Saturday, October 6, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Ular Merah Jilid 06



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Pedang Ular Merah

                 Jilid 06


Kaget dan marahlah Lo Ban Tek mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang baik hati dan dermawan, maka hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau menarik perhatiannya dan membuat ia menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau bukan, murid Kim liong pai atau bukan, kalau sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia selidiki dan harus turun tangan.

Demikianlah, pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho-kut-pian (Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena setiap hari dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang memandangnya dengan heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek keluar dengan membawa ruyung yang mengerikan itu.

Orang itu memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia berjalan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu akan terjadi sesuatu yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan makin tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke rumah kapal!

Apakah si pendiam ini mau berpelesir? Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada anak istri dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya membuat golok dan tombak dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan apakah ia rugi atau untung dalam pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini merupakan kejadian yang menarik hati.

Pada saat itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ sambil mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri Lui-wangwe dan betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali. Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.

"Orang-orang rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan dia!"

Ma-kauwsu dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya, dan dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia mengerti ilmu silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sambil memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya!

“Eh, saudara Lo, kau kenapakah? Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!” Ma kauwsu menegur sambil bangkit dari tempat duduknya.

“Tidak usah banyak bicara!” Lo Ban Tek membentak dengan marah. “Siapa sudi...



Hayo kalian anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan minta dia keluar. Kalau tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!”

Bukan main marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan bangsawan pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang pandai besi biasa berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga, tentu saja mereka merasa panas dalam perut!

“Pandai besi hinadina she Lo! Apakah otakmu sudah menjadi miring? Ataukah kau sudah bosan hidup” bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi itu, diikuti oleh dua orang adiknya.

“Kalian ini kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur!" teriak Lo Ban Tek makin marah. "Panggil saja jai-hwa-cat she Sim itu keluar dan kalian pergilah jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata!"

Akan tetapi mana tiga orang jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar? Terutama sekali Kwee kauwsu yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,

"Pergilah orang gila!"

Pukulan ini adalah gerak tipu Go-houw pok-it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee kauwsu berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung aneh itu, tetap saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya yang berat itu.

Akan tetapi, terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri, agak merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.

"Ngekkk...!"

Kwee kauwsu merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas saking sakitnya dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek diayun tepat mengenai pantatnya.

"Blekkk!" tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh tendangan anak kecil.

Setelah berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas tanah dengan pantat di bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu duduk seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan!

Bukan main sakitnya pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian ini amat mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di luar dugaan mereka. Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya sehingga Kwee kauwsu dapat berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut golok masing-masing dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu!

Gerakan Ma kauwsu dan Cin-kauwsu amat ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih agak terpincang-pincang dan merasa seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi beban yang berat sekali.

"Bangsat rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek. "Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang penjahat besar yang mengacau di kota sendiri? Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban Tek tidak mencari permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!"

Sambil berkata demikian, Si Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang banyak terdapat di pinggir sungai dan sekali ia mengayun Coa-kut-pian di tangannya, batu itu telah kena dihantam sehingga menerbitkan suara keras dan menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang guru silat itu memandang, ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah!

Bukan main terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula? Mereka bertiga, biarpun diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat memecahkan batu itu dengan seratus kali pukul! Oleh karena kaget dan kagum, mereka hanya berdiri tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka juga terpengaruh oleh kata kata pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi oleh orang.orang seluruh kota, apalagi akan menghadapi pembesar-pembesar, ah berat juga!

Pada saat itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal. "Anjing kelaparan dari manakah berani mengacau dan menantangku?"

Baru habis ucapan itu dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah berdiri dihadapan Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan. Berdebar juga hati Lo Ban Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda tampan ini. la memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat cakap, gagah dan tampan, berpakaian serba biru yang indah sekali. Juga pedang di tangan pemuda ini benar-benar Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim-liong-pai, karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan tokoh Kun-lun-pai tentang pusaka ini.

"Anak muda, kau sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang-coa-kiam dan Kim Liong pai untuk melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang bisa dijatuhkan oleh Lui Thian Sianjin kepadamu? Aku tidak percaya bahwa kau adalah anak murid Kim Iiong pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam itu?"

Sim Tiong Kiat tersenyum mengejek. "Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah yang mewakili Kim-liong-pai. Bukankah Ang-coa-kiam di tanganku ini menjadi bukti terkuat?"

"Aku tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim-liong-pai, apalagi yagg sudah dipercayai untuk memegang Ang-coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang pusaka) dan kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang-orang lemah dan menindas kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin, sucouw dari Kim-liong-pai. Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja yang telah kaulakukan?"

Tertegun juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik gurunya dan keadaan Kim-Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia bertanya,

"Siapakah kau, hai manusia kasar yang bosan hidup? Siapa kau yang berpura-pura mengerti tentang keadaan Kim-liong-pai?"

"Mengapa aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai? Aku adalah murid Kim kong Tianglo di Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan kau sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."

Di dalam hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang tokoh Kun-Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun-lun-pai itu ketika Kim Kong Tianglo mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.

"Saudara Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu. Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?"

Lo Ban Tek tersenyum mengejek. "Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah dapat mencemarkan nama baikmu."

"Apa?" Tiong Kiat mencela marah, "Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat baik, akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah orang-orang lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya? Apakah perbuatan ini merugikanmu? Atau merugikan orang Iain? Saudara Lo, kalau kau merasa iri hati, marilah ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari-bidadari rumah kapal. Tak perlu urusan macam ini menimbulkan bentrokan diantara kita..."

"Cih! Aku bukanlah orang macam itu! Aku tidak meributkan urusan cabul! Aku datang hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya? Apakah hal ini kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula!"

"Lebih dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang. "Anjing tua dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh! Mereka telah berlaku kurang ajar dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan yang kini terpaksa menjadi seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah orang-orang semacam ini tidak boleh di bunuh?"

"Dari siapakah kau mendengar akan obrolan itu? Tentu dari mulut perempuan busuk itu bukan? Ha ha ha? Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang baik mana yang busuk! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan kotor itu dengan keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si perempuan yang kau bela mati-matian itu! Memang, dulu dia adalah seorang pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan berani bermain gila dengan pelayan-pelayan laki-laki yang ada di rumah itu! Lui wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika diusir, ia diberi uang secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau menikah dengan siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah yang tidak tahu? Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe? Ha ha ha! benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu merah!"

"Bangsat, tutup mulutmu!" Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah sekali.

"Orang she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"

Sambil berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyungnya. Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi girang karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak terbabat putus, bahkan dari benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga Iawannya ini benar-benar besar dan tidak boleh dipandang ringan! Maka ia lalu berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang Ang coa-kiam-sut yang hebat, pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang yang luar biasa sekali.

Lo Ban Tek terkejut dan kini ia tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar murid Kim-liong-pai yang pandai. "Hm, kau benar-benar murid Kim-liong-pai! Kalau kau bukan murid Kim-liong-pai, masih tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong-pai dapat tersesat begini rupa, ah aku harus mengadu jiwa dengan kau.” Ia pun mainkan ruyungnya dengan ilmu silat Kun-lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat, dapat mengimbangi gerakan pedang lawannya.

Hebat sekali jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong! Kepandaian Ang-Coa-kiam Sim Tiong Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin mereka terheran-heran adalah kepandaian tukang besi itu!

Siapa kira bahwa di I-kiang terdapat seorang pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban Tek pandai besi yang sederhana dan kasar belaka! Maka malulah ketiga orang itu, karena kalau ilmu kepandaian mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian dua orang ini mereka boleh dibilang masih anak-anak!

Thiat-gu Lo Ban Tek bertempur dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi Tiong Kiat masih merasa ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja. Pemuda ini masih merasa sungkan untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia gentar juga menghadapi akibat-akibatnya. Kalau sampai ia menanam bibit permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram lagi!

Akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban Tek menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak boleh dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga tenaga orang she Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung ini berarti bahaya maut bagi Tiong Kiat!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat. Ketika pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua kakinya sehingga Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan indahnya.

Akan tetapi kembali Lo Ban Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak tipu Dewa Awan Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong Kiat masih terapung di udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan sendiri!

Namun kini Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus dan harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung menyambar, ia segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya membarengi mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.

Lo Ban Tek merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik kembali senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas tanah dan ujung pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan Lo Ban Tek!

Orang she Lo ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan pedangnya sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan melukai pundaknya!

"Lo Ban Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran ini!"

Akan tetapi kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan kapok, ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata mendelik ia membentak,

"Jahanam durhaka! Kau kira aku orang she Lo takut mati? Lebih baik aku mati dalam usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat engkau melakukan kejahatan tanpa terhukum!"

Setelah berkata demikian, kembali ruyungnya menyambar dan kali ini dengan serangan nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri lagi! Tiong Kiat terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi demikian nekad, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras. Pedangnya meluncur ke depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek.

Si Kerbau Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang ketika tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan napas terakhir dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik memandang kepada Tiong Kiat!

Pemuda ini bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan ditutupkannya saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia telah membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang? Orang orang Kun-lun-pai tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu hanya akan membuat hidupnya menjadi tidak tenteram.

Rasa menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi merah, dadanya terasa sakit. la marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia melakukan pembunuhan, marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.

"Kionghi taihiap, kionghi! ilmu silatmu hebat sekali!"

Tiba-tiba ia mendengar pujian dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya. Ketika ia menengok, ia melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya dan memberi selamat sambil menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali. Kedua kakinya cepat bergerak bergantian dan tubuh tiga orang guru silat terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan perasaan sakit, takut dan kaget.

Kemarahan Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun-lun-pai. Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di telinganya, bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak berdosa. Bahwa sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya.

Kemarahannya makin memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya sampai jebol. Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang coa kiam sehingga putus dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air. Cia-ma berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu terlempar keluar jendela dan...

"Byuurr...!" tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang-ce, diiringi pekik mengerikan dari nenek itu.

Bagaikan seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang baik-baik, dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu, tangannya bergerak menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air melalui jendela! Sebentar saja habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam air, sehingga sibuklah orang-orang di bawah untuk menolong 'bidadari-bidadari' itu keluar dari air.

Mereka kini tidak kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi sebaliknya sebagai seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan, riap-riapan menutupi muka yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar matanya, muka yang cowong dengan kulit muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak!

Orang terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalah Li Lan. Gadis ini berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja melepaskan rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya. Bajunya Iepas-lepas sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis ini tahu betul bahwa Tiong Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus dan harum, maka siasat terakhir untuk menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.

"Perempuan hina! Jadi kau telah menipuku, ya! Aku telah tertipu sehingga membunuh orang-orang yang tidak berdosa!"

"Bagimu tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan suara memilukan.

"Kau telah membohong! Kau katakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan rendah. Kubunuh kau!”

"Bunuhlah, kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta sepenuh jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?” Ia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. ”Bunuhlah…”

Tiong Kiat mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut Li Lan, dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti orang-orang lain, bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari cepat sekali keluar dari rumah kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama sekali tidak berani bergerak!

Gegerlah kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana perginya. Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka bertiga tadi ditendang oleh Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat sampai terguling-guling, maka mereka tidak dianggap kawan penjahat muda itu dan dibebaskan oleh para pembesar! Kalau saja mereka tidak ditendang oleh Tiong Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan dari Ang-coa-kiam!

Tiong Kiat melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang dan ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu tiada hentinya menyesali nasib dirinya.

Peribahasa kuno menyatakan bahwa, kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya menyanjung-nyanjung kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal lagi apabila keadaan kita menjadi sengsara.

Demikian pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang merpati berada dalam keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak mengenal keadaan, tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun terjatuh di dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!

Akan tetapi cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong Kiat sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu ditinggalkan, dan bahkan kini mereka melakukan perantauan tanpa tujuan, berjalan jauh dengan keadaan miskin dan sengsara sekali.

Dalam keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan. la mulai cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya. Setiap hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali. Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia menjadi mendongkol.

Pemuda mata keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak pernah berhias, tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan. Kalau tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini terbuka sama sekali. Manusia manakah yang tidak bercacad? Memang dalam keadaan biasa, cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak nyata!

Setelah kini melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa ia telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan gadis yang dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul, masih cantik Kui Hwa sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui Hwa adalah sewajarnya, karena semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek, adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu oleh bedak dan gincu dan minyak wangi!

Mulailah Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang dimulai semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia dahuIu tidak melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah mengawinkan dengan seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia!

Pada suatu hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak beristirahat, kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah pohon dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan-bentakan Tiong Kiat.

"Perempuan tak tahu diri, perempuan pembawa celaka! Kalau tidak karena kau, aku tak usah lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi."

"Sim kongcu..." kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya, "kalau aku menjadi beban... kenapa tidak kau bunuh saja...? Bunuhlah aku kongcu... agar aku terhindar dari siksaan lahir dan batin ini..."

"Kalau kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak sudi membunuh perempuan macam kau!"

"Ah, dunia sudah kacau balau!" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu seorang wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri tak jauh dari mereka. "Dahulu laki-laki selalu bersikap lemah lembut terhadap wanita, akan tetapi anak-anak muda sekarang demikian kasar dan kejamnya!"

Tiong Kiat terkejut. Ia memandang dengan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa adanya nenek yang berambut putih ini. "Nenek tua, mengapa kau mencampuri urusan orang lain? Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia pergi. Aku tidak butuh lagi padanya!"

Ketika Li Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan berlutut di hadapan nenek itu sambil menangis. "Suthai... Tolonglah aku, bawalah aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini…!”

"Kasihan kau anak yang tersesat jauh..." nenek itu berkata sambil mengelus-elus kepala Li Lan. "Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."

Mendengar ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang. "Bagus, bagus! Nenek tua kau telah berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha ha ha!"

"Orang muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!"

Sepasang mata nenek itu memandangnya dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata mereka bertemu, terkejutlah Tiong Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya, pemuda ini mencabut pedangnya dan berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang itu.

"Ha ha ha! Dengan pedang dan tenaga ditangan, siapa akan dapat menggangguku?"

Tiba-tiba berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat. "Ang-coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat.

Tiong Kiat terkejut sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini telah berada di hadapannya.

"Bagus, jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari kim-liong-pai?”

"Siapakah kau yang mengenal pedangku?” tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.

"Orang durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?”

Begitu mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya tahu bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun-lun-pai dan juga sahabat baik suhunya di Liong-san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan membunuhnya. Oleh karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!

Tiong Kiat sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin sendiri!

Melihat berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang-coa-kiam hampir saja terlepas dari pegangan Tiong Kiat!

Pemuda ini cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia lalu menyerang lagi. Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh sekali nenek itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis sekaligus!

Gentarlah hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena malu dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan pergi dari hutan itu. Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas panjang dan berkata,

"Sayang, sayang...! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan lapuk."

la lalu menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah. "Coba kau ceritakan segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh bayangan gelap, dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri menjadi seorang pendeta."

Sambil terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia telah membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui-Pat-jiu Toanio mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu selesai menuturkan semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,

"Menurut patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau ringan bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau boleh menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."

Demikianlah, Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah berada di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu-niu. Ia mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun mempelajari ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!

Tadinya hal ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya, setelah ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan jauh lebih besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumah kapal Cia ma! Makin tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu Toanio, bahkan sedikit demi sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.


                  ***************


Di lereng gunung Ta-pie-san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di Wu-han dan dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta-pie-san. Wajahnya yang tampan itu tampak berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, tampak kekesalan hati yang mendidih dihatinya.

Pemandangan alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak terlihat oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya, seakan-akan melayang-layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa raya.

Sungguh tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat tinggal di kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena ini, ia tidak mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang menggemparkan itu.

Sudah berapa hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta-pie-san ini. la merasa gelisah, kecewa dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat? Hatinya sedih bukan kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta Tiong Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih dari itu! Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah merasa seakan-akan menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti ayah mereka.

Pada hari itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di dunia lain, atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama dengan Ta-pie-san ini.

Ia teringat akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan Tiong Kiat. lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu senja hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan permainan di lereng Gunung Liong-san. Mereka berdua suka sekali bermain-main perang-perangan saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau panglima-panglima pemimpin barisan.

Adakalanya Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah yang terserang sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka seakan-akan menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain perang-perangan, intai mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak.

Lui Thian Sianjin, suhu mereka, pernah menceritakan bahwa ayah mereka adalah seorang pahlawan dan patriot bangsa yang gugur dalam pemberontakan menggulingkan pemerintahan yang korup. Oleh cerita yang singkat dan tidak jelas inilah maka Tiong Han dan Tiong Kiat suka sekali bermain perang-perangan, menjadi pahlawan seperti ayah mereka!

Pada saat itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta sepenuh hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya, merampas pedang Ang-coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya! Ia merasa bahwa kini ia akan dapat mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada hentinya ia memperdalam kepandaian ilmu pedang Ang-coa-kiamsut dari kitab yang dibawanya. Ia telah hampir dapat menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu pedangnya maju dengan pesatnya.

Ketika ia teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang kemudian mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang didudukinya. Bagaikan dalam mimpi, ia lalu melangkah maju di pinggir jurang, lalu ia bernyanyi, seperti ketika masih kecil bersama Tiong Kiat di lereng Bukit Liong san.

Bulan sepotong sudah mulai timbul dari timur, angin gunung hanya meniup perlahan saja, mendatangkan suara berkereseknya daun-daun yang bahkan menambah rasa sunyi yang mencekam hatinya. Bagaikan terpimpin oleh perasaan halus yang tak disadarinya, Tiong Han bernyanyi dengan suara keras, sepenuh dadanya, sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya meniru gaya seorang panglima seperti yang ia lakukan bersama adiknya ketika mereka masih kecil dulu.

Pedang telanjang di tangan
Berlumur darah musuh jahanam!
Anak panah beterbangan
Bagai maut mengintai nyawa
Pasukan musuh di sana?
Serbu…! Maju gembira!
Inilah tugas tiap kesatria!
Mati? Hanya gugur bagai bunga
Aku hanya ingin menang… menang!
Biar takkan mendapat Jasa
Biar takkan menerima pahala.
Tidak peduli, aku ingin menang!
Aku ingin menjadi pahlawan.
Seperti ayah... seperti ayah…!

Tiong Han bernyanyi penuh semangat, seperti dulu ketika masih keciI. Bunyi sajak ini sesungguhnya sudah berbeda dari pada aslinya karena banyak yang berobah dan baris terakhir 'seperti ayah' adalah tambahan sendiri dari Tiong Han dan Tiong Kiat. Keduanya merasa bangga sekali akan ayah mereka, sungguhpun mereka tidak tahu dan tidak ingat lagi bagaimana rupa ayah mereka!

Tiong Han tidak tahu sama sekali bahwa pada saat bernyanyi, seorang pemuda sedang berjalan mendaki jalan kecil dari timur. Ketika mendengar ia bernyanyi, pemuda itu berhenti bertindak dan diam bagaikan patung! Akhirnya setelah Tiong Han menyanyikan baris terakhir dari sajaknya, pemuda yang berpakaian biru kehitaman itu berlari menghampirinya dan berseru dengan suara terharu.

"Engko Han…!"

Tiong Han yang sudah mengakhiri nyanyiannya cepat menengok dan terkejutlah kedua matanya ketika ia melihat Tiong Kiat berlari-lari naik seperti dulu ketika masih kecil!

“Tiong Kiat…!”

Keduanya berdiri berhadapan, saling pandang, kalau dilihat oleh orang lain seperti seorang pemuda berdiri di depan cermin, demikian serupa, sebentuk dan segaya! Kemudian terdorong oleh keharuan hati, kedua orang muda itu lalu saling tubruk dan saling peluk dengan penuh kemesraan dan keharuan hati. Tiong Han tak dapat menahan Iagi bertitiknya air mata dari sepasang matanya ketika ia merangkul adiknya. Akan tetapi ketika matanya memandang kebawah dan terlihat olehnya gagang pedang Ang-coa-kiam, hatinya seperti tertusuk oleh pedang itu dan ia melepaskan pelukannya.

“Tiong Kiat, anak nakal, kemana saja kau selama ini?" tanyanya dengan pandangan menegur seperti biasa ia lakukan dahulu bila adiknya berlaku nakal.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Mendengar teguran dan pertanyaan ini Tiong Kiat melangkah mundur dua tindak. Walau iapun terpengaruh oleh keharuan hatinya, akan tetapi ia sekarang teringat Iagi akan kesalahan-kesalahannya terhadap kakaknya ini, ia memandang tajam dan bertanya dengan suara dingin,


"Han.ko, mengapa kau berada di sini?" la melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang kiri Tiong Han. "Apakah kau disuruh oleh suhu untuk menyusul dan menangkapku?" Ia memandang makin tajam dan kepalanya agak dimiringkan, pandangan matanya penuh selidik.

"Tiong Kiat, tak perlu aku berbohong kepadamu. Kepergianmu dari Liong-san membuat suhu menjadi marah sekali, terutama sekali karena kau membawa pergi pedang Ang-coa-kiam yang menjadi pedang pusaka Kim-liong-pai, Mengapa kau berani melakukan hal itu, adikku? Mengapa?"

Tiong Kiat tertawa mengejek dan tangan kirinya menepuk-nepuk pedang Ang-coa-kiam. "Tiong Han," ia tidak menyebut kakak. "aku adalah murid yang terpandai, maka berhak mewarisi pedang ini. Habis, apakah sekarang kehendakmu?"

Dua orang pemuda yang sama rupa sama bentuk itu berdiri berhadapan dalam keadaan tegang. Tiong Kiat dengan pandangan mata menantang sedangkan Tiong Han dengan mata berduka.

"Tiong Kiat, kau harus kembalikan pedang itu. Aku disuruh oleh suhu untuk mengambil kembali pedang itu. Sadarlah bahwa kau tidak berhak mengambil pedang pusaka itu begitu saja tanpa ijin dari suhu."

Akan tetapi Tiong Kiat melangkah mundur tiga tindak dan tiba-tiba ia mencabut pedang Ang-coa-kiam dan berkata, "Tiong Han! Selama beberapa bulan ini, pedang inilah kawan satu-satunya dariku yang telah melindungi keselamatanku. Bagaimana aku bisa mengembalikannya begitu saja? KaIau pedang ini kau ambil aku akan merasa sunyi, seakan-akan ditinggalkan seorang sahabat yang paling baik."

Berobah wajah Tiong Han mendengar ini. "Tiong Kiat, di mana... sumoi? Aku tidak melihatnya!"

Tiong Klat tersenyum pahit. "Kau mencari tunanganmu?”

"Jangan kurang ajar!" Tiong Han membentak. "Aku tidak menganggapnya sebagai tunangan lagi. Aku rela melepaskannya untuk menjadi jodohmu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa dia tidak berada di sini, bersamamu. Apakah kau telah meninggalkannya pula?” Pandangan pemuda ini menjadi tajam dan keras.

"Siapa meninggalkannya? Kami hanya memilih jalan masing-masing. Kalau kau mau mencarinya ke kota Hang-yang, kau akan dapat bertemu dengan dia dan kau boleh mengambilnya sebagai istrimu!"

Mendongkol juga hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Tiong Kiat, tak perlu kita melanjutkan percakapan tentang sumoi. Yang paling penting sekarang ialah pengembalian pedang itu. Suhu menghendaki agar supaya aku mengambil kembali pedang Ang-coa-kiam dan membunuhmu. Akan tetapi asal saja kau mengembalikan pedang itu dan berjanji takkan melakukan kesesatan, aku takkan mengganggumu."

Tiong Kiat tertawa bergelak mendengar omongan ini. "Tiong Han, biarpun suhu sendiri yang datang mengambil pedang ini, agaknya ia takkan dapat mengambilnya begitu saja tanpa membuktikan bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi dari padaku. Siapa yang memiliki kepandaian ilmu pedang Ang coa kiamsut lebih tinggi, dialah yang berhak memiliki pedang ini! Aku memegang pedang ini, nah, apakah kau memiliki keberanian untuk menentangku. Apakah kau tidak tahu bahwa pemegang pedang ini harus dihormati dan ditaati oleh semua anak murid Kim-liong-pai?"

"Tiong Kiat, jangan kau berkeras! Lebih baik kembalikan pedang itu dan kalau kau menginginkan sebatang pedang yang baik, kau boleh ambil pedangku Hui-liong-kiam ini. Aku tidak bisa menyerangmu, kau adalah adikku dan kau tahu betapa besar cinta kasihku kepadamu."

"Jangan omong kosong! Aku memegang Ang-coa-kiam, kalau kau mau menjadi murid Kim-liong pai yang mendurhaka, kau boleh melawan aku!"

Sedih benar hati Tiong Han menyaksikan sikap adiknya ini. Terpaksa ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan kitab Ang-coa-kiam coan-si. "Kau Iihat ini, Tiong Kiat! Akulah yang lebih berhak dari padamu, karena kitab pusaka ini dipercayakan kepadaku oleh suhu!"

Terbelalak mata Tiong Kiat memandang kepada kitab Iapuk di tangan kakaknya itu. Ketika ia hendak pergi, ia telah mencari-cari kitab ini, akan tetapi ia tak terdapat olehnya. Kalau saja ia dapat memiliki kitab itu, tentu ilmu pedangnya akan menjadi maju pesat sekali. Otaknya yang cerdik bekerja cepat dan ia lalu tersenyum ramah kepada kakaknya.

"Han-ko, terpaksa aku mengakui keunggulanmu karena kau memegang kitab itu. Baiklah aku akan kembalikan Ang-coa-kiam kepadamu, akan tetapi kau harus memberi pinjam kitab itu selama beberapa bulan kepadaku agar adikmu ini dapat melanjutkan pelajaran ilmu pedang."

Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Tiong Kiat. Kitab ini tidak boleh kuberikan kepada siapapun juga. Lekas kau berikan pedang itu padaku."

"Berikan? Mari, terimalah!" Akan tetapi ucapan ini disambung dengan gerakan menusuk dengan pedangnya ke arah dada kakaknya! Sungguh kejam dan jahat sekali hati pemuda yang sudah tertutup oleh hawa nafsu busuk itu.

Baiknya Tiong Han sudah berlaku waspada. la kenaI baik adiknya yang cerdik dan semenjak kecil memang mempunyai banyak akal licin ini. Ia cepat mengelak, menyimpan kitabnya dan mencabut pedang Hui-liong-kiam.

"Tiong Kiat, dengan hati perih terpaksa aku harus memberi hajaran kepadamu dan mengambil kembali pedang itu dengan paksa!” katanya sambil membalas dengan serangan yang kuat.

"Ha ha ha! Baik mari kita mencoba siapa yang lebih kuat diantara kita." jawab Tiong Kiat memandang rendah, oleh karena ia tahu bahwa kepandaiannya masih lebih menang dari pada kakaknya.

Akan tetapi begitu mereka bergebrak selama beberapa jurus saja terkejutlah Tiong Kiat. Ilmu pedang kakaknya ini sudah maju jauh sekali, bahkan tenaga lweekangnya lebih mantap dan berisi dari pada dulu! Ia menjadi gemas, mengertak gigi dan melakukan serangan mati-matian, menggerakkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Beberapa kali ia sengaja mengadu pedang Ang-coa-kiam untuk membabat putus pedang di tangan Tiong Han, akan tetapi biarpun bunga api berpijar menyilaukan mata, pedang Hui-Iiong-kiam itu ternyata tidak rusak sedikitpun juga. Pertempuran dilanjutkan dengan amat sengitnya. Serang-menyerang terjadi, desak mendesak antara kedua saudara kembar itu. Mereka sama lincah, kuat dan sama mahir ilmu pedangnya.

Hanya ada sedikit perbedaan, yakni kalau Tiong Kiat menyerang dengan mati-matian dengan nafsu merobohkan dan membunuh kalau perlu dalam usahanya untuk merampas kitab Ang-coa-kiam-coan-si, adalah Tiong Han bertempur dengan terpaksa. Hatinya tidak tega untuk melukai adiknya yang amat dicintanya ini, dan ia hanya mempertahankan diri dan serangan balasannya hanya ditujukan untuk merampas pedang!

Sesungguhnya, setelah mematangkan ilmu pedangnya dari kitab yang dibawanya, kemajuan Tiong Han luar biasa sekali dan ia telah dapat melampaui kepandaian adiknya. Banyak jurus-jurus rahasia yang menjadi bagian-bagian tersulit dari ilmu pedang Ang-coa-kiamsut telah dipelajarinya sedangkan Tiong Kiat belum pernah mempelajari jurus-jurus ini. Kalau Tiong Han mau menyerang mati-matian seperti adiknya, tak dapat disangsikan Iagi bahwa ia pasti akan menang. Akan tetapi keraguannya membuat ia selalu bahkan terdesak oleh Tiong Kiat!

"Engko Han yang baik," Tiong Kiat berkata mengejek, "biarpun kepandaianmu sudah maju, tetap saja kau takkan dapat menangkap aku. Lebih baik kau serahkan kitab itu agar aku tidak akan berdosa melukaimu!"

"Kau buta oleh nafsu jahatmu, Tiong Kiat." Tiong Han menjawab sambil menangkis sebuah sambaran pedang adiknya.

Pertempuran dilanjutkan Iebih hebat lagi, karena Tiong Kiat kini menyerang Iebih bernafsu. la merasa penasaran juga karena telah bertempur lebih dari lima puluh jurus, belum juga Tiong Han dapat dikalahkan. Padahal dulu, di dalam latihan, ia dapat mengalahkan kakaknya ini dalam waktu tiga puluh jurus saja.

Bukan main hebatnya pertempuran kakak beradik ini, dua saudara kembar ini. Gulungan sinar pedang Ang-coa-kiam yang berwarna merah bergulat dengan sinar pedang dari Hui liong kiam, merupakan dua ekor naga yang saling membelit. Pertempuran ini hanya disaksikan oleh bulan, angin dan pohon pohon di sekitar mereka.

Seratus jurus terlewat dan Tiong Han makin terdesak saja. Tiba-tiba serangan kilat yang amat hebat dari Tiong Kiat dan yang ditangkisnya kurang cepat membuat pedang Ang-Coa-kiam meleset dan melukai pundak Tiong Han! Bajunya di bagian pundak terbabat robek, berikut sedikit daging dan kulitnya sehingga mengucurkan darah dari pundak Tiong Han!

"Serahkan kitab itu!" Tiong Kiat membentak sambil menahan serangannya. Betapapun juga, ia tidak ingin membunuh kakaknya dan timbul rasa kasihan di hatinya melihat betapa wajah kakaknya menjadi meringis menahan sakit.

"Tiong Kiat, kau terlalu!" Tiong Han menegur dan kini pemuda inilah yang mendahului maju menyerang adiknya.

Tiong Kiat menangkis dan sebentar kemudian terkejutlah dia karena gerakan pedang Tiong Han bukan main kuat dan hebatnya, penuh dengan gerakan dan gaya yang aneh dan tak dapat terduga sama sekali olehnya! la merasa seakan-akan pedang Hui-liong-kiam berobah menjadi banyak sekali, mengelilingi dan menyerang ke arah dirinya dari segenap penjuru!

Barulah Tiong Kiat tahu bahwa kepandaian kakaknya sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Akan tetapi terlambat ia sadar akan kesombongannya karena sebelum ia tahu apa yang terjadi, ia merasa perih sekali pada lengan kanannya dan tahu-tahu pedangnya telah pindah ke tangan kiri Tiong Han dan Iengan bajunya telah robek berikut kulit lengannya yang mengalirkan darah lebih banyak daripada darah yang mengucur dari pundak Tiong Han.

"Aduh..." Tiong Kiat mengeluh. Kemudian saking jengkel, marah dan malunya ia lalu menjatuhkan diri di atas tanah, menutupi mukanya dan menangis!

Tiong Han tidak merasa heran melihat kelakuan adiknya ini. Semenjak dulu ketika mereka masih kecil, tiap kali dia marah kepada adiknya atau memukulnya, Tiong Kiat selalu menangis seperti itu. Dan juga ia tidak merasa heran ketika mendengar adiknya meratap.

"Ayah ibu, mengapa kalian tidak membawa aku mati saja! apa artinya hidup bersama seorang kakak yang kejam terhadap adiknya sendiri?”

Memang, sikap Tiong Kiat ini benar benar lucu dan bersifat kekanak-kanakan, akan tetapi memang pemuda ini memiliki kelemahan hati yang akhirnya menjadi kebiasaan, bahkan seringkali dipergunakan sebagai siasatnya untuk mengalahkan hati kakaknya! Kali inipun, melihat haI adiknya sedemikian rupa, biarpun Tiong Han maklum bahwa hal itu mungkin hanya siasat, hatinya tersinggung dan sambil mengalirkan air mata, ia menubruk dan memeluk Tiong Kiat!

"Adikku, jangan kau berduka. lni ambillah pedangku Hui-liong-kiam! Kau sudah menyaksikan sendiri bahwa ketajaman dan keampuhannya tidak kalah oleh Ang-coa-kiam. Mana lenganmu, biar aku balut agar jangan banyak darah yang keluar!"

Sambil berkata demikian, Tiong Han lalu merobek pinggir Jubahnya dan membalut lengan tangan Tiong Kiat yang memandang dengan muka terharu. Alangkah baik hatinya kakaknya ini. Lukanya sendiri di pundak tidak dlperhatikan, sebaliknya malah membalut luka di tangannya.

"Han ko, bisakah kau memaafkan aku yang sudah menyakiti hatimu?" tanyanya dengan terharu, rasa haru yang timbul dari hati murninya, bukan pura-pura.

"Mengapa tidak, adikku? Semenjak dahulu aku telah memaafkanmu bahkan tadipun aku terpaksa melukaimu. Ilmu pedangmu terlampau kuat!"

"llmu pedangmu yang hebat Han-ko! Apakah serangan tadipun merupakan jurus-jurus dari Ang-coa-kiam-sut."

Tiong Han mengangguk dan melanjutkan pekerjaan membalut lengan tangan adiknya. Ia sedang menundukkan mukanya, tidak melihat betapa kini sinar mata Tiong Kiat telah berobah menjadi liar lagi, ditujukan dengan mata penuh nafsu ke arah baju kakaknya, seakan-akan hendak menaksir di mana kakaknya menyembunyikan kitab ilmu pedang yang amat diinginkannya itu.

"Han-ko, terima kasih atas pemberianmu pedang Hui-liong-kiam ini. Biarlah kau bawa kembali pedang Ang-coa-kiam yang sial itu!"

Tiong Han tersenyum. "Adikku, jangan kau kira bahwa kau boleh mempergunakan pedang hui liong kiam sesuka hatimu. Ketahuilah bahwa pedang itu datang dari Heng-san, tadinya punya Lui-kong-jiu Keng Kim Tosu dan penggunaan pedang itu berada di bawah pengurusannya dan juga pengawasan Pat-jiu Toanio Li bi Hong! hati-hatilah dan jangan kau bertindak nyeleweng, karena kalau sampai mereka tahu bahwa pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, mereka tentu akan turun tangan kepadamu!"

"Aduh...!" Tiong Kiat mengeluh dan Tiong Han cepat memegang tangan kanan yang terluka itu. "Sakitkah? terlalu eratkah aku membalutnya?" la memeriksa lengan yang telah dibalutnya itu, sambil mendekatkan mukanya.

Tiba-tiba sekali diluar persangkaannya, tangan kiri Tiong Kiat bergerak dan menotok dengan cepat sekali jalan darah pada punggungnya! Tiong Han tak dapat mengeluarkan suara lagi dan roboh terguling dalam keadaan lemas tak berdaya menggerakkan seluruh tubuhnya! Hanya matanya saja memandang ke arah adiknya dengan mata menyesal sekali.

"Engko Tiong Han, terpaksa aku merobohkanmu, karena ketahuilah, aku ingin sekali mendapatkan kitab ilmu pedang Ang-coa kiam-sut itu! Bukan untuk memilikinya dan mempergunakan pengaruhnya, akan tetapi untuk mempelajari ilmu pedang itu lebih sempurna lagi! Pedang Ang-coa-kiam kutinggalkan kepadamu, biarlah aku merasa puas dengan Hui Iiong kiam ini saja. Akan tetapi kitab Ang-coa-kiamsut kubawa!"

Ia lalu mengulurkan tangan menggeledah, akhirnya ia mendapatkan kitab itu di saku baju Tiong Han. Dengan girang ia membalik-balik lembaran kitab itu, lalu menyimpannya di dalam saku bajunya.

"Han-ko! Aku masih mengingat budi dan ikatan persaudaraan maka aku takkan membunuhmu. Jangan kau persalahkan adikmu yang hanya ingin memperdalam ilmu kepandaiannya. Pedang Hui-liong-kiam kubawa berikut kitab ini. Besok siang kau akan sehat kembali dan pulanglah ke Liong-san mengembalikan pedang Ang-coa-kiam kepada suhu! Nah, selamat tinggal saudaraku yang budiman!"

Tiong Kiat memondong tubuh Tiong Han yang lemas itu dan meletakkannya di bawah sebatang pohon besar. Pedang Ang-coa-kiam ia masukkan ke dalam sarung pedang Tiong Han yang masih tergantung di pinggang. Kemudian ia berdiri dan memandang kepada kakaknya.

Kasihan juga hatinya melihat betapa kakaknya rebah terlentang tak berdaya. Darah merah mengalir pada pundaknya. Akan tetapi ia teringat bahwa kini kepandaian kakaknya sudag lebih tinggi dari padanya. Kalau kakaknya pulih kembali dari pengaruh totokannya dan ia masih berada di situ, tentu ia akan kalah lagi dan terpaksa mengembalikan kitab itu. Maka ia lalu berlari pergi dari tempat itu.

Dewa penjaga gunung Ta-pie-san agaknya marah menyaksikan kejahatan adik terhadap kakaknya ini. Bulan yang tadinya bersinar terang tiba-tiba berubah mendung tebal. Tiong Kiat menjadi bingung karena sukar sekali untuk menuruni bukit-bukit yang banyak jurang-jurangnya di dalam gelap. Dan tak lama kemudian saat ia maju perlahan mencari jalan, hujan turunlah dengan lebatnya bagaikan dituangkan dari atas!

"Jahanam benar!"

Tiong Kiat menyumpah-nyumpah dan terpaksa mencari tempat perlindungan di bawah sebatang pohon yang besar. la memperhitungkan bahwa totokannya yang tepat mengenai jalan darah sui-mo-hiat di punggung Tiong Han, akan membuat tubuh kakaknya menjadi lemas sampai sedikitnya besok siang baru bisa lenyap. Sementara ini, ia merasa aman. Besok pagi-pagi terang tanah, ia dapat turun gunung dan sebelum kakaknya sadar ia telah berada di tempat jauh!

Akan tetapi semalam itu ia tidak dapat beristirahat. Pertama-tama karena hujan yang turun telah membuat tubuhnya menjadi basah kuyup, terutama sekali lengannya yang terluka itu biarpun telah dibalut, kini air telah merayap masuk dan membuat lukanya terasa perih dan sakit sekali. Kembali ia mengumpat caci kepada hujan, kepada bulan, kepada malam gelap.

Tiba-tiba ia teringat dan wajahnya menjadi pucat! Kakaknya rebah terlentang di bawah pohon itu dan tentu terserang oleh hujan lebat pula. Dan kakaknya berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat bergerak sama sekali! Ah, bagaimana kalau kakaknya itu sampai tewas? Hujan dan hawa dingin menyerangnya. Luka itu masih terus mengalirkan darah! Berdebar jantung Tiong Kiat. Kalau kakaknya tewas, maka berarti dialah yang membunuhnya! Tidak, tidak! la tidak mau menjadi pembunuh kakaknya!

Sambil mengerang Tiong Kiat lalu bangkit berdiri hendak kembali ke tempat di mana Tiong Han rebah tadi. Hendak dijaga dan dirawatnya Tiong Han sampai besok pagi, agar kakaknya itu tidak ditinggalkan dalam keadaan terancam bahaya maut. Akan tetapi terpaksa ia harus membatalkan kehendak hatinya itu. Tak mungkin kembali ke tempat tadi dalam malam gelap dan hujan Iebat ini. la tidak tahu Iagi ke mana harus mencari jalan. Akhirnya dengan hati khawatir sekali ia menjatuhkan diri, duduk kembali di bawah pohon.

Hujan turun terus sampai keesokan harinya, pagi pagi baru reda. Tiong Kiat tidak jadi turun gunung dan kembali ke tempat kemarin malam untuk menengok kakaknya. Hatinya gelisah sekali. Berdebar jantungnya penuh kengerian kalau ia membayangkan betapa Tiong Han akan didapatinya di bawah pohon dalam keadaan kaku tak bernyawa lagi! Ia mempercepat tindakan kakinya.

Akan tetapi ia menjadi melongo keheranan ketika tiba di tempat itu, ternyata ia tidak melihat Tiong Han Iagi! Mungkinkah ini? Mungkinkah Tiong Han dapat melepaskan diri dari pada totokannya? Tidak bisa jadi! Dengan hati gelisah Tiong Kiat memandang ke kanan kiri, lalu berjalan masuk ke dalam hutan di dekat tempat itu dengan hati-hati. Kalau kakaknya muncul, ia akan melarikan diri.

Tiba tiba ia mendengar suara wanita menangis, diiringi oleh kata-kata pedas seperti orang memaki-maki. Ia mempercepat tindakan kakinya menuju goa batu karang darimana suara itu terdengar. la cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat seorang wanita muda keluar dari goa itu sambil menyeret tubuh seorang laki laki. Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa tubuh yang diseret itu bukan lain adalah tubuh Tiong Han yang masih lemas! Dan yang menyeret itu ia kenal sebagai gadis cantik jelita yang dulu telah ditolong dan kemudian diganggunya di dalam hutan!

Memang gadis ini bukan lain adalah Suma Eng atau Eng Eng! Sebagai mana telah dituturkan di bagian depan, Eng Eng telah bertemu dengan Tiong Han dan mengira bahwa pemuda ini adalah yang telah mengganggunya sehingga gadis ini menyerang Tiong Han dengan hebat. Kemudian Tiong Han melarikan diri dan Eng Eng selalu berusaha mencari pemuda ini.

la mencari keterangan dan mengikuti ke mana juga jejak pemuda ini nampak. Sampai berbulan-bulan ia tidak berhasil bertemu dengan Tiong Han. Akhirnya ia mendengar bahwa pemuda yang dicarinya itu berada di puncak gunung Ta-pie-san, maka tanpa membuang waktu lagi ia lalu mengejar ke atas dan pada senja hari itu ia tiba di lereng bukit Ta pie san.

Akan tetapi, malam hari itu ia tidak dapat mencari Tiong Han karena hujan turun dengan derasnya. Betapapun juga, gadis yang keras hati ini terus merayap naik dan akhirnya di dalam hujan lebat, ia melihat tubuh seorang laki-laki menggeletak telentang di bawah pohon. Ia tidak mengira bahwa itu adalah tubuh pemuda yang dicarinya, karena malam gelap dan hanya diterangi oleh berkelebatnya sinar kilat.

Timbul perasaan kasihan di dalam hatinya dan dipondongnya tubuh pemuda yang tak berdaya itu ke sebuah gua di dalam hutan. Ia melihat betapa pundak pemuda itu terluka, maka ia segera membalutnya dengan baik-baik. Ketika ia melihat pedang tergantung di pinggang Tiong Han, diam-diam ia memuji pedang bagus itu.

Pada keesokan harinya, ketika malam gelap telah pergi dan ada penerangan masuk ke dalam goa, ia memandang pemuda itu dan alangkah terkejutnya ia bahwa pemuda yang ditolong itu bukan lain adalah Tiong Han, pemuda yang selama ini dicari-carinya!

"Jahanam terkutuk! Kiranya kau ini!"

Tiong Han mengalami penderitaan yang luar biasa. Ketika tadi ia ditinggalkan oleh Tiong Kiat, tubuhnya lemas tak berdaya dan luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah. Ketika hujan turun menimpanya ia berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi hawa dingin dan rasa sakit, pada pundaknya membuatnya jatuh pingsan. Ia tidak tahu bahwa dia telah ditolong oleh Eng Eng. Kini ia telah siuman dan pengaruh totokan itu sudah makin lemah sehingga ia dapat bicara dan menggerakkan sedikit tangan kakinya. akan tetapi masih belum mampu bangun. Iapun terkejut sekali ketika melihat Suma Eng yang dikenalnya.

"Nona Suma Eng kaukah yang menolongku? Terima kasih..."

"Bangsat besar! Sim Tiong Han... baru sekarang aku dapat bertemu dengan kau! Dosamu telah terlampau besar dan agaknya Thian sudah memberi kesempatan kepadaku untuk mencincang hancur kepalamu!" Gadis itu tertawa bergelak. Akan tetapi suara ketawanya disusul oleh tangis yang mengharukan.

"Aku akan membunuhmu... aku akan menghancurkan kepalamu! Tidak, tidak, aku akan menyiksamu, akan membiarkan tubuhmu diterkam dan dipakai berebutan binatang-binatang hutan. Biar burung-burung hantu menarik keluar matamu, biar srigala-srigala hutan mencabik-cabik dagingmu!”

Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menjambak rambut Tiong Han dan diseretnya pemuda itu keluar dari goa, Tiong Han merasa ngeri sekali. la merasa yakin bahwa gadis ini tentulah seorang gadis liar dan gila! Akan tetapi apakah dayanya? la masih setengah berada dalam pengaruh totokan Tiong Kiat dan tak mungkin baginya untuk menggerakkan tubuh melakukan perlawanan!

Dan pada saat Eng Eng menyeret tubuh Tiong Han sambil menjambak rambutnya ini, menariknya keluar goa, datanglah Tiong Kiat yang segera bersembunyi di balik pohon. Pemuda ini memandang dengan mata terbelalak dan menahan nafas. Wajahnya berobah pucat sekali.

Setelah Eng Eng berada di luar goa, di dalam keadaan yang sangat terang itu ia memandang ke arah wajah Tiong Han. Diam-diam ia mendongkol sekali ketika melihat wajah yang tampan itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia begitu benci kepada pemuda yang merusak hidupnya ini dan sebelum membunuhnya ingin sekali menyiksanya dengan rasa takut. Akan tetapi pemuda ini hanya memandangnya dengan heran dan mulutnya bahkan tersenyum. Ia melihat betapa Tiong Han menarik napas maka ia melepaskan jambakannya dan berkata,

"Ha, kau menarik napas! Baru sekarang kau merasa menyesal atas perbuatan dahulu bukan? Sungguh matamu buta. Kau berani mati sekali telah berbuat tidak patut terhadapku. Tak tahukah kau siapa aku? Manusia terkutuk, aku Suma Eng tak boleh dihina begitu saja. Aku telah bersumpah sebelum dapat mencarimu dan membalas dendam, aku takkan berhenti berusaha! Aku tidak mau mati dulu sebelum dapat menghancurkan mukamu! Dan sekarang kau telah berada di dalam tanganku!” Kembali gadis itu tertawa kemudian disusul oleh tangisnya yang memilukan.

"Nona Suma, aku tidak menyesali perbuatanku yang sudah-sudah, karena sepanjang ingatanku, aku tak pernah berbuat dosa terhadapmu ataupun terhadap siapapun juga. Aku Sim Tiong Han adalah seorang laki laki sejati, mana mungkin aku mengganggu seorang wanita. Aku kasihan melihatmu, nona."

Eng Eng menengok dan memandang dengan mata terbelalak. "Kasihan?"

"Aku kasihan melihat kau, seorang gadis muda yang agaknya menjadi murid orang pandai, ternyata menderita sakit. Entah kejadian atau malapetaka apa yang telah menimpa dirimu dan yang telah membuat pikiranmu tidak waras lagi."

"Kaukira aku gila? Bangsat terkutuk, jahanam keparat, kubunuh kau!" Eng Eng menghunus pedangnya yang bersinar merah dan diangkatnya pedang itu ke atas.

Tiong Han memandangnya dengan senyum, "Nona Suma Eng semenjak kita bertemu didalam hutan di dalam keadaan yang aneh dulu itu dan kemudian kau menyerangku tanpa alasan, aku tak pernah melupakan kau. Sikapmu yang aneh itu benar-benar membingungkan aku. Kita belum pernah bertemu, akan tetapi kau tiba-tiba saja memusuhi dan hendak membunuhku. Ah, sungguh di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh”

"Ha, kau takut mati?"

"Tidak ada orang yang takut mati atau takut hidup, karena hidup dan mati tidak berada di tangan manusia. Mati di dalam tangan seorang seperti kau bukan hal yang terlalu buruk," la tersenyum. "Hanya sayangnya aku selalu akan merasa penasaran karena belum tahu apa sebabnya nona Suma Eng yang pandai dan cantik begitu membenci Sim Tiong Han yang rendah."

Tiba-tiba sinar mata Eng Eng mengeras ketika ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik. "Kau masih berpura-pura ataukah aku yang mimpi? Orang she Sim, kau dulu bertemu dengan aku di dalam hutan, bukan?"

"Betul, kau berada dalam keadaan pingsan dan kehujanan."

"Kau lalu membawaku ke kuil tua bukan?"

Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya menyelimuti tubuhmu dengan mantelku, agar jangan terserang air hujan. Aku tidak tahu adanya kuil di tempat itu, kalau tahu tentu kau akan kubawa ke sana agar terhindar dari serangan hujan lebat. Aku hanya menyelimutimu dan ketika kau siuman, tiba-tiba kau menyerang dan melukai pundakku!"

"Bohong!" tiba-tiba Eng Eng menampar dan "plak!" pipi Tiong Han terkena tamparan keras sehingga pemuda yang masih lemas ini tak dapat menahan. Darah segar mengalir keluar dari bibirnya.

"Manusia pengecut! Kau telah berani melanggar dosa, berani berbuat akan tetapi tidak berani mengaku. Laki laki macam apakah kau ini? Kau telah membawaku ke kuil ketika aku sedang pingsan dan kau... kau telah berbuat hina kepadaku! Karena itu aku harus menghancurkan kepalamu sebelum aku menghabiskan nyawaku sendiri!"

"Nona, tidak salahkah kau? Apakah orang terkutuk itu orang lain?"

“Bangsat! Kau kira aku dapat melupakan muka orang?" ia menatap dengan tajam dan merasa yakin bahwa pemuda yang dulu menghinanya adalah orang inilah!

Tiba-tiba Tiong Han teringat kepada Tiong Kiat dan ia menghela napas dengan hati perih! "Ah. Mungkinkah…? Ya Tuhan mengapa kau tersesat sedemikian jauhnya...?"

"Apa maksudmu? Siapa tersesat?” Eng Eng bertanya.

"Sudahlah, nona. Kalau kau mengira bahwa orang yang berbuat tidak patut terhadapmu itu adalah aku, maka bunuhlah aku! Aku takkan menyangkal lagi dan memang barangkali akulah orang itu!"

"Kau mengaku?"

“Ya, boleh, kau sebutkan aku mengaku. Boleh bunuh saja dan habis perkara!"

Tiba-tiba Eng Eng menangis sedih. Entah mengapa, setelah melihat wajah dan sikap Tiong Han, rasa bencinya lenyap secara aneh. Kalau tadi ketika Tiong Han tidak mau mengaku, ia menjadi penasaran dan marah, adalah sekarang setelah pemuda itu mengaku, ia sendiri merasa ragu-ragu!

Sungguh aneh, tadi ketika Tiong Han menyangkal dan membuatnya merasa yakin bahwa pemuda inilah orangnya yang berdosa, ia tidak melihat perbedaan sedikitpun dan wajah pemuda yang mengganggunya dengan wajah pemuda dihadapannya ini. Akan tetapi sekarang timbullah keraguan besar. Tak mungkin pemuda yang bersikap halus, sabar dan gagah ini melakukan perbuatan sedemikian rendahnya. Dan kini ada sesuatu yang membisikinya bahwa bukan inilah orangnya yang berdosa!

Ada satu titik perbedaan antara orang di kuil itu dengan pemuda ini, akan tetapi Eng Eng tidak tahu dan tidak ingat lagi apakah perbedaan itu. Akan tetapi pemuda ini telah mengaku dan harus dibunuh untuk membalas dendam hatinya. Kemudian dia akan membunuh diri sendiri, karena untuk apa hidup lebih lama lagi menanggung derita batin yang hebat? la akan selalu merasa dirinya kotor dan tidak berharga lagi!

Tiba-tiba Eng Eng menangis terisak-isak, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, sehingga Tiong Han merasa heran sekali.

"Nona Suma Eng mengapa menangis? Kau telah menganggapku orang yang berdosa telah mencelakakan hidupnya. Nah bunuhlah, aku takkan merasa penasaran mati di tanganmu setelah aku ketahui apa sebabnya kau hendak membunuhku."

"Kau... kau bohong! Bersumpahlah bahwa kau bukan yang melakukan hal itu dan aku akan melepaskanmu!"

Tertegun Tiong Han mendengar ini. Tentu saja ia ingin bersumpah untuk menyatakan kebersihan dirinya akan tetapi ia teringat kepada Tiong Kiat! Ia tahu bahwa gadis ini tentu telah diganggu oleh Tiong Kiat dan hatinya hancur memikirkan kejahatan dan kesesatan adiknya itu. Kalau ia bersumpah, tentu gadis ini akan mencari Tiong Kiat dan dia sendiri pun tidak akan dapat memaafkan Tiong Kiat untuk perbuatannya yang biadab itu.

la menggeleng kepala. "Tidak, nona. Aku tidak dapat bersumpah!"

Tiba-tiba Eng Eng menjadi marah lagi. "Begitu? Hm, kau seorang pengecut! Tadi kau menyangkal bahwa kau yang melakukan perbuatan itu, sekarang kau bahkan tidak berani berkata terus terang! Kau… kau menyebalkan hatiku!”

Kembali Eng Eng menampar dan untuk kedua kalinya bibir Tiong Han berdarah! Pipi pemuda yang telah ditampar dua kali oleh tangan Eng Eng yang mengandung tenaga hebat itu telah menjadi bengkak.

"Bunuhlah saja, nona…”

"Tentu saja kubunuh kau laki-laki pengecut!"

Diangkatnya pedang di tangannya dengan maksud untuk memenggal leher Tiong Han. Akan tetapi pada saat itu sebutir batu melayang cepat dan tepat menangkis pedangnya itu.

"Tranggg...!"

Eng Eng terkejut sekali dan cepat melompat ke arah pohon besar dari mana batu tadi melayang. Ia melihat berkelebatnya bayangan orang melompat pergi dari situ, maka cepat ia berlari menyusul. Ternyata bahwa Tiong Kiat yang menyambit dan menangkis bacokan pedang Eng Eng tadi. Betapapun juga Tiong Kiat merasa terharu sekali melihat dan mendengar betapa Tiong Han membela dan melindungi namanya!

Alangkah mulianya hati kakaknya itu. Kakaknya telah dikhianati, telah ditotok dan dilukai, bahkan telah dicurinya pula kitab yang dibawa oleh kakaknya. Dan sekarang, kakaknya masih berusaha melindunginya dari nama busuk. Bagaimana ia dapat membiarkan kakaknya terbunuh oleh gadis liar ini?

Melihat Eng Eng mengangkat pedangnya, cepat Tiong Kiat lalu menggunakan kepandaiannya, menyambit dengan batu untuk menangkis pedang itu. Ia telah mempergunakan sepenuh tenaganya, dan percaya bahwa pedang di tangan nona itu tentu akan terpukul jatuh dan terlepas. Siapa kira pedang itu tidak terlepas bahkan batu yang dipergunakan untuk menyambit itu ketika beradu dengan pedang telah terpentaI jauh!

Ketika Eng Eng melompat mengejar, lebih kaget lagi hati Tiong Kiat karena sebentar saja gadis itu sudah hampir dapat mengejarnya! Tak jauh dari tempat tadi, terpaksa ia berhenti dan dengan pedang Hui-Iiong kiam di tangan, ia menanti kedatangan Eng Eng. Setelah gadis itu tiba di hadapannya, ia terpesona oleh kecantikan yang murni dari gadis ini. Hatinya berdebar. Alangkah jelitanya gadis ini, dan alangkah gagahnya. Untuk kedua kalinya, Tiong Kiat merasa betapa hatinya berdenyut aneh. Pandangan matanya melembut dan senyumnya menjadi mesra sekali.

Di lain fihak, ketika Eng Eng menghadapi pemuda ini wajahnya berubah pucat sekali. la merasa seakan-akan berada di dalam mimpi, atau seakan-akan melihat seorang iblis di siang hari. Tak terasa pula ia menengok ke belakang ke arah tempat tadi. Dari jauh ia masih melihat Tiong Han rebah miring di atas rumput. Apakah pandangan matanya sudah menjadi rusak? Mengapa ada dua orang yang demikian sama dan serupa segala-galanya?

"Siapa kau? Mengakulah, siapa kau?" tanyanya dengan bibir gemetar.

"Nona sudah Iupa lagikah kau kepadaku? Kita pernah saling bertemu."

"Di kuil...?"

Tiong Kiat mengangguk. “Ya, di kuil...”

Eng Eng merasa kepalanya pening. Bumi yang dipijaknya serasa berputaran dan ia terhuyung-huyung. Tiong Kiat melompat mendekat dan hendak memeluknya, akan tetapi Eng Eng mengelak dan berkata,

"Jangan sentuh aku!”

"Nona, aku... aku cinta kepadamu. Maafkanlah aku, aku... aku menyesal sekali telah melukai hatimu. Ikutlah aku, jadilah istriku dan kuperlihatkan padamu bahwa aku akan menjadi suami yang baik untuk menebus dosaku..."

"Terkutuk! Jadi kaulah orangnya?" sambil menjerit nyaring Eng Eng lalu menyerang dengan pedang merahnya.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12