Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 03
SEGALA
peristiwa yang mengesankan hatinya terbayang di dalam kepalanya, seolah-olah
dia membalik-balik lembaran buku catatan penuh gambar yang mengasyikan.
Terlampau banyak wanita digaulinya, baik secara suka rela mau pun paksaan,
demikian banyaknya sehingga jarang yang teringat olehnya, baik nama mau pun
rupa. Namun ada beberapa orang wanita yang meninggalkan kesan cukup mendalam di
hatinya.
Sebagai
seorang manusia biasa, bukan tidak pernah dia jatuh cinta terhadap korbannya!
Tetapi perasan cintanya ini selalu dicampakkan jauh-jauh, dipandang sebagai
racun yang berbahaya bagi dirinya sendiri. Tidak ada seorang pun perempuan yang
baik di dunia ini, demikian pikiran dan pendapatnya. Pendapat seperti ini
memberi kekuatan padanya untuk membuang jauh-jauh cinta kasih yang timbul dan
untuk memutuskan ikatan yang muncul kalau dia tertarik lahir batin kepada
seseorang korbannya.
Biasanya,
setelah dia memperkosa seorang korban atau menggauli seorang korban yang suka
rela menyerahkan diri sesudah jatuh oleh rayuannya, dia akan meninggalkan
begitu saja, mati atau hidup, meninggalkan pula sebuah hiasan kumbang merah
kepada korban itu. Akan tetapi, kalau hatinya tertarik oleh seorang korban dan
timbul rasa sayangnya, dia akan mengunjungi korban ini beberapa kali sampai dia
merasa bosan, atau sampai dia mengambil keputusan untuk segera meninggalkan
wanita itu sebelum hatinya terikat!
Tidak banyak
wanita yang demikian itu. Tetapi yang paling mengesankan, bahkan sampai dia
berusia setengah abad belum pernah dapat dilupakannya, adalah seorang gadis
yang bernama Teng Bi Hwa. Sesuai dengan namanya, gadis yang berusia tujuh belas
tahun itu benar-benar seperti bi-hwa (kembang cantik), bagai setangkai bunga
mawar yang sedang mekar semerbak!
Tang Bun An
yang pada waktu itu masih muda, kurang lebih berusia dua puluh tiga tahun,
langsung menjadi tergila-gila begitu melihat Bi Hwa! Dia merasa sayang sekali
bila harus memperkosa gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Gadis itu
didekatinya dan dirayunya.
Karena dia
memang tampan dan pandai pula merayu seperti yang dipelajarinya dari para
pelacur tingkat tinggi, dengan bantuan obat perangsang yang berhasil
dicampurkannya ke dalam minuman Bi Hwa, akhirnya dia berhasil membuat gadis itu
bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya! Berhasillah Bun An menguasai gadis
itu lahir batin dan membuat gadis cantik itu dengan suka rela menyerahkan diri.
Bi Hwa baru
sadar setelah semuanya terjadi. Gadis itu maklum bahwa dia telah diperkosa
secara halus, tetapi karena dia pun mencintai pemuda itu, dia berpegang kepada
harapan agar Bun An yang hanya dikenalnya sebagai Tang-Kongcu (tuan muda Tang)
akan suka mengawininya! Akan tetapi pemuda itu hanya minta waktu saja,
sementara setiap malam membawa dia pergi dari kamarnya untuk bermain cinta,
berasyik-masyuk, bermesraan berenang dalam lautan madu asmara sampai Bi Hwa
menjadi mabok kepayang!
Dan hal yang
paling dikhawatirkan pun terjadilah! Bi Hwa mengandung! Dan Tang-Kongcu minggat
tanpa pamit lagi, hanya meninggalkan sebuah hiasan berbentuk kumbang emas! Bi
Hwa menangis sampai pingsan akan tetapi tidak berdaya, hanya menyesali
kelemahan hatinya sendiri.
Teringat
akan Bi Hwa, Si Kumbang Merah langsung tersenyum, akan tetapi senyum pahit.
Harus diakui bahwa dia sungguh mencintai Bi Hwa! Hanya kebencian terhadap
wanitalah yang membuat dia memaksa dirinya meninggalkan wanita itu, biar pun
sesudah dia pergi hatinya dipenuhi kerinduan selama berbulan-bulan.
“Aahhh,
semua itu telah berlalu!” Dia mencela diri sendiri dan mengusir bayangan Bi Hwa
yang cantik.
Tidak perlu
memikirkan satu dua orang wanita karena banyak sekali yang sudah menjadi
korbannya, akan tetapi dia tidak merasa menyesal. Dia pun tahu bahwa di antara
banyak wanita yang ditinggalkannya dalam keadaan hidup, apa lagi yang pernah
menarik hatinya sehingga dia telah menggauli korban itu beberapa kali,
kemungkinan besar ada pula yang mengandung anak keturunannya. Akan tetapi dia
tidak peduli!
Takkan ada
orang yang mengenal wajahku, pikirnya sambil mengusap wajah aslinya yang halus
dan tampan. Dia selalu menyamar setiap kali menundukkan seorang wanita, setiap
kali terjun ke tempat ramai. Andai kata dia mempunyai keturunan, para wanita
itu pun tak akan dapat memberi tahu kepada anak mereka bagaimana macam
wajahnya, sebab yang diberi tahukan tentulah wajahnya yang palsu, hasil
penyamaran.
Dan namanya
pun tak ada yang pernah tahu, kecuali hanya she-nya, nama keturunannya yang
kadang kala dia perkenalkan kepada beberapa orang wanita yang benar-benar jatuh
cinta kepadanya. Tang-Kongcu, hanya itulah yang mereka ketahui, hanya she-nya
saja, tetapi tidak tahu bagaimana wajah aslinya. Dan hiasan kumbang emas itu pun
tidak dapat memberi keterangan apa pun, kecuali bahwa wanita itu telah menjadi
korban Ang-hong-cu Si Kumbang Merah.
Dia kemudian
membayangkan bagaimana andai kata dia tak berhasil memutuskan ikatan dengan
seorang di antara para korban itu yang menarik hatinya dan dicintainya. Tentu
dia akan mengawini wanita itu dan hidup selama puluhan tahun bersama wanita
itu, memiliki beberapa orang anak. Dan kini tentu dia sudah menjadi kakek,
hidupnya terikat erat-erat seperti ada belenggu pada kaki tangannya yang
membuatnya tidak leluasa bergerak! Dia tersenyum cerah. Ah, lebih enak begini!
Bebas merdeka, boleh melakukan apa saja yang dikehendaki dan disenanginya,
tanpa ada halangan atau ikatan yang mengganggu!
Tiba-tiba
dia termenung. Kebebasan ini pun sekarang terasa membosankan! Orang yang
terikat tentu mendambakan kebebasan seperti dia, tetapi aneh sekali,
kadang-kadang dia malah mendambakan ikatan!
Memang aneh
hidup ini! Yang nampak indah menyenangkan itu hanya segala yang belum
didapatkan, belum dimiliki, yang sedang dalam pengejaran. Apa bila segala yang
tadinya didambakan itu sudah berada dalam tangan, lambat laun keindahannya
tidak akan terasa lagi, bahkan dapat membosankan!
Rahasianya
terletak pada keinginan! Keinginan memiliki sesuatu yang tidak atau belum
dimiliki akan menciptakan pengejaran! Dan pengejaran untuk mendapatkan sesuatu
yang diinginkan inilah sumber segala konflik, sumber segala kesengsaraan dalam
kehidupan ini. Pengejaran akan sesuatu yang belum kita miliki, karena itu lalu
kita inginkan, akan membuat mata kita menjadi seperti buta, tidak lagi melihat
apa yang ada pada kita!
Mungkinkah
kita hidup tanpa membiarkan angan-angan menggambarkan keindahan dan kesenangan
yang belum kita miliki sehingga kita selalu akan dihinggapi penyakit INGIN
mendapatkan segala gambaran angan-angan itu? Tentu saja dapat kalau kita mau
hidup seutuhnya, sepenuhnya menghayati apa adanya!
Apa bila
pikiran kita dicurahkan sepenuhnya kepada apa adanya, maka pikiran itu tidak
punya waktu luang lagi untuk termenung mengkhayalkan gambaran-gambaran
keindahan yang belum ada. Sekali kita dihinggapi penyakit ingin mendapat
sesuatu yang dianggap indah dan lebih menyenangkan, maka penyakit itu tidak
akan pernah meninggalkan kita, kecuali kalau kita menghentikan seketika.
Sesudah satu
yang diinginkan terdapat, maka timbul keinginan lain yang dianggap lebih baik
dan lebih menyenangkan lagi, sehingga kita terus terseret ke dalam lingkaran
setan. Bukan berarti kita lalu mandeg, statis, berhenti atau mati, tidak
kreatif lagi, namun tidak menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki! Dengan
cara menghayati segala yang ada pada kita sehingga kita akan mampu melihat
bahwa di dalam segala sesuatu terdapat keindahan itu!
Karena
bayangan kesenangan dari kebebasannya itu kini melenyap, kesenangannya tak
terasa lagi, maka Si Kumbang Merah lalu merenungkan hal-hal yang baru saja
terjadi. Dia terpaksa melarikan diri! Dia, Ang-hong-cu yang perkasa, yang
selama puluhan tahun telah malang-melintang, memetik banyak kembang, menikmati
keharumannya serta menghisap madunya lantas mencampakkan begitu saja kembang
yang sudah layu di dalam remasan tangannya itu, namun kini dia melarikan diri!
Sungguh lucu dan juga menyedihkan!
Tentu sekarang
dia telah mati bila tidak melarikan diri, mungkin tubuhnya akan
dihancur-lumatkan oleh para pendekar perkasa itu, yang tentu amat membencinya!
Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi, salah seorang di antara para pendekar
itu, malah yang paling lihai, adalah seorang pemuda she Tang, puteranya
sendiri!
Dia tidak
tahu bagaimana bisa muncul seorang puteranya! Akan tetapi dia merasa yakin
bahwa tentu pemuda itu adalah puteranya. Hal itu terbukti dari tiga hal.
Petama, pemuda itu memilki sebuah perhiasan kumbang emas, kedua, pemuda itu she
Tang, yang ke tiga, dan hal ini amat meyakinkan hatinya, pemuda itu memiliki
wajah yang mirip sekali dengan wajahnya pada waktu muda! Hanya dia tidak tahu
siapakah ibu pemuda itu, yang mana di antara gadis-gadis yang diperkosanya dan
dihamilinya!
Pertemuan
dengan pemuda yang bernama Tang Hay itu terjadi secara kebetulan saja. Dia
mendengar tentang adanya pemberontakan oleh para tokoh sesat yang dipimpin
Lam-hai Giam-Lo. Walau pun oleh para pendekar dia sendiri dianggap sebagai
seorang penjahat kejam, seorang jai-hwa-cat dan digolongkan sebagai orang
sesat, namun sebenarnya dia belum pernah berkawan dengan golongan sesat. Bahkan
dia condong untuk menentang perbuatan jahat dan bertindak sebagai seorang
pendekar. Kalau pun dia mengambil uang dari gudang harta pembesar atau hartawan
yang kaya raya, hal itu hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, bukan
untuk bermewah-mewahan.
Pada waktu
mendengar tentang gerakan Lam-hai Giam-lo beserta kawan-kawannya yang dia tahu amat
berbahaya bagi keselamatan rakyat, karena perang pemberontakan hanya akan
menjatuhkan banyak korban di antara rakyat dan yang sengsara oleh perang hanya
rakyat kecil, maka dia pun tidak tinggal diam. Secara diam-diam dia kemudian
membantu pemerintah untuk menentang gerombolan pemberontak ini. Untuk keperluan
itu dia lantas menyamar dan memakai nama Han Lojin, dan dia telah membuat jasa
dalam bantuannya ini. Akan tetapi dalam perjuangan ini penyakit lamanya kambuh
dan dia pun tidak mampu menahan diri ketika melihat gadis-gadis pendekar yang
cantik jelita dan menawan hati.
Secara
kebetulan dia bertemu dengan Tang Hay dan terkesan sekali melihat pemuda ini.
Gagah perkasa serta memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan dia harus mengakui
bahwa tingkat kepandaiannya sendiri masih belum mampu menandingi kelihaian
pemuda itu!
Dan dia
merasa yakin bahwa Tang Hay adalah putera kandungnya, entah dari ibu yang mana!
Dan dia melihat betapa Tang Hay juga memiliki watak yang sama dengan dia, yaitu
mata keranjang! Hanya bedanya, kalau setiap kali tertarik dengan seorang
wanita, dia pun langsung melaksanakan hasrat hatinya dan menggoda wanita itu
sampai didapat olehnya, baik dengan cara halus mau pun kasar, sebaliknya pemuda
itu hanya merayu dengan kata-kata saja dan tidak pernah melanjutkan. Bahkan
kalau si wanita nampaknya sudah tertarik dan jatuh cinta, pemuda itu selalu
mengelak dan tidak pernah mau menggaulinya!
Hal ini
membuat hati Si Kumbang Merah menjadi kecewa dan penasaran sekali. Masakah
puteranya amat penakut seperti itu? Sungguh tidak jantan menurut anggapannya!
Apakah puteranya yang diam-diam dibanggakannya karena memiliki ilmu silat yang
amat tinggi itu ternyata seorang pengecut dan penakut? Ataukah dia mempunyai
kelainan sehingga tidak mampu menggauli wanita?
Dia melihat
betapa dua orang gadis pendekar yang sangat cantik dan juga gagah perkasa
diam-diam jatuh cinta kepada Tang Hay. Namun meski pun selalu bersikap manis
bahkan sering mengeluarkan kata-kata yang merayu dan sangat pandai menjatuhkan
hati setiap wanita, agaknya pemuda itu menganggap mereka sebagai sahabat biasa
saja dan tidak mau melangkah yang lebih jauh.
Ketika dia
menduga bahwa Tang Hay dikekang oleh perasaan tata susila, hati si kumbang
merah bagaikan tertusuk dan terasa nyeri! Mereka yang memberi nasehat agar pria
selalu menghormati wanita, memperlakukan wanita dengan sopan, agaknya belum
tahu betapa jahatnya hati perempuan, demikian pikirnya.
Rasa kecewa
dan penasaran ini membuat Ang-hong-Cu bertindak lebih jauh lagi. Dengan sengaja
dia memperkosa kedua orang pendekar wanita itu, dan sengaja melakukannya di
tempat gelap. Ia pun menanggalkan penyamarannya sehingga wajahnya halus dan
kedua orang gadis pendekar itu menduga bahwa pelaku pemerkosaan itu adalah Tang
Hay! Biar tau rasa, pikirnya. Puteraku yang tolol itu harus kuajari dan kuberi
contoh!
Tentu saja
terjadi geger. Dua orang pendekar wanita itu bukan orang-orang sembarangan.
Yang seorang bernama Pek Eng, usianya tujuh belas tahun dan dia adalah puteri
dari ketua Pek-sim-pang, perkumpulan yang amat terkenal. Bahkan kakak dari
gadis bernama Pek Eng itu adalah seorang pendekar yang amat sakti pula, bernama
Pek Han Siong dan pada waktu kecilnya amat terkenal dengan sebutan Sin Tong
(anak ajaib) yang dijadikan rebutan oleh para tokoh kang-ouw!
Ada pun
gadis ke dua yang diperkosa oleh Ang-hong-cu adalah seorang pendekar wanita
berusia tujuh belas tahun lebih bernama Cia Ling. Dan pendekar wanita yang
kedua ini adalah cucu buyut pendekar Lembah Naga, juga masih keluarga dari
Cin-ling-pai!
Sesudah
menyadari bahwa perbuatannya itu akan merupakan ancaman maut bagi Tang Hay,
diam-diam Ang-hong-cu merasa menyesal. Semua pendekar sakti memusuhi Tang Hay
yang disangka pelaku pemerkosaan itu dan betapa pun lihainya pemuda itu, mana
mungkin kuat menghadapi para pendekar yang sakti itu? Karena itu dia pun lalu
sengaja meninggalkan tanda hiasan kumbang merah dari emas, sebagai tanda bahwa
pemerkosa kedua orang pendekar itu adalah Ang-hong-cu, bukan Tang Hay.
Akan tetapi
dia sendiri harus cepat-cepat melarikan diri setelah melakukan pengakuan ini!
Kalau dia tidak lari dan dia tertangkap sebagai penyamaran Ang-hong-cu, maka
dia bisa mati konyol!
Demikianlah
renungan yang bermain di dalam otak Ang-hong-cu Si Kumbang Merah itu!
Berkali-kali dia menarik napas panjang, tersenyum-senyum, lalu menarik napas
kembali. Puteranya itu memang hebat, hanya sayangnya tidak cukup jantan
sehingga tidak berani melanjutkan perbuatannya yang sudah dimulai dengan baik
sekali itu. Kalau puteranya itu mau mewarisi kebiasaannya, agaknya Tang Hay tak
perlu melakukan banyak perkosaan karena sebagian besar wanita, mungkin semua,
akan bertekuk lutut dan takluk hanya oleh rayuan mautnya!
“Huh, engkau
lihai akan tetapi tolol! Memalukan aku yang menjadi ayahmu!” Akhirnya dia
menympah-nyumpah dan bangkit berdiri.
Wajahnya
sudah cerah kembali karena semua kenangan tadi sudah diusirnya. Dia harus
mengakui bahwa semua petualangan itu akhirnya membosankannya. Semua wanita itu,
yang merengek minta disayang atau merengek karena diperkosanya, akhirnya sama
saja baginya, hanya mendatangkan kemuakan saja!
Kalau dulu
dia merasakan kenikmatan dan kesenangan yang besar, bukan hanya karena
kesenangan menikmati tubuh para wanita itu, akan tetapi juga menikmati perasaan
balas dendam terhadap perempuan pada umumnya. Kini dia tidak lagi merasakan
kenikmatan dan kesenangan itu. Dia bahkan merasa muak! Kadang-kadang dia merasa
sama dengan binatang jantan yang memaksakan kehendaknya terhadap binatang
betina hingga terjadi pemaksaan untuk pelampiasan nafsu.
“Sekarang
aku sudah tua,” pikirnya menghitung-hitung usianya. ”Jika petualanganku terus
kulanjutkan seperti yang sudah, apa akan jadinya dengan hari akhirku?”
Dia melihat
masa depannya suram. Sudah cukup dia membalaskan sakit hatinya kepada
perempuan, dan kini sisa hidupnya harus diisi dengan perbuatan yang berguna,
misalnya mencari kedudukan agar kelak meninggalkan nama besar! Bukankah mendiang
ayahnya juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang bangsawan tinggi?
Tentang ibunya... ahh, dia tidak perlu mengenang ibunya lagi. Semua perempuan
memang tidak baik!
Ang-hong-cu
mengepal tinju. “Sekarang aku akan menjadi seorang yang berjasa terhadap
kerajaan agar kelak aku memperoleh kedudukan yang mulia. Dengan demikian hari
tuaku akan terjamin, sebagai seorang terhormat dan mulia, bukan sebagai seorang
jai-hwa-cat yang dikutuk oleh semua orang!”
Dengan
pikiran ini wajahnya menjadi cerah sekali dan kini dia pun melangkahkan kakinya
dengan tegap menuruni bukit. Tujuannya adalah kota raja, dari mana dia berasal!
Dan kini dia tidak perlu menyamar lagi. Dia adalah Tang Bun An, seorang yang
terhormat! Tidak ada hubungannya dengan Ang-hong-cu lagi.
“Kumbang
Merah, maafkan saja, untuk sementara ini atau mungkin selamanya namamu akan
kupendam. Kumbang Merah telah lenyap dan muncullah riwayat baru, ha-ha-ha!”
Apa bila
pada waktu itu ada orang yang kebetulan melihatnya, tentu menganggap bahwa yang
sedang melangkah dengan tegap itu adalah seorang pria setengah tua yang tampan
berwibawa, berwajah simpatik, ramah dengan mulut selalu tersenyum, sepasang
matanya bersinar-sinar, pakaiannya rapi dan bersih dengan potongan seperti
seorang sasterawan, seorang yang penampilannya mengesankan dan mendatangkan
rasa suka di dalam hati orang lain.
***************
Petualangan
tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw yang melakukan pemberontakan dengan dipimpin
oleh mendiang Lam-hai Giam-lo, melibatkan banyak sekali tokoh sesat. Karena itu
para pendekar pun turun tangan membantu pemerintah sehingga pemberontakan itu
dapat dihancurkan sebelum menjadi-jadi.
Banyak
sekali tokoh sesat yang akhirnya tewas di dalam pertempuran bebas antara para
pemberontak dan pasukan pemerintah, juga antara tokoh-tokoh sesat dan para
pendekar. Lam-hai Giam-lo sendiri yang menjadi pemimpin bersama Kulana, seorang
bangsawan dan pelarian Birma yang sakti, juga tewas dalam pertempuran itu.
Hampir semua tokoh sesat yang membantu gerombolan pemberontak itu tewas,
kecuali beberapa orang saja.
Di antara
para tokoh pimpinan, semua tewas kecuali dua orang yang termasuk pimpinan
penting. Yang seorang adalah Sim Ki Liong, seorang pemuda berusia sekitar dua
puluh dua tahun yang amat lihai karena dia ini adalah murid dari Pendekar Sadis
dan isterinya di Pulau Teratai Merah.
Murid ini
sebenarnya adalah putera bekas musuh yang datang menyelundup dan berhasil
menjadi murid Pendekar Sadis. Setelah memiliki kepandaian tinggi dia kemudian
minggat dari Pulau Teratai Merah dan bergabung dengan para pemberontak. Dalam
pertempuran itu dia nyaris tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri!
Ada pun
tokoh kedua yang bernama Ji Sun Bu adalah seorang wanita cantik jelita berusia
tiga puluh tahun, yaitu seorang wanita cabul berkepandaian tinggi yang berjuluk
Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun). Ketika bertempur sebagai tokoh
sesat yang membantu pemberontakan, wanita ini terjatuh ke dalam jurang dan
sesudah itu tidak ada yang tahu bagaimana nasibnya, namun melihat betapa jurang
itu amat curam, semua orang mengira bahwa tentu iblis betina ini pun telah
tewas pula.
Dalam
pertempuran yang mati-matian itu, di pihak para pendekar banyak pula yang roboh
dan tewas. Akan tetapi para pendekar yang terpenting berhasil keluar dengan
selamat. Di antara para pendekar yang kemudian pulang ke tempat tinggalnya
masing-masing adalah Cia Kui Hong.
Dia seorang
gadis yang kini sudah berusia sembilan belas tahun. Wajahnya manis sekali,
dengan bibir yang penuh gairah. Hidungnya kecil mancung dan ujungnya, yaitu
cupingnya dapat bergerak-gerak lucu. Sepasang matanya tajam berkilat,
kadang-kadang lembut dan jenaka. Sikapnya selalu manis dan jenaka, namun
berandalan dan gagah perkasa. Muka yang bulat telur dengan dagu runcing itu
memang manis bukan main.
Sepasang
pedang yang tergantung pada punggungnya mendatangkan kesan gagah dan berwibawa.
Dia bukan seorang gadis biasa, walau pun manis sekali hingga menggetarkan
jantung setiap pria yang memandangnya. Dia adalah puteri dari ketua
Cin-ling-pai. Ini saja sudah dapat menjadi bahan perkiraan bahwa tentu dia telah
memiliki ilmu silat yang amat hebat, warisan dari ayah ibunya.
Lebih hebat
lagi, ibunya adalah puteri Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah! Selain
telah mewarisi ilmu dari ibunya, dara ini juga pernah digembleng langsung oleh
kakek dan neneknya, sepasang suami isteri sakti di Pulau Teratai Merah. Maka
dapat dibayangkan betapa lihainya Cia Kui Hong, gadis manis itu!
Ketika
terjadi pertempuran antara para tokoh sesat yang membantu pemberontakan dan
para pendekar yang membantu pemerintah, Cia Kui Hong juga ikut berperan, bahkan
dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh penting. Setelah pertempuran
selesai gadis ini pun segera berpisah dari para pendekar lainnya dan dia
langsung pulang ke Cin-ling-pai, yaitu perkumpulan yang diketuai oleh ayahnya di
Pegunungan Cing-lin-san.
Cin-ling-pai
adalah sebuah di antara perkumpulan-perkumpulan atau perguruan silat yang
terbesar pada waktu itu. Banyak pendekar besar gagah perkasa dan budiman datang
dari Cin-ling-pai, sebagai murid perguruan ini. Perguruan ini sangat terkenal
karena memang murid-muridnya pilihan, dan perkumpulan itu memegang teguh
peraturan, berdisiplin dan keras terhadap murid-muridnya sehingga di dunia
persilatan sudah terkenal sekali bahwa Cin-ling-pai adalah tempat orang-orang
gagah.
Ketika Kui
Hong meninggalkan Cin-ling-pai untuk membantu pemerintah membasmi kaum
pemberontak, terjadilah hal-hal yang hebat dalam keluarga ayahnya. Ayahnya,
yaitu Cia Hui Song yang menjadi ketua Cin-ling-pai, hanya mempunyai seorang
anak saja, yaitu dia seorang. Hal ini membuat kakeknya, yaitu Cia Kong Liang
merasa tidak puas. Kakek ini menginginkan seorang cucu laki-laki, seorang
keturunan yang dapat melanjutkan silsilah keluarga Cia. Karena itu kakek ini
memaksa puteranya untuk menikah lagi supaya dapat memperoleh keturunan
laki-laki.
Hal ini
menimbulkan masalah besar dalam keluarga Cia. Istri ketua itu, Ceng Sui Cin,
ibu Kui Hong, adalah seorang wanita yang keras hati. Puteri Pendekar Sadis ini
sama sekali tidak setuju dan menentang kehendak ayah mertuanya itu.
Hui Song
yang berada di tengah antara ayahnya dan istrinya menjadi bingung. Dia tidak
mampu menolak kemauan ayahnya, maka terpaksa dia pun menikah lagi dengan
seorang wanita muda bernama Siok Bi Nio, yang usianya hanya tiga tahun lebih
tua dari Kui Hong puterinya!
Hal ini
membuat isterinya marah. Ceng Sui Cin segera mengajak puterinya meninggalkan
Cin-ling-pai dan pulang ke pulau Teratai Merah, di mana Kui Hong digembleng
oleh kakek dan neneknya.
Ternyata
benar saja. Pernikahan antara Cia Hui Song dan isterinya yang muda itu telah
menghasilkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Cia Kui Bu. Setelah Kui Bu
berusia dua tahun, Hui Song yang merasa rindu kepada isterinya yang pertama dan
juga merasa berdosa kemudian memberanikan diri pergi menghadap mertuanya dan
isterinya di Pulau Teratai Merah. Dia mengaku bersalah dan membujuk isterinya
supaya suka kembali ke Cin-ling-pai.
Akan tetapi
isterinya mengajukan syarat bahwa kalau dia kembali ke Cin-ling-pai, maka Siok
Bi Nio harus dibunuh dan dia mau memelihara Cia Kui Bu sebagai anaknya sendiri.
Memang hati puteri tunggal Pendekar Sadis itu keras sekali. Hui Song lalu
menyerahkan keputusannya kepada isterinya yang pertama dan mereka pun pergi ke
Cin-ling-pai.
Setelah
sampai di situ, Bi Nio maklum akan isi hati suaminya dan juga madunya. Wanita
ini telah terlanjur mencinta suaminya dan dia mau melakukan apa saja demi
kebahagiaan suaminya. Hui Song menceritakan secara terus terang kepada Bi Nio
tentang kehendak Sui Cin, dan Sui Cin pun bukan seorang yang jahat dan kejam.
Dia hanya menghendaki agar Bi Nio pergi dan dia akan merawat Kui Bu seperti
anaknya sendiri.
Hancur rasa
hati Bi Nio disuruh berpisah dari puteranya. Tentu saja dia tidak mau, dan dia
lalu memondong puteranya untuk dibawa pergi dari sana. Pada saat itu, Cia Kong
Liang, ayah Sui Hong, merampas cucunya dari tangan ibunya, melarang Bi Nio
membawa pergi Kui Bu.
Bi Nio yang
merasa terdesak dan terhimpit hanya melihat satu jalan untuk mengatasi semua
masalah itu. Dia ingin melihat suaminya berbahagia, namun dia pun tidak mungkin
bisa hidup terpisah dari puteranya. Maka, di luar dugaan semua orang, Bi Nio
membunuh diri!
Peristiwa
ini menghancurkan hati keluarga itu, semua orang merasa berdosa terhadap Bi
Nio. Cia Kong Liang kemudian mengurung diri di dalam kamar semedhi dan tak mau
lagi mencampuri urusan dunia, seolah-olah kakek ini hendak menghukum dirinya
dan hendak menghabiskan waktunya untuk minta ampun kepada Tuhan.
Cia Hui Song
yang merasa berdosa terhadap isteri mudanya dan menyadari betapa besar cinta
kasih Bi Nio kepadanya, juga lalu membuat pondok kecil di dekat makam Bi Nio
dan menjaga makam itu sambil bertapa! Kini di perguruan itu tinggal Sui Cin
sendiri yang juga merasa amat menyesal. Untuk menebus perasaan bersalah, dia
merawat Kui Bu dengan penuh kasih sayang seperti merawat puteranya sendiri.
Kini
Cin-ling-pai menjadi pincang. Para murid menjadi bingung sebab mereka
seolah-olah kehilangan pimpinan, kehilangan guru dan ketuanya. Ketua lama, Cia
Kong Liang, selalu mengurung diri dalam kamar dan tidak mau mencampuri segala
urusan. Ketua baru, Cia Hui Song, juga acuh dan tidak pernah mau meninggalkan
makam isteri mudanya! Masih untung bahwa Ceng Sui Cin cukup berwibawa dan lihai
sehingga para murid dan anggota Cin-ling-pai masih segan terhadapnya sehingga
mereka itu masih dapat dikendalikan oleh nyonya ketua itu.
Dalam
keadaan seperti itulah Cin-ling-pai menyambut pulangnya Cia Kui Hong yang baru
saja datang dari petualangannya membantu pemerintah membasmi kaum pemberontak!
Dapatlah dibayangkan betapa kagetnya Kui Hong, apa lagi ketika ibunya
menyambutnya dengan rangkulan lantas ibunya menangis tersedu-sedu tanpa
mengeluarkan sepatah pun kata!
Gadis ini
sama sekali tidak pernah menduga bahwa dia akan berjumpa dengan ibunya di
Cin-ling-pai. Pada saat dia pergi ibunya masih ada di Pulau Teratai Merah,
tempat tinggal kakek dan nenenknya. Dia tidak tahu bahwa ayahnya sudah
berkunjung ke pulau itu dan berhasil membujuk Ceng Sui Cin, ibunya, pulang ke
Cin-ling-pai. Hal ini tentu saja akan menggirangkan hatinya kalau tidak melihat
ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan tangisan.
Padahal dia mengenal
betul siapa ibunya, seorang wanita yang keras hati, sangat tabah dan biasanya
pantang memperlihatkan kedukaan hatinya, bahkan hampir tidak pernah dia melihat
ibunya menangis. Sungguh seorang pendekar wanita sejati! Akan tetapi sekarang
ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan menangis tersedu-sedu di atas
pundaknya.
“Ibu...
ibu..., ada apakah? Kenapa ibu menangis? Di mana ayah dan... kongkong...?” Dia
tentu saja menduga hal-hal buruk yang mungkin menimpa diri ayahnya atau
kakeknya.
Ceng Sui Cin
tidak lama menangis. Dia segera dapat menguasai dirinya dan kini ibu serta
anaknya itu saling pandang. Kui Hong melihat bahwa terjadi perubahan pada
ibunya. Kini ibunya agak kurus dan matanya sayu. Sebaliknya Sui Cin merasa
gembira sekali melihat keadaan puterinya yang bukan saja pulang dalam keadaan
selamat, namun juga nampak sehat dan gagah perkasa, semakin cantik pula.
“Mari kita
berbicara di dalam,” kata ibu ini sambil menggandeng tangan puterinya.
Mereka masuk
ke dalam dan kembali Kui Hong merasa heran karena rumah itu kelihatan sunyi
sekali. Hanya ada beberapa orang pelayan yang menyambutnya dengan pemberian
hormat. Tidak nampak isteri muda ayahnya. Tidak nampak pula mrid Cin-ling-pai.
Pada saat
dia tadi memasuki pintu gerbang Cin-ling-pai, dia telah melihat perubahan yang
amat mencurigakan. Para murid nampaknya bermalas-malasan menyambutnya, padahal
mereka sudah tahu akan kedatangannya. Dan dahulu Kui Hong amat disayang oleh
para murid Cin-ling-pai, tapi sekarang mereka hanya menyambutnya dengan sikap
dingin saja dan hanya beberapa orang yang nampak gembira.
Ketika Sui
Cin mengajak Kui Hong masuk ke dalam kamar, gadis ini melihat seorang anak
laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun sedang diajak bermain-main oleh
seorang wanita pengasuh. Begitu melihat Sui Cin, anak itu segera merentangkan
kedua lengannya dan memanggil dengan suara nyaring,
“Ibuuu....!
Ibu....!”
Sui Cin
mengangkat anak itu, menciuminya beberapa kali lalu menyerahkannya kembali
kepada pelayan pengasuh, menyuruh pelayan membawa anak itu bermain-main di
luar.
Diam-diam
Kui Hong merasa heran bukan main. Tak mungkin ibunya kembali mempunyai anak,
apa lagi sudah sebesar itu karena kepergiannya pun paling lama hanya satu
tahun, sedangkan anak itu sudah berusia tiga tahun!
“Ibu,
siapakah anak itu? Apakah yang telah terjadi? Mana ayah dan kongkong?” tanya
Kui Hong tak sabar lagi setelah pengasuh itu pergi bersama anak asuhannya.
Kini nyonya
itu sudah tenang kembali. Dia menghela napas beberapa kali, lantas berkata,
“Duduklah dengan tenang, anakku, dan dengarkan ceritaku.”
Mereka duduk
berdampingan di atas pembaringan dan berceritalah Ceng Sui Cin kepada puterinya
mengenai segala hal yang sudah terjadi. Betapa ayah gadis itu, Cia Hui Song,
berkunjung ke Pulau Teratai Merah lalu membujuk dia untuk kembali ke
Cin-ling-pai, dan betapa kemudian di Cin-ling-pai, Siok Bi Nio membunuh diri
karena tidak ingin berpisah dalam keadaan hidup dari puteranya.
“Aku merasa
berdosa, Hong-ji. Kasihan Bi Nio. Sesudah dia tewas barulah aku menyadari
betapa besar cintanya terhadap ayahmu. Dia tidak bersalah, dia tidak sengaja
merampas ayahmu dariku, tetapi dia juga menjadi korban keadaan dan dia amat
mencinta ayahmu, mungkin lebih besar dari pada cintaku. Aku masih mementingkan
diri dalam cintaku, akan tetapi... ahh, dia rela mengorbankan nyawanya demi
kebahagiaan ayahmu. Aku sungguh menyesal sekali. Maka, untuk menebus kesalahanku
itu, aku berjanji akan merawat dan mendidik puteranya, Cia Kui Bu, anak yang
kau lihat tadi.”
“Ahhh...!”
Kui Hong yang sejak tadi mendengarkan, kini termangu-mangu. Sungguh hebat apa
yang terjadi menimpa keluarga orang tuanya!
“Ayahmu juga
tak bersalah. Dia ingin berbakti kepada orang tuanya dan buktinya, setelah dia
menikah lagi dengan Bi Nio, keluarga Cia mendapat seorang keturunan laki-laki.
Juga kongkong-mu tak bersalah. Wajarlah kalau dia menjadi cemas melihat betapa
kami, ayah ibumu tidak memiliki keturunan laki-laki. Dia berusaha agar
puteranya suka menikah lagi hanya agar memperoleh keturunan yang akan
melanjutkan silsilah keluarga Cia. Tak ada yang bersalah, semua menjadi korban
keadaan. Kesalahan kami adalah ketika mendesak dan menyudutkan Bi Nio sehingga
dia membunuh diri...” Ceng Sui Cin lantas termenung, wajahnya nampak amat
muram.
“Sudahlah,
ibu. Segalanya telah terjadi, tidak ada gunanya disesalkan lagi. Lalu, di mana
ayah sekarang?”
Ceng Sui Cin
mengerutkan alisnya. “Dia pun dihantui penyesalan seperti aku, maka sejak
kematian Bi Nio dia jarang sekali di sini. Ayahmu lebih banyak berdiam di
pondok yang dibangunnya di dekat makam Bi Nio, di bukit belakang itu.”
Mendengar
ini Kui Hong menjadi semakin berduka. “Dan kongkong?”
“Dia selalu
mengurung diri di dalam kamar semedhinya, tidak pernah mau keluar lagi.”
“Ahhhh...,
mengapa keluarga kita menjadi begini? Biar kucoba menjumpai mereka!” Kui Hong
lari meninggalkan kamar ibunya.
Dia lalu
mencari makam Siok Bi Nio di bukit belakang kebun Cin-ling-pai. Dan benar saja,
di makam yang sunyi itu dia menemukan ayahnya sedang duduk bersemedhi di dalam
sebuah pondok sederhana yang dibangun dekat sebuah makam sederhana.
“Ayah...!”
Kui Hong menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu sambil memegang lututnya,
mengguncang-guncangnya.
Cia Hui Song
adalah seorang pendekar yang sudah berusia empat puluh dua tahun. Dulu pada
waktu mudanya dia terkenal berwatak lincah gembira, ugal-ugalan dan nyentrik.
Ilmu kepandaiannya amat tinggi, sebagai ahli waris ilmu-ilmu keluarga
Cin-ling-pai dan pernah pula menjadi murid Siangkiang Lojin, satu di antara
Delapan Dewa yang kini telah tiada.
Akan tetapi,
semenjak dia diharuskan menikah lagi hingga anak isterinya terpaksa pergi
meninggalkannya, wataknya telah berubah menjadi amat pendiam. Kini dia lebih
berubah lagi. Sinar matanya redup ketika dia membuka mata memandang kepada Kui
Hong, dan senyum lemah menghias di bibirnya. Wajahnya juga kurus dan rambutnya
kusut, agaknya dia tidak pernah mempersolek diri sama sekali.
“Kui Hong,
engkau datang.....?” katanya sambil membuka lipatan kedua kakinya, lantas duduk
di atas bangku yang terdapat di pondok itu. “Duduklah.”
Kui Hong
lalu bangkit dan dia pun mengambil tempat duduk di atas bangku, berhadapan
dengan ayahnya. Pria itu pura-pura tidak melihat sinar mata anaknya yang penuh
dengan keprihatinan dan tuntutan, lalu bertanya,
“Bagaimana
dengan perjalananmu, Kui Hong? Bagaimana pula dengan pemberontakan yang
beritanya santer sampai di sini pula itu?”
Akan tetapi
Kui Hong tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dan tak pernah ia melepaskan
pandang matanya yang dengan tajam mengamati wajah ayahnya. Kemudian dia
berkata, suaranya penuh tuntutan.
“Ayah,
apakah yang terjadi dengan keluarga kita? Dahulu kuanggap bahwa ayah dan ibu
adalah dua orang yang paling gagah perkasa di dunia ini! Akan tetapi apa yang
kudapat sekarang? Ayah dan ibu hanyalah orang-orang yang lemah dan cengeng!”
Hui Song
yang tadinya menunduk kini mengangkat mukanya dan matanya bersinar sekilat
ketika memandang kepada puterinya. “Kui Hong, apa yang kau katakan ini? Engkau
tidak tahu apa yang telah terjadi…”
“Aku tahu
semua, Ayah. Aku sudah mendengar semua cerita ibu tentang peristiwa yang
terjadi pada keluarga kita. Semua itu sudah terjadi! Tidak ada yang bersalah
dalam hal ini! Semua terjadi karena keadaan! Perlu apa bersikap lemah dan
cengeng, mengurung diri dan menyiksa batin sendiri seperti yang dilakukan Ayah
dan Kakek? Apakah kalau Ayah bersikap seperti ini, murung, berduka, menangis,
menjaga makam selama hidup, apakah dengan sikap semacam ini lalu segala yang
sudah terjadi itu akan berubah? Apakah isteri muda Ayah yang telah meninggal
itu akan hidup kembali? Apakah kesalahan yang bukan berasal dari keluarga kita
akan tertebus? Apakah dengan sikap ini Ayah mendatangkan kebaikan-kebaikan,
baik bagi diri sendiri mau pun bagi keluarga kita dan orang lain?”
“Kui Hong…!”
Cia Hui Song terkejut bukan main setelah diberondong serangan kata-kata oleh
puterinya itu.
“Dengar
dulu, Ayah!” Kui Hong melanjutkan, setengah membentak dan sekarang gadis itu
bangkit berdiri, wajahnya merah dan matanya mencorong. “Sikap Ayah ini
terlampau iba kepada diri sendiri, terlalu lemah sehingga Ayah lupa bahwa Ayah
adalah seorang suami, seorang ayah, bahkan seorang ketua yang masih memiliki
banyak tugas dalam hidup ini! Dan Ayah meninggalkan semua tugas itu hanya untuk
menangisi dan merenungi nasib di depan makam ini! Apakah Ayah mengira bahwa isteri
Ayah yang telah meninggal ini, yang menurut ibu amat mencinta Ayah, akan girang
dan arwahnya akan tenteram kalau melihat keadaan Ayah seperti ini? Menurut ibu,
isteri muda Ayah itu membunuh diri dan sengaja berkorban demi kebahagiaan Ayah!
Dan sekarang, apabila dia melihat bahwa Ayah justru sama sekali menjadi tidak
berbahagia seperti ini, apakah dia tak akan menyesal? Dengan demikian Ayah akan
semakin menjerumuskan diri ke dalam dosa. Sudah berdosa kepada ibu dan kini
berdosa pula kepada isteri kedua Ayah. Dan Ayah juga membikin susah aku,
anakmu, dan juga adil Kui Bu!”
Semenjak
tadi Hui Song mendengarkan ucapan puterinya, kata demi kata, dan terjadilah
perubahan pada wajahnya. Wajah yang tadinya layu itu sekarang perlahan-lahan
berubah kemerahan seperti orang marah, kemudian pucat kembali, dan akhirnya ia
menggerakkan kedua tangannya menutupi mukanya!
Melihat ada
air mata keluar dari celah-celah jari tangan ayahnya, Kui Hong menubruk dan
merangkul ayahnya sambil menangis. “Ayah…! Ayah… maafkan anakmu…!”
Akan tetapi
tiba-tiba ayahnya merangkulnya dan memegang pinggangnya dengan kedua tangan,
lantas ayahnya mengerahkan tenaga dan tubuh Kui Hong diangkatnya ke atas.
Ketika dengan hati terkejut Kui Hong menunduk untuk melihat wajah ayahnya, dia
melihat sebuah wajah yang basah dengan air mata, akan tetapi wajah itu penuh
senyum, matanya bersinar-sinar, wajah itu berseri bagaikan setangkai bunga yang
tadinya layu namun kini mendapatkan siraman hujan dan hidup kembali, segar
kembali!
“Engkau
benar! Engkau Kui Hong anakku yang hebat! Engkau benar! Ah, betapa tololnya
aku! Sungguh, aku telah gagal sebagai suami dan ayah, akan tetapi mulai
sekarang akan kurubah semua itu!”
Dia membawa
Kui Hong keluar pondok, menurunkan gadis itu dan dengan gerakan kaki tangannya,
pendekar itu lantas menghancurkan pondoknya! Pondok sederhana itu hancur
berantakan diterjang kaki tangannya!
“Ha-ha-ha!
Hancurlah semua bayangan muram. Habislah sudah keluh kesah dan iba diri!”
Kemudian dia
menghampiri bong-pai (nisan) makam Siok Bi Nio, menepuk-nepuk nisan itu
kemudian terdengar dia berkata lirih, “Bi Nio isteriku, maafkan kelemahanku
selama ini. Engkau mengasolah yang tenang, isteriku, karena pengorbananmu tak
akan sia-sia. Mulai sekarang suamimu hidup berbahagia, dan anak kita Kui Bu
akan kudidik menjadi seorang manusia yang luhur budi!”
Dengan kedua
mata basah saking gembiranya Kui Hong mengamati semua gerak-gerik ayahnya.
Kemudian mereka saling rangkul, dan dengan berangkulan mereka lalu kembali ke
rumah induk Cin-ling-pai!
Tentu saja
Ceng Sui Cin menyambut kedatangan ayah dan anak itu dengan terbelalak. Hampir
dia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri! Dia melihat suaminya dan
puterinya itu berangkulan dan bergandengan, datang kepadanya dengan sikap
demikian gembira, seakan-akan kedua orang itu sedang berpesta. Keduanya jelas
habis menangis, bahkan pipi mereka masih basah air mata, pipi yang
kemerah-merahan dan berseri-seri, dengan bibir penuh senyum.
Ketidak
percayaannya itu lenyap seketika setelah suaminya melepaskan rangkulan pada
puterinya, kemudian memeluknya dan di depan Kui Hong, suaminya itu mencium
kedua pipinya. Dia meronta dan melepaskan diri, mukanya berubah merah sekali
dan sekarang dia percaya bahwa suaminya beserta puterinya itu agaknya mabok
atau gila
“Ihhh…!
Apa-apaan ini?” bentaknya. “Apakah engkau telah menjadi gila?”
Hui Song
tersenyum, senyum yang amat dikenalnya, senyum yang dahulu ketika mereka masih
sama-sama muda, senyum yang membuat wajah suaminya demikian tampan dan menarik,
senyum yang dulu membuat hatinya jatuh cinta kepada Hui Song!
“Memang aku
sudah gila, kita berdua sudah gila, isteriku. Namun berkat kehebatan anak kita
Kui Hong, mulai hari ini aku sembuh, aku waras! Selama ini kita terlalu
membesar-besarkan iba diri, tidak berani melihat kenyataan dan sudah
menyia-nyiakan hidup kita! Cin-moi, bukankah kita masih saling memiliki, saling
mencinta? Katakanlah di depan anak kita, bukankah engkau masih cinta kepadaku,
seperti cintamu dahulu? Jawablah!”
Semenjak
tadi Sui Cin merasa perasaannya seperti diremas, keharuan dan kebahagiaan
memenuhi hatinya sehingga kedua matanya menjadi panas dan air matanya jatuh
bertitik. Kini dia tak mampu menjawab, melainkan hanya mengangguk. Dan bagaikan
ditarik besi sembrani, suami isteri itu saling berangkulan lagi dan sekarang
Sui Cin membalas ciuman suaminya!
“Ihhh…! Ayah
dan Ibu lupa bahwa aku berada di sini, hik-hik-hik!” dengan nakal Kui Hong
berseru.
Hui Song dan
Sui Cin langsung menghentikan ciuman dan dengan muka merah mereka memandang
puteri mereka. Seketika mereka pun sadar akan kekeliruan masing-masing.
Sungguh tak
ada gunanya sama sekali membiarkan diri muram dan bersedih, menyesali hal-hal
yang telah lalu. Itu merupakan suatu kebodohan besar! Menyadari kekeliruan atau
kesalahan yang sudah dilakukan di dalam hidup adalah suatu kebijaksanaan!
Waspada akan diri sendiri sehingga setiap waktu dapat melihat kesalahan diri
sendiri, kelemahan serta keburukan diri sendiri, adalah kebijaksanaan yang
mutlak perlu kita miliki.
Akan tetapi
kesadaran ini membuat gerakan spontan, sekaligus dalam kesadaran ini lalu
dibarengi tindakan menghentikan kesalahan atau kekeliruan itu. Bukan lantas
menyesali dan membenamkan diri ke dalam duka! Sikap seperti itu sungguh tak ada
gunanya, tidak ada artinya sama sekali, baik bagi diri sendiri mau pun bagi
orang lain, bagi seluruh isi alam mayapada mau pun penciptanya, yaitu Sang Maha
Pencipta!
“Ihhh, anak
bengal! Kau seperti anak kecil saja mau menggoda orang tua!” kata Sui Cin
dengan kedua pipi kemerahan. Wanita ini terlihat cantik sekali dan kini tanpa
disadarinya, kedua tangannya merapikan rambut kepalanya!
“Wah, Ibu
cantik sekali jika sedang begini. Lihat, Ayah. Bukankah Ibu cantik sekali? Dan
Ayah harap berganti pakaian yang baik, mencukur kumis itu dan mencuci rambut
Ayah!”
Hui Song
tersenyum, maklum akan godaan puterinya. “Sudahlah, anakku. Engkau berjasa
besar bagi kehidupan ayah ibumu. Sekarang ceritakan semua pengalamanmu.”
Sambil duduk
di antara kedua orang tuanya dan merangkul ibunya, Kui Hong kemudian
menceritakan dengan singkat apa yang telah dialaminya ketika dia membantu
pemerintah membasmi pemberontak. Juga diceritakannya betapa di sana dia bertemu
dengan banyak pendekar-pendekar lihai.
“Hampir
semua tokoh sesat yang membantu pemberontakan itu berhasil ditewaskan, dan
pasukan pemberontak dapat dibasmi,” demikian Kui Hong mengakhiri ceritanya.
“Mungkin hanya sedikit saja yang lolos.”
Ayah ibunya
mengangguk-angguk sambil saling pandang. Mereka teringat betapa anak mereka bukanlah
anak kecil lagi, melainkan seorang gadis yang sudah dewasa, lebih dari dewasa
untuk mendirikan kehidupan baru sebagai seorang isteri di samping suaminya
tercinta!
“Ahh,
pengalamanmu itu amat berharga, Hong-ji, selain dapat menambah pengetahuanmu tentu
juga membuat dirimu semakin matang. Tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?”
tanya Sui Cin.
“Ehh, ibu
ini! Mengapa sih tanya-tanya usia? Bukankah ibu juga ingat bahwa sekarang
usiaku sembilan belas tahun?”
“Sembilan
belas tahun!” Hui Song yang sudah tahu akan isi hati isterinya berseru, “Betapa
cepatnya waktu berlalu! Sekarang engkau sudah seorang gadis yang dewasa,
terlampau dewasa untuk hidup sendirian lebh lama lagi.”
Kui Hong
mengerutkan alisnya dan menoleh kepada ayahnya. “Apa maksud ayah dengan ucapan
itu?”
Hui Song
tertawa, “Ha-ha-ha, apa lagi kalau bukan sudah tiba waktunya bagi kami untuk
mempunyai seorang menantu? Usia sembilan belas tahun sudah bukan kanak-kanak
lagi, Hong-ji, dan kami akan merasa gembira kalau engkau sudah mempunyai seorang
pilihan hati sendiri. Mungkin selama ini engkau bertemu dengan seorang pemuda
yang berhasil menjatuhkan hatimu?”
Wajah Kui
Hong berubah merah. Ayahnya ini benar sudah pulih kembali wataknya, bicara
tentang hal itu demikian terang-terangan! Dan ibunya juga tersenyum-senyum.
Maka dia pun teringat kepada Hay Hay! Terbayang pengalaman ketika untuk pertama
kalinya dia bertemu dengan pemuda itu.
Sikap serta
wajah Hay Hay sangat menarik perhatiannya, dan kata-kata Hay Hay yang demikian
penuh rayuan juga kehebatan ilmu silat pemuda itu, telah menjatuhkan hatinya.
Bahkan di dalam hutan dia pernah berciuman dengan pemuda yang dikaguminya itu.
Akan tetapi
Hay Hay menolak hubungan yang lebih akrab. Pada saat dia mengaku cinta, pemuda
itu dengan terus terang mengatakan bahwa biar pun pemuda itu suka dan kagum
kepadanya, namun dia tidak mencintainya! Betapa nyeri rasa hatinya!
Terlebih
lagi ketika dia mendengar tuduhan-tuduhan bahwa Hay Hay adalah seorang
jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul yang memperkosa wanita, dia merasa benci
sekali dan ingin membunuh pemuda itu. Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa
pemerkosa itu bukan Hay Hay, melainkan Ang-hong-cu! Dan sesudah memperoleh
kenyataan bahwa Hay Hay bukanlah pemuda jahat seperti yang dituduh orang,
cintanya pun tumbuh kembali.
“Hei,
Hong-ji, mengapa engkau malah jadi melamun? Jawablah pertanyaan ayahmu tadi.
Agaknya benar bahwa ada seorang pemuda yang telah menjatuhkan hatimu, ya?”
tegur ibunya.
Kui Hong
mengangguk, akan tetapi mukanya tidak menunjukkan kegembiraan sehingga ayah
ibunya saling bertukar pandang, kemudian menatap anaknya dengan khawatir dan
pandang mata mereka penuh pertanyaan. Kui Hong menghela napas panjang, kemudian
memaksa diri tersenyum, akan tetapi senyumnya nampak pahit.
“Aku telah
jatuh cinta kepada seorang pemuda, akan tetapi... dia tidak cinta kepadaku...”
Lehernya terasa seperti dicekik, akan tetapi Kui Hong mengeraskan hatinya
sehingga dia pun mampu tersenyum, “Sudahlah, aku tidak mau bicara tentang dia
lagi!”
Diam-diam
suami isteri itu merasa terharu dan kasihan kepada puteri mereka. Ceng Sui Cin
mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengutuk pemuda yang sudah menjatuhkan
hati puterinya itu. Butakah pemuda itu sehingga dia menolak cinta kasih seorang
gadis seperti Kui Hong? Apakah kekurangannya? Cantik, jelita, manis, bentuk
tubuhnya indah, budi pekertinya baik, gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya.
Sedangkan Hui Song hanya tersenyum biar pun hatinya juga dipenuhi perasaan iba,
lalu dia berkata untuk menghibur hati anaknya.
“Cinta tidak
datang sepihak saja, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Engkau benar,
Kui Hong, tidak perlu lagi mengingat tentang orang yang tidak mencintaimu.
Lebih baik kita melakukan persiapan untuk mengadakan pesta dan pertemuan
besar.”
“Ehh? Pesta
apa dan pertemuan besar apa?” Sui Cin bertanya sambil mengamati wajah suaminya,
juga Kui Hong memandang heran kepada ayahnya.
Hui Song
tidak menghentikan senyumnya. “Pertama, dan hal ini hanya kita bertiga yang
mengetahui, untuk merayakan persatuan hati kita kembali. Kedua, untuk memilih
seorang ketua Cin-ling-pai yang baru...”
“Ayah...!
Mengapa? Bukankah sekarang Ayah yang menjadi ketua Cin-ling-pai dan hal ini
sudah tepat sekali? Kenapa harus dilakukan pemilihan ketua baru?”
Ayahnya
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Sebenarnya, sejak dahulu aku
tidak suka menjadi seorang ketua. Aku sudah biasa bebas dan watakku tidak mau
terikat. Apa lagi sekarang. Aku ingin merantau bersama ibumu, ingin berkunjung
ke Pulau Teratai Merah dan mengunjugi tempat-tempat indah lainnya, berdua
saja.”
“Wah, aku
pun ingin sekali!” seru Sui Cin dan dia tampak bersemangat sekali, seolah-olah
merasa kembali muda ketika membayangkan betapa dia akan pergi berdua saja
dengan suaminya. “Akan tetapi..., Kui Bu...,” sambungnya ragu.
“Anak itu
masih terlalu kecil untuk dapat kita didik. Biarlah dia di rumah dan kita
serahkan kepada inang pengasuh yang dapat dipercaya. Bukankah Kui Hong juga
sudah berada di rumah? Dia dapat mengamati adiknya.”
“Jangan
khawatir, Ibu. Aku akan menjaga adik Kui Bu,” kata Kui Hong yang turut gembira
melihat keadaan ibunya. “Akan tetapi, Ayah. Kalau Ayah mengundurkan diri selaku
ketua Cin-ling-pai, lalu siapakah yang akan menjadi penggantinya? Siapakah yang
tepat untuk menjadi ketua baru?”
“Karena
itulah harus dilakukan pemilihan. Hal ini sebelumnya sudah kubicarakan dengan
kongkong-mu dan dia pun telah setuju. Kebetulan kita akan merayakan hari ulang
tahun kongkong-mu yang ke tujuh puluh. Kita mengambil peristiwa itu untuk
mengadakan pesta, mengundang tokoh-tokoh persilatan yang terkenal untuk menjadi
saksi akan pemilihan itu agar nama Cin-ling-pai menjadi semakin cerah dan
terpandang.”
“Akan
tetapi, Ayah. Bukankah selama ini secara turun temurun Cin-ling-pai selalu
diketuai oleh keluarga Cia? Ayah menggantikan kakek, dan kakek menggantikan
kakek buyut?”
“Memang
demikian, dan sesungguhnya hal inilah yang membuat keadaan menjadi tidak sehat.
Perkumpulan bukanlah milik seseorang, apa lagi perkumpulan seperti Cin-ling-pai
yang juga menjadi perguruan silat. Bukan anak keturunan saja yang mewarisi ilmu
silat dari ketua. Masih banyak murid lain yang mungkin lebih pandai. Apa bila
anak keturunan yang diharuskan menggantikan menjadi ketua, seperti kaisar, maka
mungkin saja terjadi perkumpulan itu dipimpin oleh seorang yang tidak berbakat
menjadi pimpinan, atau yang tidak ada minat terhadap perkumpulan. Seperti aku
ini. Dan perkumpulan tidak akan maju. Karena itu aku hendak mengubah kebiasaan
ini. Sekarang yang terpandai sajalah yang berhak menjadi ketua, terpandai bukan
saja dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam hal memimpin perkumpulan,
yang berbakat dan berminat.”
Diam-diam
Sui Cin menyetujui pendapat suaminya ini. Bukankah keretakan keluarganya yang
pernah terjadi juga menjadi akibat dari kekukuhan ayah mertuanya yang ingin
sekali memperoleh cucu laki-laki agar kelak dapat melanjutkan sebagai ketua
Cin-ling-pai? Dan tanpa kata-kata pun dia dapat menyelami pikiran suaminya.
Bila datang banyak tamu dari kalangan persilatan, berarti membuka kesempatan
bagi puteri mereka untuk mencari atau dicarikan jodoh!
“Ahh, nanti
tentu banyak datang kenalan lama, tokoh-tokoh persilatan yang lihai, pimpinan
perkumpulan-perkumpulan dan perguruan silat yang terkenal,” katanya. “Dan siapa
tahu, di antara mereka itu ada yang berjodoh untuk menjadi besan kami!”
“Ihh, ibu!
Agaknya ayah dan ibu yang sudah merindukan besan, padahal aku sama sekali belum
memikirkan soal perjodohan!” berkata demikian Kui Hong merangkul ibunya.
Ayah, ibu
dan anak ini bercakap-cakap dengan asyik dan melepaskan kerinduan mereka. Kui
Hong yang tahu bahwa ayah dan ibunya baru saja ‘akur’ kembali, kemudian mencari
kesempatan untuk meninggalkan mereka berdua saja.
“Aku ingin
menemui kongkong serta para suheng dan sute!” Dan keluarlah dia dari dalam
rumah itu.
Sesudah Kui
Hong pergi, suami isteri itu bangkit berdiri, saling pandang sampai lama dan
perlahan-perlahan kedua mata Sui Cin menjadi basah. Bagaikan didorong oleh
kekuatan gaib dia melangkah maju, dan pada lain saat kedua suami isteri yang
telah lama berpisah batin itu kini sudah saling rangkul tanpa mengeluarkan
kata-kata, rangkulan yang penuh kerinduan, kemesraan dan saling memaafkan.
***************
Sementara
itu Kui Hong lari menuju ke belakang, di mana kakeknya mengurung diri dan
kabarnya tak mau lagi mencampuri urusan dunia. Setibanya di luar kamar kakeknya
yang daun pintunya tertutup, dia tidak berani lancang membuka daun pintu. Dia
tahu betapa galak kakeknya itu, dan biar pun dulu kakeknya itu amat
menyayanginya, namun karena telah lama dia pernah meninggalkan Cin-ling-pai
bersama ibunya, dia merasa agak asing lagi dengan kakeknya. Dari luar pintu
kamar itu dia pun berseru memanggil,
“Kongkong...!
Kongkong, ini aku Kui Hong yang ingin bicara dengan Kongkong…!”
Sampai tiga
kali dia mengulang panggilannya, barulah ada jawaban dari dalam. “Hemmm, kau
anak nakal sudah pulang? Bukalah pintunya dan masuklah!” Itulah suara kakeknya
yang terdengar jelas dan dalam.
Girang rasa
hati Kui Hong. Ia pun mendorong daun pintu kamar itu, dan baru saja hendak
melangkah masuk, dari dalam kamar melangkah keluar seorang laki-laki muda. Usia
pria itu kurang lebih tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya putih
dan boleh dibilang tampan, sepasang matanya tajam dan pria itu agaknya
terpesona saat bertemu pandang dengan Kui Hong. Akan tetapi dia cepat-cepat
menunduk dan bahkan agak membungkuk dengan sikap hormat, lalu berdiri di
samping dan membiarkan Kui Hong masuk lebih dulu!
Kui Hong
tidak mengenal orang itu, akan tetapi karena orang itu keluar dari dalam kamar
kakeknya, dia merasa heran bukan main dan menduga bahwa tentu ada hubungan baik
antara orang ini dengan kongkong-nya. Seorang laki-laki yang gagah dan sinar
matanya sungguh tajam mencorong, akan tetapi nampak asing baginya.
Kakek Cia
Kong Liang duduk bersila di atas kasur. Cahaya matahari menerangi kamar itu,
masuk dari jendela kaca yang terbuka menembus dari kamar itu ke dalam sebuah
taman kecil yang tertutup dinding. Taman itu adalah taman pribadi kakek Cia
Kong Liang.
Kui Hong
memandang kepada kakeknya penuh perhatian. Seorang kakek yang usianya sudah
menjelang tujuh puluh tahun, tubuhnya masih tegak dan tegap,gagah. Rambut dan
kumis jenggotnya sudah putih semua, namun terpelihara rapi.
Kamar itu
pun nampak bersih biar pun sederhana sekali. Ada rasa haru dan iba di dalam
hati Kui Hong melihat keadaan kakeknya yang tengah mengasingkan diri ini.
Seperti juga ayah dan ibunya, agaknya kakeknya ini penuh dengan rasa penyesalan
dan mengalami banyak kepahitan hidup.
“Kongkong,
aku datang...!” kata Ku Hong, lalu dia duduk bersimpuh di hadapan kakeknya.
Orang tua itu memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Kui Hong,
cucuku yang nakal! Ke mana saja kau selama ini?” tegur sang kakek dan rasa
sayangnya terhadap cucu ini tergetar melalui suaranya.
Kui Hong
dapat merasakan getaran kasih sayang kakeknya itu. Hatinya sangat terharu.
”Kongkong, aku telah pergi membantu pemerintah dengan para pendekar lain,
membasmi gerombolan pemberontak dan berhasil dengan baik. Para pemberontak yang
dibantu oleh tokoh-tokoh sesat itu dapat dihancurkan dan sebagian besar tokoh
sesatnya juga berhasil ditewaskan.”
Kui Hong
lalu bercerita mengenai pembasmian gerombolan pemberontak itu, didengarkan
dengan wajah berseri oleh kakeknya. Sesudah dia selesai bercerita, kakek itu
kemudian mengangguk-angguk.
“Aku bangga
sekali mendengar ceritamu itu, Kui Hong. Tidak memalukan engkau menjadi
keturunan Cin-ling-pai, dan sebagai kongkong-mu aku ikut merasa bangga bahwa
engkau telah bersikap seperti seorang pendekar sejati, dapat berbakti kepada
nusa dan bangsa.”
“Kongkong,
ada berita yang lebih baik dari pada itu!”
“Berita apa
cucuku?”
“Berita yang
datang dari tempat ini, Kongkong, yaitu bahwa mulai hari ini ayah dan ibu telah
akur kembali. Ayah sudah meninggalkan tempat pertapaannya di dekat makam dan
kini berkumpul dengan ibu.”
Wajah kakek
ini nampak cerah dan sepasang matanya yang tadinya redup itu kini terlihat
bercahaya. ”Terima kasih kepada Thian...! Setiap saat itulah yang menjadi doa
utama.”
Lega rasa
hati Kui Hong melihat betapa kakeknya juga bergembira mendengar berita ini.
”Lalu kapan kongkong sendiri meninggalkan kurungan ini dan kembali hidup di
luar seperti biasa berjalan sambil memberi petunjuk ilmu silat kepadaku?”
ajaknya.
Kakek itu
tersenyum. ”Hemmm jangan kau mentertawakan kakekmu, Kui Hong. Apa lagi yang
dapat kulakukan untuk memberi petunjuk kalau tingkat ilmu silatmu sekarang
sudah lebih tinggi dari kakekmu yang loyo ini? Dan tentang keluar itu…, ahhh,
aku sudah terlalu tua untuk ikut memusingkan urusan dunia, akan tetapi aku
berjanji akan sering keluar dari kamar ini”
“Tentu saja
kongkong harus keluar. Bukankah menurut ayah, di sini akan diadakan pesta ulang
tahun kakek yang ke tujuh puluh?”
Kakek itu
mengangguk-angguk dan menarik napas panjang sambil mengelus jenggotnya yang
putih. ”Baiklah, baiklah... ahh, Hui Song memang anak yang amat baik dan
berbakti. Sayang dia tidak berbakat dan tidak suka menjadi ketua…”
Mendengar
kakeknya menyinggung mengenai kedudukan ketua, Kui Hong menjadi berani untuk
membicarakan soal itu. ”Kongkong, menurut ayah, di dalam pesta yang dihadiri
oleh banyak tokoh persilatan itu, ayah hendak mengadakan pemilihan ketua
Cin-ling-pai yang baru, bernarkah itu? Kata ayah, dia akan mengundurkan diri
dan akan merantau bersama ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah dan
tempat-tempat lain.”
Kakek Cia
Kong Liang mengangguk-angguk dan masih mengelus-elus jenggotnya. ”Hal itu sudah
kami bicarakan secara serius. Ayahmu hendak merombak ketentuan yang sudah turun
temurun, hendak memutuskan ikatan antara keluarga Cia dengan Cin-ling-pai. Akan
tetapi dia benar juga. Cin-ling-pai adalah sebuah perguruan silat, bukan milik
keluarga Cia. Siapa saja yang baik dan tepat dapat menjadi ketua demi kemajuan
Cin-ling-pai. Dan aku sudah mempunyai pandangan, siapa kiranya yang paling
tepat untuk menjadi ketua baru Cin-ling-pai menggantikan ayahmu.”
Kui Hong
diam-diam terkejut, akan tetapi dia langsung teringat akan pria yang baru saja
meninggalkan kamar kakeknya. ”Kongkong, siapakah pria yang baru keluar dari
sini tadi? Aku tidak pernah melihatnya.”
“Nah, dia
itulah yang menjadi calonku untuk memimpin Cin-ling-pai. Biar pun masih muda
akan tetapi dia bijaksana, dan dalam hal ilmu silat kiranya tidak di sebelah
bawah tingkat ayahmu dan ibumu sekali pun.”
Tentu saja
Kui Hong terkejut mendengar ini. Seorang murid Cin-ling-pai yang mempunyai
tingkat kepandaian tidak kalah oleh ayahnya atau ibunya? Sungguh luar biasa!
“Tapi,
siapakah dia, Kongkong? Apakah murid Cin-ling-pai?”
“Namanya
Tang Cun Sek, tentu saja dia murid Cin-ling-pai!”
“Tapi,
Kongkong. Jika dia murid Cin-ling-pai bagaimana sampai aku tidak mengenalinya?”
“Memang dia
murid baru. Hanya beberapa bulan setelah engkau dan ibumu meninggalkan
Cin-ling-pai, dia menjadi murid dan anggota Cin-ling-pai. Karena itu engkau
tidak pernah melihatnya.”
Kui Hong mengerutkan
alisnya dan di dalam hatinya menghitung-hitung, lalu dia berkata, “Kongkong,
sampai sekarang, kepergianku itu baru empat tahun lamanya. Bagaimana dia yang
baru belajar empat tahun di sini, sekarang sudah memiliki tingkat kepandaian
yang sejajar dengan ayah dan ibu? Hal itu sungguh tidak mungkin!”
Kakek itu
tersenyum, “Mengapa tidak mungkin? Ketika masuk menjadi murid Cin-ling-pai, dia
telah memiliki ilmu silat yang tinggi! Dia adalah seorang pemuda yang semenjak
kecil suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga ia telah mempelajari banyak
macam ilmu silat dari perguruan-perguruan silat yang besar. Dia masih juga
belum puas lantas dia belajar di sini untuk menambah pengetahuannya. Ternyata
dia berbakat sekali dan semua ilmu silat Cin-ling-pai bisa dikuasai dalam waktu
singkat. Dia memang pantas sekali menjadi ketua baru, karena dengan ilmunya
yang banyak macamnya itu, tentu saja dia dapat menambah perbendaharaan ilmu di
Cin-ling-pai. Bahkan menurut pendapatku, dia pun pantas untuk menjadi jodohmu,
Kui Hong.”
“Ihhh!
Kongkong ini ada saja!” teriak Kui Hong dan mukanya berubah merah sekali.
Kakek itu
tertawa. “Aku tidak main-main, cucuku. Bahkan aku pernah membicarakan soal ini
dengan ayahmu. Ketahuilah, telah menjadi kebiasaan di dalam dunia persilatan
bahwa seorang gadis akan memilih jodohnya yang gagah perkasa dan yang dapat
mengalahkan ilmu silatnya. Dan aku melihat bahwa semua syarat itu ada pada diri
Cun Sek! Dia adalah seorang pemuda yang sudah matang dan wajahnya pun tampan.
Sepak terjangnya gagah perkasa, dia pun mempunyai pengetahuan cukup tentang
ilmu baca tulis dan ilmu silatnya tinggi. Terlebih lagi kalau dia menjadi ketua
Cin-ling-pai, berarti dia masih keluarga sendiri sebagai jodohmu, dengan
demikian, meski pun berlainan she tetap saja Cin-ling-pai masih dipegang oleh
anggota keluarga sendiri.”
Diam-diam
Kui Hong mengerti mengapa kakeknya agaknya demikian bersemangat untuk
menjodohkan dia dengan lelaki yang bernama Tang Cun Sek itu, dan sangat
mendukung pengangkatan Cun Sek sebagai ketua baru Cin-ling-pai. Ternyata kakek
itu ingin supaya pimpinan Cin-ling-pai tidak terjatuh kepada orang lain! Kalau
Cun Sek menjadi suaminya, berarti bahwa Cun Sek masih anggota keluarga, mantu
dari ayahnya!
Sekarang
mengertilah gadis ini bahwa persetujuan kakeknya mengenai pergantian ketua di
Cin-ling-pai adalah persetujuan yang terpaksa dan sesungguhnya berlawanan
dengan suara hati kakeknya. Diam-diam dia merasa kasihan kepada kongkong-nya
itu. Pendirian kakeknya masih tetap keras, akan tetapi kini telah terjadi
perubahan, yaitu sikap kakeknya menjadi lebih lunak, tidak seperti dahulu bahwa
setiap kehendaknya tidak boleh dibantah oleh siapa pun.
Karena dia
tidak ingin berbantahan dengan kakeknya atau mengecewakan hatinya, maka ketika
kakeknya mendesaknya dan menanyakan pendapatnya, dia hanya menjawab, “Kita
lihat bagaimana nanti sajalah, Kongkong.”
Setelah
pergi meninggalkan kamar kakeknya, Kui Hong kemudian keluar dan berkunjung ke
perkampungan Cin-ling-pai di mana terdapat sekelompok rumah yang menjadi tempat
tinggal para murid Cin-ling-pai. Semenjak ayahnya menjadi ketua, Cin-ling-pai
tak pernah menerima murid wanita sehingga dia merupakan satu-satunya murid
wanita! Semua murid Cin-ling-pai adalah pria, sebagian ada yang tinggal di luar
dan mereka ini adalah murid-murid yang sudah berkeluarga, sedangkan yang masih
bujangan tinggal di perkampungan Cin-ling-pai. Jumlah mereka mendekati seratus
orang!
Kedatangan
Kui Hong disambut oleh para murid Cin-ling-pai, ada yang menyambut gadis itu
dengan gembira, ada pula yang bersikap biasa, dan bahkan ada yang bersikap
dingin! Mereka itu terdiri dari pria-pria yang berusia antara dua puluh sampai
empat puluh tahun. Tentu saja banyak di antara mereka yang diam-diam mengagumi
Kui Hong sebagai pria terhadap wanita, akan tetapi dapat dimengerti bahwa tak
seorang pun berani menyatakan perasaan kagum dan suka ini secara berterang.
Kui Hong
melihat jelas bahwa ada semacam kelesuan di antara para murid Cin-ling-pai. Hal
ini disebabkan terjadinya peristiwa menyedihkan di dalam keluarga ketuanya
sehingga membuat ketua mereka kemudian mengasingkan diri di dekat makam,
sedangkan ketua lama mengasingkan diri di dalam kamar. Tentu saja mereka semua
merasa bingung dan seperti kehilangan pegangan, akan tetapi mereka masih
memandang muka nyonya ketua yang amat lihai sehingga tidak membuat ulah
macam-macam.
Melihat sikap
para murid yang dingin dan lesu, Kui Hong segera menegur mereka sambil
tersenyum ramah. “Heii, kalian ini mengapakah? Seperti lampu kehabisan minyak!
Aku ini masih Cia Kui Hong yang dahulu itu, teman kalian berlatih silat dan
bermain-main! Hayo kita berkumpul di lian-bu-thia (ruangan latihan silat),
ingin aku melihat sampai di manakah kemajuan para suheng dan sute di sini’’
Melihat
kegembiraan gadis itu, ajakan itu langsung disambut oleh para murid yang masih
muda dengan gembira. Mereka mengikuti Kui Hong sehingga sebentar saja
lian-bu-thia itu penuh dengan murid Cin-lin-pai. Jumlah mereka tidak kurang
dari lima puluh orang, sebab hanya mereka yang agak tua dan menjadi suheng
(kakak perguruan) dari Kui Hong yang tidak ikut.
Mereka ini
merasa diri sudah tua dan berkedudukan lebih tinggi, maka mereka tidak mau
mencampuri kegembiraan para murid muda itu. Mereka adalah murid-murid tua dari
Cin-ling-pai, bahkan ada beberapa orang yang masih terhitung susiok (paman
guru) dari Kui Hong karena mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Cia
Hui Song, atau murid langsung dari kakek Cia Kong Liang.
Sesudah tiba
di lian-bhu-thia, Kui Hong langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu.
Kegembiraannya muncul, akan tetapi diam-diam dia telah memperhitungkan
sikapnya. Sebelum terjadi pemilihan ketua baru dia ingin sekali menguji, siapa
di antara murid dan anggota Cin-ling-pai yang sudah memiliki ilmu silat tinggi
dan pantas untuk menjadi ketua baru. Terutama sekali dia ingin memancing
keluarnya murid bernama Tang Cun Sek itu, untuk diujinya sampai di manakah
kepandaian orang itu maka oleh kongkong-nya dipilih sebagai calon ketua baru.
Sesudah
berada di tengah ruangan berlatih silat, Kui Hong lantas berkata, ”Hayo,
silakan siapa yang hendak latihan denganku! Sudah lama kita tidak berlatih
bersama-sama. Siapa di antara kalian yang paling maju ilmu silatnya.? Majulah,
mari kita main-main sebentar!”
Para murid
Cin-ling-pai maklum benar siapa adanya Kui Hong. Memang benar di antara mereka
banyak terdapat murid yang lebih tua dan lebih dahulu belajar dibandingkan Kui
Hong. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kalau mereka hanya mempelajari
ilmu-ilmu asli dari Cin-ling-pai, yaitu San-in Kun-hoat, Thai-kek Sin-kun yang
sangat sukar, Tiat-po-san dan Ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut, sebaliknya gadis
itu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Pendekar Sadis!
Bahkan dalam
hal ginkang (ilmu meringankan tubuh), gadis itu amat hebat karena sudah
menguasai Bu-eng Hui-teng dari ibunya yang menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin,
yakni salah seorang di antara Delapan Dewa! Karena maklum bahwa mereka tak akan
mampu menandingi ilmu kepandaian Kui Hong, maka tidak ada yang berani meyambut
tantangan gadis itu.
“Hayolah!”
ajak Kui Hong. ”Mengapa sekarang kalian semua berubah menjadi pemalu dan
penakut? Aku hanya ingin melihat kemajuan kalian, mari kita bersama latihan
San-in Kun-hoat!”
Salah
seorang murid yang berusia tiga puluh tahun dan yang terkenal sebagai murid
yang paling ahli dalam hal ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung),
dengan malu-malu melangkah maju menghadapi Kui Hong, diantar oleh tepuk tangan
pemberi semangat dari para saudaranya.
Melihat
laki-laki yang jangkung dan berwajah pemalu ini, Kui Hong tersenyum dan segera
memberi hormat, “Aihh, kiranya suheng Ciok Gun! Saudara-saudara sekalian, aku
girang bahwa dia ini yang maju. Ketahuilah bahwa ketika dahulu aku sedang
belajar San-in Kun-hoat, justru suheng Ciok Gun inilah yang memberi banyak
petunjuk kepadaku!” Ucapan ini kembali disambut tepuk tangan para murid
Cin-ling-pai dan kini suasana berubah menjadi semakin meriah.
“Sumoi
terlalu memujiku, sekarang mana mungkin aku sanggup melawanmu?” kata lelaki
jangkung yang bernama Ciok Gun itu sambil tersenyum.
Dia cepat
memasang kuda-kuda Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan pasangan kuda-kudanya memang
mantap. Setelah itu dia menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semua
khikang ke dalam pusar dari mana tenaga dalam itu akan mengatur semua gerakan
dari tubuhnya untuk digunakan dalam ilmu San-in Kun-hoat yang lihai itu.
Kui Hong
mengangguk-angguk kagum lalu berseru, “Nah, mari kita mulai, Suheng. Lihat
seranganku!” berkata demikian, gadis itu mulai melakukan serangan, dengan jurus
Pek-in Toan-san (Awan Putih Memutuskan Gunung).
Sepasang
tangan gadis itu dengan cepatnya menyambar ke arah leher dan dada lawan.
Gerakannya itu nampaknya tanpa tenaga, namun Ciok Gun merasakan betapa ada
angin pukulan menyambar halus yang kuat bukan main, dan terutama sekali gerakan
gadis itu sangat cepatnya, terlalu cepat baginya sehingga tergesa-gesa dia
mengelak ke belakang dan membalas dengan tendangan kakinya dari samping.
Dengan gerakan
yang lincah sekali dan amat luwes, Kui Hong meliukkan tubuhnya hingga tendangan
itu menyambar lewat di tempat kosong. Gadis itu pun membalikkan tangannya dan
kembali sudah menyerang dengan amat cepatnya. Ciok Gun memutar tangan hendak
menangkis disusul tangkapan tangan ke arah lengan lawan, tetapi dia kalah cepat
karena Kui Hong telah menarik kembali tangannya dan mengganti serangan itu
dengan serangan dari samping.
Terjadilah
pertandingan yang amat seru dengan ilmu silat yang sama. Akan tetapi segera
nampak betapa Ciok Gun terdesak hebat, bahkan sesudah lewat sepuluh jurus dia
hanya mampu mengelak atau menangkis, sama sekali tidak sempat membalas karena
memang dia kalah jauh dalam kecepatan gerakan. Untung bahwa dia memang ahli
ilmu silat San-in Kun-hoat, sehingga dia mampu membela diri dan melindungi
tubuhnya.
Lebih untung
lagi baginya bahwa lawannya juga mempergunakan ilmu silat yang sama sehingga
meski pun gerakan Kui Hong amat cepat, dia selalu dapat melihat awal gerakan
dan menduga dengan tepat ke mana arah serangan gadis itu. Biar pun demikian,
saking cepatnya lawan bergerak, dia dipaksa untuk bergerak cepat mengimbanginya
dan hal ini membuat kepalanya terasa pening dan pandang matanya berkunang!
“Apa bila
ada suheng atau sute yang hendak turut meramaikan latihan ini dan membantu
Ciok-suheng, silakan maju!” kata Kui Hong sambil mengelak dari sambaran tangan
Ciok Gun yang baru dapat membalas serangan ketika gadis itu berhenti sebentar
untuk bicara kepada murid lainnya. “Jangan malu-malu, hayo maju dan kita
latihan bersama!”
Mendengar
ucapan ini, dan melihat betapa Ciok Gun yang mereka kenal sebagai ahli ilmu
silat San-in Kun-hoat sama sekali tak mampu menandingi puteri ketua mereka itu,
empat orang murid menjadi penasaran dan juga bangkit kegembiraan mereka. Mereka
berempat adalah murid-murid yang lebih tua dari pada Kui Hong dan juga
terhitung suheng (kakak seperguruan) gadis itu. Mereka saling memberi isyarat,
kemudian keempatnya meloncat ke depan memasuki kalangan adu silat.
"Sumoi,
kami hendak ikut berlatih!" kata mereka.
"Bagus!
Marilah, suheng berempat, maju dan bantulah Ciok-suheng supaya lebih
ramai!" tantang Kui Hong tanpa sombong, wajahnya berseri, cantik sekali
dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat kagum semua murid yang berada di
situ.
Empat orang
murid itu kemudian mulai membantu Ciok Gun, mengepung Kui Hong dan menyerang
secara bertubi-tubi, akan tetapi serangan mereka itu selalu mempergunakan ilmu
silat Sam-in Kun-hoat karena mereka itu sedang berlatih, bukan berkelahi dan
tiada seorang pun di antara mereka yang mau bertindak curang.
Kini Kui
Hong benar-benar memperlihatkan kelihaiannya! Gadis itu tidak berani main-main
lagi seperti ketika menghadapi Ciok Gun seorang. Kini dara ini dikeroyok oleh
lima orang murid Cin-ling-pai yang sudah tinggi ilmunya, dan empat orang yang
baru masuk itu pun tentu saja telah menguasai San-in Kun-hoat dengan baik,
walau pun mereka tidak seahli Ciok Gun. Kini Kui Hong mengerahkan tenaga yang
lebih besar dan memainkan San-in Kun-hoat sebaik mungkin.
Terjadilah
adu ilmu yang sangat seru dan menarik sekali. Gerakan Kui Hong sedemikian cepat
dan ringannya, juga amat indah. Tubuhnya bergerak seolah-oleh seekor kupu-kupu
di antara lima tangkai bunga yang tertiup angin bergerak ke sana sini, dan
kupu-kupu itu beterbangan di antara mereka! Bagaimana pun kelima orang itu
mendesak dan berusaha mengalahkan sumoi mereka, namun mereka tidak pernah mampu
menyentuh ujung baju Kui Hong!
Dan para
murid yang menonton adu ilmu ini menjadi bengong. Barulah mereka melihat
kenyataan bahwa ilmu silat San-in Kun-hoat dapat menjadi ilmu yang sangat
hebat, yang membuat gadis itu sama sekali tidak terdesak meski pun dikeroyok
oleh lima orang murid utama yang merupakan tokoh-tokoh tingkat dua di
Cin-ling-pai!
Tentu saja
hal ini tidaklah aneh. Semua ilmu silat merupakan ilmu bela diri yang amat baik
dan teratur, penuh dengan daya serang dan daya bertahan yang baik. Tinggi
rendahnya tingkat seseorang bukan ditentukan oleh ilmu silatnya itu sendiri,
namun oleh orangnya! Siapa yang tekun berlatih dan menguasai rahasia ilmu silat
itu, dan yang memiliki tenaga sakti yang kuat, tentu dapat memainkan ilmu silat
itu dengan amat baik dan membuatnya amat tangguh, sukar dikalahkan lawan.
Sebaliknya, betapa pun tinggi dan hebatnya suatu ilmu, jika yang mempelajarinya
hanya menguasai setengah-setengah saja, maka ilmunya belum matang dan tentu
saja tidak membuat dia menjadi terlalu tangguh.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment