Friday, October 5, 2018

Cerita Silat Serial Kisah Sepasang Naga Jilid 04



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Kisah Sepasang Naga

                 Jilid 04


Pertapa ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyerang dan tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa aneh dan menyeramkan. Baru beberapa puluh jurus saja Kwie Cu Ek telah terdesak hebat oleh pukulan-pukulan ujung lengan baju yang mantap dan luar biasa.

Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu juga terkepung hebat dan berada dalam keadaan berbahaya sekali karena lawan mereka yang berjumlah banyak tidak mau memberi kelonggaran dan terus merangsek hebat. Kwie Cu Ek menyesal telah berlaku semberono hingga membahayakan jiwa Sin Wan dan Giok Ciu. Ia menjadi bingung karena pasti mereka bertiga akan segera dirobohkan. Tiba-tiba ia berteriak keras,

“Sin Wan dan Giok Ciu, larilah! Biar aku menjaga mereka!”

Mendengar perintah ini, Sin Wan dan Giok Ciu menurut. Segera pedang mereka diputar hebat dalam gerakan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut hingga mereka dapat menahan desakan senjata-senjata pengeroyok mereka, kemudian dengan cepat tubuh mereka melayang ke atas genteng!

Tapi pada saat itu mereka mendengar suara Kwie Cu Ek berseru keras dengan marah bagaikan seekor harimau terluka dan ketika kedua anak muda itu memandang ke bawah. Tak terasa pula mereka menjerit karena melihat betapa Kwie Cu Ek kena dihantam oleh ujung lengan baju Cin Cin Hoatsu yang hebat gerakannya itu!

Kwie Cu Ek terlempar beberapa kaki jauhnya tapi si Harimau Terbang yang gagah itu biarpun telah mendapat luka hebat di dalam dadanya, pedang di tangannya masih terpegang erat-erat dan ketika tubuhnya jatuh menimpa tanah. Ia menggerakkan tangannya dan pedang itu secepat kilat meluncur ke arah tenggorokan Cin Cin Hoatsu!

Inilah gerakan yang dinamai Rajawali Sakti Mengejar Maut, gerak tipu terakhir dari Sin-Tiauw Kiam-Sut yang hebat luar biasa itu. Kalau saja yang diserang bukan Cin Cin Hoatsu, orang berilmu tinggi dari Tibet yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki ketenangan luar biasa, tentu akan putuslah lehernya. Tapi Cin Cin Hoatsu dalam keadaan berbahaya itu masih sempat menyabet dengan ujung lengan bajunya.

“Srettt!” Putuslah ujung lengan baju itu.

Tapi pedang Kwie Cu Ek melayang kesamping dan terus menancap sampai menembus dada pengeroyok yang tidak ada kesempatan berkeliat lagi. Orang itu berteriak ngeri dan terdengarlah suara Kwie Cu Ek tertawa menyeramkan, menertawakan korbannya dan juga menertawakan Cin Cin Hoatsu yang terpotong ujung lengan bajunya.

Pertapa tua dari Tibet ini merasa gemas dan marah sekali. Ia meloncat ke tempat Kwie Cu Ek dan dengan sekali tendang saja putuslah nyawa Kwie Cu Ek tanpa dapat berteriak lagi. Kwie Giok Ciu memekik ngeri dan ia meloncat terjun dengan maksud hendak berkelahi dengan nekad dan mati-matian. Tapi Sin Wan cepat menyambarnya dan menariknya kembali ke atas genteng.

“Koko, lepaskan! Lepaskan aku!!” Giok Ciu menjerit-jerit dengan air mata bercucuran, tapi Sin Wan tetap tidak mau melepaskannya.

Pada saat itu dari belakang mendatangi tiga bayangan orang yang cepat gerakannya dan terdengar suara orang berkata, “Jiwi Enghiong, lekas lari, biar kami yang menahan mereka.”

Sin Wan melihat wajah seorang setengah tua dan dua orang lain adalah orang-orang tua yang gagah. Ia tahu itu tentu orang-orang gagah yang sering memusuhi para durna dan kaki tangannya, maka ia segera betot tangan Giok Ciu.

“Moi-moi, hayo kita pergi. Mudah lain kali kita datang membalas sakit hati.”

“Tidak! Tidak! Biarkan aku mati bersama Ayah!”

“Giok moi jangan bodoh! Mereka bukan lawan kita.”

Tiba-tiba Giok Ciu merenggut tangannya hingga terlepas dari pegangan Sin Wan. “Kau… kau... takut?? Kau hendak membiarkan dan meninggalkan Ayah yang mengorbankan jiwanya untukmu??”

Sin Wan mengertakan gigi dan memandang dengan mata bersinar. “Giok Ciu, kau anggap aku seorang macam apakah? Aku mengajak kau pergi bukan karena takut, tapi karena memenuhi kehendak dan maksud Ayahmu. Tadi kita telah berlaku sembrono sekali. Musuh terlampau kuat, untuk apa kita korbankan diri dengan sia-sia? Untuk apa kita mati kalau belum dapat membalas dendam? Lebih baik kita mencari daya upaya lain.”

“Tapi aah…”

“Sudahlah! Kalau kau ingin mati bersama, hayo kita turun lagi!” Akhirnya Sin Wan berlaku nekad juga dan hendak terjun. Tapi kini datang lebih banyak orang gagah yang mencegah mereka.

“Lie Enghiong, kawanmu ini berkata benar! Pihak mereka kuat sekali, kita bukan lawan mereka. Soal jenasah Ayahmu itu, biarlah kami yang akan mengurusinya dan akan berusaha mengambilnya..."

Karena sedih, marah, bingung dan tak berdaya, Giok Ciu menjerit keras dan jatuh pingsan dalam pelukan Sin Wan. Pada saat itu dari bawah melayang naik orang-orang dengan senjata di tangan dan sebentar lagi terjadi pertempuran seru di antara mereka dengan para Ho-han yang menyerbu. Tapi karena Cin Cin Hoatsu berada disana, para penyerbu itu terpaksa lari lagi setelah berhasil membawa serta jenasah Kwie Cu Ek.

Sin Wan yang memondong tubuh Giok Ciu, lari cepat keluar dari kota itu menuju ke Kam-Hong-San kembali. Setelah sadar, Giok Ciu menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan memanggil-manggil nama Ayahnya. Sin Wan hanya dapat menghiburnya, tapi tak terasa ia sendiri mengalirkan air mata. Di samping merasa bersedih ia mengertakan giginya karena gemas dan marahnya.

Alangkah besarnya sakit hati ini. Kematian Ibu dan Kakeknya belum juga terbalas, kini ditambah lagi dengan kematian Kwie Cu Ek yang menjadi pembela, guru dan juga calon mertuanya! Dan musuhnya telah bertambah satu orang lagi, yaitu Cin Cin Hoatsu yang konsen dan sakti. Bagaimana juga pada suatu waktu, aku harus dapat membasmi mereka itu, demikian Sin Wan mengambil keputusan.

“Moi-moi, sudahlah jangan kau terlalu bersedih. Mari kita kembali ke tempat tinggal kita untuk memperdalam ilmu silat dan untuk mencari jalan bagaimana kita dapat membalas dendam ini.”

Tapi Giok Ciu makin hebat tangisnya. “Aku… Aku kini... sebatang kara...”

Karena terharu, Sin Wan tak terasa lagi memegang pundak Giok Ciu dan menghibur. “Moi-moi, bukankah masih ada aku? Aku juga sebatang kara, hidupku seorang diri di dunia ini, tapi aku masih merasa bahagia karena... Ada engkau, Giok Ciu. Bukankah kita masih bersama-sama...?”

Dalam usahanya menghibur Giok Ciu, Sin Wan berlutut di samping gadis itu dan Giok Ciu memandang wajah Sin Wan melalui air matanya, kemudian tak terasa lagi gadis itu perdengarkan sedu sedan dan menubruk Sin Wan. Mereka dalam keharuan hati masing-masing lalu saling peluk karena merasa betapa di dalam di dunia ini hanya ada seorang yang dapat diandalkan dan dapat ditumpangi diri, yakni orang yang dipeluknya.

Tapi setelah gelora keharuan hatinya mereda, Giok Ciu teringat bahwa ia sedang saling peluk dengan Sin Wan, maka buru-buru ia dorong tubuh pemuda itu hingga hampir jatuh terjengkang! Dengan muka merah karena jengah, Giok Ciu memandang wajah Sin Wan dan ketika melihat pandang mata pemuda itu juga menatapnya. Ia buru-buru tundukkan muka dengan rasa malu sekali. Kemudian ia mengangkat kaki dan meloncat jauh sambil berkata,

“Hayo kita melanjutkan perjalanan kita.”

Sin Wan maklum akan keadaan gadis itu, maka iapun tidak mau mengganggunya lagi, hanya meloncat mengejar dan mereka cepat sekali lari menuju Kam-Hong-San. Sin Wan mengajak Giok Ciu singgah di kampungnya untuk bersembahyang di depan makam Ibu dan Kakeknya. Disitu kedua anak muda itu kembali ulangi sumpah mereka untuk berusaha membelas dendam. Kemudian Sin Wan mengajak Giok Coi menemui orang-orang kampung yang menyambut Sin Wan yang telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah dan mereka makin kagum melihat kawannya yang cantik jelita dan bersikap gagah pula.

Karena merasa senang bertemu dengan kawan-kawan lama, Sin Wan dan Giok Ciu bermalam disitu. Sin Wan menceritakan tentang usahanya membalas dendam yang gagal bahkan telah kehilangan pula Ayah Giok Ciu. Orang-orang kampung mendengar penuturannya ini dengan gemas, sementara Giok Ciu menahan-nahan kesedihannya dengan menggigit bibir.

Gadis ini selalu membayangkan keadaannya dan memikirkannya tiada habisnya, dimanakah makam Ayahnya. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali ia melari dan kembali ke kota Wie-Kwan, tapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya, karena selain sia-sia dan belum tentu dapat menemukan apa yang dicarinya, juga sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya karena kota itu penuh dengan kaki tangan dan mata-mata Suma-Cianbu yang telah mengenalnya.

Karena itulah maka ia bersabar dan mengambil keputusan untuk mempergiat pelajaran silatnya hingga beberapa lama lagi, setelah mendapat kemajuan pesat, bersama Sin Wan pergi membalas dendam. Masih banyak ilmu silat yang mereka telah pelajari tapi belum dilatih masak-masak. Bahkan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut yang belum lama dipelajari juga belum dikuasai baik-baik dan perlu latihan yang lama dan rajin.

Setelah tinggal tiga hari di kampung itu, Sin Wan dan Giok Ciu lalu meninggalkan kampung itu dan menuju ke tempat tinggal Giok Ciu, karena mereka menganggap tempat itu lebih aman dan tersembunyi sehingga mereka dapat melatih silat tanpa menderita gangguan. Ketika mereka sedang berjalan perlahan mendaki bukit, tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang.

Mereka menahan tindakan kaki mereka dan berpaling. Alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa dengan cepat sekali, dari bawah bukit lari mengejar Cin Cin Hoatsu, Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto! Mereka itu mengejar sambil berteriak-terik dan Cin Cin Hoatsu telah berada dekat karena Pendeta Tibet ini larinya cepat sekali.

“Celaka, moi-moi. Kita lari saja, percuma melawan. Hayo kita lari cepat.”

Kedua anak muda itu lari secepat mungkin ke atas puncak, tetapi karena kepandaian ilmu lari cepat mereka masih kalah jika dibanding dengan Cin Cin Hoatsu, makin lama pengejar itu makin dekat jaraknya. Karena gugup dan bingung, Sin Wan dan Giok Ciu tanpa sengaja tiba di tempat yang selalu menjadi kenangan mereka, yaitu di dekat Sumur Naga dimana mereka dulu terjatuh.

“Mari kita masuk saja!” Sin Wan mengajak dan tanpa ragu-ragu lagi keduanya meloncat ke dalam sumur yang tertutup kabut tebal itu!

Mereka turun dengan selamat dan kaki mereka menyentuh pasir. Ternyata, keadaan sumur itu tidak berubah, dan ketika mereka berpaling, ternyata batu-batu cadas yang berbentuk kepala naga itu masih tetap ada. Tetapi alangkah terkejut mereka ketika mereka tiba-tiba melihat bahwa di sudut dekat batu naga itu terdapat seorang Kakek yang tua sekali duduk bersila di atas pasir sambil meramkan mata.

Kakek tua itu tubuhnya kurus kering bagaikan tengkorak hidup, rambutnya putih panjang terurai ke belakang punggungnya yang telanjang. Tubuh bagian bawah tertutup celana pendek yang lebar dan Kakek itu bersila dengan cara yang aneh. Kaki dan tubuhnya bersila seperti biasa dengan telapak kaki menghadap ke atas dan tertumpang di kedua paha, tetapi anehnya ia tidak duduk seperti biasa. Tubuhnya tidak terletak di atas tanah, karena tangan kirinya melalui renggang kakinya ditekannya ke atas pasir sehingga mengganjal tubuhnya yang terkatung-katung tidak menempel tanah sedikitpun.

Tangan Kakek itu diletakkan di atas pangkuan. Dapat dibayangkan kekuatan tangan kirinya yang menahan tubuh itu tanpa bergerak sedikitpun, seakan-akan tangan dan lengan itu berubah menjadi benda mati yang didudukinya. Karena maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang berilmu tinggi, Sin Wan dan Giok Ciu segera berlutut di hadapan Kakek itu sambil berkata,

“Mohon beribu maaf bahwa tanpa disengaja teecu berdua telah berani mengganggu kepada Lo-Cianpwe.”

Tapi Kakek itu sedikitpun tidak bergerak dan tidak menjawab. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka kaget sekali karena Kakek itu tiada ubahnya seperti patung batu mati. Bahkan pada perut dan dadanya yang telajang itu tiada tampak tanda-tanda pernapasan! Sudah mati dan membatukah tubuh Kakek ini? Pada saat mereka masih ragu-ragu, tiba-tiba dari atas sumur itu terdengar bentakan Cin Cin Hoatsu,

“He, pemberontak-pemberontak muda, masih hidupkah kalian? Kalau masih hidup, naiklah dengan damai dan Pinto takkan membunuhmu!”

Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tempat persembunyiannya ditemukan oleh pengejar-pengejar mereka, tapi mereka diam saja dan tetap berlutut di depan Kakek itu. Terdengar makian di atas sumur dan kini terdengar suara Suma-Cianbu.

“Binatang-binatang yang berada di dalam sumur. Lekas keluar, kalau tidak kami akan menghujani batu dan anak panah!”

Sin Wan dan Giok Ciu kuatir sekali kalau-kalau ancaman ini dijalankan. Tetapi tiba-tiba Kakek yang disangkanya patung mati itu bergerak dan membuka matanya. Sin Wan dan Giok Ciu makin heran karena ketika terbuka, kedua mata itu hampir seluruhnya putih dan hanya sedikit hitamnya di tengah-tengah. Kakek itu masih menahan tubuhnya, lalu terdengar ia berkata perlahan,

“Kalian sudah lama datang? Syukur, memang aku telah menantimu.”

Pada saat itu dari atas sumur orang melempar batu kebawah yang hampir saja menimpa kepala Sin Wan, tapi pemuda itu menggunakan tangan menyabet sehingga batu itu terlempar disampingnya.

“Ah orang-orang itu sungguh-sungguh tak tahu aturan,” kata Kakek itu yang lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas.

Sin Wan dan Giok Ciu kaget sekali dan cepat menggeser tubuh mereka minggir karena dari tangan Kakek itu keluarlah angin pukuan yang berputar-putar naik ke atas sumur!

Tiba-tiba diatas sumur terdengar jeritan ngeri karena batu-batu dan anak-anak panah yang dilepas ke bawah, secara ajaib sekali tiba-tiba terbang kembali dan menghantam mereka yang tidak keburu berkelit! Beberapa orang anak buah Suma-Cianbu terkena batu dan anak panah mereka sendiri sehingga terluka dan berteriak-teriak kesakitan.

Cin Cin Hoatsu heran melihat keganjilan ini. Ia lalu menggunakan kedua lengan bajunya mengebut-ngebut ke dalam sumur sambil mengerahkan tenaga lweekangnya yang hebat. Dulu ketika melatih lweekang, ia menggunakan sumur untuk mencoba kekuatannya dan kalau ia menggerak-gerakkan tangannya ke dalam sumur, maka air di dalam sumur akan berombak dan bergolak makin keras sampai memercik keluar!

Kini menduga bahwa di dalam sumur ada apa-apa yang tidak beres, ia menggunakan tenaga lweekangnya itu untuk memukul ke bawah. Tetapi hampir saja ia berteriak karena kaget dan heran ketika merasa betapa tenaganya itu sebelum membentur dasar sumur, telah terpental kembali. Ia menarik kedua tangannya dan meloncat jauh agar tidak menjadi korban pukulannya sendiri! Wajahnya menjadi pucat, karena ia menyangka bahwa di dalam sumur itu tentu ada setannya karena mana mungkin ada orang yang dapat mengembalikan tenagan pukulannya secara demikian mudah dan luar biasa.

Melihat tiba-tiba Pendeta Tibet itu menjauhi sumur dengan wajah pucat, Suma-Cianbu bertanya, “Ada apakah, Lo-Suhu?”

Cin Cin Hoatsu malu untuk mengaku, maka ia hanya berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Kedua binatang kecil itu tentu telah mampus, karena sumur ini mengandung hawa beracun!”

Maka semua pengejar itu lalu kembali turun gunung dengan hati puas, karena mereka menyangka bahwa kini semua pengacau dan pemberontak berbahaya telah dapat ditumpas habis.

Sin Wan dan Giok Ciu yang berada di dalam sumur dapat mendengar semua percakapan di atas itu sehingga merasa kagum atas kesaktian Kakek aneh ini. Karena yakin bahwa yang berada di hadapan mereka tentu orang suci yang berilmu tinggi, maka Sin Wan menarik tangan Giok Ciu untuk maju dihadapan Kakek itu dan berlutut sambil mengangguk-angguk kepala.

Tiba-tiba Kakek itu tertawa, suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita tertawa tapi ketika ia bicara, suaranya berubah besar dan parau, “Kalian yang dulu masuk ke sini dan makan buah-buah itu sampai habis, bukan?”

Sin Wan menjawab, “Betul Lo-Cianpwe, mohon maaf jika teecu berdua mengganggu.”

“Kalian dikejar-kejar orang, sedangkan kepandaianmu cukup baik, mengapa tidak kalian lawan saja? Lari pergi tanpa melawan adalah kelakuan pengecut.”

“Teecu berdua tidak sanggup melawan mereka, Lo-Cianpwe. Kepandaian teecu masih terlampau rendah. Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe yang mulia,” kata Sin Wan.

“Jika Lo-Cianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid.” Kata Giok-Ciu dengan langsung karena ia telah yakin benar bahwa Kakek ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Kakek itu tertawa lagi dan mengangguk-angguk, tiba-tiba ia meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di dinding batu yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak dengan punggung menempel di batu!

“Bagus, bagus memang kalian yang berjodoh dengan aku. Memang kalian yang berjodoh dengan sepasang naga itu.”

Sin Wan terkejut mendengar ucapan ini. Sepasang naga yang mana? Agaknya dari atas, Kakek aneh itu dapat melihat keraguan dan keheranannya, maka ia segera meloncat turun dan berdiri di depan mereka.

“Kalian berdirilah!”

Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berdiri, mereka melihat betapa tubuh Kakek itu sebenarnya tinggi besar, hanya karena tubuhnya sama sekali tidak berdaging, maka tampak kurus kering. Yang mengherankan ialah warna segar kemerah-merahan pada kulit pipinya yang kurus itu dan biarpun manik matanya yang hitam itu kecil sekali, namun kalau bertemu pandang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa dari sepasang mata itu memancar dua sinar tajam dan berpengaruh.

“Mari kita masuk,” kata Kakek itu.

Berbeda dengan Sin Wan dan Giok Ciu yang dulu membuka pintu batu kepala naga itu dengan memutar-mutar kedua matanya, kini Kakek itu hanya menepuk sekali pada dinding itu. Tenaga tepukan itu biarpun hanya perlahan saja namun telah membuat dinding itu tergetar sehingga batu yang merupakan kedua mata naga itu bergerak-gerak dan pintu yang merupakan mulut naga itu terbukalah!

Ketika kedua orang muda itu mengikuti dan masuk, ternyata dua rangka ular yang besar itu tidak ada disitu pula, sebaliknya di pinggir dinding terdapat batu-batu yang bentuknya bundar dan licin. Kakek itu, segera menghampiri sebuah batu terbesar tapi yang paling kasar dan permukaannya tajam-tajam lalu ia duduk di atasnya dengan enak. Agaknya tubuh yang tak berdaging itu tidak merasa pula tusukan-tusukan batu yang kasar dan runcing.

“Nah, sekarang kalian boleh mengangkat guru padaku!”

Sin dan Giok Ciu saling pandang, kemudian keduanya maju berlutut sambil menyebut, “Suhu...!”

“Hai, tidak semudah ini! Berdirilah!”

Dan kedua anak muda itu merasa betapa tubuh mereka disendal ke atas sehingga terlempar tinggi, maka terpaka mereka menggunakan kepandaian mereka untuk turun dengan hati-hati dan berdiri memandang Kakek itu dengan terheran. Mereka lebih heran dan terkejut sekali ketika ternyata bahwa gerakan melempar Kakek tadi telah memberi kesempatan kepadanya untuk mengambil pedang mereka yang tergantung di punggung. Kini Kakek itu memegang kedua pedang itu di tangannya, melihatnya dengan mulut mengejek dan berkata,

“Pedang buruk, pedang buruk.” Sebelum mengerti harus berbuat apa, Kakek itu berkata kepada mereka.

“Ulur tangan kananmu!”

Sin Wan dan Giok Ciu mengulurkan tangan kanan dengan patuh. Tiba-tiba Kakek yang luar biasa itu lalu menggunakan pedang di tangan kiri kanannya untuk menusuk tangan Sin Wan dan Giok Ciu yang diulurkan. Kedua anak muda itu terperanjat sekali, tetapi mereka dapat menetapkan hati dan menaruh kepercayaan penuh kepada calon guru mereka, maka mereka melihat pedang itu dengan mata tak berkedip!

Ujung pedang itu walaupun di tusukkan dengan cepat dan kencang, ternyata hanya menusuk kulit tangan kedua anak muda itu sedikit saja, lalu cepat ditarik kembali. Di ujung kedua pedang tampak tanda merah yang ternyata adalah darah kedua anak muda itu. Juga di tangan mereka terdapat luka yang kecil sekali dan mengeluarkan sedikit darah. Jadi Kakek aneh itu ingin mengambil sedikit darah mereka diujung pedang masing-masing.

“Nah, sekarang dengan disaksikan oleh darahmu di ujung pedang, kalian harus bersumpah, yaitu jika kalian mempergunakann kepandaian yang kuajarkan untuk kejahatan, kalian akan binasa di ujung pedang!”

Sehabis berkata demikian, Kakek itu menyodorkan kedua pedang kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang menerimanya dengan hormat. Kemudian, kedua anak muda itu sambil memegang pedang dengan kedua tangan dan ujung pedang mengacung ke atas, berlutut dan bersumpah. Sin Wan mengucapkan sumpah dengan suara nyaring, diikuti oleh Giok Ciu.

“Kami berdua, Bun Sin Wan dan Giok Ciu, hari ini telah diterima menjadi murid dan kami bersumpah jika kelak kami berani menggunakan kepandaian yang kami terima, untuk berbuat jahat kami akan binasa di ujung pedang yang tajam!”

Suara Sin Wan keras dan nyaring sehingga gemanya terdengar di empat penjuru dalam gua yang lebar itu.

Kakek itu tertawa girang, “Nah kau boleh ke sini sekarang, murid-muridku.”

Ketika Sin Wan dan Giok Ciu hendak berlutut, Kakek itu berkata,

“Kalian duduklah saja, Sin Wan di sebelah kananku dan Giok Ciu di sebelah kiri. Batu bundar hitam itulah tempat duduk kalian.”

Sin Wan dan Giok Ciu duduk di atas batu yang diperuntukkan mereka.

“Nah, sekarang kenalilah gurumu. Aku disebut orang Bu Beng Lojin, si Kakek Tak Bernama. Aku tidak mempunyai riwayat yang perlu diketahui, katakan saja bahwa aku datang dari tiada dan akan kembali kepada tiada pula jika sudah waktuku. Aku bukan ahli dari sesuatu cabang ternama atau tertentu, tapi aku mempunyai semacam permaianan pedang yang kusebut Sin-Liong Kiam-Sut, yakni ilmu Pedang Naga Sakti. Nah, ilmu pedang inilah yang hendak kuajarkan kepada kalian. Sin Wan, coba kau angkat batu di ujung kiri yang berwarna putih itu, di bawahnya ada sebuah peti dalam lubang. Ambillah itu kemari.”

Sin Wan melakukan perintah gurunya. Di sudut ruang itu sebelah kiri terdapat batu putih yang beratnya ratusan kati. Sin Wan mengerahkan tenaganya dan menggulingkan batu itu. Benar saja, di bawah batu terdapat lubang dan tampak sebuah peti kayu yang panjang. Ia mengeluarkan peti itu dan membawanya kepada Suhunya, lalu dengan hormat ia meletakkan peti di depan Suhunya.

“Kau, Giok Ciu, kau ambil peti yang di bawah batu hitam di ujung kanan itu.” Bu Beng Lojin menyuruh murid perempuannya.

Giok Ciu juga melakukan perintah itu seperti yang dikerjakan oleh Sin Wan. Kini dua buah peti itu telah berada di depan Bu Beng Lojin. Bu Beng Lojin membuka peti-peti itu dan mengeluarkan dua macam pedang yang luar biasa. Ketika ia mencabut pedang yang diambil oleh Sin Wan maka di dalam gua itu lalu terlihat sinar putih berkilauan dan kedua anak muda itu merasakan hawa dingin yang menyeramkan keluar dari pedang itu. Pedang berwarna putih berkilauan bagaikan perak dan gagangnya berukiran kepada naga bersisik putih.

“Inilah pedang pusaka keramat yang disebut Pek Liong Pokiam, Pedang Pusaka Naga Putih. Dan pedang ini berjodoh dengan Sin Wan.”

Anak muda itu menerima pemberian Suhunya dengan khidmat dan girang sekali. Ia cepat berlutut dari tempat duduknya dan menghaturkan terima kasih, lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya yang berukiran naga putih indah sekali.

Bu Beng Lojin lalu mencabut pedang kedua dan tiba-tiba dalam kamar itu tampak cahaya kehitam-hitaman yang sangat menyeramkan, juga dari pedang ini memancar hawa yang panas dan aneh. Pedang ini berwarna hitam mulus dan mengkilap sedangkan gagangnya berukiran kepala naga bersisik hitam.

“Inilah pedang pusaka yang tidak kalah saktinya, yang disebut Ouw Liong Pokiam. Pedang Pusaka Naga Hitam. Pedang ini berjodoh padamu, Giok Ciu.”

Gadis itupun menerima hadiah gurunya dengan penuh hormat dan menghaturkan terima kasih pula.

Sin Wan teringat akan dongeng Kakeknya dulu tentang dua ekor naga yang menjelma menjadi sepasang pedang. Inikah pedang-pedang itu? Ia ingin sekali bertanya kepada Suhunya, tetapi tidak berani, karena bukankah Kakeknya dulu bilang bahwa itu hanya dongeng belaka. Bu Beng Lojin dapat melihat keraguan Sin Wan, maka katanya dengan sabar,

“Sin Wan, kau ingin bertanya sesuatu. Katakanlah, tak perlu ragu-ragu karena sudah menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk menjawabnya.”

“Suhu, dulu teecu pernah mendengar dari mendiang engkong tentang dongeng sepasang naga putih dan hitam. Apakah dongeng itu ada hubungannya dengan kedua pedang ini?”

Bu Beng Lojin tersenyum. “Engkongmu adalah Kang-Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, bukan? Ia orang gagah yang patut dikagumi. Dongeng tinggal dongeng muridku, boleh dipercaya dan boleh juga tidak. Hal ini aku tidak berhak memecahkan. Nah, sekarang mari kita bicarakan hal yang penting. Kalian telah mendapat didikan silat dari orang-orang pandai sehingga aku tak perlu bersusah payah lagi. Juga kalian telah makan buah dewa sehingga tubuhmu cukup bersih dan kuat. Tapi jangan kau kira bahwa sedikit ilmu yang akan kuberikan kepada kalian akan mudah saja kalian pelajari secara mudah dan cepat. Pertama-tama aku akan memberi pelajaran silat pedang yang disebut Sin-Liong Kiam-Sut. Tetapi karena pedang yang kalian pergunakan berbeda sifatnya maka ilmu pedang ini akan kupecah menjadi dua, sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Untuk Sin Wan akan kuberi ilmu pedang Pek Liong Kiam-Sut dan untuk Giok Ciu ilmu pedang Ouw Liong Kiam-Sut. Tapi terlebih dulu kalian harus mengetahui dan hafal benar rahasia-rahasia dari Sin-Liong Kiam-Sut.”

Kemudian Bu Beng Lojin lalu memberi pelajaran-pelajaran pertama dari Ilmu Pedang naga Sakti yang hebat itu. Karena dorongan hasrat ingin memiliki kepandaian tinggi dan melakukan balas dendam, ditambah memang berbakat baik dan berotak cerdas. Kedua anak muda itu cepat sekali dapat menguasai pelajaran-pelajaran pertama yang diajarkan oleh Suhu mereka. Tetapi ketika mereka mulai dengan pelajaran praktek, terasalah kesukarannya. Gerakan Sin-Liong Kiam-Sut benar-benar ganjil dan sukar, setiap gerakan pedang mempunyai rahasia-rahasia tersendiri yang takkan terduga oleh lawan.

Juga setiap gerakan pedang dari ilmu ini selalu dirangkai dengan keterangan-keterangan bahwa gerakan ini ialah untuk memunahkan serangan senjata pedang dari cabang lain. Oleh karena ini, tiap kali mempelajari satu macam tipu dari Sin-Liong Kiam sut, maka berarti mereka harus mengetahui pula tiga atau empat macam tipu serangan dari cabang-cabang lain. Misalnya Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai, Bu-Tong-Pai, dan Siauw-Lim-Pai!

Untung sekali bahwa sebelum mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut yang hebat ini, mereka telah mendapat latihan-latihan teliti dan keras dari Kwie Cu Ek, maka tipu-tipu silat dari lain cabang mereka sudah banyak mengerti. Tidak saja setiap gerakan dari Sin-Liong Kiam-Sut mempunyai rangkain yang panjang bagaikan mata rantai dengan cabang lain, juga untuk menggerakkan pedag pusaka mereka bukanlah hal yang mudah.

Pedang itu mempunyai ukuran dan timbangan yang tepat dan khusus, sehingga untuk menggerakkan mereka harus menggunakan takaran tenaga yang sempurna pula, untuk tusukan, sabetan, putaran, harus digunakan tenaga yang sesuai, tidak boleh terlalu besar, juga tidak boleh terlalu kecil. Maka tidak heran bahwa untuk mempelajari satu dua macam gerakan saja membutuhkan waktu sepekan lebih baru dapat dilakukan dengan baik!

Cara yang aneh dari Bu Beng Lojin dalam mengajar murid-muridnya ialah ia jarang sekali menyaksikan murid-muridnya belajar. Jika Sin Wan dan Giok Ciu menggerak-gerakkan pedang dan melatih gerakan-gerakan baru yang sedang dipejari, Kakek tua itu duduk bersemedhi dengan sikapnya yang aneh itu dan meramkan matanya. Tetapi yang mengherankan, tiap kali Sin Wan dan Giok Ciu membuat gerakan salah, biarpun hanya salah sedikit saja, Kakek itu tanpa membuka matanya lalu menegur! Bu Beng Lojin melarang keras kedua muridnya itu keluar dari gua naga dan menyuruh mereka siang dan malam tekun melatih diri.

Untuk makan mereka cukup dengan menangkap binatang-binatang dan burung yang lewat di atas gua, dan cara menangkap binatang inipun merupakan pelajaran yang baik bagi mereka. Jika ada burung yang terbang, atau ada binatang lewat di atas sumur, biarpun tidak tampak dari bawah, namun gerakan binatang yang meloncati sumur dapat tertangkap oleh telinga mereka yang tajam. Maka sekali sambit saja dengan batu, binatang itu akan terjungkal dan jatuh masuk ke dalam sumur dan menjadi mangsa mereka!

Sungguh suatu cara mencari makan yang aneh sekali. Kalau tidak karena dorongan semangat yang membaja, Sin Wan dan terutama Giok Ciu pasti takkan kuat menahan diri hidup seperti itu. Tetapi mereka heran sekali melihat Suhu mereka, karena orang tua yang aneh jarang sekali mau makan daging binatang tangkapan mereka, hanya kadang-kadang saja, ia minta hati binatang yang masih segar untuk dimakan begitu saja tanpa dibakar api dulu, atau makan buah-buah yang didapat dari balik jurang di mana dulu Sin Wan dan Giok Ciu dulu jatuh.

Memang, ditempat kedua anak muda itu dulu terjatuh, terdapat lereng yang sangat curam menurun dan tak terkira dalamnya, dan di atas lereng tumbuhlah banyak pohon yang menghasilkan buah-buah. Hanya saja untuk mengambil buah-buah itu bukanlah pekerjaan mudah, karena lereng yang curam itu tak mungkin dituruni begitu saja tanpa bahaya tergelincir mengancam jiwa, dan sekali tergelincir, jangan harap akan tinggal hidup. Lereng itu tidak tampak dasarnya karena dalam dan panjangnya!

Tapi Sin Wan dan Giok Ciu cerdik dan tabah. Dari rumput alang-alang yang panjang dan kuat, Giok Ciu berhasil membuat pintalan tambang yang panjang lagi kuat. Kemudian Sin Wan menggunakan tambang yang dipegang Giok Ciu dari atas, untuk menuruni tebing itu dan memetik buah-buah mana saja yang disukainya. Dengan cara inilah maka mereka dapat makan buah-buah segar dan lezat setiap hari.

Demikianlah, dengan sangat tekun dan tak kenal lelah di bawah gemblengan Kakek yang luar biasa itu, Sin Wan dan Giok Ciu melatih diri dan mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut. Setelah mempelajari ilmu pedang gaib ini selama dua tahun lebih, barulah mereka pahami seluruhnya! Kemudian datanglah giliran mempelajari ilmu lweekang yang tinggi dan untuk mempelajari ini, mereka harus tekun bersemedhi dan mempelajari peraturan napas yang berat sekali.

Cara-cara semedhi dan menahan napas seperti yang pernah mereka pelajari di bawah pimpinan Kwie Cu Ek dulu sangatlah ringan dan mudah jika dibandingkan cara-cara yang diberikan oleh Suhu mereka ini. Ada kalanya mereka diharuskan bersemedhi dengan jungkir balik yakni kepala di atas lantai dan kaki di atas dan mereka harus mempertahankan tubuh dalam keadaan ini sampai setengah hari!


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Ada kalanya mereka harus menahan tubuh dengan sebelah tangan di atas tanah dan menggunakan tangan ini mengganjal tubuh sampai setengah hari lamanya. Dan banyak lagi macam cara bersemedhi yang aneh-aneh juga mereka diajar menahan jalan pernapasan mereka sedemikian rupa sehingga napas yang tersedot itu dapat dijalarkan ke bagian tubuh yang mereka kehendaki sehingga di bagian itu tampak hawa itu bergerak-gerak di bawah kulit seakan-akan ada seekor tikus yang bergerak-gerak dan berjalan di dalam tubuh mereka.


Latihan-latihan ini mendatangkan kemajuan besar sekali, baik dalam lweekang maupun ginkang mereka, juga membuat mereka menjadi tenang dan bersemangat. Pada suatu hari, ketika Sin Wan dan Giok Ciu asyik mengintai lewatnya binatang di atas sumur, tiba-tiba terdengar derap kaki binatang yang ringan sekali mendatang.

“Seekor kijang!” Sin Wan berkata gembira dan mempersiapkan sebuah batu tajam di tangannya.

Sudah lama sekali ia tidak makan daging kijang yang manis dan sedap. Ketika binatang itu datang dekat dengan loncatan kilat meloncati sumur itu, Sin Wan mengayunkan tangannya. Ia menanti jatuhnya korban itu ke dalam sumur. Tapi alangkah herannya ketika ditunggu-tunggu badan binatang itu tidak juga jatuh ke dalam sumur, padahal ia merasa pasti bahwa sambitannya tadi tentu mengenai sasaran.

“Sungguh heran dan aneh,” katanya kepada Giok Ciu.

“Kita harus melihat ke atas,” kata Giok Ciu. Karena terheran dan merasa penasaran, pula karena menyangka bahwa binatang itu tentu mati di pinggir tebing sumur dan perlu diambil, mereka sekali saja menggenjot tubuh.

Keduanya melayang ke atas dengan berbareng dan sesaat kemudian mereka telah menembus halimun yang menutup sumur itu dan keduanya berada di atas tanah di pinggir sumur. Untuk sejenak mereka agak silau melihat dunia luar, tetapi tiba-tiba mereka melihat bahwa di sekeliling sumur itu terdapat belasan orang yang berpakaian seragam dan bertopi runcing. Tentara Kaisar!

Keduanya segera mengenal mereka dan Sin Wan hendak buru-buru terjun kembali ke dalam sumur, tetapi ia melihat kijang besar dan muda berada di dekat orang-orang itu. Sementara itu, belasan tentara Kaisar itu ketika tiba-tiba melihat ada seorang pemuda tampan dan seorang gadis jelita melayang keluar dari sumur, menjadi demikian terkejut dan heran hingga mereka memandang kedua anak muda itu dengan mata terbelalak heran.

“Tuan-tuan, harap kalian kembalikan hasil buruanku itu.” Kata Sin Wan dengan tenang sambil menunjuk ke arah bangkai kijang.

Diantara pahlawan Kaisar itu terdapat seorang yang sombong dan suka mengagulkan kegagahannya. Ia adalah Song Tat Kin, murid dari Cin Cin Hoat-su si Pendeta tibet, maka kepandaiannya memang cukup tinggi. Apalagi pada saat itu ia bersama tiga belas orang kawannya yang kesemuanya adalah pahlawan-pahlawan dari keraton Kaisar dan kesemuanya memiliki silat yang cukup lihai. Bahkan diantaranya terdapat Sim Kwie si Walet Terbang yang mempunyai ginkang luar biasa sekali.

Tadipun Sim Kwie telah mendemontrasikan kepandaiannya dan mengejar binatang kijang itu. Tepat di atas sumur ia dapat mengejar dan pada saat ia hendak meloncati sumur, tiba-tiba ia melihat binatang itu seperti terpukul sesuatu dari bawah dan tubuh binatang itu terpental ke atas. Tetapi sebelum tubuh binatang itu terjatuh ke dalam sumur, Sin Kwie dengan cepat telah menyambutnya dan membawa loncat ke pinggir sumur.

Sambil memeriksa luka di dada binatang itu, Sim Kwie dan kawan-kawannya memandang ke dalam sumur dengan terheran-heran dan saling menduga-duga dan mempercakapkan hal yang ganjil ini. Kini melihat bahwa yang melukai kijang hanya seorang pemuda dan seorang gadis cantik, Song Tat Kin segera bertindak maju dan bertolak pinggang lalu berkata,

“Kau orang liar dari mana begitu berani mengaku-aku kijang ini? Yang menangkap adalah kami dan dagingnya adalah bagian kami pula. Kau orang hutan hayo pergi jangan mengganggu kami.”

Mendengar ucapan orang yang sangat kasar dan menghina ini, Sin Wan masih dapat menahan sabarnya, tetapi Giok Ciu yang lebih keras wataknya segera maju sambil menuding dengan telunjuknya yang runcing dan membentak nyaring,

“Laki-laki kasar yang tidak mengenal aturan! Kau bilang kijang itu kalian yang menangkap, mana buktinya? Tidak tahu malu merampas hak milik orang lain!”

Giok Ciu memang memiliki wajah yang cantik jelita dan potongan tubuh yang langsing berisi. Bagaikan bunga, dara yang berusia tujuh belas tahun ini, sedang harum-harumnya dan sedang indah menariknya, maka biarpun sederhana sekali pakaiannya, ia bahkan tampak makin jelita dan menarik. Kini ia sedang marah, sepasang matanya berapi-api dan kedua pipinya kemerah-merahan, maka ia lebih manis pula. Song Tat Kin melihat dara itu marah-marah sambil menunjuk-nunjuk padanya, tidak menjadi marah bahkan tertawa bergelak lalu berkata kepada kawan-kawannya.

“He, kawan-kawan lihatlah. Kuda betina gunung ini tampaknya liar sekali! Tapi, alangkah indah bentuk badannya. Lihat matanya, jelita dan bersih bagaikan mata burung Hong, dan pipinya itu, ah segar kemerah-merahan.”

Kawan-kawannya tersenyum dan ada yang tertawa girang, lalu terdengar ucapan, “Song Twako, kau penjinak kuda betina liar, agaknya yang seekor ini cukup bagus untuk kau bikin jinak!”

Mendengar kata-kata mereka ini, Giok Ciu yang masih hijau tidak mengerti bahwa yang dimaksudkan kuda betina liar adalah dirinya, maka ia memandang ke kanan-kiri dan mengganggap pembicaraan mereka itu tidak karuan. Tetapi Sin Wan mengerti maksud kata-kata mereka yang kotor dan sangat menghina itu, maka kini lenyaplah kesabarannya. Ia maju dengan mata berkilat,

“Tuan-tuan harap jaga mulut dan jangan bicara sembarangan!” Ia memperingatkan mereka.

Orang tinggi besar muka hitam yang tadi memuji-muji Song Tat Kin segera berkata dengan tertawa lebar, “Song Twako! Lekas kau bikin jinak kuda liar ini, biar aku yang mengusir anjing yang pandai menggonggong ini!”

Sehabis berkata demikian, si Tinggi Besar lalu mengayun kepalan tangannya yang sebesar kepala orang biasa itu ke arah dada Sin Wan dalam gerak tipu Pai-San To-Hai atau Dorong Gunung Uruk Laut. Gerakan ini dilakukan dengan tenaga ratusan kati beratnya karena maksudnya sekali dorong saja membuat Sin Wan terlempar jauh atau kalau mungkin terdorong masuk ke dalam sumur kembali.

Tetapi Sin Wan cepat miringkan tubuh dan berkelit sambil berkata, “Jangan kalian mendesak, kami tidak mencari permusuhan!”

Tetapi si Tinggi Besar yang merasa terhina karena serangannya tidak mengenai sasaran dan karena kata-kata Sin Wan itu dianggap sebagai pernyataan takut, lalu menyerang makin hebat dengan tipu Hek-Houw To-Sim atau Macan Hitam Sambar Hati. Pukulannya berat dan keras, tanda bahwa ia adalah seorang ahli gwakang yang pandai, juga ilmu silatnya tidak lemah dan gerakkannya tetap.

Sekali lagi Sin Wan berkelit lincah. Sementara itu, Song Tat Kin yang melihat betapa kawannya telah menyerang Sin Wan yang agaknya jerih, lalu maju ke arah Giok Ciu dengan sikap yang sangat menjemukan.

“Nona, jangan kau marah-marah. Marilah ikut aku ke kota, untuk apa tinggal di tempat seperti ini? Di kota kau akan hidup mewah dan senang!”

Ia melihat betapa kulit muka Giok-Ciu yang halus lemas itu perlahan-lahan berubah merah dan menganggap bahwa gadis itu malu-malu, sama sekali ia tidak menyangka bahwa hawa marah Giok Ciu sedang berkobar dan seakan-akan mulai membakar gadis itu.

Setelah Song Tat Kin menutup mulutnya, Giok Ciu berseru keras untuk melepas hawa marah yang mendesak dadanya, dan sebelum semua orang tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu Giok Ciu lenyap dan berubah bayangan putih berkelebat cepat ke arah Song Tat Kin dan tahu-tahu orang she Song itu terlempar jauh sekali dan roboh dengan pingsan dan mata terbalik!

Ternyata dara itu karena marahnya yang tak dapat ditahan lagi telah mempergunakan Tipu Cio-Po Thian-Keng atau Batu Meledak Langit Gempar dibarengi ginkangnya yang luar biasa, sekali menyerang tepat menghantam dada Song Tat Kin sehingga mendapat luka di dalam!

Kini terkejutlah semua orang, terutama Sim Kwie si Walet Terbang, karena barusan ia telah menyaksikan sendiri bahwa ginkang gadis itu jauh lebih hebat dari ginkangnya sendiri yang telah cukup tinggi dan membuat ia dijuluki si Walet Terbang! Maklumlah ia menghadapi orang berilmu tinggi dan ia tahu bahwa kepandaian Song Tat Kin setingkat dengan kepandaiannya, maka tidak mungkin bisa menang kalau melawan gadis itu seorang diri. Ia lalu berseru,

“Kawan-kawan, serbu!”

Maka belasan orang itu lalu menyerang Giok Ciu! Mereka menyangka bahwa yang tinggi ilmu kepandaiannya hanyalah Giok Ciu saja, sedangkan Sin Wan cukuplah dilawan oleh si tinggi besar itu. Tidak tahunya, ketika melihat betapa Giok Ciu timbul marahnya dan kini dikeroyok oleh belasan pahlawan Kaisar itu, Sin Wan lalu berseru,

“Pergilah kau!” dan tahu tahu si tinggi besar yang bermuka hitam itu terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi.

Paniklah kini para penyerbu dan sebagian lari mengeroyok Sin Wan. Enam orang termasuk Sin Kwie yang lihai mengeroyok Giok Ciu dan enam orang pula mengeroyok Sin Wan. Dan karena ternyata bahwa kedua anak muda itu benar-benar sangat lihai, mereka tidak sungkan-sungkan lagi dan semua mencabut senjata masing-masing.

Dua belas orang yang mengeroyok Sin Wan dan Giok Ciu adalah pahlawan-pahlawan Kaisar kelas tiga yang memiliki kepandaian tinggi juga, maka setelah semua menggunakan senjata, mau tidak mau Sin Wan dan Giok Ciu menjadi terdesak. Baiknya kedua anak muda ini memiliki ginkang yang sempurna, sehingga mereka dapat menghindarkan diri dari semua serangan senjata tajam yang menghujani mereka.

Kalau saja pada saat itu mereka memegang pedang pusaka mereka, tentu sebentar saja semua lawannya akan mudah dirobohkan tetapi justru pada saat itu mereka tidak membawa pedang. Tiba-tiba Sin Wan teringat ajaran Kakeknya untuk menggunakan suara suling membikin kalut musuh, maka ia segera berkata kepada Giok Ciu sambil berkelit,

“Masih adakah suling kecilku dulu padamu?”

Mendengar ini, Giok Ciu diam-diam mengomel. Mengapa dalam keadaan terdesak dan berbahaya seperti ini tiba-tiba membicarakan tentang hal itu? Tetapi ia menjawab juga,

“Tentu saja ada. Ada apakah?”

“Kau dapat mengeluarkan itu? Coba beri aku pinjam sebentar!”

Kini tahulah Giok Ciu akan maksud pemuda itu. Ia menggunakan kepandaiannya meringankan tubuh untuk meloncat jauh dari musuh-musuhnya, lalu cepat sekali merogoh ke dalam bajunya untuk mengambil suling kecil yang ia selipkan di ikat pinggangnya sebelah dalam.

Sebenarnya suling itu ia telah memberi ikatan dan selalu diikatkan dengan pinggang sehinnga suling itu takkan terlepas jatuh, maka karena keadaan mendesak, ia mencabut saja suling itu hingga tali ikatannya putus. Ia meloncat lagi ke dekat Sin Wan dan melempar suling itu padanya.

“Nah, terimalah ini!” teriaknya.

Sin Wan lalu cepat menyambut benda hitam yang melayang ke arahnya itu. Ia heran ketika menerima suling itu, karena merasa betapa benda itu makin mengkilap dan terasa hangat! Ia tidak tahu bahwa tunangannya itu sering kali menggosok-gosok sulingnya dan setiap saat suling itu tidak terpisah dari tubuhnya.

Setelah menerima suling itu, Sin Wan lalu menempelkan peniupnya di mulut, lalu sambil bersuling ia bersilat dengan kedua kakinya menghindar semua serangan. Para pengeroyoknya tadinya menduga bahwa pemuda itu hendak menggunakan sulingnya sebagai senjata, tetapi setelah melihat dan mendengar pemuda itu meniup sulingnya, mereka terheran sekali! Tetapi keheranan mereka itu terganti dengan kebingungan karena tiba-tiba suara suling yang mendayu-dayu dan tinggi rendah mengalun itu seakan-akan merupakan pisau tajam yang mengiris jantung dan menusuk-nusuk perasaan mereka sehingga permaianan silat mereka kacau balau!

Sebentar saja Sin Wan telah berhasil menendang dua orang pengeroyok! Tiba-tiba, melihat hasil baik kawannya, Giok Ciu juga mengeluarkan ilmu simpanan pemberian Ayahnya, dan terdengarlah suara pekik dan suitan nyaring keluar dari mulut dan dada dari gadis jelita itu. Karena suara ini dikeluarkan dengan tenaga Tian-tan dan seperti suara suling Sin Wan, mengandung tenaga hawa lweekang yang tinggi, maka para pengeroyok segera merasa kehebatan pengaruh suara itu.

Mereka merasa ngeri dan menggigil tubuh mereka sehingga serangan mereka yang tadinya teratur baik menjadi kacau balau. Hanya Sim Kwie seorang yang memiliki lweekang lumayan, masih dapat mengerahkan tenaga lweekang untuk menolak pengaruh mujijat ini, tetapi kelima kawannya semua menjadi kacau permainannya.

Dengan gunakan kelincahannya, Giok Ciu akhirnya dapat juga memukul seorang pengeroyok dan sekalian merampas pedangnya! Kini dengan pedang di tangan, walaupun pedang itu hanya sebatang pedang biasa, Giok Ciu berubah seakan-akan dari seekor domba menjadi seekor harimau betina! Ia berseru keras. Tubuhnya lenyap dan terkurung oleh sinar pedangnya yang berkilauan ketika ia mainkan Sin-Liong Kiam-Sut!

Terkejutlah semua pengeroyoknya, apalagi setelah beberapa jurus saja dua orang telah dirobohkan oleh gadis itu! Sim Kwie kaget sekali dan ia mengeluh mengapa hari ini mereka bertemu dengan dua setan muda yang lihai itu! Sementara itu, Sin Wan yang hanya menghadapi empat orang pengeroyok, lalu menyimpan sulingnya dan bersilat seenaknya saja, seakan-akan mempermainkan para pengeroyoknya yang sudah bernapas empas-empis! Pada saat itu, terdengar teriakan Sim Kwie,

“Cuwi, tahan!” Karena mengenal tingkat para pahlawan itu, yang berada dibawah Son Tat Kin hanya Sim Kwie, maka para pahlawan itu tentu saja mendengar perintah dan taat, karena Son Tat Kin sendiri telah roboh, mereka lalu meloncat mundur dengan hati lega, karena memang keadaan mereka berbahaya sekali.

“Jiwi Enghiong, harap maafkan kami.” Sim Kwie mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Sin Wan dan Giok Ciu. “Agaknya telah ada salah paham yang besar. Kami sama sekali tidak tahu berhadapan dengan orang-orang gagah dan beberapa orang kawan kami telah berlaku kurang ajar! Harap maafkan kami. Boleh kami mengetahui nama jiwi yang mulia?”

Giok Ciu tersenyum menyindir. “Hm, baru sekarang kalian merasakan kelihaian kami, ya? Sungguh tak tahu diri!”

Sin Wan juga mencela, “Kalau tadi tuan-tuan menggunakan kata-kata halus tidak nanti akan timbul korban-korban di antara tuan-tuan. Kami tidak perlu kenalkan nama, juga tidak perlu mengetahui nama kalian. Sekarang lebih baik kalian bawa saja kawan-kawanmu yang luka dan tinggalkan tempat ini.”

Sim Kwie mendongkol sekali karena terang sekali ia tidak dipandang sebelah mata oleh kedua pemuda itu, padahal oleh kalangan kang-ouw, nama si Walet Terbang bukanlah nama kecil-kecilan. Ia segera berkata dengan bersungut-sungut,

“Hm, biarlah jiwi boleh merasa bangga akan kemenangan ini. Biarpun jiwi tidak memberi tahukan nama tapi tiupan suling tadi mengingatkan aku akan seseorang!”

Mendengar ini, sekali loncat saja, Giok Ciu telah berada di depannya dan mengancam dengan pedang rampasannya. “Apa katamu? Mengingatkan kau akan seseorang? Hayo, katakan, siapa orang yang kau maksudkan itu!”

Sim Kwie mundur dengan muka pucat. Ia telah tahu kelihaian nona muda ini dan percuma kalau ia melawan juga. Sin Wan membujuk Giok Ciu.

“Sudahlah, moi-moi jangan membikin takut dia. Lihat mukanya menjadi biru karena ketakutan. He, pahlawan Raja dengarlah. Memang aku adalah cucu dari Kang-Lam Ciuhiap, si Peniup Suling!”

Sim Kwie mengangkat tangan menjura, “Memang sudah kuduga! Terima kasih atas kejujuranmu.”

Ia lalu perintahkan kawan-kawannya untuk mengangkat para korban dan meninggalkan tempat itu cepat-cepat. Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang kemudian mereka tersenyum puas karena kemenangan tadi. Sin Wan menghela napas, lalu memandang suling itu.

“Untung ada suling ini hingga kita teringat akan ilmu Kakekku dan Ayahmu.” Ia lalu menyerahkan suling itu kembali kepada Giok Ciu yang menerimanya dengan muka berubah merah.

“Ternyata kau… kau selalu simpan suling ini baik-baik...” katanya menggoda Giok Ciu.

Giok Ciu menundukkan kepala, mengerling tajam dan menggigit bibirnya. Ia merasa gemas sekali digoda dan hendak membalas dendam. “Koko, apakah dulu kau tidak menerima sesuatu dari Ibumu?”

“Menerima sesuatu? Apakah itu aku tidak ingat lagi.” Jawab Sin Wan.

Giok Ciu kewalahan. “Menerima sesuatu yang berasal dari... dari... Eh, sebagai... pengganti suling ini…”

“Sesuatu sebagai pengganti suling ini? Ah, aku tidak ingat lagi. Coba kau katakan barang apa itu, tentu aku ingat.” Sin Wan sengaja dan berpura-pura lupa sehingga Giok Ciu makin gemas dan kewalahan.

“Barang… barang kecil...” katanya dengan muka merah.

“Kecil?” Sin Wan pura-pura memandang ke arah awan sambil mengerutkan jidat berpikir keras. “Eh, barang kecil apa, ya? Sebagaimana kecilnya? Ada segini?” Ia menggunakan kedua tangannya membuat ukuran.

“Lebih kecil lagi...” Giok Ciu berkata yang menduga bahwa Sin Wan betul-betul lupa.

“Seperti ini?” Sin Wan memperkecil ukuran dengan tangannya.

“Lebih kecil sedikit lagi,” kata Giok Ciu yang menjadi gemas.

“Sebeginikah?”

“Ya, sebegitulah kecilnya. Ah… sudahlah, maka kau perhatikan barang tak berharga itu. Mungkin telah kau buang jauh-jauh!”

Tiba-tiba Giok Ciu tampak menyesal dan marah, bahkan kedua matanya tiba-tiba menjadi merah! Sin Wan melihat betapa gadis itu seperti yang hendak menangis, lalu timbul kasihannya.

“O, barang itukah yang kau masudkkan? Ada, ada... ada kusimpan!”

Giok Ciu cepat menengok dan memandang ia dengan mata bersinar. “Betulkan kau simpan barang itu?”

Sin Wan mengangguk kuat. “Ada kusimpan baik-baik.”

“Betulkah? Di mana kau simpan barang itu?”

“Di... Dimana ? Ah, di tempat yang baik.”

“Betulkah itu? Hati-hati jangan disimpan sembarangan takut hilang.”

“Tidak tidak mungkin hilang. Bukankah sulingku juga kau simpan baik-baik dan tidak hilang?” kata Sin Wan sambil memandang suling hitam yang dipegang gadis itu.

“Ah, kalau sulingmu ini lain lagi… barang ini... ku simpan di... dipakaianku selalu,” jawab Giok Ciu malu-malu.

“Barang itupun... sudah kusimpan baik-baik, janga kau takut, takkan hilang.”

“Apakah... apakah di saku bajumu selalu?” tanya Giok Ciu sambil memandang wajah Sin Wan dengan tajam. Sin Wan balas memandang.

“Mengapa harus dimasukkan saku?”

“Habis di manakah?” Sin Wan tetap tidak mau mengaku.

Tiba-tiba Giok Ciu berkata sambil tersenyum. “Ah, tidak mengaku juga tidak apa, aku pernah melihat barang itu tersembul keluar.”

Terkejutlah Sin Wan, “He? Apa katamu? Tersembul keluar?” dan diam-diam pemuda itu melirik ke arah dadanya. Pancingan gadis cerdik itu berhasil dan lirikan mata Sin Wan ke arah dadanya memperkuat dugaannya. Giok Ciu bangkit dari duduknya lalu tiba-tiba suling itu terlepas dari tangannya, menggelinding di atas tanah,

“Tolong, Koko, sulingku jatuh...” Sin Wan buru-buru membungkuk dan mengambil barang itu, tetapi pada saat ia membungkuk ia merasa sesuatu bergerak di lehernya. Ia terkejut dan segera berdiri dan... Ia melihat Giok Ciu tertawa girang sambil menunjuk ke arah dada pemuda itu. Kini Sin Wan tundukkan muka untuk memandang, ternyata sepasang sepatu kecil yang tadinya tergantung di dada dengan sutera biru yang dikalungkan dileher, ternyata telah keluar dan bergerak-gerak di luar bajunya! Ternyata ketika ia membungkuk tadi, Giok Ciu telah menyambar pita sutera itu dan membetotnya sehingga sepatunya terbetot keluar! Sin Wan tak dapat berkata apa-apa hanya memandang wajah Giok Ciu dengan mulut tersenyum lebar dan muka kemerah-merahan.

“Bukankah kataku tadi telah kusimpan baik-baik? Kau sungguh kurang percaya.”

“Sekarang aku percaya dan puas, terimakasih Koko,” jawab Giok Ciu dengan manis.

“Hayo kita kembali, telah terlampau lama kita keluar, nanti Suhu marah,” tiba-tiba Sin Wan berkata.

Ucapan ini mengingatkan Giok Ciu dan mereka segera meloncat masuk ke dalam sumur itu dengan khawatir kalau-kalau gurunya akan marah. Betul saja, baru kaki mereka menginjak pasir di dalam sumur itu, telah terdengar suara Suhu mereka memanggil dari dalam gua ular. Mereka segera masuk dan mendapatkan Bu Beng Lojin duduk bersemedhi dan menghadap ke dalam. Tanpa menengok lagi, orang tua aneh itu berkata, suaranya tetap dan keras.

“Sin Wan dan Giok Ciu! Kalian telah melanggar laranganku dan keluar dari tempat ini sebelum waktunya!”

Sin Wan dan Giok Ciu segera menjatuhkan diri berlutut, “Ampunkan teecu berdua Suhu. Kami tidak sengaja keluar dan...”

“Cukup! Aku sudah tahu semua. Pelanggaranmu tidak kusesalkan sekali, tetapi yang paling kusesalkan ialah karena kalian melanggar maka kalian bertemu dengan kaki tangan Kaisar itu! Dan kalian tentu tahu akan akibat pertempuran tadi. Sekarang terpaksa kalian harus keluar dari sini!”

Terkejut sekali kedua murid itu mendengar ini. Dengan khidmad mereka berlutut dan memohon ampun.

“Muridku, jangan menganggap aku terlampau kejam kepada kalian. Aku suruh kalian keluar dan pergi bukanlah dengan maksud mengusir karena kemarahanku. Aku suruh kau pergi untuk mendahului mereka dan memukul dulu sebelum mereka menyerbu dan mencari kalian kesini! Bukankah kalian hendak menuntut balas? Nah, sekarang waktunya! Berangkatlah dan bawalah pedangmu. Tetapi, berhati-hatilah, lawan-lawanmu bukan orang lemah!”

Kalau tadinya kedua murid itu merasa bingung dan takut, kini mereka merasa girang sekali. Mereka menghaturkan terima kasih kepada Suhu mereka yang agaknya tidak memperdulikan mereka karena duduknya membelakangi mereka itu. Kemudian mereka berpamit tanpa dijawab oleh Bu Beng Lojin, Sin Wan dan Giok Ciu mengambil kedua pokiam mereka dan meloncat keluar dari sumur itu. Mereka merasa seakan-akan baru sadar dari mimpi dan seakan-akan baru terbebas dari kurungan.

Hati mereka gembira sekali dan mereka berjalan turun gunung sambil bergandeng tangan seperti lakunya dua orang kanak-kanak nakal. Sin Wan seperti biasa mengenakan pakaian warna putih yang menjadi kesukaannya semenjak kecil, sedangkan Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang berwarna gelap kehitam-hitaman. Memang menurut nasihat dari Suhu mereka, warna pakaian yang paling cocok dan tepat bagi Sin Wan ialah putih dan bagi Giok Ciu warna hitam!

“Karena kalian memiliki pedang pusaka yang ampuh dan keramat, maka kalian juga seberapa bisa harus menyesuaikan keadaanmu dengan pedang itu sehingga pedang pusaka itu akan lebih besar faedahnya,” demikianlah Kakek yang luar biasa itu berkata ketika mereka baru berlatih pedang.

Karena pemandangan alam yang indah dan hawa gunung yang segar, Giok Ciu timbul gembiranya dan berkata, “Koko, hawa begini bagus. Marilah kita berlatih pedang. Sekarang kita berada di luar dan bebas merdeka, aku ingin sekali mencoba pokiamku.” Sehabis berkata demikian, ia mencabut Ouw Liong Pokiam sehingga tampak sinar hitam menyambar.

“Hush, Giok Ciu, jangan kita main-main dengan pokiam kita. Kalau mau berlatih, mari kita gunakan ranting kayu seperti biasa,” berkata Sin Wan.

“Selalu berlatih menggunakan sepotong ranting, aku bosan, Koko. Kita diberi pedang, untuk apa kalau tidak digunakan?”

“Kita hanya menggunakan di mana perlu, Giok Ciu.”

“Koko, jangan kau terlalu kukuh. Kita belajar ilmu pedang dan telah bertahun-tahun kita pegang dan mainkan pedang kita, tetapi tidak sekali pedang kita boleh kita pakai latihan bersama. Mengapakah? Bukankah kedua pedang kita sama kuatnya? Nah, marilah kita mencobanya sekalian melihat pedang siapa lebih hebat!”

Mendengar desakan dan bujukan nona itu, Sin Wan tertarik juga. Memang Suhunya orang aneh dan kukuh sehingga belum pernah mereka berlatih pedang bersama dengan menggunakan pedang tulen. Pedang itu hanya boleh dipakai sendiri saja. Karena itu, iapun ingin sekali mengukur kelihaian permainan Ouw Liong Kiam-Sut dari gadis itu dengan menggunakan pedang mereka yang asli.

Ketika Sin Wan mencabut Pek Liong Pokiam dan mereka mulai berlatih, maka tampaklah dua sinar hitam dan putih bergulung-gulung saling sambar dan saling belit. Bagaikan sepasang naga hitam dan putih sedang bersenda gurau dan berterbangan di antara mega-mega di angkasa. Keduanya merasa kagum sekali karena setiap serangan selalu menemui tangkisan yang tepat sekali sehingga keduanya merasa tidak berdaya!

Sungguh-sungguh Suhu mereka lihai sekali dalam memecah Sin-Liong Kiam-Sut menjadi dua macam ilmu pedang itu, karena jika dimainkan sendiri-sendiri kedua ilmu pedang Pek Liong Kiam-Sut dan Ouw Liong Kiam-Sut itu tampaknya berbeda sekali kembangannya dan mempunyai keistimewaan berbeda pula...



BERSAMBUNGKE JILID 05





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12