Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Ular Merah
Jilid 07
Tiong Kiat
cepat mengelak dan melompat mundur. "Nona, pikirlah baik-baik. Hal itu
telah terjadi. Kau adalah istriku, dan aku takkan menyia-nyiakanmu, aku akan
mengawinimu, kita menjadi suami istri yang bahagia. Pikirlah."
Dengan muka
merah dan mata bercahaya bagaikan berapi-api, Eng Eng memandang wajah pemuda
itu dengan penuh perhatian. Sungguhpun bentuk tubuh wajahnya serupa benar
dengan Tiong Han, namun kini ia melihat perbedaannya. Tahi lalat kecil di atas
dagu pemuda ini. Ya, benar, inilah orangnya. la masih teringat akan wajah
pemuda ini, dan tahi lalat itu! Inilah titik yang tadi meragukan hatinya ketika
Tiong Han mengaku sebagai seorang yang berdosa. Inilah orangnya! Dan sinar mata
penuh gairah serta bibir yang tersenyum memikat ini, ah, alangkah besar
perbedaannya dengan Tiong Han.
"Keparat
jahanam! Aku sudah bersumpah akan menghancurkan kepalamu!" la menyerang
lagi dengan hebatnya.
Terkejut
juga hati Tiong Kiat ketika melihat datangnya serangan ini. Ia cepat memutar
Hui-liong-kiamnya dengan sekuat tenaga, berusaha memukul pedang gadis itu agar
terlepas dari pegangan. Akan tetapi alangkah herannya ketika pedang itu tidak
rusak atau terlepas. Bahkan ketika Eng Eng menyerang lagi dengan penuh
kebencian, pedang di tangan gadis itu berobah menjadi segulung sinar merah yang
dahsyat sekali!
Hampir sama
dengan pedang Ang coa kiam. Bukan! Apalagi setelah ia menghadapi gadis ini
beberapa jurus, makin gelisah hatinya. Ilmu pedang gadis ini benar-benar kukoai
(ganjil), gerakannya demikian kacau balau dan setiap Jurus yang agaknya ia
merasa seperti mengenalnya, ternyata perkembangannya jauh berbeda dengan gerak
atau jurus yang lajim. Gerakan gadis ini seakan-akan menjadi kebalikan dari
pada ilmu pedang biasa. Namun kelihaiannya bahkan lebih dari ilmu pedang biasa.
Nampak kacau balau, namun di dalam kekacauan itu tersembunyi daya serang dan
kekuatan yang membingungkannya.
Terpaksa
Tiong Kiat lalu mengeluarkan kepandaiannya dan ia melawan dengan penuh
perhatian dan hati-hati sekali. la makin kagum dan rasa sayangnya makin tebal.
Gadis ini jauh lebih cantik dari pada Kui Hwa, dan jauh lebih tinggi
kepandaiannya. Bahkan, ilmu pedang gadis ini belum tentu berada di bawah
tingkat kepandaiannya sendiri. Aduh, alangkah bahagianya kalau ia bisa menjadi
suami gadis yang cantik dan gagah perkasa ini.
"Nona...
tahan dulu, nona! Biarkan aku bicara sebentar..."
"Anjing
hina dina, kau masih mau bicara apa lagi?” berkata Eng Eng dengan marah, akan
tetapi ia menahan pedangnya juga karena ia ingin sekali mendengar bicara pemuda
yang menghancurkan kehidupannya ini.
"Nona,
tidak bisakah kau memaafkan aku? Aku cinta kepadamu dan biarpun aku telah
dikuasai oleh nafsu sehingga berlaku salah kepadamu, akan tetapi aku bersumpah
bahwa aku menyesal sekali, dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus
dosaku. Aku akan memberi kebahagiaan kepadamu, biarlah aku berlaku seperti
pelayanmu, biarlah aku melindungimu sampai di hari tua. Nona..."
"Tutup
mulut dan mampuslah!” Eng Eng menjerit makin marah dan kini dua titik air mata
berloncat keluar dari pelupuk matanya. Ia menyerang dengan sepenuh semangatnya,
mengerahkan kepandaian dan tenaganya sehingga Tiong Kiat menjadi sibuk sekali.
Pemuda ini
maklum bahwa tanpa membalas, ia akan celaka. Maka kini, ia merubah gerakan
pedangnya dan membalas serangan gadis itu. Terjadilah pertandingan yang luar
biasa sekali serunya. Akan tetapi, ilmu pedang gadis itu terlalu ganas dan kuat
bagi Tiong Kiat. Kalau saja ia tidak sedang bingung dan tidak telah terluka
lengannya oleh pedang Tiong Han kemarin, mungkin ia akan dapat bertahan sampai
puluhan atau sampai seratus jurus. Akan tetapi kini ia hanya dapat bersilat
sambil mundur, terus terdesak hebat oleh gadis yang ganas sekali gerakan
pedangnya itu.
"Akan
kubeset kulitmu, kukeluarkan isi dadamu!" berkali-kali Eng Eng berseru
sambil memperhebat serangannya.
Akhirnya
Tiong Kiat tidak tahan lagi menghadapi Eng Eng. Dengan seluruh tenaga yang
masih ada, ketika pedang merah di tangan Eng Eng meluncur dan menusuk ke arah
ulu hatinya, ia lalu menyampok pedang ini dengan pedangnya. Tenaga sampokannya
keras sekali dan biarpun pedang di tangan Eng Eng tidak terlepas namun
terpental sehingga gadis ini mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur
untuk menghindarkan diri dari serangan balasan yang mendadak. Kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh Tiong Kiat. Ia cepat melompat jauh dan berlari pergi
dari situ!
"Jahanam
busuk, kau hendak lari kemana ?" Eng Eng cepat mengejar
Tiong Kiat
tidak berani melawan lagi. Biarpun ia sanggup menjaga diri dan menahan serangan
gadis ini, akan tetapi ia merasa gelisah kalau teringat kepada Tiong Han. Tak
lama lagi Tiong Han akan bebas dari totokan dan kalau kakaknya itu turun
tangan, celakalah dia. Dengan secepatnya ia melarikan diri. Rasa takut membuat
larinya Iebih cepat dari pada biasanya. Namun Eng Eng juga memiliki ginkang
serta ilmu lari cepat yang tinggi tingkatnya sehingga gadis ini merupakan
bayangan yang tak pernah tertinggal jauh oleh Tiong Kiat!
Ketika tiba
di sebuah hutan kecil, Eng Eng kehilangan bayangan pemuda itu dan ia terus
mengejar turun. Padahal pemuda itu bersembunyi di dalam serumpun alang-alang
lebat. Melihat gadis itu sudah melewatinya, Tiong Kiat cepat keluar dan berlari
mengambil jalan ke arah lain.
Bukan main
panas dan penasaran rasa hati Eng Eng ketika ia tidak dapat mencari Tiong Kiat.
Pemuda itu telah lenyap bagaikan ditelan bumi. Kecewa sekali hatinya. Ia hendak
melanjutkan pengejarannya, akan tetapi ia lalu teringat kepada Tiong Han, maka
ia lalu kembali naik ke atas bukit itu.
Ketika ia
tiba di tempat itu, ia mendapatkan Tiong Han sudah bangun dan duduk di bawah
pohon. Pemuda ini sedang membersihkan pipi dan bibirnya yang berdarah karena
tamparan-tamparan Eng Eng tadi. Biarpun nampaknya masih lemas dan agak pucat
namun kesehatannya sudah pulih kembali. Totokan itu telah dapat dilepaskannya
sebelum waktunya dengan pengerahan tenaga dalamnya.
Bukan main
malu dan terharu hati Eng Eng ketika ia melihat pemuda ini. Melihat betapa pipi
pemuda itu menjadi bengkak dan kemerahan bekas tamparannya, hampir saja ia
tidak dapat menahan air matanya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan
menghampiri Tiong Han yang telah berdiri dan memandangnya dengan tenang.
"Aku...
aku telah berlaku salah... harap kau suka maafkan padaku," kata Eng Eng
dengan suara gagap juga.
“Tidak apa
nona Suma. Sudah sewajarnya kau sebenci itu kepadaku. Bahkan sekarang juga aku
masih bersedia untuk menerima, biar akan kau bunuh juga."
"Akan tetapi
mengapa?? Mengapa kau melindungi orang itu? Siapakah dia?"
Tiong Han
menarik napas panjang. Setelah gadis ini bertemu sendiri dengan Tiong Kiat, ia
tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi. "Dia adalah adik kembarku,
Sim Tiong Kiat.”
"Akan tetapi,
dia yang berbuat dosa, mengapa kau yang mengakuinya dan membiarkan aku
melakukan kesalahan kepadamu?" Eng Eng berkata penuh penasaran.
Tiong Han
mencoba tersenyum. "Lupakah kau nona, bahwa tadinya aku telah menyangkal
akan tetapi kau tidak percaya kepadaku? Setelah aku menduga bahwa perbuatan
keji itu tentu dilakukan oleh Tiong Kiat, sudah sepatutnya kalau aku yang
menerima hukumannya. Aku rela mati untuknya, aku adalah kakaknya dan juga
pengganti orang tuanya. Kami berdua telah menjadi yatim piatu semenjak kecil,
hidupnya hanya bersandar kepadaku dan kalau ia menjadi tersesat, tanggung
jawabku pulalah itu."
Entah
mengapa, pemuda ini menceritakan segala hal kepada Eng Eng dan akhirnya ia
menjadi demikian berduka memikirkan Tiong Kiat sehingga ia hanya menundukkan
mukanya.
"Kau
lemah, kau terlalu baik hati." Eng Eng mencela. "Manusia macam adikmu
itu harus dibasmi dari muka bumi! Aku akan mencarinya sampai dapat, biar
berlari ke neraka akan kukejar!" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu
membalikkan tubuh dan hendak lari dari situ.
"Nanti
dulu nona..." Tiong Han menahan dan terkejutlah Eng Eng ketika melihat
betapa dengan sekali lompatan saja pemuda ini telah berada di hadapannya! Ah,
kepandaiannya hebat juga pikirnya.
"Kuharap
kau jangan pergi mencari Tiong Kiat" katanya.
Marahlah Eng
Eng dan dicabutnya pedangnya, mengeluarkan sinar kemerahan. "Apa? Kau
masih juga hendak membela adikmu yang durhaka dan jahat itu? Sim Tiong Han,
kalau kau masih mabok dalam kelemahan hati dan kasih sayang terhadap adik
secara membuta boleh kau merasai pedangku! Tak perduli siapa yang hendak
membela si pendurhaka Tiong Kiat dia adalah musuhku!"
"Nona
kau kira aku seorang yang demikian jahat? Adik kandungku telah berbuat dosa
besar terhadapmu, apakah aku bahkan hendak menambah dosa itu dengan memusuhimu?
Tidak, nona Suma Eng, tidak. Biarpun kau hendak membunuhku, aku takkan melawan.
Dosa adikku adalah dosaku juga karena akulah yang mendidiknya semenjak kecil.
Aku mencegahmu mengejar Tiong Kiat, hanya karena…. aku kuatir kalau kalau kau
malah akan menjadi korban diujung pedangnya. Ketahuilah bahwa dia telah
merampas kitab ilmu pedang Ang-coa-kiam-sut dan apabila ia telah dapat
menamatkan pelajarannya dalam ilmu pedang itu, sukar bagimu untuk dapat
mengalahkannya!"
"Sombong!
Siapa takut menghadapi Ang-Coa-kiam-sut palsu? Mau tahu Ang-coa-kiam? Inilah
pedang ular merah yang asli!” Ia memperlihatkan pedangnya. "Mau tahu ilmu
pedang Ang coa kiamsut yang sesungguhnya ? Lawanlah ilmu pedangku, karena hanya
ilmu pedangku saja yang disebut Ang-coa-kiam-sut!”
Tiong Han
tertegun mendengar ini dan ia memandang ke arah pedang ini dengan penuh
perhatian. "Pokiam (pedang pusaka) yang baik sekali, akan tetapi bukan
Ang-coa-kiam, nona. Inilah Ang-coa-kiam yang menjadi pedang pusaka dari
Kim-liong-pai, peninggalan dari sucouw Bu Beng Sianjin!” Ia mencabut pedangnya
dan memperlihatkannya kepada Eng Eng juga.
Kini gadis
itu yang memandang dengan penasaran. Lalu ia tersenyum menghina. "Hm,
pedang buruk seperti ular itu kau sebut Ang-coa-kiam? Dan kau mau bilang bahwa
kau juga ahliwaris dari ilmu pedang Ang coa kiam-sut?”
"Memang
betul, nona. Aku adalah murid dari Kim-liong-pai dan tentu saja ilmu pedangku
adalah ilmu pedang Ang-Coa-kiam-sut!"
"Hm,
marilah kita sama membuktikan mana pedang Ang-coa-kiam tulen dan mana Ang coa
kiamsut asli!” bentak nona itu yang sudah menjadi marah dan ia menyerang dengan
hebatnya.
Juga Tiong
Han merasa penasaran sekali. Dalam hal urusan pribadi yang menyangkut persoalan
Tiong Kiat, ia memang mau mengalah dan juga ia merasa amat kasihan kepada gadis
yang menjadi korban adiknya ini, akan tetapi kalau orang menganggap pedang dan
ilmu pedangnya palsu, itu sudah keterlaluan sekali. Ia hendak membuktikan bahwa
pedang dan ilmu pedangnya bukan palsu, maka iapun lalu menangkis dan terjadilah
pibu (mengadu kepandaian) yang hebat dan seru sekali di tempat sunyi itu.
Seperti juga
halnya Tiong Kiat, kini Tiong Han merasa bingung dan terkejut menghadapi ilmu
pedang gadis ini yang amat aneh dan ganas luar biasa. Baiknya ia sudah mendapat
kemajuan pesat dalam ilmu pedangnya dan sudah mempelajari bagian pertahanan
yang kuat sekali, kalau tidak tentu ia akan termakan senjata gadis yang hebat
ini.
Juga Eng Eng
menjadi makin kagum. Ia dapat merasakan bahwa ilmu kepandaian pemuda ini masih
lebih tinggi dari pada kepandaian Tiong Kiat dan tiba-tiba ia merasa sesuatu
yang aneh terasa dalam hatinya. Pemuda ini luar biasa sekali dan amat menarik
hatinya. Sopan santun, lemah lembut dan manis budi. Jujur dan berbudi mulia,
setia kepada saudara dan kini ternyata ilmu kepandaiannya tinggi pula!
Alangkah
jauh bedanya pemuda ini dengan Tiong Kiat. Bagaikan bumi dan langit, ia melihat
wajah pemuda itu demikian pucat dan darah masih nampak di bibirnya. Juga pemuda
itu mendapat Iuka parah dipundaknya, maka hatinya menjadi tidak tega untuk
mendesak lebih hebat.
"Sudahlah,
ilmu pedangmu baik juga. Aku tidak keberatan kau namakan ilmu pedangmu itu Ang
coa-kiamsut!" kata Eng Eng sambil menarik kembali pedangnya.
"Akan
tetapi ilmu pedangmu juga hebat, ganas dan lihai sekali, nona!" seru Tiong
Han dengan kagum dan gembira. "Aku harus menanyakan ini kepada suhu!
Bolehkah aku mengetahui dari perguruan manakah nona dan siapakah suhumu yang
mulia?"
"Suhuku
sudah mati, namanya Hek-sin-mo. Sudahlah Sim Tiong Han, kita berpisah di sini.
Aku hendak mengejar adikmu yang jahat!"
Setelah
berkata demikian, gadis itu lalu lompat pergi dari tempat itu. Tiong Han
terlampau heran dan terkejut mendengar nama Hek sin mo sehingga ia hanya
berdiri bengong dan tidak mencegah gadis itu pergi. sungguhpun hatinya terasa
berat sekali. Ia pernah mendengar dari suhunya tentang seorang tokoh tinggi di
dunia kang-ouw yang bernama Hek-sin-mo dan kakek ini terkenal sebagai seorang
pendekar aneh yang sakti dan juga gila! Bahkan suhunya pernah bercerita
kepadanya bahwa sucouwnya, yakni Bu Beng Siansu, kenal baik bahkan bersahabat
dengan si gila Hek sin mo itu!
Tiba-tiba ia
mendengar senjata beradu dibarengi bentakan-bentakan nyaring yang dikenalnya
sebagai suara Eng Eng ! Cepat Tiong Han melompat menuruni lereng dan dilihatnya
Eng Eng tengah dikeroyok oleh tiga orang yang menyerangnya dengan seru sekali.
Siapakah
mereka ini? Bukan lain adalah Thian-te Sam-kui. Tiga Iblis Bumi Langit yang
terkenal lihai. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ban Yang Tojin
orang kedua dari tiga iblis itu, telah terbabat putus lengan kirinya oleh Eng
Eng. Dan juga orang ketiga dari mereka, Ban Hwa Yong si penjahat pemetik bunga,
telah bertemu dengan Tiong Han dan telah diusir dan dikalahkan ketika Ban Hwa
Yong sedang mengamuk dan dikeroyok oleh rombongan piauwsu dari Gin houw
piauwkiok.
Ketika Ban
Hwa Yong dan Ban Im Hosiang melihat saudara mereka yang putus lengannya,
keduanya menjadi marah sekali. Mereka bersumpah untuk membalas dendam kepada
Suma Eng gadis yang telah melukai Ban Yang Tojin dan mulailah mereka mencari
gadis itu. Akhirnya mereka mendapatkan jejak Eng Eng dan menyusulnya ke puncak
gunung Ta-pie-san. Kebetulan sekali ketika mereka telah tiba di lereng itu,
mereka melihat Eng Eng sedang berlari turun.
"Bangsat
perempuan, bagus sekali iblis sendiri telah menyerahkan kau ke dalam tangan
kami!" seru Ban Yang Tojin dengan marah sekali ketika ia melihat musuh
besar yang telah membuat lengannya menjadi buntung.
"Jangan
bunuh dulu, jiwi suheng!" berkata Ban Hwa Yong sambil tersenyum menyengir
dan memandang kagum kepada tubuh yang indah bentuknya serta wajah yang cantik
manis itu. "Tangkap saja dan berikan padaku bunga ini.”
Eng Eng
marah sekali melihat tiga orang ini. Ketika melihat Ban Yang Tojin ia menduga
bahwa yang dua orang lagi tentulah Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong. Ia memang
mencari-cari tiga orang Thian-te Sam-kui ini untuk membalas sakit hati keluarga
Ting Kwan Ek dan orang-orang yang telah terbunuh oleh tiga iblis ini di kota
Hun leng, yakni para piauwsu dari Pek-eng piauwkiok.
"Bagus
Thian-te Sam-kui. Tanpa dicari kalian telah datang sendiri mengantarkan kepala,
Ting-twako dan istrinya telah lama menanti kalian di alam baka!”
Sambil
berkata demikian Eng Eng lalu menggerakkan pedangnya yang berobah menjadi
segulung sinar merah yang dahsyat sekali. Di antara tiga orang iblis ini, hanya
Ban Yang Tojin yang sudah merasakan kelihaian pedang gadis itu, maka ketika Ban
Im Hosiang dan Ban Hwa Yong menyaksikan ilmu pedang ini, mereka diam-diam
merasa terkejut sekali, bahkan Ban Hwa Yong tidak berani main-main lagi. juga
tidak berani memandang rendah.
Segera ia
mengeluarkan sepasang senjatanya yang lihai, yakni kaitan besi yang berbahaya
itu. Ban Yang Tojin mengeluarkan tombaknya yang berujung bintang, sedangkan Ban
Im Hosiang juga menghunus pedangnya. Karena maklum bahwa gadis ini mempunyai
ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan, maka tanpa malu-malu Iagi Thian-te
Sam-kui lalu mengeroyoknya!
Untung saja
bahwa pertempuran ini terjadi di atas lereng gunung yang sunyi sekali, jauh
dari masyarakat ramai. Kalau pertempuran itu berlangsung di tempat ramai,
Thian-te Sam-kui tentu akan merasa malu sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh
kang-ouw yang amat terkenal dan seorang di antara mereka saja jarang ada orang
berani melawan, apalagi bertiga. Dan kini, menghadapi seorang gadis muda yang
cantik jelita ini Thian-te Sam-kui sampai maju bertiga mengeroyoknya!
Suma Eng atau
Eng Eng sudah mewarisi ilmu kepandaian Hek-sin-mo yang luar biasa maka ilmu
pedangnya tinggi dan lihai sekali. Jangankan baru seorang dua orang ahli silat
biasa saja, biarpun menghadapi sepuluh orang pengeroyok lebih yang memiliki
kepandaian biasa,agaknya tak mungkin para pengeroyoknya dapat menangkan dia.
Akan tetapi,
kali ini Eng Eng menghadapi Thian te Sam kui, Tiga Iblis Bumi Langit yang
termasuk tokoh tokoh tinggi dalam pengalaman. Orang pertama dari Thian-te
Sam-kui yakni Ban Im Hosiang, adalah seorang hwesio tua yang memiliki ilmu
pedang cukup tinggi dan kuat, lagi pula semenjak puluhan tahun kegemaran hwesio
ini adalah berpibu. Tiap kali terdengar olehnya ada seorang jagoan, biarpun
tempat tinggalnya jauh, selalu ia akan mendatangi jagoan itu untuk diajak
mengadu kepandaian!
Dan boleh
dibilang selalu ia mendapat kemenangan di dalam pibu ini. Bahkan ia pernah
berani menaiki gunung Kun-lun-san dan Gobi-san untuk mencoba kepandaian para
tokoh Kun-lun-pai dan Gobi-pai! Sungguhpun ia dikalahkan dalam pibu namun
kepandaiannya cukup dikagumi oleh tokoh persilatan yang lain.
Orang kedua
adalah Ban Yang Tojin yang pandai sekali mainkan senjata tombak berujung
bintang. Tosu ini sudah dua kali kalah oleh Eng Eng, bahkan dua kalinya nona
gagah itu telah membabat putus sebelah lengannya, maka tentu saja hatinya
menjadi amat sakit dan ia menerjang nona itu dengan kebencian luar biasa dan
sangat bernyala-nyala. Orang ketiga Ban Hwa Yong, juga lihai sekali ilmu
silatnya. Senjatanya yang merupakan sepasang kaitan itu amat sukar dilawan dan
sukar pula dijaga.
Dengan
dikeroyok oleh tiga orang lihai ini, tentu saja Eng Eng merasa terkurung rapat
dan terdesak hebat, Hanya keberanian dan semangatnya yang Iuar biasa saja yang
membuat gadis ini dapat mempertahankan diri dengan baik, bahkan dapat pula
membalas dengan serangan serangan yang tak kalah hebatnya.
llmu
pedangnya dan gerakan tubuhnya sungguh membuat Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong
terkejut dan gentar sekali. Belum pernah selama hidupnya Ban im Hosiang
menyaksikan ilmu pedang seperti ini. Padahal ia seringkali menyombongkan
pengalamannya dan mengaku telah mengenal segala macam ilmu silat yang ada di
dunia ini!
Ban Yang
Tojin mulai merasa girang karena ia percaya penuh bahwa kepandaian mereka
bertiga pasti akan berhasil membalaskan sakit hatinya terhadap gadis yang telah
membuatnya menjadi cacad selamanya itu. Ia mendesak hebat sekali dengan
tombaknya dan boleh dibilang, di antara mereka bertiga, serangan tosu ini yang
paling sengit. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras.
"Ban
Hwa Yong penjahat cabul, kau berada di sini? Hm, tentu kalian bertiga ini yang
disebut orang Thian-te Sam-kui!" Berbareng dengan seruan itu, kembali
berkelebat gulungan sinar merah dari pedang seorang pemuda. Kini dua gulungan
sinar pedang merah itu menahan serangan Thian-te Sam-kui!
Begitu
melihat berkelebatnya sinar merah dari pedang Tiong Han dan setelah melihat
tipu gerakan ilmu pedang Tiong Han, Ban Im Hosiang lalu berseru keras,
"Tahan
dulu! Yang baru datang bukankah murid dari Kim Iiong pai dan yang kau pegang
itu bukankah Ang-coa-kiam?"
Eng Eng dan
Tiong Han menahan pedang mereka, Tiong Han menghadapi Ban im Hosiang dan
berkata sambil tersenyum sinis.
“Betul, aku
yang muda adalah murid dari Kim-liong-pai dan pedang ini adalah Ang-coa-kiam.
Saudaramu Ban Hwa Yong telah bertemu dengan aku dan melihat watak dari adikmu
yang buruk, tak perlu kita bicara lagi."
"Anak
muda yang sombong! Terhadap lain orang kau boleh menyombongkan ilmu pedangmu
dari Kim-Iiong-pai, akan tetapi aku tidak takut, biarpun kau memegang pedang
Ang-coa-kiam!" Seru Ban Im Hosiang marah dan mendongkol sekali. "Kami
memusuhi iblis wanita ini yang liar dan ganas, yang telah membacok putus lengan
suteku. Ada sangkut paut apakah dengan kau murid Kim Iiong pai?"
"Thian-te
Sam-kui, dengarlah baik-baik, biarpun aku tidak mempunyai urusan dengan kalian
dan urusanmu dengan nona ini tidak ada hubungannya denganku, namun sebagai
murid Kim-liong-pai, aku selalu berada dipihak yang benar. Kalian adalah
orang-orang berkepandaian tinggi yang menyalahgunakan kepandaian, berlaku jahat
dan kejam sebagaimana yang dilakukan oleh Ban Hwa Yong, maka terpaksa aku akan
membela nona ini!"
Tiba-tiba
Ban Hwa Yong tertawa bergelak, ”Ha ha ha! Ang-coa-kiam! Dulu ketika kita
bertemu, aku masih belum kenal sebenarnya Ang-Coa-kiam. Kau bilang aku jahat,
penjahat cabul? Ha ha ha! Siapa tidak tahu bahwa Ang-coa-kiam adalah seorang
pengganggu perempuan yang lebih ganas dari padaku? Kau lebih cabul dari padaku,
sungguh lucu sekali kau masih dapat memaki-makiku! Seperti seorang perampok
besar memaki seorang maling kecil! Ang-coa-kiam, kita adalah orang-orang
segolongan yang memiliki kesukaan yang sama, Kalau kau tergila-gila kepada
bunga indah ini, biarlah aku mengalah atau tidak bisakah kita bagi rasa?"
Bukan main
marahnya Tiong Han mendengar ucapan manusia cabul itu. Akan tetapi berbareng
hatinya menjadi perih juga karena ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan oleh
penjahat cabul ini tentulah adiknya, Tiong Kiat! Maka ia tidak dapat menjawab,
hanya berkata kepada Eng Eng.
"Nona,
mari kita basmi penjahat-penjahat ini!"
Eng Eng
semenjak tadi memang telah habis sabar melihat Tiong Han bercakap-cakap dengan
penjahat itu. Mendengar omongan Ban Hwa Yong, ia juga dapat menduga bahwa yang
dimaksudkan oleh penjahat itu tentulah Tiong Kiat, sehingga kembali Tiong Han
menjadi korban perbuatan adiknya dan dia yang mendapat nama busuk! Ia merasa
kasihan kepada pemuda ini, maka ketika mendengar ucapan Tiong Han, Eng Eng
tidak menjawab lagi, hanya melompat maju dan menyerang dengan hebatnya, ia
disambut oleh Ban Yang Tojin yang dibantu oleh Ban Hwa Yong. Adapun Sim Tiong
Han, yang bergerak maju mendapat lawan Ban Im Hosiang, orang terpandai dari
Thian-te Sam-kui.
Pertempuran
berjalan lebih ramai dari pada tadi. Akan tetapi tidak berlangsung lama. Ban Im
Hosiang yang menghadapi Tiong Han, sebentar saja terdesak hebat. Ilmu pedang
Ang-coa-kiamsut telah dipelajari oleh pemuda ini sampai tingkat tinggi. Telah
delapan puluh bagian lebih ilmu pedang itu ia kuasai dan kini karena ia mainkan
ilmu petang itu dengan pedang Ang-coa-kiam, tentu saja kelihaiannya
bertambah-tambah.
Biarpun Ban
Im Hosiang mempunyai kelebihan dalam tenaga Iweekang, namun kelebihan ini
ditutup oleh kekalahannya dalam hal pedang. Pedangnyapun bukan pedang buruk,
namun kalau dibandingkan dengan Ang-coa-kiam, pedangnya itu tidak berarti sama
sekali. Hwesio ini tahu akan kelemahan pedangnya, maka iapun bersilat dengan
amat hati-hati, tidak berani mengadu mata pedangnya dengan mata pedang
Ang-coa-kiam.
Pertempuran
yang terjadi di antara Eng Eng yang dikeroyok dua oleh Ban Yang Tojin dan Ban
Hwa Yong, lebih seru lagi. Gadis ini sekarang dapat mengamuk lebih hebat
daripada tadi karena sesungguhnya yang paling berat dilawan adalah Ban Im
Hosiang. Dua orang pengeroyoknya, yang seorang sudah kehilangan lengan kiri dan
yang kedua, yakni Ban Hwa Yong yang mata keranjang dan sayang akan kecantikan
gadis ini, tidak menyerang dengan sekuat tenaga.
Ban Yang
Tojin telah mengganti senjatanya, karena ia telah maklum akan keampuhan pedang
gadis itu, namun tetap saja tombak bintangnya yang sekarang tiba-tiba putus
ujungnya ketika beradu dengan keras sekali dengan pedang merah di tangan Eng
Eng. Dan sebelum Ban yang Tojin dapat mengelak, ujung pedang di tangan Eng Eng
telah menusuk paha kanannya sehingga tosu ini roboh sambil mengeluarkan teriakan
keras.
Kalau saja
luka di pahanya itu disebabkan oleh tusukan pedang biasa, mungkin ia masih akan
dapat melarikan diri. akan tetapi bekas tusukan pedang merah di tangan Eng Eng
mendatangkan rasa panas dan sakit luar biasa sehingga ia hanya rebah sambil
merintih-rintih!
Bukan main
kagetnya Ban Hwa Yong melihat betapa suhengnya telah roboh. la memutar sepasang
besi kaitannya dengan cepat untuk melindungi diri, akan tetapi sebuah sabetan
dari Eng Eng telah membuat sebuah dari kaitannya putus pula! Ban Hwa Yong
melompat ke belakang dan pada saat itu terdengar lain teriakan dan tubuh Ban Im
Hosiang terlempar karena tendangan Tiong Han!
MeIihat haI
ini, Ban Hwa Yong lalu melemparkan kaitannya yang telah putus itu ke arah Eng
Eng kemudian cepat melarikan diri dari situ. Eng Eng mengangkat pedangnya
menangkis, kemudian sebelum Tiong Han dapat mencegahnya, gadis ini dengan
gerakan kilat melompat ke dekat Ban Im Hosiang. Sekali pedang merahnya
berkelebat, putuslah leher hwesio itu!
Setelah itu,
kembali pedangnya berkelebat dibarengi bentakannya yang keras ke arah leher Ban
Yang Tojin maka tewaslah orang pertama dan kedua dari Thian te Sam kui yang
pernah menggoncangkan dunia kang ouw. Eng Eng hendak mengejar Ban Hwa Yong,
ternyata bahwa penjahat itu telah lenyap tidak dapat ia ketahui ke mana
perginya.
“Mengapa kau
tidak mengejarnya?" gadis berkata menyesal dan kecewa kepada Tiong Han.
Adapun
pemuda ini yang memang masih agak lemah, kini menjadi makin pucat melihat
keganasn Eng Eng ini, ia tidak menjawab pertanyaan yang mengandung teguran itu,
bahkan dialah yang kini menegur sambil mengerutkan keningnya.
"Nona,
mengapa kau begitu kejam? Mengapa kau membunuh lawan-lawan yang sudah terluka
tak berdaya? Apakah kesalahan mereka terhadapmu sehingga kau demikian ganas
terhadap Thian-te Sam-kui?"
"Lagi-lagi
kau memperlihatkan kejernihan hatimu," gadis ini mencela. "Kau mudah
terharu dan tergerak hatimu menyaksikan sebuah peristiwa yang hanya merupakan
akibat dari pada sebab yang lebih mengerikan lagi. Tentu sedikitpun tidak
terduga atau terpikir olehmu mengapa aku berlaku sedemikian ini yang kau anggap
ganas dan kejam."
Merahlah
wajah Tiong Han. Memang ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis
aneh ini dengan Thian-te Sam-kui. Menurut pendengarannya tadi, gadis ini pula
yang telah membuntungkan lengan Ban Yang Tojin dan disangkanya itulah
sebenarnya maka Thian-te Sam-kui datang memusuhi Eng Eng.
"Maaf
nona, memang aku belum mengerti. Tolong kau ceritakanlah kepadaku agar hatiku
tidak penasaran lagi."
"Mungkin
kau sudah tahu akan sifat-sifat buruk ketiga orang penjahat ini. Sebab pertama
timbulnya permusuhan antara mereka dan aku disebabkan oleh Ban Yang
Tojin."
Gadis ini
dengan jelas lalu menceritakan betapa Ban Yang Tojin mengganggu dan merampok
Pek-eng piauwkiok dan betapa ia telah menolong Ting kwan Ek dan mengusir Ban
Yang Tojin. Kemudian Ban Yang Tojin dengan bantuan kedua orang saudaranya itu
datang membalas dendam karena kekalahannya dan di luar tahu Eng Eng lalu ketiga
orang Iblis itu membasmi Pek-eng-piauwkiok dan membunuh seluruh keluarga Ting
Kwan Ek dan Ouw Tang Sin, bahkan lalu membawa lari Nyonya Ouw yang muda lagi
cantik.
Setelah
mendengar penuturan Eng Eng marahlah Tiong Han. "Hm, kalau begitu, sayang
sekali kita melepaskan Ban Hwa Yong lari. Dia juga patut dilenyapkan dari muka
bumi ini!"
Ia lalu
menceritakan kepada Eng Eng betapa iapun pernah bertempur dengan Ban Hwa Yong
telah membunuh Lo Kim Bwe atau Nyonya Ouw yang diculiknya itu, yakni ketika Ban
Hwa Yong bertempur menghadapi keroyokan piauwsu dan Gin-houw-piauwkiok.
"Lo Kim
Bwe memang sudah sepantasnya mengalami kematian di tangan penjahat itu,"
kata Eng Eng yang memang merasa gemas dan benci sekali kepada nyonya muda yang
genit itu.
Maka
diceritakanlah kepada Tiong Han akan segala pengalamannya ketika ia berada
dirumah Ting Kwan Ek yang dianggapnya sebagai kakak sendiri itu. Tak terasa
lagi keduanya berjalan perlahan menuruni bukit Ta-pie-san sambil bercakap-cakap
dengan asyik sekali, sama sekali tidak merasa kikuk atau asing seakan-akan
mereka telah bertahun-tahun menjadi kenalan karib, Tiong Han makin tertarik
hatinya terhadap gadis ini dan diam-diam ia memaki adiknya yang sudah begitu
keji terhadap gadis seperti ini.
“Nona Suma
Eng ketahuilah bahwa antara suhumu dan sucouwku masih terdapat ikatan
persahabatan yang amat erat. Sucouwku adalah Bu Beng Sianjin, apakah suhumu
tidak pernah menceritakan padamu tentang sucouw?”
Gadis itu menggeleng
kepala. Bercakap-cakap dengan Tiong Han mengenai masa Iampau membuat ia
seakan-akan berjalan dengan seorang yang telah lama di nanti-nanti, dikenang
dan diharapkan kedatangannya. la merasa bahagia tenteram dan semua pemandangan
di atas bukit itu nampak indah dan berseri. Ia merasa seakan-akan berada di
dalam perlindungan yang kuat yang dapat dipercaya penuh, yang membuat ia merasa
seperti seorang anak kecil dipangkuan ibunya.
Alangkah
bahagianya kalau ia selalu dapat berada di dekat pemuda yang sopan, halus dan
juga lihai ini! Akan tetapi tiba tiba wajahnya yang cantik jelita itu menjadi
merah sampai ke telinganya. Ia teringat lagi kepada Tiong Kiat dan teringat
lagi akan keadaan dirinya yang sudah terhina oleh Tiong Kiat. Tiong Han
kebetulan mengerling dan menatap wajahnya, maka pemuda ini dapat melihat
perobahan pada muka Eng Eng.
"Ada
apakah nona? Apakah kau Ielah dan ingin istirahat?"
"Tidak,
aku... aku harus berpisah darimu. Kan baik sekali, Sim twako dan aku akan
selalu menyebutmu twako karena kau baik, baik seperti twako Ting Kwan Ek yang
sudah mati. Akan tetapi, aku harus pergi, aku harus mencari adikmu yang jahanam
itu untuk kuhancurkan kepalanya!"
Muramlah
wajah Tiong Han yang tadinya sudah nampak gembira, ia menarik napas berulang-ulang
dan dengan menyesal sekali berkata, "Apa yang dapat kukatakan? Tiong Kiat
memang telah berlaku jahat sekali. Kau berhak penuh untuk membalas dendam...
dan aku... ah, apa yang dapat kukatakan?"
Pemuda ini
lalu menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar untuk mengaso karena ucapan
Eng Eng tadi seketika itu juga menimbulkan semua kelelahan yang tadi tidak
terasa olehnya, ia memandang dengan sedih ketika gadis itu meninggalkannya
setelah menengok tiga kali seakan gadis itupun merasa menyesal harus berpisah
darinya.
Perasaan
kecewa, menyesal, duka, ditambah oleh kelelahan karena pertempuran-pertempuran
tadi sedangkan luka pada pundaknya oleh tusukan pedang adiknya masih belum
sembuh membuat Tiong Han tertidur di bawah pohon itu. Angin berhembus perlahan
mengipasi tubuhnya sehingga tidurnya makin nyenyak.
Tiba tiba ia
merasa betapa pedang di pinggangnya bergerak. Cepat ia membuka mata dan
melompat bangun. Ternyata ia telah dikurung oleh lima orang berpakaian sebagai
tosu dan sudah tua-tua dan ketika ia meraba pinggangnya ternyata bahwa
pedangnya itu berikut sarungnya telah dibawa oleh seorang tosu yang nampak
tertua dan yang mempunyai sinar mata berpengaruh. Kelima orang tosu itu
bagaikan patung berdiri mengurung dan memandangnya dengan sinar mata tajam!
"Apa…
apa artinya ini? Siapakah ngowi Suhu ?” tanya Tiong Han dengan gagap.
"Ang
coa.kiam, bukalah matamu lebar-lebar! Kami adalah tosu-tosu dari Kun lun
pai!"
Akan tetapi,
lima orang tosu tokoh Kun-lun-pai itu menjadi heran ketika melihat betapa
pemuda ini memandang mereka dengan tak mengerti.
"Harap maafkan
apabila teecu tidak mengetahui akan kedatangan ngowi suhu. Akan tetapi,
mengapakah pedang teecu dirampas dan apakah maksud kedatangan ngowi ini?"
"Ang-coa-kiam!"
tosu yang merampas pedangnya membentak. "Pinto adalah Gan Tian Cu dan
sudah lama pinto mengenal suhumu Lui Thian Sianjin di Kim liong-pai! Kalau
tidak memandang muka suhumu, sekarang juga kau tentu telah kami bunuh tanpa
banyak bertanya lagi. Akan tetapi, karena kau adalah anak murid Kim-liong-pai
dan pedang Ang-coa-kiam berada di tanganmu, pinto masih hendak memberi
kesempatan kepadamu. Mengapa kau membunuh seorang anak murid kami berdasarkan
kejahatan dan kesesatanmu? Murid kami itu adalah seorang yang menjunjung tinggi
keutamaan dan mendengar tentang kesesatan Ang-coa-kiam, dia sengaja datang
menegurmu, akan tetapi kau bahkan telah menjatuhkan tangan maut
kepadanya."
"Totiang,
apakah artinya semua ini?" Tiong Han memandang dengan heran dan penasaran,
"Teecu tak pernah bertemu dan tak pernah bertempur dengan seorang anak
murid Kun-lun-pai, bagaimana teecu dapat membunuh seorang murid Kun-lun-pai?”
"Ang-coa-kiam!
Kau telah berani memakai nama julukan Ang-coa-kiam, meninggalkan tanda gambar
pedang ini pada tiap tempat kau melakukan kejahatan. Suatu perbuatan yang amat
berani dan sombong! Akan tetapi sekarang ternyata dihadapan pinto kau berlaku
amat pengecut. Kau telah membunuh Lo Ban Tek murid kami di kota l-kiang, apakah
kau masih mau menyangkal lagi?"
Lenyaplah
keheranan Tiong Han dan hatinya tertusuk sekali, karena ia telah merasa yakin
bahwa yang melakukan hal itu tentulah adiknya, Tiong Kiat! Maka lemaslah
tubuhnya lenyaplah semangat perlawanannya. Apakah yang hendak dikata?
Menyangkal? Sama dengan mendakwa adiknya sendiri. Mengaku? Dia tidak melakukan
perbuatan itu.
"Totiang,
apakah yang hendak totiang lakukan terhadap diriku?" tanyanya perlahan.
"Kau
harus ikut dengan kami ke Kun-lun-pai dan disana para ketua akan menjatuhkan
hukumannya! Tinggal kau pilih saja, ikut dengan patuh atau melawan dengan
kekerasan kami dapat membunuhmu di tempat ini juga!" Kata Gan Tian Cu
dengan suara tegas.
"Untuk
apa aku melawan? Marilah kalau ngowi totiang hendak membawaku ke Kun-lun-pai,
aku akan ikut dengan patuh."
Demikianlah,
Tiong Han lalu diikat kedua tangannya dengan tali sutera yang amat kuat. Pemuda
ini menurut saja, kemudian kelima orang tosu itu lalu mengajaknya berjalan
cepat turun dari Ta-pie-san, menuju ke Kun-lun-san.
Akan tetapi
baru saja rombongan itu tiba di kaki gunung Ta-pie-san yang mereka tinggalkan,
tiba tiba berkelebat bayangan putih yang didahului oleh sinar merah menyambar
ke arah lima orang tosu itu! Gan Tian Cu dan sute-sutenya (adik-adik
seperguruannya) adalah tosu-tosu tua yang memiliki kepandaian tinggi, maka
melihat sinar pedang itu, mereka cepat melompat mundur untuk mengelak.
"Jangan,
nona Suma Eng, jangan serang mereka!"
Tiong Han
cepat menggerakkan tubuhnya dan sekali bergerak saja tali-tali yang kuat itu
terlepas dari kedua tangannya. Ia terpaksa melakukan ini untuk mencegah Suma
Eng yang hendak menyerang Gan Tian Cu.
Dengan mata
menyala dan dada berombak, wajahnya merah penuh kemarahan, Eng Eng menunda
serangannya dan memandang kepada lima orang tosu itu dengan marah sekali. Tiong
Han tak terasa lagi mengulur tangannya dan memegang lengan Eng Eng yang
memegang pedang.
"Jangan
nona, jangan... mereka adalah tosu-tosu dari Kun-lun-pai!" Tiong Han
mencegah sambil memegang erat lengan tangan Eng Eng.
“Tidak
perduli! Biarpun mereka tosu-tosu dari neraka sekalipun aku tidak takuti!
Mereka mengandalkan keroyokan untuk menangkapmu sungguh pengecut!"
Sementara
itu, Gan Tian Cu dan kawan-kawannya tadi merasa terkejut sekali melihat
kehebatan seorang gadis cantik jelita yang memegang pedang merah menyilaukan
mata. Lebih-lebih kaget mereka ketika melihat betapa dengan sekali gerakan saja
ikatan pada kedua tangan Tiong Han telah putus dan tangannya sudah terlepas!
Alangkah hebatnya kepandaian dan tenaga pemuda itu yang tadi menyerah demikian
patuhnya.
“Nona,
siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan kami, pendeta-pendeta dari
Kun-lun-pai?"
Sebelum Eng
Eng menjawab Tiong Han mendahuluinya. "Ngowi totiang, ini adalah nona Suma
Eng murid dari Hek sin mo yang terkenal!"
Terbelalak
mata kelima orang tosu itu, karena sesungguhnya nama Hek sin-mo merupakan nama
yang amat terkenal dan dikagumi oleh semua tokoh persilatan. Gan Tian Cu
mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat kepada murid orang sakti
itu dan berkata,
"Nona,
harap kau tidak salah sangka. Pinto berlima datang sengaja hendak membawa
pemuda ini yang telah berdosa besar telah membunuh Lo Ban Tek, anak murid dari
Kun-lun-pai. Kami datang untuk membawanya ke Kun.lun-san agar mendapat
pengadilan dari para ketua Kun-lun-pai."
"Apa
buktinya bahwa Sim twako telah membunuh anak murid Kun-lun-pai?" tanya Eng
Eng yang belum hilang kemarahannya.
"Nona,
nama Ang coa kiam telah amat terkenal. Pemuda ini tidak hanya membunuh Lo Ban
Tek murid kami, bahkan ia telah terkenal sebagai seorang jai hwa cat dan
pencuri yang amat jahay dan keji! Ia telah membunuh keluarga Lui wangwe yang
dermawan, hanya untuk memenuhi permintaan seorang pelacur rendah. Murid Kami Lo
Ban Tek datang untuk menegurnya akan tetapi bahkan dibunuhnya! Nona, kau adalah
murid seorang pendekar, seorang locianpwe yang ternama, maka sudah menjadi
kewajibanmu pula untuk membasmi orang-orang macam Sim Tiong Kiat yang berjuluk
Ang.coa-kiam murid Kim-liong-pai yang durhaka ini. Bagaimana seorang murid dari
Hek-sin-mo locianpwe dapat bersahabat dengan seorang jahat seperti dia
ini?"
"Pendeta-pendeta
tersesat, bukalah matamu baik-baik!" Eng Eng berseru marah sekali dan
menggerakkan pedangnya. "Dia ini bukanlah Sim Tiong Kiat dan..."
"Nona
Suma!" Tiong Han mencegahnya membuka rahasia adiknya.
Akan tetapi
Eng Eng tidak memperdulikannya dan melanjutkan kata-katanya, "Dan orang
yang melakukan semua kejahatan yang kau sebutkan tadi, orang jahat yang
menggunakan nama julukan Ang-coa-kiam bukanlah dia ini, akan tetapi
adiknya!"
"Apa...
apa maksudmu, nona?" Gan Tian Cu bertanya dengan heran, demikian pula
adiknya membelalak matanya dengan kaget.
"Eng-moi...
jangan...” Tiong Han mencoba lagi untuk mencegah Eng Eng membuka rahasia
adiknya dan dalam kegugupannya sampai lupa dan menyebut nona itu Eng-moi (adik
Eng).
Eng Eng
menengok dan menatap wajah pemuda itu. Sepasang matanya yang indah itu tampak
terbaru, akan tetapi bibirnya dirapatkan dengan gemas. "Orang
lemah..." katanya perlahan, kemudian ia berpaling kepada Gan Tian Cu lalu
berkata,
"Totiang,
bukan kau saja yang salah pandang, bahkan aku sendiri pun tadinya telah salah
sangka. Orang muda ini bernama Sim Tiong Han, dan Sim Tiong Kiat si jahanam
adalah adik kembarnya. Adiknya itulah orang yang harus kau cari dan kau tangkap
bukan Sim twako ini."
"Akan
tetapi... pedang Ang-coa-kiam berada di tangannya dan... dan mengapa kau tidak
mau memberitahukan keadaan yang sebenarnya?" tanyanya kemudian kepada
Tiong Han.
Pemuda ini
menghela napas. Tak perlu lagi ia menyembunyikan hal yang sebenarnya.
"Totiang keterangan nona ini memang benar. Tiong Kiat adalah adikku dan
kalau ia telah melakukan dosa terhadap Kun-lun-pai biarlah aku sebagai kakak
kandungnya yang bertanggung jawab dan menerima hukumannya. Pedang ini belum
lama kuterima dari padanya."
Bukan main
herannya hati Gan Tian Cu mendengar ini. "Aah, mengapa begitu? Orang muda,
hampir saja kau membuat kami melakukan kedosaan besar, menghukum orang yang
tidak bersalah. Baiknya datang Suma Iihiap ini yang berani berkata terus
terang! Sim enghiong pinto dapat memaklumi pembelaan dan pengorbananmu terhadap
seorang adik. Akan tetapi, perbuatanmu ini benar-benar keliru sekali. Benar
seperti dikatakan oleh Suma lihiap tadi, kau terlalu lemah! Kelemahan dan kasih
sayang hatimu terhadap adikmu telah menggelapkan pertimbangan dan keadilanmu!
Apa kau kira dengan mengorbankan nyawa untuk membela adikmu itu, kau telah
melakukan suatu tindakan yang bijaksana? Sebaliknya, anak muda, sebaliknya kau
bahkan menambah kejahatan kepada dunia! Dengan tindakanmu ini, seakan-akan kau
membela penjahat yang mengacaukan dunia! Pikiranmu cupat sekali, Sim enghiong.
Karena kasih sayangmu terhadap adik, kau membiarkan adikmu merajalela dan
mencelakakan orang-orang yang seharusnya patut kau bela. Di manakah keadilanmu?
Di manakah kegagahanmu?"
Terpukul
hati Tiong Han mendengar ucapan pendeta ini dan ia menundukkan mukanya yang
pucat.
"Sim
enghiong," kata lagi Gan Tian Cu yang merasa penasaran melihat kelemahan
hati pemuda yang demikian gagah, "kau benar-benar telah memalukan nama
Kim-liong-pai yang besar. Ketahuilah bahwa pendirian seorang pendekar, di dalam
membela kebenaran dan keadilan tidak ada hubungan saudara maupun keluarga. Yang
benar harus dibela, sungguhpun orang lain yang belum dikenalnya, yang salah
harus dilawan biarpun saudara atau keluarga sendiri! Bahkan kaIau di dalam
Kim-liong-pai terdapat seorang yang nyeleweng adalah kewajibanmu untuk mencegah
dan melenyapkan pendurhaka itu. Kewajibanmu untuk menangkap adikmu itu demi
membersihkan nama Kim-liong-pai, demi menjaga baik nama ayahmu dan demi sifatmu
sebagai pendekar pembela rakyat! Nah, cukup pinto bicara, kau turut atau tidak
terserah, akan tetapi pinto takkan berhenti berusaha untuk menangkap
adikmu." Maka pergilah Gan Tian Cu dengan empat orang adik seperguruannya.
Ucapan itu
mendorong dua titik air mata mengalir keluar dari mata Tiong Han yang masih
menundukkan mukanya. Terbangun semangatnya dan ia berkata kepada Eng Eng yang
masih memandangnya dengan terharu.
"Nona
benar juga ucapan Gan Tian Cu totiang. Aku akan mencari Tiong Kiat, hendak
kutangkap dan kubawa kembali ke Kim liong pai, menyerahkannya kepada
suhu."
"Bagus,
akan tetapi aku tidak mau kalah dulu baik olehmu maupun oleh pendeta
Kun-lun-pai tadi. Gan Tian Cu hendak menangkap Tiong Kiat untuk dibawa ke
Kun-Iun-pai, kau hendak menangkapnya untuk kau bawa ke Liong-san. Akan tetapi,
akulah yang berhak menghancurkan kepalanya untuk membalaskan dendam
hatiku!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu melompat pergi,
meninggalkan Tiong Han yang memandang sayu.
"Tiong
Kiat... Tiong Kiat... tidak kusangka bahwa nasibmu akan demikian buruknya...
adikku, mengapa kau tersesat sejauh ini...?"
Dengan kaki
lemas, Tiong Han lalu menuruni bukit Ta-pie-san dalam perjalanannya mencari
adiknya untuk membawanya dengan paksa ke Liong san, di mana suhunya telah
menanti. la merasa penasaran mengapa Tiong Kiat telah berpisah dari Kui Hwa,
padahal tadinya ia mengharap supaya adiknya itu hidup berbahagia dengan
sumoinya atau bekas tunangannya itu. Apakah Kui Hwa yang menyebabkan Tiong Kiat
menjadi tersesat?
Panas
dadanya ketika ia mendapatkan pikiran ini. Siapa tahu? Mungkin Kui Hwa yang
menjadi biang keladinya! la teringat akan kata-kata Tiong Kiat bahwa kini Kui
Hwa dapat dicari di kota Heng yang. Maka iapun lalu tujukan perjalanannya ke
kota Heng-yang untuk mencari Kui Hwa dan untuk bertanya kepada sumoinya itu
mengapa Tiong Kiat dan Kui Hwa dapat berpisah.
***************
Sebelum
Tiong Han yang hendak mencari sumoinya, yakni Can Kui Hwa, tiba di tempat itu,
marilah kita mendahuluinya menengok keadaan nona yang malang nasibnya ini.
Dalam buku jilid kedua telah diketahui bahwa setelah melihat Tiong Kiat
melakukan perbuatan hina terhadap Gu Loan Li, gadis yang mereka tolong dari
tangan kepala gerombolan Sorban Merah sehingga Loan Li membunuh diri, Kui Hwa
menjadi marah sekali dan menyerang Tiong Kiat.
Akan tetapi
tentu saja ia bukan lawan pemuda yang berkepandaian Iebih tinggi tingkatnya itu
dan telah dikalahkan. Setelah Tiong Kiat meninggalkannya Kui Hwa yang putus asa
lalu teringat akan permintaan para anggauta gerombolan Sorban Merah yang hendak
mengangkatnya menjadi kepala. Ia lalu kembali ke kota Heng yang dan diterima baik
dan dengan gembira oleh para pengurus Perkumpulan Sorban Merah itu.
Setelah
melihat gadis ini mengalahkan dan menewaskan kepala mereka, yakni Hek pa cu
Teng Sun, para thauwbak dan anak buah gerombolan Sorban Merah amat
mengaguminya. Perkumpulan Sorban Merah mempunyai anggota yang banyak jumlahnya
dan semenjak dipimpin oleh Hek-pa-cu Teng Sun, perkumpulan ini telah
menghasilkan banyak uang, yang didapat dengan jalan terang maupun gelap, Kui
Hwa sendiri menjadi terkesiap ketika ia melihat peti penuh dengan barang
perhiasan yang amat besar nilainya disodorkan kepadanya oleh para thauwbak.
"Mulai
sekarang, tidak boleh lagi ada pelanggaran-pelanggaran," katanya dengan
suara keras. "Tidak boleh melakukan sesuatu yang jahat dan siapapun juga
diantara anggota ada yang melanggar akan berkenalan dengan pedangku!"
Gadis ini
karena tidak mempunyai harapan untuk kembali ke rumah ayahnya dan tidak
mempunyai perlindungan lalu membeli sebuah rumah besar dan memasang merk papan
nama Perkumpulan Sorban Merah. Ia lalu mengatur anak buahnya untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang baik, misalnya menjaga keamanan kota, mengawal
kiriman-kiriman barang dan Iain-lain.
Pengaruh
Perkumpulan Sorban Merah sudah besar sekali, akan tetapi kalau tadinya
perkumpulan ini ditakuti dan disegani orang, sekarang orang orang
menghormatinya sebagai perkumpulan orang-orang yang gagah yang boleh mereka
andalkan bantuannya.
Diantara
para thauwbak (pembantu pemimpin) dan anggota Sorban Merah, banyak juga yang
merasa tidak puas dengan peraturan-peraturan keras ini, karena mereka ini
memang mempunyai watak yang busuk seperti Hek-pacu Teng Sun. Maka diam-diam
orang-orang ini lalu melarikan diri dan mencari seorang yang mereka harapkan
menjadi pemimpin mereka. Orang ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Teng
Sun yang bernama Kim-pacu Gak Kun si Macan Tutul Emas dan yang menjadi kepala
rampok di pegunungan Pek-ma-san, tak jauh dari kota Heng-yang.
Untuk
menyesuaikan dirinya sebagai kepala dari Perkumpulan Sorban Merah yang terdiri
dari anggota-anggota ahli bermain golok, Kui Hwa kini mengganti senjata
pedangnya dengan golok pula. la bahkan memberi pelajaran ilmu silat golok yang
baru kepada anak buahnya, yang dimainkan berdasarkan ilmu pedang
Ang-coa-kiamsut yang lihai. Maka tentu saja para anggota Sorban Merah mendapat
kemajuan yang hebat sekali dan kedudukan perkumpulan ini makin kuat saja.
Kui Hwa
merasa senang dengan kedudukannya yang baru ini. Selain dapat penghormatan dari
semua anak buahnya, iapun terkenal sekali di kota Heng-yang sebagai seorang
wanita perkasa yang selain cantik jelita juga gagah berani dan berbudi. Banyak
hati pemuda-pemuda Heng-yang, baik yang pandai ilmu silat maupun yang tidak,
jatuh hati kepadanya dan banyak pula gadis yang kini disebut Can pangcu (ketua
Can) ini menerima pinangan.
Akan tetapi
semua pinangan ini ditolaknya dengan manis. Di dalam hatinya sebenarnya Kui Hwa
menderita hebat. Hatinya telah terluka perih oleh perbuatan Tiong Kiat, pemuda
yang amat dikasihinya itu. Dan ia merasa amat menyesal mengapa ia jatuh hati
oleh bujukan Tiong Kiat yang ternyata tidak berbudi itu. Sering kali ia
terkenang kepada Tiong Han dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau ia
menikah dengan suhengnya ini. Ia menyesal bukan main, akan tetapi nasi telah
menjadi bubur, apa hendak dikata?
Bukan Kui
Hwa tidak ada niatan membangun rumah tangga, menikah dengan seorang pemuda yang
baik, akan tetapi ia merasa ragu-ragu setelah kegagalannya dengan Tiong Kiat.
Pula, sebagai seorang gadis berkepandaian tinggi, tentu saja takkan merasa puas
kalau menikah dengan seorang pemuda yang lemah, yang tidak mengimbangi ilmu
kepandaiannya. Dan pula, ia merasa malu karena ia telah berIaku sesat bersama
Tiong Kiat.
Pada suatu
hari, ketua Kui Hwa tengah duduk di dalam rumah perkumpulannya dan bercakap-cakap
dengan beberapa orang pembantunya, membicarakan tentang pekerjaan-pekerjaan
yang diserahkan kepada perkumpulannya, tiba tiba seorang anggauta Sorban Merah
berlari masuk. Terkejutlah Kui Hwa dan kawan-kawannya ketika melihat anggauta
ini pakaiannya berlumuran darah dan ternyata bahwa darah itu menetes turun
dengan derasnya dari telinga kirinya yang telah dipotong orang!
"Apakah
yang telah terjadi dengan dirimu?" tanya Kui Hwa dengan suara tenang. Ia
menduga bahwa tentu ada orang jahat yang mengganggu anak buahnya ini.
"Celaka,
pangcu (ketua) kawan-kawan kita pengikut-pengikut mendiang Hek-pa-cu yang
melarikan diri kini telah datang dan merupakan rombongan perampok bersorban
biru, dipimpin oleh Kim-pa-cu Gak Kun sendiri! Hamba dan beberapa orang yang
bertugas menjaga keamanan kota, mereka serbu dan banyak kawan kita yang binasa!
Kim-pa-cu Gak Kun menantang kepada pangcu untuk menyambutnya di sebelah barat
kota Heng-yang!"
Setelah
menuturkan hal ini, anak buah Sorban Merah ini lalu jatuh tersungkur dalam
keadaan pingsan. Naiklah kedua alis Kui Hwa mendengar dari para thauwbak
tentang Kim-pa-cu Gak Kun ini sebagai suheng dari Hek-pa-cu Teng Sun yang telah
dibunuhnya. Memang ia telah siap sedia menghadapi pembalasan dari perampok ini.
Akan tetapi
sama sekali tidak pernah diduganya bahwa anak buah Sorban Merah yang diam-diam
melarikan diri, kini ternyata telah bergabung dengan penjahat ini dan membentuk
gerombolan Sorban Biru, kemudian datang menyerbu dan membikin kacau kota
Heng-yang! Marah sekali gadis ini dan cepat ia lalu masuk ke dalam kamarnya,
berganti pakaian yang ringkas berwarna biru gelap, lalu membawa goloknya.
Pada saat
itu, datanglah tergopoh-gopoh kepala kota dan tikoan. Kedua orang pembesar ini
telah mendengar tentang kerusuhan yang ditimbulkan oleh Gerombolan Sorban biru
yang mulai merampoki rumah rumah penduduk di pinggir kota dan mengganggu
wanita-wanita.
"Can
pangcu, harap kau suka lekas tolong usir mereka!" kata kepala kota dengan
wajah pucat.
"Kalau
perlu bantuan, aku dapat mengerahkan penjaga kota!" menyambung tikoan
sambil memandang kepada Kui Hwa dengan kagum. Belum pernah ia melihat Kui Hwa
segagah dan secantik ini, dalam pakaian yang ringkas dan mencetak tubuhnya itu.
"Harap
jiwi taijin suka tenang" jawab Kui Hwa. "Tak usah diserahkan penjaga
kota, biarlah aku dan pembantu-pembantuku menyelesaikan urusan ini. Percayalah,
tak lama lagi akan kubawa kepala perampok she Gak itu kehadapan jiwi
taijin!"
Setelah
berkata demikian Kui Hwa lalu menghampiri anak buahnya yang buntung telinganya
itu. Setelah mendapat perawatan kawan-kawannya, orang ini siuman kembali.
"Berapa
banyak kiranya jumlah gerombolan itu?" tanyanya.
"Maaf,
pangcu hamba kurang jelas akan tetapi sedikitnya tentu ada tiga puluh
orang." jawab anggauta Sorban Merah itu.
"Pangcu,
apakah aku harus mengumpulkan kawan-kawan yang bertugas di berbagai
tempat?" tanya seorang thauwbak.
"Tidak
usah, berapa orang yang berada disini?"
"Hanya
ada sembilan orang dengan pangcu sendiri."
"Sudah
cukup, mari kita berangkat!" Jawab Kui Hwa dengan gagah.
Gadis itu
bukan menyombong akan tetapi karena ia melihat bahwa di antara delapan orang
anak buahnya. Yang empat adalah thauwbak-thauwbak yang telah menerima
latihan-latihan ilmu golok darinya. Baginya lebih baik membawa empat orang
thauwbak ini dari pada membawa empat puluh orang anggota biasa yang ilmu
goloknya masih rendah.
Beramai-ramai
sembilan orang ini berlari cepat menuju ke sebelah barat kota. Ketika mereka
tiba di gerbang kota, sudah terdengar oleh mereka jerit tangis penduduk yang
diganggu oleh para penjahat Sorban Biru itu. Bukan main marahnya Kui Hwa
mendengar ini. Ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga
kawan-kawannya tertinggal jauh.
Begitu ia
tiba di tempat kerusuhan itu, gegerlah keadaan di situ di antara penjahat.
Setiap kali melihat seorang penjahat bersorban biru, golok di tangan Kui Hwa
menyambar dan menjeritlah penjahat itu dan terguling roboh dengan tubuh hampir
terbelah dua! Empat orang penjahat telah menjadi korban golok Kui Hwa dan tiba
tiba dari sebuah rumah melompat keluar seorang laki-laki pendek besar yang
berseru keras.
"Bangsat
wanita! Kaukah yang bernama Can Kui Hwa dan yang telah membunuh suteku Teng
Sun?"
Kui Hwa
memandang orang itu dengan penuh perhatian. Ia adalah seorang laki-laki yang
bertubuh agak pendek, akan tetapi tegap dan nampaknya bertenaga besar. Sorban
serta ikat kepalanya berwarna biru, demikianpun celananya, sedangkan bajunya
berwarna putih dengan garis-garis merah. Senjata yang dipegangnya adalah
sebatang tongkat bercabang. Inilah dia Kim-pa-cu Gak Kun yang namanya amat
terkenal dan yang oleh anak-anak buah Sorban Merah disohorkan memiliki ilmu
silat yang amat tinggi.
Kui Hwa
sebenarnya tentu saja lebih pandai memainkan pedang dari pada permainan golok.
Memang ia adalah anak murid Kim-Liong-Pai yang khusus mendapat pelajaran ilmu
pedang Ang-coa-kiamsut yang lihai. Akan tetapi gadis ini setelah ditinggalkan
oleh Tiong Kiat, menjadi sadar dan insaf akan kesesatannya. la maklum bahwa
sebagai seorang murid Kim-liong-pai, ia telah melakukan pelanggaran besar
sekali.
Sering kali
setiap malam ia menguras air mata dari kedua matanya karena menyesal dan merasa
berdosa serta malu, terutama sekali terhadap ayahnya dan suhunya, Lui Thian
Sianjin. Oleh karena itu, ia merasa malu untuk mengaku sebagai murid
Kim-liong-pai lagi. Ia anggap dirinya terlampau hina dan rendah menjadi murid
Kim-liong-pai.
Dan kalau ia
masih memegang pedang serta mainkan ilmu silat Ang-coa-kiamsut, maka itu
berarti bahwa ia hanya akan mengotori dan mencemarkan nama Kim-Liong-pai dan
ilmu pedang Ang-coa-kiamsut belaka! Oleh karena inilah yang terutama sekali
maka ia lalu berganti senjata dan melatih ilmu golok ciptaan sendiri
berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut!
Kini
menghadapi laki-laki bersorban biru yang menjadi suheng dari Teng Sun, ia lalu
membentak. "Kaukah yang bernama Kim-pa-cu Gak Kun? Kalau kau berdiam di
hutan melakukan pekerjaan merampok, itu masih tidak apa, akan tetapi sekarang
kau memimpin orang-orangmu untuk mengganggu Heng-yang, apakah kau sudah bosan
hidup? Mari kuantar kau menjumpai adikmu Hek-pa-cu!"
Marahlah Gak
Kun mendengar ucapan ini. "Perempuan sombong ! Kalau kau minta maaf
kepadaku dan suka turut ucapanku, aku Kim-pa-cu masih sayang akan kecantikanmu.
Serahkan kedudukan pangcu dari Perkumpulan Sorban Merah kepadaku dan kau akan
kuangkat menjadi permaisuriku!"
"Anjing
tak tahu malu!" bentak Kui Hwa yang menjadi merah mukanya. Ia lalu
mengayun goloknya dan menyerang dengan sengit.
Gak Kun
menangkis dengan tongkatnya yang istimewa itu dan bertempurlah mereka dengan
serunya. Pertempuran itu demikian hebatnya dan senjata mereka berkelebatan
mengerikan sehingga para anak buah Gak Kun dan para anggota Sorban Merah hanya
berani menonton dari jauh. Dengan berdebar kedua fihak ini menonton pertempuran
yang dilakukan oleh ketua masing-masing dengan senjata siap di tangan!
Segera Kui
Hwa mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang she Gak ini jauh lebih
tinggi daripada kepandaian Teng Sun. Tongkat bercabang pada gagangnya itu
betul-betul lihai sekali karena gagangnya dapat dipergunakan untuk menangkis
golok dan ujung tongkat itu bergerak cepat dengan serangan-serangan totokan
keatas jalan darah. Ternyata bahwa orang she Gak ini telah mempelajari
thiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) yang lihai.
Kui Hwa
berlaku hati-hati sekali dan memutar goloknya untuk melindungi tubuh dan melakukan
serangan balasan yang cukup menggetarkan hati Gak Kun. Kepala Sorban biru ini
benar-benar tak pernah mengira bahwa gadis ini benar-benar luar biasa
pandainya. Ia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, ia masih
kalah.
la kalah
gesit dan gerakan senjatanya kalah cepat, tetapi Gak Kun masih dapat melawan
mengandalkan dua macam kepandaiannya yang istimewa, yakni menotok dan
menendang. Tendangannya ini adalah ilmu tendang yang mirip dengan Soan-hong-twi
(tendangan kitiran angin) yang dilakukan bertubi-tubi dengan kedua kaki
bergantian sedangkan tongkatnya tetap digerakkan mengancam dari atas!
Dengan
seruan keras sekali Gak Kun yang menjadi penasaran karena semua serangannya
dapat digagalkan oleh lawannya, tiba-tiba mengayun kaki kirinya menendang
dengan hebat. Tendangan yang dilakukan ahli ini berbahaya sekali karena
dikerahkan dengan penuh tenaga. Tendangan ke arah dada ini dielakkan oleh Kui
Hwa dengan miringkan tubuh ke kiri sambil menggeser kaki kiri ke depan,
goloknya diputar di atas kepala dengan sikap mengancam tubuh atas lawannya.
Akan tetapi
sebetuInya gadis ini sedang melakukan gerakan yang disebut Naga Sakti
Menyabetkan Ekornya dengan berlaku lambat sambil menanti tendangan susulan
lawan. Benar saja, ketika tendangan kirinya tidak berhasil mengenai lawan Gak
Kun berseru lagi dan tiba-tiba ketika kaki kirinya turun ke atas tanah,
tendangan kanannya menyusuI cepat dibarengi dengan totokan tongkatnya pada
pundak gadis itu.
Inilah yang
dinanti-nanti oleh Kui Hwa dalam gerakannya Naga Sakti Menyabetkan ekornya
tadi. Begitu melihat kaki kanan bergerak, goloknya yang diputar-putar di atas
kepala itu lalu menyambar cepat ke bawah, membabat dan menyambut tendangan kaki
kanan lawan. Tubuhnya ditarik ke bawah dan kaki kanannya secepat kilat
menendang pergelangan tangan kanan lawan yang sedang menusukkan tongkat itu!
Bukan main
hebatnya serangan balasan dari Kui Hwa ini. Gerakan gadis ini demikian
tiba-tiba dan tak tersangka-sangka sehingga Gak Kun tak dapat menolong dirinya
lagi. Biarpun ia berusaha menarik kembali kakinya dengan cepat, namun tetap
saja golok itu mengejar kakinya. Hampir berbareng dengan ujung kakinya yang
berhasil menendang pergelangan tangan lawannya, ujung goloknya juga berhasil
mencium betis Gak Kun!
Kim-pa-cu
Gak Kun menjerit keras dan sambil melepaskan tongkatnya, tubuhnya jatuh
terguling dalam keadaan pingsan! Kaki kanannya hampir-hampir putus karena
sabetan golok itu sedangkan pergelangan tangannya juga pecah tulangnya karena
tendangan Kui Hwa!
Kemudian Kui
Hwa mengamuk hebat. Para penjahat Sorban Biru tadinya masih hendak melawan dan
mengeroyok, mengandalkan jumlah yang lebih banyak. Akan tetapi begitu Kui Hwa
dan delapan orang pembantunya menyerbu, pihak sorban biru dibabat dengan mudah
bagaikan orang membabat rumput saja!
Larilah
penjahat-penjahat itu pontang-panting, sebagian besar cepat membuang senjata
dan berlutut minta ampun. Dengan kemenangan besar ini, Kui Hwa menyuruh anak
buahnya membawa para tawanan ke kota. Namanya makin terkenal dan dipuji-puji
orang, dan semenjak hari itu, tidak pernah ada penjahat yang berani
mencoba-coba mengganggu kota Heng-Yang lagi. Juga barang barang yang dikawal
oleh anggauta sorban merah, selalu tidak terganggu perampok di jalan.
Nama Can Kui
Hwa sebagai seorang pangcu (ketua) yang cantik dan gagah, terdengar sampai
jauh, karena tiap pelancong atau pedagang yang telah datang mengunjungi kota
Heng-yang setelah pergi meninggalkan kota itu, tentu menceritakan hal nona itu
kepada para kenalannya. Diantara para pelamar di kota Heng-yang terdapat
seorang sasterawan muda she Siok yang tampan dan sopan santun.
Siok kongcu
ini telah menempuh ujian di kota raja dan lulus dengan baik sehingga ia
mendapat gelar siucai, akan tetapi oleh karena di dalam hatinya pemuda
terpelajar ini amat benci melihat pembesar-pembesar yang melakukan korupsi dan
tidak melakukan tugasnya dengan baik, ia tidak mau menerima pengangkatan dan
tidak mengejar kedudukan, sebaliknya bahkan kembali ke Heng-yang di mana ia
hidup dengan ibunya yang telah janda.
Siok siucai,
lengkapnya siok Un Leng, mencari nafkah hidupnya dengan mengajar anak-anak di
kota itu. Ia bekerja membuka sebuah sekolah di rumahnya mengajar membaca dan
menulis pada anak-anak dengan mendapat upah yang sederhana. Sesungguhnya
diantara sekian banyak pemuda yang mengaguminya, hanya Siok-siucai saja yang
menarik hati Kui Hwa.
Pemuda
tampan, berpemandangan luas, sikapnya halus dan sopan santun, pendeknya seorang
calon suami yang baik sekali. Akan tetapi yang mengecewakan hati Kui Hwa dan
yang membuat ragu-ragu adalah bahwa pemuda ini tidak mengerti ilmu silat!
Memang harus ia akui bahwa begitu melihat pemuda she Siok yang baru beberapa
bulan datang dari kota raja ini, hatinya sudah amat tertarik.
Memang Siok
Un Leng baru sebulan lebih datang dari kota raja dan secara kebetulan saja ia
melihat Kui Hwa menunggang kuda lewat di depan rumahnya. Dan keesokan harinya,
pemuda ini lalu minta kepada ibunya untuk melamar gadis itu! Tentu saja ibunya
terkejut bukan main.
"Leng-ji
(anak Leng), apakah kau sudah gila? Kau tidak tahu siapa gadis itu? Dia adalah
Can-pangcu, ketua dari Sorban Merah!"
Un Leng
tersenyum. "Habis mengapa ibu? Apakah dia bukan manusia?"
"Tentu
saja dia manusia, bahkan manusia yang Iebih mulia dari pada orang kebanyakan!
Dia seorang gagah perkasa, berpengaruh dan menjadi pangcu dari sebuah
perkumpulan orang gagah. Bagaimana aku berani meminang untukmu? Leng-ji, lebih
baik kucarikan nona yang lebih sesuai untukmu, yang pandai menyulam dan
membaca, bukan seperti Can-pangcu yang pandai mainkan golok!"
"Tidak,
ibu. Melihat nona itu, aku tahu bahwa dialah orang yang akan dapat
membahagiakan anakmu."
Ibunya
menghela napas panjang, "Aneh sekali kau ini, Leng-ji. apakah kau tidak
takut melihat goloknya yang tajam?"
Mendengar
ini Un Leng tertawa bergelak sehingga ibunya menjadi terheran. Puteranya ini
agaknya telah berobah semenjak lima tahun pergi ke kota raja!
"Ibu
ini aneh-aneh saja. Kalau Can-siocia memang algojo yang biasa menyembelih orang
barangkali akupun tidak takut. Apa lagi dia seorang berhati mulia dan gagah
perkasa seperti ibu katakan tadi. Sudahlah ibu, tolonglah anakmu dan pinanglah
dia."
"Aku
tidak berani, anakku. Kita orang miskin, bagaimana aku harus melamar seorang
yang kaya raya dan berpengaruh seperti Can Siocia?"
Akan tetapi
Un Leng membujuk terus sehingga akhirnya berangkatlah ibu yang mencinta anaknya
ini, mengajukan pinangan kepada Kui Hwa. Di luar dugaannya semula, nona ini
menerimanya dengan penuh penghormatan dan dengan muka merah kemalu-maluan. Nona
ini tidak menolaknya mentah-mentah hanya menyatakan bahwa ia belum ingin
mengikat diri dengan perjodohan dan mohon kepada nyonya itu agar supaya tidak
kecewa dan menyesal.
Setelah tiba
di rumah, ibu ini mengomeli puteranya. "Kau membikin malu ibumu saja! Nona
Can begitu baik dan ramah tamah. Biarpun ia tidak menolak dengan kasar, akan
tetapi alasannya belum ingin menikah itu telah merupakan penolakan yang
halus."
Akan tetapi
Un Leng tidak putus harapan. Pemuda yang lama tinggal di kota raja ini memang
seorang pemberani dan tanpa malu-malu dia lalu mengunjungi rumah perkumpulan
sorban Merah untuk berkenalan dengan Can pangcu!
Tentu saja
Kui Hwa merasa terkejut dan heran sekali melihat keberanian pemuda ini. Timbul
kemarahan di dalam hatinya karena ia mengira bahwa pemuda ini tentu sebangsa
pemuda mata keranjang yang kurang ajar. Tidak tahunya, setelah mereka berjumpa,
Un Leng bersikap sopan santun dan pemuda ini pandai sekali bercakap-cakap dan
pengetahuannya luas sekali sehingga Kiu Hwa merasa suka bergaul dengan dia!
Mulailah
mereka berkenalan dan tidak saja Un Leng seringkali datang berkunjung bahkan
kini Kui Hwa seringkali datang ke rumah Un Leng untuk mengobrol dengan pemuda
itu dan ibunya! Tentu saja nyonya Siok menjadi terheran-heran akan tetapi
diam-diam nyonya ini girang sekali karena kalau Can pangcu menjadi sahabat
puteranya, sedikitnya mereka akan lebih disegani oleh para tetangga.
Pada suatu
hari, ketika Un Leng bercakap-cakap di rumah Kui Hwa, pemuda ini berkata,
"Nona Can, kuharap kau tidak berkecil hati dan tidak mengira yang
bukan-bukan ketika ibuku datang mengajukan pinangan kepadamu. Sesungguhnya
terus terang saja aku mengagumimu sebagai seorang gadis gagah perkasa yang
berani memimpin perkumpulan besar ini. Kau patut dipuji dan penolakan dulu
tidak mengecilkan hatiku. Dapat menjadi sahabatmu saja sudah merupakan hal yang
amat membahagiakan hatiku..."
Kui Hwa
merasa terharu mendengar ini. Pemuda ini benar-benar seorang yang baik dan
sopan. "Saudara Un Leng harap kau suka maafkan padaku. Sesungguhnya,
seperti yang pernah kukatakan kepada ibumu, aku belum mempunyai niat untuk
mengikat diriku dengan perjodohan. Kau seorang yang baik dan aku suka
bersahabat dengan kau. Adapun tentang pernikahan... agaknya selama hidupku aku
takkan menikah!"
Un Leng
memandang tajam lalu berkata perlahan, "Nona, tentu saja kalau sampai tiba
waktunya kau menikah, kau tentu akan memilih seorang suami yang memiliki
kepandaian bu (ilmu silat), bukan seorang siucai yang Iemah seperti aku!"
Kui Hwa
terkejut karena pemuda ini ternyata dapat meraba isi hatinya. Akan tetapi ia
harus bersikap jujur terhadap pemuda yang baik hati ini. "Ada betulnya
juga kata-katamu itu, saudara Un Leng. Kau tentu mengerti sendiri bahwa suami
isteri baru bisa hidup rukun apabila mempunyai kesukaan yang sama. Kurasa sukar
juga kalau kesukaan si isteri memegang golok sedangkan kesukaan si suami
memegang tangkai pena!" Gadis ini tersenyum dan ucapannya itu dimaksudkan
sebagai sebuah kelakar.
Akan tetapi
Un Leng memandang dengan tajam dan berkata dengan sikap bersungguh-sungguh.
"Kau keliru, nona. Mempelajari permainan golok bukanlah termasuk
kesenangan, akan tetapi lebih tepat sebagai penjagaan diri terhadap gangguan
orang-orang jahat. Sebaliknya mempelajari menggerakkan tangkai pena merupakan
sebuah kesenian dan mempertinggi peradaban sebagai manusia. Tangkai pena tidak
berbahaya, berbeda dengan golok yang biasanya hanya mendatangkan malapetaka,
bunuh membunuh dan balas membalas karena dendam!" Pemuda ini nampak
bersemangat sekali.
"Kau
berat sebelah, saudara Un Leng." kata Kui Hwa dan matanya berkata,
"Kau tahu apa tentang ilmu silat?" akan tetapi mulutnya berkata lain,
"Tangkai pena bukanlah benda yang tidak berbahaya, bahkan kurasa lebih
berbahaya dari pada mata golok. Kalau orang menggunakan golok untuk menyerang
maka lawan yang diserang dapat melihatnya dan mempunyai kesempatan untuk
melawan. Akan tetapi, berapa banyaknya orang yang mendapat celaka serumah
tangga hanya oleh coretan pena seorang pembesar yang melakukan serangan dan
fitnah secara sembunyi?"
Un Leng
cemberut. Ia merasa sebal sekali terhadap pembesar-pembesar yang jahat dan yang
tepat seperti dikatakan oleh gadis ini. "Oleh karena itulah aku tidak sudi
menjabat pangkat!" serunya gemas. "Akan tetapi, tidak semua orang
sejahat yang aku katakan tadi, nona."
Kui Hwa
tersenyum geli melihat kemarahan Un Leng. "Ingat Siok siucai yang
terhormat demikian pula dengan pemegang golok. Tidak semua sejahat seperti yang
kau katakan tadi!"
Mereka
saling pandang dengan marah, kemudian berbareng tertawa geli. "Ha, kita
ini seakan akan mewakili dua fihak yang bertentangan, fihak bu (ahli silat) dan
bun (ahli sastera)!" kata Un Leng.
Juga Kui Hwa
tertawa dan gadis itu makin suka kepada pemuda yang baik budinya ini. Sayang
sekali dia tidak pandai ilmu silat, pikirnya. Kalau Un Leng pandai ilmu silat
agaknya tidak akan kecewa menjadi istri pemuda ini. Akan tetapi, tiba-tiba ia
teringat lagi akan kesesatannya bersama Tiong Kiat dahulu dan wajah gadis ini
berubah murung sekali.
"Aku
takkan menikah selama hidupku," hatinya berkata dan tanpa disadarinya,
bibirnya juga membisikkan kata-kata ini sehingga terdengar oleh Un Leng.
"Nona
mengapakah kau berduka? Agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu dan yang
membuat kau putus asa. Dapatkah kau menceritakan hal itu kepada sahabatmu
ini?"
Kui Hwa
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tak mungkin, saudara Un
Leng. Tak mungkin kuceritakan kepada siapapun juga."
Dalam
keadaan hati tertekan berdiamlah kedua orang sahabat ini. Sebagaimana telah
dituturkan di depan, Can Kui Hwa sebagai pangcu dari Sorban Merah yang cantik
jelita dan gagah, terkenal sampai jauh dari daerah Heng-yang. Hal ini menarik
hati orang-orang gagah, terutama mereka yang masih muda dan belum menikah,
karena bukankah pangcu wanita yang cantik dan masih gadis itu merupakan kembang
yang amat menarik hati? Muda, cantik, kaya raya menjadi ketua dari perkumpulan
yang berpengaruh!
Dan di
antara mereka yang mendengar nama Can Kui Hwa yang mengagumi dari jauh terdapat
juga Ban Hwa Yong, si penjahat pemetik bunga yang lihai itu! Seperti telah
diketahui orang ketiga dari Thian-te Sam-kui ini telah kehilangan dua orang
suhengnya yang tewas dalam tangan Eng Eng dan Tiong Han.
Biarpun ia
sendiri ditinggal mati oleh kedua orang suhengnya, Ban Hwa Yong menjadi gelisah
dan gentar sekali menghadapi kejaran Suma Eng, nona yang hebat dan lihai sekali
itu. Timbul pikiran dalam kepalanya untuk mencuci tangan, untuk berhenti
melakukan kejahatan dan kesukaannya mengganggu anak isteri orang. Ia ingin
mencari seorang gadis yang baik, mendirikan rumah tangga yang aman dan
meninggalkan dunia kang ouw karena ia merasa bahwa keselamatannya amat
terancam.
Ketika Ban
Hwa Yong mendengar nama Can Kui Hwa tergeraklah hatinya. Ia sudah mendengar bahwa
Perkumpulan Sorban Merah merupakan perkumpulan yang kuat, berpengaruh dan kaya.
Dan sekarang ketuanya adalah seorang gadis yang cantik jelita, yang masih belum
menikah. Ah, inilah yang dibutuhkannya. lsteri cantik dan gagah, kedudukan yang
kuat, dan harta cukup!
Dengan hati
girang dan penuh harapan ia lalu berangkat ke Heng-yang dengan maksud
memperisteri gadis yang menjadi pangcu itu. Ketika Ban Hwa Yong tiba di rumah
perkumpulan itu, ternyata ia mendapat keterangan bahwa Can-pangcu yang
dicarinya sedang pergi keluar kota.
"Kemanakah
dia pergi?" tanya Ban Hwa Yong.
Anggaota
Sorban Merah yang menjaga pintu memandang kepada orang yang berwajah tua itu
dengan curiga. Orang ini tinggi kurus dengan muka seperti seekor burung,
hidungnya seperti hidung kakatua dan mukanya jelek pandangan matanya liar
sedangkan di pinggangnya tergantung sepasang senjata yang aneh, yakni sepasang
kaitan yang menyeramkan.
"Siapakah
saudara ini dan ada keperluan apa mencari pangcu?" tanyanya dengan curiga.
Ban Hwa Yong
tertawa bergelak. "Aku sahabat dari pangcu mu dan kelak kamu tentu akan lebih
mengenalku dengan baik. Sebutkan saja di mana adanya pangcumu itu."
"Pangcu
sedang berjalan jalan naik kuda ke hutan sebelah barat kota," akhirnya
penjaga itu menjawab juga.
Ban Hwa Yong
lalu berlari pergi dengan cepatnya sehingga penjaga itu menjadi kagum.
Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) ini Ialu berlari menyusul ke hutan di luar
kota Heng-yang di mana merupakan hutan kecil yang amat indah dan banyak
terdapat bunga bunga yang berkembang.
Pada saat
itu, Kui Hwa sedang duduk di bawah pohon bersama Siok Un Leng, pemuda
sasterawan yang menjadi sahabat baiknya itu. Mereka datang berkuda dan kini
kedua ekor kuda itu mereka lepaskan ditempat yang banyak rumputnya agar
binatang itu dapat makan rumput dengan seenaknya. Adapun mereka berdua lalu
duduk di bawah pohon. Un Leng membaca sajak-sajak yang digubahnya sendiri dan
Kui Hwa mendengarkan dengan penuh kegembiraan dan kekaguman.
Memang gadis
ini suka sekali akan kesusasteraan sungguhpun ia sendiri hanya mempelajari
sedikit saja dari ibunya. Keduanya nampak rukun dan cocok, sungguh merupakan
pasangan yang baik sekali. Akan tetapi selama itu, Kui Hwa selalu menghindarkan
diri dari percakapan tentang pernikahan dan pernyataan kasih sayang pemuda itu
selalu ditolaknya dengan halus.
Ia maklum
bahwa hatinya runtuh juga menghadapi pemuda yang selain tampan, juga sopan dan
baik sekali ini, akan tetapi dia mengeraskan hati dan rasanya karena ia merasa
yakin bahwa tak mungkin ia yang sudah melakukan kesesatan itu dapat menjadi
isteri Un Leng! Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakang mereka.
"Pemuda
kurang ajar dari manakah yang telah berani bermain gila dengan Can
pangcu?" bentakan ini keras dan parau dan ketika Un Leng dan Kui Hwa
menengok sambil melompat berdiri, ternyata di hadapan mereka berdiri seorang
laki-laki jangkung yang bermuka tajam seperti muka kakatua.
Laki laki
ini bukan lain adalah Ban Hwa Yong yang memandang dengan mulut menyeringai
menjemukan sekali. Dengan pandang mata merah penuh cemburu, Ban Hwa Yong lalu
menggerakkan kaitan di tangan kanannya untuk menyerang Un Leng, akan tetapi
golok Kui Hwa menangkis kaitan ini.
"Bangsat
hina dina! Siapakah kau dan apa maksud kedatanganmu mengganggu kami?"
bentak Kui Hwa yang kagum juga melihat betapa Un Leng nampak tenang saja dan
tidak takut biarpun tadi hampir menjadi kurban senjata kaitan itu.
"Dan
pangcu harap jangan marah." jawab Ban Hwa Yong yang memandang ringan,
"Aku Ban Hwa Yong dari tempat yang ratusan lie jauhnya sengaja datang
hendak bercengrama dan mengajakmu bercakap-cakap. Akan tetapi oleh karena di
sini ada orang lain maka kuharap bocah ini pergi segera dari sini agar kita
dapat bicara lebih leluasa lagi."
Bukan main
gemasnya hati Kui Hwa mendengar ucapan yang sifatnya kurang ajar dan memandang
rendah ini. "Pemuda ini adalah sahabat baikku dan dia boleh pula mendengar
apa yang akan keluar dari mulutmu yang busuk. Lekas bilang apa maksud
kedatanganmu sebelum golokku menghajar dan memutuskan lehermu!"
"Aduh
galak benar!" Ban Hwa Yong tertawa. "Akan tetapi makin galak makin
bertambah manis! Nona Can, terus terang saja kedatanganku ini hendak meminangmu
menjadi istriku! Aku masih bujangan dan tentu tidak enak hidup sendiri seperti
engkau ini, apa lagi kalau memegang kedudukan sebagai pangcu. Serahkan saja
pekerjaanmu itu kepadaku, calon suamimu dan kau akan hidup berbahagia!"
"Anjing
bermulut lancang!" Kui Hwa tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat
goloknya bergerak membacok kepala Ban Hwa Yong...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment