Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 10
Karena
anak-anak panah ini datangnya berbareng maka Eng Eng lalu mengeluarkan suara
keras dan tubuhnya bergerak amat mengagumkan dan mengherankan. Sekali bergerak
saja, kedua kakinya dengan tendangan berantai telah memukul runtuh dua batang
anak panah, dan lagi yang menuju ke arah dadanya dapat ditangkap oleh kedua
tangannya dan yang menuju ke kepalanya dapat dielakkan sambil menundukkan
mukanya!
Selagi semua
orang terheran-heran, Eng Eng berseru lagi dengan nyaring, "Keledai tua,
kau makanlah sendiri anak panahmu!” sambil berkata demikian, dua tangannya
terayun ke depan dan dua batang anak panah yang tadi ditangkap dengan tangannya
kini melayang bagaikan kilat menyambar ke arah pemiliknya.
Huayen-khan
masih bengong menyaksikan kelihaian Eng Eng menghindarkan diri dari serangan
lima batang anak panahnya. Kini melihat sinar terang menyambar ke arah
perutnya, ia kaget sekali dan cepat ia lalu melompat turun dari kudanya karena
tidak ada jalan untuk menangkis atau mengelak lagi. Ia selamat dari tusukan
anak panahnya, akan tetapi kudanya yang berbulu abu-abu meringkik keras lalu
roboh, keempat kakinya berkelojotan lalu diam!
Ternyata
bahwa Eng Eng melepaskan dua batang anak panah yang disambitkannya itu kedua
jurusan, sebatang ke arah Huayen khan dan yang kedua ke arah kuda itu yang
tepat mengenai dada dan menembus jantung!
Bukan main
marahnya Huayen khan melihat kejadian ini. Saking marahnya, ia sampai menjadi
lupa mempergunakan pikiran sehat lagi. Bila ia tidak begitu marah, tentu ia
dapat mengetahui bahwa gadis di depannya ini sama sekali tidak boleh dibuat
permainan dan tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi ia
sedang marah sekali dan nama Huayen-khan bukanlah nama yang baru saja muncul.
Dia adalah seorang tokoh yang amat terkenal, bahkan bangsa Mongol dan Tartar
sendiri merasa keder mendengar nama ini.
Orang-orang
Mongol memberi julukan 'Panah setan' kepadanya, sedangkan orang-orang Tartar
memberi nama poyokan 'Golok Peminum darah'. Tentu saja kini baru bertemu
pertama kali sudah diperhina dan dipermainkan oleh seorang gadis muda,
kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok besarnya dan menerjang maju sambil
berseru keras. Dalam kemarahan dan juga kesombongannya ia memandang ringan
kepada lawan ini, sehingga ia lupa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk
menyerbu.
Oleh karena
semua anggota pasukannya amat takut dan taat kepada Huayen-khan yang galak dan
keras, maka mereka tidak ada yang berani turun tangan dan hanya menanti sampai
kepala mereka merobohkan gadis fihak musuh yang lancang dan berani itu. Akan
tetapi ternyata kali ini Huayen khan kecele besar sekali. Baru saja goloknya
menyambar, tiba-tiba berkelebat sinar merah dan ia merasa seakan-akan pangkal
lengannya akan copot dari pundaknya!
Lengannya
tergetar hebat dan matanya menjadi silau oleh cahaya api yang berpijar keluar
dari goloknya yang beradu dengan pedang merah di tangan nona itu. Ketika ia
cepat menarik kembali golok besarnya, ternyata golok besarnya itu rompal
sedikit karena beradu dengan pedang itu. Bukan main kagetnya hati Huayen-khan.
Golok besarnya adalah sebuah golok pusaka yang ampuh dan keras, bagaimana
sekarang sampai dapat gompal sedikit ketika beradu dengan pedang nona yang
nampaknya amat tipis dan tidak kuat itu?
Akan tetapi
Eng Eng tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak melamun, karena segera
pedang merah di tangannya itu berobah menjadi segulung sinar merah yang
bergulung-gulung bagaikan seekor naga merah mengamuk!
Huayen khan
bukan anak kemarin sore yang baru kali ini menghadapi lawan tangguh, maka ia
cepat memutar goloknya, mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan sambil
menangkis dan mengelak, iapun membalas dengan serangan-serangan kilat yang tak
kalah berbahayanya.
Akan tetapi,
baru bertempur lima belas jurus saja, seperti orang-orang lain yang pernah
menghadapi Eng Eng dalam pertempuran, kepala Huayen-khan telah menjadi pening
dan pandangan matanya kabur. Ia menjadi bingung sekali karena sesungguhnya
gerakan pedang dari gadis ini luar biasa anehnya.
Tampaknya
demikian kacaunya seperti orang mabok memutar pedang, tetapi di dalam kekacau
balauan ini tersembunyi daya tempur yang luar biasa kuatnya, gerakannya kacau,
akan tetapi setiap serangan amat cepat dan berbahaya sedangkan ilmu silat
pedang yang nampak kacau balau itu ternyata amat sukar untuk dipecahkan dan
amat sukar untuk diserang.
Setelah ia
dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, Ang Hwa yang melihat keadaan
suaminya mulai terdesak hebat dan bingung oleh sinar pedang yang merah itu,
menjadi tidak sabar. Sambil mengeluarkan suara keras ia lalu melompat turun
dari kudanya, menghunus pedangnya dan menyerbu. Melihat betapa Eng Eng
dikeroyok, piloko hendak turun tangan. Akan tetapi, Eng Eng berseru,
“Saudara
Piloko, biarlah dua ekor anjing ini kau serahkan kepadaku. Lebih baik kau
pimpin kawan-kawan untuk mengusir musuh-musuhmu itu!"
Piloko tidak
berani membantah, maka ia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Mulailah
orang orang Cou itu bersorak sambil menyerbu orang-orang Ouigour yang tidak
menyangka-nyangka sama sekali. Terjadilah perang tanding yang amat ramai dan
hebat, perang tanding yang kacau balau di luar pintu gerbang dusun itu. Piloko
dan isterinya mengamuk hebat, memimpin kawan-kawan mereka menyerbu musuh yang
menjadi kacau karena tidak mendapat pimpinan dari kepala mereka.
Adapun
Huayen-khan dan Ang Hwa yang mengeroyok Eng Eng, tiba-tiba menjadi terkejut
sekali ketika Eng Eng mengeluarkan pekik yang nyaring dan gerakan pedang
merahnya makin hebat saja. Sekali sabet sambil mengerahkan tenaga, golok di
tangan Huayen khan patah sampai di gagangnya dan ketika kakinya terayun ke arah
Ang Hwa, nyonya muda ini menjerit ngeri dan tubuhnya terpental sampai tiga
tombak jauhnya.
Baiknya Ang
Hwa pernah mendapat latihan ilmu Iweekang yang cukup tinggi dari cabang
persilatan Kun-lun pai, maka biarpun ia menderita luka di dalam lambung dan
mulutnya mengeluarkan darah, namun ketika tertendang tadi ia masih sempat
mengerahkan tenaga penolakan hingga lukanya tidak membahayakan nyawanya. Akan
tetapi, sepak terjang Eng Eng ini sudah cukup membuat hati mereka menjadi
gentar sekali.
"Serang
dia !” seru Huayen khan kepada para pembantunya yang segera menyerbu dan
mengeroyok Eng Eng.
Sebentar
saja Eng Eng dikeroyok oleh sepuluh orang Ouigour yang terkenal memiliki
kepandaian lumayan. Akan tetapi, begitu pedang Eng Eng menyambar-nyambar di
sana-sini terdengar seruan kesakitan, disusul robohnya orang-orang yang
mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan saja Eng Eng telah membabat roboh lima
orang pengeroyok dengan cara sama mudahnya dengan orang membabat rumput saja!
Huayen khan
yang pergi menolong istrinya menjadi makin gelisah melihat betapa
orang-orangnya banyak yang menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu. la
segera memondong tubuh Ang Hwa yang masih pingsan dan melompat ke atas kuda
putih, kuda tunggangan Ang Hwa yang terkenal baik dan cepat sekali larinya,
lalu berseru,
"Mundur
semua!"
Setelah
memberi aba-aba mundur ini, Huayen-khan lalu membalapkan kudanya lari dari
tempat itu. Piloko dan Yamani tidak berani mengejar, adapun Eng Eng yang
tadinya ingin mengejar dan menewaskan dua orang itu, tidak mempunyai kesempatan
karena ia masih dikeroyok dan dikurung oleh orang orang Ouigour. Ketika ia
berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok dengan sekali serangan sehingga yang
lain menjadi jerih dan mundur, ternyata kuda putih yang ditunggangi oleh
Huayen-Khan telah lenyap dari situ, hanya suara derap kakinya saja terdengar
sudah amat jauh.
Orang-orang
Ouigour ketika mendengar aba-aba yang dikeluarkan oleh Huayen-khan tidak mau
membuang banyak waktu lagi, lalu melarikan diri meninggalkan mereka yang tewas
dan terluka. Pertempuran kali ini adalah pertempuran pertama yang mendatangkan
kemenangan besar sekali bagi fihak bangsa Cou, maka tentu saja mereka menjadi
amat gembira.
Makin
kagumlah semua orang terhadap Eng Eng, bahkan malam itu lalu diadakan perayaan
untuk merayakan kemenangan itu serta untuk menghormati Eng Eng. Dalam perayaan
ini, Piloko dan Yamani mengajukan usul, yakni mengangkat Eng Eng sebagai kepala
suku bangsa Cou! Akan tetapi Eng Eng cepat menolak dengan manis sambil berkata,
"Kalian
ini sungguh keterlaluan. Bagaimana seorang gadis muda yang bodoh seperti aku
hendak dijadikan kepala suku bangsa? Memang tak perlu kusangkal lagi bahwa
mungkin dalam ilmu silat, aku mempunyai kepandaian paling tinggi diantara
kalian semua. Akan tetapi, kepandaian silat saja masih belum bisa membikin
orang menjadi seorang kepala suku bangsa! Bagaimana aku berani menerimanya?
Untuk mengatur diriku sendiri yang sebatang kara ini saja bagiku masih amat membingungkan,
bagaimana aku harus mengatur penghidupan ratusan orang? Ah, tidak, saudara
piloko, maafkan saja, pengangkatan ini aku sama sekali tidak berani terima.”
Tiba-tiba
Piloko menangis sambil berkata dengan perlahan, akan tetapi terdengar oleh semua
orang yang berkumpul di situ. "Ah, memang nasib bangsaku amat buruk.
Agaknya sudah menjadi takdir bahwa suku bangsa Cou harus lenyap dari muka bumi
ini. Tadinya kita mengira bahwa Bunga Dewa akan membebaskan kita dari
penderitaan dan kehancuran, akan tetapi setelah dia menolak, sama artinya
dengan keputusan dari langit bahwa bangsa Cou harus lenyap. Kalau Suma Iihiap
tidak mau memimpin kita, akhirnya tentu kita akan ditinggalkan dan... kalau
sampai terjadi hal demikian, lalu bangsa Ouigour atau bangsa lain menyerang
kita, apa yang dapat kita lakukan? Sudahlah… memang sudah nasib kita yang amat
buruk, keselamatan kita hanya tergantung kepada Suma lihiap saja dan sekarang
dia tidak mau menerima permintaan kita…"
Ucapan ini
dikeluarkan dengan suara terisak-isak tertahan sehingga semua orang menjadi
terharu dan di sana-sini terdengar suara tangis orang-orang perempuan, termasuk
Yamani.
Eng Eng
menarik napas panjang. "Saudara Piloko, kau tidak adil! Dengan omonganmu
ini, bukankah berarti bahwa kalian hendak mengikat diriku disini? Aku sendiri
sudah cukup menderita, hidup sebatang kara, tidak tentu tujuan, tidak tahu
apakah yang akan terjadi dengan diriku, ditambah kalian hendak mengikat aku di
sini, lalu apakah aku tidak berhak pula untuk mencari kebahagiaan hidup?
Semenjak kecil aku sudah hidup penuh kepahitan, kegetiran, kesengsaraan dan
sekarang…setelah aku berjasa... ah, masihkah aku harus menambah beban hidupku
dengan memikirkan kehidupan ratusan orang bangsamu…?”
Bicara
sampai di sini, Eng Eng teringat akan keadaannya sendiri dan karena terharunya,
menangislah gadis pendekar ini! Ia menubruk dan merangkul Yamani, lalu menangis
tersedu-sedu, belum pernah ia menangis sesedih itu. Gadis perkasa ini memang
selamanya belum pernah menjadi demikian sedihnya, dan baru kali ini, ditengah
orang-orang yang bersimpati kepadanya, yang memilihnya sebagai kepala, ia
demikian terharu sehingga ia menangis dengan hati terasa bagai diremas-remas!
"Diamlah,
nak. Maafkan kami yang terlalu mengingat keadaan sendiri. Diamlah, anakku yang
baik, kau memang pantas dikasihani." kata Yamani sambil mendekap kepala
gadis itu.
Eng Eng
makin merasa terharu dan mendengar hiburan ini, tangisnya makin menjadi. Ia
merasa betapa suara Yamani itu penuh dengan kasih sayang, dan ia yang selama
ini merasa rindu akan kasih sayang seorang ibu, kini tiba-tiba merasa bahwa
alangkah baiknya dan senangnya kalau Yamani menjadi ibunya!
"Tidak,
tidak. Kalian tidak salah apa-apa, memang sudah seharusnya aku melindungi dan
membantu kalian orang-orang baik dan tertindas ini. Biarlah aku menjadi anakmu,
biarpun aku tidak menjadi kepala, akan tetapi sebagai anakmu aku akan
membelamu. Siapa saja yang berani mengganggu ayah bundaku juga bangsaku, akan
kuhajar habis-habisan!”
Ucapan ini
dikeluarkan dalam bahasa Cou maka semua orang dapat mendengar dan mengerti
artinya. Bukan main girangnya semua orang, terutama sekali Piloko dan Yamani
sendiri. Mereka saling pandang dan hampir tak dapat mempercayai pendengaran
mereka. Yamani lalu memeluk Eng Eng sambil berkata,
"Anakku...
Eng Eng anakku sayang…"
"Aku...
dan juga kau, ayah. Jangan khawatir, aku akan memberi latihan ilmu silat kepada
kawan-kawan kita. Sebelum keadaan kawan-kawan kuat dan boleh diandalkan, aku
takkan meninggalkan kalian semua."
Bukan main
girangnya Piloko mendengar betapa gadis pendekar ini menyebutnya ayah. Wajahnya
berseri-seri. la merasa seakan-akan anaknya yang dulu telah meninggal dunia
karena sakit kini telah hidup kembali. Matanya yang biasanya bermuram ini kini
menitikkan dua butir air mata.
"Anakku,
kau baik sekali. Terima kasih kepada Dewa yang agung yang telah mengirim bunga
dewa kepadaku. Alangkah besar kehormatan yang kunikmati dapat menjadi ayah dari
bunga dewa !”
Setelah
berkata demikian, Piloko lalu berlutut dengan kedua tangan terangkat ke atas
sebagai penghormatan dan pernyataan terima kasih kepada penghuni langit! Melihat
hal ini, Yamani dan semua orang yang berada di situ, lalu ikut pula berlutut
seperti yang dilakukan oleh Piloko.
Melihat
kesungguhan wajah dan sikap mereka, Eng Eng merasa betapa tulang rusuknya
menjadi dingin, maka iapun lalu ikut berlutut seperti yang dilakukan oleh ayah
dan Ibu angkatnya serta sekalian orang Cou yang berada di situ.
Mulai hari
itu, Eng Eng mulai melatih ilmu silat lebih lanjut kepada orang-orang Cou yang
belajar makin giat dan rajin lagi sehingga mereka mendapat kemajuan pesat.
Selama itu
tidak nampak gangguan lagi dari fihak Ouigour sehingga orang orang Cou hidup
dengan aman dan tenteram, menyangka bahwa Huayen-khan telah mendapat hajaran
dan tidak berani muncul lagi. Akan tetapi dugaan mereka ini sebetulnya salah
sekali, karena orang seperti Huayen-khan tak mungkin dapat mengalah begitu
saja. Baiknya hal ini dapat diduga oleh Eng Eng yang sengaja untuk sementara
waktu tidak mau meninggalkan Piloko dan anak buahnya.
Sementara
itu, para penyelidik yang disuruh oleh Piloko untuk mencari jejak Sim Tiong
Kiat seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng ternyata kembali nihil. Mereka telah
merantau ke selatan sampai ke kota raja, akan tetapi tidak dapat mencari pemuda
itu di kota raja atau kota-kota lain.
Hal ini
tentu saja amat mengecewakan hati Eng Eng dan membuat dia makin malas untuk
mencari Tiong Kiat, karena setelah lima orang penyelidik itu merantau ke
selatan dan mencari-cari tidak juga berhasil dia sendiri yang tak begitu
mengenal daerah ini, harus mencari ke manakah?
Akan tetapi
ia tidak putus asa karena nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat adalah nama yang
mulai terkenal di kalangan kang ouw sedangkan anak buah Piloko telah minta
pertolongan orang orang gagah di kalangan kang-ouw untuk memberi berita ke
utara apa bila sewaktu-waktu mendengar tentang penjahat muda itu. Eng Eng
merasa yakin bahwa sekali waktu ia pasti akan berhadapan muka dengan pemuda
musuh besarnya itu!
Sama sekali
ia tidak pernah mengimpi bahwa pada waktu itu, Tiong Kiat tidak berada di
tempat jauh, bahkan sama sekali tak pernah menduga bahwa tak lama lagi ia akan
berhadapan muka sama muka dengan pemuda itu dalam keadaan yang amat tak
tersangka!
Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, dalam rencana dan usaha mereka untuk
berkhianat, Oei Sun atau Oei ciangkun bersama Go bi Ngo-koai tung, diam-diam
mengadakan pesekutuan rahasia dengan Huayen-khan pemimpin suku bangsa Ouigour
dan juga diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan bangsa Mongol di utara.
Huayen-khan
dan Ang Hwa yang menderita kekalahan hebat dari Piloko yang dibantu Eng Eng,
menjadi amat sakit hati dan mereka teringat kepada Oei-ciangkun. Setelah
mengadakan perundingan mereka itu lalu membawa sisa pasukan menuju ke benteng
di lereng bukit dekat kota Hong-bun.
Kedatangan
mereka diterima dengan baik oleh Oei-ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung akan
tetapi Sim Tiong Kiat merasa tidak enak juga ketika ia melihat kedatangan
Huayen-khan dan Ang Hwa yang pernah bertempur dengan dia. Sebaliknya kepala
suku bangsa Ouigour itu menjadi kaget sekali melihat Sim Tiong Kiat berada di
dalam benteng ikut pula menyambutnya, bahkan telah mengenakan pakaian sebagai
seorang perwira! Akan tetapi Ang Hwa memandang dengan wajah berseri lalu
berkata girang.
"Ah,
tidak tahunya Sim taihiap sudah berada di sini pula! Sungguh menggirangkan
sekali. Kalau aku tahu sudah dulu-dulu aku datang ke sini. Mengapa kau tidak
memberi kabar tentang adanya Sim-taihiap di sini, Oei ciangkun?" katanya
kemudian sambil mengerIing tajam ke arah Oei-ciangkun.
Oei Sun
tertegun. Panglima ini dapat menduga bahwa tentu dahulu pernah terjadi sesuatu
antara Sim Tiong Kiat dan nyonya yang cabul ini.
"Siapa
tahu bahwa kalian sudah saling mengenal?" tanyanya menggoda.
"Kami
sudah saling mengenal dengan baik sekali!" jawab Ang Hwa sambil menyambar
Tiong Kiat dengan sinar matanya yang tajam.
Ketika Oei
Sun menengok ke arah Huayen khan, orang tua ini mengangguk dan berkata,
"Kenalan lama, kenalan baik!"
Kemudian ia
lalu menarik tangan Oei ciangkun diajak masuk ke dalam, meninggalkan isterinya
bersama Tiong Kiat. Setelah berada di dalam, ia berbisik kepada Oei Sun.
"Oei
ciangkun, bagaimana pemuda itu bisa menjadi seorang perwiramu? Kenal betulkah
kau kepadanya? Setahuku, ia amat setia kepada kaisar!"
Dengan
singkat dan cepat Huayen khan lalu menuturkan peristiwa keributan di dalam
tendanya dahulu, di mana Tiong Kiat menyatakan tetap setia kepada kaisar
sehingga menolak tawaran Huayen-khan yang memberikan istrinya untuk
melayaninya!
Oei Sun
mengangguk-angguk. "Aku sudah menduga demikian, akan tetapi belum tentu ia
betul-betul bersetia. Orang yang sudah menjadi jai-hwa-cat dan sudah suka
menjalani jalan hek-to (jalan hitam, penjahat) tak mungkin dapat mempunyai hati
setia. Aku amat sayang akan kepandaiannya yang tinggi dan perlahan-lahan aku
sedang menarik dan membujuknya. Kalau sampai dia bisa berobah sikap dan
membantu kita, bukankah dia merupakan tenaga yang amat baiknya?"
Huayen-khan
mengangguk-angguk. "Memang demikianlah kehendakku dahulu, akan tetapi Ang
Hwa tidak berhasil sehingga diantara dia dan kami bahkan timbul pertempuran
hebat. Terus terang saja, akupun merasa kagum sekali melihat ilmu
silatnya."
Oei Sun
memandang keluar di mana Ang Hwa dengan sikap yang genit dan menarik sedang
bercakap-cakap dengan Tiong Kiat. Tak dapat disangkal lagi dan amat mudah
dilihat betapa pemuda itu memandang kepada Ang Hwa dengan mata amat tertarik.
Oei ciangkun tersenyum dan berkata,
"Kurasa
Ang Hwa bukannya tidak berhasil sama sekali. Kau lihat saja bukankah ikan emas
itu sudah masuk dalam perangkapnya?"
Huayen khan
juga memandang keluar dan iapun dapat melihat betapa sesungguhnya Tiong Kiat
amat tertarik oleh Ang Hwa dan sedang memandang kepada nyonya muda itu dengan
mesra.
"Huayen-khan
sebetulnya apakah keperluanmu datang ke benteng? Melihat wajahmu dan semua
orang orangmu agaknya kau telah mengalami kekecewaan besar."
"Kekecewaan?
Bukan hanya kecewa, bahkan aku telah mengalami kekalahan besar, banyak orangku
tewas bahkan Ang Hwa sendiri hampir saja tewas dalam peperangan itu."
Oei ciangkun
terkejut. "Apa katamu? Apakah rombonganmu telah bertemu dengan pasukan
dari kota raja?"
"Kami
telah dipukul habis-habisan oleh orang-orang Cou."
"Apa?
Piloko? Tak mungkin, bagaimana dia bisa memukul pasukanmu?"
"Inilah
yang amat menyebalkan! Kalau pasukan kota raja yang mengalahkan pasukanku itu
sih tidak berapa menjengkelkan. Akan tetapi pasukan Cou! Ah, sungguh bisa bikin
orang mati karena gemas. Pasukan Cou sekarang rata-rata memiliki kepandaian
yang tinggi dan diantara mereka terdapat seorang gadis Han yang luar biasa
lihainya sehingga aku dan Ang Hwa hampir saja celaka di dalam tangannya."
Huayen khan lalu menceritakan tentang pertempuran itu.
Oei-ciangkun
makin terheran. "Apakah gadis itu masih muda, cantik dan langsing,
berpedang merah?"
Kini
Huayen-khan yang terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu? Betul, memang gadis
itu cantik jelita, tidak kalah oleh Ang Hwa dan pedang merahnya lihai
sekali."
Oei-ciangkun
tak perlu menceritakan kepada Huayen-khan tentang Eng Eng yang pernah tertawan
olehnya, hanya berkata setelah berpikir sebentar. "Bagus sekali, aku
mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa kita tidak mengadukan Sim ciangkun
dengan gadis pembela Piloko itu? Dengan jalan demikian, bukankah sekali tepuk
mendapat dua ekor burung? Di satu fihak kita dapat menguji kesetiaan
Sim-ciangkun kepadaku, dan kedua kita dapat pula membalaskan sakit hatimu
terhadap orang-orang Cou. Juga mereka itu perlu dibasmi karena kalau tidak akan
mendatangkan bahaya di hari kemudian bagi rencana kita!"
Akan tetapi,
ketika Oei-ciangkun dan Huayen-khan mengadakan perundingan dengan Go-bi Ngo
koai-tung, pada saat itu juga Ang Hwa sendiri telah berhasil menawan hati Tiong
Kiat untuk kedua kalinya dan nyonya muda ini dengan sikap yang amat menarik
menuturkan bahwa ia dihina oleh Piloko sehingga hampir saja nyawanya melayang.
Tiong Kiat
yang mulai mabok oleh kecantikan dan gaya Ang Hwa, tanpa disadarinya telah
memberi kesanggupan bahwa ia tak akan membiarkan sakit hati itu dan akan
membunuh Piloko. Tiong Kiat mengeluarkan janji ini karena ia telah mendengar
dari Oei ciangkun betapa Piloko adalah kepala suku bangsa Cou yang hendak
memberontak dan membikin kekacauan hingga sudah patut dibasmi.
Go-bi
Ngo-koai-tung menganggap usul Oei ciangkun untuk menyuruh Tiong Kiat membantu
orang-orang Ouigour membasmi Piloko dan anak buahnya amat baik. Demikianlah,
beramai-ramai mereka lalu mendatangi Tiong Kiat yang sedang bercakap-cakap
dengan amat asyiknya dengan Ang Hwa.
"Sim
ciangkun." Oei Sun mulai berkata dengan muka sungguh-sungguh,
"seperti pernah kukatakan kepadamu, orang-orang Cou yang dikepalai oleh
Piloko amat jahat dan berbahaya. Sekarang Piloko telah melatih orang-orangnya
dan baru saja ia telah menyerang Huayen khan dan menimbulkan banyak kematian
dan kerusakan. Kalau tidak lekas-lekas dibasmi, tentu kelak orang-orang Cou itu
akan berani menyerang benteng kita, bahkan mungkin sekali akan berani memasuki
tembok besar dan mengganggu rakyat. Oleh karena itu, aku harap kau suka
memimpin sepasukan perajurit, bersama-sama dengan pasukan Ouigour yang menjadi
penunjuk jalan, menggempur orang-orang Cou itu. Kalau mungkin bunuh atau tawan
Piloko atau setidaknya biarlah merasai kelihaian kita."
Sambil mengerling
ke arah Ang Hwa, Tiong Kiat menjawab. "Baiklah, Oei ciangkun. Urusan
orang-orang Cou ini mudah saja, biarlah aku yang akan membikin beres. Bilakah
aku berangkat?"
Hampir
berbareng Huayen-khan dan Oei ciangkun berkata,
"Sekarang
juga, lebih cepat lebih baik."
Akan tetapi
tiba-tiba Ang Hwa berkata, "Lebih baik besok pagi saja, karena pasukan
kita perlu beristirahat. Lagi pula, akupun akan ikut sendiri untuk membalas
dendam!"
Kerling mata
yang penuh arti dari nyonya muda ini ke arah suaminya membuat Huayen-khan
diam-diam menghela napas. Ia maklum bahwa isterinya telah jatuh hati kepada
pemuda she Sim ini dan iapun tahu sepenuhnya bahwa istrinya menghendaki agar
diperbolehkan berdekatan dengan Sim Tiong Kiat!
"Memang
betul juga," akhirnya Huayen-khan, suami tua bangka ini berkata,
"pasukan kami yang telah terpukul itu amat lelah dan perlu
beristirahat."
Demikianlah,
selanjutnya dapat diduga bahwa Tiong Kiat telah terjerumus dalam perangkap yang
di pasang oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Pemuda itu tergila-gila kepada Ang Hwa
yang sengaja bersikap amat manis kepadanya. Kini Tiong Kiat tidak menolak
seperti dulu, karena kalau dulu ia anggap sikap manis Ang Hwa itu untuk
menyeretnya ke jurang penghianatan terhadap kaisarnya.
Kini nyonya
muda yang cantik ini bersikap manis karena memang suka kepadanya, dan karena
mengharapkan bantuannya untuk membalas dendam kepada bangsa Cou. Dan menurut
anggapan Tiong Kiat, Piloko dan pasukannya memang pantas digempur da
dibinasakan agar jangan mengganggu dan mengacau rakyat!
Pada
keesokan harinya, berangkatlah Tiong Kiat memimpin sepasukan perajurit yang
berjumlah dua ratus orang, didahului oleh sepasukan kecil perajurit Ouigour
sebagai penunjuk jalan. Ang Hwa tetap berada di dekatnya. Hal ini disetujui
oleh Huayen khan dan Oei ciangkun, karena diam-diam Ang Hwa merupakan seorang
penilik untuk menyaksikan bagaimana sikap pemuda itu dalam menghadapi Piloko
dan gadis pendekar yang membelanya.
Mereka tiba
di hutan dekat dengan dusun yang menjadi tempat tinggal orang-orang Cou dan di
situ mereka berhenti. Tiong Kiat mengadakan perundingan dengan Ang Hwa dan
orang-orang Ouigour yang menjadi pembantu Huayen khan.
"Lebih
baik kita serbu mereka malam hari ini juga." usul Ang Hwa yang sudah tak
sabar lagi menanti lebih lama.
"Hal
itu berbahaya sekali." kata Tiong Kiat yang biarpun belum mempunyai
pengalaman dalam perang, namun sudah mempelajari siasat-siasat peperangan dari
Oei ciangkun. "Mereka lebih faham tentang keadaan daerah ini. Pertempuran
di malam hari yang gelap ditempat yang belum kita ketahui baik keadaannya, amat
berbahaya bagi pasukan kita. Lebih baik kita menanti di hutan ini sampai besok
pagi baru menyerang."
"Apa
sukarnya?" Ang Hwa berkata dengan bibir cemberut dan pandangan mata
mengejek. "Apa kau takut? Jumlah tentara kita lebih banyak, kita serbu
kampung mereka dengan tiba-tiba dan kalau mereka lari kita lalu bakar
rumah-rumah mereka. Bukankah hal itu akan menjadi beres? Serahkan saja Piloko
kepadaku dan kau menghadapi gadis liar yang membantunya itu. “
Dikatakan
takut dan diejek oleh kekasihnya yang baru ini, panaslah hati Tiong Kiat. Ia
maklum bahwa memang sesungguhnya pasukannya tidak usah takut kalah, akan tetapi
bertempur dalam gelap itu akan menjatuhkan lebih banyak korban di fihaknya, dan
hal ini tadinya hendak dicegahnya.
"Baiklah,
kita serbu sekarang!"
Setelah
berkata demikian, Tiong Kiat lalu memberi aba-aba dan menyerbulah pasukan
kerajaan yang dua ratus orang jumlahnya, dibantu oleh tiga puluh orang lebih
pasukan Ouigour yang hendak menuntut balas. Jauh sebelum pasukan ini tiba di
dusun tempat tinggal orang Cou, penduduk kampung itu telah mendengar berita
tentang penyerbuan ini dari para peronda. Piloko dan Eng Eng cepat mengatur
persiapan.
"Ayah,"
Kata Eng Eng di tengah-tengah kesibukan itu. "kau bawalah teman keluarga
wanita dan anak-anak menyingkir ke arah gunung di sebelah selatan itu. Biar aku
memimpin kawan kawan untuk mempertahankan diri!”
Piloko
maklum bahwa siasat Eng Eng ini memang tepat. Dari penjaga dan peronda, mereka
mendengar bahwa penyerbu-penyerbu itu berjumlah dua ratus orang lebih, maka
kalau keluarga tidak diungsikan lebih dulu, maka akan berbahaya sekali
keadaannya. Di samping menghadapi musuh, juga mereka terpaksa harus melindungi
keluarga mereka. Kalau keluarga mereka sudah diungsikan lebih dulu ke atas
gunung, tentu pertahanan akan dapat dilakukan lebih kuat lagi.
Tanpa banyak
cakap lagi Piloko Ialu mengumpulkan semua keluarga yang sudah siap pula
mengangkut barang-barang yang terpenting seperti pakaian dan lain lain kemudian
dengan hanya membawa sepuluh orang kawan laki-laki, Piloko lalu mengajak mereka
keluar dari pintu gerbarg sebelah selatan dan melarikan diri di malam gelap
menuju ke gunung di sebelah selatan.
Mereka tidak
berani mempergunakan obor, oleh karena hal ini tentu akan terlihat oleh musuh.
Karena mereka sudah paham akan daerah itu, biarpun di malam gelap, dapat juga
mereka mencari jalan dan bergerak maju dengan cepat.
Adapun Eng
Eng cepat mengatur persiapan. Ia memasang barisan pertahanan di kanan kiri
depan pintu gerbang utara dari mana penyerbu itu datang, dan diam-diam ia
memasang barisan panah di dalam kampung, bersembunyi di belakang rumah-rumah
sebanyak tiga puluh orang ahli anak panah. la telah mengatur siasatnya dengan
suara gagah dan nyaring.
“Kawan-kawan,
musuh yang datang menurut laporan adalah orang-orang Ouigour yang dibantu oleh
tentara kerajaan. Aku sendiri bingung mendengar bagaimana tentara kerajaan
sampai membantu perbuatan orang Ouigour yang memusuhi kita, akan tetapi tak
perlu hal itu dibicarakan lagi. Sekarang dengarlah baik-baik. Pihak musuh
berjumlah dua ratus orang lebih berarti dua kali lebih banyak dari pada kita.
Orang-orang yang bersembunyi di luar kampung, apabila nanti melihat mereka
menyerbu, jangan bergerak dulu dan biarkan sebagian dari tentara musuh memasuki
kampung. Setelah itu barulah aku akan memberi tanda menyerang. Adapun
kawan-kawan yang bersembunyi di dalam kampung, begitu melihat musuh masuk,
harus segera mengerjakan busur dan anak panah menyerang dari balik-balik rumah.
Akan tetapi harap hati-hati, tiap kali sepuluh batang anak panah harus segera
mencari tempat persembunyian lain. kalian sudah dilatih dan sudah tahu
bagaimana harus berbuat!”
Demikianlah,
orang-orang Cou yang gagah berani ini menanti datangnya musuh dengan hati
berdebar. Mereka sama sekali tidak merasa gelisah dan takut karena mereka
berbesar hati dengan adanya 'Bunga Dewa' di tengah-tengah mereka, apa lagi
setelah Eng Eng berkata sebagai penutup pesannya.
"Jumlah
mereka lebih banyak, akan tetapi kita tak perlu takut! Akan kita perlihatkan
bahwa kita bangsa Cou tidak takut mati dan tidak boleh dibuat permainan!"
Barisan
penyerbu menjadi girang ketika melihat keadaan di luar kampung ini sunyi saja.
Mereka mengira bahwa orang-orang Cou tentu sudah tidur nyenyak, maka sambil
menghunus senjata mereka menyerbu ke dalam dusun melalui pintu gerbang utara
yang mereka robohkan. Di dalam serbuan itu, Eng Eng dari tempat sembunyinya
hanya melihat seorang perwira Han bersama Ang Hwa memimpin barisan menyerbu ke
dalam, akan tetapi karena gelap ia tidak tahu bahwa perwira itu sebetulnya Sim
Tiong Kiat.
Setelah
tentara musuh yang memasuki kampung kira-kira ada lima puluh orang tiba-tiba
Eng Eng mengeluarkan pekik yang amat nyaring dan ia sendiri lalu melompat turun
dari sebuah pohon di mana ia bersembunyi! Kawan-kawannyapun mengeluarkan pekik
dahsyat dan keluarlah seratus orang Cou menyerang musuh yang baru datang.
Perang hebat
terjadi dan ternyata keadaan sungguh terbalik. Bukan orang-orang Cou yang kaget
menghadapi serbuan tiba-tiba, melainkan para penyeranglah yang benar-benar
menjadi kaget karena diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou dari kanan
kiri!
Dan
berbareng dengan keributan hebat di luar kampung itu, ketika Tiong Kiat hendak
membawa keluar kembali pasukannya tiba-tiba beberapa orang perajuritnya
terjungkal dengan dada tertembus anak panah. Kacau balau keadaan dalam kampung
dan Tiong Kiat menjadi pucat. Mereka telah terjebak dan terkurung! la lalu
melompat turun dari kudanya dan memberi perintah.
"Lepas
api bakar semua rumah!"
Hebat sekali
pertempuran di luar kampung. Kurang lebih seratus lima puluh tentara Han
dibantu oleh tiga puluh tentara Ouigour diserang secara tiba-tiba oleh
orang-orang Cou yang jumlahnya hanya tujuh puluh orang lebih. Eng Eng mengamuk
bagaikan seekor naga sakti. Kemana saja tubuhnya bergerak, dan pedangnya
berkelebat, terdengar pekik mengerikan disusul oleh robohnya seorang tentara
kerajaan atau tentara Ouigour!
Juga
kawan-kawannya mempergunakan ilmu golok yang mereka pelajari untuk mengadakan
perlawanan sengit. Kalau saja yang menyerang itu semua adalah bangsa Ouigour
biarpun jumlahnya lebih banyak, tak dapat ragukan lagi bahwa orang-orang Cou
ini pasti akan memperoleh kemenangan besar.
Akan tetapi
yang mereka hadapi adalah tentara kerajaan dan kali ini Tiong Kiat membawa
pasukan pilihan yang rata-rata anggotanya telah mempelajari ilmu silat dengan
amat baiknya, maka pertempuran itu berjalan seru dan ramai sekali. Hanya Eng
Eng saja seorang yang merupakan pencabut nyawa yang tak dapat dihalangi lagi.
Baik perajurit biasa maupun perwira muda dari tentara kerajaan atau tentara
Ouigour, apabila kebetulan berhadapan dengan gadis ini, tak dapat menahan lebih
dari tiga gebrakan! Pasti akan terjungkal dalam keadaan tewas!
Kegagahan
luar biasa inilah yang membuat pertempuran itu menjadi seimbang, karena selain
sepak terjang gadis pedang merah ini membikin gentar hati pasukan musuh, juga
membesarkan semangat orang-orang Cou yang bertempur penuh semangat dan tak
kenal takut!
Bertumpuk-tumpuk
mayat dan orang terluka ditimbulkan oleh pertempuran ini, korban yang jatuh
fihak penyerbu banyak sekali, dan juga fihak Cou banyak jatuh korban sehingga
Eng Eng mulai merasa kuatir. Tak disangkanya bahwa fihak penyerbu benar-benar
lihai dan rata-rata memiliki ilmu silat yang terlatih. Ia menjadi marah sekali
melihat betapa fihaknya sudah banyak berkurang dan bagaikan seorang gila Eng Eng
memutar pedangnya lebih cepat lagi sambil berseru berkali-kali.
"Akan
kubasmi kalian anjing-anjing rendah!"
Makin banyak
korban yang roboh di bawah sambaran pedangnya dan makin jerihlah para
pengeroyoknya. Akan tetapi tiba-tiba Eng Eng melihat cahaya terang dari dalam
kampung yang makin lama makin besar. Ketika ia menengok, alangkah kagetnya
melihat bahwa kampung itu telah menjadi lautan api. Api bernyala tinggi dan
asap telah memenuhi udara, bergulung-gulung di atas kampung yang menjadi
terang.
"Terkutuk,
mereka membakar rumah-rumah!" seru Eng Eng dengan pucat dan bagaikan
seekor burung walet terbang, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya, melompat
cepat dan berlari masuk ke dalam kampung.
Tepat di
pintu gerbang, ia bertemu dengan dua orang yang juga berlari keluar dari dalam
kampung. Mereka ini bukan lain adalah Tiong Kiat dan Ang Hwa! Juga Tiong Kiat
dengan amat kaget mendengar dari seorang perajurit bahwa di luar anak buahnya
telah diamuk oleh seorang gadis yang amat gagah perkasa dan bahwa banyak sekali
perajuritnya yang tewas oleh gadis ini.
Tiong Kiat
telah berhasiI membakar semua rumah dan membunuh semua tentara Cou yang tadi
bersembunyi di belakang rumah rumah dengan anak panah mereka, sungguhpun untuk
tiga puluh orang musuh itu ia kehilangan hampir semua perajuritnya yang telah
memasuki dusun!
Ketika
mendengar bahwa tentaranya di luar kampung menghadapi bencana maut yang disebar
oleh seorang gadis Cou yang amat sakti, ia lalu cepat berlari keluar bersama
Ang Hwa dan kebetulan sekali bertemu dengan seorang gadis yang bukan lain
adalah Suma Eng!
Untung Eng
Eng tidak mengenal perwira ini, akan tetapi ia tidak perduli siapa adanya
perwira ini. Dengan kebencian luar biasa karena perwira ini yang memimpin
orangnya membakar semua rumah di dalam kampung, Eng Eng lalu maju menerjang
dengan pedang merahnya. Ketika perwira itu menangkis dengan sebatang pedang
yang bercahaya putih barulah Eng Eng melihat mukanya dan mengenalnya.
"Kau...??"
tanyanya dengan tertegun akan tetapi segera disusul dengan kata-kata yang
menunjukkan kebencian besar, "Bangsat jahanam! Sekarang tiba saatnya aku
mencabut nyawamu!"
Juga Tiong
Kiat kaget sekali ketika melihat bagwa gadis yang mengamuk itu bukan lain
adalah Suma Eng. Pantas saja para perajuritnya kocar kacir karena yang dihadapi
adalah Eng Eng, gadis yang telah dikenal baik kelihaiannya ini!
"Sim-taihiap,
dia inilah perempuan hina yang telah melukaiku! Lekas kau robohkan dia
untukku!" kata Ang Hwa sambil maju membantu Tiong Kiat dengan pedangnya.
"Anjing
betina, kau belum mampus?" Eng Eng membentak gemas. "baiklah biar
sekarang kau mampus bersama anjing jantan ini!"
la lalu
memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga Ang Hwa terpaksa melompat mundur
karena silau matanya. Ia tidak sekuat Tiong Kiat yang dapat menangkis dan
menghadapi pedang merah itu. Adapun Tiong Kiat sendiri menjadi serba salah dan
bingung. Pertemuan dengan Eng Eng Ini benar-benar tak pernah disangkanya, ia
tidak takut terhadap ilmu pedang gadis ini, karena biarpun harus diakui bahwa
Eng Eng lihai sekali ilmu pedangnya, namun ia yang kini sudah menyempurnakan
Ang-coa-kiamsut dari Kim-liong-pai, tak usah takut akan kalah.
Yang
menggelisahkannya adalah kenyataannya bahwa hatinya tidak mengijinkannya untuk
melukai apa lagi membunuh gadis yang dicintainya. Baru melihat gadis ini
membantu suku bangsa Cou yang memberontak saja, hatinya telah menjadi sakit dan
tenaganya Iemas. Ah, bagaimana gadis ini sampai menjadi tersesat dan membantu
pemberontak?
Sebaliknya,
Eng Eng yang membenci setengah mati kepada pemuda ini, menyerang dengan nekad
tidak memperdulikan keselamatannya sendiri. Ang Hwa kini hanya memaki-maki
sambil menyerang kadang kadang saja dari belakang karena ia tidak berani
menghadapi gadis ini dengan langsung. la mengharapkan agar Tiong Kiat dapat
mengalahkan gadis ini.
Melihat
sepak terjang Eng Eng, makin sedihlah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa gadis
ini bersedia mengadu nyawa dengan dia dan kenyataan betapa hebatnya kebencian
gadis itu terhadapnya. Benar-benar membuat ia sering kali tak dapat tidur di
waktu malam.
Sekarang
kembali Eng Eng telah memperlihatkan kebenciannya dengan serangan-serangan maut
yang benar-benar berbahaya, tidak saja berbahaya baginya, bahkan juga berbahaya
bagi Eng Eng sendiri. Gadis itu melakukan serangan dengan sepenuh tenaga dan
kepandaiannya, sama sekali tidak perduli lagi bahwa serangan-serangan hebat itu
membuat sebagian pertahanannya banyak terbuka.
Tiong Kiat
maklum bahwa kalau diteruskan mau tidak mau iapun harus mengadu nyawa. Kalau
bukan dia, tentu gadis ini yang menggeletak tidak bernyawa menjadi korban
pedang pusaka. Dan hal ini ia tidak menghendakinya. Ia cinta kepada Eng Eng,
akan tetapi ia lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat beberapa orang
pembantunya berada di situ, ia lalu berseru keras,
"Keluarkan
perintah menarik mundur pasukan! Kejar keluarga musuh yang melarikan diri,
tangkap mereka semua!”
Tiong Kiat
ketika memberi perintah membakari rumah tadi mendapat kenyataan bahwa di situ
tidak terdapat seorangpun keluarga bangsa Cou, maka sekarang ia mendapat akal
baru. la dapat menduga bahwa Piloko tentu mengantar keluarga itu mengungsi
buktinya semenjak tadi ia tidak melihat kepala suku bangsa Cou itu.
Dalam
keadaan terjepit dalam pertempuran mati-matian melawan Eng Eng, ia sengaja
mengeluarkan perintah ini untuk menakut-nakuti hati Eng Eng. Memang siasatnya
ini tepat. Mendengar perintah ini Eng Eng menjadi pucat. Betapapun bencinya
kepada Tiong Kiat dan betapapun besar nafsunya untuk membunuh pemuda ini, akan
tetapi mengingat akan keselamatan keluarga suku bangsa Cou yang terancam, ia
melupakan kepentingannya sendiri.
"Jahanam,
kejam!" bentaknya marah dan secepat kilat Eng Eng melompat keluar dari
dusun itu. Dilihatnya bahwa kawan-kawannya masih bertempur seru melawan musuh
yang kini mendapat bantuan dari perajurit perajurit kerajaan yang tadi
membakar-bakari itu berada dalam keadaan terdesak hebat.
"Mundur!"
teriak gadis itu dan karena ia mengerahkan khikangnya, maka suaranya amat
tinggi melengking mengatasi segala kegaduhan pertempuran itu. "Ke selatan,
lindungi keluarga!”
Mendengar
aba-aba ini, orang-orang suku bangsa Cou lalu cepat melarikan diri ke selatan,
Eng Eng sengaja lari paling belakang. Gelombang perajurit musuh yang mencoba
untuk mengejar, disambutnya dengan sinar pedangnya yang dengan mudah membabat
roboh beberapa orang perajurit, sehingga para pengejar itu menjadi gentar dan
mundur. Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Eng Eng dan kawan-kawannya
untuk melarikan diri secepatnya mendaki bukit di selatan itu.
Tiong Kiat
dan pasukannya tidak berani mengejar, karena mereka merasa bingung di daerah
tak dikenalnya ini, apalagi dalam keadaan segelap itu. Mereka takut akan
jebakan-jebakan musuh. Untuk apa mengejar? Bukankah ia telah mendapat
kemenangan, telah merampas dusun itu, membakar habis rumah-rumah orang Cou dan
mengusir mereka?

Demikian
pikir Tiong Kiat. Apalagi fihak orang-orang Cou terdapat Eng Eng yang memimpin,
maka semua nafsunya untuk membasmi orang-orang Cou menjadi lenyap. Kalau tidak
ada Eng Eng tak dapat disangsikan lagi, Tiong Kiat tentu akan mengejar terus
sampai orang terakhir dari suku bangsa Cou terbunuh.
Demikianlah,
pada keesokan harinya Tiong Kiat membawa sisa pasukannya yang telah tewas
setengahnya lebih itu kembali ke benteng. Ang Hwa berlaku lebih manis kepadanya
karena dianggapnya Tiong Kiat telah berhasil membalas dendam, sungguhpun wanita
ini masih merasa penasaran karena Eng Eng tak dapat tertawan atau terbunuh.
Adapun Eng
Eng yang memimpin sisa anak buahnya mendaki gunung, setelah mendapat kenyataan
bahwa musuh tidak mengejar lagi lalu ia berhenti dan mengumpulkan perajuritnya.
Ternyata bahwa jumlah mereka tinggal lima puluh orang lagi, Eng Eng merasa
berduka sekali karena dalam pertempuran ini, ternyata hampir lima puluh orang
telah tewas!
Tiga puluh
orang di dalam dusun dan dua puluh di luar dusun. Dan di antara lima puluh
orang yang dapat melarikan diri, terdapat pula yang luka-luka. Hampir saja
gadis yang gagah ini mengucurkan air matanya. Sambil menggigit bibir Eng Eng
bersumpah di dalam hatinya bahwa sewaktu-waktu ia pasti akan dapat membekuk
batang leher Tiong Kiat dan sekarang lebih banyak lagi alasan baginya untuk
membalas sakit hatinya terhadap pemuda itu.
Mereka
beristirahat di lereng gunung dan menjelang fajar, dari atas bukit turunlah
Piloko dan sepuluh orang kawannya. Malam tadi ia melihat dari atas bukit betapa
dusun mereka terbakar. Hati mereka gelisah sekali akan tetapi apakah daya
mereka? Piloko tidak berani meninggalkan keluarga yang berada di puncak bukit,
maka dengan hati gelisah sekaIi ia menanti sambil menghibur orang-orang
perempuan yang mulai menangis dan mengeluh panjang pendek melihat dusun mereka
terbakar itu.
Ketika
bertemu ayah angkatnya, Eng Eng memeluk Piloko dan menjatuhkan mukanya pada
dada ayah angkat ini. Keduanya merasa terharu sekali.
"Ayah...
aku tak dapat mempertahankan... kampung kita... dan lima puluh orang
kawan-kawan kita..."
Piloko tak
dapat berkata sesuatu, hanya menepuk-nepuk pundak anak angkatnya sebagai usaha
menghibur. "Bunga dewa tak perlu berkecil hati!" tiba-tiba seorang
diantara para perajurit berkata,
"Biarpun
dusun kita terbakar dan beberapa kawan kita gugur, akan tetapi jumlah korban di
fihak musuh Iebih banyak lagi! Kita harus merasa bangga karena baru kali ini
tentara kerajaan yang terkenal gagah perkasa, ternyata menghadapi kita mereka
menderita kerugian lebih besar, biarpun tadinya jumlah mereka dua kali lebih
besar daripada jumlah kita!”
Mendengar
ucapan ini, semua orang menyatakan setuju, bahkan Piloko sendiri lalu menghibur
Eng Eng dengan gagah.
"Ucapan
tadi benar, anakku. Mengapa kita harus berkecil hati? Mati dalam perang guna
membela bangsa dan mempertahankan kehormatan bangsa adalah mati yang amat
berharga. Laki-laki gagah yang manakah tidak ingin gugur di dalam peperangan
membela tanah air dan bangsa? Percayalah, arwah dari kawan-kawan kita yang
tewas, pada saat ini tentu tersenyum-senyum melihat betapa mereka tidak tewas
dengan sia-sia, bahwa pertempuran yang menewaskan mereka itu ternyata membawa
kemenangan.”
Terbangun
semangat Eng Eng mendengar ini. "Ayah kau benar sekali. Maafkan kelemahan
hatiku. Dusun yang sudah musnah biarlah, kita sekarang mencari tempat dan
membangun lagi."
"Marilah
kita naik ke puncak dan membuat pertahanan di sana. Siapa tahu kaIau-kalau
musuh akan mengejar kita." kata Piloko.
Maka naiklah
mereka ke atas bukit itu, disambut oleh tangisan keluarga-keluarga yang tidak
melihat suami atau ayah mereka ikut datang! Eng Eng dan Piloko dengan bantuan
Yamani menghibur keluarga yang kehilangan ayah atau suami dengan berbagai
kata-kata bersemangat. Di dalam perjalanan mendaki bukit ini, dengan girang
sekali Eng Eng mendapat kenyataan bahwa gunung ini amat suburnya dan amat baik
untuk dijadikan tempat tinggal bagi keluarga besar itu.
Puncaknya
yang bertanah subur dan luasnya beberapa li itu dikelilingi oleh jurang yang
amat terjal dan jalan satu-satunya untuk naik hanya melalui jalan batu karang yang
kanan kirinya penuh dengan hutan-hutan di dalam jurang. Hanya puncak-puncak
pohon saja yang sampai di jalan batu karang itu. Selain jalan batu karang ini,
tidak ada jalan yang dapat membawa orang sampai ke puncak!
"Ayah,
tempat ini bagus sekali! Dengan menduduki puncak, biarpun diserang oleh ribuan
musuh, kita dapat menghancurkan mereka dengan amat mudahnya!" kata Eng
Eng.
Piloko
adalah seorang yang semenjak kecilnya seringkali menghadapi
pertempuran-pertempuran. Sekali pandang saja ia maklum akan maksud kata-kata
anak angkatnya ini. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Memang dengan penjagaan
beberapa belas orang saja di puncak, di atas jalan tunggal itu bersenjata
batu-batu dan panah, mereka akan dapat menghalau musuh dengan amat mudah.
Jalan itu tidak
berapa lebar, hanya dapat dinaiki oleh sejajar yang terdiri dari lima orang.
Biarpun musuh berjumlah banyak, namun hanya lima orang yang dapat maju paling
depan dan sebelum tiba di puncak, dari atas dengan mudah saja orang dapat
melempar batu untuk membuat orang orang atau musuh yang mencoba naik itu
terusir pergi!
Sekali lagi
sibuklah suku bangsa Cou ini membangun gubuk gubuk di atas puncak. Dengan amat
girang mereka mendapat kenyataan bahwa di puncak yang subur itu banyak terdapat
pohon-pohon buah dan juga binatang-binatang hutan, Eng Eng lalu mengatur
penjagaan di atas mulut jalan tunggal itu dan tempat itu dijaga oleh dua puluh
orang secara bergilir dan terus menerus siang malam!
Semenjak
mereka tinggal di atas puncak bukit itu, telah dua kali pasukan Ouigour dan
pasukan dari Oei-ciangkun mencoba untuk mendaki ke atas, akan tetapi dengan
amat mudahnya mereka ini dihalau dan terpaksa membatalkan niatnya ketika dari
atas jalan tunggal itu menggelinding batu-batu bagaikan hujan lebatnya! Jalan
naik lain telah dicari, akan tetapi sia-sia belaka sehingga akhirnya tidak ada
lagi pasukan musuh yang berani naik.
"Aku
harus mengajukan protes kepada Kaisar Tai Cung atas serangan-serangan tentara
kerajaan yang membantu Ouigour!" kata Piloko dengan marah dan penasaran
sekali.
"Bagaimana
kalau kau nanti ditangkap di kota raja?" tanya Eng Eng kuatir.
"Tidak
mungkin! Tak mungkin kalau dari kerajaan yang besar sudi melakukan kerendahan
yang hina itu. Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Kaisar Tai Cung dan
melihat sikapnya sungguh aku tidak mengerti mengapa sekarang tentaranya mau
mengganggu rakyatku. Aku harus pergi ke kota raja dan minta agar segala
gangguan ini dihabiskan!"
Karena
kehendak Piloko tak dapat dibantah lagi, akhirnya Eng Eng berkata,
"Baiklah ayah. Aku akan ikut dengan kau ke kota raja! Biar aku yang
menjadi pembela dan pengawalmu. Kita berdua dapat pergi dengan hati aman karena
keluarga kita berada di tempat yang sentosa. Bilakah kita berangkat,
ayah?"
"Besok!”
jawab ayah angkatnya dengan tegas.
Demikianlah
pada keesokan harinya, dari atas puncak, melalui jalan tunggal itu, turunlah
Piloko yang mengenakan pakaian kebesaran bersama Eng Eng. Mereka mempergunakan
ilmu lari cepat dan turun dari atas gunung itu, langsung menuju ke selatan,
kota raja untuk menghadap Kaisar Tai Cung!
Ketika Tiong
Kiat dan Ang Hwa kembali ke benteng membawa berita kemenangan yang telah
berhasiI membasmi dusun orang-orang Cou dan mengusir mereka ke puncak gunung,
Huayen-khan merasa gembira sekali. Juga Oei Sun menjadi gembira karena ternyata
bahwa Tiong Kiat merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, tetapi Go-bi
Ngo-koai-tung dan Oei Sun menjadi penasaran sekali ketika mendengar bahwa gadis
gagah perkasa yang membantu Piloko bukan lain adalah Suma Eng, nona yang pernah
tertawan oleh mereka itu.
"Nah
apa kataku dulu?” kata Oei ciangkun kepada Go bi Ngo-koai-tung dengan suara
menyesal setelah mereka berada sendiri, "nona itu hanya mendatangkan
kesulitan belaka. Kalau dulu kita tidak melepaskannya, tidak nanti kita sampai
kehilangan seratus orang dalam pertempuran itu."
Thian It
Tosu menarik napas panjang. "Mungkin dia tidak tahu bahwa tentara yang
membantu Huayen-khan adalah tentara kita. Kalau kemarin kita yang maju, belum
tentu ia suka melawan kita. Akan tetapi sudahlah sekarang Piloko sudah
kehilangan banyak orang dan ia telah mengungsi di atas puncak bukit. Apakah
artinya beberapa orang Cou itu bagi gerakan kita?"
Akan tetapi
ternyata Huayen khan tidak berpikir demikian. Kepala suku bangsa Ouigour ini
masih belum merasa puas kalau belum dapat melenyapkan Piloko dari muka bumi
ini. Oleh karena itu, diam-diam ia lalu memimpin orang-orangnya untuk menyerbu
ke atas gunung. Akan tetapi, ternyata ia menerima hukuman berat dari usaha ini,
karena dari atas turunlah batu bagaikan hujan yang melukai banyak
orang-orangnya bahkan ada beberapa orang perajurit tewas karena terjungkal ke
dalam jurang!
Kembali
Huayen-khan minta pertolongan Oei Sun yang menyuruh sepasukan tentara menyerang
ke atas gunung. Sama saja, pasukan inipun menderita karena hujan batu dan
semenjak itu, Oei-ciangkun maupun Huayen-khan tidak berani lagi mengganggu
benteng di puncak gunung dari orang-orang Cou ini.
Sementara
itu, Ang Hwa tetap saja mendekati Sim Tiong Kiat tanpa mengenal malu lagi
sehingga tak seorangpun di antara orang-orang yang berada di benteng itu tidak
tahu akan adanya hubungan antara perwira she Sim yang baru ini dengan Si bunga
Merah, isteri dari Huayen-khan, kepala suku bangsa Ouigour yang sudah tua itu.
Pada suatu
hari, selagi Tiong Kiat duduk di ruang dalam bersama Ang Hwa, Huayen khan dan
Go bi ngo koai tung, seorang penjaga datang memberi laporan bahwa di luar
benteng terdapat lima orang tosu yang minta bertemu dengan Sim Tiong Kiat.
Pemuda itu
mengerutkan kening. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang pergi keluar benteng,
katanya untuk urusan dinas yang tak diketahui olehnya, dan Oei-ciangkun telah
menyerahkan komando tertinggi kepadanya sebagai wakil Oei ciangkun. Siapakah
tosu-tosu yang datang mencarinya? Tiong Kiat menjadi bimbang, lalu ia bertanya!
"Siapakah
mereka itu? Datang dari mana dan perlu apa mencari aku?”
"Kami
sudah bertanya Sim ciangkun. Akan tetapi tosu-tosu yang kelihatan galak itu
hanya menjawab bahwa mereka ingin bertemu dengan orang yang bernama Sim Tiong
Kiat. Mereka tidak mau memberi tahu sama sekali siapa adanya mereka."
Tiong Kiat
menjadi makin curiga.
"Sim
ciangkun," tiba-tiba Thian It Tosu, orang pertama dari Go-bi Ngo-koai-tung
berkata, "mengapa ciangkun ragu-ragu? Keluarlah dan jumpai orang-orang
itu. Biar pinto berlima mengantar ciangkun dengan diam-diam dan pinto berlima
mengintai dari balik pintu gerbang. Kalau terjadi sesuatu yang mencurigakan,
tentu pinto berlima takkan tinggal diam."
"Aku
tidak takut sama sekali terhadap siapapun juga, ngowi totiang, hanya aku tadi
merasa ragu-ragu apakah baik aku meninggalkan benteng selagi Oei cangkun tidak
ada?"
"Kalau
mereka dipersilakan masuk, akan lebih kurang baik lagi." kata Huayen-khan
yang menaruh curiga.
Akhirnya
keluarlah Tiong Kiat, dikawani oleh Ang Hwa yang tidak mau ditinggal, sedangkan
Huayen-khan tentu saja bersembunyi di dalam tidak mau memperlihatkan diri, oleh
karena ia takut kalau-kalau ada yang melihat ia bersekongkol dengan
Oei-ciangkun. Adapun Go bi Ngo-koai-tung lalu mengintai dari belakang daun
pintu gerbang yang lebar dan diam-diam mereka menjadi terkejut ketika melihat
siapa adanya lima orang tosu itu!
Akan tetapi,
baik Tiong Kiat maupun Ang Hwa, tidak mengenal tosu-tosu ini. Tiong Kiat yang
melihat lima orang tosu setengah tua yang berdiri dengan tenang dan berjajar
rapi sambil memandang tajam, cepat keluar dari pintu dan merangkapkan kedua
tangannya.
Setelah
memberi hormat, ia berkata, "Tidak tahu siapakah ngo-wi totiang yang terhormat
dan kehormatan manakah yang diberikan kepada orang seperti aku sehingga ngowi
jauh-jauh datang mencariku?"
Gan Tian Cu
dan empat orang sutenya, lima tokoh Kun-lun pai itu saling pandang dan saking
herannya, Gan Tian Cu berkata perlahan kepada adik-adik seperguruannya.
"Memang serupa benar, pantas saja banyak orang salah duga!"
Tentu saja
Tiong Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tosu itu, akan tetapi Gan
Tian Cu segera memandangnya dengan mata tajam dan membentak.
"Ang
coa kiam ketahuilah bahwa pinto berlima datang dari Kun-lun-pai! Tentu kau
masih ingat kepada murid kami yang bernama Lo Ban Tek yang kau bunuh secara
sewenang-wenang di kota Ikiang! Pinto berlima datang untuk minta pertanggungan
jawabmu atas perbuatan-perbuatanmu yang terkutuk!”
Berbeda
dengan Tiong Han ketika menghadapi tuduhan kelima orang tosu ini, Tiong Kiat
tersenyum mengejek dan bertanya, "Aha, jadi tegasnya kalian berlima ini
jauh-jauh datang dari Kun-lun-san hanya untuk membalas dendam atas kematian Lo
Ban Tek manusia kasar itu? Apakah yang hendak kalian lakukan terhadapku? Hendak
membunuhku?"
Mendengar
pertanyaan yang merupakan tantangan ini, merahlah wajah Gan Tian Cu.
"Orang she Sim, kami datang untuk membawamu ke Kun-lun-san agar kau
menerima putusan dan hukuman dari para ketua Kun lun-pai. Kalau kau melawan,
terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!”
"Tosu
sombong! Aku Sim Tiong Kiat tidak pernah takut kepada siapapun juga! Benar aku
telah membunuh Lo Ban Tek karena ia yang datang mencari dan menantangku. Ia
mampus karena memang kepandaiannya masih rendah, kalau dia lebih pandai dari
padaku, bukankah aku yang akan mati di tangannya? Kalau seandainya aku yang
akan mati, apakah kalian ini juga mau ribut-ribut mengurus perkara ini? Ah,
benar-benar kalian ini pendeta-pendeta yang telah kehilangan keadilan, dan
hanya bertindak menuruti nafsu hati dan membela golongan sendiri."
"Bisa
saja kau memutar lidah, pemuda penuh dosa! Kalau Lo Ban Tek tewas dalam sebuah
pibu, biarpun yang dihadapi dalam pibu itu seorang muda jahat seperti engkau,
kami takkan sudi mengotorkan tangan kepadamu. Akan tetapi, murid kami itu tewas
karena hendak membela kebenaran dan hendak memberantas manusia jahat seperti
engkau. Bagaimana kami takkan turun tangan? Sudahlah, manusia cabul dan jahat,
lebih baik kau menyerah dan ikut dengan kami ke Kun-lun-san, dari pada kami terpaksa
harus menggunakan kekerasan."
Sebagai
jawaban atas ucapan ini, Tiong Kiat tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya
bergerak. Hui liong-kiam (Pedang Naga Terbang) telah berada di tangannya,
berkilau terkena cahaya matahari.
"Hendak
kulihat sampai di mana sih kepandaian dari orang Kun-lun-pai maka kalian
menjadi sesombong ini? Apakah kalian hendak maju bersama? Silakan, aku tidak
takut!" Tiong Kiat sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk memanaskan hati
para pendeta itu.
Gan Tian Cu
melompat maju dan mencabut pedang dengan tangan kanan dan sebuah hudtim
(kebutan) dengan tangan kiri. "Ang coa-kiam kami masih memandang muka Lui
Thian Sianjin yang kami hormati maka kami masih bersikap ramah dan murah
terhadapmu. Akan tetapi sikapmu yang kurang ajar ini menghapus semua
penghormatan yang masih ada dalam hati kami! Lui Thian Sianjin pasti akan
memaafkan kami apabila ia melihat sikap muridnya yang murtad!"
"Sudahlah,
tosu tua, untuk apa banyak mengobrol lagi? Pergunakan pisau pemotong rumput dan
pengusir lalat itu kalau kau memang berani!” Sambil berkata demikian, dengan
sikap amat menghina Tiong Kiat lalu menggerak-gerakkan pedangnya di depan muka
pendeta itu.
Gan Tian Cu
marah sekali dan cepat ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah tenggorokan
Tiong Kiat sedangkan kebutan di tangan kiri menyusul dengan sebuah serangan
menotok ke arah lambung. Inilah gerak tipu yang disebut Ji-liong jut tong (Dua
Naga Keluar dari Gua) yang amat lihai.
Pedang di
tangan Gan Tian Cu adalah sebatang pedang pusaka juga dan kini digerakkan
dengan cepat sehingga hanya merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah
tenggorokan lawan, sedangkan kebutan itu biarpun nampaknya lemas dan lembut,
namun digerakkan oleh tangan Gan Tian Cu yang memiliki tenaga lweekang cukup
tinggi, kini menjadi semacam senjata penotok yang lebih keras dari pada baja
dan amat berbahaya!
Tiong Kiat
maklum bahwa hudtim ini bahkan lebih berbahaya dari pada pedang itu. Serangan
pedang itu sekali kelit saja dapat dihindarkan, akan tetapi belum tentu dengan
kebutannya. Karena biarpun dapat dikelit, ujung kebutan itu tiba-tiba dapat
digerakkan menjadi lemas untuk menyambar ke arah leher atau pundak. Akan
tetapi, tidak percuma Tiong Kiat sudah menyempurnakan ilmu pedang
Ang-coa-kiam-sut dari kitab ilmu pedang yang benar-benar amat lihai.
Kalau tokoh
besar ilmu persilatan menghadapi Tiong Kiat dengan senjata lain, mungkin akan
dapat ia mengimbangi ilmu pedang pemuda jago Kim-liong-pai ini. Akan tetapi,
Gan Tian Cu mempergunakan pedang pula, dan biarpun telah dibantu pula oleh
permainan hudtimnya yang juga amat lihai, namun menghadapi ilmu pedang dari
pemuda ini, sebentar saja Gan Tian Cu maklum bahwa ilmu pedang Kun lun kiam
hoat masih kalah lihai!
Ketika
menghadapi serangan dengan gerak tipu Ji-liong-jut-tong tadi, Tiong Kiat cepat
menundukkan tubuhnya dan pedangnya dari kiri diputar ke kanan, sekaligus
membabat ke arah pedang dan kebutan lawan dengan gerak tipu yang disebut
angcoa-sin-jau (Ular Merah Mengulur Pinggang).
Yang nampak
hanya sinar putih panjang dan kuat saja menyambar dari kiri ke kanan dan
terdengar suara keras dua kali ketika Hui-liong-kiam itu membentur pedang dan
kebutan di tangan Gan Tian Cu. Kedua pihak merasa betapa benturan itu
mengakibatkan tenaga mereka menjadi tergetar dan kesemutan, tanda bahwa
Iweekang dari pemuda ini sudah mencapai tingkat yang tidak berada di sebelah
bawah tingkat Gan Tian Cu.
Gan Tian Cu
merasa betapa pedangnya ketika terbentur oleh pedang lawannya, pedangnya itu
mengeluarkan bunyi aneh dan terpentalnya seperti tertendang. Ia maklum bahwa
ilmu pedang lawannya ini benar-benar lihai sekali dan pedang yang dipegang oleh
pemuda itu ketika digerakkan, agak menggetar dan mempunyai gaya atau tenaga
menendang.
Hebat
sekali! Akan tetapi Gan Tian Cu adalah tokoh kelas dua di Kun lun-pai, maka
tentu saja ia tidak mau tunduk dan tidak merasa takut menghadapi lawan yang
masih muda ini. Sambil berseru keras, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang
Kun-lun-pai yang paling istimewa. Juga hudtimnya digerakkan dengan gencar
sekali sehingga kini hudtim dan pedang seakan-akan telah berobah menjadi enam
buah senjata yang menyerang dari segala jurusan.
Tiong Kiat
merasa terkejut juga. Ia maklum bahwa seandainya ia belum memperdalam ilmu
pedangnya dari kitab yang dirampasnya dari Tiong Han, agaknya ia takkan dapat
menangkan pendeta yang kosen ini. Baiknya ia telah mempelajari ilmu pedang
sampai seluruhnya dan telah menemukan jurus rahasia yang belum pernah
dipelajarinya dari Lui Thian Sianjin.
Kini ia
mengeluarkan jurus-jurus ini yang ternyata bukan main hebatnya. Tubuhnya lenyap
dalam bungkusan sinar pedang yang menjadi amat panjang, lebar dan kuat sekali
bagaikan seekor naga sakti yang bermain-main diantara awan yang ditimbulkan
oleh kebutan dan pedang lawannya!
Benar saja
menghadapi ilmu pedang Ang coa-kiamsut yang dimainkan dengan sempurna ini, Gan
Tian Cu mengeluh dan menjadi amat kaget. Betapapun ia mengerahkan tenaga dan
kepandaian, tetap saja terdesak hebat, dan tidak sanggup membalas, hanya
mempertahankan diri saja, itupun dengan susah payah!
Empat orang
sutenya yang menyaksikan, betapa suheng mereka terdesak hebat dan terancam
bahaya, mengingat bahwa pertempuran itu bukan semacam pibu yang tak boleh
dibantu, melainkan semacam penangkapan atas diri seorang penjahat yang lihai,
segera mencabut pedang dan menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran!
Betapapun
lihainya Tiong Kiat menghadapi lima orang tokoh Kun-lun-pai ini ia menjadi
kewalahan juga. Harus diketahui bahwa lima orang ini kepandaiannya tidak kalah
olehnya baik ginkang maupun Iweekangnya. Pemuda ini hanya menang dalam hal ilmu
pedang, dan keunggulan dalam memainkan pedang inilah yang membuat ia dapat
mendesak Gan Tian Cu. Akan tetapi, kini dikeroyok lima tentu saja ia menjadi
sibuk juga.
"Sim
ciangkun, jangan kuatir, kami membantu!"
Berbareng
dengan terdengarnya seruan ini, dari balik pintu gerbang benteng melayang
keluar lima bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan lima batang tongkat
bambu dengan gerakan luar biasa telah menahan lima pedang dari Gan Tian Cu dan
empat orang sutenya.
"Sungguh
menggelikan! Tosu ternama dari Kun lun pai mengeroyok seorang muda! Mana ada
aturan ini?” kata Thian It Tosu setelah lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu
menjadi terkejut dan melompat mundur. Lima orang tosu Kun lun-pai kini
berhadapan dengan lima orang tosu yang bukan lain adalah Go-bi Ngo-koai-tung!
Gan Tian Cu
dan empat orang sutenya memandang dan biarpun mereka belum pernah melihat Go bi
Ngo-koai tung namun melihat jumlah mereka lima orang dan senjata mereka tongkat
bambu, Gan Tian Cu dapat menduga-duga lalu mengangkat tangan memberi hormat.
"Kalau
pinto tidak salah lihat, bukankah pinto berhadapan dengan Go-bi Ngo-koai-tung
yang terhormat?"
Thian It
Tosu tertawa bergelak. "Bagus Gan Tian Cu, kau memang bermata tajam. Kami
berlima memang datang dari Go-bi dan tongkat buruk ini memang telah berhasil
mengangkat nama kami. Pinto mendengar bahwa Gan Tian Cu adalah tokoh tingkat
dua dari Kun lun-pai, seorang yang amat lihai dan menjunjung tinggi aturan di
dunia kang-ouw. Akan tetapi hari ini pinto benar-benar melihat keganjilan yang
amat lucu. Bagaimana Gan Tian Cu yang menganggap diri sebagai seorang diantara
pemimpin partai Kun-lun yang besar mengeroyok seorang pemuda yang telah menjadi
perwira kerajaan? Gan Tian Cu tidak tahukah kau bahwa orang tidak boleh
memusuhi seorang perwira kerajaan? Apakah kau dan kawan-kawanmu ini mempunyai maksud
untuk memberontak?”
Bukan main
marahnya Gan Tian Cu dan sute-sutenya mendengar ucapan ini. ”Go-bi Ngo-koai!
Sesungguhnya terbalik sama sekali pertanyaan yang kau ucapkan itu. Semestinya
kami yang berhak bertanya kepada kalian berlima. Siapakah orangnya di dunia
kang-ouw yang belum pernah mendengar nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat? Apakah
benar-benar kalian berlima tidak mempunyai telinga dan mata? Perlukah kiranya
kami beberkan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Ang coa kiam? Kita
semua telah mengaku menjadi pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian, yang
semenjak keciI mempelajari ilmu silat untuk dipergunakan sebagai penegak
keadilan dan kebesaran. Ang coa kiam adalah seorang pemuda yang jahat dan telah
banyak mendatangkan keonaran dan banyak melakukan dosa, mengapa sekarang dapat
bertemu dengan kalian di benteng ini? Bagaimana ia dapat menjadi seorang
perwira kerajaan? Apakah benar-benar kalian tidak pernah mendengar tentang
semua kejahatannya?”
Thian It
Tosu tersenyum dan berkata dengan tenang. ”Gan Tian Cu, manusia manakah di
dunia ini yang tidak jahat dan berdosa? Pinto tidak suka membongkar-bongkar
rahasia dan kesalahan orang, apalagi Sim-ciangkun! Biar apapun juga yang hendak
kau katakan tentang dia, buktinya sekarang Sim ciangkun telah menjadi seorang
perwira, yang berarti bahwa dia telah berada di jalan benar, menjadi seorang
gagah yang setia dan membela negara! Bagiku, seratus kali lebih baik seorang
berdosa yang kembali ke jalan benar daripada seorang yang mengaku-aku suci akan
tetapi belum tahu bagaimana isi perutnya!”
Tentu saja
Gan Tian Cu dan sute-sutenya tahu betul bahwa mereka telah disindir dan dimaki
habis-habisan oleh Thian It Tosu, maka marahlah Gan Tian Cu.
”Go-bi Ngo
koai! Kami berlima datang untluk berurusan dengan Ang coa kiam Sim Tiong Kiat
dan sama sekali kami tidak mempunyai sangkut paut dengan kalian berlima!
Maafkan, kami tidak ada banyak waktu lagi untuk mengobrol dengan kalian!”
Setelah
berkata demikian, Gan Tian Cu dan empat orang sutenya lalu menyerbu lagi dan
menyerang Tiong Kiat yang telah siap sedia. Pemuda ini biarpun maklum bahwa
lima orang lawannya amat sukar dan berat dilawan, namun ia tidak mau minta
tolong kepada Go bi Ngo koai-tung. Kecuali kalau mereka turun tangan sendiri
tanpa diminta, tentu saja dia takkan menolaknya. Kini melihat serangan kelima
orang tosu itu, iapun menggerakkan pedangnya sambil membentak,
”Tosu tosu
siluman, apa kau kira aku takut menghadapi kalian berlima?”
Kembali
pertempuran hebat terjadi. Akan tetapi tentu saja melihat Tiong Kiat berada
dalam bahaya, Thian It Tosu dan para sutenya tidak mau tinggal diam begitu
saja. Mereka lalu menggerakkan tongkat dan menyerbu membantu Tiong Kiat
sehingga pertempuran menjadi makin seru.
Akan tetapi
kali ini pertempuran tak seimbang lagi. Kepandaian Go-bi Ngo koai Tung cukup
tinggi, tidak berselisih banyak dengan tingkat kepandaian lima orang tokoh
Kun-lun-pai itu. Maka serbuan mereka yang membantui Tiong Kiat tentu saja membuat
Gan Tian Cu dan empat orang adik seperguruannya menjadi kewalahan dan terdesak
hebat.
”Go-bi Ngo
koai, tidak kelirukah pandanganku?” tiba tiba Gan Tian Cu sambil menangkis
tongkat Thian It Tosu berseru keras. ”Ilmu tongkatmu mengingatkan aku akan ilmu
tongkat dari Pek lian kauw!”
Seruan yang
keras ini tidak saja membuat Go bi Ngo-koai-tung menjadi terkejut, bahkan Tiong
Kiat sendiri pun menjadi kaget sekali sehingga ia melompat mundur dan menunda
penyerangannya sambil memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan ke arah
Go bi Ngo koai tung.
Nama
Pek-lian-kauw memang amat terkenal di kalangan kang-ouw dan tak seorangpun yang
tidak mengingat nama ini dengan hati penuh kebencian. Pek-lian-kauw di masa
jayanya telah banyak mengorbankan orang-orang gagah, diadu domba dan juga
diseretnya ke dalam jurang kehinaan, bahkan perkumpulan ini telah mengadakan
pemberontakan besar.
Go bi Ngo
koai tung menghadapi lima orang tosu Kun-lun-pai itu dengan mata menyala-nyala
saking marahnya. ”Gan Tian Cu, mulutmu benar-benar busuk! Apa hubungannya Pek
lian kauw dengan pertempuran ini? Kita orang-orang gagah harus dapat melihat
kenyataan di depan mata, tidak menyinggung urusan yang telah lalu! Sekarang
kami berlima adalah sahabat, pembantu, dan pelindung dari panglima Oei yang
mengepalai pasukan besar dari tentara kerajaan. Kami adalah orang-orang yang
membela negara dan kalian bertempur dengan kami karena kalian hendak berkhianat
hendak mengganggu seorang perwira!”
Gan Tian Cu
tertawa bergelak. ”Ha ha ha! Apa jadinya kalau pemimpin tentara terdiri dari
pelarian-pelarian Pek-lian-kauw dan penjahat-penjahat wanita seperti
Ang-coa-kiam? Ha ha ha! Go-bi Ngo-koai tung, pantas saja Ang-coa-kiam lari ke
tempat ini, tidak tahunya ada orang-orang macam kalian di sini!”
”Tosu
bangsat, tutup mulutmu!” teriak Thian It Tosu, sambil maju menyerang dengan
tongkat bambunya.
Gan Tian Cu
menangkis dan kini lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu bertempur melawan lima
orang tosu dari Go-bi-san yang sesungguhnya adalah pelarian-pelarian dari
Pek-lian-kauw ini! Bukan main ramainya pertempuran ini, dan Tiong Kiat hanya
berdiri dengan pedang di tangan, ragu-ragu untuk maju bergerak. Ia masih merasa
heran dan terkejut mendengar bahwa Go-bi Ngo-koai-tung adalah pelarian-pelarian
Pek Iian kauw, maka ia tidak tahu harus berbuat apa.
Sudah terang
bahwa Gan Tian Cu dan kawan-kawannya adalah musuh-musuhnya yang hendak
mencelakakannya, akan tetapi kalau betul Go bi Ngo-koai-tung itu adalah
orang-orang Pek-lian-kauw, ia sendiri merasa sangsi dan juga ngeri untuk
membantu mereka!
Gobi Ngo
koai tung merasa mendongkol sekali melihat betapa Tiong Kiat berdiri saja
seperti patung batu dan tidak membantu mereka. Akan tetapi ternyata bahwa ilmu
tongkat dari Go-bi Ngo koai ini benar-benar Iihai sekali. Kalau saja
bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw itu hanya bersilat biasa saja, mempergunakan
ilmu silat yang wajar, belum tentu Gan Tian Cu dan adik-adiknya akan kalah.
Akan tetapi Go-bi Ngo-koai-tung tidak percuma pernah menjadi pengurus-pengurus
dari Pek-Iian-kauw, agama gelap yang menipu rakyat berdasarkan ilmu hitam.
Kini
menghadapi lawan tangguh, diam-diam Thian It Tosu memberi tanda rahasia kepada
adik-adiknya dan berobahlah ilmu silat mereka. Terdengar mereka mengeluarkan
bisikan-bisikan perlahan seperti berdoa dan tiba-tiba Gan Tian Cu dan adik-adik
seperguruannya melihat dengan hati gelisah dan kaget betapa lima orang lawan
mereka itu nampak makin lama makin tinggi besar dan tongkat bambu mereka juga
menjadi amat besar dan panjang!...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment