Saturday, October 6, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Ular Merah Jilid 11



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Pedang Ular Merah

                 Jilid 11


Gan Tian Cu yang lebih matang ilmu batinnya dari pada keempat orang sutenya, masih dapat mempertahankan semangat dan ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk melenyapkan bayangan yang aneh ini dan hendak memperingatkan kepada keempat orang sutenya bahwa yang dilihat ini hanyalah bayangan dari ilmu sihir belaka.

Akan tetapi terlambat. Saking takut dan kagetnya, adik-adik seperguruannya itu menjadi kacau balau permainan pedangnya dan berturut-turut mereka mengeluh dan terjungkal karena terkena totokan tongkat bambu yang lihai dari lawan mereka!

Gan Tian Cu hendak mengamuk dan mengadu nyawa, akan tetapi dikeroyok lima tentu saja ia tak berdaya. Apa lagi, karena melihat keempat orang sutenya telah dirobohkan, semangatnya menjadi turun dan hatinya terguncang, maka kini iapun melihat lima orang lawannya itu menjadi makin besar dan mengerikan!

Beberapa jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi akhirnya iapun roboh tak dapat berkutik lagi, terkena totokan pada jalan darahnya bagian thian-yu-hiat seperti apa yang telah dialami oleh empat orang adik seperguruannya!

Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengebul dan Oei Sun atau Oei ciangkun datang berkuda, diiringi oleh sepasukan pengawalnya. Melihat ribut-ribut di depan pintu gerbang ia segera membalapkan kudanya dan ketika melihat betapa Go-bi Ngo-koai-tung telah merobohkan lima orang tosu, ia lalu melompat turun dan dengan heran sekali bertanya,

”Apakah yang telah terjadi?”

Akan tetapi pada saat itu, Thian It Tosu dengan marah sedang mencela Tiong Kiat. La menghadapi pemuda ini dan dengan suara keras ia berkata,

”Sim ciangkun, di mana rasa setiakawanmu? Kau tahu sendiri bahwa pinto berlima dengan susah payah melawan lima orang Kun lun pai ini, semata-mata hanya untuk membantu dan melindungimu. Akan tetapi, akhirnya kau bahkan mengundurkan diri dan berdiri sebagai penonton saja, sama sekali tidak mau membantu kami. Apakah artinya ini?"

Merahlah muka Tiong Kiat mendengar teguran ini. Memang ia harus akui bahwa sikapnya tadi benar-benar amat buruk dan patut dicela, akan tetapi ia masih ragu-ragu karena teringat akan tuduhan Gan Tian Cu terhadap Go-bi Ngo-koai-tung.

”Totiang apakah betul ucapan Gan Tian Cu tadi bahwa totiang berlima adalah bekas orang-orang Pek-lian-kauw?” tanyanya dengan kening berkerut.

”Kalau betul, mengapa? Apakah kami tidak berhak untuk hidup? Sim ciangkun, ingat bahwa kau sendiri dahulunyapun terkenal dengan julukan Ang-coa-kiam yang ditakuti orang. Akan tetapi sekarang kaupun menjadi seorang perwira yang memilih jalan benar apakah kami tidak berhak pula melakukan kebaikan itu?”

Oei ciangkun yang mendengar pertengkaran ini, menjadi pucat dan cepat menghampiri mereka. ”Sim-ciangkun, siapa bilang bahwa ngo-wi totiang ini bekas antek-antek Pek-lian-kauw?” tanyanya dengan suara keren.

Sim Tiong Kiat tentu saja tak pernah menyangka bahwa Oei Sun sendiri adalah bekas seorang tokoh Pek-lian-kauw, maka kini mendengar pertanyaan ini, ia segera mencari kawan untuk menghadapi lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu.

”Yang bilang adalah Iima orang tosu Kun-lun-pai itu dan anehnya, Go bi Ngo-totiang ini tidak membantah bahkan mengaku betul!” jawabnya lalu mendekati Oei ciangkun untuk menghadapi lima orang tosu itu bersama.

Akan tetapi Oei ciangkun tidak memperhatikan Go-bi Ngo-koai-tung, sebaliknya lalu menghampiri lima orang tosu Kun-lun-pai yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya itu, lalu bertanyalah dia kepada Tiong Kiat,

”Ada keperluan apakah lima orang tosu Kun-lun-pai ini datang ke sini?”

”Mereka datang mencariku untuk menawanku, karena ada sesuatu permusuhan antara mereka dan aku. Pernah aku membunuh seorang murid mereka dan agaknya mereka merasa dendam dan hendak menghukumku,” jawab Tiong Kiat sejujurnya.

“Dan Go-bi Ngo totiang membantumu?” tanya pula Oei ciangkun.

Tiong Kiat mengangguk. “Lima tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa kau seorang perwira kerajaan dan mereka tetap menyerangmu?” tanya lagi Oei Sun.

Kembali Tiong Kiat mengangguk membenarkan. Oei Sun berpaling kepada beberapa orang pengawalnya dan memberi perintah singkat. ”Bunuh mereka semua!”

Tiong Kiat terkejut sekali dan hendak mencegah. Tak disangkanya Oei Sun akan menghukum mati kepada lima orang tosu Kun-lun-pai itu, karena kalau sampai lima orang tosu Kun lun pai itu tewas, hal ini bukanlah perkara kecil. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun lun dan kalau sampai dibunuh, tentu akan membangkitkan kemarahan orang gagah seluruh dunia!

Akan tetapi Oei Sun memegang tangannya dan menariknya masuk ke dalam benteng. ”Marilah, Sim-ciangkun dan jangan perdulikan lagi urusan kecil itu. Mereka adalah pemberontak-pemberontak, karena orang-orang yang berani memusuhi seorang perwira di dalam benteng, mereka itu berarti memberontak terhadap Hong-siang sendiri. Jangankan seorang perwira, baru terhadap seorang perajurit biasa saja rakyat tidak boleh melawan!”

Pada saat itu, para pengawal Oei ciangkun telah menggerakkan tombak mereka ditusukkan ke arah ulu hati kelima orang tosu Kun-lun-pai itu, maka tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun, lima orang tokoh Kun lun-pai yang bernasib malang itu tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan!

Tiong Kiat merasa menyesal sekali akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia memandang kepada Oei Sun dan terpaksa ikut masuk ke dalam benteng. Di ruang dalam, duduklah mereka bertujuh. Gobi Ngo koai tung, Oei Sun, dan Tiong Kiat. Lain orang tidak boleh masuk, bahkan Huayen khan dan Ang Hwa sendiripun diminta berada di luar dulu karena ada hal yang amat penting hendak mereka bicarakan. Setelah mereka mengambil tempat duduk berkatalah Oei Sun kepada Tiong Kiat dengan air muka sungguh-sungguh.

”Sim ciangkun, kau telah cukup maklum betapa besar kepercayaanku kepadamu dan bahwa kau telah kuanggap sebagai seorang kawan kerja, seorang murid, juga seorang guru. Oleh karena itu, harap kau suka berpikir tenang dan menggunakan pertimbangan yang sehat. Aku sendiri tidak tahu apakah benar kelima totiang ini dahulunya pernah menjadi orang-orang Pek lian kauw atau bukan. Hal itu sekarang bukan merupakan persoalan lagi. Pernah menjadi orang Pek lian kauw ataupun tidak pernah, yang sudah pasti kelima totiang ini membantu perjuangan kita, membantu pemerintah dan negara. Dalam menghadapi perkara besar dan perjuangan mulia tak perlu kita menggali-gali urusan lama. Bukankah aku sendiri tidak pernah mencari tahu tentang keadaan dirimu sebelum datang di sini?”

Oei Sun memang pandai sekali bicara dan kalau sampai Tiong Kiat dapat terjerumus ke dalam perangkap, semua itu terutama sekali adalah oleh karena Tiong Kiat tertarik dan tertipu oleh omongan-omongan manis yang diucapkan oleh Oei ciangkun secara pandai sekali. Kinipun, pemuda itu mengerutkan kening dan tak dapat membantah kebenaran omongan Oei Sun. Tiong Kiat teringat akan keadaannya sendiri. Bukankah iapun seringkali melakukan hal-hal yang amat tidak baik apabila dipandang dari sudut kebenaran?

Bahkan sampai sekarangpun, ia berani bermain gila dengan Ang Hwa di depan Huayen khan, berarti mengganggu seorang isteri di depan suaminya! Dia sendiri seorang yang banyak melakukan kesesatan, bagaimana ia dapat memburukkan orang-orang lain hanya karena mereka pernah menjadi orang Pek-Iian-kauw?

”Oei ciangkun ternyata mengeluarkan ucapan gagah sebagai seorang laki-laki sejati, Sim-ciangkun. Memang pinto harus mengaku bahwa pinto berlima dahulu memang pernah menjadi pendeta Pek-lian-kauw, akan tetapi apakah salahnya itu? Apakah salahnya memeluk sesuatu agama tertentu? Ah, sudahlah, tak perlu pinto membela agama Pek-Iian-kauw yang sudah diburukkan orang lain, karena pinto percaya bahwa agama Pek-Iian-kauw sungguhpun sudah dicemarkan orang, kelak pasti akan bangun kembali, akan terlihat kemurniannya bagaikan emas jatuh di dalam lumpur. Sekarang yang penting kita melihat kedepan, melihat kenyataan sekarang. Benar dan tepat sekali apa yang dikatakan oleh Oei ciangkun tadi bahwa kita adalah orang-orang sepaham dan seperjuangan, mengapa kita harus saling menuduh?”

Didesak oleh omongan-omongan yang terdengar penuh cengli (aturan) ini, mau tidak mau Tiong Kiat terpaksa harus menyatakan betul. Ia berdiri dan menjura kepada Thian It Tosu dan kawan-kawannya.

”Maafkan aku, totiang. Sekarang aku merasa bahwa aku telah melakukan kebodohan besar sekali. Maafkan bahwa tadi aku tidak membantu ngowi totiang menghadapi pendeta-pendeta Kun-Iun-pai, dan terima kasih bahwa ngowi totiang telah membantuku menghadapi mereka.”

Ia berhenti sebentar lalu berpaling kepada Oei Sun dan berkata, ”Hanya sayang sekali lima orang tokoh penting dari Kun lun-pai telah dibunuh, aku kuatir sekali hal ini akan berekor panjang. Mereka itu adalah tosu tosu tingkat dua dari Kun-lun-pai bukanlah hal ini berbahaya sekali?”

Oei Sun tersenyum. ”Mereka telah melakukan pemberontakan dan satu-satunya hukuman bagi pemberontak adalah hukuman mati! Dan lagi, siapakah yang tahu bahwa mereka itu lewat di sini? Seandainya ada yang tahu, mengapa kita takut? Kita adalah alal-alat negara, dan orang orang gagah akan membantu kita kalau orang orang Kun lun pai datang membikin onar!"

Demikianlah, dengan secara pandai sekali Oei Sun tidak saja dapat menghilangkan keraguan hati Tiong Kiat dan menjauhkan diri sendiri dari dugaan bahwa dia juga adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw, akan tetapi juga ia dapat membersihkan nama kelima orang pendeta itu.

”Aku ada berita yang jauh lebih penting dari pada urusan lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu.” akhirnya Oei ciangkun membuka oleh-olehnya yang didapatkan dari pada perjalanannya tadi.

Tiong Kiat dan kelima Go-bi Ngo koai-tung dengan penuh perhatian mendengarkan.

”Lebih dulu tolong kau panggil masuk Huayen khan dan isterinya, Sim ciangkun. Mereka juga berhak mendengarkan,” kata pula Oei ciangkun.

Ketika Tiong Kiat keluar dari kamar itu untuk memanggil Huayen-khan dan Ang Hwa, Oei Sun cepat berkata kepada Go bi Ngo koai-tung. ”Lain kali harap berlaku lebih sabar terhadap dia. Kita amat memerlukan bantuannya. Aku mendengar kabar bahwa seorang murid dari Kim-liong-pai, mungkin kakak dari Sim Tiong Kiat ini, kini muncul dan menjadi pembantu utama dari Gak ciangkun. Siapa tahu kalau Sim ciangkun ini akan dapat kita pergunakan untuk menghadapi kakaknya yang kabarnya amat lihai itu!”

Thian It Tosu dan adik-adik seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk bicara lagi. Tiong Kiat telah masuk diikuti oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Nyonya muda ini cemberut ketika ia berkata kepada Oei-ciangkun.

”Ah, sekarang kau agaknya sudah tidak percaya lagi kepadaku!”

Kalau orang lain yang mendengar sikap dan ucapan ini, tentu orang itu akan merasa heran bagaimana seorang nyonya muda yang boleh dibilang menjadi tamu di benteng itu, bicara macam itu terhadap komandan benteng! Akan tetapi bagi mereka yang berada di situ, tidak merasa heran lagi, karena seperti juga dengan Tiong Kiat, Ang Hwa mengadakan hubungan pula dengan Oei Sun.

”Ha ha ha! Perundingan rahasia selamanya tidak boleh terdengar oleh lain orang!” Huayen khan berkata sambil tertawa. Sungguhpun diam-diam di dalam hatinya amat mendongkol, akan tetapi kepala suku bangsa Ouigour yang licin ini tidak memperlihatkan perasaannya.

”Dengarlah kawan-kawan semua.” Kata Oei Sun sambil menghadapi Tiong Kiat, ”didalam perjalananku melakukan penyelidikan, aku mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Aku mendengar keterangan para penyelidik rahasia yang kusebar dimana-mana bahwa Gak ciangkun kini telah diangkat oleh Hong siang menjadi Jenderal. Gak-goanswe (Jenderal Gak) kini memimpin barisan besar melakukan penjagaan di tapal batas sebelah barat.”

”Berita seperti itu apa salahnya? Bukankah itu baik sekali.” Tanya Tiong Kiat dengan heran.

”Belum habis Sim ciangkun. Memang kalau hanya sampai di situ saja amat bagus, akan tetapi ternyata hal ini berkembang dengan hebatnya. Kini Gak goanswe secara diam-diam telah mengadakan persekutuan dengan tentara Tartar yang amat besar jumlahnya. Mereka berdua itu kini telah menyusun kekuatan di sebelah barat untuk dipergunakan menyerbu ke kota raja!”

”Sungguh tak berbudi!’ seru Tiong Kiat. ”Sudah diberi pangkat tinggi masih hendak memberontak!”

”Sama sekali bukan tidak berbudi, Sim ciangkun.” Kata Oei Sun. ”Hal itu hanya menunjukkan betapa tinggi cita-cita Gak goanswe. Orang yang bercita-cita tinggi saja yang akan mendapat kemajuan di dunia ini. Akan tetapi, betapapun juga, kita harus menggempur pasukan Gak goanswe itu sebelum merupakan bahaya besar bagi kita.”

”Maksudmu tentu bahaya besar bagi kerajaan, Oei ciangkun.” Tiong Kiat berkata.

”Ah ya, tentu saja bagi kerajaan. Kita harus mendahuluinya memukul karena menurut berita, kini barisannya menjadi amat kuat dan besar sekali jumlahnya, dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan menjaga di tempat-tempat mengelilingi kota raja, merupakan ancaman yang berbahaya sekali.”

”Tentu, kita harus memukulnya ” kata Tiong Kiat mengangguk-angguk. ”Akan tetapi, kau lebih tahu tentang keadaan mereka, maka terserahlah bagaimana hendak diaturnya.”

”Menurut penyelidikan, Gak goanswe telah memasang sepasukan tentara di tapal batas kota raja sebelah utara, jadi tepat di sebelah selatan kita. Mungkin sekali selain untuk mengurung kota raja dalam persiapannya memberontak, pasukan ini diadakan untuk menghalangi barisan kita dari utara apabila hendak membantu kotaraja. Oleh karena itu, aku memberi tugas kepadamu, Sim ciangkun untuk membawa lima ratus orang tentara dan memukul pasukan ini. Huayen khan dan pasukannya boleh membantumu dari belakang.”

”Baik, Oei-ciangkun.” Jawab Tiong Kiat dengan gembira sekali.

Memang semenjak ia menjadi perwira di benteng Oei Sun, pemuda ini banyak sekali terhanyut hatinya. Ia merasa amat berdosa bukan karena mengingat akan semua perbuatannya yang dulu, bukan karena ia telah membunuh beberapa orang dan mengganggu banyak wanita, akan tetapi ia merasa amat berdosa dan berduka apabila ia teringat Suma Eng, gadis yang boleh dibilang tak pernah ia lupakan ini.

Sekarang setelah ia menjadi seorang perwira, ia merasa telah berjasa kepada negara, merasa telah melakukan perbuatan yang amat baik dan bijaksana, perbuatan yang akan menghapus dosanya terhadap Suma Eng itu! Apa lagi sekarang ia akan memimpin pasukan memukul barisan pemberontak dari Jenderal Gak! Alangkah mulianya pekerjaan ini, alangkah besarnya, jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kecilnya dosa yang ia lakukan terhadap Eng Eng!

Maka bersiap-siaplah Tiong Kiat, memilih sepasukan tentara sebanyak lima ratus orang, menentukan komandan-komandan regu dan setelah mendapat nasehat dan siasat dari Oei Sun, berangkatlah Tiong Kiat dengan barisannya menuju ke selatan untuk menyerbu pertahanan barisan Gak goanswe!

Pemuda ini dalam pakaian perwira, menunggangi kuda putih pemberian Ang Hwa. Ia menunggang kuda di depan, tampak gagah sekali dan wajahnya yang tampan itu berseri gembira. Barisannya berbaris rapi, didahului oleh regu berkuda yang bertugas sebagai penyelidik dan pelopor.

Bendera besar dengan huruf OEI untuk menghormat dan menjadi tanda bahwa barisan ini adalah barisan dari benteng di bawah pimpinan Oei Sun, berkibar tinggi di atas punggung kuda, dipegangi oleh seorang perajurit. Bendera-bendera lain yang agak kecil dengan sulaman huruf SIM tanda bahwa barisan ini dalam pergerakannya dipimpin oleh seorang perwira she Sim.


                ***************


Kurang lebih seratus li di sebelah selatan tempat itu, di lembah Sungai Kim-seng kiang Sungai Bintang Mas yang menjadi anak sungai dari Sungai Sungari yang besar, memang menjadi tempat pertahanan sepasukan tentara kerajaan yang berjumlah tiga ratus orang lebih. Pasukan ini, melakukan penjagaan di tapal batas antara Tiongkok pedalaman dan Mongolia. Memang pasukan ini adalah sebagian dari pada pasukan Jenderal Gak yang mendapat tugas penuh untuk menjaga keamanan kota raja di bagian luar.

Jenderal Gak ini mulai timbul kecurigaan hatinya terhadap Oei Ciangkun yang memimpin barisan di utara, maka ia bersiap-siap untuk menyelidiki dan kalau perlu menggempur dan melucuti senjata pasukan di bawah pimpinan perwira she Oei itu. Maka sebagai penjagaan, ia lalu mengirim pasukan ini ke lembah Sungai Kim seng, untuk menjaga kalau-kalau kecurigaannya itu terbukti sehingga kota raja dapat dilindungi.

Ia tak dapat mengerahkan semua pasukan di tempat ini, karena selain Oei-ciangkun yang diduganya hendak memberontak, terdapat musuh-musuh yang lebih berbahaya lagi, bangsa Tartar yang mulai nampak gejala hendak menyerang ke pedalaman. Tentara Tartar jauh lebih besar dan lebih kuat daripada tentara pimpinan Oei ciangkun maka perlu sekali dijaga seluruh tapal batas di sebelah barat dan utara.

Tiga ratus lebih tentara yang menjaga di tapal batas dan di lembah Sungai Kim-seng ini dipimpin oleh seorang perwira tua bernama Ma Goan. Ma Goan atau perwira Ma ini biarpun sudah berusia hampir lima puluh tahun namun ia masih nampak kuat dan angker. Tubuhnya pendek akan tetapi tegap dan besar, dengan perut yang besar dan bulat, tertutup oleh pakaian perang yang tebal dan indah.

Ma Goan telah menjadi tentara semenjak berusia dua puluh tahun, dan pengalamannya dalam pertempuran selama tiga puluh tahunan inilah yang membuat ia dapat memanjat naik sampai menduduki pangkat perwira dan memimpin tentara sebanyak tiga ratus orang lebih.

Padahal ia berasal dari dusun dan hanya mengerti sedikit mata surat, hampir buta huruf. Akan tetapi memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan oleh pengalamannya yang berpuluh tahun itu ia mengerti juga sedikit hoat sut (ilmu sihir) yang dipelajari dari orang India ketika ia bertugas di tapal batas sebelah barat.

Adapun siasat-siasat perang tak usah disangsikan lagi, karena pengalaman memang Iebih nampak manfaatnya dari pada pelajaran mati, pengalaman adalah pelajaran yang hidup, pelajaran yang otomatis mendarah daging.

Ma Goan terkenal ahli dalam permainan senjata golok gagang panjang yang besar dan berat sekali. Di dalam pertempuran berkuda, senjata macam ini amat praktis dan juga berbahaya sekali, karena selain panjang juga berat dan tajam. Tak terhitung banyaknya perwira dan panglima musuh yang roboh di bawah sambaran golok di tangan Ma Goan yang perkasa.

Selain bintang-bintang yang diterimanya sebagai tanda kegagahan dari kaisar dan panglima-panglimanya, juga Ma Goan sudah menerima tanda kegagahan dari musuh yakni berupa cacad-cacad dan bekas-bekas luka di leher, pundak, dan pipi kanannya. Di bagian-bagian tubuh ini kulitnya telah sobek oleh pedang lawan dan kini menjadi cacad yang bahkan menambahkan keangkerannya.

Ma Goan tidak sempat membuat benteng pertahanan di lembah sungai Kim seng itu hanya menyuruh anak buahnya memasang tenda-tenda di bawah pohon-pohon siong yang besar. Kemudian ia memasang penjaga-penjaga di empat penjuru dan setiap hari melatih barisannya, sebagian pula menebang pohon untuk dibuat perahu-perahu dan tiang bangunan tempat tinggal. Perahu-perahu amat penting bagi mereka, karena hubungan yang paling cepat dan mudah dengan barisan lain adalah melalui sungai ini.

Pada pagi hari itu, Ma Goan yang berada di dalam tendanya, mendapat laporan dari penjaga terdepan bahwa kurang Iebih lima li dari situ sedang mendatangi barisan kerajaan yang berjumlah besar dan pada benderanya terdapat tanda bahwa barisan itu adalah barisan yang datang dari benteng Panglima Oei dan dipimpin oleh perwira Sim.

"Berapa banyak jumlahnya tentara mereka?" tanya Ma Goan dengan sikap masih tenang, sungguhpun di dalam dadanya ia berdebar mendengar laporan ini. Inilah pasukan-pasukan dari Oei Sun yang dikabarkan hendak memberontak itu!

"Menurut perkiraan saya, sedikitnya ada lima ratus orang ciangkun." jawab pelapor itu.

"Hm, minta semua komandan regu untuk datang ke sini. Cepat!”

Pelapor itu cepat berlari keluar dan tak lama kemudian, tujuh orang perwira pembantu telah datang menghadap.

"Pasukan pemberontak telah mulai datang. Kita belum tahu kehendak mereka, maka jangan sembarangan turun tangan. Bagi pasukan kita menjadi tiga bagian. Sebagian aku kupimpin menyambut kedatangan mereka, yang dua bagian bersembunyi di kanan kiri hutan. Kalau pasukan yang kupimpin terjadi perang dengan mereka, baru kedua pasukan di kanan kiri membantu dan memukul dari kedua samping. Kekuatan musuh lebih besar hampir dua kali kekuatan kita. Dengan serangan menggapit dari kanan kiri, tetap belum tentu kita kalah. Kalau sampai terjadi apa-apa dan kalah atau tewas dalam pertempuran sebagian pasukan boleh mundur menggunakan perahu-perahu kita, minta bantuan kepada benteng di lembah Sungai Sungari. Mengerti?"

Semua pembantunya menyatakan mengerti. Maka Ma Goan segera membubarkan mereka untuk melakukan tugas masing-masing. Dia sendiri setelah barisan dibagi tiga, lalu memimpin barisan dari seratus orang ini untuk menuju ke utara memapaki barisan yang berbendera OEI dan SIM itu.

Di luar hutan siong, kedua barisan itu bertemu. Ketika Tiong Kiat melihat pasukan berbendera GAK dan MA dan melihat pakaian tentara itu menunjukkan bahwa mereka adalah tentara kerajaan, diam-diam ia segera memberi perintah agar supaya Huayen-khan dan Ang Hwa menyuruh barisan mereka bersembunyi di belakang. Dia sendiri lalu memberi perintah kepada anak buahnya agar supaya jangan bergerak lebih dulu.

"Tunggu sampai aku bertempur dengan panglima yang memimpin pasukan pemberontak di depan itu. Kalau ia dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku, barulah barisan boleh maju menyerbu! Kalau sebelum sepuluh jurus panglima itu telah roboh aku akan mencoba agar pasukan di depan itu suka takluk dan memihak kita!"

Ini adalah siasat perang yang ia pelajari dari Oei Sun yang disebut siasat 'membunuh ular tanpa merusak kulitnya'. Memang Oei Sun amat membutuhkan tenaga tentara untuk maksud dan cita-citanya, maka kalau saja pemimpin pasukan musuh dapat dibinasakan sehingga pasukannya menjadi jerih dan kacau sampai dapat menaluk dan menjadi tentara taklukan, hal itu tentu saja amat baiknya!

Tentu saja pendirian Tiong Kiat jauh berlainan dengan kehendak Oei Sun. Bagi Tiong Kiat, kalau sampai tentara Gak goanswe yang dianggapnya memberontak itu sampai takluk tanpa perang dan dapat 'insaf' alangkah baiknya hal itu. Tidak perlu terjadi bunuh-membunuh antara bangsa sendiri!

Tak lama kemudian, kedua barisan itu berhenti kurang lebih seperempat li jauhnya satu kepada yang lain. Tiong Kiat membedal kudanya maju. Sebaliknya Ma Goan sambil menyeret golok gagang panjangnya juga mengaburkan kudanya memapaki perwira pemberontak itu.

"Apakah yang di depan ini seorang perwira dari barisan Gak goanswe, pemberontak hina dina itu?”

Mendengar suara yang berkumandang dan keras itu, tahulah Ma Goan bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli silat yang telah memiliki khikang yang tinggi. Akan tetapi ia menjadi amat marah mendengar ucapan itu.

"Perwira bermulut lancang!” ia membalas. "Kau tentulah seorang perwira gadungan (yang tidak diangkat oleh kaisar) dari barisan Oei manusia tak tahu diri itu, bukan? Lekas turun dari kudamu dan menyerah sebelum aku Ma Goan memenggal lehermu dan membasmi tentaramu!”

Tiong Kiat merasa heran dan juga marah sekali. Bagaimanakah perwira yang memimpin barisan pemberontak ini begitu berani memakinya sebagai perwira gadungan dan bahkan memaki-maki nama Oei Sun pula? la tertawa mengejek dan berkata,

"Perwira pendek! Kau mengandalkan apamukah maka bicara begitu sombong? Apakah kau mengandalkan golok pemotong babi di tanganmu itu?"

Ma Goan pikir tak perlu bicara banyak-banyak dengan pemberontak ini, maka dengan cepat ia lalu berseru, "Makanlah golok pemotong babiku ini, babi!"

Dengan amat cepatnya golok di tangannya itu menyambar ke arah dada Tiong Kiat sehingga pemuda itu terkejut juga. Tak diduganya bahwa lawan yang pendek tangannya itu ternyata dapat menggerakkan golok gagang panjang demikian cepatnya. Ia belum sempat mencabut pedangnya dan untuk mengelakkan diri di atas kuda, tak mungkin sama sekali melihat datangnya serangan yang benar-benar amat lihai itu. Maka sambil berseru keras, ia lalu berjumpalitan dari atas kudanya sehingga terhindar dari sabetan golok.

Melihat betapa perwira muda itu dapat melompat dan berjumpalitan dengan ilmu lompat Naga Hitam Menembus Awan dengan gerakan yang amat indah dan cepat, kembali Ma Goan tertegun. Lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba tubuh pemuda yang sudah turun ke atas tanah itu kini berkelebat ke arahnya dan sinar pedang yang putih berkilau menyambar-nyambar dengan hebatnya.

Ia cepat memutar golok panjangnya akan tetapi tiba-tiba kudanya meringkik keras dan cepat ia melompat turun. Baiknya ia melakukan hal ini, karena kalau tidak, dalam segebrakan itu tadi ia tentu akan terjungkal dari kuda dan binasa di bawah ujung pedang lawannya.

Ternyata bahwa Tiong Kiat telah berhasil membabat dua buah kaki belakang kuda yang ditunggangi oleh Ma Goan itu! Pemuda ini tadi berpikir bahwa melihat gerakan ilmu golok panjang dari perwira pendek itu, agaknya sukar baginya untuk mendapat kemenangan. Selain lawannya amat lihai, juga lawannya lebih pandai bertempur di atas kuda dan senjata lawannya jauh lebih panjang maka ia cepat menyerang kuda itu sehingga kini lawannya terpaksa harus melayaninya di atas tanah!

Adapun Ma Goan dengan amat marah segera memutar golok panjangnya dan menyerang pemuda itu. Tiong Kiat menyambutnya dengan senyuman mengejek, akan tetapi tak lama kemudian senyuman mengejek ini lenyap dari bibir Tiong Kiat ketika ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Ma Goan ini ternyata benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Ilmu silat perwira pendek ini hebat sekali dan golok panjang di tangannya merupakan dua macam senjata yang berbahaya. Apabila golok itu dibalikkan, maka gagang golok itu dapat dipergunakan sebagai senjata toya yang ditotokkan dan kemplangannya dapat mendatangkan maut! Juga tenaga dan kegesitan Ma Goan yang sudah tua itu mengagumkan sekali, Tiong Kiat menggigit bibirnya dan memutar pedangnya makin cepat, kini setelah lima belas jurus tak dapat mengalahkan Ma Goan ia mulai mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari Ang-coa-kiamsut!

Sementara itu, barisannya yang melihat betapa perwira pendek itu ternyata tangguh dan dapat menahan serangan Sim ciangkun sampai lima belas jurus lebih, segera perwira pembantu memberi aba-aba dengan teriakan keras dan panjang-panjang.

"Serbuuuuuuuu!”

Maka majulah lima ratus orang perajurit itu bagaikan gelombang menderu dan dengan pekik sorak riuh rendah dan tangan mengangkat senjata yang berkilauan terkena sinar matahari, kedua barisan bertemu di luar hutan dalam pertempuran yang hebat sekali! Pertemuan dua barisan yang menimbulkan perang hebat itu ditambah lagi dengan sorak sorai dari kedua pasukan yang bersembunyi di kanan kiri, yakni pasukan pendam yang telah diatur semula oleh Ma Goan.

Agak terkejut dan kacau balau pasukan Tiong Kiat ketika tiba-tiba muncul barisan musuh dari kanan kiri ini dan pertempuran dilakukan dalam keadaan kacau. Akan tetapi oleh karena memang pasukan yang dipimpin oleh Tiong Kiat lebih besar jumlahnya, hampir dua kali lebih banyak, mereka dapat melakukan perlawanan kuat sekaIi.

Ma Goan, perwira pendek yang gagah itu, ketika melihat betapa pasukannya tetap saja tidak dapat mendesak musuh yang besar jumlahnya dan kini fihak musuh sudah mulai mendekati pintu benteng dan mulai mengancam pertahanan, menjadi gelisah sekali. Apa lagi karena Tiong Kiat mendesaknya dengan hebat.

Serangan pedang pemuda yang dilawannya itu benar-benar di luar dugaannya. Ia telah mengetahui akan kelihaian Oei Sun dan agaknya ia masih dapat menghadapi Oei Sun. Siapa tahu kepandaian pemuda yang menjadi pembantu Oei ciangkun ini ternyata lebih lihai dari pada perwira pemberontak itu sendiri.

Setelah merasa bahwa dengan ilmu silatnya tidak mungkin dapat mengalahkan lawannya yang lihai itu, Ma Goan lalu memberi aba-aba yang memerintahkan pasukannya mundur dan melarikan diri mempergunakan perahu-perahu yang telah siap di pinggir sungai. Ia sendiri lalu memutar golok panjangnya untuk mencari jalan keluar dari kepungan Tiong Kiat.

Akan tetapi ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang dimainkan oleh Tiong Kiat sudah sempurna. Boleh dibilang semua ilmu kepandaian yang dituliskan di dalam kitab ilmu pedang Kim-Liong-pai itu telah dipelajari semua sehingga dalam hal ilmu pedang, kepandaian Tiong Kiat tidak kalah oleh Lui Thian Sianjin sendiri!

Dalam usaha Ma Goan untuk menerjang keluar dari kurungan sinar pedang yang hebat itu sia-sia belaka bahkan kini pedang di tangan Tiong Kiat makin cepat gerakannya dan hebat sekali serangan-serangannya. Ma Goan tak dapat berdaya lagi dan ketika sebuah tangkisannya meleset, pundak kirinya terbabat ujung pedang Hui-liong kiam di tangan Tiong Kiat sehingga sepotong daging pundaknya berikut baju perangnya terbawa oleh pedang!

Ma Goan berseru keras saking sakitnya akan tetapi ia telah dapat mengumpulkan tenaga batinnya dan dengan sedikit ilmu hoatsut (sihir) yang pernah dipelajarinya, ia berkata dengan suara berpengaruh.

"Orang muda, Iihat pedangmu itu. Bukankah itu telah berubah menjadi seekor ular putih? Lihat baik baik!"

Tiong Kiat yang tidak mengira sama sekali bahwa lawannya mempergunakan ilmu sihir tak dapat mencegah keinginan hatinya untuk memandang ke arah pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat Hui-liong kiam itu benar-benar telah berubah menjadi seekor ular putih! Pedang itu kini merupakan seekor ular yang ia pegang pada ekornya dan dengan gerakan-gerakan yang amat menggelikan, ular itu lalu membalikkan tubuh dan dengan mulut terbuka hendak menyerangnya sendiri!

Tentu saja Tiong Kiat menjadi kaget sekali dan cepat cepat ia melempar ular itu ke atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilihatnya ? Ketika ular putih itu dibanting jatuh di atas tanah, terdengar suara nyaring dan ternyata ular putih itu telah berobah lagi menjadi pedang Hui liong kiam yang berkilauan!

Baru tahulah Tiong Kiat bahwa la telah kena tertipu oleh lawannya. Ia cepat menyambar pedangnya Iagi, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang, ternyata bahwa Ma Goan telah pergi dari situ dan tidak kelihatan bayangannya lagi! la mendongkol sekali dan cepat ia lalu menyerbu dalam gelanggang pertempuran, membabat para perajurit musuh yang mulai melarikan diri, dikejar oleh pasukannya!

Tiong Kiat dan pasukannya mendapat kemenangan besar. Hampir separuh dari pada barisan pemberontak, anak buah Gak goanswe telah dapat ditewaskan dan sebagian lagi melarikan diri, ada yang melalui darat, ada yang menggunakan perahu. Benteng dapat dirampas dan sejumlah besar perbekalan musuh dapat dirampas pula. Dengan membawa kemenangan besar yang pertama kali ini, Tiong Kiat memimpin pasukannya kembali ke Oei-ciangkun.

Oei Ciangkun sendiri bersama Go bi Ngo Koai Tung menyambut pasukan yang menang perang ini. Huayen khan dan Ang Hwa yang juga telah bertempur hebat dan banyak merobohkan perajurit musuh menjadi amat bangga akan tetapi Tiong Kiat hanya tersenyum-senyum saja. Pikirannya penuh dengan pengalamannya ketika bertempur melawan Ma Goan tadi.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Baiknya ia sudah melukai Ma Goan. Kalau lawannya itu belum terluka dan ketika ia melemparkan pedangnya yang berobah menjadi ular tadi, bukankah amat berbahaya baginya kalau lawannya itu menyerangnya? Oei Sun yang mempunyai pandangan tajam dapat melihat kemuraman wajah kawannya, maka ia lalu berkata,


“Saudaraku Sim, mengapa kau yang menang perang dan berhasil baik dalam gerakanmu kali ini, agaknya nampak muram?"

“Oei-ciangkun, biarpun pasukan kita menang akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa segala jerih payahku bertahun-tahun yang lalu, ilmu silat yang kupelajari dengan rajin dan tak mengenal lelah ternyata tidak berdaya sama sekali menghadapi ilmu siluman dari seorang perwira musuh!"

Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu menceritakan kepada Oei Sun dan Ngo koai tung tentang pertempurannya melawan Ma Goan. Mendengar penuturan ini, Thian lt Tosu tertawa bergelak.

"Ha ha ha Sim ciangkun. Kukira apa menimbulkan kemuraman pada wajahmu, tidak tahunya kau memikirkan sedikit ilmu kepandaian anak kecil itu! Ha ha ha! apa sih sukarnya kepandaian macam itu saja? Anak kecilpun bisa."

Ketika Tiong Kiat memandang kepada Thian It Tosu, tiba tiba tosu itu memandangnya dengan mata terpentang lebar seperti yang dilakukan oleh Ma Goan tadi, kemudian sebelum Tiong Kiat mengerti apa yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh tosu ini, orang tertua dari Go-bi Ngo-koai tung itu berkata,

"Sim-ciangkun, sungguh kau gagah sekali pulang dan masuk ruang ini naik seekor harimau!"

Tiong Kiat menjadi makin bingung. Gilakah tosu ini? Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa bangku yang didudukinya bergerak-gerak dan ketika ia memandang ke bawah, hampir saja ia berteriak karena kagetnya. Yang diduduki sejak tadi itu bukan sebuah bangku biasa, melainkan seekor harimau yang besar!

"Nah, Sim ciangkun, bukankah pedangmu itu telah menjadi seekor ular putih lagi sekarang?”

Tiong Kiat menengok ke arah pedang yang tergantung di pinggangnya, dan alangkah kagetnya melihat bahwa yang tergantung di pinggangnya bukan Hui liong-kiam di dalam sarung pedang, melainkan seekor ular putih! Berubah wajah Tiong Kiat dan ia telah melakukan gerakan cepat sekali melompat turun dari harimau besar itu dan hendak melemparkan pedangnya. Akan tetapi Thian It Tosu menggerakkan tangannya dan berkata,

"Sim ciangkun, sabarlah. Semua itu hanyalah bayangan belaka! Harimau dan ular lenyap, yang kau duduki sebuah bangku biasa dan pedangmu masih Hui-liong-kiam yang ampuh!”

Betul saja, harimau dan ular itu tak nampak lagi dan kini mata Tiong Kiat melihat benda-benda biasa. Ia menjadi heran dan merahlah mukanya.

“Hebat," katanya menarik napas panjang, ”Totiang, kau benar-benar lihai sekali. Bagaimanakah manusia bisa mempelajari ilmu seperti itu?"

“Sim ciangkun, apakah kau ingin mempelajari ilmu sihir seperti itu?"

"Tentu saja, totiang. Akan girang sekali hatiku kalau aku dapat memiliki kepandaian yang aneh itu hingga lain kali bertemu dengan lawan seperti Ma Goan, aku takkan mendapat malu lagi."

“Akan tetapi," tiba-tiba Oei Sun berkata, ”kau mempelajari ilmu ini, berarti kau mempelajari ilmu dari Pek-lian-kauw."

Sambil berkata demikian, Oei Sun memandang tajam sekali, kemudian setelah ia melihat keraguan di wajah Tiong Kiat, ia menyambung. "Akan tetapi aku sendiri pernah mempelajari ilmu itu saudara Tiong Kiat. Kau lihatlah baik-baik bukankah yang kududuki inipun seekor harimau yang gagah dan besar sekali?"

Tiong Kiat memandang dan... betul saja! Oei Sun bukan duduk di atas bangku yang tadi lagi, melainkan di atas seekor harimau yang besar!

Oei Sun segera menyimpan kembali ilmunya dan berkata sambil tertawa. "Saudara Tiong Kiat, terus terang saja aku sendiri pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw. Kau lihat, Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan dulu dibasmi hanya karena hasutan orang-orang yang merasa iri hati dan yang berkali-kali dikalahkan oleh Pek-lian kauw."

"Akan tetapi… aku mendengar bahwa perkumpulan itu telah melakukan kejahatan-kejahatan hebat..." kata Tiong Kiat.

Thian It Tosu tertawa bergelak. "Ha ha ha. Sim-ciangkun, kau benar-benar masih hijau dan belum berpengalaman. Mana ada orang-orang yang membenci sesuatu membicarakan soal-soal baik tentang yang dibencinya? Kami akui bahwa tentu saja ada dahulu anggota-anggota Pek-lian-kauw yang jahat dan menyeleweng akan tetapi dunia manakah yang tidak ada kambing hitamnya? Menurut pandanganmu, Sim-ciangkun, apakah pinto berlima dan juga Oei ciangkun ini patut disebut orang-orang jahat?"

Tiong Kiat harus mengakui kebenaran kata-kata ini dan kini ia tidak begitu benci lagi mendengar nama Pek-lian-kauw. Kemudian dengan amat pandainya Thian It tosu dan Oei Sun memuji-muji Pek-Iian-kauw dan menyatakan penyesalannya terhadap pemerintah yang dapat dihasut oleh orang jahat sehingga Pek-lian-kauw dibasmi.

Tiong Kiat diam-diam terkena juga oleh bujukan dan hasutan ini dan diikutinya pula bahwa pemerintah kurang bijaksana dalam urusannya menghadapi Pek-Iian-kauw. Apalagi setelah Thian It Tosu menyatakan hendak memberi pelajaran ilmu gaib kepadanya, makin sukalah hati Tiong Kiat terhadap orang orang Pek-lian-kauw yang dianggapnya benar-benar orang gagah yang setia terhadap negara dan bangsa!


                ***************


Telah lama kita meninggalkan Tiong Han, pemuda bernasib malang yang banyak mengalami penderitaan batin karena perbuatan adiknya yang amat disayanginya itu. Semenjak pertemuannya dengan sumoinya, Can Kui Hwa yang sudah mendapat jodoh dengan pemuda Un Leng dan mendengar penuturan sumoinya itu tentang perlakuan Tiong Kiat terhadapnya, Tiong Han merasa makin sedih dan juga gemas.

Bagaimana Tiong Kiat sampai menjadi demikian jahat? Aku harus dapat mencarinya, aku harus menangkapnya dan membawanya kepada suhu! Pikiran Tiong Han sudah tetap, karena kalau makin banyak adiknya melakukan perbuatan jahat, ia merasa bertanggung jawab juga dan merasa ikut berdosa.

Sampai berbulan-bulan ia merantau mencari jejak adiknya, dan akhirnya ia mendengar bahwa Tiong Kiat telah menjadi seorang perwira! Tentu saja ia merasa heran sekali akan tetapi oleh karena berita ini ia terima dari orang-orang suku bangsa lain yang tinggal di utara dan keterangan mereka itu hanya samar-samar ia belum percaya benar. Betapapun juga, ia lalu mengejar ke utara.

Dari seorang di antara para pedagang yang seringkali melakukan perjalanan jauh ke utara, ia mendengar tentang seorang perwira yang bekerja dalam benteng panglima Oei di dekat Sungai Sungari. Tiong Han masih belum percaya kalau adiknya bisa menjadi perwira akan tetapi oleh karena tidak tahu harus mencari ke mana ia pergi juga ke daerah itu.

Di sepanjang jalan ia mendengar tentang pertempuran antara suku bangsa Cou melawan suku bangsa Ouigour, akan tetapi berita ini tidak begitu menarik perhatiannya, ia hanya bertanya-tanya di mana adanya benteng dari panglima she Oei yang menjaga tapal batas sebelah utara ini.

Pada suatu pagi, tibalah ia di kota yang hanya terpisah sepuluh li dari benteng di mana orang yang dicarinya berada! Kota ini kecil saja akan tetapi di situ banyak terdapat orang-orang berdagang atau lebih tepat bertukar barang dengan penduduk di utara ini. Juga terdapat rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan.

Ketika Tiong Han memasuki kota ini, ia menjumpai keganjilan-keganjilan ketika beberapa orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan belum pernah dilihatnya selama hidup, ketika bertemu dengan dia lalu memberi hormat! Akan tetapi oleh karena sudah terlalu sering mengalami hal aneh, Tiong Han bahkan menjadi girang sekali karena yakinlah bahwa Tiong Kiat pasti berada di tempat yang tidak jauh!

Ia maklum bahwa orang-orang yang memberi hormat kepadanya itu tentu mengira bahwa dia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya, ia mengalami hal yang tidak enak saja yang ditimbulkan oleh persamaan mukanya dengan adiknya yang manis itu. Ketika ia berjalan dengan tindakan tenang di depan sebuah toko obat, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua melompat keluar dari toko itu, mencabut golok dan menyerangnya dengan kalap sambil berseru,

”Bangsat rendah! Kembalikan anakku...!"

Orang yang kalap itu menyerangnya dari samping dengan golok dibacokkan ke arah dadanya. Tentu saja serangan ini sama sekali tak membikin gugup pada Tiong Han, akan tetapi benar-benar membuatnya merasa kaget dan heran. Ia cepat mengelak dan berkata,

"Sahabat, perlahan dulu. Ada urusan baik dibicarakan dulu, jangan terburu nafsu menyerang orang di jalan!”

"Manusia tidak tahu malu! Iblis bermuka manusia mau bicara apalagi? Hanya ada dua pilihan bagimu, hidupkan kembali anakku atau kau harus mampus menyusul anakku...!" Dan kembali golok yang agaknya telah berhari-hari di asah sehingga menjadi berkilat tajamnya itu menyambar ke arah leher Tiong Han.

Kembali dengan amat mudahnya serangan itu dapat dielakkan oleh Tiong Han dan karena pemuda ini merasa mendongkoI juga dengan sekali menggerakkan tangan ia melakukan tipu gerakan Kim-liong-jiauw (Naga Emas Mengulur Kuku) dan dengan amat mudahnya terampaslah golok itu dari tangan penyerang.

”Sabar… sabar, sahabat. Jangan main-main dengan golok tajam" sambil berkata demikian Tiong Han menjepit golok itu di antara tangannya dan sekali ia mengerahkan tenaga, terdengar bunyi pletak dan patahlah golok itu pada tengah-tengahnya. Ia melempar potongan golok itu ke atas tanah.

Akan tetapi baru saja ia hendak menghadapi penyerangnya untuk ditanyai keterangan tentang kelakuannya yang aneh ini datanglah berlari-lari lima orang tentara yang cepat memberi hormat kepadanya dan tanpa banyak cakap, lima orang tentara itu lalu menyeret kedua tangan penyerang itu.

"Bangsat she Sim...! Biarpun aku akan mati lihat saja, rohku akan menjadi setan penasaran dan akan mengejarmu selalu...! Kau perusak rumah tangga, pengganggu wanita, kau manusia…"

Baru saja memaki sampai di situ, seorang di antara lima orang penangkapnya itu mengayun tangan menampar mulutnya. Orang itu mengeluh dan menundukkan mukanya. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya!

Melihat orang itu diseret-seret dan mendengar kata-katanya, Tiong Han dapat menduga bahwa kembali Tiong Kiat telah membuat gara-gara. Ia merasa kasihan sekali kepada orang tua itu. Dengan beberapa lompatan saja ia telah dapat mengejar.

"Lepaskan dia!" serunya dengan keras. Ia telah siap sedia untuk memukul tentara yang lima orang banyaknya itu kalau mereka melawan, akan tetapi kembali mereka memberi hormat, dan hanya memandang dengan terheran.

"Akan tetapi... Sim-ciangkun..." kata seorang diantara mereka.

Tiong Han merasa sebal sekali. Ia maklum bahwa Tiong Kiat agaknya benar-benar telah menjadi seorang perwira dan lima orang tentara ini tentulah anak buahnya.

"Lepaskan dia, dan pergilah kalian!" Ia berseru lagi dengan marah.

Lima orang itu lalu mengangkat pundak lalu meninggalkan tempat ini tanpa berani banyak cakap lagi. Adapun orang tua itu kini memandang kepada Tiong Han dengan mata terbelalak.

"Kau melepaskan aku... Apakah kau hendak menghukum aku dengan tanganmu sendiri ? Orang muda tidak berbudi, jangan kau kira bahwa aku takut mati setelah apa yang kau lakukan terhadap puteriku!"

Tanpa bertanya lagi Tiong Han sudah dapat menduga apa yang telah dilakukan oleh Tiong Kiat terhadap puteri dari orang ini. Mukanya berobah merah saking marah dan gemasnya terhadap Tiong Kiat.

"Sudahlah, lebih baik kau pulang saja. Orang yang berbuat dosa pasti akan mendapatkan hukumannya!"

Setelah berkata demikian, Tiong Han lalu meninggalkan orang itu yang menjadi begitu terheran-heran mendengar ucapan Tiong Han tadi sehingga ia hanya berdiri dengan mulut melongo di tengah jalan!

Sementara itu, Tiong Han melanjutkan perjalanannya. Ia ingin sekali bertanya kepada orang tadi di mana ia dapat menjumpai Tiong kiat tetapi ia tidak ingin mendengar kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Tiong Kiat. Lebih baik bertanya kepada orang lain saja pikirnya.

Ketika melihat sebuah rumah makan yang cukup besar, masuklah Tiong Han ke dalam rumah makan itu. Ia memesan makanan dengan sikap biasa sungguhpun pelayan yang membungkuk-bungkuk di depannya dengan luar biasa hormatnya itu menimbulkan sebal dalam hatinya. Hem, agaknya semua orang di tempat ini menghormat sekali kepada Tiong Kiat, kecuali orang yang menyerangnya tadi tentunya.

Di dalam restoran itu telah banyak tamu dan ada beberapa orang berpakaian perwira duduk di sudut sambil bersendau gurau. Ketika Tiong Han masuk, mereka memandang dan ada yang tersenyum, akan tetapi tak lama kemudian mereka saling pandang dengan muka menyatakan keheranan besar. Mereka hanya memandang saja dan amat memperhatikan Tiong Han, akan tetapi pemuda ini pura-pura tidak melihat mereka dan makan masakan pesanannya dengan tenang.

Setelah ia selesai makan dan hendak keluar dari rumah makan itu, tiba-tiba tiga orang perwira yang semenjak tadi melihatnya, berdiri dan menghampirinya.

"Ah, Sim ciangkun, apakah benar-benar kau tidak kenal lagi kepada kami? Kami kira kau tadi main-main, akan tetapi ternyata sampai sekarang benar-benar tidak menyapa kami. Benar-benar lucu sekali kau ini, keluar dari benteng dengan pakaian preman, dan berlaku pura-pura tidak mengenal kawan. Apakah artinya ini?"

Tiong Han mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Sam wi ciangkun, kalian telah salah lihat. Sim ciangkun kiranya masih berada di dalam benteng, dan aku sendiripun ingin sekali menjumpainya. Maukah sam-wi menolongku untuk menemui Sim-ciangkun, adikku itu!”

Untuk sesaat, ketiga orang perwira itu tertegun dan mengira bahwa pemuda ini memang benar Sim Tiong Kiat yang masih berpura-pura atau hendak menggoda mereka. Akan tetapi setelah melihat kesungguhan tarikan wajah Tiong Han, mereka saling pandang lalu berkata,

”Marilah ikut kami ke benteng."

Tiga orang perwira itu lalu mengajak Tiong Han keluar dari rumah makan dan langsung menuju ke benteng di luar kota. Tiong Han berdebar jantungnya. Akhirnya dapat juga ia mendapatkan tempat persembunyian adiknya itu dan bermacam-macam pikiran teraduk di dalam kepalanya, memikirkan dan membayangkan bagaimana penyambutan Tiong Kiat kepadanya. Bagaimana kalau Tiong Kiat melawan?

Aku harus melakukan pertempuran mati-matian kali ini, pikir Tiong Han sambiI menggigit bibirnya. Tentu kepandaiannya telah amat maju dengan bantuan kitab ilmu pedang itu akan tetapi belum tentu aku kalah olehnya. Kali ini, ia turut ke Liong-san menghadap suhu dengan baik-baik, atau aku akan bertempur mati-matian!

Ia tidak tahu sama sekali bahwa Tiong Kiat sudah dapat menduga kedatangannya ini! Tadi ketika ia masih makan di rumah makan lima orang tentara yang tadi menangkap orang yang menyerangnya ketika kembali ke dalam benteng dan melihat Tiong Kiat, mereka menjadi heran sekali dan cepat menceritakan pengalaman mereka kepada Sim ciangkun.

Tiong Kiat terkejut sekali dan menjadi pucat, akan tetapi ia segera menetapkan hatinya dan berkata, "Aku memang mempunyai seorang saudara yang sama benar mukanya dengan aku. Di mana dia sekarang?"

"Kami tidak tahu, Sim ciangkun. Mungkin masih di dalam kota. la amat lihai… dan... dan dia sengaja melepaskan orang she Phoa itu!"

"Sudahlah jangan banyak cakap, dan jangan mencampuri urusanku." Tiong Kiat membentak sehingga lima orang tentara itu cepat-cepat meninggalkan perwira yang mereka segani ini.

Tiong Kiat menggigit-gigit bibirnya, kebiasaan yang dilakukan apabila ia sedang gelisah. la merasa malu terhadap kakaknya, karena lagi-lagi kakaknya mendengar tentang perbuatan yang tidak patut, bahkan kakaknya pula yang hampir saja menjadi korban.

Tadinya ia hendak membanggakan kedudukannya kepada Tiong Han, hendak memperlihatkan kepada kakaknya itu bahwa betapapun juga, dia kini telah memiIih jalan baik dan terhormat, telah menjadi seorang perwira pembela nusa bangsa. Akan tetapi, apa yang didapati oleh Tiong Han? Baru saja muncul di dekat benteng telah diserang oleh orang she Phoa itu karena orang she Phoa itu marah dan menaruh hati dendam kepadanya!

Tiong Kiat teringat betapa ia telah mempermainkan anak gadis she Phoa itu sehingga gadis itu mengandung. Karena malu dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Kiat tidak mau mengawininya, gadis itu lalu membunuh diri dengan menggantung diri di dalam kamarnya. Tiong Kiat sudah mendengar betapa ayah dari gadis itu amat marah dan mengancam hendak menyerangnya apabila bertemu.

Oleh karena itu, jarang sekali Tiong Kiat pergi ke kota itu, takut kalau kalau orang she Phoa itu menimbulkan ribut yang akan memalukannya saja. Dan tidak disangka-sangkanya sekarang orang she Phoa itu bertemu dengan Tiong Han dan menyerangnya! Ah, alangkah akan marahnya Tiong Han, kakaknya yang baik budi itu. Dan Tiong Kiat menjadi amat kecewa terhadap diri sendiri. Mengapa aku tak dapat menahan nafsu jahatku? Mengapa aku tidak bisa menjadi sebaik dia?

Sudah terlambat, pikirnya. Langkah pertama telah membawanya ke jalan sesat, yakni ketika ia mengadakan hubungan dengan sumoinya, Kui Hwa. Setelah itu, terpaksa ia melakukan perjalanan di atas jalan yang sesat. Ah, kalau saja bisa menjadi istriku... ia mengeluh. Dengan nona itu disampingku, aku akan mendapat kekuatan baru, mendapat semangat baru dan aku berani menghadapi dunia dan mencari jalan baru yang baik.

Akan tetapi, kembali ia mengeluh sedih. Ia telah merusak kebahagiaan sendiri, ia telah melenyapkan kemungkinan dan pengharapannya untuk dapat menjadi suami dari seorang gadis seperti Suma Eng. la telah menyakiti hati gadis itu, bahkan kini gadis itu telah menjadi pembantu dari Piloko, telah menjadi musuhnya! Ah, ia mau menukarkan apa saja, bahkan kedudukannya sebagai perwira, bahkan mengurangi usianya, asal saja ia dapat bersatu dan berbaik dengan Suma Eng yang berada di puncak gunung, tempat suku bangsa Cou bertahan itu!

Demikianlah, pikiran Tiong Kiat melamun dan melayang-layang tidak keruan. Selagi ia duduk bertopang dagu, ia dikejutkan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo koai tung yang datang dengan tiba-tiba. Oei Sun berkata,

"Saudaraku yang baik, mengapa kau melamun saja? Di luar telah menanti kakakmu. Ah, hampir saja aku dan Ngo-wi suhu ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Kakakmu itu begitu sama dengan kau!”

"Benar, Sim ciangkun, memang aneh sekali. Belum pernah pinto melihat persamaan muka dan bentuk badan seperti kau dan pemuda yang menantimu di luar itu." Kata Thian lt Tosu. Juga tosu yang lain, Thian Ji Tosu dan adik-adiknya, ikut menyatakan keheranan mereka.

"Akan tetapi, agaknya dia tidak mempunyai maksud yang baik, Sim ciangkun.” kata Thian Ngo Tosu, orang termuda dari Go-bi Ngo koai-tung.

Tiong Kiat memandang kepada enam orang itu dengan tajam, lalu berkata sungguh-sungguh. "Betapapun juga, dia adalah kakakku, orang yang gagah perkasa dan baik, jauh lebih baik dari padaku. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi antara dia dan aku, kuharap Iak-wi jangan ikut campur."

Oei Sun dan kawan-kawannya saling pandang, kemudian panglima pemberontak ini berkata sambil tersenyum. ”Siapa yang hendak mencampuri urusan dua orang kakak beradik? Apalagi dua orang saudara kembar seperti kau dan saudaramu itu, Sim ciangkun. Asal saja dia tidak akan mengganggumu."

Tiong Kiat lalu bertindak keluar dan betul saja, Tiong Han sudah berdiri di luar pintu gerbang benteng, berdiri dengan sikapnya yang keren, tenang, dan juga gagah. Di luar tahu semua orang, baik Tiong Han maupun Tiong Kiat merasai keharuan besar di dalam dada masing-masing ketika keduanya saling pandang. Hubungan darah mereka masih terlampau dekat sehingga tak mungkin dapat dilenyapkan oleh watak dan keadaan yang berlainan jauh sekali itu.

"Han-ko...! Sampai begini jauh kau masih mencariku juga?" pertanyaan dari Tiong Kiat ini mengandung penyesalan besar dan juga mengandung teguran mengapa kakaknya itu tidak menaruh kasihan kepadanya.

"Tiong Kiat, sampai ke ujung nerakapun aku akan mencarimu, karena aku sudah bersumpah akan membawamu kembali ke Liong-San." Jawab Tiong Han dengan suara tenang akan tetapi perlahan karena ia kuatir kalau-kalau suaranya yang mengandung keharuan itu akan terdengar oleh adiknya.

"Han-ko, kau terlalu sekali! Apakah kau tidak mau memberi kesempatan kepada adikmu sendiri untuk merobah kehidupannya? Aku memang pernah melakukan kesesatan, akan tetapi kau lihatlah, Han-ko."

Tiong Kiat menunduk dan memandang ke arah pakaiannya dan mencoba tersenyum ramah kepada kakaknya. "Lihatlah, bukankah adikmu gagah sekali memakai pakaian perwira ini? Han-ko, berilah kesempatan kepadaku. Aku hendak merobah hidupku, bahkan sudah kurobahnya. Bukankah aku sekarang sudah menjadi seorang baik-baik? Menjadi seorang perwira yang mengabdi kepada negara?"

Akan tetapi Tiong Han menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Kau takkan berobah, adikku. Hanya pakaianmu saja yang berobah. Lupakah kau kepada gadis anak pemilik toko obat? Kau takkan berobah, Tiong Kiat, sayang sekali!"

Merahlah wajah Tiong Kiat, mendengar disebutnya gadis ini. "Kau maksudkan orang gila she Phoa itu? Ah, Han-ko, dia adalah seorang yang miring otaknya, dan…"

"Tiong Kiat! Miring otaknya atau tidak, sudah terang bahwa kau masih mengumbar nafsu jahatmu. Dan akupun tidak datang untuk mengurus perkara orang itu. Lebih baik kau ikut dengan aku, bertemu dengan suhu. Mungkin sekali suhu akan memaafkan kau, atau akan memberi jalan yang baik."

"Han-ko, sekali lagi, aku memohon kau menaruh kasihan kepada adikmu. Aku mengaku bahwa aku telah melakukan banyak dosa dan bahwa seringkali aku tak dapat mengendalikan nafsu yang menguasai diriku. Akan tetapi, Han-ko. Kalau kau membawaku kepada suhu, tentu aku akan dibunuh. Aku tidak takut mati. Han-ko... akan tetapi biarkanlah aku menebus dosa-dosaku dengan mati di medan pertempuran sebagai seorang pahlawan bangsa. Han-ko, kita adalah keturunan seorang pahlawan, seperti yang pernah dikatakan suhu, ayah kitapun seorang pahlawan dan aku…"

“Tutup mulut! Jangan kau menyebut-nyebut nama ayah! Kau tidak berhak menjadi puteranya setelah kau mencemarkan nama keluarga dengan semua perbuatanmu yang terkutuk!”

Tiong Han benar-benar marah, kemarahan yang timbul dari kesedihan hebat karena diingatkan kepada ayahnya. Semenjak kecil ia menjadi kakak, ayah dan ibu terhadap adiknya ini dan sekarang adiknya ternyata menjadi seorang jahat sekali dan ia sendiri mendapat tugas untuk membawanya untuk dihukum! Siapa yang takkan bersedih dan hancur hatinya?

Tiong Kiat memang memiliki watak yang palsu. Sikap yang minta dikasihani tadi sebetulnya hanya setengah pura-pura saja. Ia hanya ingin menjaga agar kakaknya itu tidak melanjutkan niatnya menangkapnya dan suka pergi lagi dengan aman. Sebetulnya ia sama sekali tidak takut, bahkan ia merasa yakin bahwa ia akan dapat melawan kakaknya kini. Tidak percuma kitab ilmu pedang Ang-coa-kiamsut berada di tangannya sedemikian lamanya. Kini mendengar ucapan Tiong Han timbul juga marahnya. Nampaklah kini senyumnya senyum mengejek yang semenjak dahulu dimilikinya senyum jahat yang sudah dikenal baik oleh Tiong Han.

"Han-ko, kau memang sungguh terlalu! Kau mendesak padaku tanpa mengenal kasihan dan ampun. Sungguh percuma mempunyai seorang kakak seperti kau! Kau tidak tahu bahwa sebetulnya aku masih sayang kepadamu dan aku minta dengan baik-baik agar kau jangan mengganggu aku lagi. Han-ko, terus terang saja, sekarang kepandaian adikmu bukan seperti dulu lagi. Kau takkan menang bertanding ilmu pedang melawan aku dan selain dari pada itu aku adalah seorang perwira. Di dalam benteng ini terdapat ribuan orang perajurit yang akan mengeroyokmu atas perintahku belum lagi adanya perwira-perwira yang kepandaiannya bahkan tidak di bawah kepandaianku! Kau pergilah, Han-ko."

Akan tetapi kembali Tiong Han menggelengkan kepalanya. "Aku hanya mau pergi kalau kau suka ikut, Tiong Kiat. Dosamu telah terlalu banyak dan sudah menjadi kewajibanku untuk membawamu kembali kepada suhu, biarpun untuk tugas itu aku harus menggeletak tak bernyawa di sini aku takkan mundur setapakpun."

"Kau benar-benar keras kepala, Han-ko. Betapapun juga tentu saja aku masih berat nyawaku dari pada nyawamu. Nah, majulah, hendak kulihat bagaimana kau akan mengalahkan aku?" kata Tiong Kiat akhirnya sambil mencabut pedangnya yang berkilauan putih, yakni pedang Hui-liong-kiam yang dulu ia terima dari Tiong Han.

"Kali ini kau atau aku, Tiong Kiat!" kata Tiong Han yang cepat mencabut pedang Ang-coa-kiam.

Untuk sesaat keduanya saling pandang dengan harapan terakhir kalau-kalau saudaranya akan mengalah, akan tetapi setelah mereka yakin bahwa pandang mata masing-masing yang bernyala dan bersemangat itu, hampir berbareng keduanya lalu maju menerjang, menggerakkan pedang dengan hebat!

Sebentar saja, keduanya lenyap ditelan gelombang sinar pedang merah dan putih yang saling membelit. Bukan main hebatnya pertandingan antara dua orang murid terpandai dari Kim liong-san ini.

Sebetulnya kalau dinilai dari kepandaiannya mungkin Tiong Kiat masih menang tingkat. Memang pemuda ini lebih baik bakatnya dari pada kakaknya maka dengan kitab Ang-coa-kiamsut berada di tangannya, ia telah mewarisi seluruh ilmu pedang itu dan gerakannya juga lebih lemas dan cepat dari pada Tiong Han. Akan tetapi, Tiong Han memiliki ketenangan dan tenaga serta semangatnya agak lebih menang.

Hal ini bukan karena Tiong Kiat kurang melatih tenaga Iweekang dan semangat, melainkan karena pemuda ini banyak main gila maka tanpa disadarinya, tenaga Iweekangnya banyak melorot. Kemenangan dalam hal inilah yang membuat Tiong Han dapat mengimbangi permainan pedang adiknya yang benar-benar lihai itu.

Pertempuran sudah berjalan seratus jurus dan biarpun dengan pedang Hui-liong kiam Tiong Kiat sudah mulai dapat mendesak pedang Ang coa kiam di tangan kakaknya, namun napasnya mulai senin kemis dan peluhnya telah membasahi jidatnya.

Telah sejak tadi Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai-tung berada di tempat itu menyaksikan pertempuran yang bukan main hebatnya ini. Mereka menonton bagaikan kena pesona karena sesungguhnya belum pernah mereka menyaksikan pertandingan pedang sehebat itu. Apalagi pedang yang dimainkan oleh sepasang saudara kembar ini mengeluarkan sinar putih dan merah sehingga nampak sekali kehebatan ilmu pedang itu.

Tadinya Oei Sun dan kelima orang pendeta itu tidak mau mencampuri urusan Tiong Kiat sebagaimana yang telah dipesan oleh perwira muda itu, dan ketika melihat betapa pedang Tiong Kiat mampu mendesak hebat lawannya, merekapun berdiri menonton saja dengan kagum. Akan tetapi ketika Go-bi Ngo koai melihat Tiong Kiat yang hampir kehabisan napas dan berpeluh, sedangkan lawannya masih tenang dan kuat, mereka mengerutkan kening.

"Lawan dari Sim ciangkun ini tidak boleh dibuat main-main. Kalau kita tidak membantu dan Sim-ciangkun roboh binasa, bukankah merupakan satu kerugian besar?" kata Thian It Tosu kepada adik-adiknya.

Mereka menyatakan setuju dan diam-diam Iima orang tosu ini mengeluarkan tongkat masing-masing, siap sedia untuk menyerbu.

Oei Sun mendapat sebuah pikiran baik. "Jangan bunuh dia…" katanya perlahan. "Tangkap saja, siapa tahu kita akan dapat mempergunakan tenaganya pula!”

Thian It Tosu mengangguk dan setelah memberi isarat kepada adik-adiknya mereka bersama lalu menyerbu dan tiba-tiba menyerang Tiong Han dengan hebat sekali.

"Ngowi totiang jangan membantuku!” Tiong Kiat masih mencoba untuk berseru keras lalu disambungnya "Jangan bunuh dia!"

Akan tetapi, kelima orang pendeta itu sudah bergerak dan serangan mereka yang dilakukan berbareng, ditambah serangan dari Tiong Kiat sendiri, membuat Tiong Han kewalahan sekali. Ia masih mencoba untuk memutar pedang merahnya guna membabat putus tongkat-tongkat itu, akan tetapi ternyata lima tongkat butut itu tidak dapat terbabat putus! Tentu saja ia menjadi kaget sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, menghadapi keroyokan ini ia amat terdesak dan keadaannya amat berbahaya.

"Ngowi totiang jangan celakai saudaraku!” Tiong Kiat masih mencoba untuk mencegah lima orang pendeta Pek-Iian-kauw itu, akan tetapi terlambat karena Tiong Han melepaskan Ang Coa kiam dan roboh dengan tubuh lemas. Ia telah terkena totokan tongkat Thian It Tosu yang amat lihai.

"Pinto terpaksa merobohkannya, Sim ciangkun karena keadaanmu tadi amat berbahaya. Mana bisa kami mendiamkannya saja?" kata Thian It Tosu.

"Dan pula, apapun juga yang menjadi sebab pertempuran dan perselisihanmu dengan saudaramu, sebagai seorang gagah ia harus mengerti bahwa melawan seorang perwira berarti memberontak terhadap kaisar! Untuk perbuatannya ini ia harus dijatuhi hukuman militer!” kata Oei Sun kepada Tiong Kiat.

Tiong Kiat menjadi pucat wajahnya. Ia menengok ke arah Tiong Han yang masih rebah tak dapat bergerak itu dan rasa iba memenuhi dadanya. "Jangan, Oei ciangkun. Kuminta kepadamu, demi persahabatan kita, jangan kau menjatuhkan hukuman kepada kakakku ini. Ia memang keras hati akan tetapi… ia jauh lebih baik dari padaku. Harap kau suka ampunkan dan lepaskan dia…"

Oei Sun memungut pedang Ang coa kiam yang tadi terlepas dari tangan Tiong Han, ”Pedang bagus…!” katanya.

"ltu adalah Ang coa-kiam pedang pusaka perguruan kami." kata Tiong Kiat.

Oei Sun tercengang, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Kiat. "Jadi pedang inikah yang telah mengangkat namamu sehingga kau dijuluki Ang coa-kiam, Sim ciangkun? Kalau begitu, harus kau yang memiliki pedang ini."

Tiong Kiat menerima pedang itu dan tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada Oei Sun sambil mengharapkan keputusan tentang kakaknya.

"Saudara Sim, biarpun kakakmu sudah melakukan pelanggaran dan dengan mengacau di depan benteng berarti ia telah menghina aku dan pasukanku, akan tetapi kalau saja dia suka membantu kita dan berbakti kepada negara, tentu dengan sukahati aku akan membebaskannya dari segala hukuman."

Tiong Kiat berpikir sejenak dan berserilah mukanya. Mengapa tidak? Kalau Tiong Han dapat mengikuti jejaknya, menjadi seorang perwira, tentu hubungan mereka menjadi baik kembali dan ia tak usah takut menghadapi pembalasan dari fihak Kun lun pai atau musuh-musuh yang lain. Ia lalu menghampiri kakaknya dan cepat membebaskan totokan yang dilakukan oleh Thian It Tosu tadi. Tiong Han menggeliat dan setelah jalan darahnya pulih kembali, ia lalu melompat bangun, Tiong Kiat segera memeluknya.

"Han-ko, dengarkah kau tadi? Oei ciangkun yang bijaksana dan budiman ini tidak saja suka mengampuni kesalahanmu, bahkan ia bersedia mengangkatmu menjadi seorang perwira seperti aku. Han-ko, marilah kita lupakan yang sudah-sudah dan kita bersama membuka hidup baru di sini mengikuti jejak mendiang ayah kita!”

Tiong Han memandang kepada Oei Sun dan kepada lima orang pendeta yang merobohkan dia tadi. la mencoba tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.

"Tak kusangka bahwa di dalam benteng terdapat pendeta yarg lihai dan tak pernah kukira pula bahwa orang-orang pemerintah suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Sebuah tugas dari suhu yang diserahkan kepadaku saja sampai hari ini aku tak dapat memenuhinya, bagaimana aku dapat menerima tugas lain dari pemerintah? Tidak, Tiong Kiat jangan kau mencoba membujukku. Kalau kau suka ikut dengan aku ke Liong-san, mungkin kelak aku akan kembali ke sini untuk menghaturkan terima kasih kepada kawan-kawanmu ini, dan mungkin pula aku akan menggantikan kau mengabdi kepada negara!"

"Benar-benar keras kepala, Ngo wi totiang, tangkap saja dia, akan kuberi hukuman yang layak!" kata Oei Sun.

Go-bi Ngo-koai tung bergerak, akan tetapi Tiong Kiat melompat dan mencegah mereka.

"Jangan…! Oei ciangkun, jangan tahan dan hukum dia! Harap kau memandang mukaku!"

Oei Sun mengangkat pundaknya, "Kau terlalu lemah, Sim ciangkun. Biarlah memandang mukamu, aku maafkan dia. Akan tetapi pedangnya harus dirampas, jangan kau kembalikan kepadanya. Orang keras kepala seperti ini berbahaya sekali membawa pedang pusaka. Nah suruhlah dia pergi dari sini!"

Tiong Kiat memandang kepada kakaknya dan tak sampai hatinya untuk mengusirnya. Ia merasa kasihan sekali, akan tetapi yang dikasihani memandang tajam dan keras.

"Baik Tiong Kiat, kali ini aku mengaku kalah dan gagal. Akan tetapi, sekali aku telah bersumpah, aku tetap akan melanjutkan usahaku dan tugasku ini. Pasti akan datang saatnya aku membawamu kembali ke Liong san menghadap suhu!" setelah berkata demikian, Tiong Han memutar tubuhnya dan berlari pergi.

Malu, sedih, dan kecewa rasa hati Tiong Han setelah ia meninggalkan benteng panglima Oei. la telah gagal menangkap Tiong Kiat, bahkan pedang Ang coa kiam telah dirampas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaikan seorang yang kehilangan semangat ia berjalan masuk keluar hutan, lupa lelah lupa lapar dan lupa tidur. Berhari-hari ia berjalan tak tentu tujuan. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu pedang, sekarang Tiong Kiat sudah lebih pandai dari padanya. Untuk menghadapi Tiong Kiat seorang diri saja, sudah merupakan hal yang amat berat dan belum tentu ia akan dapat menangkan adiknya.

Apalagi sekarang keadaan Tiong Kiat amat kuat. Selain telah menjadi seorang perwira yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak boleh diserang oleh orang biasa, juga disamping itu masih ada lagi orang-orang pandai seperti lima orang pendeta itu di dalam benteng yang selalu akan membantu Tiong Kiat. Bagaimana ia akan dapat menunaikan tugasnya? Bagaimana ia akan bisa menangkan Tiong Kiat?

Tiong Han benar-benar merasa bingung dan serba salah. Kalau ia nekad menyerbu lagi untuk menghadapi Tiong Kiat akan merupakan usaha yang sia-sia belaka, bahkan ia akan mendapat malu lagi. Untuk kembali kepada suhunya, ia tidak berani. Ketika ia sedang berjalan dengan tubuh terasa lemas dan pikiran melayang jauh, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Bangsat muda, bagus sekali kau datang mengantarkan nyawa!”

Tiong Han terkejut sekali dan cepat mengangkat muka. Ternyata dihadapannya telah berdiri seorang nenek tua yang memandangnya dengan mata merah sekali. Nenek ini rambutnya telah putih, digelung ke belakang dan mukanya kelihatan galak sekali, apa lagi sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi itu. Pakaiannya seperti pakaian pertapa dari kain putih yang kasar. Nenek ini berdiri dan memegang sebatang tongkat yang bengkak-bengkok dan kepalanya berbentuk aneh seperti kepala naga.

Tiong Han tidak mengenal nenek ini, akan tetapi melihat sikap dan pandang mata nenek yang luar biasa itu, ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan seorang yang pandai. Cepat pemuda ini lalu mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil berkata,

"Maafkan teecu kalau teecu tidak tahu dengan siapakah teecu berhadapan? Dan kesaIahan apa pulakah yang teecu lakukan sehingga membikin marah kepada suthay?”

Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang ramah ini, nenek itu menjadi makin marah. "Bangsat bermulut manis! Dengan wajahmu yang tampan dan mulutmu yang manis itu agaknya kau telah menipu dan membujuk banyak wanita! Kedosaanmu telah bertumpuk-tumpuk, dan manusia macam kau ini amat berbahaya! Tidak saja kau telah melempari nama perguruanmu dengan kotoran, bahkan kau juga membawa-bawa nama pemilik pedang Hui liong kiam yang telah kaucemarkan! Hayo kaukeluarkan Hui liong kiam dan kaukembalikan kepadaku!"

"Suthai… maaf... teecu tidak membawa Hui-liong kiam… sudah teecu berikan…"

Tiong Han berkata gagap dan ia menjadi bingung sekali. Tak dapat ia menceritakan bahwa Hui-liong kiam telah ia berikan kepada Tiong Kiat, dan iapun dapat menduga bahwa kembali nenek ini salah lihat disangkanya ia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi anehnya, mengapa nenek ini tahu bahwa dia telah menerima pedang Hui liong kiam yang sudah lama diberikannya kepada Tiong Kiat? Siapakah nenek ini? Tiba-tiba teringatlah ia dan mukanya menjadi berseri.

"Ah, pernah Lui piauwsu bercerita tentang dia…" pikirnya, kemudian ia menjura lagi sambil berkata. "Apakah teecu bukannya berhadapan dengan Pat jiu Toanio Li Bie Hong yang ternama?"

Tiba-tiba nenek itu tertawa dan suara ketawanya merdu dan nyaring seperti suara ketawa seorang gadis muda. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata dengan suara bentakan marah sekali.

"Orang jahat, jangan coba berpura-pura. Dulu aku masih memberi ampun kepadamu akan tetapi sekarang jangan harap lagi!" Dan sebelum Tiong Han dapat berjaga diri tahu-tahu tongkat yang panjang itu melayang dan menyambar ke arah kepalanya!

Tiong Han terkejut sekali. Sambaran tongkat itu biarpun masih jauh telah mendatangkan angin pukulan yang hebat sekali. Maklumlah dia bahwa sekali saja kepalanya terkena pukulan tongkat ini, nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia cepat membuang diri kebelakang dan kemudian melompat menjauhkan diri. Akan tetapi ternyata bahwa Pat jiu Toanio telah berada dihadapannya tanpa ia ketahui kapan bergeraknya. Sekali lagi tongkat nyonya tua itu bergerak, kini menotok ke arah dadanya.

Tiong Han benar-benar merasa bingung, ia tidak mempunyai pedang lagi. Sedangkan seandainya Ang-coa kiam berada di tangannya juga tak mungkin ia dapat menangkan nenek yang gerakan tongkatnya luar biasa sekali ini, apalagi kini ia bertangan kosong. Menghadapi serangan tongkat kedua ini kembali ia mengelak ke kiri akan tetapi sungguh tak disangka sama sekali karena tongkat itu tiba-tiba diputar dan kini yang berbentuk kepala naga itu menyerangnya dengan kecepatan yang tak dapat diduga.

Sebelum Tiong Han dapat mengelak, tongkat itu telah mengenai bajunya. Akan tetapi Tiong Han bukanlah seorang pemuda yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja. la telah digembleng hebat oleh Lui Thian Sianjin. Cepat ia mengumpulkan tenaga Iweekangnya ke arah paha kanannya yang disambar tongkat sambil membarengi menggunakan kedua tangan menyampok tongkat itu.

Ketika tongkat itu mengenai paha, tongkat itu membal kembali karena paha Tiong Han telah menjadi keras dan kuat seperti karet dan dibantu oleh sampokannya, tongkat itu terpental.

"Bagus, kepandaianmu tidak jelek, sayang watakmu kotor sekali!" Setelah berkata demikian Pat jiu toanio lalu memutar tongkatnya dengan cepat sekali.

Berkali-kali Tiong Han minta agar supaya nenek itu suka mendengarkan bicaranya akan tetapi semua kata-katanya tidak diperdulikan, bahkan didengarpun tidak oleh nenek yang sudah marah ini. Pat jiu toanio memang mempunyai watak keras dan aneh dan penjahat-penjahat ia tidak mengenal ampun. Apalagi terhadap penjahat muda yang disangkanya Sim Tiong Kiat ini. Ia sengaja mencari-cari Tiong Kiat untuk diberi hukuman.....

























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12