Friday, October 5, 2018

Cerita Silat Serial Kisah Sepasang Naga Jilid 06



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Kisah Sepasang Naga

                 Jilid 06


Pemuda itu dengan tenang menangkis keras dan Pangeran Lu dengan mata terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri entah telah terlempar kemana. Sebelum ia hilang kagetnya, tahu-tahu pedang Sin Wan menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi pangeran itu roboh dengan kepala terpisah dari lehernya!

Sebetulnya Pangeran Lu yang menjadi murid Kwi Kai Hoatsu, cukup memiliki kepandaian silat, tapi karena dalam gemasnya Sin Wan datang-datang menggunakan gerak tipu Naga Putih Menyambar Awan, mana Pangeran itu dapat menghindarkan diri dari maut!

Sin Wan cepat ketok-ketok dan mengurut-urut pundak dan punggung Giok Ciu dan sebentar saja lenyaplah pengaruh totokan yang melumpuhkan gadis itu. Pelayan yang ketakutan itupun lalu dirobohkan dengan totokan.

“Kau tidak apa-apa, moi-moi?” Tanyanya.

Giok Ciu tersenyum manis sambil geleng-geleng kepala. “Aku tadi juga sama sekali tidak percaya obrolan pangeran rendah ini tentang matimu,” katanya.

“Hayo kita serbu Pendeta binatang itu!” Sin Wan berkata gemas.

“Baik, Koko, memang aku hendak mencari dia, karena pokiamku juga berada ditangannya.”

“Apa? Ah, kita harus rampas kembali,” kata Sin Wan. “Biarlah kita menggunakan siasat. Aku bikin panas hatinya dan kau boleh tantang serta maki-maki dia untuk bertanding lagi dan jangan menggunakan ilmu curang!”

Dengan cepat keduanya lalu meloncat ke atas genteng dan langsung menuju tempat dimana Kwi Kai Hoatsu dan Gak Bin Tong sedang main catur. Tanpa ragu-ragu lagi, Sin Wan dan Giok Ciu meloncat turun dan menuju ke ruang itu. Kwi Kai Hoatsu tahu akan kedatangan mereka, tapi ia sedang asyik memikirkan jalan untuk menghindari serangan Gak Bin Tong dalam permainan itu, ia sengaja diam saja. Demikianlah kesombongannya yang menganggap rendah tiap orang yang datang padanya.

“Tosu siluman hayo kita bertanding lagi sampai seribu jurus tanpa menggunakan ilmu siluman rendah dan hina!” Giok Ciu menantang sambil memandang ke arah pedang Ouw Liong Pokiam yang benar saja terletak di atas meja di dekat papan catur.

Gak Bin Tong memandang ke arah mereka dan pura-pura merasa kaget. Tapi Kwi Kai Hoatsu dengan tenang menggerakkan biji caturnya dulu sebelum menengok ke arah mereka. Matanya yang lebar dapat melihat Sin Wan yang berdiri di sebelah Giok Ciu dengan pedang putih berkilauan di tangan, maka ia lalu mengerti bahwa gadis itu telah tertolong.

“Hm, kalau tertangkap lagi olehku, tentu aku akan menotok jalan darah Tai-Wi-Hiat agar kau takkan tertolong lagi,” katanya menghina.

“Pendeta bangsat jangan banyak mulut, kalau kau memang orang gagah, marilah kita bertempur untuk menetapkan kepandaian siapa yang lebih unggul!” Giok Ciu berseru.

“Moi-moi, aku mendengar bahwa Kwi Kai Hoatsu adalah seorang tokoh di Tibet yang menduduki kelas tiga. Tapi ternyata ia hanya mengandalkan ilmu siluman. Sedangkan terhadap kau seorang muda saja ia sudah ketakutan setengah mati hingga mana ia berani menghadapimu, apalagi kalau pedangmu berada di tanganmu kembali!” Sin Wan berkata kepada Giok Ciu, cukup keras hingga terdengar oleh Kwi Kai Hoatsu.

“Anak muda sombong! Siapakah kau berani menghina Kwi Kai Hoatsu? Apakah kau sudah bosan hidup?” teriak Pendeta itu dengan marah.

Tapi Sin Wan memandangnya dengan mengejek. “Kwi Kai Hoatsu! Aku adalah suheng dari nona ini. Tadi kau telah mendengar sendiri tantangannya, dan aku ingin sekali melihat apakah benar-benar kau bisa mengalahkan sumioku ini. Aku tidak percaya kau begitu becus mengalahkan ilmu pedang sumoiku. Sayang kau begitu pengecut hingga pedang sumoiku kau sembunyikan! Kalau kau bisa mengalahkan sumoiku, barulah kau ada harga untuk mencoba kepandaianku!"

Lagak Sin Wan dalam kata-katanya demikian jumawa hingga membuat Kwi Kai Hoatsu marah sekali! Ia adalah seorang tokoh kenamaan dan biasanya dihormati orang, apalagi oleh yang muda-muda. Sekarang di depan Gak Bin Tong ia dihina oleh dua anak muda tentu saja ia murka luar biasa. Lebih-lebih ketika Gak Bin Tong yang mengerti maksud Sin Wan, berkata kepada Kwi Kai Hoatsu,

“Kwi Totiang, anak muda itulah yang mencari-cari Suma-Cianbu untuk dibunuhnya. Ilmu silatnya lihai sekali.”

Kwi Kai Hoatsu berdiri dan membanting papan caturnya. “Baiklah, aku akan menghancurkan kepala dua binatang kecil ini!”

“Majulah kau, Pendeta palsu. Biar aku lawan kau dengan tangan kosong!” Giok Ciu menyombong.

Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu memungut pedang Ouw Liong Pokiam dan sekali ia ajukan tangan, sambil berseru, “Nah terimalah kembali pedangmu!”

Pedang itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah dada Giok Ciu, merupakan sinar hitam yang luar biasa! Tapi Giok Ciu dengan tenang miringkan tubuh dan ulur tangannya dan dengan cepat pedang itu telah berada di tangannya. Inilah gerakan hebat untuk menyambut timpukan senjata rahasia yang disebut Kwan-Imsiu-Hwa atau Dewi Kwan Im Sambut Bunga.

“Bagus!” Kwi Kai Hoatsu berseru dan sekejap kemudian ia telah meloncat menyerang Giok Ciu dengan tongkat ularnya yang lihai.

Sebaliknya Giok Ciu setelah mendapatkan kembali pedangnya, terdorong oleh hati yang sakit karena pernah dijatuhkan dengan kecurangan oleh Tosu itu, segera menyerang dengan sengit dan ganas sekali. Sin Wan melihat betapa Tosu itu betul-betul kosen dan gerakan-gerakannya berbahaya hingga Giok Ciu hanya dapat mengimbanginya saja. Kalau Tosu itu keluarkan serangan-serangan gelap yang tak terduga, tentu gadis itu akan menjadi kurban lagi. Maka ia segera meloncat maju sambil kelebatkan Pek Liong Pokiam dan berseru,

“Tosu siluman, kau cukup berharga untuk mampus di tanganku!”

Melihat Sin Wan maju, Gak Bin Tong merasa tidak pantas kalau tinggal diam, lagi pula ia kuatir kalau-kalau dicurigai maka iapun meloncat sambil menyerang Giok Ciu dan membentak,

“Jangan menghina Kwi Totiang!”

Sebetulnya orang she Gak ini hendak menggunakan kesempatan itu untuk menjajal ilmu pedang Giok Ciu, tapi tidak disangka, Kwi Kai Hoatsu berkata padanya,

“Gak Kongcu, jangan ikut campur. Aku masih belum perlu dibantu untuk menghadapi dua orang anak kecil ini saja!”

Demikianlah kesombongan Kwi Kai Hoatsu hingga ia menolak bantuan orang biarpun dirinya dikeroyok! Terpaksa Gak Bin Tong mundur kembali dan berdiri di pinggir sambil menonton. Majunya Sin Wan mendatangkan perubahan besar, karena biarpun dalam hal ilmu pedang, pemuda ini tidak lebih jauh dari pada Giok Ciu tingkatannya, namun mempunyai perbedaan gerakan yang besar sekali. Dan kini karena dua macam ilmu pedang yang kedua-duanya hebat itu dimainkan berbareng, maka mendatangkan serangan yang luar biasa, tidak terduga-duga dan yang tak mungkin dihadapi oleh seorang saja!

Pendeta itu terdesak dan dengan repot memutar-mutar tongkat ular dan kebutan yang kini telah digunakan di tangan kirinya untuk menangkis datangnya serangan yang bertubi-tubi itu. Beberapa kali hampir saja tubuhnya terluka oleh pedang lawan dan jubah merahnya telah robek terkena sambaran pedang Giok Ciu, maka ia menjadi terkejut, marah dan berbareng kagum sekali.

Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi lawan-lawan yang segini lihai dan memiliki Kiam-Hwat yang luar biasa. Ia ingin menggunakan senjata-senjata rahasianya tapi merasa malu, maka diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya untuk merobohkan lawannya dengan sihir. Setelah tenaga batinnya terkumpul ia lalu berkata, suaranya menggetar dan mendatangkan pengaruh menyeramkan hingga Giok Ciu merasa bulu tengkuknya berdiri ketika Tosu itu berkata,

“Haa, kalian anak-anak muda hendak melawan aku? Pasti kalah, pasti roboh. Lihatlah, aku siapa, lihat, pandanglah dan roboh!”

Karena kata-kata itu memang aneh Giok Ciu memandang heran tapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Kwi Kai Hoatsu, ia tiba-tiba merasa kepalanya pusing dan berat hingga tubuhnya menjadi limbung!

“Haaa! Pasti roboh, pasti roboh!” Sin Wan terkejut sekali, lalu dengan tangan kiri ia memegang lengan Giok Ciu dan menyendalkan sambil berseru keras,

“Moi-moi, jangan pandang matanya! Lekas gunakan lweekang melawan kepusingan dan atur napasmu!”

Giok Ciu memang telah hampir berada dalam pengaruh sihir Pendeta itu, tapi karena suara Sin Wan adalah suara orang yang selalu dekat di hatinya, pula pemuda itu memang menggunakan suara batinnya yang kuat. Maka dengan ucapannya itu Sin Wan dapat merampas kedudukan si Pendeta, dan dialah yang pegang pengaruh atas diri Giok Ciu.

Maka seketika itu juga gadis itu lalu menurut dan taat atas perintah Sin Wan, dan melakukan apa yang diperintahkan tadi. Segera ia sembuh kembali dan menyerang lagi dengan lebih sengit. Juga Sin Wan menyerang sengit tetapi selalu berhati-hati. Ia tahu bahwa tongkat ular itu mengandung senjata-senjata rahasia yang tersembunyi.

Melihat betapa ilmu sihirnya telah terpukul punah sebelum menjatuhkan kurban, Kwi Kai Hoatsu marah sekali. Terpaksa ia harus menggunakan senjata rahasia untuk melawan dua anak muda yang kosen ini. Tapi ia tak mau menggunakannya dengan diam-diam karena takut disangka curang. Ia segera membentak,

“Awas jarum!” tiba-tiba dari ujung kebutannya itu menyambar keluar sembilan batang jarum halus ke arah jalan darah tubuh Sin Wan dan Giok Ciu.

Baiknya kedua anak muda itu telah berjaga-jaga, maka ketika mendengar desir jarum itu menyambar, mereka memutar pedang dengan cepat hingga jarum jarum terpukul pergi semua. Dan pada saat itu, pedang Sin Wan berhasil pula menabas pundak Kwi Kai Hoatsu yang cepat menggulingkan diri kebawah, tapi tidak urung sedikit kulit dan daging pundaknya telah terkelupas! Ia berseru marah sekali dan berkata,

“Gak Kongcu, sekarang majulah!”

Gak Bin Tong segera memutar pedangnya membantu, disambut oleh Giok Ciu dengan hebat, karena gadis itu belum tahu akan pertolongan pemuda itu. Ia hanya menganggap bahwa pemuda itu adalah seorang pahlawan istana juga. Tapi ia segera terkejut melihat betapa pedang pemuda muka putih itu dapat menahan Ouw Liong Pokiam, sedangkan ilmu pedang pemuda itu tidaklah lemah! Pada saat mereka bertempur hebat, dari belakang muncul banyak pahlawan yang maju mengurung kedua anak muda itu.

“Moi-moi, lari!” ajak Sin Wan yang mengerahkan tenaga menyerang Kwi Kai Hoatsu yang terpaksa meloncat mundur.

Kemudian kedua anak muda itu menggunakan ilmu loncat mereka menerjang ke luar sambil memutar pokiamnya sehingga terlepas dari kurungan. Dengan hati murung dan penasaran serta kecewa, Sin Wan dan Giok Ciu pulang ke Kelenteng Nikouw di luar kota tu. Setelah bersusah payah sedemikian lama, belum juga mereka dapat membalas dendam, bahkan hampir saja terkena celaka! Di sepanjang jalan Sin Wan menghibur gadis yang diketahuinya sedang murung itu.

“Biarlah kita besok menyerang lagi dan mencari jalan yang baik,” kata Sin Wan.

Ketika mereka tiba di Kelenteng, Giok Ciu melihat Suma-Siocia duduk di ruang belakang sambil menangis. Ia heran sekali dan bertanya kepada Sin Wan. Lalu dengan ringkas Sin Wan menuturkan pengalamannya ketika berpisah dengan Giok Ciu siang tadi dalam mengejar Suma-Cianbu. Mendengar bahwa gadis itu adalah anak perempuan Suma-Cianbu, Giok Ciu maju dan membentak,

“Coba angkat mukamu!”

Suma-Siocia terkejut mendengar suara orang membentaknya, maka ia segera mengangkat muka memandang. Giok Ciu melihat betapa gadis itu sangat cantik maka timbul rasa cemburu di dalam hatinya.

“Siapa namamu?” Tanyanya dengan kasar, Suma-Siocia tidak senang sekali melihat sikap orang dan ia anggap gadis cantik yang masih muda ini kasar dan galak, tidak tahu aturan. Maka iapun tidak mau menjawab dan menundukkan mukanya lagi. Marahlah Giok Ciu.

“Jawablah kalau tak ingin aku pukul mukamu!”

Sin Wan mendekati mereka, “Suma-Siocia, ini adalah Kwie Giok Ciu, sumoiku. Harap kau terangkan namamu kepadanya.”

Suma-Siocia mengangkat mukanya dan memandang Sin Wan. Alangkah halusnya sikap pemuda yang telah menculiknya ini. Halus dan sopan santun! Ia sangat tertarik dan kagum melihat Sin Wan, dan menyesali nasibnya mengapa pemuda seperti itu justru menjadi musuh dan hendak membunuh Ayahnya! Kini mendengar kata-kata itu, ia berkata,

“Namaku Suma Li Lian dan tolong beritahu kepada Lihiap ini bahwa aku tidak perlu dibentak-bentak. Kalau kalian mau bunuh, boleh bunuh saja.” Melihat sikap Sin Wan yang agaknya ramah tamah dan sopan santun terhadap gadis cantik puteri musuhnya itu, Giok Ciu makin cemburu saja, kini mendengar kata-kata Suma Li Lian, ia makin marah.

“Minta mati, sekarang juga kau mati!” dan cepat sekali pedangnya menyambar.

“Tahan, moi-moi!” Sin Wan menggunakan pedangnya menangkis sehingga sepasang pedang hitam dan putih itu beradu dengan keras mengeluarkan titik-titik bunga api.

Giok Ciu penasaran sekali. “Koko, lupakah kau bahwa perempuan ini adalah anak bangsat she Suma yang telah membunuh Ibu dan Kakekmu?”

“Sabar, moi-moi. Benar ia anaknya, tapi ia tidak berdosa dalam hal itu. Ia tidak tahu apa-apa!”

“Kalau begitu, mengapa kau bawa ia kemari? Apa maksudmu? Katakanlah!”

“Moi-moi, dia kubawa ke sini hanya untuk memancing keluar Ayahnya!” Tapi Giok Ciu menganggap alasan ini terlalu lemah dan tak masuk di akal dan tetap ia merasa sangat cemburu. Maka ia segera mengirim serangan kembali ke arah Li Lian sambil berseru,

“Kalau kau tidak memusuhinya, biar aku yang menjadi musuhnya. Dia anak seorang jahat dan tetap jahat.”

Serangannya hebat sekali dan cepat Sin Wan mengangkat senjata menangkis tapi tidak urung pundak Sum Li Lian masih terkena sedikit oleh ujung pedang Giok Ciu hingga gadis yang malang itu menjerit perlahan dan roboh pingsan.

“Moi-moi!”

“Kau mau bela padanya? Baik belalah!” Kemudian Giok Ciu menyerang lagi ke arah tubuh yang sudah rebah di lantai, tapi Sin Wan kembali menangkis.

Giok Ciu menjadi marah dan kini menujukan serangannya kepada Sin Wan! Maka terjadilah pertempuran di ruang itu. Sebetulnya bukanlah pertempuran, karena Sin Wan tak pernah membalas serangan Giok Ciu, hanya menangkis saja sambil berusaha menyabarkan hati gadis yang kalap itu. Akhirnya Giok Ciu menghentikan serangan sambil menangis karena tidak dapat menahan marahnya lagi. Ia mencabut sesuatu dari dalam saku bajunya dan menyambitkan barang itu ke arah Li Lian.

Sin Wan cepat meloncat dan menyambar benda itu yang ternyata adalah suling kecil tanda perjodohan mereka! Sin Wan terkejut dan hendak mengembalikan suling itu, tapi Giok Ciu sudah meninggalkan dia dengan lari keluar Kelenteng. Ketika Sin Wan mengejar, gadis itu membalikkan tubuh dan membentak,

“Aku tidak sudi tidur serumah dengan anak musuhku dan hendak tidur di luar Kelenteng, apakah ini juga tidak boleh?” Ia memandang Sin Wan dengan mata tertutup air mata.

Sin Wan hanya menghela napas dengan sedih dan meninggalkan dia masuk. Ia minta kedua Nikouw yang ketakutan itu menolong dan membalu luka di pundak Suma Li Lian yang telah sadar dan menangis terisak-isak, kemudian ia masuk kamarnya dengan hati gelisah. Ternyata segala-galanya berjalan tiadk menurut rencananya. Musuh belum terbalas, Giok Ciu telah tertawan dan hampir saja celaka.

Sekarang usahanya memancing Suma-Cianbu keluar dengan menculik Li Lian bahkan menimbulkan keributan antara dia dan Giok Ciu sendiri. Ah, ia menyesal sekali! Ia tahu bahwa Giok Ciu melakukan keganasan itu hanya karena merasa cemburu padanya, timbul dari hati kuatir kalau-kalau ia jatuh cinta kepada gadis lain!

Ia tidak persalahkan Giok Ciu, karena sudah sepantasnya gadis itu marah-marah karena hampir saja kena celaka oleh tipu muslihat Suma-Cianbu dan kawan-kawannya! Untuk membalas dendam belum tentu bisa, maka tentu saja melihat anak perempuan dari musuh itu, ia menjadi marah sekali kepada anak gadis itu dan hendak melampiaskan rasa dendamnya kepada anak gadis itu. Yang membikin ia sangat sedih ialah sulingnya yang dilempar itu! Ah, sampai demikian hebatnya marah yang menggelora dalam dada Giok Ciu?

Karena pikiran ini, biarpun tubuhnya sangat lelah, namun Sin Wan tidak dapat meramkan matanya. Ia gelisah sekali dan berguling di atas pembaringannya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam jantan berkeruyuk nyaring, Sin Wan telah turun dari pembaringannya dimana ia tidak tidur sama sekali dan berjalan keluar dari kamarnya menuju ke pekarangan belakang.

Suling hitam kecil yang semenjak terpegang olehnya tak pernah dilepaskannya lagi itu dibawahnya ke belakang. Pekarangan belakang itu lebar sekali, karena dari situ orang terus dapat menuju ke bukit kecil di belakang sawah ladang. Sin Wan berjalan melalui jalan kecil di antara ladang dan batu. Kemudian berdiri memandang ke depan dengan bengong.

Embun pagi mendatangkan pemandangan yang makin menyedihkan hati. Semua tampak kabur dan abu-abu, seakan-akan seluruh dunia berkabung dan menyedihi sesuatu. Bahkan suara ayam berkeruyuk juga terdengar menyedihkan dan bagaikan suara tangis yang mengharukan. Maka sedihlah hati Sin Wan. Terbayang segala kesedihan di ruang kepalanya.

Terbayanglah ia akan segala yang telah lalu dan terkenang kembali kepada Ibu dan Kakeknya. Tak terasa lagi naik sedu-sedan dari ulu hatinya yang berhenti dari kerongkongannya karena ia tekan dari atas. Kemudian bagaikan dalam mimpi tak terasa lagi ia angkat suling kecil itu ke arah bibirnya. Sebentar kemudian terdengarlah suara tiupan suling yang halus itu mengiris kesunyian pagi. Suara itu terdengar mengalun di antara embun pagi yang melayang-layang, merayu-rayu dan indah sekali bunyinya.

Tanpa merasa lagi Sin Wan meniup lagu ciptaannya sendiri ketika ia masih kecil. Dalam tiupannya sekali ini, tercurahlah seluruh kesedihan hatinya yang tadi naik dari ulu hatinya. Ia main dengan penuh perasaan, seakan-akan jiwanya ikut melayang-layang dengan suara itu, seakan-akan seluruh perasaannya mengemudi lagu yang dimainkannya itu.

Halus merdu, nyaring melengking, naik turun, sedih dan menyayat hati tiap pendengarnya. Bahkan ayam jantan di belakang Kelenteng yang tadi tiada hentinya berkeruyuk menyambut datangnya pagi, kini terdiam seakan-akan terpesona dan ikut mengagumi suara yang mengalun bagaikan turun dari angkasa itu. Sin Wan tidak tahu betapa di dalam kamarnya di Kelenteng itu, Suma Li Lian duduk dari tempat tidurnya dan mendengarkan dengan penuh keheranan.

Kemudian gadis itu tekap mukanya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia teringat akan peristiwa tadi dan menjadi sedih sekali. Ia dapat menduga bahwa yang bermain suling itu tentu Sin Wan karena iapun telah sadar dan melihat ketika Giok Ciu menyambitnya dengan suling yang disambar oleh Sin Wan tadi.

Ia tahu bahwa pemuda yang halus dan sopan itu mencinta Giok Ciu dan ia menyesali diri sendiri bahwa dengan adanya dia disitu maka timbullah pertentangan dan perselisihan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu yang kasar, tapi hatinya tak dapat menyangkal lagi bahwa ia jatuh hati kepada Sin Wan, pemuda yang tampan dan gagah itu. Maka kini tak tertahan lagi olehnya mendengar tiupan suling Sin Wan dan tangisnya menjadi-jadi hingga kedua Nikouw itu terbangun dan cepat menghiburnya, karena disangkanya bahwa gadis itu menangis karena luka dipundaknya terasa sakit.

Sementara itu, Sin Wan juga tidak tahu bahwa pada saat ia meniup suling dengan asiknya itu, di sebuah tikungan jalan kecil itu tampak tubuh seorang gadis mendatangi. Gadis itu adalah Giok Ciu yang datang bagaikan tidur sambil berjalan. Kedua matanya basah air mata dan ia merasakan bagaikan dirinya ditarik oleh suara lagu itu.

Ia juga satu malam tak dapat tidur, bahkan tidak berganti pakaian, hanya menambahkan sehelai mantel diluar pakaiannya karena malam sangat dingin. Kini ia mendatangi ke arah suara tiupan suling dengan hati terharu sekali. Semalam penuh ia gunakan untuk berpikir dan setelah kemarahannya agak mereda, ia dapat berpikir secara dingin dan sehat. Ia merasa telah berlaku agak terlalu terburu nafsu hingga sampai terjadi pertempuran dengan Sin Wan hanya karena gadis itu saja!

Memang tidak ada bukti-bukti bahwa Sin Wan cinta kepada gadis anak musuh itu, dan mungkin juga pemuda itu menculiknya hanya untuk memancing musuhnya keluar dari persembunyiannya. Ah, kenapa ia begitu terburu nafsu sehingga suling tanda perjodohan yang keramat itu dilempar? Dapatkah Sin Wan memaafkannya?

Ketika mendengar suara suling itu, ia terkejut. Kemudian, perlahan-lahan air matanya jatuh menitik ketika ia kenali lagu itu. Lagu yang dulu pernah dimainkan oleh Sin Wan dengan suling itu juga di rumahnya, dan lagu yang telah membuat mendiang Ayahnya menangis. Maka ia segera bangun dan menghampiri tempat suara itu, dimana ia dapatkan Sin Wan berdiri sambil meniup sulingnya.

Dalam keadaan biasa Sin Wan tentu akan mendengar suara tindakan kaki Giok Ciu dengan telinganya yang sudah terlatih baik, tapi pada saat itu ia seperti orang tak sadar dan seluruh perhatian dan perasaannya terbawa oleh suara suling itu, maka ia tidak tahu bahwa Giok Ciu telah berdiri di belakangnya. Setelah suara suling makin merendah dan melambat hingga akhirnya berhenti, Sin Wan menurunkan tangannya yang memegang suling dan menghela napas.

“Koko!” tiba-tiba terdengar suara halus merdu di dekat telinganya. Ia menengok dan sepasang mata bertemu saling tangkap.

“Moi-moi!”

“Koko, kau memaafkan aku, bukan?” suara Giok Ciu mengandung isak.

Sin Wan girang sekali dan semua rasa sedihnya lenyap seketika. Ia maju dan memegang tangan Giok Ciu dengan mesra. Mereka berdiri berhadapan dan berpegang tangan sambil saling pandang dengan penuh perasaan. Entah berapa lama mereka berdiri dalam keadaan seperti itu, dan tiba-tiba keduanya melepaskan pegangan masing-masing karena mendengar tindakan kaki orang mendatangi!

Melihat orang yang datang sambil tersenyum itu, Giok Ciu segera mencabut pedang dan siap menghadapinya. Tapi Sin Wan tersenyum dan berkata perlahan,

“Moi-moi, simpanlah pedangmu. Dia adalah saudara Gak Bin Tong yang telah menolongmu.”

“Menolongku? Bukankah ia malam tadi membantu Kwi Kai Hoatsu?” tanya Giok Ciu terheran.

Sementara itu, Gak BinTong sudah tiba disitu dan disambut dengan girang oleh Sin Wan. “Gak-Lotee, terima kasih atas petunjukmu hingga sumoiku dapat tertolong,” kata Sin Wan dengan wajah berseri. Hati pemuda itu sekarang sudah seperti biasa, bahkan gembira sekali.

Kemudian Sin Wan menceritakan Giok Ciu bagaimana orang she Gak itu telah membantu dan menolong mereka. Giok Ciu lalu menjura dan menyatakan terima kasihnya kepada pemuda tampan bermuka putih itu.

“Tidak apa, tidak apa!” Gak Bin Tong balas menjura. “Kwie Lihiap janganlah terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita memang sudah sepantasnya bantu membantu dan tolong menolong, bukan? Sayang aku terlahir dalam keluarga hamba Kaisar, hingga tak mungkin dapat membantu jiwi secara berterang.”

Sebetulnya, biarpun harus mengakui bahwa pemuda muka putih itu telah berjasa dan membantunya menolong Giok Ciu, namun Sin Wan tidak suka bergaul rapat dengan Gak Bin Tong. Ia diam-diam tidak merasa suka kepada pemuda ini karena dianggapnya bahwa pemuda ini mempunyai watak palsu dan tidak setia. Kalau tidak demikian, mengapa pemuda ini membantu orang luar dan mengkhianati golongan sendiri? Kalau misalnya ia tidak suka kepada golongannya, mengapa tidak secara terus terang saja ia keluar dari situ? Sikap berpura-pura dari pemuda itu terhadap golongan pahlawan Kaisar membuat Sin Wan diam-diam bercuriga dan tidak suka padanya.

“Saudara Gak, pagi-pagi sekali telah datang mengunjungi kami, tentu ada sesuatu yang sangat penting bukan?” Kata Sin Wan dengan suara manis dan ramah.

“Benar katamu, Bun-Lauwte, ada berita baik sekali. Suma-Cianbu pagi ini pergi melarikan diri ke Cee-Tong-An, hanya dengan tiga orang pengawal. Kau dapat mencegatnya di hutan sebelah selatan kota raja karena ia pasti mengambil jalan itu.”

Girang sekali Sin Wan mendengar ini, lebih-lebih Giok Ciu yang segera berkata, “Hayo kita berangkat sekarang juga, Koko.”

“Kukira Kwie Lihiap jangan ikut pergi,” tiba-tiba Gak Bin Tong berkata hingga gadis itu terkejut dan heran, demikianpun Sin Wan.

“Mengapa begitu?” Sin Wan bertanya.

“Mereka telah mengetahui bahwa Suma-Siocia dibawa ke tempat ini, maka aku kuatir kalau-kalau ada orang menyerbu kesini. Lebih baik Lihiap tinggal di sini menjaga Suma-Siocia, pula Suma-Cianbu hanya dikawal oleh tiga orang yang tidak berapa tinggi kepandaiannya, sehingga agaknya tidak akan menyukarkan saudara Bun.”

Sin Wan menganggap omongan ini betul juga, maka setelah memesan agar Giok Ciu berhati-hati, ia lalu pergi ke hutan yang berada di sebelah selatan tembok kota. Sementara itu, setelah Sin Wan pergi, Giok Ciu mempersilahkan Gak Bin Tong masuk Kelenteng dan duduk di ruang tamu, dimana mereka bercakap-cakap dengan asik, karena Gak Bin Tong memang pandai berkata-kata.

Pemuda ini selain tinggi kepandaian silatnya, juga sudah berpengalaman dan ia menarik perhatian Giok Ciu dengan ceritanya tentang berbagai tempat yang ramai. Kemudia pembicaraan mereka tertuju kepada persoalan yang mereka hadapi dan mereka membicarakan Suma-Cianbu.

“Memang kapten she Suma itu cukup banyak mengurbankan jiwa orang-orang gagah hingga banyak orang gagah sakit hati kepadanya,” kata Gak Bin Tong dengan gemas, kemudian suaranya melembut ketika ia melanjutkan kata-katanya.

“Tapi puterinya Suma-Siocia, berbeda jauh dengan Ayahnya itu. Ia adalah seorang gadis terpelajar tinggi, cantik jelita, dan berbudi baik, hingga ia terkenal sebagai seorang Ciankim-Siocia yang harum sekali namanya.”

“Saudara Gak, apa perlunya kau membicarakan hal gadis itu kepadaku? Aku tidak tertarik sama sekali!” kata Giok Ciu dengan sikap murung karena hatinya panas sekali mendengar gadis yang dibencinya itu dipuji-puji orang didepannya.

Gak Bin Tong tersenyum dan pura-pura tidak tahu akan sikap gadis itu. Ia menghela napas. “Tapi puteri itu terlalu angkuh dan tinggi hati. Tiada seorang pemuda diacuhkannya, agaknya memang saudara Bun saja yang pantas untuk memetik bunga harum itu!”

Mata Giok Ciu menyambarnya dengan tajam, “Apa katamu? Apa... Apa maksudmu?”

Gak Bin Tong memandang dengan kaget dan heran terbayang nyata di mukanya yang cakap. “Eh, kau belum tahukah, Kwie Lihiap?”

“Tahu apa?”

“Saudara Bun jatuh hati kepada gadis cantik itu.”

Giok Ciu menahan debaran jantungnya dengan menggigit bibir, “Aah masak, Bun Twako tidak semudah itu jatuh hati!”

“Ha ha ha! Memang, saudara dekat tak mungkin mengetahui isi hati kakak seperguruannya yang tiap hari dekat dan merupakan seperti saudara sendiri. Mungkin juga Bun-Lauwte malu-malu untuk mengaku padamu, tapi apakah kau tidak dapat menduga? Kalau dia tidak cinta kepada gadis itu, tak perlu ia menculiknya, bukan?”

“Sudahlah jangan bicarakan soal ini!” kata Giok Ciu dengan gemas dan tak senang.

“Maaf, Lihiap. Tapi sungguh aku heran melihat sikapmu. Apakah kau tidak ikut gembira melihat kakak seperguruanmu mendapat jodoh seorang gadis yang demikian cantik dan bijaksana seperti Suma Li Lian itu? Aku sendiri yang hanya menjadi kawan barunya, ikut merasa gembira dan girang!”

Terpaksa Giok Ciu menyembunyikan perasaannya dan menjawab, “Bukan aku tidak girang, tapi itu bukanlah urusanku, dan pula, aku masih tidak percaya bahwa Bun Twako mencinta gadis anak musuh kami itu. Sungguh tak masuk akal dan mustahil!” Gak Bin Tong bangun dan berdiri dari bangku yang didudukinya.

“Kwi Lihiap, aku Gak Bin Tong tidak biasa membohong. Kalau kau hendak membuktikan kebenaran bicaraku, coba kau buktikan dan baik kita sama-sama lihat siapa yang lebih tepat dugaannya. Kalau ternyata aku memang keliru sangka , aku bersedia meminta maaf kepadamu, dan kepada saudara Bun!”

Giok Ciu tersenyum dan sebetulnya ia tak ingin melayani orang yang cerewet seperti pemuda ini, namun di dalam hatinya telah menyala api yang dicetus oleh kata-kata Gak Bin Tong tadi. Ia lalu bertanya,

“Dengan cara bagaimanakah kita membuktikan itu?”

“Mudah saja. Kalau saudara Bun datang, coba kau beritahu padanya bahwa kau telah membunuh mati nona Suma itu, coba kita bagaimana sikapnya terhadapmu. Bukankah ini ujian yang baik sekali? Kalau ia mencinta Suma-Siocia, pasti ia akan marah dan sedih sekali.”

Giok Ciu mengangguk-angguk dan anggap bahwa ujian itu baik dan tepat sekali, maka ia merasa setuju. Setelah bercakap-cakap lagi beberapa lama, beberapa kali Gak Bin Tong menutup mulut dengan tangan dan menguap.

“Saudara Gak. Kalau kau lelah dan mengantuk, tidurlah di kamar Bun Twako. Akupun hendak beristirahat di kamarku sambil menanti kembalinya Bun Twako.”

Gak Bin Tong menyatakan setuju dan ia lalu menuju ke kamar Sin Wan dan gadis itupun lalu memasuki kamarnya.

Karena memang semalam tidak tidur, maka cepat sekali Giok Ciu pulas di atas pembaringannya. Dari jauh masih terdengar suara ayam jantan menyambut datangnya pagi.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Sementara itu, Sin Wan seorang diri lari menyusul dan mencegat musuh besarnya di dalam hutan sebelah selatan. Ternyata pemberitahuan Gak Bin Tong terbukti. Karena belum lama ia menanti, dari jauh terdengar suara kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah sebuah kendaraan yang diiringi empat orang berkuda.


Dari tempat persembunyiannya, Sin Wan melihat bahwa empat orang yang berkuda itu adalah Suma-Cianbu sendiri dan tiga orang lain yang kelihatan gagah, sedangkan ia dapat menduga bahwa yang berada di dalam kereta itu tentu Nyonya Suma. Setelah rombongan tiba dekat, ia meloncat keluar dengan pedang Pek Liong Pokiam berkilau di tangan.

“Suma-Cianbu! Sekarang tibalah saatnya kau membayar hutangmu!”

Secepat kilat Sin Wan meloncat menubruk dan mengirim tusukan maut yang diteruskan dengan bacokan hebat. Suma-Cianbu terkejut sekali dan segera menggulingkan diri dari atas kudanya dan...

“Caapp!” pedang pemuda itu masuk ke dalam perut kuda dan hampir menabas potong tubuh kuda itu.

Suma-Cianbu dan tiga orang pengawalnya segera mengurung Sin Wan. Tiga orang pengawalnya itupun telah meloncat turun dari kuda masing-masing dan menyerang Sin Wan dengan hebat. Ternyata mereka itu memiliki kepandaian yang lihat juga hingga untuk sementara waktu Sin Wan belum juga berhasil merobohkan lawannya.

Dengan gemas sekali Sin Wan lalu mengeluarkan jurus-jurus dari Pek Liong Kiam-Sut yang paling hebat dan kini gerakannya berhasil. Sambil mengeluarkan teriakan ngeri seorang pengawal roboh dengan dada tertembus pedang! Tapi pada saat itu juga seorang pengawal lain yang tubuhnya tinggi besar menggerakkan tangan dan lima buah senjata berwarna hitam menyambar ke arah Sin Wan!

Pada saat itu senjata di tangan Suma-Cianbu, yakni Hong-Twi Siang-Kiam pedang sepasang yang lihai itu bergerak dengan nekad dan mati-matian mengirim dua serangan dari kanan kiri, maka dalam keadaan masih berkelit dan menangkis seragan ini, datangnya lima senjata rahasia yang menyambar tempat-tempat berbahaya itu sungguh mengejutkan!

Namun Sin Wan mempunyai gerakan yang lincah dan gesit sekali. Pedangnya yang tadi dipakai menangkis sengaja dipentalkan dan dapat menyampok pergi tiga batang senjata rahasia itu yang ternyata adalah piauw-piauw beracun!

Dua batang lagi yang menyambar ke arah leher dapat ia kelitkan sambil miringkan kepala, tapi pada saat itu datang lagi sebatang piauw dari belakang dan biarpun ia telah miringkan tubuh, senjata itu tetap masih menancap di pundak kirinya! Sin Wan marah sekali, ia meloncat menerjang dan pengirim piauw itu roboh dengan kepala terpisah dari tubuhnya!

Dengan beringas Sin Wan lalu mengamuk dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Pengeroyoknya yang hanya tinggal Suma-Cianbu dan seorang pengawal itu mana dapat menahan amukan murid Bu Beng Sianjin ini. Sebentar saja pengawal ke tiga itu roboh dengan nyawa melayang.

Biarpun hanya tinggal seorang diri menghadapi pemuda yang hebat mengerikan ini, Suma-Cianbu tidak mau mundur atau lari, karena selain ia harus melindungi isterinya yang berada di dalam kereta, iapun tahu bahwa sia-sia saja untuk lari. Ia melawan dengan nekad sekali, tapi karena kepandaian Sin Wan jauh lebih tinggi dari kepandaiannya, dengan tipu gerakan Pek Liong Chio-Sin atau Naga Putih Rebut Hati, pedangnya berhasil menusuk dada kiri Suma-Cianbu yang menjerit ngeri dan roboh dengan tak dapat berkutik pula.

Untuk beberapa saat Sin Wan memandang pada musuhnya yang mengucur keluar dan membasahi seluruh pakaiannya itu. Ia merasa puas, puas sekali! Kemudian ia mendengar teriakan ngeri dan dari dalam kereta itu keluarlah seorang wanita yang berlari-lari menghampiri tubuh Suma-Cianbu. Ia adalah Suma-Hujin yang menubruk jenazah suaminya dan memeluknya sambil menjerit-jerit.

Sin Wan sedikitpun tidak merasa terharu, bahkan ia lalu teringat betapa ia dulu juga seperti nyonya itu, menangis dan memeluki tubuh Ibu dan Kakeknya! Nyonya Suma lalu berdiri dan berpaling kepadanya,

“Kau... kau... semua ini telah demikian kejam! Kau sungguh orang rendah!”

Sin Wan tersenyum mengejek, “Tidak serendah suamimu yang membunuh mati Ibuku dan Kakekku!”

“Tapi... mengapa kau tidak hanya membalas suamiku saja? Mengapa kau menculik anakku? Li Lian kau bawa kemana?”

Sin Wan menjawab angkuh, “Jangan kuatir, anakmu takkan kuganggu. Ia pasti akan pulang ini hari juga. Sekarang aku telah membalas dendam dan tidak butuh lagi bantuan anakmu.”

“Kau... kau... bangsat hina! Kalau kau... mengganggu anakku... lebih baik kau bunuh dia dan kau bunuh aku juga!”

“Tutup mulutmu!” Sin Wan membentak marah. “Kau kira aku ini orang macam apakah? Aku adalah seorang yang mengutamakan kegagahan dan perbuatan rendah macam itu tak mungkin kulakukan. Kau pulanglah dan sebentar lagi aku lepaskan puterimu untuk pulang pula.”

“Kau... berani bersumpah bahwa kau tidak mengganggu Li Lian?”

Marahlah Sin Wan mendengar ini. Kalau yang bicara itu seorang laki-laki mungkin ia sudah mengirim tendangan atau pukulan! “Aku bersumpah demi kehormatanku!”

Kemudian ia membalikkan tubuh dan lari pergi meninggalkan nyonya yang masih menangisi suaminya itu. Ketika ia tiba di Kelenteng, hari telah agak siang dan ia disambut oleh Giok Ciu dan Gak Bin Tong. Ia melihat betapa wajah pemuda itu agak pucat dan datang-datang ia bertanya cepat,

“Saudara Bun, bagaimanakah hasilnya?”

“Ya, bagaimana Twako? Berhasilkah kau?”

Sin Wan membanting dirinya di atas bangku. Ia lelah sekali, karena semenjak ia mencabut piauw yang menancap di pundak kanannya, ia merasa betapa pundaknya merasa ngilu dan pegal sekali, juga ada rasa gatal-gatal sedikit. Tapi ia mengeraskan hati dan mempertahankan rasa sakitnya.

“Aku berhasil,” katanya sambil mengangguk, “Suma-Cianbu telah kubunuh mati bersama tiga orang pengawalnya!”

Giranglah wajah Giok Ciu mendengar ini, dan sambil mendongak ke atas ia berbisik, “Ayah, seorang musuh telah mampus!”

Pada saat itu Gak Bin Tong diam-diam memberi isyarat dengan kejapan mata kepada Giok Ciu. Gadis itu teringat lalu berkata kepada Sin Wan dengan perlahan,

“Twako, aku tidak mau bertindak kepalang tanggung. Aku juga bunuh mati gadis she Suma anak musuh kita itu.”

Tiba-tiba Sin Wan meloncat bangun. Wajahnya pucat bagaikan mayat dan kedua matanya terbelalak sedangkan bibirnya menggigil. “Kau... kau bunuh mati Suma Li Lian??”

Melihat sikap pemuda seperti ini, naiklah darah Giok Ciu. Sambil mengangkat dada ia menjawab, “Ya, aku bunuh dia! Kau sedih dan menyesal?”

Sin Wan tumbuh-tumbuk kepalanya dan berseru, “Celaka...!” dan hampir saja ia tampar muka gadis itu karena marahnya.

Ia tela bersumpah takkan mengganggu gadis itu, telah bersumpah demi kehormatannya kepada Ibu gadis itu, dan sekarang Giok Ciu membunuh gadis itu tanpa bertanya lebih dulu padanya. Celaka benar-benar! Dengan cepat dan bingung sekali Sin Wan meloncat ke dalam dan berlari-lari ke arah kamar Suma Li Lian.

Pintu kamar itu tertutup dan ia segera mendorong pintu itu terbuka dan meloncat masuk. Tapi, tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung ketika melihat gadis cantik jelita itu bukannya rebah menjadi mayat di atas pembaringan, tapi sedang duduk dengan muka berseri-seri melihat kedatangannya!

Gadis itu mengenakan pakaian dalam yang ringkas dan memperlihatkan potongan tubuh yang menggairahkan, sedangkan sepasang matanya berseri-seri memandangnya dan sepasang pipinya kemerah-merahan! Tiba-tiba Suma Li Lian turun dari pembaringannya dan lari menghampirinya.

Sebelum Sin Wan hilang terkejutnya dan dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh gadis itu, tahu-tahu Suma Li Lian telah memeluknya dan merangkul lehernya! Muka gadis itu disembunyikan ke dada dalam rangkulan mesra sekali! Sin Wan menjadi bingung dan buru-buru ia melepaskan rangkulan orang, lalu bertindak mundur.

“Eh, eh... Siocia, jangan... jangan begitu!”

“Koko... kenapa kau sebut aku Siocia...?” Suma Li Lian berkata lirih dengan nada yang mesra sekali.

Makin terkejutlah hati Sin Wan melihat dan mendengar ini. Ia merasa kasihan sekali dan menyangka bahwa gadis itu tentu telah berubah menjadi gila! Maka ia hendak berlaku tegas dan cepat saja.

“Nona dengarlah baik-baik. Kau telah bebas kini. Aku tidak menahanmu lagi. Kau boleh pulang dan kau bisa minta Nikouw disini mengantarmu. Dan sebelum kita berpisah, lebih baik aku beritahukan dulu padamu. Aku telah berhasil membunuh Ayahmu, musuh besarku yang dulu membunuh Ibu dan Kakekku!”

Suma Li Lian menjerit lirih dan menutup muka dengan kedua tangannya. Ia terhuyung mundur dan menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis.

“Ayah... Ayah...” demikian ratapnya.

Sin Wan hanya berdiri dan memandangnya dengan mata bersinar dingin. Kemudian ia berkata, “Nona Suma! Aku telah berjanji kepad Ibumu untuk membebaskan kau. Nah selamat berpisah. Aku akan pergi dulu dari sini dan kita takkan bertemu pula, kecuali kalau kau menaruh dendam kepadaku karena Ayahmu kubunuh. Kalau demikian halnya, maka sewaktu-waktu kau boleh membalas sakit hatimu dan mencari aku ke puncak Kam-Hong-San!”

“Koko... Koko... begitu kejamkah hatimu...? Sampai hatikah kau setelah apa yang terjadi pada waktu fajar tadi...Koko...?”

Gadis itu berdiri dan lari hendak memeluknya tapi Sin Wan segera meloncat keluar dan menutup daun pintu dengan keras. Ia hanya mendengar isak tangis gadis itu. Diam-diam ia merasa kasihan juga karena menganggap bahwa benar-benar gadis itu telah menjadi gila!

Ketika bertemu Giok Ciu, Sin Wan berkata, “Maafkan sikapku tadi, moi-moi! Tapi, sebenarnya apakah maksudmu dengan membohongi seperti itu?”

Kalau saja tadi Giok Ciu tidak mendengar kata-kata Sin Wan terhadap Suma Li Lian yang jelas menyatakan bahwa di dalam hati pemuda itu tidak ada perasaan apa-apa terhadap Li Lian, tentu Giok Ciu masih marah dan cemburu. Sekarang ia hanya balas bertanya,

“Coba kau jawab dulu, Twako. Mengapa ketika mendengar kematian gadis itu kau menjadi pucat sekali seakan-akan seorang yang hancur hatinya?”

“Moi-moi... kau... kau tidak tahu. Aku telah bersumpah kepada Ibu gadis itu bahwa aku takkan mengganggu Li Lian, maka tentu saja aku terkejut dan bingung ketika mendengar bahwa kau telah membunuhnya! Dan... dan tentang wajahku yang pucat... agaknya dari lukaku inilah... aku... sekarang juga aku merasa pening sekali...”

“Kau terluka, Koko? Mana yang terluka?”

Suara gadis itu penuh perhatian dan kecemasan hingga diam-diam Sin Wan merasa geli melihat watak gadis kekasihnya yang sebentar marah sebentar mesra sikapnya itu. Setelah memeriksa luka di pundak Sin Wan yang menjadi hitam, maka gadis itu berkata,

“Twako, luka di pundakmu adalah akibat senjata beracun, warnanya hitam sekali. Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedangmu dapat digunakan untuk mengobati pengaruh bisa yang hitam bekasnya? Mari kita coba.”

Sin Wan juga teringat akan pesan Suhunya itu, maka dengan tangan lemah ia mencabut Pek Liong Pokiam dan memberikan pedang itu kepada Giok Ciu. Gadis itu lalu mencuci bersih ujung pedang putih itu, lalu merendam pedang di dalam arak untuk beberapa lamanya. Kemudian ia memberikan arak itu kepada Sin Wan yang lalu meminumnya sebagian dan sebagian pula dipakai mencuci luka itu.

Heran sekali, setelah terkena arak rendaman Pek Liong Pokiam, dari luka itu mengalir darah seakan-akan tersedot keluar. Darah itu hitam sekali warnanya. Setelah racun itu keluar dari pundaknya, Sin Wan memandang sekeliling dan bertanya,

“Eh, dimanakah saudara Gak? Sejak tadi aku tidak melihatnya!”

Giok Ciu cemberut dan teringat akan gara-gara yang ditimbulkan oleh pemuda muka putih.

“Entahlah, dia sudah pergi tadi, tanpa memberi tahu padaku. Agaknya ia tak enak hati melihat kita bertengkar tadi.”

“Giok Ciu, mari kia cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Karena Suma-Cianbu terbunuh olehku, tak lama lagi tentu datang pahlawan-pahlawan mencari kita di sini, sedangkan tenagaku masih lemah.”

“Memang seharusnya kita cepat-cepat pergi. Maksud membalas dendam telah tercapai, untuk apa lama-lama tinggal di kota ini?” Kata Giok Ciu yang sebenarnya ingin lekas-lekas mengajak Sin Wan pergi meninggalkan Suma Li Lian!

Mereka lalu pergi dan karena masih banyak musuh-musuh yang belum terbalas, mereka segera menuju ke Siauw-San untuk mencari musuh-musuh mereka nomor dua, yakni Siauw-San Ngo-Sinto Lima Golok Sakti dari Siauw-San!

Karena luka Sin Wan, biarpun setelah racunnya keluar hanya merupakan luka tidak berbahaya, namun atas desakan Giok Ciu, mereka melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Dengan cara begini berangsur-angsur luka itu sembuh kembali.

Sementara itu, tanpa terasa mereka telah melakukan perjalanan sepuluh hari lebih. Pada suatu hari mereka tiba di dusun Tung-Kwang yang berada di kaki bukit Siauw-San. Ketika memasuki pintu dusun itu, mereka melihat empat penunggang kuda membalapkan binatang tunggangan mereka ke dalam dusun.

Di punggung keempat orang itu tampak gagang pedang hingga Sin Wan dan Giok Ciu dapat menduga bahwa mereka tentu ahli-ahli silat, juga dari cara mereka duduk di atas kuda dapat diketahui bahwa mereka mempunyai kepandaian yang tidak rendah.

Ternyata dusun itu ramai juga dan kedua anak muda itu berhenti di sebuah kedai untuk mengisi perut mereka yang lapar. Penjaga kedai itu melirik ke arah gagang pedang mereka dan dengan senyum menghormat ia berkata,

“Ah, jiwi engku tentu akan mengunjungi Ngo Lo-Enghiong di puncak Siauw-San, bukan? Hari ini telah lebih dari dua puluh orang-orang gagah yang lewat disini perjalanan mereka ke sana.”

Sin Wan dan Giok Ciu dengan sikap acuh dan tak acuh lalu duduk memesan masakan.

“Apakah keempat orang gagah berkuda tadi juga kesana?” Tanya Sin Wan sambil lalu.

“Tentu saja, habis kemana lagi? Tapi mereka agaknya tergesa-gesa sekali hingga tidak singgah di warungku. Mereka hanya membeli bakpauw dan membawanya berkuda terus mendaki Siauw-San."

Sin Wan dan Giok Ciu menduga-duga. Ada terjadi apakah di puncak gunung Siauw-San hingga banyak orang gagah mengunjungi Ngo-Sinto?

“Tentu kali ini banyak yang datang mengunjungi Ngo Lo-Enghiong, bukan?” Tanyanya dengan cerdik untuk memancing keterangan. Ternyata pancingannya berhasil karena penjaga kedai yang doyan omong itu lalu berkata,

“Tentu saja! Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, Twa Lo-Enghiong mengadakan pesta besar dan mengundang banyak orang gagah. Menurut penuturan Aliok yang dipanggil ke sana untuk membantu memasak, Ngo Lo-Enghiong membuat pesta besar dan memotong tiga ekor babi gemuk dan puluhan ekor ayam. Bahkan bumbu-bumbu telah di datangkan dari kota Cin-Lok-An sampai hampir satu gerobak banyaknya! Pendeknya, jiwi kali ini naik ke sana akan menikmati pesta besar!”

Sin Wan dan Giok Ciu tersenyum dan mempercepat makannya.

“Kalau aku tidak salah ingat, pesta itu diadakan besok pagi, bukan? Karena kami hanya mendengar dari teman-teman, mungkin keliru?”

Penjaga itu memandang mereka dengan wajah lucu. “Eh, bagaimana jiwi bisa keliru? Pesta itu diadakan sore hari ini, kalau datang besok pagi, tentu terlambat dan tidak mendapat bagian hidangan lezat!”

“Kalau begitu, kami harus pergi sekarang juga!” kata Sin Wan yang segera membayar harga makanan dan mengajak Giok Ciu meninggalkan warung itu.

Ketika mereka telah jauh dari situ, ditengah jalan Giok Ciu berkata, “Twako mengapa kau tergesa-gesa benar? Bukankah lebih baik kalau kita datang besok saja setelah semua tamu pergi? Kalau kita datang sekarang, jangan-jangan kita menimbulkan keributan dan mendapat musuh-musuh baru.”

Sin Wan memandang gadis itu. “Moi-moi, aku mengerti akan maksudmu, dan dipandang sepintas lalu memang benar sekali pendapatmu tadi. Tapi, ketahuilah bahwa Siauw-San Ngo-Sinto adalah orang-orang gagah yang ternama sekali walaupun mereka itu menjadi anjing-anjing penjilat Kaisar. Kalau kita diam-diam bunuh mereka, maka orang-orang gagah di kalangan kang-ouw akan bisa salah sangka terhadap kita. Tapi sekarang kebetulan sekali di sana banyak berkumpul orang-orang kang-ouw hingga biarlah mereka yang menjadi saksi bahwa kita membunuh mereka hanya untuk membalas dendam dan menagih hutang jiwa!”

Giok Ciu mengangguk-angguk. “Mungkin kau benar, Twako. Lagipula, bagiku sih sama saja, pokoknya asal kita bisa berhasil membunuh anjing-anjing tua itu. Ada banyak orang atau tidak, aku tidak takut!”

Sin Wan tersenyum melihat sikap yang tabah dan agak jumawa dari Giok Ciu itu. Mereka segera keluar dari dusun itu dan menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk mendaki Gunung Siauw-San yang tidak seberapa besarnya tapi tanahnya sangat subur itu. Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di lereng puncak Siauw-San. Dari jauh telah nampak berkelap-kelipnya cahaya penerangan di atas puncak di mana terdapat sebuah bangunan besar, yakni sebuah Bio tua yang di cat indah dan menjadi tempat pertapaan Siauw-San Ngo-Sinto.

Pada saat itu, Siauw-San Ngo-Sinto sedang sibuk menyambut para tamu dan mengepalai para pelayan mengeluarkan hidangan. Kelima saudara itu berpencar dan masing-masing sibuk mendekati setiap tamu untuk diajak bercakap-cakap dan beramah tamah. Saudara tertua dari Ngo-Sinto itu yang kini sedang dirayakan hari kelahirannya yang ke enam puluh, adalah seorang tinggi besar dan disebut Twa-Sinto atau Golok Sakti Tertua.

Yang ke dua, yakni Ji-Sinto adalah seorang tinggi kurus dan bermuka pucat. Kelima saudara secabang ini memang ahli golok yang pandai, tapi di samping kepandaian bermain golok, masing-masing masih mempunyai kepandaian istimewa. Twa-Sinto atau yang tertua memiliki kepandaian melempar huito atau golok terbang yang melengkung dan jika dilempar ke arah lawan dapat terbang kembali dan menyambar pula, maka biarpun golok itu dapat dikelit, tapi ia akan memutar kembali dan melakukan serangan kedua!

Dan hebatnya, ia bisa melepas tiga buah golok sekali lempar! Yang kedua, yakni Ji-Sinto yag bermuka pucat itu, mempunyai ilmu Pasir Besi atau Tiat-See-Ciang, yakni kedua tangannya telah terlatih sedemikian rupa hingga sanggup menyambut senjata tajam. Dan juga dapat digunakan sebagai senjata yang cukup ampuh karena tangan itu telah berpuluh tahun digembleng dan dilatih dengan menggunakan bubuk besi atau pasir besi yang diremas-remas dan dipukul-pukul.

Yang ketiga atau Sam-Sinto yang pendek gemuk memiliki ilmu tendangan yang sangat berbahaya, yakni yang disebut Siauw-Cu-Twie, yang dapat dilakukan bertubi-tubi dan sangat berbahaya, terutama terhadap musuh yang tidak memiliki ginkang tinggi dan kegesitan pasti akan tertendang roboh!

Orang ke empat yang tubuhnya tinggi besar juga, memiliki ilmu weduk Kim-Ciong-Ko dan ia sanggup untuk menerima pukulan senjata tajam tanpa terluka kulitnya!

Sedangkan orang yang ke lima, yang bertubuh sedang dan berwajah cakap, juga usinya termuda, kurang lebih puluh lima tahun, adalah seorang ahli Liap-Kang Pek-Ko-Chiu atau ilmu keraskan tangan yang lebih berbahaya dari pada Tiat-See-Ciang. Karena dengan jari-jarinya yang dilempangkan dan keras laksana baja, ia sanggup menyerang lawan dengan Coat-Meh-Hoa atau ilmu totok dari Bu-Tong-Pai yang tak mencari urat atau jalan darah ketika digunakannya!

Karena mereka ini rata-rata lihai sekali, maka banyak orang-orang gagah yang kenal baik nama mereka dan jauh-jauh memerlukan datang untuk memberi selamat kepada saudara tertua atau Twa-Sinto dari Ngo-Sinto ini.

Memang sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini kelima jago tua yang lihai itu kena terpikat bujukan dan pikatan harta benda dan kemulian dunia oleh orang-orang kaki tangan Kaisar hingga mereka 'kesalahan tangan' dan membunuh mati Kang Lam Ciuhiap atau Kakek Sin Wan dan karenanya mereka berlima menanam bibit permusuhan dengan Sin Wan.

Bio atau Kuil tua di puncak Siauw-San itu sangat besar dan mempunyai ruang depan yang luas. Di situ berkumpul kurang lebih tiga puluh orang tamu dari macam-macam golongan, ada yang masih muda sekali, ada pula yang telah Kakek-kakek. Ada yang berpakaian sebagai piauwsu, sebagai guru silat, dan banyak juga yang berpakaian Hwesio berkepala gundul dan pertapa-pertapa lain, seperti Tosu dan sebagainya.

Ketika datang empat orang penunggang kuda yang tampaknya sangat tergesa-gesa, maka keempat orang tamu itu cepat menjumpai tuan rumah dan memberitahukan sesuatu. Kelima Ngo-Sinto terkejut sekali tampaknya dan mereka lalu menghadapi semua tamu sambil minta mereka tenang. Kemudian saudara tertua dari Ngo-Sinto berkata,

“Cuwi yang terhomat. Kami berlima sangat berterima kasih dan bergembira dengan kunjunga cuwi sekalian, tapi sayang sekali kami mendengar berita buruk yang baru saja datang dari kota raja! Ternyata bahwa beberapa orang anak pemberontak yang dulu di basmi oleh Suma-Cianbu dengan bantuan tenaga kami, kini telah mengacau di kota raja dan berhasil membunuh Suma-Cianbu yang gagah itu. Dan menurut pembawa berita, maka selain membunuh Suma-Cianbu dan menodai puterinya, juga dua orang pemberontak itu agaknya menuju ke sini untuk mencari kami!”

Terdengar suara marah di sana sini, yakni dikalangan orang-orang yang memang tidak menyetujui sepak terjang para orang gagah yang sengaja mengacau pemerintahan yang mereka anggap tidak adil. Tapi di kalangan beberapa orang gagah yang duduk di situ, berita itu di anggap biasa saja dan bukan urusan mereka.

“Ah mengapa Ngo-Wi Lo-Enghiong pusingkan pengacauan yang dilakukan oleh beberapa ekor tikus kecil saja!” kata seorang anak muda yang bersikap gagah dan berpakaian indah.

“Kami berlima bukannya merasa takut dan bingung, sama sekali tidak!” jawab Ji-Sinto. “Akan tetapi, setidak-tidaknya kalau mereka itu berani datang, tentu akan mengacaukan suasana pesta ini dan dengan demikian membikin tidak enak kepada cuwi sekalian yang mulia.”

“Biarkan mereka datang, nanti kami sambut mereka bersama. Sebagai tamu sudah sepantasnya kalau kita membela tuan rumah,” jawab seorang tamu lain.

Mendengar ini, kelima orang tuan rumah itu merasa lega dan senang. Mereka menjura keempat penjuru dan berkata, “Terima kasih banyak atas budi kecintaan dan rasa setia kawan cuwi, tapi agaknya kalau baru dua orang anak pemberontak saja, tulang-tulang kami yang tua masih sanggup untuk melayani mereka!”

Para tamu lalu melanjutkan pesta mereka dengan gembira. Tapi diam-diam Siauw-San Ngo-Sinto bersiap, bahkan lalu mereka menyuruh orang mengambil golok mereka untuk disediakan di situ dan Twa-Sinto sendiri diam-diam lalu memasang kantung huito di atas punggungnya. Mereka telah mendengar dari keempat tamu pembawa berita dari kota raja tadi bahwa pembunuh-pembunuh Suma-Cianbu memiliki kepandaian tinggi, juga ada pesan dari Cun Cun Hoatsu agar mereka berhati-hati!

Oleh karena inilah mereka berlaku waspada dan agak merasa lega karena banyak di antara para tamu adalah orang-orang gagah yang mereka bisa diharapkan bantuannya. Ketika pesta sedang berjalan ramai-ramainya, tiba-tiba api lilin di meja tengah bergoyang-goyang hampir padam dan tahu-tahu disitu telah berdiri dua orang anak muda, seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang keduanya bersikap gagah sekali.

“Ngo-Sinto keluarlah untuk membuat perhitungan lama!” Pemuda itu berkata dengan suara nyaring dan tenang, sedangkan gadis jelita itu menggunakan sepasang matanya yang tajam bagaikan sepasang bintang pagi itu untuk menatap orang-orang di sekelilingnya!

Pada saat itu, tiba-tiba dari belakang mereka melayang tiga batang huito atau golok terbang yang menyambar cepat sekali! Biarpun tidak melihat datangnya senjata hebat ini, namun telinga Sin Wan dan Giok Ciu yang tajam dapat menangkap sambaran angin senjata itu, maka mereka lalu berkelit ke kiri dan kekanan sehingga tiga batang golok kecil itu terbang di samping mereka. Tapi golok itu segera membelok dan melayang kembali menyerang ke dua orang muda itu!

Sin Wan dan Giok Ciu walaupun merasa terkejut dan kagum melihat kehebatan senjata rahasia ini, berlaku tenang. Dengan gerakan cepat Sin Wan dapat menangkap sebuah senjata yang melayang ke arahnya, sedangkan Giok Ciu yang hendak pertontonkan kepandaiannya sambil meloncat berjungkir balik ia berhasil menyambut dua batang huito di tangan kanan kirinya.

Pada saat itu, kembali dari arah belakang, Twa-Sinto melepas tiga batang golok lagi. Tapi sekali ayunkan kedua tangannya, sepasang golok di tangan Giok Ciu melayang dan membentur dua batang golok yang datang menyambar itu hingga empat buah golok terbang jauh di tanah mengeluarkan suara berkerontangan.

Sedangkan Sin Wan menggunakan golok rampasannya unuk menyabet golok ketiga yang datang menyambar hingga golok itupun terpukul jatuh, kemudian dengan menggunakan dua jari tangannya, ia tekuk golok tiu patah menjadi dua potong! Tiba-tiba Sin Wan tertawa bergelak-gelak dengan suara mengandung penuh ejekan, lalu katanya,

“Aah, tak kusangka bahwa nama besar kelima golok Sakti dari Siauw-San tak lain hanya nama kosong belaka! Lima orang tua yang menyebut diri sebagai orang-orang gagah itu ternyata hanya lima orang pengecut yang menyambut kedatangan tamu dengan senjata gelap yang dilepas dari belakang pula!”

Ketika melihat kelihaian kedua orang muda itu, pelepas golok terbang, yakni Twa-Sinto sendiri, merasa terkejut sekali. Tapi ia tidak mau kehilangan muka di depan para tamunya, maka ia membentak keras,

“Sepasang tikus kecil, kalian sungguh kurang ajar berani mengacau pesta kami dan menghina serta tidak pandang sebelah mata kepada para tamu yang gagah perkasa! Apa kalian sudah bosan hidup?”

Sin Wan dan Giok Ciu memutar tubuh menghadapi pembicara ini yang ternyata seorang tua tingi besar yang sikapnya sangat jumawa dan gagah. Mereka belum menjawab dan menduga-duga ketika seorang muda yang berpakaian indah dan bersikap sombong meloncat dengan gerakan indah dan berdiri di depan Si Wan, lalu menuding dengan jari telunjuknya dan berkata,

“Kau ini siluman dari mana berani mengacau di sini dan tidak mengindahkan tuan rumah? Kepandaian apakah yang kau miliki maka kau berani membikin ribut-ribut?”

Sin Wan dengan tak acuh mengerling ke arah orang itu. Ternyata ia masih muda, paling banyak tiga puluh tahun, sikapnya gagah dan jumawa sekali, pakaiannya dari sutera yang atas kuning, yang bawah biru, dan lagaknya tengil sekali dengan mata liarnya yang saban-saban mengerling tajam ke arah Giok Ciu!

“Kau anak-anak tahu apa, jangan ikut campur. Pergilah!” kata Sin Wan.

Marahlah orang itu mendengar ejekan ini. Ia mencabut pedangnya dan meloncat mudur ke tempat lega sambil menggerak-gerakkan pedangnya dengan cepat dan bertenaga hingga pedang itu menerbitkan suara bersiutan. Katanya dengan suara keras.

“Kau bangsat pemberontak! Tak tahukah kau siapa aku? Aku adalah wakil cabang Kun-Lun-Pai dan kau tidak boleh pandang rendah padaku sesukamu saja. Lihat pedang Kun-Lun-Pai akan menghukum orang-orang sombong yang menghina kaumnya!”

Giok Ciu memberi isyarat kepada Sin Wan dengan matanya, lalu iapun meloncat menghadapi orang itu. Ia menjura dengan senyum manis lalu berkata,

“Maaf! Kalau kami tidak mengenal seorang tokoh dari Kun-Lun-Pai yang terbesar. Tidak tahu siapakah hohan dan apa pula gelarnya?”

Melihat sikap Giok Ciu yang sopan dan memuji-mujinya, si baju sutera menjadi girang sekali dan ia makin berlagak, bahkan kini angkat-angkat dadanya ke depan sebelum menjawab sambil melihat ke kanan kiri.

“Hem, kau jauh lebih sopan dan baik jika dibandingkan dengan kawanmu itu, nona. Sungguh heran bisa bersahabat dengan orang kasar itu! Ketahuilah, aku adalah Hui Tat dan disebut orang Eng-Jiauw-Kam atau Pedang Kuku Garuda! Kalau kau menyatakan maaf kepada tuan rumah, aku Hui Tat suka bikin habis perkara ini, tapi kawanmu yang kasar itu jangan harap akan dapat terlepas dari pedangku!”

Giok Ciu mengingat-ingat dan sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang bernama atau berjuluk seperti itu. Ia tahu betul akan nama-nama para tokoh Kun-Lun-Pai karena dulu seringkali Ayahnya yang juga seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang ternama menceritakannya.....



BERSAMBUNGKE JILID 07





















Terima kasih telah membaca Serial ini.




No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12