Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 03
Lo Beng Tat
mengejar lagi dan melanjutkan serangannya bertubi-tubi. Ouw Tang Sin menjadi
makin bingung. Untuk mencegah mertuanya, ia tidak berani, akan tetapi kalau
dilanjutkan pertempuran itu, berarti fihaknya telah ada perpecahan, dan
bagaimana nanti kalau musuh-musuh yang ditakutinya itu datang mengganggu?
Juga Ting
Kwan Ek, Kim Bwe, dan semua orang yang keluar tak berani turun tangan mencegah
pertempuran itu. Ting piauwsu hanya memandang dengan muka pucat dan diam-diam
ia amat benci kepada Lo Houw yang dianggap menjadi gara-gara dan biang keladi
semua ini.
Setelah
menghadapi sepasang golok besar Lo Beng Tat sampai dua puluh jurus lamanya, Eng
Eng harus mengakui bahwa ilmu golok orang tua ini benar-benar berbahaya. Ia
lalu berseru keras dan sinar merah berkelebat ketika ia mengeluarkan pedangnya,
Ting Kwan Ek sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang gadis itu, maka ia segera
berseru,
“Suma
lihiap, harap kau jangan menurunkan tangan kejam!”
Akan tetapi
sambil menggerakkan pedangnya yang luar biasa, Eng Eng menjawab sambit
tersenyum mengejek, “Ting twako, apa kau kira monyet tua ini tidak akan melukai
aku dengan goloknya, kalau ia mampu melakukan hal itu?” Sambil berkata
demikian, Eng Eng lalu membalas dengan pedangnya yang luar biasa gerakannya.
Sejak tadi,
Lo Beng Tat sudah merasa terheran-heran dan kaget sekali. Belum pernah ia
menyaksikan ilmu silat seperti yang dimainkan oleh gadis itu ketika menghadapi
sepasang goloknya. Ia terkenal memiliki ilmu golok yang ganas sekali, akan
tetapi gadis itu, dengan tangan kosong dapat menghadapi sepasang goloknya,
dengan gerakan tubuh yang aneh, kadang-kadang terhuyung-huyung seperti orang
mau jatuh, kadang seperti menari-nari.
Namun
goloknya tetap saja dapat dielakkan dengan amat cepat dan tak terduga-duga. Kini
melihat gadis itu memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerah-merahan dan
yang gerakannya amat luar biasa makin terkejut. Ia mencoba untuk menangkis
dengan golok kiri dan membalas menyerang dengan golok kanan, akan tetapi ketika
pedang itu membentur golok kirinya pedang itu melesat ke samping dan mendahului
golok kanannya, menyambar ke arah lengan tangan kanannya!
Ia cepat
melompat mundur sambil menarik tangan kanannya dengan muka pucat. Hampir saja
tangan kanannya menjadi korban dalam gebrakan pertama setelah gadis itu
memegang pedangnya. Eng Eng tidak mau memberi hati kepada lawannya dan terus
maju menyerang sehingga sebentar saja Lo Beng Tat terdesak hebat, memutar dua
batang goloknya untuk melindungi tubuhnya, sambil menggerakkan kedua kakinya mundur
teratur.
Bukan main
gelisahnya Ting Kwan Ek melihat hal ini. Kalau sampai orang itu terluka, tentu
hal ini akan menjadi semakin hebat dan besar sekali kemungkinannya bahwa dia
akan terlibat dan akan bertentangan dengan keluarga suhengnya! Ia lalu membisiki
telinga isterinya dan terdengarlah kemudian nyonya Ting berseru,
“Adik Eng,
dengarlah omonganku, pandanglah mukaku, jangan kau membunuh atau melukai
orang!”
Suara nyonya
Ting ini terdengar mengharukan dan mengandung isak tangis sehingga pengaruhnya
jauh lebih besar bagi Eng Eng dari pada ucapan Ting piauwsu tadi. Memang kepada
nyonya ini Eng Eng amat menyayang dan menghormatinya, maka begitu mendengar
seruan ini, ia memutar otaknya dan berpikir mengapa nyonya Ting melarangnya
membunuh atau melukai orang yang dianggapnya jahat ini.
Pengetahuannya
yang amat dangkal tentang hubungan kekeluargaan dan sebagainya, membuat ia
tidak mengerti mengapa nyonya Ting seakan-akan membela orang tua ini, Akan
tetapi, untuk melanggar larangan ini, ia tidak tega, karena dari suara nyonya
itu, ia maklum bahwa nyonya Ting sedang berada dalam keadaan yang amat Cemas
dan berduka karena pertempuran ini.
“Baiklah
cici, aku hanya akan memperlihatkan bahwa adikmu tidak boleh dibuat permainan!”
Ia lalu
menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi dan terdengarlah suara keras dibarengi
pekik Lo Beng Tat. Sebuah goloknya yang kanan, terlepas dari pegangan dan
terlempar ke udara! Sebelum ia tahu bagaimana lawannya dapat melakukan hal ini,
tangan kiri Eng Eng sudah bergerak, didahului oleh tusukan pedangnya yang cepat
sekali hendak menancap ke ulu hati lawan!
Tentu saja
bagi Lo Beng Tat gerakan pedang yang mengancam ulu hatinya itu lebih penting
untuk diperhatikan karena lebih berbahaya, maka cepat la mengelak ke kanan
untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tidak tahunya bahwa serangan
pedang ini hanya pancingan belaka, karena Eng Eng lebih mengutamakan tangan
kirinya yang dengan tepat telah menotok urat nadi tangan kiri Lo Beng Tat yang
memegang golok.
“Aduh!”
Kepala rampok itu berseru kesakitan dan sebentar saja golok kirinya telah
pindah tangan!
Eng Eng
menghentikan gerakannya dan kini sambil menimang-nimang golok besar di tangan
kirinya, ia tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.
“Kalau tidak
memandang muka ciciku yang baik, bukan hanya golok yang kurampas, melainkan
kepala orang!” katanya sambil tersenyum manis.
Lo Beng Tat
hanya berdiri melongo saking heran dan terkejut, kemudian ia sadar dan
menudingkan golok kanannya ke arah Eng Eng.
“Kau benar
seorang yang tidak kenal budi, seorang perempuan liar yang baru keluar dari
hutan dan tidak tahu aturan! Berbulan- bulan kau tinggal di rumah kami, makan
nasi kami, mendapat perlakuan yang baik dan manis budi! Sekarang bahkan kami
mempunyai pikiran untuk menarik kau sebagai seorang anggota keluarga, akan
tetapi apakah balasanmu? Kau menghina ayahku, dan mencaci maki adikku, sungguh,
hari ini aku harus mengadu jiwa dengan kau, perempuan liar!”
Sambil
berkata demikian, Lo Kim Bwe menggerakkan sepasang goloknya dan menyerang Eng
Eng dengan kalang kabut! Terdengar Ouw Tang Sin, Ting Kwan Ek, dan nyonya Ting
berseru membujuk, akan tetapi Lo Kim Bwe tidak perdulikan semua itu dan terus
menyerang dengan hebatnya.
“Jangan
takut, enci Bwe, aku membantumu!” seru Lo Houw yang sudah mengeluarkan
ruyungnya dan menyerang Eng Eng pula dengan gerakan yang berat dan kuat sekali.
“Celaka!”
Ting Kwan Ek berseru bingung. “Bagaimana baiknya sekarang?”
Ouw Tang Sin
juga menjadi bingung dan serba salah, akan tetapi ia hanya mengangkat pundak
karena tidak berdaya.
“Eng Eng,
sekali lagi, kuharap kau tidak melukai mereka!” Nyonya Ting berseru kembali.
Akan tetapi
kini kemarahan Eng Eng sudah banyak mereda setelah ia berhasil mengalahkan Lo
Beng Tat. Sambil tersenyum-senyum ia menyambut serangan kedua saudara Lo itu
dengan senjata golok yang tadi dirampasnya dari Lo Beng Tat. Golok itu masih
dipegang di tangan kiri dan ternyata bahwa gerakan tangan kirinya memainkan
golok itupun amat mengagumkan!
Terbelalak
mata Lo Beng Tat yang terkenal sebagai ahli golok ketika ia menyaksikan betapa
dengan golok di tangan kiri, Eng Eng menjawab seruan nyonya Ting tadi dan kini
ia memutar goloknya demikian rupa sehingga tubuhnya lenyap di tengah gulungan
sinar putih dari golok itu. Baik Kim Bwe maupun Lo Houw tak dapat melihat
bayangan Eng Eng dan yang mereka lihat hanyalah bayangan sinar putih dari golok
itu yang menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa dan
menimbulkan hawa dingin!
Baru saja
bertempur tiga puluh jurus lebih sepasang golok di tangan Kim Bwe telah
terpental jauh dan nyonya muda yang genit ini terpaksa melompat mundur.
“Mengapa kau
diam saja? Apakah kau tidak mau membantu isterimu?” bentaknya dengan mulut
cemberut dan mata berapi kepada suaminya.
Ouw Tang Sin
menjadi bingung dan serba salah. Tidak membantu, bagaimana? Yang bertempur
melawan Eng Eng adalah isteri dan iparnya, akan tetapi kalau membantu, ia sudah
merasa jerih terhadap kelihaian Eng Eng!
“Ha, agaknya
kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu, bukan?” Kim Bwe mendesak marah.
Terpaksa Ouw
Tang Sin mencabut senjatanya, akan tetapi Ting Kwan Ek mencegah. “Jangan,
suheng, apakah kau hendak membikin keadaan menjadi makin kusut?”
Ouw Tang Sin
makin menjadi ragu-ragu dan pada saat itu, terdengar jeritan ngeri dari Lo Houw
karena ujung golok Eng Eng telah menggurat mukanya sehingga mukanya berlumuran
darah dari jidat sampai ke dagu! Eng Eng sengaja memberi hajaran hebat kepada
pemuda muka hitam itu. Memang ia hanya menggaris saja sehingga kulit muka
pemuda Itu pecah dan biarpun ia tidak menderita luka hebat, namun terpaksa
wajahnya akan bercacad dengan goresan dari atas ke bawah untuk selamanya! Lo
Houw melempar ruyungnya dan mendekap mukanya dengan kedua tangannya. Darah
mengalir melalui celah-celah jarinya.
“Bangsat
perempuan keji!” Kim Bwe berteriak dan ia melompat maju hendak menyerang Eng
Eng dengan mati matian
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak yang amat mengerikan.
Sebatang piauw yang merupakan kilat hitam menyambar ke arah dada Kim Bwe!
Tiba-tiba
Eng Eng berseru keras dan nona perkasa ini menubruk maju menangkap tangan Kim
Bwe dan menariknya kuat kuat sehingga nyonya muda itu terseret jatuh dan piauw
yang menyambarnya itu lewat sambil mengeluarkan bunyi melengking lalu menancap
pada tiang pintu, bergoyang-goyang mengerikan!
Eng Eng
melepaskan tangan Kim Bwe dan tubuhnya melesat ke arah dari mana datangnya
piauw (senjata rahasia vang disambitkan) tadi. Orang-orang hanya melihat
bayangannya saja berkelebat keluar dan sebentar kemudian lenyaplah gadis itu!
Ting Kwan Ek
dan Ouw Tang Sin cepat mengejar dan tak lama kemudian mereka melihat Eng Eng
yang masih memegang golok bertempur melawan seorang laki-laki berusia kurang
lebih empat puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah dan indah gerakannya.
Laki-laki ini amat gesitnya, dan senjatanya adalah sepasang tombak yang ada
Kaitannya. Melihat laki-laki ini Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin menjadi pucat.
“Ban Hwa
Yong!” mereka berseru dengan suara tertahan.
Memang
laki-laki itu adalah Ban Hwa Yong saudara termuda dan Thian-te Sam-kui. Ketika
Ban Hwa Yong mendengar seruan ini dan melihat bahwa yang datang adalah Ouw
piauwsu dan Ting piauwsu, ia tertawa bergelak, menyerang Eng Eng dengan cepat
dan hebat sehingga terpaksa Eng Eng melompat mundur. Ban Hwa Yong menggerakkan
tubuhnya melompat pergi sambil berkata,
“Ha ha ha!
Jiwi-piauwsu dari Pek-eng Piauwkiok! Bagus sekali, kulihat di sini terdapat dua
bunga indah yang kalian harus persembahkan kepadaku pada hari besok!” Setelah
berkata demikian, lalu lompat pergi.
“Bangsat
pengecut!” Eng Eng bergerak mengejar, akan tetapi dari arah Ban Hwa Yong
meluncurlah tiga batang piauw hitam.
Memang Ban
Hwa Yong telah terkenal akan keahliannya melepaskan berbagai macam senjata
rahasia dan lemparannya dengan tiga batang piauw ini tidak boleh dipandang
ringan. Tidak saja ia memiliki kepandaian menyambit piauw yang disebut ilmu
melepas piauw 'seratus kali lepas seratus kali mengenai sasaran', juga piauw
itu telah direndam dalam racun yang amat berbahaya. Sambitannya juga cepat
sekali datangnya, begitu cepat sehingga sukar sekali untuk dikelit.
Akan tetapi
Eng Eng bukan murid Hek Sin-mo yang luar biasa ilmu kepandaiannya dan
ginkangnya kalau ia dapat dijadikan korban oleh hanya sambaran tiga batang
piauw itu. Piauw itu menyambar ke arah tiga tempat. Yang pertama menyambar ke
arah ulu hatinya dengan kecepatan luar biasa, piauw kedua menyambar ke arah
sisi kanannya setinggi kepalanya, adapun piauw ketiga menyambar ke arah sisi
kirinya setinggi pahanya.
Inilah
sambitan piauw yang disebut 'mengurung harimau menutup pintu guanya'. Dengan
cara serangan piauw seperti ini seakan-akan jalan keluar bagi yang diserang
telah tertutup sama sekali. Mengelak ke kiri akan terserang oleh piauw ke tiga.
Mengelak ke kanan akan diserang oleh piauw ke dua!
Adapun Eng
Eng yang menghadapi serangan ini, tetap saja tenang sekali. Sambil tersenyum
mengejek, ia menggerakkan goloknya, menyampok piauw yang meluncur ke arah ulu
hatinya, tangan kanan yang tidak bersenjata diulurkannya ke atas, menangkap
piauw yang terbang di sebelah kanannya lalu langsung disambitkan ke depan
kembali, sedangkan kaki kirinya dengan gerakan istimewa sekali menendang ke
arah piauw vang melayang sebelah kirinya, mengirim kembali piauw itu ke depan!
Berbareng
dengan tiga gerakan ini, yakni gerakan kedua tangan dan kaki kiri, tiga batang
piauw itu dapat balikkan kembali ke arah penyerangnya! Ban Hwa Yong terkejut
sekali melihat kelihaian Eng Eng ini. dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu
membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu!
Eng Eng
melompat mengejarnya akan tetapi ternyata Ban Hwa Yong telah menghilang di
balik rumah-rumah orang! Ting Kwan Ek mengejar Eng Eng dau setelah menjura ia
berkata,
“Suma
lihiap, amat besarlah budimu yang telah kau limpahkan kepada kami sekeluarga
dari Pek-eng Piauwkiok. Sungguh aku merasa menyesal sekali atas kejadian di
rumah tadi, dan harap kau sudi kiranya memberi ampun kepada mereka dan suka
kembali ke rumah kami.”
Akan tetapi
Eng Eng menggelengkan kepala, melemparkan goloknya yang dirampasnya dari Lo
Beng Tat ke atas tanah dan menjawab,
“Tidak
Ting-twako. Aku tidak sudi kembali ke rumah kotor itu! Sampaikan salamku kepada
cici!” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berjalan pergi.
“Lihiap,
pakaianmu masih berada di kamarmu.” kata Ting Kwan Ek dengan gelisah dan
bingung.
“Biarlah,
lain kali kuambil” jawab gadis itu yang segera berlari pergi. Ting-piauwsu
tidak berdaya, hanya berdiri tunduk dengan kecewa sekali.
Ouw Tang Sin
menghampiri sutenya dan sambil memegang lengan sutenya, ia berkata. “Sute, kau
maafkanlah aku banyak-banyak. Aku benar-benar merasa menyesal sekali, akan
tetapi apakah yang dapat kita lakukan?”
Kedua orang
ini lalu kembali ke rumah mereka dan mereka disambut oleh semua orang dengan
gelisah. Ternyata bahwa piauw yang disambitkan oleh Ban Hwa Yong ke arah Kim
Bwe itu diberi sehelai kertas yang berisi ancaman mengerikan seperti berikut,
Thian-te
Sam-kui takkan berhenti berusaha sebelum Pek-eng Piauwkiok musnah dan hancur
lebur beserta seluruh anggautanya! Tunggulah besok pagi-pagi sebelum terang!
Ting Kwan Ek
dan Ouw Tang Sin saling pandang dengan wajah pucat.
“Kaulah yang
mencari perkara!” Kata Ouw Tang Sin kepada isterinya yang sementara itu sedang
merawat luka di muka Lo Houw. Isterinya tidak menjawab hanya, cemberut saja
sambil melepas kerling membenci ke arah suaminya.
Ting Kwan
Ek, Ouw Tang Sin dan Lo Beng Tat lalu mengadakan perundingan. Mereka
mengumpulkan anggota-anggota mereka yang pada waktu itu hanya ada sepuluh orang
saja, karena yang lain sedang menjalankan tugas mengantar barang. Ketika
terjadi keributan tadi, para pembantu mereka itu hanya menonton saja tanpa
berani ikut turun tangan.
“Kita harus
mengadakan persiapan untuk menyambut mereka,” kata Lo Beng Tat.
Orang tua
ini untung juga bahwa kini terdapat alasan baginya untuk melupakan kekalahannya
terhadap Eng Eng. Dengan menghadapi ancaman Thian-te Sam-kui maka peristiwa
yang tadi terjadi memang tak perlu dipikirkan lagi dan semua pikiran harus
dahulukan kepada bahaya yang mengancam hebat.
“Sudah
terang bahwa Thian-te Sam-kui besok pagi-pagi hendak datang menyerbu, dan tak
usah kita menyombongkan diri, karena sesungguhnya kepandaian mereka masih lebih
tinggi dari pada kita. Kalau kita lawan begitu saja, biarpun kita berjumlah
lebih banyak, agaknya sedikit sekali harapan untuk menang.”
“Habis,
bagaimana baiknya, gakhu (ayah mertua)? Untuk memanggil bantuan sudah tidak ada
waktu lagi,” kata Ouw Tang Sin gelisah.
“Memang
tidak ada waktu,” menyambung Ting Kwan Ek dengan gemas dan menggigit bibir.
“Akan tetapi, betapapun juga kita harus menghadapi mereka dengan senjata
ditangan. Lebih baik mati seperti harimau dari pada disembelih seperti babi!”
Ucapan yang
bersemangat ini membangunkan keberanian semua orang, dan Lo Houw yang kini
sudah diobati lukanya, berkata, “Biarlah kita maju berbareng. Ada ayah, cihu,
Ting-piauwsu, aku sendiri dan enci Kim Bwe. Kita berlima dibantu oleh semua
saudara, para piauwsu yang jumlahnya sepuluh orang, masa kita tak dapat
mengusir mereka itu semua?”
Lo Beng Tat
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Takkan ada gunanya. Biarpun jumlah kita ada
lima belas orang, akan tetapi kalau kita maju secara keroyokan, belum tentu
kita akan dapat menang. Kita harus mempergunakan siasat!”
Sebagai
seorang kepala rampok, Lo Beng Tat tentu saja memiliki banyak akal dalam
menghadapi musuh-musuh tangguh. Ia lain mengajukan siasatnya yang didengar oleh
semua orang dengan penuh perhatian.
“He, kau
berempat!” Lo Beng Tat menunjuk kepada empat orang piauwsu yang duduknya paling
depan seperti memerintah kepada anak buahnya sendiri saja, karena kepala rampok
ini memang sudah biasa memerintah para perampok yang menjadi kaki tangannya.
“Kalian
keluarlah dan jaga baik-baik di luar, di atas genteng di empat penjuru. Siasat
yang hendak kita bicarakan tak boleh terdengar oleh orang lain, takut
kalau-kalau fihak musuh akan mencuri dengar!”
Empat orang
piauwsu itu mengerti maksud orang tua ini dan mereka lalu keluar.
“Nah, dengar
baik-baik. Besok pagi-pagi, tiga orang itu tentu akan datang bersama, dan kita
berlima yang mengerti ilmu silat boleh duduk menanti di ruang depan yang lebar
itu, Ting piauwsu, lebih baik kau suruh isteri, anak-anakmu. dan para pelayan
yang lemah lebih dulu menyingkir ke lain tempat agar tidak menimbulkan hal-hal
yang membutuhkan tenaga bantuan kita. Kemudian para piauwsu yang pandai melepas
anak panah atau senjata rahasia lain, bersembunyi merupakan baihok (barisan
pendam) mengurung ruangan itu. Apa bila ketiga orang iblis itu sudah datang dan
hendak turun tangan, aku akan memberi tanda dengan lambaian tangan dan para
piauwsu harus serentak menyerang dengan senjata rahasia. Nah dengan serangan
tiba-tiba itu, ditambah oleh serangan kita, mustahil kita takkan dapat
mengalahkan mereka.”
Diam-diam
Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin merasa malu dan tidak setuju dengan cara yang
curang dan pengecut ini, akan tetapi pada waktu yang amat terdesak dan
berbahaya, agaknya tidak ada lain jalan lagi yang lebih baik.
Semua orang
menyetujui siasat ini dan segera setiap orang piauwsu diharuskan mempersiapkan
diri. Kebetulan sekali pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan
ternyata rombongan piauwsu yang pergi ke Kanglam mengantar dan mengambil
barang-barang telah kembali. Akan tetapi, apakah yang terdapat dalam kendaraan
mereka? Bukan barang berharga, melainkan mayat tiga orang piauwsu!
Rombongan
ini berdiri dari lima orang piauwsu yang terpilih pandai dan mereka kembali
dari Kanglam membawa beberapa bal kain sutera yang mahal. Ketika rombongan ini
hendak memasuki kota Han-leng mereka dicegat oleh Thian te Sam-kui! Ketiga
iblis ini selain mencabut dan merobek-robek bendera Pek-eng Piauwkiok, juga
membunuh tiga orang piauwsu, merampas barang-barang dan setelah mengerat daun
telinga kedua piauwsu yang lainnya, mereka lalu menyuruh dua orang piauwsu itu
masuk ke dalam kota Hun-leng, membawa jenazah ketiga orang kawannya!
Sambil
merintih-rintih kedua orang piauwsu ini menuturkan pengalamannya kepada
Ting-piauwsu dan Ouw piauwsu yang menjadi marah dan sakit hati sekali. Sambil
mengepal tangan mereka berjanji hendak menghancurkan Thian-te Sam-kui pada esok
hari atau mereka siap untuk menerima kematian di tangan ketiga orang Iblis Bumi
Langit yang lihai itu!
Pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali di perusahaan Pek eng Piauwkiok itu semua orang telah
bersiap sedia. Di atas genteng, terpisah menjadi dua rombongan di kanan kirlr
telah siap dua belas orang piauwsu yang memegang anak panah, menjaga di atas
ruang depan itu. Lo Beng Tat dengan garangnya telah duduk di kursi tengah
sambil menaruh sepasang goloknya di atas meja, Lo Houw telah siap pula dengan
sepasang ruyung di tangan. Lo Kim Bwe juga duduk di situ dengan sepasang
goloknya pula. Adapun Ouw piauwsu dan Ting piauwsu dengan wajah tegang juga
telah berkumpul di situ dengan senjata di tangan.
Keadaan
sunyi sekali, karena hari masih amat pagi. Yang terdengar hanya kokok ayam
jantan dan kicau burung-burung pagi. Semua berdiam diri, tidak berani
mengeluarkan suara, dan memasang telinga dengan penuh perhatian, menanti
datangnya ketiga iblis yang menakutkan itu. Untuk lebih memperkuat penjagaan
mereka Ting piauwsu telah melepaskan tiga ekor anjing peliharaan di luar
pekarangan depan. Semua orang merasa gelisah dan boleh dibilang hampir semalam
penuh tak seorangpun dapat meramkan mata.
Tiba-tiba
terdengar anjing-anjing penjaga yang menggonggong keras dan riuh, akan tetapi
dengan mendadak pula suara mereka lenyap seakan-akan leher ketiga anjing itu
dicekik oleh tangan yang kuat! Keadaan menjadi sunyi kembali dan semua orang
yang bersiap di ruang depan itu, makin gelisah dan memandang keluar dengan hati
berdebar. Lo Beng Tat, jago tua itu kini telah mengambil golok yang ditaruh di
atas meja, dipegangnya dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba
dari luar menyambar tiga bayangan hitam dan bayangan-bayangan ini langsung
menubruk ke arah Lo Beng Tat, Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek! Ketiga orang ini
terkejut sekali. Lo Beng Tat mengayun goloknya membacok, demikian Ouw Tang Sin
dan Ting Kwan Ek membacok ke arah bayangan yang menyambar ke arah mereka.
“Crap! Crap!
Crap!”
Darah
muncrat membasahi lantai dibarengi oleh jatuhnya tiga bayangan yang menyerang
itu, ketika golok ketiga orang ini mengenai sasarannya. Mereka semua memandang dan
hampir saja Ting Kwan Ek mengeluarkan seruan keras saking kagetnya ketika
melihat bahwa tiga bayangan yang menubruk tadi bukan lain adalah tiga ekor
anjingnya yang tadinya menjaga di luar dan yang tadi masih terdengar
gonggongannya. Kini tiga ekor anjing itu telah menggeletak di atas lantai
dengan tubuh hampir terbelah dua dan darahnya membanjir di tempat itu!
Ting Kwan Ek
dan Ouw.Tang Sin cepat menyeret bangkai ketiga anjing itu dan melemparkannya
keluar ruangan. Pada saat ituv terdengarlah suara ketawa bergelak dari luar dan
muncullah seorang hwesio yang gemuk dan bundar.
“Ha ha ha!
Para piauwsu dari Pek-eng Piauwkiok! Kalian semua hanyalah anjing-anjing kaki
dua yang pengecut dan nasib kalian takkan jauh bedanya dengan tiga ekor anjing
kaki empat itu, Ha ha ha!”
Dengan
tenang dan enaknya, hwesio gendut itu memasuki pekarangan depan lalu berjalan
melenggang ke ruang depan menghampiri tuan rumah yang sudah siap dan berdiri
dengan senjata di tangan itu.
“Hm, yang
datang bukankah Ban Im Hosiang ketua dari Thiau-te Sam-kui?" Tanya Lo Beng
Tat sambil menenangkan hatinya yang berdebar. "Harap kau suka memandang
mukaku, kalau mantuku Ouw Tang Sin telah melakukan pelanggaran, aku sanggup
mintakan maaf!"
Hwesio itu
tertawa lagi bergelak-gelak, "Lo Beng Tat, kau seorang kepala rampok telah
menyerahkan anakmu kepada seorang piauwsu, hal ini sudah amat ganjil dan
menunjukan bahwa kau bukan seorang yang dapat dipercaya! Mana ada harimau yang
mengawinkan anaknya pada seekor ular yang menjadi musuhnya? Aku tidak mau
memandang muka seorang yang tak berharga seperti kau! Pula Pek-eng Piauw-kiok
telah menghina Thian-te Sam-kui, maka hari ini harus hancur dan musnah!"
"Hwesio
keparat!" Lo Beng Tat yang berwatak kasar itu memaki marah. "Siapa
takut padamu? Kau telah memilih jalan Kematianmu."
Sambil
berkata demikian Lo Beng Tat memberi tanda dengan tangan kanan dengan
mengacungkan goloknya itu kepada Ban Im Hosiang. Pada saat itu terdengarlah
bunyi,
"Serr!
Serr!!" susul menyusul dari atas genteng karena enam orang di sebelah kiri
dan enam orang di sebelah kanan telah melepaskan anak panah ke arah tubuh yang
gendut dari Ban Im Hosiang itu.
Hwesio ini
terkejut juga, akan tetapi benar-benar mengagumkan gerakannya yang amat tenang
dan cepat. Biarpun tubuhnya dan sudah terancam oleh belasan batang anak panah
itu, ia masih berlaku sigap sekali. Dengan seruan keras ia mengenjot kakinya
dan tubuhnya mumbul bagaikan sebuah balon karet tertiup angin, kemudian ia
menarik kedua kakinya ke atas sehingga lututnya menempel pada perutnya dan
kedua tangannya yang tertutup oleh lengan baju yang lebar dan panjang
digerakkan sedemikian rupa sehingga dua potong lebihan kain itu merupakan
segulung sinar putih yang melindungi seluruh tubuhnya.
Lo Beng Tat
dan yang lain lain melihat dengan mata terbelalak betapa semua anak panah itu
runtuh ke atas lantai ketika terkena sambatan gulungan sinar itu. Lo Beng Tat
terkejut cekali dan dengan hati kecut ia melihat hwesio iiu telah turun kembali
sambil tertawa bergelak-gelak.
"Ha ha
ha! Lo Beng Tat, perampok rendah, Kau tidak malu mempergunakan akal
pengecut"
"Hujani
anak panah..." teriak Lo Beng Tat ke atas, akan tetapi tidak ada anak
panah lagi yang melayang turun, sebaliknya mereka lalu mendengar ribut-ribut di
atas genteng.
Tak lama
kemudian, nampak tubuh orang dilemparkan dari atas dan ketika tubuh orang-orang
itu jatuh berdebuk di atas lantai, ternyata bahwa mereka ini adalah para
piauwsu yang tadi membokong dan atas, dalam keadaan tidak bernyawa pula! Dua
belas orang piauwsu itu semuanya telah ditewaskan dan kini mayat mereka
bertumpuk-tumpuk di depan Lo Beng Tat!
Bukan main
kagetnya semua orang menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini dan ketika
terdengar suara tertawa mengejek dari atas, maka nampaklah berkelebat bayangan
Ban Hwa Yong melompat dari atas genteng sebelah kiri dan bayangan Ban Yang
Tojin dari genteng sebelah kanan. Ternyata bahwa kedua orang inilah yang telah
menewaskan para piauwsu tadi.
Kini
Thian-te Sam-kui ketiga iblis itu, lengkap ketiga tiganya telah hadir di situ!
Ban Yang Tojin dengan senjatanya tombak berujung bintang di tangan, sedangkan
Ban Hwa Yong dengan sepasang senjatanya yang melengkung ujungnya seperti
kaitan. Bahkan Ban Im Hosiang sambil tertawa besar juga sudah mengeluarkan
senjatanya yang hebat, yakni sebatang pedang perak yang berkilau saking
tajamnya.
Merasa bahwa
tidak ada gunanya untuk bercakap pula dengan tiga orang musuh yang datang
dengan nafsu memburuh ini. Ting piauwsu lalu bersetu keras dan melompat maju,
menyerang dengan goloknya. Juga Ouw piauwsu, Lu Kim Bwe, Lo Houw, dan Lo Beng
Tat cepat pula maju mengeroyok tiga orang lawan itu.
"Suheng,
jangan dirusak bunga indah ini!"
Ban Hwa Yong
tertawa berkata kepada kedua suhengnya, kemudian manusia cabul ini lalu
menubruk maju menghadapi Lo Kim Bwe yang menyerangnya dengan sepasang goloknya.
Sekali saja Ban Hwa Yong menangkis dengan sepasang senjatanya, kedua golok itu
terlempar dari tangan Kim Bwe dan sebelum nyonya muda cantik ini sempat
mengelak, Ban Hwa Yong telah mengulur tangan kirinya menangkapnya!
Kim Bwe
hendak melawan akan tetapi dengan gerakan yang cepat, Ban Hwa Yong sudah
menotok pundak nyonya ini sehingga tubuh Kim Bwe menjadi lemas tidak berdaya
lagi. Sambil tertawa bergolak Ban Hwa Yong lalu mengalihkan senjata di tangan
kanan semua dan menggunakan tangan kirinya untuk memeluk tubuh nyonya itu dan
mengempitnya dengan cara yang kurang ajar sekali.
"Bangsat
rendah lepaskan isteriku..." Ouw Tang Sio maju menyerangnya dengan golok
yang dimainkan secara hebat sekali.
Melihat
gerakan ini, Ban Hwa Yong maklum bahwa ilmu golok Ouw piauwsu tak boleh dibuat
permainan, maka dengan tangan kanan ia menangkis keras. Biarpun Ouw-piauwsu
merasa betapa tangannya sampai tergetar karena tangkisan itu, namun ia masih
dapat mempertahankan goloknya dan tidak sampai terlepas. Ia lalu menyerang lagi
dengan hebat. Ban Hwa Yong sedang mengempit tubuh Kim Bwe, maka tentu saja
gerakannya tidak leluasa lagi dan ia hanya dapat menggerakkan senjatanya
menangkis.
"Twa-suheng,
tolong bereskan dulu cacing ini“ serunya sambil tertawa dan ketika Ban lm
Hosiang menggerakkan pedangnya dari samping, Ouw Tang Sin cepat menangkis
pedang yang bersinar terang ini.
"Tranggg...!"
Golok di
tangan Ouw Tang Sin terlepas ke atas lantai, bukan golok itu saja, bahkan jaga
lengannya yang tadi memegang golok, telah terputus oleh pedang itu sebatas
sikunya, Ouw Tang Sio menjerit ngeri dan pada saat itu, Ban Hwa Yong
menyusulkan pula dengan serangan senjatanya dan terkaitlah perut Ouw-piauwsu
oleh senjata itu. Sekali Ban Hwa Yong menarik tangannya, robeklah perut
Ouw-piauwsu, tubuhnya roboh dan menggeletak dengan perut terbuka, tewas pada
saat Itu juga.
Sementara
itu, setelah menolong sutenya, Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin mengamuk hebat
dan tentu saja para lawannya yang berkepandaian jauh di bawah tingkat
kepandaian mereka itu bagaikan rumput kering menghadapi api. Sebentar saja Ting
Kwan Ek terguling mandi darah, demikian pula Lo Houw dan Lo Beng Tat. Belum
sampai dua puluh jurus, seluruh isi rumah dan pemimpin Pek-eng Piauwkiok telah
tewas semua, kecuali Kim Bwe yang masih dikempit oleh lengan kiri Ban Hwa Yong.
Tiga Iblis
Bumi Langit ini lalu melakukan perampokan, mengambil semua barang berharga,
bahkan lalu membunuh semua orang yang berada di dalam rumah itu! Celakalah
nyonya Ting dengan anak-anakya, karena nyonya ini biarpun telah dibujuk oleh
suaminya, tetap tidak mau meninggalkan rumah itu.
Ketika Ban
Hwa Yong melihat nyonya Ting, timbul pula pikiran jahatnya untuk menculik
nyonya yang muda dan manis Ini, akan tetapi nyonya Ting melakukan perlawanan
hebat sehingga ia lalu dibunuh berikut anak-anaknya yang masih kecil.
Benar-benar musnah dan hancur lebur Pek-eng Piauwkiok, cocok dengan ancaman
tiga orang Iblis jahat itu. Benar-benar mengerikan sekali! Tidak kurang dari
dua puluh orang melayang nyawanya di dalam tangan Thian tu Sam-koi!
Sambil
tertawa-tawa, rnembawa hasil rampokan dan menculik Kim Bwe, tiga orang manusia
yang berhati iblis itu meninggalkan rumah itu dan dengan cepatnya melarikan
diri keluar kota Hun - leng. Para tetangga yang mendengar teriakan - teriakan
dan pertempuran itu, cepat menyembunyikan diri dan biarpun keadaannya sudah
sunyi, mereka masih tidak berani keluar dari pintu.
***************
Belum lama
setelah ketiga orang iblis itu pergi, nampak bayangan yang ramping dan gesit
melompat memasuki pekarangan Pek-eng Piauwkiok. Bayangan ini adalah Eng Eng
yang hendak mengambil pakaiannya lebelum melanjutkan perjalanannya. Ia merasa
heran melihat keadaan yang amat sunyi di sekitar rumah itu, dan ketika ia
memasuki ruangan depan gadis ini berdiri terbelalak bagaikan patung. Ia melihat
tumpukan tubuh manusia yang sudah menjadi mayat dan darah memenuhi ruangan itu!
Ketika melpat
para piauwsu, Lo Beng Tat, Lo Houw, dan Ouw Tang Sin menggeletak menjadi mayat
hatinya tidak merasa apa paa, akan tetapi ketika ia melihat Ting Kwan Ek berada
di situ pula rebah mandi darah dengan tangan kanan masih memegang goloknya
bukan main kagetnya.
"Ting-twako...”
serunya dan cepat. Ia melompat ke dekat tuouh Ting piauwsu. Dilihatnya Ting
piauwsu membuka mata dan menggerak-gerakkan bibirnya.
"Ting-twako,
siapa yang melakukan perbuatan ini?" tanya Eng Eng sambil berjongkok di
dekat tubuh orang yang bernasib malang itu.
Ting Kwan Ek
masih dapat menggerakkan bibirnya dengan amat lemah, dan akhirnya dapat juga
bibir itu mengeluarkan kata kata yang perlahan sekail,
"Thian-te
Sam-kui!"
Setelah
berkata demikian agaknya ia telah mengerahkan tenaganya terlalu banyak untuk
menahan nyawanya, maka tiba-tiba ia menjadi lemas dan menghembuskan nafas yang
terakhir!
Mengalirlah
air mata dari kedua mata Eng Eng. Ia teringat kepada suhunya yang meninggal
dunia. Di dalam dunia ini, baginya hanya Ting Kwan Ek dan isterinya yang
dianggap sebagai manusia-manusia baik dan sayang kepadanya. Eng Eng mengambil
colok yang masih dipegang oleh tangan Ting Kwan Ek, lalu katanya penuh
kegemasan.
"Ting-twako,
aku akan membunuh tiga iblis itu dengan golokmu ini!"
Setelah
berkata demikian, ia lalu melompat ke dalam rumah dan melihat nyonya Ting
menggeletak di dekat anak-anaknya yang semuanya telah menjadi mayat. Eng Eng
menubruk mayat nyonya Ting dan menangis tersedu-sedu. Baru kali ini selama
hidupnya Eig Eng merasa amat sedih dan hancur hatinya. Kembali la berjanji
kepada nyonya Ting untuk membunuh tiga iblis jahat itu. Kemudian setelah
mengambil bungkusan pakaiannya, Eng Eng lalu melompat keluar dari rumah itu dan
berlari cepat sekali memasuki hutan.
Dia berlari
cepat sekali sehingga setelah mata hari naik tinggi, ia telah memasuki hutan ke
tiga di atas pegunungan yang indah pemandangannya. Dasar sudah menjadi nasib
orang kedua dari Thian-te Sam-kui, atau memang karena dosa-dosanya sudah
bertumpuk-tumpuk, maka orang kedua itu, yakni Ban Yang Tojin, telah memisahkan
diri dari kedua orang saudaranya dan berada di dalam hutan itu.
Demikianlah
ketika Ban Yang Tojin sedang berjalan di dalam hutan itu, hendak pergi ke kota
Tit-le di mana tinggal seorang sahabatnya tiba-tiba bayangan seorang yang
ramping tubuhnya tahu-tahu telah berkelebat dan telah berdiri di depannya!
Ban Yang
Tojin terkejut dan heran melihat seorang gadis cantik dan gagah sekali telah
berdiri di depannya dengan memegang sebatang golok besar. Tojin itu biarpun
tidak tergila-gila wanita seperti sutenya, Ban Hwa Yang akan tetapi melihat
dara muda yang cantik sekali ini mau tak mau ia memandang dengan mata
terbelalak kagum. Sebelum ia sempat bertanya, gadis itu telah mendahuluinya dan
bertanya dengan suaranya yang merdu dan nyaring sekali,
"Orang
tua, siapakah kau dan kenalkah kepada Thian-te Sam-kui?"
Ban Yang
Tojin tercengang, akan tetapi ia lalu tersenyum girang. Ia pikir bahwa gadis
ini tentulah telah mendengar dan mengagumi nama dia dan kedua saudaranya dan
kini mencari untuk minta menjadi murid. la lalu tertawa bergolak sambil
mendongakkan kepala ke atas, komudian la berkata,
"Nona,
kau mencari tiga orang gagah itu? Ha, ha, ha! Tidak jauh ! Aku adalah Bin Yang
Tojin, orang ke dua dari Thiante Sam-kui (Tiga iblis Bumi Langit)! Kau mencari
kami apakah hendak belajar ilmu ulat? Kebetulan sekali, nona, aku memang sedang
mencari murid yang cocok, dan agaknya kau lah yang patut menjadi muridku!"
Mendengar
suara tosu ini. Eng Eog memandang tajam dan teringatlah ia kini bahwa tosu ini
adalah tosu yang pernah bertempur dengan dia dan bahkan telah ia kalahkan
ketika ia membantu Ting Kwan Ek! Mendengar ucapan totu itu, diam-diam ia
menjadi geli, karena ternyata bahwa tosu ini tidak mengenalnya lagi. Dulu
ketika ia bertempur dengan Ban Yang Tojin, ia mengenakan pakaian seperti
seorang pemuda, dan tentu saja tosu itu tidak mengenalnya yang kini telah
berubah menjadi seorang gadis!
Akan tetapi,
berbareng dengan kegelian hatinya, iapun merasa marah sekali karena kalau saja
ia tidak lupa akan muka tosu ini dan tahu bahwa inilah orangnya yang menjadi
biang keladi kebinasaan seluruh keluarga Pek-ong Piauwkiok, tentu ia tak perlu
bertanya lagi.
"Bagus
sekali" Serunya dengan wajah berubah merah saking marahnya, "Jadi kau
sengaja menanti di sini untuk menunggu aku mengambil nyawamu? Mana kedua orang
saudaramu agar aku dapat membasmi sekalian?" Sambil berkata demikian, Eng
Eng lalu menggerakkan goloknya dan sambil menyerang dengan hebatnya!
Tentu saja
Ban Yang Tojin menjadi sangat terkejut. Akan tetapi la masih memandang rendah
kepada gadis cantik ini dan cepat ia mengelak. Alangkah terkejutnya ketika
golok di tangan nona itu biarpun sudah dapat menghindarkannya namun dilanjutkan
pula dengan serangan menyerong yang amat berbahaya. Tosu ini cepat melempar
tubuhnya ke belakang menggunakan gerak loncat Kera Tua Melompati Cabang dan
hampir saja ujung golok memakan tubuhnya. Keringat dingin keluar dari jidatnya
dan cepat tosu itu lalu mencabut senjatanya yang istimewa, yakni tongkat
runcing yang berbintang ujungnya.
"Eh eh,
siapakah kau dan kenapa kau menyerangku tanpa sebab?”
"Tidak
ada hal yang tak bersebab," jawab Eng Eng tenang, "lupakah kau kepada
Pek-eng Piauwkiok yang baru saja kaubinasakan secara keji? Dan lupakah kau pula
ketika golokku masih memberi ampun kepadamu, tidak memenggal lehermu, akan
tetapi hanya melukai pundakmu? sekarang aku tidak menghendaki sedikit kulit
pundakmu, melainkan menghendaki kepalamu"
Eng Eng lalu
menyerbu lagi dan Ban Yang Tojin tidak mendapat kesempatan barang sedikitpun
untuk mengeluarkan seruan heran dan terkejut. Ia kini teringat lagi dan
terbukalah bahwa gadis ini adalah pemuda yang dulu pernah melukainya dan yang
membantu Ting Kwan Ek
"Perempuan
rendah! Jadi kaukah orangnya yang dulu membantu anjing she Ting? Bagus, kau
telah menyerahkan diri tanpa dicari lagi!"
Memang tosu
ini merasa amat benci dan dendam terhadap pemuda yang telah melukainya dan
semenjak dia dikalahkan oleh Eng Eng tosu ini lalu melatih diri dan terutama
sekali ia melatih ilmu pukulan Pek-lek-ciang dengan tekunnya. Tenaga lweekang
kakek ini sekarang jauh lebih tinggi dan kuat daripada dulu, sedangkan ilmu
pukulannya Pek-lek-ciang benar - benar amat berbahaya. Ia dapat merobohkan lawan
dari jarak jauh hanya dengan hawa pukulannya ini.
Akan tetapi,
setelah mereka bertempur belasan jurus lamanya, tahulah Ban Yang Tojin bahwa
dalam hal ilmu mainkan senjata la masih jauh berada di bawah tingkat gadis aneh
ini. Sepasang tombak bintangnya sama sekali tidak berdaya dan belum juga dua
puluh jurus mereka bertempur, ia tidak kuasa menyerang lagi. Gerakan golok di
tangan gadis itu benar-benar aneh dan luar biasa sekali, sukar diikuti oleh
pandangan mata dan sukar pula diduga ke mana perobahan gerakannya.
la hanya
dapat melindungi tubuhnya dengan sepasang tombaknya dengan jalan memutarnya
secepat mungkin, merupakan benteng yang kuat. Agaknya gulungan sinar golok di
tangan Eng Eng merupakan halilintar yang hendak memecah dan menembus awan dari
gerakan sepasang tombak bintang. Golok itu berkelebat-kelebat ke atas, ke
bawah, dari kanan dan kiri, pendeknya amat sukar dijaga.
Ban Yang
Tojin tidak sempat mempergunakan ilmu pukulan Pek-lek-ciang yang diandalkannya,
karena gadis itu tidak memberi kesempatan scdikitpun juga kepadanya. Tosu ini
memutar otak, mencari jalan keluar dari pada kepungan sinar golok ini. Pada
saat sinar golok Eng Eng menyambar ke arah mukanya dengan cepat Ban Yang Tojin
menggerakkan kedua tombaknya yang berbintang, dengan gerak tipu Orang Tua
Menutup Pintu, la berhasil menjepit golok lawannya, ia mengerahkan tenaga
Iweekangnya untuk mematahkan golok di tangan gadis itu, lalu menggerakkan
sepasang senjatanya untuk diputar sedemikian rupa supaya gadis itu melepaskan
goloknya.
Akan tetap,
tiba-tiba Eng Eng berseru keras sekali dan tenaga yang luar biasa dahsyatnya
keluar dari golok yang terpegang oleh Eng Eng. Kini gadis inilah yang menguasai
keadaan dan Eng Eng membalas gertakan lawan, mempergunakan tenaga menempel lalu
memutar goloknya cepat sekali dari kanan ke kiri!
Ban Yang
Tojin tak dapatt mempertahankan serangan ini dan sepasang senjatanya ikut
berputar, kemudian dengan mengeluarkan suara keras, sepasang tombak berbintang
ini patah menjadi empat potong. Bukan main marahnya tosu itu. Ia menyambitkan
sepasang senjatanya yang tinggal gagang itu ke arah lawannya akan tetapi dengan
amat mudahnya Eng Eng mengelak dan kemudian goloknya diputar amat cepatnya
menyerarg Ban Yang Toiin dengan gerak gerak tipu yarg paling lihai!
Tadi ketika
masih memegang sepasang senjata saja tosu itu sudah terdesak hebat dan tidak
mampu mengimbangi permainan golok Eng Eng apa lagi sekarang satelah bertangan
kosong! Ia berusaha hendak melarikan diri, akan tetapi sinar golok gadis lihai
itu mengurungnya rapat-rapat dan tidak memberi jalan keluar sama sekali.
Karenanya Ban Yang Tojin lalu berlaku mati-matian, dan sambil mengelak dan
melompat ke sana ke mari, ia berusaha untuk melancarkan terangan pukulan
Pek-lek-ciang yang hebat.
Betapapun
tinggi ilmu kepandaian Eng Eng gadis ini belum mempunyai banyak pengalaman
bertempur dan ia tidak dapat menduga bahwa lawannya yang sudah tidak berdaya
ini masih memiliki kepandaian simpanan yang jahat dan berbahaya sekali, maka ia
berlaku lalai. Ia terlalu girang karena sudah hampir berbasil membunuh seorang
di antara musuh-musuh Ting Kwan Ek, membalaskan sakit hatinya, dengan seruan
keras gadis Ini lalu menyerang dengan sabetan golok dari atas ke arah kepala
lawannya, la hendak membelah kepala tosu itu menjadi dua.
Gerakan ini
cepat sekali dan biarpun Ban Yang Tojin cepat mengelak, golok itu masih
menyembur hebat ke arah pundaknya. Di dalam keadaan berbahaya dan tidak berdaya
itu, Ban Yang Tojin lalu melakukan serangan balasan mati-matian dan tangan
kanannya lalu mengerahkan pukulan Pek-lek-ciang yang dilakukan dengan sepenuh
tenaganya!
Akibatnya
hebat sekali untuk kedua fihak. Terdengar Ban Yang Tojin memekik ngeri dan
lengan kirinya sebatas pundak terbabat putus. Akan tetapi, tangan kanannya yang
dipukulkan dengan gerakan mendorong ke arah dada Eng Eng juga mendapat hasil
baik. Biarpun tangan itu tidak sampai menyentuh dada gadis itu, namun hawa
pukulannya yang hebat itu telah menghantam dengan telak sekali, sehingga Eng
Eng terjengkang ke belakang, goloknya terlepas dan pegangan dan setelah
terhuyung-huyung, Eng Eng bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan pingsan!
Hampir eaja
Ban Yang Tojin tak dapat menahan rasa sakitnya. Darah mengucur bagaikan
pancuran dari pundak kirinya yang telah tak berlengan lagi itu. Akan tetapi,
sambil menggigit bibirnya hingga berdarah dalam menahan rasa sukitnya, tosu ini
masih cukup bertenaga untuk mengambil golok Eng Eng yang terlempar ke atas
tanah dan bermaksud hendak membacok tubuh bekas lawannya itu.
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar teriakan dari jauh aan nampak sesosok bayangan orang
yang amat cepat berlari bagaikan terbang menuju ke tempat itu. Ban Yang Tojin
merasa khawatir kalau kalau orang itu merupakan musuh, maka tanpa banyak cakap
lagi ia melarikan diri pergi dari situ, meninggalkan tubuh Eng Eng yang masih
menggeletak pingsan, dan meninggalkan juga lengan kirinya yang sudah putus!
Bayangan ini
adalah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali. Pakaiannya berwarna biru
muda dengan leher dan pinggir lengan baju warna putih, ikat kepala berwarna
merah. Karena pakaiannya itu terbuat dari pada sutera halus, maka ia nampaknya
makin cakap dan mewah. Di pinggangnya tergantung gagang pedang yang berukir
gambar liong yang indah sekali.
Ketika
pemuda ini melihat berkelebatnya tubuh seorang tosu yang putus lengan kirinya,
ia hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia melihat Eng Eng yang menggeletak
di atas rumput seperti majat. Ia menahan kakinya dan matanya teibelulak kagum
memandang ke arah wajah yang jelita dan tubuh yang ramping mengulurkan hati
itu. Ia menghampiri lalu berlutut di dekat tubuh gadis itu.
Ketika
melihat muka yang pucat dan pakaian Eng Eng di bagian dada remuk dan robek, ia
menjadi terkejut sekali. Tanpa ragu-ragu ia]u diangkatnya tubuh itu dan
dibawanya ke dalam hutan itu, di mana terdapat sebuah bangunan bobrok bekas
sebuah kuil tua. Ia memondong tubuh gadis itu ke dalam kuil dan meletakkan di
atas lantai yang bersih Tempat ini memang menjadi tempat tinggalnya sementara
ia berada ditempat itu.
"Ah,
kasihan." bisiknya perlahan, "pukulan Pek-lek-ciang! Sungguh jahat
sekali"
Kemudian
dengan jari-jari tangan gemetar, pemuda itu lalu merobek baju Eng Eng untuk
memeriksa luka akibat pukulan Pek-lek-ciang yang lihai. Kulit tubuh gadis itu
hanya nampak merah saja, akan tetapi pemuda ini cukup maklum bahwa gadis yang
mempunyai wajah seperti bidadari dan potongan tubuh luar biasa indahnya ini
telah menderita pukulan dan terluka di sebelah dalam! Ia memeriksa dada gadis
itu dan tak lama kemudian terlihat ia berkelebat keluar dari kuil bobrok itu
dan masuk ke dalam hutan. Ia mencari-cari dan setelah matahari sudah condong ke
barat, nampak ia kembali ke kuil membawa banyak sekali daun-daun obat
Ternyata Eng
Eng masih belum siuman dari pingsannya, dan pemuda itu dengan cekatan sekali
lalu memeras daun-daun itu dengan kedua tangannya, memberi minum perasan daun
obat itu kepada Eng Eng dengan paksa, Lalu ampas daun itu ditempelkannya ke
atas dada Eng Eng yang nampak merah. Kemudian ia lalu mengurut dan menotok
jalan darah di pundak dan punggung gadis itu. Semua ini dilakukan dengan tangan
gemetar, dada berdebar dan kadang-kadang la meramkan kedua matanya, tidak tahan
ia melihat keindahan tubuh yang nampak di depan matanya!
Iblis adalah
menggoda atau pembujuk hati manusia dan dia akan selalu akan muncul dan
menggoda manusia apabila manusia itu sedang berada di tempat sunyi, berada
seorang diri dan terutama sekali apabila manusia itu sedang menghadapi atau
melihat sesuatu yaog merangsang atau menarik hatinya. Oleh karena tahu akan
sifat sifat iblis penganjur segala kejahatan dunia ini Nabi LOCU pernah
bersabda demikian:
"Jangan
memperlihatkan sesuatu yang merangsang dan menimbulkan nafsu, agar manusia
tidak tergoda hatinya!"
Dan juga
Nabi KHONG CU pernah bersabda;
"Berhati-hatilah
apabila kau sedang berada seorang diri"
Memang,
tepat sekali wejangan - wejangan ini bagi manusia untuk ingat bahwa
pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu timbul waktu berada seorang diri dan menghadapi
sesuatu yang neutmbulkan nafsu. Amatlah berbahaya bujukan iblis pada saat-saat
seperti itu.
Apalagi
kalau orang ysng terbujuk itu tidak memiliki iman yang kuat, dan kesadarannya
akan baik dan buruk sudah menyuram. Nafsu yang dibangkitkan oleh iblis akan
sedemikian kuatnya sehingga ia tidak memperdulikan lagi akan segala
pelanggaran, tidak perduli akan prikemenusiaan, dan ia akan menjadi buta dan
lupa daratan karena dipengaruhi oleh nafsu.
Pemuda baju
biru itupun demikian. Setelah ia berhasil mengobati Eng Eng, melihat wajah yang
cantik jelita itu, melihat bagian tubuh yang menggiurkan hatinya, ia tidak
dapat menahan bujukan iblis. Ia lupa segala telinganya penuh oleh pendengaran
suara iblis yang terdengar merdu sekali, bagaikan telinga seorang pemabok
mendengar musik. Matanya seakan-akan tidak sewajarnya lagi, bagaikan mata
seorang yang sedang kelaparan melihat roti atau lebih tepat lagi, seperti mata
seekor anjing kurus melihat tulang.
Harus
dikasihani nasib Eng Eng. Dalam keadaan pingsan dan terluka ia bertemu dengan
seorang penolong yang ternyata merupakan seorang pemuda yang lemah iman,
seorang yang telah lupa akan asal mulanya yang suci murni. Menjelang tengah
malam, Eng Eng siuman dari pingsannya. Ia terkejut sekali ketika melihat bahwa
ia berada dalam pelukan seorang laki-laki!
Tempat itu
diterangi oleh api unggun yang bernyala dari setumpuk kayu kering sehingga ia
hanya melihat samar-samar wajah seorang laki laki muda yang amat tampan,
seorang pemuda yang berkulit muka putih, bermata tajam, berbibir merah dan
berpakaian biru muda! Kemudian gadis ini roboh pingsan lagi, tidak kuat menahan
pukulan bhatin yang luar biasa, malapetaka yang datang kepadanya, yang lebih
mengerikan dan pada maut sendiri!
***************
Perguruan
silat Kim-liong-pai terletak di puncak Gunung Liong-san dan nama Kim-liong-pai
sudah amat terkenal di dunia persilatan sebagai cabang ilmu silat yang luar
biasa. Dulu ketika ketua Kim-liong-pai masih berada di tangan seseorang yang
luar biasa yang berjuluk Bu beng Siansu, cabang persilatan ini boleh dibilang
menjagoi seluruh kangouw, tidak kalah terkenalnya dengan cabang-cabang ilmu
silat lain seperti Kun-lun-pai atau Go-bi pai yang besar.
Semenjak Bu
Beng Siansu lenyap dari permukaan bumi, tak seorangpun mengetahui di mana
adanya kakek sakti itu yang telah mencuci tangan dan tidak mau mencampuri
urusan dunia, maka Kim-liong-pai jatuh ke tangan anak muridnya.
Pada waktu
cerita ini terjadi, Kim-liong-pai dipimpin oleh cucu murid Bu Beng Siansu yang
hidup sebagai seorang tosu (Pendeta Agama To) dan sudah berjuluk Lui Thian
Sianjin pada waktu mudanya Lui Thian Sianjin mempunyai belasan orang anak
murid. Akan tetapi ketika beberapa orang di antara murid-muridnya itu melakukan
pelanggaran dan penyelewengan, ia menjadi marah dan putus asa.
Dibubarkannyalah
murid muridnya itu dan masih baik bahwa mereka itu mempelajari ilmu pedang Kim
liong-pai yang disebut Ang-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Merah) sebanyak enam
puluh bagian saja! Ang- coa-kiamsut adalah ilmu pedang warisan dari Bu Beng
Siansu, dan ilmu pedang ini terkenal sebagai raja ilmu pedang di seluruh dunia
kangouw.
Tidak mudah
untuk mempelajari ilmu pedang ini, oleh karena gerakannya amat sulit dan
perkembangannya amat luas pula untuk dapat mainkan Ang-coa-kiamsut orang harus
lebih dulu memiliki ginkang dan lweekang tingkat tinggi. Bahkan Lui Thian
Sianjin sendiri hanya dapat mewarisi delapan puluh bagian dari Bu Beng Siansu
sucouw (guru besar) Kim-hong-pai ia mendapat tinggalan kitab ilmu pedang itu,
namun tetap saja ia tidak dapat mewarisi seluruhnya.
Setelah
bertahun-tahun tiduk mau menerima murid, ketika berusia lima puluh tahun lebih,
diam-diam Lui Thian Sianjin merasa gelisah sendiri. Dari suhunya, ia dulu
pernah mendapat pesan bahwa sebelum mati ia harus dapat mewariskan
Ang-Coa-Kiamsut kepada seorang murid yang benar-benar baik. Akhirnya ia mulai
mercari murid lagi dan kini ia memilih dengan amat hati-hati.
Akhirnya ia
menemukan sepasang anak kembar yang baru berusia lima tahun, dari keluarga Sim
yang telah tewas semua karena pemberontakan. Kedua anak itu adalah anak
laki-laki, bernama Sim Tiong Han dan Sim Tiong Kiat, ia mengambil kedua orang anak
yang dilihatnya berbakat baik ini, lalu melatihnya ilmu silat.
Selain kedua
orang anak kembar ini, Lui Thian Sianjin juga mengambil seorang murid perempuan
yang bernama Can Kui Hwa. Usianya ini sebaya dengan Sim Tiong Kiat, dan juga
memiliki bakat yang luar biasa. Can Kui Hwa adalah anak dari seorang murid
Kim-liong-pai juga yang bernama Can Kong dan yang kini menjadi guru silat di
kota Sam koan. Empat belas tahun kemudian, ketiga orang anak ini telah menjadi
dewasa.
Kalau orang
tidak mempunyai perhubungan dekat dengan sepasang pemula kembar itu, akan amat
sukarlah baginya untuk membedakan. Keduanya sama benar, baik wajah maupun
bentuk badan. Sama tampan, bermuka putih dengan mata tajam dan bibir merah,
alis mata tebal dan pantang. Ada sedikit tanda pada Tiong Kiat yang menjadi
tanda pengenal, yakni sebuah tahi lalat kecil hitam di atas dagunya, tepat di
bawah bibir.
Juga watak
kedua orang ini jauh berbeda. Tiong Iian yang lebih tua beberapa jam dari
adiknya berwatak pendiam dan lemah lembut. Sebaliknya, Tiong Kiat jenaka,
gembira, juga nakal sekali. Semenjak kecilnya, seringkali Tiong Kiat menggoda
kakaknya, akan tetapi Tiong Han yang amat mencinta adiknya selalu mengalah.
Namun, di
dalam pelajaran ilmu silat Tiong Kiat lebih maju daripada kakaknya. Memang anak
ini luar biasa sekali bakatnya dalam hal ilmu silat. Harus diakui bahwa
kecerdikannya tidak melebihi Tiong Han, namun agaknya ia berdarah ahli silat,
karena gerakannya demikian lemas dan cepat. Ini pula yang membuat Lui Thian
Sianjin amat sayang kepadanya, sungguhpun seringkali kakek ini termenung dan
mengerutkan keningnya, karena ia masih meragukan watak daripada Tiong Kiat.
Tidak seperti Tiong Han, kakek ini sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya.
Juga Kui Hwa
memiliki bakat yang amat baik, sungguhpun ia tidak dapat mengimbangi bakat
Tiong Han, apalagi kalau dibandingkan dengan Tiong Kiat, ia kalah jauh. Setelah
dewasa ia menjidi seorang gadis yang cantik manis. Sikapnya gembira dan jenaka
seperti Tiong Kiat, sehingga kedua anak ini menjadi sahabat baik. Perhubungan
gadis ini terhadap Tiong Kiat jauh lebih erat apabila dibanding, kan dengan
hubungannya terhadap Tiong Han.
Setelah
mendapat gemblengan ilmu ailat selama empat belas tahun, kepandaian ilmu silat
dan ilmu pedang ketiga orang murid itu mencapai tingkat tinggi. Lebih-lebih
Tiong Kiat, ia telah mewarisi ilmu pedang Ang coa kiamsut sampai tujuh puluh
bagian lebih, sedangkan Kui Hwa hanya memiliki lima puluh bagian, sedangkan
Tiong Han sendiri paling banyak hanya mewarisi enam puluh bagian.
Di dalam
latihan nampak sekali perbedaan itu, baik Tiong Han maupun Kui Hwa tidak dapat
mengimbangi permainan pedang Tiong Kiat yang luar biasa. Tentu saja suhu mereka
menjadi girang sekali, merasa bahwa ia telah cukup mewariskan ilmu pedang itu
dan karenanya Kim-liong-pai tak usah dikhawatirkan lagi akan tinggal nama saja!
Akan tetapi,
kadang-kadang ia merasa gelisah dan berdebar dadanya kalau ia melihat Tiong
Kiat, karena bagaimanakah kelak kalau ternyata ia salah pilih. Siapa yang akan
dapat memasang kendali pada hidungnya atau dengan lain kata-kata siapa yang
akan dapat menundukkannya?
Dan apa yang
dikuatirkan oleh kakek ini terbukti. Setelah dewasa dan ingin agar supaya ilmu
pedang Ang coa.kiamsut tidak sampai terpecah-pecah, Lui Thian Sianjin
mengusulkan agar supaya Tiong Han dijodohkan dengan Kui Hwa ! Pemuda itu karena
sudah tiada ayah bunda lagi, hanya menyerahkan nasibnya kepada suhunya yang
amat dihormatinya, adapun ayah Kui Hwa, yakni Can Kong beserta isterinya, juga
tidak keberatan.
Akan tetapi,
beberapa bulan kemudian, terjadilah peristiwa yang amat menggemparkan itu!
Peristiwa yang amat menyedihkan hati Lui Thian Sianjin, menghancurkan hati
Tiong Han, dan memarahkan hati Can Kong. Dengan cara yang tidak tahu malu
sekali, Tiong Kiat telah melarikan diri bersama dengan sumoinya, yakni Kui Hwa!
Dan yang lebih hebat lagi, adalah kedua orang muda ini telah menyikat pedang
mustika yang menjadi barang pusaka di Kim liong-pai, yakni pedang Ang-coa-kiam
(Pedang Ular Merah) warisan dari Bu Beng Siansu, guru besar dari Kim-liong-pai.
Lui Thian
Sianjin ketika membaca surat yang ditinggalkan oleh Tiong Kiat yang menyatakan
bahwa ia dan sumoinya telah bosan tinggal di gunung itu dan ingin merantau
bersama serta membawa pedang pusaka dengan menyatakan bahwa ia sebagai murid
terpandai berhak untuk memiliki pedang itu, kakek ini duduk bagaikan patung,
mukanya pucat dan napasnya memburu! Yang lebih hebat lagi adalah sedikit 'embel-embel'
dalam surat itu bahwa tak perlu orang mencari mereka, karena mereka sudah
saling mencintai
Tiong Han
cepat membujuk suhunya agar suka bersabar dan menenangkan pikiran.
"Sudahlah, suhu, harap jangan banyak berduka dan marah. Adikku itu masih
amat muda dan masih hijau sehingga ia mudah dikuasai oleh nafsu. Ampunkanlah
dia suhu." Pemuda ini berkata dengan mata basah.
Tosu itu
memandang kepada Tiong Han dengan mata heran hampir ia tidak percaya akan
pendengarannya. "Apa...?" Katanya dengan suara parau. "Kau...
kau yang dihina dan diperlakukan seperti itu, kau masih minta ampun
untuknya...?"
Tiong Han
menundukkan mukanya. "Dia adalah adikku suhu, orang satu-satunya di dunia
harus teecu cinta, sayang, dan bela."
"Dan...
tunanganmu...? Ah, Tiong Han benar-benar kau lebih berhasil menguasai hati dan
perasaan dari pada aku yang sudah tua bangka. Tidak sakitkah hatimu karena
tunanganmu dibawa pergi oleh adikmu sendiri?"
Tiong Han
menggelengkan kepalanya dan walaupun mukanya berobah pucat la menjawab dengan
tenang, "Tidak, suhu. Hal ini tidak mengherankan teecu."
Kakek itu
berdiri dari duduknya. "Apa katamu...? Jadi kau sudah tahu akan hal busuk
dan memalukan itu? Dan kau diam saja tidak memberitahukan kepadaku?"
Tiong Han
melihat suhunya menjadi marah, lalu menjatuhkan diri dan berlutut. "Suhu,
ampunkan adik Tiong Kiat. Sesungguhnya... sudah sebulan yang lalu teecu tanpa
disengaja melihat perhubungan erat antara Tiong Kiat dan sumoi. Dan... dan...
agaknya karena teeecu telah mengetahui akan hubungan rahasia mereka itulah yang
membuat meteka pagi hari ini melarikan diri. Hanya satu hal yang teecu
sayangkan, mengapa Tiong Kiat begitu sembrono membawa pergi pedang pusaka
Ang-coa-kiam."
Lui Thian
Sianjin membanting-banting kakinya. "Gila... Gila...! Mengapa aku seperti
buta mataku? Semenjak dahulu aku sudah ragu-ragu dan menaruh hati curiga
terhadap watak adikmu! Sekarang... ah, Tiong Han, hanya kaulah yang dapat
menolongku. Hanya kau satu-satunya orang yang akan dapat membelaku dan membuat
aku dapat meninggalkan dunia ini dengan rela."
"Apakah
maksud ucapan suhu ini?"
"Bersumpahlah,
muridku, bersumpahlah dengan saksi bumi dan langit! Bersumpahlah bahwa kau akan
menjunjung tinggi nama Kim-liong-pai, akan berlaku sebagai seorang pendekar
gagah yang menjunjung tinggi kebajikan, prikemanusiaan dan membela
keadilan."
"Teecu
bersumpah untuk melakukan semua nasihat suhu itu."
"Dengarlah
kau harus bersumpah untuk memenuhi dua macam tugas berat yang harus kau
lakukan, baik sewaktu aku masih hidup maupun sesudah aku mati."
"Teecu
bersedia untuk bersumpah, harap suhu beritahukan apakah adanya dua macam tugas
itu."
Pertama, kau harus berusaha dan mencari atau merampas kembali sampai dapat
pedang Ang-coa-kiam dari tangan Tiong Kiat dan membawa pedang itu ke mana juga
kau pergi, menjaga dengan seluruh kehormatan."
"Bagaimana
teecu dapat melakukan hal ini, suhu? Suhu maklum sendiri bahwa ilmu kepandaian
Tiong Kiat masih lebih tinggi dari pada teecu, apalagi karena sekarang ia telah
memiliki pedang Ang coa . kiam. Bagaimana teecu dapat memenuhi tugas ini dan
merampas pedang pusaka Ang-coa kiam!"
"Bersumpah
lah dulu bahwa kau mau melakukan hal itu!" kata Lui Thian Sianjin tidak
sabar. "Hal kekalahanmu terhadap dia mudah dibicarakan kemudian."
"Baiklah,
suhu, teecu bersumpah bahwa tecu akan mencari dan merampas pedang Ang-coa-kiam
sampai dapat. Teecu takkan berhenti berusaha sebelum pedang itu dapat terampas
oleh teecu"
"Bagus,
itu sumpah pertama, kau harus mendapatkan kembali pedang itu agar nama
Kim-liong-pai jangan sampai ternoda karena orang telah menyalah gunakan pedang
pusaka itu. Dan sumpah kedua, kau harus mencari dan membunuh Sim Tiong
Kiat!"
Pucatlah
muka Tiong Han mendengar permintaan suhunya ini. Ia memandang kepada suhunya
dengan mata terbelalak dan tak dapat menjawab, hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya saja.
"Tiong
Han! Ucapkanlah sumpahmu!"
"Ti...
dak... suhu... teecu tak dapat melakukan hal ini! Teecu tidak sanggup"
Setelah
berkata demikian Tiong Han lalu menjatuhkan mukanya di atas tanah dan meratap
serta mintakan ampun untuk adiknya. Sungguh harus dikasihani pemuda yang
berhati penuh kasih sayang terhadap adik kembarnya ini. Air matanya membasahi
seluruh mukanya dan karena ia membentur-benturkan jidatnya di atas tanah, maka
mukanya kini menjadi kotor.
"Tiong
Han!" suhunya membentak marah. "Kalau aku tidak sudah tua dan
kekurangan tenaga, pasti aku sendiri yang akan kurun gunung dan mencari murid
murtad itu untuk kubunuh sendiri! Akan tetapi, di Kim-liong-pai kini tinggal
kaulah ahli waris satu-satunya yang kiranya kuat dan dapat melakukan tugas
ini!"
Sampai
beberapa lama tidak terdengar pemuda itu berkata kata, hanya ia menangis
terisak-isak seperti seorang anak kecil. Ia tak kuasa membuka mulut,
bagaimanakah la dapat membunuh Tiong Kiat? Bagaimana ia dapat bertega hati
membunuh adiknya yang dikasihinya sepenuh hati dan jiwanya? Tiong Kiat
merupakan sebagian dari pada tubuhnya sebagian daripada nyawanya!
"Ampun,
suhu... ampunkanlah teecu dan ampunkan adikku Teecu tidak sanggup, tidak sampai
hati melakukan tugas ini dan apakah dosa Tiong Kiat maka harus dibunuh?
Terhadap Kim-liong-pai, kesalahannya hanya mencuri pedang pusaka, tidak
cukupkah kalau teecu bersumpah mengambil kembali pedang itu? Ampunkanlah dia
suhu!"
"Tiong
Han, kau terlalu lemah! Kau bilang Tiong Kiat tidak begitu besar salahnya
terhadap Kim-liong-pai? Soal pedang bukanlah soal terutama, akan tetapi yang
paling hebat adalah perbuatannya yang melanggar adat, melanggar kesopanan,
melanggar prikemanusiaan melanggar prikebajikan. Dia sudah berani membawa lari
tunangan kakaknya apakah kau mau bilang bahwa manusia macam itu tidak
seharusnya dibunuh?"
"Suhu,
beribu ampun apabila pendapat tecu lain dengan pendapat suhu. Bukan sekali-kali
teecu membutakan mata dan membela adik sendiri tanpa alasan. Memang
sesungguhnya pembuatan Tiong Kiat yang melarikan sumoi itu amat tidak sopan dan
kurang ajar. Akan tetapi, siapakah yang tak terluka hatinya oleh perbuatan ini?
Siapakah yang terhina dan siapa pula yang dirugikan? Kalau ada orang yang
seharusnya merasa sakit hati, maka orang itu hanya teeculah. Akan tetapi, suhu,
teecu tidak merasa sakit hati kepadanya teecu tidak merasa terhina, bahkan
teecu dengan rela hati mengalah, biar sumoi menjadi jodoh Tiong Kiat, sudah
cukup cocok dan pantas! Biarlah, hitung-hitung teecu mencarikan jodoh untuk
adik teecu, apa salahnya? Bukankah dengan demikian tidak ada urutan sakit hati
lagi, tidak ada keharusan hukuman mati terhadap Tiong Kiat?"
Pemuda itu
berbicara dengan bernafsu sekali, nafsu yang terdorong oleh rasa sayangnya
terhadap Tiong Kiat dan dalam kesungguhan membela adiknya itu. Pertapa itu
mengelus-elus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. la duduk termenung
dan pandangan matanya melayang jauh.
"Kalau
begitu, terpaksa aku harus memaksa tulang belulangku yang sudah reyot dan lapuk
ini untuk turun gunung dan bekerja sendiri. Ah... tidak kusangka akan menjadi
demikian nasibku... Tiga orang murid tersayang kugembleng dan kulatih selama
belasan tahun... bersusah payah... tanpa... mengharapkan pembalasan sedikit
jugapun... dua orang dari pada mereka menikam hatiku dan melarikan diri, siap
merusak nama baikku, nama baik Kim-liong-pai. Sekarang kau pula tidak bersedia
membelaku, ah Su-couw tentu akan menerima rohku dengan teguran hebat!"
Kakek ini
lalu menundukkan mukanya dan untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan mata
Tiong Han, akan tetapi pemuda itu sudah melihat bahwa suhunya telah mengalirkan
dua titik air mata. Suatu hal yang amat langka terjadi, karena ia maklum betapa
suhunya ini pantang mengalirkan air mata.
"Suhu..."
kata Tiong Han terharu. "Teecu sama sekali bukan tidak mau membela suhu,
karena suhu tentu sudah maklum dan cukup mengerti bahwa teecu bahkan bersedia
membela suhu dengan taruhan nyawa sekalipun! Hanya yang membuat tecu ragu ragu,
sudah patutkah Tiong Kiat dibunuh, karena kesalahannya terhadap teecu yang
sudah lama teocu maafkan itu?"
"Sudahlah,
sudahlah... mana kau ada... hati untuk mengganggu adikmu yang tercinta walaupun
ia amat jahat dan menyeleweng? Kalau ia sampai mencemarkan nama Kim-liong-pai,
kaupun tidak akan terbawa-bawa tentu saja kau lebih berat kepada adikmu
daripada kepadaku ataupun kepala Kim-liong-pai. Sudahlah..."
Bukan main
perihnya rasa hati Tiong Han mendengar sindiran suhunya ini. Ia lalu memberi
hormat lagi, kemudian ia berdiri dan berkata,
"Suhu,
teecu bermohon diri. Tecu hendak mencari Tiong Kiat dan hendak minta kembali
pedang pusaka Ang-cong-klam, juga tecu hendak mencegah segala kejahatan atau
penyelewengannya, kalau perlu dengan nyawa teecu!" Setelah berkata
demikian Tiong Han lalu menggerakkan tubuh hendak berlari turun.
"Tiong
Han, tunggul" tiba-tiba suhunya membentak dan ketika pemuda itu memutar tubuhnya,
Lui Thian Sianjin melemparkan sesuatu kepadanya. Tiong Hin cepat menyambut
benda itu dan ternyata bahwa yang diberikan kepadanya adalah sebuah kitab yang
terbungkus dengan sutera putih.
"Pedang
Ang-coa-kiam telah berada di tangan Tiong Kiat. Satu-satunya benda yang dapat
melawan pedang itu hanyalah kitab ini. Pelajarilah baik-baik dan dengan adanya
kitab itu di tanganmu, maka kedudukanmu dalam Kim liong-pai masih lebih tinggi
dari pada pemegang pedang Ang coa kiam. Menurut peraturan di Kim-liong-pai,
seperti kau juga sudah mengetahuinya, sebagaimana yang dipesankan dahulu oleh
mendiang sucouw kita, semua murid Kim-liong-pai harus tunduk dan taat kepada
pemegang dua buah pusaka Kim-liong-pai, pertama-tama sekali kepada pemegang
dari kitab ilmu pedang Ang-coa-kiam-coan-si sebagai pemimpin tertinggi, dan
kedua kepada pemegang pedang Ang-coa-kiam sebagai pemimpin kedua. Tiong Kiat
juga tahu akan peraturan ini dan kalau dia hendak mempergunakan haknya sebagai
pemegang pedang Ang-coa-kiam, maka menurut aturan, la masih harus tunduk dan
taat kepada pemegang kitab Ang-coa-kiam-coan-si. Nah, kau pergilah."
Adapun Can
Kong, ayah dari Can Kui Hwa, ketika mendengar berita tentang puterinya yang
melarikan diri sama Sim Tiong Kiat menjadi marah sekali. Tanpa dapat dicegah
lagi oleh isterinya yang menangis dan meratap lalu membawa pedangnya keluar
dari rumah untuk mencari anaknya dan Tiong Kiat.
"Terkutuk!"
makinya dengan muka merah. "Aku harus mencari dan membunuh sepasang anjing
itu!"
Ayah ini
merasa malu sekali malu terhadap suhunya, malu terhadap calon mantunya, dan
malu kepada diri sendiri. Bagaimana puteri tunggalnya bisa melakukan perbuatan
yang rendah itu? Dan kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak.
***************
Dua bayangan
yang cepat sekali gerakannya berlari bagaikan dua ekor burung garuda melayang
turun dari Gunung Liong-san. Kalau dilihat dari jauh, mereka ini nampak
bagaikan dua ekor burung saja dan bagaikan dua titik yang makin lama makin
membesar. Akan tetapi setelah kedua sosok bayangan ini datang dekat, ternyata
mereka adalah sepasang orang muda dan elok sekali, sepasang pemuda dan pemudi
yang amat sedap dilihat karena mereka ini benar-benar tampan dan cantik.
Pemuda itu adalah
Sim Tiong Kiat, pemuda yang berusia dua puluh tahun yang amat tampan. Tubuhnya
sedang, dadanya bidang, mukanya yang bundar dengan dagu tajam itu berkulit
putih bersih kemerah-merahan bagaikan muka seorang wanita. Sepasang matanya
berkilat-kilat dan bersinar tajam sekali, dengan gerakan yang liar dan tiada
hentinya bergerak. Alisnya tebal dan panjang menghitam, nampak makin jelas pada
wajahnya yang putih bagaikan dicat.
Hidungrya
mancung dan bibirnya merah den berbentuk indah. Benar-benar seorang pemuda yang
amat cakap dan tampan. Hanya tarikan mulut dan dagunya saja yang membayangkan
kegagahan dan ketinggian hati, sikap mukanya selalu memandang rendah dan
mengejek orang lain yang dipandangnya. Pakaiannya berwarna biru dengan ikat
kepala dan pinggir leher berwarna merah menambah kegagahannya. Sarung pedang
yang indah sekali tergantung di pinggang kirinya. Inilah Sim Tong kiat, murid
dari Kim-liong-pai yang melarikan diri itu, dan pedang ynng tergantung
dipinggangnya itu adalah pedang Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim liong-pai yang
dicuri dan dibawanya pergi
Dara yang
berjalan di sebelah kirinya cantik sekali. Wajahnya manis dan potongan tubuhnya
langsing dan penuh hampir mendekati sebutan montok. Ikat kepalanya biru,
pakaiannya merah, agak kehitaman. Di atas telinga kanannya terhias oleh bunga
bungaan dari sutera yang indah. Bibirnya selalu tersenyum manis dan sepasang
matanya kocak, kalau mengerling nampak nyata kegenitannya, kegenitan yang tidak
menjemukan, bahkan yang merupakan senjata istimewa dari pada kecantikannya,
karena sukarlah bagi seotang pria untuk bertahan menghadapi serangan kerling
semanis itu. Gadis itu bukan lain adalah sumoi (adik seperguruan) dari Sim
Tiong Kiat yang bernama Can Kui Hui, puteri tunggal dari Can Kong.
Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, biarpun oleh suhu dan ayahnya ia di tunangkan
dengan Tiong Han namun di dalam hatinya, Kui Hwa, tidak menyetujui pertunangan
ini, karena semenjak kecil ia telah tertarik kepada Tiong Kiat. Setelah menjadi
dewasa rasa suka ini berobah menjadi cinta kasih yarg mendalam. Watak Tiong
Kiat yang gembira dan jenaka, cocok sekali dengan wataknya, tidak seperti Tiong
Han yang pendiam dan bersikap sungguh-sungguh. Apalagi dari fihak Tiong Kiat
ada jawaban maka kakak beradik seperguruan ini saling jatuh cinta dan makin
lama hubungan mereka makin erat.
Sungguh amat
disayangkan bahwa gadis yang cantik itu memiliki sifat genit, dan demikian pula
Tiong Kiat mempunyai watak yang mata keranjang. Hubungan mereka yang amat erat
pergaulan mereka yang bebas lepas di atas puncak Liong san,
kesempatan-kesempatan yang terbuka dan watak mereka yang romantis merupakan
kekuatan yang maha besar mendobrak daya tahan iman mereka yang muda.
Ditambah
lagi oleh kata-kata manis dari Tiong Kiat yang agaknya berbakat pula untuk
mencumbu rayu wanita, maka jatuhlah hati Kui Hwa. Mereka lupa daratan, tak acuh
kepada bisikan-bisikan dan teguran hati nurani sendiri dan akhirnya merela
melakukan hubungan yang melanggar batas-batas kesopanan dan kesusilaan!
Sesungguhnya
mereka tidak ada niat sama sekali untuk lari minggat dari puncak gunung itu.
Sungguhpun Kui Hwa amat mencintai Tiong Kiat, namun ia tidak berani membantah
kehendak suhu dan ayahnya dalam hal ikatan jodohnya dengan Tiong Han. Akan
tetapi, ketika pada malam hari itu tanpa disangka sangka Tiong Han melihat
mereka berdua sedang berkasih-kasihan, keduanya menjadi malu dan gelisah
sekali. Memang Tiong Han segera pergi dan berlaku biasa pura-pura tidak melihat
mereka, namun mereka tetap saja takut kalau-kalau Tiong Han akan melaporkan hal
itu kepada Lui Thian Sianjin atau kepada Can Kong.
Demikianlah
mereka lalu mengambil keputusan untuk minggat saja, Untuk menjaga agar kelak
tidak menghadapi kemurkaan Lui Thian Sianjin dan juga karena memang suka kepada
pedang pusuka Ang-coa-kiam, Tiong Kiat lalu mencuri pedang itu, bahkan secara
kurang ajar dan berani sekali meninggalkan surat untuk suhunya, mengakui terus
terang bahwa dia mengambil pedang pusaka dan bahwa ia dan sumoinya akan pergi
karena telah saling menyinta.
"Suheng,
bagaimana kalau twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mengejar kita?" Kata
Kui Hwa sambil memegang tangan Tiong Kait dengan sikap manja ketika mereka
berjalan berdampingan di dalam sebuah hutan di kaki Gunung Liong-san.
"Hwa
moi, mengapa kau takut? Han-ko tidak akan mengejar kita, karena tidak tahukah
kau bahwa dia sebenarnya juga tidak menaruh rasa cinta kepadamu, kalau bukan
demikian mengapa dia tidak menegur kita ketika dia melihat perhubungan kita?
Pula kalau sampai dia mengejar juga apa sih yang harus ditakuti? Menghadapi kau
saja belum temu dia akan menang, apalagi terhadap aku. Dan masih ada pokiam
(pedang mustika) ini"
"Takut
sih tidak, koko (kanda). Akan tetapi..." Kui Hwa menahan langkahnya dan
hendak menundukkan mukanya yang bersemu merah.
Tiong Kiat
juga berhenti dan juga memegang tangan kekasihnya itu "Akan tetapi apa...
moi... moi?"
"Kalau
twa-suheng datang, aku... aku merasa malu. Bukankah aku sudah dipertunangkan
dengan dia? Aku... aku malu,"
Tiong Kiat
merenggutkan tangannya dari tangan Kui Hwa dan keningnya berkerut, "Kau
menyesal? Kalau kau masih menyayangkan pertunanganmu dengan dia kau boleh
kembali"
Terbelalak
mata Kui Hwa ketika ia memandang wajah pemuda itu. Kemudian melangkah maju dan
memeluk kekasihnya sambil menjatuhkan jidat pada dada Tiong Kiat.
"Tega
benar kau berkata begitu kepadaku, koko. Mengapakah kau tidak percaya kepadaku?
Masih belum cukupkah pengorbananku? Aku memutuskan pertunangan yang telah
dijadikan oleh suhu dan ayah, telah meninggalkan suhu dan meningalkan ayah
untuk ikut padamu, telah dengan rela menyerahkan jiwa raga kepadamu, kini tega
benar kau mengeluarkan kata-kata seperti itu"
Tiong Kiat
mengelus-elus kepala Kui Hwa dan membelai rambutnya dengan sentuhan mesra,
"Hwa moi, kita sudah bersumpah sehidup semati, dengan disaksikan oleh
bulan dan bintang kita telah menjadi suami isteri, mengapa kau masih mau
memperdulikan orang lain? Biarkan Han-ko datang mengejar kalau ia berani. Kau
jangan ikut-ikut, aku sendiri yang akan menghadapinya"
Kui Hwa
mempererat pelukanrya dan bisiknya, "Kekasihku... aku tak dapat mencintai
orang lain, dan aku hanya menyerahkan nasib hidupku kepadamu. Aku akan turut
kepadamu, kemana juapun kau pergi! Aku bersedia hidup sengsara asal saja berada
di sampingmu. Hanya satu hal... jangan sekali-kali kau menyia-nyiakan cintaku,
koko jangan sekali-kali kau bermain gila dengan wanita lain. Kalau terjadi hal
seperti itu, akan kubunuh wanita itu dan aku akan meninggalkanmu!"
Tiong Kiat
tersenyum dan berkata jenaka, "Bagiku di atas dunia ini hanya ada seorang
wanita, yakni engkaulah. Bagaimana aku dapat bermain dengan wanita lain? Wanita
mana yang dapat menyamaimu? Wanita mana yang mempunyai mata seindah ini, bibir
semanis ini, dan rambut sehalus ini?"
Sambil
berkata demikian ia membelai mata, bibir dan rambut gadis itu. "Tidak, aku
akan tetap setia padamu seperti juga setiamu kepadaku, Hwa-moi!" Akan
tetapi di dalam Hatinya, Tiong Kiat mentertawakan sumoinya ini, sungguhpun ia
berdebar juga mendengar ancaman yang diucapkan Kui Hwa, karena ia maklum bahwa
gadis ini tentu akan membuktikan ancamannya itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment