Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 03
Dia menoleh
lantas memandang kepada Si Kong yang berdiri dengan muka ditundukkan. Dia pun
merasa kasihan setelah melihat bibir Si Kong yang berdarah serta pipinya yang
lebam. Seorang bocah dusun minta pekerjaan malah dihajar!
“Apa
salahnya minta pekerjaan? Kalau tidak ada pekerjaan, tolak saja, tak perlu
dipukuli. Lagi pula aku mendengar sendiri dari ayah bahwa kita memang sedang
membutuhkan tenaga seorang pembantu untuk menggembala kerbau kita. Eh, sobat
siapa namamu dan apakah engkau mau diberi pekerjaan menggembala segerombolan
kerbau?”
“Nama saya
Si Kong, nona. Saya akan senang sekali kalau diberi pekerjaan dan rasanya saya
sanggup untuk menggembala kerbau,” jawab Si Kong dan dalam hatinya dia memuji
gadis ini yang sikapnya berbeda jauh sekali dibandingkan kakaknya yang angkuh.
Gadis ini ramah dan lincah.
“Jika ada
seekor saja kerbaunya yang hilang, maka engkau harus menggantinya!” bentak Tong
Kim Hok, suaranya masih marah.
“Aihh, koko.
Siapa sih yang berani mencuri kerbau kita? Mari kau ikut aku, Si Kong, kita
menghadap ayah.”
“Terima
kasih, Nona.”
Si Kong
mengikuti gadis itu yang memasuki pintu gerbang kemudian menghampiri sebuah
gedung yang berdiri dengan megahnya di tengah-tengah perkampungan itu. Di
kanan-kiri dan belakang gedung besar itu berdiri banyak pondok, agaknya menjadi
tempat tinggal para pekerja di situ.
Tong Li Koan
memang seorang hartawan kaya raya yang menjadi majikan Bukit Bangau. Dia
menggunakan banyak pekerja untuk mengerjakan sawah ladangnya di bukit itu, juga
mempekerjakan sejumlah belasan tukang pukul untuk menjaga perkampungan.
“Ayah...!”
Kim Lan berteriak ketika memasuki rumah dan menyuruh Si Kong menunggu di
serambi depan.
Tidak lama
kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang laki-laki berusia lima
puluhan tahun, berpakaian mewah dan tangan kirinya memegang sebatang huncwe
(pipa tembakau) yang panjangnya setengah meter dan ketika dihisap mengeluarkan
bau tembakau yang harum.
“Inikah
orangnya?” tanya Tong Li Koan kepada puterinya. Dia amat menyayangi puterinya
yang jauh lebih pandai dan cerdik dibandingkan puteranya.
“Ya, Ayah.
Namanya Si Kong dan dia mau menjadi penggembala kerbau kita.”
Si Kong
sudah mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada
Tong-Loya. “Saya bersedia untuk bekerja apa saja, Loya,” katanya hormat.
Tong Li Koan
memandang ke arah mulut dan pipi Si Kong, lalu mengerutkan alisnya dan menuding
dengan huncwe-nya ke arah muka Si Kong.
“Kenapa
mukamu itu? Seperti orang habis berkelahi!” katanya.
Si Kong
merasa tidak enak sekali untuk memberi tahu bahwa dia dipukuli putera majikan
itu, maka dia hanya menggumam, “Tidak apa-apa, Loya.”
“Dia
dipukuli koko, Ayah. Koko hendak mengujinya sebelum dia bekerja.”
“Ahh, Kim
Hok terlalu ringan tangan…” kata hartawan itu.
“Sayalah
yang bersalah, Loya,” Si Kong cepat-cepat berkata. “Saya sudah berani lancang
hendak menghadap loya untuk minta pekerjaan.”
“Sudahlah,
engkau kuterima sebagai penggembala kerbau. Setiap hari, pagi-pagi sekali
engkau harus menggembalakan kerbau-kerbau kami yang berjumlah tiga puluh ekor
itu ke padang rumput, memelihara dan menjaga mereka baik-baik.”
Tong Li Koan
bertepuk tangan dan seorang pelayan datang berlari kepadanya. Hartawan itu
memerintahkan kepada pembantu itu untuk memberi sebuah kamar bagi Si Kong dan
memberi petunjuk mengenai pekerjaannya menggembala kerbau.
“Beri dia
satu kamar di pondok dekat kandang kerbau di belakang. Dan engkau, Si Kong,
bekerjalah baik-baik dan engkau akan memperoleh upah yang lumayan serta makan
dan pakaian yang secukupnya.”
Si Kong
merasa girang sekali. “Terima kasih, Loya dan Siocia (nona).”
Dia lalu
pergi mengikuti pelayan itu yang membawanya menuju ke kandang kerbau untuk
memperlihatkan kerbau-kerbau yang harus dirawatnya, juga menunjukkan sebuah
kamar di pondok dekat kandang kerbau di mana dia boleh memakai sebagai tempat
tinggalnya.
Demikianlah,
dengan hati gembira Si Kong menerima pekerjaan baru itu. Kini kekosongan
hidupnya telah terisi. Dia mempunyai pekerjaan! Dia merasa beruntung sekali
bahwa pada hari kepergian gurunya yang kedua, yaitu Kwa Siucai, dia langsung
mendapat pekerjaan sebagai penggembala kerbau.
Tanpa terasa
satu bulan sudah lewat sejak Si Kong bekerja di Bukit Bangau. Benar saja
seperti yang telah dijanjikan Tong Li Koan, dia menerima upah yang lumayan,
setiap hari makan sekenyangnya dan diberi pakaian sehingga setiap hari dia
dapat berganti pakaian.
Pekerjaan
menggembala kerbau cukup menyenangkan. Kerbau-kerbau itu adalah hewan ternak
yang mudah diatur, penurut dan mudah dijaga, tidak liar lari ke sana-sini.
Sesudah matahari naik tinggi dia menggiring kerbaunya kembali ke kandang.
Kelebihan waktunya dia pergunakan untuk menyabit rumput sebagai penambah
makanan hewan itu. Sore hari dan malamnya dia boleh beristirahat di dalam
pondok dekat kandang kerbau itu.
Dia sama
sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tong Kim Hok menaruh dendam kepadanya. Pemuda
ini dimarahi oleh ayahnya karena sudah memukuli Si Kong. Dia tahu bahwa tentu
adiknya yang mengadu, akan tetapi kemarahannya dia timpakan kepada Si Kong.
Selain
menggembala tiga puluh ekor kerbau, Si Kong juga diberi tugas untuk mengurus
dan merawat lima ekor kuda yang menjadi kuda tunggangan keluarga Tong. Setiap
hari dia harus memberi makan dan menggosok badan kuda sampai bersih.
Pada suatu
siang Si Kong pulang dari menggembala kerbau. Setelah selesai makan dan hendak
berangkat menyabit rumput untuk kerbau-kerbaunya dan lima ekor kuda, tiba-tiba
saja muncul Kim Lan di depan pondoknya. Si Kong menyambutnya dengan hormat.
“Apakah Nona
membutuhkan kuda untuk ditunggangi hari ini?” tanyanya.
Sudah sering
kali dia bertemu dengan gadis manis ini karena Kim Lan memang senang sekali
menunggang kuda. Ia selalu datang sendiri ke kandang untuk mengambil kudanya.
“Tidak, Si
Kong. Aku hanya ingin bertanya mengenai pekerjaanmu di sini. Apakah engkau
sudah cocok dan suka tinggal di sini bekerja untuk kami?”
“Cocok dan
senang sekali, Nona. Nona dan Tong-loya amat baik kepada saya.”
Gadis itu
tersenyum sambil menatap tajam wajah Si Kong yang gagah. Dia mengerutkan
alisnya dan bertanya. “Si Kong, engkau berasal dari manakah dan mengapa bisa
sampai ke sini, minta pekerjaan kepada ayahku? Di mana orang tua dan
keluargamu?”
Si Kong
tersenyum sedih, lantas menjawab. “Saya berasal dari jauh, Nona, dari sebuah
dusun yang disebut Ki-ceng. Akan tetapi saya telah yatim piatu dan tidak
memiliki sanak keluarga, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, sebatang
kara. Saya seorang kelana dan ketika lewat di sini, saya tertarik dan ingin
mencari pekerjaan tetap. Untunglah Nona menolong saya dan menghadapkan kepada
Loya sehingga saya mendapatkan pekerjaan di sini. Terima kasih, Nona.”
Tiba-tiba
dari arah kandang kerbau muncul Tong Kim Hok. Pemuda itu kelihatan marah sekali
dan berkata kepada Si Kong, “Hei, Si Kong! Bagaimana engkau bekerja ini? Kalau
engkau lalai seperti ini, lama-kelamaan kerbau-kerbau kami akan mati semua!”
Si Kong
terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran. “Apa
yang Kongcu maksudkan? Saya tidak pernah lalai menjaga kerbau-kerbau itu!”
“Enak saja
kau bicara! Seekor di antara mereka mengalami luka parah pada kakinya dan kau bilang
kau menjaga dengan baik?”
“Koko, apa
artinya ini?” tanya Tong Kim Lan.
“Moi-moi,
engkau tak perlu bersikap manis kepadanya! Kau lihat sendiri, ada kerbau yang
terluka dan dia pura-pura tidak tahu! Mari lihat sendiri!”
Kim Hok
berjalan ke arah kandang, diikuti oleh Kim Lan dan Si Kong yang merasa heran
akan tetapi juga khawatir. Setelah tiba di kandang Kim Hok lalu menuding ke
arah seekor kerbau yang mendekam di sudut.
“Lihat itu!
Kakinya luka berdarah. Dia bahkan tidak kuat berdiri!”
Si Kong
terkejut sekali dan cepat memasuki kandang, membantu kerbau yang mendekam itu
agar berdiri. Dan nampak olehnya betapa sebuah kaki depan kerbau itu terluka
parah!
“Tapi ini...
ini aneh sekali! Tadi ketika saya menggiring mereka masuk kandang, tidak ada yang
terluka kakinya!”
“Apa yang
aneh? Setiap hari engkaulah yang mengurus kerbau-kerbau ini. Kini ada yang
terluka kakinya, karena engkau takut dimarahi ayah maka engkau pura-pura bodoh
dan tidak tahu! Bagus sekali, ya?”
“Si Kong,
apa yang terjadi dengan kerbau ini? Nampaknya seperti terluka oleh bacokan
senjata tajam!” kata Kim Lan sambil mendekati Si Kong dan kerbaunya.
“Saya tidak
tahu, Nona. Ketika tadi saya menggiring semua kerbau memasuki kandang, belum
ada yang terluka. Agaknya ada orang yang sengaja melukai kerbau ini pada waktu
saya sedang makan.”
“Apa?! Kau
berani menuduh aku melukai kerbau ini? Jangan kurang ajar, Si Kong!’ bentak Kim
Hok marah dan dia sudah menghampiri Si Kong dengan sikap hendak menyerang.
Akan tetapi
Kim Lan menghadangnya. “Tahan, koko. Si Kong tidak menuduh siapa-siapa, hanya
mengatakan bahwa agaknya ada orang melukai kerbau ini pada waktu dia sedang
makan, tetapi dia tidak menuduhmu!”
Pada saat
itu terdengar suara orang tertawa, tawa seorang wanita terkekeh-kekeh. Kim Hok
dan Kim Lan terkejut lalu menengok, demikian pula Si Kong memandang ke kanan,
ke arah datangnya suara tawa.
Kiranya di
situ telah berdiri seorang wanita yang usianya sekitar empat puluh tahun, akan
tetapi dia masih kelihatan cantik dengan pakaiannya yang amat mewah. Di
punggungnya tergantung sebatang pedang, sementara tangan kirinya menggenggam
sebatang kebutan berbulu merah.
“Hi-hi-hik-heh-heh!
Kalau tidak ada yang membacok dengan pedang, mana mungkin kaki kerbau bisa
terluka? Si Huncwe Maut berwatak serakah dan curang, agaknya menurun kepada
puteranya! Heh-heh!”
Mendengar
ini Kim Hok menjadi merah mukanya dan dia melompat ke depan wanita itu. Huncwe
Maut adalah nama julukan ayahnya di dunia kang-ouw, maka jelas bahwa wanita itu
tadi maksudkan dia sebagai putera Huncwe Maut.
“Siapakah
engkau? Berani sekali berlancang mulut!” bentak Kim Hok marah.
“Hi-hik,
orang muda, engkau masih remaja akan tetapi sudah banyak akal dan licik. Coba
cabut pedangmu, di situ pasti masih ada bekas darah kaki kerbau itu!”
“Perempuan
lancang! Engkau datang melanggar wilayah kami, hayo cepat pergi sebelum aku
terpaksa menggunakan kekerasan!”
“He-he-he-hi-hik!
Persis seperti ayahnya, berani, angkuh dan cerdik! Akan tetapi engkau tidak
tahu siapa yang engkau hadapi, anak muda. Lebih baik lekas panggil ayahmu ke
sini untuk bertemu denganku!”
Watak Kim
Hok memang angkuh dan dia merasa kuat sendiri. Tentu saja dia memandang rendah
terhadap wanita setengah tua itu. Orang perempuan itu berani tidak memandang
mata kepada ayahnya!
“Engkau
layak dipukul!” katanya dan cepat dia sudah menerjang ke depan dan memukul ke
arah muka wanita itu.
Wanita itu
hanya mengelak sedikit dan begitu tangannya bergerak, tubuh Kim Hok segera
terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!
Kim Hok
marah sekali. Dia tidak menjadi jera, bahkan kini dia mencabut pedangnya dan
menyerang wanita itu dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Akan tetapi wanita
itu menggerakkan tangan kirinya, bulu kebutannya membelit pedang dan sekali
bergerak dia sudah menendang Kim Hok sehingga untuk kedua kalinya tubuh pemuda
itu terpental dan pedangnya sudah terampas. Sambil mendengus penuh ejekan
wanita itu menggerakkan kebutannya dan pedang itu meluncur lalu menancap di
atas tanah dekat kaki Kim Hok!
Seorang
pembantu melihat perkelahian itu, dan dia cepat berlari masuk ke gedung untuk
memberi tahu kepada majikannya. Sementara itu Kim Hok sudah mencabut pedangnya
dari tanah, lalu seperti kerbau gila dia mengamuk dan menyerang wanita itu,
lupa bahwa sudah dua kali dia dirobohkan.
Melihat
kakaknya dua kali dirobohkan wanita itu, Kim Lan langsung mencabut pedangnya
dan hendak membantu. Akan tetapi Si Kong berkata kepadanya, “Nona, wanita itu
bukan lawanmu! Dia terlalu lihai bagimu!”
Kim Lan
tidak jadi menyerang dan hanya memandang ketika kakaknya itu kembali sudah
menyerang secara bertubi-tubi. Tapi dengan mudahnya wanita itu mengelak ke
sana-sini sambil mengeluarkan suara tawa mengejek seperti mempermainkan seorang
anak.
“Anak nakal,
engkau masih belum mau mengaku kalah juga?” Tiba-tiba saja wanita itu
menggerakkan hudtim-nya ke depan dan seketika tubuh Kim Hok menjadi kaku dan
tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya sudah tertotok.
“Hi-hi-hik,
kau anak nakal yang bandel!”
Wanita itu
menggunakan tangannya untuk mengelus dan mencubit dagu Kim Hok dengan gaya yang
genit sekali, kemudian tangannya mendorong dada Kim Hok dan untuk ketiga
kalinya Kim Hok terjengkang roboh! Sekali ini dia roboh dekat kaki Si Kong yang
segera membungkuk dan menolongnya.
“Kongcu,
engkau tidak apa-apa?” katanya sambil diam-diam menotok punggung pemuda itu
sehingga tubuh Kim Hok yang tadinya kaku dapat bergerak kembali.
“Huh! Jangan
pegang-pegang aku!” Kim Hok membentak sambil meronta, dan dia sudah memegang
pedangnya kuat-kuat untuk menyerang lagi.
Akan tetapi
sebelum Kim Hok menyerang lagi, terdengar bentakan ayahnya, “Kim Hok, jangan
lancang!”
Mendengar
bentakan ayahnya, Kim Hok berhenti menyerang dan mundur. Tong Li Koan kini
berdiri berhadapan dengan wanita itu. Setelah memandang dengan mata tajam penuh
selidik sambil mengisap huncwe-nya, Tong Li Koan melepaskan huncwe dari mulut
dan berkata sambil tersenyum.
“Hemmm,
kalau tidak salah duga, agaknya aku sedang berhadapan dengan Ang-bi Mo-li
(Iblis Perempuan Cantik Merah).” Julukan ini tentu dihubungkan dengan bulu
kebutannya yang berwarna merah.
Wanita itu
tertawa hingga nampak giginya yang rapi berderet rapi. “Kiranya yang berjuluk
Huncwe Maut, selain kaya raya juga berpemandangan tajam! Tong Wan-gwe (Hartawan
Tong), aku memang Ang-bi Mo-li! Puteramu ini curang, angkuh namun pemberani.
Tidak kecewa menjadi putera Huncwe Maut, hanya sayang ilmu silatnya rendah saja
sehingga aku menjadi ragu apakah ilmu kepandaianmu juga sebesar namamu!”
Tong Li Koan
maklum bahwa Iblis Betina ini sengaja hendak mencari perkara, maka dia segera
mengangkat tangan ke depan dada, memberi hormat lalu berkata, “Anakku masih
muda dan lancang, harap engkau suka memaafkannya. Setelah engkau lewat di sini,
mari silakan singgah di rumah kami supaya kami lebih leluasa menyambutmu
sebagai tamu.” Tong Li Koan sengaja bersikap lunak karena dia tidak ingin
bermusuhan dengan wanita yang namanya terkenal di dunia persilatan sebagai
tokoh yang lihai sekali.
Mendengar
ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh-hi-hik! Tong wan-gwe aku
berada di daerah ini bukan sebagai tamu dan juga engkau bukan sebagai tuan
rumah di sini. Dahulu, lama sebelum engkau datang, tanah ini sudah menjadi
wilayahku dan aku tinggal di sebelah timur bukit. Sekarang aku mendengar bahwa
engkau sudah menguasai seluruh bukit. Ini tidak adil! Karena aku berminat untuk
tinggal di sini lagi, sebaiknya kita bagi rata saja. Bagian timur bukit menjadi
milikku dan engkau menguasai bagian barat ini.”
Tong Li Koan
mengerutkan alisnya, mengisap huncwe-nya lantas mengepulkan asapnya dari
hidung. Kemudian dia berkata dengan suara lantang. “Usulmu itu tidak mungkin
dapat dilaksanakan, Mo-li! Sebelum aku datang seluruh daerah bukit ini masih
berupa hutan dan rawa liar. Aku yang membangunnya sehingga sekarang menjadi
tanah sawah ladang yang subur dan digarap oleh orang-orangku. Mana bisa aku
yang mencangkul dan menanam, tetapi sekarang engkau yang ingin memetik hasilnya
begitu saja?”
“Aku yang
datang lebih dulu, orang she Tong! Kalau engkau berkukuh hendak menguasai bukit
ini seluruhnya, maka engkau harus dapat mengalahkan dan mengusir aku dari sini.
Sebaliknya kalau engkau kalah olehku, engkaulah yang harus pergi meninggalkan
tempat ini bersama seluruh keluargamu!”
Mendengar
ini, Tong Li Koan menjadi marah. Bahkan kedua orang anaknya juga menjadi marah
bukan main.
“Ayah, kita
hajar saja orang kurang ajar ini!” kata Kim Lan sambil mencabut pedangnya.
“Kim Lan,
dan engkau Kim Hok, jangan ikut campur. Dia bukan lawan kalian!” kata Tong Li
Koan, lalu dia maju menghampiri Ang-bi Mo-li dan berkata, “Mo-li, kalau
kedatanganmu ini hendak menantang aku, aku tidak dapat menolaknya. Jangan
dikira bahwa aku takut menghadapimu! Silakan!” Dia segera memasang kuda-kuda
dan memegang huncwe-nya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencabut
pedangnya.
Melihat ini,
Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh, lalu tiba-tiba tangan kanannya bergerak
dan tahu-tahu dia telah mencabut pedangnya dari punggung dengan amat cepatnya.
“Orang she
Tong! Engkau lebih memilih mati dari pada menyerahkan bagian timur bukit ini?”
ejeknya.
“Akan
kupertaruhkan nyawaku untuk bukit ini!” jawab Tong Li Koan dengan tegas.
“Bagus,
lihat seranganku!”
Tanpa
sungkan lagi Ang-bi Mo-li sudah mulai menyerang. Pedangnya berkelebat disusul
berkelebatnya hudtim (kebutan) pada tangan kirinya. Entah mana yang lebih
berbahaya, pedangnya atau kebutannya karena keduanya menyambar dengan dahsyat
dan mengirim serangan maut.
“Trangg-traanggg...!”
Si Huncwe
Maut menangkis dengan pedang dan huncwe-nya, kemudian balas menyerang dengan
hebatnya pula. Ang-bi Mo-li juga dapat menghindarkan diri dari serangan Huncwe
Maut. Terjadilah perkelahian yang amat menegangkan antara kedua orang yang
namanya sudah terkenal di dunia persilatan itu.
Bila kebutan
itu berbahaya sekali karena bisa menjadi kaku untuk menusuk atau menotok
kemudian menjadi lemas untuk melilit senjata lawan, huncwe itu tak kalah
berbahayanya. Dengan gerakan tertentu Tong Li Koan dapat membuat huncwe itu
memercikkan api ke arah wajah lawan, lalu menotok jalan darah dengan ujungnya.
Berkali-kali
kedua pedang itu bertemu dan berpijarlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata.
Kim Hok dan Kim Lan yang menonton pertandingan itu merasa tegang bukan main.
Mereka tidak tahu apakah ayah mereka akan menang atau kalah dalam pertandingan
itu, namun untuk membantu mereka tidak berani. Ilmu kepandaian mereka masih
jauh untuk dapat membantu.
Akan tetapi
Si Kong yang juga menonton pertandingan itu mengerutkan alisnya. Dengan tingkat
kepandaiannya dia dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik dan dia melihat
betapa tingkat kepandaian wanita itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian
majikannya. Majikannya akan kalah, hal ini sudah dapat diduganya melihat
jalannya pertandingan.
Dugaan Si
Kong memang benar. Walau pun dalam hal tenaga dalam kedua orang yang bertanding
itu memiliki kekuatan seimbang, namun dalam hal kecepatan gerakan, Tong Li Koan
atau si Huncwe Maut masih kalah sehingga kini perlahan-lahan wanita itu mampu
mendesaknya dengan sambaran kebutan dan pedangnya.
Setelah Tong
Li Koan terdesak dan mundur terus, kedua orang anaknya baru mengetahui bahwa
ayah mereka terdesak dan hampir kalah. Rasa takut terhadap wanita itu langsung
hilang karena melihat ayah mereka terancam bahaya maut, kemudian dua orang anak
itu meloncat ke depan dan menggunakan pedang mereka untuk menyerang Ang-bi
Mo-li!
Akan tetapi
kebutan Ang-bi Mo-li langsung menyambar. Kim Hok dan Kim Lan terlempar ke
belakang dan bergulingan. Pada saat itu pula pedang Tong Li Koan menusuk ke
arah dada Ang-bi Mo-li. Dengan cepatnya wanita itu mengelak, kebutannya
menyambar dan membelit pergelangan tangan Tong Li Koan yang memegang pedang.
Ketika Tong
Li Koan mengayunkan huncwe-nya, dia kalah dulu karena pedang wanita itu sudah
mengenai ujung pundaknya. Dia berteriak dan meloncat ke belakang, pedangnya
terampas dan pundaknya berdarah. Kim Hok dan Kim Lan melompat dekat ayah
mereka.
“Ayah,
engkau tidak apa-apa?” tanya Kim Hok.
“Ayah,
pundakmu berdarah,” kata Kim Lan.
Tong Li Koan
menghela napas panjang. “Aku telah kalah...,” katanya dengan nada sedih.
“Heh-heh-heh-hi-hik,
engkau cukup jantan untuk mengaku kalah. Aku memberi waktu dua hari kepada
kalian semua untuk meninggalkan bukit ini!” kata Ang-bi Mo-li.
“Nanti
dulu...!” terdengar bentakan dan semua orang menengok memandang kepada Si Kong
yang datang menghampiri karena pemuda inilah yang membentak tadi.
“Ang-bi
Mo-li, enak saja kau bicara! Majikanku telah mengalah, hal itu sudah sepatutnya
karena engkau seorang wanita. Akan tetapi engkau tidak tahu diri, hendak
merampas hak milik orang lain begitu saja. Masih ada aku di sini yang
mempertahankannya dan kuharap engkaulah yang segera pergi dan jangan mengganggu
majikanku!”
“Si
Kong...!” Kim Lan cepat-cepat berlari mendekati. “Apa kau sudah gila? Dia...
dia akan membunuhmu!”
Si Kong
tersenyum. Hatinya senang bukan main karena anak perempuan majikannya ini
mengkhawatirkan dirinya. Selama ini Kim Lan bersikap ramah dan baik sekali
kepadanya.
“Terima
kasih, Nona. Sebaiknya Nona kembali kepada loya, biar aku hadapi iblis betina
ini!”
Kim Lan
berlari kembali kepada ayahnya. “Ayah...!” Dia hendak minta ayahnya mencegah
wanita itu membunuh Si Kong yang sudah berani mati membela keluarganya. Akan
tetapi ayahnya menggeleng kepala dan memandang kepada Si Kong dengan sinar mata
heran dan kagum.
Dengan
langkah lebar dan tenang kini Si Kong menghampiri Ang-bi Mo-li. Sejenak iblis
betina ini merasa tertegun dan heran melihat seorang pemuda remaja berani
berkata dan bersikap seperti itu kepadanya. Terlebih lagi pemuda remaja itu
menyebut Tong Li Koan sebagai majikannya. Pemuda ini tentu hanya seorang
pembantu!
“Kau... kau
siapa?” tanyanya, alisnya berkerut dan pedangnya menuding ke arah muka Si Kong.
“Namaku Si
Kong dan aku menjadi penggembala kerbau di sini.”
Ang-bi Mo-li
telah menguasai keheranannya, maka sekarang dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Penggembala kerbau? Hah-hah-heh-heh-heh-heh, Tong Li Koan, tidak malukah
engkau dibela oleh penggembala kerbaumu? Suruh dia mundur. Kalau dia berani
menentangku berarti dia akan mati di tanganku!”
Tong Li Koan
menghela napas panjang. Tentu saja dia merasa malu kalau penggembala itu sampai
mengorbankan nyawa untuknya.
“Si Kong,
mundurlah. Aku tidak ingin melihat engkau mati untukku.”
“Loya, harap
jangan khawatir. Aku takkan mati oleh wanita ini. Ang-bi Mo-li, kalau engkau
tidak berani melawan aku, bilang saja terus terang, tidak perlu bicara dengan
majikanku!”
“Bocah
setan! Engkau tadi telah dikhianati oleh kongcu-mu dan sekarang engkau bahkan
hendak membela ayahnya? Kongcu-mu yang melukai kerbaumu, aku melihatnya
sendiri.”
“Cukup!
Urusan kami tidak ada sangkut pautnya denganmu, Ang-bi Mo-li!”
Kini Ang-bi
Mo-li benar-benar marah. Tentu saja dia tidak takut kepada Si Kong, hanya dia
merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang pemuda remaja penggembala
kerbau!
“Bocah gila!
Majulah bila engkau sudah bosan hidup. Akan tetapi sekali kau maju, engkau
pasti akan mampus!”
“Dan aku
tidak akan membunuhmu, Ang-bi Mo-li! Aku tidak akan sekejam itu.”
Ang-bi Mo-li
menyarungkan kembali pedangnya di punggung dan memegang kebutannya dengan
tangan kanan. Tanpa pedang, bahkan tanpa kebutan sekali pun dia akan mampu
membunuh pemuda remaja itu.
“Ang-bi
Mo-li, kalau engkau menurunkan tangan keji membunuh seorang pemuda remaja,
engkau akan menjadi bahan ejekan orang-orang sedunia kang-ouw!” kata Tong Li
Koan di dalam usahanya untuk menghindarkan Si Kong dari kematian.
“Heh-heh-heh,
aku tidak sebodoh itu, Tong Li Koan. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan
membuat kedua kakinya lumpuh selama hidupnya, heh-heh!”
Sementara
itu, melihat betapa lihainya wanita itu mempergunakan kebutannya sebagai
senjata, Si Kong tidak berani main-main. Dia segera menyambar sebuah tongkat
bambu yang biasa dia pergunakan untuk memikul keranjang rumput.
“Ang-bi
Mo-li, aku sudah siap, tidak perlu terlalu banyak bicara lagi!” kata Si Kong
sambil menghadapi wanita itu dengan tongkat di tangan.
“Heh-heh-heh,
kau sudah siap untuk menjadi lumpuh seumur hidupmu? Nah, sambutlah serangan
ini!” Ang-bi Mo-li sudah menggerakkan kebutannya dengan cepat sekali.
“Wuuuttttt...!”
Ang-bi Mo-li
terkejut melihat betapa pemuda itu dengan mudah dan lincahnya mengelak dengan
loncatan ke kiri, kemudian tiba-tiba saja tongkat di tangannya sudah terayun
dan mengancam pinggul kirinya. Tentu saja wanita ini tidak mau kalau pinggul
kirinya digebuk tongkat. Ia mengayun kebutannya untuk menangkis dengan membuat
kebutan itu menjadi kaku. Dia bermaksud hendak membenturkan tongkat itu supaya
terlepas dari pegangan si penggembala kerbau.
“Takkk...!”
Kembali Ang-bi
Mo-li terkejut bukan main. Tangannya tergetar hebat ketika kebutannya menangkis
tongkat, karena tongkat itu ternyata mengandung tenaga yang amat kuat! Dia
hampir terpekik kaget karena begitu tertangkis tongkat itu sudah membalik dan
sekarang menghantam ke arah pundaknya! Dia menggunakan kelincahannya untuk
mengelak, akan tetapi pundaknya nyaris terkena hantaman tongkat.
Dari rasa
kaget, wanita itu menjadi marah bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya
bahwa pemuda tanggung itu dapat memiliki tenaga demikian kuat dan kecepatan
gerakan tongkat yang luar biasa.
“Bocah
setan, mampuslah!” Dia berseru dengan marah lantas menggerakkan kebutannya
untuk menyerang lebih cepat dan kuat lagi.
Sekarang dia
tak peduli lagi apakah serangannya akan membunuh lawan ini. Kebutan itu
menegang dan menusuk ke arah leher Si Kong. Namun kembali Si Kong menggerakkan
tongkatnya yang ujungnya menggetar untuk menangkis.
“Plakk!”
Ketika
kebutan bertemu tongkat, Ang-bi Mo-li mengubah tenaganya sehingga kebutan itu
menjadi lemas dan membelit tongkat itu. Dia ingin merampas tongkat itu dahulu
sebelum menghajar pemiliknya.
Akan tetapi
untuk yang kesekian kalinya dia terkejut. Kebutannya sama sekali tak mampu
merampas tongkat. Biar pun dia menarik dengan tenaga dalam yang kuat namun
tongkat itu tidak bergeming, bahkan kini tongkat itu membalik dan ujungnya yang
lain menyodok perutnya!
“Ihhhhh...!”
Ang-bi Mo-li berseru dan melepaskan libatan kebutannya sambil meloncat ke
belakang.
Si Kong kini
mendesak maju dan mainkan ilmu silat tongkat Ta-kaw Sin-tung. Tongkatnya seakan
berubah menjadi banyak dan setiap ujung tongkat dengan gencar menghujankan
gebukan kepada lawannya, Ang-bi Mo-li terkejut bukan main melihat gerakan
tongkat itu, gerakan ilmu tongkat yang mengingatkan dia akan seorang tokoh
besar dunia persilatan. Kembali dia memutar kebutannya untuk melindungi dirinya
sambil meloncat ke belakang.
“Tahan
dulu!” serunya setelah dia mendapatkan kesempatan.
Mendengar
seruan itu, Si Kong menahan tongkatnya, memegang tongkat itu melintang di depan
dadanya.
“Apa
hubunganmu dengan Yok-sian Lo-kai?” tanya Ang-bi Mo-li.
“Beliau
adalah guruku!” kata Si Kong. Dia kembali mulai menyerang sambil berseru,
“Lihat seranganku!”
Ang-bi Mo-li
cepat mencabut pedangnya karena dia merasa kewalahan sekali kalau hanya
menggunakan kebutan. Sementara itu Tong Li Koan, Kim Hok dan Kim Lan memandang
dengan bengong. Sedikit pun tidak pernah mereka sangka bahwa Si Kong selihai
itu!
Terutama
sekali Kim Hok. Wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada
Si Kong, seolah-oelah tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Si Kong yang
pernah dihajarnya! Tanpa dapat melawannya! Kini sanggup menandingi Ang-bi Mo-li
yang demikian lihainya! Sedangkan Kim Lan ternganga, terkagum-kagum.
Ang-bi Mo-li
kini menyerang dengan pedang dan kebutannya. Serangannya cepat dan dahsyat
sekali. Wanita itu kini tidak berani memandang rendah setelah mendengar bahwa
pemuda remaja ini adalah murid Yok-sian Lo-kai. Dengan sepasang senjatanya yang
lihai dia merasa sanggup menghadapi ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung.
Akan tetapi
tiba-tiba dia terkejut sekali. Ia telah kehilangan lawannya yang tahu-tahu
telah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan Si Kong sehingga dia
sendiri menjadi bingung. Pemuda itu seolah dapat menghilang.
Ternyata
pemuda itu sudah menggabungkan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung dengan ilmu
meringankan tubuh Liok-te Hui-teng sehingga dia seperti pandai menghilang dan
gerakan tongkatnya semakin cepat sehingga tongkat itu seolah mempunyai
berpuluh-puluh ujung yang menyerang dari segala penjuru.
“Takk...!
Tranggg...!”
Kebutan dan
pedang itu terpental pada saat bertemu dengan tongkat. Kecepatan gerakan pemuda
itu membuat Ang-bi Mo-li teringat kepada Penyair Gila yang terkenal mempunyai
ginkang yang sukar ditandingi. Ketika melompat mundur dia mempergunakan
kesempatan itu untuk bertanya.
“Apa
hubunganmu dengan Kwa Siucai?”
“Beliau
adalah guruku juga!” jawab Si Kong pula dengan terus terang tanpa menghentikan
desakannya.
Ang-bi Mo-li
kaget bukan main mendengar pengakuan itu. Pantas pemuda ini lihai bukan main,
ternyata murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dengan repot dia menggerakkan
kebutan serta pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan ujung
tongkat yang gerakannya amat cepat dan sukar diikuti pandangan mata itu.
Tetapi
betapa pun cepat dia memutar kedua senjatanya untuk melindungi tubuhnya, tetap
saja ujung tongkat itu menotok pundaknya, membuat lengannya seperti lumpuh dan
dia pun terhuyung ke belakang, memegang pundak kanannya dengan tangan kiri yang
masih memegang kebutan. Wajahnya berubah pucat, lalu kemerahan.
Dia merasa
malu bukan main karena jelas dia sudah kalah. Dia harus mengakui ini dan
menerimanya, karena jika dilanjutkan mungkin dia akan menderita luka yang lebih
hebat. Pemuda itu terlalu cepat baginya, ilmu tongkatnya terlalu aneh dan sulit
ditandingi.
“Si Kong,
kali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi lain kali aku akan menebus kekalahan
ini!” katanya untuk menutupi rasa malu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi
tubuhnya telah melompat jauh dan dia pun melarikan diri secepatnya dari tempat
yang membuatnya malu itu.
Sejenak
suasana menjadi sunyi karena keluarga Tong masih tertegun saking heran dan
kagumnya. Kemudian meledaklah kegembiraan Kim Lan yang cepat berlari
menghampiri Si Kong.
“Si Kong, engkau
hebat sekali!” kata gadis itu dengan penuh kekaguman.
Juga Tong Li
Koan menghampiri pemuda itu dengan wajah gembira dan kagum. Pemuda yang menjadi
penggembala kerbaunya ini sudah menyelamatkannya! Apa bila tidak ada Si Kong
maka dia beserta seluruh keluarganya terpaksa harus meninggalkan tempat itu dan
menyerahkan bukit itu kepada Ang-bi Mo-li!
“Si Kong,
kenapa engkau tak pernah memberi tahukan kepadaku bahwa engkau memiliki
kepandaian yang tinggi?” kata Tong Li Koan dengan nada menegur.
Kalau Tong
Li Koan dan Tong Kim Lan menghampiri Si Kong dengan wajah berseri-seri gembira
dan penuh kekaguman, Tong Kim Hok masih berdiri di tempatnya semula tanpa
menggerakkan kakinya dan mukanya menjadi pucat. Dia merasa malu bukan main!
Si Kong
sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Bukit Bangau. Tong Kim Hok
sudah jelas tidak suka kepadanya. Untuk apa dia bekerja terus di sana kalau
putera majikannya tidak suka kepadanya?
“Maaf, Loya.
Saya pamit karena hendak pergi dari sini.”
Tong Li Koan
terbelalak. “Pergi dari sini? Hendak ke mana dan mengapa pergi?”
Si Kong
tersenyum. “Saya hendak melanjutkan pergi berkelana. Sudah terlalu lama saya
tinggal di sini. Terima kasih kepada Loya dan Siocia, selama ini telah bersikap
baik sekali kepadaku.”
“Si Kong,
engkau jangan pergi dan jangan menyebutku nona. Panggil saja namaku. Aku ingin
bersahabat denganmu, juga ingin belajar silat darimu.” Kata Kim Lan.
“Benar, Si
Kong. Mulai sekarang engkau tidak usah menggembala kerbau lagi, bantu saja
mengawasi para pekerja di ladang,” kata Tong Li Koan. “Engkau tidak usah pergi
dari sini.”
“Maaf, Loya
dan Siocia. Saya harus pergi berkelana untuk meluaskan pengalamanku.”
Ketika itu
pula Kim Hok berlari menghampirinya. Dengan muka kemerahan dia berkata. “Ayah,
akulah yang bersalah mengganggunya. Si Kong, kau maafkanlah aku dan jangan
pergi dari sini.”
Si Kong
tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pundak pemuda yang lebih tua darinya itu.
“Sudahlah, Kongcu. Kesalahan apa pun yang dilakukan seseorang, kalau dia sudah
insyaf dan menyesali kesalahannya, hal itu baik sekali. Saya senang melihat
Kongcu menyadari kesalahannya.”
Walau pun
tiga orang itu membujuknya agar jangan pergi, tetap saja Si Kong mengambil
buntalan pakaiannya, lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan berkata,
“Loya, harap jangan khawatir. Ang-bi Mo-li tentu tidak berani datang kembali.
Kini kemarahannya tertumpah kepadaku, bila dia hendak membalas tentu mencari
saya bukan mencari Loya. Selamat tinggal Loya, Siocia dan Kongcu.”
Tiga orang
itu tidak sempat menahan lagi karena setelah berkata demikian, dengan sekali
berkelebat Si Kong yang menggunakan ginkang-nya itu telah lenyap dari depan
mereka.
Tong Li Koan
menarik napas panjang. “Anak itu benar-benar luar biasa. Semuda itu telah
memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebat, bahkan menjadi murid Yok-sian
Lo-kai dan Kwa Siucai! Dan dia tidak malu untuk bekerja menjadi penggembala
kerbau! Luar biasa! Kim Hok, engkau patut mencontoh dia, sudah pandai masih
rendah hati sedemikian rupa.”
“Ini semua
kesalahan koko!” Kim Lan merengek. “Karena perbuatan koko maka Si Kong menjadi
tersinggung kemudian meninggalkan kita! Koko telah menuduhnya menggembala
kerbau secara tidak benar sehingga kaki seekor kerbaunya terluka, padahal,
menurut Moli tadi, yang melukai kaki kerbau itu adalah koko sendiri!”
Tong Li Koan
mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik pada puteranya. “Benarkah
itu, Kim Hok?”
“Ampun, Ayah.
Saya memang bersalah, dan tadi pun saya sudah minta maaf kepada Si Kong,” kata
Kim Hok.
“Akan tetapi
kenapa engkau melakukan fitnah begitu kepada Si Kong?”
“Tadinya
hati saya masih merasa jengkel kepadanya, Ayah, karena dia pernah melawan para
penjaga.”
“Jangan
ulangi lagi perbuatan macam itu, Kim Hok. Engkau sama sekali tidak boleh tinggi
hati dan angkuh dan sama sekali tidak boleh memandang rendah kepada orang lain.
Ahh, kalau saja sikapmu seperti Si Kong, alangkah akan bahagianya hatiku.”
“Ampun,
Ayah. Sekarang saya telah sadar dan saya akan mencontoh Si Kong, saya akan
belajar dengan tekun dan tidak akan memandang rendah orang lain.”
“Begitu baru
kakakku!” kata Kim Lan girang.
Tong Li Koan
mengajak dua orang anaknya masuk ke dalam, diam-diam berterima kasih sekali
kepada Si Kong karena berkat anak pengelana itu keluarganya dapat terbebas dari
ancaman Ang-bi Mo-li. Dan lebih dari itu, kini puteranya sudah menyadari
kesalahannya dan akan berusaha mencontoh sikap Si Kong yang rendah hati.
***************
Dalam
perantauannya, pada suatu pagi yang cerah Si Kong mendaki sebuah bukit yang
oleh penduduk di bukit-bukit lain disebut Bukit Iblis. Bukit ini diselimuti
hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar. Justru mendengar sebutan Bukit Iblis
inilah yang membuat hati Si Kong tertarik sehingga pagi itu dia mendaki Bukit
Iblis, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Thian-san yang amat luas dan
penuh perbukitan itu.
"Kenapa
disebut Bukit Iblis?" tanya Si Kong kepada pemilik rumah di dusun
pegunungan di mana dia numpang menginap.
"Entahlah,
akan tetapi tidak ada seorang pun berani naik ke bukit yang kabarnya dihuni
oleh iblis-iblis yang mengerikan. Semua orang yang berani mendaki bukit itu
tidak pernah kembali lagi ke bawah dan lenyap begitu saja."
Si Kong
sudah mendapat cukup banyak pendidikan dari Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai. Dia
seorang pemberani dan tidak percaya akan takhyul, maka mendengar keterangan itu
timbullah keinginan hatinya untuk menyelidik keadaan Bukit Iblis itu.
Sesudah tiba
di lereng teratas, Si Kong tersenyum sendiri. Penduduk dusun yang takhyul itu,
pikirnya. Di situ tidak ada apa-apa kecuali pemandangan yang indah sekali di
pagi hari yang cerah itu! Jangankan iblis, bahkan bayangannya sekali pun tidak
nampak.
Akan tetapi
tiba-tiba Si Kong menahan langkahnya. Dia mendengar bunyi langkah orang di
belakangnya! Dia cepat menengok tetapi tidak melihat siapa pun. Dia melangkah
maju lagi dan kembali terdengar langkah dua orang, langkah yang terdengar
lembut sekali. Apa bila dia tidak mengerahkan kekuatan pendengarannya dan
menahan napas maka dia tak akan dapat mendengar langkah itu. Tepat di
belakangnya!
Cepat sekali
dia menoleh ke belakang tetapi kembali dia kecelik. Tidak nampak seorang pun di
belakangnya! Dia mulai bergidik ngeri. Benarkah ada iblis di tempat ini? Siang
hari ada iblis yang berkeliaran? Ataukah manusia-manusia yang mengeluarkan
bunyi langkah itu? Jika manusia tentu ilmunya meringankan tubuh sudah mencapai
tingkat tinggi sekali.
Dia mendaki
terus ke puncak. Ternyata puncak bukit itu berbentuk datar dan merupakan padang
rumput yang cukup luas. Ketika tiba di atas dia melihat belasan orang lelaki
yang bertubuh kekar sedang berkumpul, duduk mengelilingi batu besar di mana
duduk seorang lelaki tinggi besar seperti raksasa yang berusia kurang lebih
empat puluh tahun. Dari sikap dan lagaknya mudah diketahui bahwa lelaki raksasa
itu tentu menjadi pemimpin belasan orang itu. Dia menyelinap di balik
semak-semak dan mengintai. Kiranya mereka itu orang-orang biasa yang bertubuh
kekar kuat dan bersikap kasar. Tetapi bukan iblis-iblis!
Raksasa yang
duduk di atas batu besar itu mengembangkan dua lengannya dan berkata dengan
suara lantang.
"Saudara-saudaraku,
bagaimana pendapat kalian mengenai bukit ini kalau menjadi sarang kita yang
baru? Ha-ha-ha, tempat ini sunyi tak pernah didatangi orang. Mereka ketakutan
karena nama bukit ini Bukit Iblis. Ha-ha-ha, sekarang benar-benar menjadi Bukit
Iblis dan iblisnya adalah kita."
Belasan
orang segera turut tertawa sehingga suara tawa mereka riuh rendah memenuhi
permukaan bukit itu. Jika ada orang yang mendengarnya, tentu akan menyangka
bahwa iblislah yang tertawa itu.
"Tempat
ini baik sekali, Twako! Kami merasa cocok untuk tinggal di sini. Di dalam
hutan-hutan bawah itu terdapat banyak kayu besar dan bambu, mudah bagi kita
untuk membuat bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal kita."
Pada saat
itu terdengar suara orang terkekeh-kekeh saling sahutan. Dari suara tawa yang
berbeda-beda itu dapat diketahui bahwa yang tertawa itu lebih dari satu orang.
Kemudian nampaklah tiga sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ
sudah berdiri tiga orang yang menyeramkan.
Yang seorang
tinggi kurus laksana tiang bambu, kepalanya juga panjang kecil sehingga nampak
aneh sekali. Orang kedua pendek gendut dan segalanya yang ada pada orang ini
bundar belaka, jauh sekali bedanya dengan orang pertama yang serba ramping
panjang. Orang ketiga bertubuh katai seperti kanak-kanak, tetapi mukanya
menunjukkan bahwa dia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya dan lebih
muda sedikit saja dari dua orang terdahulu. Tiga orang ini muncul sambil
tertawa-tawa.
"Ha-ha-he-heh-heh!"
Orang pertama yang tubuhnya tinggi kurus berkata sambil tertawa-tawa.
"Segerombolan setan kecil berani mengganggu daerah kami, sungguh sudah
bosan hidup!"
"Jangan,
Sam-kwi (Setan ke Tiga), jangan bunuh. Kita memerlukan mereka untuk menjadi
pelayan-pelayan kita. Kita bikin tempat ini menjadi istana dengan belasan orang
pelayan, heh-heh!"
"Benar
apa yang dikatakan Thai-kwi (Setan Tertua) tadi, Sam-kwi. Aku pun sudah bosan
setiap hari harus mencari makanan sendiri!"
Mendengar
ucapan tiga orang itu, laki-laki raksasa yang memimpin lima belas orang anak
buahnya itu terbelalak.
"Apakah
kalian yang berjuluk Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi)?"
Kakek yang
gendut bundar tertawa.
"Ha-ha-ha-ha,
kiranya setan cilik ini cerdik juga, sudah dapat menduga siapa adanya kita.
Setan-setan cilik, sesudah kalian mengetahui siapa kami, hayo lekas berlutut
dan berjanji untuk menjadi pelayan-pelayan kami yang patuh!"
Raksasa yang
berdiri di atas batu besar lantas bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar
penuh otot mengembang itu amat menyeramkan dan dia berkata dengan lantang.
"Liok-te
Sam-kwi, orang lain boleh merasa takut kepada kalian bertiga. Akan tetapi kami
tidak takut kepada kalian. Kalau kalian tidak cepat pergi dari sini, kami enam
belas orang pasti akan menyingkirkan kalian dengan paksa."
Thai-kwi
yang bertubuh pendek gendut itu tertawa mendengar ucapan ini.
"Ji-kwi
dan Sam-kwi, kalian mendengar bualan itu? Mari kita hajar mereka agar mengenal
siapa kita, akan tetapi jangan dibunuh, kita membutuhkan tenaga mereka untuk
melayani kita!"
Kepala
gerombolan itu meloncat turun dari atas batu besar, lalu mencabut sebatang
golok besar dari punggungnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya,
"Serbu...!
Bunuh mereka...!"
Lima belas
orang anak buahnya juga sudah mencabut golok masing-masing dan dengan ganas
mereka menyerang tiga orang aneh itu. Si Kong dalam persembunyiannya melihat
betapa tiga orang itu kelihatan tenang saja, akan tetapi sesudah serangan
keroyokan itu dilakukan, mereka segera bergerak mengelak kemudian membalas
dengan tamparan dan tendangan mereka.
Memang
gerakan mereka hebat sekali. Mereka tidak memegang senjata, namun gerakan
mereka demikian cepat sehingga sukar diikuti dengan mata, tahu-tahu para pengeroyok
itu berpelantingan terkena sambaran tangan atau kaki mereka. Golok-golok
beterbangan terlepas dari tangan mereka dan dalam waktu sebentar saja enam
belas orang itu sudah roboh semua!
Diam-diam Si
Kong memandang dengan kagum. Di antara ketiga orang itu dia melihat si pendek
gendut yang paling lihai. Akan tetapi yang diherankan dari ketiga orang ini,
walau pun mempunyai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, ternyata masih
belum mampu melangkah seperti yang didengarnya ketika mendaki bukit ini tadi.
Langkah-langkah orang di belakangnya akan tetapi begitu dia menengok, tidak
nampak orangnya!
Agaknya
ginkang ketiga orang ini belum setinggi yang dia dengar langkahnya tadi. Betapa
pun juga harus diakui bahwa tiga orang itu lihai sekali. Dikeroyok enam belas
orang yang rata-rata memiliki tenaga besar, begitu mudahnya bagi ketiga orang
itu untuk merobohkan mereka semua.
Raksasa itu
agaknya terkena tendangan yang paling parah karena dia tidak dapat segera
bangun, hanya mengaduh-aduh sambil memegang dadanya yang tertendang oleh kaki
si pendek gendut.
"Ha-ha-ha-ha!"
Tiga orang itu kini tertawa-tawa. "Apakah kalian sudah mengenal
kami?" Si pendek gendut yang menjadi orang pertama dari Tiga Iblis itu
menghampiri pimpinan belasan orang itu.
Raksasa itu
maklum bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan menang melawan tiga Datuk Iblis
itu, maka dia pun terpaksa mengakui kekalahannya dari pada dibunuh.
"Kami
telah kalah dan meyerah atas pimpinan sam-wi."
"Bagus!
Mulai sekarang kalian enam belas orang menjadi anak buah kami, siapa berani
membangkang akan kami bunuh!" kata pula si pendek gendut dengan girang.
Si Kong
menyaksikan semua ini dan dia tidak ingin mencampuri. Itu adalah urusan
orang-orang kang-ouw sesat yang saling berebut kekuasaan di Bukit Iblis itu.
Tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia tidak ingin mencampuri.
Biarlah kalau tiga orang iblis ini menguasai bukit ini dan mengambil belasan
orang itu sebagai anak buah mereka.
Akan tetapi,
selagi dia hendak pergi menyingkir dari tempat itu agar jangan terlibat,
tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang membuat dia terkejut dan terpaksa
Si Kong tidak jadi pergi, tetap mendekam di balik semak-semak untuk melihat apa
yang akan terjadi.
Suara
melengking tinggi itu bukan saja nyaring sekali, namun juga mengandung getaran
yang membuat semua pendengarnya merasa jantung mereka terguncang hebat. Begitu
mendengar lengkingan ini, belasan orang yang tadi kena hajar dan kini belum
pulih benar, menjadi panik dan mereka roboh kembali karena tidak dapat menahan
guncangan jantung mereka.
Ada pun tiga
orang Datuk Iblis itu juga nampak terkejut, lalu mereka memejamkan mata dan
mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung mereka dan menolak pengaruh yang
hebat dari lengkingan panjang itu. Si Kong sendiri menahan napas sambil
mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya.
Belum habis
suara melengking itu, segera disusul suara gerengan yang juga amat hebat.
Gerengan ini seperti gerengan harimau yang mengguncangkan jantung. Dua suara
yang getarannya sama kuat ini seperti saling bersahutan, dan akhirnya dua suara
ini berhenti. Dan entah dari mana datangnya, di atas batu besar yang tadi
diduduki raksasa pemimpin gerombolan itu telah berdiri dua orang kakek.
Yang seorang
berusia sedikitnya enam puluh tahun dan kepalanya besar sekali, sungguh
menyolok karena berbeda dengan tubuhnya yang amat kecil. Kedua telinganya juga
lebar sekali, tidak seperti telinga manusia biasa dan kepalanya botak. Dia
memakai baju serba putih, tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu
berbentuk ular yang panjangnya sampai ke pundaknya.
Orang kedua
juga amat aneh. Kepalanya penuh rambut tebal yang panjangnya sampai ke
punggung, mukanya juga penuh rambut seperti muka monyet, kedua lengannya
panjang sekali hingga melebihi lututnya ketika tergantung di samping tubuhnya.
Tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipegang oleh para
penggembala ternak. Pakaiannya serba hitam.
Si Kong
terkejut sekali melihat mereka. Dia sendiri tidak tahu kapan mereka itu datang,
tahu-tahu telah berada di atas batu itu. Sekarang tahulah dia siapa yang tadi
terdengar langkahnya akan tetapi tak nampak orangnya. Tentu kedua orang kakek
aneh ini. Mereka memiliki ginkang yang sukar diukur tingginya. Dia sendiri yang
sudah mahir ilmu Liok-te Hui-teng yang membuat dia dapat bergerak seperti
terbang cepatnya, sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan dua
orang kakek ini.
Liok-te
Sam-kwi (Tiga Setan Bumi) juga terkejut melihat munculnya dua orang aneh ini.
Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh dunia sesat yang terkenal, akan tetapi mereka
belum pernah bertemu dengan dua orang ini. Dan melihat kemunculan mereka,
ketiga orang itu teringat akan dua nama yang amat ditakuti para tokoh
persilatan. Dua nama yang hanya dikenal namanya akan tetapi jarang ada orang
yang dapat bertemu dengan dua orang ini.
Thai-kwi,
orang pertama dari Liok-te Sam-kwi yang pendek gendut, cepat-cepat memberi
hormat dari tempat di mana dia berdiri. Dia mengangkat kedua tangannya ke depan
dada sebagai penghormatan, lalu dengan suaranya yang besar dia pun berkata,
"Kalau
kami tidak salah duga, tentu ji-wi yang dijuluki Ji Ok (Dua Yang Jahat). Apa
bila memang demikian, kami bertiga Liok-te Sam-kwi menghaturkan hormat kami
kepada ji-wi locianpwe!"
Dengan
menyebut ji-wi locianpwe, Thai-kwi sudah merendahkan diri dan ini menandakan
bahwa dia merasa jeri menghadapi kedua orang aneh itu. Melihat sikap Thai-kwi
yang merendahkan diri, kakek yang kepalanya besar tertawa, suara tawanya
menggelegar dan membuat seluruh puncak bukit itu tergetar.
"Hoa-ha-ha-ha-ha,
bagaimana pendapatmu, Ji Ok (Jahat Ke Dua)? Kita berdua berjuluk Thai-mo-ong
(Raja Iblis Tertua) dan Ji-mo-ong (Raja Iblis ke Dua) dan sekarang muncul
mereka yang mengaku Liok-te Sam-kwi dan hendak menguasai Bukit Iblis ini? Apa
yang harus kita lakukan terhadap Siauw-kwi (Iblis Cilik) ini?"
"Toa-ok,
kenapa pusing-pusing memikirkan hal itu? Bunuh saja mereka agar tidak menjadi
saingan dan penghalang bagi kita!" kata kakek seperti monyet yang
mengenakan pakaian serba hitam itu.
"Ha-ha-ha-ha!
Engkau benar sekali, Ji Ok. Nah, kalian bertiga sudah mendengar sendiri.
Liok-te Sam-kwi, kami tidak ingin mengotorkan tangan untuk membunuh kalian.
Sekarang cepat kalian bertiga membunuh diri di depan kami!"
Liok-te
Sam-kwi terkejut bukan kepalang. Ini sungguh keterlaluan sekali. Mereka diminta
membunuh diri supaya tidak menjadi saingan dan tidak menghalangi mereka berdua.
Ini namanya terlalu memandang rendah kepada mereka!
Orang ketiga
dari Liok-te Sam-kwi yang bertubuh katai seperti anak-anak ternyata adalah
seorang cerdik. Dia hendak mempergunakan tenaga enam belas orang gerombolan
yang baru saja menyerah kepada mereka. Dia meloncat ke depan pimpinan
gerombolan itu dan berkata,
"Kami
perintahkan kalian semua untuk mengeroyok dua orang kakek itu!"
Enam belas
orang itu tidak berani membangkang. Mereka sudah mencabut golok mereka dan
mengepung dua orang kakek itu, ada pun Liok-te Sam-kwi sendiri sudah
bersiap-siap pula.
Dengan penuh
perhatian Si Kong menonton dari tempat persembunyiannya. Jantungnya berdebar
tegang karena dia tahu bahwa sekarang akan terjadi pertandingan yang hebat.
Tiga orang Liok-te Sam-kwi itu mempunyai ilmu kepandaian yang hebat, akan
tetapi dua orang kakek Toa Ok dan Ji Ok ini agaknya memiliki ilmu yang lebih
hebat lagi.
Karena dapat
menduga bahwa mereka menghadapi lawan yang berat, Liok-te Sam-kwi langsung
mengeluarkan senjata masing-masing. Orang pertama yang gendut bundar itu
mengeluarkan sebuah rantai baja yang ujungnya dipasangi kaitan, yang tadinya
dilibatkan pada pinggangnya.
Orang kedua
yang tinggi kurus juga mencabut sebatang pedang dari punggungnya, dan orang
ketiga yang katai mencabut sepasang golok kecil dari punggungnya pula. Bersama
enam belas orang gerombolan yang sudah menjadi anak buah mereka itu, mereka kini
mengepung batu besar di mana Toa Ok dan Ji Ok berdiri.
Dua orang
Raja Iblis ini hanya tersenyum-senyum dengan tenangnya, bagaikan dua orang
dewasa menghadapi pengeroyokan anak-anak kecil saja. Tiba-tiba, seperti sudah
saling bersepakat lebih dahulu, Toa Ok si kepala besar meloncat turun dari atas
batu, ke arah kiri, sedangkan Ji Ok Si Muka Monyet itu meloncat turun ke arah
kanan sehingga mereka terpisah menjadi dua.
Para
pengeroyoknya juga terbagi menjadi dua. Si gendut dan si katai bersama delapan
orang anak buah sudah mengepung Toa Ok. Sedangkan si tinggi kurus bersama
delapan orang anak buah yang lain mengepung Ji Ok.
"Hyaaattttt..!"
Si gendut
sudah mulai dengan serangannya. Cambuk rantainya menyambar dan menjadi sinar
putih menghantam ke arah leher Toa Ok. Gerakan ini disusul pula oleh si katai
yang menggerakkan sepasang goloknya. Demikian pula delapan orang anak buah
mereka telah menggerakkan golok masing-masing untuk mengeroyok.
Toa Ok
tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dengan kecepatan
kilat. Sambil meloncat dia menggerakkan tongkat ularnya ke bawah, kemudian
sekali tongkat itu menyambar maka robohlah empat orang anak buah gerombolan itu
dengan kepala pecah!
Ji Ok juga
dikepung rapat oleh si tinggi kurus dan delapan orang anak buahnya. Si tinggi
kurus menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan cepat sekali, diikuti oleh
delapan orang anak buahnya yang menggerakkan golok mereka. Akan tetapi Ji Ok
memandang rendah mereka. Pecutnya meledak-ledak dan nampak seperti kepulan asap
ketika pecut itu meledak-ledak. Tubuhnya sendiri berkelebat lenyap dari
kepungan sembilan orang itu dan pada saat pecutnya berhenti meledak, sudah ada
empat orang pengeroyok terkapar dengan leher hampir putus! Gerakan pecutnya
demikian lihai sehingga pecut itu menjadi tajam seperti pedang.
Liok-te
Sam-kwi mengeroyok dan berusaha mati-matian untuk merobohkan Toa Ok dan Ji Ok,
akan tetapi mereka kalah cepat dan tenaganya kalah kuat. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama, begitu tongkat ular berhenti menyambar dan pecut berhenti
meledak, semua pengeroyok itu, Liok-te Sam-kwi bersama keenam belas orang anak
buah mereka sudah roboh dan tewas semua!
Dua orang
kakek itu meloncat lagi ke atas batu besar, lantas keduanya tertawa terkekeh
saking gembiranya telah dapat membunuh sekian banyaknya orang dalam waktu
singkat. Si Kong bergidik. Sungguh tepat mereka disebut Toa Ok dan Ji Ok, Si
Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua dengan julukan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong!
Mereka dapat membunuhi belasan orang dengan begitu saja, tanpa sebab yang
jelas.
Karena tak
dapat menahan lagi menonton pertunjukan yang kejam itu, Si Kong membuat gerakan
hendak pergi dari tempat persembunyiannya. Dia lupa betapa lihainya dua orang
Raja Iblis itu. Baru saja beberapa langkah dia maju, tiba-tiba Ji Ok sudah
berseru dengan suaranya yang tinggi kecil.
"Siapa
itu? Berhenti atau kamu mati!"
Si Kong
terkejut dan baru teringat bahwa sedikit gerakan saja tentu akan diketahui oleh
mereka yang sangat lihai. Dia berhenti melangkah dan membalikan tubuh. Kini dia
sudah berdiri di balik semak sehingga dari pinggang ke atas dapat terlihat oleh
dua Raja Iblis itu. Melihat betapa orang itu hanya seorang pemuda remaja yang
membawa buntalan pakaian di ujung pikulan bambunya, dua orang kakek itu mendengus
marah.
"Engkau
melihat apa?!" bentak Ji Ok pula.
Karena masih
muak menyaksikan pembunuhan atau pembantaian keji itu, seperti dengan
sendirinya Si Kong menjawab,
"Saya
melihat pembantaian di luar peri kemanusiaan!"
Dua orang
kakek itu tertegun, lantas tertawa bergelak. Ji Ok menggerakkan pecutnya ke
bawah. Pecut itu meledak dan menyambar ke bawah, ujungnya sudah melibat
sebatang golok milik anak buah gerombolan, lantas sekali menggerakkan pecutnya,
golok itu sudah terbang kemudian menancap di depan kaki Si Kong.
"Pungut
pedang itu dan gorok lehermu sendiri!" Ji Ok membentak pula.
Panas hati
Si Kong. Dia tahu bahwa dua orang kakek itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak
takut. Apa lagi disuruh membunuh diri sendiri. Mana mungkin dia dapat mentaati
perintah yang keji itu? Dia membungkuk perlahan dan memungut golok itu. Akan
tetapi dia tidak menggorok batang leher sendiri melainkan menggunakan jari
tangan menekuk golok itu.
"Pletakkk!"
Golok itu patah menjadi dua, lalu dilempar ke atas tanah oleh Si Kong.
Melihat ini
Ji Ok menjadi marah sekali. Gerakan Si Kong mematahkan golok itu dianggap
sebagai tantangan kepadanya! Dia ditantang oleh anak kemarin sore, seorang
pemuda remaja! Akan tetapi Ji Ok masih merasa segan untuk bermusuhan dengan
seorang bocah remaja. Hal itu dianggapnya sangat memalukan dan merendahkan
kedudukannya sebagai datuk besar.
Dengan
kemarahan yang ditahan-tahan dia menendang ujung batu besar itu. Ujungnya pecah
lalu pecahan batu sebesar kepala itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Si
Kong! Akan tetapi dengan tenang saja Si Kong menarik kepalanya ke belakang
sehingga sambaran batu itu luput.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment