Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 04
Karena
buaian cumbu rayu dan kasih sayang, sepasang orang muda ini melakukan
perjalanan dengan amat gembira. Mereka tidak memperdulikan lagi akan bahaya
yang mungkin datang dari kejaran Tiong Han maupun suhu mereka. Kui Hwa amat
percaya kepada kekasihnya, karena dara inipun maklum akan kelihaian Tiong Kiat.
Misalnya suhu mereka mengejar, dengan kekuatan mereka, agaknya guru mereka
sendiripun takkan dapat mengganggu kebahagiaan mereka.
Akan tetapi
beberapa belas hari kemudian, ketika sepasang orang muda ini akan pesiar di
sebuah telaga, mengaso di pinggir telaga melihat orang-orang berpesta di atas
perahu alangkah terkejutnya hati mereka ketika tiba- tiba Can Kong berdiri di
hadapan mereka dengan pedang terhunus di tangan kanan.
"Ayah...!"
Kui Hwa berseru dengan wajah pucat dan gadis itu menghampiri ayahnya hendak
berlutut, akan tetapi Can Kong menggerakkan pedangnya dan membacokkan pedang
itu ke arah leher Kui Hwa! Biatpun kepandaian Kui Hwa lebih tinggi dari pada
ayahnya, namun bacokan yang dilakukan oleh ayahnya dan diserangkan kepadanya
yang sedang berlutut itu, agaknya tak dapat dielakkan lagi!
"Traang...!"
terdengar suara keras dan pedang di tangan Can Kong tinggal gagangnya saja.
Ternyata
bahwa pedangnya yang mengancam nyawa puterinya sendiri itu tehh kena ditangkis
oleh Tiong Kiat yang mempergunakan pedang Ang-coa-kiam. Dapat dibayangkan
betapa tajam dan ampuhnya pedang Ang-coa-kiam. Baru saja terbentur sekali,
pedang di tangan Can Kong telah dibabat putus!
"Anjing...
anjing rendah tak tahu bermalu!" Can Kong berseru dengan nafas
terengah-engah. "Kalian harus mampus.” kemudian dengan nekad Can Kong lalu
menubruk Kui Hwa uuruk mencekik lehernya.
"Ayah...!
Ampunkan anakmu, ayah..."
Kui Hwa
mengeluh tanpa berani melawan, akan tetapi kembali Tiong Kiat yang menolongnya.
Sebuah sampokan lengan kanan pemuda ini membuat tubuh Can Kong terpental dan
terhuyung-huyung mundur ke belakang hampir jatuh! Memang, kepandaian Can Kong
masih kalah jauh kalah dibandingkan dengan kepandaian Tiong Kiat, baik ilmu
pedang, maupun tenaga lweekangnya.
"Suheng,"
kata Tiong Kiat yang menyebut kakak seperguruan karena memang Can Kong juga
murid dari Lui Thian Sianjin, "tidak ada harimau makan anaknya, apalagi
manusia!"
"Anjing
she Sim!" Can Kong marah sekali sehingga sepasang matanya seakan-akan
mengeluarkan cahaya api dan mulutnya mengeluarkan buih. "Kau telah
melakukan perbuatan rendah melarikan anak gadis orang, masih dapat memberi
nasihat kepadaku? Saat ini kalau bukan kau, tentu aku yang akan mampus!"
Setelah berkata demikian, Can Kong kembali menyerang, dan kali ini ia menyerang
Tiong Kiat dengan sepenuh tenaga!
"Ayah...!"
Kui Hwa menjerit dan hanya dapat menangis. Ayahnya sudah nekad benar dan menyerang
secara bertubi-tubi dan mata gelap.
Tiong Kiat
telah menyimpan kembali pedangnya dan sesungguhnya ia tidak berani untuk
membalas serangannya orang tua yang nekad itu. Akan tetapi, karena Can Kong
menyerang dengan mati-matian, ia menjadi repot juga.
"Can
suheng, mengapa kau berlaku seperti anak kecil. Biarkan kami berdua pergi. Aku
masih menghormatimu sebagai seorang subeng dan kalau boleh, sebagai orang tua
sendiri, akan tetapi kesabaran ada batasnya“ kata Tiong Kiat sambil menangkis
sebuah pukulan dengan tenaga sepenuhnya sehingga Can Kong merasa betapa
lengannya sakit sekali dan kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
"Bangsat
rendah! Binatang tak bermalu!" Can Kong memaki lagi tanpa memperdulikan
rasa sakit pada lengannya, ia menyerbu kembali dengan ilmu pukulan Kim-liong
pai yang berbahaya bagi lawannya.
"Kau
mencari penyakit sendiri" kata Tiong Kiat dengan marah karena ia anggap
orang tua ini amat keterlaluan.
"Koko,
jangan...!" Kui Hwa berseru akan tetapi terlambat. Tiong Kiat telah
membalas serangan lawannya dan ketika tubuhnya bergerak cepat, sebuah
tendangannya yang lihai telah mengenai lambung Can Kong dengan hebatnya. Tubuh
Can Kong terlempar jauh dan roboh ke dalam air telaga!
"Ayah...”
Kui Hwa menjerit dan menolong ayahnya, akan tetapi pada saat itu, diantara
perahu-perahu yang bergerak ke sana ke mari di atas telaga, meluncur cepat
sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang hwesio gemuk, sekali ia
mengulurkan tangannya tubuh Can Kong yang hampir tenggelam itu telah berpindah
ke dalam perahu.
"Siapa
pemuda itu, siapa pula gadis itu dan siapa kau” tanya pendeta Buddha ini kepada
Can Kong yang napasnya sudah empas-empis.
Can Kong
membuka matanya dan ketika ia melihat hwesio gemuk itu ia tersenyum pahit. Ia
mengenal hwesio ini yane bukan lain adalah seorang tokoh kang-ouw yang cukup
terkenal, la bernama Cin Kun Hosiang, tokoh dari Bu-tong-pai, hwesio perantau
yang menjadi pendekar besar penolong rakyat sehingga namanya amat terkenal,
baik di kalangan rakyat maupun di dunia kang-ouw.
"Cin
suhu, celakalah... hancur nama... baikku oleh anjing-anjing tak bermalu itu.
Perempuan itu adalah puteri tunggalku, sedangkan pemuda itu adalah suteku
sendiri. Mereka... mereka minggat... dan..."
Orang tua
itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia menjadi lemas dan pingsan
karena luka pada lambungnya yang hebat akibat tendangan Tiong Kiat. Bukan main
marahnya Cin Kun Hosiang mendengar keterangan ini. Dengan tangan kiri memondong
tubuh Can Kong. Ia lalu melompat ke pantai, mengagumkan sekali gerakannya ini
karena tubuhnya yang gendut itu seakan-akan amat ringan.
Ketika
berhadapan dengan Tiong Kiat yang memandang dengan sikap dingin dan Kui Hwa
yang masih mengucurkan air mata, hwesio itu lalu menurunkan tubuh Can Kong yang
masih pingsan itu di atas tanah. Kui Hwa hendak menubruk ayahnya, akan tetapi
hwesio itu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah gadis itu sambil berkata,
"Jangan
mengotori ayahmu dengan tanganmu yang bernoda"
Kui Hwa
terkejut sekali karena ujung lengan baju itu mengeluarkan hawa pukulan yang
amat kuat. Akan tetapi dengan lincahnya ia dapat mengelak dan memandang kepada
hwesio itu dengan marah.
"Kepala
gundul. Siapakah kau maka berani sekali kau berkata demikian kepadaku?"
bentaknya.
Hwesio itu
tertawa bergelak. "Pinceng Cin Kun Hosiang paling benci kepada orang orang
jahat, akan tetapi lebih benci lagi kepada seorang anak durbaka. Kau adalah
seorang anak perempuan yang mendurhakan terhadap orang tua, seorang anak gadis
tak bermalu yang menodai nama keluarga! Percuma saja kau dilahirkan di atas
dunia, lebih baik sekarang juga kau meninggalkan dunia agar nama baik ayahmu
tidak sampai menjadi buah tutur orang!"
"Keparat”
bentak Kui Hwa. "Aku pernah mendengar nama Cin Kun Hosiang sebagai tokoh
Bu-tong-pai yang tersohor, akan tetapi ternyata kau hanya seorang kepala gundul
ysng berpura-pura alim dan orang yang lancang yang suka mencampuri urusan rumah
tangga orang lain. Kau kira aku takut kepadamu?"
Kui Hwa
menjadi marah sekali oleh karena ucapan itu didengar oleh orang-orang yang kini
mulai berkumpul menonton mereka. Ia merasa dihina dan dibikin malu sekali, maka
setelah mencabut pedangnya ia lalu menyerang hwesio gemuk itu.
Cin Kun
Hosiang ketika melihat datangnya serangan yang cukup hebat ini, diam-diam
menjadi terkejut. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Kim-liong-pai akan
tetapi ia pernah melihat Can Kong bermain silat dengan pedang dan karena
tingkat Can Kong masih rendah, maka hwesio ini merasa sanggup untuk
menghadapinya.
Kini melihat
gerakan Kui Hwa, selain terkejut iapun merasa heran bagaimana gadis ini
memiliki ilmu pedang yang jauh lebih hebat dari pada ilmu pedang ayahnya! Akan
tetapi ia tidak tempat banyak berpikir dan cepat pula ia mencabut senjatanya,
yakni sebatang tongkat pendek yang tadinya terselip di pinggangnya.
Pertempuran
hebat terjadi di pantai telaga itu antara Cin Kun Hosiang dan Kui Hwa. Kalau
dibandingkan antara kedua orang yang sedang bertempur ini, maka kepandaian
mereka boleh dibilang berimbang kuatnya. Hwesio gemuk itu lebih menang dalam
hal tenaga lweekang dan pengalaman, akan tetapi Kui Hwa menang jauh dalam
kecepatan dan kehebatan gerakan pedangnya.
Pedangnya
melupakan seekor burung elang yang menyerang dan menyambar-nyambar dan semua
penjuru, sedangkan tongkat di tangan Cin Kun Hosiang merupakan seekor induk
ayam yang melindungi anak anaknya dari serangan elang itu. Gerakannya tidak
cepat dan amat tenang, akan tetapi sekali digerakkan, cukup untuk membikiu
pedang Kui Hwa terpental kembali.
Betapapun
juga, karena kalah lihai ilmu silatnya, hwesio gendut itu terdesak hebat oleh
Kui Hwa, sungguhpun takkan mudah bagi Kui Hwa untuk merobohkan lawannya.
Diam-diam Cin Kun Hosiang merasa kaget sekali. Jarang sekali hwesio ini bertemu
dengan lawan yang sedemikian tangguhnya. Banyak sudah ia mengalami pertempuran
menghadapi penjahat-penjahat dan perampok-perampok, akan tetapi selalu ia
memperoleh kemenangan.
Jarang ada
orang yang sanggup menghadapi tongkatnya yang digerakkan dengan tenaga
lweekangnya yang sudah tinggi. Akan tetapi siapa kira bahwa kini menghadapi
puteri Can Kong seorang dara jelita yang masih muda sekali, ia sama sekali
tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan gadis ini.
Cin Kun
Hosiang menjadi keki (gemas) juga. Pada saat pedang Kui Hwa menyambar dari
atas, ia cepat menangkis dengan tongkatnya, dan membarengi dengan serangan
pukulan tangan kirinya ke arah dada gadis itu! Inilah serangan dari ilmu
pukulan Lwee-khi-ciang-hoat yang luar biasa hebatnya, karena pukulan ini
dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-kang. pukulan ini tidak perlu mengenai
tubuh, hawa pukulannya saja cukup mengalahkan lawan. Yang paling hebat adalah
pukulan ini takkan terasa oleh lawan dan tidak melukai tubuh luar, namun
menyerang dan melukai tubuh bagian dalam.
Untung bagi
Kui Hwa selama itu, Tiong Kiat memandang pertempuran dengan penuh perhatian.
Ketika ia melihat betapa Kui Hwa dapat mendesak lawannya dan meyakinkan bahwa
kekasihnya itu pasti akan dapat mengalahkan Cin Kun Hosiang, ia merasa lega dan
tidak mau turun tangan membantu. Akan tetapi ketika melihat gerakan pukulan
hwesio itu, ia menjadi terkejut sekali.
"Awas
pukulan Lwee-khi!" teriaknya memperingatkan Kui Hwa dan berbareng ia
mengirim pukulan dengan tenaga khikangnya ke arah hwesio itu.
Cin Kun
Hosiang terkejut ketika merasa angin pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar
dari samping. Ia terpaksa menarik kembali pukulannya itu dan mencoba menjejak,
akan tetapi Kui Hwa yang merasa marah sekali kepada lawannya, tidak memberi
hati dan ketika pedangnya meluncur ke depan biarpun Cin Kun Hosiang mencoba
untuk mengelak, tetap saja ujung pedang itu menancap ke pundaknya sebelah
kanan.
Ketika Kui
Hwa mencabut pedangnya, Cin Kun Hosiang terhuyung ke belakang, kemudian roboh
mandi darah dalam keadaan pingsan. Tiong Kiat memegang tangan kekasihnya,
menariknya sambil berkata,
"Hayo
kita pergi, moi-moi"
Kui Hwa
beberapa kali menengok ke arah ayahnya, akan tetapi ia hanya terisak sedih dan
mengikuti kekasihnya yang berlari cepat. Setelah jauh dari tempat itu, Kui Hwa
berhenti berlari, menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu.
Tiong Kiat menghampirinya, lalu memeluknya.
"Koko
mengapa kau melukai ayah? Bagaimana kalau kalau ia mati? Ah, kau yang
membunuhnya"
Tiong Kiat
mnmegang kedua pundak Kui Hwa dan memaksa gadis itu memandangnya. “Kui Hwa,
pikirlah baik-baik. Dalam keadaan seperti itu, kau hanya tinggal memilih,
ayahmu atau aku! Dia telah menyerangku mati-matian, dan kaupun tahu bahwa
tadinya aku selalu mengalah. Akan tetapi, kalau aku terus mengalah, bukan dia
yang roboh pasti aku yang roboh, pasti akulah yang telah dirobohkannya. Kalau
aku yang terluka, apakah ayahmu akan mau melepaskan aku begitu saja tanpa
membunuhku lebih dulu?”
Mendengar
ucapan ini, Kui Hwa menundukkan mukanya sambil terisak-isak menahan kepedihan.
“Aku aku menyesal sekali, koko... Bagaimanakah nasibku menjadi begini? Aku
bermusuhan dengan ayah sendiri..."
Tiong Kiat
menghiburnya, menggunakan tangannya untuk menghapus air mata kekasihnya yang
mengalir turun disepanjang pipinya, lalu mendekap kepalanya.
"Jangan
takut, moi-moi. Bukankah ada aku yang akan selalu melindungimu? Tidak apalah
kalau ayahmu membencimu, bukankah sudah ada aku seorang yang akan mencinta dan
membelamu selama hidupku?"
Terhibur juga
hati Kui Hwa mendengar ucapan yang penuh cinta kasih ini. "Koko,
betul-betulkah kau akan tetap mencintaiku selama hidupmu? Tidak akan tertarik
oleh gadis lain yang lebih cantik dari pada aku?" bisiknya manja.
"Aku
bersumpah, moi-moi. Bukankah sudah berkali-kali aku menyatakan bahwa aku
mencintamu dengan segenap nyawaku?" kata Tiong Kiat kepada Kui Hwa yang
merem melek terayun oleh bujuk rayu yang dikeluarkan dengan suara halus dan
yang cukup kuat untuk merobohkan hati seoiang gadis ini.
Demikianlah
amat berbahaya kalau seorang gadis hanya membuka telinga untuk mendengarkan
bujuk rayu seorang pemuda, tanpa membuka kewaspadaan hatinya dan kewaspadaan
matanya untuk dapat melihat apakah yang tersembunyi di balik senyum manis, dan
apa yang terdengar di balik cumbu rayu itu. Sekali ia telah terjebak dan masuk
perangkap sukarlah baginya untuk keluar kembali.
"Koko,
sekali lagi aku mohon kepadamu, janganlah kau melupakan aku, jangan
meninggalkan aku, dan jangan pula kau bermain gila dengar wanita lain. Aku takkan
kuat menahannya dan aku lebih baik mati dari pada harus berpisah dengan kau,
dari pada harus melihat engkau berkasih-kasihan dengan wanita lain. Akan
kubunuh wanita itu!"
"Jangan
khawatir, kekasihku, tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih manis dan lebih
setia dari padamu!"
Terhiburlah
hati Kui Hwa dan anak ini telah melupakan lagi ayahnya yang ditinggalkan dalam
keadaan terluka parah. Tidak teringat lagi ia apakah ayahnya akan mati akibat
tendangan kekasihnya itu, ataukah masih hidup? Bahkan Kui Hwa tidak perduli
lagi akan nama Cin Kun Hoaiang yang sudah ia lukai.
Pada hal
kalau pikirannya sadar, ia akan mengeluarkan keringat dingin kalau teringat
betapa telah melukai seorang pendekar yang sudah tersohor namanya, seorang
gagah yang dicintai oleh orang-orang kang-ouw, yang mempunyai banyak sekali
kawan-kawan yang tentu saja takkan tinggal diam.
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan, merantau tanpa arah tujuan tetap. Di mana saja mereka
mendengar ada tempat yang bagus dan menyenangkan, mereka lalu mendatangi tempat
itu. Keadaan mereka tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang
melakukan perjalanan berbulan madu.
***************
Akan tetapi,
tepat sebagaimana yang di ajarkan oleh para cerdik pandai dan para bijaksana di
jaman dahulu, bahwa segala sesuatu mengenai tindakan dalam hidup, harus
dilakukan dengan hati suci, bersih dari pada Lima Sifat yang dipergunakan
sebagai garis dan batas hidup. Lima Sifat itu adalah Jin, Gie, Lee, Ti, Sin.
Demikianlah
dengan hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa. Kedua orang muda ini melakukan
hubungan hanya karena dorongan nafsu semata, nafsu yang membikin buta mata batin
mereka, yang melumpuhkan keteguhan iman mereka. Dan semua penyelewengan ini
terjadi karena tidak adanya Lee, karena tidak adanya peraturan. Mereka telah
melanggar Lee, melanggar peraturan yang diajarkan oleh para bijaksana.
Hubungan
mereka setelah dewasa melampaui kesopanan dan sama sekali melanggar peraturan
kesopanan dan kesusilaan. Akibatnya mereka terkena bujukan iblis, dan kemudian
mereka bahkan meninggalkan suhu dan orang tua, minggat dan melakukan
pelanggaran peraturan yang kedua. Ketiga kalinya mereka hidup seperti suami
isteri di luar pernikahan yang sah, dan hal ini lebih-lebih melakukan
pelanggaran peraturan yang amat buruk.
Semenjak
jaman dahulu, orang orang di negeri Tiongkok selalu berpegang teguh kepada
peraturan, terutama sekali dalam hal hubungan antara laki-laki dan wanita, dan
bagaimana bukti kebaikannya? Bagi seorang rakyat Tiongkok, pernikahannya hanya
terjadi satu kali selama mereka hidup. Jarang sekali, hampir tidak ada, terjadi
perceraian-perceraian, dan suami isteri hidup rukun sampai di hari tua.
Setelah
melakukan perjalanan beberapa bulan saja, mulai lunturlah cinta kasih yang
didengungkan oleh mulut Tiong Kiat terhadap Kui Hwa. Biarpun kini pemuda itu
sama sekali tidak menyatakan kelunturan cinta kasihnya dalam kata-kata, namun
pandangan mata dan sikapnya membuat Kui Hwa amat gelisah. Gadis ini benar-benar
mencinta Tiong Kiat, bahkan telah membuktikan cintanya itu dengan memberatkan
pemuda itu dari pada ayahnya.
Berkali-kali
mulai timbul percecokan dan perbantahan diantara mereka karena soal kecil saja
dan hati Kui Hwa makin lama makin gelisah dan sedih. Ia membujuk-bujuk
kekasihnya itu untuk menghentikan perantauan mereka dan tinggal di dalam sebuah
kota, mencari rumah dan hidup berumah tangga sebagaimana yang diidam-idamkan
oleh semua gadis di dunia ini. Akan tetapi Tiong Kiat selalu menyatakan tidak
setuju.
"Aku
tidak betah tinggal di rumah. Kalau kau merasa lelah ikut aku merantau, marilah
kita mencari rumah dan kau beristirahat di situ. biar aku melanjutkan
perantauan seorang diri."
Semenjak
mendapat jawaban ini, Kui Hwa tidak berani lagi bicara tentang menghentikan
perantauan mereka. Ia juga tidak membantah ketika melihat Tiong Kiat mendatangi
rumah gedung orang-orang hartawan untuk mencuri emas dan perak guna dipakai
membiayai perjalanan mereka. Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di sebuah
dusun di luar kota Heng-yang.
Baru saja
mereka berjalan mematuki pagar dusun, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan dan
mereka melihat dua orang wanita sedang berlari ketakutan, dikejar oleh seorang
laki-laki tua yang membawa golok yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dua orang
wanita itu adalah orang-orang dusun, akan tetapi yang seorang biarpun
berpakaian sederhana seperti pakaian orang dusun, ternyata masih muda dan amat
cantiknya. Adapun wanita kedua sudah setengah tua, berlari sambil menggandeng
dan menarik lengan gadis cantik manis itu.
Melihat
bahaya maut mengancam kedua orang wanita itu, Tiong Kiat dan Kui Hwa segera
turun tangan. Kui Hwa melompat ke dekat kedua orang wanita itu untuk melindungi
mereka, adapun Tiong Kiat cepat menyerbu laki-laki bergolok itu. Akan tetapi,
alangkah herannya ketika sekali saja mengulur tangan, golok itu dengan mudah
telah dapat dirampasnya. Ternyata laki laki itu seorang dusun yang lemah dan
sama sekali tidak pantas menjadi orang jahat yang mengganggu dan mengancam
wanita! la menyangka bahwa mungkin orang ini berotak miring, maka bentaknya,
"Orang
gila darimana berlaku kurang ajar kepada orang perempuan?”
Akan tetapi
orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu, menjadi marah
dan menegur Tiong Kiat dengan mata merah,
"Orang
muda, kau perduli apakah dengan urusan rumah tangga orang lain? Mereka adalah
istri dan anakku, aku hendak membunuh mereka kemudian membunuh diri sendiri,
ada hubungan apakah dengan engkau?"
Tiong Kiat
tersenyum jenaka. "Kakek lucu, kau ingin mati mengapa mengajak orang lain?
Bila kau memaksa anak istri untuk ikut sertamu mati, sungguh pengecut!”
Kakek itu
makin marah. ”Mengapa kau bilang aku pengecut!”
“Itu karena
kau takut hidup, takut menghadapi kesukaran, maka kuanggap kau pengecut! Sudah
terang bahwa anak istrimu tidak sudi mati, akan tetapi kau hendak memaksa
mereka. Dengan perbuatan ini, kembali kau pengecut, jadi dua kali
pengecut!"
Mendengar
ucapan ini, tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu menjadi muram dan laki-laki
itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis! Kedua orang wanita yang
dikejar-kejar tadi lalu berlari menghampiri dan bertangis-tangisanlah ketiga
orang itu! Tentu saja Tiong Kiat dan Kui Hwa hanya bisa saling pandang dengan
heran dan geli hatinya.
"Eh,
ah, bagaimana pula ini?" Kui Hwa kini maju bertanya. "Seperti anak
keciI saja kalian ini. Tadi berkejar-kejaran sekarang bertangis-tangisan!
Kesusahan apakah yang mengganggu kalian? Beritahukan kepada kami, pasti kami
akan dapat membantu kalian."
Ketiga orang
itu mengangkat muka memandang kepada dua orang muda itu dan setelah kini
melihat dari dekat, diam-diam Tiong Kiat mengerling kagum ke arah gadis dusun
yang benar benar cantik sekali itu! Karena menangis sepasang pipi gadis itu
menjadi kemerah-merahan dan bibirnya demikian menarik dan indah sehingga
diam-diam Tiong Kiat menelan ludah!
"Kami
adalah orang orang yang tertimpa kemalangan hebat," kata kakek itu.
"Loan Li puteri kami yang hanya seorang ini telah terlihat oleh Hek-pa-cu
(Macan Tutul Hitam) dan telah dipinang! Kami tidak melihat jalan keluar, maka
kupikir lebih baik kami binasa daripada anak kami menjadi korban Hek-pa-cu!
"Hm,
siapakah Hek pa cu itu? Orang macam apakah dia?" tanya Tiong Kiat sambil
memandang gadis yang bernama Loan Li itu.
Kini kakek
itu yang memandang heran. "jiwi tentu datang dari tempat jauh maka belum
pernah mendengar nama Hek-pa-cu Tong Sun! Dia telah dikenal baik oleh seluruh
penduduk di sekitar daerah Heng-yang. Dialah pemimpin dari gerombolan Sorban
Merah yang terkenal!”
"Kalau
begitu mengapa pula kau menolak pinangannya? Bukankah ia seorang ternama
seperti katamu tadi? Terima saja pinangannya, habis perkara!" kata Kui
Hwa.
"Tidak...
tidak sudi... lebih baik mati!” gadis cantik berkata dan wajahnya berobah
pucat, sambiI menggoyang-goyangkan kedua tangan ia menyatakan tidak setuju.
"Nah,
itulah yang menggelisahkan hatiku. Anakku tidak mau menjadi bini muda Hek pa cu
dan penolakan ini berarti kematian yang mengerikan bagi kami bertiga. Dari pada
mati disiksa oleh kaki tangan Hek-pa-cu lebih baik aku sendiri yang menjadi
algojo atas nyawa kami bertiga."
"Hm,
orang macam apakah Hek-pa-cu ini sehingga ia demikian berkuasa?" kata
Tiong Kiat.
"Empek,
jangan kau takut, kebetulan sekali aku adalah seorang ahli menangkap se...
(Maaf! ada
sebagai yang hilang, sehingga cerita ini terpotong...!)
“Kami
keluarga Gu, namaku Gu Seng, bertempat tinggal di dusun ini. Banyak terima
kasih karena taihiap dan lihiap sudi menolong kami. Akan tetapi, Hek-pa-cu
adalah seorang yang kejam dan tangguh sekali, adapun kaki tangannya amat banyak
jumlahnya. Bagaimanakah jiwi dapat menghadapinya?"
"Tak
usah kuatir lopek " kata Kui Hwa, "biarpun seandainya terdapat
seratus orang Hek-pa-cu kami berdua sanggup untuk mencabuti kumis dan ekor
mereka!"
Dengan
girang tiga orang itu berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian mereka lalu
kembali ke rumah mereka dan menanti dengan hati berdebar-debar.
"Hwa
moi, agaknya Hek-pa-cu ini amat jahat dan berpengaruh. Lebih baik kita
mendatangi sarangnya dan membasminya sama sekali agar daerah ini terhindar dari
pada kejahatannya. Biarlah gadis itu dibawa ke sarang mereka dan diam-diam kita
mengikutinya, Setelah tiba di sarang mereka, barulah kita turun tangan,
menolong gadis itu dan sekalian menghancurkan sarang mereka. Bagaimana
pendapatmu?"
"Memang
sebaiknya demikian, koko. Akan tetapi, hal ini perlu kita beritahukan kepada
keluarga Gu, agar mereka tidak menjadi terkejut dan gelisah, dan mengerti akan
siasat kita."
Menjelang
malam, kedua orang muda ini mendatangi rumah keluarga Gu, dan memberi-tahukan
siasat mereka itu. Karena keluarga Gu tidak melihat jalan keluar dari pada
ancaman ini, maka tentu saja mereka menurut segala petunjuk dan kehendak
penolong mereka!
Dan pada
malam hari ini, datanglah serombongan orang laki-laki yang bertubuh tinggi
besar berpakaian seragam dengan sorban merah. Mereka ini adalah anak buah dari
Hek-pa-cu yang datang membawa sebuah tandu untuk mengambil Loan Li. Jumlah
mereka lima belas orang, semuanya nampak seram dan galak.
Penduduk
kampung itu yang sudah mendengar tentang kehendak Hek pa cu untuk mengambil
Loan Li, siang-siang sudah menutup pintu dan yang berani keluar hanyalah orang-orang
lelaki yang berdiri di depan rumah dengan sikap menghormat. Mereka memandang
kepada rombongan orang-orang itu dengan ketakutan, bagaikan melihat serombongan
macan tutul yang galak.
Dengan hati
tidak karuan rasa, Gu Seng dan istrinya menyambut kedatangan rombongan itu dan
dengan memaksa diri menarik muka manis dan ramah tamah, mereka lalu
menghidangkan minuman dan makanan. Akan tetapi pemimpin rombongan itu menolak
hidangannya sambil berkata,
“Orang she
Gu tak perlu menyambut kami. Yang penting segera suruh anakmu berhias dan masuk
ke dalam tandu, ikut dengan kami. Twako sudah tidak sabar lagi, dan besok siang
kau boleh datang ke hutan sebelah barat untuk menerima penghormatan dari twako
serta hadiah-hadiah!"
Dengan wajah
pucat dan kedua kaki gemetar, loan Li lalu berjalan keluar, dibimbing oleh
ibunya, lalu setengah memaksa ibunya menyuruh gadis itu memasuki tandu yang
sudah tersedia di depan rumah. Rombongan itu sambil tertawa-tawa melihat gadis
ini dan kemudian tandu lalu dipanggul dan dibawalah gadis itu keluar dari dusun
memasuki hutan sebelah barat!
Diam diam
dua bayangan orang mengikuti gerak gerik rombongan Sorban Merah ini. Mereka
bukan lain adalah Tiong Kiat dan Kui Hwa. Mereka mengikuti rombongan itu
memasuki hutan dan ternyata bahwa rombongan itu membawa Loan-Li ke sebuah rumah
besar yang terdapat di dalam hutan itu. Akan tetapi, ketika Kui Hwa dan Tiong
Kiat mengintai dari atas genteng, mereka melihat bahwa gadis itu dimasukkan ke
dalam kamar yang terjaga kuat, sedangkan di tempat itu tidak nampak bayangan
Hek-pa-cu!
Kemudian
mereka mendengar dari pembicaraan para penjaga itu bahwa Hek-pa-cu sebetulnya
tinggal di kota Heng-yang dan keesokan harinya baru akan datang menjemput calon
bini mudanya! Terpaksa sepasang orang muda ini melewatkan malam itu di dalam
hutan, akan tetapi karena mereka berdua dapat saling menghibur maka malam itu
dilewatkan dengan penuh kegembiraan. Pada saat seperti itu dalam bujuk dan
cumbu rayu Tiong Kiat yang tampan dan manis bahasa, lenyaplah segala keraguan
hati Kui Hwa dan cinta kasihnya terhadap Tiong Kiat makin mendalam.
Pada
keesokan harinya, baru saja matahari muncul dan burung-burung berkicau riuh
rendah menyambut datangnya siang, terdengarlah suara gemuruh dari luar hutan.
Suara ini ternyata adalah sorak-sorai yang penuh kegembiraan dari serombongan
anggota-anggota Sorban Merah terdiri dari empat puluh orang lebih. Mereka
mengiringkan seorang laki-laki tinggi besar yang berusia hampir empat puluh
tahun, berbaju biru, bercelana hitam dan sorbannya merah sekali.
Orang ini
berjalan dengan langkah yang gagah dan yang mendatangkan rasa seram pada orang
yang melihatnya, adalah sepasang matanya yang liar dan senjatanya yang luar
biasa. Senjatanya ini adalah sebuah penggada yang aneh dan mengerikan
bentuknya, bulat memanjang dengan ujung tiga meruncing. Penggada ini nampak
berat sekali, akan tetapi biarpun senjata besar ini tergantung pada
pinggangnya, ia berjalan dengan enak saja, seakan-akan senjata itu hanya
merupakan benda yang ringan saja. Inilah dia Teng Sun yang berjuluk Hek-pa-cu
Si Macan Tutul Hitam, kepala dari gerombolan Sorban Merah yang amat terkenal
dan ditakuti oleh orang!
Ketika
Hek.pa cu dengan rombongan telah tiba di dekat rumah besar itu, tiba tiba dari atas
pohon melayang turun dua orang muda yang dengan tenang berdiri di depan kepala
gerombolan ini. Teng Sun tercengang melihat seorang gadis cantik dan seorang
pemuda tampan berdiri di depannya maka ia membentak keras,
“Jiwi
siapakah dan ada keperluan apa kiranya menghadang perjalanan kami?"
“Kaukah yang
bernama Hek pa cu Teng Sun?" tanya Tiong Kiat.
"Benar
dugaanmu saudara muda yang gagah. Siapakah kalian ini dan keperluan apakah yang
membawamu datang ke tempat ini?”
“Hek-pa-cu!
Tak usah kau tahu siapa kami, akan tetapi kedatangan kami ini untuk menamatkan
riwayatmu yang buruk ! Kau telah memaksa gadis she Gu untuk menjadi bini
mudamu! Apakah ini laku seorang jantan? Kau mempergunakan pengaruhmu untuk
menakut-nakuti penduduk dusun, untuk mengganggu anak bini orang. Sungguh tidak
patut!"
Tiba-tiba
Hek-pa-cu Tang Sun terbahak-bahak tertawa mendengar makian-makian ini. la
anggap sangat lucu seorang pemuda yang tampak lemah bersama dengan seorang
gadis cantik ini berani memaki dan menentangnya! Bahkan orang orang kang-ouw
yang ternama saja masih akan berpikir-pikir dulu untuk menantangnya bagaimana
dua orang muda yang masih seperti kanak-kanak ini berani berlaku kurang ajar
kepadanya?
"Ha ha
ha! bocah yang masih hijau! Kau perduli apakah dengan segala urusan dan
kesenanganku? Kalau kau mau mengambil gadis she Gu itu, ambillah. Aku rela
melepaskannya asal saja kau tinggalkan kawanmu itu sebagai gantinya!"
Bukan main
marahnya Tiong Kiat mendengar ini, akan tetapi ia kalah dulu oleh Kui Hwa yang
juga menjadi luar biasa marahnya.
"Jahanam
besar, kau sudah bosan hidup!” teriak Kui Hwa dan tahu-tahu ia telah menyerang
Hek-pa-cu dengan pedangnya!
Gerakannya
amat cepat bagaikan kilat menyambar sehingga kepala perampok itu terkejut
sekali. Ia cepat mengelak, akan tetapi ujung sorbannya masih terbabat! Tak
disangkanya bahwa gadis cantik ini mempunyai kepandaian demikian hebatnya, maka
tahulah dia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Cepat ia menarik senjatanya
yang hebat itu dan bertempurlah mereka dengan seru.
Sementara
itu, Tong Kiat juga sudah mencabut pedang Ang-coa-kiam dan sekali ia memutar
pedangnya, dua orang anggota Sorban Merah roboh mandi darah! Anak buah
gerombolan Sorban Merah itu berteriak teriak marah dan semua mencabut golok
mereka, akan tetapi kembali beberapa orang roboh oleh Tiong Kiat ketika pemuda
ini menerjang ke depan! Dalam waktu yang amat singkat saja sudah ada delapan orang
yang binasa di ujung pedang Ang-coa-kiam! Penjahat-penjahat itu menjadi gentar
juga dan merasa ragu-ragu untuk mengeroyok Tiong Kiat.
"Moi
moi, kau uruslah anjing-anjing ini, biar aku menolong nona Gu!”
Tiong Kiat
berseru dan tanpa menanti jawaban kekasihnya, ia lalu berlari ke arah rumah
besar di mana Loan Li ditahan. Di situ ia disambut oleh beberapa orang penjaga,
akan tetapi mereka bukanlah lawan Tiong Kiat yang lihai, maka
bertumpuk-tumpuklah mayat anak buah Sorban Merah, ketika pemuda ini mengamuk
sambil menyerbu ke dalam rumah.
Sementara
itu, pertempuran yang terjadi antara Kui Hwa dan Teng Sun berjalan amat
serunya, Hek-pa-cu Teng Sun ternyata memang pandai dan kosen. Senjatanya yang
besar dan berat itu diputar sedemikian rupa, mendatangkan angin besar dan
celakalah Kui Hwa kalau satu kali saja senjata itu mengenai tubuhnya!
Senjata ini
beratnya sedikitnya ada dua ratus kati dan dimainkan dengan tenaga yang luar
biasa kuatnya. Akan tetapi Kui Hwa mempergunakan ginkangnya yang luar biasa
sehingga tubuhnya seakan-akan merupakan seekor burung yang menyambar-nyambar
dari segala jurusan. Pedangnya berkelebat-kelebat merupakan segulung sinar
putih dan tubuhnya kadang kadang mumbul ke atas, melayang dan menyambar dari
atas dengan kecepatan luar biasa!
Setelah
bertempur lima puluh jurus lebih, Teng Sun merasa terdesak hebat. Pedang di
tangan dara manis itu benar-benar amat lihai. Gerakan pedang yang cepat,
ditambah pula oleh ginkang yang luar biasa membuat gadis itu kadang-kadang
lenyap dari depan matanya. Kalau saja Teng Sun tidak bersenjata penggada yang
besar dan berat yang diputar-putar sedemikian rupa sehingga Kui Hwa harus
berlaku hati-hati, tentu kepala gerombolan inii sudah roboh sejak tadi!
"Kawan-kawan,
bantulah menangkap gadis liar ini!” Teng Sun berseru keras kepada kawannya
karena la benar-benar telah kewalahan sekali.
Beberapa
orang tauwbak (pemimpin gerombolan pembantu-pembantunya) yang semenjak tadi
berdiri bengong menonton pertempuran itu, bergerak maju hendak mengeroyok.
Mereka adalah empat orang yang bertubuh tinggi besar yang dipilih oleh
Hek-pa-cu Teng Sun sebagai pembantu-pembantunya. Akan tetapi belum juga mereka
dapat menggerakkan golok, tiba - tiba Kui Hwa berseru nyaring dan keras.
Tubuhnya
melompat ke atas sampai hampir dua tombak, dan dengan gerakan Merak Sakti
Mematuk Ular, pedangnya meluncur dari atas ke bawah, melakukan serangan yang
luar biasa cepat dan kuatnya! Gerakan ini benar benar mengandalkan ginkang yang
sempurna, sehingga tidak terduga sama sekali oleh Hek-pa-cu Teng Sun. Percuma
saja ia mengangkat penggadanya untuk menghantam tubuh yang melayang ke atas
itu, karena baru saja ia mengangkat penggadanya, pedang di tangan Kui Hwa telah
menyambar dan menancap ditenggorokannya!
Hek-pa-cu
Teng San mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, tubuhnya
terhuyung-huyung, penggadanya terlepas dari pegangan dan ia lalu roboh tak
bernapas lagi!
Dengan wajah
keren, Kui Hwa menghadapi empat orang tauwbak dan para anak buah gerombolan
dengan pedang di tangan. "Siapa telah bosan hidup? Hayo majulah! Biarlah
hari ini pedangku membasmi gerombolan Sorban Merah sampai ke akar
akarnya!"
Sikapnya
demikian gagah dan garang sehingga empat orang tauwbak itu saling pandang dan
kemudian mereka berempat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Hwa! Kawan
kawannya yang puluhan banyaknya ketika melihat empat orang pemimpin itu
berlutut, segera menjatuhkan diri pula berlutut sambil meletakkan senjata di
atas tanah. Inilah tanda menyerah dan takluk terhadap gadis yang gagah perkasa
itu.
"Lihiap
yang gagah perkasa. Sepak terjangmu demikian gagah dan amat mengagumkan hati
kami seluruh anggota Sorban Merah. Lihiap jauh lebih gagah dari pada Hek-pa-cu
Teng Sun, maka kami seluruh anggota Sorban Merah menyerah dan mohon ampun dari
lihiap. Sudilah kiranya lihiap memimpin kami orang orang bodoh menggantikan
kedudukan Hek-pa cu!"
Untuk
sesaat, gadis itu berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa
orang-orang yang tinggi besar dan galak itu kini semua berlutut memberi hormat
kepadanya, bahkan memilihnya sebagai kepala mereka! Ia tak dapat menjawab, dan
akhirnya ia berkata perlahan,
"Aku
Can Kui Hwa bukanlah keturunan perampok bagaimana kalian mau mengangkat aku
menjadi kepala perampok?"
"Lihiap,
harap jangan salah sangka," berkata seorang diantara empat orang tauwbak
itu, "Sesungguhnya rombongan Sorban Merah bukanlah gerombolan perampok.
Perkumpulan kami dulunya merupakan perkumpulan orang-orang gagah yang bekerja
dengan cara jujur, menjaga keamanan kampung-kampung dari serbuan perampok,
mengawal pengiriman barang barang atau orang-orang hartawan yang melakukan
perjalanan jauh, dan di samping pekerjaan itu, kami memperdalam kepandaian
silat. Semenjak Hek-pa-cu datang dan merampas kedudukan ketua, kami
diselewengkan dan terpaksa mengikuti jejaknya. Kami kini telah bertobat, dan
asal saja lihiap sudi memimpin kami, perkumpulan Sorban Merah akan menjadi
perkumpulan yang baik lagi."
Akan tetapi
pada saat itu, Kui Hwa teringat kepada Tiong Kiat, maka ia segera bertanya,
"Di manakah adanya kawanku tadi? Dan bagaimanakah dengan nasib nona Gu
Loan Li?"
"Kawanmu
itupun hebat dan ganas sekali lihiap. Banyak kawan kami telah mati di dalam
tangannya. Nona Gu yang ditahan di dalam kamar, telah dirampas dan dibawa lari
oleh kawanmu itu."
"Kalau
begitu biarlah urusan pengangkatan ketua ini nanti saja dibicarakan lagi
setelah aku dapat bertemu dengan kawanku. Dia adalah suhengku dan kalau kalian
hendak mencari seorang pemimpin, dialah orangnya, bukan aku!"
Setelah
berkata demikian, sekali ia menggerakkan kedua kakinya, Kui Hwa telah lenyap
dari situ, membuat para anggota Sorban Merah menjadi makin kagum saja. Dengan
cepat Kui Hwa berlari kembali ke dusun tempat tinggal Loan Li. Akan tetapi,
ketika ia tiba di rumah keluarga Gu Seng, ternyata bahwa keluarga itu masih
menanti-nanti dan Tiong Kiat bersama nona Gu belum juga tiba di rumah itu!
Kui Hwa
menjadi heran dan juga bercuriga. Tanpa berkata sesuatu kepada keluarga yang
memandang penuh kegelisahaan itu, ia melompat pergi dan kembali ke dalam hutan.
Ia mencari-cari sampai hari menjadi gelap, akan tetapi ia tak melihat bayangan
suhengnya dan nona Gu yang ditolongnya itu. Akhirnya ia kembali lagi ke dusun
dan menuju ke rumah keluarga Gu. Lalu apakah yang didengarnya? Keluh kesah dan
tangis yang memilukan!
Kui Hwa
merasa tak enak hati sekali dan cepat ia masuk ke dalam rumah itu lalu menuju
ke ruang belakang. la melihat Gu Seng duduk sambiI menangis dan ketika melihat
Kui Hwa datang, kakek itu berkata,
"Tidak
ada gunanya pertolonganmu nona. akhirnya anakku tertimpa bencana juga!"
Kui Hwa terkejut sekali. Ia memegang lengan kakek itu dengan keras sehingga Gu
Seng memandangnya dengan kaget dan kesakitan.
"Hayo
lekas ceritakan apa yang terjadi dan di mana adanya suhengku!"
Kakek itu
memandang heran. "Nona, benar-benarkah kau tidak tahu? Suhengmu telah
mengantarkan Loan Li pulang dengan selamat, akan tetapi begitu masuk ke
kamarnya Loan Li telah menggantung diri sampai mati! Ternyata... kau dan
suhengmu... datang terlambat... dan dia... anakku itu telah menjadi korban
keganasan Hek-pa-cu...!" Kakek itu mendekap mukanya dan menangis lagi.
Kui Hwa
menjadi pucat air mukanya, dan setelah termenung sebentar, mengerahkan otak
untuk berpikir, ia lalu memegang lagi tangan kakek itu dan berkata,
"Apakah
yang terjadi ? Mengapakah Loan Li menggantung diri!"
"Inilah
suratnya, lihiap. Kau bacalah sendiri...” Kakek itu memperlihatkan sehelai
kertas yang ditinggalkan oleh Loan Li yang bernasib malang. Surat itu ternyata
ditulis dengan tangan gemetar, merupakan empat baris pantun sederhana yang
berbunyi demikian:
Mengusir
harimau dengan pertolongan srigala Apa bedanya? Hanya satu Jalan membebaskan
diri dari noda. Tinggalkan raga!
"Aku
juga tidak tahu apakah artinya tulisan ini lihiap. Akan tetapi ia menyebut
tentang membebaskan diri dari noda, maka mudah sekali diduga bahwa ia tentu
telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu!" kata Gu Seng dengan suara
sedih.
Akan tetapi
wajah Kui Hwa makin pucat. Jari-jari tangan yang memegang surat itu menggigil
sehingga surat itu terlepas dan melayang turun. "Di mana suhengku!”
tanyanya dengan suara berat dan bibir gemetar.
Gu Seng yang
baru berduka tidak melihat perobahan ini dan ia berkata, "Taihiap tentu
sedang beristirahat di ruang depan. Maafkanlah kami yang tidak dapat menghormat
dan menjamu kalian yang telah menolong kami."
Akan tetapi
Kui Hwa telah pergi, tanpa menanti habisnya ucapan itu. Dan ketika ia berdiri
di depan Tiong Kiat yang duduk menghadapi arak di ruang depan, Kui Hwa
merupakan seekor singa betina yang marah sekali!
"Moi-moi,
kau baru datang? Bagaimana dengan Hek-pa-cu? Sudah kau kirim ke neraka?” Ia
bertanya sambil tersenyum manis.
Akan tetapi
Kui Hwa memandang bagaikan hendak menelan suhengnya itu. Matanya memancarkan
sinar berapi dan ia berkata tegas dan singkat,
"Ji-suheng,
mari kita keluar. Tidak perlu kita ribut-ribut di rumah orang!"
Setelah
berkata demikian, Kui Hwa melompat keluar dan menanti suhengnya di tempat sunyi
dalam dusun itu. Tak lama kemudian, tampak bayangan Tiong Kiat berkelebat dan
pemuda ini berdiri di hadapannya dengan tenang sungguhpun senyumnya yang tadi
telah lenyap.
"Ada
apakah, sumoi? Sikapmu aneh sekali."
Sebagai jawaban
Kui Hwa menghunus pedangnya. "Ji-suheng, ingatkah kau bahwa aku telah
mengorbankan segalanya karena setiaku kepadamu? Aku telah mengorbankan guru,
ayah, keluargaku, kehormatan dan namaku jiwa ragaku, semua kukorbankan demi
cintaku kepadamu. Kau, tentu tahu, bukan?"
"Tentu
saja, moi-moi, kita memang sudah saling mencinta dan..."
"Jangan
sebut-sebut tentang cintamu!" Kui Hwa memotong marah. “Kau tentu masih
ingat akan sumpahmu untuk bersetia? Dan sekarang apakah yang telah kaulakukan
kepada gadis she Gu itu?”
Di dalam
kegelapan senja Tiong Kiat mencoba untuk bersenyum. "Apa maksudmu, sumoi?
Gadis she Gu itu sudah kutolong dan kukembalikan kepada orang tuanya."
“Bohong!
Pengecut yang berani berbuat tak berani mengaku! Telah lama semenjak siang hari
kau membawa Loan Li kembali kerumahnya akan tetapi sampai senja baru kau datang
bersama dia! Sebelum kau membawanya pulang, kemana kau bawa dia dan apa yang
telah kau perbuat! Mengapa Loan Li datang-datang lalu membunuh diri? Apa
kaukira aku begitu bodoh, ji suheng? Kau telah menyalahi janji, melanggar
sumpah. Kau seorang laki-laki mata keranjang, berhati cabul, menjadi hamba
nafsu jahat! Kau laki-laki tak beriman, perusak kehidupan orang lain, kaulah
yang membunuh Loan Li!"
Tiong Kiat
terdesak sekali oleh tuduhan-tuduhan ini, dan tiba-tiba dengan suara gagah ia
berkata, "Sumoi kau terlalu sekali! Apakah dengan adanya hubungan antara
kita, aku harus mengikatkan kakiku kepadamu? Apakah aku tidak boleh hidup
dengan bebas lagi? Harus selalu menurut dan menjadi budakmu? Memang kuakui
bahwa aku telah mengadakan perhubungan dengan Loan Li! Akan tetapi, dia juga
mencintaiku! Sumoi, ketahuilah, seorang laki-laki tak dapat mengikat hatinya
kepada seorang perempuan saja! Ini memang sudah menjadi sifat jantan, lihatlah
buktinya. Lihatlah sifat jantan pada seekor ayam, pada binatang-binatang lain
yang jantan! Lihat pula kepada raja dan para bangsawan. Cukupkah dengan seorang
saja perempuan disampingnya? Ha ha ha! moi-moi yang manis jangan kau cemburu,
aku akan tetap mencintamu, moi-moi!”
"Bangsat
besar!" Kui Hwa menjadi marah sekali. "Aku sudah bersumpah akan
membunuh perempuan yang main gila dengan kau dan karena perempuan she Gu itu
sudah mati sekarang kaulah gantinya!" Setelah berkata demikian, Kui Hwa
menyerang Tiong Kiat dengan hebatnya!
Tiong Kiat
terkejut sekali, akan tetapi juga menjadi penasaran dan marah. Ia mencabut
pedangnya dan berkata, "Sumoi, kau ikut aku meninggalkan perguruan bukan
karena kupaksa! Sekarang kau hendak memisahkan diri dari aku, bukan pula atas
paksaanku. Kau memang berkepala batu! Tidak tahu dicinta orang!"
Sambil
berkata demikian, ia mainkan pedangnya dengan gerakan yang paling lihai.
Memang, kepandaian Kui hwa masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan ilmu
silat Tiong Kiat. Apalagi pedang di tangan Tiong Kiat adalah pedang pusaka
Ang-coa-kiam yang amat tajam dan kuat. Baru beberapa jurus saja terdengar suara
keras dan pedang di tangan Kui Hwa terlempar kesamping. Tiong Kiat masih
berlaku murah dan sengaja tidak mau mematahkan pedang bekas kekasihnya itu.
Biarpun
telah kehilangan pedangnya, dengan nekad Kui Hwa masih maju menubruk, Tekadnya
hendak membunuh atau dibunuh! Namun Tiong Kiat telah melompat pergi sambil
mentertawakannya. Kui Hwa mengejar, akan tetapi pemuda itu telah menghilang di
dalam gelap! Kui Hwa menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis. Sampai
setengah malam ia menangis sedih, terisak-isak mendekam di atas tanah itu.
Ia merasa
menyesal sekali, menyesal, kecewa dan juga bersedih. Betapapun juga ia amat
mencinta pemuda itu yang kini sudah meninggalkannya. Pada keesokan harinya, Kui
Hwa yang saking hampir putus asa dan tidak tahu harus pergi ke mana, ia
teringat akan permintaan anggota Sorban Merah agar ia suka memimpin mereka.
Timbul harapan baru padanya dan ia lalu menjumpai para tauwbak dan anak buah
Sorban Merah yang menerimanya dengan gembira sekali. Semenjak hari itu, Kui Hwa
diangkat menjadi kepala dari gerombolan Sorban Merah!
***************
Adapun Tiong
Kiat yang kini telah dapat memisahkan diri dari Kui Hwa, melanjutkan
perantauannya seorang diri. Pada hari-hari pertama ia memang kesepian dan
merasa amat rindu kepada Kui Hwa. Beberapa kali ia ingin kembali kepada
sumoinya itu, ingin minta maaf dan berbaik kembali, akan tetapi keangkuhan
hatinya menahannya melakukan hal yang dipandangnya lemah ini.
Akan tetapi,
lambat laun dapat juga ia menghilangkan rindunya. Apalagi setelah ia melihat
wanita-wanita lain dan dapat menghibur hatinya dengan mereka ini. Tiong Kiat
adalah seorang pemuda yang sebetulnya tidak mempunyai hati buruk. Ia cukup
berwatak gagah dan budiman. akan tetapi sayang sekali, ia gila perempuan! Dan
kegilaannya dalam hal ini kadang-kadang merangsangnya sedemikian kuatnya
sehingga hati nurani dan kebijaksanaannya tertutup!
Di dalam
perantauannya, tiap kali bertemu dengan kejadian yang tidak adil, dengan
kekejaman-kekejaman dan penindasan, selalu ia turun tangan membela fihak yang
tertindas. Dengan kejam sekali ia membasmi orang-orang jahat tanpa mengenal
ampun lagi karena sesungguhnya ia amat benci akan kejahatan. Pernah ia membasmi
sampai habis rombongan perampok yang dua puluh orang jumlahnya. Semua ia bunuh
dan tak seorangpun anggauta perampok terlepas dari pada Ang-coa-kiam di
tangannya!
Banyak
hartawan yang kikir dan yang suka mengandalkan pengaruh uangnya untuk berlaku
sewenang-wenang ia bakar rumahnya, dan merampas harta bendanya untuk dibagi-bagikan
kepada rakyat miskin! Banyak pula bangsawan dan pembesar yang korup dan tidak
bijaksana, ia datangi dan ia ancam sambil mencukur rambutnya atau bahkan
memotong sebuah telinganya!
Akan tetapi,
di samping semua kebaikan ini, banyak pula ia melakukan pelanggaran kesusilaan.
Di mana saja ia berada, la selalu mengadakan perhubungan dengan wanita-wanita,
baik perempuan golongan pelacur maupun wanita baik-baik, dan tidak perduIi
apakah hubungan itu berjalan atas dasar sama suka ataupun dengan paksaan!
Banyak pula wanita yang jatuh hati kepadanya, karena memang Tiong Kiat memiliki
wajah yang tampan dan gagah. Pendeknya, ia menuntut penghidupan sebagai seorang
hiapkek (pendekar) yang gagah dan cabul!
Sungguh amat
sayang betapa seorang pemuda gagah perkasa yang memiliki dasar amat baik
seperti Tiong Kiat, dapat terjerumus sampai demikian dalam. Perbuatan-perbuatan
baik yang dilakukannya telah dinodainya sendiri.
Kebajikan
dan kejahatan tak dapat berjalan sama. Kebaikan akan lenyap sifatnya apabila
dilakukan di samping kejahatan, seperti sebuah lukisan indah yang terkena noda
kotor. Sebaliknya, kejahatan takkan lenyap sifatnya biarpun disampingnya orang
melakukan pula kebaikan, seperti sebuah lukisan yang buruk takkan menjadi baik
biarpun akan diberi pigura yang betapa indahpun.
Demikianlah,
pada suatu hari dengan kebetulan sekali ia bertemu dengan Suma Eng, atau Eng
Eng, gadis gagah perkasa yang roboh pingsan terkena pukulan Pek-lek-jiu dari
Ban Yang Tojin yang telah dikalahkannya. Melihat keadaan gadis itu, timbullah
rasa kasihan dalam hati Tiong Kiat dan segera ia memondong tubuh Eng Eng dan
dibawanya ke tempat tinggalnya di dalam hutan itu.
Memang telah
beberapa pekan ia tinggal di hutan ini. Dengan sungguh-sungguh ia lalu
mengohati gadis yang ternyata menderita luka berat didalam dadanya itu. Tiong
Kiat memang pernah mempelajari sedikit ilmu pengobatan, yakni pengobatan yang
khusus untuk mengohati luka-luka di sebelah dalam, ilmu pengetahuan yang amat
penting bagi orang perantau dan ahli silat. la dapat menolong nyawa Eng Eng
akan tetapi sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda yang mata
keranjang ini mana dapat tahan menghadapi kecantikan Eng Eng yang memang luar
biasa sekali?
Melihat
wajah yang cantik Jelita dan manis, melihat tubuh yang menggiurkan, tidak
kuatlah ia menahan nafsu jahatnya. Melihat luka di dada gadis itu, Tiong Kiat
dapat menduga bahwa gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali karena kalau
tidak memiliki Iweekang yang tinggi, pasti orang akan mati terkena pukulan
sehebat itu!
Sampai
setengah malam pemuda ini termenung. Perang hebat terjadi di dalam hatinya,
perang antara nafsu jahat dan hati nuraninya. Nafsu jahat mendorongnya agar ia
melakukan perbuatan jahat terhadap gadis cantik yang ditolongnya ini, sedangkan
hati nuraninya berbisik agar ia tidak mengganggu gadis ini. Akhirnya hati
nuraninya kalah dan Eng Eng telah menjadi korban kelemahan hati pemuda itu!
Pada
keesokan harinya, Tiong Kiat amat menyesal atas perbuatannya. Ia maklum bahwa
gadis ini bukanlah gadis sembarangan, dan baru sekarang ia merasa takut akan
perbuatannya sendiri. Ia melarikan diri, meninggalkan Eng Eng yang masih
pingsan di dalam kuil itu. Baru kali ini Tiong Kiat melarikan diri karena ketakutan.
Ia tidak tahu akan kepandaian Eng Eng, tidak tahu apakah gadis itu memiliki
ilmu silat yang luar biasa.
Akan tetapi
entah bagaimana, ia merasa takut dan menyesal sekali. Mungkin karena ia merasa
amat kasihan kepada Eng Eng, merasa betapa hatinya amat tertarik kepada gadis
yang tidak berdaya dan pingsan itu! Biasanya, ia mengenangkan wanita-wanita
yang menjadi korbannya dengan hati senang dan gembira. Akan tetapi, kali ia
mengenangkan wajah Eng Eng dengan menyesal dan amat malu!
Sementara
itu marilah kita ikuti perjalanan Eng Eng. Ketika pagi-pagi itu ia sadar dari
pingsannya, ia mendapatkan dirinya berada di kuil bobrok seorang diri.
Hancurlah rasa hati dan pikirannya, dan ia menangis tersedu-sedu. Ingin ia
mencabut pedang dan membunuh diri akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan isaknya
dan pandangan matanya menjadi liar. kalau ada orang yang melihat pandangan
matanya ini, tentu orang itu akan menjadi terkejut sekali. Nafsu membunuh
terbayang pada matanya.
"Aku
akan bunuh dia... aku akan bunuh dia..." ucapan ini terulang beberapa kali
oleh bibirnya yang gemetar. Wajahnya pucat sekali dan ia merasa tubuhnya lemah.
Ketika meraba dadanya, ia menyentuh ampas daun-daun obat yang ditempelkan pada
lukanya.
Dengan gemas
ia merenggut obat itu dan membantingnya di atas tanah. Sesungguhnya, iapun
maklum bahwa orang telah menoIongnya dan kini lukanya di dalam dada sudah
sembuh, hanya tinggal bekasnya saja. Akan tetapi oleh karena ia marah, jengkel,
gemas dan berduka, dadanya terasa amat sesak lagi. Kini rasanya jauh lebih
sakit dari pada ketika ia terpukul oleh Ban Yang Tojin. Yang terasa perih bukan
kulit dan daging dada, melainkan dalam sekali, jauh di dalam dada dan
kepalanya!
Dengan air
mata bercucuran, Eng Eng jalan terhuyung-huyung keluar dari dalam kuil bobrok.
ia mengerahkan tenaga kakinya dan berlari untuk menyusul atau mencari orang
yang telah menolongnya akan tetapi juga yang telah menghancurkan hidupnya.
Nafsu membunuh menyesakkan nafasnya dan kepalanya menjadi panas dan pening
sekali. Setelah ia berlari cepat beberapa lamanya, rasa panas dari kepalanya
itu menjalar turun dan membuat seluruh tubuhnya terasa panas membara, seakan
api di dalam tubuhnya bernyala-nyala!
Akhirnya
dara yang sengsara itu tidak kuat menahan lagi. Kepalanya berdenyut-denyut,
pandangan matanya berkunang, segala sesuatu dihadapannya serasa terputar-putar,
bumi yang diinjaknya bergoyang-goyang bagaikan air laut terayun-ayun. la
mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan tetapi sia-sia. Tubuhnya terguling
dan tanpa mengeluarkan sedikitpun suara Eng Eng jatuh pingsan lagi!
Kali ini
bukan roboh pingsan karena Iuka pukulan, melainkan oleh pukulan yang datang
dari hatinnya sendiri sehingga luka akibat pukuIan Ban Yang Tojin telah merekah
kembali. Sampai berapa lama ia pingsan, Eng Eng tak dapat ingat lagi. Ketika ia
siuman dan membuka matanya perlahan, ia merasa betapa kepala dan mukanya
menjadi basah. Ternyata hujan turun di dalam hutan itu dan biarpun hari masih
siang, namun hutan nampak gelap oleh mendung.
Sukarlah
baginya untuk membuka mata karena air hujan menyerang kedua matanya dari atas.
Ia melindungi matanya dengan tangan dan memandang ke atas. Alangkah herannya ia
ketika melihat seorang Iaki-Iaki tengah berlutut di dekatnya dan ternyata bahwa
tubuhnya telah ditutupi selimut. Ketika Eng Eng memperhatikan, penutup tubuhnya
itu bukan selimut melainkan sehelai mantel warna biru. Orang itu sendiri kini
telah menjadi basah kuyup karena air hujan!
Untuk sesaat
Eng Eng tidak mengenal orang ini, karena air hujan manghalangi pandangan
matanya. Akan tetapi ketika ia memandang dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia
melompat bangun.
"Kau...!
Manusia jahanam, bagus kau datang mengantarkan nyawa!" Setelah berkata
demikian, Eng Eng lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat!
Laki-laki
itu adalah seorang pemuda yang tampan sekali dan pakaiannya berwarna biru.
Tidak salah lagi pikir Eng Eng. inilah laki-laki yang telah mendatangkan
malapetaka atas dirinya! Biarpun ia merasa heran mengapa laki-laki ini berani
muncul lagi, namun ia tidak banyak pikir dan cepat menyerang sambil mengerahkan
seluruh kepandaiannya.
Hujan yang
turun telah membuat tubuhnya terasa segar dan karena yang membuat ia menderita
adalah hati dan pikirannya, maka ketika pingsan tadi, keadaannya sudah menjadi
banyak baik. Apa lagi ketika ia masih siuman, pemuda yang tadi berlutut di
dekatnya telah menotok dan mengurut pundaknya berkali-kali kemudian pemuda itu
untuk beberapa lama telah memegang tangannya dan menyalurkan hawa di dalam
tubuh untuk membantu gadis itu pulih kembali jalan darahnya.
Pemuda itu
sesungguhnya mirip sekali dengan Tiong Kiat, karena dia adaIah Tiong Han!
Ketika tadi melihat seorang dara jelita rebah pingsan di dalam hutan, ia
menjadi terkejut dan merasa kasihan sekali. Sekali memandang saja maklumlah
Tiong Han bahwa gadis itu menderita luka, maka ia cepat maju untuk memberi
pertolongan.
Ketika hujan
turun dengan lebatnya, pemuda ini tidak pergi dari situ hanya mengangkat tubuh
Eng Eng ke bawah pohon besar dan mempergunakan mantelnya untuk menyelimuti
tubuh orang dan berusaha mengohati gadis itu yang ternyata berhasil baik
sekali. Tidak disangkanya sama sekali setelah siuman gadis itu menyerangnya
dengan demikian ganasnya!
Tiong Han
telah berbulan-bulan mencari jejak Tiong Kiat untuk minta kembali pedang
Ang-coa-kiam sesuai dengan perintah suhunya. Di sepanjang jalan, ia tidak
pernah Iupa untuk mempelajari ilmu pedang dari kitab Ang-coa-kiam-coan-si.
Dengan bantuan kitab ini, maka ilmu pedangnya banyak mendapat kemajuan.
Ia mendengar
keterangan orang-orang yang di jumpai di jalan, bahwa ada seorang pemuda yang
serupa benar dengannya memasuki hutan itu, maka cepat-cepat Tiong Han mengejar
ke dalam hutan. Tidak disangkanya bahwa ia tidak bertemu dengan adiknya,
sebaliknya melihat seorang gadis cantik yang rebah terluka hebat di dalam
hutan.
Melihat
serangan Eng Eng, Tiong Han terkejut bukan main. Serangan itu menunjukkan bahwa
gadis ini memiliki ilmu pedang yang amat luar biasa. Cepat Tiong Han mengelak,
akan tetapi sinar pedang gadis itu mengejarnya bagaikan kilat cepatnya sehingga
ia cepat melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari bencana. Namun
pedang itu terus mengejarnya dan menyerang dengan serangan berbahaya yang
bertubi tubi datangnya!
"Eh,
eh, tahan dulu nona! Mengapa kau menyerangku tanpa sebab? Apakah salahku
terhadapmu?" tanya Tiong Han sambil melompat ke belakang dengan gerak tipu
Le-hi-ta-teng (Ikan Lele Melompat Tinggi) Dengan cara mengelak ini ia dapat
menjauhkan diri dan untuk sementara dapat bernafas karena terlepas dari
serangan yang bertubi-tubi itu.
"Keparat
jahanam!” Dengan nafas terengah-engah saking marahnya, Eng Eng menudingkan
pedangnya. "Kau masih bertanya-tanya lagi? Anjing bermuka manusia kalau
aku tidak membunuhmu sekarang juga, aku tidak bernama Suma Eng lagi! Akan
kuhancurkan tubuhmu menjadi makanan srigala!" Kembali ia menubruk maju dan
menyerang dengan cepat kembali.
Tiong Han
terpaksa mencabut pedangnya dan menangkis. Ia maklum bahwa kalau ia menghadapi
gadis ini dengan tangan kosong saja, ia pasti akan roboh dan benar-benar akan
dicincang sampai hancur oleh gadis berotak miring ini. Akan tetapi ia merasa
kasihan sekali. Mungkin gadis ini tiba-tiba menjadi gila karena telah menderita
luka hebat, pikirnya.
"Nona,
aku tidak kenal padamu. Baru sekarang kita bertemu muka, kau telah salah lihat,
nona!"
"Bangsat
rendah! Pengecut besar! Kau lebih pengecut daripada anjing! Anjing yang
menggigit masih melingkarkan ekornya (karena takut) akan tetapi kau
berpura-pula baru sekarang bertemu denganku. Bagus, akan kuantar kau ke neraka,
hendak kulihat apakah di sana kau masih akan dapat menyangkal pula!"
Kembali ia
menyerang, dan Tiong Han yang merasa makin terkejut melihat gerakan pedang yang
luar biasa anehnya itu, dengan cepat menangkis dan melindungi dirinya. Ia makin
terheran-heran karena gerakan pedang gadis ini pada dasarnya hampir bersamaan
dengan Ang coa.kiamsut yang dipelajarinya akan tetapi yang aneh sekali adalah
perkembangannya, karena ilmu pedang gadis itu benar benar ilmu pedang yang
aneh. Sama sekali terbalik daripada ilmu pedang yang pernah dipelajarinya!
"Nona,
nona... kau tenang dan sabarlah! Aku bersumpah, selama hidupku, aku Sim Tiong
Han belum pernah bertemu dengan kau belum pernah aku mendengar nama Suma Eng!
Bagaimanakah kau bisa menuduhku yang bukan-bukan? Kesalahan apakah yang telah
kuperbuat terhadapmu?”
"Bagus!
Namamu yang hina dina akan teringat selalu olehku sehingga kalau kali ini aku
tidak berhasil, lain kali aku masih ada kesempatan untuk mencari dan
membunuhmu! Kau tak perlu bersumpah, sumpah laki-laki hina dina macam engkau
tiada harganya! Mampuslah!" Eng Eng menyerang lagi, kali ini dengan gerak
tipu yang paling berbahaya!
Hujan masih
turun dengan lebatnya dan pertempuran berjalan makin seru. Tiong Han yang hanya
menangkis dan mengelak saja, terdesak hebat. Selain ilmu pedang nona ini benar
benar aneh dan berbahaya, juga pedang di tangan Eng Eng yang mengeluarkan sinar
merah amat Iihai! Beberapa kali pedang Tiong Han bertemu dengan pedang Eng Eng
dan ketika pemuda itu memperhatikan, ia terkejut sekali karena pedangnya telah
gompal di beberapa bagian!
"Nona,
sabarlah, kau masih terluka! Berbahaya bagimu kalau terus mengerahkan tenaga
lweekang!" Ia masih berseru memperingatkan biarpun ia berada dalam bahaya.
Betapa pun juga Tiong Han merasa amat kasihan kepada gadis ini yang masih
disangkanya gila.
Akan tetapi
jawaban dari Eng Eng adalah serangan yang mengganas. Tiong Han menangkis akan
tetapi pedangnya terbabat putus menjadi dua dan pedang di tangan Eng Eng
menyambar cepat ke arah lehernya dibarengi seruan girang dari gadis itu! Tiong
Han menjatuhkan diri, pundaknya terserempet pedang sehingga terluka. Akan
tetapi ia lolos dari bahaya maut karena begitu ia menjatuhkan diri ia lalu
menggelundung dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng! Setelah dapat
menjatuhkan diri, ia cepat melompat dan lari secepat mungkin!
"Jahanam
hina dina, jangan lari!" Eng Eng berseru mengejar, akan tetapi ia mengeluh
kesakitan dan terpaksa duduk di bawah sebatang pohon karena dadanya terasa
sakit dan napasnya sesak. Betul seperti yang dikatakan Tiong Han tadi,
pengerahan tenaga dalam membuat lukanya kambuh kembali, ia merasa amat sakit
pada dadanya dan cepat gadis ini lalu berjungkir balik, kepala di atas tanah
dan kaki di atas lalu mengerahkan tenaga dan mengatur nafas.
Beginilah
caranya melatih lweekang dan pernafasan sebagaimana yang dipelajarinya dari
suhunya, yakni Hek Sin-mo! Sampai beberapa lama ia berjungkir balik dan baru ia
berhenti mengatur pernafasannya setelah merasa dadanya ringan dan tidak sakit
lagi. Barulah ia duduk beristirahat dan ia mempergunakan tenaga hatinnya untuk
melawan keinginannya hendak menangis saking sedihnya.
"Aku
tak boleh terlalu bersedih, aku harus sembuhkan luka ini, aku harus dapat hidup
beberapa lama lagi untuk membalas penghinaan ini! Tiong Han... Tiong Han...
sebelum aku dapat menghancur-leburkan tubuhmu mencincang kepalamu, aku takkan
berhenti berusaha... Tiong Han...!”
Ia mendekap
dadanya dan cepat mengatur nafasnya panjang-panjang karena kesedihan membuat
dadanya terasa sesak dan sakit lagi. Menjelang senja, hujan berhenti dan
nampaklah tubuh seorang wanita yang layu dan lemah lunglai berjalan keluar dari
hutan itu. Wanita ini adalah Eng Eng.
Sementara
itu, Tiong Han berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia masih merasa terharu,
kagum dan juga heran. Ia merasa terharu, melihat keadaan nona yang benar-benar
kenal ilmu pedangnya itu. Tiada hentinya sambiI berlari ia memikirkan gadis
itu. Siapakah gadis itu? Alangkah cantik manisnya dan alangkah lihai ilmu
silatnya. Kalau saja ia membalas serangan gadis itu dan memiliki pedang yang
baik, agaknya kepandaian mereka berimbang.
Belum tentu
ia akan dapat menangkan gadis itu karena ia dapat membayangkan betapa hebat dan
lihainya gadis itu kalau tidak sedang terluka dadanya. Ia benar-benar merasa
kagum sekali, dan hatinya tertarik. Bayangan gadis itu tak dapat ia usir dari
depan matanya. Akan tetapi ia merasa heran sekali, karena mengapakah gadis itu
marah-marah dan membencinya? Mengapa gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk
membunuhnya?
Mengapa ia
disangka telah berbuat sesuatu yang amat jahat kepada gadis Itu? Apakah ia
disangka orang yang telah melukai dada gadis itu? Ah, Tiong Han menghadapi teka
teki yang amat sulit dalam diri Eng Eng. Namanya Suma Eng, alangkah indah nama
itu. Akan tetapi mengapa sikap gadis itu demikian aneh? Gilakah dia? Tak mungkin,
gadis yang bicara demikian jelas dan yang dapat bersilat demikian Iihai,
sungguhpun ilmu silatnya amat aneh tak mungkin gila!
Demikianlah
Tiong Han benar-benar menjadi bingung. Akan tetapi ia tidak berani mendekati
gadis itu, karena ia yakin bahwa gadis itu takkan berhenti sebelum dapat
membunuhnya. Hal yang amat menyakitkan hati dan membuatnya berduka. Setelah
berlari jauh, barulah Tiong Han merasa betapa pundaknya perih karena pundak itu
sudah terluka dan lecet kulitnya. Terasa amat panas luka itu dan ketika ia
memandang, ia menjadi terkejut sekali. Ternyata luka itu kini menjadi bengkak.
"Ah,
lihai sekali! Agaknya pedang itu mengandung bisa pula!" Katanya dalam
hati.
Cepat-cepat
ia membuka bungkusannya dan mengeluarkan obat pemunah bisa. Setelah menelan dua
butir pel putih dan menghancurkan obat bubuk dengan arak yang dibawanya dalam
sebuah guci kecil untuk dipergunakan sebagai obat luar, ia merasa lega.
Ternyata bisa yang terkandung oleh pedang gadis itu tidak berapa jahatnya.
Beberapa
hari kemudian ketika ia tiba di luar sebuah dusun, Tiong Han mendengar suara
ribut-ribut dan ketika ia telah tiba di tempat itu, ia melihat seorang
laki-laki tinggi kurus yang hidungnya seperti burung kakak tua dan bersenjata
sepasang besi kaitan sedang dikeroyok oleh banyak orang. llmu silat laki laki
itu benar-benar lihai dan tujuh orang yang berpakaian seragam piauwsu (pengawal
barang kiriman ) itu biarpun mengeroyok dengan senjata golok dan pedang, sama
sekali tidak berdaya menghadapinya.
Tiong Han
yang sedang merasa sedih dan menyesal karena pikirannya masih penuh dengan
bayangan Suma Eng, tadinya tidak begitu tertarik hatinya. Akan tetapi karena ia
melihat betapa di atas tanah menggeletak tubuh seorang wanita cantik yang sudah
menjadi mayat dan ada pula dua orang piauwsu yang merintih-rintih dengan tubuh
terluka berat, ia menjadi tertarik dan segera melompat menghampiri.
Pada saat
itu ia tiba di tempat pertempuran, laki-laki bersenjata kaitan itu sedang
mendesak para pengeroyoknya dengan senjatanya yang luar biasa dan dengan satu
sabetan keras, ia kembali telah merobohkan seorang pengeroyok!
"Ha ha
ha! Buka matamu lebar-lebar, hendak kucongkel matamu!" kata laki laki itu
dan kaitannya cepat menyambar ke arah mata orang yang telah roboh terlentang
itu!
Akan tetapi
tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Ia
cepat berpaling untuk melihat siapa orang yang dapat mendorongnya tanpa ia
ketahui lebih dulu itu. Ternyata di depannya telah berdiri seorang pemuda
tampan yang robek baju pada pundaknya dan pundak itu terluka karena masih
tampak tanda-tanda darah dan kulit pundak tertutup oleh obat.
"Sabar
dulu, kawan " kata Tiong Han kepada orang tinggi kurus yang bukan lain
adalah Ban Hwa Yong orang ketiga dari Thian-te Sam-kui!
"Bangsat
rendah! Kau berani sekali mencampuri urusan Ban Hwa Yong, tokoh besar dari
Thian-te Sam-kui ?" teriak Ban Hwa Yong marah dan cepat kaitannya
menyambar ke arah leher Tiong Han!
Pemuda ini
melihat gerakan lawannya yang cepat dan kuat, segera melompat mundur dengan
marah sekali. Akan tetapi Ban Hwa Yong tidak memberi kesempatan kepadanya dan
cepat melangkah maju mengejar dan menyerangnya secara bertubi-tubi. Sepasang
kaitannya menyambar-nyambar dan senjata ini memang berbahaya sekali, karena
penyerangannya berbeda dengan senjata-senjata lain, bukan dari depan bahaya
yang datang, melainkan dari belakang dan dari samping. Senjata ini dipergunakan
untuk menggali dan sekali saja tubuh tergait oleh kaitan yang kuat dan runcing
sekali itu, akan robeklah kulit dan daging!
Diam-diam
Tiong Han merasa terkejut sekali. Tak disangkanya lawan ini demikian lihainya.
Ia pernah mendengar nama Thian-te Sam-kui, tiga orang iblis bumi langit yang
terkenal jahat, maka kini menghadapi seorang diantara iblis ini, la tahu bahwa
ia harus turun tangan! Akan tetapi, dengan pundak terluka dan bertangan kosong,
bagaimana ia bisa menghadapi seorang tokoh dari Thian- te Sam-kui yang
berkepandaian tinggi?
Akan tetapi,
Tiong Han mengerahkan ginkangnya dan mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya
untuk menghindarkan setiap serangan lawan. Sampai tiga puluh jurus Tiong Han
dapat menghadapi lawannya dan dapat juga melakukan serangan balasan dengan
pukulan-pukulan dari ilmu silat Kim-liong-pai.
Ban Hwa Yong
merasa penasaran sekali. Betulkah dia tidak dapat merobohkan seorang pemuda
bertangan kosong yang sudah terluka dan tampaknya lemah? Ia berseru marah dan
mempercepat gerakan senjatanya, menyerang dengan gerak tipu yang paling
dahsyat. Kewalahan jugalah Tiong Han menghadapi Jai-hwa-cat (penjahat penculik
bunga) ini!
Tiba tiba
seorang piauwsu yang paling tua usianya, melemparkan sebatang pedang ke arah
Tiong Han sambil berseru, "Hohan (orang gagah) silakan kau menggunakan
pedangku ini!"
Bukan main
girangnya hati Tiong Han melihat berkelebatnya pedang ini. Ban Hwa Yong juga
melihat pedang yang dilemparkan ini, maka ia cepat mendesak Tiong Han dengan
pukulan kaitan kiri, sedangkan kaitan kanan dipergunakan untuk memukul ke arah
pedang itu! Tiong Han cepat mempergunakan gerak tipu Dewa Awan Menyambut
Pelangi. Ia miringkan tubuh untuk menghindari sabetan senjata kiri lawan, kaki
kanannya bergerak cepat menendang pergelangan tangan kanan Ban Hwa Yong dan dengan
tangan kiri diulur cepat menangkap pedang itu!
Ban Hwa Yong
terpaksa menarik kembali kaitannya yang tadi hendak dipergunakan untuk memukul
pedang karena ujung sepatu lawannya mengancam pergelangan tangan dan sementara
itu, Tiong Han telah melompat ke belakang dan kini pemuda ini telah memegang
sebatang pedang yang berkilauan tajamnya!
Semua
piauwsu dan orang orang dusun yang menonton pertempuran itu bersorak memuji
melihat ketangkasan dan keindahan gerakan Tiong Han tadi. Akan tetapi Tiong Han
sebaliknya memandang kepada pedang yang dipegangnya sambil berkata kagum,
"Pokiam
(pedang pusaka) yang bagus!"
Baru saja ia
menutup mulutnya, angin yang keras menyambar dari kanan-kiri dan kini sepasang
kaitan di tangan Ban Hwa Yong telah menyambarnya dengan gerak tipu Menutup
Pintu Menggencet Lawan! Akan tetapi, dengan gerakan indah sekali Tiong Han
menggerakkan pedang di tangan kanannya, memutarnya merupakan sinar melengkung
dari kanan ke kiri.
"Tranggg!
Tranggg!"
Bunga bunga
api memancar keluar ketika sepasang kaitan itu sekaligus terbentur oleh pedang ini
dan Ban Hwa Yong merasa betapa telapak tangannya kesemutan. Ia menjadi terkejut
sekali, apalagi ketika tiba-tiba matanya silau oleh sinar pedang Tiong Han yang
kini membalas dengan serangan-serangan hebat!
Harus
diketahui semenjak turun gunung dan mempelajari ilmu pedang Ang-coa-kiam-sut
dari kitab peninggalan sucouwnya, ilmu kepandaian pemuda ini telah maju pesat
sekali. Apalagi kini yang dimainkannya adalah sebatang pedang pusaka, maka
tentu saja gerakannya amat hebat dan pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar
putih yang menyilaukan mata.
Ban Hwa Yong
mempertahankan diri sampai dua puluh Jurus, akan tetapi sekarang ia bertempur
sambil mundur teratur, terus terdesak hebat tanpa dapat berdaya lagi. Akan
tetapi, betapapun keuletannya boleh dipuji. Ia telah puluhan tahun merantau dan
menjagoi di dunia kang-ouw, sudah mengalami banyak sekali pertempuran, maka ia
telah dapat mempertahankan diri dengan amat kuatnya.
Baru setelah
bertempur selama dua puluh tujuh jurus terdengar suara keras dan kaitan di
tangan kanan Ban Hwa Yong terpental jauh ke atas! Penjahat cabul ini
mengeluarkan teriakan keras dan tiba - tiba la merogoh sakunya dengan tangan
kanan dan tiga buah senjata rahasia berbentuk paku hitam menyambar kearah jalan
darah di tubuh Tiong Han!
Pemuda ini
cepat memutar pedangnya untuk menangkis paku-paku itu akan tetapi kesempatan
itu dipergunakan oleh lawannya untuk melompat dan berlari pergi secepat mungkin
seperti orang dikejar setan! Tiong Han yang tidak ingin mencari permusuhan,
melihat lawannya berlari ketakutan, tidak mau mengejar, bahkan lalu menghampiri
piauwsu tua yang memberi pinjam pedang itu.
"Lo-enghiong.
Pedangmu ini benar-benar bagus sekali. Terima kasih atas bantuanmu " Tiong
Han mengembalikan pedang itu. Akan tetapi piauwsu itu memegang lengannya dengan
muka girang sekali dan berkata,
"Tak
usah berlaku sungkan, hohan. Pedang pusaka ini telah berpuluh tahun berada di
tanganku dan sesungguhnya aku tidak berharga untuk memiliki pedang ini. Biarlah
untuk pertolonganmu kepada kami, pedang ini kami persembahkan kepadamu!"
Tentu saja
Tiong Han menjadi terkejut sekali. Ia merasa malu dan sungkan, karena
bagaimanakah ia dapat menerima pemberian pedang mustika begitu saja dari orang
yang tak dikenalnya?
Piauwsu itu
melihat keraguannya, maka ia lalu berkata, "Orang muda yang gagah. Marilah
kau ikut kami dan mari kau dengarkan penuturan kami agar kau dapat mengerti
betapa besar jasamu tadi! Kau telah menghindarkan penyembelihan besar-besaran
terhadap keluarga piauwkiok (perusahaan ekspedisi) kami!"
Karena ia
merasa letih dan juga pundaknya terasa perih, terutama sekali karena ia ingin
mendengar siapakah adanya wanita cantik yang mati di situ dan mengapa tokoh
Thian-te Sam-kui itu sampai bentrok dengan kawanan piauwsu ini, maka Tiong Han
tidak menampik undangan ini, dan beramai ramai mereka lalu pergi ke rumah
piauwkiok yang tidak jauh dari situ.
Seperti
telah kita ketahui, ketiga Thian-te Sam-kui setelah berhasil membasmi dan
membunuh semua keluarga Pak eng piauwkiok di kota Hun-leng, tiga manusia iblis
ini lalu melarikan diri sambil menculik Lo Kim Bwe atau nyonya Ouw Tang Sin
yang cantik jelita dan genit. Atau lebih tepat lagi, yang membawa lari Kim Bwe
adalah Ban Hwa Yong si penjahat cabul.
Oleh karena
memang ketiga orang penjahat ini mempunyai kesukaan sendiri-sendiri maka
setelah keluar dari kota Hun leng mereka lalu berpisah dan mengambil Jalan
masing-masing, Ban Hwa Yong yang membawa Kim Bwe lalu melanjutkan
perjalanannya. Girangnya bukan main, ketika ia mendapat kenyataan bahwa wanita
yang diculiknya ini tidak seperti yang lain-lainnya. Biasanya wanita yang
diculik dan dipermainkannya selalu melawan dan berduka atau bahkan ada yang
nekad membunuh diri, akan tetapi Kim Bwe tidak demikian. Perempuan ini tidak
nampak bersedih meskipun keluarganya telah terbasmi semua, bahkan ia nampaknya
suka melakukan perjalanan dengan Ban Hwa Yong!
"Sayang
kau dan suheng-suhengmu tidak mau menunggu dulu kedatangan dara yang cantik
jelita seperti bidadari!" katanya kepada penjahat cabul itu, dan ia lalu
menceritakan perihal Eng Eng kepada Ban Hwa Yong.
Penjahat ini
hanya tertawa saja dan berkata, "Betapapun juga, ia tidak mungkin secantik
engkau manisku!"
Demikianlah
sampai sebulan lebih Kim Bwe melakukan perjalanan menurut saja ke mana penjahat
itu membawanya. Ban Hwa Yong nampaknya amat sayang kepadanya dan sebaliknya Kim
Bwe juga memperlihatkan kasih sayangnya. Padahal semua sikap Kim Bwe ini hanya
dilahir saja. Ia merasa melawan tiada gunanya, dan berarti sama dengan membunuh
diri.
Sesungguhnya
ia amat benci kepada laki-laki ini, bukan hanya karena Ban Hwa Yong telah
membunuh semua keluarganya termasuk ayah dan adiknya yang tercinta, akan tetapi
terutama sekali karena Ban Hwa Yong berwajah buruk. Kalau saja laki-laki yang
menculiknya ini seorang laki laki muda yang tampan, bukan tak mungkin Kim Bwe
akan dapat menerimanya dan melupakan sakit hatinya!
Diam diam
Kim Bwe selalu mencari kesempatan baik untuk membunuh Jai-Hwa-cat ini.
Pertama-tama karena Ban Hwa Yong amat tinggi ilmu kepandaiannya, kedua kalinya
karena penjahat cabul itu selalu berlaku hati-hati sekali.
Pada suatu
hari, ketika mereka berdua sedang berjalan hendak memasuki dusun Cia-keng-bun,
mereka melihat serombongan piauwsu menyusul mereka dan mendahului masuk ke
dalam dusun itu. Mereka itu terdiri dari sembilan orang dan karena mereka ini
menunggang kuda mengiringi sebuah kereta barang, maka mudah dilihat dari
bendera di atas kereta bahwa mereka adalah piauwsu-piauwsu dari perusahaan
Gin-houw-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Macan Perak).
Piauwsu yang
termuda ketika lewat, berpaling dan memandang ke arah Kim Bwe dengan penuh
perhatian, lalu tersenyum. Kim Bwe melihat wajah piauwsu muda yang tampan itu,
membalas senyum ini. la melakukan hal ini dengan sengaja, bahkan ketika
rombongan piauwsu itu telah lewat, Kim Bwe mengeluarkan saputangan dari dalam
bajunya dan melambaikan ke arah piauwsu muda tadi!
Tentu saja
Ban Hwa Yong menjadi cemburu dan marah sekali. Hampir saja ia memukul muka
kekasihnya itu, akan tetapi Kim Bwe segera berkata,
"Mengapa
kau marah-marah? Gin-houw-piauwkiok adalah piauwkiok yang amat terkenal, dan
orang-orangnya memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai. Mereka pernah datang
ditempat tinggalku dan mengenal mendiang suamiku. Sebagai kenalan-kenalan lama,
tidak bolehkah aku memberi salam kepada mereka?"
Kemudian ia
sengaja membikin panas hati Ban Hwa Yong. "Kurasa lebih baik kita jangan
masuk ke dusun itu dan melewatinya saja dengan mengambil jalan lain, karena
kalau para piauwsu itu melihat aku berjalan bersamamu, mereka tentu akan merasa
curiga dan kalau mereka menyelidiki celakalah kau!”
Benar saja,
usahanya memancing-mancing dan membikin panas hati Ban Hwa Yong untuk mengadu
dombakan penjahat ini dengan para piauwsu itu, telah mendapat hasil baik. Ban
Hwa Yong yang merasa cemburu menjadi benci kepada piauwsu-piauwsu itu, apalagi
mendengar Kim Bwe memuji-muji. Kini mendengar ucapan nyonya muda ini, mukanya
menjadi merah saking marahnya.
"siapa
yang celaka? Aku? Mengapa aku yang celaka?" tanyanya penasaran.
"Karena
kepandaian mereka benar-benar tinggi! Mendiang suamikupun tidak dapat
mengalahkan ilmu silat pemimpin-pemimpin Gin-houw-piauwkiok,” kata Kim Bwe
pula.
Ban Hwa Yong
hampir saja membanting-banting kakinya. "Suamimu? Hm, cacing tanah itu
bisa apa sih! Kau lihat saja nanti, akan kubasmi habis pemimpin-pemimpin
Gin-houw-piauwkiok dan kuratakan dengan bumi perusahaan mereka seperti halnya
Peng-eng-piauwkiok! Akan tetapi kalau di situ terdapat wanitanya yang cantik
seperti engkau, engkau harus mengalah dan membiarkan aku membawanya!"
Bukan main
girangnya hati Kim Bwe mendengar bahwa usahanya mengadu domba ini berhasil,
akan tetapi ia berpura-pura memperlihatkan muka marah mendengar ucapan terakhir
dari Ban Hwa Yong.
"Dasar
mata keranjang! Orang yang selalu mencari wanita cantik seperti kau, mana bisa
menangkan piauwsu-piauwsu dari Gin-houw-piauwkiok?"
Ucapan ini
merupakan minyak yang menyiram api kemarahan Ban Hwa Yong sehingga tanpa banyak
Cakap lagi penjahat cabul ini lalu memegang lengan tangan Kim Bwe dan
membawanya lari cepat memasuki dusun itu!
Memang
sesungguhnya dalam kata-kata Kim Bwe kepada Ban Hwa Yong tadi, tidak semuanya
bohong. Pemimpin Gin-houw-piauwkiok memang kenal dengan Pak-eng -piauwkiok
milik suaminya. Ketua dari Gin-houw-piauwkiok itu adalah seorang piauwsu
setengah tua, berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah dan kuat.
Piauwsu ini
bernama Lai Siong Te seorang gagah yang amat pandai bermain pedang. Oleh karena
kegagahannya, nama Gin-houw-piauwkiok amat terkenal dan tidak sembarang
perampok berani mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu-piauwsu dari
Gin-houw-piauwkiok. Bendera piauwkiok yang bersulam lukisan harimau dari benang
perak itu merupakan tanda yang ditakuti oleh para perampok....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment