Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 10
ENAM orang
pelayan itu berlarian menyusul nona majikan mereka, dan akhirnya mereka
menemukan Cu Yiin menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar.
Joli tadi
juga sudah di bawa ke situ. “Silakan duduk di dalam joli, siocia. Katakan ke
mana siocia hendak pergi dan kami akan mengantarmu.”
Cu Yin marah
dan menyesal sekali jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Akan tetapi dia
tidak dapat menyalahkan enam orang pelayannya. Maka ia lalu membuka tirai,
masuk ke dalam joli dan berkata, “Antarkan aku ke Kwi-liong-san!”
Enam orang
itu saling pandang namun tidak berani membantah. Empat di antara mereka lalu
memanggul joli itu dan mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Mereka adalah
orang-orang yang lihai, menjadi pelayan sekaligus juga menerima pelajaran ilmu
silat dari Lam-tok, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Di
sepanjang jalan mereka mendengar nona majikan mereka menangis terisak-isak.
***************
Pagi hari
itu puncak bukit itu nampak bersih dan sejuk. Malam tadi turun hujan lebat dan
pagi ini segala sesuatu terlihat hidup. Daun-daun pohon masih basah,
rumput-rumput dan ilalang nampak segar seperti kanak-kanak yang baru habis
mandi. Tanah mengeluarkan bau yang sedap, seolah menghaturkan terima kasih
kepada langit yang tadi malam telah menghujaninya. Matahari baru muncul di tepi
bukit dan langit menjadi lukisan yang paling indah di dunia. Ada seberkas
cahaya biru di antara awan-awan putih, amat mengesankan dan penuh mengandung
rahasia alam.
Si Kong
duduk termenung di atas batu. Tadi dia menikmati keindahan yang terbentang luas
di hadapannya, juga dia menikmati kicau burung di pohon-pohon, akan tetapi
sayang keadaan yang indah di mana dia merasa ikut menjadi satu dengan seluruh
alam itu hanya sebentar saja dinikmatinya. Hati serta akal pikirannya sudah
bekerja lagi dan dia teringat kepada Cu Yin.
Cu Yin
mengaku cinta kepadanya! Hampir dia tidak percaya. Gadis yang begitu kaya dan
lihai, puteri Lam-tok, telah jatuh hati kepadanya! Terbayanglah wajah yang
cantik jelita itu. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis
seperti Cu Yin. Akan tetapi yang dia rasakan hanya kekaguman terhadap ilmunya,
keberaniannya, kepintarannya dan kecantikannya. Dia tidak tahu apakah dia
mencintai Cu Yin ataukah tidak.
Lamunannya membuyar
ketika muncul seorang lelaki tua berusia kurang lebih enam puluh tahun yang
memikul sebongkok kayu. Tentunya untuk dijadikan kayu bakar, pikir Si Kong.
Kakek itu terbongkok-bongkok memikul beban kayu itu.
Mendadak Si
Kong mendapat pikiran yang dianggapnya baik sekali. Laki-laki setua kakek itu
tentu mempunyai banyak pengalaman tentang hidup, sudah banyak merasakan suka
duka dalam kehidupan dan dengan sendirinya tentu mengenal cinta.
“Selamat
pagi, paman yang baik!” kata Si Kong sambil tersenyum ramah. “Maukah paman
menikmati roti kering dan daging kering sambil minum arak bersamaku?”
“Daging dan
roti kering? Dan ada araknya pula? Orang muda, sangat bodohlah aku kalau
menolak tawaranmu yang baik itu.” Dia berusaha menurunkan ikatan kayu dari
pundaknya dan cepat Si Kong membantunya.
Si Kong
lantas mengeluarkan bungkusan roti kering dan daging kering yang kemarin siang
dibelinya dari kedai makanan, lalu mereka berdua duduk berhadapan di atas batu
sambil makan minum.
“Orang muda,
siapakah engkau dan mengapa engkau begini baik dan ramah kepadaku?”
“Sungguh
menyenangkan di pagi yang sunyi ini dapat bertemu dengan paman. Aku tahu bahwa
paman tentu seorang yang baik budi, maka kuanggap bahwa paman tentu dapat
menjawab rahasia yang menekan hatiku.”
Kakek itu
minum arak dari guci. Dia merasa puas dan kenyang.
“Apakah soal
yang harus dijawab itu? Aku hanya seorang penghuni dusun di bawah sana.
Pengetahuanku dangkal saja, bagaimana aku bisa menjawab rahasia yang engkau
sendiri tidak mampu melakukannya?”
“Aku yakin
paman bisa karena paman sudah mengalaminya, sedangkan aku belum.”
“Hemm,
engkau menarik hatiku, orang muda. Coba katakan, rahasia apakah itu?”
“Bagimu
sederhana saja, paman. Aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sebenarnya cinta
itu? Paman pernah jatuh cinta bukan?”
Kakek itu
terkekeh. Ia adalah seorang petani yang sederhana, berpikiran sederhana pula.
Mendengar pertanyaan itu dia merasa lucu. “Orang muda, tentu saja aku pernah
jatuh cinta, bahkan sering kali aku jatuh cinta.”
Si Kong
terkejut. Kakek ini jatuh cinta kepada banyak wanita?
“Berapa kali
engkau jatuh cinta, paman?”
“Tak
terhitung lagi berapa banyaknya. Aku mencintai isteriku dan mencintai
anak-anakku, mencintai kepala dusunku yang baik hati, mencintai
sahabat-sahabatku, bahkan aku juga mencintai parang ini dan cangkul di rumah.”
Si Kong
tertegun. “Jadi paman hanya sekali saja beristeri?”
“Ya, sekali
saja. Aku mencintai isteriku sebab dia menyenangkan hatiku, melayani semua
kehendakku dan tidak pernah membantah.”
“Apakah
cinta paman terhadap isteri paman itu sama dengan cinta paman kepada anak-anak,
tetangga dan juga cangkul itu?”
“Tentu saja
sama. Aku mencintai isteriku karena dia melayaniku dengan senang hati. Aku
mencinta anak-anakku karena mereka taat dan berbakti kepadaku. Aku mencinta
kepala dusun, para sahabatku, karena mereka itu bersikap baik kepadaku. Aku
mencinta parang dan cangkul karena dua benda itu amat berguna bagiku. Pendeknya
aku mencinta segala hal yang menguntungkan dan menyenangkan hatiku. Andai kata
parang ini patah menjadi dua, tentu aku tidak mencintanya lagi dan aku akan
membuangnya.”
“Akan tetapi
cinta seperti itu bukanlah cinta yang sejati, paman. Cinta seperti itu mudah
luntur dan berbalik menjadi benci!”
“He-he-heh-heh,
mana ada cinta yang tanpa pamrih disenangkan? Aku mencinta isteriku karena dia
penurut dan menyenangkan, demikian pula anak-anak dan yang lain-lainnya. Bahkan
aku memuja dan mencinta Kwan Im Posat (Dewi Kwan Im) karena dia memberi berkah
kepadaku. Bukankah cinta kita ini seperti itu adanya? Mencinta karena ada
pamrih supaya disenangkan? Apa bila engkau mempunyai isteri dan dia menyeleweng
atau tidak menyenangkan hatimu, apakah engkau masih bisa mencintanya? Bila
anak-anak durhaka kepadamu, apakah engkau akan tetap mencinta mereka? Kalau
kawan-kawan dan yang lain itu merugikan dan tidak menyenangkan hatimu, apakah
masih ada perasaan cinta itu dalam hatimu terhadap mereka? Manusia mencintai
seseorang atau sesuatu benda pada dasarnya tidak berbeda. Kalau orang atau
benda itu menyenangkan dan menguntungkan, dia akan mencintainya, sebaliknya
kalau tidak menguntungkan atau merugikan, dia akan membencinya.”
Si Kong
tertegun dan termenung. Ucapan itu keluar dari mulut seorang petani sederhana,
seorang yang jujur, seorang yang tidak pernah membaca kitab agama dan filsafat,
namun dia harus mengakui kebenarannya. Cinta di dalam hati manusia memang
berpamrih, demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, seperti cinta jual
beli. Betapa palsu dan kotornya cinta itu.
“Akan
tetapi, paman. Bukankah ada cinta yang murni seperti misalnya cinta seorang ibu
kepada anaknya? Jika ada ibu yang membenci anaknya, maka dia itu seorang yang
tidak waras pikirannya.”
“Hemm, aku
masih menyangsikan cinta seorang ibu terhadap anaknya. Apakah dia tidak pernah
marah kepada anaknya? Apakah dia tidak pernah jengkel karena anaknya nakal?
Nah, marah dan jengkel itu lahir dari benci karena si anak tidak menyenangkan
hatinya.”
“Apakah di
dunia ini sama sekali tidak ada cinta murni tanpa pamrih?” Si Kong bertanya
dengan hati penuh penasaran.
“Menurut
penglihatanku, tidak ada. Memang ada cinta, akan tetapi cinta itu diselingi
rasa benci yang sewaktu-waktu dapat timbul kalau yang dicintai itu tidak
menyenangkan hati.”
“Tetapi,
paman. Lihat matahari. Dia memberi cahaya dan kehidupan tanpa pamrih, tanpa
minta imbalan apa pun. Lihatlah bunga, dia memberi keharuman kepada siapa pun
juga tanpa pandang bulu, juga tanpa pamrih apa pun. Apakah itu bukan cinta
sejati yang suci murni?”
“Wah, engkau
benar juga. Bahkan tanah, air, pohon-pohon berbuah dan kayu-kayu kering ini,
semuanya itu menguntungkan dan menyenangkan kita tanpa pamrih apa pun! Engkau
benar, orang muda. Akan tetapi aku tidak tahu mengapa segala benda itu seolah
dapat mencintai manusia tanpa pamrih, sedangkan semua manusia itu baru bisa
mencinta kalau disenangkan hatinya. Tegasnya, cinta manusia itu berpamrih.
Mengapa begitu?”
“Sebab
manusia itu makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, paman. Sejak lahir
manusia dikaruniai nafsu-nafsu yang bertujuan untuk menyertai manusia, menjadi
budak manusia. Tetapi manusia sering lemah terhadap nafsunya sendiri sehingga
bukan dia yang menjadi majikan nafsu melainkan sebaliknya dialah yang menjadi
budak nafsu. Cinta mengandung nafsu inilah yang membuat cinta itu berpamrih,
karena nafsu sifatnya ingin menang, ingin untung dan ingin senang. Ada pun
cinta seperti bunga harum dan matahari bercahaya itu adalah cinta Tuhan kepada
kita. Tuhan selalu memberi, memberi tanpa menuntut apa pun, sejak lahir kita
sampai kita mati, karena itulah sudah sepatutnya kalau kita bersyukur dan
memuja Tuhan setiap saat.” Si Kong mengeluarkan pengetahuannya yang didapat
ketika dia menjadi murid Si Penyair Gila atau Kwa Siucai.
Kakek itu
menjadi bengong. Menurut pengetahuannya yang diperoleh dari tradisi, segala
benda itu dikuasai oleh para dewa. Oleh karena itu dia dan masih banyak orang
lagi selalu bersembahyang untuk menyenangkan hati para dewa itu agar bisa
mendapatkan berkah. Tuhan itu dianggap sebagai Raja, maka untuk memberkahi
semua orang, dilakukan oleh para dewa yang menjadi pembantu-pembantuNya. Orang
muda ini begitu pandai, pikirnya, sedangkan otaknya menjadi pening dan bingung
kalau harus memikirkan itu.
“Mungkin
engkau benar, orang muda. Akan tetapi matahari sudah mulai naik dan sebentar
lagi panas terik menyengat. Aku harus cepat pulang, isteriku telah menunggu
karena kayu bakarnya habis. Terima kasih atas sarapan yang kau hidangkan
padaku.”
Kakek itu memanggul
kayu bakarnya, lantas melangkah pergi menuruni bukit itu. Si Kong hanya
mengikutinya dengan pandang matanya.
Dia
termenung dan berulang kali menghela napasnya. Kakek tadi itu tentu seorang
yang hidupnya berbahagia. Keluarganya hidup sederhana, tidak banyak yang mereka
butuhkan, sehingga mendapatkan satu ikat kayu bakar saja telah membahagiakan
hatinya, disuguhi sarapan berupa roti dan daging kering saja sudah amat
menyenangkan hatinya.
Dia menghela
napas panjang lagi. Mengapa dia tidak pernah dapat merasakan bahagia?
Kadang-kadang hatinya memang terasa senang, akan tetapi lebih sering hatinya
murung. Mengapa bahagia seolah menghindar darinya? Terlebih lagi di saat itu.
Dia merasa sedih, kesepian, tidak tahu harus berbuat apa dan harus ke mana. Dia
merasa tidak ada orang yang membutuhkannya.
Dia menoleh
ke arah buntalan pakaiannya, lantas teringatlah dia akan sepasang gelang di
dalam kantung kain yang berada di buntalan bersama pakaiannya. Begitu teringat
akan gelang itu, teringat pula dia kepada Tan Kiok Nio, keponakan Hartawan Kun
yang berbudi baik.
Gadis itu
telah memberikan sepasang gelang kepadanya, untuk bekal mencari orang yang
telah membunuh ayah bunda gadis itu. Dan dia sudah tahu siapa orang itu. Tentu
Ang I Sianjin! Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau Ang I Sianjin adalah
pembunuh orang tua Kiok Nio kemudian merampas pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya
ampuh luar biasa itu, mengapa dalam pertandingan tadi Ang I Sianjin tidak
mempergunakan pedang pusaka itu? Dia sudah memeriksa pedang yang terlepas dari
tangan Ang I Sianjin ketika berkelahi dengannya, dan pedang itu walau pun
pedang yang baik, akan tetapi bukan pedang Pek-lui-kiam yang dimaksudkan. Kalau
memang Ang I Sianjin merampas pedang itu, mengapa tidak menggunakan Pek-lui-kiam?
Kalau
sekarang dia kembali ke kota Ci-bung untuk memberi tahu kepada Kiok Nio bahwa
pembunuh ayah bundanya adalah Ang I Sianjin, hal itu belumlah cukup. Dia harus
merasa yakin benar bahwa Ang I Sianjin adalah pembunuh itu dan untuk meyakinkan
hatinya, dia harus berusaha untuk merampas kembali pedang Pek-lui-kiam.
Tidak, tidak
sekarang, tetapi nanti kalau dia sudah yakin dan keyakinan itu akan terbukti
jika dia dapat merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin. Lagi pula,
kalau sekarang dia memberi tahukan Kiok Nio bahwa musuh besarnya adalah Ang I
Sianjin dan gadis itu dengan nekat pergi untuk membalas dendam, hal itu akan
amat berbahaya bagi Kiok Nio.
Timbul
semangat dalam batin Si Kong. Masih ada yang membutuhkan dia, yaitu Kiok Nio!
Perasaan dibutuhkan ini langsung menimbulkan gairah hidup baginya. Dia harus
mencari Ang I Sianjin, dan Siangkoan Cu Yin sudah memberi tahu kepadanya bahwa
Ang I Sianjin adalah ketua perkumpulan Cakar Setan yang berpusat di
Kwi-liong-san. Kini dia memiliki tujuan perjalanannya, yaitu ke Kwi-liong-san
untuk mencari Ang I Sianjin.
Siang itu
panasnya bukan main. Sinar matahari seakan membakar dan menyengat kulit. Untuk
melindungi kulit dari sengatan matahari, orang-orang banyak yang memakai caping
lebar atau payung. Kota Liok-bun yang biasanya ramai karena kota itu merupakan
pusat perdagangan, pada siang hari itu nampak sepi. Orang-orang segan keluar
menjadi korban panas terik yang membakar.
Kota
Liok-bun terletak di dekat sungai Li-kiang, sebuah sungai yang menjadi anak
sungai Huang-ho. Sungai itu menjadi sangat penting karena dijadikan lalu lintas
perahu-perahu para pedagang. Banyak pedagang dari luar kota yang datang ke kota
ini untuk membeli atau menjual barang.
Di antara
sekian banyaknya orang yang memanfaatkan perlindungan caping atau payung,
terdapat seorang gadis yang memakai payung melindungi mukanya agar jangan
dibakar sinar matahari. Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun dan
pakaiannya serba merah muda. Wajahnya cantik sekali, dengan kulit putih mulus
dan karena hawanya amat panas, kedua pipinya yang tanpa bedak dan gincu menjadi
kemerahan.Terutama sekali sepasang matanya, sangat menarik perhatian karena
mata itu indah sekali dan sinarnya mencorong. Juga mulutnya membuat wajah itu
nampak cerah dan manis bukan main.
Kebanyakan
pria yang berpapasan dengan gadis itu pasti menengok beberapa kali untuk
memandang gadis yang manis dan jelita itu. Dipandang dari belakang pun sudah
menarik perhatian karena bentuk tubuhnya yang sempurna. Tetapi kalau orang
melihat sepasang pedang yang berada di punggungnya, maka orang itu akan mudah
menduga bahwa gadis ini bukanlah gadis biasa saja, melainkan seorang pendekar
wanita yang mahir memainkan ilmu pedang.
Tidak ada
seorang pun di dalam kota Liok-bun yang mengenalnya. Akan tetapi, kalau ada
yang mengenal puteri siapa yang berjalan seorang diri itu, mereka tentu menjadi
terkejut dan gentar. Gadis ini adalah Tang Hui Lan. Ayahnya adalah seorang
pendekar silat yang pernah menggetarkan dunia kangouw, bernama Tang Hay, ada
pun ibunya juga seorang pendekar terkenal bernama Cia Kui Hong yang menjadi
ketua Cin-ling-pai.
Seperti yang
telah diceritakan dalam kisah ini, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan,
berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan mereka sangat tepat, walau pun
sedikit terlambat karena Ceng Lojin, guru Si Kong yang terakhir, terluka parah
setelah memukul mundur para datuk yang menantangnya. Kemudian Ceng Lojin tewas,
dan mereka bertiga membantu Si Kong mengubur jenazah Ceng Lojin di pulau itu.
Penguburan yang sangat menyedihkan karena tidak ada seorang pun tamu yang
datang melayat.
Beberapa
hari sesudah pemakaman, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan kembali ke
Cin-ling-pai. Semenjak pulang dari Pulau Teratai Merah, Hui Lan banyak
termenung. Ia tidak mau menerima begitu saja kematian Ceng Lojin, kakek
buyutnya.
Biar pun
kakek buyutnya itu wafat dalam usia seratus tahun lebih, tetap saja dia merasa
penasaran karena kematian itu dapat dibilang sebagai akibat dari perlawanannya
terhadap para datuk yang menantangnya. Apa bila para datuk itu tidak datang
menantang, belum tentu kakek buyutnya akan tewas.
Kecantikan
gadis ini menarik perhatian orang, terutama kaum pria. Tidak ada yang tidak
menengok kembali setelah berpapasan dengan dara ini. Tapi Hui Lan tidak
mempedulikan atau memperhatikan ulah para pria itu. Dia sudah terbiasa melihat
mata kaum pria yang menatapnya dengan mata kagum, bahkan ada juga yang bersikap
kurang ajar kepadanya.
Pada waktu
dia menyatakan keinginan hatinya untuk merantau, ayahnya berkata sambil
memandang puterinya penuh perhatian, “Apakah kepergianmu ada hubungannya dengan
kematian kakek buyutmu di Pulau Teratai Merah?”
Hui Lan
menggeleng kepalanya. “Tidak, ayah. Aku hanya ingin pergi merantau agar bisa
mendapatkan pengalaman dan menambah pengetahuanku tentang dunia persilatan.”
Ibunya, Cia
Kui Hong berkata. “Nasehat kami kepadamu dahulu tidak kosong belaka, Hui Lan.
Bu-tek Ngo-sian itu merupakan lawan tangguh kalau mereka berlima maju bersama.
Apa lagi Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk ini sangat kejam dan berbahaya.
Lebih baik hindarkan bentrokan dengan mereka.”
“Apakah Ayah
dan Ibu juga akan menghindar dan melarikan diri apa bila bertemu dengan mereka
di dalam perjalanan?” gadis itu bertanya sambil memandang tajam kepada ayah
ibunya.
Tang Hay dan
Cia Kui Hong saling pandang sejenak, kemudian Tang Hay berkata, “Tentu saja
tidak, Hui Lan. Kami akan melawan mereka. Tetapi engkau lain lagi. Engkau
seorang diri saja, bagaimana mungkin dapat menandingi pengeroyokan mereka?
Kalau melawan satu demi satu, kami tidak mengkhawatirkan dirimu. Akan tetapi
mereka itu sangat licik. Buktinya ketika melawan kakek Ceng, mereka melakukan
pengeroyokan secara curang. Karena itu jangan nekat untuk menentang mereka.”
“Ayahmu
berkata benar, Hui Lan. Menghindarkan diri dari musuh yang jumlahnya banyak
bukan berarti penakut, melainkan suatu tindakan bijaksana. Sebaliknya perbuatan
nekat sehingga mati konyol adalah tindakan bodoh. Mengertikah engkau?”
Hui Lan
mengangguk. “Aku mengerti Ibu dan aku bersikap hati-hati menjaga diri.”
“Kalau
begitu sebaiknya terlebih dahulu engkau mengunjungi pamanmu Cia Kui Bu yang
tinggal di Pao-ting sebelah selatan kota raja untuk menyampaikan berita tentang
kematian kakek buyutmu, juga untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang. Kita
sudah terlalu lama berpisah dari pamanmu itu.”
“Baik, Ayah.
Memang aku juga ingin berkunjung ke kota raja, aku akan singgah ke rumah Paman
Cia Kui Bu.”
Cia Kui Bu
adalah adik Cia Kui Hong, satu ayah berlainan ibu. Akan tetapi Ceng Sui Cin
sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri, maka Cia Kui Bu juga sudah
mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibu tirinya itu.
“Kalau
engkau pergi ke kota raja, sekalian kau singgah ke Tung-ciu, ke rumah pamanmu
Pek Han Siong dan kirimkan salamku untuk dia sekeluarga,” kata pula Tang Hay.
“Dan jangan
lupa kabarkan kepada mereka tentang kematian kakek buyutmu,” Kui Hong
menambahkan.
“Baik, Ayah
dan Ibu. Aku pasti tidak melupakan pesan-pesan itu.”
“Sekarang
pamitlah kepada kakek dan nenekmu,” kata Kui Hong.
Hui Lan lalu
pergi ke ruang dalam. Dia mendapatkan neneknya, Ceng Sui Cin yang sudah berusia
enam puluh lima tahun, sedang duduk menyendiri, asyik dengan pekerjaan yang
disenanginya, yaitu menyulam.
“Nek...!”
kata Hui Lan manja.
Nenek itu
mengangkat wajah, tersenyum memandang cucunya tersayang. “Ahh, kiranya engkau
Hui Lan. Duduklah. Wajahmu nampak demikian berseri, ada berita baik apakah?”
Hui Lan
menarik kursi ke dekat neneknya. “Memang aku sedang bergembira sekali, Nek.
Ayah dan ibu mengijinkan aku pergi merantau!”
Nenek itu
menunda pekerjaannya. Ia menaruh kain yang disulam ke atas meja kemudian
memandang kepada cucunya dengan wajah berseri dan merangkul pundak cucunya itu.
“Ahh, engkau mengingatkan aku akan masa remajaku dan masa remaja ibumu. Di
waktu aku seusiamu sekarang ini, aku pun merantau sampai jauh, seorang diri
saja, begitu pula ibumu. Apa lagi engkau sudah mewarisi ilmu dari ayah ibumu,
tentu engkau akan mampu menjaga dirimu sendiri. Aku ikut merasa girang, Hui
Lan.”
“Terima
kasih, Nek. Di mana kakek?”
“Dia sedang
bersemedhi dalam kamar belakang. Jangan ganggu dia. Setelah usianya tua, lebih
dari tujuh puluh tahun, dia memang membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan.
Tetapi aku mempunyai nasehat untukmu, berdasarkan pengalamanku dahulu.
Ketahuilah bahwa di dunia persilatan terdapat banyak orang yang berilmu tinggi.
Jika mereka semua adalah orang baik-baik maka tidak perlu kita bicarakan lagi.
Akan tetapi banyak di antara mereka yang lihai-lihai itu menjadi orang jahat!
Karena itu engkau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan mereka. Engkau
seorang gadis muda yang cantik, tentu akan banyak menghadapi godaan pria-pria
iseng. Jangan layani mereka kalau mereka tidak keterlaluan sekali, dan usahakan
agar engkau tak perlu membunuh orang. Sedapat mungkin jauhkan segala permusuhan
yang tidak berarti. Mengertikah engkau, Hui Lan?”
Hui Lan
merangkul dan mencium pipi neneknya. “Aku mengerti, Nek, dan jangan khawatir,
aku akan selalu ingat nasehat nenek ini. Aku hendak berkemas dahulu, Nek.
Sampaikan salam hormat dan ucapan selamat tinggalku untuk kakek.”
Hui Lan
berlari-lari kecil meninggalkan neneknya untuk pergi ke kamarnya sendiri,
diikuti pandang mata neneknya yang kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Dia
tidak segera mengambil kain sulaman yang diletakkan di atas meja, tetapi
termenung membayangkan kembali semua pengalamannya pada waktu dia masih gadis
seusia cucunya.
Alangkah
cepatnya waktu berlalu. Membayangkan semua pengalamannya di waktu muda,
seolah-olah baru terjadi beberapa bulan yang lalu. Tahu-tahu dia sudah menjadi
seorang nenek-nenek! Kembali dia menghela napas panjang dan menggelengkan
kepalanya yang sudah berwarna kelabu itu.
***************
Pada hari
itu juga Hui Lan meninggalkan rumah keluarganya, dan ibunya memberi bekal uang
cukup banyak berikut sepasang pedang Hok-mo-kiam. Ayahnya juga menyerahkan batu
giok mustika yang dapat mengobati segala macam luka beracun. Setelah menerima
banyak petuah dari orang tuanya, lalu berangkatlah Hui Lan dengan buntalan
pakaian dan pedang pada punggungnya.
Demikianlah,
pada hari itu dia memasuki kota Liok-bun dan hal pertama yang dia lakukan
adalah membeli sebuah payung di kedai terdekat. Hari itu panas bukan main dan
dia tidak mau kalau kulit wajahnya menjadi rusak oleh sengatan matahari.
Setelah
membeli payung dia pun melanjutkan perjalanan memasuki kota Liok-bun. Ia tidak
mempedulikan pandang mata penuh gairah dari para pria yang berpapasan di jalan,
akan tetapi melangkah terus dengan tenang sampai dia melihat papan nama di
depan sebuah rumah makan besar. Papan itu menyatakan bahwa di tempat itu
terdapat rumah makan berikut pula rumah penginapan.
Semenjak
pagi tadi Hui Lan sudah melakukan perjalanan. Kini dia merasa lelah dan lapar,
maka dimasukinya rumah makan itu. Semua tamu pria menengok dan memandang wajah
yang cantik itu, yang sekarang tidak tertutup payung lagi karena Hui Lan sudah
menutup payungnya sehingga wajahnya dapat nampak dari kanan kiri dan depan.
Seorang pelayan segera menghampirinya dan berkata dengan hormat.
“Selamat
siang, nona. Apakah siocia hendak makan atau menyewa kamar?”
“Kedua-duanya,”
jawab Hui Lan. “Akan tetapi perlihatkan dulu kamar itu!”
“Mari
silakan, nona.” kata si pelayan yang mendahului naik anak tangga menuju ke
loteng di mana terdapat banyak kamar yang disewakan.
Pelayan
mengantar Hui Lan ke sebuah kamar sudut dan gadis ini merasa cocok. Kamar itu
cukup bersih, maka dia pun segera menaruh buntalannya di atas meja.
“Sekarang
harap sediakan air untuk mencuci muka, sesudah itu baru aku akan turun dan
memesan makanan.”
“Baik,
siocia.” Pelayan itu segera pergi dan tak lama kemudian dia datang lagi membawa
sebaskom air jernih yang dia letakkan di atas sebuah bangku.
“Terima
kasih, dan keluarlah. Nanti aku akan turun dan makan.”
“Baik,
siocia.” pelayan itu mengangguk dan segera meninggalkan kamar itu.
Hui Lan
menutup pintu kamar, kemudian membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian.
Sesudah itu dia keluar dari kamarnya dengan meninggalkan pakaiannya tetapi
membawa uang, batu giok mustika dan pedangnya turun dari loteng. Pelayan tadi
menyambutnya.
“Bawa pergi
baskom air itu, bersihkan kamar dan panggil pelayan lain supaya aku dapat
memesan makanan,” kata Hui Lan.
Dia hanya
mengerutkan alis saat melihat betapa semua pria melahapnya dengan pandang mata
mereka. Dia pun sengaja duduk menghadap ke dinding, membelakangi para tamu.
Bagaimana pun juga, akan tidak nyaman apa bila makan sambil dipandang banyak
mata. Memang dia tidak mengacuhkan mereka, akan tetapi merasa tidak enak juga.
Seorang
pelayan lain menghampirinya. Hui Lan lalu memesan nasi dan beberapa macam
sayuran. Untuk minumnya dia minta disediakan air teh.
Selagi dia
menunggu datangnya masakan, dia mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi
di meja belakangnya. Dari percakapan itu dia dapat mengetahui bahwa pada meja
di belakangnya terdapat empat orang pria yang sedang bercakap-cakap. Semula dia
tidak menghiraukan percakapan mereka, tapi ketika percakapan itu menyinggung
dirinya, mau tidak mau dia memperhatikan juga.
“Hati-hati,
kawan. Jangan-jangan dia seorang pendekar wanita yang lihai!”
“Aihhh,
takut apa? Paling-paling dia mengerti satu dua jurus ilmu pedang. Kita berempat
takut apa?”
“Benar, agaknya
dia bukan orang sini. Kalau dapat membujuknya alangkah senangnya.”
“Aku juga
sudah merasa muak dengan perempuan-perempuan pelacur itu. Kalau yang ini boleh
sekali!”
Merah kedua
pipi Hui Lan. Mereka itu membicarakannya secara kurang ajar sekali. Dia melihat
di depannya ada beberapa pasang sumpit. Diambilnya dua batang sumpit dengan
tangan kanannya dan disambitkan sumpit itu melalui pundak kirinya ke arah
belakang.
“Capp!
Capp!”
Dua batang
sumpit itu menancap di atas meja keempat orang itu, menancap sampai ke
gagangnya! Meja itu terbuat dari papan yang tebal dan keras, namun sumpit bambu
itu dapat menancap setengahnya lebih. Apa lagi kalau mengenai tubuh mereka.
Kulit tubuh tentu akan dapat ditembusi oleh sumpit-sumpit itu.
Dengan mata
terbelalak empat orang itu memandang ke arah sepasang sumpit, kemudian menoleh
ke arah Hui Lan. Akan tetapi Hui Lan duduk dengan tenang saja seolah-olah dia
tidak mengetahui apa yang telah terjadi di meja belakangnya.
Empat orang
itu adalah pemuda-pemuda berandal anak orang-orang kaya yang biasanya memaksa
orang lain untuk memenuhi kehendak mereka. Mereka juga pernah mempelajari ilmu
silat, namun apa yang mereka lihat sudah cukup untuk melenyapkan nyali mereka.
Mereka
berempat segera meninggalkan meja mereka yang masih kosong karena pesanan
mereka adalah makanan-makanan istimewa yang membutuhkan waktu cukup lama untuk
membuatnya. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, mereka terguling
satu demi satu karena ada yang mengganjal kaki mereka. Sesudah mereka menoleh,
ternyata yang memalangkan kakinya adalah seorang pemuda yang berpakaian serba
putih seperti seorang terpelajar.
Wajah pemuda
itu tampan sekali. Mulutnya tersenyum sinis dan matanya melirik ke arah keempat
pemuda tadi. Karena hati mereka memang sudah gentar setelah ada sepasang sumpit
menancap di meja mereka, empat orang pemuda itu tanpa banyak cakap lagi lalu
bangkit dan berlari keluar rumah makan.
Hui Lan
hanya mendengar empat orang yang ingin mengganggunya tadi berpelantingan, akan
tetapi tidak tahu apa yang sudah terjadi dan dia pun tidak ingin menengok.
Setelah peristiwa itu dia merasa tidak tenang apa bila duduk menghadapi tembok,
khawatir kalau-kalau ada orang yang akan menyerangnya. Karena itu Hui Lan lalu
pindah duduk di atas bangku yang dekat dinding sehingga dia dapat melihat para
tamu.
Agaknya
tidak ada orang yang melihat ketika dia menyambitkan sepasang sumpit kepada
empat orang pemuda tadi karena seluruh mata para tamu tidak ditujukan ke
arahnya akan tetapi kepada seorang pemuda yang berpakaian serba putih bersih
itu. Ia dapat menduga bahwa empat orang yang berpelantingan itu tentu dihajar
oleh pemuda tampan ini.
Meski pun
pakaiannya seperti seorang terpelajar yang lemah, namun sinar matanya yang
mencorong serta sebatang sulingnya yang diletakkan di atas meja bercerita
banyak bagi Hui Lan. Ketika pemuda yang tersenyum-senyum itu mengangkat muka
memandangnya, dua pasang sinar mata bertemu dan Hui Lan segera membuang muka
ketika pemuda itu menganggukkan sedikit kepalanya.
Sekarang
hidangan untuknya sudah datang dan Hui Lan merasa tidak enak kalau makan
ditonton orang, terutama pemuda berpakaian serba putih itu, maka dia pindah
duduk lagi seperti tadi, menghadap dinding.
Melihat ini
pemuda berpakaian serba putih itu memperlebar senyumnya. Dia tahu kenapa Hui
Lan pindah duduk, maka dia merasa geli.
Setelah
makan Hui Lan membayar harga makanan dan dia pun keluar dari rumah makan itu.
Dia melihat pemuda berpakaian putih yang tadi duduk di belakangnya kini sudah
tidak berada di situ lagi. Dia tidak mengacuhkan pandang mata para tamu dan
cepat keluar dari situ sambil membawa payungnya.
Buntalan
uang terikat di pinggangnya dan pedangnya berada di punggung. Hui Lan ingin
berjalan-jalan melihat keadaan kota Liok-bun. Baru setelah itu dia akan kembali
ke rumah penginapan untuk beristirahat.
Akan tetapi
belum jauh ia meninggalkan rumah makan itu, di depannya telah menghadang kurang
lebih sepuluh orang laki-laki. Melihat bahwa empat orang di antara mereka
segera menuding-nuding kepadanya, dia pun dapat menduga bahwa agaknya empat
orang itulah yang tadi di rumah makan hendak menggodanya.
Hui Lan
melangkah terus dengan sikap tenang sekali. Dia bisa menduga bahwa agaknya
orang-orang itu hendak membalas dendam kepadanya karena dia sudah mengusir
empat orang pemuda kurang ajar itu. Orang-orang ini mencari penyakit sendiri,
pikirnya.
Ayah ibunya
menasehatkan supaya dia tidak mencari permusuhan selama perjalanannya, akan
tetapi kalau dia di ganggu tentu dia tak akan tinggal diam dan akan memberi
hajaran keras kepada orang-orang yang menghadangnya itu.
Dari
kelompok itu majulah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun,
tubuhnya tinggi besar dan kekar, mukanya kehitaman dan wajah itu nampak bengis
sekali.
“Hemm, jadi
nona inikah yang berani menghina empat orang muridku?” tanyanya kepada para
murid itu dan mengertilah Hui Lan bahwa orang ini adalah guru silat dari empat
orang yang tadi mengganggunya.
Akan tetapi,
sebelum Hui Lan sampai di depan mereka, tiba-tiba nampak bayangan putih
berkelebat dan tahu-tahu di hadapan rombongan orang itu sudah berdiri seorang
pemuda berpakaian putih sambil tersenyum-senyum.
Hui Lan
segera mengenalnya sebagai pemuda yang duduk di rumah makan, tak jauh dari
tempat dia duduk. Karena pemuda itu telah mendahuluinya menghadapi rombongan
orang itu, maka dia pun berhenti dan menonton saja.
Empat orang
pemuda segera menuding kepada pemuda berpakaian putih itu dan berkata, “Inilah
pemuda yang mengganjal kaki kami sehingga kami terjatuh!”
Si muka
hitam memandang kepada pemuda berpakaian putih itu dengan mata mendelik penuh
kemarahan. Tangan kanannya menuding ke arah muka pemuda itu ada pun tangan
kirinya bertolak pinggang ketika dia menghardik, “Bocah kurang ajar! Berani
engkau main-main dan menjatuhkan empat orang murid kami? Hayo cepat berlutut
minta ampun atau nyawamu akan melayang!”
Pemuda itu
tersenyum mengejek. “Hemm, kiranya engkaukah guru empat orang berandal itu?
Kebetulan sekali, sebab sebagai guru mereka sepatutnya engkau mengajarkan sopan
santun kepada mereka. Sekarang engkau beserta empat orang muridmu itu harus
berlutut minta ampun kepada nona itu.” Ia menunjuk kepada Hui Lan yang berdiri
di belakangnya.
Si muka
hitam makin melotot. Dia mengancam pemuda itu agar berlutut, tapi sebaliknya
pemuda itu minta agar dia dan murid-muridnya yang berlutut minta ampun!
“Keparat!”
bentaknya. “Engkau belum mengenal aku, Si Harimau Bermuka Hitam!” Sambil
berkata demikian dia sudah menerjang maju dan memukul ke arah pemuda baju putih
itu.
Pemuda ini
cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat
kosong. Sebelum si muka hitam dapat bergerak lebih lanjut, kakinya menendang
dua kali ke arah lutut guru silat itu. Tanpa dapat dihindarkan lagi dua lutut
yang tertendang itu kehilangan kekuatannya dan Si Harimau Bermuka Hitam itu
jatuh menekuk lututnya di depan pemuda baju putih.
“He, bukan
kepadaku engkau harus berlutut, akan tetapi kepada nona itu!”
Si Muka
Hitam menjadi marah bukan kepalang. Dia sudah dihina di depan banyak orang,
terutama di depan murid-muridnya. Dia merasa malu bukan main, karena itu dia
menjadi marah. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya, dan dengan
suara mengaum seperti seekor harimau dia lalu menyerang dengan goloknya, menyerang
secara membabi buta!
Namun pemuda
itu gesit bukan main. Selalu mengelak di antara sambaran golok bahkan
kadang-kadang malah menangkis dengan kedua tangannya! Tangan telanjang itu
berani menangkis golok yang demikian tajam dan berat, maka dapat diketahui
bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang kuat sekali, yang dapat membuat kedua
tangannya kebal terhadap senjata tajam!
Dengan
diam-diam Hui Lan memperhatikan gerakan pemuda itu. Seorang pemuda yang tinggi
ilmu silatnya, pikirnya, akan menjadi lawan tangguh baginya kalau sampai dia
harus bertanding melawan pemuda itu.
Mendadak Hui
Lan terbelalak kagum. Pemuda itu membuat gerakan memutar tubuhnya seperti angin
taufan yang melanda ke arah si muka hitam. Golok itu terpental dan tubuh si
muka hitam terlempar ke belakang sehingga menimpa para muridnya.
Sepuluh
orang muridnya menjadi penasaran dan marah. Serentak mereka mencabut golok
masing-masing lantas menyerbu pemuda itu, menyerang dari segala jurusan. Akan
tetapi Hui Lan hanya melihat pemuda itu membuat gerakan memutar dengan
tubuhnya, lalu satu demi satu sepuluh orang murid si muka hitam itu
terpelanting dan golok mereka terlepas dari tangan mereka! Semua itu terjadi
hanya dalam beberapa menit saja.
Si muka
hitam serta sepuluh orang muridnya merangkak bangkit sambil mengaduh-aduh
karena mereka semua telah menderita luka parah.
“Jahanam
busuk! Apakah kalian masih hendak mengganggu wanita lagi?” bentak pemuda baju
putih itu.
Tanpa
menjawab lagi si muka hitam bersama-sama muridnya meninggalkan tempat itu.
Mereka seperti sekumpulan anjing ketakutan yang pergi dengan mengempit ekor di
antara kedua kaki belakang mereka!
Pemuda baju
putih itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Hui Lan dan dia mengangkat kedua
tangannya depan dada sambil berkata .“Nona, menghadapi berandalan macam itu
harus menggunakan tangan besi.”
Hui Lan
membalas penghormatan itu dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”
“Aihh, nona.
Perlu apa berterima kasih? Aku yakin sekali bahwa tanpa aku turun tangan sekali
pun tentu nona akan sanggup mengusir mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat
membiarkan seorang gadis seperti nona menghadapi pengeroyokan segerombolan
anjing itu? Nona, perkenalkan, nama saya Coa Leng Kun berasal dari pegunungan
Lam-san di selatan. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah nona dan ke mana nona
hendak pergi?”
Sikap dan
ucapan pemuda baju putih yang mengaku bernama Coa Leng Kun itu demikian sopan
dan halus sehingga Hui Lan tidak merasa keberatan untuk melayani pemuda ini
bicara. “Namaku Tang Hui Lan dan aku tinggal di Cing-ling-pai. Aku hendak pergi
ke kota Pao-ting.”
Coa Leng kun
melebarkan matanya dan wajahnya berseri. “Dari Cin-ling-pai? Ahh, kalau begitu
tentu nona adalah murid Cin-Ling-pai yang terkenal sekali di dunia persilatan.
Aku mendengar bahwa ketua Cin-Ling-Pai adalah seorang wanita sakti yang
mempunyai ilmu tinggi. Apakah nona muridnya?”
Hui Lan
tersenyum, merasa bangga karena ibunya demikian terkenal sehingga pemuda ini
pernah mendengar ketenaran ibunya. “Ketua Cin-ling-pai adalah ibuku.”
“Ahh,
maaf... maaf..., nona. Aku telah bersikap kurang hormat karena tidak mengerti!”
dia menjura kembali dengan tubuh membungkuk sebagai tanda menghormat.
“Sudahlah
jangan terlalu merendah,” Hui Lan berkata sambil membalas penghormatan itu.
“Aku melihat ilmu silatmu juga hebat bukan main, tentu engkau murid orang
sakti.”
“Guruku
adalah ayahku yang sudah meninggal dunia,” kata Coa Leng Kun dengan suara
mengandung kedukaan, “dan kepandaian silatku tidak akan ada artinya bila
dibandingkan dengan kepandaianmu, nona.”
Hui Lan
merasa tidak enak untuk bercakap-cakap lebih lama lagi dengan pemuda yang baru
saja dijumpainya. Ia lalu berkata dengan tegas . “Sudahlah, aku hendak
melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu.”
Sesudah
berkata demikian dia lalu membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya
melihat-lihat kota Liok-bun yang ramai. Apa lagi mereka berdua sekarang menjadi
pusat perhatian orang karena perkelahian tadi. Melihat sikap tegas gadis itu,
Leng Kun juga tak mau membantah lagi dan dia memberi hormat lagi.
“Selamat
berpisah nona Hui Lan,” katanya dengan nada suara gembira.
Hui Lan
melangkah pergi. Dia merasa tidak enak sekali karena hatinya tertarik kepada
pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, tampaknya hanya seperti
seorang sastrawan yang lemah akan tetapi ilmu silatnya amat tinggi, bicaranya
sopan dan lembut, selalu merendahkan diri. Ingin dia menengok kembali, namun
dia mengeraskan hatinya. Tidak baik mudah tertarik kepada seorang pria yang
belum di kenalnya sama sekali.
Ibunya
pernah menasehatinya agar dia waspada terhadap pria, terutama sekali pria yang
kelihatan tampan gagah. Jangan mudah percaya sebelum mengenal benar orang macam
apa pemuda itu. Hatinya menjadi tenang kembali dan dia pun tak ingin menengok
lagi.
Dia pernah
mendengar dari ibunya bahwa kini dunia kangouw sedang digemparkan oleh
perebutan sebilah pedang pusaka yang bernama Pek-Lui-Kiam (Pedang Halilintar).
“Buka mata dan telingamu,” kata ayahnya pula, “siapa tahu engkau bertemu dengan
orang yang menguasai pedang itu. Kalau dia seorang pendekar yang baik, jangan
kau ganggu bahkan bela dia, akan tetapi kalau pedang pusaka berada di tangan
golongan sesat, engkau boleh mencoba untuk merampasnya.”
“Akan tetapi
pedang pusaka Pek-lui-kiam itu sebenarnya milik siapakah, Ayah dan Ibu?”
“Kabar yang
kami dapatkan seperti dongeng saja, Hui Lan. Kabar itu mengatakan bahwa pedang
itu dibuat oleh orang sakti yang disebut Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati
Putih) sehingga tentu saja menjadi miliknya. Akan tetapi pada suatu hari pedang
itu dicuri orang. Sampai puluhan tahun tidak ada beritanya tentang pedang
pusaka itu sampai akhir-akhir ini tersiar berita bahwa pedang itu sudah
terjatuh ke tangan seorang pendekar bernama Tan Tiong Bu yang tinggal di
Sia-lin. Akan tetapi belum lama ini Tan Tiong Bu itu bersama isterinya terbunuh
orang, dan pedang pusaka itu pun lenyap dari rumahnya. Kemungkinan besar dicuri
oleh pembunuh itu.”
“Dan
siapakah pembunuh itu?”
“Tidak ada
seorang pun yang mengetahui. Hanya kabarnya pembunuh itu selalu memakai pakaian
serba merah, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berpakaian serba
merah,” kata ibunya. Ibunya memperoleh keterangan ini sesudah mengutus
murid-murid Cin-ling-pai untuk menyelidiki ke Sia-lin.
“Aku
teringat akan seorang datuk yang suka berpakaian merah, akan tetapi entah dia
atau bukan yang sudah membunuh Tan Tiong Bu dan mencuri pedang pusaka itu,”
kata Tang Hay setelah berpikir sejenak. “Dia berjuluk Ang I Sianjin dan menjadi
ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Kabarnya dia lihai sekali dan menjagoi
dunia barat.”
“Akan tetapi
engkau tidak perlu menyelidiki ke Kwi-liong-san, Hui Lan,” kata ibunya. “Kami
tidak bermusuhan dengan Kwi-jiauw-pang sehingga jangan sampai ada kesalah
pahaman di antara kita dan mereka. Belum tentu berita itu benar adanya. Kalau
ternyata bukan dia pencurinya lalu engkau membuat geger di sana, sungguh tidak
enak bagi Cin-ling-pai.”
“Baiklah,
Ibu. Aku akan mentaati nasehatmu.” Demikian Hui Lan berkata.
Ketika
berjalan-jalan di kota Liok-bun itu, Hui Lan terkenang kembali akan nasehat
ayah ibunya itu. Tidak, dia tak akan mencari gara-gara keributan. Tadi pun
untung ada pemuda bernama Coa Leng Kun yang turun tangan sendiri memberi
hajaran kepada gerombolan orang kasar itu sehingga tidak ada permusuhan antara
dia dan orang-orang itu.
Hari sudah
menjadi senja ketika Hui Lan pulang ke rumah penginapan. Sampai dia makan malam
di rumah makan di bagian depan rumah penginapan itu, tidak terjadi sesuatu yang
menimpa dirinya.
Malam hari
itu, ketika sedang tidur dia mendengar suara perlahan di jendela kamarnya.
Karena kamarnya gelap, lilin sudah dia padamkan dan di luar terdapat penerangan
lampu, dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamarnya. Hui Lan
mengerutkan alisnya.
Bayangan itu
tentu bukan bayangan pelayan rumah penginapan karena berkelebat sangat cepat.
Akan tetapi dia tidak bangkit, melainkan terus berbaring sambil mengamati ke
arah jendela dengan waspada. Kembali dia melihat bayangan itu berkelebat, kini
bayangan itu berhenti di depan jendela kamarnya, lantas jendela itu terdengar
berkeresekan. Agaknya bayangan itu berusaha untuk membuka jendela dari luar.
Tanpa mengeluarkan suara Hui Lan bangkit duduk dan menanti dengan tenang.
Maling ini mencari penyakit, pikirnya.
Tiba-tiba
terdengar keributan di luar jendelanya dan terlihat bayangan dua orang
berkelahi di luar kamarnya. Ia cepat meloncat turun dari pembaringan, menyambar
pedangnya dan membuka daun pintu. Benar saja! Di sebelah kamarnya, di bagian
luar jendela terdapat dua orang yang berkelahi.
Salah satu
di antara mereka adalah seorang lelaki yang mengenakan penutup muka dari hidung
ke bawah dan berpakaian serba hitam. Sedangkan yang seorang lagi bukan lain
adalah pemuda berpakaian serba puith yang siang tadi membantunya, Coa Leng Kun!
Hui Lan
mengerutkan alisnya. Kiranya pemuda itu kembali membantunya dan menyerang
maling yang hendak mencongkel jendelanya dan kini mereka bertanding dengan
serunya. Bayangan hitam tadi tentulah orang bertopeng yang mengenakan pakaian
serba hitam itu. Dia menggunakan sebatang golok yang amat besar dan berat,
sedangkan Coa Leng Kun menandinginya dengan sebatang suling. Gerakan maling itu
cukup cepat dan bertenaga besar, akan tetapi Hui Lan melihat bahwa maling itu
bukan lawan pemuda yang lihai itu. Leng Kun seakan mempermainkan maling itu.
Suara gaduh
perkelahian itu membuat para tamu di rumah penginapan itu terbangun dan banyak
jendela serta pintu dibuka dari dalam. Juga para pelayan penjaga hotel
berlarian mendatangi tempat itu.
Melihat hal
ini, maling yang sudah kewalahan menjadi semakin jeri. Dia membentak dan
menggerakkan tangan kirinya. Sebatang piauw (senjata rahasia tajam) meluncur ke
arah Leng Kun dan sebatang lagi meluncur kearah Hui Lan.
Dengan
tenang gadis itu menangkap piauw itu dengan tangan kirinya, menjepit di antara
dua jari tangan, sedangkan Leng kun juga mengelak sehingga senjata rahasia itu
jatuh ke atas genteng mengeluarkan bunyi berkerontang. Maling itu menggunakan
kesempatan ini untuk meloncat kemudian melarikan diri.
Leng Kun
tidak mengejar, demikian pula Hui Lan yang sekarang memandang pemuda itu dengan
alis berkerut.
“Selamat
malam, Tang-siocia,” katanya sambil memberi hormat, “sayang saya tidak dapat
menangkap maling itu.”
“Sobat Coa,
aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu,” kata Hui Lan agak marah sebab
pemuda ini selalu melindunginya, padahal dia tidak membutuhkan perlindungan dan
bantuan itu. Jika hanya menghadapi pemuda-pemuda berandalan seperti yang siang
tadi mengganggunya atau maling yang berusaha membuka jendelanya, dia masih
sanggup.
“Maaf, nona.
Saya sama sekali tidak tahu bahwa nona yang tinggal di kamar ini, bahkan tidak
tahu bahwa nona menginap di rumah penginapan ini.” Leng Kun memberi hormat lagi
sambil senyum ramah.
Hui Lan tidak
mengatakan sesuatu dan kembali memasuki kamarnya lalu menutup pintu kamarnya.
Leng Kun dihujani pertanyaan oleh para tamu dan petugas rumah penginapan.
“Tidak perlu
ribut-ribut,” kata Leng Kun dengan suara cukup nyaring sehingga terdengar oleh
Hui Lan. “Aku mendengar gerakan orang di luar kamarku, kemudian aku keluar dan
membayanginya. Ternyata dia berusaha mencongkel jendela kamar ini, maka aku
segera menegurnya dan kami berkelahi.” Sesudah berkata demikian Leng Kun juga
kembali ke kamarnya.
Orang-orang
itu bubaran dan para tamu lalu menutupkan jendela dan pintu kamar rapat-rapat
karena takut didatangi penjahat.
Hui Lan
sudah rebah kembali di atas pembaringannya. Akkan tetapi dia sukar jatuh pulas.
Bayangan pemuda pakaian putih itu selalu terbayang di depan matanya. Dia
mengerutkan alisnya lantas bangkit duduk. Apakah dia tadi tidak bersikap
keterlaluan kepada Coa Leng Kun?
Pemuda itu
tidak tahu bahwa dia bermalam di situ dan bantuannya tadi hanya kebetulan saja.
Sebagai seorang pendekar, tentu saja Leng Kun segera turun tangan ketika
melihat ada maling yang hendak mencongkel jendela kamar. Akan tetapi dia tidak
berterima kasih malah mengatakan tidak butuh bantuan! Apakah sikapnya itu sudah
benar? Dia merasa menyesal, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan?
Dia
mengambil piauw yang tadi ditangkapnya dari maling itu. Sebatang piauw biasa
saja, tidak mengandung racun. Ia melemparnya kembali ke atas meja. Setidaknya
sikapnya itu menunjukkan kepada Coa Leng Kun bahwa dia bukan gadis yang lemah
tak berdaya dan membutuhkan bantuannya! Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega
dan akhirnya dia bisa tidur pulas.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Lan sudah membayar sewa kamar kemudian
meninggalkan rumah penginapan itu. Ia hendak berangkat pagi-pagi menuju kota
Pao-ting di mana tinggal pamannya, Cia Kui Bu.
Pamannya itu
masih muda, baru berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun. Sebenarnya dia
adalah paman tirinya, karena pamannya itu adik tiri ibunya. Akan tetapi paman
tirinya itu sudah dianggap sebagai putera sendiri oleh neneknya, maka hubungan
mereka sangat akrab. Bahkan pamannya juga telah menerima pelajaran silat dari
neneknya sehingga dia menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa.
Cia Kui Bu
tinggal di Pao-ting dan membuka sebuah perusahaan pengantar dan pengawal
barang-barang kiriman yang berharga. Namun sampai berusia tiga puluh dua tahun
Cia Kui Bu belum juga menikah. Padahal perusahaannya maju pesat. Barang
berharga yang dikawal perusahaannya semakin banyak saja.
Para
pedagang sangat mempercayainya karena selama bertahun-tahun membuka piauw-kiok
(perusahaan pengawal) belum ada barang yang diganggu penjahat. Gangguan
mula-mula memang ada. Ada perampok-perampok yang berusaha mengganggu dan
merampas barang kiriman itu. Akan tetapi para perampok itu selalu berhasil
dipukul mundur oleh Cia Kui Bu sehingga nama piauw-kiok itu menjadi terkenal
dan ditakuti penjahat.
Jika melihat
bendera dengan gambar naga hijau di atas kereta bermuatan barang-barang
berharga maka tidak ada penjahat yang berani mengusiknya. Perusahaan piauw-kiok
itu memang memakai nama Ceng-liong Pauw-kiok (Perusahaan pengawal naga Hijau),
dan Cia Kui Bu yang suka memakai pakaian serba hijau itu bahkan dijuluki Ceng-liong
(Naga Hijau) oleh para perampok.
Untuk
mempercepat perjalanannya ke kota Pao-ting, Hui Lan lantas membeli seekor kuda
kemudian melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda. Semenjak kecil dia
telah belajar menunggang kuda sehingga perjalanan itu bisa dilakukan dengan
cepat. Beberapa hari kemudian dia sudah memasuki kota Pao-ting.
Kota ini
cukup besar dan ramai karena letaknya tak jauh dari kota raja, di sebelah
selatan kota raja. Dan mudah sekali baginya untuk mencari Ceng-liong
Piauw-kiok. Semua orang di Pao-ting mengetahui di mana adanya piauw-kiok itu.
Hui Lan belum pernah datang ke kota ini, biasanya Cia kui Bu yang datang
berkunjung ke Cin-ling-san.
Hui Lan
menjadi kagum sekali saat melihat rumah besar yang menjadi pusat perusahaan
pamannya itu,. Agaknya perusahaan pamannya itu telah maju dengan pesatnya. Di
depan pintu gerbang terdapat gambar naga hijau yang besar dan tulisan
huruf-huruf besar yang berbunyi 'Ceng Liong Piauw-kiok', dan di pintu gerbang
duduk beberapa orang lelaki yang bertubuh kekar dan gagah.
Hui Lan
melompat turun dari kudanya, lalu menuntun kuda itu menghampiri pintu gerbang.
Melihat ada seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggung menghampiri
pintu gerbang, lima orang piauwsu (pengawal barang) itu cepat bangkit berdiri
dan menghadang di depan pintu.
“Siapakah
nona dan ada keperluan apa datang ke piauw-kiok kami? Apakah nona hendak
mengirim barang?” tanya seorang di antara mereka.
“Aku datang
untuk bertemu dengan paman Cia Kui Bu. Dia adalah pamanku,” jawab Hui Lan
singkat.
Akan tetapi
kelima orang itu mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak percaya. Hal ini tidak
aneh. Mereka belum pernah bertemu dengan Hui Lan, dan sekarang tiba-tiba saja
muncul seorang gadis yang tahu-tahu mengaku sebagai keponakan majikan mereka.
Tentu saja mereka menjadi curiga.
“Nona,
sekarang majikan kami sedang berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan dia
untuk menemui nona. Maka katakan siapa nona dan ada keperluan apa. Kami adalah
pembantunya dan kami dapat mewakili majikan kami untuk mewakili keperluan
nona.”
Hui Lan
mengerutkan alisnya. “Sudah kukatakan bahwa dia adalah pamanku, adik ibuku,
tapi kalian masih belum percaya. Panggil paman Cia Kui Bu keluar agar bertemu
dengan aku!”
“Maaf, nona.
Kami belum pernah melihat nona dan kami tidak pernah mendengar bahwa majikan
kami memiliki seorang keponakan seperti nona. Karena itu harap nona memberi
tahukan nama nona dan kami akan melaporkan ke dalam.”
“Tidak,
panggil saja dia keluar!”
“Kami tidak
dapat memenuhi permintaan nona.”
“Kalau
begitu baiklah, aku yang akan masuk ke dalam dan mencarinya sendiri!”
Hui Lan
menambatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di sana, lalu
melangkah lebar hendak memasuki pintu gerbang itu. Akan tetapi lima orang
penjaga itu menghadang di pintu gerbang, malah seorang di antara mereka
melintangkan tombaknya.
“Minggir,
atau terpaksa aku akan menghajar kalian!” bentak Hui Lan.
Ketika
penjaga yang memegang tombak itu menghalanginya dengan tombak, dengan satu
gerakan yang amat cepat Hui Lan merampas tombak itu, kemudian sekali
menggerakkan tangan, tombak itu segera meluncur lalu menancap pada batang pohon
di atas kudanya. Tombak itu menancap sampai hampir tembus!
Lima orang
itu terbelalak, akan tetapi mereka tak menjadi gentar karena mereka mengira
bahwa gadis ini sengaja datang untuk membikin kekacauan. Mereka segera
menyambar golok dan pedang lalu mengepung Hui Lan.
“Nona tidak
boleh melakukan kekerasan di sini!” bentak pemimpin mereka.
“Begitukah?
Majulah kalau kalian ingin kuhajar!” tantang Hui Lan.
Lima orang
itu lalu maju menyerang, akan tetapi tiba-tiba saja gadis itu sudah hilang dari
kepungan mereka dan tahu-tahu ada dua orang di antara mereka yang roboh
tertotok dan tidak mampu bergerak kembali.
Tiga orang
lainnya menjadi sangat terkejut dan cepat menyerang, namun kembali mereka
kehilangan gadis yang tadi berada di depan mereka, dan tahu-tahu mereka bertiga
juga terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak kembali!
“Hemm, hendak
kulihat apa yang akan dilakukan paman Cia Kui Bu kepada kalian yang berani main
kasar terhadap diriku!” setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat memasuki
rumah gedung itu sambil berteriak, “Paman Kui Bu, ini aku Hui Lan yang datang!”
Seorang pelayan
wanita menyambutnya dan mata pelayan itu terbelalak heran. “Bibi, aku adalah
keponakan paman Cia Ku Bu. Cepat bawa aku kepadanya!”
“Tapi...
tapi... kongcu sedang sakit, nona.’
“Sakit...?
Sakit apa? Cepat antarkan aku kepadanya, bibi!”
Pelayan itu
tidak berani membantah dan dia mendahului masuk ke dalam, diikuti oleh Hui Lan.
Pelayan itu membuka pintu sebuah kamar yang luas dan di tengah kamar itu Hui
Lan melihat Cia Kui Bu sedang rebah telentang dengan muka pucat.
“Paman Kui
Bu...!” Hui Lan berteriak sambil berlari menghampiri, kemudian duduk di tepi
pembaringan itu.
Cia Kui Bu
menggerakkan kepalanya menoleh dan begitu melihat Hui Lan dia menghela napas
panjang. “Hui Lan, aku... aku sedang menderita luka berat...”
“Kenapa,
paman? Coba kuperiksa!”
Kui Bu
membuka kancing bajunya dan nampaklah oleh Hui Lan betapa di dada pamannya itu
ada tanda tapak lima buah jari yang agak menghitam. Pukulan beracun! Untung
bahwa pamannya sudah mempunyai sinkang yang cukup kuat sehingga pukulan itu
tidak sampai menewaskannya, hanya melukainya saja. Akan tetapi luka itu dapat
merenggut nyawanya kalau dibiarkan saja.
“Engkau
terkena pukulan beracun, paman, harus cepat-cepat diobati! Tenanglah, paman,
aku akan mengobati paman!” Setelah berkata demikian dia pun menoleh kepada
pelayan wanita tadi. “Bibi, cepat ambilkan semangkok air yang telah masak, akan
tetapi yang telah panas dan mendidih!” Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi
perintah gadis itu.
“Mulanya
begini, Hui Lan…”
“Nanti saja,
paman. Sekarang sebaiknya paman yang santai saja, mengatur pernapasan untuk
memasukkan hawa murni, jangan mengeluarkan tenaga. Batu giok mustika ini bisa
menghisap semua hawa beracun.”
“Hemm, milik
ayahmu?”
“Benar,
untung bahwa ayah memberikan ini kepadaku ketika aku hendak berangkat.”
Hui Lan
mengeluarkan batu giok mestika itu, lantas menggosok-gosokannya ke atas dada
yang kehitaman itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menyedot. Tidak
lama kemudian pelayan datang membawa sepanci air mendidih dan sebuah mangkok.
Hui Lan minta pelayan itu menuangkan air mendidih semangkok. Kemudian, setelah
menggosok-gosok beberapa lamanya, warna kehitaman di dada makin menipis dan dia
mencelupkan batu giok mestika ke dalam sisa air di panci.
Air itu
seketika berubah warna menjadi kehitaman, ada pun batu giok mestika itu menjadi
bersih kembali. Ternyata hawa beracun yang dihisap batu mestika itu larut ke
dalam air panas. Hui Lan mengulangi kembali usapan batu mestika itu sampai
warna hitam menjadi bersih kembali.
Setelah
membersihkan batu kemala mestika, Hui Lan lalu memasukkan batu itu ke dalam
semangkok air dan membiarkan air itu menjadi dingin. Setelah airnya dingin, ia
membantu pamannya untuk minum air rendaman batu kemala mestika itu. Begitu air
diminum habis, Kui Bu menjadi sehat kembali. Dia lalu mencoba mengerahkan
sinkang-nya dan dia tidak merasakan sakit lagi!
“Ahh, terima
kasih, Hui Lan. Engkau telah menyelamatkan aku!”
“Kita harus
bersyukur bahwa kita tidak terlambat, paman. Sekarang ceritakan apa yang telah
terjadi.”
Sebelum Kui
Bu bercerita, dari luar datang berlarian lima orang anak buahnya yang tadi
roboh tertotok oleh Hui Lan. Agaknya totokan mereka sudah pudar kembali dan
mereka kini memburu ke dalam karena mengkhawatirkan majikan mereka kalau-kalau
diganggu oleh gadis yang lihai itu.
“Kalian mau
apa?!” bentak Kui Bu.
Lima orang
itu terheran-heran dan juga terkejut bukan main melihat gadis itu duduk dekat
majikan mereka yang kini telah sehat kembali. Mereka lalu menjatuhkan diri
berlutut.
“Maafkan
kami, kongcu... kami... kami kira nona itu... akan mengganggu kongcu…”
“Hemm,
keponakanku ini mengganggu? Malah dialah yang menyembuhkan aku!”
Lima penjaga
itu kaget bukan kepalang. Mereka berlutut sambil berulang-ulang memberi hormat
kepada Hui Lan dan pemimpin mereka berkata, “Mohon pengampunan dari lihiap,
karena kami tidak mengenal maka kami bersikap kurang hormat…”
“Apa? Kalian
berani kurang ajar kepada keponakanku?”
“Ampun,
kongcu. Karena benar-benar tidak tahu maka tadi kami hendak melarang lihiap ini
masuk, akan tetapi dia merobohkan kami semua...”
Kui Bu
tertawa. “Ha-ha-ha-ha, biar pun kalian ditambah puluhan orang lagi, jangan
harap dapat mencegah Hui Lan masuk untuk menemuiku!” Setelah tertawa kembali
Kui Bu lalu mengusir anak buahnya keluar dari situ.
“Maafkan
mereka, Hui Lan. Mereka belum pernah bertemu denganmu, karena itu berani
melarangmu.”
“Tidak
mengapa, paman. Mereka tidak berbuat kurang ajar, hanya hendak melarang aku
masuk karena mereka curiga dan khawatir kalau-kalau aku ini datang sebagai
musuhmu. Sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi, paman?.”.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment