Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 12
ENAM wanita
pengawal yang setia dan patuh itu lantas berlari pergi untuk melaksanakan
perintah nona majikan mereka. Gin Ciong juga sudah memanggil lima orang
pembantunya dan menyuruh mereka pergi, pulang ke Pulau Beruang dan melaporkan
kepada ayahnya bahwa dia bersama puteri Lam Tok hendak pergi merampas pedang
pusaka Pek-lui-kiam.
Tak lama
kemudian, para pembantu Cu Yin sudah tiba kembali ke tempat itu dan mereka
menuntun seekor kuda berbulu coklat yang cukup kuat dan bagus.
“Sekarang
kalian boleh pulang ke sungai Hung-kiang, laporkan kepada ayah bahwa aku
baik-baik saja dan sedang pergi merebut pedang Pek-lui-kiam, dibantu oleh
putera Tung Giam-ong.” Enam orang wanita itu tidak berani membantah dan mereka
segera pergi dari situ setelah memberi hormat kepada nona majikan mereka.
“Mari kita
berangkat!” kata Cu Yin sambil meloncat ke atas punggung kudanya.
Gin Ciong
juga melompat ke atas kuda putihnya. “Ke mana?”
“Ke tempat
di mana Pek-lui-kiam berada.”
“Di mana
itu?”
“Nanti
engkau juga tahu. Marilah!” Cu Yin sudah membalapkan kudanya dan terpaksa Gin
Ciong juga menyuruh kudanya lari kencang.
Pemuda ini
menggelengkan kepala melihat kelakuan Cu Yin yang berandalan. Akan tetapi sudah
terjadi sesuatu di dalam hatinya. Dia mencinta gadis itu! Alangkah cocoknya
kalau kelak gadis itu menjadi isterinya! Dan siapa tahu pedang Pek-lui-kiam
yang akan menjadi perantaranya.
Jika pedang
pusaka itu jatuh ke tangannya, lalu dia berikan kepada Cu Yin sebagai tanda
cintanya, mustahil kalau gadis itu tidak membalas perasaan kasihnya, Juga
Lam-tok tentu akan menyetujui karena dia telah berjasa membantu sehingga pedang
Pek-lui-kiam dapat terjatuh ke tangan datuk selatan itu.
Kota
Tung-ciu di sebelah timur kota raja adalah sebuah kota yang cukup ramai. Kota
ini terkenal sebagai gudang rempah-rempah dan hasil bumi karena daerah itu
memiliki tanah yang subur dan di sana mengalir sungai yang tidak pernah kering.
Karena itu penduduk di Tung-ciu dan sekitarnya dapat hidup makmur.
Di antara deretan
toko-toko, rumah makan dan rumah penginapan, terdapat sebuah toko rempah-rempah
yang besarnya sedang saja. Pemilik toko ini adalah seorang pria berusia lima
puluh satu tahun, dan isterinya yang berusia hampir lima puluh tahun. Tidak ada
satu pun penduduk Tung-ciu yang tahu bahwa pemilik toko yang bernama Pek Han
Siong ini sesungguhnya merupakan seseorang yang memiliki kesaktian.
Dia seorang
ahli silat tingkat tinggi. Mukanya yang bulat dengan alis tebal dan mata agak
sipit itu tidak menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi dunia kangouw
mengenal namanya sebagai seorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia
persilatan. Bersama Tang Hay yang merupakan sahabat karibnya, pendekar ini
pernah mengalahkan dan menewaskan banyak tokoh sesat, terutama para tokoh
Pek-lian-kauw.
Pria
berwatak tenang, sabar, pendiam dan halus tutur katanya ini memiliki ilmu-ilmu
silat tinggi yang dahsyat. Dia memiliki ilmu Pek-sim-pang sebanyak tiga belas
jurus yang sulit dilawan, mahir pula memainkan ilmu pedang Kwan-im Kiam-sut dan
ilmu-ilmu silat tinggi lainnya. Dan lebih dari pada itu, dia pun ahli sihir
yang kuat sekali.
Isterinya
bernama Siangkoan Bi Lian. Dalam hal ilmu silat, wanita ini juga telah mencapai
tingkat tinggi, sedikit lebih rendah dari pada tingkat suaminya. Dalam usianya
yang empat puluh sembilan tahun itu Siangkoan Bi Lian masih nampak cantik. Pada
dagunya terdapat sebuah tahi lalat yang membuat wajahnya yang cantik manis itu
tampak membayangkan kekerasan hati. Ia pun ahli dalam ilmu silat Kwan Im
Sin-kun dan Kim-ke Sin-kun.
Bagi para
penduduk Tung-ciu, suami isteri ini merupakan suami isteri biasa saja karena
Pek Han Siong serta isterinya memang tidak pernah memperlihatkan kemahiran
mereka dalam ilmu silat. Mereka dianggap pedagang rempah-rempah biasa yang
selalu bersikap ramah terhadap para pelanggannya.
Seperti kita
ketahui, Pek Han Siong dan isterinya memiliki seorang puteri bernama Pek Bwe
Hwa. Gadis yang cantik seperti ibunya ini tentu saja digembleng ayah ibunya
sejak kecil sehingga setelah kini berusia delapan belas tahun, dia sudah
menjadi ahli silat yang amat tangguh. Karena itu kedua orang tuanya tidak
keberatan melepas puteri mereka itu pergi untuk mencari pengalaman di dunia
kang-ouw. Bahkan mereka berpesan agar puteri mereka itu ikut mencari
Pek-lui-kiam yang kabarnya diperebutkan para tokoh kang-ouw.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali Pek Han Siong dan isterinya telah bangun dari tidurnya.
Seperti biasanya, mereka berdua berlatih silat di taman kecil di belakang rumah
mereka. Tidak ada orang lain yang melihat apa bila mereka berlatih silat. Bahkan
seorang pelayan wanita tua tidak mengerti kalau suami isteri itu bermain silat.
Mereka hanya mengatakan bahwa mereka berolah raga senam untuk menyehatkan
tubuh.
Suami isteri
itu latihan bersama, kini memainkan ilmu Kwan-im Sin-kun. Gerakan mereka demikian
cepat sehingga nampak seperti dua bayangan berkelebatan yang saling serang.
Tiba-tiba saja keduanya berhenti dan berlompatan ke belakang, lalu memandang ke
arah pagar tembok yang mengelilingi taman berikut rumah mereka.
Tadi mereka
mendengar gerakan orang di pagar tembok itu. Walau pun mereka sedang latihan,
namun pendengaran mereka demikian tajam sehingga mereka dapat menangkap suara
gerakan orang di situ.
“Siapa di
sana? Masuklah!” kata Pek Han Siong dengan suara tegas.
Tiba-tiba
sesosok bayangan berkelebat dan meloncati pagar tembok. Gerakan bayangan itu
gesit sekali. Dengan sekali loncat saja dia sudah berada di depan suami isteri
itu. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian memandang tajam penuh selidik.
Orang ini
berusia kurang lebih lima puluh tahun, seorang lelaki bertubuh tinggi kurus dan
berpakaian seperti pendeta agama To. Rambutnya digelung ke atas dan diikat pita
putih, pakaiannya berwarna kuning dan pada punggungnya nampak gagang sebatang
pedang. Wajah tosu itu sangat kurus seperti kurang makan, akan tetapi matanya
yang cekung itu mengeluarkan sinar mencorong. Dari matanya saja suami isteri
itu sudah bisa mengetahui bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang berilmu
tinggi.
“Siancai
(damai)...! Kiranya Pek Han Siong dan puterinya Siangkoan Ci Kang sembunyi di
sini. Pantas saja di kota Tung-ciu ini tak ada yang tahu bahwa kalian adalah
ahli-ahli silat yang hebat!”
Pek Han
Siong mengangkat kedua tangannya di depan dada. Bagaimana pun juga orang ini
adalah tamunya dan seorang pendeta pula, oleh karena itu sudah sepatutnya kalau
dia menghormatinya.
“Maaf,
totiang. Totiang siapakah dan ada keperlauan apakah dengan kami?”
Akan tetapi
Siangkoan Bi Lian tidak mau menghormatinya, malah bertanya dengan suara
menegur, “Seorang pendeta mestinya mengenal kesopanan dan kehormatan. Akan
tetapi engkau datang meloncati pagar lantas mengatakan kami bersembunyi. Kami
sama sekali tidak bersembunyi, dan juga tidak takut menghadapi siapa pun juga
termasuk engkau!”
“Tenanglah
dan biar totiang ini memberi penjelasan dahulu,” kata suaminya menyabarkan
hatinya. Akan tetapi Siangkoan Bi Lian masih cemberut dan memandang kepada tosu
itu dengan sinar mata mengandung kemarahan.
“Aku tidak
datang sendirian saja!” kata tosu itu dan dia pun bertepuk tangan.
Nampak
bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri tiga orang lain yang juga
melompati pagar tembok. Tiga orang ini juga berusia sekitar lima puluh tahun.
Mereka mengenakan pakaian ringkas akan tetapi memakai jubah luar yang terlampau
besar sehingga nampak kedodoran. Begitu berdiri di dekat tosu pertama tadi,
mereka lalu membuka jubah luarnya dan nampaklah gambar lingkaran dan sebatang
teratai putih di baju bagian dada mereka.
Melihat ini
Siangkoan Bi Lian berseru, “Ahh, kiranya kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw?
Pantas saja tidak mengenal aturan, datang bukan seperti tamu tapi seperti
segerombolan perampok dan pencuri!”
“Siancai!
Puteri Siangkoan Ci Kang masih berhati keras dan galak!”
Pek Han
Siong segera melangkah maju. “Totiang, kalau kalian berempat datang dari
Pek-lian-kauw, maka ada keperluan apakah kalian menemui kami?”
“Pek Han
Siong! Dua puluh tahun lebih kami menunggu dengan sabar, bahkan kami telah
mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu silat. Semua itu kami lakukan demi
membuat perhitungan dengan engkau dan Siangkoan Ci Kang. Akan tetapi karena
kini Siangkoan Ci Kang telah meninggal dunia maka perhitungan ini diwakili oleh
puterinya.”
“Majulah
kalian! Kami tidak takut!” kata Siangkoan Bi Lian.
Akan tetapi
suaminya cepat memegang lengannya sebagai isyarat supaya isterinya dapat
menahan emosinya. “Perhitungan apakah yang kalian maksudkan? Harap jelaskan
agar kami mengerti apa yang kalian maksudkan,” kata Pek Han Siong dengan
sikapnya yang tenang.
Melihat
ketenangan Pek Han Siong ini, empat orang tosu itu kelihatan jeri juga. Tosu
yang pertama muncul tadi agaknya menjadi pemimpin dari rombongan itu. Dengan
sengaja dia melantangkan suaranya untuk mengatasi rasa jerinya terhadap
pendekar yang sikapnya luar biasa tenangnya itu.
Pek Han
Siong termenung, mengenang peristiwa yang terjadi dua puluh enam tahun yang
lalu. Ketika itu dia dan Bi Lian yang kini menjadi isterinya, bekerja sama
dengan Tang Hay dan para pendekar Cin-ling-pai, menentang Pek-lian-kauw. Mereka
mendapat kemenangan dan menewaskan banyak tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu
tinggi. Di antara musuh itu terdapat Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu.
Memang benar
Ban Tok Siansu tewas di tangan Siangkoan Ci Kang, hanya saja Hek Tok Siansu
bukan tewas di tangannya melainkan tewas oleh Tang Hay. Akan tetapi dia tidak
menyangkal. Bagaimana pun juga ketika itu Tang Hay bekerja sama dengan dia,
berarti kedua orang Siansu yang tewas itu adalah musuhnya pula. Dia berani
bertanggung jawab atas perbuatan Tang Hay yang menjadi sahabat baiknya.
Dia masih
ingat benar bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu adalah dua pendeta sesat
yang bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Ilmu kepandaian mereka sangat tinggi.
Kalau memang empat orang ini adalah murid-murid mereka yang selama dua puluh
enam tahun memperdalam ilmu mereka, maka dapat dibayangkan betapa lihainya
mereka.
Siangkoan Bi
Lian kembali berkata, “Bagus! Ternyata kalian adalah murid-murid pendeta sesat
itu! Jangan sampai kalian mati tanpa nama, siapa nama kalian?!”
Tosu pertama
berkata sambil tersenyum mengejek. “Aku bernama Kui Hwa Cu dan tiga orang adik
seperguruanku ini bernama Lian Hwa cu, Thian Hwa Cu, dan Tiat Hwa Cu.”
“Kui Hwa Cu,
bagaimana caranya kalian membalas dendam dan membuat perhitungan? Apakah kalian
berempat hendak main keroyokan atau satu lawan satu?” Bi Lian bertanya dengan
nada suara menantang.
Dia sama
sekali tidak merasa takut karena selama ini dia dan suaminya hampir setiap hari
berlatih dan ketika puteri mereka belum pergi merantau setiap hari mereka
berdua melatih puteri mereka. Dengan demikian mereka sudah mendapat kemajuan
dibandingkan dua puluh enam tahun yang lalu,.
“Ha-ha-ha!
Kedatangan kami ini bukan untuk mengadu ilmu, melainkan hendak membalas dendam
dan membunuh kalian berdua. Karena itu tentu saja kami akan maju bersama!”
“Bagus!
Selamanya Pek-lian-kauw memang perkumpulan penjahat berkedok perjuangan yang
pengecut. Baik, jika kalian hendak mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok
kami, majulah!” bentak nyonya yang berhati baja itu.
Empat orang
tosu itu lalu membuat gerakan dengan tangan mereka. Mula-mula mereka
menggerakkan kedua tangan di udara seperti orang menuliskan huruf-huruf,
kemudian Kui Hwa Cu mengambil dua potong kertas yang sudah bertuliskan huruf
dan dia pun berkata dengan suara berwibawa mengandung getaran kuat, sedangkan
ketiga orang kawannya berpangku tangan dengan mata ditujukan kepada Pek Han
Siong dan isterinya.
“Pek Han
Siong dan isteri, saat kematian kalian sudah di depan mata! Dua ekor naga ini
akan membunuh kalian!”
Kui Hwa Cu
melemparkan dua potong kertas itu ke udara dan Siangkoan Bi Lian segera
terbelalak karena dia melihat betapa di angkasa tiba-tiba saja muncul dua ekor
naga yang menyeramkan, dengan mata mencorong serta lidah-lidah api terjulur
keluar dari mulut dan hidung mereka. Tahulah dia bahwa lawan menggunakan sihir
yang sangat kuat, maka dia pun cepat mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh
sihir itu.
Pek Han
Siong pernah diambil murid oleh Ban Hok Lojin, seorang di antara delapan dewa,
kemudian dia dilatih ilmu sihir yang amat kuat. Maka, melihat permainan Kui Hwa
Cu dia tertawa dan terdengar suaranya yang penuh wibawa.
“Ha-ha-ha,
Kui Hwa Cu berempat! Kalian yang membuat naga ini, maka kalian pula yang akan
diterkamnya!”
Han Siong
menggerakkan tangannya menunjuk ke arah empat orang tosu itu dan mereka
terbelalak ketika melihat betapa dua ekor naga ciptaan ilmu sihir mereka itu
kini membalik dan menyerang mereka berempat! Tentu saja mereka menjadi sangat
terkejut dan cepat menyimpan sihir mereka, menarik kekuatan sihir itu sehingga
dua ekor naga itu sekarang melayang turun dan menjadi dua potong kertas
kembali!
Kembali Kwi
Hwa Cu membentak, “Pek Han Siong, kalian hadapilah kami delapan orang!
Bersiaplah kalian berdua untuk mampus!”
“Kui Hwa Cu,
kalau kalian maju dengan delapan orang, kami akan maju sepuluh orang!”
Yang amat
terheran-heran adalah Siangkoan Bi Lian. Mula-mula dia melihat betapa empat
orang tosu itu menjadi delapan, setiap orang menjadi dua, akan tetapi sesudah
suaminya bicara, dia melihat dirinya sendiri menjadi lima orang, demikian pula
diri suaminya menjadi lima orang! Dia tahu bahwa semua ini hasil kekuatan
sihir, akan tetapi dia tetap menjadi bingung. Dia pun tahu bahwa suaminya
beradu kekuatan sihir melawan empat orang tosu itu, maka tidak ada jalan lain baginya
kecuali mengerahkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh sihir itu.
Melihat
hasil serangan mereka yang dapat diungguli oleh Pek Han Siong, tahulah empat
orang tosu itu bahwa mereka tidak akan mendapat keuntungan kalau mengadu
kekuatan sihir. Serentak mereka kembali menurunkan tangan sambil menarik semua
kekuatan sihir mereka. Han Siong juga segera menghentikan pengerahan sihirnya
karena kekuatan sihir itu akan menghabiskan tenaga saktinya kalau dikeluarkan
terlalu lama,.
Kui Hwa Cu
dan tiga orang temannya lantas meraih ke punggung, dan kini masing-masing sudah
memegang sebilah pedang. Siangkoan Bi Lian dan Pek Han Siong juga mengambil
pedang dari rak senjata yang memang selalu disiapkan di tempat itu bila mereka
sedang latihan silat.
Kui Hwa Cu dan
rekan-rekannya sudah tahu bahwa ilmu kepandaian Pek Han Siong lebih tinggi dari
isterinya, dan sebelum masuk ke sana mereka memang sudah merencanakan siapa
yang menghadapi Siangkoan Bi Lian. Maka sesuai rencana, sekarang Kwi Hwa Cu dan
Lian Hwa Cu menghadapi dan mengeroyok Pek Han Siong, sedangkan Thian Hwa Cu dan
Tiat Hwa Cu mengeroyok Siangkoan Bi Lian.
Maka
terjadilah perkelahian yang seru di dalam taman itu. Baik Pek Han Siong mau pun
Siangkoan Bi Lian menggunakan pedang mereka untuk memainkan ilmu pedang Kwan-im
Kiam-sut yang amat hebat. Gerakannya halus dan lemah gemulai, tapi di balik
kehalusan itu terkandung tenaga yang dahsyat sekali.
Sesudah
bertanding belasan jurus, Pek Han Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu silat
kedua orang pengeroyoknya amat tangguh. Ilmu pedang mereka merupakan ilmu
pedang golongan sesat dari barat, dan banyak pula tokoh Pek-lian-kauw menguasai
ilmu pedang itu yang sebenarnya lebih tepat kalau dimainkan dengan pedang
melengkung. Dia sendiri tidak merasa berat melawan dua orang pengeroyoknya.
Akan tetapi ketika mengerling ke arah isterinya dia melihat betapa isterinya
terdesak oleh pengeroyokan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu.
Selagi Bi
Lian terdesak dan Han Siong mencari kesempatan untuk membantu isterinya,
tiba-tiba nampak bayangan orang dan muncullah seorang gadis yang cantik jelita.
Gadis ini memegang sepasang pedang yang berkilauan dan cepat membentak,
“Tosu-tosu palsu dari mana berani mengacau di rumah paman Pek Han Siong?”
Karena gadis
ini melihat bahwa Siangkoan Bi Lian terdesak hebat, maka dia pun terjun ke
medan pertempuran dan membantu Bi Lian sehingga dua orang pengeroyok Bi Lian
kini terpaksa berpisah. Thian Hwa Cu tetap bertanding melawan Bi Lian sedangkan
Tiat Hwa Cu menghadapi gadis yang baru datang.
Kini Han
Siong bisa bernapas lega. Kalau hanya menghadapi seorang tosu saja, dia tidak
mengkhawatirkan keadaan isterinya. Dan dia pun merasa girang sekali setelah
mengenal siapa gadis yang memainkan sepasang pedang itu. Gadis itu bukan lain
adalah Tang Hui Lan! Siangkoan Bi Lian juga mengenal gadis itu, maka dia pun
berseru,
“Hui Lan…!”
“Bibi, mari
kita hajar para pendeta palsu ini!” kata Hui Lan sambil tersenyum.
Kini
bangkitlah semangat Siangkoan Bi Lian. Sikap gadis itu mengingatkan dia akan
Cia Kui Hong, ibu dari gadis itu yang waktu mudanya bersama dia menentang
Pek-lian-kauw. Lincah, berani, dan galak!
Empat orang
tosu yang menamakan diri sendiri See-thian Su-hiap (empat pendekar dunia barat)
itu merasa terkejut sekali. Menurut perhitungan mereka, kalau maju berempat
pasti mereka akan dapat membunuh Pek Han Siong dan isterinya. Namun siapa kira,
biar pun dikeroyok dua, Pek Han Siong sama sekali tidak terdesak, dan tiba-tiba
muncul gadis lihai itu yang membantu Siangkoan Bi Lian yang sudah terdesak.
Dengan munculnya gadis itu terpaksa Thian Hwa cu maju sendirian menghadapi
Siangkoan Bi Lian, dan Tiat Hwa Cu juga sendirian saja menghadapi gadis yang
luar biasa lihainya itu!
Tingkat
kepandaian Tang Hui Lan memang sudah tinggi sekali, bahkan tingkatnya masih
lebih tinggi bila dibandingkan dengan Siangkoan Bi Lian. Payah Tiat Hwa Cu
menandingi gadis itu dan setelah lewat dua puluh jurus, Tiat Hwa Cu hanya mampu
melindungi dirinya dengan memutar pedang sambil terus mundur.
Sepasang
pedang di tangan gadis itu seolah-olah sudah berubah menjadi puluhan batang
banyaknya! Dan ketika dia terdesak dan sudah tersudut, sebuah tendangan kaki
Hui Lan membuat dia terjengkang roboh!
Hui Lan
tidak mengejar, hanya berdiri karena dia belum tahu siapa mereka dan mengapa
mereka memusuhi keluarga Pek Han Siong. Apa lagi melihat betapa Pek Han Siong
dan Siangkoan Bi Lian juga mulai mendesak lawan-lawannya, maka Hui Lan berdiri
saja tidak membantu karena dia tahu bahwa mereka berdua tidak membutuhkan
bantuannya.
Kedua orang
tuanya sudah memesan agar dia tidak sembarangan saja membunuh orang. Itulah
sebabnya dia diam saja ketika melihat Tiat Hwa Cu yang sudah ditendang roboh
itu merangkak bangkit lalu menggunakan tangan kirinya untuk menutupi dada
kanannya yang terasa nyeri bukan main akibat tendangan kaki mungil Hui Lan! Dia
pun tidak berani maju lagi dan hanya menonton saudara-saudaranya yang sudah
mulai terdesak.
Tiba-tiba
terdengar Siangkoan Bi Lian membentak nyaring kemudian pedangnya berhasil
melukai pundak kiri lawannya. Thian Hwa Cu terhuyung ke belakang dan darah
mengalir dari luka di pundaknya. Siangkoan Bi Lian hendak mengejar untuk
membunuhnya, namun terdengar seruan suaminya,
“Jangan
bunuh dia!”
Mendengar
seruan suaminya ini, Siangkoan Bi Lian tidak jadi mengejar dan dia melompat ke
dekat Hui Lan. Mereka berdua kini menonton perkelahian antara Pek Han Siong
yang dikeroyok dua oleh Kwi Hwa Cu dan Lian Hwa Cu
Pek Han
Siong merasa lega bahwa Hui Lan dan Bi Lian sudah berhasil mengalahkan dua
orang musuh. Sekarang dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada dua
orang lawannya.
“Kena...!”
Dia membentak dan tiba-tiba pedangnya membuat gerakan memutar, dan tahu-tahu
pedang di tangan kedua orang lawannya itu terpental lantas terlepas dari
pegangan. Secepat kilat Han Siong menyapu dengan kakinya sehingga Lian Hwa Cu
langsung roboh terpelanting.
Han Siong
menginjakkan kaki kirinya di atas dada Lian Hwa Cu, sementara itu pedangnya
menodong dada Kui Hwa Cu yang sudah tidak berpedang lagi. Injakan kaki kiri Han
Siong membuat Lian Hwa Cu merasa seolah dia ditindih benda yang berat sekali,
membuat dia tidak mampu berkutik. Kui Hwa Cu juga merasakan ujung pedang itu
menembus bajunya dan menyentuh kulit dadanya. Kalau tangan yang menodongnya itu
bergerak sedikit saja maka akan tamatlah riwayatnya. Maka dia pun tidak berani
bergerak, hanya memandang dengan muka pucat.
“Hemm,
sebetulnya sudah lebih dari pantas kalau kami membunuh kalian berempat. Akan
tetapi kami bukan orang-orang kejam dan jahat yang suka membunuh lawan yang
sudah kalah dan tidak berdaya. Kalau kalian masih merasa penasaran, pergi dan
belajarlah dua puluh tahun lagi, baru kalian mencari kami. Lihatlah, siapa
gadis itu? Ia adalah puteri Tang Hay yang dulu membunuh Hek Tok Siansu!”
“Kami akan
membalas kekalahan ini!” kata Kui Hwa Cu yang merasa marah dan terhina.
“Bagus kalau
kalian masih memiliki semangat. Nah, sekarang cepat kalian pergi dari sini!”
dia melepaskan kakinya dari dada Lian Hwa Cu dan menarik pedangnya yang
menodong dada Kui Hwa Cu.
Empat orang
tosu itu tidak mau membuang waktu lagi. Sudah untung sekali mereka tidak
dibunuh oleh musuh-musuh mereka. Mereka melompati pagar tembok dan segera
lenyap.
Pek Han
Siong menghela napas panjang, lalu menoleh dan memandang ke arah Hui Lan.
“Bagus sekali, Hui Lan. Kedatanganmu seperti malaikat penolong!”
“Kalau tadi
Hui Lan tidak segera datang membantu, aku bisa celaka di tangan dua orang
kerbau itu!” kata pula Siangkoan Bi Lian sambil merangkul gadis cantik itu.
“Aih, Paman
dan Bibi terlalu memuji. Tanpa adanya aku sekali pun, aku yakin paman Pek Han
Siong akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa
enci Bwe Hwa tidak muncul membantu paman dan bibi?”
“Bwe Hwa
sedang pergi. Marilah kita masuk ke dalam rumah agar kita dapat lebih leluasa
bercakap-cakap.” Siangkoan Bi Lian menggandeng tangan Hui Lan, lantas mereka
bertiga masuk ke dalam rumah.
Para penjaga
toko rempah-rempah milik pasangan suami isteri itu sudah berdatangan dan toko
itu mulai dibuka. Akan tetapi Pek Han Siong dan isterinya tidak keluar karena
sedang asyik bercakap-cakap dengan Hui Lan.
“Bagaimana
kabar tentang ayah dan ibumu? Dan bagaimana tentang Cin-ling-pai?” tanya Pek
Han Siong.
“Kami semua
baik-baik saja, Paman. Ayah dan ibu memang sudah berpesan agar dalam
perantauanku memperluas pengalaman, aku singgah di sini untuk menyampaikan
salam mereka kepada Paman dan Bibi.”
“Kami girang
sekali engkau datang ke sini, Hui Lan. Hanya sayang Bwe Hwa juga sedang
merantau seperti engkau. Kalau dia ada di sini, tentu dia akan merantau
bersamamu dan itu akan lebih menggembirakan lagi.”
”Paman,
siapakah empat orang tosu tadi? Mengapa mereka memusuhi Paman dan Bibi?”
“Kami juga
baru tadi mengenal mereka. Pagi tadi tiba-tiba mereka muncul dan menantang
kami. Mereka hendak membalaskan kematian guru-guru mereka, yaitu mendiang
Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu. Ban-tok Siansu tewas di tangan ayah mertuaku
Siangkoan Ci Kang dan Hek-tok Siansu tewas di tangan ayahmu. Tapi kami berdua
juga musuh-musuh mereka karena dahulu kami bekerja sama dengan ayahmu menentang
Pek-lian-kauw.”
“Jadi mereka
tadi adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw?” tanya Hui Lan.
“Benar dan
mereka itu murid-murid mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu,” jawab
Siangkoan Bi Lian.
“Nama mereka
Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu, dan Tiat Hwa Cu dan mereka memakai
julukan See-thian Su-hiap!” sambung Pek Han Siong. “Berhati-hatilah engkau apa
bila bertemu mereka, Hui Lan. Mereka adalah orang-orang licik yang tidak malu
maju bersama untuk mengeroyok musuh.”
“Aku akan
berhati-hati, Paman.”
“Hui Lan,
bagaimana engkau tadi dapat mengetahui bahwa kami sedang berkelahi lantas
datang membantu?”
“Aku datang
berkunjung pagi-pagi, Bibi. Akan tetapi pintu depan masih ditutup dan tidak
nampak seorang pun di luar. Aku lalu masuk ke pekarangan dan dari situ aku
mendengar beradunya senjata dari taman di belakang rumah ini. Karena tertarik
aku lalu melompat ke pagar tembok dan melihat Paman dan Bibi dikeroyok, maka
aku segera melompat masuk dan membantu Bibi.”
Pek Han
Siong menghela napas panjang. “Sungguh menyebalkan sekali. Bertahun-tahun kami
tinggal di sini tanpa ada yang tahu bahwa kami adalah keluarga yang dapat
bermain silat. Ternyata hari ini kami didatangi musuh-musuh yang hendak
membalas dendam.”
“Kenapa
harus menyesal? Dulu kita selalu membasmi golongan sesat di dunia kangouw, dan
kita melakukan hal itu dengan penuh pertanggungan jawab. Jika ada golongan
sesat yang mendendam kepada kita, kita tidak perlu menyesal melainkan
menghadapi mereka dengan gagah.”
“Engkau
benar, tetapi alangkah indahnya kehidupan kita selama ini. Jauh dari kekerasan,
jauh dari perkelahian dan permusuhan.”
“Karena kita
sudah mulai tua memang sebaiknya kalau kita mengundurkan diri lalu hidup dalam
ketenangan dan kedamaian. Tapi orang-orang muda harus tetap melanjutkan sikap
kami membasmi golongan sesat, karena kalau tidak diimbangi oleh para pendekar,
tentu golongan sesat akan semakin merajalela dan menyusahkan rakyat jelata.
Itulah pula yang menyebabkan kita memberi kesempatan kepada Bwe Hwa untuk
merantau dan bertindak sebagai pendekar, menegakkan kebenaran dan keadilan,
menumpas para penindas yang mengandalkan kekuatan mereka serta membela yang
tertindas dan lemah.” Siangkoan Bi Lian berkata penuh semangat, dua matanya
mencorong dan cuping hidungnya kembang kempis. Hui Lan memandang kagum dan
teringat kepada ibunya. Ada persamaan antara Siangkoan Bi Lian dan ibunya,
sama-sama keras hati dan pemberani!
“Paman dan
Bibi, selain hendak menjenguk karena merasa rindu, kedatanganku ini juga
membawa sebuah berita yang tak menyenangkan. Ketahuilah bahwa dua bulan yang
lalu kakek buyut Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah telah meninggal dunia.”
Pek Han
Siong langsung bangkit dari tempat duduknya dengan kaget. “Meninggal? Kakek
Ceng Thian Sin yang sakti itu dapat meninggal dunia?”
Isterinya
mencela. “Aihhh, engkau ini bagaimana sih? Setiap manusia, betapa pandai dan
saktinya, tetap saja akan mati satu demi satu. Apakah anehnya kalau kakek Ceng
Thian Sin meninggal dunia? Usianya tentu sudah ada seratus tahun.”
“Bibi benar,
kakek buyut meninggal dunia dalam usia seratus tahun lebih. Hanya ada satu hal
yang mengganggu hatiku mengenai kematian kakek buyut.”
Pek Han
Siong sudah duduk kembali dan kini memandang gadis itu dengan alis berkerut,
“Apa yang mengganggu hatimu, Hui Lan?”
“Kakek buyut
meninggal dunia setelah dia bertanding, dikeroyok tujuh orang lawan. Beliau
berhasil mengusir tujuh orang lawan itu, akan tetapi agaknya beliau sudah
terlalu banyak mengeluarkan tenaga sehingga tubuhnya yang sudah tua sekali itu
tidak kuat menahan, dan akhirnya beliau tewas karenanya.”
Pek Han
Siong mengangguk-angguk. “Tidak aneh kalau kakek Ceng dicari serta dimusuhi
orang dalam usia setua itu, karena di waktu mudanya dia membasmi banyak sekali
tokoh kangouw yang jahat. Siapakah tujuh orang itu, Hui Lan?”
“Mereka itu
adalah datuk sesat yang berjuluk Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian,” jawab Hui
Lan sambil menggenggam jari-jari tangannya, mengepal kedua tinjunya.
Melihat ini,
Siangkoan Bi Lian bertanya, “Jadi engkau merantau ini adalah untuk mencari
tujuh orang itu dan membalas kematian kakek buyutmu?”
“Tidak,
Bibi. Akan tetapi kalau aku sampai bertemu dengan mereka dalam perantauanku,
tentu mereka itu akan kuserang.”
“Hemmm, Hui
Lan, apakah engkau hendak membalaskan dendam kematian kakek Ceng Thian Sin?”
tanya Pek Han Siong sambil memandang tajam wajah gadis itu.
Hui Lan
menggeleng kepalanya. “Tidak, Paman. Ayah dan ibu telah menasehati aku agar
jangan menyambung rantai balas membalas dan dendam mendendam ini. Akan tetapi
jika aku bertemu mereka dan mereka melakukan kejahatan, tentu mereka akan
kutentang!”
Pek Han
Siong mengangguk. “Ayah ibumu bijaksana, Hui Lan. Dendam itu menimbulakn
kebencian dan kemarahan, membuat orang ingin sekali membalas. Tujuh orang datuk
itu mendatangi kakek Ceng di Pulau Teratai merah juga untuk membalas dendam.
Memang tidak benar kalau kita mengikat diri dengan dendam. Akan tetapi kalau
engkau menentang seseorang karena dia melakukan kejahatan dan bukan karena
engkau mendendam, tentu saja tindakanmu itu benar.”
“Akan tetapi
betapa pun juga engkau harus berhati-hati sekali kalau bertemu mereka, Hui
Lan,” kata Siangkoan Bi Lian. “Nama tujuh orang itu sudah sangat terkenal
sebagai datuk sesat, apa lagi Toa Ok dan Ji Ok itu. Sudah lama aku mendengar
namanya dan mereka adalah datuk besar yang mewakili daerah barat.”
“Terima
kasih, Bibi. Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono dan lancang. Aku pun
cukup mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi
dan licik sehingga mereka tidak akan malu mengeroyok lawan seperti yang mereka
lakukan terhadap kakek buyut.”
Suami isteri
itu kemudian bertanya banyak sekali tentang orang tua Hui Lan. Gadis ini pun
menceritakan semua yang diketahuinya karena dia maklum betapa erat hubungan
antara ayahnya dan Pek Han Siong. Dalam percakapan mereka, Hui Lan menyinggung
tentang pedang Pek-lui-kiam.
“Ah, kiranya
engkau mengetahui juga tentang pedang yang menghebohkan seluruh dunia kangouw
itu? Kalau aku masih muda seperti dahulu, tentu aku juga tidak mau ketinggalan
memperebutkannya!” kata Siangkoan Bi Lian.
“Hui Lan,
apakah engkau juga hendak mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam?” tanya Pek
Han Siong.
“Memang aku
merasa tertarik sekali, Paman. Kabarnya pedang pusaka itu tadinya berada di
tangan seorang pendekar besar bernama Tan Tiong Bu, akan tetapi pendekar ini
telah terbunuh lantas pedang pusaka itu lenyap. Menurut kabar angin, pembunuh
itu tentu telah mencuri pedang Pek-lui-kiam.”
“Tahukah
engkau siapa pembunuh dan pencuri pedang itu?”
“Menurut
kabar yang kuperoleh dalam perjalananku, pembunuh itu adalah seorang kakek
berjubah merah. Kalau tidak salah, pembunuh itu adalah Ang I Sianjin, ketua
Kwi-jiauw-pang yang bersarang di Kwi-liong-san.”
“Hui Lan,
mungkin Bwe Hwa juga mencari pedang itu. Tetapi pedang itu asalnya bukan milik
kita, maka sungguh tidak benar kalau kita mencoba untuk merampasnya. Kalau kita
berhasil, berarti kita memiliki barang yang bukan milik kita, melainkan milik
Tan Tiong Bu itu.”
“Paman
benar. Aku hendak ke Kwi-liong-san hanya untuk menyelidiki. Jika benar pedang
pusaka itu jatuh ke tangan orang jahat, hal itu harus dicegah. Kabarnya pedang
pusaka itu adalah pusaka yang ampuh, maka kalau terjatuh ke tangan penjahat
tentu dia menjadi seperti harimau tumbuh sayap, kejahatannya akan semakin
menjadi-jadi. Sebaliknya aku pun tak akan mengganggu kalau pedang pusaka itu terjatuh
ke tangan seorang pendekar yang menggunakannya untuk membasmi para penjahat,.”
“Engkau
benar, Hui Lan. Kalau memang engkau hendak menyelidiki ke Kwi-liong-san, aku
hanya berpesan padamu. Apa bila engkau bertemu dengan Bwe Hwa, ajaklah dia
bekerja sama seperti ayahmu bekerja sama dengan aku dahulu. Dengan bersatu
kalian berdua akan menjadi lebih kuat, dari pada kalau bekerja
sendiri-sendiri.”
“Baik,
Paman, akan aku perhatikan pesan Paman itu.”
Hui Lan
tinggal selama tiga hari di rumah Pek Han Siong. Pada hari ke empat, pagi-pagi
dia berpamit kemudian meninggalkan kota Tung-ciu, menuju ke selatan untuk
berkunjung ke Kwi-liong-san (Gunung Naga Iblis).
***************
Si Kong
melakukan perjalanan seenaknya. Dia tidak tergesa-gesa pergi ke Kwi-liong-san
sebab dia memang sedang berkelana, menikmati semua keindahan alam yang
terbentang di depannya. Pada suatu siang tibalah dia di sebuah dusun. Dia
melihat betapa penduduk dusun berada dalam keadaan amat sibuk. Orang-orang
berkeliaran ke sana-sini berunding berkelompok-kelompok.
Ketika
mereka melihat dia memasuki dusun, banyak orang mengikutinya dengan pandang
mata penuh kecurigaan. Yang sangat aneh baginya, dia tidak melihat seorang pun
wanita muda. Yang ada hanya wanita-wanita tua dan anak-anak. Selebihnya, semua
penduduk itu laki-laki! Wajah mereka jelas sekali nampak resah dan khawatir.
Si Kong
melihat sebuah kedai minuman di sudut dusun, dan di tempat ini pun banyak pria
sedang berkumpul dan bicara ramai. Akan tetapi ketika dia memasuki kedai
minuman itu, percakapan mereka berhenti tiba-tiba dan seorang demi seorang
meninggalkan kedai itu.
Si Kong
mendapatkan dirinya hanya seorang diri saja di kedai itu, dengan seorang kakek
penjaga kedai yang nampak ketakutan dan beberapa kali mencuri pandang ke
arahnya. Si Kong menjadi tidak sabar lagi.
“Paman, aku
minta secangkir teh dan bakpau,” katanya kepada penjaga kedai.
Kakek itu
tergopoh-gopoh menyediakan pesanannya, lalu membawanya kepada Si Kong. Sesudah
menaruh makanan dan minuman di atas meja, dengan tergesa-gesa kakek itu hendak
pergi lagi.
“Nanti dulu,
paman. Aku ingin bertanya kepadamu.”
“Bertanya
apa, kongcu? Aku tidak tahu apa-apa.” Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat
dan kedua tangannya diangkat seolah takut kalau dipukul.
Tentu saja
Si Kong menjadi semakin heran lagi. “Paman, aku tidak apa-apa, jangan takut.
Duduklah, paman, duduklah dengan tenang dan jangan takut kepadaku. Bahkan jika
ada bahaya mengancam dirimu, akulah yang akan menghadapinya dan menolongmu!”
“Tidak...,
tidak...! Jangan tanyakan apa-apa kepadaku. Aku tidak tahu, tidak mengerti…
ahh, kasihanilah diriku yang sudah tua…”
Si Kong
mengerutkan sepasang alisnya. Tahulah dia bahwa kakek ini takut akan sesuatu,
seperti semua orang dusun yang berada dalam keadaan panik dan ketakutan. Akan
amat sukarlah membujuk kakek yang sudah ketakutan seperti itu. Jalan satu-satunya
hanyalah membuat kakek itu takut kepadanya agar mau mengatakan apa yang terjadi
di dusun ini.
Si Kong
melepaskan capingnya yang lebar dan meletakkannya di atas meja. Kemudian dengan
tiba-tiba dia menyambar lengan kakek itu dan membuat mukanya nampak bengis,
sepasang matanya melotot.
“Engkau
ingin hidup atau ingin kugantung sampai mati! Hayo cepat jawab atau aku akan
menghancurkan semua tulangmu dan mengupas semua kulitmu!”
Wajah itu
menjadi semakin pucat dan tubuhnya menggigil. Kakek itu segera menjatuhkan diri
berlutut di depan Si Kong. Suaranya hampir tidak terdengar, karena dia bicara
dengan tubuh menggigil dan lidah terasa kelu.
“Ampunkan
saya, kongcu, ampuuun…”
“Hemm, aku
baru mau mengampunimu kalau engkau mau menjawab pertanyaanku. Nah, katakan apa
yang sudah terjadi di dusun ini maka semua orang kelihatan ketakutan dan aku
tidak melihat seorang pun wanita muda di sini. Apa yang telah terjadi? Jawab
dengan sejelasnya!” kata Si Kong dengan girang karena gertakannya berhasil.
“Ada... ada mala
petaka melanda dusun kami…”
“Hayo jawab
yang jelas. Mala petaka apakah itu?”
“Aku… takut
menjawabnya, kongcu.”
“Takut apa?”
“Kalau saya
banyak bicara, tentu saya akan dibunuh…”
“Dan kalau
engkau tidak mau menjawab, engkau bukan saja akan kubunuh, bahkan akan kusiksa
lebih dulu. Sebaliknya aku akan melindungimu dari bahaya apa pun kalau engkau
suka menerangkan kepadaku!”
Mendengar
ucapan Si Kong ini, kakek penjaga kedai itu terlihat agak lega. “Kongcu, mala
petaka itu bukan hanya menimpa dusun ini saja, akan tetapi juga di semua dusun
sekitar Bukit Monyet di sana itu. Iblis penjaga Bukit Kera itu minta supaya
wanita-wanita muda, terutama yang cantik, dikorbankan kepadanya. Wanita itu
harus dilempar ke dalam sumur tua. Entah sudah berapa banyak wanita menjadi
korban dilempar ke dalam sumur tua...”
“Mengapa
kalian mau melakukan itu?”
“Kami
dipaksa, kongcu. Di dusun selatan ada yang tidak menurut. Tetapi akibatnya,
pada malam harinya kepala dusun dan tujuh orang lainnya dibunuh tanpa ada yang
tahu siapa pembunuhnya, dan dalam satu malam saja tiga orang gadis telah lenyap
tanpa ada yang tahu ke mana perginya.”
“Hemm...
aneh sekali kalau ada iblis minta korban wanita muda yang cantik. Jadi karena
itu maka semua wanita muda mengungsi keluar dari dusun ini dan semua orang
nampak ketakutan?”
“Benar,
kongcu. Kami merasa khawatir kalau-kalau iblis itu akan datang pada malam hari
kemudian membunuh kami. Akan tetapi tadi pagi ada kejadian sangat aneh. Kami
semua sudah kebingungan ketika malam tadi mendengar suara iblis itu yang
suaranya bergema minta agar hari ini disediakan korban seorang gadis, sebab
semua gadis telah pergi, yang ada hanya kanak-kanak dan nenek-nenek. Lalu pagi
tadi datang seorang gadis cantik dan gadis itu menawarkan dirinya untuk menjadi
korban dan dilempar ke dalam sumur tua.”
“Ahh,
siapakah gadis itu?”
“Tidak ada
seorang pun yang mengenalnya, akan tetapi dia membawa pedang. Agaknya dia
seorang pendekar wanita yang sengaja hendak menantang iblis penjaga gunung Kera
itu, kongcu.”
“Hemm, dan
dia sudah dilempar ke dalam sumur tua?”
“Sudah,
tetapi bukan dilempar melainkan dia meloncat ke dalam sumur tua itu kemudian
lenyap. Karena itu kami ketakutan, takut kalau-kalau iblis itu akan mengamuk
karena ada gadis dari dusun kami yang hendak menentangnya. Ahh, kami sudah
memberi peringatan kepada gadis itu, akan tetapi dia memaksa dan kami tidak
dapat menghalanginya.”
Si Kong
mengerutkan alisnya. Dia dapat menduga bahwa yang berani berbuat demikian
tentulah seorang pendekar wanita. Dia merasa kagum akan tetapi juga khawatir.
Dia tidak percaya ada iblis penjaga gunung yang menuntut agar dikorbankan
gadis-gadis cantik. Ini tentu ulah orang-orang jahat. Mungkin penjahat itu
lihai sekali sehingga tidak ada orang di dusun itu yang pernah melihatnya biar
pun iblis itu membunuhi banyak orang pada waktu malam. Dia khawatir kalau-kalau
gadis itu akan mengalami celaka di dalam sumur tua.
“Paman, hayo
antar aku ke sumur tua itu!” kata Si Kong.
Wajah kakek
itu menjadi bertambah pucat dan seluruh tubuhnya menggigil seolah dirinya
diserang demam parah. “Saya... saya... tidak berani, kongcu.”
“Hayolah,
ada aku jangan takut. Atau aku harus menggunakan kekerasan seperti ini?” Si
Kong mengambil sebuah cangkir dan meremasnya dengan tangan kiri. Cangkir itu
hancur berkeping-keping sehingga kakek itu semakin takut.
“Nah, mau
antar aku ke sumur tua itu atau kau memilih kuhancurkan tulang-tulangmu?” Si
Kong menggertak.
“Baik… baik,
kongcu… saya akan menutup kedai ini dulu…”
Kakek itu
sangat ketakutan dan bergegas menutup kedainya, kemudian bersama Si Kong dia
meninggalkan dusun. Beberapa orang laki-laki menjadi tertarik ketika melihat
pemilik kedai berjalan bersama seorang pemuda asing.
“Paman Kiu,
hendak ke mana engkau?” beberapa orang bertanya.
Kakek itu
sengaja menjawab dengan suara keras agar terdengar banyak orang. Dia ingin
mencari teman dalam keadaan terancam dan terpaksa itu. “Aku… aku mengantar
kongcu ini ke sumur tua!”
Semua orang
terkejut dan cepat menyingkir, akan tetapi masih ada tujuh orang pemuda yang
mengikuti dari belakang. Si Kong membiarkan saja mereka mengikuti, dan kakek
itu kelihatan lega karena kini dia mempunyai kawan yang mengantar pemuda itu ke
sumur tua yang mereka takuti.
Kini mereka
mendaki lereng bukti Kera menuju ke puncaknya. Matahari telah naik tinggi,
sinarnya panas membakar sehingga kakek itu bersimbah keringat. Kadang dia
mengusap muka dan lehernya dengan ujung lengan bajunya.
“Masih
jauhkah, paman?” Si Kong bertanya.
“Sudah
dekat. Itu puncaknya telah nampak dari sini. Sumur tua itu berada di puncak
bukit ini.”
Mereka
melewati sebuah hutan kecil dan melihat banyak sekali kera di hutan itu. Maka
mengertilah Si Kong mengapa bukit itu disebut Bukit Kera, kiranya memang banyak
kera yang hidup di bukit ini.
Tak lama
kemudian tibalah mereka di puncak. Dengan tubuh gemetar kakek itu mengajak Si
Kong menghampiri sebuah sumur tua. Tujuh orang pemuda sudah berhenti di tempat
yang agak jauh sambil memandang dengan hati tegang dan kaki siap untuk
melarikan diri!
"Inilah
sumurnya, kongcu..."
Si Kong
melihat betapa sinar matahari yang berada di atas menyinari sumur. Dia segera
menghampiri dan nenjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi kelihatannya gelap
menghitam. Sinar matahari hanya sampai di bagian luar dan atas sumur itu saja.
Sumur itu lebar, ada dua meter lebarnya, makin ke bawah makin mengecil.
"Nona
berpedang itu melompat ke dalam sumur ini?" tanya Si Kong kepada kakek
itu.
Kakek itu
hanya mengangguk saja, tak berani mengeluarkan suara, agaknya dengan hati
was-was dia menunggu munculnya munculnya iblis itu dari dalam sumur. Kedua
kakinya yang gemetar juga sudah siap melarikan diri. Si Kong menoleh dan
melihat tujuh orang pemuda dusun masih berdiri di sana.
"Heii,
sobat-sobat! Aku hendak menyelidik ke dalam sumur. Maukah kalian membawakan
segulung tali yang kuat? Kalau ada, makin panjang semakin baik!" Tujuh
orang itu saling pandang, lalu mereka mengangguk dan larilah mereka dari puncak
itu.
Si Kong
memeriksa keadaan sekitar sumur. Tidak ada sesuatu yang aneh. Puncak itu tak
berapa lebar, hanya kurang lebih sepuluh meter lebarnya, menjulang hingga ke
atas. Dia mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya dan menjatuhkan
batu itu ke dalam sumur.
Dia menunggu
sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada suara apa-apa yang datang
dari bawah sana, seolah-olah sumur itu tidak berdasar! Kalau dasarnya air tentu
akan terdengar suara batu yang jatuh ke dalamnya, dan kalau dasarnya tanah juga
akan terdengar oleh pendengarannya yang terlatih.
Si Kong
mengerutkan alisnya. Sungguh aneh sekali, pikirnya. Benarkah lubang sumur itu
tidak berdasar atau dasarnya begitu dalam sehingga suara batu yang dia jatuhkan
tidak bisa terdengar dari atas? Kalau dalamnya seperti itu, gadis pendekar itu
tentu mengalami kecelakaan.
Tiba-tiba
saja telinganya menangkap suara yang hanya sayup-sayup terdengar olehnya.
Seperti suara orang yang berkata-kata, seperti bisikan halus. Dia merasa heran
dan bulu tengkuknya meremang juga.
Dia belum
pernah melihat setan, akan tetapi pernah mendengar orang bercerita tentang
setan yang seram-seram. Ketika mendengar suara bisik-bisik itu, jantungnya
berdebar kemudian terbayanglah dalam ingatannya perihal setan seperti yang
pernah didengarnya. Ahh, mustahil! Demikian dia mencela diri sendiri. Mana
mungkin ada setan di tempat ini!
Tujuh orang
pemuda itu berlarian mendaki puncak lalu mereka menyerahkan segulung tali yang
panjang kepada Si Kong. Si Kong mengikatkan ujung tali pada batang pohon yang
tumbuh di situ dan melemparkan gulungan tali itu ke dalam sumur. Lingkaran
gulungan tali itu terbuka.
“Terima
kasih atas bantuan kalian. Sekarang aku hendak turun ke dalam sumur ini.”
Sesudah Si
Kong menuruni sumur dengan tali itu, tujuh orang pemuda dan kakek pemilik kedai
itu tidak dapat menahan lagi rasa takut mereka. Mereka cepat meninggalkan sumur
dan mengintai dari jarak jauh dengan hati tegang dan jantung berdebar.
Si Kong
meninggalkan caping lebarnya di bibir sumur, akan tetapi dia membawa bambu
pikulannya dan buntalan pakaiannya yang diikatkan di punggung. Tali itu
ternyata panjang sekali dan setelah melewati batas antara bagian sumur yang
mendapat cahaya matahari dengan yang gelap, dia menuruni tali itu dengan
hati-hati.
Tidak lama
kemudian tibalah dia di dasar sumur dan dia tersenyum sendiri ketika kakinya
menyentuh sebuah jala. Ternyata ada sehelai jala dipasang di situ. Pantas
batunya tidak mengeluarkan suara karena menimpa jala yang kuat dan lunak.
Begitu dia menginjak jala itu, terdengar suara berkelinting di arah kiri. Dia
meraba-raba ke bagian kiri dan mendapat kenyataan bahwa dinding sumur di bagian
kiri itu kosong berlubang! Kalau begitu sumur itu bagian dasarnya mempunyai
sebuah terowongan!
Suara
berkelinting tadi segera disusul dengan suara orang bercakap-cakap dan tak lama
kemudian nampak cahaya api di terowongan. Empat orang laki-laki datang dan
seorang di antara mereka memegang sebuah lampu gantung yang cahayanya cukup
terang.
Dalam penerangan
cahaya lampu itu nampaklah oleh Si Kong bahwa terowongan itu garis tengahnya
kurang lebih dua meter. Juga di pinggang empat orang itu nampak ada golok
bergantung dan mereka membawa tali seakan hendak mengikat korban yang terjatuh
ke dalam jala mereka. Tentu dia dikira seorang gadis manis yang menjadi korban
disuguhkan kepada iblis penjaga sumur.
Tepat
seperti dugaannya! Bukan iblis yang menuntut dikorbankannya dara-dara muda dan
cantik, tapi segerombolan orang-orang jahat yang menipu penduduk dusun yang
percaya akan takhyul!
Hati Si Kong
menjadi panas bukan main. Entah sudah berapa banyak gadis dusun yang menjadi
korban-korban iblis-iblis itu. Dia menyembunyikan mukanya di bawah lengan agar
dari jauh mereka tak dapat melihat bahwa dia seorang pria. Setelah mereka
menghampiri, dia mendengar dengan jelas kata-kata mereka.
“Wah, sudah
datang lagi gadis manis untuk kita!”
“Engkau
sudah mendapat bagian, aku yang belum.”
“Yang ini
untukku, akan kuminta kepada Twako!”
Ketika
mereka sudah tiba dekat, dalam jarak sekitar dua meter, Si Kong melompat keluar
dari dalam jala sambil tangannya bergerak menotok tiga kali dan tiga orang itu
roboh tak bisa berkutik lagi. Dia lalu mencengkeram pundak orang ke empat yang
membawa lampu sehingga orang itu menyeringai karena pundaknya seperti
dicengkeram jepitan baja saja.
“Jangan
berteriak atau bergerak kalau tidak ingin mati!” Si Kong berbisik, dan dari
pundak yang gemetaran itu tahulah Si Kong bahwa orang ini amat ketakutan.
“Hayo
katakan berapa banyak kawan-kawanmu?”
Agaknya
orang ketakutan itu hendak menggertak, maka dia segera menjawab, “Ada lima
belas orang dan langsung dipimpin oleh Twako (Kakak Tertua) yang sangat lihai.
Engkau berani masuk ke sini, berarti engkau akan mati tersiksa.”
Si Kong
memperkuat cengkeraman tangannya hingga orang itu mengaduh-aduh. “Aduh…
ampunkan saya…” dia meratap.
“Di mana
gadis-gadis korban itu?”
“Di ruangan
sana, dikumpulkan menjadi satu. Kalau ada yang dibutuhkan baru diambil dan
dibawa...”
“Antarkan
aku ke sana!”
Dia
melepaskan cengkeramannya, lantas mendorong orang yang membawa lampu itu ke
depan. Orang itu tadinya hendak lari, akan tetapi sesudah merasakan lagi
cengkeraman pada pundaknya, dia pun maklum bahwa dia sudah tidak berdaya.
“Baik, akan
kuantarkan. Akan tetapi lepaskan dulu pundakku... aduhh, sakit...!”
Si Kong
mengendurkan cengkeramannya, lalu mendorong orang itu yang melangkah maju
dengan terhuyung-huyung. Sesudah berjalan sejauh kurang lebih seratus meter dan
jalan itu membelok ke kanan, nampak ruangan yang mendapatkan cahaya matahari.
Orang itu menggantungkan lampu di tempat gantungan yang tersedia.
Si Kong lalu
memperhatikan sekelilingnya. Agaknya terowongan itu sengaja dibuat orang.
Bagian itu merupakan dasar sebuah sumur yang tidak begitu dalam, maka
mendapatkan sinar matahari dari atas. Orang itu melangkah terus, sementara
jalan mulai mendaki naik.
Orang itu
berhenti di depan sebuah ruangan yang memakai jeruji besi pada pintunya. Si
Kong melihat belasan orang gadis berada dalam ruangan itu, ada yang sedang
menangis dan ada yang memandang kosong dan putus asa. Dia tertarik kepada
seorang gadis yang dua tangannya diikat pada gelang-gelang yang tertanam di
dinding itu. Dia terkejut sekali sesudah mendapat kenyataan bahwa gadis itu
adalah Hui Lan, Tang Hui Lan! Akan tetapi gadis itu tidak melihatnya, melainkan
menundukkan muka dengan sikap tenang sekali.
Dari depan
terdengar suara orang. Si Kong cepat menotok tawanannya dan menyeretnya ke
tempat gelap, lantas dia mengintai. Belasan orang mendatangi tempat itu,
mengiringi seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh bekas penyakit
cacar. Akan tetapi laki-laki bopeng (cacat mukanya) ini mempunyai mata yang
mencorong penuh kekejaman dan agaknya dia menjadi kepala mereka semua karena
belasan orang itu nampak tunduk dan hormat kepadanya.
“Sekali ini
kami bersumpah, twako. Twako tentu akan senang sekali mendapatkan yang ini. Dia
luar biasa cantik jelitanya, tidak seperti perawan-perawan gunung yang
sederhana itu. Kami menemukan dia dalam keadaan pingsan di dalam jala. Melihat
dia membawa pedang, kami lalu merampas pedang dan mengikat kedua tangannya pada
gelang baja. Nah, itu dia, twako, agaknya sudah sadar. Aduh, cantiknya seperti
puteri kaisar saja!”
Si tinggi
besar muka bopeng itu hanya menggumam, akan tetapi setibanya di depan pintu
berjeruji, dia berhenti kemudian dengan bengong memandang ke arah gadis yang
diikat itu. Ternyata anak buahnya tidak berlebihan dalam keterangannya. Seorang
gadis yang benar-benar luar biasa!
“Ha-ha, dia
cantik dan membawa pedang? Berarti sedikit banyak tentu dia pandai bersilat.
Dia pantas menjadi sisihanku, menjadi isteriku! Bukakan daun pintu ini! Aku
sendiri yang akan melepaskan ikatan kedua tangannya yang mungil itu!”
Anak buahnya
tertawa-tawa senang melihat pemimpin mereka puas, dan dua orang dari mereka
segera membuka daun pintu yang dipasangi rantai yang dikunci itu. Begitu daun
pintu dibuka, si bopeng itu segera melangkah masuk dan menghampiri Hui Lan. Si
Kong melihat ini dan seluruh urat syarafnya sudah menegang, siap untuk
menerjang apa bila si bopeng itu melakukan hal yang tidak sopan terhadap Hui
Lan.
Si bopeng
itu telah berdiri di depan Hui Lan dan dia tertawa bergelak. “Hebat, cantik
jelita, kulitnya begitu putih mulus! Ha-ha-ha!" Sesudah tertawa dan memuji
kecantikan tawanan itu, kedua tangannya yang besar bergerak hendak melepaskan
tali pengikat kedua tangan Hui Lan.
Si Kong yang
sedang mengintai itu tiba-tiba tersenyum. Dia melihat gadis itu mengangkat muka
dan melihat betapa mata gadis itu mencorong seperti mata naga. Sekilas pandang
saja tahulah Si Kong bahwa dara perkasa itu hanya pura-pura, padahal sudah siap
siaga sejak meloncat ke dalam sumur!
Si Kong
merasa kagum bukan main. Dia sendiri tentu akan berpikir dua kali kalau harus
melompat begitu saja ke dalam sumur yang gelap itu dan belum tahu apa yang akan
dia hadapi di dasar sumur.
Dugaannya
benar. Begitu si bopeng menjulurkan kedua tangan untuk melepaskan ikatan tangan
Hui Lan, kedua tangan gadis yang tadinya terikat tiba-tiba saja sudah lepas
begitu saja, kemudian sekali tangan kiri si gadis itu memukul dengan tangan
terbuka miring yang mengenai dada si bopeng, pemimpin gerombolan itu
terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mengaduh-aduh dan mulutnya mengeluarkan
darah!
Melihat ini
belasan orang anggota gerombolan itu menjadi terkejut dan marah. Akan tetapi
sebelum mereka dapat berbuat sesuatu, terdengar Hui Lan membentak dengan
suaranya yang nyaring penuh wibawa.
“Kalian
hanya gerombolan anjing-anjing yang pandai menggonggong! Anjing-anjing yang
pandai menggonggong!”
Si Kong
menahan tawanya ketika belasan orang itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri lantas
merangkak dengan kaki tangan mereka seperti kawanan anjing. Mereka menggonggong
dan menyalak riuh rendah sambil merangkak ke sana sini! Ternyata segerombolan
orang itu telah terpengaruh oleh sihir yang dilepas Hui Lan.
“Adik Hui
Lan...!” Si Kong melompat keluar dari tempat sembunyinya.
Hui Lan amat
terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Dengan alis berkerut dia
memandang Si Kong, menyangka bahwa ada anggota gerombolan itu yang tidak
terkena sihirnya. Akan tetapi ketika dia sudah melihat jelas, dia segera
mengenal pemuda itu dan memandang dengan penuh keheranan.
“Engkau…
kakak Si Kong! Bagaimana engkau dapat berada di sini?” Pandangan matanya
tiba-tiba saja berubah penuh kecurigaan. “Apakah engkau salah satu anggota
gerombolan anjing-anjing ini?”
Si Kong
tersenyum dan menggeleng kepalanya.“ Bagaimana aku dapat menjadi anggota
gerombolan ini? Setelah mendengar keterangan orang dusun, aku lantas menuruni
sumur untuk melakukan penyelidikan. Ternyata gadis yang tadi pagi meloncat ke
dalam sumur ini adalah engkau, Lan-moi. Ahh, kekhawatiranku sia-sia belaka. Kalau
engkau tentu tidak membutuhkan bantuan siapa pun!”
“Nanti saja
kita bicara, Kong-ko. Mari bantu aku membawa gadis-gadis ini keluar dari sini
dan menyeret anjing-anjing ini keluar agar dapat dihajar oleh penduduk dusun.”
“Baik,
Lan-moi. Anjing-anjing itu sebaiknya dibuat tak berdaya,” kata Si Kong dan dia
lalu memasuki ruangan tahanan itu.
Berkali-kali
tangannya bergerak dan setiap gerakan tentu merobohkan seorang penjahat yang
sedang merangkak dan menggonggong itu. Sebentar saja belasan orang itu sudah
tertotok semua, termasuk si muka bopeng yang sudah menderita luka parah oleh
pukulan tangan Hui Lan tadi.
Dengan
penerangan dari lampu yang dibawa oleh seorang gadis yang sudah dibebaskan, Si
Kong lalu menyeret belasan orang itu ke dasar sumur.
“Engkau
naiklah dulu, Lan-moi. Sesudah berada di atas, segera panggil penduduk dusun
agar mereka mengangkat naik gadis-gadis ini dan juga gerombolan ini!"
“Baik,
Kong-ko!” Dengan sigap dan cepat sekali Hui Lan merayap naik dengan bergantung
pada tali yang tadi dipakai Si Kong untuk turun ke dalam sumur....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment