Saturday, October 6, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Ular Merah Jilid 09



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Pedang Ular Merah

                 Jilid 09


Eng Eng menengok dan memandang kepada panglima yang baru datang. la melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, berpakaian indah dan gagah sekali, keningnya lebar, matanya tajam dan goloknya yang dipegangnya besar dan nampak berat sekali, ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah komandan dari pasukan kerajaan, maka sebagai seorang gadis yang telah tahu akan artinya perbuatan yang melawan alat pemerintah, ia tidak mau menyerang panglima itu. Ia tahu bahwa ia dapat dianggap sebagai seorang pemberontak yang berdosa besar, maka sebelum ia menyerang, ia hendak melihat dulu bagaimana sikapnya panglima ini.

"Aku bukan melawan tentara pemerintah, akan tetapi membela diri. Kalau anak buahmu maju hendak menggangguku, apakah aku harus berdiam diri saja tidak melawan? Lima orang anak buahmu dalam keadaan mabok telah menggangguku di jalan, dan aku hanya memberi hadiah tendangan perlahan saja kepada mereka. Akan tetapi semua orang-orangmu secara tak tahu malu sekali lalu maju mengeroyokku. Siapa mau dipegang oleh tangan-tangan mereka yang kotor dan bau? Aku melawan dan akhirnya terjadi pertempuran ini. Nah, kau boleh pikir sendiri, siapa yang salah?"

Oei ciangkun tertegun. Belum pernah ia melihat seorang gadis sehebat ini! Bahkan kekasihnya yang dulu, yakni pemimpin Pek lian-kauw yang cantik bagaikan dewi kahyangan itu, kalau dibandingkan dengan nona ini, masih belum dapat dikata melebihi! 'Nona, betapapun juga, kau telah merobohkan banyak anggautaku dan kau telah melakukan perlawanan. Tahukah kau bahwa untuk dosa ini saja kau dapat dijatuhi hukuman mati ? Lebih baik kau menyerah dan mari ikut dengan kami ke benteng untuk diperiksa perkaranya lebih lanjut."

"Kau ini siapakah maka berani memerintah kepadaku? Kalau kau menginsafi kesalahan anak buahmu, seharusnya kau yang minta maaf kepadaku, baru aku mau menghabiskan perkara sampai di sini saja."

"Nona, kau sombong sekali. Kau berhadapan dengan seorang panglima kerajaan, dan untuk kebaikanmu sendiri, kau harus tunduk kepadaku."

Eng Eng yang berwatak keras itu makin marah. "Panglima kerajaan? Jangankan baru itu, biar kau menjadi panglima langit sekalipun, aku takkan mau tunduk begitu saja kalau aku tidak bersalah. Mengerti?”

"Bagus, hendak kulihat sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersombong di depanku?"

Oei Sun yang segera menggerakkan golok besarnya, melakukan serangan ancaman kepada Eng Eng. Gadis ini dengan sengaja lalu menyambut datangnya golok ini dengan pedangnya. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar ke atas. Akan tetapi keduanya menjadi terkejut. Oei Sun terkejut karena biarpun ia telah menggunakan seluruh tenaganya yang besar namun tidak nampak gadis itu terpengaruh bahkan ia merasa tangannya tergetar. Sebaliknya Eng Eng terkejut karena melihat betapa golok itu tidak menjadi rusak oleh bacokan pedang merahnya.

Karena maklum atas ketangguhan lawan masing-masing, keduanya lalu maju dan terjadilah pertempuran yang hebat sekali, Oei Sun bertenaga besar sedangkan goloknya yang besar itu berat sekali, maka gerakannya menimbulkan angin yang bersuitan.

Goloknya diputar dan menyambar antep membuat pakaian Eng Eng berkibar karena angin sambarannya. Akan tetapi gadis itu bagaikan seekor burung walet lincahnya, bergerak demikian cepat sehingga ia nampak seperti beterbangan diantara sambaran golok. Bahkan pembalasan yang dilakukan oleh serangan pedang Eng Eng, sebentar saja membuat Oei San menjadi sibuk sekali.

Belum juga tiga puluh jurus mereka bertempur, Oei Sun sudah menjadi kewalahan terdesak hebat dan hanya dapat menangkis dan melindungi tubuhnya dengan putaran goloknya. Sesungguhnya, kalau Eng Eng mau gadis ini pasti akan dapat merobohkan Oei Sun. Akan tetapi selama perantauannya di dunia kang.ouw, gadis ini telah mendapat banyak pengalaman dan telah mendengar banyak urusan, sehingga ia maklum bahwa sekali-kali ia tidak boleh melukai atau menewaskan seorang panglima kerajaan.

Kalau para anggauta tentara yang menonton pertempuran itu tidak mengerti bahwa gadis yang lihai itu telah mengalah dan tidak mau mendesak lawannya, adalah Go bi Ngo-koai-tung yang merasa terkejut sekali. Mereka ini cukup maklum akan kelihaian Oei Sun, akan tetapi sekarang menghadapi gadis pedang merah ini ternyata sahabat mereka ini kalah jauh.

Thian it Tosu, yang tertua di antara mereka dan yang selalu menjadi pemimpin, tiba-tiba mendapat pikiran yang amat baik. la mendekati adik-adiknya dan membisikkan sesuatu.

"Dia Iihai sekali, alangkah baiknya kalau dapat membantu kita." Setelah berkata demikian, ia dan keempat orang adiknya lalu melompat ke medan pertempuran sambil berkata,

"Lihiap (nona gagah) harap suka melihat muka kami dan hentikanlah pertempuran ini. Kami adalah Go-bi Ngo-koai tung, dan Oei-ciangkun ini adalah sahabat baik kami." sambil berkata demikian Thian it Tosu lalu mengebutkan lengan bajunya sebelah kiri untuk menangkis pedang merah Eng Eng.

Ketika ujung lengan baju itu mengenai ujung pedang, Eng Eng merasa tangannya tergetar, maka tahulah ia bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi, di dalam kepala gadis ini tidak ada kata-kata takut, maka ia lalu menjawab,

"Aku yang muda dan bodoh tidak kenal dengan Go-bi Ngo koai tung sungguhpun aku mendengar nama mereka yang besar. Soalnya bukan kenal atau tidak, akan tetapi dalam pertempuran ini soalnya adalah salah dan benar. Aku tidak merasa bersalah, dan kalau ciangkun ini mau menghabiskan urusan sampai di sini, minggirlah dan biarkan kupergi."

"Tidak bisa begtu mudah, lihiap.” kata pula Thian It Tosu, "Siapapun juga yang salah, kau telah melakukan perlawanan terhadap tentara negeri, ini sudah menjadi satu dosa yang besar sekali. Kalau kau suka ikut ke benteng, biarlah kami berlima yang akan membujuk kepada sahabat kami Oei ciangkun untuk memaafkanmu."

"Aku tidak mengemis maaf!" teriak Eng Eng marah karena kini jelaslah baginya bahwa lima orang tosu ini terang-terangan berpihak pada Oei ciangkun," Di dalam kebenaran, aku tidak takut kepada siapapun juga!"

"Ngowi totiang, tolong dan bantulah aku menangkap gadis liar ini!" seru Oei Sun dengan marah dan ia lalu menggerakkan goloknya lagi.

Eng Eng menangkis dan kini gadis inipun menjadi marah sekali. Kalau tadi Eng Eng hanya ingin mempermainkan saja kepada lawannya ini, sekarang ia membalas dengan serangan maut yang amat berbahaya.

Oei Sun terkejut sekali dan agaknya ia takkan dapat menangkis atau mengelak lagi, akan tetapi tiba-tiba meluncur dua buah tongkat bambu yang menangkis pedang Eng Eng.

Gadis ini melompat mundur dan segera memutar pedangnya menghadapi keroyokan Oei Sun dan Go bi Ngo-koai tung itu. Ternyata bahwa nama besar Go-bi Ngo koai-tung bukanlah nama kosong belaka. Ilmu tongkat mereka luar biasa sekali gerakannya dan tongkat bambu di tangan mereka merupakan senjata penotok yang amat hebat. Kalau hanya menghadapi mereka seorang, agaknya Eng Eng masih akan dapat menandingi mereka, akan tetapi kini ia menghadapi lima orang sekaligus, masih ditambah pula oleh Oei Sun yang kepandaiannyapun tidak rendah. Maka Eng Eng menjadi terdesak hebat.

Sungguhpun ia menggigit bibir dan melakukan perlawanan sekuat tenaga, namun dalam jurus ke tiga puluh, tiba-tiba pedangnya terjepit oleh empat batang tongkat dan tongkat kelima menyambar tangan kanannya! Terpaksa untuk menolong tangannya, Eng Eng melepaskan pedang itu yang segera dirampas oleh Thian It Tosu! Gadis ini terkurung di tengah-tengah dan tidak bersenjata lagi.

"Bagaimana, lihiap, apakah kau tidak mau ikut kami ke benteng untuk bicara secara baik?" tanya Thian it Tosu.

Eng Eng bukanlah orang bodoh yang menurutkan nafsu hati atau kemarahan. la tahu sepenuhnya bahwa kalau ia melawan terus dengan tangan kosong, ia akan mati konyol.

Tentu saja ia tidak mau hal ini terjadi. Ia ingin melihat perkembangan selanjutnya dan baru berlaku nekad kalau sudah tidak ada jalan keluar lagi. Pula, mereka ini agaknya tidak berniat buruk terhadap dirinya. Maka ia lalu menganggukkan kepala dan demikianlah, mereka semua lalu menuju ke dalam benteng. Oei Sun minta kepada Eng Eng untuk berangkat lebih dulu. diiringi oleh semua perwira dan pasukannya, dengan alasan bahwa ia dan Go-bi Ngo koai tung mempunyai urusan di kota Hong-bun.

Padahal sebenarnya ia dan kelima kawannya hendak mencari keterangan di kota itu tentang diri Eng Eng, kuatir kalau-kalau nona gagah itu mempunyai kawan-kawan yang lain. Akan tetapi ketika mereka mendapat kepastian bahwa nona itu tidak mempunyai kawan lain, mereka lalu cepat kembali ke benteng. Dan tanpa mereka ketahui, dalam perjalanan ke benteng inilah Tiong Kiat melihat lalu mengikuti mereka dengan sembunyi.

Akan tetapi, Oei Sun dan lima orang tosu itu kecewa hatinya, mereka ternyata tak berhasil membujuk Eng Eng. Gadis ini tetap tidak mau menurut, dan tidak mau membantu mereka.

"Aku adalah seorang perantau, untuk apa aku ikut-ikut dengan urusan ketentaraan? Aku tidak sudi membantu pekerjaan orang lain, apalagi pekerjaan dalam ketentaraan yang tidak kumengerti sama sekali."

“Nona Suma " kata Oei Sun, "kuharap kau suka berlaku bijaksana dalam hal ini. Kau tahu bahwa kami telah berlaku murah kepadamu dan kami takkan melanjutkan urusan kesalahanmu yang telah melawan dan melukai anggauta ketentaraan kami dan sebagai gantinya, kami hanya ingin kau tinggal di sini dan membantu apabila kami mengadakan pertempuran melawan musuh-musuh kami. Kau tak perlu ikut memikirkan persoalannya, hanya kami kekurangan tenaga yang cukup untuk menghadapi musuh. Percayalah bahwa kami hendak berjuang untuk maksud yang suci buktinya kelima orang pendeta inipun telah membantu kami ! Tinggal kau pilih saja membantu kami dan terbebas dari tuntutan kami atas kesalahanmu tadi!"

“Sesukamulah, akupun hanya mengajukan dua buah usul. Melepaskan aku pergi atau membunuhku, terserah!" jawab Eng Eng dengan berani.

Untuk beberapa lama keenam orang itu saling pandang dengan putus asa. Kemudian Thian It Tosu berbangkit dari tempat duduknya dan tersenyum.

"Suma lihiap, pinto (aku) kagum sekali melihat keberanianmu. Biarlah, kalau kau tidak mau membantu, kami akan melepaskanmu. Terimalah pedangmu kembali. Hanya saja, pinto percaya penuh bahwa kelak apabila kau melihat kami membutuhkan bantuan, pasti kau akan membantu tanpa diminta lagi seperti watak seorang gagah."

Eng Eng terheran-heran dan juga terharu. Ia menerima pedang itu, dililitkan pada pinggangnya karena pedang merah ini amat tipis dan dapat digulung.

“Totiang, ucapanmu ini lebih jujur dan gagah. Tentang bantuan itu tentu saja tak usah dikatakan lagi. Aku bukanlah seorang yang tidak ingat akan kebaikan orang. Hanya aku tidak mau terikat di tempat ini, karena aku suka bebas seperti burung di udara,"

Setelah berkata demikian, Eng Eng lalu menjura dan bertindak keluar dengan tindakan gagah, tanpa memperdulikan wajah Oei ciangkun yang nampak kecewa dan muram. Panglima ini memang kalah pengaruh dengan Thian it Tosu dan ia maklum bahwa tindakan Thian it Tosu itu mengandung sesuatu maksud tersembunyi.

Tiba-tiba masuk seorang penjaga yang melaporkan bahwa dua orang penjaga ditemukan dalam keadaan tertotok di kandang kuda. Oei ciangkun dan kelima orang tosu itu terkejut sekali. Akan tetapi sebelum mereka keluar dari ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara orang dan atas,

"Maafkan siauwte yang berlaku lancang, datang tanpa diundang!” Dan melayanglah tubuh Tiong Kiat bagaikan seekor burung ke dalam ruangan itu. la menjura kepada Oei-ciangkun dan Go-bi Ngo-koai-tung, lalu berkata,

"Siauwte Sim Tiong Kiat dari Kim-liong-pai telah mendengar tentang penawaran yang ditolak oleh nona Suma tadi. Kalau ciangkun percaya kepadaku berilah kesempatan kepadaku untuk berbakti kepada negara!”

Oei Sun masih memandang penuh curiga akan tetapi kelima Gobi Ngo koai tung itu dengan girang lalu menjura kepada Tiong Kiat. "Ah, tidak tahunya Sim-taihiap yang datang. Duduklah...!"

Memang Tiong Kiat ingin sekali menebus semua dosa-dosanya dengan menjadi seorang perajurit yang berbakti kepada negara. Selain ini ia tadi telah melihat Eng Eng dan biarpun ia merasa rindu sekali kepada gadis ini, namun ia maklum bahwa Eng Eng amat benci kepadanya dan apabila bertemu, pasti akan berusaha untuk membunuhnya.

Tadi ia melihat betapa Eng Eng tidak sanggup melawan Gobi Ngo koai tung, buktinya gadis itu tertawan dan pedangnya terampas, maka kalau ia dapat bersahabat dengan orang-orang gagah ini, tidak saja ia akan terlindung dari pada pembalasan Eng Eng, bahkan ia juga akan terlindung dari pada kejaran orang-orang Kun-Iun-pai, dari kejaran Tiong Han dan juga suhunya.

Kalau ia sudah dapat menjadi seorang panglima perang kerajaan, siapakah yang berani mengganggunya? Pula, tadi Eng Eng sudah berjanji hendak membantu Oei ciangkun dan kelima Gobi Ngo-koai-tung, maka kalau ia berada disitu, bukanlah banyak harapan kelak Eng Eng akan bertemu dengannya dalam keadaan bersahabat?

Sementara itu, Go-bi Ngo koai tung sudah mendengar tentang pemuda ini karena sebagai orang-orang kang-ouw, mereka mendengar juga peristiwa yang terjadi pada Kim-liong-pai. Orang-orang yang 'nyeleweng' akan tetapi berkepandaian tinggi macam Tiong Kiat inilah yang mereka butuhkan! Mereka membutuhkan orang macam ini karena memang sebetulnya Oei ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung ini merencanakan sebuah pemberontakan!

Sebagaimana telah disebutkan di depan Oei ciangkun yang bernama Oei Sun adalah seorang penganut agama Pek lian-kauw yang dahulu ketika perkumpulan agama ini belum dibasmi oleh pemerintah, Oei Sun telah menjadi kekasih pemimpin Pek-lian-kauw yang cantik dan genit. Adapun Go bi Ngo koai-tung yang kini membantunya juga dahulunya merupakan pendeta-pendeta Pek-lian-kauw yang berpengaruh.

Kelima orang pendeta ini sekarang telah mendapat nama besar sebagai pendeta-pendeta berkepandaian tinggi yang bertapa di Pegunungan Go bi-san, maka tak seorangpun dapat menduga bahwa mereka ini adaIah bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw yang berbahaya. Siapa pula yang dapat menyangka bahwa Oei Sun, panglima tentara kerajaan yang amat gagah dan sudah banyak jasanya itu sebetulnya adalah penganut agama Pek-lian kauw yang jahat?

Oei Sun bersama kelima orang kawannya, yakni Go bi Ngo koai-tung, diam-diam merencanakan pemberontakan terhadap kaisar sebagai pembalasan atas pembasmian Pek lian kauw, juga dengan tujuan terutama membangun kembali agama Pek lian kauw. Tentu saja mereka tidak berani berterang membangun kembali Pek lian kauw. Rencana mereka amat besar.

Karena kebetulan sekali Oei-ciangkun mendapat tugas menjaga di tapal batas utara dan mengepalai sepuluh ribu orang tentara, maka diam-diam Oei Sun mengadakan hubungan dengan Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang hendak memberontak itu. Di samping hubungan rahasia ini Oei Sun juga melakukan siasat yang amat cerdik. Ia bersekongkol dengan Huayen-khan yang menyuruh orang-orangnya mengadakan kekacauan di sana sini, yang kemudian ditindas oleh Oei Sun dengan amat mudah.

Hal ini lalu dibesar-besarkan, dijadikan berita hebat dan ia membuat laporan-laporan ke kota raja bahwa orang-orang jahat dan Mongol tengah mengadakan kekacauan akan tetapi telah dapat dibasminya. Dan untuk memperkuat pertahanan, Oei Sun mengajukan permohonan untuk minta tambah barisan dan ransum dan juga uang untuk biaya-biaya barisan.

Tentu saja karena ia telah berjasa membasmi pengacau-pengacau yang sesungguhnya pengacau palsu dan buatan Oei Sun bersama Huayen khan, kaisar di kota raja merasa amat suka kepadanya dan percaya penuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, barisan di bawah pengawasan Oei Sun sudah meningkat sampai seratus ribu orang!

Diam-diam Oei Sun dan Go-bi Ngo koai-tung lalu mengumpulkan dan memanggil bekas anggaota Pek Iian-kauw yang sudah tersebar dan kocar-kacir. Mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan juga. Oei Sun lalu mengangkat orang-orang Pek-lian kauw yang jumlahnya empat puluh orang lebih ini menjadi perwira-perwira pembantunya dan bekerja di dalam barisannya sebagai pemimpin-pemimpin!

Di samping itu, juga Oei Sun dan lima orang pendeta-pendeta itu mencari-cari kawan, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi di kalangan Iiok-lim. tentu saja mereka memilih orang-orang yang mengambil jalan hek to (jalan hitam, yakni penjahat-penjahat). Orang-orang inipun diangkat menjadi kepala-kepala barisan, diberi pangkat sesuai dengan kepandaian mereka.

Sim Tiong Kiat telah kena tertipu oleh keadaan di dalam benteng itu, oleh sikap Oei Sun yang ramah-tamah dan oleh kelima orang pendeta yang semuanya memperlihatkan sikap seolah-olah mereka ini adalah orang-orang gagah pembela negara!

Hati pemuda ini merasa girang sekali, karena ia ingin menunjukkan kepada orang-orang terutama kepada Eng Eng kedua kalinya kepada kakaknya, kepada semua orang, kepada dunia, bahwa dirinya adalah seorang patriot sejati. Bahwa Sim Tiong Kiat pada hakekatnya adalah seorang gagah yang patut dihormati.

Apalagi setelah Oei Sun mencoba kepandaiannya, dicobanya sendiri, kemudian bahkan dicoba pula oleh Thian It Tosu, orang pertama dari Go bi Ngo.koai tung, dan berakhir dengan kemenangan Tiong Kiat dengan ilmu pedangnya Ang coa kiamsut yang luar biasa, Tiong Kiat lalu dipeluk dengan penuh rasa bangga oleh Oei Sun.

"Saudara Sim yang gagah, sungguh aku merasa seakan-akan kejatuhan bulan purnama dapat bertemu dengan kau! Kaulah yang akan merupakan bantuan terutama ke arah tercapainya cita-cita kita bersama."

"Cita-cita? Cita cita apakah, Oei ciang-kun?" Tanya Sim Tiong Kiat tak mengerti.

Oei Sun menjadi merah mukanya. Ia merasa telah terlanjur bicaranya, akan tetapi Thian lt Tosu yang amat cerdik segera menolongnya.

"Tentu saja cita-cita kita untuk membersihkan negara dari para pengacau dari utara dan memenangkan semua pertempuran!”

"Setuju, setuju!” empat orang pendeta yang lain berseru girang dan pelayan lalu dipanggil untuk menambah arak dan daging.

Oei Sun mengerti akan maksud suhengnya itu. Memang mereka sudah mendengar tentang Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat, murid dari Kim-liong-pai yang tersesat dan melakukan perbuatan jahat sebagai jai hwa-cat dan pencuri. Akan tetapi mereka belum yakin benar apakah pemuda ini mau diajak untuk memberontak terhadap pemerintah kaisar.

"Saudara Sim, apakah kau tidak ada keinginan untuk menjadi seorang perwira? Kepandaianmu cukup hebat dan kau cukup patut untuk menjadi seorang panglima yang lebih tinggi pangkatnya dari padaku sendiri."

Mendengar kata-kata Oei Sun ini merahlah wajah Tiong Kiat, bukan hanya karena jengah, akan tetapi terutama sekali karena bangga dan senang.

"Ah, Oei ciangkun, mana orang seperti aku dapat menjadi panglima? Aku hanya mengerti sedikit ilmu silat kasar mana aku dapat memimpin pasukan? Aku dapat diterima membantu di sini saja sudah cukup menyenangkan hatiku."

"Ah, kau terlampau merendahkan dirimu sendiri, saudara Sim. Apakah susahnya ilmu peperangan? Kalan kau mau memberi petunjuk kepadaku tentang ilmu pedang, apa susahnya mempelajari ilmu peperangan diriku? Bukankah baik sekali kita saling menukar ilmu kepandaian kita, saudara Sim?"

"Bagus sekali, kalau Oei ciangkun sudi memimpin aku yang bodoh, aku Sim Tiong Kiat akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk membantu."

"Baik, Sim ciangkun! Sekarang juga kau menjadi perwira pembantuku !” Berdebar hati Tiong Kiat mendengar ini, apa lagi ketika panglima itu menyuruh seorang perajurit mengambilkan seperangkat pakaian perwira yang indah untuknya. Ah, dia telah menjadi perwira, telah disebut Sim ciangkun oleh panglima itu sendiri! Bukan main senangnya hati pemuda yang masih hijau ini.

Setelah mengenakan pakaian perwira, Sim Tiong Kiat benar-benar nampak gagah dan tampan sekali. Oei Sun lalu memperkenalkan perwira baru ini kepada semua perajurit yang disuruhnya berbaris. Kemudian ia menjamu perwira baru ini dengan segala kemewahan, di mana Tiong kiat sempat berkenalan dengan banyak perwira yang gagah perkasa. Tadinya ia merasa amat heran bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang telah menjadi perwira akan tetapi setelah mendengar bahwa orang orang gagah ini sengaja datang membantu Oei Sun untuk mengusir pengacau, hatinya menjadi makin girang.

Demikianlah, semenjak hari itu, Tiong Kiat berdiam di dalam benteng, menjadi seorang perwira yang paling disayang oleh Oei ciangkun, menjadi seorang di antara pemberontak-pemberontak itu, atau lebih tepat lagi, calon-calon pemberontak. Melihat betapa sikap Tiong Kiat amat patriotis dan kata-katanya menunjukkan betapa bersemangat adanya pemuda ini Oei Sun dan kawan-kawannya belum berani berterus terang kepada Tiong Kiat.

"Oei-ciangkun," kata tiong Kiat dengan suara bersungguh-sungguh kepada Oei Sun, "aku mempunyai suatu rahasia yang amat penting. Tadinya aku berniat untuk membuka rahasia ini dihadapan kaisar, akan tetapi oleh karena sekarang aku menjadi perwira di benteng ini dan kau adalah komandanku, hal ini lebih baik kuberitahukan kepadamu saja.”

"Rahasia apakah itu, Sim ciangkun?" tanya Oei Sun memandang tajam.

"Ketahuilah Oei ciangkun, bahwa sebetulnya Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang berpura-pura baik dengan Hong-sian (kaisar) sebenarnya mempunyai rencana jahat dan bersiap-siap hendak menyerbu ke selatan!”

Oei ciangkun nampak terkejut. Tentu saja Tiong Kiat tidak pernah menyangka bahwa kekagetan panglima ini bukan karena mendengar berita itu, melainkan karena tak dikiranya Tiong Kiat sudah mengetahui akan hal ini! Akan tetapi Oei ciangkun juga bukan seorang yang bodoh. Ia dapat menetapkan hatinya dan bersikap seakan-akan berita ini bukan hal yang amat berat.

"Bagaimana kau bisa tahu, Sim ciangkun? Hal seperti ini memerlukan ketelitian, tidak boleh menuduh secara sembrono saja. Apakah kau mempunyai bukti-buktinya?"

"Tentu saja, Oei ciangkun."

Dan Sim Tiong Kiat lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong Huayen khan dari keroyokan Piloko, kepala suku bangsa Cou dan anak buahnya hingga ia dibawa ke perkemahan Huayen-khan dan dapat mengetahui rahasia itu karena pengakuan Ang Hwa dan Huayen khan sendiri. Oei ciangkun mengangguk-angguk.

Tentu saja ia telah mengerti akan hal ini semua, bahkan ia sendiripun terhitung seorang diantara mereka yang pernah menerima 'kebaikan hati' Huayen-khan untuk dilayani oleh Ang Hwa, istri kepala suku bangsa Ouigour itu! Akan tetapi Oei ciangkun memang cerdik, apa lagi setelah ia berkumpul dengan lima orang suhengnya, ia mendapat tambahan pengalaman dan akal.

"Sim ciangkun, sesungguhnya kami semua di sini telah mengetahui akan hal ini. Tadi aku berpura-pura tidak tahu untuk mencobamu saja. Ternyata kau seorang laki-laki sejati. Akan tetapi, sayang sekali kau belum tahu tentang siasat-siasat peperangan, maka kau berlaku keras. Sungguhpun aku telah mengetahui rahasia Huayen-khan itu, akan tetapi aku bahkan mendekatinya dan memperlakukannya dengan baik dan manis, sesuai dengan sikap kaisar kita pula."

Tiong Kiat mengerutkan keningnya. "Mengapa begitu Oei-ciangkun?"

Panglima she Oei itu tertawa bergelak. "Sim ciangkun, karena kau baru kuberi pelajaran ilmu perang bagian mengatur barisan, dan tata tertib barisan, belum sampai kepada siasat-siasat peperangan, maka tentu saja kau belum dapat mengerti tentang siasat perang yang kami jalankan. Ketahuilah bahwa dalam ilmu perang, siasat yang dilakukan oleh Huayen-khan adalah siasat 'Bertopeng Kulit Domba', yakni pada luarnya ia kelihatan lunak, akan tetapi disebelah dalamnya sebetulnya ia amat berbahaya. Akan tetapi untuk menghadapi siasat ini, kitapun mempergunakan siasat yang hampir sama sifatnya, yakni siasat yang kunamakan membawa pedang di dalam selimut, yang artinya, pada luarnya kita pura-pura tidak melihat rencananya dan tidak berjaga-jaga padahal sebetulnya diam-diam kita sudah siap sedia untuk menumpasnya pada saat srigala itu muncul dari balik topeng kulit domba, mengertikah kau, Sim ciangkun?"

Tentu saja Tiong Kiat mengerti baik akal sederhana yang disebut siasat oleh Oei ciangkun ini, akan tetapi ia belum merasa puas. "Oei ciangkun, mungkin kalau menghadapi lawan yang besar dan berat, kita perlu menggunakan siasat seperti itu. Akan tetapi apakah bahayanya Huayen-khan dan anak buahnya? Kalau kau mau, sekali pukul saja dengan bala tentara kita, mereka akan kocar-kacir dan dapat dihancurkan bukan?"

"Kau tidak tahu Sim-ciangkun. Kita tidak menghadapi bangsa Ouigour saja, masih banyak suku bangsa yang memberontak. Misalnya bangsa Cou yang dipimpin oleh Pikolo, mereka itupun diam-diam bahkan lebih jahat dari pada bangsa Ouigour. Kalau ada kesempatan, bangsa Cou inilah yang hendak memberontak lebih dulu. Akan tetapi, semua ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan bangsa Monggol yang merupakan bahaya paling besar dari utara, karena bangsa Monggol mempunyai bala tentara yang amat kuat dan besar jumlahnya. Betapapun juga adalah suatu kesalahan dan kepicikan besar apabila kita selalu memperhatikan batu-batu besar di waktu kita berjalan dan mengabaikan batu-batu kecil. Karena kalau kita berbuat begini, akhirnya kita akan jatuh tersandung oleh batu kecil yang tidak kita sangka akan menjatuhkan kita! Kalau tidak ada ancaman dari fihak Mongol yang kuat, kita tak perlu berpayah-payah memperlihatkan muka manis kepada orang-orang seperti Huayen-khan atau Pikolo. Akan tetapi, pada saat kita menghadapi lawan berat seperti barisan Mongol, biarpun hanya rombongan-rombongan kecil seperti orang-orang Ouigour dan Cou, cukup merupakan kawan yang membesarkan hati."

Kini baru Tiong Kiat merasa amat kagum mendengar uraian yang amat luas den mendalam ini. Ia yang masih hijau dalam soal siasat peperangan tentu saja menganggap panglima she Oei ini benar-benar amat pandai dan luas pengetahuannya.

Semenjak hari itu ia lebih tekun mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun, sebaliknya tidak ragu-ragu untuk memberi petunjuk dan pelajaran ilmu silat dan pedang kepada panglima yang sudah memiliki kepandaian tinggi itu.


                  ***************

Kita tinggalkan dulu Tiong Kiat yang telah masuk perangkap dan tidak sadar bahwa sesungguhnya ia bahkan membantu gerakan calon-calon pemberontak Pek-lian-kauw yang amat berbahaya itu. Marilah kita mengikuti perjalanan Suma Eng atau Eng Eng yang meninggalkan benteng di mana tadinya ia tertawan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai tung.

Juga gadis ini tidak mengira bahwa baru saja ia terlepas dari tangan orang orang Pek-lian-kauw, dan mengira bahwa Oei Sun benar-benar seorang panglima yang jujur dan gagah, dan Gobi Ngo koai-tung adalah tokoh-tokoh dari Go-bi-san yang selain berkepandaian tinggl juga telah berlaku baik kepadanya hingga mau melepaskannya.

Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, barulah Eng Eng mendengar dari seorang penduduk dusun bahwa ia telah salah jalan, maka ia lalu mengambil jalan memutar dan kini menuju ke selatan, untuk pergi ke kota raja dalam usahanya mencari Tiong Kiat.

Akan tetapi ketika ia melewati sebuah daerah yang kering dan tandus, di mana tanahnya tidak subur karena banyak tertutup salju, tiba-tiba ia bertemu dengan serombongan orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Orang orang ini bersenjata golok besar dan jumlah rombongan yang merupakan barisan ini tidak kurang dari delapan puluh orang. Di belakang pasukan ini masih terdapat rombongan Iain yang lebih besar, yang membawa kereta dan keledai, agaknya keluarga dari rombongan yang di depan.

"Berhenti!” seru dua orang yang mengepalai pasukan itu, dua orang yang bertubuh tinggi besar, bersenjata golok dan mukanya hampir sama. "Nona yang kelihatan gagah berani melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini, kau tentu mempunyai hubungan dengan benteng Oei-ciangkun!”

Eng Eng mengerutkan keningnya, "Kalau ada hubungan bagaimana dan kalau tidak ada hubungan kalian perduli apa?" tanyanya sambil tersenyum mengejek. Ia merasa lucu sekali mengapa dua orang laki-laki tinggi besar ini yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, begitu bertemu telah memperlihatkan sikap membenci.

"Kawan Oei ciangkun atau bukan, terang dia adalah seorang nona Han, tangkap saja jadikan bujang, habis perkara, twako!” seru seorang lain yang berdiri di belakang. "Orang-orang Han telah memperlihatkan sikap palsu terhadap kita, untuk apa kita berlaku sungkan lagi?”

Ucapan ini dikeluarkan dengan sengaja dalam bahasa Han agar Eng Eng dapat mengerti maksudnya, akan tetapi suaranya kaku dan janggal, hingga Eng Eng yang mendengarnya menjadi makin geli.

"Kalian ini orang apa begini galak-galak?" tanyanya.

"Kami adalah orang-orang suku bangsa Cou yang telah dikhianati dan dicurigai oleh orang-orang Han yang tadinya kami anggap sahabat-sahabat baik."

"Eh, eh, nanti dulu kawan. Orang orang Han itu bermacam macam, jangan disama ratakan. Tidak semua orang Han berwatak khianat dan curang. Akan tetapi sudahlah, aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Minggirlah dan jangan mencari perkara dengan aku."

"Enak saja kau bicara. Apa kau kira kau dapat melepaskan diri dari kami begitu saja? Jangan kau main-main, nona. Kami orang-orang suku bangsa Cou tidak boleh dipermainkan oleh kamu orang-orang Han seperti suku bangsa Ouigour!"

Akan tetapi Eng Eng tetap melayani kedua orang kepala pasukan yang galak ini sambil tersenyum-senyum. "Eh, eh... kalian benar-benar galak. Dengan cara bagaimanakah kalian hendak menghalangi aku? Coba, aku ingin sekali menyaksikannya."

Kedua orang ini saling pandang, karena betapapun juga, kalau gadis Han yang cantik dan tabah ini melawan, mereka merasa tidak enak untuk melayani seorang gadis muda. Akan tetapi, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti burung segera melompat maju dan berkata,

"Biarlah aku yang menangkap gadis liar ini!" katanya dan dengan cepat ia menubruk maju sambil mengeluarkan kedua tangannya hendak mencengkeram pundak Eng Eng.

Eng Eng melihat bahwa cengkeraman ini adalah semacam ilmu silat utara yang mengutamakan sergapan dan cengkeraman atau cekikan, maka sambil mengeluarkan suara ejekan, tubuhnya tiba-tiba melejit dan bagaikan angin lalu ia telah dapat membuat si mata burung itu menangkap angin!

Dan sebelum si mata burung dapat mengetahui bagaimana cara gadis itu bergerak, tiba-tiba terdengar suara keras dan dagunya telah kena digaplok oleh Eng Eng! Orang itu merasa seakan akan dunia hendak kiamat! Bumi yang dipijaknya serasa terputar-putar, pohon-pohon disekelilingnya seakan-akan hendak roboh menimpanya dan matahari di angkasa menjadi dua berkejar-kejaran.

Akan tetapi dia adalah seorang perwira bangsa Cou yang telah melatih diri bertahun tahun maka ia dapat mengerahkan tenaga dan mengatur rasa pening pada kepalanya dan rasa berdenyut perih pada dagunya yang membengkak terkena tamparan Eng Eng tadi.

"Perempuan liar, rasakan pembalasanku!" katanya dan tangannya meraba pinggang mencari goloknya.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika goloknya telah lenyap dari pinggangnya dan ketika ia memandang ke depan, bukan main herannya. Ternyata bahwa goloknya telah berada di tangan gadis yang lihai itu yang telah merampas goloknya dan kini sambil menodongkan ujung golok pada dada si mata burung, Eng Eng tersenyum menantang.

"Hayo balaslah! Hendak kulihat bagaimana hebatnya pembalasanmu!”

Tentu saja si mata burung tak dapat berkata sesuatu dan tak dapat berbuat sesuatu, hanya memandang dengan mulut celangap! Dua orang pemimpin pasukan yang tadi menegur Eng Eng adalah tangan kanan dari Piloko sendiri. Mereka ini adalah kakak beradik yang ahli sekali dalam permainan golok selain tenaga mereka yang besar juga ilmu golok mereka amat disegani kawan-kawannya maupun lawannya. Kini melihat betapa dengan segebrakan saja seorang gadis cantik dan muda ini dapai mengalahkan si mata burung, bahkan dapat merampas goloknya dengan mudah dan cepat, mereka menjadi heran dan marah.

"Hem, tentu kau adalah seorang wanita dikalangan kang ouw yang membantu Oei ciangkun. Nona, menyerahlah sebelum golokku bicara!" mengancam orang pertama.

"Jangan ngimpi!” Eng Eng mengejek. "Kita melakukan perjalanan masing-masing tak saling kenal tidak saling perduli. Mengapa tahu-tahu kalian memusuhi dan hendak menggangguku? Ketahuilah, jangankan baru kalian berdua biar puluhan orang pasukanmu ini maju, jangan harap akan dapat mengalahkan aku!"

"Sombong!" teriak orang termuda diantara dua pemimpin ini. Tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah mencabut golok dan menyerang Eng Eng.

Gadis ini tadi memegang golok rampasannya di tangan kiri dengan sikap acuh tak acuh dan sembarangan sekali. Akan tetapi ketika golok lawannya menyambar, tangan kirinya bergerak dan goIok rampasannya berubah menjadi sinar putih yang membentur golok lawannya itu sehingga hampir saja golok lawannya terpental dan terlepas dari pegangan! Tentu saja orang ini terkejut sekali dan mukanya menjadi merah ketika Eng Eng tersenyum mengejek.

"Apa kataku? Kau terlalu lemah, kawan! Sebaliknya kalian berdua maju berbareng atau kerahkan pasukanmu untuk mengeroyokku!"

Bukan main marahnya dua orang pemimpin pasukan Cou ini. Sambil berseru garang, keduanya lalu mengayun golok dan menyerang Eng Eng dari kanan kiri. Akan tetapi, mana bisa dua orang kasar ini menghadapi Eng Eng yang memiliki kepandaian tinggi?

Biarpun gerakan mereka cukup cepat dan kuat namun sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan suara ketawa mengejek, Eng Eng dengan amat mudahnya dapat menghindarkan diri dari serbuan mereka. Kadang-kadang ia menggunakan golok di tangan kirinya untuk menangkis akan tetapi lebih sering ia mempergunakan ginkangnya yang luar biasa itu untuk mengelak dari serangan-serangan kedua lawannya.

Tubuhnya lenyap merupakan bayangan yang membingungkan kedua orang lawannya. Pada waktu itu Eng Eng menggunakan baju putih dengan pinggiran merah, juga saputangan yang mengikat rambutnya berwarna merah, demikian pula celananya, berwarna merah hingga ia nampak manis dan cantik sekali.

Orang-orang bangsa Cou memiliki watak yang jujur dan tidak curang. Para perajurit yang tadinya masih merupakan barisan, kini setelah melihat betapa dua orang pemimpin mereka bertempur melawan seorang gadis Han yang cantik jelita dan lihai sekali, mereka lalu mengurung dan duduk berjongkok sambil tertawa-tawa dengan senangnya seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukan yang amat menarik tanpa bayar!

Ketika mereka melihat betapa Eng Eng berkelebatan bagaikan seekor kupu-kupu yang cepat dan ringan sekali beterbangan diantara sambaran dua batang golok dari kedua orang pemimpin mereka, terdengarlah pujian pujian dan sorakan-sorakan riuh rendah.

"Lihai sekali!”

"Bukan main hebatnya!"

Dan masih banyak lagi kata-kata pujian dalam bahasa Cou yang tidak dimengerti oleh Eng Eng, Akan tetapi sikap mereka ini benar-benar menggembirakan hati Eng Eng, sehingga timbullah kesan baik di dalam hati gadis ini terhadap orang-orang Cou yang jujur itu. Ia menjadi tidak tega untuk melukai dua orang pengeroyoknya ini, dan hanya mempermainkan mereka saja sambil tersenyum-senyum manis.

Entah mengapa semenjak pertemuannya dengan Tiong Han dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Han bukanlah pemuda yang dibencinya, ia menjadi amat tertarik kepada pemuda itu dan kalau tadinya ia memandang penghidupan ini nampak gelap dan menyedihkan, kini seakan-akan di dalam kegelapan itu timbul cahaya terang dan di dalam kesedihan itu nampak sesuatu yang membesarkan harapan dan menimbulkan kegembiraannya.

Dulu cita-cita hidupnya hanya satu, yakni membunuh Tiong Kiat dan mencari Thian te Sam kui untuk membalas dendam. Kalau cita-cita ini sudah tercapai, agaknya ia takkan suka hidup lagi!

Akan tetapi sekarang, entah mengapa, bayangan Tiong Han, pemuda yang lemah-lembut sopan santun, berbudi mulia, dan berkepandaian tinggi itu selalu nampak di depan matanya dan menimbulkan harapan serta pegangan hidup. Kini sering kali Eng Eng merasa demikian gembira sehingga bunga-bunga seakan-akan tersenyum kepadanya, daun-daun hijau seakan akan melambai-lambai dengan ramahnya.

Kini menghadapi kedua orang lawannya iapun sedang bergembira, maka tidak henti-hentinya ia tersenyum hingga menambahkan kekaguman bagi semua orang Cou yang menonton pertempuran itu. Gadis lihai itu tidak saja dapat mempermainkan dan melayani dua orang pemimpin mereka dengan golok di tangan kiri bahkan masih mempunyai kesempatan untuk tersenyum-senyum!

Lima puluh jurus telah lewat dan selama itu, jangankan melukai gadis aneh itu, menyentuh ujung bajunya saja kedua orang pemimpin rombongan bangsa Cou itu tidak sanggup. Sebaliknya Eng Eng juga tidak pernah membalas serangan mereka. Kini Eng Eng telah merasa cukup dan mulai menjadi bosan. Pada saat itu, dari kanan kirinya, kedua orang lawannya mengangkat golok dengan cepat dan kuatnya lalu diayun ke arah kepala gadis itu!

Akan tetapi Eng Eng masih dapat tertawa dan berkata, "Perlahan dulu, sahabat!"

Gadis ini dengan gerakan yang amat lemas dan gaya yang amat manis lalu mainkan gerak tipu yang disebut Burung Hong Membuka Sayap. Kaki kirinya diangkat ke atas kaki kanan berdiri di atas ujung sepatunya. Tangan kiri yang memegang golok diayun ke kiri dengan gerakan cepat untuk menangkis serangan golok dari kiri, adapun tangan kanannya berbareng dengan tangan kiri, bergerak pula ke kanan dengan jari-jari terbuka, dan sebelum lawannya yang berada di kanannya tahu apa yang terjadi, ia telah mengeluh dan goloknya terlepas dari pegangan!

Juga goloknya, tidak dapat menahan tenaga tangkisan Eng Eng dan goloknya terlempar jauh! Orang di sebelah kanan tadi kini meringis-ringis sambil memegangi siku kanannya yang telah terkena bacokan tangan Eng Eng sehingga ia merasa lengannya sakit sekali dan lumpuh! Adapun orang di sebelah kirinya kini berdiri dengan mata terbelalak, penuh keheranan dan juga kekagetan melihat betapa goloknya tadi terdorong sedemikian hebatnya oleh golok lawannya!

"Hayo maju... tangkap dan keroyok!"

Orang yang sikunya lumpuh itu mengeluarkan aba-aba, akan tetapi para perajurit Cou ragu-ragu untuk maju melawan gadis yang sedemikian lihainya itu.

"Mundur semua, jangan berlaku kurang ajar!” tiba-tiba terdengar suara orang yang amat berpengaruh dan dari belakang para perajurit itu melompatlah seorang yang tinggi, melompati kepala para perajurit itu dan dengan ringan sekali ia turun di depan Eng Eng.

Gadis ini memandang dan diam-diam ia mengakui bahwa ginkang dari orang yang baru datang ini cukup lumayan. Ia bersiap sedia, karena maklum bahwa kepandaian orang yang baru datang ini, apabila dibandingkan dengan kepandaian dua orang pengeroyoknya tadi, amat jauh lebih pandai!

Akan tetapi, ia menjadi terheran ketika melihat betapa orang tinggi yang sudah setengah tua ini menjura dengan penuh hormat kepadanya, lalu berkata dalam bahasa Han yang ramah tamah dan lancar sekali.

"Lihiap, mohon kau sudi memaafkan kelancangan dan kekasaran orang orangku yang tidak tahu aturan. Maklumlah bahwa orang-orang yang telah disakiti hatinya oleh orang orang lain yang tadinya dipandang sebagai sahabat-sahabat baik, tentu saja mudah marah. Terus terang saja kami, suku bangsa Cou amat kecewa dan penasaran melihat sikap bangsamu, orang-orang Han. Kami telah dikhianati, orang-orang Han tanpa melihat keadaan dan tanpa alasan yang kuat, telah memilih dan memihak kepada orang-orang Ouigour yang selalu mengganggu kami. Banyak saudara-saudara kami yang tewas oleh pasukan Oei-ciangkun yang kuat, semua ini hanya karena hasutan dari Huayen-khan, pemimpin suku Ouigour yang membenci kami itu!"


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Mendengar uraian panjang lebar yang tidak dimengerti betul itu, Eng Eng menjadi bingung. Akan tetapi melihat wajah orang tua ini yang amat berduka dan tampak bersungguh-sungguh, ia tidak berani main-main. Ia melempar golok rampasannya tadi dan membalas penghormatan Piloko.


"Aku adalah seorang perantau yang sama sekali tidak mengerti semua itu. Sebenarnya siapakah saudara dan mengapa pula rombongan saudara tiba di tempat yang miskin ini?"

"Aku bernama Piloko, dan semua ini adalah orang-orangku, yakni suku bangsa Cou yang amat menderita. Sebelum aku melanjutkan penuturanku, sudilah kiranya lihiap memperkenalkan diri. Siapakah lihiap, datang dari mana dan benarkah lihiap tidak mempunyai hubungan dengan benteng tentara kerajaan yang dipimpin oleh Oei-ciangkun?"

"Sudah kukatakan tadi, aku adalah seorang perantau bernama Suma Eng. Pekerjaanku hanya membasmi orang jahat dan menolong orang yang tertindas, bagaimana aku dapat terikat oleh hubungan dengan sepihak? Ceritakanlah kesusahanmu, saudara Piloko, mungkin aku dapat membantumu."

Bukan main girangnya hati Piloko mendengar ucapan ini. Lagi pula diam-diam ia telah menyaksikan kepandaian Eng Eng yang dengan demikian mudahnya mempermainkan dua orang pembantunya. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat melawan kepandaian nona ini, maka kalau saja ia dapat menarik tenaga nona ini untuk membantunya hal itu tentu amat baiknya.

Pada saat itu terdengar seruan perlahan dari seorang wanita. Para perajurit yang duduk memberi jalan dan nampaklah seorang wanita setengah tua datang membawa sebatang pedang telanjang di tangannya. Wajahnya nampak berduka dan juga gelisah, akan tetapi ketika ia melihat Piloko berdiri berhadapan dengan Eng Eng dan bercakap-cakap dalam suasana damai, ia menjadi lega kembali dan pedangnya cepat ia sarungkan di pinggang.

"Nona Suma Eng, ini adalah Yamani isteriku yang setia. Lihat biarpun ia tidak memiliki kepandaian, namun mendengar aku datang ke sini menghadapi orang yang disangka lawan berbahaya, ia lupa kebodohannya dan datang membawa-bawa pedang!" kata Piloko memperkenalkan istrinya kepada Eng Eng, lalu disambungnya ketika ia memperkenalkan Eng Eng kepada istrinya.

"Yamani, jangan kau gelisah. Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang mungkin belum pernah kau jumpai di alam mimpi sekalipun! Lihiap ini bernama Suma Eng dan kepandaiannya mungkin sepuluh kali lebih lihai dari pada kepandaianku."

Dengan singkat, Piloko lalu menceritakan kepada istrinya tentang kegagahan Eng Eng yang dikeroyok dua oleh pembantunya yang disebutnya kasar dan lancang tidak bisa mengenal orang.

Mendengar cerita suaminya ini, Yamani lalu menghampiri Eng Eng dan memegang lengannya. "Ah, lihiap, sungguh berbahagia sekali rasanya dapat bertemu dengan seorang pendekar wanita yang sudah lama menjadi buah mimpi padaku. Aku seringkali mendengar cerita tentang pendekar-pendekar wanita, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorangpun, harap kau mau memaafkan semua kesalahan kawan-kawan kami dan marilah kita bercakap-cakap di dalam kendaraanku yang biarpun kecil akan tetapi lebih enak dari pada di sini."

Sambil berkata demikian, dengan amat ramah tamah, Yamani lalu menarik lengan Eng Eng. Gadis ini tak dapat menolak karena semenjak bertemu, ia telah merasa suka kepada nyonya bangsa Cou ini yang selain ramah tamah, juga amat manis mukanya.

Setelah duduk berhadapan di dalam kendaraan sambil makan hidangan yang disuguhkan oleh Yamanl yang ramah-tamah, Eng Eng lalu mendengar penuturan sepasang suami istri kepala suku bangsa Cou ini. Ia mendengar betapa suku bangsa Cou selalu mendapat perlakuan kejam dan hinaan daripada suku bangsa Ouigour dan Mongol, dan betapa akhir-akhir ini tentara kerajaan nampaknya bahkan memusuhi mereka dan membantu orang orang Ouigour yang menahan suku bangsa Cou yang kecil jumlahnya.

"Perkampungan kami yang terakhir kemarin telah diserang pula oleh Huayen-khan dibantu oleh pasukan dari Oei ciangkun. Terpaksa kami sekarang mengungsi dan mau tidak mau harus menetap di daerah yang tandus dan tidak subur ini." kata Piloko sambil menghela napas.

"Bagi kami sih tidak begitu berat karena kami berdua tidak mempunyai anak." sambung Yamani dengan suara mengharukan.

"Akan tetapi kalau kuingat keadaan bangsaku…lihatlah mereka yang mempunyai anak-anak kecil, ah... bagaimana akan jadinya dengan kami...?" Menangislah Yamani dengan sedihnya.

"Diam kau!" Piloko tiba-tiba membentak dengan muka merah. "Apa artinya tangis saja dalam keadaan seperti ini!"

Istrinya terdiam dan dengan wajah pucat dan sepasang mata terbelalak ia memandang kepada suaminya. Semenjak mereka kawin puluhan tahun yang lalu, baru kali ini Piloko membentaknya sedemikian kasarnya. Melihat pandang mata isterinya, luluhlah kemarahan Piloko dan ia ingat bahwa ia tadi telah bersikap terlalu kasar, apa lagi di depan seorang tamu ia cepat memegang kedua tangan isterinya dan berkata,

"Yamani maafkan suamimu... aku terlampau tertindih oleh kedukaan sehingga lupa diri. Maafkanlah..."

Yamani hanya mengangguk-angguk karena tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dari kerongkongan yang telah penuh oleh sedu sedan yang ditahan-tahannya. Melihat keadaan mereka ini, bukan main terharunya hati Eng Eng. Ia merasa penasaran dan marah sekali kepada orang-orang Ouigour yang sewenang-wenang. Terutama sekali ia merasa penasaran dan kecewa mendengar betapa pasukan kerajaan dari Oei-ciangkun membantu pekerjaan terkutuk dari pasukan Ouigour itu.

Mendengar betapa orang-orang lelaki dan anak-anak bangsa Cou dibunuh dan orang-orang wanita yang muda-muda diculik secara kurang ajar, darah dalam tubuh Eng Eng sudah bergolak saking marahnya. Ia berdiri dari bangkunya, dan berkata,

"Saudara Piloko, jangan khawatir. Aku akan membantumu dan biarlah aku memberi latihan ilmu golok kepada pasukanmu, kemudian mari kita menyerbu dan membalas kejahatan orang-orang Ouigour itu!”

Mendengar ucapan ini, Piloko dan Yamani segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu saking girang dan bersyukurnya. Eng Eng cepat membangunkan mereka dan berkata,

"Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Biarlah untuk sementara aku ikut dengan kalian sampai kalian dapat merampas kembali kampung yang diserobot oleh bangsa Ouigour!"

Demikianlah, untuk beberapa pekan lamanya, di daerah tandus itu, Eng Eng melatih ilmu golok kepada anak buah Piloko. Bahkan Piloko sendiri, juga Yamani dan banyak lagi wanita-wanita bangsa Cou yang kebanyakan manis-manis dan cekatan, ikut pula belajar golok yang diajarkan oleh pendekar wanita itu.

Sementara itu, Piloko menyuruh penyelidik-penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan bekas kampung mereka yang telah dirampas oleh orang-orang Ouigour.

Pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa kampung itu telah ditinggalkan oleh tentara kerajaan dan juga oleh pasukan-pasukan yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan, dan hanya terjaga oleh sepasukan orang Ouigour yang tak berapa kuat.

"Lihiap, kampung kita tidak terjaga kuat. Sekarang besar sekali kesempatan kita untuk menyerbu dan merampasnya kembali.”

Eng Eng setuju, maka berangkatlah pasukan Cou dipimpin oleh Eng Eng dan Piloko. Adapun rombongan keluarganya tidak berangkat bersama pasukan ini, melainkan menanti di tempat itu sampai kampung mereka dapat terampas kembali. Kini keluarga ini tidak begitu takut lagi ditinggal seorang diri oleh suaminya dan ayah mereka itu sedikit-sedikit telah mempelajari ilmu silat.

Karena perjalanan dilakukan cepat dan tidak membawa keluarga seperti ketika mereka pergi mengungsi, dalam waktu sehari semalam saja sampailah pasukan ini di kampung tempat tinggal mereka.

Terjadilah perang tanding yang hebat dan ramai. Akan tetapi, jangankan baru pasukan Ouigour yang hanya terdiri dari seratus orang lebih, biarpun di situ ada pasukan induk yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan mudah pasukan yang dipimpin oleh Eng Eng ini!

Terutama sekali sepak terjang Eng Eng mengerikan hati orang-orang Ouigour, maka dalam pertempuran yang tak berapa lama, kocar-kacirlah orang-orang Ouigour ini meninggalkan kawan-kawan yang tewas maupun yang terluka. Dengan mendapat kemenangan besar, orang-orang Cou lalu masuk ke dalam kampung mereka dan menduduki kampung sendiri. Mereka segera turun tangan memperbaiki rumah-rumah yang dulu dirusak, kemudian mereka beristirahat.

Pada keesokan harinya, Eng Eng dan Piloko naik kuda untuk menjemput keluarga Cou. Pasukan kuda mereka ditinggalkan dan diharuskan menjaga kampung itu dengan kuat sedangkan sebagian pula melanjutkan usaha memperbaiki rumah-rumah yang rusak.

Eng Eng merasa gembira sekali. Baru sekarang ia merasa bahwa hidupnya tidak percuma. Ia mempunyai tugas dan usaha untuk menuntun dan menolong kehidupan ratusan orang Cou yang ternyata benar-benar jujur dan baik itu.

Melakukan perjalanan bersama Piloko sambil bercakap-cakap, mendengar ucapan yang ramah dan hormat, melihat pandangan mata yang penuh rasa terima kasih itu, ah, Eng Eng merasa seakan-akan berjalan dengan seorang paman atau ayah sendiri!

Bodoh sekali dia, pikirnya, mengapa tidak dari dulu menghubungi masyarakat ramai dan melakukan sesuatu demi kebaikan orang-orang itu? Sesungguhnya banyak sekali yang harus dilakukan, karena di dunia ini penuh dengan hal-hal yang amat ganjil, penuh dengan penindasan dan kekejaman, penuh dengan orang-orang yang patut dikasihani dan ditolong serta juga orang-orang yang patut dibasmi karena jahatnya!

"Suma lihiap, jasamu amat besar dan budimu terhadap bangsaku takkan dapat kami lupakan selamanya.” kata Piloko.

"Ah, saudara Piloko apa perlunya segala ucapan sungkan ini. Aku suka membantumu dan membantu bangsamu yang tertindas."

“Ah, alangkah akan bahagia hatiku kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak perempuan seperti kau!"

"Kau tidak punya anak, saudara Piloko?”

Kepala suku bangsa Cou itu menghela napas. "Dulu punya seorang anak perempuan akan tetapi ia meninggal dunia karena penyakit demam. Semenjak itu, aku dan isteriku menganggap semua anak buahku sebagai anak kami dan yang harus kami jaga dengan segenap nyawa dan raga."

Eng Eng tidak menjawab, akan tetapi diam-diam ia juga berpikir. Alangkah senangnya kalau dia masih mempunyai ayah ibu pula, biarpun ayah ibu bangsa Cou seperti Piloko dan Yamani! Semenjak kecil ia merindukan cinta kasih ayah bunda yang tak pernah dirasakannya. Ingin sekali ia berkata kepada Piloko bahwa ia suka menjadi anak orang ini akan tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dan hanya diam saja sambil menarik napas panjang.

Ketika mereka tiba di perkampungan baru di daerah tandus itu, senja telah mulai mendatang. Mereka memasuki kampung, dan dengan amat heran mereka melihat tempat itu sunyi saja tidak kelihatan seorangpun! Piloko menjadi pucat menyangka bahwa kampung ini tentulah mengalami malapetaka sewaktu ditinggal pergi.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara-suara orang seperti dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang bertempur. Eng Eng melompat turun dari kudanya dan berlari cepat ke arah suara itu yang datang dari luar dusun sebelah barat.

Ketika ia tiba di situ, ia menjadi marah bukan main melihat Yamani dan beberapa orang wanita lain dengan mati-matian sedang mengeroyok seorang laki-laki yang melayani mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Sambil mengelak dari serangan golok para wanita itu, laki-laki ini menowel sana mencolek sini, memilih wanita-wanita muda dengan cara yang amat kurang ajar.

"Bangsat Ban Hwa Yong!” Eng Eng memaki marah. "Kau benar-benar harus dibikin mampus!"

Sambil berkata demikian, Eng Eng minta golok dari seorang wanita yang tadi ikut mengeroyok penjahat itu dan sambil melompat cepat ia menerjang penjahat cabul itu. Gadis ini makin lama makin merasa sayang kepada pedangnya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan darah bangsat yang dibencinya ini. Pula ia merasa yakin bahwa dengan sebatang golokpun ia akan dapat mengalahkan Ban Hwa Yong.

Sementara itu, Ban Hwa Yong menjadi kaget setengah mati ketika melihat Eng Eng, gadis yang pernah dirasai kelihaiannya dan yang telah menewaskan kedua suhengnya. Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin. Ia menjadi jerih dan juga marah sekali terhadap gadis ini, maka sambil berseru keras ia mencabut sepasang senjata kaitannya dan memutar sepasang senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.

Yamani dan teman-temannya ketika melihat penjahat yang lihai itu menggunakan senjata dan melihat datangnya Eng Eng cepat-cepat mengundurkan diri dan menonton sambil berdiri di tempat yang cukup jauh agar jangan mengganggu Eng Eng dan jangan sampai terkena sambaran senjata penjahat yang lihai itu. Bahkan Piloko sendiri tidak berani turun tangan karena ia tidak berani mengganggu Eng Eng yang nampaknya sudah kenal penjahat ini dan belum pernah Piloko melihat nona pendekar itu demikian marah.

Ia lalu didekati oleh istrinya yang menceritakan dengan singkat bahwa sebelum Piloko dan Eng Eng pulang, penjahat ini datang memasuki kampung dan melihat betapa penduduk kampung itu hanya wanita-wanita saja. Ban Hwa Yong lalu hendak berlaku kurang ajar. Ia hendak mengangkat diri menjadi pemimpin orang-orang itu dan memilih gadis-gadis yang tercantik untuk melayaninya.

Tentu saja orang-orang wanita Cou itu menjadi marah sekali lalu beramai-ramai mengeroyoknya. Akan tetapi tentu saja mereka ini bukan lawan Ban Hwa Yong yang kosen. Biarpun penjahat itu dikeroyok oleh beberapa orang wanita yang dipimpin oleh Yamani namun dengan tangan kosong ia menghadapi keroyokan golok itu dengan amat mudahnya bahkan ia masih dapat mengganggu para pengeroyoknya!

Memang agaknya dosa Ban Hwa Yong sudah terlampau bertumpuk-tumpuk sehingga dusun yang nampaknya tenang dan penuh wanita sehingga ia merasa aman dan gembira itu, tidak tahunya adalah tempat tinggal dari Suma Eng, gadis yang dibencinya dan juga amat ditakutinya. Kini Eng Eng telah maju dengan amat marah.

Gadis ini menggerakkan goloknya dengan sekuat tenaga, dibacokkan ke arah kepala Ban Hwa Yong sambil mengerahkan lweekangnya. Ban Hwa Yong menangkis dan mencoba untuk membalas dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi, baru tangkisannya saja sudah membuat ia merasa makin jerih.

Ketika ia menangkis tadi, ia merasa betapa tangannya yang memegang kaitan yang ditangkiskan menjadi kesemutan dan pedas sekali. la masih mempertahankan diri sampai dua puluh jurus dengan harapan bahwa karena gadis itu memegang golok, tentu tidak berapa lihai. Tidak tahunya, rangsekan gadis itu makin hebat saja dan golok yang dimainkan seolah-olah telah berobah menjadi lima batang!

Akhirnya Ban Hwa Yong tak kuat menahan dan sambil berseru keras ia lalu melepaskan beberapa batang jarum rahasia yang dijemputnya dengan tangan kiri dari saku bajunya akan tetapi Eng Eng dengan amat mudahnya mengelakkan diri. Ketika gadis ini hendak menyerang lagi, Ban Hwa Yong melompat jauh dan melarikan diri. Akan tetapi mana Eng Eng mau melepaskan penjahat ini?

"Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana?" serunya dan secepat burung melayang, tubuhnya berkelebat mengejar. Sebentar saja dua orang ini sudah lenyap dari pandangan mata semua orang yang menonton pertempuran itu.

"Lekas, kejar mereka dan bantu Suma lihiap!” kata Yamani kepada suaminya dengan gelisah.

Akan tetapi Piloko yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari isterinya, tersenyum. "Kau jangan kuatir, lihiap takkan apa-apa. Bangsat itu pasti akan mampus di tangan Suma lihiap.”

Memang ramalan Piloko ini tidak kosong belaka. Biarpun Ban Hwa Yong memiliki ginkang yang tinggi dan pandai menggunakan ilmu lari cepat Co sang-hui (Terbang di Atas Rumput). Namun sebentar saja Eng Eng telah dapat mengejarnya. Terpaksa Ban Hwa Yong memutar tubuhnya dan bersiap sedia dengan kaitannya.

"Bangsat rendah, mampuslah kau!” seru Eng Eng dan cepat gadis ini menyerang dengan goloknya, menggunakan golok di tangan kanan untuk membacok ke arah leher sedangkan tangan kirinya siap untuk mengirim pukulan susulan.

Ban Hwa Yong makin gugup. Tak terasa keringat dingin mengalir turun dari balik bajunya. Ia menangkis bacokan itu dengan kaitan di tangan kanan sambil menggeser kaki kanan, kaitan kirinya menyambar ke arah perut Eng Eng! Akan tetapi, gadis yang sudah sangat marahnya ini lalu menggerakkan kaki kiri menendang tepat mengenai pergelangan tangan kiri Ban Hwa Yong.

"Krekkk...!”

Ban Hwa Yong menjerit ketika tulang pergelangan tangannya patah terkena tendangan Eng Eng yang mengerahkan tenaga luar biasa itu! Kaitan kiri terlepas dan terlempar jauh. Sebelum kaitan kanannya dapat sempat bergerak, golok Eng Eng sudah menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi. Ban Hwa Yong manusia durhaka dan keji itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh!

"Ting twako, harap kau sekeluarga dapat puas dan tenang. Musuh-musuhmu telah tewas semua!" kata Eng Eng sambil memandang ke angkasa, seolah-olah ia bicara dengan arwah dari Ting Kwan Ek, piauwsu yang terbunuh sekeluarganya oleh Thian-te Sam-kui yang kini telah ditewaskannya semua itu!

Kemudian Eng Eng lalu melempar goloknya dan melompat kembali ke arah dusun, piloko dan orang-orang perempuan di situ menyambutnya dengan amat lega dan gembira apalagi ketika mendengar bahwa penjahat itu telah dapat ditewaskan. Eng Eng menceritakan siapa adanya penjahat itu, maka semua orang menjadi kagum mendengar ini, lebih-lebih ketika mendengar bahwa penjahat itu adalah seorang di antara Thian-te Sam-kui yang pernah didengar namanya oleh Piloko.

Kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan keluarga yang semua berwajah girang dan berseri ini lalu berangkat kembali ke kampung mereka yang telah dapat dirampas kembali dari tangan orang-orang Ouigour. Kedatangan keluarga dalam keadaan selamat ini menambah kegembiraan orang-orang Cou yang sedang membangun kembali dusun mereka, dan menambah pula rasa terima kasih mereka kepada Suma Eng yang mereka beri nama julukan 'Bunga Dewa'!

Dikalangan orang Cou ini dahulu memang terdapat kepercayaan tentang adanya bunga dewa yang sakti sekali yang sering kali diturunkan oleh dewata untuk menolong manusia. Bunga dewa yang diturunkan ke dunia oleh dewa ini sering kali menjelma menjadi manusia gagah atau menjelma menjadi pertapa-pertapa. Dengan diberi nama julukan bunga dewa berarti bahwa orang-orang Cou merasa amat berterima kasih dan amat menjunjung tinggi gadis ini!

Setelah suku bangsa Cou bisa merampas kembali kampung mereka dan memperbaiki rumah-rumah di kampung itu. Eng Eng merasa bahwa tugasnya menolong orang ini sudah selesai. Akan tetapi, sebelum ia berpamit untuk meninggalkan Piloko dan anak buahnya, kepala suku bangsa Cou itu bersama istrinya berkata kepadanya dengan suara mengandung permohonan.

"Lihiap, kami mengharap dengan sangat sukalah lihiap tinggal bersama kami, tidak saja untuk melanjutkan latihan ilmu golok kepada kami, akan tetapi terutama sekali untuk menakuti orang-orang Ouigour. Kalau tiada lihiap di sini kami pasti akan diserangnya lagi dan sekali ini mereka tentu akan membuat pembalasan hebat. Bagaimana kami dapat melawan mereka kalau sampai tentara Han membantu mereka?"

Eng Eng berpikir bahwa kekuatiran ini beralasan juga. “Biarkan mereka datang, saudara Piloko, akan kubasmi mereka semua, kalau mereka berani datang mengganggu lagi. Baiklah aku akan tinggal untuk sementara di sini, akan tetapi sesungguhnya aku mempunyai tugas amat penting yakni mencari seorang musuh besarku. Kalau aku tinggal di sini, berarti hal itu kutunda-tunda. Maka tolonglah menyuruh beberapa orangmu untuk membantuku dan mewakili aku menyelidiki di mana adanya orang yang kucari-cari itu."

ia lalu memberi keterangan tentang Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang-coa-kiam, dan memberi gambaran pula tentang bentuk muka dan tubuh pemuda musuh besarnya itu. Piloko dengan girang lalu menyanggupi, bahkan segera memilih kawan-kawannya yang pandai sebanyak lima orang untuk disuruh menyelidiki di mana adanya Sim Tiong Kiat itu.

Eng Eng tinggal serumah dengan Piloko dan Yamani dan hubungannya dengan nyonya rumah ini makin erat saja seperti enci adik atau bahkan seperti ibu dan anak. Dari Yamani Eng Eng mempelajari banyak sekali kepandaian bahasa Cou, kerajinan tangan dan juga menerima nasihat-nasihat tentang kehidupan dari nyonya yang sudah banyak pengalaman hidup ini.

Tepat seperti yang dikuatirkan oleh Piloko, dua pekan kemudian datanglah serbuan yang sangat besar-besaran dari pasukan Ouigour yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan dan Ang Hwa!

Ketika itu Eng Eng dan Piloko yang ditemani oleh Yamani sedang duduk di belakang rumah menyaksikan latihan ilmu golok yang dilakukan oleh belasan orang pemimpin pasukan. Tiba-tiba seorang penjaga dengan napas terengah-engah datang melaporkan.

"Dari balik bukit di timur datang pasukan Ouigour yang jumlahnya kurang lebih dua ratus orang, dikepalai sendiri oleh Huayen khan dan seorang wanita muda yang cantik berpakaian merah."

"Ang Hwa si perempuan lacur !" kata Piloko dan Yamani hampir berbareng dengan muka kaget.

"Siapkan barisan, perkuat penjagaan di empat pintu gerbang dan sisa barisan semua bersiap di pintu timur!"

Piloko memberi perintah kepada para pembantunya yang sedang berlatih golok itu. Pemimpin-pemimpin pasukan itu cepat pergi untuk mengatur pasukan masing-masing dan Piloko lalu berkata kepada Eng Eng!

"Nah, Suma-lihiap sekaranglah saatnya kami mohon bantuanmu karena tanpa bantuanmu kami semua pasti akan celaka ditangan Huayen khan dan Ang Hwa. Selain jumlahnya pasukan mereka lebih besar, juga Huayen khan dan Ang Hwa amat lihai."

Akan tetapi dengan tenang Eng Eng lalu mengajak kepala suku bangsa Cou itu dan istrinya untuk segera keluar dan ikut menjaga di pintu gerbang sebelah timur.

"Siapakah orang yang kau sebut Ang Hwa itu?” tanyanya ketika mereka telah tiba di tempat yang dituju di mana para perajurit Cou telah siap sedia dengan golok di tangan.

"Ang Hwa adalah puteri seorang ahli silat Kun Iun pai yang telah menjadi isteri dari Huayen-khan. Mungkin kepandaiannya tidak kalah oleh Huayen khan, terutama sekali pedangnya yang amat ganas." Jawab Piloko.

Mendengar ini, Eng Eng menjadi tertarik sekali. Ingin ia menyaksikan sampai di mana kelihaian Huayen khan, terutama orang yang bernama Ang Hwa itu. Sambil menanti kedatangan tentara musuh, Eng Eng mendengar keterangan Piloko tentang kejahatan dan kecabulan Ang Hwa yang biarpun sudah menjadi istri Huayen khan, namun masih suka bermain gila dengan laki laki lain setahu suaminya!

Tentu saja Eng Eng menjadi sebal mendengar ini dan timbullah rasa benci dalam hatinya terhadap Ang Hwa yang dianggapnya tidak tahu malu. Sebelum kelihatan barisan Ouigour itu, sudah nampak debu mengebul dan suara sorakan mereka, Eng Eng berpesan kepada Piloko.

"Jangan bergerak dulu. lihat apa yang hendak mereka lakukan. Kalau memang betul Huayen khan dan Ang Hwa berniat buruk, biar aku merobohkan mereka dulu agar semangat barisannya menjadi patah."

Piloko menurut dan memberi perintah kepada para pembantunya, akan tetapi di dalam hatinya diam-diam ia merasa ragu-ragu apakah mungkin Eng Eng dapat merobohkan Huayen-khan dan Ang Hwa seorang diri saja. Ia telah maklum bahwa ilmu kepandaian Huayen khan sendiri jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya, apa lagi Ang Hwa yang disohorkan orang amat ganas dan kejam itu. Biarpun ia telah menyaksikan kelihaian Eng Eng, namun sukarlah dapat dipercaya adanya seorang gadis yang dapat menghadapi Huayen-khan dan Ang Hwa!

Tak lama kemudian dari sebuah tikungan di luar dusun, nampaklah barisan Ouigour itu muncul dengan segala kegagahan. Huayen-khan sendiri naik kuda abu-abu disamping kuda putih yang dinaiki Ang Hwa dan kedua orang ini nampak gagah dan keren. Melihat dua orang musuh besar ini, Piloko merasa marah dan juga gentar. Telah berkali-kali ia merasai kelihaian Huayen khan, biarpun ia mengeroyok orang ini, selalu ia menderita kekalahan.

Sementara itu, Huayen-khan memandang kepada Piloko dengan muka merah dan menudingkan golok besarnya sambil berkata,

"Piloko, manusia tak tahu malu! Apakah kau telah bosan hidup maka kau telah berani sekali berlaku curang dan menyerang pasukanku selagi aku tidak ada? Ketika kami merampas kampungmu, kami masih berlaku murah tidak membunuhmu. Akan tetapi kau melepaskan kesempatan dan kekuatan tentara yang lebih besar jumlahnya untuk menyerang kembali kampungmu. Sungguh hal ini aku tak dapat membiarkan saja dan hari ini aku harus dapat memenggal lehermu dengan golokku."

Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou yang kaku. Eng Eng yang sudah mempelajari bahasa ini, dapat mengerti maksudnya, maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi tetap waspada.

“Huayen khan, bisa saja kau memutar balikkan duduknya perkara. Sudah kau katakan juga bahwa kau telah merampas kampungku mau bicara apa lagi? Kau telah mengaku dan memperdengarkan kejahatanmu sendiri. Kau selalu menindas dan memusuhi bangsaku yang lebih kecil jumlahnya, sedangkan seekor semutpun kalau diinjak-injak sarangnya akan mengamuk dan melawan seekor gajah, apalagi pula seorang manusia? Kami merampas kembali kampung kami sendiri, dipandang dari sudut keadilan siapapun juga, ini sudah menjadi hak kami dan kau boleh mengatakan apa juga, namun tetap kampung ini adalah tempat tinggal kami."

Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek. Ternyata yang tertawa adalah wanita cantik yang berkuda putih di samping Huayen-khan, yakni Ang Hwa.

"He he he, sekarang Piloko berani membuka mulut besar, agaknya burung walet yang sudah habis bulunya itu kini telah tumbuh sayap.”

"Ha, ha, ha !!" Huayen-khan tertawa bergelak mendengar ejekan isterinya ini. "Kau betul sekali, manis. Biar aku putuskan lagi sayapnya yang baru tumbuh itu. Ha ha ha!"

Sambil berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sebatang anak panah telah terlepas dari busurnya, menyambar Piloko. Memang Huayen khan adalah seorang ahli main panah. Akan tetapi piloko yang mendapat julukan Yan ong (Raja WaIet) memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi.

Begitu melihat berkelebatnya anak panah yang menyambar, lebih dulu ia telah dapat melompat ke kiri. Anak panah itu lewat di samping tubuhnya dan menancap ke atas tanah sampai ke gagangnya. Akan tetapi, dengan amat cepatnya, tiga batang anak panah menyambar lagi, kini ketiga bagian tubuh Piloko!

"Manusia curang!” tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh yang amat langsing dan tahu-tahu tiga batang anak panah itu telah kena ditendang runtuh oleh Eng Eng yang tahu-tahu telah berdiri di depan Piloko dan menghadapi Huayen khan dengan mata bersinar marah.

“Ha, ha, ha, pantas saja Piloko berani berlagak, tidak tahunya ia telah mempunyai seorang selir yang cantik dan gagah perkasa. Eh, kau nona yang cantik dan gagah, mengapa kau begitu merendahkan diri ikut pada Piloko yang miskin?"

Bukan main marahnya hati Eng Eng mendengar hinaan ini. Akan tetapi ia teringat akan penuturan PiIoko tentang Huayen-khan dan istrinya yang ternyata masih muda, cantik yang jelas berasal dari selatan itu, maka katanya dalam bahasa Han sambil tersenyum mengejek.

"Huayen khan, aku adalah seorang gadis kang ouw pembasmi orang-orang jahat seperti kau mana bisa dibandingkan dengan isterimu? Agaknya kau selalu memandang rendah kepada setiap orang wanita, karena mengingat akan istrimu sendiri yang kau biarkan bermain dengan laki laki lain!"

Biarpun omongan yang dikeluarkan oleh Eng Eng ini disertai senyum simpul, akan tetapi tajamnya melebihi ujung pedang yang menikam dada Huayen khan dan Ang Hwa. Dua orang ini belum pernah dihina orang seperti ini, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Huayen khan saking marahnya tidak dapat berkata sesuatu, hanya kedua tangannya saja yang bergerak secepat kilat dan lima batang anak panah melayang ke arah tubuh Eng Eng!

Gadis ini memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan sekali. Bagi orang lain, anak-anak panah itu datangnya amat cepat dan sukar sekali diikuti oleh pandangan mata sehingga amat sukar dilihat. Akan tetapi bagi Eng Eng, ia dapat melihat jelas datangnya anak panah ini. Dua batang melayang agak rendah, mengarah perut dari kanan kiri. Dua lagi mengarah dada dari kanan kiri dan sebatang lagi menuju ke arah kepalanya!.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12