Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 18
KINI Kim Mo
Siankouw bersikap serius. "Pek Taihiap, agaknya engkau akrab dan kagum
kepada Hay Hay. Dia tentu seorang sahabatmu yang baik sekali."
"Bukan
hanya sahabat, Siankouw, bahkan lebih dari itu. Dulu ketika masih bayi, Hay Hay
pernah dipungut anak oleh orang tuaku, maka dia itu dapat dikatakan saudara
angkatku pula."
"Bagus
sekali. Tidak mengherankan mengapa kalian demikian akrab! Pek Taihiap, kalau
engkau menyayang Hay Hay, maka kami pun menyayang muridku Mayang. Dan engkau
sendiri sudah menyaksikan betapa terdapat kemesraan antara Hay Hay dengan
Mayang. Maka kami ingin minta bantuanmu, Taihiap, untuk menjadi perantara dan
menyampaikan kepada Hay Hay mengenai niat hati kami yang murni, yaitu
menjodohkan Mayang dengan Hay Hay. Maukah engkau membantu kami, Taihiap?"
"Tentu
saja, dengan segala senang hati, Siankouw! Bahkan saya setuju sekali bila mana
ikatan perjodohan itu diadakan, dan Hay Hay sudah sepatutnya menyambut gembira!
Aku tahu bahwa dia menyayangi nona Mayang. Dan kali ini dia harus mau, bahkan
kalau perlu saya akan membujuk atau memaksanya!"
Ibu Mayang
bangkit lalu memberi hormat kepada pemuda itu. Melihat ini, Han Siong cepat
membalas sambil berkata, "Bibi, harap jangan sungkan dan tidak perlu
memakai banyak penghormatan...”
"Pek
Taihiap, sebagai ibu Mayang sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih
atas kebaikanmu yang suka menjadi perantara perjodohan anakku Mayang dengan Hay
Hay. Tentu saja bukan maksud kami untuk memaksa Hay Hay, Taihiap. Akan tetapi
perlu Taihiap ketahui bahwa Mayang... anakku yang keras hati itu, dengan tegas
mengatakan kepadaku bahwa kalau dia tidak menikah dengan Hay Hay, dia... dia
akan bunuh diri...”
"Ahhh...!"
Han Siong terkejut bukan main mendengar ini. Mayang, gadis yang lincah dan
galak itu hendak membunuh diri?
"Kenapa
sampai begitu, Bibi?"
Wanita itu
menghela napas panjang. "Mayang memang berwatak keras. Dia mengatakan
bahwa Hay Hay merupakan satu-satunya pria yang masih hidup, yang melihat
keadaan dirinya bertelanjang bulat. Kalau Hay Hay menjadi suaminya, maka hal
itu tidak mengapa. Akan tetapi bila tidak menjadi suaminya, maka peristiwa itu
dianggapnya sebagai aib yang sangat memalukan dan satu-satunya jalan untuk
mencuci aib itu adalah membunuh Hay Hay. Karena hal itu jelas tidak mungkin, maka
dia akan membunuh diri kalau ikatan jodoh itu sampai gagal."
"Hemm,
bukan itu saja,” tiba-tiba Kim Mo Siankouw berkata, "kalau dia menolak,
berarti dia telah menghina muridku dan menghinaku, karena dia telah
mempermainkan kami. Hal ini tentu tidak mungkin kubiarkan saja. Kalau Mayang
tidak berani membunuhnya, masih ada aku yang akan turun tangan
membunuhnya!"
Han Siong
terkejut. Ini semua gara-gara mata keranjangmu, Hay Hay, pikirnya.
"Harap
Siankouw dan Bibi jangan khawatir. Saya akan membujuk agar dia tidak
menolak."
Dua orang
wanita itu kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat, dan Kim Mo Siankouw
berkata lembut. "Kami percaya akan ketulusan serta kebaikan hati Pek
Taihiap dan sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih!"
Han Siong
cepat membalas penghormatan mereka, lalu minta diri meninggalkan ruangan itu.
Dia tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan langsung saja menghampiri kamar
Hay Hay dan mengetuk daun pintunya.
"Tok-tok-tok!"
Hay Hay
sudah hampir tertidur pulas ketika mendengar ketukan pada pintu kamarnya itu.
Suara ketukan itu seketika mengusir semua kantuknya dan dalam satu dua detik
saja dia telah terjaga dalam keadaan siap siaga menghadapi ancaman dari mana
pun datangnya.
"Tok-tok-tok!"
ketukan itu terulang.
"Siapa
di luar?" Hay Hay bertanya.
"Aku
Han Siong. Bukalah pintunya, Hay Hay, aku mau bicara. Penting sekali!"
Hay Hay
menarik napas lega, akan tetapi juga dia merasa mendongkol karena terganggu
tidurnya. "Malam-malam begini mengganggu orang," omelnya, akan tetapi
dia tetap turun dari pembaringan dan membuka daun pintu kamarnya.
Dengan wajah
serius Han Siong melangkah masuk dan melihat sikap sahabatnya itu, Hay Hay lalu
menutupkan kembali daun pintu kamarnya. Ketika dia membalik, dia melihat Han
Siong sudah duduk di atas kursi dekat pembaringannya. Dia pun tersenyum dan
duduk di atas pembaringan.
"Han
Siong, ada urusan apa sehingga malam-malam begini engkau mengganggu orang yang
sedang tidur?" tegurnya.
Teringat
olehnya betapa sebelum tidur tadi dia masih memikirkan Han Siong dengan hati
penuh iba. Dalam pengaruh sihir jahat sahabatnya itu telah menggauli Ci Goat
dan setelah menyadari hal itu, Han Siong merasa menyesal bukan main. Dia merasa
berdosa kepada gadis itu.
Orang
semacam Han Siong tentu akan mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri,
walau pun perbuatan itu didorong akibat pengaruh sihir jahat. Dan dia belum
tahu bahwa gadis manis yang sudah menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela
karena memang mencintainya itu kini telah meninggal dunia dalam keadaan yang
amat mengerikan!
Kini Han
Siong tersenyum dan bangkit dari duduknya, lalu mengangkat tangan memberi
hormat kepadanya. "Sebelumnya biarlah lebih dulu aku memberi selamat
kepadamu, Hay Hay!"
Hay Hay
terbelalak. "Ehh, ehh, apakah engkau bermimpi? Mengapa malam-malam begini
mendadak memberi selamat kepadaku?” Dia juga turun dari pembaringan dan
memegang lengan kawannya agar tidak memberi hormat kepadanya. "Jangan
main-main, Han Siong. Katakan apa artinya semua ini."
"Hay
Hay, bergembiralah. Aku datang membawa berita yang bagus sekali. Engkau akan
menjadi pengantin! Aku ikut merasa gembira, Hay Hay. Engkau sungguh beruntung
sekali dan memang sudah sepatutnya engkau berbahagia "
"Ehh,
nanti dulu! Menjadi pengantin? Bagaimana ini? Siapa dan mengapa?"
"Duduklah
dan dengarkan keteranganku," kata Han Siong. Mereka lalu duduk di atas dua
buah kursi yang berhadapan, terhalang meja kecil di dekat pembaringan.
"Tadi baru saja aku dipanggil Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang. Mereka
mengajukan pertanyaan tentang pribadimu, kemudian mereka minta aku menjadi
perantara agar menyampaikan kepadamu bahwa mereka ingin menjodohkan nona Mayang
denganmu."
Hay Hay
terkejut sekali, cepat dia bangkit seperti ada kalajengking menyengat
pinggulnya kemudian memandang kepada sahabatnya itu dengan mata terbelalak.
"Ahhh... ehhh... bagaimana...? Tidak bisa ini...”
Han Siong
juga bangkit, menarik lengan Hay Hay dan diajaknya duduk kembali. "Engkau
tenanglah, jangan ah-eh-oh begitu!"
Dia mulai
menikmati keadaan itu. Sudah terlalu sering Hay Hay menggodanya dan kini dia
mendapatkan kesempatan untuk membalas! Betapa manisnya pembalasan dendam!
"Hay
Hay, tak perlu engkau meragu lagi. Mereka telah bertekad bulat untuk menjodohkan
nona Mayang denganmu dan engkau sungguh beruntung sekali. Nona Mayang demikian
cantik jelita dan baik, dan aku melihat bahwa engkau memang pantas menjadi
suaminya. Engkau harus menyetujui keinginan mereka, Hay Hay. Sukar untuk
mendapatkan seorang calon isteri sehebat nona Mayang dan..."
"...dan
aku menjadi suami orang, lalu menjadi ayah dari anak-anak kecil dan terikat di
sini, seperti seekor kera yang diikat pinggangnya, seperti seekor burung yang
terkurung dalam sarang, kehilangan kebebasanku? Ahh, tidak, Han Siong, aku
tidak mau...!"
"Apa?
Berani engkau menolak nona Mayang? Hay Hay, jangan gila kau! Dia begitu cantik
jelita, dia begitu pandai dan dia mencintaimu dan engkau...”
"Hushh,
Han Siong. Engkau ini kenapa sih? Engkau seperti hendak mendorong-dorongku,
engkau seperti hendak memaksaku menikah dengan Mayang. Engkau kenapa? Apakah
masih ada sisa-sisa pengaruh sihir pada tubuhmu? Ahhh, benar juga! Dari pada
engkau mendesakku, mengapa tidak engkau sendiri saja yang menikah dengan
Mayang? Benar! Engkau akan merupakan suami yang baik, dan kalian serasi sekali,
cocok kalau menjadi suami isteri. Biarlah aku yang akan mengusulkan kepada
mereka agar engkau saja yang menikah dengan Mayang!"
"Hay
Hay, hentikan kelakarmu itu. Aku tidak akan menikah dengan nona Mayang atau
dengan wanita mana pun juga, karena aku..." Dia berhenti dan wajahnya
tiba-tiba nampak berduka.
"Engkau
kenapa, Han Siong?" Hay Hay tidak menggodanya lagi sesudah melihat betapa
wajah sahabatnya itu nampak bersedih.
Han Siong
menghela napas panjang. "Hay Hay, hanya engkau yang tahu apa yang telah
terjadi antara aku dan nona Ouw Ci Goat. Sesudah apa yang terjadi dengan kami,
walau pun hal itu terjadi karena aku dikuasai sihir, namun aku harus
bertanggung jawab! Dialah satu-satunya wanita yang harus menjadi isteriku,
karena dia telah... ternoda olehku..."
"Han
Siong...! tiba Hay Hay memegang kedua tangan sahabatnya itu dan hatinya merasa
terharu sekali. Juga kagum bukan main. Pemuda ini memang pantas menjadi
sahabatnya, dan pantas pula menjadi seorang pendekar budiman. Penuh tanggung
jawab atas semua perbuatannya!
"Han
Siong, tenangkan hatimu, kawan! Terpaksa aku akan memberi tahu kepadamu akan
hal yang amat menyedihkan, yang telah menimpa diri Ci Goat..."
Han Siong
terkejut. "Apa? Apa maksudmu?"
"Dia...
Ouw Ci Goat... dia telah tewas, Han Siong."
Han Siong
terkejut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. "Apa? Bagaimana? Hay Hay,
ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
Hay Hay
menghela napas, penuh rasa iba karena teringat akan keadaan gadis manis itu.
"Ketika aku membayangimu, begitu sampai di kuil tua di mana tiga orang
pendeta Lama itu berada, aku lantas masuk melalui pintu belakang. Dan di bagian
belakang kuil itu aku menemukan tubuh nona Ouw Ci Goat yang sudah menjadi
mayat, tentu karena terbunuh oleh mereka..."
Han Siong
melompat dan mengepal tinju. "Keparat jahanam para pendeta Lama itu...!”
"Sudahlah,
Han Siong. Mereka bertiga juga sudah mati. Agaknya sudah kehendak Tuhan bahwa
sampai sekian saja riwayat nona Ouw Ci Goat. Aku telah mengubur jenazahnya di
dekat kuil itu, baru aku melakukan pengejaran ketika engkau dibawa oleh tiga
orang Lama itu. Nah, sekarang engkau sudah tahu dan tidak perlu menyedihi yang
sudah mati." Hay Hay menghibur dan sengaja dia bersikap gembira lagi. “Dan
itu berarti bahwa engkau kini telah bebas, Han Siong, engkau dapat menikah
dengan nona Mayang!"
Dengan sikap
masih penuh kedukaan Han Siong berkata lirih, "Hay Hay, betapa pun juga
nona Ouw Ci Goat tewas karena aku! Bagaimana aku tidak akan berduka dan
menyesal? Aku adalah orang yang bertanggung jawab, Hay Hay. Andai kata nona Ouw
Ci Goat tidak tewas, dengan sungguh hati aku akan menikahinya! Kuharap engkau
pun memiliki cukup kegagahan untuk bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadap
nona Mayang. Karena kalau tidak, tentu aku akan membencimu dan tidak akan memandangmu
sebagai sahabat lagi, Hay Hay. Mungkin engkau akan kupandang sebagai seorang
laki-laki pengecut dan sebagai musuhku!"
Hay Hay
memandang sahabatnya itu dengan mata terbelalak dan lenyaplah semua sikap
main-main dari wajahnya. "Han Siong, apa maksudmu? Engkau mengatakan aku
harus bertanggung jawab terhadap Mayang? Apa artinya ini? Kalau kau kira aku
telah... telah… engkau keliru sekali!"
Han Siong
yang masih tenggelam dalam kegetiran dan kedukaan itu memandang wajah
sahabatnya, dan suaranya terdengar bersungguh-sungguh. "Aku percaya bahwa
engkau belum bertindak sejauh itu, Hay Hay. Akan tetapi engkau sudah melihat
gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!"
"Heii!
Apa salahnya dengan itu, Han Siong? Memangnya aku yang menelanjanginya? Aku
hanya menyelamatkannya dari tangan Pat Hoa Lama yang hampir saja
memperkosanya!"
"Benar,
akan tetapi bagaimana pun juga, engkaulah satu-satunya pria hidup yang pernah
melihatnya dalam keadaan seperti itu. Dan engkau pun sudah bermesraan dengan
nona Mayang, saling peluk dan saling cium! Apakah engkau hendak menyangkal
bahwa nona Mayang amat mencintaimu?"
Hay Hay
sekali ini memandang bodoh dan menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu akan
isi hatinya, Han Siong."
"Dan
engkau berani menyangkal bahwa engkau mencintanya?"
"Itu...
itu aku pun tidak tahu benar. Aku suka, kagum dan sayang kepadanya, akan tetapi
cinta? Ahh, aku tidak pernah merasa jatuh cinta..."
"Mata
keranjang! Perayu wanita! Engkau telah mendekapnya dan menciuminya, sekarang
engkau bilang tidak tahu apakah mencintanya? Hay Hay, apakah engkau hendak
menjadi seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau penjahat pemerkosa
wanita)?”
Wajah Hay Hay
berubah merah sekali karena saat Han Siong mengeluarkan kata-kata itu, dia pun
teringat akan ayah kandungnya! Ucapan itu seperti mengingatkannya bahwa dia
adalah putera kandung Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hwa-cat yang
amat keji dan jahat!
"Pek
Han Siong!" katanya dengan nada ketus. "Apakah engkau ingin
mengatakan bahwa karena ayahku seorang jai-hwa-cat, maka aku pun menjadi
seorang penjahat cabul?"
"Benar!
Kalau engkau tidak mau bertanggung jawab dan menikah dengan nona Mayang, lalu apa
bedanya engkau dengan Ang-hong-cu?" Han Siong berkata marah.
"Engkau
hendak menghinaku?" Hay Hay bangkit sambil mengepal tinju.
Han Siong
turut bangkit dan mengepal tinju pula. "Sesukamu kalau engkau berpendapat
begitu! Pendeknya, kalau engkau tidak mau menikah dengan nona Mayang, engkau
akan menghadapi tiga hal!"
"Huhh!
Engkau mengancamku? Apa yang kau maksudkan dengan tiga hal itu?" Hay Hay
mengambil sikap menantang pula.
"Dengar
baik-baik! Pertama, engkau akan menghadapi aku sebagai seorang musuh! Aku akan
menganggap engkau sebagai orang yang merusak kehidupan seorang gadis, sudah
mendatangkan aib baginya namun tidak mau bertanggung jawab. Tentu saja aku tak
akan tinggal diam dan akan menantangmu!"
"Hemm,
itu hanya anggapanmu. Dan aku tidak mungkin dapat kau paksa menikah hanya
dengan ancaman itu"
"Yang
ke dua," Han Siong melanjutkan tanpa mempedulikan jawaban Hay Hay.
"Engkau akan berhadapan dengan Kim Mo Siankouw yang tentu akan menantangmu
karena dia tidak mau membiarkan engkau menghina muridnya, merayu muridnya
kemudian sesudah muridnya jatuh cinta, engkau tidak mau bertanggung
jawab."
"Ehhh?
Kenapa Kim Mo Siankouw juga berpandangan sesempit itu, seperti juga engkau?
Sungguh aku tidak mengerti!" sekali ini Hay Hay mengeluh.
"Masih
ada yang ke tiga!" kata pula Han Siong penuh kemarahan dan suaranya
meninggi. "Kalau engkau menolak untuk menikah dengan nona Mayang, maka
nona Mayang akan membunuh diri!"
"Bohong...!"
Hay Hay berseru, kaget bukan main, matanya terbelalak memandang wajah Han Siong
karena biar pun mulutnya meneriakkan pemuda itu bohong akan tetapi hatinya
maklum bahwa Han Siong tidak akan berbohong.
Dan ancaman
ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling
hebat. Walau pun amat berat baginya, dia masih dapat menghadapi ancaman
tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw. Akan tetapi ancaman Mayang untuk
membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding!
Dan ancaman
ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling
hebat. Menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw, biar pun
amat berat baginya, masih dapat dia hadapi. Akan tetapi ancaman Mayang untuk
membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding!
“Tidak
mungkin dia... dia... sebodoh itu!"
"Hemmm,
dasar laki-laki mata keranjang yang mau enaknya sendiri saja, mau mengambil
bunganya tapi tidak mau terkena durinya! Engkau mengatakan dia bodoh, ya?
Bayangkan saja! Dia sudah mengalami aib, tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat
dilihat seorang pria, kemudian pria itu dicintanya namun ternyata pria itu
tidak mau menjadi suaminya! Hanya ada dua pilihan bagi seorang gadis yang
menjaga baik nama dan kehormatannya, yaitu membunuh pria itu atau membunuh
diri. Karena nona Mayang mencintamu, padahal engkau laki-laki yang tidak patut
mendapatkan cinta seorang wanita, maka dia tidak akan membunuhmu dan akan membunuh
diri. Hal ini dikatakan oleh ibu nona Mayang dan aku mendengarnya sendiri! Nah,
katakanlah aku membohong!"
Sekali ini
Hay Hay jatuh terduduk dan bengong seperti patung. Dia tidak mampu bicara lagi,
hanya menatap kosong seperti orang kehilangan semangat, dan mulutnya
berkemak-kemik, "...menikah...? Menikah...? Ya ampuuunn... menikah?”
Melihat ini,
diam-diam Han Siong merasa girang. Rasakan engkau sekarang, orang mata
keranjang, pikirnya. Bilamana sudah menjadi suami Mayang, tentu gadis itu akan
mampu memasangi kendali pada hidungnya sehingga dia tidak akan liar lagi!
Dia tidak
merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Kenapa harus kasihan? Hay Hay akan
menikah dengan seorang gadis yang hebat! Cantik jelita, manis, pandai, kaya
raya. Mau apa lagi? Dia masih tenggelam dalam duka teringat akan kematian Ci
Goat, maka dia lalu berkata dengan suara lembut,
"Hay
Hay, pikirkan baik-baik semalam ini. Besok pagi-pagi mereka sudah mengharapkan
jawabanmu yang pasti. Selamat malam!" Han Siong meninggalkan Hay Hay yang
masih duduk di atas kursinya seperti boneka hidup itu.
***************
"Kiong-hi
(selamat), kiong-hi!" kata Wakil Dalai Lama setelah pada keesokan harinya
dia mendengar bahwa Hay Hay dipertunangkan dengan Mayang. "Aihh, sungguh
tepat sekali. Pinceng (aku) mengenal baik siapa Kim Mo Siankouw, maka muridnya
tentu hebat dan merupakan seorang gadis pilihan! Dan saudara ini, meski pun
masih muda namun sudah mempunyai kepandaian yang hebat! Tentu dia akan menjadi
seorang yang amat berguna bagi negara dan bangsanya!”
Kini mereka
semua berkumpul di ruangan tamu. Pada hari itu Hay Hay terpaksa memberi jawaban
dan tak ada jalan lain baginya kecuali menerima usul perjodohan itu. Yang
paling berat adalah kenekatan Mayang. Gadis itu akan membunuh diri kalau dia
menolak ikatan jodoh itu! Tentu saja dia tidak ingin gadis itu mati karena dia!
Dan bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa Mayang adalah seorang gadis yang
hebat!
Demikianlah,
ketika pada pagi itu Kim Mo Siankouw mengundangnya, dan dia memasuki ruangan
tamu, di situ sudah menunggu Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang! Dan dengan sikap
halus namun serius, Kim Mo Siankouw bertanya,
"Bagaimana,
Hay Hay, apakah engkau sudah mendengar dari sahabatmu Pek-taihap itu akan niat
hati kami menjodohkan Mayang denganmu? Dan bagaimana jawabmu?"
Ditanya
secara terbuka dan jujur itu, Hay Hay juga menjawab sejujurnya.
"Sesungguhnya di dalam hati saya belum ada keinginan untuk menikah,
Siankouw. Akan tetapi saya pun tidak dapat menolak kehormatan yang diberikan
kepada saya."
"Jadi,
bagaimana keputusanmu?" tanya ibu Mayang.
Hay Hay
menundukkan mukanya. "Saya menerima ikatan jodoh itu dengan rasa haru dan
terima kasih."
"Siancai...!
Giranglah rasa hatiku, Hay Hay," kata Kim Mo Siankouw.
"Terima
kasih, Hay Hay! Sungguh engkau telah membahagiakan kami semua," kata pula
ibu Mayang dengan suara bercampur isak akibat terharu. "Semoga Tuhan
selalu memberi bimbingan kepada anakku agar bisa menjadi isterimu yang setia
dan membahagiakanmu kelak."
Hay Hay
memberi hormat. "Saya yang merasa berterima kasih. Akan tetapi karena
masih ada tugas penting di pundak saya, yaitu urusan pribadi yang harus saya
selesaikan lebih dulu, maka saya mohon agar pernikahan dapat dilaksanakan
setelah saya menyelesaikan tugas pribadi itu."
Kedua orang
wanita itu mengangguk setuju. Diterimanya usul ikatan jodoh itu saja sudah amat
membahagiakan hati mereka. Maka mereka lalu mengumumkan ikatan perjodohan itu
sehingga Wakil Dalai Lama yang masih berada di situ segera datang memberi
selamat.
Kini mereka
semua berkumpul di ruangan itu. Bahkan Mayang juga telah dipanggil ibunya.
Gadis yang biasanya tabah dan lincah ini nampak jinak dan malu-malu. Akan
tetapi ketika ibunya menyuruh dia memberi hormat kepada calon suaminya, dengan
cepat tanpa ragu dia lalu memberi hormat kepada Hay Hay yang dibalas oleh
pemuda itu dengan muka kemerahan pula.
"Kiong-hi,
sekali lagi kiong-hi kuucapkan kepadamu, Hay Hay, dan kepadamu, Mayang. Akulah
orang pertama yang merasa paling berbahagia dengan terikatnya kalian menjadi
calon suami isteri!" kata Han Siong. Namun wajahnya sama sekali tidak
membayangkan kegirangan hati karena pemuda yang semalaman tidak tidur ini masih
terus teringat akan kematian Ouw Ci Goat.
"Kalau
kelak diadakan upacara pernikahan, jangan lupa mengundang pinceng, Siankouw!
Engkau memperoleh seorang mantu yang amat hebat, maka pinceng juga menghaturkan
selamat kepadamu!"
Secara
diam-diam Han Siong merasa betapa dia juga telah ikut memaksa Hay Hay untuk
menerima usul ikatan jodoh itu. Karena itu, ketika melihat betapa Hay Hay
nampak tersipu dan kehilangan kejenakaannya, dia pun berusaha menghiburnya
dengan memuji-mujinya di depan orang banyak.
"Losuhu
mungkin belum mengenal betul siapa adanya calon mempelai pria ini! Sahabatku
ini pernah menjadi seorang pahlawan, membantu dua orang Menteri Yang Ting Hoo
dan Menteri Cang Ku Ceng ketika membasmi pemberontakan di Yunan yang dipimpin
oleh mendiang Lam-hai Gim-lo!"
"Omitohud…!"
Wakil Dalai Lama segera berseru kagum. "Kiranya begitukah? Kami sudah
mengenal kedua orang Yang Taijin dan Cang Taijin, dua menteri yang bijaksana.
Bahkan Yang Taijin pernah mengirim pasukan untuk membantu kami membasmi
pemberontakan. Kalau begitu, kami hendak menitipkan sepucuk surat untuk
dihaturkan kepada dua orang menteri yang bijaksana itu. Maukah engkau membawa
surat kami ke kota raja kemudian menyerahkannya kepada mereka, Taihiap?"
Ucapan ini ditujukan kepada Hay Hay.
Tentu saja
Hay Hay merasa tak enak untuk menolak. "Dengan senang hati, Losuhu. Akan
tetapi hendaknya cu-wi (kalian semua) tidak mendengarkan bualan Pek Han Siong!
Yang membasmi para pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu bukan
saya sendiri, namun ada banyak pendekar yang ikut membantu pemerintah, termasuk
Pek Han Siong sendiri!"
Wakil Dalai
Lama memuji. "Omitohud...! Ji-wi (kalian berdua) adalah pendekar-pendekar
yang berjiwa patriot. Sungguh beruntung sekali sebuah negara yang memiliki
orang-orang muda seperti ji-wi!"
Sesudah
menerima hidangan sarapan pagi yang disuguhkan nyonya rumah, Wakil Dalai Lama
kemudian minta diri untuk kembali ke Lasha, dan dia menyerahkan sesampul surat
kepada Hay Hay untuk disampaikan kepada kedua orang menteri itu. Setelah Wakil
Dalai Lama bersama rombongannya pergi, kini yang tinggal di rumah Kim Mo
Siankouw sebagai tamu hanya tinggal Hay Hay dan Han Siong berdua.
Siang hari
itu Hay Hay mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan Mayang. Mereka duduk
di taman belakang rumah. Mayang terlihat cantik sekali dengan pakaian baru yang
bersih. Potongan pakaiannya itu ketat sehingga mencetak tubuhnya yang tinggi
ramping, dengan dada membusung dan pinggul yang padat membukit.
Rambutnya
dikuncir menjadi dua dan rambut yang lebat serta panjang itu bergantungan manis
di kanan kiri, kadang-kadang di depan, kadang-kadang di belakang, ujungnya
diikat sutera merah. Pakaiannya merupakan kombinasi warna hitam dan kuning
sehingga kulit yang nampak di leher dan tangannya semakin putih, putih mulus
serta kemerahan seperti kulit anak-anak bayi.
Mau tidak
mau Hay Hay merasa bangga juga. Gadis ini memang seorang wanita hebat dan dia
akan selalu merasa bangga memandang wanita ini sebagai isterinya. Biasanya
gadis ini bersikap lincah jenaka dan tak mengenal rasa takut atau malu-malu.
Akan tetapi sekarang dia lebih banyak menundukkan muka dan setiap kali
mengangkat muka lantas bertemu pandang dengan Hay Hay, maka wajahnya yang manis
itu berubah kemerahan.
“Mayang, aku
sengaja mencarimu karena aku ingin bicara denganmu,” kata Hay Hay dan dia
sendiri merasa heran kenapa suaranya tidak seperti biasa, agak gemetar dan
kenapa jantungnya berdebar demikian keras!
Belum pernah
dia menjadi begini gugup saat berhadapan dengan seorang wanita. Seolah lenyap
semua ketabahannya. Biasanya dengan mudahnya kata-kata manis meluncur dari
mulutnya kalau memuji-muji wanita, akan tetapi sekarang, dia selalu khawatir
kalau-kalau membikin hati gadis ini menjadi tidak senang!
Mayang
mengangkat mukanya hingga sejenak dua pasang mata itu bertemu. “Bicaralah, Hay
Hay,” kata Mayang lirih lalu dia menunduk kembali.
“Mayang,
tentu Siankouw dan ibumu telah memberi tahu tentang keputusanku. Aku masih
mempunyai suatu tugas pribadi yang sangat penting. Aku harus menyelesaikan
tugas itu lebih dahulu dan untuk sementara aku akan meninggalkanmu. Sesudah
tugas itu selesai, aku akan kembali ke sini untuk melangsungkan pernikahan
kita.”
Sejenak
Mayang tak dapat bicara karena kepalanya semakin menunduk. Dia tersipu dan
merasa rikuh sekali mendengar pria yang dicintanya itu bicara tentang
pernikahan. Akan tetapi karena timbul perasaan duka dan khawatir ketika
mendengar bahwa kekasihnya itu hendak meninggalkannya, akhirnya dia mengangkat
mukanya sehingga dua pasang mata kembali bertemu dan bertaut.
Indahnya
mata itu, pikir Hay Hay dengan bangga. Memang sipit, akan tetapi bentuknya amat
indah dan di kedua ujungnya seperti ditambahi garis hitam memanjang ke atas.
Dan dari balik belahan pelupuk mata yang sipit itu memancar dua pasang mata
yang amat jeli dan tajam.
“Hay Hay,
engkau hendak ke manakah?” Suaranya lirih, tidak malu-malu lagi akan tetapi
kini suara itu mengandung penuh kekhawatiran.
Aku hendak
pergi ke kota raja, Mayang. Mengantar surat titipan Wakil Dalai Lama kepada
Yang Taijin dan Cang Taijin." Dia tidak ingin bercerita mengenai usahanya
mencari jejak Ang-hong-cu di kota raja dengan menyelidiki perwira she Tang di kota
raja yang kabarnya mengaku sebagai putera Ang-hong-cu.
"Dan
tugas pribadimu itu, tugas apakah? Atau... engkau tidak mau menceritakan
tentang hal itu kepadaku?"
Hay Hay
tersipu, Mayang adalah calon isterinya, tentu saja dia berhak mengetahui urusan
pribadinya. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan mengaku bahwa dia adalah
putera kandung seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang tersohor di
dunia kang-ouw?
"Aku
hendak mencari musuh besarku!"
Mayang
kelihatan terkejut dan kini dia mengangkat muka, memandang sepenuhnya pada
wajah kekasih hatinya, sepasang matanya penuh selidik.
"Apa
yang telah dilakukan oleh musuh besarmu itu!”
Hay Hay
mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang membicarakan urusan itu, akan
tetapi dia harus menjawabnya. "Dia sudah membunuh ibuku! Sudahlah, Mayang,
kuharap engkau tidak bertanya mengenai urusan ini. Aku selalu merasa berduka,
kesal dan marah kalau membicarakan musuh besar itu."
Ketika
tangan gadis itu memegang salah sebuah kuncir rambutnya dan memindahkannya ke
belakang punggung, tangan itu gemetar dan wajahnya agak berubah pucat.
"Aku
tak akan bertanya lagi, Hay Hay. Akan tetapi... orang yang menjadi musuh
besarmu tentu lihai bukan main. Karena itu aku harus menemanimu! Aku harus ikut
denganmu ke kota raja. Aku akan membantumu menghadapi musuh besarmu itu, Hay
Hay!"
Hay Hay
terkejut. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. "Ahh, jangan, Mayang!
Musuh besarku itu lihai bukan main. Aku tidak ingin melihat engkau terancam
bahaya!"
Dalam lubuk
hatinya, Mayang merasa girang bahwa calon suaminya itu mengkhawatirkan
keselamatannya. Namun dia pun tidak ingin ditinggal, apa lagi ditinggal untuk
menempuh bahaya.
"Hay
Hay, meski pun ilmu kepandaianku tidak ada artinya bagimu, akan tetapi aku
dapat membantu sekuat tenagaku. Setidaknya aku dapat menyaksikan bagaimana
keadaanmu setelah engkau berhadapan dengan musuh besarmu itu, Hay Hay. Aku akan
mati karena selalu gelisah bila engkau pergi menempuh bahaya dan aku diharuskan
menanti di sini."
"Tapi,
Mayang...”
"Tak
ada tapi, Hay Hay. Aku tak bermaksud untuk memaksakan kehendakku kepadamu. Sama
sekali tidak. Engkau adalah calon suamiku, engkau satu-satunya orang yang mulai
sekarang harus kutaati. Tetapi setelah kita terikat perjodohan, bukankah
berarti nasib kita menjadi satu? Bukankah mati hidup harus selalu kita hadapi
bersama-sama? Aku harus ikut denganmu, Hay Hay. Kalau engkau memaksaku tinggal,
kalau engkau menolak aku ikut serta, kalau engkau meninggalkan aku, aku pun
tidak berani memaksamu, akan tetapi tak lama setelah engkau pergi, maka aku pun
akan menyusulmu, mencarimu ke kota raja. Apakah engkau menghendaki kita
melakukan perjalanan sendiri-sendiri dan menghadapi ancaman bahaya dalam
keadaan saling terpisah?"
Hay Hay
menghela napas panjang. Dia sudah mulai merasakan akibat ikatan perjodohan itu.
Sudah terasa betapa dia kini terikat, tidak bebas lagi, tidak seperti sebelum
ada ikatan perjodohan.
Semua yang
dikemukakan Mayang itu memang tak dapat dibantah kebenarannya. Kalau Mayang
seorang wanita biasa, tidak memiliki kepandaian silat, maka apa yang dikatakan
itu tentu tidak benar. Akan tetapi Mayang adalah seorang gadis yang pandai,
yang bukan saja mampu menjaga dan melindungi diri sendiri, tetapi bahkan dapat
pula membantunya dalam menghadapi lawan tangguh!
“Tentu saja
aku tidak menghendaki demikian, Mayang. Akan tetapi kita baru bertunangan,
belum menikah, bagaimana mungkin engkau pergi berdua saja bersamaku? Tentu
ibumu dan gurumu tidak akan memperkenankan."
"Sekarang
juga aku hendak memberi tahu ibu dan subo, dan meminta ijin mereka!" kata
gadis itu.
Akan tetapi
pada saat itu pula kebetulan sekali tampak Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang
berjalan keluar dari dalam rumah menuju ke taman. Melihat ini, dengan gembira
Mayang cepat berlari menyambut mereka.
"Subo,
Ibu…, kebetulan sekali. Aku hendak mencari kalian untuk membicarakan hal yang
teramat penting."
Melihat
puterinya demikian bersungguh-sungguh serta kelihatan risau dan tegang, ibunya
menegurnya. "Tenanglah, Mayang. Segala hal dapat dibicarakan dengan
tenang. Biarkan Subo-mu duduk dulu, baru engkau bicara."
Hay Hay juga
cepat memberi hormat kepada Kim Mo Siankouw dan calon ibu mertuanya. Mereka
berdua duduk di atas bangku panjang, ada pun Mayang dan Hay Hay lalu duduk di
bawah, di atas batu-batu hiasan taman itu.
"Nah,
muridku. Katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu," kata Kim Mo
Siankouw.
"Subo,
Hay Hay mengatakan bahwa dia hendak pergi menunaikan tugas pribadinya dan
ketika teecu (murid) menanyakan apa tugas itu, dia mengaku bahwa dia hendak
mencari musuh besarnya. Subo dapat membayangkan bahwa yang menjadi musuh besar
seorang yang mempunyai kepandaian tinggi seperti dia tentulah orang yang lihai
dan berbahaya sekali. Oleh karena itu teecu ingin ikut bersamanya, Subo! Teecu
mohon perkenan Subo dan Ibu agar diperbolehkan menemani Hay Hay untuk membantu
dia menghadapi musuh besarnya. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang calon
isteri? Hati teecu akan terasa tersiksa sekali jika teecu ditinggalkan dan
mengetahui bahwa tunangan teecu menempuh bahaya seorang diri. Mohon Subo dan
Ibu sudi memberi ijin."
Kedua orang
wanita itu saling pandang, kemudian Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay,
bertanya lembut. “Benarkah apa yang dikatakan calon isterimu itu, Hay Hay?”
"Memang
benar, Siankouw. Akan tetapi sebenarnya saya sudah merasa keberatan untuk
membawa Mayang menghadapi ancaman bahaya. Musuh besar saya itu lihainya bukan
main. Saya akan lebih merasa lega kalau dia tinggal saja di rumah. Akan tetapi
saya tidak dapat mencegah kehendaknya yang kuat."
Kembali
kedua orang wanita itu saling pandang, lantas Kim Mo Siankouw berkata kepada
Mayang. “Muridku, dalam hal melepaskan dirimu untuk ikut dengan Hay Hay, karena
ada ibumu di sini, maka dialah yang berhak menentukan. Aku sih setuju saja atas
keputusan yang diambil ibumu."
Mendengar
ucapan subo-nya itu, wajah Mayang segera berseri. Ia mendekati ibunya lalu
merangkul ibunya dengan sikap manja. "Ibu tentu memperkenankan aku pergi
bersama Hay Hay, bukan?"
Selama ini
ibu yang sangat menyayangi puterinya itu hampir selalu mengabulkan segala
permintaan puterinya yang pantas, maka Mayang juga hampir yakin bahwa ibunya
tentu akan mengangguk. Akan tetapi kali ini wanita setengah tua yang masih
nampak cantik itu mengerutkan alisnya, kemudian dengan perlahan menggelengkan
kepalanya.
"Ibu...!"
Mayang berseru penuh kekecewaan dan keheranan. "Akan tetapi kenapa,
Ibu...?”
"Mayang,
sungguh tidak bijaksana jika aku membiarkan engkau pergi berdua saja dengan Hay
Hay. Ingatlah, Nak, dia itu baru calon suamimu, belum suami yang sah! Andai
kata kalian sudah menikah, tentu saja aku akan menyetujui sepenuhnya."
Mendengar
ini, Mayang pun merajuk. Mulutnya cemberut dan matanya semakin sipit saja
seperti hendak menangis. "Aihh, ibu..., apakah ibu takut akan anggapan
orang-orang lain? Yang penting aku mampu menjaga diri, Ibu, dan aku percaya
bahwa Hay Hay juga akan dapat menjaga diri."
Akan tetapi
ibunya masih mengerutkan alisnya. Dia teringat akan keadaannya sendiri. Dia
membayangkan hal yang buruk-buruk. Bagaimana kalau mereka, dua orang muda yang
sedang dewasa, lupa diri dan melakukan pelanggaran? Bagaimana kalau kemudian
Hay Hay meninggalkan puterinya dan tidak jadi menikahinya? Segala mala petaka
yang timbul akibat hubungan di luar nikah itu selalu akan menimpa diri wanita.
“Ibu, kalau
ibu melarangku kemudian Hay Hay meninggalkan aku, tentu aku akan menjadi kurus
dan akan jatuh sakit karena selalu gelisah dan khawatir memikirkan dia. Aku...
aku akan minggat dan mencarinya..."
“Mayang,
tidak baik engkau mengancam ibumu seperti itu!" mendadak Kim Mo Siankouw
membentak muridnya. Mendengar bentakan marah ini, Mayang cepat menjatuhkan
dirinya berlutut di depan kaki gurunya.
"Akan
tetapi, Subo. Bagaimana mungkin teecu membiarkan Hay Hay pergi dan menempuh
bahaya tanpa membantunya sama sekali? Teecu akan selalu merasa gelisah dan
takut. Subo, teecu takut kalau... kalau kehiangan dia... dia
satu-satunya..."
Kim Mo
Siankouw tersenyum. "Siancai..., baru saja mendapatkan seorang tunangan,
tapi engkau sudah lupa bahwa di dunia ini masih ada aku dan ibumu, bukan hanya
ada Hay Hay seorang!"
Mayang
tersipu dan baru teringat, maka dia hanya menundukkan mukanya. "Mohon
belas kasihan dan pertimbangan Subo dan Ibu...," katanya memelas.
Ibu Mayang
kembali bertukar pandang dengan Kim Mo Siankouw, kemudian ibu Mayang menghela
napas panjang. "Aku hanya dapat memberi ijin engkau pergi bersama Hay Hay
apa bila kalian sudah menikah. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak pergi
mengikuti Hay Hay, kalian harus menikah sekarang juga. Bagaimana pendapatmu,
Hay Hay?”
Hay Hay
tertegun dan sejenak dia bengong. Menikah? Sekarang juga? Hal ini sungguh tak
pernah dipikirkannya sehingga kini dia tidak mampu menjawab. Bagaimana dia
dapat melakukan pernikahan kalau dia hanya hidup sebatang kara di dunia ini,
tidak mempunyai apa-apa kecuali beberapa potong baju saja? Dia merasa bingung,
perasaan yang belum pernah mengganggunya selama hidupnya.
“Ini...
ini... saya... saya bingung, tidak tahu..."
Melihat sikap
pendekar muda yang dikaguminya itu, diam-diam Kim Mo Siankouw merasa iba juga.
Hay Hay adalah seorang pemuda dan sekarang baru tampak bahwa sebenarnya dia
masih hijau dalam urusan rumah tangga. Maka dia pun berkata,
"Biarlah
lebih dahulu kita memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membicarakan hal ini
dengan Pek Taihiap, satu-satunya sahabat atau keluarganya yang dapat
mewakilinya dan memberinya nasehat. Nah, engkau bicarakanlah urusan pernikahan
itu dengan Pek Taihiap, Hay Hay, dan nanti malam kami mengharap jawaban dan
kepastian darimu."
Pemuda itu
mengangguk, memberi hormat kepada mereka kemudian mengundurkan diri,
meninggalkan taman itu dan memasuki rumah untuk mencari Han Siong. Setelah
pemuda itu pergi, Kim Mo Sian-kouw menegur Mayang dan ibunya.
"Aihh...
kalian ini sungguh membuat seorang pemuda menjadi tersipu sehingga tidak tahu
harus berkata bagaimana. Kalian seperti mendesaknya saja. Mudah-mudahan dia
dapat menerimanya dan dapat melangsungkan pernikahan yang tiba-tiba ini."
Mendengar teguran
itu, ibu Mayang menjawab lembut, "Anak inilah yang memaksa saya!"
Mayang
menubruk dan merangkul ibunya. "Subo, Ibu, aku… aku terlalu cinta
kepadanya, dan tidak ingin berpisah darinya..."
Kedua orang
wanita itu saling pandang dan tersenyum. Dengan diam-diam mereka hanya
mengharap agar Hay Hay suka menerima usul baru itu, yaitu melangsungkan
pernikahan sekarang juga agar dia dapat pergi membawa isterinya yang rewel ini!
***************
Sementara
itu, Han Siong yang sedang duduk bersila dan berlatih sambil bersemedhi di
dalam kamarnya, terkejut sekali ketika Hay Hay memasuki kamarnya seperti orang
dikejar setan.
"Pek
Han Siong, sekarang engkau harus menolong aku...!" kata Hay Hay begitu
pemuda ini mendorong daun pintu kamar hingga terbuka.
Han Siong
membuka matanya. Dia tidak merasa heran melihat sepak terjang sahabatnya ini
karena sudah sering melihat Hay Hay ugal-ugalan dan kadang-kadang aneh.
"Hemm, Hay Hay, apakah engkau sedang mabok? Engkau mengejutkan orang saja.
Ada apa sih? Mungkin hanya kalau dunia kiamat saja engkau kebingungan seperti
sekarang ini!”
Hay Hay
menjatuhkan diri di atas kursi, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya.
"Lebih dari kiamat, Han Siong, sebab itu engkau harus menolongku sekarang!
Aku benar-benar bingung, tidak tahu harus berbuat apa!"
"Ha-ha-ha,
tenanglah sahabatku. Ada peristiwa apakah yang membuat engkau menjadi seperti
ini? Ceritakanlah, tentu saja setiap saat aku siap sedia untuk membantumu."
"Aihh,
Han Siong, apa yang harus kukatakan sekarang? Ketahuilah, mereka itu, Mayang,
ibunya dan gurunya, mereka mengusulkan supaya pernikahan itu dilangsungkan
sekarang juga!"
"Ehhh....
?!" Han Siong terkejut dan heran juga. “Mengapa mereka begitu tergesa-gesa?
"Tapi... kenapa begitu? Tentu ada alasannya yang kuat."
Hay Hay
menarik napas panjang, lalu dia menceritakan betapa Mayang berkeras hendak ikut
dengan dia, untuk membantunya menghadapi musuh besarnya. Apa bila dia menolak
maka gadis itu kelak akan minggat untuk mencari dan menyusulnya. Ketika mereka
minta ijin kepada ibu Mayang, maka ibu dan guru Mayang lalu mengajukan saran
agar mereka menikah dulu, sekarang juga.
“Mayang
berkeras hendak ikut, dan ibunya berkeras agar kami menikah dahulu. Nah, aku
terjepit di tengah-tengah. Bagaimana ini, Han Siong?"
Pek Han
Siong tertawa terpingkal-pingkal karena dia merasa alangkah lucunya keadaan Hay
Hay. Rasakan kau sekarang, kata hatinya. Ini pembalasan untuk watakmu yang mata
keranjang. Akan tetapi, setelah berhenti tertawa dia pun berkata,
"Hay
Hay, terjepit secara demikian bukankah malah enak buatmu? Apa lagi masalahnya?
Sekarang engkau disuruh menikah, lantas isterimu ikut denganmu, melakukan
perjalanan bersama seperti sedang berbulan madu! Kurang enak bagaimana? Kenapa
engkau masih bingung dan mengomel lagi? Dasar tidak tahu terima kasih!"
"Han
Siong, jangan engkau main-main! Berilah jalan keluar, berilah nasehat bagaimana
aku harus menghadapi perkembangan baru ini!"
"Siapa
main-main, Hay Hay. Apa sih yang perlu kau risaukan? Menikah hari ini atau
bulan depan atau tahun depan, apa sih bedanya?"
"Han
Siong, jangan bergurau! Engkau sudah tahu bahwa aku mau menerima ikatan jodoh
dengan Mayang karena tiga hal, yaitu pertama aku tidak ingin bermusuhan
denganmu, ke dua aku tak ingin berkelahi dengan Kim Mo Siankouw, dan ke tiga
aku tidak ingin Mayang membunuh diri...."
"Masih
ada yang ke empat dan tidak boleh engkau melupakan itu, ialah kenyaaan bahwa
Mayang cinta padamu dan engkau pun cinta padanya!"
"Tak
kusangkal kalau aku suka dan kagum kepada Mayang, akan tetapi cinta? Aku tidak
tahu. Tapi sudahlah, aku sudah menerima ikatan jodoh, akan tetapi pernikahan
sekarang? Aku belum siap!"
Han Siong
tertawa. "Ha-ha, apanya lagi yang belum siap? Engkau sudah cukup dewasa,
belum siap apanya?"
"Ihh,
jangan main-main, Han Siong. Aku sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa, rumah
pun tidak punya. Bagaimana aku dapat menikahi anak orang. Apakah isteriku lalu
kuajak mengembara tanpa tempat tinggal? Apa dia bisa kuberi makan rumput dan
daun saja?"
"Hemm,
kukira Mayang tidak membutuhkan itu semua! Dan hal itu pun merupakan urusan
nanti, dapat kalian rundingkan bersama. Sekarang, yang penting engkau terima
saja usul mereka. Engkau menikah sekarang juga dengan Mayang dan hal itu
berarti engkau telah membuat jasa besar bagi manusia dan dunia!"
Hay Hay
bengong dan memandang terbelalak,. "Ehh? Kau jangan membikin aku menjadi
semakin bingung, Han Siong. Engkau mengatakan bahwa kalau sekarang aku menikah
dengan Mayang maka aku sudah berjasa terhadap manusia dan dunia. Apa
maksudmu?"
"Betapa
tidak? Jika sekarang engkau menikah dengan Mayang, berarti engkau membikin
senang hati Mayang, membikin lega hati ibunya serta gurunya, membikin gembira
hatiku, dan membikin gembira para tamu yang nanti akan menghadiri perayaan
pernikahan itu. Nah, berarti engkau menyenangkan banyak manusia, juga
menyenangkan dirimu sendiri. Betapa senangnya melakukan perjalanan ditemani
seorang isteri sehebat Mayang. Selain itu, engkau mendatangkan kebaikan kepada
dunia karena dengan adanya seorang isteri yang selalu menemani, maka bahaya
bagi para gadis lain tidak ada lagi!"
"Bahaya
bagi para gadis lain?" Hay Hay mengerutkan alisnya, tidak mengerti.
"Tentu
saja, karena engkau tentu tidak lagi berani mengumbar mata keranjang kalau ada
isterimu di sisimu!"
"Ahhh...!”
bibir Hay Hay cemberut. “Engkau tidak memberi obat, malah membikin penyakit ini
menjadi lebih parah!”
Han Siong
bangkit dari pembaringan, menghampiri Hay Hay yang duduk di atas kursi, lalu
memegang pundak kawannya. "Sahabatku, gunakanlah akal sehatmu dan jangan
murung. Syukurilah berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadamu! Engkau tahu, ada
kalanya orang harus mengorbankan sesuatu dan meniadakan kepentingan diri
sendiri untuk melakukan kebaikan kepada orang lain. Akan tetapi sekarang ini,
engkau dapat melakukan banyak kebaikan kepada banyak orang, tanpa berkorban
apa-apa, bahkan engkau menerima pula nikmat dan kebahagiaan. Pria mana yang tak
akan berbahagia memetik setangkai bunga yang demikian indah dan harumnya
seperti calon isterimu itu? Nah, hadapilah kenyataan dan berterima kasihlah
kepada Tuhan!"
Hay Hay
menghela napas, lalu bangkit dengan malas. "Sudahlah, akan kupertimbangkan
semalaman ini.”
"Besok
pagi aku akan membawa keputusanmu yang menggembirakan kepada mereka!" kata
Han Siong sambil tersenyum memandang sahabatnya yang meninggalkan kamarnya
dengan langkah gontai.
***************
Memang tidak
ada pilihan lain bagi Hay Hay kecuali menerima usul baru agar pernikahan
dilangsungkan dulu sebelum dia pergi meninngalkan puncak Awan Kelabu tempat
tinggal Kim Mo Siankouw itu.
Pernikahan
yang sangat mendadak ini dirayakan dengan sederhana. Bahkan tak sempat lagi
mengundang tamu jauh, juga Wakil Dalai Lama tidak mungkin dapat diundang. Yang
diundang hanya penduduk dusun di sekitar Pegunungan Ning-jing-san saja dan
perayaan dilaksanakan secara sederhana namun cukup meriah.
Yang
menemani Hay Hay hanyalah Han Siong seorang. Pemuda ini menjadi semacam hiburan
bagi Hay Hay, yang menganggap sahabat ini seperti saudara sendiri. Dan Han
Siong juga menemani Hay Hay dengan kesungguhan hati karena di dalam hati Han
Siong memang amat kagum dan sayang kepada Hay Hay.
Para tamu
yang terdiri dari penduduk dusun di pegunungan itu tentu saja bergembira ria
dijamu masakan yang lezat dan arak wangi sehingga belum sampai tengah malam,
para tamu sudah banyak yang mabok lantas mereka pun berpamit meninggalkan tempat
pesta setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai dan kepada Kim Mo
Siankouw dan ibu Mayang. Han Siong juga mewakili pengantin pria untuk membalas
pemberian selamat itu. Akhirnya semua tamu sudah meninggalkan tempat pesta dan
sepasang pengantin lalu diarak memasuki kamar pengantin.
Dalam
kesempatan terakhir ini, Han Siong sekali lagi memberi selamat kepada Hay Hay
dan Mayang. "Kionghi, kionghi (selamat, selamat) sekali lagi,"
katanya gembira. "Semoga Tuhan memberkahi kalian de ngan kebahagiaan abadi!"
Mayang hanya
menunduk tersipu malu, akan tetapi Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan
sinar mata haru. "Han Siong, engkau adalah sahabatku yang paling baik.
Terima kasih untuk segalanya!"
Sepasang
pengantin itu didorong memasuki kamar yang segera ditutup, kemudian semua orang
meninggalkan kamar itu. Para pelayan lalu sibuk membersihkan bekas pesta. Kim
Mo Siankouw dan ibu Mayang yang merasa lelah sekali setelah tadi menerima tamu
juga segera beristirahat di kamar masing-masing, sekalian hendak menyembunyikan
keharuan mereka karena begitu memasuki kamar masing-masing, kedua orang wanita
ini langsung menangis terharu mengingat betapa gadis yang mereka kasihi itu
sekarang telah menjadi isteri orang dan memulai suatu kehidupan baru. Rasa haru
dan bahagla membuat mereka dlam-diam mencucurkan air mata!
Sepasang
mempelai itu telah berganti pakaian. Sambil bersembunyi di balik tirai, Mayang
melepaskan pakaian pengantin lalu mengenakan pakaian tidur yang tipis,
sedangkan Hay Hay juga telah mengenakan pakaian biasa. Sekarang mereka duduk
bersanding di pinggir pembaringan.
Mayang
menunduk, tersipu malu. Gadis yang biasanya lincah jenaka dan sangat tabah itu
kini tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, bahkan juga tak berani
mengangkat muka memandang wajah suaminya. Hay Hay juga duduk dengan muka
kemerahan karena tadi dia agak terlalu banyak minum arak ketika menerima
penghormatan dan ucapan selamat, akan tetapi dia pun tersipu, kehilangan akal,
salah tingkah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Terbayanglah
semua pengalamannya dengan para wanita pada masa lalu. Baru satu kali
hubungannya dengan wanita benar-benar hampir melanggar batas, yaitu dengan Kok
Hui Lan, janda muda yang tubuhnya semerbak harum seperti bunga itu! Juga pada
waktu dia hampir ‘diperkosa’ wanita cabul Ji Sun Bi. Selain dua kali pengalaman
itu, belum pernah dia berhubungan dengan wanita sampai ke hubungan badan,
kecuali hanya bermesraan luar saja.
Kini dia
berdebar penuh ketegangan dan kebingungan ketika menghadapi seorang gadis yang
mulai saat itu sudah menjadi isterinya, yang akan menyerah sebulatnya kepadanya
dan dapat dia gauli tanpa ada orang yang melarang, tanpa ada pelanggaran susila
atau hukum apa pun. Dia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal itu!
Karena sulit
membuka mulut, hanya duduk bersanding di tepi pembaringan, Hay Hay lalu
berdehem dua kali dan mengeluarkan suara tawa kecil untuk menarik perhatian
‘isterinya’. Dan usahanya berhasil.
Mendengar
suaminya berdehem lalu mengeluarkan suara ketawa kecil, Mayang khawatir kalau
ada sesuatu pada dirinya yang tidak beres sehingga memancing tawa suaminya. Ia
cepat memandangi pakaiannya kalau-kalau ada yang tidak beres, kemudian karena
tidak menemukan sesuatu yang salah, dia pun mengangkat mukanya memandang.
Dua pasang
mata bertemu, bertaut dan akhirnya Mayang menundukkan kembali mukanya yang
menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya menahan senyum. Manisnya!
"Mayang....”
suara Hay Hay terdengar gemetar dan hal ini terasa benar olehnya sehingga dia
pun tidak berani melanjutkan!
Mayang
kembali menoleh dan kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut.
"Hay
Hay..." Mayang berbisik, lalu cepat dibetulkannya. "Hay-koko (kanda
Hay)!" Ia cepat menunduk lalu dan mukanya semakin merah.
Begitu merdu
dan manisnya sebutan Hay-koko itu sehingga perasaan bahagia menyelinap di dalam
kalbu Hay Hay. Tanpa disadari, tangan kirinya bergerak dan memegang pundak itu
dengan sentuhan lembut.
"Mayang,
engkau.... engkau... sungguh cantik jelita dan manis bukan main....”
Mayang
kembali menoleh tetapi kini dia tersenyum. "Engkau perayu!" katanya
manja dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, tahu-tahu keduanya saling rangkul
dan saling dekap. Ketika Hay Hay menciumnya, Mayang lantas menyambut dengan
rintihan lirih. Mereka kini rebah dengan saling rangkul.
Tiba-tiba
Mayang bangkit duduk dan matanya yang sipit itu dibuka lebar memandang ke arah
leher Hay Hay dan tanpa terasa dia mengeluarkan seruan lirih namun mengejutkan.
"Ihhhh...!"
Hay Hay juga
bangkit duduk. "Ada apakah, Mayang...?"
Tangan kanan
Mayang bergerak menangkap benda yang tergantung pada leher Hay Hay, yaitu
mainan berbentuk kumbang merah yang tadi sempat berjuntai keluar dari balik
baju Hay Hay.
"Ang...
hong... cu...!" Mayang berbisik dan tangan kirinya juga mengeluarkan benda
yang sama dari balik bajunya!
Kini giliran
Hay Hay yang tersentak kaget. Sekali tangannya bergerak dia telah merampas dua
buah benda itu dari kedua tangan Mayang, lalu dia membandingkan dua buah benda
itu. Persis sama!
"Mayang..."
suaranya terdengar gemetar dan wajahnya pucat sekali, "dari mana... engkau
mendapatkan benda ini... ?"
"Dari
ibuku, baru tadi ibu memberikannya kepadaku sebagai hadiah pernikahan. Benda...
benda itu... tadi ibu menyebut Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), kata ibu itu
peninggalan ayah kandungku...”
"Ayah...
ayah kandungmu...? Ya Tuhan...!" Tiba-tiba saja wajah Hay Hay menjadi
semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil.
Mayang
terkejut bukan main melihat keadaan Hay Hay itu. "Kenapa, Hay-koko?
Kenapa? Dan dari mana engkau bisa mendapatkan benda yang serupa benar dengan
peninggalan ayahku? Dari mana engkau dapat memiliki Ang-hong-cu?"
"Mayang...,"
Hay Hay menggeser duduknya lebih menjauh agar tubuhnya tak menyentuh tubuh
Mayang, "Mayang... kita... kita... kau... Ang-hong-cu... dia ayah
kandungku pula..."
Sepasang
mata yang sipit itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi sepucat mayat lalu
terdengarlah suara melengking tinggi dan nyaring dari mulut itu, lengkingan
yang keluar sebagai jeritan dari dalam. Kedua tangan itu merenggut dua buah
benda itu dari tangan Hay Hay, kemudian tubuh itu bergerak melompat turun dari
atas pembaringan dan berlari menerjang pintu kamar sehingga terbuka dan Mayang
pun berlari keluar.
"Mayang...!
Mayanggg...!" Dengan tubuh masih menggigil Hay Hay juga melompat turun.
"Ang-hong-cu...
ahhh, Ang-hong-cu..., hu-huu-huuuhhh...!" sambil menangis sesenggukan
Mayang berlari keluar dan hampir saja dia bertabrakan dengan gurunya dan ibunya
yang sedang berlarian menuju ke kamarnya. Dua orang tua itu terkejut ketika mendengar
pekik melengking tadi dan keduanya sudah berlari keluar dari kamar
masing-masing menuju ke kamar pengantin.
"Mayang,
ya Tuhan, ada apakah, Mayang?" ibunya segera merangkul puterinya dengan
wajah penuh kekhawatiran.
Kim Mo
Siankouw memandang muridnya dengan alis berkerut dan sepasang mata tajam penuh
selidik. Dan pada saat itu pula Kim Mo Siankouw juga melihat bayangan Han Siong
berkelebat. Pemuda ini juga sudah keluar dari kamarnya dan terkejut oleh
jeritan Mayang tadi. Kini, melihat Mayang menangis dalam rangkulan ibunya, Han
Siong cepat melompat dan lari ke arah kamar pengantin untuk melihat Hay Hay.
"Mayang,
berhentilah menangis dan katakan ada apa?" Ibunya menggoyang-goyang tubuh
puterinya yang masih tersedu-sedu menangis sambil merangkulnya.
"Tenanglah,
Mayang. Apakah engkau tidak malu menjadi gadis cengeng seperti ini? Mana
kegagahanmu?" kata pula Kim Mo Siankouw.
Mayang
segera melepaskan rangkulan pada ibunya, kemudian menoleh dan memandang
subo-nya dengan air mata bercucuran.
"Subo....!"
Sekarang dia menubruk subo-nya dan menangis di pundak Kim Mo Siankouw. Gurunya
terheran-heran, juga terkejut melihat sikap muridnya seperti kanak-kanak itu.
"Mayang,
engkau kenapa? Mayang anakku...!" Ibunya berkata dengan hati bingung dan
khawatir sekali.
Mayang
kembali melepaskan rangkulan pada gurunya dan kini menangis dalam rangkulan
ibunya. "Ibu... hu-hu-huuuhhh... ibu..., subo.... bunuh saja aku, ibu...
hu-hu-huuuhhh....”
"Ehh?
Engkau kenapa, Mayang? Ada apakah? Ibunya semakin khawatir. Mayang segera
menjulurkan kedua tangannya yang sejak tadi menggenggam dua buah benda kecil
itu.
"Ang-hong-cu...
dia.... dia... Ang-hong-cu....,” katanya dengan suara terputus-putus akibat
isak yang menyesak dadanya.
Kini ibunya
terbelalak, lantas mukanya berubah pucat. "Ang-hong-cu...? Apa maksudmu?
Dan kenapa benda itu kini menjadi dua? Dari mana yang sebuah lagi?"
"Dia...
dia... putera Ang-hong-cu...!" Dan kini Mayang terkulai, pingsan dalam
rangkulan ibunya. Dua buah benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke
atas lantai.
Kim Mo
Siankouw cepat-cepat mengambil dua buah benda itu. Ketika para pelayan mulai
berdatangan, Kim Mo Siankouw memberi isyarat dengan tangan agar mereka cepat
pergi dan kembali ke kamar mereka.
Para pelayan
tidak berani membantah walau pun mereka menjadi terheran-heran melihat nona
mereka menangis, menjerit-jerit dan kemudian pingsan itu. Mereka tak bisa
mengerti mengapa nona mereka yang menjadi pengantin bersikap seperti itu.
Sementara
itu, ketika Han Siong memasuki kamar pengantin yang pintunya terbuka lebar, dia
melihat Hay Hay duduk di tepi pembaringan seperti sebuah patung. Pemuda itu
duduk dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penglihatannya nampak kosong.
Han Siong cepat memegang kedua pundak Hay Hay.
"Hay
Hay, sadarlah! Apa yang sudah terjadi? Ada apa dengan Mayang isterimu?"
Tanpa disengaja Han Siong memandang ke atas pembaringan dan jelas bahwa tempat
itu belum pernah dipergunakan. Bantal, selimut dan tilam sutera itu masih rapi,
belum kusut seperti kalau sudah dipakai tidur.
Karena
pundaknya diguncang keras oleh Han Siong, Hay Hay seperti baru sadar. Dia pun
menghela napas panjang, lalu dia memegang kedua lengan sahabatnya. Kedua
matanya basah!
"Eh?
Engkau menangis?" Han Siong hampir tidak percaya. Akan tetapi dia melihat
kedua mata itu basah, basah dan berlinang air mata!
Hay Hay
mengusapkan mukanya pada kedua pangkal lengan, lalu berkata dengan suara
seperti orang dalam rnimpi.
"Untung...
sungguh Tuhan masih melindungi kami... aiiihh, Han Siong, mengapa nasibku
sekarang jadi seperti ini? Ataukah ini dosa orang tuaku?"
"Hay
Hay, katakan apakah yang telah terjadi?"
Melihat Hay
Hay sudah tenang, Han Siong melepaskan tangannya dan dia kini mundur, memandang
wajah sahabatnya yang masih pucat itu.
"Han
Siong, dia adalah adikku! Kami seayah berlainan ibu!"
"Ahhh...?!
Mayang puteri Ang Ang-hong-cu...?” Kini Han Siong yang melongo keheranan.
Hay Hay
mengangguk, kembali menghela napas. “Dia juga memiliki benda perhiasan itu,
seekor kumbang merah, persis dengan yang aku punyai. Baru hari ini dia menerima
dari ibunya sebagai hadiah pernikahan, peninggalan ayah kandungnya..."
Han Siong
jatuh terduduk di atas kursi. Bengong. Kini mengertilah dia mengapa gadis itu
tadi menjerit-jerit dan Hay Hay seperti arca. Dan dia pun mengerti maksud
kata-kata Hay Hay yang mengatakan masih untung bahwa mereka masih dilindungi
Tuhan. Jelas bahwa mereka belum melakukan hubungan suami isteri! Apa bila
sudah, berarti dunia ini kiamat bagi mereka!
Dia menghela
napas. "Aihh, engkau masih beruntung, Hay Hay. Aku turut merasa girang
bahwa kalian masih belum terjatuh ke dalam aib dan dosa. Kasihan engkau, Hay
Hay....”
"Kasihan
Mayang, bukan aku, Han Siong. Tentu hancur hatinya... ah, mari kita keluar. Aku
harus menghiburnya, menghibur adikku...” Mereka lalu keluar dari dalam kamar
itu. Ketika melihat Mayang terkulai pingsan dalam pondongan ibunya, Hay Hay
terkejut.
“Mayang...!”
Kim Mo
Siankouw berkata dengan suara lembut namun tegas, “Mari kita bicara di ruang
dalam. Engkau juga, Pek Taihiap!"
Kini Ibu
Mayang memondong tubuh Mayang. Gadis itu masih pingsan, dan mereka semua
memasuki ruangan dalam. Kim Mo Siankouw sendiri menutup dua buah pintu tembusan
pada ruangan itu. Ibu Mayang merebahkan puterinya di sebuah kursi panjang.
“Kalian
duduklah!” kata Kim Mo Sian-kouw kepada Hay Hay dan Han Siong.
Dua orang
pemuda itu lalu duduk dan Hay Hay menundukkan mukanya, menutupi muka dengan
sepasang tangannya, tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Dia merasa
bingung karena kenyataan yang teramat pahit itu merupakan pukulan yang
mengguncang batinnya dengan hebat. Nyaris dia menjadi suami isteri dengan
adiknya sendiri!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment