Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 25
TIBA-TIBA
dia tersentak kaget, teringat betapa ketika mengeroyoknya, Tang Cun Sek tidak
memegang Hong-cu-kiam, dan Sim Ki Liong juga tidak memegang Gin-hwa-kiam!
Apakah hal itu sengaja mereka lakukan karena mereka menyamar dengan memakai
kedok tipis, tidak mau mengeluarkan pedang-pedang pusaka itu agar dia tidak
mengenal mereka?
"Lanjutkan
ceritamu, Mayang."
"Aku
ditawan di sini dan aku menantang Ho-han Pangcu di kamar ini. Ia membebaskanku
kemudian kami berkelahi. Akan tetapi dia amat lihai, dia berhasil merobek
bajuku dan dia melihat benda mainan ini!"
"Hemm,
jadi dia tahu pula bahwa engkau puterinya?"
“Agaknya
demikianlah, walau pun dia tidak membuat pengakuan. Buktinya dia mengenal nama
ibuku, Souli, dan dia mengenal pula subo-ku."
"Siapakah
subo-mu?"
"Kim-mo
Sian-kouw."
"Hemm,
lalu apa yang dilakukan terhadap dirimu?"
"Dia
tidak mengaku siapa dirinya, hanya mengatakan bahwa aku ditahan di sini dan
baru akan dibebaskan bila Hay-ko mau menyerah dan mau membantu Ho-han-pang. Aku
pun menanti saja di sini, diberi makan minum dan semua keperluan dicukupi,
bahkan pakaian lengkap tersedia di sini. Mereka tidak pernah menggangguku,
tetapi hatiku selalu khawatir akan nasib Hay-ko sampai engkau masuk tadi, Enci.
Tetapi sekarang hatiku lebih tenang, sesudah mengetahui bahwa engkau juga musuh
mereka dan agaknya engkau lihai. Kita dapat bekerja sama melawan mereka,
enci!"
Hati Kui
Hong juga merasa lega. Gadis ini tentu mempunyai ilmu kepandaian yang cukup
baik, sebab bila tidak demikian, tidak nanti Hay Hay mengajaknya mencari
Ang-hong-cu. Dia sendiri belum pernah mendengar nama gadis ini atau ibunya,
akan tetapi dia pernah mendengar nama guru gadis ini, Kim-mo Sian-kouw.
Neneknya pernah bercerita bahwa di daerah Tibet selain terdapat banyak pendeta
Lama yang sakti juga terdapat seorang tokoh wanita yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan berjuluk Kim-mo Sian-kouw.
"Tentu
saja, adikku. Ketahuilah, namaku Cia Kui Hong…..”
"Wah,
kiranya engkau ini enci Kui Hong!" Mayang berseru dengan gembira sekali.
Kui Hong
memandang kepada Mayang dengan alis berkerut. "Engkau sudah mengetahui
namaku?"
"Tentu
saja! Engkau merupakan sahabat terbaik dari kakakku, bagaimana aku tidak tahu?
Hay-ko banyak bercerita tentang dirimu, kata Hay-ko engkaulah sahabatnya yang
paling dikaguminya dan yang paling baik."
"Ahh?
Dia berkata demikian?" Wajah Kui Hong seketika berubah merah sekali sampai
ke leher dan telinganya dan hal ini tidak dilewatkan oleh pandangan mata
Mayang. "Apa lagi yang dikatakannya tentang diriku?"
Mayang
kemudian mengingat-ingat. Atas pertanyaan dan desakannya, memang Hay Hay banyak
bercerita tentang pengalamannya yang lampau dan tentang para pendekar wanita
yang pernah ditemuinya, juga yang pernah bekerja sama dengannya dalam
menghadapi tokoh-tokoh sesat.
"Dia
bilang bahwa Enci merupakan seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan
manis budi, juga berkepandaian tinggi sekali…"
“Ihhh!
Engkau perayu seperti kakakmu!" kata Kui Hong tertawa.
"Tidak,
Enci. Dia bukan memuji kosong sebagai rayuan. Memang engkau cantik jelita dan
manis budi, dan tentu kepandaianmu tinggi sekali…"
"Sudah,
cukuplah. Lanjutkan ceritamu, adik Mayang," kata Kui Hong, akan tetapi
bibirnya tersenyum manis dan hatinya terasa girang bukan main. Hay Hay masih
ingat kepadanya! Bukan hanya ingat, akan tetapi bahkan memuji-mujinya!
"Hay-koko
mengatakan bahwa Enci adalah puteri ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai
perkumpulan para pendekar yang gagah perkasa, juga Enci adalah cucu Pendekar
Sadis yang namanya menggemparkan dunia persilatan!"
"Cukup
tentang diriku. Ceritakan bagaimana engkau sampai terjebak di sini dan kakakmu
itu belum juga datang menolongmu."
Wajah Mayang
kelihatan berduka. "Entahlah, enci Hong. Aku tidak tahu di mana adanya
kakakku, tetapi aku khawatir sekali kalau sampai dia pun terperangkap oleh
jahanam..."
“Dia ayah
kandungmu!"
"Tidak
peduli! Dia jahat! Dia telah meninggalkan ibu ketika ibu mengandung, membuat
ibu menderita hebat. Dan sekarang dia malah menawanku, menghinaku! Enci Hong,
engkau yang seharusnya melanjutkan ceritamu tadi, tentang Ang-hong-cu, tentang
kedatanganmu ke sini, tentang segalanya!"
Kui Hong
teringat dan tersenyum. Tadi ceritanya terhenti karena dia tenggelam ke dalam
kegembiraan mendengar Hay Hay memuji-mujinya dan masih ingat kepadanya.
"Aku
mengenal Han Lojin sebagai Ang-hong-cu beberapa waktu yang lalu pada saat para
pendekar membantu pemerintah membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai
Giam-lo. Han Lojin muncul dan dia pun membantu pemerintah. Di sanalah dia melakukan
perbuatan-pebuatan jahat, memperkosa beberapa orang wanita dan di sana terdapat
pula kakakmu Hay Hay. Ketika itulah kakakmu, aku dan yang lain-lainnya,
mengetahui bahwa Han Lojin adalah Ang-hongcu, akan tetapi dia melarikan diri.
Ketika aku tiba di kota raja, kebetulan aku bertemu dengan Tang Bun An yang
menjadi perwira di istana, lantas aku mengetahui rahasianya, bahkan dialah Han
Lojin dan juga Ang-hong-cu. Namun dengan liciknya dia menjebakku sehingga aku
tertawan olehnya. Dan di situ aku melakukan suatu kebodohan yang membuat aku
sangat menyesal. Aku telah berjanji takkan memusuhinya dan tak akan membuka
rahasianya. Sebagai imbalannya dia membebaskan aku. Padahal sesungguhnya dia
takut kepadaku, takut kepada Cin-ling-pai, takut pula kepada kakekku Pendekar
Sadis. Sesudah bebas aku merasa sangat menyesal, merasa bahwa aku telah menjadi
pelindungnya, menjadi sekutunya. Karena itu aku lalu datang menantangnya dan
maklum bahwa dia tentu akan mempergunakan anak buahnya untuk mengeroyokku. Nah,
kemudian aku dikeroyok dan ditawan, lalu dimasukkan ke sini."
Mayang
memandang heran. "Enci Hong! Engkau telah bebas akan tetapi engkau sengaja
membiarkan dirimu ditangkap dan terancam maut?"
Kui Hong
tersenyum, kemudian mengangguk. "Bukan hanya ancaman maut, malah lebih
mengerikan lagi. Mungkin aku akan disiksa, dihina, lalu dibunuh. Akan tetapi
bagiku lebih baik mati dalam menentang kejahatan dari pada hidup menjadi sekutu
orang jahat!"
"Hebat!
Engkau hebat, enci Hong. Memang pantas sekali kalau kakakku kagum padamu.
Engkau seorang pendekar wanita yang hebat! Akan tetapi jangan khawatir, Enci.
Kini kita bersatu. Kita berdua dapat melawan mereka! Dan masih ada kakakku
pula, dia pasti akan menolong kita. Ia mempunyai sebuah hadiah untukmu, hal itu
pernah dia katakan sendiri kepadaku."
"Hadiah?
Untukku? Hadiah apakah itu, Mayang?"
"Sebatang
pedang pusaka, Enci."
"Pedang
pusaka? Aku sudah memiliki Hok-mo Siangkiam... ahh, tetapi si keparat itu telah
menyitanya!" katanya dengan wajah menyesal sekali.
"Jangan
khawatir, Enci. Pedang pusaka itu hebat, aku telah melihatnya, dan kata Hay-ko,
pedang itu memang milikmu, milik Cin-ling-pai. Namanya Hong-cu-kiam."
"Hong-cu-kiam?"
Sepasang
mata yang tajam itu terbelalak. Pedang pusaka itu dilarikan Tang Cun Sek dan
kini telah berada di tangan Hay Hay? Pantas saja Cun Sek tidak mempergunakan
pedang pusaka itu. Dan bagaimana dengan Gin-hwa-kiam yang tadinya dilarikan Ki
Liong?
"Ah,
memang benar itu pusaka Cin-ling-pai yang dilarikan orang. Dan... barangkali engkau
tahu tentang pedang pusaka Gin-hwa-kiam?”
"Gin-hwa-kiam?
Bukankah itu pedang pusaka yang kulihat dipergunakan oleh pendekar Pek Han
Siong?"
"Sudah
berada di tangan Pek Han Siong? Bagus!" Kui Hong girang bukan main.
Kiranya Hay Hay dan Han Siong sudah dapat merampas kembali kedua pedang pusaka
itu! "Gin-hwa-kiam adalah pedang Pulau Teratai Merah yang juga dilarikan
orang. Aihh…, adikku, engkau menceritakan berita yang sangat menggembirakan.
Sekarang marilah kita periksa tempat ini, kalau-kalau ada jalan untuk melarikan
diri dari sini."
"Coba
periksalah, Enci. Aku sudah lelah memeriksa namun tidak dapat menemukan jalan
keluar. Ruangan ini adalah ruangan di bawah tanah dan jalan satu-satunya adalah
pintu itu, tetapi pintu itu terbuat dari besi yang tebal dan kokoh kuat.
Membukanya pun dengan alat rahasia. Sedangkan lubang angin dan sinar di atas
itu, selain terlalu tinggi juga diberi terali besi yang kokoh pula."
Tetapi Kui
Hong merasa tidak puas kalau belum memeriksa sendiri. Dia lalu mengadakan pemeriksaan
dengan sangat teliti. Namun ternyata benar seperti yang dikatakan Mayang tadi.
Tempat itu sangat rapat dan tidak ada jalan keluar kecuali melalui pintu yang
amat kokoh itu. Satu-satunya jalan hanyalah menanti sampai ada yang membuka
pintu itu lalu menerjang keluar!
Karena itu,
ketika ada orang yang mendorong makanan dan minuman melalui lubang di bagian
bawah pintu, dua orang gadis itu pun makan minum dengan cukup untuk membuat
tubuh mereka tetap kuat. Kui Hong yang mengenal kelicikan lawan tadinya merasa
ragu untuk makan dan minum. Dia tidak takut menghadapi racun karena dia dapat
mengetahui kalau makanan atau minuman itu dicampur racun, tetapi yang
dikhawatirkan adalah kalau ada kekuatan sihir terkandung dalam makanan dan
minuman itu yang akan menundukkan mereka. Ketika dia menyatakan hal ini, Mayang
pun tersenyum.
"Kalau
terhadap serangan sihir, jangan takut, Enci. Secara khusus aku sudah melatih
diri untuk menolak segala kekuatan sihir."
"Ehh!
Engkau pandai sihir seperti Hay Hay dan Han Siong?" Kui Hong memandang
gadis Tibet itu.
Mayang
tersenyum. Bukan main manisnya gadis Tibet itu bila mana tersenyum. Mulutnya
yang kecil itu mekar bagaikan setangkai bunga yang merah merekah. Dia tidak
menutupi keindahan itu dengan tangannya seperti biasanya gadis Han yang
sopan-sopan.
Kui Hong memandang
kagum. Memang ada persamaan antara Mayang dengan Hay Hay. Mungkin dalam bentuk
mulut dan hidungnya itulah, juga kecerahan wajah itu bila sedang tersenyum.
"Tidak,
Enci. Akan tetapi biar Hay-ko sendiri pun tak akan mampu menguasai aku dengan
kekuatan sihirnya! Subo telah mengajarkan aku latihan untuk memperoleh kekuatan
batin yang bisa menolak segala macam kekuatan sihir yang bagaimana kuat pun.
Oleh karena itu jangan khawatir, aku mampu menolaknya."
Kui Hong
memandang kagum. Mereka lalu makan minum dengan gembira sehingga Kui Hong pun
lupa bahwa dia sedang berada dalam tahanan musuh, bukan di dalam kamar hotel
mewah sedang bersenang-senang dengan seorang sahabat yang menyenangkan sekali.
Setelah makan dan beristirahat sejenak, Kui Hong lalu bangkit.
"Adik
Mayang, kini bersiaplah. Kita akan mengadu kepandaian silat. Kamar ini cukup
lebar sehingga leluasa bagi kita untuk bertanding silat di sini."
"Ehhh?!"
Mayang memandang wajah Kui Hong dengan kaget, akan tetapi melihat wajah yang
cantik itu tetap cerah dan mulutnya tersenyum, Mayang pun segera mengerti.
"Maksudmu,
kita berlatih silat, enci Hong?'
Kui Hong
mengangguk. "Kita harus selalu siap, oleh sebab itu kita perlu berlatih,
terutama untuk mengenal kepandaian masing-masing sehingga mudah bagi kita untuk
menentukan langkah selanjutnya. Jangan sungkan dan jangan main-main, adikku.
Seranglah aku dan keluarkan semua kepandaianmu agar aku dapat menilai sampai di
mana tingkatmu."
"Baik,
enci Hong, akan tetapi jangan mentertawakan aku!"
"Aihh,
engkau terlalu merendahkan dirimu, Mayang. Aku pernah mendengar nama besar
subo-mu, maka aku tahu bahwa engkau pasti mempunyai ilmu silat yang hebat. Nah,
mari kita main-main sebentar!"
"Baik,
enci Hong. Kau jaga baik-baik seranganku!"
Setelah melihat
bahwa Kui Hong sudah memasang kuda-kuda, Mayang kemudian mulai menyerang.
Karena dia pun sudah dapat menduga akan kelihaian Kui Hong, maka begitu
menyerang dia segera memainkan ilmu silat Kim-lian-kun (Ilmu Silat Teratai
Emas) yang sangat ampuh, yaitu ilmu silat andalan dari Kim-mo Sian-kouw.
Gerakannya sangat cepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sehingga dari
tangannya keluar angin berdesir.
"Bagus!"
Kui Hong berseru sambil mengelak dan membalas serangan Mayang.
Dia pun
tidak main-main karena dari gerakan pertama itu saja tahulah dia bahwa Mayang
sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kui Hong sudah
mempelajari banyak macam ilmu silat, tapi belum pernah dia melihat ilmu silat
seperti yang dimainkan oleh Mayang, maka dia pun bersikap hati-hati sekali.
Serang
menyerang terjadi di dalam kamar yang luas itu hingga terdengar angin berkesiur
setiap kali mereka menggerakkan tangan. Dan bila sesekali terjadi adu lengan,
keduanya tergetar dan mundur dua langkah, saling pandang dengan kagum. Makin
lama serangan Mayang semakin hebat dan Kui Hong kagum bukan main.
Ilmu silat
gadis Tibet itu memang tangguh sekali, maka terpaksa dia harus mengerahkan ilmu
ginkang (meringankan tubuh) Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang
dipelajarinya dari Ceng Sui Cin, ibunya. Dengan ilmu ini tubuhnya menjadi
ringan laksana kapas sehingga Mayang terkejut dan kagum bukan main. Lawannya
itu seolah-olah dapat terbang dan tak pernah dapat disentuh oleh tangannya yang
menyerang.
Kui Hong
lalu menilai ilmu yang dimiliki Mayang, juga kekuatan kedua tangannya. Harus
diakuinya bahwa tingkat kepandaian Mayang sudah cukup tinggi, tak kalah
dibandingkan para pendekar wanita lainnya. Apa bila tidak memperoleh gemblengan
dari kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dia sendiri tentu akan
mengalami kesulitan untuk dapat mengalahkan Mayang!
Sampai lima
puluh jurus lebih mereka berlatih dan kalau Kui Hong menghendaki, biar pun
tidak terlalu mudah tapi dia akan mampu mengalahkan Mayang. Bagaimana pun
lihainya gadis Tibet itu, Kui Hong masih menang tingkat, menang cepat dan
tenaganya lebih kuat. Akan tetapi Kui Hong tidak mau mengecilkan hati Mayang.
Dia sudah merasa cukup puas melihat kenyataan bahwa Mayang memang lihai
sehingga bisa diandalkan untuk menjadi kawan dalam menghadapi Ang-hong-cu
beserta anak-anak buahnya.
"Cukup,
Mayang!" katanya sambil melompat ke belakang. "Engkau lihai
sekali!"
"Ihhh,
enci Kui Hong, jangan memuji! Kalau engkau mau, tentu sudah sejak tadi engkau
dapat merobohkan aku. Ilmu aneh apakah itu yang tadi membuat tubuhmu begitu
ringan seperti kapas terbang saja? Semua seranganku tidak ada gunanya!"
"Itu
adalah Bu-eng Hui-teng yang kupelajari dari ibuku, Mayang. Sudahlah, sekarang
kita beristirahat. Engkau cukup tangguh dan kurasa kita berdua akan mampu
menjaga diri bila mereka muncul," kata Kui Hong sambil mengusap peluh dari
lehernya, seperti yang juga dilakukan oleh Mayang. "Sekarang mari
menghimpun tenaga dan memulihkan kelenturan otot-otot, mengatur
pernapasan," kata Kui Hong yang ingin agar keduanya berada dalam keadaan
yang siap benar untuk memberontak kalau sewaktu-waktu pintu besi itu dibuka.
Mayang mengangguk dan keduanya lantas duduk bersila di atas pembaringan,
mengatur pernapasan.
***************
Sebagai
seorang pelarian, tentu saja Tang Gun tidak berani begitu saja memasuki kota
raja. Kalau ada orang yang mengenalnya, tentu akan terjadi geger. Pasukan
pemerintah pasti akan mengejar dan menangkapnya.
Meski pun di
sampingnya ada sumoi-nya, Siangkoan Bi Lian yang lihai sekali, namun jika
pasukan pemerintah mengepungnya, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan,
bahkan sulit untuk dapat meloloskan diri dari kota raja. Oleh karena itu,
ketika memasuki pintu gerbang kota raja, Tang Gun menyamar sebagai seorang
lelaki setengah tua yang rambutnya sudah penuh uban, dengan kumis dan jenggot palsu.
Siangkoan Bi Lian yang berjalan di sampingnya mengaku sebagai puterinya.
Penyamaran itu cukup baik sehingga tak seorang pun mengenalnya.
Mereka masuk
ke kota raja sesudah hari menjelang senja. Cuaca sudah mulai redup dan
remang-remang. Tang Gun langsung mengajak sumoi-nya mencari seorang bekas anak
buahnya yang dipercaya benar, karena mereka harus lebih dahulu menyelidiki di
mana adanya Tang Bun An yang mereka cari-cari itu.
Bekas anak
buahnya itu bernama Gu Kiat, dan sebagai seorang prajurit pengawal istana tentu
dia tahu akan segalanya mengenai Tang Bun An yang kabarnya menjadi perwira itu.
Dahulu Tang Gun pernah menyelamatkan Gu Kiat, maka dia merasa yakin bahwa Gu
Kiat yang hidup sebatang kara tanpa keluarga itu pasti akan suka membantunya.
Gu Kiat
kebetulan sedang duduk di ruangan depan rumahnya ketika Tang Gun atau yang kini
dikenal sebagai Tan Hok Seng tiba. Dia cepat-cepat keluar dari pintu rumahnya
dan memandang heran pada pria dan wanita yang tidak dikenalnya itu. Apa lagi
ketika melihat betapa wanita muda itu amat cantik, maka keheranannya bertambah.
"Paman
hendak mencari siapakah?" tanya Gu Kiat sambil melirik ke arah wajah Bi
Lian yang nampak cantik sekali tertimpa sinar lampu gantung di depan rumah itu.
Hok Seng
membalas penghormatan tuan rumah dan berkata, "Saya mempunyai urusan
penting sekali untuk disampaikan kepada saudara Gu Kiat."
"Saya
sendiri yang bernama Gu Kiat."
Hok Seng
berkata kepada Bi Lian, "Anakku, engkau tunggu sebentar di sini, aku
hendak bicara empat mata dengan saudara ini." Bi Lian mengangguk dan Hok
Seng lalu berkata kepada Gu Kiat yang masih memandang keheranan itu.
"Saudara Gu Kiat, dapatkah kita bicara empat mata di dalam? Apa yang akan
saya bicarakan ini sangat penting dan tidak boleh diketahui orang lain."
"Tapi...
tapi..., siapakah Paman?" Gu Kiat bertanya ragu.
Hok Seng
berbisik, "Aku Tan Hok Seng dan aku ingin bicara mengenai guci emas istana.
Mari kita bicara empat mata di dalam."
Gu Kiat
nampak kaget bukan kepalang, matanya terbelalak dan mukanya berubah pucat
ketika dia memandang kepada Hok Seng. Bi Lian tidak mengerti, hanya mengira
bahwa kini orang itu sudah mengenal Hok Seng yang menyamar. Padahal Gu Kiat
terkejut sekali karena mendengar bisikan tentang guci emas istana tadi.
Dulu,
sebagai prajurit pengawal dia pernah mencuri guci emas istana dan perbuatannya
itu ketahuan oleh pengawal lain. Kalau tidak ada Tang Gun yang menyelamatkannya,
dia tentu sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Tidak mengherankan kini
dia terkejut setengah mati mendengar laki-laki setengah tua yang tidak
dikenalnya itu berbisik tentang guci emas istana! Karena itu, mendengar
permintaan orang itu untuk bicara empat mata di dalam, dia pun mengangguk
lantas memberi isyarat kepada orang itu untuk memasuki rumahnya.
Bi Lian
tidak turut masuk, melainkan duduk menunggu di atas bangku di ruangan depan
itu. Biarlah suheng-nya yang melakukan penyelidikan di mana adanya Tang Bun An
yang telah melempar fitnah kepada suheng-nya itu. Nanti bila telah berhadapan
dengan musuh itu, barulah dia yang akan menandinginya.
Setelah
berada di dalam ruangan sebelah dalam, hanya berdua saja dengan Gu Kiat, Hok
Seng kemudian berkata lirih, "Gu Kiat, pandanglah baik-baik. Aku adalah
Tang Gun yang sedang menyamar!"
Gu Kiat
memandang tajam dan dia segera mengenal bekas atasannya itu, mengenal dari
suara dan pandang matanya. "Tang-ciangkun....!" katanya terkejut dan
heran. Selama ini dia menyangka bahwa bekas komandannya ini telah tewas.
"Ahhh,
jangan menyebut aku ciangkun lagi, aku sudah bukan seorang perwira."
"Tapi...
tapi... apakah kehendak Tang-kongcu, (tuan muda Tang) mendatangi saya?"
jelas bahwa Gu Kiat ketakutan karena tentu saja dia akan celaka kalau sampai
diketahui orang bahwa dia kedatangan tamu bekas perwira yang menjadi orang
hukuman dan pelarian ini.
"Dengarkan
baik-baik, Gu Kiat. Aku pernah menolongmu, dan sekarang saatnya engkau membalas
budi itu dan balik menolongku. Pertama, lupakan bahwa namaku adalah Tang Gun.
Kini namaku adalah Tan Hok Seng, maka engkau harus menyebutku Tan-kongcu.
Mengerti?"
Diingatkan
akan ‘budi’ itu, Gu Kiat mengangguk patuh. "Saya mengerti," katanya
lirih.
"Dan ke
dua, aku ingin mendengar tentang diri Tang Bun An. Nah, ceritakan tentang
dia!"
Di dalam
hatinya Gu Kiat tersenyum. Akan tetapi wajahnya tidak membayangkan apa pun
ketika dia menjawab. "Ahh, dia? Setelah engkau pergi, dia lalu diangkat
menjadi seorang perwira tinggi pasukan pengawal di istana."
"Hemm,
sudah kuduga. Di mana sekarang dia tinggal?"
Gu Kiat
menggeleng kepalanya. "Bagaimana saya bisa tahu? Sekarang dia telah
berhenti menjadi perwira."
"Berhenti?"
"Dia
mengundurkan diri dan sejak itu, saya tidak tahu lagi di mana dia berada."
Tentu saja
Hok Seng kecewa bukan main mendengar berita ini. Musuh besarnya itu telah
lolos, dan tidak lagi berada di kota raja!
"Akan
tetapi saya dapat membantumu, Kongcu. Di antara kawan-kawan yang dulu pernah
menjadi anak buahnya, tentu ada yang tahu di mana adanya bekas perwira
itu."
Wajah yang
tadinya dibayangi kekecewaan itu menjadi cerah kembali. "Ahh, bagus
sekali! Terima kasih dan ternyata engkau seorang yang mengenal budi, Gu Kiat.
Kapan engkau akan melakukan penyelidikan itu? Lebih cepat lebih baik!"
"Memang
sebaiknya begitu, Kongcu. Malam ini juga saya akan pergi menyelidiki di antara
kawan-kawan. Dan sebaiknya kalau Kongcu dan ehh… siapakah nona yang menunggu di
depan itu?"
"Dia
sumoi-ku."
"Sebaiknya
Kongcu dan nona bersembunyi saja di rumah saya ini. Amat berbahaya kalau
bermalam di luaran. Kongcu berdua mengaso dan bermalam di sini saja, sedangkan
saya akan pergi melakukan penyelidikan. Mudah-mudahahan saja malam ini juga
saya sudah bisa mendapatkan keterangan."
Hok Seng
menjadi girang bukan kepalang. Dia memesan kepada bekas anak buahnya itu agar
tidak keliru menyebut namanya karena semenjak menjadi pelarian dia telah
berganti nama, bahkan sumoi-nya sendiri pun mengenalnya sebagai Tan Hok Seng.
Sesudah itu barulah mereka keluar dan mempersilakan Siangkoan Bi Lian masuk ke
dalam. Sesudah mereka berada di ruangan dalam, Hok Seng memperkenalkan
sumoi-nya kepada Gu Kiat.
"Gu
Kiat, ini sumoi-ku Siangkoan Bi Lian. Sumoi, saudara Gu Kiat ini dulu pernah
menjadi anak buahku yang setia. Sekarang dia suka membantu kita dan malam ini
juga dia akan melakukan penyelidikan tentang perwira itu. Malam ini kita
tinggal di sini, lebih aman."
Bi Lian
mengerutkan alisnya dan dia menatap tajam wajah tuan rumah.
"Kenapa
harus menyelidiki lagi? Kita dapat menyelidiki sendiri asalkan diberi tahu di
mana tinggalnya.”
"Aihhh,
engkau belum tahu, Sumoi. Orang yang kita cari itu ternyata sudah tidak menjadi
perwira lagi, dan Gu Kiat ini tidak tahu ke mana dia pergi. Oleh karena itu,
malam ini juga dia hendak mencari keterangan dari kawan-kawannya yang dahulu
pernah menjadi anak buah perwira tua itu."
"Hemm,
begitukah?" Bi Lian merasa kecewa mendengar berita itu.
"Harap
Tan-kongcu dan Siangkoan-siocia (nona Siangkoan) tenangkan hati. Jji-wi
(kalian) malam ini tinggal di sini, agar lebih aman dari pada kalau tinggal di
luar. Dan percayalah, malam ini tentu saya sudah mendapatkan berita tentang
perwira itu. Pakailah dua kamar di depan kamar saya, itu memang kamar untuk
tamu. Apa bila ji-wi membutuhkan makan minum, di dapur masih ada persediaan
lengkap untuk masak dan membuat air teh. Juga masih ada arak di dalam almari.
Silakan, harap ji-wi tidak sungkan."
Hok Seng
merasa girang sekali. "Saudara Gu Kiat, terima kasih. Ternyata engkau
adalah seorang sahabat yang baik sekali."
"Sekarang
saya harus berangkat sebelum kawan-kawan tidur semua. Kalau penyelidikan saya
telah berhasil, tentu malam ini juga saya pulang, atau paling lambat besok
pagi-pagi. Harap ji-wi tinggal dengan tenang saja.”
Dua orang
muda itu mengucapkan terima kasih dan Gu Kiat lantas meninggalkan mereka. Karena
keduanya merasa lapar tetapi mereka tidak berani pergi ke rumah makan, mereka
kemudian memeriksa dapur dan dengan girang mereka mendapatkan bahan-bahan untuk
dimasak. Maka mereka segera sibuk membuat masakan untuk makan malam mereka dari
bahan-bahan yang ada.
"Ah, di
mana-mana orang baik pasti menemukan penolong," kata Hok Seng ketika
mereka berdua menghadapi meja dengan makanan dan minuman sederhana. "Tak
kukira bahwa Gu Kiat demikian mengenal budi, masih ingat tentang banyak
pertolongan yang kuberikan kepadanya ketika aku masih menjadi
komandannya."
Bi Lian
hanya tersenyum, lantas berkata lembut, "Bagaimana pun juga kita harus
berhati-hati, Suheng. Di dunia ini lebih banyak terdapat orang busuk dari pada
yang baik. Jangan tergesa-gesa menilai orang apa bila belum terbukti,."
"Aku
yakin bahwa dia orang baik, sumoi. Apa lagi karena dia berhutang budi kepaddku.
Kalau tidak ada aku yang menolongnya, mungkin dahulu dia telah dihukum
mati!"
"Ehh?
Perbuatan apa yang telah dia lakukan, Suheng?"
"Ketika
itu dia menjadi anak buah pasukanku, pasukan pegawal istana. Sering kali aku
mengganti regu penjaga sebelah dalam istana secara bergiliran. Pada waktu dia
bertugas di dalam, dia telah mencuri sebuah guci emas. Perbuatannya itu
ketahuan oleh pengawal lainnya. Tentu saja pengawal yang lain itu hendak
melaporkan perbuatannya itu dan kalau sampai dilaporkan lantas didengar oleh
kaisar, tentu dia sudah dihukum mati. Dosa besar bila mencuri barang istana,
apa lagi dia bertugas sebagai seorang prajurit pengawal. Aku kasihan kepadanya,
lalu aku melarang pengawal yang lain itu melapor, dan menyuruh Gu Kiat
mengembalikan guci itu ke tempatnya semula. Maka selamatlah dia dan agaknya dia
masih ingat akan budi itu dan sekarang berkesempatan untuk membalas kepadaku."
Bi Lian diam
saja. Dia sendiri tidak begitu peduli tentang budi dan sebagainya. Sejak kecil
dia sudah menjadi murid Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua datuk sesat yang
sangat jahat. Meski pun pada dasarnya dia memiliki watak yang gagah perkasa,
bahkan pantang melakukan kejahatan dan menuruti nafsu ingin menyenangkan diri
sendiri, tapi kehidupan dalam lingkungan dunia sesat membuat dia bersikap
keras, bahkan ganas dan tak peduli. Malah dia sempat mendapat julukan Tiat-sim
Sian-li (Dewi Berhati Besi) karena kekerasan hatinya ini.
Namun
sesudah dia kembali berkumpul dengan ayah ibunya, dia menerima gemblengan ilmu
dan juga keteguhan batin dari ayah dan ibunya yang sakti. Bahkan orang tuanya
juga menceritakan secara terus terang bahwa dia merupakan keturunan dari para
datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kesaktian dan
kejahatan mereka. Oleh karena itu dia harus selalu ingat akan hal ini dan
menunjukkan kepada dunia bahwa biar pun keturunan datuk sesat, namun dia dapat
bertindak sebagai seorang pendekar!
Kakek
dalamnya, yaitu ayah dari ayahnya, adalah Siangkoan Lojin yang terkenal dengan
julukan Si Iblis Buta! Dan kakek luarnya, ayah dari ibunya, lebih hebat lagi
karena kakek itu adalah mendiang Raja Iblis! Raja Iblis dan isterinya, Ratu
Iblis, benar-benar pernah merajai dunia sesat. Dan ayah ibunya, Siangkoan Ci
Kang dan Toan Hui Cu, pernah pula menjadi orang-orang terhukum di kuil
Siauw-lim-si sesudah dianggap berdosa oleh ketua kuil. Mereka berdua bersedia
menerima hukuman ini untuk menebus dosa orang-orang tua mereka!
Perbuatan
yang dianggap baik oleh pelakunya, apa lagi oleh pelakunya dianggap sebagai
budi, bukanlah perbuatan baik lagi, akan tetapi sebuah cara untuk memperoleh
sesuatu. Kalau kita menolong orang lalu kita menganggap bahwa pertolongan yang
kita berikan itu sebagai budi, bukankah itu sama saja dengan menghutangkan
sesuatu yang kelak akan ditagih dan diharuskan membayar kembali berikut
bunganya?
Baik buruk
hanya penilaian, dan penilaian selalu didasari pada kepentingan pribadi. Kalau
segala sesuatu yang kita lakukan didasari cinta kasih, maka tidak ada pamrih
lain, tidak ada lagi yang dinamakan budi mau pun dendam! Budi mau pun dendam
hanyalah ikatan, perhitungan untung rugi dari hati akal pikiran yang
bergelimang nafsu.
Penyesalan
tak ada gunanya! Semua perbuatan yang dilakukan melalui pemikiran selalu
ditunggangi oleh nafsu pementingan diri sendiri karena pikiran adalah si-aku
yang sudah bergelimang nafsu. Yang penting adalah kewaspadaan, pengamatan
terhadap diri sendiri lahir batin. Pengamatan sepenuhnya tanpa si-aku yang
mengamati ini akan menimbulkan kesadaran.
Tidak
mungkin kita mengubah sifat dan watak kita melalui pemikiran, karena pemikiran
tidak mungkin dapat terepas dari pengaruh nafsu daya rendah. Setiap orang mudah
saja menyadari dan mengetahui bahwa perbuatannya tidak benar. Namun setiap kali
pikiran berniat mengubahnya, semua perbuatan itu malah akan diulang dan pikiran
yang berniat mengubah tadi pun menipis dan lenyap.
Tidak
mungkin pikiran mampu mencuci kekotoran perbuatan karena perbuatan itu justru
sudah dikendalikan oleh pikiran, dan pikiran itu bergelimang nafsu. Bagaimana
mungkin mencuci bersih sesuatu yang kotor dengan menggunakan air yang kotor
pula?
Hanya
kekuatan Tuhan yang dapat membersihkan batin, yaitu hati dan akal pikiran! Kita
yang merasa bergelimang kekotoran, yang telah dikuasai oleh nafsu daya rendah,
hanya tinggal menyerah saja kepada kekuasaan Tuhan! Biar kekuasaan Tuhan yang
mencuci kotoran itu, biarkan kekuasaan Tuhan yang membimbing dan membersihkan
batin kita. Kalau batin sudah bersih, maka terbukalah jendela dan pintu batin
kita untuk menerima masuknya sinar cinta kasih. Jika sudah begitu maka setiap perbuatan
kita diterangi oleh sinar cinta kasih.
Lantas ke
mana perginya nafsu daya rendah? Tidak pergi! Masih ada dan masih penting bagi
kehidupan kita. Akan tetapi nafsu daya rendah tak lagi menjadi majikan,
melainkan menjadi alat, menjadi pelayan untuk kepentingan hidup di dunia ini.
Bukan lagi menjadi liar, karena bila nafsu daya rendah yang memegang kemudi,
maka kita akan disesatkan ke arah pengejaran kesenangan nafsu sehingga
menghalalkan segala cara, melakukan segala yang sifatnya merusak dan yang pada
umumnya disebut jahat.
Malam itu
tidak terjadi sesuatu. Bi Lian dan Hok Seng menunggu di kamarnya masing-masing,
namun tuan rumah tidak kunjung pulang. Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali, ketika mereka berdua sudah menyiram tubuh dengan air dingin dan sudah
duduk di luar, muncullah Gu Kiat!
"Bagaimana,
saudara Gu Kiat? Berhasilkah?" Hok Seng langsung menyambutnya dengan
pertanyaan yang ingin tahu sekali.
Gu Kiat
tersenyum, menarik napas panjang lalu duduk di depan mereka. "Tiada
seorang pun tahu ke mana pindah atau perginya bekas perwira itu. Ketika saya
sudah putus asa dan menjelang pagi tadi berjalan pulang, di tengah jalan saya
bertemu atau dihadang oleh seorang bertopeng hitam....”
"Topeng
hitam...?" Tang Gun berseru kaget.
“Ya, orang
itu mengenakan kedok hitam. Ia muncul secara tiba-tiba dan bertanya kenapa saya
mencari bekas perwira Tang Bun An. Karena sikapnya menyeramkan, terpaksa saya
berterus terang mengatakan bahwa Kongcu yang mencarinya. Si kedok itu lalu
menyuruh saya memberi tahukan Kongcu bahwa dia yang akan dapat menunjukkan
kepada Kongcu di mana adanya bekas perwira itu."
"Tapi...
tapi... siapa dia?” Tang Gun bertanya, suaranya menunjukkan ketegangan hatinya
dan Bi Lian hanya mendengarkan saja dengan sikap tenang.
“Tadi saya
juga bertanya demikian, Kongcu. Sesudah saya bertanya siapa dia, dia hanya
mengatakan bahwa dia pernah memberi sekantung emas kepada Kongcu dan Kongcu
tentu mengenalnya!"
“Pendekar
itu...!” Tang Gun menoleh kepada Bi Lian. “Sumoi, tentu dia adalah pendekar
yang menolongku itu!”
"Mungkin
saja," kata Bi Lian. "Akan tetapi bagaimana selanjutnya pertemuanmu
dengan si kedok hitam itu?" tanyanya kepada Gu Kiat yang terputus
ceritanya tadi.
"Oh,
ya! Bagaimana selanjutnya, Gu Kiat? Apa yang dipesankan oleh pendekar berkedok
hitam itu?" tanya Tan Gun.
"Pesannya
aneh sekali, kongcu. Dia bilang bahwa kalau Kongcu hendak mencari perwira Tang,
Kongcu harus menemuinya di kuil tua kosong yang berada di sebelah timur pintu
gerbang kota. Dan dia pesan agar kongcu datang seorang diri, tidak boleh
ditemani siapa pun. Kalau Kongcu tidak sendirian, maka dia tidak akan menemui
Kongcu dan tidak mau membantu lagi."
"Hemm,
orang itu penuh rahasia. Juga mencurigakan!" kata Bi Lian sambil
mengerutkan alisnya.
"Tapi
dia... dia pernah menolongku, Sumoi! Tak mungkin sekarang dia hendak menjebak
atau mencelakakan aku. Gu Kiat, kapan aku harus rnenemuinya."
“Sekarang
juga, Kongcu. Dia bilang jangan terlalu siang karena dia tidak mungkin dapat
menanti terlalu lama."
"Sumoi,
kalau begitu aku akan pergi sekarang juga. Kau tunggulah di sini, sumoi. Aku
tak akan lama dan akan segera kembali setelah mendapatkan keterangan."
Bi Lian
mengerutkan alisnya, akan tetapi dia lantas berkata. "Baiklah, Suheng.
Akan tetapi berhati-hatilah. Aku masih curiga akan sikap aneh orang itu.”
“Dia
bermaksud baik, Sumoi, hal ini aku yakin. Nah, aku pergi dulu. Kau tunggulah di
sini."
Tang Gun
atau Tan Hok Seng lantas pergi dan Bi Lian diam-diam memperhatikan sikap tuan
rumah, akan tetapi Gu Kiat kelihatan biasa saja. Sesudah Hok Seng pergi, dia
minta maaf kepada Bi Lian untuk beristirahat di dalam kamarnya karena semalam
suntuk tadi dia tidak tidur. Tak lama kemudian Bi Lian mendengar dengkurnya
dari dalam kamar dan dia pun tidak mempunyai alasan untuk mencurigai Gu Kiat.
Akan tetapi
hatinya tetap saja merasa tidak enak. Ingin dia membayangi suheng-nya dan
melihat sendiri siapa sebenarnya orang yang berkedok itu. Akan tetapi dia pun
tidak ingin menggagalkan usaha suheng-nya mencari orang yang melakukan fitnah
itu. Pula, kalau si kedok hitam itu berniat jahat, tentu dahulu tidak menolong
Hok Seng. Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega dan dia menanti saja di situ.
***************
Sementara
itu dengan cepat Hok Seng berjalan keluar kota melalui pintu gerbang timur. Dia
masih menyamar sebagai seorang setengah tua sehingga dia dapat keluar dari
pintu gerbang dengan mudah. Dia sudah lama tinggal di kota raja dan tahu kuil
tua mana yang dimaksudkan itu.
Di luar
pintu gerbang timur terdapat sebuah bukit kecil dan di puncak bukit itulah
adanya kuil tua yang sudah lama tak pernah dipergunakan lagi. Ke sanalah dia
pergi dan setelah berada di tempat yang sepi, dia mengerahkan tenaga dan
berlari cepat mendaki bukit.
Kuil tua itu
sunyi sekali. Sepagi itu belum ada anak-anak penggembala menggiring ternak
mereka ke bukit yang banyak padang rumputnya itu. Tidak nampak kehidupan di
dalam atau di luar kuil, keadaan sunyi saja. Pagi itu langit amat cerah, sinar
matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam, seakan mempersiapkan kebersihan
bagi kemunculan sang matahari.
Tanpa ragu
lagi Tang Gun memasuki kuil, menoleh ke kanan kiri. Kosong saja di bagian depan
kuil itu. Selagi dia tidak tahu harus mencari di mana dan baru saja hendak
berseru memanggil, tiba-tiba terdengar suara orang.
"Aku di
sini!"
Suara itu
datangnya dari belakang. Tang Gun segera menuju ke belakang dan di ruangan yang
luas itu karena dindingnya telah runtuh sehingga bagian belakang itu terbuka,
berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap dan mengenakan kedok hitam, di tengah
ruangan sambil bertolak pinggang.
Tang Gun
segera mengenal si kedok hitam yang dulu pernah menolongnya, maka cepat dia
maju menghadapi orang itu dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di
depan dada dan tubuhnya agak membungkuk dengan sikap hormat.
"Selamat
berjumpa, Taihiap (pendekar besar)!" katanya.
Si kedok
hitam itu diam saja, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong bersinar dari
balik kedok, mengamati wajah Tang Gun.
"Hemm,
engkau Tang Gun yang sedang menyamar sebagai orang tua?" suara itu dalam
dan berwibawa.
"Maaf,
Taihiap. Terpaksa saya menyamar karena khawatir kalau kehadiran saya di kota
raja diketahui orang. Saya Tang Gun yang dahulu pernah menerima pertolongan
Taihiap dan sampai sekarang saya tidak pernah melupakan budi itu."
"Tang
Gun, untuk apa engkau menyelidiki di mana tinggalnya Tang Bun An? Apa yang kau
inginkan dari orang itu?"
"Ahh,
tentu Taihiap mengerti. Orang itulah yang telah mencelakakan saya, yang membuat
saya dihukum. Karena itu saya hendak mencarinya untuk membalas dendam
kepadanya. Mohon bantuan Taihiap untuk memberi tahu di mana saya dapat
menemukan dia!"
"Hemmm,
dahulu kepandaianmu kalah jauh olehnya. Bagaimana sekarang engkau akan
melawannya? Engkau akan kalah lagi!"
"Sekali
ini saya tidak takut! Ada sumoi Siangkoan Bi Lian yang akan membantu saya dan
dia lihai sekali." Kemudian Tang Gun mendapat pikiran yang baik sekali.
"Dan juga ada Taihiap di sini. Taihiap sudah menolong saya, mohon sekali
ini suka pula membantu saya menghadapi Tang Bun An yang jahat itu."
"Tang
Gun, engkau memang orang tolol!" Tiba-tiba orang berkedok hitam itu
membentak. Tentu saja bekas perwira itu terkejut sekali dan terbelalak heran
melihat nada suara yang marah itu. "Engkau memang layak dipukul!"
"Eh...
maaf... apa kesalahan saya yang membuat Taihiap tiba-tiba menjadi marah kepada
saya?"
"Anak
bodoh! Kalau tidak ada Tang Bun An, engkau sekarang tentu sudah mampus!"
"Ehh?
Apa artinya ucapan Taihiap itu? Dia telah menangkap saya dan menyeret saya ke
depan Sribaginda Kaisar sehingga saya dijatuhi hukuman berat..."
"Bayangkan
saja kalau bukan Tang Bun An yang menangkapmu, tapi pasukan keamanan yang
menangkapmu. Kau kira akan mampu menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu
begitu saja? Kau sangka akan mampu melawan kalau para jagoan istana mencarimu
dan menemukanmu di kota Yu-sian? Dia sengaja menangkapmu justru untuk
menyelamatkan nyawamu!"
Dari heran
Tang Gun menjadi penasaran dan tidak percaya. "Taihiap, bagaimana Taihiap
bisa mengatakan bahwa dia bermaksud menyelamatkan saya? Saya telah dihukum
berat, hukum buang dan sekiranya tidak ada Taihiap yang menolong saya, tentu
sekarang saya sudah mati."
"Hemm,
jadi engkau mengakui bahwa aku yang dahulu menyelamatkanmu, menolongmu dan
membebaskanmu dari tangan para pengawalmu ke tempat pembuangan?"
"Bukan
hanya menyelamatkan nyawa saya, tetapi Taihiap juga sudah memberi sekantung
emas sehingga saya dapat hidup pantas. Untuk budi itu, saya tidak akan
melupakannya selama hidup."
"Tidak
usah berterima kasih kepada aku si kedok hitam, tetapi berterima kasihlah
kepada penyelamatmu yang sebenarnya, yaitu Tang Bun An!" ,
"Ehhh...
tetapi maaf... saya belum dapat menerimanya sebagai penyelamat saya, Taihiap.
Dia... dia..."
"Tang
Gun! Apakah engkau tidak percaya kepadaku?"
"Percaya...
percaya... akan tetapi..."
"Kau
lihat, siapa aku!" Berkata demikian, si kedok hitam membuka kedoknya.
Tang Gun
terbelalak, wajahnya berubah pucat dan sejenak dia tak mampu bicara, hanya
melongo memandang kepada wajah yang tadi bersembunyi di balik kedok hitam.
Wajah Tang Bun An!
Akhirnya
Tang Gun dapat menekan guncangan perasaannya dan dia pun berkata gugup,
"Tapi... tapi... kenapa Taihiap..."
"Sebut
aku Bengcu! Aku adalah pangcu dari Ho-han-pang, juga bengcu dari dunia
kang-ouw!" Suara Tang Bun An atau Han Lojin terdengar penuh wibawa.
"Ahhh!"
kembali Tang Gun terkejut dan memberi hormat. "Kiranya Bengcu sendiri.
Tapi... apa artinya semua ini? Engkau menangkap saya, kemudian menyerahkan
kepada kaisar untuk dihukum. Kemudian, Bengcu pula yang menyelamatkan saya,
membunuh pengawal yang membawa saya ke tempat pembuangan, bahkan memberi emas
kepada saya. Apa artinya perbuatan bengcu itu?"
"Bukan
lain untuk menyelamatkanmu, anak bodoh. Engkau telah memperoleh kedudukan yang
baik tetapi engkau menyalah gunakannya, hanya karena engkau tergila-gila kepada
seorang selir! Huhh, tolol! Boleh saja bermain-main dengan semua selir, akan
tetapi tidak terikat seperti itu, sampai tergila-gila kemudian membawanya lari
dari istana. Kalau tidak aku yang mendahului para jagoan istana menangkapmu,
lalu membebaskanmu, apa kau kira sekarang engkau masih hidup?”
"Untuk
itu sekali lagi saya menghaturkan terima kasih dan saya tak akan melupakan budi
kebaikan Taihiap kepada saya. Akan tetapi, jika boleh saya mengetahui, kenapa
Taihiap bersusah payah untuk melakukan semua itu kepada saya?"
"Hemm,
Tang Gun. Sebelum ditangkap engkau selalu membual di kota raja bahwa engkau
adalah putera dari Ang-hong-cu. Benarkah itu?"
"Memang
benar, Bengcu, akan tetapi itu bukan hanya kosong saja. Memang sebenarnya saya
adalah putera kandung Ang-hong-cu yang terkenal itu," kata Tang Gun dengan
nada suara bangga.
"Hemmm,
siapa mau percaya akan hal itu? Apa buktinya bahwa engkau memang putera
Ang-hong-cu?"
"Inilah
buktinya, Bengcu." Tang Gun mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain
adalah perhiasan berbentuk seekor kumbang merah. "Saya menerima benda ini
dari ibu saya, dan ibu saya yang menceritakan bahwa ayah kandung saya yang
memberikan benda ini kepada ibu."
"Katakan,
siapa nama ibumu dan dari mana dia datang, di mana tempat tinggalnya ketika dia
masih gadis."
"Ibu
bernama Teng Kim dan tinggal di dusun An-lok, akan tetapi sekarang ikut paman
di kota Tai-goan karena melarikan diri dari kota raja sesudah saya
ditangkap."
"Teng
Kim... Kim...? Begitu banyak wanita yang memakai nama Kim! Hemm, nanti dulu...
bukankah pada leher di bawah telinga kanan ibumu ada sebuah tahi lalat? Tubuh
ibumu tinggi semampai dan wataknya ramah gembira?"
Tang Gun
memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana... Bengcu dapat mengetahui
hal itu...? Benar sekali apa yang Bengcu katakan tadi!"
"Tang
Gun, demikian bodohkah engkau? Bukankah engkau sudah tahu bahwa aku telah
menyelamatkanmu dan engkau tentu tahu pula bahwa aku bernama Tang Bun An? Dan
engkau masih tidak mengerti juga? Aku tahu segalanya tentang ibumu, dan benda
yang kau perlihatkan tadi adalah milikku, pemberianku kepada ibumu."
"Ahh...
ohhh... jadi... jadi... engkau ini ayahku? Ang-hong-cu?" Tang Gun masih
terbelalak dan ketika Han Lojin tersenyum sambil mengangguk-angguk, dia cepat menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki ayahnya.
"Ayah...!"
Tang Gun berseru, gembira dan juga terharu bercampur bangga.
"Bangkitlah
dan duduklah! Aku tidak suka melihat kecengengan, apa lagi kalau dilakukan oleh
anakku! Nah, Tang Gun, sekarang engkau sudah tahu bahwa aku adalah Ang-hong-cu
Tang Bun An. Akan tetapi, karena orang lain tidak tahu bahwa aku Ang-hong-cu, dan
sekarang aku sudah menjadi bengcu dan juga pangcu dari Ho-han-pang, maka engkau
tidak boleh menyebut ayah, harus menyebut bengcu kepadaku. Mengerti?"
"Baik,
Ayah... ehh, Bengcu."
"Hati-hati,
jangan sampai keliru menyebutku, apa lagi di hadapan orang lain. Aku belum
ingin dikenal sebagai Ang-hong-cu!"
"Baik,
Bengcu. Setelah sekarang kita berhadapan, saya ingin mengajukan
permohonan."
"Hemm,
katakan, apa yang kau kehendaki?"
"Saya
ingin... membantu Bengcu, ingin dekat Bengcu dan mendapat petunjuk Bengcu."
Han Lojin
tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Tidak ada pembantu yang
lebih setia dari pada anak sendiri. "Itu baik sekali, Tang Gun. Memang
kami sedang membutuhkan banyak pembantu yang pandai. Engkau boleh ikut
bersamaku, akan tetapi sebelumnya engkau harus mengetahui bahwa Ho-han-pang
dipimpin oleh Han Lojin, yaitu namaku sebagai bengcu."
Han Lojin
menarik topeng tipisnya dan dalam beberapa detik saja wajahnya telah berubah
menjadi seorang pria setengah tua gagah yang berkumis dan berjenggot rapi.
"Aku adalah Han Lojin, pangcu dari Ho-han-pang, juga bengcu dari dunia
kang-ouw. Mari engkau ikut denganku, kuperkenalkan kepada para pembantuku yang
lain."
"Akan
tetapi, Bengcu. Bagaimana dengan sumoi? Pasti dia akan menanti-nanti dan tentu
menjadi curiga kalau saya tidak segera kembali. Kami pergi bersama ketika kami
hendak melakukan penyelidikan terhadap orang yang tadinya saya anggap sebagai
musuh, yaitu perwira Tang Bun An. Bagaimana baiknya sekarang menghadapi
sumoi?"
"Siapakah
sumoi-mu itu? Para penyelidikku hanya melaporkan bahwa engkau menyamar sebagai
seorang tua muncul bersama seorang gadis cantik. Penyamaranmu terlalu kasar
sehingga anak buahku mengetahuinya dan melaporkan kepadaku."
"Sumoi
adalah puteri dari suhu dan subo, Bengcu."
"Dia
lihai dan tenaganya boleh diandalkan?"
"Tentu
saja, Bengcu! Dia lebih lihai dari pada saya, jauh lebih lihai. Saya kira agak
sukar untuk menemukan orang yang akan mampu menandingi sumoi," kata Tang
Gun dengan nada suara bangga namun sungguh-sungguh.
"Hemmm,
begitukah? Akan tetapi aku belum tahu sampai di mana tingkat kepandaianmu. Nah,
sambutlah ini!" Tiba-tiba saja Han Lojin menyerang Tang Gun.
Pemuda ini
tahu bahwa dirinya hendak diuji, maka dia pun segera mengelak ke belakang dengan
lompatan jungkir balik. Sesudah menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian, pemuda ini
memang mendapat kemajuan yang pesat sekali dan kini dia jauh lebih lihai
dibandingkan dahulu ketika masih menjadi perwira pengawal.
Melihat
gerakan yang lincah ini, Han Lojin menjadi gembira dan dia pun menyerang terus
dengan jurus-jurus ampuh. Tang Gun juga ingin menunjukkan kehebatannya, maka
begitu menghadapi serangan ayah kandungnya itu, dia pun sudah memainkan ilmu
silat Kim-ke Sin-kun yang hebat!
Kembali Han
Lojin terkejut dan juga semakin gembira. Dia mendesak terus, mengerahkan
tenaganya namun sampai lima puluh jurus puteranya itu masih mampu
mempertahankan diri. Kalau dia mau, tentu akhirnya dia dapat juga merobohkan
Tang Gun. Akan tetapi dia tidak menghendaki itu.
"Cukup!"
serunya sambil melompat mundur.
Tadi Tang
Gun sudah terdesak hebat sekali, maka legalah hatinya saat melihat Han Lojin
menghentikan serangannya. Han Lojin menilai kepandaian Tang Gun telah lumayan.
Biar pun belum sehebat ilmu kepandaian tiga orang pembantu utamanya, namun
hanya sedikit selisihnya kalau dibandingkan tingkat kepandaian Ji Sun Bi.
"Dan
tadi kau bilang kepandaian sumoi-mu lebih tinggi dari pada kepandaianmu?"
"Jauh
lebih tinggi, Bengcu. Saya tak akan mampu bertahan selama lima puluh jurus
kalau dia menyerang saya."
"Hemmm...,”
Han Lojin tertarik sekali. "Siapa nama sumoi-mu itu?"
"Namanya
Siangkoan Bi Lian."
"Siangkoan...
Bi Lian... ahh, rasanya nama itu tak asing bagiku. Hemm, tentu aku sudah pernah
bertemu dengannya, atau setidaknya pernah mendengar namanya. O ya, apakah dia
pernah bersama-sama para pendekar membasmi pemberontakan Lam-hai Giam-lo dan
membantu pemerintah?"
"Benar,
Bengcu. Pernah sumoi bercerita bahwa dia dengan para pendekar lainnya pernah
membantu pemerintah membasmi pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo."
Han Lojin
mengangguk-angguk. Dia masih belum ingat benar yang mana di antara para
pendekar wanita itu yang dimaksudkan oleh Tang Gun. Tetapi jelas bahwa gadis
bernama Siangkoan Bi Lian itu tentu lihai sekali, sangat berbahaya bila menjadi
lawan, akan tetapi amat menguntungkan jika menjadi kawan atau pembantu. Dan
seperti juga Cia Kui Hong, gadis itu tentu mengenalnya sebagai Han Lojin dan
juga sebagai Ang-hong-cu. lni sangat berbahaya!
"Tang
Gun, benarkah pernyataanmu tadi bahwa engkau hendak membantuku dengan hati
tulus? Dengan penuh kesetiaan?"
"Bengcu
adalah penolong saya, bahkan Bengcu adalah ayah kandung saya. Sudah tentu saja
saya suka membantu dengan setia, kalau perlu dengan berkorban nyawa! Saya mau
bersumpah...”
"Tak
perlu bersumpah. Aku baru percaya kepadamu kalau ada bukti yang nyata, melalui
perbuatan."
"Saya
selalu siap melaksanakan semua perintah Bengcu!"
"Nah,
sekarang dengar baik-baik. Aku ingin agar bukan hanya engkau saja yang menjadi
pembantuku, akan tetapi juga sumoi-mu yang amat lihai itu. Bagaimana
pendapatmu?"
"Itu
bagus sekali, Bengcu, dan saya akan gembira bukan main kalau sampai sumoi suka
pula membantumu. Akan tetapi saya kira tak akan mudah membujuknya, Bengcu.
Sumoi berwatak sukar didekati, keras dan galak, tidak mau tunduk kepada siapa
pun juga..."
"Hemm,
sudah kuduga."
"Saking
keras sikapnya terhadap para penjahat, dunia kang-ouw bahkan sudah menjuluki
sumoi dengan sebutan Tiat-sim Sian-li (Bidadari Berhati Besi). Saya akan
mencoba untuk membujuknya, Bengcu, akan tetapi saya khawatir dia akan menolak
keras."
"Hemmm,
orang seperti dia itu sangat baik kalau dapat ditarik menjadi kawan, tetapi
akan membahayakan kita bila gagal dan dia menjadi lawan. Jika dia menolak, maka
kita harus menggunakan muslihat agar dia tunduk dan menyerah!"
Tang Gun
memandang kepada Han Lojin dengan mata terbelalak khawatir.
"Bengcu...!
Harap jangan ganggu sumoi..."
Han Lojin
mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah puteranya itu.
"Hemmm...?
Rupanya engkau jatuh cinta kepada sumoi-mu itu?"
Tang Gun
mengangguk lesu. "Saya sudah tergila-gila kepadanya, Bengcu."
"Dan
dia pun cinta kepadamu?"
"Saya
tidak tahu, Bengcu."
"Kenapa
engkau tidak mengaku terus terang dan melihat bagaimana tanggapannya?"
"Saya
tidak berani. Dia galak dan keras, saya takut dia marah."
"Hemm,
kalau begitu bagus, Tang Gun. Engkau bujuk dia supaya suka membantuku. Kita
lihat saja. Jika dia menolak, maka kita tangkap gadis itu dan aku mempunyai
akal agar dia menurut dan suka menjadi isterimu. Kalian akan kunikahkan di
tempat kita."
Tentu saja
Tang Gun menjadi gembira sekali mendengar janji itu. "Saya akan melakukan
segala perintah Bengcu dengan senang hati. Apa yang harus saya lakukan
sekarang?"
"Katakan
kepada sumoi-mu bahwa aku, ketua Ho-han-pang, menunggu kunjungan kalian di
markas Ho-han-pang, dan akan kutunjukkan di mana adanya orang yang kalian cari
itu. Usahakan agar jangan sampai dia curiga. Kutunggu kunjungan kalian hari ini
juga, siang atau sore hari ini di markas kami." Han Lojin lantas membuat
gambaran dan petunjuk di mana adanya markas Ho-han-pang yang berada di bukit
luar kota.
"Satu
hal lagi," kata Han Lojin ketika mereka hendak berpisah dan meninggalkan
kuil tua yang kosong itu. "Nama sumoi-mu itu Siangkoan Bi Lian. Dia
bermarga Siangkoan, apa ada hubungannya dengan orang yang namanya Siangkoan Ci
Kang?"
"Itu
nama suhu!" seru Tang Gun.
"Ahhh...?"
Kini Han Lojin terbelalak. Dia teringat akan musuh besar pembantunya, Sim Ki
Liong, yang sedang dicari-cari. "Kiranya engkau kini menjadi murid
Siangkoan Ci Kang? Dan sumoi-mu itu puteri Siangkoan Ci Kang?"
"Bengcu
sudah mengenal suhu? Subo juga seorang yang sangat lihai, tidak kalah lihainya
dibandingkan suhu. Menurut keterangan sumoi, subo bernama Toan Hui Cu dan dia
puteri tunggal mendiang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dulu pernah
menggemparkan dunia persilatan," kata pula Tang Gun dengan bangga meski
pun dia merasa menyesal kenapa baru sekarang dia menjadi murid suhu dan
subo-nya sehingga belum banyak ilmu yang diserapnya. Dan dia semakin bangga
setelah melihat sikap bengcu itu seperti orang yang terkejut dan agak gentar.
Memang bukan
main kagetnya hati Han Lojin mendengar bahwa yang dimusuhi oleh Sim Ki Liong
itu adalah seorang sakti yang memiliki seorang isteri yang sakti pula. Tentu
saja dia pernah pula mendengar nama besar Raja dan Ratu Iblis! Akan tetapi dia
harus dapat menyenangkan hati Sim Ki Liong yang merupakan pembantu paling
lihai, sambil dia harus meyakinkan hati Tang Gun ini agar tidak memihak
guru-gurunya.
"Aku
tidak mengenal mereka secara pribadi, namun aku pernah mendengar nama besar
mereka," jawabnya. "Tang Gun, sekarang engkau pergilah menjemput
sumoi-mu dan ajak dia ke markas kita. Aku menunggu di sana."
"Baik,
Bengcu."
Tang Gun
lalu meninggalkan kuil itu dengan hati girang bukan main. Tidak saja dia dapat
menemukan ayah kandungnya, akan tetapi dia bahkan sudah diterima sebagai
pembantu ayahnya yang kini menjadi seorang pangcu (ketua perkumpulan) sekaligus
juga menjadi bengcu (pemimpin rakyat)! Dan ayahnya juga sudah menjanjikan bahwa
dengan bantuan ayahnya dia akan dapat memperisteri Siangkoan Bi Lian!
***************
"Han
Lojin?" Siangkoan Bi Lian memandang kepada Tang Gun dengan mata
terbelalak. "Kau katakan tadi bahwa Han Lojin yang kau temui di
sana?"
Melihat
sumoi-nya kelihatan terkejut ketika mendengar disebutnya nama Han Lojin, Tang
Gun lalu bersikap hati-hati. "Sumoi, apakah engkau pernah mendengar nama
Han Lojin? Dialah yang dulu menyelamatkan aku, dialah pendekar yang memakai
kedok hitam, yang telah membebaskan aku dari hukuman pengasingan dan memberi
bekal uang kepadaku."
Mendengar
ini Bi Lian menjadi semakin terkejut dan heran. "Aihh, ternyata dia?
Ternyata Ang-hong-cu yang telah menolongmu....”
“Ang-hong-cu...?”
Tang Gun berseru kaget, bukan pura-pura karena dia memang terkejut bukan main
mendengar sumoi-nya sudah mengetahui bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu!
“Sumoi, Han Lojin ini adalah seorang pangcu yang terhormat dari Ho-han-pang!
Malah dia juga diakui sebagai seorang bengcu.”
Bi Lian
mengerutkan alisnya. Dia mengenang kembali pengalamannya ketika dia bersama Pek
Han Siong, Hay Hay dan para pendekar lain membantu pemerintah untuk membasmi
gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu muncul Han
Lojin yang juga berjasa membantu pemerintah dalam menumpas pemberontak itu.
Kemudian ternyata bahwa Han Lojin adalah ayah kandung Hay Hay, bahwa Han Lojin
adalah Ang-hong-cu, kumbang merah penghisap kembang yang jahat itu, jai-hwa-cat
(penjahat cabul pemetik bunga) yang pernah menggemparkan dunia persilatan.
Tidaklah
aneh kalau sekarang Han Lojin muncul sebagai ketua perkumpulan para ho-han
(patriot). Namun dalam pandangannya, bagaimana pun juga Ang-hong-cu adalah
seorang penjahat cabul yang tak pantas dibiarkan hidup! Terlebih lagi penjahat
cabul itu juga telah memperkosa atau menodai kehormatan Pek Eng, adik kandung
Pek Han Siong, suheng-nya dan bekas tunangannya.
Semua
pendekar yang saat itu membantu penumpasan pemberontak tetap menganggap
Ang-hong-cu jahat sungguh pun berjiwa patriot, dan mereka semua tentu saja
menentang dan memusuhinya. Apa lagi dia sendiri yang sepatutnya membalaskan
penghinaan yang dilakukan penjahat itu atas diri Pek Eng adik Pek Han Siong,
dan Cia Ling.
"Hemm,
begitukah, Suheng? Lalu mengapa pula sekarang Suheng hendak mengajak aku
menemuinya?"
"Sumoi,
dia mengundangku ke markas Ho-han-pang dan dia berjanji akan memberi tahu
kepadaku di mana adanya Tang Bun An yang kucari itu."
"Lalu
mengapa aku harus ikut serta denganmu?"
"Mengapa
tidak, Sumoi? Bukankah engkau pergi bersamaku untuk membantuku? Selain aku
ingin memperkenalkan engkau dengan penolongku itu, juga aku tetap mengharapkan
bantuanmu kalau-kalau aku bertemu dengan musuhku dan berkelahi dengan
dia."
"Baiklah,
Suheng. Akan tetapi kalau kemudian ternyata olehku bahwa penolongmu adalah
Ang-hong-cu yang jahat itu, jangan salahkan aku kalau aku menentangnya dan
berusaha untuk membunuhnya. Penjahat keji itu harus dibasmi, kalau tidak tentu
akan berjatuhan lagi korban di antara para wanita muda yang
dipermainkannya!"
Tang Gun
bergidik mendengar ancaman yang terkandung di dalam ucapan itu hingga dia
merasa tegang. Akan tetapi bagaimana pun juga dia harus mentaati Han Lojin,
bukan saja karena telah menjadi pembantunya, akan tetapi terutama sekali karena
Han Lojin adalah ayahnya.
Mereka
kemudian berangkat menuju ke bukit di luar pintu gerbang kota, di mana markas
Ho-han-pang berdiri. Bi Lian yang tetap mencurigai Han Lojin dengan diam-diam
sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya, atau kalau perlu turun tangan
membunuh jai-hwa-cat yang dibencinya itu. Bukan saja karena Han Lojin sudah
menodai Pek Eng dan Cia Ling, dua orang gadis pendekar yang dikagumi dan
disukanya, akan tetapi juga karena Han Lojin telah membuat Hay Hay terkena
fitnah.
Dahulu,
semua orang juga termasuk dia sendiri telah menuduh Hay Hay yang melakukan
semua perkosaan atau perbuatan busuk itu, karena Han Lojin memberi kesan ke
arah itu. Jai-hwa-cat itu melakukan perbuatan terkutuk dan menjerumuskan Hay
Hay yang menjadi sasaran pula dari kemarahan para pendekar karena dia disangka
menjadi pelakunya.
***************
Sementara
itu Han Lojin juga sudah membuat persiapan. Dia mengumpulkan tiga orang
pembantu utamanya, yaitu Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi. Cun Sek
belum mengenal Siangkoan Bi Lian, akan tetapi Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi
terkejut sekali ketika mendengar keterangan Han Lojin bahwa gadis perkasa itu
akan datang berkunjung.
Terutama
sekali Sim Ki Liong. Tentu saja dia merasa tegang bukan main saat mendengar
bahwa gadis yang pernah menjadi musuhnya dalam pemberontakan yang dipimpin
Lam-hai Giam-lo di mana dia menjadi pembantu utama, kini akan muncul di
hadapannya. Apa lagi ketika Han Lojin mengatakan bahwa gadis perkasa itu adalah
puteri musuh besarnya, yaitu Siangkoan Ci Kang! Kalau dia belum sempat
membalaskan sakit hati orang tuanya kepada Siangkoan Ci Kang, biarlah dia akan
lebih dulu membalasnya lewat puteri musuh besarnya itu.
Agaknya Han
Lojin dapat menduga isi hati pembantunya, maka dia pun berkata dengan suara
penuh wibawa. "Siangkoan Bi Lian akan datang dibawa suheng-nya yang
bernama Tang Gun. Mereka akan kutarik sebagai pembantuku. Tang Gun sudah
menyatakan suka menjadi pembantuku dan bekerja sama dengan kalian, namun kita
harus dapat membujuk Siangkoan Bi Lian dahulu agar suka pula membantu kita.
Kalau dia tidak mau membantu, maka terpaksa harus menggunakan
kekerasan..."
"Jangan
khawatir, Bengcu! Sayalah yang akan memaksanya!" kata Sim Ki Liong sambil
mengepal tinju dan dengan hati panas karena dendam.
"Ki
Liong, aku tidak menghendaki engkau mengganggu gadis itu! Syukurlah bila dia
mau membantuku,. Andai kata tidak, aku akan menangkapnya dan kalian hanya
membantuku. Aku tidak ingin mengganggu atau membunuh, melainkan hendak
menundukkannya agar dia suka membantuku, seperti halnya dua orang gadis yang
kini sudah menjadi tawanan kita. Kita lihat saja bagaimana sikapnya nanti. Kita
harus menggunakan akal jika dia tetap berkeras tidak mau membantu tetapi malah
mengambil sikap bermusuhan."
Han Lojin
lalu mengatur siasat dan para pembantunya tentu saja tidak berani membantah.
Bahkan Sim Ki Liong hanya mengangguk setuju, sungguh pun hatinya masih dibakar
oleh dendam. Gadis itu adalah puteri musuh besarnya, malah gadis itu pernah
pula membantu pemerintah membasmi pemberontakan Lam-hai Giam-lo di mana dia
mengambil bagian sehingga berarti menggagalkan cita-citanya pula. Dan sekarang
Han Lojin hendak menarik gadis itu sebagai pembantu, bekerja sama dengan dia.
Demikianlah,
ketika Tang Gun dan Bi Lian tiba di pintu gerbang markas perkumpulan
Ho-han-pang, keadaan di situ terlihat tenang saja. Para anggota Ho-han-pang
yang bertugas jaga sudah diatur sebelumnya sehingga mereka itu menyambut
kedatangan pemuda dan gadis itu dengan sikap ramah dan hormat.
"Kami
hendak bertemu dengan Ho-han Pangcu," kata Tang Gun kepada beberapa orang
pria muda yang berjaga di pintu gerbang masuk. Mereka itu nampak gagah dan
tampan.
"Apakah
ji-wi (anda berdua) adalah saudara Tan Hok Seng dan nona Siangkoan Bi
Lian?" tanya kepala jaga.
"Benar,"
kata Tang Gun.
"Ahhh,
selamat datang di Ho-han-pang. Memang Pangcu sudah memesan kepada kami bahwa
ji-wi akan datang berkunjung. Mari, silakan masuk, saya akan mengantarkan ji-wi
ke ruang tamu."
Mereka
berdua lalu mengikuti pemuda tinggi besar itu dan diam-diam Bi Lian siap siaga.
Bagaimana pun juga dia tetap curiga dan harus berhati-hati, kalau ternyata
benar bahwa ketua Ho-han-pang adalah Han Lojin alias Ang-hong-cu. Tidak mungkin
dia dapat percaya begitu saja terhadap seorang seperti Ang-hong-cu!
Mereka
dibawa masuk ke sebuah ruangan yang luas. Ruangan tamu ini besar dan hanya
terisi belasan buah bangku yang dikelilingi sebuah meja bundar yang besar.
Selebihnya kosong sehingga leluasa berlatih silat, bahkan untuk bertanding
sekali pun. Dengan amat hati-hati Bi Lian memasuki ruangan itu.
Kepala jaga
lantas mempersilakan mereka duduk dan menunggu. "Harap ji-wi menunggu
sebentar. Pangcu tentu akan datang menyambut ji-wi di sini karena kedatangan
ji-wi telah dilaporkan." Kepala penjaga itu lalu pergi meninggalkan
ruangan itu.
Bi Lian
mempelajari ruangan itu dengan pandang matanya. Selain pintu besar di depan,
terdapat pula dua buah pintu di belakang dan di kiri yang entah menembus ke
mana. Jadi kalau pihak tuan rumah menghendaki, kini dia sudah terkepung di
ruangan itu.
Tetapi dia
bersikap tenang dan sama sekali tidak merasa gentar. Juga dia melihat betapa
suheng-nya berusaha untuk bersikap tenang, namun dari pandang mata suhengnya
dia tahu bahwa suheng-nya itu merasa gelisah dan matanya tak tenang memandang
ke sana-sini.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment