Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 08
Si Kong
menghampiri pembaringan itu. Dia tidak mengenal wanita yang kurus kering itu.
Dulu, sepuluh tahun yang lalu, enci-nya adalah seorang gadis remaja berusia
enam belas tahun yang cantik manis, sedangkan yang menggeletak di sana adalah
seorang wanita yang nampak tua dan kurus kering, rambutnya awut-awutan dan
tubuhnya kurus sekali.
“Apakah
engkau Si Kiok Hwa?” tanyanya ragu.
Sejenak
wanita itu memandang Si Kong, lalu berkata lemah. “Benar, aku Si Kiok Hwa...
dan engkau siapa, orang muda?”
“Enci Kiok
Hwa! Aku Si Kong, adikmu!”
“Si Kong...?
Ya Tuhan, terima kasih atas pertemuan ini...!”
Si Kong
duduk di tepi pembaringan kemudian memegang tangan enci-nya. Terkejutlah dia
ketika memeriksa nadi tangan enci-nya. Detak jantungnya begitu lemah dan tidak
tetap, napasnya terengah-engah dan tahulah dia bahwa enci-nya menderita tekanan
batin yang luar biasa sehingga kini tubuhnya tidak kuat bertahan dan jatuh
sakit yang teramat berat. Baru memeriksa nadi, mulut dan pernapasan enci-nya
saja tahulah Si Kong bahwa enci-nya sukar diselamatkan. Enci-nya itu seolah
telah berada di ambang kematian.
“Enci,
kenapa engkau sampai menderita seperti ini? Bukankah dulu engkau menjadi selir
Lui Wan-gwe?”
Dengan suara
terputus-putus dan napas terengah-engah wanita itu kemudian menuturkan
pengalamannya yang pahit. Ternyata dia hanya menjadi barang permainan Lui
Wan-gwe saja. Sesudah lima tahun kakek yang kaya raya itu bosan dengannya, lalu
menyerahkan kepada Lo Sam untuk menjadi istrinya.
Mula-mula ia
memang merasa bahagia karena Lo Sam menjadi suaminya. Akan tetapi Lo Sam adalah
seorang penjudi dan suka hidup royal. Ketika ia masih menerima sumbangan dari
Lui Wan-gwe, hidup mereka memang tidak kekurangan. Namun tiga tahun kemudian
Liu Wan-gwe menghentikan bantuannya dan mulailah penderitaan menimpa diri Kiok
Hwa.
Mula-mula
semua perhiasannya dijual Lo Sam untuk modal berjudi, lalu perabot-perabot
rumah tangga. Akhirnya, ketika tidak ada lagi yang harus dijual untuk
mendapatkan uang, Lo Sam lalu menjual isterinya!
“Dia memaksa
untuk menjadi pelacur... betapa hancur hatiku... akan tetapi dia memaksa dan
kalau aku tidak mau dia menyiksaku. Aku terpaksa... menjadi pelacur... dan
semua uang penghasilanku diambil oleh Lo Sam. Selama hampir tiga tahun aku
menjadi pelacur, dan akhirnya sebulan yang lalu aku jatuh sakit dan tidak dapat
bekerja sebagai… pelacur. Akan tetapi dia... dia…” Wanita itu menuding kepada
Lo Sam yang masih berdiri seperti patung. “Dia tidak mau merawatku... bahkan
memujikan agar aku lekas mati...” Kiok Hwa menangis, akan tetapi tidak ada air
mata yang keluar. Agaknya air matanya sudah habis terkuras selama ini.
Si Kong
menjadi marah bukan kepalang. Dia meninggalkan enci-nya dan menghampiri Lo Sam.
Dengan sekali totok Lo Sam dapat bergerak kembali.
Tadi dalam
keadaan tertotok Lo Sam mendengar semua cerita isterinya, dan dia menjadi takut
setengah mati ketika mengetahui bahwa pemuda yang lihai itu adalah adik
isterinya! Maka begitu bebas dari totokan, dia segera lari untuk meninggalkan
pemuda itu. Namun sekali menggerakkan kaki, Si Kong telah dapat mengejarnya dan
menjambak rambutnya, menyeretnya kembali ke dalam kamar. Ketika jambakan
rambutnya dilepaskan, Lo Sam segera menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong.
“Ampunkan
saya... ahh, ampunkan saya...”
“Keparat
busuk!” Si Kong memaki lantas tangannya dua kali bergerak.
“Krakk…!
Krakk…!”
Terdengar
suara dua kali dan kedua tangan Lo Sam sudah dipatahkan tulangnya di atas siku.
Lo Sam mengaduh-aduh, sementara dua lengannya tergantung tak berdaya karena
tulangnya sudah patah.
“Si
Kong...!” terdengar Kiok Hwa berkata lirih. “Jangan Si Kong... dia mempunyai
banyak teman, engkau akan dikeroyoknya...”
“Jangan
khawatir, enci. Kalau dia memanggil teman-temannya maka aku akan menghajar
mereka semua! Lo Sam, berdirilah saja di sana! Awas, kalau engkau melarikan
diri maka aku tidak akan mengampunimu lagi!”
“Ba...
baik... taihiap...!” kata Lo Sam tergagap saking takutnya.
“Si
Kong...,” wanita itu mengeluh panjang dan Si Kong segera menghampirinya lalu duduk
di tepi pembaringan.
“Ada apa
enci?”
“Aku...
aku...” Si Kong segera menotok beberapa jalan darah untuk memulihkan kekuatan
enci-nya yang sudah terengah-engah itu.
“Si Kong...
kalau aku mati... kuburkanlah aku... di dekat makam... ayah dan ibu...”
“Enci...!”
Si Kong merangkulnya sambil menangis.
Si Kong
tidak dapat menahan kesedihannya lagi melihat keadaan enci-nya, satu-satunya
keluarganya yang masih hidup tapi sekarang berada di ambang kematian tanpa dia
dapat menolongnya. Dia hanya dapat menolong agar enci-nya tidak terlalu
menderita kenyerian, akan tetapi tidak mampu mengobatinya sampai sembuh.
Keadaan enci-nya sudah sangat parah. Paru-parunya juga sudah terluka digerogoti
penyakit.
“Enci
tenangkanlah hatimu dan mengasolah. Aku akan membalaskan sakit hatimu kepada
semua orang yang telah membuatmu sengsara seperti ini. Aku pergi sebentar,
enci.”
Dia lalu
membantu enci-nya menelan sebutir pil yang dibuatnya sendiri dari akar-akaran.
Khasiat pil ini adalah untuk menguatkan badan dan melancarkan jalan darah.
Sesudah itu dia merebahkan lagi enci-nya, menyelimutinya agar enci-nya dapat
tidur dengan tenang.
“Hayo kau
ikut aku!” katanya kepada Lo Sam sambil menyeret tangan orang yang usianya
sudah empat puluh tahun itu.
“Ke... ke
mana..., taihiap?”
“Tidak perlu
bertanya, kau ikut saja!” kata Si Kong dan menyeretnya keluar dari rumah itu.
Orang-orang
yang tinggal di gang itu terheran-heran melihat Lo Sam didorong-dorong oleh
seorang pemuda agar melangkah maju, ada pun kedua lengan Lo Sam tergantung
lemas. Tetapi tidak ada seorang pun yang bertanya. Mereka sudah mengenal Lo Sam
itu orang macam apa. Penjudi, pemabok dan pembuat kerusuhan, apa lagi kalau
bersama teman-temannya.
Setelah
mereka tiba di jalan besar, Si Kong mendorong pundaknya. “Kita pergi ke rumah
Lui-wangwe!”
Muka Lo Sam
menjadi pucat, akan tetapi tidak berani membantah. Sebelum tiba di rumah
hartawan Lui, tiba-tiba ada empat orang pemuda yang berpapasan dengan mereka.
“Heii, Lo
Sam. Engkau mengapa?” tanya mereka.
Semangat Lo
Sam segera timbul kembali ketika melihat bahwa mereka itu adalah
kawan-kawannya. “Kawan-kawan, tolonglah aku. Aku dipaksa oleh pemuda ini!”
teriaknya.
Empat orang
itu cepat maju dan mengepung Si Kong. Mereka berempat sudah mencabut senjata
yang tadinya terselip di pinggang, yaitu sebilah pisau belati panjang yang
tajam berkilauan. Mereka menyerang dengan ganasnya, menusukkan pisau-pisau itu
ke arah Si Kong. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari kepungan
mereka dan ternyata Si Kong memang meninggalkan mereka untuk mengejar Lo sam
yang berusaha melarikan diri.
Lo Sam yang
melihat empat orang kawannya sudah mengepung Si Kong, menggunakan kesempatan
itu untuk melarikan diri. Namun tiba-tiba ada bayangan orang di depannya.
Ketika dia melihat, alangkah kagetnya melihat Si Kong sudah menghadang di depannya!
Si Kong lalu
menggerakkan jari tangannya menotok Lo Sam, membuat Lo Sam kembali tak dapat
bergerak seperti patung. Setelah itu barulah Si Kong menghadapi empat orang
pemuda berandalan itu.
Empat orang
itu cepat mengejar dan kembali mengepung, lalu mereka menyerang dengan tusukan
belati mereka. Si Kong menggerakkan kaki tangan, maka empat orang itu segera
berpelantingan. Dalam waktu sekejap saja Si Kong telah menampar dan menendang
dua orang lagi sehingga mereka terpelanting roboh lantas menyeringai kesakitan,
tidak dapat segera bangkit lagi.
Si Kong
tidak mempedulikan mereka. Ia menghampiri Lo Sam, membebaskan totokannya
kemudian menyeret lengan yang sudah lumpuh itu sehingga terpaksa Lo Sam
melangkah dengan muka pucat dan mulut menyeringai kesakitan.
Sesudah tiba
di pekarangan rumah besar milik Hartatawan Lui, Si Kong menyeret Lo Sam
memasuki pekarangan. Akan tetapi tiba-tiba dari dalam rumah itu keluar seorang
laki-laki yang usianya sekitar lima puluh tahun. Dia memegang sebuah kampak
yang mengerikan karena kampak itu amat besar dan nampak berat, juga berkilauan
saking tajamnya.
Melihat ini
Si Kong segera menendang Lo Sam sehingga tubuh Lo Sam terlempar dan dia hanya
mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit lagi karena kedua tangannya sudah lumpuh dan
kaki kirinya yang terkena tendangan pada pahanya itu juga nyeri luar biasa.
Si Kong
melangkah maju, disambut oleh laki-laki yang memegang kampak itu. Lelaki itu
bertubuh tinggi tegap. Dia memegang sebuah kampak besar dan menumpangkan kampak
itu di atas pundak kanannya.
“Hei, orang
muda pengacau, ternyata engkau berani datang lagi! Semenjak tadi aku telah
menunggumu. Katakan siapa namamu agar jangan sampai engkau mati tanpa nama.”
Si Kong mengerutkan
kedua alisnya. Tahulah dia bahwa Hartawan Lui agaknya sengaja memanggil tukang
pukul atau jagoan ini untuk melawannya.
“Sobat,
kalau boleh kunasehatkan, janganlah mencampuri urusanku dengan Lui Wan-gwe dan
pulanglah ke rumahmu sendiri. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun
juga!”
Orang itu
tertawa. “Ha-ha-ha, pemuda sombong. Ketahuilah bahwa aku Gin-to-kwi adalah
pelindung Hartawan Lui. Engkau berani datang mengganggunya, berarti engkau
sudah bosan hidup!”
Si Kong
memandang penuh perhatian dan melihat bahwa di belakang orang itu terdapat
sebatang golok menempel di punggung. Agaknya orang ini ahli bermain golok, akan
tetapi untuk menakut-nakuti lawan, dia sengaja membawa kampak yang besar itu.
“Gin-to-kwi,
kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa aku akan menghajarmu pula!”
Sepasang
mata itu melotot. Belum pernah ada orang yang berani menantangnya selama ini,
akan tetapi pemuda ini berani berkata hendak menghajarnya! Kemarahannya membuat
mukanya menjadi kemerahan, dan dia segera mengayun kampaknya untuk memamerkan
kekuatannya. Kampak itu diputar di atas kepalanya, kemudian dia berseru, “Orang
muda, mampuslah engkau!”
Orang itu
menyerang dengan kampaknya, dihantamkan ke arah Si Kong. Kalau serangan ini
mengenai sasarannya maka kepala Si Kong tentu akan terpisah dari tubuhnya
seperti penjahat yang kepalanya dipancung oleh seorang algojo.
Akan tetapi
dengan mudah saja Si Kong menundukkan kepala sambil sedikit menekuk lututnya
sehingga kampak itu berdesing lewat di atas kepalanya. Saat itu dipergunakan
oleh Si Kong untuk mengayun kaki kanan, menendang ke arah perut Gin-to-kwi.
“Dukkk!”
Gin-to-kwi
menangkis dengan tangan kirinya. Ternyata jagoan ini mempunyai kepandaian yang
lumayan juga. Tidak mengherankan kalau dia menjadi jagoan nomor satu di dusun
Ki-ceng. Dia tak mempedulikan rasa nyeri pada tangannya yang menangkis dan
kampak itu sudah menyambar lagi, kini menghantam ke arah dada Si Kong.
Kembali Si
Kong mengelak ke samping dengan menggeser kaki. Kampak itu membuat gerakan
memutar ke atas dengan cepatnya dan menyerang lagi ke arah kepala Si Kong! Si
Kong maklum benar akan bahayanya senjata berat ini, maka setelah mengelak
dengan mendoyongkan tubuh ke belakang dia segera balas menyerang dengan cepat
luar biasa karena dia menggunakan ilmu Yan-cu Hui-kuin (Silat Burung Walet
Terbang).
Orang
bertubuh tinggi besar itu terkejut sekali, akan tetapi dia tidak dapat mengelak
atau menangkis lagi ketika tangan Si Kong menampar dan tepat mengenai belakang
sikunya. Seluruh lengannya terasa lumpuh sehingga kampak itu terlepas dari
tangannya.
Dia cepat
meloncat ke belakang dan menggerak-gerakkan tangan kanan untuk mengusir
kelumpuhan itu. Ketika lengannya sudah pulih kembali, dia kemudian mencabut
golok dari punggungnya. Sinar terang menyilaukan mata menyambar ketika golok
dicabut. Agaknya senjata itu terbuat dari perak murni dan tajam bukan main.
“Bocah
setan, sekarang bersiaplah untuk mampus!” Bentak Gin-to-kwi sambil memutar
goloknya dan menyerang.
Bagi Si
Kong, gerakan lawan itu tidak terlalu cepat seperti nampaknya. Dia mengelak ke
sana sini dan mencari kesempatan. Ketika melihat lowongan pada saat golok
menyambar lehernya, dia lalu masuk menotok dada kanan lawan.
“Tukkk!”
Golok itu
terlepas dari tangannya dan sebelum Gin-to-kwi dapat berbuat sesuatu, sebuah
tendangan sudah membuat tubuhnya terlempar ke belakang! Dia mencoba untuk bangkit,
akan tetapi roboh lagi. Si Kong sudah tidak mempedulikan dia lagi, menghampiri
Lo Sam dan membebaskan totokannya lalu menyeretnya memasuki rumah gedung tempat
tinggal Lui Wan-gwe itu.
“Hartawan
Lui, keluarlah! Aku mau bicara!” teriak Si Kong ke sebelah dalam. Tidak lama
kemudian Hartawan Lui keluar dengan dipapah oleh dua orang gadis cantik.
Si Kong
mendorong Lo Sam sehingga orang ini jatuh berlutut.
“Nah,
Hartawan Lui, inilah Lo Sam yang telah mengawini enci-ku. Menurut keteranganmu
tadi, enci-ku keluar dari rumah ini dan menikah dengan Lo Sam. Akan tetapi
sebenarnya tidak demikian. Hayo Lo Sam, sekarang akuilah terus terang bagaimana
engkau sampai dapat menikah dengan enci Kiok Hwa yang tadinya menjadi selir
Hartawan Lui!”
Lo Sam sudah
mati kutu. Dia tidak berani lagi berbohong, sungguh pun dia takut kepada
Hartawan Lui akan tetapi dia lebih takut kepada Si Kong.
“Pada suatu
hari saya dipanggil Hartawan Lui dan diberi hadiah seorang selirnya dan juga
uang.”
“Nah, kau
dengar sendiri, Lui-wangwe? Dahulu engkau mengambil enci Kiok Hwa menjadi
selirmu, mengandalkan kekayaanmu dan mengambil kesempatan selagi ayahku
terdesak oleh kemiskinannya. Akan tetapi sesudah lewat lima tahun engkau merasa
bosan, lantas memberikan enci-ku kepada jahanam ini seolah enci-ku sebuah benda
yang tidak terpakai lagi. Jahanam Lo Sam ini telah menyiksa enci-ku dan
memaksanya menjadi pelacur, akan tetapi kesengsaraan yang diderita enci-ku itu
bermula dari tindakanmu yang memberikan dia kepada Lo Sam. Engkau harus
bertanggung jawab untuk itu!”
Kakek
hartawan itu gemetar seluruh tubuhnya. “Aku menyesal telah melakukan itu. Harap
engkau suka mengampuni aku. Kalau engkau menginginkan uang, sebut saja
jumlahnya, tentu aku akan memberikannya untukmu.”
“Aku tidak
butuh uangmu! Akan tetapi engkau harus membebaskan semua tanah, sawah serta
ladang yang kau sita dari penduduk miskin karena mereka tidak mampu membayar
hutang mereka kepadamu. Engkau juga harus membebaskan semua hutang penduduk
miskin di dusun ini, mulai hari ini tidak ada seorang pun yang meminjam uang
kepadamu, semua telah lunas. Mengerti?!”
“Ba...
baik...!” kata hartawan itu.
“Awas
engkau! Jika dalam beberapa hari ini engkau masih belum mengembalikan sawah
ladang kepada mereka, aku akan datang lagi ke sini dan membunuhmu seperti
anjing ini!” Si Kong menggerakkan tangannya ke arah kepala Lo Sam. Orang yang
kejam ini segera terpelanting roboh dan tak dapat bergerak lagi karena
kepalanya sudah retak dan jiwanya sudah melayang meninggalkan raganya.
Hartawan Lui
makin ketakutan. Mukanya pucat sekali sehingga dia tentu akan roboh kalau tidak
dipapah dua orang gadis itu,. Lututnya sudah menggigil.
“Dan ingat,
jangan memanggil jagoan seperti yang menggeletak di luar itu atau aku akan
membunuhmu dan membakar rumah ini!”
“Baik...
akan kuturuti permintaanmu...,” kata Hartawan Lui.
Setelah
mengeluarkan ancaman itu, Si Kong lalu keluar dari rumah itu. Para penjaga
tidak ada yang kelihatan karena mereka semua telah bersembunyi ketakutan. Si
Kong kembali ke rumah Lo Sam untuk melihat enci-nya, namun Kiok Hwa telah
meninggal dunia ketika dia memasuki kamar itu.
Si Kong
memeluk tubuh enci-nya dan dia merasa kasihan sekali. Enci-nya menjadi korban
karena kemiskinan orang tua mereka. Apa bila ayahnya tidak semiskin itu, tentu
enci-nya tidak sampai diserahkan kepada Hartawan Lui.
Para
tetangga datang melayat ketika mendengar bahwa Si Kiok Hwa meninggal dunia. Si
Kong mengurus jenazah enci-nya dan menguburnya di dekat kuburan ibu dan ayahnya.
Setelah penguburan selesai dia berkata kepada para tetangga itu.
“Apa bila di
antara kalian ada yang mengggadaikan tanah kepada Hartawan Lui atau yang
lain-lain, mulai sekarang boleh memiliki tanah itu kembali. Garaplah sawah
ladang kalian baik-baik dan jangan sekali-kali menggadaikannya. Jika kalian
butuh uang, mintalah saja kepada para hartawan di sini, mereka pasti akan
menolong kalian.”
Ucapan Si
Kong itu segera disambut dengan sikap bermacam-macam oleh mereka. Ada yang
berjingkrak kegirangan, ada pula yang tidak percaya dan ada yang ragu-ragu.
Si Kong
tidak berhenti sampai di situ saja. Dia lalu mengunjungi semua tuan tanah dan
hartawan yang tinggal di Ki-ceng. Tentu saja dia mendapat perlawanan dari
tukang-tukang pukul para hartawan. Akan tetapi semua tukang pukul dia robohkan
dan semua hartawan itu diancamnya untuk membebaskan semua hutang dan
mengembalikan sawah ladang, dan selanjutnya harus bermurah hati bila rakyat
dusun itu sedang menderita kekurangan pangan.
Si Kong
tinggal di dusun itu sampai sebulan lamanya. Sesudah dia melihat bahwa semua
ancamannya dipenuhi oleh para hartawan sehingga seluruh penduduk dusun yang
miskin menjadi gembira luar biasa, baru Si Kong meninggalkan dusun itu.
Penduduk yang tahu akan kepergian Si Kong, berbondong-bondong mengantarkan
pemuda itu sampai keluar dari dari dusun.
Dan semenjak
hari itu, seluruh penduduk dusun hidup dengan aman dan tenteram. Para hartawan
tidak perlu lagi memelihara tukang pukul karena rakyat miskin yang mengenal
budi itu akan menjaga keselamatan mereka dari gangguan perampok. Juga tidak ada
lagi kekurangan pangan, karena para hartawan mau membagi-bagikan beras apabila
musim panas yang panjang datang. Dan tidak ada lagi pencurian atau perampokan,
karena selain penduduk melakukan penjagaan, juga tak ada lagi keadaan yang
memaksa mereka untuk mencuri.
Dusun
Ki-ceng menjadi dusun teladan. Penduduknya hidup tenteram dan sebentar saja
dusun itu berkembang menjadi besar. Bahkan banyak orang berdatangan untuk
menjadi penghuni dusun Ki-ceng. Para hartawan juga tidak akan kehabisan
hartanya akibat suka membagi-bagi beras kepada penduduk miskin, karena ketika
sedang musim panen para penduduk miskin yang banyak menerima bantuan itu secara
bergotong royong membantu tanpa menuntut upah.
Memang
demikianlah. Kalau yang memiliki kelebihan memberi kepada yang kekurangan, baik
kelebihan harta atau ilmu pengetahuan, maka akan ada pemerataan penghasilan di
antara penduduk, tidak ada lagi bahaya kelaparan dan tidak ada lagi rasa iri
dan dendam. Tanpa dia sadari Si Kong telah menolong rakyat di dusun tempat
asalnya dan mengubah dusun yang biasanya dilanda kelaparan itu menjadi dusun
yang maju dan makmur.
Kini Si Kong
melakukan perjalanan tanpa tujuan tertentu. Dia telah kembali ke dusunnya,
bahkan kehilangan keluarga satu-satunya, yaitu enci-nya. Sesudah menguburkan
jenazah enci-nya, habislah kaitannya dengan dusun Ki-ceng.
Kemudian,
ketika pada suatu siang yang panas dia mengaso di bawah sebatang pohon rindang
dan membuka buntalannya, dia melihat kantung kain kecil yang berisi perhiasan
wanita, yaitu sepasang gelang emas bertabur permata yang indah sekali. Dia pun
teringat akan pemberi sepasang gelang itu, seorang gadis yang cantik jelita dan
mempunyai ilmu pedang yang lihai. Namanya Tan Kiok Nio. Membayangkan wajah
gadis itu, jantungnya berdebar. Gadis yang hebat, pikirnya.
Dia lalu
mengenang kembali semua pengalamannya dan dia mendapat kenyataan bahwa dia pun
teringat akan Tong Kim Lan, puteri si Huncwe Maut Tong Li Koan. Gadis itu pun
sering kali muncul dalam ingatannya. Kemudian dia teringat pula kepada Tang Hui
Lan, puteri suami isteri pendekar besar, cucu gurunya Ceng Lojin.
Kalau
dibandingkan dua orang gadis itu, Hui Lan menang segala-galanya. Kecantikannya,
kepandaiannya. Dia merasa yakin bahwa Hui Lan tentu mempunyai ilmu kepandaian
yang hebat sekali.
Kemudian dia
teringat kepada Gu Mei Cin, yang ditolongnya dari tangan si jahat Ouwyang Kwi.
Lalu dia pun teringat dan membayangkan wajah gadis lain yang tak kalah
cantiknya dari yang lain, bahkan dia memiliki ilmu kepandaian yang paling
hebat. Entah siapa yang lebih unggul ilmunya antara gadis yang bernama Pek Bwe
Hwa itu dengan Tang Hui Lan. Satu demi satu wajah kelima gadis itu bermunculan
dan hatinya merasa gelisah sendiri.
“Ihh! Tak
tahu malu. Kenapa mengenang gadis-gadis itu?” celanya kepada diri sendiri.
Cepat dia
menyimpan kembali kedua gelang emas berhias permata itu ke dalam kantung kain,
lantas mengambil roti kering yang tadi dibelinya di dusun terakhir yang
dilewatinya. Makan sepotong roti kering dan ikan kering membuat leher terasa
haus bukan main. Akan tetapi tempat airnya telah penuh diisi air teh di warung
dusun tadi, maka dia dapat makan dan minum sambil melepaskan lelah.
Selagi dia
makan minum, nampak seorang laki-laki setengah tua datang sambil memikul ubi.
Agaknya dia seorang petani yang baru saja panen ubi dan kini membawa ubi dalam
pikulannya.
Melihat
seorang pemuda beristirahat di bawah pohon besar yang berdaun lebat sehingga
memberi keteduhan di bawahnya, lelaki berusia hampir lima puluh tahun itu pun
berbelok meninggalkan jalan dan menuju ke pohon itu. Dia menurunkan pikulannya
dan menyeka keringat dengan bajunya, bahkan dia lantas menanggalkan baju
atasnya karena merasa gerah bukan main.
“Selamat
siang, paman,” kata Si Kong ramah. “Kalau paman mau, silakan makan minum
bersamaku. Akan tetapi aku hanya mempunyai roti kering dan teh dingin!”
“Roti kering
dan teh dingin sudah merupakan hidangan lezat di siang hari panas seperti ini,”
kata orang itu. Dia lalu duduk dekat Si Kong, di atas hamparan rumput hijau.
Sambil
tersenyum Si Kong mengulurkan tangannya, memberi roti dan ikan kering kepada
orang itu yang menerimanya dengan pandang mata berterima kasih. Mereka lalu
makan minum bersama sambil bercakap-cakap santai.
“Paman
hendak menjual ubi ke kota?”
“Benar,
kongcu.”
“Aihh,
jangan menyebut aku kongcu, paman. Aku hanya seorang perantau miskin, bukan
pemuda bangsawan bukan pula pemuda hartawan. Namaku Si Kong dan paman boleh
menyebutku dengan nama itu saja.”
Petani itu
tersenyum sambil memandang kepada Si Kong dengan matanya yang ramah. Kulit muka
petani itu sudah penuh keriput biar pun usianya baru lima puluh tahun, namun
wajah keriput itu masih nampak segar dan tubuhnya masih nampak kuat.
“Baiklah,
Akong, dan terima kasih atas keramahanmu mengundangku makan. Roti kering dan
ikan kering itu lezat sekali!”
“Setiap
makanan akan lezat kalau dimakan selagi perut merasa lapar, bukankah begitu,
paman?”
“Kau benar
dan perutku memang sedang lapar.”
“Apakah
paman mempunyai anak isteri?”
“Aku
mempunyai isteri dan dua orang anak.”
“Apakah
hidup paman kekurangan?”
“Ah, tidak.
Kedua anakku membantu di ladang. Setiap hari kami bisa makan dan ubi sisa
makanan kami ini dapat kujual ke kota lalu uangnya dapat kupakai membeli
pakaian atau keperluan lain. Tidak, aku tidak kekurangan dan keluargaku tidak
pernah kelaparan. Kami memiliki sebidang sawah dan juga mempunyai sebuah rumah
yang meski pun tidak bagus namun cukup menyenangkan bagi kami.”
Si Kong
memandang kagum. Di depannya duduk seorang setengah tua yang sederhana dan
miskin, memikul ubi yang berat untuk di jual dengan harga yang murah, namun
kakek ini tidak merasa kekurangan. Agaknya orang seprti kakek inilah yang dapat
disebut orang yang berbahagia hidupnya.
Mereka telah
selesai makan, namun kakek yang sudah melakukan perjalanan cukup jauh itu
agaknya hendak mengaso sejenak di tempat yang teduh itu.
“Paman,
engkau tentu seorang yang berbahagia hidupnya.”
“Bahagia?
Apakah itu? Aku tidak merasa berbahagia, tetapi juga tidak merasa sengsara. Aku
sekeluargaku cukup makan, dapat bertukar pakaian setiap hari, dan memiliki
rumah sebagai tempat tinggal kami, juga dapat bekerja di ladang setiap hari.”
“Kalau begitu
engkau pasti berbahagia,” kata Si Kong sambil mengangguk-angguk.
“Aku tidak
tahu, Akong. Apa sih bahagia itu? Yang jelas aku tidak membutuhkan bahagia,
asalkan keluargaku semua sehat dan tidak ada halangan sesuatu.”
“Paman tentu
tidak mengenal kesusahan dan kekecewaan.”
“Ahh, siapa
bilang? Kalau ubi yang kupikul ini tidak laku atau hanya laku sedikit saja, aku
tentu kecewa dan susah. Kalau anak-anakku tidak mentaati kata-kataku, aku pun
marah dan kesal. Aku masih bisa susah dan kecewa, Akong.”
Si Kong
tertegun dan memandang pada wajah penuh keriput itu. Benar, orang ini masih
mengenal susah dan kecewa. Kalau begitu dia bukan orang yang bahagia.
“Kalau
begitu engkau juga tidak berbahagia seperti halnya diriku, paman.”
“Aku tidak
tahu. Yang jelas, kadang-kadang aku merasa senang tapi kadang-kadang juga
merasa susah, kadang-kadang merasa puas tapi sering merasa kecewa juga.
Bukankah kehidupan ini terisi kesenangan dan kesusahan, Akong? Wah, matahari
sudah naik tinggi, aku tidak boleh kesiangan sampai di kota karena ubiku tentu
takkan laku lagi. Tengkulak-tengkulak pasti sudah pulang sehingga terpaksa ubi
kujual murah, membuat aku merasa kecewa dan susah.” Kakek itu lalu memikul lagi
ubinya dan pergi meninggalkan Si Kong.
Setelah
kakek itu pergi, Si Kong lalu termenung. Kakek itu bukan orang yang berbahagia,
pikirnya. Lalu apakah kebahagiaan itu. Baru sekarang timbul pertanyaan ini.
Sayang dia dahulu tak pernah membicarakan perihal bahagia ini dengan
guru-gurunya. Sekarang dia menghadapi pertanyaan itu seperti menghadapi
teka-teki. Dia sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan bahagia itu dan ke
mana harus mencari bahagia.
Seperti juga
Si Kong, semua orang di dunia ini mendambakan kebahagiaan, akan tetapi agaknya
jarang ada orang yang berhasil menemukan kebahagiaan. Yang dirasakan orang
hanyalah kesenangan, maka mau tak mau kita pasti akan berhadapan dengan
kesusahan pula.
Senang dan
susah, puas dan kecewa, gembira dan sedih, berhutang budi dan dendam, semuanya
itu menjadi isi kehidupan, yang satu tak terpisah jauh dari yang lain sehingga
manusia dipermainkan oleh perasaannya sendiri. Kesenangan memang mudah dicari
dan ditemukan, dan walau pun tidak dikehendaki, kesusahan akan menyusul
kesenangan itu, silih berganti.
Apakah
kebahagaiaan itu? Ke mana mencarinya? Orang mencari kebahagiaan dengan berbagai
cara. Melalui agama, melalui pengetahuan, melalui pertapaan dan penyiksaan
diri, tetapi amatlah sukar menemukan orang yang telah mendapatkan kebahagiaan
yang dicari-cari itu. Tetap saja mereka menjadi permainan susah dan senang.
Kalau kita
renungkan secara mendalam, kita dapat bersama-sama menyelidiki mengenai
kebahagiaan itu. Kebahagiaan berada di atas susah dan senang. Bahkan pada waktu
mengalami kesusahan, kita masih berbahagia. Bahagia tidak disentuh dan tidak
diubah oleh susah senang yang hanya lewat seperti lewatnya segumpal awan di
angkasa yang cepat lewat kemudian lenyap. Kebahagiaan tidak mungkin dapat
ditemukan dengan jalan mencarinya. Kebahagiaan tak dapat dicari. Makin
didambakan dan dicari maka semakin menjauhlah dia.
Dari pada
bersusah payah mencari kebahagiaan, lebih baik kalau orang meneliti
ketidak-bahagiaan. Ketidak-bahagiaan ini dapat terasa oleh setiap orang. Merasa
tidak bahagia! Kita lalu meneliti dan mengamati diri sendiri, apa yang
menyebabkan kita tidak bahagia? Kalau sebab adanya ketidak-bahagiaan ini sudah
tidak ada lagi, kita tidak membutuhkan bahagia. Kenapa? Karena kita sudah
berbahagia! Berarti bahwa kebahagiaan itu sudah ada dan selalu ada dalam diri
kita.
Seperti
halnya kesehatan. Kesehatan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi biasanya kita
tidak merasakan adanya kesehatan ini, tidak dapat menikmati. Apa bila kita
jatuh sakit, barulah kita mendambakan kesehatan.
Demikian
pula kebahagiaan. Selalu terutup oleh ulahnya nafsu, senang susah, gembira
sedih, dan segala macam perasaan yang didorong oleh nafsu. Karena kita menjadi
budak nafsu kita sendiri, maka kebahagiaan itu tertutup dan tidak pernah dapat
dirasakan. Yang bisa dirasakan hanya kesenangan dan kesenangan ini pun ulah
nafsu. Nafsu mendorong kita agar selalu mengejar kesenangan.
Orang yang
tidak lagi menjadi budak nafsu, melainkan menjadi majikan nafsu, mungkin sekali
akan dapat merasakan kebahagiaan itu. Nafsu tidak lagi menyeret kita ke dalam
perbuatan yang hanya mengejar kesenangan sehingga kita halalkan segala macam
cara untuk mencapai kesenangan.
Nafsu
merupakan peserta hidup yang sangat penting dan berguna, kalau saja kita yang
mengendalikannya. Akan tetapi kalau nafsu menguasai kita, maka mala petakalah
yang akan menimpa diri kita. Tanpa nafsu kita tidak akan dapat hidup di dunia
ini. Nafsu yang mendorong kita untuk hidup layak sebagai manusia. Akan tetapi
kita akan hidup sesat apa bila nafsu menjadi majikan.
Nafsu
bagaikan api. Kalau kita dapat menguasainya maka api itu sangat berguna bagi
kehidupan kita. Akan tetapi jika terjadi sebaliknya, api yang mengamuk
menguasai kita, api itu akan membakar segala yang ada!
Lalu
bagaimana caranya untuk menguasai dan mengendalikan nafsu yang begitu kuat?
Diri kita sudah menjadi gudang nafsu, maka akan sia-sialah apa bila kita
berusaha untuk menundukkan nafsu. Pikiran yang ingin menguasai nafsu itu
sendiri sudah bergelimang dengan nafsu.
Ilmu
pengetahuan juga tidak dapat digunakan untuk menguasai nafsu. Lalu bagaimana?
Satu-satunya jalan untuk menguasai nafsu hanyalah MENYERAH kepada KEKUASAAN
TUHAN! Siapa lagi yang mampu menundukkan nafsu selain YANG MAHA PENCIPTA? Hanya
Tuhanlah yang mampu menundukkan nafsu. Kalau kita menyerahkan diri dengan penuh
keimanan, tawakal serta kepasrahan yang ikhlas, maka kekuasaan Tuhan akan
bekerja di dalam diri kita!
***************
Si Kong
bangkit berdiri, dan membawa buntalan pakaiannya dengan memanggul tongkat
bambu. Dia melakukan perjalanan ke barat dengan melangkahkan kaki seenaknya
karena dia tidak tergesa-gesa, bahkan tidak mempunyai tujuan.
Kembali dia
teringat kepada Tan Kiok Nio, gadis jelita yang minta tolong kepadanya untuk
mencari tahu di mana adanya seorang kakek berusia enam puluh tahun yang mukanya
pucat dan berpakaian serba merah. Kakek itu sudah membunuh orang tua Kiok Nio.
Biar pun
amat sukar mencari orang yang tidak diketahui di mana tempat tinggalnya, akan
tetapi kalau kebetulan dia bertemu dengan kakek itu, tentu dia akan
mengenalnya. Sukar dicari orang tua yang memakai pakaian serba merah!
Pada suatu
hari tibalah dia di tempat yang sunyi sepi dan di depannya menjulang tinggi
sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon besar. Matahari sudah naik tinggi
dan Si Kong merasa betapa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin sore dia
belum makan apa pun kecuali minum air jernih yang menjadi bekalnya. Melihat
hutan di bukit itu, timbullah niatnya untuk berburu binatang yang dagingnya
dapat dimakan. Tidak nampak dusun di sekitar tempat itu di mana dia dapat
membeli makanan.
Dengan
membawa beberapa potong batu yang runcing dia memasuki hutan itu. Sesudah
berkeliaran di dalam hutan mencari-cari, akhirnya dia meloncat naik ke atas
pohon besar untuk melihat kalau-kalau di dekat situ terdapat binatang buruan.
Usahanya berhasil. Dari atas pohon itu dia melihat anak sungai yang
berliku-liku dan tidak jauh dari sana terdapat beberapa ekor kijang sedang
minum air.
Dengan
hati-hati Si Kong turun dari atas pohon dan berindap-indap mendekati sekawanan
kijang itu, menyusup-nyusup di antara semak belukar dan batang-batang pohon.
Sesudah jarak antara dia dan kijang-kijang itu tidak begitu jauh lagi, Si Kong
lantas menggenggam sepotong batu. Ia mengambil jarak dan matanya dengan tajam
membidik, lalu tangannya bergerak dan batu itu meluncur ke arah seekor kijang
muda yang gemuk.
“Wuuutt...!
Tarr…!”
Batu itu
bertumbukan dengan batu lain yang meluncur dari samping sehingga dua batu itu
runtuh. Kijang-kijang itu terkejut oleh bunyi kedua batu yang bertumbukan itu
dan mereka segera berloncatan cepat sekali menghilang di balik semak-semak
belukar.
Si Kong
mengerutkan kedua alisnya dan dia menjadi marah sekali. Jelas ada orang yang
sudah menimpuk batunya sehingga niatnya merobohkan seekor kijang menjadi gagal.
Dia meloncat keluar dari balik semak-semak, dan pada waktu yang sama dari balik
sebatang pohon besar melompat keluar pula seorang pemuda remaja yang dilihat
dari pakaiannya yang kusut penuh tambalan itu dapat diduga bahwa dia seorang
pengemis.
Di
punggungnya tergendong sebuah buntalan kain kuning. Bajunya yang penuh tambalan
itu terlampau besar hingga kedodoran dan kepanjangan sampai lutut. Namun wajah
yang kotor terkena tanah dan debu itu kelihatan tampan juga. Sebelum Si Kong
menegurnya, pengemis muda itu lebih dahulu menudingkan jari telunjuknya ke arah
hidung Si Kong dan membentak nyaring.
“Engkau
manusia kejam yang tidak mengenal peri kebinatangan! Kijang-kijang itu sedang
santai melepas dahaga, kenapa engkau hendak membunuhnya? Engkau lebih kejam
dari pada binatang buas!”
Kemarahan Si
Kong lenyap sudah. Melihat seorang pengemis muda yang hidupnya tentu serba
kekurangan dan sengsara, hatinya sudah merasa kasihan dan dia telah memaafkan
perbuatan pengemis muda remaja itu. Akan tetapi dia penasaran juga ketika
dikatakan lebih kejam dari binatang buas.
“Adik
kecil…”
“Aku bukan
anak kecil!” pengemis itu membantah.
Si Kong
tersenyum. Seorang pemuda remaja yang nakal, pikirnya, lantas dia pun berkata,
“Adik yang baik, kenapa engkau mengatakan bahwa aku lebih kejam dari binatang
buas? Kalau aku menjadi harimau, tentu kijang tadi sudah kuterkam!”
“Harimau
lain! Memang makanannya daging binatang dan ia hanya membunuh korbannya kalau
perutnya lapar dan dia ingin makan.”
Si Kong
mengelus perutnya. “Aku juga lapar.”
“Tapi engkau
tentu suka makan makanan lain. Harimau tidak suka makan roti, tidak suka minum
arak, tidak suka makan nasi. Sebaliknya engkau, aku yakin engkau suka makan
roti dan minum arak!”
“Akan tetapi
aku tidak mempunyai pilihan lain. Di sini yang ada hanya kijang itu, tidak ada
roti dan arak!”
Pengemis
muda itu menurunkan buntalannya dari punggung, lalu membuka buntalan dan di
antara pakaian yang tambal-tambalan terdapat pula sebungkus roti bakpau yang
isinya cukup banyak untuk dimakan dua orang! Dan ada seguci arak pula.
“Aku tidak
tega melihat kijang itu dibunuh. Binatang itu demikian indah, kalau engkau tadi
membunuhnya, tentu ada orang tua serta sanak saudaranya yang kehilangan,
terutama pacarnya. Maka aku menghalangimu dan kalau engkau memang lapar, sama
dengan aku, maka mari kita makan bakpau ini.” Dia lalu duduk bersila di atas
rumput.
Si Kong
memandang dengan bengong. Bocah ini memang agak nakal, akan tetapi kata-katanya
demikian tepat sehingga sukar untuk dibantah, seperti kata-kata seorang pendeta
yang pantang makan daging saja. Dia pun mengangguk, kemudian duduk di
hadapannya dan mengambil sepotong bakpau lalu menggigitnya. Lezat sekali bakpau
itu, tentu bukan bakpau murahan. Akan tetapi ketika lidahnya merasakan daging
di dalam bakpau, dia pun mengerutkan alisnya.
“Adik,
engkau tadi mencela aku yang hendak makan daging kijang! Namun engkau sendiri
sekarang makan daging yang berada di dalam bakpau. Kalau begitu engkau seorang
yang munafik!”
“Apa kau
bilang? Aku munafik? Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa aku tidak suka
daging?”
”Kau tadi
melarangku...”
“Tentu saja
karena aku membawa bekal bakpau yang cukup banyak. Kalau ada bakpau, kenapa
harus membunuh kijang lagi? Yang kumakan ini daging ayam, itu pun bukan aku
yang menyembelih, melainkan orang yang memeliharanya.”
Si Kong
tersenyum. Percuma saja berdebat dengan anak kecil yang mau menang sendiri. Dia
lalu makan lagi dan tanpa perlu makan waktu lama, bungkusan bakpau itu telah
habis mereka makan!
“Ini
minumnya! Bukan arak keras, melainkan anggur yang sedap dan tidak memabokkan.
Aku paling muak melihat orang mabok!”
Bocah ini
nakal, pandai bicara dan mau menang sendiri, akan tetapi hatinya amat polos dan
baik.
“Engkau
minumlah dulu, baru aku. Engkau pemiliknya, berhak minum lebih dulu karena di
sini tidak ada cawan.”
Kembali
bocah itu mengerutkan alisnya, “Kau tidak percaya padaku dan kau kira arak ini
mengandung racun? Hemmm, kalau aku ingin meracunimu, sekarang juga engkau sudah
menggeletak tanpa nyawa. Aku dapat menaruh racun itu di dalam bakpau tadi!”
“Wah, jangan
salah sangka, sobat. Aku sama sekali bukannya takut kalau di dalam arak itu ada
racunnya. Akan tetapi karena kita harus minum begitu saja dari mulut guci, maka
sebaiknya engkau dulu yang minum, baru aku.”
“Aturan mana
itu? Aku tuan rumah dan engkau tamuku. Tentu saja engkau yang harus minum lebih
dahulu. Apa bila engkau menolak, itu berarti engkau tidak percaya dan tidak
menghargai suguhanku.”
Kembali Si
Kong merasa kalah kalau dia harus berdebat melawan pengemis muda yang bicaranya
seperti seorang pengacara ini. Terpaksa dia menerima guci itu dan minum dari
mulut guci, menjaga agar bibirnya tidak menyentuh mulut guci.
Anggur itu
memang nikmat sekali, manis dan sedap. Karena isinya masih penuh, dia pun minum
sepuasnya. Lalu dia mengembalikan guci itu kepada pemiliknya. Pengemis muda itu
pun menuangkan anggur dari guci ke mulutnya dan menempelkan bibirnya pada mulut
guci.
Si Kong
memandang wajah pengemis itu. Wajah itu masih kekanak-kanakan, akan tetapi
sesudah dipandang dengan teliti, dia harus mengakui bahwa wajah pengemis itu
tampan sekali. Giginya berderet putih bagaikan mutiara. Akan tetapi wajah
berlepotan lumpur dan debu. Teringatlah dia akan peristiwa tadi.
Sambitan
batu yang dilontarkan kepada kijang tadi mengandung tenaga yang kuat, yang
diaturnya agar dapat membunuh kijang itu dengan sekali sambit. Namun pemuda
remaja ini mampu meruntuhkannya dengan sambitan batu lain. Ini membuktikan
bahwa pemuda jembel ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.
“Adik yang
baik, siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu?”
Pengemis
muda itu menatap tajam wajah Si Kong, agaknya sedang mempertimbangkan
pertanyaan itu. Kemudian dia berkata, “Katakan dulu siapa engkau dan ada urusan
apa engkau datang ke tempat ini?”
Si Kong
tersenyum. “Ditanya belum menjawab bahkan berbalik mengajukan pertanyaan.”
“Sebagai
tamu tentu saja engkau harus memperkenalkan diri lebih dulu. Jika engkau tidak
bertanya siapa namaku, aku pun tidak akan menanyakan namamu.”
Dasar
pokrol, pikir Si Kong. Akan tetapi pengemis muda ini sudah menjamunya dengan
bakpau dan anggur, maka dia pun mengalah. “Namaku Si Kong, tidak mempunyai
tempat tinggal yang tetap. Aku seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara dan
aku berkelana ke mana saja hati dan kakiku membawaku. Kebetulan saja aku lewat
di sini dan perutku tengah keroncongan. Karena melihat di sekitar tempat ini
tidak ada dusun, maka terpaksa aku harus berburu binatang untuk memberi makan
perutku yang lapar. Nah sudah jelas, bukan? Sekarang giliranmu berderita
tentang dirimu.”
“Aku... ehh,
namaku Siangkoan Ji. Aku juga berkelana seorang diri saja. Kalau tidak ada
orang lain menaruh iba, aku mendatangi rumah hartawan yang kikir lalu kuambil
emasnya barang sekantung. Lihat, inilah sisa emas sekantung. Sudah
kubagi-bagikan kepada para petani miskin dan sisanya tidak berapa lagi, akan
tetapi cukup untuk kubelikan makanan kalau lapar. Tidak akan habis sebulan.”
Si Kong
mengerutkan alisnya. “Ji-te, mengemis adalah pekerjaan yang memalukan, dan
mencuri merupakan perbuatan yang jahat. Mengapa engkau mengemis dan mencuri?”
“Aku
mengemis untuk makan. Aku mencuri untuk menolong para petani miskin di dusun-dusun.
Kenapa di bilang jahat? Habis, kalau aku tidak boleh mengemis atau mencuri,
lalu aku harus makan apa? Aku tidak suka makan batu dan minum air comberan!”
Pemuda itu membantah kemudian bersungut-sungut.
“Engkau bisa
bekerja, Ji-te (adik Ji), seperti aku. Aku pun suka bekerja kalau kehabisan
bekal. Gajinya kutabung, kalau sudah cukup aku melanjutkan pengembaraanku.
Engkau pun dapat bekerja, Ji-te.”
Pengemis
muda itu tampaknya senang di sebut Ji-te, sebutan yang akrab sekali. Pemuda
tegap di hadapannya ini tidak keberatan untuk bersahabat dengan pengemis, tidak
seperti pemuda-pemuda lain yang jijik melihatnya dan mengusirnya kalau dia
mendekati mereka.
“Aku tidak
biasa bekerja, Kong-ko. Aku tidak bisa bekerja apa-apa. Mana aku kuat kalau
diharuskan bekerja kasar seperti mengangkuti barang sekarung atau balok yang
besar?”
“Ji-te,
tidak perlu bersembunyi di depanku. Aku tahu benar bahwa engkau memiliki tenaga
yang besar dan engkau tentu seorang ahli silat yang lihai.”
Pengemis itu
membelalakkan matanya. “Ehh, bagaimana engkau bisa mengetahuinya?”
“Mudah saja.
Pada waktu aku menyambitkan batu ke arah kijang tadi, ada batu lain yang
menghancurkan batuku. Tentu engkau yang menyambitkan batu itu, bukan? Nah,
untuk menyambit batuku begitu tepat sampai dapat menghancurkan, engkau pasti
mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat.”
“Wah,
ternyata engkau cerdik juga, Kong-ko. Akan tetapi tenagaku hanya untuk membela
diri, bukan untuk mengangkut barang berat dan mencari uang. Ehh, dan engkau
sendiri, bukankah selain bekerja berat engkau juga suka mencuri barang para
hartawan kikir?”
“Tidak, aku
tidak pernah mencuri!”
“Hemm, kalau
begitu dari mana engkau memperoleh sepasang gelang permata itu?”
Si Kong
terkejut dan heran sekali. Bagaimana bocah ini bisa tahu bahwa dia menyimpan
sepasang gelang emas di dalam buntalannya? Dia segera meraih buntalan itu yang
tadi diletakkan di atas tanah, dekat pengemis muda itu duduk. Ketika
memeriksanya, ternyata buntalan gelang itu telah lenyap! Si Kong menjadi
semakin bingung.
Pengemis
muda itu tertawa. “Ha-ha, apakah ini yang kau cari, Kong-ko?” Dia mengangkat
kantung kain berisi sepasang gelang itu ke atas sambil meloncat berdiri.
“Jadi engkau
yang telah mencopetnya! Kembalikan!” Tangan Si Kong meraih, akan tetapi
Siangkoan Ji menarik tangannya sehingga sambaran tangan Si Kong itu luput.
“Ha, engkau
memiliki sepasang gelang yang berharga mahal, akan tetapi engkau bekerja
sebagai kuli kasar, bukankah itu pelit namanya? Ataukah, sepasang gelang ini
pemberian pacarmu sebagai tanda mata?” Siangkoan Ji menggoda.
Si Kong
cepat meloncat berdiri. “Ji-te, harap jangan main-main. Sepasang gelang itu
milik seorang gadis yang dititipkan kepadaku, bukan dari pacarku karena aku
tidak mempunyai pacar. Kembalikan padaku!”
“Kalau bukan
dari pacarmu, bahkan lebih gawat lagi. Kalau pacarmu mengetahui engkau membawa
gelang milik gadis lain tentu dia akan merasa cemburu sekali. Sebaiknya aku
yang membawa agar engkau tidak dimarahi pacarmu.”
“Ji-te,
jangan main-main! Kembalikan gelang itu kepadaku, cepat!”
“Ha, bukan
kebiasaanku untuk memberikan barang yang sudah kuambil. Apa bila engkau mampu,
ambillah sendiri dari tanganku!” Pengemis muda itu tertawa-tawa mengejek.
Si Kong
menjadi marah. Dia melompat ke depan kemudian menjulurkan tangannya untuk
merampas sepasang gelang yang berada di tangan kanan Siangkoan Ji. Namun
ternyata pengemis muda itu memiliki gerakan yang cepat sekali. Dia sudah
melompat ke samping sehingga sambaran Si Kong menjadi luput.
“Ji-te,
kembalikan atau terpaksa aku menggunakan kekerasan!”
“Ha, memang
itulah yang kukehendaki. Aku ingin tahu apakah dengan mempergunakan kekerasan
engkau akan mampu merampas gelang ini.”
Si Kong
kembali meloncat dan menyergap, akan tetapi dengan amat lincahnya pengemis muda
itu mengelak ke sana-sini sambil berloncatan. Si Kong menjadi semakin penasaran
dan kini dia menjulurkan tangan untuk menangkap pergelangan tangan kanan
Siangkoan Ji. Dia sudah menyentuh pergelangan tangan itu, akan tetapi tiba-tiba
pengemis muda itu menendang ke arah dadanya.
Karena
tendangan itu sangat cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat, terpaksa Si
Kong melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan dan mengelak ke belakang.
Sekarang Si Kong maju sambil menyerang dengan memainkan ilmu Yan-cu Hui-kun
(Silat Burung Walet Terbang). Gerakannya cepat bukan kepalang seperti seekor
burung walet di udara.
Pengemis
muda itu mengeluarkan seruan kaget dan dia pun menggunakan ginkang yang hebat
untuk dapat mempertahankan sepasang gelang di tangan kanannya, malah kini dia
pun balas menyerang sehingga kedua orang muda itu kini saling serang dengan
serunya.
Si Kong
mendapat kenyataan bahwa pemuda pengemis ini tidak saja bisa bergerak cepat,
akan tetapi juga ilmu silatnya cukup tangguh! Pantas dia berani mengembara
dalam usia yang demikian muda. Kiranya dia memang dapat membela diri dengan
kuat dan agaknya para penjahat akan sukar mengalahkan pemuda pengemis ini.
Meski pun
dia telah mengerahkan ilmu silat Yan-cu Hui-kun, ternyata pemuda itu mampu
menandinginya sehingga sampai tiga puluh jurus dia belum dapat merampas gelang
atau merobohkannya! Tidak ada jalan lain bagi Si Kong kecuali menggunakan
Thi-khi I-beng.
Sebetulnya
dia sudah dipesan oleh Ceng Lojin supaya tidak sembarangan menggunakan Thi-khi
I-beng. Akan tetapi pemuda pengemis itu terlalu cepat gerakannya, dan kalau dia
menggunakan Hok-liong Sin-ciang maka dia khawatir akan melukainya. Hal ini
tidak ingin dia lakukan. Dia harus merampas kembali gelang emas permata itu,
akan tetapi tak mau membuat pemuda pengemis itu cedera atau terluka dalam
tubuhnya. Satu-satunya jalan untuk merampas sepasang gelang itu tanpa
melukainya hanyalah dengan menggunakan Thi-khi I-beng.
Ketika
tangan kiri pemuda pengemis itu menyambar dan menghantam ke arah dadanya, Si
Kong menerimannya dengan dada tanpa mengelak sedikit pun.
“Plakk!”
Tangan
pemuda remaja itu mengenai dadanya dan melekat, kemudian Si Kong menyedot
tenaga sinkang pemuda itu. Pemuda itu terkejut setengah mati dan berusaha
melepaskan tangannya yang tersedot dan melekat di dada itu. Dengan mudah Si
Kong lalu merampas sepasang gelang di tangan kanan pemuda itu, lalu melepaskan
tenaga Thi-khi I-beng dan melompat mundur.
Pengemis
muda itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Kong-ko, engkau
menggunakan ilmu setan apakah?” tegurnya setengah bertanya.
Si Kong
tersenyum. “Ilmu itu namanya ilmu merampas gelang.” Dengan tenang Si Kong
segera menyimpan kembali buntalan sepasang gelang itu ke dalam buntalan
pakaian, lalu memanggul tongkat bambunya di ujung mana buntalan pakaian itu
tergantung.
“Kong-ko,
ternyata engkau mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dalam perkelahian tangan
kosong aku mengaku kalah, akan tetapi kalau saja aku mempunyai sebatang pedang,
aku yakin dapat mengalahkanmu.”
“Syukurlah
bahwa engkau tidak mempunyai sebatang pedang, Ji-te. Karena aku tak mau
berkelahi denganmu. Engkau pun lihai sekali. Gurumu tentu seorang tokoh besar
dalam perkumpulan pengemis. Akan tetapi kenapa seorang pemuda yang demikian
lihai seperti engkau berkeliaran di sini dan berpakaian pengemis?”
“Aku hendak
menonton keramaian di bukit depan itu,” dia menuding ke arah bukit yang tampak
menjulang di depan mereka, lalu tiba-tiba saja pengemis itu berseru, “Hei,
jangan-jangan engkau salah seorang di antara mereka!”
“Mereka
siapa?”
“Mereka yang
hendak bertanding di sini untuk meperebutkan Pek-lui-kiam.”
Diam-diam Si
Kong terkejut. “Aku bukan anggota dari partai mana pun juga dan aku tidak
hendak bertanding di bukit itu. Apakah seorang di antara mereka telah menguasai
pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya diperebutkan orang-orang persilatan itu?”
“Aku sendiri
tidak tahu. Mungkin juga begitu. Aku hanya mendengar bahwa besok pagi-pagi
datuk-datuk besar akan mengadakan pertemuan di sana untuk memperebutkan
Pek-lui-kiam. Kalau engkau bukan seorang di antara mereka, marilah kita
menonton, Kong-ko! Tentu akan ada pertunjukan menarik di sana!”
Si Kong
mengangguk. Tanpa diminta pun dia tentu akan pergi ke sana kalau pedang
Pek-lui-kiam yang diperebutkan. Dia sendiri telah menyanggupi permintaan Tan
Kiok Nio untuk mencari kakek berjubah merah yang membunuh orang tua gadis itu
dan merampas Pek-lui-kiam.
“Baik, aku
akan ikut denganmu,” jawabnya.
“Akan tetapi
engkau harus bersembunyi, Kong-ko, dan tak boleh sembarangan keluar dari tempat
persembunyianmu. Mereka adalah para datuk yang tidak segan membunuhmu!”
“Jangan
khawatir, Ji-te, aku akan menuruti nasehatmu,” jawab Si Kong sambil tersenyum.
“Kita
melewatkan malam di dalam hutan di kaki bukit itu, dan besok pagi-pagi barulah
kita mendaki bukit.”
Si Kong
hanya menurut saja dan pemuda jembel itu menjadi penunjuk jalan. Agaknya dia
sudah hafal benar dengan keadaan di situ dan setelah tiba di kaki bukit, dia
mengajak Si Kong memasuki sebuah hutan.
“Di sana ada
bekas kuil kecil yang sudah tidak dipergunakan lagi. Kita melewatkan malam di
sana,” kata Siangkoan Ji.
Benar saja,
setelah sampai di tengah hutan itu, Si Kong melihat sebuah bangunan yang sudah
bobrok saking tuanya dan tidak terawat. Dindingnya sudah menjadi hijau oleh
lumut dan atapnya juga banyak yang pecah. Pada waktu hujan tentu kuil ini
kebocoran di mana-mana.
Mereka
memasuki kuil kecil itu. Di ruangan tengah terdapat sebuah arca batu yang juga
sudah penuh lumut sehingga sukar dikenal lagi arca siapakah itu. Akan tetapi
Siangkoan Ji memberi hormat kepada arca itu dan perbuatannya ini lantas diikuti
oleh Si Kong. Yang dibuatkan arca tentu sebangsa dewa atau orang suci budiman
yang patut dihormati.
Di sudut
ruangan belakang terdapat lantai yang bersih. Agaknya sudut itu sering dipakai
oleh para pemburu binatang untuk mengaso sehingga lantainya bersih sekali.
“Nah, kita
akan melewatkan malam di sini, Kong-ko.”
“Baiklah,
aku mau pergi keluar sebentar.”
“Mau ke
mana, Kong-ko?”
“Untuk
mencari kayu bakar.”
“Untuk apa?”
“Ji-te,
malam nanti hawanya tentu sangat dingin dan nyamuknya banyak sekali. Membuat
api unggun bisa mengusir nyamuk dan melawan hawa dingin. “ Si Kong lalu
menunjuk ke arah kanan di mana terdapat abu dan arang. “Mereka yang pernah
bermalam di sini juga membuat api unggun.”
“Untuk
mengusir nyamuk aku tidak membutuhkan api unggun, dan untuk menahan udara
dingin aku pun kuat. Akan tetapi kalau engkau memang membutuhkannya, silahkan
saja mencari kayu bakar.”
Si Kong
tersenyum. “Aku ingin sekali melihat bagaimana caranya engkau akan mengatasi
kegelapan yang pekat malam ini tanpa api unggun.”
“Malam nanti
aku tidur, terang atau gelap sama saja bagiku,” jawab Siangkoan Ji sambil
tersenyum pula. Si Kong lalu keluar dari situ dan mengumpulkan kayu-kayu kering
yang kiranya cukup untuk membuat api unggun semalam suntuk.
Ketika Si
Kong memasuki kuil itu sambil memanggul sebongkok kayu kering, dia melihat
Siangkoan Ji sedang mengoleskan bagian tubuhnya yang tidak tertutup pakaian
dengan semacam minyak dari botol kecil. Kedua tangan sampai ke siku lalu kaki
bagian atas yang tidak tertutup sepatu, dan terutama muka dan lehernya.
“Apa itu,
Ji-te?”
“Inilah obat
istimewa penolak serangga macam serangga dan nyamuk. Kalau ada nyamuk berani
hinggap di kulitku, maka binatang itu akan tewas seketika!”
Si Kong
menurunkan kayu bakar dan memeriksa botol minyak itu, dibukanya kemudian
diciumnya. “Ahh, ini racun hebat dan berbahaya!” katanya sambil mengembalikan
botol itu kepada pemiliknya.
Siangkoan Ji
tertawa. “Tidak berbahaya bagi manusia, asalkan jangan diminum. Tapi bagi
nyamuk merupakan cairan maut, baru menciumnya saja sudah bisa membunuh binatang
itu.”
“Dari mana
engkau memperoleh racun itu, Ji-te?”
“Aku
membuatnya sendiri,” kata Siangkoan Ji bangga.
Si Kong
mengerutkan alisnya. Pemuda remaja ini penuh rahasia. Di samping ilmu silatnya
tinggi, juga agaknya dia ahli racun. Akan tetapi dia diam saja.
Sesudah hari
mulai gelap, apa yang dikhawatirkan Si Kong tadi langsung terbukti. Banyak
sekali nyamuk yang datang ke tempat itu! Akan tetapi Siangkoan Ji enak-enak
saja dan Si Kong melihat sendiri pemuda itu menjulurkan tangan agar digigit
nyamuk. Beberapa ekor nyamuk menyerang tangan itu dan nyamuk-nyamuk itu
langsung berjatuhan, mati!
Dia sendiri
langsung menjadi korban gigitan nyamuk, maka cepat-cepat dia membuat api unggun
barulah nyamuk-nyamuk itu terbang pergi. Dan bersama gelapnya malam, datang
hawa dingin. Akan tetapi api unggun itu mendatangkan kehangatan.
Siangkoan Ji
menggunakan daun-daun pohon untuk menyapu lantai, lalu dia merebahkan diri.
“Aku mau tidur di sini, Kong-ko. Kalau engkau mau tidur, carilah tempat
sendiri.”
“Kau
tidurlah, Ji-te. Aku akan menjaga api unggun supaya tidak sampai padam.” Dia
lalu duduk bersila di dekat api unggun.
Tak lama
kemudian Siangkoan Ji sudah tidur pulas. Si Kong dapat mengetahui hal ini dari
pernapasannya yang lembut dan panjang. Dia sendiri lalu memejamkan mata akan
tetapi tidak tidur, hanya mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk
beristirahat.
Lewat tengah
malam, tiba-tiba Si Kong mendengar suara orang berbicara di luar kuil. Dia
segera waspada dan cepat bangkit berdiri, kemudian berindap-indap keluar dari
kuil untuk melihat siapa yang bicara itu. Karena di luar gelap, dia hanya
melihat dua bayangan orang sedang bicara. Mereka memegang sebatang golok dan
menghampiri kuil dengan langkah perlahan.
“Tentu di
dalam ada orang. Api unggun itu pasti ada yang membuatnya,” terdengar suara yg
parau.
“Siapa pun
dia tetap harus kita periksa. Kalau dia adalah musuh, maka sekarang juga kita
bereskan,” jawab suara yang tinggi.
“Akan
tetapi, apakah tidak lebih baik kalau kita memberi tahu teman-teman, siapa tahu
di dalam ada orang lihai?”
“Ahh,
selihai-lihainya mana mungkin mampu menandingi kita berdua. Kalau diberi
tahukan kepada teman-teman, kita yang rugi. Siapa tahu orang itu membawa barang
berharga!”
“Dan mungkin
saja ada wanitanya yang cantik!” si suara parau tertawa perlahan.
“Sssttt,
jangan keras-keras, nanti mengejutkan orang dan kalau orang itu lari melalui
pintu belakang, akan sulitlah menemukan dia dalam gelap begini.”
Si Kong
sudah hendak keluar menjumpai dua orang itu, akan tetapi tiba-tiba dua orang
itu menjerit.
“Aduhhh...!”
“Ahhh...!
Lari, hayo kita lari!” Lalu terdengar suara dua orang itu melarikan diri.
Tentu saja
Si Kong menjadi heran sekali dan cepat dia menengok ke belakang. Ternyata
Siangkoan Ji sudah tidak berada di tempat dia tertidur tadi. Lalu tiba-tiba ada
bayangan berkelebat dan pemuda pengemis itu tahu-tahu sudah duduk di tempatnya.
“Ji-te,
kenapa kau lakukan itu?” Si Kong menegur karena dia sudah dapat menduga tentu
Siangkoan Ji yang menyebabkan dua orang tadi mengaduh dan melarikan diri.
“Aku
melakukan apa?” Pemuda remaja itu berbalik bertanya.
“Engkau yang
menyebabkan kedua orang itu mengaduh dan melarikan diri, bukan?”
“Apakah
engkau lebih senang melihat mereka masuk lantas menyerang kita dengan golok
mereka?”
“Hemm, tadi
engkau tidur pulas, bagaimana dapat mengetahui kedatangan mereka?”
“Telingaku
peka sekali, Kong-ko. Sedikit suara saja sudah cukup membangunkan aku.”
“Apa yang
kau lakukan tadi sehingga mereka mengaduh?”
“Ha-ha-ha,
apakah engkau tidak bisa menduganya? Aku menimpuk mereka dengan batu-batu. Ah,
mereka lari ketakutan, tentu mengira ada setan mengganggu mereka!” pemuda itu
tertawa senang.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment