Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 09
DIAM-DIAM Si
Kong merasa kagum namun kecewa. Kagum karena pemuda pengemis itu dapat
menyerang dengan tepat sekali mengenai dua orang yang hanya nampak bayangan
mereka dengan samar-samar saja, akan tetapi kecewa karena menganggap Siangkoan
Ji terlalu terburu nafsu. Sebetulnya dia ingin membekuk dua orang itu yang dari
percakapan mereka jelas bukan merupakan orang baik-baik.
“Sudahlah,
sekarang mereka sudah pergi. Tidurlah lagi, Siangkoan Ji, malam sudah larut dan
hawanya dingin sekali. Biar kubesarkan api unggun ini.”
“Tadi aku
sudah tidur, sekarang tidak mengantuk lagi. Kau saja yang tidur, Kong-ko, biar
aku yang menjaga api unggun.”
“Baiklah,
aku hendak tidur sebentar, Ji-te.”
Setelah
berkata demikian Si Kong lalu merebahkan diri di sudut di mana tadi Siangkoan
Ji tidur. Aneh sekali! Begitu dia merebahkan diri, hidungnya mencium bau yang
harum. Dia tidak tahu mengapa tempat itu berbau harum dan dia pun tidak ingin
menyelidiki karena matanya sudah mengantuk. Sebentar saja Si Kong sudah tidur
pulas.
Begitu dia
membuka matanya, Si Kong menjadi silau. Langit yang kelihatan dari bawah,
melalui atap yang berlubang, nampak sudah terang. Kiranya semenjak tadi
matahari telah menampakkan diri di langit timur. Dia memandang ke kanan kiri,
lantas dia bangkit duduk ketika melihat Siangkoan Ji sedang membakar sesuatu di
atas api unggun. Dia mencium bau sedap daging ayam dibakar.
“Ji-te,
apakah yang sedang kau panggang itu?” tanyanya kepada pemuda pengemis yang
berjongkok membelakanginya. Siangkoan Ji menoleh dan berkata dengan senyum
cerah.
“Bangunlah
dan mandilah dulu, Kong-ko. Tuh, di situ terdapat sumber air yang jernih. Aku
sedang memanggang daging ayam untuk sarapan kita nanti.”
“Ayam? Dari
mana engkau memperoleh ayam?” tanyanya heran.
“Aihh,
sudahlah. Ditanggung halal, bukan mencuri. Nah, mandilah dulu, nanti
kuceritakan sambil sarapan.”
Si Kong
tersenyum. Temannya ini memang cerdik sekali, sepagi itu sudah mendapatkan
seekor ayam untuk dipanggang dagingnya. Dia lalu bangkit berdiri dan menuju ke
sumber air yang ditunjukkan Siangkoan Ji tadi. Benar saja, di balik batu-batu
padas terdapat air yang mengucur dari batu, dan air itu jernih sekali.
Si Kong
membersihkan dirinya, lalu kembali ke kuil tua. Daging ayam itu sudah matang
dan kini Siangkoan Ji sedang memasak air, lalu dia membuat air teh yang
dituangkan ke dalam dua buah mangkuk. Si Kong terheran-heran. Pengemis muda itu
ternyata memiliki banyak macam barang yang berguna dalam buntalan pakaiannya.
Ada teh, dan ada pula mangkuk-mangkuk.
Sesudah teh
itu mendidih dan menuangkan dalam mangkuk, Siangkoan Ji berkata, “Nah, kini
kita dapat sarapan pagi. Hayo silakan, Kong-ko. Kita makan selagi panggang ayam
ini masih panas.”
Si Kong juga
duduk di dekat api unggun. Pagi itu hawanya sangat dingin. Dia menerima paha
ayam yang diserahkan Siangkoan Ji kepadanya. Ketika dia menggigit paha ayam
itu, kembali dia tertegun dan kagum. Dia sendiri pernah memanggang daging ayam,
akan tetapi rasanya hambar karena tidak dibumbui, namun panggang daging ayam
yang dibuat Siangkoan Ji ini lezat bukan main. Sedap dan gurih. Tentu pemuda
itu membawa-bawa bumbu pula di dalam buntalan pakaiannya!
“Nah,
sekarang ceritakanlah kepadaku dari mana engkau memperoleh ayam ini. Aku tahu
bahwa ayam itu bukan ayam hutan. Aku pernah memanggang ayam hutan akan tetapi
dagingnya liat, tidak lunak seperti ini. Ini tentu ayam peliharaan orang.”
Siangkoan Ji
tersenyum. “Jangan khawatir, ayam ini seratus prosen halal. Pagi-pagi sekali
tadi aku pergi ke perkampungan di bawah sana dan bisa membeli seekor ayam dari
orang kampung.”
“Tidak
mencuri?” Si Kong memandang penuh selidik dan keraguan.
Siangkoan Ji
tertawa. “Hemm, engkau tidak percaya ya? Kau sangka aku ini maling kecil yang
suka mencuri milik orang dusun yang miskin? Aku hanya mencuri harta milik orang
kaya yang berwatak kikir, bahkan membagi-bagikan hasilnya kepada orang-orang
dusun yang miskin. Bagaimana aku tega mencuri dari mereka?”
Si Kong
menggigit daging ayam panggang itu, kini terasa lebih lezat dan dia
mengangguk-angguk. “Aku percaya padamu, dan keteranganmu itu sungguh
menyenangkan hatiku.”
Siangkoan Ji
mengambil sebuah kantung kecil dari buntalan pakaiannya, lantas membuka kantung
itu dan memperlihatkan kepada Si Kong. “Nah, kau lihatlah. Aku dapat membeli
seratus ekor ayam kalau kau mau, mengapa mesti mencuri?”
Si Kong
mengangguk dan tersenyum. “Maafkanlah aku, Ji-te. Wah, bukan saja panggang ayam
ini yang lezat, bahkan air teh ini sedap dan harum sekali.”
“Kong-ko,”
kata Siangkoan Ji sambil menyimpan kembali kantung kecil berisi uang serta emas
itu, “kalau malam tadi aku tahu, tentu aku sudah membunuh dua orang itu.”
“Ehh,
kenapa?”
“Ketika aku
turun dari bukit ini untuk pergi ke dusun terdekat, di tengah jalan aku melihat
banyak orang membuat perkemahan di lereng bukit. Setelah aku melihat bendera
mereka, aku terkejut karena tahu bahwa mereka adalah orang-orang Kwi-jiauw-pang
yang terkenal jahat.”
“Kwi-jiauw-pang
(Perkumpulan Cakar Setan)? Perkumpulan macam apa itu?”
“Aku sendiri
pun hanya mendengar dari cerita orang saja. Kwi-jiauw-pang berpusat di
Kwi-liong-san (Gunung Naga Siluman) dan kabarnya orang-orang perkumpulan sesat
itu telah merajalela di daerah mereka. Semua pencuri dan perampok harus membagi
hasil mereka kepada Kwi-jiauw-pang. Jika ada yang melanggar tentu akan dibunuh
secara mengerikan. Tubuh mereka akan dicabik-cabik dengan cakar setan, yaitu
senjata mereka yang ampuh dan dipasang pada kedua tangan mereka.”
“Ihh,
kejamnya!” seru Si Kong.
“Ha-ha,
engkau tidak tahu bahwa di dunia ini banyak orang yang bahkan lebih kejam dari
mereka. Mudah-mudahan nanti kita akan bisa melihat orang-orang yang kau sebut
kejam itu.”
“Akan tetapi
apa maksud Kwi-jiauw-pang berada di bukit ini?”
“Aku sendiri
juga tidak tahu, Kong-ko. Kabar yang kudapatkan hanya mengatakan bahwa hari ini
akan ada pertemuan dari tokoh-tokoh sesat untuk memperebutkan Pek-lui-kiam,
pedang pusaka yang menghebohkan dunia kang-ouw itu.”
Si Kong
telah tahu dari Tan Kiok Nio bahwa pedang yang disebut-sebut itu tadinya adalah
milik ayah gadis itu yang telah dibunuh oleh seorang kakek berpakaian merah.
Bahkan dia telah berjanji kepada gadis itu untuk mencari tahu tentang kakek
berpakaian merah. Tapi untuk mengetahui lebih jelas tentang Pek-lui-kiam yang
menurut Kiok Nio sudah dirampas pembunuh ayahnya itu, dia berpura-pura tidak
tahu dan bertanya.
“Apa sih
pedang Pek-lui-kiam itu dan mengapa pula diperebutkan orang?”
Pengemis
muda itu membelalakkan matanya yang bersinar tajam. “Engkau belum pernah
mendengar tentang Pek-lui-kiam yang menghebohkan dunia persilatan itu, Kong-ko?
Aih, pengalamanmu tentang dunia kang-ouw sungguh masih dangkal sekali."
“Memang aku
seorang bodoh yang kurang pengalaman, Ji-te,” kata Si Kong sederhana.
“Kiranya
engkau begitu rendah hati. Baiklah kuberi tahu. Kabarnya pedang Pek-lui-kiam
itu dulunya adalah milik seorang manusia dewa yang bertapa di pegunungan
Himalaya. Lalu tersiar berita bahwa pedang pusaka itu dicuri orang. Ada yang
mengatakan bahwa pedang pusaka itu terjatuh ke tangan Tan Tiong Bu, pendekar
besar yang amat terkenal dengan ilmu pedangnya itu. Tetapi baru-baru ini
tersiar berita bahwa Tan-taihiap itu sudah tewas terbunuh orang. Karena tidak
ada yang tahu ke mana pedang pusaka itu dibawa orang dan siapa yang kini
menjadi pemiliknya, dunia kang-ouw menjadi geger dan semua orang seperti
berlomba mencarinya.”
“Heran
sekali. Apakah orang-orang itu tidak punya pekerjaan lain yang lebih penting?
Apa sih artinya pedang Pek-lui-kiam maka dijadikan rebutan orang-orang
kang-ouw?”
“Wah-wah!
Kalau pedang Pek-lui-kiam saja tidak kau kenal, sungguh keterlaluan engkau,
Kong-ko. Pedang itu merupakan pedang pusaka yang hebat, ampuh bukan main
sehingga siapa yang memilikinya tentu akan menjadi semakin lihai dan ditakuti
orang!”
Si Kong
mengangguk-angguk, kemudian tersenyum memandang wajah Siangkoan Ji dan berkata,
“Sekarang aku mengerti apa sebabnya engkau berada di tempat ini, Siangkoan Ji.
Engkau merupakan seorang di antara mereka yang ingin memiliki pedang itu!”
“Hemmm,
siapa orangnya yang tidak ingin memiliki pedang Pek-lui-kiam? Dengan pedang itu
di tanganku, aku tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun! Semua
orang akan tunduk kepadaku dan mentaati semua perintahku!”
“Wah,
agaknya engkau ini seorang yang gila kekuasaan, Ji-te!”
“Mengapa
tidak? Siapakah orangnya yang tidak gila kekuasaan? Dalam kerajaan, dalam
masyarakat, bahkan di dalam keluarga semua orang memperebutkan kekuasaan.
Apakah engkau juga tidak ingin memiliki Pek-lui-kiam kalau kesempatan untuk itu
ada?”
“Setelah
mendengarkan keteranganmu, aku pun ingin sekali melihat seperti apa pedang
pusaka itu.”
“Akan tetapi
sayang sekali, Kong-ko. Orang yang memiliki pedang itu haruslah seorang yang
tinggi ilmu silatnya, karena kalau tidak, tentu pedang itu tidak ada gunanya
baginya dan mudah dirampas orang lain yang lebih tinggi kepandaiannya.”
“Ya, sayang
sekali aku tidak memiliki kepandaian seperti engkau, Ji-te.”
“Sudahlah,
engkau ingin melihat keramaian atau tidak? Kalau engkau takut, tinggallah di
sini saja. Di sini engkau aman, akan tetapi kalau engkau ikut aku, mungkin saja
engkau akan terancam bahaya karena yang akan mengadakan pertandingan adalah
orang-orang yang berilmu tinggi.”
“Ada engkau
di dekatku, takut apa?” Si Kong tertawa. “Tentunya engkau tak akan tinggal diam
saja kalau ada orang jahat mengancam aku, bukan?”
“Tentu saja!
Ahhh, sudahlah, mari kita berangkat,” Siangkoan Ji menggendong buntalan
pakaiannya.
Si Kong juga
mengikatkan buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambunya dan memikul tongkat
bambu itu. Diam-diam dia merasa kagum kepada sahabat barunya. Masih begitu muda
akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki keberanian yang luar
biasa pula. Sesudah memadamkan api unggun, mereka pun berangkat, keluar dari
kuil itu dan mendaki ke arah puncak bukit.
Ketika
mereka tiba di lereng di mana pagi tadi Siangkoan Ji melihat serombongan orang
Kwi-jiauw-pang, ternyata tempat itu sekarang telah kosong karena pagi-pagi
sekali orang-orang yang tadinya berada di situ sudah meninggalkan tempat itu.
Mereka hanya melihat bekas api-api unggun yang besar, banyak tulang binatang
berserakan dan bau arak masih dapat tercium ketika Si Kong dan Siangkoan Ji
tiba di situ.
Siangkoan Ji
memperhatikan jejak mereka, lantas berkata, “Mereka sudah mendaki bukit. Itu
jejak mereka. Sebaiknya kita mengambil jalan lain agar tidak bertemu dengan
mereka. Nanti kita mencari tempat yang enak untuk bersembunyi lalu mengintai
apa yang terjadi di puncak.”
Si Kong
menurut saja karena pemuda remaja itu agaknya sudah mengenal benar daerah ini.
Mereka masuk keluar hutan, menyusup di antara semak-semak belukar dan ilalang
yang tinggi sampai ke pundak mereka, dan akhirnya mereka tiba di puncak.
Siangkoan Ji
mengajak Si Kong bersembunyi di balik semak belukar, lantas mengintai ke arah
puncak yang merupakan padang rumput yang luas. Mereka sudah melihat belasan
orang berkumpul di tengah lapangan itu, ada yang berdiri dan ada yang duduk.
Sebuah tiang bendera berdiri di situ dengan benderanya yang berkibar ditiup
angin pagi.
Dari tempat
mereka berdua mengintai dapat terlihat bahwa bendera itu bergambar sebuah
tangan yang merupakan cakar yang kukunya tajam melengkung dan mengerikan. Tanpa
penjelasan lagi Si Kong mengerti bahwa orang-orang yang jumlahnya lima belas
itu tentu orang-orang Kwi-jiauw-pang seperti yang diberitakan Siangkoan Ji
tadi.
Akan tetapi
jantung di dalam dada Si Kong segera berdebar kencang ketika melihat salah
seorang di antara mereka yang pakaiannya berbeda dengan yang lain. Kalau
orang-orang lain berpakaian serba hitam dengan sabuk merah, maka orang yang
satu ini berpakaian serba merah! Teringat akan pesan Kiok Nio, Si Kong segera
memandang dengan penuh perhatian.
Orang berjubah
merah itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Mukanya kepucatan seperti
orang sakit, tubuhnya tinggi kurus namun kelihatan kokoh. Dia memegang sebuah
kipas di tangan kirinya dan sedang menggerak-gerakkan kipas seperti orang
kepanasan. Padahal pagi itu hawanya cukup dingin.
Si Kong
berpikir bahwa nampaknya tidak salah lagi, kakek inilah yang dicari oleh Tan
Kiok Nio. Kakek inilah yang telah membunuh orang tua Kiok Nio lantas merampas
pedang dari tangan ayahnya. Dan orang itu agaknya menjadi pemimpin orang-orang
Kwi-jiauw-pang!
“Ji-te,
apakah kakek berjubah merah itu adalah ketua Kwi-jiauw-pang?” bisiknya lirih
dekat telinga Siangkoan Ji.
Siangkoan Ji
mengangguk. “Mungkin sekali, aku sendiri belum pernah melihatnya.”
“Tahukah
engkau siapa namanya?”
“Kalau tidak
salah nama julukannya adalah Ang I Sianjin, karena pakaiannya selalu serba
merah. Kabarnya ilmu kepandaiannya benar-benar lihai dan senjatanya adalah
kipas dan pedang. Dia sendiri sudah lihai sekali, apa lagi masih membawa empat
belas orang anak buahnya. Tentu akan ramai sekali nanti,” bisik Siangkoan Ji
dekat telinga Si Kong.
Mereka
berjongkok berdekatan di balik semak belukar. Mendadak Si Kong mengerutkan
alisnya. Berjongkok berdekatan dengan Siangkoan Ji, dia mencium aroma harum
seperti ketika dia tidur di dalam kuil. Tahulah dia bahwa yang berbau harum
adalah Siangkoan Ji! Mengapa seorang laki-laki, pengemis pula, memakai
wangi-wangian?
Akan tetapi
perhatiannya kemudian beralih setelah pundaknya ditepuk oleh Siangkoan Ji.
“Lihat itu...!”
Si Kong
melihat lima orang yang baru muncul hingga jantungnya kembali berdebar penuh
ketegangan. Dia mengenal baik lima orang itu. Mereka bukan lain adalah Bu-tek
Ngo-sian yang dulu datang bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok Ceng Lojin. Walau
pun mereka semua dikalahkan Ceng Lojin, namun gurunya yang sudah tua renta itu
pun terluka hebat di dalam tubuhnya sehingga mengakibatkan kematiannya. Dan
sekarang Bu-tek Ngo-sian berada di tempat itu pula!
Agaknya
kakek berjubah merah itu sudah mengenal Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa
Tanding) itu. Dia melangkah maju, menutup kipasnya kemudian memberi hormat.
“Kiranya
Bu-tek Ngo-sian juga ikut datang! Selamat datang, Ngo-sian. Kuharap saja nanti
kalian tidak mengandalkan keroyokan untuk mencari kemenangan!”
Bu-tek
Ngo-sian adalah lima orang yang sudah bersumpah sebagai saudara, sungguh pun
mereka itu tidak ada hubungan keluarga satu dengan yang lain. Yang pertama atau
tertua bernama Ciok Khi, bertubuh tinggi besar dan bermuka penuh cacat bekas
cacar. Orang ke dua berusia empat puluh lima tahun, lima tahun lebih muda jika
dibandingkan Ciok Khi, bernama Sia Leng Tek, bertubuh tinggi kurus dan mukanya
nampak pucat seperti orang berpenyakitan.
Orang ke
tiga bernama Cong Boan. Dia berusia empat puluh tiga tahun, tubuhnya sedang
tegap dan wajahnya penuh brewok. Orang ke empat bernama Bwa Koan Si, berusia
lebih kurang empat puluhan dan biar pun tubuhnya pendek gendut akan tetapi
kelihatan gesit. Ada pun orang ke lima bernama Bhe Song Ci, berusia kurang dari
empat puluh tahun dan tubuhnya pendek kecil seperti orang katai. Wajahnya juga
kecil dan si katai ini memiliki mata yang tajam bersinar-sinar seperti burung
rajawali.
Mendengar
ejekan Ang I Sianjin itu, Ciok Khi yang mewakili adik-adiknya berkata dengan
suaranya yang menggelegar parau, “Ang I Sianjin, engkau membawa empat belas
orang anak buah, yang khawatir menghadapi keroyokan bukan engkau, melainkan
kami!”
“Ha-ha-ha!”
tawa Ang I Sianjin. “Anak buahku ini hanya akan bergerak jika aku dikeroyok,
tapi sebaliknya hanya menjadi saksi kalau aku berhadapan dengan seorang lawan.
Kalian tidak perlu khawatir, pedang dan kipasku sudah cukup untuk mengalahkan
setiap orang yang berani menantangku!”
“Ha-ha-ha,
ucapan yang bagus sekali!” Tiba-tiba terdengar suara orang lain, lalu sesosok
bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang kakek berusia enam puluh
tahunan, memegang sebatang tongkat kepala naga.
“Wah,
Majikan Pulau Tembaga juga datang, tentu akan ramai sekali,” bisik Siangkoan
Ji. Si Kong menjawab dengan pertanyaan lirih,
“Apakah
engkau mengenal pula lima orang itu?”
“Tentu saja!
Mereka adalah Bu-tek Ngo-sian, lima orang yang sombong sekali sehingga mengaku
diri sebagai dewa yang tidak terkalahkan.”
Diam-diam Si
Kong memuji Siangkoan Ji. Pemuda ini benar-benar luas pengetahuannya tentang
dunia kangouw sehingga mengenal para tokoh itu. Kalau belum pernah bertemu
dengan orang-orang itu, dia sendiri tentu tidak akan mengenal mereka.
“Selamat
bertemu, Tung-hai Liong-ong! Agaknya engkau pun tertarik akan berita tentang
Pek-lui-kiam itu!”
“Ha, siapa
yang tak akan tertarik? Katakanlah, apakah benar berita yang kudengar bahwa
sekarang pedang pusaka itu berada padamu, Ang I Sianjin?”
“Aku tidak
menyangkal juga tidak mengaku. Ketika itu kukatakan bahwa siapa pun boleh
menyelidiki sendiri.”
“Hi-hik-hik,
ucapan yang mengandung kesombongan dan juga kelicikan!” Suara wanita ini
terdengar jelas dan sesosok bayangan berkelebat.
Ketika semua
mata memandang ternyata di situ telah berdiri seorang wanita yang berusia empat
puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik dan pakaiannya sangat mewah. Di
punggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebuah
hud-tim (kebutan).
“Kau juga
mengenal wanita itu, Ji-te?” tanya Si Kong.
“Tentu saja.
Dia disebut Ang-bi Mo-li, seorang tokoh yang lihai juga.”
Si Kong
makin kagum saja. Dia memang mengenal wanita ini ketika dia bekerja sebagai
penggembala kerbau milik Tong Li Koan, majikan Bukit Bangau. Bahkan dia pun
pernah bertanding melawan wanita itu dan dapat mengalahkannya. Ketika itu
usianya baru lima belas atau enam belas tahun. Akan tetapi dengan heran Si Kong
melihat bahwa wanita itu tidak nampak lebih tua, masih seperti dulu.
“Bagus, kini
suasana menjadi meriah!” kata Ang I Sianjin. “Ang-bi Mo-li rupanya juga ingin
menguasai pedang Pek-lui-kiam.”
“Aku tidak
perlu malu mengaku bahwa memang demikianlah, aku ingin merampas pedang pusaka
itu. Tetapi ucapanmu tadi mengandung kelicikan. Jika pedang pusaka itu memang
ada padamu, katakan saja terus terang kemudian pertahankanlah dengan
kepandaianmu. Sebaliknya kalau tidak ada padamu, siapa ingin bersusah payah
berkelahi denganmu?”
Sebelum Ang
I Sianjin menjawab, Tung-hai Liong-ong sudah melompat ke depan Ang-bi Mo-li.
“Ang-bi Mo-li, dari pada engkau maju sendirian melawan Ang I Sianjin, lebih
baik engkau menjadi isteriku dan kita bersama menandinginya. Kau lihat, Ang I
Sianjin datang bersama anak buahnya.”
Wajah Ang-bi
Mo-li menjadi merah, lantas dengan marah dia menghadapi Tung-hai Liong-ong.
Dengan kebutannya dia menuding ke arah muka kakek itu dan suaranya melengking
tinggi karena dia sudah marah sekali.
“Tung-hai
Liong-ong! Sejak dahulu engkau membujuk dan merayu aku. Sudah kukatakan bahwa
aku tidak sudi menjadi isterimu. Sekarang di depan banyak orang engkau kembali
menghinaku. Engkau pantas kuhajar!” Ia menerjang maju dan menggerakkan
kebutannya mengarah mata lawan.
Tung-hai
Liong-ong cepat mengelak, lantas menggerakkan tongkat kepala naganya yang
segera menyambar ke arah kaki wanita itu.
“Engkau
memang harus ditundukkan dengan kekerasan!” kata Tung-hai Liong-ong.
Ang-bi Mo-li
meloncat untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah kakinya itu. Sambil
meloncat dia telah mencabut pedangnya dan menyerang dengan pedang dan
kebutannya. Tetapi Tung-hai Liong-ong adalah seorang datuk yang mempunyai ilmu
kepandaian tinggi. Dia memutar tongkat kepala naga, dan kedua senjata wanita
itu tidak mampu menembus gulungan sinar tongkat itu.
Si Kong
memperhatikan dan melihat betapa ilmu pedang Ang-bi Mo-li kini telah jauh lebih
maju dari pada dulu. Akan tetapi dia pun tahu betapa lihainya Tung-hai
Liong-ong, maka pertandingan itu tentu akan berlangsung seru. Ketika melirik ke
kiri dia melihat Siangkoan Ji juga sedang menonton dengan wajah gembira dan
jarang berkedip. Dia ingin mencoba pengetahuan pemuda itu dalam ilmu silat.
“Ji-te, kau
kira siapakah yang bakal menang atau kalah dalam pertandingan itu?”
“Sebetulnya
Tung-hai Liong-ong tidak bersungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa dia hendak
mengambil Ang-bi Mo-li sebagai isterinya. Dia sengaja mengeluarkan kata-kata
itu untuk membuat Ang-bi Mo-li marah dan menyerangnya. Inilah yang
dikehendakinya, yaitu agar dia dapat menyingkirkan dulu seorang saingan dalam
memperbutkan pedang pusaka itu,” kata Siangkoan Ji dengan suara
sungguh-sungguh.
“Dan kau
pikir siapa yang akan menang?”
“Hemmm,
mudah diduga. Betapa pun lihainya kebutan dan pedang Ang-bi Mo-li, dia kalah
tenaga dan tingkat kepandaiannya masih di bawah Tung-hai Liong-ong, Mo-li pasti
kalah.”
Diam-diam Si
Kong kagum sekali. Ucapannya yang mengatakan bahwa Tung-hai Liong-ong
menggunakan siasat untuk memancing kemarahan Ang-bi Mo-li memang masuk akal,
kemudian penilaiannya tentang pertandingan itu pun tepat sekali. Sejak tadi Si
Kong telah dapat melihat bahwa Ang-bi Mo-li pasti akan kalah.
Pertandingan
itu masih berlangsung seru. Kedua pihak mengerahkan sekuruh tenaga dan
mengeluarkan segenap ilmu mereka. Akan tetapi jelas bahwa Mo-li kalah tenaga.
Setiap kali pedangnya bertemu dengan tongkat Tung-hai Liong-ong, pedang itu
selalu terpental.
Tongkat
Liong-ong menyambar ganas dan Mo-li cepat menyambut dengan kebutan tangan
kirinya. Bulu-bulu kebutan itu membelit tongkat dan pedang di tangan kanannya
menusuk dada. Sungguh pun tongkatnya sudah terbelit kebutan, akan tetapi
Liong-ong masih dapat menggerakkannya dengan tenaga besar sehingga tangan Mo-li
terbetot dan apa bila dia tidak mau melepaskan kebutan tentu dia akan tertarik.
Dia melepaskan kebutannya, tapi pedangnya meluncur terus menusuk dada.
Liong-ong menggerakkan tongkatnya.
“Tranggg...!”
Bunga api
berpercikan dan tubuh Mo-li terhuyung ke belakang. Pedangnya sudah terlepas
dari pegangan tangannya dan melayang jauh. Ujung tongkat Tung-hai Liong-ong
secepat kilat sudah menempel di dadanya.
Tung-hai
Liong-ong tersenyum menyeringai. “Bagaimana, Mo-li? Apakah penyeranganmu akan
kau teruskan?”
Wajah cantik
itu sebentar pucat sebentar merah. Dikalahkan seorang datuk besar seperti
Tung-hai Liong-ong memang wajar, akan tetapi dia dikalahkan di hadapan orang
banyak. Ini merupakan penghinaan baginya.
“Sekali ini
aku memang kalah, akan tetapi akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini!”
Setelah berkata demikian dia pun mengambil kebutan dan pedangnya, lalu lari
dengan cepat meninggalkan puncak itu.
Melihat
wanita itu kalah, Siangkoan Ji lupa bahwa dia sedang mengintai dan bersembunyi.
Dia bersorak dan berkata dengan bangga kepada Si Kong.
“Nah, benar
tidak kataku? Perempuan iblis itu pasti kalah!”
Setelah
ucapannya keluar barulah Siangkoan Ji teringat dan dia terkejut sendiri lalu
cepat berjongkok kembali, akan tetapi sudah terlambat. Ang I Sianjin tadi sudah
mendengar dan melihatnya. Dia memberi aba-aba kepada anak buahnya.
“Tangkap
pengintai itu!”
Empat belas
orang anak buahnya sudah berlari ke arah semak belukar itu. Melihat ini, Si
Kong lalu melompat keluar dan berkata,
“Kami hanya
menonton, tidak ada maksud apa-apa.”
Akan tetapi
Tung-hai Liong-ong mengenal Si Kong. Lima tahun yang lalu pada waktu dia
bertempur dengan Yok-sian Lo-kai, pemuda itu menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan
sudah mengalahkan muridnya yang bernama Ouwyang Kwi. Kemudian pada saat Ouwyang
Kwi menangkap seorang puteri Gu Kauwsu di Sin-keng, pemuda itu muncul lagi dan
dia malah telah membunuh Ouwyang Kwi. Lalu dia sendiri yang menandingi pemuda
itu, akan tetapi dia kalah! Maka dengan marah dia lalu berseru,
“Bunuh
pemuda itu! Dia pasti datang untuk merampas Pek-lui-kiam!”
Mendengar
ini, Ang I Sianjin membentak para muridnya untuk cepat menerjang Si Kong,
sedangkan Tung-hai Liong-ong sendiri telah melintangkan tongkatnya di depan
dada, siap untuk menyerang.
“Serigala-serigala
biadab!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dibarengi munculnya tiga batang
anak panah tangan dan tiga orang anak buah Ang I Sianjin roboh dan berkelojotan
lalu tewas!
Siangkoan Ji
sudah meloncat keluar dan berjaga di depan Si Kong. Kembali Siangkoan Ji
menggerakkan kedua tangannya dan ada dua batang anak panah meluncur ke arah Ang
I Sianjin dan Tung-hai Liong-ong.
Akan tetapi
dua orang datuk ini cepat menyambar panah tangan itu dengan cengkeraman
tangannya. Melihat panah tangan yang ujungnya kehijauan menghitam dan di gagangnya
tertulis dua huruf Lam-tok (Racun Selatan) itu, dua orang datuk ini terkejut
sekali.
“Apa
hubunganmu dengan Lam-tok?” Ang I Sianjin bertanya setengah membentak.
“Mau tahu
siapa aku dan apa hubunganku dengan Lam-tok? Ketahuilah bahwa aku adalah anaknya!”
“Anak
Lam-tok? Apa hubunganmu dengan pemuda itu?” Tung-hai Liong-ong menuding ke arah
Si Kong.
“Ha-ha-ha,
dia adalah sahabatku, sahabat yang baik. Karena itu siapa pun yang hendak
mengganggunya akan berhadapan dengan aku! Kalian boleh maju satu-satu
melawanku. Awas, kalau main keroyokan aku akan memberi tahu ayahku. Hendak
kulihat kalian dapat bersembunyi di mana!”
Mendengar
omongan besar ini, Ang I Sianjin dan Tung-hai Liong-ong bertukar pandang.
Bagaimana pun juga mereka berdua sudah lama mendengar nama Lam-tok serta betapa
lihai dan kejamnya datuk selatan ini. Bocah itu boleh jadi membual, namun
bagaimana kalau dia benar-benar putera Lam-tok. Anak panahnya itu pun jelas
senjata rahasia dari Lam-tok yang mengandung racun ampuh sekali. Tiga orang
anak buah Kwi-jiauw-pang langsung tewas begitu terkena panah itu!
“Aku harus
membunuh bocah itu untuk membalas kematian muridku, engkau putera Lam-tok harap
minggir dan jangan mencampuri urusan kami!” kata Tung-hai Liong-ong, nada
suaranya seperti memohon.
“Enak saja!
Dia adalah sahabat baikku, kalau engkau menyerang dia, sama saja dengan
menyerang aku.”
“Ji-te,
biarlah aku menghadapi dia, jangan engkau ikut campur.”
Siangkoan Ji
membelalakkan mata memandang kepada Si Kong. “Kong-ko, jangan main-main.
Tung-hai Liong-ong ini kejam dan lihai sekali. Bukan hanya tongkat berkepala
naga itu yang hebat, akan tetapi ilmunya Tok-ciang bahkan lebih berbahaya lagi.
Biar aku saja yang menandinginya, Kong-ko!”
“Aku tahu,
Ji-te. Dan aku tahu pula bahwa aku sanggup menandinginya. Yang ditantang adalah
aku, tidak baik kalau engkau melawannya.” Si Kong lalu meloncat ke depan kakek
itu dan berkata, “Hayo, Tung-hai Liong-ong, kita selesaikan perhitungan lama
ini.”
Tung-hai
Liong-ong marah sekali. Sejak dikalahkan oleh Si Kong dulu, dia memperdalam
ilmunya sehingga kini tongkat dan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dikuasainya
menjadi semakin lihai saja. Ia merasa yakin bahwa kali ini dia tentu akan dapat
mengalahkan dan membunuh pemuda yang dibencinya itu. Akan tetapi sebelum dia
bergerak, Siangkoan Ji sudah membentak dan memperingatkan.
“Awas, kalau
main keroyokan, terpaksa aku akan menggunakan panah beracun!”
Meski pun
sudah berkata demikian, tetap saja Siangkoan Ji merasa khawatir sekali
kalau-kalau sahabatnya tidak mampu menandingi kehebatan Tung-hai Liong-ong dan
akan roboh di tangan kakek itu. Maka diam-diam dia pun sudah menyiapkan panah
beracunnya untuk sewaktu-waktu kalau kawannya terdesak.
Sementara
itu Ang I Sianjin juga diam-diam memberi isyarat kepada anak buahnya untuk
bersiap siaga. Dia khawatir juga, karena mungkin saja pemuda dan anak Lam-tok
itu akan merampas Pek-lui-kiam yang dimilikinya. Ia hampir yakin bahwa Tung-hai
Liong-ong akan mampu mengalahkan pemuda itu. Bagaimana pun juga Si Kong hanya
seorang pemuda yang masih berusia kurang lebih dua puluh tahun, sedangkan
Tung-hai Liong-ong adalah seorang datuk yang kepandaiannya sudah terkenal di
seluruh dunia persilatan.
Tetapi tidak
demikian dengan pemikiran Tung-hai Liong-ong. Dia sama sekali tidak berani
memandang ringan pemuda yang berdiri di hadapannya itu. Si Kong sudah
melepaskan pakaiannya dari ujung tongkat bambunya dan sekarang memegang tongkat
bambunya itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
Sikapnya ini menanti serangan lawan dan nampaknya dia tenang dan santai saja.
Dia tidak memandang rendah kepandaian lawannya, akan tetapi merasa yakin bahwa
dia akan dapat mengalahkannya.
“Mari,
Tung-hai Liong-ong, aku sudah siap menghadapi tongkat nagamu dan pukulan
Tok-ciangmu yang selalu kau pergunakan untuk perbuatan jahat.”
“Bocah
lancang dan sombong. Bersiaplah untuk mati di tanganku!” kata Tung-hai
Liong-ong dan dia pun telah memutar tongkat naganya dan menyerang dengan
dahsyat. Begitu menyerang, Tung-hai Liong-ong sudah menggunakan jurus maut dan
mengisi serangan itu dengan seluruh tenaganya.
Si Kong
melihat ini dan ia pun tahu bahwa lawannya amat bernafsu untuk membunuhnya,
maka ia pun tidak memandang ringan. Ketika tongkat menyambar menusuk dadanya,
dia menggeser kaki ke kanan sehingga tusukkan tongkat itu tidak mengenai
sasaran. Akan tetapi begitu luput menusuk, dengan gerakan memutar tongkat itu
segera membalik dan sekarang menghantam ke arah kepala Si Kong.
“Tunggg...!”
Ujung
tongkat yang runcing dan terbuat dari baja itu mengeluarkan bunyi berdengung
saat ditangkis tongkat bambu yang dipegang oleh Si Kong. Walau pun hanya
tongkat bambu, akan tetapi ternyata tongkat kepala naga itu terpental ketika
bertemu. Tung-hai Liong-ong terkejut. Pertemuan pertama tongkatnya dengan
tongkat bambu itu sudah membuktikan betapa kuatnya pemuda yang menjadi musuh
besarnya karena telah membunuh muridnya itu.
“Heiiiiittttt…!”
Dia mengeluarkan suara nyaring.
Kini
tongkatnya menyambar-nyambar, diselingi pukulan tangan kirinya yang mengandung
hawa beracun. Kalau mengenai tubuh lawan maka tamparan tangan kiri itu seketika
akan membunuhnya dengan tubuh hangus. Begitu hebatnya ilmu Tok-ciang yang telah
dikuasai sepenuhnya oleh Tung-hai Liong-ong.
Akan tetapi
Si Kong sudah tahu benar mengenai hal ini. Maka dengan kelincahan seekor burung
walet dia dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke samping dan dari situ dia
menotok tubuh lawan pada bagian lambung.
“Tunggg...!”
Kembali
tongkat naga beradu dengan tongkat bambu saat Tung-hai Liong-ong menangkis
totokan itu. Dan sekali lagi datuk itu merasa betapa tangannya yang memegang
tongkat tergetar hebat. Dia terkejut sekali melihat kenyataan bahwa di dalam
hal tenaga sakti, dia masih kalah oleh pemuda itu.
Pertempuran
dilanjutkan dengan lebih seru lagi. Tung-hai Liong-ong mengerahkan seluruh
tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya. Bagi dia sekali ini merupakan
pertandingan mempertahankan nama dan kehormatan, juga pembalasan dendam
kematian muridnya.
Namun ke
mana pun dia menyerang selalu dapat dielakkan atau ditangkis tongkat bambu.
Dengan gerakan tenang tetapi waspada dan cepat sekali Si Kong menghindarkan
semua serangan, bahkan setiap kali terbuka kesempatan dia segera membalas
serangan lawan. Beberapa kali dia membuat Tung-hai Liong-ong terhuyung bingung
karena Ilmu Tongkat Ta-kaw Sin-tung merupakan sumber semua ilmu tongkat.
Siangkoan Ji
memandang dengan dua mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia menjadi bengong.
Seujung rambut pun dia tak pernah menduga bahwa kawannya itu mempunyai
kepandaian demikian tingginya sehingga mampu menandingi bahkan mendesak seorang
datuk besar seperti Tung-hai Liong-ong.
Dan dia
melihat betapa ilmu tongkat yang dimainkan Si Kong lucu dan hebat. Penampilan
tongkat itu kadang lambat dan kadang cepat sekali, seolah pemuda itu bermain
dengan sebuah kitiran angin! Hampir dia berjingkrak dan bersorak saking
kagumnya. Akan tetapi dia tetap waspada kalau-kalau kawannya itu terancam bahaya.
Ang I
Sianjin memandang dengan perasaan cemas. Dia pun bisa melihat betapa Tung-hai
Liong-ong terdesak hebat oleh tongkat bambu pemuda lawannya itu. Dia cepat
berhitung. Jika Tung-hai Liong-ong kalah, berarti dia harus menghadapi pemuda
lihai itu dan pemuda putera Lam-tok. Berbahaya sekali baginya kalau harus
menghadapi kedua orang pemuda itu. Sebaliknya jika pemuda itu kalah dan dapat
dibinasakan, dia dan Tung-hai Liong-ong akan dapat menghadapi putera Lam-tok.
Tentu saja berpihak kepada Tung-hai Liong-ong lebih menguntungkan. Diam-diam
dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya.
Melihat
isyarat ini, lima orang anak buahnya lalu mengepung Si Kong dan mereka berlima
kini sudah menyambung tangan mereka dengan sejata cakar setan. Senjata ini tak
boleh dipandang ringan karena sekali lawan terkena guratan tentu nyawanya
segera melayang karena keracunan!
Sejak tadi
kelima Bu-tek Ngo-sian menonton dengan alis berkerut. Mereka juga terkejut
mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah putera Lam-tok. Mereka
menjadi jeri! Jika sampai terdengar Lam-tok bahwa mereka bermusuhan dengan
puteranya, tentu Lam-tok menjadi marah dan tidak akan dapat mengampuni mereka.
Lagi pula
lima orang datuk ini mempunyai harga diri tinggi. Mereka tidak mau melakukan
pengeroyokan terhadap dua orang muda itu. Maka Ciok Khi yang paling tua lalu
memberi isyarat kepada empat orang rekannya untuk pergi saja dari sana. Mereka
pun melompat jauh dan berlari meninggalkan tempat itu.
Melihat lima
orang anak buah Ang I Sianjin hendak mengeroyok Si Kong, kembali kedua tangan
Siangkoan Ji bergerak sehingga empat batang anak panah meluncur secepat kilat
ke arah lima orang itu. Tiga orang dari mereka dapat mengelak, akan tetapi dua
yang lain roboh sambil menjerit lalu berkelojotan tewas!
Bukan main
marahnya Ang I Sianjin. Lima orang anak buahnya telah tewas terkena anak panah
itu. Dia cepat memberi isyarat kepada anak buahnya yang tinggal sembilan orang
itu. Anak buah Kwi-jiauw-pang mengerti akan arti isyarat itu dan mereka semua
terpecah menjadi dua rombongan. Empat orang mengeroyok Si Kong dan lima orang
sudah siap membantunya.
“Bocah
kurang ajar! Berani engkau membunuhi anak-anak buahku?!” bentaknya. Dia pun
sudah mencabut pedang di punggungnya serta kipas dipegang di tangan kirinya.
Sesudah begitu, dia lalu menerjang Siangkoan Ji dengan membabi buta saking
marahnya.
Siangkoan Ji
mengelak dengan cepatnya, berlompatan ke kanan kiri, kadang ke atas. Kini dia
tidak mendapat kesempatan untuk menggunakan anak panahnya. Akan tetapi begitu
tangannya bergerak, dia sudah mencabut sepasang pisau belati atau pedang kecil
yang disembunyikan di bawah jubahnya yang kebesaran. Dan begitu dia memegang
sepasang belati itu, dia pun kini dapat membalas serangan Ang I Sianjin dengan
nekat!
Biar pun
sedang bertanding melawan Tung-hai Liong-ong, akan tetapi Si Kong tak pernah
melepaskan perhatiannya begitu dia melihat kawannya bertanding melawan Ang I
Sianjin. Jantungnya berdebar karena tegang dan gelisah. Sekali pandang saja
tahulah bahwa Ang I Sianjin bukan lawan Siangkoan Ji, dan pemuda jembel itu
terancam bahaya maut!

Saat itu
tongkat naga menyambar ke arah kepalanya. Si Kong menangkis dengan tongkat
bambunya sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga tongkat itu tidak bisa
lepas dari tempelan tongkat bambu. Ketika lawannya agak terkejut melihat ini,
Si Kong segera mengeluarkan jurus Hok-liang Sin-ciang dan menghantam ke arah
perut lawan. Tung-hai Liong-ong masih dapat menangkis, akan tetapi pukulan ke
arah perut itu membelok turun sehingga tetap mengenai pahanya.
“Desss…!”
Tubuh Tung-hai Liong-ong terlempar. Empat orang anak buah Kwi-jiauw-pang
menyerang Si Kong, akan tetapi dengan gerakan tongkatnya dia mampu membuat
empat orang itu roboh dan tak dapat bergerak lagi karena jalan darah mereka
sudah tertotok.
Si Kong
menoleh ke arah Siangkoan Ji. Dia terkejut sekali karena kini pemuda jembel itu
dikeroyok enam orang yang lihai ilmu kepandaiannya, yaitu Ang I Sianjin serta
lima orang anak buahnya. Dengan sepasang pisau belatinya Siangkoan Ji membela
diri, akan tetapi pihak lawan terlalu kuat baginya. Baru menanding Ang I
Sianjin saja dia sudah kewalahan, apa lagi kini Ang I Sianjin dibantu oleh lima
orang anak buahnya!
Tiba-tiba
saja sebuah tangan cakar iblis mengenai pundaknya, dan dadanya juga disengat
ujung kipas. Siangkoan Ji terhuyung kemudian roboh. Lima orang anggota
Kwi-jiauw-pang hendak menurunkan tangan maut, akan tetapi pada saat itu sesosok
bayangan berkelebat dan tahu-tahu mereka berlima sudah terpelantingan dan roboh
oleh terjangan Si Kong.
Si Kong yang
melihat kawannya terdesak, segera meloncat untuk menolong. Namun dia sedikit
terlambat karena Siangkoan Ji telah roboh. Dengan kemarahan dan kekhawatiran Si
Kong yang menggunakan jurus Hui-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Terbang)
cepat meloncat kemudian menerjang lima orang yang menghampiri Siangkoan Ji dan
hendak membunuhnya itu. Terjangannya disertai tenaga dalam yang demikian
hebatnya sehingga lima orang itu terpental roboh.
Melihat ini
Ang I Sianjin segera menyerang Si Kong dengan pedang dan kipasnya. Akan tetapi
Si Kong yang sudah marah sekali malah menyambut serangannya dengan gerakan
tongkat yang aneh. Tahu-tahu pergelangan tangan kanannya tertotok sehingga
pedang itu terlepas dan ketika kipas menyambar, Si Kong menggerakkan tongkatnya
menyambut.
“Breetttt...!”
Kipas itu
pecah dan Ang I Sianjin terhuyung. Dia sempat melihat betapa Tung-hai Liong-ong
telah melarikan diri sambil terpincang-pincang. Melihat bahwa di sana sudah
tidak ada kawan lagi, maka tanpa malu-malu Ang I Sianjin menyambitkan sisa
kipasnya ke arah Si Kong.
Si Kong
cepat menangkis dan dia melihat Ang I Sianjin sudah melarikan diri. Dia hendak
mengejar, akan tetapi terdengar rintihan Siangkoan Ji. Cepat dia berbalik dan
memeriksa keadaan kawannya itu. Siangkoan Ji berada dalam keadaan setengah
pingsan!
Melihat ini,
Si Kong segera memondongnya pergi dari situ, mencari tempat yang tenang dan
bersih. Dia berhenti di bawah sebatang pohon besar lalu merebahkan Siangkoan Ji
di atas tanah yang ditilami daun-daun kering itu.
Melihat baju
di bagian pundak hangus dan bagian dada terobek, Si Kong lalu merobek di bagian
pundak. Dia mengerutkan alisnya melihat betapa pada pundak itu nampak bekas
cakaran yang menghitam! Tahulah dia bahwa kawannya itu menderita luka beracun
yang ganas sekali.
Cepat
ditotoknya semua jalan darah di bagian leher dan pundak untuk mencegah supaya
racun itu tidak dapat menjalar ke mana-mana, terutama ke jantung dan kepala.
Kemudian dia memeriksa detik nadi Siangkoan Ji. Dia membelalakkan mata dan
menggeleng-geleng kepalanya. Detak nadinya biasa-biasa saja seperti seorang
yang sehat.
Namun pemuda
remaja itu harus diselamatkan. Maka tanpa ragu lagi dia menempelkan mulutnya
pada pundak itu dan menyedot dengan kuat. Darah yang terasa pahit memasuki
mulutnya dan dia meludahkan darah itu. Sampai tiga kali dia menyedot dan
meludahkan darah yang tersedot. Kemudian dia memeriksa lagi. Warna hitam itu
sudah hampir lenyap sama sekali.
Dia lalu
mengambil sebuah botol kecil terisi obat yang lunak. Diolesinya bekas luka itu
dan dia pun bernapas lega. Kawannya sudah tertolong. Melihat pakaian pada dada
Siangkoan Ji terobek panjang seperti digurat pedang, dia pun membuka pakaian di
bagian dada itu.
“Ihhhh...!”
Seperti
dipagut ular Si Kong cepat meloncat jauh ke belakang. Dia berdiri dengan kedua
mata terbelalak, melihat ke arah baju yang bagian dadanya kini telah terbuka.
Dia melihat buah dada yang menonjol. Buah dada seorang wanita!
Si Kong
berdiri dan merasa betapa kedua kaki serta kedua tangannya bergetar menggigil
seperti orang terserang demam. Dia cepat-cepat memejamkan matanya lantas mengatur
pernapasannya agar jantungnya tidak berdebar begitu keras lagi. Sesudah hatinya
tenang kembali, dia menghampiri tubuh Siangkoan Ji, lalu dengan hati-hati
menutupkan kembali baju bagian dada yang terbuka itu. Kembali dia memeriksa
nadi tangan kawannya yang ternyata seorang gadis itu. Denyut nadinya normal,
pertanda bahwa luka di dada itu tidak terlalu berat.
Setelah
memeriksa dan merasa lega bahwa gadis itu tidak menderita luka yang parah, Si
Kong menjauhkan diri lagi dan tidak melihat ke arah Siangkoan Ji. Akan tetapi
dia segera memejamkan matanya karena dada dan pundak yang terbuka itu terbayang
lagi di depan matanya.
Baru kini
dia menyadari betapa lembut dan halusnya kulit pundak Siangkoan Ji pada saat
dia menyentuhnya untuk memberi obat. Dan dia pun bergidik mengingat betapa
bibirnya pernah menyentuh pundak itu, mengecup dan menyedotnya!
Karena dia
duduk membelakangi Siangkoan Ji, dia tidak melihat betapa gadis itu sudah
membuka matanya, mencoba bangkit berdiri akan tetapi pundaknya terasa nyeri sehingga
dia duduk kembali. Tiba-tiba terlihat betapa bajunya di bagian dada dan pundak
terbuka. Cepat-cepat dia menutupkan lagi baju di bagian dada yang terbuka.
Ketika
hendak menutupkan bagian pundak, jari-jari tangannya menyentuh luka di pundak
dan dia pun tahu bahwa pundak itu sudah diobati. Siapa lagi kalau bukan Si Kong
yang mengobatinya? Akan tetapi, kalau benar demikian halnya, berarti pemuda itu
telah melihat pundak dan dadanya!
Dengan mata
bersinar marah dan sepasang pipi kemerahan karena malu, dia memanggil,
“Kong-ko...!”
Si Kong
terkejut, menengok dan wajahnya berubah menjadi merah. Kini gadis itu sudah
duduk dan sepasang mata yang jernih tajam itu menatapnya dengan marah.
“Ahhh,
engkau sudah siuman, Ji-te?” tanyanya, pura-pura tidak tahu bahwa kawannya itu
adalah seorang gadis.
“Kong-ko,
engkaukah yang telah mengobati pundakku?”
Si Kong
mengangguk. “Aku tadi melihat pundakmu terluka karena bajumu robek di bagian
itu. Ternyata engkau terluka akibat cakar setan. Aku lantas mengeluarkan dan
membuang racun itu.”
“Bagaimana
caranya engkau mengeluarkan racun dari pundakku?”
Wajah Si
Kong menjadi lebih merah lagi. “Racun itu berada di bawah kulit pundakmu dan
aku mengeluarkan dengan jalan menyedot dari luka pundakmu.”
Wajah
Siangkoan Ji juga menjadi semakin merah. “Dan... apakah engkau memeriksa luka
di dadaku?”
Si Kong
menjadi makin salah tingkah, merasa malu dan bingung sekali untuk menjawab
pertanyaan itu. Akan tetapi lebih baik berterus terang, karena dia membuka baju
di bagian dada itu bukan sengaja, namun karena dia tidak tahu bahwa Siangkoan
Ji adalah seorang wanita.
“Bagaimana,
Kong-ko?” Siangkoan Ji mendesak.
“Itu... ehh,
memang aku memeriksa luka itu. Hanya lecet, tidak berbahaya.”
Siangkoan Ji
mengeluarkan seruan marah dan dia sudah melupakan nyeri di pundaknya, meloncat
berdiri menghampiri Si Kong. “Engkau pemuda kurang ajar!”
“Ehh,
Ji-te...”
“Tidak perlu
berpura-pura lagi menyebutku Ji-te. Engkau berani membuka bajuku, hal itu
benar-benar memalukan sekali!” Gadis itu lalu mendekat dan tangan kanannya
menampar pipi kiri Si Kong.
“Plakk!
Plakk!” Dua kali dia menampar sehingga pipi kiri Si Kong menjadi merah sekali.
“Engkau
patut di hajar, laki-laki tak tahu malu!”
“Ji-te...
ehhh, Ji-moi... tadinya aku sama sekali tidak tahu bahwa engkau bukan seorang
pria, maka aku berani membuka bajumu untuk memeriksa lukamu!”
Kedua tangan
yang telah dikepal untuk menyerang itu mendadak lemas dan tiba-tiba saja
Siangkoan Ji mejatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis sesenggukan!
Si Kong
menjadi makin bingung. Tadinya dia menganggap Siangkoan Ji seorang pemuda
remaja yang gagah perkasa dan tabah, tidak mengenal takut, tapi sekarang
kenyataannya dia seorang wanita! Tangisnya yang mengguguk itu lebih jelas lagi
menyatakan bahwa dia memang seorang gadis yang merasa terhina dan malu karena
dadanya telah terlihat oleh seorang pria!
“Ji-te...
ehhh, Ji-moi, kau maafkanlah aku. aku tidak sengaja dan kalau sebelumnya aku
tahu bahwa engkau adalah seorang wanita, biar bagaimana pun juga aku tidak akan
berani melakukan hal itu. Kalau engkau masih penasaran, pukullah aku lagi. Aku
memang layak dipukul.”
Akhirnya
tangis gadis itu mereda. Dia pun bangkit berdiri, wajah dan matanya kemerahan,
dan kedua pipinya masih basah oleh air mata. Dia memandang kepada Si Kong
dengan sinar mata tajam menyelidik.
“Sekarang
engkau sudah tahu, maka tak perlu lagi menyebutku Ji-te atau Ji-moi. Namaku
yang sebenarnya bukan Ji.”
“Ahh, maaf.
Aku tidak tahu. Siapakah namamu yang sesungguhnya?”
“Namaku
Siangkoan Cu Yin, akan tetapi ketika sedang menyamar sebagai pria aku selalu
memakai nama Siangkoan Ji.”
“Siangkoan
Cu Yin? Nama yang bagus. Dan benarkah bahwa engkau puteri Lam-tok yang namanya
menjulang tinggi dan sangat terkenal di dunia persilatan itu?”
Dari kakek
Ceng Lojin memang Si Kong pernah mendengar sebutan Lam-tok ini. Menurut gurunya
itu, di dunia ini ada empat orang datuk besar yang sakti. Pertama adalah
Lam-tok (Racun Selatan), ke dua Pai-ong (Raja Utara), ke tiga Tung-giam-ong
(Raja Maut Timur), dan yang ke empat adalah sepasang datuk yang selalu bekerja
sama, yaitu Toa-ok dan Ji-ok yang datang dari barat.
“Benar, aku
adalah anak tunggal dari Lam-tok. Ayahku bernama Siangkoan Lok dan kami tinggal
di tepian sungai Hung-kiang. Aku mendapat tugas dari ayahku untuk mencari dan
merampas Pek-lui-kiam, maka aku menyamar sebagai seorang pemuda jembel agar
tidak ada yang mengetahui siapa aku sebenarnya. Akan tetapi engkau... dengan
tidak sengaja sudah membuka rahasiaku, tahu bahwa aku adalah seorang wanita,
maka tidak perlu lagi aku bersembunyi darimu. Tetapi kuharap engkau tidak
membocorkan rahasia ini kepada siapa pun.”
“Penyamaranmu
baik sekali, Yin-moi...”
“Kalau aku
menyamar sebagai pemuda, sebut saja aku Ji-te agar tidak ada orang yang
mengetahui rahasiaku.”
“Baiklah,
Ji-te. Penyamaranmu itu bagus sekali. Tadinya aku pun sama sekali tak pernah
menduga bahwa engkau seorang wanita.”
“Kepandaian
menyamar ini kupelajari dari mendiang ibuku. Beliau pernah menjadi seorang
sripanggung sehingga pandai menyamar.”
“Ada satu
hal lagi yang sangat mengherankan hatiku. Cakar setan itu sungguh berbahaya,
mengandung racun yang sangat berbahaya. Tetapi mengapa ketika pundakmu
kuperiksa, racun itu hanya berhenti di bawah kulitmu, tidak menjalar dan tidak
meracuni darahmu?”
“Ayahku
terkenal dengan julukan Racun Selatan, dan aku adalah anaknya. Mana mungkin aku
dan ayah dikalahkan dengan menggunakan racun? Aku sudah tahu bahwa
Kwi-jiauw-pang suka menggunakan racun, maka sebelum bertanding tadi aku telah
menelan sebuah pil buatan ayah. Pil itu mampu menolak segala macam racun, baik
yang masuk ke dalam tubuh melalui luka atau yang masuk melewati mulut. Karena
itulah racun yang masuk ke pundakku hanya bisa sampai bawah kulit saja.”
“Wahh,
engkau benar-benar hebat, Ji-te. Aku merasa lega dan girang bukan main melihat
engkau selamat, dan lebih girang lagi melihat engkau tidak marah kepadaku.”
Siangkoan Cu
Yin memandang wajah pemuda itu dan melihat betapa pipi kiri pemuda itu merah
bekas tamparannya, dia merasa menyesal dan malu. “Kong-ko, kau maafkan aku.
Tadi aku menamparmu karena merasa malu dan bingung.”
“Tidak
mengapa, Ji-te. Aku juga merasa bersalah dan lancang, maka kalau engkau ingin
menampar lagi, silakan, selagi aku masih berada di sini.”
Cu Yin
membelalakkan matanya. “Apa maksudmu, Kong-ko? Selagi engkau masih di sini?
Engkau hendak pergi ke manakah?”
“Terpaksa
kita harus berpisah, Yin-moi. Engkau seorang gadis dan aku seorang pemuda,
tidak baik kita melakukan perjalanan bersama. Pula, engkau mendapat tugas dari
ayahmu untuk mencari Pek-lui-kiam, sedangkan aku sendiri juga mencari
Pek-lui-kiam, maka lebih baik kita mencarinya secara terpisah. Lebih besar
kemungkinan untuk dapat menemukan pedang pusaka itu.”
“Biar pun
aku seorang wanita, akan tetapi aku telah menyamar sebagai pria. Tadi engkau
sendiri mengatakan kalau penyamaranku baik sekali. Tak ada orang lain yang tahu
bahwa aku sesungguhnya seorang wanita. Apa salahnya kalau kita berdua melakukan
perjalanan bersama? Dalam pandangan orang lain, kita adalah dua orang muda
laki-laki yang sedang melakukan perjalanan bersama.”
“Akan tetapi
ingat, Yin-moi. Aku seorang pria dan aku sudah mengetahui bahwa engkau seorang
wanita. Tidak, kita harus berpisah sekarang juga. Selamat tinggal, Yin-moi, dan
semoga kita akan dapat bertemu kembali.”
”Kong-ko...!”
Akan tetapi
pemuda itu telah berkelebat lenyap dari depan Cu Yin. Gadis itu mengejar dan
memanggil-manggil beberapa kali, akan tetapi ilmu lari cepat Si Kong demikian
hebatnya sehingga sebentar saja bayangannya sudah lenyap. Cu Yin berhenti
mengejar, kemudian membanting-ganting kaki kanannya dan air matanya berlinang.
“Kau...
kejam, meninggalkan aku seorang diri...!” keluhnya.
Gadis ini
merasa sangat tertarik kepada Si Kong, apa lagi sesudah dia mengetahui bahwa
ilmu kepandaian pemuda itu tinggi sekali. Tanpa disadarinya dia sudah jatuh
cinta kepada pemuda itu, maka dapat dibayangkan betapa kecewa dan sedih hatinya
ketika pemuda itu meninggalkannya.
Sesudah
menyatakan kekesalan hatinya dengan membanting-banting kaki, Cu Yin segera
berlari cepat dengan harapan akan bertemu dengan Si Kong. Akan tetapi bukan Si
Kong yang dijumpainya, melainkan enam orang wanita berpakaian seragam warna
biru. Enam orang wanita yang berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh
tahun, dan semuanya mempunyai kecantikan yang lumayan, menghadang di jalan dan
segera memberi hormat kepada Cu Yin.
“Selamat
bertemu, siocia (nona).”
“Heii,
apa-apaan kalian ini berkeliaran di sini? Apakah ayah berada di dekat sini?”
“Tidak,
siocia. Kami diperintahkan Loya (tuan tua) untuk menyusul dan mencari nona.”
“Untuk apa
mencariku?”
“Kami
ditugaskan untuk mengawal dan membantu siocia mencari Pek-lui-kiam. Bahkan Loya
mengatakan bahwa kalau sampai tiga bulan siocia belum kembali membawa
Pek-lui-kiam, Loya sendiri yang akan datang membantu siocia.”
Agak
terhibur hati Cu Yin yang merasa kecewa akibat ditinggal pergi Si Kong, karena
kini ada enam orang pelayan ayahnya yang menemaninya. Mereka berenam ini
rata-rata telah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
“Apakah
kalian tadi melihat seorang pemuda yang memakai caping lebar dan berpakaian
seperti petani?”
“Kami
melihatnya, siocia. Dia memasuki kota Si-keng di depan itu, siocia.”
“Sekarang
aku ingin berpakaian seperti seorang gadis, apakah kalian dapat mencarikan
pakaian itu?”
“Jangan
khawatir, siocia. Kami sudah mempersiapkan sejak semula.”
Benar saja.
Enam orang pelayan itu sudah membawa beberapa pasang pakaian Cu Yin. Cu Yin
segera berganti pakaian dan sebentar saja dia sudah berubah menjadi seorang
gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita!
Enam orang
pelayan itu lantas membuat sebuah joli. Cu Yin segera naik ke atas tandu itu
dan menurunkan tirai tandu. Enam orang gadis itu lalu menggotong tandu
bergantian atas perintah Cu Yin dan mereka pun berangkat menuju ke kota
Si-keng.
***************
Si Kong
tinggal di Si-keng selama empat hari. Dia berputar-putar di kota itu untuk
mencari tahu kalau-kalau ada orang yang dapat menunjukkan di mana adanya Ang I
Sianjin. Akan tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Tidak ada orang yang melihat
datuk berpakaian serba merah itu. Maka dia pun lalu membayar sewa kamar di
sebuah losmen, dan melanjutkan perjalanannya keluar dari kota itu.
Baru
beberapa li jauhnya dia meninggalkan Si-keng dengan berjalan seenaknya,
tiba-tiba dia mendengar bentakan wanita di belakangnya. “Heiii, petani bodoh,
minggir…!”
Si Kong
segera membalikkan tubuhnya dan melihat empat orang wanita berpakaian serba
biru memanggul sebuah joli, dan dua orang wanita lainnya berjalan di depan
joli. Hatinya mendongkol sekali.
Tadi dia
sedang berjalan santai sambil melamun, mengenang kembali Siangkoan Ji yang
ternyata Siangkoan Cu Yin itu. Alangkah bodohnya! Berhari-hari lamanya dia
melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang disangkanya seorang laki-laki.
Ketika
mengenang kembali betapa dia sudah menyedot racun dari pundak yang kulitnya
putih mulus dan lunak itu, jantungnya berdebar dan mukanya berubah merah. Dia
marah kepada diri sendiri. Mengapa dia mengenang gadis itu dengan hati terasa
kehilangan dan kesepian?
Dalam
keadaan mendongkol kepada hati akal pikirannya sendiri itulah dia dikejutkan
oleh suara wanita yang menyuruhnya minggir dengan nada merendahkan. Ketika dia
membalik dan melihat bahwa mereka itu ternyata adalah gadis-gadis, hatinya
menjadi bertambah kesal. Jalan itu cukup lebar, para gadis itu dapat saja
melewatinya dan berjalan ke pinggir, mengapa dia harus minggir?
“Kau yang
minggir!” bentaknya dengan mata mengandung kemarahan.
Seorang di
antara gadis-gadis yang berjalan di depan joli memandang kepadanya dengan mata
melotot. “Kau berani membantah? Kau ingin mampus?”
“Kalian yang
ingin mampus!” jawab Si Kong dengan hati mendongkol.
Dua orang
gadis yang tidak menggotong joli itu menjadi marah. Tangan mereka bergerak dan
empat batang hui-to (piasu terbang) menyambar ke arah tubuh Si Kong. Pemuda ini
terkejut bukan main melihat serangan maut itu. Dengan cepat tubuhnya meloncat
ke atas sehingga empat batang pisau itu lewat di bawah kakinya.
Dua orang
gadis itu mencabut pedang dan cepat menyerang lagi. Gerakan mereka cukup cepat
dan bertenaga. Namun Si Kong yang sudah marah itu kini menggunakan tongkat
bambunya. Begitu bersilat dengan Ta-kaw Sin-tung, dalam beberapa jurus saja dia
sudah membuat dua orang wanita itu terjungkal. Dia tidak menyerang dengan
sepenuh tenaga, dan hatinya sudah puas membuat dua orang wanita galak dan jahat
itu roboh.
Empat orang
gadis yang lain telah menurunkan joli dan kini mereka berempat menyerang Si
Kong dengan pedang mereka. Yang dua orang sudah bangkit lagi dan ikut
menyerang. Kini Si Kong dikeroyok oleh enam orang wanita itu.
Setelah
mereka maju bersama, Si Kong merasa kagum juga. Keenam wanita ini masing-masing
memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi dan setelah maju bersama mereka sudah
membentuk barisan pedang yang kompak sekali. Kalau saja Si Kong tidak memiliki
ilmu tongkat yang sakti itu, dan kalau saja dia belum menguasai Liok-te
Hui-teng dengan baik sehingga gerakannya amat ringan dan cepat, tentu dia akan
kewalahan juga menghadapi barisan pedang yang dibentuk oleh enam orang wanita
itu.
Si Kong
bergerak amat cepatnya dan mengerahkan tenaga pada tongkatnya. Begitu dia
memutar tongkatnya dan badannya ikut berputar, terdengar suara berkerontang
berulang kali lantas enam orang gadis itu sudah roboh semua dan pedang mereka
sudah terlepas dari tangan mereka!
Sekali ini
enam orang gadis itu bangkit sambil meringis. Masih untung bagi mereka bahwa Si
Kong tidak ingin melukai mereka, maka mereka hanya merasa nyeri karena
terbanting saja, akan tetapi tidak sampai luka. Sesudah pedang mereka terpental
dan terlepas, juga mereka semua berpelantingan, enam orang gadis itu menjadi
jeri dan mereka pun bangkit sambil memandang ke arah joli.
Joli
tersingkap lantas muncullah seorang gadis yang amat cantik jelita. Sebatang
pedang tergantung di punggungnya.
“Manusia
kurang ajar, berani engkau merobohkan para pelayanku?”
Si Kong
menjadi bengong. Gadis itu cantik bukan kepalang dan melihat pakaiannya yang
serba baru dan mewah, bisa diduga bahwa gadis ini tentu seorang gadis bangsawan
atau setidaknya hartawan. Rambutnya digelung tinggi dan dihias dengan tusuk
sanggul terbuat dari emas permata. Kedua pergelangan tangannya terhias gelang
kemala yang harganya mahal, kedua telinganya mengenakan anting-anting yang
terbuat dari emas permata pula. Pakaiannya warna-warni dari kain sutera halus,
ada pun sepatunya masih berwarna hitam mengkilap.
Wajah itu
sungguh luar biasa cantiknya. Kulit mukanya putih kemerahan, terutama pada
kedua pipi di bawah matanya, padahal muka itu tidak memakai bedak tebal atau
gincu. Anak rambut yang sangat halus berjuntai ke dahi dan pelipisnya. Sepasang
alisnya hitam dan kecil melengkung seperti dilukis, melindungi sepasang mata
yang sukar digambarkan saking indahnya.
Mata itu
tajam dan jernih, dengan kedua ujung bergaris ke atas, dihiasi bulu mata yang
panjang lentik. Hidungnya mancung kecil dengan punggung hidung sedikit
menonjol! Dan mulutnya! Entah mana yang lebih indah dan mempunyai daya tarik
terbesar. Mata atau mulutnya. Bibirnya begitu lembut dan merah membasah,
nampaknya seperti tersenyum manis sekali, akan tetapi dagunya yang runcing itu
seperti mengejek dan membayangkan kekerasan hatinya.
“Hei, petani
kurang ajar! Jawablah pertanyaanku tadi!” Gadis itu membentak lagi dan pada
saat berbicara nampak giginya yang putih mengkilap dan rapi. Rongga mulutnya
kelihatan segar kemerahan tanda bahwa dia bertubuh sehat.
Si Kong
seperti tertarik lagi ke alam kenyataan. “Ehh... ohhh... pertanyaan apa?”
katanya gagap karena dia tadi seperti dalam mimpi. Pikirannya bingung karena
dia merasa bahwa wajah si cantik jelita itu tidak asing baginya.
“Mengapa
engkau berani merobohkan enam orang pelayanku?”
“Aku
terpaksa, nona. Merekalah yang mengeroyokku.”
“Hemm, kalau
memang jagoan, jangan melawan pelayanku. Akulah lawanmu!”
“Aku... aku
tidak ingin berkelahi denganmu, nona. Di antara kita tidak ada permusuhan,
mengapa kita harus berkelahi?”
“Engkau
sudah merobohkan enam orang pengikutku, itu sudah merupakan permusuhan. Nah,
sambutlah ini!” Gadis cantik itu menggerakkan dua tangannya dan sinar-sinar
putih menyambar ke arah Si Kong.
Si Kong
terkejut dan maklum bahwa senjata rahasia itu amat berbahaya, maka cepat dia
mengambil topi capingnya lantas menggunakan caping yang lebar itu untuk
menyambut senjata-senjata itu. Dia melihat bahwa senjata rahasia itu adalah
anak-anak panah yang beracun. Dibuangnya topi capingnya dan dia mengerutkan
alisnya. Gadis ini begitu cantik akan tetapi juga begitu ganas, begitu
menyerangnya sudah mengarah kematiannya!
“Singgg...!”
Nampak sinar berkilauan ketika gadis itu mencabut pedang dari punggungnya.
“Terimalah
pedangku ini!” demikian dia membentak kemudian segera menyerang Si Kong dengan
kecepatan luar biasa.
Si Kong
melompat jauh ke samping, menangkis dengan tongkat bambunya. Akan tetapi
ternyata gadis itu lihai sekali ilmu pedangnya. Begitu ditangkis pedang itu
melenceng dan membabat kaki Si Kong. Pemuda ini terpaksa meloncat ke atas dan
dia harus mengelak dan menangkis, sibuk sekali karena gadis itu terus
menyerangnya secara bertubi-tubi dan sambung-menyambung.
Diam-diam Si
Kong kagum juga. Ilmu pedang gadis ini benar-benar sangat lihai. Bahkan jauh
lebih lihai dibandingkan enam orang pelayan yang mengeroyoknya tadi. Guru gadis
ini tentulah seorang yang amat sakti.
Si Kong
selalu mengalah dalam pertandingan ini. Dia mengerahkan ilmu Yan-cu Hui-kun
sehingga tubuhnya seperti burung walet terbang saja. Kalau dia mau menggunakan
ilmu silat Hok-liong Sin-ciang atau Thi-khi I-beng tentu dia dapat merobohkan
gadis itu dengan cepat. Akan tetapi dia tidak mau mempergunakan ilmu-ilmu yang
didapatnya dari Ceng Lojin kalau keadaan tidak terlalu berbahaya dan mendesak.
Dia sengaja memperpanjang pertandingan itu untuk ‘memberi muka’ kepada gadis itu.
Sambil
bertanding dia mengingat-ingat, di mana dia pernah bertemu dengan gadis yang
wajahnya tidak asing baginya itu. Akhirnya dia pun teringat akan anak panah
tangan yang dipergunakan gadis itu untuk menyerangnya. Dia teringat bahwa anak
panah seperti itu pernah dipergunakan Siangkoan Ji terhadap anak buah
Kwi-jiauw-pang! Gadis ini tentulah Siangkoan Ji, atau nama aslinya Siangkoan Cu
Yin!
Pedang
menyambar lagi dengan kuatnya. Si Kong menyambut dengan tongkatnya sambil
mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga gadis itu tidak dapat melepaskan
pedangnya dari tongkat. Pedang itu seolah-olah telah melekat kuat pada tongkat
bambu itu.
Gadis itu
menarik-narik pedangnya akan tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba dia menggunakan
tangan kirinya dan cepat memukul kepala Si Kong. Pemuda ini tidak mengelak
melainkan menangkap pergelangan tangan itu dengan pengerahan tenaga sinkang
sehingga gadis itu tak dapat lagi melepaskan tangan. Dia meronta-ronta, akan
tetapi tetap saja tangan kiri dan pedangnya melekat dan tidak dapat dia
lepaskan. Gadis itu menjadi jengkel sehingga hampir menangis sambil
menarik-narik.
Si Kong
berkata tenang dan lembut. “Sudah cukupkah, Ji-te?” lalu dilepaskannya pedang
dan tangan gadis itu.
Siangkoan Cu
Yin bersungut-sungut lalu menyimpan pedangnya dan memandang kepada Si Kong
dengan sikap marah. “Engkau seorang yang kejam!”
“Ehh? Di
mana letak kekejamanku, Yin-moi? Kalau aku kejam, tentu aku akan menyerang
engkau dan orang-orangmu dengan jurus maut! Tetapi aku melukai pun tidak,
bagaimana kau katakan aku kejam?”
“Engkau
meninggalkan aku seorang diri di hutan, apakah itu tidak kejam?”
“Ahhh,
itukah yang kau maksudkan kejam? Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali harus
meninggalkanmu, Yin-moi. Akan tetapi tidak ada cara lain yang dapat kutempuh.
Sudah kukatakan, kita tidak mungkin melakukan perjalanan bersama. Itu namanya
tidak pantas, apa lagi bagimu, seorang gadis.” Si Kong menghela napas panjang,
benar-benar dengan hati murung.
Dia merasa
gembira ketika mengadakan perjalanan bersama gadis ini, padahal ketika itu dia
tidak tahu bahwa gadis itu menyamar sebagai seorang pemuda. Apa lagi sekarang,
sesudah pemuda jembel itu berubah menjadi gadis secantik ini, betapa akan
senangnya melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi kesopanan melarangnya.
“Siapa yang
mengatakan tidak pantas? Aku akan menjadi Siangkoan Ji lagi kalau engkau mau
melakukan perjalanan bersamaku.”
Si Kong
menarik napas. Betapa akan senangnya, dan gadis ini pun berpengetahuan luas,
banyak tokoh kang-ouw dikenalnya. Dia pun teringat akan Ang I Sianjin.
“Yin-moi,
apakah engkau dapat memberi tahukan kepadaku di mana tempat tinggal Ang I
Sianjin?”
Wajah
Siangkoan Cu Yin berseri-seri. “Dia adalah ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang
di bukit Kwi-liong-san. Kita berangkat ke sana berdua, Kong-ko? Aku akan
membantumu!” katanya penuh semangat.
“Siocia,
Loya pasti akan marah bila siocia tidak berusaha mencari Pek-lui-kiam itu. Kami
berenam diutus supaya membantumu. Bagaimana siocia dapat mengajak orang lain,
dan seorang pria pula?” kata seorang di antara enam orang pelayan itu, sambil
membungkuk dengan hormat kepada Siangkoan Cu Yin.
“Jangan
mencampuri urusanku!” bentak Cu Yin dengan hati mengkal.
“Yin-moi,
bagaimana pun juga engkau harus mentaati perintah ayahmu. Selain itu aku pun
tidak dapat menerima permintaanmu untuk melakukan perjalanan bersama. Nah,
selamat tinggal Yin-moi!”
“Tunggu,
Kong-ko…!” Cu Yin juga meloncat cepat dan akhirnya dapat menyusul karena Si
Kong sengaja memperlambat larinya dan menunggu gadis itu.
“Ada apa
lagi, Yin-moi?”
“Kong-ko,
apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa aku… aku mencintaimu?”
Si Kong
menghela napas panjang. “Engkau keliru, Yin-moi. Engkau puteri seorang datuk
yang kenamaan dan kaya raya, sedangkan aku hanyalah seorang pengelana yang
hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal. Sepatutnya engkau
berjodoh dengan seorang pemuda yang derajatnya satu tingkat denganmu. Aku
berterima kasih kepadamu, Yin-moi, akan tetapi maafkan aku. Aku tidak berani
melakukan perjalanan bersamamu. Selamat tinggal!” Sekali ini Si Kong meloncat
dan berlari dengan cepat sekali sehingga Cu Yin tidak akan mampu mengejarnya......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment