Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 22
Han Lojin
tersenyum lebar. Matanya terpicing ketika dia tersenyum lebar. "Engkau
yang bernama Tang Cun Sek? Engkau masih meragukan bahwa aku Ang-hong-cu? Nah,
kau lihat ini!"
Dia
mengeluarkan seuntai kalung dari untaian benda-benda perhiasan yang persis seperti
sebuah yang dimiliki pemuda itu. Lebih dari tiga puluh buah perhiasan tawon
terikat pada tali itu. Melihat ini, lenyaplah keraguan dari hati Cun Sek dan
dia pun segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ayahnya.
"Ayah...!"
katanya sambil memberi hormat.
Han Lojin
masih tersenyum, walau pun senyumnya mengandung keharuan. Baru sekali ini dia
merasakan diberi hormat oleh seorang anak, diakui sebagai ayah! Anak yang
pertama kali dijumpainya adalah Tang Hay, akan tetapi anak itu malah
memusuhinya dan nyaris saja membunuhnya!
"Duduklah,
Cun Sek. Dan sekarang, setelah aku menerima kalian bertiga sebagai sekutu dan
pembantuku seperti yang sudah kalian sumpahkan di hadapan perwira tadi, aku
ingin tahu bagaimana engkau dapat memainkan ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai,
Cun Sek. Apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai?"
"Ayah,
selama bertahun-tahun aku menjadi murid Cin-ling-pai. Sesudah gagal menguasai
kedudukan ketua Cin-ling-pai karena dikalahkan oleh Cia Kui Hong, maka aku
kemudian meninggalkan Cin-ling-pai. Aku bertemu dengan Tok-sim Mo-Li Ji Sun Bi
dan juga Sim Ki Liong yang menjadi pangcu (ketua) dari Kim-lian-pang, lalu aku
membantu mereka. Akan tetapi perkumpulan kami dIkeroyok oleh banyak perkumpulan
lain sehingga kami terpaksa melarikan diri...”
“Apa?!
Kalian bertiga bergabung tetapi masih dapat dikalahkan perkumpulan lain?"
tanya Han Lojin dengan heran.
"Pasti
kami tidak akan kalah kalau tidak muncul dua orang jahanam itu!" kata Sim
Ki Liong marah. "Pek Han Siong dan Hay Hay itu!"
“Ahhh…!” Han
Lojin berseru kaget. "Kiranya mereka? Jangan khawatir, setelah kini kalian
bergabung dengan kami, maka kita bersama akan sanggup melawan siapa pun juga
dan menghancurkan musuh-musuh yang berani mengganggu kita!"
"Akan
tetapi, Han Lojin…" Sim Ki Liong berkata akan tetapi ucapannya dipotong
dengan cepat dan galak oleh Han Lojin.
"Jangan
sebut aku dengan nama samaran itu! Mulai sekarang juga kalian harus menyebut
bengcu kepadaku. Engkau juga, Cun Sek!" ucapannya itu berwibawa sekali
sehingga Cun Sek sendiri terpaksa menunduk, meski pun hatinya tersinggung
karena sebagai putera dia tidak diperbolehkan menyebut ayah.
"Baiklah,
Bengcu. Aku ingin bertanya, di mana adanya perwira tadi? Dia adalah seorang
pembantumu yang utama, bukan? Kenapa tidak disuruh hadir di sini?"
"Nanti
dulu. Nanti akan kupanggil dia ke sini. Akan tetapi sebagai bengcu kalian, aku
ingin mendengar riwayat kalian masing-masing. Aku sudah mendengar bahwa Cun Sek
adalah seorang murid Cin-ling-pai yang pandai sehingga dia bisa kuandalkan.
Tetapi bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li dan engkau pula, Sim Ki Liong? Pada
waktu aku berada di antara para pembantu Lam-hai Giam-lo dahulu itu, aku hanya
mendengar bahwa Ki Liong adalah seorang murid dari Pendekar Sadis. Benarkah
itu? Dan kenapa pula engkau pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah?"
Ki Liong
segera menjawab sejujurnya. "Memang benar bahwa aku adalah murid Pendekar
Sadis dari Pulau Teratai Merah. Akan tetapi gara-gara Cia Kui Hong, cucu dari
suhu dan subo-ku, maka terpaksa aku melarikan diri dari Pulau Teratai Merah
tanpa pamit." Lalu dia melanjutkan setelah menarik napas panjang.
"Aku minggat dari sana, di samping hendak meluaskan pengalaman, mencari
kedudukan yang baik, juga untuk mencari musuh besar yang telah membunuh ayahku.
Musuh besarku itu adalah Siangkoan Ci Kang."
Tang Bun An
atau Han Lojin atau Ang-hong-cu memang seorang tokoh sesat yang hanya dikenal
namanya namun tidak ada orang yang mengenal wajahnya. Akan tetapi sebagai
seorang tokoh kang-ouw yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia
kang-ouw, dia mengenal hampir semua tokoh persilatan yang terkenal. Maka dia
pun sangat terkejut ketika mendengar nama Siangkoan Ci Kang.
"Bukankah
Siangkoan Ci Kang ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang dahulu ketika
muda terkenal sebagai putera Si Iblis Buta Siangkoan Lojin? Dan yang sekarang
menjadi seorang tokoh rahasia yang lengan kirinya buntung?"
"Benar
sekali... Bengcu. Apakah tahu dimana dia?” tanya Sim Ki Liong penuh gairah.
Han Lojin
tersenyum. “Tenanglah, orang muda. Sesudah kita bekerja sama dan memiliki
pengaruh yang luas, apa sulitnya mencari seorang Siangkoan Ci Kang? Sabarlah,
musuh besarmu itu pasti akan dapat kami temukan dan dapat kau bunuh dengan
bantuan kami. Senang hatiku bisa mendapatkan bantuan seorang murid Pendekar
Sadis! Engkau sama pentingnya dengan Cun Sek. Dan bagaimana dengan engkau,
Tok-sim Mo-li? Aku sudah tahu akan kelihaianmu, akan tetapi aku belum tahu
latar belakangmu. Engkau datang dari perguruan mana dan siapa pula gurumu?”
“Mendiang
guruku adalah Min-san Mo-ko dan selain dari dia, aku pun mempelajari banyak macam
ilmu silat. Walau pun belum tentu aku dapat menandingi Sim Ki Liong atau Tang
Cun Sek, akan tetapi sepasang pedangku juga jarang menemui tanding, dan di
samping itu aku mempunyai kenalan dan hubungan dengan hampir seluruh tokoh
kang-ouw.”
"Murid
Min-san Mo-ko? Bukankah Min-san Mo-ko adalah murid mendiang See Kwi Ong? Bagus,
engkau juga dapat menjadi pembantuku yang bisa diandalkan. Senang sekali aku
menerima kalian bertiga menjadi pembantu-pembantu utamaku!"
Han Lojin
tertawa senang sekali. Tentu saja hatinya senang bukan main karena tiga orang
muda yang tadinya dicurigai sebagai musuh, kiranya bahkan menjadi para
pembantunya yang tangguh, apa lagi seorang di antaranya adalah putera
kandungnya sendiri!
"Bengcu,
aku ingin mengulangi pertanyaanku tadi. Di mana adanya ciangkun tadi? Kami pun
ingin mengenalnya dan mengetahui kedudukannya di istana. Bukankah dia seorang
perwira tinggi pasukan pengawal di istana? Kedudukan itu penting sekali, maka
kami ingin berkenalan dengan dia," kata Sim Ki Liong.
"Ha-ha-ha,
kalian ingin bertemu dengan dia? Baiklah, akan kupanggil dia ke sini!"
Han Lojin
bangkit berdiri, lantas dengan cepat sekali kedua tangannya bergerak ke arah
mukanya sendiri. Ketika kedua tangannya turun kembali, maka lenyaplah wajah Han
Lojin yang terhias kumis dan jenggot tadi. Wajah itu berubah menjadi wajah yang
gagah dan tampan, licin bersih tanpa kumis dan jenggot. Wajah Perwira Tang Bun
An!
Dan kembali
kedua tangan itu bergerak ke arah tubuhnya. Terbukalah pakaian sutera itu dan
kini yang membungkus tubuh itu adalah pakaian seragam perwira yang mentereng!
Pantas saja tubuh itu tadi nampak besar dan lebih gemuk, ternyata berpakaian
rangkap! Melihat betapa tiga orang muda itu menjadi bengong, Tang Bun An
tertawa bergelak.
"Ternyata
Ang-hong-cu adalah Han Lojin dan juga Perwira Tang Bun An!" Sim Ki Liong
berseru penuh kagum.
"Ayah…
ehh, Bengcu, engkau sungguh hebat bukan main!" Cun Sek bangga akan ayah
kandungnya yang bukan saja amat lihai, akan tetapi juga ternyata seorang
perwira tinggi pasukan pengawal dan seorang yang amat pandai menyamar sehingga
dia sendiri dapat dikelabui!
“Bukan main!
Ternyata wajah Han Lojin hanyalah wajah samaran. Hebat, mataku seperti menjadi
buta, sama sekali tidak tahu akan penyamaran itu. Aku tidak akan terkejut kalau
wajah Perwira Tang Bun An yang sekarang pun hanya merupakan kedok penyamaran
yang lain!” kata Ji Sun Bi penuh kagum. “Kini aku mengerti mengapa wajah
Ang-hong-cu tak pernah dapat dikenal. Kiranya seorang ahli menyamar yang
mempunyai seribu muka!”
Sungguh
senang dan bangga hati Tang Bun An mendengar semua pujian yang dia tahu bukan
sekedar pujian menjilat belaka. Tiga orang muda ini adalah orang-orang muda
yang memiliki ilmu silat tinggi, dan kalau mereka memuji, maka pujian itu
keluar dari hati yang kagum.
Dia tertawa
lagi, sekarang suara ketawanya keras bergelak, seperti suara ketawa yang biasa
dilakukan Tang-ciangkun, suara ketawanya yang wajar dan tidak dibuat-buat
karena sebagai Perwira Tang dia tidak lagi menyamar melainkan memperlihatkan
kepribadiannya yang asli.
“Ha-ha-ha-ha,
syukurlah kalian dapat menghargai ilmu penyamaranku ini. Kadang-kadang ilmu ini
sangat berguna. Ketahuilah, sesudah aku menjadi setua sekarang, aku tidak ingin
lagi bertualang seperti dahulu. Aku ingin kembali menjadi diriku sendiri, dan
karena itu aku mulai memikirkan kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar.
Cita-cita itu kurintis dengan menjadi seorang perwira pasukan pengawal dan
berjasa kepada kaisar sehingga aku dipercaya. Baru sekarang inilah Ang-hong-cu
Tang Bun An memperlihatkan wajahnya yang asli dan memperkenalkan diri kepada
kalian. Akan tetapi kedudukan sebagai perwira ini hanya sementara saja. Aku mulai
merasa jemu, dan juga kedudukan ini tidak memberi kekuasaan seperti yang
kuharapkan. Lagi pula kedudukanku yang sekarang ini pun goyah gara-gara seorang
gadis dan keadaanku bahkan dalam bahaya. Kedudukan ini sewaktu-waktu dapat
kutinggalkan. Karena itulah maka aku ingin menyusun kekuatan dan dengan bantuan
kalian, kita akan membangun suatu kekuatan di dunia kang-ouw, menundukkan semua
kekuatan lain."
"Memberontak…?"
tanya Sim Ki Liong sambil mengerutkan alis. Pemuda ini tidak setuju kalau
dibawa ke pemberontakan karena dia pernah melihat kegagalan para pemberontak.
Ang-hong-cu
menggeleng kepalanya. "Aku bukan orang bodoh macam Lam-hai Giam-lo dan
tokoh kang-ouw yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Tidak,
aku bukan seorang pemberontak, bahkan aku membenci kaum pemberontak! Aku ingin
menjadi raja di antara para tokoh kang-ouw! Aku tak ingin menyaingi kaisar.
Bodoh sekali bila melawan kerajaan yang memiliki ratusan ribu prajurit! Aku
ingin menundukkan semua perkumpulan persilatan, ingin menundukkan semua tokoh
dunia kang-ouw sehingga aku menjadi Bengcu yang menguasai dunia kangouw. Dan
terhadap para pejabat tinggi, aku ingin bersahabat dengan mereka. Bagaimana
pendapat kalian?"
"Itu
bagus sekali. Aku setuju, Bengcu! Dan aku... siap melaksanakan apa-saja yang
kau perintahkan kepadaku!" kata Ji Sun Bi sambil memainkan matanya dan
memandang genit disertai senyum memikat kepada perwira tinggi itu.
Melihat ini
Tang Bun An tersenyum, menyembunyikan kemuakan hatinya. Dia pembenci wanita, apa
lagi yang genit. Jika dia memperkosa banyak wanita, hal itu dilakukan bukan
hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya, tetapi juga untuk membalas dendam
kepada para wanita!
"Awas
engkau, Tok-sim Mo-Ii. Aku bukan laki-Iaki biasa yang mudah saja kau rayu!
Kalau engkau hendak taat kepadaku, maka haruslah merupakan ketaatan seorang
pembantu terhadap pemimpinnya. Karena aku tidak akan tunduk oleh rayuan dan
kecantikan wanita. Kalau engkau banyak tingkah dan tidak setia, nyawamu tidak
akan tertolong lagi!"
Ji Sun Bi
mati kutu. Ia menundukkan mukanya. "Akan kuperhatikan dan kutaati pesanmu,
Bengcu."
"Bagus!
Nah mulai sekarang kalian bertiga tinggallah di sini dahulu. Ki Liong dan Cun
Sek bersiap-siap di sini, menunggu perintahku selanjutnya. Dan engkau, Ji Sun
Bi, lakukanlah tugas pertamamu, yaitu kau hubungi tokoh-tokoh kang-ouw di
sekitar kota raja ini dan beri tahukan kepada mereka bahwa Ang-hong-cu minta
agar mereka semua suka menghadiri undangannya untuk berkumpul di bukit ini pada
malam terang bulan, bulan depan, kurang satu setengah bulan lagi. Katakan bahwa
kalau undangan atau katakanlah perintahku ini tidak ditaati, mereka yang
membangkang akan dihajar! Bahkan engkau kuberi kekuasaan untuk menghajar mereka
yang sudah lebih dulu menolak undanganku itu. Mengerti?"
"Baik,
Bengcu, akan kulaksanakan perintahmu," kata Ji Sun Bi.
Ang-hong-cu
mengeluarkan sebuah kantung kecil dan melemparkannya kepada wanita itu yang
cepat menyambarkannya.
"Ini
untuk keperluan perjalanan. Kalau membutuhkan lagi, sampaikan saja pesanmu
lewat para penjaga di pondok ini."
Demikianlah,
mulai hari itu juga tiga orang muda ini sudah menjadi pembantu utama dari
Ang-hong-cu. Semua pihak merasa senang. Ang-hong-cu Tang Bun An tentu saja
girang bukan main mendapat tiga orang pembantu yang boleh diandalkan, sedangkan
tiga orang muda itu pun merasa gembira karena mereka yakin bahwa dengan
pimpinan Ang-hong-cu, mereka akan dapat menguasai dunia kang-ouw dan mendapatkan
kedudukan yang terhormat dan mulia. Bahkan dengan bantuan Ang-hong-cu mereka
mengharapkan akan dapat membalas dendam terhadap para pendekar yang pernah
merugikan mereka.
***************
Pada jaman
itu kerajaan Beng-tiauw dalam keadaan makmur berkat kebijaksanaan dua orang
menteri yang menjadi kepercayaan kaisar. Dua orang menteri itu adalah Menteri
Yang Ting Hoo yang berusia lima puluh tahun, seorang menteri yang setia dan
bijaksana, ramah, sabar dan pandai mengatur siasat pemerintahan, dan orang yang
ke dua adalah Menteri Cang Ku Ceng, yang suka bertindak tegas dan tidak
segan-segan memberantas pejabat yang korup dan melakukan penyelewengan.
Menteri Cang
Ku Ceng kini berusia lima puluh tiga tahun dan dia adalah seorang menteri yang
tegas, sedangkan Menteri Yang Ting Hoo pandai sekali menghadapi negara-negara
lain, pandai berdiplomasi. Kedua orang menteri inilah yang membantu berputarnya
roda pemerintahan yang pada waktu itu dipimpin oleh Kaisar Cia Ceng (1520-1566).
Pada masa
itu, sekitar tahun 1545, atas nasehat kedua orang menteri yang bijaksana dan
sangat setia itu, Kaisar Cia Ceng tidak mengirim pasukan untuk memerangi negara
lain, melainkan memusatkan kekuatan untuk menenteramkan keadaan di dalam negeri.
Kedua orang menteri setia yang bersahabat baik itu, sering kali menukar tugas
mereka. Apa bila Menteri Yang Ting Hoo bertugas mengatur ketentraman di dalam
kota raja, maka Menteri Cang Ku Ceng yang bertugas mengatur ketentraman di luar
daerah kota raja, begitu pula sebaliknya.
Pada waktu
itu yang bertugas mengatur ketentraman di kota raja adalah Menteri Cang Ku
Ceng, ada pun Menteri Yang Ting Hoo bertugas melakukan perondaan di seluruh
daerah selatan di mana masih terjadi pergolakan di perbatasan dengan Anam, Siam
dan Birma, walau pun perang terbuka sudah dihentikan.
Kedua orang
menteri yang setia dan bijaksana itu maklum bahwa kini banyak orang asing
berdatangan ke Cina. Biar pun mereka datang dengan dalih ingin berdagang, akan
tetapi mereka ini harus dihadapi dengan hati-hati.
Mereka sudah
banyak mendengar dari utusan kaisar yang pernah merantau ke selatan mengenai
sikap orang-orang kulit putih itu yang amat tamak, dan dengan dalih berdagang
mereka ingin mencengkeram negara orang lain menjadi jajahan mereka. Oleh karena
itu, munculnya orang-orang berkulit putih yang berdatangan dari segala penjuru,
baik melalui darat mau pun melalui lautan, mereka amati dengan penuh
kewaspadaan.
Karena
khawatir akan pengaruh mereka, maka atas nasehat para menterinya, Kaisar Cia
Ceng menghentikan semua gerakan bala tentara ke perbatasan dan mulai
menggerakkan pasukan untuk mengamankan keadaan di dalam negeri. Bila negara
dalam keadaan aman maka negara akan kuat menghadapi ancaman dari luar.
Sejak
pertama kali rombongan orang Portugis menginjakkan kakinya di tanah Tiongkok,
mereka telah disambut dengan sikap bermusuhan oleh kaisar. Hal ini terjadi
karena selain sikap orang-orang Portugis memang congkak, sombong, kasar dan
juga mereka itu suka mempergunakan kekerasan dan bahkan suka merampok.
Lagi pula,
sebelum orang-orang Portugis muncul di daratan Cina, terlebih dahulu datang
Sultan Malaka menghadap Kaisar Tiongkok. Pada tahun 1511 Sultan Malaka ini
pernah diserang oleh Bangsa Portugis hingga terusir dari negerinya. Bersama
para pengikutnya, Sultan Malaka lalu berkeliling ke utara dan akhirnya
menghadap kaisar untuk mengadu.
Kaisar
memandang Sultan Malaka sebagai seorang sahabat, maka kaisar menjadi marah
sekali ketika mendengar tentang ulah orang-orang Portugis itu. Maka, ketika
rombongan pertama orang Portugis datang, mereka segera diserang. Banyak di
antara mereka yang tewas, sedangkan yang hidup ditawan dan dimasukkan penjara
di mana mereka akhirnya juga tewas.
Pada abad ke
dua puluh itu memang orang-orang barat mulai bertualang ke Asia. Namun tidak
mudah untuk memasuki Tiongkok karena Kaisar Cia Ceng sudah terlanjur menaruh
curiga terhadap semua orang kulit putih. Terlebih lagi semenjak kedatangan
orang-orang Portugis yang rata-rata menjadi pedagang tetapi juga merampok.
Pemerintah dan rakyat tidak menaruh kepercayaan lagi kepada orang-orang
berkulit putih bermata biru itu.
Demikianlah,
menghadapi usaha orang-orang kulit putih untuk memasuki Tiongkok, baik dengan
dalih berdagang atau merampok, kedua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku
Ceng kemudian menentramkan kehidupan rakyatnya lebih dahulu agar dapat digalang
persatuan yang kokoh untuk menghadapi pengaruh dan ancaman dari bangsa asing
itu.
Kecurigaan
Menteri Cang terhadap perwira pengawal Tang Bun An belum juga terbukti. Dia
hanya mendengar desas-desus bahwa para wanita dalam istana kaisar bermain gila
dengan seorang pria, namun tidak pernah ada orang yang melihat sendiri siapa
pria yang menggegerkan para wanita itu. Dia memang menaruh kecurigaan kepada
Tang Bun An, namun tentu saja dia tidak dapat bertindak apa-apa kalau tidak
memiliki bukti, biar pun dia adalah seorang yang memiliki kekuasaan tinggi.
Kalau dia
menggunakan kekuasaan, memang setiap saat dia mampu menangkap Tang-ciangkun,
tapi Menteri Cang bukanlah seorang pejabat semacam itu, yang menggunakan
kekuasaannya secara sewenang-wenang. Kalau tidak ada bukti, dia tidak mau
bertindak. Apa lagi mengingat bahwa Tang Bun An sudah berjasa, dan memang
keadaan di istana menjadi aman sejak dia menjadi kepala pasukan pengawal.
Desas-desus
tentang adanya permainan gila antara para wanita di harem kaisar dengan seorang
lelaki misterius itu hanya merupakan desas-desus yang memalukan, tetapi tidak
membahayakan! Dan agaknya kaisar sendiri seperti tidak menaruh perhatian, tidak
peduli.
Menteri Cang
Ku Ceng yang merasa putus asa setelah Cia Kui Hong juga tidak berhasil
menemukan suatu bukti pun bahwa Perwira Tang Bun An benar telah mengganggu para
wanita di istana bagian puteri, diam-diam merasa heran sekali. Andai kata
pengganggu keamanan di istana bagian puteri itu bukan Tang Bun An, tentu ada
orang lain dan Kui Hong yang lihai tentu akan mampu menangkapnya, setidaknya
melihat atau memergoki orangnya! Akan tetapi dia tidak mencurigai Kui Hong,
hanya mengira bahwa pengacau itu agaknya takut ketika melihat Kui Hong
melakukan penyelidikan, walau pun penyelidikan itu dilakukan dengan rahasia.
Agaknya
orang itu pun lihai bukan main dan sudah tahu bahwa ada gadis perkasa yang
melakukan penyelidikan untuk menangkapnya. Tentu penjahat cabul Itu telah
mengetahui lebih dahulu bahwa ada gadis sakti yang sedang melakukan pengintaian,
maka dia tidak berani muncul!
Setelah
secara diam-diam dia menyelundupkan seorang mata-mata pribadinya ke dalam
istana bagian puteri itu, seorang thai-kam (orang kebiri) kepercayaannya untuk
melakukan penyelidikan, maka hatinya semakin yakin bahwa kehadiran Kui Hong
benar-benar telah membikin kuncup hati petualang asmara yang menodai istana
bagian puteri itu karena dia tidak pernah muncul kembali!
Kecurigaannya
terhadap Tang Bun An kini mulai berkurang. Bagaimana pun juga harus diakuinya
bahwa keadaan di sekeliling istana menjadi aman sejak Tang Bun An diangkat
menjadi perwira tinggi pengawal istana.
Apa yang
terjadi sehari sesudah Kui Hong keluar dari istana bahkan semakin menebalkan
kepercayaan Menteri Cang terhadap Tang Bun An. Malam itu baru saja sehari Kui
Hong pergi meninggalkan lingkungan istana. Malam yang benar-benar gelap gulita.
Seperti
biasa Tang Bun An melakukan pemeriksaan di sekeliling istana, untuk memeriksa
apakah prajurit-prajurit yang menjadi anak buahnya sudah melakukan penjagaan
dengan tertib sebagaimana biasanya. Dalam hal ini harus diakui bahwa Tang Bun
An melakukan tugas yang amat baik. Dia bahkan amat keras dan disiplin terhadap
anak buahnya, maka tidak mengherankan bila istana dan sekitarnya menjadi aman
sekali sesudah dia menjadi kepala pengawal.
Tang Bun An
menciptakan kata-kata sandi yang sangat dirahasiakan, dan kata-kata sandi di
antara para pengawal yang bertugas jaga itu setiap malam diganti sehingga akan
sukar sekali bagi orang luar untuk mengetahuinya. Juga bunyi tanda bahaya yang
sejak dahulu berupa bunyi canang dipukul gencar, kini dia rubah dengan bunyi
sempritan. Tidak gaduh namun terdengar sampai jauh dengan tanda bunyi tertentu.
Tang Bun An
adalah seorang yang berpengalaman dan hati-hati sekali. Biar pun dia telah
mendapatkan janji dari Cia Kui Hong bahwa pendekar wanita yang sekaligus juga
menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak akan membocorkan rahasianya baik sebagai
Ang-hong-cu mau pun sebagai pengacau istana bagian puteri, namun dia tidaklah
begitu bodoh untuk nekat melanjutkan petualangannya di istana. Lagi pula dia
sudah mulai bosan dengan para selir kaisar itu.
Biasanya ia
mempermainkan para wanita untuk membalas dendam, untuk melampiaskan
kebenciannya terhadap wanita dengan cara lain. Dia biasa memperkosa mereka yang
tak suka menuruti kehendaknya sehingga dengan demikian dia merusak masa depan
gadis yang diperkosanya.
Kalau ada
wanita secara suka hati menyambutnya dengan hati yang mencinta, maka dia
sengaja merayu dan menjatuhkan hatinya. Tetapi bila wanita itu telah
tergila-gila, apa lagi jika sudah mengandung, maka wanita itu ditinggalkannya
begitu saja, dipatahkan hatinya, dihancurkan perasaannya! Itulah caranya
melampiaskan kebenciannya terhadap wanita.
Akan tetapi,
di istana dia merasa diperalat oleh wanita-wanita yang cantik itu. Dia merasa
dijadikan alat pemuas nafsu birahi belaka, maka kini dia merasa muak. Karena
inilah, dan karena hati-hatinya, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak
lagi mendekati para wanita di istana. Apa lagi kini dia bercita-cita untuk
menjadi raja di luar istana, raja orang kang-ouw, raja dunia persilatan!
Ketika pada
malam hari itu dia melakukan pemeriksaan di sekeliling istana, seperti yang
dilakukannya hampir setiap malam, tiba-tiba terdengar suara sempritan dari arah
barat. Di barat adalah istana bagian puteri! Mendengar suara sempritan ini,
yang disusul oleh suara sempritan lain sebagai balasan sehingga dalam waktu
yang singkat saja seluruh pasukan keamanan yang bertugas jaga di semua penjuru
tahu bahwa ada bahaya di istana bagian puteri, Tang Bun An cepat menggunakan
kepandaiannya, berlari cepat menuju ke barat.
Ketika tiba di
bagian itu, di luar tembok yang memisahkan bagian puteri dengan bagian istana
lainnya yang boleh didatangi oleh para pengawal, dia melihat betapa belasan
orang anak buahnya tengah mengepung dan mengeroyok dua orang yang mengenakan
pakaian hitam-hitam.
Mereka
adalah dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan mereka
itu lihainya bukan main. Dengan permainan pedang mereka yang cepat dan mantap,
mereka berdua sama sekali tidak terdesak sungguh pun dikeroyok oleh empat belas
orang prajurit pengawal, bahkan Tang Bun An melihat betapa sudah ada empat
orang anak buahnya menggeletak mandi darah.
"Jahanam,
berani kalian mengacau di istana?!" bentak Tang Bun An.
Dia sudah
mencabut pedangnya dan dia pun mengeluarkan teriakan sandi yang ditujukan
kepada semua anak buahnya untuk mengepung kedua orang itu dan menjaga supaya
mereka jangan sampai lolos. Segera para prajurit pengawal sudah mengepung dan
tidak kurang dari enam puluh orang yang bertugas jaga malam itu, kini semua
berada di sana dan mengepung ketat.
Begitu Tang
Bun An terjun ke dalam pertempuran, dua orang itu langsung mengeluarkan seruan
kaget. Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, menggerakkan pedangnya
menyambut perwira yang dilihat dari gerakannya meloncat saja jelas memiliki
kepandaian tinggi.
“Tranggg…!”
Kedua pedang
bertemu dan si kumis tebal itu terhuyung ke belakang. Dia terbelalak, akan
tetapi Tang Bun An tidak memberi banyak kesempatan kepadanya. Dia sudah
menyerang lagi sehingga si kumis tebal terpaksa melindungi dirinya dengan
memutar pedang sambil membalas. Segera mereka berkelahi mati-matian, namun si
kumis itu segera mengetahui bahwa dia berhadapan dengan seorang perwira yang
memiliki kepandaian tinggi.
Sementara
itu orang ke dua yang mukanya kuning dikeroyok oleh belasan orang prajurit
pengawal. Karena temannya tengah didesak oleh Perwira Tang dan dia harus
seorang diri saja menghadapi pengeroyokan begitu banyaknya prajurit pengawal,
maka dia pun mulai terdesak.
“Tangkap
dia! Gunakan jaring!" terdengar Tang Bun An berseru. "Tangkap
hidup-hidup!"
Mendengar
ini beberapa prajurit pengawal cepat mengeluarkan sebuah jala yang memiliki
delapan ujung. Setiap ujung dipegang oleh seorang prajurit. Dengan menarik
ujung-ujung itu, maka jala lantas berkembang dan walau pun dia tahu akan
bahayanya jala itu, namun si muka kuning tetap saja tidak dapat menjauhkan diri
karena dia sedang terdesak hebat oleh pengeroyokan belasan orang yang
mengepungnya dari jarak jauh dan mereka itu kini menggunakan senjata tombak
panjang.
Karena tidak
mampu mengelak, jala yang menyambar turun laksana payung itu menimpa dirinya.
Dia meronta dan berusaha membabat jala dengan pedangnya, akan tetapi sia-sia
belaka. Jala itu dibuat dengan cara istimewa, di bawah pengawasan Tang Bun An
sendiri sehingga biar dibacok pun tak akan putus. Tidak lama kemudian si muka
kuning itu sudah seperti seekor ikan besar dalam jala yang dilipat-lipat dan
dia tidak mampu bergerak lagi.
Melihat
temannya tertawan, si kumis tebal menjadi semakin panik. Tidak diduganya sama
sekali bahwa di istana dia akan berhadapan dengan seorang yang begitu lihainya
seperti perwira itu.
"Haiiiitttt...!"
Dia berseru
nyaring dan pedangnya lantas meluncur ke arah dada Tang Bun An dengan gerakan
nekat yang amat berbahaya, baik bagi lawan mau pun bagi dirinya sendiri karena
serangan mematikan itu membuka pula bagian tubuhnya. Seluruh tenaga dan
gerakannya ditujukan untuk menyerang, sama sekali tidak mempedulikan pertahanan
diri lagi.
Tang Bun An
terkejut melihat kenekatan ini. Tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari
lawan, akan tetapi sungguh berbahaya baginya apa bila lawan bertindak nekat
seperti ini, berani mengadu nyawa. Maka terpaksa dia melompat ke belakang untuk
menghindarkan serangan nekat itu.
Saat itu
digunakan oleh si kumis tebal untuk melompat ke belakang pula dengan maksud
hendak melarikan diri, akan tetapi puluhan ujung tombak menghadangnya! Si kumis
tebal itu maklum bahwa dia telah terjebak, seperti seekor tikus berada dalam
kandang kucing.
"Ha-ha-ha,
menyerah sajalah! Engkau tidak dapat melarikan diri lagi!" kata Tang Bun
An sambil tertawa mengejek.
Si kumis
tebal maklum bahwa bila tertawan seperti temannya, dia pun tak mungkin dapat
hidup, bahkan akan mati tersiksa. Lebih baik mati dari pada tertawan. Juga
temannya itu lebih baik mati dari pada membuka rahasia. Mendadak dia menubruk
ke arah temannya yang masih terbungkus jala, menyerang dengan pedangnya untuk
membunuh kawan itu lebih dulu sebelum dia membunuh diri.
"Tranggg...!"
Pedangnya
tertangkis dari samping dan kembali perwira lihai itu yang menangkisnya. Si
kumis tebal menjadi marah dan putus asa, dengan tenaga sepenuhnya dia menubruk
dan menyerang ke arah perwira itu. Akan tetapi sekali ini Tang Bun An tidak
meloncat mundur, melainkan mengelak ke samping kemudian sekali tangannya
bergerak, pedangnya sudah memasuki lambung si kumis tebal yang segera roboh dan
tewas seketika karena jantung pria ini telah tertembus pedang!
Dengan kaki
tangan diborgol sehingga sama sekali tak mampu bergerak, si muka kuning
dihadapkan kepada Tang Bun An di dalam kamar tahanan. Semula dia sama sekali
tidak mau bicara, bahkan membuang muka saat ditanyai oleh perwira itu. Akan
tetapi akhirnya si muka kuning yang kini mukanya berubah pucat pasi itu membuat
pengakuan, sesudah Tang Bun An menyiksanya dengan beberapa totokan yang membuat
seluruh tubuhnya terasa nyeri, tidak pingsan namun seluruh tubuh rasanya
bagaikan digigit semut api atau ditusuki ribuan jarum beracun,.
Dia dan
suheng-nya yang tadi tewas oleh pedang Tang Bun An adalah dua orang saudara
seperguruan yang merupakan tokoh-tokoh bajak di sepanjang pantai selatan.
Mereka itu diperalat oleh orang-orang Portugis, diberi hadiah dalam jumlah
besar sekali dengan tugas membunuh kaisar! Orang-orang Portugis itu agaknya
sangat mendendam atas kematian rekan-rekan mereka yang telah dibunuh akibat
perintah kaisar.
Menteri Cang
Ku Ceng tentu saja gembira sekali menerima laporan Tang Bun An tentang tertangkapnya
dua orang yang mencoba membunuh kaisar. Dia sendiri lalu memeriksa si muka
kuning dan setelah mendengar pengakuan bajak laut itu bahwa dia dan suheng-nya
menjadi pembunuh bayaran, diperintah oleh orang-orang Portugis yang berani
membayar mahal untuk membunuh kaisar, Menteri Cang kemudian memerintahkan
pengadilan untuk menghukum mati orang itu.
Diam-diam
Tang Bun An lantas menyuruh anak buahnya menyebar berita bahwa dia dan anak
buahnya kembali sudah menyelamatkan kaisar dengan menangkap dua orang yang
mencoba untuk menyelundup ke dalam istana dan membunuh kaisar!
Dengan
terjadinya peristiwa itu, maka Tang Bun An berhasil membersihkan namanya dari
kecurigaan Menteri Cang. Apa lagi setelah menteri ini mendengar dari para
mata-matanya yang sudah disebar di dalam istana bahwa sekarang tidak pernah ada
lagi bayangan pria yang berani berkeliaran di istana bagian puteri.
Bagaimana
pun juga Menteri Cang masih belum merasa puas, maka pada suatu pagi dia
memanggil Perwira Tang Bun An agar menghadap dia di rumahnya. Tentu saja Tang
Bun An yang menerima panggilan ini menjadi gelisah sekali. Jantungnya berdebar
tegang dan sejenak dia bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Apakah yang
tersembunyi di balik panggilan itu? Bagaimana kalau dia melarikan diri saja?
Bukankah gadis lihai ketua Cin-ling-pai itu pernah menyelidikinya karena
menjadi utusan Menteri Cang? Jangan-jangan dia dipanggil untuk ditangkap!
Ahhh, tidak
mungkin, dia membantah sendiri. Kalau Menteri Cang mempunyai niat buruk, tentu
sudah datang pasukan menangkapnya, bukannya dia dipanggil dulu baru ditangkap.
Justru dia harus memberanikan diri, memperlihatkan diri dengan berani
seolah-olah orang yang tidak mempunyai kesalahan apa pun, bahkan baru saja
berjasa besar menangkap calon pembunuh kaisar!
Dengan
pakaian perwira yang amat rapi Tang Bun An berkunjung ke rumah gedung besar
tempat tinggal Menteri Cang. Hatinya terasa lega pada waktu menteri itu
menerimanya di kamar tamu, seorang diri saja. Ini berarti bahwa menteri itu
tidak ingin menangkapnya dan percaya kepadanya. Jika tidak demikian tentu
menteri itu tidak akan berani menerimanya seorang diri saja dan mengajaknya
bicara empat mata. Hal ini juga menunjukkan bahwa pejabat tinggi itu akan
membicarakan hal yang amat penting, maka mengajaknya bicara berdua saja.
Sesudah Tang
Bun An memberi hormat dan dipersilakan duduk, Menteri Cang Ku Ceng yang
berwibawa dan berwajah kereng namun ramah itu sejenak memandang kepadanya
dengan sinar mata tajam penuh selidik. Namun Tang Bun An adalah seorang yang
sangat berpengalaman dan dia pandai menyembunyikan perasaannya. Wajahnya nampak
polos dan tenang saja, menyambut sinar mata pejabat tinggi itu dengan sikap
wajar.
"Taijin
hendak memerintahkan apakah kepada saya? Tentu ada kepentingan besar sekali
sehingga Taijin memanggil saya menghadap," kata Tang Bun An langsung saja,
dengan sikapnya yang hormat.
Cang Ku Ceng
tersenyum. "Tang-ciangkun, maafkan kalau aku membikin engkau terkejut.
Sebenarnya engkau mempunyai atasan sehingga semestinya aku menghubungi panglima
atasanmu. Akan tetapi karena keamanan di kota raja menjadi tanggung jawabku
sebagai orang pertama di atas panglima yang menjadi bawahanku, maka aku sengaja
langsung saja mengundangmu ke sini untuk membicarakan dua hal yang sangat
penting. Aku ingin minta bantuanmu untuk mengatasi dua hal itu, Ciangkun.”
Sungguh pun
hatinya merasa lega karena arah percakapan itu tidak menunjukkan bahwa menteri
itu mencurigainya, tapi Tang Bun An sama sekali tidak memperlihatkan perasaan
itu melalui wajahnya yang tampan dan gagah. Dia telah membuat persiapan
sebelumnya, telah mengatur segalanya sehingga seluruh bekas-bekas yang mungkin
ada akan semua perbuatannya yang lalu di dalam istana bagian puteri, telah
terhapus sebersihnya.
"Tentu
saja saya akan merasa senang sekali kalau saya dapat membantu Paduka, Taijin.
Katakanlah, perintah apa yang harus saya lakukan?"
"Ada
dua hal penting, Ciangkun. Pertama tentang keamanan di istana bagian puteri.
Tentu engkau sudah mendengar sendiri akan desas-desus yang tersiar bahwa ada
pria dari luar yang sering nampak berkeliaran di dalam istana bagian puteri.
Hal ini harus segara dapat dibersihkan karena kalau tidak, tentu akan
mencemarkan kehormatan istana dan menjadi urusan yang sangat penting. Tentu
engkau pernah mendengarnya, Ciangkun?” Sepasang mata menteri itu bersinar tajam
penuh selidik.
Tang Bun An
mengangguk ragu. “Memang saya sudah mendengar tentang hal itu, Taijin. Akan
tetapi karena saya bertugas sebagai kepala pasukan pengawal di luar bagian
puteri, maka hanya para pengawal thaikam yang berhak dan...” Dia nampak ragu.
“Tang-ciangkun,
mengapa engkau ragu-ragu? Hayo cepat katakan, apa yang kau ketahui tentang
berita itu?” Sang menteri mendesak.
“Maaf beribu
maaf, Taijin. Memang saya pernah melakukan sesuatu berkenaan dengan berita itu,
akan tetapi... maaf, saya tidak berani bercerita karena saya sudah berjanji
tidak akan menceritakan hal ini kepada siapa pun..."
Menteri Cang
mengerutkan alisnya yang tebal. "Tang-ciangkun, lihat kepadaku dan ingat
dengan siapa engkau sedang berhadapan! Kalau mengenai keselamatan istana,
akulah yang bertanggung jawab dan kedudukanku hanya di bawah kaisar! Tidak
boleh ada satu pun rahasia mengenai istana yang pantas kau sembunyikan dariku,
kecuali kalau engkau berjanji kepada Sribaginda Kaisar!" Menteri itu
bangkit berdiri, lantas mencabut sebatang pedang yang tergantung di
pinggangnya. "Lihat ini! Pedang kekuasaan yang kuterima dari Sribaginda
Kaisar sendiri, yang memberikan kekuasaan kepadaku untuk memeriksa dan menuntut
siapa pun juga di negeri ini, bahkan termasuk seluruh penghuni istana kecuali
Sribaginda sendiri!"
Tentu saja
Tang Bun An terkejut bukan kepalang dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut,
tentu saja untuk menghormati pedang kekuasaan yang diberikan kaisar kepada
menteri setia itu.
“Mohon
Paduka sudi mengampuni saya."
Menteri Cang
memasukkan kembali pedang kekuasaan itu ke dalam sarung pedangnya.
"Duduklah kembali, Ciangkun. Nah, sekarang kau ceritakan semuanya, jangan
rahasiakan sesuatu dariku."
"Maaf,
Taijin,” kata Tang Bun An sesudah duduk kembali. "Tadinya tentu saja saya
takut untuk melanggar janji. Saya sudah berjanji kepada Hong-houw (Permaisuri)
sendiri untuk tidak membocorkan rahasia ini."
"Hemm,
tenanglah. Hong-houw sendiri tak akan marah jika engkau menceritakan semua
kepadaku. Sebenarnya apa yang telah terjadi, dan apa yang kau ketahui tentang
desas-desus mengenai laki-laki yang merusak dan menodai nama baik serta
kehormatan istana bagian puteri itu?"
Tang Bun An
sengaja menghela napas panjang, seakan-akan dia merasa terpaksa harus
menceritakan semua itu. Diam-diam dia amat bersyukur bahwa dia telah
mempersiapkan segalanya, bahkan dia telah cepat-cepat mengatur segala siasat
untuk membersihkan diri sesudah pertemuannya dengan Cia Kui Hong,.
"Baiklah,
Taijin, akan saya ceritakan semuanya dengan terus terang karena saya percaya
sepenuhnya bahwa Paduka cukup bijaksana dan terhormat untuk tidak menceritakan
hal ini kepada orang lain. Kalau Paduka melakukan itu dan hal ini diketahui
orang lain, berarti saya sudah berdosa terhadap Sang Permaisuri, kepada siapa
saya pernah berjanji untuk tidak akan menceritakan apa yang terjadi kepada
siapa pun juga."
"Hemm,
kau kira aku ini orang apa? Ceritakanlah, selain aku sendiri takkan ada seorang
pun yang akan mendengar akan apa yang terjadi di istana bagian puteri itu."
"Taijin,
terus terang saja, hati saya merasa penasaran ketika saya mendengar mengenai
desas-desus adanya bayangan pria yang berkeliaran di istana bagian puteri.
Peristiwa itu merupakan tamparan pada muka saya, juga merupakan tantangan.
Walau pun saya tidak mungkin dapat masuk istana bagian puteri tanpa ijin, akan
tetapi bagaimana saya dapat menangkapnya tanpa memasuki daerah terlarang itu
mengingat penjahat itu beroperasi di sana? Untunglah kesempatan itu tiba ketika
Hong-houw memanggil saya menghadap dan beliau lalu memberi perintah rahasia
kepada saya supaya menangkap penjahat itu, Taijin. Perintah itu diberikan
kepada saya baru-baru ini dan saya segera melakukan penyelidikan di waktu malam
sehingga akhirnya saya berhasil menangkap orang itu."
"Ahhh!
Engkau berhasil menangkapnya? Siapakah dia dan sekarang bagaimana?" tentu
saja Cang Ku Ceng terkejut dan juga girang mendengar keterangan yang sama
sekali tak pernah disangkanya itu. Tadinya dia curiga bahwa perwira ini yang
menjadi pria rahasia itu, ternyata kini malah yang menangkap penjahatnya!
"Dia
seorang prajurit pengawal thai-kam, Taijin."
"Ahh?
Tetapi desas-desus itu mengatakan bahwa pria rahasia itu telah mengganggu para
wanita penghuni istana bagian puteri! Lalu bagaimana mungkin bila dia seorang
thai-kiam (kebiri)?"
"Tadinya
saya juga merasa heran bukan main, Taijin. Akan tetapi setelah saya melakukan
pemeriksaan dengan seksama, ternyata dia bukan seorang kebiri sepenuhnya.
Agaknya pengebirian terhadap dirinya sudah gagal dan tidak sempurna, sehingga
dia masih dapat menjadi seorang laki-laki normal. Dan bukan menggoda para
puteri saja yang dia lakukan di sana, tapi terutama sekali untuk mencuri
barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan para puteri."
“Keparat! Di
mana dia sekarang?"
"Atas
perintah Hong-houw saya telah membunuh penjahat itu, Taijin. Hong-houw memberi
perintah kepada saya untuk membunuhnya dan merahasiakan semua ini, demi menjaga
nama baik dan kehormatan istana bagian puteri. Kalau paduka ingin membuktikan,
saya dapat menunjukkan kuburannya dan…”
"Tidak
perlu. Aku dapat menemui Hong-houw dan minta keterangan dari beliau mengenai
kebenaran laporanmu ini." Sambil berkata demikian Cang Ku Ceng menatap
tajam wajah perwira itu. Namun Tang Bun An bersikap tenang, bahkan berkata
dengan tegas.
"Itu
malah lebih baik lagi, Taijin. Asal Taijin tidak lupa mintakan ampun bahwa saya
telah membuka rahasia ini kepada Taijin."
“Baiklah,
nanti akan kusampaikan kepada beliau. Bagaimana pun juga aku percaya akan
laporanmu ini, Tang-ciangkun dan hatiku lega bukan main mendengar bahwa
penjahat itu sudah dihukum. Sekarang ada soal ke dua, dan kuminta engkau suka
membantuku dalam hal ini."
"Apakah
urusan itu, Taijin? Tentu saja saya selalu siap membantu Paduka.”
"Kami
sedang mencari dua orang tokoh kang-ouw. Mereka adalah dua orang muda yang
memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, bahkan salah seorang di antara
mereka pernah membantu pemberontakan di masa lampau. Seorang kebetulan
mempunyai nama keturunan yang sama denganmu, Ciangkun. Namanya Tang Cun Sek dan
orang ke dua bernama Sim Ki Liong. Nah, kami ingin agar kini engkau suka
membantu kami mencari di mana adanya kedua orang itu. Baru-baru ini mereka itu
memimpin perkumpulan Kim-lian-pang di Kim-lian-san. Akan tetapi karena
bermusuhan dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mereka lalu dikeroyok sehingga
perkumpulan mereka hancur dan mereka melarikan diri. Nah, kuharap engkau akan
dapat menemukan mereka untuk kami, Ciangkun."
Kalau saja
Tang Bun An bukan seorang gemblengan, tentu kata-kata itu sudah membuat dia
terlonjak dari tempat duduknya. Dua orang muda yang dicari oleh Cang Taijin
adalah dua orang pembantunya yang baru saja diterimanya, bahkan seorang di
antara mereka adalah putera kandungnya sendiri!
Otaknya yang
cerdik segera bekerja cepat. Dia maklum bahwa menteri yang seorang ini cerdik
sekali. Jangan-jangan Cang Taijin sudah ‘mencium’ bahwa dia telah menerima dua
orang muda itu sebagai pembantunya!
"Taijin
memiliki banyak sekali pembantu, apakah di antara para penyelidik Taijin itu
tidak ada yang dapat mengetahui di mana mereka kini berada? Di manakah mereka
berdua itu untuk terakhir kalinya diketahui oleh para pembantu Taijin?"
“Para
penyelidikku kehilangan jejak mereka setelah pertempuran antara perkumpulan
itu. Karena engkau sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, maka kurasa
engkau akan lebih mudah untuk dapat menemukan tempat mereka bersembunyi."
"Sayang
sekali akhir-akhir ini saya telah terputus sama sekali dari dunia persilatan,
Taijin. Kalau saya masih bergerak di dunia persilatan, tentu akan mudah saja
mencari dua orang tokoh kang-ouw itu. Akan tetapi kalau Paduka menyetujui, maka
saya akan berhenti dari pekerjaan saya sebagai perwira pasukan pengawal.
Menurut saya, dengan cara lain saya juga dapat mengabdi untuk Sribaginda Kaisar
dan negara."
Cang Taijin
membelalakkan matanya. Dia benar amat terkejut mendengar ini. Sama sekali tidak
pernah disangkanya bahwa perwira yang telah banyak jasanya ini tiba-tiba saja
ingin mengundurkan diri.
"Eh?
Apa maksudmu, Tang-ciangkun? Bagaimana engkau bisa mengabdi kepada negara kalau
engkau mengundurkan diri dari kedudukanmu yang sekarang?"
"Taijin,
saya tahu bahwa negara kini sedang mengusahakan ketentraman di antara rakyat.
Banyak ancaman bermunculan dari orang-orang kulit putih. Bahkan baru saja orang
kulit putih rnengirim pembunuh bayaran yang mencoba hendak membunuh Sribaginda
Kaisar. Saya kira, selain rakyat jelata juga penting sekali untuk mempersatukan
dunia kang-ouw. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi
dan merupakan sebuah kekuatan yang amat hebat. Kalau saja dunia kang-ouw dapat
dipersatukan, lalu kesatuan itu dapat dlmanfaatkan untuk membantu pemerintah,
bukankah hal itu baik sekali dan kita mempunyai pertahanan yang amat kuat?
Bagaimana pendapat Paduka, Taijin?"
Menteri itu
mengangguk-angguk. Dia dapat melihat kebenaran yang dikemukakan perwira itu.
Dia tahu bahwa di luar istana memang ada kekuatan yang amat dahsyat, yaitu
dunia persilatan, para tokoh kang-ouw dan para pendekar persilatan. Akan tetapi
mereka tidak mudah bersatu.
Jangankan
para tokoh kang-ouw yang terdiri dari mereka yang menjadi penghuni dunia hitam
dan bergelimang kejahatan, juga mereka yang tidak peduli akan semua itu, hidup
bebas menurut kehendak sendiri tanpa mengindahkan hukum walau pun golongan ke
dua ini bukan pula orang-orang jahat, bahkan para pendekar pun kadang tidak
dapat bersatu dan bahkan saling bermusuhan.
Ada pula
golongan pendekar yang bahkan acuh dan tak peduli terhadap pemerintah, tidak
suka membantu, biar pun ada pula golongan pendekar yang suka membantu
pemerintah, misalnya dalam menumpas gerombolan pemberontak. Tetapi ini pun
mereka lakukan bila gerombolan pemberontak itu termasuk orang-orang jahat. Maka
betapa kuatnya keadaan negara kalau dunia persilatan, baik itu golongan
kang-ouw mau pun para pendekar, dapat dipersatukan dan semua kesatuan itu
membantu pemerintah!
"Hemm,
aku dapat melihat kebenaran dalam ucapanmu. Lalu apa kehendakmu dan apa yang
akan kau lakukan setelah engkau mengundurkan diri?"
“Saya ingin
berjuang untuk memperkuat negara melalui dunia kang-ouw, Taijin. Saya ingin
mencoba menghimpun segenap kekuatan di dunia persilatan, menyatukan
perkumpulan-perkumpulan, partai-partai dan semua aliran persilatan, juga
mengurangi atau membatasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan, kemudian
mengarahkan semua kekuatan itu untuk menjaga keamanan negara di dalam
menghadapi ancaman orang-orang asing kulit putih. Dengan kekuatan itu saya juga
dapat mempersatukah semua bajak sungai dan laut, untuk membersihkan lautan dari
bajak-bajak asing."
Menteri Cang
mengerutkan alisnya dan meraba-raba dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis halus.
"Hemm, lalu apa kaitan urusan ini dengan aku sebagai menteri? Mengapa
engkau menceritakannya kepadaku?"
"Taijin
adalah seorang menteri yang bijaksana dan amat terkenal, dan dapat saya anggap
sebagai wakil kaisar, wakil pemerintah. Kalau sebelumnya saya sudah memberi
tahukan rencana saya, lantas mendapatkan restu dari Paduka, tentu kelak tidak
akan timbul salah duga dari pihak pemerintah kalau saya mulai bertindak
mempersatukan semua kekuatan di dunia kang-ouw. Jika tidak saya beri tahu lebih
dulu, mungkin saja timbul salah paham dan disangka bahwa saya menghimpun
kekuatan untuk melakukan pemberontakan.”
Kembali Cang
Ku Ceng mengangguk-angguk biar pun alisnya berkerut. "Niatmu memang baik
sekali, Tang-ciangkun. Akan tetapi tentu saja kami tidak dapat memberi restu secara
resmi tentang bagaimana sikap pemerintah kelak terhadap usahamu itu, tentu saja
semua tergantung dari sikap dan sepak terjangmu sendiri. Kalau memang membantu
pemerintah dan tidak membahayakan pemerintah, tentu pemerintah juga tak akan
merasa keberatan."
"Terima
kasih, Taijin. Kalau begitu saya hendak mengajukan permohonan kepada atasan
untuk mengundurkan diri. Mohon bantuan Paduka untuk menjelaskan kepada panglima
dan juga kepada yang mulia Sribaginda Kaisar mengapa saya mengundurkan diri,
supaya tidak menimbulkan kecurigaan dan salah sangka."
Cang Ku Ceng
hanya mengangguk-angguk, meski di dalam hatinya dia masih meragukan kemurnian
niat hati orang di hadapannya yang dianggapnya penuh rahasia itu. Sesudah
perwira itu mengundurkan diri dia ingin menyelidiki kebenaran laporan
Tang-ciangkun ini, maka dia pun mohon menghadap permaisuri di istana. Dan dari
mulut permaisuri sendiri dia mendengar bahwa semua yang diceritakan oleh
Tang-ciangkun tentang thai-kam yang mengacau di istana itu memang benar!
Tentu saja
Cang Ku Ceng tidak tahu bahwa semua ini sudah diatur oleh Tang Bun An. Dengan
‘senjata’ perhiasan yang pernah diambilnya dari permaisuri, Tang Bun An dapat
memaksa permaisuri agar membuat pengakuan seperti itu untuk melindunginya.
Dengan ancaman bahwa jika permaisuri tidak membantunya maka dia akan membuat
pengakuan bahwa sang permaisuri juga menjadi kekasih gelapnya, dengan bukti
perhiasan yang akan dikatakannya sebagai hadiah dan uang jasa dari permaisuri,
maka wanita bangsawan itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenuhi
permintaannya. Bagaimana pun juga sang permaisuri sudah merasa lega dan puas
ketika Tang Bun An berjanji bahwa istana putri tidak akan mengalami gangguan
lagi.
Demikianlah,
dengan lancar permohonan berhenti Tang-ciangkun lantas diijinkan dan dia pun
berhenti sebagai perwira. Dan apa yang kemudian dilakukannya sehubungan dengan
berhentinya sebagai perwira itu sungguh mengejutkan semua orang.
Demikian
banyak dia mengumpulkan selir, muda-muda dan cantik-cantik pula, tidak kalah
dibandingkan sekumpulan selir para pangeran atau raja muda. Dan begitu dia
berhenti, dia bubarkan semua selirnya itu! Dia menyuruh mereka pulang ke orang
tuanya masing-masing dengan membekali pesangon yang cukup banyak, tidak
mempedulikan hujan air mata para wanita yang benar-benar jatuh cinta kepada
suami mereka itu!
Bahkan
terdapat perasaan puas di hati Tang Bun An melihat para wanita itu menangisi
nasib mereka, sepuas bila dia meninggalkan seorang gadis yang baru saja
diperkosanya, atau meninggalkan seorang wanita yang dahulu pernah menjadi
kekasihnya lalu ditinggal pergi begitu saja kalau wanita itu mengandung atau
kalau dia sudah bosan kepadanya. Kesadisan dan kekejamannya terhadap wanita
yang timbul karena sakit hatinya ternyata masih tinggal di dalam dadanya dan
tidak pernah lenyap!
Setelah
menjual semua harta miliknya, menjadikannya sekantung uang emas, Tang Bun An
merasa bebas seperti burung di udara dan dia pun segera membangun pondoknya di
puncak bukit di antara hutan lebat itu, dibangunnya menjadi sarang
perkumpulannya yang baru. Perkumpulan ini dia beri nama Ho-han-pang
(Perkumpulan Orang Gagah)! Sungguh sebuah nama yang muluk bukan main, dan
seolah hendak mencerminkan iktikad baiknya, yaitu dia hendak menghimpun
orang-orang gagah, bukan penjahat-penjahat!
Tentu saja
ini disesuaikan dengan siasatnya, seperti yang dibicarakannya dengan Menteri
Cang. Dia bukan orang bodoh, dia bukan pemberontak. Tidak, dia memang ingin
menjadi Bengcu, ingin menjadi raja tanpa mahkota, merajai dunia kang-ouw, akan
tetapi dia juga hendak merangkul para pejabat tinggi, hendak merangkul
pemerintah demi keuntungan perkumpulannya.
Dia merasa
beruntung sudah mendengar bahwa Cang Taijin mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun
Sek, dua orang pembantu-pembantu utamanya. Sebagai seorang ahli di dalam ilmu
penyamaran, maka dia lalu membuatkan topeng tipis, setipis kulit kepada dua
orang pemuda itu sehingga kini bentuk wajah Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek sudah
berubah. Masih nampak muda dan tampan, akan tetapi sungguh telah berbeda jauh
karena topeng tipis itu mengubah bentuk mata, hidung dan mulut mereka!
Setelah
mengajak mereka bercakap-cakap, dia pun dapat menduga bahwa yang mencari dua
orang muda itu tentulah Cia Kui Hong yang pernah menjadi utusan menteri itu.
Dan menurut dua orang pemuda itu, memang beralasan sekali kalau gadis yang kini
menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari mereka.
Sim Ki Liong
dicari karena minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa lari pusaka
Gin-hwa-kiam, sedangkan Tang Cun Sek melarikan pusaka Hong-cu-kiam dari
Cin-ling-pai. Walau pun kedua pedang pusaka itu kini sudah dirampas oleh Hay
Hay, tentu ketua Cin-ling-pai itu belum mengetahuinya dan masih terus mencari
mereka.
Berkat nama
besar Tok-sim Mo-li dan hubungannya yang luas, maka sebentar saja nama
Ho-han-pang dikenal oleh dunia kang-ouw serta para tokoh kang-ouw, dan baru
melihat hadirnya Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi sebagai seorang pembantu Bengcu saja
di perkumpulan itu, sudah banyak perkumpulan kang-ouw lainnya yang menyatakan
takluk dan mengakui Ho-han-pang sebagai pimpinan.
Sebagai
Bengcu, Tang Bun An kini kembali menyamar sebagai Han Lojin, berkumis dan
berjenggot! Sebentar saja terkenallah nama Ho-han-pang dengan bengcu-nya, yaitu
Han Lojin. Padahal Han Lojin sendiri jarang turun tangan sendiri. Cukup dengan
ketiga orang pembantunya itu saja, dan semua urusan bereslah! Kalau ada ketua
perkumpulan yang membangkang dan tidak mau mengakui Ho-han-pang, maka salah
seorang di antara para pembantu itu turun tangan dan ketua itu pasti dapat
ditundukkan dengan amat mudahnya.
Apa lagi
ketika melihat betapa Ho-han-pang tidak seperti perkumpulan kang-ouw lainnya,
tapi memiliki hubungan yang baik dengan para pejabat, maka hal ini membuat para
tokoh kang-ouw semakin percaya. Dalam waktu beberapa bulan saja Ho-han-pang
telah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan besar, berpusat di Bukit Bangau, di
mana sebuah bangunan besar berdiri di bawah lindungan hutan yang lebat.
Untuk
memberi kesan baik, Han Lojin dan tiga orang pembantunya yang mengumpulkan anak
buah yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai ilmu silat yang lumayan,
segera memberi tugas kepada anak buah itu untuk melakukan ‘pembersihan’
terhadap penjahat-penjahat yang suka mengacau kehidupan rakyat di kota raja dan
daerah sekitarnya. Mulai terkenallah nama Ho-han-pang sebagai sebuah
perkumpulan yang baik, yang menentang kejahatan, membantu pemerintah dan
melindungi rakyat. Perkumpulan itu segera dikenal sebagai perkumpulan para
ho-han (pahlawan)...!
***************
Menteri Cang
Ku Ceng bukanlah seorang pembesar yang bodoh. Meski pun dia percaya akan semua
alasan dan pendapat dari bekas Perwira Tang Bun An yang mengundurkan diri dan
berniat untuk mempersatukan para tokoh di dunia kang-ouw, diam-diam pejabat
tinggi ini menyebar para penyelidik untuk mengamati gerak-gerik bekas perwira
itu. Maka dia pun tahu akan segala perkembangan mengenai Ho-han-pang. Bahkan
dia mendengar pula bahwa Perwira Tang Bun An itu kini tidak kelihatan lagi dan
yang menjadi ketua Ho-han-pang adalah seorang yang setengah tua yang disebut
Han Lojin.
Mendengar
laporan penyelidiknya tentang orang bernama Han Lojin itu, Menteri Cang lalu
teringat akan Han Lojin yang pernah membantu pasukan pemerintah membasmi
Lam-hai Giam-lo. Diam-diam dia pun merasa kagum dan semakin percaya. Bagaimana
pun penuh rahasia, orang yang pernah menjadi Perwira Tang Bun An dan yang juga
pernah muncul sebagai Han Lojin itu jelas memperlihatkan sepak terjang yang
membantu pemerintah.
Apa lagi
ketika mendengar laporan tentang sepak terjang orang-orang Ho-han-pang yang
melakukan pembersihan dan menundukkan para penjahat sehingga kota raja dan
daerah di sekitarnya menjadi aman, maka hati pejabat tinggi itu merasa kagum
dan senang. Dia pun memesan kepada para pejabat pemerintah agar tidak
mengganggu Ho-han-pang dan hanya mengamati saja bagaimana sepak terjang mereka.
Selama mereka tak melakukan kejahatan, juga tidak mengganggu keamanan dan
ketentraman, maka mereka dianggap sebagai perkumpulan orang-orang baik dan
patut dibiarkan hidup, bahkan dibantu.
***************
SEMENTARA
itu, Kui Hong yang tinggal dan menumpang di rumah Menteri Cang Ku Ceng merasa
rikuh sendiri setelah lebih dari satu bulan dia tinggal di situ, belum juga
anak buah menteri itu berhasil menemukan dua orang musuh besarnya yang
dicarinya. Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek seakan-akan lenyap ditelan bumi
sehingga tak seorang pun di antara para penyelidik yang disebar Menteri Cang
dapat menemukan mereka. Dia merasa rikuh karena keluarga pejabat tinggi itu
amat ramah dan baik kepadanya, apa lagi melihat sikap Cang Sun yang semakin
terang-terangan menyatakan tergila-gila dan mencintanya!
Sore hari
itu, ketika dia duduk melamun seorang diri di dalam taman di belakang rumah
keluarga Cang yang luas, dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk
menghadap keluarga itu dan berpamit. Dia akan melanjutkan perjalanan, terutama
mencari sendiri dua orang yang telah melarikan pedang pusaka dari Cin-ling-pai
dan dari Pulau Teratai Merah itu.
Matahari
telah mulai condong ke barat, akan tetapi belum terlalu larut walau pun
sinarnya sudah mulai lemah. Sinar matahari sore itu masih mampu menerobos
antara celah-celah daun pohon sehingga taman bunga itu seolah-olah bermandikan
cahaya yang lemah akan tetapi masih hangat itu.
Indah sekali
keadaan di taman itu. Burung-burung mulai beterbangan pulang ke sarang mereka
di pohon-pohon, untuk berlindung di sarang yang aman dan hangat kalau malam
gelap menjelang tiba. Dua ekor kelinci berkejaran dan menyusup ke dalam
semak-semak. Seekor ular sebesar ibu jari kaki yang hitam dan mengkilap,
berlenggak-lenggok menuju rumpun semak belukar pula, dengan lidah yang kadang
terjulur keluar dengan cepatnya. Kepala ular itu berbentuk bulat telur, tidak
segitiga. Bukan ular beracun, dan kulitnya yang hitam mengkilap itu indah bukan
main, indah dan bersih seperti baru saja digosok dengan minyak.
Semua
makhluk pulang ke sarang masing-masing, pulang ke rumahnya masing-masing,
pikiran ini menyelinap ke dalam benak Kui Hong dan dia pun mengerutkan alisnya.
Hanya dia seorang yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu. Pulang! Ke mana?
Ayah
bundanya, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama adik tirinya, Cia Kui Bu,
sudah pergi meninggalkan Cin-ling-san karena mereka ingin mencari hawa baru dan
sementara ini hendak tinggal di Pulau Teratai Merah. Ke sana menyusul ayah
ibunya? Ah, dia bukan anak kecil lagi. Dia harus berani hidup sendiri! Dia
bukan anak-anak yang selalu mohon perlindungan ayah dan minta dimanjakan ibu.
Kembali ke
Cin-ling-san? Tentu sekali waktu dia harus kembali ke situ. Dia adalah pangcu
(ketua) Cin-ling-pai, walau pun sebenarnya dia tidak suka menjadi ketua karena
banyak urusan dan tidak bebas. Kalau dahulu dia ikut memperebutkan kedudukan
pangcu, hal itu dilakukan secara terpaksa karena dia tak ingin melihat Tang Cun
Sek menjadi ketua Cin-ling-pai.
Kui Hong
menarik napas panjang. Bagaimana seorang gadis seperti dia, seorang wanita,
dapat benar-benar merasakan ‘pulang rumah’ kalau tidak memiliki rumah tangga
sendiri? Dan memillki rumah tangga berarti menikah! Akan tetapi, dengan siapa?
Banyak sudah
dia menemui pria di dalam hidupnya. Pria-pria yang sungguh merupakan pemuda
gagah perkasa dan tampan, yang memperlihatkan sikap jatuh cinta kepadanya, atau
setidaknya suka kepadanya. Dalam setiap perjalanannya selalu saja ia bertemu
pria muda yang memandang kepadanya dengan perasaan hati seperti sebuah kitab
terbuka. Demikian jelas pandang mata itu membayangkan keadaan hati yang
tertarik!
Sudah
puluhan orang pemuda, bahkan mungkin ratusan. Bahkan banyak pula yang ingin
mendapatkan dirinya, secara halus mau pun kasar. Terbayanglah wajah-wajah para
muda itu berderet-deret. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, Hay Hay dan kini Cang Sun.
Ya, putera
Menteri Cang itu cinta padanya! Bahkan seluruh anggota keluarga Cang suka
kepadanya dan mengharapkan dia menjadi isteri Cang Sun. Dia pun bisa
membayangkan bagaimana jika dia menjadi isteri Cang Sun. Dia akan hidup mulia,
terhormat, kaya raya, menjadi seorang wanita bangsawan yang tinggal di dalam
gedung istana, ke mana pun dikawal pasukan, ingin apa pun tinggal perintah saja
karena puluhan orang pelayan setiap saat siap melayaninya.
“Ahh,
seperti burung di dalam sangkar emas...," dia berbisik dan menarik napas
panjang. Bukan, kehidupan macam itu bukan untuknya! Kalau pun harus berumah
tangga, dia lebih senang hidup bebas dan menghadapi banyak tantangan hidup,
tidak enak-enak seperti itu, bermalas-malasan!
Tiba-tiba
gadis itu sadar dari lamunannya. Dia mendengar langkah kaki orang! Ketika dia
menengok, kiranya yang datang menghampirinya adalah Cang Sun! Pemuda itu dengan
tenang melangkah menghampirinya, seperti biasa dengan sikap yang lembut, sopan
dan ramah sambil mulutnya tersenyum.
Seorang
pemuda yang tampan, berpakaian rapi, pembawaannya tenang dan berwibawa, halus
dan lembut, seorang pemuda yang telah dewasa dan tentu akan menarik hati setiap
orang wanita, apa lagi kalau diketahui bahwa dia adalah putera tunggal seorang
menteri yang amat terkenal, Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal amat bijaksana
dan mempunyai kekuasaan besar!
"Selamat
sore, Hong-moi. Asyik melamunkan apa sore-sore begini seorang diri di dalam
taman?"
Kui Hong
bangkit dan tersenyum. Dia adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup bebas
dan sudah berkecimpung di dunia kang-ouw, mempunyai banyak pengalaman dan sudah
terbiasa dengan sikap terbuka, bahkan mengarah kepada sikap lincah jenaka dan
kadang berandalan. Akan tetapi, sejak dia berdiam di rumah keluarga Cang,
keluarga bangsawan tinggi yang bergelimang kehormatan, mau tidak mau dia pun
membatasi diri dan sikapnya juga sopan, meski pun masih ramah dan lincah
jenaka.
"Aihh,
kiranya Toako yang datang. Selamat sore, Cang-toako."
Walau pun
pemuda itu sering kali mendesaknya agar bersikap kekeluargaan dan ramah, namun
tetap saja Kui Hong merasa rikuh untuk bersikap terlalu akrab. Rasanya canggung
bila dia menyebut nama kecil pemuda itu, terlalu akrab menyebutnya Sun-koko
misalnya. Maka, biar pun dia telah menghentikan sebutan kongcu (tuan muda) dan
menyebut toako (kakak), namun dia menyebut nama keluarga pemuda itu, bukan
kakak Sun, melainkan kakak Cang!
“Apa yang
kau lamunkan, Hong-moi?” Pemuda itu duduk di atas bangku, di bagian ujung, dan
Kui Hong juga duduk kembali di ujung yang lain.
“Aku melihat
burung beterbangan menuju ke sarang, dan tiba-tiba aku merasa rindu untuk
pulang, Toako.”
“Pulang ke
mana, Hong-moi?”
Gadis itu
mengangkat muka memandang. Karena pada saat itu Cang Sun juga sedang menatap
wajahnya, maka kedua pasang mata itu bertemu dan Kui Hong melihat betapa
sepasang mata pemuda itu dengan lembut membayangkan kasih sayang besar. Pemuda
bangsawan ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya, dan kasih sayang dan
kagumnya terbayang jelas dalam pandang matanya.
"Ahh,
toako. Ke mana lagi kalau bukan ke tempat tinggal keluargaku? Di Cin-ling-san
atau di Pulau Teratai Merah karena saat ini mungkin ayah ibuku masih berada di
sana."
"Aihh,
kukira tadi…”
"Apa
yang kau kira, Cang-toako?"
"Kukira...
ahh, betapa akan senangnya kalau rasa rindumu itu kau tujukan kepada... ehh,
diriku dan arti pulang itu ke sini, bukan ke mana-mana. Betapa akan bahagia
rasa hatiku bila engkau pun rindu kepadaku seperti aku yang siang malam selalu
merindukan dirimu, Hong-moi..."
"Hemm,
Toako, apa yang kau katakan ini?" Kui Hong berkata dengan suara mengandung
teguran karena baru sekarang pemuda ini begitu terang-terangan menyatakan
perasaan hatinya.
"Hong-moi,
masih perlukah aku menjelaskan kepadamu? Aku rindu kepadamu karena aku cinta
padamu, Hong-moi. Ahh… aku selalu membayangkan engkau bersanding denganku
selamanya, sebagai isteriku tercinta, sebagai ibu dari anak-anakku."
"Cukup,
Cang-toako. Mari kita bicara serius. Coba katakan, mengapa engkau jatuh cinta
kepadaku? Engkau adalah putera seorang bangsawan terkenal, memiliki kedudukan
yang terhormat, engkau juga terpelajar dan kaya raya, dan kalau engkau
menghendaki bahkan puteri kaisar pun mungkin dapat menjadi isterimu. Tapi
mengapa engkau mendekati aku, seorang gadis ahli silat, gadis kang-ouw yang
bergelimang kekerasan? Kenapa? Aku ingin sekali mengetahuinya, dan aku percaya
bahwa engkau akan membuat pengakuan dengan sejujurnya, Toako."
Cang Sun
menarik napas panjang. Alangkah manisnya gadis ini bila mana bersikap wajar
seperti itu, berani mengeluarkan semua perasaan hatinya tanpa disembunyikan
lagi, tidak seperti kaum wanita pada umumnya, terutama wanita bangsawan yang
sudah terbiasa menyembunyikan kepribadiannya di balik kesopanan dan kehormatan
pura-pura yang palsu.
"Pertanyaan
yang baru kau ajukan itu saja telah mengandung keterbukaan dan kejujuran,
Hong-moi. Oleh karena itu aku pun mencoba untuk keluar dari sangkar kesopanan
pura-pura yang selama ini semenjak aku kecil sudah mengurung diriku dalam
lingkungan kami. Memang betul ucapanmu tadi, bila aku menghendaki, mudah bagiku
untuk mendapatkan jodoh seorang gadis bangsawan, bahkan mungkin puteri kaisar.
Namun terus terang saja aku tidak tertarik kepada para gadis yang lemah itu.
Melihat engkau aku seperti melihat setangkai bunga yang segar dan sehat. Kalau
aku dapat hidup di sampingmu selamanya, aku akan merasa aman. Engkau tentu
tahu, kehidupan ayahku sebagai seorang menteri selalu terancam bahaya. Kalau
ada seorang seperti engkau ini yang teramat lihai, maka kami sekeluarga akan
selalu merasa aman, juga keselamatan kami selalu terjamin. Nah, itulah hal-hal
pada dirimu yang membuat aku jatuh cinta kepadamu."
Kui Hong pun
termenung. Ucapan itu memang jujur, dan jelas membayangkan apa yang tersembunyi
di balik cinta kasih pemuda bangsawan itu terhadap dirinya. Justru karena ia
gadis kang-ouw, karena ia memiliki ilmu silat tinggi dan boleh diandalkan
sebagai jaminan keselamatan, maka Cang Sun jatuh cinta kepadanya. Bagaimana
andai kata aku seorang gadis lemah seperti para puteri itu?
Pertanyaan
ini hanya dia ajukan kepada dirinya sendiri, di dalam batin pula. Dia tidak
tega untuk mengajukan pertanyaan itu kepada Cang Sun yang sudah bersikap jujur.
Jawaban pemuda itu tentu tidak enak. Kalau tidak jujur dia akan kecewa, namun
kalau jujur hanya akan menyakitkan hati mereka berdua.
Cang Sun
jatuh cinta kepadanya bukan karena pribadinya, namun karena kelihaiannya! Dan
hal ini mendatangkan rasa lega di hatinya. Dia sendiri tidak mencinta Cang Sun,
dan kenyataan bahwa sesungguhnya pemuda itu pun tidak mencintanya, tetapi hanya
tertarik oleh kepandaiannya, membuat hatinya lega. Cang Sun takkan menderita
nyeri hati kalau cintanya ditolak.
"Terima
kasih atas kejujuran pengakuanmu dan atas perhatianmu, Cang-toako. Kini aku pun
tidak ragu-ragu lagi untuk menjawab sejujurnya. Ketahuilah, Toako, bahwa aku
bukan sekedar basa-basi ketika mengatakan kepada Paman dan Bibi Cang bahwa sama
sekali aku belum berminat akan perjodohan. Selain itu, walau pun aku sangat
kagum dan suka bersahabat denganmu, tetapi terus terang saja rasanya dalam
hatiku tidak ada perasaan cinta terhadap dirimu. Kita dapat saja bersahabat
atau bersaudara, tetapi bukan berjodoh. Nah, lega hatiku sudah dapat berterus
terang kepadamu, Toako."
Tepat
seperti yang diduganya, pengakuannya yang terus terang bahwa dia tidak mencinta
pemuda itu tidak membuat wajah pemuda tampan itu pucat pasi atau menimbulkan
sinar duka pada pandangan matanya, melainkan membuat wajah itu berubah
kemerahan dan pada matanya hanya terbayang perasaan kecewa dan keheranan.
"Hong-moi…
betapa pun tidak enaknya tapi kuterima kejujuranmu ini. Katakanlah, apakah di
sana sudah ada seorang pria yang memenuhi hatimu?"
Ditanya
demikian, wajah Kui Hong juga menjadi kemerahan. Lalu terbayanglah beberapa
wajah pria yang pernah menyatakan jatuh cinta kepadanya. Wajah Sim Ki Liong,
wajah Tang Cun Sek, dan akhirnya yang tinggal hanyalah wajah Hay Hay!
Dan
timbullah perasaan rindu yang amat sangat terhadap pemuda ugal-ugalan yang mata
keranjang itu! Hay Hay! Ah, betapa rindu hatinya kepada pemuda itu, dan baru
sekarang, setelah ditanya demikian oleh Cang Sun, dia dapat melihat kenyataan
bahwa sebenarnya selama ini hanya Hay Hay yang memenuhi hatinya, hanya pemuda
ugal-ugalan itu yang dicintanya, walau pun hal ini dicobanya untuk disangkal
dan ditentangnya sendiri.
"Benar,
Toako, dan... maafkan aku..."
Satu di
antara kenyataan yang terasa amat pahit dan menyakitkan hati adalah mendengar
pengakuan seorang gadis yang dicinta bahwa dia mencinta orang lain. Akan
tetapi, berkat lingkungan hidup yang selalu bertopeng kesopanan, Cang Sun dapat
menutupi rasa nyeri di hatinya dengan senyum, dan dia pun mengangguk-angguk,
"Aku
dapat mengerti, Hong-moi."
Apa yang
kita namakan ‘cinta’ antara pria dan wanita itu selalu mendatangkan dua hal
yang bertentangan, puas atau kecewa, senang atau susah. Ini membuktikan bahwa
yang kita agung-agungkan itu sebenarnya hanyalah nafsu belaka. Nafsu adalah
gairah, adalah ‘si-aku yang ingin senang’.
Nafsu selalu
berpamrih, karena bersumber pada pikiran yang menciptakan si aku lewat
pengalaman dan pengetahuan. Pamrihnya hanya satu, sungguh pun kadang
terselubung dan mengenakan beribu macam kedok, yaitu ingin mencapai sesuatu,
ingin memperoleh sesuatu, dan ‘sesuatu’ ini pasti yang menyenangkan dirinya.
Tidak
mengherankan kalau kemudian muncul kecewa dan duka ketika keinginan itu tak
tercapai. Kalau keinginan itu terlaksana maka timbullah kepuasan. Kepuasan
sementara, selewatan saja. Karena nafsu selalu menghendaki lebih. Bukti bahwa
yang kita anggap sebagai ‘cinta suci’ antara pria dan wanita itu pada
hakekatnya hanyalah nafsu, dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh
cinta itu.
Cinta antara
pria dan wanita dimulai dari pandang mata, saling melihat. Dari sini timbul
perasaan tertarik, karena apa yang dilihatnya itu menyenangkan hatinya, cocok
dengan seleranya. Sesudah saling tertarik lalu timbul keinginan untuk saling
memiliki. Kemudian bermunculan akibat dari nafsu ini. Cemburu, patah hati,
duka, benci, pertentangan dan sebagainya.
Betapa
banyaknya kejadian di mana dua orang yang tadinya bersumpah saling mencinta
hingga mati, setelah menjadi suami isteri bertengkar setiap hari, bahkan
berakhir dengan perceraian dan saling membenci! Sungguh aneh kalau cinta kasih
murni berakhir menjadi kebencian. Kalau nafsu, sama sekali tidak mengherankan
bila kemudian mendatangkan akibat duka dan kebencian.
Banyak orang
melihat kenyataan ini! Mereka melihat bahayanya nafsu yang terselubung sebagai
‘cinta suci’ ini. Untuk menghindarkan diri dari duka, dan untuk membikin putus
ikatan ini, ada orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari asmara ini.
Mereka tidak mau melakukan hubungan antara pria dan wanita, lantas menjadi
perjaka atau perawan selama hidup, tidak mau atau pantang melakukan hubungan
sex.
Apakah
dengan cara demikian berarti mereka telah terbebas dari nafsu? Apakah nafsu itu
hanya muncul melalui gairah birahi saja? Apakah kalau sudah begitu kita akan
dapat bebas dari duka? Bagaimana dengan nafsu dalam bentuk lain, keinginan si
aku dalam bentuk lain?
Masih ada
seribu satu macam cara bagi si aku untuk mengejar keinginannya. Bahkan satu di
antaranya adalah ‘keinginan bebas dari nafsu sex’ itulah! Keinginan memuaskan
nafsu dan keinginan menjauhi nafsu datang dari sumber yang sama!
Sumbernya
adalah si aku yang ingin! Pamrihnya adalah kesenangan bagi si aku. Karena
maklum bahwa menuruti nafsu akan menimbulkan duka, maka si aku lalu
berkeinginan untuk menjauhi nafsu, tentu saja pamrihnya supaya jangan mengalami
duka, dan hal ini tentu akan menyenangkan!
Demikian
pandainya nafsu daya rendah mempermainkan kita! Begitu pandainya bersalin rupa
sehingga kita sering kali terkecoh. Hati dan akal pikiran kita telah
bergelimang daya rendah, maka apa pun yang dihasilkan hati dan akal pikiran
telah terpengaruh oleh nafsu. Kenapa seluruh badan ini luar dalam bergelimang
dengan nafsu? Karena memang sudah kodratnya demikian! Selama jiwa bersemayam di
dalam badan, agar dapat hidup, badan harus disertai nafsu-nafsu daya rendah.
Badan akan
binasa tanpa adanya nafsu daya rendah. Badan kita ini dapat hidup karena
ketergantungan pada banyak benda. Kita butuh makanan, kita butuh benda-benda,
kita butuh orang lain. Kita tidak mungkin dapat terbebas dari ikatan-ikatan
dengan daya-daya rendah yang sebenarnya merupakan alat hidup, merupakan sarana
untuk hidup, bahkan kebutuhan mutlak bagi kehidupan. Memang ini sudah
kodratnya, sudah kehendak Tuhan begitu. Kita tidak mungkin mengingkari ini.
Nafsu yang
kita namakan nafsu sex merupakan kodrat pula. Tidak mungkin dilenyapkan kalau
kita menghendaki manusia masih berkelanjutan hidup di dunia ini. Nafsu sex
hanya merupakan alat, merupakah sarana perkembang biakan makhluk manusia. Jika
terdapat kenikmatan di situ, hal itu merupakan anugerah Tuhan yang patut kita
syukuri.
Karena
seluruh badan kita luar dalam telah bergelimang nafsu, hati dan akal pikiran
kita telah bergelimang nafsu rendah, maka badan dan batin kita dikuasai oleh
nafsu, menjadi hamba nafsu. Padahal nafsu daya rendah itu seharusnya yang
menjadi alat kita, menjadi hamba kita, menjadi pelayan kita. Lantas bagaimana
kita dapat membebaskan diri dari cengkeraman nafsu kalau ‘kita’ ini adalah hati
dan akal pikiran yang bergelimang nafsu?
Hanya satu
kekuasaan saja yang akan mampu mengatur, yang akan mampu merubah, yang akan
mampu mengembalikan nafsu daya rendah ini ke dalam tempatnya semula,
mengembalikan nafsu daya rendah pada tempat dan tugasnya yang benar, yaitu
sebagai pelayan dalam kehidupan. Kekuasaan itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kuasa, kekuasaan yang juga menciptakan nafsu daya rendah, yang menciptakan
segala sesuatu di alam mayapada ini!
Dan kita?
Kita hanya menyerah! Menyerah dengan sepenuhnya, menyerah dengan rasa ikhlas,
dengan hati tawakal, dengan pasrah. Menyerah sebulatnya dengan mutlak, tanpa
adanya hati akal pikiran yang mencampuri. Yang ada hanya penyerahan saja. Yang
ada hanya kepasrahan. Yang ada hanya pengamatan, penerimaan tanpa disertai
keinginan hati akal pikiran. Menyerah dan menerima, merasakan dan waspada,
bukan ‘aku’ yang waspada.
Kui Hong
dapat melihat perubahan pada muka pemuda itu. Dara ini melihat kekecewaan dan
juga penyesalan terbayang pada wajah tampan itu, maka dia pun cepat mengalihkan
perhatian pada persoalan lain.
"Toako,
di mana adanya Paman Cang? Aku ingin menghadap dan berbicara dengannya. Kenapa
dia jarang nampak? Apakah ada kesibukan?"
Usahanya itu
berhasil. Perhatian Cang Sun teralihkan dan kini wajahnya tak lagi dicekam
kekecewaan dan kedukaan. "Ayah memang sedang sibuk bukan kepalang. Banyak
sekali urusan yang harus ditanganinya."
"Ahh,
sayang aku tidak dapat membantu ayahmu, Toako. Tugas yang diberikan kepadaku
untuk menyelidik ke istana pun telah gagal. Tidak ada gunanya lagi aku tinggal
lebih lama di sini."
"Hong-moi,
engkau tidak perlu merasa menyesal lagi. Tentu saja engkau tidak berhasil
menangkap penjahat yang sudah mencemarkan istana bagian puteri itu, karena
penjahat itu memang telah tewas."
Kui Hong
terkejut bukan main. Dia menatap wajah pemuda itu dengan mata terbelalak.
"Sudah tewas? Siapa yang menewaskannya dan siapa pula penjahat itu, Toako?
Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?"
"Memang
hal itu harus dirahasiakan, orang luar tidak boleh tahu. Akan tetapi engkau
tidak kuanggap orang luar, apa lagi engkau pernah melakukan penyelidikan untuk
menangkap penjahat cabul itu. Penjahat cabul itu ternyata adalah seorang
prajurit pengawal thai-kam yang bertugas di dalam istana."
"Ahhh...!"
Kui Hong menjadi semakin heran. "Siapa yang telah membunuhnya,
Toako?"
Pemuda itu
tersenyum. "Pembunuhnya yang amat berjasa itu bahkan orang yang pernah
dicurigai ayah, yaitu bekas perwira Tang Bun An."
Kini Kui
Hong terbelalak dan mulutnya terbuka. Demikian besar rasa heran dan kagetnya
mendengar keterangan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu sehingga
sampai beberapa lama dia tak mampu bersuara! Akhirnya dia dapat mengendalikan
perasaannya, kemudian dia berkata dengan suara yang tenang saja, sama sekali
tidak membayangkan ketegangan yang mencekam hatinya.
"Hemm,
dia...? Jadi perwira Tang... ehh, kau katakan tadi bekas perwira, Toako?"
"Benar,
karena dia kini telah mengundurkan diri"
"Cang-toako,
aku merasa tertarik sekali! Maukah engkau menceritakannya kepadaku apa yang
terjadi? Bagaimana Paman Cang dapat tahu bahwa penjahat itu telah terbunuh oleh
Tang-ciangkun, dan mengapa pula Tang-ciangkun tiba-tiba mengundurkan diri. Aku
ingin tahu sekali...”
Cang Sun
tersenyum. Dia merasa girang bahwa percakapan sudah beralih sehingga dia tidak
lagi merasakan akibat dari penolakan cinta gadis itu.
"Begini,
Hong-moi. Tadinya ayah memanggil Tang-ciangkun untuk minta perwira itu turut
mencari penjahat cabul di dalam istana. Akan tetapi Tang-ciangkun yang tadinya
harus merahasiakan peristiwa itu seperti diperintahkan Permaisuri, lalu
memberitahukan bahwa penjahat itu telah ditangkap dan dibunuhnya atas perintah
Hong-houw (Permaisuri).”
"Ahhh...!”
Diam-diam
Kui Hong mengepal tinju dengan hati panas sekali. Sudah jelas yang menjadi
penjahat cabul adalah Tang Bun An sendiri alias Ang-hong-cu, namun keparat itu
malah berlagak menjadi penangkap dan pembunuh penjahat cabul!
Ingin dia
berteriak mengatakan bahwa Tang Bun An itulah penjahat cabulnya, akan tetapi
dia menahan gelora hatinya. Dia sudah berjanji kepada Ang-hong-cu dan janjinya
itu lebih berharga dari pada nyawa. Sampai mati pun dia tidak akan mau memusuhi
Ang-hong-cu, tidak mau pula membuka rahasianya meski hatinya seperti akan
menjerit-jerit menentang janjinya sendiri itu.
"Jadi
diakah yang sudah menangkap dan membunuh penjahat cabul itu? Tetapi mengapa
pula sesudah membuat jasa yang sangat besar itu dia lalu mengundurkan diri?
Bukankah kedudukannya sudah kuat dan baik sekali?" Pertanyaan ini bukan
iseng atau pura-pura, tetapi memang hatinya penuh dengan pertanyaan ini.
"Hal
itu juga pernah kutanyakan kepada ayah. Ternyata Tang-ciangkun adalah seorang
patriot, seorang yang mencinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada
kerajaan. Melihat betapa ada usaha pembunuhan terhadap kaisar yang dilakukan
pembunuh bayaran yang diperintah oleh orang-orang kulit putih dan juga dibunuh
olehnya, maka dia mengajukan permohonan untuk berhenti sebagai perwira
pengawal. Dan sesudah berhenti dia hendak menghimpun semua kekuatan kangouw,
menyatukan kekuatan kangouw untuk membela negara. Dan ayah menyetujui niatnya
yang mulia itu, yaitu membantu pemerintah melalui dunia kang-ouw, dunia
persilatan yang menjadi dunianya."
Kui Hong
mengerutkan alis. Dia sendiri merasa bingung. Dia tahu bahwa meski pun
Ang-hong-cu seorang tokoh sesat yang amat jahat terhadap wanita, tetapi harus
diakui bahwa dia bukan pemberontak, dan setia terhadap kerajaan. Pernah hal ini
dibuktikannya ketika Ang-hong-cu menyamar sebagai Han Lojin dan membantu
pemerintah dalam membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo.
Tetapi apakah
benar bahwa Ang-hong-cu meninggalkan kedudukan dan kemuliaan hanya untuk dapat
berbakti kepada negara melalui dunia kang-ouw? Sehebat itukah semangat
kepahlawanan seorang penjahat cabul macam Ang-hong-cu itu? Tidak, dia tidak
percaya! Tentu ada pamrih lain di balik kepatriotannya itu! Dan dia akan
menyelidikinya, walau pun tentu saja dia tidak mungkin memusuhinya karena telah
terbelenggu oleh janjinya sendiri.
Karena hari
sudah menjelang senja, Kui Hong minta diri lalu meninggalkan taman itu dan memasuki
kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, dia lantas membanting diri di atas
pembaringan, telentang dan melamun. Pengakuan cinta Cang Sun sudah
membangkitkan semua kenangan lama, pengalaman-pengalaman yang sudah lalu.
Dengan hati
perih harus diakuinya bahwa dia amat merindukan Hay Hay! Dan dia pernah menuduh
pemuda itu sebagai Ang-hong-cu pemerkosa wanita! Akan tetapi bagaimana dia
dapat memikirkan tentang cinta pada saat-saat semacam itu? Cinta? Menikah? Dia
sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum Ang-hong-cu tewas! Dan jelas
penjahat itu tidak mungkin dapat tewas di tangannya.
Kui Hong
menarik napas panjang. Dua tugasnya, yaitu mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun
Sek, lalu merampas dua pedang pusaka Cin-ling-pai dan Pulau Teratai Merah belum
terlaksana dan dia sudah gagal pula menangkap Ang-hong-cu, bahkan terikat janji
yang membuat dia sama sekali tidak berdaya terhadap penjahat itu. Kalau
membayangkan hal ini, ingin rasanya dia menjerit-jerit dan menangis.
Engkau
sungguh tolol telah berjanji seperti itu. Ratusan kali dia memaki dan
menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi dia bergidik kalau dia membayangkan
keadaannya ketika tertawan Ang-hong-cu. Kalau saja saat itu dia dibunuh, hal
itu tidak mengapa. Tetapi Ang-hong-cu adalah penjahat cabul yang keji. Dia akan
mengalami siksaan dan penghinaan yang jauh lebih hebat dari kematian. Itulah
yang memaksanya untuk berjanji!
Tapi itu
berarti bahwa dia masih dicengkeram perasaan takut! Demikian dia menyalahkan
dirinya sendiri. Walau tidak takut menghadapi maut akan tetapi masih takut
menghadapi siksaan, penghinaan dan pemerkosaan! Itu berarti bahwa tetap saja
dia adalah seorang penakut, seoang pengecut! Karena pengecutnya, kini dia harus
membiarkan jai-hwa-cat itu bebas dan bertindak semaunya tanpa dia mampu turun
tangan. Dia pengecut!
Beberapa
titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Kui Hong merasa menyesal
bukan main. Dia tidak pantas menjadi seorang pendekar, sama sekali tak pantas
menjadi pangcu dari perkumpulan orang gagah seperti Cin-ling-pai. Dia terlalu
mementingkan diri sendiri, terlalu sayang pada diri sendiri. Dengan perasaan
amat tertekan, pada keesokan harinya Kui Hong menghadap Menteri Cang Ku Ceng
dan berpamit untuk meninggalkan rumah keluarga Cang, bahkan meninggalkan kota raja.
"Ehhh?
Kenapa tergesa-gesa, Kui Hong? Aku sedang menanti hasil penyelidikan tentang
dua orang muda itu. Selain kuserahkan kepada para penyelidik, juga aku minta
bantuan bekas perwira Tang."
"Paman,
saya tidak ingin membikin paman lebih repot lagi. Sudah terlalu lama saya pergi
meninggalkan orang tua saya. Saya ingin pulang dan melaporkan semua kegagalan
saya kepada ayah dan ibu."
"Kui
Hong, kami sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Sayang..."
sampai di sini suara Nyonya Cang jadi tersendat. “...sayang engkau tidak
berjodoh dengan putera kami, akan tetapi hal itu tidak menghalangi kami untuk
menyayangimu sebagai keluarga sendiri."
Mendengar
ini, Kui Hong melirik ke arah Cang Sun dan merasa berterima kasih. Pemuda itu
agaknya telah memberi tahukan ayah ibunya tentang penolakannya dan keluarga
yang budiman itu agaknya sama sekali tidak mendendam atau menyesal. Dan hal ini
membuat perasaan hatinya menjadi semakin rikuh.
Setelah mencoba
untuk menahan namun tidak berhasil, akhirnya Menteri Cang berkata,
"Baiklah, Kui Hong. Kami tak berhak untuk menahanmu lebih lama lagi di
sini, akan tetapi kami sungguh mengharapkan agar engkau tidak melupakan kami
yang menganggapmu seperti keluarga sendiri."
Bagaimana
pun juga sikap ramah dan akrab dari keluarga itu mendatangkan keharuan di dalam
hati pendekar wanita itu. Dia memberi hormat, lantas berkata dengan suara
tegas, "Percayalah, Paman dan Bibi, juga engkau, Cang-toako, bahwa aku Cia
Kui Hong selama hidupku takkan melupakan keluarga Cang yang budiman. Semoga
kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam suasana yang lebih akrab dan
bahagia."
Biar pun
tadinya dia menolak, namun karena desakan Menteri Cang, akhirnya Kui Hong tidak
mampu menolak lagi ketika tuan rumah itu menghadiahkan seekor kuda yang amat
baik kepadanya. Dengan diantar oleh keluarga itu sampai di pintu gerbang rumah
mereka, Kui Hong kemudian meninggalkan keluarga itu sesudah sempat membisikkan
kata-kata yang membuat Menteri Cang Ku Ceng termenung setelah gadis itu pergi.
Bisikan itu hanya singkat saja.
"Paman,
kuharap Paman sekali lagi bertanya kepada Hong-houw tentang penjahat cabul di
istana itu."
Kui Hong
memang sengaja membisikkan kata-kata ini. Dia tidak berani untuk menyebut nama
Ang-hong-cu karena sudah terikat janji. Maka dia menganjurkan pejabat tinggi
itu untuk menyelidiki lagi melalui Permaisuri. Kalau Permaisuri berani
menyatakan kebenaran terhadap keterangan Tang Bun An yang jelas berbohong, maka
tentu ada apa-apa di balik pernyataan itu, ada apa-apa yang tidak wajar antara
Permaisuri dan Ang-hong-cu!
***************
"Aduh,
aku lelah sekali, Hay-ko," dara itu mengeluh, lalu menjatuhkan diri duduk
di bawah sebatang pohon besar, menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan
menjulurkan kedua kakinya, memijati kedua kaki itu dengan tangan kanan,
sedangkan tangan kirinya melepaskan ikatan buntalan kain di pundak, kemudian
menghapus keringat dari leher dan dahinya.
Hay Hay
terpaksa berhenti dan memandang gadis itu sambil tersenyum. Mayang sungguh
manis bukan main. Anak rambut di dahinya menjadi kusut ketika dia menggunakan
sapu tangan menghapus keringatnya, akan tetapi justru keadaan pakaian yang
tidak rapi, anak rambut yang kusut, muka yang basah oleh keringat itu yang
membuat dia terlihat semakin manis!
Rambutnya
yang panjang hitam dikuncir dua tergantung manja di depan dada. Matanya yang
sipit sekarang terpejam sehingga nampak bulu mata merapat lentik, hidungnya yang
mancung kembang-kempis dan mulutnya yang kecil dengan bibir merah basah itu
sedang cemberut. Kulit muka dan leher yang putih mulus itu kini kemerahan.
Memang
semenjak pagi mereka melakukan perjalanan tiada hentinya dan kini telah lewat
tengah hari, karena itu tidak mengherankan kalau gadis itu mengeluh kelelahan.
Memang Mayang bukan seorang gadis lemah, bahkan dia pandai berburu, sudah biasa
berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung. Akan tetapi baru sekarang ini
bersama Hay Hay dia melakukan perjalanan yang jauh dan berjalan kaki setiap
hari melalui daerah-daerah yang terjal dan sukar.
Hay Hay
merasa iba juga dan dia pun menghampiri, lalu duduk pula di dekat adik tirinya
itu, menurunkan buntalan dari punggungnya.
“Sudah
kukatakan bahwa perjalanan ini amat jauh, Mayang, sangat melelahkan, apa lagi
bagi seorang gadis seperti engkau. Kasihan engkau, Mayang."
Sepasang
mata yang tadinya terpejam itu terbuka, sipit namun indah bentuknya, dengan
kedua ujung pinggir meruncing dan naik, lalu mulut yang cemberut itu kembali
mengeluh, "Uuhh, koko, kau bilang kasihan? Jangan kasihani aku, akan
tetapi kasihanilah sepasang kakiku ini. Seperti remuk rasanya!"
Hay Hay
mendekati gadis itu. Dia memang merasa iba dan dapat membayangkan betapa nyeri
rasa kedua kaki yang kecil mungil itu. Otot-otot kedua kaki itu tidak biasa
digunakan untuk berjalan jarak jauh, maka tentu terasa nyeri dan penat,
otot-otot seperti mau pecah dan tulang seperti retak-retak. Tetapi kelelahan
pada otot-otot itu mudah saja dilenyapkan atau dikurangi.
"Mari
kupijati kedua kakimu untuk menghilangkan rasa penat itu, adikku,” katanya,
lantas tanpa menanti jawaban kedua tangannya sudah mulai memijati kaki kiri
Mayang.
Dengan
jari-jari tangannya yang peka dan terlatih, Hay Hay lalu memijati serta menekan
jalan-jalan darah dan otot-otot besar di paha, belakang lutut, betis dan di
sepanjang kaki, memulihkan jalan darah dan melemaskan otot-otot yang menjadi
kaku. Dia melakukannya dengan lembut sekali sehingga Mayang merasa keenakan.
Bukan hanya nyaman rasanya ketika dipijati oleh seorang ahli yang tahu akan
jalan darah, akan tetapi dia juga merasa seolah-olah jari tangan itu menyentuh
kakinya penuh kemesraan dan kasih sayang, meski pun kakinya terbungkus celana sutera.
Mayang
kembali memejamkan sepasang matanya dan hatinya dipenuhi kemesraan yang
mengharukan. Seketika dia lupa bahwa pemuda yang tengah memijati kakinya itu
adalah saudaranya seayah, dan timbul pula perasaan kasih sayangnya sebagai
seorang wanita terhadap seorang pria, yang membuat pernapasannya
tersendat-sendat.
Hay Hay yang
sudah mulai memijati kaki kanan, tentu saja dapat melihat dan mendengar
pernapasan Mayang. Dia mengangkat muka, lalu memandang wajah gadis itu dan
melihat wajah itu kini menjadi merah sekali, betapa cuping hidung yang mancung
itu berkembang kempis dan mulutnya agak terbuka, seolah pernapasan tidak cukup
melalui kedua lubang hidungnya. Karena pemijatan itu memang sudah selesai, Hay
Hay lalu menghentikannya dan bertanya sambil menyentuh pundak gadis yang masih
memejamkan kedua mata itu.
"Mayang,
engkau kenapakah? Sakitkah engkau?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Sentuhan
pada pundak yang lembut itu seperti menjebolkan bendungan. Sambil merintih
Mayang kemudian merangkul Hay Hay dan menangis pada dada pemuda itu, menangis
sesenggukan sehingga amat mengejutkan Hay Hay. Dia tidak tahu kenapa Mayang
dapat menangis sesedih itu. Padahal sepanjang pengetahuannya Mayang adalah
seorang gadis yang tabah, bahkan keras hati dan tidak cengeng sama sekali.
Andai kata dia terlampau kelelahan sekali pun, tidak mungkin dia menangis
seperti anak kecil.
Akan tetapi
melihat betapa dara itu menangis dengan sungguh-sungguh, menangis penuh
kesedihan, dia pun tak berani main-main dan membiarkan gadis itu menangis
sepuasnya. Pada saat seperti itu, tangis merupakan obat yang paling ampuh bagi
orang yang sedang dilanda kesedihan.
Dia pun
hanya mengelus kepala gadis itu dengan kasih sayang seorang kakak. Dia sama
sekali tidak tahu betapa elusan tangan yang lembut pada kepala itu menambah
derasnya air mata mengalir dari kedua mata sipit itu.
Bagaimana
pun derasnya hujan pasti akan mereda. Air mata pun akan terkuras habis dan
tangis pun akan terhenti. Apa lagi bagi seorang gadis semacam Mayang, seorang
gadis berhati baja. Biar pun tadi dia terseret dan terhanyut oleh keharuan
hatinya, akhirnya dia dapat menenteramkan hatinya dan kini isaknya semakin
lirih dan jarang.
"Nah,
sekarang coba katakan, mengapa engkau menangis?" kata Hay Hay, masih
lembut dan belum berani bercanda seperti biasanya, takut kalau akan salah ucap
dan menyentuh kembali hati gadis itu.
Mayang masih
merangkulkan kedua tangannya di leher Hay Hay, tetapi kini rangkulannya semakin
kuat seolah-olah dia mengerahkan tenaga dan memaksa diri untuk bicara.
"Hay-ko...
maafkan aku... akan tetapi aku... aku... sangat cinta padamu...”
Hay Hay mencium
rambut di kepala gadis itu sambil tersenyum. "Aihh, tentu saja. Aku pun
amat cinta kepadamu, Mayang. Engkau adikku dan aku kakakmu..."
"Tidak!
Bukan itu! Aku cinta padamu bukan sebagai adik, melainkan... ahh, koko, engkau
tentu tahu... aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau menjadi
isterimu..."
"Mayang...!"
Hay Hay
cepat melepaskan rangkulannya dan dengan lembut mendorong gadis itu, lantas
dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dijauhkan, dipaksanya supaya mereka
saling pandang. Dengan mata sipit dan agak membengkak gadis itu memandang,
sinar matanya penuh kedukaan.
"Mayang,
adikku yang bengal! Apa yang kau katakan ini? Inginkah engkau menyeret kita
berdua ke dalam lembah dosa yang tak dapat diampuni? Kita ini saudara, Mayang.
Ingat, kita saudara seayah! Kita sama-sama satu darah, satu she (Marga)
sehingga kalau kita menjadi suami isteri, bukan hanya seluruh manusia akan
mengutuk kita, juga Tuhan akan menghukum kita. Sadar dan ingatlah, adikku.
Kalau karena keadaan kita tidak bisa saling mencinta seperti suami isteri,
apakah kita tidak dapat saling mencinta sebagai kakak dan adik?"
Mayang
memandang wajah Hay Hay dengan mengejap-ngejapkan matanya yang penuh air mata,
dan dia pun mengangguk-angguk. Gerakan ini membuat beberapa titik air mata yang
telah bergantung pada pelupuk matanya kini berjatuhan. Pemandangan ini demikian
mengharukan hati Hay Hay sehingga dia pun menahan air matanya keluar dari
sepasang matanya yang panas. Ia tahu bahwa andai kata Mayang bukan adiknya
seayah, mungkin saja dia benar-benar akan jatuh cinta kepada gadis ini, dan
akan mencintainya sebagai seorang isteri yang baik.
"Ehhh,
bagaimana rasanya kedua kakimu sekarang?" tanya Hay Hay untuk mengalihkan
persoalan dari batin adiknya.
Mayang
memandang ke arah kakinya, kemudian mulutnya yang kecil mungil membentuk senyum
lagi. Senyum itu mendatangkan kecerahan seperti matahari tersembul dari balik
awan setelah hujan mereda. Dia lalu bangkit berdiri, melangkah ke sana-sini,
menggerak-gerakkan kedua kakinya.
"Wah sudah
tak terasa lelah lagi, Hay-ko. Hebat, engkau boleh membuka praktek menjadi
tukang pijat. Pasti laris!"
"Ihh!
Kau ingin kakakmu ini menjadi tukang pijat? Siapakah yang akan suka membiarkan
tubuhnya kupijati?"
"Siapakah
yang akan suka? Hemm, Hay-koko, akan banyak yang berdatangan, terutama kaum
wanitanya. Tukang pijatnya tampan, dan pijatannya sungguh membuat tubuh terasa
nyaman, menghilangkan semua kelelahan. Wanita-wanita akan berebutan dan antri
untuk minta kau pijati, dan mereka pasti berani membayar mahal!"
"Huh,
bagaimana jika yang berdatangan dan antri itu nenek-nenek yang napasnya sudah
empas-empis? Jangan-jangan mereka itu kehabisan napas ketika sedang kupijati.
Bukan upah banyak yang kudapatkan, malah urusan berabe, orang menyangka aku
membunuh para nenek itu!"
Mayang
tertawa dan diam-diam Hay Hay gembira bukan main melihat adiknya itu sudah
dapat tertawa. Memang bukan watak Mayang untuk menjadi seorang wanita cengeng.
"Koko,
kenapa engkau ini bisa segala-galanya? Apa sih yang kau tidak bisa? Dari mana
pula engkau mempelajari ilmu pijat yang membuat badan terasa begini enak?"
"Mayang,
apa sukarnya mempelajari ilmu memijat seperti tadi? Bukankah engkau sudah
banyak mempelajari ilmu silat dari subo-mu? Engkau pun tentu sudah mempelajari
letak jalan darah dan kedudukan tulang. Nah, pengetahuanmu tentang itu sudah
cukup menjadi dasar untuk mempelajari ilmu pijat. Jika nanti ada waktu senggang
biarlah akan kuajarkan kepadamu biar kelak kalau ada yang membutuhkan, engkau
akan dapat memijatinya dan mengusir kelelahan dari tubuhnya.”
"Ihh,
siapa yang akan membutuhkan aku untuk memijatinya?"
"Siapa
lagi kalau bukan... ehh, suamimu kelak."
Sepasang
mata yang sipit itu dilebarkan, dan mulut yang tadinya tersenyum itu cemberut.
Mayang bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
"Hay-ko,
engkau nakal! Aku tidak akan mempunyai suami!"
"Ehhh,
kenapa, Mayang? Maafkan, tadi aku hanya main-main. Bagaimana pun juga kelak
engkau tentu akan menikah dan sudah sepatutnya kalau engkau memijati suamimu.
Itu hal yang wajar, bukan?"
"Tidak!
Aku tidak akan menikah!"
“Ehh,
bagaimana mungkin? Engkau adikku yang begini manis, begini cantik jelita,
begini lihai dan pandai. Ribuan orang pemuda akan saling berebutan untuk
menjadi suamimu, dan engkau tidak akan menikah?"
"Aku
tidak akan suka bicara tentang perjodohan sebelum..."
“Sebelum
apa? Hayo katakan, sebelum apa, adikku sayang?"
"Sebelum
engkau sendiri menikah, Hay-ko."
Hay Hay
berhenti bernapas. Lehernya terasa seperti dicekik dari dalam karena keharuan
yang menyerbu keluar dari dalam hatinya. Dia mengerti. Mayang demikian
mencintanya, cinta seorang gadis terhadap seorang pemuda, cinta seorang wanita
terhadap pria, bukan cinta kasih antara saudara.
Hanya
kenyataan bahwa mereka adalah saudara seayah sajalah yang membuat gadis itu
memaksa diri agar melihat kenyataan dan menekan gejolak hatinya. Akan tetapi
cintanya masih tetap dan gadis itu tentu saja merasa berat untuk menikah dengan
pria lain, maka mengatakan bahwa dia baru mau bicara tentang perjodohan setelah
Hay Hay, pria yang dicintanya, juga kakaknya sendiri, telah menikah dengan
wanita lain tentu saja.
Sesudah
berdiam sesaat dan memandang kepada adiknya, akhirnya dapat pula Hay Hay
mengeluarkan keluhan lirih, “Mayang...”
Mendengar
suara yang menggetar ini dan melihat wajah kakaknya seperti orang menahan
tangis. Mayang menubruk dan merangkul pinggang Hay Hay, menyembunyikan mukanya
di dada pemuda itu.
"Hay-ko,
ahhh... maafkan aku, Hay-koko…"
"Engkaulah
yang harus memaafkan aku, Mayang. Adikku sayang…!"
Beberapa
lamanya mereka berpelukan, tapi kini dengan perasaan kasih sayang kakak dan
adik, sampai kemudian Hay Hay merasa betapa lemahnya mereka membiarkan perasaan
mereka hanyut oleh keharuan.
"Wah-wahh,
apakah kita ini sedang main di panggung, menjadi anak wayang? Ha-ha-ha, sayang
tidak ada penontonnya!"
Mayang
menatap wajah pemuda itu, lalu dia pun terkekeh-kekeh geli sehingga suasana
menjadi gembira sekali. Mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan
tangan dan di sepanjang perjalanan itu Mayang bernyanyi-nyanyi. Semua
kedukaannya tadi telah terlupa dan kini mereka seperti kakak beradik yang
sedang pesiar bersenang-senang.
Setelah
melakukan perjalanan cepat, kadang melalui air sungai, kadang mereka membeli
kuda dan berkuda, akhirnya tibalah mereka di daerah kota raja. Di sepanjang
perjalanan mereka hanya menemukan rintangan yang tak berarti, akan tetapi
berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, semua rintangan dapat mereka atasi
dan beberapa kali perampokan terhadap mereka berakhir dengan kocar-kacirnya
para perampok.
Pada suatu
sore tibalah mereka di sebuah dusun di luar kota raja. Ketika mereka sedang
menanyakan jalan yang menuju ke kota raja kepada penduduk dusun, seorang
penduduk tua yang merasa khawatir melihat Mayang gadis yang cantik jelita lagi
muda itu, segera rnemberi nasehat.
"Sebaiknya
kalau Kongcu dan Siocia (Tuan muda dan Nona) bermalam saja di dusun ini dan
besok setelah matahari naik baru melanjutkan ke kota raja."
"Akan
tetapi kenapa, Paman? Apakah perjalanan ini tidak aman?" tanya Mayang
kepada penduduk dusun itu.
"Apakah
di tengah perjalanan ada gangguan dari perampok, Paman? Ataukah gangguan dari
binatang buas?" tanya pula Hay Hay.
Kakek itu
menggelengkan kepalanya. "Jika bicara tentang keamanan, sekarang di
sekitar daerah kota raja aman, tidak pernah terjadi perampokan, bahkan tidak
ada pencuri berani melakukan kejahatan. Namun sungguh tidak aman sama sekali
melakukan perjalanan di waktu sore dan malam hari bagi seorang gadis muda dan
cantik seperti Nona. Perjalanan rnenuju ke kota raja masih cukup jauh dan sunyi
sekali pada malam hari. Maka sebaiknya melakukan perjalanan pada besok hari
siang saja, di mana terdapat banyak orang berlalu lalang sehingga Nona tidak
akan terancam gangguan."
"Hemm,
apakah tak ada jalan pintas yang lebih dekat, Paman?” tanya Hay Hay, maklum
akan maksud ucapan kakek itu. Kecantikan Mayang tentu akan menarik perhatian
banyak pria yang mata keranjang dan hidung belang, dan mereka itulah yang nanti
akan menjadi pengganggu, bukan para perampok yang menghendaki uang.
"Ada,
ada jalan pintas melalui hutan di bukit sana itu. Lebih dekat dan akan makan
waktu yang lebih singkat, akan tetapi juga lebih berbahaya karena di sana
banyak berkeliaran binatang buas dan di sana pun keselamatan seorang gadis
seperti Nona akan terancam.”
"Tetapi
siapakah yang akan menganggu aku, Paman? Dan mengapa pula seorang wanita
diganggu? Siapa mereka yang suka menganggu wanita?”
"Sstt,
jangan keras-keras bicara, Nona," kata kakek itu setengah berbisik sambil
matanya memandang ke kanan ke kiri dengan sikap jeri. "Tidak ada penjahat
yang menggunakan kekerasan. Akan tetapi sekarang banyak sekali orang-orang
gagah yang agaknya sedang membutuhkan isteri. Bila mereka bertemu seorang
gadis, apa lagi yang muda dan cantik seperti Nona, mereka akan memaksa Nona
untuk menjadi isteri. Isteri yang sah! Sudah banyak sekali gadis yang menjadi
isteri orang-orang itu."
"Ehhh?
Kalau aku tidak mau, apakah mereka akan memaksaku?" tanya Mayang dengan
sikap penasaran dan mulai marah. "Kalau begitu, mereka itu sama saja dengan
penjahat, bahkan lebih keji lagi!"
"Ssttt...
jangan keras-keras, Nona. Mereka itu bukan penjahat, dan tidak pernah terdengar
berita bahwa mereka memaksakan kehendak atau memperkosa wanita. Nyata-nyata
para gadis itu mau menjadi isteri mereka. Mereka benar-benar bukan penjahat,
bahkan semua penjahat takut kepada mereka. Mereka adalah para anggota
perkumpulan Ho-han-pang."
Mendengar
nama perkumpulan itu, Mayang dan Hay Hay bertukar pandang. Ho-han-pang
(Perkumpulan Patriot Gagah)? Kalau nama itu benar sesuai, maka tentu saja
mereka tak perlu khawatir akan mendapat gangguan. Mana mungkin para ho-han,
yaitu sebutan bagi orang-orang gagah yang berjiwa pahlawan, mau mengganggu
wanita?
"Paman,
di mana lebih banyak kemungkinan kita bertemu dengan para ho-han itu, melalui
jalan raya ataukah melalui jalan pintas?” tanya Hay Hay.
Kakek itu
mengerutkan alisnya. "Kongcu, bila engkau sendiri yang melakukan
perjalanan, maka melalui jalan raya tidak akan ada bahaya apa pun. Akan tetapi
bagi Nona ini..., di jalan raya tentu akan bertemu banyak anggota
Ho-han-pang..."
“Jangan
khawatir, Paman. Kami adalah sahabat para ho-han (orang gagah). Terima kasih,
Paman, kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga."
Setelah
berkata demikian, Hay Hay lalu meloncat ke atas punggung kudanya, diikuti oleh
Mayang. Gadis ini tersenyum manis kepada kakek itu, sedikit pun tidak
memperlihatkan rasa takut dan melihat cara gadis itu meloncat ke atas kuda,
kakek itu pun bisa menduga bahwa gadis cantik itu tentulah seorang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak begitu, mana ada gadis muda cantik yang
tidak takut menghadapi orang-orang Ho-han-pang, bahkan menganggap mereka
sebagai sahabat?
Hay Hay dan
Mayang segera membalapkan kuda mereka keluar dari dusun itu. Sesudah cukup jauh
meninggalkan dusun, mereka menahan kuda mereka dan Hay Hay mengajak adiknya
bicara.
"Bagaimana
pendapatmu tentang keterangan kakek tadi, Mayang?"
"Mengenai
Ho-han-pang itu? Aku merasa sangat curiga, Hay-ko. Mana ada ho-han yang suka
mengganggu wanita?"
"Cocok
sekali dengan perasaanku, Mayang. Keterangan tadi tentu hanya mempunyai dua
arti. Pertama, ada gerombolan orang jahat yang berkedok perkumpulan orang gagah
dan menggunakan nama muluk Ho-han-pang. Dan ke dua, keterangan kakek tadi yang
keliru. Mereka memang orang-orang gagah yang bergabung dalam perkumpulan
Ho-han-pang, dan kakek tadi yang jahat dan memusuhi mereka maka menyebar berita
bohong supaya dapat memburukkan mereka."
Mayang
mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan saja kita akan berjumpa dengan mereka
lantas membuktikannya sendiri, orang-orang macam apa adanya mereka yang mengaku
para anggota Ho-han-pang itu. Atau mungkin mereka bukan orang yang suka
melakukan kejahatan seperti mencuri atau merampok, seperti dikatakan kakek tadi
bahwa daerah ini sekarang aman karena para penjahat takut kepada Ho-han-pang,
melainkan sekumpulan laki-laki mata keranjang seperti..." Dara itu
menghentikan ucapannya dan cepat menutupi mulutnya seperti hendak mencegah
kata-kata selanjutnya meloncat keluar dari mulut kecil itu.
"Seperti
apa, Mayang?"
"Seperti...
engkau, Hay-ko!”
Hay Hay
mengerutkan alisnya, pura-pura marah. "Ihhh, engkau menghina aku, ya?
Siapa yang mata keranjang? Kau memang bengal!”
Tangannya
meraih hendak mencubit, akan tetapi Mayang tertawa-tawa sambil membedal
kudanya, membalap ke depan, dikejar Hay Hay. Mereka berkejaran sambil
tertawa-tawa, seperti dua orang kanak-kanak bermain-main dan diam-diam perasaan
Hay Hay menjadi girang melihat adiknya sama sekali sudah melupakan kedukaannya
tadi.
Dia tidak
tertarik untuk menyelidiki orang-orang Ho-han-pang itu. Urusannya sendiri sudah
cukup penting namun belum juga mampu dia laksanakan dengan hasil baik, yaitu
mencari Ang-hong-cu, musuh besarnya sekaligus juga ayah kandungnya, yang bukan
saja sudah melakukan banyak sekali kejahatan mengganggu wanita, tetapi juga
telah mencemarkan nama baiknya sebab orang-orang gagah menyangka bahwa dialah
yang telah melakukan perkosaan dan gangguan terhadap para wanita itu.
Tiba-tiba
Mayang menahan kudanya. Melihat gadis itu menghentikan kudanya, Hay Hay juga
ikut menahan kendali kudanya. Dia tidak perlu bertanya lagi karena dia yang
berada di belakang Mayang juga telah melihat apa yang membuat adiknya itu
berhenti. Di depan mereka terdapat lima orang penunggang kuda sedang malang
melintang di tengah jalan raya. Jelas lima orang itu sengaja menghadang mereka
dan memenuhi jalan.
Dia
memandang tajam penuh perhatian kepada kelima orang itu. Matahari belum rendah
benar dan sinarnya masih cukup terang. Lima orang itu adalah pria semua,
berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun. Mereka berpakaian
ringkas yang cukup rapi dan bahkan nampak mewah.
Melihat
gagang pedang atau golok di punggung mereka, mudah diketahui bahwa mereka
adalah orang-orang dunia persilatan. Muka mereka terawat dan bersih, dan sikap
mereka pun tidak kasar seperti para perampok atau penjahat pada umumnya. Sikap
mereka lebih pantas seperti sikap orang-orang muda bangsawan atau hartawan yang
berlagak congkak mengandalkan kedudukan atau kekayaan orang tua mereka.
Mereka juga
berlagak gagah-gagahan seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki ilmu silat yang kepalang tanggung dan merasa bahwa dirinya adalah
orang yang paling lihai di dunia ini. Gentong kosong gaungnya lebih nyaring
dari pada gentong penuh isi. Ayam katai keruyuknya lebih nyaring dari pada ayam
besar.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment