-hati agar jangan sampai terdengar mereka. Tiga orang itu
merasa yakin bahwa dia berada di bawah pengaruh ilmu hitam mereka, maka tentu
saja mereka lengah dan tidak mengira bahwa dia sebetulnya masih sadar
sepenuhnya, berkat pengaruh batu giok mustika yang memperkuat daya tahannya
sendiri. Dia lalu mendekati bilik dan dari celah-celah bilik dia mengintai ke
luar, ke arah belakang gubuk itu.
Kebetulan
sekali dia melihat bayangan biru berkelebat ke atas sebatang pohon besar tak
jauh dari gubuk itu. Hay Hay! Siapa lagi kalau bukan kawannya itu yang meloncat
ke atas pohon besar itu? Tempat yang baik sekali untuk membayangi mereka yang
kini berada di dalam gubuk.
Lega rasa
hati Han Siong melihat kawannya begitu dekat. Kalau gadis bernama Mayang itu
datang tentu Hay Hay akan melihatnya dan bukan Hay Hay jika matanya tidak
menjadi ‘hijau’ melihat gadis yang demikian manisnya, dan sudah pasti Hay Hay
tak akan tinggal diam saja melihat seorang gadis semanis itu memasuki gubuk.
Dia tentu akan mengintai dan apa bila melihat gadis itu terancam bahaya, sudah
pasti Hay Hay akan turun tangan menolong.
Dia tidak
perlu lagi membuka rahasia permainan sandiwaranya! Dengan hati terasa lega dan
tenang Han Siong lalu merebahkan dirinya lagi di atas dipan dan tak lama
kemudian dia pun tidur nyenyak.
Tidak keliru
dugaan Han Siong. Bayangan biru yang berkelebat ke atas pohon besar itu memang
Hay Hay. Berhari-hari pemuda ini membayangi ke mana pun tiga orang pendeta Lama
membawa Han Siong pergi. Sering kali dia harus mengomel panjang pendek karena
dia sungguh harus mengalami banyak penderitaan dengan pekerjaannya yang tidak
enak ini.
Karena dia
harus membayangi dengan hati-hati, maka dia tidur di mana saja asal dapat
mengamati mereka. Kalau mereka itu enak-enak tidur di rumah penginapan atau di
rumah keluarga di dusun, dia terpaksa harus tidur di udara terbuka untuk
mengamati mereka. Kalau mereka makan di kedai, dia harus puas makan seadanya
dengan membeli roti dan daging kering untuk bekal.
Tadi pun
ketika Han Siong dan tiga orang pendeta itu makan di kedai, Hay Hay terpaksa
mencari penjual makanan dan membeli lalu membungkus makanan itu untuk bekal.
Dan sekarang mereka kembali berhenti, tidak meneruskan perjalanan malah
memasuki gubuk peristirahatan umum itu!
Kembali dia
harus mencari tempat persembunyian sambil mengamati. Ketika melihat ada
sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu, dia pun cepat meloncat ke atas
pohon dan bersembunyi di balik daun-daun pohon yang lebat. Dia duduk nongkrong
di atas dahan, bersembunyi di balik dedaunan dan terpaksa menggaruk-garuk
lehernya ketika ada semut merah menggigitnya.
Dia
menggaruk leher, memelintir semut itu sambil mengomel, lalu mengeluarkan
buntalan makanan yang dibelinya tadi. Mana ada enaknya makan sambil nongkrong
pada dahan pohon yang banyak semutnya itu? Apa lagi kalau makanan itu adalah
kue atau roti model Tibet yang sederhana dan rasanya hambar!
"Hemm,
Pek Han Siong, jika kelak engkau tak bersikap baik kepadaku, engkau sungguh seorang
manusia yang tidak kenal budi!" Dia mengomel sambil makan roti yang hambar
itu, sekedar untuk mengisi perutnya yang menjerit-jerit kelaparan. "Untuk
kepentinganmu aku harus bersusah-payah begini. Hemm...!”
Akan tetapi
kalau dia mengenang nasib Pek Han Siong, timbullah perasaan iba di dalam
hatinya. Memang, dia sendiri juga terseret ke dalam banyak kesengsaraan hanya
karena dia harus menggantikan tempat anak ajaib itu! Akan tetapi dibandingkan
dengan apa yang menimpa diri Han Siong, sungguh nasibnya masih jauh lebih baik.
Memang dia
pernah difitnah, disangka menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), akan
tetapi sangkaan itu segera terhapus sesudah ternyata bahwa pelakunya bukan dia,
melainkan Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang ternyata adalah ayah kandung Hay
Hay sendiri! Namun Han Siong bernasib jauh lebih buruk. Adik kandungnya, Pek
Eng menjadi korban Si Kumbang Merah.
Dan semenjak
kecil Han Siong dikejar-kejar para pendeta Lama untuk diculik dan dipaksa
menjadi pendeta! Kemudian, baru saja Han Siong telah ‘memperkosa’ atau
menggauli Ci Goat di luar kesadarannya, namun dia belum tahu bahwa gadis yang
digaulinya itu telah tewas di tangan tiga orang pendeta Lama yang terkutuk itu!
Kasihan Han
Siong yang tentu dikejar-kejar perasaan berdosa terhadap Ci Goat. Pemuda itu
memang pantas dibantu dan ditolong. Pikiran ini mengusir kekesalan hati Hay Hay
dan mendadak saja roti Tibet yang tadinya hambar itu kini terasa lezat! Memang,
bumbu yang paling sedap untuk makanan adalah perut lapar dan hati tenteram!
Setelah
makan dan melihat betapa sepinya gubuk di bawah itu, Hay Hay cepat turun dari
pohon. Dengan sangat hati-hati dan dengan cara menyusup-nyusup, bahkan ada
kalanya pemuda ini harus bertiarap dan merangkak-rangkak, dia lantas mendekati
gubuk. Dengan pendengarannya yang tajam, dari luar gubuk itu dia dapat
menangkap pernapasan lembut dari Han Siong yang tidur nyenyak di dalam kamar,
dan suara tiga orang pendeta Lama itu bercakap-cakap diiringi tawa kecil di
ruangan. Dia lalu mundur lagi dan naik ke pohon.
Han Siong sudah
tidur dan tiga orang pendeta itu pun beristirahat. Agaknya mereka akan bermalam
di gubuk itu, pikirnya. Dia pun harus beristirahat. Malam nanti dia harus
berjaga sehingga sore ini sebaiknya tidur seperti Han Siong!
Dan tak lama
kemudian Hay Hay pulas tanpa dengkur. Hal ini penting sekali karena kalau
sampai dia mendengkur di dalam tidurnya, tentu akan mudah didengar orang dan
tempat persembunyiannya tidak lagi menjadi tempat persembunyian!
Malam itu
udara dingin bukan main dan kembali Hay Hay menyumpah-nyumpah ketika melihat
api unggun dinyalakan orang di bawah, di dalam gubuk itu. Han Siong enak-enak
di gubuk dan dihangatkan api unggun, namun dia harus menahan dingin di dalam
pohon yang banyak semut dan nyamuknya!
Karena
daun-daun di sekelilingnya mendatangkan hawa yang lebih dingin, maka dia pun
kemudian turun dari atas pohon dan duduk bersembunyi di balik sebatang pohon.
Tanah mengeluarkan hawa yang hangat, tidak sedingin di antara daun-daun itu.
Malam itu dingin dan sunyi, akan tetapi langit bersih, penuh bintang sehingga
cuaca tidak begitu gelap.
Tiba-tiba
Hay Hay terkejut dan cepat menyelinap ke balik batang pohon, seperti hendak
mengecilkan tubuhnya agar jangan sampai kelihatan orang. Dia kaget sekali
karena tidak menyangka-nyangka bahwa di tempat sunyi itu akan ada orang lewat.
Dia lalu mengintai dari balik pohon dan hampir saja mulutnya mengeluarkan
siulan saking kagumnya.
Cuaca
remang-remang. Dia tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas, akan tetapi
garis-garis lengkung tubuh itu nampak sangat jelas. Tubuh seorang wanita! Jelas
masih muda. Pinggang itu! Dada itu! Pinggul itu! Dia terbelalak kagum.
Seorang
wanita muda dengan bentuk tubuh yang hebat sekali! Sempurna! Belum pernah dia
melihat seorang wanita muda dengan tubuh sesempurna itu. Agak jangkung, ramping
dengan garis lengkung yang indah. Dan lenggangnya. Bukan main!
Akan tetapi
kekagumannya seketika hilang saat dia melihat wanita muda itu
melenggang-lenggok ke arah gubuk! Celaka, pikirnya. Wanita muda itu agaknya
tidak tahu siapa yang berada di dalam gubuk. Seperti seekor kelinci memasuki
goa di mana terdapat tiga ekor harimau kelaparan yang tentu akan merobek-robek
tubuh dan mengganyang dagingnya yang lunak!
Dia hendak
memperingatkan, akan tetapi wanita itu sudah terlampau dekat dengan gubuk. Apa
bila dia bersuara, tentu akan terdengar dari dalam. Dia pun bangkit dan
bermaksud hendak meloncat dan menangkap wanita itu lalu dibawanya pergi
menjauhi gubuk.
Akan tetapi
tiba-tiba saja dia tertegun dan menahan gerakannya karena dia melihat gadis
yang ‘lemah’ itu, yang disangkanya lemah karena melihat lenggang-lenggok yang
begitu lemah gemulai, kini mengeluarkan sebatang cambuk dari ikat pinggangnya.
Kini gadis itu berdiri di depan gubuk, tangan kanan memegang gagang cambuk dan
tangan kiri bertolak pinggang! Sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kelemahan
atau rasa takut, bahkan ada sikap menantang!
Pada saat
itu pula terdengar suara dari dalam gubuk, suara parau seorang di antara tiga
pendeta Lama itu, suara yang mengandung getaran penuh wibawa.
"Omitohud...!
Engkau sudah datang, nona Mayang? Masuklah, sudah semenjak tadi kami menanti
kunjunganmu, nona manis. Kami sudah siap untuk melayanimu!"
Hay Hay
mengerutkan alisnya. Benarkah itu suara seorang di antara tiga pendeta Lama
itu? Kata-katanya demikian genit dan mengandung kecabulan! Apakah wanita ini
seorang tokoh sesat yang menjadi kawan mereka? Ataukah dia seorang calon korban
yang datang karena pengaruh sihir? Karena jelas bahwa suara tadi didukung oleh
kekuatan sihir yang dahsyat! Akan tetapi wanita itu tetap berdiri tegak, malah
kini terdengar suaranya, nyaring lantang dan terdengar merdu.
"Hemm,
tiga orang pendeta Lama palsu! Memang aku telah datang berkunjung memenuhi
panggilan kalian. Keluarlah kalian untuk menerima hajaran karena
pendeta-pendeta palsu semacam kalian lebih berbahaya dari pada penjahat yang
paling besar!" Sebagai penutup kata-katanya, wanita muda itu menggerakkan tangan
kanannya hingga terdengarlah bunyi ledakan yang nyaring dari cambuknya.
Hay Hay
terbelalak kagum! Suaranya merdu, nyaring dan gagah! Dan cambuk yang dapat
mengeluarkan ledakan seperti itu tentu digerakkan oleh tangan yang mengandung
tenaga sinkang hebat! Apa lagi nampak betapa ujung cambuk itu ketika meledak
mengeluarkan asap!
“Ehhh...?!”
Dari dalam gubuk terdengar seruan kaget dan tak lama kemudian, pintu gubuk itu
terbuka.
Cahaya api
unggun kini menyorot keluar dan kembali Hay Hay harus menahan mulutnya untuk
tidak bersiul nyaring. Kini seberkas cahaya jatuh menimpa wajah wanita itu dan
dia terpesona! Wajah gadis itu serasi dengan keindahan bentuk badannya. Manis
sekali! Dan usianya nampak begitu muda!
Kini
muncullah tiga orang pendeta Lama itu dan mereka melangkah maju menghampiri
wanita itu dengan mata terbelalak penuh keheranan. Terutama sekali Pat Hoa Lama
yang tadinya menyangka bahwa dia sudah berhasil menguasai Mayang dengan ilmu
sihirnya.
Karena
merasa penasaran, begitu berhadapan dengan gadis itu, Pat Hoa Lama langsung
mengerahkan kekuatan sihirnya melalui pandangan mata, gerakan tangan dan
suaranya. Matanya menatap tajam kepada kedua mata gadis itu, tangan kirinya
membuat gerakan bergoyang kekanan kiri dan suaranya terdengar lembut akan tetapi
penuh kekuatan yang menggetarkan hati, bahkan dapat terasa pula oleh Hay Hay
yang sedang mengintai dari balik batang pohon.
"Nona
Mayang, engkau berhadapan dengan kami, tiga orang yang memiliki kekuatan jauh
lebih besar darimu! Kami perintahkan kepadamu, berlututlah dan menyerah, engkau
akan merasa berbahagia ! Huahhhh...!" Teriakan terakhir itu amat kuat.
Hay Hay
terkejut karena dia mengira bahwa tentu gadis itu tidak akan mampu bertahan
menghadapi serangan ilmu sihir yang mengandung kekuatan gabungan ketiga orang
itu. Akan tetapi dia terbelalak ketika melihat gadis itu tertawa, suara
ketawanya merdu akan tetapi juga mengerikan karena dalam keadaan seperti itu,
gadis itu masih mampu tertawa mengejek dan kembali cambuknya mengeluarkan suara
ledakan-ledakan yang langsung membuyarkan pengaruh sihir yang dilontarkan Pat
Hoa Lama.
"He-heh-hi-hi-hik!
Kalian tiga ekor monyet tua ini masih berani menjual lagak di depanku? Apakah
kalian telah menjadi tiga ekor monyet yang hendak membadut? Tidak laku di sini,
sama sekali tidak laku!"
Hampir saja
Hay Hay bersorak! Dia begitu girang sampai mulutnya terasa melebar karena dia
tertawa bergelak tanpa mengeluarkan suara, sampai perutnya terasa keras dan
kaku! Entah ilmu apa yang dikuasai gadis manis itu, tapi yang jelas sihir dari
tiga orang pendeta Lama itu sama sekali tak mampu menguasai, mempengaruhi apa
lagi menundukkannya!
Tiga orang
pendeta Lama itu agaknya pun menyadari akan hal ini. Mereka menjadi marah
sekali. "Bagus, ternyata engkau adalah siluman betina cilik yang banyak
tingkah! Engkau tidak mau dihadapi dengan lembut, agaknya minta kami
menggunakan kekerasan!" kata Gunga Lama.
Sekali
tangannya bergerak, tongkatnya yang memakai kelenengan hitam mengeluarkan bunyi
berkelening nyaring dan ujung tongkat itu sudah menyambar ke arah kepala gadis
itu. Serangan ini hebat sekali karena pendeta yang bertubuh tinggi besar
seperti raksasa itu memiliki tenaga yang dahsyat. Bahkan suara kelenengan yang
berdentingan nyaring itu saja sudah merupakan suatu serangan yang dapat
membingungkan lawan.
Dengan
gerakan lincah dan indah karena bentuk tubuhnya memang elok, ketika mengelak
pinggang yang ramping seperti batang pohon yang liu mematah ke samping dan
pinggul yang menonjol besar dan bulat itu seperti menari, dan dari samping,
cambuk gadis itu lalu meledak-ledak, menyambar dengan serangan balasan yang
tidak kalah hebatnya ke arah punggung lawan! Agaknya gadis itu memperlakukan
Gunga Lama seperti seekor di antara ternak yang digembalanya, yang nakal dan
tidak penurut, maka yang dicambuk adalah punggungnya.
“Tarrrrr...!”
Akan tetapi
dengan memutar tongkatnya Gunga Lama sudah berhasil menangkis pecutan itu
kemudian dia pun menyerang lagi. Terjadilah perkelahian seru antara kedua orang
ini. Melihat pertempuran antara dua orang itu, walau pun baru beberapa jurus
saja, Hay Hay segera dapat menilai bahwa dalam hal ilmu silat ternyata gadis
itu tidak selihai kekuatan sihirnya.
Agaknya,
menandingi Gunga Lama itu saja akan sukarlah baginya untuk menang bahkan
mungkin akhirnya dia akan kalah. Dan dua orang pendeta Lama yang lainnya belum
turun tangan! Diam-diam dia merasa khawatir dan bingung.
Bila dia
muncul menolong gadis itu, tentu rahasia Han Siong akan ketahuan. Kalau tidak
menolong, tentu gadis itu akhirnya tertawan dan dia bergidik ngeri kalau membayangkan
apa yang akan terjadi bila gadis itu tertawan oleh tiga orang pendeta yang
ternyata jahat itu! Kini barulah dia tahu bahwa tiga orang pendeta Lama itu
bukanlah orang-orang suci seperti yang mereka tonjolkan, melainkan orang-orang
jahat yang bahkan tidak pantang mengganggu seorang gadis remaja, dengan niat
yang jahat dan cabul!
Melihat
betapa dua orang pendeta Lama yang lain menonton sambil siap dengan senjata
mereka, Hay Hay cepat menyelinap pergi mendekati gubuk dari belakang dan tidak
lama kemudian, nampaklah api besar membakar gubuk itu! Dia tadi mendekati bilik
dari mana dia tadi mendengar dengkur atau pernapasan Han Siong yang tertidur,
dan menempelkan mulut pada bilik itu dia berbisik,
"Han
Siong pemalas kau! Bangun, gubuk ini akan kubakar untuk menolong gadis di luar
itu!"
Han Siong
telah tergugah oleh suara ledakan-ledakan cambuk tadi dan mendengar suara Hay
Hay ini, dia merasa girang bukan kepalang. Memang dia pun dapat menduga bahwa
suara cambuk itu tentulah cambuk gadis yang siang tadi berada di rumah makan.
"Lakukanlah!"
bisiknya kembali.
Hay Hay
membakar gubuk itu dari belakang dan begitu melihat api berkobar, Han Siong
segera berteriak-teriak, "Kebakaran...! Ahh, sam-wi lo-suhu...,
kebakaran…!"
Dia berlari
keluar seperti orang kebingungan, lalu masuk kembali, persis kelakuan orang
yang sudah kehilangan akal karena berada di bawah pengaruh sihir.
Janghau Lama
dan Pat Hoa Lama yang sudah siap untuk mengeroyok serta menangkap Mayang merasa
sangat terkejut, dan mereka menjadi khawatir sekali ketika melihat Han Siong
masuk kembali ke dalam gubuk yang terbakar. Pemuda itu sangat penting baginya,
lebih penting dari pada gadis yang hanya akan menjadi permainan mereka belaka.
Maka mereka cepat berlari meninggalkan Gunga Lama yang masih berkelahi melawan
Mayang untuk menolong Han Siong dari ancaman api yang mengamuk.
Ternyata
Mayang bukan seorang gadis yang bodoh. Begitu bertanding melawan Gunga Lama,
secara diam-diam dia terkejut dan juga khawatir. Di luar perkiraannya, lawannya
itu tangguh bukan main! Da pun tahu bahwa dia masih kalah dalam hal tenaga, dan
melawan seorang saja, banyak kemungkinan dia akan kalah, apa lagi kalau sampai
mereka bertiga maju bersama.
Memang dia
telah memperhitungkan secara matang dan sudah siap mencari kesempatan untuk
menyelamatkan diri sebelum dua orang pendeta lainnya ikut maju mengeroyoknya.
Sekarang, melihat betapa gubuk itu terbakar dan dua orang pendeta yang tadi
menonton kini berlari ke arah gubuk, sedangkan pendeta yang menyerangnya juga
nampak terkejut, dia pun menggunakan kesempatan itu untuk melompat jauh ke
dalam kegelapan malam.
Gunga Lama
baru merasa penasaran setelah dara itu melarikan diri. "Hei, siluman
betina, mau lari ke mana kau?" teriaknya sambil mengejar dengan langkah
kakinya yang lebar.
Mendadak
Gunga Lama merasa ada angin menyambar dari kiri. Cepat dia merendahkan tubuh
mengelak dan sebutir batu menyambar lewat di atas kepalanya.
"Huhh!'
Dia mendengus dan cepat dia meloncat ke arah dari mana menyambarnya batu tadi,
tongkatnya menghantam dengan keras.
"Desss...!"
Tongkat itu
menghantam semak-semak yang ternyata kosong. Tidak ada seorang pun di balik
semak-semak itu dan ketika Gunga Lama hendak mengejar lagi dia telah kehilangan
jejak. Lagi pula yang terpenting adalah menyelamatkan Pek Han Siong, maka dia
pun lari ke arah gubuk yang masih terbakar itu. Hatinya merasa lega melihat dua
orang sute-nya sudah berada di luar gubuk bersama Han Siong, dalam keadaan
selamat.
"Mana
iblis betina itu, Suheng?" tanya Pat Hoa Lama.
Gunga Lama
menggeleng kepala. "Siluman itu menghilang ke dalam kegelapan,” katanya
acuh, tak peduli betapa Pat Hoa Lama kelihatan kecewa bukan main. Daging yang
sudah berada di ujung bibir dapat lolos!
"Bagaimana
gubuk itu bisa terbakar?" tanya Gunga Lama kepada kedua orang sute-nya.
Dua orang pendeta
itu menggeleng kepala dan mereka memandang kepada Han Siong dengan penuh
selidik, namun pemuda itu nampak muram dan tidak bersemangat. Mereka bertiga
rupanya merasa curiga, dan dengan pemusatan kekuatan sihir, mereka kemudian
memandang pemuda itu dan Gunga Lama berseru dengan suara menggeledek.
"Pek
Han Siong, katakan siapa yang membakar gubuk?!"
Han Siong
dilindungi oleh batu giok mustika, maka meski pun dia merasa betapa seluruh
tubuhnya bergetar, tetapi pikirannya masih sadar. Dia pura-pura linglung dan
menggeleng kepalanya.
"Tidak
tahu..., aku tidur... tahu-tahu ada kebakaran. Aku berteriak-teriak..."
"Hemm,
tentu siluman betina itu membawa kawan yang melakukan pembakaran itu,"
kata Janghau Lama. "Sungguh mengherankan sekali, siapa gadis itu
sebetulnya? Dia mampu menahan kekuatan ilmu kita!"
"Memang
kelak perlu diselidiki. Ilmu silatnya pun tidak jelek. Akan tetapi urusan kita
lebih penting. Mari kita bawa Sin-tong, dan terpaksa kita harus melanjutkan
perjalanan malam ini juga."
Mereka lantas
menggandeng tangan Han Siong, diajak menuju ke sebuah bukit, berjalan dengan
hati-hati dan tidak dapat cepat karena jalan menuju ke pendakian bukit itu
hanya merupakan jalan setapak yang amat liar.
***************
"Nona,
ke sini. Cepat lari ke arah ini!"
Gadis itu
terkejut melihat seorang pemuda menggapai kepadanya. Akan tetapi karena dia
maklum bahwa keselamatannya terancam oleh ketiga orang pendeta Lama itu, maka
dia pun menurut saja, melompat ke arah pemuda itu berdiri, kemudian mengikuti
pemuda itu lari menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan. Sesudah pemuda itu
berhenti di tempat terbuka yang berada di tengah hutan, barulah dia turut
berhenti. Tangan kanannya masih memegang cambuknya dan pernapasannya agak
memburu.
"Siapa
engkau?" tanyanya sambil mencoba menembus kesuraman malam supaya dapat
mengamati wajah pemuda yang berpakaian biru itu.
Seorang
pemuda yang bertubuh sedang, nampak tegap karena dadanya yang bidang. Di
punggung pemuda itu nampak sebuah buntalan dan sebuah caping lebar yang
menutupi buntalan, tergantung pada punggungnya.
"Aku?
Aku adalah tukang bakar gubuk," kata Hay Hay sambil tersenyum, diusahakan
agar senyumnya nampak manis dan menarik walau pun usaha ini sia-sia belaka
karena betapa pun manisnya senyum yang dipamerkan, tetap saja gadis itu tidak
dapat melihat jelas!
"Ahh,
kiranya engkau yang membakar gubuk tadi?" Gadis itu tertegun karena tadi
pun dia merasa betapa terbakarnya gubuk itu telah menyelamatkan dirinya dari
ancaman bahaya. "Mengapa engkau lakukan itu?"
"Aha!
Mengapa, ya? Aku memang suka bermain-main dengan api, Nona. Api itu demikian
indahnya membakar gubuk. Warnanya kuning merah keemasan. Seperti emas! Ya,
mirip emas, lebih indah lagi karena hidup, tidak seperti emas yang mati. Aku
suka bermain api, Nona."
Mayang
mengerutkan alisnya, mencoba lagi menembus malam yang tidak begitu terang untuk
memperhatikan wajah pemuda itu.
"Apa
kau gila?" tiba-tiba dia bertanya.
"Apa?
Gila? Aku? Wah, belum! Mudah-mudahan tidak akan pernah. Lagi pula, bagaimana
membedakan orang waras dan gila? Apakah tiga orang pendeta tadi juga waras?”
"Kalau
tidak gila, kenapa jawabanmu begitu? Kenapa engkau membakar gubuk itu? Tidak
mungkin karena kau suka bermain api!" Suara gadis itu mengandung
kedongkolan karena merasa seperti dipermainkan.
"Yang
aneh bukan aku tapi engkau, Nona. Sudah jelas kenapa aku membakar gubuk itu,
tetapi engkau masih bertanya. Ini namaya kura-kura dalam perahu, pura-pura
tidak tahu!"
"Tar-tarrr...!"
Cambuk itu meledak.
Hay Hay
berlagak terkejut dan ketakutan. Dia memegangi kepalanya. "Wah-wah, jangan
main-main, Nona. Apa bila kena kepalaku, berat. Ke mana aku harus mencari
pengganti kepalaku?"
Mayang
tersenyum geli mendengar kata-kata itu, akan tetapi juga masih merasa jengkel.
"Nah, jawablah yang benar kalau engkau tidak ingin kehilangan kepala!
Mengapa engkau membakar gubuk itu tadi?"
“Ya
ampun...! Nona cantik galak amat...” Dia sengaja memberi tekanan pada kata
‘cantik’ dan berbisik lirih ketika mengatakan ‘galak’ sehingga tidak terdengar
oleh Mayang. Yang terdengar hanya “Nona cantik... amat...”
“Apa kau
bilang?"
"Tidak,
ehh… itu lho. Nona amat baik hati suka mengampuni aku. Begini, Nona. Tadi aku
melihat Nona hendak dibunuh oleh pendeta raksasa yang amat menakutkan itu. Aku
takut sekali, mau membantu tapi aku tidak berani. Aku hanya bisa merasa
mendongkol kepada mereka, maka karena marah aku lantas membakar gubuk mereka.
Nah, itulah sebabnya, Nona. Kemudian aku melihat nona di dalam kegelapan, maka
aku mengajak Nona lari ke sini agar jangan sampai tersusul oleh mereka."
Mendengar
kalimat terakhir itu, Mayang melirik ke kanan kiri dan belakang. Kalau benar
mereka itu dapat mengejar dan menyusul, dia akan celaka! Dan pemuda ini hanya
berani dan nekat saja, agaknya tidak memiliki kemampuan apa pun.
"Jangan
khawatir, Nona. Mereka tidak akan dapat mengejar ke sini karena sedang sibuk
dengan gubuk mereka yang terbakar," Hay Hay tersenyum.
"Hemm,
engkau membikin aku menjadi malu saja! Gara-gara engkau, aku menjadi kaget
melihat kebakaran itu sehingga aku melarikan diri seperti seorang penakut!
Padahal kalau tidak kau ganggu, aku tentu sudah merobohkan tiga orang pendeta
palsu yang jahat itu!"
Tentu saja
diam-diam Hay Hay merasa geli. Akan tetapi dia harus melindungi Han Siong,
betapa pun senangnya untuk bercakap-cakap lebih lama sambil berkenalan dengan
gadis manis itu,. Sesudah gubuk itu dibakarnya untuk menyelamatkan gadis ini,
tentu tiga orang pendeta itu kini telah membawa Han Siong pergi dari sana dan
dia tidak ingin kehilangan jejak mereka.
"Kalau
begitu maafkan aku, Nona. Akan tetapi aku harus cepat pergi dari sini, takut
kalau mereka itu pergi jauh. Aku harus terus membayangi mereka."
Gadis itu
mengangkat muka memandang heran. "Engkau? Membayangi mereka? Kenapa engkau
ingin membayangi mereka? Sungguh berbahaya sekali membayangi mereka. Jika
ketahuan, apa lagi kalau mereka tahu bahwa engkaulah yang membakar gubuk tadi,
tentu engkau akan dibakar hidup-hidup!"
Hay Hay
bergidik dan pura-pura merasa ngeri seakan ketakutan. "Aihh, ampun…!
Jangan berkata demikian, Nona. Bagaimana pun juga aku harus mengikuti ke mana
mereka pergi karena mereka telah menawan... saudara misanku.”
"Ahh,
jadi pemuda... tampan itu saudara misanmu?"
"Dia
tidak begitu tampan, nona!" kata Hay Hay cepat.
"Tapi
mengapa mereka menawan dia?"
"Hemm,
mungkin karena tampan itulah. Katanya dia akan dijadikan pelayan. Aku merasa
khawatir, maka aku lalu mengikuti mereka dengan diam-diam supaya aku tahu ke
mana saudaraku itu dibawa. Kalau ternyata dia enak menjadi pelayan, hidup
berkecukupan dan senang, aku pun akan ikut masuk menjadi pelayan mereka. Aku
tidak kalah tampan oleh saudara misanku."
Mayang
merasa geli, akan tetapi juga mendongkol. Ucapan itu membuat dia ingin sekali
melihat wajah pemuda ini dengan jelas. Dia tak percaya pemuda yang
angin-anginan dan ketololan ini setampan pemuda yang bersama tiga orang pendeta
Lama itu.
"Tidak
usah kau kejar dan cari. Aku tahu ke mana mereka akan pergi."
"Ehh?
Engkau tahu, Nona? Apakah Nona adalah sahabat dan kenalan mereka?"
"Hushh!
Ngawur saja kau bicara! Jika aku sahabat mereka, bagaimana tadi aku berkelahi
dengan mereka? Tetapi aku pernah melihat mereka bertiga. Mereka memimpin
puluhan orang pendeta Lama dan berkumpul di bukit tak jauh dari sini, yaitu
Bukit Bangau. Ketika aku menggiring ternak beberapa hari yang lalu, aku melihat
mereka masih berada di situ, dan kurang lebih dua bulan yang lalu aku melihat
mereka bertiga itu pun berada di sana. Aku yakin bahwa saudaramu itu pasti
diajak ke puncak Bukit Bangau."
"Kalau
begitu, sekarang juga aku hendak mengikuti mereka ke Bukit Bangau," kata
Hay Hay.
"Hemmm,
kalau begitu engkau hanya akan menjadi seekor katak kecil yang menghampiri
mulut bangau untuk dicaplok dan habis sekali telan!" Suara gadis itu
mengejek.
"Ehh?
Kenapa begitu?"
"Sudah
kukatakan bahwa tiga orang pendeta Lama itu mempunyai banyak anak buah di sana,
kukira tak kurang dari seratus orang dan tempat itu dijaga ketat. Tiga orang
pendeta itu begitu lihai dan anak buahnya banyak. Kalau engkau mengikuti mereka
mendaki bukit, bukankah hal itu sama dengan bunuh diri dan mati konyol?"
Hay Hay
tersenyum lebar. "Aih, Nona yang baik. Kenapa engkau mengkhawatirkan benar
keadaan diriku?"
Walau pun
cuaca agak gelap, akan tetapi nampak jelas betapa gadis itu menjadi marah,
tubuhnya meregang dan sepasang tangannya dikepal, "Siapa yang peduli akan
nasib dan keadaanmu? Meski pun engkau dibunuh seratus kali aku tidak peduli!
Aku hanya kasihan kepada saudara misanmu itu, karena dia tentu akan berduka
kalau mendengar engkau mati konyol di sana."
"Aduh…
senangnya hati Han Siong!"
"Siapa
itu Han Siong?"
"Saudaraku
yang tampan itulah. Dia tentu senang sekali mendengar betapa engkau amat
memperhatikan dia, Nona...”
"Tutup
mulutmu atau kutampar kau nanti!" Gadis itu membentak galak.
Hay Hay
cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk. “Maafkan aku,
Nona. Kalau aku tidak boleh mengikuti mereka, lantas apa yang harus kita
lakukan sekarang?"
"Kita
lewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi baru aku akan melakukan
penyelidikan ke bukit itu dan kalau mungkin aku akan membebaskan saudara
misanmu."
"Apakah
tidak berbahaya untukmu, nona?"
"Tidak.
Andai kata aku kewalahan, masih ada subo-ku (ibu guru) yang akan menolongku.
Aku dapat mendaki Ning-jing-san, ke puncak Awan Kelabu, menghadap subo untuk
minta bantuannya. Kalau aku bersama subo, jangankan baru tiga orang pendeta
palsu tadi, biar ditambah sepuluh lagi semacam mereka, aku tidak takut!"
Sombongnya,
pikir Hay Hay. Sombong akan tetapi manis. Galak tetapi juga gagah berani.
Seorang gadis hebat. Ingin sekali dia melihat wajah gadis itu dengan jelas.
Lalu dia mulai mengumpulkan kayu kering.
"Untuk
apa?" tanya gadis itu sambil duduk di atas sebongkah batu sebesar perut
kerbau.
"Untuk
membuat api unggun," kata Hay Hay. "Kalau harus melewatkan malam di
sini, kita perlu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa
dingin."
"Api
unggun akan nampak dari jauh."
"Ehh,
apakah engkau takut kalau tempat kita sampai diketahui orang?"
Suara merdu
itu mengandung kemarahan. "Siapa takut? Kalau engkau saja tidak merasa
takut, bagaimana aku takut? Huh, kalau sampai ada musuh datang, yang mampus
lebih dulu adalah engkau, bukan aku! Mengapa mesti takut?"
Hay Hay
tersenyum. "Ha-ha-ha, aku pun tidak takut, Nona, karena aku yakin bahwa
Nona tentu tak akan membiarkan aku disembelih orang. Nona terlampau gagah dan
terlampau baik untuk membiarkan aku dibunuh."
Dara itu
diam saja sehingga Hay Hay tidak tahu bagaimana tanggapannya terhadap
kata-katanya itu. Akan tetapi, pada waktu dia mulai menumpuk kayu dan hendak
membuat api unggun, gadis itu segera menghampiri dan duduk di dekat tumpukan
kayu, membantunya sehingga dia merasa girang karena hal ini saja membuktikan
bahwa gadis itu tidak marah lagi.
Kalau Hay
Hay menghendaki, dengan sekali menggosok dua batang kayu kering sambil
mengerahkan tenaga sinkang-nya, tentu akan segera timbul api. Akan tetapi dia
tak ingin memperlihatkan kepandaiannya, dan dia pun menggosok-gosok dua batang
kayu dengan tenaga biasa.
Melihat
sampai beberapa lamanya pemuda itu tidak juga berhasil membuat api, Mayang
menjadi tidak sabar. Disambarnya dua batang kayu itu dari tangan Hay Hay, lalu
dia pun menggosok-gosok beberapa kali sampai kayu kering itu terbakar. Tumpukan
kayu dibakar dan jadilah api unggun yang cukup besar, terang dan hangat.
"Aduhhhh...!
Ya Tuhanku... , sungguh hebat bukan main...!"
Gadis itu
mengangkat muka memandang. Dia melihat pemuda itu terbelalak memandang
kepadanya, sepasang matanya terbuka lebar dan mulutnya juga terbuka sehingga
terlihat tolol seperti orang kehilangan semangat.
"Ihhh…!
Engkau ini kenapa sih?" tanya Mayang yang agak terkejut juga karena tidak
tahu apa yang menyebabkan pemuda itu nampak demikian kaget.
“Bukan
main...! Sudah kuduga bahwa engkau tentu cantik manis, Nona, akan tetapi tidak
seperti ini! Cantik jelita seperti bidadari! Sungguh, engkau cantik jelita dan
manis bukan main!"
Mayang sudah
meloncat berdiri. Tinggi ramping! Kedua tangannya bertolak pinggang dan agaknya
jari jemari kedua tangannya dapat melingkari pinggang yang kecil itu. Mata yang
sipit itu mengeluarkan cahaya berkilat, mulutnya cemberut dan hidung yang
sedikit besar namun bentuknya indah itu kembang kempis, cupingnya nampak jelas
bergerak seperti cuping hidung seekor kuda betina dilanda birahi.
"Kau...
kau...! Berani engkau mempermainkan dan mengolokku? Engkau hendak kurang ajar
kepadaku, ya? Apakah engkau sudah bosan hidup?”
Hay Hay
kelihatan terkejut dan terheran-heran, mengembangkan kedua lengannya lantas dia
pun berkata, "Ampun Dewi...! Apakah dosa hamba? Siapa yang mempermainkan
dan memperolokkan siapa? Nona, ketika tadi bertemu denganmu dalam cuaca yang
remang-remang, aku hanya mengetahui bahwa Nona mempunyai bentuk tubuh yang
ramping dan padat berisi, juga mempunyai suara yang merdu, dan dalam keremangan
itu aku melihat garis-garis wajahmu yang sangat manis. Kemudian, setelah kita
membuat api unggun dan cahaya api unggun jatuh menerangi wajahmu, baru aku
melihat bahwa Nona benar-benar memiliki kecantikan yang luar biasa, jauh
melampaui dugaanku semula. Jika aku melihat wajah Nona yang begini cantik
jelita lalu kukatakan itu dengan terus terang, apakah hal itu merupakan sebuah
dosa? Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa Nona berwajah buruk, bersuara
parau dan berperawakan jelek bila keadaannya sama sekali berlawanan? Memang
Nona memiliki wajah yang cantik jelita dan manis, bentuk tubuh tinggi ramping
yang sempurna, dan suara yang merdu seperti suara burung dewata. Nah, salahkah
aku? Jika Nona menganggap aku bersalah, berdosa dan layak dibunuh, silakan
saja!" Hay Hay sengaja memanjangkan lehernya seperti seekor angsa yang
siap menyerahkan lehernya untuk dipenggal!
Mendengar
pidato panjang itu dan melihat sikap Hay Hay, mau tidak mau Mayang tertawa dan
dia pun lalu duduk kembali, kini mengamati wajah pemuda yang duduk di depannya
terhalang api unggun. Harus diakuinya bahwa pemuda ini mempunyai wajah yang
tampan, memang tidak kalah oleh saudara misannya itu walau pun ketampanan
mereka berbeda.
Saudara
misannya yang ditawan oleh tiga orang pendeta Lama itu memiliki wajah yang
bentuknya bulat, berkulit putih dengan alis hitam tebal, mata sipit. Sedangkan
pemuda di depannya ini selain bertubuh tegap dengan dada yang bidang, juga
hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar gembira
dan bentuk wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing. Mulut dan matanya
sungguh mempunyai daya tarik yang kuat sekali.
"Apakah
engkau agak miring?" tiba-tiba Mayang bertanya. Hay Hay melongo keheranan.
"Miring?
Apanya yang miring?” tanyanya tak mengerti.
Mayang tidak
menjawab, melainkan meletakkan jari telunjuk kirinya ke atas dahi sendiri,
diletakkan agak menyerong. Sekarang Hay Hay baru mengerti dan dia cemberut.
Kurang ajar! Dia disangka gila!
"Kau
kira aku ini setengah gila, Nona? Aih, kira-kira dong kalau menghina orang.
Kenapa Nona menganggap aku gila?"
"Habis,
bicaramu aneh-aneh. Engkau memujiku habis-habisan dan anehnya aku tidak jadi
marah kepadamu. Biarlah kuanggap semua omonganmu tadi seperti ocehan seorang
gila. Ataukah engkau seorang laki-laki perayu yang palsu, yang biasa menyanjung
dan memuji wanita dengan rayuan maut untuk kau jatuhkan hatinya?
Begitukah?"
Hay Hay
menggelengkan kepala. "Aku hanya seorang laki-laki yang jujur dan tidak
mau berpura-pura, Nona. Kalau aku melihat setangkai bunga yang indah dan harum,
aku akan memujinya seperti apa adanya, tidak berpura-pura tak suka. Apa bila
aku melihat seorang gadis yang cantik seperti Nona, aku tidak berpura-pura
alim, pura-pura tidak mau melihat akan tetapi dengan diam-diam melirik sampai
mataku menjadi juling! Aku akan menatap secara langsung dan mengagumi
kecantikanmu. Aku akan terus terang memujimu, bukan untuk merayu atau
menjilat."
"Kalau
begitu engkau mata keranjang!" seru Mayang.
Hay Hay
tersenyum dan kembali Mayang tertegun. Pemuda ini dapat tersenyum demikian
wajar dan terbuka, seperti senyum kanak-kanak, tidak dibuat-buat.
"Nona,
lebih baik dianggap mata keranjang akan tetapi jujur dalam mengagumi kecantikan
seorang wanita dari pada dianggap alim akan tetapi diam-diam mempunyai pikiran
yang cabul terhadap seorang wanita!”
Mayang
tertegun. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang pria yang
ucapannya dan sikapnya seperti pemuda ini! Biasanya seorang pria akan bersikap
kurang ajar dan kasar, atau kalau pun nampak sopan santun tapi pandang matanya
mengandung nafsu birahi yang cabul.
Akan tetapi
pemuda ini sikapnya kelihatan ugal-ugalan karena terlampau jujur mengakui dan
mengagumi kecantikannya tanpa disembunyikan lagi. Belum pernah dia berhadapan
dengan seorang pemuda yang memuji-muji kecantikannya akan tetapi tidak membuat
dia tersinggung, bahkan merasa bangga dan gembira karena pujian itu sewajarnya
dan jujur, tidak menyembunyikan pamrih yang cabul terhadap dirinya.
“Siapa sih
engkau ini? Maksudku, siapa namamu dan dari mana engkau datang?"
"Namaku?
Orang-orang memanggil aku Hay Hay, Nona, dan aku tidak mempunyai tempat tinggal
tertentu. Aku seorang pengembara, empat penjuru adalah dinding rumahku. Langit
menjadi atap rumahku dan tanah ini menjadi lantai rumahku. Ada pun saudara
misanku itu bernama Pek Han Siong, dia adalah putera ketua Pek-sim-pang di kota
Kong-goan. Aku sedang merantau dan bertemu dengan Han Siong ketika tiba-tiba
muncul tiga orang pendeta Lama itu dan mereka menangkap Han Siong. Aku lalu
mengikuti mereka sampai malam ini berjumpa denganmu. Kalau boleh aku bertanya,
siapakah engkau, nona?”
"Aku
Mayang, tinggal bersama ibuku dan subo-ku di sebuah puncak di Pegunungan
Ning-jing-san. Subo memelihara hewan ternak, ada pun pekerjaanku adalah
mengurus hewan ternak. Kadang kala aku juga menerima pekerjaan mengirim dan
menggiring ternak yang diperdagangkan orang, dari satu ke lain daerah.”
Diam-diam
Hay Hay merasa kagum. Gadis ini memang hebat. Melakukan pekerjaan yang sangat
berbahaya. Menggiring ternak yang sampai ratusan banyaknya melintasi
daerah-daerah yang sunyi pasti amat berbahaya. Tentu karena dia mempunyai
kepandaian tinggi maka dia berani melakukan tugas berbahaya itu. Kalau hanya
perampok-perampok biasa saja akan celakalah mereka bertemu dengan gadis seperti
Mayang.
“Engkau
tentu seorang gadis Tibet, bukan? Dan apakah ayahmu juga tinggal di puncak itu?
Engkau tadi hanya menyebut ibumu dan subo-mu.”
“Ibu adalah
seorang wanita Tibet, ayahku... seorang pria Han akan tetapi dia sudah pergi
meninggalkan ibu, entah ke mana, entah masih hidup ataukah sudah mati.”
Hay hay
merasa betapa ada kedukaan terkandung dalam suara gadis itu, maka dia pun
mencoba untuk menghiburnya. "Engkau masih beruntung, Mayang, sebab masih
memiliki seorang ibu. Sejak bayi aku sudah tidak punya ibu. Ibuku telah
meninggal dunia."
"Dan
ayahmu?"
Hay Hay
merasa dada dan perutnya panas. Kepada siapa pun juga dia tidak akan sudi
mengaku bahwa ayah kandungnya adalah Si Kumbang Merah, seorang penjahat cabul
pemerkosa wanita, bahkan dia sendiri dilahirkan akibat dari pemerkosaan yang
dilakukan penjahat itu kepada ibu kandungnya!
"Hemmm,
seperti juga engkau, ayahku pergi, entah ke mana. Mungkin juga... dia sudah
mati!"
Keduanya
diam sejenak. "Engkau dan saudara misanmu itu tidak mempunyai kepandaian
akan tetapi berani melakukan perjalanan di daerah yang rawan ini. Sungguh
tabah.”
“Tidak ada
artinya kalau dibandingkan dengan engkau, Mayang. Engkau seorang wanita,
seorang gadis remaja yang amat muda...”
"Tidak
muda sekali, usiaku sudah delapan belas tahun!"
Hay Hay
tersenyum. "Ya, seorang gadis dewasa, tetapi engkau berani menentang
orang-orang jahat yang lihai. Maukah engkau menceritakan bagaimana engkau
sampai bentrok dengan tiga orang pendeta Lama itu?"
"Sore
hari tadi ketika sedang makan di kedai makanan di dusun Wang-kan, aku bertemu
dengan tiga orang pendeta itu yang juga sedang makan bersama siapa tadi nama
saudara misanmu itu? Han Siong? Ya, mereka makan bersama Han Siong. Lalu
seorang di antara ketiga orang pendeta itu, yang tinggi bongkok itu, menghampiri
mejaku minta sumbangan. Pada saat itu dia telah mencoba menyihirku, dan dengan
sihirnya dia memerintahkan aku untuk datang ke gubuk itu pada malam hari ini.
Maka aku pun datanglah!"
Hay Hay
terkejut. Gadis ini dengan enak saja menceritakan bahwa dia disihir orang, dan
dia pun teringat betapa tadi pun tiga orang pendeta itu tidak berhasil
menguasai Mayang dengan kekuatan sihir. Diam-diam dia kagum bukan main.
"Mayang,
engkau disihir malah datang berkunjung kepada mereka? Apakah engkau tidak takut
disihir? Apakah engkau mampu melawan kekuatan sihir mereka?"
Mulut itu
tersenyum mengejek. Ujung hidungnya bergerak sehingga terlihat manis sekali!
"Huh, siapa takut menghadapi permainan kanak-kanak itu?"
"Engkau
pandai bermain sihir?"
"Siapa
sudi menjadi dukun sihir? Akan tetapi subo telah menggemblengku untuk melawan
serangan sihir orang sehingga aku kebal terhadap segala macam permainan
kanak-kanak itu! Lagi pula, sebagai seorang penggiring ternak dalam jumlah
banyak, aku harus pandai menguasai ternak dengan kekuatan batin. Aku tidak bisa
menyihir orang lain, akan tetapi tak seorang pun akan mampu menguasaiku dengan
kekuatan sihirnya."
"Dan
engkau datang ke gubuk itu mau apa?”
"Mau
menghajar mereka, karena tiga orang pendeta itu palsu. Mereka bukan orang suci
melainkan orang-orang jahat yang mempunyai niat cabul terhadap diriku. Tetapi,
sebelum aku berhasil menghajar mereka, mendadak engkau muncul dan membikin
kacau dengan membakar gubuk !"
Hay Hay
tersenyum. Tentu saja dia lebih tahu. Apa bila gubuk itu tidak dibakarnya,
tentu sekarang Mayang telah tertawan!
"Mayang,
apakah engkau tidak salah bahwa tiga orang pendeta Lama itu akan membawa
saudara misanku ke Bukit Bangau? Menurut pengakuan mereka ketika mereka
mengajak saudara misanku dengan paksa, mereka adalah utusan Dalai Lama untuk
mencari... ehh, pelayan pria."
"Mereka
bohong! Bahkan menurut dugaan subo, ketiga orang itu adalah pendeta-pendeta
Lama yang pernah mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama. Pemberontakan
itu telah dihancurkan dan mungkin saja tiga orang itu merupakan sisa dari para
pimpinan pemberontakan yang sudah dibasmi itu. Nanti aku akan melaporkan kepada
subo tentang perbuatan mereka terhadap diriku, sebab perbuatan itu telah
membuktikan bahwa mereka adalah pendeta-pendeta palsu atau pendeta sesat!”
Kaget juga
hati Hay Hay mendengar keterangan yang sama sekali tak pernah diduganya itu.
Mereka bukan utusan Dalai Lama? Kalau begitu, mengapa mereka berkeras hendak
membawa Han Siong yang sejak kecil memang dicari oleh para pendeta Lama di
Tibet karena Han Siong dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama?
"Mayang,
kalau begitu mengapa tidak sekarang saja kita menghadap subo-mu? Aku ingin
sekali mendapatkan keterangan yang jelas tentang mereka! Aku sangat
mengkhawatirkan saudara misanku!"
Gadis itu
memandang Hay Hay dan dia merasa heran. Pemuda ini tampan dan perayu, akan
tetapi lemah dan tidak pandai silat, juga kadang ketololan. Begitu berjumpa
sudah bersikap demikian akrab dan menyebut namanya begitu saja tanpa sebutan
nona seolah-olah mereka sudah lama sekali bergaul dan menjadi sahabat. Namun
anehnya dia tidak merasa tersinggung karena sikap Hay Hay demikian wajar!
"Hay
Hay, engkau tidak mengenal subo-ku. Kau sangka mudah saja bagi orang luar untuk
menghadap subo? Kalau engkau tidak pandai membawa diri dan kalau tidak berkenan
di hatinya, salah-salah begitu bertemu engkau akan dibunuh begitu saja!”
"Wah?
Begitu jahatkah subo-mu itu, Mayang?"
"Sama
sekali tidak jahat, akan tetapi dia paling benci kepada laki-laki yang lemah,
apa lagi seorang penjilat dan perayu seperti engkau. Sebab itu aku khawatir
sekali kalau engkau akan dibunuhnya begitu dia melihatmu."
Mendengar
ini hati Hay Hay bukannya jeri malah menjadi semakin tertarik. Akan tetapi dia
bersikap pura-pura ketakutan. "Wah, sungguh berbahaya sekali. Aku akan
bersikap baik-baik, Mayang. Tetapi kalau memang sudah nasibku tewas di tangan
subo-mu, sudahlah, aku tidak akan merasa penasaran karena dia subo-mu!"
“Kenapa
engkau tidak penasaran kalau dibunuh subo-ku?” Gadis itu tertarik.
Hay Hay
tersenyum. “Aku akan mati dengan mata tertutup atau setengah terbuka karena aku
akan selalu mengenangmu dan menghibur diri bahwa yang membunuhku adalah guru
dari seorang gadis seperti bidadari yang...”
“Sudah,
jangan mulai merayu lagi!” Mayang membentak akan tetapi tidak marah. “Jangan
khawatir, kalau subo hendak membunuhmu, aku yang akan mintakan ampun bagimu dan
biasanya subo akan memenuhi permintaanku. Akan tetapi kenapa engkau nekat
hendak ikut aku menemui subo?”
“Aku sangat
mengkhawatirkan nasib saudara misanku itu, dan aku hendak minta bantuan subo-mu
untuk membebaskan dia.”
Kini Hay Hay
mulai percaya akan keterangan Mayang bahwa tiga orang pendeta Lama itu tidak
pergi ke Lasha dan agaknya memang ada suatu rahasia yang tersembunyi di balik
sikap para pendeta itu. Kalau mereka benar utusan Dalai Lama, tentu mereka
merupakan pendeta-pendeta yang kedudukannya tinggi dan berwatak saleh, tidak
seperti mereka itu yang telah membunuh Ci Goat, juga mempunyai niat cabul
terhadap Mayang.
Dia maklum
betapa lihainya tiga orang itu, apa lagi kalau dibantu anak buah yang sampai
seratus orang banyaknya. Dia perlu bantuan Mayang dan terutama sekali subo-nya
yang agaknya merupakan seorang sakti yang mengasingkan diri di tempat sunyi
ini.
"Baik,
kalau begitu mari kita berangkat sekarang. Akan tetapi kuperingatkan engkau,
Hay Hay, bahwa jalan pendakian ke rumah kami amat sukar. Apa lagi dilakukan
malam-malam begini. Sekali engkau salah langkah dan jatuh, maka engkau langsung
menggelinding ke dalam jurang yang amat curam dan tubuhmu akan hancur, nyawamu
akan melayang."
"Aku
tidak takut, Mayang. Kalau aku takut berarti aku memandang rendah
kepadamu."
"Ehh?
Kenapa begitu?"
"Karena
aku yakin engkau tentu akan melindungi aku dan menjadi petunjuk jalan agar aku
tidak sampai terguling ke dalam jurang. Kalau aku takut, berarti aku kurang
percaya akan kemampuanmu."
Mayang
tersenyum akan tetapi juga mengerutkan alisnya, "Engkau... hemm, engkau
bisa berbahaya!"
Dia tidak
menjelaskan apa yang dia maksudkan, dan dengan kakinya dia lalu menginjak-injak
api unggun sampai padam. Dia menganggap pemuda ini sungguh berbahaya karena
pandai sekali berbicara, pandai mengambil hati dengan rayuan-rayuannya yang
sungguh menyenangkan hati!
Maka
berangkatlah mereka menyusup-nyusup di antara pohon-pohon. Mayang berjalan di
depan dan Hay Hay di belakangnya. Perjalanan yang sangat sukar karena cuaca
remang-remang, akan tetapi agaknya gadis itu sudah mengenal benar daerah itu.
Dia melangkah tanpa ragu dan Hay Hay mengikuti dari belakangnya.
Dia tahu
bahwa gerakan gadis ini tentu akan lebih lincah dan gesit apa bila dia
melakukan perjalanan sendiri saja. Kini, bila Mayang terlampau cepat, Hay Hay segera
berseru agar jangan meninggalkannya sehingga gadis itu melangkah biasa saja,
tidak mempergunakan ilmu berlari cepat.
Hay Hay
memang sengaja tidak mau tergesa-gesa karena diam-diam dia harus mengenal
daerah yang dilewatinya. Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya di tempat
tinggal Mayang, maka yang terpenting dia harus tahu ke mana arah dia pergi dan
mengenal jalan kalau dia terpaksa harus melarikan diri dari tempat itu.
Lagi pula
senang sekali berjalan di belakang gadis itu. Walau pun cuaca remang-remang,
akan tetapi dia bisa menikmati penglihatan yang amat indah, yaitu gerakan tubuh
Mayang ketika melenggang di depannya. Akhirnya mereka mulai mendaki bukit yang
oleh dara itu dikatakan sebagai tempat tinggal ibunya dan gurunya.
Pegunungan
Ning-jing-san mempunyai banyak puncak dan mereka tadi memang berada di daerah
pegunungan itu. Sebuah di antara puncaknya menjadi tempat tinggal Mayang,
bersama ibu dan subo-nya. Puncak itu disebut Puncak Awan Kelabu dan menjadi
tempat pertapaan guru Mayang. Di tempat itu mereka mengusahakan ternak dan biar
pun hidup di tempat sunyi, mereka tidak kekurangan sesuatu.
Sesudah
mereka mendaki puncak itu, Hay Hay memperoleh kenyataan bahwa peringatan gadis
itu memang benar. Jalan setapak itu amat sukar dilewati, licin dan juga sempit.
Ada jalan yang lebarnya hanya setengah meter, di kanan kirinya merupakan jurang
yang amat curam. Sekali kaki terpeleset maka nyawa taruhannya.
"Aih,
sungguh mengerikan!” kata Hay Hay berpura-pura. "Kalau jalan ke tempat
tinggalmu begini sukar, bagaimana engkau bisa menggiring ternak melalui jalan
seperti ini?”
"Untuk
menggiring ternak dapat melalui jalan lain yang lebar. Akan tetapi jauhnya dua
kali lipat! Kalau tidak menggiring ternak lebih cepat lewat jalan ini."
"Wah,
sungguh berbahaya...!" Hay Hay sengaja bersikap ketakutan.
"Kau
takut?"
"Wah,
kalau tanpa bantuan, bagaimana aku dapat melalui jalan berbahaya di depan itu,
Mayang?"
“Huhh!
Engkau laki-laki lemah tiada guna!" Mayang mengomel, akan tetapi dia
memegang tangan Hay Hay dan menggandeng melewati jalan yang sempit dan licin
itu.
Di belakang
gadis itu, Hay Hay tersenyum nakal. Alangkah lembut dan hangatnya tangan
Mayang! Dia pura-pura semakin ketakutan lantas menggenggam tangan itu
kuat-kuat, dan gadis itu pun memperkuat pegangannya sehingga kedua tangan itu
saling pegang dengan eratnya!
Setelah
melewati bagian jalan yang sulit dan sekarang mereka berjalan naik melalui jalan
berbatu, keduanya masih saja saling bergandeng tangan! Cuaca telah mulai terang
ketika mereka tiba di tempat datar di puncak, karena pagi sudah menjelang tiba.
Agaknya ketika itu barulah Mayang teringat bahwa mereka masih saling bergandeng
tangan. Dia seperti terkejut dan cepat-cepat melepaskan pegangan tangannya.
"Ihhh!
Mengapa engkau masih terus menggandeng tanganku?" tanyanya bingung karena
baru menyadari bahwa sejak melewati jalan yang berbahaya itu, dia sendiri tidak
pernah ingat untuk melepaskan pegangan tangan pemuda itu!
"Tanganmu...
begitu halus dan hangatnya...,” Hay Hay berkata.
Gadis itu
tiba-tiba membalik, menghadapinya dengan sinar mata mencorong marah. Akan
tetapi sesudah dia melihat wajah pemuda itu yang memandang kepadanya dengan polos
dan jujur, teringat dia bahwa yang dihadapinya adalah seorang pemuda yang
terbuka dan bicara apa adanya, bukan bermaksud lain, maka dia pun tidak jadi
menggerakkan tangan untuk menampar.
"Kau...
kau dengan mulutmu... kau tahanlah sedikit kata-katamu yang penuh rayuan itu
atau aku dapat lupa diri, menganggap engkau kurang ajar dan menamparmu!"
bentaknya, akan tetapi suaranya lirih dan lebih tepat bila dikatakan setengah
berbisik atau mengomel. Agaknya gadis itu menahan suaranya agar jangan sampai
terdengar oleh subo-nya yang amat lihai.
"Maafkan
aku, Mayang. Apa kau ingin kalau aku mengatakan bahwa tanganmu itu kasar dan
dingin? Berarti aku berbohong..."
"Sudahlah!
Jangan katakan apa-apa lagi!" kata Mayang kewalahan.
Diam-diam
jari-jari tangannya yang tadi bergandengan dengan Hay Hay mengelus telapak
tangannya sendiri untuk merasakan apakah benar telapak tangannya itu halus dan
hangat seperti yang dikatakan Hay Hay! Dan diam-diam timbul perasaan senang dan
bangga di dalam hatinya.
Bagaimana
pun Mayang hanya seorang wanita, dan mana ada wanita yang tidak merasa senang
kalau dipuji, apa lagi kalau yang memujinya itu seorang pemuda tampan dan yang
dia tahu bukan sekedar merayu akan tetapi mengatakan keadaan yang sesungguhnya?
Baginya pemuda ini seperti seorang juri atau penilai yang jujur dan adil, yang
penilaiannya dapat dipercaya! Dan kalau dinilai bagus, alangkah puas dan
senangnya hati!
***************
Siapakah
yang tinggal di puncak yang disebut Puncak Awan Kelabu itu? Biar pun belum
lengkap, namun keterangan yang diberikan Mayang kepada Hay Hay memang benar dan
gadis itu tidak berbohong.
Delapan
belas tahun yang lalu, ketika Mayang baru berusia beberapa bulan saja, ibunya
rnembawanya berkeliaran ke Pegunungan Ning-jing-san. Ibunya menggendong Mayang
yang masih berusia tiga bulan itu sambil menangis, tertawa dan mencari-cari
seseorang. Mencari ayah Mayang!
Ibu muda itu
ternyata sudah menjadi seperti orang gila. Dia ditinggal pergi oleh pria yang
menjadi ayah Mayang, ditinggal begitu saja ketika kandungannya telah tua tanpa
memberi tahu dan dia tidak tahu ke mana perginya pria itu! Ayah ibunya menjadi
marah, kemudian mengusirnya karena dia mengandung tanpa suami! Pria itu selalu
mengunjungi kamarnya pada waktu malam dan tak ada seorang pun yang mengetahui
hubungannya dengan pria itu. Setelah dia mengandung tua, pria itu pergi begitu
saja.
Dalam
keadaan seperti gila ini, ibu Mayang, puteri seorang kepala suku bangsa Tibet,
lalu mendaki puncak itu, dan di sana dia bertemu dengan seorang pertapa wanita.
Pertapa itu berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas).
Pertapa itu
merasa kasihan terhadap Mayang dan ibunya. Dia lalu mengobati ibu muda itu
sampai sembuh dan semenjak saat itu, Mayang dan ibunya tinggal bersama pertapa
itu di puncak. Dan semenjak ibu dan anak itu berada di situ, kehidupan Kim Mo
Siankouw juga berubah.
Dahulunya
dia hanya bertapa di dalam sebuah gubuk tua tanpa mempedulikan keadaan dirinya.
Akan tetapi setelah dia harus memelihara ibu beserta anak itu, Kim Mo Siankouw
lalu berusaha di bidang peternakan, dibantu oleh ibu Mayang. Beberapa tahun
kemudian peternakan itu menjadi besar dan keadaan mereka menjadi makmur. Kim Mo
Siankouw lantas menyuruh orang-orang di dusun pegunungan itu untuk membangun
sebuah rumah yang besar, dan dia bahkan mengambil beberapa orang wanita
pembantu untuk mengatur rumah tangganya.
Sejak kecil Mayang
tinggal di sana dan ternyata bahwa Kim Mo Siankouw bukan sekedar seorang wanita
yang sedang mengasingkan diri bertapa di situ, melainkan seorang wanita sakti
yang mempunyai banyak ilmu! Dengan sendirinya, Mayang menjadi anak yang amat
disayang oleh Kim Mo Siankouw, bahkan semenjak kecil Mayang sudah digembleng
oleh pertapa wanita itu, diberi makanan yang mengandung ramuan sehingga Mayang
tumbuh menjadi seorang gadis yang memiliki tubuh yang amat kuat.
Semenjak
berusia tujuh tahun Mayang telah diajari ilmu membaca tulis dan juga terutama
sekali ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw. Akan tetapi dengan keras pertapa itu
melarang Mayang untuk memamerkan kepandaiannya kepada orang lain sehingga tidak
ada yang tahu bahwa gadis itu amat lihai.
Orang-orang
hanya tahu bahwa Mayang adalah seorang gadis penggembala ternak yang cetakan
dan pandai sekali, ahli menggiring ratusan ternak dari satu tempat ke tempat
lain yang jauh tanpa ada seekor pun yang tercecer, bahkan mampu melindungi
semua ternak dari gangguan binatang buas! Kalau mereka melihat gadis itu
meledak-ledakkan pecutnya sambil menggiring ratusan ekor ternak, tidak ada
seorang pun yang tahu bahwa cambuk pada tangannya itu mampu merobohkan
pengeroyokan banyak orang jahat yang berani mengganggunya!
Bukan hanya
Mayang yang diberi pelajaran ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw, bahkan juga ibu
Mayang dilatih ilmu silat agar tubuhnya menjadi kuat. Memang ibu Mayang
membantu peternakan milik Kim Mo Siankouw, karena itu tubuhnya harus kuat dan
selalu sehat.
Akan tetapi
ibu dan anak ini tidak pernah mendengar tentang riwayat pertapa itu, seorang
wanita yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih kelihatan
anggun bahkan cantik, dengan wajah yang berkulit halus tanpa keriput, bentuk
muka yang agung seperti seorang puteri, dengan sepasang mata yang masih jeli
dan mencorong, dan mulut yang selalu tersenyum penuh kelembutan, akan tetapi
sinar matanya yang mencorong itu kadang kala dapat bersinar keras. Ibu dan anak
itu mengenalnya sebagai seorang wanita yang lembut hati, ramah dan budiman,
akan tetapi juga sebagai seorang wanita yang bila sudah marah, dengan mudah
saja membunuh orang yang dianggap jahat!
Pada saat
Mayang baru berusia sepuluh tahun, ketika dia menggembala ternak di padang
rumput dan ternaknya diganggu oleh sekawanan perampok yang terdiri dari empat
belas orang, Kim Mo Siankouw muncul dan dengan lembut dia menegur empat belas
orang itu dan mengusir mereka. Akan tetapi empat belas orang itu memandang
rendah kepadanya dan bahkan mengeluarkan kata-kata yang kasar dan cabul.
Dan
terjadilah hal yang sangat mengerikan itu! Kim Mo Siankouw menghajar mereka dan
ketika mereka melawan dengan menggunakan golok, dia merampas sebatang golok
lalu membunuh empat belas orang itu dengan golok. Dalam waktu sebentar saja
empat belas orang gerombolan penjahat itu roboh malang melintang dengan kepala
terpisah dari tubuh! Dengan sikap amat tenang Kim Mo Siankouw menyuruh para
pelayannya untuk menggali lubang besar dan menguburkan jenazah mereka itu.
Peristiwa ini
membuat daerah itu menjadi aman. Tidak ada seorang pun penjahat berani
melakukan kejahatan sehingga para penduduk dusun di daerah itu amat berterima
kasih kepada Kim Mo Siankouw. Apa lagi karena pertapa itu sangat dermawan, siap
menolong siapa pun yang membutuhkan bantuan, baik bantuan itu berupa uang,
ternak, pengobatan mau pun hanya nasehat.
"Sekali
lagi, hati-hatilah engkau, Hay Hay. Kalau berhadapan dengan subo, jangan
sekali-kali engkau pecengisan, juga jangan main-main dan jangan merayu. Kalau sampai
engkau membuat subo marah kemudian dia turun tangan membunuhmu, jangan katakan
bahwa aku belum memberi peringatan kepadamu," bisik gadis itu.
Diam-diam
Hay Hay tahu bahwa gadis ini memang bersikap serius dan tidak main-main. Baru
sikapnya saja sudah begitu jeri, bicara pun tak berani keras-keras, tentu takut
kalau sampai terdengar oleh subo-nya. Dan ketakutan seperti ini pun telah
menunjukkan bahwa tentu guru gadis ini memiliki kesaktian yang amat hebat
sehingga mampu mendengarkan percakapan dari tempat jauh. Dia pun lalu
mengangguk karena tidak tega untuk membuat Mayang menjadi semakin ketakutan.
Setelah
sampai di puncak, Hay Hay melihat bahwa puncak itu ternyata datar, merupakan
dataran yang cukup luas dan di tengah-tengah puncak itu tampak sebuah bangunan
yang besar, dengan tembok warna putih dan genteng berwarna merah coklat. Daun
pintu dan jendela dicat kuning dan di sekeliling rumah itu dihias pepohonan
sehingga nampak teduh dan nyaman. Pada sebelah kiri dan belakang rumah terdapat
taman bunga yang dipagari kuat, tentu untuk mencegah masuknya hewan ternak yang
banyak terdapat di situ.
Sebagian
besar puncak itu terdiri dari padang rumput yang luas dan subur, dan Hay Hay
dapat melihat hewan ternak seperti kambing dan lembu, juga kuda bahkan nampak
ayam berkeliaran di puncak. Hewan ternak itu gemuk-gemuk, dan jauh di ujung
puncak terdapat bangunan-bangunan dari bambu sederhana yang merupakan kandang
ternak.
Beberapa
orang gadis sibuk bekerja, ada yang menggembala ternak, ada yang memikul air,
ada yang membelah kayu. Mereka semua langsung berhenti bekerja dan mengangkat
muka memandang, lantas alis mereka berkerut ketika mereka melihat munculnya
Mayang bersama seorang pemuda tampan. Agaknya tamu pria jarang sekali muncul di
puncak ini, kecuali mereka yang mempunyai urusan pekerjaan dengan keluarga
Siankouw, yaitu jual beli ternak, mengirim bahan makanan atau kayu, dan
lain-lain. Akan tetapi pemuda yang datang bersama Mayang ini tidak membawa
apa-apa dan datangnya bersama gadis itu, tentu dia adalah seorang tamu. Namun
mereka membalas salam Mayang dengan sopan dan sikap hormat.
"Mari
kita terus saja ke rumah," kata Mayang dan mereka menghampiri rumah besar
itu. Sesudah tiba di ruangan depan, Mayang berkata lirih. "Engkau duduklah
dulu menanti di ruangan tamu ini, aku akan memberi tahu kepada subo. Sekali
lagi, bersikaplah sopan." Gadis itu lalu memasuki pintu tembusan ke dalam.
Hay Hay
duduk melamun, lalu memutar tubuh memandang keluar. Pekarangan itu sangat luas
dan bersih, tidak berdebu karena ditaburi semacam pasir lembut yang berwarna
agak gelap sehingga tidak menyilaukan mata kalau matahari bersinar, dan hangat
kalau udara dingin. Tempat ini memang indah dan nyaman, pikirnya. Dan
penghuninya tentulah orang-orang yang suka akan kebersihan dan keindahan.
Guru Mayang
itu tentu lihai sekali ilmu silatnya, dan lebih lihai lagi ilmu sihirnya. Sungguh
merupakan pribadi yang sangat menarik. Kalau wanita sakti itu mau membantunya,
tentu dia akan dapat membebaskan Han Siong dan berhasil menyelidiki keadaan
para pendeta Lama itu, juga dapat membuka rahasia mereka mengapa mereka itu
menculik Han Siong! Tiga orang pendeta Lama yang lihai itu mengaku sebagai
utusan Dalai Lama, akan tetapi dia mendengar dari Mayang bahwa mereka itu
adalah pemimpin para pendeta Lama yang pernah dibasmi sebagai pemberontak oleh
Dalai Lama!
Pada saat
dia mulai merasa betapa lamanya Mayang meninggalkannya di situ, terdengar
langkah-langkah kaki yang ringan di belakangnya Dia sudah mulai khawatir bahwa
gadis itu mendapat kesukaran, bahwa subo gadis itu tidak mau menemuinya bahkan
memarahi Mayang. Sebab itu, ketika mendengar langkah kaki yang ringan lembut,
dia cepat bangkit berdiri dan membalik.
Dia melihat
Mayang, akan tetapi gadis itu sekarang telah mengenakan pakaian bersih dan
nampak segar. Agaknya Mayang sudah mandi dulu sebelum keluar lagi. Pantas
demikian lamanya, akan tetapi harus diakui bahwa kemunculan gadis ini
mendatangkan kesegaran baginya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment