Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 10
Kedatangan
Tang Gun di kota Yu-sian dilakukan secara diam-diam. Bagaimana pun juga dia
tidak berani secara terang-terangan memperlihatkan diri kepada umum pada saat
dia mengunjungi kekasihnya, yaitu Hwee Lan dan A Sui yang kini sudah membuka
sebuah toko kain di kota itu. Dia datang pada malam hari, melalui genteng rumah
seperti seorang pencuri! Akan tetapi kedatangannya itu langsung disambut dengan
mesra dan manis oleh Hwee Lan dan A Sui yang sudah merasa rindu sekali kepada
pria ini.
Tetapi
kemesraan itu diliputi mendung. Tang Gun yang juga merasa rindu kepada mereka,
nampak diam dan murung. Tentu saja hal ini membikin dua orang wanita itu
menjadi amat khawatir.
"Koko,
apakah yang menyebabkan engkau terlihat murung dan tidak senang?" Hwee Lan
merangkul dan duduk di atas pangkuan kekasihnya. Tang Gun menghela napas.
"Aku
telah membunuh dayang A Cui..."
"A
Cui....?!" A Sui terkejut sekali mendengar bahwa kekasih majikannya, juga
kekasihnya sendiri itu, telah membunuh A Cui, seorang dayang istana yang menjadi
sahabat baiknya.
"Membunuh
A Cui? Mengapa...?" Hwee Lan juga berseru kaget dan dia segera turun dari
atas pangkuan kekasihnya, akan tetapi masih merangkulnya dan mengamati wajah
yang tampan itu dengan khawatir .
"Dia
telah mengetahui rahasia kita, dan dia memerasku untuk melayaninya. Sebab itu
aku lalu membunuhnya." Diceritakannya peristiwa dalam taman itu kepada dua
orang wanita yang mendengarkan dengan wajah berubah pucat.
"Dan
apa bila A Cui sampai mengetahui rahasia kita itu, sudah pasti bahwa salah
seorang di antara kalian yang sudah membocorkannya dan menceritakannya kepada A
Cui. Hayo, siapa yang telah bicara dengan A Cui? Mengaku saja!"
Hwee Lan
memandang kekasihnya yang sudah bangkit berdiri itu dengan mata terbelalak,
lantas dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku sama sekali tak pernah
bicara tentang hubungan kita kepada siapa pun juga. Aku cukup mengetahui betapa
berbahayanya kalau hal itu kulakukan. Akan tetapi A Sui...! Engkau..., tentu
engkau yang telah bicara dengan A Cui, bukan? Aku tahu bahwa engkau adalah
sahabat karib A Cui!" Bekas selir kaisar yang cantik jelita itu kini
memandang kepada pelayannya.
Wajah A Sui
menjadi semakin pucat. Ia menundukkan mukanya, kemudian dia berlutut di atas
lantai dan menangis. "Ampun... saya kira... hal itu tidak ada bahayanya
karena dia... dia adalah seorang sahabat baik yang biasanya setia...
dan..."
"Goblok!
Engkau lancang mulut!" Tang Gun dengan marah segera menggerakkan kakinya
menendang.
"Bukkk!"
Tubuh selir yang mungil itu terlempar dan menabrak dinding lalu terbanting
jatuh. Dia menangis dan pipinya yang tertabrak dinding membiru, juga mulutnya
berdarah.
"Kau...
kau akan membikin celaka kita semua!" Tang Gun membentak lagi dan perasaan
marahnya masih berkobar.
"Ampun...
ampunkan saya..."
Bekas dayang
itu merintih ketakutan. Sebelum Tang Gun kembali turun tangan menghajar atau
mungkin membunuh bekas dayang yang menjadi kekasihnya itu, mendadak nampak
bayangan berkelebat dibarengi suara seorang laki-laki,
"Tang
Gun, apakah engkau hendak membunuh pula wanita ini seperti engkau membunuh
dayang A Cui?"
Tentu saja
tiga orang itu amat terkejut, terutama sekali Tang Gun. Dia cepat membalikkan
tubuhnya dan ternyata di ruangan itu sudah berdiri seorang laki-laki yang tidak
dikenalnya sama sekali. Seorang pria yang usianya sudah lima puluh lima tahun,
pakaiannya sangat rapi, tubuhnya sedang dan setua itu masih nampak tampan
menarik. Melihat bahwa pria itu hanya orang biasa saja, tidak membawa senjata,
Tang Gun bersikap garang.
Sambil
menudingkan jari telunjuknya ke arah muka pria itu, dia membentak lantang,
"Heh, siapakah engkau yang datang memasuki rumah kami tanpa
diundang?" Walau pun suara dan sikapnya garang, akan tetapi hatinya
berdebar tegang mendengar betapa pria ini telah tahu akan rahasianya yang ke
dua, yaitu membunuh A Cui!
Pria
setengah tua itu tersenyum mengejek dan kedua matanya mengeluarkan sinar tajam.
"Aku adalah utusan kaisar yang datang untuk menangkap kalian bertiga
lantas membawa kalian kembali ke istana!"
Wajah Tang
Gun seketika pucat mendengar ucapan ini. Akan tetapi, melihat betapa orang itu
hanya seorang diri saja dan tidak bersenjata, maka dia pun menjadi nekat. Dia
harus membunuh orang ini apa bila ingin selamat. Secepat kilat dia sudah
mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang dengan
tusukan pedangnya ke arah dada orang itu.
"Singggg...!"
Pedang
berdesing saking cepat gerakannya, tapi hanya meluncur lewat karena orang itu
sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya. Akan tetapi, dengan lompatan ke
kanan Tang Gun sudah cepat membalikkan tubuh, kemudian pedangnya menyambar
ganas, kini membacok ke arah leher dan gerakan pedang ini segera disusul dengan
tendangan kaki kirinya ke arah bawah pusar lawan.
Serangan ini
sangat hebat karena Tang Gun sudah memainkan jurus Li-kong Sia-ciok (Li Kong
Memanah Batu), gerakannya selain cepat juga mengandung tenaga yang dahsyat.
Namun ternyata lawannya adalah seorang yang lihai sekali. Dia tak pernah mimpi
bahwa lawannya ini adalah orang yang dicari-carinya semenjak dia kecil, yaitu
ayah kandungnya sendiri yang berjuluk Ang-hong-cu!
Ang-hong-cu
Tang Bun An menghadapi serangan dahsyat itu dengan sangat tenang. Dia melangkah
mundur sehingga bacokan tidak mengenai lehernya, dan ketika tendangan itu
menyambar lewat, tangannya cepat bergerak menyentuh bawah kaki kemudian sekali
dia menggerakkan tenaga ke arah tumit itu, tubuh Tang Gun lantas terlempar dan
terjengkang ke belakang!
"Brukkk!"
Tubuh Tang
Gun terbanting, akan tetapi orang muda inl sudah cepat meloncat bangun lagi dan
menyerang lebih ganas. Dia kini dapat mengerti bahwa lawannya sangat pandai,
maka dia menjadi nekat. Dia harus dapat mengalahkan orang itu, atau dia akan
celaka!
Pedangnya
lantas menyambar-nyambar, berubah menjadi cahaya yang bergulung-gulung, yang
menyambar-nyambar bagaikan maut kelaparan mencari nyawa. Namun tingkat ilmu
kepandaian silat yang dikuasai Tang Gun jauh berada di bawah tingkat
Ang-hong-cu yang di samping ilmunya tinggi, juga sudah memiliki pengalaman
luas, maka semua sambaran pedangnya tidak pernah mengenai sasaran.
Kalau Si
Kumbang Merah itu menghendaki, bahkan dalam beberapa jurus saja Tang Gun tentu
sudah roboh dan dikalahkan. Akan tetapi, mengingat bahwa perwira muda ini
adalah puteranya sendiri seperti yang sudah diakui oleh Tang Gun dan yang
dipercayanya pula, agaknya Si Kumbang Merah hendak menguji sampai di mana
ketangguhan pemuda yang mengaku sebagai anaknya itu.
Setelah puas
mempermainkan Tang Gun dengan elakan-elakan yang membuat tubuhnya berubah
menjadi bayangan yang berkelebatan di antara cahaya pedang, tiba-tiba saja Si
Kumbang Merah mengeluarkan seruan nyaring.
"Heiiiittttt...!"
Kedua
tangannya bergerak, yang kiri menotok ke arah siku kanan lawan dan yang kanan
mencengkeram pundak, dan di lain saat tubuh Tang Gun sudah menjadi lemas
kemudian pedangnya dengan mudah berpindah tangan! Si Kumbang Merah cepat
menyusul dengan totokan ke arah jalan darah thian-hu-hiat, maka tubuh perwira
itu pun terkulai lemas tidak mampu bergerak lagi!
Dua orang
wanita itu menjadi ketakutan sampai hampir terkencing-kencing. Akan tetapi Si
Kumbang Merah tersenyum ramah dan berkata kepada mereka,
"Hayo
kalian berdua ikut bersamaku. Kereta sudah menunggu di luar. Jangan sampai aku
harus mempergunakan kekerasan terhadap kalian dua orang nona manis!"
Hwee Lan dan
A Sui tak berani membantah pula biar pun mereka ketakutan dan maklum bahwa mala
petaka menanti mereka. Ang-hong-cu menarik tubuh Tang Gun bangun, lalu
memapahnya keluar sambil menggiring dua orang wanita itu yang berjalan dengan
tubuh menggigil ketakutan. Ternyata di luar sudah tersedia sebuah kereta yang
ditarik dua ekor kuda! Ang-hong-cu yang membayangi Tang Gun dan mengetahui
tempat persembunyian perwira dengan dua orang kekasihnya itu telah
mempersiapkan kereta untuk memboyong para tawanan itu kembali ke kota raja!
Setelah
ketiga orang itu berada di dalam kereta, Tang Gun tertotok lemas dan dua orang
wanita itu menangis lirih, Ang-hong-cu segera melarikan keretanya menuju ke
kota raja. Penangkapan terhadap ketiga orang itu merupakan peristiwa yang aneh
karena tidak ada orang lain yang mengetahuinya!
Dua orang
wanita itu pun merasa tak berdaya, hanya mampu menangis ketakutan karena mereka
dapat membayangkan bahwa mereka pasti akan menerima hukuman. Orang yang mereka
percaya kini telah duduk setengah rebah di dalam kereta, tak dapat bergerak
lagi dan hanya mampu memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata putus asa
dan ketakutan.
***************
"Cepat
laksanakan penangkapan itu kalau benar engkau mampu melakukannya! Selama ini,
seluruh pasukan pengawal tidak mampu menangkap dua orang perempuan itu. Sebab
itu Tang Bun An, jika engkau melanggar janji kesanggupanmu dan mengecewakan
kami, jika engkau gagal melakukan penangkapan, maka kami akan memberikan
hukuman berat! Sebaliknya, kalau engkau berhasil memenuhi janji, yaitu dalam
waktu sehari akan mampu menghadapkan dua orang wanita itu dan biang keladinya
yang membuat mereka minggat dari istana, maka kami akan mengangkatmu menjadi
kepala seluruh pasukan pengawal, baik yang di dalam mau pun yang di luar
istana!" Demikianlah kata kaisar ketika Tang Bun An diperkenankan
menghadapnya.
Tang Bun An
menyatakan kesanggupannya untuk menangkap serta menyeret dua orang wanita,
yaitu selir Hwee Lan dan dayang A Sui, kembali ke istana dalam waktu satu hari
saja. Bahkan juga dia bersedia menangkap orang yang telah melarikan dua orang
wanita itu dari dalam istana.
Mendengar ini,
tentu saja semua pengawal menjadi terkejut dan heran sekali. Bagaimana mungkin
orang setengah tua ini akan mampu menangkap buronan itu dalam waktu sehari
saja, pada hal para pengawal yang pandai telah gagal sama sekali?
Tentu saja
hal itu tidaklah terlalu mengherankan kalau saja mereka ketahui bahwa ketika
Tang Bun An menghadap kaisar, tiga orang itu sudah menjadi tawanannya dan
sekarang dia sembunyikan dalam sebuah kuil tua di dalam hutan sebelah utara
kota raja!
Dengan sikap
hormat dan gagah Tang Bun An segera menolak ketika kaisar menawarkan bantuan
pasukan pengawal. Dia pun berangkat dan tepat pada keesokan harinya, pagi-pagi
dia sudah kembali ke istana membawa tiga orang tawanan itu yang telah
dibelenggu kedua tangan mereka dan dirantai kaki mereka.
Semua orang
tentu saja menjadi bengong dan terkejut sekali melihat bahwa komandan pengawal
muda itu menjadi tawanan, apa lagi pada saat mereka mendengar bahwa yang
melarikan Hwee Lan dan A Sui adalah Tang Gun, perwira pengawal yang amat
dipercaya oleh kaisar. Gegerlah seluruh penghuni istana mendengar bahwa Tang
Gun tidak hanya melarikan selir dan dayangnya itu, akan tetapi juga dia yang
telah membunuh A Cui yang disangka mati membunuh diri di Pondok Sarang Madu.
Kaisar
sendiri tentu saja menjadi marah bukan kepalang. Dengan muka merah dan mata
melotot dia mendengarkan pengakuan ketiga orang tawanan itu, kemudian dengan
suara lantang kaisar menjatuhkan hukumannya. Hwee Lan dan A Sui dijatuhi
hukuman menjadi nikouw (pendeta wanita), harus mencukur gundul rambut mereka
dan selanjutnya mereka diharuskan menjadi nikouw, hidup di kuil untuk menebus
dosa selama hidup mereka. Ada pun Tang Gun, karena mengingat akan jasa-jasanya
yang pernah dilakukannya terhadap kaisar, perwira pengawal ini dihukum buang
sesudah menerima cambukan sebanyak lima puluh kali!
Tentu saja
Tang Bun An menerima hadiah seperti yang dijanjikan kaisar. Dia kemudian
diangkat menjadi komandan seluruh pasukan pengawal! Suatu kedudukan yang
tinggi!
Akan tetapi
tentu saja kedudukan itu tidak diterimanya dengan begitu mulus dan mudah.
Seorang di antara para menteri, yaitu menteri bagian keamanan, segera
memperingatkan kaisar bahwa semestinya dalam menerima seseorang untuk menjadi
komandan pasukan pengawal istana tidak dilakukan semudah itu,
"Ampun,
Sribaginda, memang sudah ada bukti akan kesetiaan dan jasa dari Tang Bun An
sehingga sudah sepantasnya bila dia menerima anugerah dari paduka. Akan tetapi,
akan lebih bijaksana kiranya kalau dia diuji lebih dulu. Bagaimana pun juga,
tingkat kepandaian seorang komandan seharusnya lebih tinggi dari pada tingkat
semua perwira pasukan itu sehingga takkan menimbulkan perasaan iri di antara
para prajurit mau pun perwira! Juga hal ini akan mempertebal ketaatan seluruh
anak buah terhadap komandannya," demikian antara lain menteri itu
mengemukakan pendapatnya.
Kaisar dapat
menerima pendapat ini dan demikianlah, sebelum menerima pengangkatan dirinya
sebagai seorang panglima, kepala seluruh pasukan pengawal istana, Tang Bun An
diharuskan melewati ujian. Pengujinya adalah seseorang yang sangat disegani di
seluruh pasukan pengawal, yaitu Coa-ciangkun (Panglima Coa) yang tadinya
menjabat sebagai kepala pasukan pengawal tetapi kini harus menjadi orang ke dua
setelah Tang Bun An!
Coa Ciangkun
ini terkenal memiliki tenaga gajah dan juga ilmu silatnya tinggi, maka boleh
dibilang dia adalah jagoan istana nomor satu yang selama ini sukar dicari
tandingannya! Dia baru berusia empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar
menyeramkan.
Kaisar
sendiri langsung tertarik ketika melihat sikap Tang Bun An yang sedikit pun
tidak menyatakan ketakutan ketika dikabarkan bahwa dia akan diuji oleh Coa
Ciangkun yang terkenal itu. Oleh karena itu kaisar berkenan hendak menyaksikan
sendiri ujian atau adu kepandaian itu.
Mendengar
bahwa kaisar sendiri hendak menyaksikan, legalah hati Tang Bun An. Kalau
junjungan itu menyaksikan sendiri, sudah pasti perwira Coa itu tak akan berani
melakukan kecurangan dan tentu adu kepandaian itu akan berlangsung dengan jujur
dan adil. Hal ini melegakan hatinya yang tadinya merasa ragu-ragu dan khawatir
kalau-kalau nantinya dia akan dicurangi oleh para pembesar istana yang tentu
merasa iri hati kepadanya. Dan dia pun maklum betapa lihainya para jago istana
sehingga kalau sampai dia dikeroyok, hal itu akan berbahaya juga baginya.
Pada hari
dan waktu yang sudah ditentukan, sebuah lian-bu-thia (ruang berlatih silat)
telah dipersiapkan dan kaisar sudah hadir bersama beberapa orang selir dan
dayang yang suka akan ilmu silat. Juga para pembesar militer hadir untuk
menilai hasil ujian itu.
Sesudah
memberi hormat dengan berlutut di hadapan kaisar, Tang Bun An dan lawannya
menuju ke tengah ruangan. Tang Bun An kemudian memandang kepada calon lawan itu
dengan penuh perhatian.
Seorang
raksasa berusia empat puluh tahun yang biar pun tubuhnya tinggi besar, namun
gerak-geriknya keihatan gesit. Seorang lawan yang tangguh, pikirnya, akan
tetapi sedikit pun dia tidak merasa gentar. Dia percaya kepada kemampuan
dirinya.
Sekelebatan
saja dia tahu bahwa dalam menghadapi lawan seperti itu, amat bodoh kalau dia
harus mengadu tenaga. Jelas bahwa orang itu memiliki tenaga yang sangat kuat,
baik tenaga otot mau pun tenaga dalam. Karena itu, satu-satunya cara untuk
menghadapinya hanyalah mengandalkan kecepatan dan dia merasa yakin akan bisa
mengatasi lawannya dalam hal kecepatan. Memang dia terkenal sebagai seorang
ahli ginkang yang hebat, dan karena mengandalkan ginkang-nya inilah maka selama
puluhan tahun ini tidak ada yang mampu menangkap Ang-hong-cu!
Pertandingan
ujian itu akan segera dimulai. Untuk mentaati perintah kaisar yang khawatir
kalau dua orang yang sangat berguna baginya itu mengalami cidera, maka
pertandingan dilakukan dengan tangan kosong.
Begitu
mereka bergebrak dan saling serang, tahulah Si Kumbang Merah bahwa lawannya
memang amat tangguh dan mempunyai ilmu silat yang pada dasarnya adalah aliran
silat Siauw-lim-pai namun gerakannya telah bercampur dengan silat dari utara
dan barat. Akan tetapi, yang amat merepotkannya adalah kekuatan yang dahsyat
dari lawan itu.
Meski pun
dia sendiri memiliki sinkang yang kuat, namun setelah beberapa kali mencoba
tenaga lawan dan mengadu tenaga, lengannya terasa agak nyeri karena dia kalah
muda sehingga tulang-nya juga kalah kuat! Sebab itu mulailah Si Kumbang Merah
Tang Bun An mempergunakan kecerdikannya.
Tubuhnya
berkelebatan amat cepatnya dan benar seperti dugaannya. Biar pun si raksasa itu
juga memiliki gerakan yang cepat, tetapi masih jauh kalah cepat jika
dibandingkan dia. Coa Ciangkun mulai merasa pening karena lawannya lenyap,
berubah menjadi bayangan yang terus berkelebatan di sekeliling dirinya!
Lawannya itu seperti seekor kumbang yang beterbangan mengitarinya, membuat Coa
Ciangkun kini terdesak dan repot sekali.
Setelah
lewat lima puluh jurus dan membuat lawan benar-benar pening, dengan kecepatan
kilat ketika tubuhnya berkelebat di belakang lawan, Tang Bun An mempergunakan
ujung kakinya menendang cepat mengarah tekukan lutut kedua kaki Coa-ciangkun.
Tidak keras tendangan itu, akan tetapi karena yang ditendang adalah bagian yang
lemah, maka tanpa dapat dipertahankan lagi, kedua kaki perwira raksasa itu pun
tertekuk dan dia berlutut!
Tang Bun An
yang cerdik tidak ingin menambah musuh, maka cepat dia menjura kepada perwira
itu sambil berkata, "Ciangkun, engkau sungguh hebat, maafkan aku."
Perwira Coa
bangkit berdiri lantas balas menjura. Hatinya kagum sekali. Orang ini sangat
lihai, pikirnya, akan tetapi pandai pula merendahkan diri. Meski pun dia tadi
kalah, namun lawannya sengaja tidak membikin malu padanya. Dia tahu bahwa kalau
lawan yang amat lihai itu menghendaki, dia dapat dikalahkan dalam cara yang
lebih keras lagi.
Kaisar
merasa puas dan para pembesar militer juga menyatakan kekaguman mereka. Semua
orang tahu belaka bahwa pria setengah tua yang masih ganteng dan simpatik itu
memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan boleh diharapkan menjadi
komandan pengawal yang dapat dipercaya.
Mulai hari
ini resmilah Tang Bun An menjadi Tang-ciangkun, dan kedudukannya bahkan jauh
lebih tinggi dari pada Tang Gun. Lalu bagaimana dengan nasib Tang Gun? Bagi dua
orang kekasihnya sudah jelas. Hari itu juga mereka digunduli dan diserahkan
kepada para nikouw pengurus kuil, dan dua orang wanita muda itu dipaksa menjadi
nikouw, setiap hari kerjanya hanya berdoa dan mempelajari kitab-kitab agama
untuk menebus dosa mereka!
Ada pun Tang
Gun sendiri, dengan punggung yang masih penuh babak belur serta terasa perih,
lehernya dikalungi papan berlubang dan dikawal oleh dua orang petugas penjara,
dibawa keluar dari kota raja dalam perjalanannya ke tempat pembuangan, jauh ke
utara di mana terdapat tempat pembuangan dan di sana para terhukum itu
dijadikan pekerja rodi, memperbaiki dinding dari Tembok Besar yang rusak,
melayani pasukan penjaga dan lain-lain pekerjaan kasar, sampai mereka itu mati
atau habis masa hukumannya.
Sesudah Tang
Gun dikawal dua orang petugas penjara keluar dari kota raja, pada malam harinya
Tang Bun An merasa gelisah di dalam kamarnya. Ia terkenang kepada Tang Gun,
teringat akan percakapan antara Tang Gun dan Hwee Lan di dalam kuil sebelum
mereka dia serahkan kepada kaisar. Dua orang itu bertangisan dan dalam keluh
kesahnya itulah dia mendengar Tang Gun berkata dengan suara penuh duka.
"Aih,
aku telah melupakan pesan ibuku, dan seperti juga ibuku, aku menjadi korban
nafsu. Ibuku pernah bercerita bahwa karena terbuai oleh nafsu, dahulu ibuku
telah menyerahkan diri kepada seorang pria. Ibuku mengandung dan pria itu pergi
begitu saja. Ibu melahirkan aku lantas hidup merana dan itu semua adalah korban
nafsu yang hanya beberapa waktu saja! Aku lupa akan pengalaman ibu, dan aku pun
sudah tergoda oleh nafsu sehingga kita melakukan hubungan dan sekarang
akibatnya sungguh pahit, sama sekali tidak sepadan dengan kesenangan sejenak
yang kita nikmati..."
"Akan
tetapi, koko. Kita saling mencinta... ," bantah Hwee Lan.
"Hemm,
benarkah hal itu? Apa bila kita saling mencinta, tentu kita tidak akan
melakukan hubungan yang akibatnya hanyalah mencelakakan kita sendiri. Kita
saling mencelakakan. Yang mendorong hubungan kita bukanlah cinta, tapi nafsu
birahi! Peringatan ibu sungguh tepat. Kita harus senantiasa waspada terhadap
nafsu kita sendiri karena nafsu kita yang akan menyeret kita ke lembah
kesengsaraan. Apa bila kita lengah, nafsu akan menerkam kita. Untuk kenikmatan
yang hanya beberapa saat kita rasakan, mungkin akan menyeret kita ke lembah
kesengsaraan selama hidup!"
Pemuda itu
menangis dan merintih-rintih memanggil ibunya! Itulah yang selalu mengiang di
dalam telinga Si Kumbang Merah pada malam hari itu. Dia sendiri tidak tahu
siapa ibu pemuda itu, namun dia percaya bahwa Tang Gun adalah puteranya. Sudah
terlalu banyak wanita dia permainkan sehingga dia tidak ingat lagi, wanita yang
mana yang menjadi ibu pemuda itu! Dan dia pun tidak mempunyai hasrat untuk
mengetahuinya.
Namun betapa
pun juga Tang Gun adalah anak kandungnya! Dia tidak memiliki rasa cinta
terhadap pemuda itu, akan tetapi, mengingat bahwa Tang Gun tidak bersalah
kepadanya, dan juga tidak mengecewakan menjadi puteranya, pandai menjatuhkan
hati wanita, maka hatinya merasa tidak tega.
Demikianlah,
pada keesokan harinya ketika Tang Gun dan dua orang pengawalnya tiba di jalan
sunyi di lereng sebuah bukit, tiba-tiba muncul seorang yang berpakaian serba
hitam dan memakai kedok hitam pula. Tanpa banyak cakap, si kedok hitam ini
menyerang dua orang pengawal itu.
Mereka
mencabut golok lalu melakukan perlawanan. Namun percuma saja, hanya dalam
beberapa jurus keduanya sudah terjungkal tewas dan si kedok hitam lantas
menendangi mayat mereka sampai terlempar ke dalam jurang yang sangat dalam.
Sesudah itu, masih tanpa bicara, si kedok hitam membikin pecah "Pang'
(alat papan berlubang mengalungi leher), mematahkan semua rantai, kemudian
menyerahkan sebuah buntalan kain kuning kepada Tang Gun. Buntalan kain itu
ternyata berisi uang emas!
Tang Gun
terheran-heran namun si kedok hitam meloncat pergi. Pemuda itu hanya dapat
berteriak, "Kedok hitam, aku Tang Gun tidak akan melupakan pertolonganmu
ini selama hidupku!"
Si Kedok
Hitam itu tentu saja bukan lain adalah Si Kumbang Merah Tang Bun An. Setelah
menolong dan membebaskan putera kandungnya serta memberi emas yang cukup untuk
bekal hidup pemuda itu, dia lalu kembali ke kota raja dan hatinya merasa lega
dan puas.
Tang Gun
adalah anak keturunannya yang patut dibanggakan! Hanya sayang ilmu silatnya tak
begitu tinggi, tidak seperti Hay Hay atau Tang Hay itu. Begitu teringat akan
Tang Hay, diam-diam Si Kumbang Merah bergidik.
Anak itu
sungguh luar biasa. Amat lihai dan memiliki ilmu sihir yang mengerikan pula.
Dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya bahwa anak kandungnya yang satu itu
sekali waktu akan dapat menemukannya! Apakah dia akan sanggup menandingi
anaknya itu? Apakah dia akan mampu menyelamatkan dirinya?
"Aku
tidak perlu takut!" Akhirnya dia mengeluh.
Bukankah
tidak seorang pun di antara mereka, termasuk Tang Hay sendiri, mengetahui bahwa
dia kini sudah menjadi seorang panglima di istana? Panglima, komandan seluruh
pasukan pengawal yang amat kuat! Maka, apa artinya musuh-musuh dari golongan
para pendekar itu? Dalam kedudukannya sekarang, mereka takkan mampu berbuat
sesuatu!
Sejak itu
mulailah Si Kumbang Merah Tang Bun An menikmati kehidupannya yang baru. Seorang
panglima yang ditakuti dan disegani, yang memiliki kekuasaan di istana, luar
dan dalam. Dialah yang mengatur semua penjagaan, dia pula yang bertanggung jawab
akan keamanan dan keselamatan istana, akan keamanan dan keselamatan kaisar
sekeluarga!
Dia
berkedudukan tinggi serta terhormat, juga hidup dalam kemewahan. Sebentar saja
di dalam gedungnya yang megah telah dimeriahkan dengan adanya belasan orang pelayan
wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Bahkan karena pengalamannya dalam
urusan wanita, Si Kumbang Merah memilih gadis-gadis yang cantik dengan segala
macam sifat dan pembawaan, ada sesuatu yang khas dan menjadi daya tarik bagi
setiap para pelayan itu. Dia memilih dengan amat teliti sehingga sebentar saja
para pejabat tinggi di kota raja mendengar atau melihat sendiri bahwa panglima
baru ini mempunyai gadis-gadis pelayan yang hebat, yang tidak kalah
dibandingkan dengan para dayang di istana kaisar!
***************
Apakah Si
Kumbang Merah Tang Bun An sudah merasakan bahagia di dalam hidupnya? Apakah dia
sekarang sudah merasa puas dengan keadaan hidupnya yang baru, di mana dia
bergelimang dengan kehormatan, kekayaan dan kemuliaan?
Orang-orang
menghormatinya, rumahnya besar dan dilayani pelayan-pelayan wanita yang
muda-muda lagi cantik, dijaga pasukan pengawal dan hidup sebagai seorang
pembesar yang otomatis menjadi bangsawan yang kaya raya. Apakah hidupnya
bahagia? Memang senang, namun kesenangan bukanlah kebahagiaan.
Kesenangan
hanyalah merupakan keadaan sepintas saja, selewat saja, bahkan ada pula
kesenangan yang umurnya amat pendek. Setelah saat senang itu lewat, maka
muncullah kebosanan dan kekecewaan. Kesenangan hanya sekedar pemuasan nafsu
keinginan dan sesudah tercapai, maka kepuasan itu pun ternyata hanya sekelumit
saja dan baru terasa bahwa apa yang dicapainya itu, kesenangan yang diidamkan
itu, tidaklah sebesar ketika dikejarnya.
Kesenangan
adalah muka yang lain dari kesusahan, ada suka tentu ada duka, ada puas tentu
ada kecewa. Kesenangan hanyalah merupakan permainan perasaan yang dikuasai oleh
nafsu. Sedangkan kebahagiaan bukanlah keadaan badan, melainkan keadaan jiwa!
Keadaan jiwa yang bebas dari pada cengkraman nafsu. Jiwa yang tidak lagi
terbungkus dan tertutup nafsu, jiwa yang sudah terbuka, sudah bersatu dengan
Tuhan!
Hanya
kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan jiwa dari kurungan nafsu!
lkhtiar manusia melalui pikiran dan akal budi tidak mungkin menundukkan nafsu,
karena pikiran dan akal budi pun sudah bergelimang nafsu. Tidak mungkin nafsu
dapat menundukkan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan bisa membersihkan jiwa
yang bergelimang nafsu, atau jiwa yang tertutup oleh kekuasaan gelap, kekuasaan
nafsu yang memikat manusia dengan segala macam bentuk kesenangan badani atau
kesenangan pikiran dan hati.
Panca
indera, pikiran, hati dan akal budi hanyalah alat pelengkap hidupnya jiwa dalam
badan. Namun sungguh sayang, karena badan diperalat nafsu dan daya rendah, maka
jiwa bagaikan tertutup dan terbungkus. Bagaimana mungkin kita membersihkan jiwa
kita, betapa mungkin kita menundukkan nafsu kalau kita sudah bergelimang dengan
nafsu?
Hanya
kekuasaan Tuhan yang akan mampu membersihkan jiwa kita, dan satu-satunya
ikhtiar yang dapat kita lakukan hanyalah menyerah kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih! Penyerahan yang berarti keimanan yang mutlak, penyerahan total,
dengan penuh ikhlas, kesabaran, dan ketawakalan.
Orang seperti
Si Kumbang Merah Tang Bun An adalah manusia yang tak mau mengenal Tuhan, tak
mau mengakui bahwa ada Yang Maha Kuasa di alam semesta ini. Dia mengira bahwa
dirinya adalah sang penentu bagi dirinya sendiri, baik atau buruk berada di
telapak tangannya.
Orang
seperti inilah yang akhirnya akan terpeleset, tersesat ke dalam lembah
kejahatan, tanpa merasa bahwa dia tersesat. Kalau sudah tertimpa mala petaka
sebagai akibat dari perbuatannya sendiri, orang seperti ini baru mengeluh,
lantas mencari-cari sasaran untuk dijadikan biang keladi mala petaka itu,
dijadikan sebagai kambing hitam untuk melempar kesalahannya.
Orang yang
tak mau mengakui kekuasaan Tuhan selalu menyombongkan diri sendiri bila
berhasil, dan melemparkan kesalahan kepada pihak lain kalau gagal. Sebaliknya,
orang yang percaya kepada kekuasaan Tuhan, dalam keadaan berhasil dengan rendah
hati dia berterima kasih atas berkah Tuhan, dalam keadaan gagal dia mohon
pengampunan atas segala kesalahannya kepada Tuhan.
Si Kumbang
Merah Tang Bun An lantas merayakan kemenangan serta keberhasilannya,
seakan-akan mabok dalam keberhasilannya. Namun segala kesenangan yang diraihnya
melalui nafsu yang dilampiaskan tanpa batas lagi ini, hanya sebentar saja
terasa nikmat olehnya. Dalam waktu beberapa bulan saja dia sudah mulai merasa
bosan!
Belasan
orang pembantu wanita, gadis-gadis cantik jelita dan manis itu sudah kehilangan
daya tarik baginya, seperti sekumpulan bunga yang sudah tidak menarik lagi bagi
seekor kumbang yang telah menghisap madu bunga-bunga itu sampai sepuasnya. Dan
mulailah matanya menjadi jalang mencari-cari bunga lain!
Si kumbang
Merah yang tadinya merasa bosan dengan cara hidupnya yang liar, lantas
merindukan kekuasaan dan kedudukan yang dianggapnya akan mendatangkan kemuliaan
dan kemewahan, kini sesudah memperoleh semua itu, bahkan rindu akan cara
hidupnya yang lalu! Dan sekali ini, dia tidak perlu lagi mencari-cari ke
kota-kota atau dusun-dusun seperti dahulu lagi. Kini wanita-wanita cantik
seolah-olah berserakan di depan hidungnya!
Bagaimana
tidak? Dia adalah panglima yang mengepalai pasukan pengawal istana, baik di
dalam mau pun di luar istana. Karena itu, para thai-kam pengawal yang selalu
berjaga di sebelah dalam istana, di bagian para puteri, juga menjadi anak
buahnya. Dan di dalam istana bagian para puteri itu terdapat banyak wanita
pilihan, wanita-wanita tercantik dari seluruh negeri! Maka mulailah si kumbang
merah beraksi.
Biar pun
usianya sudah lima puluh lima tahun, namun Tang Bun An menjadi seperti muda
kembali, menjadi seekor kumbang merah yang beterbangan di antara bunga-bunga
yang sedang mekar dengan indahnya di taman istana, hinggap dari satu ke lain
kembang untuk menghisap madu manis sepuas hatinya!
Dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi, tentu saja dengan mudah Si Kumbang Merah dapat
menyelinap ke dalam kamar seorang selir atau dayang tanpa di ketahui orang
lain. Baginya, tidak peduli wanita itu selir kaisar, atau bahkan puteri kaisar,
atau dayang, asal muda dan cantik, tentu akan dirayunya.
Dia memang
pandai merayu wanita, dengan rayuan maut yang membuat setiap wanita menjadi
lemas dan bertekuk lutut, menyerahkan diri tanpa melawan lagi, bahkan dengan
suka rela, dengan kehausan seorang wanita yang menjadi isteri atau selir kaisar
dengan puluhan orang saingan! Maka dalam waktu beberapa bulan saja hampir
seluruh selir dan dayang telah membiarkan diri dihisap oleh Si kumbang Merah.
Bahkan banyak pula gadis puteri kaisar yang menyerah!
Namun Si
Kumbang Merah Tang Bun An adalah seorang pria yang berpengalaman dan cerdik sekali.
Dia tidak lagi berani melakukan paksaan atau pemerkosaan terhadap wanita di
dalam istana seperti yang dahulu sering kali dia lakukan ketika dia masih liar
sebagai Ang-hong-cu yang ditakuti orang. Tidak, dia tidak ingin mengorbankan
kedudukannya.
Dia berlaku
hati-hati dan hanya merangkul wanita yang menanggapi rayuannya sehingga selalu
terjadi hubungan yang suka sama suka. Dia kini dapat menjaga pula agar jangan
sampai ada puteri kaisar yang masih gadis menjadi hamil akibat perjinahan
mereka. Dan dia pun tidak mau jatuh cinta seperti Tang Gun yang dianggapnya
bodoh. Hubungannya dengan para wanita itu hanyalah hubungan nafsu semata,
saling meminta dan memberi, setelah itu habis sudah, tidak ada ikatan dalam
hati.
Tidak lama
kemudian, semua selir dan dayang yang menjadi kekasihnya sudah rnenjadi
sekutunya. Mereka itu beramai-ramai selalu melindungi dan menyembunyikan
rahasia Si Kumbang Merah. Bagi mereka, Tang-ciangkun yang satu ini sungguh
merupakan seorang pria yang amat menyenangkan!
Dan mereka semua
tahu bahwa sekali rahasia itu terbuka, bukan hanya panglima jantan itu yang
akan celaka, akan tetapi mereka semua pun akan menjadi korban. Mereka masih
teringat akan nasib selir Hwee Lan dan dayang A Sui, dan mereka tidak ingin
menjadi nikouw!
Karena
hampir semua selir dan dayang terlibat, maka Si Kumbang Merah merasa aman.
Bunga-bunga harum itu bukan hanya suka menyerahkan madu manis kepadanya, bahkan
melindunginya pula.
Betapa pun
juga, masih ada juga satu hal yang kadang-kadang mengkhawatirkan hati Si
Kumbang Merah, yaitu permaisuri! Wanita berusia empat puluh tahun lebih yang
masih tampak cantik dan amat berwibawa ini merupakan ganjalan dan juga
merupakan ancaman bahaya bagi dia dan semua kekasihnya di dalam harem kaisar
itu.
Permaisuri
ini amat anggun dan juga angkuh. Sebagai seorang pria yang berpengalaman dia
maklum bahwa tidak mungkin merayu dan menundukkan hati seorang wanita seperti
permaisuri itu. Kalau saja tarikan mulutnya tidak sekeras itu, atau pandang
matanya tidak setajam dan sedingin itu, mau rasanya dia mencoba merayu sang
permaisuri. Walau pun usianya sudah empat puluh tahun lebih, namun dia juga
merupakan seorang wanita yang amat menarik, setangkai bunga yang sama sekali
belum layu.
Namun
Ang-hong-cu Tang Bun An tidak berani mencoba hal ini karena sekali gagal, dia
akan celaka. Walau pun dia mampu melarikan diri andai kata terjadi sesuatu,
yang jelas dia akan kehilangan kedudukannya dan akan menjadi seorang buruan
pemerintah. Berat!
Kekhawatiran
Ang-hong-cu ini memang tidak meleset. Diam-diam, permaisuri yang juga memiliki
kecerdikan itu sudah bisa 'pencium' bau rahasia ketidak beresan yang terjadi di
dalam istana bagian puteri itu. Walau pun para selir dan dayang, juga para
thai-kam (pria kebiri) pengawal yang bertugas di sana semua membantu
Ang-hong-cu, akan tetapi ada beberapa orang thai-kam yang menjadi orang-orang
kepercayaan sang permaisuri! Mereka inilah yang membocorkan rahasia itu kepada
permaisuri!
Pada saat
permaisuri mendengar bahwa banyak selir dan dayang yang telah 'mengotori'
istana dengan perbuatan jinah mereka besama Panglima Tang, maka secara
diam-diam permaisuri marah bukan main.
"Hemm,
pelacur-pelacur itu...!" dia mengepal tangannya. "Awas, akan
kubongkar semua ini!"
Tanpa adanya
bukti yang nyata, sang permaisuri tidak berani melapor begitu saja kepada
suaminya, yaitu kaisar. Kaisar harus dapat menangkap basah mereka itu, dan
tentu saja hal itu dapat diatur dengan bantuan para thai-kam pengawal yang
menjadi pembantunya yang setia!
Demikianlah,
diam-diam permaisuri yang cerdik ini sudah mengatur siasat bersama para
pembantunya yang setia. Dan laksana seekor laba-laba betina, dia telah menenun
sarang yang penuh jebakan dan perangkap. Hal ini dilakukan dengan penuh rahasia
sehingga sama sekali tak mencurigakan Si Kumbang Merah dan para wanita yang
menjadi kekasih Ang-hong-cu itu.
Pada suatu
malam, seperti biasa Si Kumbang Merah berada di kamar salah seorang selir
kaisar. Selir itu masih muda, usianya tak lebih dari tiga puluh tahun, cantik
jelita dan amat menarik, juga merupakan seorang di antara para selir yang
tersayang oleh kaisar. Seperti biasa pula, dayang selir itu yang juga telah
menjadi kekasih Si Kumbang Merah, melayani mereka berdua yang berpesta pora di
dalam kamar.
Ang-hong-cu
Tang Bun An demikian mabok kesenangan sehingga sesudah lewat tengah malam, dia
pun sudah tertidur nyenyak dalam kamar itu, dalam pelukan dua kekasihnya. Sama
sekali dia tidak tahu bahwa sejak memasuki bagian puteri itu gerak-geriknya
sudah diamati oleh para thai-kam pengawal yang menjadi mata-mata permaisuri.
Untunglah
bahwa selama ini Ang-hong-cu selalu bersikap baik dan royal sekali terhadap
para pengawal. Para thai-kam pengawal yang tidak menjadi mata-mata permaisuri,
masih setia kepada Ang-hong-cu. Panglima Tang ini adalah seorang atasan yang
royal dengan hadiah, bahkan sering pula mengajarkan satu dua jurus ilmu silat
tinggi kepada mereka. Maka, sebelum jerat yang dipasang sang permaisuri
mengena, pintu kamar selir itu telah digedor dari luar oleh beberapa orang
pengawal yang setia kepada Ang-hong-cu.
"Ciangkun...,
Ciangkun... cepat buka pintu !" kata mereka.
Tentu saja
Si Kumbang Merah terkejut sekali, apa lagi sesudah dia membuka pintu dan
mendengar laporan seorang anak buahnya yang setia. "Ciangkun, sungguh
celaka sekali. Entah apa yang terjadi, tahu-tahu Sribaginda datang berkunjung
dan anehnya, kini semua jalan keluar telah dijaga oleh pengawal-pengawal
kepercayaan Sang Permaisuri! Agaknya rahasia ciangkun sudah ada yang
membocorkan. Cepat, mereka akan menuju ke sini!"
Setetah
berkata demikian, para pengawal itu cepat mengundurkan diri karena tentu saja
mereka tidak ingin terlibat. Mendengar laporan itu, selir dan dayangnya sudah
menangis dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan. Akan tetapi Si Kumbang
Merah tenang saja. Dia menutupkan pintu kamar itu, lalu merangkul selir itu
sambil berbisik,
"Kau
pura-pura sakit, lekas berselimut!" Dan kepada dayang itu, dia pun
berkata, "Engkau rawat majikanmu, memijat-mijat kakinya dan laporkan bahwa
sejak sore tadi majikanmu merasa pening dan badannya lesu. Kalian berdua
bersikap tenang saja, dan pura-pura kaget kalau ada yang menggedor pintu.
Mengerti?"
Setelah
berkata demikian, Si Kumbang Merah mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari
saku bajunya kemudian mulailah dia berhias muka. Sebentar saja mukanya telah
berubah menjadi wajah seorang wanita setengah tua! Dayang itu membantunya
dengan pakaian yang lusuh dan tua sehingga kini dia pun telah menjadi seorang
wanita tua yang berwajah lembut! Dan sekali berkelebat, dia sudah keluar dari
jendela kamar itu. Daun jendela lalu ditutup kembali oleh sang dayang.
Dan benar
saja, tak lama kemudian pintu kamar itu digedor dari luar, keras sekali.
"Cepat buka pintu! Perintah Sribaginda!" terdengar teriakan itu.
Karena
perasaan takut, selir itu menggigil ketakutan, mukanya pucat dan keringat
dingin membasahi tubuhnya. la bersembunyi ke dalam selimut dan dayangnya segera
membuka daun pintu itu, dengan perasaan takut yang ditahan-tahan pula. Setelah
daun pintu dibuka dan melihat Sribaginda Kaisar di ambang pintu, dayang itu
lalu menjatuhkan diri berlutut.
Kaisar tidak
memperhatikan dayang itu, melainkan memandang ke seluruh kamar dengan sinar
mata penuh selidik, lalu bertanya, "Apa yang dilakukan majikanmu?"
"Ampun...,
Paduka. Nyonya... nyonya sedang sakit, sejak sore tadi terus tiduran..., hamba
merawatnya..."
Mendengar
ini, kaisar segera melangkah mendekati pembaringan, kemudian menyingkap
kelambu. Kaisar melihat selir terkasih itu rebah terlentang, wajahnya pucat dan
tubuhnya menggigil.
"Engkau
sakit... ?" Kaisar meraba dahi serta lehernya dan memperoleh kenyataan
betapa tubuh itu panas dingin dan basah oleh keringat. "Ah, engkau benar
sedang sakit. Tidurlah, besok biar diberi obat oleh tabib istana."
Kaisar
menutup kembali kelambu, lantas keluar dari kamar itu dengan wajah
bersungut-sungut. Tadi permaisuri menyindir bahwa mungkin peristiwa Hwee Lan
sekarang terulang kembali, dan kaisar dipersilakan untuk berkunjung ke kamar
selir itu lewat tengah malam.
"Kalau
tidak ada pria di sana, tentu pria itu sudah melarikan diri dan harus dicari
sampai dapat, Jangan sampai nama baik paduka menjadi ternoda aib akibat
peristiwa tidak tahu malu seperti itu." Demikian sang permaisuri berkata.
Lewat tengah
malam, kaisar lalu melakukan pemeriksaan dengan hati dipenuhi perasaan cemburu,
membawa pasukan pengawal yang dipilih oleh permaisuri. Akan tetapi ternyata
kamar itu kosong, malah selir terkasih yang dituduh menyimpan kekasih itu
sedang rebah dalam keadaan sakit!
"Geledah
seluruh kamar di sini, cari dan tangkap apa bila sampai terdapat seorang
asing!" Demikian perintah kaisar yang merasa penasaran, lalu melangkah
pergi dari tempat itu.
Dia sendiri
hendak mencari permaisuri di dalam kamarnya, untuk menegur permaisurinya itu
kalau memang ternyata tidak ditemukan sesuatu. Untuk ini dia telah membuang
waktu dan tidak tidur, namun semua untuk percuma saja!
Akan tetapi,
di kamar permaisuri terjadi hal yang amat aneh. Ketika itu permaisuri sedang
rebah sambil tersenyum-senyum penuh kemenangan dan membayangkan betapa selir
itu tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman, dan dayangnya terkasih sedang
memijati kakinya sambil mengantuk. Tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat
dan tahu-tahu di kamar itu telah berdiri seorang wanita setengah tua.
Dayang itu
hendak berteriak, akan tetapi wanita itu telah meraba tengkuknya dan dia pun
menjadi lemas tak mampu berteriak atau bergerak lagi. Wanita itu lalu merenggut
gelang yang dipakai oleh dayang itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
Kemudian dia menghampiri permaisuri yang juga sudah bangkit duduk dan memandang
dengan kedua mata terbelalak.
Melihat
permaisuri itu hendak menjerit pula, nenek yang bukan lain adalah Si Kumbang
Merah cepat berbisik, "Harap jangan berteriak kalau Paduka sayang akan
nyawa Paduka! Dengar baik-baik, hamba adalah seorang laki-Iaki... sstt, Paduka
tidak perlu takut. Hamba tidak akan mengganggu Paduka, dan malam ini Paduka
harus rnelindungi hamba. Hamba akan berada di sini dan Paduka katakan kepada sribaginda
bahwa hamba adalah seorang ahli pijat yang sengaja Paduka panggil ke sini.
Ingat, apa bila Paduka membuka rahasia sehingga hamba ketahuan kalau hamba
laki-Iaki, maka hamba akan membuat pengakuan bahwa hamba adalah kekasih
paduka."
Sepasang
mata itu terbelalak, apa lagi pada saat itu tangan Si Kumbang Merah bergerak
cepat dan tahu-tahu kalung yang berada di lehernya telah dirampas oleh nenek
itu.
"Kalung
ini, seperti juga gelang milik dayang ini, akan menjadi bukti bahwa hamba sudah
menjadi kekasih Paduka yang Paduka selundupkan ke dalam kamar ini."
"Kau...
kau sungguh tak tahu malu, hendak melempar fitnah kepadaku! Siapakah engkau
sebenarnya?"
"Paduka
tidak perlu tahu. Hamba hanya minta supaya malam ini dilindungi dan besok
diperbolehkan keluar dengan aman atau... nama baik Paduka akan ternoda. Semua
orang akan percaya pada hamba, dan semua selir akan suka bersumpah bahwa hamba
adalah kekasih paduka!"
"Ihh...!
Kau... kau... jahanam yang menodai istana, berjinah dengan para selir dan
dayang itu! Engkau Tang-ciangkun!" Wanita bangsawan itu tiba-tiba menjadi
pucat. "Jangan kau berani menggangguku! Aku akan menjerit, aku akan bunuh
diri, aku..."
"Jangan
khawatir. Hamba tidak akan mengganggu Paduka. Selama ini hamba juga tidak
pernah mengganggu para selir dan dayang. Bahkan hamba telah menolong mereka
yang kehausan..."
"Tutup
mulutmu yang kotor!"
"Sekali
lagi, kalau Paduka membuka rahasia hamba, maka hamba pasti akan bersumpah
menjadi kekasih Paduka. Mungkin hamba akan dihukum mati, akan tetapi nama
Paduka akan menjadi cemar sampai tujuh turunan!"
Pada saat
itu pula terdengar suara di luar dan Si Kumbang Merah cepat membebaskan totokan
pada dayang itu, lantas berbisik, "Engkau sudah mendengar semuanya. Hayo
kau tidur di sudut sana, dan kau akui bahwa aku adalah seorang ahli pijat yang
dipanggil oleh majikanmu!"
Dayang itu
hanya mampu mengangguk-angguk, lantas dia cepat merebahkan diri di sudut kamar
itu dan pura-pura tidur. Ia takut bukan main, akan tetapi dia pun tahu bahwa
seperti juga majikannya, kini dia sudah berada dalam cengkeraman pria yang
menyamar sebagai wanita itu, pria yang dia tahu adalah Tang Ciangkun! Gelangnya
telah dirampas dan kalau pria itu tertangkap lalu membuat pengakuan bahwa dia
telah menerima gelang itu sebagai hadiah dari kekasih, tentu dia akan celaka,
akan digunduli dan dipaksa menjadi nikouw!
Ketika
kaisar memasuki kamar permaisurinya dengan wajah muram dan bersungut-sungut
karena hatinya tidak senang, dia merasa heran saat melihat seorang wanita
setengah tua memijati pinggul permaisurinya.
Dapat
dibayangkan betapa marah rasa hati permaisuri itu pada waktu 'nenek' itu
memijati pinggulnya dengan tekanan-tekanan dua tangannya, hangat dan mesra.
Namun terpaksa dia menekan kemarahannya karena harus diakuinya bahwa
tekanan-tekanan itu memang pijitan seorang ahli sehingga otot-otot pinggul dan
punggungnya kini terasa nyaman!
Wanita
setengah tua itu cepat-cepat berlutut saat kaisar memasuki kamar dan mendekati
pembaringan.
"Hemm,
siapakah wanita ini?" Kaisar bertanya kepada permaisurinya yang sudah
bangkit dan memberi hormat pula kepadanya.
Si Kumbang
Merah yang masih berlutut itu sudah bersiap-siap untuk meloncat kemudian
melarikan diri kalau permaisuri itu membuka rahasianya. Akan tetapi hatinya
merasa lega ketika permaisuri itu menjawab dengan suara sambil lalu.
"Ahh,
dia adalah seorang ahli pijat dari luar istana yang kabarnya sangat pandai.
Karena hamba sedang merasa lelah dan tak enak badan, maka hamba memanggilnya ke
sini dan memang dia pandai sekali." Permaisuri lalu menggandeng tangan
kaisar dan dibawanya duduk di atas kursi kesukaan Sribaginda, di dekat meja.
Dengan lembut dia lalu bertanya, "Bagaimanakah dengan penyelidikan
Paduka?"
"Hemm,
tidak kutemukan siapa-siapa di kamarnya. Malah dia rebah dalam keadaan sakit!
Agaknya engkau hanya menduga yang bukan-bukan saja!"
Permaisuri
itu segera memberi hormat dan berkata dengan suara lembut, "Kalau begitu,
ampunkan hamba. Sesungguhnya hamba selalu merasa khawatir kalau peristiwa
seperti yang dilakukan oleh Hwee Lan sampai terulang kembali. Hamba khawatir
jika nama besar Paduka sampai ternoda."
"Hemm,
jangan bicara dulu jika belum ada bukti yang nyata. Engkau hanya mengganggu
pikiranku saja dan kini aku menjadi lelah karena kurang tidur. Ahhh, benarkah
dia pandai memijit? Biar kau suruh dia memijati tubuhku yang terasa lelah sekali,"
kata Kaisar sambil menuding ke arah wanita setengah tua yang masih berlutut di
atas lantai.
Tentu saja
permaisuri merasa khawatir sekali, akan tetapi dia pun tak berani membantah
karena khawatir kalau rahasia nenek itu ketahuan. Maka terpaksa dia lalu
membereskan pembaringan dan setelah membantu kaisar rebah di atas pembaringan,
dia lalu menyuruh nenek itu memijati tubuh kaisar .
Akan tetapi
Si Kumbang Merah sama sekali tak merasa khawatir. Dia adalah seorang ahli silat
tinggi, pandai ilmu menotok jalan darah dan sudah hafal tentang kedudukan
otot-otot dan urat-urat, tahu betul cara pengobatan dengan urut dan pijit. Maka
tanpa ragu-ragu dia pun lalu memijati tubuh kaisar, dimulai dari kedua kaki,
terus naik ke pinggul, punggung, kedua lengan dan leher.
Lega rasa
hati permaisuri setelah mendengar Sribaginda mengeluarkan kata-kata memuji dan
merasa keenakan, bahkan tidak lama kemudian Sang Kaisar sudah tertidur nyenyak
sekali!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali, permaisuri menyuruh Si Kumbang Merah untuk
menghentikan pijitannya. "Engkau boleh pergi sekarang, biar diantar keluar
oleh pengawal kepercayaanku," katanya.
Si Kumbang
Merah tersenyum sambil memberi isyarat berkedip kepada permaisuri dan
dayangnya, lalu memberi hormat dan mengikuti dua orang thai-kam pengawal yang
sudah diberi perintah oleh permaisuri itu. Dengan aman, karena dikawal oleh dua
orang thai-kam pengawal kepercayaan permaisuri, dia telah keluar dari daerah
terlarang itu.
Semenjak
terjadinya peristiwa itu, Si Kumbang Merah semakin leluasa mengaduk-aduk daerah
terlarang itu, bagaikan seekor kumbang yang dengan bebasnya beterbangan di
antara bunga-bunga pilihan di taman istana, menghisap madu dari satu ke lain
kembang sesuka hatinya! Permaisuri sama sekali tak berdaya, bahkan permaisuri
itu sudah merasa berterima kasih bahwa Si Kumbang Merah tidak memaksa dia untuk
rnenjadi kekasihnya pula! Akan tetapi dayangnya tidak terlepas dari sengatan
kumbang rnerah yang nakal itu.
Bahkan para
thai-kam pengawal yang tadinya setia kepada permaisuri, kini semua telah tunduk
di bawah kekuasaan Si Kumbang Merah dan tentu saja hal ini pun terjadi melalui
sang permaisuri yang merasa tidak berdaya di bawah ancaman Si Kumbang Merah
yang telah rnenguasainya dengan menyimpan kalung dan beberapa barang perhiasan
lainnya.
Benda-benda
ini merupakan senjata ampuh, membuat sang permaisuri bertekuk lutut tak berdaya
karena sekali saja Si Kumbang Merah memperlihatkannya kepada orang lain dan
mengatakan bahwa dia menerimanya dari sang permaisuri sebagai hadiah, maka
istana, bahkan seluruh negeri akan geger! Tentu nama permaisuri itu akan
langsung terseret ke dalam lumpur sebagai seorang permaisuri yang menyimpan
seorang kekasih gelap!"
***************
Kita
tinggalkan dahulu Si Kumbang Merah Tang Bun An yang sedang mabok kesenangan dan
menjadi seperti ayam jantan tunggal di antara ayam ayam betina di harem kaisar!
Dia telah kembali pada kehidupannya yang dulu lagi, walau pun terdapat banyak
perbedaan.
Dulu dia
suka merusak wanita, memperkosa, membunuh, lalu meninggalkannya sesudah wanita
itu mengandung, sambil di dalam hati mentertawakan wanita yang pada dasarnya
menimbulkan rasa dendam kebencian padanya. Kini, agaknya dia hanya menuruti
nafsu, mencari senang tanpa rasa benci kepada wanita-wanita itu.
Kita
tinggalkan dulu tokoh itu dan mengikuti perjalanan seorang di antara puteranya,
yaitu Tang Cun Sek. Setelah melarikan diri dari Cin-ling-san, pemuda yang
usianya sudah tiga puluh tahun itu lalu mengembara. Dia seorang pemuda tinggi
besar dan gagah. Wajahnya yang berkulit putih itu nampak tampan. Kedua matanya
tajam mencorong, sikapnya halus dan dia adalah seorang yang sangat pendiam.
Seperti
sudah kita ketahui, Tang Cun Sek juga mengalami nasib yang sama dengan para
keturunan Si Kumbang Merah. Dahulu ibunya menyerahkan diri karena rayuan
jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) itu, dan setelah ibunya mengandung, maka
Si Kumbang Merah meninggalkan ibunya dan tidak pernah muncul lagi.
Ibunya menikah
lagi dengan seorang hartawan Thio dan menjadi selirnya. Sebagai anak tiri
hartawan Thio, kehidupan Cun Sek cukup baik, menerima pendidikan dan tidak
sampai terlantar. Akan tetapi, dasar dia memiliki watak yang kotor, ketika dia
berusia enam belas tahun dia bergaul dengan para pemuda yang tidak karuan dan
dia berani berjinah dengan dua orang selir ayah tirinya sendiri. Dia tertangkap
basah lalu diusir. Tang Cun Sek pergi setelah berhasil mencuri banyak emas dari
gudang harta ayah tirinya.
Akan tetapi
dia sangat cerdik sehingga akhirnya dia berhasil menyelundup ke Cin-ling-pai
lalu menjadi murid dan anggota perkumpulan para pendekar itu. Bahkan bukan itu
saja, dia mampu merayu dan menundukkan hati kakek Cia Kong Liang sehingga dia
disayang dan dari kakek itu dia menerima banyak ilmu silat tinggi dari
Cin-ling-pai.
Demikian
pandainya dia mengambil hati orang tertua dari Cin-ling-pai itu sehingga bukan
saja dia disayang, akan tetapi oleh kakek itu juga dicalonkan sebagai ketua
Cin-ling-pai yang baru. Namun usahanya menguasai kedudukan ini digagalkan oleh
Cia Kui Hong, gadis lihai dan cerdik itu sehingga dia bukan saja tidak dapat
terpilih menjadi ketua baru Cin-ling-pai, bahkan menderita malu. Sebab itu dia
pun minggat meninggalkan Cin-ling-pai sambil membawa pergi pedang pusaka
Hong-cu-kiam, yaitu pedang pusaka dari Cin-ling-pai.
Demikianlah,
Cun Sek tak berani berhenti berlari cepat. Selama berbulan-bulan dia terus
menjauhi Cin-ling-san karena dia maklum bahwa mungkin sekali pihak Cin-ling-pai
akan melakukan pengejaran karena dia melarikan pedang pusaka.
Hampir empat
bulan telah lewat sejak dia melarikan diri dari Cin-ling-pai dan pada suatu
pagi dia tiba di sebuah kota. Kota Tian-cu-an merupakan sebuah kota yang cukup
besar. Musim panas telah tiba dan hawa udara lumayan panasnya biar pun matahari
belum naik terlalu tinggi.
Tang Cun Sek
yang semalam tinggal di sebuah kuil To-kauw (Agama To) yang berada di luar
kota, memasuki kota dengan sikap tenang. Dia memiliki banyak uang, sisa dari
emas yang dulu dicurinya dari rumah ayah tirinya, maka dia bersikap tenang dan
dapat membeli pakaian dalam perjalanan itu.
Kini dia
memasuki kota Tian-cu-an sebagai seorang pria muda yang berpakaian rapi dan
bersih, membawa buntalan kain kuning dan sikapnya seperti seorang terpelajar.
Pedang Hong-cu-kiam yang tadinya merupakan pedang pusaka Cin-ling-pai dan
menjadi milik Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, kini tersimpan di dalam
buntalan pakaian itu. Pedang pusaka Hong-cu-kiam adalah sebatang pedang yang
dapat digulung saking tipis dan lenturnya.
Cun Sek
merasa perutnya sangat lapar setelah hidungnya mencium bau masakan sedap yang
keluar dari sebuah rumah makan. Ia kemudian memasuki rumah makan yang masih
belum banyak pengunjungnya itu, dan memesan bubur ayam kepada seorang pelayan.
Pada saat
dia sedang makan bubur ayam yang sedap dan panas, pendengarannya yang tajam
mendengar percakapan yang dilakukan oleh tiga orang laki-laki yang duduk di
meja sebelah belakang. Mereka bercakap-cakap dengan suara lirih sekali, namun
cukup jelas bagi pendengaran Cun Sek yang tajam.
"Kita
harus berhati-hati sekali. Iblis betina itu lihai bukan main."
"Tentu
saja dia lihai, kalau tidak mana mungkin sute (adik seperguruan) sampai tewas
di tangannya."
"Hemm,
meski pun begitu, kalau kita bertiga maju bersama, mustahil kita tidak akan
dapat membinasakan iblis betina itu," kata orang ke tiga dengan suara
penasaran.
"Sstttttt...!"
Kawannya agaknya memberi isyarat sambil memandang ke arah Cun Sek dan tiga
orang itu tak lagi melanjutkan percakapan mereka dan pada saat itu, pelayan
datang membawa pesanan mereka.
Cun Sek
melanjutkan makan bubur seolah-olah dia tidak pernah mendengar percakapan
bisik-bisik tadi, namun secara diam-diam dia memperhatikan. Ketiga orang itu
berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Usia mereka antara tiga
puluh sampai empat puluh tahun dan dari gerak gerik mereka mudahlah diduga
bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu silat. Tubuh mereka
kelihatan kokoh dan gerak gerik mereka pun sigap, pandang mata mereka tajam.
Bahkan di balik jubah mereka nampak gagang pedang.
Kalau saja
mereka tadi tidak menyebut iblis betina, tentu Cun Sek tidak tertarik dan tidak
mau peduli sebab dia pun tak ingin mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi
disebutnya iblis betina membuat dia tertarik. Siapakah yang mereka maksudkan
dengan iblis betina itu dan mengapa seorang wanita disebut iblis?
Karena dia
memang tidak mempunyai tujuan tertentu dan memiliki banyak waktu terluang, juga
karena hatinya tertarik, maka dia pun mengambil keputusan untuk membayangi tiga
orang itu dan melihat sendiri siapa sebenarnya iblis betina itu dan wanita
macam apakah sampai dijuluki iblis betina.
Demikianlah,
pada saat tiga orang itu meninggalkan rumah makan, tanpa disadari mereka sudah
dibayangi oleh Cun Sek. Ketiga orang itu keluar dari kota melalui gerbang
selatan. Begitu keluar dari pintu gerbang, mereka lalu mempergunakan ilmu
berlari cepat menuju ke sebuah bukit yang tidak jauh dari kota Tian-cu-an,
sebuah bukit yang kelihatan subur penuh hutan lebat.
Ketika tiga
orang itu sampai di luar sebuah hutan di lereng bukit itu, mereka berhenti dan
seorang di antara mereka bersuit nyaring. Segera terdengar jawaban, yaitu
suitan-suitan yang sama dari berbagai penjuru dan tidak lama kemudian dari
balik semak belukar, balik pepohonan, bahkan ada pula yang melayang turun dari
atas pohon, bermunculan banyak sekali orang yang kesemuanya mengenakan seragam
hitam.
Diam-diam
Tang Cun Sek terkejut. Biar pun mungkin lihai, namun tiga orang laki-laki tadi
belum merupakan lawan yang terlalu tangguh. Akan tetapi dengan munculnya dua
puluh orang lebih ini yang kesemuanya berpakaian hitam-hitam serta sikap mereka
bengis dan kejam, sungguh mereka ini merupakan pasukan kecil yang berbahaya.
Hatinya semakin tertarik. Demikian banyaknya orang laki-laki hendak mengeroyok
seorang wanita? Kalau begitu, wanita yang di sebut iblis betina itu tentu luar
biasa lihainya.
Dengan
kepandaiannya yang tinggi, Cun Sek melayang naik ke atas pohon besar yang amat
lebat daunnya, tepat di atas sekumpulan orang itu sehingga dia bisa
mendengarkan dan melihat dengan jelas. Ada dua puluh empat orang berpakaian
seragam hitam.
Mereka
dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang mukanya penuh
dengan cambang, kumis dan jenggot. Matanya melotot bengis dan sesudah mendengar
bahwa orang-orang menyebutnya pangcu (ketua), maka mudah diduga bahwa si brewok
itu adalah ketua dari gerombolan orang berseragam hitam itu.
Dan melihat
sikap ketua gerombolan seragam hitam itu terhadap tiga orang yang datang dari
kota Tian-cu-an tadi, dapat diduga bahwa mereka merupakan sekutu. Antara ketua
dan tiga orang itu nampak hubungan yang saling menghargai, berbeda dengan sikap
para anggota kelompok seragam hitam yang bersikap amat hormat kepada ketua
mereka dan juga kepada tiga orang itu.
Karena sejak
muda berada di Cin-Iing-pai dan sudah lama tidak berkecimpung di dunia
kang-ouw, maka Tang Cun Sek sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah bertemu
dengan tokoh-tokoh kangouw yang kenamaan!
Gerombolan
seragam hitam yang sedang berkumpul di situ adalah para anggota pilihan dari
perkumpulan Hek-tok-pang (Perkumpulan Racun Hitam)! Dari nama perkumpulan ini
saja mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan
racun berbahaya di samping mereka memiliki pula ilmu silat kaum sesat yang amat
berbahaya.
Nama
Hek-tok-pang selalu mendatangkan perasaan takut pada semua orang yang sering
melakukan pelayaran di sepanjang Sungai Kuning, karena mereka yang tinggal di
lembah Huang-ho itu merupakan perkumpulan yang mengangkat diri sendiri sebagai
penguasa di sepanjang Huang-ho. Mereka suka menuntut pajak atau sumbangan dari
para pedagang yang menggunakan perahu, dan mereka tidak segan-segan untuk
membunuh siapa saja yang berani menentang mereka. Ketua mereka, yaitu pria yang
tinggi besar dan brewok itu bernama Cu Bhok dan terkenal memiliki ilmu silat
golok yang amat dahsyat.
Ada pun tiga
orang yang dibayangi oleh Cun Sek sejak dari kota Tian-cu-an itu pun bukan
orang-orang sembarangan. Mereka bertiga tadinya terdiri dari empat orang dan
terkenal dengan julukan mereka Kwi-san Su-kiam-mo (Empat Setan Pedang dari
Kwi-san). Orang pertama bernama Giam Sun, lalu yang ke dua ialah adik kandungnya
bernama Giam Kun. Orang ke tiga bernama Thio Su It, dan yang keempat bernama
Yauw Kwan. Akan tetapi, karena yang termuda telah tewas di tangan 'Iblis
betina', maka kini mereka hanya tinggal tiga orang saja.
Cun Sek yang
mengintai dari atas pohon melihat mereka itu mengadakan perundingan di bawah
pohon. Ketua Hek-tok-pang itu bersama tiga orang pria yang dibayanginya tadi
kini bercakap-cakap di bawah pohon, ada pun dua puluh empat orang anggota
Hek-tok-pang kemudian menyebarkan diri di sekitar tempat itu, siap untuk
melakukan perlindungan dan penjagaan agar jangan sampai ada orang luar
mendengarkan percakapan ketua mereka dengan tiga orang tokoh sekutu mereka itu.
Sungguh tak
seorang pun di antara mereka yang pernah menduga bahwa semenjak tadi sudah ada
seorang yang nongkrong di atas pohon dan melihat semua kegiatan mereka, bahkan
mendengar semua percakapan yang berlangsung di bawah pohon itu.
"Pangcu,"
kata seorang di antara tiga orang Kwi-san Su-kiam-mo, yaitu orang pertama yang
bernama Giam Sun itu, "Sebelum kita menyerbu ke Bukit Teratai Emas itu,
terlebih dahulu kita harus mengetahui jelas akan kedudukan kita dan sifat kerja
sama kita. Pangcu maklum bahwa meski pun kita sama-sama menentang iblis wanita
itu, namun alasan kita berbeda. Kami menentang dia karena hendak membalaskan
kematian seorang sute kami, sedangkan Pangcu karena Hek-tok-pang pernah
dirugikan oleh iblis betina itu. Akan tetapi kami kira bukan itu yang menjadi
alasan terpenting."
"Benar
sekali ucapanmu tadi, kawan," kata ketua Hek-tok-pang itu dengan suaranya
yang berat. "Selama ini di antara kita tidak pernah ada persekutuan walau
pun kita juga tidak pernah saling bertentangan. Kita mengambil jalan
masing-masing dan tidak pernah saling mengganggu. Akan tetapi mendadak iblis betina
itu muncul dan jelas bahwa dia hendak menjagoi, tidak memandang mata kepada
pihak lain. Tapi, betapa pun lihainya dia hanya seorang perempuan dan kami
tentu saja tidak sudi tunduk kepada seorang wanita! Kalau dia tidak dibasmi,
tentu hanya akan merendahkan nama besar kita sebagai laki-laki yang gagah
perkasa."
Tiga orang
itu mengangguk-angguk tanda setuju. "Akan tetapi kita harus berhati-hati.
Jika perhitungan kami tidak salah, dia mempunyai banyak pembantu yang pandai.
Kalau nanti kita berhasil memancing mereka keluar dari sarang mereka di
Kim-lian-san (Bukit Teratai Emas), harap Pangcu serta para saudara Hek-tok-pang
menghadapi para pembantunya. Ada pun kami sendiri akan menghadapi iblis betina
itu."
Setelah
mengadakan perundingan, empat orang ini diikuti oleh dua puluh empat anggota
Hek-tok-pang lalu menuruni lereng dan kini mereka menuju ke sebuah bukit
lainnya yang bersambung dengan bukit itu. Sebuah bukit yang lebih besar dan
lebih liar karena penuh dengan hutan-hutan lebat, di mana nampak bagian-bagian
yang berbatu, akan tetapi ada pula bagian yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa
serta semak belukar penuh duri yang amat liar dan tempat itu tidak pernah
didatangi manusia.
Para pemburu
binatang hutan pun agaknya segan untuk berburu binatang di Bukit Teratai Emas,
karena hutan itu memang sangat berbahaya. Apa lagi sejak kurang lebih setahun
yang lalu ada desas desus bahwa bukit itu dihuni segerombolan iblis yang amat
lihai dan jahat!
Bahkan
penduduk dusun yang tadinya mencoba memperbaiki nasib dengan membangun dusun di
situ dan bertani, kini beramai-ramai meninggalkan dusun mereka dan pindah ke
tempat lain yang lebih aman sesudah berkali-kali mereka diganggu oleh
iblis-iblis yang amat jahat!
Dengan hati
semakin tertarik, Cun Sek membayangi serombongan orang itu dari jauh. Dia
merasa semakin penasaran. Jelaslah bahwa serombongan orang itu adalah
orang-orang kang-ouw yang hendak menentang orang yang mereka sebut iblis
betina. Tentu seorang wanita yang lihai, yang agaknya juga mempunyai anak buah
dan mungkin wanita itu dan anak buahnya bersarang di bukit yang bernama Bukit
Teratai Emas itu. Tentu akan ramai, pikirnya, dan tanpa ada keinginan
mencampuri urusan itu, dia hanya membayangi untuk menjadi penonton.
Semenjak
meninggalkan Cin-ling-pai, dia memang tidak mempunyai tujuan tertentu.
Satu-satunya tujuan perjalanannya hanyalah mencari ayah kandungnya, yaitu
seorang tokoh yang menurut ibunya amat lihai dan berjuluk Ang-hong-cu. Selama
ini dia sudah bertanya-tanya, namun biar pun ada pula orang-orang kang-ouw yang
pernah mendengar nama Si Kumbang Merah, namun tak seorang pun mengetahui di
mana adanya tokoh yang sudah lama tidak pernah muncul di dunia kang-ouw itu.
Akhirnya,
menjelang tengah hari, rombongan itu tiba di lereng Bukit Teratai Emas. Mereka
tadi mendaki dengan amat hati-hati, dan setelah tiba di lereng yang terjal, tak
begitu jauh lagi dengan puncak dan nampak tertutup pohon-pohon raksasa, mereka
lantas berhenti. Cun Sek menyelinap dekat dan mengintai dari balik semak
belukar.
Dia melihat
betapa kini para anggota Hek-tok-pang itu menyebar bubuk hitam di antara
semak-semak di kanan kiri jalan setapak. Selain bubuk hitam yang disebarkan
pada daun dan duri semak-semak, juga ketua mereka menebarkan benda-benda kecil
runcing seperti paku berwarna hitam di atas tanah. Bukan sembarang paku,
melainkan benda bulat kecil yang mempunyai banyak duri seperti ujung paku pada
permukaannya sehingga setelah disebar di atas tanah, maka ada saja duri runcing
yang mencuat ke atas sehingga siapa saja yang lewat di jalan setapak itu tentu
akan menginjak benda itu dan karena benda itu runcing sekali, maka mungkin saja
dapat menembus sepatu dan melukai kulit telapak kaki!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment