Friday, September 28, 2018

Cerita Silat Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 17




























                Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang

                  Jilid 17



Mayang tetap sederhana, bahkan rambutnya tidak disisir rapi, agak awut-awutan namun bahkan menjadi semakin manis! Kemanisan yang wajar seorang gadis, bukan kecantikan karena riasan. Di samping gadis itu terdapat seorang wanita lain yang pantasnya menjadi kakak Mayang karena ada banyak persamaan di wajah mereka. Kalau Mayang bagaikan kuncup mulai mekar, wanita itu adalah bunga yang sudah mekar sepenuhnya. Keduanya sama menariknya!

Hay Hay memandang mereka, dari yang satu kepada yang lain. Inikah subo dari Mayang? Inikah wanita pertapa yang berjuluk Kim Mo Siankouw itu? Memang seorang wanita yang cantik dan anggun, akan tetapi dia tidak melihat alasan mengapa wanita berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Rambutnya hitam seperti rambut Mayang, tapi tersisir rapi dan tidak awut-awutan seperti rambut gadis itu.

"Locianpwe yang mulia, saya Tang Hay datang menghaturkan hormat, mohon Siankouw sudi memaafkan kelancangan saya...” kata Hay Hay dengan penuh hormat.

Hay Hay menghaturkan penghormatan seperti yang diberikan kepada seorang permaisuri atau raja. Namun dia terbelalak dan bengong memandang kepada Mayang karena gadis itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, tangan kiri menutup mulut dan tangan kanan meraba perut karena merasa geli.

"Ehhh, Mayang, ada apakah? Apakah... apakah aku kurang sopan dan kurang hormat?” tanya Hay Hay, benar-benar tidak mengerti kenapa gadis itu tertawa-tawa geli seperti itu.

Gadis yang tadi tertawa sambil membungkuk itu mengangkat mukanya memandang. Saat melihat pemuda itu bengong dan mendengar pertanyaan tadi, tawanya kembali meledak, sampai terkekeh-kekeh dan ada air mata keluar dari kedua matanya yang bersinar-sinar. Akhirnya ketawanya mereda setelah wanita di sampingnya menegur halus.

"Mayang, tidak sepantasnya engkau tertawa seperti itu."

Mayang memandang Hay Hay, wajahnya masih penuh tawa. "Hay Hay, ini bukan subo, ini adalah ibuku, hi-hi-hik!” Gadis itu menahan ketawanya.

Kini wajah Hay Hay seketika menjadi merah. Dia pun mengangkat muka dan memandang lagi kepada wanita itu, mengamati dengan penuh perhatian. Kemudian, sesudah menarik napas panjang dia pun berkata. "Ahhh, pantas... sungguh pantas, akan tetapi juga tidak patut sekali...”

Mendengar kata-kata yang tidak karuan maknanya ini, Mayang berbalik menjadi bengong. "Apa maksudmu, Hay Hay? Ucapanmu tidak karuan. Kau bilang pantas akan tetapi juga tidak patut! Bagaimana pula itu?"

"Memang pantas sekali menjadi ibumu karena mirip denganmu, Mayang, dan pantas pula engkau demikian cantik manis karena ibumu juga begini cantik jelita. Namun tidak patut menjadi ibumu karena dia masih terlalu muda, patutnya menjadi kakakmu!"

Mayang tidak merasa heran mendengar pemuda mata keranjang ini memuji kecantikan ibunya, akan tetapi wanita itu terbelalak, mukanya berubah merah sekali.

"Mayang! Siapakah dia ini? Orang macam apa yang kau bawa berkunjung ini? Apakah dia waras, tidak gila?"

Mendengar pertanyaan ibunya, gadis itu kembali tertawa geli sambil menatap wajah Hay Hay. "Hati-hati, ibu, jangan-jangan engkau akan jatuh ke dalam rayuan mautnya. Memang Hay Hay ini seorang perayu maut yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita."

Hay Hay segera teringat akan keadaan dirinya yang kini sedang berada di tempat orang, tempat berbahaya pula karena penghuninya adalah seorang pertapa wanita sakti. Cepat dia memberi hormat kepada ibu Mayang dengan sikap sopan, lantas berkata, "Harap Bibi sudi memaafkan saya yang selalu suka terus terang sehingga mungkin terdengar kurang ajar. Bukan maksud saya untuk merayu, melainkan untuk berterus terang. Maafkan, saya Tang Hay dan...”

"She Tang...?” Tiba-tiba wanita itu membelalakkan matanya dan menatap wajah Hay Hay, lalu dia mengeluarkan jerit kecil tertahan, “Kau... kau... matamu dan hidungmu itu... ihhh, dan engkau she Tang pula... Orang muda, cepat katakan, siapakah ayahmu?"

Hay Hay terkejut. Dia mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan siapa ayahnya bila tidak amat perlu, maka dia pun menarik napas panjang. "Saya tidak tahu siapa ayah saya, Bibi, karena ayah telah pergi sejak saya berada dalam kandungan dan mungkin dia sudah mati."

"Ibu, mengapa Ibu terkejut mendengar she dari Hay Hay? Dan Ibu menyinggung mata dan hidungnya! Ada apakah, ibu...?" Mayang kini juga bersikap sungguh-sungguh karena dia pun terkejut dan heran melihat sikap ibunya.

Wanita itu telah dapat menguasai dirinya. "Ahh, tidak apa-apa. Aku hanya merasa seperti pernah melihat pemuda ini. Akan tetapi, Mayang, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan pemuda yang... eh, mata keranjang ini? Mau apa kau bawa dia ke sini? Siankouw bisa marah kalau...”

“Orang muda kurang ajar ini harus pergi sekarang juga!" Mendadak terdengar bentakan halus dari sebelah dalam.

Mendengar suara ini ibu Mayang cepat membungkuk, lantas merangkap kedua tangannya memberi hormat. Juga Mayang segera menjatuhkan diri berlutut di dekat ibunya, sikapnya amat hormat.

Hay Hay mengangkat muka memandang. Yang rnuncul di ambang pintu memang sangat menakjubkan, seperti bukan manusia ketika mendadak muncul di situ, dengan sikap yang lembut dan anggun sekali. Sukar dapat dipercaya bahwa seorang wanita berusia enam puluh tahun masih seperti itu!

Rambutnya yang bercampur uban itu berwarna keemasan! Kulit mukanya nampak lembut tanpa keriput, matanya mencorong dan bibirnya masih kemerahan namun terhias senyum aneh. Tubuh, wajah dan sikap wanita ini pantasnya terdapat pada sebuah patung, seperti arca Kwan Im Pouwsat saja!

Tanpa dibuat-buat, di dalam hati Hay Hay timbul perasaan hormat terhadap wanita ini, maka dia pun cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian berkata dengan suara lantang.

"Mohon maaf sebesarnya dari Siankouw akan kelancangan saya yang telah berani datang dan menghadap Siankouw tanpa diundang. Saya memberanikan diri datang menghadap Siankouw untuk memohon pertolongan, karena saya mendengar bahwa Siankouw adalah seorang manusia berbudi luhur, seorang pertapa yang mencari penerangan dan tentu akan selalu menjulurkan tangan untuk menolong yang membutuhkan bantuan. Atas pertolongan Siankouw yang sakti dan suci, sebelumnya saya Tang Hay menghaturkan banyak terima kasih dan akan selalu berdoa semoga semua budi kebaikan Siankouw akan tercatat oleh para Malaikat dan Thian yang akan berkenan membalas semua amal perbuatan Siankouw yang berbudi sehingga kalau dalam kehidupan yang sekarang saya tidak dapat membalas segala kebaikan Siankouw yang mulia, semoga dalam kehidupan mendatang saya akan dapat menebusnya dan...”

“Sudah, cukup... cukup...!” Kim Mo Siankouw berkata sambil menahan ketawanya ketika mendengar kata-kata yang berderet-deret tanpa ada putusnya itu. "Engkau lelaki perayu, dengan kata-katamu yang indah, suaramu yang merdu, ucapanmu yang manis, sungguh engkau seorang yang palsu dan berbahaya sekali bagi kaum wanita. Engkau harus pergi dari sini!" Sambil berkata demikian, seperti orang yang merasa jengkel, wanita itu lantas menggerakkan tangannya ke arah kepala Hay Hay.

Pemuda ini mendengar angin berdesir dan dia terkejut bukan main. Biar pun nampaknya hanya mengebutkan tangan, akan tetapi sesungguhnya gerakan itu merupakan serangan yang sangat dahsyat dan berbahaya bukan main! Maka, agar jangan kentara bahwa dia mengelak, pada saat itu dia segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berambut keemasan itu sambil mengangguk-angguk memberi hormat.

“Siankouw yang sakti, Siankouw yang budiman, Siankouw yang agung, tolonglah saya, tolonglah sahabat saya...”

Kim Mo Siankouw agak terbelalak dan dia menoleh kepada Mayang. “Mayang, dari mana engkau memperoleh pemuda perayu ini dan apa kehendakmu membawa orang semacam ini kepadaku? Hayo jawab yang sejujurnya!" Ucapannya halus akan tetapi mengandung teguran dan perintah.

Sambil berlutut Mayang lalu menjawab, "Harap Subo sudi memaafkan teecu (murid). Subo (ibu guru) tentu maklum bahwa teecu tidak akan berani berlancang hati untuk membawa seorang tamu pria datang menghadap subo. Akan tetapi telah terjadi peristiwa yang cukup hebat, yang teecu anggap cukup penting bagi Subo untuk mengetahuinya. Pertama-tama, agar Subo ketahui bahwa tadi teecu sudah bentrok dengan tiga orang pendeta Lama yang memimpin para pendeta Lama di puncak Bukit Bangau."

Kim Mo Siankouw terkejut walau pun hal ini hanya nampak pada pandang matanya dan kerutan alisnya. "Hemmm, sudah kukatakan bahwa engkau tidak boleh berurusan dengan mereka. Urusan pemberontakan terhadap Dalai Lama bukanlah urusan kita dan kita tidak perlu mencampuri."

"Maaf, Subo. Bukan maksud teecu untuk mencampuri, tetapi secara kebetulan saja teecu bertemu dengan mereka bertiga itu di kedai makan di dusun Wang-kan dalam perjalanan teecu pulang mengantar ternak ke kota Cauw-ti. Mereka makan di sana bersama seorang pemuda. Ketika mereka melihat teecu, seorang di antara mereka menghampiri teecu dan pura-pura minta derma, akan tetapi teecu merasakan betapa dia menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai pikiran teecu. Tadi malam teecu datang ke gubuk di luar dusun di mana mereka menanti dan dengan sihir pendeta Lama itu menarik teecu datang. Karena teecu menganggap mereka itu jahat sekali, sebagai pendeta Lama tidak patut melakukan kekejian seperti itu terhadap teecu, maka teecu datang dan ingin menghajar mereka!"

“Aih, engkau lancang, Mayang. Mereka itu adalah tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang mana di antara mereka itu yang menyihirmu?"

"Ketika teecu berada di dalam rumah makan, yang menyihir teecu adalah pendeta yang mukanya kekanak-kanakan, tubuhnya tinggi bongkok...”

“Hemm, siapa lagi jika bukan Pat Hoa Lama si pendeta cabul? Huh, berani dia menghina muridku! Lalu bagaimana? Agaknya tidak mungkin engkau dapat lolos dari tangan mereka bertiga!" Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengerling kepada Hay Hay yang masih menunggu dengan hati tegang. Dia merasa betapa wanita itu memang hebat, dan agaknya sudah mengenal dan mengetahui keadaan para pendeta Lama yang menculik Han Siong.

"Mereka bertiga lantas menghadapi teecu dan mencoba untuk menguasai teecu dengan sihir. Akan tetapi... hemmm, mereka tidak tahu bahwa teecu adalah murid Subo. Segala permainan kanak-kanak itu...”

"Jangan tergesa-gesa menyombongkan diri!" Kim Mo Siankouw memotong dengan suara tegas sehingga mengejutkan Mayang sendiri karena tidak biasanya gurunya menghardik dirinya. Sementara itu, diam-diam Hay Hay tersenyum melihat sikap Mayang.

"Sesudah sihir mereka itu gagal, seorang di antara mereka yang memegang tongkat lalu menyerang teecu. Teecu melawan dengan cambuk. Kami berdua saling serang dan teecu sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka bertiga. Akan tetapi tiba-tiba teecu dikejutkan oleh terbakarnya gubuk itu dan teecu lalu pergi meninggalkan mereka. Teecu bertemu dengan Hay Hay ini, lantas dia menceritakan bahwa pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu adalah seorang sahabatnya yang diculik mereka untuk dijadikan pelayan. Karena teecu menduga bahwa kawannya itu dilarikan ke Bukit Bangau, maka Hay Hay minta kepada teecu untuk menghadap Subo dan mohon pertolongan Subo untuk dapat menolong dan membebaskan sahabatnya itu."

Kim Mo Siankouw menahan senyum, memandang kepada muridnya itu dan menggeleng kepalanya. "Mayang, kau kira aku tidak tahu siapa ketiga orang pendeta Lama itu? Yang menyihirmu adalah Pat Hoa Lama, ada pun orang yang menyerangmu dengan tongkat itu bukankah bertubuh tinggi besar, dan tongkatnya itu memakai kelenengan? Lalu orang ke tiga itu tinggi kurus, matanya seperti selalu terpejam?"

“Benar sekali, Subo."

"Mereka itu adalah tokoh-tokoh di Tibet. Yang menyerangmu bernama Gunga Lama dan yang matanya terpejam itu Janghau Lama. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti dan menghadapi Gunga Lama seorang saja belum tentu engkau dapat menang. Kalau tidak ada orang yang membakar gubuk itu, kiranya belum tentu engkau akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka. Siapa yang membakar gubuk itu?"

Hay Hay cepat mengacungkan telunjuk kanannya ke atas, "Saya, Siankouw! Untung ada saya...”

Pada saat itu pula terdengar suara ribut di luar. Mereka segera memandang keluar dan nampaklah lima orang Lama sedang ribut mulut dengan para pelayan wanita yang bekerja di pekarangan depan. Agaknya para pelayan itu bersikeras melarang mereka memasuki pekarangan, tapi lima orang pendeta Lama itu berkeras pula akan memasuki pekarangan sehingga terjadi ketegangan.

Melihat hal ini, Mayang melompat bangun, juga ibunya sudah melangkah keluar bersama puterinya. Kim Mo Siankouw sendiri dengan sikap tenang bangkit berdiri akan tetapi dia pun melangkah keluar. Hay Hay yang ditinggal seorang diri dalam keadaan masih berlutut itu pun segera bangkit dan keluar.

"Heiii, apa yang telah terjadi di sini!” bentak Mayang yang bersama ibunya telah berada di pintu pagar di mana lima orang pendeta Lama itu bersitegang dengan para pelayan yang melarang mereka memasuki pekarangan.

Lima orang pendeta Lama itu berusia kurang lebih antara empat puluh tahun. Mendengar bentakan ini, mereka mengangkat muka memandang dan ketika melihat Mayang, mereka memandang dengan wajah berseri. Salah seorang di antara mereka yang mulutnya lebar segera melangkah maju.

"Apakah engkau yang bernama nona Mayang?”

"Kalau benar aku, mengapa?" tantang Mayang yang sudah marah melihat mereka karena dia menduga bahwa tentu mereka ini anak buah tiga orang pendeta Lama yang mereka bicarakan tadi.

Lima orang pendeta itu saling pandang dan mereka pun menyeringai kurang ajar. Si mulut besar tertawa. "Ha-ha-ha, pantas saja suhu berpesan agar kita membawanya hidup-hidup dan jangan melukainya. Kiranya memang manis sekali dan sayang kalau sampai terluka," katanya kepada kawan-kawannya, lalu dia menghadapi Mayang kembali. "Nona Mayang, kami diutus oleh para guru kami untuk mengundang Nona ke tempat kami, menghadap tiga orang suhu kami karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu."

"Aku tidak sudi!” Mayang membentak.

"Nona Mayang, kami datang dengan niat baik dan tidak ingin menggunakan kekerasan, akan tetapi kami pun tidak berani pulang kalau tidak bersamamu. Maka marilah engkau ikut dengan kami agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan untuk memaksamu."

Mayang melompat lantas membanting kakinya dengan marah. “Kalian ini lima ekor anjing gundul berani mengancam aku? Majulah dan aku akan membikin remuk gundul-gundulmu itu!”

"Mayang, mundur kau!" Mendadak terdengar Kim Mo Siankouw berkata lembut. Mayang terkejut dan dia pun tidak berani membantah, walau pun dia masih ragu-ragu.

"Mayang, lekas taati Siankouw!" kata pula ibunya yang lebih mengerti mengapa Kim Mo Siankouw menyuruh Mayang mundur. Dia bisa menduga bahwa kalau tiga orang pendeta Lama itu mengirim utusan lima orang ini, tentu mereka sudah memperhitungkan bahwa lima orang pendeta utusan ini akan mampu menandingi bahkan mengalahkan Mayang.

Kini Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay sambil tersenyum, senyum dingin mengejek. "Orang muda, pin-ni (aku) akan mempertimbangkan permintaanmu tadi kalau engkau dapat mewakili kami menghadapi lima orang pendeta Lama ini."

"Subo, apakah Subo hendak mencelakakan Hay Hay? Dia tidak bisa apa-apa, seorang pemuda yang lemah, bagaimana harus...”

"Mayang, jangan membantah kehendak Siankouw!" kembali ibu gadis itu menegur.

Mayang tidak melanjutkan kata-katanya, hanya memandang terbelalak kepada Hay Hay, merasa kasihan karena bagaimana pemuda lemah itu akan dapat menandingi lima orang pendeta Lama itu? Melawan seorang dari mereka pun tidak akan mampu. Tentu dia akan tewas!

Tiba-tiba dia merasa khawatir dan gelisah sekali. Tidak, pikirnya, pemuda itu tidak boleh mati. konyol. Dia tidak berani lagi membantah subo-nya, akan tetapi secara diam-diam dia akan berjaga-jaga dan akan melindungi Hay Hay!

Sementara itu, diam-diam Hay Hay kagum bukan main kepada guru Mayang. Wanita tua yang masih cantik dan lembut itu sungguh memiliki penglihatan yang sangat tajam. Tentu dia telah tahu bahwa dia mempunyai kepandaian, kalau tidak demikian, tidak mungkin dia menyuruh dia melawan lima orang pendeta Lama ini! Maka dia pun tersenyum, walau pun masih berpura-pura tolol karena melihat sikap Mayang.

"Aihhh, syaratnya berat amat! Akan tetapi, baiklah, Siankouw. Demi menolong sahabatku, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan lima ekor anjing gundul ini.

Melihat sikap Hay Hay, Mayang merasa girang dan bangga. Biar pun jelas bahwa pemuda itu bukan lawan lima orang pendeta Lama yang dia duga tentu lihai, akan tetapi pemuda itu sudah memperlihatkan sikap yang gagah! Berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul, meniru makiannya tadi.

"Benar, Hay Hay. Hantam kepala lima ekor anjing gundul itu. Jangan takut, kalau mereka hendak menggigitmu, akan kuketok kepala mereka yang gundul itu!" Dia berteriak penuh semangat. Gurunya dan ibunya hanya melirik saja sambil tersenyum karena sungguh pun berteriak tetapi gadis itu tidak turun tangan, mentaati perintah subo-nya tadi.

Hay Hay melirik kepada Mayang dan masih tersenyum, kemudian dengan langkah gontai seperti orang yang tidak bertenaga dia maju menghampiri lima orang pendeta Lama itu.

Lima orang pendeta Lama itu adalah tokoh-tokoh di Tibet, dan merupakan tangan kanan dari tiga pendeta Lama yang bersarang di Bukit Bangau. Mereka sudah marah ketika tadi mendengar penghinaan Mayang, gadis manis yang berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul. Kini kembali mereka dimaki, dan yang memaki adalah pemuda yang terlihat lemah ini, bahkan tadi gadis itu telah mencegah pemuda ini maju karena dikatakan bahwa pemuda ini lemah.

Dalam kemarahan itu, lima orang pendeta Lama bermaksud untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay. Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering berkata dengan suaranya yang parau besar, tidak sesuai dengan tubuhnya.

"Saudara-saudara sekalian, monyet cilik ini hendak melawan kita? Ha-ha-ha-ha, mari kita buat dia menari-nari!" Ucapan ini merupakan isyarat kepada teman-temannya agar mereka mempergunakan kekuatan sihir saja untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay, yaitu menyihirnya agar dia bersikap seperti seekor monyet!

Mereka berlima kemudian mengerahkan kekuatan sihir mereka, menatap wajah Hay Hay dengan tajam, lalu si kurus tadi membentak lagi, kini kekuatan sihirnya disatukan dengan kekuatan empat orang kawannya.

"Orang muda, engkau adalah seekor monyet yang baru keluar dari dalam hutan! Ingatlah baik-baik, engkau adalah seekor monyet! Monyet! Monyet! Monyet! Hayo monyet, engkau menari-narilah!"

Mayang merasa benar akan gelombang kekuatan sihir itu. Bagi dirinya sendiri yang sudah kebal, gelombang kekuatan itu hanya lewat saja tanpa membekas, akan tetapi ia khawatir sekali melihat Hay Hay karena bagaimana mungkin pemuda yang tidak mengenal sihir itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir sekuat itu? Dia melihat Hay Hay tersenyum lebar, lalu memandang seperti orang bingung dan heran.

"Monyet? Aku disuruh menjadi monyet? Ha-ha, baiklah, aku akan menari seperti monyet. Akan tetapi pertunjukan monyet harus dilengkapi dengan segerombolan anjing! Dan kalian yang menjadi lima ekor anjingnya! Anjing gundul, ha-ha! Kalian lima ekor anjing gundul, hayo kalian menggonggong, biar aku jadi monyet menari-nari!”

Kini Mayang terbelalak. Apa yang telah dilihatnya? Lima orang pendeta Lama itu tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan menggonggong mirip anjing, menyalak-nyalak dan meringis-ringis!

Tadinya dia mengira bahwa mungkin subo-nya yang telah membantu Hay Hay sehingga dia merasa gembira sekali. Akan tetapi, ketika dia menoleh kepada subo-nya, dia melihat betapa subo-nya juga terbelalak dan terheran-heran, maka dia cepat memandang lagi ke arah Hay Hay dan lima orang pendeta Lama itu.


Lima orang pendeta itu masih merangkak-rangkak, kadang kala berloncatan ke sana-sini sambil menyalak-nyalak, dan Hay Hay meloncat ke atas punggung pendeta kurus kering. Sambil menari dan menggaruk-garuk tubuh seperti seekor monyet, Hay Hay berloncatan dari satu punggung ke lain punggung, persis seekor monyet yang sedang bermain-main dengan lima ekor anjing. Riuh rendah suara lima orang pendeta itu menggonggong dan menyalak-nyalak dengan galak.

Mayang hampir tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Sudah jelas bahwa Hay Hay agaknya berada di bawah pengaruh sihir dan bersikap laksana seekor monyet, akan tetapi mengapa lima orang pendeta yang menyihir Hay Hay itu seperti terkena sihir pula? Bahkan lebih parah dari Hay Hay? Kalau Hay Hay hanya bersikap seperti monyet, menggaruk-garuk dan menari-nari tetapi masih bisa bercakap-cakap, lima orang pendeta Lama itu benar-benar bersikap dan bersuara seperti anjing!

Akan tetapi ketika kembali Mayang menoleh kepada subo-nya, dia melihat subo-nya kini tidak terheran-heran lagi. Bahkan subo-nya tersenyum-senyum! Sekarang dia melihat Hay Hay meloncat turun dari punggung para pendeta Lama itu, masih berjingkrak-jingkrak dan menggaruk-garuk dada dan punggung seperti monyet, sambil tertawa-tawa.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Anjjng-anjing gundul, kalian sekarang boleh saling serang, lima ekor anjing berebut tulang dan aku monyetnya yang memberi tulang!"

Dengan gerakan mirip monyet Hay Hay lalu mengambil sepotong kayu dan melemparkan kayu ke arah lima orang pendeta yang masih merangkak-rangkak dan berloncat-loncatan itu dan terjadilah suatu penglihatan yang membuat Mayang kini tertawa terkekeh-kekeh!

Bagaikan lima ekor anjing tulen kelima orang pendeta itu sekarang menyerbu dan saling memperebutkan ‘tulang’ yang bukan lain hanya sepotong kayu itu! Mereka saling terkam dan saling gigit di antara gonggongan yang riuh rendah! Ada yang telinganya kena gigit sampai robek, atau hidungnya kena gigit sampai berdarah dan melihat semua ini, Mayang tertawa terpingkal-pingkal sampai harus memegangi perutnya yang terguncang-guncang dan menjadi keras.

Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay, "Sudah... sudah, cukup! Kalian ini lima orang pendeta Lama, kenapa bermain-main seperti anak-anak kecil?"

Tiba-tiba lima orang pendeta itu berloncatan berdiri dan saling pandang. Wajah mereka seketika menjadi pucat, lalu menjadi merah sekali. Mereka menyusut darah dari muka dan kini mereka memandang kepada Hay Hay dengan mata melotot penuh kemarahan.

"Srattt! Srattt! Singgg...!"

Nampaklah sinar berkilauan dan lima orang pendeta Lama itu sudah mencabut golok dari sarung golok yang menempel di punggung mereka. Mereka segera mengepung Hay Hay dengan golok di tangan, sikap mereka nampak beringas serta penuh ancaman sehingga Mayang memandang dengan muka berubah agak pucat.

"Heii, kalian ini berpakaian pendeta, kenapa memegang golok? Apakah pekerjaan kalian menjagal babi?" Hay Hay agaknya tidak sadar akan bahaya maut yang mengancam maka masih sempat berkelakar.

“Kami memang jagal, sekali ini hendak menjagal kamu, monyet busuk!" bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pecah berdarah karena digigit kawannya sendiri.

"Hemm, tadi kalian memperebutkan tulang, tapi sekarang tulangnya ditinggal begitu saja!" kata Hay Hay, lantas dia pun mengambil sepotong kayu tadi yang besarnya selengan dan panjangnya tiga kaki.

"Orang muda sombong, bersiaplah engkau untuk mampus!" bentak lima orang pendeta itu yang sudah mengepungnya.

"Hay Hay, mundurlah! Mereka itu lihai dan engkau tidak pandai silat...!" Tiba-tiba Mayang berteriak karena gadis ini merasa khawatir sekali.

Hay Hay menoleh kepadanya dan tersenyum. "Biarlah, Mayang. Justru karena mereka itu lihai, maka hendak kuhadapi dengan gerakan yang bukan silat. Aku menjadi monyet, aku akan bergerak seperti monyet."

"Jangan, Hay Hay! Engkau akan celaka...!" Mayang sudah siap untuk meloncat ke depan, untuk menggantikan Hay Hay, atau setidaknya untuk melindunginya, akan tetapi subo-nya menegurnya.

"Mayang, jangan mencampuri!"

Mayang terkejut dan cepat dia menghampiri subo-nya, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dekat subo-nya yang juga sudah duduk di atas sebuah bangku yang tadi disediakan oleh seorang pelayan wanita. Ibu gadis itu juga duduk di atas bangku di sebelah kiri Kim Mo Siankouw.

"Subo, bagaimana ini? Jangan biarkan Hay Hay tewas, Subo. Dia akan mati konyol...”

"Hushhh..., Mayang, kau pergunakanlah matamu baik-baik. Sejak bertemu tadi aku sudah melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan orang lemah. Kau lihat saja!"

Gadis itu terkejut dan merasa heran. Hay Hay bukan orang lemah? Dengan bingung dia memandang dan melihat betapa kini lima orang pendeta Lama itu sudah mulai menyerang dengan golok mereka. Gulungan sinar golok menyambar-nyambar ganas dan hampir saja Mayang memejamkan mata karena merasa ngeri membayangkan tubuh pemuda itu akan tersayat-sayat.

Akan tetapi aneh! Dia melihat tubuh pemuda itu bergerak seperti monyet, berloncatan ke sana-sini, tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri menggaruk-garuk sana-sini di tubuhnya, akan tetapi kelima batang golok itu tidak pernah mampu menyentuhnya! Mula-mula Mayang terbelalak, terheran-heran, akan tetapi segera dia tersenyum dan akhirnya dia berteriak-teriak saking gembiranya.

Tentu saja Hay Hay bukan lawan seimbang bagi kelima orang pendeta Lama itu. Dengan mudah saja pendekar ini menggunakan ilmu Jiauw-pouw Poan-san, yaitu gerak langkah kaki ajaib yang membuat dirinya selalu dapat mengelak dari sambaran lima batang golok. Hanya gerakannya itu dicampurnya dengan gerakan dan loncatan mirip monyet sehingga nampak lucu sekali. Tongkat di tangannya itu kadang membantunya, setiap kali ada golok yang terlalu berbahaya menyambarnya, tongkat cepat bergerak dan ujungnya mendorong golok lawan sehingga menyerong.

Lima orang pendeta Lama itu terkejut, akan tetapi juga penasaran dan marah sekali. Tadi mereka sudah dihina secara luar biasa, yaitu mereka seolah-olah menjadi seperti anjing yang saling serang sendiri. Sekarang golok mereka sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh pemuda itu, padahal katanya pemuda itu tidak pandai silat, dan kini hanya bergerak seperti monyet saja. Namun golok mereka selalu membacok dan menusuk udara kosong!

"Bocah keparat! Kalau berani, hadapilah kami dan mari kita mengadu kepandaian, bukan terus mengelak seperti itu!" bentak si kurus kering.

"Singgg...!"

Goloknya menyambar ke arah leher Hay Hay dari kanan ke kiri. Hay Hay merendahkan tubuhnya dan golok itu menyambar lewat di atas kepalanya.

"Nih tulang, makanlah!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja, tanpa dapat dihindarkan lagi oleh si tinggi kurus, ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah mulutnya, lantas terdengar bunyi berkerotokan!

"Auhhhh....!"

Si tinggi kurus terjengkang, kemudian dia menutupi mulutnya yang berdarah-darah karena sebagian besar giginya di bagian depan telah rontok dan tanggal karena mulut itu dijejali ujung tongkat!

Empat orang pendeta lainnya menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan main. Golok mereka menyambar-nyambar semakin ganas, akan tetapi Hay Hay tidak ingin membuang banyak waktu lagi. Sekarang dia pun membalas dan nampak sinar hijau bergulung-gulung ketika tongkatnya berkelebatan.

“Tak! Tuk! Tak! Tuk!”

Terdengar suara tongkat beradu dengan empat kepala gundul, disusul teriakan kesakitan empat orang itu. Empat batang golok terlempar, dan keempat orang pendeta itu langsung menghentikan serangan mereka.

Kini mereka mengelus-elus kepala gundul mereka yang ternyata telah benjol-benjol akibat dihajar tongkat. Lima orang pendeta itu langsung maklum bahwa kini mereka berhadapan dengan lawan yang amat pandai, maka tanpa banyak cakap lagi, tanpa memungut golok mereka, lima orang pendeta Lama itu segera lari tunggang langgang tanpa pamit!

Sejak tadi Mayang hampir tidak berkedip. Dia meloncat berdiri dan menghampiri Hay Hay, kini pandang dari sepasang mata yang jeli indah itu berubah. Penuh kagum, akan tetapi juga penuh dengan perasaan penasaran.

“Kau... kau... telah berpura-pura bodoh, ya?" bentaknya penuh teguran karena dia merasa dipermainkan pemuda ini. Hay Hay hanya tersenyum dan dia segera menghadap Kim Mo Siankouw dengan sikap hormat. Wanita itu sekarang bersikap angkuh ketika berkata dan bangkit berdiri.

"Orang muda, kita bicara di dalam!"

Hay Hay mengangguk, kemudian mengikuti wanita itu yang memasuki rumah bersama ibu Mayang. Gadis itu sendiri lalu mengikuti dari belakang, hatinya masih merasa dongkol terhadap Hay Hay karena dia merasa dibodohi, merasa dipermainkan pemuda itu dalam pertemuan pertama.

Wajahnya berubah kemerahan apa bila dia membayangkan semua peristiwa yang sudah terjadi sejak dia berjumpa dengan Hay Hay yang membakar gubuk dan pura-pura sebagai seorang pemuda yang lemah! Tidak tahunya, pemuda ini memiliki ilmu silat yang hebat, yang dengan amat mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama itu dan yang lebih hebat lagi, pemuda ini agaknya juga seorang ahli sihir!

Mereka kini duduk di dalam ruangan sebelah belakang. Hanya empat orang yang berada di ruang itu. Kim Mo Siankouw duduk di atas kursi yang ditilami sutera merah. Ibu Mayang duduk di sebelah kirinya, dan Mayang sendiri berlutut di atas lantai di sebelah kanannya, Hay Hay duduk pula di bangku berhadapan dengan mereka.

Untuk sejenak mereka hanya saling pandang saja. Ibu Mayang memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik. Kim Mo Siankouw menatap dengan pandang mata menyelidik pula seperti hendak mengukur dan menjenguk isi hati pemuda itu. Sedangkan Mayang sendiri memandang dengan wajah berubah-ubah, kadang -kadang penuh kagum, lalu penuh perasaan dongkol.

Hay Hay sendiri bersikap tenang saja. Walau pun dengan jelas dia dapat melihat keadaan hati mereka melalui wajah mereka, akan tetapi dia berpura-pura tidak tahu dan bersikap tenang, pada bibirnya terhias senyum.

Tiba-tiba Hay Hay terkejut karena merasakan suatu getaran yang sangat kuat datang dari wanita tua itu. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat betapa sepasang mata Kim Mo Siankouw mencorong laksana dua buah bintang yang memiliki sinar amat kuatnya. Maka tahulah dia bahwa wanita itu memandang kepadanya dengan pengerahan kekuatan batin untuk mengukur dirinya, karena sinar yang keluar dari mata wanita tua itu bukan bersifat menyerang, melainkan berusaha untuk membuka isi hatinya melalui pikiran, seakan-akan hendak memaksa dirinya mengaku.

Dia pun cepat mengerahkan tenaga batinnya dan menyambut sinar mata itu dengan sinar matanya sendiri sehingga terjadilah bentrokan antara dua kekuatan batin yang amat kuat. Sejenak mereka itu saling tatap, kemudian, ketika merasakan betapa sinar mata Kim Mo Siankouw melembut, Hay Hay juga cepat-cepat menarik kembali tenaganya dan dia pun menundukkan pandang matanya.

"Orang muda yang gagah, sekarang katakan terus terang kepadaku, siapakah yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadamu?" pertanyaan itu lembut namun tegas.

Hay Hay membutuhkan bantuan wanita sakti ini, maka dia pun tidak ragu untuk membuat pengakuan. "Yang mengajarkan kepada saya adalah mendiang suhu Pek Mau Sanjin dan Song Lojin."

Kim Mo Siankouw mengangguk-angguk, tidak lagi merasa penasaran melihat kehebatan orang muda itu dalam ilmu sihir setelah mendengar siapa gurunya.

"Dan siapa pula gurumu dalam ilmu silat?"

Dari pertanyaan ini saja telah membuktikan bahwa Kim Mo Siankouw memang mengenal keadaan mendiang Pek Mau Sanjin, seorang pertapa sakti yang sangat kuat dengan ilmu sihirnya, namun yang tidak pernah mempelajari ilmu silat.

"Kedua suhu saya adalah See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai."

"Siancai...!" Kini wanita tua itu nampak terkejut. "Kiranya engkau adalah murid dari dua di antara Delapan Dewa...! Ahh, Mayang, sungguh engkau beruntung sekali dapat bertemu dan bersahabat dengan pendekar muda ini!"

Akan tetapi Mayang cemberut. Biar pun dia merasa semakin kagum, tetapi juga semakin dongkol karena kebodohannya sehingga mudah saja dia dipermainkan Hay Hay, mengira bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang hanya memiliki kepandaian merayu saja, seorang pemuda yang menyenangkan namun lemah.

"Orang muda yang gagah, melihat deretan nama para gurumu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan kiranya engkau tidak perlu gentar menghadapi para pendeta Lama yang murtad dan sesat itu. Kenapa engkau masih ingin minta bantuanku?”

Hay Hay menarik napas panjang. Kini dia tak boleh berpura-pura lagi, harus menceritakan segata hal dengan sejujurnya.

"Locianpwe, sebenarnya saya tidak maju sendiri dalam menghadapi para pendeta Lama, melainkan berdua dengan sahabat baik saya itu, dan dia pun seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik ilmu silat mau pun ilmu sihir. Akan tetapi tetap saja kami merasa khawatir karena kami berada di Tibet, bukan di daerah kami. Apa lagi kalau diingat bahwa daerah ini berada dalam kekuasaan Dalai Lama yang agaknya terpaksa akan kami hadapi sebagai lawan."

Kim Mo Siankouw rnengerutkan alisnya dan nampak sangat terkejut. "Memusuhi Dalai Lama? Hemm, orang muda, sungguh mengejutkan sekali ucapanmu itu. Kenapa engkau dan sahabatmu memusuhi Dalai Lama?"

"Bukan kami yang memusuhi, melainkah Dalai Lama sendiri yang sejak lahirnya sahabat saya itu selalu mengganggu dan hendak menculik sahabat saya. Ketahuilah, locianpwe, sahabat saya itu bernama Pek Han Siong dan semenjak lahir dia selalu dicari dan hendak diculik oleh para pendeta Lama atas perintah Dalai Lama. Sahabatku itu dahulu dlsebut Sin-tong (Anak AJaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama adalah seorang calon Dalai Lama!"

"Hemmm, kiranya Sin-tong? Putera dari ketua Pek-sim-pang di Nam-co itu? Kami pernah mendengar mengenai peristiwa itu! Jadi sahabatmu itukah Sin-tong? Teruskan ceritamu, orang muda. Sungguh ceritamu mulai menarik hatiku."

Kim Mo Siankouw kini benar-benar merasa tertarik. Dia sudah mendengar akan Sin-tong yang pernah dicari oleh para pendeta Lama. Dia sendiri merupakan sahabat Dalai Lama dan dia sendiri tahu bahwa Dalai Lama mencari Sin-tong bukan dengan niat buruk.

"Keluarga Pek tidak merelakan putera mereka diambil oleh para pendeta Lima," Hay Hay melanjutkan ceritanya, "Hingga dewasa Han Siong bersembunyi dan dia menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi sampai kini para pendeta Lama itu agaknya masih terus mengejarnya. Akhir-akhir ini muncul tiga orang pendeta Lama di kota Hok-lam dan secara jujur mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Karena tidak ingin dia diganggu terus, Han Siong dan saya bekerja sama. Dia pura-pura terpengaruh oleh sihir tiga orang pendeta Lama itu dan menurut saja dibawa ke daerah ini. Dengan diam-diam saya membayanginya, maka terjadilah pertemuan antara saya dengan adik Mayang. Mendengar akan kesaktian locianpwe, juga melihat kehebatan adik Mayang yang tidak mempan sihir para Pendeta Lama. maka saya memberanikan diri untuk mohon bantuan Locianpwe dalam menghadapi para pendeta Lama, terutama untuk membujuk Dalai Lama agar tidak lagi mengejar-ngejar sahabat saya Pek Han Siong itu."

Kim Mo Siankouw menarik napas panjang. "Benar-benar aneh! Ketahuilah, orang muda, bahwa Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama adalah tiga orang pendeta Lama tokoh-tokoh besar di Tibet yang pernah memberontak terhadap Dalai Lama. Mereka telah dihadapi para pengikut Dalai Lama, gerombolan mereka sudah dihancurkan dan mereka melarikan diri. Maka sungguh aneh sekali jika sekarang mereka itu mengaku utusan Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Hemmm, tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Dan sahabatmu itu sekarang seorang diri berada di antara mereka, tentu dibawa ke puncak Bukit Bangau dan hal ini sungguh berbahaya. Baiklah, aku akan membantumu karena tertarik oleh peristiwa ini, juga karena aku adalah sahabat baik Dalai Lama yang agaknya nama besarnya hendak dicemarkan. Memang, ketika Dalai Lama mendapatkan ilham bahwa calon Dalai Lama yang baru sudah terlahir sebagai Sin-tong, tentu saja dia berusaha menarik Sin-tong untuk dididik sebagai calon Dalai Lama. Namun hal itu terjadi dengan suka rela, dengan cara damai, tidak boleh ada pemaksaan sama sekali. Bila ada pemaksaan terhadap Pek Han Siong, maka hal itu tidak sesuai dengan sikap Dalai Lama dan merupakan hal yang tidak wajar. Nanti pada saat matahari telah naik tinggi, aku akan menemanimu naik ke Bukit Bangau. Sekarang engkau boleh beristirahat dahulu, orang muda. Mayang, engkau persiapkan sebuah kamar untuk tamu kita."

Tentu saja Hay Hay menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih, lalu mengikuti Mayang meninggalkan ruangan itu menuju ke sebelah dalam bangunan besar itu.

"Nah, ini kamarmu, engkau boleh beristirahat sekarang," kata Mayang ketika mereka tiba di sebuah kamar tamu yang sudah bersih karena memang di situ terdapat kamar-kamar tamu yang siap pakai.

Melihat sikap Mayang, Hay Hay lalu tersenyum. "Mayang, aku berterima kasih padamu. Gurumu suka membantu kami, dan semua ini berkat engkau, Mayang. Bila tidak bertemu denganmu, bagaimana mungkin aku bertemu dengan subo-mu."

Akan tetapi dengan cemberut gadis itu berkata singkat, "Tak usah berterima kasih kepada aku seorang gadis yang bodoh!" katanya, kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Hay Hay.

Pemuda ini terbelalak, lalu cepat mengejar. Mayang memasuki taman bunga yang indah, lantas duduk di atas bangku di dekat kolam ikan emas. Mendengar ada suara di sebelah belakangnya, dia segera membalik dan ternyata Hay Hay telah berdiri di belakangnya.

"Mau apa engkau ke sini? Engkau disuruh beristirahat, bukan?" kata Mayang, suaranya mengandung keheranan, namun juga masih ketus dan terutama sekali pandang matanya tidak menyamankan rasa hati Hay Hay.

"Wah, bagaimana aku bisa beristirahat kalau engkau seperti ini, Mayang? Suaramu yang ketus akan terus meledak-ledak di dalam telingaku, wajahmu yang cemberut akan terus menghantuiku, dan pandang matamu seperti hendak mencekik leherku. Amboi, dewi yang jelita, apakah gerangan dosa hambamu ini maka paduka marah-marah kepada hamba?”

Akan tetapi sekali ini Mayang tidak tertawa melihat ulah Hay Hay, bahkan kerut di kening gadis itu semakin mendalam dan mulutnya yang cemberut menjadi semakin meruncing. Dengan gerakan marah dia membuat dua kuncir tebal yang tadinya bergantung di depan dada melayang dan berpindah ke punggungnya.

Mata yang sipit itu basah, hidung yang agak besar itu cupingnya bergerak lembut, mulut yang kecil kemerahan itu membentuk bundaran runcing, kedua pipi yang putih mulus dan biasanya kemerahan itu kini menjadi merah padam. Akan tetapi bagi Hay Hay kelihatan semakin cantik manis saja!

"Tidak perlu menjual rayuan! Aku juga tahu bahwa aku adalah seorang gadis bodoh dan tolol, tidak sehebat engkau ini pendekar jagoan yang serba bisa!"

"Astaga! Ini namanya marah benar-benar! Mayang sayang, siapa yang mengatakan bahwa engkau gadis bodoh dan tolol? Biar kugampar mulut orang yang berani memakimu seperti itu!"

Gadis itu tadinya memutar tubuh membelakangi Hay Hay yang hanya dapat mengagumi pinggulnya yang bulat besar membusung. Tiba-tiba dia membalik dan sepasang kuncirnya turut pula melayang ke depan, secepat gerakan pecutnya, suaranya pun meledak dalam serangan yang mendadak dan mengejutkan.

"Engkau yang menghina dan memaki aku!"

Hay Hay memandang bengong. "Aku? Ya ampun dewiku! Aku menghina dan memakimu? Akan kupukuli kepala ini kalau berani! Engkau sudah menolongku, engkau telah bersikap ramah dan baik, engkau begini manis dan jelita, dan engkau sahabat baikku. Bagaimana mungkin aku menghina dan memakimu?”

"Engkau masih berani menyangkal? Bukankah ketika bertemu dengan aku, engkau sudah berlagak bodoh? Engkau berlagak seakan-akan seorang pemuda yang lemah? Bukankah itu berarti bahwa engkau sudah mempermainkan aku, bahwa engkau sudah menganggap aku bodoh dan karenanya menghinaku? Hayo katakan! Hayo katakan bahwa engkau tidak menganggapku bodoh! Engkau telah mempermainkan aku, membikin aku merasa bodoh dan malu bukan main! Ihhhh... ingin aku menghajarmu!"

Barulah Hay Hay mengerti dan diam-diam dia pun menyesal. Dia tidak pernah bermaksud mempermainkan gadis ini, sama sekali tidak. Bila dia berpura-pura, hal itu adalah karena dia memang sengaja ingin menyembunyikan kepandaiannya, tidak ingin diketahui bahwa dia memiliki ilmu kepandaian.

Hal ini penting baginya karena bukankah dia sedang membayangi para pendeta itu, dan bukankah dia sedang bertugas untuk menyelidiki rahasia para pendeta Lama? Tadi pun di depan Kim Mo Siankouw, karena terpaksa saja dia harus mengeluarkan ilmunya, karena dia tak mungkin dapat mengelak lagi ketika harus menghadapi pengeroyokan lima orang pendeta Lama yang lihai. Apa lagi karena agaknya mata Kim Mo Siankouw tajam sekali, dapat menduga bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian. Dan dia pun kini maklum bahwa tentu saja Mayang merasa dipermainkan.

"Aduhh, Mayang, maafkanlah aku. Sungguh mati, demi Langit dan Bumi aku bersumpah, bukan maksudku mempermainkan engkau, sayang. Terus terang saja, tadinya memang aku hendak menyembunyikan kepandaianku, bukan hanya darimu, akan tetapi juga dari subo-mu dan dari semua orang. Ingat bahwa aku mempunyai tugas penting bersama Han Siong, menyelidiki keadaan para pendeta Lama. Kalau aku memperlihatkan kepandaian, tentu akan menghadapi banyak kesukaran. Sungguh mati, Mayang, aku tidak bermaksud menghinamu. Kalau engkau merasa begitu, maukah engkau mengampuni aku, sayang? Lihat, aku jujur, aku mau minta ampun, bila perlu aku akan berlutut di depan kakimu untuk minta ampun. Mayang, ampunkan aku."

Dan Hay Hay benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. Tentu saja Mayang menjadi terkejut sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya sehingga Hay Hay berlutut di belakang sepasang bukit pinggul yang besar itu.

“Taihiap, engkau... engkau bangkitlah, jangan berlutut seperti itu!" katanya, suaranya tidak begitu ketus lagi biar pun masih kering.

“Ampun! Engkau menyebut aku taihiap lagil Ya ampun, Mayang, kalau engkau tidak mau menyebut namaku dan mengatakan bahwa engkau mengampuni aku, sampai mati pun aku tidak akan bangkit dan akan berlutut terus sampai dunia kiamat!"

Mau tak mau Mayang tersenyum sendiri mendengar ini. "Aku tidak percaya! Mana kedua lututmu kuat bertahan kalau menanti sampai dunia kiamat!"

Legalah hati Hay Hay mendengar ucapan yang nadanya sudah mengajak berkelakar itu. “Tentu akan kuat, asalkan engkau juga terus berdiri di depanku. Mari kita sama-sama lihat saja siapa yang kuat dan siapa yang tidak. Hayo, Mayang, lekas katakan bahwa engkau suka mengampuni aku. Aku berjanji bahwa selama hidupku, aku tidak akan berpura-pura bodoh lagi kepadamu!"

Senyum di bibir gadis itu makin melebar walau pun dia belum memutar tubuh. "Huh, siapa mau makan akalmu? Berpura-pura bodoh pun tidak ada gunanya karena aku sudah tahu!"

"Sudah tahu bahwa aku bodoh?"

"Sudah tahu bahwa engkau pan...dir!" Hay Hay cemberut. Semula disangkanya gadis itu akan mengatakan ‘pandai’, tidak tahunya berubah menjadi ‘pandir’.

"Nah, engkau telah membalas memaki aku. Kini sudah satu lawan satu, bukan? Mayang, hayolah, katakan bahwa engkau telah mengampuni aku. Kedua lututku sudah mulai nyeri dan lelah nih!"

Mayang tak dapat menahan ketawanya lagi. Dia membalik dan tersenyum. "Baiklah, Hay Hay, aku memaafkanmu. Semenjak tadi pun aku telah memaafkanmu, kalau tidak begitu, tentu aku tidak akan sudi bicara denganmu."

Hay Hay bangkit berdiri dan mereka saling pandang dengan wajah berseri-seri. "Aku pun sudah menduga bahwa engkau tentu akan suka memaafkan aku, Mayang. Seorang gadis yang manis dan jelita seperti engkau ini sudah pasti memiliki watak yang baik.”

"Huh, merayu lagi! Sekali diberi kesempatan, engkau tentu akan terus merayu. Hay Hay, aku masih merasa penasaran. Engkau begini baik kepadaku, akan tetapi kenapa engkau tega mempermainkan aku? Bahkan ketika kita berjalan melewati tebing itu, engkau pura-pura ketakutan sehingga terpaksa harus kugandeng tanganmu. Mengapa engkau begitu kejam mempermainkan aku?"

Hay Hay tersenyum. "Bukan mempermainkanmu, Mayang. Pertama-tama aku hanya ingin menyembunyikan keadaan diriku demi keamanan dan kepentingan penyelidikanku. Akan tetapi melihat engkau semanis ini, aku lalu berpura-pura dan ketika engkau menggandeng tanganku, hemmm... tanganmu begitu lembut, lunak dan hangat sehingga aku tidak ingin melepaskannya "

"Ihhh! Engkau memang mata keranjang tak ketulungan lagi!" Mayang berkata, akan tetapi wajahnya berubah merah sekali dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, agar jangan sampai salah tingkah, dia pun tertawa.

Dan sejak detik itu hati Mayang sudah jatuh cinta kepada pemuda yang demikian pandai merayu dan menyenangkan hatinya ini. Dia memang sudah merasa suka ketika pertama berjumpa dengan Hay Hay, dan rasa suka itu kini ditambah rasa kagum melihat betapa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi, maka timbullah perasaan cinta.

"Sudahlah, Hay Hay. Tadi engkau disuruh beristirahat. Engkau sedang menghadapi tugas berat dan berbahaya. Beristirahatlah agar aku jangan sampai ditegur subo kalau melihat kita bercakap-cakap di sini."

Hay Hay maklum bahwa seorang seperti Kim Mo Siankouw tentu memiliki watak aneh dan tidak mengherankan apa bila kadang-kadang dia bersikap keras luar biasa. Dia tidak ingin menyusahkan Mayang, maka dia pun lalu meninggalkan gadis itu, menuju ke kamar yang sudah disediakan untuknya.


                  ***************

TIGA orang pendeta Lama yang membawa Han Siong dari Hok-lam sampai ke perbatasan Tibet itu memang merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet. Kim Mo Siankouw mengenal mereka sebagai tiga orang tokoh yang dulu menjadi pembantu-pembantu Dalai Lama dan kini menjadi tiga orang pimpinan sekelompok pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama.

Mula-mula jumlah mereka yang memberontak ini tidak kurang dari dua ratus orang. Akan tetapi, sesudah Dalai Lama dan para pengikutnya yang terdiri dari banyak orang pandai menghancurkan pemberontakan itu, jumlah mereka kini paling banyak tinggal lima puluh orang lagi.

Gunga Lama, Janghau Lama serta Pat Hoa Lama mengajak Han Siong naik ke puncak Bukit Bangau. Han Siong masih terus bersandiwara, pura-pura tunduk terhadap pengaruh sihir dan dia mengikuti mereka sambil diam-diam memperhatikan lingkungan bukit itu.

Ketika melihat ada puluhan orang pendeta Lama di puncak bukit, dengan diam-diam Han Siong merasa terkejut dan heran. Juga dia khawatir sekali. Bagaimana Hay Hay sanggup membayanginya terus kalau di puncak bukit ini terdapat demikian banyak pendeta Lama? Akan tetapi dia terus mengikuti dan dia mendengar betapa Pat Hoa Lama memerintahkan lima orang pendeta Lama untuk turun bukit dan mencari gadis bernama Mayang.

"Dia seorang gadis manis yang pekerjaannya menggembala dan mengawal pengiriman ternak. Tangkap gadis itu dan bawa ke sini, jangan melukainya, apa lagi membunuhnya!" demikianlah pesan Pat Hoa Lama kepada lima orang muridnya. Agaknya pendeta yang batinnya sesat dan menjadi hamba nafsunya sendiri itu masih merasa penasaran karena gadis yang membuatnya tergila-gila itu terlepas dari tangannya.

Setelah memerintahkan lima orang murid itu, Pat Hoa Lama dan kedua orang suheng-nya membawa Han Siong masuk ke dalam bangunan induk di puncak itu. Mereka mengajak pemuda itu duduk di dalam sebuah ruangan yang luas, lantas menghadapi pemuda yang duduk santai dan nampak tidak bersemangat itu.

"Pek Han Siong," terdengar Gunga Lama berkata, suaranya mengandung penuh wibawa. Sinar mata tiga orang itu menatap wajah Han Siong dengan dorongan tenaga sihir yang amat kuat. Han Siong merasa betapa jantungnya terguncang dan seluruh bagian tubuhnya tergetar.

Han Siong terpaksa menyerah, karena kalau dia mempergunakan kekuatan pada kalung kemalanya, dia khawatir kalau rahasianya ketahuan. Dia pun memejamkan matanya dan merasa betapa keadaan sekelilingnya berputaran dan dalam keadaan setengah sadar itu dia mendengar suara yang berwibawa itu.

"Pek Han Siong, mulai detik ini engkau adalah calon Dalai Lama! Ingatlah baik-baik, sejak lahir engkau telah ditakdirkan untuk menjadi Dalai Lama, maka engkau akan kami angkat menjadi Dalai Lama dan upacara pengangkatannya dilaksanakan siang nanti. Sekarang beristirahatlah engkau, tidurlah di kamar yang sudah dipersiapkan dan terimalah nasibmu yang mengangkat dirimu menjadi calon Dalai Lama"

Setengah terpaksa dan setengah sadar pula, Han Siong menjawab, "Saya mentaati...”

Gunga Lama dan dua orang sute-nya lalu bangkit. Gunga Lama menghampiri Han Siong, memegang lengannya dan pemuda itu dituntun ke sebuah kamar. Kemudian dia disuruh memasuki kamar.

Kamar itu cukup mewah dan di tengah kamar terdapat sebuah pembaringan. Han Siong yang merasa lesu dan lelah segera menghampiri pembaringan lalu merebahkan diri, dan sebentar saja dia sudah pulas!

Tiga orang pendeta Lama itu lalu memanggil anak buah mereka. "Jagalah dia baik-baik. Kalau dia bergerak dan sadar, beri tahu kepada kami!"

Ketiga orang pendeta Lama ini kemudian sibuk di dalam sebuah ruangan sembahyang, mempersiapkan upacara sembahyang besar untuk pengangkatan Pek Han Siong menjadi Dalai Lama! Telah dipersiapkan pula sebuah pisau untuk menggunduli kepala Han Siong, juga jubah pendeta Dalai Lama yang tersulam indah, bahkan sebatang tongkat komando sebagai tanda bahwa dia adalah Dalai lama yang berkuasa penuh!


                   ***************

Matahari telah naik tinggi, dan dari atap yang terbuka sinarnya menimpa gambar pat-kwa (segi delapan) yang berada tepat di tengah meja sembahyang. Ketika itulah tiga pendeta Lama menggugah Han Siong yang sedang tertidur nyenyak.

Pemuda itu terbangun dan segera teringat akan keadaannya. Ia cepat-cepat membiarkan dirinya seolah-olah hanyut lagi dalam gelombang kekuatan sihir, akan tetapi secara diam-diam dia menggunakan tangan kiri untuk menekan kalung kemala ke dadanya sehingga dia tidak begitu tenggelam ke dalam gelombang pengaruh sihir tiga orang kakek itu. Pada saat dia dituntun dan kemudian disuruh duduk bersila di atas kasur bundar di depan meja sembahyang, dia melihat semua perlengkapan upacara sembahyang itu.

"Losuhu, apa yang akan sam-wi (kalian bertiga) lakukan terhadap saya?" tanya Han Siong sambil menekan suaranya sehingga terdengar wajar saja.

Pada hal ketika itu dia merasa gelisah dan menduga-duga di mana adanya Hay Hay. Dia mengharapkan Hay Hay berada di dekat situ bila mana dirinya terancam sampai bahaya. Pertanyaan itu dia ajukan agar dia tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap dirinya.

Tiga orang pendeta itu saling pandang sejenak, agaknya terkejut dan heran ketika melihat bahwa pemuda itu masih mampu mengajukan pertanyaan, hal yang membuktikan bahwa pemuda itu tak sepenuhnya berada di bawah pengaruh sihir mereka. Akan tetapi mereka tidak merasa khawatir. Kini pemuda itu telah berada di dalam cengkeraman mereka, telah berada di sarang mereka. Andai kata tidak terpengaruh sihir pun, tidak mungkin dia akan mampu meloloskan diri lagi.

"Begini, Sin-tong," kata Gunga Lama. Dia sengaja menyebut Sin-tong kepada pemuda itu. "Sejak engkau dilahirkan, engkau sudah ditakdirkan menjadi Dalai Lama. Oleh karena itu kami akan mengadakan upacara sembahyang besar untuk mengangkat engkau menjadi Dalai Lama yang baru."

“Tapi... bukankah masih ada Dalai Lama...?”

"Hemm, dia sudah tidak patut menjadi Dalai Lama, dia sudah tersesat dan menyeleweng. Engkaulah yang seharusnya diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, kemudian kita akan menggulingkan Dalai Lama yang tua itu. Engkaulah yang berhak menjadi Dalai Lama dan menguasai seluruh Tibet!" kata Gunga Lama.

Biar pun tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, akan tetapi diam-diam Han Siong terkejut dan kini mengertilah dia, atau dia sudah dapat menduga apa yang dilakukan tiga orang ini. Ternyata dia bukan dihadapkan kepada Dalai Lama, melainkan oleh tiga orang ini hendak diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, sebagai Dalai Lama tandingan dengan maksud hendak merebut kedudukan Dalai Lama! Dia akan dijadikan Dalai Lama boneka, dan tentu selanjutnya semua kekuasaan berada di tangan tiga orang ini.

"Tidak, losuhu, aku tidak mau menjadi Dalai Lama!" Tiba-tiba saja Han Siong berseru dan terpaksa dia tidak dapat lagi bersandiwara.

Biar pun tadinya dia sudah hampir hanyut di dalam gelombang tenaga sihir mereka, tetapi berkat pengerahan tenaga batinnya dibantu khasiat kalung kemala dia dapat meronta dan melepaskan diri dari cengkeraman sihir. Kini dia pun meloncat berdiri. Dia merasa terlalu mengerikan kalau membayangkan bahwa dia dipaksa menjadi Dalai Lama untuk maksud pemberontakan!

Tiga orang pendeta itu terkejut setengah mati. Mereka tak menyangka bahwa pemuda itu dapat melepaskan diri dari belenggu sihir mereka. Tahulah mereka bahwa mereka terlalu memandang rendah kepada pemuda ini sehingga mereka berbuat lengah dan kurang kuat menguasainya.

"Pek Han Siong, engkau tak boleh menolak lagi!" Gunga Lama membentak dan dia sudah memegang tongkatnya yang memakai kelenengan hitam.

Janghau Lama juga telah meloloskan sabuknya yang mengerikan, yaitu sabuk hidup yang berupa seekor ular putih. Sementara Pat Hoa Lama juga sudah mengeluarkan sepasang cakar harimau yang merupakan senjata ampuhnya. Mereka segera membentuk segi tiga yang mengepung Han Siong.


cerita silat online karya kho ping hoo


Han Siong maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya. Selain tiga orang kakek yang dia tahu sangat lihai ini, juga puluhan orang pendeta yang melihat betapa dia sudah terlepas dari pengaruh sihir, kini sudah mengepung ruangan itu dengan senjata di tangan!


"Losuhu sekalian, harap tidak memaksaku," kata Han Siong untuk mencuri waktu sambil menunggu kemunculan Hay Hay. "Silakan saja kalau cu-wi Suhu hendak memberontak terhadap Dalai Lama, akan tetapi jangan membawa-bawa aku. Aku tidak memiliki urusan apa pun dengan para pendeta Lama di Tibet dan sejak kecil pun aku tidak suka dijadikan Dalai Lama."

"Orang muda, percuma saja engkau menolak. Lihat, engkau sudah kami kepung sehingga tidak mungkin engkau akan mampu meloloskan diri dalam keadaan hidup!" bentak Gunga Lama sambil memberi isyarat kepada dua orang sute-nya.

Mereka mencoba untuk menggertak serta menakut-nakuti pemuda itu. Mereka tidak tahu bahwa Han Siong adalah seorang pemuda gemblengan yang tentu saja tidak akan gentar menghadapi ancaman. Kematian bukanlah merupakan suatu hal yang terlalu menakutkan bagi seorang pemuda berjiwa pendekar seperti dia. Mati dalam kebenaran bahkan dapat membanggakan hati, sebaliknya hidup dalam keadaan sesat merupakan hal yang sangat dipantang.

“Bagaimana pun juga, kalian tidak akan dapat memaksaku untuk menjadi Dalai Lama dan membantu pemberontakan kalian," kata pula Han Siong.

Tiga orang pendeta Lama itu ternyata sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini, sesuai dengan isyarat yang dilakukan Gunga Lama, mereka bertiga sudah menubruk dari tiga jurusan untuk menangkap Han Siong. Akan tetapi pemuda ini sudah siap siaga. Dia cepat mengelak dan membalas dengan ayunan kedua lengannya dalam ilmu Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Pelangi Putih) yang menangkis ke tiga jurusan.

"Wuuuttt...! Wuuuttt...!"

Sepasang lengan itu mengeluarkan angin pukulan yang sangat kuat sehingga tiga orang penyerang itu terdorong ke belakang. Mereka makin terkejut, kemudian tiba-tiba mereka mengeluarkan teriakan parau yang rendah sekali, dan teriakan itu pelan-pelan meningkat menjadi tinggi. Mereka menggerak-gerakkan kedua tangan ke arah Han Siong.

Pemuda ini merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Selagi dia mengerahkan tenaga batinnya, terdengar pula suara gemuruh dan kiranya para pendeta Lama yang mengepung ruangan itu juga sudah mengeluarkan suara teriakan seperti itu. Tidak begitu kuat, tetapi karena keluar dari perut puluhan orang, tentu saja menjadi kuat bukan kepalang sehingga membuat tubuh Han Siong menjadi semakin menggigil.

"Hay Hay !" Han Siong masih ingat untuk memanggil kawannya itu. Akan tetapi tiga orang pendeta Lama itu sudah menubruk dan dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika tubuhnya ditotok sehingga dia pun roboh tak berdaya. Pengaruh sihir menguasainya lagi dan pikirannya menjadi gelap.

Han Siong tidak sadar. Dia tidak tahu betapa kini seluruh pakaiannya mulai dilucuti dan sebagai penggantinya, dia dibungkus dengan pakaian pendeta Dalai Lama yang hanya merupakan kain sutera yang dilibat-libatkan pada tubuhnya. Dia juga tidak melihat betapa sembahyangan sudah diatur di atas meja, lilin-lilin besar dinyalakan dan dupa dibakar.

Ketika Han Siong tersadar, dia mendapatkan dirinya sudah duduk bersila di depan meja sembahyang, seperti tadi sebelum dia memberontak. Walau pun kepalanya agak pening, namun dia sadar sepenuhnya!

Dia melirik ke arah kalung di lehernya. Batu kemala itu masih ada. Agaknya para pendeta tidak mencurigai batu kemala itu sehingga tidak dirampas dan dibiarkan tergantung pada lehernya. Dan berkat kekuatan batu kemala itulah maka kini Han Siong masih dapat sadar kembali dari pengaruh sihir.

Akan tetapi, ketika dia hendak menggerakkan tubuh, ternyata kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan. Dia dalam keadaan tertotok! Ini justru lebih hebat dari pada pengaruh sihir. Pengaruh sihir masih dapat dilawan kekuatan batinnya dibantu khasiat batu kemala, akan tetapi totokan itu membuat dia benar-benar tak berdayar tak mampu berkutik lagi.

Dia juga melihat betapa pakaiannya sudah berganti pakaian pendeta Lama! Jantungnya berdebar tegang. Apa lagi ketika dia melihat tiga orang pendeta Lama itu sedang berlutut di dekatnya, menghadap ke meja sembahyang dan berdoa. Doa yang terdengar aneh dan tidak dimengertinya.

Kemudian, setelah tiga orang itu selesai sembahyang, Gunga Lama memegang sebatang pisau yang mengkilap saking tajamnya. Nampak pula olehnya Janghau Lama memegang sebuah bokor emas berisi air kembang dan mulailah Janghau Lama membasahi rambut kepalanya, sedangkan Pat Hoa Lama memegangi kepalanya.

Tahulah dia. Dia akan digunduli! Dia akan dipaksa menjadi pendeta. Menjadi Dalai Lama! Akan tetapi apa daya? Dia tak mampu bergerak, bahkan ketika dia hendak mengeluarkan suara untuk membantah, suaranya pun tidak dapat keluar! Lehernya sudah tertotok pula, membuat dia tidak mampu bersuara!

Kini Gunga Lama menggunakan tangan kirinya menjambak rambut kepalanya, mulutnya mengeluarkan doa pendek dan tangan kanan yang memegang pisau tajam itu sudah siap untuk mencukur rambutnya! Beberapa detik lagi dia akan menjadi pemuda gundul. Gunga Lama menggerakkan tangan kanan yang memegang pisau dan...

"Tahan! Gunga Lama, engkau tidak boleh melakukan hal itu!"

Bentakan suara wanita yang nyaring ini membuat ketiga orang pendeta itu terkejut bukan main. Mereka mengangkat muka dan semakin kaget melihat munculnya seorang wanita tua yang masih cantik, bersama seorang pemuda dan seorang gadis manis yang bukan lain adalah Hay Hay dan Mayang. Mereka mengenal pula Kim Mo Siankouw karena dulu mereka sering melihat wanita sakti ini menjadi tamu dan sahabat Dalai Lama.

"Kim Mo Siankouw, engkau tidak boleh mencampuri urusan kami!" bentak Gunga Lama dengan marah tanpa melepaskan rambut kepala Han Siong yang sudah dijambak tangan kirinya.

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring sekali sehingga mengejutkan semua orang yang berada di sana. Suara nyaring itu keluar dari mulut Hay Hay. Melihat betapa rambut kepala sahabatnya terancam musnah, Hay Hay langsung mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya sambil dia mengeluarkan suara melengking itu untuk menjadi daya tarik pertama, lantas disusul teriakannya sambil menudingkan telunjuknya ke arah meja sembahyang. Dengan wajah nampak kaget disertai mata terbelalak, dia berseru,

"Lihat, meja sembahyang itu terbakar! Ada kebakaran! Kebakaran! Awasss...!" Dia sendiri melompat ke depan.

Semua orang terkejut. Tiga orang pendeta Lama itu menengok dan mereka pun terkejut melihat betapa meja sembahyang yang besar itu sudah berkobar dimakan api! Juga para pendeta Lama lainnya melihat kebakaran itu. Bahkan Mayang sendiri juga melihat meja itu terbakar!

Saking kaget dan gugupnya, Gunga Lama segera melepaskan rambut kepala Han Siong yang sedang dijambaknya, juga Pat Hoa Lama melepaskan kepala pemuda itu yang sejak tadi dipegangnya. Mereka bertiga cepat melompat berdiri menghampiri meja sembahyang dengan maksud untuk memadamkan api yang telah berkobar besar sehingga mengancam menimbulkan kebakaran besar di ruangan itu.

Akan tetapi setelah mereka bertiga tiba di dekat meja sembahyang mereka melihat bahwa tidak ada kebakaran apa pun di sana! Mereka terkejut dan menyadari bahwa mereka telah dipermainkan orang, namun ketika mereka membalikkan tubuh, mereka sudah terlambat.

Hay Hay sudah mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke dekat Han Siong dan membebaskan totokan pada tubuh sahabatnya itu. Kini Han Siong telah terbebas dan dia pun bersama Hay Hay meloncat ke dekat Kim Mo Siankouw.

Tiga orang pendeta itu marah bukan main. Gunga Lama menudingkan tongkatnya kepada wanita itu sambil membentak, "Kim Mo Siankouw, sungguh bagus perbuatanmu ini! Kami selamanya tidak pernah mencampuri urusanmu, akan tetapi hari ini engkau datang untuk menghina kami!"

Kim Mo Siankouw rnenjawab dengan sikap tenang akan tetapi sinar matanya mencorong. "Gunga Lama, kenapa engkau tidak bercermin lebih dahulu sebelum mencela orang lain? Pin-ni hendak bertanya padamu, apa yang telah kalian lakukan terhadap muridku Mayang ini? Ketika kalian memberontak terhadap Dalai Lama, pin-ni tidak ambil peduli karena itu bukan urusanku. Akan tetapi kalian berniat keji terhadap Mayang, bahkan kalian hendak memaksa pemuda ini menjadi Dalai Lama agar bisa kalian peralat dalam pemberontakan kalian. Tentu saja pin-ni tidak mau tinggal diam saja!"

"Kalian datang mengantar nyawa!" Gunga Lama berteriak marah, kemudian mengangkat tongkatnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya. "Serbu dan bunuh mereka semua! Tangkap Sin-tong...!"

Akan tetapi, Han Siong yang sudah menerima pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari tangan Hay Hay, di samping Hay Hay yang juga telah memegang pedang pusaka Hong-cu-kiam, kini sudah siap menyambut serangan mereka. Kim Mo Siankouw juga sudah siap dengan sebatang pedang pada tangannya, sebatang pedang pusaka yang disebut Kim-lian-kiam (Pedang Teratai Emas) karena pada gagangnya yang terbuat dari emas itu terukir bunga teratai. Juga Mayang sudah siap dengan senjatanya yang khas, yaitu sebatang cambuk!

Dengan tongkat saktinya yang memakai kelenengan, Gunga Lama yang merupakan tokoh pertama segera menyerang Kim Mo Siankouw. Terdengar suara kelenengan yang nyaring ketika tongkatnya itu menyambar. Akan tetapi sinar pedang di tangan Kim Mo Siankouw langsung menyambut dengan tangkisan, bahkan sinar pedang membalas cepat sehingga amat mengejutkan Gunga Lama. Keduanya segera bertanding dengan seru, dan segera bermunculan banyak pendeta Lama membantu sehingga Kim Mo Siankouw dikeroyok.

Dengan sabuk ular putihnya Janghau Lama menerjang ke arah Hay Hay. Hay Hay pura-pura ketakutan.

"Hiiihh, kenapa senjatamu ular? Menjijikkan sekali!" katanya sambil mengelak, akan tetapi sambil membalik pedangnya menyambar dan nampak sinar emas meluncur ke arah ular putih itu.

Janghau Lama terkejut sekali dan cepat menarik kembali ularnya sehingga ular itu luput dari sambaran sinar pedang. Hay Hay tertawa dan menyerang kembali. Namun lawannya cukup tangguh dan serangan balasan dengan ular berbisa itu amat berbahaya, maka biar pun dia tertawa-tawa, Hay Hay bergerak dengan sangat hati-hati. Seperti halnya Kim Mo Siankouw, dia juga segera dikeroyok oleh hampir sepuluh orang pendeta yang membantu Janghau Lama.

Han Siong cepat menyambut Pat Hoa Lama yang menggunakan senjata sepasang cakar harimau. Pedang Gin-hwa-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar perak dan dia pun langsung dikeroyok oleh banyak pendeta. Seperti juga Hay Hay, dia mengamuk dengan pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Hanya dalam beberapa gebrakan saja Pat Hoa Lama sudah terdesak, namun segera bermunculan delapan orang pendeta Lama yang mengeroyok Han Siong seperti yang terjadi pada Kim Mo Siankouw dan Hay Hay.

Melihat betapa gurunya, Hay Hay dan Han Siong telah terlibat perkelahian dan dikeroyok, Mayang menjadi khawatir akan tetapi juga marah sekali.

"Kalian ini pendeta-pendeta sungguh tidak tahu malu dan curang sekali! Beraninya hanya main keroyokan!" Sesudah membentak dan memaki-maki, gadis lincah ini lalu mengamuk pula di antara para pendeta yang membantu tiga orang tokoh besar itu.

Biar pun ruangan itu luas, tetapi dengan adanya perkelahian keroyokan ini, mereka mulai berpisah. Mayang sendiri tergeser keluar dari ruangan itu dan dikeroyok oleh enam orang pendeta Lama yang berusaha keras untuk menangkapnya.

Agaknya para pendeta pengikut para pendeta Lama pemberontak itu memang bukanlah pendeta-pendeta sejati, melainkan orang-orang yang pada dasarnya berbatin rendah, dan yang mempergunakan jubah dan kedudukan pendeta sebagai kedok saja untuk menutupi gejolak nafsu mereka yang masih menguasai diri.

Perkelahian berjalan semakin seru. Kim Mo Siankouw, Hay Hay, Han Siong dan Mayang harus menghadapi pengeroyokan kurang lebih enam puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi sehingga tidak mengherankan kalau mereka itu mulai terdesak. Sudah ada beberapa orang pengeroyok yang roboh, tetapi sisanya masih terlalu banyak bagi mereka, dan mereka mulai merasa lelah sesudah berkelahi selama hampir satu jam!

Kini tidak ada kesempatan lagi untuk melarikan diri. Mereka berempat dikeroyok secara terpisah, ada pun pihak pengeroyok terlalu banyak sehingga jangankan untuk melarikan diri, bahkan untuk bersatu dengan kawan-kawan saja mereka tidak sempat sama sekali. Datangnya serangan seperti hujan dan setiap serangan lawan cukup berbahaya.

Terutama sekali Mayang. Biar pun dia lihai dan lincah, namun di antara mereka berempat, boleh dikata dialah yang paling lemah. Masih untung baginya bahwa para pengeroyoknya jelas ingin menangkapnya hidup-hidup dan tidak ingin melukainya. Hal ini membuat gadis ini masih mampu bertahan sampai sekian lamanya biar pun dia sudah hampir kehabisan tenaga dan napas.

Gadis ini pun maklum mengapa para lawan itu tidak mau melukainya dan mengapa pula mereka hendak menangkapnya hidup-hidup. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah sehingga dia pun mengamuk dan mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati dari pada harus menyerah.

Yang terutama membuat dia muak dan hampir tidak tahan, hampir muntah atau pingsan adalah bau keringat para pengeroyoknya! Mereka mengenakan jubah, karenanya tubuh mereka mengeluarkan banyak keringat. Ditambah lagi, agaknya mereka jarang mandi dan jarang berganti pakaian sehingga bau tubuh mereka benar-benar memuakkan! Dia sudah terbiasa mencium bau ternak, domba atau sapi, akan tetapi tak pernah ada yang baunya sebusuk gerombolan orang yang mengeroyoknya itu!

Dengan kemarahan yang meluap dan kenekatan yang luar biasa, Mayang sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, namun tetap saja dia masih dikeroyok oleh sepuluh orang! Mungkin dia hanya dapat mengimbangi saja kalau menghadapi pengeroyokan lima atau empat orang di antara mereka, namun kini dia dikeroyok sepuluh!

Napasnya telah memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuh. Cambuknya masih meledak-ledak, akan tetapi ledakannya tidak senyaring tadi, tanda bahwa tenaganya telah banyak berkurang.

Kim Mo Siankouw adalah seorang wanita sakti. Kepandaiannya sangat tinggi dan seperti juga Hay Hay dan Han Siong, andai kata tidak dikeroyok oleh demikian banyaknya lawan, tentu Gunga Lama tidak akan sanggup menandinginya. Seperti dua orang pemuda sakti itu, dia dikeroyok oleh dua belas orang dan meski pun dia sudah merobohkan tiga orang pengeroyoknya, tetap saja masih ada sembilan orang pengeroyok yang mengepung ketat. Tongkat sakti Gunga Lama sendiri sudah sangat berbahaya, apa lagi para pembantunya juga merupakan pendeta-pendeta yang dulunya menjadi jagoan-jagoan dari Dalai Lama.

Demikian pula dengan Han Siong dan Hay Hay. Mereka berdua mengamuk secara hebat, akan tetapi mereka harus mengakui kebenaran berita yang pernah mereka dengar bahwa Tibet merupakan kedung atau gudangnya orang-orang yang berilmu tinggi. Baru sekarang mereka merasakan buktinya. Janghau Lama dan Pat Hoa Lama pasti tidak akan mampu menandingi mereka, akan tetapi dengan pengeroyokan seperti itu, mereka berdua merasa lelah dan juga terdesak.

Pada saat yang amat berbahaya bagi empat orang penyerbu itu, terutama bagi Mayang karena gadis ini mulai terhuyung-huyung dan nyaris tertangkap, tiba-tiba terdengar bunyi lonceng yang disusul dengan suara doa yang dilakukan banyak orang secara berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang di lakukan banyak orang secara berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang memanjang itu.

Mendengar ini wajah Gunga Lama dan teman-temannya menjadi pucat. Begitu mendengar suara itu, Pat Hoa Lama yang tadinya mengeroyok Han Siong segera menyusup lenyap di antara anak buahnya dan dia cepat berloncatan menghampiri Mayang. Ketika itu Mayang masih dikeroyok dan sudah terhuyung-huyung. Tiba-tiba saja Pat Hoa Lama meloncat di dekatnya dan menyambar tubuh Mayang.

Melihat ini, Kim Mo Siankouw mengeluarkan suara teriakan melengking, tubuhnya sudah mencelat meninggalkan Gunga Lama dan kawan-kawannya yang kelihatan bingung, dan dengan pedang di tangan dia sudah menghadang di depan Pat Hoa Lama.

"Pat Hoa Lama, lepaskan murid pin-ni!" bentaknya.

"Kim Mo Siankouw, biarkan aku pergi! Muridmu ini hanya kujadikan sandera supaya aku dapat meloloskan diri. Kalau engkau menghalangiku, terpaksa kubunuh dulu muridmu ini!" Berkata demikian, Pat Hoa Lama yang memanggul tubuh Mayang segera mendekatkan cakar harimaunya ke kepala Mayang kemudian dia pun melompat pergi.

Kim Mo Siankouw tertegun, tidak berani bergerak karena dia tahu bahwa kalau dia nekat menyerang, sebelum dia dapat merobohkan Pat Hoa Lama, tentu muridnya akan dibunuh lebih dulu oleh pendeta sesat itu. Sementara itu Gunga Lama bersama kawan-kawannya sudah menyerangnya lagi walau pun mereka berada dalam keadaan ketakutan.

Suara itu makin bergemuruh dan tiba-tiba muncullah Dalai Lama bersama para pendeta Lama yang jumlahnya kurang lebih seratus orang! Dengan sikap anggun dan agung Dalai Lama meloncat ke atas meja dan berdiri sambil memegang tongkatnya. Melihat ini, para pendeta pemberontak menjadi panik. Akan tetapi pada saat itu para pengikut Dalai Lama sudah menyerbu sehingga kacaulah keadaan para pemberontak.

Melihat munculnya Dalai Lama bersama para pengikutnya, Gunga Lama menjadi putus harapan dan nekat. Dia menggereng dan biar pun kini para pembantunya terpaksa harus menghadapi para pendeta dari Lasha, dengan marah dan nekat dia lantas menggunakan tongkatnya menyerang Kim Mo Siankouw. Wanita ini cepat menyambut dengan tangkisan pedangnya.

“Tranggg…!”

Pedang itu meleset dan terus meluncur ke arah perut Gunga Lama. Pendeta itu memutar tongkat sehingga gagang tongkat menangkis pedang, tetapi pada saat itu pula tangan kiri Kim Mo Siankouw menyambar ke arah kepalanya dengan tamparan yang amat dahsyat!

Gunga Lama terkejut. Sesudah kini tidak dibantu oleh kawan-kawannya, dan wanita sakti itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dia pun segera terdesak. Karena tidak dapat menangkis tamparan itu, dia terpaksa mengelak dengan loncatan mundur, namun Kim Mo Siankouw sudah meloncat dan mengejar dengan sambaran pedang bertubi-tubi.

Gunga Lama mencoba untuk menangkis, akan tetapi mendadak tubuhnya mengejang dan dia roboh sambil mendekap dada dengan tangan, tongkatnya terlempar. Ternyata dengan kecepatan kilat, pedang di tangan Kim Mo Siankouw tadi sudah berhasil menembus dada dan jantungnya sehingga robohlah Gunga Lama dan tewas seketika.

Hampir berbareng dengan robohnya Gunga Lama, Janghau Lama juga roboh oleh pedang Han Siong. Janghau Lama juga ditinggalkan kawan-kawannya yang terpaksa menghadapi pengeroyokan para pendeta pengikut Dalai Lama yang jumlahnya lebih banyak. Kini Hay Hay mendesak sehingga Janghau Lama hanya dapat mengelak ke sana-sini karena leher ular putihnya juga sudah putus akibat terbabat pedang Hong-cu-kiam.

Hay Hay memang suka mempermainkan orang. Apabila dia mau, tentu dia dapat segera merobohkan lawan ini dengan pedangnya. Akan tetapi ia sengaja menyerang ke sana-sini sehingga membuat kakek yang tinggi kurus itu berloncatan dan mengelak seperti seekor monyet menari-nari.

Melihat ini, Han Siong yang sudah ditinggalkan lawannya merasa dongkol. Sahabatnya itu tadi datang hampir terlambat sehingga nyaris saja dia menjadi seorang pendeta gundul! Dia pun menerjang dan cepat menggerakkan Gin-hwa-kiam di tangannya. Janghau Lama mengeluarkan jerit tertahan lalu terjungkal roboh, lehernya hampir putus karena sambaran Gin-hwa-kiam.

“Hay Hay, kenapa engkau masih juga main-main? Aku hendak menyusul gadis itu!”

"Mayang? Ke mana dia? Apa yang terjadi?" Hay Hay terkejut.

"Pendeta sialan yang tadi melawanku telah menangkapnya dan membawanya pergi. Aku hendak mengejarnya!" Sesudah berkata demikian, Han Siong lantas melompat dan lari ke arah dilarikannya Mayang oleh Pat Hoa Lama tadi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan lembut namun kuat bukan main dari arah kiri.

"Heii, orang muda, berhenti kau!"

Han Siong terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja kedua kakinya tidak mampu bergerak, seperti tertahan oleh sesuatu! Dia segera menengok dan melihat seorang pendeta Lama tua berdiri di atas meja, berdiri tegak menonton perkelahian itu dan pendeta itu memegang sebatang tongkat.

Melihat pendeta ini, Han Siong menduga bahwa tentu ini adalah seorang di antara kawan-kawan Gunga Lama, maka dia pun cepat meloncat dengan pedang di tangan, menyerang pendeta tua yang berdiri di atas meja itu. Akan tetapi dengan sikap tenang pendeta tua itu menggerakkan tongkatnya menangkis.

"Tranggg...!"

Akibatnya tubuh Han Siong terlempar ke belakang oleh tenaga tangkisan yang amat kuat itu. Han Siong terkejut bukan main. Pendeta ini sungguh sakti. Dia melompat maju untuk menyerang kembali, akan tetapi kini pendeta itu mengebutkan lengannya yang terbungkus jubah yang berupa kain dibalutkan di tubuh itu. Angin keras menyambar dan kembali Han Siong terlempar!

"Omitohud... engkau adalah orang muda yang kuat dan tangkas, namun sungguh sayang mau dijadikan Dalai Lama palsu. Engkau tidak boleh diampuni lagi...” kata pendeta Lama tua itu lantas dia pun meloncat turun dari atas meja, tongkatnya melintang di depan dada, siap untuk menerjang Han Siong yang juga sudah bersiap siaga menjaga diri, tidak berani sembarangan menyerang lagi karena maklum akan kehebatan lawan.

“Losuhu, tahan dahulu...!” tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Kim Mo Siankouw telah meloncat ke tengah-tengah di antara mereka. "Losuhu, harap jangan menyerang pemuda ini!"

Pendeta Lama tua itu adalah wakil Dalai Lama yang mewakili Dalai Lama sendiri bila ada urusan keluar sehingga dia lebih dikenal di tempat umum dari pada Dalai Lama sendiri. Bahkan banyak yang menyebut bahwa dialah Dalai Lama, pada hal hanya wakilnya.

"Omitohud... kiranya Kim Mo Siankouw. Kenapa engkau mencegah pinceng menghukum orang muda yang jahat ini, Siankouw? Dan mengapa pula engkau melindungi orang yang hendak memberontak kepada pinceng?"

"Siancai... Losuhu salah mengerti. Sejak kapan pin-ni mencampuri urusan Losuhu? Akan tetapi kalau pin-ni membiarkan Losuhu membunuhnya, maka Losuhu jatuh ke dalam dosa yang besar sedangkan pin-ni juga bersalah membiarkan terjadinya pembunuhan atas diri orang yang tidak berdosa. Pemuda ini tidak pernah bersekutu dengan para pemberontak, Losuhu. Bahkan hampir saja dia menjadi korban, dipaksa menjadi Dalai Lama yang baru untuk dijadikan alasan oleh para pemberontak itu untuk merampas kedudukan. Sejak dia terlahir, para pendeta Lama mengejar-ngejar dia, dan sekarang hampir saja dia dijadikan alat untuk merampas kedudukan Losuhu. Dia adalah Pek Han Siong yang dahulu dijuluki Sin-tong."

"Omitohud... begitukah? Orang muda she Pek, kalau begitu maafkan pinceng," kata wakil Dalai Lama yang oleh banyak orang sudah dianggap sebagai Dalai Lama sendiri karena dia memiliki kekuasaan dan wewenang sepenuhnya dalam mewakili Dalai Lama. "Kiranya engkau adalah anak dari Nam-co yang dahulu dicalonkan menjadi pengganti Dalai Lama akan tetapi selalu menolak?"

Han Siong memberi hormat, "Sejak dahulu sampai sekarang, baik keluarga mau pun saya sendiri tidak mempunyai minat untuk dijadikan Dalai Lama, Locianpwe. Karena itu tadinya saya ingin menghadap Dalai Lama untuk mohon agar saya tidak dikejar-kejar lagi.”

Pendeta tua itu tersenyum. "Kami tak pernah memaksa orang menjadi Dalai Lama orang muda. Biar pun semenjak dalam kandungan engkau memiliki tanda-tanda bahwa engkau adalah penitisan Dalai Lama, namun kalau engkau menolak maka kami menganggap hal itu sebagai garis nasibmu yang sudah ditentukan dan kami tidak berani melawan takdir. Sudah ada petunjuk untuk memilih calon lain."

Sementara itu pertempuran sudah berakhir. Sisa para pemberontak sudah menyerah dan ditawan. Sekarang barulah Kim Mo Siankouw bingung mencari Mayang yang tadi ditawan oleh Pat Hoa lama.

"Ehh, di mana muridku Mayang? Ke mana dia dibawa pergi?"

“Tadi saya melihat dia dilarikan seorang pendeta Lama dan sekarang sedang dikejar oleh Hay Hay," kata Han Siong.

"Ahhh, kalau begitu aku harus mengejar dan mencarinya!" seru Kim Mo Siankouw sambil melompat, akan tetapi dia masih menoleh kepada pemuda itu. "Ke mana dia dilarikan?"

“Ke arah sana, Locianpwe."

Kim Mo Siankouw berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Han Siong. Pemuda itu pun cepat mengejar karena dia ingin membantu kalau-kalau Hay Hay menghadapi bahaya di sana.


                 ***************


"Lepaskan aku...! Lepaskan... ahhh… tolooongg...!”

"Diam kau!" Pat Hoa Lama cepat menotok leher gadis itu sehingga Mayang tidak mampu berteriak lagi.

Tadi dia disambar oleh Pat Hoa Lama yang menotoknya dan memanggulnya kemudian melarikannya. Karena merasa sangat lelah dan ngeri, Mayang pun jatuh pingsan di dalam panggulan pendeta sesat itu. Ketika dia siuman, biar pun tak mampu bergerak, dia segera menjerit-jerit sampai dia terdiam oleh totokan pada lehernya.

Pendeta itu menuju ke lereng bukit yang berbatu-batu di mana terdapat banyak goa dan memasuki salah satu di antara goa-goa di bukit kapur itu. Dia menarik sebuah kaitan besi yang tersembunyi di antara tonjolan batu-batu lalu terdengar suara keras. Dinding sebelah dalam dari goa itu bergerak dan nampaklah sebuah lubang yang cukup dimasuki seorang manusia. Dia menyelinap masuk membawa tubuh Mayang dan mendorong kembali kaitan besi dan batu itu pun bergerak lagi menutupi lubang.

Dari luar takkan ada orang dapat menduga bahwa di goa itu ada pintu rahasia. Kiranya di balik batu itu ada ruangan goa yang cukup luas dan di sana terdapat perabot sederhana seperti tempat tidur dan meja kursi. Bahkan terdapat pula bahan-bahan makanan. Goa ini merupakan tempat persembunyian rahasia yang sudah dipersiapkan olehnya kalau-kalau gerakan mereka gagal sehingga mereka harus melarikan diri dan menyembunyikan diri.

Pat Hoa Lama membaringkan tubuh Mayang di atas dipan bambu, lalu dia duduk di tepi pembaringan dan tertawa. “Ha-ha-ha, di sini engkau boleh menjerit seseukamu. Dinding ini tidak tembus suara dan tidak akan ada orang yang mampu mendengarmu, ha-ha-ha!”

Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Pat Hoa Lama membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Mayang dapat mengeluarkan suara kembali. Akan tetapi Mayang bukanlah seorang gadis yang bodoh. Biar pun dia merasa takut dan ngeri, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta itu tidak berbohong sehingga selain percuma saja kalau dia menjerit, juga hal ini hanya akan menambah kegembiraan pendeta yang sadis ini.

Mayang memutar otaknya. Meski pun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi dia bukan seorang gadis yang terkekang. Dia bebas menggiring dan mengirimkan ternak dari satu daerah ke lain daerah sehingga dia banyak mendengar, banyak pula melihat.

Dan dia pun bukan seorang gadis yang buta huruf. Kim Mo Siankouw telah mengajarnya membaca dan menulis sehingga dia sudah banyak pula membaca kitab. Dia tahu tentang kejahatan orang seperti pendeta sesat ini, dan dengan hati ngeri dia pun maklum bahaya apa yang mengancam dirinya.

Namun tidak mungkin subo-nya mendiamkannya saja. Subo-nya pasti akan mencarinya. Juga Hay Hay! Tidak mungkin Hay Hay diam saja. Dia harus pandai mengulur waktu dan karena dia tidak mampu bergerak, satu-satunya cara hanya melalui percakapan.

"Losuhu, engkau adalah seorang pendeta Lama yang hidup suci dan bersih. Tapi kenapa engkau menawanku dan apa yang akan kau lakukan kepada seorang gadis seperti aku?"

Pendeta itu menyeringai. Nampaklah giginya yang tinggal empat buah, besar-besar dan menghitam. "He-he-he, nona manis! Engkau masih bertanya lagi mengapa kau kutawan? Pertama, karena engkau seorang gadis yang amat manis dan aku tergila-gila kepadamu. Ke dua, engkau adalah muridnya Kim Mo Siankouw dan bersama gurumu engkau sudah membikin gagal rencana kami. Apa yang akan kulakukan kepadamu? He-he-heh, sedang kupikirkan. Aku harus membalas dendam. Engkau bersama gurumu telah membasmi dan menghancurkan semua rencana kami. Kini kawan-kawanku sudah tewas. Hemm, dosamu besar sekali!"

"Akan tetapi, kulihat tadi yang membasmi gerombolanmu adalah pendeta-pendeta Lama juga! Apa bila tidak ada mereka yang datang, subo dan kami semua agaknya akan kalah," bantah Mayang untuk membela diri dan mengulur waktu.

"Hemmm…, yang menjadi biang keladi adalah engkau! Engkau harus dihukum berat. Ya, engkau harus menebus semua dosamu, mernbayar semua kerugianku."

Diam-diam Mayang menggigil. Kenapa subo-nya atau Hay Hay belum juga datang?

"Losuhu, kalau engkau menggangguku, menyakiti atau sampai membunuhku, tentu sekali waktu subo akan dapat menemukanmu dan dia tentu akan menyiksamu untuk membalas kematianku! Dan engkau tahu betapa lihainya subo!" Dia menggertak.

"Heh-heh-heh! Kalau dia tahu! Tetapi dia tidak akan tahu. Dia tidak akan berhasil mencari kita. Tempat ini adalah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh kami bertiga. Sekarang hanya aku seorang yang tahu. Kita akan berdiam di sini sampai mereka pergi. Di sini ada makanan, ada air, dan aku memiliki teman yang manis! Heh-heh-heh!"

Pat Hoa Lama tertawa dan jari-jari tangan kanannya mengelus dagu Mayang, membuat seluruh bulu di tubuh gadis itu meremang. Wajahnya menjadi pucat sekali dan perasaan takut membuat jantungnya seperti hendak pecah.

"Losuhu, ingatlah bahwa engkau seorang pendeta yang seharusnya melakukan perbuatan baik. Kau ampunilah aku, Losuhu, dan kalau engkau suka membebaskan aku, maka aku berjanji akan membujuk subo agar dia tidak mengganggumu lagi dan suka melepaskan engkau."

"Apa?! Membebaskanmu? Huh, aku belum gila! Engkau berdosa besar! Dengar apa yang akan kulakukan kepadamu! Membunuhmu begitu saja akan terlalu enak bagimu. Aku akan mempermainkan engkau, menjadikan engkau budakku yang menuruti segala perintahku. Sesudah aku bosan maka engkau akan kuberikan kepada gerombolan biadab yang hidup di hutan-hutan Pegunungan Himalaya sebelah utara. Kau tahu apa yang akan dilakukan manusia-manusia setengah binatang itu kepada seorang wanita? Ha-ha-ha, engkau akan dikeroyok oleh banyak laki-laki seperti binatang itu sampai engkau mati! Akan tetapi tidak usah khawatir, hal itu baru akan terjadi setelah aku bosan denganmu, ha-ha-ha!"

Dapatlah dibayangkan betapa takut dan ngeri rasa hati gadis itu. Tanpa terasa lagi kedua matanya basah air mata. "Losuhu... aku mohon kepadamu... kau... kau bunuhlah saja aku sekarang juga! Aku lebih suka mati...!"

"Ha-ha-ha-ha!" Pendeta yang sudah kerasukan setan itu tertawa bergelak, gembira sekali mendengar rintihan korbannya. "Sekarang saja engkau sudah minta mati, apa lagi kalau kelak engkau sudah kuserahkan kepada gerombolan orang biadab itu, ha-ha-ha! Engkau akan memilih seribu kali mati dari pada terjatuh ke tangan mereka. Akan tetapi sebelum itu engkau akan menjadi budakku lebih dahulu, menuruti segala kemauanku dan engkau akan hidup senang, heh-heh-heh!"

Mayang menyadari sepenuhnya bahwa meratap dan memohon tidak akan ada gunanya terhadap manusia berhati binatang itu, maka timbul kembali kekerasan hatinya. Teringat dia akan nasehat gurunya bahwa lebih baik mati sambil mengaum seperti seekor harimau dari pada hidup merengek-rengek dan menjerit-jerit seperti seekor babi.

"Pendeta palsu berhati iblis! Kau sangka aku sudi mentaatimu? Huhh, engkau dapat saja menyiksaku, dapat membunuhku, juga dapat memaksa tubuhku, tetapi hatiku akan selalu membencimu. Dan ingat, aku akan selalu mencari kesempatan untuk membunuhmu atau membunuh diri!"

"He-heh-heh ! Kau kira engkau bisa melakukan itu? Ha-ha-ha, sebentar lagi engkau akan berlutut dan merengek-rengek kepadaku, minta kucinta dan kusayang. Aku tahu, engkau kebal terhadap sihir, akan tetapi aku memiliki bubuk racun ini yang akan membuat dirimu kehilangan ingatan, kehilangan segalanya dan menjadi hamba nafsu. Ha-ha, pasti engkau akan menyenangkan sekali, manis."

"Tidak! Lebih baik aku mati!" Mayang lalu menggerakkan mulut untuk menggigit lidahnya sendiri.

Akan tetapi agaknya Pat Hoa Lama telah menduga mengenai hal ini. Cepat sekali tangan pendeta itu bergerak menotok lehernya dan leher itu pun langsung terkulai, Mayang tidak mampu lagi menggerakkan mulutnya. Kini hanya matanya saja yang menitikkan air mata, menyesal sekali mengapa dalam kemarahannya tadi dia mengatakan keinginannya untuk membunuh diri. Kalau tidak, tentu lidahnya sudah tergigit putus dan dia akan tewas atau menjadi cacat.

"Ha-ha-ha, engkau takkan dapat membunuh diri, manis. Engkau bahkan akan ingin hidup terus, haus akan cintaku, haus akan belaianku. Ha-ha-ha!"

Tangan pendeta itu bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika dia merenggut robek dan lepas semua pakaian yang menutupi tubuh Mayang. Gadis itu tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara, hanya air matanya saja yang bergerak turun di atas kedua pipinya yang pucat.

Sesudah mencabik-cabik seluruh pakaian gadis itu, Pat Hoa Lama terkekeh-kekeh sambil memandang tubuh korbannya dengan mata yang liar dan lapar, muka kanak-kanak yang makin mengerikan lagi, tubuhnya yang tinggi bongkok itu nampak semakin bongkok ketika dia mengeluarkan sebuah bungkusan. Jari-jari tangannya lalu membuka bungkusan yang terisi bubuk hitam itu, sedangkan matanya tak pernah melepaskan tubuh Mayang.

Pat Hoa Lama menuangkan bubuk hitam itu ke dalam sebuah mangkok, kemudian sambil tertawa-tawa dia menuangkan arak seperempat mangkok dan mengaduk bubuk obat itu dengan arak.

"Nah, manis. Kau minumlah ini, enak rasanya, rasa arak biasa. Engkau akan mabok dan pulas, setelah terbangun, ha-ha-ha-ha, engkau akan menjadi liar dan binal, sebinal seekor kuda betina, ha-ha-ha!” Dia pun menghampiri pembaringan.

Mayang tidak mampu bergerak mau pun mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang terbelalak ketakutan. Pat Hoa Lama duduk di tepi pembaringan, tangan kirinya memegang dagu Mayang, jemari tangannya memaksa mulut gadis itu terbuka dan tangan kanan yang memegang mangkok sudah siap untuk menuangkan isi mangkok itu ke dalam mulut yang sudah terbuka lebar ini.

"Brakkkkk...!"

Dinding batu itu ambrol ke dalam. Pat Hoa Lama terkejut bukan main sampai mangkok itu terlepas dari tangannya, jatuh ke atas lantai dan pecah sehingga isinya mengalir hitam di atas lantai batu. Sesosok bayangan berkelebat dan Hay Hay sudah berdiri di hadapan Pat Hoa Lama! Begitu melihat Hay Hay, gadis itu menangis tanpa suara, hanya air matanya saja yang membanjir keluar dan tubuhnya terguncang-guncang!

Sekali lirik tahulah Hay Hay akan keadaan Mayang dan dia menjadi marah bukan main. Tadi dia mengalami kesulitan ketika melakukan pengejaran karena yang dikejar lenyap di lereng berbatu-batu itu. Dengan hati-hati dan teliti sekali dia terus mengikuti jejak, melihat batu-batu yang berserakan, hingga akhirnya dia mendengar jerit melengking dari Mayang ketika gadis itu minta tolong dan sebelum dia ditotok gagu.

Dengan penuh ketelitian dia dapat menemukan goa itu dan dia pun merasa curiga melihat bentuk dinding yang rata itu. Akhirnya, dengan mempergunakan sebongkah batu sebesar perut kerbau, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan batu besar itu ke dinding sebelah dalam goa itu. Dinding itu pun jebol dan ternyata dia menemukan Pat Hoa Lama di sebelah dalam, sudah siap untuk meminumkan sesuatu kepada Mayang, gadis yang sudah tidak mampu bergerak dan dalam keadaan telanjang bulat itu.

"Keparat jahanam!" Dengan kemarahan meluap yang membuatnya seperti gila, Hay Hay mencabut Hong-cu-kiam dan menyerang pendeta yang masih terkejut dan bingung itu.

Dalam kegugupannya, tanpa sadar pendeta itu menangkis sinar emas pedang pusaka itu dengan lengan kirinya. Segera dia menjerit karena lengan itu langsung terbabat putus, dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, pedang itu sudah menembus lehernya. Pat Hoa Lama terjengkang, roboh dan tewas seketika!

Hay Hay cepat-cepat merenggut jubah pendeta itu sebelum tergenang darah, kemudian dia menyelimuti tubuh Mayang dengan jubah yang lebar itu, dan dibebaskannya gadis itu dari totokan gagu dan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh.

"Hay Hay... ahh, Hay Hay... hu-hu-hu-huuuhh !" Mayang bangkit merangkul dan menangis di pundak Hay Hay.

"Tenanglah, Mayang. Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa kedatanganku belum terlambat," kata Hay Hay, diam-diam merasa bersyukur sekali, karena dia dapat menduga bahwa jika satu menit saja dia terlambat dan gadis itu sudah minum cairan hitam itu, entah apa yang akan terjadi dengan gadis manis itu.

Mayang menangis mengguguk sampai Hay Hay merasa betapa air mata itu menembus bajunya sehingga membasahi pundak dan dadanya, "Hay Hay..., hu-hu-huuuu...dia... mau meracuni aku... membikin aku kehilangan ingatan… kemudian katanya… kalau dia sudah merasa bosan... dia akan memberikan aku kepada gerombolan manusia biadab setengah binatang... hu-hu-huuuu...!”

Hay Hay mengepal tinju. Jahanam betul pendeta itu, pikirnya. Dia menepuk-nepuk pundak yang kini terselimuti jubah itu dan mengelus rambut yang halus itu. “Sudahlah, Mayang. Engkau sudah selamat, dan dia sudah mati. Jangan menangis lagi, Mayang. Kalau terlalu banyak menangis, nanti matamu membengkak, kemerahan dan mukamu menjadi jelek!"

Mendengar kata-kata ini, dengan agak tergesa-gesa Mayang mengangkat wajahnya dari pundak pemuda itu, menyusut air matanya lalu memandang kepada Hay Hay, di bibirnya sudah membayangkan senyum!

"Bagaimana, Hay Hay, apakah aku menjadi jelek sekali?”

Hay Hay hampir bersorak. Gadis ini luar biasa. Baru saja terbebas dari bahaya maut, tapi sekarang sudah dapat tersenyum bahkan sudah memperhatikan kecantikan wajahnya!

"Wah, sekarang engkau bertambah manis, Mayang. Kedua pipimu menjadi begini merah, seperti buah apel masak "

Sepasang mata yang agak membengkak itu menatap sayu. "Hay Hay, aku... aku sangat berterima kasih kepadamu. Aku... aku hutang budi, hutang kehormatan, bahkan hutang nyawa kepadamu... selama hidupku tak akan kulupakan..."

"Hushhh! Memangnya aku ini tukang kredit, memberi hutang begitu banyak macamnya? Mana kau bisa bayar? Sudahlah, kita bikin lunas saja, engkau tidak hutang apa-apa, aku tidak menghutangkan sesuatu. Bisa enak tidur, bukan?”

“Aku berterima kasih! Aku... aku…”

Tiba-tiba Mayang merangkul leher Hay Hay dan mencium pipi pemuda itu dengan kuat, satu kali di kanan satu kali di kiri, kemudian tubuhnya menjadi lunglai dan menangis lagi, kini mukanya disembunyikan pada dada Hay Hay.

Hay Hay menjadi bengong dan kalau saat itu ada orang lain melihatnya, kedua matanya nampak juling saking kaget dan herannya. Kedua pipinya masih terasa senut-senut bekas ditimpa hidung dan bibir Mayang. Lalu dia tersenyum dan memeluk kepala itu penuh rasa sayang.

"Engkau anak nakal, bikin aku kaget setengah mati," akan tetapi dia membiarkan Mayang menangis lirih di dadanya.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di sana sudah berdiri Kim Mo Siankouw dan Han Siong! Melihat adegan mesra itu, Hay Hay memeluk seorang gadis bugil yang hanya berselimut jubah pendeta dan yang menangis di dadanya, Han Siong segera berdehem.

Dasar mata keranjang, pikirnya. Kalau sudah menolong gadis itu, kenapa pakai dirangkul-rangkul dan bermesraan? Tidak cepat-cepat membawanya keluar dari goa itu? Tentu saja pertanyaan ini hanya diteriakkan oleh hati Han Siong, sedangkan mulutnya tinggal diam.

Kim Mo Siankouw memandang ke arah mereka, lalu ke arah mayat Pat Hoa Lama yang menggeletak tanpa nyawa dan tanpa jubah, juga ke arah tumpukan robekan dari pakaian muridnya. Tentu saja dia merasa khawatir bukan kepalang, namun juga bersyukur bahwa agaknya pemuda lihai itu telah berhasil menyelamatkan muridnya.

“Mayang…" Dia memanggil muridnya.

Mayang cepat mengangkat mukanya. Melihat subo-nya telah datang, dia lalu melepaskan diri dari Hay Hay dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan wanita itu sambil menangis, “Subo...!”

Kim Mo Siankouw merasa heran. Biasanya Mayang adalah seorang gadis yang sangat tabah dan dia belum pernah melihat gadis itu menangis. Akan tetapi sekarang demikian mudahnya gadis itu menangis. Baginya hal ini merupakan suatu tanda bahwa muridnya itu sedang dilanda cinta.

"Sudahlah, Mayang, hentikan tangismu. Bagaimana pun juga engkau sudah terhindar dari malapetaka, bukan?"

Mayang mengangguk cepat. "Teecu selamat berkat pertolongan Hay Hay, Subo."

Kim Mo Siankouw memandang pemuda itu yang sedang berbisik-bisik dengan Han Siong.

“Hay Hay, kurang ajar sekali engkau! Engkau terlambat sehingga aku hampir saja celaka. Dan sekarang kembali engkau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan terhadap nona itu," bisik Han Siong yang menegurnya.

Hay Hay tersenyum. "Tenanglah, Sin-tong (Anak Ajaib). Seorang pendeta dilarang keras untuk merasa iri dan mendongkol."

Han Siong terbelalak. "Pendeta...? Apa maksudmu?"

"Lihat jubahmu. Engkau seorang pendeta berkedudukan tinggi, bukan?"

Han Siong baru teringat bahwa dia masih mengenakan jubah seorang pendeta Lama! Dia cemberut oleh godaan itu, akan tetapi segera tersenyum, karena bagaimana pun juga dia berterima kasih atas semua bantuan Hay Hay. Kini semua rahasia sudah terungkap dan dia tidak akan dikejar-kejar lagi oleh para pendeta Lama! Ketika itulah Kim Mo Siankouw menghampiri Hay Hay.

"Orang muda, engkau telah menyelamatkan Mayang, namun sekaligus membuat muridku itu selamanya akan bergantung kepadamu. Pin-ni (aku) harap engkau tidak akan kepalang menolongnya dan tidak akan mengecewakan harapan kami." Sesudah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengajak muridnya keluar dari dalam goa.

Hay Hay memandang kepada Han Siong dan berbisik, "Apakah gerangan yang tadi dia maksudkan?"

Han Siong tersenyum gembira. Kini dia mendapatkan giliran untuk menggoda sahabatnya yang mata keranjang itu. "Hemm, apakah engkau masih belum tahu atau pura-pura tidak tahu? Engkau telah menyelamatkan gadis manis itu dari mala petaka, dan melihat kalian tadi bermesraan seperti itu, hemmm...ke mana lagi larinya urusan ini kalau tidak berakhir dengan pernikahan?"

Hay Hay menganggap ucapan itu hanya kelakar, maka dia pun tertawa saja. Akan tetapi dia lalu teringat akan sikap dan kata-kata Mayang tadi. Mayang mengatakan bahwa dia berhutang budi, kehormatan dan nyawa, dan bahwa gadis itu selama hidupnya tidak akan melupakannya, kemudian gadis itu telah menciumi kedua pipinya! Sekarang guru gadis itu berkata demikian, dan mengharapkan agar dia tidak mengecewakan mereka.

"Wah,wah, wah...!” tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali karena dia teringat pula akan keadaan tubuh gadis itu yang bugil pada waktu dia menolongnya. Jantungnya berdebar kencang ketika pemandangan itu terbayang kembali. "Wah... pernikahan... ya ampun...!”

Dia memegangi kedua pipinya, matanya nanar menatap wajah Han Siong yang sedang mentertawakannya.


                  *****************

Dengan dikawal oleh tujuh pendeta Lama, wakil Dalai Lama menerima undangan Kim Mo Siankouw dan datang berkunjung ke rumah wanita sakti itu di puncak Awan Kelabu. Juga Hay Hay dan Han Siong terpaksa tidak dapat menolak undangan Kim Mo Siankouw, apa lagi karena mereka pun ingin bicara dengan wakil Dalai Lama.

Mereka dijamu dengan masakan-masakan yang tidak mengandung daging binatang, dan dalam kesempatan ini Han Siong menceritakan penderitaannya sejak terlahir sehubungan dengan pengejaran para pendeta Lama terhadap dirinya.

"Jangan khawatir, Pek-taihiap," kata wakil Dalai Lama. "Mulai saat ini juga tidak akan ada pengejaran lagi. Sesungguhnya, sudah sejak lama kami tidak mencarimu, semenjak kami yakin bahwa Taihiap tidak suka menjadi seorang pendeta. Sungguh kami tak menyangka bahwa Taihiap hendak dimanfaatkan oleh para pemberontak. Mereka ingin mengangkat Taihiap untuk menjadi Dalai Lama tandingan, lantas mempengaruhi para pendeta di Tibet untuk mengakui Taihiap sebagai Dalai Lama sejati yang baru. Hal itu amat berbahaya dan mungkin saja usaha mereka itu akan berhasil karena Taihiap memang mempunyai ciri-ciri untuk menjadi Dalai Lama. Akan tetapi sekarang, calon Dalai Lama yang baru sudah ada dan kami sudah membebaskan Taihiap."

Tentu saja Han Siong merasa girang sekali. Seperti diangkat sebongkah batu besar yang selama ini menekan perasaannya dan yang membuatnya selalu merasa tidak aman.

Karena hari telah menjelang senja dan perjalanan ke Lasha masih jauh dan tidak mungkin dilakukan pada waktu gelap, maka wakil Dalai Lama menerima dengan senang hati ketika Kim Mo Siankouw mengundangnya untuk melewatkan malam di rumahnya yang besar itu. Juga dua orang pemuda yang sudah diterima sebagai tamu terhormat bahkan sahabat itu mendapatkan dua buah kamar.

Malam itu pintu kamar Han Siong diketuk orang. Dia membuka daun pintu dan seorang pelayan wanita nampak berdiri sambil memberi hormat. "Maaf kalau saya mengganggu, Pek-taihiap. Saya diutus oleh Siankouw untuk mengundang Taihiap ke ruangan belakang karena Siankouw ingin membicarakan hal yang penting dengan Taihiap."

Tentu saja Han Siong merasa heran. Akan tetapi dia tidak membantah, segera mengikuti pelayan itu menuju ke ruangan belakang. Di ruangan itu telah menanti Kim Mo Siankouw dan seorang wanita setengah tua yang dikenalnya sebagai ibu Mayang.

"Duduklah, Pek-taihiap dan terima kasih bahwa Taihiap suka memenuhi permintaan kami untuk datang ke sini," kata Kim Mo Siankouw.

"Terima kasih," kata Han Siong sesudah memberi hormat, kemudian duduk di atas kursi berhadapan dengan dua orang wanita itu. "Ada keperluan apakah yang hendak Siankouw bicarakan dengan saya?”

Kim Mo Siankouw tersenyum dan Han Siong merasa kagum. Wanita yang usianya sudah enam puluh tahun ini masih anggun dan kelihatan jauh lebih muda dari usia sebenarnya kalau sedang tersenyum.

"Harap jangan merasa kaget jika malam-malam begini kami mengundangmu, Pek-taihiap. Sebetulnya kami hanya mengganggu saja, karena kami hanya membutuhkan keterangan darimu mengenai sahabatmu itu, yaitu Hay Hay." Karena Mayang selalu menyebut nama Hay Hay begitu saja, maka nama itu menjadi dikenal sekali dan baik ibunya mau pun Kim Mo Siankouw juga menyebutnya Hay Hay.

Han Siong melebarkan matanya dan memandang heran. "Keterangan tentang Hay Hay? Mengapa? Apa yang Siankouw maksudkan? Apakah dia masih diragukan setelah jasanya yang besar? Saya berani menanggungnya bahwa dia seorang yang baik dan..."

“Bukan begitu maksud kami, Taihiap. Sebaiknya kami berterus terang saja. Sebenarnya, kami, yaitu pin-ni dan juga ibu Mayang telah mengambil keputusan hendak menjodohkan Mayang dengan Hay Hay. Oleh karena Taihiap adalah sahabat baiknya, maka kami ingin mengetahui segalanya tentang dia."

Wajah Han Siong berseri dan senyumnya melebar. Hatinya lega, dan dia bahkan merasa girang sekali. Bagus, pikirnya. Sekarang tiba saatnya kuda jantan yang binal itu dipasangi kendali! Kalau sudah beristeri, tentu tidak akan berani bersikap mata keranjang lagi!

Dan dia melihat bahwa Mayang juga seorang gadis yang hebat, sudah sepantasnya jika menjadi isteri Hay Hay. Dia cukup manis, cukup pandai dan cukup galak. Amat diperlukan seorang isteri yang galak untuk bisa mengendalikan watak Hay Hay yang mata keranjang itu. Dan aku akan membantu agar perjodohan ini tidak gagal, pikirnya mantap.

"Begitukah, Siankouw? Saya merasa ikut bergembira dengan niat baik itu. Nah, apa yang perlu ji-wi (anda berdua) ketahui?"

Kim Mo Siankouw menoleh kepada ibu Mayang dan berkata, "Nah, sekarang katakanlah apa yang ingin kau ketahui."

Dengan sikap malu-malu wanita itu memandang Han Siong. Seorang wanita yang cantik seperti puterinya, pikir Han Siong. Namun sinar matanya sayu mengandung kedukaan sehingga dia merasa kasihan. Agaknya wanita ini pernah menderita batin, pikirnya.

"Apakah yang ingin Bibi ketahui dari saya? Harap katakan saja dan saya akan memberi keterangan segala yang saya ketahui," kata Han Siong sesudah melihat sikap wanita itu yang seperti sungkan-sungkan.

"Hay Hay itu... dia... dia she (marga) Tang dan bernama Hay?" sambil berkata demikian, wanita itu menatap tajam wajah Han Siong.

Han Siong termenung sejenak. Kalau sampai diketahui Kim Mo Siankouw bahwa Hay Hay adalah putera Ang-hong-cu penjahat besar yang cabul, maka jelas bahwa tali perjodohan itu akan gagal. Dan orang sakti seperti Kim Mo Siankouw tentu pernah mendengar akan nama Ang-hong-cu itu.

"Ah, biasanya kami semua sahabatnya hanya mengenalnya sebagai Hay Hay begitu saja. Dulu dia pernah mengaku bahwa dia she Siangkoan. Akan tetapi kemudian dia mengaku bahwa she-nya adalah Tang. Agaknya dia sendiri tak begitu menghiraukan tentang nama keturunannya."

"Siapakah nama ayahnya yang she Tang itu?" Ibu Mayang mendesak.

"Saya tidak tahu, Bibi." Han Siong mengerutkan alisnya. "Bahkan Hay Hay sendiri juga tidak mengetahuinya. Pernah dia bercerita kepada saya bahwa ketika dia masih kecil, dia diaku anak oleh suami isteri keluarga Siangkoan. Kemudian dia mendengar bahwa ibunya sudah tewas di laut dan bahwa ayahnya juga tidak ada, mungkin sudah tewas pula. Dia seorang sebatang kara, tak pernah melihat ayahnya mau pun ibunya. Kasihan sekali dia, mungkin karena kesengsaraan yang dideritanya sejak kecil itulah maka dia menutupinya dengan sifatnya yang gembira dan jenaka. Akan tetapi dia seorang yang sangat baik hati, seorang pendekar sejati, hal ini saya berani tanggung!”

Ibu Mayang mengangguk-angguk dan nampaknya puas dengan jawaban itu. Kini Kim Mo Siankouw yang bertanya.

"Engkau tahu benar bahwa dia belum mempunyai isteri atau tunangan, Pek Taihiap?'

Han Siong menggelengkan kepalanya. "Belum, Siankouw. Hal ini saya tahu benar karena kalau dia sudah bertunangan atau menikah, tentu memberi tahu kepadaku dan tentu aku mengetahuinya. Dia masih sendiri, sebatang kara, tidak ada keluarga sama sekali! Hanya punya sahabat baik, di antaranya saya. Para pendekar mengenal siapa Hay Hay, karena dia pernah berjasa besar ketika bersama para pendekar lain membantu pemerintah dalam membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Giam-lo." Sengaja Han Siong memuji-muji temannya supaya perjodohan benar-benar dijadikan. Dia ingin melihat sahabatnya itu terikat dan tidak binal lagi....

























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12