Friday, October 5, 2018

Cerita Silat Serial Kisah Sepasang Naga Jilid 05



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Kisah Sepasang Naga

                 Jilid 05


Pek Liong Kiam-Sut gerakannya gagah dan kuat, tetapi gerakan-gerakan yang lurus itu mengandung bermacam-macam tenaga dan tipu gerak tak terduga. Sebaliknya Ouw Liong Kiam-Sut gerakannya lincah dan gesit sekali, membingungkan lawan karena banyak sekali pecahan dan gerak tipunya.

Sinar pedangnya tajam pendek-pendek tetapi berubah-ubah mengacaukan pertahanan lawan. Akan tetapi, kedua sifat ilmu pedang ini setelah kini dimainkan bersama dan dipakai untuk saling serang, ternyata kedua duanya gagal dan tak berdaya, seakan-akan keduanya telah saling kenal baik gerakan masing-masing. Kalau Pek Liong Kiam-Sut diumpamakan senjata tajamnya maka Ouw Liong Kiam-Sut adalah sarungnya!

Giok Ciu penasaran sekali dan ia mengeluarkan gerakan terhebat dari Ouw Liong Kiam-Sut, namun sia-sia, karena Sin Wan tahu belaka kemana dan bagaimana ia hendak menyerang. Memang hal ini tidak aneh kalau dipikirkan bahwa kedua ilmu pedang ini berasal dari satu cabang, yakni Sin-Liong Kiam-Sut, dan mereka telah mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut sampai hafal benar.

Sedangkan Pek Liong Kiam-Sut dan Ouw Liong Kiam-Sut sebenarnya belum mereka kuasai seluruhnya. Karena sebetulnya mereka belum tamat mempelajari kedua ilmu pedang ini, dan sebelum mereka dapat menguasai dengan sempurna, keburu datang perisitiwa di luar sumur sehingga mereka disuruh turun gunung!

Setelah lelah berlatih, keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, lalu duduk beristirahat di aas rumput sambil menikmati angin gunung yang sejuk. Dan aneh sekali, karena latihan itu, di dalam lubuk hati masing-masing timbul rasa tidak puas karena terhadap masing-masing mereka merasa tidak berdaya.

Lebih-lebih Giok Ciu, gadis ini merasa mengapa kepandaian yang dimilikinya menjadi tidak berarti kalau melayani Sin Wan. Kalau saja ia kalah atau menang, ia akan merasa puas, tetapi ia kini menjadi penasaran dan tidak puas. Kalah tidak, menangpun bukan! Juga ia tidak dapat menentukan, pedang mana yang lebih baik atau lebih ampuh!

“Koko, aku merasa heran sekali, Agaknya ilmu pedang yang kita pelajari ini tidak seberapa hebat.”

Sin Wan memandang jauh dengan termenung, lalu menjawab, “Aneh, moi-moi, akupun merasa mempunyai perasaan begitu. Tapi tidak ingatkah kau ketika terjadi pengeroyokan itu? Kau menggunakan pedang dan sebentar saja kau dapat merobohkan lawanmu!”

Giok Ciu teringat dan kekecewaannya agak berkurang. “Kau benar, Koko. Tapi anehnya, menghadapi ilmu pedangmu, kepandaianku tiada gunanya sama sekali!”

Sin Wan melirik sambil tersenyum. “Kau ini aneh, moi-moi. Kau kan tidak mempelajari Ouw Liong Kiam-Sut untuk digunakan menyerang aku? Ketahuilah, aku sendiri merasa betapa pedangku sama sekali tak dapat menembus pertahanan ilmu pedangmu!”

Setelah beristirahat dan makan buah-buahan yang mereka petik di dalam hutan di lereng bukit, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat.

“Koko, apakah kita pergi ke gedung Suma-Cianbu?”

“Ya, kita langsung menuju ke sana dan membasmi bangsat she Suma lebih dulu!” jawab Sin Wan sambil mengertak gigi karena gemas teringat akan musuh besarnya.

Karena mereka menggunakan ilmu lari cepat, maka dua hari saja mereka telah tiba dikota tempat tinggal Suma-Cianbu. Hari telah menjadi gelap ketika mereka berdua memasuki kota. Maka mereka menanti sebentar sebelum menyerbu ke gedung Suma-Cianbu itu. Setelah hari menjadi gelap, keduanya lagi loncat keatas genteng dan sambil berlari-lari cepat di atas genteng merupakan dua bayangan putih dan hitam, mereka menuju ke gedung yang tinggi dan besar itu.

Tetapi mereka terheran mendapat kenyataan betapa gedung itu sunyi saja dan yang menjaga keamanan hanya empat orang anggauta keamanan yang berjalan mondar-mandir di belakag tembok yang mengurung gedung itu. Didalam gedung sendiri sunyi senyap, hanya dibagian belakang tampak lampu bernyala dan ada suara orang bercakap-cakap.

Bagaikan dua ekor kucing mereka meloncat turun dengan ringan sekali sehingga tidak menerbitkan suara. Ketika dua orang penjaga lewat ditempat mereka bersembunyi, mereka menerjang dan tanpa dapat mengeluarkan teriakan kedua penjaga itu kena tertotok dan roboh pingsan. Demikianlah nasib ke dua penjaga lainnya.

Kemudian Sin Wan Giok Ciu meloncat masuk ke dalam gedung. Alangkah kecewa mereka ketika mendapat kenyataan bahwa gedung itu betul-betul kosong dan tidak ada orangnya, dan yang sedang bercakap-cakap di bagian belakang hanyalah beberapa orang pelayan saja. Para nelayan itu, empat orang tua dan dua orang laki-laki terkejut sekali ketika tiba-tiba tampak dua orang muda yang telah berada dihadapan mereka.

“Jangan takut, kami takkan mengganggu!” Kata Sin Wan kepada mereka yang berlutut, sambil menggigil ketakutan. “Asal saja kalian terangkan di mana adanya Sum-Cianbu dan keluarganya.”

“Taijin, Hujin dan Siocia beserta beberapa orang pelayan dan pengawal telah tiga hari pergi ke kota raja.” Jawab seorang pelayan yag agak tabah.

“Awas, jangan membohong!” Giok Ciu membentak sambil menendang sebuah meja sehingga meja itu terpental dan semua barang di atas meja itu beterbangan.

Mereka takut sekali dan makin pucat wajah mereka. “Tidak… tidak, Lihiap... Kami ti… tidak berani membohong.”

Bukan main rasa kecewa hati Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka lalu meninggalkan gedung itu, setelah terjadi pula sedikit pertentangan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu. Karena kecewa dan marah, Giok Ciu hampir saja mengangkat tangan dan membunuh semua isi gedung Suma-Cianbu, tetapi Sin Wan segera mencegahnya.

“Moi-moi tak perlu membunuh mereka ini. Mereka tiada sangkut pautnya dengan kedosaan Suma-Cianbu.”

“Tetapi orang-orang yang bekerja kepadanya dan menjadi kaki tangannya bukankah orang baik-baik!” Giok Ciu bersikeras.

“Jangan begitu, moi-moi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang bekerja hanya untuk mencari sesuap nasi. Kalau mereka tidak mengganggu kita, tak perlu kita berlaku kejam terhadap mereka.”

Giok Ciu mendongkol sekali dan mulutnya cemberut, tapi ia tidak membantah lagi, lalu mendahului meloncat ke atas genteng, diikut oleh Sin Wan dari belakang. Malam itu juga mereka meninggalkan kota Wie-Kwan untuk mengejar Suma-Cianbu yang sedang pergi ke kota raja. Jarak antara Wie-Kwan dan kota raja bukanlah dekat dan jika mereka berjalan cepat, maka mereka sedikitnya membutuhkan waktu tiga hari.

“Moi-moi, di kota raja kita harus berlaku hati-hati, karena di sana adalah pusat para pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi.”

Giok Ciu menahan tindakan kakinya dan menengok, “Ah, jadi kau tiba-tiba merasa jerih dan takut, Koko?” katanya mengandung suara sindiran.

Sin Wan mengerutkan jidatnya dan berkata, “Tidak takut, moi-moi, tapi berhati-hati. Kau kan juga ingin agar pekerjaan kita membalas dendam kali ini jangan sampai gagal, bukan?”

Giok Ciu berkata jumawa. “Hah, apa yang dikuatirkan? Aku tidak takut segala pahlawan anjing itu. Paling-paling kita akan berhadapan dengan Tosu siluman Cin Cin Hoatsu, dan aku seujung rambutpun tidak takut padanya!”

Sin Wan makin heran melihat sikap dan kejumawaan Giok Ciu, karena tidak disangkanya gadis itu akan menjadi sesombong itu. Ia tidak tahu bahwa semenjak dapat mengalahkan para pahlawan yang mengeroyok mereka diluar sumur, didalam hati gadis muda itu timbullah sifat bangga yang besar sehingga membuat ia menjadi jumawa dan menganggap bahwa kepandaiannya telah sampai di puncak kesempurnaan! Karena inilah maka ketika berlatih mengadu pedang dengan Sin Wan, ia menjadi penasaran dan kecewa karena tak dapat menangkan pemuda itu!

Dua hari kemudian mereka tiba di kota Kiong-Kwan yang besar. Kota ini cukup ramai karena letaknya dekat kota raja dan di sini banyak pula tinggal orang-orang berpangkat pangeran. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berjalan perlahan memasuki pintu kota, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda dan ketika mereka berdiri di pinggir jalan memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang tinggi besar yang pandai sekali menunggang kuda. Ketika tiga orang itu lewat di depan mereka, ketiganya menengok dan memandang dengan tajam.

Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tidak ambil perduli sama sekali dan melanjutkan perjalan mereka memasuki kota. Giok Ciu tertarik oleh sebuah rumah penginapan yang daun pintu dan tiang-tiangnya di cat merah sehingga nampak indah sekali, maka ia lalu mengajak Sin Wan bermalam di situ saja. Sin Wan tersenyum melihat kegembiraan gadis itu dan menurut saja. Kepada seorang pelayan ia lalu minta disediakan dua kamar.

“Dua kamar ukuran kecil, atau satu saja kamar ukuran besar?” Pelayan yang berlidah tajam dan jenaka itu bertanya sambil melirik ke arah Giok Ciu.

Gadis itu timbul marahnya dan ia membentak, “Tulikah kau? Kami minta dua kamar dan jangan kau banyak cerewet lagi!”

Pelayan itu memandang dengan terkejut dan buru-buru ia menyediakan kamar yang diminta.

“Sabarlah, moi-moi untuk apa meladeni segala macam orang seperti dia?”

“Apa? Justeru orang-orang macam dia itu kalau tidak diberi hajaran tentu selalu akan mengganggu orang!”

Sin Wan hanya tersenyum melihat kegalakan nona ini, karena betapapun juga, jika Giok Ciu sedang marah seperti itu matanya bersinar-sinar, kedua pipinya kemerah-merahan, kulit hidunganya yang tipis kembang-kempis dan bibirnya yang bagus bentuknya itu merengut dan meruncing tetapi menambah manisnya!

Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berkata-kata dan Sin Wan lalu memberi isarat kepada Giok Ciu. Ketika mereka memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang yang berkuda yang tadi bertemu dengan mereka di pintu gerbang kota. Ketika orang itupun memandang kepada mereka dengan tajam, tetapi lalu mereka membuang muka dan memasuki kamar pengurus rumah penginapan.

Sin Wan lalu mengajak Giok Ciu memasuki kamarnya dan ia berkata, “Moi-moi, kurasa tiga orang itu bukanlah orang-orang baik. Mereka agaknya mengikuti kita.”

“Apa? Biar kuhajar mereka sekarang juga!”

“E, e! Sabar, Giok Ciu. Dengan alasan apa kita harus mencari perkara? Biarkan sajalah, tetapi malam ini kita harus berjaga-jaga dan berhati-hati.”

“Menghadapi tiga ekor tikus busuk itu saja mengapa begitu ribut-ribut? Aku malam ini ingin melihat-lihat kota, Koko.”

Sin Wan menyatakan setuju. “Baiklah, kita pergi mencari tempat makan yang paling besar.”

Setelah membersihkan tubuh Sin Wan dan Giok Ciu keluar dari rumah penginapan dan berjalan melihat-lihat kota yang indah dan besar itu. Giok Ciu kagum melihat bangunan-bangunan yang besar dan tinggi. Sungguhpun kedua anak muda itu tampaknya berjalan-jalan dan mengagumi pemandangan kota namun sebenarnya mereka tahu bahwa ada seorang diantara ketiga penunggang kuda sedang mengikuti mereka! Orang itu tinggi dan kurus dan kaki kirinya agak pincang, tapi dipinggang tergantung sebatang pedang yang memakai ronce kuning.

“Kita sikat dia, Koko?” kata Giok Ciu.

Mereka lalu masuk ke dalam sebuah restoran besar dan memesan masakan. Dan alangkah mendongkolnya dan marahnya Giok Ciu ketika melihat betapa si pincang itupun memasuki restoran dan duduk di meja yang dekat dengan meja mereka. Alangkah kurang ajar dan beraninya!

Kalau ia tidak duduk bersama Sin Wan, tentu ia melemparkan meja di depannya kepada orang tinggi kurus itu! Tetapi Sin Wan berkejab kepadanya untuk mencegah gadis itu melakukan sesuatu yang mengacaukan. Untuk melampiaskan marahnya, Giok Ciu berkata,

“Tak kusangka, tiga bangkai tikus yang terserak di sanan tadi tahu-tahu yang seekor terdampar kesini!”

Sambil berkata demikian, ia sengaja memandang si pincang itu dengan mata marah! Tentu saja, kata-katanya ini membuat para tamu restoran memandang heran, sedangkan si pincang itu yang merasa dirinya disindir, tampak jelas menahan-nahan diri untuk tidak memperlihatkan marahnya. Ia hanya balas memandang tajam, lalu menundukkan kepala dan maka hidangan yang dipesannya.

Setelah makan kenyang, Sin Wan dan Gio Ciu sengaja mengambil jalan memutar, melalui jalan yang sunyi. Dan betul saja, si tinggi pincang itu tetap mengikuti mereka. Sin Wan dan Giok Ciu lalu menggunakan ilmu lari cepat, tetapi orang itupun pandai dalam ilmu ini! Hanya saja, kedua anak itu maklum bahwa kepandaian orang itu tidak berapa tinggi.

“Giok Ciu, tentu ada apa-apa yang tidak beres. Mari kita pulang dengan diam-diam kita lihat, mereka itu sebetulnya orang-orang apa dan sedang melakukan apa.”

“Dan tikus ini bagaimana? Aku ingin memberi rasa padanya.”

Sin Wan tersenyum, “Sesukamulah asal jangan terlalu lama.” Giok Ciu lalu membungkuk untuk memungut sepotong batu, lalu ia berhenti dan berteriak,

“He, tikus pincang, jalanmu tidak sedap dipandang karena kakimu pincang sebelah. Biarlah aku tolong kau dan bikin pincang kakimu yang sebelah lagi!”

Tangannya lalu diayun dan batu kecil itu meluncur cepat ke arah pengejar. Si tinggi kurus itu berlaku waspada, tetapi ternyata batu yang menyerangnya lebih cepat lagi. Ia tak sempat berkelit dan tahu-tahu tulang keringnya berbunyi,

“Pletak!” dan ia roboh karena kaki kanannya tiba-tiba lemas dan sakit sekali. Ketika ia merabanya, ternyata tulangnya telah pecah! Ia meringis kesakitan dan diam-diam terkejut sekali melihat kelihaian kedua anak muda itu.

“Masih baik mereka tidak menghendaki jiwaku,” Ia berpikir dan merangkak maju untuk minta pertolongan orang.

Sin Wan dan Giok Ciu lalu meloncat ke atas genteng dan mereka menggunakan kepandaian untuk meloncati rumah-rumah dan cepat menuju ke rumah penginapan. Ginkang mereka sudah demikian sempurna sehingga yang tampak berkelebat hanya dua bayangan putih dan hitam. Setibanya di atas rumah penginapan, mereka bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan mengintai.

Tiba-tiba tampak bayangan beberapa orang bergerak di atas genteng dan meloncat ke bawah dengan gerakan cukup gesit. Mereka berdua lalu meloncat mendekati dan dengan hati-hati mereka membuka genteng kamar para penunggang kuda itu. Ternyata di dalam kamar yang besar itu telah berkumpul banyak orang dan langkah terkejut mereka melihat bahwa diantara mereka terdapat juga pahlawan-pahlawan Kaisar yang dulu mengeroyok mereka di atas sumur! Mereka mendengarkan dengan teliti.

“Benarkah mereka mengejar Suma-Cianbu?” terdengar seorang berkata. “Kalau begitu, kita harus dapat menangkap mereka sebelum kabur.”

“Tetapi mereka lihai sekali,” berkata seorang yanng dulu mengeroyok Sin Wan.

“Jangan takut, Hek Twako dan Mo Susiok ada disini. Pula, mereka tadi telah diikuti oleh Liu sute. Kita nanti mengepung mereka, masak tak dapat merobohkan dua orang anak muda saja?”

Maka tahulah Sin Wan dan Giok Ciu bahwa kedatangan mereka di gedung Suma-Cianbu telah diketahui oleh orang-orang ini dan tahu pula bahwa orang-orang ini bukan lain ialah para pengawal dan pahlawan kerajaan! Maka Giok Ciu menjadi hilang sabar dan ia tertawa nyaring di atas genteng, sambil memaki,

“Bangsat anjing penjilat Kaisar! Kalau kalian sudah bosan hidup, naiklah ke sini kutunggu!”

Sin Wan terpaksa juga meloncat dan bersiap menanti kedatangan para lawan itu, ia merasa geli tercampur 'Bohwat' atau tak berdaya menghadapi gadis yang pemberani sekali ini. Mendengar kata-kata Giok Ciu, tiba-tiba api lilin di dalam kamar itu ditiup padan tak lama kemudian dari empat penjuru berloncatan naiklah orang-orang dengan senjata tajam di tangan!

Sin Wan melihat bahwa yang naik lebih dari dua puluh orang dan yang terdepan sekali adalah seorang tua yang gerakannya gesit dan seorang pemuda gagah dan bersenjata tombak. Orang tua itu bersenjata sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.

“Bangsat pemberontak yang berani mati. Menyerahlah hidup-hidup dari pada mati tertembus pedang,” orang tua itu membentak garang.

Giok Ciu tertawa dan menunjuk ke arah orang tua itu sambil berkata kepada Sin Wan, “Koko, kau lihat baik-baik. Bukankah orang she Mo ini mukanya sama benar dengan tikus tua yang hampir mati kelaparan?”

Sin Wan memandang dan hampir saja ia tertawa geli kalau saja ia tidak ingat bahwa orang tua itu seorang yang berkepandaian tinggi sehingga tidak baik menghinanya, karena sesungguhnya muka yang sempit dan berpotongan tajam, ditambah dengan beberapa lembar kumis dibawah hidunganya itu memang seperti seekor tikus!

Ternyata Giok Ciu menduga tepat, karena memang orang tua itu adalah Mo Hin Cu yang berjuluk Iblis berpedang dua dan termasuk pahlawan Kaisar kelas dua. Ilmu pedangnya telah terkenal dan kepandaiannya masih lebih tinggi dari semua orang yang kini mengepung Giok Ciu dan Sin Wan. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian dan kedudukan tinggi, tentu saja Mo Hin Cu marah sekali mendengar ejekan Giok Ciu. Ia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyerang sambil membentak,

“Bangsat pemberontak rendah!” Sepasang pedang di tangan kiri kanannya bergerak, yang kanan menusuk lengan dan yang kiri menyapu pinggang gadis itu!

“Haya...!!” Giok Ciu berkelit mundur sambil mengejek sehingga Mo Hin Cu makin marah dan menyerang lagi.

Kalau dibandingkan, kepandaian orang she Mo ini setingkat dengan kepandaian Song Tat Kin murid Cin Cin Hoatsu yang pernah dijatuhkan oleh Giok Ciu. Memang dulu secara mudah sekali Song Tat Kin dapat dirobohkan oleh gadis itu, tapi hal itu terjadi karena Song Tat Kin tak bersenjata dan tidak pernah menyangka bahwa gadis itu demikian lihai.

Sedangkan kini orang she Mo ini telah dapat menduga bahwa lawannya adalah seorang muda yang memilki kepandaian tinggi, dan di kedua tangannya terdapat sepasang pedang yang telah mengangkat namanya tinggi-tinggi, maka setelah diserang terus, Giok Ciu terdesak juga dan menjadi marah. Sambil berseru keras gadis itu mencabut pokiamnya dan Mo Hin Cu bergidik ketika melihat sinar hitam berkelebat dan menyambarnya dengan mengeluarkan hawa panas mengerikan!

Cepat sekali Mo Hin Cu menggunakan sepasang pedangnya menangkis dengan tipu gerakan Hong-Sauw Pai-Yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Maksudnya hendak menggunakan tenaga untuk menangkis dengan keras agar sekali babat saja membuat senjata lawan yang aneh itu terpental. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa kedua siang-kiamnya seakan-akan membacok air dan tahu-tahu yang tinggal di dalam kedua tangannya hanya gagang pedang saja, sedangkan pedangnya sendiri entah telah terbang kemana?

Demikianlah hebat dan ketajaman Ouw Liong Pokiam. Giok Ciu mengeluarkan seruan menghina dan sekali saja ia menyerang, pundak lawannya telah kena terbabat oleh pokiamnya sehingga orang she Mo itu roboh sambil mengeluarkan teriakan ngeri!

Sementara itu orang muda yang bersenjata tombak menyerang Sin Wan, akan tetapi oleh Sin Wan mudah saja dikelit dan anak muda ini balas menyerang dengan tangan kosong. Anak muda bersenjata tombak itu hanya pahlawan kelas tiga saja, mana ia dapat melawan Sin Wan? Dalam beberapa jurus saja, tombaknya telah dapat dirampas dan sekali tekuk dalam tangannya, tombak besi itu menjadi bengkok dan dilemparkan Sin Wan ke bawah genteng. Melihat betapa lihainya kedua anak muda itu, semua pahlawan maju mengeroyok dengan senjata masing-masing.

Sin Wan terpaksa mencabut Pek- Liong Pokiam dan bersama-sama Giok Ciu ia mainkan pedangnya dengan gerakan bergelombang yang hebat. Harus dikasihani para pengeroyok itu, seakan-akan rombongan semut mengeroyok api, begitu mendekat segera tubuh mereka bergelimpangan karena sinar hitam dan putih itu saja sudah cukup membuat mereka roboh!

Akhirnya beberapa orang yang masih belum menjadi korban segera meloncat turun dan melarikan diri dari amukan Sin Wan dan Giok Ciu. Tak lama kemudian datanglah barisan tentara dibawah pimpinan seorang komandan mengurung rumah penginapaan tu.

Sin Wan dan Giok Ciu sudah masuk kembali ke dalam kamar dan berkemas, karena malam ini juga mereka hendak melanjutkan perjalanan. Ketika Sin Wan melihat keluar, ternyata puluhan tentara penjaga keamanan yang datang membantu telah mengurung rumah itu dan semua tamu yang tidur menginap disitu menjadi ketakutan.

“Pemberontak-pemberontak keluar dengan damai!” komandan yang gemuk dan bermuka merah itu berteriak-teriak sambil mengatur barisannya mengurung. Sin Wan tersenyum melihat ini, kemudian setelah beres membungkus pakaian dan lain-lain, ia dan Giok Ciu keluar dari pintu depan dengan tenang!

Para anggota penjaga itu tidak tahu yang manakah pemberontak-pemberontak yang harus ditangkap, maka ketika melihat Sin Wan dan Giok Ciu keluar mereka diamkan saja. Baru setelah seorang pengeroyok yang lari dan kini telah ikut mengepung berteriak,

“Inilah pemberontak-pemberotak itu, serbu!”

Mereka segera bergerak dengan mata memandang heran. Inikah pemberontak-pemberontaknya? Seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik? Komandan muka merah memperlihatkan kegagahannya dan sambil palangkan golok besar ia mencegat Sin Wan dan Giok Ciu.

“Menyerahlah!” bentaknya dengan suaranya yang tinggi kecil.

“Hm, kalian gentong-gentong kosong ini harus diberi hajaran!” Giok Ciu berkata gemas, tetapi Sin Wan mendahului membentak kepada komandan muka merah yang gemuk itu.

“Kau menggelindinglah pergi dari sini!” dan sebelum si gemuk itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ia merasa tangan pemuda itu yang kuat sekali mendorongnya demikian keras sehingga tidak ampun lagi tubunya terjengkang ke belakang dan bergulingan, betul-betul seperti bola menggelinding!

“Hayo, moi-moi! Buat apa mengotorkan tangan melayani segala tikus rendah.”

Biarpun belum puas, Giok Ciu mengejar Sin Wan yang meloncat naik ke atas genteng dan mereka pergi tinggalkan Kiong-Kwan menuju ke kota raja. Menjelang fajar mereka telah tiba di luar tembok besar kota raja dan di sebuah bukit kecil mereka melihat sebuah Kuil kecil yang mungil. Karena perlu beristirahat sebentar sebelum memulai dengan pekerjaan yang penting itu.

Ternyata itu adalah Kelenteng Kwan-Im-Pouwsat yang dijaga oleh dua orang Pendeta wanita yang telah tua. Kedua Pendeta itu sangat ramah tamah dan mereka menerima kedatangan Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang. Kedua anak muda itu memberi hormat kepada patung Kwan-Im, lalu mereka mengaso sambil bersamadhi di ruang belakang.

Setelah matahari pagi menerangi permukaan bumi dan kedua anak muda itu makan bubur hidangan Nikouw tadi, mereka lalu meninggalkan bungkusan uang dan pakaian, dan hanya dengan membekal pedang, mereka berangkat menuju ke pintu gerbang kota raja.

Tetapi ternyata bahwa para penjaga yang mereka pukul kucar-kacir di Kiong-Kwan malam tadi, telah cepat memberi kabar ke kota raja pada malam itu juga sehingga Suma-Cianbu telah bersiap menanti kedatangan mereka!

Hal ini Sin Wan dan Giok Ciu tidak menyangkanya, maka ketika mereka tiba di pintu gerbang mereka kaget melihat banyak orang menghadang di jalan masuk pintu itu. Ketika mereka melihat tegas, ternyata kesemuanya adalah pahlawan Kaisar dan diantaranya terdapat Suma-Cianbu sendiri yang berpakaian perang dengan lengkap! Selain Suma-Cianbu sendiri, di dekat kapten itu terdiri tiga orang Tosu dan seorang perempuan tua berbaju hijau.

Melihat musuh besarnya berdiri di depannya, Sin Wan timbul marahnya dan segera ia mencabut Pek Liong Pokiam sambil membentak, “Bangsat Suma sekarang kau hendak lari kemana?”

Sambil berkata begini ia meloncat menerjang Suma-Cianbu yang cepat menangkis dengan pedangnya, tetapi sekali bentur saja pedang itu patah! Sin Wan melanjutkan pedangnya membabat leher dan Suma-Cianbu berteriak kaget, tetapi pada saat itu, seorang diantara tiga Tosu itu telah maju menolong dengan tongkat bajanya yang berat menusuk perut Sin Wan dengan gerakan Ular Hitam Masuk Lubang! Terpaksa Sin Wan menarik kembali pedangnya dan meloncat berkelit karena jika ia meneruskan serangannya, maka sukar baginya untuk menghindarkan diri dari sodokan tongkat itu.

“Bangsat muda sabar dulu!” Tosu itu membentak, “Siapakah kau berani mengacau ke kota raja? Apakah kau sudah bosan hidup?”

Sin Wan tersenyum dan membalas memaki, “Hm, hm, kau bangsat berjubah Pendeta. Agaknya kaupun bukan orang baik-baik. Ketahuilah, aku adalah Bun Sin Wan dan kedatanganku hendak membalas dendam orang tuaku kepada bangsat she Suma ini. Kalian tiada permusuhan dengan aku, maka lebih baik mundurlah. Tetapi kalau hendak membela bangsat ini, akupun tidak takut!”

Tiba-tiba terdengar suara perempuan tua baju hijau itu berkata, “Cianbu, apakah ini anak pemberontak itu?”

Suma-Cianbu mengangguk. “Benar, Toanio. Inilah anak pemberontak itu.”

Wanita itu lalu menunding dan berkata, “Anak muda, kau lebih baik menyerah saja, mungkin dosa-dosamu dapat diperingan. Kau mengandalkan apakah berani melawan kami?” Sikap wanita ini jumawa sekali sehingga menimbulkan marahnya Giok Ciu.

“Eh, kau ini siluman perempuan darimakah begitu sombong?” bentaknya.

Wanita baju hijau itu memandang kepada Giok Ciu dengan tersenyum mengejek. “Kau anak kemarin sore sudah berani unjuk gigi. Ketahuilah nenekmu ini ialah Liong-San Kui-Bo! Hayo lekas kau berlutut di depanku.”

Wanita itu agaknya mengira bahwa Giok Ciu tentu pernah mendengar namanya yang tersohor dan menjadi jerih. Tidak tahunya, tidak saja Giok Ciu memang belum pernah mendengar julukan yang berarti Biang Hantu dari Liong-San itu, bahkan andaikata sudah mendengarpun, gadis yang bernyali besar sekali pasti takkan merasa takut. Mendengar kata-kata Liong-San Kui-Bo, ia bahwa tertawa merdu dan nyaring, lalu berkata,

“Jadi kaukah si Biang Hantu? He, anakku, kalau begitu kau harus berlutut tiga kali di depanku. Ketahuilah, aku ini ialah Nenek Moyang Biang Hantu! Hayo kau lekas berlutut!”

Tentu saja Liong-San Kui-Bo menjadi marah sekali. Ia berpaling kepada ketiga Tosu itu lalu berkata, “Toyu sekalian, mari kita bikin mampus dua anak kurang ajar ini!”

Sehabis berkata demikian, perempuan tua baju hijau itu lalu mencabut keluar sepasang pedangnya dan langsung menyerang Giok Ciu dengan hebat. Giok Ciu terkejut melihat betapa gerakan perempuan itu ganas dan cepat sekali, tapi ia tidak takut dan sambil berloncatan menyingkiri serangan lawan, ia mencabut Ouw Liong Pokiam.

Kini Liong-San Kui-Bo yang kaget karena tiba-tiba ia merasa sambaran pedang hitam yang ganas itu. Ia tahu bahwa pedang gadis itu adalah sebuah pokiam yang sangat ampuh, maka ia tidak berani beradu pedang. Ia hanya menggunakan kiam-hwatnya yang memang indah dan cepat itu untuk mengurung Giok Ciu. Tapi ia tidak tahu bahwa disamping Kiam-Sutnya, yakni Sin-Eng Kiam-Sut yang lihai, masih banyak ilmu pedang yang lebih hebat lagi, dan diantaranya yang terlihai adalah Ouw Liong Kiam-Sut!

Maka ketika Giok Ciu mulai menjalankan ilmu pedangnya, sebentar saja ia menjadi sibuk menangkis sambil mundur. Tosu termuda diantara ketiganya, yakni Liang Ging Tosu segera maju membantu. Sedangkan yang dua, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu, maju menyerang Sin Wan dengan tongkat mereka yang berat dan kuat.

Pertempuran makin ramai ketika beberapa orang pahlawan yang memiliki kepandaian tinggi juga mengurung mereka. Tapi pedang-pedang mustika itu dimainkan oleh Sin Wan dan Giok Ciu demikian hebat sehingga merupakan sepasang naga sedang mengamuk dan membuat jerih mereka yang mengeroyoknya. Sebentar saja beberapa orang pengeroyok telah roboh dan yang lain-lainnya terdesak.

Sin Wan menggunakan sebagian besar daripada perhatiannya untuk menyerang Suma-Cianbu yang telah berganti pedang sehingga karena beberapa kali hampir saja kapten itu menjadi korban keganasan Pek Liong Pokiam, dan melihat betapa para pembantunya terdesak mundur, Suma-Cianbu lalu meloncat mundur dan lari memasuki pintu gerbang!

“Bangsat jangan lari!” Sin Wan loncat mengejar, tapi ia dihalang-halangi pengeroyok lain sehingga ia harus merobohkan dua orang dulu baru ia dapat meloncat mengejar.

Karena ia melihat betapa Suma-Cianbu meloncat ke atas genteng, iapun mengayun tubuhnya ke atas dan masih dapat ia melihat bayangan musuhnya itu di atas wuwungan yang tinggi. Ia segera mengejar tapi kedua Tosu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu, sudah mengejarnya pula dan menyerangnya dengan tongkat mereka.

Sin Wan memutar pedangnya menangkis lalu setelah melayani mereka beberapa jurus dan mendapat ketika, ia meloncat pula mengejar ke arah bayangan tadi. Ia mencari-cari dengan matanya dan melihat berkelebatnya bayangan di tempat jauh, di atas sebuah gedung yang jauhnya beberapa belas rumah dari situ. Ia lalu meloncat lagi dan lari mengejar.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Ia masih sempat melihat betapa Suma-Cianbu yang ketakutan setengah mati itu lari dan meloncat turun dalam pekarang belakang sebuah gedung. Tapi pada saat itu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu sudah sampai pula ke situ dan mengirim serangan mereka lagi!


“Pendeta-Pendeta tak tahu diri! Aku tak ingin membunuhmu, lepaskanlah aku!”

“Bangsat kecil, jangan kau banyak tingkah. Menyerah atau mati.”

Maka timbullah marah Sin Wan. Ia memutar Pokiamnya sedemikian rupa sehingga Pek Liong Pokiam seakan-akan berubah menjadi puluhan dan menyerang ke dua Tosu itu dari segala jurusan.

Tosu-Tosu itu adalah murid Cin Cin Hoatsu tingkat pertama, maka kepandaian silat mereka memang tinggi. Tapi kini menghadapi Pek Liong Kiam-Sut, mereka tak berdaya. Mereka masih mencoba untuk memutar-mutar tongkat menangkis, tapi sia-sia, karena pokiam itu telah mendahului mereka dan tiba-tiba Liang Hun Tosu berteriak kesakitan karena lengan tanggannya berikut tongkatnya terbabat putus!

Dengan kaget Liang Gwat Tosu meloncat mundur, dan Sin Wan lalu lari pula ke arah gedung di mana tadi Suma-Cianbu turun. Liang Gwat Tosu terpaksa hanya bisa menolong sutenya yang terluka parah. Sin Wan meloncat turun ke pekarangan gedung besar itu dan ia tiba di taman yang indah. Ia menengok ke sana ke sini, lari lari ke arah gedung. Ia mengintai ke dalam dari sebuah jendela, tapi gedung itu sunyi saja.

Setelah mengambil jalan memutar ia mengintai ke jendela lain dan di dalam sebuah kamar ia melihat seorang gadis sedang membaca kitab Tiong Yong, yakni kitab pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Seorang pelayan wanita datang mengantar air teh dan berkata,

“Suma-Siocia, kau rajin sekali sehingga siang malam hanya belajar kitab saja. Apakah Siocia ingin menjadi sasterawan wanita? Ataukah Siocia ingin menjadi gadis suci?” Pelayan itu menggoda. Dan gadis itu perdengarkan suara ketawanya yang halus dan merdu. Tubuhnya yang langsing itu bergoyang-goyang di atas bangku yang didudukinya ketika ia tertawa, lalu terdengar suaranya yang lemah lembut,

“A-bwe, aku adalah seorang wanita terpelajar, kalau tidak membaca kitab yang balik di dalam kamar atau menyulam sulaman yang indah, habis apakah harus pegang pedang main panah?” A-bwe, pelayan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan ujung lengan baju, lagaknya genit sekali.

“Siocia, apa salahnya kalau kau bermain pedang? Ayahmu seorang pembesar militer yang gagah perkasa.”

“Ingat, A-bwe, aku seorang wanita.”

“Tapi, Siocia. Bukankah jaman sekarang banyak terdapat wanita-wanita pandai bersilat? Coba saja lihat nyonya tua yang berbaju hijau yang kemarin datang itu, namanya kalau tidak salah Liong-San Toanio, begitulah disebut orang. Ia selalu membawa-bawa pedang dan kabarnya kepandaiannya tidak dibawah Ayahmu sendiri. Bukankah itu hebat dan luar biasa sekali namanya?”

Nona itu menghela napas dan ia memutar tubuhnya perlahan dan menghadap jendela hingga Sin Wan terkejut dan buru-buru bersembunyi, dan mendengar lebih jauh sambil mengagumi wajah gadis yang luar biasa cantiknya itu.

Usia gadis itu paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya indah berkembang, tubuhnya tinggi langsing, rambunya hitam panjang dikonde ke belakang dengan manisnya, sedangkan kulit muka yang halus lemas kemerah-merahan itu terhias sepasang mata yang cerdas dan lembut sinarnya, hidung dan mulutnya kecil dan indah bentuknya. Pendeknya seorang Cian-Kim Siocia yang benar-benar tiada cacad celanya!

Nona itu menghela napas dan berkata, “A-bwe, biarpun Ayah berpangkat Cianbu dan tiap hari kau melihat orang-orang dari golongan ahli silat, namun sesungguhya aku tidak suka melihat orang-orang yang biasanya hanya bermain dengan senjata tajam untuk membunuh orang lain! Lihatlah betapa permusuhan ditumpuk-tumpuk, orang-orang saling kejar, saling bunuh, dan saling balas sakit hati. Apakah hidup macam demikian itu baik? Ah, aku lebih senang membaca kitab-kitab kuno yang memberi nasehat-nasehat dan petuah tentang hidup yang baik.”

“Suma-Siocia, kau memang seorang Ciankim Siocia yang berbudi dan pandai,” A-bwe memuji.

Sementara itu, kini Sin Wan tidak ragu-ragu lagi bahwa nona cantik di dalam kamar itu adalah puteri musuhnya, anak perempuan dari Suma-Cianbu! Ia tidak mau mengganggunya, karena yang dibenci dan dicarinya hanya Suma-Cianbu seorang. Maka ia segera tinggalkan tempat itu dan memeriksa kamar lain. Tapi Suma-Cianbu tidak tampak bayangannya! Sin Wan menjadi marah dan timbul gemasnya. Ia lalu kembali ke atas kamar Suma-Siocia tadi dan cepat meloncat masuk dari jendela!

Suma-Siocia menggunakan saputangan menutup mulutnya yang hendak mengeluarkan jeritan kaget ketika melihat betapa tiba-tiba seorang pemuda yang tampan dan gagah tahu-tahu telah berada di dalam kamarnya! Kebetulan sekali A-bwe baru saja keluar dari kamar itu karena disuruhnya mengambil benang sulam baru.

“Maaf Siocia. Aku tak hendak mengganggumu, hanya ingin bertanya bukankah Siocia puteri dari Suma-Cianbu?”

Melihat sikap dan kata-kata Sin Wan yang halus, lenyaplah rasa kaget nona itu dan ia mengangguk untuk membenarkan kata-kata Sin Wan.

“Di manakah Ayahmu sekarang, Siocia? Tadi aku melihat ia masuk ke dalam gedung ini, tapi telah lenyap begitu saja. Dimana ia bersembunyi?”

Tiba-tiba Suma-Siocia menjadi berani dan bertanya, “Ada urusan apakah kau mencari Ayahku?”

“Dia adalah musuh besarku yang harus menebus dosanya!”

Terbelalak sepasang mata yang bening itu mendengar pengakuan ini. “Apa?? Mengapa begitu? Apakah dosanya terhadapmu?”

Sin Wan kertak gigi ketika menjawab. “Ayahmu telah membunuh Ibuku dan Kakekku! Hayo katakan, dimana dia?”

“Tidak, tidak! Ayah...!! Kau pergilah... ada orang jahat!!” Suma-Siocia berteriak-teriak.

Sin Wan cepat maju dan ulurkan tangannya sehingga sekelebat saja Suma-Siocia kena tertotok dan lemas tak berdaya. Tiba-tiba timbullah akal pada pikiran Sin Wan. Musuh besarnya sangat licin dan selain banyak pelindungnya, juga pandai bersembunyi. Lebih baik kalau ia culik Suma-Siocia saja untuk memancing Suma-Cianbu! Karena pikiran ini, maka ia berkata kepada gadis itu yang masih dapat mendengarnya walaupun telah menjadi gagu.

“Maaf, Siocia. Kau terpaksa kubawa untuk memancing Ayahmu keluar dari tempat sembunyiannya!”

Pada saat itu A-bwe telah datang dan melihat seorang pemuda berada disitu dan nonanya dalam keadaan lemas dipegang oleh pemuda tampan dan asing itu, segera ia lari keluar kamar dan menjerit-jerit. Sin Wan tidak buang waktu lagi, segera ia pondong tubuh Suma-Siocia dan meloncat keluar dari jendela, terus saja ia melayang ke atas genteng.

“Bangsat penculik jangan lari!” terdengar teriakan orang dan beberapa orang pengawal meloncat naik mengejar. Tapi Sin Wan kecewa sekali karena di antara lima orang pengawal yang mengejarnya itu tidak tampak Suma-Cianbu sendiri.

“Kalian minggirlah dari sini! Aku tidak butuh jiwamu. Suruh bangsat Suma-Cianbu itu keluar sendir!”

Sin Wan berseru marah dan gemas, tapi kelima pahlawan itu segera mengurungnya dan menyerangnya. Sin Wan hanya berkelit karena ia tiada nafsu untuk melayani orang-orang ini. Ia segera menggunakan ginkangnya dan sekali loncat saja ia telah keluar dari kepungan itu sambil pondong tubuh Suma-Siocia!

Kemudian ia berlari-lari cepat di atas genteng. Lima orang pengawal itu mengejarnya, tapi sebentar saja Sin Wan telah lenyap jauh di depan. Sin Wan kembali ke tempat di mana tadi Giok Ciu dikeroyok, yakni dipintu gerbang kota.

Tapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak melihat orang berkelahi di tempat itu lagi. Apakah Giok ciu telah berhasil memukul mundur semua musuhnya dan menyusulnya? Tapi kenapa ia tidak bertemu dengan gadis itu? Atau barangkali Giok Ciu telah kembali lebih dulu di Kelenteng.

Memikir demikian, Sin Wan lalu cepat lari menuju ke Kelenteng dimana ia dan Giok Ciu tinggal. Tapi kembali ia kecewa karena di tempat inipun gadis itu belum pulang! Dua orang Nikouw tua dari Kwan-Im-Bio heran sekali melihat Sin Wan memondong seorang gadis cantik yang setengah pingsan.

“Bun Taihiap, kalau kau hendak melanggar kesopanan dan melakukan kejahatan, maka terpaksa kami mengusir kau dari sini!”

Nikouw itu berkata dengan sikap keren, karena mereka menyangka keliru pada Sin Wan yang membawa seorang gadis dalam keadaan demikian. Sin Wan segera lepaskan totokan Suma-Siocia yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kedua Nikouw itu sambil menangis sedih.

“Jangan khawatir, saya tidak melakukan sesuatu yang jahat. Gadis ini sengaja saya culik untuk memaksa Ayahnya keluar dari tempat persembunyiannya, dan Ayahnya ialah musuh besar saya, pembunuh Ibu dan Kakek! Suma-Siocia, ku harap kau suka tinggal di Kelenteng ini untuk sementara waktu sampai Ayahmu sudah bertemu dengan aku. Aku bukanlah orang rendah yang hendak menyusahkan dan mengganggumu, dan percayalah, aku melakukan ini karena sangat terpaksa. Kalau Ayahmu tidak berlaku curang dan pengecut, mungkin kau dan aku selamanya tak pernah bertemu muka. Agaknya memang telah menjadi nasibmu harus ikut merasakan dosa-dosa Ayahmu!”

Sin Wan lalu meninggalkan gadis itu kepada kedua Nikouw yang terheran-heran sekali mendengar kata-katanya. Gadis itu hanya menangis sedih dan segera dihibur oleh kedua Nikouw itu dan dibawa kekamar mereka.

Sementara itu, Sin Wan dengan hati sangat gelisah menanti-nanti kembalinya Giok Ciu. Ia duduk dalam kamarnya, lalu keluar untuk melihat apakah gadis itu telah kembali, kemudian kembali ke kamar dan duduk lagi. Ia gelisah sekali karena setelah ditunggu sampai sore, belum, juga Giok Ciu kembali!

Setelah hari menjadi gelap dan bintang-bintang malam mulai tampak menghias langit hitam, kegelisahan Sin Wan memuncak dan ia tidak sabar untuk untuk menanti lebih lama. Giok Ciu pasti terkena bencana, pikirnya dengan hati cemas dan tercampur mendongkol. Pembalasan dendam belum berhasil, telah ditambah lagi dengan lenyapnya Giok Ciu!

Ia segera meninggalkan Kelenteng setelah berpesan kepada kedua Nikouw agar menjaga Suma-Siocia baik-baik, dan langsung menuju ke dalam kota. Ia berdiri lama sekali di tempat persembunyian siang tadi, tapi di situ sunyi senyap.

“Kemanakah ia harus mencari jejak Giok Ciu?”

Ia lalu meloncat naik ke atas genteng dan menuju ke gedung Suma-Cianbu dari mana tadi ia menculik Suma-Siocia. Disitupun sunyi saja, bahkan gedung di bawah itu gelap sama sekali, menunjukkan bahwa pada saat itu tidak ada penghuni. Tentu bangsat tua she Suma itu telah pergi ke lain tempat, pikirnya gemas.

Apakah betul-betul bangsat itu demikian kejam dan tega terhadap puteri sendiri sehingga tidak hendak menolong? Apakah ia hendak mengorbankan puterinya untuk keselamatan jiwa sendiri? Pada saat ia berdiri termenung di atas genteng, tiba-tiba dari arah kiri tampak berkelebat bayangan orang dengan gerakan sangat gesit. Begitu tiba dekat Sin Wan, bayangan itu bertanya,

“Apakah kau mencari Kwie Lihiap?”

Terkejutlah Sin Wan mendengar ini, dan cepat ia mencabut Pek Liong Pokiam dari pinggangnya dan membentak, “Bangsat rendah, hayo katakan dimana kalian sembunyian Kwie Giok Ciu!”

Bayangan itu yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan dan putih, tersenyum. “Sebelum aku menjawab, marilah kita main-main sebentar!”

Dan ia lalu mencabut keluar sebatang pedang dan menyerang Sin Wan yang menjadi marah sekali dan menangkis dengan pedangnya. Terdengar bunyi...

“Trang!!” dan bunga api bepercikan ketika kedua pedang itu berardu dengan kerasnya.

Sin Wan terkejut karena ternyata bahwa senjata lawannya juga sebatang pedang pusaka yang kuat dan tajam, juga ketika kedua pedang bertemu. Ia merasakan betapa telapak tangganya tergetar karena tenaga lawannya tidak lemah! Sebaliknya pemuda muka putih itu mengeluarkan suara kagum karena ia merasa telapak tangannya perih dan hampir saja pokiam yang dipegangnya terpental! Mereka lalu saling serang dengan hebatnya.

Setelah bertempur puluhan jurus, tahulah Sin Wan bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Bu-Tong-Pai, tapi yang telah memiliki kepandaian asli hingga gerakan-gerakannya sangat sempurna dan hebat. Diam-diam ia mengeluh karena kalau fihak musuhnya mempunyai orang-orang yang seperti ini kepandaiannya, maka makin sukarlahnya untuk membalas dendam.

Memang ilmu pedang Bu-Tong mempunyai keistimewaan dalam membela diri, hingga pedang pemuda muka putih itu diputar sedemikian rupa bagaikan benteng baja yang amat kuat. Akan tetapi kali ini ia menghadapi Sin Wan, pemuda yang telah meyakinkan Sin-Liong Kiam-Sut yang tiada bandingnya di dunia ini, ditambah pula telah mempelajari Pek Liong Kiam-Sut, maka desakan-desakannya membuat pemuda ahli Bu-Tong-Pai itu repot juga.

Sin Wan mainkan gerakan Sin-Liong Kiam-Sut di bagian yang paling sulit dilawan, yakni Sin-Liong Koan-Jit atau Naga Sakti Menutupi Matahari. Tubuhnya yang memiliki ginkang tinggi itu berkelebat ke atas dan bawah demikian cepatnya, didahului dengan gerakan pedang yang menyambar-nyambar merupakan sinar putih menyilaukan dan setiap saat mengancam hendak menembus dan membobolkan benteng baja dari pedang pemuda muka putih itu!

Kali ini benar-benar pemuda muka putih itu kewalahan dan hampir saja ia tak dapat bertahan lagi, maka cepat ia berseru, “Bun Taihiap, tahan dulu!” lalu ia meloncat ke belakang berjumpalitan dengan gerak tipu Ular Air Menerjang Ombak.

Sin Wan menahan serangannya dan memandang dengan mata tajam dan marah di tahan-tahan. “Kau mau apa?” tanyanya dengan ketus.

Heran sekali, pemuda itu agaknya tidak mengambil sikap bermusuhan, sebaliknya bahkan tertawa. “Bun-Taihiap, sungguh hebat Pek Liong Kiam-Sut yang kau mainkan! Setelah bertempur kurang lebih seratus jurus, aku Gak Bin Tong mengaku kalah! Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan tadi.”

“Eh, apa artinya kata-katamu semua ini? Jangan kau bermain-main didepanku, aku sedang sibuk!” Sin Wan menegur gemas.

Pemuda muka putih itu segera angkat tangan menjura. “Maaf, Taihiap, sebetulnya aku tadi hanya ingin mencoba kelihaianmu saja. Aku bukan musuhmu, jika kau tidak percaya, hendak kubuktikan sekarang. Bukankah kau sedang mencari-cari kawanmu yang lenyap?”

“Ya, dimanakah dia? Tahukah kau apa yang telah terjadi dengan Kwie Lihiap?”

“Dia telah tertawan,” kata Gak Bin Tong.

Terkejutlah Sin Wan mendengar ini. “Tertawan? Ah, rasanya tak mungkin!”

Gak Bin Tong tersenyum mengejek. “Memang kau dan kawanmu itu sudah cukup pantas untuk bersikap jumawa, tapi ingatlah, di dunia ini masih banyak sekali orang yang terlebih pandai daripada kita. Kwi Kai Hoatsu kebetulan datang dan apa yang tidak mungkin baginya? Sumoimu itu mudah saja tertawan olehnya.”

“Kwi Kai Hoatsu, siapakah itu? Dan bagaimana bisa tertawan olehnya?” Sin Wan bertanya cepat.

“Kwi Kai Hoatsu adalah jago nomor tiga dari Tibet yang memiliki kepandaian hebat dan tinggi sekali. Juga ia pandai ilmu sihir yang sukar sekali dilawan. Aku melihat sendiri tertawannya kawanmu siang tadi. Beginilah...”

Gak Bin Tong lalu menceritakan apa yang telah dilihatnya siang tadi. Ketika Sin Wan lari mengejar Suma-Cianbu yang melarikan diri, Giok Ciu memutar Ouw Liong Pokiam di tangannya lebih cepat lagi untuk mencegah orang-orang itu mengejar Sin Wan dan membela Suma-Cianbu.

Memang gadis ini lincah sekali gerakannya dan ketika ia memainkan silat pedang di bagian Ouw Liong Ciong-Thian atau Naga Hitam Terjang Langit, sebentar saja dua orang pengeroyoknya telah roboh mandi darah. Kemudian ia maju terus menghadapi pengeroyoknya yang tinggal empat orang lagi, yakni Liong-San Kui-Bo si wanita baju hijau, dan ketiga pahlawan lain yang berkepandaian tinggi, termasuk Liang Ging Tosu yang bersenjata tongkat baja. Biarpun dikeroyok empat, namun Giok Ciu masih berada difihak penyerang dan keempat musuhnya hanya dapat menangkis dan berkelit saja!

Tak lama lagi tentu keempatnya akan dapat dirobohkan oleh gadis yang konsen itu. Tapi pada saat itu, datanglah seorang Pendeta berjubah merah yang tubuhnya tinggi sekali, matanya lebar bundar dan hidungnya seperti pelatuk burung kakatua. Tosu ini memegang sebatang tongkat aneh.

Karena tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular cobra yang telah mati dan dikeringkan, dengan bagian lehernya berkembang mengerikan, sedangkan di punggu Tosu itu terselip sebatang hudtim atau kebutan dengan bulu berwarna hitam. Tosu ini datang dengan tindakan lebar, dan di sebelahnya terdapat seorang laki-laki yang berpakain serba mewah dan bertopi indah terhias permata. Laki-laki ini usianya paling banyak empat puluh tahun dan dari topinya ternyata bahwa ia adalah seorang pangeran!

Ia datang sambil naik seekor kuda yang tinggi besar dan berbulu putih. Biarpun kudanya lari cepat, namun Tosu itu yang tampak berjalan seenaknya, ternyata tidak ketinggalan. Ini saja membuktikan kelihaian Tosu aneh itu. Melihat betapa seorang gadis dengan hebatnya mengurung keempat pahlawan Kaisar dengan sinar pedangnya yang berwarna hitam, pangeran itu berkata,

“Gadis cilik manakah yang berani main gila disini?”

Tosu itu lalu tertawa besar dan berkata, “Kalian mundurlah, biarkan Pinto menangkapnya!” Setelah berkata begini, Tosu itu meloncat dan tahu-tahu telah menghadang di depan Giok Ciu. Gadis ini terkejut melihat gerakan orang yang demikian cepat, tapi ia tidak jerih dan memutar pokiamnya dengan gerakan Ouw Liong Ciauw-Hai atau Naga Hitam Lintasi Laut, langsung menyerang dengan tusukan maut ke dada Tosu itu.

Tosu itu cepat-cepat berkelit ke kiri dan berbareng ulur tangan kanannya yang berbulu hitam itu untuk menangkap lengan Giok Ciu yang memegang pedang, tapi siapa sangka, begitu tusukannya dapat dikelit, Giok Ciu teruskan serangannya dengan gerakan Naga Hitam Caplok Ekornya. Pedangnya lalu berbalik dan menablas tangan Tosu yang hendak mencengkeram lengannya itu!

Tosu itu berseru heran dan terkejut. Tak disangkanya bahwa kiam-hwat gadis ini sedemikian lihainya hingga kalau tidak ia buru-buru meloncat ke belakang dan menarik kembali lengannya, tentu lengan itu telah terbabat putus! Diam-diam ia mengeluarkan keringat dingin dan kini ia tahu bahwa gadis ini adalah murid seorang sakti yang tidak boleh dibuat main-main lagi.

Ia lalu memindahkan tongkat ular yang tadinya dipegang di tangan kiri, ke tangan kanan, lalu dengan tongkat aneh itu ia melayani Giok Ciu. Karena kulit ular cobra yang menjadi tongkat itupun berwarna ke hitam-hitaman, maka kini tampak dua sinar hitam saling serang dengan hebatnya!

Betapapun hebat gerakan dan senjata Tosu itu, namun menghadapi Ouw Liong Pokiam yang dimainkan dengan sedemikian luar biasanya oleh Giok Ciu, Tosu itu tidak dapat berbuat banyak. Bahkan ia harus berlaku hati-hati sekali, karena kalau tidak, banyak kemungkinan tongkat ular senduk itu akan terbabat putus oleh Ouw Liong Pokiam!

Tosu itu adalah Kwi Kai Hoatsu, seorang paderi di Tibet yang telah diusir pergi oleh kaum Lama karena paderi ini ternyata bukanlah orang suci seperti seharusnya seorang Pendeta, dan dalam tingkat kepandaian. Ia boleh dibilang menduduki tingkat ke tiga di seluruh Tibet. Ia bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, ialah Pendeta Tibet yang dulu membunuh Kwie Cu Ek, Ayah Giok Ciu!

Tapi dibandingkan dengan Cin Cin Hoatsu, Kwi Kai Hoatsu lebih lihai. Sebetulnya dalam hal lweekang atau ginkang, Giok Ciu masih belum dapat menyamai Kwi Kai Hoatsu yang lihai, tapi karena gadis itu memegang sebuah pedang keramat yang sangat ampuh, pula memainkan ilmu pedang yang benar-benar menjagoi di seluruh kalangan persilatan pedang, maka untuk beberapa lama Tosu itu tidak berdaya. Sebaliknya Giok Ciu juga merasa lelah karena lawannya ini benar-benar tangguh.

Setelah mereka bertempur hampir seratus jurus dan belum juga dapat merobohkan gadis itu, Kwi Kai Hoatsu merasa penasaran dan malu sekali. Ia merasa kehilangan muka di depan para pahlawan, terutama di depan pangeran yang tadi datang bersama-sama dia dan kini masih menonton di atas kudanya, ia merasa betapa nama besarnya dipermainkan oleh gadis cilik ini. Karena itu maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulut ular yang telah menjadi tongkat itu menyambar keluar asap hijau ke arah muka Giok Ciu!

Pada saat itu, Kwi Kai Hoatsu sedang menyerang dengan pukulan ke leher Giok Ciu dan Giok Ciu hanya miringkan kepala berkelit maka ketika tiba-tiba mulut ular itu mengeluarkan uap hijau, ia tak dapat berbuat lain kecuali membuang diri kebelakang. Tapi terlambat, karena ia telah mencium bau yang amis sekali dan tiba-tiba kepalanya menjadi pening, matanya berkunang-kunang. Kemudian, dengan pekik nyaring, gadis gagah itu roboh pingsan dengan pedang masih terkepal erat di tangannya!

“Nah, demikianlah, Kwie Lihiap tertawan oleh mereka dan dibawa pergi.” Gak Bin Tong mengakhiri ceritanya kepada Sin Wan.

Sin Wan marah sekali, kedua matanya mengeluarkan cahaya api dan giginya berbunyi. Kemudian ia dapat menekan perasaan cemasnya, lalu ia menjura kepada Gak Bin Tong.

“Maafkan sikapku yang kasar tadi, saudara. Sebetulnya dengan siapakah aku berhadapan? Dan mengapa kau agaknya membela kami?”

Gan Bin Tong membalas hormatnya, “Aku adalah Gan Bin Tong dan aku terpaksa menggabungkan diri dengan para pahlawan Kaisar, karena Ayahku adalah seorang pembesar di istana, tapi semenjak kecil aku belajar di Bu-Tong-San dan baru beberapa bulan kembali ke sini. Aku suka melihat sepak terjangmu dan sepak terjang Kwie Lihiap, karena aku tahu bahwa kalian hanya datang untuk menuntut balas, sekali-kali bukan maksud kalian untuk memberontak atau mengacau. Sekarang, marilah kita tolong Kwie Lihiap.”

“Apa dia tidak apa-apa? Dimana dikeramnya?” Sin Wan bertanya dengan hati memukul.

“Tenanglah, ia tidak apa-apa dan kalau tidak salah, ia dibawa oleh Pangeran Lu ke gedungnya.”

“Pangeran Lu? Siapakah dia?”

“Pangeran Lu Boh Ong adalah murid dari Kwi Kai Hoatsu, kepandaiannya lumayan juga, dan ia sangat disayang oleh Suhunya karena pangeran Lu pandai mengambil hati dan menguruk diri Kwi Kai Hoatsu dengan segala kesenangan dan harta benda.”

“Kalau begitu, mari kita segera berangkat. Biar kau serahkan saja pangeran anjing itu kepadaku,” kata Sin Wan.

“Sabar, kawan. Kita harus menggunakan siasat, karena ketahuilah bahwa Kwi Kai Hoatsu menjaga gedung itu.”

“Siapa takuti dia?” kata Sin Wan gagah.

“Memang kau tak perlu takuti dia, tapi ia benar-benar lihai dan ilmu sihirnya berbahaya sekali. Lebih baik diatur begini. kau menyerbu ke dalam gedung dan aku akan ajak Tosu itu bercakap-cakap, karena aku sudah kenal padanya dan sering bercakap-cakap atau main catur dengan dia.”

Sin Wan girang sekali dan dia menjabat tangan kawan baru itu dengan berterima kasih. Kemudian mereka lalu berangkat dan bergerak cepat sekali di atas genteng. Biarpun dalam hal ilmu lari cepat Gak Bin Tong masih jauh di bawah kepandaian Sin Wan, namun pemuda muka putih itu tidak tertinggal jauh.

Ketika mereka tiba di sebuah gedung besar dan megah, Gak Bin Tong memberi tanda kepada Sin Wan supaya berhati-hati. Pertama-tama mereka menuju ke kamar di sebelah kiri. Begitu mereka menginjak genteng, tiba-tiba dari bawah terdengar bentakan.

“Siapa di atas?”

Terkejutlah Sin Wan melihat kelihaian orang di bawah yang segera mengetahui bahwa di atas genteng ada orang! Ia tidak tahu bahwa memang di bawah genteng dipasangi alat hingga jika genteng itu terpijak sedikit saja, maka akan ada tanda di dalam kamar itu. Gak Bin Tong segera menjawab,

“Bukan lain orang, Totiang, aku Gak Bin Tong hendak bercakap-cakap dengan kau orang tua!”

Pemuda muka putih itu segera memberi tanda kepada Sin Wan untuk meloncat ke bagian lain, sementara ia sendiri meloncat untuk bertemu dengan Kwi Kai Hoatsu yang lihai.

Sin Wan segera memeriksa gedung itu dengan hati-hati sekali. Ketika ia memeriksa bagian belakang gedung itu, terdengar suara orang berkata-kata dengan suara marah. Ia girang sekali karena kenal suara ini sebagai suara Giok Ciu. Cepat Sin Wan membuka genteng dan mengintai ke dalam. Ternyata Giok Ciu tampak duduk di atas sebuah pembaringan dengan wajah pucat bagaikan seorang yang baru sembuh dari sakit.

Ternyata bisa yang tersembur dai mulut tongkat ular dan yang telah kena tercium olehnya itu berbahaya sekali dan setelah minum obat penawar dari Kwi Kai Hoatsu, barulah jiwa Giok Ciu tertolong. Sebetulnya, biarpun tidak minum obat penawar, belum tentu gadis itu akan terbinasa, karena di dalam tubuhnya telah mengalir pengaruh mujijat dari buah-buah yang dulu ia makan didalam gua ular. Tentu saja ia sendiri maupun Kwi Kai Hoatsu tidak mengetahui hal ini.

Setelah Giok Ciu sadar, maka Pendeta yang lihai itu lalu menotok urat jalan darah gadis itu bagian Koan-Goan-Hiat, hingga biarpun Giok Ciu telah kembali kesehatannya, namun tenaganya lumpuh dan ia tidak berdaya. Kalau tidak mendapat pertolongan untuk memunahkan pengaruh totokan itu, ia harus menanti tiga hari baru tenaganya akan pulih dan totokan itu akan lenyap pengaruhnya sendiri.

Ia telah kerahkan tenaganya tapi karena totokan itu memang lihai, ia tidak bisa gerakkan lweekangnya hingga sia-sia saja usahanya untuk melepaskan totokan. Sin Wan sekejab saja tahu bahwa Giok Ciu berada dibawah pengaruh totokan, maka hatinya menjadi marah sekali. Tapi ia masih menahan sabar karena ia harus bertindak hati-hati. Ia melihat bahwa pada saat itu, seorang pelayan wanita sedang membujuk gadis itu yang dijawab dengan makian dan cacian sehingga pelayan itu menjadi kewalahan.

Pada saat Sin Wan hendak meloncat turun, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seorang laki-laki berpakaian mewah dan indah berjalan masuk. Laki-laki itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, lagaknya dibuat-buat dan ceriwis sekali. Sepasang matanya yang kekuning-kuningan itu berminyak dan memandang kepada Giok Ciu dengan kurang ajar.

“Aah, Siocia, bagaimana rasanya tubuhmu? Sudah sehat kembali, bukan? Sukurlah...” Kata laki-laki itu kepada Giok Ciu yang tidak menjawabnya, tapi memandang dengan tajam dan marah.

“Siocia telah berkali-kali kukatakan tak perlu kau melawan kami, karena di kota raja banyak sekali terdapat pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa dan orang-orang berilmu tinggi. Dan lagi, apakah perlunya mengacau dan memberontak? Usahamu akan sia-sia belaka, bahkan nyawamu akan tak tertolong. Bukankah sayang sekali kalau orang seperti kau yang semanis dan semuda ini mengorbankan jiwa dengan sia-sia?”

Suara bujukan yang manis ini bahkan menambah marah hati Giok Ciu. “Siapa yang perduli omonganmu yang kosong? Aku datang hendak membunuh bangsat she Suma itu dan kawan-kawannya! Apa hubungannya dengan kau?”

“Itulah yang salah sekali, Suma-Cianbu adalah seorang berjasa di istana, dan yang dibunuh olehnya dulu adalah para pemberontak negara. Mana bisa kau sekarang datang-datang hendak membunuhnya? Itulah yang disebut mengapa kau memberontak mengacau. Sudahlah, kau menyerahlah saja dengan baik-baik. Kalau kau berjanji hendak menyerah dan tidak mengamuk lagi, aku Lu Boh Ong akan menanggung dan membelamu. Percayalah kepada Pangeran Lu!”

“Sudahlah kau jangan banyak mengobrol di depanku. Tunggu saja, kalau kawanku datang, kau pasti akan mendapat hadiah ujung pedangnya!”

Lu Boh Ong tertawa bergelak-gelak. “Kawanmu? Ha ha ha, jangan ngelindur! Kawanmu itu telah mati di tangan para pahlawan. Tubuhnya sudah dihancur leburkan, maka jangan kau menanti sia-sia!”

Sehabis berkata demikian, pangeran ceriwis itu bertindak mendekat dan hendak memeluk Giok Ciu. Gadis itu biarpun telah lumpuh karena totokan, tidak sudi didekati pangeran itu, maka ia bergerak, berdiri dan hendak meloncat. Tapi tubuhnya menjadi limbung dan ia roboh!

Terdengar pangeran itu tertawa besar dan pada saat itu Sin Wan dengan gemasnya telah meloncat ke dalam kamar. Kaget sekali Pangeran Lu itu melihat seorang pemuda dengan pedang berkilau putih di tangan tahu-tahu telah berada di situ. Ia segera menyambar sebatang pedang yang memang tersedia di punggungnya dan cepat bagaikan seekor harimau ia menubruk ke arah Sin Wan....



BERSAMBUNGKE JILID 06





















Teruma kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12