Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 15
Ang I
Sianjin merasa penasaran. Melihat betapa para anak buahnya sudah jatuh bangun,
bahkan banyak yang tidak mampu membantunya lagi, dia pun menyerang dengan
ganas, menusukkan pedangnya ke arah dada sambil menggerakkan kipasnya menyerang
bagian muka Toa Ok.
Melihat ini
Toa Ok mengerahkan tenaga dan cepat menggerakkan tongkatnya, menangkis pedang
dan sekaligus menangkis kipas.
“Trangg...!
Trakk...!”
Pedang di
tangan Ang I Sianjin patah dan kipasnya juga terlepas dari tangan kirinya. Ang
I Sianjian menjadi kaget dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan
serangan Toa Ok. Ketika dia menoleh ke arah anak buahnya yang mengeroyok Ji Ok,
dia melihat betapa anak buahnya juga sudah jatuh bangun dihajar oleh Ji Ok.
Maklum bahwa kalau dilanjutkan hanya berarti mala petaka bagi anak buahnya, Ang
I Sianjin berteriak.
“Hentikan
pengeroyokan!”
Para anggota
Kui-jiauw-pang menghentikan gerakan mereka dengan hati lega. Mereka menolong
kawan-kawan yang terluka dan mundur. Ada di antara mereka yang menderita luka
memar dan tulang patah, tetapi tidak ada yang terluka berat. Mereka memandang
ke arah ketua mereka.
Ang I
Sianjin menggerakkan tangan ke bawah jubahnya dan pada saat tangannya ditarik,
maka keluarlah sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ketika pedang
digerakkan, nampak sinar laksana kilat menyambar dan membuat mata yang
memandangnya menjadi silau!
Mudah mereka
semua menduga pedang apakah itu. Tentu pedang yang dijadikan rebutan di antara
orang-orang kangouw, yaitu pedang yang disebut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat)!
Melihat
pedang yang berada di tangan Ang I Sianjin itu, mata Toa Ok dan Ji Ok
bersinar-sinar dan wajah mereka menjadi berseri-seri.
“Pek-lui-kiam,”
kata mereka berbareng dan Ji Ok telah melangkah maju menghampiri Ang I Sianjin.
“Cepat
berikan pedang itu kepada kami!” kata Ji Ok sambil menjulurkan tangan kanannya.
Namun Ang I
Sianjin tidak mau menyerahkan pedang itu begitu saja. Dia menjura kepada dua
orang datuk itu dan berkata dengan lantang. “Kami telah mendapat pelajaran dari
ji-wi dan kami mengakui bahwa kami telah kalah. Akan tetapi pedang ini saya
peroleh dengan susah payah. Karena itu, untuk mendapatkan pedang ini, siapa
saja orangnya, harus bisa merampasnya dari tangan saya. Saya harap ji-wi tak
mengabaikan aturan dunia kangouw ini!”
“Biarkan aku
yang maju merampasnya, Ji Ok!” kata Toa Ok.
“Tidak perlu
engkau yang turun tangan, Toa Ok,” jawab Ji Ok. “Cukup aku yang maju merampas
Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin!”
Ji Ok
melangkah maju mendekati Ang I Sianjin. “Bersiaplah engkau, Ang I Sianjin. Aku
hendak merampas Pek-lui-kiam dari tanganmu!”
“Silakan,
saya sudah siap!” jawab Ang I Sianjin sambil melintangkan pedang pusaka itu di
depan dadanya.
Dia maklum
bahwa dalam ilmu silat, dia seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Ok. Tadi dia
sudah melihat gerakan datuk itu ketika dikeroyok banyak anak buahnya. Dengan
Toa Ok pun dia hanya kalah sedikit, akan tetapi hanya sinkang yang amat kuat
dari Toa Ok yang tidak dapat dia lawan.
Ji Ok juga
maklum setelah memegang Pek-lui-kiam, Ang I Sianjin merupakan lawan yang sangat
berbahaya dan tangguh. Senjata cambuknya tentu akan segera putus rusak ketika
bertemu dengan pedang pusaka itu. Dia harus berhati-hati, karena sesudah Ang I
Sianjin menggunakan pedang pusaka itu sebagai senjata, apa bila dia tidak
berhati-hati, mungkin dia akan menjadi korban ketajaman Pek-lui-kiam.
“Awas
serangan!” bentak Ji Ok dan cambuknya sudah menyambar dengan cepat ke arah
pergelangan tangannya yang memegang pedang.
Ang I
Sianjin menggerakan pergelangan tangannya dan pedang Pek-lui-kiam menyambar
turun untuk menyambut pecut itu. Dia merasa yakin bahwa sekali sabet saja tentu
pecut itu akan putus. Akan tetapi Ji Ok cepat menarik cambuknya dan kini cambuk
menyambar ke arah kepala Ang I Sianjin. Ketua Kui-jiauw-pang ini cepat mengelak
dengan miringkan kepala, lantas pedangnya menyambar dari bawah, mengarah
lambung lawan.
Ji Ok
terkejut. Tadinya dia mengira bahwa Ang I Sianjin akan menggunakan pedangnya
hanya untuk melepaskan pedang dari bahaya terampas. Namun tidak tahunya pedang
itu sekarang menyambar bagaikan tangan maut yang hendak menjangkaunya! Dia pun
cepat meloncat ke belakang dan balas menyerang. Cambuknya meledak-ledak di
angkasa dan berputar membentuk gulungan sinar.
Kedua orang
itu segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Melihat
betapa sukarnya dia merampas pedang, kini Ji Ok juga mempergunakan serangan
bukan hanya untuk merampas pedang belaka, melainkan untuk melukai atau bahkan
membunuh lawannya!
Terjadilah
pertandingan yang sangat seru dan hebat. Gerakan mereka demikian cepatnya
sehingga yang kelihatan hanyalah segulung sinar pedang yang berkilauan serta
segulung sinar cambuk yang menghitam. Begitulah dalam penglihatan para anggota
Kui-jiauw-pang.
Akan tetapi
bagi Toa Ok, tentu saja dia dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan
jelas dan mulailah dia merasa khawatir. Bila tadi dia dapat mengalahkan Ang I
Sianjin dan puluhan orang pembantunya karena dia menang tenaga sinkang,
sekarang keadaannya lain lagi. Ang I Sianjin memegang sebatang pedang pusaka
yang amat ampuh, sedangkan tingkat kepandaian silat ketua Kui-jiauw-pang itu
tidak berselisih banyak jika dibandingkan tingkat Ji Ok. Karena itu dia
khawatir sekali kalau-kalau Ji Ok tak akan mampu merampas pedang pusaka, bahkan
dia mungkin akan menjadi korban pedang ampuh itu.
Pertandingan
itu memang seru bukan kepalang. Ang I Sianjin menang senjata, akan tetapi Ji Ok
menang tenaga sinkang dinginnya. Berulang kali Ji Ok menyerang dengan tangan
kirinnya, menghantam dan pukulannya mendatangkan hawa dingin yang kadang
membuat Ang I Sianjin gemetar.
Namun
sambaran pedang Pek-lui-kiam juga membuat Ji Ok terdesak sehingga kadang-kadang
dia terpaksa meloncat ke belakang dan mundur. Dengan demikian maka keadaan
kedua orang tokoh ini menjadi berimbang sehingga sukar diduga siapa di antara
mereka yang akan keluar sebagai pemenang.
Melihat hal
ini Toa Ok menjadi khawatir. Oleh karena itu, pada saat pedang di tangan Ang I
Sianjin terbelit oleh ujung cambuk di tangan Ji Ok, mendadak Toa Ok meloncat
dengan tongkat ular di tangannya dan tongkat itu menyambar dengan cepat sekali
ke depan.
Agaknya Ji
Ok hendak merampas pedang itu dengan membelitkan cambuknya kemudian menarik
cambuk supaya pedang itu terlepas dari pegangan Ang I Sianjin. Akan tetapi Ang
I Sianjin menahan pedangnya, bahkan menggunakan gagang kipasnya untuk menotok
ke arah dada Ji Ok.
Ketika Ji Ok
mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menarik pedang sedangkan tangan kirinya
menyambut kipas dengan cengkeraman, tepat pada saat itu pula tongkat di tangan
Toa Ok datang menyambar.
Ang I
Sianjin terhuyung ke belakang, dan Ji Ok juga terhuyung ke belakang. Akan
tetapi pedang itu sudah terlepas dari tangan Ang I Sianjiin dan langsung
disambar oleh Toa Ok dengan cepatnya. Ternyata Toa Ok telah menotok siku lengan
kanan Ang I Sianjin sambil mendorong dengan tangan kirinya hingga Ang I Sianjin
terpaksa melepaskan pedangnya dan tubuhnya terdorong ke belakang. Sebaliknya
cambuk di tangan Ji Ok putus dan Ji Ok terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri
sehingga terhuyung ke belakang.
Kini Ang I
Sianjin sudah dapat berdiri tegak kembali. Dia tidak terluka dan dia memandang
kepada Toa Ok dengan pemasaran. Melihat pedang pusakanya berada di tangan datuk
yang bertubuh gendut itu, dia berkata dengan penasaran.
“Kalian
telah bertindak curang! Kalian mengeroyokku!”
Toa Ok
tertawa dan sama sekali dia tidak merasa malu disebut curang. Segala perbuatan
keji dan jahat sudah dia lakukan bersama Ji Ok, apa lagi bertindak curang.
“Ha-ha-ha,
Ang I Sianjin, jangan berlaku bodoh dan pura-pura gagah! Ketika kami berdua
melawanmu beserta puluhan orang anak buahmu, bukankah itu juga suatu
pengeroyokan? Kalau engkau masih penasaran, engkau boleh mencoba untuk merampas
pedang ini dari tanganku, akan tetapi aku tidak mau berjanji untuk tidak
membunuhmu!”
Ditantang
demikian, Ang I Sianjin diam saja. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan menang
melawan datuk gendut ini, apa lagi Toa Ok sudah memegang Pek-lui-kiam.
“Baiklah,
Toa Ok. Aku mengaku kalah dan seperti yang sudah kujanjikan, aku bersama semua
anggota Kui-jiauw-pang mengangkatmu sebagai pimpinan. Akan tetapi aku minta
agar dapat menjadi saudara kalian dan disebut Sam Ok (Jahat Ketiga).
Bagaimana?”
Toa Ok dan
Ji Ok saling pandang lantas mereka berpikir. Mendapatkan pembantu seperti Ang I
Sianjin sungguh menguntungkan, apa lagi beserta seratus orang lebih anggota Kui-jiauw-pang
yang boleh diandalkan. Sebaliknya kalau mereka menolak, tentu pernyataan takluk
dari Ang I Sianjin hanya pada lahirnya saja, namun kelak orang itu dapat
menjadi musuh dalam selimut yang berbahaya.
“Baiklah,
Sam Ok!” kata Toa Ok.
Ji Ok tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami senang sekali mempunyai saudara ke
tiga, dan sekarang kita harus merayakan peristiwa ini, Sam Ok!”
Diam-diam
Ang I Sianjin juga merasa girang. Dia tahu bahwa banyak orang yang memiliki
kepandaian tinggi sedang berlomba-lomba untuk memperebutkan Pek-lui-kiam.
Tadinya dia mengandalkan anak buahnya yang banyak. Akan tetapi ternyata anak
buahnya yang banyak itu tak mampu melindunginya dari Toa Ok dan Ji Ok. Dengan
bergabung menjadi satu kini mereka bertiga merupakan kekuatan yang dapat
menentang siapa pun juga, apa lagi ditambah dengan anak-anak buahnya.
Bagaimana
pun juga kekalahannya dan kehilangan pedang pusaka itu tidak membuatnya
kehilangan muka, karena kini dia bahkan menjadi Sam Ok, sebuah kedudukan yang
lebih besar dari pada ketua Kui-jiauw-pang. Dengan julukan Sam Ok berarti dia
telah terangkat menjadi anggota dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk
barat!
Ang I
Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan
lantang. “Kalian semua tentu sudah melihat dan mendengar sendiri! Mulai saat
ini kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan
Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga).
Mengertikah kalian semua? Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua
sehingga kedudukan kita semakin kuat!”
Para anak
buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu,
karena itu dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira. Sam Ok
segera memerintahkan para anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan
peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan.
***************
Gadis yang
mendaki Kui-liong-san dari barat itu sangat cantik dan gagah. Mukanya bulat
telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat
menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya yang putih kemerahan walau pun
tanpa dirias dengan bedak dan yanci. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya
gemulai namun tetap. Dara itu masih muda, paling banyak baru sembilan belas
tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas,
dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai.
Setelah agak
lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah dia
mendaki bukit itu. Melihat ada seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang
diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah diduga dia tentulah seorang gadis
kangouw yang mempunyai ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya
sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.
Memang dia
bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang
mempunyai ilmu silat yang tangguh sekali. Dia adalah Pek Bwe Hwa yang telah
kita kenal.
Dara perkasa
ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika dia menjadi tamu
ketua Hek I Kaipang. Sesudah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat.
Akan tetapi Si Kong langsung pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya
lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya
mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan
ayahnya.
Pek Bwe Hwa
adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah
Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula. Ia mewarisi
ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persis milik
ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun
memiliki ketenangan seperti ayahnya.
Dalam
usianya yang sembilan belas tahun itu dia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang
yang dimainkan dengan tongkat, juga ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kun,
yaitu ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun
menyembunyikan daya serang yang amat kuat, dan Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam
Emas). Selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, dia masih mempelajari
ilmu sihir dari ayahnya! Karena itu tidak mengherankan kalau ayah bundanya
merelakan dia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka
yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.
Meski pun
masih muda namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama
besar ayahnya sangat menolongnya ketika dia mencari keterangan tentang pedang
pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa pedang pusaka itu
berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal.
Sebelum
berangkat merantau Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang
pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, dia harus berusaha untuk merampasnya,
akan tetapi jika terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, dia bahkan harus
membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat.
Kini dia
mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam
dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap
dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san. Karena itulah maka pada pagi
hari itu Bwe Hwa telah tiba di kaki gunung Kui-liong-san.
Matahari
telah naik tinggi, tetapi sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan
yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu cuaca masih remang-remang karena
sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pepohonan.
Akan tetapi pemandangan itu begitu indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk
garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang
selalu terlindung pohon-pohon itu.
Bwe Hwa
melangkah terus. Pagi-pagi tadi dia telah berhenti di sebuah dusun dan sarapan
di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak sesudah
mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san.
“Maaf, nona.
Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?” tanya kakek
penjual bubur itu.
Bwe Hwa
tersenyum. “Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman.”
Orang itu
memandang penuh kekhawatiran. “Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar!
Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Di sana sudah menanti
bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit
itu.”
“Ada bahaya
apakah, paman?” tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal dia sudah mendengar
bahwa bukit itu merupakan sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor
jahat.
“Apakah nona
belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan
binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!”
Bwe Hwa
tersenyum lagi. “Aku tidak takut terhadap binatang buas, paman. Aku memiliki
pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku.”
“Akan
tetapi... ah, apakah nona belum mendengar?” Orang itu memandang ke kanan kiri,
agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya. “Gunung itu sudah
menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu
tidak akan dapat turun kembali. Karena itu kunasehatkan, lebih baiik pilihlah
tempat lain untuk pesiar, nona.”
Bwe Hwa
melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jeri setelah
mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Dia dapat menduga bahwa setan dan
iblis yang dimaksudkan oleh penjual bubur itu tentu anak-anak buah Kui-jiauw-pang.
Tiba-tiba
dia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Di situ terdapat semak-semak
belukar yang lebat. Dia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang
mencolok hidung. Bau yang keras dan apek. Kemudian dia mendengar suara gerengan
halus tetapi menggetarkan jantung.
Bwe Hwa
berhenti melangkah dan menghadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di
dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Dia sudah siap
siaga menghadapi binatang buas apa pun.
Kemudian
muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya saja yang muncul keluar.
Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya
makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung. Akan tetapi Bwe Hwa menghadapi
harimau itu dengan tenang dan siap.
Harimau itu
keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa bisa
menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimau yang kelaparan
merupakan binatang yang sangat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja
yang kiranya dapat dijadikan mangsanya.
Perlahan-lahan
harimau itu berjalan menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan
gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum
dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam. Nampak otot-ototnya yang menggeletar.
Kemudian
dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan loncatan yang kedua kalinya
dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa
dengan terkaman dua kaki depannya yang kuat.
Bwe Hwa yang
sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah
perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum kembali sambil
membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi
telah membuat dia marah sekali.
Bwe Hwa
langsung mencabut pedangnya. Dia tidak boleh main-main dengan harimau itu
karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan
sekarang menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan
moncongnya telah siap untuk menggigit bila korbannya dapat dicengkeram dengan
dua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap pula. Ketika harimau itu menerkamnya, dia
cepat menggeser kaki ke kiri lalu pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua
kaki itu.
“Crokkk…!”
Kedua kaki
depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, kemudian
menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh
kembali. Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu.
Melihat
harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tidak mampu
bangkit, timbullah perasaan iba di hati Bwe Hwa. Bagaimana pun juga harimau itu
tidak jahat. Ia menyerang siapa saja yang bisa dijadikan mangsanya, untuk
mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau dia menyiksanya. Harimau
itu takkan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depan buntung, tentu tidak
dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan.
Sesudah
sejenak mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun lantas
harimau itu pun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh
itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam hingga hampir putus!
Mendadak
terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum, “Wah, hebat
sekali!”
Bwe Hwa
cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak
jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita
kuning dan pada ikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak.
Pemuda itu
nampak tampan, dan terutama amat bersih sehingga sama sekali tak sesuai dengan
keadaan sekelilingnya. Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru
saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun,
gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat.
Bwe Hwa
hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah melihat
pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang amat pesolek dan
tampan ini dan apa pula maksudnya muncul di dalam hutan di kaki gunung
Kui-liong-san ini.
Pemuda itu
pun seolah-olah terpesona. Dia melihat seorang dara yang cantik jelita seperti
dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa karena
berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan telah membunuhnya.
Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemunculannya tentu mengejutkan dan
mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenyum dan menjura memberi hormat.
“Maafkan
aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan di dalam hutan ini, tiba-tiba saja
aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat
menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu.
Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan
hatiku, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tak mungkin dapat
menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?”
Bwe Hwa
merasa tidak senang ditegur oleh lekaki yang sama sekali tidak dikenalnya ini,
akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan
sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.
“Justru
karena kedua kaki depannya putus maka aku membunuhnya untuk menghentikan derita
siksaan sampai dia mati kelaparan.”
Pemuda itu
mengangkat dua tangannya ke depan dada dengan sikap hormat dan kagum. “Bukan
main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga sangat bijaksana.
Apa yang nona lakukan itu memang tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati
nona. Nona, secara kebetulan sekali kita bertemu di sini, karena itu sudah
sepatutnya kalau kita saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa
terlampau tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tak
berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona.”
Kita pernah
berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali
membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu
adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan sudah mewarisi ilmu silat
dari mendiang Hek Tok Siansu.
Pada saat
Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya
kepada seorang murid yang bernama Giam Tit. Giam Tit inilah yang mengajarkan
semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang
perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar
Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya supaya
membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas
dendam itu, maka dia minta supaya Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan
dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Hay Hay dan keluarganya.
Ketika
bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa gembira sekali. Hui
Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu dan kalau
mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk
membalaskan dendam gurunya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah
kehancuran.
Akan tetapi
Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, karena itu dia pun
berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia telah kehilangan jejak gadis perkasa
itu. Maka ia pun melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki
tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya kenapa dia
berada di hutan di kaki gunung Kui-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu
dengan Bwe Hwa.
Bwe Hwa
adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya
tentu dia akan menjadi marah. Tapi kalau orang bersikap lembut dan hormat
kepadanya, dia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu
memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, dia merasa tidak enak kalau
tidak menanggapinya. Dia pun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan
dirinya.
“Aku bernama
Pek Bwe Hwa,” katanya singkat.
Coa Leng Kun
mengerutkan alis dan menatap tajam. “She Pek? Aku pernah mendengar tentang
keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati
Putih) yang berada di kota Kong-goan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan
nona dengan mereka?”
Bwe Hwa
tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw karena perkumpulan
Pek-sim-pang yang berada di tempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.
“Ketua
Pek-sim-pang adalah kakekku,” dia menerangkan dengan pendek.
“Ahh, kalau
begitu aku sudah bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!” Coa Leng Kun
kembali menjura dan memberi hormat. “Tidak mengherankan kalau nona begini lihai
dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!”
“Sudahlah,
tidak perlu basa basi ini. Sebenarnya apa yang mendorongmu datang ke
Kui-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun? Tempat ini tidak layak untuk didatangi
orang yang berpesiar.”
Coa Leng Kun
tersenyum. “Tepat sekali pertanyaanmu ini, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada
pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau adalah seorang gadis, lebih aneh lagi
berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi kalau melihat
kelihaianmu agaknya aku mengerti jawabannya.”
“Hemm, coba
terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini.”
“Menurut
dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam!
Kui-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua
orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa
Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang berpusat
di puncak bukit ini. Maka, apa lagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke
sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?”
Bwe Hwa
tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan
tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang
pemuda yang jujur, terpelajar dan juga pandai ilmu silat.
“Kalau
dugaanmu memang begitu, maka demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke
sini karena Pek-lui-kiam pula,” katanya.
Coa Leng Kun
tertawa. “Engkau sangat cerdik dan menduga dengan tepat sekali, nona. Akan
tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk dapat merebut pusaka itu jika
mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkannya.
Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja.”
Pemuda ini
sangat pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir
Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai di mana kehebatan ilmu
silatnya.
“Engkau
terlalu merendahkan diri, saudara Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki
ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu kuharap engkau tidak menolak untuk
saling mengukur ilmu silat masing-masing.”
Leng Kun
melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas. “Ahh, mana aku berani,
nona? Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!”
Bwe Hwa lalu
tersenyum. “Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Lagi pula mengukur
kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tak
perlu saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu,
saudara Coa. Bila kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing,
barulah kita dapat menjadi sahabat.”
“Ah, engkau
bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona? Terima kasih, dan kalau begitu
pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani
diriku dan tidak mendesak terlalu hebat.”
“Keluarkanlah
senjatamu, saudara Coa!” kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari
punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.
Seperti yang
diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu lalu mencabut suling perak yang terselip di
ikat pinggangnya dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking
seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat dia
maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka dia menjadi
semakin gembira dan kagum. Akan tetapi dia merasa khawatir kalau-kalau
pedangnya akan merusak suling itu, maka dia pun berkata dengan suara lembut.
“Saudara
Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan
tajam sekali. Aku khawatir sulingmu yang terbuat dari perak itu akan menjadi
rusak kalau bertemu dengan pedangku.”
Leng Kun
tersenyum lebar. “Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka
yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya
merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya.
Jangan khawatir, sulingku ini tidak akan rusak.” Setelah berkata demikian, Leng
Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke
depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki
kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.
“Aku telah
siap, nona. Mulailah!”
Bwe Hwa
tidak banyak cakap lagi. Dia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini.
Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya?
“Lihat
pedang!” bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada.
Leng Kun
menurunkan dan menggeser kakinya mengelak, lalu sulingnya menyambar ke arah
leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak kemudian membalas dengan pedangnya,
membabat kaki Leng Kun. Namun dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas,
sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.
“Cringgg…!
Trangg...!” Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi
benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak.
Mereka lalu
saling serang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im Kiam-sut. Tubuhnya
berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang
yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan sangat
hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi suara
melengking-lengking!
Setelah
bertanding selama lima puluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Dia akan menang apa bila mereka berkelahi
benar-benar, namun akan memakan waktu yang cukup lama. Sesudah puas menguji
ilmu silat pemuda itu, dia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa.
“Coa Leng
Kun, tidak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang berubah menjadi sepuluh
batang!” Gadis itu mengerahkan tenaga batin, menggunakan sihir untuk mencoba
pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi
pikiran pemuda itu.
Coa Leng Kun
terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang
mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang sambil berseru,
“Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!”
Bwe Hwa
tersenyum dan dia pun menghentikan serangannya. Pemuda itu masih bengong
keheranan. “Nona, ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Tiba-tiba saja
pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi
melawan.”
Bwe Hwa
merasa senang. Walau pun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari
pemuda ini, namun dengan menggunakan kekuatan sihirnya dia mampu mengalahkannya
dalam waktu singkat saja.
“Ahh, ilmu
pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang
lihai itu, saudara Coa.”
“Nona Pek,
engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak mampu
menandingimu. Sekarang kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding pula yang
berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Mengapa engkau masih menyebutku
saudara Coa? Terdengarnya begitu asing.”
“Habis
engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?”
“Engkau
lebih muda dariku, pantas kusebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau
tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kau sebut twako (kakak pria).
Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?”
Bwe Hwa
sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka dia pun
tidak keberatan untuk menganggap pemuda itu sebagai sahabat atau kakaknya.
“Baiklah,
Kun-ko,” jawabnya sederhana.
Bukan main
girangnya rasa hati Leng Kun. “Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan
saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah
engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan di manakah
engkau tinggal. Hwa-moi? Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita.
Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Kini aku tidak mempunyai
orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku
mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin.
Pusaka itu tadinya adalah milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di
Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari pendekar Tan Tiong Bu dibunuh orang dan
pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin
yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan
diriku. Tidak menarik sama sekali.”
“Dari siapa
engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu? Siapakah gurumu yang sudah
meninggal dunia itu?”
“Tentu saja
aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak
terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan pun tidak ada seorang
pun yang mengetahui namanya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa
akan namanya dan minta disebut Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah,
sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi.”
“Tidak ada
yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti telah kukatakan kepadamu, namaku Pek
Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan,
propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Kini aku
sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia
kangouw. Ayah dan ibuku sudah memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki
tentang Pek-lui-kiam. Aku pun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan
pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia
kangouw langsung dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua
Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka aku pun datang ke sini untuk menyelidikinya.”
“Dengan
kepandaianmu aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka
itu, Hwa-moi.”
“Aihh, belum
tentu, twako. Setidaknya di sini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau
ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentulah ada kemungkinan pula
bahwa engkau juga akan berhasil.”
“Tidak,
Hwa-moi. Aku tidak mau berebut denganmu, malah aku akan membantumu untuk
mendapatkan pedang pusaka itu!”
Bwe Hwa
memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun.
Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, tapi mengapa begitu baik
dan hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam? Kebaikan yang berlebihan ini
tentu mengandung niat dan pamrih tertentu. Ayahnya sudah menasehatkan kepadanya
bahwa lawan yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik
kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap
dirinya? Ia harus berhati-hati.
“Kun-ko,
kenapa engkau begitu baik kepadaku?”:
Leng Kun
tersenyum. “Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?”
“Hemm, baru
saja kita bertemu dan berkenalan.”
“Akan tetapi
kita sudah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah
sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa amat kagum kepadamu, dan
suka sekali. Ahh, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan
tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan
daging harimau?”
“Daging
harimau?” Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja
membelok ke arah lain. “Aku belum pernah memakannya.”
“Wah, engkau
harus merasakannya, Hwa-moi. Apa bila pandai memasaknya maka daging harimau itu
lezat sekali. Biar pun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik
untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu.”
Tanpa banyak
cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia
mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya. Bwe Hwa hanya
menonton saja, kecurigaannya sudah terlupa lagi olehnya.
Dia hanya
duduk di atas batu sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatan Leng Kun
menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa
potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya. Setelah
memberi bumbu kepada daging-daging itu, lantas dibuatnya api unggun.
Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu
ditusuk dengan belahan bambu yang dia dapatkan di sekitar tempat itu, dan
dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang sangat
sedap sehingga timbul seleranya. Dia kini membantu Leng Kun memanggang
daging-daging itu.
“Coba
cicipilah!” kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua
potong daging kepada Bwe Hwa.
“Hemm,
baunya sedap sekali!” kata Bwe Hwa terus terang dan sesudah daging itu agak
mendingin, dia segera menggigitnya. Ternyata memang lezat sekali, ada rasa
gurih dan manis, berbau sedap karena dibumbui. Mereka lalu makan habis semua
potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman
masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, sedangkan Leng Kun
membawa seguci arak.
Setelah
makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa, “Sekarang kita lanjutkan
pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu
ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku akan
mendaki dari arah kanan. Nanti kita bertemu lagi di atas. Dengan berpencar kita
akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang di antara kita
tentu berhasil.”
Bwe Hwa
mengangguk. “Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kui-jiauw-pang itu kuat
sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di sepanjang jalan menuju ke
atas.”
“Harap
engkau suka berhati-hati, Hwa-moi. “
“Sampai
nanti, Kun-ko.”
Bwe Hwa lalu
meloncat ke kiri dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata Leng
Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Dia pun lalu
berlari ke arah kanan dengan cepatnya.
Coa Leng Kun
berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan
semak-semak belukar. Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa
pemuda ini sudah tak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil
jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak
lama kemudian dia telah sampai di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang
yang berdiri di tengah puncak bukit yang datar.
Selusin
anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan segera menghadang di
tengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda
tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu
pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak sehingga dapat tiba di situ tanpa
mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu akan menemui
rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang.
“Heii,
berhenti! Siapa engkau yang berani datang ke sini tanpa diundang?” bentak
kepala jaga dengan suara lantang.
Leng Kun
tersenyum sambil berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata selusin orang
itu. “Bagus, kalian sudah melakukan penjagaan dengan ketat dan baik. Akan
tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan.”
Dia
mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna
biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih.
“Serahkan ini kepada ketua kalian!”
Sikap kepala
jaga segera berubah ketika melihat bendera itu. Dia menerima bendera itu, lalu
memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua
mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah, “Harap kongcu suka menanti
sebentar di dalam gardu, menunggu kembalinya pelapor tadi.”
Leng Kun
mengangguk sambil tersenyum kemudian duduk di dalam pos penjagaan. Para penjaga
tidak ada yang berbicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu
memperlihatkan perasaan takut.
Tak lama
kemudian pelapor itu kembali sambil mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang
melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan
tercengang. Tadinya dia mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera
tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang
telah lanjut usianya. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang
berpakaian rapi.
Leng Kun
bangkit berdiri kemudian merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika
melihat laki-laki berjubah merah itu. “Apakah aku berhadapan dengan
Kui-jiauw-pangcu sendiri?” tanya Leng Kun.
Ang I
Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu kemudian menjawab, “Benar, aku
adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu.”
Leng Kun mengikuti
Sam Ok memasuki pintu gerbang. Dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari
oleh pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Dalam perkampungan itu terdapat banyak
rumah tembok yang mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke
rumah besar inilah dia diajak masuk.
Mereka
memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain
sedang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan
botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyuman
lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati.
Ada pun
orang kedua bertubuh kurus pendek, mukanya penuh rambut seperti monyet dan
rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang. Jika orang pertama berpakaian serba
putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan
Ang I Sianjin.
Begitu
memasuki ruangan itu, Coa Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya,
segera bertanya kepada Ang I Sianjin, “Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan
bahwa engkau adalah ketua Kui-jiauw-pang, akan tetapi kenapa engkau tadi
mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?”
“Sicu,
jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Sekarang nama julukanku adalah Sam Ok dan
menjadi ketua nomor tiga di Kui-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini
adalah Toa Ok dan Ji Ok yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan
kami. Tetapi kami belum mengetahui siapa namamu.”
“Namaku
adalah Coa Leng Kun,” jawab pemuda itu, “aku diutus oleh para pimpinan
Pek-lian-pai untuk membantumu. Namun dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu,
kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?” Pemuda itu memandang dengan
ragu-ragu kepada dua orang kakek itu.
“He-heh-heh-heh,
kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau bisa
melakukan perundingan dengan kami bertiga di sini. Akan tetapi keadaanmu
benar-benar membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh
dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda? Sungguh sembrono sekali para pimpinan
Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang sangat
penting,” kata Toa Ok.
“Selama ini,
pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam
pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda,” kata Sam Ok. “Ini memang
aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu asli. Toa Ok, bagaimana
kalau kita menguji dia terlebih dulu?”
“Bagus,
memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda
menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu dahulu karena
orang yang tidak mempunyai cukup kepandaian tidak patut untuk merundingkan
urusan penting dengan kami.”
Coa Leng Kun
tersenyum mengejek. “Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak akan senang
mendengar ketidak percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi
pertandingan ujian dengan siapa pun juga.”
Mulutnya
berkata demikian, akan tetapi di dalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan
bahwa Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua, dan yang dua orang adalah
Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat
dari barat itu. Akan tetapi dia tetap bersikap tenang.
Ang I
Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw,
bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan
permberontakan terhadap kerajaan Beng yang sekarang dipimpin oleh Kaisar Wan
Li.
Pek-lian-pai
ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi sesudah usahanya berkali-kali gagal
berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri
Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan
pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, karena itu pihak
Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan
perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan di antara
perkumpulan sesat itu adalah Kui-jiauw-pang.
Ang I Sianjin
yang kini menjadi Sam Ok terkejut sekali mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan
menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang
datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai jika sampai utusan
mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata,
“Harap Toa
Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan
Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya.”
Toa Ok dan
Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berdua juga sudah mendengar bahwa Pek-lian-pai
adalah perkumpulan besar yang sangat kuat dan dipimpin oleh banyak orang
pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai, dan mereka pun tahu
bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat
kepandaian mereka. Walau pun Sam Ok yang menguji, mereka berdua pun sudah dapat
menilai ketangguhan pemuda itu.
Sam Ok sudah
melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata, “Coa-sicu, aku
sudah siap untuk menguji kepandaianmu!”
Diam-diam Leng
Kun merasa lega hatinya. Dia belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua
Kui-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu
berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di
perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua
orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua.
“Baiklah,
Sam Pangcu. Sebagai utusan kepercayaan Pek-lian-pai aku akan membuktikan bahwa
aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian.”
Leng Kun melangkah
maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak memegang senjata, dia pun tidak
mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong. Ang I Sianjin
memang tak ingin terlampau mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir
kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk
menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan
tangan kosong saja. Andai kata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat
sehingga tidak akan melukai pemuda itu.
“Cao-sicu,
aku sudah siap. Mulailah!” kata Sam Ok.
“Aku adalah
tamu dan akulah yang akan diuji, maka sepatutnya engkau yang menyerang dulu,
Sam Ok!” kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri
sendiri.
“Bagus!
Lihat seranganku!” Sam Ok membentak.
Dia pun
sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biar pun dia menjadi ketua
Kui-jiauw-pang, dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti
semua anak buahnya. Akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya
apa bila dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangannya yang
membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun.
Melihat
serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia
balas menyerang tidak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang
bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya,
bergantian dan susul-menyusul mengirim pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah
mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera!
“Haiittttt...!”
Sam Ok meloncat ke belakang dan ketika pemuda itu mendesaknya, dia pun
mengerahkan sinkang untuk menangkis.
“Dukkk...!”
Pertemuan kedua lengan itu membuat Sam Ok terdorong mundur tiga langkah, akan
tetapi Leng Kun juga mundur empat langkah. Hal ini berarti bahwa dalam hal
tenaga dalam, Leng Kun kalah kuat.
Akan tetapi
pemuda ini hendak menutupi kekurangannya di dalam hal tenaga itu dengan
kelebihan ginkang-nya. Dia bergerak sangat cepat dan kini tubuhnya berpusing
sehingga menjadi bayangan berputar-putar yang menghampiri lawan. Itulah Ilmu
Silat Angin Taufan yang membuat lawan menjadi bingung menghadapinya. Demikian
pula dengan Sam Ok. Menghadapi serangan yang dilakukan dengan tubuh berputar
itu, dia menjadi bingung dan gugup sehingga dia terdesak hebat dan terpaksa
mundur.
Pada saat
itu pula Toa Ok berseru, “Hentikan pertandingan!”
Legalah hati
Sam Ok. Ia harus mengakui bahwa menghadapi ilmu silat yang berpusing itu dia
menjadi bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi lawan sehingga kalau
dilanjutkan besar kemungkinan dia akan kalah. Mendengar bentakan Toa Ok, dia
segera meloncat jauh ke belakang dan Leng Kun juga menghentikan gerakannya.
“Cukup sudah
Coa Leng Kun. Akan tetapi engkau tadi memainkan ilmu silat Gelombang Samudera
dan Angin Taufan. Setahu kami, kedua ilmu itu adalah ilmu mendiang Hek Tok
Siansu. Bagaimana engkau yang menjadi utusan Pek-lian-pai tidak mempergunakan
ilmu silat dari Pek-lian-pai melainkan ilmu-ilmu silat mendiang Hek Tok
Siansu?”
Leng Kun
maklum bahwa Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk besar dari barat yang luas
pengetahuannya sehingga dapat mengenal kedua ilmu silatnya tadi. Oleh karena
itu dia pun berterus terang.
“Mendiang
Hek Tok Siansu adalah kakek guruku!”
Mendengar
jawaban ini Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan wajah mereka berseri-seri.
“Bagus sekali! Dahulu Hek Tok Siansu bekerja sama dengan Pek-lian-pai dan
sekarang cucu muridnya melanjutkan kerja sama itu hingga diangkat menjadi
utusan yang penting. Silakan duduk, Coa-sicu!” kata Toa Ok dan nada suaranya
lebih ramah.
“Kami
mengucapkan selamat datang, Coa-sicu. Berita apakah yang kau bawa?”
“Pimpinan
Pek-lian-pai mengutus aku pergi ke sini untuk membantu Kui-jiauw-pang yang akan
kedatangan banyak orang pandai karena ingin merampas pedang pusaka
Pek-lui-kiam. Kami tidak tahu bahwa sekarang Kui-jiauw-pang mempunyai dua orang
ketua baru sehingga keadaannya menjadi lebih kuat lagi. Untuk itu, sebagai
utusan Pek-lian-pai aku mengucapkan selamat kepada para ketua baru.”
Tiga orang
ketua itu tersenyum lebar dan Toa Ok berkata lantang, “Jangan khawatir,
Cao-sicu. Kami telah tahu mengenai hal itu dan kami telah siap siaga. Siapa pun
yang datang hendak merampas pedang pusaka, tentu tidak akan mampu keluar lagi
dari daerah Kui-liong-san. Apa lagi engkau datang membantu sehingga keadaan
kita lebih kuat lagi.”
“Ketika
hendak mendaki bukit ini, aku memisahkan diri dari seorang gadis yang berilmu
tinggi. Dia tidak boleh dipandang ringan karena dia adalah cucu dari ketua
Pek-sim-pang!”
Tiga orang
ketua itu saling pandang dan Toa Ok berseru, di dalam suaranya terkandung
kekhawatiran. “Cucu ketua Pek-sim-pang? Siapa namanya, sicu?”
“Namanya Pek
Bwe Hwa.”
“Ahh, tidak
salah lagi. Dia memang keturunan keluaraga Pek, dan mengingat bahwa ketua
Pek-sim-pang hanya mempunyai seorang putera yang sangat terkenal sebagai
seorang pendekar yang sakti, maka tak salah lagi, gadis itu tentu puteri Pek
Han Siong!” kata Toa Ok sambil mengerutkan alisnya. “Ayah gadis itu, Pek Han
Siong, akan merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi kita tidak perlu
khawatir, dengan kepandaian kita semua, biar Pek Han Siong sekali pun tidak perlu
kita takuti.”
Coa Leng Kun
mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, dari pada harus menghadapi gadis itu
sebagai lawan, lebih baik kalau dia ditarik menjadi sahabat atau sekutu kita.”
Tiga pasang
mata menatap wajah Leng Kun dengan penuh pertanyaan dan Ji Ok berseru, “Aneh!
Mana mungkin puteri Pek Han Siong kita ajak kerja sama? Jika dia datang ke
sini, tentu dia menginginkan pedang pusaka itu!”
“Benar apa
yang dikatakan Ji Ok, Coa-sicu. Bagaimana mungkin gadis itu mau bekerja sama
dengan kita? Sejak dulu ayah gadis itu selalu menentang pemberontakan terhadap
kerajaan, bahkan dia juga menjadi musuh besar Pek-lian-pai. Bagaimana mungkin
kini kita mengajak puterinya untuk bekerja sama?” tanya Sam Ok.
“Harap
sam-wi pangcu (Ketiga Ketua) tidak menjadi bingung. Ketika menuju ke
Kui-liong-san, aku berjumpa dan berkenalan dengan Pek Bwe Hwa, bahkan kini
menjadi sahabat. Tentu saja dara itu tidak tahu bahwa aku adalah utusan
Pek-lian-pai. Dia menyangka aku adalah seorang di antara mereka yang ingin
merampas pedang Pek-lui-kiam. Malah kami telah bersepakat untuk bekerja sama
dalam hal ini dan aku akan membantunya. Nah, jika aku sekarang mengawaninya
naik ke sini dan memperkenalkan dia kepada sam-wi, tentu dia akan merasa senang
sekali. Tentu saja sam-wi harus menjanjikan kepadanya hendak menyerahkan pedang
pusaka itu.”
“Ahhh...!”
Tiga orang ketua itu berseru kaget.
“Harap
tenang, sam-wi pangcu. Kita harus menggunakan akal, yaitu menyerahkan pedang
pusaka tiruan atau palsu. Dan kalau pedang pusaka berada di tangannya, tentu
orang-orang yang ingin memperebutkan pedang pusaka itu akan memusuhinya. Nah,
pada saat itulah kita turun tangan membantunya sehingga kita akan dapat
membasmi orang-orang itu.”
Tiga orang
ketua itu mengangguk-angguk sambil saling pandang. “Akan tetapi kita harus
merahasiakan bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai, karena kalau dia mengetahui
hal ini, tentu sikapnya kepadaku akan berubah dan dia akan menganggap aku
sebagai musuh. Ketika berkenalan dengannya, aku mengaku sebagai seorang
perantau yang ingin pula memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sam-wi hanya
perlu bersikap baik padanya dan segalanya aku yang akan mengaturnya agar dia
percaya.”
“Baiklah,
Coa-sicu. Kami menyerahkan kepadamu untuk mengurus pendekar wanita itu,”
akhirnya Toa Ok menyatakan setuju karena kalau benar pendekar wanita puteri
pendekar Pek Han Siong itu dapat ditarik untuk bekerja sama, maka kedudukan
mereka tentu akan lebih kuat lagi. “Tetapi agaknya engkau membenci wanita itu.
Ada urusan apakah antara engkau dengannya?”
Leng Kun
menarik napas panjang lalu berkata, “Di dunia ini hanya ada dua keluarga yang
paling kubenci sebab merekalah yang menyebabkan kakek guruku Hek Tok Siansu
tewas penasaran. Kedua keluarga itu adalah keluarga Tang Hay dan keluarga Pek
Han Siong. Terutama keluarga Tang Hay karena di tangan dialah kakekku itu
tewas.”
Tiga orang
kepala perkumpulan Kui-jiauw-pang itu saling pandang dan Toa Ok berseru, “Ahh,
musuh-musuhmu itu adalah musuh kami juga, dan juga musuh besar Pek-lian-pai
sebab mereka berdua inilah yang paling banyak menentang Pek-lian-pai dalam
perjuangan mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua itu mempunyai
kepandaian yang amat hebat.”
Leng Kun
mengerutkan sepasang alisnya. “Aku tidak takut, dan sekarang kebetulan sekali
puteri keluarga Pek berada di sini.”
“Kenapa dia
tidak kita bunuh saja karena dia adalah puteri musuh besarmu, sicu?” tanya Sam
Ok.
“Ah,
pembalasan seperti itu terlampau lunak, Sam Pangcu. Juga kita tidak dapat
memetik keuntungan apa pun. Aku mempunyai rencana yang lebih hebat dari pada
itu. Selain kita dapat menggunakan tenaganya untuk membantu kita menghadapi
mereka yang hendak merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam, aku juga ingin menjatuhkan
hatinya. Kalau sampai aku bisa mempermainkannya sebagai isteriku, berarti aku
telah melakukan balas dendam yang memuaskan sekali karena seluruh keluarganya
akan merasa menyesal sekali. Dan akhirnya, sebagai suaminya, aku mempunyai
kesempatan lebih banyak untuk membasmi keluarga Pek!”
Toa Ok, Ji
Ok dan Sam Ok tertawa bergelak. “Bagus! Engkau yang masih muda ternyata
memiliki kecerdikan yang tinggi. Kami suka sekali mendengar siasatmu itu, sicu.
Baiklah, laksanakan siasatmu itu dan kami semua akan berpura-pura baik terhadap
gadis itu,” kata Toa Ok.
“Sekarang
aku minta agar sam-wi pangcu mengirim satu regu anak buah Kui-jiauw-pang untuk
menghadang gadis itu di lereng. Nanti aku akan muncul dan melerai mereka.”
“Akan tetapi
jalan menuju ke puncak sudah kami beri perangkap dan juga kami menyebar racun
sehingga siapa saja yang hendak mendaki ke puncak ini akan menghadapi bahaya
maut! Kami juga sudah memasang para anggota untuk menjadi baris pendam,
menyerang siapa saja yang mendaki puncak. Tentu saja jalan yang kau lalui itu
tidak kami pasangi jebakan karena jalan itu dipakai oleh kita semua sebagai
jalan rahasia.”
“Gadis itu
sangat lihai dan cerdik, tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari jebakan
dan racun. Biar aku turun dan menyambutnya! Akan tetapi aku minta belasan orang
anak buah Kui-jiauw-pang untuk mengeroyoknya.”
Leng Kun
lantas memimpin lima belas orang anak buah Kui-jiauw-pang menuruni puncak itu.
Dia berpesan kepada lima belas orang itu agar nanti mengeroyok Pek Bwe Hwa,
akan tetapi segera mundur kalau dia muncul melerai perkelahian mereka.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment