Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 06
SEMENTARA
itu pertandingan antara Gu Kauwsu dan Tung-hai Ling-ong juga berjalan tidak
seimbang sama sekali. Tingkat ilmu kepandaian datuk itu masih jauh lebih tinggi
dari pada tingkat Gu Kauwsu sehingga setelah lewat tiga puluh jurus, Gu Kauwsu
sudah terdesak hebat oleh tongkat berkepala naga itu dan dia hanya mampu
menangkis sambil mundur.
Sambil
mundur Gu Kauwsu tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan dia memikirkan
keselamatan puterinya. Mau tak mau perhatiannya menjadi terpecah, sebagian
digunakan untuk memperhatikan keadaan puterinya. Dia menjadi gelisah sekali
melihat puteri dan muridnya juga terdesak hebat oleh Ouwyang Kwi.
“Mei Cin,
Bun Can, lekas lari...!” Dia berteriak.
Akan tetapi
perhatiannya yang terpecah itu mendatangkan bencana. Tangan kiri Tung-hai
Ling-ong menyambar dan tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka tepat
menghantam dadanya.
“Dukkk...!”
Tubuh Gu
Kauwsu terjengkang dan robohlah dia untuk tidak bangkit kembali. Dia sudah
terkena pukulan Tok-ciang datuk itu, pukulan yang tidak kalah ampuhnya dengan
pukulan tongkatnya. Gu Kauwsu roboh dengan tanda telapak jari tangan hitam di
dadanya.
Tok-ciang
(Tangan Beracun) adalah ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun yang
berbahaya sekali. Gu Kauwsu tepat terpukul dadanya hingga jantungnya terguncang
oleh hawa beracun dan dia pun tewas seketika.
Dalam
perlawanannya terhadap Ouwyang Kwi, Mei Cin yang dibantu suheng-nya sempat pula
memperhatikan ayahnya. Agaknya Ouwyang Kwi tidak terlampau mendesaknya, tapi
lebih mendesak Thio Bun Can. Maka ketika ayahnya roboh Mei Cin dapat melihatnya
dan dia pun menjerit.
“Ayah...!”
Tanpa mempedulikan suheng-nya lagi Mei Cin melompat ke dekat ayahnya dan
berlutut. Ketika melihat ayahnya sudah tewas, dia pun amat berduka dan marah.
Dengan mengangkat pedangnya dia menyerang Tung-hai Ling-ong.
“Kau...
kau... membunuh ayahku...!” bentaknya sambil menangis dan menyerang.
“Suhu,
jangan bunuh gadis itu. Aku sayang kepadanya!” Ouwyang Kwi berseru kepada
gurunya dan dia pun memperhebat serangannya kepada Thio Bun Can.
Kasihan
pemuda ini. Tadi mengeroyok bersama sumoi-nya saja dia tidak mampu menang, apa
lagi sekarang harus menghadapi lawan seorang diri. Pedangnya berkali-kali
terpental dan pada suatu kesempatan selagi pemuda itu terhuyung karena
pertemuan senjata itu, dengan sebuah gerakan cepat Ouwyang Kwi mengelebatkan
goloknya dan robohlah Thio Bun Can bermandikan darahnya sendiri. Lehernya
nyaris putus oleh babatan golok.
Ouwyang Kwi
tidak peduli lagi dengan korbannya dan dia segera meloncat untuk melihat
keadaan Mei Cin. Alangkah girangnya melihat Mei Cin sudah menggeletak roboh
akibat totokan jari tangan gurunya.
“Mari kita
pergi, Suhu!” kata Ouwyang Kwi sambil memondong tubuh Mei Cin yang sudah tidak
dapat bergerak itu. Mereka lari ke kiri memasuki hutan.
Tak lama
kemudian nampak sesosok bayangan orang mendaki bukit itu. Orang ini bukan lain
adalah Si Kong. Kebetulan saja dia lewat di lereng bukit itu dan melihat keadaan
bukit itu, hatinya tertarik untuk mendaki puncaknya.
Sesudah tiba
di lereng paling atas, dia mendengar gerakan orang berkelahi di puncak. Si Kong
mempercepat larinya dan tibalah dia di puncak. Akan tetapi di puncak itu telah
sepi tidak terdengar apa-apa lagi. Hatinya terkejut bukan main melihat dua
tubuh menggeletak di tempat itu dan dia pun cepat-cepat menghampiri.
Pertama dia
menghampiri tubuh Gu Kauwsu dan setelah menyentuh nadi serta dadanya, dia pun
menghela napas. Orang itu tidak dapat ditolong lagi, pikirnya. Sudah tewas! Dia
lalu menghampiri tubuh Thio Bun Can dan melihat pemuda ini masih dapat
menggerakkan tangannya. Dan ketika memeriksa, Si Kong terkejut sekali sesudah
mengenalnya sebagai pemuda yang bermalam di rumah penginapan pada beberapa
malam yang lalu. Pemuda ini bermalam bersama sumoi-nya! Dan di mana sumoi-nya
sekarang?
Dia cepat
menotok jalan darah untuk menghentikan darah yang mengalir keluar dari luka di
leher. Dia pun melihat adanya sebatang pedang lain di situ dan dia mengkhawatirkan
kalau-kalau sumoi pemuda itu juga telah menjadi korban pembunuhan. Dia
mengguncang pundak pemuda itu dan mengurut tengah keningnya. Pemuda itu kini
dapat membuka dan mengedip-ngedipkan matanya yang sudah layu.
“Di mana
sumoi-mu? Di mana? Tunjukkan!” kata Si Kong.
Dalam
keadaan sekarat Bun Can masih dapat mengerti dan dia mengangkat tangannya,
menuding ke arah kiri lalu terkulai dan mati.
Isyarat itu
sudah cukup bagi Si Kong. Dia cepat melompat ke arah kiri dan lari memasuki
hutan di lereng itu. Dia harus bergerak cepat selagi hutan itu masih belum
gelap. Dengan penuh kewaspadaan dia menyusup-nyusup di hutan itu, dan akhirnya
usahanya berhasil ketika mendengar isak tangis seorang wanita!
Dia bergerak
cepat sekali ke arah suara itu dan melihat gadis yang dicarinya itu rebah di
atas rumput, tidak mampu bergerak dan hanya dapat menangis! Dan didekatnya
berlutut seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam.
Melihat
laki-laki bermuka hitam itu, teringatlah Si Kong akan peristiwa empat tahun
yang lalu. Dia segera mengenal Ouwyang Kwi sebagai orang yang telah merampas
kedudukan ketua Hwa I Kaipang! Bahkan di waktu itu, dalam usia sekitar lima
belas atau enam belas tahun, dia pernah bertanding melawan Ouwyang Kwi ini.
Dia tahu
betapa jahatnya Ouwyang Kwi dan gurunya yang merupakan datuk timur berjuluk
Tung-hai Liong-ong itu, maka dia pun tahu bahwa gadis itu tentu terancam bahaya
besar. Dia pun mengenal gadis yang rebah telentang sambil menangis itu sebagai
gadis yang pernah bermalam di rumah penginapan Hok-lai.
“Nona manis,
jangan menangis. Percuma saja engkau menangis dan tidak ada gunanya engkau
menolak kehendakku. Ditolak atau pun tidak engkau tetap akan menjadi milikku!
Maka lebih baik engkau menyerah dengan suka rela dari pada aku harus memaksamu.”
Setelah berkata demikian, sambil menyeringai seperti seekor serigala yang
menghampiri korbannya dia mendekatkan dirinya kepada gadis itu, kemudian
perlahan-lahan tangan kanannya meraih ke arah dada.
“Wuuuutt...!
Plakk!”
Ouwyang Kwi
terkejut dan dia mengaduh. Tangannya terasa nyeri dan ketika dilihatnya,
ternyata tangannya telah lecet berdarah akibat disambar sepotong batu yang
runcing. Dia meloncat bangkit berdiri sambil memutar tubuh dan melihat seorang
pemuda telah berdiri di depannya dengan mata yang mencorong seperti mata seekor
naga. Tahulah Ouwyang Kwi bahwa tentu pemuda itu yang tadi menyambitnya dengan
batu ke tangannya, maka tentu saja dia menjadi marah bukan main.
“Keparat,
engkaukah yang menyerangku dengan batu tadi?!” bentaknya.
Si Kong
mengerutkan alis, diam-diam dia pun marah sekali melihat perbuatan Ouwyang Kwi
tadi. “Ouwyang Kwi, ternyata engkau masih juga belum jera dan kembali melakukan
perbuatan jahat dan terkutuk!”
Ouwyang Kwi
terkejut sekali. Pemuda itu sudah mengenal namanya!
“Siapakah
engkau yang begitu lancang berani mencampuri urusanku?”
“Ouwyang
Kwi, lupakah engkau padaku? Empat lima tahun yang lalu, engkau dan gurumu
Tung-hai Liong-ong pernah bertemu dengan aku dan guruku Yok-sian Lo-kai di
Souw-ciu.”
Ouwyang Kwi
terkejut dan sekarang dia pun teringat kepada pemuda itu. Lima tahun yang lalu
pemuda itu masih merupakan seorang pemuda remaja akan tetapi sudah sedemikian
lihainya hingga dapat menandinginya. Bahkan gurunya, Tung-hai Liong-ong terluka
dalam parah sekali oleh Yok-sian Lo-kai dan gurunya harus mengobati dirinya
selama tiga tahun untuk menyembuhkan luka itu!
Akan tetapi
dia tidak takut. Selama lima tahun ini dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan
juga suhu-nya berada tidak jauh dari tempat itu. Pemuda ini hanya datang
seorang diri dan dia dapat mengandalkan gurunya kalau sampai dia kalah dari
pemuda itu.
Cepat dia
mencabut goloknya lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong.
“Ternyata engkau bocah setan itu dan lagi-lagi engkau sudah berani mencampuri
urusan pribadiku. Akan tetapi sekali ini jangan harap engkau mampu meloloskan
diri dari golokku ini!” Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi
Ouwyang Kwi langsung meloncat dan menerjang dengan golok besarnya.
Si Kong
sudah siap siaga. Dia cepat menjatuhkan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan
menggunakan pikulan bambunya untuk senjata tongkat.
“Trangg…!
Tranggg...!”
Dua
tangkisan itu membuat golok terpental dan hampir terlepas dari tangan Ouwyang
Kwi. Hal ini membuat si muka hitam terkejut bukan kepalang, maka tahulah dia
bahwa pemuda itu juga sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga dalam hal tenaga
sinkang dia kalah jauh!
“Suhu...!
Tolonggg...!” Ouwyang Kwi berteriak tanpa malu lagi ketika dia menerjang maju
kembali dengan serangan yang lebih dahsyat.
Si Kong
teringat betapa Ouwyang Kwi sudah membunuh dua orang yang mayatnya masih
menggeletak di luar hutan di puncak itu, dan juga teringat bahwa setelah lewat
empat lima tahun orang itu tidak berubah menjadi baik bahkan menjadi semakin
jahat. Maka dia pun mempercepat gerakan tongkatnya.
Gerakan
tongkat Si Kong sekarang jauh sekali bedanya kalau dibandingkan gerakannya
empat tahun yang lampau. Dia telah digembleng Kwa Siucai, kemudian bahkan
mendapat bimbingan dari Pendekar Sadis Ceng Lojin sehingga dibandingkan empat
tahun yang lalu, tingkat kepandaiannya sekarang telah maju jauh sekali. Begitu
dia mempercepat gerakan tongkatnya, tongkat itu dapat menyusup di antara
gulungan sinar golok, bergetar menotok pergelangan tangan lalu meluncur ke arah
tenggorokan Ouwyang Kwi.
Ouwyang Kwi
berteriak ketika lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan goloknya terlepas dari
pegangan, tapi teriakannya langsung terhenti ketika ujung tongkat bambu itu
menotok tenggorokannya. Dia pun roboh dan tidak mampu bergerak kembali karena
totokan pada jalan darah dekat tenggorokannya itu telah menewaskannya!
“Wuuuttttt...!
Wiiirrrrrr...!”
Si Kong
mengelak dengan cepat ketika tongkat kepala naga itu menyambar ke arah
kepalanya dengan amat kuat dan dahsyatnya.
“Jahanam,
berani engkau membunuh muridku?!” teriak Tung-hai Liong-ong ketika melihat
muridnya menggeletak dan tewas. Dia terbelalak memandang kepada gadis yang
masih telentang, lalu kepada Si Kong yang masih memegang tongkatnya dengan
sikap tenang.
“Siapa
engkau?!”
“Tung-hai
Liong-ong, engkau bersama muridmu Ouwyang Kwi ternyata masih juga belum
menghentikan perbuatan jahat kalian. Agaknya engkau belum jera ketika lima
tahun yang lalu guruku Yok-sian Lo-kai memukulmu!”
Tung-hai
Liong-ong teringat. “Ah, jadi engkau murid Yok-sian Lo-kai? Bagus, memang aku
tengah mencarinya untuk membalas kekalahanku dulu dan sekarang engkau malah
berani membunuh muridku? Engkau harus mati di tanganku!” Kembali Tung-hai
Liong-ong sudah menyerang dengan tongkatnya yang berkepala naga.
Tongkat itu
amat berat dan ketika menyambar ada hawa pukulan dahsyat sekali menerpa muka Si
Kong. Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak merasa gentar. Dengan sangat
ringan tubuhnya sudah mengelak dari serangan beruntun sambung menyambung sampai
lima kali itu.
Tung-hai Liong-ong
merasa penasaran bukan kepalang. Lima kali berturut-turut tongkatnya
menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya, namun dengan mudahnya
pemuda itu mengelak sehingga pukulannya tidak ada yang mengenai sasaran.
Sebelum dia melanjutkan serangannya, kini pemuda itu sudah membalas dan ujung
tongkat bambu itu bergetar menjadi belasan banyaknya yang menyerang ke arah
tiga belas jalan darah terpenting di tubuhnya!
“Haiiiitttttt...!”
Tung-hai Liong-ong berseru nyaring sambil memutar tongkatnya, menangkis tongkat
bambu yang ujungnya tergetar menjadi banyak itu.
“Tuk-tuk-tunggg...!”
Tiga kali
tongkat bambu itu bertemu dengan tongkat kepala naga dan Tung-hai Liong-ong
terkejut bukan main karena getaran tongkat bambu itu menjalar melalui
tongkatnya hingga menggetarkan tangannya yang memegang tongkat itu. Sebelum
hilang kagetnya, tongkat bambu itu sudah menotok ke arah pergelangan tangannya.
Totokan ini datangnya cepat bukan main.
Tung-hai
Liong-ong cepat menarik tangan kanan yang memegang tongkat dan mengganti dengan
tangan kirinya untuk membebaskan tangan kanannya dari totokan. Tetapi betapa
kagetnya ketika ujung tongkat itu seperti ular saja sudah merayap naik dan kini
menotok pergelangan tangan kirinya! Dan terpaksa datuk itu melepaskan tongkat di
tangan kirinya, akan tetapi dia menghujamkan tongkat itu ke arah Si Kong
sebelum melepaskannya.
Tongkat itu
menyambar dahsyat ke arah Si Kong. Akan tetapi pemuda itu menggunakan tangan
kirinya untuk menangkap tongkat itu lalu dia menancapkan tongkat kepala naga
itu ke atas tanah. Lawannya sekarang telah kehilangan senjata ampuhnya.
“Keparat,
kau kira dapat terlepas dari tanganku?!” bentak Tung-hai Liong-ong dan kini dia
menerjang dengan kedua tangan kosong. Akan tetapi tangannya bahkan lebih
berbahaya dari tongkatnya karena kedua tangan itu mengandung ilmu Tok-ciang
(Tangan Beracun) yang dapat membuat tubuh lawan menjadi hangus kalau terkena
pukulannya.
Si Kong
melepaskan tongkat bambunya dan menghadapi serangan lawan dengan tangan kosong
pula. Lawannya adalah seorang datuk yang ternama, oleh karena itu tidak mudah
membunuhnya begitu saja. Melihat tangan yang telah berubah menghitam itu
menyambar ke arah kepalanya dengan cengkeraman mengerikan, Si Kong cepat
mengelak dan ketika tangan kiri kakek itu menghantam ke arah dada, dia
menangkis.
Tangan kiri
lawan itu terpental, akan tetapi dengan cepat telah mencengkeram kembali ke
arah pundaknya. Si Kong segera mengerahkan Thi-khi-i-beng ketika melihat
cengkeraman ke arah pundaknya itu.
Tangan kiri
Tung-hai Liong-ong yang penuh hawa beracun bertemu dengan pundak, dan kakek itu
berteriak kaget. Tenaganya amblas tersedot oleh pundak itu, akan tetapi hanya
sebentar. Karena terkejut dia menjadi lengah dan kesempatan itu digunakan oleh
Si Kong untuk melancarkan pukulan Hok-liong Sin-cang. Pukulan tangan kanan Si
Kong itu sangat cepat dan mengandung getaran bergelombang, tidak dapat
dielakkan lagi oleh kakek itu. Tung-hai Liong-ong coba menangkis dengan tangan
kanannya.
“Dessss...!”
Walau pun
dia telah berhasil menangkis pukulan itu, akan tetapi pukulan itu mengandung
tenaga yang begitu kuat sehingga tubuh kakek itu terpental dan terjengkang ke
belakang!
Tung-hai
Liong-ong terkejut bukan kepalang. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian
pemuda itu sehebat ini. Dia tahu bahwa kini tingkat kepandaian pemuda itu
bahkan sudah melewati tinggi kepandaian Yok-sian Lo-kai! Maklum bahwa kalau
dilanjutkan dia tak akan menang, dia lalu bangkit berdiri dan berkata,
“Lain kali
akan kubalas kekalahan ini!” Sesudah berkata demikian, cepat dia menyambar
mayat muridnya, mencabut tongkat naganya, kemudian pergilah dia dengan langkah
agak terhuyung. Ternyata kakek itu telah menderita luka dalam.
Si Kong
menghela napas panjang dan tidak melakukan pengejaran. Dia hendak memberi
kesempatan lagi kepada datuk itu untuk mengubah jalan hidupnya, kembali ke
jalan benar dan berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau lain kali dia bertemu
lagi dengan datuk itu dan melihat bahwa kakek itu masih saja melakukan
kejahatan, maka dia akan membasminya.
Kini
perhatian Si Kong beralih kepada gadis itu. Cepat dia meloncat mendekati dan
sekali tangannya bergerak, gadis itu telah dapat bergerak. Gadis itu bangkit
berdiri memandang kepada Si Kong dengan kedua mata masih basah.
“Terima
kasih atas pertolongan In-kong (tuan penolong),” katanya dengan perasaan haru,
membayangkan bahwa jika tidak ada orang ini, entah bagaimana jadinya dengan
dirinya. Akan tetapi ketika memandang wajah Si Kong, Mei Cin teringat dan dia
terbelalak.
“Kau...
kau... pelayan itu...!”
Si Kong
membungkuk dan berkata, “Sekarang Nona telah terlepas dari mara bahaya.”
“Kau...
kalau begitu, ... penolong di rumah makan itu, dan di kamar penginapan itu,
tentu engkau pula orangnya!”
“Sudahlah,
Nona. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi.”
Mei Cin
teringat kepada ayahnya serta suheng-nya, maka tiba-tiba dia menangis. “Ayah...
suheng... mereka telah terbunuh. In-kong, tolonglah aku, jangan kepalang
menolongku... bantulah aku mengurus jenazah ayah dan suheng-ku yang mati di
sana.” Dia menunjuk ke depan lalu berlari keluar dari hutan itu, mendaki
puncak.
Tadinya Si
Kong hendak meninggalkan gadis itu, akan tetapi ketika dia teringat akan dua
jenazah itu, dia pun merasa kasihan dan segera mengikuti gadis itu mendaki ke
puncak. Begitu di puncak Mei Cin segera menubruk mayat ayahnya dan menangis
tersedu-sedu.
Si Kong
menghela napas dan duduk di atas batu, membiarkan gadis itu menangis karena
dalam kedukaan yang mendalam hanya tangis itu yang akan dapat meringankan
himpitan pada hatinya. Dia teringat akan orang tuanya sendiri yang sudah tiada.
Hidup begini
banyak penderitaan, pikirnya. Akan tetapi bagaimana pun juga, setiap orang
harus sanggup memikul derita hidupnya sendiri, dengan hati yang kuat karena
memang sudah ditakdirkan hidup mengalami semua itu. Setelah tangis gadis itu
agak mereda, dia pun turun dari atas batu dan menghampiri Mei Cin.
“Nona, sudah
cukup, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Sekarang yang lebih penting adalah
mengurus jenazah ayah dan suheng-mu. Akan dibawa ke mana kedua jenazah ini?’
Gadis itu
pun bangkit berdiri. Mukanya basah oleh air mata dan agak pucat. “Saya akan
membawa mereka pulang. Kami tinggal di kota Sin-keng di bawah bukit ini.”
Si Kong
memandang kepada dua jenazah itu. Bagaimana mengangkut mereka? Dia tentu kuat
membawa mereka, memanggul pada kedua pundaknya atau menjinjingnya dengan kedua
tangannya, akan tetapi hal itu amat tidak pantas dan kasihan kepada dua jenazah
itu kalau hanya dipanggul begitu saja.
“Aku akan
mencari bambu dulu, Nona. Kau tunggu sebentar di sini,” katanya dan dia pun
berkelebat lenyap dari depan gadis itu, memasuki hutan dan tak lama kemudian
dia sudah membawa beberapa batang bambu. Diikatnya bambu-bambu itu menjadi
sebuah usungan besar dan dia merebahkan dua jenazah itu berjajar di atas
usungan.
“Kita
terpaksa mengusung dua jenazah ini dan membawanya pulang, Nona.”
“Terima
kasih, in-kong. Tidak tahu harus bagaimana aku membalas budimu.”
“Sudahlah,
jangan bicarakan tentang budi. Mari kita gotong bersama usungan ini.”
Mereka berdua
lalu menggotong usungan itu. Mei Cin berjalan di depan sebagai penunjuk jalan
sambil memegang ujung kedua bambu usungan sedangkan Si Kong mengangkat di
bagian belakang. Akan tetapi secara diam-diam pemuda ini mengerahkan tenaganya
agar usungan itu tak terasa terlalu berat bagi Mei Cin. Demikianlah, bersama
dengan turunnya matahari ke barat, Mei Cin yang berjalan sambil menangis
perlahan itu bersama Si Kong mengusung dua jenazah itu ke kota Sin-keng.
Setelah hari
menjadi gelap barulah mereka memasuki kota. Banyak orang terkejut melihat
pemuda dan gadis itu mengusung mayat Gu Kauwsu dan Thi Bun Can. Para murid Gu
Kauwsu segera berdatangan lantas mereka membantu mengusung jenazah itu ke rumah
keluarga mereka.
Nyonya Gu
menyambut dengan jerit tangis memilukan. Para tetangga segera berdatangan
melayat dan sebentar saja sudah tersiar berita di seluruh kota bahwa Gu Kauwsu
telah tewas terbunuh oleh penjahat.
Setelah
ratap tangis yang memenuhi rumah mendiang Gu Kauwsu itu agak reda, Mei Cin lalu
menceritakan kepada ibunya tentang kematian ayah dan suheng-nya.
“Kalau saja
di situ tidak muncul dewa penolong... ehh, di mana in-kong?” tanyanya sambil
mencari-cari dengan pandangan matanya di antara para tamu yang datang melayat.
Akan tetapi dara itu tidak melihat bayangan Si Kong yang diam-diam telah pergi
karena merasa bahwa tugasnya menolong gadis itu telah selesai.
“In-kong
siapa?” tanya ibunya.
“Pemuda yang
tadi bersama aku menggotong jenazah ayah dan suheng. Dia tadi masih berdiri di
sini!”
Namun tidak
ada seorang pun melihat pemuda itu dan Mei Cin lalu menceritakan semua
pengalamannya.
“Sayang dia
telah pergi sehingga aku tidak sempat menghaturkan terima kasih,” kata ibu Mei
Cin.
Semua orang
yang berada di sana juga menyayangkan hal itu karena mendengar cerita Mei Cin,
para murid guru silat Gu itu juga menjadi kagum sekali. Sedikit pun mereka
tidak pernah mengira bahwa pemuda yang berpakaian sederhana itu ternyata adalah
seorang pendekar sakti seperti diceritakan Mei Cin.
Mei Cin
sendiri juga merasa kehilangan. Dara ini merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia
tertarik bahwa pendekar sakti itu sedemikian rendah hati sehingga mau bekerja
sebagai pelayan rumah penginapan dan rumah makan. Ia merasa sayang sekali belum
berkenalan dengan pemuda itu, bahkan namanya pun tidak diketahuinya.
***************
Kota Ci-bun
merupakan sebuah kota yang ramai. Kota ini tidak begitu jauh dari kota raja,
akan tetapi di kota itu terdapat banyak pengemis. Hal ini tidak mengherankan
karena pada waktu itu negara sedang dilanda musim kering berkepanjangan
sehingga semua barang sukar didapatkan dan mahal harganya, termasuk bahan
pangan yang sangat dibutuhkan manusia.
Rakyat kecil
menderita kelaparan sehingga banyak di antara mereka yang terpaksa harus
menjadi pengemis. Keadaan kekurangan bahan pangan ini juga mendorong banyak
orang yang tak kuat batinnya untuk melakukan kejahatan, seperti mencuri,
merampok dan lain-lain.
Si Kong
melihat benar kesengsaraan rakyat kecil ini, terutama yang hidup dipedusunan
karena dia melakukan perantauan melalui dusun-dusun dan kota-kota. Dia melihat
betapa kehidupan manusia lebih banyak menderita dari pada bahagia. Dia melihat
pula kepalsuan manusia.
Mereka yang
berada di atas dan memiliki kedudukan serta wewenang, seolah tidak peduli akan
kesengsaraan rakyat itu. Juga para hartawan menutup pintu gapura rumah mereka
rapat-rapat, seolah takut kalau-kalau harta benda mereka akan diambil orang,
baik secara sembunyi atau terang-terangan. Mereka menggunakan anjing-anjing
besar untuk menjaga rumah dan mengumpulkan banyak tukang pukul untuk melindungi
harta mereka.
Si Kong
melihat semua ini dan batinnya bergolak. Mengapa begitu banyak ketidak-adilan
terjadi di dunia ini? Mengapa para pejabat tidak berusaha untuk menolong
rakyatnya yang menderita? Mengapa para hartawan segan mengulurkan tangan,
mengurangi sedikit harta mereka untuk menolong mereka yang kelaparan?
Dia pun
melihat betapa banyaknya jembel-jembel baru berkeliaran di jalan-jalan besar di
kota Ci-bun ketika dia memasuki kota itu sambil memanggul buntalan pakaiannya
di ujung tongkat bambu. Melihat keadaan mereka, Si Kong merasa terharu, tetapi
dia juga merasa bersyukur atas kemurahan Tuhan kepadanya. Nasibnya sendiri
masih terhitung baik kalau dibandingkan dengan mereka yang berkeliaran di
jalan-jalan itu!
Benarlah
kata orang bijaksana jaman dulu bahwa kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan
dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan memandang ke bawah.
Di sana masih terdapat banyak sekali orang-orang yang keadaannya lebih payah
dari pada keadaan kita!
Si Kong
merasa heran ketika melihat orang berbondong-bondong menuju ke satu jurusan. Mereka
adalah para pengemis dan orang-orang miskin yang bisa dia ketahui dari pakaian
mereka yang lusuh dan muka mereka yang amat kurus. Mereka membawa tempat untuk
membawa sesuatu, ada yang membawa kertas, kain-kain yang lusuh, panci dan
tempat-tempat lain. Melihat ini Si Kong menjadi tertarik. Tentu di sana ada
terjadi sesuatu yang menarik semua orang itu berkunjung ke sana.
Ketika tiba
di ujung timur kota itu, tahulah dia apa yang menarik semua orang itu pergi ke
situ. Kiranya di depan gedung seorang hartawan terdapat beberapa orang pelayan
sedang membagi-bagi beras dari karung. Beberapa karung yang masih penuh sudah
ditumpuk di situ dan orang-orang yang ingin mendapatkan pembagian beras itu
berdiri antri berderet-deret. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada
yang pria atau wanita, kakek dan nenek, juga ada anak-anak kecil ikut antri.
Si Kong
berdiri bengong dan kagum. Kenyataan yang sekarang dilihatnya itu membantah
bahwa semua hartawan terlampau pelit dan tidak mau menolong mereka yang
kelaparan. Buktinya hartawan pemilik gedung itu sedang membagi-bagi beras
kepada mereka yang membutuhkannya!
Karena
terharu dan tertarik, tanpa disadarinya dia terdesak banyak orang itu sehingga
dia melangkah maju dan masuk ke dalam antrian. Dia baru menyadari setelah
melihat bahwa di belakangnya ternyata telah banyak orang yang antri. Ia pun
berdiri dalam antrian untuk mendapatkan beras!
Biarlah,
katanya pada diri sendiri. Dia memang ingin melihat orang yang membagi-bagikan
beras itu dan tiba-tiba hatinya menjadi gembira. Ingin dia melihat siapa
hartawan itu dan menyampaikan terima kasihnya. Seorang hartawan yang juga
dermawan dan budiman!
Mendadak
terjadi keributan dan antrian itu menjadi kacau ketika muncul seorang laki-laki
tinggi besar berpakaian serba hitam yang melangkah maju ke deretan paling
depan. Tentu saja mereka yang berdiri di depan merasa penasaran dan tidak
mengijinkan si tinggi besar menyerobot antrian.
“Harus antri
di belakang!” kata orang terdepan. “Kami juga antri sejak pagi.”
Akan tetapi
orang tinggi besar berpakaian serba hitam itu menjadi marah, lantas dua kali
tangannya bergerak memukul. Dua orang terdepan terpelanting roboh akibat
pukulan itu. Semua orang menjadi gentar dan si tinggi besar itu tanpa
mempedulikan siapa pun sudah berdiri paling depan. Akan tetapi dia tidak
membawa tempat untuk menerima pemberian beras.
“Mana tempat
untuk menerima beras?” tanya petugas yang membagi-bagi beras, dengan alis
berkerut serta pandang mata marah karena dia pun tadi melihat betapa si tinggi
besar itu memukul dua orang untuk menyerobot antrian.
“Tempat
beras apa? Aku minta sekarung dan akan kupanggul sendiri. Berikan sekarung
beras!” kata si tinggi besar dengan suara galak.
Tentu saja
para petugas yang terdiri dari empat orang itu tak mau menyetujui permintaan
ini. Sekarung beras! Beras sebanyak itu kalau dibagi-bagi cukup untuk dua puluh
orang!
“Tak bisa
kami memberikan sekarung beras kepada seorang saja. Kami harus membagi-bagi
secara rata, lima kati untuk setiap orang, tidak kurang dan tidak lebih!”
“Akan tetapi
aku menghendaki sekarung!” kata pula si tinggi besar kukuh. “Majikan kalian The
Wan-gwe (Hartawan The) mempunyai beras bergudang-gudang. Apa artinya kalau aku
hanya minta sekarung?’ Si tinggi besar itu lalu melangkah maju menghampiri
tempat penumpukan beras dalam karung. Dengan tangan kirinya dia mengangkat
sekarung beras yang beratnya seratus kati itu!
“Heiiiii...!
Kembalikan beras itu!” teriak empat orang petugas itu sambil menghampiri ketika
melihat si tinggi besar hendak melangkah pergi. Namun empat kali tangan kanan
orang itu menampar dan empat orang petugas itu segera berpelantingan!
Setelah
merobohkan empat orang petugas, dengan lagak sombong si baju hitam sengaja
memamerkan tenaganya. Ia melemparkan sekarung beras ke atas kemudian memainkan
benda yang cukup berat itu seperti sebuah bola saja. Dia pun menyambut kembali
karung beras itu dengan tangan kirinya, lalu memandang ke arah semua orang yang
sedang antri dan kini menjadi ketakutan itu.
“Hayo, siapa
lagi yang hendak melarangku mengambil beras ini? Majulah untuk menerima
hajaranku!”
Para pekerja
itu sudah melapor ke dalam dan kini mucul Hartawan The dari pintu depan. Dia
adalah seorang pria berusia enam puluh tahun dan dari sikapnya yang lemah
lembut, wajahnya yang penuh senyum ramah dan pandang matanya yang lembut, dapat
diketahui bahwa dia adalah seorang yang baik hati. Melihat lagak si baju hitam
itu, dengan lembut dia berkata kepada para pembantunya,
“Biarkan dia
pergi membawa sekarung beras itu.”
Si baju
hitam mendengar ucapan itu dan dia pun menoleh. “Ha-ha, kalian dengar sendiri
itu? Hartawan The tidak keberatan aku membawa sekarung beras ini, bahkan setiap
saat kalau aku membutuhkan tentu akan boleh datang untuk mengambil beberapa
karung lagi!” Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa si baju hitam itu
melangkah pergi dari situ.
Si Kong
tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Orang itu sudah bertindak dan bersikap
keterlaluan, dan orang yang suka memaksakan kehendak sendiri seperti itu
merupakan bahaya bagi umum. Dia melangkah keluar dari antrian dan menghadang si
baju hitam.
“Perlahan
dulu, sobat. Engkau lupa bahwa satu karung beras itu disediakan untuk orang
banyak, bukan untuk memenuhi keserakahanmu. Hayo cepat kembalikan sekarung
beras itu pada tempatnya. Kalau membutuhkan beras, engkau harus berdiri di
belakang antrian untuk mendapatkan lima kati beras!”
Si baju
hitam itu membelalakkan matanya, seolah-olah tidak percaya bahwa ada seorang
yang masih sangat muda berani mengeluarkan ucapan semacam itu kepadanya.
Agaknya pemuda ini sudah bosan hidup!
Dengan mata
melotot dia lantas membentak, “Apa?! Kau ingin aku mengembalikan beras ini?
Nah, sambutlah!”
Dia lalu
melontarkan sekarung beras yang berat itu kepada Si Kong dengan pengerahan
tenaga. Sekarung beras itu segera meluncur ke arah Si Kong, dan seandainya
bukan Si Kong yang menerimanya, tentu akan roboh terjengkang tertimpa beras
sekarung!
Akan tetapi
dengan mudah Si Kong menerima beras itu, dan sekali tangannya bergerak,
sekarung beras itu sudah melayang kemudian jatuh di atas tumpukan beras,
kembali ke tempatnya semula.
“Jahanam
keparat kau! Mampuslah!” si baju hitam berteriak sambil menerjang ke arah Si
Kong, menubruknya seperti seekor harimau menerkam kambing.
Dengan
tenang Si Kong menggeser kakinya ke samping dan begitu tubuh tinggi besar itu
lewat, dia menggerakkan kakinya ke depan sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi,
si baju hitam itu terperosok ke depan dan jatuh menelungkup!
“Ngekkk…!”
Terdengar
suara ketika dia terbanting. Semua orang yang sedang antri beras tersenyum
gembira melihat betapa si baju hitam itu dirobohkan pemuda yang berpakaian
sederhana ini. Akan tetapi si baju hitam cepat merangkak bangun lantas meloncat
berdiri. Hidungnya berdarah dan dia kelihatan marah bukan main.
“Setan!
Berani kau melawanku?”
Kembali dia
menyerang namun sekali ini dia tidak menyerang secara sembarangan saja,
melainkan menggunakan ilmu silat. Tangan kanannya melayang ke arah kepala Si
Kong, tangan kirinya segera menyusul menusuk ke arah perut pemuda itu dengan
jari-jari tangan terbuka.
“Dukk!
Dukk!”
Kedua tangan
itu tertangkis oleh Si Kong. Akan tetapi si baju hitam itu memang tidak tahu
diri. Meski pun tangkisan tangan pemuda itu membuat kedua lengannya terasa
panas dan nyeri sekali, dia tidak menjadi jera dan kini kaki kanannya menendang
dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Kaki itu menyambar ke arah perut Si Kong
dan merupakan serangan yang amat berbahaya.
Tetapi
dengan tenang Si Kong menanti sampai kaki itu dekat dengan perutnya, kemudian
tiba-tiba saja dia menarik dirinya ke belakang sambil melangkahkan kaki. Pada
saat kaki kanan si baju hitam itu menyambar lewat, secepat kilat Si Kong
menggunakan tangan kiri menangkap tumit kaki itu lantas mendorongnya ke atas
lalu ke depan. Tubuh si baju hitam itu terlempar dan kembali terbanting, akan
tetapi sekali ini dia terbanting terlentang.
“Ngekkk...!”
Si baju
hitam meringis kesakitan. Tulang belakangnya seperti patah-patah rasanya ketika
pinggulnya terbanting ke atas tanah. Sekali ini para penonton tertawa dengan
hati senang.
Si Kong
menghampiri si baju hitam yang kini sudah bangkit duduk dengan muka meringis.
“Masih belum jera dan ingin melanjutkan perkelahian? Silakan bangkit berdiri,
aku sudah siap!”
Si baju
hitam yang bagian belakang tubuhnya masih terasa nyeri itu cepat bangkit
berdiri, lantas memandang dengan mata melotot kepada Si Kong dan berkata, “Kau
tunggu saja pembalasanku!’ Setelah berkata demikian dia pun pergi dengan
terhuyung-huyung sambil kedua tangannya menekan pinggulnya.
Hartawan The
yang menyaksikan semua itu, menghampiri Si Kong dan berkata, “Orang muda,
terima kasih atas bantuanmu mengusir orang jahat itu. Akan tetapi, bagaimana
jika dia kembali bersama kawan-kawannya?”
“Harap Loya
(tuan besar) tidak khawatir. Kalau diperbolehkan, saya ingin membantu Loya
dalam pembagian beras kepada rakyat kecil yang miskin ini.”
“Engkau
hendak bekerja membantu kami? Tentu saja boleh, malah kebetulan sekali. Kami
mengangkat engkau menjadi pengawas dan pengatur pembagian beras yang setiap
hari kami lakukan dari pagi sampai sore.”
“Terima
kasih banyak, Loya.”
“Siapakah
namamu, anak muda?”
“Nama saya
Si Kong, Loya.”
Hartawan itu
lalu berkata kepada empat orang pembantunya yang tadi dirobohkan si baju hitam,
“Mulai sekarang Si Kong ini menjadi pengawas dan pengatur pekerjaan kalian.”
Empat orang
petugas itu menyambut dengan gembira karena mereka merasa ada yang melindungi
kalau-kalau si perusuh tadi kembali membawa kawan-kawannya. Hartawan The lalu
masuk ke dalam rumah kembali dan Si Kong segera mengatur antrian itu supaya
jangan menjadi kacau. Empat orang petugas itu senang sekali karena meski pun
diangkat menjadi pengawas dan pengatur, ternyata Si Kong juga ikut membantu
mereka membagi beras, bahkan mengangkat beras dalam karung yang belum dibuka.
Sementara
itu Hartawan The memasuki rumahnya dan bersyukur sekali bahwa peristiwa
kerusuhan itu telah berlalu, akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau
para perusuh datang lagi. Dia kembali ke ruangan tamu di mana tadi dia bersama
isterinya bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik berusia delapan belas
tahun. Ia tadi tengah bercakap-cakap di situ ketika dilapori oleh pembantunya
mengenai keributan yang terjadi diluar.
Gadis itu
bernama Tan Kiok Nio, datang dari kota Sia-lin. Ibunya adalah adik Hartawan The
Kun. Begitu datang dan disambut Hartawan The beserta isterinya, Kiok Nio
menangis sedih di dalam rangkulan isteri The-wan-gwe. Dengan heran dan khawatir
Hartawan The Kun dan isterinya bertanya mengapa gadis itu menangis. Setelah
tangisnya reda, Kiok Nio lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya.
Ayah Kiok
Nio bernama Tan Tiong Bu, seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia
kang-ouw. Keluarga Tan tinggal di kota Sia-lin, sebelah selatan kota raja. Tan
Tiong Bu yang biasa disebut Tan-taihiap mempunyai sebuah rumah besar dan dia
pun memiliki sawah ladang yang luas sehingga kehidupan keluarganya cukup mampu
meski pun tidak dapat dibilang kaya raya.
Ketika muda
Tan Tiong Bu pernah menjadi murid di biara Siauw-lim-pai, kemudian pernah pula
menjadi murid Bu-tong-pai. Dia terus memperdalam ilmu-ilmunya sehingga akhirnya
dia berhasil menggabungkan semua ilmu itu dan merangkai ilmu pedang yang hebat.
Ilmu pedang ini hanya dinamakan ilmu pedang keluarga Tan.
Di waktu
mudanya dia malang melintang di dunia kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh sesat
dan sebagai pendekar dia selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Sesudah dia
menikah dengan seorang gadis yang menjadi adik Hartawan The dan mempunyai
seorang anak perempuan, Tiong Bu mulai mengurangi petualangannya. Akan tetapi
namanya telah tersohor dan dia disegani orang-orang kang-ouw.
Kemudian
muncul berita angin bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangan Tan-taihiap ini.
Sejak lama pedang itu sudah menjadi perebutan di antara orang-orang kang-ouw
dan sudah terjadi banyak perkelahian dan pembunuhan untuk memperebutkannya.
Akhir-akhir
ini juga tersiar berita yang amat mengagetkan, yaitu kematian beberapa tokoh
kang-ouw yang diketahui mencoba untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Mereka mati
dalam keadaan mengerikan, dengan kepala putus terlepas dari lehernya. Padahal
yang tewas itu adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan, baik dari
golongan bersih mau pun dari golongan sesat.
Maka
peristiwa itu amat menggemparkan dunia persilatan. Banyak orang menduga bahwa
Tan Tiong Bu yang menjadi pelaku pembunuhan itu karena ada pula berita bahwa
pedang Pek-lui-kiam berada di tangannya. Tan Tiong Bu sendiri tidak mengacuhkan
berita itu. Dia tak merasa membunuh. Ada pun tentang pedang Pek-lui-kiam memang
berada padanya, sebagai pemilik yang sah.
Siang itu
hawa udara amat panasnya. Musim kering yang berkepanjangan mendatangkan hawa
yang panas. Terlalu lama bumi dipanggang sinar matahari, tanpa pernah mendapat
siraman hujan. Karena merasa panas Tan Tiong Bu dan isterinya duduk di beranda
depan yang terbuka agar mendapatkan angin. Puteri mereka sedang tidak berada di
rumah.
Memang gadis
itu sudah biasa pergi keluar rumah tapi orang tuanya tak merasa khawatir.
Sebagai anak tunggal, meski pun dia seorang wanita, akan tetapi dia telah
mewarisi ilmu-ilmu silat dari ayahnya, bahkan telah mahir memainkan ilmu pedang
keluarga Tan. Karena itu kepergian Kiok Nio dari rumah tidak pernah
dikhawatirkan oleh orang tuanya.
Tiba-tiba
dari pintu pagar luar masuklah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun.
Tan Tiong Bu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian kepada orang
yang kini melangkah tenang memasuki halaman depan itu.
Dia seorang
kakek yang menggelung rambutnya ke atas dan mengikat rambut itu dengan pita
merah! Dan pakaiannya seperti pakaian pertapa atau pendeta, dengan jubah
longgar berlengan lebar. Akan tetapi yang terasa aneh, jubah itu berwarna
merah! Di punggungnya tergantung sebatang pedang, sedangkan tangan kirinya
memegang sebuah kipas yang gagangnya terbuat dari pada baja.
Melihat
pakaian serba merah itu Tan Tiong Bu terkejut. Biar pun belum pernah bertemu,
akan tetapi dia sudah mendengar akan adanya seorang datuk di barat yang
berjuluk Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Menurut keterangan yang
pernah diperolehnya, Ang I Sianjin adalah seorang datuk yang berilmu tinggi,
akan tetapi menggunakan ilmunya di jalan yang sesat dan suka memaksakan
kehendaknya terhadap orang lain.
Mengingat keadaan
kakek itu, tentu saja Tan Tiong Bu merasa tidak senang kedatangan datuk sesat
itu. Akan tetapi sebagai tuan rumah mau tak mau dia tetap harus menyambut
kedatangan tamu. Maka Tan Tiong Bu bangkit berdiri lantas menyambut ke depan
sambil mengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata,
“Selamat
datang, sobat. Engkau siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?’
Kakek tinggi
kurus itu tersenyum, senyumnya mengandung ejekan. Dia tertawa terkekeh sebelum
menjawab, “Heh-heh-heh! Apakah aku berhadapan dengan pendekar besar Tan Tiong
Bu?”
“Benar
sekali. Kalau tidak salah, yang sedang datang berkunjung ini adalah Ang I
Sianjin, benarkah?”
“Heh-heh-heh-heh!
Ternyata matamu tajam sekali. Sudah lama aku mendengar mengenai kehebatan ilmu
silat keluarga Tan.”
“Lalu apa
maksud kunjungan ini, Sianjin?”
“Aku ingin
bertanding denganmu!”
“Aihh,
Sianjin. Mengapa kita harus bertanding kalau di antara kita tidak ada urusan
apa pun?”
“Hemm, jadi
engkau tidak berani menerima tantanganku?”
“Tak ada alasan
bagiku untuk bertanding denganmu, Sianjin. Mari silakan duduk dan kita
membicarakan hal lain saja sebagai sahabat. Aku tidak ingin bermusuhan dengan
siapa pun juga.”
“Heh-heh-heh-heh!
Bagus sekali kalau begitu. Engkau mau menerimaku sebagai sahabat, tentu tidak
keberatan kalau memberi pinjam Pek-lui-kiam kepadaku!”
Tan Tiong Bu
terkejut sekali. Memang ada berita angin bahwa para tokoh dunia persilatan
menginginkan pedang pusakanya, yaitu Pek-lui-kiam. Karena ada berita itu,
sekarang dia menyembunyikan pedang pusaka itu di dalam kamarnya dan tidak
pernah membawanya keluar rumah. Kini hal yang dikhawatirkan mulai terjadi,
yaitu para tokoh kang-ouw tentu akan mendatanginya dan berusaha merebut
Pek-lui-kiam.
“Pedang
Pek-lui-kiam tidak ada padaku,” kata Tan Tiong Bu tegas.
“Hemm, kalau
begitu engkau tidak ingin menjadi sahabatku! Cabutlah pedangmu, hari ini aku
ingin sekali mencoba kepandaian keluarga Tan. Pilihlah salah satu. Serahkan
Pek-lui-kiam kepadaku dan aku segera pergi, atau engkau harus melawan
pedangku!”
Tan Tiong Bu
adalah seorang pendekar besar. Ketika ditantang dan didesak seperti itu, tentu
saja dia menjadi marah. Kalau dia berbohong mengatakan bahwa Pek-lui-kiam tidak
ada padanya, hal itu dilakukan untuk menghindarkan perkelahian dan permusuhan,
bukan karena takut. Dia menoleh kepada isterinya,
“Ambilkan
pedangku yang tergantung di dinding kamar itu.”
Isterinya
masuk ke dalam tanpa mengucapkan sesuatu. Wanita ini sudah maklum bahwa suaminya
adalah seorang pendekar besar, karena itu sewaktu-waktu tentu akan ditantang
orang untuk bertanding. Akan tetapi wanita itu merasa jantungnya berdebar
akibat tegang dan gelisah.
Setelah
isterinya kembali sambil membawa pedangnya, Tan Tiong Bu lantas menghadapi Ang
I Sianjin dan berkata dengan lantang, “Ang I Sianjin, di antara kita tiada
permusuhan. Karena engkau memaksa dan menantang maka terpaksa aku melayanimu!”
Dia pun lalu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, dan
menyerahkan sarung pedang itu kepada isterinya.
Tadinya Ang
I Sianjin sudah memandang dengan wajah berseri-seri pada waktu isteri Tan Tiong
Bu menyerahkan pedang kepada suaminya. Dia mengira bahwa pendekar itu akan
menggunakan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa kecewa setelah pedang itu
dicabut. Pedang di tangan lawannya itu memang pedang baik, akan tetapi sama
sekali bukan Pek-lui-kiam.
“Engkau
tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam, maka jangan mengatakan aku kejam kalau aku
akan membunuhmu dan merampas Pek-lui-kiam!” kata Ang I Sianjin sambil mencabut
pula pedangnya dengan tangan kanan. Sesudah berteriak lantang dia pun mulai
dengan serangannya yang dahsyat.
“Tranggg...!”
Tan Tiong Bu
menangkis dan dia merasakan getaran hebat dan hawa panas menyerang seluruh
lengannya, maka tahulah dia bahwa lawannya itu lihai bukan main. Karena itu dia
segera mainkan ilmu pedang keluarga Tan yang telah terkenal di dunia persilatan
itu.
Ang I
Sianjin terkejut dan kagum ketika hampir saja perutnya terkena tusukan lawan.
Dia melompat ke belakang dan karena dia pun tahu bahwa lawannya merupakan lawan
yang amat lihai, dia lalu memutar pedangnya dan juga memainkan kipasnya dengan
tangan kiri. Ternyata permainan pedang dan kipas itu serasi sekali, dapat
saling membantu dan saling menutupi lowongan kalau sedang menyerang.
Kini Tan
Tiong Bu yang terkejut. Biasanya, kalau lawan menyerang, maka pertahanannya
akan terbuka untuk balas diserang. Tapi setelah lawannya memainkan kipas dan
pedang, ketika lawan menyerang sama sekali tidak ada bagian tubuh yang terbuka
pertahanannya. Kalau pedang yang menyerang maka kipas yang bertahan, sebaliknya
bila kipas baja itu dipakai menyerang maka pedang yang bertahan. Dengan begitu
Tan Tiong Bu tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk membalas serangan lawan.
Sesudah
pertandingan yang seru itu berlangsung lima puluh jurus, pundak kiri Tan Tiong
Bu terkena tusukan gagang kipas baja sehingga dia terhuyung dan pundaknya
berdarah. Melihat lawannya terhuyung, Ang I Sianjin tertawa dan cepat menubruk
ke depan dengan pedangnya.
“Tranggg…!”
Pedangnya
tertangkis dari samping dan ternyata yang menangkis pedang itu adalah isteri
Tan Tiong Bu. Untuk menyelamatkan suaminya, nyonya itu dengan nekat menggunakan
pedang yang tadi dibawanya pula dari dalam untuk menangkis. Padahal dalam ilmu
silat pengetahuannya masih rendah.
Ang I
Sianjin marah sekali dan kipasnya cepat bergerak ke arah nyonya itu. Dengan
tepat ujung kipas itu menusuk leher lalu sambil mengeluh isteri Tan Tiong Bu
roboh terpelanting.
Melihat ini
Tan Tiong Bu terkejut dan marah sekali. Dia langsung meloncat ke depan dan
menyerang lawan sekuat tenaga tanpa mempedulikan pundak kirinya yang terasa
nyeri. Akan tetapi permainan pedangnya menjadi kurang tetap karena hatinya
gelisah mengingat keadaan isterinya.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Ang I Sianjin untuk menghujamkan serangan pedang dan
kipasnya. Tan Tiong Bu beruaha membela diri, akan tetapi dia kalah cepat. Pada
saat pedangnya terpental karena bertemu dengan kipas, tahu-tahu pedang Ang I
Sianjin telah menembus dadanya.
Darah muncrat
dan tubuh Tan Tiong Bu terguling. Akan tetapi pendekar ini masih mampu
mengarahkan tubuhnya agar jatuh dekat isterinya. Dia masih dapat memeriksa
keadaan isterinya dan ketika melihat bahwa isterinya sudah tewas, dia
menudingkan telunjuknya yang berlepotan darah isterinya kepada Ang I Sianjin
dan berkata,
“Kau… kau
iblis... terkutuk...!” Tubuh Tan Tiong Bu terkulai dan dia pun menghembuskan
napas terakhir.
Ang I
Sianjin tidak mempedulikan pasangan suami isteri yang telah mati itu. Dia
meloncat ke dalam rumah dan mulai melakukan penggeledahan untuk mencari
Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dua orang pembantu rumah tangga itu, seorang pria
dan seorang wanita, tanpa berkata apa pun tangannya bergerak dan kedua orang
pembantu itu tewas dengan kepala retak!
Ang I
Sianjin menggeledah kamar Tan Tiong Bu hingga akhirnya dia berhasil menemukan
pedang pusaka itu yang tersimpan di dalam almari pakaian pendekar itu. Dia
mencabut pedang itu dan sinar berkilat menyilaukan mata ketika pedang dicabut.
Kakek itu tertawa-tawa gembira.
“Heh-heh-heh-heh!
Inilah Pek-lui-kiam! Kini terjatuh ke tanganku! Dengan pedang ini aku akan
menjadi jagoan tanpa tanding, heh-heh-heh!” Dia menyarungkan kembali pedang
itu, menyelipkannya pada ikat pinggangnya kemudian dia berlari keluar dengan
cepat sekali.
Ketika ada
seorang tetangga datang ke rumah keluarga Tan untuk suatu keperluan, dia
terkejut sekali melihat Tan Tiong Bu dan isterinya menggeletak di halaman dekat
beranda dalam keadaan tidak bernyawa lagi dan tubuhnya mandi darah. Tetangga
ini keluar sambil berteriak-teriak minta tolong.
Para
tetangga lain datang berlarian dan mereka semua merasa terkejut juga ngeri. Apa
lagi ketika mereka menemukan mayat dua orang pembantu rumah tangga keluarga
Tan. Para tetangga lalu merawat empat jenazah itu.
Menjelang
sore Tan Kiok Nio pulang ke rumahnya. Gadis itu merasa terkejut dan heran
melihat banyaknya orang di rumahnya. Ia cepat berlari memasuki halaman rumahnya
dan tertegun melihat empat buah peti mati berjajar di beranda. Mukanya menjadi
pucat sekali, jantungnya berdebar-debar dan dia pun meloncat menghampiri peti
mati. Ketika melihat peti mati yang masih belum ditutup itu dan menjenguk ke
dalamnya, gadis itu langsung menjerit-jerit. Dia berlarian dari satu peti ke
peti yang lain.
“Ayah...!
Ibu...! Kalian kenapa...? Kenapa...?” Gadis itu lunglai dan roboh pingsan.
Para wanita
tetangga yang berada di situ ikut menangis kemudian beramai-ramai mereka
mengangkat gadis yang pingsan itu ke kamarnya.
Setelah
sadar dari pingsannya, Kiok Nio segera bangkit dan berlari keluar. Bukan, bukan
mimpi! Di beranda itu terdapat empat buah peti mati berisi mayat-mayat ayahnya,
ibunya, dan dua orang pembantunya. Dia pun menubruk peti ibunya dan menangis
tersedu-sedu sambil memanggil ibunya, kemudian menubruk peti ayahnya sambil
memanggil ayahnya. Para tetangga membiarkan gadis itu melampiaskan dukanya
melalui air mata. Sesudah tangisnya mereda, barulah para wanita tetangga
menghiburnya.
“Mereka
sudah meninggal dunia, walau ditangisi juga tidak ada gunanya, Nona. Sekarang
sebaiknya kita mengurus jenazah-jenazah itu.”
Kiok Nio
dapat menekan perasaan dukanya, kemudian bertanya, “Apa yang telah terjadi?
Mengapa ayah ibu mati? Siapakah yang telah membunuh mereka?”
“Tidak ada
yang tahu, Nona. Hanya kebetulan saja seorang tetangga ketika lewat melihat
seorang kakek berjubah merah yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat
keluar dari halaman rumah ini. Tetangga itu mempunyai urusan dengan ayahmu maka
dia masuk ke halaman, lantas melihat ayah ibumu sudah menggeletak di halaman
dalam keadaan tidak bernyawa. Kami semua lalu masuk ke rumahmu dan melihat dua
orang pembantumu juga sudah tewas pula.”
“Kakek
tinggi kurus berjubah merah? Siapa dia?” Kiok Nio bangkit berdiri dan mengepal
kedua tinjunya. “Siapa dia?”
“Nona,
sayalah yang melihat kakek itu, akan tetapi saya tidak mengenalnya. Akan tetapi
dia mudah sekali dikenal. Jubahnya itu yang aneh, mirip jubah pendeta namun
berwarna merah dan rambutnya yang digelung ke atas juga diikat pita merah,”
kata tetangga yang melihat kakek itu dan yang pertama kali menemukan mayat
TanTiong Bu dan isterinya.
“Siapa pun
adanya orang itu, pasti akan kucari dan kubalaskan dendam ini!”
Kiok Nio
lalu berlari keluar dengan gerakan cepat dan dia mencari-cari kakek itu di
seluruh pelosok kota. Para tetangga tidak berani melarangnya dan hanya menunggu
peti-peti mati itu. Akhirnya Kiok Nio pulang kembali dengan wajah lesu. Dia
tidak berhasil menemukan musuh besarnya.
Sesudah
jenazah ayah ibunya dimakamkan, Kiok Nio merasa tidak betah tinggal seorang
diri di dalam rumah itu. Sebulan kemudian dia pergi meninggalkan rumahnya dan
pergi ke kota Ci-bun untuk mengunjungi pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Di
depan paman dan bibinya dia menangis menceritakan mengenai kematian ayah
ibunya. Tentu saja The Kun menjadi terkejut bukan main.
“Kau
tinggallah bersama kami di sini, Kiok Nio. Engkau telah yatim-piatu, anggaplah
kami sebagai orang tua sendiri. Kebetulan kami juga tidak mempunyai anak.”
Karena paman
serta bibinya sangat ramah dan Kiok Nio tahu bahwa pamannya itu adalah seorang
hartawan yang berwatak budiman dan dermawan, maka dia suka tinggal di sana.
Demikianlah riwayat gadis cantik manis yang tinggal di rumah Hartawan The Kun.
Kini mari
kita kembali keluar gedung untuk melihat apa yang terjadi di tempat pembagian
beras itu. Si Kong bekerja dengan rajin sehingga menyenangkan keempat orang
lainnya. Akan tetapi, seperti yang dikhawatirkan semua orang, mendadak datang
lima orang yang semuanya berpakaian hitam. Sikap mereka kasar dan tubuh mereka
nampak kokoh kuat. Di antara lima orang itu terdapat si baju hitam yang tadi
hendak merampas satu karung beras namun berhasil diusir oleh Si Kong.
“Di mana
pemuda jahanam yang tadi berani memukul aku?” teriak si baju hitam itu.
Sebelum Si
Kong melangkah maju, terdengar bentakan halus. “Bangsat pengacau, kalian datang
untuk mencari penyakit!”
Semua orang
terkejut dan menengok. Ternyata Kiok Nio sudah berdiri di situ. Tadi gadis ini
mendengar cerita pamannya tentang si baju hitam yang memaksa hendak mengambil
sekarung beras namun pengacau itu berhasil diusir oleh seorang pemuda yang kini
sudah diterimanya sebagai pembantu bekerja membagi-bagi beras.
Gadis itu
merasa menyesal mengapa dia tadi tidak turut keluar sehingga dapat menghajar
sendiri pengacau itu. Kini begitu mendengar ribut-ribut di luar dia segera
meloncat keluar dan melihat lima orang itu, dia lalu membentak mereka.
Si baju
hitam dan empat orang kawannya mendengar bentakan itu lalu menoleh. Kiranya
yang membentak mereka adalah seorang gadis cantik. Melihat Kiok Nio si baju
hitam lalu maju menghampiri, diikuti oleh keempat orang temannya.
“Nona
manis,” si baju hitam berkata sambil menudingkan jari telunjuknya. “Jangan
engkau mencampuri urusan kami, atau aku akan menangkapmu untuk kujadikan
isteriku!” Empat orang kawannya juga menyeringai menjemukan.
“Jahanam
busuk, kalau engkau dan kawan-kawanmu ini datang untuk mengacau, maka aku sendiri
yang akan memberi hajaran kepada kalian!”
Pada saat
itu dari dalam rumah muncul Hartawan The Kun. Melihat keponakannya sudah
berhadapan dengan lima orang laki-laki yang menyeramkan, dia pun cepat berkata,
“Kiok Nio, jangan berkelahi!” lalu kepada si baju hitam dia berkata, “Kalau
kalian menginginkan beras ambillah, akan tetapi harap jangan bikin kacau di
sini.”
Sejak tadi
Si Kong terheran-heran ketika melihat seorang gadis cantik berani menantang
lima orang berandal itu. Melihat pedang di punggung gadis itu, dia pun tahu
bahwa gadis itu tentu seorang yang pandai ilmu silat. Ketika Hartawan The Kun
muncul dan menegur gadis yang dipanggil Kiok Nio itu, Si Kong mengira bahwa
gadis itu puteri Hartawan The. Dia lalu menghampiri dan berkata kepada si baju
hitam.
“Sobat,
engkau berani datang lagi dengan membawa teman-temanmu. Majulah, aku tidak
takut kepada kalian.”
“Tidak!”
Gadis itu berkata cepat. “Akulah yang akan menghajar lima orang ini jika mereka
tidak cepat pergi dari sini. Paman The, jangan khawatir, aku sanggup menandingi
mereka. Hayo, anjing baju hitam, aku tantang kalian. Kalau kalian tidak berani,
cepat kalian pergi dari sini dan jangan menganggu ketenteraman di sini.”
Tentu saja
si baju hitam menjadi sangat marah mendengar dirinya disebut anjing hitam oleh
seorang gadis. Itu adalah penghinaan besar, apa lagi diucapkan di hadapan
banyak orang yang sedang antri beras.
“Gadis
kurang ajar, berani engkau menghina kami!” Dan setelah bekata demikian, dia
lalu menerjang maju dengan gerakan cepat sambil mengembangkan kedua lengannya
seolah hendak menerkam Kiok Nio.
Akan tetapi
dengan gesitnya Kiok Nio mengelak ke samping sehingga terkaman itu luput.
Melihat kawannya telah mulai bergerak, empat orang kawan si baju hitam tak mau
tinggal diam. Mereka semua ingin sekali dapat membekuk dan memeluk gadis cantik
itu, karena itu tanpa diperintah lagi mereka langsung mengepung Kiok Nio dengan
sikap yang kasar menakutkan.
Melihat dia
dikepung lima orang laki-laki tinggi besar itu, Kiok Nio sama sekali tak merasa
gentar. Akan tetapi dia tidak mau beradu tangan dan lengan dengan mereka, maka
sekali tangan kanannya bergerak ke punggung, dia telah mencabut sebatang pedang
kemudian melintangkan pedang itu di depan dada!
Melihat ini
si baju hitam dan kawan-kawannya segera mencabut senjata mereka berupa golok
yang besar dan tajam. “Kawan-kawan, hati-hati jangan lukai nona manis ini.
Sayang kalau kulitnya yang halus itu sampai ada yang lecet, ha-ha-ha-ha!”
Kawan-kawannya juga tertawa mendengar ucapan ini.
Ucapan si
baju hitam itu membuat Kiok Nio menjadi marah bukan main. “Lihat serangan!”
bentaknya dan pedangnya sudah berkelebat ke depan menyerang si baju hitam.
Orang ini
terkejut bukan main. Serangan itu demikian cepatnya sehingga hampir saja dia
terkena tusukan pada dadanya. Dia menggerakkan goloknya menangkis sambil
melompat mundur dan kini empat orang kawannya juga maju dengan golok mereka,
menyerang Kiok Nio dari empat jurusan.
Akan tetapi
Kiok Nio memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring berdenting empat kali.
Selanjutnya gadis itu memainkan ilmu pedang keluarga Tan sehingga lima lawannya
menjadi kaget sekali dan mata mereka silau. Pedang di tangan Kiok Nio berubah
menjadi segulungan sinar yang terang dan menyambar-nyambar ke arah tubuh
mereka! Sekarang lima orang itu hanya mampu membela diri dengan
tangkisan-tangkisan dan berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan sinar
pedang yang makin lama semakin cepat itu.
Si Kong yang
tadinya merasa khawatir dan telah bersiap membantu atau menolong kalau gadis
itu terancam bahaya, kini sebaliknya menjadi kagum bukan main. Dara itu
memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan tahulah dia bahwa gadis itu tak akan
kalah dikeroyok lima orang itu.
Dugaan Si
Kong memang tepat. Sesudah lewat belasan jurus, pedang di tangan Kiok Nio telah
mengurung lima orang itu dan orang yang pertama roboh terpelanting adalah si
baju hitam. Pedang Kiok Nio melukai pangkal lengan kanannya sehingga dia
terpaksa harus melepaskan goloknya kemudian roboh, memegangi lengan kanan yang
terluka itu sambil mengaduh-aduh.
Pedang itu
berkelebatan terus dan berturut-turut empat orang pengeroyok yang lain juga
roboh. Ada yang terluka pundaknya, ada yang robek pahanya dan orang ke lima
roboh oleh tendangan kaki Kiok Nio yang tepat mengenai perut sehingga membuat
perut orang itu terasa mulas!
Tepuk sorak
terdengar ketika orang-orang yang antri beras melihat kelima orang itu dapat
dirobohkan oleh gadis itu. Si Kong juga ikut bertepuk tangan dan memuji dengan
hati lega karena selain gadis itu dapat menang, namun terutama sekali gadis itu
tidak membunuh orang.
Dengan ilmu
pedang seperti itu, kalau gadis itu hendak membunuh para pengeroyoknya, hal itu
dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi gadis itu hanya membuat mereka luka
ringan saja. Hal inilah yang mengagumkan hati Si Kong.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment