Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 11
Gan Tian Cu yang lebih matang ilmu batinnya dari pada keempat
orang sutenya, masih dapat mempertahankan semangat dan ia mengerahkan seluruh
tenaga batinnya untuk melenyapkan bayangan yang aneh ini dan hendak
memperingatkan kepada keempat orang sutenya bahwa yang dilihat ini hanyalah
bayangan dari ilmu sihir belaka.
Akan tetapi terlambat. Saking takut dan kagetnya, adik-adik
seperguruannya itu menjadi kacau balau permainan pedangnya dan berturut-turut
mereka mengeluh dan terjungkal karena terkena totokan tongkat bambu yang lihai
dari lawan mereka!
Gan Tian Cu hendak mengamuk dan mengadu nyawa, akan tetapi
dikeroyok lima tentu saja ia tak berdaya. Apa lagi, karena melihat keempat
orang sutenya telah dirobohkan, semangatnya menjadi turun dan hatinya terguncang,
maka kini iapun melihat lima orang lawannya itu menjadi makin besar dan
mengerikan!
Beberapa jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi akhirnya
iapun roboh tak dapat berkutik lagi, terkena totokan pada jalan darahnya bagian
thian-yu-hiat seperti apa yang telah dialami oleh empat orang adik
seperguruannya!
Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengebul dan Oei Sun
atau Oei ciangkun datang berkuda, diiringi oleh sepasukan pengawalnya. Melihat
ribut-ribut di depan pintu gerbang ia segera membalapkan kudanya dan ketika
melihat betapa Go-bi Ngo-koai-tung telah merobohkan lima orang tosu, ia lalu
melompat turun dan dengan heran sekali bertanya,
”Apakah yang telah terjadi?”
Akan tetapi pada saat itu, Thian It Tosu dengan marah sedang
mencela Tiong Kiat. La menghadapi pemuda ini dan dengan suara keras ia berkata,
”Sim ciangkun, di mana rasa setiakawanmu? Kau tahu sendiri
bahwa pinto berlima dengan susah payah melawan lima orang Kun lun pai ini,
semata-mata hanya untuk membantu dan melindungimu. Akan tetapi, akhirnya kau
bahkan mengundurkan diri dan berdiri sebagai penonton saja, sama sekali tidak
mau membantu kami. Apakah artinya ini?"
Merahlah muka Tiong Kiat mendengar teguran ini. Memang ia
harus akui bahwa sikapnya tadi benar-benar amat buruk dan patut dicela, akan
tetapi ia masih ragu-ragu karena teringat akan tuduhan Gan Tian Cu terhadap
Go-bi Ngo-koai-tung.
”Totiang apakah betul ucapan Gan Tian Cu tadi bahwa totiang berlima
adalah bekas orang-orang Pek-lian-kauw?” tanyanya dengan kening berkerut.
”Kalau betul, mengapa? Apakah kami tidak berhak untuk hidup?
Sim ciangkun, ingat bahwa kau sendiri dahulunyapun terkenal dengan julukan
Ang-coa-kiam yang ditakuti orang. Akan tetapi sekarang kaupun menjadi seorang
perwira yang memilih jalan benar apakah kami tidak berhak pula melakukan
kebaikan itu?”
Oei ciangkun yang mendengar pertengkaran ini, menjadi pucat
dan cepat menghampiri mereka. ”Sim-ciangkun, siapa bilang bahwa ngo-wi totiang
ini bekas antek-antek Pek-lian-kauw?” tanyanya dengan suara keren.
Sim Tiong Kiat tentu saja tak pernah menyangka bahwa Oei Sun
sendiri adalah bekas seorang tokoh Pek-lian-kauw, maka kini mendengar
pertanyaan ini, ia segera mencari kawan untuk menghadapi lima orang pendeta
Pek-lian-kauw itu.
”Yang bilang adalah Iima orang tosu Kun-lun-pai itu dan
anehnya, Go bi Ngo-totiang ini tidak membantah bahkan mengaku betul!” jawabnya
lalu mendekati Oei ciangkun untuk menghadapi lima orang tosu itu bersama.
Akan tetapi Oei ciangkun tidak memperhatikan Go-bi
Ngo-koai-tung, sebaliknya lalu menghampiri lima orang tosu Kun-lun-pai yang
masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya itu, lalu bertanyalah dia kepada
Tiong Kiat,
”Ada keperluan apakah lima orang tosu Kun-lun-pai ini datang
ke sini?”
”Mereka datang mencariku untuk menawanku, karena ada sesuatu
permusuhan antara mereka dan aku. Pernah aku membunuh seorang murid mereka dan
agaknya mereka merasa dendam dan hendak menghukumku,” jawab Tiong Kiat
sejujurnya.
“Dan Go-bi Ngo totiang membantumu?” tanya pula Oei ciangkun.
Tiong Kiat mengangguk. “Lima tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu
bahwa kau seorang perwira kerajaan dan mereka tetap menyerangmu?” tanya lagi
Oei Sun.
Kembali Tiong Kiat mengangguk membenarkan. Oei Sun berpaling
kepada beberapa orang pengawalnya dan memberi perintah singkat. ”Bunuh mereka
semua!”
Tiong Kiat terkejut sekali dan hendak mencegah. Tak
disangkanya Oei Sun akan menghukum mati kepada lima orang tosu Kun-lun-pai itu,
karena kalau sampai lima orang tosu Kun lun pai itu tewas, hal ini bukanlah
perkara kecil. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun lun dan kalau sampai dibunuh,
tentu akan membangkitkan kemarahan orang gagah seluruh dunia!
Akan tetapi Oei Sun memegang tangannya dan menariknya masuk
ke dalam benteng. ”Marilah, Sim-ciangkun dan jangan perdulikan lagi urusan
kecil itu. Mereka adalah pemberontak-pemberontak, karena orang-orang yang
berani memusuhi seorang perwira di dalam benteng, mereka itu berarti
memberontak terhadap Hong-siang sendiri. Jangankan seorang perwira, baru
terhadap seorang perajurit biasa saja rakyat tidak boleh melawan!”
Pada saat itu, para pengawal Oei ciangkun telah menggerakkan
tombak mereka ditusukkan ke arah ulu hati kelima orang tosu Kun-lun-pai itu,
maka tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun, lima orang tokoh Kun lun-pai
yang bernasib malang itu tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan!
Tiong Kiat merasa menyesal sekali akan tetapi apa yang dapat
ia lakukan? Ia memandang kepada Oei Sun dan terpaksa ikut masuk ke dalam
benteng. Di ruang dalam, duduklah mereka bertujuh. Gobi Ngo koai tung, Oei Sun,
dan Tiong Kiat. Lain orang tidak boleh masuk, bahkan Huayen khan dan Ang Hwa
sendiripun diminta berada di luar dulu karena ada hal yang amat penting hendak
mereka bicarakan. Setelah mereka mengambil tempat duduk berkatalah Oei Sun
kepada Tiong Kiat dengan air muka sungguh-sungguh.
”Sim ciangkun, kau telah cukup maklum betapa besar
kepercayaanku kepadamu dan bahwa kau telah kuanggap sebagai seorang kawan
kerja, seorang murid, juga seorang guru. Oleh karena itu, harap kau suka
berpikir tenang dan menggunakan pertimbangan yang sehat. Aku sendiri tidak tahu
apakah benar kelima totiang ini dahulunya pernah menjadi orang-orang Pek lian
kauw atau bukan. Hal itu sekarang bukan merupakan persoalan lagi. Pernah
menjadi orang Pek lian kauw ataupun tidak pernah, yang sudah pasti kelima
totiang ini membantu perjuangan kita, membantu pemerintah dan negara. Dalam
menghadapi perkara besar dan perjuangan mulia tak perlu kita menggali-gali
urusan lama. Bukankah aku sendiri tidak pernah mencari tahu tentang keadaan
dirimu sebelum datang di sini?”
Oei Sun memang pandai sekali bicara dan kalau sampai Tiong
Kiat dapat terjerumus ke dalam perangkap, semua itu terutama sekali adalah oleh
karena Tiong Kiat tertarik dan tertipu oleh omongan-omongan manis yang
diucapkan oleh Oei ciangkun secara pandai sekali. Kinipun, pemuda itu
mengerutkan kening dan tak dapat membantah kebenaran omongan Oei Sun. Tiong
Kiat teringat akan keadaannya sendiri. Bukankah iapun seringkali melakukan
hal-hal yang amat tidak baik apabila dipandang dari sudut kebenaran?
Bahkan sampai sekarangpun, ia berani bermain gila dengan Ang
Hwa di depan Huayen khan, berarti mengganggu seorang isteri di depan suaminya!
Dia sendiri seorang yang banyak melakukan kesesatan, bagaimana ia dapat
memburukkan orang-orang lain hanya karena mereka pernah menjadi orang
Pek-Iian-kauw?
”Oei ciangkun ternyata mengeluarkan ucapan gagah sebagai
seorang laki-laki sejati, Sim-ciangkun. Memang pinto harus mengaku bahwa pinto
berlima dahulu memang pernah menjadi pendeta Pek-lian-kauw, akan tetapi apakah
salahnya itu? Apakah salahnya memeluk sesuatu agama tertentu? Ah, sudahlah, tak
perlu pinto membela agama Pek-Iian-kauw yang sudah diburukkan orang lain,
karena pinto percaya bahwa agama Pek-Iian-kauw sungguhpun sudah dicemarkan
orang, kelak pasti akan bangun kembali, akan terlihat kemurniannya bagaikan
emas jatuh di dalam lumpur. Sekarang yang penting kita melihat kedepan, melihat
kenyataan sekarang. Benar dan tepat sekali apa yang dikatakan oleh Oei ciangkun
tadi bahwa kita adalah orang-orang sepaham dan seperjuangan, mengapa kita harus
saling menuduh?”
Didesak oleh omongan-omongan yang terdengar penuh cengli
(aturan) ini, mau tidak mau Tiong Kiat terpaksa harus menyatakan betul. Ia
berdiri dan menjura kepada Thian It Tosu dan kawan-kawannya.
”Maafkan aku, totiang. Sekarang aku merasa bahwa aku telah
melakukan kebodohan besar sekali. Maafkan bahwa tadi aku tidak membantu ngowi
totiang menghadapi pendeta-pendeta Kun-Iun-pai, dan terima kasih bahwa ngowi
totiang telah membantuku menghadapi mereka.”
Ia berhenti sebentar lalu berpaling kepada Oei Sun dan
berkata, ”Hanya sayang sekali lima orang tokoh penting dari Kun lun-pai telah
dibunuh, aku kuatir sekali hal ini akan berekor panjang. Mereka itu adalah tosu
tosu tingkat dua dari Kun-lun-pai bukanlah hal ini berbahaya sekali?”
Oei Sun tersenyum. ”Mereka telah melakukan pemberontakan dan
satu-satunya hukuman bagi pemberontak adalah hukuman mati! Dan lagi, siapakah
yang tahu bahwa mereka itu lewat di sini? Seandainya ada yang tahu, mengapa
kita takut? Kita adalah alal-alat negara, dan orang orang gagah akan membantu
kita kalau orang orang Kun lun pai datang membikin onar!"
Demikianlah, dengan secara pandai sekali Oei Sun tidak saja
dapat menghilangkan keraguan hati Tiong Kiat dan menjauhkan diri sendiri dari
dugaan bahwa dia juga adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw, akan tetapi
juga ia dapat membersihkan nama kelima orang pendeta itu.
”Aku ada berita yang jauh lebih penting dari pada urusan lima
orang tosu dari Kun-lun-pai itu.” akhirnya Oei ciangkun membuka oleh-olehnya
yang didapatkan dari pada perjalanannya tadi.
Tiong Kiat dan kelima Go-bi Ngo koai-tung dengan penuh
perhatian mendengarkan.
”Lebih dulu tolong kau panggil masuk Huayen khan dan
isterinya, Sim ciangkun. Mereka juga berhak mendengarkan,” kata pula Oei
ciangkun.
Ketika Tiong Kiat keluar dari kamar itu untuk memanggil
Huayen-khan dan Ang Hwa, Oei Sun cepat berkata kepada Go bi Ngo koai-tung.
”Lain kali harap berlaku lebih sabar terhadap dia. Kita amat memerlukan
bantuannya. Aku mendengar kabar bahwa seorang murid dari Kim-liong-pai, mungkin
kakak dari Sim Tiong Kiat ini, kini muncul dan menjadi pembantu utama dari Gak
ciangkun. Siapa tahu kalau Sim ciangkun ini akan dapat kita pergunakan untuk
menghadapi kakaknya yang kabarnya amat lihai itu!”
Thian It Tosu dan adik-adik seperguruannya hanya
mengangguk-angguk saja karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk bicara
lagi. Tiong Kiat telah masuk diikuti oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Nyonya muda
ini cemberut ketika ia berkata kepada Oei-ciangkun.
”Ah, sekarang kau agaknya sudah tidak percaya lagi kepadaku!”
Kalau orang lain yang mendengar sikap dan ucapan ini, tentu
orang itu akan merasa heran bagaimana seorang nyonya muda yang boleh dibilang
menjadi tamu di benteng itu, bicara macam itu terhadap komandan benteng! Akan
tetapi bagi mereka yang berada di situ, tidak merasa heran lagi, karena seperti
juga dengan Tiong Kiat, Ang Hwa mengadakan hubungan pula dengan Oei Sun.
”Ha ha ha! Perundingan rahasia selamanya tidak boleh
terdengar oleh lain orang!” Huayen khan berkata sambil tertawa. Sungguhpun
diam-diam di dalam hatinya amat mendongkol, akan tetapi kepala suku bangsa
Ouigour yang licin ini tidak memperlihatkan perasaannya.
”Dengarlah kawan-kawan semua.” Kata Oei Sun sambil menghadapi
Tiong Kiat, ”didalam perjalananku melakukan penyelidikan, aku mendengar berita
yang amat mengejutkan hati. Aku mendengar keterangan para penyelidik rahasia
yang kusebar dimana-mana bahwa Gak ciangkun kini telah diangkat oleh Hong siang
menjadi Jenderal. Gak-goanswe (Jenderal Gak) kini memimpin barisan besar
melakukan penjagaan di tapal batas sebelah barat.”
”Berita seperti itu apa salahnya? Bukankah itu baik sekali.”
Tanya Tiong Kiat dengan heran.
”Belum habis Sim ciangkun. Memang kalau hanya sampai di situ
saja amat bagus, akan tetapi ternyata hal ini berkembang dengan hebatnya. Kini
Gak goanswe secara diam-diam telah mengadakan persekutuan dengan tentara Tartar
yang amat besar jumlahnya. Mereka berdua itu kini telah menyusun kekuatan di
sebelah barat untuk dipergunakan menyerbu ke kota raja!”
”Sungguh tak berbudi!’ seru Tiong Kiat. ”Sudah diberi pangkat
tinggi masih hendak memberontak!”
”Sama sekali bukan tidak berbudi, Sim ciangkun.” Kata Oei
Sun. ”Hal itu hanya menunjukkan betapa tinggi cita-cita Gak goanswe. Orang yang
bercita-cita tinggi saja yang akan mendapat kemajuan di dunia ini. Akan tetapi,
betapapun juga, kita harus menggempur pasukan Gak goanswe itu sebelum merupakan
bahaya besar bagi kita.”
”Maksudmu tentu bahaya besar bagi kerajaan, Oei ciangkun.”
Tiong Kiat berkata.
”Ah ya, tentu saja bagi kerajaan. Kita harus mendahuluinya
memukul karena menurut berita, kini barisannya menjadi amat kuat dan besar
sekali jumlahnya, dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan menjaga di
tempat-tempat mengelilingi kota raja, merupakan ancaman yang berbahaya sekali.”
”Tentu, kita harus memukulnya ” kata Tiong Kiat
mengangguk-angguk. ”Akan tetapi, kau lebih tahu tentang keadaan mereka, maka
terserahlah bagaimana hendak diaturnya.”
”Menurut penyelidikan, Gak goanswe telah memasang sepasukan
tentara di tapal batas kota raja sebelah utara, jadi tepat di sebelah selatan
kita. Mungkin sekali selain untuk mengurung kota raja dalam persiapannya
memberontak, pasukan ini diadakan untuk menghalangi barisan kita dari utara
apabila hendak membantu kotaraja. Oleh karena itu, aku memberi tugas kepadamu,
Sim ciangkun untuk membawa lima ratus orang tentara dan memukul pasukan ini.
Huayen khan dan pasukannya boleh membantumu dari belakang.”
”Baik, Oei-ciangkun.” Jawab Tiong Kiat dengan gembira sekali.
Memang semenjak ia menjadi perwira di benteng Oei Sun, pemuda
ini banyak sekali terhanyut hatinya. Ia merasa amat berdosa bukan karena
mengingat akan semua perbuatannya yang dulu, bukan karena ia telah membunuh
beberapa orang dan mengganggu banyak wanita, akan tetapi ia merasa amat berdosa
dan berduka apabila ia teringat Suma Eng, gadis yang boleh dibilang tak pernah
ia lupakan ini.
Sekarang setelah ia menjadi seorang perwira, ia merasa telah berjasa
kepada negara, merasa telah melakukan perbuatan yang amat baik dan bijaksana,
perbuatan yang akan menghapus dosanya terhadap Suma Eng itu! Apa lagi sekarang
ia akan memimpin pasukan memukul barisan pemberontak dari Jenderal Gak!
Alangkah mulianya pekerjaan ini, alangkah besarnya, jauh lebih besar apabila
dibandingkan dengan kecilnya dosa yang ia lakukan terhadap Eng Eng!
Maka bersiap-siaplah Tiong Kiat, memilih sepasukan tentara
sebanyak lima ratus orang, menentukan komandan-komandan regu dan setelah
mendapat nasehat dan siasat dari Oei Sun, berangkatlah Tiong Kiat dengan
barisannya menuju ke selatan untuk menyerbu pertahanan barisan Gak goanswe!
Pemuda ini dalam pakaian perwira, menunggangi kuda putih
pemberian Ang Hwa. Ia menunggang kuda di depan, tampak gagah sekali dan
wajahnya yang tampan itu berseri gembira. Barisannya berbaris rapi, didahului
oleh regu berkuda yang bertugas sebagai penyelidik dan pelopor.
Bendera besar dengan huruf OEI untuk menghormat dan menjadi
tanda bahwa barisan ini adalah barisan dari benteng di bawah pimpinan Oei Sun,
berkibar tinggi di atas punggung kuda, dipegangi oleh seorang perajurit.
Bendera-bendera lain yang agak kecil dengan sulaman huruf SIM tanda bahwa
barisan ini dalam pergerakannya dipimpin oleh seorang perwira she Sim.
***************
Kurang lebih seratus li di sebelah selatan tempat itu, di
lembah Sungai Kim-seng kiang Sungai Bintang Mas yang menjadi anak sungai dari
Sungai Sungari yang besar, memang menjadi tempat pertahanan sepasukan tentara
kerajaan yang berjumlah tiga ratus orang lebih. Pasukan ini, melakukan
penjagaan di tapal batas antara Tiongkok pedalaman dan Mongolia. Memang pasukan
ini adalah sebagian dari pada pasukan Jenderal Gak yang mendapat tugas penuh
untuk menjaga keamanan kota raja di bagian luar.
Jenderal Gak ini mulai timbul kecurigaan hatinya terhadap Oei
Ciangkun yang memimpin barisan di utara, maka ia bersiap-siap untuk menyelidiki
dan kalau perlu menggempur dan melucuti senjata pasukan di bawah pimpinan
perwira she Oei itu. Maka sebagai penjagaan, ia lalu mengirim pasukan ini ke
lembah Sungai Kim seng, untuk menjaga kalau-kalau kecurigaannya itu terbukti
sehingga kota raja dapat dilindungi.
Ia tak dapat mengerahkan semua pasukan di tempat ini, karena
selain Oei-ciangkun yang diduganya hendak memberontak, terdapat musuh-musuh
yang lebih berbahaya lagi, bangsa Tartar yang mulai nampak gejala hendak
menyerang ke pedalaman. Tentara Tartar jauh lebih besar dan lebih kuat daripada
tentara pimpinan Oei ciangkun maka perlu sekali dijaga seluruh tapal batas di
sebelah barat dan utara.
Tiga ratus lebih tentara yang menjaga di tapal batas dan di
lembah Sungai Kim-seng ini dipimpin oleh seorang perwira tua bernama Ma Goan.
Ma Goan atau perwira Ma ini biarpun sudah berusia hampir lima puluh tahun namun
ia masih nampak kuat dan angker. Tubuhnya pendek akan tetapi tegap dan besar,
dengan perut yang besar dan bulat, tertutup oleh pakaian perang yang tebal dan
indah.
Ma Goan telah menjadi tentara semenjak berusia dua puluh
tahun, dan pengalamannya dalam pertempuran selama tiga puluh tahunan inilah
yang membuat ia dapat memanjat naik sampai menduduki pangkat perwira dan
memimpin tentara sebanyak tiga ratus orang lebih.
Padahal ia berasal dari dusun dan hanya mengerti sedikit mata
surat, hampir buta huruf. Akan tetapi memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan
oleh pengalamannya yang berpuluh tahun itu ia mengerti juga sedikit hoat sut
(ilmu sihir) yang dipelajari dari orang India ketika ia bertugas di tapal batas
sebelah barat.
Adapun siasat-siasat perang tak usah disangsikan lagi, karena
pengalaman memang Iebih nampak manfaatnya dari pada pelajaran mati, pengalaman
adalah pelajaran yang hidup, pelajaran yang otomatis mendarah daging.
Ma Goan terkenal ahli dalam permainan senjata golok gagang
panjang yang besar dan berat sekali. Di dalam pertempuran berkuda, senjata
macam ini amat praktis dan juga berbahaya sekali, karena selain panjang juga
berat dan tajam. Tak terhitung banyaknya perwira dan panglima musuh yang roboh
di bawah sambaran golok di tangan Ma Goan yang perkasa.
Selain bintang-bintang yang diterimanya sebagai tanda
kegagahan dari kaisar dan panglima-panglimanya, juga Ma Goan sudah menerima
tanda kegagahan dari musuh yakni berupa cacad-cacad dan bekas-bekas luka di leher,
pundak, dan pipi kanannya. Di bagian-bagian tubuh ini kulitnya telah sobek oleh
pedang lawan dan kini menjadi cacad yang bahkan menambahkan keangkerannya.
Ma Goan tidak sempat membuat benteng pertahanan di lembah
sungai Kim seng itu hanya menyuruh anak buahnya memasang tenda-tenda di bawah
pohon-pohon siong yang besar. Kemudian ia memasang penjaga-penjaga di empat
penjuru dan setiap hari melatih barisannya, sebagian pula menebang pohon untuk
dibuat perahu-perahu dan tiang bangunan tempat tinggal. Perahu-perahu amat
penting bagi mereka, karena hubungan yang paling cepat dan mudah dengan barisan
lain adalah melalui sungai ini.
Pada pagi hari itu, Ma Goan yang berada di dalam tendanya,
mendapat laporan dari penjaga terdepan bahwa kurang Iebih lima li dari situ
sedang mendatangi barisan kerajaan yang berjumlah besar dan pada benderanya
terdapat tanda bahwa barisan itu adalah barisan yang datang dari benteng
Panglima Oei dan dipimpin oleh perwira Sim.
"Berapa banyak jumlahnya tentara mereka?" tanya Ma Goan
dengan sikap masih tenang, sungguhpun di dalam dadanya ia berdebar mendengar
laporan ini. Inilah pasukan-pasukan dari Oei Sun yang dikabarkan hendak
memberontak itu!
"Menurut perkiraan saya, sedikitnya ada lima ratus orang
ciangkun." jawab pelapor itu.
"Hm, minta semua komandan regu untuk datang ke sini.
Cepat!”
Pelapor itu cepat berlari keluar dan tak lama kemudian, tujuh
orang perwira pembantu telah datang menghadap.
"Pasukan pemberontak telah mulai datang. Kita belum tahu
kehendak mereka, maka jangan sembarangan turun tangan. Bagi pasukan kita
menjadi tiga bagian. Sebagian aku kupimpin menyambut kedatangan mereka, yang
dua bagian bersembunyi di kanan kiri hutan. Kalau pasukan yang kupimpin terjadi
perang dengan mereka, baru kedua pasukan di kanan kiri membantu dan memukul
dari kedua samping. Kekuatan musuh lebih besar hampir dua kali kekuatan kita.
Dengan serangan menggapit dari kanan kiri, tetap belum tentu kita kalah. Kalau
sampai terjadi apa-apa dan kalah atau tewas dalam pertempuran sebagian pasukan
boleh mundur menggunakan perahu-perahu kita, minta bantuan kepada benteng di
lembah Sungai Sungari. Mengerti?"
Semua pembantunya menyatakan mengerti. Maka Ma Goan segera
membubarkan mereka untuk melakukan tugas masing-masing. Dia sendiri setelah
barisan dibagi tiga, lalu memimpin barisan dari seratus orang ini untuk menuju
ke utara memapaki barisan yang berbendera OEI dan SIM itu.
Di luar hutan siong, kedua barisan itu bertemu. Ketika Tiong
Kiat melihat pasukan berbendera GAK dan MA dan melihat pakaian tentara itu
menunjukkan bahwa mereka adalah tentara kerajaan, diam-diam ia segera memberi
perintah agar supaya Huayen-khan dan Ang Hwa menyuruh barisan mereka
bersembunyi di belakang. Dia sendiri lalu memberi perintah kepada anak buahnya
agar supaya jangan bergerak lebih dulu.
"Tunggu sampai aku bertempur dengan panglima yang
memimpin pasukan pemberontak di depan itu. Kalau ia dapat bertahan sampai
sepuluh jurus melawanku, barulah barisan boleh maju menyerbu! Kalau sebelum
sepuluh jurus panglima itu telah roboh aku akan mencoba agar pasukan di depan
itu suka takluk dan memihak kita!"
Ini adalah siasat perang yang ia pelajari dari Oei Sun yang
disebut siasat 'membunuh ular tanpa merusak kulitnya'. Memang Oei Sun amat
membutuhkan tenaga tentara untuk maksud dan cita-citanya, maka kalau saja
pemimpin pasukan musuh dapat dibinasakan sehingga pasukannya menjadi jerih dan
kacau sampai dapat menaluk dan menjadi tentara taklukan, hal itu tentu saja
amat baiknya!
Tentu saja pendirian Tiong Kiat jauh berlainan dengan
kehendak Oei Sun. Bagi Tiong Kiat, kalau sampai tentara Gak goanswe yang
dianggapnya memberontak itu sampai takluk tanpa perang dan dapat 'insaf'
alangkah baiknya hal itu. Tidak perlu terjadi bunuh-membunuh antara bangsa
sendiri!
Tak lama kemudian, kedua barisan itu berhenti kurang lebih
seperempat li jauhnya satu kepada yang lain. Tiong Kiat membedal kudanya maju.
Sebaliknya Ma Goan sambil menyeret golok gagang panjangnya juga mengaburkan
kudanya memapaki perwira pemberontak itu.
"Apakah yang di depan ini seorang perwira dari barisan
Gak goanswe, pemberontak hina dina itu?”
Mendengar suara yang berkumandang dan keras itu, tahulah Ma
Goan bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli silat yang telah memiliki khikang
yang tinggi. Akan tetapi ia menjadi amat marah mendengar ucapan itu.
"Perwira bermulut lancang!” ia membalas. "Kau
tentulah seorang perwira gadungan (yang tidak diangkat oleh kaisar) dari
barisan Oei manusia tak tahu diri itu, bukan? Lekas turun dari kudamu dan
menyerah sebelum aku Ma Goan memenggal lehermu dan membasmi tentaramu!”
Tiong Kiat merasa heran dan juga marah sekali. Bagaimanakah
perwira yang memimpin barisan pemberontak ini begitu berani memakinya sebagai
perwira gadungan dan bahkan memaki-maki nama Oei Sun pula? la tertawa mengejek
dan berkata,
"Perwira pendek! Kau mengandalkan apamukah maka bicara
begitu sombong? Apakah kau mengandalkan golok pemotong babi di tanganmu
itu?"
Ma Goan pikir tak perlu bicara banyak-banyak dengan
pemberontak ini, maka dengan cepat ia lalu berseru, "Makanlah golok
pemotong babiku ini, babi!"
Dengan amat cepatnya golok di tangannya itu menyambar ke arah
dada Tiong Kiat sehingga pemuda itu terkejut juga. Tak diduganya bahwa lawan
yang pendek tangannya itu ternyata dapat menggerakkan golok gagang panjang
demikian cepatnya. Ia belum sempat mencabut pedangnya dan untuk mengelakkan
diri di atas kuda, tak mungkin sama sekali melihat datangnya serangan yang
benar-benar amat lihai itu. Maka sambil berseru keras, ia lalu berjumpalitan dari
atas kudanya sehingga terhindar dari sabetan golok.
Melihat betapa perwira muda itu dapat melompat dan
berjumpalitan dengan ilmu lompat Naga Hitam Menembus Awan dengan gerakan yang
amat indah dan cepat, kembali Ma Goan tertegun. Lebih-lebih kagetnya ketika
tiba-tiba tubuh pemuda yang sudah turun ke atas tanah itu kini berkelebat ke
arahnya dan sinar pedang yang putih berkilau menyambar-nyambar dengan hebatnya.
Ia cepat memutar golok panjangnya akan tetapi tiba-tiba
kudanya meringkik keras dan cepat ia melompat turun. Baiknya ia melakukan hal
ini, karena kalau tidak, dalam segebrakan itu tadi ia tentu akan terjungkal
dari kuda dan binasa di bawah ujung pedang lawannya.
Ternyata bahwa Tiong Kiat telah berhasil membabat dua buah
kaki belakang kuda yang ditunggangi oleh Ma Goan itu! Pemuda ini tadi berpikir
bahwa melihat gerakan ilmu golok panjang dari perwira pendek itu, agaknya sukar
baginya untuk mendapat kemenangan. Selain lawannya amat lihai, juga lawannya
lebih pandai bertempur di atas kuda dan senjata lawannya jauh lebih panjang
maka ia cepat menyerang kuda itu sehingga kini lawannya terpaksa harus
melayaninya di atas tanah!
Adapun Ma Goan dengan amat marah segera memutar golok
panjangnya dan menyerang pemuda itu. Tiong Kiat menyambutnya dengan senyuman
mengejek, akan tetapi tak lama kemudian senyuman mengejek ini lenyap dari bibir
Tiong Kiat ketika ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Ma Goan ini ternyata
benar-benar tak boleh dipandang ringan!
Ilmu silat perwira pendek ini hebat sekali dan golok panjang
di tangannya merupakan dua macam senjata yang berbahaya. Apabila golok itu
dibalikkan, maka gagang golok itu dapat dipergunakan sebagai senjata toya yang
ditotokkan dan kemplangannya dapat mendatangkan maut! Juga tenaga dan kegesitan
Ma Goan yang sudah tua itu mengagumkan sekali, Tiong Kiat menggigit bibirnya
dan memutar pedangnya makin cepat, kini setelah lima belas jurus tak dapat
mengalahkan Ma Goan ia mulai mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari
Ang-coa-kiamsut!
Sementara itu, barisannya yang melihat betapa perwira pendek
itu ternyata tangguh dan dapat menahan serangan Sim ciangkun sampai lima belas
jurus lebih, segera perwira pembantu memberi aba-aba dengan teriakan keras dan
panjang-panjang.
"Serbuuuuuuuu!”
Maka majulah lima ratus orang perajurit itu bagaikan
gelombang menderu dan dengan pekik sorak riuh rendah dan tangan mengangkat
senjata yang berkilauan terkena sinar matahari, kedua barisan bertemu di luar
hutan dalam pertempuran yang hebat sekali! Pertemuan dua barisan yang
menimbulkan perang hebat itu ditambah lagi dengan sorak sorai dari kedua
pasukan yang bersembunyi di kanan kiri, yakni pasukan pendam yang telah diatur
semula oleh Ma Goan.
Agak terkejut dan kacau balau pasukan Tiong Kiat ketika tiba-tiba
muncul barisan musuh dari kanan kiri ini dan pertempuran dilakukan dalam
keadaan kacau. Akan tetapi oleh karena memang pasukan yang dipimpin oleh Tiong
Kiat lebih besar jumlahnya, hampir dua kali lebih banyak, mereka dapat
melakukan perlawanan kuat sekaIi.
Ma Goan, perwira pendek yang gagah itu, ketika melihat betapa
pasukannya tetap saja tidak dapat mendesak musuh yang besar jumlahnya dan kini
fihak musuh sudah mulai mendekati pintu benteng dan mulai mengancam pertahanan,
menjadi gelisah sekali. Apa lagi karena Tiong Kiat mendesaknya dengan hebat.
Serangan pedang pemuda yang dilawannya itu benar-benar di
luar dugaannya. Ia telah mengetahui akan kelihaian Oei Sun dan agaknya ia masih
dapat menghadapi Oei Sun. Siapa tahu kepandaian pemuda yang menjadi pembantu
Oei ciangkun ini ternyata lebih lihai dari pada perwira pemberontak itu
sendiri.
Setelah merasa bahwa dengan ilmu silatnya tidak mungkin dapat
mengalahkan lawannya yang lihai itu, Ma Goan lalu memberi aba-aba yang
memerintahkan pasukannya mundur dan melarikan diri mempergunakan perahu-perahu
yang telah siap di pinggir sungai. Ia sendiri lalu memutar golok panjangnya
untuk mencari jalan keluar dari kepungan Tiong Kiat.
Akan tetapi ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang dimainkan oleh
Tiong Kiat sudah sempurna. Boleh dibilang semua ilmu kepandaian yang dituliskan
di dalam kitab ilmu pedang Kim-Liong-pai itu telah dipelajari semua sehingga
dalam hal ilmu pedang, kepandaian Tiong Kiat tidak kalah oleh Lui Thian Sianjin
sendiri!
Dalam usaha Ma Goan untuk menerjang keluar dari kurungan
sinar pedang yang hebat itu sia-sia belaka bahkan kini pedang di tangan Tiong
Kiat makin cepat gerakannya dan hebat sekali serangan-serangannya. Ma Goan tak
dapat berdaya lagi dan ketika sebuah tangkisannya meleset, pundak kirinya
terbabat ujung pedang Hui-liong kiam di tangan Tiong Kiat sehingga sepotong
daging pundaknya berikut baju perangnya terbawa oleh pedang!
Ma Goan berseru keras saking sakitnya akan tetapi ia telah
dapat mengumpulkan tenaga batinnya dan dengan sedikit ilmu hoatsut (sihir) yang
pernah dipelajarinya, ia berkata dengan suara berpengaruh.
"Orang muda, Iihat pedangmu itu. Bukankah itu telah
berubah menjadi seekor ular putih? Lihat baik baik!"
Tiong Kiat yang tidak mengira sama sekali bahwa lawannya mempergunakan
ilmu sihir tak dapat mencegah keinginan hatinya untuk memandang ke arah
pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat Hui-liong kiam itu
benar-benar telah berubah menjadi seekor ular putih! Pedang itu kini merupakan
seekor ular yang ia pegang pada ekornya dan dengan gerakan-gerakan yang amat
menggelikan, ular itu lalu membalikkan tubuh dan dengan mulut terbuka hendak
menyerangnya sendiri!
Tentu saja Tiong Kiat menjadi kaget sekali dan cepat cepat ia
melempar ular itu ke atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilihatnya ? Ketika ular
putih itu dibanting jatuh di atas tanah, terdengar suara nyaring dan ternyata
ular putih itu telah berobah lagi menjadi pedang Hui liong kiam yang
berkilauan!
Baru tahulah Tiong Kiat bahwa la telah kena tertipu oleh
lawannya. Ia cepat menyambar pedangnya Iagi, akan tetapi ketika ia mengangkat
muka memandang, ternyata bahwa Ma Goan telah pergi dari situ dan tidak
kelihatan bayangannya lagi! la mendongkol sekali dan cepat ia lalu menyerbu
dalam gelanggang pertempuran, membabat para perajurit musuh yang mulai
melarikan diri, dikejar oleh pasukannya!
Tiong Kiat dan pasukannya mendapat kemenangan besar. Hampir
separuh dari pada barisan pemberontak, anak buah Gak goanswe telah dapat
ditewaskan dan sebagian lagi melarikan diri, ada yang melalui darat, ada yang
menggunakan perahu. Benteng dapat dirampas dan sejumlah besar perbekalan musuh
dapat dirampas pula. Dengan membawa kemenangan besar yang pertama kali ini,
Tiong Kiat memimpin pasukannya kembali ke Oei-ciangkun.
Oei Ciangkun sendiri bersama Go bi Ngo Koai Tung menyambut
pasukan yang menang perang ini. Huayen khan dan Ang Hwa yang juga telah
bertempur hebat dan banyak merobohkan perajurit musuh menjadi amat bangga akan
tetapi Tiong Kiat hanya tersenyum-senyum saja. Pikirannya penuh dengan
pengalamannya ketika bertempur melawan Ma Goan tadi.
Baiknya ia sudah melukai Ma Goan. Kalau lawannya itu belum
terluka dan ketika ia melemparkan pedangnya yang berobah menjadi ular tadi,
bukankah amat berbahaya baginya kalau lawannya itu menyerangnya? Oei Sun yang
mempunyai pandangan tajam dapat melihat kemuraman wajah kawannya, maka ia lalu
berkata,
“Saudaraku Sim, mengapa kau yang menang perang dan berhasil
baik dalam gerakanmu kali ini, agaknya nampak muram?"
“Oei-ciangkun, biarpun pasukan kita menang akan tetapi aku
mendapat kenyataan bahwa segala jerih payahku bertahun-tahun yang lalu, ilmu
silat yang kupelajari dengan rajin dan tak mengenal lelah ternyata tidak
berdaya sama sekali menghadapi ilmu siluman dari seorang perwira musuh!"
Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu menceritakan kepada
Oei Sun dan Ngo koai tung tentang pertempurannya melawan Ma Goan. Mendengar
penuturan ini, Thian lt Tosu tertawa bergelak.
"Ha ha ha Sim ciangkun. Kukira apa menimbulkan kemuraman
pada wajahmu, tidak tahunya kau memikirkan sedikit ilmu kepandaian anak kecil itu!
Ha ha ha! apa sih sukarnya kepandaian macam itu saja? Anak kecilpun bisa."
Ketika Tiong Kiat memandang kepada Thian It Tosu, tiba tiba
tosu itu memandangnya dengan mata terpentang lebar seperti yang dilakukan oleh
Ma Goan tadi, kemudian sebelum Tiong Kiat mengerti apa yang dimaksudkan atau
dikehendaki oleh tosu ini, orang tertua dari Go-bi Ngo-koai tung itu berkata,
"Sim-ciangkun, sungguh kau gagah sekali pulang dan masuk
ruang ini naik seekor harimau!"
Tiong Kiat menjadi makin bingung. Gilakah tosu ini? Akan
tetapi tiba-tiba ia merasa betapa bangku yang didudukinya bergerak-gerak dan
ketika ia memandang ke bawah, hampir saja ia berteriak karena kagetnya. Yang
diduduki sejak tadi itu bukan sebuah bangku biasa, melainkan seekor harimau
yang besar!
"Nah, Sim ciangkun, bukankah pedangmu itu telah menjadi
seekor ular putih lagi sekarang?”
Tiong Kiat menengok ke arah pedang yang tergantung di
pinggangnya, dan alangkah kagetnya melihat bahwa yang tergantung di pinggangnya
bukan Hui liong-kiam di dalam sarung pedang, melainkan seekor ular putih!
Berubah wajah Tiong Kiat dan ia telah melakukan gerakan cepat sekali melompat
turun dari harimau besar itu dan hendak melemparkan pedangnya. Akan tetapi
Thian It Tosu menggerakkan tangannya dan berkata,
"Sim ciangkun, sabarlah. Semua itu hanyalah bayangan
belaka! Harimau dan ular lenyap, yang kau duduki sebuah bangku biasa dan
pedangmu masih Hui-liong-kiam yang ampuh!”
Betul saja, harimau dan ular itu tak nampak lagi dan kini
mata Tiong Kiat melihat benda-benda biasa. Ia menjadi heran dan merahlah
mukanya.
“Hebat," katanya menarik napas panjang, ”Totiang, kau
benar-benar lihai sekali. Bagaimanakah manusia bisa mempelajari ilmu seperti
itu?"
“Sim ciangkun, apakah kau ingin mempelajari ilmu sihir
seperti itu?"
"Tentu saja, totiang. Akan girang sekali hatiku kalau
aku dapat memiliki kepandaian yang aneh itu hingga lain kali bertemu dengan
lawan seperti Ma Goan, aku takkan mendapat malu lagi."
“Akan tetapi," tiba-tiba Oei Sun berkata, ”kau
mempelajari ilmu ini, berarti kau mempelajari ilmu dari Pek-lian-kauw."
Sambil berkata demikian, Oei Sun memandang tajam sekali,
kemudian setelah ia melihat keraguan di wajah Tiong Kiat, ia menyambung.
"Akan tetapi aku sendiri pernah mempelajari ilmu itu saudara Tiong Kiat.
Kau lihatlah baik-baik bukankah yang kududuki inipun seekor harimau yang gagah
dan besar sekali?"
Tiong Kiat memandang dan... betul saja! Oei Sun bukan duduk
di atas bangku yang tadi lagi, melainkan di atas seekor harimau yang besar!
Oei Sun segera menyimpan kembali ilmunya dan berkata sambil
tertawa. "Saudara Tiong Kiat, terus terang saja aku sendiri pernah
mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw. Kau lihat, Pek-lian-kauw adalah
sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan dulu
dibasmi hanya karena hasutan orang-orang yang merasa iri hati dan yang
berkali-kali dikalahkan oleh Pek-lian kauw."
"Akan tetapi… aku mendengar bahwa perkumpulan itu telah
melakukan kejahatan-kejahatan hebat..." kata Tiong Kiat.
Thian It Tosu tertawa bergelak. "Ha ha ha. Sim-ciangkun,
kau benar-benar masih hijau dan belum berpengalaman. Mana ada orang-orang yang
membenci sesuatu membicarakan soal-soal baik tentang yang dibencinya? Kami akui
bahwa tentu saja ada dahulu anggota-anggota Pek-lian-kauw yang jahat dan
menyeleweng akan tetapi dunia manakah yang tidak ada kambing hitamnya? Menurut
pandanganmu, Sim-ciangkun, apakah pinto berlima dan juga Oei ciangkun ini patut
disebut orang-orang jahat?"
Tiong Kiat harus mengakui kebenaran kata-kata ini dan kini ia
tidak begitu benci lagi mendengar nama Pek-lian-kauw. Kemudian dengan amat
pandainya Thian It tosu dan Oei Sun memuji-muji Pek-Iian-kauw dan menyatakan
penyesalannya terhadap pemerintah yang dapat dihasut oleh orang jahat sehingga
Pek-lian-kauw dibasmi.
Tiong Kiat diam-diam terkena juga oleh bujukan dan hasutan
ini dan diikutinya pula bahwa pemerintah kurang bijaksana dalam urusannya
menghadapi Pek-Iian-kauw. Apalagi setelah Thian It Tosu menyatakan hendak
memberi pelajaran ilmu gaib kepadanya, makin sukalah hati Tiong Kiat terhadap
orang orang Pek-lian-kauw yang dianggapnya benar-benar orang gagah yang setia
terhadap negara dan bangsa!
***************
Telah lama kita meninggalkan Tiong Han, pemuda bernasib
malang yang banyak mengalami penderitaan batin karena perbuatan adiknya yang
amat disayanginya itu. Semenjak pertemuannya dengan sumoinya, Can Kui Hwa yang
sudah mendapat jodoh dengan pemuda Un Leng dan mendengar penuturan sumoinya itu
tentang perlakuan Tiong Kiat terhadapnya, Tiong Han merasa makin sedih dan juga
gemas.
Bagaimana Tiong Kiat sampai menjadi demikian jahat? Aku harus
dapat mencarinya, aku harus menangkapnya dan membawanya kepada suhu! Pikiran
Tiong Han sudah tetap, karena kalau makin banyak adiknya melakukan perbuatan
jahat, ia merasa bertanggung jawab juga dan merasa ikut berdosa.
Sampai berbulan-bulan ia merantau mencari jejak adiknya, dan
akhirnya ia mendengar bahwa Tiong Kiat telah menjadi seorang perwira! Tentu
saja ia merasa heran sekali akan tetapi oleh karena berita ini ia terima dari
orang-orang suku bangsa lain yang tinggal di utara dan keterangan mereka itu
hanya samar-samar ia belum percaya benar. Betapapun juga, ia lalu mengejar ke utara.
Dari seorang di antara para pedagang yang seringkali
melakukan perjalanan jauh ke utara, ia mendengar tentang seorang perwira yang
bekerja dalam benteng panglima Oei di dekat Sungai Sungari. Tiong Han masih
belum percaya kalau adiknya bisa menjadi perwira akan tetapi oleh karena tidak
tahu harus mencari ke mana ia pergi juga ke daerah itu.
Di sepanjang jalan ia mendengar tentang pertempuran antara
suku bangsa Cou melawan suku bangsa Ouigour, akan tetapi berita ini tidak
begitu menarik perhatiannya, ia hanya bertanya-tanya di mana adanya benteng
dari panglima she Oei yang menjaga tapal batas sebelah utara ini.
Pada suatu pagi, tibalah ia di kota yang hanya terpisah
sepuluh li dari benteng di mana orang yang dicarinya berada! Kota ini kecil
saja akan tetapi di situ banyak terdapat orang-orang berdagang atau lebih tepat
bertukar barang dengan penduduk di utara ini. Juga terdapat rumah-rumah makan
dan rumah-rumah penginapan.
Ketika Tiong Han memasuki kota ini, ia menjumpai
keganjilan-keganjilan ketika beberapa orang yang sama sekali tidak dikenalnya
dan belum pernah dilihatnya selama hidup, ketika bertemu dengan dia lalu
memberi hormat! Akan tetapi oleh karena sudah terlalu sering mengalami hal
aneh, Tiong Han bahkan menjadi girang sekali karena yakinlah bahwa Tiong Kiat
pasti berada di tempat yang tidak jauh!
Ia maklum bahwa orang-orang yang memberi hormat kepadanya itu
tentu mengira bahwa dia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya,
ia mengalami hal yang tidak enak saja yang ditimbulkan oleh persamaan mukanya
dengan adiknya yang manis itu. Ketika ia berjalan dengan tindakan tenang di
depan sebuah toko obat, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua melompat
keluar dari toko itu, mencabut golok dan menyerangnya dengan kalap sambil berseru,
”Bangsat rendah! Kembalikan anakku...!"
Orang yang kalap itu menyerangnya dari samping dengan golok
dibacokkan ke arah dadanya. Tentu saja serangan ini sama sekali tak membikin
gugup pada Tiong Han, akan tetapi benar-benar membuatnya merasa kaget dan
heran. Ia cepat mengelak dan berkata,
"Sahabat, perlahan dulu. Ada urusan baik dibicarakan
dulu, jangan terburu nafsu menyerang orang di jalan!”
"Manusia tidak tahu malu! Iblis bermuka manusia mau
bicara apalagi? Hanya ada dua pilihan bagimu, hidupkan kembali anakku atau kau
harus mampus menyusul anakku...!" Dan kembali golok yang agaknya telah
berhari-hari di asah sehingga menjadi berkilat tajamnya itu menyambar ke arah
leher Tiong Han.
Kembali dengan amat mudahnya serangan itu dapat dielakkan
oleh Tiong Han dan karena pemuda ini merasa mendongkoI juga dengan sekali
menggerakkan tangan ia melakukan tipu gerakan Kim-liong-jiauw (Naga Emas
Mengulur Kuku) dan dengan amat mudahnya terampaslah golok itu dari tangan
penyerang.
”Sabar… sabar, sahabat. Jangan main-main dengan golok
tajam" sambil berkata demikian Tiong Han menjepit golok itu di antara
tangannya dan sekali ia mengerahkan tenaga, terdengar bunyi pletak dan patahlah
golok itu pada tengah-tengahnya. Ia melempar potongan golok itu ke atas tanah.
Akan tetapi baru saja ia hendak menghadapi penyerangnya untuk
ditanyai keterangan tentang kelakuannya yang aneh ini datanglah berlari-lari
lima orang tentara yang cepat memberi hormat kepadanya dan tanpa banyak cakap,
lima orang tentara itu lalu menyeret kedua tangan penyerang itu.
"Bangsat she Sim...! Biarpun aku akan mati lihat saja,
rohku akan menjadi setan penasaran dan akan mengejarmu selalu...! Kau perusak
rumah tangga, pengganggu wanita, kau manusia…"
Baru saja memaki sampai di situ, seorang di antara lima orang
penangkapnya itu mengayun tangan menampar mulutnya. Orang itu mengeluh dan
menundukkan mukanya. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya!
Melihat orang itu diseret-seret dan mendengar kata-katanya,
Tiong Han dapat menduga bahwa kembali Tiong Kiat telah membuat gara-gara. Ia
merasa kasihan sekali kepada orang tua itu. Dengan beberapa lompatan saja ia
telah dapat mengejar.
"Lepaskan dia!" serunya dengan keras. Ia telah siap
sedia untuk memukul tentara yang lima orang banyaknya itu kalau mereka melawan,
akan tetapi kembali mereka memberi hormat, dan hanya memandang dengan terheran.
"Akan
tetapi... Sim-ciangkun..." kata seorang diantara mereka.
Tiong Han
merasa sebal sekali. Ia maklum bahwa Tiong Kiat agaknya benar-benar telah
menjadi seorang perwira dan lima orang tentara ini tentulah anak buahnya.
"Lepaskan
dia, dan pergilah kalian!" Ia berseru lagi dengan marah.
Lima orang
itu lalu mengangkat pundak lalu meninggalkan tempat ini tanpa berani banyak
cakap lagi. Adapun orang tua itu kini memandang kepada Tiong Han dengan mata terbelalak.
"Kau
melepaskan aku... Apakah kau hendak menghukum aku dengan tanganmu sendiri ?
Orang muda tidak berbudi, jangan kau kira bahwa aku takut mati setelah apa yang
kau lakukan terhadap puteriku!"
Tanpa
bertanya lagi Tiong Han sudah dapat menduga apa yang telah dilakukan oleh Tiong
Kiat terhadap puteri dari orang ini. Mukanya berobah merah saking marah dan
gemasnya terhadap Tiong Kiat.
"Sudahlah,
lebih baik kau pulang saja. Orang yang berbuat dosa pasti akan mendapatkan
hukumannya!"
Setelah
berkata demikian, Tiong Han lalu meninggalkan orang itu yang menjadi begitu
terheran-heran mendengar ucapan Tiong Han tadi sehingga ia hanya berdiri dengan
mulut melongo di tengah jalan!
Sementara
itu, Tiong Han melanjutkan perjalanannya. Ia ingin sekali bertanya kepada orang
tadi di mana ia dapat menjumpai Tiong kiat tetapi ia tidak ingin mendengar
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Tiong Kiat. Lebih baik bertanya kepada
orang lain saja pikirnya.
Ketika
melihat sebuah rumah makan yang cukup besar, masuklah Tiong Han ke dalam rumah
makan itu. Ia memesan makanan dengan sikap biasa sungguhpun pelayan yang
membungkuk-bungkuk di depannya dengan luar biasa hormatnya itu menimbulkan
sebal dalam hatinya. Hem, agaknya semua orang di tempat ini menghormat sekali
kepada Tiong Kiat, kecuali orang yang menyerangnya tadi tentunya.
Di dalam
restoran itu telah banyak tamu dan ada beberapa orang berpakaian perwira duduk
di sudut sambil bersendau gurau. Ketika Tiong Han masuk, mereka memandang dan
ada yang tersenyum, akan tetapi tak lama kemudian mereka saling pandang dengan
muka menyatakan keheranan besar. Mereka hanya memandang saja dan amat
memperhatikan Tiong Han, akan tetapi pemuda ini pura-pura tidak melihat mereka
dan makan masakan pesanannya dengan tenang.
Setelah ia
selesai makan dan hendak keluar dari rumah makan itu, tiba-tiba tiga orang
perwira yang semenjak tadi melihatnya, berdiri dan menghampirinya.
"Ah,
Sim ciangkun, apakah benar-benar kau tidak kenal lagi kepada kami? Kami kira
kau tadi main-main, akan tetapi ternyata sampai sekarang benar-benar tidak
menyapa kami. Benar-benar lucu sekali kau ini, keluar dari benteng dengan
pakaian preman, dan berlaku pura-pura tidak mengenal kawan. Apakah artinya ini?"
Tiong Han
mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Sam wi ciangkun, kalian telah
salah lihat. Sim ciangkun kiranya masih berada di dalam benteng, dan aku
sendiripun ingin sekali menjumpainya. Maukah sam-wi menolongku untuk menemui
Sim-ciangkun, adikku itu!”
Untuk
sesaat, ketiga orang perwira itu tertegun dan mengira bahwa pemuda ini memang
benar Sim Tiong Kiat yang masih berpura-pura atau hendak menggoda mereka. Akan
tetapi setelah melihat kesungguhan tarikan wajah Tiong Han, mereka saling
pandang lalu berkata,
”Marilah
ikut kami ke benteng."
Tiga orang
perwira itu lalu mengajak Tiong Han keluar dari rumah makan dan langsung menuju
ke benteng di luar kota. Tiong Han berdebar jantungnya. Akhirnya dapat juga ia
mendapatkan tempat persembunyian adiknya itu dan bermacam-macam pikiran teraduk
di dalam kepalanya, memikirkan dan membayangkan bagaimana penyambutan Tiong
Kiat kepadanya. Bagaimana kalau Tiong Kiat melawan?
Aku harus
melakukan pertempuran mati-matian kali ini, pikir Tiong Han sambiI menggigit
bibirnya. Tentu kepandaiannya telah amat maju dengan bantuan kitab ilmu pedang
itu akan tetapi belum tentu aku kalah olehnya. Kali ini, ia turut ke Liong-san
menghadap suhu dengan baik-baik, atau aku akan bertempur mati-matian!
Ia tidak
tahu sama sekali bahwa Tiong Kiat sudah dapat menduga kedatangannya ini! Tadi
ketika ia masih makan di rumah makan lima orang tentara yang tadi menangkap
orang yang menyerangnya ketika kembali ke dalam benteng dan melihat Tiong Kiat,
mereka menjadi heran sekali dan cepat menceritakan pengalaman mereka kepada Sim
ciangkun.
Tiong Kiat
terkejut sekali dan menjadi pucat, akan tetapi ia segera menetapkan hatinya dan
berkata, "Aku memang mempunyai seorang saudara yang sama benar mukanya
dengan aku. Di mana dia sekarang?"
"Kami
tidak tahu, Sim ciangkun. Mungkin masih di dalam kota. la amat lihai… dan...
dan dia sengaja melepaskan orang she Phoa itu!"
"Sudahlah
jangan banyak cakap, dan jangan mencampuri urusanku." Tiong Kiat membentak
sehingga lima orang tentara itu cepat-cepat meninggalkan perwira yang mereka
segani ini.
Tiong Kiat
menggigit-gigit bibirnya, kebiasaan yang dilakukan apabila ia sedang gelisah.
la merasa malu terhadap kakaknya, karena lagi-lagi kakaknya mendengar tentang
perbuatan yang tidak patut, bahkan kakaknya pula yang hampir saja menjadi
korban.
Tadinya ia
hendak membanggakan kedudukannya kepada Tiong Han, hendak memperlihatkan kepada
kakaknya itu bahwa betapapun juga, dia kini telah memiIih jalan baik dan
terhormat, telah menjadi seorang perwira pembela nusa bangsa. Akan tetapi, apa
yang didapati oleh Tiong Han? Baru saja muncul di dekat benteng telah diserang
oleh orang she Phoa itu karena orang she Phoa itu marah dan menaruh hati dendam
kepadanya!
Tiong Kiat
teringat betapa ia telah mempermainkan anak gadis she Phoa itu sehingga gadis
itu mengandung. Karena malu dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Kiat tidak mau
mengawininya, gadis itu lalu membunuh diri dengan menggantung diri di dalam
kamarnya. Tiong Kiat sudah mendengar betapa ayah dari gadis itu amat marah dan
mengancam hendak menyerangnya apabila bertemu.
Oleh karena
itu, jarang sekali Tiong Kiat pergi ke kota itu, takut kalau kalau orang she
Phoa itu menimbulkan ribut yang akan memalukannya saja. Dan tidak
disangka-sangkanya sekarang orang she Phoa itu bertemu dengan Tiong Han dan
menyerangnya! Ah, alangkah akan marahnya Tiong Han, kakaknya yang baik budi
itu. Dan Tiong Kiat menjadi amat kecewa terhadap diri sendiri. Mengapa aku tak
dapat menahan nafsu jahatku? Mengapa aku tidak bisa menjadi sebaik dia?
Sudah
terlambat, pikirnya. Langkah pertama telah membawanya ke jalan sesat, yakni
ketika ia mengadakan hubungan dengan sumoinya, Kui Hwa. Setelah itu, terpaksa
ia melakukan perjalanan di atas jalan yang sesat. Ah, kalau saja bisa menjadi
istriku... ia mengeluh. Dengan nona itu disampingku, aku akan mendapat kekuatan
baru, mendapat semangat baru dan aku berani menghadapi dunia dan mencari jalan
baru yang baik.
Akan tetapi,
kembali ia mengeluh sedih. Ia telah merusak kebahagiaan sendiri, ia telah
melenyapkan kemungkinan dan pengharapannya untuk dapat menjadi suami dari
seorang gadis seperti Suma Eng. la telah menyakiti hati gadis itu, bahkan kini
gadis itu telah menjadi pembantu dari Piloko, telah menjadi musuhnya! Ah, ia
mau menukarkan apa saja, bahkan kedudukannya sebagai perwira, bahkan mengurangi
usianya, asal saja ia dapat bersatu dan berbaik dengan Suma Eng yang berada di
puncak gunung, tempat suku bangsa Cou bertahan itu!
Demikianlah,
pikiran Tiong Kiat melamun dan melayang-layang tidak keruan. Selagi ia duduk
bertopang dagu, ia dikejutkan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo koai tung yang datang
dengan tiba-tiba. Oei Sun berkata,
"Saudaraku
yang baik, mengapa kau melamun saja? Di luar telah menanti kakakmu. Ah, hampir
saja aku dan Ngo-wi suhu ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Kakakmu
itu begitu sama dengan kau!”
"Benar,
Sim ciangkun, memang aneh sekali. Belum pernah pinto melihat persamaan muka dan
bentuk badan seperti kau dan pemuda yang menantimu di luar itu." Kata
Thian lt Tosu. Juga tosu yang lain, Thian Ji Tosu dan adik-adiknya, ikut
menyatakan keheranan mereka.
"Akan
tetapi, agaknya dia tidak mempunyai maksud yang baik, Sim ciangkun.” kata Thian
Ngo Tosu, orang termuda dari Go-bi Ngo koai-tung.
Tiong Kiat
memandang kepada enam orang itu dengan tajam, lalu berkata sungguh-sungguh.
"Betapapun juga, dia adalah kakakku, orang yang gagah perkasa dan baik,
jauh lebih baik dari padaku. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi antara dia
dan aku, kuharap Iak-wi jangan ikut campur."
Oei Sun dan
kawan-kawannya saling pandang, kemudian panglima pemberontak ini berkata sambil
tersenyum. ”Siapa yang hendak mencampuri urusan dua orang kakak beradik?
Apalagi dua orang saudara kembar seperti kau dan saudaramu itu, Sim ciangkun.
Asal saja dia tidak akan mengganggumu."
Tiong Kiat
lalu bertindak keluar dan betul saja, Tiong Han sudah berdiri di luar pintu
gerbang benteng, berdiri dengan sikapnya yang keren, tenang, dan juga gagah. Di
luar tahu semua orang, baik Tiong Han maupun Tiong Kiat merasai keharuan besar
di dalam dada masing-masing ketika keduanya saling pandang. Hubungan darah
mereka masih terlampau dekat sehingga tak mungkin dapat dilenyapkan oleh watak
dan keadaan yang berlainan jauh sekali itu.
"Han-ko...!
Sampai begini jauh kau masih mencariku juga?" pertanyaan dari Tiong Kiat
ini mengandung penyesalan besar dan juga mengandung teguran mengapa kakaknya
itu tidak menaruh kasihan kepadanya.
"Tiong
Kiat, sampai ke ujung nerakapun aku akan mencarimu, karena aku sudah bersumpah
akan membawamu kembali ke Liong-San." Jawab Tiong Han dengan suara tenang
akan tetapi perlahan karena ia kuatir kalau-kalau suaranya yang mengandung
keharuan itu akan terdengar oleh adiknya.
"Han-ko,
kau terlalu sekali! Apakah kau tidak mau memberi kesempatan kepada adikmu
sendiri untuk merobah kehidupannya? Aku memang pernah melakukan kesesatan, akan
tetapi kau lihatlah, Han-ko."
Tiong Kiat
menunduk dan memandang ke arah pakaiannya dan mencoba tersenyum ramah kepada
kakaknya. "Lihatlah, bukankah adikmu gagah sekali memakai pakaian perwira
ini? Han-ko, berilah kesempatan kepadaku. Aku hendak merobah hidupku, bahkan
sudah kurobahnya. Bukankah aku sekarang sudah menjadi seorang baik-baik?
Menjadi seorang perwira yang mengabdi kepada negara?"
Akan tetapi
Tiong Han menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Kau takkan berobah,
adikku. Hanya pakaianmu saja yang berobah. Lupakah kau kepada gadis anak
pemilik toko obat? Kau takkan berobah, Tiong Kiat, sayang sekali!"
Merahlah
wajah Tiong Kiat, mendengar disebutnya gadis ini. "Kau maksudkan orang
gila she Phoa itu? Ah, Han-ko, dia adalah seorang yang miring otaknya,
dan…"
"Tiong
Kiat! Miring otaknya atau tidak, sudah terang bahwa kau masih mengumbar nafsu
jahatmu. Dan akupun tidak datang untuk mengurus perkara orang itu. Lebih baik
kau ikut dengan aku, bertemu dengan suhu. Mungkin sekali suhu akan memaafkan
kau, atau akan memberi jalan yang baik."
"Han-ko,
sekali lagi, aku memohon kau menaruh kasihan kepada adikmu. Aku mengaku bahwa
aku telah melakukan banyak dosa dan bahwa seringkali aku tak dapat
mengendalikan nafsu yang menguasai diriku. Akan tetapi, Han-ko. Kalau kau
membawaku kepada suhu, tentu aku akan dibunuh. Aku tidak takut mati. Han-ko...
akan tetapi biarkanlah aku menebus dosa-dosaku dengan mati di medan pertempuran
sebagai seorang pahlawan bangsa. Han-ko, kita adalah keturunan seorang
pahlawan, seperti yang pernah dikatakan suhu, ayah kitapun seorang pahlawan dan
aku…"
“Tutup
mulut! Jangan kau menyebut-nyebut nama ayah! Kau tidak berhak menjadi puteranya
setelah kau mencemarkan nama keluarga dengan semua perbuatanmu yang terkutuk!”
Tiong Han
benar-benar marah, kemarahan yang timbul dari kesedihan hebat karena diingatkan
kepada ayahnya. Semenjak kecil ia menjadi kakak, ayah dan ibu terhadap adiknya
ini dan sekarang adiknya ternyata menjadi seorang jahat sekali dan ia sendiri
mendapat tugas untuk membawanya untuk dihukum! Siapa yang takkan bersedih dan
hancur hatinya?
Tiong Kiat
memang memiliki watak yang palsu. Sikap yang minta dikasihani tadi sebetulnya
hanya setengah pura-pura saja. Ia hanya ingin menjaga agar kakaknya itu tidak
melanjutkan niatnya menangkapnya dan suka pergi lagi dengan aman. Sebetulnya ia
sama sekali tidak takut, bahkan ia merasa yakin bahwa ia akan dapat melawan
kakaknya kini. Tidak percuma kitab ilmu pedang Ang-coa-kiamsut berada di
tangannya sedemikian lamanya. Kini mendengar ucapan Tiong Han timbul juga
marahnya. Nampaklah kini senyumnya senyum mengejek yang semenjak dahulu
dimilikinya senyum jahat yang sudah dikenal baik oleh Tiong Han.
"Han-ko,
kau memang sungguh terlalu! Kau mendesak padaku tanpa mengenal kasihan dan
ampun. Sungguh percuma mempunyai seorang kakak seperti kau! Kau tidak tahu
bahwa sebetulnya aku masih sayang kepadamu dan aku minta dengan baik-baik agar
kau jangan mengganggu aku lagi. Han-ko, terus terang saja, sekarang kepandaian
adikmu bukan seperti dulu lagi. Kau takkan menang bertanding ilmu pedang
melawan aku dan selain dari pada itu aku adalah seorang perwira. Di dalam
benteng ini terdapat ribuan orang perajurit yang akan mengeroyokmu atas
perintahku belum lagi adanya perwira-perwira yang kepandaiannya bahkan tidak di
bawah kepandaianku! Kau pergilah, Han-ko."
Akan tetapi
kembali Tiong Han menggelengkan kepalanya. "Aku hanya mau pergi kalau kau
suka ikut, Tiong Kiat. Dosamu telah terlalu banyak dan sudah menjadi
kewajibanku untuk membawamu kembali kepada suhu, biarpun untuk tugas itu aku
harus menggeletak tak bernyawa di sini aku takkan mundur setapakpun."
"Kau
benar-benar keras kepala, Han-ko. Betapapun juga tentu saja aku masih berat
nyawaku dari pada nyawamu. Nah, majulah, hendak kulihat bagaimana kau akan
mengalahkan aku?" kata Tiong Kiat akhirnya sambil mencabut pedangnya yang
berkilauan putih, yakni pedang Hui-liong-kiam yang dulu ia terima dari Tiong
Han.
"Kali
ini kau atau aku, Tiong Kiat!" kata Tiong Han yang cepat mencabut pedang
Ang-coa-kiam.
Untuk sesaat
keduanya saling pandang dengan harapan terakhir kalau-kalau saudaranya akan
mengalah, akan tetapi setelah mereka yakin bahwa pandang mata masing-masing
yang bernyala dan bersemangat itu, hampir berbareng keduanya lalu maju
menerjang, menggerakkan pedang dengan hebat!
Sebentar
saja, keduanya lenyap ditelan gelombang sinar pedang merah dan putih yang
saling membelit. Bukan main hebatnya pertandingan antara dua orang murid
terpandai dari Kim liong-san ini.
Sebetulnya
kalau dinilai dari kepandaiannya mungkin Tiong Kiat masih menang tingkat.
Memang pemuda ini lebih baik bakatnya dari pada kakaknya maka dengan kitab
Ang-coa-kiamsut berada di tangannya, ia telah mewarisi seluruh ilmu pedang itu
dan gerakannya juga lebih lemas dan cepat dari pada Tiong Han. Akan tetapi,
Tiong Han memiliki ketenangan dan tenaga serta semangatnya agak lebih menang.
Hal ini
bukan karena Tiong Kiat kurang melatih tenaga Iweekang dan semangat, melainkan
karena pemuda ini banyak main gila maka tanpa disadarinya, tenaga Iweekangnya
banyak melorot. Kemenangan dalam hal inilah yang membuat Tiong Han dapat
mengimbangi permainan pedang adiknya yang benar-benar lihai itu.
Pertempuran
sudah berjalan seratus jurus dan biarpun dengan pedang Hui-liong kiam Tiong
Kiat sudah mulai dapat mendesak pedang Ang coa kiam di tangan kakaknya, namun
napasnya mulai senin kemis dan peluhnya telah membasahi jidatnya.
Telah sejak
tadi Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai-tung berada di tempat itu menyaksikan
pertempuran yang bukan main hebatnya ini. Mereka menonton bagaikan kena pesona
karena sesungguhnya belum pernah mereka menyaksikan pertandingan pedang sehebat
itu. Apalagi pedang yang dimainkan oleh sepasang saudara kembar ini
mengeluarkan sinar putih dan merah sehingga nampak sekali kehebatan ilmu pedang
itu.
Tadinya Oei
Sun dan kelima orang pendeta itu tidak mau mencampuri urusan Tiong Kiat sebagaimana
yang telah dipesan oleh perwira muda itu, dan ketika melihat betapa pedang
Tiong Kiat mampu mendesak hebat lawannya, merekapun berdiri menonton saja
dengan kagum. Akan tetapi ketika Go-bi Ngo koai melihat Tiong Kiat yang hampir
kehabisan napas dan berpeluh, sedangkan lawannya masih tenang dan kuat, mereka
mengerutkan kening.
"Lawan
dari Sim ciangkun ini tidak boleh dibuat main-main. Kalau kita tidak membantu
dan Sim-ciangkun roboh binasa, bukankah merupakan satu kerugian besar?"
kata Thian It Tosu kepada adik-adiknya.
Mereka
menyatakan setuju dan diam-diam Iima orang tosu ini mengeluarkan tongkat
masing-masing, siap sedia untuk menyerbu.
Oei Sun
mendapat sebuah pikiran baik. "Jangan bunuh dia…" katanya perlahan.
"Tangkap saja, siapa tahu kita akan dapat mempergunakan tenaganya pula!”
Thian It
Tosu mengangguk dan setelah memberi isarat kepada adik-adiknya mereka bersama
lalu menyerbu dan tiba-tiba menyerang Tiong Han dengan hebat sekali.
"Ngowi
totiang jangan membantuku!” Tiong Kiat masih mencoba untuk berseru keras lalu
disambungnya "Jangan bunuh dia!"
Akan tetapi,
kelima orang pendeta itu sudah bergerak dan serangan mereka yang dilakukan
berbareng, ditambah serangan dari Tiong Kiat sendiri, membuat Tiong Han
kewalahan sekali. Ia masih mencoba untuk memutar pedang merahnya guna membabat
putus tongkat-tongkat itu, akan tetapi ternyata lima tongkat butut itu tidak
dapat terbabat putus! Tentu saja ia menjadi kaget sekali dan biarpun ia telah
mengerahkan seluruh kepandaiannya, menghadapi keroyokan ini ia amat terdesak
dan keadaannya amat berbahaya.
"Ngowi
totiang jangan celakai saudaraku!” Tiong Kiat masih mencoba untuk mencegah lima
orang pendeta Pek-Iian-kauw itu, akan tetapi terlambat karena Tiong Han
melepaskan Ang Coa kiam dan roboh dengan tubuh lemas. Ia telah terkena totokan
tongkat Thian It Tosu yang amat lihai.
"Pinto
terpaksa merobohkannya, Sim ciangkun karena keadaanmu tadi amat berbahaya. Mana
bisa kami mendiamkannya saja?" kata Thian It Tosu.
"Dan
pula, apapun juga yang menjadi sebab pertempuran dan perselisihanmu dengan
saudaramu, sebagai seorang gagah ia harus mengerti bahwa melawan seorang
perwira berarti memberontak terhadap kaisar! Untuk perbuatannya ini ia harus
dijatuhi hukuman militer!” kata Oei Sun kepada Tiong Kiat.
Tiong Kiat
menjadi pucat wajahnya. Ia menengok ke arah Tiong Han yang masih rebah tak
dapat bergerak itu dan rasa iba memenuhi dadanya. "Jangan, Oei ciangkun.
Kuminta kepadamu, demi persahabatan kita, jangan kau menjatuhkan hukuman kepada
kakakku ini. Ia memang keras hati akan tetapi… ia jauh lebih baik dari padaku.
Harap kau suka ampunkan dan lepaskan dia…"
Oei Sun
memungut pedang Ang coa kiam yang tadi terlepas dari tangan Tiong Han, ”Pedang
bagus…!” katanya.
"ltu
adalah Ang coa-kiam pedang pusaka perguruan kami." kata Tiong Kiat.
Oei Sun
tercengang, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Kiat. "Jadi pedang
inikah yang telah mengangkat namamu sehingga kau dijuluki Ang coa-kiam, Sim
ciangkun? Kalau begitu, harus kau yang memiliki pedang ini."
Tiong Kiat
menerima pedang itu dan tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada Oei Sun
sambil mengharapkan keputusan tentang kakaknya.
"Saudara
Sim, biarpun kakakmu sudah melakukan pelanggaran dan dengan mengacau di depan
benteng berarti ia telah menghina aku dan pasukanku, akan tetapi kalau saja dia
suka membantu kita dan berbakti kepada negara, tentu dengan sukahati aku akan
membebaskannya dari segala hukuman."
Tiong Kiat
berpikir sejenak dan berserilah mukanya. Mengapa tidak? Kalau Tiong Han dapat
mengikuti jejaknya, menjadi seorang perwira, tentu hubungan mereka menjadi baik
kembali dan ia tak usah takut menghadapi pembalasan dari fihak Kun lun pai atau
musuh-musuh yang lain. Ia lalu menghampiri kakaknya dan cepat membebaskan
totokan yang dilakukan oleh Thian It Tosu tadi. Tiong Han menggeliat dan
setelah jalan darahnya pulih kembali, ia lalu melompat bangun, Tiong Kiat
segera memeluknya.
"Han-ko,
dengarkah kau tadi? Oei ciangkun yang bijaksana dan budiman ini tidak saja suka
mengampuni kesalahanmu, bahkan ia bersedia mengangkatmu menjadi seorang perwira
seperti aku. Han-ko, marilah kita lupakan yang sudah-sudah dan kita bersama
membuka hidup baru di sini mengikuti jejak mendiang ayah kita!”
Tiong Han
memandang kepada Oei Sun dan kepada lima orang pendeta yang merobohkan dia
tadi. la mencoba tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.
"Tak
kusangka bahwa di dalam benteng terdapat pendeta yarg lihai dan tak pernah
kukira pula bahwa orang-orang pemerintah suka mencampuri urusan pribadi orang
lain. Sebuah tugas dari suhu yang diserahkan kepadaku saja sampai hari ini aku
tak dapat memenuhinya, bagaimana aku dapat menerima tugas lain dari pemerintah?
Tidak, Tiong Kiat jangan kau mencoba membujukku. Kalau kau suka ikut dengan aku
ke Liong-san, mungkin kelak aku akan kembali ke sini untuk menghaturkan terima
kasih kepada kawan-kawanmu ini, dan mungkin pula aku akan menggantikan kau
mengabdi kepada negara!"
"Benar-benar
keras kepala, Ngo wi totiang, tangkap saja dia, akan kuberi hukuman yang
layak!" kata Oei Sun.
Go-bi
Ngo-koai tung bergerak, akan tetapi Tiong Kiat melompat dan mencegah mereka.
"Jangan…!
Oei ciangkun, jangan tahan dan hukum dia! Harap kau memandang mukaku!"
Oei Sun
mengangkat pundaknya, "Kau terlalu lemah, Sim ciangkun. Biarlah memandang
mukamu, aku maafkan dia. Akan tetapi pedangnya harus dirampas, jangan kau
kembalikan kepadanya. Orang keras kepala seperti ini berbahaya sekali membawa
pedang pusaka. Nah suruhlah dia pergi dari sini!"
Tiong Kiat
memandang kepada kakaknya dan tak sampai hatinya untuk mengusirnya. Ia merasa
kasihan sekali, akan tetapi yang dikasihani memandang tajam dan keras.
"Baik
Tiong Kiat, kali ini aku mengaku kalah dan gagal. Akan tetapi, sekali aku telah
bersumpah, aku tetap akan melanjutkan usahaku dan tugasku ini. Pasti akan
datang saatnya aku membawamu kembali ke Liong san menghadap suhu!" setelah
berkata demikian, Tiong Han memutar tubuhnya dan berlari pergi.
Malu, sedih,
dan kecewa rasa hati Tiong Han setelah ia meninggalkan benteng panglima Oei. la
telah gagal menangkap Tiong Kiat, bahkan pedang Ang coa kiam telah dirampas.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaikan seorang yang kehilangan semangat
ia berjalan masuk keluar hutan, lupa lelah lupa lapar dan lupa tidur.
Berhari-hari ia berjalan tak tentu tujuan. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu
pedang, sekarang Tiong Kiat sudah lebih pandai dari padanya. Untuk menghadapi
Tiong Kiat seorang diri saja, sudah merupakan hal yang amat berat dan belum
tentu ia akan dapat menangkan adiknya.
Apalagi
sekarang keadaan Tiong Kiat amat kuat. Selain telah menjadi seorang perwira
yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak boleh diserang oleh orang biasa,
juga disamping itu masih ada lagi orang-orang pandai seperti lima orang pendeta
itu di dalam benteng yang selalu akan membantu Tiong Kiat. Bagaimana ia akan
dapat menunaikan tugasnya? Bagaimana ia akan bisa menangkan Tiong Kiat?
Tiong Han
benar-benar merasa bingung dan serba salah. Kalau ia nekad menyerbu lagi untuk
menghadapi Tiong Kiat akan merupakan usaha yang sia-sia belaka, bahkan ia akan
mendapat malu lagi. Untuk kembali kepada suhunya, ia tidak berani. Ketika ia
sedang berjalan dengan tubuh terasa lemas dan pikiran melayang jauh, tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring.
"Bangsat
muda, bagus sekali kau datang mengantarkan nyawa!”
Tiong Han
terkejut sekali dan cepat mengangkat muka. Ternyata dihadapannya telah berdiri
seorang nenek tua yang memandangnya dengan mata merah sekali. Nenek ini
rambutnya telah putih, digelung ke belakang dan mukanya kelihatan galak sekali,
apa lagi sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi itu. Pakaiannya
seperti pakaian pertapa dari kain putih yang kasar. Nenek ini berdiri dan
memegang sebatang tongkat yang bengkak-bengkok dan kepalanya berbentuk aneh
seperti kepala naga.
Tiong Han
tidak mengenal nenek ini, akan tetapi melihat sikap dan pandang mata nenek yang
luar biasa itu, ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan seorang yang
pandai. Cepat pemuda ini lalu mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil
berkata,
"Maafkan
teecu kalau teecu tidak tahu dengan siapakah teecu berhadapan? Dan kesaIahan
apa pulakah yang teecu lakukan sehingga membikin marah kepada suthay?”
Mendengar
ucapan yang sopan dan sikap yang ramah ini, nenek itu menjadi makin marah.
"Bangsat bermulut manis! Dengan wajahmu yang tampan dan mulutmu yang manis
itu agaknya kau telah menipu dan membujuk banyak wanita! Kedosaanmu telah
bertumpuk-tumpuk, dan manusia macam kau ini amat berbahaya! Tidak saja kau
telah melempari nama perguruanmu dengan kotoran, bahkan kau juga membawa-bawa
nama pemilik pedang Hui liong kiam yang telah kaucemarkan! Hayo kaukeluarkan
Hui liong kiam dan kaukembalikan kepadaku!"
"Suthai…
maaf... teecu tidak membawa Hui-liong kiam… sudah teecu berikan…"
Tiong Han
berkata gagap dan ia menjadi bingung sekali. Tak dapat ia menceritakan bahwa
Hui-liong kiam telah ia berikan kepada Tiong Kiat, dan iapun dapat menduga
bahwa kembali nenek ini salah lihat disangkanya ia adalah Tiong Kiat. Akan
tetapi anehnya, mengapa nenek ini tahu bahwa dia telah menerima pedang Hui
liong kiam yang sudah lama diberikannya kepada Tiong Kiat? Siapakah nenek ini?
Tiba-tiba teringatlah ia dan mukanya menjadi berseri.
"Ah,
pernah Lui piauwsu bercerita tentang dia…" pikirnya, kemudian ia menjura
lagi sambil berkata. "Apakah teecu bukannya berhadapan dengan Pat jiu
Toanio Li Bie Hong yang ternama?"
Tiba-tiba
nenek itu tertawa dan suara ketawanya merdu dan nyaring seperti suara ketawa
seorang gadis muda. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata dengan suara bentakan
marah sekali.
"Orang
jahat, jangan coba berpura-pura. Dulu aku masih memberi ampun kepadamu akan
tetapi sekarang jangan harap lagi!" Dan sebelum Tiong Han dapat berjaga
diri tahu-tahu tongkat yang panjang itu melayang dan menyambar ke arah
kepalanya!
Tiong Han
terkejut sekali. Sambaran tongkat itu biarpun masih jauh telah mendatangkan
angin pukulan yang hebat sekali. Maklumlah dia bahwa sekali saja kepalanya
terkena pukulan tongkat ini, nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia cepat
membuang diri kebelakang dan kemudian melompat menjauhkan diri. Akan tetapi
ternyata bahwa Pat jiu Toanio telah berada dihadapannya tanpa ia ketahui kapan
bergeraknya. Sekali lagi tongkat nyonya tua itu bergerak, kini menotok ke arah
dadanya.
Tiong Han
benar-benar merasa bingung, ia tidak mempunyai pedang lagi. Sedangkan
seandainya Ang-coa kiam berada di tangannya juga tak mungkin ia dapat menangkan
nenek yang gerakan tongkatnya luar biasa sekali ini, apalagi kini ia bertangan
kosong. Menghadapi serangan tongkat kedua ini kembali ia mengelak ke kiri akan
tetapi sungguh tak disangka sama sekali karena tongkat itu tiba-tiba diputar
dan kini yang berbentuk kepala naga itu menyerangnya dengan kecepatan yang tak
dapat diduga.
Sebelum
Tiong Han dapat mengelak, tongkat itu telah mengenai bajunya. Akan tetapi Tiong
Han bukanlah seorang pemuda yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja. la telah
digembleng hebat oleh Lui Thian Sianjin. Cepat ia mengumpulkan tenaga
Iweekangnya ke arah paha kanannya yang disambar tongkat sambil membarengi
menggunakan kedua tangan menyampok tongkat itu.
Ketika
tongkat itu mengenai paha, tongkat itu membal kembali karena paha Tiong Han
telah menjadi keras dan kuat seperti karet dan dibantu oleh sampokannya,
tongkat itu terpental.
"Bagus,
kepandaianmu tidak jelek, sayang watakmu kotor sekali!" Setelah berkata
demikian Pat jiu toanio lalu memutar tongkatnya dengan cepat sekali.
Berkali-kali
Tiong Han minta agar supaya nenek itu suka mendengarkan bicaranya akan tetapi
semua kata-katanya tidak diperdulikan, bahkan didengarpun tidak oleh nenek yang
sudah marah ini. Pat jiu toanio memang mempunyai watak keras dan aneh dan
penjahat-penjahat ia tidak mengenal ampun. Apalagi terhadap penjahat muda yang
disangkanya Sim Tiong Kiat ini. Ia sengaja mencari-cari Tiong Kiat untuk diberi
hukuman.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment