Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 06
Kaget dan
marahlah Lo Ban Tek mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang
baik hati dan dermawan, maka hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau
menarik perhatiannya dan membuat ia menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau
bukan, murid Kim liong pai atau bukan, kalau sudah melakukan pembunuhan
terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia selidiki dan harus turun
tangan.
Demikianlah,
pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil
membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho-kut-pian
(Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena
setiap hari dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang
memandangnya dengan heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek
keluar dengan membawa ruyung yang mengerikan itu.
Orang itu
memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia berjalan dengan muka merah dan
mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu akan terjadi sesuatu
yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan makin
tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke
rumah kapal!
Apakah si
pendiam ini mau berpelesir? Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal
bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada
anak istri dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya
membuat golok dan tombak dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan
apakah ia rugi atau untung dalam pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi
menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini merupakan kejadian yang menarik hati.
Pada saat
itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga
tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ
sambil mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri
Lui-wangwe dan betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali.
Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar
pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.
"Orang-orang
rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan
dia!"
Ma-kauwsu
dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban
Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya,
dan dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia
mengerti ilmu silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim
Tiong Kiat sambil memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya!
“Eh, saudara
Lo, kau kenapakah? Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh
mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!” Ma kauwsu menegur sambil
bangkit dari tempat duduknya.
“Tidak usah
banyak bicara!” Lo Ban Tek membentak dengan marah. “Siapa sudi...
Hayo kalian
anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan minta dia keluar. Kalau
tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!”
Bukan main
marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan
jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan
bangsawan pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang
pandai besi biasa berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga,
tentu saja mereka merasa panas dalam perut!
“Pandai besi
hinadina she Lo! Apakah otakmu sudah menjadi miring? Ataukah kau sudah bosan
hidup” bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi
itu, diikuti oleh dua orang adiknya.
“Kalian ini
kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur!" teriak Lo
Ban Tek makin marah. "Panggil saja jai-hwa-cat she Sim itu keluar dan
kalian pergilah jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata!"
Akan tetapi
mana tiga orang jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar?
Terutama sekali Kwee kauwsu yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa
menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu melompat maju dan mengirim pukulan ke
arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,
"Pergilah
orang gila!"
Pukulan ini
adalah gerak tipu Go-houw pok-it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan
dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee
kauwsu berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung
aneh itu, tetap saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya
yang berat itu.
Akan tetapi,
terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan
begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri,
agak merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.
"Ngekkk...!"
Kwee kauwsu
merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas saking sakitnya
dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek diayun
tepat mengenai pantatnya.
"Blekkk!"
tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh
tendangan anak kecil.
Setelah
berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas tanah dengan pantat di
bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu duduk
seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis
bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan!
Bukan main
sakitnya pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian
ini amat mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di
luar dugaan mereka. Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya
sehingga Kwee kauwsu dapat berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut
golok masing-masing dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu!
Gerakan Ma
kauwsu dan Cin-kauwsu amat ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih
agak terpincang-pincang dan merasa seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi
beban yang berat sekali.
"Bangsat
rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek.
"Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang
penjahat besar yang mengacau di kota sendiri? Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban
Tek tidak mencari permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!"
Sambil
berkata demikian, Si Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang
banyak terdapat di pinggir sungai dan sekali ia mengayun Coa-kut-pian di
tangannya, batu itu telah kena dihantam sehingga menerbitkan suara keras dan
menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang guru silat itu memandang,
ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah!
Bukan main
terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya
dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula? Mereka bertiga,
biarpun diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat
memecahkan batu itu dengan seratus kali pukul! Oleh karena kaget dan kagum,
mereka hanya berdiri tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka
juga terpengaruh oleh kata kata pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang
coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi oleh orang.orang seluruh kota, apalagi
akan menghadapi pembesar-pembesar, ah berat juga!
Pada saat
itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal. "Anjing kelaparan
dari manakah berani mengacau dan menantangku?"
Baru habis
ucapan itu dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah
berdiri dihadapan Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan.
Berdebar juga hati Lo Ban Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda
tampan ini. la memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat
cakap, gagah dan tampan, berpakaian serba biru yang indah sekali. Juga pedang
di tangan pemuda ini benar-benar Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim-liong-pai,
karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan tokoh Kun-lun-pai tentang pusaka
ini.
"Anak
muda, kau sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang-coa-kiam dan Kim
Liong pai untuk melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang
bisa dijatuhkan oleh Lui Thian Sianjin kepadamu? Aku tidak percaya bahwa kau
adalah anak murid Kim Iiong pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam
itu?"
Sim Tiong
Kiat tersenyum mengejek. "Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim
Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah
yang mewakili Kim-liong-pai. Bukankah Ang-coa-kiam di tanganku ini menjadi
bukti terkuat?"
"Aku
tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim-liong-pai, apalagi yagg sudah
dipercayai untuk memegang Ang-coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang
pusaka) dan kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang-orang
lemah dan menindas kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin,
sucouw dari Kim-liong-pai. Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja
yang telah kaulakukan?"
Tertegun
juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik
gurunya dan keadaan Kim-Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia
bertanya,
"Siapakah
kau, hai manusia kasar yang bosan hidup? Siapa kau yang berpura-pura mengerti
tentang keadaan Kim-liong-pai?"
"Mengapa
aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai? Aku adalah murid Kim kong Tianglo di
Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan
kau sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."
Di dalam
hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid
dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang
tokoh Kun-Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah
beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun-lun-pai itu ketika Kim Kong Tianglo
mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak
mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.
"Saudara
Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu.
Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang
tidak menyenangkan hatimu?"
Lo Ban Tek
tersenyum mengejek. "Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah
dapat mencemarkan nama baikmu."
"Apa?"
Tiong Kiat mencela marah, "Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat
baik, akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah
orang-orang lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya? Apakah
perbuatan ini merugikanmu? Atau merugikan orang Iain? Saudara Lo, kalau kau
merasa iri hati, marilah ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari-bidadari rumah
kapal. Tak perlu urusan macam ini menimbulkan bentrokan diantara kita..."
"Cih!
Aku bukanlah orang macam itu! Aku tidak meributkan urusan cabul! Aku datang
hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya? Apakah
hal ini kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula!"
"Lebih
dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang.
"Anjing tua dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh! Mereka
telah berlaku kurang ajar dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan
yang kini terpaksa menjadi seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah
orang-orang semacam ini tidak boleh di bunuh?"
"Dari
siapakah kau mendengar akan obrolan itu? Tentu dari mulut perempuan busuk itu
bukan? Ha ha ha? Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang
baik mana yang busuk! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan
kotor itu dengan keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si
perempuan yang kau bela mati-matian itu! Memang, dulu dia adalah seorang
pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan
berani bermain gila dengan pelayan-pelayan laki-laki yang ada di rumah itu! Lui
wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika diusir, ia diberi uang
secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau menikah dengan
siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah yang
tidak tahu? Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe? Ha ha ha!
benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu
merah!"
"Bangsat,
tutup mulutmu!" Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah
sekali.
"Orang
she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo
Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"
Sambil
berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyungnya.
Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi
girang karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak
terbabat putus, bahkan dari benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga
Iawannya ini benar-benar besar dan tidak boleh dipandang ringan! Maka ia lalu
berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang Ang coa-kiam-sut yang hebat,
pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang yang luar biasa
sekali.
Lo Ban Tek
terkejut dan kini ia tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar murid
Kim-liong-pai yang pandai. "Hm, kau benar-benar murid Kim-liong-pai! Kalau
kau bukan murid Kim-liong-pai, masih tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil
saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong-pai dapat tersesat begini rupa, ah
aku harus mengadu jiwa dengan kau.” Ia pun mainkan ruyungnya dengan ilmu silat
Kun-lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat, dapat mengimbangi
gerakan pedang lawannya.
Hebat sekali
jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee
berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong! Kepandaian Ang-Coa-kiam
Sim Tiong Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin
mereka terheran-heran adalah kepandaian tukang besi itu!
Siapa kira
bahwa di I-kiang terdapat seorang pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya
yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban Tek pandai besi yang sederhana dan
kasar belaka! Maka malulah ketiga orang itu, karena kalau ilmu kepandaian
mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian dua orang ini
mereka boleh dibilang masih anak-anak!
Thiat-gu Lo Ban
Tek bertempur dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi
Tiong Kiat masih merasa ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja.
Pemuda ini masih merasa sungkan untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia
gentar juga menghadapi akibat-akibatnya. Kalau sampai ia menanam bibit
permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram lagi!
Akan tetapi
mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban Tek
menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak
boleh dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga
tenaga orang she Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung
ini berarti bahaya maut bagi Tiong Kiat!
Setelah
bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang
luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat.
Ketika pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua
kakinya sehingga Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan
ginkangnya yang tinggi untuk melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan
indahnya.
Akan tetapi
kembali Lo Ban Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak
tipu Dewa Awan Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong
Kiat masih terapung di udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan
sendiri!
Namun kini
Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus dan
harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun
kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung
menyambar, ia segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya
membarengi mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.
Lo Ban Tek
merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat
kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik
kembali senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas
tanah dan ujung pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan
Lo Ban Tek!
Orang she Lo
ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong lagi.
Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang
dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan
pedangnya sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan
melukai pundaknya!
"Lo Ban
Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka
memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran
ini!"
Akan tetapi
kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan kapok,
ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata
mendelik ia membentak,
"Jahanam
durhaka! Kau kira aku orang she Lo takut mati? Lebih baik aku mati dalam
usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat
engkau melakukan kejahatan tanpa terhukum!"
Setelah
berkata demikian, kembali ruyungnya menyambar dan kali ini dengan serangan
nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri lagi! Tiong Kiat terkejut sekali.
Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi demikian nekad, terpaksa
ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras. Pedangnya meluncur ke
depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek.
Si Kerbau
Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang
ketika tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan
napas terakhir dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik
memandang kepada Tiong Kiat!
Pemuda ini
bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan ditutupkannya
saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia telah
membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang? Orang orang
Kun-lun-pai tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu
hanya akan membuat hidupnya menjadi tidak tenteram.
Rasa
menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi merah, dadanya terasa sakit. la
marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia melakukan pembunuhan,
marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.
"Kionghi
taihiap, kionghi! ilmu silatmu hebat sekali!"
Tiba-tiba ia
mendengar pujian dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya.
Ketika ia menengok, ia melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya
dan memberi selamat sambil menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali.
Kedua kakinya cepat bergerak bergantian dan tubuh tiga orang guru silat
terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan perasaan sakit, takut dan kaget.
Kemarahan
Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah
tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun-lun-pai.
Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di
telinganya, bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak
berdosa. Bahwa sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya.
Kemarahannya
makin memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya
sampai jebol. Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang
coa kiam sehingga putus dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air. Cia-ma
berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat
menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu
terlempar keluar jendela dan...
"Byuurr...!"
tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang-ce, diiringi pekik mengerikan dari
nenek itu.
Bagaikan
seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang
baik-baik, dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu,
tangannya bergerak menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air
melalui jendela! Sebentar saja habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam
air, sehingga sibuklah orang-orang di bawah untuk menolong 'bidadari-bidadari'
itu keluar dari air.
Mereka kini
tidak kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi
sebaliknya sebagai seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan,
riap-riapan menutupi muka yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak
pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar matanya, muka yang cowong dengan kulit
muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak!
Orang
terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalah Li Lan. Gadis ini
berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja
melepaskan rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya.
Bajunya Iepas-lepas sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis
ini tahu betul bahwa Tiong Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus
dan harum, maka siasat terakhir untuk menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.
"Perempuan
hina! Jadi kau telah menipuku, ya! Aku telah tertipu sehingga membunuh
orang-orang yang tidak berdosa!"
"Bagimu
tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe
tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan
suara memilukan.
"Kau
telah membohong! Kau katakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang
mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan
rendah. Kubunuh kau!”
"Bunuhlah,
kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta sepenuh
jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?” Ia
menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. ”Bunuhlah…”
Tiong Kiat
mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya
dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut
Li Lan, dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti
orang-orang lain, bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari
cepat sekali keluar dari rumah kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama
sekali tidak berani bergerak!
Gegerlah
kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara
akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana
perginya. Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka
bertiga tadi ditendang oleh Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat sampai
terguling-guling, maka mereka tidak dianggap kawan penjahat muda itu dan
dibebaskan oleh para pembesar! Kalau saja mereka tidak ditendang oleh Tiong
Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan dari Ang-coa-kiam!
Tiong Kiat
melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang dan
ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu
tiada hentinya menyesali nasib dirinya.
Peribahasa
kuno menyatakan bahwa, kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap
seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya
menyanjung-nyanjung kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal
lagi apabila keadaan kita menjadi sengsara.
Demikian
pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang merpati berada dalam
keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak mengenal keadaan,
tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun terjatuh di
dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!
Akan tetapi
cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong Kiat
sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan
gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga
apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu
ditinggalkan, dan bahkan kini mereka melakukan perantauan tanpa tujuan,
berjalan jauh dengan keadaan miskin dan sengsara sekali.
Dalam
keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan. la mulai
cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya. Setiap
hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali.
Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia
menjadi mendongkol.
Pemuda mata
keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak pernah berhias,
tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan. Kalau
tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini
terbuka sama sekali. Manusia manakah yang tidak bercacad? Memang dalam keadaan
biasa, cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan,
akan tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak
nyata!
Setelah kini
melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa
ia telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan
gadis yang dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul,
masih cantik Kui Hwa sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui
Hwa adalah sewajarnya, karena semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek,
adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu oleh bedak dan gincu dan minyak wangi!
Mulailah
Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban
baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang
dimulai semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia
dahuIu tidak melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah
mengawinkan dengan seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri
dan ibu yang bahagia!
Pada suatu
hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak beristirahat,
kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah pohon
dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi
sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu
hanya terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan-bentakan Tiong Kiat.
"Perempuan
tak tahu diri, perempuan pembawa celaka! Kalau tidak karena kau, aku tak usah
lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan
lebih cepat lagi."
"Sim
kongcu..." kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya,
"kalau aku menjadi beban... kenapa tidak kau bunuh saja...? Bunuhlah aku
kongcu... agar aku terhindar dari siksaan lahir dan batin ini..."
"Kalau
kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak
sudi membunuh perempuan macam kau!"
"Ah,
dunia sudah kacau balau!" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu
seorang wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri
tak jauh dari mereka. "Dahulu laki-laki selalu bersikap lemah lembut
terhadap wanita, akan tetapi anak-anak muda sekarang demikian kasar dan
kejamnya!"
Tiong Kiat
terkejut. Ia memandang dengan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa
adanya nenek yang berambut putih ini. "Nenek tua, mengapa kau mencampuri
urusan orang lain? Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia
pergi. Aku tidak butuh lagi padanya!"
Ketika Li
Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan berlutut
di hadapan nenek itu sambil menangis. "Suthai... Tolonglah aku, bawalah
aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini…!”
"Kasihan
kau anak yang tersesat jauh..." nenek itu berkata sambil mengelus-elus
kepala Li Lan. "Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."
Mendengar
ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang. "Bagus, bagus! Nenek tua kau telah
berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha ha ha!"
"Orang
muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke
jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!"
Sepasang
mata nenek itu memandangnya dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata
mereka bertemu, terkejutlah Tiong Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya
dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya, pemuda ini mencabut pedangnya dan
berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang itu.
"Ha ha
ha! Dengan pedang dan tenaga ditangan, siapa akan dapat menggangguku?"
Tiba-tiba
berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat.
"Ang-coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat.
Tiong Kiat
terkejut sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini
telah berada di hadapannya.
"Bagus,
jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari
kim-liong-pai?”
"Siapakah
kau yang mengenal pedangku?” tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.
"Orang
durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?”
Begitu
mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali
pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya
tahu bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun-lun-pai dan
juga sahabat baik suhunya di Liong-san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan
membunuhnya. Oleh karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!
Tiong Kiat
sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa
tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin
sendiri!
Melihat
berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan
tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang-coa-kiam hampir saja terlepas
dari pegangan Tiong Kiat!
Pemuda ini
cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia lalu menyerang lagi.
Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh sekali nenek
itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya
digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis
sekaligus!
Gentarlah
hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena malu
dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan
pergi dari hutan itu. Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas
panjang dan berkata,
"Sayang,
sayang...! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh
merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan
lapuk."
la lalu
menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah. "Coba kau ceritakan
segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh bayangan gelap,
dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri menjadi
seorang pendeta."
Sambil
terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang
disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia
telah membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui-Pat-jiu
Toanio mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu
selesai menuturkan semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata,
"Menurut
patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau ringan
bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan
menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau
boleh menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."
Demikianlah,
Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah berada
di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu-niu. Ia
mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun
mempelajari ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!
Tadinya hal
ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk
memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya,
setelah ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan
jauh lebih besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumah
kapal Cia ma! Makin tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu
Toanio, bahkan sedikit demi sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu
silat kepadanya.
***************
Di lereng
gunung Ta-pie-san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia
adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di
Wu-han dan dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta-pie-san. Wajahnya yang
tampan itu tampak berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas
panjang, tampak kekesalan hati yang mendidih dihatinya.
Pemandangan
alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak terlihat
oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya,
seakan-akan melayang-layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa
raya.
Sungguh
tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang
ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat
tinggal di kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena
ini, ia tidak mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang
menggemparkan itu.
Sudah berapa
hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta-pie-san ini. la merasa gelisah, kecewa
dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat? Hatinya sedih bukan
kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta
Tiong Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih
dari itu! Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah
merasa seakan-akan menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti
ayah mereka.
Pada hari
itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa
keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di
dunia lain, atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia
akan semua pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama
dengan Ta-pie-san ini.
Ia teringat
akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan Tiong Kiat.
lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu senja
hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan
permainan di lereng Gunung Liong-san. Mereka berdua suka sekali bermain-main
perang-perangan saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau
panglima-panglima pemimpin barisan.
Adakalanya
Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah yang terserang
sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau
sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka
seakan-akan menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain
perang-perangan, intai mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak.
Lui Thian
Sianjin, suhu mereka, pernah menceritakan bahwa ayah mereka adalah seorang
pahlawan dan patriot bangsa yang gugur dalam pemberontakan menggulingkan
pemerintahan yang korup. Oleh cerita yang singkat dan tidak jelas inilah maka
Tiong Han dan Tiong Kiat suka sekali bermain perang-perangan, menjadi pahlawan
seperti ayah mereka!
Pada saat
itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia
mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta
sepenuh hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya,
merampas pedang Ang-coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya! Ia merasa bahwa
kini ia akan dapat mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada
hentinya ia memperdalam kepandaian ilmu pedang Ang-coa-kiamsut dari kitab yang
dibawanya. Ia telah hampir dapat menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu
pedangnya maju dengan pesatnya.
Ketika ia
teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu
menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang
kemudian mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang
didudukinya. Bagaikan dalam mimpi, ia lalu melangkah maju di pinggir jurang,
lalu ia bernyanyi, seperti ketika masih kecil bersama Tiong Kiat di lereng
Bukit Liong san.
Bulan
sepotong sudah mulai timbul dari timur, angin gunung hanya meniup perlahan
saja, mendatangkan suara berkereseknya daun-daun yang bahkan menambah rasa
sunyi yang mencekam hatinya. Bagaikan terpimpin oleh perasaan halus yang tak
disadarinya, Tiong Han bernyanyi dengan suara keras, sepenuh dadanya, sambil
menggerak-gerakkan tangan kanannya meniru gaya seorang panglima seperti yang ia
lakukan bersama adiknya ketika mereka masih kecil dulu.
Pedang
telanjang di tangan
Berlumur
darah musuh jahanam!
Anak panah
beterbangan
Bagai maut
mengintai nyawa
Pasukan
musuh di sana?
Serbu…! Maju
gembira!
Inilah tugas
tiap kesatria!
Mati? Hanya
gugur bagai bunga
Aku hanya
ingin menang… menang!
Biar takkan
mendapat Jasa
Biar takkan
menerima pahala.
Tidak
peduli, aku ingin menang!
Aku ingin
menjadi pahlawan.
Seperti
ayah... seperti ayah…!
Tiong Han bernyanyi
penuh semangat, seperti dulu ketika masih keciI. Bunyi sajak ini sesungguhnya
sudah berbeda dari pada aslinya karena banyak yang berobah dan baris terakhir
'seperti ayah' adalah tambahan sendiri dari Tiong Han dan Tiong Kiat. Keduanya
merasa bangga sekali akan ayah mereka, sungguhpun mereka tidak tahu dan tidak
ingat lagi bagaimana rupa ayah mereka!
Tiong Han
tidak tahu sama sekali bahwa pada saat bernyanyi, seorang pemuda sedang
berjalan mendaki jalan kecil dari timur. Ketika mendengar ia bernyanyi, pemuda
itu berhenti bertindak dan diam bagaikan patung! Akhirnya setelah Tiong Han
menyanyikan baris terakhir dari sajaknya, pemuda yang berpakaian biru kehitaman
itu berlari menghampirinya dan berseru dengan suara terharu.
"Engko
Han…!"
Tiong Han yang
sudah mengakhiri nyanyiannya cepat menengok dan terkejutlah kedua matanya
ketika ia melihat Tiong Kiat berlari-lari naik seperti dulu ketika masih kecil!
“Tiong
Kiat…!”
Keduanya
berdiri berhadapan, saling pandang, kalau dilihat oleh orang lain seperti
seorang pemuda berdiri di depan cermin, demikian serupa, sebentuk dan segaya!
Kemudian terdorong oleh keharuan hati, kedua orang muda itu lalu saling tubruk
dan saling peluk dengan penuh kemesraan dan keharuan hati. Tiong Han tak dapat
menahan Iagi bertitiknya air mata dari sepasang matanya ketika ia merangkul
adiknya. Akan tetapi ketika matanya memandang kebawah dan terlihat olehnya
gagang pedang Ang-coa-kiam, hatinya seperti tertusuk oleh pedang itu dan ia
melepaskan pelukannya.
“Tiong Kiat,
anak nakal, kemana saja kau selama ini?" tanyanya dengan pandangan menegur
seperti biasa ia lakukan dahulu bila adiknya berlaku nakal.
Mendengar
teguran dan pertanyaan ini Tiong Kiat melangkah mundur dua tindak. Walau iapun
terpengaruh oleh keharuan hatinya, akan tetapi ia sekarang teringat Iagi akan
kesalahan-kesalahannya terhadap kakaknya ini, ia memandang tajam dan bertanya
dengan suara dingin,
"Han.ko,
mengapa kau berada di sini?" la melirik ke arah pedang yang tergantung di
pinggang kiri Tiong Han. "Apakah kau disuruh oleh suhu untuk menyusul dan
menangkapku?" Ia memandang makin tajam dan kepalanya agak dimiringkan,
pandangan matanya penuh selidik.
"Tiong
Kiat, tak perlu aku berbohong kepadamu. Kepergianmu dari Liong-san membuat suhu
menjadi marah sekali, terutama sekali karena kau membawa pergi pedang
Ang-coa-kiam yang menjadi pedang pusaka Kim-liong-pai, Mengapa kau berani
melakukan hal itu, adikku? Mengapa?"
Tiong Kiat
tertawa mengejek dan tangan kirinya menepuk-nepuk pedang Ang-coa-kiam.
"Tiong Han," ia tidak menyebut kakak. "aku adalah murid yang
terpandai, maka berhak mewarisi pedang ini. Habis, apakah sekarang
kehendakmu?"
Dua orang
pemuda yang sama rupa sama bentuk itu berdiri berhadapan dalam keadaan tegang.
Tiong Kiat dengan pandangan mata menantang sedangkan Tiong Han dengan mata
berduka.
"Tiong
Kiat, kau harus kembalikan pedang itu. Aku disuruh oleh suhu untuk mengambil
kembali pedang itu. Sadarlah bahwa kau tidak berhak mengambil pedang pusaka itu
begitu saja tanpa ijin dari suhu."
Akan tetapi
Tiong Kiat melangkah mundur tiga tindak dan tiba-tiba ia mencabut pedang
Ang-coa-kiam dan berkata, "Tiong Han! Selama beberapa bulan ini, pedang
inilah kawan satu-satunya dariku yang telah melindungi keselamatanku. Bagaimana
aku bisa mengembalikannya begitu saja? KaIau pedang ini kau ambil aku akan
merasa sunyi, seakan-akan ditinggalkan seorang sahabat yang paling baik."
Berobah
wajah Tiong Han mendengar ini. "Tiong Kiat, di mana... sumoi? Aku tidak
melihatnya!"
Tiong Klat
tersenyum pahit. "Kau mencari tunanganmu?”
"Jangan
kurang ajar!" Tiong Han membentak. "Aku tidak menganggapnya sebagai
tunangan lagi. Aku rela melepaskannya untuk menjadi jodohmu. Aku hanya ingin
mengetahui mengapa dia tidak berada di sini, bersamamu. Apakah kau telah
meninggalkannya pula?” Pandangan pemuda ini menjadi tajam dan keras.
"Siapa
meninggalkannya? Kami hanya memilih jalan masing-masing. Kalau kau mau mencarinya
ke kota Hang-yang, kau akan dapat bertemu dengan dia dan kau boleh mengambilnya
sebagai istrimu!"
Mendongkol
juga hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Tiong Kiat, tak perlu kita
melanjutkan percakapan tentang sumoi. Yang paling penting sekarang ialah
pengembalian pedang itu. Suhu menghendaki agar supaya aku mengambil kembali
pedang Ang-coa-kiam dan membunuhmu. Akan tetapi asal saja kau mengembalikan
pedang itu dan berjanji takkan melakukan kesesatan, aku takkan
mengganggumu."
Tiong Kiat
tertawa bergelak mendengar omongan ini. "Tiong Han, biarpun suhu sendiri
yang datang mengambil pedang ini, agaknya ia takkan dapat mengambilnya begitu
saja tanpa membuktikan bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi dari padaku.
Siapa yang memiliki kepandaian ilmu pedang Ang coa kiamsut lebih tinggi, dialah
yang berhak memiliki pedang ini! Aku memegang pedang ini, nah, apakah kau
memiliki keberanian untuk menentangku. Apakah kau tidak tahu bahwa pemegang
pedang ini harus dihormati dan ditaati oleh semua anak murid Kim-liong-pai?"
"Tiong
Kiat, jangan kau berkeras! Lebih baik kembalikan pedang itu dan kalau kau
menginginkan sebatang pedang yang baik, kau boleh ambil pedangku Hui-liong-kiam
ini. Aku tidak bisa menyerangmu, kau adalah adikku dan kau tahu betapa besar
cinta kasihku kepadamu."
"Jangan
omong kosong! Aku memegang Ang-coa-kiam, kalau kau mau menjadi murid Kim-liong
pai yang mendurhaka, kau boleh melawan aku!"
Sedih benar
hati Tiong Han menyaksikan sikap adiknya ini. Terpaksa ia merogoh saku bajunya
dan mengeluarkan kitab Ang-coa-kiam coan-si. "Kau Iihat ini, Tiong Kiat!
Akulah yang lebih berhak dari padamu, karena kitab pusaka ini dipercayakan
kepadaku oleh suhu!"
Terbelalak
mata Tiong Kiat memandang kepada kitab Iapuk di tangan kakaknya itu. Ketika ia
hendak pergi, ia telah mencari-cari kitab ini, akan tetapi ia tak terdapat
olehnya. Kalau saja ia dapat memiliki kitab itu, tentu ilmu pedangnya akan
menjadi maju pesat sekali. Otaknya yang cerdik bekerja cepat dan ia lalu
tersenyum ramah kepada kakaknya.
"Han-ko,
terpaksa aku mengakui keunggulanmu karena kau memegang kitab itu. Baiklah aku
akan kembalikan Ang-coa-kiam kepadamu, akan tetapi kau harus memberi pinjam
kitab itu selama beberapa bulan kepadaku agar adikmu ini dapat melanjutkan
pelajaran ilmu pedang."
Tiong Han
menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Tiong Kiat. Kitab ini tidak boleh
kuberikan kepada siapapun juga. Lekas kau berikan pedang itu padaku."
"Berikan?
Mari, terimalah!" Akan tetapi ucapan ini disambung dengan gerakan menusuk
dengan pedangnya ke arah dada kakaknya! Sungguh kejam dan jahat sekali hati
pemuda yang sudah tertutup oleh hawa nafsu busuk itu.
Baiknya
Tiong Han sudah berlaku waspada. la kenaI baik adiknya yang cerdik dan semenjak
kecil memang mempunyai banyak akal licin ini. Ia cepat mengelak, menyimpan
kitabnya dan mencabut pedang Hui-liong-kiam.
"Tiong
Kiat, dengan hati perih terpaksa aku harus memberi hajaran kepadamu dan
mengambil kembali pedang itu dengan paksa!” katanya sambil membalas dengan
serangan yang kuat.
"Ha ha
ha! Baik mari kita mencoba siapa yang lebih kuat diantara kita." jawab
Tiong Kiat memandang rendah, oleh karena ia tahu bahwa kepandaiannya masih
lebih menang dari pada kakaknya.
Akan tetapi
begitu mereka bergebrak selama beberapa jurus saja terkejutlah Tiong Kiat. Ilmu
pedang kakaknya ini sudah maju jauh sekali, bahkan tenaga lweekangnya lebih
mantap dan berisi dari pada dulu! Ia menjadi gemas, mengertak gigi dan
melakukan serangan mati-matian, menggerakkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Beberapa
kali ia sengaja mengadu pedang Ang-coa-kiam untuk membabat putus pedang di
tangan Tiong Han, akan tetapi biarpun bunga api berpijar menyilaukan mata,
pedang Hui-Iiong-kiam itu ternyata tidak rusak sedikitpun juga. Pertempuran
dilanjutkan dengan amat sengitnya. Serang-menyerang terjadi, desak mendesak
antara kedua saudara kembar itu. Mereka sama lincah, kuat dan sama mahir ilmu
pedangnya.
Hanya ada
sedikit perbedaan, yakni kalau Tiong Kiat menyerang dengan mati-matian dengan
nafsu merobohkan dan membunuh kalau perlu dalam usahanya untuk merampas kitab
Ang-coa-kiam-coan-si, adalah Tiong Han bertempur dengan terpaksa. Hatinya tidak
tega untuk melukai adiknya yang amat dicintanya ini, dan ia hanya
mempertahankan diri dan serangan balasannya hanya ditujukan untuk merampas
pedang!
Sesungguhnya,
setelah mematangkan ilmu pedangnya dari kitab yang dibawanya, kemajuan Tiong
Han luar biasa sekali dan ia telah dapat melampaui kepandaian adiknya. Banyak
jurus-jurus rahasia yang menjadi bagian-bagian tersulit dari ilmu pedang
Ang-coa-kiamsut telah dipelajarinya sedangkan Tiong Kiat belum pernah
mempelajari jurus-jurus ini. Kalau Tiong Han mau menyerang mati-matian seperti
adiknya, tak dapat disangsikan Iagi bahwa ia pasti akan menang. Akan tetapi
keraguannya membuat ia selalu bahkan terdesak oleh Tiong Kiat!
"Engko
Han yang baik," Tiong Kiat berkata mengejek, "biarpun kepandaianmu
sudah maju, tetap saja kau takkan dapat menangkap aku. Lebih baik kau serahkan
kitab itu agar aku tidak akan berdosa melukaimu!"
"Kau
buta oleh nafsu jahatmu, Tiong Kiat." Tiong Han menjawab sambil menangkis
sebuah sambaran pedang adiknya.
Pertempuran
dilanjutkan Iebih hebat lagi, karena Tiong Kiat kini menyerang Iebih bernafsu.
la merasa penasaran juga karena telah bertempur lebih dari lima puluh jurus,
belum juga Tiong Han dapat dikalahkan. Padahal dulu, di dalam latihan, ia dapat
mengalahkan kakaknya ini dalam waktu tiga puluh jurus saja.
Bukan main
hebatnya pertempuran kakak beradik ini, dua saudara kembar ini. Gulungan sinar
pedang Ang-coa-kiam yang berwarna merah bergulat dengan sinar pedang dari Hui
liong kiam, merupakan dua ekor naga yang saling membelit. Pertempuran ini hanya
disaksikan oleh bulan, angin dan pohon pohon di sekitar mereka.
Seratus
jurus terlewat dan Tiong Han makin terdesak saja. Tiba-tiba serangan kilat yang
amat hebat dari Tiong Kiat dan yang ditangkisnya kurang cepat membuat pedang
Ang-Coa-kiam meleset dan melukai pundak Tiong Han! Bajunya di bagian pundak
terbabat robek, berikut sedikit daging dan kulitnya sehingga mengucurkan darah
dari pundak Tiong Han!
"Serahkan
kitab itu!" Tiong Kiat membentak sambil menahan serangannya. Betapapun
juga, ia tidak ingin membunuh kakaknya dan timbul rasa kasihan di hatinya
melihat betapa wajah kakaknya menjadi meringis menahan sakit.
"Tiong
Kiat, kau terlalu!" Tiong Han menegur dan kini pemuda inilah yang
mendahului maju menyerang adiknya.
Tiong Kiat
menangkis dan sebentar kemudian terkejutlah dia karena gerakan pedang Tiong Han
bukan main kuat dan hebatnya, penuh dengan gerakan dan gaya yang aneh dan tak
dapat terduga sama sekali olehnya! la merasa seakan-akan pedang Hui-liong-kiam
berobah menjadi banyak sekali, mengelilingi dan menyerang ke arah dirinya dari
segenap penjuru!
Barulah
Tiong Kiat tahu bahwa kepandaian kakaknya sudah mencapai tingkat tinggi sekali!
Akan tetapi terlambat ia sadar akan kesombongannya karena sebelum ia tahu apa
yang terjadi, ia merasa perih sekali pada lengan kanannya dan tahu-tahu
pedangnya telah pindah ke tangan kiri Tiong Han dan Iengan bajunya telah robek
berikut kulit lengannya yang mengalirkan darah lebih banyak daripada darah yang
mengucur dari pundak Tiong Han.
"Aduh..."
Tiong Kiat mengeluh. Kemudian saking jengkel, marah dan malunya ia lalu menjatuhkan
diri di atas tanah, menutupi mukanya dan menangis!
Tiong Han
tidak merasa heran melihat kelakuan adiknya ini. Semenjak dulu ketika mereka
masih kecil, tiap kali dia marah kepada adiknya atau memukulnya, Tiong Kiat
selalu menangis seperti itu. Dan juga ia tidak merasa heran ketika mendengar
adiknya meratap.
"Ayah
ibu, mengapa kalian tidak membawa aku mati saja! apa artinya hidup bersama
seorang kakak yang kejam terhadap adiknya sendiri?”
Memang,
sikap Tiong Kiat ini benar benar lucu dan bersifat kekanak-kanakan, akan tetapi
memang pemuda ini memiliki kelemahan hati yang akhirnya menjadi kebiasaan,
bahkan seringkali dipergunakan sebagai siasatnya untuk mengalahkan hati
kakaknya! Kali inipun, melihat haI adiknya sedemikian rupa, biarpun Tiong Han
maklum bahwa hal itu mungkin hanya siasat, hatinya tersinggung dan sambil
mengalirkan air mata, ia menubruk dan memeluk Tiong Kiat!
"Adikku,
jangan kau berduka. lni ambillah pedangku Hui-liong-kiam! Kau sudah menyaksikan
sendiri bahwa ketajaman dan keampuhannya tidak kalah oleh Ang-coa-kiam. Mana
lenganmu, biar aku balut agar jangan banyak darah yang keluar!"
Sambil
berkata demikian, Tiong Han lalu merobek pinggir Jubahnya dan membalut lengan
tangan Tiong Kiat yang memandang dengan muka terharu. Alangkah baik hatinya
kakaknya ini. Lukanya sendiri di pundak tidak dlperhatikan, sebaliknya malah
membalut luka di tangannya.
"Han
ko, bisakah kau memaafkan aku yang sudah menyakiti hatimu?" tanyanya
dengan terharu, rasa haru yang timbul dari hati murninya, bukan pura-pura.
"Mengapa
tidak, adikku? Semenjak dahulu aku telah memaafkanmu bahkan tadipun aku
terpaksa melukaimu. Ilmu pedangmu terlampau kuat!"
"llmu
pedangmu yang hebat Han-ko! Apakah serangan tadipun merupakan jurus-jurus dari
Ang-coa-kiam-sut."
Tiong Han
mengangguk dan melanjutkan pekerjaan membalut lengan tangan adiknya. Ia sedang
menundukkan mukanya, tidak melihat betapa kini sinar mata Tiong Kiat telah
berobah menjadi liar lagi, ditujukan dengan mata penuh nafsu ke arah baju
kakaknya, seakan-akan hendak menaksir di mana kakaknya menyembunyikan kitab
ilmu pedang yang amat diinginkannya itu.
"Han-ko,
terima kasih atas pemberianmu pedang Hui-liong-kiam ini. Biarlah kau bawa
kembali pedang Ang-coa-kiam yang sial itu!"
Tiong Han
tersenyum. "Adikku, jangan kau kira bahwa kau boleh mempergunakan pedang
hui liong kiam sesuka hatimu. Ketahuilah bahwa pedang itu datang dari Heng-san,
tadinya punya Lui-kong-jiu Keng Kim Tosu dan penggunaan pedang itu berada di
bawah pengurusannya dan juga pengawasan Pat-jiu Toanio Li bi Hong! hati-hatilah
dan jangan kau bertindak nyeleweng, karena kalau sampai mereka tahu bahwa
pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, mereka tentu akan turun tangan
kepadamu!"
"Aduh...!"
Tiong Kiat mengeluh dan Tiong Han cepat memegang tangan kanan yang terluka itu.
"Sakitkah? terlalu eratkah aku membalutnya?" la memeriksa lengan yang
telah dibalutnya itu, sambil mendekatkan mukanya.
Tiba-tiba
sekali diluar persangkaannya, tangan kiri Tiong Kiat bergerak dan menotok
dengan cepat sekali jalan darah pada punggungnya! Tiong Han tak dapat
mengeluarkan suara lagi dan roboh terguling dalam keadaan lemas tak berdaya
menggerakkan seluruh tubuhnya! Hanya matanya saja memandang ke arah adiknya
dengan mata menyesal sekali.
"Engko
Tiong Han, terpaksa aku merobohkanmu, karena ketahuilah, aku ingin sekali
mendapatkan kitab ilmu pedang Ang-coa kiam-sut itu! Bukan untuk memilikinya dan
mempergunakan pengaruhnya, akan tetapi untuk mempelajari ilmu pedang itu lebih
sempurna lagi! Pedang Ang-coa-kiam kutinggalkan kepadamu, biarlah aku merasa
puas dengan Hui Iiong kiam ini saja. Akan tetapi kitab Ang-coa-kiamsut
kubawa!"
Ia lalu
mengulurkan tangan menggeledah, akhirnya ia mendapatkan kitab itu di saku baju
Tiong Han. Dengan girang ia membalik-balik lembaran kitab itu, lalu
menyimpannya di dalam saku bajunya.
"Han-ko!
Aku masih mengingat budi dan ikatan persaudaraan maka aku takkan membunuhmu.
Jangan kau persalahkan adikmu yang hanya ingin memperdalam ilmu kepandaiannya.
Pedang Hui-liong-kiam kubawa berikut kitab ini. Besok siang kau akan sehat
kembali dan pulanglah ke Liong-san mengembalikan pedang Ang-coa-kiam kepada
suhu! Nah, selamat tinggal saudaraku yang budiman!"
Tiong Kiat
memondong tubuh Tiong Han yang lemas itu dan meletakkannya di bawah sebatang
pohon besar. Pedang Ang-coa-kiam ia masukkan ke dalam sarung pedang Tiong Han
yang masih tergantung di pinggang. Kemudian ia berdiri dan memandang kepada
kakaknya.
Kasihan juga
hatinya melihat betapa kakaknya rebah terlentang tak berdaya. Darah merah
mengalir pada pundaknya. Akan tetapi ia teringat bahwa kini kepandaian kakaknya
sudag lebih tinggi dari padanya. Kalau kakaknya pulih kembali dari pengaruh
totokannya dan ia masih berada di situ, tentu ia akan kalah lagi dan terpaksa
mengembalikan kitab itu. Maka ia lalu berlari pergi dari tempat itu.
Dewa penjaga
gunung Ta-pie-san agaknya marah menyaksikan kejahatan adik terhadap kakaknya
ini. Bulan yang tadinya bersinar terang tiba-tiba berubah mendung tebal. Tiong
Kiat menjadi bingung karena sukar sekali untuk menuruni bukit-bukit yang banyak
jurang-jurangnya di dalam gelap. Dan tak lama kemudian saat ia maju perlahan
mencari jalan, hujan turunlah dengan lebatnya bagaikan dituangkan dari atas!
"Jahanam
benar!"
Tiong Kiat menyumpah-nyumpah
dan terpaksa mencari tempat perlindungan di bawah sebatang pohon yang besar. la
memperhitungkan bahwa totokannya yang tepat mengenai jalan darah sui-mo-hiat di
punggung Tiong Han, akan membuat tubuh kakaknya menjadi lemas sampai sedikitnya
besok siang baru bisa lenyap. Sementara ini, ia merasa aman. Besok pagi-pagi
terang tanah, ia dapat turun gunung dan sebelum kakaknya sadar ia telah berada
di tempat jauh!
Akan tetapi
semalam itu ia tidak dapat beristirahat. Pertama-tama karena hujan yang turun
telah membuat tubuhnya menjadi basah kuyup, terutama sekali lengannya yang
terluka itu biarpun telah dibalut, kini air telah merayap masuk dan membuat
lukanya terasa perih dan sakit sekali. Kembali ia mengumpat caci kepada hujan,
kepada bulan, kepada malam gelap.
Tiba-tiba ia
teringat dan wajahnya menjadi pucat! Kakaknya rebah terlentang di bawah pohon
itu dan tentu terserang oleh hujan lebat pula. Dan kakaknya berada dalam
keadaan terluka dan tidak dapat bergerak sama sekali! Ah, bagaimana kalau
kakaknya itu sampai tewas? Hujan dan hawa dingin menyerangnya. Luka itu masih
terus mengalirkan darah! Berdebar jantung Tiong Kiat. Kalau kakaknya tewas,
maka berarti dialah yang membunuhnya! Tidak, tidak! la tidak mau menjadi
pembunuh kakaknya!
Sambil
mengerang Tiong Kiat lalu bangkit berdiri hendak kembali ke tempat di mana
Tiong Han rebah tadi. Hendak dijaga dan dirawatnya Tiong Han sampai besok pagi,
agar kakaknya itu tidak ditinggalkan dalam keadaan terancam bahaya maut. Akan
tetapi terpaksa ia harus membatalkan kehendak hatinya itu. Tak mungkin kembali
ke tempat tadi dalam malam gelap dan hujan Iebat ini. la tidak tahu Iagi ke
mana harus mencari jalan. Akhirnya dengan hati khawatir sekali ia menjatuhkan
diri, duduk kembali di bawah pohon.
Hujan turun
terus sampai keesokan harinya, pagi pagi baru reda. Tiong Kiat tidak jadi turun
gunung dan kembali ke tempat kemarin malam untuk menengok kakaknya. Hatinya
gelisah sekali. Berdebar jantungnya penuh kengerian kalau ia membayangkan
betapa Tiong Han akan didapatinya di bawah pohon dalam keadaan kaku tak
bernyawa lagi! Ia mempercepat tindakan kakinya.
Akan tetapi
ia menjadi melongo keheranan ketika tiba di tempat itu, ternyata ia tidak
melihat Tiong Han Iagi! Mungkinkah ini? Mungkinkah Tiong Han dapat melepaskan
diri dari pada totokannya? Tidak bisa jadi! Dengan hati gelisah Tiong Kiat
memandang ke kanan kiri, lalu berjalan masuk ke dalam hutan di dekat tempat itu
dengan hati-hati. Kalau kakaknya muncul, ia akan melarikan diri.
Tiba tiba ia
mendengar suara wanita menangis, diiringi oleh kata-kata pedas seperti orang
memaki-maki. Ia mempercepat tindakan kakinya menuju goa batu karang darimana
suara itu terdengar. la cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat seorang
wanita muda keluar dari goa itu sambil menyeret tubuh seorang laki laki.
Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa tubuh yang diseret itu bukan lain adalah
tubuh Tiong Han yang masih lemas! Dan yang menyeret itu ia kenal sebagai gadis
cantik jelita yang dulu telah ditolong dan kemudian diganggunya di dalam hutan!
Memang gadis
ini bukan lain adalah Suma Eng atau Eng Eng! Sebagai mana telah dituturkan di
bagian depan, Eng Eng telah bertemu dengan Tiong Han dan mengira bahwa pemuda
ini adalah yang telah mengganggunya sehingga gadis ini menyerang Tiong Han
dengan hebat. Kemudian Tiong Han melarikan diri dan Eng Eng selalu berusaha
mencari pemuda ini.
la mencari
keterangan dan mengikuti ke mana juga jejak pemuda ini nampak. Sampai
berbulan-bulan ia tidak berhasil bertemu dengan Tiong Han. Akhirnya ia
mendengar bahwa pemuda yang dicarinya itu berada di puncak gunung Ta-pie-san,
maka tanpa membuang waktu lagi ia lalu mengejar ke atas dan pada senja hari itu
ia tiba di lereng bukit Ta pie san.
Akan tetapi,
malam hari itu ia tidak dapat mencari Tiong Han karena hujan turun dengan
derasnya. Betapapun juga, gadis yang keras hati ini terus merayap naik dan
akhirnya di dalam hujan lebat, ia melihat tubuh seorang laki-laki menggeletak
telentang di bawah pohon. Ia tidak mengira bahwa itu adalah tubuh pemuda yang
dicarinya, karena malam gelap dan hanya diterangi oleh berkelebatnya sinar
kilat.
Timbul
perasaan kasihan di dalam hatinya dan dipondongnya tubuh pemuda yang tak
berdaya itu ke sebuah gua di dalam hutan. Ia melihat betapa pundak pemuda itu
terluka, maka ia segera membalutnya dengan baik-baik. Ketika ia melihat pedang
tergantung di pinggang Tiong Han, diam-diam ia memuji pedang bagus itu.
Pada
keesokan harinya, ketika malam gelap telah pergi dan ada penerangan masuk ke
dalam goa, ia memandang pemuda itu dan alangkah terkejutnya ia bahwa pemuda
yang ditolong itu bukan lain adalah Tiong Han, pemuda yang selama ini
dicari-carinya!
"Jahanam
terkutuk! Kiranya kau ini!"
Tiong Han
mengalami penderitaan yang luar biasa. Ketika tadi ia ditinggalkan oleh Tiong
Kiat, tubuhnya lemas tak berdaya dan luka di pundaknya mengeluarkan banyak
darah. Ketika hujan turun menimpanya ia berusaha untuk mempertahankan diri,
akan tetapi hawa dingin dan rasa sakit, pada pundaknya membuatnya jatuh
pingsan. Ia tidak tahu bahwa dia telah ditolong oleh Eng Eng. Kini ia telah
siuman dan pengaruh totokan itu sudah makin lemah sehingga ia dapat bicara dan
menggerakkan sedikit tangan kakinya. akan tetapi masih belum mampu bangun.
Iapun terkejut sekali ketika melihat Suma Eng yang dikenalnya.
"Nona Suma
Eng kaukah yang menolongku? Terima kasih..."
"Bangsat
besar! Sim Tiong Han... baru sekarang aku dapat bertemu dengan kau! Dosamu
telah terlampau besar dan agaknya Thian sudah memberi kesempatan kepadaku untuk
mencincang hancur kepalamu!" Gadis itu tertawa bergelak. Akan tetapi suara
ketawanya disusul oleh tangis yang mengharukan.
"Aku
akan membunuhmu... aku akan menghancurkan kepalamu! Tidak, tidak, aku akan
menyiksamu, akan membiarkan tubuhmu diterkam dan dipakai berebutan
binatang-binatang hutan. Biar burung-burung hantu menarik keluar matamu, biar
srigala-srigala hutan mencabik-cabik dagingmu!”
Sambil
berkata demikian, Eng Eng lalu menjambak rambut Tiong Han dan diseretnya pemuda
itu keluar dari goa, Tiong Han merasa ngeri sekali. la merasa yakin bahwa gadis
ini tentulah seorang gadis liar dan gila! Akan tetapi apakah dayanya? la masih
setengah berada dalam pengaruh totokan Tiong Kiat dan tak mungkin baginya untuk
menggerakkan tubuh melakukan perlawanan!
Dan pada
saat Eng Eng menyeret tubuh Tiong Han sambil menjambak rambutnya ini,
menariknya keluar goa, datanglah Tiong Kiat yang segera bersembunyi di balik
pohon. Pemuda ini memandang dengan mata terbelalak dan menahan nafas. Wajahnya
berobah pucat sekali.
Setelah Eng
Eng berada di luar goa, di dalam keadaan yang sangat terang itu ia memandang ke
arah wajah Tiong Han. Diam-diam ia mendongkol sekali ketika melihat wajah yang
tampan itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia begitu benci kepada
pemuda yang merusak hidupnya ini dan sebelum membunuhnya ingin sekali
menyiksanya dengan rasa takut. Akan tetapi pemuda ini hanya memandangnya dengan
heran dan mulutnya bahkan tersenyum. Ia melihat betapa Tiong Han menarik napas
maka ia melepaskan jambakannya dan berkata,
"Ha,
kau menarik napas! Baru sekarang kau merasa menyesal atas perbuatan dahulu
bukan? Sungguh matamu buta. Kau berani mati sekali telah berbuat tidak patut
terhadapku. Tak tahukah kau siapa aku? Manusia terkutuk, aku Suma Eng tak boleh
dihina begitu saja. Aku telah bersumpah sebelum dapat mencarimu dan membalas
dendam, aku takkan berhenti berusaha! Aku tidak mau mati dulu sebelum dapat
menghancurkan mukamu! Dan sekarang kau telah berada di dalam tanganku!” Kembali
gadis itu tertawa kemudian disusul oleh tangisnya yang memilukan.
"Nona
Suma, aku tidak menyesali perbuatanku yang sudah-sudah, karena sepanjang
ingatanku, aku tak pernah berbuat dosa terhadapmu ataupun terhadap siapapun
juga. Aku Sim Tiong Han adalah seorang laki laki sejati, mana mungkin aku
mengganggu seorang wanita. Aku kasihan melihatmu, nona."
Eng Eng
menengok dan memandang dengan mata terbelalak. "Kasihan?"
"Aku
kasihan melihat kau, seorang gadis muda yang agaknya menjadi murid orang
pandai, ternyata menderita sakit. Entah kejadian atau malapetaka apa yang telah
menimpa dirimu dan yang telah membuat pikiranmu tidak waras lagi."
"Kaukira
aku gila? Bangsat terkutuk, jahanam keparat, kubunuh kau!" Eng Eng
menghunus pedangnya yang bersinar merah dan diangkatnya pedang itu ke atas.
Tiong Han
memandangnya dengan senyum, "Nona Suma Eng semenjak kita bertemu didalam
hutan di dalam keadaan yang aneh dulu itu dan kemudian kau menyerangku tanpa
alasan, aku tak pernah melupakan kau. Sikapmu yang aneh itu benar-benar
membingungkan aku. Kita belum pernah bertemu, akan tetapi kau tiba-tiba saja
memusuhi dan hendak membunuhku. Ah, sungguh di dunia ini banyak terjadi hal yang
aneh”
"Ha,
kau takut mati?"
"Tidak
ada orang yang takut mati atau takut hidup, karena hidup dan mati tidak berada
di tangan manusia. Mati di dalam tangan seorang seperti kau bukan hal yang
terlalu buruk," la tersenyum. "Hanya sayangnya aku selalu akan merasa
penasaran karena belum tahu apa sebabnya nona Suma Eng yang pandai dan cantik
begitu membenci Sim Tiong Han yang rendah."
Tiba-tiba
sinar mata Eng Eng mengeras ketika ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik.
"Kau masih berpura-pura ataukah aku yang mimpi? Orang she Sim, kau dulu
bertemu dengan aku di dalam hutan, bukan?"
"Betul,
kau berada dalam keadaan pingsan dan kehujanan."
"Kau
lalu membawaku ke kuil tua bukan?"
Tiong Han
menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya menyelimuti tubuhmu dengan
mantelku, agar jangan terserang air hujan. Aku tidak tahu adanya kuil di tempat
itu, kalau tahu tentu kau akan kubawa ke sana agar terhindar dari serangan
hujan lebat. Aku hanya menyelimutimu dan ketika kau siuman, tiba-tiba kau
menyerang dan melukai pundakku!"
"Bohong!"
tiba-tiba Eng Eng menampar dan "plak!" pipi Tiong Han terkena
tamparan keras sehingga pemuda yang masih lemas ini tak dapat menahan. Darah
segar mengalir keluar dari bibirnya.
"Manusia
pengecut! Kau telah berani melanggar dosa, berani berbuat akan tetapi tidak
berani mengaku. Laki laki macam apakah kau ini? Kau telah membawaku ke kuil
ketika aku sedang pingsan dan kau... kau telah berbuat hina kepadaku! Karena itu
aku harus menghancurkan kepalamu sebelum aku menghabiskan nyawaku
sendiri!"
"Nona,
tidak salahkah kau? Apakah orang terkutuk itu orang lain?"
“Bangsat!
Kau kira aku dapat melupakan muka orang?" ia menatap dengan tajam dan
merasa yakin bahwa pemuda yang dulu menghinanya adalah orang inilah!
Tiba-tiba
Tiong Han teringat kepada Tiong Kiat dan ia menghela napas dengan hati perih!
"Ah. Mungkinkah…? Ya Tuhan mengapa kau tersesat sedemikian
jauhnya...?"
"Apa
maksudmu? Siapa tersesat?” Eng Eng bertanya.
"Sudahlah,
nona. Kalau kau mengira bahwa orang yang berbuat tidak patut terhadapmu itu
adalah aku, maka bunuhlah aku! Aku takkan menyangkal lagi dan memang barangkali
akulah orang itu!"
"Kau
mengaku?"
“Ya, boleh,
kau sebutkan aku mengaku. Boleh bunuh saja dan habis perkara!"
Tiba-tiba
Eng Eng menangis sedih. Entah mengapa, setelah melihat wajah dan sikap Tiong
Han, rasa bencinya lenyap secara aneh. Kalau tadi ketika Tiong Han tidak mau
mengaku, ia menjadi penasaran dan marah, adalah sekarang setelah pemuda itu
mengaku, ia sendiri merasa ragu-ragu!
Sungguh
aneh, tadi ketika Tiong Han menyangkal dan membuatnya merasa yakin bahwa pemuda
inilah orangnya yang berdosa, ia tidak melihat perbedaan sedikitpun dan wajah
pemuda yang mengganggunya dengan wajah pemuda dihadapannya ini. Akan tetapi
sekarang timbullah keraguan besar. Tak mungkin pemuda yang bersikap halus,
sabar dan gagah ini melakukan perbuatan sedemikian rendahnya. Dan kini ada
sesuatu yang membisikinya bahwa bukan inilah orangnya yang berdosa!
Ada satu
titik perbedaan antara orang di kuil itu dengan pemuda ini, akan tetapi Eng Eng
tidak tahu dan tidak ingat lagi apakah perbedaan itu. Akan tetapi pemuda ini
telah mengaku dan harus dibunuh untuk membalas dendam hatinya. Kemudian dia
akan membunuh diri sendiri, karena untuk apa hidup lebih lama lagi menanggung
derita batin yang hebat? la akan selalu merasa dirinya kotor dan tidak berharga
lagi!
Tiba-tiba
Eng Eng menangis terisak-isak, menutupi mukanya dengan kedua tangannya,
sehingga Tiong Han merasa heran sekali.
"Nona
Suma Eng mengapa menangis? Kau telah menganggapku orang yang berdosa telah
mencelakakan hidupnya. Nah bunuhlah, aku takkan merasa penasaran mati di
tanganmu setelah aku ketahui apa sebabnya kau hendak membunuhku."
"Kau...
kau bohong! Bersumpahlah bahwa kau bukan yang melakukan hal itu dan aku akan
melepaskanmu!"
Tertegun
Tiong Han mendengar ini. Tentu saja ia ingin bersumpah untuk menyatakan
kebersihan dirinya akan tetapi ia teringat kepada Tiong Kiat! Ia tahu bahwa
gadis ini tentu telah diganggu oleh Tiong Kiat dan hatinya hancur memikirkan
kejahatan dan kesesatan adiknya itu. Kalau ia bersumpah, tentu gadis ini akan
mencari Tiong Kiat dan dia sendiri pun tidak akan dapat memaafkan Tiong Kiat
untuk perbuatannya yang biadab itu.
la
menggeleng kepala. "Tidak, nona. Aku tidak dapat bersumpah!"
Tiba-tiba
Eng Eng menjadi marah lagi. "Begitu? Hm, kau seorang pengecut! Tadi kau
menyangkal bahwa kau yang melakukan perbuatan itu, sekarang kau bahkan tidak
berani berkata terus terang! Kau… kau menyebalkan hatiku!”
Kembali Eng
Eng menampar dan untuk kedua kalinya bibir Tiong Han berdarah! Pipi pemuda yang
telah ditampar dua kali oleh tangan Eng Eng yang mengandung tenaga hebat itu
telah menjadi bengkak.
"Bunuhlah
saja, nona…”
"Tentu
saja kubunuh kau laki-laki pengecut!"
Diangkatnya
pedang di tangannya dengan maksud untuk memenggal leher Tiong Han. Akan tetapi
pada saat itu sebutir batu melayang cepat dan tepat menangkis pedangnya itu.
"Tranggg...!"
Eng Eng
terkejut sekali dan cepat melompat ke arah pohon besar dari mana batu tadi
melayang. Ia melihat berkelebatnya bayangan orang melompat pergi dari situ,
maka cepat ia berlari menyusul. Ternyata bahwa Tiong Kiat yang menyambit dan
menangkis bacokan pedang Eng Eng tadi. Betapapun juga Tiong Kiat merasa terharu
sekali melihat dan mendengar betapa Tiong Han membela dan melindungi namanya!
Alangkah
mulianya hati kakaknya itu. Kakaknya telah dikhianati, telah ditotok dan
dilukai, bahkan telah dicurinya pula kitab yang dibawa oleh kakaknya. Dan
sekarang, kakaknya masih berusaha melindunginya dari nama busuk. Bagaimana ia
dapat membiarkan kakaknya terbunuh oleh gadis liar ini?
Melihat Eng
Eng mengangkat pedangnya, cepat Tiong Kiat lalu menggunakan kepandaiannya,
menyambit dengan batu untuk menangkis pedang itu. Ia telah mempergunakan
sepenuh tenaganya, dan percaya bahwa pedang di tangan nona itu tentu akan
terpukul jatuh dan terlepas. Siapa kira pedang itu tidak terlepas bahkan batu
yang dipergunakan untuk menyambit itu ketika beradu dengan pedang telah
terpentaI jauh!
Ketika Eng
Eng melompat mengejar, lebih kaget lagi hati Tiong Kiat karena sebentar saja
gadis itu sudah hampir dapat mengejarnya! Tak jauh dari tempat tadi, terpaksa
ia berhenti dan dengan pedang Hui-Iiong kiam di tangan, ia menanti kedatangan
Eng Eng. Setelah gadis itu tiba di hadapannya, ia terpesona oleh kecantikan
yang murni dari gadis ini. Hatinya berdebar. Alangkah jelitanya gadis ini, dan
alangkah gagahnya. Untuk kedua kalinya, Tiong Kiat merasa betapa hatinya
berdenyut aneh. Pandangan matanya melembut dan senyumnya menjadi mesra sekali.
Di lain
fihak, ketika Eng Eng menghadapi pemuda ini wajahnya berubah pucat sekali. la
merasa seakan-akan berada di dalam mimpi, atau seakan-akan melihat seorang iblis
di siang hari. Tak terasa pula ia menengok ke belakang ke arah tempat tadi.
Dari jauh ia masih melihat Tiong Han rebah miring di atas rumput. Apakah
pandangan matanya sudah menjadi rusak? Mengapa ada dua orang yang demikian sama
dan serupa segala-galanya?
"Siapa
kau? Mengakulah, siapa kau?" tanyanya dengan bibir gemetar.
"Nona
sudah Iupa lagikah kau kepadaku? Kita pernah saling bertemu."
"Di
kuil...?"
Tiong Kiat
mengangguk. “Ya, di kuil...”
Eng Eng
merasa kepalanya pening. Bumi yang dipijaknya serasa berputaran dan ia
terhuyung-huyung. Tiong Kiat melompat mendekat dan hendak memeluknya, akan
tetapi Eng Eng mengelak dan berkata,
"Jangan
sentuh aku!”
"Nona,
aku... aku cinta kepadamu. Maafkanlah aku, aku... aku menyesal sekali telah
melukai hatimu. Ikutlah aku, jadilah istriku dan kuperlihatkan padamu bahwa aku
akan menjadi suami yang baik untuk menebus dosaku..."
"Terkutuk!
Jadi kaulah orangnya?" sambil menjerit nyaring Eng Eng lalu menyerang
dengan pedang merahnya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment