Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 04
MELIHAT ini
Ji Ok merasa semakin penasaran! Sekarang pecutnya menyambar-nyambar ke bawah,
membelit golok-golok yang berada di bawah dan menyambitkan golok-golok itu ke
arah Si Kong.
Golok-golok
itu beterbangan menyambar. Akan tetapi dengan sigap dan mudah Si Kong mengelak
sehingga semua golok yang disambitkan dengan pecut itu tak ada sebuah pun yang
mengenai dirinya. Tidak kurang dari sembilan buah golok yang menyambar ke arah
tubuhnya dan semua dapat dielakkan. Sekarang Ji Ok merasa heran juga. Sambitannya
tadi cepat dan kuat sekali, akan tetapi bocah itu dapat mengelak dengan amat
mudahnya.
"Ha-ha-ha,
Ji Ok. Sekali ini engkau dipermainkan seorang bocah cilik!"
"Jangan
mentertawakan aku, Toa Ok! Kulihat anak ini bukan anak sembarangan, kalau tidak
mana mungkin dia dapat mengelak dari semua golok itu?"
"Hemmm,
kalau dia sampai lolos lantas menceritakan di dunia kangouw betapa dia sudah
mampu menghindarkan diri dari seranganmu, bukankah kita akan menjadi buah
tertawaan orang sedunia? Sekarang selagi tidak ada orang lain yang melihatnya,
mari kita berlomba, siapa antara kita yang lebih dulu dapat membunuhnya!"
"Baik!"
kata Ji Ok, kemudian mereka berdua sudah melayang dari atas batu itu ke arah Si
Kong.
Anak ini
sudah tahu akan niat mereka. Walau pun dia tahu bahwa kedua orang kakek itu
bukanlah lawannya, namun dia tidak putus asa. Selama masih hidup dia harus
berusaha mempertahankan hidupnya. Dia sudah menurunkan buntalan pakaiannya dan
memegang pikulan bambunya sebagai tongkat.
Begitu
menyambar dan sebelum kaki mereka turun ke tanah, dua orang kakek itu sudah
menggerakkan senjata. Tongkat ular di tangan Toa Ok berlomba cepat dengan pecut
di tangan Ji Ok.
"Wuuuuutttt...!"
Si Kong
maklum betapa besar bahayanya penyerangan itu. Dia segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya Liok-te Hui-teng dan berkelebat dengan cepatnya mengelak
dari sambaran kedua senjata itu.
"Wuuuutt...!
Tarrr...!"
Tongkat dan
pecut itu menyambar ganas, akan tetapi tidak mengenai sasarannya. Kedua orang
datuk itu terkejut dan heran bukan kepalang. Mereka berdua menyerang dengan
berbareng dan anak itu dapat menghindarkan diri! Ini saja sudah merupakan hal
yang luar biasa sekali. Jarang ada tokoh-tokoh kang-ouw yang mampu
menghindarkan diri apa bila mereka menyerang seperti tadi, namun bocah itu
menggunakan ginkang yang amat hebat sehingga dapat bergerak lebih cepat dari
pada sambaran senjata mereka!
Toa Ok
mengeluarkan suara gerengan aneh saking penasaran dan marahnya, kemudian dia
sudah menyerang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah dada Si Kong dengan
penuh keyakinan bahwa sekali ini pemuda itu pasti akan tewas. Si Kong melihat
gerakan tongkat, maka dia pun segera menggerakkan tongkat bambunya untuk
menangkis sambil menggetarkan ujung tongkat bambunya.
"Tukkk...!"
Dua batang
tongkat bertemu dengan kuatnya. Si Kong membuat tongkatnya terpental dan dia
pun ikut meloncat sehingga serangan Toa Ok gagal lagi.
Melihat ini,
Ji Ok juga menyerang dengan pecutnya yang dibuat menjadi lemas. Pecut itu
menyambar ke arah leher Si Kong, apa bila mengenai sasaran akan membelit leher
dan sekali sentak dengan tenaga sinkang, maka leher bocah itu tentu akan putus!
Akan tetapi
kembali tongkat di tangan Si Kong menangkis sehingga ketika ujung cambuk hendak
membelit tongkat bambu, Si Kong telah lebih dahulu mengirim tendangan kakinya
ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang cambuk.
Ji Ok
melihat betapa tendangan itu kuat sekali. Dia tak ingin pergelangan tangannya
kena ditendang, maka terpaksa dia menarik kembali cambuknya, tidak jadi melibat
tongkat. Kini kedua orang datuk itu marah sekali, akan tetapi mereka juga
merasa malu apa bila harus mengeroyok seorang pemuda remaja dengan menggunakan
senjata mereka!
"Ji Ok,
kita bunuh anak ini dengan tangan kosong saja!" kata Toa Ok dengan muka
yang berubah merah karena merasa malu.
"Baik!"
kata Ji Ok yang cepat menyimpan sabuknya, diikatkan di pinggangnya sedangkan
Toa Ok menancapkan tongkatnya di tanah.
Sekarang
mereka menghampiri Si Kong dengan tangan kosong. Akan tetapi jangan dikira
dengan tangan kosong itu mereka menjadi kurang berbahaya. Kedua orang datuk ini
telah memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya.
Toa Ok yang
berkepala besar itu memiliki sinkang yang berhawa panas sehingga dengan
pukulannya itu dia dapat menghanguskan tubuh lawan. Sebaliknya Ji Ok memiliki
sinkang berhawa dingin. Dengan pukulan tangannya dia mampu membuat lawan roboh
dan tewas dengan darah membeku!
Si Kong
bukan tidak maklum akan kesaktian dua orang kakek itu. Juga dia paham bahwa dua
orang datuk besar ini merasa marah dan malu sehingga berniat untuk membunuhnya.
"Kenapa
ji-wi locianpwe berkeras hendak membunuhku? Apa kesalahanku terhadap ji-wi
(anda berdua)?" Si Kong bertanya, suaranya nyaring, sama sekali tidak ada
tanda-tanda takut pada wajah dan sikapnya.
"Bocah
setan, engkau harus mampus di tanganku!" Ji Ok membentak.
"Kalau
tidak ingin mati di tangan kami, maka bunuhlah dirimu sendiri dengan
tongkatmu!" kata Toa Ok yang masih merasa malu jika harus membunuh lawan
yang melihat usianya pantas menjadi cucunya itu.
"Aku
tidak bersalah, aku tidak ingin mati di tangan siapa pun!" kata Si Kong,
siap dengan tongkatnya.
"Heeeiiiitt...!"
Ji Ok
langsung menyerang dengan tangan kirinya yang membentuk cakar harimau. Akan
tetapi Si Kong mengelak dengan cepat dan ujung tongkatnya sudah menyerang ke
arah siku tangan yang menyerangnya itu. Ji Ok terkejut dan menarik tangan
kirinya, kini tangan kanannya menyambar dengan sebuah tamparan ke arah muka Si
Kong.
Si Kong
cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi secara tidak terduga, sambil mengelak
itu tongkatnya secepat kilat menyambar ke bawah.
"Takkk!"
Tongkatnya
mengenai kaki Ji Ok. Kalau bukan Ji Ok yang terkena hantaman tongkat itu, tentu
sudah terpelanting jatuh. Akan tetapi Ji Ok tidak bergeming, hanya kedua
matanya terbelalak lebar.
"Tung-hoat
(ilmu tongkat) yang hebat!"
Sementara
itu Toa Ok juga sudah menyerang dengan tamparan tangan kanannya disusul
tamparan tangan kiri. Tamparan kedua tangannya ini mempergunakan sinkang
sehingga dapat menyerang orang dari jarak jauh. Akan tetapi Si Kong sudah
melayang ke atas dan melewati kepala Toa Ok. Ketika turun tongkatnya sudah
menghantam ke belakang tubuh lawannya.
"Bukkk!"
Pinggul Toa
Ok kena dihantam tongkat. Tongkat itu terpental, akan tetapi Toa Ok sudah
menjadi merah sekali mukanya karena dalam segebrakan saja dia sudah terkena
pukulan tongkat biar pun pukulan pada pinggulnya itu tidak ada artinya baginya.
Dia hanya merasa heran dan terkejut, lantas teringatlah dia akan ilmu tongkat
yang terkenal paling ampuh di dunia persilatan.
"Ta-kaw
Sin-tung...!" Teriaknya dan kembali mereka menghadapi Si Kong.
Kini mereka
menyerang dengan berbareng. Si Kong menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia
harus menggunakan Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya menjadi seperti seekor
burung walet gesitnya, mengelak ke sana sini sambil berloncatan dan kadang
menangkis dengan tongkatnya.
Setelah
lewat belasan jurus, sebuah pukulan jarak jauh dari Toa Ok menyerempet pundak
Si Kong sehingga dia pun terpelanting dan merasa tubuhnya panas sekali, Ji Ok
dan Toa Ok maju menyerang lagi dari kanan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh
dengan tenaga sakti keluar dari telapak tangan mereka.
Si Kong
sudah tidak mampu menghindar lagi. Akan tetapi, walau pun maut mengancam
dirinya, anak ini sama sekali tidak takut dan dia hanya menunggu datangnya
pukulan dengan mata terbelalak penuh keberanian.
"Siancai..!"
pada saat itu pula terdengar seruan orang, kemudian nampak bayangan orang
berkelebat.
Tahu-tahu di
dekat Si Kong telah berdiri seorang kakek dan kakek ini segera mementang dua
tangannya ke kanan kiri untuk menyambut pukulan Toa Ok dan Ji Ok yang ditujukan
kepada Si Kong.
"Plakkk!
Plakkk!"
Kakek itu
menerima kedua tangan dari kanan kiri. Dia dapat merasakan betapa telapak
tangan Toa Ok mengandung hawa panas dan telapak tangan Ji Ok mengandung hawa
dingin. Akan tetapi dengan tenangnya kakek itu menyambut tangan mereka.
Toa Ok dan
Ji Ok terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka bertemu dengan
telapak tangan yang lembut dan hangat. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok adalah dua
orang datuk sesat yang tidak mempedulikan nasib orang lain. Mereka dapat
membunuh orang tanpa berkedip mata.
Dan
sekarang, ketika melihat seorang kakek menolong Si Kong dan kakek itu terhimpit
di tengah-tengah antara mereka, dua orang datuk ini tidak menarik kembali
tangan mereka, bahkan sebaliknya mereka segera mengerahkan tenaga sinkang untuk
membunuh kakek yang menghalangi niat mereka membunuh Si Kong itu.
Mereka
menggunakan tangan mereka itu untuk mendorong dengan pengerahan tenaga. Akan
tetapi mereka terkejut bukan main. Pada saat mendorong dengan tenaga sakti yang
mengandung hawa panas, Toa Ok merasa betapa ada hawa dingin yang menyambut
dorongannya. Sebaliknya Ji Ok yang mendorong dengan hawa sinkang dingin, merasa
betapa ada hawa panas menyambut dari telapak tangan kakek itu.
Mereka
berdua terengah-engah karena sambutan hawa sinkang dari kedua tangan kakek itu
demikian kuat. Mereka merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya
untuk mendorong kembali.
"Haiiiiiitt...!"
Ji Ok berseru nyaring.
"Hyaaaaaatttt...!"
Toa Ok juga membentak sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Akan tetapi
dua orang kakek itu merasa betapa makin kuat mereka mendorong, semakin kuat
pula hawa sakti menyambut sehingga mereka tidak kuat bertahan lantas keduanya
terjengkang roboh. Toa Ok merasa tubuhnya diserang hawa dingin, dan sebaliknya
Ji Ok merasa tubuhnya di serang hawa panas.
Mereka tidak
tahu bahwa sesungguhnya kakek itu hanya menyalurkan saja hawa pukulan mereka
itu melalui kedua tangannya, kemudian membuat dua tenaga yang berlawanan itu
bertemu dan saling serang sendiri. Ini merupakan ilmu menyimpan dan menyalurkan
hawa sakti dari luar, sebuah ilmu yang amat tinggi dan jarang ada orang mampu
melakukannya. Dengan penyaluran itu, Toa Ok tertangkis oleh tenaga Ji Ok
sebaliknya Ji Ok tertangkis oleh tenaga Toa Ok yang mengakibatkan keduanya
roboh terluka!
Kedua orang
datuk itu bukanlah orang-orang bodoh yang nekat. Mereka maklum bahwa mereka
sudah kalah dan mengalami luka dalam. Mereka maklum bahwa mereka sedang
berhadapan dengan seorang yang luar biasa saktinya. Mereka lantas bangkit dan
sejenak duduk bersila untuk mengatur pernapasan dan mengambil hawa murni untuk
melindungi jantung mereka. Kemudian keduanya bangkit berdiri. Ada sedikit darah
kelihatan di ujung bibir mereka.
"Siapakah
engkau yang telah berani mencampuri urusan kami?" Toa Ok bertanya dengan
suara mengandung penasaran sekali.
"Siancai...!"
Kakek itu berseru sambil tersenyum. "Kiranya yang berjuluk Toa Ok dan Ji
Ok bahkan lebih kejam dari pada namanya! Aku yang bertapa di Pulau Teratai
Merah belum pernah bertemu dengan orang yang sekejam kalian berdua!"
Berkata demikian kakek itu memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang
di tempat itu, lalu kepada Si Kong yang sudah bangkit berdiri.
Dua orang
datuk ini terkejut bukan kepalang mendengar bahwa kakek ini adalah pertapa di
Pulau Teratai Merah. Mereka sudah pernah mendengar tentang seorang pertapa
sakti yang pada puluhan tahun yang silam namanya sangat terkenal dan ditakuti
oleh seluruh tokoh kang-ouw, terutama kaum sesat amat takut mendengar nama itu.
Puluhan tahun
yang lalu di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang demikian gigih
memberantas kaum sesat tanpa mengenal ampun sehingga orang-orang memberi
julukan Pendekar Sadis kepadanya! Pendekar Sadis inilah yang setelah tua lantas
mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah di Laut Selatan. Sekarang,
tanpa disangka sama sekali, pertapa itu agaknya meninggalkan Pulau Teratai
Merah dan kebetulan berjumpa dengan Toa Ok dan Ji Ok, sepasang Raja Iblis yang
merupakan orang-orang paling kejam di antara semua tokoh sesat.
"Pendekar
Sadis...!" Toa Ok dan Ji Ok berseru dengan suara berbareng kemudian tanpa
berkata apa-apa lagi kedua orang itu melompat jauh dan pergi dari situ dengan
hati jeri!
Kakek itu
memang benar Pendekas Sadis yang bernama Ceng Thian Sin. Akan tetapi dia kini
telah menjadi seorang kakek tua renta yang usianya sudah mencapai hampir
seratus tahun! Belasan tahun yang lalu kakek ini tinggal di Pulau Teratai Merah
bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang sukar dicari
tandingannya.
Setelah
isterinya yang bernama Toan Kim Hong dan yang pernah menjadi datuk selatan
dengan julukan Lam Sin itu meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun
lebih, kakek Ceng Thian Sin lantas hidup seorang diri di pulau itu sebagai
seorang pertapa. Dia sama sekali tidak mencampuri urusan dunia, bahkan lama
sebelum itu dia telah hidup menyepi berdua dengan isterinya, hidup dengan
tenteram penuh kedamaian di pulau itu.
Si Kong terheran-heran
memandang kakek tua renta itu. Dia menatap penuh perhatian. Seorang kakek yang
jangkung kurus, rambut jenggot dan kumisnya sudah putih semua akan tetapi
wajahnya masih nampak sehat kemerahan seperti orang muda. Alisnya yang tebal
juga sudah putih semua dan pakaiannya sangat sederhana namun bersih, dari kain
kuning dan putih.
Tadi dia
melihat betapa kakek itu menahan kedua tangan Toa Ok dan Ji Ok, kemudian
melihat kedua orang datuk sesat itu roboh terjengkang seperti ditolak tenaga
yang sangat kuat. Melihat itu saja maklumlah Si Kong bahwa yang menyelamatkan
nyawanya adalah seorang kakek yang sangat sakti. Dia tidak ragu lagi untuk
menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kakek itu dan memberi hormat berulang
kali.
"Saya
Si Kong yang bodoh merasa amat bersyukur atas pertolongan locianpwe yang telah
menyelamatkan jiwa saya dari tangan maut Toa Ok dan Ji Ok. Kalau tidak ada
locianpwe tentu sekarang saya sudah menjadi mayat. Banyak terima kasih saya
haturkan kepada locianpwe."
Kakek itu
mengelus-elus jenggot putihnya yang panjang. "Siancai...! Kau tahu apa
tentang tolong menolong, hutang dan balas budi, hutang atau balas dendam?"
Kemudian Ceng Thian Sin berdongak ke langit dan mulutnya membaca sajak!
"Begitu
semua orang mengenal keindahan dengan sendirinya muncul kejelekan, Begitu semua
orang tahu apa itu kebaikan mereka pun tahu apa itu kejahatan... Karena itu ada
dan tiada saling melahirkan sukar dan mudah saling melengkapi panjang dan
pendek saling mewujudkan tinggi atau rendah saling bersandar bunyi dan suara
saling mengimbangi dahulu dan kemudian saling menyusul..."
Mendengar
ini, saking tertariknya karena dia mengenal sajak itu, ketika kakek itu
berhenti sebentar untuk menarik napas, Si Kong sudah melanjutkan sajak itu.
"Itulah
sebabnya orang sudi bekerja tanpa bertindak mengejar tanpa berkata. Maka segala
benda berkembang tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia mau memilikinya
berbuat tanpa dia menjadi sandarannya. walau pun berjasa dia tidak menuntut,
justru karena tidak menuntut, maka tidak akan musnah."
"Siancai....!
Ternyata engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng! Bagus sekali,
akan tetapi mengertikah engkau akan inti sari pelajaran dalam ujar-ujar kuno
itu?"
"Maafkan
saya, locianpwe. Jika tidak salah, ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk
melakukan segala sesuatu tanpa pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri
pribadi karena perbuatan apa pun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka
perbuatan itu tidaklah timbul dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai
sebagai alat agar bisa mencapai kesenangan diri sendiri. Benarkah demikian,
locianpwe?"
"Ha-ha-ha-ha,
engkau seorang bocah yang cerdik dan pemberani. Kulihat bahkan engkau tadi
berani melawan Toa Ok dan Ji Ok dengan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung! Gerakanmu
juga amat gesit, tentu engkau pernah mempelajari Liok-te Hui-teng dan Yan-cu
Hui-kun!"
Si Kong
merasa kagum dan tunduk sekali. Dia memberi hormat lagi sambil berlutut.
"Apa yang locianpwe katakan semuanya benar. Saya yang bodoh mohon petunjuk
locianpwe."
"Aku
pernah mendengar bahwa ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung yang menjadi ilmu tertinggi
dari para pengemis, dimiliki oleh Lok-sian Lo-kai. Sedangkan Liok-te Hui-teng
dan Yan-cu Hui-kun dikuasai oleh si penyair gila Kwa Siucai. Apa hubunganmu
dengan kedua orang itu?"
"Mereka
berdua adalah guru-guru saya, locianpwe," kata Si Kong yang kini menjadi
lebih kagum lagi. Kakek tua renta ini agaknya mengetahui segalanya.
"Pantas
saja engkau mengenal To-tek-keng." Kakek itu kembali melayangkan pandangan
matanya kepada sembilan belas buah mayat yang malang melintang di tempat itu.
"Siapa yang membunuh mereka?" tanyanya.
"Dua
orang kakek tadi, locianpwe."
"Ceritakan
dari semula semua yang terjadi di sini."
"Secara
kebetulan saya mendaki bukit ini karena mendengar dari orang-orang dusun di
lain bukit bahwa bukit ini diberi nama Bukit Iblis. Saya merasa tertarik
mengapa bukit ini disebut demikian karena saya sendiri tidak percaya adanya
iblis."
"Siancai...!
Jangan bilang tidak percaya karena sesungguhnya iblis itu ada. Hanya saja
keadaannya tidak terlihat mata, dan pekerjaan iblis itu menggoda manusia. Dua
orang tadi melakukan kekejaman seperti itu, kau kira karena apa? Karena iblis
yang masuk ke dalam batin mereka. Lanjutkan ceritamu."
"Mula-mula
saya melihat enam belas orang itu berkumpul di sini, dan pemimpin mereka
menyatakan bahwa sekarang mereka hendak mempergunakan bukit ini sebagai sarang
mereka. Lalu muncul tiga orang yang menyebut diri mereka Liok-te Sam-kwi. Tiga
orang itu mengalahkan enam belas orang ini dan memaksa mereka menjadi anak buah
Liok-te Sam-kwi. Kemudian muncul Toa Ok dan Ji Ok yang menyuruh mereka semua
membunuh diri. Karena mereka tidak mau, lalu terjadilah pertempuran dan
akhirnya Toa Ok dan Ji Ok membunuh mereka. Ketika saya hendak pergi dari sini,
dua orang datuk itu melihat saya lantas mereka menyerang saya seperti yang
locianpwe lihat tadi."
"Siancai...!
Bunuh membunuh, sejak dahulu sampai sekarang. Orang-orang sesat di dunia
kang-ouw rupanya tidak memiliki pekerjaan lain kecuali saling bunuh dan saling
berebut kekuasaan. Dan sekarang engkau hendak pergi ke mana, Si Kong?"
"Saya...
pertama-tama saya harus menguburkan semua jenazah ini baik-baik, locianpwe.
Setelah itu baru saya akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan
saya."
Kakek itu
mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya dan memandang pemuda itu dengan
penuh perhatian. Sinar kagum terpancar dari pandangan matanya.
"Selanjutkan
perjalanan ke mana?"
"Entah
ke mana, locianpwe. Ke mana saja hati dan kaki ini membawa saya. Saya seorang
yatim piatu, sebatang kara, dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Saya
berkelana seperti seekor burung di angkasa, sendirian saja."
Ceng Thian
Sin atau Pendekar Sadis yang kini telah menjadi seorang pertapa tua renta itu
menjadi semakin kagum. Dia sendiri juga hidup menyendiri. Sesudah isterinya
meninggal dunia belasan tahun yang lampau, dia hidup seorang diri di Pulau
Teratai Merah, bahkan tanpa pembantu. Dia dan isterinya hanya mempunyai seorang
anak perempuan bernama Ceng Sui Cin yang kini sudah berusia enam puluh tahun
lebih.
Ceng Sui Cin
hidup bersama suaminya yang bernama Cia Hui Song dan sekarang tinggal bersama
puteri mereka yang menjadi ketua Cin-ling-pai. Meski pun puterinya dan cucunya
mendesaknya untuk tinggal bersama mereka di Cin-ling-pai, dia selalu menolak.
Dia ingin hidup menyendiri sebagai seorang pertapa, dan kadang-kadang saja
puterinya, mantunya atau cucunya datang menjenguknya di pulau Teratai Merah.
Setelah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek ini memperkenalkan diri
dan disebut sebagai Ceng Lojin (orang tua bermarga Ceng).
Si Kong
segera menggunakan golok yang banyak bertebaran di tempat itu untuk menggali
sembilan belas buah lubang kuburan. Pekerjaan berat itu dilakukan tanpa kenal
lelah dan setelah matahari tenggelam di langit barat, barulah dia selesai
mengubur semua jenazah itu. Sejak Si Kong bekerja, Ceng Lojin hanya menonton
saja, kemudian dia malah bersila di atas batu besar sambil memejamkan matanya.
Setelah
selesai, dia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi melihat kakek tua
renta itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya seperti orang tidur, dia
merasa tidak tega meninggalkannya. Kakek itu sudah tua sekali, kasihan kalau
ditiggalkan seorang diri saja di Puncak bukit itu, padahal malam hampir tiba.
Karena tidak
tega pergi meninggalkan kakek itu seorang diri saja, terlebih lagi pergi tanpa
pamit, Si Kong menunda kepergiannya. Dia segera mengumpulkan kayu dan daun
kering, lalu membuat api unggun di dekat batu besar untuk mengusir nyamuk serta
hawa dingin yang mulai datang mengganggu. Dia sendiri lalu merebahkan diri di
atas daun-daun kering di dekat batu besar dan mencoba untuk melepaskan lelah.
Pikirannya
tidak pernah dapat lepas dari kakek yang duduk bersila di atas batu besar itu.
Kakek itu pun seperti dia, agaknya hidup sebatang kara. Bagi dia yang seorang
pemuda tidaklah terasa berat benar. Untuk mencari makan, dia dapat bekerja di
mana saja. akan tetapi kakek tua renta itu? Biar pun dia memiliki kesaktian
hebat, mana mungkin kakek itu bekerja untuk mencari nafkah?
Dia makin
merasa kasihan kepadanya. Apa lagi kakek itu baru saja telah menyelamatkan
nyawanya. Dia pun harus berbuat sesuatu untuk kakek itu. Setidaknya malam ini
dia akan menjaga agar kakek itu tidak terganggu dalam semedhinya.
Dijaganya
api unggun itu agar tidak padam. Dia pun mengaso dan mencoba tidur, walau pun
hanya sebentar-sebentar karena dia harus bangun untuk menambahkan kayu bakar
pada api unggunnya. Setiap kali teringat kepada gundukan-gundukan tanah di
dekat situ, mau tak mau bulu tengkuknya meremang. Tadi dia sama sekali tidak
ingat kepada mayat-mayat yang dikubur itu. Kini setelah teringat, timbullah
rasa ngeri dan takut!
Jelas bahwa
rasa takut itu bukannya datang tanpa diundang. Yang mengundang adalah ingatan
yang mengingat-ingat serta membayangkan yang bukan-bukan, membayangkan hal-hal
yang menyeramkan. Ingatan mengada-ada, mengingat-ingat dan membayangkan kalau
saja mayat-mayat itu bangun lagi. Kalau saja roh-roh yang mati menjadi
penasaran dan mengamuk. Kalau saja, kalau saja.... demikianlah pikiran sering
mengingat-ingat dan membayang-bayangkan sesuatu sehingga rasa takut datang
menyelinap dalam batin.
Si Kong
pernah mendengar wejangan Penyair Gila tentang timbulnya rasa takut itu, dan
sekarang dia merasakannya sendiri. Setelah dia merasa jelas betul dari mana
timbulnya rasa takut yang membuat bulu tengkuknya berdiri, dia lalu 'memasuki'
rasa takutnya itu dan menjenguk di balik rasa takut itu. Dan dia pun merasa
geli terhadap ulahnya sendiri dan rasa takut itu pun segera menghilang.
Pada esok
harinya, pagi-pagi sekali kakek itu telah sadar dari semedhinya, atau tidurnya
sambil duduk bersila. Melihat kakek itu bangkit berdiri, Si Kong segera
meloncat bangun pula.
"Siancai...!"
kata kakek itu tersenyum. "Engkau masih berada di sini, Si Kong? Bukankah
kau katakan bahwa engkau hendak melanjutkan perantauanmu?"
"Maaf,
locianpwe, saya belum dapat pergi karena melihat locianpwe sedang bersemedhi.
Saya tidak mungkin pergi meninggalkan locianpwe begitu saja tanpa pamit."
Ceng Lojin
menghela napas panjang. "Dasar jodoh, dasar jodoh! Semua peristiwa di
dunia Thian yang menentukan, manusia hanya bisa berusaha sekuat dan sebaik
mungkin," kata kakek itu perlahan seperti kepada dirinya sendiri. "Si
Kong, bagaimana pendapatmu kalau aku mengambilmu sebagai murid?"
Pertanyaan
seperti ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Si Kong, bahkan dia tidak
pernah berani mengharapkan kakek seperti ini mau menjadi gurunya. Karena itu,
begitu mendengar kata-kata itu, langsung dia menjatuhkan diri berlutut di bawah
batu besar itu dan wajahnya berseri gembira ketika dia menjawab.
"Locianpwe,
tidak ada kegembiraan yang melebih apa yang saya dengar dari locianpwe. Kalau
locianpwe sudi mengambil saya sebagai murid, saya merasa mendapat anugerah
besar dari Tuhan. Saya hanya dapat berjanji akan mentaati semua perintah dan
petunjuk locianpwe."
"Baiklah,
mulai sekarang engkau menjadi muridku dan harus mentaati semua
perintahku," kata kakek tua renta itu.
Dengan hati
girang bukan kepalang Si Kong lantas menjatuhkan dirinya berlutut lagi dan
memberi hormat delapan kali kepada kakek itu dan menyebut, 'suhu!'
"Teecu
akan mempersiapkan sarapan pagi untuk Suhu," kata pemuda itu.
Ceng Lojin
tersenyum. "Harapan apa yang hendak kau berikan kepadaku?"
"Teecu
dapat berburu burung, ayam alas atau kelinci di hutan lereng itu."
Ceng Lojin
menggoyangkan tangannya, "Tidak usah, telah lama aku tidak lagi menyentuh
makanan yang berasal dari binatang. Aku hanya makan dari tumbuh-tumbuhan saja
dan aku sudah membawa bekal roti kering. Engkau juga boleh makan bersamaku. Aku
hanya membutuhkan air jernih, kau boleh mencarikan itu untukku."
Si Kong
cepat membuka buntalannya. Dia memang selalu membawa sebuah panci untuk
keperluan mencari air jernih atau memasak makanan. Dengan panci di tangan dia
segera berlari cepat sekali ke sebuah hutan di lereng. Tidak lama kemudian dia
sudah kembali sambil membawa sepanci air jernih yang ditemukan dari sebuah
sumber air. Ceng Lojin mengeluarkan beberapa potong roti kering dari
buntalannya, lalu guru beserta muridnya itu makan makanan sederhana itu dengan
nikmat.
"Suhu,
maafkan kelancangan teecu (murid). Teecu pernah mempelajari dari kitab-kitab
suci bahwa makanan bernyawa tidak baik bagi batin kita, bahkan menurut ilmu
pelajaran pengobatan, makanan bernyawa itu juga tidak baik bagi kesehatan
tubuh. Teecu dapat mengerti mengapa Suhu sebagai seorang pertapa berpantang
makanan bernyawa. Akan tetapi yang ingin teecu tanyakan, Suhu, apakah kita
dapat terbebas dari makan binatang bernyawa? Menurut suhu Lok-sian Lo-kai, di
dalam setiap cawan air jernih bisa terdapat ratusan atau bahkan ribuan binatang-binatang
kecil yang tidak dapat nampak oleh mata biasa. Demikian pula di dalam
tumbuh-tumbuhan seperti daun-daun untuk sayur dan juga buah-buahan, besar
kemungkinan mengandung binatang-binatang kecil sehingga tak bisa dihindarkan
lagi, kita terpaksa makan binatang-binatanag bernyawa, mau atau tidak."
Ceng Lojin
mengangguk-angguk. "Benar sekali keterangan Lo-kai Lojin itu. Bahkan dalam
setiap tarikan napas ada banyak binatang-binatang kecil yang ikut masuk ke
dalam tubuh kita. Akan tetapi hal itu kita lakukan tanpa disengaja dan tidak
dapat dihindarkan. Berbeda dengan kalau kita makan daging binatang sambil
menikmati kelezatannya. Yang namanya membunuh, apa pun alasannya, tetap saja
itu merupakan pembunuhan dan pembunuhan selalu didukung oleh kekejaman."
"Maaf,
Suhu. Bukan sekali-kali teecu hendak membantah, akan tetapi teecu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan ini karena ingin tahu dan ingin mengerti benar. Dengan
pendapat bahwa membunuh untuk makan itu adalah perbuatan jahat dan kejam,
apakah binatang pemakan daging seperti harimau, singa, buaya dan binatang buas
lain juga jahat?"
"Sama
sekali tidak, Si Kong. Binatang buas itu memang membunuh, namun membunuh untuk
makan karena dia tidak dapat makan yang lain. Harimau dan lain-lain binatang
buas itu tidak dapat makan daun, dan kalau tidak ada binatang buruan lain
mereka akan mati kelaparan. Mereka memang ditakdirkan untuk itu. Tetapi manusia
tidak dapat disamakan dengan binatang buas. Manusia dapat hidup tanpa makan
daging binatang. Jadi orang-orang yang pantang makan daging binatang itu hanya
berusaha agar mereka tidak terlalu diperngaruhi oleh nafsu binatang yang
tentunya ikut masuk bersama dengan daging yang dimakannya. Akan tetapi bukan
jaminan pula bahwa orang-orang yang berpantang makan daging adalah orang-orang
baik dan mereka yang makan daging adalah orang-orang yang jahat. Seperti
kukatakan tadi, pantang makan daging hanya suatu cara untuk mengurangi pengaruh
nafsu binatang. Karena itu, biar pun engkau sudah menjadi muridku, aku tidak
akan melarang engkau makan daging."
"Ahh,
tidak Suhu. Seorang murid haruslah menjadikan gurunya sebagai teladan. Bila
Suhu tidak makan daging, teecu juga ikut tidak makan daging, karena teecu
hendak merasakan sendiri bagaimana rasa dan akibatnya kalau berpantang makan
daging."
Setelah
selesai makan roti kering dan minum air jernih, Si Kong mengikuti gurunya turun
bukit. Gurunya nampak hanya melangkah biasa saja, akan tetapi tubuh suhu-nya
seolah tidak berjalan melainkan melayang. Kedua kakinya seakan tidak menyentuh
tanah. Dia pun harus mengerahkan ilmu Liok-te Hui-teng agar bisa mengimbangi
kecepatan langkah gurunya.
Ceng Lojin
mengajak Si Kong pergi ke selatan dan setelah tiba di pantai Laut Selatan lalu
menyeberang ke sebuah pulau kecil yang tanahnya subur. Pulau itu mempunyai
beberapa buah danau dan pada permukaan danau itu tumbuh banyak bunga teratai
merah. Karena inilah maka pulau itu disebut Pulau Teratai Merah yang menjadi
tempat tinggal Ceng Lojin. Di tengah pulau terdapat sebuah pondok kayu yang
cukup besar dan kokoh kuat.
Ceng Lojin
yang usianya sudah mendekati seratus tahun itu, dahulu ketika masih muda
terkenal dengan julukan Pendekar Sadis karena dia amat membenci golongan sesat.
Bila dia bertemu dengan penjahat, dia tidak akan memberi ampun sehingga semua
penjahat di dunia kang-ouw merasa gentar kalau mendengar namanya yang menjadi
algojonya para penjahat.
Ilmu
kepandaian kakek ini sangat tinggi dan sukar dicari lawan yang dapat
mengimbangi tingkat kepandaiannya. Dia menguasai banyak ilmu silat tinggi yang
aneh-aneh. Di antara semua ilmu silat itu terdapat ilmu silat Thai-kek Sin-kun
(Silat Sakti Pokok Terbesar), San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung),
Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit
Bumi), Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).
Akan tetapi
ilmu yang paling hebat di antara semua ilmu silat tinggi itu adalah Ilmu Silat
Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Mendekam) yang hanya terdiri dari
delapan jurus dan ilmu tenaga sakti yang disebut Thi-khi I-beng, semacam ilmu
sakti yang mengerikan karena dengan ilmu itu dia dapat menyedot tenaga sakti
lawan ke dalam dirinya sehingga menambah kekuatannya sendiri sedangkan lawan
menjadi lemas akibat tenaga dalamnya disedot habis!
Thi-khi
I-beng ini merupakan ilmu rahasia dari para ketua Cin-ling-pai, akan tetapi
pada waktu itu tidak ada orang lain kecuali Ceng Lojin yang menguasainya. Tidak
sembarang orang dapat menguasai Thi-khi I-beng. Bahkan puterinya sendiri yang
bernama Ceng Sui Cin tidak dapat menguasai ilmu itu.
Tentu saja
amat besar keberuntungan Si Kong dapat diambil murid oleh Ceng Lojin. Hal ini
adalah karena begitu bertemu dengan Si Kong, Ceng Lojin segera mengetahui bahwa
pemuda remaja itu mempunyai tulang yang baik dan bakat yang besar, juga
mempunyai kecerdikan dan keberanian. Apa lagi sesudah dia mengetahui bahwa Si
Kong juga pandai membaca sajak dan ujar-ujar kitab suci, maka hatinya makin
tertarik lagi. Inilah anak yang boleh dia harapkan untuk mempergunakan
ilmu-ilmunya sebaik mungkin, untuk kebaikan manusia serta menegakkan kebenaran
dan keadilan.
Karena tahu
bahwa muridnya telah memiliki ilmu silat dasar yang cukup tinggi, tentu saja
Ceng Lojin tidak mengajarkan semua ilmu yang dia kuasai. Dia hanya mengajarkan
ilmu silat sakti Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, akan tetapi yang
delapan jurus itu dapat dikembangkan sendiri menjadi puluhan jurus. Setiap
jurus merupakan gerakan dasar yang sangat sulit sehingga untuk menguasai
delapan jurus Hok-liong Sin-ciang itu Si Kong harus mempergunakan waktu dua
tahun berlatih dengan tekun, barulah dia dapat menguasai ilmu Hok-liong
Sin-ciang itu dan dapat mengembangkannya sehingga menjadi banyak jurus.
Setelah Si
Kong menguasai ilmu silat yang amat sulit ini dan usianya telah delapan belas
tahun barulah Ceng Lojin mengajarkan ilmu yang lebih sukar lagi, yaitu ilmu
tenaga sakti Thi-khi I-beng! Agar dapat menghimpun tenaga sakti yang amat
langka ini, Si Kong harus bersemedhi dengan berbagai macam cara. Selama
berbulan-bulan dia harus bersemedhi dengan berjungkir balik agar dia menguasai
benar tenaga sakti yang berada di tubuhnya dan dapat menggunakan sesuai dengan
kebutuhannya. Dia dapat membuat tenaga sakti dalam tubuh itu menjadi hawa
panas, hawa dingin, menjadi tenaga keras atau lunak.
Selama Si
Kong berada di Pulau Teratai Merah, pulau itu beberapa kali saja menerima tamu.
Yang pertama datang adalah puteri dan mantu Ceng Lojin, yaitu pendekar Cia Hui
Song yang telah berusia tujuh puluh tahun, dan puteri Ceng Lojin yang bernama
Ceng Sui Cin dan sudah berusia enam puluh lima tahun. Dua kali suami isteri ini
datang menjenguk Ceng Lojin dan setiap kali datang mereka selalu membujuk Ceng
Lojin untuk ikut dengan mereka ke Cin-ling-san, di mana kakek itu dapat tinggal
bersama keluarganya.
"Tidak,
aku tidak ingin pindah dari sini. Ibumu meninggal dan dimakamkan di sini, aku
pun kelak ingin dimakamkan di sini bila saat terakhirku tiba. Dan jangan
khawatir, di sini ada Si Kong. Dia adalah murid yang amat berbakti,"
demikian kakek itu menolak dengan halus.
Ceng Sui Cin
dan suaminya merasa kagum sekali terhadap Si Kong. Dia tidak merasa iri melihat
Si Kong yang dilatih Hok-liong Sin-cang bahkan Thi-khi I-beng, padahal dia
sendiri tidak mempelajarinya karena bakatnya masih kurang.
"Sute
Si Kong." kata Ceng Sui Cin pada kunjungannya yang terakhir ketika Si Kong
sudah berusia sembilan belas tahun, "Engkau beruntung sekali mendapat
kepercayaan ayahku sehingga diangkat murid dan mewarisi ilmu-ilmu rahasia milik
Cin-ling-pai. Akan tetapi di samping keberuntungan itu, berarti engkau
bertanggung jawab berat sekali. Kelak engkau harus dapat mempergunakan semua ilmu
itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan sekali-kali tak boleh kau
gunakan untuk maksud jahat dan menguntungkan diri sendiri saja. ingat, kalau
engkau melakukan penyelewengan itu, kami seluruh anggota besar Cin-ling-pai
akan menghadapimu dan minta pertanggung jawaban darimu."
"Saya
mengerti benar akan apa yang Suci maksudkan. Saya hanyalah seorang manusia
biasa, Suci, maka saya tidak berani takabur dan menjanjikan sesuatu yang
nantinya tidak akan dapat saya penuhi. Saya hanya berdoa kepada Tuhan, semoga
Tuhan akan selalu membimbing saya ke arah jalan yang benar!"
Ucapan Si
Kong ini malah lebih melegakan hati Ceng Sui Cin dari pada kalau pemuda itu
mengucapkan janji yang muluk-muluk. Ia suka akan kerendahan hati pemuda ini.
Sayang bahwa pemuda yang sebaik dan sebesar ini bakatnya bukan keluarga besar
Cin-ling-pai.
Selain suami
isteri itu yang berkunjung dua kali selama Si Kong berada di Pulau Teratai
Merah, juga cucu Ceng Lojin, yaitu Cia Kui Hong yang berusia empat puluh tujuh
tahun dan menjadi ketua Cin-ling-pai datang berkunjung bersama suaminya yang
bernama Tang Hay.
Sebagai
puteri Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, tentu saja Cia Kui Hong juga merupakan
seorang wanita sakti maka dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi
suaminya yang bernama Tang Hay itu bahkan lebih lihai dari pada dia. Cia Kui
Hong juga pernah digembleng di Pulau Teratai Merah oleh kakek dan neneknya,
bahkan telah mewarisi ilmu pedang pasangan Hok-mo Siang-kim (Sepasang Pedang
Pembunuh Iblis) dari neneknya. Tetapi Cia Kui Hong ini pun dianggap kurang
berbakat untuk mewarisi Hok-liong Sin-ciang dan Thi-khi I-beng. Sedangkan
suaminya, Tang Hay adalah seorang pendekar sakti yang bukan saja mempunyai ilmu
yang lebih tinggi dari isterinya, akan tetapi dia pun mahir ilmu sihir!
Seperti juga
nenek Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong sengaja menemui Si Kong berdua saja ketika Si
Kong bekerja di sebuah ladang kecil di mana dia menanam sayur-sayuran untuk
keperluan dia dan gurunya. Seperti ibunya, Cia Kui Hong juga berkata kepada Si
Kong,
"Si
Kong, engkau telah memperoleh kepercayaan kongkong dan diberi pelajaran ilmu
silat tinggi. Aku ingin memperingatkanmu agar kelak engkau menggunakan
ilmu-ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, jangan sekali-kali kau
gunakan untuk kejahatan karena dengan begitu engkau akan mencemarkan nama baik
Cin-ling-pai dan kami semua tentu akan menghadapimu sebagai musuh!"
Si Kong
tersenyum. Alangkah miripnya nyonya ini dengan ibunya! Ibu dan anak ini sudah
memperingatkannya dengan keras. "Harap Pangcu tidak khawatir. Saya sudah
berjanji di hadapan suci Ceng Sui Cin bahwa saya akan mentaati semua pesan dan
perintah suhu. Semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke dalam jalan
kebenaran."
Ketua
Cin-ling-pai dan suaminya itu hanya tinggal tiga hari di Pulau Teratai Merah,
lantas mereka pulang karena mereka pun tidak berhasil membujuk kakek Ceng Lojin
untuk ikut dengan mereka tinggal di Cin-ling-san.
Diam-diam Si
Kong merasa ngeri juga. Dia sudah mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pusaka
dari keluarga besar para ketua Cin-ling-pai dan dia tahu bahwa mereka itu bukan
omong kosong saja dengan peringatan mereka. Akan tetapi hatinya tidak merasa
khawatir karena sedikit pun tak ada niat di hatinya untuk berbuat jahat atau
seenaknya sendiri saja mengandalkan semua ilmunya. Di samping ilmu silat, dia
pun mendapat banyak wejangan dan pelajaran tentang kehidupan dari Yok-sian
Lo-kai, Kwa Siucai dan Ceng Lojin sendiri.
Waktu
berlalu amat cepat bagaikan anak panah terlepas dari gendewanya. Tanpa terasa
dua tahun lagi sudah lewat semenjak kunjungan ketua Cin-ling-pai Cia Kui Hong
bersama suaminya itu. Sekarang Si Kong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang
berusia dua puluh tahun. Dia pun sudah menguasai Thi-khi I-beng.
Ceng Lojin
juga bertambah tua, kini usianya sudah seratus tahun lebih. Tubuhnya makin
kurus akan tetapi masih tegak dan tidak bongkok. Pandangan matanya masih tajam
dan juga pendengarannya masih baik. Pada suatu pagi, kakek itu menghampiri Si
Kong yang sedang memikul air dari sumber air itu.
"Berhentilah
dulu bekerja. Aku ingin menguji apakah engkau benar-benar telah menguasai
Thi-khi I-beng secara benar."
Si Kong
cepat menurunkan pikulannya dan menghampiri kakek itu.
"Teecu
siap melaksanakan perintah suhu!" katanya dengan suaranya yang selalu bernada
gembira dan tegas.
"Si
Kong, bagian paling sukar dari Thi-khi I-beng adalah menghentikan tenaga
menyedot sinkang dari luar. Kalau hal itu belum dapat kau lakukan dengan
sempurna, secara mudah engkau dapat membunuh orang tanpa disengaja karena
tenaga sinkang orang itu akan membanjir ke dalam tubuhmu. Jangan sekali-kali
mencoba untuk mempergunakan Thi-khi I-beng kalau engkau belum mampu
mengendalikan tenagamu dengan sempurna. Karena itu, sekarang aku akan
mengujimu. Aku akan mencengkeram pundakmu. Salurkan Thi-khi I-beng ke pundak
yang dicengkeram, maka tenaga dalamku akan tersedot olehmu melalui pundak yang
kucengkeram. Bila mana sudah begitu, cobalah engkau cepat-cepat menarik kembali
tenagamu agar sinkang dariku tidak tersedot terus."
"Baik,
Suhu. Akan teecu coba sebaik mungkin!"
"Lihat
serangan!" Kakek itu berseru kemudian secepat kilat tahu-tahu tangan
kirinya telah mencengkeram pundak kanan Si Kong.
Begitu
merasa pundaknya dicengkeram, Si Kong segera mengerahkan Thi-khi I-beng ke
tangan kakek itu yang menempel pada pundaknya, sehingga timbul tenaga sedotan
yang besar sekali menyedot tenaga sinkang kakek itu melalui pundak Si Kong.
Setelah merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya, maka tahulah Si Kong
bahwa ilmunya telah bekerja dengan baik. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk
menarik kembali tenaga sedotan itu sambil menggerakkan pundaknya sehingga
terlepas dari tempelan tangan Ceng Lojin. Ceng Lojin sendiri terhuyung ke
belakang dan melihat ini Si Kong cepat menghampirinya.
"Suhu
baik-baik saja?"
Ceng Lojin
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, akan tetapi hatiku
senang sekali. Engkau telah mampu mengendalikan Thi-khi I-beng! Hal itu baik
sekali, Si Kong, karena kalau tidak, engkau akan membunuh banyak orang dengan
tenaga sedotan Thi-khi I-beng yang tidak dapat kau hentikan."
Melihat
kakek itu agak terengah dan mukanya agak pucat, Si Kong cepat memegang nadi
tangan gurunya untuk memeriksa keadaannya. Dia pun terkejut!
"Jantung
Suhu terguncang dan lemah sekali! Suhu harus beristirahat...!"
Kembali Ceng
Lojin tersenyum. "Beginilah kalau badan sudah dimakan umur. Tiada yang
kekal di dunia ini, juga kekuatan badan. Oleh karena itu, selagi badan kuat
engkau harus dapat menggunakannya demi keadilan dan kebenaran Si Kong. Bila
kelak engkau sudah setua aku, engkau pun akan kehilangan kekuatanmu dan kalau
sudah jompo, apa yang dapat kau lakukan?"
"Akan
tetapi, Suhu, kesehatan Suhu terancam. Suhu tak boleh mengerahkan tenaga dan
harus beristirahat. Saya akan membuat obat untuk memperkuat daya tahan tubuh
Suhu!"
Ceng Lojin
menggeleng kepala. "Tidak, Si Kong. Pengobatan manusia pun ada batasnya.
Badan yang tua tidak dapat dipulihkan lagi. Mengingat keadaanku ini, patut
kunasehatkan kepadamu, tengoklah ke atas, maka engkau akan melihat betapa
banyaknya orang yang lebih pandai, lebih kaya bahkan lebih segala-galanya dari
pada engkau dan engkau boleh berkata pada dirimu sendiri: enyahlah keangkuhan
dan kesombongan! Namun jangan lupa menengok ke bawah! Tengoklah ke bawah, maka
engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih bodoh, lebih miskin dan
lebih menderita dari pada engkau, dan engkau boleh berkata kepada dirimu
sendiri: pergilah keputus-asaan dan kerendah-dirian! Dengan menengok ke atas
dan ke bawah itu engkau akan selalu merasa bersyukur atas segala karunia Tuhan
kepadamu, engkau akan selalu rendah hati tetapi tidak rendah diri. Engkau akan
menjadi manusia yang jauh lebih gagah perkasa apa bila engkau mampu menguasai
nafsu-nafsu sendiri dari pada kalau engkau mengalahkan seratus orang
lawan!"
"Teecu
akan menyimpan dalam hati dan akan selalu ingat semua nasehat suhu."
Tiba-tiba Si Kong melompat berdiri dan memandang ke arah selatan.
Tempat
tinggal mereka berada di dataran paling tinggi di pulau itu sehingga dari situ
orang dapat melihat ke empat penjuru yang terletak lebih rendah. Pendengarannya
yang sangat tajam sudah menangkap suara orang dari arah selatan, maka dia
memandang ke sana dengan penuh perhatian.
"Ada
orang-orang datang mengunjungi kita," kata Ceng Lojin lirih. Ini
membuktikan bahwa pendengaran kakek itu masih amat tajam.
Si Kong
melihat bayangan tujuh orang datang dari pantai pulau dan kini mereka berlari
cepat bukan main menuju ke arah tempat dia berdiri, Si Kong dapat melihat jelas
betapa cepatnya tujuh orang itu berlari, menunjukkan bahwa mereka tentu
bukanlah orang-orang sembarangan.
"Benar
Suhu, ada tujuh orang datang berkunjung dan mereka menggunakan ilmu berlari
cepat tingkat tinggi. Mereka tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
silat tinggi, Suhu."
"Siapa
pun adanya mereka, mari kita sambut mereka di depan pondok. Setiap orang yang
datang berkunjung ke pulau ini adalah tamu yang harus kita hormati, Si
Kong."
"Baik,
suhu..."
Mereka lalu
berjalan menuju ke depan pondok dan berdiri dengan sikap tenang menanti
datangnya tujuh orang itu. Benar seperti yang dikatakan Si Kong, sebentar saja
ketujuh orang itu sudah tiba di depan mereka. Pemuda itu terkejut ketika
mengenal dua orang di antara mereka, seorang yang kepalanya besar dan botak
berpakaian putih dan seorang yang rambutnya panjang sampai ke pinggang dan
mukanya juga berambut seperti muka monyet. Mereka itu bukan lain adalah Toa Ok
atau Thai-mo-ong dan dan Ji Ok atau Ji-mo-ong, dua orang yang disebut Si Jahat
Nomor Satu dan Si Jahat Nomor Dua.
Si Kong
melihat lima orang yang lain. Mereka adalah lima orang kakek yang usianya lebih
kurang enam puluhan tahun dengan rambut dipotong pendek dan pakaian mereka
seperti jubah pendeta.
"a-ha-ha-ha,
ternyata Pendekar Sadis masih hidup dan berada di pulau pertapaannya ini! Dan
si bocah setan juga berada di sini. Bagus, kami dapat membalas kekalahan kami
tempo hari kepada kalian!" kata Toa Ok sambil tertawa-tawa dan
menggerakkan tongkat ularnya.
"Sekali
ini engkau tak akan dapat lolos dari tanganku, Pendekar Sadis!" kata Ji Ok
sambil mencabut pecutnya.
"Pendekar
Sadis sudah tidak ada, yang ada ini adalah Ceng Lojin," kata Ceng Lojin,
lalu menghadapi lima orang yang menemani Toa Ok dan Ji Ok itu. "Agaknya
Toa Ok dan Ji Ok belum jera setelah kekalahannya di Bukit Iblis dulu, akan
tetapi ngo-wi (anda berlima) ini siapakah dan ada keperluan apa dengan
kami?"
"Kami
berlima dikenal dengan sebutan Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tandingan), datang
dari barat dan kami sahabat Thai-mo-ng dan Ji-mo-ong. Telah puluhan tahun kami
mendengar betapa Pendekar Sadis sangat sewenang-wenang dan kejam terhadap
orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena kami juga mendengar bahwa Pendekar
Sadis sudah mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah, tadinya kami
telah melupakan dan membiarkan dia bertapa menyesali kekejaman-kekejaman yang
dulu pernah dia lakukan. Akan tetapi kami bertemu dengan Thai-mo-ong dan
Ji-mo-ong, lantas mendengar bahwa Pendekar Sadis kembali mencampuri dunia
kang-ouw bahkan sudah mengalahkan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, juga melukai
mereka. Maka kami berlima mengambil keputusan untuk ikut dengan mereka
mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk membalaskan roh-roh penasaran dari banyak
tokoh kang-ouw yang telah tewas di tangan Pendekar Sadis."
"Siancai...!
Jadi kalian bertujuh ini sengaja datang ke sini untuk membunuhku?"
"Kami
datang ke sini untuk menantangmu, Ceng Lojin!" kata Toa Ok.
"Mengeroyok?
Tujuh lawan satu? Kalian pengecut curang!" kata Si Kong dengan marah.
Pemuda itu
tahu benar keadaan suhu-nya yang sedang lemah setelah tadi menguji Thi-khi
I-beng miliknya. Jantungnya berdetak lemah sehingga suhu-nya harus
beristirahat, sama sekali tak boleh mengerahkan tenaga sinkang untuk berkelahi,
apa lagi tujuh lawan satu!
"Si
Kong, kau jangan ikut campur. Ini adalah urusan pribadiku!" Ceng Lojin
berseru kepada muridnya dengan sikap gagah dan tenang sekali. Kemudian dia
bertanya kepada Toa Ok, "Kalian bertujuh menantangku untuk mengeroyokku?"
"Ha-ha-ha,
aku pernah mendengar bahwa dalam menghadapi lawan, Pendekar Sadis tak pernah
menanyakan dikeroyok atau tidak. Memang kami bertujuh hendak maju bersama
melawanmu, akan tetapi kalau engkau takut, kami bersedia memberi pengampunan
dan memperbolehkan engkau membunuh dirimu di depan kami!"
Mendengar
ini Si Kong menjadi marah sekali. "Aturan apa itu? Memberi pengampunan
dengan jalan menyuruh orang membunuh diri!"
"Hemm,
seumur hidupku belum pernah aku menolak tantangan dari siapa pun juga. Nah,
kalian boleh maju bersama!" kata Ceng Lojin dan dia berdiri dengan sikap
penuh wibawa, sedikit pun tidak ada bayangan rasa takut pada wajah dan
sikapnya.
"Tidak
tahu malu! Mengeroyok seorang yang sudah tua dan tidak bersenjata dengan tujuh
orang dan semuanya bersenjata!" teriak lagi Si Kong yang tak dapat menahan
amarahnya lagi.
Merah juga
wajah tujuh orang itu. Mereka adalah datuk-datuk besar yang terkenal di dunia
kang-ouw. Lima orang yang menyebut diri mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa
Tanpa Tanding) itu adalah bekas pendeta-pendeta Lama jubah hitam yang terusir
keluar dari negara mereka karena telah melakukan penyelewengan. Mereka lalu
lari ke timur dan sebentar saja sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw
karena kepandaian mereka yang tinggi. Mereka adalah kenalan Toa Ok dan Ji Ok,
maka dengan senang hati mereka membantu kedua orang sahabat ini menghadapi
Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Ucapan pemuda ini memang menampar harga
diri mereka.
"Pendekar
Sadis, mengingat bahwa sekarang engkau sudah tua renta, maka kami akan
menghadapimu tanpa senjata. Lihat, kutinggalkan tongkatku di sini!" kata
Toa Ok sambil menancapkan tongkatnya ke atas tanah.
Ji Ok
menyimpan kembali pecutnya yang dilingkarkan di pinggang menjadi sabuk. Melihat
ini Bu-tek Ngo-sian yang membawa pedang pada punggung masing-masing juga tak
mau mencabut senjata mereka.
"Bagus!
Kiranya kalian masih memiliki sifat jantan. Nah, mulailah dengan usahamu untuk
membunuh orang tua seperti aku!" kata Ceng Lojin.
Si Kong tadi
sengaja mengejek untuk menolong suhu-nya. Jika mereka mempergunakan senjata,
maka gurunya terpaksa harus menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang dan hal
ini amat berbahaya bagi keselamatan suhu-nya yang sedang lemah. Akan tetapi
kalau mereka tidak bersenjata, dia mengharapkan suhu-nya akan mampu mengalahkan
mereka dengan Thi-khi I-beng.
Ceng Lojin
memaklumi akal muridnya ini, sebab itu dia pun tersenyum. Ia mengerti bahwa
kondisi tubuhnya tidak memungkinkan dia untuk bertahan dalam pertandingan yang
lama. Dia harus mampu mengalahkan tujuh orang lawannya secepat mungkin atau
dialah yang akan tewas di tangan mereka.
Namun
bagaimana mungkin dia dapat mengalahkan mereka yang rata-rata memiliki ilmu
kepandaian tinggi sebagai datuk persilatan itu? Tidak lain hanya dengan Thi-khi
I-beng! Akan tetapi kalau dia membiarkan tenaga sinkang ketujuh orang itu
membanjir ke dalam dirinya, tubuhnya yang sudah lemah itu pun tidak akan kuat
bertahan. Secara diam-diam Ceng Lojin yang telah memiliki banyak pengalaman
bertanding ini mencari akal agar dapat memenangkan pertandingan dalam waktu
secepat mungkin dengan menggunakan tenaga sesedikit mungkin.
Toa Ok dan
Ji Ok memelopori pengeroyokan itu. Mereka maju bersama dan menyerang dengan
pukulan mereka yang cepat dan kuat. Toa Ok mencengkeram ke arah pundak kiri
Ceng Lojin, sedangkan Ji Ok menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari
terbuka ke arah perutnya.
Ceng Lojin
tidak berani mengerahkan tenaga sinkang untuk menangkis, tapi mengerahkan
Thi-khi I-beng untuk menerima dua macam serangan ini. Dengan sedikit miringkan
tubuh dia menerima cengkeraman pada pundaknya itu, maka pukulan Ji Ok bukan
menghantam perut akan tetapi mengenai lambungnya.
"Plakk!
Plakk!"
Tangan kanan
Toa Ok yang mencengkeram pundak bertemu dengan pundak yang lunak, begitu pula
tangan kanan Ji Ok yang menghantam lambung. Mereka berdua kaget sekali. Akan
tetapi pada saat mereka hendak menarik kembali tangan mereka, tangan itu sudah
melekat pada pundak dan lambung Ceng Lojin.
Sebelum
hilang rasa kaget mereka, dua orang datuk itu menjadi terkejut bukan kepalang
ketika merasa betapa tenaga sinkang mereka melalui tangan yang melekat di tubuh
orang tua itu memberobot keluar seperti disedot oleh tenaga yang tidak mampu
mereka lawan! Mereka cepat berusaha mencegah, tetapi mereka tidak mampu menahan
tenaga sinkang yang membanjir keluar itu. Selagi mereka terkejut dan
menarik-narik tangan mereka, saat itu dipergunakan oleh Ceng Lojin untuk
memukul mereka dengan ilmu silat Hok-liong Sin-ciang.
"Desss...!
Desss...!"
Toa Ok dan
Ji Ok terpental ke belakang kemudian terhuyung-huyung. Mereka tahu bahwa mereka
telah terluka dalam. Pada saat itu lima orang Bu-tek Ngo-sian sudah berloncatan
ke depan dan menerkam Ceng Lojin dengan serangan tangan mereka. Ilmu kepandaian
kelima orang bekas Lama ini setingkat dengan ilmu kepandaian Toa Ok dan Ji Ok,
maka bisa dibayangkan betapa hebatnya ketika mereka berlima maju untuk
menyerang dengan pukulan mereka yang ampuh dan mengandung tenaga sinkang kuat!
Tetapi
alangkah terkejut rasa hati mereka ketika semua pukulan mereka itu ternyata
tidak dielakkan mau pun ditangkis oleh kakek tua renta itu, melainkan diterima
begitu saja dan mereka merasakan pukulan mereka diterima oleh tubuh yang lunak.
Kekagetan mereka semakin bertambah ketika mereka merasakan tangan mereka
melekat pada tubuh kakek itu dan tenaga sinkang mereka membanjir keluar dari
tubuh mereka melalui tangan yang menempel di tubuh itu!
Mereka
menarik-narik tangan mereka sambil mengerahkan sinkang. Akan tetapi, semakin
kuat mereka mengerahkan sinkang, semakin kuat pula tangan itu menempel pada
tubuh Ceng Lojin dan semakin besar tenaga sinkang mereka membanjir keluar!
Sementara
itu Ceng Lojin tidak tinggal diam. Melihat mereka semua sedang kebingungan, dia
mainkan Hok-liong Sin-cing, memukul lima orang itu sehingga mereka semua
terpental satu demi satu kemudian terhuyung-huyung dan akhirnya roboh ke tanah!
Ceng Lojin berdiri
tegak sambil memandang penuh wibawa kepada tujuh orang lawannya yang sudah
diberi satu kali pukulan dan yang kini mencoba untuk bangkit berdiri. Pukulan
yang hanya satu kali itu telah membuat mereka terluka dalam. Sekarang mereka
bertujuh memandang kepada Ceng Lojin dengan mata terbelalak, jelas nampak
keraguan dan rasa ketakutan membayang pada wajah mereka.
Melihat
betapa gurunya dalam keadaan sedang lemah itu dapat merobohkan tujuh orang
pengeroyoknya dalam segebrakan saja, Si Kong merasa kagum dan bangga, akan
tetapi juga merasa khawatir sekali. Suhu-nya sudah menggunakan Thi-khi I-beng,
hal itu masih tidak mengapa karena penggunaan ilmu ini tak perlu mengerahkan
tenaga sinkang, akan tetapi ketika suhu-nya memukul roboh ketujuh orang itu
dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, jelas bahwa suhu-nya telah mengerahkan tenaga
sinkang-nya dan hal ini amat berbahaya bagi jantung suhu-nya yang sudah amat
lemah itu.
Melihat
tujuh orang itu sudah bangkit kembali, Si Kong khawatir kalau-kalau mereka akan
menggunakan senjata untuk mengeroyok suhu-nya lagi, maka dia pun segera
menyambar sebatang tongkat bambu kemudian dengan gerakan yang cepat bagaikan
kilat dia sudah meloncat ke depan tujuh orang itu. Dia melintangkan tongkatnya
di depan dada, kemudian membentak dengan pengerahan khikang sehingga suaranya
terdengar mengguntur penuh wibawa.
"Suhu
sudah mengampuni kalian karena tidak menggunakan pukulan maut, apakah kalian
masih juga belum jera dan minta mati?"
Memang tujuh
orang itu tadi sudah terkejut sekali menyaksikan kelihaian Pendekar Sadis yang
kini telah menjadi kakek tua renta itu. Mereka sudah merasa jeri menghadapi
kakek ini. Kini, begitu melihat gerakan Si Kong yang demikian tangkas dan kokoh
kuat, sedikit keberanian mereka untuk tetap menyerang dengan senjata menjadi
buyar.
"Mari
kita pergi!" Toa Ok cepat berseru. Tujuh orang itu langsung melarikan diri
dengan agak terhuyung-huyung karena mereka semua menderita luka dalam.
Si Kong
memandang sampai bayangan mereka lenyap ke dalam sebuah perahu yang tadi mereka
daratkan dan dia cepat memutar tubuhnya ketika mendengar suara rintihan
suhu-nya. Begitu memutar tubuh, dia melihat suhu-nya terhuyung-huyung, karena
itu dia cepat meloncat dan menahan tubuh suhu-nya yang sudah terguling roboh.
Di lain saat kakek itu sudah jatuh pingsan dalam rangkulan Si Kong.
Si Kong
cepat memondong tubuh suhu-nya. Alangkah ringan tubuh suhu-nya dan barulah Si
Kong teringat bahwa suhu-nya sudah amat tua dan tubuhnya kurus sekali. Dengan
hati terharu dan khawatir dia merebahkan suhu-nya di atas pembaringan dan cepat
melakukan pemeriksaan. Ternyata detak jantung suhu-nya itu lemah sekali, bahkan
hampir berhenti! Si Kong terkejut sekali, kemudian cepat memeriksa pernapasan
suhu-nya. Ternyata juga amat lemah dan terengah-engah. Hampir Si Kong menangis.
Dengan
pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, tahulah dia bahwa keadaan gurunya gawat
sekali dan tidak mungkin tertolong lagi. Suhu-nya telah menggunakan seluruh
sisa daya tahannya untuk mengerahkan sinkang dan kini telah kehabisan tenaga
sama sekali. Suhu-nya tidak mengalami luka dalam, akan tetapi karena keadaan
tubuhnya yang tua itu lemah sekali, maka penggunaan tenaga sinkang itu
menghabiskan daya tahannya.
Si Kong lalu
menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan pada dada gurunya dan
mengerahkan sinkang-nya untuk membantu suhu-nya agar jantungnya dapat bekerja
lagi. Hawa hangat yang mengalir keluar dari kedua telapak tangannya memasuki
tubuh tua itu dan tidak lama kemudian suhu-nya membuka matanya, memandang
kepada Si Kong dan tersenyum!
"Suhu...!"
kata Si Kong terharu melihat betapa dalam keadaan seperti itu suhu-nya masih
dapat tersenyum sedemikian cerahnya!
"Si
Kong... aku... telah kalah...!" katanya lirih, suaranya seolah-olah sukar
sekali keluar dari kerongkongannya.
"Tidak,
Suhu! Suhu sudah berhasil mengusir ketujuh iblis itu dari sini!" Si Kong
menghibur suhu-nya.
"He-he...
menghadapi tujuh iblis kecil itu... aku tidak pernah kalah..., akan tetapi aku
harus menyerah kalah... terhadap usiaku..."
"Suhu,
teecu akan merawat dan mengobati suhu sekuat dan semampu teecu."
Kakek itu
menggeleng kepalanya. "Akan sia-sia saja, Si Kong... dan engkau juga sudah
tahu akan hal itu... ilmu perngobatanmu juga tidak berdaya melawan serangan
usia tua...! Kematian adalah hal yang wajar, merupakan kelanjutan dari pada
kehidupan... maka tidak perlu disesalkan..."
Pada saat
itu Si Kong mendengar gerakan di luar pondok. Cepat sekali tubuhnya segera
berkelebat dan dia sudah meloncat keluar karena dia khawatir kalau-kalau para
musuh itu datang lagi.
Akan tetapi,
begitu tiba di luar pondok dia terbelalak dan jantungnya berdebar tegang dan
bingung. Sama sekali bukan para iblis tadi yang datang, melainkan seorang gadis
yang jelita dan manis sekali.
Usia gadis
itu sekitar delapan belas tahun. Kulit mukanya nampak putih kemerahan tanpa
bedak dan yanci (pemerah kulit), tubuhnya langsing sekali, pinggangnya kecil,
dada dan pinggulnya membusung. Pakaiannya serba merah muda dan pada punggungnya
terdapat sepasang pedang.
Si Kong
menatap wajah itu. Sungguh manis sekali dengan dahinya yang dihias anak-anak
rambut yang gemulai dan alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis. Sepasang
matanya begitu tajam bersinar-sinar seperti bintang kejora. Hidungnya kecil
mancung, serasi sekali dengan mulutnya yang tersenyum mengejek dengan bibir
yang merah basah. Dagunya runcing membuat muka itu berbentuk bulat telur.
Karena tidak
menyangka sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang gadis yang
demikian cantik jelitanya, Si Kong sampai tidak mampu mengeluarkan sepatah kata
pun. Gadis itu pun terkejut ketika melihatnya berkelebat secepat itu, akan
tetapi dia cepat berkata,
"Ahh,
engkau tentu yang bernama Si Kong, murid dari kakek buyut itu!"
Si Kong juga
terkejut. Gadis ini menyebut suhu-nya kakek buyut! Dia sudah mengenal cucu
gurunya, wanita perkasa yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu bersama suaminya
yang gagah perkasa. Gadis ini tentu puteri mereka.
"Nona...
siapakah...?" tanyanya dengan ragu.
Pada saat
itu terdengar suara pria yang nyaring bergema, "Hui Lan, apakah engkau
telah bertemu dengan kakek buyutmu?" Baru saja suaranya terhenti, orangnya
sudah muncul di situ. Seorang lelaki berusia lima puluh tahun lebih bersama
seorang wanita berusia empat puluh delapan tahun.
Melihat
mereka, Si Kong segera memberi hormat. Biar pun dia murid kakek mereka, akan
tetapi karena usianya jauh lebih muda, dia menyebut paman dan bibi kepada
mereka. Hal ini pun sudah disetujui oleh gurunya agar tidak menempatkan Si Kong
dalam kedudukan yang terlalu tinggi.
"Si
Kong, bagaimana keadaan kongkong? Di manakah dia?" tanya Cia Kui Hong
kepada pemuda itu.
"Paman
dan Bibi, suhu berada dalam keadaan yang gawat. Silakan ji-wi (anda berdua)
masuk. Suhu berada di dalam kamarnya."
Mendengar
ini, Tang Hay dan Cia Kui Hong terkejut dan cepat mereka masuk, diikuti oleh
puteri mereka Tang Hui Lan. Si Kong mengikuti dari belakang.
"ongkong...!"
Cia Kui Hong berseru dan cepat berlutut di dekat pembaringan.
"Kongkong,
bagaimana keadaanmu?" Tang Hay juga berlutut.
Suami isteri
ini memeriksa denyut nadi tangan kakek itu dan mereka terkejut bukan main.
Denyut itu sebentar terasa sebentar tidak. Kakek mereka dalam keadaan sangat
gawat, bahkan dalam sekarat!
Kakek itu
yang tadinya telah memejamkan kedua matanya. Mendengar suara mereka dia membuka
kembali kedua matanya. Dia memandang kepada cucu, cucu mantu, lalu cucu
buyutnya. Senyumnya mengembang lagi di mulutnya.
"Beruntung
sekali... kalian datang... Hampir terlambat..."
"Kakek
kenapa?" tanya Kui Hong dengan gugup, lantas berkata kepada suaminya,
"Tepat keluarkan batu giok mustika itu untuk mengobati kakek!"
Tang Hay
mengeluarkan sebuah batu giok yang tadinya disimpan di dalam saku bajunya,
"Si Kong, minta air minum..., cepat!"
Si Kong tahu
bahwa semua itu tidak ada gunanya, akan tetapi dia tidak membantah dan cepat
menuangkan semangkuk air teh lalu menyerahkannya kepada Tang Hay. Pendekar ini
segera memasukkan batu gioknya ke dalam air teh, dibantu oleh isterinya
memberikan obat itu untuk di minum Ceng Lojin. Kakek itu meminumnya sedikit,
lalu berkata lemah,
"Tak
ada gunanya lagi... tidak ada obat... bagi penyakit usia lanjut... kalau dapat
diobati... tentu Si Kong... telah menyembuhkanku..."
Baru Tang
Hay dan Cia Kui Hong teringat bahwa Si Kong juga pernah mempelajari ilmu
pengobatan dari Yok-sian Lo-kai. Kui Hong segera bertanya kepada Si Kong,
"Bagaimana keadaannya?"
"Keadaannya
gawat, tidak bisa diobati lagi. Jantungnya sudah terlampau lemah dan
paru-parunya juga tak bekerja dengan baik, sudah terlalu lemah. Saya telah
berbuat semampu saya, akan tetapi tidak dapat menolongnya, Bibi. Dalam keadaan
lemah sekali suhu telah mengeluarkan seluruh sisa-sisa tenaganya untuk memukul
tujuh iblis itu, dan inilah yang menghabiskan tenaganya dan membuat semakin
lemah."
"Tujuh
iblis? Apa yang telah terjadi? Siapa mereka itu?" tanya Kui Hong dengan
cepat dan penasaran.
"Tanpa
diduga-duga mereka datang, Toa Ok dan Ji Ok. Ji Ok dan mereka berlima yang
menyebut diri Bu-tek Ngo-sian. Mereka mengeroyok suhu."
"Mengapa
engkau tidak membantu suhu?" Tang Hay bertanya dengan suara mengandung
teguran.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment