Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 17
Mayang tetap
sederhana, bahkan rambutnya tidak disisir rapi, agak awut-awutan namun bahkan
menjadi semakin manis! Kemanisan yang wajar seorang gadis, bukan kecantikan
karena riasan. Di samping gadis itu terdapat seorang wanita lain yang pantasnya
menjadi kakak Mayang karena ada banyak persamaan di wajah mereka. Kalau Mayang
bagaikan kuncup mulai mekar, wanita itu adalah bunga yang sudah mekar
sepenuhnya. Keduanya sama menariknya!
Hay Hay
memandang mereka, dari yang satu kepada yang lain. Inikah subo dari Mayang?
Inikah wanita pertapa yang berjuluk Kim Mo Siankouw itu? Memang seorang wanita
yang cantik dan anggun, akan tetapi dia tidak melihat alasan mengapa wanita
berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Rambutnya hitam seperti rambut
Mayang, tapi tersisir rapi dan tidak awut-awutan seperti rambut gadis itu.
"Locianpwe
yang mulia, saya Tang Hay datang menghaturkan hormat, mohon Siankouw sudi
memaafkan kelancangan saya...” kata Hay Hay dengan penuh hormat.
Hay Hay
menghaturkan penghormatan seperti yang diberikan kepada seorang permaisuri atau
raja. Namun dia terbelalak dan bengong memandang kepada Mayang karena gadis itu
tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, tangan kiri menutup mulut dan tangan kanan
meraba perut karena merasa geli.
"Ehhh,
Mayang, ada apakah? Apakah... apakah aku kurang sopan dan kurang hormat?” tanya
Hay Hay, benar-benar tidak mengerti kenapa gadis itu tertawa-tawa geli seperti
itu.
Gadis yang
tadi tertawa sambil membungkuk itu mengangkat mukanya memandang. Saat melihat
pemuda itu bengong dan mendengar pertanyaan tadi, tawanya kembali meledak,
sampai terkekeh-kekeh dan ada air mata keluar dari kedua matanya yang
bersinar-sinar. Akhirnya ketawanya mereda setelah wanita di sampingnya menegur halus.
"Mayang,
tidak sepantasnya engkau tertawa seperti itu."
Mayang
memandang Hay Hay, wajahnya masih penuh tawa. "Hay Hay, ini bukan subo,
ini adalah ibuku, hi-hi-hik!” Gadis itu menahan ketawanya.
Kini wajah
Hay Hay seketika menjadi merah. Dia pun mengangkat muka dan memandang lagi
kepada wanita itu, mengamati dengan penuh perhatian. Kemudian, sesudah menarik
napas panjang dia pun berkata. "Ahhh, pantas... sungguh pantas, akan
tetapi juga tidak patut sekali...”
Mendengar
kata-kata yang tidak karuan maknanya ini, Mayang berbalik menjadi bengong.
"Apa maksudmu, Hay Hay? Ucapanmu tidak karuan. Kau bilang pantas akan
tetapi juga tidak patut! Bagaimana pula itu?"
"Memang
pantas sekali menjadi ibumu karena mirip denganmu, Mayang, dan pantas pula
engkau demikian cantik manis karena ibumu juga begini cantik jelita. Namun
tidak patut menjadi ibumu karena dia masih terlalu muda, patutnya menjadi
kakakmu!"
Mayang tidak
merasa heran mendengar pemuda mata keranjang ini memuji kecantikan ibunya, akan
tetapi wanita itu terbelalak, mukanya berubah merah sekali.
"Mayang!
Siapakah dia ini? Orang macam apa yang kau bawa berkunjung ini? Apakah dia
waras, tidak gila?"
Mendengar
pertanyaan ibunya, gadis itu kembali tertawa geli sambil menatap wajah Hay Hay.
"Hati-hati, ibu, jangan-jangan engkau akan jatuh ke dalam rayuan mautnya.
Memang Hay Hay ini seorang perayu maut yang amat berbahaya bagi setiap orang
wanita."
Hay Hay
segera teringat akan keadaan dirinya yang kini sedang berada di tempat orang,
tempat berbahaya pula karena penghuninya adalah seorang pertapa wanita sakti.
Cepat dia memberi hormat kepada ibu Mayang dengan sikap sopan, lantas berkata,
"Harap Bibi sudi memaafkan saya yang selalu suka terus terang sehingga
mungkin terdengar kurang ajar. Bukan maksud saya untuk merayu, melainkan untuk
berterus terang. Maafkan, saya Tang Hay dan...”
"She
Tang...?” Tiba-tiba wanita itu membelalakkan matanya dan menatap wajah Hay Hay,
lalu dia mengeluarkan jerit kecil tertahan, “Kau... kau... matamu dan hidungmu
itu... ihhh, dan engkau she Tang pula... Orang muda, cepat katakan, siapakah
ayahmu?"
Hay Hay
terkejut. Dia mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan siapa ayahnya bila
tidak amat perlu, maka dia pun menarik napas panjang. "Saya tidak tahu
siapa ayah saya, Bibi, karena ayah telah pergi sejak saya berada dalam
kandungan dan mungkin dia sudah mati."
"Ibu,
mengapa Ibu terkejut mendengar she dari Hay Hay? Dan Ibu menyinggung mata dan
hidungnya! Ada apakah, ibu...?" Mayang kini juga bersikap sungguh-sungguh
karena dia pun terkejut dan heran melihat sikap ibunya.
Wanita itu
telah dapat menguasai dirinya. "Ahh, tidak apa-apa. Aku hanya merasa
seperti pernah melihat pemuda ini. Akan tetapi, Mayang, bagaimana engkau dapat
berkenalan dengan pemuda yang... eh, mata keranjang ini? Mau apa kau bawa dia
ke sini? Siankouw bisa marah kalau...”
“Orang muda
kurang ajar ini harus pergi sekarang juga!" Mendadak terdengar bentakan
halus dari sebelah dalam.
Mendengar
suara ini ibu Mayang cepat membungkuk, lantas merangkap kedua tangannya memberi
hormat. Juga Mayang segera menjatuhkan diri berlutut di dekat ibunya, sikapnya
amat hormat.
Hay Hay
mengangkat muka memandang. Yang rnuncul di ambang pintu memang sangat
menakjubkan, seperti bukan manusia ketika mendadak muncul di situ, dengan sikap
yang lembut dan anggun sekali. Sukar dapat dipercaya bahwa seorang wanita
berusia enam puluh tahun masih seperti itu!
Rambutnya
yang bercampur uban itu berwarna keemasan! Kulit mukanya nampak lembut tanpa
keriput, matanya mencorong dan bibirnya masih kemerahan namun terhias senyum
aneh. Tubuh, wajah dan sikap wanita ini pantasnya terdapat pada sebuah patung,
seperti arca Kwan Im Pouwsat saja!
Tanpa
dibuat-buat, di dalam hati Hay Hay timbul perasaan hormat terhadap wanita ini,
maka dia pun cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada,
kemudian berkata dengan suara lantang.
"Mohon
maaf sebesarnya dari Siankouw akan kelancangan saya yang telah berani datang
dan menghadap Siankouw tanpa diundang. Saya memberanikan diri datang menghadap
Siankouw untuk memohon pertolongan, karena saya mendengar bahwa Siankouw adalah
seorang manusia berbudi luhur, seorang pertapa yang mencari penerangan dan
tentu akan selalu menjulurkan tangan untuk menolong yang membutuhkan bantuan.
Atas pertolongan Siankouw yang sakti dan suci, sebelumnya saya Tang Hay
menghaturkan banyak terima kasih dan akan selalu berdoa semoga semua budi
kebaikan Siankouw akan tercatat oleh para Malaikat dan Thian yang akan berkenan
membalas semua amal perbuatan Siankouw yang berbudi sehingga kalau dalam
kehidupan yang sekarang saya tidak dapat membalas segala kebaikan Siankouw yang
mulia, semoga dalam kehidupan mendatang saya akan dapat menebusnya dan...”
“Sudah,
cukup... cukup...!” Kim Mo Siankouw berkata sambil menahan ketawanya ketika
mendengar kata-kata yang berderet-deret tanpa ada putusnya itu. "Engkau
lelaki perayu, dengan kata-katamu yang indah, suaramu yang merdu, ucapanmu yang
manis, sungguh engkau seorang yang palsu dan berbahaya sekali bagi kaum wanita.
Engkau harus pergi dari sini!" Sambil berkata demikian, seperti orang yang
merasa jengkel, wanita itu lantas menggerakkan tangannya ke arah kepala Hay
Hay.
Pemuda ini
mendengar angin berdesir dan dia terkejut bukan main. Biar pun nampaknya hanya
mengebutkan tangan, akan tetapi sesungguhnya gerakan itu merupakan serangan
yang sangat dahsyat dan berbahaya bukan main! Maka, agar jangan kentara bahwa
dia mengelak, pada saat itu dia segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ke
arah wanita berambut keemasan itu sambil mengangguk-angguk memberi hormat.
“Siankouw yang
sakti, Siankouw yang budiman, Siankouw yang agung, tolonglah saya, tolonglah
sahabat saya...”
Kim Mo
Siankouw agak terbelalak dan dia menoleh kepada Mayang. “Mayang, dari mana
engkau memperoleh pemuda perayu ini dan apa kehendakmu membawa orang semacam
ini kepadaku? Hayo jawab yang sejujurnya!" Ucapannya halus akan tetapi
mengandung teguran dan perintah.
Sambil
berlutut Mayang lalu menjawab, "Harap Subo sudi memaafkan teecu (murid).
Subo (ibu guru) tentu maklum bahwa teecu tidak akan berani berlancang hati
untuk membawa seorang tamu pria datang menghadap subo. Akan tetapi telah
terjadi peristiwa yang cukup hebat, yang teecu anggap cukup penting bagi Subo
untuk mengetahuinya. Pertama-tama, agar Subo ketahui bahwa tadi teecu sudah
bentrok dengan tiga orang pendeta Lama yang memimpin para pendeta Lama di
puncak Bukit Bangau."
Kim Mo
Siankouw terkejut walau pun hal ini hanya nampak pada pandang matanya dan
kerutan alisnya. "Hemmm, sudah kukatakan bahwa engkau tidak boleh
berurusan dengan mereka. Urusan pemberontakan terhadap Dalai Lama bukanlah
urusan kita dan kita tidak perlu mencampuri."
"Maaf,
Subo. Bukan maksud teecu untuk mencampuri, tetapi secara kebetulan saja teecu
bertemu dengan mereka bertiga itu di kedai makan di dusun Wang-kan dalam perjalanan
teecu pulang mengantar ternak ke kota Cauw-ti. Mereka makan di sana bersama
seorang pemuda. Ketika mereka melihat teecu, seorang di antara mereka
menghampiri teecu dan pura-pura minta derma, akan tetapi teecu merasakan betapa
dia menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai pikiran teecu. Tadi malam teecu
datang ke gubuk di luar dusun di mana mereka menanti dan dengan sihir pendeta
Lama itu menarik teecu datang. Karena teecu menganggap mereka itu jahat sekali,
sebagai pendeta Lama tidak patut melakukan kekejian seperti itu terhadap teecu,
maka teecu datang dan ingin menghajar mereka!"
“Aih, engkau
lancang, Mayang. Mereka itu adalah tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Yang mana di antara mereka itu yang menyihirmu?"
"Ketika
teecu berada di dalam rumah makan, yang menyihir teecu adalah pendeta yang
mukanya kekanak-kanakan, tubuhnya tinggi bongkok...”
“Hemm, siapa
lagi jika bukan Pat Hoa Lama si pendeta cabul? Huh, berani dia menghina
muridku! Lalu bagaimana? Agaknya tidak mungkin engkau dapat lolos dari tangan
mereka bertiga!" Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengerling
kepada Hay Hay yang masih menunggu dengan hati tegang. Dia merasa betapa wanita
itu memang hebat, dan agaknya sudah mengenal dan mengetahui keadaan para
pendeta Lama yang menculik Han Siong.
"Mereka
bertiga lantas menghadapi teecu dan mencoba untuk menguasai teecu dengan sihir.
Akan tetapi... hemmm, mereka tidak tahu bahwa teecu adalah murid Subo. Segala
permainan kanak-kanak itu...”
"Jangan
tergesa-gesa menyombongkan diri!" Kim Mo Siankouw memotong dengan suara
tegas sehingga mengejutkan Mayang sendiri karena tidak biasanya gurunya
menghardik dirinya. Sementara itu, diam-diam Hay Hay tersenyum melihat sikap
Mayang.
"Sesudah
sihir mereka itu gagal, seorang di antara mereka yang memegang tongkat lalu
menyerang teecu. Teecu melawan dengan cambuk. Kami berdua saling serang dan
teecu sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka bertiga. Akan tetapi
tiba-tiba teecu dikejutkan oleh terbakarnya gubuk itu dan teecu lalu pergi
meninggalkan mereka. Teecu bertemu dengan Hay Hay ini, lantas dia menceritakan
bahwa pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu adalah seorang sahabatnya
yang diculik mereka untuk dijadikan pelayan. Karena teecu menduga bahwa
kawannya itu dilarikan ke Bukit Bangau, maka Hay Hay minta kepada teecu untuk
menghadap Subo dan mohon pertolongan Subo untuk dapat menolong dan membebaskan
sahabatnya itu."
Kim Mo
Siankouw menahan senyum, memandang kepada muridnya itu dan menggeleng
kepalanya. "Mayang, kau kira aku tidak tahu siapa ketiga orang pendeta
Lama itu? Yang menyihirmu adalah Pat Hoa Lama, ada pun orang yang menyerangmu
dengan tongkat itu bukankah bertubuh tinggi besar, dan tongkatnya itu memakai
kelenengan? Lalu orang ke tiga itu tinggi kurus, matanya seperti selalu
terpejam?"
“Benar
sekali, Subo."
"Mereka
itu adalah tokoh-tokoh di Tibet. Yang menyerangmu bernama Gunga Lama dan yang
matanya terpejam itu Janghau Lama. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti dan
menghadapi Gunga Lama seorang saja belum tentu engkau dapat menang. Kalau tidak
ada orang yang membakar gubuk itu, kiranya belum tentu engkau akan dapat
meloloskan diri dari tangan mereka. Siapa yang membakar gubuk itu?"
Hay Hay
cepat mengacungkan telunjuk kanannya ke atas, "Saya, Siankouw! Untung ada
saya...”
Pada saat
itu pula terdengar suara ribut di luar. Mereka segera memandang keluar dan
nampaklah lima orang Lama sedang ribut mulut dengan para pelayan wanita yang
bekerja di pekarangan depan. Agaknya para pelayan itu bersikeras melarang
mereka memasuki pekarangan, tapi lima orang pendeta Lama itu berkeras pula akan
memasuki pekarangan sehingga terjadi ketegangan.
Melihat hal
ini, Mayang melompat bangun, juga ibunya sudah melangkah keluar bersama
puterinya. Kim Mo Siankouw sendiri dengan sikap tenang bangkit berdiri akan
tetapi dia pun melangkah keluar. Hay Hay yang ditinggal seorang diri dalam
keadaan masih berlutut itu pun segera bangkit dan keluar.
"Heiii,
apa yang telah terjadi di sini!” bentak Mayang yang bersama ibunya telah berada
di pintu pagar di mana lima orang pendeta Lama itu bersitegang dengan para
pelayan yang melarang mereka memasuki pekarangan.
Lima orang
pendeta Lama itu berusia kurang lebih antara empat puluh tahun. Mendengar
bentakan ini, mereka mengangkat muka memandang dan ketika melihat Mayang,
mereka memandang dengan wajah berseri. Salah seorang di antara mereka yang
mulutnya lebar segera melangkah maju.
"Apakah
engkau yang bernama nona Mayang?”
"Kalau
benar aku, mengapa?" tantang Mayang yang sudah marah melihat mereka karena
dia menduga bahwa tentu mereka ini anak buah tiga orang pendeta Lama yang
mereka bicarakan tadi.
Lima orang
pendeta itu saling pandang dan mereka pun menyeringai kurang ajar. Si mulut
besar tertawa. "Ha-ha-ha, pantas saja suhu berpesan agar kita membawanya
hidup-hidup dan jangan melukainya. Kiranya memang manis sekali dan sayang kalau
sampai terluka," katanya kepada kawan-kawannya, lalu dia menghadapi Mayang
kembali. "Nona Mayang, kami diutus oleh para guru kami untuk mengundang
Nona ke tempat kami, menghadap tiga orang suhu kami karena ada urusan penting
yang hendak dibicarakan denganmu."
"Aku
tidak sudi!” Mayang membentak.
"Nona
Mayang, kami datang dengan niat baik dan tidak ingin menggunakan kekerasan,
akan tetapi kami pun tidak berani pulang kalau tidak bersamamu. Maka marilah
engkau ikut dengan kami agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan untuk
memaksamu."
Mayang
melompat lantas membanting kakinya dengan marah. “Kalian ini lima ekor anjing
gundul berani mengancam aku? Majulah dan aku akan membikin remuk
gundul-gundulmu itu!”
"Mayang,
mundur kau!" Mendadak terdengar Kim Mo Siankouw berkata lembut. Mayang
terkejut dan dia pun tidak berani membantah, walau pun dia masih ragu-ragu.
"Mayang,
lekas taati Siankouw!" kata pula ibunya yang lebih mengerti mengapa Kim Mo
Siankouw menyuruh Mayang mundur. Dia bisa menduga bahwa kalau tiga orang
pendeta Lama itu mengirim utusan lima orang ini, tentu mereka sudah memperhitungkan
bahwa lima orang pendeta utusan ini akan mampu menandingi bahkan mengalahkan
Mayang.
Kini Kim Mo
Siankouw memandang kepada Hay Hay sambil tersenyum, senyum dingin mengejek.
"Orang muda, pin-ni (aku) akan mempertimbangkan permintaanmu tadi kalau
engkau dapat mewakili kami menghadapi lima orang pendeta Lama ini."
"Subo,
apakah Subo hendak mencelakakan Hay Hay? Dia tidak bisa apa-apa, seorang pemuda
yang lemah, bagaimana harus...”
"Mayang,
jangan membantah kehendak Siankouw!" kembali ibu gadis itu menegur.
Mayang tidak
melanjutkan kata-katanya, hanya memandang terbelalak kepada Hay Hay, merasa
kasihan karena bagaimana pemuda lemah itu akan dapat menandingi lima orang
pendeta Lama itu? Melawan seorang dari mereka pun tidak akan mampu. Tentu dia
akan tewas!
Tiba-tiba
dia merasa khawatir dan gelisah sekali. Tidak, pikirnya, pemuda itu tidak boleh
mati. konyol. Dia tidak berani lagi membantah subo-nya, akan tetapi secara
diam-diam dia akan berjaga-jaga dan akan melindungi Hay Hay!
Sementara
itu, diam-diam Hay Hay kagum bukan main kepada guru Mayang. Wanita tua yang
masih cantik dan lembut itu sungguh memiliki penglihatan yang sangat tajam.
Tentu dia telah tahu bahwa dia mempunyai kepandaian, kalau tidak demikian,
tidak mungkin dia menyuruh dia melawan lima orang pendeta Lama ini! Maka dia
pun tersenyum, walau pun masih berpura-pura tolol karena melihat sikap Mayang.
"Aihhh,
syaratnya berat amat! Akan tetapi, baiklah, Siankouw. Demi menolong sahabatku,
saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan lima ekor anjing gundul ini.
Melihat
sikap Hay Hay, Mayang merasa girang dan bangga. Biar pun jelas bahwa pemuda itu
bukan lawan lima orang pendeta Lama yang dia duga tentu lihai, akan tetapi
pemuda itu sudah memperlihatkan sikap yang gagah! Berani memaki mereka sebagai
lima ekor anjing gundul, meniru makiannya tadi.
"Benar,
Hay Hay. Hantam kepala lima ekor anjing gundul itu. Jangan takut, kalau mereka
hendak menggigitmu, akan kuketok kepala mereka yang gundul itu!" Dia
berteriak penuh semangat. Gurunya dan ibunya hanya melirik saja sambil
tersenyum karena sungguh pun berteriak tetapi gadis itu tidak turun tangan,
mentaati perintah subo-nya tadi.
Hay Hay
melirik kepada Mayang dan masih tersenyum, kemudian dengan langkah gontai
seperti orang yang tidak bertenaga dia maju menghampiri lima orang pendeta Lama
itu.
Lima orang
pendeta Lama itu adalah tokoh-tokoh di Tibet, dan merupakan tangan kanan dari
tiga pendeta Lama yang bersarang di Bukit Bangau. Mereka sudah marah ketika
tadi mendengar penghinaan Mayang, gadis manis yang berani memaki mereka sebagai
lima ekor anjing gundul. Kini kembali mereka dimaki, dan yang memaki adalah
pemuda yang terlihat lemah ini, bahkan tadi gadis itu telah mencegah pemuda ini
maju karena dikatakan bahwa pemuda ini lemah.
Dalam
kemarahan itu, lima orang pendeta Lama bermaksud untuk mempermainkan dan
menghina Hay Hay. Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering
berkata dengan suaranya yang parau besar, tidak sesuai dengan tubuhnya.
"Saudara-saudara
sekalian, monyet cilik ini hendak melawan kita? Ha-ha-ha-ha, mari kita buat dia
menari-nari!" Ucapan ini merupakan isyarat kepada teman-temannya agar
mereka mempergunakan kekuatan sihir saja untuk mempermainkan dan menghina Hay
Hay, yaitu menyihirnya agar dia bersikap seperti seekor monyet!
Mereka
berlima kemudian mengerahkan kekuatan sihir mereka, menatap wajah Hay Hay
dengan tajam, lalu si kurus tadi membentak lagi, kini kekuatan sihirnya
disatukan dengan kekuatan empat orang kawannya.
"Orang
muda, engkau adalah seekor monyet yang baru keluar dari dalam hutan! Ingatlah
baik-baik, engkau adalah seekor monyet! Monyet! Monyet! Monyet! Hayo monyet,
engkau menari-narilah!"
Mayang
merasa benar akan gelombang kekuatan sihir itu. Bagi dirinya sendiri yang sudah
kebal, gelombang kekuatan itu hanya lewat saja tanpa membekas, akan tetapi ia
khawatir sekali melihat Hay Hay karena bagaimana mungkin pemuda yang tidak
mengenal sihir itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir sekuat
itu? Dia melihat Hay Hay tersenyum lebar, lalu memandang seperti orang bingung
dan heran.
"Monyet?
Aku disuruh menjadi monyet? Ha-ha, baiklah, aku akan menari seperti monyet.
Akan tetapi pertunjukan monyet harus dilengkapi dengan segerombolan anjing! Dan
kalian yang menjadi lima ekor anjingnya! Anjing gundul, ha-ha! Kalian lima ekor
anjing gundul, hayo kalian menggonggong, biar aku jadi monyet menari-nari!”
Kini Mayang
terbelalak. Apa yang telah dilihatnya? Lima orang pendeta Lama itu tiba-tiba
saja merangkak-rangkak dan menggonggong mirip anjing, menyalak-nyalak dan
meringis-ringis!
Tadinya dia
mengira bahwa mungkin subo-nya yang telah membantu Hay Hay sehingga dia merasa
gembira sekali. Akan tetapi, ketika dia menoleh kepada subo-nya, dia melihat
betapa subo-nya juga terbelalak dan terheran-heran, maka dia cepat memandang
lagi ke arah Hay Hay dan lima orang pendeta Lama itu.
Lima orang
pendeta itu masih merangkak-rangkak, kadang kala berloncatan ke sana-sini
sambil menyalak-nyalak, dan Hay Hay meloncat ke atas punggung pendeta kurus
kering. Sambil menari dan menggaruk-garuk tubuh seperti seekor monyet, Hay Hay
berloncatan dari satu punggung ke lain punggung, persis seekor monyet yang
sedang bermain-main dengan lima ekor anjing. Riuh rendah suara lima orang
pendeta itu menggonggong dan menyalak-nyalak dengan galak.
Mayang
hampir tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Sudah jelas bahwa
Hay Hay agaknya berada di bawah pengaruh sihir dan bersikap laksana seekor
monyet, akan tetapi mengapa lima orang pendeta yang menyihir Hay Hay itu
seperti terkena sihir pula? Bahkan lebih parah dari Hay Hay? Kalau Hay Hay
hanya bersikap seperti monyet, menggaruk-garuk dan menari-nari tetapi masih
bisa bercakap-cakap, lima orang pendeta Lama itu benar-benar bersikap dan
bersuara seperti anjing!
Akan tetapi
ketika kembali Mayang menoleh kepada subo-nya, dia melihat subo-nya kini tidak
terheran-heran lagi. Bahkan subo-nya tersenyum-senyum! Sekarang dia melihat Hay
Hay meloncat turun dari punggung para pendeta Lama itu, masih
berjingkrak-jingkrak dan menggaruk-garuk dada dan punggung seperti monyet,
sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Anjjng-anjing gundul, kalian sekarang boleh saling serang, lima
ekor anjing berebut tulang dan aku monyetnya yang memberi tulang!"
Dengan
gerakan mirip monyet Hay Hay lalu mengambil sepotong kayu dan melemparkan kayu
ke arah lima orang pendeta yang masih merangkak-rangkak dan berloncat-loncatan
itu dan terjadilah suatu penglihatan yang membuat Mayang kini tertawa
terkekeh-kekeh!
Bagaikan
lima ekor anjing tulen kelima orang pendeta itu sekarang menyerbu dan saling
memperebutkan ‘tulang’ yang bukan lain hanya sepotong kayu itu! Mereka saling
terkam dan saling gigit di antara gonggongan yang riuh rendah! Ada yang
telinganya kena gigit sampai robek, atau hidungnya kena gigit sampai berdarah
dan melihat semua ini, Mayang tertawa terpingkal-pingkal sampai harus memegangi
perutnya yang terguncang-guncang dan menjadi keras.
Tiba-tiba
terdengar suara Hay Hay, "Sudah... sudah, cukup! Kalian ini lima orang
pendeta Lama, kenapa bermain-main seperti anak-anak kecil?"
Tiba-tiba
lima orang pendeta itu berloncatan berdiri dan saling pandang. Wajah mereka
seketika menjadi pucat, lalu menjadi merah sekali. Mereka menyusut darah dari
muka dan kini mereka memandang kepada Hay Hay dengan mata melotot penuh
kemarahan.
"Srattt!
Srattt! Singgg...!"
Nampaklah
sinar berkilauan dan lima orang pendeta Lama itu sudah mencabut golok dari
sarung golok yang menempel di punggung mereka. Mereka segera mengepung Hay Hay
dengan golok di tangan, sikap mereka nampak beringas serta penuh ancaman
sehingga Mayang memandang dengan muka berubah agak pucat.
"Heii,
kalian ini berpakaian pendeta, kenapa memegang golok? Apakah pekerjaan kalian
menjagal babi?" Hay Hay agaknya tidak sadar akan bahaya maut yang
mengancam maka masih sempat berkelakar.
“Kami memang
jagal, sekali ini hendak menjagal kamu, monyet busuk!" bentak seorang di
antara mereka yang hidungnya pecah berdarah karena digigit kawannya sendiri.
"Hemm,
tadi kalian memperebutkan tulang, tapi sekarang tulangnya ditinggal begitu
saja!" kata Hay Hay, lantas dia pun mengambil sepotong kayu tadi yang
besarnya selengan dan panjangnya tiga kaki.
"Orang
muda sombong, bersiaplah engkau untuk mampus!" bentak lima orang pendeta
itu yang sudah mengepungnya.
"Hay
Hay, mundurlah! Mereka itu lihai dan engkau tidak pandai silat...!"
Tiba-tiba Mayang berteriak karena gadis ini merasa khawatir sekali.
Hay Hay
menoleh kepadanya dan tersenyum. "Biarlah, Mayang. Justru karena mereka
itu lihai, maka hendak kuhadapi dengan gerakan yang bukan silat. Aku menjadi
monyet, aku akan bergerak seperti monyet."
"Jangan,
Hay Hay! Engkau akan celaka...!" Mayang sudah siap untuk meloncat ke
depan, untuk menggantikan Hay Hay, atau setidaknya untuk melindunginya, akan
tetapi subo-nya menegurnya.
"Mayang,
jangan mencampuri!"
Mayang
terkejut dan cepat dia menghampiri subo-nya, lalu menjatuhkan diri duduk di
atas tanah dekat subo-nya yang juga sudah duduk di atas sebuah bangku yang tadi
disediakan oleh seorang pelayan wanita. Ibu gadis itu juga duduk di atas bangku
di sebelah kiri Kim Mo Siankouw.
"Subo,
bagaimana ini? Jangan biarkan Hay Hay tewas, Subo. Dia akan mati konyol...”
"Hushhh...,
Mayang, kau pergunakanlah matamu baik-baik. Sejak bertemu tadi aku sudah
melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan orang lemah. Kau lihat saja!"
Gadis itu
terkejut dan merasa heran. Hay Hay bukan orang lemah? Dengan bingung dia
memandang dan melihat betapa kini lima orang pendeta Lama itu sudah mulai
menyerang dengan golok mereka. Gulungan sinar golok menyambar-nyambar ganas dan
hampir saja Mayang memejamkan mata karena merasa ngeri membayangkan tubuh
pemuda itu akan tersayat-sayat.
Akan tetapi
aneh! Dia melihat tubuh pemuda itu bergerak seperti monyet, berloncatan ke
sana-sini, tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri menggaruk-garuk
sana-sini di tubuhnya, akan tetapi kelima batang golok itu tidak pernah mampu
menyentuhnya! Mula-mula Mayang terbelalak, terheran-heran, akan tetapi segera
dia tersenyum dan akhirnya dia berteriak-teriak saking gembiranya.
Tentu saja
Hay Hay bukan lawan seimbang bagi kelima orang pendeta Lama itu. Dengan mudah
saja pendekar ini menggunakan ilmu Jiauw-pouw Poan-san, yaitu gerak langkah
kaki ajaib yang membuat dirinya selalu dapat mengelak dari sambaran lima batang
golok. Hanya gerakannya itu dicampurnya dengan gerakan dan loncatan mirip monyet
sehingga nampak lucu sekali. Tongkat di tangannya itu kadang membantunya,
setiap kali ada golok yang terlalu berbahaya menyambarnya, tongkat cepat
bergerak dan ujungnya mendorong golok lawan sehingga menyerong.
Lima orang
pendeta Lama itu terkejut, akan tetapi juga penasaran dan marah sekali. Tadi
mereka sudah dihina secara luar biasa, yaitu mereka seolah-olah menjadi seperti
anjing yang saling serang sendiri. Sekarang golok mereka sama sekali tidak
mampu menyentuh tubuh pemuda itu, padahal katanya pemuda itu tidak pandai
silat, dan kini hanya bergerak seperti monyet saja. Namun golok mereka selalu
membacok dan menusuk udara kosong!
"Bocah
keparat! Kalau berani, hadapilah kami dan mari kita mengadu kepandaian, bukan
terus mengelak seperti itu!" bentak si kurus kering.
"Singgg...!"
Goloknya
menyambar ke arah leher Hay Hay dari kanan ke kiri. Hay Hay merendahkan
tubuhnya dan golok itu menyambar lewat di atas kepalanya.
"Nih
tulang, makanlah!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja, tanpa dapat
dihindarkan lagi oleh si tinggi kurus, ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah
mulutnya, lantas terdengar bunyi berkerotokan!
"Auhhhh....!"
Si tinggi
kurus terjengkang, kemudian dia menutupi mulutnya yang berdarah-darah karena
sebagian besar giginya di bagian depan telah rontok dan tanggal karena mulut
itu dijejali ujung tongkat!
Empat orang
pendeta lainnya menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan main. Golok
mereka menyambar-nyambar semakin ganas, akan tetapi Hay Hay tidak ingin
membuang banyak waktu lagi. Sekarang dia pun membalas dan nampak sinar hijau
bergulung-gulung ketika tongkatnya berkelebatan.
“Tak! Tuk!
Tak! Tuk!”
Terdengar
suara tongkat beradu dengan empat kepala gundul, disusul teriakan kesakitan
empat orang itu. Empat batang golok terlempar, dan keempat orang pendeta itu
langsung menghentikan serangan mereka.
Kini mereka
mengelus-elus kepala gundul mereka yang ternyata telah benjol-benjol akibat
dihajar tongkat. Lima orang pendeta itu langsung maklum bahwa kini mereka
berhadapan dengan lawan yang amat pandai, maka tanpa banyak cakap lagi, tanpa
memungut golok mereka, lima orang pendeta Lama itu segera lari tunggang
langgang tanpa pamit!
Sejak tadi
Mayang hampir tidak berkedip. Dia meloncat berdiri dan menghampiri Hay Hay,
kini pandang dari sepasang mata yang jeli indah itu berubah. Penuh kagum, akan
tetapi juga penuh dengan perasaan penasaran.
“Kau...
kau... telah berpura-pura bodoh, ya?" bentaknya penuh teguran karena dia
merasa dipermainkan pemuda ini. Hay Hay hanya tersenyum dan dia segera
menghadap Kim Mo Siankouw dengan sikap hormat. Wanita itu sekarang bersikap
angkuh ketika berkata dan bangkit berdiri.
"Orang
muda, kita bicara di dalam!"
Hay Hay
mengangguk, kemudian mengikuti wanita itu yang memasuki rumah bersama ibu
Mayang. Gadis itu sendiri lalu mengikuti dari belakang, hatinya masih merasa dongkol
terhadap Hay Hay karena dia merasa dibodohi, merasa dipermainkan pemuda itu
dalam pertemuan pertama.
Wajahnya
berubah kemerahan apa bila dia membayangkan semua peristiwa yang sudah terjadi
sejak dia berjumpa dengan Hay Hay yang membakar gubuk dan pura-pura sebagai
seorang pemuda yang lemah! Tidak tahunya, pemuda ini memiliki ilmu silat yang
hebat, yang dengan amat mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama itu dan
yang lebih hebat lagi, pemuda ini agaknya juga seorang ahli sihir!
Mereka kini
duduk di dalam ruangan sebelah belakang. Hanya empat orang yang berada di ruang
itu. Kim Mo Siankouw duduk di atas kursi yang ditilami sutera merah. Ibu Mayang
duduk di sebelah kirinya, dan Mayang sendiri berlutut di atas lantai di sebelah
kanannya, Hay Hay duduk pula di bangku berhadapan dengan mereka.
Untuk
sejenak mereka hanya saling pandang saja. Ibu Mayang memandang dengan alis
berkerut dan sinar mata penuh selidik. Kim Mo Siankouw menatap dengan pandang
mata menyelidik pula seperti hendak mengukur dan menjenguk isi hati pemuda itu.
Sedangkan Mayang sendiri memandang dengan wajah berubah-ubah, kadang -kadang
penuh kagum, lalu penuh perasaan dongkol.
Hay Hay
sendiri bersikap tenang saja. Walau pun dengan jelas dia dapat melihat keadaan
hati mereka melalui wajah mereka, akan tetapi dia berpura-pura tidak tahu dan
bersikap tenang, pada bibirnya terhias senyum.
Tiba-tiba
Hay Hay terkejut karena merasakan suatu getaran yang sangat kuat datang dari
wanita tua itu. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat betapa sepasang mata
Kim Mo Siankouw mencorong laksana dua buah bintang yang memiliki sinar amat
kuatnya. Maka tahulah dia bahwa wanita itu memandang kepadanya dengan
pengerahan kekuatan batin untuk mengukur dirinya, karena sinar yang keluar dari
mata wanita tua itu bukan bersifat menyerang, melainkan berusaha untuk membuka
isi hatinya melalui pikiran, seakan-akan hendak memaksa dirinya mengaku.
Dia pun
cepat mengerahkan tenaga batinnya dan menyambut sinar mata itu dengan sinar
matanya sendiri sehingga terjadilah bentrokan antara dua kekuatan batin yang
amat kuat. Sejenak mereka itu saling tatap, kemudian, ketika merasakan betapa
sinar mata Kim Mo Siankouw melembut, Hay Hay juga cepat-cepat menarik kembali
tenaganya dan dia pun menundukkan pandang matanya.
"Orang
muda yang gagah, sekarang katakan terus terang kepadaku, siapakah yang telah
mengajarkan ilmu sihir kepadamu?" pertanyaan itu lembut namun tegas.
Hay Hay
membutuhkan bantuan wanita sakti ini, maka dia pun tidak ragu untuk membuat
pengakuan. "Yang mengajarkan kepada saya adalah mendiang suhu Pek Mau
Sanjin dan Song Lojin."
Kim Mo
Siankouw mengangguk-angguk, tidak lagi merasa penasaran melihat kehebatan orang
muda itu dalam ilmu sihir setelah mendengar siapa gurunya.
"Dan
siapa pula gurumu dalam ilmu silat?"
Dari
pertanyaan ini saja telah membuktikan bahwa Kim Mo Siankouw memang mengenal
keadaan mendiang Pek Mau Sanjin, seorang pertapa sakti yang sangat kuat dengan
ilmu sihirnya, namun yang tidak pernah mempelajari ilmu silat.
"Kedua
suhu saya adalah See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai."
"Siancai...!"
Kini wanita tua itu nampak terkejut. "Kiranya engkau adalah murid dari dua
di antara Delapan Dewa...! Ahh, Mayang, sungguh engkau beruntung sekali dapat
bertemu dan bersahabat dengan pendekar muda ini!"
Akan tetapi
Mayang cemberut. Biar pun dia merasa semakin kagum, tetapi juga semakin dongkol
karena kebodohannya sehingga mudah saja dia dipermainkan Hay Hay, mengira bahwa
Hay Hay adalah seorang pemuda yang hanya memiliki kepandaian merayu saja,
seorang pemuda yang menyenangkan namun lemah.
"Orang
muda yang gagah, melihat deretan nama para gurumu, engkau telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, dan kiranya engkau tidak perlu gentar menghadapi para
pendeta Lama yang murtad dan sesat itu. Kenapa engkau masih ingin minta
bantuanku?”
Hay Hay
menarik napas panjang. Kini dia tak boleh berpura-pura lagi, harus menceritakan
segata hal dengan sejujurnya.
"Locianpwe,
sebenarnya saya tidak maju sendiri dalam menghadapi para pendeta Lama,
melainkan berdua dengan sahabat baik saya itu, dan dia pun seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik ilmu silat mau pun ilmu sihir. Akan
tetapi tetap saja kami merasa khawatir karena kami berada di Tibet, bukan di
daerah kami. Apa lagi kalau diingat bahwa daerah ini berada dalam kekuasaan
Dalai Lama yang agaknya terpaksa akan kami hadapi sebagai lawan."
Kim Mo
Siankouw rnengerutkan alisnya dan nampak sangat terkejut. "Memusuhi Dalai
Lama? Hemm, orang muda, sungguh mengejutkan sekali ucapanmu itu. Kenapa engkau
dan sahabatmu memusuhi Dalai Lama?"
"Bukan
kami yang memusuhi, melainkah Dalai Lama sendiri yang sejak lahirnya sahabat
saya itu selalu mengganggu dan hendak menculik sahabat saya. Ketahuilah,
locianpwe, sahabat saya itu bernama Pek Han Siong dan semenjak lahir dia selalu
dicari dan hendak diculik oleh para pendeta Lama atas perintah Dalai Lama.
Sahabatku itu dahulu dlsebut Sin-tong (Anak AJaib) yang menurut pendapat para
pendeta Lama adalah seorang calon Dalai Lama!"
"Hemmm,
kiranya Sin-tong? Putera dari ketua Pek-sim-pang di Nam-co itu? Kami pernah
mendengar mengenai peristiwa itu! Jadi sahabatmu itukah Sin-tong? Teruskan
ceritamu, orang muda. Sungguh ceritamu mulai menarik hatiku."
Kim Mo
Siankouw kini benar-benar merasa tertarik. Dia sudah mendengar akan Sin-tong
yang pernah dicari oleh para pendeta Lama. Dia sendiri merupakan sahabat Dalai
Lama dan dia sendiri tahu bahwa Dalai Lama mencari Sin-tong bukan dengan niat
buruk.
"Keluarga
Pek tidak merelakan putera mereka diambil oleh para pendeta Lima," Hay Hay
melanjutkan ceritanya, "Hingga dewasa Han Siong bersembunyi dan dia
menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi sampai kini para pendeta Lama
itu agaknya masih terus mengejarnya. Akhir-akhir ini muncul tiga orang pendeta
Lama di kota Hok-lam dan secara jujur mereka mengatakan bahwa mereka diutus
oleh Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Karena tidak ingin dia diganggu
terus, Han Siong dan saya bekerja sama. Dia pura-pura terpengaruh oleh sihir
tiga orang pendeta Lama itu dan menurut saja dibawa ke daerah ini. Dengan
diam-diam saya membayanginya, maka terjadilah pertemuan antara saya dengan adik
Mayang. Mendengar akan kesaktian locianpwe, juga melihat kehebatan adik Mayang
yang tidak mempan sihir para Pendeta Lama. maka saya memberanikan diri untuk
mohon bantuan Locianpwe dalam menghadapi para pendeta Lama, terutama untuk
membujuk Dalai Lama agar tidak lagi mengejar-ngejar sahabat saya Pek Han Siong
itu."
Kim Mo Siankouw
menarik napas panjang. "Benar-benar aneh! Ketahuilah, orang muda, bahwa
Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama adalah tiga orang pendeta Lama
tokoh-tokoh besar di Tibet yang pernah memberontak terhadap Dalai Lama. Mereka
telah dihadapi para pengikut Dalai Lama, gerombolan mereka sudah dihancurkan
dan mereka melarikan diri. Maka sungguh aneh sekali jika sekarang mereka itu
mengaku utusan Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Hemmm, tentu ada
maksud tertentu yang tidak sehat. Dan sahabatmu itu sekarang seorang diri
berada di antara mereka, tentu dibawa ke puncak Bukit Bangau dan hal ini
sungguh berbahaya. Baiklah, aku akan membantumu karena tertarik oleh peristiwa
ini, juga karena aku adalah sahabat baik Dalai Lama yang agaknya nama besarnya hendak
dicemarkan. Memang, ketika Dalai Lama mendapatkan ilham bahwa calon Dalai Lama
yang baru sudah terlahir sebagai Sin-tong, tentu saja dia berusaha menarik
Sin-tong untuk dididik sebagai calon Dalai Lama. Namun hal itu terjadi dengan
suka rela, dengan cara damai, tidak boleh ada pemaksaan sama sekali. Bila ada
pemaksaan terhadap Pek Han Siong, maka hal itu tidak sesuai dengan sikap Dalai
Lama dan merupakan hal yang tidak wajar. Nanti pada saat matahari telah naik
tinggi, aku akan menemanimu naik ke Bukit Bangau. Sekarang engkau boleh
beristirahat dahulu, orang muda. Mayang, engkau persiapkan sebuah kamar untuk
tamu kita."
Tentu saja
Hay Hay menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih, lalu mengikuti
Mayang meninggalkan ruangan itu menuju ke sebelah dalam bangunan besar itu.
"Nah,
ini kamarmu, engkau boleh beristirahat sekarang," kata Mayang ketika
mereka tiba di sebuah kamar tamu yang sudah bersih karena memang di situ
terdapat kamar-kamar tamu yang siap pakai.
Melihat
sikap Mayang, Hay Hay lalu tersenyum. "Mayang, aku berterima kasih padamu.
Gurumu suka membantu kami, dan semua ini berkat engkau, Mayang. Bila tidak
bertemu denganmu, bagaimana mungkin aku bertemu dengan subo-mu."
Akan tetapi
dengan cemberut gadis itu berkata singkat, "Tak usah berterima kasih
kepada aku seorang gadis yang bodoh!" katanya, kemudian dia pun
membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Hay Hay.
Pemuda ini
terbelalak, lalu cepat mengejar. Mayang memasuki taman bunga yang indah, lantas
duduk di atas bangku di dekat kolam ikan emas. Mendengar ada suara di sebelah
belakangnya, dia segera membalik dan ternyata Hay Hay telah berdiri di
belakangnya.
"Mau
apa engkau ke sini? Engkau disuruh beristirahat, bukan?" kata Mayang,
suaranya mengandung keheranan, namun juga masih ketus dan terutama sekali
pandang matanya tidak menyamankan rasa hati Hay Hay.
"Wah,
bagaimana aku bisa beristirahat kalau engkau seperti ini, Mayang? Suaramu yang
ketus akan terus meledak-ledak di dalam telingaku, wajahmu yang cemberut akan
terus menghantuiku, dan pandang matamu seperti hendak mencekik leherku. Amboi,
dewi yang jelita, apakah gerangan dosa hambamu ini maka paduka marah-marah
kepada hamba?”
Akan tetapi
sekali ini Mayang tidak tertawa melihat ulah Hay Hay, bahkan kerut di kening
gadis itu semakin mendalam dan mulutnya yang cemberut menjadi semakin
meruncing. Dengan gerakan marah dia membuat dua kuncir tebal yang tadinya
bergantung di depan dada melayang dan berpindah ke punggungnya.
Mata yang
sipit itu basah, hidung yang agak besar itu cupingnya bergerak lembut, mulut
yang kecil kemerahan itu membentuk bundaran runcing, kedua pipi yang putih
mulus dan biasanya kemerahan itu kini menjadi merah padam. Akan tetapi bagi Hay
Hay kelihatan semakin cantik manis saja!
"Tidak
perlu menjual rayuan! Aku juga tahu bahwa aku adalah seorang gadis bodoh dan
tolol, tidak sehebat engkau ini pendekar jagoan yang serba bisa!"
"Astaga!
Ini namanya marah benar-benar! Mayang sayang, siapa yang mengatakan bahwa
engkau gadis bodoh dan tolol? Biar kugampar mulut orang yang berani memakimu
seperti itu!"
Gadis itu
tadinya memutar tubuh membelakangi Hay Hay yang hanya dapat mengagumi
pinggulnya yang bulat besar membusung. Tiba-tiba dia membalik dan sepasang
kuncirnya turut pula melayang ke depan, secepat gerakan pecutnya, suaranya pun
meledak dalam serangan yang mendadak dan mengejutkan.
"Engkau
yang menghina dan memaki aku!"
Hay Hay
memandang bengong. "Aku? Ya ampun dewiku! Aku menghina dan memakimu? Akan
kupukuli kepala ini kalau berani! Engkau sudah menolongku, engkau telah
bersikap ramah dan baik, engkau begini manis dan jelita, dan engkau sahabat
baikku. Bagaimana mungkin aku menghina dan memakimu?”
"Engkau
masih berani menyangkal? Bukankah ketika bertemu dengan aku, engkau sudah
berlagak bodoh? Engkau berlagak seakan-akan seorang pemuda yang lemah? Bukankah
itu berarti bahwa engkau sudah mempermainkan aku, bahwa engkau sudah menganggap
aku bodoh dan karenanya menghinaku? Hayo katakan! Hayo katakan bahwa engkau
tidak menganggapku bodoh! Engkau telah mempermainkan aku, membikin aku merasa
bodoh dan malu bukan main! Ihhhh... ingin aku menghajarmu!"
Barulah Hay
Hay mengerti dan diam-diam dia pun menyesal. Dia tidak pernah bermaksud
mempermainkan gadis ini, sama sekali tidak. Bila dia berpura-pura, hal itu
adalah karena dia memang sengaja ingin menyembunyikan kepandaiannya, tidak
ingin diketahui bahwa dia memiliki ilmu kepandaian.
Hal ini
penting baginya karena bukankah dia sedang membayangi para pendeta itu, dan
bukankah dia sedang bertugas untuk menyelidiki rahasia para pendeta Lama? Tadi
pun di depan Kim Mo Siankouw, karena terpaksa saja dia harus mengeluarkan
ilmunya, karena dia tak mungkin dapat mengelak lagi ketika harus menghadapi
pengeroyokan lima orang pendeta Lama yang lihai. Apa lagi karena agaknya mata
Kim Mo Siankouw tajam sekali, dapat menduga bahwa dia seorang yang memiliki
kepandaian. Dan dia pun kini maklum bahwa tentu saja Mayang merasa
dipermainkan.
"Aduhh,
Mayang, maafkanlah aku. Sungguh mati, demi Langit dan Bumi aku bersumpah, bukan
maksudku mempermainkan engkau, sayang. Terus terang saja, tadinya memang aku
hendak menyembunyikan kepandaianku, bukan hanya darimu, akan tetapi juga dari
subo-mu dan dari semua orang. Ingat bahwa aku mempunyai tugas penting bersama
Han Siong, menyelidiki keadaan para pendeta Lama. Kalau aku memperlihatkan
kepandaian, tentu akan menghadapi banyak kesukaran. Sungguh mati, Mayang, aku
tidak bermaksud menghinamu. Kalau engkau merasa begitu, maukah engkau
mengampuni aku, sayang? Lihat, aku jujur, aku mau minta ampun, bila perlu aku
akan berlutut di depan kakimu untuk minta ampun. Mayang, ampunkan aku."
Dan Hay Hay
benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. Tentu saja Mayang
menjadi terkejut sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya sehingga Hay Hay
berlutut di belakang sepasang bukit pinggul yang besar itu.
“Taihiap,
engkau... engkau bangkitlah, jangan berlutut seperti itu!" katanya,
suaranya tidak begitu ketus lagi biar pun masih kering.
“Ampun!
Engkau menyebut aku taihiap lagil Ya ampun, Mayang, kalau engkau tidak mau
menyebut namaku dan mengatakan bahwa engkau mengampuni aku, sampai mati pun aku
tidak akan bangkit dan akan berlutut terus sampai dunia kiamat!"
Mau tak mau
Mayang tersenyum sendiri mendengar ini. "Aku tidak percaya! Mana kedua
lututmu kuat bertahan kalau menanti sampai dunia kiamat!"
Legalah hati
Hay Hay mendengar ucapan yang nadanya sudah mengajak berkelakar itu. “Tentu
akan kuat, asalkan engkau juga terus berdiri di depanku. Mari kita sama-sama
lihat saja siapa yang kuat dan siapa yang tidak. Hayo, Mayang, lekas katakan
bahwa engkau suka mengampuni aku. Aku berjanji bahwa selama hidupku, aku tidak
akan berpura-pura bodoh lagi kepadamu!"
Senyum di
bibir gadis itu makin melebar walau pun dia belum memutar tubuh. "Huh,
siapa mau makan akalmu? Berpura-pura bodoh pun tidak ada gunanya karena aku
sudah tahu!"
"Sudah
tahu bahwa aku bodoh?"
"Sudah
tahu bahwa engkau pan...dir!" Hay Hay cemberut. Semula disangkanya gadis
itu akan mengatakan ‘pandai’, tidak tahunya berubah menjadi ‘pandir’.
"Nah,
engkau telah membalas memaki aku. Kini sudah satu lawan satu, bukan? Mayang,
hayolah, katakan bahwa engkau telah mengampuni aku. Kedua lututku sudah mulai
nyeri dan lelah nih!"
Mayang tak
dapat menahan ketawanya lagi. Dia membalik dan tersenyum. "Baiklah, Hay
Hay, aku memaafkanmu. Semenjak tadi pun aku telah memaafkanmu, kalau tidak
begitu, tentu aku tidak akan sudi bicara denganmu."
Hay Hay
bangkit berdiri dan mereka saling pandang dengan wajah berseri-seri. "Aku
pun sudah menduga bahwa engkau tentu akan suka memaafkan aku, Mayang. Seorang
gadis yang manis dan jelita seperti engkau ini sudah pasti memiliki watak yang
baik.”
"Huh,
merayu lagi! Sekali diberi kesempatan, engkau tentu akan terus merayu. Hay Hay,
aku masih merasa penasaran. Engkau begini baik kepadaku, akan tetapi kenapa
engkau tega mempermainkan aku? Bahkan ketika kita berjalan melewati tebing itu,
engkau pura-pura ketakutan sehingga terpaksa harus kugandeng tanganmu. Mengapa
engkau begitu kejam mempermainkan aku?"
Hay Hay
tersenyum. "Bukan mempermainkanmu, Mayang. Pertama-tama aku hanya ingin
menyembunyikan keadaan diriku demi keamanan dan kepentingan penyelidikanku.
Akan tetapi melihat engkau semanis ini, aku lalu berpura-pura dan ketika engkau
menggandeng tanganku, hemmm... tanganmu begitu lembut, lunak dan hangat
sehingga aku tidak ingin melepaskannya "
"Ihhh!
Engkau memang mata keranjang tak ketulungan lagi!" Mayang berkata, akan
tetapi wajahnya berubah merah sekali dan untuk menutupi perasaannya yang
terguncang, agar jangan sampai salah tingkah, dia pun tertawa.
Dan sejak
detik itu hati Mayang sudah jatuh cinta kepada pemuda yang demikian pandai
merayu dan menyenangkan hatinya ini. Dia memang sudah merasa suka ketika
pertama berjumpa dengan Hay Hay, dan rasa suka itu kini ditambah rasa kagum
melihat betapa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi, maka
timbullah perasaan cinta.
"Sudahlah,
Hay Hay. Tadi engkau disuruh beristirahat. Engkau sedang menghadapi tugas berat
dan berbahaya. Beristirahatlah agar aku jangan sampai ditegur subo kalau
melihat kita bercakap-cakap di sini."
Hay Hay
maklum bahwa seorang seperti Kim Mo Siankouw tentu memiliki watak aneh dan
tidak mengherankan apa bila kadang-kadang dia bersikap keras luar biasa. Dia
tidak ingin menyusahkan Mayang, maka dia pun lalu meninggalkan gadis itu,
menuju ke kamar yang sudah disediakan untuknya.
***************
TIGA orang
pendeta Lama yang membawa Han Siong dari Hok-lam sampai ke perbatasan Tibet itu
memang merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet. Kim Mo Siankouw mengenal mereka
sebagai tiga orang tokoh yang dulu menjadi pembantu-pembantu Dalai Lama dan
kini menjadi tiga orang pimpinan sekelompok pendeta Lama yang memberontak
terhadap Dalai Lama.
Mula-mula
jumlah mereka yang memberontak ini tidak kurang dari dua ratus orang. Akan
tetapi, sesudah Dalai Lama dan para pengikutnya yang terdiri dari banyak orang
pandai menghancurkan pemberontakan itu, jumlah mereka kini paling banyak
tinggal lima puluh orang lagi.
Gunga Lama,
Janghau Lama serta Pat Hoa Lama mengajak Han Siong naik ke puncak Bukit Bangau.
Han Siong masih terus bersandiwara, pura-pura tunduk terhadap pengaruh sihir
dan dia mengikuti mereka sambil diam-diam memperhatikan lingkungan bukit itu.
Ketika
melihat ada puluhan orang pendeta Lama di puncak bukit, dengan diam-diam Han
Siong merasa terkejut dan heran. Juga dia khawatir sekali. Bagaimana Hay Hay
sanggup membayanginya terus kalau di puncak bukit ini terdapat demikian banyak
pendeta Lama? Akan tetapi dia terus mengikuti dan dia mendengar betapa Pat Hoa
Lama memerintahkan lima orang pendeta Lama untuk turun bukit dan mencari gadis
bernama Mayang.
"Dia
seorang gadis manis yang pekerjaannya menggembala dan mengawal pengiriman
ternak. Tangkap gadis itu dan bawa ke sini, jangan melukainya, apa lagi
membunuhnya!" demikianlah pesan Pat Hoa Lama kepada lima orang muridnya.
Agaknya pendeta yang batinnya sesat dan menjadi hamba nafsunya sendiri itu
masih merasa penasaran karena gadis yang membuatnya tergila-gila itu terlepas
dari tangannya.
Setelah
memerintahkan lima orang murid itu, Pat Hoa Lama dan kedua orang suheng-nya
membawa Han Siong masuk ke dalam bangunan induk di puncak itu. Mereka mengajak
pemuda itu duduk di dalam sebuah ruangan yang luas, lantas menghadapi pemuda
yang duduk santai dan nampak tidak bersemangat itu.
"Pek
Han Siong," terdengar Gunga Lama berkata, suaranya mengandung penuh
wibawa. Sinar mata tiga orang itu menatap wajah Han Siong dengan dorongan
tenaga sihir yang amat kuat. Han Siong merasa betapa jantungnya terguncang dan
seluruh bagian tubuhnya tergetar.
Han Siong
terpaksa menyerah, karena kalau dia mempergunakan kekuatan pada kalung
kemalanya, dia khawatir kalau rahasianya ketahuan. Dia pun memejamkan matanya
dan merasa betapa keadaan sekelilingnya berputaran dan dalam keadaan setengah
sadar itu dia mendengar suara yang berwibawa itu.
"Pek
Han Siong, mulai detik ini engkau adalah calon Dalai Lama! Ingatlah baik-baik,
sejak lahir engkau telah ditakdirkan untuk menjadi Dalai Lama, maka engkau akan
kami angkat menjadi Dalai Lama dan upacara pengangkatannya dilaksanakan siang
nanti. Sekarang beristirahatlah engkau, tidurlah di kamar yang sudah
dipersiapkan dan terimalah nasibmu yang mengangkat dirimu menjadi calon Dalai
Lama"
Setengah
terpaksa dan setengah sadar pula, Han Siong menjawab, "Saya mentaati...”
Gunga Lama
dan dua orang sute-nya lalu bangkit. Gunga Lama menghampiri Han Siong, memegang
lengannya dan pemuda itu dituntun ke sebuah kamar. Kemudian dia disuruh
memasuki kamar.
Kamar itu
cukup mewah dan di tengah kamar terdapat sebuah pembaringan. Han Siong yang
merasa lesu dan lelah segera menghampiri pembaringan lalu merebahkan diri, dan
sebentar saja dia sudah pulas!
Tiga orang
pendeta Lama itu lalu memanggil anak buah mereka. "Jagalah dia baik-baik.
Kalau dia bergerak dan sadar, beri tahu kepada kami!"
Ketiga orang
pendeta Lama ini kemudian sibuk di dalam sebuah ruangan sembahyang,
mempersiapkan upacara sembahyang besar untuk pengangkatan Pek Han Siong menjadi
Dalai Lama! Telah dipersiapkan pula sebuah pisau untuk menggunduli kepala Han
Siong, juga jubah pendeta Dalai Lama yang tersulam indah, bahkan sebatang
tongkat komando sebagai tanda bahwa dia adalah Dalai lama yang berkuasa penuh!
***************
Matahari
telah naik tinggi, dan dari atap yang terbuka sinarnya menimpa gambar pat-kwa
(segi delapan) yang berada tepat di tengah meja sembahyang. Ketika itulah tiga
pendeta Lama menggugah Han Siong yang sedang tertidur nyenyak.
Pemuda itu
terbangun dan segera teringat akan keadaannya. Ia cepat-cepat membiarkan
dirinya seolah-olah hanyut lagi dalam gelombang kekuatan sihir, akan tetapi
secara diam-diam dia menggunakan tangan kiri untuk menekan kalung kemala ke
dadanya sehingga dia tidak begitu tenggelam ke dalam gelombang pengaruh sihir
tiga orang kakek itu. Pada saat dia dituntun dan kemudian disuruh duduk bersila
di atas kasur bundar di depan meja sembahyang, dia melihat semua perlengkapan
upacara sembahyang itu.
"Losuhu,
apa yang akan sam-wi (kalian bertiga) lakukan terhadap saya?" tanya Han Siong
sambil menekan suaranya sehingga terdengar wajar saja.
Pada hal
ketika itu dia merasa gelisah dan menduga-duga di mana adanya Hay Hay. Dia
mengharapkan Hay Hay berada di dekat situ bila mana dirinya terancam sampai
bahaya. Pertanyaan itu dia ajukan agar dia tahu apa yang akan mereka lakukan
terhadap dirinya.
Tiga orang
pendeta itu saling pandang sejenak, agaknya terkejut dan heran ketika melihat
bahwa pemuda itu masih mampu mengajukan pertanyaan, hal yang membuktikan bahwa
pemuda itu tak sepenuhnya berada di bawah pengaruh sihir mereka. Akan tetapi
mereka tidak merasa khawatir. Kini pemuda itu telah berada di dalam cengkeraman
mereka, telah berada di sarang mereka. Andai kata tidak terpengaruh sihir pun,
tidak mungkin dia akan mampu meloloskan diri lagi.
"Begini,
Sin-tong," kata Gunga Lama. Dia sengaja menyebut Sin-tong kepada pemuda
itu. "Sejak engkau dilahirkan, engkau sudah ditakdirkan menjadi Dalai
Lama. Oleh karena itu kami akan mengadakan upacara sembahyang besar untuk
mengangkat engkau menjadi Dalai Lama yang baru."
“Tapi...
bukankah masih ada Dalai Lama...?”
"Hemm,
dia sudah tidak patut menjadi Dalai Lama, dia sudah tersesat dan menyeleweng.
Engkaulah yang seharusnya diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, kemudian kita
akan menggulingkan Dalai Lama yang tua itu. Engkaulah yang berhak menjadi Dalai
Lama dan menguasai seluruh Tibet!" kata Gunga Lama.
Biar pun
tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, akan tetapi diam-diam Han Siong
terkejut dan kini mengertilah dia, atau dia sudah dapat menduga apa yang
dilakukan tiga orang ini. Ternyata dia bukan dihadapkan kepada Dalai Lama,
melainkan oleh tiga orang ini hendak diangkat menjadi Dalai Lama yang baru,
sebagai Dalai Lama tandingan dengan maksud hendak merebut kedudukan Dalai Lama!
Dia akan dijadikan Dalai Lama boneka, dan tentu selanjutnya semua kekuasaan
berada di tangan tiga orang ini.
"Tidak,
losuhu, aku tidak mau menjadi Dalai Lama!" Tiba-tiba saja Han Siong
berseru dan terpaksa dia tidak dapat lagi bersandiwara.
Biar pun
tadinya dia sudah hampir hanyut di dalam gelombang tenaga sihir mereka, tetapi
berkat pengerahan tenaga batinnya dibantu khasiat kalung kemala dia dapat
meronta dan melepaskan diri dari cengkeraman sihir. Kini dia pun meloncat
berdiri. Dia merasa terlalu mengerikan kalau membayangkan bahwa dia dipaksa
menjadi Dalai Lama untuk maksud pemberontakan!
Tiga orang
pendeta itu terkejut setengah mati. Mereka tak menyangka bahwa pemuda itu dapat
melepaskan diri dari belenggu sihir mereka. Tahulah mereka bahwa mereka terlalu
memandang rendah kepada pemuda ini sehingga mereka berbuat lengah dan kurang
kuat menguasainya.
"Pek
Han Siong, engkau tak boleh menolak lagi!" Gunga Lama membentak dan dia
sudah memegang tongkatnya yang memakai kelenengan hitam.
Janghau Lama
juga telah meloloskan sabuknya yang mengerikan, yaitu sabuk hidup yang berupa
seekor ular putih. Sementara Pat Hoa Lama juga sudah mengeluarkan sepasang
cakar harimau yang merupakan senjata ampuhnya. Mereka segera membentuk segi
tiga yang mengepung Han Siong.
Han Siong maklum
bahwa dirinya berada dalam bahaya. Selain tiga orang kakek yang dia tahu sangat
lihai ini, juga puluhan orang pendeta yang melihat betapa dia sudah terlepas
dari pengaruh sihir, kini sudah mengepung ruangan itu dengan senjata di tangan!
"Losuhu
sekalian, harap tidak memaksaku," kata Han Siong untuk mencuri waktu
sambil menunggu kemunculan Hay Hay. "Silakan saja kalau cu-wi Suhu hendak
memberontak terhadap Dalai Lama, akan tetapi jangan membawa-bawa aku. Aku tidak
memiliki urusan apa pun dengan para pendeta Lama di Tibet dan sejak kecil pun
aku tidak suka dijadikan Dalai Lama."
"Orang
muda, percuma saja engkau menolak. Lihat, engkau sudah kami kepung sehingga
tidak mungkin engkau akan mampu meloloskan diri dalam keadaan hidup!"
bentak Gunga Lama sambil memberi isyarat kepada dua orang sute-nya.
Mereka
mencoba untuk menggertak serta menakut-nakuti pemuda itu. Mereka tidak tahu
bahwa Han Siong adalah seorang pemuda gemblengan yang tentu saja tidak akan
gentar menghadapi ancaman. Kematian bukanlah merupakan suatu hal yang terlalu
menakutkan bagi seorang pemuda berjiwa pendekar seperti dia. Mati dalam
kebenaran bahkan dapat membanggakan hati, sebaliknya hidup dalam keadaan sesat
merupakan hal yang sangat dipantang.
“Bagaimana
pun juga, kalian tidak akan dapat memaksaku untuk menjadi Dalai Lama dan
membantu pemberontakan kalian," kata pula Han Siong.
Tiga orang
pendeta Lama itu ternyata sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini,
sesuai dengan isyarat yang dilakukan Gunga Lama, mereka bertiga sudah menubruk
dari tiga jurusan untuk menangkap Han Siong. Akan tetapi pemuda ini sudah siap
siaga. Dia cepat mengelak dan membalas dengan ayunan kedua lengannya dalam ilmu
Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Pelangi Putih) yang menangkis ke tiga jurusan.
"Wuuuttt...!
Wuuuttt...!"
Sepasang
lengan itu mengeluarkan angin pukulan yang sangat kuat sehingga tiga orang
penyerang itu terdorong ke belakang. Mereka makin terkejut, kemudian tiba-tiba
mereka mengeluarkan teriakan parau yang rendah sekali, dan teriakan itu
pelan-pelan meningkat menjadi tinggi. Mereka menggerak-gerakkan kedua tangan ke
arah Han Siong.
Pemuda ini
merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Selagi dia mengerahkan tenaga
batinnya, terdengar pula suara gemuruh dan kiranya para pendeta Lama yang
mengepung ruangan itu juga sudah mengeluarkan suara teriakan seperti itu. Tidak
begitu kuat, tetapi karena keluar dari perut puluhan orang, tentu saja menjadi
kuat bukan kepalang sehingga membuat tubuh Han Siong menjadi semakin menggigil.
"Hay
Hay !" Han Siong masih ingat untuk memanggil kawannya itu. Akan tetapi
tiga orang pendeta Lama itu sudah menubruk dan dia tidak mampu menghindarkan
diri lagi ketika tubuhnya ditotok sehingga dia pun roboh tak berdaya. Pengaruh
sihir menguasainya lagi dan pikirannya menjadi gelap.
Han Siong
tidak sadar. Dia tidak tahu betapa kini seluruh pakaiannya mulai dilucuti dan
sebagai penggantinya, dia dibungkus dengan pakaian pendeta Dalai Lama yang
hanya merupakan kain sutera yang dilibat-libatkan pada tubuhnya. Dia juga tidak
melihat betapa sembahyangan sudah diatur di atas meja, lilin-lilin besar
dinyalakan dan dupa dibakar.
Ketika Han
Siong tersadar, dia mendapatkan dirinya sudah duduk bersila di depan meja
sembahyang, seperti tadi sebelum dia memberontak. Walau pun kepalanya agak
pening, namun dia sadar sepenuhnya!
Dia melirik
ke arah kalung di lehernya. Batu kemala itu masih ada. Agaknya para pendeta
tidak mencurigai batu kemala itu sehingga tidak dirampas dan dibiarkan
tergantung pada lehernya. Dan berkat kekuatan batu kemala itulah maka kini Han
Siong masih dapat sadar kembali dari pengaruh sihir.
Akan tetapi,
ketika dia hendak menggerakkan tubuh, ternyata kaki tangannya tidak dapat dia
gerakkan. Dia dalam keadaan tertotok! Ini justru lebih hebat dari pada pengaruh
sihir. Pengaruh sihir masih dapat dilawan kekuatan batinnya dibantu khasiat
batu kemala, akan tetapi totokan itu membuat dia benar-benar tak berdayar tak
mampu berkutik lagi.
Dia juga
melihat betapa pakaiannya sudah berganti pakaian pendeta Lama! Jantungnya
berdebar tegang. Apa lagi ketika dia melihat tiga orang pendeta Lama itu sedang
berlutut di dekatnya, menghadap ke meja sembahyang dan berdoa. Doa yang
terdengar aneh dan tidak dimengertinya.
Kemudian,
setelah tiga orang itu selesai sembahyang, Gunga Lama memegang sebatang pisau
yang mengkilap saking tajamnya. Nampak pula olehnya Janghau Lama memegang
sebuah bokor emas berisi air kembang dan mulailah Janghau Lama membasahi rambut
kepalanya, sedangkan Pat Hoa Lama memegangi kepalanya.
Tahulah dia.
Dia akan digunduli! Dia akan dipaksa menjadi pendeta. Menjadi Dalai Lama! Akan
tetapi apa daya? Dia tak mampu bergerak, bahkan ketika dia hendak mengeluarkan
suara untuk membantah, suaranya pun tidak dapat keluar! Lehernya sudah tertotok
pula, membuat dia tidak mampu bersuara!
Kini Gunga
Lama menggunakan tangan kirinya menjambak rambut kepalanya, mulutnya
mengeluarkan doa pendek dan tangan kanan yang memegang pisau tajam itu sudah
siap untuk mencukur rambutnya! Beberapa detik lagi dia akan menjadi pemuda
gundul. Gunga Lama menggerakkan tangan kanan yang memegang pisau dan...
"Tahan!
Gunga Lama, engkau tidak boleh melakukan hal itu!"
Bentakan
suara wanita yang nyaring ini membuat ketiga orang pendeta itu terkejut bukan
main. Mereka mengangkat muka dan semakin kaget melihat munculnya seorang wanita
tua yang masih cantik, bersama seorang pemuda dan seorang gadis manis yang
bukan lain adalah Hay Hay dan Mayang. Mereka mengenal pula Kim Mo Siankouw
karena dulu mereka sering melihat wanita sakti ini menjadi tamu dan sahabat
Dalai Lama.
"Kim Mo
Siankouw, engkau tidak boleh mencampuri urusan kami!" bentak Gunga Lama
dengan marah tanpa melepaskan rambut kepala Han Siong yang sudah dijambak
tangan kirinya.
Tiba-tiba
terdengar suara melengking nyaring sekali sehingga mengejutkan semua orang yang
berada di sana. Suara nyaring itu keluar dari mulut Hay Hay. Melihat betapa
rambut kepala sahabatnya terancam musnah, Hay Hay langsung mengerahkan seluruh
kekuatan sihirnya sambil dia mengeluarkan suara melengking itu untuk menjadi
daya tarik pertama, lantas disusul teriakannya sambil menudingkan telunjuknya
ke arah meja sembahyang. Dengan wajah nampak kaget disertai mata terbelalak,
dia berseru,
"Lihat,
meja sembahyang itu terbakar! Ada kebakaran! Kebakaran! Awasss...!" Dia
sendiri melompat ke depan.
Semua orang
terkejut. Tiga orang pendeta Lama itu menengok dan mereka pun terkejut melihat
betapa meja sembahyang yang besar itu sudah berkobar dimakan api! Juga para
pendeta Lama lainnya melihat kebakaran itu. Bahkan Mayang sendiri juga melihat
meja itu terbakar!
Saking kaget
dan gugupnya, Gunga Lama segera melepaskan rambut kepala Han Siong yang sedang
dijambaknya, juga Pat Hoa Lama melepaskan kepala pemuda itu yang sejak tadi
dipegangnya. Mereka bertiga cepat melompat berdiri menghampiri meja sembahyang
dengan maksud untuk memadamkan api yang telah berkobar besar sehingga mengancam
menimbulkan kebakaran besar di ruangan itu.
Akan tetapi
setelah mereka bertiga tiba di dekat meja sembahyang mereka melihat bahwa tidak
ada kebakaran apa pun di sana! Mereka terkejut dan menyadari bahwa mereka telah
dipermainkan orang, namun ketika mereka membalikkan tubuh, mereka sudah
terlambat.
Hay Hay
sudah mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke dekat Han Siong dan
membebaskan totokan pada tubuh sahabatnya itu. Kini Han Siong telah terbebas
dan dia pun bersama Hay Hay meloncat ke dekat Kim Mo Siankouw.
Tiga orang
pendeta itu marah bukan main. Gunga Lama menudingkan tongkatnya kepada wanita
itu sambil membentak, "Kim Mo Siankouw, sungguh bagus perbuatanmu ini!
Kami selamanya tidak pernah mencampuri urusanmu, akan tetapi hari ini engkau
datang untuk menghina kami!"
Kim Mo
Siankouw rnenjawab dengan sikap tenang akan tetapi sinar matanya mencorong.
"Gunga Lama, kenapa engkau tidak bercermin lebih dahulu sebelum mencela
orang lain? Pin-ni hendak bertanya padamu, apa yang telah kalian lakukan
terhadap muridku Mayang ini? Ketika kalian memberontak terhadap Dalai Lama,
pin-ni tidak ambil peduli karena itu bukan urusanku. Akan tetapi kalian berniat
keji terhadap Mayang, bahkan kalian hendak memaksa pemuda ini menjadi Dalai
Lama agar bisa kalian peralat dalam pemberontakan kalian. Tentu saja pin-ni
tidak mau tinggal diam saja!"
"Kalian
datang mengantar nyawa!" Gunga Lama berteriak marah, kemudian mengangkat
tongkatnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya. "Serbu dan bunuh
mereka semua! Tangkap Sin-tong...!"
Akan tetapi,
Han Siong yang sudah menerima pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari tangan Hay Hay,
di samping Hay Hay yang juga telah memegang pedang pusaka Hong-cu-kiam, kini
sudah siap menyambut serangan mereka. Kim Mo Siankouw juga sudah siap dengan
sebatang pedang pada tangannya, sebatang pedang pusaka yang disebut
Kim-lian-kiam (Pedang Teratai Emas) karena pada gagangnya yang terbuat dari
emas itu terukir bunga teratai. Juga Mayang sudah siap dengan senjatanya yang
khas, yaitu sebatang cambuk!
Dengan
tongkat saktinya yang memakai kelenengan, Gunga Lama yang merupakan tokoh
pertama segera menyerang Kim Mo Siankouw. Terdengar suara kelenengan yang
nyaring ketika tongkatnya itu menyambar. Akan tetapi sinar pedang di tangan Kim
Mo Siankouw langsung menyambut dengan tangkisan, bahkan sinar pedang membalas
cepat sehingga amat mengejutkan Gunga Lama. Keduanya segera bertanding dengan
seru, dan segera bermunculan banyak pendeta Lama membantu sehingga Kim Mo
Siankouw dikeroyok.
Dengan sabuk
ular putihnya Janghau Lama menerjang ke arah Hay Hay. Hay Hay pura-pura
ketakutan.
"Hiiihh,
kenapa senjatamu ular? Menjijikkan sekali!" katanya sambil mengelak, akan
tetapi sambil membalik pedangnya menyambar dan nampak sinar emas meluncur ke
arah ular putih itu.
Janghau Lama
terkejut sekali dan cepat menarik kembali ularnya sehingga ular itu luput dari
sambaran sinar pedang. Hay Hay tertawa dan menyerang kembali. Namun lawannya
cukup tangguh dan serangan balasan dengan ular berbisa itu amat berbahaya, maka
biar pun dia tertawa-tawa, Hay Hay bergerak dengan sangat hati-hati. Seperti
halnya Kim Mo Siankouw, dia juga segera dikeroyok oleh hampir sepuluh orang
pendeta yang membantu Janghau Lama.
Han Siong
cepat menyambut Pat Hoa Lama yang menggunakan senjata sepasang cakar harimau.
Pedang Gin-hwa-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar perak dan dia
pun langsung dikeroyok oleh banyak pendeta. Seperti juga Hay Hay, dia mengamuk
dengan pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Hanya dalam beberapa
gebrakan saja Pat Hoa Lama sudah terdesak, namun segera bermunculan delapan
orang pendeta Lama yang mengeroyok Han Siong seperti yang terjadi pada Kim Mo
Siankouw dan Hay Hay.
Melihat
betapa gurunya, Hay Hay dan Han Siong telah terlibat perkelahian dan dikeroyok,
Mayang menjadi khawatir akan tetapi juga marah sekali.
"Kalian
ini pendeta-pendeta sungguh tidak tahu malu dan curang sekali! Beraninya hanya
main keroyokan!" Sesudah membentak dan memaki-maki, gadis lincah ini lalu
mengamuk pula di antara para pendeta yang membantu tiga orang tokoh besar itu.
Biar pun
ruangan itu luas, tetapi dengan adanya perkelahian keroyokan ini, mereka mulai
berpisah. Mayang sendiri tergeser keluar dari ruangan itu dan dikeroyok oleh
enam orang pendeta Lama yang berusaha keras untuk menangkapnya.
Agaknya para
pendeta pengikut para pendeta Lama pemberontak itu memang bukanlah
pendeta-pendeta sejati, melainkan orang-orang yang pada dasarnya berbatin
rendah, dan yang mempergunakan jubah dan kedudukan pendeta sebagai kedok saja
untuk menutupi gejolak nafsu mereka yang masih menguasai diri.
Perkelahian
berjalan semakin seru. Kim Mo Siankouw, Hay Hay, Han Siong dan Mayang harus
menghadapi pengeroyokan kurang lebih enam puluh orang yang rata-rata memiliki
kepandaian silat yang cukup tinggi sehingga tidak mengherankan kalau mereka itu
mulai terdesak. Sudah ada beberapa orang pengeroyok yang roboh, tetapi sisanya
masih terlalu banyak bagi mereka, dan mereka mulai merasa lelah sesudah
berkelahi selama hampir satu jam!
Kini tidak
ada kesempatan lagi untuk melarikan diri. Mereka berempat dikeroyok secara
terpisah, ada pun pihak pengeroyok terlalu banyak sehingga jangankan untuk
melarikan diri, bahkan untuk bersatu dengan kawan-kawan saja mereka tidak
sempat sama sekali. Datangnya serangan seperti hujan dan setiap serangan lawan
cukup berbahaya.
Terutama
sekali Mayang. Biar pun dia lihai dan lincah, namun di antara mereka berempat,
boleh dikata dialah yang paling lemah. Masih untung baginya bahwa para
pengeroyoknya jelas ingin menangkapnya hidup-hidup dan tidak ingin melukainya.
Hal ini membuat gadis ini masih mampu bertahan sampai sekian lamanya biar pun
dia sudah hampir kehabisan tenaga dan napas.
Gadis ini
pun maklum mengapa para lawan itu tidak mau melukainya dan mengapa pula mereka
hendak menangkapnya hidup-hidup. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah
sehingga dia pun mengamuk dan mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati
dari pada harus menyerah.
Yang
terutama membuat dia muak dan hampir tidak tahan, hampir muntah atau pingsan
adalah bau keringat para pengeroyoknya! Mereka mengenakan jubah, karenanya
tubuh mereka mengeluarkan banyak keringat. Ditambah lagi, agaknya mereka jarang
mandi dan jarang berganti pakaian sehingga bau tubuh mereka benar-benar
memuakkan! Dia sudah terbiasa mencium bau ternak, domba atau sapi, akan tetapi
tak pernah ada yang baunya sebusuk gerombolan orang yang mengeroyoknya itu!
Dengan
kemarahan yang meluap dan kenekatan yang luar biasa, Mayang sudah berhasil
merobohkan dua orang pengeroyok, namun tetap saja dia masih dikeroyok oleh
sepuluh orang! Mungkin dia hanya dapat mengimbangi saja kalau menghadapi
pengeroyokan lima atau empat orang di antara mereka, namun kini dia dikeroyok
sepuluh!
Napasnya
telah memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuh. Cambuknya masih
meledak-ledak, akan tetapi ledakannya tidak senyaring tadi, tanda bahwa
tenaganya telah banyak berkurang.
Kim Mo
Siankouw adalah seorang wanita sakti. Kepandaiannya sangat tinggi dan seperti
juga Hay Hay dan Han Siong, andai kata tidak dikeroyok oleh demikian banyaknya
lawan, tentu Gunga Lama tidak akan sanggup menandinginya. Seperti dua orang
pemuda sakti itu, dia dikeroyok oleh dua belas orang dan meski pun dia sudah
merobohkan tiga orang pengeroyoknya, tetap saja masih ada sembilan orang
pengeroyok yang mengepung ketat. Tongkat sakti Gunga Lama sendiri sudah sangat
berbahaya, apa lagi para pembantunya juga merupakan pendeta-pendeta yang
dulunya menjadi jagoan-jagoan dari Dalai Lama.
Demikian
pula dengan Han Siong dan Hay Hay. Mereka berdua mengamuk secara hebat, akan
tetapi mereka harus mengakui kebenaran berita yang pernah mereka dengar bahwa
Tibet merupakan kedung atau gudangnya orang-orang yang berilmu tinggi. Baru
sekarang mereka merasakan buktinya. Janghau Lama dan Pat Hoa Lama pasti tidak
akan mampu menandingi mereka, akan tetapi dengan pengeroyokan seperti itu,
mereka berdua merasa lelah dan juga terdesak.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi empat orang penyerbu itu, terutama bagi Mayang karena
gadis ini mulai terhuyung-huyung dan nyaris tertangkap, tiba-tiba terdengar
bunyi lonceng yang disusul dengan suara doa yang dilakukan banyak orang secara
berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang di lakukan banyak orang
secara berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang memanjang itu.
Mendengar
ini wajah Gunga Lama dan teman-temannya menjadi pucat. Begitu mendengar suara
itu, Pat Hoa Lama yang tadinya mengeroyok Han Siong segera menyusup lenyap di
antara anak buahnya dan dia cepat berloncatan menghampiri Mayang. Ketika itu
Mayang masih dikeroyok dan sudah terhuyung-huyung. Tiba-tiba saja Pat Hoa Lama
meloncat di dekatnya dan menyambar tubuh Mayang.
Melihat ini,
Kim Mo Siankouw mengeluarkan suara teriakan melengking, tubuhnya sudah mencelat
meninggalkan Gunga Lama dan kawan-kawannya yang kelihatan bingung, dan dengan
pedang di tangan dia sudah menghadang di depan Pat Hoa Lama.
"Pat
Hoa Lama, lepaskan murid pin-ni!" bentaknya.
"Kim Mo
Siankouw, biarkan aku pergi! Muridmu ini hanya kujadikan sandera supaya aku
dapat meloloskan diri. Kalau engkau menghalangiku, terpaksa kubunuh dulu
muridmu ini!" Berkata demikian, Pat Hoa Lama yang memanggul tubuh Mayang
segera mendekatkan cakar harimaunya ke kepala Mayang kemudian dia pun melompat
pergi.
Kim Mo
Siankouw tertegun, tidak berani bergerak karena dia tahu bahwa kalau dia nekat
menyerang, sebelum dia dapat merobohkan Pat Hoa Lama, tentu muridnya akan
dibunuh lebih dulu oleh pendeta sesat itu. Sementara itu Gunga Lama bersama
kawan-kawannya sudah menyerangnya lagi walau pun mereka berada dalam keadaan
ketakutan.
Suara itu
makin bergemuruh dan tiba-tiba muncullah Dalai Lama bersama para pendeta Lama yang
jumlahnya kurang lebih seratus orang! Dengan sikap anggun dan agung Dalai Lama
meloncat ke atas meja dan berdiri sambil memegang tongkatnya. Melihat ini, para
pendeta pemberontak menjadi panik. Akan tetapi pada saat itu para pengikut
Dalai Lama sudah menyerbu sehingga kacaulah keadaan para pemberontak.
Melihat
munculnya Dalai Lama bersama para pengikutnya, Gunga Lama menjadi putus harapan
dan nekat. Dia menggereng dan biar pun kini para pembantunya terpaksa harus
menghadapi para pendeta dari Lasha, dengan marah dan nekat dia lantas
menggunakan tongkatnya menyerang Kim Mo Siankouw. Wanita ini cepat menyambut
dengan tangkisan pedangnya.
“Tranggg…!”
Pedang itu
meleset dan terus meluncur ke arah perut Gunga Lama. Pendeta itu memutar
tongkat sehingga gagang tongkat menangkis pedang, tetapi pada saat itu pula
tangan kiri Kim Mo Siankouw menyambar ke arah kepalanya dengan tamparan yang
amat dahsyat!
Gunga Lama
terkejut. Sesudah kini tidak dibantu oleh kawan-kawannya, dan wanita sakti itu
menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dia pun segera terdesak. Karena tidak
dapat menangkis tamparan itu, dia terpaksa mengelak dengan loncatan mundur,
namun Kim Mo Siankouw sudah meloncat dan mengejar dengan sambaran pedang
bertubi-tubi.
Gunga Lama
mencoba untuk menangkis, akan tetapi mendadak tubuhnya mengejang dan dia roboh
sambil mendekap dada dengan tangan, tongkatnya terlempar. Ternyata dengan
kecepatan kilat, pedang di tangan Kim Mo Siankouw tadi sudah berhasil menembus
dada dan jantungnya sehingga robohlah Gunga Lama dan tewas seketika.
Hampir
berbareng dengan robohnya Gunga Lama, Janghau Lama juga roboh oleh pedang Han
Siong. Janghau Lama juga ditinggalkan kawan-kawannya yang terpaksa menghadapi
pengeroyokan para pendeta pengikut Dalai Lama yang jumlahnya lebih banyak. Kini
Hay Hay mendesak sehingga Janghau Lama hanya dapat mengelak ke sana-sini karena
leher ular putihnya juga sudah putus akibat terbabat pedang Hong-cu-kiam.
Hay Hay
memang suka mempermainkan orang. Apabila dia mau, tentu dia dapat segera merobohkan
lawan ini dengan pedangnya. Akan tetapi ia sengaja menyerang ke sana-sini
sehingga membuat kakek yang tinggi kurus itu berloncatan dan mengelak seperti
seekor monyet menari-nari.
Melihat ini,
Han Siong yang sudah ditinggalkan lawannya merasa dongkol. Sahabatnya itu tadi
datang hampir terlambat sehingga nyaris saja dia menjadi seorang pendeta
gundul! Dia pun menerjang dan cepat menggerakkan Gin-hwa-kiam di tangannya.
Janghau Lama mengeluarkan jerit tertahan lalu terjungkal roboh, lehernya hampir
putus karena sambaran Gin-hwa-kiam.
“Hay Hay,
kenapa engkau masih juga main-main? Aku hendak menyusul gadis itu!”
"Mayang?
Ke mana dia? Apa yang terjadi?" Hay Hay terkejut.
"Pendeta
sialan yang tadi melawanku telah menangkapnya dan membawanya pergi. Aku hendak
mengejarnya!" Sesudah berkata demikian, Han Siong lantas melompat dan lari
ke arah dilarikannya Mayang oleh Pat Hoa Lama tadi. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar seruan lembut namun kuat bukan main dari arah kiri.
"Heii,
orang muda, berhenti kau!"
Han Siong
terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja kedua kakinya tidak mampu bergerak,
seperti tertahan oleh sesuatu! Dia segera menengok dan melihat seorang pendeta
Lama tua berdiri di atas meja, berdiri tegak menonton perkelahian itu dan
pendeta itu memegang sebatang tongkat.
Melihat
pendeta ini, Han Siong menduga bahwa tentu ini adalah seorang di antara
kawan-kawan Gunga Lama, maka dia pun cepat meloncat dengan pedang di tangan,
menyerang pendeta tua yang berdiri di atas meja itu. Akan tetapi dengan sikap
tenang pendeta tua itu menggerakkan tongkatnya menangkis.
"Tranggg...!"
Akibatnya
tubuh Han Siong terlempar ke belakang oleh tenaga tangkisan yang amat kuat itu.
Han Siong terkejut bukan main. Pendeta ini sungguh sakti. Dia melompat maju
untuk menyerang kembali, akan tetapi kini pendeta itu mengebutkan lengannya
yang terbungkus jubah yang berupa kain dibalutkan di tubuh itu. Angin keras
menyambar dan kembali Han Siong terlempar!
"Omitohud...
engkau adalah orang muda yang kuat dan tangkas, namun sungguh sayang mau
dijadikan Dalai Lama palsu. Engkau tidak boleh diampuni lagi...” kata pendeta
Lama tua itu lantas dia pun meloncat turun dari atas meja, tongkatnya melintang
di depan dada, siap untuk menerjang Han Siong yang juga sudah bersiap siaga
menjaga diri, tidak berani sembarangan menyerang lagi karena maklum akan
kehebatan lawan.
“Losuhu,
tahan dahulu...!” tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Kim Mo Siankouw telah
meloncat ke tengah-tengah di antara mereka. "Losuhu, harap jangan
menyerang pemuda ini!"
Pendeta Lama
tua itu adalah wakil Dalai Lama yang mewakili Dalai Lama sendiri bila ada
urusan keluar sehingga dia lebih dikenal di tempat umum dari pada Dalai Lama
sendiri. Bahkan banyak yang menyebut bahwa dialah Dalai Lama, pada hal hanya
wakilnya.
"Omitohud...
kiranya Kim Mo Siankouw. Kenapa engkau mencegah pinceng menghukum orang muda
yang jahat ini, Siankouw? Dan mengapa pula engkau melindungi orang yang hendak
memberontak kepada pinceng?"
"Siancai...
Losuhu salah mengerti. Sejak kapan pin-ni mencampuri urusan Losuhu? Akan tetapi
kalau pin-ni membiarkan Losuhu membunuhnya, maka Losuhu jatuh ke dalam dosa
yang besar sedangkan pin-ni juga bersalah membiarkan terjadinya pembunuhan atas
diri orang yang tidak berdosa. Pemuda ini tidak pernah bersekutu dengan para
pemberontak, Losuhu. Bahkan hampir saja dia menjadi korban, dipaksa menjadi
Dalai Lama yang baru untuk dijadikan alasan oleh para pemberontak itu untuk
merampas kedudukan. Sejak dia terlahir, para pendeta Lama mengejar-ngejar dia,
dan sekarang hampir saja dia dijadikan alat untuk merampas kedudukan Losuhu.
Dia adalah Pek Han Siong yang dahulu dijuluki Sin-tong."
"Omitohud...
begitukah? Orang muda she Pek, kalau begitu maafkan pinceng," kata wakil
Dalai Lama yang oleh banyak orang sudah dianggap sebagai Dalai Lama sendiri
karena dia memiliki kekuasaan dan wewenang sepenuhnya dalam mewakili Dalai
Lama. "Kiranya engkau adalah anak dari Nam-co yang dahulu dicalonkan menjadi
pengganti Dalai Lama akan tetapi selalu menolak?"
Han Siong
memberi hormat, "Sejak dahulu sampai sekarang, baik keluarga mau pun saya
sendiri tidak mempunyai minat untuk dijadikan Dalai Lama, Locianpwe. Karena itu
tadinya saya ingin menghadap Dalai Lama untuk mohon agar saya tidak
dikejar-kejar lagi.”
Pendeta tua
itu tersenyum. "Kami tak pernah memaksa orang menjadi Dalai Lama orang
muda. Biar pun semenjak dalam kandungan engkau memiliki tanda-tanda bahwa
engkau adalah penitisan Dalai Lama, namun kalau engkau menolak maka kami
menganggap hal itu sebagai garis nasibmu yang sudah ditentukan dan kami tidak
berani melawan takdir. Sudah ada petunjuk untuk memilih calon lain."
Sementara
itu pertempuran sudah berakhir. Sisa para pemberontak sudah menyerah dan
ditawan. Sekarang barulah Kim Mo Siankouw bingung mencari Mayang yang tadi
ditawan oleh Pat Hoa lama.
"Ehh,
di mana muridku Mayang? Ke mana dia dibawa pergi?"
“Tadi saya
melihat dia dilarikan seorang pendeta Lama dan sekarang sedang dikejar oleh Hay
Hay," kata Han Siong.
"Ahhh,
kalau begitu aku harus mengejar dan mencarinya!" seru Kim Mo Siankouw
sambil melompat, akan tetapi dia masih menoleh kepada pemuda itu. "Ke mana
dia dilarikan?"
“Ke arah
sana, Locianpwe."
Kim Mo
Siankouw berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Han Siong. Pemuda itu pun cepat
mengejar karena dia ingin membantu kalau-kalau Hay Hay menghadapi bahaya di
sana.
***************
"Lepaskan
aku...! Lepaskan... ahhh… tolooongg...!”
"Diam
kau!" Pat Hoa Lama cepat menotok leher gadis itu sehingga Mayang tidak
mampu berteriak lagi.
Tadi dia
disambar oleh Pat Hoa Lama yang menotoknya dan memanggulnya kemudian
melarikannya. Karena merasa sangat lelah dan ngeri, Mayang pun jatuh pingsan di
dalam panggulan pendeta sesat itu. Ketika dia siuman, biar pun tak mampu
bergerak, dia segera menjerit-jerit sampai dia terdiam oleh totokan pada
lehernya.
Pendeta itu
menuju ke lereng bukit yang berbatu-batu di mana terdapat banyak goa dan
memasuki salah satu di antara goa-goa di bukit kapur itu. Dia menarik sebuah
kaitan besi yang tersembunyi di antara tonjolan batu-batu lalu terdengar suara
keras. Dinding sebelah dalam dari goa itu bergerak dan nampaklah sebuah lubang
yang cukup dimasuki seorang manusia. Dia menyelinap masuk membawa tubuh Mayang
dan mendorong kembali kaitan besi dan batu itu pun bergerak lagi menutupi
lubang.
Dari luar
takkan ada orang dapat menduga bahwa di goa itu ada pintu rahasia. Kiranya di
balik batu itu ada ruangan goa yang cukup luas dan di sana terdapat perabot
sederhana seperti tempat tidur dan meja kursi. Bahkan terdapat pula bahan-bahan
makanan. Goa ini merupakan tempat persembunyian rahasia yang sudah dipersiapkan
olehnya kalau-kalau gerakan mereka gagal sehingga mereka harus melarikan diri
dan menyembunyikan diri.
Pat Hoa Lama
membaringkan tubuh Mayang di atas dipan bambu, lalu dia duduk di tepi pembaringan
dan tertawa. “Ha-ha-ha, di sini engkau boleh menjerit seseukamu. Dinding ini
tidak tembus suara dan tidak akan ada orang yang mampu mendengarmu, ha-ha-ha!”
Untuk
membuktikan kebenaran kata-katanya, Pat Hoa Lama membebaskan totokan pada leher
gadis itu sehingga Mayang dapat mengeluarkan suara kembali. Akan tetapi Mayang
bukanlah seorang gadis yang bodoh. Biar pun dia merasa takut dan ngeri, akan
tetapi dia tahu bahwa pendeta itu tidak berbohong sehingga selain percuma saja
kalau dia menjerit, juga hal ini hanya akan menambah kegembiraan pendeta yang
sadis ini.
Mayang
memutar otaknya. Meski pun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi dia
bukan seorang gadis yang terkekang. Dia bebas menggiring dan mengirimkan ternak
dari satu daerah ke lain daerah sehingga dia banyak mendengar, banyak pula
melihat.
Dan dia pun
bukan seorang gadis yang buta huruf. Kim Mo Siankouw telah mengajarnya membaca
dan menulis sehingga dia sudah banyak pula membaca kitab. Dia tahu tentang
kejahatan orang seperti pendeta sesat ini, dan dengan hati ngeri dia pun maklum
bahaya apa yang mengancam dirinya.
Namun tidak
mungkin subo-nya mendiamkannya saja. Subo-nya pasti akan mencarinya. Juga Hay
Hay! Tidak mungkin Hay Hay diam saja. Dia harus pandai mengulur waktu dan karena
dia tidak mampu bergerak, satu-satunya cara hanya melalui percakapan.
"Losuhu,
engkau adalah seorang pendeta Lama yang hidup suci dan bersih. Tapi kenapa
engkau menawanku dan apa yang akan kau lakukan kepada seorang gadis seperti
aku?"
Pendeta itu
menyeringai. Nampaklah giginya yang tinggal empat buah, besar-besar dan
menghitam. "He-he-he, nona manis! Engkau masih bertanya lagi mengapa kau
kutawan? Pertama, karena engkau seorang gadis yang amat manis dan aku
tergila-gila kepadamu. Ke dua, engkau adalah muridnya Kim Mo Siankouw dan
bersama gurumu engkau sudah membikin gagal rencana kami. Apa yang akan
kulakukan kepadamu? He-he-heh, sedang kupikirkan. Aku harus membalas dendam.
Engkau bersama gurumu telah membasmi dan menghancurkan semua rencana kami. Kini
kawan-kawanku sudah tewas. Hemm, dosamu besar sekali!"
"Akan
tetapi, kulihat tadi yang membasmi gerombolanmu adalah pendeta-pendeta Lama
juga! Apa bila tidak ada mereka yang datang, subo dan kami semua agaknya akan
kalah," bantah Mayang untuk membela diri dan mengulur waktu.
"Hemmm…,
yang menjadi biang keladi adalah engkau! Engkau harus dihukum berat. Ya, engkau
harus menebus semua dosamu, mernbayar semua kerugianku."
Diam-diam
Mayang menggigil. Kenapa subo-nya atau Hay Hay belum juga datang?
"Losuhu,
kalau engkau menggangguku, menyakiti atau sampai membunuhku, tentu sekali waktu
subo akan dapat menemukanmu dan dia tentu akan menyiksamu untuk membalas
kematianku! Dan engkau tahu betapa lihainya subo!" Dia menggertak.
"Heh-heh-heh!
Kalau dia tahu! Tetapi dia tidak akan tahu. Dia tidak akan berhasil mencari
kita. Tempat ini adalah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh kami bertiga.
Sekarang hanya aku seorang yang tahu. Kita akan berdiam di sini sampai mereka
pergi. Di sini ada makanan, ada air, dan aku memiliki teman yang manis!
Heh-heh-heh!"
Pat Hoa Lama
tertawa dan jari-jari tangan kanannya mengelus dagu Mayang, membuat seluruh
bulu di tubuh gadis itu meremang. Wajahnya menjadi pucat sekali dan perasaan
takut membuat jantungnya seperti hendak pecah.
"Losuhu,
ingatlah bahwa engkau seorang pendeta yang seharusnya melakukan perbuatan baik.
Kau ampunilah aku, Losuhu, dan kalau engkau suka membebaskan aku, maka aku
berjanji akan membujuk subo agar dia tidak mengganggumu lagi dan suka melepaskan
engkau."
"Apa?!
Membebaskanmu? Huh, aku belum gila! Engkau berdosa besar! Dengar apa yang akan
kulakukan kepadamu! Membunuhmu begitu saja akan terlalu enak bagimu. Aku akan
mempermainkan engkau, menjadikan engkau budakku yang menuruti segala
perintahku. Sesudah aku bosan maka engkau akan kuberikan kepada gerombolan
biadab yang hidup di hutan-hutan Pegunungan Himalaya sebelah utara. Kau tahu
apa yang akan dilakukan manusia-manusia setengah binatang itu kepada seorang
wanita? Ha-ha-ha, engkau akan dikeroyok oleh banyak laki-laki seperti binatang
itu sampai engkau mati! Akan tetapi tidak usah khawatir, hal itu baru akan
terjadi setelah aku bosan denganmu, ha-ha-ha!"
Dapatlah
dibayangkan betapa takut dan ngeri rasa hati gadis itu. Tanpa terasa lagi kedua
matanya basah air mata. "Losuhu... aku mohon kepadamu... kau... kau
bunuhlah saja aku sekarang juga! Aku lebih suka mati...!"
"Ha-ha-ha-ha!"
Pendeta yang sudah kerasukan setan itu tertawa bergelak, gembira sekali
mendengar rintihan korbannya. "Sekarang saja engkau sudah minta mati, apa
lagi kalau kelak engkau sudah kuserahkan kepada gerombolan orang biadab itu,
ha-ha-ha! Engkau akan memilih seribu kali mati dari pada terjatuh ke tangan
mereka. Akan tetapi sebelum itu engkau akan menjadi budakku lebih dahulu,
menuruti segala kemauanku dan engkau akan hidup senang, heh-heh-heh!"
Mayang
menyadari sepenuhnya bahwa meratap dan memohon tidak akan ada gunanya terhadap
manusia berhati binatang itu, maka timbul kembali kekerasan hatinya. Teringat
dia akan nasehat gurunya bahwa lebih baik mati sambil mengaum seperti seekor
harimau dari pada hidup merengek-rengek dan menjerit-jerit seperti seekor babi.
"Pendeta
palsu berhati iblis! Kau sangka aku sudi mentaatimu? Huhh, engkau dapat saja
menyiksaku, dapat membunuhku, juga dapat memaksa tubuhku, tetapi hatiku akan
selalu membencimu. Dan ingat, aku akan selalu mencari kesempatan untuk
membunuhmu atau membunuh diri!"
"He-heh-heh
! Kau kira engkau bisa melakukan itu? Ha-ha-ha, sebentar lagi engkau akan
berlutut dan merengek-rengek kepadaku, minta kucinta dan kusayang. Aku tahu,
engkau kebal terhadap sihir, akan tetapi aku memiliki bubuk racun ini yang akan
membuat dirimu kehilangan ingatan, kehilangan segalanya dan menjadi hamba
nafsu. Ha-ha, pasti engkau akan menyenangkan sekali, manis."
"Tidak!
Lebih baik aku mati!" Mayang lalu menggerakkan mulut untuk menggigit
lidahnya sendiri.
Akan tetapi
agaknya Pat Hoa Lama telah menduga mengenai hal ini. Cepat sekali tangan
pendeta itu bergerak menotok lehernya dan leher itu pun langsung terkulai,
Mayang tidak mampu lagi menggerakkan mulutnya. Kini hanya matanya saja yang
menitikkan air mata, menyesal sekali mengapa dalam kemarahannya tadi dia
mengatakan keinginannya untuk membunuh diri. Kalau tidak, tentu lidahnya sudah
tergigit putus dan dia akan tewas atau menjadi cacat.
"Ha-ha-ha,
engkau takkan dapat membunuh diri, manis. Engkau bahkan akan ingin hidup terus,
haus akan cintaku, haus akan belaianku. Ha-ha-ha!"
Tangan
pendeta itu bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika dia merenggut robek
dan lepas semua pakaian yang menutupi tubuh Mayang. Gadis itu tidak mampu
bergerak, tidak mampu bersuara, hanya air matanya saja yang bergerak turun di
atas kedua pipinya yang pucat.
Sesudah
mencabik-cabik seluruh pakaian gadis itu, Pat Hoa Lama terkekeh-kekeh sambil
memandang tubuh korbannya dengan mata yang liar dan lapar, muka kanak-kanak
yang makin mengerikan lagi, tubuhnya yang tinggi bongkok itu nampak semakin
bongkok ketika dia mengeluarkan sebuah bungkusan. Jari-jari tangannya lalu membuka
bungkusan yang terisi bubuk hitam itu, sedangkan matanya tak pernah melepaskan
tubuh Mayang.
Pat Hoa Lama
menuangkan bubuk hitam itu ke dalam sebuah mangkok, kemudian sambil
tertawa-tawa dia menuangkan arak seperempat mangkok dan mengaduk bubuk obat itu
dengan arak.
"Nah,
manis. Kau minumlah ini, enak rasanya, rasa arak biasa. Engkau akan mabok dan
pulas, setelah terbangun, ha-ha-ha-ha, engkau akan menjadi liar dan binal,
sebinal seekor kuda betina, ha-ha-ha!” Dia pun menghampiri pembaringan.
Mayang tidak
mampu bergerak mau pun mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang
terbelalak ketakutan. Pat Hoa Lama duduk di tepi pembaringan, tangan kirinya
memegang dagu Mayang, jemari tangannya memaksa mulut gadis itu terbuka dan
tangan kanan yang memegang mangkok sudah siap untuk menuangkan isi mangkok itu
ke dalam mulut yang sudah terbuka lebar ini.
"Brakkkkk...!"
Dinding batu
itu ambrol ke dalam. Pat Hoa Lama terkejut bukan main sampai mangkok itu
terlepas dari tangannya, jatuh ke atas lantai dan pecah sehingga isinya
mengalir hitam di atas lantai batu. Sesosok bayangan berkelebat dan Hay Hay
sudah berdiri di hadapan Pat Hoa Lama! Begitu melihat Hay Hay, gadis itu
menangis tanpa suara, hanya air matanya saja yang membanjir keluar dan tubuhnya
terguncang-guncang!
Sekali lirik
tahulah Hay Hay akan keadaan Mayang dan dia menjadi marah bukan main. Tadi dia
mengalami kesulitan ketika melakukan pengejaran karena yang dikejar lenyap di
lereng berbatu-batu itu. Dengan hati-hati dan teliti sekali dia terus mengikuti
jejak, melihat batu-batu yang berserakan, hingga akhirnya dia mendengar jerit
melengking dari Mayang ketika gadis itu minta tolong dan sebelum dia ditotok
gagu.
Dengan penuh
ketelitian dia dapat menemukan goa itu dan dia pun merasa curiga melihat bentuk
dinding yang rata itu. Akhirnya, dengan mempergunakan sebongkah batu sebesar
perut kerbau, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan batu besar
itu ke dinding sebelah dalam goa itu. Dinding itu pun jebol dan ternyata dia
menemukan Pat Hoa Lama di sebelah dalam, sudah siap untuk meminumkan sesuatu
kepada Mayang, gadis yang sudah tidak mampu bergerak dan dalam keadaan
telanjang bulat itu.
"Keparat
jahanam!" Dengan kemarahan meluap yang membuatnya seperti gila, Hay Hay
mencabut Hong-cu-kiam dan menyerang pendeta yang masih terkejut dan bingung
itu.
Dalam
kegugupannya, tanpa sadar pendeta itu menangkis sinar emas pedang pusaka itu
dengan lengan kirinya. Segera dia menjerit karena lengan itu langsung terbabat
putus, dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, pedang itu sudah menembus
lehernya. Pat Hoa Lama terjengkang, roboh dan tewas seketika!
Hay Hay cepat-cepat
merenggut jubah pendeta itu sebelum tergenang darah, kemudian dia menyelimuti
tubuh Mayang dengan jubah yang lebar itu, dan dibebaskannya gadis itu dari
totokan gagu dan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh.
"Hay
Hay... ahh, Hay Hay... hu-hu-hu-huuuhh !" Mayang bangkit merangkul dan
menangis di pundak Hay Hay.
"Tenanglah,
Mayang. Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa kedatanganku belum terlambat,"
kata Hay Hay, diam-diam merasa bersyukur sekali, karena dia dapat menduga bahwa
jika satu menit saja dia terlambat dan gadis itu sudah minum cairan hitam itu,
entah apa yang akan terjadi dengan gadis manis itu.
Mayang
menangis mengguguk sampai Hay Hay merasa betapa air mata itu menembus bajunya
sehingga membasahi pundak dan dadanya, "Hay Hay..., hu-hu-huuuu...dia...
mau meracuni aku... membikin aku kehilangan ingatan… kemudian katanya… kalau
dia sudah merasa bosan... dia akan memberikan aku kepada gerombolan manusia
biadab setengah binatang... hu-hu-huuuu...!”
Hay Hay
mengepal tinju. Jahanam betul pendeta itu, pikirnya. Dia menepuk-nepuk pundak
yang kini terselimuti jubah itu dan mengelus rambut yang halus itu. “Sudahlah,
Mayang. Engkau sudah selamat, dan dia sudah mati. Jangan menangis lagi, Mayang.
Kalau terlalu banyak menangis, nanti matamu membengkak, kemerahan dan mukamu
menjadi jelek!"
Mendengar
kata-kata ini, dengan agak tergesa-gesa Mayang mengangkat wajahnya dari pundak
pemuda itu, menyusut air matanya lalu memandang kepada Hay Hay, di bibirnya
sudah membayangkan senyum!
"Bagaimana,
Hay Hay, apakah aku menjadi jelek sekali?”
Hay Hay
hampir bersorak. Gadis ini luar biasa. Baru saja terbebas dari bahaya maut,
tapi sekarang sudah dapat tersenyum bahkan sudah memperhatikan kecantikan
wajahnya!
"Wah,
sekarang engkau bertambah manis, Mayang. Kedua pipimu menjadi begini merah,
seperti buah apel masak "
Sepasang
mata yang agak membengkak itu menatap sayu. "Hay Hay, aku... aku sangat
berterima kasih kepadamu. Aku... aku hutang budi, hutang kehormatan, bahkan
hutang nyawa kepadamu... selama hidupku tak akan kulupakan..."
"Hushhh!
Memangnya aku ini tukang kredit, memberi hutang begitu banyak macamnya? Mana
kau bisa bayar? Sudahlah, kita bikin lunas saja, engkau tidak hutang apa-apa,
aku tidak menghutangkan sesuatu. Bisa enak tidur, bukan?”
“Aku
berterima kasih! Aku... aku…”
Tiba-tiba
Mayang merangkul leher Hay Hay dan mencium pipi pemuda itu dengan kuat, satu
kali di kanan satu kali di kiri, kemudian tubuhnya menjadi lunglai dan menangis
lagi, kini mukanya disembunyikan pada dada Hay Hay.
Hay Hay
menjadi bengong dan kalau saat itu ada orang lain melihatnya, kedua matanya
nampak juling saking kaget dan herannya. Kedua pipinya masih terasa senut-senut
bekas ditimpa hidung dan bibir Mayang. Lalu dia tersenyum dan memeluk kepala
itu penuh rasa sayang.
"Engkau
anak nakal, bikin aku kaget setengah mati," akan tetapi dia membiarkan
Mayang menangis lirih di dadanya.
Tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat dan di sana sudah berdiri Kim Mo Siankouw dan Han
Siong! Melihat adegan mesra itu, Hay Hay memeluk seorang gadis bugil yang hanya
berselimut jubah pendeta dan yang menangis di dadanya, Han Siong segera
berdehem.
Dasar mata
keranjang, pikirnya. Kalau sudah menolong gadis itu, kenapa pakai
dirangkul-rangkul dan bermesraan? Tidak cepat-cepat membawanya keluar dari goa
itu? Tentu saja pertanyaan ini hanya diteriakkan oleh hati Han Siong, sedangkan
mulutnya tinggal diam.
Kim Mo
Siankouw memandang ke arah mereka, lalu ke arah mayat Pat Hoa Lama yang
menggeletak tanpa nyawa dan tanpa jubah, juga ke arah tumpukan robekan dari
pakaian muridnya. Tentu saja dia merasa khawatir bukan kepalang, namun juga
bersyukur bahwa agaknya pemuda lihai itu telah berhasil menyelamatkan muridnya.
“Mayang…"
Dia memanggil muridnya.
Mayang cepat
mengangkat mukanya. Melihat subo-nya telah datang, dia lalu melepaskan diri
dari Hay Hay dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan wanita itu sambil
menangis, “Subo...!”
Kim Mo
Siankouw merasa heran. Biasanya Mayang adalah seorang gadis yang sangat tabah
dan dia belum pernah melihat gadis itu menangis. Akan tetapi sekarang demikian
mudahnya gadis itu menangis. Baginya hal ini merupakan suatu tanda bahwa
muridnya itu sedang dilanda cinta.
"Sudahlah,
Mayang, hentikan tangismu. Bagaimana pun juga engkau sudah terhindar dari
malapetaka, bukan?"
Mayang
mengangguk cepat. "Teecu selamat berkat pertolongan Hay Hay, Subo."
Kim Mo
Siankouw memandang pemuda itu yang sedang berbisik-bisik dengan Han Siong.
“Hay Hay,
kurang ajar sekali engkau! Engkau terlambat sehingga aku hampir saja celaka.
Dan sekarang kembali engkau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan terhadap
nona itu," bisik Han Siong yang menegurnya.
Hay Hay
tersenyum. "Tenanglah, Sin-tong (Anak Ajaib). Seorang pendeta dilarang
keras untuk merasa iri dan mendongkol."
Han Siong
terbelalak. "Pendeta...? Apa maksudmu?"
"Lihat
jubahmu. Engkau seorang pendeta berkedudukan tinggi, bukan?"
Han Siong
baru teringat bahwa dia masih mengenakan jubah seorang pendeta Lama! Dia
cemberut oleh godaan itu, akan tetapi segera tersenyum, karena bagaimana pun
juga dia berterima kasih atas semua bantuan Hay Hay. Kini semua rahasia sudah
terungkap dan dia tidak akan dikejar-kejar lagi oleh para pendeta Lama! Ketika
itulah Kim Mo Siankouw menghampiri Hay Hay.
"Orang
muda, engkau telah menyelamatkan Mayang, namun sekaligus membuat muridku itu
selamanya akan bergantung kepadamu. Pin-ni (aku) harap engkau tidak akan
kepalang menolongnya dan tidak akan mengecewakan harapan kami." Sesudah
berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengajak muridnya keluar dari dalam goa.
Hay Hay
memandang kepada Han Siong dan berbisik, "Apakah gerangan yang tadi dia
maksudkan?"
Han Siong
tersenyum gembira. Kini dia mendapatkan giliran untuk menggoda sahabatnya yang
mata keranjang itu. "Hemm, apakah engkau masih belum tahu atau pura-pura
tidak tahu? Engkau telah menyelamatkan gadis manis itu dari mala petaka, dan
melihat kalian tadi bermesraan seperti itu, hemmm...ke mana lagi larinya urusan
ini kalau tidak berakhir dengan pernikahan?"
Hay Hay
menganggap ucapan itu hanya kelakar, maka dia pun tertawa saja. Akan tetapi dia
lalu teringat akan sikap dan kata-kata Mayang tadi. Mayang mengatakan bahwa dia
berhutang budi, kehormatan dan nyawa, dan bahwa gadis itu selama hidupnya tidak
akan melupakannya, kemudian gadis itu telah menciumi kedua pipinya! Sekarang
guru gadis itu berkata demikian, dan mengharapkan agar dia tidak mengecewakan
mereka.
"Wah,wah,
wah...!” tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali karena dia teringat pula akan
keadaan tubuh gadis itu yang bugil pada waktu dia menolongnya. Jantungnya
berdebar kencang ketika pemandangan itu terbayang kembali. "Wah...
pernikahan... ya ampun...!”
Dia
memegangi kedua pipinya, matanya nanar menatap wajah Han Siong yang sedang
mentertawakannya.
*****************
Dengan
dikawal oleh tujuh pendeta Lama, wakil Dalai Lama menerima undangan Kim Mo
Siankouw dan datang berkunjung ke rumah wanita sakti itu di puncak Awan Kelabu.
Juga Hay Hay dan Han Siong terpaksa tidak dapat menolak undangan Kim Mo
Siankouw, apa lagi karena mereka pun ingin bicara dengan wakil Dalai Lama.
Mereka
dijamu dengan masakan-masakan yang tidak mengandung daging binatang, dan dalam
kesempatan ini Han Siong menceritakan penderitaannya sejak terlahir sehubungan
dengan pengejaran para pendeta Lama terhadap dirinya.
"Jangan
khawatir, Pek-taihiap," kata wakil Dalai Lama. "Mulai saat ini juga
tidak akan ada pengejaran lagi. Sesungguhnya, sudah sejak lama kami tidak
mencarimu, semenjak kami yakin bahwa Taihiap tidak suka menjadi seorang
pendeta. Sungguh kami tak menyangka bahwa Taihiap hendak dimanfaatkan oleh para
pemberontak. Mereka ingin mengangkat Taihiap untuk menjadi Dalai Lama
tandingan, lantas mempengaruhi para pendeta di Tibet untuk mengakui Taihiap
sebagai Dalai Lama sejati yang baru. Hal itu amat berbahaya dan mungkin saja
usaha mereka itu akan berhasil karena Taihiap memang mempunyai ciri-ciri untuk
menjadi Dalai Lama. Akan tetapi sekarang, calon Dalai Lama yang baru sudah ada
dan kami sudah membebaskan Taihiap."
Tentu saja
Han Siong merasa girang sekali. Seperti diangkat sebongkah batu besar yang
selama ini menekan perasaannya dan yang membuatnya selalu merasa tidak aman.
Karena hari
telah menjelang senja dan perjalanan ke Lasha masih jauh dan tidak mungkin
dilakukan pada waktu gelap, maka wakil Dalai Lama menerima dengan senang hati
ketika Kim Mo Siankouw mengundangnya untuk melewatkan malam di rumahnya yang
besar itu. Juga dua orang pemuda yang sudah diterima sebagai tamu terhormat
bahkan sahabat itu mendapatkan dua buah kamar.
Malam itu
pintu kamar Han Siong diketuk orang. Dia membuka daun pintu dan seorang pelayan
wanita nampak berdiri sambil memberi hormat. "Maaf kalau saya mengganggu,
Pek-taihiap. Saya diutus oleh Siankouw untuk mengundang Taihiap ke ruangan
belakang karena Siankouw ingin membicarakan hal yang penting dengan
Taihiap."
Tentu saja
Han Siong merasa heran. Akan tetapi dia tidak membantah, segera mengikuti
pelayan itu menuju ke ruangan belakang. Di ruangan itu telah menanti Kim Mo
Siankouw dan seorang wanita setengah tua yang dikenalnya sebagai ibu Mayang.
"Duduklah,
Pek-taihiap dan terima kasih bahwa Taihiap suka memenuhi permintaan kami untuk
datang ke sini," kata Kim Mo Siankouw.
"Terima
kasih," kata Han Siong sesudah memberi hormat, kemudian duduk di atas
kursi berhadapan dengan dua orang wanita itu. "Ada keperluan apakah yang
hendak Siankouw bicarakan dengan saya?”
Kim Mo
Siankouw tersenyum dan Han Siong merasa kagum. Wanita yang usianya sudah enam
puluh tahun ini masih anggun dan kelihatan jauh lebih muda dari usia sebenarnya
kalau sedang tersenyum.
"Harap
jangan merasa kaget jika malam-malam begini kami mengundangmu, Pek-taihiap.
Sebetulnya kami hanya mengganggu saja, karena kami hanya membutuhkan keterangan
darimu mengenai sahabatmu itu, yaitu Hay Hay." Karena Mayang selalu menyebut
nama Hay Hay begitu saja, maka nama itu menjadi dikenal sekali dan baik ibunya
mau pun Kim Mo Siankouw juga menyebutnya Hay Hay.
Han Siong
melebarkan matanya dan memandang heran. "Keterangan tentang Hay Hay?
Mengapa? Apa yang Siankouw maksudkan? Apakah dia masih diragukan setelah
jasanya yang besar? Saya berani menanggungnya bahwa dia seorang yang baik
dan..."
“Bukan
begitu maksud kami, Taihiap. Sebaiknya kami berterus terang saja. Sebenarnya,
kami, yaitu pin-ni dan juga ibu Mayang telah mengambil keputusan hendak
menjodohkan Mayang dengan Hay Hay. Oleh karena Taihiap adalah sahabat baiknya,
maka kami ingin mengetahui segalanya tentang dia."
Wajah Han
Siong berseri dan senyumnya melebar. Hatinya lega, dan dia bahkan merasa girang
sekali. Bagus, pikirnya. Sekarang tiba saatnya kuda jantan yang binal itu
dipasangi kendali! Kalau sudah beristeri, tentu tidak akan berani bersikap mata
keranjang lagi!
Dan dia
melihat bahwa Mayang juga seorang gadis yang hebat, sudah sepantasnya jika
menjadi isteri Hay Hay. Dia cukup manis, cukup pandai dan cukup galak. Amat
diperlukan seorang isteri yang galak untuk bisa mengendalikan watak Hay Hay
yang mata keranjang itu. Dan aku akan membantu agar perjodohan ini tidak gagal,
pikirnya mantap.
"Begitukah,
Siankouw? Saya merasa ikut bergembira dengan niat baik itu. Nah, apa yang perlu
ji-wi (anda berdua) ketahui?"
Kim Mo
Siankouw menoleh kepada ibu Mayang dan berkata, "Nah, sekarang katakanlah
apa yang ingin kau ketahui."
Dengan sikap
malu-malu wanita itu memandang Han Siong. Seorang wanita yang cantik seperti
puterinya, pikir Han Siong. Namun sinar matanya sayu mengandung kedukaan
sehingga dia merasa kasihan. Agaknya wanita ini pernah menderita batin,
pikirnya.
"Apakah
yang ingin Bibi ketahui dari saya? Harap katakan saja dan saya akan memberi
keterangan segala yang saya ketahui," kata Han Siong sesudah melihat sikap
wanita itu yang seperti sungkan-sungkan.
"Hay
Hay itu... dia... dia she (marga) Tang dan bernama Hay?" sambil berkata
demikian, wanita itu menatap tajam wajah Han Siong.
Han Siong
termenung sejenak. Kalau sampai diketahui Kim Mo Siankouw bahwa Hay Hay adalah
putera Ang-hong-cu penjahat besar yang cabul, maka jelas bahwa tali perjodohan
itu akan gagal. Dan orang sakti seperti Kim Mo Siankouw tentu pernah mendengar
akan nama Ang-hong-cu itu.
"Ah,
biasanya kami semua sahabatnya hanya mengenalnya sebagai Hay Hay begitu saja.
Dulu dia pernah mengaku bahwa dia she Siangkoan. Akan tetapi kemudian dia
mengaku bahwa she-nya adalah Tang. Agaknya dia sendiri tak begitu menghiraukan
tentang nama keturunannya."
"Siapakah
nama ayahnya yang she Tang itu?" Ibu Mayang mendesak.
"Saya
tidak tahu, Bibi." Han Siong mengerutkan alisnya. "Bahkan Hay Hay
sendiri juga tidak mengetahuinya. Pernah dia bercerita kepada saya bahwa ketika
dia masih kecil, dia diaku anak oleh suami isteri keluarga Siangkoan. Kemudian
dia mendengar bahwa ibunya sudah tewas di laut dan bahwa ayahnya juga tidak
ada, mungkin sudah tewas pula. Dia seorang sebatang kara, tak pernah melihat
ayahnya mau pun ibunya. Kasihan sekali dia, mungkin karena kesengsaraan yang
dideritanya sejak kecil itulah maka dia menutupinya dengan sifatnya yang
gembira dan jenaka. Akan tetapi dia seorang yang sangat baik hati, seorang
pendekar sejati, hal ini saya berani tanggung!”
Ibu Mayang
mengangguk-angguk dan nampaknya puas dengan jawaban itu. Kini Kim Mo Siankouw
yang bertanya.
"Engkau
tahu benar bahwa dia belum mempunyai isteri atau tunangan, Pek Taihiap?'
Han Siong menggelengkan
kepalanya. "Belum, Siankouw. Hal ini saya tahu benar karena kalau dia
sudah bertunangan atau menikah, tentu memberi tahu kepadaku dan tentu aku
mengetahuinya. Dia masih sendiri, sebatang kara, tidak ada keluarga sama
sekali! Hanya punya sahabat baik, di antaranya saya. Para pendekar mengenal
siapa Hay Hay, karena dia pernah berjasa besar ketika bersama para pendekar
lain membantu pemerintah dalam membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh
mendiang Lam-hai Giam-lo." Sengaja Han Siong memuji-muji temannya supaya
perjodohan benar-benar dijadikan. Dia ingin melihat sahabatnya itu terikat dan
tidak binal lagi....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment