Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 17
SEMENTARA
itu Si Kong mendekati Hui Lan dan berbisik, “Mereka inilah yang berjuluk Bu-tek
Ngo-sian, yang dahulu bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok mendiang suhu Ceng
Lojin.”
Mendengar
ini Hui Lan mengerutkan sepasang alisnya dan mukanya menjadi kemerahan. Kedua
tangannya bergerak ke punggung dan di lain saat dia sudah mencabut sepasang
pedangnya yang mengeluar sinar menyeramkan dan berwarna hitam. Hok-mo
Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) memang berwarna hitam dan pedang
pusaka ini merupakan pedang yang ampuh sekali.
“Jadi kalian
inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian? Kalian yang dulu bersama Toa Ok dan Ji Ok
menyerbu ke Pulau Teratai Merah dan mengeroyok kakek buyutku Ceng Thian Sin?
Bagus, bersiaplah kalian untuk menebus dosa!”
Lima orang
itu terkejut sekali mendengar bahwa gadis yang lihai ini adalah cucu buyut Ceng
Thian Sin si Pendekar Sadis! Pantas dia begitu lihai, dan lima orang itu
diam-diam merasa gentar juga. Mereka masih belum melupakan peristiwa di Pulau
Teratai Merah di mana mereka mengeroyok Ceng Thian Sin bersama dua orang datuk
besar Toa Ok dan Ji Ok. Mereka bertujuh mengeroyok pendekar perkasa itu, tetapi
akhirnya mereka semua mendapat luka dalam yang amat hebat sehingga memerlukan
waktu berbulan-bulan untuk mengobatinya.
Akan tetapi
mereka masih tidak percaya kalau gadis ini mampu melawan mereka berlima.
Bagaimana pun juga gadis itu masih muda sekali dan tentu saja belum
berpengalaman.
“Serbu!
Bunuh bocah sombong ini!” Bentak Ciok Khi.
Mendengar
perintah in, Sia Leng Tek, orang ke dua yang tinggi kurus bermuka pucat, lalu
Cong Boan, orang ke tiga yang bertubuh sedang dan mukanya penuh brewok, dan Bwa
Koan Si, si orang ke empat yang pendek gendut, sudah mencabut pedang
masing-masing dan kini lima orang itu dengan pedang di tangan mengepung Hui
Lan. Dilihat keadaannya seakan-akan seekor domba muda yang dagingnya lunak
dikepung oleh lima ekor serigala yang kelaparan dan haus!
Hui Lan tak
menjadi gentar. Kembali dia mengerahkan kekuatan sihirnya lalu membentak, “Kalian
berlima berlututlah!”
Mendengar
bentakan ini, dua di antara mereka langsung menekuk lututnya, tetapi mereka
segera dapat menolak kekuatan sihir itu dengan pengerahan sinkang mereka.
Maklumlah Hui Lan bahwa sihirnya tidak akan dapat dipergunakan untuk
mempengaruhi mereka yang memiliki sinkang yang kuat.
Di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan ayahnya kepadanya, ilmu sihir inilah yang paling
lemah. Melihat kekuatan sihirnya tidak mempan lagi, maka dia pun sudah siap
dengan sepasang pedang disilangkan di depan dada.
Melihat
gadis itu dikepung lima orang, Si Kong lalu tertawa bergelak dan dia melepaskan
caping yang tadi menutupi kepalanya. Dia pun berkata, “Ha-ha-ha-ha, kalian
berjuluk Lima Dewa Tanpa Tanding akan tetapi kini maju berlima mengeroyok
seorang gadis. Lebih baik kalian mengubah julukan menjadi Lima Orang Iblis Tak
Tahu Malu!”
Sesudah
berkata demikian dia memungut sebatang kayu ranting pohon, kemudian sekali
melompat dia sudah berdiri di belakang Hui Lan. Kini Si Kong dan Hui Lan berdiri
saling membelakangi dan menghadapi lima orang pengepung itu. Si Kong siap
dengan tongkat rantingnya dan Hui Lan siap dengan sepasang pedangnya.
“Lan-moi,
jangan kau pergunakan pedangmu untuk membunuh orang,” bisik Si Kong.
Hui Lan yang
tadinya sudah marah sekali begitu mendengar bahwa lima orang itulah yang
mengeroyok kakek buyutnya dan kemarahan membuat dia berkeinginan untuk membunuh
mereka, sekarang mendengar bisikan Si Kong menjadi sadar. Dia pun mengangguk
lantas berbisik kembali.
“Baiklah, Kong-ko.”
Lega rasa
hati Si Kong mendengar jawaban ini. Lima orang yang sudah mengepung itu,
sekarang tidak dapat menahan kemarahan mereka dan segera mereka menyerbu dengan
ganas. Karena mereka memandang ringan kepada Si Kong yang belum mereka ketahui
kelihaiannya, maka orang pertama, ke dua dan ke tiga menghadapi Hui Lan,
sedangkan Si Kong dilawan oleh orang ke empat dan ke lima.
Belasan
orang anggota Kui-jiauw-pang yang tadi mengeroyok Si Kong dan Hui Lan, tidak
berani maju lagi dan hanya menonton saja. Mereka percaya bahwa Bu-tek Ngo-sian
tentu akan dapat merobohkan dua orang muda itu.
Namun
pengharapan mereka ini ternyata tidak terjadi. Bwa Koan Si yang gendut dan Bhe
Song Ci yang katai, sebentar saja merasa betapa lihainya pemuda yang mereka
keroyok. Meski pun mereka berdua menggerakkan pedang dengan ganas sehingga
setiap gerakan pedang merupakan serangan maut yang dahsyat, akan tetapi pedang
mereka tak pernah berhasil mengenai tubuh pemuda itu. Kalau tidak dielakkan
tentu tertangkis oleh tongkat yang bergerak aneh sekali. Setiap kali pedang
mereka bertemu tongkat, mereka langsung merasa telapak tangan yang memegang
pedang tergetar hebat dan hampir saja mereka melepaskan senjata mereka.
Keadaan Hui
Lan lain lagi. Biar pun sepasang pedangnya yang membentuk dua gulungan sinar
hitam itu hebat dan kuat sekali, namun pengeroyokan tiga orang itu membuat dia
dihujani serangan sehingga kedua pedangnya menjadi senjata untuk mempertahankan
diri saja, tidak ada kesempatan untuk membalas. Akan tetapi tiga orang
pengeroyok itu pun tidak pernah dapat menyentuh sehingga mereka menjadi
penasaran dan mendesak terus.
Sambil
melayani dua orang pengeroyoknya, Si Kong dapat membagi perhatiannya ke arah
Hui Lan dan melihat Hui Lan terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, Si Kong
langsung mempercepat gerakan tongkatnya. Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul
Anjing) yang dimainkan berubah menjadi desakan yang amat kuat kepada dua orang
pengeroyoknya.
Dua orang
itu terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak mampu menghindar ketika tongkat
itu menghantam lutut kiri si gendut Bwa Koan Si dan dalam detik lain memukul
pundak kiri si katai Bhe Song Ci. Kedua orang itu berteriak kesakitan.
Sambil
berloncat-loncatan Bwa Koan Si memegang sebelah kakinya yang terpukul, tidak
mempedulikan lagi pedang yang terpaksa dilepaskannya karena tangan kanannya
sibuk memegangi lututnya sambil mengaduh-aduh. Lutut yang terpukul itu bukan
main nyerinya, mendenyut-denyut sampai terasa di jantungnya.
Sedangkan
Bhe Song Ci juga terpaksa harus melepaskan pedangnya karena pundaknya yang
terpukul itu membuat lengan kanannya menjadi lumpuh. Ia pun mengeluh kesakitan
sambil mendekap pundak kanan yang terpukul tadi.
Si Kong
tidak lagi mempedulikan dua orang itu, melainkan segera menyerbu ke arah tiga
orang yang mengeroyok dan mendesak Hui Lan. Begitu dia menggerakkan tongkatnya,
kepungan itu menjadi kacau balau.
Ciok Khi,
orang pertama yang mukanya bopeng dapat melihat betapa dua orang rekannya sudah
kalah dan tidak mampu melanjutkan perkelahian. Diam-diam dia terkejut sekali
dan segera maklum bahwa pemuda yang mereka pandang remeh itu ternyata tidak
kalah lihai dibandingkan dengan gadis cucu buyut Pendekar Sadis! Maka dia pun
memberi aba-aba kepada dua orang rekannya untuk mengeroyok Si Kong, ada pun dia
sendiri masih terus menyerang Hui Lan dengan ganasnya.
Akan tetapi
dengan bantuan dua rekannya saja dia tidak mampu mengalahkan Hui Lan. Dan kini,
ketika hanya seorang diri melawan gadis itu, dia segera terdesak hebat. Semua
serangannya kandas oleh pedang di tangan kanan Hui Lan, sedangkan pedang di
tangan kiri gadis itu membalas serangan dengan hebatnya.
Ciok Khi
merupakan orang tertua dan yang terlihai di antara lima orang Bu-tek Ngo-sian.
Ia merasa amat penasaran karena tak dapat mengalahkan seorang gadis.
Dikerahkannya seluruh tenaganya dan dikeluarkannya semua ilmu silat yang dikuasainya.
Pertandingan
antara Si Kong dan dua orang pengeroyok barunya tidak berlangsung lama. Si Kong
segera memainkan Ta-kauw Sin-tung. Tongkatnya menyambar-nyambar, begitu cepat
dan tidak disangka-sangka gerakannya. Baru belasan jurus saja Sia Leng Tek dan
Cong Boan terpelanting dan pedang mereka terlepas dari tangan mereka.
Akan tetapi
kini Si Kong tak mau membantu Hui Lan. Gadis itu bertanding melawan satu orang
saja, maka dia tak mau mengeroyok. Apa lagi melihat Hui Lan mendesak lawannya
dengan hebat. Dia tahu bahwa sebentar lagi Hui Lan pasti akan mampu
mengalahkannya.
Dugaan Si
Kong memang tepat sekali. Pada waktu Ciok Khi menyerang Hui Lan dengan sabetan
pedangnya yang mengarah ke pinggang, Hui Lan menggerakkan pedang kirinya untuk
menangkis sekaligus mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel hingga pedang
mereka saling melekat. Saat itu dipergunakan oleh Hui Lan untuk membabatkan
pedang kanannya dari atas ke bawah sehingga mengenai pedang lawan yang sudah
tertahan oleh pedang kirinya itu.
“Trakkk...!”
Pedang di
tangan Ciok Khi patah menjadi dua potong! Sebelum hilang kagetnya, Ciok Khi
menerima tendangan kaki kiri Hui Lan yang tepat mengenai perutnya sehingga
tubuhnya terjengkang dan terbanting keras di atas tanah.
Empat orang
saudaranya lalu menolongnya, memapahnya untuk bangkit dan tanpa kata-kata lagi
mereka berlima segera pergi meninggalkan tempat itu. Belasan orang anggota
Kui-jiauw-pang menjadi ketakutan, akan tetapi Si Kong berkata kepada mereka.
“Kalian jangan
takut. Kami bukan orang yang membunuh rekan-rekanmu ini. Bahkan kami berniat
untuk mengubur mereka. Bila kami menghendaki, sekarang juga kalian telah mati
semua. Nah, sekarang sesudah ada kalian, tidak perlu lagi kami mengubur
mayat-mayat ini. Kalian yang harus mengubur mereka.”
Belasan
orang itu merasa sangat bersyukur bahwa pemuda dan gadis pendekar itu tidak
membunuh mereka. Mereka hanya dapat merangkak dan memandang ketika kedua orang
pendekar itu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju puncak.
***************
“Sebentar
lagi keadaan di tempat ini akan menjadi ramai sekali,” demikian antara lain Toa
Pangcu atau Toa Ok berkata. “Bukan saja banyak orang yang mendaki puncak ini
untuk menyelidiki dan memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi kebetulan
waktunya berbareng dengan janji tiga orang datuk besar yang sudah berjanji
dengan kami akan mengadakan pertemuan dan menentukan siapa di antara kami yang
paling lihai dan patut memperoleh julukan Datuk Terkuat Di Dunia. Yang akan
muncul adalah Lam Tok, datuk dari selatan, Tung-giam-ong datuk dari timur, dan Pai-ong
datuk dari utara. Yang mewakili barat adalah kami berdua, yaitu Toa Pangcu dan
Ji Pangcu atau di dunia persilatan lebih dikenal Toa Ok dan Ji Ok.”
Mendengar
ini, Bwe Hwa memandang penuh perhatian dan juga keheranan. Dia pernah mendengar
nama besar Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk besar dari barat, juga betapa
mereka itu adalah dua orang yang sangat kejam, tidak pantang melakukan
kejahatan apa pun, maka disebut Toa Ok dan Ji Ok (Si Jahat Pertama dan Si Jahat
Kedua). Akan tetapi sungguh mengherankan. Kalau mereka sudah menguasai
Pek-lui-kiam, mengapa dengan mudah begitu saja mereka menyerahkan pedang mereka
itu kepadanya?
Sam Pangcu
atau Ang I Sianjin melihat perubahan air muka gadis perkasa itu, maka dia pun
cepat berkata, “Semua orang akan datang memusuhi aku karena hendak merampas
Pek-lui-kiam. Tentu Pek-lihiap tidak keberatan untuk membantuku jika mereka
terlampau mendesakku.”
Bwe Hwa
hanya mengangguk, akan tetapi sulit untuk menjawab. Dia kini merasa bingung,
tak dapat menentukan pihak tuan rumah ini sebagai kawan ataukah lawan. Kalau
sebagai kawan, agaknya sungguh janggal kalau dia berkawan dengan orang-orang
seperti Toa Ok dan Ji Ok yang dikenal sebagai manusia-manusia jahat. Akan
tetapi kalau sebagai lawan, rasanya janggal pula karena mereka sudah
menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya, juga memperlakukannya dengan hormat dan
ramah. Terutama sekali Leng Kun juga menjadi sahabat baik mereka.
Sebab itu
dia menyabarkan hatinya dan ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti.
Kalau pihak tuan rumah bertempur dengan musuh karena urusan pribadi, dia tidak
akan mencampuri urusan mereka, tidak mau terlibat. Akan tetapi kalau tuan rumah
bertempur karena pedang Pek-lui-kiam hendak dirampas, tentu saja dia akan
membantu tuan rumah karena merebut pedang pusaka itu, sama saja dengan
menyerang dia yang kini menjadi pemilik Pek-lui-kiam.
Agaknya
ucapan Ang I Sianjin serta sikap Bwe Hwa itu sudah menarik perhatian Toa Ok.
“Ha-ha-ha, tentu saja nona Pek akan membantu. Kalau para datuk itu muncul, maka
itu adalah urusan kami berdua yang akan bertanding memperebutkan sebutan datuk
terkuat di dunia. Akan tetapi jika yang datang itu untuk memperebutkan
Pek-lui-kiam, tentu nona Pek tidak akan tinggal diam. Bukankah begitu, nona
Pek?”
Bwe Hwa
terpaksa menjawab. “Memang demikian. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan
urusan pribadi kalian. Akan tetapi dalam urusan memperebutkan Pek-lui-kiam, aku
takkan tinggal diam.”
Baru mereka
bercakap-cakap itu, muncullah Bu-tek Ngo-sian. Melihat wajah mereka yang pucat
dan pakaian mereka yang kusut, tiga orang ketua itu terkejut sekali.
“Ngo-sian,
apakah yang telah terjadi?!” bentak Toa Ok. Memang sudah lama Bu-tek Ngo-sian
menjadi pembantu-pembantunya.
“Kami
berlima menemui halangan, Toa-pangcu. Kami tadi melihat betapa beberapa orang
anggota kami telah tewas dan ada pula yang terluka oleh seorang pemuda dan
seorang gadis yang ilmu silatnya amat lihai. Masih untung kami berlima tidak
terbunuh dan dapat meloloskan diri.”
“Hemm,
jahanam! Siapakah nama pemuda dan gadis itu?” tanya Toa Ok dengan marah dan
penasaran.
Lima orang
pembantunya ini adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang telah memiliki ilmu
silat yang tinggi. Apa lagi kalau mereka berlima maju bersama, mereka merupakan
lawan yang tangguh sekali. Bagaimana mungkin kelima orang pembantunya ini dapat
dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis?
Lima orang
Bu-tek Ngo-sian itu saling pandang. Ciok Khi yang paling tua di antara mereka
kemudian menjawab dengan takut-takut, “Maaf, Toa Pangcu, kami tidak sempat
bertanya kepada mereka. Akan tetapi kami yakin mereka masih berada di sana.”
Ji Ok
bangkit berdiri dengan muka merah padam karena marah. “Keparat, kalian berlima
kalah oleh dua orang muda? Sam Pangcu, mari kita berdua yang memberi hajaran
kepada pemuda dan gadis itu! Hayo, Ngo-sian, kalian menjadi penunjuk jalan!”
Sam pangcu
atau Ang I Sianjin segera bangkit berdiri, sementara itu Toa Ok mengangguk
menyetujui. Ji Ok dan Ang I Sianjin segera berangkat bersama Bu-tek Ngo-sian
menuruni puncak.
Akan tetapi
baru saja mereka tiba pada lereng pertama, tiba-tiba mereka melihat seorang
kakek tinggi besar dan berkepala botak, dengan sepasang golok besar yang
menempel di punggungnya. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang,
bersilang tangan di depan dada dan memandang mereka yang turun dari bukit itu
dengan senyum mengejek. Ketika dia melihat Ji-pangcu, dia tertawa bergelak lalu
berkata,
“Ha-ha-ha-ha,
kiranya Ji Ok sudah berada di sini pula! Di mana Toa Ok? Suruh dia maju
bersamamu untuk melihat siapa di antara kita yang paling lihai!”
Ji Ok
sendiri terkejut bukan kepalang melihat kakek ini. Tidak disangkanya kakek
botak ini datang demikian cepatnya. Kakek ini adalah salah satu di antara empat
datuk besar yang hendak mengadu ilmu untuk menentukan siapa datuk terkuat di
dunia.
“Aha,
kiranya Pai-ong Loa Thian Kun telah datang. Waktu untuk melakukan pertandingan
merebut julukan datuk terkuat di dunia masih beberapa hari lagi. Kami akan
menantimu di puncak Kui-liong-san seperti yang telah kita sepakati bersama.
Sekarang kami masih ada urusan lain untuk dibereskan, harap engkau tidak
menghalangi kami.”
“Ha-ha-ha,
aku datang bukan hanya untuk pertandingan itu, melainkan juga untuk melihat
Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di puncak Kui-liong-san, di tangan ketua
Kui-jiauw-pang. Siapakah ketua Kui-jiauw-pang?”
“Ketuanya
adalah kami bertiga, yaitu Toa Ok, aku sendiri dan Sam Ok yang juga berada di
sini,” jawab Ji Ok.
“Ha-ha-ha-ha,
kalau begitu kebetulan sekali. Hayo, serahkan Pek-lui-kiam kepadaku, baru aku
akan membiarkan kalian lewat!”
Ang I
Sianjin atau yang kini memakai sebutan Sam Ok menjadi marah. Dia berada di situ
bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian. Bia pun yang berada di depan mereka itu
adalah Pai-ong, namun dia tidak merasa takut. Mereka bertujuh tentu akan mampu
menandingi dan mengalahkan Pai-ong. Dia melangkah maju dan membentak,
“Enak saja
engkau meminta Pek-lui-kiam! Walau pun engkau berjuluk Pai-ong, kami tidak
takut kepadamu!”
Pai-ong Loa
Thian Kun tersenyum lebar memandang kepada kakek berjubah merah itu. “Hemm,
kalau tak salah orang-orang mengabarkan bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang
I Sianjin. Agaknya engkaulah orang itu. Kalau kalian tidak memberikan
Pek-lui-kiam kepadaku sekarang juga, maka terpaksa aku akan menghajar kalian!”
“Manusia
sombong, siapa takut kepadamu?” bentak Sam Ok dan dia segera menerjang maju dengan
pukulan yang dahsyat ke arah kepala Pai-ong.
Orang yang
diserang itu masih sempat tertawa. Akan tetapi ketika pukulan Sam Ok sudah
menyambar dekat, dia pun segera melakukan gerakan mendorong dengan tangan
kirinya untuk menyambut pukulan tangan kanan Sam Ok.
“Desss...!”
Tubuh Sam Ok
terpental sampai lima langkah! Wajah ketua ketiga dari Kui-jiauw-pang ini
terkejut sekali dan menjadi pucat karena dia merasa betapa pertemuan tangannya
dengan tangan Pai-ong telah membuat jantungnya terguncang hebat. Cepat dia
menghirup napas panjang dan menghimpun tenaga murni untuk menenangkan isi
dadanya. Maklumlah dia bahwa datuk utara ini memiliki tenaga sinkang yang amat
kuat.
Ji Ok yang
sudah tahu akan kesaktian kakek datuk utara itu segera maju selangkah. “Pai-ong,
aku yakin engkau bukanlah seorang datuk yang curang dan pengecut. Engkau sudah
tahu bahwa lawanmu adalah kami berdua, Toa Ok dan Ji Ok. Kini belum tiba
saatnya bagi kita untuk bertanding, karena Toa Ok tidak berada di sini. Kalau
engkau memang gagah perkasa, datanglah esok lusa di puncak Kui-liong-san. Kalau
ternyata engkau yang paling lihai di antara semua datuk, tentu saja engkau
berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!”
Pai-ong
tertawa. “Ha-ha-ha, engkau cerdik Ji Ok. Karena di sini tidak ada Toa Ok, engkau
merendahkan diri. Baiklah, esok lusa aku akan naik ke puncak dan kalau ternyata
akulah yang paling kuat di antara semua datuk, pedang pusaka Pek-lui-kiam harus
diserahkan kepadaku!” Setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat
Pai-ong sudah lenyap dari situ dan hanya suara tawanya yang masih terdengar,
bergema di seluruh lembah. Diam-diam Ang I Sianjin bergidik.
“Sam Pangcu,
lain kali harap engkau tidak terlalu lancang untuk turun tangan. Pai-ong itu
amat berbahaya, masih untung bahwa engkau tak terluka hebat ketika bertanding
dengan dia. Pukulannya yang menangkis seranganmu tadi adalah Hwe-ciang (Tangan
Api) yang amat dahsyat.”
Ang I
Sianjin mengangguk. “Tak kusangka dia sedemikian tangguhnya.”
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat di mana Bu-tek
Ngo-sian bertanding melawan Si Kong dan Hui Lan, pemuda dan gadis itu tidak ada
lagi di situ. Yang ada di sana hanyalah orang-orang Kui-jiauw-pang yang baru
saja selesai mengubur jenazah rekan-rekan mereka.
“Ke mana
perginya pemuda dan gadis itu?” tanya Ciok Khi kepada mereka. Melihat para
pimpinan itu marah-marah, para anggota Kui-jiauw-pang menjawab dengan
takut-takut.
“Mereka
telah pergi entah ke mana.”
“Apakah
kalian tadi menanyakan namanya?” tanya Sam Pangcu.
“Tidak, Sam
Pangcu. Kami tidak sempat bertanya.”
Ji Pangcu
dan Sam Pangcu hanya dapat memaki dan mengomel, lantas mereka semua kembali ke
puncak dengan wajah lesu.
****************
Telah dua
minggu lamanya Pek Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan di puncak Kui-liong-san. Ia
mulai tidak betah dan menyatakan kepada Leng Kun bahwa dia ingin segera pergi
dari situ.
“Jangan
tergesa-gesa dulu, Hwa-moi. Di sini kita diperlakukan dengan ramah dan hormat,
kenapa engkau menjadi tidak betah?” kata Coa Leng Kun sambil mengamati wajah
cantik itu dengan sepasang mata yang bersinar-sinar bagaikan mata seekor
harimau kelaparan memandang seekor domba.
Bwe Hwa
mengerutkan alisnya. Sudah beberapa kali dia melihat pandang mata seperti itu
dan diam-diam dia merasa tidak senang. Selama ini dia menganggap Leng Kun
seorang pendekar muda yang selain tampan juga bersikap sopan dan baik terhadap
dirinya.
Pemuda
berpakaian putih ini kelihatan seperti seorang pendekar muda yang budiman dan
gagah perkasa. Hanya kalau Leng Kun memandang kepadanya seperti itu yang
membuat dia menjadi ragu-ragu terhadap kebaikan Leng Kun. Selama ini dia
melihat pandang mata seperti itu diperlihatkan para pria yang berniat cabul
terhadap dirinya.
“Justru
karena pimpinan Kui-jiauw-pang yang bersikap terlalu baik kepadaku, aku menjadi
semakin tidak enak. Siapa tahu di balik semua sikap baik itu terkandung niat
yang keji.”
“Aih,
kengapa engkau menjadi curiga? Bukankah mereka telah berbuat baik sekali kepada
kita, terutama sekali kepadamu? Bahkan mereka telah menyerahkan pedang
Pek-lui-kiam kepadamu!”
“Hal itu
justru membuat aku bertambah curiga, Kun-ko. Bayangkan saja, mereka
bersiap-siap melawan semua orang yang datang ke sini untuk memperebutkan
Pek-lui-kiam, akan tetapi mereka bahkan menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku!
Rasanya tidak mungkin sekali, kecuali kalau mereka tidak jujur dan
menyerahkannya kepadaku agar aku tidak ikut berebutan pedang.”
“Hemmm,
kalau begitu aku tidak dapat membantahmu, Hwa-moi. Tetapi jangan sekarang kita
pergi, tunggulah beberapa hari lagi kalau mereka sedang bergembira.”
“Baiklah,
aku akan menanti sampai tiga hari, baru aku akan pergi dari sini, Kun-ko. Kalau
engkau merasa senang tinggal di sini, engkau tinggallah di sini dan aku akan
turun puncak seorang diri.”
Percakapan
itu membuat Leng Kun merasa amat gelisah. Maka dia lalu merundingkannya dengan
ketiga ketua Kui-jiauw-pang. Pada saat mereka berunding, muncullah empat orang
wakil Pek-lian-pai, yaitu Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu dan Thiat Hwa
Cu. Keempat orang pendeta Pek-lian-kauw ini menyebut diri sendiri sebagai
See-thian Su-hiap (Empat Pendekar dari Barat), dan di Pek-lian-kauw mereka
memperoleh kedudukan terhormat sebagai pembantu para pimpinan Pek-lian-pai.
Sebetulnya
mereka adalah pendeta-pendeta Tibet yang tersesat, menyimpang dari ajaran
Buddha yang berkembang di Tibet. Mereka dianggap sebagai pengkhianat dan
sesudah menjadi buronan, empat orang ini lantas masuk menjadi anggota
Pek-lian-kauw. Mereka mengenakan jubah kuning, rambut digelung ke atas dengan
tali sutera putih.
Mula-mula
Pek-lian-pai mengutus Coa Leng Kun yang menjadi anggota Pek-lian-pai juga,
supaya pergi ke Kui-jiauw-pang dan membantu Kui-jiauw-pang mempertahankan
pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sesudah Leng Kun berada di Kui-jiauw-pang, pemuda
ini mengirim utusan untuk melapor dan minta bantuan Pek-lian-pai. Maka para
pimpinan perkumpulan pemberontak itu langsung mengirim See-thian Su-hiap untuk
memperkuat Kui-jiauw-pang, sambil membawa sepasukan anak buah Pek-lian-pai.
See-thian
Su-hiap lalu menghadap para pimpinan Kui-jiauw-pang, dan pasukan Pek-lian-pai
juga mendaki puncak Kui-liong-san. Tentu saja mereka diterima dengan senang
hati dan tangan terbuka.
Munculnya
empat orang ini menyadarkan Leng Kun. “Ahh, kenapa aku hampir melupakan
kehadiran empat orang totiang di sini? Kalian dapat membantu aku!”
See-thian
Su-hiap dipersilakan duduk, dan setelah duduk Kui Hwa Cu tersenyum kepada Leng
Kun. “Coa-sicu, bantuan apakah yang dapat kami lakukan untukmu?”
“Kami baru
saja membicarakan mengenai nona Pek Bwe Hwa yang mulai curiga terhadap kita dan
ingin segera meninggalkan puncak ini. Kalau saja su-wi totiang mau membantuku
agar gadis itu tunduk kepadaku, tentu maksudku akan berhasil. Kita dapat
menahan dan mengikat gadis itu agar mau membantu kita dan tidak pergi
meninggalkan puncak.”
“Apa yang
harus kami lakukan?”
“Sebaiknya
kita merundingkan hal itu di ruangan lain, totiang. Pangcu, kami mohon pergi
meninggalkan ruangan ini untuk mencari jalan yang baik mengatasi urusan ini.”
Toa Ok
tertawa. “Ha-ha-ha, boleh saja. Aku sudah dapat menerka apa yang akan kalian
bicarakan. Memang kuda betina itu harus ditundukkan supaya menjadi jinak dan
penurut, ha-ha-ha!”
Leng Kun
mengajak See-thian Su-hiap ke ruang lain dan di situ mereka bicara. Leng Kun
minta kepada mereka yang pandai menggunakan sihir itu untuk menyihir Bwe Hwa
agar gadis itu menurut akan segala kehendaknya. Sekali Bwe Hwa sudah menjadi
miliknya, maka selanjutnya gadis itu tentu akan taat kepadanya.
***************
Malam itu
sungguh gelap dan sunyi. Tengah malam telah lewat dan hawa udara semakin
dingin. Sunyi yang mengerikan, seolah ada hal-hal aneh yang akan terjadi.
Bwe Hwa
sudah tidur nyenyak, akan tetapi tiba-tiba saja dia terbangun seperti ada yang
menggugahnya. Tadi dia bermimpi. Di dalam mimpi itu dia pesiar dengan Leng Kun
dan pemuda itu bersikap amat mesra kepadanya. Leng Kun merangkulnya dan
memeluknya. Di dalam hatinya, Bwe Hwa tidak sudi diperlakukan seperti itu, akan
tetapi sungguh aneh, dia tidak kuasa menolak, tidak dapat melawan. Akhirnya dia
dapat meronta dan terjatuh. Dan pada saat itu dia tergugah dari tidurnya.
Bwe Hwa
merasa betapa tubuhnya panas. Dia bangkit duduk lantas menghapus keringat
dengan ujung bajunya. Akan tetapi tiba-tiba saja timbul hasrat di hatinya untuk
mencari Leng Kun! Entah mengapa dia merasa rindu kepada pemuda itu. Bagaikan
orang yang bermimpi dia turun dari pembaringannya dan melangkah ke pintu kamar,
membuka pintu itu dengan perlahan, lalu dia melangkah keluar.
“Kun-ko...”
Dia berbisik.
Pada saat
dia keluar dari kamar itu hawa dingin menyergapnya dan mendadak Bwe Hwa seperti
orang tidur disiram air, gelagapan dan menjadi sadar kembali. Dia merasa heran
kenapa dia berada di luar kamarnya dan ada dorongan kuat dalam hatinya untuk
menuju ke kamar Leng Kun. Dan begitu hasrat ini tak tertahankan lagi, sadarlah
Bwe Hwa bahwa hal ini tidaklah wajar! Ada kekuatan sihir yang hendak menguasai
dirinya agar dia pergi ke kamar Leng Kun, ada hasrat tidak wajar yang
memaksanya untuk merasa rindu kepada Leng Kun.
“Jahanam...!”
bisiknya.
Dia pun
cepat menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil mengerahkan tenaga
batinnya untuk melawan kekuatan gelap itu. Sebentar saja dorongan kekuatan itu
sudah berhentu dan dia sudah benar-benar sadar kembali. Mukanya menjadi merah
ketika dia teringat betapa tadi dia merindukan kemesraan dari Leng Kun dan
kemarahan memenuhi hatinya.
Timbul
keinginan hatinya yang terdorong kemarahan untuk menggedor pintu kamar Leng Kun
lantas memakinya, karena dia menduga bahwa tentu pemuda itu yang menggunakan
sihir untuk menguasainya. Akan tetapi kesadarannya membuat dia mencegah
perbuatan ini.
“Tidak,”
katanya kepada diri sendiri. “Aku harus dapat membuktikan dulu kecurigaan ini.”
Maka dia
lalu berpura-pura masih dalam keadaan dikuasai kekuatan sihir itu dan kakinya
melangkah menghampiri pintu kamar Leng Kun. Setelah tiba di depan pintu dia
mengetuk pintu dengan perlahan, lalu memanggil.
“Kun-ko,
bukalah pintu, biarkan aku masuk.”
Daun pintu
segera terbuka karena memang tidak dikunci, dan dari dalam muncullah Leng Kun.
Akan tetapi di dalam kamar Bwe Hwa dapat melihat adanya empat tosu yang baru
beberapa hari ini menjadi tamu pula di situ. Bwe Hwa segera menyadari bahwa
empat orang pendeta itulah yang telah menggunakan sihir untuk menjebaknya.
Bwe Hwa merasa
lega bahwa ketika keluar dari kamar tadi, walau pun dia berada dalam pengaruh
sihir, kewaspadaannya membuat dia tanpa sengaja menyambar pedang Kwan-im-kiam
dan Pek-lui-kiam. Dia sudah memasang pedang Pek-lui-kiam di pinggangnya dan
memegang Kwan-im-kiam dengan tangan kanan.
“Coa Leng
Kun, apa yang kau lakukan bersama empat orang pendeta itu?!” bentak Bwe Hwa
dengan marah.
“A... apa...
maksudmu?” tanya Leng Kun dengan gelagapan karena terkejut dan bingung.
Gadis itu
sama sekali tidak berada dalam pengaruh sihir seperti yang disangkanya semula
ketika Bwe Hwa memanggilnya dan mengetuk pintu. Tadi dia sudah siap untuk
merangkul gadis itu dan menuntunnya ke dalam kamar, sama sekali dia tak mengira
Bwe Hwa akan membentak seperti itu.
“Hemm, tidak
perlu pura-pura! Engkau dan empat orang pendeta ini sudah menggunakan kekuatan
sihir untuk mencelakakan aku!” Setelah berkata demikian, Bwe Hwa menghunus
pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika pedang Kwan-im-kiam tercabut dan
terkena sinar lampu yang dipasang di tempat gelap itu.
Melihat ini
Leng Kun menjadi gentar dan dia lupa untuk bermain sandiwara. “Su-wi totiang,
tolonglah aku!”
Empat orang
pendeta Pek-lian-kauw itu tadinya juga menyangka bahwa ilmu sihir mereka pasti
akan membuat gadis itu tak berdaya. Mereka terkejut bukan main ketika mendengar
suara gadis itu di luar pintu. Mereka cepat berloncatan keluar dari kamar
sambil mencabut pedang masing-masing.....
Ketika
mereka berempat bersama Leng Kun berunding tentang Bwe Hwa, mereka segera
menyetujui untuk menundukkan gadis ini karena mereka membenci Bwe Hwa. Dari
Leng Kun mereka mengetahui bahwa Bwe Hwa adalah puteri Pek Han Siong. Padahal
Pek Han Siong adalah musuh besar mereka yang sudah membinasakan Lan Hwa Cu,
paman guru mereka. Maka mereka lalu mempergunakan siasat memancing Bwe Hwa
dalam keadaan terpengaruh sihir ke kamar Leng Kun.
Melihat
empat orang pendeta itu berloncatan kemudian mengepungnya dengan pedang di
tangan dan Leng Kun sendiri sudah mencabut senjata sulingnya, tahulah Bwe Hwa
bahwa mereka memang mempunyai niat busuk terhadap dirinya.
Melihat
empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu sudah datang mengepung Bwe Hwa, Leng Kun
berkata, “Su-wi totiang, tangkap dia hidup-hidup untukku!”
Bukan main
marahnya Bwe Hwa. Dia segera melompat ke depan untuk menyerang Leng Kun dengan
pedangnya. Akan tetapi Leng Kun cepat menghindar dan empat orang tosu itu sudah
menyerangnya dari empat penjuru.
Bwe Hwa
memutar pedangnya untuk menangkis dan dia terkejut. Ternyata empat orang tosu
itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula. Dia dapat celaka kalau dia
dikeroyok oleh mereka yang dibantu pula oleh Leng Kun,. Maka dia mengambil
keputusan dengan cepat.
Dia
menggunakan jurus terampuh dari Kwan-im Kiamsut sehingga empat orang tosu itu
terpaksa mundur karena serangan itu hebat bukan main. Kesempatan ini digunakan
oleh Bwe Hwa untuk melarikan diri, melompat keluar dari tempat itu.
“Kejar
dia...!” terdengar suara Leng Kun dan lima orang itu cepat meloncat dan
melakukan pengejaran.
Akan tetapi
gerakan Bwe Hwa cepat sekali. Biar pun cuaca hanya remang-remang disinari bulan
yang terlambat muncul, namun Bwe Hwa dapat keluar dari perkampungan itu tanpa
ada halangan. Penjagaan pada waktu larut malam itu tidak ketat lagi, para
penjaga lebih banyak yang tertidur dari pada yang terjaga. Sedikit penjaga itu
pun tidak ada yang berani menghalangi larinya Bwe Hwa karena mereka mengenal
Bwe Hwa sebagai tamu yang dihormati para ketua mereka.
Sesudah
lolos dari pintu gerbang perkampungan itu, Bwe Hwa menyelinap dan memasuki
hutan yang lebat sehingga jejaknya tidak dapat diikuti lagi oleh para
pengejarnya. Karena merasa tidak mungkin dapat mengejar gadis yang sangat lihai
itu, See-thian Su-hiap dan Leng Kun terpaksa kembali ke perkampungan
Kui-jiauw-pang dengan wajah lesu karena tidak berhasil menangkap Bwe Hwa.
Bwe Hwa
tidak berani berhenti, melainkan terus memasuki hutan itu. Dia maklum bahwa
kalau dia dapat tersusul hingga terpaksa harus melayani serangan mereka maka
dia akan kalah. Apa lagi kalau diingat bahwa di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian,
Toa Ok dan Ji Ok yang amat lihai itu.
Setelah
fajar menyingsing barulah Bwe Hwa merasa lega dan dia tidak melihat ada orang
yang memburunya. Dia mengaso di balik semak belukar dan menarik napas karena
lega. Kemudian dia meraba pedang pusaka Pek-lui-kiam yang tergantung di
pinggangnya.
Bagaimana
pun juga tidak sia-sia dia menjadi tamu Kui-jiauw-pang karena kini dia sudah
mendapatkan pedang pusaka itu. Akan tetapi dia merasa menyesal sekali atas
perbuatan Leng Kun. Dia sama sekali tak menyangka bahwa pemuda yang gagah dan
tampan, juga bersikap halus itu, ternyata hanya seekor serigala berkedok domba.
Kini dia
akan bersembunyi dahulu dan kalau sudah yakin bahwa dia tidak dikejar, barulah
dia akan menuruni puncak gunung lantas membawa pedang pusaka pulang ke
Tung-ciu, menyerahkan pedang pusaka itu kepada ayah ibunya. Ahh, betapa mereka
akan senang dan merasa bahagia! Pedang pusaka yang diperebutkan oleh seluruh
tokoh kang-ouw itu terjatuh ke tangannya dengan mudah.
Setelah
matahari menampakkan sinarnya dengan penuh, menerobos di antara celah-celah
daun pohon, Bwe Hwa pun merasa lega. Tidak ada yang mengejarnya, atau mungkin
para pengejarnya mengambil arah lain. Dia lalu keluar dari belakang semak-semak
dan hendak melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi
alangkah kaget hatinya ketika beberapa orang berloncatan dari balik pohon-pohon
dan mereka itu ternyata adalah Coa Leng Kun dan See-thian Su-hiap yang dikenal
Bwe Hwa sebagai empat orang pendeta yang membantu Leng Kun dan mengeroyoknya
semalam!
Tanpa banyak
cakap lagi Bwe Hwa mencabut pedang Kwan-im-kiam, lantas memasang kuda-kuda
untuk melakukan perlawanan mati-matian. Dia maklum akan ketangguhan para
pengeroyok ini, akan tetapi tentu saja dia tidak akan menyerah.
“Hwa-moi,
aku bermaksud baik denganmu, aku bahkan ingin memperisterimu, akan tetapi
kenapa engkau melarikan diri? Menyerahlah, Hwa-moi dan kita hidup berbahagia
sebagai suami isteri," Leng Kun mencoba untuk merayu dengan kata-kata
halus.
Akan tetapi
ucapan itu justru menambah kebencian hati Bwe Hwa. Seorang pemuda yang demikian
lembut kata-katanya, ternyata menyembunyikan watak jahat seperti iblis!
"Coa
Leng Kun, manusia jahat, sampai mati pun aku tidak akan menyerah!" Bwe Hwa
lalu menerjang dengan pedang di tangan, menyerang Leng kun dengan tusukan ke
arah dada.
"Tranggg...!"
Leng Kun
menangkis dengan sulingnya dan dia pun terhuyung karena dalam serangannya tadi
Bwe Hwa sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Bwe Hwa tidak dapat
mendesak pemuda yang terhuyung itu karena See-thian Su-hiap telah menghadang
dan mengeroyoknya.
Bwe Hwa
memutar pedangnya dan mengamuk. Akan tetapi dia segera dikepung oleh lima orang
itu dan betapa pun lihainya, dikeroyok lima orang yang tingkat kepandaiannya
telah tinggi membuat Bwe Hwa kewalahan sehingga dia segera terdesak.
Dalam
keadaan terdesak ini Bwe Hwa lalu teringat akan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Dia
teringat bahwa pedang Pek-lui-kiam merupakan pusaka yang ampuh sekali. Maka dia
pun meraih dengan tangan kirinya ke belakang punggung dan di lain saat dia
telah mencabut Pek-lui-kiam dari sarung pedang.
Nampak sinar
berkilat ketika dia mencabutnya, akan tetapi lima orang pengeroyoknya tak
menjadi gentar. Mereka mendesak terus dan Bwe Hwa segera memutar Pek-lui-kiam
di tangan kiri dan Kwan-im-kiam di tangan kanan.
Dengan
pengerahan tenaga dia menangkis hujan senjata dari lima orang pengeroyoknya
itu, dengan harapan mudah-mudahan pedang pusaka itu akan dapat merusak senjata
para pengeroyoknya.
"Tranggg...!
Tranggg...! Tranggg..!" terdengar bunyi nyaring ketika kedua pedang gadis
itu bertemu dengan empat pedang dan sebuah suling para pengeroyoknya.
Akibat
pertemuan antara senjata-senjata itu, Bwe Hwa meloncat mundur ke belakang dan
wajahnya segera berubah setelah melihat bahwa pedang di tangan kirinya itu
telah patah menjadi dua potong! Mengertilah gadis yang cerdik ini bahwa dia
telah tertipu. Pedang itu tentu pedang Pek-lui-kiam yang palsu. Jika pedang
asli tidak mungkin patah bila bertemu dengan senjata lawan. Apa bila selemah itu,
tidak mungkin pedang itu dijadikan perebutan antara orang-orang kang-ouw.
Dia pun
membuang dengan gemas sisa pedang yang tinggal sepotong itu dan kembali dia
harus mengandalkan pedang Kwan-im-kiam untuk menghadapi pengeroyokan lima orang
yang kini menyeringai seperti mengejek Bwe Hwa dengan pedang yang buntung tadi.
Tubuh Bwe
Hwa telah basah oleh keringatnya sendiri. Dia terpaksa mengerahkan tenaga
sepenuhnya secara terus menerus dan bergerak dengan cepatnya. Semua ini
menguras tenaganya dan membuat dia lelah sekali. Akan tetapi gadis perkasa ini
sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai dia tidak kuat lagi. Ia
memainkan Kwan-in-kiam-sut dan ilmu pedang inilah yang membuat dia belum juga
dapat disentuh senjata para pengeroyok.
Memang ilmu
pedang ini hebat sekali. Gerakannya lembut namun menyembunyikan daya serangan
dan daya tahan yang amat kuat. Lima orang itu mencoba mendesaknya, tetapi
mereka belum juga mampu melukai Bwe Hwa, hanya mampu mendesak saja sehingga Bwe
Hwa sering kali mundur dan gadis ini kini hanya mampu bertahan saja, tidak
sempat lagi menyerang. Dalam keadaan yang sangat gawat bagi keselamatan Bwe Hwa
itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan merdu,
"Enci
Bwe Hwa, jangan khawatir, aku datang membantumu menghadapi lima ekor anjing
ini!"
Orang yang
berseru itu ternyata adalah Tang Hui Lan. Gadis perkasa ini telah mencabut
Hok-mo Siang-kiamnya dan memutar kedua pedang itu sehingga yang nampak hanya
dua gulungan sinar hitam yang menyerbu ke arah lima orang pengeroyok itu.
Mereka
terkejut sekali dan segera berlompatan ke belakang agar dapat melihat lebih
jelas kepada gadis yang memainkan dua batang pedang hitam yang dahsyat itu.
Hui Lan kini
juga dapat memandang mereka dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat Leng
Kun. Dia mengenal pemuda berpakaian putih yang pernah membantunya ketika dia
diserang orang-orang jahat di kota Liok-bun. Dia bahkan sempat berkenalan
dengan Coa Leng Kun, pemuda yang mendatangkan kesan sebagai seorang pemuda
lihai yang sopan dan baik budi. Akan tetapi ternyata sekarang pemuda ini
mengeroyok Bwe Hwa bersama empat orang tosu yang lihai!
"Nona
Tang.., engkaukah ini?" Coa Leng Kun juga terkejut melihat Hui Lan
menegur.
"Benar
aku! Dan aku adalah saudara gadis yang kau keroyok ini!" jawab Hui Lan
sambil memandang dengan mata mencorong. Untung dia dahulu menjauhkan diri dari
Leng Kun sehingga tidak terjalin persahabatan yang lebih akrab.
"Adik
Hui Lan, engkau mengenal bangsat ini? Jangan tertipu oleh gayanya yang yang
baik dan lembut, sebenarnya dia adalah seekor serigala yang berbulu domba! Dia
amat jahat sekali, berniat busuk terhadap diriku!"
"Coa-sicu,
siapakah gadis ini?" tanya Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap
kepada Leng Kun.
“Su-wi
To-tiang, ketahuilah bahwa gadis ini adalah puteri Tang Hay, ibunya adalah
ketua Cin-ling-pai!"
"Ahhh!
Kebetulan sekali, kalau begitu mari kita bunuh dua orang gadis puteri musuh
kita ini!" bentak Kui Hwa Cu kemudian dengan marah dia menyerang Bwe Hwa
lagi.
Akan tetapi
Hui Lan yang langsung meloncat ke depan menyambut serangan Kui Hwa Cu. Dalam
beberapa gebrakan saja Kui Hwa Cu terdesak, maka dua orang rekannya segera
membantunya mengeroyok Hui Lan, sedangkan yang seorang lagi membantu Leng Kun
menghadapi Bwe Hwa.
"Kong-ko,
kenapa tidak lekas keluar membantu enci Bwe Hwa menghajar lima anjing
ini?" Hui Lan berseru dan muncullah Si Kong yang tadi datang bersama Hui
Lan tetapi hanya menonton saja di bawah pohon.
Melihat Si
Kong, Bwe Hwa girang sekali. Sambil memutar pedangnya melindungi diri dari
serangan dua orang lawannya, dia pun berseru,
"Kong-ko,
bagus sekali engkau juga datang! Mari bantu kami bereskan lima orang jahat
ini!"
"Hemm,
kulihat kalian berdua akan mudah mengalahkan mereka!" kata Si Kong.
Leng Kun dan
See-thian Su-hiap terkejut sekali. Munculnya Hui Lan saja sudah membuat mereka
kewalahan karena sepak terjang gadis ini begitu hebat. Dua batang pedangnya itu
seperti dua ekor naga saja menyambar-nyambar, membuat tiga orang di antara
See-thian Su-hiap yang mengeroyoknya menjadi kewalahan. Apa lagi kalau ditambah
lagi seorang lawan yang belum mereka ketahui kelihaiannya. Karena itu Kui Hwa
Cu merasa lebih baik kalau mereka pergi dari situ untuk minta bala bantuan.
"Pergi..!"
Kui Hwa Cu berteriak memberi komando kepada empat orang temannya sambil
melemparkan suatu benda ke depan mereka.
"Awas!
Menghindar!" teriak Si Kong. Dua gadis itu mentaati aba-aba ini, cepat
meloncat ke belakang dan berlindung di belakang pohon besar.
"Darrrr...!"
Begitu
menyentuh tanah benda itu segera meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal. Si
Kong keluar dari balik pohon dan menggunakan tenaga sinkang-nya, kedua
tangannya mendorong ke depan. Asap hitam itu seperti tertiup angin, sebentar
saja membubung ke atas sehingga tempat itu menjadi terang kembali. Akan tetapi
ternyata lima orang itu telah lenyap, tentu melarikan diri dengan lindungan
asap hitam tebal tadi.
Bwe Hwa
memandang kepada Hui Lan dan Si Kong dengan heran. Diam-diam dia merasa iri
mengapa Hui Lan dapat melakukan perjalanan bersama pemuda yang dia kagumi itu.
Padahal dahulu, dalam pertemuannya dengan Si Kong ketika dia membantu ketua Hek
I Kaipang melawan Si Kong kemudian berkenalan dengan murid mendiang Pendekar
Sadis ini, Si Kong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berkenalan lebih
lanjut karena pemuda itu segera berpamit dan pergi.
"Adik
Hui Lan dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat muncul di sini?"
"Kami
memang sedang melakukan penyelidikan ke bukit Kui-liong-san ini, enci Bwe Hwa.
Dan bagaimana engkau sampai berkelahi dengan pemuda bernama Coa Leng Kun itu
dan dikeroyok oleh empat orang pendeta itu?"
"Panjang
ceritanya, adik Hui Lan. Akan tetapi aku merasa beruntung dan berterima kasih
sekali bahwa engkau telah menolong dan membantuku. Kalau engkau dan Kong-ko
tidak keburu datang, mungkin aku akan tewas di tangan mereka."
"Aihh,
di antara kita mana ada berterima kasih segala, enci Bwe Hwa? Kami bersyukur
sekali bahwa engkau tidak terluka dalam pengeroyokan tadi. Aku pernah bertemu
dengan pemuda bernama Coa Leng Kun tadi. Dia bersikap sopan dan baik, juga ilmu
silatnya lihai sekali. Siapa kira ternyata dia adalah seorang yang berwatak
jahat."
"Aku
sendiri pun terjebak oleh sikapnya yang baik dan sopan, adik Hui Lan. Aku
secara kebetulan saja bertemu dan berkenalan dengan dia ketika aku mendekati
bukit ini. Karena sikapnya amat sopan dan baik, aku mau berkenalan dengan dia
dan bersamanya naik ke puncak bukit ini. Dia sudah mengenal ketua
Kui-jiauw-pang, maka dia lalu mengajak aku menemui para pimpinan
Kui-liong-pang. Dan benar saja, para pemimpin Kui-liong-pang itu kemudian
menerimaku dengan baik sebagai tamu yang terhormat. Bahkan mereka sudah
menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepadaku!"
"Ahhh...!"
Hui Lan berseru.
“Ternyata
semua itu bohong belaka! Hanya tipuan saja! Tadi malam empat orang tosu itu
membantu Leng Kun untuk menguasai aku dengan sihir mereka sehingga malam tadi
aku terbangun dan ada kekuatan yang menarikku supaya berkunjung ke kamar Leng
Kun. Aku menyadari akan pengaruh sihir itu maka dapat membebaskan diri dari
pengaruhnya. Akan tetapi aku pura-pura masih tersihir kemudian diam-diam telah
membawa pedangku Kwan-im-kiam dan juga pedang Pek-lui-kiam pemberian mereka.
Aku lalu mengetuk daun pintu dan memanggil Leng Kun. Pintu terbuka dan ternyata
Leng Kun berniat busuk terhadapku dan di kamarnya terdapat empat orang pendeta
itu. Aku marah dan menyerang Leng Kun, akan tetapi empat orang pendeta itu
lantas mengeroyokku dan ternyata mereka lihai juga. Maka aku terpaksa melarikan
diri sampai di sini. Sesudah fajar aku mengira mereka tidak mengejarku, maka
aku hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berlima menyusul kemari dan kembali
aku dikeroyok di sini sampai engkau muncul membantuku."
"Dan
pedang pusaka Pek-lui-kiam itu?" tanya Si Kong yang juga tertarik oleh
cerita Bwe Hwa.
"Itu
hanya pedang Pek-lui-kiam palsu!" kata Bwe Hwa, kemudian memungut pedang
yang telah patah menjadi dua potong itu. "Inilah pedang itu. Ketika
terdesak tadi aku mencabut pedang ini untuk membela diri. Ternyata pedang ini
patah ketika bertemu dengan senjata mereka!"
Si Kong
memeriksa dua potong pedang itu.
"Memang
palsu, besi biasa yang dilapisi perak sehingga mengeluarkan sinar. Jelas bahwa
semua yang kau alami itu sudah mereka atur, Hwa-moi. Untung engkau masih dapat
lolos dari siasat licik mereka. Tetapi ada baiknya juga karena pengalamanmu
sebagai tamu di puncak sana amat berharga. Engkau tentu mengetahui keadaan dan
kekuatan mereka."
"Yang
menjadi ketua Kui-jiauw-pang ada tiga orang yang menyebut dirinya Toa-pangcu,
Ji-pangcu dan Sam-pangcu. Toa-pangcu dan Ji-pangcu itu adalah Toa Ok dan Ji Ok,
dan Sam-pangcu tentu Ang I Sianjin karena dia selalu mengenakan jubah merah. Di
samping ketiga ketua ini, di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian yang lihai, dan
kini bahkan ditambah lagi dengan empat orang tosu tadi yang juga lihai. Anak
buah Kui-jiauw-pang kurang lebih berjumlah seratus orang, dan aku pernah
melihat segerombolan orang di hutan sebelah utara, mungkin anak buah empat
orang tosu itu."
“Kalau
begitu kedudukan mereka kuat sekali. Kong-ko. Ternyata mereka yang berkuasa di
puncak dan menjadi pimpinan Kui-jiauw-pang adalah Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek
Ngo-sian yang pernah mengeroyok kakek buyut Ceng Thian Sin."
"Memang
kedudukan mereka kuat sekali," kata Si Kong dengan tenang. "Dan kita
belum tahu pasti apakah Pek-lui-kiam berada di tangan mereka."
"Sudah
pasti, Kong-ko!" kata Bwe Hwa sambil menatap wajah pemuda itu dengan sinar
mata yang tajam. "Lihat saja pedang palsu ini. Jika mereka tidak menguasai
Pek-lui-kiam yang asli, bagaimana mereka bisa membuat yang palsu? Sekarang aku
baru tahu kenapa semudah itu mereka menyerahkan Pek-lui-kiam kepadaku. Kiranya
mereka hanya hendak mempermainkan aku. Semua ini tentu ulah jahanam Coa Leng
Kun itu!” Bwe Hwa dengan gemas mengepal tangan kanannya.
"Siapakah
Coa Leng Kun itu sesungguhnya? Mengapa dia memusuhimu, enci Bwe Hwa? Dan empat
orang tosu itu, dari manakah mereka?"
"Aku
sendiri tidak tahu, Lan-moi. Aku hanya mendengar darinya bahwa dia sudah yatim
piatu dan bahwa gurunya bernama Bu Beng Lojin. Entah benar atau tidak
keterangan itu. Dan mengenai empat orang tosu itu, sebelum ini aku tidak pernah
bicara dengan mereka dan tidak tahu mereka berasal dari mana."
Si Kong yang
sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu berkata, "Empat orang tosu
itu menggunakan sihir untuk mempengaruhimu, Hwa-moi. Dan melihat ilmu silat
mereka tadi, aku hampir yakin bahwa mereka adalah orang-orang
Pek-lian-kauw."
"Pek-lian-kauw
yang dipergunakan sebagai agama dan dipakai untuk menutupi kejahatan
Pek-lian-pai yang selalu mengadakan pemberontakan itu?" tanya Hui Lan
sambil menatap wajah Si Kong.
“Kalau
begitu Kui-jiauw-pang bersekongkol dengan pemberontak Pek-lian-pai?” tanya Bwe
Hwa.
“Kemungkinan
itu dapat saja terjadi. Datuk-datuk besar semacam Toa Ok dan Ji Ok telah menguasai
perkumpulan kecil seperti Kui-jiauw-pang. Untuk apa mereka melakukan itu kalau
bukan mencari pengikut dan kini bergabung dengan Pek-lian-kauw?” kata Si Kong.
“Kalau
begitu, apakah Coa Leng Kun itu anggota Pek-lian-kauw?” tanya Bwe Hwa.
“Bisa jadi,”
kata Si Kong. “Kedudukan mereka kuat sekali. Jika sekarang kita bertiga naik ke
puncak dan harus menghadapi mereka semua, tentu kita akan kalah kuat.”
“Lalu
bagaimana baiknya, apakah kita harus berdiam diri saja dan membiarkan pedang
Pek-lui-kiam di tangan orang-orang jahat seperti mereka?” tanya Bwe Hwa
penasaran.
“Tentu saja
tidak, Hwa-moi. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mereka sudah mengetahui
kehadiran kita bertiga, tentu kini mereka telah melakukan penjagaan kuat.
Sebaiknya kita menahan diri dulu, melihat perkembangan dan kita bersembunyi
dulu di dalam goa yang kami temukan di bawah lereng ini.”
“Benar, enci
Bwe Hwa. Goa itu cukup besar dan tersembunyi, baik untuk persembunyian kita
untuk sementara ini. Aku mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw akan datang ke
puncak Kui-liong-san untuk memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Biar mereka naik
dulu dan bertanding dengan pimpinan Kui-jiauw-pang. Dalam keadaan ribut-ribut
itu baru kita mendaki puncak sehingga kita tidak perlu harus menghadapi
pengeroyokan orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai,” kata Hui Lan yang
menyetujui usul Si Kong.
Demikianlah,
tiga orang muda itu menuruni lagi lereng itu dan mereka tiba di tempat yang
dimaksudkan tanpa halangan. Seperti yang dikatakan Si Kong tadi, tempat itu
merupakan tempat persembunyian yang baik sekali. Goa itu lebar dan dalam
sehingga mereka akan terhindar dari hujan dan panas, dan tidak jauh dari sana,
di sebelah kiri goa, terdapat air pancuran yang jernih sekali. Goa itu tertutup
oleh semak belukar sehingga tidak nampak dari luar.
Si Kong dan
Hui Lan menemukan goa itu tanpa sengaja. Mereka berdua tengah memburu kijang
yang sudah terluka oleh sambitan batu Si Kong, dan kijang itulah yang membawa
mereka menemukan goa itu.
Bwe Hwa juga
amat senang melihat goa itu yang lantainya telah ditutup rumput dan daun
kering. Pada malam hari mereka dapat membuat api unggun di dalam goa untuk
mengusir nyamuk dan hawa dingin. Melihat pancuran air jernih itu, Bwe Hwa ingin
sekali mandi dan bertukar pakaian.
“Kau
mandilah dulu, enci Bwe Hwa. Biar aku menyusul sesudah engkau selesai mandi,”
kata Hui Lan.
Bwe Hwa
lantas membawa pakaian bersih ke pancuran air yang tertutup semak sehingga tak
terlihat dari goa, kemudian gadis ini mandi membersihkan dirinya. Perasaan
bahagia menyelimuti perasaan hatinya sehingga tanpa terasa dia bersenandung.
Setelah Bwe Hwa pergi mandi, Hui Lan duduk berdua saja dengan Si Kong.
“Engkau
sudah mengenal baik enci Bwe Hwa, bukan? Bagaimana pendapatmu tentang gadis
itu?”
Si Kong
mengangguk.
“Mengenal
baik sih belum karena baru satu kali aku bertemu dengannya dan kami sempat
bertanding karena kesalah pahaman antara kita. Aku salah duga bahwa Hek I
Kaipang itu perkumpulan pengemis yang sesat, maka aku menyerbu ke sana. Sebaliknya
Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan Hek I Kaipang karena ketua perkumpulan itu
kenalan ayahnya dan dia sedang mencari keterangan mengenai Pek-lui-kiam. Karena
kesalah pahaman ini kami lalu bertanding akan tetapi dia segera mengenal ilmu
silatku. Demikianlah, kami baru bertemu satu kali dan berkenalan.”
“Akan tetapi
bagaimana pendapatmu tentang dia, Kong-ko?”
Si Kong
memandang tajam. “Mengapa engkau tanyakan itu, Lan-moi?”
“Karena aku
ingin tahu pendapatmu tentang dia, apakah cocok dengan pendapatku.”
Si Kong
tersenyum. “Ahhh, mudah saja menilai Bwe Hwa. Dia seorang gadis yang cantik
jelita dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia
pemberani pula.”
Hui Lan
mengangguk-angguk. “Tepat, memang dia cocok sekali dengan engkau Kong-ko.”
Si Kong
tertegun. “Cocok? Apa maksudmu, Lan-moi?”
“Maksudku
bahwa dia memang cocok dan pantas sekali untuk menjadi pasanganmu!”
Si Kong
terbelalak dan dia melihat wajah Hui Lan berubah agak kemerahan.
“Ahh, engkau
ini ada-ada saja, bicara yang tidak karuan!” dia menegur halus serius.
Akan tetapi
Hui Lan masih berkata, “Seorang pemuda seperti engkau harus mendapatkan
pasangan yang setimpal, Kong-ko. Kalau ada gadis yang pantas mendampingimu,
maka enci Bwe Hwa itulah orangnya!”
“Aihhh,
jangan begitu, Lan-moi. Engkau membuat aku menjadi salah tingkah dan merasa
malu,” kata Si Kong sambil tersenyum lebar dan menganggap gadis ini hanya
bergurau dan menggodanya saja. Akan tetapi percakapan itu terhenti karena
terdengar suara Bwe Hwa memangggil.
“Adik Hui
Lan, aku sudah selesai! Ke sinilah menggantikan aku mandi!”
Terdengar
langkah kaki Bwe Hwa yang berlari ke arah goa. Hui Lan segera bangkit dan
mengambil pakaian pengganti. Bwe Hwa muncul dengan wajah segar kemerah-merahan,
rambutnya basah terurai dan tangannya membawa pakaian bekas pakai yang tadi
telah dicucinya.
“Wah, airnya
jernih dan sejuk sekali, Lan-moi!” katanya gembira. “Benar-benar beruntung
sekali aku dapat bertemu dengan kalian.”
“Aku hendak
mandi dan mencuci pakaian. Engkau temani Kong-ko di sini, enci Bwe Hwa!” kata
Hui Lan yang cepat berlari menuju ke pancuran air.
“Ahh,
rambutku masih basah dan awut-awutan!” Bwe Hwa berkata sambil tersenyum dan menggosok-gosok
rambut kepalanya dengan sehelai kain. “Tentu jelek sekali seperti iblis betina.
Benar tidak, Kong-ko?”
Ditanya
begitu terpaksa Si Kong memandang gadis itu dan melihat rambut hitam panjang
yang terurai itu. Dia pun terpaksa menjawab sejujurnya.
“Rambutmu
indah sekali, Hwa-moi!”
“Aihh,
benarkah itu?”
“Aku berkata
dengan jujur, bukan pujian untuk menyenangkan hatimu saja.”
Bukan main
girangnya hati Bwe Hwa mendengar ucapan itu. Pemuda itu bukan merayu, melainkan
memuji sejujurnya. Wanita manakah yang tidak akan bangga dan girang kalau
dirinya dipuji, bukan sekedar rayuan melainkan pujian yang sejujurnya?
Bwe Hwa
lantas menggelung rambutnya setelah mengeringkannya dengan kain. Sungguh sedap
dipandang bila mana wanita sedang menggelung rambutnya, dengan kedua tangan
diangkat, dengan cekatan menata rambut itu. Apa lagi wanita secantik Bwe Hwa.
Sambil
menyusut mukanya dengan kain Bwe Hwa memandang kepada Si Kong. Ternyata pemuda
itu tidak memandangnya. Si Kong memang tidak berani memandang lama-lama karena
takut terpesona oleh keindahan tubuh Bwe Hwa.
“Kong-ko,
engkau dan Hui Lan tentu telah bergaul erat sekali, bukan? Engkau melakukan
perjalanan ke sini bersama-sama dan tentu sudah mengalami banyak hal bersama
pula. Sudah berapa lamakah engkau melakukan perjalanan dengan Hui Lan?”
“Kurang
lebih setengah bulan,” jawab Si Kong sebenarnya.
“Ia seorang
gadis yang amat lihai dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bukan?”
“Memang dia
lihai, mewarisi ilmu-ilmu ayah ibunya.” Kembali Si Kong menjawab dengan wajar,
namun hatinya mulai heran mengapa Bwe Hwa bicara tentang Hui Lan dan tadi Hui
Lan bicara tentang Bwe Hwa. Benar mirip sekali watak dua orang gadis ini.
Si Kong
memandang wajah Bwe Hwa dan melihat dagu yang indah itu terhias tahi lalat yang
membuat dia nampak semakin manis. Namun hanya sebentar Si Kong memandang, lalu
menunduk lagi.
“Dan dia
cantik jelita! Jarang sekali ada gadis secantik dia yang memiliki ilmu
kepandaian setinggi itu. Betulkah, Kong-ko?”
Heran bin
ajaib, pikir Si Kong. Kenapa sama benar arah percakapan Bwe Hwa ini dengan Hui
Lan tadi? Seolah-olah mereka berdua telah bersepakat untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sama. Terpaksa kembali dia menjawab sejujurnya.
“Betul,
memang dia cantik jelita dan lihai.”
“Ya, aku
tahu. Memang dia paling cocok kalau mendampingimu, menjadi pasanganmu!”
Si Kong
tertegun. Mengapa persis benar? “Apa... apa maksudmu dengan ucapan itu,
Hwa-moi?”
“Tanpa kau
akui aku pun sudah dapat menerka, Kong-ko. Dahulu engkau begitu tergesa
meninggalkan aku sehingga aku tak sempat bicara banyak. Engkau begitu angkuh!
Akan tetapi sekarang engkau melakukan perjalanan bersama Hui Lan sampai
setengah bulan. Itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bahwa engkau dan Hui
Lan saling mencinta. Benar bukan?” Bwe Hwa kini menatap wajah Si Kong dengan
tajam penuh selidik.
“Ahh, tidak
sampai demikian jauh, Hwa-moi. Kami melakukan perjalanan bersama karena
kebetulan saja, yaitu kami berdua memiliki keinginan yang sama untuk
memperebutkan Pek-lui-kiam. Harap jangan menyangka yang bukan-bukan!”
“Aihh,
Kong-ko, aku dapat melihat pandangan mata Hui Lan begitu bersinar penuh cinta
ketika memandangmu. Hui Lan mencintamu, itu sudah jelas.”
“Aku tidak
tahu akan hal itu, Hwa-moi.”
“Jangan
pura-pura, engkau sendiri juga mencintanya, bukan?”
“Ahh, aku
tidak tahu, Hwa-moi. Aku belum pernah memikirkan tentang hal itu. Aku adalah
murid mendiang Ceng Lojin, sedangkan Hui Lan adalah cucu buyutnya, maka aku
merasa seperti melakukan perjalanan dengan saudara sendiri.”
Percakapan
itu terhenti oleh panggilan Hui Lan. “Kong-ko, aku sudah selesai, engkau
mandilah!”
“Baik,
engkau kembalilah ke sini, Lan-moi. Aku akan segera menggantikanmu.”
Si Kong
menyambar buntalan pakaiannya, lalu cepat pergi dari situ ketika melihat Hui
Lan datang memasuki goa itu. Dia merasa tidak enak kalau berada di dalam goa
menghadapi dua orang gadis itu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment