Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 06
Pemuda itu
dengan tenang menangkis keras dan Pangeran Lu dengan mata terbelalak memandang
gagang pedangnya sendiri entah telah terlempar kemana. Sebelum ia hilang
kagetnya, tahu-tahu pedang Sin Wan menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi
pangeran itu roboh dengan kepala terpisah dari lehernya!
Sebetulnya
Pangeran Lu yang menjadi murid Kwi Kai Hoatsu, cukup memiliki kepandaian silat,
tapi karena dalam gemasnya Sin Wan datang-datang menggunakan gerak tipu Naga
Putih Menyambar Awan, mana Pangeran itu dapat menghindarkan diri dari maut!
Sin Wan
cepat ketok-ketok dan mengurut-urut pundak dan punggung Giok Ciu dan sebentar
saja lenyaplah pengaruh totokan yang melumpuhkan gadis itu. Pelayan yang
ketakutan itupun lalu dirobohkan dengan totokan.
“Kau tidak
apa-apa, moi-moi?” Tanyanya.
Giok Ciu
tersenyum manis sambil geleng-geleng kepala. “Aku tadi juga sama sekali tidak
percaya obrolan pangeran rendah ini tentang matimu,” katanya.
“Hayo kita
serbu Pendeta binatang itu!” Sin Wan berkata gemas.
“Baik, Koko,
memang aku hendak mencari dia, karena pokiamku juga berada ditangannya.”
“Apa? Ah,
kita harus rampas kembali,” kata Sin Wan. “Biarlah kita menggunakan siasat. Aku
bikin panas hatinya dan kau boleh tantang serta maki-maki dia untuk bertanding
lagi dan jangan menggunakan ilmu curang!”
Dengan cepat
keduanya lalu meloncat ke atas genteng dan langsung menuju tempat dimana Kwi
Kai Hoatsu dan Gak Bin Tong sedang main catur. Tanpa ragu-ragu lagi, Sin Wan
dan Giok Ciu meloncat turun dan menuju ke ruang itu. Kwi Kai Hoatsu tahu akan
kedatangan mereka, tapi ia sedang asyik memikirkan jalan untuk menghindari
serangan Gak Bin Tong dalam permainan itu, ia sengaja diam saja. Demikianlah
kesombongannya yang menganggap rendah tiap orang yang datang padanya.
“Tosu
siluman hayo kita bertanding lagi sampai seribu jurus tanpa menggunakan ilmu
siluman rendah dan hina!” Giok Ciu menantang sambil memandang ke arah pedang
Ouw Liong Pokiam yang benar saja terletak di atas meja di dekat papan catur.
Gak Bin Tong
memandang ke arah mereka dan pura-pura merasa kaget. Tapi Kwi Kai Hoatsu dengan
tenang menggerakkan biji caturnya dulu sebelum menengok ke arah mereka. Matanya
yang lebar dapat melihat Sin Wan yang berdiri di sebelah Giok Ciu dengan pedang
putih berkilauan di tangan, maka ia lalu mengerti bahwa gadis itu telah
tertolong.
“Hm, kalau
tertangkap lagi olehku, tentu aku akan menotok jalan darah Tai-Wi-Hiat agar kau
takkan tertolong lagi,” katanya menghina.
“Pendeta
bangsat jangan banyak mulut, kalau kau memang orang gagah, marilah kita
bertempur untuk menetapkan kepandaian siapa yang lebih unggul!” Giok Ciu
berseru.
“Moi-moi,
aku mendengar bahwa Kwi Kai Hoatsu adalah seorang tokoh di Tibet yang menduduki
kelas tiga. Tapi ternyata ia hanya mengandalkan ilmu siluman. Sedangkan
terhadap kau seorang muda saja ia sudah ketakutan setengah mati hingga mana ia
berani menghadapimu, apalagi kalau pedangmu berada di tanganmu kembali!” Sin
Wan berkata kepada Giok Ciu, cukup keras hingga terdengar oleh Kwi Kai Hoatsu.
“Anak muda
sombong! Siapakah kau berani menghina Kwi Kai Hoatsu? Apakah kau sudah bosan
hidup?” teriak Pendeta itu dengan marah.
Tapi Sin Wan
memandangnya dengan mengejek. “Kwi Kai Hoatsu! Aku adalah suheng dari nona ini.
Tadi kau telah mendengar sendiri tantangannya, dan aku ingin sekali melihat
apakah benar-benar kau bisa mengalahkan sumioku ini. Aku tidak percaya kau
begitu becus mengalahkan ilmu pedang sumoiku. Sayang kau begitu pengecut hingga
pedang sumoiku kau sembunyikan! Kalau kau bisa mengalahkan sumoiku, barulah kau
ada harga untuk mencoba kepandaianku!"
Lagak Sin
Wan dalam kata-katanya demikian jumawa hingga membuat Kwi Kai Hoatsu marah
sekali! Ia adalah seorang tokoh kenamaan dan biasanya dihormati orang, apalagi
oleh yang muda-muda. Sekarang di depan Gak Bin Tong ia dihina oleh dua anak
muda tentu saja ia murka luar biasa. Lebih-lebih ketika Gak Bin Tong yang
mengerti maksud Sin Wan, berkata kepada Kwi Kai Hoatsu,
“Kwi
Totiang, anak muda itulah yang mencari-cari Suma-Cianbu untuk dibunuhnya. Ilmu
silatnya lihai sekali.”
Kwi Kai
Hoatsu berdiri dan membanting papan caturnya. “Baiklah, aku akan menghancurkan
kepala dua binatang kecil ini!”
“Majulah
kau, Pendeta palsu. Biar aku lawan kau dengan tangan kosong!” Giok Ciu
menyombong.
Tiba-tiba Kwi
Kai Hoatsu memungut pedang Ouw Liong Pokiam dan sekali ia ajukan tangan, sambil
berseru, “Nah terimalah kembali pedangmu!”
Pedang itu
meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah dada Giok Ciu, merupakan sinar
hitam yang luar biasa! Tapi Giok Ciu dengan tenang miringkan tubuh dan ulur
tangannya dan dengan cepat pedang itu telah berada di tangannya. Inilah gerakan
hebat untuk menyambut timpukan senjata rahasia yang disebut Kwan-Imsiu-Hwa atau
Dewi Kwan Im Sambut Bunga.
“Bagus!” Kwi
Kai Hoatsu berseru dan sekejap kemudian ia telah meloncat menyerang Giok Ciu
dengan tongkat ularnya yang lihai.
Sebaliknya
Giok Ciu setelah mendapatkan kembali pedangnya, terdorong oleh hati yang sakit
karena pernah dijatuhkan dengan kecurangan oleh Tosu itu, segera menyerang
dengan sengit dan ganas sekali. Sin Wan melihat betapa Tosu itu betul-betul
kosen dan gerakan-gerakannya berbahaya hingga Giok Ciu hanya dapat
mengimbanginya saja. Kalau Tosu itu keluarkan serangan-serangan gelap yang tak
terduga, tentu gadis itu akan menjadi kurban lagi. Maka ia segera meloncat maju
sambil kelebatkan Pek Liong Pokiam dan berseru,
“Tosu
siluman, kau cukup berharga untuk mampus di tanganku!”
Melihat Sin
Wan maju, Gak Bin Tong merasa tidak pantas kalau tinggal diam, lagi pula ia
kuatir kalau-kalau dicurigai maka iapun meloncat sambil menyerang Giok Ciu dan
membentak,
“Jangan menghina
Kwi Totiang!”
Sebetulnya
orang she Gak ini hendak menggunakan kesempatan itu untuk menjajal ilmu pedang
Giok Ciu, tapi tidak disangka, Kwi Kai Hoatsu berkata padanya,
“Gak Kongcu,
jangan ikut campur. Aku masih belum perlu dibantu untuk menghadapi dua orang
anak kecil ini saja!”
Demikianlah
kesombongan Kwi Kai Hoatsu hingga ia menolak bantuan orang biarpun dirinya
dikeroyok! Terpaksa Gak Bin Tong mundur kembali dan berdiri di pinggir sambil
menonton. Majunya Sin Wan mendatangkan perubahan besar, karena biarpun dalam
hal ilmu pedang, pemuda ini tidak lebih jauh dari pada Giok Ciu tingkatannya,
namun mempunyai perbedaan gerakan yang besar sekali. Dan kini karena dua macam
ilmu pedang yang kedua-duanya hebat itu dimainkan berbareng, maka mendatangkan
serangan yang luar biasa, tidak terduga-duga dan yang tak mungkin dihadapi oleh
seorang saja!
Pendeta itu
terdesak dan dengan repot memutar-mutar tongkat ular dan kebutan yang kini
telah digunakan di tangan kirinya untuk menangkis datangnya serangan yang
bertubi-tubi itu. Beberapa kali hampir saja tubuhnya terluka oleh pedang lawan
dan jubah merahnya telah robek terkena sambaran pedang Giok Ciu, maka ia
menjadi terkejut, marah dan berbareng kagum sekali.
Belum pernah
selama hidupnya ia menghadapi lawan-lawan yang segini lihai dan memiliki
Kiam-Hwat yang luar biasa. Ia ingin menggunakan senjata-senjata rahasianya tapi
merasa malu, maka diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya untuk merobohkan
lawannya dengan sihir. Setelah tenaga batinnya terkumpul ia lalu berkata,
suaranya menggetar dan mendatangkan pengaruh menyeramkan hingga Giok Ciu merasa
bulu tengkuknya berdiri ketika Tosu itu berkata,
“Haa, kalian
anak-anak muda hendak melawan aku? Pasti kalah, pasti roboh. Lihatlah, aku
siapa, lihat, pandanglah dan roboh!”
Karena
kata-kata itu memang aneh Giok Ciu memandang heran tapi begitu pandang matanya
bertemu dengan sinar mata Kwi Kai Hoatsu, ia tiba-tiba merasa kepalanya pusing
dan berat hingga tubuhnya menjadi limbung!
“Haaa! Pasti
roboh, pasti roboh!” Sin Wan terkejut sekali, lalu dengan tangan kiri ia
memegang lengan Giok Ciu dan menyendalkan sambil berseru keras,
“Moi-moi,
jangan pandang matanya! Lekas gunakan lweekang melawan kepusingan dan atur
napasmu!”
Giok Ciu
memang telah hampir berada dalam pengaruh sihir Pendeta itu, tapi karena suara
Sin Wan adalah suara orang yang selalu dekat di hatinya, pula pemuda itu memang
menggunakan suara batinnya yang kuat. Maka dengan ucapannya itu Sin Wan dapat
merampas kedudukan si Pendeta, dan dialah yang pegang pengaruh atas diri Giok
Ciu.
Maka
seketika itu juga gadis itu lalu menurut dan taat atas perintah Sin Wan, dan
melakukan apa yang diperintahkan tadi. Segera ia sembuh kembali dan menyerang
lagi dengan lebih sengit. Juga Sin Wan menyerang sengit tetapi selalu
berhati-hati. Ia tahu bahwa tongkat ular itu mengandung senjata-senjata rahasia
yang tersembunyi.
Melihat
betapa ilmu sihirnya telah terpukul punah sebelum menjatuhkan kurban, Kwi Kai
Hoatsu marah sekali. Terpaksa ia harus menggunakan senjata rahasia untuk
melawan dua anak muda yang kosen ini. Tapi ia tak mau menggunakannya dengan
diam-diam karena takut disangka curang. Ia segera membentak,
“Awas
jarum!” tiba-tiba dari ujung kebutannya itu menyambar keluar sembilan batang
jarum halus ke arah jalan darah tubuh Sin Wan dan Giok Ciu.
Baiknya
kedua anak muda itu telah berjaga-jaga, maka ketika mendengar desir jarum itu
menyambar, mereka memutar pedang dengan cepat hingga jarum jarum terpukul pergi
semua. Dan pada saat itu, pedang Sin Wan berhasil pula menabas pundak Kwi Kai
Hoatsu yang cepat menggulingkan diri kebawah, tapi tidak urung sedikit kulit dan
daging pundaknya telah terkelupas! Ia berseru marah sekali dan berkata,
“Gak Kongcu,
sekarang majulah!”
Gak Bin Tong
segera memutar pedangnya membantu, disambut oleh Giok Ciu dengan hebat, karena
gadis itu belum tahu akan pertolongan pemuda itu. Ia hanya menganggap bahwa
pemuda itu adalah seorang pahlawan istana juga. Tapi ia segera terkejut melihat
betapa pedang pemuda muka putih itu dapat menahan Ouw Liong Pokiam, sedangkan
ilmu pedang pemuda itu tidaklah lemah! Pada saat mereka bertempur hebat, dari belakang
muncul banyak pahlawan yang maju mengurung kedua anak muda itu.
“Moi-moi,
lari!” ajak Sin Wan yang mengerahkan tenaga menyerang Kwi Kai Hoatsu yang
terpaksa meloncat mundur.
Kemudian
kedua anak muda itu menggunakan ilmu loncat mereka menerjang ke luar sambil
memutar pokiamnya sehingga terlepas dari kurungan. Dengan hati murung dan
penasaran serta kecewa, Sin Wan dan Giok Ciu pulang ke Kelenteng Nikouw di luar
kota tu. Setelah bersusah payah sedemikian lama, belum juga mereka dapat
membalas dendam, bahkan hampir saja terkena celaka! Di sepanjang jalan Sin Wan
menghibur gadis yang diketahuinya sedang murung itu.
“Biarlah
kita besok menyerang lagi dan mencari jalan yang baik,” kata Sin Wan.
Ketika
mereka tiba di Kelenteng, Giok Ciu melihat Suma-Siocia duduk di ruang belakang
sambil menangis. Ia heran sekali dan bertanya kepada Sin Wan. Lalu dengan
ringkas Sin Wan menuturkan pengalamannya ketika berpisah dengan Giok Ciu siang
tadi dalam mengejar Suma-Cianbu. Mendengar bahwa gadis itu adalah anak perempuan
Suma-Cianbu, Giok Ciu maju dan membentak,
“Coba angkat
mukamu!”
Suma-Siocia
terkejut mendengar suara orang membentaknya, maka ia segera mengangkat muka
memandang. Giok Ciu melihat betapa gadis itu sangat cantik maka timbul rasa
cemburu di dalam hatinya.
“Siapa
namamu?” Tanyanya dengan kasar, Suma-Siocia tidak senang sekali melihat sikap
orang dan ia anggap gadis cantik yang masih muda ini kasar dan galak, tidak
tahu aturan. Maka iapun tidak mau menjawab dan menundukkan mukanya lagi.
Marahlah Giok Ciu.
“Jawablah
kalau tak ingin aku pukul mukamu!”
Sin Wan
mendekati mereka, “Suma-Siocia, ini adalah Kwie Giok Ciu, sumoiku. Harap kau
terangkan namamu kepadanya.”
Suma-Siocia
mengangkat mukanya dan memandang Sin Wan. Alangkah halusnya sikap pemuda yang
telah menculiknya ini. Halus dan sopan santun! Ia sangat tertarik dan kagum
melihat Sin Wan, dan menyesali nasibnya mengapa pemuda seperti itu justru
menjadi musuh dan hendak membunuh Ayahnya! Kini mendengar kata-kata itu, ia
berkata,
“Namaku Suma
Li Lian dan tolong beritahu kepada Lihiap ini bahwa aku tidak perlu
dibentak-bentak. Kalau kalian mau bunuh, boleh bunuh saja.” Melihat sikap Sin
Wan yang agaknya ramah tamah dan sopan santun terhadap gadis cantik puteri
musuhnya itu, Giok Ciu makin cemburu saja, kini mendengar kata-kata Suma Li
Lian, ia makin marah.
“Minta mati,
sekarang juga kau mati!” dan cepat sekali pedangnya menyambar.
“Tahan,
moi-moi!” Sin Wan menggunakan pedangnya menangkis sehingga sepasang pedang
hitam dan putih itu beradu dengan keras mengeluarkan titik-titik bunga api.
Giok Ciu
penasaran sekali. “Koko, lupakah kau bahwa perempuan ini adalah anak bangsat
she Suma yang telah membunuh Ibu dan Kakekmu?”
“Sabar,
moi-moi. Benar ia anaknya, tapi ia tidak berdosa dalam hal itu. Ia tidak tahu
apa-apa!”
“Kalau
begitu, mengapa kau bawa ia kemari? Apa maksudmu? Katakanlah!”
“Moi-moi,
dia kubawa ke sini hanya untuk memancing keluar Ayahnya!” Tapi Giok Ciu
menganggap alasan ini terlalu lemah dan tak masuk di akal dan tetap ia merasa
sangat cemburu. Maka ia segera mengirim serangan kembali ke arah Li Lian sambil
berseru,
“Kalau kau
tidak memusuhinya, biar aku yang menjadi musuhnya. Dia anak seorang jahat dan
tetap jahat.”
Serangannya
hebat sekali dan cepat Sin Wan mengangkat senjata menangkis tapi tidak urung
pundak Sum Li Lian masih terkena sedikit oleh ujung pedang Giok Ciu hingga
gadis yang malang itu menjerit perlahan dan roboh pingsan.
“Moi-moi!”
“Kau mau
bela padanya? Baik belalah!” Kemudian Giok Ciu menyerang lagi ke arah tubuh
yang sudah rebah di lantai, tapi Sin Wan kembali menangkis.
Giok Ciu
menjadi marah dan kini menujukan serangannya kepada Sin Wan! Maka terjadilah
pertempuran di ruang itu. Sebetulnya bukanlah pertempuran, karena Sin Wan tak
pernah membalas serangan Giok Ciu, hanya menangkis saja sambil berusaha
menyabarkan hati gadis yang kalap itu. Akhirnya Giok Ciu menghentikan serangan
sambil menangis karena tidak dapat menahan marahnya lagi. Ia mencabut sesuatu
dari dalam saku bajunya dan menyambitkan barang itu ke arah Li Lian.
Sin Wan
cepat meloncat dan menyambar benda itu yang ternyata adalah suling kecil tanda
perjodohan mereka! Sin Wan terkejut dan hendak mengembalikan suling itu, tapi
Giok Ciu sudah meninggalkan dia dengan lari keluar Kelenteng. Ketika Sin Wan
mengejar, gadis itu membalikkan tubuh dan membentak,
“Aku tidak
sudi tidur serumah dengan anak musuhku dan hendak tidur di luar Kelenteng,
apakah ini juga tidak boleh?” Ia memandang Sin Wan dengan mata tertutup air
mata.
Sin Wan
hanya menghela napas dengan sedih dan meninggalkan dia masuk. Ia minta kedua
Nikouw yang ketakutan itu menolong dan membalu luka di pundak Suma Li Lian yang
telah sadar dan menangis terisak-isak, kemudian ia masuk kamarnya dengan hati
gelisah. Ternyata segala-galanya berjalan tiadk menurut rencananya. Musuh belum
terbalas, Giok Ciu telah tertawan dan hampir saja celaka.
Sekarang
usahanya memancing Suma-Cianbu keluar dengan menculik Li Lian bahkan
menimbulkan keributan antara dia dan Giok Ciu sendiri. Ah, ia menyesal sekali!
Ia tahu bahwa Giok Ciu melakukan keganasan itu hanya karena merasa cemburu
padanya, timbul dari hati kuatir kalau-kalau ia jatuh cinta kepada gadis lain!
Ia tidak
persalahkan Giok Ciu, karena sudah sepantasnya gadis itu marah-marah karena
hampir saja kena celaka oleh tipu muslihat Suma-Cianbu dan kawan-kawannya!
Untuk membalas dendam belum tentu bisa, maka tentu saja melihat anak perempuan
dari musuh itu, ia menjadi marah sekali kepada anak gadis itu dan hendak
melampiaskan rasa dendamnya kepada anak gadis itu. Yang membikin ia sangat
sedih ialah sulingnya yang dilempar itu! Ah, sampai demikian hebatnya marah
yang menggelora dalam dada Giok Ciu?
Karena
pikiran ini, biarpun tubuhnya sangat lelah, namun Sin Wan tidak dapat meramkan
matanya. Ia gelisah sekali dan berguling di atas pembaringannya. Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam jantan berkeruyuk nyaring, Sin Wan
telah turun dari pembaringannya dimana ia tidak tidur sama sekali dan berjalan
keluar dari kamarnya menuju ke pekarangan belakang.
Suling hitam
kecil yang semenjak terpegang olehnya tak pernah dilepaskannya lagi itu
dibawahnya ke belakang. Pekarangan belakang itu lebar sekali, karena dari situ
orang terus dapat menuju ke bukit kecil di belakang sawah ladang. Sin Wan
berjalan melalui jalan kecil di antara ladang dan batu. Kemudian berdiri
memandang ke depan dengan bengong.
Embun pagi
mendatangkan pemandangan yang makin menyedihkan hati. Semua tampak kabur dan
abu-abu, seakan-akan seluruh dunia berkabung dan menyedihi sesuatu. Bahkan
suara ayam berkeruyuk juga terdengar menyedihkan dan bagaikan suara tangis yang
mengharukan. Maka sedihlah hati Sin Wan. Terbayang segala kesedihan di ruang
kepalanya.
Terbayanglah
ia akan segala yang telah lalu dan terkenang kembali kepada Ibu dan Kakeknya.
Tak terasa lagi naik sedu-sedan dari ulu hatinya yang berhenti dari
kerongkongannya karena ia tekan dari atas. Kemudian bagaikan dalam mimpi tak
terasa lagi ia angkat suling kecil itu ke arah bibirnya. Sebentar kemudian terdengarlah
suara tiupan suling yang halus itu mengiris kesunyian pagi. Suara itu terdengar
mengalun di antara embun pagi yang melayang-layang, merayu-rayu dan indah
sekali bunyinya.
Tanpa merasa
lagi Sin Wan meniup lagu ciptaannya sendiri ketika ia masih kecil. Dalam
tiupannya sekali ini, tercurahlah seluruh kesedihan hatinya yang tadi naik dari
ulu hatinya. Ia main dengan penuh perasaan, seakan-akan jiwanya ikut
melayang-layang dengan suara itu, seakan-akan seluruh perasaannya mengemudi
lagu yang dimainkannya itu.
Halus merdu,
nyaring melengking, naik turun, sedih dan menyayat hati tiap pendengarnya.
Bahkan ayam jantan di belakang Kelenteng yang tadi tiada hentinya berkeruyuk
menyambut datangnya pagi, kini terdiam seakan-akan terpesona dan ikut mengagumi
suara yang mengalun bagaikan turun dari angkasa itu. Sin Wan tidak tahu betapa
di dalam kamarnya di Kelenteng itu, Suma Li Lian duduk dari tempat tidurnya dan
mendengarkan dengan penuh keheranan.
Kemudian
gadis itu tekap mukanya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia teringat
akan peristiwa tadi dan menjadi sedih sekali. Ia dapat menduga bahwa yang
bermain suling itu tentu Sin Wan karena iapun telah sadar dan melihat ketika
Giok Ciu menyambitnya dengan suling yang disambar oleh Sin Wan tadi.
Ia tahu
bahwa pemuda yang halus dan sopan itu mencinta Giok Ciu dan ia menyesali diri
sendiri bahwa dengan adanya dia disitu maka timbullah pertentangan dan
perselisihan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu yang kasar, tapi hatinya tak
dapat menyangkal lagi bahwa ia jatuh hati kepada Sin Wan, pemuda yang tampan
dan gagah itu. Maka kini tak tertahan lagi olehnya mendengar tiupan suling Sin
Wan dan tangisnya menjadi-jadi hingga kedua Nikouw itu terbangun dan cepat
menghiburnya, karena disangkanya bahwa gadis itu menangis karena luka
dipundaknya terasa sakit.
Sementara
itu, Sin Wan juga tidak tahu bahwa pada saat ia meniup suling dengan asiknya
itu, di sebuah tikungan jalan kecil itu tampak tubuh seorang gadis mendatangi.
Gadis itu adalah Giok Ciu yang datang bagaikan tidur sambil berjalan. Kedua
matanya basah air mata dan ia merasakan bagaikan dirinya ditarik oleh suara
lagu itu.
Ia juga satu
malam tak dapat tidur, bahkan tidak berganti pakaian, hanya menambahkan sehelai
mantel diluar pakaiannya karena malam sangat dingin. Kini ia mendatangi ke arah
suara tiupan suling dengan hati terharu sekali. Semalam penuh ia gunakan untuk
berpikir dan setelah kemarahannya agak mereda, ia dapat berpikir secara dingin dan
sehat. Ia merasa telah berlaku agak terlalu terburu nafsu hingga sampai terjadi
pertempuran dengan Sin Wan hanya karena gadis itu saja!
Memang tidak
ada bukti-bukti bahwa Sin Wan cinta kepada gadis anak musuh itu, dan mungkin
juga pemuda itu menculiknya hanya untuk memancing musuhnya keluar dari
persembunyiannya. Ah, kenapa ia begitu terburu nafsu sehingga suling tanda
perjodohan yang keramat itu dilempar? Dapatkah Sin Wan memaafkannya?
Ketika
mendengar suara suling itu, ia terkejut. Kemudian, perlahan-lahan air matanya
jatuh menitik ketika ia kenali lagu itu. Lagu yang dulu pernah dimainkan oleh
Sin Wan dengan suling itu juga di rumahnya, dan lagu yang telah membuat
mendiang Ayahnya menangis. Maka ia segera bangun dan menghampiri tempat suara
itu, dimana ia dapatkan Sin Wan berdiri sambil meniup sulingnya.
Dalam
keadaan biasa Sin Wan tentu akan mendengar suara tindakan kaki Giok Ciu dengan
telinganya yang sudah terlatih baik, tapi pada saat itu ia seperti orang tak
sadar dan seluruh perhatian dan perasaannya terbawa oleh suara suling itu, maka
ia tidak tahu bahwa Giok Ciu telah berdiri di belakangnya. Setelah suara suling
makin merendah dan melambat hingga akhirnya berhenti, Sin Wan menurunkan
tangannya yang memegang suling dan menghela napas.
“Koko!”
tiba-tiba terdengar suara halus merdu di dekat telinganya. Ia menengok dan
sepasang mata bertemu saling tangkap.
“Moi-moi!”
“Koko, kau
memaafkan aku, bukan?” suara Giok Ciu mengandung isak.
Sin Wan
girang sekali dan semua rasa sedihnya lenyap seketika. Ia maju dan memegang
tangan Giok Ciu dengan mesra. Mereka berdiri berhadapan dan berpegang tangan
sambil saling pandang dengan penuh perasaan. Entah berapa lama mereka berdiri
dalam keadaan seperti itu, dan tiba-tiba keduanya melepaskan pegangan
masing-masing karena mendengar tindakan kaki orang mendatangi!
Melihat
orang yang datang sambil tersenyum itu, Giok Ciu segera mencabut pedang dan
siap menghadapinya. Tapi Sin Wan tersenyum dan berkata perlahan,
“Moi-moi,
simpanlah pedangmu. Dia adalah saudara Gak Bin Tong yang telah menolongmu.”
“Menolongku?
Bukankah ia malam tadi membantu Kwi Kai Hoatsu?” tanya Giok Ciu terheran.
Sementara
itu, Gak BinTong sudah tiba disitu dan disambut dengan girang oleh Sin Wan.
“Gak-Lotee, terima kasih atas petunjukmu hingga sumoiku dapat tertolong,” kata
Sin Wan dengan wajah berseri. Hati pemuda itu sekarang sudah seperti biasa,
bahkan gembira sekali.
Kemudian Sin
Wan menceritakan Giok Ciu bagaimana orang she Gak itu telah membantu dan
menolong mereka. Giok Ciu lalu menjura dan menyatakan terima kasihnya kepada
pemuda tampan bermuka putih itu.
“Tidak apa,
tidak apa!” Gak Bin Tong balas menjura. “Kwie Lihiap janganlah terlalu sungkan.
Orang-orang seperti kita memang sudah sepantasnya bantu membantu dan tolong
menolong, bukan? Sayang aku terlahir dalam keluarga hamba Kaisar, hingga tak
mungkin dapat membantu jiwi secara berterang.”
Sebetulnya,
biarpun harus mengakui bahwa pemuda muka putih itu telah berjasa dan
membantunya menolong Giok Ciu, namun Sin Wan tidak suka bergaul rapat dengan
Gak Bin Tong. Ia diam-diam tidak merasa suka kepada pemuda ini karena
dianggapnya bahwa pemuda ini mempunyai watak palsu dan tidak setia. Kalau tidak
demikian, mengapa pemuda ini membantu orang luar dan mengkhianati golongan
sendiri? Kalau misalnya ia tidak suka kepada golongannya, mengapa tidak secara
terus terang saja ia keluar dari situ? Sikap berpura-pura dari pemuda itu
terhadap golongan pahlawan Kaisar membuat Sin Wan diam-diam bercuriga dan tidak
suka padanya.
“Saudara
Gak, pagi-pagi sekali telah datang mengunjungi kami, tentu ada sesuatu yang
sangat penting bukan?” Kata Sin Wan dengan suara manis dan ramah.
“Benar
katamu, Bun-Lauwte, ada berita baik sekali. Suma-Cianbu pagi ini pergi
melarikan diri ke Cee-Tong-An, hanya dengan tiga orang pengawal. Kau dapat
mencegatnya di hutan sebelah selatan kota raja karena ia pasti mengambil jalan
itu.”
Girang
sekali Sin Wan mendengar ini, lebih-lebih Giok Ciu yang segera berkata, “Hayo
kita berangkat sekarang juga, Koko.”
“Kukira Kwie
Lihiap jangan ikut pergi,” tiba-tiba Gak Bin Tong berkata hingga gadis itu
terkejut dan heran, demikianpun Sin Wan.
“Mengapa
begitu?” Sin Wan bertanya.
“Mereka
telah mengetahui bahwa Suma-Siocia dibawa ke tempat ini, maka aku kuatir
kalau-kalau ada orang menyerbu kesini. Lebih baik Lihiap tinggal di sini
menjaga Suma-Siocia, pula Suma-Cianbu hanya dikawal oleh tiga orang yang tidak
berapa tinggi kepandaiannya, sehingga agaknya tidak akan menyukarkan saudara
Bun.”
Sin Wan
menganggap omongan ini betul juga, maka setelah memesan agar Giok Ciu
berhati-hati, ia lalu pergi ke hutan yang berada di sebelah selatan tembok
kota. Sementara itu, setelah Sin Wan pergi, Giok Ciu mempersilahkan Gak Bin
Tong masuk Kelenteng dan duduk di ruang tamu, dimana mereka bercakap-cakap
dengan asik, karena Gak Bin Tong memang pandai berkata-kata.
Pemuda ini
selain tinggi kepandaian silatnya, juga sudah berpengalaman dan ia menarik
perhatian Giok Ciu dengan ceritanya tentang berbagai tempat yang ramai. Kemudia
pembicaraan mereka tertuju kepada persoalan yang mereka hadapi dan mereka
membicarakan Suma-Cianbu.
“Memang
kapten she Suma itu cukup banyak mengurbankan jiwa orang-orang gagah hingga
banyak orang gagah sakit hati kepadanya,” kata Gak Bin Tong dengan gemas,
kemudian suaranya melembut ketika ia melanjutkan kata-katanya.
“Tapi
puterinya Suma-Siocia, berbeda jauh dengan Ayahnya itu. Ia adalah seorang gadis
terpelajar tinggi, cantik jelita, dan berbudi baik, hingga ia terkenal sebagai
seorang Ciankim-Siocia yang harum sekali namanya.”
“Saudara
Gak, apa perlunya kau membicarakan hal gadis itu kepadaku? Aku tidak tertarik
sama sekali!” kata Giok Ciu dengan sikap murung karena hatinya panas sekali
mendengar gadis yang dibencinya itu dipuji-puji orang didepannya.
Gak Bin Tong
tersenyum dan pura-pura tidak tahu akan sikap gadis itu. Ia menghela napas.
“Tapi puteri itu terlalu angkuh dan tinggi hati. Tiada seorang pemuda
diacuhkannya, agaknya memang saudara Bun saja yang pantas untuk memetik bunga
harum itu!”
Mata Giok
Ciu menyambarnya dengan tajam, “Apa katamu? Apa... Apa maksudmu?”
Gak Bin Tong
memandang dengan kaget dan heran terbayang nyata di mukanya yang cakap. “Eh,
kau belum tahukah, Kwie Lihiap?”
“Tahu apa?”
“Saudara Bun
jatuh hati kepada gadis cantik itu.”
Giok Ciu
menahan debaran jantungnya dengan menggigit bibir, “Aah masak, Bun Twako tidak
semudah itu jatuh hati!”
“Ha ha ha!
Memang, saudara dekat tak mungkin mengetahui isi hati kakak seperguruannya yang
tiap hari dekat dan merupakan seperti saudara sendiri. Mungkin juga Bun-Lauwte
malu-malu untuk mengaku padamu, tapi apakah kau tidak dapat menduga? Kalau dia
tidak cinta kepada gadis itu, tak perlu ia menculiknya, bukan?”
“Sudahlah
jangan bicarakan soal ini!” kata Giok Ciu dengan gemas dan tak senang.
“Maaf,
Lihiap. Tapi sungguh aku heran melihat sikapmu. Apakah kau tidak ikut gembira
melihat kakak seperguruanmu mendapat jodoh seorang gadis yang demikian cantik
dan bijaksana seperti Suma Li Lian itu? Aku sendiri yang hanya menjadi kawan
barunya, ikut merasa gembira dan girang!”
Terpaksa
Giok Ciu menyembunyikan perasaannya dan menjawab, “Bukan aku tidak girang, tapi
itu bukanlah urusanku, dan pula, aku masih tidak percaya bahwa Bun Twako
mencinta gadis anak musuh kami itu. Sungguh tak masuk akal dan mustahil!” Gak
Bin Tong bangun dan berdiri dari bangku yang didudukinya.
“Kwi Lihiap,
aku Gak Bin Tong tidak biasa membohong. Kalau kau hendak membuktikan kebenaran
bicaraku, coba kau buktikan dan baik kita sama-sama lihat siapa yang lebih
tepat dugaannya. Kalau ternyata aku memang keliru sangka , aku bersedia meminta
maaf kepadamu, dan kepada saudara Bun!”
Giok Ciu tersenyum
dan sebetulnya ia tak ingin melayani orang yang cerewet seperti pemuda ini,
namun di dalam hatinya telah menyala api yang dicetus oleh kata-kata Gak Bin
Tong tadi. Ia lalu bertanya,
“Dengan cara
bagaimanakah kita membuktikan itu?”
“Mudah saja.
Kalau saudara Bun datang, coba kau beritahu padanya bahwa kau telah membunuh
mati nona Suma itu, coba kita bagaimana sikapnya terhadapmu. Bukankah ini ujian
yang baik sekali? Kalau ia mencinta Suma-Siocia, pasti ia akan marah dan sedih
sekali.”
Giok Ciu
mengangguk-angguk dan anggap bahwa ujian itu baik dan tepat sekali, maka ia
merasa setuju. Setelah bercakap-cakap lagi beberapa lama, beberapa kali Gak Bin
Tong menutup mulut dengan tangan dan menguap.
“Saudara
Gak. Kalau kau lelah dan mengantuk, tidurlah di kamar Bun Twako. Akupun hendak
beristirahat di kamarku sambil menanti kembalinya Bun Twako.”
Gak Bin Tong
menyatakan setuju dan ia lalu menuju ke kamar Sin Wan dan gadis itupun lalu
memasuki kamarnya.
Karena
memang semalam tidak tidur, maka cepat sekali Giok Ciu pulas di atas
pembaringannya. Dari jauh masih terdengar suara ayam jantan menyambut datangnya
pagi.
Sementara
itu, Sin Wan seorang diri lari menyusul dan mencegat musuh besarnya di dalam
hutan sebelah selatan. Ternyata pemberitahuan Gak Bin Tong terbukti. Karena
belum lama ia menanti, dari jauh terdengar suara kaki kuda dan tak lama
kemudian muncullah sebuah kendaraan yang diiringi empat orang berkuda.
Dari tempat
persembunyiannya, Sin Wan melihat bahwa empat orang yang berkuda itu adalah
Suma-Cianbu sendiri dan tiga orang lain yang kelihatan gagah, sedangkan ia
dapat menduga bahwa yang berada di dalam kereta itu tentu Nyonya Suma. Setelah
rombongan tiba dekat, ia meloncat keluar dengan pedang Pek Liong Pokiam
berkilau di tangan.
“Suma-Cianbu!
Sekarang tibalah saatnya kau membayar hutangmu!”
Secepat
kilat Sin Wan meloncat menubruk dan mengirim tusukan maut yang diteruskan
dengan bacokan hebat. Suma-Cianbu terkejut sekali dan segera menggulingkan diri
dari atas kudanya dan...
“Caapp!”
pedang pemuda itu masuk ke dalam perut kuda dan hampir menabas potong tubuh
kuda itu.
Suma-Cianbu
dan tiga orang pengawalnya segera mengurung Sin Wan. Tiga orang pengawalnya
itupun telah meloncat turun dari kuda masing-masing dan menyerang Sin Wan
dengan hebat. Ternyata mereka itu memiliki kepandaian yang lihat juga hingga
untuk sementara waktu Sin Wan belum juga berhasil merobohkan lawannya.
Dengan gemas
sekali Sin Wan lalu mengeluarkan jurus-jurus dari Pek Liong Kiam-Sut yang
paling hebat dan kini gerakannya berhasil. Sambil mengeluarkan teriakan ngeri
seorang pengawal roboh dengan dada tertembus pedang! Tapi pada saat itu juga
seorang pengawal lain yang tubuhnya tinggi besar menggerakkan tangan dan lima
buah senjata berwarna hitam menyambar ke arah Sin Wan!
Pada saat
itu senjata di tangan Suma-Cianbu, yakni Hong-Twi Siang-Kiam pedang sepasang
yang lihai itu bergerak dengan nekad dan mati-matian mengirim dua serangan dari
kanan kiri, maka dalam keadaan masih berkelit dan menangkis seragan ini,
datangnya lima senjata rahasia yang menyambar tempat-tempat berbahaya itu
sungguh mengejutkan!
Namun Sin
Wan mempunyai gerakan yang lincah dan gesit sekali. Pedangnya yang tadi dipakai
menangkis sengaja dipentalkan dan dapat menyampok pergi tiga batang senjata
rahasia itu yang ternyata adalah piauw-piauw beracun!
Dua batang
lagi yang menyambar ke arah leher dapat ia kelitkan sambil miringkan kepala,
tapi pada saat itu datang lagi sebatang piauw dari belakang dan biarpun ia
telah miringkan tubuh, senjata itu tetap masih menancap di pundak kirinya! Sin
Wan marah sekali, ia meloncat menerjang dan pengirim piauw itu roboh dengan
kepala terpisah dari tubuhnya!
Dengan
beringas Sin Wan lalu mengamuk dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Pengeroyoknya yang hanya tinggal Suma-Cianbu dan seorang pengawal itu mana
dapat menahan amukan murid Bu Beng Sianjin ini. Sebentar saja pengawal ke tiga
itu roboh dengan nyawa melayang.
Biarpun
hanya tinggal seorang diri menghadapi pemuda yang hebat mengerikan ini,
Suma-Cianbu tidak mau mundur atau lari, karena selain ia harus melindungi
isterinya yang berada di dalam kereta, iapun tahu bahwa sia-sia saja untuk
lari. Ia melawan dengan nekad sekali, tapi karena kepandaian Sin Wan jauh lebih
tinggi dari kepandaiannya, dengan tipu gerakan Pek Liong Chio-Sin atau Naga
Putih Rebut Hati, pedangnya berhasil menusuk dada kiri Suma-Cianbu yang
menjerit ngeri dan roboh dengan tak dapat berkutik pula.
Untuk
beberapa saat Sin Wan memandang pada musuhnya yang mengucur keluar dan
membasahi seluruh pakaiannya itu. Ia merasa puas, puas sekali! Kemudian ia
mendengar teriakan ngeri dan dari dalam kereta itu keluarlah seorang wanita
yang berlari-lari menghampiri tubuh Suma-Cianbu. Ia adalah Suma-Hujin yang
menubruk jenazah suaminya dan memeluknya sambil menjerit-jerit.
Sin Wan
sedikitpun tidak merasa terharu, bahkan ia lalu teringat betapa ia dulu juga
seperti nyonya itu, menangis dan memeluki tubuh Ibu dan Kakeknya! Nyonya Suma lalu
berdiri dan berpaling kepadanya,
“Kau...
kau... semua ini telah demikian kejam! Kau sungguh orang rendah!”
Sin Wan
tersenyum mengejek, “Tidak serendah suamimu yang membunuh mati Ibuku dan
Kakekku!”
“Tapi...
mengapa kau tidak hanya membalas suamiku saja? Mengapa kau menculik anakku? Li
Lian kau bawa kemana?”
Sin Wan
menjawab angkuh, “Jangan kuatir, anakmu takkan kuganggu. Ia pasti akan pulang
ini hari juga. Sekarang aku telah membalas dendam dan tidak butuh lagi bantuan
anakmu.”
“Kau...
kau... bangsat hina! Kalau kau... mengganggu anakku... lebih baik kau bunuh dia
dan kau bunuh aku juga!”
“Tutup
mulutmu!” Sin Wan membentak marah. “Kau kira aku ini orang macam apakah? Aku
adalah seorang yang mengutamakan kegagahan dan perbuatan rendah macam itu tak
mungkin kulakukan. Kau pulanglah dan sebentar lagi aku lepaskan puterimu untuk
pulang pula.”
“Kau...
berani bersumpah bahwa kau tidak mengganggu Li Lian?”
Marahlah Sin
Wan mendengar ini. Kalau yang bicara itu seorang laki-laki mungkin ia sudah
mengirim tendangan atau pukulan! “Aku bersumpah demi kehormatanku!”
Kemudian ia
membalikkan tubuh dan lari pergi meninggalkan nyonya yang masih menangisi
suaminya itu. Ketika ia tiba di Kelenteng, hari telah agak siang dan ia
disambut oleh Giok Ciu dan Gak Bin Tong. Ia melihat betapa wajah pemuda itu
agak pucat dan datang-datang ia bertanya cepat,
“Saudara
Bun, bagaimanakah hasilnya?”
“Ya,
bagaimana Twako? Berhasilkah kau?”
Sin Wan
membanting dirinya di atas bangku. Ia lelah sekali, karena semenjak ia mencabut
piauw yang menancap di pundak kanannya, ia merasa betapa pundaknya merasa ngilu
dan pegal sekali, juga ada rasa gatal-gatal sedikit. Tapi ia mengeraskan hati
dan mempertahankan rasa sakitnya.
“Aku
berhasil,” katanya sambil mengangguk, “Suma-Cianbu telah kubunuh mati bersama
tiga orang pengawalnya!”
Giranglah
wajah Giok Ciu mendengar ini, dan sambil mendongak ke atas ia berbisik, “Ayah,
seorang musuh telah mampus!”
Pada saat
itu Gak Bin Tong diam-diam memberi isyarat dengan kejapan mata kepada Giok Ciu.
Gadis itu teringat lalu berkata kepada Sin Wan dengan perlahan,
“Twako, aku
tidak mau bertindak kepalang tanggung. Aku juga bunuh mati gadis she Suma anak
musuh kita itu.”
Tiba-tiba
Sin Wan meloncat bangun. Wajahnya pucat bagaikan mayat dan kedua matanya
terbelalak sedangkan bibirnya menggigil. “Kau... kau bunuh mati Suma Li Lian??”
Melihat
sikap pemuda seperti ini, naiklah darah Giok Ciu. Sambil mengangkat dada ia
menjawab, “Ya, aku bunuh dia! Kau sedih dan menyesal?”
Sin Wan
tumbuh-tumbuk kepalanya dan berseru, “Celaka...!” dan hampir saja ia tampar
muka gadis itu karena marahnya.
Ia tela
bersumpah takkan mengganggu gadis itu, telah bersumpah demi kehormatannya
kepada Ibu gadis itu, dan sekarang Giok Ciu membunuh gadis itu tanpa bertanya
lebih dulu padanya. Celaka benar-benar! Dengan cepat dan bingung sekali Sin Wan
meloncat ke dalam dan berlari-lari ke arah kamar Suma Li Lian.
Pintu kamar
itu tertutup dan ia segera mendorong pintu itu terbuka dan meloncat masuk.
Tapi, tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung ketika melihat gadis cantik
jelita itu bukannya rebah menjadi mayat di atas pembaringan, tapi sedang duduk
dengan muka berseri-seri melihat kedatangannya!
Gadis itu
mengenakan pakaian dalam yang ringkas dan memperlihatkan potongan tubuh yang
menggairahkan, sedangkan sepasang matanya berseri-seri memandangnya dan
sepasang pipinya kemerah-merahan! Tiba-tiba Suma Li Lian turun dari
pembaringannya dan lari menghampirinya.
Sebelum Sin
Wan hilang terkejutnya dan dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh gadis
itu, tahu-tahu Suma Li Lian telah memeluknya dan merangkul lehernya! Muka gadis
itu disembunyikan ke dada dalam rangkulan mesra sekali! Sin Wan menjadi bingung
dan buru-buru ia melepaskan rangkulan orang, lalu bertindak mundur.
“Eh, eh...
Siocia, jangan... jangan begitu!”
“Koko...
kenapa kau sebut aku Siocia...?” Suma Li Lian berkata lirih dengan nada yang
mesra sekali.
Makin
terkejutlah hati Sin Wan melihat dan mendengar ini. Ia merasa kasihan sekali
dan menyangka bahwa gadis itu tentu telah berubah menjadi gila! Maka ia hendak
berlaku tegas dan cepat saja.
“Nona
dengarlah baik-baik. Kau telah bebas kini. Aku tidak menahanmu lagi. Kau boleh pulang
dan kau bisa minta Nikouw disini mengantarmu. Dan sebelum kita berpisah, lebih
baik aku beritahukan dulu padamu. Aku telah berhasil membunuh Ayahmu, musuh
besarku yang dulu membunuh Ibu dan Kakekku!”
Suma Li Lian
menjerit lirih dan menutup muka dengan kedua tangannya. Ia terhuyung mundur dan
menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis.
“Ayah...
Ayah...” demikian ratapnya.
Sin Wan
hanya berdiri dan memandangnya dengan mata bersinar dingin. Kemudian ia
berkata, “Nona Suma! Aku telah berjanji kepad Ibumu untuk membebaskan kau. Nah
selamat berpisah. Aku akan pergi dulu dari sini dan kita takkan bertemu pula,
kecuali kalau kau menaruh dendam kepadaku karena Ayahmu kubunuh. Kalau demikian
halnya, maka sewaktu-waktu kau boleh membalas sakit hatimu dan mencari aku ke
puncak Kam-Hong-San!”
“Koko...
Koko... begitu kejamkah hatimu...? Sampai hatikah kau setelah apa yang terjadi
pada waktu fajar tadi...Koko...?”
Gadis itu
berdiri dan lari hendak memeluknya tapi Sin Wan segera meloncat keluar dan
menutup daun pintu dengan keras. Ia hanya mendengar isak tangis gadis itu.
Diam-diam ia merasa kasihan juga karena menganggap bahwa benar-benar gadis itu
telah menjadi gila!
Ketika
bertemu Giok Ciu, Sin Wan berkata, “Maafkan sikapku tadi, moi-moi! Tapi,
sebenarnya apakah maksudmu dengan membohongi seperti itu?”
Kalau saja
tadi Giok Ciu tidak mendengar kata-kata Sin Wan terhadap Suma Li Lian yang
jelas menyatakan bahwa di dalam hati pemuda itu tidak ada perasaan apa-apa
terhadap Li Lian, tentu Giok Ciu masih marah dan cemburu. Sekarang ia hanya
balas bertanya,
“Coba kau
jawab dulu, Twako. Mengapa ketika mendengar kematian gadis itu kau menjadi
pucat sekali seakan-akan seorang yang hancur hatinya?”
“Moi-moi...
kau... kau tidak tahu. Aku telah bersumpah kepada Ibu gadis itu bahwa aku
takkan mengganggu Li Lian, maka tentu saja aku terkejut dan bingung ketika
mendengar bahwa kau telah membunuhnya! Dan... dan tentang wajahku yang pucat...
agaknya dari lukaku inilah... aku... sekarang juga aku merasa pening sekali...”
“Kau
terluka, Koko? Mana yang terluka?”
Suara gadis
itu penuh perhatian dan kecemasan hingga diam-diam Sin Wan merasa geli melihat
watak gadis kekasihnya yang sebentar marah sebentar mesra sikapnya itu. Setelah
memeriksa luka di pundak Sin Wan yang menjadi hitam, maka gadis itu berkata,
“Twako, luka
di pundakmu adalah akibat senjata beracun, warnanya hitam sekali. Bukankah dulu
Suhu pernah berkata bahwa pedangmu dapat digunakan untuk mengobati pengaruh
bisa yang hitam bekasnya? Mari kita coba.”
Sin Wan juga
teringat akan pesan Suhunya itu, maka dengan tangan lemah ia mencabut Pek Liong
Pokiam dan memberikan pedang itu kepada Giok Ciu. Gadis itu lalu mencuci bersih
ujung pedang putih itu, lalu merendam pedang di dalam arak untuk beberapa
lamanya. Kemudian ia memberikan arak itu kepada Sin Wan yang lalu meminumnya
sebagian dan sebagian pula dipakai mencuci luka itu.
Heran sekali,
setelah terkena arak rendaman Pek Liong Pokiam, dari luka itu mengalir darah
seakan-akan tersedot keluar. Darah itu hitam sekali warnanya. Setelah racun itu
keluar dari pundaknya, Sin Wan memandang sekeliling dan bertanya,
“Eh,
dimanakah saudara Gak? Sejak tadi aku tidak melihatnya!”
Giok Ciu
cemberut dan teringat akan gara-gara yang ditimbulkan oleh pemuda muka putih.
“Entahlah,
dia sudah pergi tadi, tanpa memberi tahu padaku. Agaknya ia tak enak hati
melihat kita bertengkar tadi.”
“Giok Ciu,
mari kia cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Karena Suma-Cianbu terbunuh
olehku, tak lama lagi tentu datang pahlawan-pahlawan mencari kita di sini,
sedangkan tenagaku masih lemah.”
“Memang
seharusnya kita cepat-cepat pergi. Maksud membalas dendam telah tercapai, untuk
apa lama-lama tinggal di kota ini?” Kata Giok Ciu yang sebenarnya ingin
lekas-lekas mengajak Sin Wan pergi meninggalkan Suma Li Lian!
Mereka lalu
pergi dan karena masih banyak musuh-musuh yang belum terbalas, mereka segera
menuju ke Siauw-San untuk mencari musuh-musuh mereka nomor dua, yakni Siauw-San
Ngo-Sinto Lima Golok Sakti dari Siauw-San!
Karena luka
Sin Wan, biarpun setelah racunnya keluar hanya merupakan luka tidak berbahaya,
namun atas desakan Giok Ciu, mereka melakukan perjalanan dengan seenaknya dan
tidak tergesa-gesa. Dengan cara begini berangsur-angsur luka itu sembuh
kembali.
Sementara
itu, tanpa terasa mereka telah melakukan perjalanan sepuluh hari lebih. Pada
suatu hari mereka tiba di dusun Tung-Kwang yang berada di kaki bukit Siauw-San.
Ketika memasuki pintu dusun itu, mereka melihat empat penunggang kuda
membalapkan binatang tunggangan mereka ke dalam dusun.
Di punggung
keempat orang itu tampak gagang pedang hingga Sin Wan dan Giok Ciu dapat
menduga bahwa mereka tentu ahli-ahli silat, juga dari cara mereka duduk di atas
kuda dapat diketahui bahwa mereka mempunyai kepandaian yang tidak rendah.
Ternyata
dusun itu ramai juga dan kedua anak muda itu berhenti di sebuah kedai untuk
mengisi perut mereka yang lapar. Penjaga kedai itu melirik ke arah gagang
pedang mereka dan dengan senyum menghormat ia berkata,
“Ah, jiwi
engku tentu akan mengunjungi Ngo Lo-Enghiong di puncak Siauw-San, bukan? Hari
ini telah lebih dari dua puluh orang-orang gagah yang lewat disini perjalanan
mereka ke sana.”
Sin Wan dan
Giok Ciu dengan sikap acuh dan tak acuh lalu duduk memesan masakan.
“Apakah
keempat orang gagah berkuda tadi juga kesana?” Tanya Sin Wan sambil lalu.
“Tentu saja,
habis kemana lagi? Tapi mereka agaknya tergesa-gesa sekali hingga tidak singgah
di warungku. Mereka hanya membeli bakpauw dan membawanya berkuda terus mendaki
Siauw-San."
Sin Wan dan
Giok Ciu menduga-duga. Ada terjadi apakah di puncak gunung Siauw-San hingga
banyak orang gagah mengunjungi Ngo-Sinto?
“Tentu kali
ini banyak yang datang mengunjungi Ngo Lo-Enghiong, bukan?” Tanyanya dengan
cerdik untuk memancing keterangan. Ternyata pancingannya berhasil karena
penjaga kedai yang doyan omong itu lalu berkata,
“Tentu saja!
Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, Twa Lo-Enghiong mengadakan
pesta besar dan mengundang banyak orang gagah. Menurut penuturan Aliok yang
dipanggil ke sana untuk membantu memasak, Ngo Lo-Enghiong membuat pesta besar
dan memotong tiga ekor babi gemuk dan puluhan ekor ayam. Bahkan bumbu-bumbu
telah di datangkan dari kota Cin-Lok-An sampai hampir satu gerobak banyaknya!
Pendeknya, jiwi kali ini naik ke sana akan menikmati pesta besar!”
Sin Wan dan
Giok Ciu tersenyum dan mempercepat makannya.
“Kalau aku
tidak salah ingat, pesta itu diadakan besok pagi, bukan? Karena kami hanya
mendengar dari teman-teman, mungkin keliru?”
Penjaga itu
memandang mereka dengan wajah lucu. “Eh, bagaimana jiwi bisa keliru? Pesta itu
diadakan sore hari ini, kalau datang besok pagi, tentu terlambat dan tidak
mendapat bagian hidangan lezat!”
“Kalau
begitu, kami harus pergi sekarang juga!” kata Sin Wan yang segera membayar
harga makanan dan mengajak Giok Ciu meninggalkan warung itu.
Ketika
mereka telah jauh dari situ, ditengah jalan Giok Ciu berkata, “Twako mengapa
kau tergesa-gesa benar? Bukankah lebih baik kalau kita datang besok saja
setelah semua tamu pergi? Kalau kita datang sekarang, jangan-jangan kita
menimbulkan keributan dan mendapat musuh-musuh baru.”
Sin Wan
memandang gadis itu. “Moi-moi, aku mengerti akan maksudmu, dan dipandang
sepintas lalu memang benar sekali pendapatmu tadi. Tapi, ketahuilah bahwa
Siauw-San Ngo-Sinto adalah orang-orang gagah yang ternama sekali walaupun
mereka itu menjadi anjing-anjing penjilat Kaisar. Kalau kita diam-diam bunuh
mereka, maka orang-orang gagah di kalangan kang-ouw akan bisa salah sangka
terhadap kita. Tapi sekarang kebetulan sekali di sana banyak berkumpul
orang-orang kang-ouw hingga biarlah mereka yang menjadi saksi bahwa kita
membunuh mereka hanya untuk membalas dendam dan menagih hutang jiwa!”
Giok Ciu
mengangguk-angguk. “Mungkin kau benar, Twako. Lagipula, bagiku sih sama saja,
pokoknya asal kita bisa berhasil membunuh anjing-anjing tua itu. Ada banyak
orang atau tidak, aku tidak takut!”
Sin Wan
tersenyum melihat sikap yang tabah dan agak jumawa dari Giok Ciu itu. Mereka
segera keluar dari dusun itu dan menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk
mendaki Gunung Siauw-San yang tidak seberapa besarnya tapi tanahnya sangat
subur itu. Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di lereng puncak
Siauw-San. Dari jauh telah nampak berkelap-kelipnya cahaya penerangan di atas
puncak di mana terdapat sebuah bangunan besar, yakni sebuah Bio tua yang di cat
indah dan menjadi tempat pertapaan Siauw-San Ngo-Sinto.
Pada saat
itu, Siauw-San Ngo-Sinto sedang sibuk menyambut para tamu dan mengepalai para
pelayan mengeluarkan hidangan. Kelima saudara itu berpencar dan masing-masing
sibuk mendekati setiap tamu untuk diajak bercakap-cakap dan beramah tamah.
Saudara tertua dari Ngo-Sinto itu yang kini sedang dirayakan hari kelahirannya
yang ke enam puluh, adalah seorang tinggi besar dan disebut Twa-Sinto atau
Golok Sakti Tertua.
Yang ke dua,
yakni Ji-Sinto adalah seorang tinggi kurus dan bermuka pucat. Kelima saudara
secabang ini memang ahli golok yang pandai, tapi di samping kepandaian bermain
golok, masing-masing masih mempunyai kepandaian istimewa. Twa-Sinto atau yang
tertua memiliki kepandaian melempar huito atau golok terbang yang melengkung
dan jika dilempar ke arah lawan dapat terbang kembali dan menyambar pula, maka
biarpun golok itu dapat dikelit, tapi ia akan memutar kembali dan melakukan
serangan kedua!
Dan
hebatnya, ia bisa melepas tiga buah golok sekali lempar! Yang kedua, yakni
Ji-Sinto yag bermuka pucat itu, mempunyai ilmu Pasir Besi atau Tiat-See-Ciang,
yakni kedua tangannya telah terlatih sedemikian rupa hingga sanggup menyambut
senjata tajam. Dan juga dapat digunakan sebagai senjata yang cukup ampuh karena
tangan itu telah berpuluh tahun digembleng dan dilatih dengan menggunakan bubuk
besi atau pasir besi yang diremas-remas dan dipukul-pukul.
Yang ketiga
atau Sam-Sinto yang pendek gemuk memiliki ilmu tendangan yang sangat berbahaya,
yakni yang disebut Siauw-Cu-Twie, yang dapat dilakukan bertubi-tubi dan sangat
berbahaya, terutama terhadap musuh yang tidak memiliki ginkang tinggi dan
kegesitan pasti akan tertendang roboh!
Orang ke
empat yang tubuhnya tinggi besar juga, memiliki ilmu weduk Kim-Ciong-Ko dan ia
sanggup untuk menerima pukulan senjata tajam tanpa terluka kulitnya!
Sedangkan
orang yang ke lima, yang bertubuh sedang dan berwajah cakap, juga usinya
termuda, kurang lebih puluh lima tahun, adalah seorang ahli Liap-Kang
Pek-Ko-Chiu atau ilmu keraskan tangan yang lebih berbahaya dari pada
Tiat-See-Ciang. Karena dengan jari-jarinya yang dilempangkan dan keras laksana
baja, ia sanggup menyerang lawan dengan Coat-Meh-Hoa atau ilmu totok dari
Bu-Tong-Pai yang tak mencari urat atau jalan darah ketika digunakannya!
Karena
mereka ini rata-rata lihai sekali, maka banyak orang-orang gagah yang kenal
baik nama mereka dan jauh-jauh memerlukan datang untuk memberi selamat kepada
saudara tertua atau Twa-Sinto dari Ngo-Sinto ini.
Memang
sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini kelima jago tua yang lihai itu kena
terpikat bujukan dan pikatan harta benda dan kemulian dunia oleh orang-orang
kaki tangan Kaisar hingga mereka 'kesalahan tangan' dan membunuh mati Kang Lam
Ciuhiap atau Kakek Sin Wan dan karenanya mereka berlima menanam bibit
permusuhan dengan Sin Wan.
Bio atau
Kuil tua di puncak Siauw-San itu sangat besar dan mempunyai ruang depan yang
luas. Di situ berkumpul kurang lebih tiga puluh orang tamu dari macam-macam
golongan, ada yang masih muda sekali, ada pula yang telah Kakek-kakek. Ada yang
berpakaian sebagai piauwsu, sebagai guru silat, dan banyak juga yang berpakaian
Hwesio berkepala gundul dan pertapa-pertapa lain, seperti Tosu dan sebagainya.
Ketika
datang empat orang penunggang kuda yang tampaknya sangat tergesa-gesa, maka
keempat orang tamu itu cepat menjumpai tuan rumah dan memberitahukan sesuatu.
Kelima Ngo-Sinto terkejut sekali tampaknya dan mereka lalu menghadapi semua
tamu sambil minta mereka tenang. Kemudian saudara tertua dari Ngo-Sinto
berkata,
“Cuwi yang
terhomat. Kami berlima sangat berterima kasih dan bergembira dengan kunjunga
cuwi sekalian, tapi sayang sekali kami mendengar berita buruk yang baru saja
datang dari kota raja! Ternyata bahwa beberapa orang anak pemberontak yang dulu
di basmi oleh Suma-Cianbu dengan bantuan tenaga kami, kini telah mengacau di kota
raja dan berhasil membunuh Suma-Cianbu yang gagah itu. Dan menurut pembawa
berita, maka selain membunuh Suma-Cianbu dan menodai puterinya, juga dua orang
pemberontak itu agaknya menuju ke sini untuk mencari kami!”
Terdengar
suara marah di sana sini, yakni dikalangan orang-orang yang memang tidak
menyetujui sepak terjang para orang gagah yang sengaja mengacau pemerintahan
yang mereka anggap tidak adil. Tapi di kalangan beberapa orang gagah yang duduk
di situ, berita itu di anggap biasa saja dan bukan urusan mereka.
“Ah mengapa
Ngo-Wi Lo-Enghiong pusingkan pengacauan yang dilakukan oleh beberapa ekor tikus
kecil saja!” kata seorang anak muda yang bersikap gagah dan berpakaian indah.
“Kami
berlima bukannya merasa takut dan bingung, sama sekali tidak!” jawab Ji-Sinto.
“Akan tetapi, setidak-tidaknya kalau mereka itu berani datang, tentu akan
mengacaukan suasana pesta ini dan dengan demikian membikin tidak enak kepada
cuwi sekalian yang mulia.”
“Biarkan
mereka datang, nanti kami sambut mereka bersama. Sebagai tamu sudah sepantasnya
kalau kita membela tuan rumah,” jawab seorang tamu lain.
Mendengar
ini, kelima orang tuan rumah itu merasa lega dan senang. Mereka menjura keempat
penjuru dan berkata, “Terima kasih banyak atas budi kecintaan dan rasa setia kawan
cuwi, tapi agaknya kalau baru dua orang anak pemberontak saja, tulang-tulang
kami yang tua masih sanggup untuk melayani mereka!”
Para tamu
lalu melanjutkan pesta mereka dengan gembira. Tapi diam-diam Siauw-San
Ngo-Sinto bersiap, bahkan lalu mereka menyuruh orang mengambil golok mereka
untuk disediakan di situ dan Twa-Sinto sendiri diam-diam lalu memasang kantung
huito di atas punggungnya. Mereka telah mendengar dari keempat tamu pembawa
berita dari kota raja tadi bahwa pembunuh-pembunuh Suma-Cianbu memiliki
kepandaian tinggi, juga ada pesan dari Cun Cun Hoatsu agar mereka berhati-hati!
Oleh karena
inilah mereka berlaku waspada dan agak merasa lega karena banyak di antara para
tamu adalah orang-orang gagah yang mereka bisa diharapkan bantuannya. Ketika
pesta sedang berjalan ramai-ramainya, tiba-tiba api lilin di meja tengah
bergoyang-goyang hampir padam dan tahu-tahu disitu telah berdiri dua orang anak
muda, seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang keduanya bersikap
gagah sekali.
“Ngo-Sinto
keluarlah untuk membuat perhitungan lama!” Pemuda itu berkata dengan suara
nyaring dan tenang, sedangkan gadis jelita itu menggunakan sepasang matanya
yang tajam bagaikan sepasang bintang pagi itu untuk menatap orang-orang di
sekelilingnya!
Pada saat itu,
tiba-tiba dari belakang mereka melayang tiga batang huito atau golok terbang
yang menyambar cepat sekali! Biarpun tidak melihat datangnya senjata hebat ini,
namun telinga Sin Wan dan Giok Ciu yang tajam dapat menangkap sambaran angin
senjata itu, maka mereka lalu berkelit ke kiri dan kekanan sehingga tiga batang
golok kecil itu terbang di samping mereka. Tapi golok itu segera membelok dan
melayang kembali menyerang ke dua orang muda itu!
Sin Wan dan
Giok Ciu walaupun merasa terkejut dan kagum melihat kehebatan senjata rahasia
ini, berlaku tenang. Dengan gerakan cepat Sin Wan dapat menangkap sebuah
senjata yang melayang ke arahnya, sedangkan Giok Ciu yang hendak pertontonkan
kepandaiannya sambil meloncat berjungkir balik ia berhasil menyambut dua batang
huito di tangan kanan kirinya.
Pada saat
itu, kembali dari arah belakang, Twa-Sinto melepas tiga batang golok lagi. Tapi
sekali ayunkan kedua tangannya, sepasang golok di tangan Giok Ciu melayang dan
membentur dua batang golok yang datang menyambar itu hingga empat buah golok
terbang jauh di tanah mengeluarkan suara berkerontangan.
Sedangkan
Sin Wan menggunakan golok rampasannya unuk menyabet golok ketiga yang datang
menyambar hingga golok itupun terpukul jatuh, kemudian dengan menggunakan dua
jari tangannya, ia tekuk golok tiu patah menjadi dua potong! Tiba-tiba Sin Wan
tertawa bergelak-gelak dengan suara mengandung penuh ejekan, lalu katanya,
“Aah, tak
kusangka bahwa nama besar kelima golok Sakti dari Siauw-San tak lain hanya nama
kosong belaka! Lima orang tua yang menyebut diri sebagai orang-orang gagah itu
ternyata hanya lima orang pengecut yang menyambut kedatangan tamu dengan
senjata gelap yang dilepas dari belakang pula!”
Ketika melihat
kelihaian kedua orang muda itu, pelepas golok terbang, yakni Twa-Sinto sendiri,
merasa terkejut sekali. Tapi ia tidak mau kehilangan muka di depan para
tamunya, maka ia membentak keras,
“Sepasang
tikus kecil, kalian sungguh kurang ajar berani mengacau pesta kami dan menghina
serta tidak pandang sebelah mata kepada para tamu yang gagah perkasa! Apa
kalian sudah bosan hidup?”
Sin Wan dan
Giok Ciu memutar tubuh menghadapi pembicara ini yang ternyata seorang tua tingi
besar yang sikapnya sangat jumawa dan gagah. Mereka belum menjawab dan
menduga-duga ketika seorang muda yang berpakaian indah dan bersikap sombong
meloncat dengan gerakan indah dan berdiri di depan Si Wan, lalu menuding dengan
jari telunjuknya dan berkata,
“Kau ini
siluman dari mana berani mengacau di sini dan tidak mengindahkan tuan rumah?
Kepandaian apakah yang kau miliki maka kau berani membikin ribut-ribut?”
Sin Wan
dengan tak acuh mengerling ke arah orang itu. Ternyata ia masih muda, paling
banyak tiga puluh tahun, sikapnya gagah dan jumawa sekali, pakaiannya dari
sutera yang atas kuning, yang bawah biru, dan lagaknya tengil sekali dengan
mata liarnya yang saban-saban mengerling tajam ke arah Giok Ciu!
“Kau
anak-anak tahu apa, jangan ikut campur. Pergilah!” kata Sin Wan.
Marahlah
orang itu mendengar ejekan ini. Ia mencabut pedangnya dan meloncat mudur ke
tempat lega sambil menggerak-gerakkan pedangnya dengan cepat dan bertenaga
hingga pedang itu menerbitkan suara bersiutan. Katanya dengan suara keras.
“Kau bangsat
pemberontak! Tak tahukah kau siapa aku? Aku adalah wakil cabang Kun-Lun-Pai dan
kau tidak boleh pandang rendah padaku sesukamu saja. Lihat pedang Kun-Lun-Pai
akan menghukum orang-orang sombong yang menghina kaumnya!”
Giok Ciu
memberi isyarat kepada Sin Wan dengan matanya, lalu iapun meloncat menghadapi
orang itu. Ia menjura dengan senyum manis lalu berkata,
“Maaf! Kalau
kami tidak mengenal seorang tokoh dari Kun-Lun-Pai yang terbesar. Tidak tahu
siapakah hohan dan apa pula gelarnya?”
Melihat
sikap Giok Ciu yang sopan dan memuji-mujinya, si baju sutera menjadi girang
sekali dan ia makin berlagak, bahkan kini angkat-angkat dadanya ke depan
sebelum menjawab sambil melihat ke kanan kiri.
“Hem, kau
jauh lebih sopan dan baik jika dibandingkan dengan kawanmu itu, nona. Sungguh
heran bisa bersahabat dengan orang kasar itu! Ketahuilah, aku adalah Hui Tat
dan disebut orang Eng-Jiauw-Kam atau Pedang Kuku Garuda! Kalau kau menyatakan
maaf kepada tuan rumah, aku Hui Tat suka bikin habis perkara ini, tapi kawanmu
yang kasar itu jangan harap akan dapat terlepas dari pedangku!”
Giok Ciu
mengingat-ingat dan sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang tokoh
Kun-Lun-Pai yang bernama atau berjuluk seperti itu. Ia tahu betul akan
nama-nama para tokoh Kun-Lun-Pai karena dulu seringkali Ayahnya yang juga
seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang ternama menceritakannya.....
BERSAMBUNGKE
JILID 07
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment