Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 07
HARTAWAN
mata keranjang, pikirnya, perusak gadis-gadis orang. Dan wanita genit tak tahu
malu itu adalah seorang ibu tiri yang kejam dan jahat, ingin menjebloskan
puteri tirinya ke dalam lembah kehinaan dan menghidangkan puterinya itu,
seorang gadis manis, menjadi santapan si bandot tua Coa! Dia harus mencegah hal
ini terjadi, pikirnya.
Namun karena
peristiwa yang direncanakan orang-orang jahat itu baru akan dilaksanakan malam
nanti, maka Hay Hay melanjutkan acaranya hari itu, yaitu melakukan penyelidikan
dan mencari jejak Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, atau ayah kandungnya sendiri,
untuk dibekuk dan dipaksanya mempertanggung jawabkan semua dosanya, apa lagi
terhadap perbuatan hinanya, memperkosa dua gadis yang amat dikaguminya, yaitu
perbuatan yang dilakukannya ketika para pendekar sedang menentang persekutuan
Lam-hai Giam-lo.
Kedua orang
gadis pendekar itu yang pertama adalah Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong,
puteri dari ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Yang kedua adalah Ling Ling atau
Cia Ling, puteri dari pendekar besar Cia Sun, masih keluarga dari Cin-ling-pai
yang tinggal di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja.
Peristiwa
aib yang menimpa dua orang gadis perkasa itu telah mencemarkan namanya, karena
dialah yang mula-mula dituduh sebagai pelakunya! Oleh karena itu dia harus bisa
membekuk batang leher Ang-hong-cu, ayahnya sendiri, lantas menyeretnya kepada
dua orang pendekar wanita itu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, untuk
mencuci bersih namanya sendiri yang hampir saja tercemar dan menjadi busuk!
Mencari
seorang datuk sesat haruslah menghubungi dunia penjahat, pikir Hay Hay. Maka
dia pun tidak ragu-ragu lagi memasuki sebuah rumah judi terbesar di kota
Shu-lu. Rumah judi ini bercat merah dan cukup luas. Ada beberapa belas meja
perjudian. Ada permainan dadu, permainan kartu dan ma-ciok. Akan tetapi yang
paling ramai dipenuhi orang adalah meja dadu terbesar di tengah ruangan. Banyak
sekali tamu yang datang mengadu untung di tempat perjudian itu.
Pada waktu
Hay Hay masuk dengan memakai topinya yang lebar, segera ada dua orang tukang
pukul menghampirinya. Karena dia tidak dikenal dan pakaiannya sederhana, juga
mengenakan topi caping yang lebar, maka tentu saja dia dicurigai.
"Hei,
kawan. Di sini tidak boleh memakai caping lebar, seperti di sawah saja!"
tegur salah seorang di antara mereka.
"Ke
sinikan, kau titipkan dulu capingmu pada kami. Nanti kalau kau hendak pulang,
boleh kau ambil dari kami!" kata yang ke dua.
Hay Hay
menoleh. Dia melihat ada dua orang laki-laki tinggi besar dan terlihat kokoh
kuat berdiri dengan sikap bengis dan mengancam. Hay Hay tersenyum dan menanggalkan
topi capingnya, lalu menyerahkan kepada mereka.
"Harap
jaga baik-baik capingku, karena di sini tidak ada orang yang menjual caping
lebar model selatan ini," katanya sambil tersenyum. Seorang tukang pukul
menerima caping itu sementara orang ke dua memandang Hay Hay dengan sinar mata
tajam penuh selidik.
"Sobat,
apakah engkau datang hendak berjudi?"
Hay Hay
tersenyum. "Sobat, kalau orang memasuki rumah judi lalu tidak hendak
berjudi, lalu mau apa?"
"Hemmm,
siapa tahu? Ada saja manusia tolol yang mencoba-coba untuk merampok di po-koan
(rumah judi) kami, ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha-ha,
dan mereka itu dihajar habis-habisan, bahkan ada yang mampus! Mereka tidak tahu
siapa kami!" kata orang ke dua.
Hay Hay ikut
tertawa. "Sungguh tidak tahu diri! Merampok sebuah po-koan? Itu namanya
tidak mengenal kawan sendiri. Akan tetapi aku tidak setolol itu, kawan. Aku
datang untuk mengadu untung!" Dia menuding ke arah meja dadu yang penuh
orang.
"Nanti
dulu sobat, kalau engkau hendak berjudi, maka engkau harus mempunyai modal.
Nah, sekarang perlihatkan dulu modalmu. Maklumlah, engkau orang baru dan kami
harus berhati-hati!"
Hay Hay
tersenyum. Memang ada dia membawa uang, akan tetapi tidak cukup banyak. Dia
bukanlah seorang kaya yang banyak uang. Dia mengeluarkan beberapa uang logam
tembaga yang tidak seberapa banyak, hanya segenggam dan harganya tentu saja
tidak seberapa pula, akan tetapi pandang matanya mencorong ketika memandang
kepada dua orang itu dan dia berkata sambil tertawa.
"Lihat,
cukupkah modalku ini?"
Dua orang
itu melihat Hay Hay membuka tangannya dan... mereka pun terbelalak melihat
segenggam uang emas berkilauan pada telapak tangan pemuda itu. Segera sikap
mereka berubah dan mereka berdua membungkuk-bungkuk.
"Wah,
lebih dari cukup, kongcu. Silakan..., silakan...!" kata mereka sambil
mengundurkan diri dan menyimpan caping Hay Hay di tempat yang memang sengaja
disediakan untuk orang menaruh segala barang bawaan yang tidak diperlukan di
situ seperti topi, payung, jubah dan lain-lain.
Dengan
langkah seenaknya Hay Hay langsung menuju ke meja dadu. Dia melihat betapa
tempat judi itu dilayani oleh banyak wanita muda cantik yang bersikap genit.
Akan tetapi yang menjadi bandar adalah lelaki yang kelihatannya lihai sekali
dalam mempermainkan dadu. Dia mendesak di antara banyak orang dan dapat melihat
apa yang terjadi di atas meja judi putar dadu itu.
Semua orang
sudah memasang taruhan mereka di atas meja, di mana terdapat gambar dan
nomor-nomor yang telah dipasang orang, yaitu nomor dua sampai dengan dua belas.
Dadu yang diputar ada dua buah, masing-masing dadu memiliki enam permukaan yang
digambar totol-totol merah, dari satu sampai dengan enam. Tidak ada yang
memasang taruhan pada nomor-nomor dua, tiga dan dua belas.
Meski pun
bukan seorang penjudi, namun Hay Hay yang cerdik segera memperhitungkan kenapa
tidak ada orang yang memasangkan taruhannya pada tiga nomor itu. Tentu saja,
karena kemungkinan keluar ketiga nomor itu hanya masing-masing satu kali saja.
Untuk nomor dua hanya jika keluar satu tambah satu, nomor tiga kalau keluar
satu tambah dua, dan nomor dua belas kalau keluar enam dan enam. Demikian pula
nomor sebelas tidak ada yang memasang, karena nomor sebelas hanya keluar satu
kemungkinan, yaitu enam dan lima.
Akan tetapi
nomor-nomor lain, dari empat sampai sepuluh, mempunyai dua kemungkinan keluar.
Karena itu mereka semua hanya memasangkan uang mereka pada nomor empat sampai
dengan sepuluh. Dan yang menang akan mendapatkan tiga kali lipat dari uang
taruhannya!
Kelihatannya
saja menguntungkan sekali, akan tetapi Hay Hay dapat memperhitungkan bahwa
kemungkinan menang bagi para penjudi itu kecil sekali, dan kemungkinan menang
itu sudah diborong oleh bandarnya! Bayangkan saja! Kemungkinan keluar dari dua
dadu itu sebanyak delapan belas nomor sehingga kesempatan menang dari setiap
pemasang adalah dua lawan delapan belas, atau satu lawan sembilan. Akan tetapi
imbalannya kalau menang hanya satu mendapat tiga!
Hay Hay
memandang kepada bandar di meja judi itu, seorang lelaki pendek gendut yang
selalu menyeringai. Setelah semua orang meletakkan taruhannya, bandar cepat
memutar dua buah dadu di dalam sebuah mangkok, lantas dengan cekatan dia
menelungkupkan mangkok itu di atas meja, dengan dua buah dadunya tertutup di
bawah mangkok.
"Hayo
tambah lagi taruhan, masih ada kesempatan!" tantang bandar itu, dan empat
orang pembantu wanita yang cantik-cantik, dengan gaya masing-masing turut
membujuk penjudi yang banyak uang untuk menambah taruhan mereka. Memang pasaran
taruhan menjadi semakin ramai bila mana mangkok itu sudah ditelungkupkan,
tinggal dibuka saja. Meja itu kini penuh dengan uang taruhan yang ditumpuk-tumpuk.
"Awaaaasssss,
mangkok akan segera dibuka! Perhatikan baik-baik! Satu... dua... tiga...!"
Dengan sangat cekatan tangan si pendek gendut membuka mangkok dan dua buah dadu
itu jelas memperlihatkan angka di permukaan mereka, yaitu angka satu dan dua!
"Tigaaaaaa...!"
teriak bandar dadu dengan alat pengeruk di tangannya.
Dan tentu
saja dia mengeruk semua uang yang bertumpuk di atas meja karena tidak ada
seorang pun yang memasang nomor tiga. Para pelayan wanita sibuk pula
membantunya dan ada beberapa orang pembantu lagi mengatur uang kemenangan itu
dalam tumpukan-tumpukan yang rapi, memisah-misahkan mata uang itu dan
menghitung-hitung.
"Silakan
pasang lagi! Pasang lagi...! Siapa tahu sekali ini pasangan anda tepat mengenai
sasaran! Pasang seratus mendapatkan tiga ratus, pasang seribu mendapatkan tiga
ribu!" teriak beberapa orang gadis cantik pelayan meja dadu itu.
Sebuah
tangan yang halus menyentuh lengan Hay Hay. Pemuda ini menengok dan dia
terpesona.
Gadis ini
cantik bukan main. Bedak pada mukanya tidak setebal gadis-gadis yang lain dan
agaknya dara ini baru saja tiba di situ karena tadi dia tidak melihatnya di
antara para gadis pelayan. Juga pakaiannya sangat berbeda, gadis ini lebih
mewah dengan hiasan rambut terbuat dari emas permata. Matanya sungguh indah,
seperti mata burung Hong! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun.
"Kongcu,
mengapa tidak ikut bertaruh? Kulihat engkau orang baru, biasanya orang baru
akan selalu menang."
Hay Hay
tersenyum. Gadis ini ramah sekali dan wajahnya amat menyenangkan, juga bau
semerbak harum yang keluar dari pakaian serta rambutnya amat sedap, tidak
menyolok.
"Aku
sedang berpikir-pikir nomor berapa yang harus kupasangi," katanya.
Gadis itu
tersenyum. "Kongcu, aku bekerja di sini maka tidak semestinya aku membantu
para penjudi. Akan tetapi percayalah, malam tadi aku bermimpi indah sekali maka
kalau aku menjadi kongcu, akan kupasangi nomor dua belas!"
Di dalam
hatinya Hay Hay tertawa. Gadis ini bekerja di situ sebagai pelayan, tentu saja
tugasnya selain membujuk para tamu agar berjudi, juga tentu berusaha supaya
tamunya kalah, maka menganjurkan dia agar memasang nomor dua belas, nomor sial
yang hanya memiliki kemungkinan keluar satu kali saja! Akan tetapi dia
tersenyum dan mengeluarkan semua sisa uang yang ada di sakunya, hanya setumpuk
uang tembaga dan dua potong uang perak, hanya kurang lebih dua tail perak saja
harganya!
"Nah,
inilah semua uangku, boleh kau pasangkan sesukamu, Nona."
Dara itu
memandang dengan alis berkerut. "Kongcu, apakah semua uangmu hanya
ini?"
Hay Hay
mengerling ke kiri dan melihat betapa dua orang penjaga atau tukang pukul yang
tadi menyambutnya sedang berbisik-bisik dan memandang ke arahnya. Ia pun
tersenyum dan dapat menduga bahwa tentu dua orang itu yang melapor ke dalam dan
dari dalam lalu mengutus gadis ini untuk melayaninya setelah mendengar laporan
bahwa dia memiliki banyak uang emas!
"Semua
uang kecilku hanya itu," katanya sambil tersenyum, "uang emasku masih
banyak. Kau dengarlah ini!" Dia menepuk saku bajunya.
Gadis itu
mendengar suara gemerincing nyaring, maka dia pun tersenyum manis sekali
kemudian mendesak maju ke pinggir meja.
"Kongcu
mempertaruhkan semua uang kecil ini pada nomor dua belas!"
Semua orang
memandang heran. Bagaimana pun juga tumpukan uang itu cukup banyak. Mana ada
orang mempertaruhkan uangnya pada nomor dua belas?
Bandar itu
memandang sambil tersenyum menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang
kuning menghitam karena rusak. Dia pun memutar-mutar dua buah dadu di dalam
mangkok, lantas cepat menelungkupkan mangkok itu di atas meja. Semua petaruh
masih diberi kesempatan untuk menambah taruhan mereka, dan tidak seorang pun
kecuali Hay Hay mempertaruhkan uangnya pada nomor dua belas. Mangkok dibuka
dan...
Dua belaaaasss...!" teriak bandar.
Dua buah
dadu itu jelas memperlihatkan nomor enam dan enam! Semua orang berteriak heran,
ada pun dara manis itu sambil tersenyum-senyum membantu Hay Hay menghitung uang
taruhannya. Hay Hay menerima tiga kali uang taruhannya sehingga di atas meja,
di hadapannya, sekarang dia menghadapi uangnya yang menjadi bertumpuk-tumpuk! Dia
memperoleh sebuah bangku dan gadis cantik itu pun duduk di dekatnya, memberi
isyarat kepada seorang pelayan lain supaya mengambilkan minuman anggur untuk
kongcu.
"Wah,
engkau memang sedang mujur sekali, Nona...!"
"Siok
Bi, namaku Siok Bi, Kongcu..."
"Dan
namaku Hay Hay!"
"Hay
Kongcu, sesungguhnya bukan aku yang mujur melainkan engkau!" katanya
sambil menyentuh lengan dengan mesra sekali. Sentuhan itu membuat Hay Hay
merasa betapa bulu tengkuknya segera meremang. Begitu lembut, begitu hangat dan
mesra. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah.
"Siok
Bi, coba kau tukarkan semua uang ini dengan uang perak supaya lebih mudah kita
bertaruh." katanya.
Gadis itu
membantu dengan penuh gairah, dan dengan bantuannya, maka sebentar saja tumpukan
uang di depan Hay Hay berubah menjadi setumpuk uang perak yang berjumlah
sepuluh tail!
"Silakan
pasang lagi...!" bandar sudah berteriak, agaknya sama sekali tak kecewa
melihat betapa uangnya ditarik demikian banyaknya oleh tamu baru itu.
"Siok
Bi, nomor berapakah sebaiknya kini?" tanya Hay Hay kepada gadis di
sampingnya yang bersikap demikian mesra, seolah-olah mereka sudah lama
berpacaran.
"Aih,
mimpiku hanya satu kali, Kongcu. Sebaiknya jika engkau memilih sendiri agar
tidak keliru."
"Baiklah,
aku akan bertaruh pada nomor dua!" Hay Hay mendorong separuh dari semua
uangnya ke atas nomor dua.
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak. Gilakah pemuda itu? Setelah menang secara
kebetulan sekali atas nomor dua belas, kini dia bertaruh atas nomor dua,
lagi-lagi nomor sial yang sukar keluarnya.
"Mengapa
nomor dua, Kongcu? Nomor itu jarang sekali keluar karena hanya mempunyai satu
kemungkinan," bisik gadis di sisinya, mendekatkan mukanya dengan muka Hay
Hay sehingga ketika bicara, dia dapat merasakan napas gadis itu hangat bertiup
di pipinya.
Hay Hay
tersenyum. "Biarlah, bukankah tadi nomor dua belas juga keluar?"
Karena
tertarik dengan keberuntungan pemuda itu, ada dua orang penjudi lain
ikut-ikutan memasang pada nomor dua, akan tetapi hanya secara iseng-iseng saja
sehingga jumlah uangnya tidak banyak.
Dadu dikocok
di dalam mangkok, lalu ditelungkupkan. Ketika dibuka, ternyata jatuh pada nomor
lima! Beberapa orang penjudi yang kebetulan memegang nomor lima memperoleh uang
hadiahnya, namun jumlahnya tidak banyak sehingga bandar masih menang cukup
banyak.
"Aih...,
Kongcu tidak percaya kepadaku sih!" Siok Bi mengeluh. "Sekarang
pasang coba-coba saja dulu, Kongcu, jangan banyak. Sepotong perak saja untuk
memancing nasib."
"Baiklah,
aku menuruti usulmu," kata Hay Hay sambil tertawa.
Dengan sembarangan
saja dia lalu melempar sepotong perak yang jatuh pada angka tiga! Kembali angka
sial! Dan sekarang tak ada seorang pun yang mau ikut-ikutan memasang nomor
tiga. Akan tetapi, ketika mangkok dibuka, dua dadu menunjukkan angka satu dan
dua!
"Tigaaaa...!"
Bandar berteriak dan menggaruk semua uang, kecuali taruhan Hay Hay yang menang
lagi sehingga menerima hadiah tiga potong perak.
Dengan genit
Siok Bi mencubit paha Hay Hay di bawah meja, lalu merapatkan tubuhnya sambil
tertawa girang. Hay Hay juga tertawa-tawa untuk menenteramkan jantungnya yang
berdebar.
Ketika para
penjudi dipersilakan bertaruh lagi, Hay Hay lantas mendorong semua uang di
hadapannya ke atas nomor sebelas. Lagi-lagi nomor sial! Akan tetapi sekali ini
ada empat orang ikut-ikutan memasang nomor sebelas sehingga jika sekali ini
keluar nomor sebelas, maka bandarnya akan rugi cukup canyak!
Siok Bi
hanya tersenyum, maklum bahwa tamunya ini mulai panas dan mulai dipengaruhi
oleh setan judi sehingga sebentar lagi tentu akan mengeluarkan uang emas dari
dalam kantongnya! Dadu dikocok, lalu mangkok ditelungkupkan!
"Silakan
menambah uang taruhan!" teriak bandar .
"Siok
Bi, keluarkan semua uangmu, kupinjam dulu untuk taruhan!" kata Hay Hay.
Gadis itu terkejut, akan tetapi mengeluarkan uangnya dan ternyata ada lima
tail.
"Bagaimana
kalau kalah, Kongcu?"
"Jangan
khawatir, akan kuganti dengan uang emas!"
Siok Bi
girang sekali. Kalau tidak terdapat banyak orang, tentu sudah diciumnya pemuda
yang ganteng dan menarik ini. Tidak seperti para tamu lain, pemuda ini tidak
pernah jail, tidak mengganggunya, bahkan menyentuhnya pun tidak, apa lagi
kurang ajar. Akan tetapi selalu ramah dan pandang matanya itu membuat birahinya
sudah bangkit sejak tadi! Hay Hay menambahkan uang Siok Bi ke atas taruhannya.
Mangkok
kemudian dibuka dan... sepasang mata bandar itu melotot keheranan ketika dua
buah dadu itu menunjukkan angka enam dan lima!
"Se...
sebelas...!" serunya dan si gendut ini kelihatan bingung bukan main. Juga
Siok Bi terbelalak heran, menatap tajam wajah bandar gendut, akan tetapi dengan
cepat dia bisa menguasai keheranannya, lalu memegang lengan Hay Hay.
"Kita
menang, Hay Kongcu...!" serunya gembira, berbareng dengan seruan mereka
yang ikut memasang nomor sebelas. Dengan muka agak pucat bandar lalu menghitung
semua uang dan membayar kemenangan mereka yang bertaruh pada nomor sebelas.
Sesudah tiga
putaran lagi Hay Hay tetap menang dan semua penjudi di meja itu sekarang ikut
memasang nomor yang sama dengan Hay Hay, bandar judi yang bertugas di meja itu
menjadi pucat sekali. Tubuhnya gemetar dan beberapa kali dia menghapus keringat
yang membasahi seluruh tubuhnya. Setiap kali membuka mangkok tangannya selalu
gemetar, kemudian matanya terbelalak setelah melihat betapa sepasang dadu itu
menunjuk angka yang tepat seperti yang dipasang oleh pemuda itu!
Orang-orang
bersorak gembira dan uang di meja bandar itu telah dikuras habis, bahkan sang
bandar terpaksa menyuruh pembantunya mengambil uang dari dalam! Kini bandar
judi yang gendut pendek itu menyeka keringatnya dan menggoyang-goyang
kepalanya.
"Aku...
aku... lelah sekali... biarlah aku berhenti dulu dan... minta diganti rekan
lain..."
Dengan
terhuyung-huyung dia lalu meninggalkan meja itu menuju ke dalam dan tak lama
kemudian muncullah lima orang pria dari dalam, mengawal seorang kakek berusia
enam puluh tahun yang bermuka hitam dan bertubuh jangkung. Mata kakek ini tajam
bagaikan mata elang.
Diam-diam
Hay Hay tersenyum melihat mereka, maklum bahwa sekarang tentu muncul jagoan
nomor satu dalam permainan judi itu, diikawal oleh lima orang pengawal jagoan
yang pilihan pula. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan sibuk menyerahkan
setumpuk uang yang banyak sekali kepada Siok Bi.
"Nona
manis, ini aku kembalikan uangmu berikut pembagian keuntungan untukmu!"
kata Hay Hay.
"Ahhh"
banyak sekali, Kongcu...!" kata Siok Bi, setengah gembira namun juga
khawatir.
Tentu saja
gadis ini gembira menerima pengembalian yang begitu banyak, puluhan kali lebih
banyak dari pada uangnya sendiri sehingga untuk membawanya saja dia telah amat
kewalahan.
Akan tetapi,
sejak pasangan pemuda itu terus menerus menang, dia sudah amat terkejut dan
terheran, namun juga khawatir sekali. Kemenangan demi kemenangan itu sungguh
tidak wajar sama sekali.
Dia tahu
betapa pandainya Si Gendut itu memainkan dadu-dadu itu dan dapat mengatur
sedemikian rupa sehingga dadu-dadu itu akan menghasilkan angka seperti yang
telah dia kehendaki sebelum memutarnya. Akan tetapi entah kenapa hari ini
kepandaiannya seperti musnah sehingga dadu-dadu itu agaknya tidak mau menurut
perintahnya lagi, melainkan menurut kepada perintah atau harapan pemuda ganteng
itu!
Di antara
para pelayan wanita, Siok Bi bukanlah pelayan biasa, melainkan kepala pelayan
dan dia dipercaya penuh oleh pimpinan mereka. Kini, melihat keadaan yang aneh
itu, Siok Bi amat mengkhawatirkan keadaan Hay Hay yang telah menarik
perhatiannya. Tentu akan terjadi malapetaka pada pemuda yang nasibnya amat
mujur dalam perjudian itu!
Melihat
munculnya kakek jangkung bermuka hitam yang dikenal sebagai Kepala Bandar
tempat perjudian itu, beberapa penjudi yang kegirangan akibat
kemenangan-kemenangan mereka dan yang masih menghendaki kemenangannya lebih
banyak, segera menyambut riuh.
"Lanjutkan
permainan dadu!"
"Kami
akan mempertaruhkan semua uang kami!"
Dengan
tenang Si Jangkung itu menghampiri meja, lantas menyapu wajah semua penjudi
dengan matanya yang sedikit juling namun tajam luar biasa itu, dan agak lama
matanya menatap wajah Hay Hay, kemudian tersenyum dan berkata,
"Jangan
khawatir, sobat-sobat. Teman kami tadi sudah terlalu lelah, maka aku yang akan
menggantikan dia. Nah, bersiaplah dengan taruhan kalian. Dadu-dadu ini kuganti
dengan yang baru. Lihat, dua dadu ini masih baru dan semua angkanya tepat dari
satu sampai dengan enam!"
Dia lalu
memperlihatkan sepasang dadu yang dikeluarkannya dari dalam saku bajunya dan
menyimpan dua buah dadu yang tadi digunakan, lalu memasukkan dadu-dadu itu ke
dalam mangkok besar yang sudah dipersiapkan di situ.
"Sediakan
dulu uang untuk membayar uang kemenangan kami!"
"Uang
bandar sudah habis!"
"Smbil
dulu uang dari dalam. Tanpa ada uang kami tidak mau!"
Hay Hay
tersenyum dan memandang kepada Si Jangkung itu. "Mereka itu benar, orang
berjudi harus memiliki modal dan kami tidak melihat bandar bermodal. Setidaknya
harus ada beberapa puluh kali dari jumlah modal kami semua!"
"Bagus!
Benar sekali itu! Aku tidak mau berjudi lagi kalau bandar tidak ada
uangnya!"
Teriakan-teriakan
itu riuh rendah dan kini semua penjudi berkumpul merubung meja dadu yang
terbesar di tengah ruangan karena agaknya semua penjudi itu hendak membonceng
keberuntungan Hay Hay.
Di depan Hay
Hay bertumpuk uang yang amat banyak, bahkan ada sebagian yang harus ditumpuk di
bawah meja. Siok Bi juga kewalahan membawa uang pemberian Hay Hay, maka dia
memberi tanda kepada dua wanita pelayan bawahannya untuk membawakan uang itu.
Suasana menjadi tegang dan Si Jangkung muka hitam tersenyum pahit.
"Jangan
khawatir, sobat-sobat! Pasanglah taruhan berapa pun juga, dan kami pasti akan
membayar setiap kemenangan kalian!"
"Sediakan
dulu uangnya!" teriak Hay Hay dan semua orang menyambutnya dengan sorak
sorai. "Dengar, sobat muka hitam!" kata Hay Hay sambil tersenyum.
Jantungnya
kembali berdebar karena kini demikian banyaknya orang berdesakan di situ
sehingga Siok Bi terhimpit dan tubuhnya yang montok dan lunak hangat itu mepet
dengan tubuhnya sampai dia dapat merasakan betapa dada yang membusung itu
merapat pada pundaknya karena gadis itu kini telah berdiri sedangkan dia masih
duduk di atas bangku. Lengan yang halus dan putih mulus itu melingkar di
sekitar pundak dan lehernya. Siok Bi kini agaknya sudah berani sekali
menganggap dia sebagai kekasihnya!
"Kau
lihat semua uang perakku ini dan taksir, ada berapa? Jika semua ini ditukar
dengan uang emas, berapa kau berani menukarnya?"
Bandar itu
memicingkan mata, menaksir tumpukan di atas meja dan di bawah meja. "Kami
berani menukarnya dengan lima belas tail emas murni!" katanya. Tentu saja
dia tahu betul bahwa nilai tumpukan uang perak itu sedikitnya ada dua puluh
tail emas!
"Bagus!
Suruh orang mengangkatnya dan menukarnya dengan lima belas tail emas sebab
sekarang aku ingin berjudi dengan taruhan emas saja agar tidak memenuhi
meja!"
Kembali
semua orang riuh dan bising. Banyak di antara mereka yang tahu betapa pemuda
itu sudah diakali dan dirugikan, akan tetapi tidak ada yang berani ribut karena
bagaimana juga semua uang itu adalah hasil menang judi.
Ketika
bandar jangkung memberi isyarat, para pengawalnya lalu mengambil uang emas yang
cukup banyak dari dalam. Lima belas tail diberikan kepada Hay Hay dan bandar
itu sendiri menumpuk lima puluh tail di atas meja sebagai modal judi. Tumpukan
uang perak yang dimenangkan Hay Hay diangkut pula ke atas meja di belakang
bandar itu. Semua penjudi memandang dengan hati gembira sekali, membayangkan
betapa semua uang itu nanti akan menjadi milik mereka.
Kini bandar
itu berseru, suaranya terdengar nyaring. "Silakan pasang!"
Hay Hay
masih diam saja dan ternyata semua penjudi juga ikut diam. Suasana menjadi
sunyi sekali karena semua penjudi menunggu pemuda itu memasang nomornya,
barulah mereka akan memasang dengan nomor yang sama!
Suasana yang
sangat tegang itu menggembirakan hati Hay Hay. Dia pergi ke tempat ini untuk
mencari jejak Ang-hong-cu, akan tetapi terlibat dalam permainan judi. Kalau
saja dia tidak melihat betapa bandar gendut tadi bermain curang dengan
dadu-dadunya, tentu dia pun tidak akan duduk menjadi penjudi di sini.
Tadinya dia
hanya ingin mengganggu bandar gendut itu, akan tetapi dengan adanya Siok Bi
yang cantik, maka gangguannya menjadi berlarut-larut sampai semua uang
dikurasnya dari meja bandar! Tentu saja dia tidak membutuhkan banyak uang
seperti itu, dan kalau dia melanjutkan permainannya itu hanya untuk menghajar
para bandar judi, membantu para penjudi yang dia tahu selama ini tentu telah
banyak mengalami kekalahan, dan untuk memancing agar dia bisa mendapatkan jejak
Ang-hong-cu melalui perjudian itu.
"Sobat,
kocok dulu dadunya. Kalau sudah kau telungkupkan mangkok itu, baru aku akan
memasang taruhanku. Akan tetapi, aku juga sudah lelah maka aku ingin berjudi
satu kali lagi saja. Akan kupertaruhkan semua uang emasku ini untuk satu
nomor!"
Semua orang
menahan napas. Semuanya hendak dipertaruhkan? Lima belas tail emas, berarti
tumpukan emas di depan bandar itu akan tersedot hampir habis kalau pemuda itu
menang! Si bandar harus membayar empat puluh lima tail emas! Mendengar
tantangan yang amat berani itu, si bandar muka hitam terbelalak sedikit, akan
tetapi dengan tenang dia pun mengangguk.
"Baik,
kuterima! Bagaimana yang lain?"
"Aku
pun mempertaruhkan semua uangku ini!"
"Aku
juga!"
"Aku
juga!"
Semua
penjudi berteriak ingjn mempertaruhkan semua uang mereka. Kini wajah bandar
judi itu agak pucat. Bayangkan saja! Semua orang yang berjudi di sana
mempertaruhkan seluruh uang mereka. Akan bangkrutlah apabila dia kalah, lantas
bagaimana dia akan mempertanggung jawabkan kepada pemimpinnya? Dia tahu bahwa
semua penjudi tentu akan mempertaruhkan uang mereka seperti pemuda itu, dengan
nomor yang sama! Akan tetapi dia yakin akan kemampuannya, maka dia menekan
perasaannya dan mengangguk-angguk.
"Baiklah!
Kawan-kawan, hitung uang mereka semua supaya lebih mudah pembayarannya
nanti!" Dia pura-pura tenang saja, seperti telah siap kalau sampai kalah
untuk membayar semua kekalahannya!
Kini meja
itu penuh dengan tumpukan uang, di antaranya ada tumpukan uang emas lima belas
tail milik Hay Hay. Hebatnya, semua penjudi menaruh seluruh uang mereka di atas
meja, tidak menyisakan sedikit pun dalam saku baju mereka. Kalau sampai kalah,
mereka semua akan pulang dengan kantong kosong sama sekali! Sebaliknya, kalau
bandar yang kalah, maka tumpukan uang emas, perak dan tembaga yang berada di
situ semua akan amblas!
Sesudah
selesai menghitung uang taruhan dan mencatat, si jangkung muka hitam lantas
berseru keras, "Dadu dikocok....!"
Dan cara dia
mengocok dadu memang sangat aneh, lain dari kocokan si gendut tadi. Dia
memutar-mutar mangkok yang lebih besar dari pada mangkok yang digunakan
rekannya tadi, memutar cepat sekali di atas kepalanya hingga terdengar bunyi
berkerotokan ketika dadu-dadu itu berputaran di dalam mangkok, kemudian dia
menurunkan mangkok itu dan tangan kirinya menarik tutupnya.
"Brukkkk!"
Mangkok
jatuh menelungkup di atas meja dan meja itu pun tergetar. Diam-diam Hay Hay
memperhatikan dan maklumlah dia bahwa si jangkung ini memiliki tenaga sinkang
yang kuat! Dia maklum pula bahwa seperti rekannya tadi, si jangkung ini tentu
menggunakan tipu muslihat dan mungkin dibantu dengan tenaga sinkang-nya untuk
mengatur keluarnya nomor dadu.
Maka dia pun
langsung bersiap siaga, mengerahkan kekuatan sihirnya karena dia belum tahu
akal apa yang akan dipergunakan orang. Tentu saja kedua telapak tangannya juga
ditempelkan di meja itu untuk mengetahui melalui getaran di meja apa yang
terjadi.
"Silakan
memasang nomor!" teriak pula bandar itu, sementara tangan kanannya masih
di atas mangkok yang telungkup di depannya.
Tanpa
ragu-ragu lagi Hay Hay lantas mendorong lima belas tail emasnya ke atas nomor
tiga! Kembali semua orang tertegun. Sungguh nomor-nomor yang sial dan jarang
keluar saja yang selalu dipilih oleh pemuda itu. Akan tetapi, tanpa ragu-ragu
mereka semua lalu mendorong uang masing-masing ke atas nomor tiga, mengelilingi
tumpukan uang emas milik Hay Hay! Uang yang bertumpuk-tumpuk di atas meja itu
semuanya dipertaruhkan kepada nomor tiga!
Hay Hay
tidak melihat ada perubahan pada muka si jangkung itu, akan tetapi walau pun
hanya sedetik dia melihat betapa sepasang mata itu terbelalak atau mengeluarkan
sinar kaget, kemudian sepasang tangannya yang diletakkan di atas meja itu dapat
merasakan getaran yang datangnya dari dalam mangkok besar itu. Pendengarannya
yang terlatih itu pun mendengar suara bunyi kretek-kretek dua kali.
Hay Hay
dapat menduga bahwa itulah alat rahasia di dalam mangkok. Pasangannya pada
nomor tiga itu agaknya tepat mengenai sasaran dan dua buah dadu di bawah
mangkok itu betul-betul menunjukkan angka tiga, akan tetapi alat rahasia di
dalam mangkok kini telah bekerja sehingga dua buah dadu itu tentu akan membalik
dan menjadi angka lain. Hal ini dapat dibacanya dari muka hitam itu, yang kini
bibirnya mengandung senyum mengejek dan sepasang matanya bersinar penuh
keyakinan menang.
Suasana
menjadi sunyi, tegang mencekam hati para penjudi. Ada yang mukanya pucat, ada
yang merah, ada yang peluhnya bercucuran. Semua orang dicengkeram oleh harapan
kemenangan dan dicekam rasa takut akan kekalahan.
"Sobat-sobat,
lihat baik-baik, mangkok ini akan kubuka. Satu... dua... tiga....!"
Semua mata
memandang dan penglihatan Hay Hay yang paling tajam itu sudah melihat bahwa
salah satu dadu menunjukkan angka satu, tetapi dadu kedua menunjukkan angka
enam! Jadi yang keluar adalah tujuh! Dia kalah! Akan tetapi, dengan getaran dua
telapak tangannya, tiba-tiba saja secepat kilat sehingga tidak tampak oleh mata
biasa, dadu yang menunjuk angka enam itu bergulir dan kini menunjuk angka dua!
"Satu
dan dua...!"
"Tiga...!
Kita menang!"
"Kita
menang! Hayo bayar taruhanku!"
Suasana
menjadi riuh rendah, akan tetapi Hay Hay hanya menatap dengan pandang mata
tajam kepada wajah Si Jangkung. Muka yang hitam itu menjadi pucat, matanya
terbelalak memandang kepada dua buah dadu itu, kemudian dia berteriak parau.
"Sobat-sobat,
kalian keliru! Lihat yang betul, bukan angka tiga yang keluar!"
Dengan
menekan meja tiba-tiba saja dia menggetarkan sinkang sehingga biji dadu yang
tadinya menunjukkan angka dua kini kembali berguling ke angka enam! Akan tetapi
hanya sebentar karena sudah berguling ke angka dua!
Semua
penjudi memandang bengong dengan mata terbelalak heran. Kini semua orang
melihat betapa dadu yang satu ini dapat bergulir-gulir, suatu saat bergulir ke
angka enam, lalu bergulir lagi ke angka dua!
Terjadi
perang antara dua kekuatan sinkang yang digetarkan melalui telapak tangan Hay
Hay dan Si Jangkung muka hitam itu. Akan tetapi, ketika untuk kesekian kalinya
dadu itu bergulir ke angka enam dan Hay Hay menggulirkannya lagi ke angka dua,
dia pun segera mengerahkan tenaga dan menahan sehingga betapa pun Si Jangkung
berusaha dengan sinkang-nya, tetapi tetap saja dia tak mampu menggulirkan dadu
itu yang tetap menunjuk angka dua. Satu dan dua!
"Tigaaaa...!"
Semua penjudi berseru sesudah melihat betapa dadu itu kini tidak bergerak lagi
dan keduanya tetap menunjuk angka satu dan dua!
Kembali
orang-orang bersorak, akan tetapi tiba-tiba saja si jangkung muka hitam bangkit
berdiri dan berseru, "Tidak! Ada kesalahan di sini! Kalian tadi melihat
sendiri betapa dadu yang satu itu bergulir-gulir. Ini tidak benar! Pengocokan
dadu harus diulang dan sekarang semua orang harus menjauhi meja!"
Tentu saja
ucapan ini membuat para penjudi terkejut dan marah sekali.
"Wah,
itu tidak adil!"
"Curang
sekali!"
"Kami
sudah menang, bayar kemenangan kami!"
Dengan
gerakan yang cekatan sekali tiba-tiba si jangkung muka hitam meloncat ke atas
meja dan bertolak pinggang. Wajahnya kereng dan bengis sekali, sementara itu
belasan tukang pukul sudah siap siaga di belakangnya sambil meraba gagang
senjata.
"Siapa
bilang kami curang? Pernahkah rumah judi kami tidak membayar para pemenang?
Kami hanya ingin mengulang pengocokan dadu sebab tadi tidak wajar. Hayo, mundur
dan tidak boleh menyentuh meja! Kami telah mengambil keputusan, siapa akan
menentang?"
Para
pengawal di belakang si muka hitam memandang beringas, sudah siap menyerang
siapa saja yang berani menentang keputusan itu. Para penjudi masih
bersungut-sungut penasaran dan merasa tak puas, akan tetapi tak ada yang berani
rnenentang dan semua orang mundur menjauhi meja. Kini mereka semua memandang
kepada Hay Hay karena pemuda inilah yang mereka harapkan, dan tanpa pemungutan
suara lagi pemuda itu telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka!
Hay Hay
tersenyum dan dia pun hanya menurut saja ketika lengannya ditarik oleh Siok Bi
menjauhi meja. Gadis itu masih tetap merangkul pinggangnya ketika Hay Hay
berkata,
"Saudara
sekalian, biarlah kita terima saja keputusan itu! Meski pun dikocok ulang,
kalau memang sudah nasib kita untuk menang maka kita tetap akan menang!"
Mendengar
ucapan ini, semua orang menjadi lega kembali. Si muka hitam memandang penuh
curiga. Tadi dia tahu bahwa ada orang yang main-main dan melawan sinkang-nya
dan dalam pertarungan adu kekuatan itu dia telah kalah! Akan tetapi karena
banyak sekali tangan yang berada di atas meja, tentu saja dia tidak tahu tangan
siapa itu yang sudah menyalurkan sinkang.
Namun
agaknya tidak mungkin tangan pemuda aneh yang digandeng Siok Bi itu. Selain
pemuda itu nampaknya biasa saja, juga Siok Bi selalu menggandeng dan
merangkulnya. Gadis yang juga merupakan pembantu dari pimpinan rumah judi dan
memiliki kepandaian lumayan pula itu tentu akan mengetahui apa bila pemuda itu
menyalurkan sinkang-nya.
Si jangkung
muka hitam sudah meloncat turun kembali dan setelah mengamati dua buah dadu
itu, dia pun memutar atau mengocok sepasang dadu itu ke dalam mangkok. Seperti
tadi, dia menelungkupkan mangkok di atas meja dan berteriak,
"Apakah
nomor pasangan tidak dirubah?"
"Tidak,
tetap nomor tiga!" kata Hay Hay.
"Kami
juga nomor tiga!"
"Nomor
tiga...!" Semua orang serempak berteriak, walau pun hati mereka khawatir
sekali. Bagaimana mungkin dua kali berturut akan keluar nomor sial itu?
"Jangan
gelisah, saudara-saudara! Yang keluar pasti nomor tiga. Nomor tiga...!"
seru Hay Hay dan seruan ini mengandung kekuatan sihir yang besar hingga
seketika semua orang di ruangan itu terpengaruh tanpa mereka sadari.
"Satu...
dua... tiga...!" teriak si jangkung muka hitam dan begitu mangkok dibuka,
kembali dia terbelalak dan mukanya berubah pucat karena benar saja seperti yang
dikatakan oleh pemuda itu, dadu-dadu itu menunjuk angka satu dan dua.
"Tigaaa...!
Nomor tiga, kita menang!" teriak orang-orang itu dengan gembira.
"Nanti
dulu, kalian salah lihat! Lihat baik-baik!" teriak si muka hitam dan kini
dia menekan meja. Hanya kedua tangannya saja yang menekan meja, tidak ada
tangan lain maka dia merasa yakin akan mampu menggulirkan dadu tanpa ada yang
menghalanginya.
Benar saja,
begitu dia menggetarkan telapak tangannya, sebuah dadu yang nomor satu bergulir
ke angka tiga. Akan tetapi betapa heran, terkejut dan bingungnya ketika dadu
itu bergulir, bukan angka tiga yang nampak, melainkan angka satu pula! Jadi
tetap satu dan dua! Kembali dia mengerahkan sinkang dan dadu itu
bergulir-gulir, namun ke permukaan mana pun dadu itu bergulir, tetap angka satu
seolah-olah ke enam permukaannya semua berangka satu!
Si muka
hitam terheran dan meneliti dadu itu dari samping. Angka-angkanya masih tetap
biasa, dari satu sampai enam! Akan tetapi mengapa kalau berguIir, yang nampak
angka satu Iagi? Sementara itu, para penjudi bersorak-sorak gembira. Mereka pun
melihat dadu itu bergulir-gulir, namun tetap angka satu sehingga tetap saja
angka itu menjadi satu dan dua.
Kini si muka
hitam terbelalak dan mukanya penuh dengan keringat. Celaka, pikirnya. Dia sudah
membikin bangkrut rumah judi, maka tentu dia harus bertanggung jawab terhadap
pemimpinnya. Dia merasa ngeri dan seperti tadi, tiba-tiba saja dia telah
meloncat ke atas meja dan tangannya sudah memegang sebatang pedang telanjang!
"Tidak
ada yang menang atau pun kalah!" bentaknya. "Ada orang membikin kacau
di sini! Rumah judi ditutup dan kalian boleh membawa pulang uang
masing-masing!"
"Tapi
kami menang! Harus dibayar dulu...!"
"Hendak
dibayar dengan ini?" Si muka hitam mengacungkan pedangnya. "Kami
tidak mau membayar sebab permainan judi tadi tidak wajar dan ada kecurangan!
Hayo kalian semua keluar, atau kami akan menggunakan kekerasan!" Pada
waktu semua orang memandang, belasan orang tukang pukul itu kini sudah
menghunus senjata tajam masing-masing dan sikap mereka sangat mengancam.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa nyaring dan ketika semua orang memandang, ternyata yang
tertawa itu adalah Hay Hay. "Ha-ha-ha-ha, maling teriak maling, orang
curang teriak orang lain yang curang, alangkah palsunya hidup kalian sebagai
penyelenggara perjudian. Saudara sekalian, mundurlah, biar aku yang menghadapi
manusia-manusia jahat ini!"
Semua tamu
mundur dan mepet pada dinding, dan dengan lembut Hay Hay mendorong Siok Bi
untuk melepaskan gandengannya. Siok Bi bukanlah wanita sembarangan dan dia
mempunyai ilmu silat yang cukup hebat sehingga dipercaya sebagai kepala para
pelayan wanita. Akan tetapi ketika didorong, dia merasa betapa ada kekuatan
yang amat dahsyat sehingga betapa pun dia sudah mempertahankan, tetap saja dia
terdorong dan terhuyung sehingga terpaksa dia pun mundur sampai ke dinding.
Hay Hay
menjulurkan tangannya, lantas menyambar mangkok besar di atas meja dadu.
"Saudara sekalian, lihatlah betapa curang mereka ini!"
Dia
menelentangkan mangkok itu dan nampaklah oleh semua orang betapa pada sebelah
atas mangkok itu terpasang alat rahasia dan nampak pula ada sepasang dadu di
sana. Agaknya, kalau sepasang dadu di atas meja itu hendak diganti sehingga
nomornya keluar menurut kehendak bandar, maka alat di dalam mangkok itu menukar
dadu di atas meja dengan dadu yang berada di dalam mangkok.
Kalau alat
rahasia ini gagal, masih ada kekuatan sinkang bandarnya yang dapat membuat dadu
bergulir. Akan tetapi semua itu, alat dan kekuatan sinkang si bandar, sekali
ini tidak berhasil karena di halangi oleh Hay Hay yang menggunakan kekuatan
sinkang kemudian menggunakan sihir.
Melihat ini,
tentu saja para penjudi itu menjadi terkejut dan marah bukan main. "Nah,
lihat betapa bodohnya berjudi di rumah judi. Hampir semua rumah judi tentu
mempergunakan tipu muslihat dan mana mungkin kalian menang? Yang sengaja diberi
kemenangan untuk menarik para tamu biasanya adalah anak buah mereka sendiri.
Hendaknya kenyataan ini akan membuka mata saudara sekalian sehingga tidak mau
lagi menjadi korban perjudian, menghentikan kebiasaan berjudi yang buruk!"
Mendengar
ucapan Hay Hay itu, dipimpin oleh si muka hitam, belasan orang pengawal itu
sudah mengepung Hay Hay. Bahkan dari dalam muncul pula bandar pendek gendut itu
dan beberapa orang lain sehingga jumlah mereka kini ada dua puluh orang! Semua
orang memegang senjata tajam, ada pun sikap mereka amat bengis. Semua tamu
memandang dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran.
Tiba-tiba
nampak Siok Bi, wanita cantik yang tadi menemani Hay Hay, menyelinap masuk ke
dalam lingkaran dan meloncat ke dekat Hay Hay. Wajahnya agak pucat dan matanya
bersinar-sinar.
"Tidak!
Kalian tidak boleh menyakiti Hay Kongcu! Dia tidak bersalah, dan dia melakukan
perjudian juga hanya iseng-iseng saja! Kongcu, kuharap engkau suka menyudahi
urusan ini dan membawa pergi uangmu dari tempat ini. Tidak ada gunanya bagimu
dan tidak ada untungnya kalau memusuhi rumah perjudian ini, apa lagi mengingat
bahwa Kongcu bukan orang Shu-lu. Sekali lagi kuanjurkan agar kong-cu pergi dari
sini dengan aman. Aku yang menanggung bahwa Kongcu dapat pergi dengan aman dan
tidak diganggu!"
Aneh sekali.
Dua puluh orang lelaki bengis itu agaknya tidak ada yang berani menentang
ucapan Siok Bi, hanya memandang kepada Hay Hay seakan hendak melihat bagaimana
tanggapan Hay Hay terhadap nasehat Siok Bi itu.
Hay Hay
tersenyum dan menjulurkan tangannya, membelai dagu yang halus itu. "Siok
Bi, engkau manis sekali. Terima kasih atas usahamu mengamankan aku. Akan
tetapi, tidak. Mereka berbuat curang dan mereka harus membayar kekalahan mereka
kepada semua penjudi di sini!"
"Ahh, kau...
kau berani... menentang mereka semua itu?" tanya Siok Bi, membelalakkan
mata, tidak percaya.
Ia bisa
menduga bahwa pemuda yang amat menarik hatinya ini tentu memliki kepandaian.
Akan tetapi betapa pun lihainya, kalau harus melawan dua puluh orang bersenjata
yang marah itu, apa lagi dia tahu betapa lihainya si muka hitam dan si pendek
gendut, pemuda ini tentu akan celaka.
Hay Hay
tertawa. "Mengapa tidak berani? Mereka itu hanya sekawanan tikus yang
tidak tahu mana kawan mana lawan!"
"Ehh?
Apa maksudmu, Kongcu?"
"Nanti
engkau akan melihat sendiri. Minggirlah, Siok Bi yang manis, dan terima kasih
atas kebaikanmu."
Mendengar
percakapan itu, dua puluh orang yang mengepung Hay Hay menjadi marah bukan
main. Mereka dianggap sebagai sekawanan tikus oleh pemuda itu! Begitu Siok Bi
yang menggeleng kepala dengan penuh kekhawatiran itu minggir dan kembali ke
dinding, si muka hitam lalu berteriak,
"Hajar
dan bunuh manusia sombong ini!"
Dia sendiri
segera menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan ke arah dada Hay Hay.
Pemuda ini dengan tenang saja miringkan tubuhnya dan pada saat itu pula bandar
ke dua yang bertubuh pendek gendut sudah ikut menyerangnya pula dari arah
belakang, membacokkan goloknya ke arah leher.
Hay Hay juga
mengelak dengan lompatan ke depan, kemudian dia membalik dan kedua tangannya
menyambar dengan kecepatan kilat. Si jangkung muka hitam serta si gendut pendek
yang merupakan dua orang paling lihai di antara dua puluh orang itu, tidak tahu
apa yang terjadi atas diri mereka akan tetapi tiba-tiba saja kepala mereka
terasa seperti disambar petir dan mereka pun terpelanting roboh.
Kiranya
petir itu adalah dua buah tangan Hay Hay yang tadi menyambar cepat sekali dan
menampar mereka. Ketika dua orang itu dapat bangkit kembali, Hay Hay sudah
meloncat ke atas meja dadu yang lebar itu lantas bertolak pinggang. Dia
tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong!
"Kalian
ini sekumpulan tikus! Musuh berada di sekelilingmu, kalian tidak saling serang
mau tunggu apa lagi? Hayo cepat serang musuh di sekeliling kalian!"
Dia
menggerak-gerakkan kedua lengannya ke arah mereka dan terjadilah peristiwa yang
amat luar biasa. Si jangkung muka hitam dan si gendut pendek kini sudah
menggerakkan senjata masing-masing dan saling serang! Semua anak buah mereka
juga saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang kacau-balau, seperti
segerombolan tikus yang tiba-tiba menjadi gila semua lantas saling serang,
tidak lagi mengenal mana kawan dan mana lawan!
Tentu saja
para tamu memandang terbelalak penuh keheranan. Pemuda yang mereka anggap
sebagai pemimpin itu enak-enak saja berdiri di atas meja judi, bertolak
pinggang sambil tersenyum-senyum, sedangkan dua puluh orang tukang pukul sudah
saling serang tak karuan. Karena mereka semua menggunakan senjata, maka
sebentar saja sudah ada beberapa orang yang roboh mandi darah terkena bacokan.
Siok Bi juga
terbelalak penuh keheranan. Akan tetapi, melihat betapa telah ada beberapa
orang yang roboh mandi darah, dia lalu meloncat ke atas meja di mana Hay Hay
berdiri. Semua orang terkejut dan kagum. Meja itu agak jauh dan dia harus
melompat di antara orang-orang yang sedang berkelahi dengan senjata tajam,
namun Siok Bi dapat meloncat ke atas meja dan tiba di depan Hay Hay tanpa
mengguncangkan meja itu! Hay Hay yang sudah menduga bahwa Siok Bi memiliki
kepandaian, tidak merasa heran dan menyambut gadis itu dengan senyuman.
"Kau
mau membantu mereka?" tanyanya.
Siok Bi
memegang lengan pemuda itu, "Tidak, Kongcu, tidak sama sekali! Aku bahkan
gembira bahwa engkau yang mampu mempermainkan dan menghajar orang-orang kejam
itu. Akan tetapi hentikanlah. Aku tak ingin melihat mereka tewas dan aku pun
mempunyai tanggung jawab di sini. Oleh karena itu hentikanlah, kasihanilah aku
sebab aku tentu akan mendapat marah dari pimpinan kalau berdiam diri
saja..."
Hay Hay
mengangguk, lalu menghadapi mereka yang sedang berkelahi dan dia bertepuk
tangan! Tepukan tangannya sangat nyaring, disusul teriakannya yang berpengaruh.
"Heiii, berhenti semua! Apakah kalian sudah gila, saling serang sendiri!
Hayo berhenti berkelahi kataku!"
Tiba-tiba
saja perkelahian berhenti dan semua orang itu terheran-heran melihat betapa
mereka tadi sudah saling serang di antara kawan sendiri! Ada delapan orang yang
terluka karena bacokan senjata kawan sendiri, bahkan si muka hitam
terpincang-pincang dengan paha terluka, dan si gendut pendek juga meringis
karena bahunya robek akibat sabetan pedang. Kini mereka semua memandang kepada
Hay Hay yang berdiri di atas meja, ada pun Siok Bi sudah cepat meloncat turun.
"Nah,
bagaimana sekarang? Apakah kalian masih hendak berkelahi dengan aku? Ataukah
kalian mau memenuhi kewajiban kalian, membayar semua kemenangan kami?"
Siok Bi
menghampiri si muka hitam dan si gendut pendek, lantas berbisik.
"Sebaiknya kita penuhi saja permintaannya. Kalian bukanlah lawan dia, jika
dilanjutkan maka kita semua akan celaka!"
Agaknya
semua anak buah rumah judi itu kini sudah merasa gentar dan dengan pimpinan si
muka hitam, mereka lalu membayar semua kemenangan para penjudi yang menerima
uang kemenangan mereka dengan muka gembira. Mereka segera meninggalkan tempat
itu dan berjanji di dalam hati sendiri untuk tidak kembali lagi.
Seluruh anak
buah rumah judi itu memandang dengan penuh rasa gentar ketika Hay Hay
membungkus semua uang emasnya yang kini berjumlah enam puluh tail emas itu
dengan kain yang lebar, kemudian memanggul buntalan emas itu di atas pundaknya
seperti benda yang biasa saja. Padahal buntalan itu merupakan harta yang cukup berat.
Siok Bi
memandang dengan sinar mata penuh kekaguman. Selama ini belum pernah dia
berjumpa dengan seorang pemuda seperti itu. Memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, bahkan sakti, juga tampan gagah dan sangat pandai mengeluarkan
kata-kata indah yang menyenangkan hati, merayu tanpa bersikap kurang ajar!
Wanita muda ini merasa betapa baru pertama kali ini dia benar-benar tertarik
kepada seorang pria, bahkan diam-diam dia mengaku telah jatuh cinta!
Sebelum
meninggalkan tempat judi itu Hay Hay menoleh kepada rnereka dan memandang
kepada Siok Bi sambil tersenyum. "Siok Bi, sekali lagi terima kasih
kepadamu dan tolong beri tahukan kepada semua orang bahwa aku sedang mencari
seorang tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu. Lihat, semua emas pada
pundakku ini akan kuberikan kepada siapa saja yang bisa menunjukkan di mana
adanya Ang-hong-cu itu. Nah, akan kutunggu beritamu sampai besok siang di
kamarku. Aku menginap di rumah penginapan Hok-lai-koan." Setelah berkata
demikian, dia segera melangkah pergi.
Setelah Hay
Hay pergi, barulah semua anak buah rumah judi itu menjadi gempar. Mereka cepat
mengobati teman-teman yang terluka dan mereka semua bingung bagaimana harus
menghadapi pemimpin mereka yang tentu akan menjadi marah sekali.
"Nona
Siok Bi, sebaiknya engkaulah yang menyampaikan peristiwa ini kepada Coa
Wan-gwe!" kata si muka hitam dengan muka membayangkan perasaan takut.
"Tenanglah,
aku melihat sendiri bahwa kalian tak mampu berbuat apa-apa, tidak berdaya
menghadapi Hay Kongcu yang sakti itu. Tentu akan kuceritakan kepadanya, akan
tetapi tidak sekarang. Sekarang ini dia tidak boleh diganggu karena dia sedang
beristirahat, dan kabarnya malah hendak bermalam di rumah penginapan. Biar
kuselidiki... ehh, tadi kalian telah mendengar sendiri. Pemuda itu mencari
Ang-hong-cu. Adakah di antara kalian yang mengenal tokoh kang-ouw yang berjuluk
Ang-hong-cu itu?"
Semua orang
mengerutkan alis dan mengingat-ingat. Kemudian, si jangkung muka hitam berkata,
"Nama itu telah lama kudengar, akan tetapi belum pernah aku melihat
orangnya. Bahkan sepanjang yang kudengar, tidak ada orang kang-ouw yang pernah
melihatnya. Juga namanya sudah lama tak terdengar lagi di dunia kang-ouw,
melainkan puluhan tahun yang lalu. Tapi, nona, siapakah sebetulnya pemuda itu?
Kepandaiannya demikian hebat... dan... hiihhh, bagaimana tadi kami dapat saling
serang sendiri? Ilmu apakah yang tadi dia gunakan itu?" Si muka hitam itu
bergidik, juga teman-temannya semua merasa takut dan jeri.
Siok Bi
menggeleng kepala. "Jelas bahwa ilmu silatnya tinggi, akan tetapi aku
sendiri tidak mengerti kenapa tadi kalian menurut saja pada waktu dia menyuruh
kalian saling serang sendiri."
"Tentu
dia tadi mempergunakan ilmu sihir!" kata si pendek gendut. "Aihh,
kalau disuruh melawan orang yang pandai sihir, lebih baik aku angkat tangan
saja !"
Tak ada
hentinya para anak buah itu membicarakan pemuda yang sudah mendatangkan
kekacauan serta membuat mereka terpaksa menutup rumah judi karena bangkrut!
Akan tetapi hati mereka menjadi lega setelah Siok Bi, gadis kepala pelayan yang
menjadi orang kepercayaan majikan atau pemimpin mereka, menyanggupi untuk
melaporkan peristiwa itu kepada majikan mereka.
***************
Walau pun
peristiwa di po-koan (rumah judi) itu segera diketahui oleh seluruh penduduk
kota Shu-lu karena para penjudi itu ramai membicarakannya, namun tidak ada yang
tahu bahwa pendekar muda yang mempunyai kesaktian itu tinggal di rumah
penginapan Hok-lai-koan. Hay Hay hanya memberi tahu kepada Siok Bi dan para
tukang pukul yang kini telah kehilangan lagak, bahkan tak berani keluar dari
rumah judi itu, takut kalau dijadikan buah tertawaan orang-orang. Dengan
seenaknya Hay Hay kembali ke rumah penginapan membawa buntalan emas yang banyak
itu.
Pada malam
itu, kurang lebih jam delapan malam, seorang gadis cantik memasuki rumah
penginapan itu. Para petugas yang berjaga di rumah penginapan itu agaknya
mengenal baik gadis ini sehingga tidak ada yang berani bersikap kurang ajar,
bahkan mereka cepat menyambutnya dengan sikap hormat dan bertanya apa keperluan
gadis itu malam-malam berkunjung ke hotel Hok-lai-koan. Semua petugas di situ
mengenal dara ini sebagai orang kepercayaan Coa Wan-gwe, bahkan tahu bahwa
gadis ini pandai ilmu silat!
"Apakah
kedatangan Nona ini ada hubungannya dengan pesanan kamar Coa Wan-gwe? Beliau
belum datang..."
"Tidak,
aku hendak berkunjung kepada seorang tamu. Sudahlah..., kalian tidak perlu tahu
urusanku!" katanya dan dia pun terus masuk ke dalam.
Para petugas
itu tak berani mengikutinya dan Siok Bi, gadis itu, terus menuju ke ruangan
belakang. Orang-orangnya sudah melakukan penyelidikan, maka dia tahu di mana
kamar yang disewa Hay Hay, yaitu kamar nomor tujuh di belakang. Siok Bi membawa
sebuah buntalan yang semenjak tadi dipegangnya dengan tangan kiri dan kini dia
mengetuk daun pintu kamar nomor tujuh.
"Tuk-tuk-tuk...!"
Sunyi
sejenak, lalu terdengar suara Hay Hay dari dalam. "Ya, siapa di
luar?"
Mendengar
suara yang ramah gembira ini, Siok Bi lantas tersenyum girang. Ia rnenyentuh
rambutnya dengan tangan kanan untuk melihat apakah letak rambutnya sudah beres,
lalu mengebutkan ujung bajunya dan baru menjawab dengan suara merdunya.
"Hay
Kongcu, aku Siok Bi yang datang berkunjung."
Daun pintu
terbuka dan Hay Hay berdiri di ambang pintu, memandang gadis itu dengan senyum
dan pandang mata kagum. " Aihh, engkau semakin tambah manis dan jelita
saja, Siok Bi!"
Wajah yang
lembut itu menjadi kemerahan lantas dia pun melangkah masuk kamar tanpa rikuh
lagi. "Hemmm, engkau murah sekali dengan pujianmu, Kongcu. Wanita bisa
mabok oleh rayuanmu!"
Hay Hay juga
masuk kamar tanpa menutup daun pintu. Hal ini nampak benar oleh Siok Bi dan
kembali dia semakin kagum. Pemuda ini benar-benar berbeda dengan para pria lain
yang tentu akan cepat-cepat menutupkan daun pintu seperti seekor harimau yang
melihat seekor kambing memasuki kandangnya!
"Siapa
memuji dan merayu? Aku berbicara sebenarnya saja, Siok Bi. Kalau engkau tidak
percaya bahwa engkau jelita dan manis, coba kau bercermin!"
Siok Bi
tersenyum manis. "Tidak usah kau suruh. Sebagai seorang wanita normal,
setiap hari aku pasti bercermin, Kongcu, sedikitnya dua tiga kali atau malah
lebih akan tetapi tak pernah aku melihat diriku seperti yang kau puji-puji.
Sungguh engkau baik sekali, Kongcu, dan selama hidupku belum pernah aku bertemu
seorang pemuda sehebat Kongcu..."
"Wah-wah,
siapa kini yang memuji-muji? Siok Bi, sebenarnya apa maksud kunjunganmu ini?
Apakah ada hubungannya dengan berita tentang Ang-hong-cu?"
Siok Bi
menoleh ke arah pintu. "Kongcu, tidakkah sebaiknya kalau daun pintu kamar
itu ditutup dulu?"
"Ehh?
Engkau tidak khawatir, Siok Bi?"
"Apa
yang harus kukhawatirkan?"
"Kalau-kalau
aku melakukan hal-hal yang tidak baik, atau kalau sampai ada orang lain melihat
engkau berada di sini dan..."
"Aku
tidak peduli dengan pendapat orang lain, Kongcu. Dan tentang kemungkinan engkau
melakukan hal-hal yang kau maksudkan itu, aku... aku bahkan akan merasa
berbahagia sekali kalau kau sudi...."
Mendengar
ini, jantung di dalam dada Hay Hay berdebar keras. Dia tersenyum kemudian
menutupkan daun pintu, akan tetapi berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa
dia tidak boleh terjatuh dalam rayuan gadis ini, seorang gadis pelayan rumah
judi yang nampaknya memiliki kedudukan cukup terpandang di perkumpulan
itu.Tentu bukan seorang perawan yang masih hijau, pikirnya, walau pun mungkin
juga bukan seorang wanita penghibur atau wanita pelacur, melihat sikapnya yang
lembut walau pun cukup berani.
Akan tetapi
baru saja dia mau menutup daun pintu dan membalik, tiba-tiba saja dua buah
lengan yang lembut itu telah merangkulnya dan gadis itu telah menciumnya dengan
penuh rasa kagum dan mesra sampai Hay Hay gelagapan. Akan tetapi kemesraan itu
langsung membakar hatinya sehingga dia pun membalas dengan penuh perasaan.
Ketika api gairah itu terasa membakar, Hay Hay cepat melepaskan rangkulannya.
"Cukup,
Siok Bi. Duduklah dan cetitakan apa maksudmu berkunjung ini!"
Kalau tadi
Siok Bi hampir terlena di dalam rangkulan itu, tenggelam ke dalam kemesraan
karena baru sekali inilah dia berangkulan dan berciuman dengan seorang
laki-laki dengan suka rela dan sepenuh perasaan cinta dari hatinya, kini dia
pun sadar dan terkejut setelah mendengar suara yang penuh wibawa itu.
Dengan dua
kaki agak gemetar dan tubuh masih panas dingin Siok Bi menjatuhkan diri di atas
pembaringan, napasnya agak terengah. "Aih, Hay Kongcu.... Belum.... belum
pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang pria seperti Kongcu yang
sungguh seorang jantan sejati! Kedatanganku ini membawa banyak urusan, Kongcu.
Pertama, aku hendak mengembalikan ini." Dia membuka buntalan dan ternyata
itu adalah caping milik Hay Hay yang tadi tertinggal di rumah judi. Hay Hay
menerima caping itu sambil tertawa.
"Ha-ha-ha-ha,
terima kasih. Ini adalah sahabatku yang setia dalam perjalanan selama
ini." Dia menerima caping itu dan meletakkannya di atas meja.
"Urusan
ke dua adalah mengenai pesanmu agar aku menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu,
Kongcu. Hal ini sudah kutanyakan kepada semua orang. Memang ada juga yang
pernah mendengar akan nama Ang-hong-cu, akan tetapi tokoh itu terkenal beberapa
puluh tahun yang lalu, setidaknya belasan tahun yang lalu dan selama ini
namanya tak terdengar lagi. Bahkan belum pernah ada orang yang pernah melihat
wajahnya. Akan tetapi, dari seorang pembantu yang baru saja pulang dari kota
raja, aku mendengar bahwa di kota raja ada seorang yang membual bahwa dia
adalah seorang keturunan Ang-hong-cu."
"Ahhh...!
Siapakah orang itu? Siapa namanya dan di mana tinggalnya?"
"Aku
pun telah bertanya akan hal itu. Kebetulan sekali pembantu baru itu
mengetahuinya. Akan tetapi dia tidak tahu namanya, hanya mengenalnya sebagai
Tang-ciangkun (perwira Tang), seorang perwira yang bekerja sebagai pasukan
pengawal istana "
"She
Tang ?" Hay Hay bertanya dan jantungnya berdebar kencang.
"Benar,
Kongcu. Akan tetapi orang itu hanya mendengar bahwa Tang-ciangkun sering kali
membual di luaran bahwa dia adalah keturunan Ang-hong-cu. Itu saja, benar atau
tidak, tak ada yang mengetahuinya."
"Bagus,
keterangan ini sudah cukup, Siok Bi. Besok aku akan segera pergi ke kota raja
untuk menyelidiki orang she Tang yang menjadi perwira pasukan pengawal di istana
itu. Beritamu ini sungguh cukup penting dan amat berharga bagiku. Apakah masih
ada urusan lain lagi?"
"Ada,
Kongcu. Mengenai dirimu..." dan tiba-tiba saja Siok Bi menangis. Hay Hay
menatap tajam dan dia mendapat kenyataan bahwa tangis ini bukan dibuat-buat,
bukan sandiwara, melainkan tangis karena duka.
"Tenanglah,
Siok Bi. Apakah yang kau susahkan? Sejak pertemuan pertama secara diam-diam aku
sudah merasa heran mengapa seorang gadis seperti engkau sampai terperosok
menjadi seorang pelayan rumah judi..."
Mendengar
ucapan itu, Siok Bi menangis semakin sedih, bahkan kemudian menjatuhkan diri
menelungkup di atas pembaringan dan terisak-isak. Hay Hay merasa kasihan
sekali. Dia duduk di tepi pembaringan dan menekan pundak gadis itu, mengelus
rambutnya.
"Tenangkan
hatimu dan bicaralah, aku akan menolongmu sedapatku jika memang engkau
membutuhkan pertolongan."
Gadis itu
bangkit, lantas dengan muka basah air mata dia memandang kepada Hay Hay.
"Be... benarkah, Kongcu...? Benarkah engkau sudi menolongku...? Sudi
mengangkat aku dari lumpur kehinaan ini...?"
Hay Hay
tersenyum, lantas menggunakan jari-jari tangannya mengusap air mata dari pipi
yang kini ditinggalkan bedak akan tetapi ternyata kulitnya memang putih mulus
dan halus itu. Dia mengangguk. "Tentu saja, Siok Bi."
"Ah,
Kongcu....!" Siok Bi menubruk, merangkul dan menangis di dada Hay Hay.
Jantung di dalam dada itu kembali berdebar keras, tangannya balas mendekap akan
tetapi Hay Hay dapat bertahan untuk tidak tergelincir ke dalam jurang birahi.
"Tenanglah,
nah, kini duduklah yang baik dan berceritalah," katanya dan dia pun
bangkit berdiri, lalu pindah duduk di atas kursi, baju di bagian dadanya basah
oleh air mata ketika gadis itu tadi menangis di dadanya.
Siok Bi
menyusuti air matanya dengan sehelai sapu tangan yang sudah menjadi basah. Ia
cepat menenangkan dirinya dengan memejamkan mata, dan kembali Hay Hay mendapat
kenyataan bahwa gadis cantik ini memang pernah mempelajari ilmu silat, juga
cara untuk bersemedhi dan memperkuat batin. Dia hanya memandang sambil
tersenyum. Tidak lama kemudian Siok Bi membuka matanya dan kini pandang matanya
terang, tidak layu seperti tadi.
Ia menarik
napas panjang, "Maafkan kelakuanku tadi, Kongcu. Bagi Kongcu tentu sikapku
tadi bukanlah sikap seorang gadis yang sopan dan bersusila. Memang aku sudah
menjadi seorang gadis yang tak tahu tahu malu, Kongcu, terseret oleh keadaan
diriku," Siok Bi lalu menceritakan riwayatnya dengan singkat.
Pada waktu
dia berusia tiga belas tahun, ayahnya yang sudah menduda menjadi gila judi dan
habis-habisan sehingga akhirnya dia dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Coa
yang merupakan orang terkaya di Shu-lu, juga menjadi kepala dari golongan hitam
di daerah itu. Ternyata Hartawan Coa suka kepadanya, karena selain cantik Siok
Bi juga amat cerdas.
Gadis remaja
ini lalu diperlakukan dengan sangat baik, bahkan dilatih pula dengan segala
macam kepandaian, termasuk ilmu-ilmu silat tinggi. Ketika dia telah dewasa, dia
terpaksa melayani Hartawan Coa yang mengambilnya sebagai seorang di antara para
selirnya yang amat banyak. Mulai saat itu, selain menjadi selir Siok Bi juga
menjadi orang kepercayaan dan menjadi kepala para pelayan yang berada di rumah
judi itu.
"Nah,
demikianlah riwayatku, Kongcu. Aku hidup bergelimang kehinaan, dan hatiku
selalu merana semenjak aku dijual oleh ayah kepada Coa Wan-gwe. Tetapi ayah pun
menderita karena merasa menyesal dan dia meninggal dunia karena penyesalannya
pada saat aku dipaksa menjadi selir Coa Wan-gwe."
Hay Hay
mengangguk-angguk. Betapa banyak gadis-gadis keluarga miskin yang bernasib
seperti itu, terutama yang berwajah cantik manis seperti Siok Bi. Banyak
penggoda yang datang, berupa hartawan-hartawan yang haus akan bunga cantik yang
baru mekar, yang menggunakan uang mereka untuk membeli gadis-gadis itu.
Masih baik
nasib gadis cantik miskin yang mempunyai orang tua yang mempunyai harga diri.
Akan tetapi, sungguh celaka kalau orang tuanya mata duitan. Gadis itu akan
menjadi laksana barang dagangan, dijual kepada hartawan untuk menjadi alat
pemuas nafsunya. Terlampau banyak keluarga yang tidak menghargai anak
perempuan, dianggapnya anak perempuan hanya menjadi beban orang tua saja.
Pikiran yang sungguh jahat!
"Lalu
apa yang dapat kulakukan untukmu, Siok Bi? Biar pun aku merasa sangat kasihan
mendengar nasibmu, akan tetapi apa yang dapat kulakukan?"
"Tolonglah
aku, Kongcu. Tolonglah aku supaya aku bisa terbebas dari cengkeraman Coa
Wan-gwe...," gadis itu memohon.
"Hemm,
kalau engkau memang tidak suka lagi menjadi selir dan pembantu hartawan Coa
itu, kenapa engkau tidak melarikan diri saja? Engkau bukan seorang wanita yang
lemah, Siok Bi, dan kulihat engkau mendapat kebebasan bergerak. Dengan mudah
sekali engkau akan dapat melarikan diri meninggalkan kota Shu-lu ini ke tempat
jauh!"
Gadis itu
menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Kongcu. Ahhh, engkau tidak tahu akan
kekuasaannya. Dia memiliki banyak tukang pukul dan aku tentu akan dapat
ditangkapnya dengan cepat, kemudian menerima hukuman yang amat kejam. Tidak,
Kongcu. Melarikan diri bukanlah jalan yang baik."
"Kalau
begitu, katakan saja terus terus terang kepadanya bahwa engkau ingin bebas dan
hidup sendiri."
Gadis ini
menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Pernah kukatakan hal itu
kepadanya tetapi apa akibatnya? Aku dihukum cambuk sepuluh kali dan dia
mengatakan bahwa aku telah menjadi miliknya karena sudah dibeli dari mendiang
ayahku. Kalau aku ingin bebas, maka aku harus menebus diriku yang katanya kini
harganya sudah menjadi lima puluh tail emas!"
"Wah,
kenapa demikian banyak? Apakah dulu ayahmu menjualmu dengan harga seperti
itu?"
Siok Bi
menggeleng. "Hanya beberapa tail emas, tetapi dia memperhitungkan bunganya
yang tinggi selama lima tahun ini...."
Hay Hay
mengerutkan alisnya dan melirik ke arah buntalan uang emasnya. Uang itu lebih
dari cukup untuk menebus diri Siok Bi!
"Siok
Bi, kalau engkau sudah berhasil bebas dari Hartawan Coa, lantas ke mana engkau
hendak pergi? Bukankah ayahmu telah meninggal dunia? Apakah engkau masih
memiliki keluarga lain?"
Siok Bi
kembali menggeleng kepalanya. "Hanya seorang paman di kota raja, akan
tetapi dia tentu tidak sudi menerima aku yang sudah bergelimang lumpur.
Tetapi... ada seorang pemuda...," gadis itu berhenti sejenak dan matanya
memandang kepada Hay Hay dengan penuh duka.
Hay Hay
tersenyum. "Aha! Ternyata engkau sudah mempunyai pillhan seorang kekasih?
Bagus sekali kalau begitu!"
Siok Bi
nampak tersipu-sipu. "Bukan begitu, Kongcu. Sebenarnya ada seorang pemuda
yang dahulu suka berjudi. Dia sebetulnya seorang pemuda yang baik dan dia....
dia amat mencintaku. Ketika aku memberi nasehat agar dia berhenti berjudi, dia
pun mau menurut, berhenti tidak pernah berjudi lagi dan kini dia bekerja,
berdagang kecil-kecilan. Dia sangat mencintaku dan tentu akan menerimaku
sebagai calon isterinya dengan hati bahagia..."
"Dan
engkau tentu juga mencintanya, bukan?"
"Sayang...
sayang dia bukan engkau, Kongcu....! Ahh, kenapa aku harus mengharapkan yang
bukan-bukan? Aku kasihan dan suka padanya, akan tetapi terus terang saja, tidak
mencintanya. Tetapi bagaimana pun juga hidupku akan lebih terhormat dan
terjamin kalau dapat menjadi isterinya."
Mendengar
pengakuan yang jujur itu, Hay Hay merasa terharu sekali. Gadis ini jatuh cinta
kepadanya! Gadis ini tersesat ke jalan hitam bukan atas kehendaknya, melainkan
karena terpaksa, dan sekarang dia berusaha untuk kembali ke jalan yang bersih.
Agaknya hanya dialah yang mampu menolongnya, dengan cara menebusnya.
"Baiklah,
Siok Bi. Kemenangkanku di meja judi itu cukup untuk menebus dirimu. Aku akan
menemui Coa Wan-gwe dan aku akan menebus dirimu dengan lima puluh tail
emas!"
"Hay
Kongcu...!" Siok Bi menjerit kecil kemudian menubruk pemuda itu dengan
hati penuh kebahagiaan sehingga keduanya berguling ke atas pembaringan. Siok Bi
merangkul dan mencium, penuh perasaan terima kasih dan penuh kepasrahan diri.
"Kongcu...."
bisiknya di antara ciumannya, "sampai mati aku tak akan mampu membalas
budimu... maka... hanya tubuhku inilah yang kumiliki, hendak kuserahkan padamu
untuk membalas budi dengan segala keikhlasan...! Hay Kongcu... aku kagum
kepadamu, aku cinta padamu...."
Dara itu
merintih ketika Hay Hay dengan halus mendorongnya, lantas pemuda itu bangkit
duduk. Tadinya dia pun terseret gelombang nafsu sehingga membalas ciuman dan
belaian gadis itu, namun kesadarannya membuat dia melihat betapa buruknya jika
dia lanjutkan. Seolah-olah dia menolong dengan pamrih imbalan yang begitu
rendah! Dia bukan hendak membeli tubuh Siok Bi, melainkan kebebasannya!
"Siok
Bi, sadarlah! Aku kagum dan suka pula padamu, akan tetapi hal itu bukan berarti
bahwa aku lalu ingin memperoleh imbalan darimu. Ingat, engkau telah bersiap-siap
untuk menempuh jalan bersih bersama pemuda yang mencintamu. Maka sejak saat ini
engkau harus menahan semua perasaanmu, dan harus pula menjadi seorang calon
isteri yang setia! Kalau begitu, barulah engkau dapat mengharapkan akan
membentuk rumah tangga bahagia dengan pemuda itu."
Wajah gadis
itu menjadi merah dan dia pun segera meloncat turun dari atas pembaringan,
membereskan pakaiannya kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hay
Hay.
"Kongcu,
aku menghaturkan banyak terima kasih, juga mohon maaf atas kelancanganku
tadi."
Gadis itu
semakin kagum, akan tetapi juga jeri karena kini dia merasa bahwa pemuda ini
bukanlah manusia biasa! Tidak mungkin ada laki-laki, apa lagi masih muda, yang
mampu bertahan seperti itu, padahal keduanya sudah saling peluk dan saling
berciuman di atas pembaringan dalam sebuah kamar! Padahal dia telah siap
menyerahkan diri dengan suka rela! Dan pemuda itu demikian pandai merayu,
demikian pandai bercumbu! Selama hidup belum pernah Siok Bi mengalami hal
seperti itu.
Hay Hay
menyentuh kedua pundaknya lantas menariknya berdiri. Hay Hay memandang wajah
yang manis itu, tersenyum, kemudian memberi ciuman mesra di dahi yang halus
itu.
"Siok
Bi, tidak perlu berterima kasih dan tak perlu minta maaf. Uang itu adalah uang
milik rumah judi, bukan uangku. Dan tentang permintaan maaf, terus terang saja
aku pun amat suka kepadamu, dan alangkah akan mudahnya dan senangnya jika aku
menuruti bisikan nafsu. Akan tetapi orang harus lebih dulu sadar, waspada dan
memperhitungkan segala perbuatan, bukan membuta karena nafsu. Kalau sekarang
kita menuruti nafsu, kelak kita berdua akan merasa menyesal sekali. Terutama
engkau, Siok Bi. Di sudut hatimu tentu akan timbul penyesalan karena engkau
telah berkhianat terhadap cinta pemuda itu. Nah, sekarang katakan ke mana aku
harus menyerahkan uang itu kepada Hartawan Coa. Aku ingin urusan selesai saat
ini juga."'
"Ahhh,
jangan sekarang, Kongcu. Besok pagi saja karena malam ini Hartawan Coa tidak
berada di rumah. Dia bermalam di rumah penginapan ini!"
"Ehhh?!
Di sini? Kenapa.... ?" Hay Hay bertanya heran.
Gadis itu
mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi dia sudah sering
kali begitu, bermalam di mana saja dan itu tandanya bahwa dia memperoleh
seorang korban baru, seorang gadis yang baru saja didapatnya!"
Tiba-tiba
terdengar suara gaduh di luar dan terdengar suara seorang laki-laki, suara yang
parau dan dalam, "Di mana kamar untukku? Harus yang paling baik!"
"Tentu
saja, tentu saja... tai-ya. Di sana, di kamar paling kiri, sudah kami
persiapkan..."
Siok Bi
menaruh telunjuk ke depan mulutnya. "Sstttt, itu dia....!" bisiknya.
Hay Hay
kemudian membuka daun pintu dan keluar dengan tenang. Dia sempat melihat seorang
lelakl tinggi besar bermuka hitam bopeng! Dia terbelalak. Kiranya pemilik rumah
judi, pemimpin dan kepala dari para bandar curang itu, bukan lain adalah
hartawan yang sudah memiliki janji rahasia dengan isteri Gui Lok, pemilik rumah
penginapan dan rumah makan Hok-lai-koan!
Dia melihat
pria tinggi besar itu memasuki kamar terbesar di sebelah kiri, dan dua orang
tukang pukul atau jagoan yang bertubuh kokoh kekar berjaga di luar kamar itu!
Isteri Gui Lok itu, yang bernama Kim Hwa, si cantik genit, berjanji akan
mengantarkan puteri tirinya setelah lewat jam dua belas malam ke kamar itu!
Mempergunakan obat bius pula!
Dia harus
mencegah terjadinya peristiwa terkutuk itu. Kasihan Ai Ling, gadis pendiam yang
bagaikan bunga baru mekar itu harus dipetik secara paksa, direnggut oleh
Hartawan Coa yang rakus ini! Dia pun cepat masuk lagi ke dalam kamarnya.
"Ternyata
si tinggi besar muka bopeng itukah Hartawan Coa?" katanya kepada Siok Bi.
Pantas saja dara jelita ini merasa menderita. Wanita muda mana yang suka
menjadi selir seorang laki-laki seperti itu yang kelihatannya kasar dan bengis?
Siok Bi mengangguk.
"Siok
Bi, engkau pulanglah. Besok akan kubereskan masalahmu. Aku akan menemui dia di
rumahnya dan menebus dirimu, kemudian kuantar engkau ke rumah calon suamimu."
Siok Bi
merasa gembira sekali. "Terima kasih, Hay Kongcu, terima kasih...!"
Dia
menghampiri dan merangkul lagi, akan tetapi tiba-tiba dia menahan diri dan
menatap wajah pemuda itu. Dua pasang mata saling bertaut.
"Bolehkah
aku...., Kongcu... ?"
Hay Hay
tersenyum, mengangguk dan menerima ciuman hangat gadis itu, sebuah ciuman yang
tidak lagi dicekam oleh nafsu birahi, melainkan ciuman yang mengandung rasa
haru, syukur dan terima kasih yang amat besar. Kemudian gadis itu melepaskan
rangkulannya, lantas keluar dari dalam kamar itu disertai isak tertahan. Akan
tetapi Hay Hay menangkap lengannya.
"Jangan,
jangan lewat situ, lebih baik jangan terlihat bahwa engkau berada di
sini," kata Hay Hay dan dia membuka jendela, lalu membantu Siok Bi meninggalkan
kamarnya lewat jendela yang menembus ke dalam kebun yang gelap.
Setelah
bayangan Siok Bi lenyap, Hay Hay menutup daun jendela dari luar sebab dia pun
meninggalkan kamarnya untuk melakukan pengintaian dalam usahanya menyelamatkan
Ai Ling dari ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment