Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 11
Cia Kui Bu
kemudian menceritakan pengalamannya. Seminggu lalu seorang wanita cantik datang
berkunjung. Wanita itu mengatakan bahwa dia memiliki sepeti emas yang sangat
berharga dan hendak mengirimnya ke kota raja. Ia menghargai isi peti itu seribu
tail emas!
Tentu saja
Kui Bu terkejut sekali. Selama ini belum pernah dia menerima kiriman barang
yang harganya sebesar itu. Akan tetapi wanita itu mendesaknya, dan sanggup
membayar biaya pengiriman berapa saja diminta.
Karena
wanita itu berani membayar biaya pengiriman yang besar jumlahnya, yang nilainya
belum tentu bisa diperoleh Ceng-liong Piauw-kiok selama sebulan, Kui Bu mau
menerima tugas itu dan dia sendiri yang mengawal peti berisi emas itu. Dia
dibantu oleh lima orang piauwsu (pengawal) yang tangguh dan ilmu silatnya cukup
lumayan.
Peti itu
kemudian dimuat di dalam sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kusir yang
mengendalikan dua ekor kuda itu pun seorang piauwsu yang sudah berpengalaman.
Di atas kereta itu berkibar bendera tanda Ceng-liong Piauw-kiok, yaitu gambar
seekor naga hijau. Cia Kui Bu juga mengenakan pakaian piauwsu yang serba hijau
dan nampak gagah sekali.
Perjalanan
dari Pao-ting ke kota raja merupakan jarak yang walau pun agak jauh namun
termasuk dekat bagi para piauwsu yang biasa mengawal barang kiriman sampai
lebih jauh lagi. Dan selama ini perjalanan dari Pao-ting ke kota raja aman
saja, belum pernah ada yang berani mengganggu.
Setelah
melakukan perjalanan sehari lamanya tanpa ada gangguan, mereka melewatkan malam
di dekat bangunan terusan (kanal) yang terkenal itu, di sebuah kuil tua yang
sudah tidak digunakan lagi. Memang rombongan Ceng-liong Piauw-kiok biasanya
menggunakan tempat ini untuk bermalam dalam perjalanan dari Pao-ting ke kota
raja. Kuil itu berada di dalam sebuah hutan yang tidak terlalu luas namun
menyimpang dari jalan besar.
“Malam itu
terjadinya,” kata Kui Bu melanjutkan ceritanya yang didengar dengan penuh
perhatian oleh keponakannya. “Seperti biasa kami membuat api unggun dan tidur
secara bergiliran. Kami membuat api ungun dekat kereta dan aku lebih dahulu
tidur melepaskan lelah. Menjelang tengah malam, ketika udara amat dinginnya dan
suasana amat sepinya, mendadak terdengar teriakan kusir yang tidur di dalam
kereta yang memuat peti emas itu. Kami semua terkejut, aku pun bangun dan
meloncat untuk melihat apa yang terjadi. Kusir kami telah terlempar keluar
kereta dan kereta itu sendiri diseret beberapa orang pergi dari tempat itu!”
“Hemm,
mereka tentu perampok!” kata Hui Lan.
“Memang
benar, akan tetapi telah bertahun-tahun kami sering lewat di situ, bahkan tanpa
aku, tapi tidak pernah ada yang berani mengganggu. Aku lalu melompat dan
menghalangi mereka yang menarik kereta, akan tetapi tiba-tiba di depanku telah
berdiri seorang kakek berusia enam puluhan lebih, memegang sebatang tongkat
berujung kepala naga dan dia segera menyerangku dengan ganas. Kakek itu amat
lihai, maka terpaksa aku memainkan Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu
Harum). Kami berkelahi sampai puluhan jurus dengan keadaan seimbang. Lima orang
pembantuku sudah roboh oleh anak buah kakek itu. Akhirnya kakek itu
mengeluarkan ilmu pukulan dengan tangan kirinya, cepat dan tidak terduga-duga
datangnya sehingga mengenai dadaku. Aku roboh dan terluka dalam. Para
pembantuku tidak ada yang tewas, hanya luka-luka ringan. Mereka lalu menggotong
aku pulang ke sini.”
“Apakah
kakek itu tidak meninggalkan nama, paman?”
“Tidak. Dia
segera melarikan diri setelah aku dan para pembantuku roboh. Kereta berikut
peti emas itu telah lenyap dibawa mereka.”
Hui Lan
mengerutkan sepasang alisnya. Dia melihat betapa pamannya kelihatan berduka
sekali. “Apakah paman tidak dapat menduga siapa adanya kakek bertongkat kepala
naga itu, paman?”
“Aku pernah
mendengar bahwa di pantai timur ada seorang datuk lihai yang bersenjata tongkat
kepala naga dan juga memiliki Tok-ciang ( tangan beracun). Entah dia atau bukan
orang itu. Tapi yang menggelisahkan hatiku adalah wanita cantik itu. Tiga hari
yang lalu dia datang ke sini dan sesudah mendengar bahwa emasnya dirampok oleh
penjahat, lalu menuntut supaya aku membayar kerugiannya sebanyak seribu tail
emas! Dari mana aku dapat memperoleh uang sebanyak itu? Biar pun kujual habis
semua perusahaanku berikut rumah-rumahnya, tetap saja tidak akan cukup untuk
membayar emas sebanyak itu. Dan besok pagi adalah hari terakhir penentuan
pembayaran. Aku khawatir sekali, Hui Lan.”
Hui Lan
mengerutkan alisnya dan berpikir. Selain keras hati dan lincah gadis ini juga
amat cerdik. “Paman Kui Bu, pada waktu wanita itu mengirim peti berisi emas,
apakah paman membuka peti itu dan melihat isinya?”
“Hemm,
tidak. Untuk apa? Wanita itu juga melarang kami merusak peti itu. Dia sanggup
membayar biaya pengiriman yang banyak sekali, dan kami percaya padanya. Andai
kata peti itu bukan berisi emas, lalu untuk apa dia mengirimnya dengan biaya
semahal itu?”
“Memang
nampaknya tidak mungkin, akan tetapi ada sebuah kemungkinan besar sekali,
paman. Dia mengirim peti berisi barang tidak berharga, lantas terjadi
perampokan dan dia minta ganti seribu tail emas! Hemm, terus terang saja aku
merasa curiga kepada pengirim barang itu, paman. Mungkin saja dia sudah
bersekutu dengan perampok itu dan mereka mengharapkan hasilnya, yaitu
penggantian seribu tail emas itu!”
“Ahhh…!” Cia
Kui Bu menepuk dahinya lantas memandang kepada keponakannya penuh rasa kagum.
“Tentu saja ada kemungkinan itu! Kenapa aku tidak pernah berpikir sampai ke
sana? Akan tetapi karena aku tidak memeriksa isinya maka tidak ada bukti bahwa
peti itu bukan berisi emas.”
“Inilah
kelicikan mereka. Apabila mereka merampas emas tentu akan terus dicari sebagai
penjahat perampok. Tetapi kalau menerima uang pengganti kerugian, pendapatan
mereka itu sah dan tidak melanggar hukum.”
“Hemmm, aku
akan mencari kakek itu ke Pulau Tembaga di lautan timur. Kalau memang benar
kakek itu datuk di timur yang berjuluk Tung-hai Liong-ong, aku akan merampasnya
kembali!” kata Cia Kui Bu sambil mengepal tinju.
“Nanti dulu,
paman. Kita harus menghadapi mereka satu demi satu. Kita hadapi wanita itu
dahulu, yang besok pagi akan datang menuntut kerugian. Seperti apakah wanita
itu? Apa ciri-cirinya?”
“Dia seorang
wanita cantik yang terlihat masih muda, akan tetapi kurasa dia telah berusia
hampir empat puluh tahun. Dia pesolek, pakaiannya amat mewah dan memegang
sebuah kebutan. Di punggungnya tergantung sebuah pedang.”
“Pakaiannya?”
“Pakaiannya
mewah dan serba merah.”
“Hemm,
lupakah paman akan seorang tokoh sesat yang berjuluk Ang-bi Mo-li (Iblis Betina
Merah Cantik)? Agaknya tokoh itulah pengirim peti emas itu.”
Cia Kui Bu
mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Aku pun pernah mendengar tentang
betina itu, tetapi ketika dia datang mengirim barang, sikapnya demikian halus
dan sopan sehingga aku tidak menyangka buruk kepadanya.”
“Aku sendiri
juga belum pernah bertemu dengan Ang-bi Mo-li, karena itu kita tunggu saja
kedatangannya besok pagi. Biar aku yang menghadapi dia. Harap paman diam saja
dan melihat gerak-geriknya. Aku akan memancing agar dia mengakui siapa
dirinya.”
Setelah
diobati Hui Lan dan mendengar pendapat gadis itu, kesehatan Cia Kui Bu kembali
pulih. Dia menjadi bersemangat karena mendapat bantuan Hui Lan yang dia tahu
memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Dia pernah mendengar dari enci-nya, Cia
Kui Hong, bahwa Hui Lan memiliki bakat yang baik sekali sehingga dia bisa
mewarisi ilmu-ilmu andalan dari ayah ibunya. Bahkan menurut keterangan
enci-nya, gadis ini sudah mempelajari ilmu sihir pula dari ayahnya!
Malam itu
Cia Kui Bu sudah sembuh betul sehingga dia pun dapat makan minum dengan
lahapnya. Ia makan sambil bercakap-cakap dengan Hui Lan, menanyakan kabar enci
dan cihu-nya (kakak iparnya). Setelah selesai makan dia mengajak Hui Lan duduk
di serambi depan sambil mengobrol.
“Aku merasa
heran sekali melihat paman masih juga hidup menyendiri. Mengapa paman tidak
menikah dan membentuk sebuah keluarga? Dengan begitu kehidupan paman akan
menjadi tenang.”
Cia Kui Bu
tersenyum. “Banyak orang mengatakan demikian, Hui Lan. Akan tetapi kalau aku
belum bertemu dengan calon jodohku yang cocok, lalu bagaimana? Pula, seandainya
saat ini aku sudah mempunyai isteri dan anak, bukankah aku akan menjadi lebih
gelisah lagi memikirkan keselamatan mereka?”
“Setidaknya
ada orang-orang yang membantu paman memecahkan setiap persoalan yang paman
hadapi,“ kata gadis itu.
“Engkau
benar juga, Hui Lan. Akan kupikirkan hal itu dan akan kucari cara jodohku yang
cocok denganku.”
Setelah
malam semakin larut, Hui Lan berpamit kepada pamannya untuk mengaso dalam
kamarnya. Dia tidur malam itu, akan tetapi setiap saat dia siap dan waspada,
kalau-kalau malam itu ada orang yang akan mengganggu pamannya. Ia tahu bahwa
pamannya cukup lihai, akan tetapi orang yang mengganggunya lebih lihai lagi.
Pagi itu
suasana di Ceng-liong Piauw-kiok amat sunyi penuh ketegangan. Semua piauwsu berkumpul
di serambi depan rumah besar itu, dan jumlah mereka ada enam belas orang.
Mereka semua mengenakan pakaian seragam piauwsu yang ringkas, membawa senjata
tajam golok atau pedang yang tergantung di pinggang, dan nampaknya seperti
pasukan yang siap untuk berperang! Ada yang berdiri dan termenung memandang
keluar halaman, ada yang duduk bergerombol sambil bicara berbisik-bisik.
Cia Kui Bu
sendiri pagi-pagi sudah mandi dan mengenakan pakaiannya yang serba hijau
sehingga nampak gagah sekali. Tubuhnya telah sehat kembali dan dia merasa
tubuhnya segar dan kuat. Hanya Hui Lan seorang yang tenang-tenang saja.
Pagi-pagi sekali gadis ini sudah mandi, bertukar pakaian, lalu sarapan pagi
bersama pamannya. Kini dia duduk di ruangan dalam. Dia tidak senang berada di
luar karena tentu dia akan menjadi sasaran pandang mata para piauwsu.
Pukul
delapan pagi. Para piauwsu yang berkumpul di serambi depan tiba-tiba terbelalak
dan mereka semua berdiri memandang wanita yang tahu-tahu sudah berada di
halaman rumah itu.
Seperti
hantu saja datangnya wanita itu karena tidak ketahuan. Akan tetapi kalau pun
dia hantu, maka hantu yang cantik sekali. Wajahnya dibedaki tipis dan pada
bibir dan pipinya terhias gincu. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas
dan dihias dengan burung emas permata indah. Pakaiannya dari sutera beraneka
warna, mewah akan tetapi ringkas dengan warna merah yang paling menyolok di
antara banyak warna itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan tangan kirinya
memegang sebatang kebutan.
“Cia-piauwsu,
keluarlah! Keluarlah untuk mempertanggung jawabkan kewajibanmu!” wanita itu
berseru dengan suaranya yang lantang.
Para piauwsu
yang berada di serambi depan rumah sudah siap untuk berkelahi bila mana disuruh
majikan mereka. Akan tetapi Cia Kui Bu tidak keluar, dan yang keluar justru
gadis cantik yang kemarin datang menjadi tamu majikan mereka, yaitu keponakan
Cia Piauwsu. Hui Lan melangkah keluar dengan sikap tenang akan tetapi waspada,
dan sepasang mata yang tajam itu mencorong memandang ke arah wanita cantik itu.
Melihat
munculnya gadis yang jelita ini, wanita itu lantas mengerutkan alisnya.
“Siapakah engkau? Suruh Cia Piauwsu keluar. Kalau hari inii dia tidak membayar
ganti rugi barangku yang dibikin hilang maka semua yang ada di sini akan
kuhancurkan, dan akan kulaporkan kepada yang berwajib!”
“Apakah
engkau yang berjuluk Ang-bi Mo-li?” tanya Hui Lan dengan suaranya yang halus
namun mengandung wibawa besar.
Wanita itu
kelihatan kaget. “Tidak perlu menyebut namaku dalam urusan ini. Cia Piauwsu
telah sanggup mengantar emasku ke kota raja, akan tetapi dia mengatakan bahwa
barang itu hilang dibawa perampok! Dia harus mengganti seharga seribu tail
emas!”
“Barang itu
memang dirampok, dan sedang diusahakan agar bisa didapatkan kembali.”
“Omong
kosong! Sampai kapan barang itu didapatkan? Aku telah memberi waktu sampai hari
ini dan aku tidak mau mengulur waktu lagi.”
“Hemm,
benarkah engkau ini Ang-bi Mo-li?”
“Kalau benar
mengapa, kalau tidak kenapa?” tantang wanita itu yang mulai menjadi marah
kepada Hui Lan yang tetap bersikap tenang itu.
“Kalau
engkau benar Ang-bi Mo-li, maka aku tidak merasa heran kalau barang itu dibawa
lari perampok!’ kata pula Hui Lan dan sinar matanya dengan tajam mengamati
wanita itu.
“Apa
maksudmu?”
“Barang itu
sama sekali tidak berisi emas, mungkin hanya berisi batu-batu saja.”
“Gila kau!”
“Tidak, aku
hanya berkata sebenarnya. Engkau mengirim barang yang kau katakan emas,
kemudian sekutumu melakukan perampasan di jalan, dan kini engkau datang untuk
minta uang pengganti. Begitu bukan?”
“Apa
buktinya? Barang itu memang emas seribu tail!”
“Hemm,
siapakah yang melihat bahwa barang itu emas? Engkau hanya membawa sebuah peti
dan melarang untuk memeriksa isinya. Hanya engkau yang mengatakan isinya emas,
akan tetapi semua piauwsu di sini tidak ada yang melihatnya! Dan siapakah
sekutumu itu? Bukankah dia Tung-hai Liong-ong?” kata pula Hui Lan dengan nada
suara mengejek.
Wajah wanita
itu menjadi merah sekali karena marah. “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Aku
pengirim barang yang dibikin hilang oleh Cia-piauwsu dan aku datang minta
ganti. Bukankah itu memang sudah sewajarnya?”
“Tentu
sewajarnya jika engkau bukan Ang-bi Mo-li yang kelicikan dan kejahatannya sudah
sangat terkenal.”
“Keparat!
Bicaramu semakin kurang ajar saja! Siapakah engkau?”
“Namaku Tang
Hui Lan, keponakan dari Cia-piauwsu.”
Para piauwsu
yang sudah mendengarkan semua itu menjadi marah kepada Ang-bi Mo-li. “Siocia,
biarkan kami yang menghajar penjahat dan penipu ini!”
Hui Lan tak
keburu mencegah karena belasan orang piauwsu itu telah menyerang dengan senjata
mereka. Akan tetapi nampak wanita itu menggerakkan kebutannya dan tubuhnya
berloncatan dengan amat gesit, lalu para piauwsu itu pun roboh berpelantingan,
golok dan pedang terlempar lepas dari tangan mereka. Dalam beberapa menit saja,
belasan orang piauwsu itu telah roboh semua dengan tubuh terluka seperti di
iris senjata tajam!
“Kalian
mundur semua!” bentak Hui Lan, lantas dia pun melompat ke depan wanita cantik
itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang
Pedang Penakluk Iblis) pemberian ibunya.
Melihat ini
Ang-bi Mo-li memandang tajam. “Apakah engkau adalah puteri Tang Hay dan Cia Kui
Hong? Dan kakek nenekmu bernama Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin?”
Diam-diam
Hui Lan terkejut sekali. Wanita ini telah mengenal semua keluarganya. Sebuah
pikiran tiba-tiba menyelinap di otaknya. Kalau begitu wanita ini memang sengaja
membikin susah pamannya karena pamannya adalah adik dari ibunya!
“Kalau benar
mengapa? Kalau tidak kenapa?” Hui Lan membalas seperti jawaban Ang-bi Mo-li
ketika dia bertanya tadi.
Sepasang
mata wanita itu bagaikan menyinarkan api. “Bagus! Jadi engkau ini anak ketua
Cin-ling-pai? Kalau begitu hari ini engkau akan mampus di tanganku!” tiba-tiba
saja Ang-bi Mo-li mencabut pedang dari punggungnya dengan tangan kanan sehingga
sekarang dia memegang dua senjata, yaitu pedang dan kebutan.
“Aku atau
engkau yang akan mampus?” Hui Lan membalas menggertak.
Ang-bi Mo-li
sudah demikian marahnya sehingga dia tidak mengeluarkan suara lagi, tetapi
langsung menyerang dengan pedang serta kebutannya. Akan tetapi Hui Lan sama
sekali tidak menjadi gentar dan dia pun menggerakkan sepasang pedangnya untuk
menangkis.
“Trang...!
Cringg...!”
Keduanya
cepat melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing karena
pertemuan empat buah senjata itu membuat tangan mereka tergetar. Ang-bi Mo-li
terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu demikian
lihainya, maka dia pun kembali menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus
terampuh dari ilmu silatnya sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.
Namun
sepasang pedang di tangan Hui Lan sudah berubah menjadi dua gulungan sinar yang
menyilaukan mata dan sama sekali tidak dapat ditembus oleh pedang dan kebutan
Ang-bi Mo-li. Sebaliknya, setiap kali gadis itu balas menyerang, cahaya kilat
mencuat dari gulungan sinar pedang. Ang-bi Mo-li menjadi terkejut dan nyaris
terkena tusukan pedang. Mulailah dia terdesak ke belakang.
Cia Kui Bu
yang sejak tadi sudah keluar, menonton pertandingan itu dengan hati kagum bukan
main. Ang-bi Mo-li mungkin tidak selihai kakek bertongkat kepala naga, akan
tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita berbaju merah itu sangat gesit. Akan
tetapi segera dia melihat betapa keponakannya mendesak terus.
Tiba-tiba
Hui Lan mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dua sinar pedang mencuat dari
dua gulungan sinar itu, dua batang pedangnya menyerang lawan dari dua jurusan.
“Heiiittt...
kena...!”
Ang-bi Mo-li
mencoba untuk memutar dua senjatanya sambil mengelak, namun tetap saja ada
sinar pedang menyambar pundak kirinya sehingga bajunya robek dan kulitnya
terluka berdarah. Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan membanting sesuatu.
“Darrrrr...!”
Nampak asap
hitam mengepul tebal. Hui Lan yang tidak mau terkena asap itu cepat-cepat
meloncat ke belakang dan kesempatan itu digunakan Ang-bi Mo-li untuk melarikan
diri.
Cia Kui Bu
cepat menghampiri keponakannya. “Engkau hebat sekali, Hui Lan. Ang-bi Mo-li itu
sangat lihai, tetapi dengan mudah engkau telah mengusirnya!”
“Sayang aku
tidak dapat menangkapnya, paman. Dia menggunakan bahan peledak untuk melarikan
diri. Sekarang aku sudah tahu pasti, paman. Peti itu tentu bukan berisi emas,
melainkan batu-batu biasa saja. Dengan cara ini dia hendak membikin nama baik
Ceng-liong Piauw-kiok menjadi tercemar. Ini semua memang sudah diatur. Agaknya
wanita iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Cin-ling-pai, maka dia
membalasnya kepadamu.”
Cia Kui Bu
mengangguk-angguk. “Agaknya Ang-bi Mo-li memang telah bersekutu dengan Tung-hai
Liong-ong. Ini berarti bahwa Tung-hai Liong-ong juga hendak membalas dendam
kepada keluarga Cin-ling-pai.”
“Boleh jadi,
paman. Tidak mengherankan kalau begitu karena semenjak dulu orang-orang tua
yang menurunkan kita selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, sekalu menentang
semua penjahat. Malah aku belum sempat mengabarimu bahwa kakek buyut Ceng Thian
Sin juga sudah meninggal dunia.”
“Ahhh...!”
Kui Bu memandang Hui Lan dengan hati terkejut. “Rasanya sulit dipercaya jika
kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu dapat mati! Mari
kita bicara di dalam, Hui Lan.”
Para piauwsu
mengobati luka-luka ringan mereka, dan mereka tak habis-habisnya memuji
kehebatan Hui Lan yang mampu mengalahkan wanita iblis itu!
Setelah
berada di dalam, Kui Bu lalu bertanya, “Bagaimana kakek Ceng Thian Sin sampai
meninggal dunia, Hui Lan? Apakah karena sakit dan karena usia tua?”
“Sebenarnya
boleh dibilang demikian, akan tetapi juga karena adanya orang-orang yang hendak
membalas dendam kepadanya. Tujuh orang datuk datang ke Pulau Teratai Merah
menantang kakek buyut. Mereka semua berhasil dikalahkan oleh kakek buyut, akan
tetapi kakek buyut yang sudah tua dan mulai lemah itu juga menderita luka berat
yang akhirnya membawanya kepada kematiannya.”
Cia Kui Bu
menarik napas panjang. “Ahh, permusuhan dan permusuhan, saling membalas dendam.
Sampai kapankah semuanya baru berakhir? Apakah kita juga harus membalas dendam
kepada mereka yang membalas dendam?”
Hui Lan
tersenyum. “Tentu saja jalan pikiran kita tak begitu, paman. Kita tidak
membalas dendam, tetapi kita selalu menentang segala bentuk perbuatan jahat.
Jika kita membasmi kejahatan kemudian ada keturunan orang jahat hendak membalas
dendam, tentu saja kita layani, karena keturunan yang membalaskan dendam
kematian orang tua mereka yang jahat, sudah pasti bukan orang baik pula.”
“Pekerjaan
seorang piauwsu penuh bahaya dan permusuhan, Hui Lan. Oleh karena itu aku ingin
berganti perusahaan, tidak lagi menjadi piauwsu, melainkan menjadi pedagang.
Aku telah mengumpulkan cukup modal, dan aku pun sering kali mengangkut barang
dagangan sehingga aku tahu barang apa yang harus dijual ke sana. Dengan
demikian aku pun dapat tetap memberi pekerjaan kepada para pembantuku.”
“Berganti
perusahaan boleh saja, paman. Akan tetapi kurasa menjadi piauwsu juga baik. Ada
pun halangan atau bahaya itu akan selalu menimpa manusia di mana pun dia berada
dan pekerjaan apa pun yang dilakukannya. Yang jelas, semua yang merintangi
pekerjaan piauwsu adalah para perampok dan maling, para orang jahat.”
Kembali Cia
Kui Bu menghela napas panjang. “Benar juga pendapatmu, Hui Lan. Biarlah
kulanjutkan pekerjaan piauwsu ini. Akan tetapi bagaimana dengan urusan peti
emas itu? Bagaimana kalau dia datang lagi untuk meminta ganti?”
“Aku kira
tidak, paman. Ang-bi Mo-li tentu tahu bahwa akal busuknya sudah kita ketahui
sehingga dia tak akan begitu bodoh untuk datang lagi setelah dia mendapat
hajaran keras tadi. Lain dari pada itu, paman, apakah paman juga mendengar
tentang Pek-lui-kiam?”
“Pek-lui-kiam
yang menjadi perebutan di dunia kangouw itu? Tentu saja aku juga pernah
mendengarnya, karena hal itu ramai dibicarakan orang di dunia persilatan.
Menurut kabar angin, barang siapa dapat memiliki pedang itu maka dia akan
menjagoi seluruh dunia dan kelak dapat diangkat atau dipilih menjadi bengcu.”
“Ah, aku
tidak percaya, paman. Kelihaian seseorang tergantung dari kepandaian orang itu
sendiri, bukan dari senjatanya walau pun senjata itu membantunya. Orang yang
memiliki ilmu kepandaian setingkat mungkin akan menang dengan menggunakan
sebuah pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi bagaimana ampuh pun senjata itu,
dia tetap akan kalah juga kalau dia berhadapan dengan orang yang tingkatnya
jauh lebih tinggi,.”
“Pendapatmu
itu memang benar, Hui Lan. Aku juga tidak menginginkan pedang pusaka itu kalau
untuk itu aku harus berebutan dengan banyak orang.”
“Akan tetapi
bahayanya besar sekali kalau pedang pusaka yang kabarnya sangat ampuh itu
terjatuh ke tangan seorang datuk jahat yang berilmu tinggi. Dia seperti harimau
yang tumbuh sayap, akan berbahaya sekali bagi manusia pada umumnya dan dunia
persilatan pada khususnya. Kewajiban kita adalah mencegah terjadinya hal itu,
paman. Bila pedang itu jatuh ke tangan seorang pendekar gagah perkasa yang
budiman, maka hal itu sudah benar. Akan tetapi kalau terjatuh kepada seorang
iblis, maka aku harus menentangnya!”
“Ada berita
bahwa pedang pusaka itu sekarang berada di tangan Ang I Sianjin, ketua dari
Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Entah benar atau tidak berita itu, akan tetapi
kalau benar terjatuh ke tangan ketua Kwi-jiauw-pang itu, tentu dunia kang-ouw
akan menjadi semakin keruh. Kwi-jiauw-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan
sesat yang sangat kuat dan orang-orangnya terkenal kejam. Apa lagi karena
Kwi-jiauw-pang kabarnya berhubungan dekat dengan perkumpulan besar
Pek-lian-kauw.”
“Hemm, kalau
begitu sungguh berbahaya sekali, paman. Nanti sesudah singgah ke rumah paman
Pek Han Siong di Tung-ciu, aku ingin menyelidiki ke Kwi-liong-san.”
“Aihh,
jangan sembrono, Hui Lan. Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san benar-benar kuat.
Anak buahnya banyak sekali. Sungguh berbahaya kalau engkau hanya seorang diri
saja pergi ke sana.”
“Tentu saja
aku tidak akan bertindak sembrono, paman. Aku hanya ingin menyelidiki dan
mencari tahu, apakah benar Pek-lui-kiam berada di sana. Aku tidak akan
melibatkan diri dalam pertempuran dengan mereka.”
“Kalau
begitu hatiku lega, Hui Lan. Biar pun engkau telah mewarisi banyak ilmu silat
yang lihai, tetapi sungguh perbuatan yang tidak bijaksana kalau hanya seorang
diri menghadapi puluhan bahkan ratusan anak buah Kwi-jiauw-pang.”
Pada
keesokan harinya Hui Lan berpamit dari pamannya, lantas melanjutkan perjalanan
ke kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja. Dia hendak memenuhi pesan ayahnya
untuk singgah ke rumah Pek Han Siong yang menjadi sahabat baik seperti saudara
sendiri dari ayahnya. Akan tetapi karena perjalanan ke Tung-ciu harus melewati
kota raja, dia hendak singgah dulu di kota raja.
Di kota raja
tinggal bibinya, yaitu adik ayahnya yang bernama Mayang, wanita peranakan
Tibet. Ayah Mayang adalah kakeknya. Jadi Mayang adalah bibi tirinya yang hubungannya
sangat akrab dengan ayahnya. Sekarang bibinya menjadi isteri seorang bangsawan,
yaitu Cang Sun.
Sudah lewat
dua tahun semenjak Cang Sun, Mayang, dan Teng Cin Nio, isterinya kedua, datang
berkunjung ke Cin-Ling-pai. Masih teringat dia betapa gembiranya ketika itu.
Dia berkenalan dengan anak-anak mereka. Yang pertama adalah Cang Hok Thian,
seorang pemuda putera Mayang, empat tahun lebih tua darinya. Yang kedua adalah
puteri Teng Cin Nio bernama Cang Wi Mei, setahun lebih tua darinya. Biar pun
mereka hanya tinggal setengah bulan di Cin-ling-san, kedua orang muda itu telah
menjadi sahabat akarabnya.
Sesudah
meninggalkan Pao-ting, Hui Lan segera melakukan perjalanan ke utara, menuju ke
kota raja.
***************
Pada waktu
itu, dalam tahun 1575, kerajaan Beng masih nampak kuat walau pun terjadi
pemberontakan di selatan dan barat. Bahkan kini kekuasaan Jepang mulai mendesak
dari timur dan berebutan dengan orang-orang kulit putih yang tidak pernah jera
biar pun belum lama ini pemerintah telah menghancurkan orang-orang Portugis
dari daratan Cina.
Pada saat
itu yang memegang tahta kerajaan adalah kaisar Wan Li (1572-1620). Dia baru
selama tiga tahun menjabat sebagai kaisar. Seperti juga kaisar sebelumnya, kaisar
Wan Li berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya dari
desakan orang asing. Kekuasaan bangsa-bangsa lain juga berulang kali mencoba
menerobos pertahanan pasukan Beng.
Bahkan pada
beberapa tahun yang lalu pernah ada pasukan berani mati bangsa-bangsa Nomad di
utara menerobos masuk hingga sampai di luar tembok kota raja Peking. Namun
akhirnya pasukan berani mati dari utara itu dapat disapu bersih dan selebihnya
melarikan diri cerai berai. Ada yang menggabungkan diri dengan gerombolan penjahat,
bahkan ada yang melarikan diri ke pantai timur lalu bergabung dengan
orang-orang Jepang.
Selama masa
pemerintahan Kaisar Cia Ceng (1520-1566) ada dua orang menteri utama yang
sangat berjasa, yang merupakan menteri-menteri setia yang bijaksana serta
pandai. Sesudah mereka meninggal dunia, kerajaan Beng kehilangan pemimpin yang
pandai dan bijaksana.
Akan tetapi
sekarang terdapat seorang yang diangkat menjadi penasehat kaisar Wan Li,
dijadikan penasehat karena orang ini juga memiliki pengetahuan yang luas dan
amat setia kepada kerajaan. Dia ini bukan lain adalah Cang Sun, putera dari
mendiang menteri Cang Ku Ceng.
Sebagai
seorang putera menteri, seorang bangsawan, semenjak muda Cang Sun sudah
berkenalan dengan para pendekar yang gagah perkasa dan berjiwa patriot. Biar
pun Cang Sun sendiri seorang ahli sastra dan tidak mempelajari ilmu silat, akan
tetapi isterinya yang pertama adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, yaitu
Mayang, bibi dari Hui Lan. Karena itu kedua orang anaknya, seorang putera dan
seorang puteri, telah digembleng oleh Mayang sehingga menjadi orang-orang muda
yang pandai ilmu silat.
Kaisar Wan
Li yang mengetahui bahwa Cang Sun mewarisi kesetiaan dan kebijaksanaan ayahnya,
lantas mengangkatnya menjadi menteri yang bertugas menasehati kaisar dalam
urusan pemerintahan, baik ke dalam mau pun keluar, karena itu kekuasaan menteri
Cang Sun amat besar. Akan tetapi, seperti mendiang ayahnya dulu, menteri Cang
Sun bersikap keras terhadap mereka yang ingin menyuapnya. Dia memerintahkan
pasukan menangkap mereka yang hendak menyuapnya itu dan menjebloskan ke dalam
penjara. Sejak itu tidak ada lagi yang berani main-main terhadap menteri ini.
Karena
menteri Cang Sun bersikap keras dan galak terhadap korupsi, sedikit pun tak mau
menggunakan kedudukannya untuk kepentingan sendiri, maka semua bawahannya juga
bertindak jujur dan tidak ada yang berani melakukan penyelewengan.
Memang
demikianlah. Untuk menjaga agar pohon dapat tumbuh subur lalu menghasilkan
bunga dan buah, maka yang perlu dipelihara dan dijaga adalah akarnya dan
batangnya. Demikian pula jika menghendaki anak buah yang yang taat dan jujur,
pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Pemimpin yang bijaksana dapat
menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya seorang pemimpin yang korup,
bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan?
Menteri Cang
memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para pembesar lainnya, juga dengan
panglima-panglima perang. Melihat perkembangan yang berbahaya dari bangsa
Jepang, menteri Cang Sun lalu menasehati kaisar untuk mengirim pasukan dan
menjaga pantai timur. Akan tetapi sukar sekali membendung menyusupnya
orang-orang Jepang ke daratan karena kulit dan wajah mereka tidak ada bedanya
dengan pribumi.
Ketika
kaisar Wan Li mengirim pasukan ke selatan untuk menaklukkan negara Annam, Siam,
dan Birma, menteri Cang Sun merasa tidak setuju. Yang terpenting adalah menjaga
kedaulatan di negara sendiri, bukan memerangi kerajaan lain untuk ditaklukkan!
Sesudah membujuk berulang kali, akhirnya usaha menteri Cang Sun berhasil juga.
Pasukan yang berperang di selatan itu segera ditarik kembali untuk memperkuat
penjagaan di timur dan utara. Setelah demikian barulah keadaan menjadi agak
tenteram.
Pada suatu
hari Cang Sun menonton putera dan puterinya yang sedang berlatih silat di bawah
petunjuk isteri pertamanya, Mayang. Dalam mendidik dua orang muda itu Mayang
tidak berlaku berat sebelah, tidak mengutamakan puteranya sendiri yang bernama
Cang Hok Thian itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Cang Wi Mei
lebih cocok bermain pedang dari pada Cang Hok Thian, dia lantas menurunkan ilmu
pedang kepada puteri tirinya itu.
Kepada Hok
Thian dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, yaitu yang
disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Ada pun untuk
senjatanya, Hok Thian lebih cocok menggunakan sabuk rantai yang juga dipakainya
sebagai ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja murni, agak tipis dan
panjangnya dua meter. Meski pun berupa rantai baja akan tetapi karena tipis dan
digerakkan oleh tangan yang mengandung tenaga sinkang, maka senjata ini dapat
menjadi tajam seperti pedang!
Hari ini
kedua orang kakak beradik ini latihan bersama, bertanding dengan tangan kosong.
Cang Sun duduk di atas kursi menonton. Memang dia tidak belajar ilmu silat,
akan tetapi pergaulannya dengan para ahli silat sangat erat sehingga dia dapat
menilai baik buruknya permainan silat.
Ketika
melihat putera dan puterinya bertanding dalam suatu latihan bersama, Cang Sun
bisa menilai bahwa Cang Wi Mei lebih gesit dan ringan tubuhnya dibandingkan
kakaknya. Biar pun dalam hal tenaga Cang Hok Thian masih menang setingkat,
namun karena kalah cepat gerakannya maka pemuda ini lebih banyak terdesak.
“Kena!”
Mendadak Wi Mei berseru kemudian tubuhnya meloncat ke belakang. Hok Thian
tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk minta kembali kain pengikat rambutnya
yang sudah berada di tangan adiknya.
“Gerakanmu
amat cepat, Mei-moi, aku tidak dapat mengikutimu!” kata Hok Thian dengan
sejujurnya.
“Tenagamu
lebih kuat dariku, Thian-ko. Apa bila aku tidak menggunakan kecepatan, pasti
aku kalah olehmu,” jawab Wi Mei dengan jujur pula.
“Gerakan
cepat saja jika tidak disertai tenaga sinkang yang memadai maka daya hasilnya
masih kurang, Wi Mei. Engkau harus lebih banyak bersemedhi dan menghimpun
tenaga saktimu. Dan engkau Hok Thian. Gerakanmu tadi sudah cukup cepat, hanya
masih kalah setingkat oleh adikmu. Karena itu engkau harus lebih teliti dalam
pertahananmu sehingga kalau menghadapi lawan yang lebih cepat engkau dapat
melindungi diri lebih baik. Engkau harus memperbanyak latihanmu dalam hal
pertahanan itu.”
Tiba-tiba
percakapan mereka terhenti dengan munculnya seorang prajurit yang bertugas
menjaga di luar. Dia memberi hormat kepada menteri Cang Sun, lantas melapor
bahwa di luar ada seorang tamu wanita yang bernama Tang Hui Lan mohon
menghadap.
“Adik Hui
Lan? Ahh, aku girang sekali!” kata Wi Mei. Wajah Cang Hok Thian juga berseri
mendengar nama itu. Mayang segera berkata kepada penjaga itu.
“Cepat
persilakan dia masuk!”
Penjaga itu
tidak segera pergi melainkan memandang kepada menteri Cang Sun. Setelah
pembesar ini menganggukkan kepala, barulah dia memberi hormat dan pergi keluar.
Tak lama
kemudian muncullah Hui Lan ke dalam ruangan itu. Dia segera memberi hormat
kepada keluarga itu, mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata
gembira, “Paman, Bibi...!”
“Ahhh, Hui
Lan. Dengan siapa engkau datang? Dari mana saja engkau?” tanya Mayang dengan
gembira sekali.
“Saya hanya
sendiri, Bibi. Sebelum singgah ke sini saya sudah mengunjungi paman Cia Kui
Bu."
Mereka
kemudian bercakap-cakap dalam suasana akrab sekali. Akan tetapi semua orang
langsung terdiam karena terkejut dan turut berduka ketika Hui Lan menceritakan
tentang kematian kakek buyutnya, Ceng Thian Sin.
“Ah, siapa
yang mengira bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu
akhirnya meninggal dunia juga. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa semua
orang, tidak peduli dia itu pandai atau berkedudukan tinggi sekali pun, pada
suatu hari tentu akan mati dan kembali kepada asal mulanya. Sayang sekali kami
tidak tahu akan kematiannya sehingga kami tidak dapat melayat. Apakah ketika
meninggal dia masih tinggal di Pulau Teratai Merah? Lalu siapa yang berada
dengan dia di saat terakhirnya? Dan bagaimana kematiannya, apakah karena sakit
dan usia tua?”
“Kebetulan
saya dan ayah ibu berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Kedatangan kami agak
terlambat karena kakek buyut sudah berada di ambang kematian. Kakek buyut
meninggal karena usia tua, dan dalam keadaan sudah lemah itu terpaksa dia
melawan tujuh orang yang datang menantangnya. Dia berhasil mengusir tujuh orang
itu, akan tetapi dia sendiri menderita luka dalam karena dalam keadaan sudah
tua sekali itu dia harus mengerahkan sinkang-nya.”
Cang Sun
menghela napas panjang. “Menyedihkan sekali. Dalam usia yang sudah lewat
seratus tahun Pendekar Sadis masih saja dimusuhi orang! Selama orang-orang
jahat dan sesat itu masih ada, maka kejahatan akan selalu timbul sebagai
imbangan dari kebaikan. Siapakah tujuh orang yang memusuhinya itu, Hui Lan?”
“Menurut
seorang murid kakek buyut yang hidup berdua saja dengan kakek buyut di pulau
itu, yang datang menantang kakek buyut adalah dua orang datuk dari barat
berjuluk Toa Ok dan Ji Ok, bersama kelima Bu-tek Ngo-sian yang juga datang dari
barat.”
Mayang
mengerutkan alisnya. Ia sendiri berasal dari barat, akan tetapi semenjak
menjadi isteri Cang Sun dia tidak pernah lagi pergi ke Tibet maka dia tak
pernah mendengar akan nama datuk-datuk yang disebut itu.
“Bagaimana
keadaan ayah dan ibumu, Hui Lan? Aku sudah rindu sekali kepada mereka!” kata
Mayang, mengalihkan percakapan dari berita yang tidak menyenangkan itu.
Hui Lan tahu
dari ayah ibunya bahwa bibinya ini amat sayang kepada ayahnya. Dia pun menjawab
dengan nada suara gembira. “Mereka baik-baik saja, Bibi, kakek Cia Hui Song dan
nenek Ceng Sui Cin juga dalam keadaan sehat. Keadaan Cin-ling-pai pada umumnya
baik dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.”
“Syukurlah,
Hui Lan. Aku gembira mendengar itu. Sayang sekali bahwa pamanmu selalu sibuk
dengan pekerjaannya. Sekarang negara sedang dirongrong oleh banyak persoalan
pemberontakan dan kekacauan di perbatasan sehingga kami tidak memiliki waktu
luang untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.”
“Mendengar
berita bahwa mereka dalam keadaan sehat adalah hal yang menyenangkan sekali,”
kata Cang Sun menghibur. “Tidak lama lagi tentu Cin-ling-pai akan mengadakan
pesta pernikahan Hui Lan dan kesempatan itu boleh kau pergunakan untuk
berkunjung ke sana bersama dua orang anak kita.”
Wajah Hui
Lan berubah merah mendengar kata-kata pamannya itu. Akan tetapi dia tidak marah
sebab ucapan itu dikeluarkan untuk menghibur bibinya dan bukan untuk
mengolok-olok dirinya.
“Itu bagus
sekali!” Wi Mei bersorak. “Adik Hui Lan, kapankah engkau akan menikah? Aku
sudah ingin sekali berkunjung ke Cin-ling-pai!”
Tentu saja
Hui Lan tersipu malu. “Ahh, sama sekali belum ada rencana untuk itu, enci Wi
Mei. Engkau dan kakak Hok Thian tentu akan menikah lebih dulu dari pada aku dan
untuk merayakan hari baik kalian itu, ayah ibu dan kakek nenek tentu akan
datang ke sini!”
Kini Wi Mei
menjadi merah mukanya dan Thian Hok juga tersipu. “Kami juga belum ada rencana
untuk menikah!” kata Wi Mei.
Tiba-tiba
Hok Thian berkata kepada orang tuanya. “Ayah, bagaimana kalau kami berdua ikut
dengan adik Hui Lan berkunjung ke Cin-ling-pai? Kami berdua juga ingin
melakukan perjalanan dan menambah pengalaman kami!”
“Betul
sekali, ayah. Saya juga ingin sekali pergi merantau, melakukan perjalanan
seperti adik Hui Lan, melihat-lihat dunia kangouw!” kata Cang Wi Mei. “Ibu
tentu setuju, bukan?”
Ketika itu
seorang wanita berusia empat puluh lima tahun muncul dari dalam memasuki
ruangan itu. “Hemm, apakah yang harus disetujui itu, Wi Mei?”
Wanita itu
adalah Teng Cin Nio, isteri kedua dari Cang Sun. Hui Lan cepat-cepat bangkit
berdiri memberi hormat.
“Ah, engkau
Hui Lan, bukan? Sekarang telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan
cantik jelita!” Teng Cin Nio berkata gembira lalu dia pun ikut duduk dekat
Mayang.
“Dua orang
anak kita ini minta agar diperkenankan pergi ke Cin-ling-pai bersama Hui Lan,”
kata Mayang kepadanya.
Teng Cin Nio
mengerutkan kedua alisnya. Dia memandang kepada suaminya lalu berkata, “Agaknya
tidak bijaksana jika mengijinkan mereka melakukan perjalanan sejauh itu tanpa
pengawalan pasukan. Aku khawatir kalau terjadi hal yang tidak baik pada
mereka.”
“Aku sendiri
juga merasa agak keberatan. Biar pun selama ini mereka sudah mempelajari
beberapa macam ilmu silat, namun di dalam dunia kangouw terdapat banyak sekali
orang jahat yang ilmu silatnya amat tinggi.”
Mendengar
ucapan kedua orang ibunya itu, Wi Mei lalu merengek. “Takut apa? Bukankah adik
Hui Lan juga melakukan perjalanan seorang diri dan tidak ada bahaya yang
menimpa dirinya? Kalau kami berdua pergi bersamanya, bukankah kami bertiga
cukup kuat untuk membela diri?”
Cang Sun
yang mendengar ucapan kedua orang isterinya itu lantas berkata kepada kedua
orang anaknya. “Hui Lan lain lagi. Ia tentu telah menguasai semua ilmu ayah
ibunya yang sangat tinggi. Lagi pula, kalau sampai ada yang tahu bahwa kalian
berdua adalah anakku, tentu banyak orang sesat yang berusaha untuk menawan
kalian, untuk dijadikan sandera. Kalian harus tahu bahwa banyak sekali orang
yang memusuhi aku, terutama yang hendak melakukan pemberontakan. Tidak, kalian
tidak boleh pergi kecuali jika membawa pasukan pengawal yang kuat.”
Cang Hok
Thian dan Cang Wi Mei bersungut-sungut, dan melihat ini Hui Lan menghibur.
“Kakak Cang Hok Thian dan enci Cang Wi Mei, dari sini aku tidak akan langsung
pulang ke Cin-ling-pai. Aku hendak berkunjung ke rumah paman Pek Han Siong di
Tung-ciu. Dan aku masih hendak merantau entah ke mana sebelum kembali ke
Cin-ling-pai. Sebaiknya kalau kalian menurut kata orang tuamu, karena aku yang
merasa tidak enak sekali kalau kalian ikut aku lalu terjadi sesuatu atas diri
kalian berdua.”
Selama tiga
hari Hui Lan tinggal di istana menteri Cang. Selama itu pergaulannya dengan
kedua orang putera-puteri menteri itu menjadi semakin akrab. Mereka bahkan
latihan silat bersama dan dalam kesempatan ini Hok Thian dan Wi Mei mendapat
petunjuk yang amat berharga dari Hui Lan. Tingkat kepandaian Hui Lan memang
jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka.
Kelebihan
ini membuat Hok Thian merasa rendah diri. Sebenarnya, di dalam hatinya Hok
Thian kagum dan jatuh cinta kepada Hui Lan. Akan tetapi rasa rendah diri karena
Hui Lan jauh lebih tangguh darinya membuat dia menekan rasa cintanya dan
menganggap dirinya tidak patut untuk menjadi pasangan Hui Lan.
Sesudah tiga
hari Hui Lan lalu berpamit dari keluarga Menteri Cang itu untuk melanjutkan
perjalanannya menuju Tung-ciu, tempat tinggal Pek Han Siong dan keluarganya.
***************
Seorang
pemuda menunggang kudanya yang berbulu putih menuruni sebuah lereng bukit. Kuda
itu besar dan bagus sekali, terlihat kuat dan gagah. Penunggangnya juga gagah
dan tampan, duduk dengan tegak di atas kudanya yang dibiarkan mencongklang
seenaknya. Dia tidak kelihatan tergesa-gesa, melainkan menoleh ke kanan kiri
menikmati keindahan pemandangan dari lereng bukit itu.
Pemuda itu
berpakaian serba indah seperti seorang kongcu yang kaya raya, berpakaian
seperti seorang terpelajar. Melihat rambutnya yang licin dan rapi, serta
pakaiannya yang mewah dan sepatunya yang masih baru, ada kesan pesolek pada
diri pemuda ini.
Pemuda ini
mengenakan sebuah topi yang bagus untuk melindungi kepalanya dari sinar
matahari. Pada punggungnya terdapat sebatang pedang sehingga dia nampak gagah
dan tampan. Wajahnya bundar, matanya lebar, hidungnya mancung dan pada bibirnya
selalu tersungging senyuman mengejek sehingga dia nampak tinggi hati.
Ketika tiba
di luar sebuah hutan di bawah lereng, dia menghentikan kudanya dan menoleh ke
kiri. Dari hutan itu muncul sepuluh orang yang segera memberi hormat kepada
pemuda itu. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan kasar dan bertubuh tegap.
“Selamat
siang, kongcu!” kata yang menjadi pemimpin sepuluh orang itu.
“Ada berita
apa? Kenapa kalian menemui aku? Sudah kukatakan agar jangan sekali-kali bertemu
denganku di tempat umum.”
“Maaf,
kongcu. Di sini aman, sepi tak ada orang lain. Kami hanya ingin melaporkan
bahwa di depan sana ada serombongan orang wanita memikul sebuah joli. Kami
telah mengintai dan ketika joli tersingkap kami melihat bahwa di dalam joli itu
duduk seorang gadis yang kecantikannya seperti seorang puteri raja. Mungkin
kongcu akan tertarik, karena itu kami sengaja menghadang kongcu di sini.”
“Hemm, siapa
gadis itu?”
“Kami tidak
tahu, kongcu. Para pengawalnya juga rata-rata wanita cantik.”
“Baik,
hendak kulihat orang macam apa adanya gadis itu! Nanti kalian boleh muncul dan
mengganggunya sebagai perampok biasa. Tapi begitu aku muncul kalian harus
melarikan diri ketakutan.”
“Baik,
kongcu. Kami mengerti apa yang kongcu maksudkan!” kata pemimpin rombongan itu
dan mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam hutan.
Pemuda
tampan itu lantas melanjutkan jalan kudanya, terus ke depan dengan santai dan
seenaknya. Dari tempat yang agak tinggi dia memandang ke depan dan benar saja.
Dia melihat empat orang wanita muda memikul sebuah joli berwarna hijau dan ada
dua orang gadis lain yang berjalan di belakang joli itu.
Dari cara
mereka berjalan dapat diduga bahwa para wanita itu bukan orang sembarangan.
Langkah mereka sangat ringan dan tegap. Joli itu nampak ringan sekali bagi
mereka. Dan di punggung enam orang wanita itu nampak gagang sebatang pedang.
Pemuda itu tertarik sekali dan menonton dari tempat tinggi itu.
Tidak lama
kemudian muncullah sepuluh orang anak buahnya yang tadi menghadangnya. Sepuluh
orang itu cengar-cengir menghadang rombongan wanita itu, lantas pemimpinnya
mengangkat tangannya ke atas tanda bahwa rombongan pemikul joli itu harus
berhenti.
Dua orang
wanita yang tadinya berjalan di belakang joli, kini sudah berpindah ke depan.
Para pemikul joli segera berhenti melangkah akan tetapi tidak menurunkan joli.
Dua orang gadis pengawal itu memandang dengan alis mata berkerut, dan seorang
di antara mereka bertanya dengan suara bernada ketus,
“Mau apa
kalian menghadang perjalanan kami?”
Pemimpin
rombongan orang laki-laki itu, yang bertubuh tinggi besar, tertawa dan
teman-temannya juga tertawa cengar-cengir dengan sikap kurang ajar sekali.
“Ha-ha-ha,
masih hendak bertanya lagi? Kami tidak minta banyak, hanya lepaskan semua
perhiasan dan pakaian kalian, berikan kepada kami termasuk nona yang berada di
dalam joli, lantas kalian bertujuh ikut dengan kami bersenang-senang!”
Kata-kata itu sudah jelas sekali.
Yang berada
di dalam joli itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin. Seperti kita ketahui, dia
ditingggalkan oleh Si Kong dan gadis yang keras hati itu nekat hendak pergi ke
Kwi-liong-san untuk mencari dan menyusul Si Kong yang dia tahu tentu akan pergi
ke sana pula. Dari dalam jolinya Cu Yin bisa mengintai keluar, maka dia tahu
bahwa ada segerombolan perampok hendak mengganggu.
“Turunkan
joli!” perintahnya dan empat orang pemikul lalu menurunkan joli.
Sepuluh
orang lelaki itu tertawa-tawa gembira. Mereka mengira bahwa rombongan wanita
ini tentu akan menyerah kepada mereka karena merasa ketakutan.
Karena nona
mereka minta agar joli diturunkan, hal itu berarti bahwa nona mereka akan
menghadapi sendiri sepuluh orang itu. Enam orang wanita pengawal itu segera
berdiri di kanan kiri joli, masing-masing tiga orang dan mereka telah siap
siaga untuk berkelahi apa bila nona mereka memerintahkan.
Cu Yin
membuka penutup joli dan semua orang laki-laki yang berdiri di situ
mengeluarkan seruan kagum. Gadis di dalam joli itu cantik jelita bukan main.
Akan tetapi tanpa berkata apa-apa Cu Yin sudah menggerakkan kedua tangannya,
lalu meluncurlah empat batang anak panah ke arah rombongan sepuluh orang
laki-laki itu. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan empat orang di antara
mereka lantas terjungkal, kemudian sekarat dan akhirnya tewas semua!
Melihat hal
ini enam orang lainnya menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka juga marah
bukan main. Tadinya mereka hanya ingin mengganggu sambil menanti munculnya
kongcu mereka yang akan bertindak seolah-olah menolong gadis itu. Tetapi siapa
kira yang terjadi adalah sebaliknya. Empat dari mereka sudah roboh dan tewas di
tangan gadis cantik itu. Hal ini dapat terjadi karena mereka sama sekali tak
mengira akan diserang dengan panah tangan yang merupakan senjata rahasia yang
ampuh itu.
Enam orang
itu segera mencabut golok masing-masing dan menyerang maju. Akan tetapi enam
orang pengawal wanita itu sudah berloncatan ke depan dengan pedang di tangan
sehingga terjadilah perkelahian enam orang pria melawan enam orang wanita
dengan seru sekali. Terdengar bunyi senjata mereka berkerontangan kalau beradu
dan nampak bunga api berpijar.
Melihat enam
orang pengawalnya telah menandingi para perampok itu, Siangkoan Cu Yin hanya
duduk saja di dalam jolinya dan mengamati jalannya pertandingan. Dia tahu bahwa
para pembantunya tak akan kalah oleh para perampok itu, maka dia pun tidak mau
turun tangan membantu, melainkan hanya bersikap waspada dan menjaga agar jangan
sampai ada pembantunya yang terluka.
Sementara
itu pemuda tampan berkuda yang tadi menonton dari tempat yang tinggi, kini
menjadi terkejut bukan main sesudah melihat empat orang anak buahnya tewas. Dia
lalu membalapkan kudanya menuruni tempat tinggi itu menuju ke tempat
pertempuran.
Pemuda ini
bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal dari datuk timur Tung
Giam-ong (Raja Maut Timur), seorang datuk besar yang terkenal serta ditakuti di
wilayah timur, dari pantai utara sampai pantai sebelah selatan. Nama pemuda itu
adalah Tio Gin Ciong.
Sebagai
putera tunggal, tentu saja dia sudah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya
dan kini dia merupakan seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang masih
belum menikah. Tio Gin Ciong kini berada di tempat itu adalah dalam
melaksanakan tugas yang diberikan ayahnya kepadanya, yaitu mencari Pek-lui-kiam
dan turut memperebutkannya. Dia pergi membawa sepuluh orang pembantu pilihan.
Siapa menduga bahwa empat dari sepuluh orang pembantunya mati konyol di tangan
seorang gadis yang duduk di dalam joli!
Dengan muka
merah karena marah Gin Ciong membalapkan kudanya dan sebentar saja dia sudah
sampai di tempat perkelahian. Dia meloncat turun dari atas kudanya, kemudian
berjongkok memeriksa salah seorang di antara empat orang pembantunya. Dari atas
tadi dia hanya melihat empat orang pembantunya roboh, akan tetapi dia tidak
bisa melihat apa yang menyebabkan mereka jatuh dan mengapa mereka tidak dapat
bangkit kembali.
Kini dia
tahu bahwa empat orang pembantunya itu telah tewas dengan bagian tubuh yang
tertancap anak panah kecil itu berwarna hitam. Anak panah beracun, pikirnya dan
dia pun mencabut anak panah itu untuk memeriksanya. Dia semakin terkejut ketika
melihat ukiran dua huruf Lam Tok pada gagang anak panah.
Lam Tok
adalah seorang datuk besar yang berkuasa di selatan! Racun Selatan itu sama
kedudukannya dengan ayahnya yang berjuluk Raja Maut Timur! Keduanya adalah
datuk besar yang ditakuti dan disegani. Dia bangkit berdiri sambil memegang
anak panah itu.
“Berhenti
berkelahi! Kalian semua mundur!” teriakan dan suara pemuda ini berpengaruh dan
berwibawa sekali.
Mendengar
teriakan ini, enam orang anak buahnya segera berloncatan ke belakang dan enam
orang wanita itu juga berlompatan ke dekat joli di mana nona mereka masih duduk
dengan tenang. Kini Gin Ciong melangkah maju hingga berhadapan dengan Cu Yin
yang masih enak-enak duduk di dalam jolinya yang sudah terbuka tirainya. Dua
orang itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Keduanya menjadi
kagum.
Cu Yin tidak
menyembunyikan rasa kagumnya melihat pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan
gagah sekali, dan kudanya yang putih itu juga seekor kuda pilihan. Sekarang
seorang anak buah Gin Ciong menuntun kuda itu untuk dilepas kendalinya dan
dibiarkan makan rumput di bawah pohon, mengikatkan kendali pada pohon itu.
Tio Gin
Ciong juga kagum bukan kepalang. Sungguh tepat laporan anak buahnya bahwa gadis
di dalam joli itu teramat cantik jelita seperti puteri istana. Tidak, bahkan
lebih cantik lagi. Seperti bidadari dari surga!
Sambil
mengangkat anak panah itu ke atas, Gin Ciong bertanya kepada Cu Yin, “Nona, ada
hubungan apakah antara engkau dan Lam Tok? Anak panah ini senjata rahasia Lam
Tok, mengapa engkau pergunakan?”
Cu Yin
merasa bangga bahwa anak panah itu dikenal di mana-mana. Hal ini menandakan
bahwa nama besar ayahnya sudah terkenal di semua penjuru.
“Mau tahu
apa hubunganku dengan Lam Tok? Dia adalah ayahku! Dan siapa engkau ini? Apakah
para perampok ini adalah anak buahmu?”
Gin Ciong
semakin terkejut sesudah mendengar bahwa nona itu adalah puteri Lam Tok. Pantas
saja tindakannya demikian keras dan kejam, sekali turun tangan telah membunuh
empat orang anak buahnya!
“Kiranya
engkau adalah puteri paman Siangkoan? Dengar, nona. Antara ayahmu dengan ayahku
ada hubungan, karena keduanya adalah datuk besar di wilayah masing-masing.
Kalau ayahmu itu datuk besar selatan maka ayahku adalah datuk besar dari
timur.”
Cu Yin
terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Ia bahkan keluar dan turun dari
jolinya, kini berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Sebaliknya Gin Ciong
semakin kagum karena sesudah berdiri ternyata gadis itu bukan saja cantik
jelita, juga mempunyai bentuk tubuh yang amat menggairahkan.
“Engkau
tentu putera Tung Giam-ong?”
Gin Ciong
menjura dengan hormat sambil berkata, “Benar, nona. Namaku Tio Gin Ciong,
putera tunggal dari ayahku Tung Giam-ong. Kalau boleh aku mengetahui namamu...”
“Namaku
Siangkoan Cu Yin,” jawabnya singkat. “Apakah sepuluh orang ini adalah anak buah
Pulau Beruang?”
“Dugaanmu
benar, nona. Sepuluh orang ini adalah para pembantuku. Akan tetapi empat orang
dari mereka telah kau bunuh!” Gin Ciong menekan kata terakhir itu sebagai
protes.
“Tentu saja
mereka kubunuh, sebab mereka mengaku perampok dan mengeluarkan kata-kata kurang
ajar kepadaku! Sepatutnya mereka itu kubunuh semua!”
Gin Ciong
mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Mereka kurang ajar? Bagaimana kata-kata
yang mereka ucapkan?”
“Mereka
bukan saja minta semua perhiasan dan pakaian kami, bahkan hendak menawan kami
untuk dipermainkan. Bukankah mereka itu layak sekali dibunuh?”
Kini Gin
Ciong menghadapi keenam orang anak buahnya. “Benarkah apa yang dikatakan nona
ini? Kalian berani kurang ajar?”
Seorang di
antara enam orang itu lalu menjawab, “Tidak, kongcu, kami hanya menggertak
mereka, tidak mengeluarkan ucapan kurang ajar.”
“Jahanam!”
Gin Ciong membentak dan sekali tangan kirinya yang memegang anak panah itu
bergerak, anak panah itu segera meluncur ke depan kemudian menancap di dada
anak buahnya yang menjawab tadi. Orang ini hanya mengeluh satu kali lantas
jatuh terlentang dengan mata mendelik dan tewas tak lama kemudian.
“Hayo, siapa
lagi yang tidak mau mengakui kesalahannya?!” pemuda itu membentak.
Lima orang
anak buahnya cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Gin Ciong, “Kami
bersalah, kami siap menerima hukuman!” Ucapan ini mereka keluarkan secara
serentak. Gin Ciong tersenyum mengejek.
“Bagus!
Kalian telah mengaku salah, maka kuampunkan untuk sekali ini. Hayo minta maaf
kepada Siangkoan Siocia!”
Lima orang
itu berlutut menghadap Cu Yin, lantas berkata serentak, “Siocia, kami berlima
mohon ampun atas kesalahan kami.”
Cu Yin
tersenyum kemudian melambaikan tangan. “Sudahlah, lima orang dari kalian telah
dihukum mati, aku sudah puas!”
“Terima
kasih, siocia. Terima kasih, kongcu!” Lima orang itu kemudian bangkit berdiri
dan berjalan mundur mengambil jarak cukup jauh sambil menanti perintah
selanjutnya.
Cu Yin
memerintahkan pembantunya untuk mengambil kembali anak panahnya dari tubuh
kelima mayat itu. Seorang di antara enam orang pembantunya dengan cekatan
kemudian mencabuti anak-anak panah itu, lalu dengan selembar kain
membersihkannya dari darah dan menyimpannya.
Gin Ciong
juga memerintahkan anak buahnya untuk mengubur jenazah lima orang anak buahnya
di dalam hutan. Lima orang anak buahnya lalu mengangkat kelima mayat itu dan
membawanya ke dalam hutan untuk dikuburkan.
Setelah
kelima orang anak buahnya pergi, Gin Ciong merasa lebih bebas untuk berbicara
dengan gadis itu. “Nona Siangkoan, kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak
nona lakukan maka nona berada di sini? Ke manakah nona hendak pergi dan dari
mana nona datang?”
Cu Yin
tersenyum. Pemuda ini amat tampan dan putera seorang datuk besar, akan tetapi
selain sederhana juga sikapnya begitu hormat dan sopan sehingga hatinya
tertarik. Tetapi tentu saja dia tidak mungkin menceritakan apa yang hendak
dicarinya kepada sembarang orang yang baru saja dikenalnya.
“Tio-kongcu,
secara kebetulan kita berjumpa di sini, dan karena ulah anak buahmu maka kita
dapat saling berkenalan. Sudah sewajarnya kalau orang-orang yang baru
berkenalan saling menceritakan keadaan dirinya, maka kuharap engkau suka lebih
dulu menceritakan apa yang sedang kau lakukan di tempat sunyi ini.”
Gin Ciong
tertawa ketika mendengar betapa pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula.
“Baiklah, nona. Memang sudah sepatutnya kalau aku yang menceritakan keadaanku
lebih dulu. Ketahuilah, nona Siangkoan, aku meninggalkan Pulau Beruang untuk
mencari pedang Pek-lui-kiam. Ayahku yang menyuruhku, dengan maksud agar di
dalam mencari pedang pusaka itu aku memperoleh pengalaman dan dapat bertemu
dengan tokoh-tokoh kangouw.”
Diam-diam Cu
Yin merasa geli. Keadaan pemuda ini tak ada bedanya dengan dia sendiri. Dia pun
hendak mencari pedang pusaka itu, seperti yang diperintahkan ayahnya!
“Hi-hi-hik,”
Cu Yin tertawa geli tanpa menutupi mulutnya seperti kebiasaan para gadis apa
bila tertawa. Puteri Lam To ini tertawa dengan wajar dan bebas, tidak menutupi
mulutnya sehingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih mengkilap.
“Kalau begitu kita ini saling berhadapan sebagai saingan karena aku pun
meninggalkan tepi sungai Hun-kiang memenuhi perintah ayah untuk mencari dan
merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam!”
Mula-mula
Gin Ciong terkejut mendengar ini, akan tetapi sesudah berpikr sejenak dia pun
lalu tertawa gembira. “Baik sekali kalau begitu! Kita sama sekali tidak saling
berhadapan sebagai saingan. Kita adalah orang-orang segolongan. Ayahmu datuk
selatan dan ayahku datuk timur. Kebetulan sekali kalau begitu. Kita tidak perlu
bersaing, bahkan dapat saling membantu untuk memperoleh Pek-lui-kiam. Kalau
begitu lebih baik kita bekerja sama saja sehingga akan lebih mudah menguasai Pek-lui-kiam!”
“Ahh, mana
bisa diatur begitu? Pedang itu hanya satu batang saja, bukan dua atau lebih
sehingga dapat dibagi-bagi!”
“Tentu saja
tidak dibagi, nona. Kalau kita dapat memperoleh pedang pusaka itu, aku akan
mengalah dan memberikannya kepadamu. Apa bedanya pedang itu menjadi milikku
atau milikmu? Kita satu golongan, dan aku tentu akan mengalah terhadapmu.”
“Sesungguhnyakah?
Kalau begitu, engkau akan membantu merampas pedang itu?”
Gin Ciong
mengangguk. “Boleh kau anggap begitu. Tetapi aku belum tahu harus mencari ke
mana.”
“Aku tahu di
mana adanya pedang itu!” kata Cu Yin yang tiba-tiba saja teringat kepada Si
Kong, pemuda yang dicintainya namun tidak menanggapinya bahkan meninggalkannya.
Wajah Gin
Ciong berseri gembira, “Ahh, itu bagus sekali, nona. Kalau begitu marilah kita
melakukan perjalanan bersama untuk merampas pedang itu!”
“Nanti dulu,
Tio-kongcu ( tuan mudaTio)...”
“Aihh, nona,
setelah kita menjadi sahabat, jangan panggil aku kongcu lagi.”
“Habis, aku
harus menyebut bagaimana? Engkau sendiri menyebutku nona.”
“Baiklah,
mulai saat ini kita jangan menggunakan sebutan tuan muda dan nona lagi. Aku
lebih tua darimu, maka akan kusebut engkau Yin-moi (adik Yin) dan engkau
menyebutku Ciong-ko (kakak Ciong), bagaimana pendapatmu? Setujukah engkau,
Yin-moi?”
“Baik,
Ciong-ko. Dengan sebutan ini kita menjadi lebih akrab dan tidak merasa asing.”
“Yin-moi,
dengan ilmu kepandaian kita berdua, kita akan sanggup menghadapi siapa pun
juga. Oleh karena itu kukira tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk ditemani
pelayan atau pengawal. Lebih baik kita menyuruh mereka pulang dan kita beli
seekor kuda untukmu.”
Cu Yin mengangguk.
“Aku setuju,” katanya, lantas dia pun menggapai enam orang wanita yang menjadi
pengawalnya dan meyuruh mereka membelikan seekor kuda untuknya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment