Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 04
Pertapa ini
menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyerang dan tiada hentinya
mengeluarkan suara tertawa aneh dan menyeramkan. Baru beberapa puluh jurus saja
Kwie Cu Ek telah terdesak hebat oleh pukulan-pukulan ujung lengan baju yang
mantap dan luar biasa.
Sementara
itu, Sin Wan dan Giok Ciu juga terkepung hebat dan berada dalam keadaan
berbahaya sekali karena lawan mereka yang berjumlah banyak tidak mau memberi
kelonggaran dan terus merangsek hebat. Kwie Cu Ek menyesal telah berlaku
semberono hingga membahayakan jiwa Sin Wan dan Giok Ciu. Ia menjadi bingung
karena pasti mereka bertiga akan segera dirobohkan. Tiba-tiba ia berteriak
keras,
“Sin Wan dan
Giok Ciu, larilah! Biar aku menjaga mereka!”
Mendengar
perintah ini, Sin Wan dan Giok Ciu menurut. Segera pedang mereka diputar hebat
dalam gerakan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut hingga mereka dapat menahan
desakan senjata-senjata pengeroyok mereka, kemudian dengan cepat tubuh mereka
melayang ke atas genteng!
Tapi pada
saat itu mereka mendengar suara Kwie Cu Ek berseru keras dengan marah bagaikan
seekor harimau terluka dan ketika kedua anak muda itu memandang ke bawah. Tak
terasa pula mereka menjerit karena melihat betapa Kwie Cu Ek kena dihantam oleh
ujung lengan baju Cin Cin Hoatsu yang hebat gerakannya itu!
Kwie Cu Ek
terlempar beberapa kaki jauhnya tapi si Harimau Terbang yang gagah itu biarpun
telah mendapat luka hebat di dalam dadanya, pedang di tangannya masih terpegang
erat-erat dan ketika tubuhnya jatuh menimpa tanah. Ia menggerakkan tangannya
dan pedang itu secepat kilat meluncur ke arah tenggorokan Cin Cin Hoatsu!
Inilah
gerakan yang dinamai Rajawali Sakti Mengejar Maut, gerak tipu terakhir dari
Sin-Tiauw Kiam-Sut yang hebat luar biasa itu. Kalau saja yang diserang bukan
Cin Cin Hoatsu, orang berilmu tinggi dari Tibet yang selain berkepandaian
tinggi, juga memiliki ketenangan luar biasa, tentu akan putuslah lehernya. Tapi
Cin Cin Hoatsu dalam keadaan berbahaya itu masih sempat menyabet dengan ujung
lengan bajunya.
“Srettt!”
Putuslah ujung lengan baju itu.
Tapi pedang
Kwie Cu Ek melayang kesamping dan terus menancap sampai menembus dada
pengeroyok yang tidak ada kesempatan berkeliat lagi. Orang itu berteriak ngeri
dan terdengarlah suara Kwie Cu Ek tertawa menyeramkan, menertawakan korbannya
dan juga menertawakan Cin Cin Hoatsu yang terpotong ujung lengan bajunya.
Pertapa tua
dari Tibet ini merasa gemas dan marah sekali. Ia meloncat ke tempat Kwie Cu Ek
dan dengan sekali tendang saja putuslah nyawa Kwie Cu Ek tanpa dapat berteriak
lagi. Kwie Giok Ciu memekik ngeri dan ia meloncat terjun dengan maksud hendak
berkelahi dengan nekad dan mati-matian. Tapi Sin Wan cepat menyambarnya dan
menariknya kembali ke atas genteng.
“Koko,
lepaskan! Lepaskan aku!!” Giok Ciu menjerit-jerit dengan air mata bercucuran,
tapi Sin Wan tetap tidak mau melepaskannya.
Pada saat
itu dari belakang mendatangi tiga bayangan orang yang cepat gerakannya dan
terdengar suara orang berkata, “Jiwi Enghiong, lekas lari, biar kami yang
menahan mereka.”
Sin Wan
melihat wajah seorang setengah tua dan dua orang lain adalah orang-orang tua
yang gagah. Ia tahu itu tentu orang-orang gagah yang sering memusuhi para durna
dan kaki tangannya, maka ia segera betot tangan Giok Ciu.
“Moi-moi,
hayo kita pergi. Mudah lain kali kita datang membalas sakit hati.”
“Tidak!
Tidak! Biarkan aku mati bersama Ayah!”
“Giok moi
jangan bodoh! Mereka bukan lawan kita.”
Tiba-tiba
Giok Ciu merenggut tangannya hingga terlepas dari pegangan Sin Wan. “Kau…
kau... takut?? Kau hendak membiarkan dan meninggalkan Ayah yang mengorbankan
jiwanya untukmu??”
Sin Wan
mengertakan gigi dan memandang dengan mata bersinar. “Giok Ciu, kau anggap aku
seorang macam apakah? Aku mengajak kau pergi bukan karena takut, tapi karena
memenuhi kehendak dan maksud Ayahmu. Tadi kita telah berlaku sembrono sekali.
Musuh terlampau kuat, untuk apa kita korbankan diri dengan sia-sia? Untuk apa
kita mati kalau belum dapat membalas dendam? Lebih baik kita mencari daya upaya
lain.”
“Tapi aah…”
“Sudahlah!
Kalau kau ingin mati bersama, hayo kita turun lagi!” Akhirnya Sin Wan berlaku
nekad juga dan hendak terjun. Tapi kini datang lebih banyak orang gagah yang
mencegah mereka.
“Lie
Enghiong, kawanmu ini berkata benar! Pihak mereka kuat sekali, kita bukan lawan
mereka. Soal jenasah Ayahmu itu, biarlah kami yang akan mengurusinya dan akan
berusaha mengambilnya..."
Karena
sedih, marah, bingung dan tak berdaya, Giok Ciu menjerit keras dan jatuh
pingsan dalam pelukan Sin Wan. Pada saat itu dari bawah melayang naik
orang-orang dengan senjata di tangan dan sebentar lagi terjadi pertempuran seru
di antara mereka dengan para Ho-han yang menyerbu. Tapi karena Cin Cin Hoatsu
berada disana, para penyerbu itu terpaksa lari lagi setelah berhasil membawa
serta jenasah Kwie Cu Ek.
Sin Wan yang
memondong tubuh Giok Ciu, lari cepat keluar dari kota itu menuju ke
Kam-Hong-San kembali. Setelah sadar, Giok Ciu menangis tersedu-sedu sambil
berlutut di atas tanah dan memanggil-manggil nama Ayahnya. Sin Wan hanya dapat
menghiburnya, tapi tak terasa ia sendiri mengalirkan air mata. Di samping
merasa bersedih ia mengertakan giginya karena gemas dan marahnya.
Alangkah
besarnya sakit hati ini. Kematian Ibu dan Kakeknya belum juga terbalas, kini
ditambah lagi dengan kematian Kwie Cu Ek yang menjadi pembela, guru dan juga
calon mertuanya! Dan musuhnya telah bertambah satu orang lagi, yaitu Cin Cin
Hoatsu yang konsen dan sakti. Bagaimana juga pada suatu waktu, aku harus dapat
membasmi mereka itu, demikian Sin Wan mengambil keputusan.
“Moi-moi,
sudahlah jangan kau terlalu bersedih. Mari kita kembali ke tempat tinggal kita
untuk memperdalam ilmu silat dan untuk mencari jalan bagaimana kita dapat
membalas dendam ini.”
Tapi Giok
Ciu makin hebat tangisnya. “Aku… Aku kini... sebatang kara...”
Karena
terharu, Sin Wan tak terasa lagi memegang pundak Giok Ciu dan menghibur.
“Moi-moi, bukankah masih ada aku? Aku juga sebatang kara, hidupku seorang diri
di dunia ini, tapi aku masih merasa bahagia karena... Ada engkau, Giok Ciu.
Bukankah kita masih bersama-sama...?”
Dalam
usahanya menghibur Giok Ciu, Sin Wan berlutut di samping gadis itu dan Giok Ciu
memandang wajah Sin Wan melalui air matanya, kemudian tak terasa lagi gadis itu
perdengarkan sedu sedan dan menubruk Sin Wan. Mereka dalam keharuan hati
masing-masing lalu saling peluk karena merasa betapa di dalam di dunia ini
hanya ada seorang yang dapat diandalkan dan dapat ditumpangi diri, yakni orang
yang dipeluknya.
Tapi setelah
gelora keharuan hatinya mereda, Giok Ciu teringat bahwa ia sedang saling peluk
dengan Sin Wan, maka buru-buru ia dorong tubuh pemuda itu hingga hampir jatuh
terjengkang! Dengan muka merah karena jengah, Giok Ciu memandang wajah Sin Wan
dan ketika melihat pandang mata pemuda itu juga menatapnya. Ia buru-buru
tundukkan muka dengan rasa malu sekali. Kemudian ia mengangkat kaki dan
meloncat jauh sambil berkata,
“Hayo kita
melanjutkan perjalanan kita.”
Sin Wan
maklum akan keadaan gadis itu, maka iapun tidak mau mengganggunya lagi, hanya
meloncat mengejar dan mereka cepat sekali lari menuju Kam-Hong-San. Sin Wan
mengajak Giok Ciu singgah di kampungnya untuk bersembahyang di depan makam Ibu
dan Kakeknya. Disitu kedua anak muda itu kembali ulangi sumpah mereka untuk
berusaha membelas dendam. Kemudian Sin Wan mengajak Giok Coi menemui
orang-orang kampung yang menyambut Sin Wan yang telah menjadi seorang pemuda
tampan dan gagah dan mereka makin kagum melihat kawannya yang cantik jelita dan
bersikap gagah pula.
Karena
merasa senang bertemu dengan kawan-kawan lama, Sin Wan dan Giok Ciu bermalam
disitu. Sin Wan menceritakan tentang usahanya membalas dendam yang gagal bahkan
telah kehilangan pula Ayah Giok Ciu. Orang-orang kampung mendengar penuturannya
ini dengan gemas, sementara Giok Ciu menahan-nahan kesedihannya dengan
menggigit bibir.
Gadis ini
selalu membayangkan keadaannya dan memikirkannya tiada habisnya, dimanakah
makam Ayahnya. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali ia melari dan
kembali ke kota Wie-Kwan, tapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya, karena
selain sia-sia dan belum tentu dapat menemukan apa yang dicarinya, juga sangat
berbahaya bagi keselamatan dirinya karena kota itu penuh dengan kaki tangan dan
mata-mata Suma-Cianbu yang telah mengenalnya.
Karena
itulah maka ia bersabar dan mengambil keputusan untuk mempergiat pelajaran
silatnya hingga beberapa lama lagi, setelah mendapat kemajuan pesat, bersama
Sin Wan pergi membalas dendam. Masih banyak ilmu silat yang mereka telah
pelajari tapi belum dilatih masak-masak. Bahkan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut
yang belum lama dipelajari juga belum dikuasai baik-baik dan perlu latihan yang
lama dan rajin.
Setelah
tinggal tiga hari di kampung itu, Sin Wan dan Giok Ciu lalu meninggalkan
kampung itu dan menuju ke tempat tinggal Giok Ciu, karena mereka menganggap
tempat itu lebih aman dan tersembunyi sehingga mereka dapat melatih silat tanpa
menderita gangguan. Ketika mereka sedang berjalan perlahan mendaki bukit,
tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang.
Mereka
menahan tindakan kaki mereka dan berpaling. Alangkah terkejut mereka ketika
melihat bahwa dengan cepat sekali, dari bawah bukit lari mengejar Cin Cin
Hoatsu, Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto! Mereka itu mengejar sambil
berteriak-terik dan Cin Cin Hoatsu telah berada dekat karena Pendeta Tibet ini
larinya cepat sekali.
“Celaka,
moi-moi. Kita lari saja, percuma melawan. Hayo kita lari cepat.”
Kedua anak
muda itu lari secepat mungkin ke atas puncak, tetapi karena kepandaian ilmu
lari cepat mereka masih kalah jika dibanding dengan Cin Cin Hoatsu, makin lama
pengejar itu makin dekat jaraknya. Karena gugup dan bingung, Sin Wan dan Giok
Ciu tanpa sengaja tiba di tempat yang selalu menjadi kenangan mereka, yaitu di
dekat Sumur Naga dimana mereka dulu terjatuh.
“Mari kita
masuk saja!” Sin Wan mengajak dan tanpa ragu-ragu lagi keduanya meloncat ke
dalam sumur yang tertutup kabut tebal itu!
Mereka turun
dengan selamat dan kaki mereka menyentuh pasir. Ternyata, keadaan sumur itu
tidak berubah, dan ketika mereka berpaling, ternyata batu-batu cadas yang
berbentuk kepala naga itu masih tetap ada. Tetapi alangkah terkejut mereka
ketika mereka tiba-tiba melihat bahwa di sudut dekat batu naga itu terdapat
seorang Kakek yang tua sekali duduk bersila di atas pasir sambil meramkan mata.
Kakek tua
itu tubuhnya kurus kering bagaikan tengkorak hidup, rambutnya putih panjang
terurai ke belakang punggungnya yang telanjang. Tubuh bagian bawah tertutup
celana pendek yang lebar dan Kakek itu bersila dengan cara yang aneh. Kaki dan
tubuhnya bersila seperti biasa dengan telapak kaki menghadap ke atas dan
tertumpang di kedua paha, tetapi anehnya ia tidak duduk seperti biasa. Tubuhnya
tidak terletak di atas tanah, karena tangan kirinya melalui renggang kakinya
ditekannya ke atas pasir sehingga mengganjal tubuhnya yang terkatung-katung
tidak menempel tanah sedikitpun.
Tangan Kakek
itu diletakkan di atas pangkuan. Dapat dibayangkan kekuatan tangan kirinya yang
menahan tubuh itu tanpa bergerak sedikitpun, seakan-akan tangan dan lengan itu
berubah menjadi benda mati yang didudukinya. Karena maklum bahwa mereka sedang
berhadapan dengan seorang berilmu tinggi, Sin Wan dan Giok Ciu segera berlutut
di hadapan Kakek itu sambil berkata,
“Mohon
beribu maaf bahwa tanpa disengaja teecu berdua telah berani mengganggu kepada
Lo-Cianpwe.”
Tapi Kakek
itu sedikitpun tidak bergerak dan tidak menjawab. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu
memandang, mereka kaget sekali karena Kakek itu tiada ubahnya seperti patung
batu mati. Bahkan pada perut dan dadanya yang telajang itu tiada tampak
tanda-tanda pernapasan! Sudah mati dan membatukah tubuh Kakek ini? Pada saat
mereka masih ragu-ragu, tiba-tiba dari atas sumur itu terdengar bentakan Cin
Cin Hoatsu,
“He,
pemberontak-pemberontak muda, masih hidupkah kalian? Kalau masih hidup, naiklah
dengan damai dan Pinto takkan membunuhmu!”
Sin Wan dan
Giok Ciu terkejut sekali karena tempat persembunyiannya ditemukan oleh
pengejar-pengejar mereka, tapi mereka diam saja dan tetap berlutut di depan
Kakek itu. Terdengar makian di atas sumur dan kini terdengar suara Suma-Cianbu.
“Binatang-binatang
yang berada di dalam sumur. Lekas keluar, kalau tidak kami akan menghujani batu
dan anak panah!”
Sin Wan dan
Giok Ciu kuatir sekali kalau-kalau ancaman ini dijalankan. Tetapi tiba-tiba
Kakek yang disangkanya patung mati itu bergerak dan membuka matanya. Sin Wan
dan Giok Ciu makin heran karena ketika terbuka, kedua mata itu hampir
seluruhnya putih dan hanya sedikit hitamnya di tengah-tengah. Kakek itu masih
menahan tubuhnya, lalu terdengar ia berkata perlahan,
“Kalian
sudah lama datang? Syukur, memang aku telah menantimu.”
Pada saat
itu dari atas sumur orang melempar batu kebawah yang hampir saja menimpa kepala
Sin Wan, tapi pemuda itu menggunakan tangan menyabet sehingga batu itu
terlempar disampingnya.
“Ah
orang-orang itu sungguh-sungguh tak tahu aturan,” kata Kakek itu yang lalu
menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas.
Sin Wan dan
Giok Ciu kaget sekali dan cepat menggeser tubuh mereka minggir karena dari
tangan Kakek itu keluarlah angin pukuan yang berputar-putar naik ke atas sumur!
Tiba-tiba
diatas sumur terdengar jeritan ngeri karena batu-batu dan anak-anak panah yang
dilepas ke bawah, secara ajaib sekali tiba-tiba terbang kembali dan menghantam
mereka yang tidak keburu berkelit! Beberapa orang anak buah Suma-Cianbu terkena
batu dan anak panah mereka sendiri sehingga terluka dan berteriak-teriak
kesakitan.
Cin Cin
Hoatsu heran melihat keganjilan ini. Ia lalu menggunakan kedua lengan bajunya
mengebut-ngebut ke dalam sumur sambil mengerahkan tenaga lweekangnya yang
hebat. Dulu ketika melatih lweekang, ia menggunakan sumur untuk mencoba
kekuatannya dan kalau ia menggerak-gerakkan tangannya ke dalam sumur, maka air
di dalam sumur akan berombak dan bergolak makin keras sampai memercik keluar!
Kini menduga
bahwa di dalam sumur ada apa-apa yang tidak beres, ia menggunakan tenaga
lweekangnya itu untuk memukul ke bawah. Tetapi hampir saja ia berteriak karena
kaget dan heran ketika merasa betapa tenaganya itu sebelum membentur dasar
sumur, telah terpental kembali. Ia menarik kedua tangannya dan meloncat jauh
agar tidak menjadi korban pukulannya sendiri! Wajahnya menjadi pucat, karena ia
menyangka bahwa di dalam sumur itu tentu ada setannya karena mana mungkin ada
orang yang dapat mengembalikan tenagan pukulannya secara demikian mudah dan luar
biasa.
Melihat
tiba-tiba Pendeta Tibet itu menjauhi sumur dengan wajah pucat, Suma-Cianbu
bertanya, “Ada apakah, Lo-Suhu?”
Cin Cin
Hoatsu malu untuk mengaku, maka ia hanya berkata, “Mari kita tinggalkan tempat
ini. Kedua binatang kecil itu tentu telah mampus, karena sumur ini mengandung
hawa beracun!”
Maka semua
pengejar itu lalu kembali turun gunung dengan hati puas, karena mereka
menyangka bahwa kini semua pengacau dan pemberontak berbahaya telah dapat
ditumpas habis.
Sin Wan dan
Giok Ciu yang berada di dalam sumur dapat mendengar semua percakapan di atas
itu sehingga merasa kagum atas kesaktian Kakek aneh ini. Karena yakin bahwa
yang berada di hadapan mereka tentu orang suci yang berilmu tinggi, maka Sin
Wan menarik tangan Giok Ciu untuk maju dihadapan Kakek itu dan berlutut sambil
mengangguk-angguk kepala.
Tiba-tiba
Kakek itu tertawa, suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita tertawa tapi
ketika ia bicara, suaranya berubah besar dan parau, “Kalian yang dulu masuk ke
sini dan makan buah-buah itu sampai habis, bukan?”
Sin Wan
menjawab, “Betul Lo-Cianpwe, mohon maaf jika teecu berdua mengganggu.”
“Kalian
dikejar-kejar orang, sedangkan kepandaianmu cukup baik, mengapa tidak kalian
lawan saja? Lari pergi tanpa melawan adalah kelakuan pengecut.”
“Teecu
berdua tidak sanggup melawan mereka, Lo-Cianpwe. Kepandaian teecu masih
terlampau rendah. Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe yang mulia,” kata Sin Wan.
“Jika
Lo-Cianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid.” Kata Giok-Ciu dengan
langsung karena ia telah yakin benar bahwa Kakek ini memiliki kepandaian yang
sangat tinggi.
Kakek itu
tertawa lagi dan mengangguk-angguk, tiba-tiba ia meloncat dan tahu-tahu ia
sudah berada di dinding batu yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak
dengan punggung menempel di batu!
“Bagus,
bagus memang kalian yang berjodoh dengan aku. Memang kalian yang berjodoh
dengan sepasang naga itu.”
Sin Wan
terkejut mendengar ucapan ini. Sepasang naga yang mana? Agaknya dari atas,
Kakek aneh itu dapat melihat keraguan dan keheranannya, maka ia segera meloncat
turun dan berdiri di depan mereka.
“Kalian
berdirilah!”
Ketika Sin
Wan dan Giok Ciu berdiri, mereka melihat betapa tubuh Kakek itu sebenarnya
tinggi besar, hanya karena tubuhnya sama sekali tidak berdaging, maka tampak
kurus kering. Yang mengherankan ialah warna segar kemerah-merahan pada kulit
pipinya yang kurus itu dan biarpun manik matanya yang hitam itu kecil sekali,
namun kalau bertemu pandang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa dari sepasang
mata itu memancar dua sinar tajam dan berpengaruh.
“Mari kita
masuk,” kata Kakek itu.
Berbeda
dengan Sin Wan dan Giok Ciu yang dulu membuka pintu batu kepala naga itu dengan
memutar-mutar kedua matanya, kini Kakek itu hanya menepuk sekali pada dinding
itu. Tenaga tepukan itu biarpun hanya perlahan saja namun telah membuat dinding
itu tergetar sehingga batu yang merupakan kedua mata naga itu bergerak-gerak
dan pintu yang merupakan mulut naga itu terbukalah!
Ketika kedua
orang muda itu mengikuti dan masuk, ternyata dua rangka ular yang besar itu
tidak ada disitu pula, sebaliknya di pinggir dinding terdapat batu-batu yang
bentuknya bundar dan licin. Kakek itu, segera menghampiri sebuah batu terbesar
tapi yang paling kasar dan permukaannya tajam-tajam lalu ia duduk di atasnya
dengan enak. Agaknya tubuh yang tak berdaging itu tidak merasa pula
tusukan-tusukan batu yang kasar dan runcing.
“Nah,
sekarang kalian boleh mengangkat guru padaku!”
Sin dan Giok
Ciu saling pandang, kemudian keduanya maju berlutut sambil menyebut, “Suhu...!”
“Hai, tidak
semudah ini! Berdirilah!”
Dan kedua
anak muda itu merasa betapa tubuh mereka disendal ke atas sehingga terlempar
tinggi, maka terpaka mereka menggunakan kepandaian mereka untuk turun dengan
hati-hati dan berdiri memandang Kakek itu dengan terheran. Mereka lebih heran
dan terkejut sekali ketika ternyata bahwa gerakan melempar Kakek tadi telah
memberi kesempatan kepadanya untuk mengambil pedang mereka yang tergantung di
punggung. Kini Kakek itu memegang kedua pedang itu di tangannya, melihatnya
dengan mulut mengejek dan berkata,
“Pedang
buruk, pedang buruk.” Sebelum mengerti harus berbuat apa, Kakek itu berkata
kepada mereka.
“Ulur tangan
kananmu!”
Sin Wan dan
Giok Ciu mengulurkan tangan kanan dengan patuh. Tiba-tiba Kakek yang luar biasa
itu lalu menggunakan pedang di tangan kiri kanannya untuk menusuk tangan Sin
Wan dan Giok Ciu yang diulurkan. Kedua anak muda itu terperanjat sekali, tetapi
mereka dapat menetapkan hati dan menaruh kepercayaan penuh kepada calon guru
mereka, maka mereka melihat pedang itu dengan mata tak berkedip!
Ujung pedang
itu walaupun di tusukkan dengan cepat dan kencang, ternyata hanya menusuk kulit
tangan kedua anak muda itu sedikit saja, lalu cepat ditarik kembali. Di ujung
kedua pedang tampak tanda merah yang ternyata adalah darah kedua anak muda itu.
Juga di tangan mereka terdapat luka yang kecil sekali dan mengeluarkan sedikit
darah. Jadi Kakek aneh itu ingin mengambil sedikit darah mereka diujung pedang
masing-masing.
“Nah,
sekarang dengan disaksikan oleh darahmu di ujung pedang, kalian harus
bersumpah, yaitu jika kalian mempergunakann kepandaian yang kuajarkan untuk
kejahatan, kalian akan binasa di ujung pedang!”
Sehabis
berkata demikian, Kakek itu menyodorkan kedua pedang kepada Sin Wan dan Giok
Ciu yang menerimanya dengan hormat. Kemudian, kedua anak muda itu sambil
memegang pedang dengan kedua tangan dan ujung pedang mengacung ke atas,
berlutut dan bersumpah. Sin Wan mengucapkan sumpah dengan suara nyaring, diikuti
oleh Giok Ciu.
“Kami
berdua, Bun Sin Wan dan Giok Ciu, hari ini telah diterima menjadi murid dan
kami bersumpah jika kelak kami berani menggunakan kepandaian yang kami terima,
untuk berbuat jahat kami akan binasa di ujung pedang yang tajam!”
Suara Sin
Wan keras dan nyaring sehingga gemanya terdengar di empat penjuru dalam gua
yang lebar itu.
Kakek itu
tertawa girang, “Nah kau boleh ke sini sekarang, murid-muridku.”
Ketika Sin
Wan dan Giok Ciu hendak berlutut, Kakek itu berkata,
“Kalian
duduklah saja, Sin Wan di sebelah kananku dan Giok Ciu di sebelah kiri. Batu
bundar hitam itulah tempat duduk kalian.”
Sin Wan dan
Giok Ciu duduk di atas batu yang diperuntukkan mereka.
“Nah,
sekarang kenalilah gurumu. Aku disebut orang Bu Beng Lojin, si Kakek Tak
Bernama. Aku tidak mempunyai riwayat yang perlu diketahui, katakan saja bahwa
aku datang dari tiada dan akan kembali kepada tiada pula jika sudah waktuku.
Aku bukan ahli dari sesuatu cabang ternama atau tertentu, tapi aku mempunyai
semacam permaianan pedang yang kusebut Sin-Liong Kiam-Sut, yakni ilmu Pedang
Naga Sakti. Nah, ilmu pedang inilah yang hendak kuajarkan kepada kalian. Sin
Wan, coba kau angkat batu di ujung kiri yang berwarna putih itu, di bawahnya
ada sebuah peti dalam lubang. Ambillah itu kemari.”
Sin Wan
melakukan perintah gurunya. Di sudut ruang itu sebelah kiri terdapat batu putih
yang beratnya ratusan kati. Sin Wan mengerahkan tenaganya dan menggulingkan
batu itu. Benar saja, di bawah batu terdapat lubang dan tampak sebuah peti kayu
yang panjang. Ia mengeluarkan peti itu dan membawanya kepada Suhunya, lalu
dengan hormat ia meletakkan peti di depan Suhunya.
“Kau, Giok
Ciu, kau ambil peti yang di bawah batu hitam di ujung kanan itu.” Bu Beng Lojin
menyuruh murid perempuannya.
Giok Ciu juga
melakukan perintah itu seperti yang dikerjakan oleh Sin Wan. Kini dua buah peti
itu telah berada di depan Bu Beng Lojin. Bu Beng Lojin membuka peti-peti itu
dan mengeluarkan dua macam pedang yang luar biasa. Ketika ia mencabut pedang
yang diambil oleh Sin Wan maka di dalam gua itu lalu terlihat sinar putih
berkilauan dan kedua anak muda itu merasakan hawa dingin yang menyeramkan
keluar dari pedang itu. Pedang berwarna putih berkilauan bagaikan perak dan
gagangnya berukiran kepada naga bersisik putih.
“Inilah
pedang pusaka keramat yang disebut Pek Liong Pokiam, Pedang Pusaka Naga Putih.
Dan pedang ini berjodoh dengan Sin Wan.”
Anak muda
itu menerima pemberian Suhunya dengan khidmat dan girang sekali. Ia cepat
berlutut dari tempat duduknya dan menghaturkan terima kasih, lalu memasukkan
kembali pedang itu ke dalam sarungnya yang berukiran naga putih indah sekali.
Bu Beng
Lojin lalu mencabut pedang kedua dan tiba-tiba dalam kamar itu tampak cahaya
kehitam-hitaman yang sangat menyeramkan, juga dari pedang ini memancar hawa
yang panas dan aneh. Pedang ini berwarna hitam mulus dan mengkilap sedangkan
gagangnya berukiran kepala naga bersisik hitam.
“Inilah
pedang pusaka yang tidak kalah saktinya, yang disebut Ouw Liong Pokiam. Pedang
Pusaka Naga Hitam. Pedang ini berjodoh padamu, Giok Ciu.”
Gadis itupun
menerima hadiah gurunya dengan penuh hormat dan menghaturkan terima kasih pula.
Sin Wan
teringat akan dongeng Kakeknya dulu tentang dua ekor naga yang menjelma menjadi
sepasang pedang. Inikah pedang-pedang itu? Ia ingin sekali bertanya kepada
Suhunya, tetapi tidak berani, karena bukankah Kakeknya dulu bilang bahwa itu
hanya dongeng belaka. Bu Beng Lojin dapat melihat keraguan Sin Wan, maka
katanya dengan sabar,
“Sin Wan,
kau ingin bertanya sesuatu. Katakanlah, tak perlu ragu-ragu karena sudah
menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan sudah menjadi kewajiban seorang
guru untuk menjawabnya.”
“Suhu, dulu
teecu pernah mendengar dari mendiang engkong tentang dongeng sepasang naga
putih dan hitam. Apakah dongeng itu ada hubungannya dengan kedua pedang ini?”
Bu Beng
Lojin tersenyum. “Engkongmu adalah Kang-Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, bukan? Ia
orang gagah yang patut dikagumi. Dongeng tinggal dongeng muridku, boleh
dipercaya dan boleh juga tidak. Hal ini aku tidak berhak memecahkan. Nah,
sekarang mari kita bicarakan hal yang penting. Kalian telah mendapat didikan
silat dari orang-orang pandai sehingga aku tak perlu bersusah payah lagi. Juga
kalian telah makan buah dewa sehingga tubuhmu cukup bersih dan kuat. Tapi
jangan kau kira bahwa sedikit ilmu yang akan kuberikan kepada kalian akan mudah
saja kalian pelajari secara mudah dan cepat. Pertama-tama aku akan memberi
pelajaran silat pedang yang disebut Sin-Liong Kiam-Sut. Tetapi karena pedang
yang kalian pergunakan berbeda sifatnya maka ilmu pedang ini akan kupecah
menjadi dua, sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Untuk Sin Wan akan kuberi
ilmu pedang Pek Liong Kiam-Sut dan untuk Giok Ciu ilmu pedang Ouw Liong
Kiam-Sut. Tapi terlebih dulu kalian harus mengetahui dan hafal benar
rahasia-rahasia dari Sin-Liong Kiam-Sut.”
Kemudian Bu
Beng Lojin lalu memberi pelajaran-pelajaran pertama dari Ilmu Pedang naga Sakti
yang hebat itu. Karena dorongan hasrat ingin memiliki kepandaian tinggi dan
melakukan balas dendam, ditambah memang berbakat baik dan berotak cerdas. Kedua
anak muda itu cepat sekali dapat menguasai pelajaran-pelajaran pertama yang
diajarkan oleh Suhu mereka. Tetapi ketika mereka mulai dengan pelajaran
praktek, terasalah kesukarannya. Gerakan Sin-Liong Kiam-Sut benar-benar ganjil
dan sukar, setiap gerakan pedang mempunyai rahasia-rahasia tersendiri yang
takkan terduga oleh lawan.
Juga setiap
gerakan pedang dari ilmu ini selalu dirangkai dengan keterangan-keterangan
bahwa gerakan ini ialah untuk memunahkan serangan senjata pedang dari cabang
lain. Oleh karena ini, tiap kali mempelajari satu macam tipu dari Sin-Liong Kiam
sut, maka berarti mereka harus mengetahui pula tiga atau empat macam tipu
serangan dari cabang-cabang lain. Misalnya Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai, Bu-Tong-Pai,
dan Siauw-Lim-Pai!
Untung
sekali bahwa sebelum mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut yang hebat ini, mereka
telah mendapat latihan-latihan teliti dan keras dari Kwie Cu Ek, maka tipu-tipu
silat dari lain cabang mereka sudah banyak mengerti. Tidak saja setiap gerakan
dari Sin-Liong Kiam-Sut mempunyai rangkain yang panjang bagaikan mata rantai
dengan cabang lain, juga untuk menggerakkan pedag pusaka mereka bukanlah hal
yang mudah.
Pedang itu
mempunyai ukuran dan timbangan yang tepat dan khusus, sehingga untuk
menggerakkan mereka harus menggunakan takaran tenaga yang sempurna pula, untuk
tusukan, sabetan, putaran, harus digunakan tenaga yang sesuai, tidak boleh
terlalu besar, juga tidak boleh terlalu kecil. Maka tidak heran bahwa untuk
mempelajari satu dua macam gerakan saja membutuhkan waktu sepekan lebih baru
dapat dilakukan dengan baik!
Cara yang
aneh dari Bu Beng Lojin dalam mengajar murid-muridnya ialah ia jarang sekali
menyaksikan murid-muridnya belajar. Jika Sin Wan dan Giok Ciu
menggerak-gerakkan pedang dan melatih gerakan-gerakan baru yang sedang
dipejari, Kakek tua itu duduk bersemedhi dengan sikapnya yang aneh itu dan
meramkan matanya. Tetapi yang mengherankan, tiap kali Sin Wan dan Giok Ciu
membuat gerakan salah, biarpun hanya salah sedikit saja, Kakek itu tanpa
membuka matanya lalu menegur! Bu Beng Lojin melarang keras kedua muridnya itu
keluar dari gua naga dan menyuruh mereka siang dan malam tekun melatih diri.
Untuk makan
mereka cukup dengan menangkap binatang-binatang dan burung yang lewat di atas
gua, dan cara menangkap binatang inipun merupakan pelajaran yang baik bagi
mereka. Jika ada burung yang terbang, atau ada binatang lewat di atas sumur,
biarpun tidak tampak dari bawah, namun gerakan binatang yang meloncati sumur
dapat tertangkap oleh telinga mereka yang tajam. Maka sekali sambit saja dengan
batu, binatang itu akan terjungkal dan jatuh masuk ke dalam sumur dan menjadi
mangsa mereka!
Sungguh
suatu cara mencari makan yang aneh sekali. Kalau tidak karena dorongan semangat
yang membaja, Sin Wan dan terutama Giok Ciu pasti takkan kuat menahan diri
hidup seperti itu. Tetapi mereka heran sekali melihat Suhu mereka, karena orang
tua yang aneh jarang sekali mau makan daging binatang tangkapan mereka, hanya
kadang-kadang saja, ia minta hati binatang yang masih segar untuk dimakan
begitu saja tanpa dibakar api dulu, atau makan buah-buah yang didapat dari
balik jurang di mana dulu Sin Wan dan Giok Ciu dulu jatuh.
Memang,
ditempat kedua anak muda itu dulu terjatuh, terdapat lereng yang sangat curam
menurun dan tak terkira dalamnya, dan di atas lereng tumbuhlah banyak pohon
yang menghasilkan buah-buah. Hanya saja untuk mengambil buah-buah itu bukanlah
pekerjaan mudah, karena lereng yang curam itu tak mungkin dituruni begitu saja
tanpa bahaya tergelincir mengancam jiwa, dan sekali tergelincir, jangan harap
akan tinggal hidup. Lereng itu tidak tampak dasarnya karena dalam dan
panjangnya!
Tapi Sin Wan
dan Giok Ciu cerdik dan tabah. Dari rumput alang-alang yang panjang dan kuat,
Giok Ciu berhasil membuat pintalan tambang yang panjang lagi kuat. Kemudian Sin
Wan menggunakan tambang yang dipegang Giok Ciu dari atas, untuk menuruni tebing
itu dan memetik buah-buah mana saja yang disukainya. Dengan cara inilah maka
mereka dapat makan buah-buah segar dan lezat setiap hari.
Demikianlah,
dengan sangat tekun dan tak kenal lelah di bawah gemblengan Kakek yang luar
biasa itu, Sin Wan dan Giok Ciu melatih diri dan mempelajari Sin-Liong
Kiam-Sut. Setelah mempelajari ilmu pedang gaib ini selama dua tahun lebih,
barulah mereka pahami seluruhnya! Kemudian datanglah giliran mempelajari ilmu
lweekang yang tinggi dan untuk mempelajari ini, mereka harus tekun bersemedhi
dan mempelajari peraturan napas yang berat sekali.
Cara-cara
semedhi dan menahan napas seperti yang pernah mereka pelajari di bawah pimpinan
Kwie Cu Ek dulu sangatlah ringan dan mudah jika dibandingkan cara-cara yang
diberikan oleh Suhu mereka ini. Ada kalanya mereka diharuskan bersemedhi dengan
jungkir balik yakni kepala di atas lantai dan kaki di atas dan mereka harus
mempertahankan tubuh dalam keadaan ini sampai setengah hari!

Ada kalanya
mereka harus menahan tubuh dengan sebelah tangan di atas tanah dan menggunakan
tangan ini mengganjal tubuh sampai setengah hari lamanya. Dan banyak lagi macam
cara bersemedhi yang aneh-aneh juga mereka diajar menahan jalan pernapasan
mereka sedemikian rupa sehingga napas yang tersedot itu dapat dijalarkan ke
bagian tubuh yang mereka kehendaki sehingga di bagian itu tampak hawa itu
bergerak-gerak di bawah kulit seakan-akan ada seekor tikus yang bergerak-gerak
dan berjalan di dalam tubuh mereka.
Latihan-latihan
ini mendatangkan kemajuan besar sekali, baik dalam lweekang maupun ginkang
mereka, juga membuat mereka menjadi tenang dan bersemangat. Pada suatu hari,
ketika Sin Wan dan Giok Ciu asyik mengintai lewatnya binatang di atas sumur,
tiba-tiba terdengar derap kaki binatang yang ringan sekali mendatang.
“Seekor
kijang!” Sin Wan berkata gembira dan mempersiapkan sebuah batu tajam di
tangannya.
Sudah lama
sekali ia tidak makan daging kijang yang manis dan sedap. Ketika binatang itu
datang dekat dengan loncatan kilat meloncati sumur itu, Sin Wan mengayunkan
tangannya. Ia menanti jatuhnya korban itu ke dalam sumur. Tapi alangkah
herannya ketika ditunggu-tunggu badan binatang itu tidak juga jatuh ke dalam
sumur, padahal ia merasa pasti bahwa sambitannya tadi tentu mengenai sasaran.
“Sungguh
heran dan aneh,” katanya kepada Giok Ciu.
“Kita harus
melihat ke atas,” kata Giok Ciu. Karena terheran dan merasa penasaran, pula
karena menyangka bahwa binatang itu tentu mati di pinggir tebing sumur dan perlu
diambil, mereka sekali saja menggenjot tubuh.
Keduanya
melayang ke atas dengan berbareng dan sesaat kemudian mereka telah menembus
halimun yang menutup sumur itu dan keduanya berada di atas tanah di pinggir
sumur. Untuk sejenak mereka agak silau melihat dunia luar, tetapi tiba-tiba
mereka melihat bahwa di sekeliling sumur itu terdapat belasan orang yang
berpakaian seragam dan bertopi runcing. Tentara Kaisar!
Keduanya
segera mengenal mereka dan Sin Wan hendak buru-buru terjun kembali ke dalam
sumur, tetapi ia melihat kijang besar dan muda berada di dekat orang-orang itu.
Sementara itu, belasan tentara Kaisar itu ketika tiba-tiba melihat ada seorang
pemuda tampan dan seorang gadis jelita melayang keluar dari sumur, menjadi
demikian terkejut dan heran hingga mereka memandang kedua anak muda itu dengan
mata terbelalak heran.
“Tuan-tuan,
harap kalian kembalikan hasil buruanku itu.” Kata Sin Wan dengan tenang sambil
menunjuk ke arah bangkai kijang.
Diantara
pahlawan Kaisar itu terdapat seorang yang sombong dan suka mengagulkan
kegagahannya. Ia adalah Song Tat Kin, murid dari Cin Cin Hoat-su si Pendeta
tibet, maka kepandaiannya memang cukup tinggi. Apalagi pada saat itu ia bersama
tiga belas orang kawannya yang kesemuanya adalah pahlawan-pahlawan dari keraton
Kaisar dan kesemuanya memiliki silat yang cukup lihai. Bahkan diantaranya
terdapat Sim Kwie si Walet Terbang yang mempunyai ginkang luar biasa sekali.
Tadipun Sim
Kwie telah mendemontrasikan kepandaiannya dan mengejar binatang kijang itu.
Tepat di atas sumur ia dapat mengejar dan pada saat ia hendak meloncati sumur,
tiba-tiba ia melihat binatang itu seperti terpukul sesuatu dari bawah dan tubuh
binatang itu terpental ke atas. Tetapi sebelum tubuh binatang itu terjatuh ke
dalam sumur, Sin Kwie dengan cepat telah menyambutnya dan membawa loncat ke
pinggir sumur.
Sambil
memeriksa luka di dada binatang itu, Sim Kwie dan kawan-kawannya memandang ke
dalam sumur dengan terheran-heran dan saling menduga-duga dan mempercakapkan
hal yang ganjil ini. Kini melihat bahwa yang melukai kijang hanya seorang
pemuda dan seorang gadis cantik, Song Tat Kin segera bertindak maju dan
bertolak pinggang lalu berkata,
“Kau orang
liar dari mana begitu berani mengaku-aku kijang ini? Yang menangkap adalah kami
dan dagingnya adalah bagian kami pula. Kau orang hutan hayo pergi jangan
mengganggu kami.”
Mendengar
ucapan orang yang sangat kasar dan menghina ini, Sin Wan masih dapat menahan
sabarnya, tetapi Giok Ciu yang lebih keras wataknya segera maju sambil menuding
dengan telunjuknya yang runcing dan membentak nyaring,
“Laki-laki
kasar yang tidak mengenal aturan! Kau bilang kijang itu kalian yang menangkap,
mana buktinya? Tidak tahu malu merampas hak milik orang lain!”
Giok Ciu
memang memiliki wajah yang cantik jelita dan potongan tubuh yang langsing
berisi. Bagaikan bunga, dara yang berusia tujuh belas tahun ini, sedang
harum-harumnya dan sedang indah menariknya, maka biarpun sederhana sekali
pakaiannya, ia bahkan tampak makin jelita dan menarik. Kini ia sedang marah,
sepasang matanya berapi-api dan kedua pipinya kemerah-merahan, maka ia lebih
manis pula. Song Tat Kin melihat dara itu marah-marah sambil menunjuk-nunjuk
padanya, tidak menjadi marah bahkan tertawa bergelak lalu berkata kepada
kawan-kawannya.
“He,
kawan-kawan lihatlah. Kuda betina gunung ini tampaknya liar sekali! Tapi,
alangkah indah bentuk badannya. Lihat matanya, jelita dan bersih bagaikan mata
burung Hong, dan pipinya itu, ah segar kemerah-merahan.”
Kawan-kawannya
tersenyum dan ada yang tertawa girang, lalu terdengar ucapan, “Song Twako, kau
penjinak kuda betina liar, agaknya yang seekor ini cukup bagus untuk kau bikin
jinak!”
Mendengar
kata-kata mereka ini, Giok Ciu yang masih hijau tidak mengerti bahwa yang
dimaksudkan kuda betina liar adalah dirinya, maka ia memandang ke kanan-kiri
dan mengganggap pembicaraan mereka itu tidak karuan. Tetapi Sin Wan mengerti
maksud kata-kata mereka yang kotor dan sangat menghina itu, maka kini lenyaplah
kesabarannya. Ia maju dengan mata berkilat,
“Tuan-tuan
harap jaga mulut dan jangan bicara sembarangan!” Ia memperingatkan mereka.
Orang tinggi
besar muka hitam yang tadi memuji-muji Song Tat Kin segera berkata dengan
tertawa lebar, “Song Twako! Lekas kau bikin jinak kuda liar ini, biar aku yang
mengusir anjing yang pandai menggonggong ini!”
Sehabis
berkata demikian, si Tinggi Besar lalu mengayun kepalan tangannya yang sebesar
kepala orang biasa itu ke arah dada Sin Wan dalam gerak tipu Pai-San To-Hai
atau Dorong Gunung Uruk Laut. Gerakan ini dilakukan dengan tenaga ratusan kati
beratnya karena maksudnya sekali dorong saja membuat Sin Wan terlempar jauh
atau kalau mungkin terdorong masuk ke dalam sumur kembali.
Tetapi Sin
Wan cepat miringkan tubuh dan berkelit sambil berkata, “Jangan kalian mendesak,
kami tidak mencari permusuhan!”
Tetapi si
Tinggi Besar yang merasa terhina karena serangannya tidak mengenai sasaran dan
karena kata-kata Sin Wan itu dianggap sebagai pernyataan takut, lalu menyerang
makin hebat dengan tipu Hek-Houw To-Sim atau Macan Hitam Sambar Hati.
Pukulannya berat dan keras, tanda bahwa ia adalah seorang ahli gwakang yang
pandai, juga ilmu silatnya tidak lemah dan gerakkannya tetap.
Sekali lagi
Sin Wan berkelit lincah. Sementara itu, Song Tat Kin yang melihat betapa
kawannya telah menyerang Sin Wan yang agaknya jerih, lalu maju ke arah Giok Ciu
dengan sikap yang sangat menjemukan.
“Nona,
jangan kau marah-marah. Marilah ikut aku ke kota, untuk apa tinggal di tempat
seperti ini? Di kota kau akan hidup mewah dan senang!”
Ia melihat
betapa kulit muka Giok-Ciu yang halus lemas itu perlahan-lahan berubah merah
dan menganggap bahwa gadis itu malu-malu, sama sekali ia tidak menyangka bahwa
hawa marah Giok Ciu sedang berkobar dan seakan-akan mulai membakar gadis itu.
Setelah Song
Tat Kin menutup mulutnya, Giok Ciu berseru keras untuk melepas hawa marah yang
mendesak dadanya, dan sebelum semua orang tahu apa yang telah terjadi,
tahu-tahu Giok Ciu lenyap dan berubah bayangan putih berkelebat cepat ke arah
Song Tat Kin dan tahu-tahu orang she Song itu terlempar jauh sekali dan roboh
dengan pingsan dan mata terbalik!
Ternyata
dara itu karena marahnya yang tak dapat ditahan lagi telah mempergunakan Tipu
Cio-Po Thian-Keng atau Batu Meledak Langit Gempar dibarengi ginkangnya yang
luar biasa, sekali menyerang tepat menghantam dada Song Tat Kin sehingga
mendapat luka di dalam!
Kini
terkejutlah semua orang, terutama Sim Kwie si Walet Terbang, karena barusan ia
telah menyaksikan sendiri bahwa ginkang gadis itu jauh lebih hebat dari
ginkangnya sendiri yang telah cukup tinggi dan membuat ia dijuluki si Walet
Terbang! Maklumlah ia menghadapi orang berilmu tinggi dan ia tahu bahwa
kepandaian Song Tat Kin setingkat dengan kepandaiannya, maka tidak mungkin bisa
menang kalau melawan gadis itu seorang diri. Ia lalu berseru,
“Kawan-kawan,
serbu!”
Maka belasan
orang itu lalu menyerang Giok Ciu! Mereka menyangka bahwa yang tinggi ilmu
kepandaiannya hanyalah Giok Ciu saja, sedangkan Sin Wan cukuplah dilawan oleh
si tinggi besar itu. Tidak tahunya, ketika melihat betapa Giok Ciu timbul
marahnya dan kini dikeroyok oleh belasan pahlawan Kaisar itu, Sin Wan lalu
berseru,
“Pergilah
kau!” dan tahu tahu si tinggi besar yang bermuka hitam itu terlempar jauh dan
tak dapat bangun lagi.
Paniklah
kini para penyerbu dan sebagian lari mengeroyok Sin Wan. Enam orang termasuk
Sin Kwie yang lihai mengeroyok Giok Ciu dan enam orang pula mengeroyok Sin Wan.
Dan karena ternyata bahwa kedua anak muda itu benar-benar sangat lihai, mereka
tidak sungkan-sungkan lagi dan semua mencabut senjata masing-masing.
Dua belas
orang yang mengeroyok Sin Wan dan Giok Ciu adalah pahlawan-pahlawan Kaisar
kelas tiga yang memiliki kepandaian tinggi juga, maka setelah semua menggunakan
senjata, mau tidak mau Sin Wan dan Giok Ciu menjadi terdesak. Baiknya kedua
anak muda ini memiliki ginkang yang sempurna, sehingga mereka dapat menghindarkan
diri dari semua serangan senjata tajam yang menghujani mereka.
Kalau saja
pada saat itu mereka memegang pedang pusaka mereka, tentu sebentar saja semua
lawannya akan mudah dirobohkan tetapi justru pada saat itu mereka tidak membawa
pedang. Tiba-tiba Sin Wan teringat ajaran Kakeknya untuk menggunakan suara
suling membikin kalut musuh, maka ia segera berkata kepada Giok Ciu sambil
berkelit,
“Masih
adakah suling kecilku dulu padamu?”
Mendengar
ini, Giok Ciu diam-diam mengomel. Mengapa dalam keadaan terdesak dan berbahaya
seperti ini tiba-tiba membicarakan tentang hal itu? Tetapi ia menjawab juga,
“Tentu saja
ada. Ada apakah?”
“Kau dapat
mengeluarkan itu? Coba beri aku pinjam sebentar!”
Kini tahulah
Giok Ciu akan maksud pemuda itu. Ia menggunakan kepandaiannya meringankan tubuh
untuk meloncat jauh dari musuh-musuhnya, lalu cepat sekali merogoh ke dalam
bajunya untuk mengambil suling kecil yang ia selipkan di ikat pinggangnya
sebelah dalam.
Sebenarnya
suling itu ia telah memberi ikatan dan selalu diikatkan dengan pinggang
sehinnga suling itu takkan terlepas jatuh, maka karena keadaan mendesak, ia
mencabut saja suling itu hingga tali ikatannya putus. Ia meloncat lagi ke dekat
Sin Wan dan melempar suling itu padanya.
“Nah,
terimalah ini!” teriaknya.
Sin Wan lalu
cepat menyambut benda hitam yang melayang ke arahnya itu. Ia heran ketika
menerima suling itu, karena merasa betapa benda itu makin mengkilap dan terasa
hangat! Ia tidak tahu bahwa tunangannya itu sering kali menggosok-gosok sulingnya
dan setiap saat suling itu tidak terpisah dari tubuhnya.
Setelah
menerima suling itu, Sin Wan lalu menempelkan peniupnya di mulut, lalu sambil
bersuling ia bersilat dengan kedua kakinya menghindar semua serangan. Para
pengeroyoknya tadinya menduga bahwa pemuda itu hendak menggunakan sulingnya
sebagai senjata, tetapi setelah melihat dan mendengar pemuda itu meniup
sulingnya, mereka terheran sekali! Tetapi keheranan mereka itu terganti dengan
kebingungan karena tiba-tiba suara suling yang mendayu-dayu dan tinggi rendah
mengalun itu seakan-akan merupakan pisau tajam yang mengiris jantung dan
menusuk-nusuk perasaan mereka sehingga permaianan silat mereka kacau balau!
Sebentar
saja Sin Wan telah berhasil menendang dua orang pengeroyok! Tiba-tiba, melihat
hasil baik kawannya, Giok Ciu juga mengeluarkan ilmu simpanan pemberian
Ayahnya, dan terdengarlah suara pekik dan suitan nyaring keluar dari mulut dan
dada dari gadis jelita itu. Karena suara ini dikeluarkan dengan tenaga Tian-tan
dan seperti suara suling Sin Wan, mengandung tenaga hawa lweekang yang tinggi,
maka para pengeroyok segera merasa kehebatan pengaruh suara itu.
Mereka
merasa ngeri dan menggigil tubuh mereka sehingga serangan mereka yang tadinya
teratur baik menjadi kacau balau. Hanya Sim Kwie seorang yang memiliki lweekang
lumayan, masih dapat mengerahkan tenaga lweekang untuk menolak pengaruh mujijat
ini, tetapi kelima kawannya semua menjadi kacau permainannya.
Dengan
gunakan kelincahannya, Giok Ciu akhirnya dapat juga memukul seorang pengeroyok
dan sekalian merampas pedangnya! Kini dengan pedang di tangan, walaupun pedang
itu hanya sebatang pedang biasa, Giok Ciu berubah seakan-akan dari seekor domba
menjadi seekor harimau betina! Ia berseru keras. Tubuhnya lenyap dan terkurung
oleh sinar pedangnya yang berkilauan ketika ia mainkan Sin-Liong Kiam-Sut!
Terkejutlah
semua pengeroyoknya, apalagi setelah beberapa jurus saja dua orang telah
dirobohkan oleh gadis itu! Sim Kwie kaget sekali dan ia mengeluh mengapa hari
ini mereka bertemu dengan dua setan muda yang lihai itu! Sementara itu, Sin Wan
yang hanya menghadapi empat orang pengeroyok, lalu menyimpan sulingnya dan
bersilat seenaknya saja, seakan-akan mempermainkan para pengeroyoknya yang
sudah bernapas empas-empis! Pada saat itu, terdengar teriakan Sim Kwie,
“Cuwi,
tahan!” Karena mengenal tingkat para pahlawan itu, yang berada dibawah Son Tat
Kin hanya Sim Kwie, maka para pahlawan itu tentu saja mendengar perintah dan
taat, karena Son Tat Kin sendiri telah roboh, mereka lalu meloncat mundur
dengan hati lega, karena memang keadaan mereka berbahaya sekali.
“Jiwi
Enghiong, harap maafkan kami.” Sim Kwie mengangkat kedua tangan memberi hormat
kepada Sin Wan dan Giok Ciu. “Agaknya telah ada salah paham yang besar. Kami
sama sekali tidak tahu berhadapan dengan orang-orang gagah dan beberapa orang
kawan kami telah berlaku kurang ajar! Harap maafkan kami. Boleh kami mengetahui
nama jiwi yang mulia?”
Giok Ciu
tersenyum menyindir. “Hm, baru sekarang kalian merasakan kelihaian kami, ya?
Sungguh tak tahu diri!”
Sin Wan juga
mencela, “Kalau tadi tuan-tuan menggunakan kata-kata halus tidak nanti akan
timbul korban-korban di antara tuan-tuan. Kami tidak perlu kenalkan nama, juga
tidak perlu mengetahui nama kalian. Sekarang lebih baik kalian bawa saja
kawan-kawanmu yang luka dan tinggalkan tempat ini.”
Sim Kwie
mendongkol sekali karena terang sekali ia tidak dipandang sebelah mata oleh
kedua pemuda itu, padahal oleh kalangan kang-ouw, nama si Walet Terbang
bukanlah nama kecil-kecilan. Ia segera berkata dengan bersungut-sungut,
“Hm, biarlah
jiwi boleh merasa bangga akan kemenangan ini. Biarpun jiwi tidak memberi
tahukan nama tapi tiupan suling tadi mengingatkan aku akan seseorang!”
Mendengar
ini, sekali loncat saja, Giok Ciu telah berada di depannya dan mengancam dengan
pedang rampasannya. “Apa katamu? Mengingatkan kau akan seseorang? Hayo,
katakan, siapa orang yang kau maksudkan itu!”
Sim Kwie
mundur dengan muka pucat. Ia telah tahu kelihaian nona muda ini dan percuma
kalau ia melawan juga. Sin Wan membujuk Giok Ciu.
“Sudahlah,
moi-moi jangan membikin takut dia. Lihat mukanya menjadi biru karena ketakutan.
He, pahlawan Raja dengarlah. Memang aku adalah cucu dari Kang-Lam Ciuhiap, si
Peniup Suling!”
Sim Kwie
mengangkat tangan menjura, “Memang sudah kuduga! Terima kasih atas
kejujuranmu.”
Ia lalu
perintahkan kawan-kawannya untuk mengangkat para korban dan meninggalkan tempat
itu cepat-cepat. Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang kemudian mereka tersenyum
puas karena kemenangan tadi. Sin Wan menghela napas, lalu memandang suling itu.
“Untung ada
suling ini hingga kita teringat akan ilmu Kakekku dan Ayahmu.” Ia lalu
menyerahkan suling itu kembali kepada Giok Ciu yang menerimanya dengan muka
berubah merah.
“Ternyata
kau… kau selalu simpan suling ini baik-baik...” katanya menggoda Giok Ciu.
Giok Ciu
menundukkan kepala, mengerling tajam dan menggigit bibirnya. Ia merasa gemas
sekali digoda dan hendak membalas dendam. “Koko, apakah dulu kau tidak menerima
sesuatu dari Ibumu?”
“Menerima
sesuatu? Apakah itu aku tidak ingat lagi.” Jawab Sin Wan.
Giok Ciu
kewalahan. “Menerima sesuatu yang berasal dari... dari... Eh, sebagai...
pengganti suling ini…”
“Sesuatu
sebagai pengganti suling ini? Ah, aku tidak ingat lagi. Coba kau katakan barang
apa itu, tentu aku ingat.” Sin Wan sengaja dan berpura-pura lupa sehingga Giok
Ciu makin gemas dan kewalahan.
“Barang…
barang kecil...” katanya dengan muka merah.
“Kecil?” Sin
Wan pura-pura memandang ke arah awan sambil mengerutkan jidat berpikir keras.
“Eh, barang kecil apa, ya? Sebagaimana kecilnya? Ada segini?” Ia menggunakan
kedua tangannya membuat ukuran.
“Lebih kecil
lagi...” Giok Ciu berkata yang menduga bahwa Sin Wan betul-betul lupa.
“Seperti
ini?” Sin Wan memperkecil ukuran dengan tangannya.
“Lebih kecil
sedikit lagi,” kata Giok Ciu yang menjadi gemas.
“Sebeginikah?”
“Ya,
sebegitulah kecilnya. Ah… sudahlah, maka kau perhatikan barang tak berharga
itu. Mungkin telah kau buang jauh-jauh!”
Tiba-tiba
Giok Ciu tampak menyesal dan marah, bahkan kedua matanya tiba-tiba menjadi
merah! Sin Wan melihat betapa gadis itu seperti yang hendak menangis, lalu
timbul kasihannya.
“O, barang
itukah yang kau masudkkan? Ada, ada... ada kusimpan!”
Giok Ciu
cepat menengok dan memandang ia dengan mata bersinar. “Betulkan kau simpan
barang itu?”
Sin Wan
mengangguk kuat. “Ada kusimpan baik-baik.”
“Betulkah?
Di mana kau simpan barang itu?”
“Di...
Dimana ? Ah, di tempat yang baik.”
“Betulkah
itu? Hati-hati jangan disimpan sembarangan takut hilang.”
“Tidak tidak
mungkin hilang. Bukankah sulingku juga kau simpan baik-baik dan tidak hilang?”
kata Sin Wan sambil memandang suling hitam yang dipegang gadis itu.
“Ah, kalau
sulingmu ini lain lagi… barang ini... ku simpan di... dipakaianku selalu,”
jawab Giok Ciu malu-malu.
“Barang
itupun... sudah kusimpan baik-baik, janga kau takut, takkan hilang.”
“Apakah...
apakah di saku bajumu selalu?” tanya Giok Ciu sambil memandang wajah Sin Wan
dengan tajam. Sin Wan balas memandang.
“Mengapa
harus dimasukkan saku?”
“Habis di
manakah?” Sin Wan tetap tidak mau mengaku.
Tiba-tiba
Giok Ciu berkata sambil tersenyum. “Ah, tidak mengaku juga tidak apa, aku
pernah melihat barang itu tersembul keluar.”
Terkejutlah
Sin Wan, “He? Apa katamu? Tersembul keluar?” dan diam-diam pemuda itu melirik
ke arah dadanya. Pancingan gadis cerdik itu berhasil dan lirikan mata Sin Wan
ke arah dadanya memperkuat dugaannya. Giok Ciu bangkit dari duduknya lalu
tiba-tiba suling itu terlepas dari tangannya, menggelinding di atas tanah,
“Tolong,
Koko, sulingku jatuh...” Sin Wan buru-buru membungkuk dan mengambil barang itu,
tetapi pada saat ia membungkuk ia merasa sesuatu bergerak di lehernya. Ia
terkejut dan segera berdiri dan... Ia melihat Giok Ciu tertawa girang sambil
menunjuk ke arah dada pemuda itu. Kini Sin Wan tundukkan muka untuk memandang,
ternyata sepasang sepatu kecil yang tadinya tergantung di dada dengan sutera
biru yang dikalungkan dileher, ternyata telah keluar dan bergerak-gerak di luar
bajunya! Ternyata ketika ia membungkuk tadi, Giok Ciu telah menyambar pita
sutera itu dan membetotnya sehingga sepatunya terbetot keluar! Sin Wan tak
dapat berkata apa-apa hanya memandang wajah Giok Ciu dengan mulut tersenyum lebar
dan muka kemerah-merahan.
“Bukankah
kataku tadi telah kusimpan baik-baik? Kau sungguh kurang percaya.”
“Sekarang
aku percaya dan puas, terimakasih Koko,” jawab Giok Ciu dengan manis.
“Hayo kita
kembali, telah terlampau lama kita keluar, nanti Suhu marah,” tiba-tiba Sin Wan
berkata.
Ucapan ini
mengingatkan Giok Ciu dan mereka segera meloncat masuk ke dalam sumur itu
dengan khawatir kalau-kalau gurunya akan marah. Betul saja, baru kaki mereka
menginjak pasir di dalam sumur itu, telah terdengar suara Suhu mereka memanggil
dari dalam gua ular. Mereka segera masuk dan mendapatkan Bu Beng Lojin duduk
bersemedhi dan menghadap ke dalam. Tanpa menengok lagi, orang tua aneh itu
berkata, suaranya tetap dan keras.
“Sin Wan dan
Giok Ciu! Kalian telah melanggar laranganku dan keluar dari tempat ini sebelum
waktunya!”
Sin Wan dan
Giok Ciu segera menjatuhkan diri berlutut, “Ampunkan teecu berdua Suhu. Kami
tidak sengaja keluar dan...”
“Cukup! Aku
sudah tahu semua. Pelanggaranmu tidak kusesalkan sekali, tetapi yang paling
kusesalkan ialah karena kalian melanggar maka kalian bertemu dengan kaki tangan
Kaisar itu! Dan kalian tentu tahu akan akibat pertempuran tadi. Sekarang
terpaksa kalian harus keluar dari sini!”
Terkejut
sekali kedua murid itu mendengar ini. Dengan khidmad mereka berlutut dan
memohon ampun.
“Muridku,
jangan menganggap aku terlampau kejam kepada kalian. Aku suruh kalian keluar
dan pergi bukanlah dengan maksud mengusir karena kemarahanku. Aku suruh kau
pergi untuk mendahului mereka dan memukul dulu sebelum mereka menyerbu dan
mencari kalian kesini! Bukankah kalian hendak menuntut balas? Nah, sekarang
waktunya! Berangkatlah dan bawalah pedangmu. Tetapi, berhati-hatilah,
lawan-lawanmu bukan orang lemah!”
Kalau
tadinya kedua murid itu merasa bingung dan takut, kini mereka merasa girang
sekali. Mereka menghaturkan terima kasih kepada Suhu mereka yang agaknya tidak
memperdulikan mereka karena duduknya membelakangi mereka itu. Kemudian mereka
berpamit tanpa dijawab oleh Bu Beng Lojin, Sin Wan dan Giok Ciu mengambil kedua
pokiam mereka dan meloncat keluar dari sumur itu. Mereka merasa seakan-akan
baru sadar dari mimpi dan seakan-akan baru terbebas dari kurungan.
Hati mereka
gembira sekali dan mereka berjalan turun gunung sambil bergandeng tangan seperti
lakunya dua orang kanak-kanak nakal. Sin Wan seperti biasa mengenakan pakaian
warna putih yang menjadi kesukaannya semenjak kecil, sedangkan Giok Ciu
mengenakan pakaiannya yang berwarna gelap kehitam-hitaman. Memang menurut
nasihat dari Suhu mereka, warna pakaian yang paling cocok dan tepat bagi Sin
Wan ialah putih dan bagi Giok Ciu warna hitam!
“Karena
kalian memiliki pedang pusaka yang ampuh dan keramat, maka kalian juga seberapa
bisa harus menyesuaikan keadaanmu dengan pedang itu sehingga pedang pusaka itu
akan lebih besar faedahnya,” demikianlah Kakek yang luar biasa itu berkata
ketika mereka baru berlatih pedang.
Karena
pemandangan alam yang indah dan hawa gunung yang segar, Giok Ciu timbul
gembiranya dan berkata, “Koko, hawa begini bagus. Marilah kita berlatih pedang.
Sekarang kita berada di luar dan bebas merdeka, aku ingin sekali mencoba
pokiamku.” Sehabis berkata demikian, ia mencabut Ouw Liong Pokiam sehingga
tampak sinar hitam menyambar.
“Hush, Giok
Ciu, jangan kita main-main dengan pokiam kita. Kalau mau berlatih, mari kita
gunakan ranting kayu seperti biasa,” berkata Sin Wan.
“Selalu
berlatih menggunakan sepotong ranting, aku bosan, Koko. Kita diberi pedang,
untuk apa kalau tidak digunakan?”
“Kita hanya
menggunakan di mana perlu, Giok Ciu.”
“Koko,
jangan kau terlalu kukuh. Kita belajar ilmu pedang dan telah bertahun-tahun
kita pegang dan mainkan pedang kita, tetapi tidak sekali pedang kita boleh kita
pakai latihan bersama. Mengapakah? Bukankah kedua pedang kita sama kuatnya?
Nah, marilah kita mencobanya sekalian melihat pedang siapa lebih hebat!”
Mendengar
desakan dan bujukan nona itu, Sin Wan tertarik juga. Memang Suhunya orang aneh
dan kukuh sehingga belum pernah mereka berlatih pedang bersama dengan
menggunakan pedang tulen. Pedang itu hanya boleh dipakai sendiri saja. Karena
itu, iapun ingin sekali mengukur kelihaian permainan Ouw Liong Kiam-Sut dari
gadis itu dengan menggunakan pedang mereka yang asli.
Ketika Sin
Wan mencabut Pek Liong Pokiam dan mereka mulai berlatih, maka tampaklah dua
sinar hitam dan putih bergulung-gulung saling sambar dan saling belit. Bagaikan
sepasang naga hitam dan putih sedang bersenda gurau dan berterbangan di antara
mega-mega di angkasa. Keduanya merasa kagum sekali karena setiap serangan
selalu menemui tangkisan yang tepat sekali sehingga keduanya merasa tidak
berdaya!
Sungguh-sungguh
Suhu mereka lihai sekali dalam memecah Sin-Liong Kiam-Sut menjadi dua macam
ilmu pedang itu, karena jika dimainkan sendiri-sendiri kedua ilmu pedang Pek
Liong Kiam-Sut dan Ouw Liong Kiam-Sut itu tampaknya berbeda sekali kembangannya
dan mempunyai keistimewaan berbeda pula...
BERSAMBUNGKE
JILID 05
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment