Saturday, October 6, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Ular Merah Jilid 07



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Pedang Ular Merah

                 Jilid 07


Tiong Kiat cepat mengelak dan melompat mundur. "Nona, pikirlah baik-baik. Hal itu telah terjadi. Kau adalah istriku, dan aku takkan menyia-nyiakanmu, aku akan mengawinimu, kita menjadi suami istri yang bahagia. Pikirlah."

Dengan muka merah dan mata bercahaya bagaikan berapi-api, Eng Eng memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Sungguhpun bentuk tubuh wajahnya serupa benar dengan Tiong Han, namun kini ia melihat perbedaannya. Tahi lalat kecil di atas dagu pemuda ini. Ya, benar, inilah orangnya. la masih teringat akan wajah pemuda ini, dan tahi lalat itu! Inilah titik yang tadi meragukan hatinya ketika Tiong Han mengaku sebagai seorang yang berdosa. Inilah orangnya! Dan sinar mata penuh gairah serta bibir yang tersenyum memikat ini, ah, alangkah besar perbedaannya dengan Tiong Han.

"Keparat jahanam! Aku sudah bersumpah akan menghancurkan kepalamu!" la menyerang lagi dengan hebatnya.

Terkejut juga hati Tiong Kiat ketika melihat datangnya serangan ini. Ia cepat memutar Hui-liong-kiamnya dengan sekuat tenaga, berusaha memukul pedang gadis itu agar terlepas dari pegangan. Akan tetapi alangkah herannya ketika pedang itu tidak rusak atau terlepas. Bahkan ketika Eng Eng menyerang lagi dengan penuh kebencian, pedang di tangan gadis itu berobah menjadi segulung sinar merah yang dahsyat sekali!

Hampir sama dengan pedang Ang coa kiam. Bukan! Apalagi setelah ia menghadapi gadis ini beberapa jurus, makin gelisah hatinya. Ilmu pedang gadis ini benar-benar kukoai (ganjil), gerakannya demikian kacau balau dan setiap Jurus yang agaknya ia merasa seperti mengenalnya, ternyata perkembangannya jauh berbeda dengan gerak atau jurus yang lajim. Gerakan gadis ini seakan-akan menjadi kebalikan dari pada ilmu pedang biasa. Namun kelihaiannya bahkan lebih dari ilmu pedang biasa. Nampak kacau balau, namun di dalam kekacauan itu tersembunyi daya serang dan kekuatan yang membingungkannya.

Terpaksa Tiong Kiat lalu mengeluarkan kepandaiannya dan ia melawan dengan penuh perhatian dan hati-hati sekali. la makin kagum dan rasa sayangnya makin tebal. Gadis ini jauh lebih cantik dari pada Kui Hwa, dan jauh lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan, ilmu pedang gadis ini belum tentu berada di bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Aduh, alangkah bahagianya kalau ia bisa menjadi suami gadis yang cantik dan gagah perkasa ini.

"Nona... tahan dulu, nona! Biarkan aku bicara sebentar..."

"Anjing hina dina, kau masih mau bicara apa lagi?” berkata Eng Eng dengan marah, akan tetapi ia menahan pedangnya juga karena ia ingin sekali mendengar bicara pemuda yang menghancurkan kehidupannya ini.

"Nona, tidak bisakah kau memaafkan aku? Aku cinta kepadamu dan biarpun aku telah dikuasai oleh nafsu sehingga berlaku salah kepadamu, akan tetapi aku bersumpah bahwa aku menyesal sekali, dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus dosaku. Aku akan memberi kebahagiaan kepadamu, biarlah aku berlaku seperti pelayanmu, biarlah aku melindungimu sampai di hari tua. Nona..."

"Tutup mulut dan mampuslah!” Eng Eng menjerit makin marah dan kini dua titik air mata berloncat keluar dari pelupuk matanya. Ia menyerang dengan sepenuh semangatnya, mengerahkan kepandaian dan tenaganya sehingga Tiong Kiat menjadi sibuk sekali.

Pemuda ini maklum bahwa tanpa membalas, ia akan celaka. Maka kini, ia merubah gerakan pedangnya dan membalas serangan gadis itu. Terjadilah pertandingan yang luar biasa sekali serunya. Akan tetapi, ilmu pedang gadis itu terlalu ganas dan kuat bagi Tiong Kiat. Kalau saja ia tidak sedang bingung dan tidak telah terluka lengannya oleh pedang Tiong Han kemarin, mungkin ia akan dapat bertahan sampai puluhan atau sampai seratus jurus. Akan tetapi kini ia hanya dapat bersilat sambil mundur, terus terdesak hebat oleh gadis yang ganas sekali gerakan pedangnya itu.

"Akan kubeset kulitmu, kukeluarkan isi dadamu!" berkali-kali Eng Eng berseru sambil memperhebat serangannya.

Akhirnya Tiong Kiat tidak tahan lagi menghadapi Eng Eng. Dengan seluruh tenaga yang masih ada, ketika pedang merah di tangan Eng Eng meluncur dan menusuk ke arah ulu hatinya, ia lalu menyampok pedang ini dengan pedangnya. Tenaga sampokannya keras sekali dan biarpun pedang di tangan Eng Eng tidak terlepas namun terpental sehingga gadis ini mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur untuk menghindarkan diri dari serangan balasan yang mendadak. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tiong Kiat. Ia cepat melompat jauh dan berlari pergi dari situ!

"Jahanam busuk, kau hendak lari kemana ?" Eng Eng cepat mengejar

Tiong Kiat tidak berani melawan lagi. Biarpun ia sanggup menjaga diri dan menahan serangan gadis ini, akan tetapi ia merasa gelisah kalau teringat kepada Tiong Han. Tak lama lagi Tiong Han akan bebas dari totokan dan kalau kakaknya itu turun tangan, celakalah dia. Dengan secepatnya ia melarikan diri. Rasa takut membuat larinya Iebih cepat dari pada biasanya. Namun Eng Eng juga memiliki ginkang serta ilmu lari cepat yang tinggi tingkatnya sehingga gadis ini merupakan bayangan yang tak pernah tertinggal jauh oleh Tiong Kiat!

Ketika tiba di sebuah hutan kecil, Eng Eng kehilangan bayangan pemuda itu dan ia terus mengejar turun. Padahal pemuda itu bersembunyi di dalam serumpun alang-alang lebat. Melihat gadis itu sudah melewatinya, Tiong Kiat cepat keluar dan berlari mengambil jalan ke arah lain.

Bukan main panas dan penasaran rasa hati Eng Eng ketika ia tidak dapat mencari Tiong Kiat. Pemuda itu telah lenyap bagaikan ditelan bumi. Kecewa sekali hatinya. Ia hendak melanjutkan pengejarannya, akan tetapi ia lalu teringat kepada Tiong Han, maka ia lalu kembali naik ke atas bukit itu.

Ketika ia tiba di tempat itu, ia mendapatkan Tiong Han sudah bangun dan duduk di bawah pohon. Pemuda ini sedang membersihkan pipi dan bibirnya yang berdarah karena tamparan-tamparan Eng Eng tadi. Biarpun nampaknya masih lemas dan agak pucat namun kesehatannya sudah pulih kembali. Totokan itu telah dapat dilepaskannya sebelum waktunya dengan pengerahan tenaga dalamnya.

Bukan main malu dan terharu hati Eng Eng ketika ia melihat pemuda ini. Melihat betapa pipi pemuda itu menjadi bengkak dan kemerahan bekas tamparannya, hampir saja ia tidak dapat menahan air matanya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menghampiri Tiong Han yang telah berdiri dan memandangnya dengan tenang.

"Aku... aku telah berlaku salah... harap kau suka maafkan padaku," kata Eng Eng dengan suara gagap juga.

“Tidak apa nona Suma. Sudah sewajarnya kau sebenci itu kepadaku. Bahkan sekarang juga aku masih bersedia untuk menerima, biar akan kau bunuh juga."

"Akan tetapi mengapa?? Mengapa kau melindungi orang itu? Siapakah dia?"

Tiong Han menarik napas panjang. Setelah gadis ini bertemu sendiri dengan Tiong Kiat, ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi. "Dia adalah adik kembarku, Sim Tiong Kiat.”

"Akan tetapi, dia yang berbuat dosa, mengapa kau yang mengakuinya dan membiarkan aku melakukan kesalahan kepadamu?" Eng Eng berkata penuh penasaran.

Tiong Han mencoba tersenyum. "Lupakah kau nona, bahwa tadinya aku telah menyangkal akan tetapi kau tidak percaya kepadaku? Setelah aku menduga bahwa perbuatan keji itu tentu dilakukan oleh Tiong Kiat, sudah sepatutnya kalau aku yang menerima hukumannya. Aku rela mati untuknya, aku adalah kakaknya dan juga pengganti orang tuanya. Kami berdua telah menjadi yatim piatu semenjak kecil, hidupnya hanya bersandar kepadaku dan kalau ia menjadi tersesat, tanggung jawabku pulalah itu."

Entah mengapa, pemuda ini menceritakan segala hal kepada Eng Eng dan akhirnya ia menjadi demikian berduka memikirkan Tiong Kiat sehingga ia hanya menundukkan mukanya.

"Kau lemah, kau terlalu baik hati." Eng Eng mencela. "Manusia macam adikmu itu harus dibasmi dari muka bumi! Aku akan mencarinya sampai dapat, biar berlari ke neraka akan kukejar!" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu membalikkan tubuh dan hendak lari dari situ.

"Nanti dulu nona..." Tiong Han menahan dan terkejutlah Eng Eng ketika melihat betapa dengan sekali lompatan saja pemuda ini telah berada di hadapannya! Ah, kepandaiannya hebat juga pikirnya.

"Kuharap kau jangan pergi mencari Tiong Kiat" katanya.

Marahlah Eng Eng dan dicabutnya pedangnya, mengeluarkan sinar kemerahan. "Apa? Kau masih juga hendak membela adikmu yang durhaka dan jahat itu? Sim Tiong Han, kalau kau masih mabok dalam kelemahan hati dan kasih sayang terhadap adik secara membuta boleh kau merasai pedangku! Tak perduli siapa yang hendak membela si pendurhaka Tiong Kiat dia adalah musuhku!"

"Nona kau kira aku seorang yang demikian jahat? Adik kandungku telah berbuat dosa besar terhadapmu, apakah aku bahkan hendak menambah dosa itu dengan memusuhimu? Tidak, nona Suma Eng, tidak. Biarpun kau hendak membunuhku, aku takkan melawan. Dosa adikku adalah dosaku juga karena akulah yang mendidiknya semenjak kecil. Aku mencegahmu mengejar Tiong Kiat, hanya karena…. aku kuatir kalau kalau kau malah akan menjadi korban diujung pedangnya. Ketahuilah bahwa dia telah merampas kitab ilmu pedang Ang-coa-kiam-sut dan apabila ia telah dapat menamatkan pelajarannya dalam ilmu pedang itu, sukar bagimu untuk dapat mengalahkannya!"

"Sombong! Siapa takut menghadapi Ang-Coa-kiam-sut palsu? Mau tahu Ang-coa-kiam? Inilah pedang ular merah yang asli!” Ia memperlihatkan pedangnya. "Mau tahu ilmu pedang Ang coa kiamsut yang sesungguhnya ? Lawanlah ilmu pedangku, karena hanya ilmu pedangku saja yang disebut Ang-coa-kiam-sut!”

Tiong Han tertegun mendengar ini dan ia memandang ke arah pedang ini dengan penuh perhatian. "Pokiam (pedang pusaka) yang baik sekali, akan tetapi bukan Ang-coa-kiam, nona. Inilah Ang-coa-kiam yang menjadi pedang pusaka dari Kim-liong-pai, peninggalan dari sucouw Bu Beng Sianjin!” Ia mencabut pedangnya dan memperlihatkannya kepada Eng Eng juga.

Kini gadis itu yang memandang dengan penasaran. Lalu ia tersenyum menghina. "Hm, pedang buruk seperti ular itu kau sebut Ang-coa-kiam? Dan kau mau bilang bahwa kau juga ahliwaris dari ilmu pedang Ang coa kiam-sut?”

"Memang betul, nona. Aku adalah murid dari Kim-liong-pai dan tentu saja ilmu pedangku adalah ilmu pedang Ang-Coa-kiam-sut!"

"Hm, marilah kita sama membuktikan mana pedang Ang-coa-kiam tulen dan mana Ang coa kiamsut asli!” bentak nona itu yang sudah menjadi marah dan ia menyerang dengan hebatnya.

Juga Tiong Han merasa penasaran sekali. Dalam hal urusan pribadi yang menyangkut persoalan Tiong Kiat, ia memang mau mengalah dan juga ia merasa amat kasihan kepada gadis yang menjadi korban adiknya ini, akan tetapi kalau orang menganggap pedang dan ilmu pedangnya palsu, itu sudah keterlaluan sekali. Ia hendak membuktikan bahwa pedang dan ilmu pedangnya bukan palsu, maka iapun lalu menangkis dan terjadilah pibu (mengadu kepandaian) yang hebat dan seru sekali di tempat sunyi itu.

Seperti juga halnya Tiong Kiat, kini Tiong Han merasa bingung dan terkejut menghadapi ilmu pedang gadis ini yang amat aneh dan ganas luar biasa. Baiknya ia sudah mendapat kemajuan pesat dalam ilmu pedangnya dan sudah mempelajari bagian pertahanan yang kuat sekali, kalau tidak tentu ia akan termakan senjata gadis yang hebat ini.

Juga Eng Eng menjadi makin kagum. Ia dapat merasakan bahwa ilmu kepandaian pemuda ini masih lebih tinggi dari pada kepandaian Tiong Kiat dan tiba-tiba ia merasa sesuatu yang aneh terasa dalam hatinya. Pemuda ini luar biasa sekali dan amat menarik hatinya. Sopan santun, lemah lembut dan manis budi. Jujur dan berbudi mulia, setia kepada saudara dan kini ternyata ilmu kepandaiannya tinggi pula!

Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Tiong Kiat. Bagaikan bumi dan langit, ia melihat wajah pemuda itu demikian pucat dan darah masih nampak di bibirnya. Juga pemuda itu mendapat Iuka parah dipundaknya, maka hatinya menjadi tidak tega untuk mendesak lebih hebat.

"Sudahlah, ilmu pedangmu baik juga. Aku tidak keberatan kau namakan ilmu pedangmu itu Ang coa-kiamsut!" kata Eng Eng sambil menarik kembali pedangnya.

"Akan tetapi ilmu pedangmu juga hebat, ganas dan lihai sekali, nona!" seru Tiong Han dengan kagum dan gembira. "Aku harus menanyakan ini kepada suhu! Bolehkah aku mengetahui dari perguruan manakah nona dan siapakah suhumu yang mulia?"

"Suhuku sudah mati, namanya Hek-sin-mo. Sudahlah Sim Tiong Han, kita berpisah di sini. Aku hendak mengejar adikmu yang jahat!"

Setelah berkata demikian, gadis itu lalu lompat pergi dari tempat itu. Tiong Han terlampau heran dan terkejut mendengar nama Hek sin mo sehingga ia hanya berdiri bengong dan tidak mencegah gadis itu pergi. sungguhpun hatinya terasa berat sekali. Ia pernah mendengar dari suhunya tentang seorang tokoh tinggi di dunia kang-ouw yang bernama Hek-sin-mo dan kakek ini terkenal sebagai seorang pendekar aneh yang sakti dan juga gila! Bahkan suhunya pernah bercerita kepadanya bahwa sucouwnya, yakni Bu Beng Siansu, kenal baik bahkan bersahabat dengan si gila Hek sin mo itu!

Tiba-tiba ia mendengar senjata beradu dibarengi bentakan-bentakan nyaring yang dikenalnya sebagai suara Eng Eng ! Cepat Tiong Han melompat menuruni lereng dan dilihatnya Eng Eng tengah dikeroyok oleh tiga orang yang menyerangnya dengan seru sekali.

Siapakah mereka ini? Bukan lain adalah Thian-te Sam-kui. Tiga Iblis Bumi Langit yang terkenal lihai. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ban Yang Tojin orang kedua dari tiga iblis itu, telah terbabat putus lengan kirinya oleh Eng Eng. Dan juga orang ketiga dari mereka, Ban Hwa Yong si penjahat pemetik bunga, telah bertemu dengan Tiong Han dan telah diusir dan dikalahkan ketika Ban Hwa Yong sedang mengamuk dan dikeroyok oleh rombongan piauwsu dari Gin houw piauwkiok.

Ketika Ban Hwa Yong dan Ban Im Hosiang melihat saudara mereka yang putus lengannya, keduanya menjadi marah sekali. Mereka bersumpah untuk membalas dendam kepada Suma Eng gadis yang telah melukai Ban Yang Tojin dan mulailah mereka mencari gadis itu. Akhirnya mereka mendapatkan jejak Eng Eng dan menyusulnya ke puncak gunung Ta-pie-san. Kebetulan sekali ketika mereka telah tiba di lereng itu, mereka melihat Eng Eng sedang berlari turun.

"Bangsat perempuan, bagus sekali iblis sendiri telah menyerahkan kau ke dalam tangan kami!" seru Ban Yang Tojin dengan marah sekali ketika ia melihat musuh besar yang telah membuat lengannya menjadi buntung.

"Jangan bunuh dulu, jiwi suheng!" berkata Ban Hwa Yong sambil tersenyum menyengir dan memandang kagum kepada tubuh yang indah bentuknya serta wajah yang cantik manis itu. "Tangkap saja dan berikan padaku bunga ini.”

Eng Eng marah sekali melihat tiga orang ini. Ketika melihat Ban Yang Tojin ia menduga bahwa yang dua orang lagi tentulah Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong. Ia memang mencari-cari tiga orang Thian-te Sam-kui ini untuk membalas sakit hati keluarga Ting Kwan Ek dan orang-orang yang telah terbunuh oleh tiga iblis ini di kota Hun leng, yakni para piauwsu dari Pek-eng piauwkiok.

"Bagus Thian-te Sam-kui. Tanpa dicari kalian telah datang sendiri mengantarkan kepala, Ting-twako dan istrinya telah lama menanti kalian di alam baka!”

Sambil berkata demikian Eng Eng lalu menggerakkan pedangnya yang berobah menjadi segulung sinar merah yang dahsyat sekali. Di antara tiga orang iblis ini, hanya Ban Yang Tojin yang sudah merasakan kelihaian pedang gadis itu, maka ketika Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong menyaksikan ilmu pedang ini, mereka diam-diam merasa terkejut sekali, bahkan Ban Hwa Yong tidak berani main-main lagi. juga tidak berani memandang rendah.

Segera ia mengeluarkan sepasang senjatanya yang lihai, yakni kaitan besi yang berbahaya itu. Ban Yang Tojin mengeluarkan tombaknya yang berujung bintang, sedangkan Ban Im Hosiang juga menghunus pedangnya. Karena maklum bahwa gadis ini mempunyai ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan, maka tanpa malu-malu Iagi Thian-te Sam-kui lalu mengeroyoknya!

Untung saja bahwa pertempuran ini terjadi di atas lereng gunung yang sunyi sekali, jauh dari masyarakat ramai. Kalau pertempuran itu berlangsung di tempat ramai, Thian-te Sam-kui tentu akan merasa malu sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan seorang di antara mereka saja jarang ada orang berani melawan, apalagi bertiga. Dan kini, menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita ini Thian-te Sam-kui sampai maju bertiga mengeroyoknya!

Suma Eng atau Eng Eng sudah mewarisi ilmu kepandaian Hek-sin-mo yang luar biasa maka ilmu pedangnya tinggi dan lihai sekali. Jangankan baru seorang dua orang ahli silat biasa saja, biarpun menghadapi sepuluh orang pengeroyok lebih yang memiliki kepandaian biasa,agaknya tak mungkin para pengeroyoknya dapat menangkan dia.

Akan tetapi, kali ini Eng Eng menghadapi Thian te Sam kui, Tiga Iblis Bumi Langit yang termasuk tokoh tokoh tinggi dalam pengalaman. Orang pertama dari Thian-te Sam-kui yakni Ban Im Hosiang, adalah seorang hwesio tua yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi dan kuat, lagi pula semenjak puluhan tahun kegemaran hwesio ini adalah berpibu. Tiap kali terdengar olehnya ada seorang jagoan, biarpun tempat tinggalnya jauh, selalu ia akan mendatangi jagoan itu untuk diajak mengadu kepandaian!

Dan boleh dibilang selalu ia mendapat kemenangan di dalam pibu ini. Bahkan ia pernah berani menaiki gunung Kun-lun-san dan Gobi-san untuk mencoba kepandaian para tokoh Kun-lun-pai dan Gobi-pai! Sungguhpun ia dikalahkan dalam pibu namun kepandaiannya cukup dikagumi oleh tokoh persilatan yang lain.

Orang kedua adalah Ban Yang Tojin yang pandai sekali mainkan senjata tombak berujung bintang. Tosu ini sudah dua kali kalah oleh Eng Eng, bahkan dua kalinya nona gagah itu telah membabat putus sebelah lengannya, maka tentu saja hatinya menjadi amat sakit dan ia menerjang nona itu dengan kebencian luar biasa dan sangat bernyala-nyala. Orang ketiga Ban Hwa Yong, juga lihai sekali ilmu silatnya. Senjatanya yang merupakan sepasang kaitan itu amat sukar dilawan dan sukar pula dijaga.

Dengan dikeroyok oleh tiga orang lihai ini, tentu saja Eng Eng merasa terkurung rapat dan terdesak hebat, Hanya keberanian dan semangatnya yang Iuar biasa saja yang membuat gadis ini dapat mempertahankan diri dengan baik, bahkan dapat pula membalas dengan serangan serangan yang tak kalah hebatnya.

llmu pedangnya dan gerakan tubuhnya sungguh membuat Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong terkejut dan gentar sekali. Belum pernah selama hidupnya Ban im Hosiang menyaksikan ilmu pedang seperti ini. Padahal ia seringkali menyombongkan pengalamannya dan mengaku telah mengenal segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini!

Ban Yang Tojin mulai merasa girang karena ia percaya penuh bahwa kepandaian mereka bertiga pasti akan berhasil membalaskan sakit hatinya terhadap gadis yang telah membuatnya menjadi cacad selamanya itu. Ia mendesak hebat sekali dengan tombaknya dan boleh dibilang, di antara mereka bertiga, serangan tosu ini yang paling sengit. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras.

"Ban Hwa Yong penjahat cabul, kau berada di sini? Hm, tentu kalian bertiga ini yang disebut orang Thian-te Sam-kui!" Berbareng dengan seruan itu, kembali berkelebat gulungan sinar merah dari pedang seorang pemuda. Kini dua gulungan sinar pedang merah itu menahan serangan Thian-te Sam-kui!

Begitu melihat berkelebatnya sinar merah dari pedang Tiong Han dan setelah melihat tipu gerakan ilmu pedang Tiong Han, Ban Im Hosiang lalu berseru keras,

"Tahan dulu! Yang baru datang bukankah murid dari Kim Iiong pai dan yang kau pegang itu bukankah Ang-coa-kiam?"

Eng Eng dan Tiong Han menahan pedang mereka, Tiong Han menghadapi Ban im Hosiang dan berkata sambil tersenyum sinis.

“Betul, aku yang muda adalah murid dari Kim-liong-pai dan pedang ini adalah Ang-coa-kiam. Saudaramu Ban Hwa Yong telah bertemu dengan aku dan melihat watak dari adikmu yang buruk, tak perlu kita bicara lagi."

"Anak muda yang sombong! Terhadap lain orang kau boleh menyombongkan ilmu pedangmu dari Kim-Iiong-pai, akan tetapi aku tidak takut, biarpun kau memegang pedang Ang-coa-kiam!" Seru Ban Im Hosiang marah dan mendongkol sekali. "Kami memusuhi iblis wanita ini yang liar dan ganas, yang telah membacok putus lengan suteku. Ada sangkut paut apakah dengan kau murid Kim Iiong pai?"

"Thian-te Sam-kui, dengarlah baik-baik, biarpun aku tidak mempunyai urusan dengan kalian dan urusanmu dengan nona ini tidak ada hubungannya denganku, namun sebagai murid Kim-liong-pai, aku selalu berada dipihak yang benar. Kalian adalah orang-orang berkepandaian tinggi yang menyalahgunakan kepandaian, berlaku jahat dan kejam sebagaimana yang dilakukan oleh Ban Hwa Yong, maka terpaksa aku akan membela nona ini!"

Tiba-tiba Ban Hwa Yong tertawa bergelak, ”Ha ha ha! Ang-coa-kiam! Dulu ketika kita bertemu, aku masih belum kenal sebenarnya Ang-Coa-kiam. Kau bilang aku jahat, penjahat cabul? Ha ha ha! Siapa tidak tahu bahwa Ang-coa-kiam adalah seorang pengganggu perempuan yang lebih ganas dari padaku? Kau lebih cabul dari padaku, sungguh lucu sekali kau masih dapat memaki-makiku! Seperti seorang perampok besar memaki seorang maling kecil! Ang-coa-kiam, kita adalah orang-orang segolongan yang memiliki kesukaan yang sama, Kalau kau tergila-gila kepada bunga indah ini, biarlah aku mengalah atau tidak bisakah kita bagi rasa?"

Bukan main marahnya Tiong Han mendengar ucapan manusia cabul itu. Akan tetapi berbareng hatinya menjadi perih juga karena ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan oleh penjahat cabul ini tentulah adiknya, Tiong Kiat! Maka ia tidak dapat menjawab, hanya berkata kepada Eng Eng.

"Nona, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!"

Eng Eng semenjak tadi memang telah habis sabar melihat Tiong Han bercakap-cakap dengan penjahat itu. Mendengar omongan Ban Hwa Yong, ia juga dapat menduga bahwa yang dimaksudkan oleh penjahat itu tentulah Tiong Kiat, sehingga kembali Tiong Han menjadi korban perbuatan adiknya dan dia yang mendapat nama busuk! Ia merasa kasihan kepada pemuda ini, maka ketika mendengar ucapan Tiong Han, Eng Eng tidak menjawab lagi, hanya melompat maju dan menyerang dengan hebatnya, ia disambut oleh Ban Yang Tojin yang dibantu oleh Ban Hwa Yong. Adapun Sim Tiong Han, yang bergerak maju mendapat lawan Ban Im Hosiang, orang terpandai dari Thian-te Sam-kui.

Pertempuran berjalan lebih ramai dari pada tadi. Akan tetapi tidak berlangsung lama. Ban Im Hosiang yang menghadapi Tiong Han, sebentar saja terdesak hebat. Ilmu pedang Ang-coa-kiamsut telah dipelajari oleh pemuda ini sampai tingkat tinggi. Telah delapan puluh bagian lebih ilmu pedang itu ia kuasai dan kini karena ia mainkan ilmu petang itu dengan pedang Ang-coa-kiam, tentu saja kelihaiannya bertambah-tambah.

Biarpun Ban Im Hosiang mempunyai kelebihan dalam tenaga Iweekang, namun kelebihan ini ditutup oleh kekalahannya dalam hal pedang. Pedangnyapun bukan pedang buruk, namun kalau dibandingkan dengan Ang-coa-kiam, pedangnya itu tidak berarti sama sekali. Hwesio ini tahu akan kelemahan pedangnya, maka iapun bersilat dengan amat hati-hati, tidak berani mengadu mata pedangnya dengan mata pedang Ang-coa-kiam.

Pertempuran yang terjadi di antara Eng Eng yang dikeroyok dua oleh Ban Yang Tojin dan Ban Hwa Yong, lebih seru lagi. Gadis ini sekarang dapat mengamuk lebih hebat daripada tadi karena sesungguhnya yang paling berat dilawan adalah Ban Im Hosiang. Dua orang pengeroyoknya, yang seorang sudah kehilangan lengan kiri dan yang kedua, yakni Ban Hwa Yong yang mata keranjang dan sayang akan kecantikan gadis ini, tidak menyerang dengan sekuat tenaga.

Ban Yang Tojin telah mengganti senjatanya, karena ia telah maklum akan keampuhan pedang gadis itu, namun tetap saja tombak bintangnya yang sekarang tiba-tiba putus ujungnya ketika beradu dengan keras sekali dengan pedang merah di tangan Eng Eng. Dan sebelum Ban yang Tojin dapat mengelak, ujung pedang di tangan Eng Eng telah menusuk paha kanannya sehingga tosu ini roboh sambil mengeluarkan teriakan keras.

Kalau saja luka di pahanya itu disebabkan oleh tusukan pedang biasa, mungkin ia masih akan dapat melarikan diri. akan tetapi bekas tusukan pedang merah di tangan Eng Eng mendatangkan rasa panas dan sakit luar biasa sehingga ia hanya rebah sambil merintih-rintih!

Bukan main kagetnya Ban Hwa Yong melihat betapa suhengnya telah roboh. la memutar sepasang besi kaitannya dengan cepat untuk melindungi diri, akan tetapi sebuah sabetan dari Eng Eng telah membuat sebuah dari kaitannya putus pula! Ban Hwa Yong melompat ke belakang dan pada saat itu terdengar lain teriakan dan tubuh Ban Im Hosiang terlempar karena tendangan Tiong Han!

MeIihat haI ini, Ban Hwa Yong lalu melemparkan kaitannya yang telah putus itu ke arah Eng Eng kemudian cepat melarikan diri dari situ. Eng Eng mengangkat pedangnya menangkis, kemudian sebelum Tiong Han dapat mencegahnya, gadis ini dengan gerakan kilat melompat ke dekat Ban Im Hosiang. Sekali pedang merahnya berkelebat, putuslah leher hwesio itu!

Setelah itu, kembali pedangnya berkelebat dibarengi bentakannya yang keras ke arah leher Ban Yang Tojin maka tewaslah orang pertama dan kedua dari Thian te Sam kui yang pernah menggoncangkan dunia kang ouw. Eng Eng hendak mengejar Ban Hwa Yong, ternyata bahwa penjahat itu telah lenyap tidak dapat ia ketahui ke mana perginya.

“Mengapa kau tidak mengejarnya?" gadis berkata menyesal dan kecewa kepada Tiong Han.

Adapun pemuda ini yang memang masih agak lemah, kini menjadi makin pucat melihat keganasn Eng Eng ini, ia tidak menjawab pertanyaan yang mengandung teguran itu, bahkan dialah yang kini menegur sambil mengerutkan keningnya.

"Nona, mengapa kau begitu kejam? Mengapa kau membunuh lawan-lawan yang sudah terluka tak berdaya? Apakah kesalahan mereka terhadapmu sehingga kau demikian ganas terhadap Thian-te Sam-kui?"

"Lagi-lagi kau memperlihatkan kejernihan hatimu," gadis ini mencela. "Kau mudah terharu dan tergerak hatimu menyaksikan sebuah peristiwa yang hanya merupakan akibat dari pada sebab yang lebih mengerikan lagi. Tentu sedikitpun tidak terduga atau terpikir olehmu mengapa aku berlaku sedemikian ini yang kau anggap ganas dan kejam."

Merahlah wajah Tiong Han. Memang ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis aneh ini dengan Thian-te Sam-kui. Menurut pendengarannya tadi, gadis ini pula yang telah membuntungkan lengan Ban Yang Tojin dan disangkanya itulah sebenarnya maka Thian-te Sam-kui datang memusuhi Eng Eng.

"Maaf nona, memang aku belum mengerti. Tolong kau ceritakanlah kepadaku agar hatiku tidak penasaran lagi."

"Mungkin kau sudah tahu akan sifat-sifat buruk ketiga orang penjahat ini. Sebab pertama timbulnya permusuhan antara mereka dan aku disebabkan oleh Ban Yang Tojin."

Gadis ini dengan jelas lalu menceritakan betapa Ban Yang Tojin mengganggu dan merampok Pek-eng piauwkiok dan betapa ia telah menolong Ting kwan Ek dan mengusir Ban Yang Tojin. Kemudian Ban Yang Tojin dengan bantuan kedua orang saudaranya itu datang membalas dendam karena kekalahannya dan di luar tahu Eng Eng lalu ketiga orang Iblis itu membasmi Pek-eng-piauwkiok dan membunuh seluruh keluarga Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin, bahkan lalu membawa lari Nyonya Ouw yang muda lagi cantik.

Setelah mendengar penuturan Eng Eng marahlah Tiong Han. "Hm, kalau begitu, sayang sekali kita melepaskan Ban Hwa Yong lari. Dia juga patut dilenyapkan dari muka bumi ini!"

Ia lalu menceritakan kepada Eng Eng betapa iapun pernah bertempur dengan Ban Hwa Yong telah membunuh Lo Kim Bwe atau Nyonya Ouw yang diculiknya itu, yakni ketika Ban Hwa Yong bertempur menghadapi keroyokan piauwsu dan Gin-houw-piauwkiok.

"Lo Kim Bwe memang sudah sepantasnya mengalami kematian di tangan penjahat itu," kata Eng Eng yang memang merasa gemas dan benci sekali kepada nyonya muda yang genit itu.

Maka diceritakanlah kepada Tiong Han akan segala pengalamannya ketika ia berada dirumah Ting Kwan Ek yang dianggapnya sebagai kakak sendiri itu. Tak terasa lagi keduanya berjalan perlahan menuruni bukit Ta-pie-san sambil bercakap-cakap dengan asyik sekali, sama sekali tidak merasa kikuk atau asing seakan-akan mereka telah bertahun-tahun menjadi kenalan karib, Tiong Han makin tertarik hatinya terhadap gadis ini dan diam-diam ia memaki adiknya yang sudah begitu keji terhadap gadis seperti ini.

“Nona Suma Eng ketahuilah bahwa antara suhumu dan sucouwku masih terdapat ikatan persahabatan yang amat erat. Sucouwku adalah Bu Beng Sianjin, apakah suhumu tidak pernah menceritakan padamu tentang sucouw?”

Gadis itu menggeleng kepala. Bercakap-cakap dengan Tiong Han mengenai masa Iampau membuat ia seakan-akan berjalan dengan seorang yang telah lama di nanti-nanti, dikenang dan diharapkan kedatangannya. la merasa bahagia tenteram dan semua pemandangan di atas bukit itu nampak indah dan berseri. Ia merasa seakan-akan berada di dalam perlindungan yang kuat yang dapat dipercaya penuh, yang membuat ia merasa seperti seorang anak kecil dipangkuan ibunya.

Alangkah bahagianya kalau ia selalu dapat berada di dekat pemuda yang sopan, halus dan juga lihai ini! Akan tetapi tiba tiba wajahnya yang cantik jelita itu menjadi merah sampai ke telinganya. Ia teringat lagi kepada Tiong Kiat dan teringat lagi akan keadaan dirinya yang sudah terhina oleh Tiong Kiat. Tiong Han kebetulan mengerling dan menatap wajahnya, maka pemuda ini dapat melihat perobahan pada muka Eng Eng.

"Ada apakah nona? Apakah kau Ielah dan ingin istirahat?"

"Tidak, aku... aku harus berpisah darimu. Kan baik sekali, Sim twako dan aku akan selalu menyebutmu twako karena kau baik, baik seperti twako Ting Kwan Ek yang sudah mati. Akan tetapi, aku harus pergi, aku harus mencari adikmu yang jahanam itu untuk kuhancurkan kepalanya!"

Muramlah wajah Tiong Han yang tadinya sudah nampak gembira, ia menarik napas berulang-ulang dan dengan menyesal sekali berkata, "Apa yang dapat kukatakan? Tiong Kiat memang telah berlaku jahat sekali. Kau berhak penuh untuk membalas dendam... dan aku... ah, apa yang dapat kukatakan?"

Pemuda ini lalu menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar untuk mengaso karena ucapan Eng Eng tadi seketika itu juga menimbulkan semua kelelahan yang tadi tidak terasa olehnya, ia memandang dengan sedih ketika gadis itu meninggalkannya setelah menengok tiga kali seakan gadis itupun merasa menyesal harus berpisah darinya.

Perasaan kecewa, menyesal, duka, ditambah oleh kelelahan karena pertempuran-pertempuran tadi sedangkan luka pada pundaknya oleh tusukan pedang adiknya masih belum sembuh membuat Tiong Han tertidur di bawah pohon itu. Angin berhembus perlahan mengipasi tubuhnya sehingga tidurnya makin nyenyak.

Tiba tiba ia merasa betapa pedang di pinggangnya bergerak. Cepat ia membuka mata dan melompat bangun. Ternyata ia telah dikurung oleh lima orang berpakaian sebagai tosu dan sudah tua-tua dan ketika ia meraba pinggangnya ternyata bahwa pedangnya itu berikut sarungnya telah dibawa oleh seorang tosu yang nampak tertua dan yang mempunyai sinar mata berpengaruh. Kelima orang tosu itu bagaikan patung berdiri mengurung dan memandangnya dengan sinar mata tajam!

"Apa… apa artinya ini? Siapakah ngowi Suhu ?” tanya Tiong Han dengan gagap.

"Ang coa.kiam, bukalah matamu lebar-lebar! Kami adalah tosu-tosu dari Kun lun pai!"

Akan tetapi, lima orang tosu tokoh Kun-lun-pai itu menjadi heran ketika melihat betapa pemuda ini memandang mereka dengan tak mengerti.

"Harap maafkan apabila teecu tidak mengetahui akan kedatangan ngowi suhu. Akan tetapi, mengapakah pedang teecu dirampas dan apakah maksud kedatangan ngowi ini?"

"Ang-coa-kiam!" tosu yang merampas pedangnya membentak. "Pinto adalah Gan Tian Cu dan sudah lama pinto mengenal suhumu Lui Thian Sianjin di Kim liong-pai! Kalau tidak memandang muka suhumu, sekarang juga kau tentu telah kami bunuh tanpa banyak bertanya lagi. Akan tetapi, karena kau adalah anak murid Kim-liong-pai dan pedang Ang-coa-kiam berada di tanganmu, pinto masih hendak memberi kesempatan kepadamu. Mengapa kau membunuh seorang anak murid kami berdasarkan kejahatan dan kesesatanmu? Murid kami itu adalah seorang yang menjunjung tinggi keutamaan dan mendengar tentang kesesatan Ang-coa-kiam, dia sengaja datang menegurmu, akan tetapi kau bahkan telah menjatuhkan tangan maut kepadanya."

"Totiang, apakah artinya semua ini?" Tiong Han memandang dengan heran dan penasaran, "Teecu tak pernah bertemu dan tak pernah bertempur dengan seorang anak murid Kun-lun-pai, bagaimana teecu dapat membunuh seorang murid Kun-lun-pai?”

"Ang-coa-kiam! Kau telah berani memakai nama julukan Ang-coa-kiam, meninggalkan tanda gambar pedang ini pada tiap tempat kau melakukan kejahatan. Suatu perbuatan yang amat berani dan sombong! Akan tetapi sekarang ternyata dihadapan pinto kau berlaku amat pengecut. Kau telah membunuh Lo Ban Tek murid kami di kota l-kiang, apakah kau masih mau menyangkal lagi?"

Lenyaplah keheranan Tiong Han dan hatinya tertusuk sekali, karena ia telah merasa yakin bahwa yang melakukan hal itu tentulah adiknya, Tiong Kiat! Maka lemaslah tubuhnya lenyaplah semangat perlawanannya. Apakah yang hendak dikata? Menyangkal? Sama dengan mendakwa adiknya sendiri. Mengaku? Dia tidak melakukan perbuatan itu.

"Totiang, apakah yang hendak totiang lakukan terhadap diriku?" tanyanya perlahan.

"Kau harus ikut dengan kami ke Kun-lun-pai dan disana para ketua akan menjatuhkan hukumannya! Tinggal kau pilih saja, ikut dengan patuh atau melawan dengan kekerasan kami dapat membunuhmu di tempat ini juga!" Kata Gan Tian Cu dengan suara tegas.

"Untuk apa aku melawan? Marilah kalau ngowi totiang hendak membawaku ke Kun-lun-pai, aku akan ikut dengan patuh."

Demikianlah, Tiong Han lalu diikat kedua tangannya dengan tali sutera yang amat kuat. Pemuda ini menurut saja, kemudian kelima orang tosu itu lalu mengajaknya berjalan cepat turun dari Ta-pie-san, menuju ke Kun-lun-san.

Akan tetapi baru saja rombongan itu tiba di kaki gunung Ta-pie-san yang mereka tinggalkan, tiba tiba berkelebat bayangan putih yang didahului oleh sinar merah menyambar ke arah lima orang tosu itu! Gan Tian Cu dan sute-sutenya (adik-adik seperguruannya) adalah tosu-tosu tua yang memiliki kepandaian tinggi, maka melihat sinar pedang itu, mereka cepat melompat mundur untuk mengelak.

"Jangan, nona Suma Eng, jangan serang mereka!"

Tiong Han cepat menggerakkan tubuhnya dan sekali bergerak saja tali-tali yang kuat itu terlepas dari kedua tangannya. Ia terpaksa melakukan ini untuk mencegah Suma Eng yang hendak menyerang Gan Tian Cu.

Dengan mata menyala dan dada berombak, wajahnya merah penuh kemarahan, Eng Eng menunda serangannya dan memandang kepada lima orang tosu itu dengan marah sekali. Tiong Han tak terasa lagi mengulur tangannya dan memegang lengan Eng Eng yang memegang pedang.

"Jangan nona, jangan... mereka adalah tosu-tosu dari Kun-lun-pai!" Tiong Han mencegah sambil memegang erat lengan tangan Eng Eng.

“Tidak perduli! Biarpun mereka tosu-tosu dari neraka sekalipun aku tidak takuti! Mereka mengandalkan keroyokan untuk menangkapmu sungguh pengecut!"

Sementara itu, Gan Tian Cu dan kawan-kawannya tadi merasa terkejut sekali melihat kehebatan seorang gadis cantik jelita yang memegang pedang merah menyilaukan mata. Lebih-lebih kaget mereka ketika melihat betapa dengan sekali gerakan saja ikatan pada kedua tangan Tiong Han telah putus dan tangannya sudah terlepas! Alangkah hebatnya kepandaian dan tenaga pemuda itu yang tadi menyerah demikian patuhnya.

“Nona, siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan kami, pendeta-pendeta dari Kun-lun-pai?"

Sebelum Eng Eng menjawab Tiong Han mendahuluinya. "Ngowi totiang, ini adalah nona Suma Eng murid dari Hek sin mo yang terkenal!"

Terbelalak mata kelima orang tosu itu, karena sesungguhnya nama Hek sin-mo merupakan nama yang amat terkenal dan dikagumi oleh semua tokoh persilatan. Gan Tian Cu mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat kepada murid orang sakti itu dan berkata,

"Nona, harap kau tidak salah sangka. Pinto berlima datang sengaja hendak membawa pemuda ini yang telah berdosa besar telah membunuh Lo Ban Tek, anak murid dari Kun-lun-pai. Kami datang untuk membawanya ke Kun.lun-san agar mendapat pengadilan dari para ketua Kun-lun-pai."

"Apa buktinya bahwa Sim twako telah membunuh anak murid Kun-lun-pai?" tanya Eng Eng yang belum hilang kemarahannya.

"Nona, nama Ang coa kiam telah amat terkenal. Pemuda ini tidak hanya membunuh Lo Ban Tek murid kami, bahkan ia telah terkenal sebagai seorang jai hwa cat dan pencuri yang amat jahay dan keji! Ia telah membunuh keluarga Lui wangwe yang dermawan, hanya untuk memenuhi permintaan seorang pelacur rendah. Murid Kami Lo Ban Tek datang untuk menegurnya akan tetapi bahkan dibunuhnya! Nona, kau adalah murid seorang pendekar, seorang locianpwe yang ternama, maka sudah menjadi kewajibanmu pula untuk membasmi orang-orang macam Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang.coa-kiam murid Kim-liong-pai yang durhaka ini. Bagaimana seorang murid dari Hek-sin-mo locianpwe dapat bersahabat dengan seorang jahat seperti dia ini?"

"Pendeta-pendeta tersesat, bukalah matamu baik-baik!" Eng Eng berseru marah sekali dan menggerakkan pedangnya. "Dia ini bukanlah Sim Tiong Kiat dan..."

"Nona Suma!" Tiong Han mencegahnya membuka rahasia adiknya.

Akan tetapi Eng Eng tidak memperdulikannya dan melanjutkan kata-katanya, "Dan orang yang melakukan semua kejahatan yang kau sebutkan tadi, orang jahat yang menggunakan nama julukan Ang-coa-kiam bukanlah dia ini, akan tetapi adiknya!"

"Apa... apa maksudmu, nona?" Gan Tian Cu bertanya dengan heran, demikian pula adiknya membelalak matanya dengan kaget.

"Eng-moi... jangan...” Tiong Han mencoba lagi untuk mencegah Eng Eng membuka rahasia adiknya dan dalam kegugupannya sampai lupa dan menyebut nona itu Eng-moi (adik Eng).

Eng Eng menengok dan menatap wajah pemuda itu. Sepasang matanya yang indah itu tampak terbaru, akan tetapi bibirnya dirapatkan dengan gemas. "Orang lemah..." katanya perlahan, kemudian ia berpaling kepada Gan Tian Cu lalu berkata,

"Totiang, bukan kau saja yang salah pandang, bahkan aku sendiri pun tadinya telah salah sangka. Orang muda ini bernama Sim Tiong Han, dan Sim Tiong Kiat si jahanam adalah adik kembarnya. Adiknya itulah orang yang harus kau cari dan kau tangkap bukan Sim twako ini."

"Akan tetapi... pedang Ang-coa-kiam berada di tangannya dan... dan mengapa kau tidak mau memberitahukan keadaan yang sebenarnya?" tanyanya kemudian kepada Tiong Han.

Pemuda ini menghela napas. Tak perlu lagi ia menyembunyikan hal yang sebenarnya. "Totiang keterangan nona ini memang benar. Tiong Kiat adalah adikku dan kalau ia telah melakukan dosa terhadap Kun-lun-pai biarlah aku sebagai kakak kandungnya yang bertanggung jawab dan menerima hukumannya. Pedang ini belum lama kuterima dari padanya."


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Bukan main herannya hati Gan Tian Cu mendengar ini. "Aah, mengapa begitu? Orang muda, hampir saja kau membuat kami melakukan kedosaan besar, menghukum orang yang tidak bersalah. Baiknya datang Suma Iihiap ini yang berani berkata terus terang! Sim enghiong pinto dapat memaklumi pembelaan dan pengorbananmu terhadap seorang adik. Akan tetapi, perbuatanmu ini benar-benar keliru sekali. Benar seperti dikatakan oleh Suma lihiap tadi, kau terlalu lemah! Kelemahan dan kasih sayang hatimu terhadap adikmu telah menggelapkan pertimbangan dan keadilanmu! Apa kau kira dengan mengorbankan nyawa untuk membela adikmu itu, kau telah melakukan suatu tindakan yang bijaksana? Sebaliknya, anak muda, sebaliknya kau bahkan menambah kejahatan kepada dunia! Dengan tindakanmu ini, seakan-akan kau membela penjahat yang mengacaukan dunia! Pikiranmu cupat sekali, Sim enghiong. Karena kasih sayangmu terhadap adik, kau membiarkan adikmu merajalela dan mencelakakan orang-orang yang seharusnya patut kau bela. Di manakah keadilanmu? Di manakah kegagahanmu?"


Terpukul hati Tiong Han mendengar ucapan pendeta ini dan ia menundukkan mukanya yang pucat.

"Sim enghiong," kata lagi Gan Tian Cu yang merasa penasaran melihat kelemahan hati pemuda yang demikian gagah, "kau benar-benar telah memalukan nama Kim-liong-pai yang besar. Ketahuilah bahwa pendirian seorang pendekar, di dalam membela kebenaran dan keadilan tidak ada hubungan saudara maupun keluarga. Yang benar harus dibela, sungguhpun orang lain yang belum dikenalnya, yang salah harus dilawan biarpun saudara atau keluarga sendiri! Bahkan kaIau di dalam Kim-liong-pai terdapat seorang yang nyeleweng adalah kewajibanmu untuk mencegah dan melenyapkan pendurhaka itu. Kewajibanmu untuk menangkap adikmu itu demi membersihkan nama Kim-liong-pai, demi menjaga baik nama ayahmu dan demi sifatmu sebagai pendekar pembela rakyat! Nah, cukup pinto bicara, kau turut atau tidak terserah, akan tetapi pinto takkan berhenti berusaha untuk menangkap adikmu." Maka pergilah Gan Tian Cu dengan empat orang adik seperguruannya.

Ucapan itu mendorong dua titik air mata mengalir keluar dari mata Tiong Han yang masih menundukkan mukanya. Terbangun semangatnya dan ia berkata kepada Eng Eng yang masih memandangnya dengan terharu.

"Nona benar juga ucapan Gan Tian Cu totiang. Aku akan mencari Tiong Kiat, hendak kutangkap dan kubawa kembali ke Kim liong pai, menyerahkannya kepada suhu."

"Bagus, akan tetapi aku tidak mau kalah dulu baik olehmu maupun oleh pendeta Kun-lun-pai tadi. Gan Tian Cu hendak menangkap Tiong Kiat untuk dibawa ke Kun-Iun-pai, kau hendak menangkapnya untuk kau bawa ke Liong-san. Akan tetapi, akulah yang berhak menghancurkan kepalanya untuk membalaskan dendam hatiku!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu melompat pergi, meninggalkan Tiong Han yang memandang sayu.

"Tiong Kiat... Tiong Kiat... tidak kusangka bahwa nasibmu akan demikian buruknya... adikku, mengapa kau tersesat sejauh ini...?"

Dengan kaki lemas, Tiong Han lalu menuruni bukit Ta-pie-san dalam perjalanannya mencari adiknya untuk membawanya dengan paksa ke Liong san, di mana suhunya telah menanti. la merasa penasaran mengapa Tiong Kiat telah berpisah dari Kui Hwa, padahal tadinya ia mengharap supaya adiknya itu hidup berbahagia dengan sumoinya atau bekas tunangannya itu. Apakah Kui Hwa yang menyebabkan Tiong Kiat menjadi tersesat?

Panas dadanya ketika ia mendapatkan pikiran ini. Siapa tahu? Mungkin Kui Hwa yang menjadi biang keladinya! la teringat akan kata-kata Tiong Kiat bahwa kini Kui Hwa dapat dicari di kota Heng yang. Maka iapun lalu tujukan perjalanannya ke kota Heng-yang untuk mencari Kui Hwa dan untuk bertanya kepada sumoinya itu mengapa Tiong Kiat dan Kui Hwa dapat berpisah.


                ***************


Sebelum Tiong Han yang hendak mencari sumoinya, yakni Can Kui Hwa, tiba di tempat itu, marilah kita mendahuluinya menengok keadaan nona yang malang nasibnya ini. Dalam buku jilid kedua telah diketahui bahwa setelah melihat Tiong Kiat melakukan perbuatan hina terhadap Gu Loan Li, gadis yang mereka tolong dari tangan kepala gerombolan Sorban Merah sehingga Loan Li membunuh diri, Kui Hwa menjadi marah sekali dan menyerang Tiong Kiat.

Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan pemuda yang berkepandaian Iebih tinggi tingkatnya itu dan telah dikalahkan. Setelah Tiong Kiat meninggalkannya Kui Hwa yang putus asa lalu teringat akan permintaan para anggauta gerombolan Sorban Merah yang hendak mengangkatnya menjadi kepala. Ia lalu kembali ke kota Heng yang dan diterima baik dan dengan gembira oleh para pengurus Perkumpulan Sorban Merah itu.

Setelah melihat gadis ini mengalahkan dan menewaskan kepala mereka, yakni Hek pa cu Teng Sun, para thauwbak dan anak buah gerombolan Sorban Merah amat mengaguminya. Perkumpulan Sorban Merah mempunyai anggota yang banyak jumlahnya dan semenjak dipimpin oleh Hek-pa-cu Teng Sun, perkumpulan ini telah menghasilkan banyak uang, yang didapat dengan jalan terang maupun gelap, Kui Hwa sendiri menjadi terkesiap ketika ia melihat peti penuh dengan barang perhiasan yang amat besar nilainya disodorkan kepadanya oleh para thauwbak.

"Mulai sekarang, tidak boleh lagi ada pelanggaran-pelanggaran," katanya dengan suara keras. "Tidak boleh melakukan sesuatu yang jahat dan siapapun juga diantara anggota ada yang melanggar akan berkenalan dengan pedangku!"

Gadis ini karena tidak mempunyai harapan untuk kembali ke rumah ayahnya dan tidak mempunyai perlindungan lalu membeli sebuah rumah besar dan memasang merk papan nama Perkumpulan Sorban Merah. Ia lalu mengatur anak buahnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik, misalnya menjaga keamanan kota, mengawal kiriman-kiriman barang dan Iain-lain.

Pengaruh Perkumpulan Sorban Merah sudah besar sekali, akan tetapi kalau tadinya perkumpulan ini ditakuti dan disegani orang, sekarang orang orang menghormatinya sebagai perkumpulan orang-orang yang gagah yang boleh mereka andalkan bantuannya.

Diantara para thauwbak (pembantu pemimpin) dan anggota Sorban Merah, banyak juga yang merasa tidak puas dengan peraturan-peraturan keras ini, karena mereka ini memang mempunyai watak yang busuk seperti Hek-pacu Teng Sun. Maka diam-diam orang-orang ini lalu melarikan diri dan mencari seorang yang mereka harapkan menjadi pemimpin mereka. Orang ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Teng Sun yang bernama Kim-pacu Gak Kun si Macan Tutul Emas dan yang menjadi kepala rampok di pegunungan Pek-ma-san, tak jauh dari kota Heng-yang.

Untuk menyesuaikan dirinya sebagai kepala dari Perkumpulan Sorban Merah yang terdiri dari anggota-anggota ahli bermain golok, Kui Hwa kini mengganti senjata pedangnya dengan golok pula. la bahkan memberi pelajaran ilmu silat golok yang baru kepada anak buahnya, yang dimainkan berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang lihai. Maka tentu saja para anggota Sorban Merah mendapat kemajuan yang hebat sekali dan kedudukan perkumpulan ini makin kuat saja.

Kui Hwa merasa senang dengan kedudukannya yang baru ini. Selain dapat penghormatan dari semua anak buahnya, iapun terkenal sekali di kota Heng-yang sebagai seorang wanita perkasa yang selain cantik jelita juga gagah berani dan berbudi. Banyak hati pemuda-pemuda Heng-yang, baik yang pandai ilmu silat maupun yang tidak, jatuh hati kepadanya dan banyak pula gadis yang kini disebut Can pangcu (ketua Can) ini menerima pinangan.

Akan tetapi semua pinangan ini ditolaknya dengan manis. Di dalam hatinya sebenarnya Kui Hwa menderita hebat. Hatinya telah terluka perih oleh perbuatan Tiong Kiat, pemuda yang amat dikasihinya itu. Dan ia merasa amat menyesal mengapa ia jatuh hati oleh bujukan Tiong Kiat yang ternyata tidak berbudi itu. Sering kali ia terkenang kepada Tiong Han dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau ia menikah dengan suhengnya ini. Ia menyesal bukan main, akan tetapi nasi telah menjadi bubur, apa hendak dikata?

Bukan Kui Hwa tidak ada niatan membangun rumah tangga, menikah dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi ia merasa ragu-ragu setelah kegagalannya dengan Tiong Kiat. Pula, sebagai seorang gadis berkepandaian tinggi, tentu saja takkan merasa puas kalau menikah dengan seorang pemuda yang lemah, yang tidak mengimbangi ilmu kepandaiannya. Dan pula, ia merasa malu karena ia telah berIaku sesat bersama Tiong Kiat.

Pada suatu hari, ketua Kui Hwa tengah duduk di dalam rumah perkumpulannya dan bercakap-cakap dengan beberapa orang pembantunya, membicarakan tentang pekerjaan-pekerjaan yang diserahkan kepada perkumpulannya, tiba tiba seorang anggauta Sorban Merah berlari masuk. Terkejutlah Kui Hwa dan kawan-kawannya ketika melihat anggauta ini pakaiannya berlumuran darah dan ternyata bahwa darah itu menetes turun dengan derasnya dari telinga kirinya yang telah dipotong orang!

"Apakah yang telah terjadi dengan dirimu?" tanya Kui Hwa dengan suara tenang. Ia menduga bahwa tentu ada orang jahat yang mengganggu anak buahnya ini.

"Celaka, pangcu (ketua) kawan-kawan kita pengikut-pengikut mendiang Hek-pa-cu yang melarikan diri kini telah datang dan merupakan rombongan perampok bersorban biru, dipimpin oleh Kim-pa-cu Gak Kun sendiri! Hamba dan beberapa orang yang bertugas menjaga keamanan kota, mereka serbu dan banyak kawan kita yang binasa! Kim-pa-cu Gak Kun menantang kepada pangcu untuk menyambutnya di sebelah barat kota Heng-yang!"

Setelah menuturkan hal ini, anak buah Sorban Merah ini lalu jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Naiklah kedua alis Kui Hwa mendengar dari para thauwbak tentang Kim-pa-cu Gak Kun ini sebagai suheng dari Hek-pa-cu Teng Sun yang telah dibunuhnya. Memang ia telah siap sedia menghadapi pembalasan dari perampok ini.

Akan tetapi sama sekali tidak pernah diduganya bahwa anak buah Sorban Merah yang diam-diam melarikan diri, kini ternyata telah bergabung dengan penjahat ini dan membentuk gerombolan Sorban Biru, kemudian datang menyerbu dan membikin kacau kota Heng-yang! Marah sekali gadis ini dan cepat ia lalu masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian yang ringkas berwarna biru gelap, lalu membawa goloknya.

Pada saat itu, datanglah tergopoh-gopoh kepala kota dan tikoan. Kedua orang pembesar ini telah mendengar tentang kerusuhan yang ditimbulkan oleh Gerombolan Sorban biru yang mulai merampoki rumah rumah penduduk di pinggir kota dan mengganggu wanita-wanita.

"Can pangcu, harap kau suka lekas tolong usir mereka!" kata kepala kota dengan wajah pucat.

"Kalau perlu bantuan, aku dapat mengerahkan penjaga kota!" menyambung tikoan sambil memandang kepada Kui Hwa dengan kagum. Belum pernah ia melihat Kui Hwa segagah dan secantik ini, dalam pakaian yang ringkas dan mencetak tubuhnya itu.

"Harap jiwi taijin suka tenang" jawab Kui Hwa. "Tak usah diserahkan penjaga kota, biarlah aku dan pembantu-pembantuku menyelesaikan urusan ini. Percayalah, tak lama lagi akan kubawa kepala perampok she Gak itu kehadapan jiwi taijin!"

Setelah berkata demikian Kui Hwa lalu menghampiri anak buahnya yang buntung telinganya itu. Setelah mendapat perawatan kawan-kawannya, orang ini siuman kembali.

"Berapa banyak kiranya jumlah gerombolan itu?" tanyanya.

"Maaf, pangcu hamba kurang jelas akan tetapi sedikitnya tentu ada tiga puluh orang." jawab anggauta Sorban Merah itu.

"Pangcu, apakah aku harus mengumpulkan kawan-kawan yang bertugas di berbagai tempat?" tanya seorang thauwbak.

"Tidak usah, berapa orang yang berada disini?"

"Hanya ada sembilan orang dengan pangcu sendiri."

"Sudah cukup, mari kita berangkat!" Jawab Kui Hwa dengan gagah.

Gadis itu bukan menyombong akan tetapi karena ia melihat bahwa di antara delapan orang anak buahnya. Yang empat adalah thauwbak-thauwbak yang telah menerima latihan-latihan ilmu golok darinya. Baginya lebih baik membawa empat orang thauwbak ini dari pada membawa empat puluh orang anggota biasa yang ilmu goloknya masih rendah.

Beramai-ramai sembilan orang ini berlari cepat menuju ke sebelah barat kota. Ketika mereka tiba di gerbang kota, sudah terdengar oleh mereka jerit tangis penduduk yang diganggu oleh para penjahat Sorban Biru itu. Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ini. Ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga kawan-kawannya tertinggal jauh.

Begitu ia tiba di tempat kerusuhan itu, gegerlah keadaan di situ di antara penjahat. Setiap kali melihat seorang penjahat bersorban biru, golok di tangan Kui Hwa menyambar dan menjeritlah penjahat itu dan terguling roboh dengan tubuh hampir terbelah dua! Empat orang penjahat telah menjadi korban golok Kui Hwa dan tiba tiba dari sebuah rumah melompat keluar seorang laki-laki pendek besar yang berseru keras.

"Bangsat wanita! Kaukah yang bernama Can Kui Hwa dan yang telah membunuh suteku Teng Sun?"

Kui Hwa memandang orang itu dengan penuh perhatian. Ia adalah seorang laki-laki yang bertubuh agak pendek, akan tetapi tegap dan nampaknya bertenaga besar. Sorban serta ikat kepalanya berwarna biru, demikianpun celananya, sedangkan bajunya berwarna putih dengan garis-garis merah. Senjata yang dipegangnya adalah sebatang tongkat bercabang. Inilah dia Kim-pa-cu Gak Kun yang namanya amat terkenal dan yang oleh anak-anak buah Sorban Merah disohorkan memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

Kui Hwa sebenarnya tentu saja lebih pandai memainkan pedang dari pada permainan golok. Memang ia adalah anak murid Kim-Liong-Pai yang khusus mendapat pelajaran ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang lihai. Akan tetapi gadis ini setelah ditinggalkan oleh Tiong Kiat, menjadi sadar dan insaf akan kesesatannya. la maklum bahwa sebagai seorang murid Kim-liong-pai, ia telah melakukan pelanggaran besar sekali.

Sering kali setiap malam ia menguras air mata dari kedua matanya karena menyesal dan merasa berdosa serta malu, terutama sekali terhadap ayahnya dan suhunya, Lui Thian Sianjin. Oleh karena itu, ia merasa malu untuk mengaku sebagai murid Kim-liong-pai lagi. Ia anggap dirinya terlampau hina dan rendah menjadi murid Kim-liong-pai.

Dan kalau ia masih memegang pedang serta mainkan ilmu silat Ang-coa-kiamsut, maka itu berarti bahwa ia hanya akan mengotori dan mencemarkan nama Kim-Liong-pai dan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut belaka! Oleh karena inilah yang terutama sekali maka ia lalu berganti senjata dan melatih ilmu golok ciptaan sendiri berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut!

Kini menghadapi laki-laki bersorban biru yang menjadi suheng dari Teng Sun, ia lalu membentak. "Kaukah yang bernama Kim-pa-cu Gak Kun? Kalau kau berdiam di hutan melakukan pekerjaan merampok, itu masih tidak apa, akan tetapi sekarang kau memimpin orang-orangmu untuk mengganggu Heng-yang, apakah kau sudah bosan hidup? Mari kuantar kau menjumpai adikmu Hek-pa-cu!"

Marahlah Gak Kun mendengar ucapan ini. "Perempuan sombong ! Kalau kau minta maaf kepadaku dan suka turut ucapanku, aku Kim-pa-cu masih sayang akan kecantikanmu. Serahkan kedudukan pangcu dari Perkumpulan Sorban Merah kepadaku dan kau akan kuangkat menjadi permaisuriku!"

"Anjing tak tahu malu!" bentak Kui Hwa yang menjadi merah mukanya. Ia lalu mengayun goloknya dan menyerang dengan sengit.

Gak Kun menangkis dengan tongkatnya yang istimewa itu dan bertempurlah mereka dengan serunya. Pertempuran itu demikian hebatnya dan senjata mereka berkelebatan mengerikan sehingga para anak buah Gak Kun dan para anggota Sorban Merah hanya berani menonton dari jauh. Dengan berdebar kedua fihak ini menonton pertempuran yang dilakukan oleh ketua masing-masing dengan senjata siap di tangan!

Segera Kui Hwa mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang she Gak ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Teng Sun. Tongkat bercabang pada gagangnya itu betul-betul lihai sekali karena gagangnya dapat dipergunakan untuk menangkis golok dan ujung tongkat itu bergerak cepat dengan serangan-serangan totokan keatas jalan darah. Ternyata bahwa orang she Gak ini telah mempelajari thiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) yang lihai.

Kui Hwa berlaku hati-hati sekali dan memutar goloknya untuk melindungi tubuh dan melakukan serangan balasan yang cukup menggetarkan hati Gak Kun. Kepala Sorban biru ini benar-benar tak pernah mengira bahwa gadis ini benar-benar luar biasa pandainya. Ia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, ia masih kalah.

la kalah gesit dan gerakan senjatanya kalah cepat, tetapi Gak Kun masih dapat melawan mengandalkan dua macam kepandaiannya yang istimewa, yakni menotok dan menendang. Tendangannya ini adalah ilmu tendang yang mirip dengan Soan-hong-twi (tendangan kitiran angin) yang dilakukan bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sedangkan tongkatnya tetap digerakkan mengancam dari atas!

Dengan seruan keras sekali Gak Kun yang menjadi penasaran karena semua serangannya dapat digagalkan oleh lawannya, tiba-tiba mengayun kaki kirinya menendang dengan hebat. Tendangan yang dilakukan ahli ini berbahaya sekali karena dikerahkan dengan penuh tenaga. Tendangan ke arah dada ini dielakkan oleh Kui Hwa dengan miringkan tubuh ke kiri sambil menggeser kaki kiri ke depan, goloknya diputar di atas kepala dengan sikap mengancam tubuh atas lawannya.

Akan tetapi sebetuInya gadis ini sedang melakukan gerakan yang disebut Naga Sakti Menyabetkan Ekornya dengan berlaku lambat sambil menanti tendangan susulan lawan. Benar saja, ketika tendangan kirinya tidak berhasil mengenai lawan Gak Kun berseru lagi dan tiba-tiba ketika kaki kirinya turun ke atas tanah, tendangan kanannya menyusuI cepat dibarengi dengan totokan tongkatnya pada pundak gadis itu.

Inilah yang dinanti-nanti oleh Kui Hwa dalam gerakannya Naga Sakti Menyabetkan ekornya tadi. Begitu melihat kaki kanan bergerak, goloknya yang diputar-putar di atas kepala itu lalu menyambar cepat ke bawah, membabat dan menyambut tendangan kaki kanan lawan. Tubuhnya ditarik ke bawah dan kaki kanannya secepat kilat menendang pergelangan tangan kanan lawan yang sedang menusukkan tongkat itu!

Bukan main hebatnya serangan balasan dari Kui Hwa ini. Gerakan gadis ini demikian tiba-tiba dan tak tersangka-sangka sehingga Gak Kun tak dapat menolong dirinya lagi. Biarpun ia berusaha menarik kembali kakinya dengan cepat, namun tetap saja golok itu mengejar kakinya. Hampir berbareng dengan ujung kakinya yang berhasil menendang pergelangan tangan lawannya, ujung goloknya juga berhasil mencium betis Gak Kun!

Kim-pa-cu Gak Kun menjerit keras dan sambil melepaskan tongkatnya, tubuhnya jatuh terguling dalam keadaan pingsan! Kaki kanannya hampir-hampir putus karena sabetan golok itu sedangkan pergelangan tangannya juga pecah tulangnya karena tendangan Kui Hwa!

Kemudian Kui Hwa mengamuk hebat. Para penjahat Sorban Biru tadinya masih hendak melawan dan mengeroyok, mengandalkan jumlah yang lebih banyak. Akan tetapi begitu Kui Hwa dan delapan orang pembantunya menyerbu, pihak sorban biru dibabat dengan mudah bagaikan orang membabat rumput saja!

Larilah penjahat-penjahat itu pontang-panting, sebagian besar cepat membuang senjata dan berlutut minta ampun. Dengan kemenangan besar ini, Kui Hwa menyuruh anak buahnya membawa para tawanan ke kota. Namanya makin terkenal dan dipuji-puji orang, dan semenjak hari itu, tidak pernah ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu kota Heng-Yang lagi. Juga barang barang yang dikawal oleh anggauta sorban merah, selalu tidak terganggu perampok di jalan.

Nama Can Kui Hwa sebagai seorang pangcu (ketua) yang cantik dan gagah, terdengar sampai jauh, karena tiap pelancong atau pedagang yang telah datang mengunjungi kota Heng-yang setelah pergi meninggalkan kota itu, tentu menceritakan hal nona itu kepada para kenalannya. Diantara para pelamar di kota Heng-yang terdapat seorang sasterawan muda she Siok yang tampan dan sopan santun.

Siok kongcu ini telah menempuh ujian di kota raja dan lulus dengan baik sehingga ia mendapat gelar siucai, akan tetapi oleh karena di dalam hatinya pemuda terpelajar ini amat benci melihat pembesar-pembesar yang melakukan korupsi dan tidak melakukan tugasnya dengan baik, ia tidak mau menerima pengangkatan dan tidak mengejar kedudukan, sebaliknya bahkan kembali ke Heng-yang di mana ia hidup dengan ibunya yang telah janda.

Siok siucai, lengkapnya siok Un Leng, mencari nafkah hidupnya dengan mengajar anak-anak di kota itu. Ia bekerja membuka sebuah sekolah di rumahnya mengajar membaca dan menulis pada anak-anak dengan mendapat upah yang sederhana. Sesungguhnya diantara sekian banyak pemuda yang mengaguminya, hanya Siok-siucai saja yang menarik hati Kui Hwa.

Pemuda tampan, berpemandangan luas, sikapnya halus dan sopan santun, pendeknya seorang calon suami yang baik sekali. Akan tetapi yang mengecewakan hati Kui Hwa dan yang membuat ragu-ragu adalah bahwa pemuda ini tidak mengerti ilmu silat! Memang harus ia akui bahwa begitu melihat pemuda she Siok yang baru beberapa bulan datang dari kota raja ini, hatinya sudah amat tertarik.

Memang Siok Un Leng baru sebulan lebih datang dari kota raja dan secara kebetulan saja ia melihat Kui Hwa menunggang kuda lewat di depan rumahnya. Dan keesokan harinya, pemuda ini lalu minta kepada ibunya untuk melamar gadis itu! Tentu saja ibunya terkejut bukan main.

"Leng-ji (anak Leng), apakah kau sudah gila? Kau tidak tahu siapa gadis itu? Dia adalah Can-pangcu, ketua dari Sorban Merah!"

Un Leng tersenyum. "Habis mengapa ibu? Apakah dia bukan manusia?"

"Tentu saja dia manusia, bahkan manusia yang Iebih mulia dari pada orang kebanyakan! Dia seorang gagah perkasa, berpengaruh dan menjadi pangcu dari sebuah perkumpulan orang gagah. Bagaimana aku berani meminang untukmu? Leng-ji, lebih baik kucarikan nona yang lebih sesuai untukmu, yang pandai menyulam dan membaca, bukan seperti Can-pangcu yang pandai mainkan golok!"

"Tidak, ibu. Melihat nona itu, aku tahu bahwa dialah orang yang akan dapat membahagiakan anakmu."

Ibunya menghela napas panjang, "Aneh sekali kau ini, Leng-ji. apakah kau tidak takut melihat goloknya yang tajam?"

Mendengar ini Un Leng tertawa bergelak sehingga ibunya menjadi terheran. Puteranya ini agaknya telah berobah semenjak lima tahun pergi ke kota raja!

"Ibu ini aneh-aneh saja. Kalau Can-siocia memang algojo yang biasa menyembelih orang barangkali akupun tidak takut. Apa lagi dia seorang berhati mulia dan gagah perkasa seperti ibu katakan tadi. Sudahlah ibu, tolonglah anakmu dan pinanglah dia."

"Aku tidak berani, anakku. Kita orang miskin, bagaimana aku harus melamar seorang yang kaya raya dan berpengaruh seperti Can Siocia?"

Akan tetapi Un Leng membujuk terus sehingga akhirnya berangkatlah ibu yang mencinta anaknya ini, mengajukan pinangan kepada Kui Hwa. Di luar dugaannya semula, nona ini menerimanya dengan penuh penghormatan dan dengan muka merah kemalu-maluan. Nona ini tidak menolaknya mentah-mentah hanya menyatakan bahwa ia belum ingin mengikat diri dengan perjodohan dan mohon kepada nyonya itu agar supaya tidak kecewa dan menyesal.

Setelah tiba di rumah, ibu ini mengomeli puteranya. "Kau membikin malu ibumu saja! Nona Can begitu baik dan ramah tamah. Biarpun ia tidak menolak dengan kasar, akan tetapi alasannya belum ingin menikah itu telah merupakan penolakan yang halus."

Akan tetapi Un Leng tidak putus harapan. Pemuda yang lama tinggal di kota raja ini memang seorang pemberani dan tanpa malu-malu dia lalu mengunjungi rumah perkumpulan sorban Merah untuk berkenalan dengan Can pangcu!

Tentu saja Kui Hwa merasa terkejut dan heran sekali melihat keberanian pemuda ini. Timbul kemarahan di dalam hatinya karena ia mengira bahwa pemuda ini tentu sebangsa pemuda mata keranjang yang kurang ajar. Tidak tahunya, setelah mereka berjumpa, Un Leng bersikap sopan santun dan pemuda ini pandai sekali bercakap-cakap dan pengetahuannya luas sekali sehingga Kiu Hwa merasa suka bergaul dengan dia!

Mulailah mereka berkenalan dan tidak saja Un Leng seringkali datang berkunjung bahkan kini Kui Hwa seringkali datang ke rumah Un Leng untuk mengobrol dengan pemuda itu dan ibunya! Tentu saja nyonya Siok menjadi terheran-heran akan tetapi diam-diam nyonya ini girang sekali karena kalau Can pangcu menjadi sahabat puteranya, sedikitnya mereka akan lebih disegani oleh para tetangga.

Pada suatu hari, ketika Un Leng bercakap-cakap di rumah Kui Hwa, pemuda ini berkata, "Nona Can, kuharap kau tidak berkecil hati dan tidak mengira yang bukan-bukan ketika ibuku datang mengajukan pinangan kepadamu. Sesungguhnya terus terang saja aku mengagumimu sebagai seorang gadis gagah perkasa yang berani memimpin perkumpulan besar ini. Kau patut dipuji dan penolakan dulu tidak mengecilkan hatiku. Dapat menjadi sahabatmu saja sudah merupakan hal yang amat membahagiakan hatiku..."

Kui Hwa merasa terharu mendengar ini. Pemuda ini benar-benar seorang yang baik dan sopan. "Saudara Un Leng harap kau suka maafkan padaku. Sesungguhnya, seperti yang pernah kukatakan kepada ibumu, aku belum mempunyai niat untuk mengikat diriku dengan perjodohan. Kau seorang yang baik dan aku suka bersahabat dengan kau. Adapun tentang pernikahan... agaknya selama hidupku aku takkan menikah!"

Un Leng memandang tajam lalu berkata perlahan, "Nona, tentu saja kalau sampai tiba waktunya kau menikah, kau tentu akan memilih seorang suami yang memiliki kepandaian bu (ilmu silat), bukan seorang siucai yang Iemah seperti aku!"

Kui Hwa terkejut karena pemuda ini ternyata dapat meraba isi hatinya. Akan tetapi ia harus bersikap jujur terhadap pemuda yang baik hati ini. "Ada betulnya juga kata-katamu itu, saudara Un Leng. Kau tentu mengerti sendiri bahwa suami isteri baru bisa hidup rukun apabila mempunyai kesukaan yang sama. Kurasa sukar juga kalau kesukaan si isteri memegang golok sedangkan kesukaan si suami memegang tangkai pena!" Gadis ini tersenyum dan ucapannya itu dimaksudkan sebagai sebuah kelakar.

Akan tetapi Un Leng memandang dengan tajam dan berkata dengan sikap bersungguh-sungguh. "Kau keliru, nona. Mempelajari permainan golok bukanlah termasuk kesenangan, akan tetapi lebih tepat sebagai penjagaan diri terhadap gangguan orang-orang jahat. Sebaliknya mempelajari menggerakkan tangkai pena merupakan sebuah kesenian dan mempertinggi peradaban sebagai manusia. Tangkai pena tidak berbahaya, berbeda dengan golok yang biasanya hanya mendatangkan malapetaka, bunuh membunuh dan balas membalas karena dendam!" Pemuda ini nampak bersemangat sekali.

"Kau berat sebelah, saudara Un Leng." kata Kui Hwa dan matanya berkata, "Kau tahu apa tentang ilmu silat?" akan tetapi mulutnya berkata lain, "Tangkai pena bukanlah benda yang tidak berbahaya, bahkan kurasa lebih berbahaya dari pada mata golok. Kalau orang menggunakan golok untuk menyerang maka lawan yang diserang dapat melihatnya dan mempunyai kesempatan untuk melawan. Akan tetapi, berapa banyaknya orang yang mendapat celaka serumah tangga hanya oleh coretan pena seorang pembesar yang melakukan serangan dan fitnah secara sembunyi?"

Un Leng cemberut. Ia merasa sebal sekali terhadap pembesar-pembesar yang jahat dan yang tepat seperti dikatakan oleh gadis ini. "Oleh karena itulah aku tidak sudi menjabat pangkat!" serunya gemas. "Akan tetapi, tidak semua orang sejahat yang aku katakan tadi, nona."

Kui Hwa tersenyum geli melihat kemarahan Un Leng. "Ingat Siok siucai yang terhormat demikian pula dengan pemegang golok. Tidak semua sejahat seperti yang kau katakan tadi!"

Mereka saling pandang dengan marah, kemudian berbareng tertawa geli. "Ha, kita ini seakan akan mewakili dua fihak yang bertentangan, fihak bu (ahli silat) dan bun (ahli sastera)!" kata Un Leng.

Juga Kui Hwa tertawa dan gadis itu makin suka kepada pemuda yang baik budinya ini. Sayang sekali dia tidak pandai ilmu silat, pikirnya. Kalau Un Leng pandai ilmu silat agaknya tidak akan kecewa menjadi istri pemuda ini. Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat lagi akan kesesatannya bersama Tiong Kiat dahulu dan wajah gadis ini berubah murung sekali.

"Aku takkan menikah selama hidupku," hatinya berkata dan tanpa disadarinya, bibirnya juga membisikkan kata-kata ini sehingga terdengar oleh Un Leng.

"Nona mengapakah kau berduka? Agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu dan yang membuat kau putus asa. Dapatkah kau menceritakan hal itu kepada sahabatmu ini?"

Kui Hwa menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tak mungkin, saudara Un Leng. Tak mungkin kuceritakan kepada siapapun juga."

Dalam keadaan hati tertekan berdiamlah kedua orang sahabat ini. Sebagaimana telah dituturkan di depan, Can Kui Hwa sebagai pangcu dari Sorban Merah yang cantik jelita dan gagah, terkenal sampai jauh dari daerah Heng-yang. Hal ini menarik hati orang-orang gagah, terutama mereka yang masih muda dan belum menikah, karena bukankah pangcu wanita yang cantik dan masih gadis itu merupakan kembang yang amat menarik hati? Muda, cantik, kaya raya menjadi ketua dari perkumpulan yang berpengaruh!

Dan di antara mereka yang mendengar nama Can Kui Hwa yang mengagumi dari jauh terdapat juga Ban Hwa Yong, si penjahat pemetik bunga yang lihai itu! Seperti telah diketahui orang ketiga dari Thian-te Sam-kui ini telah kehilangan dua orang suhengnya yang tewas dalam tangan Eng Eng dan Tiong Han.

Biarpun ia sendiri ditinggal mati oleh kedua orang suhengnya, Ban Hwa Yong menjadi gelisah dan gentar sekali menghadapi kejaran Suma Eng, nona yang hebat dan lihai sekali itu. Timbul pikiran dalam kepalanya untuk mencuci tangan, untuk berhenti melakukan kejahatan dan kesukaannya mengganggu anak isteri orang. Ia ingin mencari seorang gadis yang baik, mendirikan rumah tangga yang aman dan meninggalkan dunia kang ouw karena ia merasa bahwa keselamatannya amat terancam.

Ketika Ban Hwa Yong mendengar nama Can Kui Hwa tergeraklah hatinya. Ia sudah mendengar bahwa Perkumpulan Sorban Merah merupakan perkumpulan yang kuat, berpengaruh dan kaya. Dan sekarang ketuanya adalah seorang gadis yang cantik jelita, yang masih belum menikah. Ah, inilah yang dibutuhkannya. lsteri cantik dan gagah, kedudukan yang kuat, dan harta cukup!

Dengan hati girang dan penuh harapan ia lalu berangkat ke Heng-yang dengan maksud memperisteri gadis yang menjadi pangcu itu. Ketika Ban Hwa Yong tiba di rumah perkumpulan itu, ternyata ia mendapat keterangan bahwa Can-pangcu yang dicarinya sedang pergi keluar kota.

"Kemanakah dia pergi?" tanya Ban Hwa Yong.

Anggaota Sorban Merah yang menjaga pintu memandang kepada orang yang berwajah tua itu dengan curiga. Orang ini tinggi kurus dengan muka seperti seekor burung, hidungnya seperti hidung kakatua dan mukanya jelek pandangan matanya liar sedangkan di pinggangnya tergantung sepasang senjata yang aneh, yakni sepasang kaitan yang menyeramkan.

"Siapakah saudara ini dan ada keperluan apa mencari pangcu?" tanyanya dengan curiga.

Ban Hwa Yong tertawa bergelak. "Aku sahabat dari pangcu mu dan kelak kamu tentu akan lebih mengenalku dengan baik. Sebutkan saja di mana adanya pangcumu itu."

"Pangcu sedang berjalan jalan naik kuda ke hutan sebelah barat kota," akhirnya penjaga itu menjawab juga.

Ban Hwa Yong lalu berlari pergi dengan cepatnya sehingga penjaga itu menjadi kagum. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) ini Ialu berlari menyusul ke hutan di luar kota Heng-yang di mana merupakan hutan kecil yang amat indah dan banyak terdapat bunga bunga yang berkembang.

Pada saat itu, Kui Hwa sedang duduk di bawah pohon bersama Siok Un Leng, pemuda sasterawan yang menjadi sahabat baiknya itu. Mereka datang berkuda dan kini kedua ekor kuda itu mereka lepaskan ditempat yang banyak rumputnya agar binatang itu dapat makan rumput dengan seenaknya. Adapun mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Un Leng membaca sajak-sajak yang digubahnya sendiri dan Kui Hwa mendengarkan dengan penuh kegembiraan dan kekaguman.

Memang gadis ini suka sekali akan kesusasteraan sungguhpun ia sendiri hanya mempelajari sedikit saja dari ibunya. Keduanya nampak rukun dan cocok, sungguh merupakan pasangan yang baik sekali. Akan tetapi selama itu, Kui Hwa selalu menghindarkan diri dari percakapan tentang pernikahan dan pernyataan kasih sayang pemuda itu selalu ditolaknya dengan halus.

Ia maklum bahwa hatinya runtuh juga menghadapi pemuda yang selain tampan, juga sopan dan baik sekali ini, akan tetapi dia mengeraskan hati dan rasanya karena ia merasa yakin bahwa tak mungkin ia yang sudah melakukan kesesatan itu dapat menjadi isteri Un Leng! Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakang mereka.

"Pemuda kurang ajar dari manakah yang telah berani bermain gila dengan Can pangcu?" bentakan ini keras dan parau dan ketika Un Leng dan Kui Hwa menengok sambil melompat berdiri, ternyata di hadapan mereka berdiri seorang laki-laki jangkung yang bermuka tajam seperti muka kakatua.

Laki laki ini bukan lain adalah Ban Hwa Yong yang memandang dengan mulut menyeringai menjemukan sekali. Dengan pandang mata merah penuh cemburu, Ban Hwa Yong lalu menggerakkan kaitan di tangan kanannya untuk menyerang Un Leng, akan tetapi golok Kui Hwa menangkis kaitan ini.

"Bangsat hina dina! Siapakah kau dan apa maksud kedatanganmu mengganggu kami?" bentak Kui Hwa yang kagum juga melihat betapa Un Leng nampak tenang saja dan tidak takut biarpun tadi hampir menjadi kurban senjata kaitan itu.

"Dan pangcu harap jangan marah." jawab Ban Hwa Yong yang memandang ringan, "Aku Ban Hwa Yong dari tempat yang ratusan lie jauhnya sengaja datang hendak bercengrama dan mengajakmu bercakap-cakap. Akan tetapi oleh karena di sini ada orang lain maka kuharap bocah ini pergi segera dari sini agar kita dapat bicara lebih leluasa lagi."

Bukan main gemasnya hati Kui Hwa mendengar ucapan yang sifatnya kurang ajar dan memandang rendah ini. "Pemuda ini adalah sahabat baikku dan dia boleh pula mendengar apa yang akan keluar dari mulutmu yang busuk. Lekas bilang apa maksud kedatanganmu sebelum golokku menghajar dan memutuskan lehermu!"

"Aduh galak benar!" Ban Hwa Yong tertawa. "Akan tetapi makin galak makin bertambah manis! Nona Can, terus terang saja kedatanganku ini hendak meminangmu menjadi istriku! Aku masih bujangan dan tentu tidak enak hidup sendiri seperti engkau ini, apa lagi kalau memegang kedudukan sebagai pangcu. Serahkan saja pekerjaanmu itu kepadaku, calon suamimu dan kau akan hidup berbahagia!"

"Anjing bermulut lancang!" Kui Hwa tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat goloknya bergerak membacok kepala Ban Hwa Yong...
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12