Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 09
INILAH
pemuda yang semalam melindungi Gui Lok, mengalahkan dua orang pengawalnya dan
membikin malu padanya di depan umum! Dan kini pemuda ini berani muncul, bahkan
menurut laporan Siok Bi tadi, pemuda ini mengalahkan semua jagoannya dan tentu
akan merobohkan puluhan orang pengawal kalau tidak segera diundang masuk.
Siok Bi
mengatakan bahwa pemuda itu datang bukan hendak membikin kacau, melainkan untuk
menyerahkan uang sebanyak lima puluh tail emas! Dan dia pun sudah mendengar
bahwa pemuda ini pula yang sudah mengeduk lima puluh tail emas dari rumah
judinya, mengalahkan semua bandar judi yang tangguh.
Meski
hatinya diliputi keraguan dan perasaan takut, terpaksa dia menyetujui ketika
Siok Bi menyatakan hendak mengundang saja pemuda itu masuk supaya dapat bicara
baik-baik. Menghadapi seorang pemuda yang selihai itu memang lebih baik
dilakukan dengan cara damai. Bahkan, akan sangat menguntungkan kalau pemuda
selihai itu mau menjadi kaki tangannya!
"Duduklah,
orang muda yang gagah perkasaa," kata Hartawan Coa.
Para pelayan
wanita segera mengundurkan diri sehingga di dalam kamar itu hanya tinggal
Hartawan Coa, Hay Hay dan Siok Bi bertiga saja. Para pengawal kini bergerombol
di luar kamar itu, siap melindungi majikan mereka kalau diperlukan.
"Terima
kasih, Coa Wan-gwe,” kata Hay Hay sederhana dan dia pun lantas menurunkan
buntalannya dari atas punggung, meletakkannya di atas meja dan dia sendiri lalu
duduk di atas bangku dekat meja.
Siok Bi juga
turut duduk di antara mereka, dengan wajah berseri dan kedua pipi merah.
Matanya yang indah itu bersinar-sinar karena dia tahu bahwa pemuda itu menepati
janji, membawa lima puluh tail emas itu untuk membeli kebebasannya! Tadi malam
dia sudah memberi kabar kepada pemuda yang mencintainya itu supaya pagi ini
siap menantinya di depan gedung, siap pergi bersamanya untuk menjadi suami
isteri dan memulai hidup baru yang cerah!
"Anak
muda, semalam engkau berkata kepadaku akan datang berkunjung. Dan sekarang,
pagi-pagi engkau benar-benar datang berkunjung dan mengatakan kepada para
pengawal bahwa engkau datang sambil membawa lima puluh tail emas untuk
diberikan kepadaku. Benarkah itu dan apakah maksudmu? Apakah engkau hendak
mengembalikan lima puluh tail emas yang kau bawa dari rumah judi itu?"
Melihat
sikap hartawan jtu, Hay Hay tersenyum. Tentu saja hartawan ini bersikap angkuh
karena pada saat itu dia menjadi tuan rumah dan selain itu, juga di luar kamar
ini terdapat puluhan orang pengawal dan di dekatnya ada Siok Bi yang tentu
dianggapnya sebagai seorang pengawal yang setia. Dan memang sebenarnya Siok Bi
seorang pengawal yang setia, kalau saja dia tidak merasa begitu sengsara
menjadi kekasih hartawan yang tidak dicintanya itu.
"Coa
Wan-gwe, rumah judi itu milikmu, bukan? Pernahkah engkau mengembalikan uang
kekalahan dari para penjudi selama ini? Beberapa ratus ribu tail saja yang
dimenangkan rumah judi itu dari para penjudi?"
Hartawan itu
tersenyum. "Dalam perjudian, menang dan kalah merupakan hal yang biasa,
bukan?"
"Benar
begitu. Karena itu, kemenanganku di rumah judimu juga bukan hal aneh, mengapa
sekarang kau berharap aku mengembalikan uang kemenanganku dari rumah judi
itu?"
Hartawan
yang tinggi besar dengan muka hitam bopeng itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku pun
tidak mengharapkan, hanya aku tadi mendengar bahwa engkau hendak memberikan
lima puluh tail emas kepadaku. Benarkah itu, dan apa maksudmu dengan itu?"
"Aku
hendak menebus kebebasan nona Siok Bi!"
Wajah yang
tadinya tertawa itu tiba-tiba menjadi kaku, dan matanya terbelalak ketika dia
menoleh dan memandang pada Siok Bi. Gadis ini menundukkan mukanya yang berubah
merah, akan tetapi lalu diangkatnya mukanya itu dan dia menentang pandang mata
Coa Wan-gwe dengan berani.
"Dulu
tai-ya membeliku dari mendiang ayah, jika sekarang ada yang hendak menebusku
kembali, anehkah itu?" Siok Bi berkata dengan suara yang tegas.
"Tapi...
tapi... uang tebusan itu banyak sekali sekarang!" kata Coa Wan-gwe yang
merasa sayang kepada Siok Bi untuk dua hal.
Pertama,
sebagai seorang di antara selirnya, Siok Bi tetap merupakan seorang kekasih
yang istimewa, tidak genit seperti para wanita lain sehingga kadang terasa
menjemukan, dan ke dua gadis ini memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga
dapat menjadi pengawal pribadi yang boleh diandalkan. Rumah judi miliknya itu
maju pesat setelah Siok Bi menjadi pengurusnya.
"Aku
tahu, tai-ya. Pernah tai-ya mengatakan bahwa harga diriku kini telah mencapai
lima puluh tail emas, bukan?" kata Siok Bi.
"Nah,
untuk urusan itulah aku datang, Coa Wan-gwe. Ini adalah lima puluh tail emas
itu, untuk menebus kebebasan diri nona Siok Bi!" kata Hay Hay sambil
mendorong buntalan emas itu ke arah tuan rumah.
Sepasang
alis yang tebal itu berkerut, kemudian Hartawan Coa menoleh kepada Siok Bi.
Teringatlah dia betapa sudah selama hampir satu bulan ini Siok Bi selalu
menjauhkan diri darinya, dengan dalih tidak enak badan dan sebagainya!
"Ahh,
kiranya engkau jatuh cinta kepada pemuda ini dan hendak menikah dengan
dia?" tanyanya.
"Jangan
salah mengerti, Wan-gwe," kata Hay Hay cepat, sedangkan Siok Bi menggeleng
kepalanya. "Aku hanya ingin menolongnya supaya dia bebas dari sini dan
dapat memilih jodohnya sendiri. Engkau tidak perlu tahu siapa yang dipilihnya,
tetapi yang jelas bukan aku. Nah, bagaimana jawabanmu, Coa Wan-gwe?”
Hartawan itu
merasa serba salah. Uang lima puluh tail emas memang sangat banyak bagi
kebanyakan orang, tapi bagi dia tak ada artinya. Dia tidak ingin uang sebanyak
itu karena uangnya sudah jauh lebih banyak lagi. Dia juga sayang kepada Siok
Bi. Terutama sekali, dia tidak rela harus mengalah terhadap pemuda yang pernah
membuat dia malu ini. Akan tetapi menentang kehendak pemuda lihai ini? Dia pun
ragu-ragu!
Tiba-tiba
saja dia tersenyum karena mendapat pikiran yang dianggapnya baik dan sangat
menguntungkan. Di dunia ini terdapat banyak wanita, bahkan yang lebih cantik
menarik dari pada Siok Bi dan yang mudah dia dapatkan kalau dia menghendaki.
"Aku
tidak berkeberatan jika Siok Bi hendak menikah dengan seorang pria pilihan
hatinya. Akan tetapi aku tidak rela kalau harus kehilangan seorang pembantu
yang cakap. Begini saja, orang muda. Bagaimana kalau engkau menggantikan
kedudukannya? Bukan hanya kedudukannya sebagai pemimpin rumah judi, bahkan akan
kuserahkan kepadamu semua pimpinan para pasukan keamanan serta pengawal!
Kuangkat engkau menjadi pembantu utama dan berapa saja gaji yang kau kehendaki,
akan kupenuhi! Bagaimana?"
Wajah pemuda
itu berubah menjadi merah. Kurang ajar, pikirnya. Dia hendak dijadikan antek
hartawan ini! "Coa Wan-gwe, urusan itu adalah urusan antara kita berdua
dan boleh kita bicarakan nanti. Sekarang, beri dulu keputusan mengenai
kebebasan nona Siok Bi!"
Tidak ada
pilihan lain bagi Hartawan Coa untuk mempertimbangkannya lagi kecuali harus
menyetujui. Dia tahu betapa bahayanya menentang pemuda ini, apa lagi setelah
kini Siok Bi berpihak kepadanya! Apa bila terjadi keributan, maka dapat
dipastikan bahwa Siok Bi yang akan dibebaskan oleh pemuda itu tentu akan
membantunya.
Dia menarik
napas panjang dan menyentuh buntalan uang emas. "Baiklah, aku menerima
lima puluh tail emas ini sebagai penebus kebebasan Siok Bi. Mulai saat ini
engkau bebas, Siok Bi."
Mendengar
ini, Siok Bi mengeluarkan seruan lirih dan dia sudah menjatuhkan diri berlutut
di depan Hay Hay lantas merangkul kaki pemuda itu. "Ahhh, taihiap, terima
kasih... terima kasih atas budimu ini yang takkan kulupakan selama hidupku....”
Suaranya mengandung isak.
Hay Hay
tersenyum dan sekali tarik dia telah memaksa gadis itu bangkit berdiri kemudian
merangkulnya. Dengan lembut sekali diciumnya dahi gadis itu, lalu dua pipinya
sehingga ada air mata yang memasuki mulut melalui hisapan bibirnya.
"Siok
Bi, engkau memang pantas mendapatkan kebahagiaan. Nah, semoga engkau hidup
berbahagia bersama suamimu dan ini, aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali
bekal ini, agar engkau dan suamimu dapat memulai hidup baru dan memiliki
modal."
Hay Hay
mengambil sebuah guci arak, menaruhnya di atas meja di depan Coa Wan-gwe dekat
buntalan emas, lalu dia meraih buntalan emas lima puluh tail itu dan
menyerahkan emas itu kepada Siok Bi.
Gadis itu
terbelalak. "Tapi... tapi...”
Dia
memandang ke arah Hartawan Coa yang agaknya sudah berubah menjadi arca atau
tidak melihat atau tak peduli bahwa buntalan emas itu diambil oleh Hay Hay dan
sebagai gantinya, di depannya kini berdiri sebuah guci arak itu, yang telah
kosong pula.
"Bawalah,
Siok Bi, disertai doaku. Ini milikmu! Ingat, bukankah engkau yang telah
berhasil menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu? Nah, bawalah dan cepat kau pergi
dari sini!"
Gadis itu
menahan isak, lalu merangkul Hay Hay dan tanpa mempedulikan Coa Wan-gwe yang
berada di sana dan duduk seperti patung, Siok Bi mencium bibir pemuda itu
dengan sepenuh perasaan hatinya, penuh kemesraan, kehangatan, keharuan,
disertai rasa syukur yang tidak terukur dalamnya. Kemudian, sambil menahan isak
dia pun menerima buntalan emas itu dari tangan Hay Hay dan berbisik,
"Selamat tinggal, sampai jumpa pula, taihiap." Dia lalu keluar dari
kamar dengan langkah yang cepat.
"Selamat
jalan, sampai jumpa kembali, Siok Bi," Hay Hay berkata lirih sambil
tersenyum. Masih terasa kehangatan dan kelembutan bibir gadis itu akan tetapi
dia segera mengusir lenyap kenangan indah itu.
"Coa
Wan-gwe, lebih baik kita bungkus dulu emas ini dan suruh orangmu menyimpannya,
baru kita bicara," katanya kepada hartawan yang tadi duduk seperti patung
itu. Sekarang dia seperti baru sadar dari tidur.
"Ahh,
engkau benar sekali, sebaiknya kusuruh simpan dulu," katanya, sementara
itu Hay Hay mengambil kain tilam meja yang lebar dan membungkus guci itu.
Coa Wan-gwe
bertepuk tangan dan muncullah dua orang gadis pelayan yang cantik genit.
Tepukan tangan tadi adalah tepukan khas untuk memanggil dua orang selir
terkasih ini.
"Simpan
dahulu buntalan emas ini di dalam almari dan jangan bilang kepada siapa pun
bahwa di situ disimpan emas lima puluh tail," katanya.
Dua orang
gadis itu lalu mengambil buntalan guci dari atas meja, membawanya ke almari di
sudut dan menyimpannya. Mereka lalu meninggalkan kamar lagi saat mendapat
isyarat dari majikan mereka. Walau pun mereka adalah selir, akan tetapi
kedudukan mereka tidak lebih sebagai pelayan yang melayani majikan mereka,
bukan sebagai isteri.
"Nah,
sekarang kita berada berdua saja di dalam kamar ini, Coa Wan-gwe. Terus terang
saja, bila aku menjadi pembantumu maka dalam waktu beberapa bulan saja tentu
engkau akan jatuh bangkrut dan seluruh harta bendamu akan habis!"
"Mengapa
begitu?" tanya hartawan itu terkejut.
"Pertama,
karena aku tidak suka melihat orang menjadi korban perjudian. Ke dua, karena
aku selalu menentang perbuatan jahat dan kejam yang dilakukan oleh anak buahmu
atas perintahmu. Ke tiga, karena aku tidak suka melihat orang bersikap
sewenang-wenang dan memaksa wanita muda untuk menjadi miliknya. Dan ke empat,
aku tak dapat tinggal diam saja melihat orang-orang hidup melarat dan tidak
dapat makan, dan hartamu tentu akan kubagi-bagikan kepada mereka!"
Sepasang
mata hartawan itu terbelalak. "Wah, wah, kalau begitu, tidak jadi saja!
Aku tak mau mempunyai pembantu seperti itu!" Hartawan Coa menjadi marah,
lalu bangkit berdiri. "Orang muda, segera kau pergi tinggalkan rumahku ini
dan jangan lagi menggangguku!"
"Kalau
aku tetap mengganggumu, kau mau apa?"
Hartawan itu
masih belum mau menyerah dan tiba-tiba dia menyambar sebuah tali yang
tersembunyi di antara kain-kain sutera yang menghias kamar itu. Segera
terdengar suara kelenengan di luar, lantas daun pintu kamar itu terbuka.
Muncullah
tiga orang gadis pelayan cantik yang bertubuh kuat, bersama tiga orang jagoan
yang tadi sudah dirobohkannya! Tiga orang jagoan itu nampak gentar sekali
sungguh pun mereka cepat-cepat datang ketika mendengar kelenengan yang berarti
tanda bahaya bagi majikan mereka itu. Di luar pintu masih berdiri puluhan orang
pengawal yang siap dengan senjata di tangan.
"Nah,
engkau masih berani menggangguku?" bentak hartawan itu.
Hay Hay
tersenyum lebar. Hartawan Coa ini harus diberi hajaran yang cukup keras untuk
melunakkan hatinya yang keras.
"Hemmm,
kau mengandalkan para pengawalmu? Engkau tidak tahu bahwa setiap waktu para tukang
pukul dan pengawalmu itu bisa saja berbalik memusuhimu, bahkan mungkin pula
engkau akan dibunuh oleh mereka."
"Tidak
mungkin! Mereka adalah para pembantuku yang setia!"
"Setia?
Karena terpaksa dan karena uang, seperti halnya nona Siok Bi tadi. Heiiii,
kau....!” Hay Hay menggapai salah seorang di antara ketiga gadis itu. "Kau
ke sinilah dan beri satu kali tamparan pada pipi Hartawan Coa!"
Semua orang
terkejut, juga Hartawan Coa. Akan tetapi sungguh aneh. Gadis yang tadinya
terbelalak kaget mendengar perintah itu, sekarang melangkah maju mendekati
Hartawan Coa.
"Plakkk!"
Tangannya
menampar dan pipi hartawan itu sudah ditamparnya! Tidak begitu nyeri, akan
tetapi Hartawan Coa menjadi terkejut dan marah bukan main. Wajahnya sebentar
pucat dan sebentar merah.
"Tangkap
perempuan kurang ajar ini!"
Hay Hay
melangkah maju. "Siapa yang berani menangkapnya?! Kalau aku tidak memberi
perintah, maka tak seorang pun boleh mengganggu dia!" Dan aneh, mendengar
teriakan Hay Hay ini, tak seorang pun berani maju, walau pun Hartawan Coa
berkali-kali memberi perintah.
"Kau!
Majulah dan tampar pipi hartawan ini supaya dia tidak berteriak-teriak
lagi!" kata Hay Hay pada gadis ke dua. Gadis itu pun tadinya terbelalak,
akan tetapi dia melangkah maju dan tangannya menampar. Hartawan itu hendak
menangkis, namun kalah cepat.
"Plakkk!"
Dan untuk kedua kalinya pipinya kena ditampar oleh gadis kesayangannya yang
biasanya amat patuh kepadanya.
"Tiat-ci
Thio Kang, jarimu sudah patah, karena itu pergunakan kakimu menendang pantat
Hartawan Coa! Hayo cepat, jangan keras-keras, biar dia tahu rasa saja!"
Mendengar
ucapan ini, tentu saja Tiat-ci Thio Kang mempertahankan diri sekuatnya untuk
menentang perintah yang berlawanan dengan kemauan hatinya itu. Akan tetapi,
entah apa yang mendorongnya untuk melangkah maju dan kakinya lantas terayun.
"Bukkk!”
Hartawan Coa
jatuh tersungkur, lalu bangkit sambil meringis dan menggosok pinggulnya yang
ditendang. Sekarang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan memandang
kepada Hay Hay.
"Bagaimana?
Haruskah aku lanjutkan? Bila aku memerintahkan mereka menyembelihmu, maka
sekarang juga akan mereka laksanakan, Wan-gwe!"
"Tidak....
Tidak...! Hentikan permainan setan ini !" katanya meratap ketakutan.
“Kalau
begitu, perintahkan mereka itu mundur."
"Mundur!
Kalian semua mundur, terkutuk kalian!" Hartawan Coa membentak dan mereka
semua segera keluar dari dalam kamar, menutupkan daun pintu kamar dengan
khawatir ketika melihat betapa majikan mereka marah-marah.
"Nah,
Wan-gwe. Begjtulah kalau engkau memelihara harimau-harimau liar. Sekali waktu
mereka akan membalik dan mencelakai dirimu sendiri. Sekarang aku minta agar
engkau tak lagi mempergunakan kekayaan dan kekuasaanmu untuk berbuat
sewenang-wenang. Apabila aku mendengar engkau masih melanjutkan perbuatanmu
yang jahat, maka aku akan segera kembali ke kota ini lantas akan kuperintahkan
anak buahmu membunuhmu, atau mungkin juga keluargamu sendiri akan kuperintahkan
membunuh dan menyiksamu lebih dulu!"
"Aku...
aku tidak berani lagi...”
"Engkau
juga tidak akan mengganggu lagi Gui Lok dan puterinya, Gui Ai Ling yang kau
inginkan itu?"
"Tidak,
tidak... tidak lagi."
"Dan
engkau tidak akan menyuruh orang-orangmu mencari Siok Bi untuk kau
ganggu?"
"Tidak,
aku tidak berani."
"Bagus,
akan tetapi jangan mencoba-coba untuk membohongi dan menipuku. Bila perlu, aku
dapat menyuruh siapa saja atau apa saja untuk menghukum dan membunuhmu. Kau
lihat tombak dan pedang di sudut kamar itu? Aku dapat memerintahkan mereka itu
untuk membunuhmu!"
Sekali ini,
di dalam pandang mata hartawan yang tadinya ketakutan itu, kini berkilat sinar
tidak percaya, walau pun mulutnya tidak berani mengatakan hal itu.
"Engkau
tidak percaya, Coa Wan-gwe? Nah, lihat baik-baik! Pedang dan tombak milikmu
sendiri itu akan menyerangmu!"
Tiba-tiba
mata hartawan itu terbelalak, lantas mukanya yang hitam itu menjadi berkurang
hitamnya karena pucat sekali. Dia melihat betapa pedang yang berada dalam
sarungnya dan tergantung di tembok, sekarang meninggalkan sarung lalu
melayang-layang bersama dengan tombak yang juga meninggalkan rak senjata. Kedua
senjata itu melayang-layang ke atas lalu keduanya meluncur ke arah dirinya!
Dia
terkejut, ketakutan dan melompat menjauhi, akan tetapi ke mana pun dia mundur,
dua batang senjata itu terus mengejar. Tombak itu bagaikan hendak menusuk-nusuk
perutnya dan pedang yang tajam itu mengancam untuk membacok lehernya! Tentu
saja dia mandi keringat dingin.
"Tidak...!
Tidak...! Jangan... ahh, ampunkan aku... ampunkan...” dia jatuh berlutut dan
tak berani mengangkat lagi mukanya, tidak berani melihat dua senjata yang
seperti hidup dan mengancamnya itu.
"Mereka
sudah kuperintahkan kembali ke tempat masing-masing, Wan-gwe."
Hartawan Coa
mengangkat mukanya dan benar saja. Dua buah senjata itu sudah berada pada
tempatnya masing-masing, tidak bergerak dan mati seperti biasanya. Dia mengeluh
dan menghapus keringat dengan ujung lengan bajunya.
"Nah,
kau lihat sendiri, Wan-gwe. Sedangkan benda mati saja dapat berkhianat padamu,
apa lagi manusia hidup. Sekali waktu, mungkin saja pelayanmu sendiri meracunimu
atau membunuhmu selagi engkau tidur. Sebab itu bertobatlah dan tinggalkan semua
perbuatan jahat, baru Tuhan akan mengampunimu."
Hartawan itu
masih berlutut dan dia mengangguk-angguk. "Baik, baik... aku minta ampun,
aku bertobat... tidak berani lagi...”
Ketika dia
mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Pada saat para
pelayan dan pengawal memasuki kamar, mereka menemukan hartawan itu masih
berlutut dalam keadaan seperti tidak bersemangat lagi!
Hay Hay sama
sekali tidak tahu bahwa sepeninggalnya, dia tak hanya membuat hartawan itu
menjadi bertobat, bahkan lebih dari itu dan amat menyedihkan. Hartawan Coa menjadi
seperti orang gila yang selalu ketakutan, takut terhadap isterinya,
anak-anaknya, pelayan, bahkan takut kepada benda-benda di dalam kamarnya. Dia
selalu berteriak-teriak bahwa mereka semua hendak membunuhnya.
Akhirnya,
karena dia selalu marah-marah dan minta agar semua benda disingkirkan dari
kamarnya, maka kamar itu menjadi gundul dan kosong. Bahkan dia tidur begitu
saja di atas lantai karena takut kalau segala macam ranjang, kelambu, meja
kursi, bantal guling, akan membunuhnya di tengah malam!
Hartawan Coa
menjadi seperti orang gila. Akan tetapi kota itu menjadi tenang dan para
penduduknya bernapas lega karena setidaknya, seorang yang tadinya amat ditakuti
dan mengganggu ketenangan hidup mereka kini telah mati kutu.
***************
Malam yang
gelap karena malam itu gelap bulan. Langit hanya dihiasi laksaan bintang, atau
jutaan atau bahkan lebih. Tak terhitung! Biar pun tidak ada bulan, namun sinar
lemah dari bintang-bintang itu bergabung dan mampu pula mengurangi kepekatan
malam, bukan menjadi gelap gulita lagi melainkan remang-remang.
Akan tetapi,
kompleks bangunan dalam lingkungan istana sama sekali tidak pernah gelap!
Banyak sekali lampu-lampu gantung besar kecil, beraneka warna dan bentuk, menerangi
bagian dalam dan luar istana. Bahkan di taman-taman bunga yang teratur indah
terdapat lampu penerangan.
Malam itu
sunyi sekali karena hawa malam itu amat dingin. Musim semi telah mulai, akan
tetapi sisa musim salju masih meninggalkan hawa dingin yang menyengat tulang.
Karena dinginnya, maka malam itu amat sunyi meski di lingkungan istana sendiri.
Para penghuni istana, yaitu kaisar serta semua keluarganya, juga para dayang,
para selir, para pelayan dan bahkan para pengawal, lebih suka berada di dalam bangunan
dari pada di luar!
Di udara
terbuka hawa dingin sungguh tak tertahankan. Para pengawal luar yang sedang
melakukan penjagaan di luar kompleks bangunan lebih suka berkelompok di dalam
gardu-gardu penjagaan di mana mereka dapat menghangatkan tubuh di dekat arang
membara, atau perapian yang sengaja dibuat untuk sekedar menghangatkan badan
melawan hawa dingin. Para penjaga menjadi malas untuk meronda sebab meronda
berarti meninggalkan gardu dan memasuki tempat terbuka di mana mereka akan
disambut oleh dekapan hawa yang amat dingin.
Lagi pula,
siapakah yang akan berani mengganggu ketentraman istana? Berarti mencari mati
konyol! Maling? Sebelum memperoleh sesuatu dia sudah akan mati kedinginan lebih
dulu! Malam itu, malam yang dingin sunyi sehingga para penjaga menjadi lengah.
Akan tetapi,
bagi seseorang yang sedang dimabok cinta dan dendam birahi, yang sedang
menderita rindu, berkencan dengan kekasih yang dirindukan merupakan kewajiban
yang harus dilakukan dengan sepenuh hati, dengan nekat dan kalau perlu
mengorbankan diri! Jangankan hanya hawa dingin di malam sunyi itu, biar harus
menghadapi rintangan yang lebih berat sekali pun, seorang yang sedang
merindukan pertemuan dengan kekasihnya tidak akan mundur selangkahpun!
Demikian
pula bagi pria yang kini sedang menunggu di dalam taman bunga sebelah barat
istana itu. Dia bersembunyi di balik rumpun-rumpun bunga yang tumbuh lebat di
sebelah kiri depan pondok indah itu. Pondok yang bercat merah dan diberi nama
'Sarang Madu' di depannya, nama itu tertulis indah di papan yang tergantung di
depan pondok.
Nama ini
diberikan kaisar karena dia merasa seolah-olah berada di sarang madu ketika
sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang yang muda-muda dan cantik
jelita di pondok merah itu. Nama Sarang Madu itu ada riwayatnya.
Ketika itu,
pondok merah ini baru saja selesai dibangun dan belum ada namanya. Ketika
kaisar bersama para selir tercinta tengah bersenang-senang di situ, kaisar
melihat sebuah sarang lebah tergantung pada dahan pohon dekat pondok. Sarang
lebah itu sudah penuh madu, nampak ada madu menetes-netes turun. Kaisar segera
menyuruh pengawal untuk mengusir lebah-lebahnya dan menurunkan sarang lebah
itu. Ternyata sarang itu memang penuh dengan madu! Tentu saja kaisar menjadi
girang sekali, lalu bersama para selir dan dayang minum madu yang manis.
Karena
peristiwa itulah maka pondok ini diberi nama Sarang Madu. Bukan hanya karena
madu itu memang manis. Akan tetapi berpesta pora dengan para dayang dan selir
yang cantik-cantik itu memang amatlah manisnya!
Dan bagi
pria yang kini bersembunyi di dekat pohon Sarang Madu itu, memang pondok itu
merupakan sarang madu yang sangat manis baginya. Semua kenangan manis, indah
dan menggembirakan berada di dalam pondok itu sejak dia bertemu dan berhubungan
dengan Hwee Lan!
Sekarang
laki-laki itu menyelinap dekat tembok pondok yang lebih melindungi dirinya dari
hembusan angin lembut sehingga sinar lampu gantung yang halus dapat
menyentuhnya. Dia seorang laki-laki muda berusia kurang lebih dua puluh lima
tahun, berpakaian sebagai seorang perwira dan dia nampak gagah sekali dalam
pakaian yang cemerlang ini.
Sebuah
pedang tergantung pada pinggangnya, dan topi bulunya nampak bersih. Bulu itu
kelihatan putih sekali di atas rambutnya yang hitam panjang. Wajahnya tampan
menarik dan jantan. Wajah yang disuka oleh kaum wanita. Tubuhnya jangkung
dengan pinggang ramping, tubuh yang juga menjadi idaman wanita. Pendeknya,
pemuda berusia dua puluh lima tahun ini amat menarik bagi wanita.
Seorang yang
tampan, gagah dan memiliki kedudukan baik. Seorang perwira pengawal! Dari
pangkatnya ini saja, yakni perwira pengawal dalam istana, mudah diduga bahwa
dia bukanlah seorang pemuda lemah, melainkan seorang pemuda gemblengan yang
memiliki kegagahan dan ilmu silat tinggi.
Perwira muda
ini bernama Tang Gun. Baru dua tahun dia menjadi perwira di dalam istana dan
dipilih oleh kaisar sendiri karena dia telah berjasa saat membantu pasukan
pengawal membasmi perampok yang berani memberontak dan mengusik ketenangan
kaisar ketika kaisar berburu binatang di hutan. Pemuda yang gagah perkasa dan
yang pekerjaannya sebagai seorang pemburu itu lalu membantu para pengawal,
bahkan dialah yang berhasil membunuh kepala perampok.
Mendengar
tentang kegagahan pemuda ini, kaisar memanggilnya dan karena gembiranya kaisar
lantas menganugerahkan pangkat perwira pengawal kepadanya. Bukan pengawal luar,
akan tetapi pengawal dalam istana, sebuah pangkat yang hanya diberikan kepada
orang-orang yang benar-benar dipercaya oleh kaisar!
Tadinya Tang
Gun hidup berdua saja dengan ibunya yang telah berusia empat puluh tiga tahun.
Mereka hidup berdua dalam keadaan miskin karena ibunya adalah seorang janda dan
kehidupan mereka hanya mengandalkan hasil buruannya. Bila dia berhasil membunuh
seekor dua ekor kijang atau beberapa ekor kelinci, dagingnya lantas dibuat
daging kering oleh ibunya, kemudian kulit dan daging kering itu dijual dan di
tukar dengan beras, terigu dan bumbu-bumbu masak, juga untuk membeli pakaian.
Mereka hidup di tempat terpencil, di dekat hutan.
Sejak kecil
Tang Gun memang suka mempelajari ilmu silat. Dari kawan-kawannya, para pemburu,
dia belajar silat dan mencari guru-guru silat yang pandai. Karena tekunnya dan
tidak mengenal lelah, juga rajin mencari guru yang pandai, akhirnya dia menjadi
seorang pemuda gemblengan yang pandai silat dan menjadi jago di antara para
pemburu.
Ibunya
selalu mengatakan bahwa ayah kandungnya telah meninggalkan mereka sejak dia
masih kecil sekali. Menurut ibunya, ayah kandungnya adalah seorang pria she
Tang dan ibunya menyerahkan sebuah benda berbentuk ukiran seekor kumbang yang
terbuat dari emas dan batu permata. Si Kumbang Merah atau Ang-hong-cu,
demikianlah julukan ayah kandungnya. Demikian menurut ibunya.
Dia tidak
pernah mengenal ayahnya, hanya tahu bahwa ayahnya she Tang dan berjuluk
Ang-hong-cu. Menurut ibunya, ayahnya adalah seorang yang sangat sakti dan kalau
dia kelak melihat seorang pria yang mempunyai tanda mainan seperti yang
dimilikinya, maka itulah ayahnya!
Tang Gun
telah mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Ang-hong-cu. Akan tetapi,
dengan kecewa dia mendengar bahwa sudah bertahun-tahun dunia kang-ouw tidak
lagi mendengar nama Ang-hong-cu. Si Kumbang Merah itu seakan telah lenyap atau
mungkin juga sudah mati! Maka Tang Gun menjadi putus asa dan tidak mencari
lagi.
Pada saat
dia masih menjadi seorang pemburu biasa, kenyataan bahwa dia tidak berayah
lagi, bahkan dia tidak tahu di mana ayahnya, sudah mati atau belum, tidak
merupakan hal yang perlu dirisaukannya benar. Dia hanyalah seorang pemburu
miskin. Siapa yang akan memperhatikan dirinya dan siapa yang ingin mengetahui
siapa ayahnya?
Akan tetapi,
setelah dia menjadi seorang perwira pengawal di istana, hal itu menjadi amat
penting! Ia kini seorang yang berkedudukan, dihormati dan disegani, bahkan
cukup dekat dengan keluarga kaisar! Untuk mengangkat harga dirinya, terutama di
kalangan pasukan dan juga di dunia persilatan, maka mulailah dia mengaku bahwa
dia adalah putera Ang-hong-cu yang dikabarkan memiliki kesaktian hebat itu!
Berita yang dibangga-banggakan inilah yang akhirnya sampai ke telinga Hay Hay
lewat Siok Bi.
Karena dia
memiliki wajah tampan menarik, tubuh yang kokoh kuat sehingga dia nampak gagah
dan jantan, sejak remaja Tang Gun disukai oleh banyak wanita. Dan dia pun sadar
akan ketampanannya, sadar bahwa banyak wanita menyukainya. Oleh karena itu,
walau pun ibunya yang menjanda itu sering mendesaknya supaya segera menikah,
Tang Gun selalu menolak. Dia merasa rugi kalau harus menikah.
Pertama,
untuk menikah dia harus memiliki uang namun dia seorang yang miskin. Setelah
menikah, berarti tanggungannya bertambah, tadinya hanya dua orang menjadi tiga
orang, belum lagi kalau isterinya melahirkan anak. Ke dua, sesudah dia
beristeri tentu rasa suka para wanita terhadap dirinya akan berkurang. Jauh
lebih senang kalau dia masih bebas, dia dapat berpacaran dengan wanita mana pun
yang suka kepadanya dan disukainya.
Maka
mulailah Tang Gun dikenal sebagai seorang pemuda yang mata keranjang, selalu diburu
wanita dan selalu berganti-ganti pacar! Betapa pun juga dia tak pernah
melakukan pelanggaran. Tidak pernah dia memperkosa wanita, tak pernah pula dia
mempermainkan isteri orang. Dia hanya menyambut uluran cinta seorang gadis atau
seorang janda muda.
Sesudah dia
berusia dua puluh tiga tahun dan diangkat menjadi perwira pengawal dalam
istana, nafsu birahi yang selama ini memperhamba batin dan tubuhnya menjadi
terkekang dan tak mudah dapat disalurkan. Dia kini telah menjadi seorang
perwira pengawal dalam istana. Tentu saja dia tidak boleh sembarangan mengumbar
nafsu seperti ketika dia masih tinggal di dusun. Dia harus menjaga namanya dan
kini dia tinggal di kompleks perumahan para perwira yang berada di lingkungan
istana, meski pun di bagian luar akan tetapi masih berada di belakang tembok
yang mengelilingi istana.
Dia tinggal
bersama ibunya di dalam sebuah rumah yang cukup indah walau pun sedang saja.
Ada pula dua orang lainnya, lelaki dan wanita, yang menjadi pelayan rumah
mereka. Dia hanya bisa mencari hiburan dan bersenang-senang apa bila dia sedang
memperoleh giliran cuti. Dia sering pergi ke rumah pelesir yang jauh berada di
sudut kota, menyamar sebagai seorang pemuda biasa.
Akan tetapi
dia tidak dapat berkutik apa bila dia sedang bertugas atau berada di rumah,.
Sebagai seorang perwira pengawal, apa lagi pengawal di dalam istana, dia harus
selalu sopan dan menjaga kesusilaan. Sebagian besar para perwira pengawal, juga
para prajurit pengawal yang mengawal bagian dalam istana, apa lagi yang mengawal
bagian keluarga puteri kaisar, adalah para thai-kam (laki-laki kebiri). Dia
sendiri tidak diharuskan menjadi thai-kam karena kaisar percaya kepadanya.
Karena
tugasnya sebagai komandan pengawal dalam istana, maka sering kali Tang Gun
memimpin rombongan pengawal melakukan perondaan di waktu malam. Bahkan sering
pula dia mendapat giliran berjaga di dalam taman yang berhubungan dengan tempat
para puteri. Karena itu sering pula dia melihat kaisar kalau Sribaginda ini
sedang berjalan-jalan di dalam taman atau sedang bersenang-senang dengan para
selir dan dayang di pondok-pondok indah. Tentu saja dia selalu bersikap hormat,
berlutut sambil menundukkan muka, tidak berani mengangkat muka memandang
Sribaginda dan para wanita cantik itu.
Biar pun
matanya tidak dapat melihat, namun hidungnya masih bisa mencium keharuman yang
keluar dari pakaian para wanita, juga telinganya bisa menangkap suara tawa
merdu sekali, sepatah dua patah kata yang keluar dengan halus lembut seperti
nyanyian merdu. Karena dia berwatak mata keranjang, maka jantungnya langsung
terguncang hebat.
Lambat laun,
setelah hampir dua tahun dia terbiasa dengan kesempatan seperti itu, maka
mulailah dia berani bermain mata. Biar pun kepalanya ditundukkan, akan tetapi
matanya mengerling ke atas. Makin kagumlah dia ketika melihat wanita-wanita
cantik jelita dalam pakaian yang serba indah itu.
Tadinya dia
hanya mampu melihat bagian bawah tubuh saja, dari kaki-kaki mungil sampai lutut
yang tertutup sutera beraneka warna. Tapi kini dia dapat melihat wajah para
pemilik kaki mungil itu. Ternyata dia tidak menemukan wanita yang angkuh dan
tinggi hati seperti di dalam dongeng tentang puteri-puteri dan keluarga kaisar,
melainkan wajah-wajah cantik jelita dan manis yang memandang kepadanya dengan
penuh gairah! Mata yang jeli itu, mulut yang segar kemerahan itu, dengan jelas
sekali menunjukkan betapa mereka sangat kehausan!
Tang Gun
yang telah banyak bergaul dengan para wanita dapat melihat tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa kebanyakan dari para wanita muda itu, para selir serta dayang
dari Kaisar, memandang kepadanya dengan penuh birahi!
Memang
demikianlah keadaan para wanita muda dan cantik itu. Mereka melihat seorang
perwira pengawal yang muda, tampan, ganteng, gagah dan jantan. Apa lagi mereka
juga mendengar dari para thai-kam yang selalu bermuka-muka terhadap mereka
bahwa Tang-ciangkun (Perwira Tang) ini, yang pernah menyelamatkan kaisar,
adalah seorang perwira yang benar-benar jantan dan laki-laki tulen, bukan
thai-kam! Tentu saja hal ini membuat mereka tertarik dan mereka selalu timbul
birahi dan gairah setiap kali melihat perwira itu.
Memang
seperti itulah keadaan para wanita muda yang menjadi penghuni istana raja di
mana pun juga. Seorang kaisar sudah lajim mempunyai banyak sekali selir dan
dayang, bisa sampai puluhan orang banyaknya. Hal ini tentu saja merupakan
keadaan yang tidak seimbang.
Puluhan
orang selir dan dayang itu adalah wanita-wanita yang masih muda, bagai
bunga-bunga di taman yang sedang segar-segarnya, sedang mekar indah dan
membutuhkan banyak sekali siraman dan curahan kasih sayang dan kemanjaan pria.
Sebaliknya, kaisar yang sudah setengah tua itu tentu saja tidak mungkin dapat
memenuhi kebutuhan badan dan batin mereka. Kaisar hanya mampu memberikan
kedudukan dan kemewahan saja.
Para wanita
itu mendambakan perhatian, pencurahan kasih sayang yang lebih sering dan lebih
banyak. Mereka rata-rata merasa kesepian, seperti burung-burung dalam kurungan.
Maka tidaklah mengherankan dan bukan semata karena watak mereka yang genit
kalau mereka itu segera tertarik kepada Tang Gun yang muda, tampan, gagah dan
mempunyai kerling mata tajam serta senyuman menggairahkan hati mereka itu. Akan
tetapi bagi Tang Gun, yang paling membuat dirinya tergila-gila adalah seorang
selir kaisar yang bernama Hwee Lan.
Mula-mula
pertemuannya dengan Hwee Lan merupakan hal yang kebetulan saja dan tidak
disengaja. Pada suatu malam, beberapa bulan yang lalu, malam terang bulan yang
amat indah. Tang Gun yang kebetulan dinas jaga, memimpin para pengawal dalam
istana dan membagi-bagi tugas jaga, merasa iseng sehingga dia pun memasuki
taman istana bagian barat yang indah. Sambil meronda dia pun sekalian menikmati
malam yang sangat indah itu. Malam yang hawanya tidak begitu dingin, terang
bulan pula dan karena pada saat itu bunga-bunga di taman sedang mekar, maka
keadaan taman itu benar-benar amat indah, romantis dan penuh dengan keharuman
bunga.
Tiba-tiba
dia dikejutkan oleh gerakan dan suara orang di belakang pondok Sarang Madu yang
merah itu. Menduga terjadi sesuatu yang mencurigakan, ia pun cepat menyelinap
di antara semak-semak dalam taman dan mengintai dari balik batang pohon.
Kiranya yang berada di antara bunga mawar yang ditanam di bagian belakang
pondok itu adalah salah seorang di antara para selir yang paling jellta!
Selir itu
memang sangat menarik dan mempesona hati Tang Gun setiap kali melihatnya,
dengan kulit muka yang bukan hanya putih mulus seperti para selir lain,
melainkan putih bercampur warna merah segar, seperti kulit bayi yang montok.
Selir yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu ditemani oleh seorang
dayang pelayan yang juga usianya masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun
dan cantik pula. Namun, dibandingkan dengan selir itu, kecantikan dayang ini
tidak ada artinya lagi.
“A Sui,
malam begini indah, taman penuh bunga, udara demikian sejuk dan harum. Aihh,
alangkah indahnya malam ini..." Tang Gun yang mengintai, merasa jantungnya
berdebar penuh kagum. Suara itu demikian merdu, dan kata-kata itu demikian
halus dan indah.
Dayang itu
tersenyum. "Aduh, kata-kata nona Hwee Lan selalu indah sekali, mirip
seperti nyanyian, seperti sajak...,” dayang itu memuji.
"Memang
aku suka bersajak, A Sui, apa lagi di dalam suasana yang begini indah...” Selir
cantik itu mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama.
Wajah itu
sepenuhnya tertimpa cahaya bulan, nampak putih kemerahan laksana disepuh emas
sehingga Tang Gun yang sedang mengintai menjadi terpesona. Selama hidupnya
belum pernah dia melihat wanita secantik selir itu. Dan namanya Hwee Lan!
Dayang itu
bertepuk tangan memuji. "Kalau begitu, mengapa Nona tidak membuat sajak
tentang malam yang indah ini? Saya akan berbahagia sekali mendengarkannya,
Nona."
Sikap dayang
itu amat bersahabat, karena biar pun kedudukannya hanya sebagai dayang yang
melayani selir itu, sebagai pelayan pribadi, namun dayang ini pun termasuk
seorang di antara para dayang cantik yang menerima ‘kehormatan’ dari kaisar,
yaitu pernah dan sewaktu-waktu menemani dan melayani kaisar di kamar tidurnya.
Oleh karena itu, walau pun kedudukan mereka berbeda tapi keduanya merasa
senasib dan seperti madu saja.
Hwee Lan
kembali merenung memandang bulan, lalu beberapa kali dia menghela napas
panjang. "A Sui, pada malam terang bulan seperti ini selalu mengingatkan
aku akan masa remaja ketika aku belum dibawa ke dalam istana, bergembira ria
bersama teman-teman di kampung. Dan malam sepertl ini selalu mengingatkan aku
akan keadaanku sekarang. Aku akan mencoba bersajak, akan tetapi hanya untuk
telinga kita berdua saja, A Sui."
Suasana
menjadi hening. A Sui dan Tang Gun yang bersembunyi, menanti dengan penuh
pesona. Bahkan kembang-kembang di taman itu seperti sedang menanti pula, dan
semilir angin lembut tiba-tiba saja berhenti berhembus, seperti memberi
kesempatan kepada si jelita untuk mengalunkan suaranya yang merdu.
Hwee Lan
masih berdiri, demikian lembut gemulai seperti sebatang pohon yang-liu muda.
Dia memandang bulan, kemudian terdengarlah suaranya lirih dan lembut seperti
desahan bayu di antara daun pohon cemara.
"Malam
syahdu penuh pesona Mencipta sajak memuja asmara Bulan gemilang bayu berdendang
Taman mengharum mengapa hati bimbang? Mawar merah cantik jelita, Tiada belaian,
sepi menderita Siapa peduli mawar sengsara Apa guna segala ratap hampa Mawar
indah menangis sendiri Akhirnya layu... kering... mati...!"
Sajak itu
diakhiri dengan isak tangis tertahan. A Sui segera bangkit berdiri, lalu
merangkul Hwee Lan dan ikut pula menangis, akan tetapi disertai kata-kata
menghibur.
"Sudahlah,
nona, Tidak perlu membiarkan duka berlarut-larut menggerogoti hati. Memang
beginilah nasib wanita-wanita seperti kita...”
"Wahai
mawar merah nan suci ada taman sepotong hati dengan pupuk kesetiaan sejati dan
siraman air cinta murni bersedia menampung jika sudi!"
Dua orang
wanita itu terkejut dan menengok ke arah pohon besar di belakang pondok. Pada
waktu melihat munculnya Tang Gun, Hwee Lan tidak menjadi ketakutan. Wajahnya
berubah kemerahan dan kedua kakinya gemetar ketika perwira yang tampan itu
berjalan menghampiri.
Mereka
berdiri dan saling pandang, sedangkan A Sui sambil menahan senyumnya cepat
mundur ke belakang nonanya. Kedua wanita ini sudah sering kali membicarakan
tentang ketampanan dan kegagahan Tang Gun.
"Kiranya
Tang-ciangkun...!" kata Hwee Lan, suaranya merdu dan lirih, tetapi agak
gemetar karena jantungnya berdebar penuh ketegangan.
“Selamat
malam, Tuan Puteri, dan maafkan jika hamba mengganggu. Hamba tadi sedang
meronda lalu mendengar...”
"Sudahlah,
ciangkun. Engkaukah yang menjawab sajakku tadi?"
Betapa
beraninya wanita ini, pikir Tang Gun, betapa hausnya!
"Benar,
Tuan Puteri, dan ampunkan hamba....”
"Benarkah
apa yang kau katakan dalam sajak tadi? Engkau bersedia menampung mawar layu,
bersedia menyirami dan menyegarkannya kembali?"
"Hamba
bersedia dengan sungguh hati dan dengan segala kebahagiaan dan kehormatan, Tuan
Puteri...”
Kini seluruh
tubuh Hwee Lan gemetar dan dia pun menoleh ke sekelilihg. Setelah merasa yakin
bahwa tidak ada orang lain di situ, dia melangkah maju, memegang tangan perwira
itu lalu berkata lirih, "Mari kita bicara di dalam pondok, ciangkun. Tidak
baik bila diketahui orang. A Sui, engkau menjaga di luar."
A Sui
tersenyum gembira dan mengangguk, membayangkan bahwa kelak dia pun sudah pasti
akan mendapat bagian karena bukankah rahasia mereka berdua berada di telapak
tangannya? Tang Gun menjadi berani dan dia pun menggenggam tangan yang kecil
lunak dan hangat itu, kemudian mereka bergandeng tangan memasuki pondok Sarang
Madu.
Mudah
dibayangkan apa yang terjadi malam itu di pondok Sarang Madu. Dua orang muda
yang tengah dilanda dan dicengkeram nafsu birahi itu sepenuhnya menyerah dan
menjadi permainan nafsu mereka sendiri yang tak pernah mengenal puas. Dan
keduanya terkulai dan menyerah.
Bagi Hwee
Lan yang sejak perawan dibawa ke dalam istana, selama ini hanya mengenal kaisar
yang setengah tua sebagai satu-satunya pria yang menggaulinya. Dan kini, begitu
bertemu dengan Tang Gun yang masih muda, gagah, tampan dan jantan, maka
tidaklah mengherankan kalau dia menjadi tergila-gila.
Sebaliknya,
biar pun Tang Gun sudah banyak bergaul aengan wanita, namun selama ini dia pun
belum pernah bertemu dengan wanita secantik dan sepanas Hwee Lan, maka dia pun
tergila-gila. Keduanya lantas saling melekat dan merasa bahwa mereka tak
mungkin dapat saling kehilangan atau saling berpisah!
Tang Gun
yang cerdik maklum bahwa keselamatan dia dan kekasihnya berada di tangan A Sui.
Apa bila hal itu dibiarkan lewat begitu saja, tentu dia dan kekasihnya akan
menjadi permainan dayang itu dan dapat diperas habis-habisan. Oleh karena itu,
atas persetujuan Hwee Lan yang juga melihat ancaman bahaya ini, Tang Gun
kemudian mempergunakan ketampanannya untuk merayu A Sui.
Dayang ini
pun hanya seorang gadis yang tidak jauh bedanya dengan Hwee Lan, haus akan
belaian dan kasih sayang pria, apa lagi kalau prianya setampan dan segagah Tang
Gun. Dia pun kemudian menyerah dalam dekapan Tang Gun. Maka amanlah hubungan
mereka karena semuanya terlibat.
Nafsu tidak
pernah merasa puas. Bahkan semakin dituruti, nafsu menjadi semakin ganas,
semakin kelaparan dan selalu menghendaki lebih! Karena itu pertemuan antara
Tang Gun dan Hwee Lan yang ditemani A Sui dan kemudian berakhir dengan
permainan cinta gelap sepanjang malam itu tidak berhenti sampai di situ saja.
Pertemuan demi pertemuan diatur dan diadakan antara mereka, makin lama semakin
sering seperti orang kecanduan!
Dua bulan
telah lewat dan pada malam yang amat dingin itu, Tang Gun tidak undur oleh
dinginnya hawa udara dan dia sudah menanti kekasihnya di dekat pondok Sarang
Madu. Malam itu adalah malam yang penting sekali bagi mereka bertiga, karena
pada malam itu mereka sudah mengambil keputusan hendak melarikan diri dari
dalam istana! Atau lebih tepat, Hwee Lan akan dibantu kekasihnya melarikan diri
keluar istana.
Tang Gun
yang menjadi komandan pengawal sejak sore tadi sudah mengatur sedemikian rupa
sehingga ada jalan terbuka yang tidak dijaga. Dan agaknya hawa udara yang
dingin ikut pula membantu mereka sebab para pengawal lebih suka bersembunyi di
dalam gardu penjagaan menghangatkan diri. Karena dia sendiri juga terlibat,
maka tentu saja A Sui ikut pula melarikan diri.
Tang Gun
bukan seorang bodoh. Dia tidak berani melarikan dua orang wanita yang sudah
menjadi kekasihnya itu ke rumahnya yang masih berada dalam lingkungan istana.
Tidak, dia tidak setolol itu. Atas bantuan keuangan dari Hwee Lan yang menjual
barang-barang perhiasan mahal, Tang Gun telah membeli sebuah rumah di kota
Yu-sian, jauh di sebelah barat kota raja.
Menurut
rencana mereka, jika dua orang wanita itu sudah dilarikan ke Yu-sian, kemudian
keributan karena pelarian mereka itu sudah mereda, maka Tang Gun akan
melepaskan jabatannya lalu menyusul ke Yu-sian di mana mereka akan hidup baru
dengan berdagang menggunakan modal yang sudah mereka kumpulkan.
Tidak lama
kemudian muncullah dua orang wanita muda itu sambil membawa buntalan. Tang Gun
segera menyambut mereka dengan rangkulan dan mereka berciuman mesra, lalu
ketiganya menyelinap di antara pohon-pohon dan rumpun bunga di taman, melarikan
diri melalui jalan yang sudah di atur oleh Tang Gun. Sesuai rencana, mereka
dapat keluar dari lingkungan istana tanpa diketahui orang.
Seorang
paman, sanak dari ibunya, sudah menanti di luar tembok istana dengan sebuah
kereta. Dua orang wanita itu segera naik ke dalam kereta. Sesudah mereka
berangkulan sejenak dengan Tang Gun di dalam kereta untuk mengambil selamat
berpisah, kereta lalu dilarikan dan Tang Gun menyelinap kembali ke dalam tembok
istana, kembali ke gardu penjagaan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Pada
keesokan harinya barulah para selir dan dayang menjadi ribut karena mereka
tidak melihat adanya Hwee Lan dan A Sui di sana. Setelah melapor kepada
Tang-ciangkun dan komandan ini mengerahkan semua anak buahnya mencari-cari di
dalam kompleks istana tanpa hasil, barulah laporan disampaikan kepada kaisar
tentang menghilangnya selir dan dayang itu.
Bagi kaisar,
kehilangan seorang selir dan seorang dayang tidak ada artinya karena dalam
sehari saja dia mampu mendapatkan sepuluh orang penggantinya yang lebih muda
dan cantik. Namun yang membuat kaisar marah sekali adalah karena peristiwa itu
merupakan tamparan dan merupakan hal yang memalukan. Larinya mereka itu
seolah-olah memberi kesan bahwa para selir dan dayang merasa tidak beruntung
hidup di dalam istana. Sebab itu kaisar memanggil Tang Gun dan mernarahinya.
"Tang
Gun! Engkaulah yang menjadi komandan jaga, komandan pengawal bagian dalam
istana. Bagaimana sampai engkau dan pasukanmu kebobolan dan tidak tahu adanya
dua orang wanita yang meloloskan diri dari istana?"
Tang Gun
berlutut dan memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. "Mohon beribu
ampun, Sribaginda. Semalam hamba telah mengerahkan seluruh pasukan untuk
berjaga-jaga, bahkan hamba sendiri ikut melakukan ronda. Akan tetapi tadi malam
hawa demikian dinginnya sehingga para pengawal banyak yang berlindung di dalam
gardu, Bahkan para pengawal di bagian luar istana pun banyak yang berada di
dalam gardu sehingga tak ada seorang pun yang melihat dua orang wanita itu
keluar dari dalam istana. Hamba menerima salah, dan hamba siap menerima hukuman
dari paduka, bahkan hamba akan menerima andai kata hamba dihukum mati, buang
atau dihentikan dari jabatan hamba sekali pun."
Ucapan
terakhir itu bukan hanya untuk pemanis bibir atau untuk pengakuan salah belaka.
Tang Gun akan bersyukur sekali kalau memang dia dihentikan dari jabatannya
karena dia akan dapat segera menyusul kekasihnya ke kota Yu-sian.
Akan tetapi
kaisar lantas mengampuninya karena kaisar masih teringat akan jasa perwira muda
itu. Kaisar kemudian memerintahkan Tang Gun agar menghubungi para komandan
pasukan pengawal di dalam dan di luar istana untuk melakukan penyelidikan dan
mencari dua orang wanita yang lolos dari istana itu.
Untuk
merangsang kerja mereka, kaisar menjanjikan kenaikan pangkat dan hadiah besar
kepada siapa saja yang dapat berhasil membawa kembali dua orang wanita itu ke
istana. Semua ini dilakukan kaisar bukan karena dia merasa sayang kepada dua
orang wanita itu, melainkan karena dia ingin menghapus kesan buruk dan akan
menghukum mereka.
Tentu saja
usaha ini sia-sia belaka. Memang tidak mudah mencari dua orang wanita yang
sudah pergi jauh itu, apa lagi ada Tang Gun yang selalu mengelabui dan
menyesatkan arah penyelidikan dan pengejaran.
***************
Malam itu
kembali Tang Gun berdinas jaga. Dia duduk termenung di dalam gardu jaga. Sudah
lewat sebulan semenjak kekasihnya pergi melarikan diri. Selama itu baru satu
kali dia sempat menengok ke kota Yu-sian dengan dalih mencari jejak mereka yang
melarikan diri, sekalian cuti.
Hatinya lega
bahwa Hwee Lan dan A Sui sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Dengan
pamannya sebagai tuan rumah, kedatangan mereka sebagai penduduk baru tidak
menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi hanya sehari semalam saja dia dapat
melepaskan rindunya kepada Hwee Lan dan A Sui.
Dia harus
cepat mengundurkan diri dari jabatannya, pikirnya. Akan tetapi tidak sekarang,
karena akibat pelarian itu sekarang masih menjadi buah bibir, juga kaisar masih
belum melupakan peristiwa itu dan sering kali menanyakan berita pencarian dua
orang wanita itu.
Tang Gun
merasa gelisah. Dua orang kekasihnya di Yu-sian itu terlampau cantik. Mereka
masih muda, juga mereka sampai nekat melarikan diri dari istana adalah karena
merasa kesepian dan ingin menikmati hidup bersama dia. Sekarang, kembali mereka
kesepian di Yu-sian dan hal itu amat berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut.
Siapa tahu akan muncul penggoda di sana, seorang pemuda yang ganteng! Hatinya
dipenuhi rasa cemburu dan dia semakin gelisah.
Dia bangkit
dan memesan kepada anak buah yang berada di pintu supaya waspada. Dia sendiri
lalu meninggalkan gardu dan memasuki taman. Dia ingin mencari angin dan hawa
sejuk untuk menenangkan hatinya yang gelisah.
Tanpa
disengaja langkah-langkah kakinya membawanya menuju taman barat, kemudian
tibalah dia di depan pondok Sarang Madu. Ia berhenti sejenak dan membayangkan
semua pengalaman yang amat menyenangkan di pondok itu bersama Hwee Lan dan A
Sui. Maka terkenanglah dia kepada mereka dan timbul perasaan rindu.
"Tang-ciangkun....”
Suara merdu
seorang wanita yang memanggilnya itu membuat Tang Gun tersentak kaget. Hampir
saja dia berseru memanggil nama A Sui ketika melihat munculnya seorang gadis
berpakaian dayang dari balik semak-semak. Teringat bahwa A Sui sudah pergi
bersama Hwee Lan, dia cepat menahan suaranya dan memandang penuh perhatian.
Ternyata
wanita itu adalah A Cui, seorang dayang lain, pelayan dari selir ke lima
kaisar. Karena banyaknya dayang di istana, tentu saja Tang Gun tidak mengenal
mereka semua dan meski pun dia tahu bahwa wanita yang manis ini pun seorang
dayang, tetapi dia tidak tahu siapa namanya.
"Ada
apakah? Siapakah engkau dan mengapa memanggilku di sini?" tanyanya,
pura-pura alim. Kalau saja tidak pernah terjadi peristiwa larinya Hwee Lan dan
A Sui, tentu sikapnya berbeda dan dia akan lebih ramah dan manis terhadap
dayang ini.
"Ssttt,
Ciangkun, aku A Cui dan aku akan membicarakan urusan penting denganmu. Mari
kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam," kata wanita itu sambil
melepas kerling tajam disertai senyum manis menantang.
Ketika itu
Tang Gun sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan setiap kecurigaan
tentang menghilangnya selir kaisar dan dayangnya itu dari dirinya. Maka, biar
pun dengan hati menyesal, terpaksa dia tidak berani melayani tantangan yang
menggairahkan itu.
"Aihh,
nona A Cui. Jangan main-main. Mana aku berani?" katanya menolak.
"Tang-ciangkun,
tidak usah berpura-pura. Aku mau bicara tentang rahasia pondok Sarang Madu.
Hayolah!" Dia lalu melangkah menuju ke pintu depan pondok.
Tang Gun
mengerutkan alisnya. "Rahasia pondok Sarang Madu'?" jantungnya
berdebar tegang. "Apa maksudmu?"
"Maksudku...
hemmm, apa lagi kalau tidak mengenai Hwee Lan dan A Sui? Nah, maukah engkau
ikut masuk? Atau engkau lebih suka kalau aku membicarakan urusan itu dengan
orang lain?"
Mendengar
ucapan itu, seketika pucat wajah Tang Gun. Tak perlu di jelaskan lagi, sudah
cukup jelas, bahkan sudah terlampau jelas bahwa dayang ini mengetahui semua
rahasia pelarian Hwee Lan dan A Sui! Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu
mengiringi wanita itu melangkah masuk ke dalam pondok Sarang Madu.
Setelah
mereka tiba di dalam pondok, Tang Gun segera bertanya lirih, ”A Cui, sebetulnya
apakah yang kau inginkan?”
A Cui
membalik kemudian mendekati Tang Gun, matanya mengerling tajam dan mulutnya
tersenyum. “Masih perlukah engkau bertanya lagi, orang muda yang tampan? Aku
tidak membutuhkan apa-apa kecuali apa yang dibutuhkan Hwee Lan dan A Sui dan
aku tidak menginginkan apa-apa darimu kecuali apa yang telah kau berikan kepada
mereka.”
Wanita itu
kemudian melingkarkan kedua lengannya ke leher Tang Gun. Dua buah lengan itu
melingkari leher sekuat dua ekor ular dan yang terdengar kemudian hanya dengus
dan rintih, disusul napas tersendat-sendat dalam kegelapan di pondok Sarang
Madu itu.
Baik A Cui
mau pun Tang Gun tidak tahu betapa semenjak tadi ada sepasang mata tajam
mencorong yang mengintai perbuatan mereka, sejak mereka saling jumpa di luar
pondok. Pemilik mata ini adalah seorang lelaki setengah tua, berusia sekitar
lima puluh lima tahun, bertubuh sedang masih tegap, pakaiannya amat rapi. Tentu
saja Tang Gun tak mengenal Tang Bun An, atau yang berjuluk Ang-hong-cu Si
Kurnbang Merah!
Seperti yang
telah kita ketahui, Tang Bun An pergi ke kota raja untuk memulai hidup baru
sebab dia merasa telah tua dan mulai bosan dengan kehidupan petualangan seperti
yang selama ini dialaminya. Musuhnya terlampau banyak, malah akhir-akhir ini
dia dikejar-kejar orang-orang pandai sekali, termasuk puteranya sendiri yang
bernama Tang Hay.
Dia
mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan mencari kedudukan, untuk dapat
mengembalikan kedudukan dan kemuliaan yang dahulu pernah dimiliki ayah
kandungnya, yaitu mendiang Tang Siok yang menjadi pejabat tinggi di kota raja.
Dia harus bisa meraih suatu kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang pernah
dimiliki ayahnya.
Satu-satunya
jalan untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu hanyalah membuat jasa, kalau
mungkin langsung terhadap Kaisar! Biar pun dia pandai ilmu silat dan mengerti
juga ilmu sastera, tetapi tanpa memiliki hubungan yang baik dengan para pejabat
tinggi, maka akan sukarlah untuk memperoleh kedudukan. Apa lagi bagi seorang
setua dia.
Setelah berada
di kota raja, Tang Bun An segera mendengar berita yang sangat menarik hatinya,
yaitu tentang adanya seorang perwira pengawal muda yang menyebarkan berita
bahwa perwira itu adalah putera dari Ang-hong-cu! Hal ini dirasakannya amat
aneh.
Bukankah selama
ini namanya dianggap jahat dan buruk, dibenci oleh para pendekar dan ditakuti
di dunia kang-ouw? Bahkan andai kata dia memiliki anak kandung, seperti halnya
Tang Hay, maka anak itu tentu akan malu mengaku sebagai putera Ang-hong-cu.
Namun kenapa orang ini, seorang perwira pengawal pula, menyebarkan berita bahwa
dia adalah putera Ang-hong-cu. Seolah-olah hal itu membanggakan hatinya?
Tadinya dia
hanya tersenyum saja mendengar berita itu dan dia menganggap perwira itu adalah
seorang pemuda tolol yang suka membanggakan diri meminjam ketenaran orang lain.
Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa perwira muda itu bernama Tang Gun, dia
terkejut! She Tang? Dunia kang-ouw sudah sangat mengenal nama julukan
Ang-hong-cu, namun tidak ada atau amat jarang sekali orang mengetahui bahwa
Ang-hong-cu memiliki she (nama keturunan) Tang!
Berita itu
amat menarik hati Tang Bun An. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa perwira
bernama Tang Gun itu kini bekerja sebagai seorang komandan pengawal dalam
istana, sebuah kedudukan yang diterimanya sebagai hadiah dari kaisar karena
Tang Gun pernah menolong rombongan kaisar dari gangguan pemberontak dua tiga
tahun yang lalu!
Ahh, siapa
tahu, dari orang yang mengaku puteranya inilah datang kesempatan baginya untuk
meraih kedudukan! Dan memang dia harus dapat mendekati istana, tempat tinggal
kaisar kalau dia ingin memperoleh pangkat yang tinggi.
Demikianlah,
sesudah melakukan penyelidikan tentang keadaan istana, Tang Bun An lalu
menggunakan ilmu kepandaiannya dan dengan tidak betapa sukar dia berhasil
melewati pagar tembok lalu masuk ke dalam taman bunga di bagian barat, dan
kebetulan sekali dia dapat melihat dan mendengar pertemuan antara perwira Tang
Gun dan seorang dayang.
Ia belum
sempat menyelidiki perwira yang mengaku puteranya itu, maka tadinya dia tidak
tahu siapa perwira yang mengadakan pertemuan dengan seorang dayang istana itu.
Akan tetapi dia menjadi terkejut dan juga merasa gembira sekali setelah
mendengar dayang itu menyebut ‘Tang-ciangkun’. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah
perwira yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu itu!
Dari
penerangan yang tidak begitu cerah, cukup baginya untuk bernapas lega.
Setidaknya orang muda itu tidak mengecewakan untuk menjadi puteranya. Jangkung,
tegap, tampan dan gagah. Apa lagi setelah dia mendengar percakapan antara
mereka, hatinya merasa bangga sekali.
Pemuda yang
mengaku sebagai puteranya ini ternyata seorang pria yang disukai wanita!
Buktinya, dayang itu juga memikat cintanya, dan menggunakan semacam rahasia
pondok Sarang Madu sebagai alat untuk memeras agar perwira muda itu suka
memuaskan nafsu birahinya! Diam-diam Tang Bun An tersenyum bangga, dan melihat
pemuda itu mengikuti si dayang memasuki pondok, dia pun cepat meloncat ke atas
genteng untuk melakukan pengintaian. Di dalam kamar pondok itu hanya diterangi
dua buah lilin, namun cukup bagi mata Tang Bun An yang tajam dan terlatih baik.
Mula-mula
dia hendak melihat apakah orang yang mengaku sebagai puteranya itu cukup jantan
melayani wanita dalam bercinta. Namun dia segera terbelalak ketika mengintai
dari atas. Mula-mula hanya terdengar suara dengus napas dan rintihan, lantas
disusul napas yang tersendat-sendat! Ia melihat perwira muda yang mengaku
puteranya itu sama sekali tidak mencumbu rayu, tidak membelai mesra, tapi mencekik
leher gadis itu menggunakan ikat pinggang dayang itu sendiri!
Betapa
gilanya! Sayang kalau gadis muda semanis itu dibunuh begitu saja! Kalau perwira
muda itu sudah menikmatinya, mau dibunuh atau tidak dia tidak akan peduli. Akan
tetapi jelas bahwa mereka itu baru saja saling bertemu, lalu mengapa perwira
itu membunuhnya tanpa membelai atau mencumbu sedikit pun?
Namun dia
menahan diri, tidak mau mencampuri karena ingin sekali tahu perkembangan
selanjutnya. Baginya, keadaan perwira muda yang mengaku puteranya itu tentu
saja jauh lebih menarik dan lebih penting dari pada nyawa seorang gadis dayang
istana!
Melihat cara
perwira itu membunuh dayang, yang memakan waktu cepat sekali, Tang Bun An dapat
menduga bahwa perwira muda itu sedikit banyak memiliki tenaga yang lumayan
juga.
Sekarang
Tang Gun melepaskan ikat pinggang dayang itu, mengikat ujung ikat pinggang ke
atas tiang dan menggantung mayat dayang itu pada lehernya, mengatur sedemikian
rupa sehingga sekali lihat saja orang akan menduga bahwa dayang itu mati akibat
bunuh diri dengan cara menggantung. Dia juga membalikkan sebuah bangku di bawah
mayat.
Dengan
cermat dia mengukur dan memperhitungkan. Jika gadis itu membunuh diri, tentu
menggunakan bangku itu untuk berdiri, kemudian mengikat ujung ikat pinggang ke
tiang, mengikatkan ujung yang lain di lehernya dan menendang bangku itu
sehingga tubuhnya tergantung dan mati tercekik. Tepat sekali. Sesudah merasa
puas, dia pun meniup padam api lilin dan keluar dari dalam pondok, lalu
menutupkan daun pintu pondok itu. Kemudian, dengan tenang dia pun kembali ke
pos penjagaan seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Pada
keesokan harinya, istana kaisar kembali menjadi gempar pada waktu mayat A Cui
ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Ia mati tergantung dalam Pondok Sarang
Madu, lidahnya terjulur panjang, kedua matanya melotot dan tubuhnya kaku! Akan
tetapi karena keadaannya jelas menunjukkan bahwa dia telah menggantung diri
sampai mati, maka tak ada persoalan lain kecuali mengurus mayatnya dan
selanjutnya tidak ada apa-apa lagi.
Meski pun
Tang Gun sudah berhasil membunuh A Cui yang mengetahui rahasianya tanpa meninggalkan
jejak, tetap saja hatinya merasa tidak tenteram. Dia dapat menduga bahwa kalau
sampai A Cui mengetahui rahasia itu, berarti A Sui, dayang yang menjadi pelayan
Hwee Lan itulah yang bermulut panjang dan membocorkan rahasia. Mungkin hanya
untuk pamer dan membanggakan diri bahwa dia sudah berhasil menjadi kekasih
perwira Tang yang banyak dikagumi para puteri itu!
Yang membuat
dia gelisah, siapa saja yang sudah mengetahui akan rahasia itu? Apakah A Sui
hanya bercerita kepada A Cui saja? Ataukah celotehnya didengar oleh lebih
banyak dayang lagi? Celakalah kalau begitu!
Dia harus
cepat-cepat pergi ke kota Yu-sian untuk minta keterangan A Sui, dan dayang yang
panjang mulut itu perlu ditegur, atau bahkan dihajar supaya lain kali tidak
berani lagi berlancang mulut menyebarkan rahasia yang seharusnya dipegang teguh
karena sangat berbahaya kalau sampai terdengar oleh istana.
Pada
keesokan harinya, Tang Gun mohon diri dari kaisar untuk keluar dari istana
dalam usahanya menyelidiki sendiri kehilangan selir Hwee Lan dan pelayannya, A
Sui. Untuk itu, dia minta cuti selama sebulan. Tentu saja permohonannya
dikabulkan karena kaisar juga masih merasa amat penasaran dengan menghilangnya
selir dan dayangnya itu, dan hal ini memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tang
Gun sebagai perwira pengawal dalam istana untuk dapat menangkap selir yang
melarikan diri itu.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment