Friday, September 28, 2018

Cerita Silat Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 22



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang

                  Jilid 22



Han Lojin tersenyum lebar. Matanya terpicing ketika dia tersenyum lebar. "Engkau yang bernama Tang Cun Sek? Engkau masih meragukan bahwa aku Ang-hong-cu? Nah, kau lihat ini!"

Dia mengeluarkan seuntai kalung dari untaian benda-benda perhiasan yang persis seperti sebuah yang dimiliki pemuda itu. Lebih dari tiga puluh buah perhiasan tawon terikat pada tali itu. Melihat ini, lenyaplah keraguan dari hati Cun Sek dan dia pun segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ayahnya.

"Ayah...!" katanya sambil memberi hormat.

Han Lojin masih tersenyum, walau pun senyumnya mengandung keharuan. Baru sekali ini dia merasakan diberi hormat oleh seorang anak, diakui sebagai ayah! Anak yang pertama kali dijumpainya adalah Tang Hay, akan tetapi anak itu malah memusuhinya dan nyaris saja membunuhnya!

"Duduklah, Cun Sek. Dan sekarang, setelah aku menerima kalian bertiga sebagai sekutu dan pembantuku seperti yang sudah kalian sumpahkan di hadapan perwira tadi, aku ingin tahu bagaimana engkau dapat memainkan ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai, Cun Sek. Apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai?"

"Ayah, selama bertahun-tahun aku menjadi murid Cin-ling-pai. Sesudah gagal menguasai kedudukan ketua Cin-ling-pai karena dikalahkan oleh Cia Kui Hong, maka aku kemudian meninggalkan Cin-ling-pai. Aku bertemu dengan Tok-sim Mo-Li Ji Sun Bi dan juga Sim Ki Liong yang menjadi pangcu (ketua) dari Kim-lian-pang, lalu aku membantu mereka. Akan tetapi perkumpulan kami dIkeroyok oleh banyak perkumpulan lain sehingga kami terpaksa melarikan diri...”

“Apa?! Kalian bertiga bergabung tetapi masih dapat dikalahkan perkumpulan lain?" tanya Han Lojin dengan heran.

"Pasti kami tidak akan kalah kalau tidak muncul dua orang jahanam itu!" kata Sim Ki Liong marah. "Pek Han Siong dan Hay Hay itu!"

“Ahhh…!” Han Lojin berseru kaget. "Kiranya mereka? Jangan khawatir, setelah kini kalian bergabung dengan kami, maka kita bersama akan sanggup melawan siapa pun juga dan menghancurkan musuh-musuh yang berani mengganggu kita!"

"Akan tetapi, Han Lojin…" Sim Ki Liong berkata akan tetapi ucapannya dipotong dengan cepat dan galak oleh Han Lojin.

"Jangan sebut aku dengan nama samaran itu! Mulai sekarang juga kalian harus menyebut bengcu kepadaku. Engkau juga, Cun Sek!" ucapannya itu berwibawa sekali sehingga Cun Sek sendiri terpaksa menunduk, meski pun hatinya tersinggung karena sebagai putera dia tidak diperbolehkan menyebut ayah.

"Baiklah, Bengcu. Aku ingin bertanya, di mana adanya perwira tadi? Dia adalah seorang pembantumu yang utama, bukan? Kenapa tidak disuruh hadir di sini?"

"Nanti dulu. Nanti akan kupanggil dia ke sini. Akan tetapi sebagai bengcu kalian, aku ingin mendengar riwayat kalian masing-masing. Aku sudah mendengar bahwa Cun Sek adalah seorang murid Cin-ling-pai yang pandai sehingga dia bisa kuandalkan. Tetapi bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li dan engkau pula, Sim Ki Liong? Pada waktu aku berada di antara para pembantu Lam-hai Giam-lo dahulu itu, aku hanya mendengar bahwa Ki Liong adalah seorang murid dari Pendekar Sadis. Benarkah itu? Dan kenapa pula engkau pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah?"

Ki Liong segera menjawab sejujurnya. "Memang benar bahwa aku adalah murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Akan tetapi gara-gara Cia Kui Hong, cucu dari suhu dan subo-ku, maka terpaksa aku melarikan diri dari Pulau Teratai Merah tanpa pamit." Lalu dia melanjutkan setelah menarik napas panjang. "Aku minggat dari sana, di samping hendak meluaskan pengalaman, mencari kedudukan yang baik, juga untuk mencari musuh besar yang telah membunuh ayahku. Musuh besarku itu adalah Siangkoan Ci Kang."

Tang Bun An atau Han Lojin atau Ang-hong-cu memang seorang tokoh sesat yang hanya dikenal namanya namun tidak ada orang yang mengenal wajahnya. Akan tetapi sebagai seorang tokoh kang-ouw yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw, dia mengenal hampir semua tokoh persilatan yang terkenal. Maka dia pun sangat terkejut ketika mendengar nama Siangkoan Ci Kang.

"Bukankah Siangkoan Ci Kang ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang dahulu ketika muda terkenal sebagai putera Si Iblis Buta Siangkoan Lojin? Dan yang sekarang menjadi seorang tokoh rahasia yang lengan kirinya buntung?"

"Benar sekali... Bengcu. Apakah tahu dimana dia?” tanya Sim Ki Liong penuh gairah.

Han Lojin tersenyum. “Tenanglah, orang muda. Sesudah kita bekerja sama dan memiliki pengaruh yang luas, apa sulitnya mencari seorang Siangkoan Ci Kang? Sabarlah, musuh besarmu itu pasti akan dapat kami temukan dan dapat kau bunuh dengan bantuan kami. Senang hatiku bisa mendapatkan bantuan seorang murid Pendekar Sadis! Engkau sama pentingnya dengan Cun Sek. Dan bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li? Aku sudah tahu akan kelihaianmu, akan tetapi aku belum tahu latar belakangmu. Engkau datang dari perguruan mana dan siapa pula gurumu?”

“Mendiang guruku adalah Min-san Mo-ko dan selain dari dia, aku pun mempelajari banyak macam ilmu silat. Walau pun belum tentu aku dapat menandingi Sim Ki Liong atau Tang Cun Sek, akan tetapi sepasang pedangku juga jarang menemui tanding, dan di samping itu aku mempunyai kenalan dan hubungan dengan hampir seluruh tokoh kang-ouw.”

"Murid Min-san Mo-ko? Bukankah Min-san Mo-ko adalah murid mendiang See Kwi Ong? Bagus, engkau juga dapat menjadi pembantuku yang bisa diandalkan. Senang sekali aku menerima kalian bertiga menjadi pembantu-pembantu utamaku!"

Han Lojin tertawa senang sekali. Tentu saja hatinya senang bukan main karena tiga orang muda yang tadinya dicurigai sebagai musuh, kiranya bahkan menjadi para pembantunya yang tangguh, apa lagi seorang di antaranya adalah putera kandungnya sendiri!

"Bengcu, aku ingin mengulangi pertanyaanku tadi. Di mana adanya ciangkun tadi? Kami pun ingin mengenalnya dan mengetahui kedudukannya di istana. Bukankah dia seorang perwira tinggi pasukan pengawal di istana? Kedudukan itu penting sekali, maka kami ingin berkenalan dengan dia," kata Sim Ki Liong.

"Ha-ha-ha, kalian ingin bertemu dengan dia? Baiklah, akan kupanggil dia ke sini!"

Han Lojin bangkit berdiri, lantas dengan cepat sekali kedua tangannya bergerak ke arah mukanya sendiri. Ketika kedua tangannya turun kembali, maka lenyaplah wajah Han Lojin yang terhias kumis dan jenggot tadi. Wajah itu berubah menjadi wajah yang gagah dan tampan, licin bersih tanpa kumis dan jenggot. Wajah Perwira Tang Bun An!

Dan kembali kedua tangan itu bergerak ke arah tubuhnya. Terbukalah pakaian sutera itu dan kini yang membungkus tubuh itu adalah pakaian seragam perwira yang mentereng! Pantas saja tubuh itu tadi nampak besar dan lebih gemuk, ternyata berpakaian rangkap! Melihat betapa tiga orang muda itu menjadi bengong, Tang Bun An tertawa bergelak.

"Ternyata Ang-hong-cu adalah Han Lojin dan juga Perwira Tang Bun An!" Sim Ki Liong berseru penuh kagum.

"Ayah… ehh, Bengcu, engkau sungguh hebat bukan main!" Cun Sek bangga akan ayah kandungnya yang bukan saja amat lihai, akan tetapi juga ternyata seorang perwira tinggi pasukan pengawal dan seorang yang amat pandai menyamar sehingga dia sendiri dapat dikelabui!

“Bukan main! Ternyata wajah Han Lojin hanyalah wajah samaran. Hebat, mataku seperti menjadi buta, sama sekali tidak tahu akan penyamaran itu. Aku tidak akan terkejut kalau wajah Perwira Tang Bun An yang sekarang pun hanya merupakan kedok penyamaran yang lain!” kata Ji Sun Bi penuh kagum. “Kini aku mengerti mengapa wajah Ang-hong-cu tak pernah dapat dikenal. Kiranya seorang ahli menyamar yang mempunyai seribu muka!”

Sungguh senang dan bangga hati Tang Bun An mendengar semua pujian yang dia tahu bukan sekedar pujian menjilat belaka. Tiga orang muda ini adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, dan kalau mereka memuji, maka pujian itu keluar dari hati yang kagum.

Dia tertawa lagi, sekarang suara ketawanya keras bergelak, seperti suara ketawa yang biasa dilakukan Tang-ciangkun, suara ketawanya yang wajar dan tidak dibuat-buat karena sebagai Perwira Tang dia tidak lagi menyamar melainkan memperlihatkan kepribadiannya yang asli.

“Ha-ha-ha-ha, syukurlah kalian dapat menghargai ilmu penyamaranku ini. Kadang-kadang ilmu ini sangat berguna. Ketahuilah, sesudah aku menjadi setua sekarang, aku tidak ingin lagi bertualang seperti dahulu. Aku ingin kembali menjadi diriku sendiri, dan karena itu aku mulai memikirkan kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Cita-cita itu kurintis dengan menjadi seorang perwira pasukan pengawal dan berjasa kepada kaisar sehingga aku dipercaya. Baru sekarang inilah Ang-hong-cu Tang Bun An memperlihatkan wajahnya yang asli dan memperkenalkan diri kepada kalian. Akan tetapi kedudukan sebagai perwira ini hanya sementara saja. Aku mulai merasa jemu, dan juga kedudukan ini tidak memberi kekuasaan seperti yang kuharapkan. Lagi pula kedudukanku yang sekarang ini pun goyah gara-gara seorang gadis dan keadaanku bahkan dalam bahaya. Kedudukan ini sewaktu-waktu dapat kutinggalkan. Karena itulah maka aku ingin menyusun kekuatan dan dengan bantuan kalian, kita akan membangun suatu kekuatan di dunia kang-ouw, menundukkan semua kekuatan lain."

"Memberontak…?" tanya Sim Ki Liong sambil mengerutkan alis. Pemuda ini tidak setuju kalau dibawa ke pemberontakan karena dia pernah melihat kegagalan para pemberontak.

Ang-hong-cu menggeleng kepalanya. "Aku bukan orang bodoh macam Lam-hai Giam-lo dan tokoh kang-ouw yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Tidak, aku bukan seorang pemberontak, bahkan aku membenci kaum pemberontak! Aku ingin menjadi raja di antara para tokoh kang-ouw! Aku tak ingin menyaingi kaisar. Bodoh sekali bila melawan kerajaan yang memiliki ratusan ribu prajurit! Aku ingin menundukkan semua perkumpulan persilatan, ingin menundukkan semua tokoh dunia kang-ouw sehingga aku menjadi Bengcu yang menguasai dunia kangouw. Dan terhadap para pejabat tinggi, aku ingin bersahabat dengan mereka. Bagaimana pendapat kalian?"

"Itu bagus sekali. Aku setuju, Bengcu! Dan aku... siap melaksanakan apa-saja yang kau perintahkan kepadaku!" kata Ji Sun Bi sambil memainkan matanya dan memandang genit disertai senyum memikat kepada perwira tinggi itu.

Melihat ini Tang Bun An tersenyum, menyembunyikan kemuakan hatinya. Dia pembenci wanita, apa lagi yang genit. Jika dia memperkosa banyak wanita, hal itu dilakukan bukan hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya, tetapi juga untuk membalas dendam kepada para wanita!

"Awas engkau, Tok-sim Mo-Ii. Aku bukan laki-Iaki biasa yang mudah saja kau rayu! Kalau engkau hendak taat kepadaku, maka haruslah merupakan ketaatan seorang pembantu terhadap pemimpinnya. Karena aku tidak akan tunduk oleh rayuan dan kecantikan wanita. Kalau engkau banyak tingkah dan tidak setia, nyawamu tidak akan tertolong lagi!"

Ji Sun Bi mati kutu. Ia menundukkan mukanya. "Akan kuperhatikan dan kutaati pesanmu, Bengcu."

"Bagus! Nah mulai sekarang kalian bertiga tinggallah di sini dahulu. Ki Liong dan Cun Sek bersiap-siap di sini, menunggu perintahku selanjutnya. Dan engkau, Ji Sun Bi, lakukanlah tugas pertamamu, yaitu kau hubungi tokoh-tokoh kang-ouw di sekitar kota raja ini dan beri tahukan kepada mereka bahwa Ang-hong-cu minta agar mereka semua suka menghadiri undangannya untuk berkumpul di bukit ini pada malam terang bulan, bulan depan, kurang satu setengah bulan lagi. Katakan bahwa kalau undangan atau katakanlah perintahku ini tidak ditaati, mereka yang membangkang akan dihajar! Bahkan engkau kuberi kekuasaan untuk menghajar mereka yang sudah lebih dulu menolak undanganku itu. Mengerti?"

"Baik, Bengcu, akan kulaksanakan perintahmu," kata Ji Sun Bi.

Ang-hong-cu mengeluarkan sebuah kantung kecil dan melemparkannya kepada wanita itu yang cepat menyambarkannya.

"Ini untuk keperluan perjalanan. Kalau membutuhkan lagi, sampaikan saja pesanmu lewat para penjaga di pondok ini."

Demikianlah, mulai hari itu juga tiga orang muda ini sudah menjadi pembantu utama dari Ang-hong-cu. Semua pihak merasa senang. Ang-hong-cu Tang Bun An tentu saja girang bukan main mendapat tiga orang pembantu yang boleh diandalkan, sedangkan tiga orang muda itu pun merasa gembira karena mereka yakin bahwa dengan pimpinan Ang-hong-cu, mereka akan dapat menguasai dunia kang-ouw dan mendapatkan kedudukan yang terhormat dan mulia. Bahkan dengan bantuan Ang-hong-cu mereka mengharapkan akan dapat membalas dendam terhadap para pendekar yang pernah merugikan mereka.


                 ***************


Pada jaman itu kerajaan Beng-tiauw dalam keadaan makmur berkat kebijaksanaan dua orang menteri yang menjadi kepercayaan kaisar. Dua orang menteri itu adalah Menteri Yang Ting Hoo yang berusia lima puluh tahun, seorang menteri yang setia dan bijaksana, ramah, sabar dan pandai mengatur siasat pemerintahan, dan orang yang ke dua adalah Menteri Cang Ku Ceng, yang suka bertindak tegas dan tidak segan-segan memberantas pejabat yang korup dan melakukan penyelewengan.

Menteri Cang Ku Ceng kini berusia lima puluh tiga tahun dan dia adalah seorang menteri yang tegas, sedangkan Menteri Yang Ting Hoo pandai sekali menghadapi negara-negara lain, pandai berdiplomasi. Kedua orang menteri inilah yang membantu berputarnya roda pemerintahan yang pada waktu itu dipimpin oleh Kaisar Cia Ceng (1520-1566).

Pada masa itu, sekitar tahun 1545, atas nasehat kedua orang menteri yang bijaksana dan sangat setia itu, Kaisar Cia Ceng tidak mengirim pasukan untuk memerangi negara lain, melainkan memusatkan kekuatan untuk menenteramkan keadaan di dalam negeri. Kedua orang menteri setia yang bersahabat baik itu, sering kali menukar tugas mereka. Apa bila Menteri Yang Ting Hoo bertugas mengatur ketentraman di dalam kota raja, maka Menteri Cang Ku Ceng yang bertugas mengatur ketentraman di luar daerah kota raja, begitu pula sebaliknya.

Pada waktu itu yang bertugas mengatur ketentraman di kota raja adalah Menteri Cang Ku Ceng, ada pun Menteri Yang Ting Hoo bertugas melakukan perondaan di seluruh daerah selatan di mana masih terjadi pergolakan di perbatasan dengan Anam, Siam dan Birma, walau pun perang terbuka sudah dihentikan.

Kedua orang menteri yang setia dan bijaksana itu maklum bahwa kini banyak orang asing berdatangan ke Cina. Biar pun mereka datang dengan dalih ingin berdagang, akan tetapi mereka ini harus dihadapi dengan hati-hati.

Mereka sudah banyak mendengar dari utusan kaisar yang pernah merantau ke selatan mengenai sikap orang-orang kulit putih itu yang amat tamak, dan dengan dalih berdagang mereka ingin mencengkeram negara orang lain menjadi jajahan mereka. Oleh karena itu, munculnya orang-orang berkulit putih yang berdatangan dari segala penjuru, baik melalui darat mau pun melalui lautan, mereka amati dengan penuh kewaspadaan.

Karena khawatir akan pengaruh mereka, maka atas nasehat para menterinya, Kaisar Cia Ceng menghentikan semua gerakan bala tentara ke perbatasan dan mulai menggerakkan pasukan untuk mengamankan keadaan di dalam negeri. Bila negara dalam keadaan aman maka negara akan kuat menghadapi ancaman dari luar.

Sejak pertama kali rombongan orang Portugis menginjakkan kakinya di tanah Tiongkok, mereka telah disambut dengan sikap bermusuhan oleh kaisar. Hal ini terjadi karena selain sikap orang-orang Portugis memang congkak, sombong, kasar dan juga mereka itu suka mempergunakan kekerasan dan bahkan suka merampok.

Lagi pula, sebelum orang-orang Portugis muncul di daratan Cina, terlebih dahulu datang Sultan Malaka menghadap Kaisar Tiongkok. Pada tahun 1511 Sultan Malaka ini pernah diserang oleh Bangsa Portugis hingga terusir dari negerinya. Bersama para pengikutnya, Sultan Malaka lalu berkeliling ke utara dan akhirnya menghadap kaisar untuk mengadu.

Kaisar memandang Sultan Malaka sebagai seorang sahabat, maka kaisar menjadi marah sekali ketika mendengar tentang ulah orang-orang Portugis itu. Maka, ketika rombongan pertama orang Portugis datang, mereka segera diserang. Banyak di antara mereka yang tewas, sedangkan yang hidup ditawan dan dimasukkan penjara di mana mereka akhirnya juga tewas.

Pada abad ke dua puluh itu memang orang-orang barat mulai bertualang ke Asia. Namun tidak mudah untuk memasuki Tiongkok karena Kaisar Cia Ceng sudah terlanjur menaruh curiga terhadap semua orang kulit putih. Terlebih lagi semenjak kedatangan orang-orang Portugis yang rata-rata menjadi pedagang tetapi juga merampok. Pemerintah dan rakyat tidak menaruh kepercayaan lagi kepada orang-orang berkulit putih bermata biru itu.

Demikianlah, menghadapi usaha orang-orang kulit putih untuk memasuki Tiongkok, baik dengan dalih berdagang atau merampok, kedua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng kemudian menentramkan kehidupan rakyatnya lebih dahulu agar dapat digalang persatuan yang kokoh untuk menghadapi pengaruh dan ancaman dari bangsa asing itu.

Kecurigaan Menteri Cang terhadap perwira pengawal Tang Bun An belum juga terbukti. Dia hanya mendengar desas-desus bahwa para wanita dalam istana kaisar bermain gila dengan seorang pria, namun tidak pernah ada orang yang melihat sendiri siapa pria yang menggegerkan para wanita itu. Dia memang menaruh kecurigaan kepada Tang Bun An, namun tentu saja dia tidak dapat bertindak apa-apa kalau tidak memiliki bukti, biar pun dia adalah seorang yang memiliki kekuasaan tinggi.

Kalau dia menggunakan kekuasaan, memang setiap saat dia mampu menangkap Tang-ciangkun, tapi Menteri Cang bukanlah seorang pejabat semacam itu, yang menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Kalau tidak ada bukti, dia tidak mau bertindak. Apa lagi mengingat bahwa Tang Bun An sudah berjasa, dan memang keadaan di istana menjadi aman sejak dia menjadi kepala pasukan pengawal.

Desas-desus tentang adanya permainan gila antara para wanita di harem kaisar dengan seorang lelaki misterius itu hanya merupakan desas-desus yang memalukan, tetapi tidak membahayakan! Dan agaknya kaisar sendiri seperti tidak menaruh perhatian, tidak peduli.

Menteri Cang Ku Ceng yang merasa putus asa setelah Cia Kui Hong juga tidak berhasil menemukan suatu bukti pun bahwa Perwira Tang Bun An benar telah mengganggu para wanita di istana bagian puteri, diam-diam merasa heran sekali. Andai kata pengganggu keamanan di istana bagian puteri itu bukan Tang Bun An, tentu ada orang lain dan Kui Hong yang lihai tentu akan mampu menangkapnya, setidaknya melihat atau memergoki orangnya! Akan tetapi dia tidak mencurigai Kui Hong, hanya mengira bahwa pengacau itu agaknya takut ketika melihat Kui Hong melakukan penyelidikan, walau pun penyelidikan itu dilakukan dengan rahasia.

Agaknya orang itu pun lihai bukan main dan sudah tahu bahwa ada gadis perkasa yang melakukan penyelidikan untuk menangkapnya. Tentu penjahat cabul Itu telah mengetahui lebih dahulu bahwa ada gadis sakti yang sedang melakukan pengintaian, maka dia tidak berani muncul!

Setelah secara diam-diam dia menyelundupkan seorang mata-mata pribadinya ke dalam istana bagian puteri itu, seorang thai-kam (orang kebiri) kepercayaannya untuk melakukan penyelidikan, maka hatinya semakin yakin bahwa kehadiran Kui Hong benar-benar telah membikin kuncup hati petualang asmara yang menodai istana bagian puteri itu karena dia tidak pernah muncul kembali!

Kecurigaannya terhadap Tang Bun An kini mulai berkurang. Bagaimana pun juga harus diakuinya bahwa keadaan di sekeliling istana menjadi aman sejak Tang Bun An diangkat menjadi perwira tinggi pengawal istana.

Apa yang terjadi sehari sesudah Kui Hong keluar dari istana bahkan semakin menebalkan kepercayaan Menteri Cang terhadap Tang Bun An. Malam itu baru saja sehari Kui Hong pergi meninggalkan lingkungan istana. Malam yang benar-benar gelap gulita.

Seperti biasa Tang Bun An melakukan pemeriksaan di sekeliling istana, untuk memeriksa apakah prajurit-prajurit yang menjadi anak buahnya sudah melakukan penjagaan dengan tertib sebagaimana biasanya. Dalam hal ini harus diakui bahwa Tang Bun An melakukan tugas yang amat baik. Dia bahkan amat keras dan disiplin terhadap anak buahnya, maka tidak mengherankan bila istana dan sekitarnya menjadi aman sekali sesudah dia menjadi kepala pengawal.

Tang Bun An menciptakan kata-kata sandi yang sangat dirahasiakan, dan kata-kata sandi di antara para pengawal yang bertugas jaga itu setiap malam diganti sehingga akan sukar sekali bagi orang luar untuk mengetahuinya. Juga bunyi tanda bahaya yang sejak dahulu berupa bunyi canang dipukul gencar, kini dia rubah dengan bunyi sempritan. Tidak gaduh namun terdengar sampai jauh dengan tanda bunyi tertentu.

Tang Bun An adalah seorang yang berpengalaman dan hati-hati sekali. Biar pun dia telah mendapatkan janji dari Cia Kui Hong bahwa pendekar wanita yang sekaligus juga menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak akan membocorkan rahasianya baik sebagai Ang-hong-cu mau pun sebagai pengacau istana bagian puteri, namun dia tidaklah begitu bodoh untuk nekat melanjutkan petualangannya di istana. Lagi pula dia sudah mulai bosan dengan para selir kaisar itu.

Biasanya ia mempermainkan para wanita untuk membalas dendam, untuk melampiaskan kebenciannya terhadap wanita dengan cara lain. Dia biasa memperkosa mereka yang tak suka menuruti kehendaknya sehingga dengan demikian dia merusak masa depan gadis yang diperkosanya.

Kalau ada wanita secara suka hati menyambutnya dengan hati yang mencinta, maka dia sengaja merayu dan menjatuhkan hatinya. Tetapi bila wanita itu telah tergila-gila, apa lagi jika sudah mengandung, maka wanita itu ditinggalkannya begitu saja, dipatahkan hatinya, dihancurkan perasaannya! Itulah caranya melampiaskan kebenciannya terhadap wanita.

Akan tetapi, di istana dia merasa diperalat oleh wanita-wanita yang cantik itu. Dia merasa dijadikan alat pemuas nafsu birahi belaka, maka kini dia merasa muak. Karena inilah, dan karena hati-hatinya, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak lagi mendekati para wanita di istana. Apa lagi kini dia bercita-cita untuk menjadi raja di luar istana, raja orang kang-ouw, raja dunia persilatan!

Ketika pada malam hari itu dia melakukan pemeriksaan di sekeliling istana, seperti yang dilakukannya hampir setiap malam, tiba-tiba terdengar suara sempritan dari arah barat. Di barat adalah istana bagian puteri! Mendengar suara sempritan ini, yang disusul oleh suara sempritan lain sebagai balasan sehingga dalam waktu yang singkat saja seluruh pasukan keamanan yang bertugas jaga di semua penjuru tahu bahwa ada bahaya di istana bagian puteri, Tang Bun An cepat menggunakan kepandaiannya, berlari cepat menuju ke barat.

Ketika tiba di bagian itu, di luar tembok yang memisahkan bagian puteri dengan bagian istana lainnya yang boleh didatangi oleh para pengawal, dia melihat betapa belasan orang anak buahnya tengah mengepung dan mengeroyok dua orang yang mengenakan pakaian hitam-hitam.

Mereka adalah dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan mereka itu lihainya bukan main. Dengan permainan pedang mereka yang cepat dan mantap, mereka berdua sama sekali tidak terdesak sungguh pun dikeroyok oleh empat belas orang prajurit pengawal, bahkan Tang Bun An melihat betapa sudah ada empat orang anak buahnya menggeletak mandi darah.

"Jahanam, berani kalian mengacau di istana?!" bentak Tang Bun An.

Dia sudah mencabut pedangnya dan dia pun mengeluarkan teriakan sandi yang ditujukan kepada semua anak buahnya untuk mengepung kedua orang itu dan menjaga supaya mereka jangan sampai lolos. Segera para prajurit pengawal sudah mengepung dan tidak kurang dari enam puluh orang yang bertugas jaga malam itu, kini semua berada di sana dan mengepung ketat.

Begitu Tang Bun An terjun ke dalam pertempuran, dua orang itu langsung mengeluarkan seruan kaget. Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, menggerakkan pedangnya menyambut perwira yang dilihat dari gerakannya meloncat saja jelas memiliki kepandaian tinggi.

“Tranggg…!”

Kedua pedang bertemu dan si kumis tebal itu terhuyung ke belakang. Dia terbelalak, akan tetapi Tang Bun An tidak memberi banyak kesempatan kepadanya. Dia sudah menyerang lagi sehingga si kumis tebal terpaksa melindungi dirinya dengan memutar pedang sambil membalas. Segera mereka berkelahi mati-matian, namun si kumis itu segera mengetahui bahwa dia berhadapan dengan seorang perwira yang memiliki kepandaian tinggi.

Sementara itu orang ke dua yang mukanya kuning dikeroyok oleh belasan orang prajurit pengawal. Karena temannya tengah didesak oleh Perwira Tang dan dia harus seorang diri saja menghadapi pengeroyokan begitu banyaknya prajurit pengawal, maka dia pun mulai terdesak.

“Tangkap dia! Gunakan jaring!" terdengar Tang Bun An berseru. "Tangkap hidup-hidup!"

Mendengar ini beberapa prajurit pengawal cepat mengeluarkan sebuah jala yang memiliki delapan ujung. Setiap ujung dipegang oleh seorang prajurit. Dengan menarik ujung-ujung itu, maka jala lantas berkembang dan walau pun dia tahu akan bahayanya jala itu, namun si muka kuning tetap saja tidak dapat menjauhkan diri karena dia sedang terdesak hebat oleh pengeroyokan belasan orang yang mengepungnya dari jarak jauh dan mereka itu kini menggunakan senjata tombak panjang.

Karena tidak mampu mengelak, jala yang menyambar turun laksana payung itu menimpa dirinya. Dia meronta dan berusaha membabat jala dengan pedangnya, akan tetapi sia-sia belaka. Jala itu dibuat dengan cara istimewa, di bawah pengawasan Tang Bun An sendiri sehingga biar dibacok pun tak akan putus. Tidak lama kemudian si muka kuning itu sudah seperti seekor ikan besar dalam jala yang dilipat-lipat dan dia tidak mampu bergerak lagi.

Melihat temannya tertawan, si kumis tebal menjadi semakin panik. Tidak diduganya sama sekali bahwa di istana dia akan berhadapan dengan seorang yang begitu lihainya seperti perwira itu.

"Haiiiitttt...!"

Dia berseru nyaring dan pedangnya lantas meluncur ke arah dada Tang Bun An dengan gerakan nekat yang amat berbahaya, baik bagi lawan mau pun bagi dirinya sendiri karena serangan mematikan itu membuka pula bagian tubuhnya. Seluruh tenaga dan gerakannya ditujukan untuk menyerang, sama sekali tidak mempedulikan pertahanan diri lagi.

Tang Bun An terkejut melihat kenekatan ini. Tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari lawan, akan tetapi sungguh berbahaya baginya apa bila lawan bertindak nekat seperti ini, berani mengadu nyawa. Maka terpaksa dia melompat ke belakang untuk menghindarkan serangan nekat itu.

Saat itu digunakan oleh si kumis tebal untuk melompat ke belakang pula dengan maksud hendak melarikan diri, akan tetapi puluhan ujung tombak menghadangnya! Si kumis tebal itu maklum bahwa dia telah terjebak, seperti seekor tikus berada dalam kandang kucing.

"Ha-ha-ha, menyerah sajalah! Engkau tidak dapat melarikan diri lagi!" kata Tang Bun An sambil tertawa mengejek.

Si kumis tebal maklum bahwa bila tertawan seperti temannya, dia pun tak mungkin dapat hidup, bahkan akan mati tersiksa. Lebih baik mati dari pada tertawan. Juga temannya itu lebih baik mati dari pada membuka rahasia. Mendadak dia menubruk ke arah temannya yang masih terbungkus jala, menyerang dengan pedangnya untuk membunuh kawan itu lebih dulu sebelum dia membunuh diri.

"Tranggg...!"

Pedangnya tertangkis dari samping dan kembali perwira lihai itu yang menangkisnya. Si kumis tebal menjadi marah dan putus asa, dengan tenaga sepenuhnya dia menubruk dan menyerang ke arah perwira itu. Akan tetapi sekali ini Tang Bun An tidak meloncat mundur, melainkan mengelak ke samping kemudian sekali tangannya bergerak, pedangnya sudah memasuki lambung si kumis tebal yang segera roboh dan tewas seketika karena jantung pria ini telah tertembus pedang!

Dengan kaki tangan diborgol sehingga sama sekali tak mampu bergerak, si muka kuning dihadapkan kepada Tang Bun An di dalam kamar tahanan. Semula dia sama sekali tidak mau bicara, bahkan membuang muka saat ditanyai oleh perwira itu. Akan tetapi akhirnya si muka kuning yang kini mukanya berubah pucat pasi itu membuat pengakuan, sesudah Tang Bun An menyiksanya dengan beberapa totokan yang membuat seluruh tubuhnya terasa nyeri, tidak pingsan namun seluruh tubuh rasanya bagaikan digigit semut api atau ditusuki ribuan jarum beracun,.

Dia dan suheng-nya yang tadi tewas oleh pedang Tang Bun An adalah dua orang saudara seperguruan yang merupakan tokoh-tokoh bajak di sepanjang pantai selatan. Mereka itu diperalat oleh orang-orang Portugis, diberi hadiah dalam jumlah besar sekali dengan tugas membunuh kaisar! Orang-orang Portugis itu agaknya sangat mendendam atas kematian rekan-rekan mereka yang telah dibunuh akibat perintah kaisar.

Menteri Cang Ku Ceng tentu saja gembira sekali menerima laporan Tang Bun An tentang tertangkapnya dua orang yang mencoba membunuh kaisar. Dia sendiri lalu memeriksa si muka kuning dan setelah mendengar pengakuan bajak laut itu bahwa dia dan suheng-nya menjadi pembunuh bayaran, diperintah oleh orang-orang Portugis yang berani membayar mahal untuk membunuh kaisar, Menteri Cang kemudian memerintahkan pengadilan untuk menghukum mati orang itu.

Diam-diam Tang Bun An lantas menyuruh anak buahnya menyebar berita bahwa dia dan anak buahnya kembali sudah menyelamatkan kaisar dengan menangkap dua orang yang mencoba untuk menyelundup ke dalam istana dan membunuh kaisar!

Dengan terjadinya peristiwa itu, maka Tang Bun An berhasil membersihkan namanya dari kecurigaan Menteri Cang. Apa lagi setelah menteri ini mendengar dari para mata-matanya yang sudah disebar di dalam istana bahwa sekarang tidak pernah ada lagi bayangan pria yang berani berkeliaran di istana bagian puteri.

Bagaimana pun juga Menteri Cang masih belum merasa puas, maka pada suatu pagi dia memanggil Perwira Tang Bun An agar menghadap dia di rumahnya. Tentu saja Tang Bun An yang menerima panggilan ini menjadi gelisah sekali. Jantungnya berdebar tegang dan sejenak dia bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Apakah yang tersembunyi di balik panggilan itu? Bagaimana kalau dia melarikan diri saja? Bukankah gadis lihai ketua Cin-ling-pai itu pernah menyelidikinya karena menjadi utusan Menteri Cang? Jangan-jangan dia dipanggil untuk ditangkap!

Ahhh, tidak mungkin, dia membantah sendiri. Kalau Menteri Cang mempunyai niat buruk, tentu sudah datang pasukan menangkapnya, bukannya dia dipanggil dulu baru ditangkap. Justru dia harus memberanikan diri, memperlihatkan diri dengan berani seolah-olah orang yang tidak mempunyai kesalahan apa pun, bahkan baru saja berjasa besar menangkap calon pembunuh kaisar!

Dengan pakaian perwira yang amat rapi Tang Bun An berkunjung ke rumah gedung besar tempat tinggal Menteri Cang. Hatinya terasa lega pada waktu menteri itu menerimanya di kamar tamu, seorang diri saja. Ini berarti bahwa menteri itu tidak ingin menangkapnya dan percaya kepadanya. Jika tidak demikian tentu menteri itu tidak akan berani menerimanya seorang diri saja dan mengajaknya bicara empat mata. Hal ini juga menunjukkan bahwa pejabat tinggi itu akan membicarakan hal yang amat penting, maka mengajaknya bicara berdua saja.

Sesudah Tang Bun An memberi hormat dan dipersilakan duduk, Menteri Cang Ku Ceng yang berwibawa dan berwajah kereng namun ramah itu sejenak memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Namun Tang Bun An adalah seorang yang sangat berpengalaman dan dia pandai menyembunyikan perasaannya. Wajahnya nampak polos dan tenang saja, menyambut sinar mata pejabat tinggi itu dengan sikap wajar.

"Taijin hendak memerintahkan apakah kepada saya? Tentu ada kepentingan besar sekali sehingga Taijin memanggil saya menghadap," kata Tang Bun An langsung saja, dengan sikapnya yang hormat.

Cang Ku Ceng tersenyum. "Tang-ciangkun, maafkan kalau aku membikin engkau terkejut. Sebenarnya engkau mempunyai atasan sehingga semestinya aku menghubungi panglima atasanmu. Akan tetapi karena keamanan di kota raja menjadi tanggung jawabku sebagai orang pertama di atas panglima yang menjadi bawahanku, maka aku sengaja langsung saja mengundangmu ke sini untuk membicarakan dua hal yang sangat penting. Aku ingin minta bantuanmu untuk mengatasi dua hal itu, Ciangkun.”

Sungguh pun hatinya merasa lega karena arah percakapan itu tidak menunjukkan bahwa menteri itu mencurigainya, tapi Tang Bun An sama sekali tidak memperlihatkan perasaan itu melalui wajahnya yang tampan dan gagah. Dia telah membuat persiapan sebelumnya, telah mengatur segalanya sehingga seluruh bekas-bekas yang mungkin ada akan semua perbuatannya yang lalu di dalam istana bagian puteri, telah terhapus sebersihnya.

"Tentu saja saya akan merasa senang sekali kalau saya dapat membantu Paduka, Taijin. Katakanlah, perintah apa yang harus saya lakukan?"

"Ada dua hal penting, Ciangkun. Pertama tentang keamanan di istana bagian puteri. Tentu engkau sudah mendengar sendiri akan desas-desus yang tersiar bahwa ada pria dari luar yang sering nampak berkeliaran di dalam istana bagian puteri. Hal ini harus segara dapat dibersihkan karena kalau tidak, tentu akan mencemarkan kehormatan istana dan menjadi urusan yang sangat penting. Tentu engkau pernah mendengarnya, Ciangkun?” Sepasang mata menteri itu bersinar tajam penuh selidik.

Tang Bun An mengangguk ragu. “Memang saya sudah mendengar tentang hal itu, Taijin. Akan tetapi karena saya bertugas sebagai kepala pasukan pengawal di luar bagian puteri, maka hanya para pengawal thaikam yang berhak dan...” Dia nampak ragu.

“Tang-ciangkun, mengapa engkau ragu-ragu? Hayo cepat katakan, apa yang kau ketahui tentang berita itu?” Sang menteri mendesak.

“Maaf beribu maaf, Taijin. Memang saya pernah melakukan sesuatu berkenaan dengan berita itu, akan tetapi... maaf, saya tidak berani bercerita karena saya sudah berjanji tidak akan menceritakan hal ini kepada siapa pun..."

Menteri Cang mengerutkan alisnya yang tebal. "Tang-ciangkun, lihat kepadaku dan ingat dengan siapa engkau sedang berhadapan! Kalau mengenai keselamatan istana, akulah yang bertanggung jawab dan kedudukanku hanya di bawah kaisar! Tidak boleh ada satu pun rahasia mengenai istana yang pantas kau sembunyikan dariku, kecuali kalau engkau berjanji kepada Sribaginda Kaisar!" Menteri itu bangkit berdiri, lantas mencabut sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. "Lihat ini! Pedang kekuasaan yang kuterima dari Sribaginda Kaisar sendiri, yang memberikan kekuasaan kepadaku untuk memeriksa dan menuntut siapa pun juga di negeri ini, bahkan termasuk seluruh penghuni istana kecuali Sribaginda sendiri!"

Tentu saja Tang Bun An terkejut bukan kepalang dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut, tentu saja untuk menghormati pedang kekuasaan yang diberikan kaisar kepada menteri setia itu.

“Mohon Paduka sudi mengampuni saya."

Menteri Cang memasukkan kembali pedang kekuasaan itu ke dalam sarung pedangnya. "Duduklah kembali, Ciangkun. Nah, sekarang kau ceritakan semuanya, jangan rahasiakan sesuatu dariku."

"Maaf, Taijin,” kata Tang Bun An sesudah duduk kembali. "Tadinya tentu saja saya takut untuk melanggar janji. Saya sudah berjanji kepada Hong-houw (Permaisuri) sendiri untuk tidak membocorkan rahasia ini."

"Hemm, tenanglah. Hong-houw sendiri tak akan marah jika engkau menceritakan semua kepadaku. Sebenarnya apa yang telah terjadi, dan apa yang kau ketahui tentang desas-desus mengenai laki-laki yang merusak dan menodai nama baik serta kehormatan istana bagian puteri itu?"

Tang Bun An sengaja menghela napas panjang, seakan-akan dia merasa terpaksa harus menceritakan semua itu. Diam-diam dia amat bersyukur bahwa dia telah mempersiapkan segalanya, bahkan dia telah cepat-cepat mengatur segala siasat untuk membersihkan diri sesudah pertemuannya dengan Cia Kui Hong,.

"Baiklah, Taijin, akan saya ceritakan semuanya dengan terus terang karena saya percaya sepenuhnya bahwa Paduka cukup bijaksana dan terhormat untuk tidak menceritakan hal ini kepada orang lain. Kalau Paduka melakukan itu dan hal ini diketahui orang lain, berarti saya sudah berdosa terhadap Sang Permaisuri, kepada siapa saya pernah berjanji untuk tidak akan menceritakan apa yang terjadi kepada siapa pun juga."

"Hemm, kau kira aku ini orang apa? Ceritakanlah, selain aku sendiri takkan ada seorang pun yang akan mendengar akan apa yang terjadi di istana bagian puteri itu."

"Taijin, terus terang saja, hati saya merasa penasaran ketika saya mendengar mengenai desas-desus adanya bayangan pria yang berkeliaran di istana bagian puteri. Peristiwa itu merupakan tamparan pada muka saya, juga merupakan tantangan. Walau pun saya tidak mungkin dapat masuk istana bagian puteri tanpa ijin, akan tetapi bagaimana saya dapat menangkapnya tanpa memasuki daerah terlarang itu mengingat penjahat itu beroperasi di sana? Untunglah kesempatan itu tiba ketika Hong-houw memanggil saya menghadap dan beliau lalu memberi perintah rahasia kepada saya supaya menangkap penjahat itu, Taijin. Perintah itu diberikan kepada saya baru-baru ini dan saya segera melakukan penyelidikan di waktu malam sehingga akhirnya saya berhasil menangkap orang itu."

"Ahhh! Engkau berhasil menangkapnya? Siapakah dia dan sekarang bagaimana?" tentu saja Cang Ku Ceng terkejut dan juga girang mendengar keterangan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Tadinya dia curiga bahwa perwira ini yang menjadi pria rahasia itu, ternyata kini malah yang menangkap penjahatnya!

"Dia seorang prajurit pengawal thai-kam, Taijin."

"Ahh? Tetapi desas-desus itu mengatakan bahwa pria rahasia itu telah mengganggu para wanita penghuni istana bagian puteri! Lalu bagaimana mungkin bila dia seorang thai-kiam (kebiri)?"

"Tadinya saya juga merasa heran bukan main, Taijin. Akan tetapi setelah saya melakukan pemeriksaan dengan seksama, ternyata dia bukan seorang kebiri sepenuhnya. Agaknya pengebirian terhadap dirinya sudah gagal dan tidak sempurna, sehingga dia masih dapat menjadi seorang laki-laki normal. Dan bukan menggoda para puteri saja yang dia lakukan di sana, tapi terutama sekali untuk mencuri barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan para puteri."

“Keparat! Di mana dia sekarang?"

"Atas perintah Hong-houw saya telah membunuh penjahat itu, Taijin. Hong-houw memberi perintah kepada saya untuk membunuhnya dan merahasiakan semua ini, demi menjaga nama baik dan kehormatan istana bagian puteri. Kalau paduka ingin membuktikan, saya dapat menunjukkan kuburannya dan…”

"Tidak perlu. Aku dapat menemui Hong-houw dan minta keterangan dari beliau mengenai kebenaran laporanmu ini." Sambil berkata demikian Cang Ku Ceng menatap tajam wajah perwira itu. Namun Tang Bun An bersikap tenang, bahkan berkata dengan tegas.

"Itu malah lebih baik lagi, Taijin. Asal Taijin tidak lupa mintakan ampun bahwa saya telah membuka rahasia ini kepada Taijin."

“Baiklah, nanti akan kusampaikan kepada beliau. Bagaimana pun juga aku percaya akan laporanmu ini, Tang-ciangkun dan hatiku lega bukan main mendengar bahwa penjahat itu sudah dihukum. Sekarang ada soal ke dua, dan kuminta engkau suka membantuku dalam hal ini."

"Apakah urusan itu, Taijin? Tentu saja saya selalu siap membantu Paduka.”

"Kami sedang mencari dua orang tokoh kang-ouw. Mereka adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, bahkan salah seorang di antara mereka pernah membantu pemberontakan di masa lampau. Seorang kebetulan mempunyai nama keturunan yang sama denganmu, Ciangkun. Namanya Tang Cun Sek dan orang ke dua bernama Sim Ki Liong. Nah, kami ingin agar kini engkau suka membantu kami mencari di mana adanya kedua orang itu. Baru-baru ini mereka itu memimpin perkumpulan Kim-lian-pang di Kim-lian-san. Akan tetapi karena bermusuhan dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mereka lalu dikeroyok sehingga perkumpulan mereka hancur dan mereka melarikan diri. Nah, kuharap engkau akan dapat menemukan mereka untuk kami, Ciangkun."

Kalau saja Tang Bun An bukan seorang gemblengan, tentu kata-kata itu sudah membuat dia terlonjak dari tempat duduknya. Dua orang muda yang dicari oleh Cang Taijin adalah dua orang pembantunya yang baru saja diterimanya, bahkan seorang di antara mereka adalah putera kandungnya sendiri!

Otaknya yang cerdik segera bekerja cepat. Dia maklum bahwa menteri yang seorang ini cerdik sekali. Jangan-jangan Cang Taijin sudah ‘mencium’ bahwa dia telah menerima dua orang muda itu sebagai pembantunya!

"Taijin memiliki banyak sekali pembantu, apakah di antara para penyelidik Taijin itu tidak ada yang dapat mengetahui di mana mereka kini berada? Di manakah mereka berdua itu untuk terakhir kalinya diketahui oleh para pembantu Taijin?"

“Para penyelidikku kehilangan jejak mereka setelah pertempuran antara perkumpulan itu. Karena engkau sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, maka kurasa engkau akan lebih mudah untuk dapat menemukan tempat mereka bersembunyi."

"Sayang sekali akhir-akhir ini saya telah terputus sama sekali dari dunia persilatan, Taijin. Kalau saya masih bergerak di dunia persilatan, tentu akan mudah saja mencari dua orang tokoh kang-ouw itu. Akan tetapi kalau Paduka menyetujui, maka saya akan berhenti dari pekerjaan saya sebagai perwira pasukan pengawal. Menurut saya, dengan cara lain saya juga dapat mengabdi untuk Sribaginda Kaisar dan negara."

Cang Taijin membelalakkan matanya. Dia benar amat terkejut mendengar ini. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa perwira yang telah banyak jasanya ini tiba-tiba saja ingin mengundurkan diri.

"Eh? Apa maksudmu, Tang-ciangkun? Bagaimana engkau bisa mengabdi kepada negara kalau engkau mengundurkan diri dari kedudukanmu yang sekarang?"

"Taijin, saya tahu bahwa negara kini sedang mengusahakan ketentraman di antara rakyat. Banyak ancaman bermunculan dari orang-orang kulit putih. Bahkan baru saja orang kulit putih rnengirim pembunuh bayaran yang mencoba hendak membunuh Sribaginda Kaisar. Saya kira, selain rakyat jelata juga penting sekali untuk mempersatukan dunia kang-ouw. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan merupakan sebuah kekuatan yang amat hebat. Kalau saja dunia kang-ouw dapat dipersatukan, lalu kesatuan itu dapat dlmanfaatkan untuk membantu pemerintah, bukankah hal itu baik sekali dan kita mempunyai pertahanan yang amat kuat? Bagaimana pendapat Paduka, Taijin?"

Menteri itu mengangguk-angguk. Dia dapat melihat kebenaran yang dikemukakan perwira itu. Dia tahu bahwa di luar istana memang ada kekuatan yang amat dahsyat, yaitu dunia persilatan, para tokoh kang-ouw dan para pendekar persilatan. Akan tetapi mereka tidak mudah bersatu.

Jangankan para tokoh kang-ouw yang terdiri dari mereka yang menjadi penghuni dunia hitam dan bergelimang kejahatan, juga mereka yang tidak peduli akan semua itu, hidup bebas menurut kehendak sendiri tanpa mengindahkan hukum walau pun golongan ke dua ini bukan pula orang-orang jahat, bahkan para pendekar pun kadang tidak dapat bersatu dan bahkan saling bermusuhan.

Ada pula golongan pendekar yang bahkan acuh dan tak peduli terhadap pemerintah, tidak suka membantu, biar pun ada pula golongan pendekar yang suka membantu pemerintah, misalnya dalam menumpas gerombolan pemberontak. Tetapi ini pun mereka lakukan bila gerombolan pemberontak itu termasuk orang-orang jahat. Maka betapa kuatnya keadaan negara kalau dunia persilatan, baik itu golongan kang-ouw mau pun para pendekar, dapat dipersatukan dan semua kesatuan itu membantu pemerintah!

"Hemm, aku dapat melihat kebenaran dalam ucapanmu. Lalu apa kehendakmu dan apa yang akan kau lakukan setelah engkau mengundurkan diri?"

“Saya ingin berjuang untuk memperkuat negara melalui dunia kang-ouw, Taijin. Saya ingin mencoba menghimpun segenap kekuatan di dunia persilatan, menyatukan perkumpulan-perkumpulan, partai-partai dan semua aliran persilatan, juga mengurangi atau membatasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan, kemudian mengarahkan semua kekuatan itu untuk menjaga keamanan negara di dalam menghadapi ancaman orang-orang asing kulit putih. Dengan kekuatan itu saya juga dapat mempersatukah semua bajak sungai dan laut, untuk membersihkan lautan dari bajak-bajak asing."

Menteri Cang mengerutkan alisnya dan meraba-raba dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis halus. "Hemm, lalu apa kaitan urusan ini dengan aku sebagai menteri? Mengapa engkau menceritakannya kepadaku?"

"Taijin adalah seorang menteri yang bijaksana dan amat terkenal, dan dapat saya anggap sebagai wakil kaisar, wakil pemerintah. Kalau sebelumnya saya sudah memberi tahukan rencana saya, lantas mendapatkan restu dari Paduka, tentu kelak tidak akan timbul salah duga dari pihak pemerintah kalau saya mulai bertindak mempersatukan semua kekuatan di dunia kang-ouw. Jika tidak saya beri tahu lebih dulu, mungkin saja timbul salah paham dan disangka bahwa saya menghimpun kekuatan untuk melakukan pemberontakan.”

Kembali Cang Ku Ceng mengangguk-angguk biar pun alisnya berkerut. "Niatmu memang baik sekali, Tang-ciangkun. Akan tetapi tentu saja kami tidak dapat memberi restu secara resmi tentang bagaimana sikap pemerintah kelak terhadap usahamu itu, tentu saja semua tergantung dari sikap dan sepak terjangmu sendiri. Kalau memang membantu pemerintah dan tidak membahayakan pemerintah, tentu pemerintah juga tak akan merasa keberatan."

"Terima kasih, Taijin. Kalau begitu saya hendak mengajukan permohonan kepada atasan untuk mengundurkan diri. Mohon bantuan Paduka untuk menjelaskan kepada panglima dan juga kepada yang mulia Sribaginda Kaisar mengapa saya mengundurkan diri, supaya tidak menimbulkan kecurigaan dan salah sangka."

Cang Ku Ceng hanya mengangguk-angguk, meski di dalam hatinya dia masih meragukan kemurnian niat hati orang di hadapannya yang dianggapnya penuh rahasia itu. Sesudah perwira itu mengundurkan diri dia ingin menyelidiki kebenaran laporan Tang-ciangkun ini, maka dia pun mohon menghadap permaisuri di istana. Dan dari mulut permaisuri sendiri dia mendengar bahwa semua yang diceritakan oleh Tang-ciangkun tentang thai-kam yang mengacau di istana itu memang benar!

Tentu saja Cang Ku Ceng tidak tahu bahwa semua ini sudah diatur oleh Tang Bun An. Dengan ‘senjata’ perhiasan yang pernah diambilnya dari permaisuri, Tang Bun An dapat memaksa permaisuri agar membuat pengakuan seperti itu untuk melindunginya. Dengan ancaman bahwa jika permaisuri tidak membantunya maka dia akan membuat pengakuan bahwa sang permaisuri juga menjadi kekasih gelapnya, dengan bukti perhiasan yang akan dikatakannya sebagai hadiah dan uang jasa dari permaisuri, maka wanita bangsawan itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenuhi permintaannya. Bagaimana pun juga sang permaisuri sudah merasa lega dan puas ketika Tang Bun An berjanji bahwa istana putri tidak akan mengalami gangguan lagi.

Demikianlah, dengan lancar permohonan berhenti Tang-ciangkun lantas diijinkan dan dia pun berhenti sebagai perwira. Dan apa yang kemudian dilakukannya sehubungan dengan berhentinya sebagai perwira itu sungguh mengejutkan semua orang.

Demikian banyak dia mengumpulkan selir, muda-muda dan cantik-cantik pula, tidak kalah dibandingkan sekumpulan selir para pangeran atau raja muda. Dan begitu dia berhenti, dia bubarkan semua selirnya itu! Dia menyuruh mereka pulang ke orang tuanya masing-masing dengan membekali pesangon yang cukup banyak, tidak mempedulikan hujan air mata para wanita yang benar-benar jatuh cinta kepada suami mereka itu!

Bahkan terdapat perasaan puas di hati Tang Bun An melihat para wanita itu menangisi nasib mereka, sepuas bila dia meninggalkan seorang gadis yang baru saja diperkosanya, atau meninggalkan seorang wanita yang dahulu pernah menjadi kekasihnya lalu ditinggal pergi begitu saja kalau wanita itu mengandung atau kalau dia sudah bosan kepadanya. Kesadisan dan kekejamannya terhadap wanita yang timbul karena sakit hatinya ternyata masih tinggal di dalam dadanya dan tidak pernah lenyap!

Setelah menjual semua harta miliknya, menjadikannya sekantung uang emas, Tang Bun An merasa bebas seperti burung di udara dan dia pun segera membangun pondoknya di puncak bukit di antara hutan lebat itu, dibangunnya menjadi sarang perkumpulannya yang baru. Perkumpulan ini dia beri nama Ho-han-pang (Perkumpulan Orang Gagah)! Sungguh sebuah nama yang muluk bukan main, dan seolah hendak mencerminkan iktikad baiknya, yaitu dia hendak menghimpun orang-orang gagah, bukan penjahat-penjahat!

Tentu saja ini disesuaikan dengan siasatnya, seperti yang dibicarakannya dengan Menteri Cang. Dia bukan orang bodoh, dia bukan pemberontak. Tidak, dia memang ingin menjadi Bengcu, ingin menjadi raja tanpa mahkota, merajai dunia kang-ouw, akan tetapi dia juga hendak merangkul para pejabat tinggi, hendak merangkul pemerintah demi keuntungan perkumpulannya.

Dia merasa beruntung sudah mendengar bahwa Cang Taijin mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dua orang pembantu-pembantu utamanya. Sebagai seorang ahli di dalam ilmu penyamaran, maka dia lalu membuatkan topeng tipis, setipis kulit kepada dua orang pemuda itu sehingga kini bentuk wajah Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek sudah berubah. Masih nampak muda dan tampan, akan tetapi sungguh telah berbeda jauh karena topeng tipis itu mengubah bentuk mata, hidung dan mulut mereka!

Setelah mengajak mereka bercakap-cakap, dia pun dapat menduga bahwa yang mencari dua orang muda itu tentulah Cia Kui Hong yang pernah menjadi utusan menteri itu. Dan menurut dua orang pemuda itu, memang beralasan sekali kalau gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari mereka.

Sim Ki Liong dicari karena minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa lari pusaka Gin-hwa-kiam, sedangkan Tang Cun Sek melarikan pusaka Hong-cu-kiam dari Cin-ling-pai. Walau pun kedua pedang pusaka itu kini sudah dirampas oleh Hay Hay, tentu ketua Cin-ling-pai itu belum mengetahuinya dan masih terus mencari mereka.

Berkat nama besar Tok-sim Mo-li dan hubungannya yang luas, maka sebentar saja nama Ho-han-pang dikenal oleh dunia kang-ouw serta para tokoh kang-ouw, dan baru melihat hadirnya Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi sebagai seorang pembantu Bengcu saja di perkumpulan itu, sudah banyak perkumpulan kang-ouw lainnya yang menyatakan takluk dan mengakui Ho-han-pang sebagai pimpinan.

Sebagai Bengcu, Tang Bun An kini kembali menyamar sebagai Han Lojin, berkumis dan berjenggot! Sebentar saja terkenallah nama Ho-han-pang dengan bengcu-nya, yaitu Han Lojin. Padahal Han Lojin sendiri jarang turun tangan sendiri. Cukup dengan ketiga orang pembantunya itu saja, dan semua urusan bereslah! Kalau ada ketua perkumpulan yang membangkang dan tidak mau mengakui Ho-han-pang, maka salah seorang di antara para pembantu itu turun tangan dan ketua itu pasti dapat ditundukkan dengan amat mudahnya.

Apa lagi ketika melihat betapa Ho-han-pang tidak seperti perkumpulan kang-ouw lainnya, tapi memiliki hubungan yang baik dengan para pejabat, maka hal ini membuat para tokoh kang-ouw semakin percaya. Dalam waktu beberapa bulan saja Ho-han-pang telah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan besar, berpusat di Bukit Bangau, di mana sebuah bangunan besar berdiri di bawah lindungan hutan yang lebat.

Untuk memberi kesan baik, Han Lojin dan tiga orang pembantunya yang mengumpulkan anak buah yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai ilmu silat yang lumayan, segera memberi tugas kepada anak buah itu untuk melakukan ‘pembersihan’ terhadap penjahat-penjahat yang suka mengacau kehidupan rakyat di kota raja dan daerah sekitarnya. Mulai terkenallah nama Ho-han-pang sebagai sebuah perkumpulan yang baik, yang menentang kejahatan, membantu pemerintah dan melindungi rakyat. Perkumpulan itu segera dikenal sebagai perkumpulan para ho-han (pahlawan)...!


                  ***************

Menteri Cang Ku Ceng bukanlah seorang pembesar yang bodoh. Meski pun dia percaya akan semua alasan dan pendapat dari bekas Perwira Tang Bun An yang mengundurkan diri dan berniat untuk mempersatukan para tokoh di dunia kang-ouw, diam-diam pejabat tinggi ini menyebar para penyelidik untuk mengamati gerak-gerik bekas perwira itu. Maka dia pun tahu akan segala perkembangan mengenai Ho-han-pang. Bahkan dia mendengar pula bahwa Perwira Tang Bun An itu kini tidak kelihatan lagi dan yang menjadi ketua Ho-han-pang adalah seorang yang setengah tua yang disebut Han Lojin.

Mendengar laporan penyelidiknya tentang orang bernama Han Lojin itu, Menteri Cang lalu teringat akan Han Lojin yang pernah membantu pasukan pemerintah membasmi Lam-hai Giam-lo. Diam-diam dia pun merasa kagum dan semakin percaya. Bagaimana pun penuh rahasia, orang yang pernah menjadi Perwira Tang Bun An dan yang juga pernah muncul sebagai Han Lojin itu jelas memperlihatkan sepak terjang yang membantu pemerintah.

Apa lagi ketika mendengar laporan tentang sepak terjang orang-orang Ho-han-pang yang melakukan pembersihan dan menundukkan para penjahat sehingga kota raja dan daerah di sekitarnya menjadi aman, maka hati pejabat tinggi itu merasa kagum dan senang. Dia pun memesan kepada para pejabat pemerintah agar tidak mengganggu Ho-han-pang dan hanya mengamati saja bagaimana sepak terjang mereka. Selama mereka tak melakukan kejahatan, juga tidak mengganggu keamanan dan ketentraman, maka mereka dianggap sebagai perkumpulan orang-orang baik dan patut dibiarkan hidup, bahkan dibantu.


                  ***************

SEMENTARA itu, Kui Hong yang tinggal dan menumpang di rumah Menteri Cang Ku Ceng merasa rikuh sendiri setelah lebih dari satu bulan dia tinggal di situ, belum juga anak buah menteri itu berhasil menemukan dua orang musuh besarnya yang dicarinya. Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek seakan-akan lenyap ditelan bumi sehingga tak seorang pun di antara para penyelidik yang disebar Menteri Cang dapat menemukan mereka. Dia merasa rikuh karena keluarga pejabat tinggi itu amat ramah dan baik kepadanya, apa lagi melihat sikap Cang Sun yang semakin terang-terangan menyatakan tergila-gila dan mencintanya!

Sore hari itu, ketika dia duduk melamun seorang diri di dalam taman di belakang rumah keluarga Cang yang luas, dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk menghadap keluarga itu dan berpamit. Dia akan melanjutkan perjalanan, terutama mencari sendiri dua orang yang telah melarikan pedang pusaka dari Cin-ling-pai dan dari Pulau Teratai Merah itu.

Matahari telah mulai condong ke barat, akan tetapi belum terlalu larut walau pun sinarnya sudah mulai lemah. Sinar matahari sore itu masih mampu menerobos antara celah-celah daun pohon sehingga taman bunga itu seolah-olah bermandikan cahaya yang lemah akan tetapi masih hangat itu.

Indah sekali keadaan di taman itu. Burung-burung mulai beterbangan pulang ke sarang mereka di pohon-pohon, untuk berlindung di sarang yang aman dan hangat kalau malam gelap menjelang tiba. Dua ekor kelinci berkejaran dan menyusup ke dalam semak-semak. Seekor ular sebesar ibu jari kaki yang hitam dan mengkilap, berlenggak-lenggok menuju rumpun semak belukar pula, dengan lidah yang kadang terjulur keluar dengan cepatnya. Kepala ular itu berbentuk bulat telur, tidak segitiga. Bukan ular beracun, dan kulitnya yang hitam mengkilap itu indah bukan main, indah dan bersih seperti baru saja digosok dengan minyak.

Semua makhluk pulang ke sarang masing-masing, pulang ke rumahnya masing-masing, pikiran ini menyelinap ke dalam benak Kui Hong dan dia pun mengerutkan alisnya. Hanya dia seorang yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu. Pulang! Ke mana?

Ayah bundanya, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama adik tirinya, Cia Kui Bu, sudah pergi meninggalkan Cin-ling-san karena mereka ingin mencari hawa baru dan sementara ini hendak tinggal di Pulau Teratai Merah. Ke sana menyusul ayah ibunya? Ah, dia bukan anak kecil lagi. Dia harus berani hidup sendiri! Dia bukan anak-anak yang selalu mohon perlindungan ayah dan minta dimanjakan ibu.

Kembali ke Cin-ling-san? Tentu sekali waktu dia harus kembali ke situ. Dia adalah pangcu (ketua) Cin-ling-pai, walau pun sebenarnya dia tidak suka menjadi ketua karena banyak urusan dan tidak bebas. Kalau dahulu dia ikut memperebutkan kedudukan pangcu, hal itu dilakukan secara terpaksa karena dia tak ingin melihat Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai.

Kui Hong menarik napas panjang. Bagaimana seorang gadis seperti dia, seorang wanita, dapat benar-benar merasakan ‘pulang rumah’ kalau tidak memiliki rumah tangga sendiri? Dan memillki rumah tangga berarti menikah! Akan tetapi, dengan siapa?

Banyak sudah dia menemui pria di dalam hidupnya. Pria-pria yang sungguh merupakan pemuda gagah perkasa dan tampan, yang memperlihatkan sikap jatuh cinta kepadanya, atau setidaknya suka kepadanya. Dalam setiap perjalanannya selalu saja ia bertemu pria muda yang memandang kepadanya dengan perasaan hati seperti sebuah kitab terbuka. Demikian jelas pandang mata itu membayangkan keadaan hati yang tertarik!


cerita silat online karya kho ping hoo


Sudah puluhan orang pemuda, bahkan mungkin ratusan. Bahkan banyak pula yang ingin mendapatkan dirinya, secara halus mau pun kasar. Terbayanglah wajah-wajah para muda itu berderet-deret. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, Hay Hay dan kini Cang Sun.


Ya, putera Menteri Cang itu cinta padanya! Bahkan seluruh anggota keluarga Cang suka kepadanya dan mengharapkan dia menjadi isteri Cang Sun. Dia pun bisa membayangkan bagaimana jika dia menjadi isteri Cang Sun. Dia akan hidup mulia, terhormat, kaya raya, menjadi seorang wanita bangsawan yang tinggal di dalam gedung istana, ke mana pun dikawal pasukan, ingin apa pun tinggal perintah saja karena puluhan orang pelayan setiap saat siap melayaninya.

“Ahh, seperti burung di dalam sangkar emas...," dia berbisik dan menarik napas panjang. Bukan, kehidupan macam itu bukan untuknya! Kalau pun harus berumah tangga, dia lebih senang hidup bebas dan menghadapi banyak tantangan hidup, tidak enak-enak seperti itu, bermalas-malasan!

Tiba-tiba gadis itu sadar dari lamunannya. Dia mendengar langkah kaki orang! Ketika dia menengok, kiranya yang datang menghampirinya adalah Cang Sun! Pemuda itu dengan tenang melangkah menghampirinya, seperti biasa dengan sikap yang lembut, sopan dan ramah sambil mulutnya tersenyum.

Seorang pemuda yang tampan, berpakaian rapi, pembawaannya tenang dan berwibawa, halus dan lembut, seorang pemuda yang telah dewasa dan tentu akan menarik hati setiap orang wanita, apa lagi kalau diketahui bahwa dia adalah putera tunggal seorang menteri yang amat terkenal, Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal amat bijaksana dan mempunyai kekuasaan besar!

"Selamat sore, Hong-moi. Asyik melamunkan apa sore-sore begini seorang diri di dalam taman?"

Kui Hong bangkit dan tersenyum. Dia adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup bebas dan sudah berkecimpung di dunia kang-ouw, mempunyai banyak pengalaman dan sudah terbiasa dengan sikap terbuka, bahkan mengarah kepada sikap lincah jenaka dan kadang berandalan. Akan tetapi, sejak dia berdiam di rumah keluarga Cang, keluarga bangsawan tinggi yang bergelimang kehormatan, mau tidak mau dia pun membatasi diri dan sikapnya juga sopan, meski pun masih ramah dan lincah jenaka.

"Aihh, kiranya Toako yang datang. Selamat sore, Cang-toako."

Walau pun pemuda itu sering kali mendesaknya agar bersikap kekeluargaan dan ramah, namun tetap saja Kui Hong merasa rikuh untuk bersikap terlalu akrab. Rasanya canggung bila dia menyebut nama kecil pemuda itu, terlalu akrab menyebutnya Sun-koko misalnya. Maka, biar pun dia telah menghentikan sebutan kongcu (tuan muda) dan menyebut toako (kakak), namun dia menyebut nama keluarga pemuda itu, bukan kakak Sun, melainkan kakak Cang!

“Apa yang kau lamunkan, Hong-moi?” Pemuda itu duduk di atas bangku, di bagian ujung, dan Kui Hong juga duduk kembali di ujung yang lain.

“Aku melihat burung beterbangan menuju ke sarang, dan tiba-tiba aku merasa rindu untuk pulang, Toako.”

“Pulang ke mana, Hong-moi?”

Gadis itu mengangkat muka memandang. Karena pada saat itu Cang Sun juga sedang menatap wajahnya, maka kedua pasang mata itu bertemu dan Kui Hong melihat betapa sepasang mata pemuda itu dengan lembut membayangkan kasih sayang besar. Pemuda bangsawan ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya, dan kasih sayang dan kagumnya terbayang jelas dalam pandang matanya.

"Ahh, toako. Ke mana lagi kalau bukan ke tempat tinggal keluargaku? Di Cin-ling-san atau di Pulau Teratai Merah karena saat ini mungkin ayah ibuku masih berada di sana."

"Aihh, kukira tadi…”

"Apa yang kau kira, Cang-toako?"

"Kukira... ahh, betapa akan senangnya kalau rasa rindumu itu kau tujukan kepada... ehh, diriku dan arti pulang itu ke sini, bukan ke mana-mana. Betapa akan bahagia rasa hatiku bila engkau pun rindu kepadaku seperti aku yang siang malam selalu merindukan dirimu, Hong-moi..."

"Hemm, Toako, apa yang kau katakan ini?" Kui Hong berkata dengan suara mengandung teguran karena baru sekarang pemuda ini begitu terang-terangan menyatakan perasaan hatinya.

"Hong-moi, masih perlukah aku menjelaskan kepadamu? Aku rindu kepadamu karena aku cinta padamu, Hong-moi. Ahh… aku selalu membayangkan engkau bersanding denganku selamanya, sebagai isteriku tercinta, sebagai ibu dari anak-anakku."

"Cukup, Cang-toako. Mari kita bicara serius. Coba katakan, mengapa engkau jatuh cinta kepadaku? Engkau adalah putera seorang bangsawan terkenal, memiliki kedudukan yang terhormat, engkau juga terpelajar dan kaya raya, dan kalau engkau menghendaki bahkan puteri kaisar pun mungkin dapat menjadi isterimu. Tapi mengapa engkau mendekati aku, seorang gadis ahli silat, gadis kang-ouw yang bergelimang kekerasan? Kenapa? Aku ingin sekali mengetahuinya, dan aku percaya bahwa engkau akan membuat pengakuan dengan sejujurnya, Toako."

Cang Sun menarik napas panjang. Alangkah manisnya gadis ini bila mana bersikap wajar seperti itu, berani mengeluarkan semua perasaan hatinya tanpa disembunyikan lagi, tidak seperti kaum wanita pada umumnya, terutama wanita bangsawan yang sudah terbiasa menyembunyikan kepribadiannya di balik kesopanan dan kehormatan pura-pura yang palsu.

"Pertanyaan yang baru kau ajukan itu saja telah mengandung keterbukaan dan kejujuran, Hong-moi. Oleh karena itu aku pun mencoba untuk keluar dari sangkar kesopanan pura-pura yang selama ini semenjak aku kecil sudah mengurung diriku dalam lingkungan kami. Memang betul ucapanmu tadi, bila aku menghendaki, mudah bagiku untuk mendapatkan jodoh seorang gadis bangsawan, bahkan mungkin puteri kaisar. Namun terus terang saja aku tidak tertarik kepada para gadis yang lemah itu. Melihat engkau aku seperti melihat setangkai bunga yang segar dan sehat. Kalau aku dapat hidup di sampingmu selamanya, aku akan merasa aman. Engkau tentu tahu, kehidupan ayahku sebagai seorang menteri selalu terancam bahaya. Kalau ada seorang seperti engkau ini yang teramat lihai, maka kami sekeluarga akan selalu merasa aman, juga keselamatan kami selalu terjamin. Nah, itulah hal-hal pada dirimu yang membuat aku jatuh cinta kepadamu."

Kui Hong pun termenung. Ucapan itu memang jujur, dan jelas membayangkan apa yang tersembunyi di balik cinta kasih pemuda bangsawan itu terhadap dirinya. Justru karena ia gadis kang-ouw, karena ia memiliki ilmu silat tinggi dan boleh diandalkan sebagai jaminan keselamatan, maka Cang Sun jatuh cinta kepadanya. Bagaimana andai kata aku seorang gadis lemah seperti para puteri itu?

Pertanyaan ini hanya dia ajukan kepada dirinya sendiri, di dalam batin pula. Dia tidak tega untuk mengajukan pertanyaan itu kepada Cang Sun yang sudah bersikap jujur. Jawaban pemuda itu tentu tidak enak. Kalau tidak jujur dia akan kecewa, namun kalau jujur hanya akan menyakitkan hati mereka berdua.

Cang Sun jatuh cinta kepadanya bukan karena pribadinya, namun karena kelihaiannya! Dan hal ini mendatangkan rasa lega di hatinya. Dia sendiri tidak mencinta Cang Sun, dan kenyataan bahwa sesungguhnya pemuda itu pun tidak mencintanya, tetapi hanya tertarik oleh kepandaiannya, membuat hatinya lega. Cang Sun takkan menderita nyeri hati kalau cintanya ditolak.

"Terima kasih atas kejujuran pengakuanmu dan atas perhatianmu, Cang-toako. Kini aku pun tidak ragu-ragu lagi untuk menjawab sejujurnya. Ketahuilah, Toako, bahwa aku bukan sekedar basa-basi ketika mengatakan kepada Paman dan Bibi Cang bahwa sama sekali aku belum berminat akan perjodohan. Selain itu, walau pun aku sangat kagum dan suka bersahabat denganmu, tetapi terus terang saja rasanya dalam hatiku tidak ada perasaan cinta terhadap dirimu. Kita dapat saja bersahabat atau bersaudara, tetapi bukan berjodoh. Nah, lega hatiku sudah dapat berterus terang kepadamu, Toako."

Tepat seperti yang diduganya, pengakuannya yang terus terang bahwa dia tidak mencinta pemuda itu tidak membuat wajah pemuda tampan itu pucat pasi atau menimbulkan sinar duka pada pandangan matanya, melainkan membuat wajah itu berubah kemerahan dan pada matanya hanya terbayang perasaan kecewa dan keheranan.

"Hong-moi… betapa pun tidak enaknya tapi kuterima kejujuranmu ini. Katakanlah, apakah di sana sudah ada seorang pria yang memenuhi hatimu?"

Ditanya demikian, wajah Kui Hong juga menjadi kemerahan. Lalu terbayanglah beberapa wajah pria yang pernah menyatakan jatuh cinta kepadanya. Wajah Sim Ki Liong, wajah Tang Cun Sek, dan akhirnya yang tinggal hanyalah wajah Hay Hay!

Dan timbullah perasaan rindu yang amat sangat terhadap pemuda ugal-ugalan yang mata keranjang itu! Hay Hay! Ah, betapa rindu hatinya kepada pemuda itu, dan baru sekarang, setelah ditanya demikian oleh Cang Sun, dia dapat melihat kenyataan bahwa sebenarnya selama ini hanya Hay Hay yang memenuhi hatinya, hanya pemuda ugal-ugalan itu yang dicintanya, walau pun hal ini dicobanya untuk disangkal dan ditentangnya sendiri.

"Benar, Toako, dan... maafkan aku..."

Satu di antara kenyataan yang terasa amat pahit dan menyakitkan hati adalah mendengar pengakuan seorang gadis yang dicinta bahwa dia mencinta orang lain. Akan tetapi, berkat lingkungan hidup yang selalu bertopeng kesopanan, Cang Sun dapat menutupi rasa nyeri di hatinya dengan senyum, dan dia pun mengangguk-angguk,

"Aku dapat mengerti, Hong-moi."

Apa yang kita namakan ‘cinta’ antara pria dan wanita itu selalu mendatangkan dua hal yang bertentangan, puas atau kecewa, senang atau susah. Ini membuktikan bahwa yang kita agung-agungkan itu sebenarnya hanyalah nafsu belaka. Nafsu adalah gairah, adalah ‘si-aku yang ingin senang’.

Nafsu selalu berpamrih, karena bersumber pada pikiran yang menciptakan si aku lewat pengalaman dan pengetahuan. Pamrihnya hanya satu, sungguh pun kadang terselubung dan mengenakan beribu macam kedok, yaitu ingin mencapai sesuatu, ingin memperoleh sesuatu, dan ‘sesuatu’ ini pasti yang menyenangkan dirinya.

Tidak mengherankan kalau kemudian muncul kecewa dan duka ketika keinginan itu tak tercapai. Kalau keinginan itu terlaksana maka timbullah kepuasan. Kepuasan sementara, selewatan saja. Karena nafsu selalu menghendaki lebih. Bukti bahwa yang kita anggap sebagai ‘cinta suci’ antara pria dan wanita itu pada hakekatnya hanyalah nafsu, dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh cinta itu.

Cinta antara pria dan wanita dimulai dari pandang mata, saling melihat. Dari sini timbul perasaan tertarik, karena apa yang dilihatnya itu menyenangkan hatinya, cocok dengan seleranya. Sesudah saling tertarik lalu timbul keinginan untuk saling memiliki. Kemudian bermunculan akibat dari nafsu ini. Cemburu, patah hati, duka, benci, pertentangan dan sebagainya.

Betapa banyaknya kejadian di mana dua orang yang tadinya bersumpah saling mencinta hingga mati, setelah menjadi suami isteri bertengkar setiap hari, bahkan berakhir dengan perceraian dan saling membenci! Sungguh aneh kalau cinta kasih murni berakhir menjadi kebencian. Kalau nafsu, sama sekali tidak mengherankan bila kemudian mendatangkan akibat duka dan kebencian.

Banyak orang melihat kenyataan ini! Mereka melihat bahayanya nafsu yang terselubung sebagai ‘cinta suci’ ini. Untuk menghindarkan diri dari duka, dan untuk membikin putus ikatan ini, ada orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari asmara ini. Mereka tidak mau melakukan hubungan antara pria dan wanita, lantas menjadi perjaka atau perawan selama hidup, tidak mau atau pantang melakukan hubungan sex.

Apakah dengan cara demikian berarti mereka telah terbebas dari nafsu? Apakah nafsu itu hanya muncul melalui gairah birahi saja? Apakah kalau sudah begitu kita akan dapat bebas dari duka? Bagaimana dengan nafsu dalam bentuk lain, keinginan si aku dalam bentuk lain?

Masih ada seribu satu macam cara bagi si aku untuk mengejar keinginannya. Bahkan satu di antaranya adalah ‘keinginan bebas dari nafsu sex’ itulah! Keinginan memuaskan nafsu dan keinginan menjauhi nafsu datang dari sumber yang sama!

Sumbernya adalah si aku yang ingin! Pamrihnya adalah kesenangan bagi si aku. Karena maklum bahwa menuruti nafsu akan menimbulkan duka, maka si aku lalu berkeinginan untuk menjauhi nafsu, tentu saja pamrihnya supaya jangan mengalami duka, dan hal ini tentu akan menyenangkan!

Demikian pandainya nafsu daya rendah mempermainkan kita! Begitu pandainya bersalin rupa sehingga kita sering kali terkecoh. Hati dan akal pikiran kita telah bergelimang daya rendah, maka apa pun yang dihasilkan hati dan akal pikiran telah terpengaruh oleh nafsu. Kenapa seluruh badan ini luar dalam bergelimang dengan nafsu? Karena memang sudah kodratnya demikian! Selama jiwa bersemayam di dalam badan, agar dapat hidup, badan harus disertai nafsu-nafsu daya rendah.

Badan akan binasa tanpa adanya nafsu daya rendah. Badan kita ini dapat hidup karena ketergantungan pada banyak benda. Kita butuh makanan, kita butuh benda-benda, kita butuh orang lain. Kita tidak mungkin dapat terbebas dari ikatan-ikatan dengan daya-daya rendah yang sebenarnya merupakan alat hidup, merupakan sarana untuk hidup, bahkan kebutuhan mutlak bagi kehidupan. Memang ini sudah kodratnya, sudah kehendak Tuhan begitu. Kita tidak mungkin mengingkari ini.

Nafsu yang kita namakan nafsu sex merupakan kodrat pula. Tidak mungkin dilenyapkan kalau kita menghendaki manusia masih berkelanjutan hidup di dunia ini. Nafsu sex hanya merupakan alat, merupakah sarana perkembang biakan makhluk manusia. Jika terdapat kenikmatan di situ, hal itu merupakan anugerah Tuhan yang patut kita syukuri.

Karena seluruh badan kita luar dalam telah bergelimang nafsu, hati dan akal pikiran kita telah bergelimang nafsu rendah, maka badan dan batin kita dikuasai oleh nafsu, menjadi hamba nafsu. Padahal nafsu daya rendah itu seharusnya yang menjadi alat kita, menjadi hamba kita, menjadi pelayan kita. Lantas bagaimana kita dapat membebaskan diri dari cengkeraman nafsu kalau ‘kita’ ini adalah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu?

Hanya satu kekuasaan saja yang akan mampu mengatur, yang akan mampu merubah, yang akan mampu mengembalikan nafsu daya rendah ini ke dalam tempatnya semula, mengembalikan nafsu daya rendah pada tempat dan tugasnya yang benar, yaitu sebagai pelayan dalam kehidupan. Kekuasaan itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, kekuasaan yang juga menciptakan nafsu daya rendah, yang menciptakan segala sesuatu di alam mayapada ini!

Dan kita? Kita hanya menyerah! Menyerah dengan sepenuhnya, menyerah dengan rasa ikhlas, dengan hati tawakal, dengan pasrah. Menyerah sebulatnya dengan mutlak, tanpa adanya hati akal pikiran yang mencampuri. Yang ada hanya penyerahan saja. Yang ada hanya kepasrahan. Yang ada hanya pengamatan, penerimaan tanpa disertai keinginan hati akal pikiran. Menyerah dan menerima, merasakan dan waspada, bukan ‘aku’ yang waspada.

Kui Hong dapat melihat perubahan pada muka pemuda itu. Dara ini melihat kekecewaan dan juga penyesalan terbayang pada wajah tampan itu, maka dia pun cepat mengalihkan perhatian pada persoalan lain.

"Toako, di mana adanya Paman Cang? Aku ingin menghadap dan berbicara dengannya. Kenapa dia jarang nampak? Apakah ada kesibukan?"

Usahanya itu berhasil. Perhatian Cang Sun teralihkan dan kini wajahnya tak lagi dicekam kekecewaan dan kedukaan. "Ayah memang sedang sibuk bukan kepalang. Banyak sekali urusan yang harus ditanganinya."

"Ahh, sayang aku tidak dapat membantu ayahmu, Toako. Tugas yang diberikan kepadaku untuk menyelidik ke istana pun telah gagal. Tidak ada gunanya lagi aku tinggal lebih lama di sini."

"Hong-moi, engkau tidak perlu merasa menyesal lagi. Tentu saja engkau tidak berhasil menangkap penjahat yang sudah mencemarkan istana bagian puteri itu, karena penjahat itu memang telah tewas."

Kui Hong terkejut bukan main. Dia menatap wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. "Sudah tewas? Siapa yang menewaskannya dan siapa pula penjahat itu, Toako? Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?"

"Memang hal itu harus dirahasiakan, orang luar tidak boleh tahu. Akan tetapi engkau tidak kuanggap orang luar, apa lagi engkau pernah melakukan penyelidikan untuk menangkap penjahat cabul itu. Penjahat cabul itu ternyata adalah seorang prajurit pengawal thai-kam yang bertugas di dalam istana."

"Ahhh...!" Kui Hong menjadi semakin heran. "Siapa yang telah membunuhnya, Toako?"

Pemuda itu tersenyum. "Pembunuhnya yang amat berjasa itu bahkan orang yang pernah dicurigai ayah, yaitu bekas perwira Tang Bun An."

Kini Kui Hong terbelalak dan mulutnya terbuka. Demikian besar rasa heran dan kagetnya mendengar keterangan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu sehingga sampai beberapa lama dia tak mampu bersuara! Akhirnya dia dapat mengendalikan perasaannya, kemudian dia berkata dengan suara yang tenang saja, sama sekali tidak membayangkan ketegangan yang mencekam hatinya.

"Hemm, dia...? Jadi perwira Tang... ehh, kau katakan tadi bekas perwira, Toako?"

"Benar, karena dia kini telah mengundurkan diri"

"Cang-toako, aku merasa tertarik sekali! Maukah engkau menceritakannya kepadaku apa yang terjadi? Bagaimana Paman Cang dapat tahu bahwa penjahat itu telah terbunuh oleh Tang-ciangkun, dan mengapa pula Tang-ciangkun tiba-tiba mengundurkan diri. Aku ingin tahu sekali...”

Cang Sun tersenyum. Dia merasa girang bahwa percakapan sudah beralih sehingga dia tidak lagi merasakan akibat dari penolakan cinta gadis itu.

"Begini, Hong-moi. Tadinya ayah memanggil Tang-ciangkun untuk minta perwira itu turut mencari penjahat cabul di dalam istana. Akan tetapi Tang-ciangkun yang tadinya harus merahasiakan peristiwa itu seperti diperintahkan Permaisuri, lalu memberitahukan bahwa penjahat itu telah ditangkap dan dibunuhnya atas perintah Hong-houw (Permaisuri).”

"Ahhh...!”

Diam-diam Kui Hong mengepal tinju dengan hati panas sekali. Sudah jelas yang menjadi penjahat cabul adalah Tang Bun An sendiri alias Ang-hong-cu, namun keparat itu malah berlagak menjadi penangkap dan pembunuh penjahat cabul!

Ingin dia berteriak mengatakan bahwa Tang Bun An itulah penjahat cabulnya, akan tetapi dia menahan gelora hatinya. Dia sudah berjanji kepada Ang-hong-cu dan janjinya itu lebih berharga dari pada nyawa. Sampai mati pun dia tidak akan mau memusuhi Ang-hong-cu, tidak mau pula membuka rahasianya meski hatinya seperti akan menjerit-jerit menentang janjinya sendiri itu.

"Jadi diakah yang sudah menangkap dan membunuh penjahat cabul itu? Tetapi mengapa pula sesudah membuat jasa yang sangat besar itu dia lalu mengundurkan diri? Bukankah kedudukannya sudah kuat dan baik sekali?" Pertanyaan ini bukan iseng atau pura-pura, tetapi memang hatinya penuh dengan pertanyaan ini.

"Hal itu juga pernah kutanyakan kepada ayah. Ternyata Tang-ciangkun adalah seorang patriot, seorang yang mencinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada kerajaan. Melihat betapa ada usaha pembunuhan terhadap kaisar yang dilakukan pembunuh bayaran yang diperintah oleh orang-orang kulit putih dan juga dibunuh olehnya, maka dia mengajukan permohonan untuk berhenti sebagai perwira pengawal. Dan sesudah berhenti dia hendak menghimpun semua kekuatan kangouw, menyatukan kekuatan kangouw untuk membela negara. Dan ayah menyetujui niatnya yang mulia itu, yaitu membantu pemerintah melalui dunia kang-ouw, dunia persilatan yang menjadi dunianya."

Kui Hong mengerutkan alis. Dia sendiri merasa bingung. Dia tahu bahwa meski pun Ang-hong-cu seorang tokoh sesat yang amat jahat terhadap wanita, tetapi harus diakui bahwa dia bukan pemberontak, dan setia terhadap kerajaan. Pernah hal ini dibuktikannya ketika Ang-hong-cu menyamar sebagai Han Lojin dan membantu pemerintah dalam membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo.

Tetapi apakah benar bahwa Ang-hong-cu meninggalkan kedudukan dan kemuliaan hanya untuk dapat berbakti kepada negara melalui dunia kang-ouw? Sehebat itukah semangat kepahlawanan seorang penjahat cabul macam Ang-hong-cu itu? Tidak, dia tidak percaya! Tentu ada pamrih lain di balik kepatriotannya itu! Dan dia akan menyelidikinya, walau pun tentu saja dia tidak mungkin memusuhinya karena telah terbelenggu oleh janjinya sendiri.

Karena hari sudah menjelang senja, Kui Hong minta diri lalu meninggalkan taman itu dan memasuki kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, dia lantas membanting diri di atas pembaringan, telentang dan melamun. Pengakuan cinta Cang Sun sudah membangkitkan semua kenangan lama, pengalaman-pengalaman yang sudah lalu.

Dengan hati perih harus diakuinya bahwa dia amat merindukan Hay Hay! Dan dia pernah menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu pemerkosa wanita! Akan tetapi bagaimana dia dapat memikirkan tentang cinta pada saat-saat semacam itu? Cinta? Menikah? Dia sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum Ang-hong-cu tewas! Dan jelas penjahat itu tidak mungkin dapat tewas di tangannya.

Kui Hong menarik napas panjang. Dua tugasnya, yaitu mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, lalu merampas dua pedang pusaka Cin-ling-pai dan Pulau Teratai Merah belum terlaksana dan dia sudah gagal pula menangkap Ang-hong-cu, bahkan terikat janji yang membuat dia sama sekali tidak berdaya terhadap penjahat itu. Kalau membayangkan hal ini, ingin rasanya dia menjerit-jerit dan menangis.

Engkau sungguh tolol telah berjanji seperti itu. Ratusan kali dia memaki dan menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi dia bergidik kalau dia membayangkan keadaannya ketika tertawan Ang-hong-cu. Kalau saja saat itu dia dibunuh, hal itu tidak mengapa. Tetapi Ang-hong-cu adalah penjahat cabul yang keji. Dia akan mengalami siksaan dan penghinaan yang jauh lebih hebat dari kematian. Itulah yang memaksanya untuk berjanji!

Tapi itu berarti bahwa dia masih dicengkeram perasaan takut! Demikian dia menyalahkan dirinya sendiri. Walau tidak takut menghadapi maut akan tetapi masih takut menghadapi siksaan, penghinaan dan pemerkosaan! Itu berarti bahwa tetap saja dia adalah seorang penakut, seoang pengecut! Karena pengecutnya, kini dia harus membiarkan jai-hwa-cat itu bebas dan bertindak semaunya tanpa dia mampu turun tangan. Dia pengecut!

Beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Kui Hong merasa menyesal bukan main. Dia tidak pantas menjadi seorang pendekar, sama sekali tak pantas menjadi pangcu dari perkumpulan orang gagah seperti Cin-ling-pai. Dia terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu sayang pada diri sendiri. Dengan perasaan amat tertekan, pada keesokan harinya Kui Hong menghadap Menteri Cang Ku Ceng dan berpamit untuk meninggalkan rumah keluarga Cang, bahkan meninggalkan kota raja.

"Ehhh? Kenapa tergesa-gesa, Kui Hong? Aku sedang menanti hasil penyelidikan tentang dua orang muda itu. Selain kuserahkan kepada para penyelidik, juga aku minta bantuan bekas perwira Tang."

"Paman, saya tidak ingin membikin paman lebih repot lagi. Sudah terlalu lama saya pergi meninggalkan orang tua saya. Saya ingin pulang dan melaporkan semua kegagalan saya kepada ayah dan ibu."

"Kui Hong, kami sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Sayang..." sampai di sini suara Nyonya Cang jadi tersendat. “...sayang engkau tidak berjodoh dengan putera kami, akan tetapi hal itu tidak menghalangi kami untuk menyayangimu sebagai keluarga sendiri."

Mendengar ini, Kui Hong melirik ke arah Cang Sun dan merasa berterima kasih. Pemuda itu agaknya telah memberi tahukan ayah ibunya tentang penolakannya dan keluarga yang budiman itu agaknya sama sekali tidak mendendam atau menyesal. Dan hal ini membuat perasaan hatinya menjadi semakin rikuh.

Setelah mencoba untuk menahan namun tidak berhasil, akhirnya Menteri Cang berkata, "Baiklah, Kui Hong. Kami tak berhak untuk menahanmu lebih lama lagi di sini, akan tetapi kami sungguh mengharapkan agar engkau tidak melupakan kami yang menganggapmu seperti keluarga sendiri."

Bagaimana pun juga sikap ramah dan akrab dari keluarga itu mendatangkan keharuan di dalam hati pendekar wanita itu. Dia memberi hormat, lantas berkata dengan suara tegas, "Percayalah, Paman dan Bibi, juga engkau, Cang-toako, bahwa aku Cia Kui Hong selama hidupku takkan melupakan keluarga Cang yang budiman. Semoga kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam suasana yang lebih akrab dan bahagia."

Biar pun tadinya dia menolak, namun karena desakan Menteri Cang, akhirnya Kui Hong tidak mampu menolak lagi ketika tuan rumah itu menghadiahkan seekor kuda yang amat baik kepadanya. Dengan diantar oleh keluarga itu sampai di pintu gerbang rumah mereka, Kui Hong kemudian meninggalkan keluarga itu sesudah sempat membisikkan kata-kata yang membuat Menteri Cang Ku Ceng termenung setelah gadis itu pergi. Bisikan itu hanya singkat saja.

"Paman, kuharap Paman sekali lagi bertanya kepada Hong-houw tentang penjahat cabul di istana itu."

Kui Hong memang sengaja membisikkan kata-kata ini. Dia tidak berani untuk menyebut nama Ang-hong-cu karena sudah terikat janji. Maka dia menganjurkan pejabat tinggi itu untuk menyelidiki lagi melalui Permaisuri. Kalau Permaisuri berani menyatakan kebenaran terhadap keterangan Tang Bun An yang jelas berbohong, maka tentu ada apa-apa di balik pernyataan itu, ada apa-apa yang tidak wajar antara Permaisuri dan Ang-hong-cu!


                    ***************


"Aduh, aku lelah sekali, Hay-ko," dara itu mengeluh, lalu menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar, menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan menjulurkan kedua kakinya, memijati kedua kaki itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya melepaskan ikatan buntalan kain di pundak, kemudian menghapus keringat dari leher dan dahinya.

Hay Hay terpaksa berhenti dan memandang gadis itu sambil tersenyum. Mayang sungguh manis bukan main. Anak rambut di dahinya menjadi kusut ketika dia menggunakan sapu tangan menghapus keringatnya, akan tetapi justru keadaan pakaian yang tidak rapi, anak rambut yang kusut, muka yang basah oleh keringat itu yang membuat dia terlihat semakin manis!

Rambutnya yang panjang hitam dikuncir dua tergantung manja di depan dada. Matanya yang sipit sekarang terpejam sehingga nampak bulu mata merapat lentik, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan mulutnya yang kecil dengan bibir merah basah itu sedang cemberut. Kulit muka dan leher yang putih mulus itu kini kemerahan.

Memang semenjak pagi mereka melakukan perjalanan tiada hentinya dan kini telah lewat tengah hari, karena itu tidak mengherankan kalau gadis itu mengeluh kelelahan. Memang Mayang bukan seorang gadis lemah, bahkan dia pandai berburu, sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung. Akan tetapi baru sekarang ini bersama Hay Hay dia melakukan perjalanan yang jauh dan berjalan kaki setiap hari melalui daerah-daerah yang terjal dan sukar.

Hay Hay merasa iba juga dan dia pun menghampiri, lalu duduk pula di dekat adik tirinya itu, menurunkan buntalan dari punggungnya.

“Sudah kukatakan bahwa perjalanan ini amat jauh, Mayang, sangat melelahkan, apa lagi bagi seorang gadis seperti engkau. Kasihan engkau, Mayang."

Sepasang mata yang tadinya terpejam itu terbuka, sipit namun indah bentuknya, dengan kedua ujung pinggir meruncing dan naik, lalu mulut yang cemberut itu kembali mengeluh, "Uuhh, koko, kau bilang kasihan? Jangan kasihani aku, akan tetapi kasihanilah sepasang kakiku ini. Seperti remuk rasanya!"

Hay Hay mendekati gadis itu. Dia memang merasa iba dan dapat membayangkan betapa nyeri rasa kedua kaki yang kecil mungil itu. Otot-otot kedua kaki itu tidak biasa digunakan untuk berjalan jarak jauh, maka tentu terasa nyeri dan penat, otot-otot seperti mau pecah dan tulang seperti retak-retak. Tetapi kelelahan pada otot-otot itu mudah saja dilenyapkan atau dikurangi.

"Mari kupijati kedua kakimu untuk menghilangkan rasa penat itu, adikku,” katanya, lantas tanpa menanti jawaban kedua tangannya sudah mulai memijati kaki kiri Mayang.

Dengan jari-jari tangannya yang peka dan terlatih, Hay Hay lalu memijati serta menekan jalan-jalan darah dan otot-otot besar di paha, belakang lutut, betis dan di sepanjang kaki, memulihkan jalan darah dan melemaskan otot-otot yang menjadi kaku. Dia melakukannya dengan lembut sekali sehingga Mayang merasa keenakan. Bukan hanya nyaman rasanya ketika dipijati oleh seorang ahli yang tahu akan jalan darah, akan tetapi dia juga merasa seolah-olah jari tangan itu menyentuh kakinya penuh kemesraan dan kasih sayang, meski pun kakinya terbungkus celana sutera.

Mayang kembali memejamkan sepasang matanya dan hatinya dipenuhi kemesraan yang mengharukan. Seketika dia lupa bahwa pemuda yang tengah memijati kakinya itu adalah saudaranya seayah, dan timbul pula perasaan kasih sayangnya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria, yang membuat pernapasannya tersendat-sendat.

Hay Hay yang sudah mulai memijati kaki kanan, tentu saja dapat melihat dan mendengar pernapasan Mayang. Dia mengangkat muka, lalu memandang wajah gadis itu dan melihat wajah itu kini menjadi merah sekali, betapa cuping hidung yang mancung itu berkembang kempis dan mulutnya agak terbuka, seolah pernapasan tidak cukup melalui kedua lubang hidungnya. Karena pemijatan itu memang sudah selesai, Hay Hay lalu menghentikannya dan bertanya sambil menyentuh pundak gadis yang masih memejamkan kedua mata itu.

"Mayang, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Sentuhan pada pundak yang lembut itu seperti menjebolkan bendungan. Sambil merintih Mayang kemudian merangkul Hay Hay dan menangis pada dada pemuda itu, menangis sesenggukan sehingga amat mengejutkan Hay Hay. Dia tidak tahu kenapa Mayang dapat menangis sesedih itu. Padahal sepanjang pengetahuannya Mayang adalah seorang gadis yang tabah, bahkan keras hati dan tidak cengeng sama sekali. Andai kata dia terlampau kelelahan sekali pun, tidak mungkin dia menangis seperti anak kecil.

Akan tetapi melihat betapa dara itu menangis dengan sungguh-sungguh, menangis penuh kesedihan, dia pun tak berani main-main dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Pada saat seperti itu, tangis merupakan obat yang paling ampuh bagi orang yang sedang dilanda kesedihan.

Dia pun hanya mengelus kepala gadis itu dengan kasih sayang seorang kakak. Dia sama sekali tidak tahu betapa elusan tangan yang lembut pada kepala itu menambah derasnya air mata mengalir dari kedua mata sipit itu.

Bagaimana pun derasnya hujan pasti akan mereda. Air mata pun akan terkuras habis dan tangis pun akan terhenti. Apa lagi bagi seorang gadis semacam Mayang, seorang gadis berhati baja. Biar pun tadi dia terseret dan terhanyut oleh keharuan hatinya, akhirnya dia dapat menenteramkan hatinya dan kini isaknya semakin lirih dan jarang.

"Nah, sekarang coba katakan, mengapa engkau menangis?" kata Hay Hay, masih lembut dan belum berani bercanda seperti biasanya, takut kalau akan salah ucap dan menyentuh kembali hati gadis itu.

Mayang masih merangkulkan kedua tangannya di leher Hay Hay, tetapi kini rangkulannya semakin kuat seolah-olah dia mengerahkan tenaga dan memaksa diri untuk bicara.

"Hay-ko... maafkan aku... akan tetapi aku... aku... sangat cinta padamu...”

Hay Hay mencium rambut di kepala gadis itu sambil tersenyum. "Aihh, tentu saja. Aku pun amat cinta kepadamu, Mayang. Engkau adikku dan aku kakakmu..."

"Tidak! Bukan itu! Aku cinta padamu bukan sebagai adik, melainkan... ahh, koko, engkau tentu tahu... aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau menjadi isterimu..."

"Mayang...!"

Hay Hay cepat melepaskan rangkulannya dan dengan lembut mendorong gadis itu, lantas dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dijauhkan, dipaksanya supaya mereka saling pandang. Dengan mata sipit dan agak membengkak gadis itu memandang, sinar matanya penuh kedukaan.

"Mayang, adikku yang bengal! Apa yang kau katakan ini? Inginkah engkau menyeret kita berdua ke dalam lembah dosa yang tak dapat diampuni? Kita ini saudara, Mayang. Ingat, kita saudara seayah! Kita sama-sama satu darah, satu she (Marga) sehingga kalau kita menjadi suami isteri, bukan hanya seluruh manusia akan mengutuk kita, juga Tuhan akan menghukum kita. Sadar dan ingatlah, adikku. Kalau karena keadaan kita tidak bisa saling mencinta seperti suami isteri, apakah kita tidak dapat saling mencinta sebagai kakak dan adik?"

Mayang memandang wajah Hay Hay dengan mengejap-ngejapkan matanya yang penuh air mata, dan dia pun mengangguk-angguk. Gerakan ini membuat beberapa titik air mata yang telah bergantung pada pelupuk matanya kini berjatuhan. Pemandangan ini demikian mengharukan hati Hay Hay sehingga dia pun menahan air matanya keluar dari sepasang matanya yang panas. Ia tahu bahwa andai kata Mayang bukan adiknya seayah, mungkin saja dia benar-benar akan jatuh cinta kepada gadis ini, dan akan mencintainya sebagai seorang isteri yang baik.

"Ehhh, bagaimana rasanya kedua kakimu sekarang?" tanya Hay Hay untuk mengalihkan persoalan dari batin adiknya.

Mayang memandang ke arah kakinya, kemudian mulutnya yang kecil mungil membentuk senyum lagi. Senyum itu mendatangkan kecerahan seperti matahari tersembul dari balik awan setelah hujan mereda. Dia lalu bangkit berdiri, melangkah ke sana-sini, menggerak-gerakkan kedua kakinya.

"Wah sudah tak terasa lelah lagi, Hay-ko. Hebat, engkau boleh membuka praktek menjadi tukang pijat. Pasti laris!"

"Ihh! Kau ingin kakakmu ini menjadi tukang pijat? Siapakah yang akan suka membiarkan tubuhnya kupijati?"

"Siapakah yang akan suka? Hemm, Hay-koko, akan banyak yang berdatangan, terutama kaum wanitanya. Tukang pijatnya tampan, dan pijatannya sungguh membuat tubuh terasa nyaman, menghilangkan semua kelelahan. Wanita-wanita akan berebutan dan antri untuk minta kau pijati, dan mereka pasti berani membayar mahal!"

"Huh, bagaimana jika yang berdatangan dan antri itu nenek-nenek yang napasnya sudah empas-empis? Jangan-jangan mereka itu kehabisan napas ketika sedang kupijati. Bukan upah banyak yang kudapatkan, malah urusan berabe, orang menyangka aku membunuh para nenek itu!"

Mayang tertawa dan diam-diam Hay Hay gembira bukan main melihat adiknya itu sudah dapat tertawa. Memang bukan watak Mayang untuk menjadi seorang wanita cengeng.

"Koko, kenapa engkau ini bisa segala-galanya? Apa sih yang kau tidak bisa? Dari mana pula engkau mempelajari ilmu pijat yang membuat badan terasa begini enak?"

"Mayang, apa sukarnya mempelajari ilmu memijat seperti tadi? Bukankah engkau sudah banyak mempelajari ilmu silat dari subo-mu? Engkau pun tentu sudah mempelajari letak jalan darah dan kedudukan tulang. Nah, pengetahuanmu tentang itu sudah cukup menjadi dasar untuk mempelajari ilmu pijat. Jika nanti ada waktu senggang biarlah akan kuajarkan kepadamu biar kelak kalau ada yang membutuhkan, engkau akan dapat memijatinya dan mengusir kelelahan dari tubuhnya.”

"Ihh, siapa yang akan membutuhkan aku untuk memijatinya?"

"Siapa lagi kalau bukan... ehh, suamimu kelak."

Sepasang mata yang sipit itu dilebarkan, dan mulut yang tadinya tersenyum itu cemberut. Mayang bangkit berdiri dan bertolak pinggang.

"Hay-ko, engkau nakal! Aku tidak akan mempunyai suami!"

"Ehhh, kenapa, Mayang? Maafkan, tadi aku hanya main-main. Bagaimana pun juga kelak engkau tentu akan menikah dan sudah sepatutnya kalau engkau memijati suamimu. Itu hal yang wajar, bukan?"

"Tidak! Aku tidak akan menikah!"

“Ehh, bagaimana mungkin? Engkau adikku yang begini manis, begini cantik jelita, begini lihai dan pandai. Ribuan orang pemuda akan saling berebutan untuk menjadi suamimu, dan engkau tidak akan menikah?"

"Aku tidak akan suka bicara tentang perjodohan sebelum..."

“Sebelum apa? Hayo katakan, sebelum apa, adikku sayang?"

"Sebelum engkau sendiri menikah, Hay-ko."

Hay Hay berhenti bernapas. Lehernya terasa seperti dicekik dari dalam karena keharuan yang menyerbu keluar dari dalam hatinya. Dia mengerti. Mayang demikian mencintanya, cinta seorang gadis terhadap seorang pemuda, cinta seorang wanita terhadap pria, bukan cinta kasih antara saudara.

Hanya kenyataan bahwa mereka adalah saudara seayah sajalah yang membuat gadis itu memaksa diri agar melihat kenyataan dan menekan gejolak hatinya. Akan tetapi cintanya masih tetap dan gadis itu tentu saja merasa berat untuk menikah dengan pria lain, maka mengatakan bahwa dia baru mau bicara tentang perjodohan setelah Hay Hay, pria yang dicintanya, juga kakaknya sendiri, telah menikah dengan wanita lain tentu saja.

Sesudah berdiam sesaat dan memandang kepada adiknya, akhirnya dapat pula Hay Hay mengeluarkan keluhan lirih, “Mayang...”

Mendengar suara yang menggetar ini dan melihat wajah kakaknya seperti orang menahan tangis. Mayang menubruk dan merangkul pinggang Hay Hay, menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

"Hay-ko, ahhh... maafkan aku, Hay-koko…"

"Engkaulah yang harus memaafkan aku, Mayang. Adikku sayang…!"

Beberapa lamanya mereka berpelukan, tapi kini dengan perasaan kasih sayang kakak dan adik, sampai kemudian Hay Hay merasa betapa lemahnya mereka membiarkan perasaan mereka hanyut oleh keharuan.

"Wah-wahh, apakah kita ini sedang main di panggung, menjadi anak wayang? Ha-ha-ha, sayang tidak ada penontonnya!"

Mayang menatap wajah pemuda itu, lalu dia pun terkekeh-kekeh geli sehingga suasana menjadi gembira sekali. Mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan dan di sepanjang perjalanan itu Mayang bernyanyi-nyanyi. Semua kedukaannya tadi telah terlupa dan kini mereka seperti kakak beradik yang sedang pesiar bersenang-senang.

Setelah melakukan perjalanan cepat, kadang melalui air sungai, kadang mereka membeli kuda dan berkuda, akhirnya tibalah mereka di daerah kota raja. Di sepanjang perjalanan mereka hanya menemukan rintangan yang tak berarti, akan tetapi berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, semua rintangan dapat mereka atasi dan beberapa kali perampokan terhadap mereka berakhir dengan kocar-kacirnya para perampok.

Pada suatu sore tibalah mereka di sebuah dusun di luar kota raja. Ketika mereka sedang menanyakan jalan yang menuju ke kota raja kepada penduduk dusun, seorang penduduk tua yang merasa khawatir melihat Mayang gadis yang cantik jelita lagi muda itu, segera rnemberi nasehat.

"Sebaiknya kalau Kongcu dan Siocia (Tuan muda dan Nona) bermalam saja di dusun ini dan besok setelah matahari naik baru melanjutkan ke kota raja."

"Akan tetapi kenapa, Paman? Apakah perjalanan ini tidak aman?" tanya Mayang kepada penduduk dusun itu.

"Apakah di tengah perjalanan ada gangguan dari perampok, Paman? Ataukah gangguan dari binatang buas?" tanya pula Hay Hay.

Kakek itu menggelengkan kepalanya. "Jika bicara tentang keamanan, sekarang di sekitar daerah kota raja aman, tidak pernah terjadi perampokan, bahkan tidak ada pencuri berani melakukan kejahatan. Namun sungguh tidak aman sama sekali melakukan perjalanan di waktu sore dan malam hari bagi seorang gadis muda dan cantik seperti Nona. Perjalanan rnenuju ke kota raja masih cukup jauh dan sunyi sekali pada malam hari. Maka sebaiknya melakukan perjalanan pada besok hari siang saja, di mana terdapat banyak orang berlalu lalang sehingga Nona tidak akan terancam gangguan."

"Hemm, apakah tak ada jalan pintas yang lebih dekat, Paman?” tanya Hay Hay, maklum akan maksud ucapan kakek itu. Kecantikan Mayang tentu akan menarik perhatian banyak pria yang mata keranjang dan hidung belang, dan mereka itulah yang nanti akan menjadi pengganggu, bukan para perampok yang menghendaki uang.

"Ada, ada jalan pintas melalui hutan di bukit sana itu. Lebih dekat dan akan makan waktu yang lebih singkat, akan tetapi juga lebih berbahaya karena di sana banyak berkeliaran binatang buas dan di sana pun keselamatan seorang gadis seperti Nona akan terancam.”

"Tetapi siapakah yang akan menganggu aku, Paman? Dan mengapa pula seorang wanita diganggu? Siapa mereka yang suka menganggu wanita?”

"Sstt, jangan keras-keras bicara, Nona," kata kakek itu setengah berbisik sambil matanya memandang ke kanan ke kiri dengan sikap jeri. "Tidak ada penjahat yang menggunakan kekerasan. Akan tetapi sekarang banyak sekali orang-orang gagah yang agaknya sedang membutuhkan isteri. Bila mereka bertemu seorang gadis, apa lagi yang muda dan cantik seperti Nona, mereka akan memaksa Nona untuk menjadi isteri. Isteri yang sah! Sudah banyak sekali gadis yang menjadi isteri orang-orang itu."

"Ehhh? Kalau aku tidak mau, apakah mereka akan memaksaku?" tanya Mayang dengan sikap penasaran dan mulai marah. "Kalau begitu, mereka itu sama saja dengan penjahat, bahkan lebih keji lagi!"

"Ssttt... jangan keras-keras, Nona. Mereka itu bukan penjahat, dan tidak pernah terdengar berita bahwa mereka memaksakan kehendak atau memperkosa wanita. Nyata-nyata para gadis itu mau menjadi isteri mereka. Mereka benar-benar bukan penjahat, bahkan semua penjahat takut kepada mereka. Mereka adalah para anggota perkumpulan Ho-han-pang."

Mendengar nama perkumpulan itu, Mayang dan Hay Hay bertukar pandang. Ho-han-pang (Perkumpulan Patriot Gagah)? Kalau nama itu benar sesuai, maka tentu saja mereka tak perlu khawatir akan mendapat gangguan. Mana mungkin para ho-han, yaitu sebutan bagi orang-orang gagah yang berjiwa pahlawan, mau mengganggu wanita?

"Paman, di mana lebih banyak kemungkinan kita bertemu dengan para ho-han itu, melalui jalan raya ataukah melalui jalan pintas?” tanya Hay Hay.

Kakek itu mengerutkan alisnya. "Kongcu, bila engkau sendiri yang melakukan perjalanan, maka melalui jalan raya tidak akan ada bahaya apa pun. Akan tetapi bagi Nona ini..., di jalan raya tentu akan bertemu banyak anggota Ho-han-pang..."

“Jangan khawatir, Paman. Kami adalah sahabat para ho-han (orang gagah). Terima kasih, Paman, kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga."

Setelah berkata demikian, Hay Hay lalu meloncat ke atas punggung kudanya, diikuti oleh Mayang. Gadis ini tersenyum manis kepada kakek itu, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut dan melihat cara gadis itu meloncat ke atas kuda, kakek itu pun bisa menduga bahwa gadis cantik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak begitu, mana ada gadis muda cantik yang tidak takut menghadapi orang-orang Ho-han-pang, bahkan menganggap mereka sebagai sahabat?

Hay Hay dan Mayang segera membalapkan kuda mereka keluar dari dusun itu. Sesudah cukup jauh meninggalkan dusun, mereka menahan kuda mereka dan Hay Hay mengajak adiknya bicara.

"Bagaimana pendapatmu tentang keterangan kakek tadi, Mayang?"

"Mengenai Ho-han-pang itu? Aku merasa sangat curiga, Hay-ko. Mana ada ho-han yang suka mengganggu wanita?"

"Cocok sekali dengan perasaanku, Mayang. Keterangan tadi tentu hanya mempunyai dua arti. Pertama, ada gerombolan orang jahat yang berkedok perkumpulan orang gagah dan menggunakan nama muluk Ho-han-pang. Dan ke dua, keterangan kakek tadi yang keliru. Mereka memang orang-orang gagah yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-pang, dan kakek tadi yang jahat dan memusuhi mereka maka menyebar berita bohong supaya dapat memburukkan mereka."

Mayang mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan saja kita akan berjumpa dengan mereka lantas membuktikannya sendiri, orang-orang macam apa adanya mereka yang mengaku para anggota Ho-han-pang itu. Atau mungkin mereka bukan orang yang suka melakukan kejahatan seperti mencuri atau merampok, seperti dikatakan kakek tadi bahwa daerah ini sekarang aman karena para penjahat takut kepada Ho-han-pang, melainkan sekumpulan laki-laki mata keranjang seperti..." Dara itu menghentikan ucapannya dan cepat menutupi mulutnya seperti hendak mencegah kata-kata selanjutnya meloncat keluar dari mulut kecil itu.

"Seperti apa, Mayang?"

"Seperti... engkau, Hay-ko!”

Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah. "Ihhh, engkau menghina aku, ya? Siapa yang mata keranjang? Kau memang bengal!”

Tangannya meraih hendak mencubit, akan tetapi Mayang tertawa-tawa sambil membedal kudanya, membalap ke depan, dikejar Hay Hay. Mereka berkejaran sambil tertawa-tawa, seperti dua orang kanak-kanak bermain-main dan diam-diam perasaan Hay Hay menjadi girang melihat adiknya sama sekali sudah melupakan kedukaannya tadi.

Dia tidak tertarik untuk menyelidiki orang-orang Ho-han-pang itu. Urusannya sendiri sudah cukup penting namun belum juga mampu dia laksanakan dengan hasil baik, yaitu mencari Ang-hong-cu, musuh besarnya sekaligus juga ayah kandungnya, yang bukan saja sudah melakukan banyak sekali kejahatan mengganggu wanita, tetapi juga telah mencemarkan nama baiknya sebab orang-orang gagah menyangka bahwa dialah yang telah melakukan perkosaan dan gangguan terhadap para wanita itu.

Tiba-tiba Mayang menahan kudanya. Melihat gadis itu menghentikan kudanya, Hay Hay juga ikut menahan kendali kudanya. Dia tidak perlu bertanya lagi karena dia yang berada di belakang Mayang juga telah melihat apa yang membuat adiknya itu berhenti. Di depan mereka terdapat lima orang penunggang kuda sedang malang melintang di tengah jalan raya. Jelas lima orang itu sengaja menghadang mereka dan memenuhi jalan.

Dia memandang tajam penuh perhatian kepada kelima orang itu. Matahari belum rendah benar dan sinarnya masih cukup terang. Lima orang itu adalah pria semua, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun. Mereka berpakaian ringkas yang cukup rapi dan bahkan nampak mewah.

Melihat gagang pedang atau golok di punggung mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia persilatan. Muka mereka terawat dan bersih, dan sikap mereka pun tidak kasar seperti para perampok atau penjahat pada umumnya. Sikap mereka lebih pantas seperti sikap orang-orang muda bangsawan atau hartawan yang berlagak congkak mengandalkan kedudukan atau kekayaan orang tua mereka.

Mereka juga berlagak gagah-gagahan seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu silat yang kepalang tanggung dan merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Gentong kosong gaungnya lebih nyaring dari pada gentong penuh isi. Ayam katai keruyuknya lebih nyaring dari pada ayam besar.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12