Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 05
Si Kong
menghela napas panjang. "Suhu terlalu gagah, terlalu jantan untuk mengelak
dari tantangan mereka. Suhu tidak memperbolehkan saya turun tangan dan suhu
menghadapi mereka sendiri. Suhu berhasil memukul mereka satu demi satu hingga
mereka melarikan diri, tapi suhu telah menggunakan seluruh sisa tenaganya. Saya
tidak berani membantah perintah suhu..."
"Akan
tetapi, jika engkau telah mengetahui keadaan kongkong lemah, seharusnya engkau
mencegah dia menghadapi keroyokan lawan!" Kui Hong berkata dengan nada
marah.
Wanita ini
belum kehilangan watak kerasnya. Apa lagi dia memang ada sedikit perasaan iri
terhadap Si Kong yang mewarisi ilmu kongkong-nya.
"Sudahlah..."
terdengar Ceng Lojin berkata. "Aku puas... berhasil mengusir mereka... aku
akan menyesal sekali apabila... Si Kong membantuku... aku girang dapat mati...
sebagai orang gagah... bukan musuh yang membunuhku... melainkan usia tua...
jangan marahi Si Kong... dia anak baik... Kui Hong cucuku... aku sudah berpesan
kepada Si Kong... untuk menguburku... dekat makam nenekmu..." Kakek itu
terengah, mengambil napas panjang beberapa kali lalu terkulai, mati.
“Kongkong...!”
Cia Kui Hong menubruk kakeknya yang sudah tak bernyawa lagi itu sambil
menangis.
Tang Hay
menepuk lembut pundak isterinya. “Kongkong sudah wafat, tidak ada gunanya
ditangisi lagi.”
Si Kong
merasa dunia seperti kiamat. Ceng Lojin merupakan satu-satunya orang di dunia
yang mengasihinya dan sudah dianggap sebagai pengganti orang tuanya, juga
pengganti dua orang gurunya yang sudah meninggalkannya. Selama empat tahun dia
hidup berdua dengan kakek itu di Pulau Teratai Merah, namun kini kakek itu juga
meninggalkan dirinya, untuk selamanya.
Akan tetapi,
di depan keluarga itu dia menahan untuk tidak menangis. Tangisnya hanya di
dalam dada, dan dia menggigit bibirnya yang bawah hingga berdarah dan lecet.
Dia hanya berlutut dan memberi hormat ke arah jenazah suhu-nya sambil menangis
mengguguk di dalam hatinya. Lehernya bagaikan tercekik dan matanya terasa panas
karena menahan runtuhnya air matanya.
Pemakaman
jenazah Ceng Lojin dilakukan dengan sederhana sekali karena di sana tidak
tersedia alat-alat untuk sembahyang dan perkabungan. Si Kong menggali lubang
kuburan di samping makam isteri Ceng Lojin, dibantu oleh Tang Hay. Sebuah peti
mati sederhana dibuat sendiri oleh Si Kong, dari kayu pohon di pulau itu,
kemudian jenazah dikuburkan dengan dihadiri hanya oleh empat orang itu. Kembali
Kui Hong menangis sedih.
Kakeknya
adalah seorang pendekar besar yang namanya sangat dihormati oleh semua tokoh
dunia persilatan, akan tetapi kakeknya meninggal dan dikubur tanpa dihadiri
banyak keluarga dan handai taulan. Padahal kalau kakeknya meninggal dunia di
kota atau bahkan di dusun yang tidak terpencil seperti di Pulau Teratai Merah,
dia yakin kematiannya tentu akan dilayat oleh banyak sekali orang, termasuk
ketua dari perguruan-perguruan besar di empat penjuru.
Semenjak
jauh hari keluarga Ceng Lojin sudah menyadari akan hal ini, akan tetapi semua
usaha mereka untuk membujuk Ceng Lojin agar mau pindah dan tinggal bersama
mereka di daratan besar, percuma saja karena Ceng Lojin tetap berkukuh untuk
tinggal di pulau itu sampai hari akhir dan ingin dimakamkan di dekat makam
isterinya.
Sesudah
penguburan selesai, Si Kong tidak mau meninggalkan kuburan suhu-nya. Tang Hay
dan Cia Kui Hong membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau pergi dari
hadapan makam suhu-nya di mana dia berlutut.
“Gurumu
sudah meninggal dunia dengan tenang, tidak perlu disesalkan dan disedihi lagi,
Si Kong,” kata Tang Hay.
“Maaf,
Paman. Saya masih ingin merawat kuburan ini dan belum dapat meninggalkannya.
Saya persilakan Paman, Bibi dan adik ini untuk kembali dulu ke rumah. Di sana
terdapat bahan-bahan sayuran dan juga beras untuk dimasak, kalau Paman sekalian
menghendaki makan,” kata Si Kong berkeras.
Terpaksa
Tang Hay, Cia Kui Hong beserta Tang Hui Lan meninggalkan pemuda itu untuk
kembali ke pondok. Akan tetapi sampai sore pemuda itu belum juga kembali.
“Anak itu
amat mencinta kongkong,” kata Kui Hong.
Suaminya
mengangguk. “Aku tahu bahwa di dalam hatinya dia merasa sangat kehilangan dan
berduka, akan tetapi semua itu disimpan dalam hatinya saja. Anak yang kuat
hati.”
“Ibu, sejak
pagi dia berada di makam, tidak makan tidak minum, tentu dia kelaparan,” kata
Hui Lan.
Kui Hong
merasa kasihan juga. Akan tetapi dia merasa tidak enak kalau sebagai seorang
tua dia harus mengirimkan makanan untuk pemuda itu. “Kau saja, Lan Lan. Bawalah
nasi dengan sayuran dan minumnya, antarkan kepadanya. Cepat sebelum hari
menjadi gelap. Kalau bisa, ajak dia pulang ke sini.”
“Baik, Ibu,”
kata Hui Lan yang biasa di panggil Lan Lan oleh ayah ibunya. Gadis ini segera
mengambil makanan dan minuman ke dalam mangkok dan guci, memasukkannya dalam
keranjang lantas berangkatlah dia ke makam yang berada di bagian pulau itu yang
agak membukit.
Ketika tiba
di makam, dia melihat Si Kong masih berlutut di depan makam dan dia dapat
mendengar pemuda itu berbicara seorang diri sambil berlutut. “Budi suhu
setinggi langit sedalam lautan, selama ini suhu begitu baik kepada teecu, akan
tetapi sedikit pun teecu belum sempat membalas budi suhu. Apa yang harus teecu
lakukan untuk membalas budi kebaikan suhu?’ katanya dengan isak tertahan.
Demikian
dalam Si Kong tenggelam di dalam lautan duka sehingga dia tidak mendengar
kedatangan Hui Lan, padahal pendengarannya sudah peka dan tajam sekali.
“Kalau
hendak membalas budi kongkong, engkau harus makan minum supaya tidak jatuh
sakit,” kata gadis itu.
Si Kong
menengok dan melihat Hui Lan, dia pun berkata, “Ahh, kiranya engkau, Nona.”
“Aku bukan
nona, namaku Hui Lan, biasa di panggil Lan Lan,” gadis itu mencela.
“Maafkan
aku, nona Hui Lan...”
“Engkau
adalah murid kong-couw, maka sepatutnya aku menyebut sukong (kakek guru)
kepadamu dan engkau menyebut namaku begitu saja. Akan tetapi karena engkau
masih muda, tidak pantas menjadi sukong (kakek guru), maka biarlah aku
memanggil namamu begitu saja. Dan engkau jangan menyebut nona Hui Lan kepadaku.
Apa kata orang nanti jika aku membiarkan kakek guruku sendiri menyebut nona
kepadaku? Sebut saja namaku atau aku tidak akan mau menjawab sama sekali.”
Si Kong
menarik napas panjang. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap gadis
ini. Selama ini dia belum pernah bergaul dengan seorang gadis, apa lagi yang
demikian lincah dan pandai bicara seperti gadis ini.
“Baiklah,
Hui Lan. Kalau aku boleh bertanya, kenapa engkau berada di sini? Hari sudah
hampir gelap, kembalilah ke rumah, nanti orang tuamu mencarimu dengan
khawatir.”
“Ihhh! Kau
kira aku ini anak kecil yang masih diasuh oleh orang tuaku? Aku sudah pandai
menjaga diri, orang tuaku tidak akan mengkhawatirkan diriku. Lagi pula aku ke
sini karena disuruh oleh ibuku.”
“Disuruh
oleh bibi? Disuruh apakah, nona… ehh, Hui Lan?”
“Disuruh
mengantarkan makanan dan minuman untukmu. Ini makanan dan minumannya. Nah,
cepat kau makan dan minum agar tidak kelaparan.”
“Akan tetapi
aku tidak lapar mau pun haus!”
“Bohong!
Bagaimana mungkin tidak lapar dan haus kalau sejak pagi engkau belum makan dan
minum? Hayolah makan dan minum, sudah susah-susah ibu memasak untukmu dan aku
mengantarkannya ke sini untukmu.”
Si Kong
menjadi tidak enak hati apa bila terus menolak. Dia lalu minum seteguk dari
guci, tetapi ketika hendak makan lehernya seperti dicekik rasanya. Dia
mendorong makanan itu jauh-jauh dan berkata, “Hui Lan, aku benar-benar tidak
sanggup makan. Suhu baru saja meninggal dunia, bagaimana aku dapat makan?”
Hui Lan
merasa kasihan juga melihat wajah yang penuh duka itu. “Sudahlah kalau engkau
tidak mau makan, aku pun tak akan membawanya kembali. Biar di sini saja, bila
engkau sudah merasa lapar, boleh kau makan. Tetapi, Si Kong, kenapa engkau
tenggelam dalam kedukaan yang berlarut-larut? Apakah arwah kong-couw (kakek
buyut) akan senang kalau melihat engkau menyiksa diri begini di depan
makamnya?”
“Bagaimana
aku tidak akan berduka Hui Lan? Di dunia ini suhu adalah satu-satunya orang
yang menyayangku dan kusayangi. Sesudah dia meninggal dunia, aku kehilangan
segala-galanya. Kini aku sebatang kara di dunia dan aku tidak tahu harus
berbuat apa.” Si Kong menunduk agar tidak nampak kesedihan yang membayang di
wajahnya.
Hati Hui Lan
terasa tersentuh dan dia merasa kasihan. “Engkau memang seorang murid yang
baik, Si Kong. Pantas saja kong-couw merasa sayang sekali padamu, dan menurut
ibuku, kong-couw mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepadamu.”
“Ahh, ilmu
kepandaian suhu tiada batasnya. Bagaimana mungkin aku dapat mempelajari
semuanya?”
“Akan tetapi
menurut ibu, engkau telah mewarisi ilmu-ilmu yang tertinggi. Kita satu aliran,
dan biar pun engkau ini termasuk kakek guruku, sekali-kali aku ingin mengajakmu
berlatih silat. Sayang engkau masih tenggelam dalam duka, kalau tidak, sekarang
juga aku ingin mencoba ilmumu.”
Si Kong yang
tadinya telah berdiri kini kembali menjatuhkan diri berlutut di depan makam.
“Hui Lan, kasihanilah aku. Tinggalkan aku sendiri di depan makam suhu-ku yang
tercinta.”
“Hemm,
baiklah. Akan tetapi kalau engkau benar-benar mencintai kong-couw, seharusnya
engkau mencari tujuh iblis itu.”
“Akan tetapi
mereka tidak membunuh suhu. Mereka bahkan sudah dikalahkan oleh suhu.”
“Kematian
kong-couw adalah karena bertempur dengan mereka. Itu artinya mereka yang
menyebabkan kematian kong-couw. Kalau engkau tidak berani menuntut balas,
akulah yang kelak akan mencari mereka dan membalas kematian kong-couw!”
Si Kong
terkejut sekali, “Hui Lan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi sekali. Apa lagi kalau mereka maju semua, amat berbahaya dan sukar
ditandingi.”
“Engkau
takut? Hemmm, aku tidak! Kami keluarga Cin-ling-pai tidak pernah merasa takut
menghadapi penjahat yang bagaimana lihai sekali pun!” setelah berkata demikian,
Hui Lan meloncat dan meninggalkan Si Kong seorang diri.
Dia
termenung. Semua kata-kata gadis itu terngiang dalam telinganya. Karena
pikirannya dipenuhi ucapan-ucapan Hui Lan, dia tidak merasa bahwa di saat
seperti itu semua duka lenyap dan tidak terasa lagi olehnya!
Duka
disebabkan oleh ulah pikiran. Pikiran mengunyah-ngunyah semua kenangan seperti
mengunyah makanan pahit. Makin dikunyah semakin terasa pahitnya. Akan tetapi
yang sangat mengkhawatirkan pikirannya adalah kata-kata Hui Lan tadi bahwa
gadis itu hendak mencari tujuh orang iblis itu untuk membalas dendam. Gadis itu
tentu akan celaka kalau bertemu dengan mereka.
Sesudah
selama tiga hari tiga malam berpuasa, pada hari keempat Tang Hay dan Cia Kui
Hong sendiri mencari Si Kong di makam. Mereka berdua membujuk dan menasehati,
dan barulah Si Kong mau makan dan minum sekedarnya.
“Kami
bertiga hendak pulang ke Cin-ling-san,” kata Tang Hay. “Apakah engkau akan ikut
kami?”
Si Kong
menggeleng kepala. “Terima kasih, Paman. Saya tidak akan pergi meninggalkan
pulau ini sebelum seratus hari.”
“Hemm,
mengapa begitu?”
“Saya tidak
tega terhadap suhu. Saya akan merawat makamnya dan setelah seratus hari baru
saya akan meninggalkan tempat ini.”
“Ke mana
engkau hendak pergi?” tanya Cia Kui Hong.
“Tidak tahu,
Bibi. Mungkin kembali ke dusun. Di sana masih ada seorang enci-ku yang telah
menikah. Atau saya akan merantau ke mana saja, bagaimana nanti sajalah.”
“Engkau akan
berkelana?” tanya Tang Hay, teringat akan dirinya sendiri pada saat masih muda
dan suka berkelana.
Si Kong
mengangguk.
“Terserah
kepadamulah. Akan tetapi jangan engkau lupa, Si Kong, bahwa setelah engkau
menerima ilmu-ilmu dari kakek, berarti engkau memiliki tanggung jawab besar dan
tugas yang berat. Engkau harus menjadi seorang pendekar yang selalu menentang
kejahatan, dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan menggunakan ilmu itu.
Pekerjaan seorang pendekar banyak resikonya, Si Kong, karena di dunia kang-ouw
terdapat banyak penjahat yang selain ilmunya lihai, juga amat licik dan curang
penuh tipu daya. Karena itu engkau harus berhati-hati sekali.”
“Saya akan
selalu mengingat nasehat Paman. Tetapi saya mohon agar Paman dan Bibi suka
menasehati adik Hui Lan.”
“Kenapa
dia?” tanya Kui Hong sambil menoleh kepada puterinya. Gadis ini mengerutkan
alisnya dan memandang tajam kepada Si Kong.
“Dia pernah
mengatakan kepada saya bahwa dia hendak mencari tujuh iblis yang datang ke
pulau ini. Saya merasa khawatir sekali, Paman, karena tujuh orang iblis itu
sangat lihai dan saya khawatir kalau-kalau adik Hui Lan celaka di tangan
mereka.”
”Hui Lan,
benarkah engkau hendak mencari tujuh iblis itu? Jangan lancang, Lan Lan. Kau
kira mudah melawan mereka? Sedangkan kakek buyutmu sendiri sampai menderita
luka ketika bertanding melawan mereka,” tegur Tang Hay kepada puterinya.
“Ayah, Si
Kong tidak berani mencari mereka untuk menuntut balas atas kematian kong-couw,
maka akulah yang berani!” jawab gadis itu.
“Jangan
sembarangan engkau, Lan Lan. Berundinglah dahulu dengan kami kalau engkau
hendak mencari mereka!” kata Cia Kui Hong dan Lan Lan hanya cemberut saja.
Pada hari
itu juga Tang Hay bersama anak isterinya meninggalkan Pulau Teratai Merah,
meninggalkan Si Kong yang masih menjaga makam suhu-nya.
Si Kong
benar-benar menjaga tempat itu sampai seratus hari. Dia baru mencari makanan
kalau perutnya sudah tidak sanggup menahan lapar lagi. Sesudah seratus hari
barulah dia berkemas, membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan Pulau
teratai Merah dengan sebuah perahu kecil.
Wajahnya
nampak agak kurus karena selama seratus hari itu dia kurang makan. Akan tetapi
hatinya kini sudah tenang dan dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya. Dia
mulai dengan niatnya berkelana di dunia bebas untuk mencari pengalaman hidup.
Tidak ada uang sekeping pun di sakunya. Yang dibawanya hanyalah beberapa potong
pakaian, sebuah tongkat bambu dan perahu kasar serta dayung perahunya.
***************
Kota
Sui-yang merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena letaknya yang dekat
dengan sungai Yang-ce-kiang. Perdagangan di kota ini berlangsung ramai dan
dilakukan melalui pelabuhan di kota itu. Banyak pedagang yang datang mau pun
sekedar singgah di Sui-yang sehingga kota ini mempunyai banyak rumah penginapan
dan rumah makan yang besar-besar.
Rumah makan
Hok-lai merupakan salah satu di antara banyak rumah makan besar yang terdapat
di Sui-yang. Rumah makan ini dapat menampung lebih dari seratus tamu, dan di
bagian belakang rumah ini terdapat bangunan dengan loteng yang dipergunakan
sebagai rumah penginapan pula. Untuk rumah makan sekaligus rumah penginapan
yang sebesar itu tentu saja diperlukan tenaga pelayan yang jumlahnya cukup
banyak.
Siang itu
rumah makan dan penginapan Hok-lai sudah nampak sibuk sekali, terutama di rumah
makan. Yang makan di sini bukan saja tamu-tamu sendiri, akan tetapi banyak pula
tamu dari luar yang tidak menginap di situ serta penduduk Sui-yang sendiri
karena rumah makan Sui-yang terkenal dengan masakannya yang lezat.
Para pelayan
rumah makan itu sangat sibuk melayani para tamu yang memenuhi tempat itu.
Suasana menjadi ramai bukan main. Para tamu saling bercakap sendiri, bahkan ada
pula orang yang berteriak memanggil pelayan.
Seorang
pelayan yang bertubuh kecil dengan gesitnya melayani para tamu dan ketika dia
membawa sebuah baki yang terisi beberapa macam masakan, tanpa sengaja
gerakannya menyenggol pundak seorang tamu. Kuah panas memercik dari mangkok di
atas bakinya dan kuah itu mengenai sepatu tamu yang ditabraknya.
Tamu yang
duduk berempat itu marah sekali, terlebih lagi ketika teman-teman semejanya
mentertawakannya. Ketika pelayan itu kembali dari mengantarkan masakan dan
lewat di dekat meja itu, tiba-tiba saja leher bajunya sudah dicengkeram oleh
tamu itu.
“Jahanam,
kau taruh di mana matamu?! Enak saja kau menabrak orang dan menyiram sepatuku
dengan kuah panas!”
Pelayan itu
masih ingat akan peristiwa tadi, karena itu dengan cepat dia mengangkat dua
tangannya ke depan dada. “Harap kongcu mengampuni saya. Saya tidak sengaja...”
“Plak-plak-plak!”
Tiga kali
muka pelayan itu digampar oleh pemuda itu. Gamparannya amat keras sehingga pipi
pelayan itu menjadi merah membiru dan membengkak.
“Ampun,
kongcu...!” pelayan itu merintih sambil meraba kedua pipinya.
“Hayo cepat
bersihkan sepatu ini!” bentak si pemuda. Pelayan itu membungkuk kemudian
menggunakan kain lapnya untuk membersihkan sepatu yang tadi terkena kuah panas.
“Pergunakan
bajumu itu! Hayo cepat, yang bersih!”
Pelayan itu
menurut karena takut dipukul lagi. Pengurus rumah makan segera datang dan dia
memintakan maaf untuk pegawainya. Pemuda itu dengan sombong lalu menendang si
pelayan sehingga terjengkang.
Pelayan itu
cepat merangkak bangun kemudian meninggalkan pemuda yang telah mereda
kemarahannya itu. Sambil tertawa-tawa tiga orang temannya kembali menggodanya.
Para tamu yang menjadi penduduk Sui-yang mengenal empat orang pemuda ini yang
memang merupakan orang-orang yang suka mencari perkara dan suka mempergunakan
kekerasan kepada orang lain. Sebab itu tidak ada orang yang berani melerai
ketika terjadi pemukulan terhadap si pelayan. Pemuda-pemuda kasar itu suka main
keroyokan, dan mereka juga memiliki ilmu silat yang lihai.
Seorang di
antara para pelayan itu ada seorang yang masih muda, bertubuh tinggi tegap dan
bersikap sederhana. Pelayan ini merupakan pelayan baru. Baru seminggu dia
bekerja di situ sebagai pelayan. Ketika terjadi pemukulan terhadap pelayan
bertubuh kecil kurus itu, pelayan ini memandang dan sinar matanya berkilat.
Akan tetapi dia masih menahan diri, apa lagi melihat bahwa pengurus rumah makan
telah turun tangan memintakan maaf sehingga urusan itu dapat selesai.
Pelayan baru
ini adalah bukan lain adalah Si Kong! Dalam perantauannya dia mengambil
keputusan untuk kembali ke dusun tempat tinggal mendiang orang tuanya. Dia
ingin sekali bertemu dengan Si Kiok Hwa enci-nya yang menjadi selir hartawan
Lui di dusun Ki-ceng. Dia dapat menduga bahwa kini enci-nya tentu telah menjadi
janda.
Ketika
sepuluh tahun yang silam dia pergi meninggalkan dusunnya, enci-nya itu menikah
dengan Hartawan Lui yang berusia tujuh puluh tahun. Dalam perjalanan menuju ke
dusun Ki-ceng, ketika tiba di Sui-yang, Si Kong singgah dan mencari pekerjaan
di kota besar ini. Dia tidak ingin berkunjung dan bertemu dengan enci-nya tanpa
sekeping pun uang dalam sakunya. Dia ingin bekerja sebulan dua bulan,
mengumpulkan uang gajinya dan baru dia akan mengunjungi enci-nya.
Ketika
melihat seorang rekannya dipukuli tamu, Si Kong merasa penasaran sekali. Akan
tetapi dia segera teringat akan pesan mendiang gurunya agar tidak sembarangan
mencari permusuhan dan memperlihatkan kepandaian. Dia harus bersikap sebagai
seorang yang lemah dan bodoh, selalu bersikap rendah hati. Ilmu-ilmu yang
dipelajarinya dengan susah payah selama bertahun-tahun itu bukan untuk
dipamerkan, dan juga bukan untuk mencari permusuhan.
Tiba-tiba
saja Si Kong melihat dua orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Karena dia
sedang kosong tidak melayani tamu lain, dia segera menyongsong kedatangan kedua
orang itu. Mereka adalah seorang gadis dan seorang pemuda, dan dari dandanan
mereka dapat diketahui bahwa pemuda dan gadis ini tentulah orang-orang
kang-ouw.
Gadis itu
membawa pedang di punggungnya, dan pada pinggang pemuda itu terselip dua buah
pedang pendek. Langkah mereka tegap dan biar pun pakaian mereka cukup bersih,
namun sikap mereka sederhana dan gadis itu pun bukan seorang pesolek. Akan
tetapi Si Kong harus mengakui bahwa gadis itu cantik sekali.
Rambutnya di
gelung ke atas dan diikat dengan pita merah. Anak rambutnya melingkar-lingkar
menghias dahi serta pelipisnya. Matanya bersinar tajam, hidungnya mancung dan
mulutnya yang kecil mengembangkan senyuman yang membuat wajahnya nampak manis
dan ramah. Pemuda itu pun seorang pemuda yang gagah. Mereka merupakan pasangan
yang amat serasi.
“Selamat
siang, siocia (nona) dan kongcu (tuan muda)!” kata Si Kong sambil tubuhnya
membungkuk hormat. “Ji-wi (kalian) hendak makan?”
“Masih adakah
meja kosong?” tanya pemuda itu sambil melayangkan pandang matanya di ruangan
yang penuh tamu itu.
“Masih,
kongcu. Silakan ikut saya,” kata Si Kong yang tahu benar mana meja yang sudah
kosong. Dia segera melangkah mendahului dan membawa mereka ke meja kosong yang
bersebelahan dengan meja di mana empat orang pemuda berandalan tadi duduk.
“Meja ini kosong, kongcu. Silakan duduk.”
Si Kong
menggunakan kain lapnya untuk membersihkan meja itu dari sisa-sisa percikan
kuah. Pemuda dan gadis itu lalu duduk berhadapan, dan kebetulan sekali gadis
itu duduk menghadap ke arah meja sebelah di mana empat orang pemuda berandalan
itu duduk.
“Kongcu dan
siocia hendak memesan apakah?” tanya Si Kong.
“Nanti dulu,
apakah di sini juga menyediakan kamar tamu?” tanya pula pemuda itu.
“Ahh, ada,
kongcu. Memang Hok-lai ini merupakan rumah makan yang merangkap rumah
penginapan juga.”
“Kalau
begitu siapkan dua kamar yang berdampingan untuk kami.”
“Baik,
kongcu.”
“Untuk makan
kami, sediakan nasi beserta beberapa macam sayur, juga ayam panggang.
Minumannya beri air teh dan anggur yang baik.”
“Baik,
kongcu.”
Tiba-tiba
dari meja empat orang pemuda itu terdengar suara, “Aihhh, nona cantik seperti
dewi!”
Gadis itu
mengangkat mukanya dan matanya bersinar marah. Si Kong memutar tubuhnya dan
melihat empat orang pemuda berandalan itu mengedip-ngedipkan mata dengan sikap
kurang ajar sekali kepada gadis itu.
Pemuda itu
pun mendengar ucapan ini. Dia menoleh kemudian berbisik kepada gadis itu,
“Sumoi, kau duduk di sini saja,” berkata demikian dia bangkit berdiri dan
bertukar tempat dengan gadis itu.
Mendengar
sebutan itu, tahulah Si Kong bahwa mereka berdua merupakan kakak beradik
seperguruan. Dia lalu pergi memenuhi pesanan mereka dan ketika dia pergi, dia
sempat mendengar pula ocehan pemuda-pemuda berandalan itu.
“Dari
belakang dia malah tampak lebih menarik. Lihat pinggulnya dan pinggangnya!
Aduh, moleknya!”
“Hemmm,
mereka benar-benar keterlaluan, suka sekali mencari gara-gara,” pikir Si Kong.
Akan tetapi gadis yang baru berusia tujuh belas tahun itu dan suheng-nya
pura-pura tidak mendengar dan tidak mengacuhkan mereka.
Pada saat Si
Kong mengantar hidangan yang dipesan, dia mendengar betapa pemuda itu lebih
kurang ajar lagi. Mereka bangkit berdiri dan berkata kepada Si Kong,
“Hei,
pelayan! Taruh pesanan itu di meja kami!”
Si Kong
masih bersikap sabar. “Tapi hidangan ini adalah pesanan kongcu dan nona ini.”
“Tidak, nona
itu akan menemani kami makan di meja ini! Bukankah begitu, manis?”
Si Kong
tidak peduli dan mengatur hidangan itu di atas meja kakak beradik seperguruan
itu.
“Kalau
begitu kami berempat yang akan pindah ke mejamu, ya nona?” kata pula seorang
dari mereka, dan mereka semua sudah bangkit berdiri.
“Jangan jual
mahal, nona. Kami adalah kongcu-kongcu yang mempunyai banyak uang di kota ini!”
kata pula orang kedua dan kini mereka menghampiri meja gadis itu.
Suheng gadis
itu menjadi marah. Dia bangkit berdiri dan kedua tangannya menekan meja.
“Sebetulnya apa maksud kalian mengganggu kami?”
“Siapa yang
mengganggu? Kami berempat amat suka dan menghormati sumoi-mu ini dan hendak
menjamu dia untuk menghormatinya. Apakah itu mengganggu namanya? Apa bila
engkau tidak suka, engkau boleh makan sendiri, akan tetapi sumoi-mu ini suka
menerima penghormatan kami. Bukankah begitu, nona manis?”
Suheng itu
menjadi marah sekali sehingga dia menggebrak meja dengan dua tangannya. Pada
saat itu Si Kong juga menekan meja itu dengan tangan kirinya. Tiba-tiba saja
empat batang sumpit yang berada di atas meja itu menyambar ke arah empat orang
pemuda itu dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya.
“Aduhhh...!”
“Ahhhh...!”
“Aduhhh...!”
Empat orang
pemuda itu berteriak-teriak kesakitan karena tahu-tahu tubuh mereka terluka
oleh empat batang sumpit itu. Seorang terluka pundaknya, seorang lagi terkena
pahanya, yang lain terkena sumpit itu pada pangkal lengan dan seorang lagi
bahkan tertusuk daun telinganya!
Selain
berteriak kesakitan, empat orang pemuda itu juga memandang pada sang suheng
dengan mata terbelalak, lalu mereka berempat berlari keluar meninggalkan meja
mereka tanpa membayar harga makanan dan minuman.
Si Kong
berkata kepada suheng dan sumoi itu. “Kongcu dan siocia sekarang bisa makan
dengan tenang. Ahh, ke mana sumpit-sumpit tadi? Biar saya mengambil yang baru
untuk ji-wi.”
Ia pun
tergesa-gesa mengambil dua pasang sumpit baru, kemudian menyerahkan kepada
kakak beradik seperguruan itu.
Pemuda itu
bernama Thio Bun Can, berusia dua puluh tahun. Dia seorang pemuda putera
seorang penduduk di kota Sin-keng yang tidak begitu jauh letaknya dari
Sui-yang, hanya lima puluh li jauhnya. Gadis itu bernama Gu Mei Cin, berusia
tujuh belas tahun, puteri Gu Kauwsu (Guru silat Gu) yang menjadi guru dari Thio
Bun Can.
Mereka
berdua sedang dalam perjalanan untuk menyelidiki gangguan penjahat terhadap
kiriman barang-barang berharga yang dikawal oleh paman gadis itu yang menjadi
piauwsu (pengawal barang kiriman). Satu peti barang kawalan dapat dirampas
penjahat dan dalam perkelahian membela barang-barang kiriman yang menjadi
tanggung-jawabnya, paman itu akhirnya menderita luka-luka. Mendengar ini Mei
Cin membela pamannya, lalu mengajak suheng-nya untuk melakukan penyelidikan.
Peristiwa
itulah yang membawa mereka datang ke kota Sui-yang, karena perampokan itu
terjadi dalam perjalanan antara Sin-keng dan Sui-yang. Akan tetapi, sampai ke
kota Sui-yang mereka belum mendapatkan keterangan dan mereka bermaksud untuk
melakukan penyelidikan ke kota Sin-keng.
Setelah
empat orang pemuda berandalan itu pergi, Thio Bun Can dan Gu Mei Cin saling
pandang dengan penuh keheranan. Saking terkejut dan heran mereka, dua orang
kakak beradik seperguruan ini sampai tak sempat memperhatikan ketika Si Kong
mengambilkan dua pasang sumpit yang baru untuk mereka. Sesudah Si Kong
meninggalkan mereka, barulah Bun Can berbisik kepada sumoi-nya.
“Sumoi,
apakah yang telah terjadi?”
Mei Cin juga
memandang bingung. “Aku sendiri juga tidak mengerti, Suheng. Akan tetapi yang
jelas, ada seorang sakti yang telah membantu kita.”
“Akan tetapi
bagaimana caranya? Bagaimana sumpit-sumpit itu dapat beterbangan dari atas meja
kita?” bisik lagi pemuda itu.
Mei Cin
menggerakkan kedua pundaknya. “Kalau ada orang menggunakan sumpit untuk
menyambit sebagai senjata rahasia, hal itu tidak mengherankan. Tetapi tanpa
menyentuh dapat membuat sumpit-sumpit itu beterbangan dan dengan tepat mengenai
empat orang berandalan tadi, sungguh seperti ilmu sihir saja.”
“Hemmm,
pendapatmu itu masuk akal juga. Mungkin ada orang sakti ahli sihir yang sudah
membantu kita, sumoi. Akan tetapi sejak sekarang kita harus lebih hati-hati
karena siapa tahu orang-orang berandalan itu masih tidak mau menerima kekalahan
mereka.”
Sesudah
selesai makan, kedua orang itu memanggil Si Kong yang tadi melayani mereka,
lalu membayar harga makanan minuman kepada kasir dan minta diantar oleh Si Kong
ke kamar mereka yang sudah dipesan sebelumnya. Mereka mendapatkan dua buah
kamar yang berdampingan di loteng.
Sesudah
mendapatkan kamar masing-masing, Bun Can berkata kepada Mei Cin, “Sumoi, kurasa
sebaiknya kalau siang ini kita tinggal saja di penginapan dan tidak keluar. Hal
ini untuk mencegah terjadinya keributan kalau-kalau para berandalan tadi hendak
mencegat kita.”
“Hemmm.
Kalau mereka berani menghadang, aku pun tidak takut, Suheng!” kata Mei Cin
dengan penasaran. “Mereka itu adalah orang-orang yang patut dihajar keras!”
“Apakah
engkau sudah lupa akan tugas utama kita, Sumoi? Tugas kita adalah menyelidiki
gerombolan yang sudah mengganggu Gu Piauwsu (Pengawal Gu), pamanmu itu. Jangan
sampai tugas kita terganggu oleh segala macam keributan dengan berandalan itu.
Malam nanti saja kita keluar melakukan penyelidikan.”
“Ke mana
kita akan melakukan penyelidikan?”
“Ke mana
saja. Tetapi sebaiknya ke tempat-tempat yang ramai seperti tempat perjudian
atau kalau perlu ke tempat pelesiran yang biasa didatangi para penjahat. Siapa
tahu kalau kita akan mendapat kabar dari tempat-tempat itu.”
“Baik,
Suheng.”
Secara
diam-diam percakapan antara mereka terdengar oleh Si Kong. Memang pemuda ini
masih mengkhawatirkan kedua orang itu. Siapa tahu pemuda-pemuda berandalan itu
akan mendatangkan bala bantuan dan akan tetap mengganggu si gadis.
Mendengar
percakapan itu, diam-diam Si Kong merasa heran. Urusan apa yang sedang mereka
selidiki? Dia telah mengambil keputusan untuk mengamati mereka dan membantu
mereka kalau-kalau mereka terancam bahaya.
Malam itu Si
Kong tidak bertugas. Setelah semenjak pagi sampai sore bekerja di bagian rumah
makan, malam itu Si Kong bebas tugas. Hal ini kebetulan sekali baginya karena
dia sudah mengambil keputusan untuk mengamati kakak beradik seperguruan itu.
Karena itu, ketika kedua orang itu meninggalkan rumah penginapan dengan pakaian
ringkas, dia pun segera membayangi mereka dari jauh.
Dia melihat
kakak beradik itu berkunjung ke tempat-tempat pelesir dan bahkan memasuki rumah
perjudian. Tetapi biar pun sudah banyak tempat yang mereka kunjungi, tidak
terjadi sesuatu atas diri mereka. Akhirnya kakak beradik itu kembali ke rumah
penginapan dan selagi Si Kong membayangi dari jauh, dia melihat ada sesosok
bayangan berkelebat.
Agaknya ada
orang lain yang juga membayangi dua orang itu dan orang ini mengenakan pakaian
serba hitam. Ketika kakak beradik itu tiba di rumah penginapan, bayangan itu
pun langsung menghilang.
Akan tetapi
Si Kong merasa penasaran. Tidak mungkin orang yang membayangi mereka tadi hanya
ingin membayangi saja seperti yang dia lakukan. Pasti ada kemauannya dan
mungkin kemauan itu akan dilaksanakan malam ini. Karena itu Si Kong tetap
waspada.
Dia tidak
memasuki kamarnya, melainkan bersembunyi di luar sambil mengintai ke arah kamar
kakak beradik di loteng itu. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, sesudah kamar
itu lama memadamkan lilin, sesosok bayangan berkelebat dengan gesitnya menuju
ke kamar loteng itu. Dan bayangan itu berhenti di jendela kamar gadis itu!
Dengan
hati-hati sekali Si Kong mendekati. Dengan menggunakan ilmu Liok-te Hui-teng
tubuhnya meloncat ke atas tanpa sedikit pun suara dan tahu-tahu dia telah
berada di atas genteng kamar gadis itu. Dia membuka genteng dan menyambit ke
dalam kamar dengan pecahan kecil genteng. Usahanya berhasil.
Mei Cin
sadar dari tidurnya dan gadis ini cepat-cepat bangkit berdiri karena pada saat
itu dia melihat ada asap ditiupkan masuk dari jendela kamarnya. Mei Cin maklum
bahwa ada orang jahat di luar kamarnya. Dia segera menyambar pedangnya yang
diletakkan di atas meja dekat buntalan pakaiannya, lantas sambil menahan napas
agar tidak menyedot asap yang mulai memasuki kamar dari jendela itu, dia pun
membuka pintu dan meloncat keluar.
Orang
berpakaian serba hitam itu ternyata menutupi wajahnya dengan kain hitam pula.
Dia terkejut melihat gadis itu tahu-tahu telah muncul di luar kamar dan Mei Cin
juga tidak membuang waktu lagi.
“Jahanam!”
bentaknya dan dia sudah menyerang dengan pedangnya.
Akan tetapi
si topeng hitam itu ternyata memiliki gerakan yang gesit. Dia mengelak, lalu
menggulingkan tubuhnya dan setelah bangkit berdiri, dia telah memegang sebatang
golok yang tadinya diselipkan di punggungnya.
“Traaang...!”
Penjahat itu
kini menangkis ketika Mei Cin menusukkan pedangnya lagi dan begitu golok
bertemu pedang, Mei Cin terkejut sekali karena pedangnya langsung terpental.
Ternyata orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali.
“Suheng,
bangun! Ada penjahat!” Mei Cin berseru sambil dia terus menyerang.
Terjadi
perkelahian yang sengit, akan tetapi segera gadis itu terdesak ketika penjahat
itu balas menyerang. Ternyata bukan saja tenaganya besar, tetapi ilmu goloknya
juga ganas sekali.
Thio Bun Can
terbangun oleh teriakan sumoi-nya dan suara gaduh perkelahian. Dia keluar
sambil membawa kedua pedang pendeknya. Begitu melihat sumoi-nya sedang
bertanding dengan orang yang memakai topeng kain hitam dan gerakan goloknya
lihai sekali, tanpa banyak cakap lagi dia pun terjun ke dalam pertempuran dan
ikut mengeroyok. Akan tetapi si topeng hitam itu ternyata tidak terdesak oleh
pengeroyokan itu, justru dua orang kakak beradik itu yang dalam keadaan
terdesak!
Tiba-tiba
penjahat itu berteriak kaget dan goloknya terlepas dari tangannya. Ada sebuah
benda menyambar lantas mengenai siku kanannya sehingga membuat lengannya lumpuh
dan goloknya terlepas. Setelah mengeluarkan teriakan ini penjahat itu lalu
melompat jauh ke atas genteng rumah di sebelah.
Kakak
beradik itu tidak berani mengejar karena selain ginkang orang itu sangat lihai,
juga mereka maklum bahwa ilmu kepandaian orang itu masih berada di atas tingkat
mereka. Beberapa kamar yang berdekatan mulai membuka pintu dan para tamu yang
bermalam di situ lalu bertanya-tanya.
Bun Can dan
Mei Cin segera menyimpan senjata mereka, lalu Bun Can berkata kepada para tamu
dan beberapa pelayan yang datang berlarian, “Ada pencuri hendak memasuki kamar,
akan tetapi kami telah berhasil mengusirnya. Dia melarikan diri dan
meninggalkan golok itu.”
Setelah
semua orang bubaran dan mengunci pintu kamar mereka masing-masing dengan hati
merasa khawatir kalau-kalau mereka juga akan didatangi pencuri, kakak beradik
itu lalu bercakap-cakap.
“Heran
sekali, mengapa dia melepaskan golok dan melarikan diri?” kata Bun Can.
Mei Cin
mengerutkan alisnya. “Tidak salah lagi. Tentu ada orang yang secara diam-diam
membantu kita, seperti yang terjadi siang tadi. Tidak mungkin penjahat itu
tiba-tiba saja melepaskan senjata lantas melarikan diri tanpa sebab. Bahkan
tadi pun ketika aku sedang tidur, ada yang membangunkan aku dari tidur sehingga
aku dapat melihat usaha penjahat itu meniupkan asap ke dalam kamarku. Mari kita
periksa, Suheng.”
Mereka
memasuki kamar gadis itu dan setelah memeriksa dan mencari, akhirnya mereka
dapat menemukan pecahan genteng yang berada di atas tempat tidur. Mei Cin
mengambil pecahan genteng itu dan berkata,
“Agaknya
pecahan genteng inilah yang telah membangunkan aku. Tentu disambitkan dan
mengenai kakiku karena aku merasa seperti ada yang menepuk kakiku. Pasti ini
adalah pekerjaan orang yang selalu membantu kita itu, Suheng.”
“Siapa pun
orangnya, jelas dia bermaksud baik dan kita harus berterima kasih kepadanya,
Sumoi. Penjahat tadi lihai sekali. Kalau dia datang kembali sambil membawa
kawannya, tentu kita akan celaka.”
“Akan
tetapi, mengapa dia hendak menyerang kita?”
“Ya, hal itu
juga aneh sekali. Ada dua kemungkinan, Sumoi. Pertama, dia adalah seorang
jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang siang tadi melihatmu kemudian menjadi
tertarik untuk mengganggumu, atau mungkin juga ada hubungannya dengan
penyelidikan yang kita lakukan. Lebih baik kita pulang dan melaporkannya kepada
suhu, minta pendapatnya. Bila penjahat tadi ada hubungannya dengan penyelidikan
kita, berarti dia adalah seorang di antara penjahat-penjahat yang bersarang di
kota ini. Sebaiknya kalau suhu sendiri yang memutuskan tindakan apa yang
selanjutnya akan diambil.”
“Kurasa
engkau benar, Suheng. Masih untung kita memiliki seorang tuan penolong yang
tidak mau dikenal, kalau tidak tentu kita sudah celaka.”
“Betapa pun
juga, malam ini sampai besok pagi kita harus waspada.”
Dua orang
kakak beradik itu lalu berpisah dan masuk ke kamar masing-masing. Si Kong yakin
bahwa penjahat tadi tidak akan berani kembali setelah dihajarnya dengan pecahan
genteng sehingga goloknya terpental dan dia melarikan diri. Dia merasa puas
sudah dapat membantu kakak beradik itu.
Pada esok
harinya, pagi-pagi sekali ketika Si Kong berjalan melewati kedua pintu kamar
itu, dia dipanggil oleh Thio Bun Can. “Sobat, tolong beri tahu pengurus rumah
penginapan bahwa pagi ini juga kami akan berangkat. Kami hendak membayar sewa
kamar.”
Si Kong
memandang kepada gadis yang sudah siap menggendong buntalan pakaian dan
pedangnya. Dia merasa kagum. Walau pun semalam sudah terjadi ancaman bahaya dan
agaknya gadis itu tidak tidur lagi, akan tetapi gadis itu tetap kelihatan segar
dan cantik, bahkan sikapnya demikian tenang seakan tidak pernah terjadi sesuatu
yang mengancam keselamatannya. Dia lalu melayani kakak beradik itu.
Sesudah
membayar uang sewa kamar, keduanya lalu berangkat dan pergi meninggalkan kota
Sui-yang. Setelah pemuda dan gadis itu pergi, Si Kong membersihkan bekas kamar
mereka dan dia merasa kesepian seolah kehilangan! Dia merasa heran sendiri
mengapa dia begitu kagum dan tertarik kepada gadis itu yang sama sekali tidak
di kenalnya.
Si Kong
memang amat rajin. Pagi-pagi sekali dia bekerja di bagian rumah penginapan dan
setelah rumah makan dibuka, dia lalu membantu rumah makan sampai malam. Tak
heran kalau majikan pemilik rumah penginapan dan rumah makan Hok-lai merasa
senang sekali dengan pekerjaan pemuda yang rajin itu. Maka, dalam waktu
beberapa hari saja Si Kong sudah diangkatnya menjadi mandor atau pengawas para
pekerja yang lain! Hal ini tentu saja menimbulkan perasaan iri dalam hati
banyak pelayan yang sudah bekerja lebih lama di tempat itu.
Ketika siang
itu dia bekerja di rumah makan, terjadilah hal yang sama sekali tidak
diduga-duganya. Rumah penginapan itu mendadak kehilangan beberapa lukisan dan
pot bunga yang berharga mahal. Tadinya benda-benda itu dipasang di ruang tamu,
akan tetapi tiba-tiba lenyap.
Ketika
majikan rumah penginapan itu tidak melihat benda-benda hiasan itu, dia menjadi
marah dan memanggil para pelayan rumah penginapan. Semua pelayan menjadi ribut
dan mencari-cari, dan akhirnya orang menemukan benda-benda berharga itu di dalam
kamar Si Kong tersembunyi di bawah kolong tempat tidurnya!
Tentu saja
majikan itu menjadi marah. Si Kong dipanggil dan ditanyai. Meski pun Si Kong
tidak mengaku mencuri dan mengatakan tidak tahu bagaimana benda-benda itu
tahu-tahu bisa berada di kolong tempat tidurnya, akan tetapi karena bukti sudah
menyatakan bahwa barang-barang yang hilang berada di kolong tempat tidurnya,
maka majikan itu tidak mau mendengarkan semua bantahannya. Pada hari itu juga
Si Kong diusir sesudah upahnya selama beberapa pekan dibayar.
Si Kong
maklum bahwa dia difitnah. Akan tetapi dia tidak merasa perlu untuk menyelidiki
hal itu. Memang dia pun tidak ingin bekerja selamanya di tempat itu. Setelah
dikeluarkan dari pekerjaannya, Si Kong lalu membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan
rumah penginapan itu, bahkan meninggalkan kota Sui-yang, tiga hari sesudah Bun
Can dan Mei Cin meninggalkan kota itu.
***************
Sesudah
meninggalkan kota Sui-yang, Gu Mei Cin bersama suheng-nya, Thio Bun Can,
langsung saja pulang ke kota Sin-keng yang jaraknya kurang lebih lima puluh li
dari kota Sui-yang. Di dalam perjalanan itu mereka tidak menemukan halangan
sesuatu dan tibalah mereka di kota Sin-keng.
Ayah Gu Mei
Cin yang bernama Gu Kiat atau dikenal dengan sebutan Gu Kauwsu (Guru Silat Gu)
adalah seorang guru silat yang terkenal di kota itu. Muridnya cukup banyak dan
putera-putera para pejabat dan hartawan di kota itu banyak yang menjadi
muridnya.
Di antara
semua muridnya, yang paling dekat dengan Mei Cin, juga yang menjadi murid
teladan adalah Thio Bun Can. Diam-diam pemuda ini jatuh hati kepada sumoi-nya
dan Gu Kauwsu juga menyetujui niat pemuda ini karena Bun Can memang seorang
murid yang baik.
Itulah
sebabnya ketika Gu Kauwsu mendengar akan mala petaka yang menimpa adiknya, Gu
Piauwsu yang dilukai perampok dan barangnya ada yang terampas, dia mengijinkan
puterinya pergi bersama Thio Bun Can untuk melakukan penyelidikan. Dia
menganggap bahwa kepandaian silat puterinya sudah memadai dan juga Thio Bun Can
dapat menjadi pengawal yang bisa dipercaya.
Pada saat
puteri dan muridnya datang, Gu Kauwsu segera menyongsong mereka dengan penuh
harapan dan bicara dengan mereka di dalam kamarnya.
“Bagaimana
dengan hasil penyelidikan kalian? Kuharap kalian mendapat hasil yang baik,”
kata Gu Kauwsu.
“Wah,
penyelidikan kami belum menghasilkan sesuatu, bahkan sebaliknya kami hampir
mendapat celaka di tangan orang jahat, Ayah,” kata Mei Cin.
“Apa yang
terjadi?”
“Suheng, kau
ceritakan kepada ayah,” Mei Cin minta suheng-nya untuk bercerita.
Bun Can lalu
menceritakan tentang pertemuan mereka dengan pemuda-pemuda berandal di rumah
makan Hok-lai dan tentang bantuan seorang sakti yang tak mau memperlihatkan
diri.
“Apa?!
Sumpit-sumpit di atas meja beterbangan sendiri menyerang empat orang pemuda
yang kurang ajar itu? Seperti sihir saja!” kata Gu Kauwsu.
“Itulah,
Suhu, teecu juga menganggap itu sihir. Tampaknya ada seorang sakti yang sudah
menggunakan sihirnya untuk membantu kami. Sesudah orang-orang berandalan itu
terusir pergi, kami tinggal di rumah penginapan sampai malam. Pada malam
harinya kami berdua baru berkunjung ke tempat-tempat yang sekiranya didatangi
para penjahat untuk mencari keterangan. Kami mendatangi rumah-rumah judi, akan
tetapi usaha kami sia-sia belaka. Kami tidak mendengar apa-apa yang penting
tentang perampokan itu.”
“Tetapi pada
malam hari itu terjadi hal yang sangat aneh, Ayah. Aku hampir saja celaka dalam
peristiwa itu,” kata Mei Cin.
“Apa yang
terjadi?” tanya Gu Kauwsu sambil memandang puterinya dengan alis berkerut.
“Lewat
tengah malam selagi aku tidur pulas, tiba-tiba aku dibangunkan oleh sesuatu
yang rasanya seperti ada yang menepuk kakiku. Ketika aku sadar dan terbangun,
aku melihat ada asap yang memasuki kamarku melalui jendela. Aku menjadi curiga,
maka aku cepat keluar dari pintu dan melihat bahwa di luar jendelaku ada
seorang yang berpakaian hitam dan bertopeng hitam pula sedang meniupkan asap ke
kamar itu. Tentu saja aku menjadi marah, lantas aku menyerangnya. Akan tetapi
orang itu tangguh sekali dengan permainan goloknya. Bahkan ketika suheng
terbangun dan membantuku, kami berdua tidak mampu mendesaknya, malah terancam
oleh gerakan goloknya. Mendadak terjadi pula keanehan. Entah kenapa penjahat
itu berteriak, goloknya terlepas dari tangannya lalu dia melompat dan dengan
cepat sekali melarikan diri.”
“Hemm,
agaknya ada orang yang membantu kalian secara diam-diam!” kata Gu Kauwsu.
“Agaknya
memang begitu, Ayah. Karena, setelah kami memeriksa di dalam kamarku, aku
berhasil menemukan sepotong pecahan genteng yang agaknya digunakan orang itu
untuk membangunkan aku ketika penjahat itu melepaskan asap ke dalam kamar. Asap
itu tentu asap pembius!”
“Akan tetapi
mengapa engkau yang didatangi penjahat itu?” tanya Gu Kauwsu.
“Kami
berpendapat bahwa ada dua kemungkinan untuk itu, Suhu. Pertama, mungkin saja
penjahat itu adalah seorang jai-hwa-cat yang mempunyai niat buruk terhadap
sumoi. Dan kemungkinan kedua, perbuatannya itu ada hubungannya dengan
penyelidikan kami, dan kalau begitu, tentu dia ada hubungannya dengan
perampokan yang kami selidiki itu.”
“Maka kami
memutuskan untuk pulang dan melaporkannya kepadamu, Ayah. Penjahat itu lihai
sekali, kalau dia kembali bersama teman-temannya, tentu kami akan celaka.”
Gu Kauwsu
meraba jenggotnya dan mengangguk-angguk. “Tidak salah lagi! Penjahat itu tentu
ada hubungan dengan orang yang sudah merampok pamanmu! Menurut pamanmu, orang
yang mengalahkan dan melukai pamanmu juga seorang yang pandai menggunakan
golok, orangnya tinggi besar dan bermuka hitam seperti yang kalian telah dengar
sendiri. Bagaimana bentuk tubuh orang yang bertopeng itu?”
“Tubuhnya
juga tinggi besar, Ayah. Akan tetapi sayangnya muka dia tertutup topeng dan
penerangan di luar kamar itu hanya kecil dan remang-remang sehingga aku tidak
dapat melihat apakah separuh mukanya bagian atas yang tidak tertutup itu hitam
atau tidak.”
“Aku sendiri
yang akan pergi melakukan penyelidikan ke kota Sui-yang!” kata Gu Kauwsu dengan
nada suara penuh penasaran.
Mendadak
dari luar jendela nampak sebuah benda menyambar cepat ke arah muka Gu Kauwsu.
Guru silat itu cepat menggerakkan tangannya menangkap, dan ternyata benda itu
adalah sebuah pisau yang tajam dan runcing, yang menusuk sepotong kertas.
“Jahanam!”
Gu Kauwsu segera melompat keluar dari jendela, diikuti puteri dan muridnya,
akan tetapi diluar tidak terdapat siapa pun. Pelempar pisau itu telah pergi
jauh. Terpaksa mereka kembali ke dalam dan Gu Kauwsu membaca tulisan di atas
kertas itu.
‘Kalau
hendak mencari perampas barang kiriman, pergilah ke Puncak Bukit Ayam.’
“Jahanam!”
kembali Gu Kauwsu memaki. “Dia telah menantangku!”
Mei Cin dan
Bun Can juga ikut membaca tulisan pada kertas itu dan mereka berdua juga
menjadi marah.
“Sekarang
sudah jelas, Ayah. Pelempar pisau tadi tentu juga penjahat bertopeng itu, dan
mungkin dialah yang telah merampas barang kiriman yang dikawal paman. Dia pula
yang melukai paman dengan goloknya.”
“Tidak salah
lagi. Tentu dia! Dan dia menantangku untuk datang ke Bukit Ayam? Bagus!”
“Apa yang
hendak Ayah lakukan sekarang?” tanya Mei Cin.
“Apa lagi?
Tentu saja pergi ke Bukit Ayam. Bukit itu dekat saja dari sini, maka sebelum
gelap aku sudah akan tiba di puncaknya.”
“Ayah tidak
boleh pergi sendiri. Aku ikut untuk membantu Ayah.”
“Benar,
Suhu. Teecu juga ikut untuk membantu. Bila perlu teecu akan memanggil
murid-murid suhu yang lain dan kita beramai datang ke sana.”
Gu Kauwsu
menggeleng kepala. “Jangan kaitkan para murid lain. Lagi pula kalau banyak
orang yang datang ke sana, tentu penjahat itu tak akan muncul. Kita bertiga
saja ke sana, akan tetapi kalian harus mempersiapkan diri baik-baik dan berlaku
hati-hati.”
Gu Kauwsu
bersama puterinya dan muridnya cepat berkemas, disaksikan oleh isterinya.
Sesudah mempersiapkan diri, membawa senjata pedang masing-masing dan Gu Kauwsu
tak lupa membawa sekantung senjata rahasia paku, mereka lalu meninggalkan rumah
dan keluar dari kota Sin-keng melalui pintu gapura sebelah selatan. Begitu
keluar dari pintu gerbang, sudah nampak bukit yang di maksudkan. Dari jauh
bukit itu memang kelihatan seperti kepala seekor ayam, karena itu maka bukit
itu disebut Bukit Ayam.
Dengan
cepat, sambil menggunakan ilmu berlari cepat akan tetapi dengan sikap
hati-hati, tiga orang ini mendaki Bukit Ayam dan sebentar saja mereka telah
tiba di puncak bukit itu. Matahari sudah mulai condong ke barat namun masih
terang.
Puncak bukit
itu datar dan berupa padang rumput terbuka, dikelilingi hutan yang berada di
lereng bukit. Akan tetapi di situ sunyi saja, tidak nampak bayangan seorang
pun.
Gu Kauwsu
segera mengerahkan khikang-nya lalu berteriak. Suaranya bergema di empat
penjuru. “Heii, perampok laknat. Keluarlah kalau engkau memang laki-laki!”
Segera
terdengar suara tawa bergema di seluruh puncak dan tak lama kemudian nampak
bayangan dua orang berlari naik ke pundak, datang dari hutan sebelah kiri. Gu
Kauwsu memberi isyarat kepada puteri dan muridnya agar waspada. Mei Cin dan Bun
Can segera mencabut pedang masing-masing dan berdiri dalam keadaan siap siaga.
Karena dua
bayangan orang itu mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja mereka sudah
tiba di depan tiga orang itu. Gu Kauwsu dan dua muda-mudi itu memandang penuh
perhatian.
Dua orang
itu berdiri sambil tertawa-tawa dengan lagak sombong. Yang seorang adalah
lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan
mukanya hitam garang amat menyeramkan. Orang kedua adalah seorang kakek yang
berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya sedang saja dan dia memegang sebatang
tongkat berkepala naga. Kakek inilah yang tertawa tadi, dan sekarang pun
mulutnya masih menyeringai dengan sikap memandang rendah.
“Apakah
kalian berdua yang mengirim surat mengundang kami ke puncak Bukit Ayam ini?” Gu
Kauwsu bertanya dengan suara tegas.
Yang muda
dan bermuka hitam itu mejawab. “Benar, akulah yang mengirim surat itu!”
“Apakah ini
berarti bahwa engkau yang telah merampas barang kiriman yang dikawal oleh Gi
Piauwsu dan yang telah melukainya?”
“Ha-ha-ha!
Benar, akulah yang melakukannya!” jawab laki-laki bermuka hitam itu.
“Sobat, aku
melihat bahwa engkau bukan seorang perampok biasa, bukan pula pemimpin
gerombolan perampok. Tapi mengapa engkau mengganggu pekerjaan Gu-piauwsu? Aku
nasehatkan engkau untuk mengembalikan barang kiriman itu kepadaku atau terpaksa
aku harus menggunakan kekerasan,” kata Gu Kauwsu dengan suara bernada
mengancam.
Si muka
hitam itu menoleh kepada kakek bertongkat kepala naga.
“Suhu,
bagaimana pendapat suhu?”
“Serahkan
saja guru silat ini kepadaku dan kau hadapi dua orang muda itu!” kata kakek itu
dengan sikap tenang sekali dan dengan sekali lompatan kecil dia sudah
menghadapi Gu Kauwsu, lantas berkata, “Kalau engkau masih sayang nyawamu, lebih
baik engkau tidak mencampuri urusan ini. Barang sudah terampas, bagaimana
mungkin dikembalikan?”
Gu Kauwsu
menjadi marah. “Bun Can, Mei Cin, berhati-hatilah menghadapi si muka hitam
itu!” Setelah berkata demikian dia mencabut pedangnya dengan tangan kanan
sedangkan tangan kirinya sudah mengambil segenggam paku yang menjadi senjata
rahasianya yang ampuh.
“Orang tua
sesat, engkau malah membela muridmu yang melakukan perampokan! Lekas katakan
siapa namamu, jangan sampai mati tanpa nama!” bentak Gu Kauwsu.
“Ha-ha-ha,
engkau guru silat kampungan, tidak mengenal siapa aku? Aku adalah majikan Pulau
Tembaga, dikenal dunia kangouw sebagai Tung-hai Liong-ong!”
Mendengar
nama ini, mata Gu Kauwsu terbelalak karena dia terkejut bukan main. Nama yang
disebut kakek itu adalah nama seorang datuk besar di sepanjang pantai timur!
“Tung-hai
Liong-ong? Dia adalah seorang datuk besar di pantai timur! Tidak mungkin dia
begitu rendah untuk membela muridnya yang menjadi perampok!”
“Ha-ha-ha-ha,
kami memungut sumbangan dari mereka yang berharta, bukan merampok. Engkau guru
silat kampungan tidak perlu tahu. Nah, pergilah!” tongkat kepala naga itu lalu
menyambar dahsyat.
Gu Kauwsu
yang sudah pernah mendengar mengenai kelihaian datuk itu cepat melompat ke
belakang untuk menghindar. Biar pun dia tahu lawannya amat pandai, untuk
membela adiknya dia tidak merasa takut.
“Makanlah
senjata rahasiaku ini!” teriaknya. Tangan kirinya bergerak dan belasan batang
paku telah menyambar ke arah tubuh kakek itu.
Tapi kakek
itu hanya mengibaskan tangannya sehingga paku-paku itu, baik yang terkena
kebutan tangan mau pun yang mengenai tubuh kakek itu, semuanya langsung runtuh
ke bawah. Agaknya kakek itu kebal dan kulitnya tidak dapat tertembus paku!
Gu Kauwsu
tidak merasa gentar dan segera menyerang maju dengan pedangnya. Hebat juga
gerakan guru silat itu sehingga Tung-hai Liong-ong tidak berani menyambut
pedang itu dengan tangannya, melainkan menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.
“Trang-tranggg...!”
Pedang itu
hampir saja terlepas dari tangan Gu Kauwsu. Akan tetapi guru silat itu tidak
mundur bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat.
Sementara
itu si tinggi besar bermuka hitam sudah menghampiri Bun Can dan Mei Cin. Dia
menyeringai sambil memandang kepada Mei Cin.
“Ha-ha-ha,
di kota Sui-yang engkau terlepas dari tanganku tetapi sekarang engkau datang
menyerahkan diri kepadaku. Bagus sekali, nona!”
Mendengar
ini tahulah Mei Cin bahwa orang ini yang mendatangi kamarnya di malam hari itu.
Ia menjadi marah sekali dan mengelebatkan pedangnya. “Jahanam busuk, perampok
rendah, bersiaplah untuk mampus di tanganku!” Tanpa banyak cakap lagi Mei Cin
sudah menerjang dengan pedangnya.
Si muka
hitam itu bukan lain adalah Ouwyang Kwi, murid dari Tung-hai Ling-ong. Seperti
yang telah kita ketahui, beberapa tahun yang lalu dia pernah merampas kedudukan
ketua Hwa I Kaipang dalam usahanya mengumpulkan uang dan kekuasaan. Namun
usahanya itu gagal dengan munculnya Si Kong bersama gurunya Yok-sian Lo-kai.
Setelah
melarikan diri bersama suhu-nya yang sama-sama terluka dalam saat bertempur
dengan Yok-sian Lo-kai, Ouwyang Kwi mempunyai cara lain untuk mengumpulkan
banyak uang yang agaknya didukung oleh gurunya, yaitu dengan menjadi perampok
tunggal. Dia bukan sembarang perampok, melainkan perampok yang bergerak seorang
diri akan tetapi hanya merampok barang-barang yang berharga mahal saja.
Baru-baru
ini dia berhasil merampok barang berharga yang dikawal oleh Gu Piauwsu, dan
kebetulan sekali gurunya datang berkunjung. Maka, setelah dia tahu bahwa dia
dicari dan diselidiki oleh Gu Kauwsu, dia lantas minta bantuan gurunya untuk
menghadapi guru silat yang lihai itu.
Begitu Mei
Cin menyerang, Ouwyang Kwi juga mencabut goloknya lantas menangkis. Mei Cin
menyerang lebih dahsyat dan dua orang ini sudah bertanding lagi. Meihat ini,
maklum bahwa lawan sumoi-nya amat lihai, Thio Bun Can segera menerjang maju dan
membantu sumoi-nya. Dengan demikian pertarungan pada malam hari itu kini
terulang lagi, Ouwyang Kwi dikeroyok oleh kakak beradik seperguruan itu.
Akan tetapi,
begitu Ouwyang Kwi memainkan golok besarnya yang berat, kakak beradik itu
segera terdesak. Bagaimana pun juga kedua orang muda itu kalah tenaga dan kalah
pengalaman bertanding sehingga mereka sibuk menangkis dan melindungi diri saja
tanpa mampu membalas serangan Ouwyang Kwi.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment