Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 09
Eng Eng
menengok dan memandang kepada panglima yang baru datang. la melihat seorang
laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, berpakaian indah dan gagah sekali,
keningnya lebar, matanya tajam dan goloknya yang dipegangnya besar dan nampak
berat sekali, ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah komandan dari pasukan
kerajaan, maka sebagai seorang gadis yang telah tahu akan artinya perbuatan
yang melawan alat pemerintah, ia tidak mau menyerang panglima itu. Ia tahu
bahwa ia dapat dianggap sebagai seorang pemberontak yang berdosa besar, maka
sebelum ia menyerang, ia hendak melihat dulu bagaimana sikapnya panglima ini.
"Aku
bukan melawan tentara pemerintah, akan tetapi membela diri. Kalau anak buahmu
maju hendak menggangguku, apakah aku harus berdiam diri saja tidak melawan?
Lima orang anak buahmu dalam keadaan mabok telah menggangguku di jalan, dan aku
hanya memberi hadiah tendangan perlahan saja kepada mereka. Akan tetapi semua
orang-orangmu secara tak tahu malu sekali lalu maju mengeroyokku. Siapa mau
dipegang oleh tangan-tangan mereka yang kotor dan bau? Aku melawan dan akhirnya
terjadi pertempuran ini. Nah, kau boleh pikir sendiri, siapa yang salah?"
Oei ciangkun
tertegun. Belum pernah ia melihat seorang gadis sehebat ini! Bahkan kekasihnya
yang dulu, yakni pemimpin Pek lian-kauw yang cantik bagaikan dewi kahyangan
itu, kalau dibandingkan dengan nona ini, masih belum dapat dikata melebihi!
'Nona, betapapun juga, kau telah merobohkan banyak anggautaku dan kau telah
melakukan perlawanan. Tahukah kau bahwa untuk dosa ini saja kau dapat dijatuhi
hukuman mati ? Lebih baik kau menyerah dan mari ikut dengan kami ke benteng untuk
diperiksa perkaranya lebih lanjut."
"Kau
ini siapakah maka berani memerintah kepadaku? Kalau kau menginsafi kesalahan
anak buahmu, seharusnya kau yang minta maaf kepadaku, baru aku mau menghabiskan
perkara sampai di sini saja."
"Nona,
kau sombong sekali. Kau berhadapan dengan seorang panglima kerajaan, dan untuk
kebaikanmu sendiri, kau harus tunduk kepadaku."
Eng Eng yang
berwatak keras itu makin marah. "Panglima kerajaan? Jangankan baru itu,
biar kau menjadi panglima langit sekalipun, aku takkan mau tunduk begitu saja
kalau aku tidak bersalah. Mengerti?”
"Bagus,
hendak kulihat sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersombong di
depanku?"
Oei Sun yang
segera menggerakkan golok besarnya, melakukan serangan ancaman kepada Eng Eng.
Gadis ini dengan sengaja lalu menyambut datangnya golok ini dengan pedangnya.
Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar ke atas. Akan tetapi
keduanya menjadi terkejut. Oei Sun terkejut karena biarpun ia telah menggunakan
seluruh tenaganya yang besar namun tidak nampak gadis itu terpengaruh bahkan ia
merasa tangannya tergetar. Sebaliknya Eng Eng terkejut karena melihat betapa
golok itu tidak menjadi rusak oleh bacokan pedang merahnya.
Karena
maklum atas ketangguhan lawan masing-masing, keduanya lalu maju dan terjadilah
pertempuran yang hebat sekali, Oei Sun bertenaga besar sedangkan goloknya yang
besar itu berat sekali, maka gerakannya menimbulkan angin yang bersuitan.
Goloknya
diputar dan menyambar antep membuat pakaian Eng Eng berkibar karena angin
sambarannya. Akan tetapi gadis itu bagaikan seekor burung walet lincahnya,
bergerak demikian cepat sehingga ia nampak seperti beterbangan diantara
sambaran golok. Bahkan pembalasan yang dilakukan oleh serangan pedang Eng Eng,
sebentar saja membuat Oei San menjadi sibuk sekali.
Belum juga
tiga puluh jurus mereka bertempur, Oei Sun sudah menjadi kewalahan terdesak
hebat dan hanya dapat menangkis dan melindungi tubuhnya dengan putaran
goloknya. Sesungguhnya, kalau Eng Eng mau gadis ini pasti akan dapat merobohkan
Oei Sun. Akan tetapi selama perantauannya di dunia kang.ouw, gadis ini telah
mendapat banyak pengalaman dan telah mendengar banyak urusan, sehingga ia
maklum bahwa sekali-kali ia tidak boleh melukai atau menewaskan seorang
panglima kerajaan.
Kalau para
anggauta tentara yang menonton pertempuran itu tidak mengerti bahwa gadis yang
lihai itu telah mengalah dan tidak mau mendesak lawannya, adalah Go bi
Ngo-koai-tung yang merasa terkejut sekali. Mereka ini cukup maklum akan
kelihaian Oei Sun, akan tetapi sekarang menghadapi gadis pedang merah ini
ternyata sahabat mereka ini kalah jauh.
Thian it
Tosu, yang tertua di antara mereka dan yang selalu menjadi pemimpin, tiba-tiba
mendapat pikiran yang amat baik. la mendekati adik-adiknya dan membisikkan sesuatu.
"Dia
Iihai sekali, alangkah baiknya kalau dapat membantu kita." Setelah berkata
demikian, ia dan keempat orang adiknya lalu melompat ke medan pertempuran
sambil berkata,
"Lihiap
(nona gagah) harap suka melihat muka kami dan hentikanlah pertempuran ini. Kami
adalah Go-bi Ngo-koai tung, dan Oei-ciangkun ini adalah sahabat baik
kami." sambil berkata demikian Thian it Tosu lalu mengebutkan lengan
bajunya sebelah kiri untuk menangkis pedang merah Eng Eng.
Ketika ujung
lengan baju itu mengenai ujung pedang, Eng Eng merasa tangannya tergetar, maka
tahulah ia bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi, di
dalam kepala gadis ini tidak ada kata-kata takut, maka ia lalu menjawab,
"Aku
yang muda dan bodoh tidak kenal dengan Go-bi Ngo koai tung sungguhpun aku
mendengar nama mereka yang besar. Soalnya bukan kenal atau tidak, akan tetapi
dalam pertempuran ini soalnya adalah salah dan benar. Aku tidak merasa
bersalah, dan kalau ciangkun ini mau menghabiskan urusan sampai di sini,
minggirlah dan biarkan kupergi."
"Tidak
bisa begtu mudah, lihiap.” kata pula Thian It Tosu, "Siapapun juga yang
salah, kau telah melakukan perlawanan terhadap tentara negeri, ini sudah
menjadi satu dosa yang besar sekali. Kalau kau suka ikut ke benteng, biarlah
kami berlima yang akan membujuk kepada sahabat kami Oei ciangkun untuk
memaafkanmu."
"Aku
tidak mengemis maaf!" teriak Eng Eng marah karena kini jelaslah baginya
bahwa lima orang tosu ini terang-terangan berpihak pada Oei ciangkun," Di
dalam kebenaran, aku tidak takut kepada siapapun juga!"
"Ngowi
totiang, tolong dan bantulah aku menangkap gadis liar ini!" seru Oei Sun
dengan marah dan ia lalu menggerakkan goloknya lagi.
Eng Eng
menangkis dan kini gadis inipun menjadi marah sekali. Kalau tadi Eng Eng hanya
ingin mempermainkan saja kepada lawannya ini, sekarang ia membalas dengan
serangan maut yang amat berbahaya.
Oei Sun
terkejut sekali dan agaknya ia takkan dapat menangkis atau mengelak lagi, akan
tetapi tiba-tiba meluncur dua buah tongkat bambu yang menangkis pedang Eng Eng.
Gadis ini
melompat mundur dan segera memutar pedangnya menghadapi keroyokan Oei Sun dan
Go bi Ngo-koai tung itu. Ternyata bahwa nama besar Go-bi Ngo koai-tung bukanlah
nama kosong belaka. Ilmu tongkat mereka luar biasa sekali gerakannya dan
tongkat bambu di tangan mereka merupakan senjata penotok yang amat hebat. Kalau
hanya menghadapi mereka seorang, agaknya Eng Eng masih akan dapat menandingi
mereka, akan tetapi kini ia menghadapi lima orang sekaligus, masih ditambah
pula oleh Oei Sun yang kepandaiannyapun tidak rendah. Maka Eng Eng menjadi
terdesak hebat.
Sungguhpun
ia menggigit bibir dan melakukan perlawanan sekuat tenaga, namun dalam jurus ke
tiga puluh, tiba-tiba pedangnya terjepit oleh empat batang tongkat dan tongkat
kelima menyambar tangan kanannya! Terpaksa untuk menolong tangannya, Eng Eng
melepaskan pedang itu yang segera dirampas oleh Thian It Tosu! Gadis ini
terkurung di tengah-tengah dan tidak bersenjata lagi.
"Bagaimana,
lihiap, apakah kau tidak mau ikut kami ke benteng untuk bicara secara
baik?" tanya Thian it Tosu.
Eng Eng
bukanlah orang bodoh yang menurutkan nafsu hati atau kemarahan. la tahu
sepenuhnya bahwa kalau ia melawan terus dengan tangan kosong, ia akan mati konyol.
Tentu saja
ia tidak mau hal ini terjadi. Ia ingin melihat perkembangan selanjutnya dan
baru berlaku nekad kalau sudah tidak ada jalan keluar lagi. Pula, mereka ini
agaknya tidak berniat buruk terhadap dirinya. Maka ia lalu menganggukkan kepala
dan demikianlah, mereka semua lalu menuju ke dalam benteng. Oei Sun minta
kepada Eng Eng untuk berangkat lebih dulu. diiringi oleh semua perwira dan
pasukannya, dengan alasan bahwa ia dan Go-bi Ngo koai tung mempunyai urusan di
kota Hong-bun.
Padahal
sebenarnya ia dan kelima kawannya hendak mencari keterangan di kota itu tentang
diri Eng Eng, kuatir kalau-kalau nona gagah itu mempunyai kawan-kawan yang
lain. Akan tetapi ketika mereka mendapat kepastian bahwa nona itu tidak
mempunyai kawan lain, mereka lalu cepat kembali ke benteng. Dan tanpa mereka
ketahui, dalam perjalanan ke benteng inilah Tiong Kiat melihat lalu mengikuti
mereka dengan sembunyi.
Akan tetapi,
Oei Sun dan lima orang tosu itu kecewa hatinya, mereka ternyata tak berhasil
membujuk Eng Eng. Gadis ini tetap tidak mau menurut, dan tidak mau membantu
mereka.
"Aku
adalah seorang perantau, untuk apa aku ikut-ikut dengan urusan ketentaraan? Aku
tidak sudi membantu pekerjaan orang lain, apalagi pekerjaan dalam ketentaraan
yang tidak kumengerti sama sekali."
“Nona Suma
" kata Oei Sun, "kuharap kau suka berlaku bijaksana dalam hal ini.
Kau tahu bahwa kami telah berlaku murah kepadamu dan kami takkan melanjutkan
urusan kesalahanmu yang telah melawan dan melukai anggauta ketentaraan kami dan
sebagai gantinya, kami hanya ingin kau tinggal di sini dan membantu apabila
kami mengadakan pertempuran melawan musuh-musuh kami. Kau tak perlu ikut
memikirkan persoalannya, hanya kami kekurangan tenaga yang cukup untuk
menghadapi musuh. Percayalah bahwa kami hendak berjuang untuk maksud yang suci
buktinya kelima orang pendeta inipun telah membantu kami ! Tinggal kau pilih
saja membantu kami dan terbebas dari tuntutan kami atas kesalahanmu tadi!"
“Sesukamulah,
akupun hanya mengajukan dua buah usul. Melepaskan aku pergi atau membunuhku,
terserah!" jawab Eng Eng dengan berani.
Untuk
beberapa lama keenam orang itu saling pandang dengan putus asa. Kemudian Thian
It Tosu berbangkit dari tempat duduknya dan tersenyum.
"Suma
lihiap, pinto (aku) kagum sekali melihat keberanianmu. Biarlah, kalau kau tidak
mau membantu, kami akan melepaskanmu. Terimalah pedangmu kembali. Hanya saja,
pinto percaya penuh bahwa kelak apabila kau melihat kami membutuhkan bantuan,
pasti kau akan membantu tanpa diminta lagi seperti watak seorang gagah."
Eng Eng
terheran-heran dan juga terharu. Ia menerima pedang itu, dililitkan pada
pinggangnya karena pedang merah ini amat tipis dan dapat digulung.
“Totiang,
ucapanmu ini lebih jujur dan gagah. Tentang bantuan itu tentu saja tak usah
dikatakan lagi. Aku bukanlah seorang yang tidak ingat akan kebaikan orang.
Hanya aku tidak mau terikat di tempat ini, karena aku suka bebas seperti burung
di udara,"
Setelah
berkata demikian, Eng Eng lalu menjura dan bertindak keluar dengan tindakan
gagah, tanpa memperdulikan wajah Oei ciangkun yang nampak kecewa dan muram.
Panglima ini memang kalah pengaruh dengan Thian it Tosu dan ia maklum bahwa
tindakan Thian it Tosu itu mengandung sesuatu maksud tersembunyi.
Tiba-tiba
masuk seorang penjaga yang melaporkan bahwa dua orang penjaga ditemukan dalam
keadaan tertotok di kandang kuda. Oei ciangkun dan kelima orang tosu itu
terkejut sekali. Akan tetapi sebelum mereka keluar dari ruangan itu, tiba-tiba
terdengar suara orang dan atas,
"Maafkan
siauwte yang berlaku lancang, datang tanpa diundang!” Dan melayanglah tubuh
Tiong Kiat bagaikan seekor burung ke dalam ruangan itu. la menjura kepada
Oei-ciangkun dan Go-bi Ngo-koai-tung, lalu berkata,
"Siauwte
Sim Tiong Kiat dari Kim-liong-pai telah mendengar tentang penawaran yang ditolak
oleh nona Suma tadi. Kalau ciangkun percaya kepadaku berilah kesempatan
kepadaku untuk berbakti kepada negara!”
Oei Sun
masih memandang penuh curiga akan tetapi kelima Gobi Ngo koai tung itu dengan
girang lalu menjura kepada Tiong Kiat. "Ah, tidak tahunya Sim-taihiap yang
datang. Duduklah...!"
Memang Tiong
Kiat ingin sekali menebus semua dosa-dosanya dengan menjadi seorang perajurit
yang berbakti kepada negara. Selain ini ia tadi telah melihat Eng Eng dan
biarpun ia merasa rindu sekali kepada gadis ini, namun ia maklum bahwa Eng Eng
amat benci kepadanya dan apabila bertemu, pasti akan berusaha untuk
membunuhnya.
Tadi ia
melihat betapa Eng Eng tidak sanggup melawan Gobi Ngo koai tung, buktinya gadis
itu tertawan dan pedangnya terampas, maka kalau ia dapat bersahabat dengan
orang-orang gagah ini, tidak saja ia akan terlindung dari pada pembalasan Eng
Eng, bahkan ia juga akan terlindung dari pada kejaran orang-orang Kun-Iun-pai,
dari kejaran Tiong Han dan juga suhunya.
Kalau ia
sudah dapat menjadi seorang panglima perang kerajaan, siapakah yang berani
mengganggunya? Pula, tadi Eng Eng sudah berjanji hendak membantu Oei ciangkun
dan kelima Gobi Ngo-koai-tung, maka kalau ia berada disitu, bukanlah banyak
harapan kelak Eng Eng akan bertemu dengannya dalam keadaan bersahabat?
Sementara
itu, Go-bi Ngo koai tung sudah mendengar tentang pemuda ini karena sebagai
orang-orang kang-ouw, mereka mendengar juga peristiwa yang terjadi pada
Kim-liong-pai. Orang-orang yang 'nyeleweng' akan tetapi berkepandaian tinggi
macam Tiong Kiat inilah yang mereka butuhkan! Mereka membutuhkan orang macam
ini karena memang sebetulnya Oei ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung ini
merencanakan sebuah pemberontakan!
Sebagaimana
telah disebutkan di depan Oei ciangkun yang bernama Oei Sun adalah seorang
penganut agama Pek lian-kauw yang dahulu ketika perkumpulan agama ini belum
dibasmi oleh pemerintah, Oei Sun telah menjadi kekasih pemimpin Pek-lian-kauw
yang cantik dan genit. Adapun Go bi Ngo koai-tung yang kini membantunya juga
dahulunya merupakan pendeta-pendeta Pek-lian-kauw yang berpengaruh.
Kelima orang
pendeta ini sekarang telah mendapat nama besar sebagai pendeta-pendeta
berkepandaian tinggi yang bertapa di Pegunungan Go bi-san, maka tak seorangpun
dapat menduga bahwa mereka ini adaIah bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw yang
berbahaya. Siapa pula yang dapat menyangka bahwa Oei Sun, panglima tentara
kerajaan yang amat gagah dan sudah banyak jasanya itu sebetulnya adalah
penganut agama Pek-lian kauw yang jahat?
Oei Sun
bersama kelima orang kawannya, yakni Go bi Ngo koai-tung, diam-diam
merencanakan pemberontakan terhadap kaisar sebagai pembalasan atas pembasmian
Pek lian kauw, juga dengan tujuan terutama membangun kembali agama Pek lian
kauw. Tentu saja mereka tidak berani berterang membangun kembali Pek lian kauw.
Rencana mereka amat besar.
Karena
kebetulan sekali Oei-ciangkun mendapat tugas menjaga di tapal batas utara dan
mengepalai sepuluh ribu orang tentara, maka diam-diam Oei Sun mengadakan
hubungan dengan Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang hendak memberontak itu.
Di samping hubungan rahasia ini Oei Sun juga melakukan siasat yang amat cerdik.
Ia bersekongkol dengan Huayen-khan yang menyuruh orang-orangnya mengadakan
kekacauan di sana sini, yang kemudian ditindas oleh Oei Sun dengan amat mudah.
Hal ini lalu
dibesar-besarkan, dijadikan berita hebat dan ia membuat laporan-laporan ke kota
raja bahwa orang-orang jahat dan Mongol tengah mengadakan kekacauan akan tetapi
telah dapat dibasminya. Dan untuk memperkuat pertahanan, Oei Sun mengajukan
permohonan untuk minta tambah barisan dan ransum dan juga uang untuk
biaya-biaya barisan.
Tentu saja
karena ia telah berjasa membasmi pengacau-pengacau yang sesungguhnya pengacau
palsu dan buatan Oei Sun bersama Huayen khan, kaisar di kota raja merasa amat
suka kepadanya dan percaya penuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, barisan di
bawah pengawasan Oei Sun sudah meningkat sampai seratus ribu orang!
Diam-diam
Oei Sun dan Go-bi Ngo koai-tung lalu mengumpulkan dan memanggil bekas anggaota
Pek Iian-kauw yang sudah tersebar dan kocar-kacir. Mereka ini rata-rata
memiliki kepandaian yang lumayan juga. Oei Sun lalu mengangkat orang-orang
Pek-lian kauw yang jumlahnya empat puluh orang lebih ini menjadi
perwira-perwira pembantunya dan bekerja di dalam barisannya sebagai
pemimpin-pemimpin!
Di samping
itu, juga Oei Sun dan lima orang pendeta-pendeta itu mencari-cari kawan,
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi di kalangan Iiok-lim. tentu saja
mereka memilih orang-orang yang mengambil jalan hek to (jalan hitam, yakni
penjahat-penjahat). Orang-orang inipun diangkat menjadi kepala-kepala barisan,
diberi pangkat sesuai dengan kepandaian mereka.
Sim Tiong
Kiat telah kena tertipu oleh keadaan di dalam benteng itu, oleh sikap Oei Sun
yang ramah-tamah dan oleh kelima orang pendeta yang semuanya memperlihatkan
sikap seolah-olah mereka ini adalah orang-orang gagah pembela negara!
Hati pemuda
ini merasa girang sekali, karena ia ingin menunjukkan kepada orang-orang
terutama kepada Eng Eng kedua kalinya kepada kakaknya, kepada semua orang,
kepada dunia, bahwa dirinya adalah seorang patriot sejati. Bahwa Sim Tiong Kiat
pada hakekatnya adalah seorang gagah yang patut dihormati.
Apalagi
setelah Oei Sun mencoba kepandaiannya, dicobanya sendiri, kemudian bahkan
dicoba pula oleh Thian It Tosu, orang pertama dari Go bi Ngo.koai tung, dan
berakhir dengan kemenangan Tiong Kiat dengan ilmu pedangnya Ang coa kiamsut
yang luar biasa, Tiong Kiat lalu dipeluk dengan penuh rasa bangga oleh Oei Sun.
"Saudara
Sim yang gagah, sungguh aku merasa seakan-akan kejatuhan bulan purnama dapat
bertemu dengan kau! Kaulah yang akan merupakan bantuan terutama ke arah
tercapainya cita-cita kita bersama."
"Cita-cita?
Cita cita apakah, Oei ciang-kun?" Tanya Sim Tiong Kiat tak mengerti.
Oei Sun
menjadi merah mukanya. Ia merasa telah terlanjur bicaranya, akan tetapi Thian
lt Tosu yang amat cerdik segera menolongnya.
"Tentu
saja cita-cita kita untuk membersihkan negara dari para pengacau dari utara dan
memenangkan semua pertempuran!”
"Setuju,
setuju!” empat orang pendeta yang lain berseru girang dan pelayan lalu
dipanggil untuk menambah arak dan daging.
Oei Sun
mengerti akan maksud suhengnya itu. Memang mereka sudah mendengar tentang
Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat, murid dari Kim-liong-pai yang tersesat dan
melakukan perbuatan jahat sebagai jai hwa-cat dan pencuri. Akan tetapi mereka
belum yakin benar apakah pemuda ini mau diajak untuk memberontak terhadap
pemerintah kaisar.
"Saudara
Sim, apakah kau tidak ada keinginan untuk menjadi seorang perwira? Kepandaianmu
cukup hebat dan kau cukup patut untuk menjadi seorang panglima yang lebih
tinggi pangkatnya dari padaku sendiri."
Mendengar
kata-kata Oei Sun ini merahlah wajah Tiong Kiat, bukan hanya karena jengah,
akan tetapi terutama sekali karena bangga dan senang.
"Ah,
Oei ciangkun, mana orang seperti aku dapat menjadi panglima? Aku hanya mengerti
sedikit ilmu silat kasar mana aku dapat memimpin pasukan? Aku dapat diterima
membantu di sini saja sudah cukup menyenangkan hatiku."
"Ah, kau
terlampau merendahkan dirimu sendiri, saudara Sim. Apakah susahnya ilmu
peperangan? Kalan kau mau memberi petunjuk kepadaku tentang ilmu pedang, apa
susahnya mempelajari ilmu peperangan diriku? Bukankah baik sekali kita saling
menukar ilmu kepandaian kita, saudara Sim?"
"Bagus
sekali, kalau Oei ciangkun sudi memimpin aku yang bodoh, aku Sim Tiong Kiat
akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk membantu."
"Baik,
Sim ciangkun! Sekarang juga kau menjadi perwira pembantuku !” Berdebar hati
Tiong Kiat mendengar ini, apa lagi ketika panglima itu menyuruh seorang
perajurit mengambilkan seperangkat pakaian perwira yang indah untuknya. Ah, dia
telah menjadi perwira, telah disebut Sim ciangkun oleh panglima itu sendiri!
Bukan main senangnya hati pemuda yang masih hijau ini.
Setelah
mengenakan pakaian perwira, Sim Tiong Kiat benar-benar nampak gagah dan tampan
sekali. Oei Sun lalu memperkenalkan perwira baru ini kepada semua perajurit
yang disuruhnya berbaris. Kemudian ia menjamu perwira baru ini dengan segala
kemewahan, di mana Tiong kiat sempat berkenalan dengan banyak perwira yang
gagah perkasa. Tadinya ia merasa amat heran bertemu dengan orang-orang kang-ouw
yang telah menjadi perwira akan tetapi setelah mendengar bahwa orang orang
gagah ini sengaja datang membantu Oei Sun untuk mengusir pengacau, hatinya
menjadi makin girang.
Demikianlah,
semenjak hari itu, Tiong Kiat berdiam di dalam benteng, menjadi seorang perwira
yang paling disayang oleh Oei ciangkun, menjadi seorang di antara
pemberontak-pemberontak itu, atau lebih tepat lagi, calon-calon pemberontak.
Melihat betapa sikap Tiong Kiat amat patriotis dan kata-katanya menunjukkan
betapa bersemangat adanya pemuda ini Oei Sun dan kawan-kawannya belum berani
berterus terang kepada Tiong Kiat.
"Oei-ciangkun,"
kata tiong Kiat dengan suara bersungguh-sungguh kepada Oei Sun, "aku
mempunyai suatu rahasia yang amat penting. Tadinya aku berniat untuk membuka
rahasia ini dihadapan kaisar, akan tetapi oleh karena sekarang aku menjadi
perwira di benteng ini dan kau adalah komandanku, hal ini lebih baik
kuberitahukan kepadamu saja.”
"Rahasia
apakah itu, Sim ciangkun?" tanya Oei Sun memandang tajam.
"Ketahuilah
Oei ciangkun, bahwa sebetulnya Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang
berpura-pura baik dengan Hong-sian (kaisar) sebenarnya mempunyai rencana jahat
dan bersiap-siap hendak menyerbu ke selatan!”
Oei ciangkun
nampak terkejut. Tentu saja Tiong Kiat tidak pernah menyangka bahwa kekagetan
panglima ini bukan karena mendengar berita itu, melainkan karena tak dikiranya
Tiong Kiat sudah mengetahui akan hal ini! Akan tetapi Oei ciangkun juga bukan
seorang yang bodoh. Ia dapat menetapkan hatinya dan bersikap seakan-akan berita
ini bukan hal yang amat berat.
"Bagaimana
kau bisa tahu, Sim ciangkun? Hal seperti ini memerlukan ketelitian, tidak boleh
menuduh secara sembrono saja. Apakah kau mempunyai bukti-buktinya?"
"Tentu
saja, Oei ciangkun."
Dan Sim
Tiong Kiat lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong Huayen khan dari
keroyokan Piloko, kepala suku bangsa Cou dan anak buahnya hingga ia dibawa ke
perkemahan Huayen-khan dan dapat mengetahui rahasia itu karena pengakuan Ang
Hwa dan Huayen khan sendiri. Oei ciangkun mengangguk-angguk.
Tentu saja
ia telah mengerti akan hal ini semua, bahkan ia sendiripun terhitung seorang
diantara mereka yang pernah menerima 'kebaikan hati' Huayen-khan untuk dilayani
oleh Ang Hwa, istri kepala suku bangsa Ouigour itu! Akan tetapi Oei ciangkun
memang cerdik, apa lagi setelah ia berkumpul dengan lima orang suhengnya, ia
mendapat tambahan pengalaman dan akal.
"Sim
ciangkun, sesungguhnya kami semua di sini telah mengetahui akan hal ini. Tadi
aku berpura-pura tidak tahu untuk mencobamu saja. Ternyata kau seorang
laki-laki sejati. Akan tetapi, sayang sekali kau belum tahu tentang
siasat-siasat peperangan, maka kau berlaku keras. Sungguhpun aku telah
mengetahui rahasia Huayen-khan itu, akan tetapi aku bahkan mendekatinya dan
memperlakukannya dengan baik dan manis, sesuai dengan sikap kaisar kita
pula."
Tiong Kiat
mengerutkan keningnya. "Mengapa begitu Oei-ciangkun?"
Panglima she
Oei itu tertawa bergelak. "Sim ciangkun, karena kau baru kuberi pelajaran
ilmu perang bagian mengatur barisan, dan tata tertib barisan, belum sampai
kepada siasat-siasat peperangan, maka tentu saja kau belum dapat mengerti
tentang siasat perang yang kami jalankan. Ketahuilah bahwa dalam ilmu perang,
siasat yang dilakukan oleh Huayen-khan adalah siasat 'Bertopeng Kulit Domba',
yakni pada luarnya ia kelihatan lunak, akan tetapi disebelah dalamnya
sebetulnya ia amat berbahaya. Akan tetapi untuk menghadapi siasat ini, kitapun
mempergunakan siasat yang hampir sama sifatnya, yakni siasat yang kunamakan
membawa pedang di dalam selimut, yang artinya, pada luarnya kita pura-pura
tidak melihat rencananya dan tidak berjaga-jaga padahal sebetulnya diam-diam
kita sudah siap sedia untuk menumpasnya pada saat srigala itu muncul dari balik
topeng kulit domba, mengertikah kau, Sim ciangkun?"
Tentu saja
Tiong Kiat mengerti baik akal sederhana yang disebut siasat oleh Oei ciangkun
ini, akan tetapi ia belum merasa puas. "Oei ciangkun, mungkin kalau
menghadapi lawan yang besar dan berat, kita perlu menggunakan siasat seperti
itu. Akan tetapi apakah bahayanya Huayen-khan dan anak buahnya? Kalau kau mau,
sekali pukul saja dengan bala tentara kita, mereka akan kocar-kacir dan dapat
dihancurkan bukan?"
"Kau
tidak tahu Sim-ciangkun. Kita tidak menghadapi bangsa Ouigour saja, masih
banyak suku bangsa yang memberontak. Misalnya bangsa Cou yang dipimpin oleh
Pikolo, mereka itupun diam-diam bahkan lebih jahat dari pada bangsa Ouigour.
Kalau ada kesempatan, bangsa Cou inilah yang hendak memberontak lebih dulu.
Akan tetapi, semua ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan bangsa
Monggol yang merupakan bahaya paling besar dari utara, karena bangsa Monggol
mempunyai bala tentara yang amat kuat dan besar jumlahnya. Betapapun juga
adalah suatu kesalahan dan kepicikan besar apabila kita selalu memperhatikan
batu-batu besar di waktu kita berjalan dan mengabaikan batu-batu kecil. Karena
kalau kita berbuat begini, akhirnya kita akan jatuh tersandung oleh batu kecil
yang tidak kita sangka akan menjatuhkan kita! Kalau tidak ada ancaman dari
fihak Mongol yang kuat, kita tak perlu berpayah-payah memperlihatkan muka manis
kepada orang-orang seperti Huayen-khan atau Pikolo. Akan tetapi, pada saat kita
menghadapi lawan berat seperti barisan Mongol, biarpun hanya
rombongan-rombongan kecil seperti orang-orang Ouigour dan Cou, cukup merupakan
kawan yang membesarkan hati."
Kini baru
Tiong Kiat merasa amat kagum mendengar uraian yang amat luas den mendalam ini.
Ia yang masih hijau dalam soal siasat peperangan tentu saja menganggap panglima
she Oei ini benar-benar amat pandai dan luas pengetahuannya.
Semenjak
hari itu ia lebih tekun mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun,
sebaliknya tidak ragu-ragu untuk memberi petunjuk dan pelajaran ilmu silat dan
pedang kepada panglima yang sudah memiliki kepandaian tinggi itu.
***************
Kita
tinggalkan dulu Tiong Kiat yang telah masuk perangkap dan tidak sadar bahwa
sesungguhnya ia bahkan membantu gerakan calon-calon pemberontak Pek-lian-kauw
yang amat berbahaya itu. Marilah kita mengikuti perjalanan Suma Eng atau Eng
Eng yang meninggalkan benteng di mana tadinya ia tertawan oleh Oei Sun dan
Go-bi Ngo-koai tung.
Juga gadis
ini tidak mengira bahwa baru saja ia terlepas dari tangan orang orang
Pek-lian-kauw, dan mengira bahwa Oei Sun benar-benar seorang panglima yang
jujur dan gagah, dan Gobi Ngo koai-tung adalah tokoh-tokoh dari Go-bi-san yang
selain berkepandaian tinggl juga telah berlaku baik kepadanya hingga mau
melepaskannya.
Setelah
melakukan perjalanan beberapa hari, barulah Eng Eng mendengar dari seorang
penduduk dusun bahwa ia telah salah jalan, maka ia lalu mengambil jalan memutar
dan kini menuju ke selatan, untuk pergi ke kota raja dalam usahanya mencari
Tiong Kiat.
Akan tetapi
ketika ia melewati sebuah daerah yang kering dan tandus, di mana tanahnya tidak
subur karena banyak tertutup salju, tiba-tiba ia bertemu dengan serombongan
orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Orang orang ini bersenjata
golok besar dan jumlah rombongan yang merupakan barisan ini tidak kurang dari
delapan puluh orang. Di belakang pasukan ini masih terdapat rombongan Iain yang
lebih besar, yang membawa kereta dan keledai, agaknya keluarga dari rombongan
yang di depan.
"Berhenti!”
seru dua orang yang mengepalai pasukan itu, dua orang yang bertubuh tinggi
besar, bersenjata golok dan mukanya hampir sama. "Nona yang kelihatan
gagah berani melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini, kau tentu
mempunyai hubungan dengan benteng Oei-ciangkun!”
Eng Eng
mengerutkan keningnya, "Kalau ada hubungan bagaimana dan kalau tidak ada
hubungan kalian perduli apa?" tanyanya sambil tersenyum mengejek. Ia
merasa lucu sekali mengapa dua orang laki-laki tinggi besar ini yang selama
hidupnya belum pernah dilihatnya, begitu bertemu telah memperlihatkan sikap
membenci.
"Kawan
Oei ciangkun atau bukan, terang dia adalah seorang nona Han, tangkap saja
jadikan bujang, habis perkara, twako!” seru seorang lain yang berdiri di
belakang. "Orang-orang Han telah memperlihatkan sikap palsu terhadap kita,
untuk apa kita berlaku sungkan lagi?”
Ucapan ini
dikeluarkan dengan sengaja dalam bahasa Han agar Eng Eng dapat mengerti
maksudnya, akan tetapi suaranya kaku dan janggal, hingga Eng Eng yang
mendengarnya menjadi makin geli.
"Kalian
ini orang apa begini galak-galak?" tanyanya.
"Kami
adalah orang-orang suku bangsa Cou yang telah dikhianati dan dicurigai oleh
orang-orang Han yang tadinya kami anggap sahabat-sahabat baik."
"Eh,
eh, nanti dulu kawan. Orang orang Han itu bermacam macam, jangan disama
ratakan. Tidak semua orang Han berwatak khianat dan curang. Akan tetapi
sudahlah, aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Minggirlah dan jangan mencari
perkara dengan aku."
"Enak
saja kau bicara. Apa kau kira kau dapat melepaskan diri dari kami begitu saja?
Jangan kau main-main, nona. Kami orang-orang suku bangsa Cou tidak boleh
dipermainkan oleh kamu orang-orang Han seperti suku bangsa Ouigour!"
Akan tetapi
Eng Eng tetap melayani kedua orang kepala pasukan yang galak ini sambil
tersenyum-senyum. "Eh, eh... kalian benar-benar galak. Dengan cara
bagaimanakah kalian hendak menghalangi aku? Coba, aku ingin sekali
menyaksikannya."
Kedua orang
ini saling pandang, karena betapapun juga, kalau gadis Han yang cantik dan
tabah ini melawan, mereka merasa tidak enak untuk melayani seorang gadis muda.
Akan tetapi, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti
burung segera melompat maju dan berkata,
"Biarlah
aku yang menangkap gadis liar ini!" katanya dan dengan cepat ia menubruk
maju sambil mengeluarkan kedua tangannya hendak mencengkeram pundak Eng Eng.
Eng Eng
melihat bahwa cengkeraman ini adalah semacam ilmu silat utara yang mengutamakan
sergapan dan cengkeraman atau cekikan, maka sambil mengeluarkan suara ejekan,
tubuhnya tiba-tiba melejit dan bagaikan angin lalu ia telah dapat membuat si
mata burung itu menangkap angin!
Dan sebelum
si mata burung dapat mengetahui bagaimana cara gadis itu bergerak, tiba-tiba
terdengar suara keras dan dagunya telah kena digaplok oleh Eng Eng! Orang itu
merasa seakan akan dunia hendak kiamat! Bumi yang dipijaknya serasa
terputar-putar, pohon-pohon disekelilingnya seakan-akan hendak roboh menimpanya
dan matahari di angkasa menjadi dua berkejar-kejaran.
Akan tetapi
dia adalah seorang perwira bangsa Cou yang telah melatih diri bertahun tahun
maka ia dapat mengerahkan tenaga dan mengatur rasa pening pada kepalanya dan
rasa berdenyut perih pada dagunya yang membengkak terkena tamparan Eng Eng
tadi.
"Perempuan
liar, rasakan pembalasanku!" katanya dan tangannya meraba pinggang mencari
goloknya.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika goloknya telah lenyap dari pinggangnya dan ketika ia
memandang ke depan, bukan main herannya. Ternyata bahwa goloknya telah berada
di tangan gadis yang lihai itu yang telah merampas goloknya dan kini sambil
menodongkan ujung golok pada dada si mata burung, Eng Eng tersenyum menantang.
"Hayo
balaslah! Hendak kulihat bagaimana hebatnya pembalasanmu!”
Tentu saja
si mata burung tak dapat berkata sesuatu dan tak dapat berbuat sesuatu, hanya
memandang dengan mulut celangap! Dua orang pemimpin pasukan yang tadi menegur
Eng Eng adalah tangan kanan dari Piloko sendiri. Mereka ini adalah kakak
beradik yang ahli sekali dalam permainan golok selain tenaga mereka yang besar
juga ilmu golok mereka amat disegani kawan-kawannya maupun lawannya. Kini
melihat betapa dengan segebrakan saja seorang gadis cantik dan muda ini dapai
mengalahkan si mata burung, bahkan dapat merampas goloknya dengan mudah dan
cepat, mereka menjadi heran dan marah.
"Hem,
tentu kau adalah seorang wanita dikalangan kang ouw yang membantu Oei ciangkun.
Nona, menyerahlah sebelum golokku bicara!" mengancam orang pertama.
"Jangan
ngimpi!” Eng Eng mengejek. "Kita melakukan perjalanan masing-masing tak
saling kenal tidak saling perduli. Mengapa tahu-tahu kalian memusuhi dan hendak
menggangguku? Ketahuilah, jangankan baru kalian berdua biar puluhan orang
pasukanmu ini maju, jangan harap akan dapat mengalahkan aku!"
"Sombong!"
teriak orang termuda diantara dua pemimpin ini. Tubuhnya bergerak cepat dan
tahu-tahu ia telah mencabut golok dan menyerang Eng Eng.
Gadis ini
tadi memegang golok rampasannya di tangan kiri dengan sikap acuh tak acuh dan
sembarangan sekali. Akan tetapi ketika golok lawannya menyambar, tangan kirinya
bergerak dan goIok rampasannya berubah menjadi sinar putih yang membentur golok
lawannya itu sehingga hampir saja golok lawannya terpental dan terlepas dari
pegangan! Tentu saja orang ini terkejut sekali dan mukanya menjadi merah ketika
Eng Eng tersenyum mengejek.
"Apa
kataku? Kau terlalu lemah, kawan! Sebaliknya kalian berdua maju berbareng atau
kerahkan pasukanmu untuk mengeroyokku!"
Bukan main
marahnya dua orang pemimpin pasukan Cou ini. Sambil berseru garang, keduanya
lalu mengayun golok dan menyerang Eng Eng dari kanan kiri. Akan tetapi, mana
bisa dua orang kasar ini menghadapi Eng Eng yang memiliki kepandaian tinggi?
Biarpun
gerakan mereka cukup cepat dan kuat namun sambil tersenyum-senyum dan
mengeluarkan suara ketawa mengejek, Eng Eng dengan amat mudahnya dapat
menghindarkan diri dari serbuan mereka. Kadang-kadang ia menggunakan golok di
tangan kirinya untuk menangkis akan tetapi lebih sering ia mempergunakan
ginkangnya yang luar biasa itu untuk mengelak dari serangan-serangan kedua
lawannya.
Tubuhnya
lenyap merupakan bayangan yang membingungkan kedua orang lawannya. Pada waktu
itu Eng Eng menggunakan baju putih dengan pinggiran merah, juga saputangan yang
mengikat rambutnya berwarna merah, demikian pula celananya, berwarna merah
hingga ia nampak manis dan cantik sekali.
Orang-orang
bangsa Cou memiliki watak yang jujur dan tidak curang. Para perajurit yang
tadinya masih merupakan barisan, kini setelah melihat betapa dua orang pemimpin
mereka bertempur melawan seorang gadis Han yang cantik jelita dan lihai sekali,
mereka lalu mengurung dan duduk berjongkok sambil tertawa-tawa dengan senangnya
seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukan yang amat menarik tanpa bayar!
Ketika
mereka melihat betapa Eng Eng berkelebatan bagaikan seekor kupu-kupu yang cepat
dan ringan sekali beterbangan diantara sambaran dua batang golok dari kedua
orang pemimpin mereka, terdengarlah pujian pujian dan sorakan-sorakan riuh rendah.
"Lihai
sekali!”
"Bukan
main hebatnya!"
Dan masih
banyak lagi kata-kata pujian dalam bahasa Cou yang tidak dimengerti oleh Eng
Eng, Akan tetapi sikap mereka ini benar-benar menggembirakan hati Eng Eng,
sehingga timbullah kesan baik di dalam hati gadis ini terhadap orang-orang Cou
yang jujur itu. Ia menjadi tidak tega untuk melukai dua orang pengeroyoknya
ini, dan hanya mempermainkan mereka saja sambil tersenyum-senyum manis.
Entah
mengapa semenjak pertemuannya dengan Tiong Han dan mendapat kenyataan bahwa
Tiong Han bukanlah pemuda yang dibencinya, ia menjadi amat tertarik kepada
pemuda itu dan kalau tadinya ia memandang penghidupan ini nampak gelap dan
menyedihkan, kini seakan-akan di dalam kegelapan itu timbul cahaya terang dan
di dalam kesedihan itu nampak sesuatu yang membesarkan harapan dan menimbulkan
kegembiraannya.
Dulu
cita-cita hidupnya hanya satu, yakni membunuh Tiong Kiat dan mencari Thian te
Sam kui untuk membalas dendam. Kalau cita-cita ini sudah tercapai, agaknya ia
takkan suka hidup lagi!
Akan tetapi
sekarang, entah mengapa, bayangan Tiong Han, pemuda yang lemah-lembut sopan
santun, berbudi mulia, dan berkepandaian tinggi itu selalu nampak di depan
matanya dan menimbulkan harapan serta pegangan hidup. Kini sering kali Eng Eng
merasa demikian gembira sehingga bunga-bunga seakan-akan tersenyum kepadanya,
daun-daun hijau seakan akan melambai-lambai dengan ramahnya.
Kini
menghadapi kedua orang lawannya iapun sedang bergembira, maka tidak
henti-hentinya ia tersenyum hingga menambahkan kekaguman bagi semua orang Cou
yang menonton pertempuran itu. Gadis lihai itu tidak saja dapat mempermainkan
dan melayani dua orang pemimpin mereka dengan golok di tangan kiri bahkan masih
mempunyai kesempatan untuk tersenyum-senyum!
Lima puluh
jurus telah lewat dan selama itu, jangankan melukai gadis aneh itu, menyentuh
ujung bajunya saja kedua orang pemimpin rombongan bangsa Cou itu tidak sanggup.
Sebaliknya Eng Eng juga tidak pernah membalas serangan mereka. Kini Eng Eng
telah merasa cukup dan mulai menjadi bosan. Pada saat itu, dari kanan kirinya,
kedua orang lawannya mengangkat golok dengan cepat dan kuatnya lalu diayun ke
arah kepala gadis itu!
Akan tetapi
Eng Eng masih dapat tertawa dan berkata, "Perlahan dulu, sahabat!"
Gadis ini
dengan gerakan yang amat lemas dan gaya yang amat manis lalu mainkan gerak tipu
yang disebut Burung Hong Membuka Sayap. Kaki kirinya diangkat ke atas kaki
kanan berdiri di atas ujung sepatunya. Tangan kiri yang memegang golok diayun
ke kiri dengan gerakan cepat untuk menangkis serangan golok dari kiri, adapun
tangan kanannya berbareng dengan tangan kiri, bergerak pula ke kanan dengan
jari-jari terbuka, dan sebelum lawannya yang berada di kanannya tahu apa yang
terjadi, ia telah mengeluh dan goloknya terlepas dari pegangan!
Juga
goloknya, tidak dapat menahan tenaga tangkisan Eng Eng dan goloknya terlempar
jauh! Orang di sebelah kanan tadi kini meringis-ringis sambil memegangi siku
kanannya yang telah terkena bacokan tangan Eng Eng sehingga ia merasa lengannya
sakit sekali dan lumpuh! Adapun orang di sebelah kirinya kini berdiri dengan
mata terbelalak, penuh keheranan dan juga kekagetan melihat betapa goloknya
tadi terdorong sedemikian hebatnya oleh golok lawannya!
"Hayo
maju... tangkap dan keroyok!"
Orang yang
sikunya lumpuh itu mengeluarkan aba-aba, akan tetapi para perajurit Cou
ragu-ragu untuk maju melawan gadis yang sedemikian lihainya itu.
"Mundur
semua, jangan berlaku kurang ajar!” tiba-tiba terdengar suara orang yang amat
berpengaruh dan dari belakang para perajurit itu melompatlah seorang yang
tinggi, melompati kepala para perajurit itu dan dengan ringan sekali ia turun
di depan Eng Eng.
Gadis ini
memandang dan diam-diam ia mengakui bahwa ginkang dari orang yang baru datang
ini cukup lumayan. Ia bersiap sedia, karena maklum bahwa kepandaian orang yang
baru datang ini, apabila dibandingkan dengan kepandaian dua orang pengeroyoknya
tadi, amat jauh lebih pandai!
Akan tetapi,
ia menjadi terheran ketika melihat betapa orang tinggi yang sudah setengah tua
ini menjura dengan penuh hormat kepadanya, lalu berkata dalam bahasa Han yang
ramah tamah dan lancar sekali.
"Lihiap,
mohon kau sudi memaafkan kelancangan dan kekasaran orang orangku yang tidak
tahu aturan. Maklumlah bahwa orang-orang yang telah disakiti hatinya oleh orang
orang lain yang tadinya dipandang sebagai sahabat-sahabat baik, tentu saja
mudah marah. Terus terang saja kami, suku bangsa Cou amat kecewa dan penasaran
melihat sikap bangsamu, orang-orang Han. Kami telah dikhianati, orang-orang Han
tanpa melihat keadaan dan tanpa alasan yang kuat, telah memilih dan memihak
kepada orang-orang Ouigour yang selalu mengganggu kami. Banyak saudara-saudara
kami yang tewas oleh pasukan Oei-ciangkun yang kuat, semua ini hanya karena
hasutan dari Huayen-khan, pemimpin suku Ouigour yang membenci kami itu!"
Mendengar
uraian panjang lebar yang tidak dimengerti betul itu, Eng Eng menjadi bingung.
Akan tetapi melihat wajah orang tua ini yang amat berduka dan tampak
bersungguh-sungguh, ia tidak berani main-main. Ia melempar golok rampasannya
tadi dan membalas penghormatan Piloko.
"Aku
adalah seorang perantau yang sama sekali tidak mengerti semua itu. Sebenarnya
siapakah saudara dan mengapa pula rombongan saudara tiba di tempat yang miskin
ini?"
"Aku
bernama Piloko, dan semua ini adalah orang-orangku, yakni suku bangsa Cou yang
amat menderita. Sebelum aku melanjutkan penuturanku, sudilah kiranya lihiap
memperkenalkan diri. Siapakah lihiap, datang dari mana dan benarkah lihiap
tidak mempunyai hubungan dengan benteng tentara kerajaan yang dipimpin oleh
Oei-ciangkun?"
"Sudah
kukatakan tadi, aku adalah seorang perantau bernama Suma Eng. Pekerjaanku hanya
membasmi orang jahat dan menolong orang yang tertindas, bagaimana aku dapat
terikat oleh hubungan dengan sepihak? Ceritakanlah kesusahanmu, saudara Piloko,
mungkin aku dapat membantumu."
Bukan main
girangnya hati Piloko mendengar ucapan ini. Lagi pula diam-diam ia telah
menyaksikan kepandaian Eng Eng yang dengan demikian mudahnya mempermainkan dua
orang pembantunya. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat
melawan kepandaian nona ini, maka kalau saja ia dapat menarik tenaga nona ini
untuk membantunya hal itu tentu amat baiknya.
Pada saat
itu terdengar seruan perlahan dari seorang wanita. Para perajurit yang duduk
memberi jalan dan nampaklah seorang wanita setengah tua datang membawa sebatang
pedang telanjang di tangannya. Wajahnya nampak berduka dan juga gelisah, akan
tetapi ketika ia melihat Piloko berdiri berhadapan dengan Eng Eng dan
bercakap-cakap dalam suasana damai, ia menjadi lega kembali dan pedangnya cepat
ia sarungkan di pinggang.
"Nona
Suma Eng, ini adalah Yamani isteriku yang setia. Lihat biarpun ia tidak
memiliki kepandaian, namun mendengar aku datang ke sini menghadapi orang yang
disangka lawan berbahaya, ia lupa kebodohannya dan datang membawa-bawa
pedang!" kata Piloko memperkenalkan istrinya kepada Eng Eng, lalu
disambungnya ketika ia memperkenalkan Eng Eng kepada istrinya.
"Yamani,
jangan kau gelisah. Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah
perkasa, yang mungkin belum pernah kau jumpai di alam mimpi sekalipun! Lihiap
ini bernama Suma Eng dan kepandaiannya mungkin sepuluh kali lebih lihai dari
pada kepandaianku."
Dengan
singkat, Piloko lalu menceritakan kepada istrinya tentang kegagahan Eng Eng
yang dikeroyok dua oleh pembantunya yang disebutnya kasar dan lancang tidak
bisa mengenal orang.
Mendengar
cerita suaminya ini, Yamani lalu menghampiri Eng Eng dan memegang lengannya.
"Ah, lihiap, sungguh berbahagia sekali rasanya dapat bertemu dengan
seorang pendekar wanita yang sudah lama menjadi buah mimpi padaku. Aku
seringkali mendengar cerita tentang pendekar-pendekar wanita, akan tetapi belum
pernah bertemu dengan seorangpun, harap kau mau memaafkan semua kesalahan
kawan-kawan kami dan marilah kita bercakap-cakap di dalam kendaraanku yang
biarpun kecil akan tetapi lebih enak dari pada di sini."
Sambil
berkata demikian, dengan amat ramah tamah, Yamani lalu menarik lengan Eng Eng.
Gadis ini tak dapat menolak karena semenjak bertemu, ia telah merasa suka
kepada nyonya bangsa Cou ini yang selain ramah tamah, juga amat manis mukanya.
Setelah
duduk berhadapan di dalam kendaraan sambil makan hidangan yang disuguhkan oleh
Yamanl yang ramah-tamah, Eng Eng lalu mendengar penuturan sepasang suami istri
kepala suku bangsa Cou ini. Ia mendengar betapa suku bangsa Cou selalu mendapat
perlakuan kejam dan hinaan daripada suku bangsa Ouigour dan Mongol, dan betapa
akhir-akhir ini tentara kerajaan nampaknya bahkan memusuhi mereka dan membantu
orang orang Ouigour yang menahan suku bangsa Cou yang kecil jumlahnya.
"Perkampungan
kami yang terakhir kemarin telah diserang pula oleh Huayen-khan dibantu oleh
pasukan dari Oei ciangkun. Terpaksa kami sekarang mengungsi dan mau tidak mau
harus menetap di daerah yang tandus dan tidak subur ini." kata Piloko
sambil menghela napas.
"Bagi
kami sih tidak begitu berat karena kami berdua tidak mempunyai anak."
sambung Yamani dengan suara mengharukan.
"Akan
tetapi kalau kuingat keadaan bangsaku…lihatlah mereka yang mempunyai anak-anak
kecil, ah... bagaimana akan jadinya dengan kami...?" Menangislah Yamani
dengan sedihnya.
"Diam
kau!" Piloko tiba-tiba membentak dengan muka merah. "Apa artinya tangis
saja dalam keadaan seperti ini!"
Istrinya
terdiam dan dengan wajah pucat dan sepasang mata terbelalak ia memandang kepada
suaminya. Semenjak mereka kawin puluhan tahun yang lalu, baru kali ini Piloko
membentaknya sedemikian kasarnya. Melihat pandang mata isterinya, luluhlah
kemarahan Piloko dan ia ingat bahwa ia tadi telah bersikap terlalu kasar, apa
lagi di depan seorang tamu ia cepat memegang kedua tangan isterinya dan
berkata,
"Yamani
maafkan suamimu... aku terlampau tertindih oleh kedukaan sehingga lupa diri.
Maafkanlah..."
Yamani hanya
mengangguk-angguk karena tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dari kerongkongan
yang telah penuh oleh sedu sedan yang ditahan-tahannya. Melihat keadaan mereka
ini, bukan main terharunya hati Eng Eng. Ia merasa penasaran dan marah sekali
kepada orang-orang Ouigour yang sewenang-wenang. Terutama sekali ia merasa
penasaran dan kecewa mendengar betapa pasukan kerajaan dari Oei-ciangkun
membantu pekerjaan terkutuk dari pasukan Ouigour itu.
Mendengar
betapa orang-orang lelaki dan anak-anak bangsa Cou dibunuh dan orang-orang
wanita yang muda-muda diculik secara kurang ajar, darah dalam tubuh Eng Eng
sudah bergolak saking marahnya. Ia berdiri dari bangkunya, dan berkata,
"Saudara
Piloko, jangan khawatir. Aku akan membantumu dan biarlah aku memberi latihan
ilmu golok kepada pasukanmu, kemudian mari kita menyerbu dan membalas kejahatan
orang-orang Ouigour itu!”
Mendengar
ucapan ini, Piloko dan Yamani segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis
gagah itu saking girang dan bersyukurnya. Eng Eng cepat membangunkan mereka dan
berkata,
"Aku
adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Biarlah untuk
sementara aku ikut dengan kalian sampai kalian dapat merampas kembali kampung
yang diserobot oleh bangsa Ouigour!"
Demikianlah,
untuk beberapa pekan lamanya, di daerah tandus itu, Eng Eng melatih ilmu golok
kepada anak buah Piloko. Bahkan Piloko sendiri, juga Yamani dan banyak lagi
wanita-wanita bangsa Cou yang kebanyakan manis-manis dan cekatan, ikut pula
belajar golok yang diajarkan oleh pendekar wanita itu.
Sementara
itu, Piloko menyuruh penyelidik-penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan bekas
kampung mereka yang telah dirampas oleh orang-orang Ouigour.
Pada suatu
hari ia mendengar kabar bahwa kampung itu telah ditinggalkan oleh tentara
kerajaan dan juga oleh pasukan-pasukan yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan,
dan hanya terjaga oleh sepasukan orang Ouigour yang tak berapa kuat.
"Lihiap,
kampung kita tidak terjaga kuat. Sekarang besar sekali kesempatan kita untuk
menyerbu dan merampasnya kembali.”
Eng Eng
setuju, maka berangkatlah pasukan Cou dipimpin oleh Eng Eng dan Piloko. Adapun
rombongan keluarganya tidak berangkat bersama pasukan ini, melainkan menanti di
tempat itu sampai kampung mereka dapat terampas kembali. Kini keluarga ini
tidak begitu takut lagi ditinggal seorang diri oleh suaminya dan ayah mereka
itu sedikit-sedikit telah mempelajari ilmu silat.
Karena
perjalanan dilakukan cepat dan tidak membawa keluarga seperti ketika mereka
pergi mengungsi, dalam waktu sehari semalam saja sampailah pasukan ini di
kampung tempat tinggal mereka.
Terjadilah
perang tanding yang hebat dan ramai. Akan tetapi, jangankan baru pasukan
Ouigour yang hanya terdiri dari seratus orang lebih, biarpun di situ ada
pasukan induk yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri, belum tentu akan dapat
mengalahkan dengan mudah pasukan yang dipimpin oleh Eng Eng ini!
Terutama
sekali sepak terjang Eng Eng mengerikan hati orang-orang Ouigour, maka dalam
pertempuran yang tak berapa lama, kocar-kacirlah orang-orang Ouigour ini
meninggalkan kawan-kawan yang tewas maupun yang terluka. Dengan mendapat
kemenangan besar, orang-orang Cou lalu masuk ke dalam kampung mereka dan
menduduki kampung sendiri. Mereka segera turun tangan memperbaiki rumah-rumah
yang dulu dirusak, kemudian mereka beristirahat.
Pada
keesokan harinya, Eng Eng dan Piloko naik kuda untuk menjemput keluarga Cou.
Pasukan kuda mereka ditinggalkan dan diharuskan menjaga kampung itu dengan kuat
sedangkan sebagian pula melanjutkan usaha memperbaiki rumah-rumah yang rusak.
Eng Eng
merasa gembira sekali. Baru sekarang ia merasa bahwa hidupnya tidak percuma. Ia
mempunyai tugas dan usaha untuk menuntun dan menolong kehidupan ratusan orang
Cou yang ternyata benar-benar jujur dan baik itu.
Melakukan
perjalanan bersama Piloko sambil bercakap-cakap, mendengar ucapan yang ramah
dan hormat, melihat pandangan mata yang penuh rasa terima kasih itu, ah, Eng
Eng merasa seakan-akan berjalan dengan seorang paman atau ayah sendiri!
Bodoh sekali
dia, pikirnya, mengapa tidak dari dulu menghubungi masyarakat ramai dan
melakukan sesuatu demi kebaikan orang-orang itu? Sesungguhnya banyak sekali
yang harus dilakukan, karena di dunia ini penuh dengan hal-hal yang amat
ganjil, penuh dengan penindasan dan kekejaman, penuh dengan orang-orang yang
patut dikasihani dan ditolong serta juga orang-orang yang patut dibasmi karena
jahatnya!
"Suma lihiap,
jasamu amat besar dan budimu terhadap bangsaku takkan dapat kami lupakan
selamanya.” kata Piloko.
"Ah,
saudara Piloko apa perlunya segala ucapan sungkan ini. Aku suka membantumu dan
membantu bangsamu yang tertindas."
“Ah,
alangkah akan bahagia hatiku kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak
perempuan seperti kau!"
"Kau
tidak punya anak, saudara Piloko?”
Kepala suku
bangsa Cou itu menghela napas. "Dulu punya seorang anak perempuan akan
tetapi ia meninggal dunia karena penyakit demam. Semenjak itu, aku dan isteriku
menganggap semua anak buahku sebagai anak kami dan yang harus kami jaga dengan
segenap nyawa dan raga."
Eng Eng
tidak menjawab, akan tetapi diam-diam ia juga berpikir. Alangkah senangnya
kalau dia masih mempunyai ayah ibu pula, biarpun ayah ibu bangsa Cou seperti
Piloko dan Yamani! Semenjak kecil ia merindukan cinta kasih ayah bunda yang tak
pernah dirasakannya. Ingin sekali ia berkata kepada Piloko bahwa ia suka
menjadi anak orang ini akan tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dan hanya diam
saja sambil menarik napas panjang.
Ketika
mereka tiba di perkampungan baru di daerah tandus itu, senja telah mulai
mendatang. Mereka memasuki kampung, dan dengan amat heran mereka melihat tempat
itu sunyi saja tidak kelihatan seorangpun! Piloko menjadi pucat menyangka bahwa
kampung ini tentulah mengalami malapetaka sewaktu ditinggal pergi.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara-suara orang seperti dikeluarkan oleh orang-orang yang
sedang bertempur. Eng Eng melompat turun dari kudanya dan berlari cepat ke arah
suara itu yang datang dari luar dusun sebelah barat.
Ketika ia
tiba di situ, ia menjadi marah bukan main melihat Yamani dan beberapa orang
wanita lain dengan mati-matian sedang mengeroyok seorang laki-laki yang
melayani mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Sambil mengelak dari serangan
golok para wanita itu, laki-laki ini menowel sana mencolek sini, memilih
wanita-wanita muda dengan cara yang amat kurang ajar.
"Bangsat
Ban Hwa Yong!” Eng Eng memaki marah. "Kau benar-benar harus dibikin
mampus!"
Sambil
berkata demikian, Eng Eng minta golok dari seorang wanita yang tadi ikut
mengeroyok penjahat itu dan sambil melompat cepat ia menerjang penjahat cabul
itu. Gadis ini makin lama makin merasa sayang kepada pedangnya, maka ia tidak
mau mengotori pedangnya dengan darah bangsat yang dibencinya ini. Pula ia
merasa yakin bahwa dengan sebatang golokpun ia akan dapat mengalahkan Ban Hwa
Yong.
Sementara
itu, Ban Hwa Yong menjadi kaget setengah mati ketika melihat Eng Eng, gadis
yang pernah dirasai kelihaiannya dan yang telah menewaskan kedua suhengnya. Ban
Im Hosiang dan Ban Yang Tojin. Ia menjadi jerih dan juga marah sekali terhadap
gadis ini, maka sambil berseru keras ia mencabut sepasang senjata kaitannya dan
memutar sepasang senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.
Yamani dan
teman-temannya ketika melihat penjahat yang lihai itu menggunakan senjata dan
melihat datangnya Eng Eng cepat-cepat mengundurkan diri dan menonton sambil
berdiri di tempat yang cukup jauh agar jangan mengganggu Eng Eng dan jangan
sampai terkena sambaran senjata penjahat yang lihai itu. Bahkan Piloko sendiri
tidak berani turun tangan karena ia tidak berani mengganggu Eng Eng yang
nampaknya sudah kenal penjahat ini dan belum pernah Piloko melihat nona
pendekar itu demikian marah.
Ia lalu
didekati oleh istrinya yang menceritakan dengan singkat bahwa sebelum Piloko
dan Eng Eng pulang, penjahat ini datang memasuki kampung dan melihat betapa penduduk
kampung itu hanya wanita-wanita saja. Ban Hwa Yong lalu hendak berlaku kurang
ajar. Ia hendak mengangkat diri menjadi pemimpin orang-orang itu dan memilih
gadis-gadis yang tercantik untuk melayaninya.
Tentu saja
orang-orang wanita Cou itu menjadi marah sekali lalu beramai-ramai
mengeroyoknya. Akan tetapi tentu saja mereka ini bukan lawan Ban Hwa Yong yang
kosen. Biarpun penjahat itu dikeroyok oleh beberapa orang wanita yang dipimpin
oleh Yamani namun dengan tangan kosong ia menghadapi keroyokan golok itu dengan
amat mudahnya bahkan ia masih dapat mengganggu para pengeroyoknya!
Memang
agaknya dosa Ban Hwa Yong sudah terlampau bertumpuk-tumpuk sehingga dusun yang
nampaknya tenang dan penuh wanita sehingga ia merasa aman dan gembira itu,
tidak tahunya adalah tempat tinggal dari Suma Eng, gadis yang dibencinya dan
juga amat ditakutinya. Kini Eng Eng telah maju dengan amat marah.
Gadis ini
menggerakkan goloknya dengan sekuat tenaga, dibacokkan ke arah kepala Ban Hwa
Yong sambil mengerahkan lweekangnya. Ban Hwa Yong menangkis dan mencoba untuk
membalas dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi, baru tangkisannya
saja sudah membuat ia merasa makin jerih.
Ketika ia
menangkis tadi, ia merasa betapa tangannya yang memegang kaitan yang
ditangkiskan menjadi kesemutan dan pedas sekali. la masih mempertahankan diri
sampai dua puluh jurus dengan harapan bahwa karena gadis itu memegang golok,
tentu tidak berapa lihai. Tidak tahunya, rangsekan gadis itu makin hebat saja
dan golok yang dimainkan seolah-olah telah berobah menjadi lima batang!
Akhirnya Ban
Hwa Yong tak kuat menahan dan sambil berseru keras ia lalu melepaskan beberapa
batang jarum rahasia yang dijemputnya dengan tangan kiri dari saku bajunya akan
tetapi Eng Eng dengan amat mudahnya mengelakkan diri. Ketika gadis ini hendak
menyerang lagi, Ban Hwa Yong melompat jauh dan melarikan diri. Akan tetapi mana
Eng Eng mau melepaskan penjahat ini?
"Bangsat
cabul, kau hendak lari ke mana?" serunya dan secepat burung melayang,
tubuhnya berkelebat mengejar. Sebentar saja dua orang ini sudah lenyap dari
pandangan mata semua orang yang menonton pertempuran itu.
"Lekas,
kejar mereka dan bantu Suma lihiap!” kata Yamani kepada suaminya dengan
gelisah.
Akan tetapi
Piloko yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari isterinya, tersenyum.
"Kau jangan kuatir, lihiap takkan apa-apa. Bangsat itu pasti akan mampus
di tangan Suma lihiap.”
Memang
ramalan Piloko ini tidak kosong belaka. Biarpun Ban Hwa Yong memiliki ginkang
yang tinggi dan pandai menggunakan ilmu lari cepat Co sang-hui (Terbang di Atas
Rumput). Namun sebentar saja Eng Eng telah dapat mengejarnya. Terpaksa Ban Hwa
Yong memutar tubuhnya dan bersiap sedia dengan kaitannya.
"Bangsat
rendah, mampuslah kau!” seru Eng Eng dan cepat gadis ini menyerang dengan
goloknya, menggunakan golok di tangan kanan untuk membacok ke arah leher
sedangkan tangan kirinya siap untuk mengirim pukulan susulan.
Ban Hwa Yong
makin gugup. Tak terasa keringat dingin mengalir turun dari balik bajunya. Ia
menangkis bacokan itu dengan kaitan di tangan kanan sambil menggeser kaki
kanan, kaitan kirinya menyambar ke arah perut Eng Eng! Akan tetapi, gadis yang
sudah sangat marahnya ini lalu menggerakkan kaki kiri menendang tepat mengenai
pergelangan tangan kiri Ban Hwa Yong.
"Krekkk...!”
Ban Hwa Yong
menjerit ketika tulang pergelangan tangannya patah terkena tendangan Eng Eng
yang mengerahkan tenaga luar biasa itu! Kaitan kiri terlepas dan terlempar
jauh. Sebelum kaitan kanannya dapat sempat bergerak, golok Eng Eng sudah
menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi. Ban Hwa Yong manusia durhaka dan keji
itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh!
"Ting
twako, harap kau sekeluarga dapat puas dan tenang. Musuh-musuhmu telah tewas semua!"
kata Eng Eng sambil memandang ke angkasa, seolah-olah ia bicara dengan arwah
dari Ting Kwan Ek, piauwsu yang terbunuh sekeluarganya oleh Thian-te Sam-kui
yang kini telah ditewaskannya semua itu!
Kemudian Eng
Eng lalu melempar goloknya dan melompat kembali ke arah dusun, piloko dan
orang-orang perempuan di situ menyambutnya dengan amat lega dan gembira apalagi
ketika mendengar bahwa penjahat itu telah dapat ditewaskan. Eng Eng
menceritakan siapa adanya penjahat itu, maka semua orang menjadi kagum mendengar
ini, lebih-lebih ketika mendengar bahwa penjahat itu adalah seorang di antara
Thian-te Sam-kui yang pernah didengar namanya oleh Piloko.
Kemudian
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan keluarga yang semua berwajah
girang dan berseri ini lalu berangkat kembali ke kampung mereka yang telah
dapat dirampas kembali dari tangan orang-orang Ouigour. Kedatangan keluarga
dalam keadaan selamat ini menambah kegembiraan orang-orang Cou yang sedang
membangun kembali dusun mereka, dan menambah pula rasa terima kasih mereka
kepada Suma Eng yang mereka beri nama julukan 'Bunga Dewa'!
Dikalangan
orang Cou ini dahulu memang terdapat kepercayaan tentang adanya bunga dewa yang
sakti sekali yang sering kali diturunkan oleh dewata untuk menolong manusia.
Bunga dewa yang diturunkan ke dunia oleh dewa ini sering kali menjelma menjadi
manusia gagah atau menjelma menjadi pertapa-pertapa. Dengan diberi nama julukan
bunga dewa berarti bahwa orang-orang Cou merasa amat berterima kasih dan amat
menjunjung tinggi gadis ini!
Setelah suku
bangsa Cou bisa merampas kembali kampung mereka dan memperbaiki rumah-rumah di
kampung itu. Eng Eng merasa bahwa tugasnya menolong orang ini sudah selesai.
Akan tetapi, sebelum ia berpamit untuk meninggalkan Piloko dan anak buahnya,
kepala suku bangsa Cou itu bersama istrinya berkata kepadanya dengan suara
mengandung permohonan.
"Lihiap,
kami mengharap dengan sangat sukalah lihiap tinggal bersama kami, tidak saja
untuk melanjutkan latihan ilmu golok kepada kami, akan tetapi terutama sekali
untuk menakuti orang-orang Ouigour. Kalau tiada lihiap di sini kami pasti akan
diserangnya lagi dan sekali ini mereka tentu akan membuat pembalasan hebat.
Bagaimana kami dapat melawan mereka kalau sampai tentara Han membantu
mereka?"
Eng Eng
berpikir bahwa kekuatiran ini beralasan juga. “Biarkan mereka datang, saudara
Piloko, akan kubasmi mereka semua, kalau mereka berani datang mengganggu lagi.
Baiklah aku akan tinggal untuk sementara di sini, akan tetapi sesungguhnya aku
mempunyai tugas amat penting yakni mencari seorang musuh besarku. Kalau aku
tinggal di sini, berarti hal itu kutunda-tunda. Maka tolonglah menyuruh
beberapa orangmu untuk membantuku dan mewakili aku menyelidiki di mana adanya
orang yang kucari-cari itu."
ia lalu
memberi keterangan tentang Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang-coa-kiam, dan
memberi gambaran pula tentang bentuk muka dan tubuh pemuda musuh besarnya itu.
Piloko dengan girang lalu menyanggupi, bahkan segera memilih kawan-kawannya
yang pandai sebanyak lima orang untuk disuruh menyelidiki di mana adanya Sim
Tiong Kiat itu.
Eng Eng
tinggal serumah dengan Piloko dan Yamani dan hubungannya dengan nyonya rumah
ini makin erat saja seperti enci adik atau bahkan seperti ibu dan anak. Dari
Yamani Eng Eng mempelajari banyak sekali kepandaian bahasa Cou, kerajinan
tangan dan juga menerima nasihat-nasihat tentang kehidupan dari nyonya yang
sudah banyak pengalaman hidup ini.
Tepat
seperti yang dikuatirkan oleh Piloko, dua pekan kemudian datanglah serbuan yang
sangat besar-besaran dari pasukan Ouigour yang dipimpin sendiri oleh
Huayen-khan dan Ang Hwa!
Ketika itu
Eng Eng dan Piloko yang ditemani oleh Yamani sedang duduk di belakang rumah
menyaksikan latihan ilmu golok yang dilakukan oleh belasan orang pemimpin
pasukan. Tiba-tiba seorang penjaga dengan napas terengah-engah datang
melaporkan.
"Dari
balik bukit di timur datang pasukan Ouigour yang jumlahnya kurang lebih dua
ratus orang, dikepalai sendiri oleh Huayen khan dan seorang wanita muda yang
cantik berpakaian merah."
"Ang
Hwa si perempuan lacur !" kata Piloko dan Yamani hampir berbareng dengan
muka kaget.
"Siapkan
barisan, perkuat penjagaan di empat pintu gerbang dan sisa barisan semua
bersiap di pintu timur!"
Piloko
memberi perintah kepada para pembantunya yang sedang berlatih golok itu.
Pemimpin-pemimpin pasukan itu cepat pergi untuk mengatur pasukan masing-masing
dan Piloko lalu berkata kepada Eng Eng!
"Nah,
Suma-lihiap sekaranglah saatnya kami mohon bantuanmu karena tanpa bantuanmu
kami semua pasti akan celaka ditangan Huayen khan dan Ang Hwa. Selain jumlahnya
pasukan mereka lebih besar, juga Huayen khan dan Ang Hwa amat lihai."
Akan tetapi
dengan tenang Eng Eng lalu mengajak kepala suku bangsa Cou itu dan istrinya
untuk segera keluar dan ikut menjaga di pintu gerbang sebelah timur.
"Siapakah
orang yang kau sebut Ang Hwa itu?” tanyanya ketika mereka telah tiba di tempat
yang dituju di mana para perajurit Cou telah siap sedia dengan golok di tangan.
"Ang
Hwa adalah puteri seorang ahli silat Kun Iun pai yang telah menjadi isteri dari
Huayen-khan. Mungkin kepandaiannya tidak kalah oleh Huayen khan, terutama
sekali pedangnya yang amat ganas." Jawab Piloko.
Mendengar
ini, Eng Eng menjadi tertarik sekali. Ingin ia menyaksikan sampai di mana
kelihaian Huayen khan, terutama orang yang bernama Ang Hwa itu. Sambil menanti
kedatangan tentara musuh, Eng Eng mendengar keterangan Piloko tentang kejahatan
dan kecabulan Ang Hwa yang biarpun sudah menjadi istri Huayen khan, namun masih
suka bermain gila dengan laki laki lain setahu suaminya!
Tentu saja
Eng Eng menjadi sebal mendengar ini dan timbullah rasa benci dalam hatinya
terhadap Ang Hwa yang dianggapnya tidak tahu malu. Sebelum kelihatan barisan
Ouigour itu, sudah nampak debu mengebul dan suara sorakan mereka, Eng Eng
berpesan kepada Piloko.
"Jangan
bergerak dulu. lihat apa yang hendak mereka lakukan. Kalau memang betul Huayen
khan dan Ang Hwa berniat buruk, biar aku merobohkan mereka dulu agar semangat
barisannya menjadi patah."
Piloko
menurut dan memberi perintah kepada para pembantunya, akan tetapi di dalam
hatinya diam-diam ia merasa ragu-ragu apakah mungkin Eng Eng dapat merobohkan
Huayen-khan dan Ang Hwa seorang diri saja. Ia telah maklum bahwa ilmu
kepandaian Huayen khan sendiri jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya,
apa lagi Ang Hwa yang disohorkan orang amat ganas dan kejam itu. Biarpun ia
telah menyaksikan kelihaian Eng Eng, namun sukarlah dapat dipercaya adanya
seorang gadis yang dapat menghadapi Huayen-khan dan Ang Hwa!
Tak lama
kemudian dari sebuah tikungan di luar dusun, nampaklah barisan Ouigour itu
muncul dengan segala kegagahan. Huayen-khan sendiri naik kuda abu-abu disamping
kuda putih yang dinaiki Ang Hwa dan kedua orang ini nampak gagah dan keren.
Melihat dua orang musuh besar ini, Piloko merasa marah dan juga gentar. Telah
berkali-kali ia merasai kelihaian Huayen khan, biarpun ia mengeroyok orang ini,
selalu ia menderita kekalahan.
Sementara
itu, Huayen-khan memandang kepada Piloko dengan muka merah dan menudingkan
golok besarnya sambil berkata,
"Piloko,
manusia tak tahu malu! Apakah kau telah bosan hidup maka kau telah berani
sekali berlaku curang dan menyerang pasukanku selagi aku tidak ada? Ketika kami
merampas kampungmu, kami masih berlaku murah tidak membunuhmu. Akan tetapi kau
melepaskan kesempatan dan kekuatan tentara yang lebih besar jumlahnya untuk
menyerang kembali kampungmu. Sungguh hal ini aku tak dapat membiarkan saja dan
hari ini aku harus dapat memenggal lehermu dengan golokku."
Ucapan ini
dikeluarkan dalam bahasa Cou yang kaku. Eng Eng yang sudah mempelajari bahasa
ini, dapat mengerti maksudnya, maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian,
akan tetapi tetap waspada.
“Huayen
khan, bisa saja kau memutar balikkan duduknya perkara. Sudah kau katakan juga
bahwa kau telah merampas kampungku mau bicara apa lagi? Kau telah mengaku dan
memperdengarkan kejahatanmu sendiri. Kau selalu menindas dan memusuhi bangsaku
yang lebih kecil jumlahnya, sedangkan seekor semutpun kalau diinjak-injak
sarangnya akan mengamuk dan melawan seekor gajah, apalagi pula seorang manusia?
Kami merampas kembali kampung kami sendiri, dipandang dari sudut keadilan
siapapun juga, ini sudah menjadi hak kami dan kau boleh mengatakan apa juga,
namun tetap kampung ini adalah tempat tinggal kami."
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengejek. Ternyata yang tertawa adalah wanita cantik
yang berkuda putih di samping Huayen-khan, yakni Ang Hwa.
"He he
he, sekarang Piloko berani membuka mulut besar, agaknya burung walet yang sudah
habis bulunya itu kini telah tumbuh sayap.”
"Ha,
ha, ha !!" Huayen-khan tertawa bergelak mendengar ejekan isterinya ini.
"Kau betul sekali, manis. Biar aku putuskan lagi sayapnya yang baru tumbuh
itu. Ha ha ha!"
Sambil
berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sebatang anak panah
telah terlepas dari busurnya, menyambar Piloko. Memang Huayen khan adalah
seorang ahli main panah. Akan tetapi piloko yang mendapat julukan Yan ong (Raja
WaIet) memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi.
Begitu
melihat berkelebatnya anak panah yang menyambar, lebih dulu ia telah dapat
melompat ke kiri. Anak panah itu lewat di samping tubuhnya dan menancap ke atas
tanah sampai ke gagangnya. Akan tetapi, dengan amat cepatnya, tiga batang anak
panah menyambar lagi, kini ketiga bagian tubuh Piloko!
"Manusia
curang!” tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh yang amat langsing dan tahu-tahu
tiga batang anak panah itu telah kena ditendang runtuh oleh Eng Eng yang
tahu-tahu telah berdiri di depan Piloko dan menghadapi Huayen khan dengan mata
bersinar marah.
“Ha, ha, ha,
pantas saja Piloko berani berlagak, tidak tahunya ia telah mempunyai seorang
selir yang cantik dan gagah perkasa. Eh, kau nona yang cantik dan gagah,
mengapa kau begitu merendahkan diri ikut pada Piloko yang miskin?"
Bukan main
marahnya hati Eng Eng mendengar hinaan ini. Akan tetapi ia teringat akan
penuturan PiIoko tentang Huayen-khan dan istrinya yang ternyata masih muda,
cantik yang jelas berasal dari selatan itu, maka katanya dalam bahasa Han
sambil tersenyum mengejek.
"Huayen
khan, aku adalah seorang gadis kang ouw pembasmi orang-orang jahat seperti kau
mana bisa dibandingkan dengan isterimu? Agaknya kau selalu memandang rendah
kepada setiap orang wanita, karena mengingat akan istrimu sendiri yang kau
biarkan bermain dengan laki laki lain!"
Biarpun
omongan yang dikeluarkan oleh Eng Eng ini disertai senyum simpul, akan tetapi
tajamnya melebihi ujung pedang yang menikam dada Huayen khan dan Ang Hwa. Dua
orang ini belum pernah dihina orang seperti ini, tentu saja mereka menjadi
marah sekali. Huayen khan saking marahnya tidak dapat berkata sesuatu, hanya
kedua tangannya saja yang bergerak secepat kilat dan lima batang anak panah
melayang ke arah tubuh Eng Eng!
Gadis ini
memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan sekali. Bagi orang
lain, anak-anak panah itu datangnya amat cepat dan sukar sekali diikuti oleh
pandangan mata sehingga amat sukar dilihat. Akan tetapi bagi Eng Eng, ia dapat
melihat jelas datangnya anak panah ini. Dua batang melayang agak rendah,
mengarah perut dari kanan kiri. Dua lagi mengarah dada dari kanan kiri dan
sebatang lagi menuju ke arah kepalanya!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment