Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 05
Pek Liong
Kiam-Sut gerakannya gagah dan kuat, tetapi gerakan-gerakan yang lurus itu
mengandung bermacam-macam tenaga dan tipu gerak tak terduga. Sebaliknya Ouw
Liong Kiam-Sut gerakannya lincah dan gesit sekali, membingungkan lawan karena
banyak sekali pecahan dan gerak tipunya.
Sinar
pedangnya tajam pendek-pendek tetapi berubah-ubah mengacaukan pertahanan lawan.
Akan tetapi, kedua sifat ilmu pedang ini setelah kini dimainkan bersama dan
dipakai untuk saling serang, ternyata kedua duanya gagal dan tak berdaya,
seakan-akan keduanya telah saling kenal baik gerakan masing-masing. Kalau Pek
Liong Kiam-Sut diumpamakan senjata tajamnya maka Ouw Liong Kiam-Sut adalah
sarungnya!
Giok Ciu
penasaran sekali dan ia mengeluarkan gerakan terhebat dari Ouw Liong Kiam-Sut,
namun sia-sia, karena Sin Wan tahu belaka kemana dan bagaimana ia hendak
menyerang. Memang hal ini tidak aneh kalau dipikirkan bahwa kedua ilmu pedang
ini berasal dari satu cabang, yakni Sin-Liong Kiam-Sut, dan mereka telah
mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut sampai hafal benar.
Sedangkan
Pek Liong Kiam-Sut dan Ouw Liong Kiam-Sut sebenarnya belum mereka kuasai
seluruhnya. Karena sebetulnya mereka belum tamat mempelajari kedua ilmu pedang
ini, dan sebelum mereka dapat menguasai dengan sempurna, keburu datang
perisitiwa di luar sumur sehingga mereka disuruh turun gunung!
Setelah
lelah berlatih, keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, lalu
duduk beristirahat di aas rumput sambil menikmati angin gunung yang sejuk. Dan
aneh sekali, karena latihan itu, di dalam lubuk hati masing-masing timbul rasa
tidak puas karena terhadap masing-masing mereka merasa tidak berdaya.
Lebih-lebih
Giok Ciu, gadis ini merasa mengapa kepandaian yang dimilikinya menjadi tidak
berarti kalau melayani Sin Wan. Kalau saja ia kalah atau menang, ia akan merasa
puas, tetapi ia kini menjadi penasaran dan tidak puas. Kalah tidak, menangpun
bukan! Juga ia tidak dapat menentukan, pedang mana yang lebih baik atau lebih
ampuh!
“Koko, aku
merasa heran sekali, Agaknya ilmu pedang yang kita pelajari ini tidak seberapa
hebat.”
Sin Wan
memandang jauh dengan termenung, lalu menjawab, “Aneh, moi-moi, akupun merasa
mempunyai perasaan begitu. Tapi tidak ingatkah kau ketika terjadi pengeroyokan
itu? Kau menggunakan pedang dan sebentar saja kau dapat merobohkan lawanmu!”
Giok Ciu
teringat dan kekecewaannya agak berkurang. “Kau benar, Koko. Tapi anehnya,
menghadapi ilmu pedangmu, kepandaianku tiada gunanya sama sekali!”
Sin Wan
melirik sambil tersenyum. “Kau ini aneh, moi-moi. Kau kan tidak mempelajari Ouw
Liong Kiam-Sut untuk digunakan menyerang aku? Ketahuilah, aku sendiri merasa
betapa pedangku sama sekali tak dapat menembus pertahanan ilmu pedangmu!”
Setelah
beristirahat dan makan buah-buahan yang mereka petik di dalam hutan di lereng
bukit, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat.
“Koko,
apakah kita pergi ke gedung Suma-Cianbu?”
“Ya, kita
langsung menuju ke sana dan membasmi bangsat she Suma lebih dulu!” jawab Sin
Wan sambil mengertak gigi karena gemas teringat akan musuh besarnya.
Karena
mereka menggunakan ilmu lari cepat, maka dua hari saja mereka telah tiba dikota
tempat tinggal Suma-Cianbu. Hari telah menjadi gelap ketika mereka berdua
memasuki kota. Maka mereka menanti sebentar sebelum menyerbu ke gedung
Suma-Cianbu itu. Setelah hari menjadi gelap, keduanya lagi loncat keatas
genteng dan sambil berlari-lari cepat di atas genteng merupakan dua bayangan
putih dan hitam, mereka menuju ke gedung yang tinggi dan besar itu.
Tetapi
mereka terheran mendapat kenyataan betapa gedung itu sunyi saja dan yang
menjaga keamanan hanya empat orang anggauta keamanan yang berjalan
mondar-mandir di belakag tembok yang mengurung gedung itu. Didalam gedung
sendiri sunyi senyap, hanya dibagian belakang tampak lampu bernyala dan ada
suara orang bercakap-cakap.
Bagaikan dua
ekor kucing mereka meloncat turun dengan ringan sekali sehingga tidak
menerbitkan suara. Ketika dua orang penjaga lewat ditempat mereka bersembunyi,
mereka menerjang dan tanpa dapat mengeluarkan teriakan kedua penjaga itu kena
tertotok dan roboh pingsan. Demikianlah nasib ke dua penjaga lainnya.
Kemudian Sin
Wan Giok Ciu meloncat masuk ke dalam gedung. Alangkah kecewa mereka ketika
mendapat kenyataan bahwa gedung itu betul-betul kosong dan tidak ada orangnya,
dan yang sedang bercakap-cakap di bagian belakang hanyalah beberapa orang
pelayan saja. Para nelayan itu, empat orang tua dan dua orang laki-laki
terkejut sekali ketika tiba-tiba tampak dua orang muda yang telah berada
dihadapan mereka.
“Jangan
takut, kami takkan mengganggu!” Kata Sin Wan kepada mereka yang berlutut,
sambil menggigil ketakutan. “Asal saja kalian terangkan di mana adanya
Sum-Cianbu dan keluarganya.”
“Taijin,
Hujin dan Siocia beserta beberapa orang pelayan dan pengawal telah tiga hari
pergi ke kota raja.” Jawab seorang pelayan yag agak tabah.
“Awas,
jangan membohong!” Giok Ciu membentak sambil menendang sebuah meja sehingga
meja itu terpental dan semua barang di atas meja itu beterbangan.
Mereka takut
sekali dan makin pucat wajah mereka. “Tidak… tidak, Lihiap... Kami ti… tidak
berani membohong.”
Bukan main
rasa kecewa hati Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka lalu meninggalkan gedung itu,
setelah terjadi pula sedikit pertentangan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu.
Karena kecewa dan marah, Giok Ciu hampir saja mengangkat tangan dan membunuh
semua isi gedung Suma-Cianbu, tetapi Sin Wan segera mencegahnya.
“Moi-moi tak
perlu membunuh mereka ini. Mereka tiada sangkut pautnya dengan kedosaan
Suma-Cianbu.”
“Tetapi
orang-orang yang bekerja kepadanya dan menjadi kaki tangannya bukankah orang
baik-baik!” Giok Ciu bersikeras.
“Jangan
begitu, moi-moi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang bekerja hanya untuk mencari
sesuap nasi. Kalau mereka tidak mengganggu kita, tak perlu kita berlaku kejam
terhadap mereka.”
Giok Ciu
mendongkol sekali dan mulutnya cemberut, tapi ia tidak membantah lagi, lalu
mendahului meloncat ke atas genteng, diikut oleh Sin Wan dari belakang. Malam
itu juga mereka meninggalkan kota Wie-Kwan untuk mengejar Suma-Cianbu yang
sedang pergi ke kota raja. Jarak antara Wie-Kwan dan kota raja bukanlah dekat
dan jika mereka berjalan cepat, maka mereka sedikitnya membutuhkan waktu tiga
hari.
“Moi-moi, di
kota raja kita harus berlaku hati-hati, karena di sana adalah pusat para
pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi.”
Giok Ciu
menahan tindakan kakinya dan menengok, “Ah, jadi kau tiba-tiba merasa jerih dan
takut, Koko?” katanya mengandung suara sindiran.
Sin Wan
mengerutkan jidatnya dan berkata, “Tidak takut, moi-moi, tapi berhati-hati. Kau
kan juga ingin agar pekerjaan kita membalas dendam kali ini jangan sampai
gagal, bukan?”
Giok Ciu
berkata jumawa. “Hah, apa yang dikuatirkan? Aku tidak takut segala pahlawan
anjing itu. Paling-paling kita akan berhadapan dengan Tosu siluman Cin Cin
Hoatsu, dan aku seujung rambutpun tidak takut padanya!”
Sin Wan
makin heran melihat sikap dan kejumawaan Giok Ciu, karena tidak disangkanya
gadis itu akan menjadi sesombong itu. Ia tidak tahu bahwa semenjak dapat
mengalahkan para pahlawan yang mengeroyok mereka diluar sumur, didalam hati
gadis muda itu timbullah sifat bangga yang besar sehingga membuat ia menjadi
jumawa dan menganggap bahwa kepandaiannya telah sampai di puncak kesempurnaan!
Karena inilah maka ketika berlatih mengadu pedang dengan Sin Wan, ia menjadi
penasaran dan kecewa karena tak dapat menangkan pemuda itu!
Dua hari
kemudian mereka tiba di kota Kiong-Kwan yang besar. Kota ini cukup ramai karena
letaknya dekat kota raja dan di sini banyak pula tinggal orang-orang berpangkat
pangeran. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berjalan perlahan memasuki pintu kota,
tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda dan ketika mereka berdiri di
pinggir jalan memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang tinggi besar
yang pandai sekali menunggang kuda. Ketika tiga orang itu lewat di depan
mereka, ketiganya menengok dan memandang dengan tajam.
Tapi Sin Wan
dan Giok Ciu tidak ambil perduli sama sekali dan melanjutkan perjalan mereka
memasuki kota. Giok Ciu tertarik oleh sebuah rumah penginapan yang daun pintu
dan tiang-tiangnya di cat merah sehingga nampak indah sekali, maka ia lalu
mengajak Sin Wan bermalam di situ saja. Sin Wan tersenyum melihat kegembiraan
gadis itu dan menurut saja. Kepada seorang pelayan ia lalu minta disediakan dua
kamar.
“Dua kamar
ukuran kecil, atau satu saja kamar ukuran besar?” Pelayan yang berlidah tajam
dan jenaka itu bertanya sambil melirik ke arah Giok Ciu.
Gadis itu
timbul marahnya dan ia membentak, “Tulikah kau? Kami minta dua kamar dan jangan
kau banyak cerewet lagi!”
Pelayan itu
memandang dengan terkejut dan buru-buru ia menyediakan kamar yang diminta.
“Sabarlah,
moi-moi untuk apa meladeni segala macam orang seperti dia?”
“Apa?
Justeru orang-orang macam dia itu kalau tidak diberi hajaran tentu selalu akan
mengganggu orang!”
Sin Wan
hanya tersenyum melihat kegalakan nona ini, karena betapapun juga, jika Giok
Ciu sedang marah seperti itu matanya bersinar-sinar, kedua pipinya
kemerah-merahan, kulit hidunganya yang tipis kembang-kempis dan bibirnya yang
bagus bentuknya itu merengut dan meruncing tetapi menambah manisnya!
Pada saat
itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berkata-kata dan Sin Wan lalu
memberi isarat kepada Giok Ciu. Ketika mereka memandang, ternyata yang datang
adalah tiga orang yang berkuda yang tadi bertemu dengan mereka di pintu gerbang
kota. Ketika orang itupun memandang kepada mereka dengan tajam, tetapi lalu
mereka membuang muka dan memasuki kamar pengurus rumah penginapan.
Sin Wan lalu
mengajak Giok Ciu memasuki kamarnya dan ia berkata, “Moi-moi, kurasa tiga orang
itu bukanlah orang-orang baik. Mereka agaknya mengikuti kita.”
“Apa? Biar
kuhajar mereka sekarang juga!”
“E, e!
Sabar, Giok Ciu. Dengan alasan apa kita harus mencari perkara? Biarkan sajalah,
tetapi malam ini kita harus berjaga-jaga dan berhati-hati.”
“Menghadapi
tiga ekor tikus busuk itu saja mengapa begitu ribut-ribut? Aku malam ini ingin
melihat-lihat kota, Koko.”
Sin Wan
menyatakan setuju. “Baiklah, kita pergi mencari tempat makan yang paling
besar.”
Setelah
membersihkan tubuh Sin Wan dan Giok Ciu keluar dari rumah penginapan dan
berjalan melihat-lihat kota yang indah dan besar itu. Giok Ciu kagum melihat
bangunan-bangunan yang besar dan tinggi. Sungguhpun kedua anak muda itu
tampaknya berjalan-jalan dan mengagumi pemandangan kota namun sebenarnya mereka
tahu bahwa ada seorang diantara ketiga penunggang kuda sedang mengikuti mereka!
Orang itu tinggi dan kurus dan kaki kirinya agak pincang, tapi dipinggang
tergantung sebatang pedang yang memakai ronce kuning.
“Kita sikat
dia, Koko?” kata Giok Ciu.
Mereka lalu
masuk ke dalam sebuah restoran besar dan memesan masakan. Dan alangkah
mendongkolnya dan marahnya Giok Ciu ketika melihat betapa si pincang itupun
memasuki restoran dan duduk di meja yang dekat dengan meja mereka. Alangkah
kurang ajar dan beraninya!
Kalau ia
tidak duduk bersama Sin Wan, tentu ia melemparkan meja di depannya kepada orang
tinggi kurus itu! Tetapi Sin Wan berkejab kepadanya untuk mencegah gadis itu
melakukan sesuatu yang mengacaukan. Untuk melampiaskan marahnya, Giok Ciu
berkata,
“Tak
kusangka, tiga bangkai tikus yang terserak di sanan tadi tahu-tahu yang seekor
terdampar kesini!”
Sambil
berkata demikian, ia sengaja memandang si pincang itu dengan mata marah! Tentu
saja, kata-katanya ini membuat para tamu restoran memandang heran, sedangkan si
pincang itu yang merasa dirinya disindir, tampak jelas menahan-nahan diri untuk
tidak memperlihatkan marahnya. Ia hanya balas memandang tajam, lalu menundukkan
kepala dan maka hidangan yang dipesannya.
Setelah
makan kenyang, Sin Wan dan Gio Ciu sengaja mengambil jalan memutar, melalui
jalan yang sunyi. Dan betul saja, si tinggi pincang itu tetap mengikuti mereka.
Sin Wan dan Giok Ciu lalu menggunakan ilmu lari cepat, tetapi orang itupun
pandai dalam ilmu ini! Hanya saja, kedua anak itu maklum bahwa kepandaian orang
itu tidak berapa tinggi.
“Giok Ciu,
tentu ada apa-apa yang tidak beres. Mari kita pulang dengan diam-diam kita
lihat, mereka itu sebetulnya orang-orang apa dan sedang melakukan apa.”
“Dan tikus
ini bagaimana? Aku ingin memberi rasa padanya.”
Sin Wan
tersenyum, “Sesukamulah asal jangan terlalu lama.” Giok Ciu lalu membungkuk
untuk memungut sepotong batu, lalu ia berhenti dan berteriak,
“He, tikus
pincang, jalanmu tidak sedap dipandang karena kakimu pincang sebelah. Biarlah
aku tolong kau dan bikin pincang kakimu yang sebelah lagi!”
Tangannya
lalu diayun dan batu kecil itu meluncur cepat ke arah pengejar. Si tinggi kurus
itu berlaku waspada, tetapi ternyata batu yang menyerangnya lebih cepat lagi.
Ia tak sempat berkelit dan tahu-tahu tulang keringnya berbunyi,
“Pletak!”
dan ia roboh karena kaki kanannya tiba-tiba lemas dan sakit sekali. Ketika ia
merabanya, ternyata tulangnya telah pecah! Ia meringis kesakitan dan diam-diam
terkejut sekali melihat kelihaian kedua anak muda itu.
“Masih baik
mereka tidak menghendaki jiwaku,” Ia berpikir dan merangkak maju untuk minta
pertolongan orang.
Sin Wan dan
Giok Ciu lalu meloncat ke atas genteng dan mereka menggunakan kepandaian untuk
meloncati rumah-rumah dan cepat menuju ke rumah penginapan. Ginkang mereka
sudah demikian sempurna sehingga yang tampak berkelebat hanya dua bayangan
putih dan hitam. Setibanya di atas rumah penginapan, mereka bersembunyi di
balik wuwungan yang tinggi dan mengintai.
Tiba-tiba
tampak bayangan beberapa orang bergerak di atas genteng dan meloncat ke bawah
dengan gerakan cukup gesit. Mereka berdua lalu meloncat mendekati dan dengan
hati-hati mereka membuka genteng kamar para penunggang kuda itu. Ternyata di
dalam kamar yang besar itu telah berkumpul banyak orang dan langkah terkejut
mereka melihat bahwa diantara mereka terdapat juga pahlawan-pahlawan Kaisar
yang dulu mengeroyok mereka di atas sumur! Mereka mendengarkan dengan teliti.
“Benarkah
mereka mengejar Suma-Cianbu?” terdengar seorang berkata. “Kalau begitu, kita
harus dapat menangkap mereka sebelum kabur.”
“Tetapi
mereka lihai sekali,” berkata seorang yanng dulu mengeroyok Sin Wan.
“Jangan
takut, Hek Twako dan Mo Susiok ada disini. Pula, mereka tadi telah diikuti oleh
Liu sute. Kita nanti mengepung mereka, masak tak dapat merobohkan dua orang
anak muda saja?”
Maka tahulah
Sin Wan dan Giok Ciu bahwa kedatangan mereka di gedung Suma-Cianbu telah
diketahui oleh orang-orang ini dan tahu pula bahwa orang-orang ini bukan lain
ialah para pengawal dan pahlawan kerajaan! Maka Giok Ciu menjadi hilang sabar
dan ia tertawa nyaring di atas genteng, sambil memaki,
“Bangsat
anjing penjilat Kaisar! Kalau kalian sudah bosan hidup, naiklah ke sini
kutunggu!”
Sin Wan
terpaksa juga meloncat dan bersiap menanti kedatangan para lawan itu, ia merasa
geli tercampur 'Bohwat' atau tak berdaya menghadapi gadis yang pemberani sekali
ini. Mendengar kata-kata Giok Ciu, tiba-tiba api lilin di dalam kamar itu
ditiup padan tak lama kemudian dari empat penjuru berloncatan naiklah
orang-orang dengan senjata tajam di tangan!
Sin Wan
melihat bahwa yang naik lebih dari dua puluh orang dan yang terdepan sekali
adalah seorang tua yang gerakannya gesit dan seorang pemuda gagah dan
bersenjata tombak. Orang tua itu bersenjata sepasang pedang yang tergantung di
punggungnya.
“Bangsat
pemberontak yang berani mati. Menyerahlah hidup-hidup dari pada mati tertembus
pedang,” orang tua itu membentak garang.
Giok Ciu tertawa
dan menunjuk ke arah orang tua itu sambil berkata kepada Sin Wan, “Koko, kau
lihat baik-baik. Bukankah orang she Mo ini mukanya sama benar dengan tikus tua
yang hampir mati kelaparan?”
Sin Wan
memandang dan hampir saja ia tertawa geli kalau saja ia tidak ingat bahwa orang
tua itu seorang yang berkepandaian tinggi sehingga tidak baik menghinanya,
karena sesungguhnya muka yang sempit dan berpotongan tajam, ditambah dengan
beberapa lembar kumis dibawah hidunganya itu memang seperti seekor tikus!
Ternyata
Giok Ciu menduga tepat, karena memang orang tua itu adalah Mo Hin Cu yang
berjuluk Iblis berpedang dua dan termasuk pahlawan Kaisar kelas dua. Ilmu
pedangnya telah terkenal dan kepandaiannya masih lebih tinggi dari semua orang
yang kini mengepung Giok Ciu dan Sin Wan. Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian dan kedudukan tinggi, tentu saja Mo Hin Cu marah sekali mendengar
ejekan Giok Ciu. Ia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyerang sambil
membentak,
“Bangsat
pemberontak rendah!” Sepasang pedang di tangan kiri kanannya bergerak, yang
kanan menusuk lengan dan yang kiri menyapu pinggang gadis itu!
“Haya...!!”
Giok Ciu berkelit mundur sambil mengejek sehingga Mo Hin Cu makin marah dan
menyerang lagi.
Kalau
dibandingkan, kepandaian orang she Mo ini setingkat dengan kepandaian Song Tat
Kin murid Cin Cin Hoatsu yang pernah dijatuhkan oleh Giok Ciu. Memang dulu
secara mudah sekali Song Tat Kin dapat dirobohkan oleh gadis itu, tapi hal itu
terjadi karena Song Tat Kin tak bersenjata dan tidak pernah menyangka bahwa
gadis itu demikian lihai.
Sedangkan
kini orang she Mo ini telah dapat menduga bahwa lawannya adalah seorang muda
yang memilki kepandaian tinggi, dan di kedua tangannya terdapat sepasang pedang
yang telah mengangkat namanya tinggi-tinggi, maka setelah diserang terus, Giok
Ciu terdesak juga dan menjadi marah. Sambil berseru keras gadis itu mencabut
pokiamnya dan Mo Hin Cu bergidik ketika melihat sinar hitam berkelebat dan
menyambarnya dengan mengeluarkan hawa panas mengerikan!
Cepat sekali
Mo Hin Cu menggunakan sepasang pedangnya menangkis dengan tipu gerakan
Hong-Sauw Pai-Yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Maksudnya hendak menggunakan
tenaga untuk menangkis dengan keras agar sekali babat saja membuat senjata
lawan yang aneh itu terpental. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa
betapa kedua siang-kiamnya seakan-akan membacok air dan tahu-tahu yang tinggal
di dalam kedua tangannya hanya gagang pedang saja, sedangkan pedangnya sendiri
entah telah terbang kemana?
Demikianlah
hebat dan ketajaman Ouw Liong Pokiam. Giok Ciu mengeluarkan seruan menghina dan
sekali saja ia menyerang, pundak lawannya telah kena terbabat oleh pokiamnya
sehingga orang she Mo itu roboh sambil mengeluarkan teriakan ngeri!
Sementara
itu orang muda yang bersenjata tombak menyerang Sin Wan, akan tetapi oleh Sin
Wan mudah saja dikelit dan anak muda ini balas menyerang dengan tangan kosong.
Anak muda bersenjata tombak itu hanya pahlawan kelas tiga saja, mana ia dapat
melawan Sin Wan? Dalam beberapa jurus saja, tombaknya telah dapat dirampas dan
sekali tekuk dalam tangannya, tombak besi itu menjadi bengkok dan dilemparkan
Sin Wan ke bawah genteng. Melihat betapa lihainya kedua anak muda itu, semua
pahlawan maju mengeroyok dengan senjata masing-masing.
Sin Wan
terpaksa mencabut Pek- Liong Pokiam dan bersama-sama Giok Ciu ia mainkan
pedangnya dengan gerakan bergelombang yang hebat. Harus dikasihani para
pengeroyok itu, seakan-akan rombongan semut mengeroyok api, begitu mendekat
segera tubuh mereka bergelimpangan karena sinar hitam dan putih itu saja sudah
cukup membuat mereka roboh!
Akhirnya
beberapa orang yang masih belum menjadi korban segera meloncat turun dan
melarikan diri dari amukan Sin Wan dan Giok Ciu. Tak lama kemudian datanglah
barisan tentara dibawah pimpinan seorang komandan mengurung rumah penginapaan
tu.
Sin Wan dan
Giok Ciu sudah masuk kembali ke dalam kamar dan berkemas, karena malam ini juga
mereka hendak melanjutkan perjalanan. Ketika Sin Wan melihat keluar, ternyata
puluhan tentara penjaga keamanan yang datang membantu telah mengurung rumah itu
dan semua tamu yang tidur menginap disitu menjadi ketakutan.
“Pemberontak-pemberontak
keluar dengan damai!” komandan yang gemuk dan bermuka merah itu
berteriak-teriak sambil mengatur barisannya mengurung. Sin Wan tersenyum
melihat ini, kemudian setelah beres membungkus pakaian dan lain-lain, ia dan
Giok Ciu keluar dari pintu depan dengan tenang!
Para anggota
penjaga itu tidak tahu yang manakah pemberontak-pemberontak yang harus
ditangkap, maka ketika melihat Sin Wan dan Giok Ciu keluar mereka diamkan saja.
Baru setelah seorang pengeroyok yang lari dan kini telah ikut mengepung
berteriak,
“Inilah
pemberontak-pemberotak itu, serbu!”
Mereka
segera bergerak dengan mata memandang heran. Inikah pemberontak-pemberontaknya?
Seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik? Komandan muka merah
memperlihatkan kegagahannya dan sambil palangkan golok besar ia mencegat Sin
Wan dan Giok Ciu.
“Menyerahlah!”
bentaknya dengan suaranya yang tinggi kecil.
“Hm, kalian
gentong-gentong kosong ini harus diberi hajaran!” Giok Ciu berkata gemas,
tetapi Sin Wan mendahului membentak kepada komandan muka merah yang gemuk itu.
“Kau
menggelindinglah pergi dari sini!” dan sebelum si gemuk itu tahu apa yang
terjadi, tahu-tahu ia merasa tangan pemuda itu yang kuat sekali mendorongnya
demikian keras sehingga tidak ampun lagi tubunya terjengkang ke belakang dan
bergulingan, betul-betul seperti bola menggelinding!
“Hayo,
moi-moi! Buat apa mengotorkan tangan melayani segala tikus rendah.”
Biarpun
belum puas, Giok Ciu mengejar Sin Wan yang meloncat naik ke atas genteng dan
mereka pergi tinggalkan Kiong-Kwan menuju ke kota raja. Menjelang fajar mereka
telah tiba di luar tembok besar kota raja dan di sebuah bukit kecil mereka
melihat sebuah Kuil kecil yang mungil. Karena perlu beristirahat sebentar
sebelum memulai dengan pekerjaan yang penting itu.
Ternyata itu
adalah Kelenteng Kwan-Im-Pouwsat yang dijaga oleh dua orang Pendeta wanita yang
telah tua. Kedua Pendeta itu sangat ramah tamah dan mereka menerima kedatangan
Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang. Kedua anak muda itu memberi hormat kepada
patung Kwan-Im, lalu mereka mengaso sambil bersamadhi di ruang belakang.
Setelah
matahari pagi menerangi permukaan bumi dan kedua anak muda itu makan bubur
hidangan Nikouw tadi, mereka lalu meninggalkan bungkusan uang dan pakaian, dan
hanya dengan membekal pedang, mereka berangkat menuju ke pintu gerbang kota
raja.
Tetapi
ternyata bahwa para penjaga yang mereka pukul kucar-kacir di Kiong-Kwan malam
tadi, telah cepat memberi kabar ke kota raja pada malam itu juga sehingga
Suma-Cianbu telah bersiap menanti kedatangan mereka!
Hal ini Sin
Wan dan Giok Ciu tidak menyangkanya, maka ketika mereka tiba di pintu gerbang
mereka kaget melihat banyak orang menghadang di jalan masuk pintu itu. Ketika
mereka melihat tegas, ternyata kesemuanya adalah pahlawan Kaisar dan
diantaranya terdapat Suma-Cianbu sendiri yang berpakaian perang dengan lengkap!
Selain Suma-Cianbu sendiri, di dekat kapten itu terdiri tiga orang Tosu dan
seorang perempuan tua berbaju hijau.
Melihat
musuh besarnya berdiri di depannya, Sin Wan timbul marahnya dan segera ia
mencabut Pek Liong Pokiam sambil membentak, “Bangsat Suma sekarang kau hendak
lari kemana?”
Sambil
berkata begini ia meloncat menerjang Suma-Cianbu yang cepat menangkis dengan
pedangnya, tetapi sekali bentur saja pedang itu patah! Sin Wan melanjutkan
pedangnya membabat leher dan Suma-Cianbu berteriak kaget, tetapi pada saat itu,
seorang diantara tiga Tosu itu telah maju menolong dengan tongkat bajanya yang
berat menusuk perut Sin Wan dengan gerakan Ular Hitam Masuk Lubang! Terpaksa
Sin Wan menarik kembali pedangnya dan meloncat berkelit karena jika ia
meneruskan serangannya, maka sukar baginya untuk menghindarkan diri dari
sodokan tongkat itu.
“Bangsat
muda sabar dulu!” Tosu itu membentak, “Siapakah kau berani mengacau ke kota
raja? Apakah kau sudah bosan hidup?”
Sin Wan
tersenyum dan membalas memaki, “Hm, hm, kau bangsat berjubah Pendeta. Agaknya
kaupun bukan orang baik-baik. Ketahuilah, aku adalah Bun Sin Wan dan
kedatanganku hendak membalas dendam orang tuaku kepada bangsat she Suma ini.
Kalian tiada permusuhan dengan aku, maka lebih baik mundurlah. Tetapi kalau hendak
membela bangsat ini, akupun tidak takut!”
Tiba-tiba
terdengar suara perempuan tua baju hijau itu berkata, “Cianbu, apakah ini anak
pemberontak itu?”
Suma-Cianbu
mengangguk. “Benar, Toanio. Inilah anak pemberontak itu.”
Wanita itu
lalu menunding dan berkata, “Anak muda, kau lebih baik menyerah saja, mungkin
dosa-dosamu dapat diperingan. Kau mengandalkan apakah berani melawan kami?”
Sikap wanita ini jumawa sekali sehingga menimbulkan marahnya Giok Ciu.
“Eh, kau ini
siluman perempuan darimakah begitu sombong?” bentaknya.
Wanita baju
hijau itu memandang kepada Giok Ciu dengan tersenyum mengejek. “Kau anak
kemarin sore sudah berani unjuk gigi. Ketahuilah nenekmu ini ialah Liong-San
Kui-Bo! Hayo lekas kau berlutut di depanku.”
Wanita itu
agaknya mengira bahwa Giok Ciu tentu pernah mendengar namanya yang tersohor dan
menjadi jerih. Tidak tahunya, tidak saja Giok Ciu memang belum pernah mendengar
julukan yang berarti Biang Hantu dari Liong-San itu, bahkan andaikata sudah
mendengarpun, gadis yang bernyali besar sekali pasti takkan merasa takut.
Mendengar kata-kata Liong-San Kui-Bo, ia bahwa tertawa merdu dan nyaring, lalu
berkata,
“Jadi kaukah
si Biang Hantu? He, anakku, kalau begitu kau harus berlutut tiga kali di
depanku. Ketahuilah, aku ini ialah Nenek Moyang Biang Hantu! Hayo kau lekas
berlutut!”
Tentu saja
Liong-San Kui-Bo menjadi marah sekali. Ia berpaling kepada ketiga Tosu itu lalu
berkata, “Toyu sekalian, mari kita bikin mampus dua anak kurang ajar ini!”
Sehabis
berkata demikian, perempuan tua baju hijau itu lalu mencabut keluar sepasang
pedangnya dan langsung menyerang Giok Ciu dengan hebat. Giok Ciu terkejut
melihat betapa gerakan perempuan itu ganas dan cepat sekali, tapi ia tidak
takut dan sambil berloncatan menyingkiri serangan lawan, ia mencabut Ouw Liong
Pokiam.
Kini
Liong-San Kui-Bo yang kaget karena tiba-tiba ia merasa sambaran pedang hitam
yang ganas itu. Ia tahu bahwa pedang gadis itu adalah sebuah pokiam yang sangat
ampuh, maka ia tidak berani beradu pedang. Ia hanya menggunakan kiam-hwatnya
yang memang indah dan cepat itu untuk mengurung Giok Ciu. Tapi ia tidak tahu
bahwa disamping Kiam-Sutnya, yakni Sin-Eng Kiam-Sut yang lihai, masih banyak
ilmu pedang yang lebih hebat lagi, dan diantaranya yang terlihai adalah Ouw
Liong Kiam-Sut!
Maka ketika
Giok Ciu mulai menjalankan ilmu pedangnya, sebentar saja ia menjadi sibuk
menangkis sambil mundur. Tosu termuda diantara ketiganya, yakni Liang Ging Tosu
segera maju membantu. Sedangkan yang dua, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu,
maju menyerang Sin Wan dengan tongkat mereka yang berat dan kuat.
Pertempuran
makin ramai ketika beberapa orang pahlawan yang memiliki kepandaian tinggi juga
mengurung mereka. Tapi pedang-pedang mustika itu dimainkan oleh Sin Wan dan
Giok Ciu demikian hebat sehingga merupakan sepasang naga sedang mengamuk dan
membuat jerih mereka yang mengeroyoknya. Sebentar saja beberapa orang
pengeroyok telah roboh dan yang lain-lainnya terdesak.
Sin Wan
menggunakan sebagian besar daripada perhatiannya untuk menyerang Suma-Cianbu
yang telah berganti pedang sehingga karena beberapa kali hampir saja kapten itu
menjadi korban keganasan Pek Liong Pokiam, dan melihat betapa para pembantunya
terdesak mundur, Suma-Cianbu lalu meloncat mundur dan lari memasuki pintu
gerbang!
“Bangsat
jangan lari!” Sin Wan loncat mengejar, tapi ia dihalang-halangi pengeroyok lain
sehingga ia harus merobohkan dua orang dulu baru ia dapat meloncat mengejar.
Karena ia
melihat betapa Suma-Cianbu meloncat ke atas genteng, iapun mengayun tubuhnya ke
atas dan masih dapat ia melihat bayangan musuhnya itu di atas wuwungan yang
tinggi. Ia segera mengejar tapi kedua Tosu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu,
sudah mengejarnya pula dan menyerangnya dengan tongkat mereka.
Sin Wan
memutar pedangnya menangkis lalu setelah melayani mereka beberapa jurus dan
mendapat ketika, ia meloncat pula mengejar ke arah bayangan tadi. Ia
mencari-cari dengan matanya dan melihat berkelebatnya bayangan di tempat jauh,
di atas sebuah gedung yang jauhnya beberapa belas rumah dari situ. Ia lalu
meloncat lagi dan lari mengejar.
Ia masih
sempat melihat betapa Suma-Cianbu yang ketakutan setengah mati itu lari dan
meloncat turun dalam pekarang belakang sebuah gedung. Tapi pada saat itu, Liang
Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu sudah sampai pula ke situ dan mengirim serangan
mereka lagi!
“Pendeta-Pendeta
tak tahu diri! Aku tak ingin membunuhmu, lepaskanlah aku!”
“Bangsat
kecil, jangan kau banyak tingkah. Menyerah atau mati.”
Maka timbullah
marah Sin Wan. Ia memutar Pokiamnya sedemikian rupa sehingga Pek Liong Pokiam
seakan-akan berubah menjadi puluhan dan menyerang ke dua Tosu itu dari segala
jurusan.
Tosu-Tosu
itu adalah murid Cin Cin Hoatsu tingkat pertama, maka kepandaian silat mereka
memang tinggi. Tapi kini menghadapi Pek Liong Kiam-Sut, mereka tak berdaya.
Mereka masih mencoba untuk memutar-mutar tongkat menangkis, tapi sia-sia,
karena pokiam itu telah mendahului mereka dan tiba-tiba Liang Hun Tosu
berteriak kesakitan karena lengan tanggannya berikut tongkatnya terbabat putus!
Dengan kaget
Liang Gwat Tosu meloncat mundur, dan Sin Wan lalu lari pula ke arah gedung di
mana tadi Suma-Cianbu turun. Liang Gwat Tosu terpaksa hanya bisa menolong
sutenya yang terluka parah. Sin Wan meloncat turun ke pekarangan gedung besar
itu dan ia tiba di taman yang indah. Ia menengok ke sana ke sini, lari lari ke
arah gedung. Ia mengintai ke dalam dari sebuah jendela, tapi gedung itu sunyi
saja.
Setelah
mengambil jalan memutar ia mengintai ke jendela lain dan di dalam sebuah kamar
ia melihat seorang gadis sedang membaca kitab Tiong Yong, yakni kitab pelajaran
Nabi Khong Hu Cu. Seorang pelayan wanita datang mengantar air teh dan berkata,
“Suma-Siocia,
kau rajin sekali sehingga siang malam hanya belajar kitab saja. Apakah Siocia
ingin menjadi sasterawan wanita? Ataukah Siocia ingin menjadi gadis suci?”
Pelayan itu menggoda. Dan gadis itu perdengarkan suara ketawanya yang halus dan
merdu. Tubuhnya yang langsing itu bergoyang-goyang di atas bangku yang
didudukinya ketika ia tertawa, lalu terdengar suaranya yang lemah lembut,
“A-bwe, aku
adalah seorang wanita terpelajar, kalau tidak membaca kitab yang balik di dalam
kamar atau menyulam sulaman yang indah, habis apakah harus pegang pedang main
panah?” A-bwe, pelayan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan ujung lengan
baju, lagaknya genit sekali.
“Siocia, apa
salahnya kalau kau bermain pedang? Ayahmu seorang pembesar militer yang gagah
perkasa.”
“Ingat,
A-bwe, aku seorang wanita.”
“Tapi,
Siocia. Bukankah jaman sekarang banyak terdapat wanita-wanita pandai bersilat?
Coba saja lihat nyonya tua yang berbaju hijau yang kemarin datang itu, namanya
kalau tidak salah Liong-San Toanio, begitulah disebut orang. Ia selalu
membawa-bawa pedang dan kabarnya kepandaiannya tidak dibawah Ayahmu sendiri.
Bukankah itu hebat dan luar biasa sekali namanya?”
Nona itu
menghela napas dan ia memutar tubuhnya perlahan dan menghadap jendela hingga
Sin Wan terkejut dan buru-buru bersembunyi, dan mendengar lebih jauh sambil
mengagumi wajah gadis yang luar biasa cantiknya itu.
Usia gadis
itu paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya indah berkembang, tubuhnya
tinggi langsing, rambunya hitam panjang dikonde ke belakang dengan manisnya,
sedangkan kulit muka yang halus lemas kemerah-merahan itu terhias sepasang mata
yang cerdas dan lembut sinarnya, hidung dan mulutnya kecil dan indah bentuknya.
Pendeknya seorang Cian-Kim Siocia yang benar-benar tiada cacad celanya!
Nona itu
menghela napas dan berkata, “A-bwe, biarpun Ayah berpangkat Cianbu dan tiap
hari kau melihat orang-orang dari golongan ahli silat, namun sesungguhya aku
tidak suka melihat orang-orang yang biasanya hanya bermain dengan senjata tajam
untuk membunuh orang lain! Lihatlah betapa permusuhan ditumpuk-tumpuk,
orang-orang saling kejar, saling bunuh, dan saling balas sakit hati. Apakah
hidup macam demikian itu baik? Ah, aku lebih senang membaca kitab-kitab kuno
yang memberi nasehat-nasehat dan petuah tentang hidup yang baik.”
“Suma-Siocia,
kau memang seorang Ciankim Siocia yang berbudi dan pandai,” A-bwe memuji.
Sementara
itu, kini Sin Wan tidak ragu-ragu lagi bahwa nona cantik di dalam kamar itu
adalah puteri musuhnya, anak perempuan dari Suma-Cianbu! Ia tidak mau
mengganggunya, karena yang dibenci dan dicarinya hanya Suma-Cianbu seorang.
Maka ia segera tinggalkan tempat itu dan memeriksa kamar lain. Tapi Suma-Cianbu
tidak tampak bayangannya! Sin Wan menjadi marah dan timbul gemasnya. Ia lalu
kembali ke atas kamar Suma-Siocia tadi dan cepat meloncat masuk dari jendela!
Suma-Siocia
menggunakan saputangan menutup mulutnya yang hendak mengeluarkan jeritan kaget
ketika melihat betapa tiba-tiba seorang pemuda yang tampan dan gagah tahu-tahu
telah berada di dalam kamarnya! Kebetulan sekali A-bwe baru saja keluar dari
kamar itu karena disuruhnya mengambil benang sulam baru.
“Maaf
Siocia. Aku tak hendak mengganggumu, hanya ingin bertanya bukankah Siocia
puteri dari Suma-Cianbu?”
Melihat
sikap dan kata-kata Sin Wan yang halus, lenyaplah rasa kaget nona itu dan ia
mengangguk untuk membenarkan kata-kata Sin Wan.
“Di manakah
Ayahmu sekarang, Siocia? Tadi aku melihat ia masuk ke dalam gedung ini, tapi
telah lenyap begitu saja. Dimana ia bersembunyi?”
Tiba-tiba
Suma-Siocia menjadi berani dan bertanya, “Ada urusan apakah kau mencari
Ayahku?”
“Dia adalah
musuh besarku yang harus menebus dosanya!”
Terbelalak
sepasang mata yang bening itu mendengar pengakuan ini. “Apa?? Mengapa begitu?
Apakah dosanya terhadapmu?”
Sin Wan
kertak gigi ketika menjawab. “Ayahmu telah membunuh Ibuku dan Kakekku! Hayo
katakan, dimana dia?”
“Tidak,
tidak! Ayah...!! Kau pergilah... ada orang jahat!!” Suma-Siocia
berteriak-teriak.
Sin Wan
cepat maju dan ulurkan tangannya sehingga sekelebat saja Suma-Siocia kena
tertotok dan lemas tak berdaya. Tiba-tiba timbullah akal pada pikiran Sin Wan.
Musuh besarnya sangat licin dan selain banyak pelindungnya, juga pandai
bersembunyi. Lebih baik kalau ia culik Suma-Siocia saja untuk memancing
Suma-Cianbu! Karena pikiran ini, maka ia berkata kepada gadis itu yang masih
dapat mendengarnya walaupun telah menjadi gagu.
“Maaf,
Siocia. Kau terpaksa kubawa untuk memancing Ayahmu keluar dari tempat
sembunyiannya!”
Pada saat
itu A-bwe telah datang dan melihat seorang pemuda berada disitu dan nonanya
dalam keadaan lemas dipegang oleh pemuda tampan dan asing itu, segera ia lari
keluar kamar dan menjerit-jerit. Sin Wan tidak buang waktu lagi, segera ia
pondong tubuh Suma-Siocia dan meloncat keluar dari jendela, terus saja ia
melayang ke atas genteng.
“Bangsat
penculik jangan lari!” terdengar teriakan orang dan beberapa orang pengawal
meloncat naik mengejar. Tapi Sin Wan kecewa sekali karena di antara lima orang
pengawal yang mengejarnya itu tidak tampak Suma-Cianbu sendiri.
“Kalian
minggirlah dari sini! Aku tidak butuh jiwamu. Suruh bangsat Suma-Cianbu itu
keluar sendir!”
Sin Wan
berseru marah dan gemas, tapi kelima pahlawan itu segera mengurungnya dan
menyerangnya. Sin Wan hanya berkelit karena ia tiada nafsu untuk melayani
orang-orang ini. Ia segera menggunakan ginkangnya dan sekali loncat saja ia
telah keluar dari kepungan itu sambil pondong tubuh Suma-Siocia!
Kemudian ia
berlari-lari cepat di atas genteng. Lima orang pengawal itu mengejarnya, tapi
sebentar saja Sin Wan telah lenyap jauh di depan. Sin Wan kembali ke tempat di
mana tadi Giok Ciu dikeroyok, yakni dipintu gerbang kota.
Tapi
alangkah terkejutnya ketika ia tidak melihat orang berkelahi di tempat itu
lagi. Apakah Giok ciu telah berhasil memukul mundur semua musuhnya dan
menyusulnya? Tapi kenapa ia tidak bertemu dengan gadis itu? Atau barangkali
Giok Ciu telah kembali lebih dulu di Kelenteng.
Memikir
demikian, Sin Wan lalu cepat lari menuju ke Kelenteng dimana ia dan Giok Ciu tinggal.
Tapi kembali ia kecewa karena di tempat inipun gadis itu belum pulang! Dua
orang Nikouw tua dari Kwan-Im-Bio heran sekali melihat Sin Wan memondong
seorang gadis cantik yang setengah pingsan.
“Bun
Taihiap, kalau kau hendak melanggar kesopanan dan melakukan kejahatan, maka
terpaksa kami mengusir kau dari sini!”
Nikouw itu
berkata dengan sikap keren, karena mereka menyangka keliru pada Sin Wan yang
membawa seorang gadis dalam keadaan demikian. Sin Wan segera lepaskan totokan
Suma-Siocia yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kedua Nikouw itu
sambil menangis sedih.
“Jangan
khawatir, saya tidak melakukan sesuatu yang jahat. Gadis ini sengaja saya culik
untuk memaksa Ayahnya keluar dari tempat persembunyiannya, dan Ayahnya ialah
musuh besar saya, pembunuh Ibu dan Kakek! Suma-Siocia, ku harap kau suka
tinggal di Kelenteng ini untuk sementara waktu sampai Ayahmu sudah bertemu
dengan aku. Aku bukanlah orang rendah yang hendak menyusahkan dan mengganggumu,
dan percayalah, aku melakukan ini karena sangat terpaksa. Kalau Ayahmu tidak
berlaku curang dan pengecut, mungkin kau dan aku selamanya tak pernah bertemu
muka. Agaknya memang telah menjadi nasibmu harus ikut merasakan dosa-dosa
Ayahmu!”
Sin Wan lalu
meninggalkan gadis itu kepada kedua Nikouw yang terheran-heran sekali mendengar
kata-katanya. Gadis itu hanya menangis sedih dan segera dihibur oleh kedua
Nikouw itu dan dibawa kekamar mereka.
Sementara
itu, Sin Wan dengan hati sangat gelisah menanti-nanti kembalinya Giok Ciu. Ia
duduk dalam kamarnya, lalu keluar untuk melihat apakah gadis itu telah kembali,
kemudian kembali ke kamar dan duduk lagi. Ia gelisah sekali karena setelah
ditunggu sampai sore, belum, juga Giok Ciu kembali!
Setelah hari
menjadi gelap dan bintang-bintang malam mulai tampak menghias langit hitam,
kegelisahan Sin Wan memuncak dan ia tidak sabar untuk untuk menanti lebih lama.
Giok Ciu pasti terkena bencana, pikirnya dengan hati cemas dan tercampur
mendongkol. Pembalasan dendam belum berhasil, telah ditambah lagi dengan
lenyapnya Giok Ciu!
Ia segera
meninggalkan Kelenteng setelah berpesan kepada kedua Nikouw agar menjaga
Suma-Siocia baik-baik, dan langsung menuju ke dalam kota. Ia berdiri lama
sekali di tempat persembunyian siang tadi, tapi di situ sunyi senyap.
“Kemanakah
ia harus mencari jejak Giok Ciu?”
Ia lalu
meloncat naik ke atas genteng dan menuju ke gedung Suma-Cianbu dari mana tadi
ia menculik Suma-Siocia. Disitupun sunyi saja, bahkan gedung di bawah itu gelap
sama sekali, menunjukkan bahwa pada saat itu tidak ada penghuni. Tentu bangsat
tua she Suma itu telah pergi ke lain tempat, pikirnya gemas.
Apakah
betul-betul bangsat itu demikian kejam dan tega terhadap puteri sendiri
sehingga tidak hendak menolong? Apakah ia hendak mengorbankan puterinya untuk
keselamatan jiwa sendiri? Pada saat ia berdiri termenung di atas genteng,
tiba-tiba dari arah kiri tampak berkelebat bayangan orang dengan gerakan sangat
gesit. Begitu tiba dekat Sin Wan, bayangan itu bertanya,
“Apakah kau
mencari Kwie Lihiap?”
Terkejutlah
Sin Wan mendengar ini, dan cepat ia mencabut Pek Liong Pokiam dari pinggangnya
dan membentak, “Bangsat rendah, hayo katakan dimana kalian sembunyian Kwie Giok
Ciu!”
Bayangan itu
yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan dan putih, tersenyum. “Sebelum aku
menjawab, marilah kita main-main sebentar!”
Dan ia lalu
mencabut keluar sebatang pedang dan menyerang Sin Wan yang menjadi marah sekali
dan menangkis dengan pedangnya. Terdengar bunyi...
“Trang!!” dan
bunga api bepercikan ketika kedua pedang itu berardu dengan kerasnya.
Sin Wan
terkejut karena ternyata bahwa senjata lawannya juga sebatang pedang pusaka
yang kuat dan tajam, juga ketika kedua pedang bertemu. Ia merasakan betapa
telapak tangganya tergetar karena tenaga lawannya tidak lemah! Sebaliknya
pemuda muka putih itu mengeluarkan suara kagum karena ia merasa telapak
tangannya perih dan hampir saja pokiam yang dipegangnya terpental! Mereka lalu
saling serang dengan hebatnya.
Setelah
bertempur puluhan jurus, tahulah Sin Wan bahwa lawannya adalah seorang ahli
pedang Bu-Tong-Pai, tapi yang telah memiliki kepandaian asli hingga
gerakan-gerakannya sangat sempurna dan hebat. Diam-diam ia mengeluh karena
kalau fihak musuhnya mempunyai orang-orang yang seperti ini kepandaiannya, maka
makin sukarlahnya untuk membalas dendam.
Memang ilmu
pedang Bu-Tong mempunyai keistimewaan dalam membela diri, hingga pedang pemuda
muka putih itu diputar sedemikian rupa bagaikan benteng baja yang amat kuat.
Akan tetapi kali ini ia menghadapi Sin Wan, pemuda yang telah meyakinkan
Sin-Liong Kiam-Sut yang tiada bandingnya di dunia ini, ditambah pula telah
mempelajari Pek Liong Kiam-Sut, maka desakan-desakannya membuat pemuda ahli
Bu-Tong-Pai itu repot juga.
Sin Wan
mainkan gerakan Sin-Liong Kiam-Sut di bagian yang paling sulit dilawan, yakni
Sin-Liong Koan-Jit atau Naga Sakti Menutupi Matahari. Tubuhnya yang memiliki
ginkang tinggi itu berkelebat ke atas dan bawah demikian cepatnya, didahului
dengan gerakan pedang yang menyambar-nyambar merupakan sinar putih menyilaukan
dan setiap saat mengancam hendak menembus dan membobolkan benteng baja dari
pedang pemuda muka putih itu!
Kali ini
benar-benar pemuda muka putih itu kewalahan dan hampir saja ia tak dapat
bertahan lagi, maka cepat ia berseru, “Bun Taihiap, tahan dulu!” lalu ia
meloncat ke belakang berjumpalitan dengan gerak tipu Ular Air Menerjang Ombak.
Sin Wan
menahan serangannya dan memandang dengan mata tajam dan marah di tahan-tahan.
“Kau mau apa?” tanyanya dengan ketus.
Heran
sekali, pemuda itu agaknya tidak mengambil sikap bermusuhan, sebaliknya bahkan
tertawa. “Bun-Taihiap, sungguh hebat Pek Liong Kiam-Sut yang kau mainkan!
Setelah bertempur kurang lebih seratus jurus, aku Gak Bin Tong mengaku kalah!
Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan tadi.”
“Eh, apa
artinya kata-katamu semua ini? Jangan kau bermain-main didepanku, aku sedang
sibuk!” Sin Wan menegur gemas.
Pemuda muka
putih itu segera angkat tangan menjura. “Maaf, Taihiap, sebetulnya aku tadi
hanya ingin mencoba kelihaianmu saja. Aku bukan musuhmu, jika kau tidak
percaya, hendak kubuktikan sekarang. Bukankah kau sedang mencari-cari kawanmu
yang lenyap?”
“Ya,
dimanakah dia? Tahukah kau apa yang telah terjadi dengan Kwie Lihiap?”
“Dia telah
tertawan,” kata Gak Bin Tong.
Terkejutlah
Sin Wan mendengar ini. “Tertawan? Ah, rasanya tak mungkin!”
Gak Bin Tong
tersenyum mengejek. “Memang kau dan kawanmu itu sudah cukup pantas untuk
bersikap jumawa, tapi ingatlah, di dunia ini masih banyak sekali orang yang
terlebih pandai daripada kita. Kwi Kai Hoatsu kebetulan datang dan apa yang
tidak mungkin baginya? Sumoimu itu mudah saja tertawan olehnya.”
“Kwi Kai
Hoatsu, siapakah itu? Dan bagaimana bisa tertawan olehnya?” Sin Wan bertanya
cepat.
“Kwi Kai
Hoatsu adalah jago nomor tiga dari Tibet yang memiliki kepandaian hebat dan
tinggi sekali. Juga ia pandai ilmu sihir yang sukar sekali dilawan. Aku melihat
sendiri tertawannya kawanmu siang tadi. Beginilah...”
Gak Bin Tong
lalu menceritakan apa yang telah dilihatnya siang tadi. Ketika Sin Wan lari
mengejar Suma-Cianbu yang melarikan diri, Giok Ciu memutar Ouw Liong Pokiam di
tangannya lebih cepat lagi untuk mencegah orang-orang itu mengejar Sin Wan dan
membela Suma-Cianbu.
Memang gadis
ini lincah sekali gerakannya dan ketika ia memainkan silat pedang di bagian Ouw
Liong Ciong-Thian atau Naga Hitam Terjang Langit, sebentar saja dua orang
pengeroyoknya telah roboh mandi darah. Kemudian ia maju terus menghadapi
pengeroyoknya yang tinggal empat orang lagi, yakni Liong-San Kui-Bo si wanita
baju hijau, dan ketiga pahlawan lain yang berkepandaian tinggi, termasuk Liang
Ging Tosu yang bersenjata tongkat baja. Biarpun dikeroyok empat, namun Giok Ciu
masih berada difihak penyerang dan keempat musuhnya hanya dapat menangkis dan
berkelit saja!
Tak lama
lagi tentu keempatnya akan dapat dirobohkan oleh gadis yang konsen itu. Tapi
pada saat itu, datanglah seorang Pendeta berjubah merah yang tubuhnya tinggi
sekali, matanya lebar bundar dan hidungnya seperti pelatuk burung kakatua. Tosu
ini memegang sebatang tongkat aneh.
Karena
tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular cobra yang telah mati dan
dikeringkan, dengan bagian lehernya berkembang mengerikan, sedangkan di punggu
Tosu itu terselip sebatang hudtim atau kebutan dengan bulu berwarna hitam. Tosu
ini datang dengan tindakan lebar, dan di sebelahnya terdapat seorang laki-laki
yang berpakain serba mewah dan bertopi indah terhias permata. Laki-laki ini usianya
paling banyak empat puluh tahun dan dari topinya ternyata bahwa ia adalah
seorang pangeran!
Ia datang
sambil naik seekor kuda yang tinggi besar dan berbulu putih. Biarpun kudanya
lari cepat, namun Tosu itu yang tampak berjalan seenaknya, ternyata tidak
ketinggalan. Ini saja membuktikan kelihaian Tosu aneh itu. Melihat betapa
seorang gadis dengan hebatnya mengurung keempat pahlawan Kaisar dengan sinar
pedangnya yang berwarna hitam, pangeran itu berkata,
“Gadis cilik
manakah yang berani main gila disini?”
Tosu itu
lalu tertawa besar dan berkata, “Kalian mundurlah, biarkan Pinto menangkapnya!”
Setelah berkata begini, Tosu itu meloncat dan tahu-tahu telah menghadang di
depan Giok Ciu. Gadis ini terkejut melihat gerakan orang yang demikian cepat,
tapi ia tidak jerih dan memutar pokiamnya dengan gerakan Ouw Liong Ciauw-Hai
atau Naga Hitam Lintasi Laut, langsung menyerang dengan tusukan maut ke dada
Tosu itu.
Tosu itu
cepat-cepat berkelit ke kiri dan berbareng ulur tangan kanannya yang berbulu
hitam itu untuk menangkap lengan Giok Ciu yang memegang pedang, tapi siapa
sangka, begitu tusukannya dapat dikelit, Giok Ciu teruskan serangannya dengan
gerakan Naga Hitam Caplok Ekornya. Pedangnya lalu berbalik dan menablas tangan
Tosu yang hendak mencengkeram lengannya itu!
Tosu itu
berseru heran dan terkejut. Tak disangkanya bahwa kiam-hwat gadis ini
sedemikian lihainya hingga kalau tidak ia buru-buru meloncat ke belakang dan
menarik kembali lengannya, tentu lengan itu telah terbabat putus! Diam-diam ia
mengeluarkan keringat dingin dan kini ia tahu bahwa gadis ini adalah murid
seorang sakti yang tidak boleh dibuat main-main lagi.
Ia lalu
memindahkan tongkat ular yang tadinya dipegang di tangan kiri, ke tangan kanan,
lalu dengan tongkat aneh itu ia melayani Giok Ciu. Karena kulit ular cobra yang
menjadi tongkat itupun berwarna ke hitam-hitaman, maka kini tampak dua sinar
hitam saling serang dengan hebatnya!
Betapapun
hebat gerakan dan senjata Tosu itu, namun menghadapi Ouw Liong Pokiam yang
dimainkan dengan sedemikian luar biasanya oleh Giok Ciu, Tosu itu tidak dapat
berbuat banyak. Bahkan ia harus berlaku hati-hati sekali, karena kalau tidak,
banyak kemungkinan tongkat ular senduk itu akan terbabat putus oleh Ouw Liong
Pokiam!
Tosu itu
adalah Kwi Kai Hoatsu, seorang paderi di Tibet yang telah diusir pergi oleh
kaum Lama karena paderi ini ternyata bukanlah orang suci seperti seharusnya
seorang Pendeta, dan dalam tingkat kepandaian. Ia boleh dibilang menduduki
tingkat ke tiga di seluruh Tibet. Ia bukan lain ialah suheng atau kakak
seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, ialah Pendeta Tibet yang dulu membunuh Kwie Cu
Ek, Ayah Giok Ciu!
Tapi
dibandingkan dengan Cin Cin Hoatsu, Kwi Kai Hoatsu lebih lihai. Sebetulnya
dalam hal lweekang atau ginkang, Giok Ciu masih belum dapat menyamai Kwi Kai
Hoatsu yang lihai, tapi karena gadis itu memegang sebuah pedang keramat yang
sangat ampuh, pula memainkan ilmu pedang yang benar-benar menjagoi di seluruh
kalangan persilatan pedang, maka untuk beberapa lama Tosu itu tidak berdaya. Sebaliknya
Giok Ciu juga merasa lelah karena lawannya ini benar-benar tangguh.
Setelah
mereka bertempur hampir seratus jurus dan belum juga dapat merobohkan gadis
itu, Kwi Kai Hoatsu merasa penasaran dan malu sekali. Ia merasa kehilangan muka
di depan para pahlawan, terutama di depan pangeran yang tadi datang
bersama-sama dia dan kini masih menonton di atas kudanya, ia merasa betapa nama
besarnya dipermainkan oleh gadis cilik ini. Karena itu maka ia lalu berseru
keras dan tiba-tiba dari mulut ular yang telah menjadi tongkat itu menyambar
keluar asap hijau ke arah muka Giok Ciu!
Pada saat
itu, Kwi Kai Hoatsu sedang menyerang dengan pukulan ke leher Giok Ciu dan Giok
Ciu hanya miringkan kepala berkelit maka ketika tiba-tiba mulut ular itu
mengeluarkan uap hijau, ia tak dapat berbuat lain kecuali membuang diri
kebelakang. Tapi terlambat, karena ia telah mencium bau yang amis sekali dan
tiba-tiba kepalanya menjadi pening, matanya berkunang-kunang. Kemudian, dengan
pekik nyaring, gadis gagah itu roboh pingsan dengan pedang masih terkepal erat
di tangannya!
“Nah,
demikianlah, Kwie Lihiap tertawan oleh mereka dan dibawa pergi.” Gak Bin Tong
mengakhiri ceritanya kepada Sin Wan.
Sin Wan
marah sekali, kedua matanya mengeluarkan cahaya api dan giginya berbunyi.
Kemudian ia dapat menekan perasaan cemasnya, lalu ia menjura kepada Gak Bin
Tong.
“Maafkan
sikapku yang kasar tadi, saudara. Sebetulnya dengan siapakah aku berhadapan?
Dan mengapa kau agaknya membela kami?”
Gan Bin Tong
membalas hormatnya, “Aku adalah Gan Bin Tong dan aku terpaksa menggabungkan
diri dengan para pahlawan Kaisar, karena Ayahku adalah seorang pembesar di
istana, tapi semenjak kecil aku belajar di Bu-Tong-San dan baru beberapa bulan
kembali ke sini. Aku suka melihat sepak terjangmu dan sepak terjang Kwie
Lihiap, karena aku tahu bahwa kalian hanya datang untuk menuntut balas,
sekali-kali bukan maksud kalian untuk memberontak atau mengacau. Sekarang,
marilah kita tolong Kwie Lihiap.”
“Apa dia
tidak apa-apa? Dimana dikeramnya?” Sin Wan bertanya dengan hati memukul.
“Tenanglah,
ia tidak apa-apa dan kalau tidak salah, ia dibawa oleh Pangeran Lu ke
gedungnya.”
“Pangeran
Lu? Siapakah dia?”
“Pangeran Lu
Boh Ong adalah murid dari Kwi Kai Hoatsu, kepandaiannya lumayan juga, dan ia
sangat disayang oleh Suhunya karena pangeran Lu pandai mengambil hati dan
menguruk diri Kwi Kai Hoatsu dengan segala kesenangan dan harta benda.”
“Kalau
begitu, mari kita segera berangkat. Biar kau serahkan saja pangeran anjing itu
kepadaku,” kata Sin Wan.
“Sabar,
kawan. Kita harus menggunakan siasat, karena ketahuilah bahwa Kwi Kai Hoatsu
menjaga gedung itu.”
“Siapa
takuti dia?” kata Sin Wan gagah.
“Memang kau
tak perlu takuti dia, tapi ia benar-benar lihai dan ilmu sihirnya berbahaya
sekali. Lebih baik diatur begini. kau menyerbu ke dalam gedung dan aku akan
ajak Tosu itu bercakap-cakap, karena aku sudah kenal padanya dan sering
bercakap-cakap atau main catur dengan dia.”
Sin Wan
girang sekali dan dia menjabat tangan kawan baru itu dengan berterima kasih.
Kemudian mereka lalu berangkat dan bergerak cepat sekali di atas genteng.
Biarpun dalam hal ilmu lari cepat Gak Bin Tong masih jauh di bawah kepandaian
Sin Wan, namun pemuda muka putih itu tidak tertinggal jauh.
Ketika
mereka tiba di sebuah gedung besar dan megah, Gak Bin Tong memberi tanda kepada
Sin Wan supaya berhati-hati. Pertama-tama mereka menuju ke kamar di sebelah
kiri. Begitu mereka menginjak genteng, tiba-tiba dari bawah terdengar bentakan.
“Siapa di
atas?”
Terkejutlah
Sin Wan melihat kelihaian orang di bawah yang segera mengetahui bahwa di atas
genteng ada orang! Ia tidak tahu bahwa memang di bawah genteng dipasangi alat
hingga jika genteng itu terpijak sedikit saja, maka akan ada tanda di dalam
kamar itu. Gak Bin Tong segera menjawab,
“Bukan lain
orang, Totiang, aku Gak Bin Tong hendak bercakap-cakap dengan kau orang tua!”
Pemuda muka
putih itu segera memberi tanda kepada Sin Wan untuk meloncat ke bagian lain,
sementara ia sendiri meloncat untuk bertemu dengan Kwi Kai Hoatsu yang lihai.
Sin Wan
segera memeriksa gedung itu dengan hati-hati sekali. Ketika ia memeriksa bagian
belakang gedung itu, terdengar suara orang berkata-kata dengan suara marah. Ia
girang sekali karena kenal suara ini sebagai suara Giok Ciu. Cepat Sin Wan
membuka genteng dan mengintai ke dalam. Ternyata Giok Ciu tampak duduk di atas
sebuah pembaringan dengan wajah pucat bagaikan seorang yang baru sembuh dari
sakit.
Ternyata
bisa yang tersembur dai mulut tongkat ular dan yang telah kena tercium olehnya
itu berbahaya sekali dan setelah minum obat penawar dari Kwi Kai Hoatsu,
barulah jiwa Giok Ciu tertolong. Sebetulnya, biarpun tidak minum obat penawar,
belum tentu gadis itu akan terbinasa, karena di dalam tubuhnya telah mengalir
pengaruh mujijat dari buah-buah yang dulu ia makan didalam gua ular. Tentu saja
ia sendiri maupun Kwi Kai Hoatsu tidak mengetahui hal ini.
Setelah Giok
Ciu sadar, maka Pendeta yang lihai itu lalu menotok urat jalan darah gadis itu
bagian Koan-Goan-Hiat, hingga biarpun Giok Ciu telah kembali kesehatannya,
namun tenaganya lumpuh dan ia tidak berdaya. Kalau tidak mendapat pertolongan
untuk memunahkan pengaruh totokan itu, ia harus menanti tiga hari baru
tenaganya akan pulih dan totokan itu akan lenyap pengaruhnya sendiri.
Ia telah
kerahkan tenaganya tapi karena totokan itu memang lihai, ia tidak bisa gerakkan
lweekangnya hingga sia-sia saja usahanya untuk melepaskan totokan. Sin Wan
sekejab saja tahu bahwa Giok Ciu berada dibawah pengaruh totokan, maka hatinya
menjadi marah sekali. Tapi ia masih menahan sabar karena ia harus bertindak
hati-hati. Ia melihat bahwa pada saat itu, seorang pelayan wanita sedang
membujuk gadis itu yang dijawab dengan makian dan cacian sehingga pelayan itu
menjadi kewalahan.
Pada saat
Sin Wan hendak meloncat turun, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seorang
laki-laki berpakaian mewah dan indah berjalan masuk. Laki-laki itu usianya
kurang lebih empat puluh tahun, lagaknya dibuat-buat dan ceriwis sekali.
Sepasang matanya yang kekuning-kuningan itu berminyak dan memandang kepada Giok
Ciu dengan kurang ajar.
“Aah,
Siocia, bagaimana rasanya tubuhmu? Sudah sehat kembali, bukan? Sukurlah...”
Kata laki-laki itu kepada Giok Ciu yang tidak menjawabnya, tapi memandang
dengan tajam dan marah.
“Siocia
telah berkali-kali kukatakan tak perlu kau melawan kami, karena di kota raja
banyak sekali terdapat pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa dan orang-orang
berilmu tinggi. Dan lagi, apakah perlunya mengacau dan memberontak? Usahamu
akan sia-sia belaka, bahkan nyawamu akan tak tertolong. Bukankah sayang sekali
kalau orang seperti kau yang semanis dan semuda ini mengorbankan jiwa dengan
sia-sia?”
Suara
bujukan yang manis ini bahkan menambah marah hati Giok Ciu. “Siapa yang perduli
omonganmu yang kosong? Aku datang hendak membunuh bangsat she Suma itu dan
kawan-kawannya! Apa hubungannya dengan kau?”
“Itulah yang
salah sekali, Suma-Cianbu adalah seorang berjasa di istana, dan yang dibunuh
olehnya dulu adalah para pemberontak negara. Mana bisa kau sekarang
datang-datang hendak membunuhnya? Itulah yang disebut mengapa kau memberontak
mengacau. Sudahlah, kau menyerahlah saja dengan baik-baik. Kalau kau berjanji
hendak menyerah dan tidak mengamuk lagi, aku Lu Boh Ong akan menanggung dan
membelamu. Percayalah kepada Pangeran Lu!”
“Sudahlah
kau jangan banyak mengobrol di depanku. Tunggu saja, kalau kawanku datang, kau
pasti akan mendapat hadiah ujung pedangnya!”
Lu Boh Ong
tertawa bergelak-gelak. “Kawanmu? Ha ha ha, jangan ngelindur! Kawanmu itu telah
mati di tangan para pahlawan. Tubuhnya sudah dihancur leburkan, maka jangan kau
menanti sia-sia!”
Sehabis
berkata demikian, pangeran ceriwis itu bertindak mendekat dan hendak memeluk
Giok Ciu. Gadis itu biarpun telah lumpuh karena totokan, tidak sudi didekati
pangeran itu, maka ia bergerak, berdiri dan hendak meloncat. Tapi tubuhnya
menjadi limbung dan ia roboh!
Terdengar
pangeran itu tertawa besar dan pada saat itu Sin Wan dengan gemasnya telah
meloncat ke dalam kamar. Kaget sekali Pangeran Lu itu melihat seorang pemuda
dengan pedang berkilau putih di tangan tahu-tahu telah berada di situ. Ia
segera menyambar sebatang pedang yang memang tersedia di punggungnya dan cepat
bagaikan seekor harimau ia menubruk ke arah Sin Wan....
BERSAMBUNGKE
JILID 06
Teruma kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment