Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 16
AKAN tetapi
dia berpesan pula kepada mereka agar mereka jangan sampai melukai gadis itu,
dan berhati-hati karena gadis itu lihai sekali. Para anggota Kui-jiauw-pang
yang sudah mengetahui bahwa pemuda itu adalah seorang utusan Pek-lian-pai dan
diterima dengan hormat oleh tiga orang ketua mereka, mentaati pesan Leng Kun.
***************
Pek Bwe Hwa
melakukan pendakian dengan hati-hati sekali. Dia dapat menduga bahwa
Kui-jiauw-pang tentu telah melakukan penjagaan dengan hati-hati dan tidak aneh
kalau di jalan setapak menuju puncak itu dipasangi jebakan-jebakan yang
berbahaya.
Dia
menggunakan segenap kewaspadaannya untuk menyelidiki jalan setapak itu sebelum
kakinya melangkah. Dia mematahkan sebuah ranting pohon yang cukup panjang,
lantas dengan kayu ini dia mencoba jalan di depannya. Ketika melihat di
depannya ada sepetak rumput yang menutupi jalan, dia lalu menggunakan
rantingnya untuk memeriksa.
Dia
menusukkan ujung rantingnya ke dalam rumput yang tebal itu dan tepat seperti
yang dikhawatirkannya, tongkatnya masuk dalam sekali dan merasa betapa di bawah
selimut rumput itu agaknya kosong dan merupakan sebuah lubang. Dia lalu
mengambil sepotong batu besar dan melemparkannya kepada timbunan rumput itu dan
batu itu terus masuk ke dalam lubang yang tersembunyi di bawah rumput. Maklum
bahwa di depannya terdapat jebakan lubang besar yang tertutup rumput, dia lalu
mencari jalan memutar dan meraba-raba dengan tongkatnya.
Bwe Hwa
melangkah terus dengan berani. Biar pun terdapat banyak perangkap tetapi dia
tidak takut dan melanjutkan perjalanannya dengan penuh kewaspadaan. Diam-diam
dia mengkhawatirkan nasib Leng Kun. Pemuda itu tentu menghadapi banyak
perangkap pula. Akan tetapi dia segera menenangkan hatinya. Leng Kun adalah
seorang pemuda yang tinggi ilmunya. Tentu dia dapat menjaga diri sendiri dengan
baik.
Ketika dia
menghindari jalan yang tertutup semak belukar penuh duri, tiba-tiba saja dari
dalam semak belukar itu menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya.
Bwe Hwa sudah siap siaga. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya sudah
meloncat ke atas sehingga anak panah itu lewat di bawah kakinya dan menyambar
masuk ke dalam semak-semak.
Bwe Hwa
turun dengan hati-hati dan setelah memeriksa dengan teliti, tahulah dia bahwa
tadi dia sudah menginjak sepotong kayu. Kayu ini menarik sehelai tali yang dihubungkan
dengan alat untuk melepas anak panah itu yang disembunyikan di dalam semak
belukar. Berbahaya sekali, pikirnya. Akan tetapi dia tidak merasa jeri dan
melangkah terus dengan lebih berhati-hati, selalu memperhatikan dulu sebelum
dia melangkah.
Ketika jalan
setapak yang diikutinya itu sampai di sebuah selokan ke kanan, tiba-tiba saja
berlompatan belasan orang laki-laki dari balik pohon-pohon dan semak-semak.
Lima belas orang laki-laki telah berdiri di hadapannya dan mereka semua memakai
cakar setan pada kedua tangan. Sikap mereka bengis dan menyeramkan.
Bwe Hwa
dapat menduga bahwa belasan orang itu tentu anak buah Kui-jiauw-pang, maka dia
pun bersiap untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Dia bersikap tenang saja dan
memandang kepada mereka dengan mata bersinar tajam.
Pemimpin
regu anak buah Kui-jiauw-pang itu kemudian membentak dengan suara lantang,
“Nona, siapakah engkau yang berani memasuki wilayah kami tanpa ijin? Lebih baik
Nona menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami, dari
pada kami harus menggunakan kekerasan untuk menangkapmu.”
Dengan sikap
tenang dan gagah Bwe Hwa menjawab, “Aku tak akan sudi menyerah dan silakan
kalau kalian hendak menangkapku dengan kekerasan. Hendak kulihat bagaimana
caranya kalian menggunakan kekerasan!”
Pemimpin
regu memberi aba-aba, dan lima belas orang itu mengurung Bwe Hwa seperti
belasan ekor serigala mengepung seekor domba. Akan tetapi sesudah mereka
bergerak, ternyata yang mereka kepung itu bukanlah seekor domba, namun seekor
harimau betina yang tangguh sekali.
Ketika
mereka menyerbu untuk menangkapnya, Bwe Hwa menyambut dengan tamparan dan
tendangan. Dalam segebrakan saja empat orang pengeroyok sudah terpelanting oleh
tamparan dan tendangan yang dilakukan dengan amat cepatnya.
Sebenarnya
belasan orang itu telah mendengar dari Leng Kun betapa lihainya gadis yang akan
mereka hadapi. Akan tetapi ketika tadi melihat Bwe Hwa hanya seorang dara
cantik jelita dan halus gerak-geriknya, mereka tak percaya dan mengira akan
dapat menangkap gadis itu dengan mudah. Karena memandang rendah ini, maka
dengan mudah Bwe Hwa dapat merobohkan empat orang itu. Kini barulah mereka
terkejut dan tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai. Maka legalah hati mereka
ketika Leng Kun muncul dan meloncat dekat Bwe Hwa sambil berseru,
“Kalian
mundurlah, jangan menyerang! Hwa-moi, hentikan perkelahian ini!”
Bwe Hwa
melompat ke belakang dan memandang pemuda itu dengan heran. “Mengapa, Kun-ko?
Mereka ini hendak menangkap aku!”
“Hwa-moi,
mereka adalah para anggota Kui-jiauw-pang. Para ketuanya adalah sahabat-sahabat
kakek guruku, maka harap engkau maafkan mereka yang tidak tahu ini.” Dia lalu
menoleh kepada para anggota Kui-jiauw-pang sambil membentak, “Kalian keliru
menilai orang! Hayo cepat meminta maaf kepada Pek-lihip (pendekar wanita Pek)
lalu laporkanlah kepada pimpinan kalian bahwa aku datang bersama Pek-lihiap
yang gagah perkasa ini!”
Lima belas
orang itu segera mengangkat tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata,
“Harap Pek-lihiap suka maafkan kami!”
Bwe Hwa yang
merasa heran hanya mengangguk. Sesudah belasan orang itu pergi, dia lalu
bertanya kepada Leng Kun. “Kun-ko apakah yang telah terjadi? Kenapa nampaknya
engkau berhubungan baik sekali dengan Kui-jiauw-pang?”
“Tentu
engkau merasa heran, Hwa-moi. Aku sendiri pun sama sekali tidak mengira akan
mendapat penyambutan baik dari Kui-jiauw-pang. Ketika mendaki tadi aku juga
bertemu dengan belasan orang anggota Kui-jiauw-pang kemudian aku pun dikeroyok.
Aku berhasil mengalahkan mereka lantas muncullah seorang di antara tiga orang
ketua Kui-jiauw-pang. Setelah kami bertanding, dia dapat mengenali ilmu silatku
lalu menghentikan perkelahian. Setelah kami bercakap-cakap, ternyata bahwa Toa
Pangcu dari Kui-jiauw-pang dahulunya menjadi sahabat baik kakek guruku. Dia
mengenal ilmu silat kakekku itu. Setelah dia tahu bahwa aku adalah cucu murid
kakek guruku, dia bersikap baik dan bersahabat. Bahkan ketika aku bicara
tentang pedang Pek-lui-kiam, dia mengatakan bahwa di antara sahabat pedang itu
tak perlu diperebutkan. Aku lalu teringat akan engkau, Hwa-moi. Aku khawatir
engkau akan terjebak atau dikeroyok, maka aku cepat mencarimu. Sekarang marilah
kita menghadap tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Sudah kuceritakan kepada mereka
bahwa aku datang bersama seorang sahabatku dan mereka menyatakan mau menerima
engkau sebagai sahabat pula.”
Tentu saja
Bwe Hwa menjadi bingung sekali. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa
pemegang pedang Pek-lui-kiam akan menyambutnya seperti sahabat! Ayahnya memesan
apa bila pedang berada di tangan seorang jahat maka dia harus merampasnya.
Namun kalau pedang itu menjadi milik seorang pendekar perkasa yang berbudi, dia
malah harus membantunya mempertahankan pedang itu dari incaran golongan sesat.
Dia belum tahu apakah tiga orang ketua Kui-jiauw-pang itu orang baik-baik
ataukah jahat. Akan tetapi dia akan disambut dengan baik sebagai seorang
sahabat!
“Kun-ko,
bukankah Kui-jiauw-pang adalah perkumpulan sesat dan para pemimpinnya tentu
orang-orang jahat pula?”
“Sebetulnya
mereka bukan orang-orang jahat yang suka melakukan kejahatan, Hwa-moi. Mereka
hanya menguasai seluruh rumah pelesir serta rumah judi, dan dari sana mereka
mendapatkan sebagian keuntungan. Mereka bertindak jahat terhadap penjahat, dan
soal mata pencaharian mereka itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
kita. Sikap mereka baik, maka sepantasnya kita pun bersikap baik kepada mereka.
Dan soal pedang pusaka, kukira tidak perlu menggunakan kekerasan. Kita dapat
memintanya dari mereka.”
Bwe Hwa
mengerutkan alisnya. Dia tidak dapat percaya begitu saja. Pedang Pek-lui-kiam
diperebutkan oleh banyak orang, bagaimana mungkin diserahkan kepadanya begitu
saja? Akan tetapi dia percaya kepada Leng Kun. Tak mungkin pemuda itu
membohonginya.
“Hemm, aku
ingin menemui mereka dan melihat bagaimana sikap mereka,” kata Bwe Hwa dengan
hati ingin tahu sekali.
“Kalau
begitu, marilah kita segera menemui mereka sebelum pedang pusaka itu terjatuh
ke tangan orang lain,” kata Leng Kun.
Mereka lalu
mendaki puncak bukit Kui-liong-san. Dia melihat kenyataan bahwa Leng Kun tidak
menggunakan jalan setapak, melainkan menyusup di antara pohon dan semak.
“Kenapa kita
mengambil jalan memotong seperti ini?” tanya Bwe Hwa pada waktu mereka menyusup
di antara semak berduri.
“Jalan
setapak menuju ke puncak penuh dengan jebakan, bahkan ada yang diberi racun,
maka berbahaya sekali. Aku sudah mendapat petunjuk dari ketiga orang ketua
Kui-jiauw-pang, jalan mana yang harus diambil menuju ke puncak. Jalan ini tidak
dipasangi apa-apa maka kita dapat mencapai puncak dengan aman.”
Bwe Hwa
menjadi semakin heran. “Mengapa Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua,
Kun-ko? Bukankah ketuanya adalah Ang I Sianjin?”
“Ang I
Sianjin hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua Ketiga), masih ada Ji Pangcu dan Toa
Pangcu. Marilah, Hwa-moi. Engkau akan segera dapat bertemu dan berkenalan
dengan mereka.”
Mereka maju
dengan cepat karena mereka mempergunakan ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh).
Mereka mendaki seperti orang berlari saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di
depan pintu gerbang.
Bwe Hwa
melihat ada belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang melakukan penjagaan dan
melihat Leng Kun, mereka memberi hormat dan membiarkan Leng Kun lewat.
Diam-diam Bwe Hwa semakin kagum kepada Leng Kun. Pemuda itu cerdik sekali
sehingga dia dapat diterima sebagai sahabat oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang.
Ketika
mereka memasuki ruangan besar di sebelah kiri bangunan induk yang besar, tiga
orang ketua Kui-jiauw-pang menyambut mereka dengan wajah ramah dan senyum
lebar.
“Selamat
datang di tempat kami, lihiap! Kami telah mendengar tentang kelihaianmu,
Pek-lihiap!” kata Sam Pangcu.
Bwe Hwa
memandang kepada orang yang menyambutnya itu. Dia seorang kakek berusia enam
puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan pakaiannya
serba merah. Tahulah dara ini bahwa kakek itu tentu Ang I Sianjin yang
dikabarkan orang telah membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan mencuri pedang
Pek-lui-kiam. Dan ternyata Ang I Sianjin hanya menduduki jabatan ketua ketiga
saja dari Kui-jiauw-pang.
Dia lalu
memperhatikan dua orang kakek yang tersenyum ramah itu. Diam-diam dia pun
terkejut sekali melihat sinar mata mereka yang tajam bersinar, tanda bahwa
kedua orang itu memiliki sinkang yang amat kuat. Kedua orang itu pun sambil
tersenyum mengenalkan diri.
Yang
berkepala besar dan botak, bertelinga lebar sekali serta tubuhnya gendut,
mengaku sebagai Toa Pangcu. Sedangkan orang kedua yang mengaku sebagai Ji
Pangcu, ketua kedua dari Kui-jiauw-pang adalah seorang yang menyeramkan.
Tubuhnya hanya pendek kurus, akan tetapi rambutnya panjang dan mukanya berambut
seperti muka monyet.
Kalau ketua
pertama berbaju serba putih, ketua kedua ini bajunya serba hitam. Sungguh
menyolok perbedaan warna baju tiga ketua itu. Orang pertama berbaju putih, orang
kedua berbaju hitam dan orang ketiga berbaju merah.
Mendengar
ucapan penyambutan dari Sam Pangcu yang memuji kepandaiannya itu, Bwe Hwa
membalas penghormatan mereka dan menjawab.
“Aku girang
sekali bahwa sam-wi pangcu suka menerima kedatanganku sebagai sahabat. Tentang
kelihaian itu, kukira Kun-ko terlalu melebih-lebihkan. Kebisaanku tak ada
artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian sam-wi pangcu.”
“Ha-ha-ha,
nona masih amat muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula
merendahkan diri, membuat kami kagum sekali!” kata Toa Pangcu.
“Pek-lihiap,
mari silakan duduk!” kata Ji Pangcu sambil tersenyum.
Bwe Hwa
merasa senang melihat keramahan tiga orang ketua itu. Dia lantas mengambil
tempat duduk di sebuah kursi dan tiga orang ketua itu turut duduk sambil
mempersilakan Leng Kun. Mereka semua duduk mengelilingi meja. Sam Pangcu lalu
bertepuk tangan dan berdatanganlah pelayan-pelayan wanita, membawa bermacam
makanan serta minuman. Kiranya semua itu memang sudah dipersiapkan.
Melihat ini
tahulah Bwe Hwa bahwa dia hendak dijamu makan, maka dia mengerutkan alis dan
menolak. “Sam-wi pangcu, aku tidak akan lama berada di sini, dan jangan
merepotkan sam-wi.”
“Ahh, mana
bisa begitu, lihiap? Kami telah mendapatkan kehormatan dengan datangnya Pek-lihiap
dan Coa-sicu, maka untuk menyatakan kegembiraan kami, kami menyuguhkan sekedar
makanan dan minuman untuk ji-wi (kalian berdua). Nanti sesudah makan minum
barulah kita bicara tentang keperluan ji-wi datang ke tempat ini,” kata Toa
Pangcu.
Leng Kun
yang duduk di sebelah kiri Bwe Hwa memandang kepada gadis itu dan berkata
lirih, “Hwa-moi, mereka telah bersikap baik sekali kepada kita, sungguh tidak
enak jika kita menolak hidangan mereka.”
Bwe Hwa
terpaksa mengangguk dan berkata, “Kedatangan kami hanya merepotkan sam-wi
saja.”
Mereka lalu
makan minum. Mula-mula Bwe Hwa bersikap hati-hati sekali, tidak mau lebih dulu
menyentuh hidangan. Sesudah melihat pihak tuan rumah makan, barulah dia berani
mengambil hidangan dan ikut makan. Dia selalu waspada dan menjaga diri jangan
sampai dia tertipu dan keracunan.
Setelah
mereka selesai makan dan Sam Pangcu memerintahkan beberapa pelayan untuk
membersihkan meja, Toa Pangcu lalu berkata kepada Bwe Hwa dan Leng Kun.
“Nah, kini
tiba saatnya bagi kita untuk bicara. Kalau boleh kami mengetahui, sebenarnya
apakah yang menjadi keperluan ji-wi datang berkunjung ke Kui-liong-san?”
Leng Kun dan
Bwe Hwa saling pandang dan Leng Kun memberi isyarat kepada Bwe Hwa agar gadis
itu yang menjawab pertanyaan Toa Pangcu itu. Bwe Hwa mengangguk dan dia pun
memandang tajam kepada tiga orang ketua yang duduk di hadapannya.
“Begini,
sam-wi pangcu. Sudah lama kami mendengar akan adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam
dan bahwa banyak tokoh kangouw ingin memperebutkan Pek-lui-kiam. Kami juga
mendengar bahwa pedang pusaka itu berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Nah,
karena itulah terus terang saja kami menjadi tertarik dan ingin pula
memperebutkan pusaka itu.” Sesudah berkata demikian, sepasang mata yang
mencorong dari gadis itu menatap wajah ketiga orang ketua.
“Hemmm,
dengan alasan apakah engkau hendak merebut pusaka itu, Pek-lihiap?” tanya Sam
Pangcu.
“Dengan
alasan bahwa pusaka seperti itu tidak boleh jatuh ke tangan orang jahat, karena
hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat. Dahulu, pada waktu pusaka itu
berada di tangan pendekar Tan Tiong Bu, tidak ada yang merasa penasaran dan aku
pun tak akan mengganggunya. Namun Tan Tiong Bu telah terbunuh dan menurut
kabar, pembunuhnya adalah Sam Pangcu ini. Tentu Sam Pangcu lebih mengetahui
akan hal itu. Nah, sesudah mendengar bahwa pendekar Tan terbunuh oleh ketua
Kui-jiauw-pang dan pedang Pek-lui-kiam terampas, maka aku datang ke sini untuk
menyelidiki kebenaran berita itu.” Kini Bwe Hwa memandang tajam wajah kakek
berbaju merah itu.
“Ha-ha-ha-ha!”
Toa Pangcu tertawa bergelak, perutnya yang gendut bergerak-gerak dan kepalanya
yang besar itu digeleng-gelengkannya. “Tak kami sangkal bahwa Pek-lui-kiam
memang berada di tangan kami, tetapi kami tidak ingin berhadapan dengan ji-wi
sebagai musuh. Kami sudah menerima kalian sebagai sahabat dan tamu terhormat.
Apa lagi Coa-sicu ini adalah cucu seorang sahabat baik kami di waktu dulu.
Kalau memang lihiap dan sicu menghendaki Pek-lui-kiam, maka kami akan
menyerahkan pusaka itu dengan suka rela. Akan tetapi, sebagai imbalannya, kami
mengharap ji-wi suka membantu kami dalam ancaman bahaya yang kami hadapi
sekarang.”
Bwe Hwa
saling pandang dengan Leng Kun, kemudian pemuda itu bertanya kepada Toa Pangcu.
“Toa Pangcu, harap jelaskan dulu ancaman bahaya apa yang sam-wi hadapi?”
“Semua
gara-gara Pek-lui-kiam itu. Kini banyak orang kangouw mendatangi bukit ini dan
kami merasa khawatir bahwa kami bertiga tidak akan mampu melawan mereka. Karena
itu kami harapkan ji-wi suka membantu kami menghadapi mereka dan setelah itu
Pek-lui-kiam tentu akan kami serahkan kepada lihiap.”
Bwe Hwa
mengerutkan alisnya. “Akan tetapi mengapa Ang I Sianjin atau Sam Pangcu
membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam?” tanyanya.
Sam Pangcu
menghela napas panjang. “Memang antara Tan Tiong Bu dan aku terdapat permusuhan
pribadi yang amat besar. Pedang Pek-lui-kiam itu dahulu dia gunakan untuk
membunuh keluargaku, maka aku membalas dendam dan merampas Pek-lui-kiam. Baru
aku mendengar bahwa orang-orang kang-ouw hendak memperebutkan pusaka itu.”
“Kalau kami
membantu kalian, pedang pusaka itu akan diserahkan kepadaku?” tanya pula Bwe
Hwa.
“Sekarang
juga akan kami serahkan jika lihiap berjanji akan membantu kami menghadapi
mereka yang hendak merebut Pek-lui-kiam dari tangan kami.”
Kesangsian
Bwe Hwa segera lenyap. “Kalau begitu aku berjanji untuk membantu sam-wi, asal
pedang pusaka itu diserahkan kepadaku sekarang.”
“Ha-ha-ha,
agaknya lihiap belum percaya benar kepada kami, tetapi sebaliknya kami telah
percaya penuh kepada lihiap. Lihiap menghendaki pedang pusaka itu diserahkan
dahulu? Baik, kami akan serahkan sekarang juga!”
Toa Ok atau
sebagaimana Bwe Hwa mengenalnya sebagai Toa Pangcu menggerakkan tangan kanan ke
bawah jubah putihnya dan ketika tangan itu keluar dari balik jubah, dia telah
memegang sebatang pedang yang masih berada dalam sarung pedang. Dia segera
menyerahkan pedang itu kepada Bwe Hwa.
“Terimalah
Pek-lui-kiam ini, lihiap!”
Girang bukan
main rasa hati Bwe Hwa. Tak pernah disangkanya bahwa dia akan dapat memiliki
Pek-lui-kiam sedemikian mudahnya. Dia cepat menerima pedang itu. Akan tetapi
dia tidak mau ditipu. Harus diperiksanya dulu pedang itu, baru dia akan
percaya.
Bwe Hwa
mencabut pedang itu dari sarung pedang dan nampaklah sinar berkilauan ketika
pedang tercabut. Pedang itu amat indah dan mengeluarkan sinar yang menyilaukan
mata. Bwe Hwa menimang-nimang pedang itu dan wajahnya berseri-seri.
“Pek-lui-kiam...!”
Gadis itu berseru girang.
Dia belum
pernah melihat Pek-lui-kiam, akan tetapi pedang itu mengeluarkan cahaya kilat
dan merupakan pedang pusaka yang indah sekali. Maka dia percaya dan
menyarungkan kembali pedang itu.
“Terima
kasih, sam-wi pangcu. Jangan khawatir, kalau ada orang berani datang ke sini
untuk merampas pedang ini, aku akan membantu sam-wi melawannya. Juga Kun-ko
tentu dengan senang hati akan membantu juga, bukan?”
Leng Kun
memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, tanda bahwa dia merasa
gembira sekali dan tidak merasa iri hati melihat betapa Bwe Hwa menerima
Pek-lui-kiam itu.
“Tentu saja,
Hwa-moi. Kita akan tinggal di sini selama satu bulan. Selama itu kita berdua
akan membantu Kui-jiauw-pang menghadapi musuh yang hendak mencuri atau merampas
pedang!”
Bwe Hwa
mengerutkan alisnya. Satu bulan? Terlampau lama baginya. Akan tetapi karena
pedang pusaka telah diserahkan kepadanya, dia pun merasa tidak enak kalau
menolak. Demikianlah, mulai hari itu Bwe Hwa mendapatkan sebuah kamar di
bangunan induk itu. Begitu pula Leng Kun mendapatkan sebuah kamar yang
berdekatan dengan kamar Bwe Hwa.
Biar pun
pedang pusaka Pek-lui-kiam sudah berada di tangannya dan pihak tuan rumah
kelihatan bersikap baik amat kepadanya, namun Bwe Hwa masih bersikap waspada
dan berhati-hati. Bahkan pada malam pertama dia sudah memperingatkan Leng Kun
sebelum mereka memasuki kamar masing-masing.
“Kun-ko,
kuharap engkau waspada, jangan sampai kita terjebak.”
“Aihh,
Hwa-moi. Siapa yang akan menjebak kita?”
“Siapa lagi,
tentu pimpinan Kui-jiauw-pang.”
“Ahh,
mengapa kita harus curiga kepada mereka, Hwa-moi? Mereka bersikap baik sekali
kepada kita, bahkan Pek-lui-kiam telah diserahkan kepadamu. Aku sudah percaya
penuh terhadap tiga orang ketua itu, Hwa-moi.”
“Syukurlah
kalau mereka benar-benar baik kepada kita. Walau bagaimana pun juga kita harus
berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Siapa tahu kebaikan mereka
itu ada pamrih yang tersembunyi?”
“Baik,
Hwa-moi, aku akan berhati-hati. Akan tetapi tidak perlu mencurigai mereka.
Mereka sudah berbuat baik terhadap kita, kalau kita membalasnya dengan
kecurigaan, bukankah itu kurang adil?”
“Maksudku
bukan mencurigai siapa pun, hanya kita harus tetap waspada dan berhati-hati
karena bahaya dapat datang dari mana saja.”
“Baik,
Hwa-moi, selamat tidur.”
Mereka
memasuki kamar masing-masing, akan tetapi tak lama kemudian Leng Kun keluar
dari kamarnya untuk mengadakan perundingan rahasia dengan para pimpinan
Kui-jiauw-pang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh
Bwe Hwa. Dia tidak menyadari bahwa apa yang dikhawatirkannya itu bahkan datang
dari orang yang paling dipercayanya saat itu.
Malam itu
bulan purnama nampak terang karena tidak ada awan menutupinya. Rembulan
menebarkan sinarnya yang lembut, mendatangkan pemandangan yang indah tetapi
penuh rahasia. Di tempat-tempat tertentu yang sunyi senyap, cahaya itu justru
membuat tempat itu menjadi seram, mendatangkan bayangan khayal yang bukan-bukan
dan menakutkan.
Demikian
pula keadaan di sekitar puncak Kui-liong-san. Hutan-hutan di sekeliling puncak,
di lereng-lereng itu jarang didatangi manusia dan nampak sunyi sepi menyeramkan
pada malam bulan purnama itu.
Tak jauh
dari puncak, dalam hutan cemara yang tidak begitu lebat sehingga cahaya bulan
dapat menerangi tanah di bawah pohon-pohon cemara itu, memang sunyi sekali.
Hanya suara jengkerik dan belalang yang memenuhi tempat itu.
Menjelang
tengah malam, tiba-tiba suara jengkerik dan belalang itu terdiam. Lalu nampak
sesosok bayangan manusia berjalan ke depan memasuki hutan itu. Gerakan inilah
yang telah menghentikan suara jengkerik dan belalang itu.
Dari jauh
bayangan itu kelihatan hitam dan menyeramkan. Tentu orang akan menyangka dia
siluman atau setan, berjalan seorang diri di waktu malam seperti itu. Akan
tetapi kalau orang berada di dekatnya, tentu akan melihat bahwa dia seorang
manusia, sudah berusia enam puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang saja, tapi
wajahnya masih kelihatan tampan. Pada punggungnya tergantung sebatang pedang.
Ketika
melihat sebuah batu besar yang datar, orang itu berhenti melangkah, lalu sekali
bergerak tubuhnya sudah bersila di atas batu besar. Dia duduk dan diam tidak
bergerak seolah telah berubah menjadi arca di atas batu itu. Jengkerik dan
belalang mulai bersuara lagi, riuh rendah seperti merayakan keindahan malam
bulan purnama itu.
Kakek ini
tidak tahu jika di belakangnya, di balik semak belukar, terdapat dua orang yang
juga melewatkan malam di tempat itu. Mereka kini mengintai dari balik
semak-semak.
“Wah, itu
ayahku...!” bisik Siangkoan Cu Yin kepada temannya yang bukan lain adalah Tio
Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Dari
Timur).
Kedua orang
muda ini melakukan perjalanan bersama untuk ikut memperebutkan pedang pusaka
Pek-lui-kiam di bukit Kui-liong-san. Mereka kemalaman dan terpaksa melewatkan
malam di hutan cemara itu. Dua orang muda yang lihai ini dapat mencapai tempat
itu dan menghindarkan diri dari jebakan yang dipasang di sepanjang jalan.
Karena hutan
cemara itu sudah dekat dengan puncak, mereka ingin melewatkan malam di tempat
itu dan besok baru mendaki puncak. Agar tidak kelihatan para penghuni puncak,
mereka memilih tempat yang tersembunyi di balik semak-semak itu.
Mereka
dikelilingi semak belukar sehingga tidak akan dapat terlihat dari arah mana
pun. Bahkan mereka tidak berani membuat api unggun, hanya menggunakan sinkang
mereka untuk menahan serangan hawa dingin. Selagi mereka bersembunyi itulah
mereka melihat gerakan orang yang kini duduk di atas batu besar. Siangkoan Cu
Yin langsung mengenali ayahnya.
Tio Gin
Ciong adalah putera datuk besar dari timur. Akan tetapi melihat datuk besar
dari selatan ini, dia pun merasa jeri. Dia sudah melakukan perjalanan dengan
puteri datuk itu, maka dia khawatir kalau datuk itu marah-marah.
“Ssttt...
itu di sana ada gerakan orang. Kita lihat saja dulu...,” bisik Gin Ciong lirih.
Siangkoan Cu
Yin mengangguk dan dia pun lalu melihat gerakan orang-orang di depan,
orang-orang yang merangkak mendekati batu yang diduduki oleh ayahnya. Dia juga
tidak tergesa-gesa menegur ayahnya, takut kalau ayahnya marah melihat dia
bersama seorang pemuda di hutan yang sunyi itu pada malam hari.
Kini orang-orang
yang merangkak sudah tiba dekat. Ternyata mereka adalah lima orang anggota
Kui-jiauw-pang. Melihat ada orang yang berani memasuki tempat itu, lima orang
anggota Kui-jiauw-pang ini lantas mengintai. Akan tetapi mereka tidak berani
turun tangan karena cuaca yang remang-remang membuat mereka tidak dapat melihat
wajah kakek itu dengan baik. Karena itu mereka hanya melakukan penjagaan saja,
ingin melihat apa yang akan dilakukan orang itu kalau malam sudah berganti
pagi.
Melihat
kelima orang itu hanya bersembunyi dan tidak melakukan gerakan apa pun, Gin
Ciong segera berbisik. “Kita bersembunyi saja, tunggu perkembangan lebih
lanjut. Engkau tidurlah, aku akan berjaga.”
Siangkoan Cu
Yin mengangguk. Petak rumput yang dikelilingi semak belukar itu cukup lebar,
ada tiga meter persegi. Dia lalu merebahkan dirinya di atas rumput. Diam-diam
dia berpikir mengapa ayahnya berada di tempat itu.
Dia merasa
yakin bahwa ayahnya tentu sudah mengetahui gerakan lima orang tadi, akan tetapi
sengaja diam saja. Kalau dia dan Gin Ciong tentu belum diketahui ayahnya.
Mereka sama sekali tidak bergerak dan bicara pun bisik-bisik, tentu bisikan
mereka tertutup oleh suara jengkerik dan belalang yang riuh rendah itu.
Sambil
merebahkan dirinya Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dari samping. Seorang
pemuda yang baik dan ramah kepadanya, dan dia dapat menduga bahwa putera datuk
besar dari timur ini jatuh hati kepadanya. Ucapan, gerak-gerik dan pandang mata
pemuda itu membuka semua rahasia hatinya.
Dia suka
mengadakan perjalanan bersama pemuda ini, sebagai sahabat karena dia sama
sekali tidak mencintainya. Hatinya telah dipenuhi dengan bayangan Si Kong dan
agaknya tidak mungkin dia dapat mencinta laki-laki lain. Di manakah kini Si
Kong berada? Menurut perkiraannya, tentu pemuda itu juga berada di sekitar
tempat ini.
Jantungnya
berdebar penuh ketegangan kalau dia membayangkan dapat bertemu dengan Si Kong
di Kui-liong-san. Sebenarnya inilah yang menariknya sehingga dia mau pergi ke
Kui-liong-san bersama Gin Ciong. Harapan bertemu dengan Si Kong!
Malam yang
amat indah itu lewat dengan cepatnya. Cahaya bulan segera memudar begitu
matahari menggantikan singgasananya. Cu Yin sudah bangun dari tidurnya. Dia
melihat Gin Ciong duduk bersila seperti orang sedang bersemedhi. Pemuda ini langsung
menoleh ketika mendengar gerakan Cu Yin.
“Engkau bisa
tidur nyenyak?” tanya Gin Ciong.
Cu Yin
menganguk. “Kenapa engkau tidak mengaso dan tidur, Ciong-ko?”
“Aku sudah
cukup beristirahat, akan tetapi ayahmu masih belum bergerak, agaknya masih
tenggelam dalam semedhinya.”
Cu Yin
memandang ke arah ayahnya. Jarak antara mereka dan Lam Tok Siangkoan Lok kurang
lebih lima puluh meter. Benar saja seperti yang dikatakan Gin Ciong, orang tua
itu masih duduk seperti semalam, sedikit pun tidak bergerak seperti orang
tidur.
“Jangan
ganggu dia, kita lihat saja perkembangannya. Ayahku datang ke tempat ini tentu
ada maksudnya. Mungkin dia hendak turun tangan sendiri untuk merampas
Pek-lui-kiam. Orang-orang yang mengintai itu apakah masih ada?”
“Masih ada,
bahkan sekarang jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Akan tetapi mereka belum
turun tangan dan hanya mengintai. Itu di belakang semak belukar itu, dan ada
pula yang berada di balik pohon besar.”
“Aku yakin
ayahku telah melihat mereka atau sudah mengetahui bahwa ada orang-orang
mengintainya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Ayah paling benci kalau
ada orang bermaksud menolongnya.”
Gin Ciong
mengangguk. Sekarang mereka berdua menunggu dan mengintai dengan hati tegang.
Apa lagi saat mereka melihat sepuluh orang itu perlahan-lahan keluar dari
tempat pengintaian mereka lantas berindap menghampiri Lam Tok dari belakang,
seperti sepuluh orang pemburu hendak menyergap harimau. Kuku-kuku cakar setan
yang disambung di tangannya itu berkilauan saking tajam dan runcingnya.
“Ayahmu
terancam bahaya,” bisik Gin Ciong.
Cu Yin
tersenyum mengejek. “Bukan ayah, tapi sepuluh orang itu yang akan mampus!”
Dengan
hati-hati sepuluh orang itu menghampiri Lam Tok yang nampaknya masih tidak tahu
apa-apa dan sedang tidur sambil duduk bersila. Setelah para anggota
Kui-jiauw-pang itu berada dalam jarak sepuluh meter, tiba-tiba serentak mereka
menyambitkan senjata rahasia ke arah punggung Lam Tok. Senjata rahasia mereka
itu adalah pisau belati yang berwarna menghitam, tanda bahwa pisau itu telah
direndam racun yang amat ganas.
Hampir saja
Gin Ciong berteriak, akan tetapi tangan Cu Yin sudah menyentuh tangannya dan
ketika dia menengok, Cu Yin menggeleng kepalanya. Gin Ciong segera memandang
lagi ke depan. Dia melihat betapa pisau-pisau itu beterbangan mengarah tubuh
belakang Lam Tok. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mengelak mau pun
menangkis!
“Tuk-tuk-tuk...!”
Terdengar
suara nyaring ketika pisau-pisau terbang itu mengenai punggung Lam Tok dan
senjata rahasia itu pun runtuh seakan-akan yang dijadikan sasaran adalah baja
yang kuat sekali.
Gin Ciong
terbelalak dan kagum sekali. Orang tua itu ternyata mempunyai kekebalan luar biasa
dan sungguh berani menerima pisau terbang yang mengandung racun itu dengan
punggungnya! Tetapi dia segera teringat akan julukan datuk itu, Lam tok (Racun
Selatan). Dari nama julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa dia tentulah
seorang ahli racun, maka berani membiarkan punggungnya diserang pisau-pisau
beracun.
Para anggota
Kui-jiauw-pang menjadi marah dan penasaran sekali melihat betapa orang yang
mereka jadikan sasaran itu tidak roboh ketika terkena pisau-pisau beracun,
bahkan pisau-pisau itu runtuh ke atas tanah. Mereka cepat berloncatan menyerbu.
Yang mereka serang adalah bagian belakang tubuh datuk itu, dari kepala sampai
ke bawah punggung.
Tiba-tiba
saja datuk yang bersila seperti arca tanpa bergerak-gerak itu membuat gerakan
dengan kedua tangannya digerakkan ke belakang. Nampak sinar berkilat ketika
dari dua tangannya menyambar empat batang panah tangan.
Terdengar
teriakan keras saat empat orang di antara para penyerbu itu terpelanting roboh
lantas tewas seketika karena anak panah itu mengandung racun yang mematikan.
Enam orang yang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka segera menubruk ke
depan dengan nekat.
“Hemmm...!”
Kakek itu mengeluarkan gerengan, lantas tubuhnya berputar dalam keadaan masih
duduk bersila.
Ketika
cakar-cakar setan itu menyambar ke arah tubuhnya, Lam Tok menyambut dengan
kedua tangannya. Jari-jari tangannya membentuk cakar burung garuda dan begitu
kedua tangannya bergerak, dia sudah mencengkeram cakar-cakar setan itu. Sekali
cengkeram, cakar-cakar setan itu berikut tangannya menjadi hancur!
Enam orang
anggota Kui-jiauw-pang berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Akan
tetapi mereka segera mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan tangan mereka yang
ikut hancur bersama cakar setannya, kemudian mereka roboh bergulingan saking
nyerinya.
Ternyata
tangan mereka bukan hanya hancur dicengkeram, tetapi juga sudah keracunan hebat
yang menjalar dengan cepat menuju ke jantung! Tak lama mereka berkelojotan,
lalu diam tak bergerak lagi. Maka tewaslah sepuluh orang anak buah
Kui-jiauw-pang itu dalam keadaan yang mengerikan.
Lam Tok masih
duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar di mana Cu Yin dan Gin
Ciong bersembunyi. Lalu terdengarlah suaranya yang galak. “Kalian berdua yang
bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat jika kalian tidak ingin mampus seperti
mereka itu!”
Gin Ciong
terkejut bukan kepalang sehingga jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu
Yin berkata kepadanya, “Ciong-ko, mari kita keluar menemui ayahku.”
Gadis itu
kemudian meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Dia segera
menghampiri ayahnya dan berkata dengan manja.
“Ayah...!”
Lam Tok
membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada
pundaknya dengan gaya manja sekali. “Hemmm, kau anak nakal! Mau apa engkau
bersembunyi di sana? Dan siapa pula pemuda itu?” Dia menuding ke arah Gin Ciong
yang telah mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil memberi hormat
dengan tubuh membungkuk.
“Dia adalah
kenalanku yang baru, Ayah. Kami sedang melakukan perjalanan ke Kui-liong-san
untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Engkau tentu tidak dapat menebak
siapakah adanya pemuda ini!”
Lam Tok
memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sambil
tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula. “Ayah, aku hendak menguji kecerdikan
Ayah. Coba Ayah menebak siapa pemuda ini, kalau berhasil menebak aku akan
melakukan apa saja sekehendak hati ayah tanpa membantah, akan tetapi jika tidak
dapat menebak, maka Ayah harus merampaskan Pek-lui-kiam untukku!”
Lam Tok
menggumam, “Hemm, apa sukarnya?” tubuhnya yang tadi duduk bersila di atas batu
tiba-tiba telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong.
“Sambutlah!”
serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar ke arah muka
Gin Ciong.
Cepat dan
kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar hingga Gin Ciong menjadi terkejut
sekali. Akan tetapi sejak kecil pemuda ini sudah digembleng ilmu silat oleh
ayahnya, maka dia memiliki gerakan yang sangat cepat. Begitu ujung lengan baju
menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali.
“Locianpwe...
apa kesalahanku...?” dia menegur.
“Tak usah
banyak cakap. Sambutlah ini...!” Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini
dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali.
Gin Ciong
maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh
seperti ayahnya. Aneh, tidak pedulian dan dapat pula bersikap sangat kejam
seperti yang sudah diperlihatkan Lam Tok terhadap semua anak buah
Kui-jiauw-pang. Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol.
Kembali Gin
Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri
dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit
sekali seperti seekor lutung, kadang kala dia bergulingan dan berloncatan untuk
menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang
menyambar-nyambar.
“Ayah tidak
boleh membunuhnya. Jika Ayah membunuh atau melukai, berarti Ayah kalah
bertaruh!”
Lam Tok
tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak makin cepat. Beberapa kali
Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu
tidak mampu menolongnya, pemuda itu kemudian mengeluarkan suara memekik nyaring
lantas dia mengubah ilmu silatnya.
Ilmu silat yang
dimainkannya sangat dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan
merupakan serangan maut! Dia sudah memainkan ilmu silat simpanannya yaitu
Giam-ong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Raja Maut), ada pun pekikan tadi menunjukkan
bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)!
“Dukkk!
Desss...!”
Pertemuan
antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan tubuh
pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dia dapat menguasai dirinya
sehingga tak sampai terjengkang. Lam Tok berdiri tegak, lalu bertolak pinggang
dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa
bergelak.
“Ha-ha-ha-ha,
dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!”
Cu Yin yang
cerdik segera tahu bahwa tadi ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu
silatnya dan melalui ilmu silat inilah ayahnya mengenal siapa adanya pemuda
itu. Akan tetapi dia pura-pura mengejek untuk menyenangkan hati ayahnya.
“Ayah tidak
akan tahu. Hayo siapa dia kalau Ayah sudah menegetahuinya?”
“Pemuda ini
tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan
Timur!”
“Ayah
ngawur! Bagaimana Ayah dapat mengetahuinya? Ayah tentu asal menebak saja!” kata
puterinya.
“Hemm, anak
nakal. Apa kau kira engkau sendiri yang cerdik dan banyak akal? Ayahmu lebih
cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa mengeluarkan
ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa dia menggunakan ilmu silat milik
Tung-giam-ong.”
“Akan
tetapi, setiap orang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat
itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?”
“Saat dia
memainkan Hek-wan-kun ilmu silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid
Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga
dia pun terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan
mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia sanggup bertahan ketika mengadu
tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu
simpanan itu, maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu.”
Gin Ciong
yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa sangat kagum kepada Lam Tok.
Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan dia bertanya
kepada ayahnya.
“Aku sudah
kalah, dan Ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!”
Lam Tok
terawa sambil mengelus jenggotnya, lantas memandang kepada Tin Gin Ciong,
“Siapa namamu?”
“Saya
bernama Tio Gin Ciong, locianpwe.”
“Mana
ayahmu? Apakah dia belum datang?”
Gin Ciong
menjadi bingung. “Saya... saya tidak tahu kalau ayah akan datang ke sini.”
“Dia tentu
datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si
Pengecut!”
Gin Ciong
diam saja, tidak berani menjawab, takut kalau dia salah bicara. Datuk ini lalu
memandang puterinya. “Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?”
Pertanyaan
ini seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah
tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya.
Kalau dia yang ditanya apakah mencinta Cu Yin, tentu seketika itu pula akan
dijawabnya dengan anggukan kepala!
“Ayah ini
mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!” kata Cu Yin pura-pura marah.
“Cu Yin,
sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan janjinya
tidak dapat dipercaya? Engkau sudah kalah bertaruh denganku sehingga harus
menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin
Ciong, tapi engkau telah membantah dan tidak segera menjawab!”
“Ayah, aku
ingin menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin
Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!”
Dengan sikap
menantang Cu Yin memandang ayahnya. Dia sudah mengenal benar watak ayahnhya
yang tidak akan pernah mundur menghadapi tantangan apa pun dan dari siapa pun
juga.
Lam Tok
mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke
arah wajah puterinya, lalu menjawab, “Hemm, ketika memandang Gin Ciong di
matamu sama sekali tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta. Meski pada
lahirnya disembunyikan, namun seorang wanita yang mencinta seorang pria tidak
mungkin dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya saat dia
memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!”
Tentu saja
Gin Ciong merasa jantungnya seperti ditusuk ketika mendengar ucapan yang terus
terang antara anak dengan ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya? Dia
sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya.
Walau pun
dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang
menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat
muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian. Dia pun ingin sekali mendengar
jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua
itu.
Cu Yin
memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati
pemuda itu, maka dia pun berkata dengan lembut. “Ciong-ko, kuharap engkau dapat
mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Aku tidak mungkin dapat berbohong
terhadap ayah,” lalu dia menoleh kepada ayahnya dan berkata, “Ayah memang
benar, aku kagum pada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku
tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria.”
Lam Tok
menghela napas panjang. “Sayang sekali, kalau engkau berjodoh dengan putera
Tung-giam-ong maka hal itu bagus sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan
yang saling bertentangan. Engkau sudah mendengar sendiri ucapan anakku, Gin
Ciong. Bagaimana dengan keputusanmu? Engkau mencinta anakku, hal itu sudah
jelas nampak pada wajahmu!”
Gin Ciong
memberi hormat kepada Lam Tok. “Saya sudah tahu, locianpwe. Biar pun saya sudah
jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun dia tidak mencintaku,
hanya suka bersahabat denganku. Saya tahu benar bahwa dia mencinta seorang
pemuda lain yang bernama Si Kong. Akan tetapi saya tidak putus asa, saya
mengharapkan akan tiba saatnya cinta Yin-moi kepadaku akan berubah.” Gin Ciong
memandang kepada Cu Yin dengan mesra.
“Hemmm,
benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin? Orang
macam apakah dia itu?”
“Aku memang
mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, Ayah.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!”
Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus
jenggotnya. Dia terlihat gembira bukan main. “Bukan puteri Lam Tok kalau tidak
dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan
hati, tak perlu dipertanyakan lagi. Tapi engkau juga membencinya, hal itu tentu
ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?”
“Habis, dia
tidak menyambut uluran cintaku, Ayah. Dia berani menolak cintaku, kemudian
menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal dia selalu
bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa
aku wanita.”
Lam Tok
mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemmm..., keparat! Bagaimana mungkin ada
pemuda yang menolak cintamu? Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku di
mana dia sekarang dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!”
Untuk
mencari muka, Gin Ciong segera berkata, “Sebenarnya Si Kong sudah terjatuh ke
tangan kami, locianpwe. Tetapi Yin-moi melarangku ketika saya hendak
membunuhnya.”
Cu Yin
mengerutkan alisnya sambil menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela.
“Kalau engkau sendiri mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, tentu aku tak
akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, maka
terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!”
Mendengar
kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong langsung menutup mulutnya dan
menunduk. Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera
Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta
puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya.
“Hemm,
sampai di manakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?”
Kembali Gin
Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu. “Dia sangat lihai dan
sombong sekali, locianpwe, sebab dia adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian
Sin!”
Mendengar
nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia
terkejut bukan main. Nama julukan Pendekar Sadis bukanlah nama kosong, bahkan
Lam Tok sendiri diam-diam merasa jeri terhadap nama besar Pendekar Sadis itu.
“Hemmm, jadi
dia adalah murid Pendekar Sadis? Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang
ditolak oleh pemuda itu?”
“Aku
mencintanya dan juga membencinya, Ayah.”
“Kebencian
terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Apabila dia
menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?”
Dengan kedua
pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata, “Jika dia menyambut cintaku,
tentu saja aku tidak lagi membencinya.”
“Dan di mana
sekarang dia berada?”
“Dia pernah
mengatakan bahwa dia pun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini.”
“Bagus!
Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih
terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu.”
“Bagaimana
kalau dia menolak, locianpwe?” tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu.
Lam Tok
mengepal tinju tangannya. “Kalau dia tetap menolak maka dia akan mampus di
tanganku!”
Cu Yin
mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa
sekali ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Dia merasa
khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah ayahnya mengambil keputusan
seperti itu.
“Ayah akan
mendaki puncak bersama kami?” tanya Cu Yin.
“Tidak.
Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama kalian
berdua akan dapat membela diri dengan lebih baik. Aku akan mengambil jalanku
sendiri. Pergilah!”
“Sampai
jumpa, Ayah.” Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong
segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin.
Belum lama
Lam Tok meninggalkan pula tempat itu di mana menggeletak sepuluh orang anak
buah Kui-jiauw-pang itu, muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu
berlari cepat. Mereka adalah Si Kong dan Hui Lan yang melakukan perjalanan
bersama menuju puncak Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang
kabarnya sudah terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang. Hui Lan
yang lebih dahulu melihat mayat bergelimpangan itu.
“Kong-ko,
lihat...!” Dia menuding ke kiri.
Ketika Si
Kong menengok, dia pun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri
tempat itu dan melakukan penyelidikan. Si Kong meraba leher satu di antara
mayat-mayat itu.
“Tubuh
mereka masih hangat, mereka baru saja terbunuh. Lihat, darah pun masih belum
kering benar.” Hui Lan ikut berjongkok memeriksa, kemudian ia pun mengangguk-angguk
membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain.
“Enam orang
di antara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tangan hancur lebur.
Mereka itu jelas orang-orang Kui-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar
setan ini. Akan tetapi yang ini... ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh
mereka...!”
“Siangkoan
Cu Yin?” Hui Lan mendekati Si Kong. “Apa buktinya bahwa dia yang sudah membunuh
mereka ini?”
“Lihat ini.
Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap pada tubuh mereka. Aku
mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin.”
“Hemm,
mengapa dia begini ganas dan kejam?”
Si Kong
menghela napas panjang, seolah-olah menyesal atas kekejaman yang dilakukan
Siangkoan Cu Yin. “Ingat, dia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini
tidak aneh. Apa lagi kalau dia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras
sekali!”
Hui Lan
mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir saja mati keracunan
karena perbuatan Siangkoan Cu Yin. “Kalau dia mencari Pek-lui-kiam,
perbuatannya ini salah sama sekali. Dengan membunuhi anak buah Kui-jiauw-pang,
berarti dia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak
mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya.”
“Engkau
benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini.”
“Apa yang
hendak kau lakukan, Kong-ko?”
“Mengubur
mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk di sini
hingga menjadi makanan binatang buas. Lagi pula, dengan mengubur mereka, pihak
Kui-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh
Siangkoan Cu Yin.”
Hui Lan
mengangguk dan diam-diam dia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda
berkepandaian tinggi yang baik budi. Dia tidak merasa heran kalau seorang gadis
yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong.
Dia sendiri
memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan
bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Tanpa berkata apa-apa dia
lantas membantu Si Kong menggali lubang dan Si Kong menerima bantuan ini dengan
senang hati.
Akan tetapi
begitu mereka selesai menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat
mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba saja datang belasan orang yang
mengenakan cakar setan di tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan
segera tahu bahwa mereka adalah anggota-anggota Kui-jiauw-pang.
“Keparat,
engkau telah membunuh banyak teman kami!” bentak seorang di antara mereka yang
bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggota Kui-jiauw-pang yang
berjumlah lima belas orang itu.
“Bukan kami
yang membunuh mereka,” kata Si Kong dengan tenang.
“Tidak
mungkin orang lain!” bentak si muka hitam. “Engkau sudah membunuh mereka dan
kini berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian
berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah menguburkan mereka. Akui saja
siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!”
Dengan sikap
masih tenang Si Kong menjawab, “Namaku Si Kong, dan dia adalah nona Tang Hui
Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini,
namun bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega
membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk di sini.”
“Bohong!
Tangkap atau bunuh mereka!” seru si muka hitam dan belasan orang itu segera
menyerbu dan menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka.
Begitu
belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan, “Lan-moi, jangan
membunuh orang!”
Dengan amat
mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan
itu, lantas kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka
berpelantingan dengan tendangan kaki dan tamparan. Ornag-orang itu tidak
menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang kembali, sekarang bukan
untuk menangkap melainkan untuk membunuh.
Melihat
kenekatan para pengeroyok, Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan
tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya lima belas orang itu terpelanting
lagi, namun sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit
berdiri.
Pada saat
itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan
penuh perhatian karena dia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang
Kui-jiauw-pang biasa.
Seorang dari
mereka berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh
bekas cacar. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang
sakit dan usianya empat puluh tahun lebih. Orang ketiga bermuka penuh brewok,
usianya lebih muda dari orang kedua. Orang keempat bertubuh pendek gendut dan
orang kelima yang paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan
tubuhnya katai.
Melihat
kemunculan lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka
sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama
Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya,
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lojin.
Tadinya dia
menyangka bahwa mereka berlima itu muncul di Kui-liong-san karena hendak ikut
memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali
ketika mereka membentak dengan suara marah, kemudian orang tertua yang bermuka
bopeng menegur lantang.
“Siapakah
kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggota Kui-jiauw-pang?!”
Si Kong tahu
bahwa lima orang itu agaknya telah lupa dan tidak mengenalnya lagi. “Kami
berdua tidak membunuh. Ada orang lain yang membunuh mereka, tetapi belasan
orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Maka terpaksa kami melawan.”
“Hemm, apa
kau kira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?!” bentak si muka
bopeng.
Hui Lan yang
tidak mengenal lima orang itu menjadi penasaran, dan dia yang menjawab dengan
suara lantang, “Kalian mau percaya atau tidak, terserah kepada kalian! Kami
tidak mau berbantahan dengan kalian!”
Orang kelima
dari Bu-tek Ngo-sian, yaitu yang paling muda di antara mereka, berwatak mata
keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah
beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu
melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.
“Nona manis,
siapa namamu nona? Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Di antara
kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, bahkan sebaiknya nona dan
aku menjalin persahabatan. Bukankah itu baik sekali?” Laki-laki itu bertubuh
katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia telah menghampiri Hui Lan untuk
merangkulnya. Melihat ini Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti
ini harus diberi pelajaran keras.
“Heii, kamu
ini anjing dari mana berani menggonggong?!” bentaknya sambil menudingkan
telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatan sihir yang dahsyat.
Empat orang
yang lain terbelalak ketika melihat rekan mereka yang termuda itu tiba-tiba
saja merangkak dengan kedua pasang kaki tangannya, lalu menggonggong meniru
suara anjing!
“Bhe Song
Ci, apa yang sedang kau lakukan? Sadarlah!” bentak orang pertama dari Bu-tek
Ngo-sian yang bernama Ciok Khi. Dia mengira bahwa rekannya termuda itu
bermain-main, sama sekali tidak mengira bahwa rekannya itu terkena sihir yang
kuat.
Akan tetapi
orang yang bernama Bhe Song Ci itu masih terus menyalak-nyalak seperti anjing.
Kini empat orang lainnya menyadari bahwa keadaan rekan mereka itu tidak sadar,
maka mereka lalu menghampiri Bhe Song Ci untuk menotok jalan darahnya. Bhe Song
Ci terkulai, lalu rebah sambil membelalakkan matanya.
“Kenapa
kalian merobohkan aku?” Dia seperti orang habis bangun tidur.
Melihat
adiknya itu telah sadar, Ciok Khi lalu membebaskan totokannya dan Bhe Song Ci
melompat bangkit. Ia teringat betapa tadi dia merasa dirinya menjadi anjing,
dan akhirnya dia menyadari sepenuhnya kenapa kakak-kakaknya menotoknya. Tadi
dia telah bersikap seperti seekor anjing, persis seperti yang diteriakkan gadis
itu.
Bhe Song Ci
adalah seorang dari Bu-tek Ngo-sian, tentu saja selain memiliki kepandaian
tinggi dia juga mempunyai pengalaman yang luas. Segera dia menyadari bahwa
gadis itu menggunakan kekuatan sihir untuk mempermainkannya. Dia menjadi marah
bukan main dan mukanya berubah merah sekali. Begitu dia bergerak lagi tangannya
sudah mencabut pedang yang menempel di punggungnya.
“Perempuan
keparat, berani kau mempermainkan aku?!” Bhe Song Ci sudah menerjang tanpa
memberi kesempatan kepada Hui Lan.
Kakak-kakaknya
hanya menonton karena mereka percaya penuh akan kelihaian saudara termuda itu,
apa lagi melihat gadis itu belum mencabut senjatanya dan menghadapi Bhe Song Ci
dengan tangan kosong.
Akan tetapi
sekali ini Bhe Song Ci bertemu dengan Tang Hui Lan, puteri pendekar besar Tang
Hay yang biar pun masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Melihat
lawannya marah dan menyerang dengan curang tanpa memberi kesempatan kepadanya
untuk mencabut sepasang pedangnya, Hui Lan segera mengelak dari sambaran pedang
yang menusuk dadanya. Begitu melihat gerakan si katai itu dia pun dapat
mengukur ilmu kepandaiannya.
Memang
lawannya bukan orang biasa dan mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, akan
tetapi dia tahu pula bahwa dia menang dalam kecepatan dan tenaga sakti. Maka
dia pun tidak mau mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan
menghadapi lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong belaka!
Setelah
tusukannya dapat dielakkan dengan mudah oleh gadis itu, Bhe Song Ci menjadi
semakin penasaran. Dia lalu memainkan pedangnya dengan sepenuh tenaganya.
Pedang itu lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi dia
menjadi sangat terkejut dan juga heran. Rasanya setiap serangannya sudah hampir
mengenai sasaran, namun pada kenyataannya selalu luput!
Hal ini
tidak mengherankan karena Hui Lan mempergunakan langkah ajaib yang disebut
Jiauw-pouw-poan-soan. Sepasang kakinya bergerak cepat, melangkah dan menggeser
ke sana sini, akan tetapi serangan pedang lawannya selalu dapat dielakkan
dengan mudah!
Bhe Song Ci
merasa heran bukan main. Bagi dia, gadis itu kelihatan seperti menunggu
datangnya serangan, akan tetapi begitu dia menyerang, gadis itu segera
melangkah dan mengelak dari serangannya. Dengan penasaran dan semakin marah Bhe
Song Ci terus menyerang, kini mengerahkan seluruh tenaganya sehingga
serangannya makin kuat dan cepat.
“Haiiiitttt...!”
Dia
membentak dan memutar pedangnya, akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena
gadis itu sudah lenyap dari depannya. Sebelum dia sempat memutar tubuh
mencarinya, Hui Lan sudah menendang dari belakang.
“Bukkk!”
Tubuh yang
katai itu terhuyung seperti orang mabok dan dia cepat memutar tubuhnya.
Dilihatnya gadis itu tersenyum mengejek. Si katai itu menjadi beringas.
“Mampuslah!”
Dia membentak dan mainkan pedangnya mengirim serangan maut.
Akan tetapi
kembali tubuh lawannya menghilang. Dia tidak tahu bahwa Hui Lan sedang
menggunakan ilmu meringankan tubuh sambil mainkan ilmu silat Yan-cu Coan-in
(Burung Walet Menembus Awan) yang memiliki gerakan cepat bukan kepalang. Sekali
ini Hui Lan mengerahkan lebih banyak tenaga sinkang-nya dalam tendangannya.
“Desss...!”
Pinggul si
katai kena tendang keras sekali dan tubuhnya terpental seperti sebuah bola
ditendang! Ketika dia terbanting jatuh, dia terengah-engah, akan tetapi
sekarang dia dan kawan-kawannya sudah menyadari bahwa gadis itu memiliki
kepandaian yang tinggi......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment