Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 07
Sesudah hari
menjadi sore dan pekerjaan membagi-bagi beras itu selesai The-wan-gwe memanggil
Si Kong. Si Kong segera memasuki ruangan depan dan di sana telah duduk The Kun,
isterinya dan Tan Kiok Nio. Si Kong memberi hormat kepada mereka.
“Inilah
pemuda yang bernama Si Kong itu, yang tadi telah mengusir pengacau,” The Kun
memperkenalkan kepada isteri dan keponakannya, lalu dia berkata kepada Si Kong,
“Si Kong, ini adalah isteriku dan itu adalah keponakanku bernama Tan Kiok Nio.”
Kembali Si
Kong memberi hormat. “Duduklah, Si Kong. Kami memanggilmu untuk diajak
berunding.”
Si Kong
mengambil tempat duduk. “Urusan apakah yang hendak dirundingkan, Loya?”
“Sebelumnya
kami ingin mengetahui engkau berasal dari mana, dan siapa gurumu?”
“Dulu ketika
masih kecil saya tinggal di Ki-ceng, akan tetapi sejak saya berusia sepuluh
tahun saya berkelana seorang diri karena orang tua saya sudah meninggal dunia.
Saya selalu merantau dan di dalam perantauan itu saya belajar silat dari
beberapa orang guru. Ketika tadi saya melihat di kota ini ada seorang dermawan
membagi-bagi beras, hati saya tertarik dan beruntung saya dapat membantu Loya.”
“Dan kami
berterima kasih sekali kepadamu, Si Kong. Keponakanku ini kebetulan datang
sehingga dia dapat mengusir lima orang pengacau tadi.”
“Siocia
mempunyai ilmu yang sangat tinggi, sungguh mengagumkan sekali,” kata Si Kong
dengan sejujurnya karena dia memang melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis
itu.
“Keponakanku
ini adalah puteri seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia
persilatan, bernama Tan Tiong Bu, tentu saja dia mempunyai ilmu yang tinggi
warisan dari ayahnya.”
“Ahh, harap
Paman jangan memuji terlalu tinggi. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang
sakti, bahkan mendiang ayah juga dikalahkan dan dibunuh orang yang tentu lebih
pandai,” kata Kiok Nio merendah.
Hartawan The
menghela napas panjang. “Alangkah banyaknya orang jahat di dunia ini. Seperti
para pengacau tadi, mereka adalah orang-orang yang amat jahat. Entah mengapa
mereka memusuhiku. Si Kong, engkau telah banyak merantau di dunia kang-ouw,
apakah engkau mengenal mereka itu siapa dan dari perkumpulan apa?”
Si Kong
menggeleng kepalanya. “Maaf, Loya. Baru hari ini saya memasuki kota Ci-bun.
Saya sama sekali tidak mengenal mereka.”
Kiok Nio
yang ikut mencurahkan perhatian kepada percakapan itu lantas berkata, “Mereka
berpakaian serba hitam semua, tentu mereka adalah anggota sebuah perkumpulan.
Bila melihat pakaian dan penampilan mereka, mereka itu tentu anggota-anggota
perkumpulan perampok atau perkumpulan pengemis yang sesat.”
Hartawan The
menepuk pahanya. “Perkumpulan pengemis? Ahhh, sekarang aku teringat! Di Ci-bun
ini memang terdapat sebuah perkumpulan pengemis berbaju hitam, yaitu Hek I
Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Apakah mereka berasal dari
perkumpulan itu? Akan tetapi biasanya para anggota perkumpulan itu tidak pernah
ada yang membikin kacau, apa lagi berbuat jahat. Tetapi kalau melihat pakaian
mereka, memang besar sekali kemungkinan mereka itu orang-orang Hek I Kaipang.”
“Hemm, di
manakah sarang perkumpulan itu, Loya?”
“Bagaimana
kami bisa mengetahui tempat tinggal mereka? Akan tetapi biasanya ada saja
pengemis baju hitam yang berkeliaran di kota ini. Kalau engkau bertanya kepada
mereka, tentu mereka akan dapat memberi keterangan.”
“Kalau
begitu, besok pagi saya mohon pamit, Loya.”
Kiok Nio
memandang penuh perhatian. Menurut cerita pamannya, pemuda ini sudah bisa
mengalahkan si baju hitam. Akan tetapi hal itu belum menjadi jaminan bahwa dia
memiliki ilmu silat tinggi yang akan mampu menghadapi pengeroyokan anggota Hek
I Kaipang!
“Apa
maksudmu hendak mencari sarang Hek I Kaipang?” tanyanya dengan hati tertarik.
“Saya hendak
bicara dengan ketuanya, melaporkan perbuatan anak buahnya yang jahat dan minta
kepadanya supaya selanjutnya jangan mengganggu usaha kemanusiaan Loya yang
membagi-bagi beras.”
“Engkau
berani?”
“Kenapa
tidak, siocia? Saya ke sana dengan maksud baik. Saya tidak ingin bermusuhan
dengan siapa pun juga.”
“Kalau
ketuanya tidak mendengar omongamu dan engkau dikeroyok, bagaimana?”
“Saya kira
tidak demikian, siocia. Akan tetapi kalau terjadi seperti yang nona katakan
itu, yah, bagaimana nanti sajalah!”
Mendadak
Kiok Nio teringat dengan urusannya sendiri. “Si Kong, engkau adalah seorang
yang suka berkelana, tentu pengetahuanmu tentang dunia kang-ouw lebih luas dari
pada aku. Karena itu aku ingin minta pertolongan kepadamu, entah engkau mau
menyanggupi atau tidak.”
“Katakanlah,
siocia. Kalau memang aku dapat melakukannya, tentu akan kusanggupi.”
“Begini… aku
mempunyai seorang musuh besar, yaitu orang yang telah membunuh ayah ibuku.
Tetapi aku belum pernah melihat orangnya, juga tidak tahu namanya. Hanya ada
keterangan bahwa pembunuh itu mengenakan pakaian serba merah dan usianya kurang
lebih enam puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus serta mukanya pucat. Nah, kalau engkau
dapat mengetahui siapa orang itu, siapa namanya serta di mana tempat
tinggalnya, aku minta agar engkau suka memberi kabar kepadaku di sini. Maukah
engkau membantuku, Si Kong?”
Si Kong
mengangguk dan menjawab dengan sungguh-sungguh. “Akan saya buka lebar-lebar
mata dan telinga saya untuk mencari tahu tentang kakek itu, Nona. Mudah-mudahan
saja ada yang tahu siapa kakek dengan gambaran seperti yang Nona ceritakan
tadi.”
“Ada satu
keterangan tambahan, Si Kong. Orang itu sudah merampas sebatang pedang milik
ayah. Pedang itu disebut Pek-lui-kiam, pedang yang mengeluarkan sinar kilat.”
“Keterangan
itu penting sekali, Nona. Kalau tidak dapat dikenal orangnya, mungkin dapat
dikenal pedangnya. Saya akan berusaha mencarinya, Nona.”
“Terima
kasih, engkau baik sekali, Si Kong. Dan untuk bekal perjalananmu, kau terimalah
benda-benda ini dan juallah.” Gadis itu menyerahkan sapasang gelang emasnya. Si
Kong menolak dengan halus.
“Nona, apa
yang saya lakukan merupakan suatu kewajiban bagi saya, maka saya tidak
membutuhkan imbalan.”
“Tidak, Si
Kong. Simpanlah ini. Kalau engkau sampai kehabisan bekal di perjalanan maka
gelang-gelang ini bisa kau pergunakan. Kalau engkau tidak mau menerimanya malah
aku akan selalu merasa gelisah dan menyesal karena harapan untuk bisa menemukan
musuh besarku akan semakin kecil pula. Terimalah! Ini bukanlah imbalan jasa,
melainkan untuk biaya perjalanan.”
“Kiok Nio
benar, Si Kong. Terimalah sepasang gelang itu supaya hatinya tenteram,” kata
Hartawan The Kun.
Karena
didesak oleh mereka, akhirnya Si Kong bersedia juga menerima sepasang gelang
emas bertabur permata itu. Malam itu dia tidur di dalam sebuah kamar tamu dan
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah berpamit lalu pergi
meninggalkan rumah The Kun dan berjalan keliling kota.
Tak lama
kemudian dia sudah bertemu dengan yang dicari-carinya. Dua orang pengemis yang
mengenakan pakaian warna hitam sedang mengemis di depan sebuah pasar. Dua orang
pengemis ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan seperti lima orang perusuh
yang kemarin mengacau di depan rumah Hartawan The.
Si Kong
kemudian memperhatikan mereka berdua. Pakaian mereka memang serba hitam seperti
pakaian para pengacau kemarin, tetapi mereka mengemis seperti pengemis biasa,
bukan menggunakan kekerasan dan menerima apa dan berapa saja pemberian orang.
Si Kong
sengaja lewat di depan mereka, namun mereka sama sekali tidak mengenalnya dan
hanya menodongkan tangan untuk meminta sumbangan. Si Kong mengambil empat
keping uang dan memberi mereka masing-masing dua keping.
Melihat ada
orang memberi mereka masing-masing dua keping, dua orang pengemis itu
membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih.
“Sekarang
aku hendak minta tolong kepada kalian,” kata Si Kong. “Di manakah tempat
tinggal ketua Hek I Kaipang?”
Mendengar
ini, mata kedua orang pengemis itu menatap wajah Si Kong penuh perhatian dan
setelah bertemu pandang, baru Si Kong menduga bahwa dua orang pengemis yang
kelihatan lemah ini tentu memiliki ilmu silat yang lumayan.
“Kongcu, ada
keperluan apakah kongcu menanyakan Hek I Kaipang?”
“Aku hanya
ingin bertemu dengan pangcu kalian. Kalau pembicaraan kami cocok, maka aku
ingin menyumbang,” kata Si Kong.
Mata yang
tadinya mencorong penuh selidik itu menjadi lembut kembali dan seorang di
antara dua orang pengemis itu tersenyum.
“Kalau
kongcu keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, dalam jarak kurang lebih
lima mil kongcu akan melihat sebuah bangunan kuil yang sudah tidak digunakan
lagi. Di situlah tempat tinggal kami.”
“Terima
kasih,” kata Si Kong dengan gembira. “Sekarang juga aku akan pergi ke sana.”
Dia lalu
melangkah cepat ke pintu gerbang timur dan keluar dari pintu gerbang itu.
Kiranya sebelah timur kota itu merupakan persawahan yang tidak ada bangunan
rumahnya, tidak ada orang kecuali mereka yang bekerja di sawah ladang. Dia
berjalan menuju ke timur, melalui jalan yang tanahnya pecah-pecah karena musim
kering yang panjang. Dari jauh kelihatan sebuah hutan di depan, dan sungguh
menyenangkan melihat kehijauan hutan itu setelah hati merasa sedih melihat
tanah yang kekeringan. Karena jalan itu sepi orang, Si Kong lalu menggunakan
ilmu Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seolah melayang atau terbang saja
saking cepatnya dia berlari.
Tak lama
kemudian dia telah memasuki hutan itu dan di dalam hutan terdapat sebuah kuil
kuno yang besar namun sudah tidak berfungsi sebagai kuil tempat bersembahyang
lagi. Pada waktu Si Kong tiba di depan kuil, di pekarangan kuil itu dia melihat
beberapa orang berpakaian hitam sedang bekerja. Ada yang menyapu halaman, ada
yang membersihkan pintu dan jendela-jendela, ada pula yang memelihara tanaman
bunga. Kiranya kuil yang tua dan sudah tidak digunakan lagi itu kini
terpelihara oleh anak buah Hek I Kaipang. Kuil itu sudah tua akan tetapi
kelihatan bersih. Si Kong memasuki halaman itu dan tiga orang pengemis
berpakaian hitam segera menghadangnya.
“Kongcu, di
sini bukan tempat umum, melainkan tempat tinggal kami. Ada keperluan apa kongcu
masuk ke sini?” tanya seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
Pengemis ini
masih memegang sapu bergagang panjang. Ada pun dua orang kawannya yang tadi
bekerja memelihara pohon bunga sudah berdiri dengan sikap waspada sambil
membawa golok yang tadi mereka pergunakan untuk membabat tumbuh-tumbuhan liar.
Si Kong
segera menjawab dengan tulus, “Kedatanganku ini untuk bertemu dengan ketua Hek
I Kaipang.”
Tiga orang
itu kelihatan terkejut, lalu memandang dengan sinar mata penuh kecurigaan.
“Orang muda, ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan pangcu (ketua)
kami?”
“Kalian
tidak perlu tahu. Bawa saja aku menghadap pangcu kalian dan aku akan berbicara
sendiri dengannya.”
“Hemmm,
tidak mudah untuk bertemu dengan pangcu kami, orang muda. Ada syaratnya untuk
dianggap patut bertemu dengan beliau,” kata pula pengemis jangkung kurus itu.
“Ada
syaratnya? Dan apakah syarat-syarat itu?” tanya Si Kong penasaran. Masa hendak
bertemu dengan ketua pengemis saja ada syaratnya? Betapa angkuhnya para
pengemis ini.
“Syaratnya
ada dua. Pertama harus memberi tahukan dulu kepada kami apa keperluanmu mencari
pangcu, lalu kami akan melaporkan kepada pangcu apakah beliau mau bertemu
dengan engkau atau tidak.”
“Dan syarat
ke dua?”
“Syarat
kedua hanya berlaku untuk mereka yang tidak mau memenuhi syarat pertama, yaitu
kalau hendak masuk kuil harus melangkahi tubuh kami bertiga!”
Ini sebuah
tantangan! Biar pun sikap mereka tidak sekasar dan sesombong si baju hitam dan
empat orang kawannya yang mengacau di depan rumah Hartawan The, tiga orang ini
jelas memandang rendah orang lain dan menantangnya. Hatinya makin merasa tidak
suka kepada Hek I Kaipang.
“Bagus, aku
menghendaki syarat ke dua!” kata Si Kong.
Si tinggi
kurus segera melintangkan sapunya yang bergagang panjang, sedangkan kedua orang
temannya memegang golok. Mereka kelihatan tegang dan sudah bersiap-siap untuk
mengeroyok.
“Majulah
jika engkau berani melawan kami bertiga, kami telah siap!” kata si tinggi
kurus.
Si Kong lalu
menerjang maju, menampar ke arah pengemis kurus itu. Si pengemis kurus
menggerakkan gagang sapunya, memainkan sapu itu seperti orang bersilat pakai
tongkat, menangkis tamparan Si Kong sambil mengerahkan tenaga.
“Krakkk!”
tongkat sapu itu patah menjadi dua potong!
Dua orang
pengemis lainnya sudah membantu dengan menyerang Si Kong menggunakan golok
mereka, dari kanan dan kiri. Namun dengan amat mudahnya Si Kong mengelak ke
belakang dan ketika dua batang golok itu menyambar luput, Si Kong telah
menggerakkan jari tangannya menotok. Kedua orang itu roboh tanpa dapat bangkit
kembali karena tubuh mereka sudah tertotok lemas.
Si tinggi
kurus marah sekali dan dia menggunakan tongkatnya yang sudah patah menjadi dua
potong itu untuk menyerang Si Kong. Tetapi Si Kong menangkis dua potong tongkat
itu dengan kedua tangannya dan kembali tongkat itu patah! Sebelum pengemis itu
mampu menyerang lagi, Si Kong telah menotoknya pula sehingga si tinggi kurus
itu juga roboh tak dapat bangkit kembali.
Masih ada
dua orang pengemis yang bekerja di halaman itu. Melihat tiga orangnya sudah
dirobohkan oleh pemuda itu, mereka menjadi marah. Seorang dari mereka berlari
masuk ke dalam kuil, sedangkan orang kedua berlari menghampiri Si Kong kemudian
menyerang dengan menggunakan tongkatnya. Si Kong tidak mau membuang banyak
waktu lagi. Dia menangkap tongkat itu dan menotok roboh pengemis ke empat.
“Nah, aku
telah memenuhi syarat ke dua, dapat melangkahi tubuh kalian. Tentu sekarang aku
diperkenankan masuk.” Setelah berkata demikian dia melangkahi tubuh mereka.
Pada saat
itu dari dalam kuil muncul dua orang. Satu di antaranya adalah adalah seorang
kakek berpakaian serba hitam yang usianya sudah ada enam puluh tahun tetapi
tubuhnya masih nampak sehat dan kokoh. Muka pengemis ini bundar, dengan
sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa dia mempunyai tenaga sinkang yang
kuat. Ada pun orang kedua adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali,
dengan sebatang pedang yang terselip di punggungnya.
“Siapa
berani membikin ribut di sini?!” bentaknya.
Dia
memandang kepada Si Kong, kemudian kepada tubuh empat orang pengemis yang
menggeletak di atas tanah tanpa bisa bergerak. Pengemis tua itu lalu meloncat
ke depan tubuh empat orang pengemis yang tertotok. Tongkatnya bergerak cepat
menotok mereka berempat dan seketika empat orang itu mampu bergerak lagi.
Mereka bangkit dan berdiri, muka mereka merah karena telah dikalahkan oleh
pemuda itu.
“Orang muda,
siapakah engkau? Betapa beraninya engkau datang dan menyerang empat orang
anggota kami, merobohkan mereka dengan totokan. Apa maksud perbuatanmu ini dan
apa kehendakmu?”
Si Kong
mengamati orang tua itu. Tubuhnya masih tegap dan kelihatan kuat. Sebatang
tongkat hitam setinggi pundak berada di tangannya. Tentu orang ini memiliki
ilmu tongkat yang lihai, pikirnya.
“Engkau
ketua Hek I Kaipang?” tanya Si Kong, suaranya tegas.
“Benar,
akulah Hek I Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam).”
“Aku bernama
Si Kong dan aku datang untuk menegurmu. Sebagai ketua Kaipang engkau harus
mendidik anggotamu baik-baik. Mengemis makanan dan uang memang perbuatan tidak
tahu malu dan menjadi tanda kemalasan. Tetapi mengemis dengan cara merampok
merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni lagi!”
“Pemuda
sombong! Engkau datang mengacau di sini, sebaliknya engkau menuduh orang lain
yang bukan-bukan. Engkaulah yang sombong dan jahat!”
“Hemm,
dengarkan dulu omonganku...”
“Tidak perlu
banyak bicara. Engkau kalahkan dulu tongkatku ini, baru kita bicara. Engkau
telah merobohkan empat orang anggota kami, hal itu sudah lebih dari cukup.
Merobohkan anggota kami di tempat kami sendiri adalah penghinaan bagi ketuanya.
Nah, bersiaplah engkau!” Kakek itu kemudian memutar-mutar tongkatnya dan terasa
ada angin yang kuat menyambar.
Diam-diam Si
Kong kagum akan tetapi juga membangkitkan nafsunya untuk mencoba dan menandingi
kakek ahli ilmu tongkat itu. Melihat tempat itu dikepung banyak pengemis baju
hitam dan banyak di antara mereka yang memegang tongkat, Si Kong cepat meloncat
ke samping dan sebelum pemilik tongkat itu tahu apa yang terjadi, tongkat
bambunya sudah berpindah ke tangan Si Kong.
“Pangcu, aku
datang untuk bicara, tetapi aku disambut dengan tongkat. Jangan disangka bahwa
aku takut menghadapi tongkatmu. Marilah kita bermain tongkat sebentar, hendak
kulihat sampai di mana kelihaian tongkatmu!” Si Kong melintangkan tongkat
bambunya di depan dada.
Sebaliknya
ketua Hek I Kaipang itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu malah berani
menerima tantangannya dengan bersenjatakan sebatang tongkat bambu! Padahal
tongkat di tangannya adalah sebatang tongkat yang terbuat dari baja pilihan
sehingga tongkatnya itu berani menyambut senjata pusaka yang bagaimana pun
ampuhnya.
Sementara
itu dara cantik gagah yang tadi keluar bersama ketua Hek I Kaipang itu hanya
menonton dengan sikap tenang sekali. Dia bukan gadis biasa, melainkan seorang
gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali karena dia adalah puteri dan
anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Siong yang pada waktu kecilnya
dijuluki Sin-tong (Anak Sakti) karena bertulang dan berbakat baik sekali.
Pek Han
Siong menguasai banyak macam ilmu silat, di antaranya ilmu silat Pek-sim-pang
(Tongkat Hati Murni), Kwan Im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) yang dapat
juga dimainkan dengan tangan kosong dan disebut Kwan Im Sin-kun, serta masih
banyak lagi. Dan lebih dari pada itu, dia pun menguasai ilmu sihir!
Ada pun
isterinya juga bukan orang sembarangan. Ibu gadis itu bernama Siangkoan Bi Lian
yang pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewa Berhati Besi). Di antara
ilmu-ilmu silat yang dikuasainya terdapat ilmu Kim-ke Sin-kun (Ilmu Silat Ayam
Emas) dan juga Kwan Im Sin-kun.
Gadis itu
adalah puteri mereka, anak tunggal yang bernama Pek Bwe Hwa dan berusia delapan
belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur mirip wajah ibunya, hidungnya kecil
mancung, bibirnya merah membasah, dagunya yang runcing membayangkan kekerasan
hati, tubuhnya ramping padat dan rambutnya digelung secara sederhana di atas
kepala, diikat dengan pita merah.
Pedang yang
berada di punggungnya itu adalah pedang pusaka Kwan Im-kiam (Pedang Dewi Kwan
Im) yang diterimanya dari ayahnya. Sebagai puteri tunggal sepasang pendekar
sakti itu, tidak mengherankan jika Bwe Hwa mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya.
Bahkan dia juga pernah diberi petunjuk dan dilatih oleh ayahnya dalam ilmu
sihir!
Bwe Hwa
sedang berkunjung kepada Ketua Hek I Kaipang dalam usahanya turut mencari dan
memperebutkan Pek-lui-kiam yang menghebohkan dunia kang-ouw. Pek Han Siong dan
isterinya yang mendengar mengenai pedang pusaka yang kabarnya dijadikan rebutan
oleh para tokoh dan datuk persilatan, sengaja menyuruh puteri mereka supaya
ikut pula berlomba menemukan dan merampas pedang itu.
Mereka
merasa yakin bahwa puteri mereka pasti mampu melindungi diri sendiri dengan
semua ilmunya. Mereka menghendaki agar puteri mereka mendapat pengalaman di
dunia kang-ouw, seperti mereka ketika masih muda dahulu.
Kini Pek Han
Siong telah berusia lima puluh satu tahun, sedangkan isterinya empat puluh
sembilan tahun. Mereka juga memberi tahu nama dari para tokoh sesat dan juga
tokoh-tokoh yang bersih.
Demikianlah
sedikit keterangan tentang Pek Bwe Hwa dan kedua orang tuanya yang kini
bertempat tinggal di kota Tung-ciu, di sebelah timur kota raja. Pada saat itu
Pek Bwe Hwa sedang menjadi tamu ketua Hek I Kaipang karena dari orang tuanya
gadis ini mendapat tahu bahwa ketua Hek I Kaipang merupakan kenalan ayahnya dan
boleh dipercaya. Bwe Hwa berkunjung untuk mencari keterangan perihal
Pek-lui-kiam kepada ketua itu.
Selagi
mereka bercakap-cakap di dalam, datang anggota Hek I Kaipang yang melaporkan
tentang kedatangan Si Kong yang sedang bertanding dengan para anggota perkumpulan
itu di halaman depan. Hek I Kaipangcu menjadi marah mendengar laporan itu dan
dia pun bergegas keluar sambil membawa tongkatnya. Bwe Hwa tertarik dan ikut
keluar.
Akan tetapi
gadis ini tidak mau mencampuri urusan Souw Kian atau Souw-pangcu (Ketua Souw)
ketua Hek I Kaipang itu. Ia mendengar dari ayahnya bahwa Souw Pangcu adalah
seorang yang memiliki ilmu tongkat yang lihai, maka dia pun tidak perlu
membantu.
Akan tetapi
hatinya menjadi tertarik sesudah melihat Si Kong. Pemuda itu tidak kelihatan
seperti seorang penjahat dan demikian pemberani sehingga berani menyambut
tantangan Souw Pangcu yang bersenjatakan tongkat baja itu hanya dengan senjata
tongkat bambu. Hati dara ini menjadi kagum dan tertarik sekali. Akan tetapi dia
melangkah maju mendekat agar dapat mencegah kalau sekiranya Souw Pangcu
terancam bahaya maut.
Souw Pangcu
adalah seorang gagah. Melihat pemuda itu hanya bersenjatakan sebatang tongkat
bambu, dia pun enggan menggunakan tongkat bajanya. Yang dilawannya adalah
seorang yang masih muda belia, kalau pun dia berhasil menang dalam pertandingan
itu, kemenangannya tidak adil dan dia merasa malu.
Karena itu
dia pun menggapai seorang anggota perkumpulannya yang memegang tongkat bambu.
Anggota itu cepat mendekat dan Souw Pangcu menukar tongkat bajanya dengan
tongkat bambu.
“Nah,
sekarang senjata kita berimbang. Bersiaplah dan seranglah aku, orang muda.”
“Aku hanya
seorang tamu dan engkau tuan rumah, Pangcu. Silakan maju lebih dulu, aku sudah
siap!”
“Bagus,
lihat seranganku!” bentak ketua itu dan mulailah dia memutar tongkat dan segera
tongkatnya itu berubah seperti payung putih yang menerjang ke arah Si Kong.
Di dalam
hati Si Kong sudah timbul keraguan apakah ketua perkumpulan ini seorang jahat
karena sikapnya yang demikian gagah. Jelas bahwa ketua ini tidak ingin menang
sendiri. Maka dia pun menyambut sementara dalam hatinya dia mengambil keputusan
untuk tidak membunuh atau melukai berat lawannya. Asal dapat mengalahkan saja
sudah cukup. Apa lagi maksud kunjungannya bukan untuk berkelahi, melainkan
hendak membujuk ketua ini agar suka melarang para anggotanya melakukan
kejahatan.
“Trak-tuk-tuk…!”
Tiga kali
tongkat berbenturan dan Souw Pangcu menjadi kaget setengah mati. Pertemuan
tongkat yang terakhir itu membuatnya terhuyung ke belakang! Ini tidak mungkin,
pikirnya. Dia tadi merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika menangkis
pukulan pertama dan kedua, akan tetapi pada pertemuan tongkat yang ketiga
kalinya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membikin hancur tongkat
lawan. Tetapi akibatnya bukan tongkat lawan yang hancur, melainkan tubuhnya
yang terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung.
Akan tetapi
hal ini membuat Souw Kian menjadi penasaran sekali. Kembali dia menerjang
dengan teriakan nyaring, memainkan ilmu silat Hek-liong Tung-hoat (Ilmu Tongkat
Naga Hitam). Tongkatnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung bagaikan
seekor naga mengamuk. Akan tetapi semua serangannya itu dapat dihindarkan oleh
Si Kong dengan elakan mau pun tangkisan, bahkan setiap kali pemuda itu
membalas, sang ketua menjadi repot menyelamatkan diri.
Bwe Hwa
melihat semua ini dan dia semakin kagum saja. Ilmu tongkat pemuda itu sangat
aneh dan perubahannya tak dapat disangka lawan. Setelah lewat tiga puluh jurus,
Si Kong lantas menyerang dengan hebatnya, mengurung tubuh lawan dari segala
jurusan dengan tongkatnya yang bergerak sangat cepat.
Souw Kian
terkejut dan main mundur terus, tetapi tongkat lawan yang tadinya menyerang
tubuh bagian atas, tiba-tiba meluncur ke bawah dan sekali congkel, tongkat itu
masuk di antara kedua kaki Souw Kian dan begitu tongkat di tarik ke samping,
tak bisa dihindarkan lagi tubuh Souw Kian terjatuh menelungkup karena kedua
kakinya terangkat ke atas! Dia jatuh menelungkup seolah-olah orang minta ampun.
“Bangkitlah,
Pangcu, tidak perlu memberi penghormatan secara berlebihan!” kata Si Kong yang
hendak melucu.
Tapi
ucapannya ini membuat Bwe Hwa memandang kepadanya dengan mata mencorong. Dia
pun meloncat ke depan kemudian sekali menarik pundak Souw Kian, ketua itu
segera tertarik ke atas sehingga dapat berdiri lagi.
“Mengasolah,
Souw Pangcu. Biar aku yang menghadapi pengacau ini!”
Souw Kian
terpaksa harus mengakui kekalahannya. Dia mengundurkan diri dengan muka merah
dan berulang-ulang menghela napas panjang. Akan tetapi kini dia mengharapkan
gadis tamunya itu akan mampu menghajar pemuda itu. Dia dapat menduga bahwa
gadis itu tentu mempunyai ilmu silat yang amat tinggi, mempelajarinya dari
kedua orang tuanya yang menjadi pendekar sakti. Dia pun kini menonton dari
pinggiran.
Bwe Hwa
menghadapi Si Kong dengan senyum dingin dan matanya mencorong. Gadis ini
menganggap Si Kong sebagai seorang pengacau. Ia menudingkan telunjuk kirinya ke
arah muka Si Kong dan berkata dengan suaranya yang lembut namun penuh wibawa.
Karena menganggap pemuda itu sudah membuat malu kepada Souw Pangcu, dia pun
hendak membalas membikin malu pemuda pengacau itu.
“Si Kong,
engkau merangkaklah!” Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang seolah
hendak memaksa Si Kong berlutut dan merangkak.
Si Kong
terkejut bukan kepalang saat merasa jantungnya tergetar dan ada dorongan dari
hatinya sendiri untuk menjatuhkan diri dan berlutut. Akan tetapi dia langsung
teringat akan peringatan Ceng Lojin bahwa di dunia kang-ouw terdapat
orang-orang yang mempunyai keahlian sihir. Kalau menghadapi lawan seperti ini
dan ada dorongan hebat dari batinnya untuk menuruti apa yang dikatakan oleh
lawan seperti itu, dia harus cepat mengerahkan sinkang-nya sehingga bisa
menolak pengaruh sihir. Maka, begitu batinnya mendorongnya untuk berlutut dan
merangkak, dia cepat-cepat mengerahkan sinkang-nya untuk melawan dorongan ini.
Sekarang
berbalik Pek Bwe Hwa yang terbelalak heran. Pemuda itu ternyata sama sekali
tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya! Maklumlah dia bahwa pemuda itu telah
memiliki sinkang yang amat kuat sehingga mampu menahan kekuatan sihirnya.
Melihat kenyataan ini, dia menghentikan kekuatan sihirnya dan mencabut pedang
dari punggungnya.
“Singggg…!”
nampak sinar berkilauan dan gadis itu sudah melintangkan pedang di depan
dadanya.
“Pengacau
sombong, lihat pedangku!” bentaknya.
Pek Bwe Hwa
segera menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya lenyap bentuknya dan berubah
menjadi gulungan sinar terang yang panjang dan mendadak sinar itu mencuat ke
arah Si Kong.
“Trangggg...!”
Pedang di
tangan Bwe Hwa tergetar hebat. Gadis itu bertambah heran dan juga terkejut.
Pemuda yang memegang tongkat bambu ini memiliki tenaga sinkang yang kuatnya
bukan main. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan melanjutkan serangannya
secara bertubi-tubi. Dia menggunakan pedang Kwan-im-kian untuk memainkan
Kwan-im Kiam-sut yang amat lihai.
Si Kong
terkejut bukan main. Ilmu pedang gadis itu memang amat hebat dan sama sekali
tidak boleh dipandang rendah. Timbul kekaguman dalam hatinya. Gadis itu masih
muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, akan tetapi sudah memiliki
ilmu pedang yang demikian dahsyatnya.
Karena
maklum bahwa ilmu pedang gadis itu sangat berbahaya, Si Kong lalu memainkan
Ta-kaw Sin-tung dan mengerahkan khikang-nya sehingga gerakannya cepat bukan
main, lebih cepat dari pada gerakan Bwe Hwa! Kedua orang muda itu bertanding
dengan seru, saling serang dan saling desak.
Tetapi tentu
saja Si Kong tidak mempunyai niat untuk melukai atau membunuh lawannya. Dia
ingin mengalahkan tanpa melukai, kalau dapat merampas pedang yang hebat itu.
Tapi justru inilah yang membuat dia sukar sekali untuk mendapatkan kemenangan.
Merampas pedang itu amatlah sulit, sementara pertandingan antara mereka sudah
berlangsung lebih dari lima puluh jurus, masih belum ada yang kalah.
Mulailiah Si
Kong merasa khawatir. Agaknya tak mungkin baginya untuk dapat merampas pedang
gadis itu. Kalau dia kehendaki, tentu saja dia dapat merobohkan lawan dengan
melukainya, akan tetapi karena dia tidak menghendaki hal ini terjadi maka dia
mengalami kesulitan sendiri. Tiba-tiba dia teringat akan ilmu Thi-khi-i-beng. Hanya
ilmu ini saja yang memungkinkan dia mengalahkan lawan tanpa melukainya.
Pada waktu
pedang itu menyambar lagi ke arah lehernya, Si Kong cepat menangkis dan
menggunakan tenaga sinkang-nya untuk membuat pedang itu menempel pada
tongkatnya dan tidak dapat ditarik kembali. Bwe Hwa terkejut lantas mengerahkan
sinkang-nya untuk menarik kembali pedangnya yang sudah melekat pada tongkat.
Akan tetapi pada saat itu, sesuai dengan rencananya Si Kong segera mengerahkan
Thi-khi I-beng sehingga ketika gadis itu mengerahkan sinkang, tenaga gadis itu
tersedot melalui pedang dan tongkat.
Bwe Hwa
terkejut bukan main! Dari ayah ibunya dia mendengar bahwa di dunia kang-ouw
terdapat sebuah ilmu luar biasa yang dinamakan Thi-khi I-beng. Tetapi di dunia
ini hanya ada satu orang yang menguasai ilmu itu, yaitu Ceng Thian Sin atau
Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan.
Karena tidak
ingin tenaga sinkang-nya disedot sehingga dia kehabisan tenaga, terpaksa Bwe
Hwa melepaskan pedangnya dan meloncat jauh ke belakang! Biar pun andai kata dia
tidak melepaskan pedang, tetap saja dia takkan terancam bahaya karena Si Kong
segera menyimpan kembali tenaga Thi-khi I-beng. Dia tidak ingin menyedot habis
tenaga sinkang gadis itu, melainkan hanya ingin membuatnya kaget sehingga dia
bisa merampas pedang itu.
Si Kong
mengambil pedang yang menempel pada tongkatnya, lalu menghampiri Bwe Hwa dan
menyodorkan pedang itu kepada pemiliknya. Wajah Bwe Hwa menjadi merah, akan
tetapi dia merasa penasaran sekali dan bertanya,
“Engkau
menggunakan Thi-khi I-beng! Dari mana engkau dapat menguasai ilmu itu? Apa
hubunganmu dengan kakek Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah?” Dia pun
menerima pedangnya.
Si Kong
semakin kagum. Gadis ini masih muda, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian
tinggi, bahkan agaknya mempunyai pengetahuan luas sehingga dapat mengenal
Thi-khi I-beng dan gurunya, Ceng Thian Sin.
“Penglihatanmu
tajam sekali, Nona. Kakek Ceng Thian Sin adalah guruku.”
“Tidak
mungkin!” Gadis itu membentak. “Kakek Ceng Thian Sin adalah seorang pendekar
sakti yang namanya terkenal. Semenjak muda dia menentang kejahatan dan
menghukum para penjahat. Bagaimana sekarang muridnya menjadi penjahat?”
“Nona!” kata
Si Kong penasaran. “Aku bukan penjahat!”
“Hemmm, kau
datang ke sini dan mengacaukan kehidupan para pengemis yang tenteram, engkau
mengandalkan ilmumu untuk membikin rusuh, apakah itu tidak jahat namanya?”
Diam-diam Si
Kong terkejut. Jelas bahwa gadis itu bukan orang jahat, akan tetapi kenapa dia
berada di sarang Hek I Kaipang yang jahat?
“Nona, aku
datang ke sini bahkan untuk menentang kejahatan. Aku ingin menegur ketua Hek I
Kaipang yang membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan!”
“Biar pun
menjadi ketua para pengemis tapi Souw-pangcu adalah seorang gagah perkasa yang
selalu membela keadilan dan kebenaran. Bagaimana sekarang engkau menuduhnya
memiliki anak buah yang jahat? Itu hanya fitnah belaka!”
Kini Souw
Kian maju menghadapi Si Kong. “Agaknya sudah terjadi kesalah pahaman di antara
kita, Si-taihiap. Bila Si-taihiap hendak menegakkan kebenaran dengan menentang
kejahatan, maka jelaslah bahwa di sini terjadi kesalah pahaman. Aku berani
menanggung jawab bahwa di antara anggota kami tidak ada yang menjadi penjahat.”
Si Kong
menjadi ragu-ragu mendengar ucapan ketua Hek I Kaipang itu. “Aku pun bukan
bertindak secara ngawur, Pangcu. Aku sendiri yang sudah menghadapi para
penjahat itu. Mereka berpakaian hitam-hitam seperti anggotamu.”
“Hemm,
mungkin ada yang sengaja berusaha merusak nama baik Hek I Kaipang. Tolong
taihiap ceriatakan apa yang terjadi. Akan tetapi rasanya tidak enak bicara
sambil berdiri di halaman ini. Marilah, taihiap, kita bicara di dalam. Mari,
lihiap.”
Si Kong yang
kini menyadari bahwa memang ada kesalah pahaman, mengikuti ke dalam, Bwe Hwa
juga masuk ke dalam dan ternyata di dalam kuil yang tua dan tidak digunakan
lagi itu sangat bersih terawat. Dindingnya dikapur putih dan lantainya juga
bersih sekali. Di ruangan tengah terdapat meja dan beberapa buah bangku kayu.
“Silakan
duduk, taihiap dan lihiap (pendekar wanita).”
Setelah
mereka bertiga duduk menghadapi meja, Souw Kian lantas berkata, “Nah, silakan
menceritakan semua yang telah terjadi sehingga taihiap menuduh kami.”
Si Kong
menjadi semakin ragu. Lima orang pengacau berpakaian hitam itu baru lagaknya
saja sudah dapat diketahui bahwa mereka bukan orang baik-baik. Akan tetapi
sikap ketua Hek I Kaipang ini sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia orang
jahat. Dia menghela napas beberapa kali lalu mulai bercerita.
“Mula-mula
terjadi di depan rumah Hartawan The pada hari kemarin. Ketika The-wan-gwe
tengahmembagi-bagikan beras kepada mereka yang membutuhkan sehingga orang-orang
itu berdiri dalam antrian, tiba-tiba muncul seorang berbaju hitam yang
pakaiannya serba hitam pula. Dia tidak mau antri seperti yang lain, tetapi
menyerobot ke depan, bahkan dia minta satu karung beras. Ketika para petugas
menolaknya, dia lalu memukul empat orang petugas itu.”
“Hemmm,
orang itu jahat sekali. The-wan-gwe sudah terkenal sebagai seorang dermawan
yang budiman. Kalau aku berada di sana, tentu orang itu sudah kuhajar!” kata
Souw Kian marah.
“Pendapatku
sama dengan pendapat Souw-pangcu. Aku melihat kejadian itu, lantas turun tangan
dan menghajarnya. Dia melarikan diri akan tetapi tidak lama kemudian dia muncul
lagi bersama empat orang kawannya yang semua juga berpakaian serba hitam.
Untung di sana ada keponakan The-wan-gwe, seorang gadis yang pandai ilmu pedang
dan gadis itu berhasil mengusir lima orang itu. Nah, oleh karena lima orang itu
berpakaian hitam-hitam, maka aku menduga bahwa mereka tentu anak buah Hek I
Kaipang dan aku segera pergi ke sini untuk menegur Souw-pangcu. Tetapi malah
aku yang dituduh membikin kacau!”
“Sekarang
aku mulai mengerti. Tentu ada orang-orang yang sengaja ingin memburukkan nama
kami. Akan tetapi percayalah, taihiap, bahwa lima orang itu bukan anak buah
kami, bahkan kami akan mengerahkan seluruh anggota kami untuk melakukan
penyelidikan dan menangkap lima orang itu.”
Si Kong
mengangguk. “Sesudah melihat keadaan Hek I Kaipang di sini dan sikap pangcu,
aku pun mulai percaya bahwa lima orang itu bukan anggota Hek I Kaipang, tetapi
orang-orang lain yang sengaja menyamar. Maafkanlah kesalahanku, pangcu.” Si
Kong bangkit berdiri dan memberi hormat kepada ketua itu.
Souw Kian
cepat berdiri dan membalas penghormatan itu. “Tak perlu minta maaf, taihiap.
Kalau aku yang melihat peristiwa itu tentu aku pun bertindak seperti yang
taihiap lakukan. Silakan duduk lagi, taihiap. Kami merasa beruntung sekali
dapat berkenalan dengan Si-taihiap.”
Akan tetapi
Si Kong tidak ingin duduk kembali. Urusannya dengan Hek I Kaipang sudah
selesai, maka dia tidak mau terlalu lama di situ.
“Aku masih
mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, pangcu. Karena itu aku tidak
dapat terlalu lama berada di sini.”
“Tunggu
dulu, sobat.” kata Bwe Hwa. “Ayah ibuku mempunyai hubungan yang dekat dan akrab
sekali dengan keluarga Cin-ling-pai. Karena engkau adalah murid Ceng-locianpwe
dan memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka berarti engkau adalah orang sendiri.
Bagaimana keadaan Ceng-locianpwe di Pulau Teratai Merah? Tentu beliau kini
sudah tua sekali.”
Ditanya
tentang keadaan gurunya, wajah Si Kong menjadi muram seperti diselimuti awan.
Sesudah menghela napas panjang Si Kong menjawab, “Suhu telah wafat beberapa
bulan yang lalu.”
“Ahhh! Kalau
begitu tentu ayah dan ibuku pergi ke sana untuk melayat. Sudah lama aku
meninggalkan rumah.”
Melihat
sikap gadis itu kini ramah padanya, Si Kong merasa senang. “Kurasa ayah ibumu
tidak datang melayat karena kematian suhu terjadi secara mendadak dan kami
tinggal di pulau terpencil. Akan tetapi pada saat suhu wafat, bibi Cia Kui Hong
yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama suami dan puterinya datang sehingga
mereka dapat bicara dengan suhu sebelum meninggal dan ikut pula mengurus
jenazah suhu.”
Mendengar
ini, wajah Bwe Hwa menjadi berseri-seri. “Ahh, engkau bahkan sudah bertemu
dengan mereka? Baru sekali aku bertemu dengan keluarga itu, yaitu dua tahun
yang lalu. Bagaimana keadaan adik Hui Lan sekarang? Tentu ilmu kepandaian anak
itu sudah tinggi sekali. Ayahnya, paman Tang Hay adalah sahabat ayahku.”
“Adik Hui
Lan dalam keadaan baik-baik saja. Mengenai kepandaiannya, aku tidak tahu, akan
tetapi aku percaya bahwa dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Sudahlah, Nona, aku harus melanjutkan perantauanku.”
“Nona?
Engkau menyebut nona? Kong-ko (kakak Kong), kita adalah orang-orang sendiri,
tak perlu bersikap seperti orang asing. Bolehkah aku mengetahui nama orang
tuamu dan di mana mereka tinggal?’
Menghadapi
gadis yang lincah dan pandai bicara ini, Si Kong merasa terdesak sehingga dia
pun terpaksa menjawab. “Ayah ibuku telah meninggal dunia. Aku seorang yatim
piatu dan sebatang kara, tempat tinggalku juga di mana saja, tidak tetap. Nah,
sudah cukup, Hwa-moi, sekarang aku harus pergi.” Dia mengangkat dua tangannya
ke depan dada lalu melangkah keluar.
Bwe Hwa
merasa kecewa. Sebetulnya dia ingin bicara lebih banyak dengan pemuda itu,
menceritakan riwayat perjalanan mereka masing-masing. Hatinya tertarik sekali
kepada Si Kong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi, sebagai
seorang gadis tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus mencegah pemuda itu
agar jangan begitu cepat pergi meninggalkannya.
Karena dia
merasa kecewa dan hatinya terasa sepi setelah pemuda itu pergi, Bwe Hwa lalu
mengalihkan perhatiannya dengan bercakap-cakap dan minta bantuan Souw-pangcu
dalam usahanya mencari pedang pusaka Pek-lui-kiam.
“Seperti
yang sudah kukatakan tadi sebelum Kong-ko itu datang, pangcu. Apakah engkau
mengetahui di mana adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam?”
Souw Kian
menghela napas panjang. “Dunia kang-ouw menjadi ramai dengan munculnya berita
bahwa pedang pusaka Pek-lui-kiam menjadi rebutan dan semua orang mencarinya.
Pedang itu kabarnya menjadi milik Tan-taihiap atau Tan Tiong Bu yang tinggal di
kota Sia-lin. Namun beberapa pekan yang lalu, kabarnya Tang Tiong Bu dan
isterinya terbunuh. Tidak ada orang yang tahu siapa pembunuhnya, akan tetapi
diduga keras bahwa orang itu membunuh untuk merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam
itu.”
“Dapatkah
engkau menduga siapa kiranya yang melakukan pembunuhan dan merampas
Pek-lui-kiam?” Bwe Hwa mendesak.
Ketua Hek I
Kaipang itu menggelengkan kepalanya. “Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidik
ke Sia-lin. Akan tetapi di sana pun tidak ada yang tahu. Hanya menurut kabar,
pada saat kematian Tan Tiong Bu itu, ada orang melihat seorang kakek berpakaian
serba merah keluar dari pekarangan rumah itu. Kalau engkau hendak ikut mencari
Pek-lui-kiam, engkau harus mencari kakek yang berpakaian serba merah dan
mukanya pucat itu.”
Bwe Hwa
mengerutkan alisnya. Betapa akan sulitnya mencari seorang kakek berpakaian
merah dan mukanya pucat di antara rakyat yang tak terhitung jumlahnya itu.
“Pangcu,
pengalaman pangcu di dunia kang-ouw jauh lebih banyak dari pada aku. Tentu
engkau dapat menduga siapa adanya kakek berpakaian merah bermuka pucat itu.
Barang kali ada tokoh atau datuk sesat yang seperti itu.”
“Banyak
sekali datuk sesat di empat penjuru, Nona. Tetapi belum pernah aku mendengar
tentang seorang datuk yang berpakaian serba merah. Akan tetapi... ahhh, nanti
dulu! Aku pernah mendengar mengenai munculnya seorang tokoh baru yang datang
dari barat. Tak ada yang tahu siapa namanya, orang-orang hanya menyebutnya Ang
I Sianjin (Manusia Dewa Jubah Merah), dan tempat tinggalnya pun tidak ada yang
mengetahui. Mungkin dia yang melakukannya, namun sepanjang pendengaranku, tokoh
itu tidak pernah melakukan kejahatan.”
“Terima
kasih, pangcu. Setidaknya itu dapat menjadi landasan bagiku untuk mencarinya.
Amat sukar mencari pedang yang tidak diketahui di mana adanya, bahkan tidak
mungkin. Tapi agaknya akan lebih mudah untuk mencari orang yang telah diketahui
namanya. Nah, selamat tinggal, pangcu, engkau sudah menyambut kedatanganku
dengan sangat baik. Akan kuceritakan kebaikanmu ini kepada ayah dan ibuku kalau
aku pulang nanti.”
“Ah, Nona,
kedatanganmu ke sini saja sudah merupakan penghormatan besar bagi kami, kamilah
yang harus berterima kasih bahwa seorang pendekar wanita sudi berkunjung ke
rumah jelek dan kotor ini. Harap sampaikan salam hormatku kepada orang tuamu.”
Bwe Hwa lalu
meninggalkan kuil itu. Gadis ini kembali memasuki kota Ci-bun dengan hati
mengharapkan pertemuan dengan Si Kong di dalam kota itu. Akan tetapi setelah
tiga hari dia tinggal di Ci-bun dan tak pernah melihat bayangan pemuda itu,
hatinya terasa hampa dan kehilangan. Dia lalu meninggalkan Ci-bun untuk melanjutkan
perantauannya.
***************
Dengan
jantung berdebar karena tegang dan terharu Si Kong memasuki dusun Ki-ceng.
Begitu memasuki dusun itu, semua kenangan masa kecilnya terbayang kembali.
Sungai kecil yang bila musim kering tiba menjadi kering itu kini dipenuhi air
yang mengalir jernih. Dahulu sering kali dia mandi di sungai ini atau mengail
ikan.
Hatinya
menjadi sedih ketika melihat betapa dusun itu masih dipenuhi gubuk-gubuk reyot
yang menjadi tempat tinggal petani miskin. Dia tahu betul bagaimana penderitaan
mereka karena ketika dia masih kecil, ayahnya juga menjadi buruh tani, begitu
pula ibunya. Tetapi penghasilan mereka berdua masih belum cukup untuk dapat
memberi makan anak-anak mereka sampai kenyang.
Jembatan
kayu itu masih berdiri, sungguh pun di sana sini sudah terdapat tambahan kayu
untuk mengganti yang lapuk. Beberapa rumah gedung milik para hartawan masih
berdiri megah, dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di pintu gerbang
rumah-rumah gedung ini Si Kong melihat beberapa orang laki-laki yang bertubuh
kekar.
Dia masih
ingat. Mereka adalah tukang-tukang pukul para hartawan itu, ditugaskan untuk
mengancam, memukul atau membunuh buruh tani yang tidak bisa mengembalikan
hutang mereka kepada sang hartawan.
Si Kong
lewat di depan rumah gubuk yang dulu menjadi tempat tinggal orang tuanya dan di
dalam hatinya timbul keharuan dan kesedihan yang mengiris hati. Terbayanglah
semua peristiwa dahulu, kematian ayah ibunya. Akan tetapi dia merasa kehilangan
karena rumah yang lama sekarang sudah tidak ada lagi. Hanya pohon di depan
rumah itu masih berdiri seperti dahulu. Rumahnya telah berganti dengan rumah
yang bagus.
Dia dapat
menduga. Tentu rumah dan tanahnya sudah disita tuan tanah untuk pengganti
hutang ayahnya dan tuan tanah itu mendirikan rumah di situ, entah untuk siapa.
Mungkin untuk pegawai yang di percaya.
Dia
melanjutkan perjalanannya, melupakan semua itu dan kini dia pergi menuju ke
rumah Hartawan Lui. Sesudah tiba di depan rumah itu, teringatlah dia akan
segalanya. Kakaknya perempuan Si Kiok Hwa, semenjak berusia enam belas tahun
sudah dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Lui untuk dijadikan selir.
Kakaknya Si
Leng, dalam usia empat belas tahun telah memasuki rumah itu lewat pagar tembok
di belakang dengan maksud mencari enci-nya dan minta bantuan enci-nya karena
keluarga ayahnya sedang kehabisan beras dan diancam kelaparan. Akan tetapi
kakaknya ketahuan oleh tukang pukul dan dipukuli, disiksa sampai mati! Tentu
saja dengan tuduhan mencuri.
Tiba-tiba kerinduannya
terhadap kakak perempuan itu demikian mendesak hatinya. Ingin sekali dia
melihat keadaan enci-nya. Kalau enci-nya dalam keadaan sehat dan hidupnya
berbahagia maka dia pun akan merasa senang.
Si Kong lalu
menghampiri pintu pekarangan gedung besar itu. Di situ terdapat lima orang
penjaga yang tubuhnya tinggi besar dan kekar, bahkan mereka semua membawa golok
di pinggang. Menyeramkan sekali. Belum juga Si Kong datang mendekat dia sudah
ditegur.
“Heii! Mau
apa engkau mendekati pintu ini? Mau mengemis atau mau mencuri?”
Hati Si Kong
menjadi panas sekali, akan tetapi dia cepat menahan diri, bersabar karena demi
kebaikan enci-nya, dia tidak boleh membikin ribut di tempat itu. Dia lalu
melangkah maju menghampiri lima orang yang berdiri bertolak pinggang dengan
sombongnya itu dan berkata,
“Maaf, aku
tidak ingin mengemis atau mencuri. Aku hanya ingin bertemu dengan kakakku
perempuan yang tinggal di dalam gedung ini.”
Para tukang
pukul itu mengerutkan alis dan saling pandang, lalu yang berkumis lebat itu
melangkah maju mendekati Si Kong sambil bertanya. “Enci-mu tinggal di sini?”
katanya tidak percaya. “Siapakah enci-mu itu? Jangan main-main kau!”
“Aku berkata
benar. Enci-ku bernama Si Kiok Hwa, sudah sepuluh tahun tinggal di sini menjadi
selir Lui-wan-gwe.”
“Si Kiok
Hwa? Ha-ha-ha, engkau mimpi! Sudah bertahun-tahun aku menjadi pekerja di sini
tetapi belum pernah mendengar nama Si Kiok Hwa. Pergilah dan jangan membikin
aku marah. Tidak ada Si Kiok Hwa di tempat ini.”
“Kalau
begitu, biarkan aku bicara dengan Lui-wan-gwe. Dia tentu tahu tentang enci-ku
Si Kiok Hwa itu.”
“Mau bertemu
Lui-wan-gwe? Aha, enak saja kau bicara! Orang macam engkau ini mana ada
harganya untuk bertemu dengan Lui-wan-gwe? Tidak boleh! Lekas pergilah atau aku
akan menghajarmu!”
Kini Si Kong
tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Jahanam-jahanam busuk. Kalian ini
seperti anjing-anjing yang menggonggong keras tetapi sebetulnya kepalamu
kosong!”
“Keparat!”
Si kumis tebal sudah maju menghantam ke dada Si Kong.
Si Kong
miringkan tubuhnya. Ketika lengan yang besar itu lewat, dia menangkap lengan
itu, diputar ke belakang tubuh si kumis tebal dan sekali tarik ke atas, lengan
itu menjadi lumpuh karena sambungan lengan terlepas dari pundaknya. Nyerinya
bukan kepalang dan si kumis itu melolong-lolong kesakitan.
Empat orang
kawannya segera mencabut golok masing-masing dan mengeroyok Si Kong dari empat
penjuru. Akan tetapi Si Kong tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka.
Dengan gerakan yang begitu cepatnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata
mereka berempat, tahu-tahu golok di tangan mereka sudah terlepas dan berjatuhan
di atas tanah, disusul tubuh mereka yang terpental oleh tendangan kaki mau pun
tamparan tangan Si Kong.
Masih untung
bagi mereka bahwa Si Kong tidak mau membunuh orang, maka mereka itu hanya
mengalami tulang patah dan muka membengkak saja. Si Kong tak mempedulikan
mereka lagi dan dengan langkah lebar dia lalu memasuki pekarangan itu, terus
menuju ke pintu depan.
Lima orang
penjaga lain sudah menghadangnya dengan golok di tangan. “Heiiii, berhenti kau!
Tidak boleh memasuki rumah ini!” bentak seorang di antara mereka.
“Kalian yang
harus minggir dan memberi jalan kepadaku kalau tidak ingin kuhajar!”
Lima orang
penjaga itu melihat betapa lima orang rekan mereka yang tadi berjaga di luar
masih merangkak-rangkak dengan susah payah. Akan tetapi mereka tidak percaya
kalau pemuda ini telah merobohkan rekan-rekan mereka. Maka dengan teriakan
marah mereka berlima sudah menerjang dan mengeroyok Si Kong.
Kembali
tubuh Si Kong berkelebatan dan sebentar saja kelima orang itu pun sudah roboh
malang melintang dan golok mereka beterbangan terlepas dari tangan mereka.
Mereka hanya mampu mengaduh-aduh dan tidak dapat berbuat sesuatu ketika Si Kong
memasuki rumah besar itu.
Sesampainya
di ruangan depan, beberapa orang pelayan wanita menyambutnya dengan heran dan
seorang di antara mereka bertanya, “Engkau siapakah dan ada keperluan apa
memasuki rumah ini?”
“Aku hendak
bertemu dan bicara dengan Hartawan Lui. Cepat beri tahu di mana dia. Aku akan
menemuinya!”
Pelayan-pelayan
itu sudah melihat dari dalam betapa sepuluh orang penjaga dibuat roboh
berpelantingan oleh pemuda ini. Mereka tak berani menolak, akan tetapi juga
tidak berani membawa pemuda itu menghadap majikan mereka yang sudah tua.
“Silakan
tunggu di ruangan depan, kami akan segera memberi tahu majikan kami.”
Si Kong
mengangguk, lalu dia berkata, “Cepat laporkan dan minta dia keluar menemuiku,
sekarang juga.”
Tiga orang
wanita pelayan itu bergegas pergi ke sebelah dalam dan Si Kong tetap berdiri di
situ, memandangi perabot rumah yang serba indah. Di dinding terdapat banyak
lukisan indah dengan sajak pasangan yang muluk-muluk, yang mengajarkan manusia
melakukan segala macam kebaikan. Namun ujar-ujar suci itu digantung di situ
hanya sebagai hiasan saja, tidak ada sebuah pun yang dilaksanakan oleh si
hartawan!
Terdengar
langkah-langkah kaki dari dalam. Si Kong memandang ke dalam dan muncullah
seorang kakek tua renta yang usianya tentu sedikitnya telah delapan puluh
tahun. Ketika berjalan saja harus dipapah oleh dua orang gadis cantik.
Di
sampingnya berjalan seorang laki-laki tinggi kurus dan laki-laki ini memandang
kepada Si Kong dengan mata mencorong. Sebatang pedang tergantung pada punggung
orang itu. Tentu dia seorang ahli silat, mungkin merupakan pengawal pribadi Lui
Wan-gwe!
Melihat
kakek itu dipapah duduk di atas sebuah kursi, Si Kong lantas menghadapinya dan
memberi hormat. Bagaimana pun juga kakek ini adalah kakak iparnya.
“Apakah
engkau yang bernama Hartawan Lui?”
Kakek itu
tidak menjawab. Yang menjawab adalah orang tinggi kurus yang sudah berjalan
maju menghadapi Si Kong. “Kalau benar beliau ini Lui Wan-gwe, engkau mau
apakah?”
“Aku hendak
bertanya mengenai enci-ku yang bernama Si Kiok Hwa. Sepuluh tahun yang lalu
enci-ku diambil selir oleh Lui Wan-gwe. Aku ingin bertemu dengan enci-ku itu.”
“Si Kiok Hwa
tidak berada di sini lagi. Nah, pergilah, orang muda dan jangan mengganggu
majikan kami.”
“Aku tidak
mau pergi sebelum mendengar tentang enci-ku!”
“Hemm,
agaknya engkau patut dihajar, berani engkau kurang ajar kepada Lui wan-gwe?”
Orang tinggi kurus yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu mencabut
pedangnya dengan sikap mengancam.
“Aku tetap
tidak mau pergi sebelum mendengar keterangan yang jelas tentang diri enci Si
Kiok Hwa!” kata Si Kong dengan suara tegas.
“Engkau
sudah bosan hidup!” bentak kepala pengawal.
Laki-laki
itu sudah menyerang dengan pedangnya, akan tetapi dengan mudahnya Si Kong
mengelak. Ilmu pedang orang ini boleh juga. Setelah pedangnya dapat dielakkan
Si Kong, dia menyusulkan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Si Kong.
Akan tetapi
betapa pun cepat gerakan pedangnya, gerakan Si Kong jauh lebih cepat lagi.
Sesudah mengelak sampai sepuluh kali, tiba-tiba saja Si Kong menyambar pedang
yang ditusukkan ke dadanya dan menjepit pedang itu dengan jari-jari tangannya.
Si tinggi kurus terkejut bukan main dan berusaha menarik kembali pedangnya.
Akan tetapi Si Kong telah menggerakkan kaki menendang.
“Bukkk…!”
Orang tinggi kurus itu terpental ke belakang lantas memegangi dadanya yang
terasa remuk sehingga dia terengah-engah, tidak mampu berdiri hanya bisa
bangkit duduk sambil menekan-nekan dadanya yang tertendang.
Si Kong
menggerakkan tangan yang merampas pedang dan senjata itu meluncur seperti anak
panah lalu menancap di dinding sampai setengahnya lebih. Gagangnya bergoyang-goyang
saking besarnya tenaga yang melemparkannya tadi. Si Kong menghampiri kakek tua
itu yang nampak gemetaran.
“Tak perlu
takut, Lui Wan-gwe. Aku datang ke sini hanya ingin bertemu dengan enci Kiok
Hwa! Akan tetapi para tukang pukulmu menghalangiku, maka terpaksa aku
merobohkan mereka. Nah, sekarang katakan di mana adanya enci Kiok Hwa?”
Kakek itu
menggelengkan kepalanya. “Entah di mana. Pada lima tahun yang lalu dia pergi
meninggalkan rumah ini dan menikah dengan seorang yang bernama Lo Sam, aku
tidak tahu lagi…”
Suara kakek
itu sudah gemetaran, maka Si Kong tak mau mendesaknya. “Kalau engkau tidak
tahu, siapa yang tahu di mana adanya Lo Sam itu sekarang?” Dia berhenti
sebentar, lalu melanjutkan dengan suara mengandung ancaman. “Karena tadinya
enci-ku berada di sini, maka engkaulah yang bertanggung jawab, Lui Wan-gwe.
Kalau aku tidak mendapat keterangan yang jelas maka seluruh isi rumah ini akan
kugeledah!”
“Tunggu
dulu...!” Lui Wan-gwe mengangkat tangan. “Terus terang saja, aku sendiri tidak
tahu. Akan tetapi ada seorang bujang tua yang mengetahui ke mana Lo Sam membawa
Kiok Hwa.” Dia lalu memberi isyarat kepada seorang gadis cantik yang tadi
memapahnya. “Panggilkan Ji Kwi ke sini.”
Tidak lama
kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang wanita tua yang usianya
sudah enam puluh tahun. Wanita ini menghadap dengan takut-takut.
“Loya
memangggil saya?” katanya sambil berlutut di depan Hartawan Lui.
“Benar. Aku
ingin engkau menceritakan tentang Kiok Hwa kepada adiknya ini!” Hartawan Lui
menunjuk ke arah Si Kong.
Si Kong
menghampiri bujang tua itu, lalu berkata dengan suara halus. “Bibi, ceritakanlah
tentang enci Kiok Hwa, ceritakan semuanya dan jangan menyembunyikan sesuatu.”
“Lima tahun
yang lalu enci-mu keluar dari rumah ini untuk menikah dengan Lo Sam,” kata
bujang tua itu.
“Di mana
adanya Lo Sam itu?”
“Dahulu
rumahnya di gang ke empat dari jalan raya selatan, kalau mereka belum pindah
tentu engkau akan dapat menemukan mereka di sana.”
Si Kong
mengangguk-angguk. “Akan kucari di sana. Apa bila aku tidak dapat menemukan
enci-ku, engkau harus bertanggung jawab, Lui Wan-gwe!” Sesudah berkata demikian,
Si Kong lalu melompat dan keluar dari rumah itu.
Setelah
pemuda itu pergi, Lui Wan-gwe yang sudah tua renta itu lalu marah-marah dan
memaki-maki para pengawalnya yang dikatakan tidak becus menjaga keselamatannya.
“Cepat
undang Gin-to-kwi (Iblis Golok Perak) Bouw Kam ke sini!” perintahnya.
Gin-to-kwi
Bouw Kam adalah seorang tokoh besar di antara jagoan-jagoan yang menjadi
tukang-tukang pukul para hartawan di dusun itu. Dia bersedia melakukan segala
macam perintah hartawan-hartawan itu dengan imbalan uang. Bila perlu dia
bersedia membunuh demi mendapatkan upah.
***************
Sementara
itu Si Kong tidak membuang waktu lagi, segera pergi ke jalan raya selatan dan
memasuki gang ke empat. Ketika dia mencari keterangan dari orang-orang yang
tinggal di gang itu di mana rumah Lo Sam, dengan mudah dia mendapatkan
keterangan itu. Dia lalu menuju kerumah Lo Sam, menyelinap dan memasuki rumah
itu dari pintu belakang. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita batuk-batuk
kemudian disusul suara seorang lelaki yang terdengar marah-marah.
“Engkau
perempuan tiada guna! Kenapa tidak cepat mampus saja agar aku terlepas dari
beban!”
Suara wanita
itu menjawab, “Huk-huk-ugh... Lo Sam, di mana perasaanmu...? Ketika aku masih
sehat... kau memaksaku untuk melacurkan diri... lalu semua uangnya kau gunakan
untuk berjudi dan bersenang-senang... tetapi sekarang, sesudah aku jatuh sakit,
engkau tidak mau merawatku bahkan setiap hari terus memaki-maki...”
Jantung Si
Kong berdebar kencang. Dia tidak lagi mengenal suara wanita itu, akan tetapi
timbul dugaannya bahwa itu adalah suara Si Kiok Hwa, enci-nya! Karena itu dia
langsung mendorong pintu kamar itu sehingga terbuka dan dia melihat seorang
wanita kurus kering sedang rebah telentang di atas pembaringan beserta seorang
laki-laki tinggi besar sedang berdiri dekat pembaringan sambil bertolak
pingggang.
“Engkau yang
bernama Lo Sam?” tanya Si Kong sambil memandang laki-laki itu.
Laki-laki
itu terkejut melihat tiba-tiba ada seorang pemuda membuka pintu dan memasuki
kamarnya. Dia menjadi marah sekali dan tanpa berkata-kata lagi dia telah
menerjang dan memukul Si Kong dengan cepat sambil mengerahkan seluruh
tenaganya. Akan tetapi Si Kong menangkap tangan itu dan mencengkeramnya.
Lelaki itu
mengaduh-aduh karena merasa kepalan tangannya seperti dijepit cengkeraman besi.
“Aduh, aduh... sakit... ampunkan saya...!”
“Katakan
dahulu, benarkah engkau yang bernama Lo Sam?” kata Si Kong tanpa melepas
cengkeramannya.
“Benar, aku
Lo Sam…”
Si Kong
menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lo Sam hingga orang itu
tidak mampu bergerak lagi, berdiri dengan posisi menyerang dan memukul, seolah
dia telah menjadi sebuah patung......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment