Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 08
Akan tetapi,
sambil tersenyum-senyum Ban Hwa Yong mengelak dan bertempurlah kedua orang ini
dengan ramainya. Ban Hwa Yong terkejut juga melihat permainan golok nona itu
karena benar-benar kuat dan berbahaya. Akan tetapi, sepasang kaitannya
digerakkan secara luar biasa sekali sehingga Kui Hwa segera terdesak hebat,
kalau saja gadis itu memegang pedang dan tidak berada dalam keadaan semarah
itu, takkan mudah bagi Ban Hwa Yong untuk mengalahkannya.
Akan tetapi
dalam keadaan semarah itu Kui Hwa kehilangan kewaspadaannya dan sama sekali
tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya lawannya ini lihai sekali dan tidak
boleh dipandang ringan. Golok ditangannya diputar sedemikian rupa dan hanya
satu saja kehendaknya yakni membunuh manusia kurang ajar ini.
Akan tetapi
dengan kaitannya yang lihai Ban Hwa Yong dapat menahan golok Kui Hwa dan pada
satu saat yang baik ketika kaitannya dapat membuat golok gadis itu belum sampai
menyerang lagi, tiba-tiba kaitan di tangan kanannya bergerak cepat ke arah dada
Kui Hwa dan,...
"Brettt...!"
terkaitlah baju gadis itu pada bagian dada dan terbawa kain robek itu dikaitan
sehingga nampak sebagian dada gadis ini!
Bukan main
terkejutnya hati Kui Hwa. Ia menjerit perlahan dan mukanya menjadi malu sekali,
sesaat kemudian mukanya berubah merah sampai ke telinganya ketika ia mendengar
betapa Ban Hwa Yong tertawa terkekeh-kekeh!
Pada saat
itu terjadilah hal aneh yang sedetikpun tak pernah disangka oleh Kui Hwa.
Terdengar bentakan nyaring dan bayangan yang cukup gesit melompat dari
belakangnya dan menyerang Ban Hwa Yong dengan sebatang golok! Orang ini bukan
lain adalah Un Leng!
Ternyata
bahwa pemuda ini marah sekali melihat Kui Hwa dipermainkan dan dihina oleh Ban
Hwa Yong. Ia cepat berlari menghampiri kudanya dan dari balik pelana kuda
dikeluarkannya sebatang golok besar yang tajam sekali dan ketika ia melihat
betapa baju Kui Hwa terkait robek, kemarahannya memuncak. Ia lalu menyerang
hebat yang segera ditangkis pula oleh Ban Hwa Yong. Penjahat inipun tertegun
sebentar karena tak disangkanya bahwa pemuda yang nampak Iemah ini ternyata
pandai juga mainkan golok.
Biarpun
terheran-heran, Kui Hwa cepat melompat ke belakang dan membalikkan tubuhnya.
Dilepasnya kain pengikat rambutnya disambung dengan saputangan lebar dan
dilibatkannya kain itu pada dadanya untuk menutupi bagian tubuh yang telanjang
itu. Kemudian ia cepat menengok dan melihat betapa Un Leng mempertahankan diri
mati-matian dari desakan sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong yang lihai.
Berdebar
aneh dada Kui Hwa ketika ia menyaksikan bahwa betapapun juga, pemuda sasterawan
yang disangkanya hanya seorang kutu buku yang lemah itu ternyata memiliki ilmu
silat yang tidak rendah! Akan tetapi senjata di tangan penjahat itu benar-benar
berbahaya sekali dan keadaan Un Leng juga sudah mulai terdesak, maka Kui Hwa
lalu melompat maju dan kini goloknya menyambar-nyambar bagaikan setan maut
mengancam nyawa Ban Hwa Yong.
Penjahat ini
sekarang tak dapat tertawa lagi. Menghadapi dua orang ini, benar-benar ia
merasa kewalahan dan setelah melawan sampai empat puluh jurus dalam waktu mana
keselamatannya terancam hebat ia lalu melompat dan melarikan diri. Kui Hwa yang
marah sekali hendak mengejar akan tetapi Un Leng berkata,
“Tak usah
dikejar lawan yang sudah kalah dan ketakutan!"
Kui Hwa
tidak jadi mengejar Ban Hwa Yong dan memandang kepada Un Leng dengan pandang
mata kagum. Un Leng menyimpan kembali goloknya di bawah sela di atas kudanya
kemudian ketika ia kembali kepada Kui Hwa ia berkata,
"Maaf
bahwa aku terpaksa memperlihatkan kebodohanku nona."
“Saudara
Siok Un Leng, mengapa kau selama ini berpura-pura tidak mengerti ilmu silat?
Kepandaianmu cukup baik dan... mengapa kau menyembunyikan kepandaian itu
padaku?"
Un Leng
tersenyum. "Tak ingatkah betapa aku tidak suka akan kekerasan? Aku
mempelajari ilmu silat hanya untuk penjagaan diri seperti yang tadi telah
kulakukan menghadapi penjahat itu, bukan sekali-kali untuk kusombongkan dan
kujadikan alat mencari permusuhan. Tidak nona, aku lebih suka menggerakkan
tangkai pena daripada menggerakkan golok yang mengerikan itu!"
Kui Hwa
memandang kagum dan hatinya merasa girang sekali. Inilah pemuda yang patut
dipercayainya dan yang akan dapat melindunginya selama hidupnya. "Saudara
Un Leng... kalau aku tahu..."
"Nona,
setelah sekarang kau mengetahui keadaanku, biarlah di sini kuulangi pinanganku
dahulu. Bagaimana? Sudikah kau menerimaku sebagai suamimu? Kita menjauhkan diri
dari segala urusan dunia, kita pindah ke tempat aman, mendirikan rumah tangga
yang aman dan damai, tidak mengenal tajamnya senjata. Sudikah kau...?"
Sambil
berkata demikian dengan mesra dan halus, pemuda itu melangkah maju dan memegang
tangan Kui Hwa. Untuk sesaat gadis itu memandang mesra. Akan tetapi tiba-tiba
ia teringat kepada Tiong Kiat. Direnggutnya tangannya dan ia berkata,
"Tidak...
tidak! Jangan dekati aku Un Leng... aku... aku tidak berharga...!" ia lalu
menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis!
"Nona
apakah kau akan maksudkan kepergianmu dari Kim-liong-pai, minggat bersama
dengan ji-suhengmu (kakak seperguruan kedua)? Itukah yang kau anggap bahwa kau
tidak berharga lagi?"
Kui Hwa
terkejut dan memandang dengan mata basah! "Apa...? Kau sudah tahu akan hal
itu?"
Un Leng
mengangguk. "Sebelum kembali ke Heng-yang di kota raja aku telah mendengar
akan hal itu. Peristiwa yang terjadi di Gunung Liong-san, mengenai diri
anak-anak murid Kim-liong-pai yang terkenal tentu saja mudah tersiar di
kalangan kang-ouw. Aku teIah mendengarnya semua, nona, tak perlu kau
menuturkannya lagi."
"Kau...
kau sudah tahu selama ini... dan kau... tidak memandang rendah dan hina
kepadaku...?"
Un Leng
tersenyum. "Kalau aku memandang rendah, apakah aku mau mendekatimu,
menyuruh ibuku meminangmu sebagai istriku?"
Makin deras
air mata mengalir dari mata Kui Hwa. ”Saudara Siok... aku bukan seorang
baik-baik, aku telah menjalankan kesesatan bersama manusia jahanam yang menjadi
suhengku itu, aku telah meninggalkan suhu meninggalkan ayah, membatalkan
pertunanganku dengan twa-suheng secara paksa... aku gadis tak tahu malu, yang
sudah melanggar kesusilaan, aku tak berharga lagi... tahukan kau akan semua
ini?"
Un Leng
berkata sungguh-sungguh. "Aku sudah tahu, nona, akan tetapi aku tidak
menganggap kau tidak berharga. Seorang yang sudah sadar dari pada kesesatannya
adalah seorang bijaksana. Aku mengagumimu dan aku... aku tertarik dan cinta
padamu."
Saking
terharunya Kui Hwa lalu menubruk kaki Un Leng, berlutut sambil menangis. Ia
berterima kasih sekali, juga terharu dan girang karena selama berkenalan, ia
maklum bahwa hatinya telah jatuh pula terhadap pemuda ini. Un Leng menarik
napas panjang dan mengelus-elus rambut Kui Hwa, membiarkan kekasihnya
melepaskan tekanan batin dengan air matanya.
Ketika
mereka kembali ke kota Heng-yang dengan wajah gembira dan penuh bahagia,
keduanya lalu menuju ke rumah perkumpulan Sorban Merah. Kui Hwa telah
bermufakat untuk menerima pinangan Nyonya Siok untuk yang kedua kalinya dan
telah setuju pula bahwa dia akan ikut suaminya dan mertuanya untuk pindah ke
kota raja di mana suaminya akan mencari pekerjaan.
Ia telah
mengambil keputusan pula untuk meletakkan jabatannya sebagai ketua perkumpulan
Sorban Merah. Akan tetapi, ketika ia dan Un Leng berjalan memasuki pekarangan
rumah perkumpulan itu, ia melihat seorang pemuda bangkit berdiri dari bangku di
ruang depan dan kini pemuda itu berdiri menanti kedatangan mereka dengan wajah
tenang.
Pucatlah
wajah Kui Hwa ketika ia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan
tak terasa pula ia menahan tindakan kakinya. Ia melihat betapa pemuda itu
memandang kepadanya dengan senyum tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah
atau membenci. Terharulah hati Kui Hwa dan tak terasa lagi ia lalu berlari ke
depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu!
Un Leng
hanya memandang heran dan mengerutkan kening, karena ia tidak mengenal pemuda
itu, cepat memegang kedua pundak Kui Hwa, membangunkannya sambil berkata,
"Eh,
sumoi mengapa kau begini? Berdirilah dan mari kita bicara dengan baik."
Kui Hwa tak
dapat menahan berlinangnya air matanya, ia tidak berani menentang pandang mata
pemuda yang bukan lain adalah Tiong Han ini. Ia merasa malu sekali kepada bekas
tunangan dan suhengnya ini, yang selalu bersikap baik terhadapnya.
"Twa
suheng... kau... kau dapat memaafkan aku? Kau tidak marah dan tidak benci
kepadaku?"
Tiong Han
menggeleng kepalanya dan tersenyum tenang, sungguhpun senyumnya bukanlah senyum
gembira. "Mengapa aku harus benci dan marah kepadamu, sumoi? Kau adalah
adikku, adikku yang kusayang semenjak kita masih anak-anak. Aku hanya kasihan
melihatmu, sumoi."
Kemudian
barulah Tiong Han merasa bahwa mereka tidak patut bicara urusan pribadi mereka
di depan seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengangkat muka
memandang kepada Un Leng yang sudah menghampirinya dengan senyum dan pandang
mata kagum. Un Leng menjura dan cepat dibalas oleh Tiong Han.
“Ah tidak
tahunya kau adalah Sim Tiong Han, orang gagah dari Kim-liong-pai. Aku ini Un
Leng, adalah seorang yang bodoh." Seru pemuda sasterawan ini dengan sikap
hormat.
Melihat
sikap dan kesederhanaan pemuda ini, Tiong Han merasa suka dan cocok, hanya ia
belum mengerti apakah hubungan antara pemuda ini dan sumoinya. Akan tetapi Kui
Hwa segera menjelaskan,
"Suheng,
dia ini adalah... sahabatku, seorang yang jujur dan banyak berjasa terhadap
diriku yang hancur dan perasaanku yang luka oleh kejahatan ji-suheng."
Tiong Han
menghela napas dan keningnya berkerut. "Sumoi terus terang saja, aku sudah
bertemu dengan Tiong Kiat dan aku datang ini hanya hendak bertanya kepadamu
mengapa kau meninggalkan Tiong Kiat dan membiarkan dia tersesat sedemikian
jauhnya!"
Mendengar
nada suara Tiong Han, diam-diam Kui Hwa terkejut sekali. Dari suara pemuda ini,
ia dapat menduga bahwa suhengnya ini biarpun tidak menaruh hati dendam
kepadanya, namun merasa tidak senang mengapa dia berpisah dari Tiong Kiat dan
tentu menyangka yang bukan-bukan.
Maka ia
cepat menuturkan pengalamannya dengan Tiong Kiat, betapa Tiong Kiat telah
melakukan perbuatan rendah terhadap seorang gadis yang ditolongnya sehingga
mereka menjadi berselisih dan bertempur. Kemudian diceritakannya bahwa Tiong
Kiatlah yang pergi meninggalkannya dan betapa ia lalu menjadi ketua dari
Perkumpulan sorban Merah.
Mendengar
semua penuturan ini, kembali Tiong Han menarik napas panjang berkali-kali.
"Ah, sumoi, kalau begitu adikku itulah yang jahat dan tersesat. Kasihan
sekali nasibmu yang buruk."
Dan
diam-diam pemuda ini makin terheran melihat betapa Kui Hwa dapat menuturkan
semua pengalamannya ini di depan Un Leng, seakan-akan di antara mereka tidak
terdapat rahasia lagi. Ia menduga-duga dan ketika Kui Hwa memaksanya untuk
bermalam di situ menikmati hidangan yang dikeluarkan dibantu pula oleh Un Leng,
terpaksa ia menerimanya. Ia kagum juga melihat betapa kuat dan teratur
perkumpulan yang dipimpin oleh sumoinya dan betapa semua anggauta Sorban Merah
amat tunduk dan taat kepadanya.
Di dalam
kesempatan itu, Un Leng mendapat pikiran yang amat baik. Diam-diam ia
memberitahukan pikirannya ini kepada Kui Hwa dan gadis ini dengan muka
kemerah-merahan hanya menganggukkan kepala dan kemudian ia sengaja meninggalkan
ruangan dimana Tiong Han berada untuk memberi kesempatan kepada Un Leng untuk
bicara berdua saja dengan suhengnya.
"Sim
taihiap" kata Un Leng ketika mereka selesai makan dan duduk menghadapi
meja dengan cawan terisi arak. "Sebelumnya kuharap kau sudi memaafkan aku
apabila kau anggap aku berlaku lancang. Telah kuceritakan kepadamu bahwa aku
adalah murid dari Kim-l-sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang) di kota raja yang
juga kau tahu telah kenal baik dengan suhumu. Biarpun aku hanya mengerti
sedikit ilmu silat, akan tetapi seperti juga suhu, aku benci akan perkelahian
dan permusuhan. Aku lebih suka hidup damai dan tenteram dengan penaku. Nah, kau
telah mengetahui keadaan sumoimu. Seperti juga kau, aku kasihan sekali kepadanya.
Akan tetapi kalau kau berkasihan sebagai seorang suheng terhadap sumoinya,
adalah aku berkasihan kepadanya sebagai seorang pemuda terhadap seorang gadis
yang telah merebut hatiku! Ya terus terang saja, taihiap, diantara sumoimu dan
aku telah ada persesuaian paham dan kami telah bermupakat untuk menjadi
suami-istri! Oleh karena itu, mengingat bahwa Hwa moi jauh dari orang tua, maka
kiranya kau menjadi wakilnya! Kepadamulah sebagai wali Hwa-moi kuajukan
pinanganku harap saja kau sudi menolong kami.”
Tiong Han
tersenyum dan memandang tajam. "Saudara Siok bukan main girangnya hatiku
mendengar ucapan yang terus terang ini! Sebelum kau menceritakan kepadaku, aku
sudah dapat menduga lebih dulu, dan pengakuanmu ini menandakan bahwa kau memang
jujur dan bersifat jantan. Kau telah mendengar tentang riwayat sumoi dengan
adikku, namun kau dapat memaafkan dan masih dapat menghargainya, ini menandakan
bahwa cintamu terhadapnya suci dan tulus. Akan tetapi, aku hanya menjadi
suhengnya bagaimana aku berani berlaku lancang bertindak sebagai walinya?"
Un Leng
berbangkit dari bangkunya dan menjura kepada Tiong Han yang dibalas cepat-cepat
oleh pemuda ini. "Terima kasih banyak, taihiap. Sungguh pun benar pula
ucapanmu tadi agaknya kau lupa bahwa Hwa moi sesungguhnya telah diberikan
kepadamu oleh orang tuanya sebagai calon jodohmu. Kau berhak penuh atas dirinya
dan berhak pula menjadi walinya. Kalau kau sudi menerima permohonanku, berarti
kau telah melepas budi besar terhadap kami."
Terpaksa
Tiong Han menerimanya dengan hati girang. Kui Hwa lalu dipanggil dan dengan
muka kemerah-merahan gadis ini lalu menjura kepada suhengnya yang kini menjadi
walinya itu. Para anggota Sorban Merah lalu dikumpulkan dan setelah Tiong Han
diperkenalkan sebagai suheng dan wali dari Kui Hwa, Tiong Han lalu mengumumkan
dengan suara lantang tentang perjodohan antara kedua orang muda itu.
Semua
anggota Sorban Merah menerima berita ini dengan girang sekali. Akan tetapi
kegirangan ini segera terganti kekecewaan ketika Kui Hwa menyatakan bahwa
setelah menikah, terpaksa meninggalkan perkumpulannya dan menyerahkan
perkumpulannya ini kepada beberapa orang thauwbak yang paling tua dan cukup
bijaksana.
Dengan
disaksikan oleh Tiong Han, beberapa hari kemudian dilangsungkanlah pernikahan
sepasang orang muda itu dengan sangat sederhana, akan tetapi cukup meriah
karena diramaikan dan dihadiri oleh anggota Sorban Merah dan para
sahabat-sahabat di kota Heng-yang.
Setelah itu,
pada keesokan harinya, Tiong Han minta diri dari sepasang suami-istri ini untuk
melanjutkan perjalanannya mencari adiknya. Kui Hwa mengantarkan kepergiaan
suhengnya ini dengan air mata berIinang. Ia kini mendapat kenyataan betapa
bijaksana dan mulia hati twa suhengnya ini dan diam-diam ia menyumpahi dirinya
yang telah terpikat oleh bujukan-bujukan iblis dari mulut ji-suhengnya.
***************
Pada waktu
itu, pemerintah kerajaan Tang mempunyai hubungan baik sekali dengan suku bangsa
Ouigour, yakni nenek moyang suku bangsa mongol. Raja bangsa Ouigour ini bernama
Huayen khan, seorang yang sudah mempelajari kebudayaan Tiongkok dan selain
pandai menulis huruf Tiongkok juga terkenal sekali dengan ilmu silat dan ilmu
memanahnya yang tinggi.
Huayen-khan
mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan Tang, menukar kulit binatang dan
bulu binatang dengan gula dan kain sutera. Pernah dua kali Huayen-khan datang
mengunjungi kaisar Tang yang bernama Tai Cong, dan di kota raja kepala suku
bangsa Ouigour ini disambut dengan segala kehormatan, bahkan Kaisar Tai Cong
lalu mengadakan perayaan pesta untuk menghormati kunjungan Huayen khan ini. Di
dalam pesta ini, setelah Huayen-khan minum banyak arak wangi yang dihidangkan
dan kepalanya telah menjadi agak ringan dan kegembiraannya membesar, ia berkata
kepada Kaisar Tai Cung.
"Saya
lihat pengawal-pengawal paduka membawa busur dan anak panah. Agaknya ilmu panah
dari kerajaan paduka amat maju dan hebat!" Kepala suku bangsa Ouigour ini
lalu tertawa bergelak.
Kaisar Tai
Cung terkenal sebagai seorang yang amat bijaksana, pandai memerintah, dicinta
oleh rakyat karena adilnya dan selain itu iapun amat cerdik. Mendengar ucapan
Huayen-khan ini, Kaisar Tai Cung sudah tahu akan maksudnya, karena iapun maklum
akan kepandaian Huayen-khan dalam ilmu panah. Sambil tersenyum ia berkata,
"Betapapun
pandainya para pengawalku, agaknya masih harus mendapat banyak petunjuk dari
padamu, khan yang baik."
Huayen-khan
tertawa bergelak sambil menenggak cawan araknya yang segera diisi pula sampai
penuh oleh seorang dayang pelayan. "Paduka pandai sekali merendahkan diri.
Kita sedang bergembira, apa salahnya bermain-main sedikit dengan ilmu panah?
Harap paduka tidak berlaku sungkan dan sudi memanggil seorang ahli panah
terpandai dari dalam tembok besar."
Sambil
tertawa juga, Kaisar Tai Cong lalu menyuruh seorang pengawal memanggil kepala
pengawal yang bernama Ciok Kwan. Tak lama kemudian, Ciok Kwan datang menghadap.
Huayen-khan memandang kepada perwira ini dengan kagum. Ciok Kwan adalah seorang
perwira yang masih muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian rapi
dan nampak gagah sekali karena potongan tubuhnya memang tegap dan besar.
Sebagai seorang kepala pengawal bagian panah, dipunggungnya tergantung busur
besar dan anak-anak panah dengan bulu warna merah.
"Seorang
perwira yang gagah!" Huayen Khan berkata memuji sehingga Tai Cong
tersenyum girang.
"Ciok
ciangkun." kata kaisar, "tamu agung kita Huayen-khan ini ingin sekali
menyaksikan kepandaian memanah darimu, maka cobalah kau memperlihatkan
kepandaianmu. Huayen-Khan sendiri adalah seorang ahli panah yang terkenal, maka
permainan ini tentu takkan merugikanmu, bahkan kau tentu akan mendapat
petunjuk-petunjuk yang baik dari padanya."
Tentu saja
Ciok Kwan tidak berani membantah dan ia mengerling ke arah kepala suku bangsa
Ouigour itu. Ia telah mendengar nama besar Huayen-khan akan tetapi melihat
orangnya, timbul keraguannya. Raja bangsa Ouigour ini nampak kasar, bercambang
bauk dan agaknya telah mabok arak mana dapat memberi petunjuk tentang ilmu
panah?
Kaisar dan
tamunya lalu keluar dari ruangan dalam, menuju ke taman bunga di sebelah kanan
istana, diikuti oleh para pengawal dan pelayan. Dengan sikapnya yang sopan,
Ciok Kwan lalu menuju ke tempat terbuka dan berpikir-pikir cara bagaimana ia
akan memperlihatkan kemahirannya mainkan panah. la memandang ke kanan ke kiri
dan berdongak pula memandang ke atas. Tiba-tiba Huayen khan tertawa berkata,
"Ciok-ciangkun,
apakah kau mencari-cari matahari untuk menjadi sasaran anak panahmu? Ha ha
ha!"
Huayen-khan
adalah seorang kasar dan kata-katanya ini hanya kelakar belaka. Kaisar Tai Cung
mengerti akan hal ini, maka sambil tertawa kaisar ini berkata juga.
"Huayen-khan
yang gagah, apa kau kira sekarang ini masih ada orang-orang sakti seperti
Panglima Po Gwan? Panglima Po Gwan adalah seorang tokoh dalam dongeng Tiong kok
yang demikian tinggi ilmu panahnya sehingga dikabarkan orang bahwa panglima ini
pandai memanah bintang di langit!"
Huayen-khan
juga tertawa mendengar ucapan kaisar ini, tanda bahwa kepala suku bangsa
Ouigour ini tidak asing akan dongeng-dongeng dan sejarah purba dari Tiongkok.
Akan tetapi, sebaliknya, Ciok Kwan yang semenjak kecil mempelajari bu (ilmu
silat) dan sama sekali tidak pernah mempelajari bun (ilmu surat) merah kedua
telinganya mendengar percakapan orang-orang besar ini. la mengira bahwa
Huayen-khan mengejeknya dan diam-diam iapun merasa gemas sekali mengapa kaisar
bahkan membumbui ejekan tamu, orang yang dianggapnya kasar dan biadab ini!
"Hamba
adalah seorang yang bodoh dan anak panah hamba hanya dapat dipergunakan untuk
menangkap burung di atas itu!" kata Ciok Kwan sambil menudingkan telunjuknya
ke atas. Semua orang melihat ke atas dan ternyata sekawanan burung terbang
tinggi sekali di udara.
"Hamba
akan menurunkan burung ketiga dari depan!" seru Ciok Kwan dan seruannya
itu dibarengi oleh menjepretnya tali busurnya.
Sebatang
anak panah dengan cepat sekali mendesing ke udara dan tak lama kemudian betul
saja, burung yang terbang di barisan ketiga dari depan nampak terkulai
kepalanya dan jatuh ke bawah bagaikan sepotong batu. Ketika dilihat, burung itu
telah tertembus dadanya oleh anak panah tadi, Semua pengawal berseru gembira
menyaksikan ketangkasan kepala mereka ini. Kaisar Tai Cung mengangguk girang,
akan tetapi Huayen-khan berkata,
"Memanah
burung yang besar itu benar-benar mengagumkan orang!" Sambil berkata
demikian, ia mengulur tangan kebelakang dan seorang di antara para pengawalnya
lalu memberikan busur dan sebatang anak panah. "Aku hanya dapat memanah
binatang yang kecil-kecil saja." Ucapan ini seperti diucapkan untuk
dirinya sendiri dan pujian itu sama sekali tidak cocok dengan tarikan wajahnya
yang memandang rendah. "Kalau paduka membolehkan, saya ingin mencabut ekor
burung kecil warna hitam yang sedang terbang itu!"
"Kaisar
Tai Cung menengok ke arah yang ditunjuk oleh Huayen-khan dan ia terkejut
sekali. Yang dituding oleh tamunya adalah seekor burung walet yang beterbangan
di udara gesit sekali. Bagaimana orang dapat memanah burung yang terkenal amat
gesit dan tangkas ini? Apa lagi hanya membobolkan ekornya, jauh lebih sukar
dari pada kalau memanah jatuh burung itu.
"Tentu
saja kami tidak melarangnya, hanya, dapatkah burung segesit itu dipanah jatuh
ekornya saja?"
Huayen-khan
tertawa bergelak, membidikkan anak panahnya, menanti sampai burung walet itu
terbang mendekat, kemudian terdengar anak panahnya meluncur cepat sekali
merupakan sinar hitam karena anak panahnya ini belakangnya memakai ronce-ronce
warna hitam.
Semua orang
menahan napas dan Ciok Kwan sendiri berdebar hati, karena iapun tidak percaya
bahwa Huayen-khan akan berhasil. Akan tetapi, terdengar sorak-sorai dari para
pengawal dan pengiring kepala suku bangsa Ouigour ini ketika terdengar burung
walet menjerit lalu terbang cepat sekali tanpa ekor! Beberapa helai bulu
ekornya itu telah copot dan bodol terbabat oleh anak panah yang dilepas oleh
Huayen-khan!
"Bagus,
hebat sekali ilmu panahan khan yang baik!" Kaisar itu memuji dan diam-diam
ia bersukur bahwa kerajaannya tidak bermusuhan dengan Huayen-khan yang pandai
sekaIi mainkan anak panah ini.
Huayen-khan
tertawa bergelak. "Walet hitam sekecil itu perlu apa dibunuh? Dicabut
ekornya saja ia akan menjerit ketakutan dan lari secepatnya. Ha ha ha!"
Kaisar Tai
Cung juga tersenyum karena ia maklum akan maksud kata-kata Huayen khan yang
lihai ini. Memang, pada waktu itu, terdapat suku bangsa Cou yang dipimpin oleh
Piloko, seorang yang terkenal juga dalam ilmu silat sehingga ia mendapat
julukan Yan-ong (Raja Burung Walet).
Juga Piloko
dan suku bangsanya bersahabat dengan pemerintah Tang tetapi di dalam
perdagangannya dengan pemerintah Tang, Piloko mendapat saingan keras sekali
dari Huayen-khan sehingga dua orang pemimpin suku bangsa ini menjadi saling
benci dan timbul permusuhan di antara mereka!
Oleh karena
itu, ucapan Huayen-khan ini tentu saja menyinggung diri Piloko yang dianggapnya
burung walet tadi. Inipun agak tepat, karena di dalam peperangan pernah pasukan
Piloko terpukul mundur oleh Huayen-khan dan terpaksa melarikan diri. Hanya
berkat kebijaksanaan campur tangan Kaisar Tai Cung saja maka peperangan tidak
dilanjutkan dan tidak menghebat, akan tetapi di dalam hati masing-masing masih
terdapat dendam dan kebencian.
Setelah
menerima hadiah-hadiah dari kaisar, Huayen-khan lalu mengundurkan diri,
diiringkan oleh sekalian pengawalnya, keluar dari istana hendak kembali ke
tempat tinggalnya sendiri, yakni di lembah Sungai Salenga di utara. Kaisar Tai
Cung memberi perintah kepada Ciok Kwan untuk membawa sepasukan pengawal,
mengiringkan perjalanan Huayen-khan sampai keluar ibu kota.
Pada saat
rombongan ini tiba di luar tembok ibu kota, tiba-tiba sepasukan orang-orang
tinggi besar yang bertopi putih sambil berseru keras datang menyerbu ! Jumlah
mereka banyak sekali dan ternyata bahwa mereka ini adalah pasukan suku bangsa
Cou yang dipimpin oleh Piloko! Mereka telah menanti saat yang baik untuk
melakukan pembalasan dan karena dendam mereka sudah memuncak, maka mereka tidak
segan-segan lagi untuk menyerang Huayen-khan di Iuar tembok ibu kota kerajaan
Tang!
"Atas
nama kaisar, harap jangan mengganggu tamu agung kami!" Ciok Kwan
berulang-ulang memberi peringatan dan berseru keras, akan tetapi Piloko tidak
memperdulikan seruan itu bahkan segera berteriak.
"Ciok
ciangkun! Harap kau menarik kembali pasukanmu dan masuk ke dalam kota. Kami
tidak ada persoalan dengan kau dan pasukanmu dan biarkan kami membereskan
urusan lama dengan Huayen-khan!"
Setelah
berkata demikian Piloko memberi aba-aba dan menyerbulah anak buahnya, menyerang
Huayen-khan yang hanya dikawal oleh dua puluh orang anak buahnya.
Pertempuran
hebat terjadi ramai sekali Ciok Kwan menjadi ragu-ragu karena selain ia merasa
mendongkol kepada Huayen-khan, juga ia gentar menghadapi Piloko dengan anak
buahnya yang sedikitnya ada lima puluh orang itu! Maka ia berdiri diam saja
dipinggir dan hal ini tentu saja diturut oleh pasukannya yang tidak berani
lancang turun tangan tanpa aba-aba dari pemimpinnya. Betapapun juga, Ciok Kwan
lalu menyuruh dua orang anak buahnya untuk melaporkan peristiwa ini kepada
kaisar dan minta putusan kaisar.
Celakalah
keadaan Huayen-khan. Biarpun ia sendiri gagah perkasa, namun pada saat itu ia
masih setengah mabok dan anak buahnya yang hanya dua puluh orang itu tentu saja
tidak dapat menandingi sepak terjang lima puluh orang anak buah Piloko yang
pilihan! Seorang demi seorang anak boah Huayen-khan roboh mandi darah dan
Huayen khan sendiri sudah terkurung rapat.
Namun kepala
suku bangsa Ouigour ini memang mengagumkan. Dalam keadaan terjepit seperti itu,
ia sama sekali tidak mau berseru minta tolong kepada Ciok Kwan. Juga ia
melakukan perlawanan dengan gigih sekali, memainkan goloknya yang diputar
dengan hebatnya.
Pembantu
Piloko tentu saja takkan berdaya menghadapi Huayen-khan yang kosen kalau di
situ tidak ada Piloko yang mengeroyoknya pula. Kepandaian silat Piloko tinggi
juga dan permainan sepasang tombak pendek di tangannya cukup cepat dan kuat.
Namun ia harus mengakui bahwa ia masih kalah jauh oleh Huayen-khan dan setelah
mengeroyok dengan lima orang kawan-kawannya saja baru ia dapat mengimbangi
permainan golok dari orang kasar bangsa Ouigour ini!
Golok
Huayen-khan telah berlumur darah, karena banyaklah sudah musuh yang roboh di
tangannya. Akan tetapi sekarang ia telah merasa lelah perlahan-lahan ia
terdesak hebat dan kurungan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu makin
merapat!
Adapun Ciok
Kwan masih sedia berdiri di situ menjadi penonton. Ia mengagumi kegagahan
Huayen-khan akan tetapi ketika ia melihat gerakan sepasang tombak Piloko, ia
menjadi gentar juga. Baiknya utusan-utusannya belum juga kembali, sehingga ia
mendapat alasan cukup kuat untuk tinggal menjadi penonton dan belum membantu
Huayen-khan.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi keselamatan Huayen-khan, tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan berkelebatlah sinar putih yang menyilaukan mata. Segebrakan saja
terguling dua orang pengeroyok Huayen-khan oleh sinar putih yang ternyata
adalah sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu!
Huayen-khan
mengerling dan giranglah ia ketika melihat bahwa penolongnya bukanlah Ciok Kwan
melainkan seorang pemuda bukan perajurit yang berpakaian biru dan berwajah
tampan dan gagah sekali.
"Ha ha
ha! Orang muda yang gagah, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!" Dalam
keadaan seperti itu, Huayen-khan masih dapat tertawa, sungguh mengagumkan hati
pemuda ini yang bukan lain adalah Sim Tiong Kiat adanya!
Di dalam
perantauannya, tibalah Tiong Kiat di luar tembok kota raja sehingga ia melihat
pertempuran itu. Ia melihat betapa seorang tua tinggi besar bercambang bauk
yang hebat juga ilmu goloknya, dikeroyok oleh orang-orang suku bangsa Cou yang
banyak jumlahnya. Di sana sini nampak banyak mayat bertumpuk-tumpuk bahkan
masih terjadi pertempuran hebat sekali oleh kedua fihak yang tidak berimbang
jumlahnya itu.
Ketika Tiong
Kiat melihat Ciok Kwan dan pasukannya yang berpakaian mewah akan tetapi tidak
berbuat sesuatu menghadapi pertempuran hebat itu, ia menjadi sebal sekali.
Memang telah lama Tiong Kiat membenci para perajurit pemerintah yang lagaknya
sombong itu. Melihat ilmu golok Huayen-khan dan kegagahan kepala suku bangsa
Ouigour ini, timbul simpatinya dan segera ia mengambil keputusan untuk
membelanya.
Di dalam
dada pemuda ini memang masih ada keadilan dan tentu saja menghadapi dua pihak
yang bertempur, tanpa mengetahui sebabnya, ia akan berpihak pada yang Iemah.
Pihak Huayen-khan jauh lebih sedikit jumlahnya, maka lalu ia membela pihak ini.
Ketika mendengar ucapan Huayen-khan, Tiong kiat menjadi gembira dan cepat ia
mainkan pedangnya. Melihat betapa diantara para pengeroyok, sepasang tombak
pendek Piloko paling lihai, Tiong Kiat lalu menyerang orang ini. Piloko menjadi
marah sekali dan cepat ia menangkis sekuat tenaga dengan tombak kirinya.
"Tranggg!"
dan putuslah tombak kiri ditangan Piloko itu, yang membuatnya menjadi terkejut
sekali sehingga wajahnya berubah pucat.
"Ha ha
ha!" Huayen-khan tertawa bergelak. Setelah kini menghadapi pengeroyok
kawan-kawan musuhnya, ia mengganda dengan tertawa saja. Ia menjadi geli melihat
betapa tombak Piloko terbabat buntung oleh pedang pemuda gagah itu. "Walet
hitam yang tadi ekornya telah buntung, sekarang sayapnya brondol lagi. Ha ha
ha! kau tidak lekas terbang minggat?"
Piloko
menjadi jerih sekali melihat kegagahan Tiong kiat, maka ia segera berseru keras
dalam bahasa Cou, mengajak pergi kawan-kawannya, ia sendiri lalu mendahului
melompat pergi dan berlari cepat, diikuti oleh kawan-kawannya yang hanya
tinggal tiga puluh orang lebih lagi.
Baru saja
rombongan Piloko melarikan diri, datanglah pasukan dari dalam kota yang
mendapat perintah dari kaisar untuk memisahkan pertempuran itu dan membujuk
kedua pihak supaya berdamai, biarpun harus dengan kekuatan senjata, Huayen-khan
tidak memperdulikan Ciok Kwan dan pasukannya, bahkan tidak memperdulikan lagi
anak buahnya yang menjadi korban, melainkan memeluk bahu Tiong Kiat sambil
tertawa bergelak.
"Ha ha
ha! dibandingkan dengan kau, semua orang ini hanya kecoa-kecoa pemakan bangkai
belaka. Orang seperti kau inilah yang sepantasnya duduk di sebelah kananku.
Orang muda yang gagah, maukah kau pergi bersama Huayen-khan ke utara dan duduk
makan minum dengan aku?"
Melihat
sikap yang kasar ini, Tiong Kiat makin tertarik. Orang ini gagah dan jujur dan
juga mendengar nama Huayen-khan, tahulah ia bahwa ini adalah kepala suku bangsa
Ouigour yang gagah berani. Maka timbul hati sukanya dan iapun lalu menurut saja
ketika tangannya digandeng oleh Huayen-khan dan diajak naik kuda yang sudah
disediakan oleh anak buahnya. Ketika rombongan orang Ouigour ini hendak
berangkat Huayen-khan menoleh dari kudanya, memandang kepada Ciok Kwan sambil
tersenyum mengejek.
"Ciok-ciangkun,
benar saja seperti pengakuanmu tadi. Anak panahmu hanya dapat dipergunakan
untuk menjatuhkan seekor burung besar yang lambat terbangnya. Akan tetapi
menghadapi seekor burung walet yang kecil dan gesit, anak panahmu menjadi
tumpul. Ha ha ha!" la lalu menarik kendali kudanya dan mengajak Tiong Kiat
mengaburkan kuda mereka pergi dari situ.
Ciok Kwan
mendongkol sekali akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Untuk menyerang dan
menyergap orang-orang ini tentu saja ia tidak berani karena tidak ada perintah
dari kaisar. Untuk bertindak seorang diri terhadap kepala suku bangsa Ouigour
ini lebih jerih karena maklum bahwa kepandaiannya takkan dapat menangkan orang
kasar itu. Dengan marah dan mendongkol ia Ialu memimpin pasukannya untuk
kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada kaisar.
Huayen-khan
ternyata merasa suka sekali kepada Tiong Kiat. Ia mengajak pemuda ini ke utara
dengan segala kehormatan dan di sepanjang jalan pemuda ini diperlakukan sebagai
orang setingkat dengannya. Ketika mereka tiba di tempat perkemahan suku bangsa
Ouigour, Tiong Kiat menjadi kagum sekali melihat betapa suku bangsa ini
menempati perkemahan yang baik dan mempunyai anggota yang banyak sekali
jumlahnya.
Lagi pula,
setiap orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap, selalu membawa senjata
tajam dan nampaknya mengerti ilmu silat. Sungguh merupakan pasukan yang kuat
dan baik. Akan tetapi yang lebih menyenangkan hatinya adalah ketika ia melihat
wanita-wanita yang berada di situ. Berbeda dengan yang laki-laki para wanita
Ouigour rata-rata berkulit bersih, bermata bening dan berhidung mancung, pendek
kata cantik-cantik!
Rombongan
Huayen-khan berjalan perlahan dan pemimpin besar itu menjalankan kudanya
perlahan-lahan sambil mengangkat tangan ke kanan ke kiri membalas penghormatan
semua anak buahnya yang menyambutnya sepanjang jalan. Tiong Kiat yang
menjalankan kudanya di sebelah Huayen-khan, menjadi berdebar bangga karena
seakan-akan juga menerima penghormatan besar itu.
Tiba-tiba
dari jurusan depan nampak seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya
sehingga debu mengebul tinggi, kuda itu berlari cepat sekali dan Tiong Kiat
memandang bagaikan terpesona. Memang hebat sekali pemandangan yang nampak di
depan matanya itu.
Kuda itu
berbulu kemerah-merahan, sedangkan penunggangnya adalah seorang gadis yang
berpakaian merah lagi sehingga kuda dan penunggangnya itu nampaknya seperti api
yang bernyala-nyala. Yang membuat Tiong Kiat merasa kaget adalah kecepatan
larinya kuda itu sehingga ia merasa kuatir kalau kuda ini menubruk kudanya dan
kuda yang ditunggangi oleh Huayen khan.
Akan tetapi,
Huayen-khan memandang dengan tertawa lebar saja dan ketika kuda merah itu sudab
tiba di depan Huayen-khan tanpa mengurangi kecepatan larinya tiba-tiba saja
gadis baju merah itu menahan kendali kuda dan menjepit perut kudanya dengan
kedua kakinya dan mendadak kuda itu berhenti berlari.!
Kuda itu
meringkik seakan-akan kegirangan dan Tiong Kiat sukar untuk dapat mempercayai
apa yang dipandangnya dihadapan itu. Ia merasa terheran-heran dan kagum. Tidak
saja kagum melihat kecantikan gadis baju merah ini, akan tetapi juga heran
melihat cara gadis itu menghentikan kudanya.
Tidak
sembarang orang dapat menghentikan larinya kuda yang secepat itu dalam cara
demikian mendadak. Kalau gadis itu tidak memiliki tenaga besar dan kepandaian
naik kuda yang luar biasa, tak mungkin ia akan dapat menghentikan kudanya
secara itu. Gadis itu sama sekali tidak menghormat Huayen-khan, bahkan
datang-datang ia lalu menegur Huayen-khan.
"Kau
membawa benda apakah untukku?"
Huayen khan
tertawa bergelak. "Ang Hwa (bunga Merah) kau kira aku akan lupa
kepadamu?"
Huayen khan
mengeluarkan sebuah kotak berukir dari dalam bungkusan di atas sela kudanya dan
melemparkannya kepada wanita itu. Lemparan ini keras dan cepat akan tetapi
gadis itu menangkap peti kecil ini dengan gerakan yang Iihai sekali sehingga
kembaIi Tiong Kiat memujinya.
"Bagus!"
katanya tak terasa lagi.
Ang Hwa
sedang membuka peti itu dan ketika ia mendengar pujian ini, ia menutup petinya
dan memandang ke arah Tiong Kiat. Ia nampak tercengang seakan-akan baru
sekarang ia melihat pemuda ini.
"Ha ha
ha!" Huayen-khan tertawa pula. "Ang Hwa, kau lihat Sim enghiong ini.
Bukankah ia gagah dan tampan sekali."
Akan tetapi
sambil merengut, Ang Hwa menegurnya, ”mengapa kau membawa seorang Han ke
sini?"
"Ang
Hwa, jangan terburu-buru memandang rendah! Pemuda Han ini bukanlah sembarang
pemuda dan kalau tidak ada dia, belum tentu hari ini aku dapat pulang!"
Kemudian Huayen-khan lalu menceritakan tentang penyerbuan Piloko di luar tembok
kota.
"Ha,
ha, ha! Ang Hwa, kalau kau melihat betapa seorang panglima kerajaan Tang she
Ciok itu berdiri seperti patung, sungguh menyebalkan. Sayang kau tidak ikut
dalam rombonganku. Kalau kau ikut, tentu akan kau lihat betapa Piloko si walet
itu diusir tunggang langgang oleh Sim-enghiong yang gagah perkasa ini! Ha ha
ha!"
Ang Hwa mengerutkan
kening. "Kau diserbu oleh Piloko di luar tembok kota raja dan kau tidak
mendapat bantuan dari kaisar Tang? Hm, siapa tahu kalau hal itu adalah siasat
kaisar sendiri membiarkan serigala dan harimau berkelahi sambil bersembunyi dan
kalau keduanya sudah lelah dan terluka lalu muncul untuk menangkap
mereka?"
Tiong Kiat
merasa tak senang mendengar betapa kaisarnya dituduh berlaku curang, akan
tetapi ia makin kagum saja karena ternyata bahwa selain cantik jelita dan
berkepandaian cukup tinggi, gadis inipun ahli dalam siasat peperangan dan
berotak cerdik pula. Siapakah gadis ini, pikirnya. Tentu setidaknya puteri dari
Huayen-khan!
"Aku
mendengar bahwa Piloko memang bermusuhan dengan suku bangsamu, maka tanpa
dibujuk oleh orang lain, ia akan menyerang rombongan Huayen-khan di manapun
juga." kata Tiong Kiat tanpa membela langsung kepada kaisar bangsanya.
Ang Hwa
memandang tajam kepadanya, kemudian melirik ke arah pedang yang tergantung di
pinggang Tiong Kiat.
"Hm,
kau membawa-bawa pedang dan kau telah membantu rombongan kami. Akan tetapi aku
belum menyaksikan ilmu pedangmu. Malam nanti terang bulan, aku ingin sekali
menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu pedangmu!” Sambil berkata demikian,
ia lalu memutar kudanya dan membalapkan kudanya dan mendahului rombongan Huayen
khan!
Huayen khan
tertawa bergelak dengan gembira sekali "Ha ha ha sim-enghiong, dia memang
keras kepala. Kau harus melayaninya malam nanti!"
"Akan
tetapi. Huayen khan, aku tidak suka mainkan pedang untuk ditonton,” jawab Tiong
Kiat.
"siapa
yang mau menonton ilmu pedang? Dia mengajakmu mengadu ilmu kepandaian karena
dia sendiripun seorang ahli pedang."
Tiong Kiat
tertegun, akan tetapi Huayen-khan tidak memberi kesempatan padanya untuk bicara
lagi, karena dia telah majukan kudanya sehingga rombongan itu maju terus menuju
perkemahan besar di depan.
Setelah
memasuki perkemahan, kembali Tiong Kiat tertegun ketika melihat banyaknya
gadis-gadis pelayan yang cantik menyambut Huayen-khan, bahkan di antara mereka
ini banyak sekali yang datang dari pedalaman, yakni gadis gadis bangsa Han!
"Bersenanglah
dan anggap saja ini sebagai rumahmu sendiri !" kata Huayen-khan.
Tiong Kiat
mendapat tempat di sebuah kemah yang cukup besar, dilayani oleh belasan orang
gadis pelayan yang cantik-cantik. Tentu saja pemuda mata keranjang ini merasa
gembira sekali dan merasa seakan-akan telah memasuki kahyangan yang penuh
dengan bidadari-bidadari.
Malam
harinya setelah bulan muncul, Huayen khan datang memasuki kemahnya dan
mengajaknya keluar menikmati pemandangan di kebun kembang yang terdapat di tepi
sungai. Ketika mereka tiba di tempat itu, benar saja pemandangan amat indahnya.
Bunga bunga telah mekar dan di bawah sinar bulan purnama, keadaan di situ
nampak indah menyenangkan sekali.
Ketika Tiong
Kiat melihat bayangan merah berdiri di tempat itu, dikelilingi oleh para
pelayan, teringatlah ia akan janji Ang Hwa yang hendak mencoba ilmu pedangnya,
diam-diam Tiong Kiat menggigit bibirnya. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya
agar dapat dikagumi oleh Ang Hwa yang cantik jeIita dan oleh para pelayan itu.
Memang benar
seperti yang dikatakan oleh Huayen-khan tadi, karena begitu ia mengajak Tiong
Kiat duduk di atas bangku-bangku batu yang telah disediakan di tempat itu, Ang
Hwa lalu menghampiri mereka dan berkata kepada Tiong Kiat,
"Sim
enghiong, harap kau suka memperlihatkan kepandaianmu agar hati kami tidak
ragu-ragu lagi bahwa tamu kami bukanlah seorang pemuda Han yang lemah dan tiada
guna belaka!”
Gemaslah
hati Tiong Kiat, bukan saja gemas melihat sikap gadis cantik yang memandang
rendah ini, akan tetapi gemas pula melihat gadis yang benar-benar jelita dan
menarik hati ini. Kalau saja ia tidak mengira bahwa gadis ini putri dari Huayen
khan, tentu telah dipeluknya dan dibawa Iari ke dalam kemahnya!
la bangkit
berdiri dan berkata dengan senyum. "Nona sudah menjadi kebiasaanku sekali
aku mencabut pedang, aku tentu harus memperoleh hasil. Menghadapi seorang
musuh, darah musuh pada pedangku adalah hasil pencabutan pedangku. Oleh karena
terhadapmu aku tak dapat berIaku demikian maka apakah hadiahnya apabila aku
mendapat kemenangan?"
Ang Hwa
memandangnya dengan matanya yang indah, sungguhpun matanya nampak berseri,
namun bibirnya tetap memperlihatkan kekerasan hati dan kesombongannya.
"Katakan
dulu, bagaimana kalau kau kalah? Pembayaran apakah yang akan kau
pertaruhkan?"
Tiong Kiat
tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini sedemikian sombongnya,
seakan-akan sudah yakin akan kemenangannya sehingga berani mengajaknya
bertaruh!
"Darahku
yang kupertaruhkan." kata Tiong Kiat. "Biarlah aku terluka oleh
pedangmu kalau ilmu pedangku terlalu rendah untuk menghadapi ilmu
pedangmu."
Tiba-tiba
Huayen khan tertawa bergelak. "Ang Hwa, kau terlalu sombong! Mana bisa kau
menangkan Sim enghiong? Sim-enghiong, biarlah aku mewakilinya menjawab. Kalau
kau menang, aku akan menyerahkannya kepadamu semalam penuh dan ia harus
menurut!"
Kali ini benar-benar
Tiong Kiat terkejut dan mukanya menjadi marah sekali. Bagaimana Huayen khan
dapat menawarkan anaknya seperti itu? Benar ia tidak mengerti akan sikap dan
watak orang orang Ouigour ini! Akan tetapi ia masih penasaran dan bertanyalah
ia kepada Ang Hwa,
"Nona
ucapan tadi dikeluarkan oleh Huayen-khan, bukan olehku."
"Sekali
kata-kata sudah diucapkan, takkan ditarik kembali. Aku bersedia menurut
perintah kalau aku kalah olehmu!" jawab Ang Hwa dengan singkat, dan gadis
ini lalu mencabut sebatang pedang yang mengkilap dan melompat ke tengah
pelataran.
Bukan main
girangnya hati Tiong Kiat mendengar ini. Gilakah orang-orang ini? Dengan
terang-terangan Huayen khan mempertaruhkan kehormatan puterinya sedangkan Ang
Hwa sendiri dengan terang-terangan bersedia mentaati perintah itu! Ia lalu
mencabut pedangnya dan dengan lompatan ringan sekali ia telah berada di depan
Ang Hwa.
"Nona,
silakan kau mulai lebih dulu menyerangku!" tantangnya. la mengira bahwa
biarpun kepandaian menunggang kuda nona ini hebat, namun ilmu pedangnya tentu
tidak berapa berbahaya.
Akan tetapi
ia kecele kalau berpikir demikian, karena begitu gadis itu menggerakkan
pedangnya, Tiong Kiat merasa terkejut sekali. Gerakan pedang gadis itu sama
sekali tak boleh disebut lemah!
Bukan main
bahkan pedangnyapun bukan pedang biasa, melainkan pokiam (pedang pusaka) yang
kuat sehingga ketika beradu dengan Hui Iiong kiam, hanya bunga-bunga api yang
berpijar sedangkan pedang gadis itu sama sekali tidak menjadi rusak!
Timbul
kegembiraan di hati Tiong Kiat dan berbareng ia merasa tertarik dan suka kepada
gadis ini. Sukarlah menjumpai gadis yang keras hati, cantik, tinggi
kepandaiannya seperti Ang Hwa. Apalagi di tempat ini, dalam lingkungan
orang-orang Ouigour yang kasar.
Pada waktu
itu, Tiong Kiat telah menamatkan pelajaran Ang-coa-kiam dari kitab Ang coa kiam
coansi yang dirampasnya dari tangan Tiong Han. maka tingkat ilmu pedangnya
sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Bahkan Tiong Han sendiri belum tentu
sekarang dapat melawan pemuda ini yang telah berhasil mewarisi seluruh ilmu
pedang Ang coa-kiam-sut, kepandaian ilmu pedang pusaka dari Kim-liong pai!
Tadinya
Tiong Kiat hanya mempermainkan Ang Hwa dan mainkan ilmu pedangnya untuk
bertahan saja. Ia bertambah heran ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang
gadis itu adalah ilmu pedang yang mirip sekali dengan Kun lun kiamhwat!
Bagaimana seorang gadis Ouigour dapat mempelajari ilmu pedang dari Kun lun-pai?
la ingin
cepat-cepat menyelesaikan pibu ini agar dapat bicara berdua dengan gadis yang
menarik hatinya ini. Cepat ia merubah gerakan pedangnya dan sebentar saja
terdengar Ang Hwa berseru terkejut. Pedang di tangan pemuda ini tiba-tiba
lenyap menjadi segulung sinar putih yang gerakannya aneh dan gesit sekali
seperti seekor naga bermain di angkasa.
Betapapun
Ang Hwa memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja
gulungan sinar pedang itu mengurung dirinya, membuat pandangan matanya kabur
dan kepalanya pening!
Baru
sekarang ia percaya akan kehebatan ilmu pedang Tiong Kiat. Tiba-tiba ia merasa
sampokan hebat sekali yang membuat pedangnya terlepas dari tangan dan ketika
sinar pedang lawannya itu lenyap, ternyata Tiong Kiat telah berdiri di
hadapannya dengan pedangnya yang terlepas dan berada di tangan kiri pemuda itu!
Tiong Kiat
tersenyum dan mengembalikan pedang itu kepada Ang Hwa yang menerimanya dengan
muka merah. Huayen-khan menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum.
"Bagus,
bagus Sim-enghiong. Malam ini kau telah dapat menundukkan bunga merah sungai
Selonga! Aku rela memberikannya semalam kepadamu, kau gagah dan cukup berharga
untuk itu. Ha, ha, ha! bawalah, bawalah dia ke kemahmu, Sim-enghiong!"
Setelah
berkata demikian, kepala suku bangsa Ouigour ini lalu meninggalkan mereka,
Tiong Kiat berdiri bengong dengan muka merah dan juga merasa terheran-heran.
Akan tetapi ketika ia melihat betapa gadis itu memandangnya dengan mesra dan
bibirnya tersenyum.
Ketika
melihat betapa Tiong Kiat menatap wajahnya gadis ini menjadi merah mukanya dan
menundukkan muka dengan kemalu-maluan, akan tetapi matanya mengerling dan
menyambar dari pinggir, membuat pemuda itu menjadi runtuh betul imannya. Dengan
girang Tiong Kiat lalu memegang tangan Ang Hwa dan diajaknya masuk ke dalam
kemahnya.
Setelah tiba
di dalam kemahnya, mereka duduk berhadapan dan Tiong Kiat yang merasa Iebih
terheran-heran dari pada gembira itu Ialu bertanya.
"Nona,
sungguh aku heran sekali melihat kau. Ilmu silatmu tadi sudah terang berasal
dari Kun-lun-pai dan melihat wajah dan juga bicaramu kau Iebih pantas menjadi
gadis bangsa Han dari pada menjadi seorang gadis Ouigour. Sesungguhnya,
bagaimana kau sampai bisa berada di tempat ini?"
Ang Hwa
tersenyum dan memandang kepada Tiong Kiat dengan kagum. "Sim enghiong, kau
gagah sekali dan ilmu pedangmu saja sudah cukup menundukkan hatiku. Oleh karena
itu, tiada salahnya aku menceritakan riwayatku dan percayalah hanya kepadamu
saja aku mau bercerita."
Ang Hwa
adalah puteri tunggal seorang guru silat bangsa Han, anak murid Kun-lun-pai.
Ayahnya telah membunuh seorang Pembesar tinggi karena istrinya bermain gila
dengan pembesar itu. Tentu saja ia menjadi orang buruan pemerintah dan guru
silat she Ang ini melarikan diri bersama anaknya ke utara.
Akhirnya
ayahnya bertemu dengan Huayen khan dan menjadi pembantunya. Akan tetapi, ketika
Ang Hwa berusia lima belas tahun, ayahnya telah meninggal dan ia terserang
penyakit berat, sehingga akhirnya gadis ini menjadi yatim piatu dan ikut dengan
Huayen khan yang amat mengasihinya.
"Demikianlah,
Sim-enghiong, maka sampai sekarang aku berada di sini. Cita-citaku hanya untuk
membalas dendam, tidak kepada pembesar tinggi yang sudah terbunuh oleh ayahku
akan tetapi kepada pemerintahan Tang terutama kaisarnya yang telah membuat ayah
menderita sengsara di tempat asing ini."
"Akan
tetapi, bukankah suku bangsa Ouigour bersahabat dengan pemerintah Tang?"
tanya Tiong Kiat.
"Benar,
akan tetapi itu hanya siasat belaka, keadaan kami belum kuat benar untuk
melakukan penyerangan dan jalan terbaik adalah bersahabat dengan kaisar
kerajaan Tang."
Tiong Kiat
berpikir bahwa tentu Ang Hwa kini diaku anak oleh Huayen-khan. Kalau ia dapat
menikah dengan gadis ini dan menjadi menantu Huayen-khan, tentu pengaruhnya
akan besar dan kelak ia akan mendapat kesempatan menggantikan kedudukan Huayen
khan! Alangkah senangnya menjadi raja dari suku bangsa ini. Akan tetapi, ia
tidak senang mendengar betapa Huayen-khan diam-diam hendak menyerang dan
menggulingkan kerajaan Tang.
Betapapun
juga, Tiong Kiat masih mempunyai darah pahlawan. Ia maklum akan kebijaksanaan
Kaisar Tai Cung, dan biarpun ia tidak mundur untuk melakukan pekerjaan rendah
seperti jai-hwa cat dan pencuri, namun untuk menghianati Kaisar Tai Cung, ia
tidak sudi!
Kalau aku
dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi mantu dari Huayen-khan, aku akan
dapat membujuknya dan mempengaruhinya sehingga selamanya suku bangsa ini akan
menjadi sahabat baik dari pemerintahan Tang, pikirnya.
la memandang
gadis itu yang makin lama nampak makin cantik menarik. Tak terasa lagi ia
mengulurkan tangan memegang lengan gadis itu dan Ang Hwa mendiamkan saja,
bahkan tersenyum menantang!
"Alangkah
bahagiaku dapat menerima kehormatan ini," kata Tiong Kiat sambil mengagumi
mata yang bening itu. "Akan tetapi aku benar-benar masih merasa heran
mengapa Huayen khan suka menyerahkan puterinya kepada seorang asing seperti
aku. Bukankah ini agak terlalu mudah? Aku ingin menikah dengan kau secara
resmi, Ang Hwa, kau cukup pantas menjadi istriku yang tercinta."
Kini Ang Hwa
memandang dengan mata terbelalak. "Puterinya? Puterinya yang mana
maksudmu, Sim-enghiong?"
"Eh,
bukankah kau menjadi puteri Huayen-khan?"
Ang Hwa
menggeleng kepalanya. "Aku bukan puterinya, juga tidak diaku anak olehnya.
Aku… aku telah menjadi isterinya."
Bagaikan
disengat ular berbisa, Tiong Kiat menarik kembali tangannya yang memegang
lengan Ang Hwa. Pemuda ini kalau sudah tertarik hatinya oleh seorang wanita, ia
tidak akan memperdulikan apakah wanita itu anak orang ataupun puteri orang.
Akan tetapi menghadapi Huayen-khan yang menyerahkan istri sendiri kepadanya ini
baginya merupakan haI yang aneh dan hebat sekali, yang membuatnya menjadi ngeri
juga.
"Apa...??
Kau istrinya? Mengapa... mengapa ia memberikan kau kepadaku untuk melayaniku
malam ini? Bagaimana mungkin ada perbuatan yang gila ini?"
Ang Hwa
tersenyum menarik dan kini dialah yang menghampiri Tiong Kiat dengan sikap
menarik sekali. "Pemuda bodoh. Apa salahnya hal itu kami lakukan? Biarpun
aku menjadi isterinya, akan tetapi dia telah berjanji takkan mengikatku. Aku
boleh bebas sesuka hatiku. Aku... aku dengan suka sendiri melayanimu dan dia...
ah, bukankah dia mengharapkan bantuanmu untuk mengguIingkan kaisar Tang? Kau
suka kepadaku, aku sendiripun kagum melihatmu dan suamiku itu ingin menarik
tenagamu. Bukankah kita bertiga sudah merupakan tiga serangkai yang cocok
sekali?"
Pucatlah
muka Tiong Kiat mendengar ini. Ia menjadi marah sekali Jadi orang telah sengaja
menggunakan istri sendiri sebagai umpan agar ia mau berlaku khianat terhadap
kaisarnya?
"Tidak,
tidak ! Kalian sudah gila! Jangan harap akan dapat menarikku melakukan
penghianatan! Kalau Huayen-khan hendak menyerang negaraku, lebih dulu dia akan
berhadapan dengan aku sebagai musuhnya!"
Ang Hwa
menjadi pucat. Senyumnya masih mengembang di bibir, akan tetapi sepasang
matanya yang bening kini bernyala-nyala. "Bagus sekali! Kau tidak dapat
menerima kebaikan orang!" Setelah berkata demikian, Ang Hwa melompat
keluar dari tenda.
Tiong Kiat
merasa curiga, cepat ia mengambil bungkusan pakaiannya dan hendak keluar dari
tenda akan tetapi di luar tenda itu ternyata telah terkurung oleh pasukan
Ouigour yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri bersama istrinya. Ang Hwa!
"Orang
she Sim!” kata Huayen-khan dengan suara besar. "Kau telah menghina
isteriku dan menolak kebaikanku. Kau tidak mau membantu kami? Baik, jangan
harap akan dapat keluar dari sini dalam keadaan bernyawa!" Sambil berkata
demikian, Huayen-khan telah menodongnya dengan anak panahnya yang lihai.
Akan tetapi
Tiong Kiat tidak menjadi gentar. Ia tersenyum pahit dan berkata, "Kukira
aku telah membantu seekor domba yang patut dibela, tidak tahunya di balik kedok
domba itu tersembunyi muka serigala yang jahat! Huayen-khan, betapapun juga,
aku Sim Tiong Kiat masih tetap seorang Han yang tidak nanti mau melakukan
pengkhianatan terhadap negara dan bangsa sendiri!"
SambiI
berkata demikian Tiong Kiat cepat mencabut pedangnya. Baiknya ia berlaku cepat,
karena belum habis ucapannya keluar dari mulut, tiga batang anak panah yang
dilepas sekaligus oleh Huayen-khan telah menyambar ke arahnya! la cepat memutar
pedangnya dan dengan menerbitkan suara nyaring, tiga batang anak panah itu
dapat dipukul jatuh semua.
Huayen-khan
terkejut sekali. Belum pernah ia melihat ada orang yang dapat menangkis tiga
anak panahnya secara demikian mudahnya, maka ia lalu cepat memberi aba-aba kepada
para anak buahnya. Tiong Kiat mendahuluinya dan cepat menerjang dari samping
kiri. Ia maklum bahwa untuk melakukan perlawanan dan menghadapi Huayen-khan,
Ang Hwa dan sekian banyaknya pasukan Ouigour, adalah hal yang tidak mungkin dan
betapapun tingginya ilmu silatnya, kalau ia melawan ribuan orang ini, akan sama
halnya dengan membunuh diri.
Maka ia lalu
menerjang ke kiri untuk menjauhi Huayen-khan dan Ang Hwa. Begitu ia menerjang,
pedangnya telah menjatuhkan tiga orang perwira Ouigour sehingga para pengepung
di bagian ini menjadi jerih dan mundur. Tiong Kiat melompat ke dalam gelap dan
mengamuk serta merobohkan para penghadangnya! Keadaan menjadi geger dan di mana
saja pemuda itu lari dan dihadang, pasti robohlah beberapa orang!
Akhirnya
setelah merobohkan dua puluh orang penghadang lebih, pemuda ini dapat
membobolkan pengepungan dan melarikan diri di dalam gelap! Terdengar
teriakan-teriakan di belakangnya dari mereka yang mengejarnya, akan tetapi
siapakah yang dapat menyusul pemuda yang memiliki ilmu berlari cepat ini?
Sebentar saja, suara yang mengejarnya makin lemah dan tak terdengar lagi.
Tiong Kiat
melarikan diri terus ke selatan. Tujuan perjalanannya adalah kota raja, karena
sebelum bertemu dengan Huayen-khan, ia pun ingin sekali melihat kota raja.
Hatinya merasa kecewa dan timbullah kedukaan di dalam dadanya. Teringat ia
kepada Suma Eng, nona yang sampai pada saat itu juga masih selalu ia kenangkan
dengan penuh kerinduan hati.
Betapapun
banyaknya wanita yang dijumpainya, tak seorangpun di antara mereka yang dapat
dibandingkan dengan Suma Eng. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia dahulu telah
mengganggu Suma Eng, karena kalau tidak, tentu nona itu tidak akan memusuhinya
dan mungkin sekali ia akan dapat menjadi sahabat baik nona itu. Gemas ia kalau
teringat kepada Ang Hwa, gadis yang ternyata menjadi isteri Huayen khan yang
amat tidak tahu malu itu.
Ia ingin
masuk ke kota raja dan kalau mungkin, akan memberitahukan kepada pemerintah
akan maksud Huayen khan yang hendak memberontak itu. Teringat kepada Eng Eng
dan Ang Hwa, hatinya menjadi kesal dan ia tidak tertarik oleh gadis-gadis yang
dijumpainya di dalam perjalanannya.
Pada suatu
hari ia tiba di kota Hong-bun, sebuah kota kecil di sebelah kota raja. Ketika
ia sedang berjalan memasuki kota itu ia melihat Iima orang tosu jubah kuning
berjalan cepat bersama seorang panglima bertubuh tinggi besar dan nampak gagah
sekali. Melihat lima orang tosu ini, terkejutlah hati Tiong Kiat.
Sungguhpun
ia belum pernah melihat lima tosu ini namun melihat pakaian mereka yang
berwarna kuning dan melihat pula tongkat bambu yang berada di tangan mereka,
dengan mudah ia menduga bahwa mereka ini tentulah Go bi Ngo koat-tung (Lima
Tongkat Aneh dari Go-bi) yang telah amat terkenal namanya karena ilmu silat
mereka yang amat tinggi. Juga hatinya tertarik sekali ketika melihat panglima
yang gagah itu.
Panglima itu
dan lima tosu baju kuning tadi lalu memasuki pintu benteng yang dijaga oleh
belasan orang perajurit. Terpaksa Tiong Kiat bersembunyi di balik pohon karena
tentu saja ia tidak dapat masuk. Hatinya makin terheran-heran. Terang sudah
panglima tadi adalah Panglima kerajaan, mengapa lima orang tosu ini ikut masuk
ke dalam benteng? Ada keperluan apakah para pendeta itu memasuki benteng yang
penuh dengan perajurit?
Tiong Kiat
adalah seorang perantau yang tidak tentu tujuannya, maka setiap kali melihat
kejadian yang ganjil, ia takkan puas sebelum dapat mengetahui sebab-sebabnya.
Ia lalu mencari jalan masuk dan berjalan sambil bersembunyi di balik pepohonan
mengitari tembok benteng itu.
Seperti
biasa pada waktu negara tidak sedang mengalami perang, penjagaan tembok benteng
tidak dilakukan dengan keras dan akhirnya, di sebelah belakang benteng itu
Tiong Kiat melihat tembok yang tidak terjaga dan nampaknya sunyi saja. Ia lalu
mengeluarkan kepandaiannya, melompat dengan gesit ke atas tembok yang tinggi
itu.
Setelah
mendekam di atas tembok beberapa lama sambil mengintai ke dalam ia melihat
bahwa di bagian belakang itu hanya lapangan rumput yang agaknya dipergunakan
sebagai tempat latihan perang-perangan, maka ia lalu melompat ke dalam dengan
gerakan amat ringan. Tiba-tiba ia mendengar suara orang dan cepat ia
bersembunyi di belakang kandang kuda yang penuh dengan kuda-kuda tinggi besar.
Dua orang nampak mendatangi sambil membawa rumput makanan kuda.
"Sungguh
aneh sekali Oei ciangkun itu," terdengar seorang diantara kedua orang
penjaga itu berkata. "biasanya kalau ada orang tertangkap lalu dihukum
mati atau dikirim ke kota raja untuk diadili. Akan tetapi siluman wanita itu
bahkan diharuskan mendapat perlakuan yang baik."
"Lo
Siang, kau tahu apa?" kata orang kedua. "Siluman wanita itu demikian
cantik jelita, masih muda pula. Takkan lebih dari dua puluh tahun, bagaikan
kembang sedang mekarnya. Siapa yang tega untuk membunuhnya? Lagi pula ilmu
silatnya demikian lihai sehingga kalau tidak ada lima orang tosu Gobi Ngo-koai
tung itu, siapa yang mampu menangkapnya ? Dan Oei ciangkun sendlri masih muda,
belum beristeri... hem! Siapa tahu?"
"Apa
maksudmu, Lo Siang?"
“Oei
ciangkun gagah perkasa, tawanan ini seorang gadis cantik jelita, apalagi?
sudahlah, Lo Kui, kita menanti saja dibagikannya arak wangi! Ha ha ha!"
Tiba-tiba
ada angin menyambar dan tahu-tahu seorang pemuda entah dari mana datangnya,
telah berdiri di depan mereka! Sebelum mereka sempat membuka suara kedua tangan
Tiong Kiat menyambar jalan darah mereka di bagian ya-hu-hiat dan lemaslah tubuh
mereka, sedangkan ketika mereka menggerakkan mulut untuk berteriak minta
pertolongan kepada kawan-kawan ternyata tak ada sedikitpun suara dapat keluar
dari tenggorokan mereka.
Tiong Kiat
tidak mau mengganggu atau melukai kedua penjaga ini, karena sesungguhnya ia
masuk ke benteng ini hanya untuk memuaskan ingin tahunya saja, dan tidak ada
permusuhan sesuatu antara dia dan tentara kerajaan. Akan tetapi, ketika ia
mendengar percakapan antara kedua orang penjaga ini, hatinya tertarik sekali.
Jadi lima orang tosu itu betuI adalah Gobi Ngo-koai tung? Tiong Kiat makin
tertarik ketika mendengar tentang ditangkapnya seorang gadis cantik yang
berkepandaian tinggi. Ia ingin sekali melihat gadis ini!
Dengan
hati-hati sekali ia lalu menyeret kedua orang penjaga itu dan menyembunyikan
mereka di dalam kandang kuda, kemudian ia lalu melanjutkan pemeriksaannya dan
berindap-indap menghampiri bangunan besar yang berada di tengah benteng. Ketika
terdengar suara riuh dan tindakan kaki banyak orang, ia cepat bersembunyi lagi.
Sebentar kemudian muncullah tiga barisan yang dengan gagahnya menuju ke
lapangan rumput di belakang itu. Mereka ini hendak mulai dengan latihan mereka,
dipimpin beberapa perwira.
Setelah
barisan-barisan itu lewat, Tiong Kiat menyelinap ke belakang bangunan besar,
sekali ia enjotkan tubuhnya ia telah berada di atas genteng, bersembunyi di
wuwungan yang tinggi. Kemudian setelah maju lagi beberapa jauhnya, ia mendengar
suara seorang wanita berseru nyaring.
"Aku
sudah kalah tertangkap, mau apa lagi? Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah siapa
takut mati? Hanya sayang sekali bahwa kalian ini orang-orang gagah ternyata
hanyalah pengecut-pengecut besar yang melakukan pengeroyokan atas diri seorang
wanita untuk memperoleh kemenangan!"
"Nona
yang baik," terdengar suara yang tenang dan besar," mengapa kau
berkeras hendak memusuhi kami? Kami tidak mempunyai maksud buruk terhadap kau
dan apakah kesalahan beberapa anggauta kami itu tak dapat kau maafkan? Kalau
saja kau suka membantu pekerjaan kami, bukankah hal ini bagus sekali dan kau
berarti akan dapat berbakti kepada negara?"
Tiong Kiat
makin tertarik dan hatinya berdebar-debar. Ia seperti pernah mendengar suara
wanita yang nyaring dan keras ini. Cepat ia lalu menghampiri ke arah suara itu
dan membuka genteng mengintai ke dalam. Hampir saja ia mengeluarkan seruan
kaget ketika ia menjenguk ke bawah. Ternyata bahwa wanita itu benar-benar
adalah Suma Eng. Nona yang siang malam menjadi buah kenangannya ini duduk di
atas bangku dengan sikap marah, sedangkan di sekelilingnya, seakan-akan
mengurungnya, duduk panglima yang dilihatnya tadi bersama kelima Gobi Ngo-koai
tung!
Bagaimanakah
Eng Eng sampai terjatuh ke dalam tangan mereka ini? Baiklah kita mengikuti
pengalamannya secara singkat melanjutkan penuturan ini. Setelah Eng Eng
berpisah dengan Tiong Han untuk mencari jalan masing-masing dalam usaha mereka
berdulu-duluan mencari Tiong Kiat, gadis ini langsung menuju ke kota raja. Ia
pikir bahwa seorang pemuda jahat seperti Tiong Kiat tentu akan memilih tempat
yang ramai dan indah, maka ia lalu menuju ke kota raja untuk mencari jejak
pemuda yang dibencinya itu.
Karena ia
belum pernah pergi ke kota raja dan Eng Eng merasa tertarik sekali oleh
pemandangan di sebelah barat Propinsi Hopak yang bertapal batas dengan Propinsi
Shansi di sebelah barat dan dengan Mongolia di sebelah utara, maka ia telah
salah jalan bukannya langsung ke kota raja, akan tetapi lewat di sebelah barat
kota raja dan terus ke utara! tanpa disadarinya ia telah melewati kota raja dan
kini berada di sebelah utaranya!
Demikianlah,
maka pada suatu hari tibalah ia di kota Hong-bun, kota yang jauh letaknya dari
benteng itu. Ketika ia sedang berjalan sambil melihat-lihat, tiba-tiba dari
depan mendatangi lima orang tentara kerajaan yang berjalan saling bergandengan
dan melihbat jalan mereka yang terhuyung-huyung itu, mudah diduga mereka berada
dalam keadaan mabok, Eng Eng tidak memperdulikan mereka, akan tetapi sebaliknya
lima orang tentara itu ketika melihat Eng Eng dan ketika gadis itu hendak
mengelak ke kiri, mereka sengaja bergerak ke kiri pula dan dengan sengaja
menghadang perjalanan gadis ini. Marahlah Eng Eng dan dengan muka merah ia
membentak.
"Kawanan
anjing, apakah kau mau mengganggu orang di tengah jalan? Minggir!"
Akan tetapi
sambil tertawa-tawa, lima orang tentara itu lalu berebut maju untuk memeluk
atau meraba tubuh gadis yang cantik jelita ini. Akan tetapi, bukan main
hebatnya akibatnya kekurang-ajaran mereka ini. Terdengar suara bak bik buk,
disusul oleh pekik mereka dan tubuh mereka terlempar ke kanan kiri terkena
tendangan kedua kaki Eng Eng! Bagaikan babi-babi disembelih, kelima orang
kurang ajar ini mengaduh-aduh dan tak dapat bangun lagi.
Pada hari
itu, memang banyak anak buah tentara dalam benteng diberi kesempatan keluar
dari benteng dan jumlah mereka ini ada puluhan orang. Ketika mendengar suara
ribut-ribut dan melihat lima orang tentara dipukul oleh seorang gadis cantik,
kawan-kawan mereka yang berada di kota itu, menjadi marah sekali dan sebentar
saja Eng Eng dikurung oleh puluhan orang anggauta tentara.
Mereka ini
mula-mula mempergunakan tangan kosong hendak menangkap gadis ini dan
menawannya, akan tetapi apakah artinya keroyokan orang-orang yang hanya kuat
tenaga akan tetapi tidak memiliki ilmu kepandaian berarti itu terhadap Eng Eng?
Gadis ini menggerakkan kaki tangannya seperti kitiran cepatnya dan bagaikan
rumput dibabat, robohlah para pengeroyoknya. Hal ini membuat para tentara
menjadi marah sekali. Mulailah mereka mencabut golok mereka.
"Gadis
liar! Menyerahlah sebelum kami melukaimu!" teriak seorang perwira.
"Bangsat
pengecut! Kalian yang mencari perkara, mengapa aku harus menyerah? Siapa takut
kepada golokmu yang tumpul itu?" Eng Eng membentak.
Maka
menyerbulah para pengeroyoknya, kini dengan senjata tajam di tangan. Namun,
tetap saja mereka bukanlah lawan Eng Eng. Gadis ini mencabut pedangnya dan
ketika sinar merah dari pedangnya berkelebat, terdengar suara keras dan
golok-golok di tangan para pengeroyoknya terbabat putus, runtuh bagaikan daun
bambu jatuh berhamburan!
Tentu saja
para tentara ini menjadi terkejut sekali. beberapa orang di antaranya cepat
melarikan diri ke benteng untuk memberi laporan kepada Oei-ciangkun, panglima
yang menjadi komandan di dalam benteng itu. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang
menerima kedatangan kawan-kawan baiknya, yakni Gobi Ngo koai-tung yang bernama
Iucu, karena mereka sesungguhnya telah membuang nama asal dan memakai nama yang
sederhana saja yakni Thian It Tosu, Thian ji Tosu, Thian Sam Tosu, Thian Si
Tosu dan Thian Go Tosu.
Kelima orang
tosu dari Go bi-san ini memang pendeta-pendeta yang berilmu tinggi dan
penggantian nama mereka ini sesungguhnya ada alasan yang amat kuat bagi mereka.
Dahulu, sebelum perkumpulan agama yang disebut Pek-lian-kauw (Agama Teratai
Putih) belum lenyap dan belum dihancurkan oleh Kaisar Tai Cung yang melihat
gejala gejala tidak baik dalam perkumpulan agama ini.
Kelima orang
pendeta ini sebetulnya menjadi pengurus-pengurus terkemuka dari Pek-lian-kauw.
Oleh karena Pek-lian kauw sudah hancur dan musnah, maka untuk melindungi
dirinya, mereka melarikan diri ke Go bi san dan menukar nama, sehingga kini
terkenal sebagai Gobi Ngo-koai- tung yang amat lihai.
Adapun
Oei-ciangkun ini sebenarnya, bernama Ui Sun dan ia dulu secara bersembunyi
adalah seorang pemeluk agama Pek-lian-kauw. Ketua pendeta wanita yang masih
muda dan cantik sekali bagaikan bunga teratai, sesungguhnya diam-diam
mengadakan perhubungan dengannya dan menjadi kekasihnya. Akan tetapi Oei Sun
pandai sekali menyembunyikan dirinya dan berlindung di balik kedudukannya
sebagai panglima yang memimpin puluhan ribu tentara.
Setelah
kekasihnya itu tewas dalam pembasmian Pek lian-kauw dan perkumpulan ini bubar,
diam-diam Oei Sun masih mengadakan perhubungan dengan Gobi Ngo koai-tung yang
bersembunyi di pegunungan Go-bi-san.
Demikianlah
antara Oei ciangkun dan Gobi Ngo-koai-tung terdapat hubungan yang erat sekali,
maka tidak mengherankan apabila pada hari itu mereka berlima datang mengunjungi
Oei ciangkun di dalam bentengnya. Gobi Ngo-koai tung telah membuat nama besar
maka selain Oei ciangkun boleh dibilang tidak ada orang lain yang mengetahui
bahwa mereka adalah bekas-bekas pemimpin Pek lian kauw.
Oei ciangkun
dan kelima orang tamunya sedang bercakap-cakap ketika datang laporan tentang
seorang gadis yang mengamuk hebat di kota Hong-bun. Panglima ini menjadi marah
dan bersama Go bi Ngo koai-tung ia cepat naik kuda menuju ke Hong bun. Di situ
benar saja ia melihat seorang gadis muda yang cantik sekali tengah mainkan
pedangnya yang mengeluarkan cahaya merah membabat putus setiap golok yang
menghadangnya sehingga tempat pertempuran itu telah penuh dengan potongan golok
dan tubuh para tentara yang terluka! Biarpun tak seorang di antara para
pengeroyok ini ditewaskan oleh Eng Eng, namun pemandangan ini cukup hebat dan
mengerikan.
"Gadis
liar dari manakah berani melawan tentara pemerintah?" bentak Oei ciangkun
yang telah mencabut golok besarnya dan menyerbu ke arah tempat pertempuran itu.
Melihat
majunya Oei ciangkun, semua tentara lalu mengundurkan diri, hanya mengurung
tempat itu dari jauh, memberi tempat yang cukup luas bagi pemimpin. Semua
tentara kini telah menjadi gembira untuk menonton pertempuran yang pasti akan
menarik hati ini...!
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment