Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Naga
Jilid 03
Anak itu
tidak boleh menjadi korban begitu saja, dan jika Suma Cianbu datang, ia tidak
dapat tanggung tentang keselamatan Sin Wan. Walaupun ia tahu bahwa anak itu
telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, namun keenam lawan yang mendatangi
itu terlampau lihai. Kemudian Kang Lam Ciuhiap dengan diam-diam mengadakan
perundingan dengan anaknya. Setelah dijelaskan tentang bahaya yang dapat
mengancam jiwa Sin Wan, nyonya muda itu menjadi gugup.
“Ketahuilah,
anakku. Kalau kaki tangan Kaisar mengetahui bahwa Sin Wan adalah putera tunggal
suamimu, maka jangan harap jiwa puteramu akan tertolong. Mereka itu tentu
berebut membuat pahala dan sedapat mungkin hendak menawan Sin Wan pula, hidup
atau mati!”
Maka lalu
diambil keputusan oleh kedua orang itu untuk menyuruh Sin Wan pergi dari situ
untuk sementara waktu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ibunya
memanggilnya dan ketika Sin Wan menghadap, ternyata di situ sudah tampak
Engkongnya sedang minum arak. Sepagi itu sudah minum arak, sungguh kuat sekali
Engkongnya itu, demikian Sin Wan berpikir menghampiri.
“Sin Wan,
kau masih ingat kepada keluarga Kwie di balik gunung itu?” tanya Kang Lam
Ciuhiap kepadanya.
Sin Wan
pandang Kakeknya dengan tajam dan heran, dan ia mencoba membaca isi hati
Kakeknya itu. “Tentu saja aku masih ingat, Engkong.”
“Mereka itu
ramah tamah dan baik hati sekali, ya?” Sin Wan mengangguk. “Katanya ada juga
seorang anak gadisnya yang cantik, benarkah Sin Wan?” tanya Ibunya.
Sin Wan
makin heran dan dadanya berdebar, tapi dengan menindas perasaannya ia menjawab.
“Setahuku Kwie Pekhu hanya mempunyai seorang anak perempuan namanya Giok Ciu.”
“Bagaimana
pendapatmu tentang anak perempuan itu, Sin Wan?” dengan cepat Ibunya bertanya
hingga anak muda itu cepat memandang Ibunya.
“Apakah
maksudmu, Ibu? Ia pandai silat, berwatak baik, dan pandai... masak.”
Ibunya
tersenyum dan Ciuhiap tertawa bergelak. “Sin Wan, karena mereka itu baik sekali
dan masih tetangga dengan kita, yakni karena kita masih tinggal di satu gunung,
maka untuk menyambut hari raya ini kita harus mengantar apa-apa kepada mereka.
Aku sudah sediakan sedikit kue-kue dan sutera simpananku di dalam bungkusan
itu, kau antarlah bungkusan ini kepada mereka sekarang juga.”
Sin Wan
memandang ke atas meja di depan Kakeknya dimana memang terdapat sebuah
bungkusan besar. Kemudian ia memandang Kakeknya dan berkata dengan sangsi,
“Tapi, Ngkong. Perlu sekalikah itu? Apakah tenagaku tidak diperlukan disini?
Aku harus menjaga keselamatan Ibu.”
“Aku cukup
kuat untuk menjaganya, Sin Wan.”
“Dan kalau
musuh-musuh itu datang aku dapat membantumu, Ngkong.”
“Aah,
musuh-musuh macam itu saja? Tak perlu, Sin Wan.”
“Tapi,
Ngkong, kalau Suma Cianbu dan Ngo-Sinto ikut datang?”
“Ha ha ha!
Mereka boleh datang, dengan batang suling dan kepalan akan kuhancurkan kepala
mereka seorang demi seorang!”
“Tapi,
bukankah kemarin kau katakan bahwa mereka itu tangguh sekali?”
“Aku kemarin
hanya membohong.”
“Tapi...
tapi... Aku khawatir, Ngkong...”
Kakeknya
berdiri serentak dan membentaknya, “Sin Wan! Tidak percayakah kau kepada Kang
Lam Ciuhiap? Tidak taatkah kau kepada Engkong dan gurumu?”
Melihat
sikap Kakeknya Sin Wan tak berani membantah lagi. Ia mengambil bungkusan kain
itu dari atas meja, lalu menghampiri Ibunya dan memegang tangan Ibunya dengan
rasa sayang.
“Ibu, jaga
baik-baik dirimu, ya? Aku akan segera kembali, kalau mungkin sore nanti juga
aku sudah kembali.”
“Sin Wan,
sampaikan salamku kepada Kwie Cu Ek, dan engkau jangan sampai memalukan kami
dengan berlaku kurang sopan. Jika mereka minta kau bermalam disana, biarpun
hanya untuk semalam, kau harus menerima dan jangan kukuh menampik hingga mereka
akan menyangka bahwa kau sombong dan tidak ramah-tamah.”
Setelah
sekali lagi memandang Ibunya dengan mesra, pemuda itu lalu berangkat
meninggalkan rumahnya dengan lari secepat mungkin agar ia segera sampai di
tempat tujuan dan segera kembali. Dulu ketika ia dan Kakeknya pulang dari rumah
keluarga Kwie, mereka gunakan waktu hampir sehari penuh. Tapi sekarang ilmu
larinya telah maju berlipat ganda hingga ketika matahari telah naik sampai
tepat di atas kepalanya ia telah sampai di rumah Giok Ciu.
Hati Sin Wan
berdebar keras ketika ia melihat seorang gadis berbaju merah muda dan
bercelanaa biru berdiri di depan rumah sambil mengambil baju yang dijemur
disitu. Ia segera mengenal gadis itu yang bukan lain ialah Giok Ciu adanya!
Biarpun
gadis itu sedang berdiri membelakanginya, tapi ia tidak lupa melihat potongan
badan gadis itu. Ketika ia telah menghampiri dekat, gadis itu berpaling dan
seketika itu juga kain yang sedang dipegangnya terlepas dari tangannya dan
didiamkannya saja karena kedua matanya yang indah itu memandang bengong kepada
pemuda tampan yang berdiri di depannya.
Juga Sin Wan
merasa malu-malu dan sungkan sekali karena kini Giok Ciu telah menjadi seorang
gadis yang luar biasa cantik jelitanya. Kedua pipinya kemerah-merahan, kulit
leher dan lengannya demiian halus dan putih, apa lagi sepasanga mata yang
gemilang dan bibir yang merah dan manis itu!
Untuk
beberapa saat keduanya hanya saling pandang tanpa dapat mengucapkan sepatah
katapun Kemudian Sin Wan maju dan membungkuk untuk mengambil kain yang terjatuh
itu, lalu memberikannya kepada Giok Ciu.
“Terima
kasih,” kata gadis itu dengan bibir sedikit gemetar.
“Giok Ciu!”
Sin Wan menegur perlahan, dan menatap wajah yang selalu ditundukkan itu.
Giok Ciu
menangkat kepalanya dan memandang dengan senyum malu-malu. “Hm??” hanya
demikian mulutnya menggumam.
“Kau... kau
sudah lupakah kepadaku? Kenapa diam saja?” kata Sin Wan lagi dengan agak heran.
Mengapa gadis yang dulu genit dan lincah itu sekarang menjadi begini kikuk?
Giok Ciu
tundukkan lagi mukanya dan mengerling pemuda itu serta memandangnya dari sudut
matanya. Gerakan mata ini manis dan menarik sekali. “Masak begitu mudah
melupakan orang?” jawabnya perlahan.
“Giok Ciu!
aku tidak pernah lupakan kau. Mana bisa aku melupakanmu, teman baikku yang
telah mengalami hal-hal aneh dan hebat bersamaku.”
Diingatkan
akan peristiwa yang dialami bersama-sama Sin Wan dulu, Giok Ciu tiba-tiba
merasa gembira dan wajahnya berseri. Kemudian ia teringat bahwa pada saat itu
Sin Wan adalah seorang tamu, maka dengan gugup ia berkata,
“Kau...,
masuklah , marilah.” Dan ia mendahului pemuda itu ambil tempat duduk.
“Dimana Kwie
Pekhu? Apakah ia baik-baik saja selama ini?”
“Baik,
terima kasih. Ia sekarang sedang turun ke kampung di bawah bukit untuk membeli
kain.”
“Aku disuruh
oleh Ibuku untuk mengantar sedikit barang tak berharga ini dan sekalian
menyambangi kau.”
“Aku? Bukan
menyambangi Ayah?” Wajah Sin Wan memerah.
“Ya Ayahmu
juga!” Kemudian sambil menatap wajah gadis jelita itu ia berkata
sungguh-sungguh, “Giok Ciu, aku heran benar melihat engkau.”
Giok Ciu
balas memandang. “Heran? Mengapa? Apakah aku berubah dan... Jelek?”
Sin Wan
tersenyum. “Berubah sih tentu. Kau sekarang menjadi tinggi dan... dan... makin
manis!”
Giok Ciu
segera tundukkan muka, tapi senyum yang menghias bibirnya itu menandakan bahwa
hatinya senang sekali. “Tapi yang membuat aku heran sekali adalah perubahan
yang sangat menyolok pada dirimu. Kau sekarang begitu... Begitu pendiam dan
agaknya malu-malu padaku, mengapakah?”
Giok Ciu memandang
lagi tapi tidak berani menentang mata Sin Wan terlalu lama. “Kau tidak
mempunyai perasaan... malu kepadakukah?”
“Mengapa aku
mesti malu-malu kepadamu? Bukankah kau ini sahabatku yang baik, kawan
sependeritaan ketika kita terjeblos dalam jurang dan akhirnya keluar dari sumur
itu?”
Untuk
sejenak gadis itu memandang heran, kemudian tiba-tiba saja sikapnya yang
malu-malu itu lenyap dan ia berubah menjadi seperti biasa, bahkan gembira
sekali seakan-akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal di dalam hatinya telah
disingkirkan.
“Sin Wan,
kau tentu sudah maju sekali dalam ilmu silat, bukan?”
“Ah, belum
tentu semaju engkau!”
“Hayo, kita
mencoba kepandaian kita, boleh?” ajak Giok Ciu gembira.
Sin Wan
geleng-gelang kepala. “Sebenarnya aku tergesa-gesa sekali, Giok Ciu.” Katanya
perlahan dan tiba-tiba lenyap kegembiraannya karena ia teringat akan Ibu dan
Kakeknya yang mungkin diancam bahaya dan bencana besar.
Melihat
betapa pemuda itu kehilangan seri wajahnya dan keningnya tampak berkerut
seperti orang bingung dan susah, gadis itu menjadi heran dan buru-buru
bertanya,
“Sin Wan,
apakah yang terjadi? Kau agaknya bingung, apakah yang menyusahkanmu? Katakan
padaku, aku pasti akan membantumu!”
Melihat
sikap gadis yang sangat memperhatikan padanya itu, hati Sin Wan terhibur dan ia
merasa berterima kasih sekali. Ternyata gadis ini sama sekali tidak berubah,
bahkan lebih baik dan setia kawan. Karena ini ia lalu ceritakan dengan
sejelasnya apa yang telah terjadi, yakni tentang pengeroyokan yang terjadi atas
diri Kakeknya dan betapa Kakeknya telah memberi hajaran kepada rombongan
tentara itu, tapi kini telah datang ancaman bahaya baru yang sangat
mengkhawatirkan.
“Karena
itulah maka aku tidak dapat lama-lama berada disini, Giok Ciu, karena mungkin
sekali tenaga bantuanku dibutuhkan sangat oleh Kakekku. Aku harus kembali
sekarang juga!”
“Sebetulnya
aku harus menyesal karena kau tak pernah mengunjungi kami dan sekarang begitu
datang kau hendak pergi lagi. Tapi urusan di kampung itu memang gawat sekali.
Tidak saja kau harus lekas pulang, bahkan akupun akan menyertai kesana. Kita
lebih baik sama-sama menghajar orang-orang kurang ajar itu!”
Sin Wan
pandang gadis itu dengan heran, hatinya girang seklaik tapi ia ragu-ragu. “Ah,
Giok Ciu, apakah kau tidak akan dimarahi Ayahmu? Betapapun juga kau harus
memberi tahu lebih dulu kepada Kwie Pekhu!”
“Untuk
urusan sepenting ini, aku boleh pergi tanpa pamit. Apa pula untuk membela Ibumu
dan Ayahmu adalah kewajibanku yang terutama! Biarlah aku meninggalkan surat
saja untuknya agar kalau telah pulang ia bisa segera menyusul kita.”
“Kau
maksudkan... Kwie Pekhu juga akan ke sana membantu kami?” tanyanya girang
sekali.
“Mengapa tidak?
Ia pasti akan menyusul kita.” Giok Ciu lalu cepat ambil alat tulis dan menulis
surat pemberitahuan untuk Ayahnya di atas meja dalam kamar Ayahnya.
“Hayo kita
pergi,tapi kau harus makan dulu. Bukankah kau tadi belum makan? Jangan kita
nanti kelaparan lagi dijalan seperti dulu.” Kata gadis itu menimbulkan
kegembiraan lagi di dalam hati Sin Wan.
“Tak usah,
Giok Ciu, kalau ada kue, kau bawa kue saja, kita makan di jalan nanti.”
Giok Ciu
tidak membantah lalu mereka berangkat dengan lari cepat. Sin Wan sengaja lari
cepat sekali dan sekuat tenaganya, tapi ternyata ilmu lari cepat gadis itu
tidak berada dibawh tingkatnya hingga ia menjadi kagum dan girang. Ketika tiba
di jurang yang lebar, dimana dulu mereka meloncatinya dengan bantuan pohon dan
tambang, mereka loncati begitu saja dengan tidak terlalu sukar. Giok Ciu dengan
gembira menunjuk ke sebuah batu karang yang tinggi dan runcing sambil berkata,
“Sin Wan,
lihat di sana itu, masih ingatkah kau?”
Sin Wan
memandang dan melihat sebuah benda panjang keputih-putihan menggantung dari
puncak karang. Ia ingat bahwa itu adalah tali tambang yang dulu ia pakai untuk
meloncati jurang itu. Ia menghela napas dan berkata,
“Alangkah
cepatnya waktu berjalan. Tiga empat tahun telah lalu dan tali itu masih
tergantung di situ hingga kalau kita pergi berdiri di sini, seakan-akan
peristiwa itu baru terjadi kemarin. Dan kitapun tak terasa pula sudah bukan
kanak-kanak lagi, sudah setengah dewasa!”
“Kenapa
dalam beberapa tahun itu kau atau Kong-kong tak pernah datang menengok kami?
Tadinya kukira kalian sudah lupa!” Gadis itu berkata sambil cemberutkan
bibirnya, tapi dalam pandangan Sin Wan malahan tampak lebih manis.
“Kakekku selalu
sibuk mengajar silat padaku, sedangkan kalau aku hendak pergi sendiri, Ibu
selalu melarangku setelah terjadi aku hilang dua hari dulu itu!” Giok Ciu
padang wajah Sin Wan dengan iri hati.
“Ah, kau
memang beruntung, mempunyai seorang Ibu menyayangimu.” Dan mata gadis itu
menjadi merah.
Tapi Sin Wan
segera menghiburnya. “Tapi aku tidak mempunyai Ayah seperti kau. Keadaan kita
sama. Giok Ciu, jangan kau bersedih. Biarlah kau anggap Ibuku seperti Ibumu
sendiri.”
Tiba-tiba
sikap Giok Ciu berubah dan ia lari menjauhi Sin Wan. Pemuda itu terheran dan
tunda larinya, hingga Giok Ciu yang tidak kenal jalan terpaksa berhenti juga,
agak jauh dari tempat Sin Wan berhenti.
“Giok Ciu,
kau kenapakah? Marahkah kau?”
Giok Ciu
memandangnya dengan tajam seakan-akan hendak membaca isi hatinya. Kemudian
gadis itu tampak tenang kembali dan bersikap biasa. “Tidak apa-apa, hanya aku
tadi terharu mendengar bahwa aku harus menganggap Ibumu seperti Ibuku sendiri.
Alangkah baiknya, dan kau juga menganggap Ayahku seperti Ayahmu sendiri.”
“Ya,
begitulah lebih baik,” kata Sin Wan sambil tunduk dan tidak tahu betapa Giok
Ciu memandang padanya dengan mata setengah terkatup hingga sepasang mata yang
bening itu mengincar dari balik bulu matanya yang panjang dan lentik.
“Marilah kita
percepat perjalanan ini agar segera sampai dirumah,” kata Sin Wan.
“Apakah kau
tidak lapar? Ini, makanlah kue ini.”
Gadis itu
keluarkan sepotong kueh kering dari saku bajunya, dan mereka lalu makan kuih
itu. Hal ini membuat mereka teringat lagi akan peristiwa dulu didalam jurang,
dimana mereka juga makan kue kering bekal Sin Wan.
Setelah
makan dan minum air gunung yang jernih, dingin, dan segar mereka lalu berangkat
pula. Perjalanan kali ini berbeda dengan ketika Sin Wan berangkat dari rumah,
karena dengan berdua mereka merasa gembira dan lebih menikmati pemandangan di
kanan kiri. Tamasya alam yang tadi ketika berangkat tidak diindahkan, bahkan
tidak terlihat oleh Sin Wan.
Kini nampak
bagus dan menarik sekali hingga beberapa kali ini ia dan Giok Ciu berhenti
untuk menikmati pemandangan indah itu beberapa lama. Dari perjalanan ini maka
terbuktilah kekuatan dan keuletan tubuh Sin Wan. Pemuda itu boleh dibilang
sehari penuh terus berlari cepat dan hanya berhenti sebentar, tapi ia sama
sekali tidak merasa lelah!
Karena
sering berhenti, maka ketika mereka tiba di kampung Sin Wan telah mulai senja.
Matahari telah sembunyi di balik puncak Kam-Hong-San dan keadaan telah sunyi
senyap karena burung-burung telah kembali ke sarang mereka dan beristirahat setelah
sehari penuh beterbangan mencari makan. Beberapa ekor burung kuntul yang
berbulu putih terbang tergesa-gesa di bawah mega, gerakan sayap mereka perlahan
tapi kuat hingga tubuh mereka meluncur maju bagaikan anak panah terlepas dari
busurnya.
“Sin Wan
kenapa kampungmu begini sunyi?” tanya Giok Ciu dengan heran ketika mereka mulai
masuk perkampungan itu.
Sin Wan tak
menjawab, tapi ia sendiri juga heran sekali. Tiba-tiba telinga mereka dapat
mendengar suara tangis sedih yang tertahan-tahan, agaknya orang-orang menangis
tapi karena takut maka tidak berani menangis keras. Sin Wan terkejut dan ia
memegang lengan Giok Ciu sambil berkata,
“Hayo cepat,
Giok Ciu!”
Gadis itu
merasa betapa tangan Sin Wan yang memegang lengannya sangat dingin! Maka hatinyapun
berdebar karena menyangka sesuatu yang tidak beres. Dan apa yang tampak oleh
mereka sungguh mengerikan! Ketika mereka tiba di depan rumah Sin Wan, tampak
tubuh-tubuh malang melintang di atas tanah yang telah menjadi merah karena
aliran darah dari para korban itu.
“Sin Wan,
apakah yang terjadi?” Giok Ciu dengan wajah pucat pegang lengan pemuda itu,
tapi bagaikan orang kalap Sin Wan mengkipaskan tangan Giok Ciu dan meloncat
masuk ke dalam rumahnya sambil berteriak-teriak,
“Ibu...!
Kakek…!”
Giok Ciu
cepat mengikut pemuda itu dan meloncat masuk ke dalam pintu yang terpentang
lebar. Dan ketika ia masuk kedalam, ia melihat Sin Wan telah berlutut dan
memeluki tubuh Ibunya yang menggeletak mandi darah! Juga Kakeknya rebah dengan
lengan kanan putus dan tidak ingat orang!
“Ibu...
Kong-kong...” Giok Ciu berbisik perlahan dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya
menggigil.
Sin Wan
seperti orang gila. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya kedua matanya
melotot lebar dan dari pelupuk matanya mengalir air mata berbutir-butir
membasahi pipinya. Ia angkat kepala Ibunya dan dipangkunya kepala yang lemas
itu, di dekapnya muka Ibunya pada dadanya dan diciuminya jidat yang halus putih
dan pucat itu. Kemudian, lama sekali, barulah Sin Wan dapat berbisik, suaranya
tenggelam dalam kerongkongannya
“Ibu... Ibu…
bangunlah, Ibu… bukalah matamu, aku datang, Ibu... aku Sin Wan anakmu…”
Giok Ciu
melihat keadaan pemuda itu dan mendengar ratap tangisnya, hanya bisa
mencucurkan air mata dari belakang ia pegang lengan Sin Wan. Hatinya ingin
menghibur, tapi tak sepatah kata-kata dapat keluar dari mulutnya. Tiba-tiba ia
melihat Ibu Sin Wan menggerak-gerakkan kulit matanya.
“Sin Wan,
lihat Ibumu siuman.” Bisik Giok Ciu.
Sin Wan
pandang wajah Ibunya dan harapan timbul dalam hatinya. “Ibu… bangunlah, Ibu...”
ratapnya dan ia mencoba untuk mengangkat tubuh Ibunya, tapi tiba-tiba nyonya
itu merintih kesakitan sehingga terpaksa Sin Wan menunda maksudnya dan ia
baringkan kepala Ibunya di atas pangkuannya.
Nyonya yang
bernasib malang itu buka pelupuk matanya dan ia tersenyum ketika melihat Sin
Wan. “Syukur… kau… kau selamat, Sin Wan…” katanya perlahan.
“Ibu,
bagaimana kau bisa berkata begitu? Kau... ah, siapakah yang melakukan ini, Ibu?
Siapa? Katakanlah, hendak kubeset menjadi dua tubuhnya!”
“Siapa lagi,
anakku... Kalau bukan orang-orangnya… Kaisar... lalim...” Ibu Sin Wan melirik
ke arah gadis yang berada di belakang Sin Wan dan ikut mengalirkan air mata
itu. Wajahnya yang sudah menyuram tiba-tiba berseri dan berbisik,
“Sin Wan...
inikah... Giok Ciu...?”
“Betul,
Ibu,” jawab Giok Ciu sambil mendekat. Ibu Sin Wan masih kuasa mengangkat lengan
kanannya untuk meraba-raba muka dan rambut Giok Ciu, agaknya ia puas sekali.
“Kau...
cantik… dan… baik, bahagialah kau dengan… anakku…”
Giok Ciu tak
kuasa menahan keharuan hatinya, ia hanya mengangguk-angguk sambil menciumi
tangan yang membelainya itu.
“Sin Wan...
jagalah baik-baik dia ini… dia ini calon isterimu… tanda perjodohannya...
Sepatu kecil... kusimpan di peti pakaianku... Sin Wan... Giok Ciu... Aduh!” Dan
Nyonya yang telah kepayahan karena kehabisan darah yang mengalir dari lukanya
itu menjadi lemas dan napasnya berhenti!
“Ibu…!
Ibu…!!” Sin Wan menjerit dan kedua matanya jelalatan bagaikan mencari-cari
sesuatu. Kemudian ia turunkan kepala yang dipangkuannya perlahan, lalu ia
loncat berdiri dan memburu ke depan. “Siapa yang membunuh Ibuku? Siapa?? Hayo
keluar!!” Kemudian, karena yang dilihatnya hanya mayat-mayat orang kampung
bergelimpangan, ia lari lagi ke dalam dan tubruk mayat Ibunya.
“Ibu...
Ibu...! Mana Kong-kong, mana...? Kong-kong… dimana kau?” Sin Wan benar-benar
seperti orang gila hingga ia tidak melihat Kong-kongnya yang menggeletak tak
jauh dari situ.
Giok Ciu
sambil menangis lalu memegang tangan Sin Wan dan berkata, “Sin Wan, tenanglah,
Kong-kong ada disini, lihatlah...!”
Sin Wan
menengok ke bawah dan ketika melihat tubuh Kakeknya membujur di situ mandi
darah, ketegangan di wajahnya lenyap seketika. Ia menubruk Kong-kongnya dan
mengangkat kepala yang sudah putih itu.
“Kong-kong!
Kau juga menjadi korban? Kong-kong… katakanlah siapa yang melakukan ini,
siapa??”
Ia
menggoyang-goyang tubuh Kong-kongnya yang sudah lemas itu. Agaknya nyawa Kakek
itu belum meninggalkan raganya, karena memang orang tua itu kuat sekali dan
telah mempunyai latihan tenaga dalam yang luar biasa. Maka dalam keadaan yang
bagi orang lain sudah tak mungkin dapat mempertahankan lebih lama itu karena
selain lengannya yang kanan terpotong sebatas pundak, juga ia mendapat
luka-luka di dada dan perutnya, ia masih dapat membuka matanya. Mata itu
memandang kepada Sin Wan dengan tajam dan dengan paksaan tenaganya yang terakhir
ia berkata dengan suara parau seakan-akan bukan suara manusia lagi.
“Sin Wan...
yang melakukan ini ialah... Suma Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto...!”
Kepala yang
tadinya menegang itu lalu terkulai lemas dalam pelukan Sin Wan, tanda bahwa
hayatnya telah meninggalkan tubuh! Sin Wan lepaskan kepala itu kebawah, lalu
tiba-tiba ia betot suling bambu yang terpegang di tangan kiri Kakeknya,
kemudian dengan geraman hebat Sin Wan meloncat keluar bagaikan seekor naga
mengamuk!
Pemuda itu
tidak ingat apa-apa lagi, yang diingat hanya dendam kepada musuh-musuhnya! Ia
tiba diluar dan matanya memandang jelalatan ke sana ke mari. Tiba-tiba ia
meloncat ke samping ketika merasa betapa pundaknya dijamah orang dengan
perlahan dari belakang. Sambil meloncat ia mengayun suling ke arah orang yang
menjamahnya itu hingga Giok Ciu cepat berkelit dengan kaget sekali.
“Sin Wan,
ingatlah, ini aku, Giok Ciu!” kata gadis itu sambil bertindak maju dan memegang
lengan Sin Wan, “Sin Wan, begini lemahkah hatimu? Beginikah sikap seorang
jantan yang gagah perkasa? Kau boleh marah dan sakit hati, tetapi kau tidak
tahu dimana adanya musuh-musuhmu. Apakah kau telah melupakan jenazah Ibu dan
Kakek? Apakah mereka itu tidak harus diurus lebih dulu dan dibiarkan saja? Ah,
Sin Wan... Sin Wan...”
Tubuh Sin
Wan yang tadinya menegang dan matanya yang liar dan ganas itu melembut. Suling
yang dicengkeram dalam tangannya terlepas dan jatuh di tanah tanpa terasa.
Kemudian ia lari dengan tubuh lemas ke dalam rumah. Melihat mayat Kong-kongnya
ia lalu berlutut dan sambil memandang wajah Kakeknya itu dan ia meratap dan
menyesali Kakeknya.
“Kong-kong,
kenapa kau suruh aku pergi? Kenapa? Kau sengaja menyuruh aku menyingkir. Aku
tahu... Aku tahu...! Kong-kong, apa kau sangka aku penakut? Apa kau sangka aku
takut mati? Ah, Kong-kong. Kalau saja aku tidak pergi... Kong-kong… kau bikin
aku selamanya akan menyesali saat kepergianku itu... Kau bikin aku menjadi
penasaran selalu...” Kemudian, sambil menyusut air mata dengan ujung baju,
pemuda tanggung yang mengalami nasib buruk itu menubruk mayat Ibunya.
“Ibu...
Ibu... anakmu tidak berbakti! Kau... kau diserang musuh, dilukai, dibunuh...
sedangkan aku... anakmu... Pergi dan bergembira di luar! Ibu ampunkan anakmu,
Ibu... aku bersumpah, sebelum dapat membunuh orang-orang terkutuk itu, aku
tidak mau menyebut namaku kepada orang lain…”
Kemudian Sin
Wan menangis lagi sambil berlutut di dekat mayat Ibunya. Ia pukul-pukulkan
kepalanya di atas lantai hingga terluka dan kulit jidat itu mengeluarkan darah!
Demikian besar rasa penyesalannya telah pergi hingga Ibunya dibunuh orang pada
saat ia tidak berada di situ, maka karena menyesal ia bentur-benturkan jidat di
lantai dan akhirnya sambil memekik keras ia roboh pingsan di atas dada Ibunya!
Semenjak
tadi, Giok Ciu tak berdaya dan hanya ikut menangis. Ia adalah seorang yang
keras hati, tapi menghadapi pemandangan demikian mengerikan dan mengharukan, ia
tak dapat menahan mengucurnya ia mata dan rasa iba hati yang luar biasa sampai
menyakitkan dadanya. Ia merasa iba sekali sekali melihat Sin Wan, pemuda
tunangannya yang sebelum diberi tahu oleh Ibunya tidak mengerti bahwa Giok Ciu
adalah tunangannya!
Giok Ciu
sendiri telah diberi tahu oleh Ayahnya, bahkan suling kecil pemberian Kang Lam
Ciuhiap telah diserahkan kepadanya untuk disimpan. Inilah sebabnya maka ketika
bertemu dengan Sin Wan, ia meraa malu sekali dan kikuk. Tapi, kemudian dapat
diterkanya bahwa pemuda itu agaknya belum tahu akan pertunangan mereka, maka
lenyaplah rasa malunya terhadap Sin Wan. Hal ini membuat kegembiraannya timbul
dan ia bisa bergaul lebih bebas dengan pemuda itu. Tapi, tidak disangkanya sama
sekali, musuh telah mendahului mereka dan telah mengamuk demikian kejamnya!
Kini melihat
betapa Sin Wan jatuh pingsan, Giok Ciu merasa makin bingung dan ia merasa
hatinya seperti diremas-remas! Ia lari keluar dan masuk ke dalam rumah
terdekat. Di dalam rumah itu terdapat dua orang wanita tua dan muda saling
peluk dengan tubuh gemetar, dan ditengah-tengah mereka ada tiga anak-anak
kecil. Ternyata mereka masih ketakutan. Alangkah kaget mereka ketika da orang
masuk ke rumah, mereka sangka bahwa tentara-tentara yang kejam itu masih berada
di luar. Tapi Giok Ciu berkata dengan halus,
“Encim dan
cici, jangan takut-takut, musuh telah pergi semua. Marilah kau bantu aku untuk
memberi tahu semua tetangga. Suruh mereka keluar dan menolong kawan-kawan
kita.”
Maka
berdirilah kedua wanita itu dan sebentar saja mereka berdua pergi ke
rumah-rumah para tetangga. Semua orang keluarlah berbondong-bondong dan tangis
dan pekik saling menyusul ketika mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan.
Masing-masing keluar lalu mengangkat korban-korban yang masih menggeletak di
luar dan menggotong tubuh-tubuh itu ke rumah masing-masing. Giok Ciu dengan bantuan
beberapa orang lalu mengurus kedua jenasah Ibu Sin Wan dan Kang Lam Ciuhiap Bun
Gwat Kong.
Sedangkan
Sin Wan setelah siuman, hanya duduk bengong menghadapi kedua mayat orang-orang
tercinta itu. Selama hidupnya ia hanya kenal Ibu dan Ayahnya, dan kini
tiba-tiba saja kedua orang tua itu tinggalkan dia dalam cara yang demikian
menyedihkan! Sementara itu Giok Ciu mendengarkan keterangan yang diberikan oleh
orang-orang kampung yang tidak menjadi korban keganasan gerombolan kaki tangan
Kaisar.
Ternyata pada
kira-kira tengah hari tadi, sebarisan tentara berkuda dan bersenjata lengkap
menyerbu kampung itu, dipimpin oleh Suma Cianbu dan lima orang gagah, yakni
Siauw-San Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat dari Gunung Siauw-San. Mereka
hendak menangkap Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, tapi Kakek yang gagah perkasa
itu melawan hebat. Pertempuran seru terjadi dan orang-orang kampung yang jujur
dan setia kawan ketika melihat betapa empek itu dikeroyok, lalu maju membantu.
Tapi mereka
bukanlah tandingan para tentara yang terlatih hingga sebentar saja belasan
orang roboh mandir darah. Kang Lam Ciuhiap dengan senjata suling mengamuk
bagaikan seekor naga sakti. Seorang pemuda yang berhasil menonton pertempuran
itu sambil bersembunyi, menuturkan berikut.
Rombongan
penyerbu itu terdiri dari dua puluh anggauta tentara dibawah pimpinan seorang
tinggi besar yang brewokan dan mengaku bahwa Suma Cianbu, yakni kapten Suma.
Kapten Suma itu bersenjatakan sepasang pedang. Di antara mereka terdapat lima
orang Tosu atau Pendeta yang semua berbaju kuning dan rambutnya diikat ke atas.
Mereka ini langsung menuju ke rumah Kang Lam Ciuhiap. Kakek yang gagah itu
dengan tenang dan sedikitpun tidak jeri menyambut kedatangan mereka di luar
rumahnya.
“Ha ha ha!
Kang Lam Ciuhiap! Sungguh aku beruntung sekali karena ternyata kau masih hidup
hingga memberi kesempatan kepadaku untuk membunuhmu!” kata Kapten Suma itu
sambil meloncat turun dari kudanya.
“Memang
benar kata-katamu bahwa aku masih hidup, Suma Cianbu. Tapi tentang membunuh itu
masih merupakan teka-teki siapa tahu, barangkali akulah yang akan berhasil
membunuhmu.”
“Hm, orang
she Bun! Kau seorang yang berdosa tetapi masih berani membuka mulut besar!”
menegur seorang diantara kelima Tosu itu. “Tahukah kau akan dosa-dosamu?”
Kang Lam
Ciuhiap memandang ke arah Tosu itu dengan pandang mata menghina. “Bukankah aku
berhadapan dengan Siauw-San Ngo-Sinto yang terkenal? Kenapa kalian orang-orang
pertapa meninggalkan tempat pertapaan dan bersatu dengan anjing-anjing penjilat
Kaisar ini? Apakah kalian juga telah diberi makanan lezat?"
Marahlah
Tosu tertua mendengar sindiran ini. “Bun Gwat Kong! Ajalmu telah berada di
depan mata, kau masih berani menghina orang! Kau telah memberontak dan membunuh
banyak pembesar-pembesar negeri, mengikuti jejak anak mantumu yang juga menjadi
pemberontak! Apakah dosa ini tidak terlalu besar dan kejam sehingga terpaksa
kami turun gunung untuk menghajarmu?”
“Sudahlah,
sudahlah… kalau negeri sedang kacau, memang selalu muncul tikus-tikus seperti
kalian. Ternyata hanya namanya Siauw-San Ngo-Sinto besar, tapi orang-orangnya
tak berjiwa bersih!”
Kelima Tosu
itu dengan marah lalu mencabut golok masing-masing. Golok mereka kecil dan
panjang tapi gemerlapan karena tajamnya. Kemudian mereka maju mengepung Kang
Lam Ciuhiap yang hanya bersenjatakan suling bambu di tangan!
Maka
terjadilah pertempuran yang luar biasa serunya! Dengan suling bambunya Kang Lam
Ciuhiap ternyata dapat bertahan dan melindungi dirinya dari serangan-serangan
maut yang berpancaran dari golok kelima lawannya. Melihat betapa orang tua
gagah itu dalam berpuluh jurus belum juga dapat dirobohkan, Suma Cianbu sendiri
maju dengan sepasang pedang atau siang-kiamnya.
Dan kini
Kakek itu mulai sibuk dan terdesak hebat, karena kepandaian kapten ini tidak
dibawah seorang dari para Tosu-Tosu itu. Akan tetapi, Kang Lam Ciuhiap
benar-benar meperlihatkan bahwa nama besarnya bukanlah kosong belaka. Ia
mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Beberapa orang anggauta tentara yang
mencoba untuk mengeroyoknya dan berusaha mencari pahala telah roboh dibawah
totokan sulingnya.
Tapi musuh
terlalu banyak dan Kalng-lam Ciuhiap telah mendapat beberapa luka dibadannya.
Kemudian terdengar jerit ngeri dari dalam rumah dan Kakek itu yang mengenal
jerit anak perempuannya, segera berseru nyaring dan ia meloncat ke dalam rumah,
di kejar oleh lawan-lawannya. Alangkah kaget Kakek itu ketika melihat betapa
anaknya telah roboh mandi darah dan di dekatnya berdiri soerang anak buah
rombongan itu sambil memegang goloknya yang berlumuran darah.
Dalam
marahnya Kang Lam Ciuhiap mengayun sulingnya dan pembunuh anaknya itu robohlah
sambil berteriak ngeri, tapi Kang Lam Ciuhiap masih belum puas. Ia kerjakan
kedua kakinya dan sulingnya untuk memukul dan mendendang sehingga orang itu
andaikata mempunyai sepuluh nyawa tentu kesepuluh nyawanya juga akan terbang
pergi meninggalkan raganya!
Akan tetapi
pada saat itu Suma Cianbu dan kelima Tosu yang lihai telah masuk rumah pula dan
dalam keadaan terdesak di tempat sempit itu akhirnya robohlah Kang Lam Ciuhiap
Bun Gwat kong, Kakek yang gagah perkasa itu!
Sementara
itu, orang-orang kampung yang melihat betapa Bun didatangi penyerbu-penyerbu
lalu bersiap dan berusaha membantu. Akan tetapi mereka bukanlah lawan para
anggota tentara pemerintah asing yang telah terlatih dan sebentar saja belasan
orang dapat dirobohkan dan yang lainnya lari bersembunyi. Maka sebentar saja
penuhlah pekarangan rumah keluarga Bun dengan tubuh-tubh luka dan mayat
bergelimpangan. Pemandangan yang mengerikan sekali!
Setelah
menjatuhkan malapetaka dikampung itu, rombongan Suma Cianbu segera meninggalkan
kampung itu sambil membawa beberapa orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam
Ciuhiap dalam amukannya tadi.
Biarpun para
para penyerbu telah pergi lama, orang-orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam
Ciuhiap dalam amukannya tadi. Biarpun para penyerbu telah pergi lama,
orang-orang kampung masih belum juga berani keluar dari tempat persembunyian
mereka sampai Sin Wan dan Giok Cu datang!
Mendengar
betapa lihainya musuh-musuh yang datang, maka Giok Ciu yang cerdik tahu mengapa
empek gagah itu sengaja menyuruh Sin Wan pergi, karena kalau pemuda itu berada
disitu, tentu takkan terluput dari kematian juga. Ketika orang-orang masih
sibuk mengurus semua jenasah dan berkabung, malam hari itu datanglah Kwie Cu Ek
ke kampung itu. Ia merasa terkejut sekali ketika Giok Ciu dan Sin Wan berlutut
sambil menangis dengan sedih. Orang gagah itu menggertak gigi dan membangunkan
kedua anak itu.
“Suma
Cianbu, kau binantang kejam! Dan kalian Siauw-San Ngo-Sinto pertapa-pertapa
busuk. Perbuatan kalian ini sungguh keterlaluan. Aku Kwie Cu Ek bersumpah
hendak mengadu jiwa dengan kalian!”
Hui-Houw
Kwie Cu Ek berseru keras dengan muka merah karena marahnya, dan suaranya yang
keras menyeramkan penuh hawa marah itu di selingi isak tangis Sin Wan dan Giok
Ciu hingga semua orang yang berada disitu tak dapat menahan turunnya air mata
mereka. Untuk memudahkan pengurusannya, maka semua jenasah yang berjumlah tujuh
belas orang itu dikumpulkan di satu rumah dan disitulah semua orang berkumpul
dan bersembahyang. Pada keesokan harinya, dengan iringan ratap tangis mereka
yang ditinggalkan, semua jenasah dikebumikan.
“Tia-tia,
marilah kita bertiga mencari pembunuh-pembunuh itu dan menghajar mereka!” kata
Giok Ciu kepada Ayahnya.
“Benar
kata-kata Giok Ciu, Kwie Peh-peh. Aku harus mencari mereka dan membikin
perhitungan!” kata Sin Wan penuh semangat.
Tapi Kwie Cu
Ek menggeleng-gelengkan kepala. “Kalian bicara mudah saja. Lawan-lawan ini
bukanlah orang lemah. Kita bertiga belum tentu bisa menangkan mereka, apalagi
mereka berada di tengah-tengah pahlawan-pahlawan Kaisar yang berkepandaian
tinggi. Sekarang belum waktunya membalas denam. Sin Wan, kau ikutlah dengan
kami ke tempat tinggalku dan disana kau harus berlatih silat lebih lanjut.
Kalau kepandaianmu sudah mencukupi barulah kau boleh turun gunung membalas
sakit hati, dan percayalah, aku dan Giok Ciu tentu akan menyertaimu. Akupun
gatal-gatal tangan untuk menghajar mereka, tapi segala hal lebih baik dilakukan
dengan perhitungan masak-masak. Tahukah kau bahwa dengan menyuruh kau pergi
hingga terbebas dari kematian adalah hal yang disengaja oleh Kakek dan Ibumu?
Dan tahukah kau mengapa mereka lakukan hal itu? Tak lain agar kelak kau dapat
membalas dendam ini! Dan kalau kau sekarang pergi membalas dendam lalu tidak
berhasil bahkan kau sendiri terbinasa, bukankah itu sama dengan menyia-nyiakan
pengharapan dan maksud Ibu dan Kakekmu?”
Sin Wan
menundukkan kepala dan ia merasa betapa tepat dan benar sekali omongan orang
tua itu. Maka ia mengalah dan hanya berkata, “Terserah kepadamu, Kwie Peh-peh
semenjak sekarang, tidak ada orang lain yang pantas saya taati selain kau orang
tua!” Dengan ujung lengan bajunya Sin Wan menyusut air matanya.
“Nah,
begitulah seharusnya, Sin Wan. Nah bersiaplah dan sekarang juga kita pindah
ketempatku.”
Dengan hati
terharu Sin Wan lalu minta diri dari semua orang kampung sambil
bertangis-tangisan, dan ia hanya membawa pakaian dan barang seperlunya saja.
Diam-diam ia mencari sepatu kecil yang dipesankan Ibunya itu dan ia memasukkan
itu ke dalam buntalannya. Giok Ciu calon isterinya? Hanya kedukaan peristiwa
hebat itulah yang membuat ia tidak perhatikan kenyataan ini dan membuatnya
seakan-akan lupa akan hal itu. Tapi ini ada baiknya karena sikapnya terhadap
Giok Ciu jadi tidak malu-malu lagi. Barang-barang lainnya ia berikan kepada
orang-orang kampung. Kemudian, ketika mereka hendak berangkat, Sin Wan berkata
keras kepada semua orang kampung yang mengantarnya.
“Saudara-saudaraku
sekalian. Dengarlah aku janji dan sumpahku. Aku Bun Sin Wan, bersumpah bahwa
kelak aku harus pergi mencari pembunuh-pembunuh yang menjatuhkan malapetaka
kepada kita ini. Aku berjanji hendak membalaskan sakit hati kalian, maka kalian
hendaknya suka menenteramkan hati dan jangan penasaran.”
Maka
berangkatlah mereka dengan jalan cepat ke atas gunung tempat kediaman Kwie Cu
Ek dan anaknya. Dan semenjak hari itu, Sin Wan dan Giok Ciu mempergiat
pelajaran silat mereka dibawah pimpinan Kwie Cu Ek yang dalam kelihaian ilmu
silat tidak kalah jika dibandingkan dengan Kang Lam Ciuhiap. Dan tak terasa
lagi dua tahun telah lewat. Hubungan antara Giok Ciu dan Sin Wan akrab sekali,
bagaikan seorang kakak dan adik. Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung
tentang pertunangan mereka karena jika hal ini disinggung.
Maka hanya
mendatangkan rasa kikuk dan malu dalam hubungan mereka. Pada waktu itu,
kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu sudah mendapat banyak kemajuan karena mendapat
gemblengan dari Kwie Cu Ek, yang memiliki kepandaian berbeda dengan kepandaian
Kakek Sin Wan. Dengan belajar kepada Kwie Cu Ek, maka Sin Wan telah mempelajari
dua macam ilmu silat lihai hingga boleh dibilang ia menang setingkat jika
dibanding dengan Giok Ciu.
Tapi dalam
hal ginkang atau ilmu meringankan tubuh, ia harus mengakui kalah setingkat oleh
gadis yang bertubuh ringan itu, tapi sebaliknya Sin Wan lebih lihai dalam hal
ilmu lweekang. Kwie Cu Ek maklum bahwa kedua anak muda itu telah memiliki
ginkang dan lweekang yang luar biasa berkat buah-buah mujijat yang dulu mereka
ketemukan dan makan secara kebetulan.
Maka ahli
silat cabang Kun-Lun ini menggembleng mereka dengan penuh semangat dan tak
kenal lelah. Tujuan satu-satunya dari orang tua ini ialah menurunkan seluruh
kepandaian kepada Sin Wan dan Giok Ciu agar kedua anak mua itu dapat
bersama-sama pergi dengan dia mencari musuh-musuhnya dan membalas dendam. Kini
boleh dikata kepandaian Sin dan Giok Cu sudah hampir menyusul Kwie Cu Ek, dan
usia Sin Wan juga sudah enam belas tahun dan termasuk dewasa.
Pemuda itu
bertubuh tinggi sedang, dadanya bidang dengan pinggang kecil. Wajahnya yang
tampan nyata sekali membayangkan keagungan watak dan kehalusan budi, sedangkan
lekuk di bawah bibirnya dan sinar mata yang tajam itu menunjukkan sifat ksatria
dan gagah berani. Giok Ciu juga sudah menjadi dewasaa, usianya kurang lebih
lima belas tahun. Gadis ini makin besar makin cantik dan manis.
Sepasang
matanya yang bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi merupakan bagian
yang menarik sekali, sedangkan hidung dan mulu yang kecil dihiasi bibir yang
berbentuk indah berwarna merah segar membuat orang takkan dapat bosan menatap
wajahnya. Rambutnya yang gombyok dan hitam dikepang dua merupakan sepasang
kuncir itu yang panjang dan hitam dan dua kucir itu bagaikan dua ekor ular
melibat-libat dan bergantung di leher dan pundaknya.
Pada suatu
sore, seperti biasa Sin Wan berlatih silat dengan Giok Ciu di belakang rumah.
Mereka sedang tekun melatih gerak tipu ilmu pedang yang di sebut
Pek-hong-koan-lit atau bianglala Putih Menutup Matahari. Tipu ini memang sukar
digerakkan dan keduanya baru saja menerima pelajaran ini dari Kwie Cu Ek.
Mereka silih berganti gunakan pedang melatih gerakan ini hingga sempurna betul.
“Mari kita
berlatih,kau ambilah pedangmu,” ajak Sin Wan.
“Baik, kau
tunggulah sebentar,” jawab Giok Ciu yang lalu pergi ke dalam rumah sambil
berlari-lari kecil.
Sin Wan
memandang gadis itu dengan gembira. Ia makin tertarik kepada gadis yang lincah
dan gembira ini dan diam-diam ia menaruh rasa asmara yang mesra. Alangkah
bahagianya kalau ia ingat bahwa gadis jelita ini akan menjadi isterinya kelak!
Sering kali
pada malam hari, di dalam biliknya ia keluarkan sepatu kecil tanda tali
perjodohan dari Giok Ciu itu dan mempermainkannya sambil membelainya penuh rasa
kasih sayang. Darah kedewasaannya membuat ia sering merindukan gadis calon
isterinya itu, tapi pada waktu mereka bertemu muka dan bercakap-cakap, dengan
kekerasan hati luar biasa Sin Wan dapat menekan perasaannya dan sedikitpun
tidak memperlihatkan sikap yang dapat menyinggung perasaan gadis itu.
Sebaliknya
Giok Ciu selalu bergembira dan dengan sikapnya yang jenaka membuat hubungan
mereka tidak kaku. Gadis itu seakan-akan tidak perdulikan atau sudah lupa akan
pertalian jodoh yang mengikat mereka, tapi Sin Wan sedikitpun tidak menduga betapa
pada malam hari, terutama di kala sinar bulan menyerbu masuk kamarnya melalui
jendela.
Gadis itu
sering melamun sambil memandang bulan dan tangannya memegang sebatang suling
yang telah menjadi licin mengkilap karena sering digosok-gosok dan dibelai-belai!
Ketika Giok Ciu masuk ke dalam kebun itu kembali sambil membawa sebaang pedang
tajam, Sin Wan telah sadar dari lamunannya dan keduanya lalu berlatih silat
pedang. Kedua pedang mereka saling sambar demikian cepatnya hingga sebentar
saja tubuh mereka lenyap tertutup sinar pedang.
Sungguh
permainan mereka selain luar biasa, juga indah dipandang. Gerakan mereka gesit
dan cepat, namun di dalam latihan ini walaupun tampaknya pedang mereka saling
sambar seakan-akan mengancam jiwa, sesungguhnya mereka berlaku sangat
hati-hati, dan menjaga jangan sampai mereka berlaku salah tangan!
“Bagus!”
terdengar seruan orang memuji.
Keduanya
berhenti dan memberi hormat kepada Kwie Cu Ek yang memandang dengan girang.
Sebetulnya, pujian orang tua ini tadi bukan ditujukan kepada permainan pedang
mereka tapi pujian itu dikeluarkan rasa rasa girangnya melihat betapa di dalam
latihan pedang itu tanpa disengaja keduanya memperlihatkan suara hati yang
saling mencinta dan menyayangi! Inilah yang membuat Kwie Cu Ek merasa girang
dan berseru 'Bagus' tadi.
“Sin Wan,
telah tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung dan mencari musuhmu,” kata Kwie
Cu Ek dengan suara halus. Sin Wan terkejut dan girang sekali. Ia buru-buru
berlutut dan berkata,
“Kwie
Peh-peh, terima kasih atas keterangan ini. Saat ini telah lama teecu
tunggu-tunggu!”
Karena
kebiasaan, maka Sin Wan tetap menyebut 'Peh-peh' atau Uwak kepada Kwie Cu Ek,
sedangkan untuk diri sendiri ia menyebut teecu atau murid karena ia merasa
menjadi murid orang she Kwie ini. Seharusnya ia menyebut Gakhu atau 'Mertua',
tapi ia merasa malu sekali untuk menyebut Ayah mertua, dan bersikap pura-pura
belum tahu akan perjodohan itu. Kwie Cu Ek menghela napas.
“Aku maklum
akan ketidaksabaranmu, Sin Wan, tapi segala hal harus dilakukan dengan
pertimbangan masak-masak. Apa lagi dalam hal pembalasan sakit hati ini. Karena
musuh-musuhmu bukanlah lawan ringan dan mudah dikalahkan. Bahkan sekarang uga
aku masih selalu meragukan apakah kita akan sanggup membalas dendam
keluargamu.”
“Ayah, aku
tentu ikut, bukan? Serahkan saja musuh-musuh kak Sin Wan, kepadaku, akan
kubasmi seorang demi seorang.” kata Giok Ciu dengan mata berseri.
Kali ini
Kwie Cu Ek tak dapat menerima kegembiraan puterinya. Ia menghela napas dan
berkata, “Kalian anak-anak muda memang sudah sepantasnya berhati tabah dan
bersemangat besar, tapi hendaknya jangan kau pandang rendah musuh-musuh yang akan
kita hadapi. Kalau kiranya aku tidak merasa telah menjadi makin tua dan
berkurang tenaga hingga takut kalau-kalau takkan sempat membantumu lagi,
barangkali sekarang aku belum mengijinkan kau pergi menemui musuh-musuhmu.”
“Kwie
Peh-peh, sebenarnya urusan balas dendam ini hanya tanggung jawab teecu seorang.
Harap saja Peh-peh dan adik Giok Ciu tidak ikut mencapaikan hati dan
membahayakan keselamatan diri. Biarlah teecu sendiri yang pergi melakukan
pembalasan. Teecu akan merasa sangat berdosa bila sampai terjadi apa-apa atas
diri Peh-peh atau Giok Ciu…”
“Sin Wan!
Omongan apakah yang kau ucapkan ini?” tiba-tiba Kwie Cu Ek membentak marah
sambil melototkan matanya yang bundar besar, tapi ia dapat menekan perasaannya
dan berkata lagi perlahan, “Aku mengerti maksudmu yang baik, Sin Wan. Tapi
ketahuilah, biarpun tidak untuk membelamu, aku Kwie Cu Ek bukanlah orang yang
dapat melihat terjadinya perkara penasaran ini dengan berpeluk tangan saja. Aku
telah bersumpah di dalam hati untuk mengadu jiwa dengan binatang-binatang she
Suma dan kelima bangsat dari Siauw-San. Mereka ini memang lihai, tapi kurasa
kita akan dapat menghadapi mereka.”
Sin Wan lalu
menghaturkan terima kasih dan menyatakan maaf telah menyinggung kehormatan dan
kegagahan orang itu yang sebenarnya bukan menjadi maksudnya.
“Cuma saja,”
demikian ia melanjutkan. “Bukan maksud teecu untuk merendahkan adik Giok Ciu,
tapi kalau bisa lebih baik adik Giok Ciu jangan ikut melakukan perjalanan dan
tugas yang sangat berbahaya ini.”
Giok Ciu
yang tadinya duduk di atas pot kembang kosong tiba-tiba meloncat berdiri dan
sepasang ali matanya bergerak-gerak dan mulutnya ditajamkan sambil menatap
wajah Sin Wan.
“Apa?”
serunya marah. “Enak saja kau mau meninggalkan orang! Apa kau kira aku takut
menghadapi bahaya? Apakah kau merasa takut ketika dulu kita bersama memasuki
gua ular itu? Kak Sin Wan, jangan kau bicara seperti itu, aku akan marah
kepadamu!”
Kwie Cu Ek
tersenyum melihat lagak anaknya. “Sin Wan, Giok Ciu harus turut, karena
betapapun juga ia merupakan tenaga pembantu yang boleh diandalkan. Kurasa,
binatang she Suma dan kelima Tosu siluman dari Siauw-San itu takkan sanggup
mengalahkan kita bertiga. Asal saja disana tidak terdapat orang-orang kuat
lain, pasti mereka itu akan roboh di tangan kita dan sakit hatimu terbalas.”
“Nah, apa
kataku?” Giok Ciu berkata riang, lalu bertanya, “Kapan kita berangkat Ayah?”
Sin Wan dan
Kwie Cu Ek kagum juga melihat ketabahan hati Giok Cu karena sikap gadis kecil
itu seakan-akan bukan hendak menjumpai musuh-musuh kuat, tapi bagaikan hendak
pergi pelesir dan bertamasya saja!
“Bersiaplah,
anak-anak. Besok pagi-pagi kita berangkat.”
Malam hari
itu Sin Wan tidak dapat tidur. Ia meramkan mata dan membayangkan kembali
peristiwa pembunuhan besar-besaran di kampungnya dulu. Terbayanglah Ibu dan
Kakeknya yang mandi darah, dan bayangan ini membuat ia menggeretakkan gigi dan
ingin sekali segera berhadapan dengan musuh-musuhnya untuk menuntut balas!
Kemudian ia
teringat akan Giok Ciu dan Ayahnya. Alangkah baik mereka itu hingga semenjak
pertemuan pertama telah melepas budi yang besar sekali. Ia bersumpah di dalam
hati bahwa ia tentu hendak membahagiakan hidup Giok Ciu, gadis yang ia cinta
dan yang telah melepas budi besar kepadanya dan bahkan besok pagi hari
bersikukuh hendak ikut ia membalas dendam kepada musuh-musuhnya, dan gadis itu
rela ikut menempuh bahaya!
Mengingat
ini semua, tak terasa pula kedua mata pemuda itu basah dengan air mata ang
terdorong oleh rasa terharu, duka, dan girang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali tampak Kwie Cu Ek, Sin Wan dan Giok Ciu turun gunung dengan
mempergunakan ilmu lari cepat.
Kwie Cu Ek memakai
pakaian serba biru sedangkan Sin Wan yang masih berkabung, berpakaian serba
putih, bahkan pengikat rambutnya juga putih. Hanya sepatunya saja berwarna
hitam, Giok Ciu mengenakan baju berwarna merah muda dan celana biru,pengikat
rambut dan ikat pinggangnya dari sutera warna kuning emas yang berkibar-kibar
di belakangnya ketika ia lari cepat. Sepatunya warna hijau dan potongan
pakaiannya serba singset dan ringkas, hingga ia tampak cantik dan gagah.
Pada
pinggang sebelah kiri ketiga orang itu tampak pedang tergantung yang menambah
kegarangan dan kegagahan mereka. Kwie Cu Ek si Harimau Terbang mengajak kedua
anak muda itu menujuke kota Wie-Kwan, karena mendengar dari hasil
penyelidikannya bahwa Suma Cianbu kini telah dipindahkan ke sana dan memimpin pasukan
penjaga keamanan di kota.
Pada waktu
itu, para durna yang berkali-kali mengalami serangan tiba-tiba dan secara
menggelap dari para pendekar gagah dan yang menewaskan banyak juga
pembesar-pembesar korup, telah berlaku hati-hati. Tiap kota yang dicurigai lalu
dijaga keras dan siapa saja yang dicurigai lalu ditangkap hingga banyaklah
sudah orang-orang tak berdosa terhukum mati karena penangkapan yang dilakukan
membabi buta itu.
Tapi sayang,
tidak semua orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi melakukan perbuatan
membasmi kejahatan ini. Sebagian besar dari orang-orang ahli persilatan bahkan
kena terbeli oleh para durna hingga mereka iu suka menghambakan diri.
Oleh karena
inilah, maka usaha para pendekar gagah selalu mengalami kegagalan, bahkan
orang-orang kang-ouw saling serang dan saling gempur serta tumbuhlah banyak
sekali aliran. Untuk ini pulalah maka Suma Cianbu yang terkenal gagah dan
pandai mengatur barisan keamanan, diutus mengamankan daerah Wie-Kwan yang pada
akhir-akhir ini sering dikunjungi orang orang gagah.
Kwie Cu Ek
dan kedua muridnya tak pernah berhenti, kecuali untuk mekan dan bermalam.
Mereka sengaja mencari jalan-jalan yang sunyi agar dapat leluasa menggunakan
ilmu lari cepat. Demikianlah, pada hari keempatnya, mereka bertiga akhirnya
sampai juga di kota Wie-Kwan. Dan kedatangan mereka kebetulan sekali tepat pada
waktu Suma Cianbu sedang menjamu beberapa orang gagah, termasuk Siauw-San
Ngo-Sinto.
Dengan
demikian, maka lengkaplah orang-orang yang dicari oleh Sin Wan. Ia selalu
menganggap bahwa pembunuh Kakek dan Ibunya adalah Sum-Cianbu dan kelima Tosu
itu, maka alangkah girangnya mendengar bahwa keenam musuhnya berkumpul di
tempat itu.
Tapi kabar
ini tidak menggirangkan hati Kwie Cu Ek, bahkan ia mengerutkan kening ketika
diketahui bahwa selain Lima Golok Sakti dari Siauw-San itu, ada pula
orang-orang gagah dari utara, diantaranya Phang Bu yang terkenal dengan ilmu
tombaknya yang menggemparkan! Maka ia berpesan kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang
nampaknya gembira seakan-akan hendak pergi bertemu dan kawan-kawan lama yang
telah lama dirindukan!
“Sin Wan,
dan kau juga Giok Ciu. Kalian tahu bahwa aku bukan seorang penakut, tapi kali
ini kita benar-benar menghadapi urusan besar dan kita benar-benar menghadapi
urusan besar dan kita harus berlaku hati-hati sekali. Ternyata di kota ini
berkumpul orang-orang kuat yang tak mudah dilawan. Kebetulan sekali, tadi telah
kuselidiki dan pada malam ini Suma Cianbu hendak menjamu para tamunya di
gedungnya. Karena malam ini gelap, maka baik sekali bagi kita untuk menyelidiki
keadaan mereka. Tapi ingat, jangalah turun tangan dulu sebelum aku tahu jelas
keadaan mereka. Aku ingin tahu, siapakah orang-orang yang berada disana agar
aku dapat mengukur tenaga kita.”
Sin Wan dan
Giok Ciu mengangguk-angguk tapi di dalam hati mereka, terutama Sin Wan tidak
setuju melihat sikap hati-hati yang agaknya berlebihan ini. Mereka bertiga dan
dengan tenaga mereka bertiga, apalagi yang ditakuti? Demikian Sin Wan dan Giok
Ciu berpikir bagaikan dua ekor anak burung baru belajar terbang dan tidak takut
akan apa saja yang dihadapinya!
Malam hari
itu, digedung Suma Cianbu ramai sekali. Di ruang belakang duduk Suma Cianbu
yang memakai pakaian kapten hingga tampak gagah sekali. Pakaian perangnya
bersisik dan warnanya putih bagaikan perak, disana-sini terhias ronce-ronce
merah. Pedangnya tergantung di pinggang dan ia tampak girang dan gembira. Topi
pangkatnya di lepas dan ditaruh diatas meja yang penuh arak dan masakan. Meja
yang bundar dan lebar itu dikelilingi kira-kira dua belas orang yang kesemuanya
tampak gagah dan garang. Di antara mereka itu terdapat pula lima orang Tosu,
yakni Siauw-San Ngo-Sinto.
Tapi yang
paling menarik perhatian Kwie Cu Ek adalah hadirnya seorang Pendeta yang
berjubah merah. Pendeta itu memelihara rambut yang digelungnya keatas dan
diikat dengan gelas emas, sedangkan serenteng tasbeh gading tergantung di
lehernya. Orangnya tinggi besar dan matanya bulat menakutkan. Kwie Cu Ek
terkejut dan heran sekali, karena melihat pakaian dan potongan orang, ia dapat
menduga bahwa Pendeta ini adalah seorang tokoh kenamaan di kalangan kang-ouw,
termasuk seorang cianpwe yang memiliki kepandaian dari tingkat teratas!
Mengapa
Pendeta ini juga hadir di tempat para anjing Kaisar berkumpul? Apakah Pendeta
inipun sudah terbujuk? Kwie Cu Ek dan kedua muridnya dengan hati-hati sekali
mengintai dari atas wuwungan rumah dan mendekam di tempat gelap. Biarpun agak
jauh dari tempat duduk orang-orang yang diintainya, mereka dapat melihat jelas.
“Lihatlah
baik-baik, Sin Wan dan Giok Ciu” bisiknya. “Itu yang berpakaian baju perang
adalah Kapten Suma, nama lengkapnya adalah Suma Cianbu! Ia adalah ahli main
sepasang pedang yang disebut Hong-Twi Siang-Kiam. Kepandaiannya cukup lihai.
Dan lihatlah lima orang Tosu yang berpakaian kuning itu. Merekalah yang disebut
Siauw-San Ngo-Sinto. Lima Golok Sakti dari Siauw-San. Kalau maju satu-satu,
mereka tidak berbahaya, tapi bila kelimanya maju, mereka merupakan Ngo-Heng-Tin
atau Barisan Ngo-Heng yang kuat karena permaianan golok mereka yang disebut
Ngo-Heng To-Hwat.”
Kedua
muridnya mendengar penuh perhatian.
“Yang
lain-lain tak perlu dibicarakan, hanya perapa jubah merah itu harus
diperhatikan. Ia…”
Tapi pada
saat itu Sin Wan sudah tak sanggup menahan kesabarannya lagi. Melihat betapa
musuh-musuhnya dan pembunuh-pembunuh Ibu dan Kakeknya berada disitu, hatinya
telah terbakar hebat. Dengan melupakan segala, pemuda itu mencabut pedangnya
dan meloncat ke bawah sambil berseru,
“Pembunuh-pembunuh
kejam dan rendah, terimalah pembalasanku!”
Terkejutlah
semua orang ketika tiba-tiba dari atas wuwungan melayang turun seorang pemuda
dengan pedang di tangan. Suma Cianbu melihat bahwa yang turun hanya seorang
pemuda yang masih hijau dan seorang diri pula, segera memandang rendah dan
membentak,
“Bangsat
kecil berani mati! Siapa kau dan apa maksudmu mengacau disini?” Kapten ini
dengan wajah keren meloncat menyambut dengan sepasang pedang melintang. Sin Wan
memandang musuh-musuhnya dengan mata bernyala.
“Orang she
Suma! Jangan kau menjual lagak lagi, malam ini nyawamu akan kukirim ke alam
baka untuk menghadap almarhum Kang Lam Ciuhiap!” Sehabis berkata demikian, Sin
Wan maju menubruk dengan pedangnya dan mengirim serangan kilat.
Mendengar
kata-kata anak muda itu, Suma Cianbu terkejut dan ia segera menangkis dengan
kedua pedangnya membuat gerakan memotong dari kanan kiri dengan maksud merampas
senjata lawan dalam sekali gebrakan. Tapi alangkah terkejutnya ketika bahwa
anak muda itu selain bertenaga besar, juga gerakan pedangnya istimewa karena
begitu pedangnya terjepit, ia telah membikin pedang itu menyusup ke bawah dan
tahu-tahu menusuk perut Suma Cianbu! Kapten ini cepat meloncat mundur dan
membentak untuk menghilangkan rasa kagetnya.
“Eh,
binatang kecil! Kau pernah apakah dengan orang she Bun yang telah mampus itu?”
“Kapten
pengecut! Lihat mukamu telah memucat. Kau mau tahu aku siapa? Dengarlah, aku
Bun Sin Wan malam ini datang membalaskan sakit hati Ibu dan Kakekku yang telah
kau bunuh secara kejam! Bersedialah untuk mampus!” Sebagai penutup kata-katanya
ini, kembali Sin Wan meloncat maju dan menyerang dengan pedangnya.
“Saudara-saudara,
lihatlah! Ini adalah putera pemberontak dan cucu penjahat besar bernama Bun
Gwat Kong yang telah kita bunuh. Penjahat kecil ini agaknya tidak lebih baik
daripada Ayah dan Kakeknya. Mari kita tangkap dia.”
Sin Wan
menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba dari samping pedang itu tertangkis oleh
golok yang digerakkan secara istimewa dan lihai. Ternyata kelima Tosu yang dulu
ikut menjadi pembunuh Kang Lam Ciuhiap, ketika mendengar bahwa Sin Wan datang
menuntut balas, segera maju mengeroyok untuk cepat merobohkan musuh ini. Tapi
Sin Wan memutar-mutar pedangnya dengan gerakan hebat sekali sehingga sebentar
saja ia berhasil mendesak Suma Cianbu. Melihat kegagahan pemuda itu, kelima
Tosu serempak maju mengepung dengan menggunakan barisan Ngo-Heng mereka yang
lihai. Tapi pada saat itu, dari udara terdengar bentakan merdu,
“Koko Sin
Wan, jangan takut aku datang membantu!”
Dan seorang
gadis cantik dan gagah memutar-mutar pedangnya sambil meloncat turun dan
menerjang para pengeroyok itu. Gerakannya demikian licah dan cepat hingga untuk
sesaat para pengeroyok itu kena terdesak mundur.
Melihat
bahwa Giok Ciu sudah terjun ke dalam medan pertempuran. Sin Wan makin besar
hati dan ia mengamuk bagaikan seekor naga muda. Ilmu pedang sepasang anak muda
ini memang bukan sembarang ilmu, hingga gerakan-gerakannya memang hebat.
Apalagi Sin Wan dan Giok Ciu memiliki tenaga lweekang dan ginkang yang
mengagumkan, maka tidak heran bahwa mereka dapat mendesak Suma Han dan kelima
Tosu yang mengeroyok mereka.
Melihat
betapa enam orang itu tak dapat mengalahkan dara dan taruna itu, semua tamu
segera mencabut senjata masing-masing dan maju mengepung, kecuali si pertapa
jubah merah yang masih duduk minum arak sambil mementang lebar sepasang
matanya. Agaknya ia tertarik sekali melihat permainan pedang Sin Wan dan Giok
Ciu.
Kini
dikeroyok belasan orang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa sibuk juga. Pengeroyoknya
terdiri dari orang-orang yang memiliki keistimewaan dan kepandaian tinggi,
ditambah dengan tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh Suma Cianbu dan Siauw-San
Ngo-Sinto, kedua anak muda itu terdesak mundur.
“Ha ha ha,
anak-anak kecil yang masih bau pupuk, kalian hendak lari kemana?” Suma Cianbu
tertawa menyindir.
Tapi pada
saat itu dari atas menyambar turun seorang tua dengan pedang di tangan sambil
membentak keras, “Anjing-anjing penjilat jangan jual lagak!”
Pedangnya
lalu diputar cepat dan segerakan saja seorang pengeroyok kena dirobohkan! Suma
Cianbu mundur dengan kaget karena ilmu silat orang tua ini lihai sekali.
Melihat kedatangan Kwie Cu Ek si Harimau Terbang, pertapa berjubah merah yang
semenjak tadi duduk saja, lalu berdiri dan sekali gebrakan tubuh, maka ia telah
melayang memapaki Kwie Cu Ek.
“Tidak tahunya
Hui-Houw Kwie Cu Ek yang mempeloporinya, pantas saja, anak-anak itu demikian
lihai,” katanya dengan tersenyum menyindir.
Kwie Cu Ek
menjura. “Bukankah siauwte berhadapan dengan Cin Cin Hoatsu dari Tibet?”
tegurnya hormat.
“Ha ha ha,
kau juga bermata awas dan dapat mengenal Pinto. Aku pernah kenal dengan gurumu
dan dari gerakanmu tadi tahulah aku bahwa kau tentu si Harimau Terbang.
Bukankah kau memiliki kepandaian ilmu silat Rajawali Sakti? Hayo keluarkanlah,
Pinto ingin melihatnya!”
“Lo-Cianpwe
apakah sengaja menggabung kepada mereka yang tersesat ini?” tanya Kwie Cu Ek.
“Bukan
urusanmu untuk mengetahui hal ini. Kalau aku menggabung, kau mau apa?” tantang
Cin Cin Hoatsu, bekas Pendeta Lama itu.
“Kalau
begitu percuma saja kau mengenakan jubah Pendeta!” kata Kwie Cu Ek dengan
berani.
“Ah, orang
tak tahu diri! Kematian sudah didepan mata masih berani membuka mulut besar.”
Dengan
memandang rendah sekali Cin Cin Hoatsu maju dan mengebutkan ujung lengan
bajunya ke arah Kwie Cu Ek yang terpaksa berkelit mundur dengan cepat karena
dari ujung baju itu menyambar keluar angin pukulan yang berbahaya.
“Ha ha ha,
tak berapa hebat kepandaianmu!” Cin Cin Hoatsu menyindir dan terus maju
menyerang.
Kwie Cu Ek
terpaksa melayani dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia mengeluarkan pula
Sin-Tiauw Kiam-Sut yakni ilmu pedang Rajawali Sakti, sambil menyerang ia
bersuit nyaring bagaikan seekor burung rajawali. Tapi kini ia berhadapan dengan
seorang tokoh besar dari Tibet yang tidak saja tinggi ilmu silatnya, juga
memiliki macam-macam ilmu gaib dan ilmu sihir...
BERSAMBUNGKE
JILID 04
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment