Saturday, October 6, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Ular Merah Jilid 10



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Pedang Ular Merah

                 Jilid 10


Karena anak-anak panah ini datangnya berbareng maka Eng Eng lalu mengeluarkan suara keras dan tubuhnya bergerak amat mengagumkan dan mengherankan. Sekali bergerak saja, kedua kakinya dengan tendangan berantai telah memukul runtuh dua batang anak panah, dan lagi yang menuju ke arah dadanya dapat ditangkap oleh kedua tangannya dan yang menuju ke kepalanya dapat dielakkan sambil menundukkan mukanya!

Selagi semua orang terheran-heran, Eng Eng berseru lagi dengan nyaring, "Keledai tua, kau makanlah sendiri anak panahmu!” sambil berkata demikian, dua tangannya terayun ke depan dan dua batang anak panah yang tadi ditangkap dengan tangannya kini melayang bagaikan kilat menyambar ke arah pemiliknya.

Huayen-khan masih bengong menyaksikan kelihaian Eng Eng menghindarkan diri dari serangan lima batang anak panahnya. Kini melihat sinar terang menyambar ke arah perutnya, ia kaget sekali dan cepat ia lalu melompat turun dari kudanya karena tidak ada jalan untuk menangkis atau mengelak lagi. Ia selamat dari tusukan anak panahnya, akan tetapi kudanya yang berbulu abu-abu meringkik keras lalu roboh, keempat kakinya berkelojotan lalu diam!

Ternyata bahwa Eng Eng melepaskan dua batang anak panah yang disambitkannya itu kedua jurusan, sebatang ke arah Huayen khan dan yang kedua ke arah kuda itu yang tepat mengenai dada dan menembus jantung!

Bukan main marahnya Huayen khan melihat kejadian ini. Saking marahnya, ia sampai menjadi lupa mempergunakan pikiran sehat lagi. Bila ia tidak begitu marah, tentu ia dapat mengetahui bahwa gadis di depannya ini sama sekali tidak boleh dibuat permainan dan tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi ia sedang marah sekali dan nama Huayen-khan bukanlah nama yang baru saja muncul. Dia adalah seorang tokoh yang amat terkenal, bahkan bangsa Mongol dan Tartar sendiri merasa keder mendengar nama ini.

Orang-orang Mongol memberi julukan 'Panah setan' kepadanya, sedangkan orang-orang Tartar memberi nama poyokan 'Golok Peminum darah'. Tentu saja kini baru bertemu pertama kali sudah diperhina dan dipermainkan oleh seorang gadis muda, kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok besarnya dan menerjang maju sambil berseru keras. Dalam kemarahan dan juga kesombongannya ia memandang ringan kepada lawan ini, sehingga ia lupa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu.

Oleh karena semua anggota pasukannya amat takut dan taat kepada Huayen-khan yang galak dan keras, maka mereka tidak ada yang berani turun tangan dan hanya menanti sampai kepala mereka merobohkan gadis fihak musuh yang lancang dan berani itu. Akan tetapi ternyata kali ini Huayen khan kecele besar sekali. Baru saja goloknya menyambar, tiba-tiba berkelebat sinar merah dan ia merasa seakan-akan pangkal lengannya akan copot dari pundaknya!

Lengannya tergetar hebat dan matanya menjadi silau oleh cahaya api yang berpijar keluar dari goloknya yang beradu dengan pedang merah di tangan nona itu. Ketika ia cepat menarik kembali golok besarnya, ternyata golok besarnya itu rompal sedikit karena beradu dengan pedang itu. Bukan main kagetnya hati Huayen-khan. Golok besarnya adalah sebuah golok pusaka yang ampuh dan keras, bagaimana sekarang sampai dapat gompal sedikit ketika beradu dengan pedang nona yang nampaknya amat tipis dan tidak kuat itu?

Akan tetapi Eng Eng tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak melamun, karena segera pedang merah di tangannya itu berobah menjadi segulung sinar merah yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga merah mengamuk!

Huayen khan bukan anak kemarin sore yang baru kali ini menghadapi lawan tangguh, maka ia cepat memutar goloknya, mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan sambil menangkis dan mengelak, iapun membalas dengan serangan-serangan kilat yang tak kalah berbahayanya.

Akan tetapi, baru bertempur lima belas jurus saja, seperti orang-orang lain yang pernah menghadapi Eng Eng dalam pertempuran, kepala Huayen-khan telah menjadi pening dan pandangan matanya kabur. Ia menjadi bingung sekali karena sesungguhnya gerakan pedang dari gadis ini luar biasa anehnya.

Tampaknya demikian kacaunya seperti orang mabok memutar pedang, tetapi di dalam kekacau balauan ini tersembunyi daya tempur yang luar biasa kuatnya, gerakannya kacau, akan tetapi setiap serangan amat cepat dan berbahaya sedangkan ilmu silat pedang yang nampak kacau balau itu ternyata amat sukar untuk dipecahkan dan amat sukar untuk diserang.

Setelah ia dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, Ang Hwa yang melihat keadaan suaminya mulai terdesak hebat dan bingung oleh sinar pedang yang merah itu, menjadi tidak sabar. Sambil mengeluarkan suara keras ia lalu melompat turun dari kudanya, menghunus pedangnya dan menyerbu. Melihat betapa Eng Eng dikeroyok, piloko hendak turun tangan. Akan tetapi, Eng Eng berseru,

“Saudara Piloko, biarlah dua ekor anjing ini kau serahkan kepadaku. Lebih baik kau pimpin kawan-kawan untuk mengusir musuh-musuhmu itu!"

Piloko tidak berani membantah, maka ia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Mulailah orang orang Cou itu bersorak sambil menyerbu orang-orang Ouigour yang tidak menyangka-nyangka sama sekali. Terjadilah perang tanding yang amat ramai dan hebat, perang tanding yang kacau balau di luar pintu gerbang dusun itu. Piloko dan isterinya mengamuk hebat, memimpin kawan-kawan mereka menyerbu musuh yang menjadi kacau karena tidak mendapat pimpinan dari kepala mereka.

Adapun Huayen-khan dan Ang Hwa yang mengeroyok Eng Eng, tiba-tiba menjadi terkejut sekali ketika Eng Eng mengeluarkan pekik yang nyaring dan gerakan pedang merahnya makin hebat saja. Sekali sabet sambil mengerahkan tenaga, golok di tangan Huayen khan patah sampai di gagangnya dan ketika kakinya terayun ke arah Ang Hwa, nyonya muda ini menjerit ngeri dan tubuhnya terpental sampai tiga tombak jauhnya.

Baiknya Ang Hwa pernah mendapat latihan ilmu Iweekang yang cukup tinggi dari cabang persilatan Kun-lun pai, maka biarpun ia menderita luka di dalam lambung dan mulutnya mengeluarkan darah, namun ketika tertendang tadi ia masih sempat mengerahkan tenaga penolakan hingga lukanya tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, sepak terjang Eng Eng ini sudah cukup membuat hati mereka menjadi gentar sekali.

"Serang dia !” seru Huayen khan kepada para pembantunya yang segera menyerbu dan mengeroyok Eng Eng.

Sebentar saja Eng Eng dikeroyok oleh sepuluh orang Ouigour yang terkenal memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi, begitu pedang Eng Eng menyambar-nyambar di sana-sini terdengar seruan kesakitan, disusul robohnya orang-orang yang mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan saja Eng Eng telah membabat roboh lima orang pengeroyok dengan cara sama mudahnya dengan orang membabat rumput saja!

Huayen khan yang pergi menolong istrinya menjadi makin gelisah melihat betapa orang-orangnya banyak yang menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu. la segera memondong tubuh Ang Hwa yang masih pingsan dan melompat ke atas kuda putih, kuda tunggangan Ang Hwa yang terkenal baik dan cepat sekali larinya, lalu berseru,

"Mundur semua!"

Setelah memberi aba-aba mundur ini, Huayen-khan lalu membalapkan kudanya lari dari tempat itu. Piloko dan Yamani tidak berani mengejar, adapun Eng Eng yang tadinya ingin mengejar dan menewaskan dua orang itu, tidak mempunyai kesempatan karena ia masih dikeroyok dan dikurung oleh orang orang Ouigour. Ketika ia berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok dengan sekali serangan sehingga yang lain menjadi jerih dan mundur, ternyata kuda putih yang ditunggangi oleh Huayen-Khan telah lenyap dari situ, hanya suara derap kakinya saja terdengar sudah amat jauh.

Orang-orang Ouigour ketika mendengar aba-aba yang dikeluarkan oleh Huayen-khan tidak mau membuang banyak waktu lagi, lalu melarikan diri meninggalkan mereka yang tewas dan terluka. Pertempuran kali ini adalah pertempuran pertama yang mendatangkan kemenangan besar sekali bagi fihak bangsa Cou, maka tentu saja mereka menjadi amat gembira.

Makin kagumlah semua orang terhadap Eng Eng, bahkan malam itu lalu diadakan perayaan untuk merayakan kemenangan itu serta untuk menghormati Eng Eng. Dalam perayaan ini, Piloko dan Yamani mengajukan usul, yakni mengangkat Eng Eng sebagai kepala suku bangsa Cou! Akan tetapi Eng Eng cepat menolak dengan manis sambil berkata,

"Kalian ini sungguh keterlaluan. Bagaimana seorang gadis muda yang bodoh seperti aku hendak dijadikan kepala suku bangsa? Memang tak perlu kusangkal lagi bahwa mungkin dalam ilmu silat, aku mempunyai kepandaian paling tinggi diantara kalian semua. Akan tetapi, kepandaian silat saja masih belum bisa membikin orang menjadi seorang kepala suku bangsa! Bagaimana aku berani menerimanya? Untuk mengatur diriku sendiri yang sebatang kara ini saja bagiku masih amat membingungkan, bagaimana aku harus mengatur penghidupan ratusan orang? Ah, tidak, saudara piloko, maafkan saja, pengangkatan ini aku sama sekali tidak berani terima.”

Tiba-tiba Piloko menangis sambil berkata dengan perlahan, akan tetapi terdengar oleh semua orang yang berkumpul di situ. "Ah, memang nasib bangsaku amat buruk. Agaknya sudah menjadi takdir bahwa suku bangsa Cou harus lenyap dari muka bumi ini. Tadinya kita mengira bahwa Bunga Dewa akan membebaskan kita dari penderitaan dan kehancuran, akan tetapi setelah dia menolak, sama artinya dengan keputusan dari langit bahwa bangsa Cou harus lenyap. Kalau Suma Iihiap tidak mau memimpin kita, akhirnya tentu kita akan ditinggalkan dan... kalau sampai terjadi hal demikian, lalu bangsa Ouigour atau bangsa lain menyerang kita, apa yang dapat kita lakukan? Sudahlah… memang sudah nasib kita yang amat buruk, keselamatan kita hanya tergantung kepada Suma lihiap saja dan sekarang dia tidak mau menerima permintaan kita…"

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara terisak-isak tertahan sehingga semua orang menjadi terharu dan di sana-sini terdengar suara tangis orang-orang perempuan, termasuk Yamani.

Eng Eng menarik napas panjang. "Saudara Piloko, kau tidak adil! Dengan omonganmu ini, bukankah berarti bahwa kalian hendak mengikat diriku disini? Aku sendiri sudah cukup menderita, hidup sebatang kara, tidak tentu tujuan, tidak tahu apakah yang akan terjadi dengan diriku, ditambah kalian hendak mengikat aku di sini, lalu apakah aku tidak berhak pula untuk mencari kebahagiaan hidup? Semenjak kecil aku sudah hidup penuh kepahitan, kegetiran, kesengsaraan dan sekarang…setelah aku berjasa... ah, masihkah aku harus menambah beban hidupku dengan memikirkan kehidupan ratusan orang bangsamu…?”

Bicara sampai di sini, Eng Eng teringat akan keadaannya sendiri dan karena terharunya, menangislah gadis pendekar ini! Ia menubruk dan merangkul Yamani, lalu menangis tersedu-sedu, belum pernah ia menangis sesedih itu. Gadis perkasa ini memang selamanya belum pernah menjadi demikian sedihnya, dan baru kali ini, ditengah orang-orang yang bersimpati kepadanya, yang memilihnya sebagai kepala, ia demikian terharu sehingga ia menangis dengan hati terasa bagai diremas-remas!

"Diamlah, nak. Maafkan kami yang terlalu mengingat keadaan sendiri. Diamlah, anakku yang baik, kau memang pantas dikasihani." kata Yamani sambil mendekap kepala gadis itu.

Eng Eng makin merasa terharu dan mendengar hiburan ini, tangisnya makin menjadi. Ia merasa betapa suara Yamani itu penuh dengan kasih sayang, dan ia yang selama ini merasa rindu akan kasih sayang seorang ibu, kini tiba-tiba merasa bahwa alangkah baiknya dan senangnya kalau Yamani menjadi ibunya!

"Tidak, tidak. Kalian tidak salah apa-apa, memang sudah seharusnya aku melindungi dan membantu kalian orang-orang baik dan tertindas ini. Biarlah aku menjadi anakmu, biarpun aku tidak menjadi kepala, akan tetapi sebagai anakmu aku akan membelamu. Siapa saja yang berani mengganggu ayah bundaku juga bangsaku, akan kuhajar habis-habisan!”

Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou maka semua orang dapat mendengar dan mengerti artinya. Bukan main girangnya semua orang, terutama sekali Piloko dan Yamani sendiri. Mereka saling pandang dan hampir tak dapat mempercayai pendengaran mereka. Yamani lalu memeluk Eng Eng sambil berkata,

"Anakku... Eng Eng anakku sayang…"

"Aku... dan juga kau, ayah. Jangan khawatir, aku akan memberi latihan ilmu silat kepada kawan-kawan kita. Sebelum keadaan kawan-kawan kuat dan boleh diandalkan, aku takkan meninggalkan kalian semua."

Bukan main girangnya Piloko mendengar betapa gadis pendekar ini menyebutnya ayah. Wajahnya berseri-seri. la merasa seakan-akan anaknya yang dulu telah meninggal dunia karena sakit kini telah hidup kembali. Matanya yang biasanya bermuram ini kini menitikkan dua butir air mata.

"Anakku, kau baik sekali. Terima kasih kepada Dewa yang agung yang telah mengirim bunga dewa kepadaku. Alangkah besar kehormatan yang kunikmati dapat menjadi ayah dari bunga dewa !”

Setelah berkata demikian, Piloko lalu berlutut dengan kedua tangan terangkat ke atas sebagai penghormatan dan pernyataan terima kasih kepada penghuni langit! Melihat hal ini, Yamani dan semua orang yang berada di situ, lalu ikut pula berlutut seperti yang dilakukan oleh Piloko.

Melihat kesungguhan wajah dan sikap mereka, Eng Eng merasa betapa tulang rusuknya menjadi dingin, maka iapun lalu ikut berlutut seperti yang dilakukan oleh ayah dan Ibu angkatnya serta sekalian orang Cou yang berada di situ.

Mulai hari itu, Eng Eng mulai melatih ilmu silat lebih lanjut kepada orang-orang Cou yang belajar makin giat dan rajin lagi sehingga mereka mendapat kemajuan pesat.

Selama itu tidak nampak gangguan lagi dari fihak Ouigour sehingga orang orang Cou hidup dengan aman dan tenteram, menyangka bahwa Huayen-khan telah mendapat hajaran dan tidak berani muncul lagi. Akan tetapi dugaan mereka ini sebetulnya salah sekali, karena orang seperti Huayen-khan tak mungkin dapat mengalah begitu saja. Baiknya hal ini dapat diduga oleh Eng Eng yang sengaja untuk sementara waktu tidak mau meninggalkan Piloko dan anak buahnya.

Sementara itu, para penyelidik yang disuruh oleh Piloko untuk mencari jejak Sim Tiong Kiat seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng ternyata kembali nihil. Mereka telah merantau ke selatan sampai ke kota raja, akan tetapi tidak dapat mencari pemuda itu di kota raja atau kota-kota lain.

Hal ini tentu saja amat mengecewakan hati Eng Eng dan membuat dia makin malas untuk mencari Tiong Kiat, karena setelah lima orang penyelidik itu merantau ke selatan dan mencari-cari tidak juga berhasil dia sendiri yang tak begitu mengenal daerah ini, harus mencari ke manakah?

Akan tetapi ia tidak putus asa karena nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat adalah nama yang mulai terkenal di kalangan kang ouw sedangkan anak buah Piloko telah minta pertolongan orang orang gagah di kalangan kang-ouw untuk memberi berita ke utara apa bila sewaktu-waktu mendengar tentang penjahat muda itu. Eng Eng merasa yakin bahwa sekali waktu ia pasti akan berhadapan muka dengan pemuda musuh besarnya itu!

Sama sekali ia tidak pernah mengimpi bahwa pada waktu itu, Tiong Kiat tidak berada di tempat jauh, bahkan sama sekali tak pernah menduga bahwa tak lama lagi ia akan berhadapan muka sama muka dengan pemuda itu dalam keadaan yang amat tak tersangka!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam rencana dan usaha mereka untuk berkhianat, Oei Sun atau Oei ciangkun bersama Go bi Ngo-koai tung, diam-diam mengadakan pesekutuan rahasia dengan Huayen-khan pemimpin suku bangsa Ouigour dan juga diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan bangsa Mongol di utara.

Huayen-khan dan Ang Hwa yang menderita kekalahan hebat dari Piloko yang dibantu Eng Eng, menjadi amat sakit hati dan mereka teringat kepada Oei-ciangkun. Setelah mengadakan perundingan mereka itu lalu membawa sisa pasukan menuju ke benteng di lereng bukit dekat kota Hong-bun.

Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Oei-ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung akan tetapi Sim Tiong Kiat merasa tidak enak juga ketika ia melihat kedatangan Huayen-khan dan Ang Hwa yang pernah bertempur dengan dia. Sebaliknya kepala suku bangsa Ouigour itu menjadi kaget sekali melihat Sim Tiong Kiat berada di dalam benteng ikut pula menyambutnya, bahkan telah mengenakan pakaian sebagai seorang perwira! Akan tetapi Ang Hwa memandang dengan wajah berseri lalu berkata girang.

"Ah, tidak tahunya Sim taihiap sudah berada di sini pula! Sungguh menggirangkan sekali. Kalau aku tahu sudah dulu-dulu aku datang ke sini. Mengapa kau tidak memberi kabar tentang adanya Sim-taihiap di sini, Oei ciangkun?" katanya kemudian sambil mengerIing tajam ke arah Oei-ciangkun.

Oei Sun tertegun. Panglima ini dapat menduga bahwa tentu dahulu pernah terjadi sesuatu antara Sim Tiong Kiat dan nyonya yang cabul ini.

"Siapa tahu bahwa kalian sudah saling mengenal?" tanyanya menggoda.

"Kami sudah saling mengenal dengan baik sekali!" jawab Ang Hwa sambil menyambar Tiong Kiat dengan sinar matanya yang tajam.

Ketika Oei Sun menengok ke arah Huayen khan, orang tua ini mengangguk dan berkata, "Kenalan lama, kenalan baik!"

Kemudian ia lalu menarik tangan Oei ciangkun diajak masuk ke dalam, meninggalkan isterinya bersama Tiong Kiat. Setelah berada di dalam, ia berbisik kepada Oei Sun.

"Oei ciangkun, bagaimana pemuda itu bisa menjadi seorang perwiramu? Kenal betulkah kau kepadanya? Setahuku, ia amat setia kepada kaisar!"

Dengan singkat dan cepat Huayen khan lalu menuturkan peristiwa keributan di dalam tendanya dahulu, di mana Tiong Kiat menyatakan tetap setia kepada kaisar sehingga menolak tawaran Huayen-khan yang memberikan istrinya untuk melayaninya!

Oei Sun mengangguk-angguk. "Aku sudah menduga demikian, akan tetapi belum tentu ia betul-betul bersetia. Orang yang sudah menjadi jai-hwa-cat dan sudah suka menjalani jalan hek-to (jalan hitam, penjahat) tak mungkin dapat mempunyai hati setia. Aku amat sayang akan kepandaiannya yang tinggi dan perlahan-lahan aku sedang menarik dan membujuknya. Kalau sampai dia bisa berobah sikap dan membantu kita, bukankah dia merupakan tenaga yang amat baiknya?"

Huayen-khan mengangguk-angguk. "Memang demikianlah kehendakku dahulu, akan tetapi Ang Hwa tidak berhasil sehingga diantara dia dan kami bahkan timbul pertempuran hebat. Terus terang saja, akupun merasa kagum sekali melihat ilmu silatnya."

Oei Sun memandang keluar di mana Ang Hwa dengan sikap yang genit dan menarik sedang bercakap-cakap dengan Tiong Kiat. Tak dapat disangkal lagi dan amat mudah dilihat betapa pemuda itu memandang kepada Ang Hwa dengan mata amat tertarik. Oei ciangkun tersenyum dan berkata,

"Kurasa Ang Hwa bukannya tidak berhasil sama sekali. Kau lihat saja bukankah ikan emas itu sudah masuk dalam perangkapnya?"

Huayen khan juga memandang keluar dan iapun dapat melihat betapa sesungguhnya Tiong Kiat amat tertarik oleh Ang Hwa dan sedang memandang kepada nyonya muda itu dengan mesra.

"Huayen-khan sebetulnya apakah keperluanmu datang ke benteng? Melihat wajahmu dan semua orang orangmu agaknya kau telah mengalami kekecewaan besar."

"Kekecewaan? Bukan hanya kecewa, bahkan aku telah mengalami kekalahan besar, banyak orangku tewas bahkan Ang Hwa sendiri hampir saja tewas dalam peperangan itu."

Oei ciangkun terkejut. "Apa katamu? Apakah rombonganmu telah bertemu dengan pasukan dari kota raja?"

"Kami telah dipukul habis-habisan oleh orang-orang Cou."

"Apa? Piloko? Tak mungkin, bagaimana dia bisa memukul pasukanmu?"

"Inilah yang amat menyebalkan! Kalau pasukan kota raja yang mengalahkan pasukanku itu sih tidak berapa menjengkelkan. Akan tetapi pasukan Cou! Ah, sungguh bisa bikin orang mati karena gemas. Pasukan Cou sekarang rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi dan diantara mereka terdapat seorang gadis Han yang luar biasa lihainya sehingga aku dan Ang Hwa hampir saja celaka di dalam tangannya." Huayen khan lalu menceritakan tentang pertempuran itu.

Oei-ciangkun makin terheran. "Apakah gadis itu masih muda, cantik dan langsing, berpedang merah?"

Kini Huayen-khan yang terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu? Betul, memang gadis itu cantik jelita, tidak kalah oleh Ang Hwa dan pedang merahnya lihai sekali."

Oei-ciangkun tak perlu menceritakan kepada Huayen-khan tentang Eng Eng yang pernah tertawan olehnya, hanya berkata setelah berpikir sebentar. "Bagus sekali, aku mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa kita tidak mengadukan Sim ciangkun dengan gadis pembela Piloko itu? Dengan jalan demikian, bukankah sekali tepuk mendapat dua ekor burung? Di satu fihak kita dapat menguji kesetiaan Sim-ciangkun kepadaku, dan kedua kita dapat pula membalaskan sakit hatimu terhadap orang-orang Cou. Juga mereka itu perlu dibasmi karena kalau tidak akan mendatangkan bahaya di hari kemudian bagi rencana kita!"

Akan tetapi, ketika Oei-ciangkun dan Huayen-khan mengadakan perundingan dengan Go-bi Ngo koai-tung, pada saat itu juga Ang Hwa sendiri telah berhasil menawan hati Tiong Kiat untuk kedua kalinya dan nyonya muda ini dengan sikap yang amat menarik menuturkan bahwa ia dihina oleh Piloko sehingga hampir saja nyawanya melayang.

Tiong Kiat yang mulai mabok oleh kecantikan dan gaya Ang Hwa, tanpa disadarinya telah memberi kesanggupan bahwa ia tak akan membiarkan sakit hati itu dan akan membunuh Piloko. Tiong Kiat mengeluarkan janji ini karena ia telah mendengar dari Oei ciangkun betapa Piloko adalah kepala suku bangsa Cou yang hendak memberontak dan membikin kekacauan hingga sudah patut dibasmi.

Go-bi Ngo-koai-tung menganggap usul Oei ciangkun untuk menyuruh Tiong Kiat membantu orang-orang Ouigour membasmi Piloko dan anak buahnya amat baik. Demikianlah, beramai-ramai mereka lalu mendatangi Tiong Kiat yang sedang bercakap-cakap dengan amat asyiknya dengan Ang Hwa.

"Sim ciangkun." Oei Sun mulai berkata dengan muka sungguh-sungguh, "seperti pernah kukatakan kepadamu, orang-orang Cou yang dikepalai oleh Piloko amat jahat dan berbahaya. Sekarang Piloko telah melatih orang-orangnya dan baru saja ia telah menyerang Huayen khan dan menimbulkan banyak kematian dan kerusakan. Kalau tidak lekas-lekas dibasmi, tentu kelak orang-orang Cou itu akan berani menyerang benteng kita, bahkan mungkin sekali akan berani memasuki tembok besar dan mengganggu rakyat. Oleh karena itu, aku harap kau suka memimpin sepasukan perajurit, bersama-sama dengan pasukan Ouigour yang menjadi penunjuk jalan, menggempur orang-orang Cou itu. Kalau mungkin bunuh atau tawan Piloko atau setidaknya biarlah merasai kelihaian kita."

Sambil mengerling ke arah Ang Hwa, Tiong Kiat menjawab. "Baiklah, Oei ciangkun. Urusan orang-orang Cou ini mudah saja, biarlah aku yang akan membikin beres. Bilakah aku berangkat?"

Hampir berbareng Huayen-khan dan Oei ciangkun berkata,

"Sekarang juga, lebih cepat lebih baik."

Akan tetapi tiba-tiba Ang Hwa berkata, "Lebih baik besok pagi saja, karena pasukan kita perlu beristirahat. Lagi pula, akupun akan ikut sendiri untuk membalas dendam!"

Kerling mata yang penuh arti dari nyonya muda ini ke arah suaminya membuat Huayen-khan diam-diam menghela napas. Ia maklum bahwa isterinya telah jatuh hati kepada pemuda she Sim ini dan iapun tahu sepenuhnya bahwa istrinya menghendaki agar diperbolehkan berdekatan dengan Sim Tiong Kiat!

"Memang betul juga," akhirnya Huayen-khan, suami tua bangka ini berkata, "pasukan kami yang telah terpukul itu amat lelah dan perlu beristirahat."

Demikianlah, selanjutnya dapat diduga bahwa Tiong Kiat telah terjerumus dalam perangkap yang di pasang oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Pemuda itu tergila-gila kepada Ang Hwa yang sengaja bersikap amat manis kepadanya. Kini Tiong Kiat tidak menolak seperti dulu, karena kalau dulu ia anggap sikap manis Ang Hwa itu untuk menyeretnya ke jurang penghianatan terhadap kaisarnya.

Kini nyonya muda yang cantik ini bersikap manis karena memang suka kepadanya, dan karena mengharapkan bantuannya untuk membalas dendam kepada bangsa Cou. Dan menurut anggapan Tiong Kiat, Piloko dan pasukannya memang pantas digempur da dibinasakan agar jangan mengganggu dan mengacau rakyat!

Pada keesokan harinya, berangkatlah Tiong Kiat memimpin sepasukan perajurit yang berjumlah dua ratus orang, didahului oleh sepasukan kecil perajurit Ouigour sebagai penunjuk jalan. Ang Hwa tetap berada di dekatnya. Hal ini disetujui oleh Huayen khan dan Oei ciangkun, karena diam-diam Ang Hwa merupakan seorang penilik untuk menyaksikan bagaimana sikap pemuda itu dalam menghadapi Piloko dan gadis pendekar yang membelanya.

Mereka tiba di hutan dekat dengan dusun yang menjadi tempat tinggal orang-orang Cou dan di situ mereka berhenti. Tiong Kiat mengadakan perundingan dengan Ang Hwa dan orang-orang Ouigour yang menjadi pembantu Huayen khan.

"Lebih baik kita serbu mereka malam hari ini juga." usul Ang Hwa yang sudah tak sabar lagi menanti lebih lama.

"Hal itu berbahaya sekali." kata Tiong Kiat yang biarpun belum mempunyai pengalaman dalam perang, namun sudah mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun. "Mereka lebih faham tentang keadaan daerah ini. Pertempuran di malam hari yang gelap ditempat yang belum kita ketahui baik keadaannya, amat berbahaya bagi pasukan kita. Lebih baik kita menanti di hutan ini sampai besok pagi baru menyerang."

"Apa sukarnya?" Ang Hwa berkata dengan bibir cemberut dan pandangan mata mengejek. "Apa kau takut? Jumlah tentara kita lebih banyak, kita serbu kampung mereka dengan tiba-tiba dan kalau mereka lari kita lalu bakar rumah-rumah mereka. Bukankah hal itu akan menjadi beres? Serahkan saja Piloko kepadaku dan kau menghadapi gadis liar yang membantunya itu. “

Dikatakan takut dan diejek oleh kekasihnya yang baru ini, panaslah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa memang sesungguhnya pasukannya tidak usah takut kalah, akan tetapi bertempur dalam gelap itu akan menjatuhkan lebih banyak korban di fihaknya, dan hal ini tadinya hendak dicegahnya.

"Baiklah, kita serbu sekarang!"

Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu memberi aba-aba dan menyerbulah pasukan kerajaan yang dua ratus orang jumlahnya, dibantu oleh tiga puluh orang lebih pasukan Ouigour yang hendak menuntut balas. Jauh sebelum pasukan ini tiba di dusun tempat tinggal orang Cou, penduduk kampung itu telah mendengar berita tentang penyerbuan ini dari para peronda. Piloko dan Eng Eng cepat mengatur persiapan.

"Ayah," Kata Eng Eng di tengah-tengah kesibukan itu. "kau bawalah teman keluarga wanita dan anak-anak menyingkir ke arah gunung di sebelah selatan itu. Biar aku memimpin kawan kawan untuk mempertahankan diri!”

Piloko maklum bahwa siasat Eng Eng ini memang tepat. Dari penjaga dan peronda, mereka mendengar bahwa penyerbu-penyerbu itu berjumlah dua ratus orang lebih, maka kalau keluarga tidak diungsikan lebih dulu, maka akan berbahaya sekali keadaannya. Di samping menghadapi musuh, juga mereka terpaksa harus melindungi keluarga mereka. Kalau keluarga mereka sudah diungsikan lebih dulu ke atas gunung, tentu pertahanan akan dapat dilakukan lebih kuat lagi.

Tanpa banyak cakap lagi Piloko Ialu mengumpulkan semua keluarga yang sudah siap pula mengangkut barang-barang yang terpenting seperti pakaian dan lain lain kemudian dengan hanya membawa sepuluh orang kawan laki-laki, Piloko lalu mengajak mereka keluar dari pintu gerbarg sebelah selatan dan melarikan diri di malam gelap menuju ke gunung di sebelah selatan.

Mereka tidak berani mempergunakan obor, oleh karena hal ini tentu akan terlihat oleh musuh. Karena mereka sudah paham akan daerah itu, biarpun di malam gelap, dapat juga mereka mencari jalan dan bergerak maju dengan cepat.

Adapun Eng Eng cepat mengatur persiapan. Ia memasang barisan pertahanan di kanan kiri depan pintu gerbang utara dari mana penyerbu itu datang, dan diam-diam ia memasang barisan panah di dalam kampung, bersembunyi di belakang rumah-rumah sebanyak tiga puluh orang ahli anak panah. la telah mengatur siasatnya dengan suara gagah dan nyaring.

“Kawan-kawan, musuh yang datang menurut laporan adalah orang-orang Ouigour yang dibantu oleh tentara kerajaan. Aku sendiri bingung mendengar bagaimana tentara kerajaan sampai membantu perbuatan orang Ouigour yang memusuhi kita, akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Sekarang dengarlah baik-baik. Pihak musuh berjumlah dua ratus orang lebih berarti dua kali lebih banyak dari pada kita. Orang-orang yang bersembunyi di luar kampung, apabila nanti melihat mereka menyerbu, jangan bergerak dulu dan biarkan sebagian dari tentara musuh memasuki kampung. Setelah itu barulah aku akan memberi tanda menyerang. Adapun kawan-kawan yang bersembunyi di dalam kampung, begitu melihat musuh masuk, harus segera mengerjakan busur dan anak panah menyerang dari balik-balik rumah. Akan tetapi harap hati-hati, tiap kali sepuluh batang anak panah harus segera mencari tempat persembunyian lain. kalian sudah dilatih dan sudah tahu bagaimana harus berbuat!”

Demikianlah, orang-orang Cou yang gagah berani ini menanti datangnya musuh dengan hati berdebar. Mereka sama sekali tidak merasa gelisah dan takut karena mereka berbesar hati dengan adanya 'Bunga Dewa' di tengah-tengah mereka, apa lagi setelah Eng Eng berkata sebagai penutup pesannya.

"Jumlah mereka lebih banyak, akan tetapi kita tak perlu takut! Akan kita perlihatkan bahwa kita bangsa Cou tidak takut mati dan tidak boleh dibuat permainan!"

Barisan penyerbu menjadi girang ketika melihat keadaan di luar kampung ini sunyi saja. Mereka mengira bahwa orang-orang Cou tentu sudah tidur nyenyak, maka sambil menghunus senjata mereka menyerbu ke dalam dusun melalui pintu gerbang utara yang mereka robohkan. Di dalam serbuan itu, Eng Eng dari tempat sembunyinya hanya melihat seorang perwira Han bersama Ang Hwa memimpin barisan menyerbu ke dalam, akan tetapi karena gelap ia tidak tahu bahwa perwira itu sebetulnya Sim Tiong Kiat.

Setelah tentara musuh yang memasuki kampung kira-kira ada lima puluh orang tiba-tiba Eng Eng mengeluarkan pekik yang amat nyaring dan ia sendiri lalu melompat turun dari sebuah pohon di mana ia bersembunyi! Kawan-kawannyapun mengeluarkan pekik dahsyat dan keluarlah seratus orang Cou menyerang musuh yang baru datang.

Perang hebat terjadi dan ternyata keadaan sungguh terbalik. Bukan orang-orang Cou yang kaget menghadapi serbuan tiba-tiba, melainkan para penyeranglah yang benar-benar menjadi kaget karena diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou dari kanan kiri!

Dan berbareng dengan keributan hebat di luar kampung itu, ketika Tiong Kiat hendak membawa keluar kembali pasukannya tiba-tiba beberapa orang perajuritnya terjungkal dengan dada tertembus anak panah. Kacau balau keadaan dalam kampung dan Tiong Kiat menjadi pucat. Mereka telah terjebak dan terkurung! la lalu melompat turun dari kudanya dan memberi perintah.

"Lepas api bakar semua rumah!"

Hebat sekali pertempuran di luar kampung. Kurang lebih seratus lima puluh tentara Han dibantu oleh tiga puluh tentara Ouigour diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou yang jumlahnya hanya tujuh puluh orang lebih. Eng Eng mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Kemana saja tubuhnya bergerak, dan pedangnya berkelebat, terdengar pekik mengerikan disusul oleh robohnya seorang tentara kerajaan atau tentara Ouigour!

Juga kawan-kawannya mempergunakan ilmu golok yang mereka pelajari untuk mengadakan perlawanan sengit. Kalau saja yang menyerang itu semua adalah bangsa Ouigour biarpun jumlahnya lebih banyak, tak dapat ragukan lagi bahwa orang-orang Cou ini pasti akan memperoleh kemenangan besar.

Akan tetapi yang mereka hadapi adalah tentara kerajaan dan kali ini Tiong Kiat membawa pasukan pilihan yang rata-rata anggotanya telah mempelajari ilmu silat dengan amat baiknya, maka pertempuran itu berjalan seru dan ramai sekali. Hanya Eng Eng saja seorang yang merupakan pencabut nyawa yang tak dapat dihalangi lagi. Baik perajurit biasa maupun perwira muda dari tentara kerajaan atau tentara Ouigour, apabila kebetulan berhadapan dengan gadis ini, tak dapat menahan lebih dari tiga gebrakan! Pasti akan terjungkal dalam keadaan tewas!

Kegagahan luar biasa inilah yang membuat pertempuran itu menjadi seimbang, karena selain sepak terjang gadis pedang merah ini membikin gentar hati pasukan musuh, juga membesarkan semangat orang-orang Cou yang bertempur penuh semangat dan tak kenal takut!

Bertumpuk-tumpuk mayat dan orang terluka ditimbulkan oleh pertempuran ini, korban yang jatuh fihak penyerbu banyak sekali, dan juga fihak Cou banyak jatuh korban sehingga Eng Eng mulai merasa kuatir. Tak disangkanya bahwa fihak penyerbu benar-benar lihai dan rata-rata memiliki ilmu silat yang terlatih. Ia menjadi marah sekali melihat betapa fihaknya sudah banyak berkurang dan bagaikan seorang gila Eng Eng memutar pedangnya lebih cepat lagi sambil berseru berkali-kali.

"Akan kubasmi kalian anjing-anjing rendah!"

Makin banyak korban yang roboh di bawah sambaran pedangnya dan makin jerihlah para pengeroyoknya. Akan tetapi tiba-tiba Eng Eng melihat cahaya terang dari dalam kampung yang makin lama makin besar. Ketika ia menengok, alangkah kagetnya melihat bahwa kampung itu telah menjadi lautan api. Api bernyala tinggi dan asap telah memenuhi udara, bergulung-gulung di atas kampung yang menjadi terang.

"Terkutuk, mereka membakar rumah-rumah!" seru Eng Eng dengan pucat dan bagaikan seekor burung walet terbang, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya, melompat cepat dan berlari masuk ke dalam kampung.

Tepat di pintu gerbang, ia bertemu dengan dua orang yang juga berlari keluar dari dalam kampung. Mereka ini bukan lain adalah Tiong Kiat dan Ang Hwa! Juga Tiong Kiat dengan amat kaget mendengar dari seorang perajurit bahwa di luar anak buahnya telah diamuk oleh seorang gadis yang amat gagah perkasa dan bahwa banyak sekali perajuritnya yang tewas oleh gadis ini.

Tiong Kiat telah berhasiI membakar semua rumah dan membunuh semua tentara Cou yang tadi bersembunyi di belakang rumah rumah dengan anak panah mereka, sungguhpun untuk tiga puluh orang musuh itu ia kehilangan hampir semua perajuritnya yang telah memasuki dusun!

Ketika mendengar bahwa tentaranya di luar kampung menghadapi bencana maut yang disebar oleh seorang gadis Cou yang amat sakti, ia lalu cepat berlari keluar bersama Ang Hwa dan kebetulan sekali bertemu dengan seorang gadis yang bukan lain adalah Suma Eng!

Untung Eng Eng tidak mengenal perwira ini, akan tetapi ia tidak perduli siapa adanya perwira ini. Dengan kebencian luar biasa karena perwira ini yang memimpin orangnya membakar semua rumah di dalam kampung, Eng Eng lalu maju menerjang dengan pedang merahnya. Ketika perwira itu menangkis dengan sebatang pedang yang bercahaya putih barulah Eng Eng melihat mukanya dan mengenalnya.

"Kau...??" tanyanya dengan tertegun akan tetapi segera disusul dengan kata-kata yang menunjukkan kebencian besar, "Bangsat jahanam! Sekarang tiba saatnya aku mencabut nyawamu!"

Juga Tiong Kiat kaget sekali ketika melihat bagwa gadis yang mengamuk itu bukan lain adalah Suma Eng. Pantas saja para perajuritnya kocar kacir karena yang dihadapi adalah Eng Eng, gadis yang telah dikenal baik kelihaiannya ini!

"Sim-taihiap, dia inilah perempuan hina yang telah melukaiku! Lekas kau robohkan dia untukku!" kata Ang Hwa sambil maju membantu Tiong Kiat dengan pedangnya.

"Anjing betina, kau belum mampus?" Eng Eng membentak gemas. "baiklah biar sekarang kau mampus bersama anjing jantan ini!"

la lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga Ang Hwa terpaksa melompat mundur karena silau matanya. Ia tidak sekuat Tiong Kiat yang dapat menangkis dan menghadapi pedang merah itu. Adapun Tiong Kiat sendiri menjadi serba salah dan bingung. Pertemuan dengan Eng Eng Ini benar-benar tak pernah disangkanya, ia tidak takut terhadap ilmu pedang gadis ini, karena biarpun harus diakui bahwa Eng Eng lihai sekali ilmu pedangnya, namun ia yang kini sudah menyempurnakan Ang-coa-kiamsut dari Kim-liong-pai, tak usah takut akan kalah.

Yang menggelisahkannya adalah kenyataannya bahwa hatinya tidak mengijinkannya untuk melukai apa lagi membunuh gadis yang dicintainya. Baru melihat gadis ini membantu suku bangsa Cou yang memberontak saja, hatinya telah menjadi sakit dan tenaganya Iemas. Ah, bagaimana gadis ini sampai menjadi tersesat dan membantu pemberontak?

Sebaliknya, Eng Eng yang membenci setengah mati kepada pemuda ini, menyerang dengan nekad tidak memperdulikan keselamatannya sendiri. Ang Hwa kini hanya memaki-maki sambil menyerang kadang kadang saja dari belakang karena ia tidak berani menghadapi gadis ini dengan langsung. la mengharapkan agar Tiong Kiat dapat mengalahkan gadis ini.

Melihat sepak terjang Eng Eng, makin sedihlah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa gadis ini bersedia mengadu nyawa dengan dia dan kenyataan betapa hebatnya kebencian gadis itu terhadapnya. Benar-benar membuat ia sering kali tak dapat tidur di waktu malam.

Sekarang kembali Eng Eng telah memperlihatkan kebenciannya dengan serangan-serangan maut yang benar-benar berbahaya, tidak saja berbahaya baginya, bahkan juga berbahaya bagi Eng Eng sendiri. Gadis itu melakukan serangan dengan sepenuh tenaga dan kepandaiannya, sama sekali tidak perduli lagi bahwa serangan-serangan hebat itu membuat sebagian pertahanannya banyak terbuka.

Tiong Kiat maklum bahwa kalau diteruskan mau tidak mau iapun harus mengadu nyawa. Kalau bukan dia, tentu gadis ini yang menggeletak tidak bernyawa menjadi korban pedang pusaka. Dan hal ini ia tidak menghendakinya. Ia cinta kepada Eng Eng, akan tetapi ia lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat beberapa orang pembantunya berada di situ, ia lalu berseru keras,

"Keluarkan perintah menarik mundur pasukan! Kejar keluarga musuh yang melarikan diri, tangkap mereka semua!”

Tiong Kiat ketika memberi perintah membakari rumah tadi mendapat kenyataan bahwa di situ tidak terdapat seorangpun keluarga bangsa Cou, maka sekarang ia mendapat akal baru. la dapat menduga bahwa Piloko tentu mengantar keluarga itu mengungsi buktinya semenjak tadi ia tidak melihat kepala suku bangsa Cou itu.

Dalam keadaan terjepit dalam pertempuran mati-matian melawan Eng Eng, ia sengaja mengeluarkan perintah ini untuk menakut-nakuti hati Eng Eng. Memang siasatnya ini tepat. Mendengar perintah ini Eng Eng menjadi pucat. Betapapun bencinya kepada Tiong Kiat dan betapapun besar nafsunya untuk membunuh pemuda ini, akan tetapi mengingat akan keselamatan keluarga suku bangsa Cou yang terancam, ia melupakan kepentingannya sendiri.

"Jahanam, kejam!" bentaknya marah dan secepat kilat Eng Eng melompat keluar dari dusun itu. Dilihatnya bahwa kawan-kawannya masih bertempur seru melawan musuh yang kini mendapat bantuan dari perajurit perajurit kerajaan yang tadi membakar-bakari itu berada dalam keadaan terdesak hebat.

"Mundur!" teriak gadis itu dan karena ia mengerahkan khikangnya, maka suaranya amat tinggi melengking mengatasi segala kegaduhan pertempuran itu. "Ke selatan, lindungi keluarga!”

Mendengar aba-aba ini, orang-orang suku bangsa Cou lalu cepat melarikan diri ke selatan, Eng Eng sengaja lari paling belakang. Gelombang perajurit musuh yang mencoba untuk mengejar, disambutnya dengan sinar pedangnya yang dengan mudah membabat roboh beberapa orang perajurit, sehingga para pengejar itu menjadi gentar dan mundur. Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Eng Eng dan kawan-kawannya untuk melarikan diri secepatnya mendaki bukit di selatan itu.

Tiong Kiat dan pasukannya tidak berani mengejar, karena mereka merasa bingung di daerah tak dikenalnya ini, apalagi dalam keadaan segelap itu. Mereka takut akan jebakan-jebakan musuh. Untuk apa mengejar? Bukankah ia telah mendapat kemenangan, telah merampas dusun itu, membakar habis rumah-rumah orang Cou dan mengusir mereka?


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Demikian pikir Tiong Kiat. Apalagi fihak orang-orang Cou terdapat Eng Eng yang memimpin, maka semua nafsunya untuk membasmi orang-orang Cou menjadi lenyap. Kalau tidak ada Eng Eng tak dapat disangsikan lagi, Tiong Kiat tentu akan mengejar terus sampai orang terakhir dari suku bangsa Cou terbunuh.


Demikianlah, pada keesokan harinya Tiong Kiat membawa sisa pasukannya yang telah tewas setengahnya lebih itu kembali ke benteng. Ang Hwa berlaku lebih manis kepadanya karena dianggapnya Tiong Kiat telah berhasil membalas dendam, sungguhpun wanita ini masih merasa penasaran karena Eng Eng tak dapat tertawan atau terbunuh.

Adapun Eng Eng yang memimpin sisa anak buahnya mendaki gunung, setelah mendapat kenyataan bahwa musuh tidak mengejar lagi lalu ia berhenti dan mengumpulkan perajuritnya. Ternyata bahwa jumlah mereka tinggal lima puluh orang lagi, Eng Eng merasa berduka sekali karena dalam pertempuran ini, ternyata hampir lima puluh orang telah tewas!

Tiga puluh orang di dalam dusun dan dua puluh di luar dusun. Dan di antara lima puluh orang yang dapat melarikan diri, terdapat pula yang luka-luka. Hampir saja gadis yang gagah ini mengucurkan air matanya. Sambil menggigit bibir Eng Eng bersumpah di dalam hatinya bahwa sewaktu-waktu ia pasti akan dapat membekuk batang leher Tiong Kiat dan sekarang lebih banyak lagi alasan baginya untuk membalas sakit hatinya terhadap pemuda itu.

Mereka beristirahat di lereng gunung dan menjelang fajar, dari atas bukit turunlah Piloko dan sepuluh orang kawannya. Malam tadi ia melihat dari atas bukit betapa dusun mereka terbakar. Hati mereka gelisah sekali akan tetapi apakah daya mereka? Piloko tidak berani meninggalkan keluarga yang berada di puncak bukit, maka dengan hati gelisah sekaIi ia menanti sambil menghibur orang-orang perempuan yang mulai menangis dan mengeluh panjang pendek melihat dusun mereka terbakar itu.

Ketika bertemu ayah angkatnya, Eng Eng memeluk Piloko dan menjatuhkan mukanya pada dada ayah angkat ini. Keduanya merasa terharu sekali.

"Ayah... aku tak dapat mempertahankan... kampung kita... dan lima puluh orang kawan-kawan kita..."

Piloko tak dapat berkata sesuatu, hanya menepuk-nepuk pundak anak angkatnya sebagai usaha menghibur. "Bunga dewa tak perlu berkecil hati!" tiba-tiba seorang diantara para perajurit berkata,

"Biarpun dusun kita terbakar dan beberapa kawan kita gugur, akan tetapi jumlah korban di fihak musuh Iebih banyak lagi! Kita harus merasa bangga karena baru kali ini tentara kerajaan yang terkenal gagah perkasa, ternyata menghadapi kita mereka menderita kerugian lebih besar, biarpun tadinya jumlah mereka dua kali lebih besar daripada jumlah kita!”

Mendengar ucapan ini, semua orang menyatakan setuju, bahkan Piloko sendiri lalu menghibur Eng Eng dengan gagah.

"Ucapan tadi benar, anakku. Mengapa kita harus berkecil hati? Mati dalam perang guna membela bangsa dan mempertahankan kehormatan bangsa adalah mati yang amat berharga. Laki-laki gagah yang manakah tidak ingin gugur di dalam peperangan membela tanah air dan bangsa? Percayalah, arwah dari kawan-kawan kita yang tewas, pada saat ini tentu tersenyum-senyum melihat betapa mereka tidak tewas dengan sia-sia, bahwa pertempuran yang menewaskan mereka itu ternyata membawa kemenangan.”

Terbangun semangat Eng Eng mendengar ini. "Ayah kau benar sekali. Maafkan kelemahan hatiku. Dusun yang sudah musnah biarlah, kita sekarang mencari tempat dan membangun lagi."

"Marilah kita naik ke puncak dan membuat pertahanan di sana. Siapa tahu kaIau-kalau musuh akan mengejar kita." kata Piloko.

Maka naiklah mereka ke atas bukit itu, disambut oleh tangisan keluarga-keluarga yang tidak melihat suami atau ayah mereka ikut datang! Eng Eng dan Piloko dengan bantuan Yamani menghibur keluarga yang kehilangan ayah atau suami dengan berbagai kata-kata bersemangat. Di dalam perjalanan mendaki bukit ini, dengan girang sekali Eng Eng mendapat kenyataan bahwa gunung ini amat suburnya dan amat baik untuk dijadikan tempat tinggal bagi keluarga besar itu.

Puncaknya yang bertanah subur dan luasnya beberapa li itu dikelilingi oleh jurang yang amat terjal dan jalan satu-satunya untuk naik hanya melalui jalan batu karang yang kanan kirinya penuh dengan hutan-hutan di dalam jurang. Hanya puncak-puncak pohon saja yang sampai di jalan batu karang itu. Selain jalan batu karang ini, tidak ada jalan yang dapat membawa orang sampai ke puncak!

"Ayah, tempat ini bagus sekali! Dengan menduduki puncak, biarpun diserang oleh ribuan musuh, kita dapat menghancurkan mereka dengan amat mudahnya!" kata Eng Eng.

Piloko adalah seorang yang semenjak kecilnya seringkali menghadapi pertempuran-pertempuran. Sekali pandang saja ia maklum akan maksud kata-kata anak angkatnya ini. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Memang dengan penjagaan beberapa belas orang saja di puncak, di atas jalan tunggal itu bersenjata batu-batu dan panah, mereka akan dapat menghalau musuh dengan amat mudah.

Jalan itu tidak berapa lebar, hanya dapat dinaiki oleh sejajar yang terdiri dari lima orang. Biarpun musuh berjumlah banyak, namun hanya lima orang yang dapat maju paling depan dan sebelum tiba di puncak, dari atas dengan mudah saja orang dapat melempar batu untuk membuat orang orang atau musuh yang mencoba naik itu terusir pergi!

Sekali lagi sibuklah suku bangsa Cou ini membangun gubuk gubuk di atas puncak. Dengan amat girang mereka mendapat kenyataan bahwa di puncak yang subur itu banyak terdapat pohon-pohon buah dan juga binatang-binatang hutan, Eng Eng lalu mengatur penjagaan di atas mulut jalan tunggal itu dan tempat itu dijaga oleh dua puluh orang secara bergilir dan terus menerus siang malam!

Semenjak mereka tinggal di atas puncak bukit itu, telah dua kali pasukan Ouigour dan pasukan dari Oei-ciangkun mencoba untuk mendaki ke atas, akan tetapi dengan amat mudahnya mereka ini dihalau dan terpaksa membatalkan niatnya ketika dari atas jalan tunggal itu menggelinding batu-batu bagaikan hujan lebatnya! Jalan naik lain telah dicari, akan tetapi sia-sia belaka sehingga akhirnya tidak ada lagi pasukan musuh yang berani naik.

"Aku harus mengajukan protes kepada Kaisar Tai Cung atas serangan-serangan tentara kerajaan yang membantu Ouigour!" kata Piloko dengan marah dan penasaran sekali.

"Bagaimana kalau kau nanti ditangkap di kota raja?" tanya Eng Eng kuatir.

"Tidak mungkin! Tak mungkin kalau dari kerajaan yang besar sudi melakukan kerendahan yang hina itu. Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Kaisar Tai Cung dan melihat sikapnya sungguh aku tidak mengerti mengapa sekarang tentaranya mau mengganggu rakyatku. Aku harus pergi ke kota raja dan minta agar segala gangguan ini dihabiskan!"

Karena kehendak Piloko tak dapat dibantah lagi, akhirnya Eng Eng berkata, "Baiklah ayah. Aku akan ikut dengan kau ke kota raja! Biar aku yang menjadi pembela dan pengawalmu. Kita berdua dapat pergi dengan hati aman karena keluarga kita berada di tempat yang sentosa. Bilakah kita berangkat, ayah?"

"Besok!” jawab ayah angkatnya dengan tegas.

Demikianlah pada keesokan harinya, dari atas puncak, melalui jalan tunggal itu, turunlah Piloko yang mengenakan pakaian kebesaran bersama Eng Eng. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat dan turun dari atas gunung itu, langsung menuju ke selatan, kota raja untuk menghadap Kaisar Tai Cung!

Ketika Tiong Kiat dan Ang Hwa kembali ke benteng membawa berita kemenangan yang telah berhasiI membasmi dusun orang-orang Cou dan mengusir mereka ke puncak gunung, Huayen-khan merasa gembira sekali. Juga Oei Sun menjadi gembira karena ternyata bahwa Tiong Kiat merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, tetapi Go-bi Ngo-koai-tung dan Oei Sun menjadi penasaran sekali ketika mendengar bahwa gadis gagah perkasa yang membantu Piloko bukan lain adalah Suma Eng, nona yang pernah tertawan oleh mereka itu.

"Nah apa kataku dulu?” kata Oei ciangkun kepada Go bi Ngo-koai-tung dengan suara menyesal setelah mereka berada sendiri, "nona itu hanya mendatangkan kesulitan belaka. Kalau dulu kita tidak melepaskannya, tidak nanti kita sampai kehilangan seratus orang dalam pertempuran itu."

Thian It Tosu menarik napas panjang. "Mungkin dia tidak tahu bahwa tentara yang membantu Huayen-khan adalah tentara kita. Kalau kemarin kita yang maju, belum tentu ia suka melawan kita. Akan tetapi sudahlah sekarang Piloko sudah kehilangan banyak orang dan ia telah mengungsi di atas puncak bukit. Apakah artinya beberapa orang Cou itu bagi gerakan kita?"

Akan tetapi ternyata Huayen khan tidak berpikir demikian. Kepala suku bangsa Ouigour ini masih belum merasa puas kalau belum dapat melenyapkan Piloko dari muka bumi ini. Oleh karena itu, diam-diam ia lalu memimpin orang-orangnya untuk menyerbu ke atas gunung. Akan tetapi, ternyata ia menerima hukuman berat dari usaha ini, karena dari atas turunlah batu bagaikan hujan yang melukai banyak orang-orangnya bahkan ada beberapa orang perajurit tewas karena terjungkal ke dalam jurang!

Kembali Huayen-khan minta pertolongan Oei Sun yang menyuruh sepasukan tentara menyerang ke atas gunung. Sama saja, pasukan inipun menderita karena hujan batu dan semenjak itu, Oei-ciangkun maupun Huayen-khan tidak berani lagi mengganggu benteng di puncak gunung dari orang-orang Cou ini.

Sementara itu, Ang Hwa tetap saja mendekati Sim Tiong Kiat tanpa mengenal malu lagi sehingga tak seorangpun di antara orang-orang yang berada di benteng itu tidak tahu akan adanya hubungan antara perwira she Sim yang baru ini dengan Si bunga Merah, isteri dari Huayen-khan, kepala suku bangsa Ouigour yang sudah tua itu.

Pada suatu hari, selagi Tiong Kiat duduk di ruang dalam bersama Ang Hwa, Huayen khan dan Go bi ngo koai tung, seorang penjaga datang memberi laporan bahwa di luar benteng terdapat lima orang tosu yang minta bertemu dengan Sim Tiong Kiat.

Pemuda itu mengerutkan kening. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang pergi keluar benteng, katanya untuk urusan dinas yang tak diketahui olehnya, dan Oei-ciangkun telah menyerahkan komando tertinggi kepadanya sebagai wakil Oei ciangkun. Siapakah tosu-tosu yang datang mencarinya? Tiong Kiat menjadi bimbang, lalu ia bertanya!

"Siapakah mereka itu? Datang dari mana dan perlu apa mencari aku?”

"Kami sudah bertanya Sim ciangkun. Akan tetapi tosu-tosu yang kelihatan galak itu hanya menjawab bahwa mereka ingin bertemu dengan orang yang bernama Sim Tiong Kiat. Mereka tidak mau memberi tahu sama sekali siapa adanya mereka."

Tiong Kiat menjadi makin curiga.

"Sim ciangkun," tiba-tiba Thian It Tosu, orang pertama dari Go-bi Ngo-koai-tung berkata, "mengapa ciangkun ragu-ragu? Keluarlah dan jumpai orang-orang itu. Biar pinto berlima mengantar ciangkun dengan diam-diam dan pinto berlima mengintai dari balik pintu gerbang. Kalau terjadi sesuatu yang mencurigakan, tentu pinto berlima takkan tinggal diam."

"Aku tidak takut sama sekali terhadap siapapun juga, ngowi totiang, hanya aku tadi merasa ragu-ragu apakah baik aku meninggalkan benteng selagi Oei cangkun tidak ada?"

"Kalau mereka dipersilakan masuk, akan lebih kurang baik lagi." kata Huayen-khan yang menaruh curiga.

Akhirnya keluarlah Tiong Kiat, dikawani oleh Ang Hwa yang tidak mau ditinggal, sedangkan Huayen-khan tentu saja bersembunyi di dalam tidak mau memperlihatkan diri, oleh karena ia takut kalau-kalau ada yang melihat ia bersekongkol dengan Oei-ciangkun. Adapun Go bi Ngo-koai-tung lalu mengintai dari belakang daun pintu gerbang yang lebar dan diam-diam mereka menjadi terkejut ketika melihat siapa adanya lima orang tosu itu!

Akan tetapi, baik Tiong Kiat maupun Ang Hwa, tidak mengenal tosu-tosu ini. Tiong Kiat yang melihat lima orang tosu setengah tua yang berdiri dengan tenang dan berjajar rapi sambil memandang tajam, cepat keluar dari pintu dan merangkapkan kedua tangannya.

Setelah memberi hormat, ia berkata, "Tidak tahu siapakah ngo-wi totiang yang terhormat dan kehormatan manakah yang diberikan kepada orang seperti aku sehingga ngowi jauh-jauh datang mencariku?"

Gan Tian Cu dan empat orang sutenya, lima tokoh Kun-lun pai itu saling pandang dan saking herannya, Gan Tian Cu berkata perlahan kepada adik-adik seperguruannya. "Memang serupa benar, pantas saja banyak orang salah duga!"

Tentu saja Tiong Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tosu itu, akan tetapi Gan Tian Cu segera memandangnya dengan mata tajam dan membentak.

"Ang coa kiam ketahuilah bahwa pinto berlima datang dari Kun-lun-pai! Tentu kau masih ingat kepada murid kami yang bernama Lo Ban Tek yang kau bunuh secara sewenang-wenang di kota Ikiang! Pinto berlima datang untuk minta pertanggungan jawabmu atas perbuatan-perbuatanmu yang terkutuk!”

Berbeda dengan Tiong Han ketika menghadapi tuduhan kelima orang tosu ini, Tiong Kiat tersenyum mengejek dan bertanya, "Aha, jadi tegasnya kalian berlima ini jauh-jauh datang dari Kun-lun-san hanya untuk membalas dendam atas kematian Lo Ban Tek manusia kasar itu? Apakah yang hendak kalian lakukan terhadapku? Hendak membunuhku?"

Mendengar pertanyaan yang merupakan tantangan ini, merahlah wajah Gan Tian Cu. "Orang she Sim, kami datang untuk membawamu ke Kun-lun-san agar kau menerima putusan dan hukuman dari para ketua Kun lun-pai. Kalau kau melawan, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!”

"Tosu sombong! Aku Sim Tiong Kiat tidak pernah takut kepada siapapun juga! Benar aku telah membunuh Lo Ban Tek karena ia yang datang mencari dan menantangku. Ia mampus karena memang kepandaiannya masih rendah, kalau dia lebih pandai dari padaku, bukankah aku yang akan mati di tangannya? Kalau seandainya aku yang akan mati, apakah kalian ini juga mau ribut-ribut mengurus perkara ini? Ah, benar-benar kalian ini pendeta-pendeta yang telah kehilangan keadilan, dan hanya bertindak menuruti nafsu hati dan membela golongan sendiri."

"Bisa saja kau memutar lidah, pemuda penuh dosa! Kalau Lo Ban Tek tewas dalam sebuah pibu, biarpun yang dihadapi dalam pibu itu seorang muda jahat seperti engkau, kami takkan sudi mengotorkan tangan kepadamu. Akan tetapi, murid kami itu tewas karena hendak membela kebenaran dan hendak memberantas manusia jahat seperti engkau. Bagaimana kami takkan turun tangan? Sudahlah, manusia cabul dan jahat, lebih baik kau menyerah dan ikut dengan kami ke Kun-lun-san, dari pada kami terpaksa harus menggunakan kekerasan."

Sebagai jawaban atas ucapan ini, Tiong Kiat tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak. Hui liong-kiam (Pedang Naga Terbang) telah berada di tangannya, berkilau terkena cahaya matahari.

"Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaian dari orang Kun-lun-pai maka kalian menjadi sesombong ini? Apakah kalian hendak maju bersama? Silakan, aku tidak takut!" Tiong Kiat sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk memanaskan hati para pendeta itu.

Gan Tian Cu melompat maju dan mencabut pedang dengan tangan kanan dan sebuah hudtim (kebutan) dengan tangan kiri. "Ang coa-kiam kami masih memandang muka Lui Thian Sianjin yang kami hormati maka kami masih bersikap ramah dan murah terhadapmu. Akan tetapi sikapmu yang kurang ajar ini menghapus semua penghormatan yang masih ada dalam hati kami! Lui Thian Sianjin pasti akan memaafkan kami apabila ia melihat sikap muridnya yang murtad!"

"Sudahlah, tosu tua, untuk apa banyak mengobrol lagi? Pergunakan pisau pemotong rumput dan pengusir lalat itu kalau kau memang berani!” Sambil berkata demikian, dengan sikap amat menghina Tiong Kiat lalu menggerak-gerakkan pedangnya di depan muka pendeta itu.

Gan Tian Cu marah sekali dan cepat ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah tenggorokan Tiong Kiat sedangkan kebutan di tangan kiri menyusul dengan sebuah serangan menotok ke arah lambung. Inilah gerak tipu yang disebut Ji-liong jut tong (Dua Naga Keluar dari Gua) yang amat lihai.

Pedang di tangan Gan Tian Cu adalah sebatang pedang pusaka juga dan kini digerakkan dengan cepat sehingga hanya merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah tenggorokan lawan, sedangkan kebutan itu biarpun nampaknya lemas dan lembut, namun digerakkan oleh tangan Gan Tian Cu yang memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, kini menjadi semacam senjata penotok yang lebih keras dari pada baja dan amat berbahaya!

Tiong Kiat maklum bahwa hudtim ini bahkan lebih berbahaya dari pada pedang itu. Serangan pedang itu sekali kelit saja dapat dihindarkan, akan tetapi belum tentu dengan kebutannya. Karena biarpun dapat dikelit, ujung kebutan itu tiba-tiba dapat digerakkan menjadi lemas untuk menyambar ke arah leher atau pundak. Akan tetapi, tidak percuma Tiong Kiat sudah menyempurnakan ilmu pedang Ang-coa-kiam-sut dari kitab ilmu pedang yang benar-benar amat lihai.

Kalau tokoh besar ilmu persilatan menghadapi Tiong Kiat dengan senjata lain, mungkin akan dapat ia mengimbangi ilmu pedang pemuda jago Kim-liong-pai ini. Akan tetapi, Gan Tian Cu mempergunakan pedang pula, dan biarpun telah dibantu pula oleh permainan hudtimnya yang juga amat lihai, namun menghadapi ilmu pedang dari pemuda ini, sebentar saja Gan Tian Cu maklum bahwa ilmu pedang Kun lun kiam hoat masih kalah lihai!

Ketika menghadapi serangan dengan gerak tipu Ji-liong-jut-tong tadi, Tiong Kiat cepat menundukkan tubuhnya dan pedangnya dari kiri diputar ke kanan, sekaligus membabat ke arah pedang dan kebutan lawan dengan gerak tipu yang disebut angcoa-sin-jau (Ular Merah Mengulur Pinggang).

Yang nampak hanya sinar putih panjang dan kuat saja menyambar dari kiri ke kanan dan terdengar suara keras dua kali ketika Hui-liong-kiam itu membentur pedang dan kebutan di tangan Gan Tian Cu. Kedua pihak merasa betapa benturan itu mengakibatkan tenaga mereka menjadi tergetar dan kesemutan, tanda bahwa Iweekang dari pemuda ini sudah mencapai tingkat yang tidak berada di sebelah bawah tingkat Gan Tian Cu.

Gan Tian Cu merasa betapa pedangnya ketika terbentur oleh pedang lawannya, pedangnya itu mengeluarkan bunyi aneh dan terpentalnya seperti tertendang. Ia maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini benar-benar lihai sekali dan pedang yang dipegang oleh pemuda itu ketika digerakkan, agak menggetar dan mempunyai gaya atau tenaga menendang.

Hebat sekali! Akan tetapi Gan Tian Cu adalah tokoh kelas dua di Kun lun-pai, maka tentu saja ia tidak mau tunduk dan tidak merasa takut menghadapi lawan yang masih muda ini. Sambil berseru keras, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang paling istimewa. Juga hudtimnya digerakkan dengan gencar sekali sehingga kini hudtim dan pedang seakan-akan telah berobah menjadi enam buah senjata yang menyerang dari segala jurusan.

Tiong Kiat merasa terkejut juga. Ia maklum bahwa seandainya ia belum memperdalam ilmu pedangnya dari kitab yang dirampasnya dari Tiong Han, agaknya ia takkan dapat menangkan pendeta yang kosen ini. Baiknya ia telah mempelajari ilmu pedang sampai seluruhnya dan telah menemukan jurus rahasia yang belum pernah dipelajarinya dari Lui Thian Sianjin.

Kini ia mengeluarkan jurus-jurus ini yang ternyata bukan main hebatnya. Tubuhnya lenyap dalam bungkusan sinar pedang yang menjadi amat panjang, lebar dan kuat sekali bagaikan seekor naga sakti yang bermain-main diantara awan yang ditimbulkan oleh kebutan dan pedang lawannya!

Benar saja menghadapi ilmu pedang Ang coa-kiamsut yang dimainkan dengan sempurna ini, Gan Tian Cu mengeluh dan menjadi amat kaget. Betapapun ia mengerahkan tenaga dan kepandaian, tetap saja terdesak hebat, dan tidak sanggup membalas, hanya mempertahankan diri saja, itupun dengan susah payah!

Empat orang sutenya yang menyaksikan, betapa suheng mereka terdesak hebat dan terancam bahaya, mengingat bahwa pertempuran itu bukan semacam pibu yang tak boleh dibantu, melainkan semacam penangkapan atas diri seorang penjahat yang lihai, segera mencabut pedang dan menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran!

Betapapun lihainya Tiong Kiat menghadapi lima orang tokoh Kun-lun-pai ini ia menjadi kewalahan juga. Harus diketahui bahwa lima orang ini kepandaiannya tidak kalah olehnya baik ginkang maupun Iweekangnya. Pemuda ini hanya menang dalam hal ilmu pedang, dan keunggulan dalam memainkan pedang inilah yang membuat ia dapat mendesak Gan Tian Cu. Akan tetapi, kini dikeroyok lima tentu saja ia menjadi sibuk juga.

"Sim ciangkun, jangan kuatir, kami membantu!"

Berbareng dengan terdengarnya seruan ini, dari balik pintu gerbang benteng melayang keluar lima bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan lima batang tongkat bambu dengan gerakan luar biasa telah menahan lima pedang dari Gan Tian Cu dan empat orang sutenya.

"Sungguh menggelikan! Tosu ternama dari Kun lun pai mengeroyok seorang muda! Mana ada aturan ini?” kata Thian It Tosu setelah lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu menjadi terkejut dan melompat mundur. Lima orang tosu Kun lun-pai kini berhadapan dengan lima orang tosu yang bukan lain adalah Go-bi Ngo-koai-tung!

Gan Tian Cu dan empat orang sutenya memandang dan biarpun mereka belum pernah melihat Go bi Ngo-koai tung namun melihat jumlah mereka lima orang dan senjata mereka tongkat bambu, Gan Tian Cu dapat menduga-duga lalu mengangkat tangan memberi hormat.

"Kalau pinto tidak salah lihat, bukankah pinto berhadapan dengan Go-bi Ngo-koai-tung yang terhormat?"

Thian It Tosu tertawa bergelak. "Bagus Gan Tian Cu, kau memang bermata tajam. Kami berlima memang datang dari Go-bi dan tongkat buruk ini memang telah berhasil mengangkat nama kami. Pinto mendengar bahwa Gan Tian Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kun lun-pai, seorang yang amat lihai dan menjunjung tinggi aturan di dunia kang-ouw. Akan tetapi hari ini pinto benar-benar melihat keganjilan yang amat lucu. Bagaimana Gan Tian Cu yang menganggap diri sebagai seorang diantara pemimpin partai Kun-lun yang besar mengeroyok seorang pemuda yang telah menjadi perwira kerajaan? Gan Tian Cu tidak tahukah kau bahwa orang tidak boleh memusuhi seorang perwira kerajaan? Apakah kau dan kawan-kawanmu ini mempunyai maksud untuk memberontak?”

Bukan main marahnya Gan Tian Cu dan sute-sutenya mendengar ucapan ini. ”Go-bi Ngo-koai! Sesungguhnya terbalik sama sekali pertanyaan yang kau ucapkan itu. Semestinya kami yang berhak bertanya kepada kalian berlima. Siapakah orangnya di dunia kang-ouw yang belum pernah mendengar nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat? Apakah benar-benar kalian berlima tidak mempunyai telinga dan mata? Perlukah kiranya kami beberkan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Ang coa kiam? Kita semua telah mengaku menjadi pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian, yang semenjak keciI mempelajari ilmu silat untuk dipergunakan sebagai penegak keadilan dan kebesaran. Ang coa kiam adalah seorang pemuda yang jahat dan telah banyak mendatangkan keonaran dan banyak melakukan dosa, mengapa sekarang dapat bertemu dengan kalian di benteng ini? Bagaimana ia dapat menjadi seorang perwira kerajaan? Apakah benar-benar kalian tidak pernah mendengar tentang semua kejahatannya?”

Thian It Tosu tersenyum dan berkata dengan tenang. ”Gan Tian Cu, manusia manakah di dunia ini yang tidak jahat dan berdosa? Pinto tidak suka membongkar-bongkar rahasia dan kesalahan orang, apalagi Sim-ciangkun! Biar apapun juga yang hendak kau katakan tentang dia, buktinya sekarang Sim ciangkun telah menjadi seorang perwira, yang berarti bahwa dia telah berada di jalan benar, menjadi seorang gagah yang setia dan membela negara! Bagiku, seratus kali lebih baik seorang berdosa yang kembali ke jalan benar daripada seorang yang mengaku-aku suci akan tetapi belum tahu bagaimana isi perutnya!”

Tentu saja Gan Tian Cu dan sute-sutenya tahu betul bahwa mereka telah disindir dan dimaki habis-habisan oleh Thian It Tosu, maka marahlah Gan Tian Cu.

”Go-bi Ngo koai! Kami berlima datang untluk berurusan dengan Ang coa kiam Sim Tiong Kiat dan sama sekali kami tidak mempunyai sangkut paut dengan kalian berlima! Maafkan, kami tidak ada banyak waktu lagi untuk mengobrol dengan kalian!”

Setelah berkata demikian, Gan Tian Cu dan empat orang sutenya lalu menyerbu lagi dan menyerang Tiong Kiat yang telah siap sedia. Pemuda ini biarpun maklum bahwa lima orang lawannya amat sukar dan berat dilawan, namun ia tidak mau minta tolong kepada Go bi Ngo koai-tung. Kecuali kalau mereka turun tangan sendiri tanpa diminta, tentu saja dia takkan menolaknya. Kini melihat serangan kelima orang tosu itu, iapun menggerakkan pedangnya sambil membentak,

”Tosu tosu siluman, apa kau kira aku takut menghadapi kalian berlima?”

Kembali pertempuran hebat terjadi. Akan tetapi tentu saja melihat Tiong Kiat berada dalam bahaya, Thian It Tosu dan para sutenya tidak mau tinggal diam begitu saja. Mereka lalu menggerakkan tongkat dan menyerbu membantu Tiong Kiat sehingga pertempuran menjadi makin seru.

Akan tetapi kali ini pertempuran tak seimbang lagi. Kepandaian Go-bi Ngo koai Tung cukup tinggi, tidak berselisih banyak dengan tingkat kepandaian lima orang tokoh Kun-lun-pai itu. Maka serbuan mereka yang membantui Tiong Kiat tentu saja membuat Gan Tian Cu dan empat orang adik seperguruannya menjadi kewalahan dan terdesak hebat.

”Go-bi Ngo koai, tidak kelirukah pandanganku?” tiba tiba Gan Tian Cu sambil menangkis tongkat Thian It Tosu berseru keras. ”Ilmu tongkatmu mengingatkan aku akan ilmu tongkat dari Pek lian kauw!”

Seruan yang keras ini tidak saja membuat Go bi Ngo-koai-tung menjadi terkejut, bahkan Tiong Kiat sendiri pun menjadi kaget sekali sehingga ia melompat mundur dan menunda penyerangannya sambil memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan ke arah Go bi Ngo koai tung.

Nama Pek-lian-kauw memang amat terkenal di kalangan kang-ouw dan tak seorangpun yang tidak mengingat nama ini dengan hati penuh kebencian. Pek-lian-kauw di masa jayanya telah banyak mengorbankan orang-orang gagah, diadu domba dan juga diseretnya ke dalam jurang kehinaan, bahkan perkumpulan ini telah mengadakan pemberontakan besar.

Go bi Ngo koai tung menghadapi lima orang tosu Kun-lun-pai itu dengan mata menyala-nyala saking marahnya. ”Gan Tian Cu, mulutmu benar-benar busuk! Apa hubungannya Pek lian kauw dengan pertempuran ini? Kita orang-orang gagah harus dapat melihat kenyataan di depan mata, tidak menyinggung urusan yang telah lalu! Sekarang kami berlima adalah sahabat, pembantu, dan pelindung dari panglima Oei yang mengepalai pasukan besar dari tentara kerajaan. Kami adalah orang-orang yang membela negara dan kalian bertempur dengan kami karena kalian hendak berkhianat hendak mengganggu seorang perwira!”

Gan Tian Cu tertawa bergelak. ”Ha ha ha! Apa jadinya kalau pemimpin tentara terdiri dari pelarian-pelarian Pek-lian-kauw dan penjahat-penjahat wanita seperti Ang-coa-kiam? Ha ha ha! Go-bi Ngo-koai tung, pantas saja Ang-coa-kiam lari ke tempat ini, tidak tahunya ada orang-orang macam kalian di sini!”

”Tosu bangsat, tutup mulutmu!” teriak Thian It Tosu, sambil maju menyerang dengan tongkat bambunya.

Gan Tian Cu menangkis dan kini lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu bertempur melawan lima orang tosu dari Go-bi-san yang sesungguhnya adalah pelarian-pelarian dari Pek-lian-kauw ini! Bukan main ramainya pertempuran ini, dan Tiong Kiat hanya berdiri dengan pedang di tangan, ragu-ragu untuk maju bergerak. Ia masih merasa heran dan terkejut mendengar bahwa Go-bi Ngo-koai-tung adalah pelarian-pelarian Pek Iian kauw, maka ia tidak tahu harus berbuat apa.

Sudah terang bahwa Gan Tian Cu dan kawan-kawannya adalah musuh-musuhnya yang hendak mencelakakannya, akan tetapi kalau betul Go bi Ngo-koai-tung itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw, ia sendiri merasa sangsi dan juga ngeri untuk membantu mereka!

Gobi Ngo koai tung merasa mendongkol sekali melihat betapa Tiong Kiat berdiri saja seperti patung batu dan tidak membantu mereka. Akan tetapi ternyata bahwa ilmu tongkat dari Go-bi Ngo koai ini benar-benar Iihai sekali. Kalau saja bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw itu hanya bersilat biasa saja, mempergunakan ilmu silat yang wajar, belum tentu Gan Tian Cu dan adik-adiknya akan kalah. Akan tetapi Go-bi Ngo-koai-tung tidak percuma pernah menjadi pengurus-pengurus dari Pek-Iian-kauw, agama gelap yang menipu rakyat berdasarkan ilmu hitam.

Kini menghadapi lawan tangguh, diam-diam Thian It Tosu memberi tanda rahasia kepada adik-adiknya dan berobahlah ilmu silat mereka. Terdengar mereka mengeluarkan bisikan-bisikan perlahan seperti berdoa dan tiba-tiba Gan Tian Cu dan adik-adik seperguruannya melihat dengan hati gelisah dan kaget betapa lima orang lawan mereka itu nampak makin lama makin tinggi besar dan tongkat bambu mereka juga menjadi amat besar dan panjang!...
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12