Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 05
Lai Siong Te
memang pernah berkunjung ke Hunleng dan berkenalan dengan Ouw Teng Sin dan Ting
Kwan Ek, kedua piauwsu dari Pek-eng-piauwkiok itu. Bahkan pernah ia melihat Kim
Bwe yang ketika itu masih menjadi nyonya Ouw Teng sin. Di dalam perjalanan
tadi, Lai Siong Te tidak ikut karena piauwsu tua ini sekarang jarang sekali
mengantar sendiri barang-barang yang dilindungi oleh piauwkioknya. Cukup
dilakukan oleh anak buahnya dan murid-muridnya saja. Tentu saja untuk mengawal
barang-barang amat berharga kadang-kadang ia sendiri turun tangan.
Ketika
rombongan piauwsu itu tiba Lai Siong Te menyambut dengan gembira karena
mendengar bahwa rombongan itu tidak menemui kesulitan sesuatu di dalam
perjalanan. Sebagai seorang ketua yang pandai, ia lalu memerintahkan para
pelayan untuk menyediakan minuman dan hidangan sebagai hiburan kepada para
pegawainya.
Pada
saat-saat orang-orang itu sedang makan minum tiba tiba datang seorang piauwsu
yang menghadap Lai Siong Te dengan muka pucat dan memberi laporan,
"Celaka,
Lai piauwsu, di perempatan sebelah selatan itu ada seorang laki-laki dan
seorang wanita yang memaki-maki dan menantang semua piauwsu dari Gin-houw
piauwkiok!"
Mendengar
ucapan ini, marahlah para piauwsu muda yang berada di situ. Tanpa menanti
jawaban kepala piauwsu itu, dua orang piauwsu muda telah lari sambil mencabut
pedang mereka! Benar saja di tengah jalan perempatan, tak jauh dari rumah
piauwkiok itu, tampak seorang laki-laki tinggi kurus dengan seorang wanita muda
yang cantik sekali berdiri sambil memaki-maki.
"Manakah
tikus-tikus dari Gin-houw piauwkiok? Biar mereka maju ke sini hendak kuhi-tung
berapa helai kumisnya!"
Seorang di
antara piauwsu muda ini adalah seorang muda yang tadi telah tertarik oleh
kecentilan Kim Bwe dan telah bertukar pandang dan senyum dengan nyonya muda
itu, maka ia lalu main ke depan bersama kawannya dan membentak.
"Manusia
kurang ajar dari manakah yang berani datang menghina nama piauwkiok kami?
Siapakah namamu dan mengapa kau datang-datang ngaco belo seperti orang
gila?"
Melihat
piauwsu muda yang tadi telah berani bermain mata dengan Kim Bwe, Ban Hwa Yong
marah sekali. "Ha ha ha, begini sajakah macamnya tikus-tikus dari
Gin-houw-piauwkiok? Tidak tahunya hanya tikus selokan yang kotor, pemakan kecoa
dan kotoran!"
Bukan main
marahnya kedua orang piauwsu muda itu mendengar hinaan ini. Biarpun yang
ditanya belum memberitahukan namanya namun kekurangajarannya membuat keduanya
tak sabar lagi. Serentak mereka maju menyerang dengan pedang di tangan. Akan
tetapi, dengan bertangan kosong Ban Hwa Yong maju menyambut serangan mereka dan
baru lima jurus saja, ia berhasil merampas pedang seorang diantaranya dan
begitu pedang rampasan ini digerakkan, robohlah kedua orang piauwsu muda itu
dengan luka pada lengan dan pundak!
Ban Hwa Yong
tertawa bergelak dan hendak maju membunuh kedua orang ini. Akan tetapi pada
saat itu terdengar bentakan keras,
"Penjahat
kejam jangan main gila di sini!" Ban Hwa Yong tidak memperdulikan bentakan
ini, pedangnya terus hendak membacok leher kedua piauwsu muda yang telah
dilukainya itu, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih yang menyilaukan,
menangkis pedangnya.
"Traangg...!"
terdengar suara keras tahu-tahu pedang itu telah terbabat putus!
Ban Hwa Yong
terkejut dan marah sekali. Ia cepat memutar tubuhnya dan ternyata bahwa yang
membabat putus pedangnya itu tadi adalah seorang tua yang bersikap tenang.
"Hm
jadi inikah orang she Lai yang menjadi pemimpin dari Gin houw piauwkiok? Kau
berani membikin putus pedang rampasan di tangan Ban Hwa Yorg bagus
sekali!"
Sementara
itu, Lai Siong Te biarpun berhasil membuat putus pedang tadi, namun ia merasa
tangannya tergetar, maka ia tadi menjadi terkejut juga. Kini mendengar nama
orang tinggi kurus yang berhidung bengkok ini, makin terkejutlah dia. Ia telah mendengar
nama Thian-te Sam-kui dan tahu bahwa tiga orang iblis itu amat lihai, maka
sering kali ia memberi nasihat kepada anak buahnya agar supaya menjauhi tiga
iblis itu, Tidak tahunya sekarang orang termuda dari pada tiga iblis itu datang
sendiri mencari perkara! la cepat menjura dan berkata,
"Maaf,
maaf, tidak tahunya kami berhadapan dengan Ban taihiap yang terkenal gagah
perkasa! Setelah sekarang aku mengetahui dengan siapakah aku berhadapan aku
harap sudilah kiranya taihiap memberi maaf kepada murid-muridku yang telah
berlaku kurang ajar. SiIakan taihiap datang ke rumah kami yang buruk untuk
menerima penghormatan kami dan beristirahat!"
Ucapan ini
amat merendah dan sesungguhnya telah membuat hati Ban Hwa Yong menjadi dingin.
Penjahat ini mempunyai hati yang suka sekali mendapat pujian orang. Melihat
sikap merendah dari piauwsu tua itu, dia melihat betapa semua orang
memandangnya dengan takut-takut dan penuh hormat, ia sudah menjadi bangga
sekali sehingga ia tertawa terbahak-bahak.
"Bagus,
bagus, Lai-piauwsu. Baiknya kau masih mengenal orang dan dapat membedakan mana
ulat mana naga ! Kalau tidak, aku khawatir Gin houw-piauwkiok akan tinggal
namanya saja hari ini!"
Biarpun Lai
Siong Te merasa mendongkol sekali mendengar kesombongan ini, namun ia menekan
perasaan marahnya dan hanya tersenyum saja. Agaknya semua akan berjalan beres
dan damai kalau saja Kim Bwe tidak bertindak. Nyonya muda ini merasa kecewa
sekali. Ia sengaja hendak mengadu-dombakan kedua orang ini agar supaya Ban Hwa
Yong dikalahkan dan ia dapat terlepas dari pada orang yang dibencinya itu.
Maka ketika
ia melihat betapa Lai Siong Te memperlihatkan sikap lemah dan mengalah dan Ban
Hwa Yong sudah reda marahnya, ia cepat melangkah maju, memungut pedang seorang
piauwsu yan tadi dirobohkan oleh Ban Hwa Yong, kemudian berkata dengan nyaring.
"Lai-lo-enghiong,
lupakah kau kepadaku? Aku adalah isteri dari Ouw Teng Sin dari
Pek-eng-piauwkiok! Seluruh keluarga Pek-eng piauwkiok telah terbunuh mati oleh
jahanam terkutuk ini, maka tolonglah kau membantuku membalas dendam kepada
jahanam ini" Sambil berkata demikian Kim Bwe menggerakkan pedang itu
menusuk dada Ban Hwa Yong!
Jai-hwa-cat
(penjahat cabul) ini terkejut, heran dan marah bukan main. Ia mengelak sambil
melompat ke belakang dan tahu-tahu ia telah mencabut sepasang kaitannya,
senjatanya yang amat diandalkan dan memang amat berbahaya itu. Lai Siong Te dan
murid-muridnya ketika mendengar ucapan nyonya muda itu, terkejut sekali dan
serentak mereka lalu maju sambil mengeluarkan senjata masing-masing.
Namun mereka
kalah cepat oleh Ban Hwa Yong, karena dengan gerakan yang amat hebat, la
mendesak maju dan tiba tiba terdengar pekik mengerikan dari mulut Kim Bwe
ketika sepasang kaitan baja di tangan penjahat cabul itu telah mengenai
tubuhnya. Kaitan di tangan kanan menancap dan mengait lehernya. sedangkan
kaitan kiri menembus Iambungnya! Ketika Ban Hwa Yong menarik kembali senjatanya
tubuh Kim Bwe terkulai dan roboh tak bernafas lagi.
"Ha ha
ha! perempuan hina! Kau mencoba mengkhianati Ban Hwa Yong? Dasar kau mencari
mampus!" Setelah berkata demikian, ia mengangkat kaitannya untuk menangkis
pedang Lai Siong Te yang sudah maju menyerangnya dengan marah sekali.
"Ban
Hwa Yong, kau benar-benar berhati kejam sekali! Hari ini aku Lai Siong Te pasti
mengadu jiwa denganmu!"
"Tua
bangka! Tak usah kau mengejek, aku memang sudah mengambil keputusan untuk
menjadikan Gin-houw-piauwkiok seperti Pek-eng-piauwkiok yang sudah musnah!
Bersiaplah kalian untuk mampus di tangan Ban Hwa Yong yang perkasa!"
Kaitannya
bergerak cepat dan masih baik bagi Lai Siong Te bahwa ia memegang sebuah pedang
pusaka, karena kalau tidak, tentu ia takkan dapat bertahan lama menghadapi
penjahat yang lihai itu. Ketika melihat ketua dan guru mereka terdesak hebat
oleh Ban Hwa Yong, para piauwsu yang lain serentak lalu maju mengeroyok
sehingga sebentar saja Ban Hwa Yong setelah dikeroyok oleh tujuh orang piauwsu termasuk
Lai Siong Te!
Akan tetapi
penjahat Itu tak merasa gentar, bahkan sambil tertawa-tawa ia menghadapi para
pengeroyoknya dengan gagah sekali. Dan pada saat itulah Sim Tiong Han pemuda
tokoh Kim liong-pai itu datang dan akhirnya berhasil mengusir Ban Hwa Yong!
Setelah
mendengar penuturan tuan rumah, Tiong Han menarik napas panjang dan berkata
agak menyesal,
"Sayang
sekali aku tidak tahu akan hal ini sebelumnya, kalau aku tahu, pasti aku takkan
membiarkan penjahat kejam itu melarikan diri! Akan tetapi biarlah akan kuingat
dia dan kalau sampai aku dapat bertemu lagi dengan dia pasti akan kubereskan
jahanam itu!"
Ketika Lai
Siong Te mendengar bahwa pemuda yang bernama Sim Tiong Han ini adalah murid
dari Kim-liong-pai, ia cepat-cepat menyatakan hormatnya dan berkata,
"Tidak
heran bahwa ilmu silatmu sedemikian hebat, Sim-taihiap! Tidak tahunya kau
adalah murid dari Kim-liong-pai! Hanya sayang sekali kau tidak membawa pedang
Ang coa-kiam, pedang pusaka dari Kim-Iiong-pai itu. Kalau kau membawa pedang itu,
tak usah kau memperkenalkan diri, pasti mataku yang tua akan mengenalmu, karena
aku pernah melihat dan menyaksikan kelihaian pedang Ang-coa-kiam ketika aku
masih muda dulu."
Tiong Han
menghela napas. "Itulah sebabnya mengapa aku turun gunung. Lai piauwsu.
Pedang pusaka kami telah lenyap dicuri orang! Maka tolonglah kau mendengar dan
melihat kalau kalau ada orang yang membawa bawa pedang itu beri kabarlah
kepadaku! Aku akan mencari ke utara."
"Tentu
saja, taihiap, kami akan membantumu. Dan untuk sementara sebelum kau dapat
menemukan kembali Ang-coa-kiam kau pakailah pedangku Hui-liong-kiam ini! Aku
persembahkan kepadamu dengan hati rela, karena kau lebih pantas menggunakan
pedang ini taihiap."
Tiong Han
memandang kepada pedang yang diletakkan di atas meja di depannya itu,
"Pedang baik." katanya. "Tidak mudah mendapatkan pedang pusaka
seperti ini, Lai piauwsu. mengapa kau memberikannya kepadaku? Sungguh aku
merasa sukar untuk dapat menerimanya."
Lai Siong Te
tertawa bergelak, "Memang demikianlah sifat seorang gagah, dia tidak ingin
memiIiki barang orang lain betapapun indah dan berharga barang itu! Aku hargai
sikapmu ini taihiap. Akan tetapi, pedang ini kuberikan dengan rela hati. Dengan
setulusnya aku memberikan pedang ini kepadamu, karena untuk apakah orang tua
seperti aku memiliki pedang ini? Seperti seekor domba memakai tanduk kerbau
saja! Dan pula, dengan memberikan pedang ini kepadamu berarti bahwa aku tidak
melanggar janjiku kepada pemberi pedang ini!"
Tertarik
hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Siapakah pemilik pedang ini dan
mengapa diberikan kepadamu, Lai piauwsu?"
Piauwsu
itumenarik napas panjang. "Seorang gagah, seorang wanita yang luar
biasa."
Kemudian Lai
Siong Te menuturkan kepada pemuda itu tentang riwayat pedang yang tajam dan
keramat itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Lai Siong Te sudah menjadi
seorang piauwsu di daerah Santung. Namanya sudah cukup terkenal sebagai seorang
piauwsu yang jujur dan baik, yang menjaga barang kiriman dengan
sungguh-sungguh, bahkan yang berani yang bertanggung jawab dan mempertaruhkan
nyawanya untuk melindungi barang yang dipercayakan kepadanya untuk dikirim.
Pada waktu
itu di sepanjang lembah sungai kuning. Sebelah selatan kota Cin-an, terkenal
sebagai tempat yang amat berbahaya dan jarang sekali ada yang berani melalui
jalan ini. Telah beberapa lamanya tempat itu menjadi daerah yang ditakuti
karena munculnya seorang perampok tunggal yang berjuluk Sin-kiam-koai-jin
(Manusia Aneh Berpedang Sakti).
Bahkan Lai
piauwsu sendiri tidak berani melalui tempat ini dan selalu mengantarkan
barang-barang berharga dengan jalan memutar. Telah banyak sekali orang-orang
gagah mencoba untuk mengusir perampok ini, akan tetapi akibatnya mereka itu
roboh seorang demi seorang di tangan Sin-kiam-koai-jin yang kosen.
Pada suatu
hari seorang bangsawan tinggi memanggil Lai piauwsu dan ketika piauwsu ini
datang menghadap bangsawan itu berkata kepadanya,
"Lai
piauwsu, aku mempunyai sebuah benda yang harus diantarkan ke kuil Thian-hok-si
di dusun Tiang-sen an di kaki Gunung Fu-niu. Akan tetapi, benda itu harus sudah
sampai di kuil itu dalam waktu lima belas hari. Sanggupkah kau mengantarkan
benda itu ke tempat tersebut dalam waktu kurang dari lima belas hari? Kalau kau
berhasil membawa benda itu sampai di tempatnya dengan selamat dan tidak
terlambat, berapa saja biayanya akan kubayar, bahkan akan kuberi hadiah besar
kepadamu. Akan tetapi awas, kalau benda itu sampai hilang kau akan ditangkap
dan dihadapkan ke depan pengadilan, karena benda itu amat berharga!"
Lai Siong Te
terkejut mendengar bahwa ia diharuskan membawa benda ke tempat itu dalam waktu
sedemikian cepatnya, akan tetapi sebagai seorang yang telah banyak makan asam
garam dunia ia dapat menetapkan perasaannya dan bertanya,
"Benda
berharga apakah yang hendak taijin kirim?"
"Jadi
kau sanggup!" Pembesar ini berkata, "Lai piauwsu, hal ini bukan
perkara kecil dan ketahuilah bahwa hanya kepada kau seorang aku menaruh
harapanku, kalau kau tidak sanggup, terpaksa aku harus melarang kau membuka
piauwkiok di kota ini, karena apakah artinya bagi kotaku mempunyai seorang
piauwsu yang tidak sanggup membawa benda itu ketempat yang sudah ditentukan?
Ketahuilah bahwa benda itu adalah sebuah patung Buddha yang amat berharga dan
suci dan harus segera diantar ke kuil tersebut, karena lima belas hari lagi
kuil itu selesai dibangun dan hendak dibuka. Patung itu perlu sekali berada di
sana sebagai pengesahan pembukaan kuil itu, dan aku telah berhutang budi kepada
kuil itu sebelum diperbaiki. Ketika anakku sakit, aku berkaul di kuil itu bahwa
aku akan memperbaikinya dan menaruhkan sebuah patung Buddha dari kota raja
apabila anakku sembuh. Sekarang anakku sembuh, maka aku harus membayar kaul
itu. Nah, sekarang kau tahu persoalannya dan Sanggupkah kau?"
Lai siong Te
berpikir-pikir. Untuk menuju ke dusun di kaki Gunung Fo-niu, la harus melewati
lembah Sungai Kuning di mana terdapat perampok tunggal yang ditakuti orang itu.
Akan tetapi ia hanya membawa sebuah patung Buddha, tentu benda itu takkan
menarik perhatian seorang perampok. Untuk apakah patung bagi seorang perampok?
Dan pula mungkin sekali perampok yang bernama Sin-kiam Koai-jin itu tentu
takkan mau mengganggu benda suci seperti patung itu. Untuk mengambil jalan
memutar, tidak mungkin sama sekali karena tentu akan terlewat waktu yang lima
belas hari itu.
"Baiklah,
taijin. Hamba sanggup melakukan perintah ini, bukan karena hamba takut diusir
dari kota ini, akan tetapi mengingat bahwa tugas yang baik dan suci, maka hamba
memberanikan diri untuk melakukannya.
Demikianlah,
agar jangan menarik perhatian Lai Siong Te membawa patung itu dan berangkat
seorang diri menuju ke barat. Patung itu kecil saja, tingginya hanya satu
setengah kaki, terbuat dari pada perak bakar yang amat halus ukirannya.
Dihitung dari harga bahannya, tidak amat berharga, entah kalau dipandang dari
sudut seninya. Lai piauwsu membungkus patung dalam sebuah kain tebal warna
kuning dan digendongnya patung itu pada pundaknya.
Untuk
mempercepat waktu, ia melakukan perjalanan naik kuda dan sengaja memilih kuda
yang baik dan kuat. Ia membalapkan kudanya dan mengaso untuk makan atau tidur
saja dan juga kadang - kadang untuk memberi kesempatan kepada kudanya makan
rumput dan beristirahat sejenak.
Jalan yang
dilaluinya amat sunyi, karena sebagaimana telah dituturkan di depan, tidak ada
orang yang berani melewati jalan yang menjadi daerah operasi perampok tunggal
Sin-kiam Koai-jin itu! Akan tetapi piauwsu itu merasa girang dan juga heran
sekali karena sampai beberapa hari kemudian, ia tidak melihat tanda-tanda
adanya gangguan dari Sin-kiam koai-jin.
Ia
mempercepat larinya kuda dan sebelas hari kemudian ia telah tiba di hutan
terakhir, sudah dekat dengan dusun Tiang-seng-an di kaki gunung Fu-niu! Biarpun
hari telah mulai senja Lai piauwsu tidak menghentikan kudanya yang sudah lelah.
Hatinya berdebar girang dan ia ingin sekali lekas lekas keluar dari hutan itu.
Kalau saja la bisa sampai di dusun yang ditujunya pada sore hari itu. Alangkah
mujurnya!
Akan tetapi,
tiba-tiba kudanya berjingkrak aneh dan ketika ia memandang, la melihat di depan
kudanya berdiri seorang yang kurus dan tinggi, berpakaian sutera hitam dan
mukanya ditutup pula dengan sutera hitam sampai di bawah matanya! Benar-benar
merupakan iblis yang mengerikan!
Lai Siong Te
menjadi pucat dan cepat ia melompat turun dari kudanya yang berjingkrak
ketakutan itu. Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat kepada orang berpakaian
hitam dan berkedok hitam pula itu.
"Mohon
maaf apabila siauwte mengganggu sahabat!" katanya dengan sikap merendah
sekali, dan sungguhpun ia dapat menduga bahwa iblis inilah tentunya yang
disebut sin-kiam koai-jin akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu. "Siauwte
takut kemalaman dan hendak melanjutkan perjalanan ke dusun Tiang seng-an di
luar hutan..."
Tiba tiba
orang berkedok itu tertawa bergelak dan suara ketawanya terdengar aneh, parau
dan tinggi. Kemudian orang itu bicara dengan hidung dipencet!
"Ha ha
ha! Lai Siong Te, kau kira aku tidak tahu siapa kau dan apa perlumu lewat di
tempat ini? Lekas kau tinggalkan bungkusan patung itu, atau kau tinggalkan
kepalamu Boleh kau pilih!"
Sambil
berkata demikian, orang itu mencabut pedangnya dan silaulah mata Lai Siong Te
melihat pedang yang bercahaya terang. Tak salah lagi, pikirnya dengan hati
berdebar-debar, inilah dia Sin-kiam koai-jin!
"Maaf"
katanya, "sungguh tajam pandangan matamu. Akan tetapi sesungguhnya siauwte
tidak tahu siapakah sebenarnya orang gagah yang berdiri di hadapanku?"
Orang itu
menyabet-nyabetkan pedangnya sehingga terdengar suara suitan nyaring sekali.
"Kau lihat pedang ini? Nah, tebaklah siapa aku!"
"Apakah
kau yang disebut Sin-kiam koai-jin?"
Orang itu
tertawa kembali, "Dan kau berani lewat di sini tidak takut kepada Sin-kiam
koai-jin? Sungguh besar nyalimu, orang she Lai!"
"Harap
saja koai-hiap jangan mengganggu siauwte," Lai piauwsu mencoba membela
diri. "Yang siauwte bawa hanyalah sebuah patung yang harus dipasang di
kuil Thian-hok-si. Karena patung suci ini siauwte bawa dengan melakukan tugas
yang mulia, maka siauwte tidak mengambil jalan memutar, harap saja koai-hiap
sudi memaafkan."
"Orang
cerewet! Tak usah banyak membuka mulut, lekas kau tinggalkan patung itu dan
pergi dari sini " Kembali Sin-kiam koai-jin menggerakkan pedangnya.
Melihat
gerakan pedang yang cepat dan berkilat itu tahulah Lai piauwsu bahwa ia
bukanlah lawan orang yang tinggi ilmu silatnya itu. Akan tetapi, tentu saja ia
tidak mau mengalah dan memberikan patung itu kepada Sin-kiam koai-jin.
Bagi seorang
yang menghendaki kemajuan dalam pekerjaannya, syarat terutama baginya ialah
menaruh rasa cinta dan hati setia kepada pekerjaan yang dipegang atau
dllakukannya. Terutama bagi seorang seperti Lai Siong Te yang bekerja menjadi
piauwsu. Pekerjaannya sebagai pelindung barang barang yang diantar atau
dikawalnya membuat ia harus sanggup melindungi barang-barang itu dengan keras
kalau perlu mempertaruhkan nyawanya.
Oleh karena
inilah maka ia menjadi seorang piauwsu yang ternama dan dipercaya oleh mereka
yang mengirimkan barang -barang berharga. Gin-houw Piauwkiok (Perusahaan
ekspedisi macan perak) amat disegani dan mendapat kepercayaan penuh oleh karena
semua orang tahu bahwa bagi Lai Piauwsu, barang barang yang dilindunginya baru
dapat terampas darinya apabila kepalanya telah terlepas dari tubuhnya atau
nyawanya telah meninggalkan tubuhnya!
Kini dalam
tugasnya mengantarkan sebuah patung Buddha ke kuil Thian-hok si, ia telah
diganggu oleh Sin-kiam koai-jin yang minta patung itu dengan paksa, tentu saja
ia tidak mau menyerah begitu saja dan ketika penjahat berkedok itu menyerangnya
ia cepat mengelak dan mencabut goloknya yang telah lama menjaga nama perusahaan
ekspedisinya.
Akan tetapi
ilmu pedang yang dimainkan oleh Sin-kiam koai-jin itu luar biasa cepatnya dan
karena pedang di tangan penjahat itupun pedang pusaka yang luar biasa, sebentar
saja Lai piauwsu terdesak hebat. Piauwsu ini maklum akan ketajaman pedang
lawan, maka seberapa bisa ia menghindarkan goloknya beradu dengan pedang lawan.
la telah
memiliki pengalaman dalam pertempuran-pertempuran besar dan dengan mengandalkan
ketenangan dan kegagahan tangannya, untuk beberapa lama ia masih dapat
mempertahankan diri. Akan tetapi, piauwsu ini maklum pula bahwa pertahanan ini
takkan berlangsung lama. Pedang di tangan Sin-kiam koai-jin sangat cepat
gerakannya dan merupakan gulungan sinar pedang yang mengelilingi tubuhnya dan
menjepitnya sehingga tiada jalan keluar lagi baginya.
"Sin-kiam
koai-hiap, kalau kau berkeras hendak menggangguku biarlah aku mengorbankan
nyawaku sebagai seorang piauwsu sejati!"
Lai piauwsu
dengan gemas sekali dan memutar goloknya dengan sekuat tenaga dan gerakannya
biarpun tidak cepat namun mengandung tenaga yang lemas dan kuat. inilah ilmu
golok Lo-han-to yang merupakan ilmu golok mempertahankan diri yang kuat sekali.
"Lai
Siong Te manusia goblok! Kau hendak menukarkan nyawamu dengan patung? Ha ha ha,
mampuslah!"
Sambil
berkata demikian, penjahat berkedok itu cepat menyerang dengan sebuah tusukan
kilat ke arah leher Lai piauwsu, Lai Siong Te mengelak ke kiri, akan tetapi
dengan gerakan cepat sekali Sin-kiam koai-jin telah menyusulkan dua serangan,
yakni tangan kanan yang memegang pedang menyabet ke arah leher sedangkan tangan
kiri didorongkan ke depan.
Lai Siong Te
menjadi terkejut sekali. Dorongan tangan kiri itu mengeluarkan angin yang
memukul di bagian dalam dadanya maka cepat ia melempar diri ke kanan dan
terpaksa menyabetkan goloknya untuk menangkis bacokan lawan pada lehernya.
"Traangg...!"
Sekali saja beradu, golok di tangan Lai Siong Te telah putus menjadi dua!
"Ha,
ha, ha! Lai Siong Te, kau masih tidak mau memberikan patung itu!"
"Kau
boleh membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat merampas patung
ini!" jawab piauwsu yang gagah itu.
"Orang
gila! Kalau begitu mampuslah!"
Pedang yang
berkilat itu menyambar, Lai Siong Te tak dapat mengelak lagi, maka piauwsu ini
dengan mata dipentang lebar-lebar menanti datangnya maut. Akan tetapi,
tiba-tiba nampak bayangan hitam yang panjang bagaikan seekor naga menyambar dan
menangkis pedang itu. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar.
Sin-kiam koai-jin berseru kaget dan melompat mundur. Tangkisan tadi membuat
pedangnya terpental ke belakang!
Lai Siong Te
menengok. Ia melihat seorang wanita tua sekali berdiri dengan tongkat panjang
di tangan. Tongkat dari kayu biasa yang agak kemerahan warnanya, bengkak
bengkok dengan kepala berbentuk seperti naga. Nenek tua ini rambutnya sudah
putih seluruhnya, pakaiannya seperti pakaian pertapa, berwarna putih dengan
garis leher hitam. Biarpun ia sudah nampak tua, dengan rambut putih dan keriput
di mukanya, namun mukanya masih kemerah-merahan dan terutama sekali sepasang
matanya tajam bukan main mengeluarkan pengaruh yang menakutkan.
"Siluman
wanita dari manakah berani berlaku kurang ajar terhadap Sin-kiam
koai-hiap?" bentak penjahat berkedok itu dan matanya di balik kedok sutera
hitam itu bersinar-sinar merah.
"Bocah
she Ang, kali ini benar-benar kau tersesat jauh. Bukankah suhumu sudah memberi
peringatan terakhir? Pergilah dan minta ampun kepada suhumu karena kalau kau
melanjutkan kesesatanmu, aku Li Bi Hong tidak akan ragu-ragu untuk mewakili
gurumu melenyapkan kau dari permukaan bumi!" kata nenek tua itu dengan
suara berpengaruh.
Lai Siong Te
melihat betapa penjahat itu menjadi terkejut dan suaranya berobah ketika tahu
siapa nenek itu terdengar suara,
"Tadi
kau orang tua yang disebut Pat jiu Toanio Li Bi Hong? Suhu seringkali
menyebut-nyebut namamu sebagai seorang tua yang sangat bijaksana dan pendekar
besar, akan tetapi,mengapa sekarang kau hanya merupakan seorang nenek tua yang
jail dan suka menyampuri urusan orang lain! Pat jiu Toanio Li Bi Hong, apakah
kau kira aku Ang Koan takut kepadamu? Aku mengingini patung yang dibawa oleh
Lai Siong Te, apakah hubungannya hal ini dengan kau orang tua!"
Li Bi Hong
tersenyum mengejek dan heranlah hati Lai piauwsu ketika melihat betapa nenek
itu masih mempunyai gigi penuh dan kuat!
"Ang
Koan," kata nenek itu, "suhumu sendiri, Lui-kong-jiu Keng Kin Tosu
tidak berani bicara demikian kurang ajar terhadap aku yang ia anggap sebagai
saudara tua. Kau sebagai murid satu-satunya telah tiga kali diberi peringatan
dan banyak menyusahkan hati orang tua itu, akan tetapi kau tidak sadar bahkan
makin tersesat! Sudah menjadi kewajibanku untuk memberi hajaran kepadamu,
bagaimana kau anggap aku jail? Pula, tentang patung ketahuilah, hai bocah
lancang! Patung itu dibawa oleh Lai piauwsu yang setia untuk diserahkan kepada
kuil Thian-hok-si di kaki gunung Fu-niu, dan tahukah kau siapa yang berada di
kuil itu? Akulah orangnya yang membangun kuil itu dan aku yang berhak menerima
patung itu. Kau mau bicara apa lagi sekarang?"
Tidak saja
Sin-kiam Koai-jin yang terkejut mendengar keterangan ini, bahkan Lai Siong Te
semenjak tadi sudah tertegun. Ia sudah lama mengenaI dan mendengar nama
orang-orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi seperti
Pat jiu Toanio dan Lai-kong jin, sungguhpun ia belum pernah melihat orangnya.
Lebih-lebih heran dan terkejutnya bahwa patung itu ternyata harus diserahkan kepada
ketua Thian Hok si yang bukan lain adalah Pat Jiu Toanio sendiri!
Akan tetapi
Sin kiam Koai jin memiliki keberanian luar biasa. Ia tidak takut kepada Pat jiu
Toanio dan biarpun sudah mendengar keterangan tersebut, namun ia masih merasa
sayang kalau harus melepaskan patung itu, setelah tadi hampir saja patung itu
dapat dirampasnya. Sambil berseru nyaring, tiba tiba dengan cara yang sangat
pengecut sekali tanpa memberi peringatan lebih dulu, ia bergerak cepat dan
mengirim serangan kilat ke arah nenek tua itu.
Lai piauwsu
menjadi terkejut sekali, akan tetapi tidak demikian halnya dengan nenek yang
diserang itu. Dengan tenang nenek itu lalu mengangkat tongkat merahnya dan
sekali saja ia menggerakan tongkat dengan perlahan, pedang Sin-kiam Koai-Jin
telah dapat dibentur kembali. Sebelum Ang Koan dapat mengetahuinya, tongkat
yang bagaikan naga hidup itu luar biasa cepatnya telah mendorongnya sehingga
tepat mengenai dadanya dan membuatnya terhuyung-huyung ke belakang!
"Ang
Koan, itu baru peringatan pertama. kau kembalilah ke Heng san dan minta ampun
kepada suhumu!"
Akan tetapi
tanpa menjawab, Ang Koan yang menjadi makin marah itu lalu menyerang lebih
hebat lagi, dengan gerak tipu yang disebut membabat rumput Membunuh Ular!
Serangan ini begitu lihainya, karena pedang yang berkilauan itu
menyambar-nyambar dan bertubi-tubi membabat ke atas dan ke bawah, mengancam
kedua kaki dan pinggang nenek itu.
"Hm,
kau mengeluarkan tipu-tipu yang paling sadis untuk membunuhku? Bocah lancang
jangan kau mengimpi!"
Tiba-tiba
tubuh nenek itu berkelebat cepat dan tubuhnya telah melompat ke atas
bersandarkan tongkatnya yang tertancap di tanah sehingga pedang berkali kali
membacok tongkat dan mengeluarkan suara keras. Akan tetapi sama sekali tongkat
itu tidak bergeming! Bahkan, dari atas nenek itu lalu mengebutkan ujung lengan
bajunya ke arah kepala Ang Koan! Hebat sekali pukulan ini karena angin
pukulannya saja membuat pakaian Lai piauwsu yang berdiri jauh menjadi berkibar.
Apalagi Ang Koan yang terkena pukulan langsung. Kepalanya terasa disambar petir
dan untuk kedua kalinya terhuyung-huyung ke belakang.
"Nah,
itu peringatan kedua kali dan yang terakhir!" kata Pat-jiu Toanio.
"Kembalilah ke Heng-san atau mati di sini, tinggal kau pilih!"
"Siluman
perempuan! Siapa takut mati!" tiba-tiba Sin-kiam koai-jin menyerbu lagi
dengan pedangnya. Akan tetapi Pai-jiu Toanio yang sudah menurunkan kakinya di
atas tanah, memegang tongkat itu pada ujungnya dan mendahului lawannya menusuk
ke depan. Tongkat itu jauh lebih panjang dari pada pedang dan digerakkan dengan
cepatnya maka sebelum pedang di tangan Ang Koan dapat mengenai nenek itu, lebih
dulu ujung tongkat telah menotok dadanya.
"Dukk!"
suara beradunya ujung tongkat dengan dada ini perlahan saja akan tetapi akibat
hebat sekali. Sin kiam Koai- jin Ang Koan terlempar ke belakang sampai satu
tombak lebih, pedangnya terlepas dari pegangan, kemudian ia roboh tak berkutik
lagi. Ternyata sekali totokan saja nyawanya telah melayang meninggalkan
raganya!
Pat jiu
Toanio Li Bi Hong menghela napas panjang dan mengomel. "Terlalu sekali
kau, Ang Koan, telah memaksaku melakukan pembunuhan! Biarlah kau terbebas dari
siksa dan derita dunia!"
Nenek ini
lalu berpaling kepada Lai Siong Te yang telah menjatuhkan diri berlutut di
depannya. "Lai piauwsu kau urus baik-baik jenazah Ang Koan ini. Aku telah
mendengar dan menyaksikan kegagahan serta kesetiaanmu. Berikan kepadaku patung
itu!"
Lai piauwsu
tidak ragu-ragu lagi dan segera mengeluarkan patung kecil yang indah dan berat
itu. Terbelalak matanya ketika nenek itu memutar kaki patung, karena segera
terbukalah sebuah lubang rahasia di bawah patung dan keluarlah emas besar yang
gemilang cahayanya.
"Ah,
benda macam ini yang membuat manusia-manusia beriman lemah menjadi mata
gelap!"
Lai Siong Te
benar-benar tidak mengira bahwa patung itu sebenarnya menyembunyikan emas yang
demikian banyaknya. Pantas saja amat berat, pikirnya dan pantas saja Sin. kiam
Koai jin menghendakinya.
"Lai-piauwsu
bukalah kedoknya dan ambil pedangnya itu!" nenek itu memerintah.
Ketika Lai
Siong Te membuka kedok sutera yang menutup muka Ang Koan, kembali ia terkejut
sekali, wajah penjahat yang tampan itu ternyata telah cacad mengerikan, yaitu
hidungnya telah copot dan bolong! Ia bergidik, mengambil pedang dan kembali
menghampiri Pat Jiu Toanio yang dipandangnya dengan mata mengandung penuh
pertanyaan.
"Dulu
dia adalah anak yang baik" kata nenek itu yang maklum akan tuntutan
pandang mata Lai piauwsu. "la adalah murid tunggal dari Lui-kong jim (Tangan
Dewa Geledek) Keng Kin Tosu di Heng-san. Akan tetapi setelah tamat
pelajarannya, ia minggat turun gunung, melakukan segala macam kejahatan yang
hebat. Keng Kin Tosu telah tiga kali memberi peringatan dan yang terakhir malah
ia memotong hidung murid itu akan tetapi ternyata dia lebih suka mati dari pada
menjadi orang baik-baik! Sayang sekali!" Ia memandang pedang yang
berkilauan di tangannya.
"Pedang
baik! Hui-liong-kiam yang ampuh" katanya pula. "Sayang terjatuh dalam
tangan seorang berhati rendah. Lai piauwsu, terimalah pedang ini sebagai tanda
terima kasihku kepadamu. Kau seorang gagah dan jujur lagi setia, maka kau
berhak menerima pedang ini."
"Akan
tetapi, teecu tidak memiliki kepandaian tinggi, apa artinya pedang pusaka
sebaik ini berada dalam tangan teecu?" Lai-piauwsu membantah dan
merendahkan diri.
"Lai
piauwsu, sampai di manakah tinggi rendahnya kepandaian? Sedikit kepandaian
ditambah kejujuran dan kebersihan hati jauh lebih tinggi nilainya dari pada
banyak kepandaian yang terbenam dalam lumpur kesombongan dan kejahatan.
Terimalah Hui-liong-kiam ini dan apabila kelak kau anggap tidak perlu lagi kau
memegangnya, boleh kau sampaikan atau berikan kepada seorang gagah yang kau
pandang patut memegangnya."
Setelah
berkata demikian, tubuh nenek tua itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata
Lai Siong Te. Piauwsu ini menghela napas dengan kagum, lalu mengubur jenazah
Ang Koan, kemudian membawa pedang itu kembali ke rumahnya.
"Demikianlah,
Sim taihiap, aku selalu merasa tidak puas bahwa pedang yang demikian baiknya
berada di dalam tanganku yang kurang pandai menggunakannya. Apalagi semenjak
kecil aku lebih biasa memainkan golok dari pada pedang. Hari ini secara
kebetulan aku dapat bertemu dengan kau yang muda, gagah dan bijaksana. Oleh
karena itu, pedang ini kuserahkan kepadamu dengan ikhlas dan tentu takkan
mendapat teguran dari Pat jiu Toanio Li Bi Hong karena tindakanku ini sudah
cukup tepat.
Akhirnya
Tiong Han tak dapat menolak pemberian pedang Hui liong kiam itu, apalagi
setelah ia mendengar penuturan tentang asal-usul pedang itu. Dari suhunya ia
pernah mendengar nama-nama seperti Pat-jiu Toanio Li Bi Hong juga Lui kong jiu
Keng Kin Tosu di Heng-san adalah sahabat baik suhunya, ia menghaturkan terima kasihnya
dan sampai dua hari ia tinggal di rumah Lai piauwsu.
Kemudian ia
lalu melanjutkan perjalanannya mencari adiknya untuk minta kembali pedang
pusaka Ang-coa-kiam. Hatinya menjadi lega setelah memiliki pedang
Hui-liong-kiam oleh karena ia maklum bahwa tanpa pedang pusaka di tangannya,
sukarlah baginya untuk mengimbangi kelihaian Ang-coa-kiam pedang ular merah
itu!
***************
Sekarang
marilah kita menengok keadaan Tiong Kiat, adik kembar dari Tiong Han, pemuda
berilmu tinggi yang telah tersesat ke jalan kejahatan itu. Sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan terjadi perpecahan dalam hubungan antara Tiong Kiat
dan Kui Hwa, karena gadis ini merasa cemburu.
Di dalam
pertempuran, Tiong Kiat telah berhasil melukainya dan kemudian pemuda ini
melarikan diri dari Kui Hwa. la berlari dengan cepat. Untuk beberapa lama
hatinya merasa kecewa dan juga berduka harus berpisah dari Kui Hwa. Semenjak
turun gunung, ia melakukan perjalanan berdua dengan sumoinya atau kecintaannya
itu dan selalu bergembira. Akan tetapi kini ia harus melakukan perantauan
seorang diri.
Namun,
beberapa hari kemudian, timbul lagi kegembiraannya, bahkan ia kini merasa
seperti seekor burung yang terbang bebas terlepas dari ikatan. Kalau dulu
dengan adanya Kui Hwa disampingnya, ia selalu masih harus membatasi diri,
takut-takut dan mengalah terhadap kekasihnya yang amat cemburu. Akan tetapi
sekarang tanpa ada seorangpun yang akan melarangnya, nafsu jahat yang menguasai
diri pemuda sesat ini makin meluap dan membuat lupa daratan. Ia boleh melakukan
apa saja tanpa ada orang yang akan menghalanginya!
Tak lama
kemudian, di dunia kaum hek-to (jalan gelap atau penjahat) muncullah seorang
penjahat muda yang amat menggemparkan dengan perbuatan-perbuatannya yang rendah
dan ganas. Penjahat muda ini selalu memperkenalkan perbuatannya dengan lukisan
sebuah pedang, bukan lain pedang Ang-coa-kiam, karena penjahat ini memang Sim
Tiong Kiat adanya.
Kalangan
kang ouw menjadi gempar pula setelah beberapa orang gaga yang hendak
menangkapnya tidak saja gagal, bahkan menderita luka oleh pedang Ang-coa-kiam.
Perbuatan apakah yang dilakukan oleh Tiong Kiat? Bukan lain adalah pengumbaran
nafsu jahatnya, menjadi penjahat jai-hwa-cat (pemetik bunga) pengganggu anak
bini orang dan apabila ia sedang membutuhkan uang, ia selalu mengambilnya dari
peti uang hartawan-hartawan.
Tiap kali ia
mengganggu rumah orang, selalu ia membuat gambar di atas tembok. Gambar ini
dibuatnya dengan mengguratkan pedangnya dalam tembok, melukis sebatang pedang
lalu menambahkan tiga buah huruf 'Ang-Coa-Kiam' dibawah pedang itu! Di dalam
kesombongan dan kesesatannya Tiong Kiat telah menggila dan tidak ragu-ragu
ataupun takut-takut lagi untuk mempergunakan nama pedang pusaka yang namanya
menjadi benda keramat dari Kim-liong-pai itu!
Biarpun
Tiong Kiat telah bertemu dengan banyak wanita cantik namun diam-diam di sudut
hatinya ia tidak dapat melupakan gadis yang dulu dijumpainya terluka di dalam
hutan. Gadis yang telah ditolongnya akan tetapi yang kemudian menjadi korban
nafsu jahatnya pula. la tidak dapat melupakan Eng Eng gadis yang belum
diketahui siapa namanya dan dari mana datangnya itu.
Entah
bagaimana, ia selalu terbayang dan terkenang kepada gadis itu dengan hati
berkasihan dan juga rindu. Baginya, tidak ada seorangpun di antara para wanita
itu yang memiliki daya penarik lebih tebal dari pada gadis di hutan rimba itu.
Di dalam perantauannya, ia mengharap-harapkan untuk bertemu dengan gadis itu.
Kalau ia bisa menjadi istriku dan selama hidup berada di sampingku, aku takkan
perdulikan lagi lain perempuan, pikir Tiong Kiat dalam rindunya.
Tanpa
disadarinya pemuda ini telah jatuh hati dan mencintai Eng Eng, gadis yang telah
dipatahkan hatinya, yang telah dihancurkan hidupnya, gadis yang kini sedang
merantau, mencari-cari untuk membalas dendam. Ia tidak tahu betapa setiap kali
duduk melamun, Eng Eng menggigit-gigit bibirnya dan bersumpah di dalam hatinya
untuk menghancurkan kepala laki-laki yang telah merusak hidupnya itu! Kalau
saja Tiong Kiat tahu siapa Eng Eng dan apa yang kini terkandung dalam hati
gadis ini, mungkin ia akan merasa takut dan ngeri!
Pada suatu
hari, Tiong Kiat tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai sungai Yang-ce di
propinsi Hopak. Ketika ia memasuki kota tak seorangpun akan mengira bahwa dia
adalah Ang-Coa-Kiam, nama julukan penjahat muda yang amat ditakuti orang itu.
Tiada orang akan mengira bahwa pemuda yang tampan dan lemah lembut seperti
putera bangsawan ini adalah penjahat yang suka mengganggu anak bini orang dan
suka melakukan pencurian besar-besaran?
Pakaiannya
berwarna biru dan terbuat dari sutera mahal dan halus. Bajunya dihias dengan
pinggiran berwarna kuning emas dengan sulaman yang indah sedangkan rambut di
kepalanya yang hitam terbungkus dengan kain kepala yang berwarna kuning dan
bersih sekali. Pedang Ang-coa-kiam tersembunyi di bawah bajunya, hanya tampak
ujungnya sedikit menonjol di bawah baju. la cakap sekali dalam pakaian yang
mahal ini.
Dengan muka
gembira dan mata berseri-seri, Tiong Kiat berjalan di sepanjang jalan raya
dalam kota I-kiang. Ia sedang gembira, kantongnya penuh uang. Ia tidak butuh
uang dan tidak perlu mencuri di kota ini. Ia ingin beristirahat dan menghibur
diri, maka begitu masuk ke kota, ia lalu menyewa kamar dalam hotel terbesar di
kota itu, kemudian bertanya kepada pelayan hotel dimana terdapat tempat
pelesiran di kota itu.
Pelayan itu
memandangnya sambil tertawa gembira. "Kongcu agaknya baru datang dan belum
pernah datang ke kota ini? Kebetulan sekali kalau begitu, karena kedatangan
kongcu di Kota ini tidak rugi! Di sini terdapat tempat pelesiran yang amat
indah, kongcu. Dan keindahan tempat itu sudah terkenal sampai ke kota
raja!"
"Eh,
kau bicara dalam rahasia, lopek,” kata Tiong Kiat kepada pelayan setengah tua itu.
"Katakan sajalah, di mana adanya tempat itu dan apakah keindahannya?"
"Di
sebelah barat dalam kota ini, kongcu. Di bagian sungai yang membelok. Di situ
dijadikan tempat pelesiran yang indah sekali dan banyak orang dari luar kota
datang sengaja untuk bermain perahu sambil menikmati arak I-Kiang dan
mendengarkan nyanyian bidadari bidadari I-Kiang."
"Apa
katamu? Bidadari-bidadari I-Kiang, siapakah mereka itu?"
Kembali
senyum gembira bermain di bibir pelayan itu. "Aah, benar-benar kongcu
telah menyia-nyiakan hidup dan masa mudamu! Siapa orangnya yang belum pernah
mendengar bidadari-bidadari I-Kiang? Kalau belum pernah mendengar suara
nyanyian mereka, sedikitnya tentu telah mendengar akan nama mereka."
Pelayan itu
lalu menuturkan dengan gerakan kaki tangan, ia merasa girang sekali dapat
menuturkan semua itu kepada seorang tamu muda yang nampaknya tampan dan kaya
raya karena ia mengharapkan hadiah besar. Menurut penuturan pelayan ini,
ternyata bahwa di kota itu memang terdapat tempat pelesiran sebagaimana yang
disebutkan tadi.
Air sungai
Yang-ce masuk ke dalam kota itu dengan aliran perlahan karena banyak tikungan.
Dan karena sungai itu amat lebarnya, di sepanjang pantainya dibangunlah oleh
orang-orang kaya tempat-tempat peristirahatan yang indah. Banyak orang
berpelesir, di atas air naik perahu-perahu yang banyak disewakan orang di
tempat itu. Air yang tenang membuat tempat itu merupakan tempat sunyi untuk
bersenang diri memancing ikan.
Disamping
keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini, yang merupakan daya penarik
terbesar agaknya adalah rumah kapal milik Cia-ma, seorang janda tua yang kaya.
Rumah ini didirikan di atas air, yakni di pinggir sungai itu dan bentuknya
seperti kapal besar. Kalau orang berada di tingkat atas dan memandang ke arah air
sungai Yang-ce yang mengalir perlahan, orang akan merasa seakan-akan sedang
berada di atas perahu besar.
Keindahan
rumah inipun sesungguhnya tidak akan mendatangkan banyak pelancong dari luar
kota, akan tetapi terutama sekali adalah 'bidadari-bidadari' yang menjadi anak
angkat Cia-ma! Sebetulnya semenjak ditinggal mati oleh suaminya dengan
peninggalan beberapa ratus tail perak, janda tua ini tidak tahu harus berbuat
apa.
Dia tidak
mempunyai anak dan akhirnya ia lalu bekerja sebagai penghibur para pelancong.
Dibelinya budak-budak belian, yakni wanita-wanita muda yang cantik, diajarnya
gadis-gadis itu menari dan bernyanyi atau mainkan alat musik, kemudian ia dapat
menarik hati dan isi saku para pelancong yang datang di tempat itu.
Sebentar
saja Cia ma telah dapat mengumpulkan banyak uang, akhirnya ia dapat membangun
sebuah rumah kapal di tepi sungai Yang-ce. Telah banyak gadis gadis cantik
datang dan pergi dari rumahnya. Datang sebagai budak belian dan kalau kebetulan
gadis itu bernasib baik, maka akan datang seorang hartawan yang suka kepadanya
dan menebusnya dengan bayaran tinggi untuk dijadikan bini muda.
Pada waktu
itu, di antara anak-anak angkat Cia ma, yang paling terkenal adalah tiga orang
gadis yang dibelinya dari selatan. Gadis ini amat cantik, pandai menulis dan
bersisir, pandai menari, bernyanyi dan menabuh musik. Oleh karena itu, tidak
mudahlah bagi seorang laki-laki untuk dapat menghibur hati mendekati tiga bunga
peliharaan Cia ma ini.
Cia ma tidak
sembarangan mengeluarkan tiga bunga peliharaannya ini kalau tidak dengan
bayaran yang amat tinggi. Dipasangnya tarip-tarip tertentu untuk tiga orang
gadis ini, terutama sekali gadis pertama yang bernama Li Lan. Untuk dapat
melihat waiah cantik Li Lan dan melihatnya menari di depan mata? Keluarkan uang
lima belas tail perak
Mau mengajak
Li Lan duduk di satu meja dan menemani minum arak? Keluarkan dua puluh lima
tail! Menyuruh gadis ini membunyikan kim sambil bernyanyi disamping anda?
Keluarkan lima puluh tail! Dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, siapakah
yang kuat membayar uang sebanyak itu untuk bersenang-senang dengan Li Lan?
Hanya orang-orang yang betul-betul kaya. Dan si kaya inipun belum tentu berani,
karena Li Lan telah disanjung-sanjung dan menjadi pujaan banyak pejabat dan
bangsawan. Seringkali terjadi perebutan perhatian dari Li Lan oleh dua orang
hartawan sehingga timbul permusuhan yang mendalam antara mereka. Dan
orang-orang tolol ini tidak tahu bahwa di belakang mereka, Li Lan yang
diperebutkan itu mentertawakan mereka.
"Akan
tetapi, kongcu, tidak sembarang orang berani mengunjungi rumah kapal itu
kecuali mereka yang mempunyai banyak emas dan perak." Pelayan hotel itu
melanjutkan penuturannya.
Selama ia
bercerita, Tiong Kiat mendengarkan dengan hati tertarik. "Mengapa begitu,
lopek?" tanyanya. "Bukankah tempat itu menjadi tempat hiburan
umum."
"Di
sana Cia-ma merupakan orang yang amat berpengaruh. Selain dia mempunyai
sahabat-sahabat di antara pembesar, juga dia mempergunakan tenaga tiga orang
jagoan yang bertugas menjaga keamanan. Banyak sudah laki-Iaki yang berani
menggoda bidadari-bidadari itu padahal kantongnya kosong, telah dihajar oleh
jagoan-jagoan di rumah kapal dan dilemparkan keluar dari pintu!"
Makin
tertarik hati pemuda itu mendengar cerita ini. Sebuah rumah pelesiran yang aneh
pikirnya. Pada sore harinya ia lalu keluar dari hotel dan menuju ke tempat
pelesiran di pinggir pantai sungai Yang-ce itu. Benar saja di situ ramai
sekali, penuh dengan orang-orang yang hilir mudik, berpelesir dengan perahu dan
ada pula yang hanya duduk di pinggir pantai. Memang hari itu begitu ramainya,
karena malam nanti bulan akan keluar sepenuhnya. Betul-betul tempat wisata.
Segala macam
terdapat di situ dijual orang. Menara-menara yang mungil bangunan-bangunan yang
indah, bahkan terdapat pula sebuah kelenteng kecil di ujung kiri! Dan yang
paling menonjol serta menarik perhatian, adalah sebuah rumah berbentuk kapal.
Itulah rumah kapal dari Cia ma yang diceritakan oleh pelayan tadi!
Tiong Kiat
berjalan mendekati rumah kapal itu. Benar saja di depan pintu nampak sebuah
meja besar di mana duduk berkeliling tujuh orang laki-laki kelihatan galak dan
kuat. la tidak tahu yang manakah tiga orang jagoan yang menjadi kepala penjaga.
Ketika ia sedang berjalan di dekat rumah kapal itu, terdengar suara tertawa
merdu. la cepat menengok ke atas dan di tingkat atas nampak duduk beberapa
orang gadis cantik dengan pakaian mewah sedang tertawa-tawa dan bercakap cakap.
Untuk sesaat Tiong Kiat memandang ke arah mereka, akan tetapi hatinya kecewa!
Penuturan
pelayan tadi terlampau dilebih-lebihkan. Lima orang gadis yang duduk di atas
itu biarpun tak dapat disangkal berwajah cantik, namun tidak cukup menarik bagi
Tiong Kiat. Muka mereka ditutupi bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi bagaikan
anak-anak wayang yang hendak tampiI ke depan panggung! Lenyaplah seketika
keinginan hatinya tadi yang hendak mengunjungi rumah kapal itu. Ia menjadi
sebal dan dibelokkan kakinya menuju ke tempat perahu-perahu yang disewakan...
...Ia lalu
menyewa sebuah perahu dan mendayung perahunya dengan gembira, akan tetapi
kegembiraannya tidak berlangsung lama. Biarpun tempat itu makin ramai
dikunjungi orang, namun Tiong Kiat menjadi bosan. Diantara sekian banyak wanita
yang berada disitu tak seorangpun yang terlihat cantik dalam pandangan matanya
dan membuat ia tidak tertarik sama sekali. Sial baginya, ternyata dalam kota
ini tidak ada tempat yang indah. Dengan kecewa ia lalu mendayung perahunya ke
pinggir dengan kesalnya hendak kembali kehotel dan tidur agar besok dapat
melanjutkan perjalanannya pagi-pagi.
Akan tetapi
tiba-tiba gerakan tangannya yang mendayung perahu menjadi tertahan. Ia
mendengar bunyi musik mengiringi suara nyanyian yang luar biasa merdunya. Ada
tiga suara wanita yang bernyanyi bersama, akan tetapi biarpun tiga suara itu
sama merdunya, tetap saja ada satu suara yang menggerakkan hati, lekukan suara
dan gayanya berbeda dengan yang lain. Tak terasa lagi Tiong Kiat mendekatkan
perahunya ke arah rumah kapal, karena dari situlah keluarnya suara nyanyian
itu.
Sambil duduk
di atas perahunya yang sudah menempel pada tepi sungai, Tiong Kiat duduk
termenung mendengarkan nyanyian itu. Alangkah merdunya, alangkah halusnya napas
yang terdengar menyelingi suara nyanyian. Tentu cantik sekali orang yang
mempunyai suara merdu ini, pikirnya. Namun tetap saja ia masih merasa ragu-ragu
untuk masuk ke rumah itu, takut kalau-kalau ia akan kecewa. Bagaimana kalau
wajah penyanyi itu buruk dan tidak menarik seperti gadis-gadis yang tadi
dilihatnya? Siapa tahu kalau-kalau yang bernyanyi ini seorang diantara mereka
itu?
Suara
nyanyian berhenti, akan tetapi musiknya masih terus berbunyi. Tiba-tiba Tiong
Kiai melihat betapa semua mata memandang ke atas rumah kapal dan terdengar
pujian penuh kekaguman, ia pun menengok dan apa yang dilihatnya membuat hatinya
berdebar-debar tidak karuan.
Ia melihat
tiga orang gadis menjenguk dari jendela kamar rumah kapal dan
melambai-lambaikan tangan kepada orang orang di bawah yang mengagumi mereka.
Mereka ini nampaknya seperti puteri puteri kerajaan yang melambai kepada rakyat
yang menghormat mereka, padahal mereka ini bukan lain adalah bunga-bunga hidup
dari Cia ma yang mendapat sebutan tiga bidadari dari I-Kiang!
Biarpun tiga
orang gadis ini benar-benar cantik jelita dan tidak penuh bedak mukanya seperti
lima orang gadis lain yang dilihatnya tadi, namun Tiong Kiat tak akan menjadi
terpesona kalau saja ia tidak melihat seorang di antara mereka yakni yang
berdiri di tengah. Tak salah lagi, pikir Tiong Kiat, itulah gadis yang dulu
dijumpainya di dalam rimba raya! Itulah gadis yang pernah ditolongnya, pernah
diganggunya dan juga selama ini tak pernah Ienyap dari bayangan ingatannya!
Memang
sesungguhnya gadis itu yang bukan lain adalah Li Lan, memiliki wajah yang
banyak persamaannya dengan wajah Suma Eng atau Eng Eng! Hanya bedanya adalah sinar
mata dan tarikan bibir mereka. Kalau sinar mata Eng Eng mengandung kegagahan
dan membayangkan kekerasan hati, adalah sinar mata Li Lan mengerling-ngerling
dengan genit dan memikat hati. Kalau bibir Eng Eng selalu nampak membayangkan
keangkuhan hatinya, hanya indah kalau sedang tersenyum atau tertawa saja,
adalah bibir Li Lan tak pernah ditinggalkan senyum menantang!
Bukan main
girangnya hati Tiong Kiat ketika ia melihat gadis ini. Dengan cepat ia lalu
meninggalkan perahunya, membayar tukang perahu dengan royal sekali, kemudian
setelah membetulkan letak pakaiannya yang mewah dengan tindakan kaki lebar ia
menghampiri rumah kapal itu. Penjaga-penjaga pintu yang tadi duduk di situ kini
telah ramai bermain maciok dan permainan ini diselingi oleh suara tertawa
mereka yang riuh gembira. Dengan tindakan tenang tiong Kiat naik anak tangga
dan memperhatikan mereka, hendak terus memasuki pintu. Akan tetapi tiba-tiba
seorang diantara mereka melompat dan berdiri di depan pintu menghadangnya.
"Perlahan
dulu, kongcu," kata-katanya cukup sopan karena penjaga ini dapat melihat
pakaian orang yang mewah. "Agaknya kongcu orang baru dan sudah menjadi
peraturan kami bahwa setiap pendatang baru harus memberitahukan nama, kedudukan
dan memperlihatkan isi sakunya!"
Tiong Kiat maklum
bahwa untuk menundukkan manusia-manusia kasar ini tidak cukup dengan
memperlihatkan uang belaka. Tanpa memperlihatkan kepandaiannya, mereka tentu
akan berusaha memerasnya dan akan berani pula menghinanya. la tidak ingin
kegembiraannya terganggu oleh pertentangan. Sambil tersenyum ia lalu merogoh
sakunya, mengeluarkan tujuh potong uang perak yang kecil akan tetapi cukup
berharga dan berkata,
“Jangan
khawatir, aku bukan seorang pelit, Lihat!”
Sambil
berkata demikian tangan yang menggenggam tujuh potong uang itu bergerak ke arah
meja. Bagaikan tujuh butir peluru perak potongan-potongan uang itu meluncur
cepat dan menancap di atas meja yang keras!
Tentu saja
tujuh orang penjaga itu menjadi tertegun dan untuk beberapa lama mereka menatap
wajah pemuda yang tampan, kaya dan gagah ini. Akan tetapi kepala penjaga yang
berkumis jarang masih belum puas. Dia adalah seorang jagoan yang ditakuti
orang, biarpun tamu yang memiliki kedudukan tinggi selalu akan bersikap
menghormat kepadanya dan bicara dengan manis budi.
Kini melihat
si pemuda asing ini datang-datang memperlihatkan kepandaian dan tenaganya,
tentu saja hal ini tidak menyenangkan hatinya, sungguhpun ia tidak dapat
menjadi marah karena pemuda ini telah memperlihatkan keroyalannya. Orang ini
she Ma dan disebut Ma kauwsu (guru silat she Ma) karena memang dia dulunya
bekerja sebagai seorang guru silat, di samping dua orang sutenya yang disebut
Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu. Tiga orang guru silat inilah yang menjadi tiga
jagoan, kepala dari penjaga rumah kapal.
Ma kauwsu
tersenyum dan menghampiri meja. la menggerakkan tangan kanannya sambil
mengerahkan tenaga dan sekali ia menarik uang yang menancap di atas meja itu,
tujuh potong perak itu telah berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lalu
menghampiri Tiong Kiat dan berkata'
“Kongcu,
pertunjukanmu bagus sekali, tetapi dihadapanku pertunjukan itu tak berarti
apa-apa dan tidak cukup untuk dijadikan modal menakut-nakuti kami! Kami dapat
menerima hadiahmu yang royal, akan tetapi tidak bisa menerima sikap jagoan dari
siapapun juga. Lihat, apakah artinya potongan-potongan perak yang empuk
ini?"
Sambil
berkata demikian, ia mengerahkan tenaga dan meremas tujuh potong perak di
tangannya itu dan ketika ia membuka kembali tangannya, ternyata bahwa tujuh
potong perak itu telah menjadi satu merupakan segumpal perak yang tidak karuan
bentuknya!
Tiong Kiat
tersenyum mengejek, panas juga hatinya. Akan tetapi tetap saja ia tidak mau
membikin ribut karena ia ingin sekali bertemu dan bergembira dengan gadis yang
disangka Eng Eng itu.
“Bagus
sekali, sobat," katanya. "Tenagamu kuat seperti tenaga kerbau. Akan
tetapi yang kau remas adalah benda mati, kukira kalau dipergunakan untuk
meremas benda hidup tidak ada gunanya sama sekali!"
“Begitu
pendapatmu? Benda hidup apa kiranya?" tanya Ma kauwsu dengan hati geli
karena mengira bahwa pemuda yang hanya mengerti sedikit ilmu silat ini
benar-benar buta tidak dapat melihat betapa ia memiliki tenaga Thiat se-ciang
(Bubuk Pasir Besi)!
"Benda
hidup seperti... tanganku ini misalnya!" jawab Tiong Kiat sambil
mengulurkan tangan kanannya yang berkulit halus dan putih seperti tangan
wanita.
Terdengar
suara ketawa riuh rendah karena tujuh orang penjaga itu semua tidak tahan untuk
tidak tertawa geli.
"Kongcu
jangan kau main-main!" kata seorang penjaga. “Tangan Ma-twako itu dapat
memukul pecah kepala harimau dengan sekali pukul seperti yang dilakukan oleh Bu
Siong (pendekar ternama dahulu kala) dapat meremas besi sampai hancur dan
tadipun dengan sekali remas saja tujuh potong uang perak sampai menjadi
segumpal apa lagi tanganmu yang halus? Ah, hati-hati kongcu, kalau tanganmu
rusak bukankah para bidadari di atas akan menjadi kecewa dan marah kepada
kami!”
"Betul
kata kawanku itu, kongcu. Aku tidak ingin menyombong, akan tetapi janganlah
menantangku untuk meremas tanganmu yang halus ini!" kata Ma-kauwsu, karena
sesungguhnya iapun tidak suka mencelakakan langganan baru yang royal dan
nampaknya kaya ini.
Akan tetapi
sudah tetap dalam hati Tiong Kiat bahwa orang ini harus ditundukkannya. Maka
sambil tersenyum la lalu mengeluarkan lima potong uang perak lagi dari sakunya.
"Ma-twako,”
katanya kepada Ma kauwsu sambil memandang wajah guru silat tersebut, “Mari kita
bertaruh sedikit. Biarkan kau remas sekuatnya, kalau sampai aku kesakitan, kau
boleh ambil uang perak ini. Namun bila tidak, janganlah kalian membantah apa yang
kuperintahkan!”
Ma kauwsu
memandang kepada kawan-kawannya dan mereka menganggap bahwa pemuda yang tampan
ini tentu agak miring otaknya, akan tetapi ia tetap tidak ambil peduli dan
berpikir untuk memberi pelajaran kepada kongcu ini. Lumayan, lima potong perak
bukan sedikit pikirnya. Dipegang sedikit saja pemuda ini tentu akan
berkaok-kaok kesakitan.
“Baiklah,
akan tetapi kalau sampai kesakitan jangan menyalahkan kepadaku.”
“Tentu saja
tidak " jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangannya. "Nah, kau remaslah
yang keras!"
Ma kauwsu
lalu menjabat tangan pemuda ini dan mulai memencet dengan sedikit tenaga.
“Jangan
ragu-ragu, Ma-twako, yang keraslah!" kata Tiong Kiat ketika merasa betapa
pencetan itu tidak bertenaga sama sekali.
Ma kauwsu
menjadi penasaran dan kini ia mulai mengerahkan tenaga Thiat se-ciang, akan
tetapi tetap saja pemuda itu tidak kelihatan menderita sakit, bahkan kembali
menyuruh ia mempergunakan tenaganya! la lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan
memeras sekuatnya dan tiba-tiba ia terkejut sekali. Tangan yang halus itu
tiba-tiba menjadi licin dan lemas sekali seperti kapas!
Terkejutlah
hatinya karena ia maklum bahwa pemuda ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh
yang memiliki Iweekang yang tinggi. Ini tentulah ilmu jui-kut-kang (ilmu
melepaskan tulang dan melemaskan tubuh) yang lihai. Cepat ia mengendorkan
remasannya karena takut kalau-kalau tenaga Thiat se ciang akan terbentur
kembali dan melukai tangannya sendiri. Akan tetapi terlambat!
Tiba-tiba
Tiong Kiat mengeluarkan serangan dengan tenaga Iweekeng dan sekarang dialah
yang meremas tangan guru silat yang kasar dan besar itu. Terdengar Ma kauwsu
menjerit kesakitan seperti kerbau disembelih. Tangan kanannya terasa panas,
sakit dan kaku. Ketika Tiong Kiat melepaskan tangannya, tangan Ma kauwsu
menjadi merah dan bengkak!
“Masih belum
mengenal orang?" Tiong Kiat membentak dan kini ia berdiri bertolak
pinggang dengan sikap yang gagah sekali.
Ma kauwsu
dan keenam orang kawan-kawannya berdiri terbelalak saking heran dan
terkejutnya. Terutama sekali Ma kauwsu, Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu menjadi
terheran-heran. Melihat betapa mereka masih terheran-heran dan agaknya
menduga-duga siapa dia, timbul kesombongan Tiong Kiat. Dicabutnya pedangnya dan
berkatalah dia,
"Masih
belum juga mengenal pedang ini? Ataukah harus kalian rasakan dulu
ketajamannya?"
Melihat
sinar merah dan bentuk pedang itu pucatlah muka ketiga orang kepala penjaga ini
"Ang-coa-kiam..." bisik Ma kauwsu dan serta merta dia dan kedua orang
adiknya menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Kiat! Empat orang anak buah
mereka juga menjadi terkejut dan cepat berlutut.
"Maafkan
kami yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata taihiap,
ampunkaan kekurangajaran kami kepada taihiap karena kami tidak mengenal
taihiap."
"Sudah,
tak perlu banyak peradatan ini." kata Tiong Kiat sambil menyarungkan pedangnya
kembali. "Ma-twako, kau boleh ambil uang itu untuk membeli obat tanganmu
dan ingat kalau aku berada disini. Jaga jangan memperbolehkan orang lain masuk.
Mengerti?"
"Baik,
taihiap, baik!" jawab tujuh orang penjaga yang sudah ditundukkan itu.
Pada saat
itu pintu terbuka dari dalam dan seorang wanita tua yang pakaiannya masih mewah
sekali keluar. Nenek ini memandang kepada Tiong Kiat dengan penuh perhatian dan
keningnya berkerut ketika ia melihat betapa para penjaganya berdiri di hadapan
Tiong Kiat dengan kepala tunduk dan sikap menghormat sekali.
"Siapakah
kongcu yang tampan ini?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Cia-ma
sendiri.
"Kongcu
ini adalah Ang..."
Akan tetapi
kata-kata Ma kauwsu ini diputuskan oleh jawaban Tiong Kiat yang cepat mengerling
tajam kepadanya. Pemuda ini menjura kepada Cia-ma dan berkata,
"Aku
adalah seorang pelancong bernama Tiong Kiat, she Sim. Tadi ketika aku
berperahu, aku mendengar suara nyaring yang amat merdu dan kemudian melihat
tiga orang bidadari ada diatas. Hatiku tergoncang dan ingin sekali aku belajar
kenal dengan mereka, atau lebih tepat lagi, dengan yang berbaju hijau.”
Wanita itu
tersenyum. "Ahh, kongcu maksudkan Li Lan? Masuklah, Sim kongcu. Kebetulan
sekali belum ada tamu dan tentu Li Lan anakku akan suka berkenalan dengan
kongcu yang tampan!"
Mereka
berdua masuk ke dalam dan pintu ditutup lagi.
"Kongcu
ingin bertemu dengan Li Lan, bunga cantik di daerah ini? Ah, kongcu beruntung
sekali mendapat kesempatan ini, karena biarpun kongcu akan menjelajah di
seluruh Propinsi Ho-pak, takkan mungkin kongcu bertemu dengan gadis secantik Li
Lan! Akan tetapi, apakah yang kongcu kehendaki? Melihat dia menari?
Mendengarkan dia bernyanyi? Ataukah kongcu ingin minum arak bersama dia sambil
mendengarkan dia mainkan kim? Yang pertama dapat dilaksanakan dengan pembayaran
lima belas tail, yang kedua dua puluh lima tail dan yang ketiga lima puluh
tail. Yang mana kongcu kehendaki?"
Sambi
tersenyum Tiong Kiat merogoh saku bajunya sebelah dalam. Ia mengeluarkan uang
dan menaruh uang itu di atas meja, di depan Cia-ma. Nenek itu membelalakkan
matanya dan tiada habisnya ia menatap tumpukan uang di atas meja itu. Bukan
lima belas tali perak, atau lima puluh tail perak, akan tetapi lima potong uang
emas yang harganya lebih dari tiga ratus tail perak yang bertumpuk di atas
meja, berkilauan cahayanya membuat silau pandangan mata nenek yang mata duitan
ini.
"Ambillah
uang itu, Cia-ma. Akan tetapi dengar keinginanku. Aku ingin semua bidadari yang
berada di dalam rumah kapal ini menghiburku dengan tari-tarian dan nyanyian!
Dan Li Lan menemaniku minum arak dan berada di sini. Hanya aku seorang yang mendapat
hiburan, tidak boleh ada orang lain. Mengerti!"
Nenek ini
mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam yang makan padi. "Baik.
baik, kongcu. Malam ini hanya kongcu seorang yang akan mendapat hiburan di
sini. Tiada orang lain!"
Nenek itu lalu
berlari-lari ke dalam setelah menyaur uang itu dari meja. Terdengar ia
berteriak-teriak memanggil semua anaknya dan sebentar saja ruangan itu penuh
dengan gadis-gadis yang jumlahnya semua ada empat belas orang! Akan tetapi
Tiong Kiat tidak memperdulikan mereka semua, karena pandangan matanya hanya
tertuju kepada seorang, yakni gadis berbaju hijau, Li Lan yang mirip sekali
dengan Eng Eng!
Li Lan telah
diberi tahu oleh Cia-ma betapa royal dan kayanya pemuda itu dan ketika ia
menyaksikan dengan mata bintangnya betapa tampan dan gagah pemuda yang hendak
berkenalan dengannya, senyumnya melebar dan sinar matanya gembira.
"Selamat
datang, kongcu. Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan besar bagiku telah
mendapat perhatian kongcu yang budiman."
Suara ini
terdengar merdu bagaikan musik yang-kim dan pada saat Tiong Kiat baru sadar
bahwa gadis ini bukan gadis yang dulu ditolongnya di dalam rimba. Akan tetapi
ia menjadi girang juga, karena Li Lan memiliki wajah serupa dengan gadis yang
ditolongnya itu, bahkan tidak kalah cantiknya dan malah jauh lebih manis dan
menarik.
Tanpa
malu-malu lagi karena memang sudah biasa, Tiong Kiat melangkah maju dan
memegang tangan Li Lan yang halus. Tercium olehnya bau harum semerbak dari
rambut gadis itu yang membuat hatinya menjadi makin mabok.
Cia-ma sibuk
memberi perintah agar hidangan yang lezat dikeluarkan, arak yang paling baik
berikut daging yang paling empuk. Kemudian para gadis itu lalu mengambil alat
musik dan sebentar saja ruangan itu berobah menjadi tempat pesta yang meriah.
Ada yang menari, bernyanyi dan Tiong Kiat makan-minum ditemani oleh Li Lan yang
makin lama makin menarik hatinya.
Demikianlah,
pemuda yang tersesat ini dilayani seperti seorang raja muda di tempat itu.
Belum pernah ada tamu yang demikian dihormati seperti Tiong Kiat dan hal ini
tidak aneh, Cia-ma puas hatinya karena mendapatkan uang sekian banyaknya,
adapun gadis gadis itu gembira sekali dapat melayani seorang pemuda yang tampan
dan gagah, berbeda dengan para pembesar, tua-tua bangka yang sesungguhnya
menyebalkan hati mereka!
Para
penjaga, Ma kauwsu dan kawannya, patuh sekali terhadap perintah Tiong Kiat.
Mereka tidak memperkenankan siapa saja memasuki rumah kapal itu, biarpun yang hendak
masuk itu hartawan atau pembesar yang sudah menjadi langganan tetap.
"Menyesal
sekali," kata Ma kauwsu terhadap mereka. "malam hari ini tidak
menerima tamu, karena tempat ini telah diborong oleh seorang pelancong."
Biarpun hati
mereka kecewa namun mereka tidak berani membantah dan pulanglah mereka dengan
hati mengkal. Siapakah orangnya yang begitu kurang ajar berani memborong tempat
itu? Akhirnya bukan mereka saja yang mendongkol dan gelisah. Juga Cia-ma
menjadi sibuk sekali pikirannya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lama
sekali tidak mau keluar lagi dari rumah kapal!
Sudah tiga
malam Tiong Kiat berada di tempat itu, dan pemuda ini masih saja belum
mempunyai keinginan meninggalkan Li Lan! Akan tetapi bagaimana Cia-ma berani
mengusirnya? Pemuda itu royal sekali, tiap hari mengeluarkan uang emas dan
lebih-lebih lagi gelisahnya hati Cia-ma ketika mendengar dari para penjaganya
bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang-coa-kiam yang telah tersohor namanya!
Sebaliknya,
Li Lan dan kawan-kawannya sama sekali tidak merasa kecewa. Mereka bahkan senang
sekali melayani pemuda yang selain tampan dan gagah, juga royal sekali
membagi-bagi hadiah itu. Li Lan nampaknya suka sekali dan tak dapat berpisah
dari Tiong Kiat, demikian pula pemuda itu telah tergila-gila kepada Li Lan.
Bukan karena kecantikan Li Lan atau pandainya mengambil hati, akan tetapi
terutama sekali karena wajah Li Lan hampir sama dengan wajah Eng Eng, gadis
yang dulu ditolongnya dan yang diam-diam dicintainya itu.
Betapapun
juga akhirnya persediaan uang di dalam saku baju Tiong Kiat menjadi habis.
“Cia-Ma,”
katanya. "aku akan pergi sebentar mengambil buntalanku yang di hotel dan
sebentar lagi aku akan kembali. Jangan perbolehkan lain orang masuk
kesini," katanya.
Malam itu ia
keluar bukan hanya untuk mengambil pakaiannya di hotel, akan tetapi juga untuk
mengambil banyak uang emas dari peti uang seorang hartawan!
Sementara
itu, sebelum pemuda itu kembali, Cia-ma lalu mengadakan perundingan dengan Li
Lan dan kawan-kawannya.
"Celaka!"
kata nenek ini dengan wajah gelisah. "Kalau Sim kongcu terus-menerus
memborong tempat ini, kita akan celaka."
"Mengapa
begitu, Cia-ma?" bantah Li Lan. "Bukankah Sim kongcu amat royal dan
memberi hadiah kepada kita? Kita tidak boleh membantah kehendaknya, lagi pula,
apa yang dapat kita lakukan terhadap seorang gagah seperti Ang-coa-kiam?"
"Anak
bodoh!" nenek itu mencelanya. "Betapapun juga. Dia akhirnya akan
bosan dan pergi. Dan nama kita rusak dipandangan mata semua pembesar! Penolakan
para pembesar yang hendak mengunjungi kalian, berarti penghinaan dan tentu saja
mereka merasa sakit hati kepada kita. Kalau tidak ada perlindungan dari pada
mereka, apakah daya kita? Celaka!"
"Sudahlah
Cia-ma, tak perlu kita mencari penyakit dan permusuhan terhadap Ang-coa-kiam.
Bahkan aku hendak mempergunakan tenaganya untuk membasmi musuh-musuhku."
"Jangan,
Li Lan! Jangan kau menimbulkan gara-gara, nanti kita celaka semua."
Akan tetapi
gadis cantik itu hanya mainkan bibirnya, tersenyum manis. Menjelang tengah
malam datanglah Tiong Kiat dengan membawa uang sekantong besar! Mulailah lagi
pesta pora yang amat meriah. Para penjaga juga ikut kebagian rejeki karena
Tiong Kiat membagi-bagi hadiah bagaikan orang membuang pasir belaka.
Pada
keesokan harinya, gegerlah kota I-kang karena seorang hartawan besar telah
kecurian uang banyak sekali dan pada dinding kamar terlukis pedang
Ang-coa-kiam! Sebentar saja hal ini terdengar oleh para penjaga rumah kapal,
akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat? Mereka hanya saling lirik dan
tersenyum girang karena dalam diri Tiong Kiat, mereka mendapatkan seorang
pemimpin yang selain royal, juga amat boleh diandalkan!
Juga Cia-ma
dan anak-anaknya mendengar akan pencurian yang dilakukan oleh Ang-coa-kiam Sim
Tiong Kiat ini, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani
bertanya. Cia-ma hanya menarik napas berulang-ulang dan berkata seorang diri,
"Celaka,
celaka! Rumahku kemasukan harimau ganas dan aku tak berdaya sama sekali untuk
mengusirnya!"
Sementara
itu, di dalam kamarnya, sambil menangis Li Lan menuturkan kepada Tiong Kiat.
"Telah dua tahun aku mendendam sakit hati yang amat besar dan sekarang
Thian Yang Maha Kuasa telah mempertemukan aku dengan kongcu, sungguh satu
kebahagiaan besar. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa kalau memang betul
kongcu mencinta kepadaku yang hina dina dan rendah ini, pasti jahanam-jahanam
busuk she Lui itu dapat dibasmi!"
"Apakah
kau masih meragukan cintaku manis?" kata Tiong Kiat sambil memeluk Li Lan.
"Katakanlah siapa yang pernah menimbulkan sakit hati kepadamu kalau perlu
akan kuhajar adat kepada mereka."
"Hanya
menghajar adat? Kau harus bunuh mereka, kongcu. Ya, mereka itu jahanam yang
menjerumuskan diriku ke dalam jurang kehinaan ini, mereka itu harus
dibunuh!" Muka yang manis itu menjadi kemerahan dan matanya yang bening
dan indah itu bersinar-sinar.
"Kau
makin cantik saja kalau marah, Li Lan. Apakah yang telah diperbuat oleh
orang-orang she Lui kepadamu maka kau ingin aku membunuh mereka?”
Biarpun
pemuda ini membicarakan soal pembunuhan dengan lidah ringan, namun di dalam
hatinya ia terkejut juga. karena sesungguhnya, di dalam kesesatannya, belum
pernah ia membunuh orang begitu saja secara kejam. Tentu saja ia pernah
membunuh rombongan perampok dan orang jahat akan tetapi apabila ia melakukan
percurian atau gangguan, tak pernah ia membunuh orang.
Dengan gaya
manja dan memikat hati Li Lan lalu menuturkan pengalamannya. "Kongcu, kau
adalah seorang mulia dan gagah. Kalau tidak kepadamu, kepada siapa lagi aku
dapat mengharapkan pertolongan? Dahulu aku bekerja sebagai pelayan di rumah
keluarga Lui yang kaya raya. Hidupku penuh kebahagiaan sungguhpun pekerjaanku
hanya sebagai pelayan belaka. Akan tetapi malapetaka menimpa diriku ketika
majikanku yang muda dan tua, yakni Lui wangwe dan puteranya, Lui kongcu, secara
kurang ajar dan kejam sekali telah mempermainkan aku yang lemah dan tak
berdaya! Aku berada di dalam gedung mereka sebagai budak belian, aku
yatim-piatu dan berada di dalam kekuasaan mereka. Apakah dayaku? Kemudian
setelah rahasia kedua orang jahanam itu terbuka, mereka menjadi malu dan
menyingkirkan diriku dengan menjualku kepada Cia-ma."
Adapun Tiong
Kiat yang mendengar penuturan ini, menjadi marah dan juga tersinggung hatinya.
Ia marah karena kejahatan keluarga Lui ayah dan anak itu dan merasa tersinggung
karena ia teringat kepada gadis yang ditolongnya di dalam rimba raya itu.
"Kongcu,
telah lama dendam ini terkandung dalam hatiku. Pada saat itu juga, ingin sekali
aku membunuh diri, akan tetapi aku teringat bahwa aku akan menjadi setan
penasaran kalau belum dapat membalas kejahatan mereka. Aku bersumpah hendak
membalas dendam dulu sebelum mati dan sekarang setelah aku bertemu dengan kau,
kongcu, tidak ada keinginan mati pada hatiku. Aku ingin selama hidupku berada
di sampingmu, akan tetapi kebahagiaanku takkan lengkap apabila sakit hati ini
tidak terbalas. Kongcu yang tersayang, kalau saja kau suka menolongku
membalaskan sakit hati ini, aku Li Lan akan menghambakan diriku kepadamu sampai
selama hidupku.”
Menghadapi
bujuk dan cumbu rayu gadis cantik ini, lumerlah hati Tiong Kiat. Tanpa pikir
panjang lagi ia menyanggupi permintaan kekasihnya ini dan pada malam hari itu,
ia keluar dengan pedang Ang Coa Kiam di tangan! Dan pada keesokan harinya
gegerlah kembali kota I-kiang ketika orang mengetahui bahwa hartawan Lui dan
puteranya telah terbunuh mati di dalam kamarnya!
Hartawan Lui
terkenal sebagai seorang hartawan yang dermawan dan jujur, maka peristiwa ini
tentu saja menggemparkan sekali. Apa lagi ketika di tembok korban-korban itu
terdapat lukisan pedang Ang-coa-kiam! Sungguh Tiong Kiat telah menjadi mata
gelap dan sombong sekali. Biarpun ia masih berada di kota l-kiang dengan berani
mati ia mengakui dengan lukisan itu bahwa pembunuhan itu dialah yang
melakukannya.
Kegemparan
ini sampai juga ke telinga orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan marahlah
mereka yang mendengar akan hal ini. Kalau sampai sebegitu lama orang-orang kang
ouw tidak bertindak memusuhi Tiong Kiat adalah karena mereka itu masih
memandang nama besar Ang-coa-kiam pedang pusaka dari Kim liong pai. Semenjak
puluhan tahun yang lalu, Kim-liong-pai, terkenal sebagai cabang persilatan yang
terpandang tinggi.
Nama Bu Beng
Sianjin sebagai pendiri cabang ini amat disegani dan dihormati, juga anak-anak
murid Kim-liong pai terutama sekali Lui Thian Sianjin amat terkenal sebagai
tokoh kang ouw yang gagah perkasa dan budiman. Oleh karena ini nama
Ang-coa-kiam yang menjadi jai-hwa-cat dan pencuri masih diragu-ragukan oleh para
tokoh kang-ouw.
Akan tetapi
sepak terjang Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat akhir-akhir ini benar-benar
menggemparkan sekali, terutama sekali setelah pembunuhan Lui wangwe ayah dan
anak. Yang paling marah adalah seorang gagah yang tinggal di kota I-Kiang,
karena ia berada terdekat dengan peristiwa itu terjadi. Orang gagah ini bernama
Lo Ban Tek yang berjuluk Thiat-gu (Kerbau besi).
Dia adalah
seorang gagah perkasa, murid dari Kun-lun-pai yang menyembunyikan diri di kota
ini dan bekerja sebagai seorang pandai besi, pembuat tombak dan golok. Ia telah
mendengar tentang pencurian uang seorang hartawan yang dilakukan oleh penjahat
yang melukiskan pedang Ang-coa-kiam ditembok, akan tetapi masih bersabar dan
tidak mau mencampuri urusan itu. la menganggap urusan pencurian itu soal kecil
saja, karena untuk meributkan pencurian yang terjadi dalam rumah seorang
hartawan?
Mungkin
benar-benar anak murid Kim liong-pai itu sedang lewat dan kehabisan bekal lalu
mengambil uang hartawan itu, hal ini sudah biasa terjadi dan tidak sangat
hebat. Akan tetapi, ia mendengar bahwa seorang pemuda tampan yang mengaku
sebagai Ang coa-kiam Sim Tiong Kiat telah beberapa hari lamanya berdiam di
rumah kapal dan kemungkinan pula terlibat dalam pembunuhan atas hartawan Lui
dan putranya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment