Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 13
PARA pemuda
dusun yang bersama kakek pemilik kedai masih mengintai dengan jantung berdebar
tegang dan ketakutan, tiba-tiba saja melihat Hui Lan meloncat keluar dari
sumur. Gadis ini telah mengambil kembali sepasang pedangnya dari sebuah kamar
bawah tanah yang menjadi gudang berisi barang-barang berharga hasil rampokan.
Melihat gadis yang tadi pagi melompat ke dalam sumur kini muncul dari dalam
sumur, tujuh pemuda dusun dan kakek itu menjadi girang dan beramai-ramaii
mereka menghampiri.
“Bagaimana,
lihiap?” kata mereka, tidak ragu-ragu lagi menyebut lihiap (pendekar wanita)
kepada Hui Lan.
“Beres,
gadis-gadis itu sebentar lagi akan naik ke sini, juga iblis-iblis itu sudah
tertangkap dan akan dinaikkan pula.”
Orang-orang
itu terbelalak ketakutan ketika mendengar bahwa iblis-iblis telah tertangkap.
Bagaimana pun juga mereka merasa ngeri kalau harus menghadapi iblis-iblis,
walau pun mereka sudah tertangkap.
Melihat
mereka sudah siap untuk kabur lagi, Hui Lan lalu tertawa. “Jangan bodoh, yang
kumaksudkan dengan iblis-iblis itu tentu saja bukan iblis asli, melainkan
penjahat-penjahat yang mengaku sebagai iblis.”
Mendengar
ini, mereka menjadi lega.
“Sekarang
bersiap-siaplah menarik tali itu. Ada pun kakek ini boleh pulang ke dusun untuk
memberi tahu semua penduduk dusun agar menjemput gadis-gadis korban yang
menjadi keluarga mereka.”
Kakek
pemilik kedai cepat-cepat berlari turun. Saking girangnya dia tidak mengenal
lelah sehingga sesudah tiba di dusunnya, dia terengah-engah sukar bicara dan
tentu akan jatuh pingsan kalau tidak segera ditolong oleh penduduk dusun.
“Lihiap itu…
telah membebaskan semua gadis korban dan telah menangkap gerombolan penjahat
yang menipu kita menjadi iblis dan setan."
Berita ini
cepat tersiar luas sehingga didengar pula oleh penduduk dusun-dusun di sekitar
pegunungan Kera itu. Maka berbondong-bondonglah mereka itu menuju ke puncak.
***************
Sementara
itu Hui Lan sedang memberi isyarat kepada Si Kong dengan menarik-narik tali. Si
Kong yang berada di bawah sudah membuatkan tempat duduk dari jala yang berada
di situ, diikatkan dengan ujung tali lalu memberi isyarat dengan menarik-narik
tali itu. Hui Lan mengerti dan dia menyuruh tujuh orang pemuda itu untuk
menarik tali ke atas.
Gadis
pertama muncul. Semua orang bersorak gembira, terutama mereka yang mengenal
gadis ini dan keluarganya. Orang-orang dusun telah berkumpul semua di
sekeliling sumur. Tua muda dan anak-anak bersorak, dan gadis itu tersedu-sedu
dalam rangkulan ibunya.
Tempat duduk
dari jala itu lantas diturunkan kembali. Gadis kedua, ketiga dan seterusnya
diangkat satu demi satu, dan terdengar sorak sorai setiap kali ada gadis yang
tiba di luar sumur. Akhirnya semua gadis yang pernah menjadi korban
'iblis-iblis' itu telah dikeluarkan dari dalam sumur.
Orang
berikutnya yang ditarik keluar sumur sangat berat sehingga membutuhkan tenaga
banyak orang untuk menarik tali. Pada waktu orang itu muncul, ternyata dia
adalah kepala gerombolan yang tinggi besar bermuka bopeng. Mulutnya masih
berlepotan darah dan dia tidak mampu berkutik karena sudah ditotok oleh Si
Kong.
“Nah, inilah
yang mengaku-ngaku iblis penjaga sumur itu. Kalian lihat, dia manusia biasa,
bukan? Manusia biasa, akan tetapi amat jahatnya. Dia serta belasan orang anak
buahnya yang mengganggu kalian, minta supaya gadis-gadis dan
perhiasan-perhiasan dikorbankan dan dilemparkan ke dalam sumur.”
Mendengar
kata-kata Hui Lan itu, para penduduk dusun menjadi marah, terutama mereka yang
anak gadisnya dijadikan korban. Serentak mereka bergerak maju untuk memukuli si
bopeng yang sudah tak berdaya itu. Ada yang menggunakan alat bertani seperti
cangkul, kapak dan lain-lain.
“Sudah!
Cukup! Jangan dibunuh!” teriak Hui Lan, akan tetapi dia terlambat. Ketika
orang-orang itu mundur, si muka bopeng sudah menjadi seonggok daging berlumuran
darah!
“Kalian
bertindak berlebihan!” tegur Hui Lan. “Mereka memang jahat dan harus dihukum,
akan tetapi tidak perlu dibunuh dan dibantai seperti itu! Ingat, aku akan marah
kalau kalian ulangi lagi perbuatan tadi atas diri para penjahat yang akan
dikeluarkan semua!” Seruan Hui Lan itu mengandung wibawa yang kuat dan semua
orang menundukkan muka.
Hui Lan lalu
memberi isyarat kepada Si Kong di bawah untuk mengisi tempat duduk yang sudah
diturunkan. Tidak lama kemudian Si Kong balas memberi tanda dengan tarikan
tali. Orang kedua dikeluarkan dan kini hanya caci maki yang terlontar dari
mulut semua orang terhadap penjahat itu yang menjadi ketakutan setengah mati
melihat begitu banyak orang marah-marah seolah hendak menelan dia bulat-bulat!
Demikianlah,
satu demi satu penjahat dikeluarkan dan mereka semua menjadi ketakutan setengah
mati ketika melihat pemimpin mereka sudah tewas dengan tubuh hancur. Akan
tetapi mereka tidak dibunuh, hanya diseret lalu digeletakkan di atas tanah. Setelah
semua penjahat ditarik keluar, orang paling akhir keluar adalah Si Kong sendiri
yang membawa sebuah peti.
Semua orang
bersorak karena mereka semua sudah mendengar dari kakek pemilik kedai betapa
pemuda itu menuruni sumur dan menolong para gadis yang ditahan. Si Kong lalu
mengangkat kedua tangan ke atas dan membuka peti. Ternyata di dalamnya terisi
banyak perhiasan dari emas permata.
"Mereka
yang merasa sudah melemparkan perhiasannya ke dalam sumur, boleh mencari
perhiasannya dan mengambilnya kembali. Tapi mereka yang perhiasannya tidak
dirampok harap jangan mengambil sesuatu dari dalam peti ini. Awas, aku tidak
akan mengampuni mereka yang bertindak curang dan mengambil barang yang bukan
miliknya!"
Mereka yang
merasa kehilangan perhiasan karena pernah diancam oleh suara iblis agar
melemparkan perhiasan mereka ke dalam sumur, cepat-cepat mencari perhiasan
masing-masing hingga akhirnya semua orang telah memperoleh kembali perhiasan
mereka. Akan tetapi di dalam peti itu masih terdapat banyak sekali benda-benda
berharga terbuat dari emas, batu kemala dan lain-lain.
"Panggil
kepala dusun ke sini!" kata Si Kong. Ternyata kepala dusun juga sudah
berada di antara penduduk dusun dan dia segera melangkah maju sesudah mendengar
seruan Si Kong tadi.
"Paman kepala
dusun di sini?"
"Benar,
taihiap."
"Dengarlah
baik-baik. Kalau ada orang-orang seperti para pengacau ini, kumpulkan orang
sedusun, atau kalau perlu ditambah para penghuni dusun tetangga, satukan tenaga
untuk menghadapi dan nenghajar para penjahat itu. Jangan pernah percaya dengan
kabar dan cerita takhyul.”
“Baik,
taihiap,” kata kepala dusun yang tadi ikut pula memukuli kepala penjahat itu
“Mulai sekarang kami akan melakukan perlawanan.”
“Bagus! Nah,
segerombolan penjahat ini sudah mendapat hajaran keras. Apa bila mereka berani
muncul lagi di tempat ini, jangan ragu, keroyoklah beramai-ramai.”
“Baik,
taihiap...”
Si Kong
menghadapi gerombolan yang masih rebah malang melintang tak dapat bergerak itu,
lantas satu demi satu memulihkan jalan darah mereka yang tertotok. Para
penjahat itu telah mendengar semua pembicaraan Si Kong dengan penduduk dan
kepala dusun, maka begitu dapat bergerak, mereka lalu berlutut dan minta-minta
ampun.
“Sekarang
kalian benar-benar sudah bertobat? Awas, kalau sekali lagi aku melihat kalian
berani berbuat jahat, maka aku tidak akan mengampuni kalian lagi. Sekarang
pergilah dan bawa mayat pemimpin kalian, kubur di tempat yang jauh dari sini.
Nah pergilah!”
Para penjahat
itu menghaturkan terima kasih, kemudian cepat mengangkut sisa mayat si bopeng
dan pergi dari situ dengan cepat. Mereka sangat ketakutan. Sejak mereka melihat
pemimpin mereka roboh muntah darah setelah dihantam oleh gadis itu, mereka
tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka!
Mereka hanya
teringat secara samar-samar betapa mereka merasa berubah menjadi anjing,
kemudian mereka tidak mampu bergerak, hanya melihat betapa mereka satu demi
satu ditarik naik keluar dari sumur dalam keadaan tidak mampu bergerak,
kemudian dikepung penduduk dusun yang tampak marah sekali kepada mereka.
Mereka sudah
putus asa karena mereka merasa tentu akan dibunuh seperti yang terjadi pada
pemimpin mereka. Maka dapat dibayangkan betapa lega dan senang hati mereka setelah
dilepas dan diampuni. Pengalaman mereka sedikit banyak akan mempengaruhi jalan
hidup mereka selanjutnya, membuat mereka jeri untuk melakukan kejahatan lagi.
Si Kong
menghampiri Hui Lan yang semenjak tadi hanya menonton saja, lalu berkata lirih,
“Lan-moi, bagaimana pendapatmu kalau sisa perhiasan ini kita bagikan kepada
keluarga mereka yang terbunuh dan keluarga para gadis yang menjadi korban?”
Hui Lan
sejak tadi menonton dengan hati kagum. Jika menurut hatinya, ingin dia memberi
hajaran keras kepada para penjahat itu! Namun Si Kong membebaskan mereka
sesudah menakut-nakuti mereka. Kini mendengar pertanyaan Si Kong, dia pun
berkata, “Terserah kepadamu, Kong-ko. Aku hanya dapat menyetujui saja.”
Si Kong
melambaikan tangannya memanggil kakek pemilik kedai minuman itu. “Paman, engkau
kuangkat menjadi orang yang bertugas untuk membagi-bagi perhiasan ini dengan
adil kepada keluarga mereka yang dibunuh para penjahat dan keluarga para gadis
yang menjadi korban. Sanggupkah engkau, paman?”
Kakek itu
kelihatan bangga sekali. “Serahkan saja kepada saya, taihiap. Saya pasti akan
membagi-baginya secara adil.”
Si Kong
berkata kepada kepala dusun. “Paman menjadi pengawasnya agar pembagian berjalan
lancar dan adil. Harap panggil keluarga para korban pembunuhan dan penculikan,
lalu bagi-bagilah perhiasan ini secara adil.”
Kepala dusun
mengangguk setuju. Si Kong lalu berkata kepada Hui Lan. “Semua sudah beres,
mari kita pergi, Lan-moi!”
Hui Lan
mengangguk, lalu dengan sekali berkelebat kedua orang muda perkasa itu lenyap
dari hadapan semua penduduk. Melihat ini semua orang terkejut dan ketakhyulan
kembali melanda hati mereka. Kepala dusun yang lebih dulu menjatuhkan diri
berlutut menghadap ke arah berkelebatnya dua orang itu. Semua penduduk segera
mengikuti kepala dusun, berlutut sambil berterima kasih kepada dua orang
'dewa-dewi' yang sudah membebaskan mereka dari ancaman iblis jahat.
Dari jauh
mereka mendengar kata-kata yang dapat terdengar jelas oleh mereka, “Jangan
lupakan persatuan melawan yang jahat. Selamat tinggal!” Itu adalah suara Si
Kong yang sengaja diucapkan dari jauh dengan pengerahan khikang sehingga dapat
terdengar oleh mereka yang berada di sekeliling sumur tua.
Kepala dusun
memimpin semua orang untuk melempar-lemparkan banyak batu ke dalam sumur
sehingga sumur itu penuh batu dan tidak mungkin dilewati orang lagi. Kemudian,
dengan pengawasan kepala dusun, mulailah perhiasan itu dibagi-bagikan kepada
keluarga mereka yang tewas dan keluarga para gadis yang menjadi korban.
***************
Mereka duduk
di atas batu di bawah sebuah batang pohon besar. Matahari telah condong ke barat,
akan tetapi cuaca masih terang. Mereka diam saja dan kadang saling pandang.
Akhirnya Hui Lan yang biasanya lincah itu mengeluarkan suara memecah kesunyian.
“Bagaimana
engkau bisa masuk ke dalam sumur itu, Kong-ko? Ceritakanlah dari awal.”
Si Kong tersenyum
memandang gadis yang hebat itu. Dia pernah mengagumi Siangkoan Cu Yin, merasa
suka pada gadis berandalan itu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian,
kekagumannya terhadap Hui Lan ini lebih mendalam.
“Hanya
kebetulan saja, Lan-moi. Siang tadi kebetulan aku lewat di dusun ini dan
membeli minuman di kedai kakek tadi. Aku melihat keadaan dan suasana yang amat
ganjil, sebab aku tidak melihat ada wanita muda di dusun itu, sedangkan kaum
prianya kelihatan panik dan ketakutan. Bahkan ketika melihat aku yang asing
bagi mereka, mereka memandang penuh kecurigaan. Karena itu aku lalu membujuk
kakek pemilik kedai untuk menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi dia malah
ketakutan dan menolak untuk bercerita. Terpaksa aku mengalihkan rasa takutnya
kepada sesuatu itu menjadi rasa takut kepada diriku. Aku mengancam dia sehingga
akhirnya dia mengaku akan adanya setan yang mengganggu penduduk, betapa setan
itu minta perhiasan dan bahkan gadis-gadis muda dan cantik. Dia bercerita
tentang sumur setan di mana gadis-gadis itu dilempar ke dalam sumur, juga dia
bercerita mengenai seorang gadis yang dengan suka rela melompat ke dalam sumur
itu. Selanjutnya aku mencari tali panjang dan menuruni sumur itu. Aku
merobohkan beberapa orang yang berada di dasar sumur dan kutotok mereka.
Kemudian aku memaksa seorang di antara mereka untuk menunjukkan di mana adanya
ruangan yang dipergunakan untuk menawan para gadis itu. Setelah sampai di sana,
aku melihat engkau di antara para gadis dan kebetulan gerombolan itu datang
memasuki ruangan itu. Begitulah awal mulanya aku sampai masuk ke dalam sumur
itu. Dan engkau sendiri, bagaimana bisa menjadi tawanan mereka? Tentu engkaulah
yang dikatakan kakek itu sebagai gadis yang dengan suka rela masuk ke dalam
sumur itu, bukan?”
“Benar,
Kong-ko. aku juga secara kebetulan saja lewat di luar dusun itu. Dalam
perjalanan itu aku melihat seorang gadis bersama ibunya melarikan diri sambil
menangis ketakutan. Aku hentikan mereka dan kutanyakan apa sebabnya. Gadis itu
lalu menceritakan tentang setan yang meminta korban gadis-gadis dan bahwa gadis
itu semalam telah diminta oleh suara setan di atas rumah mereka. Karena
ketakutan dan tak sudi dijadikan korban setan, gadis itu lalu mengajak ibunya
melarikan diri. Aku menjadi amat penasaran, lalu kumasuki dusun itu, kukatakan
kepada mereka bahwa aku bersedia dijadikan korban menggantikan gadis yang
melarikan diri. Aku diantar ke atas puncak, mendatangi sumur itu. Kemudian aku
lalu meloncat masuk ke dalam sumur.”
“Akan
tetapi, Lan-moi. Mengapa engkau berani meloncat ke dalam sumur yang dasarnya
tidak kelihatan dan belum kau ketahui bagaimana keadaan di dalamnya itu?”
Hui Lan
tersenyum. “Hal itu telah kuperhatikan dengan baik, Kong-ko. Kalau para gadis
itu dilempar ke dalam sumur, berarti mereka tentu tidak akan mati ketika tiba
di dasar sumur. Kalau mereka itu mati, untuk apa penjahat itu minta korban
gadis?”
“Bukankah
menurut para penduduk yang minta korban gadis adalah iblis penjaga sumur tua?”
“Hemm, siapa
dapat percaya? Sejak semula aku sudah menduga bahwa hal itu dilakukan penjahat
yang pura-pura menjadi setan, dan aku menduga bahwa penjahat itu tidak hanya
seorang. Nah, setelah yakin bahwa gadis-gadis itu tidak mati, aku lalu meloncat
ke dalam sumur, tentu saja aku waspada sambil mengerahkan ginkang untuk menjaga
kalau-kalau ada bahaya maut mengancam di dasar sumur.”
“Engkau
sungguh pemberani sekali, Lan-moi.”
“Engkau pun
masuk ke dalam sumur itu. Entah siapa yang lebih berani, engkau atau aku. Nah,
sesudah sampai di bawah, ternyata ada sehelai jaring yang menangkap aku. Begitu
tubuhku menyentuh jaring, terdengar suara berkelentingan dan muncul empat orang
yang membawa sebuah obor. Aku pura-pura tak berdaya ketika ditangkap, kemudian
sepasang pedangku dirampas.”
“Kenapa
engkau menyerah begitu saja, Lan-moi?”
“Aku ingin
berhadapan sendiri dengan pemimpin mereka dan tepat seperti yang kuduga,
akhirnya dia muncul dan barulah aku membebaskan diri untuk menghantam mereka.”
“Sebenarnya
dari manakah datangnya gerombolan itu? Apakah mereka itu para anggota dari
perkumpulan sesat yang lebih besar?”
“Ahh, kurasa
tidak, Kong-ko. Mereka hanya gerombolan perampok biasa yang kebetulan menemukan
terowongan bawah tanah itu, lantas mereka menakut-nakuti penghuni dusun-dusun
yang masih bodoh. Dengan cara demikian mereka dapat mengumpulkan perhiasan dan
juga gadis-gadis gunung dengan mudah, bahkan tanpa memakai kekerasan. Mereka
adalah manusia-manusia kejam yang sudah sepantasnya dibasmi dari permukaan
bumi. Terlalu enak bagi mereka jika dibebaskan begitu saja.” Kalimat terakhir
ini diucapkan Hui Lan dengan nada menegur.
“Gerombolan
seperti itu biasanya hanya mengekor kepada perbuatan pemimpin mereka. Kepala
penjahat sudah terbunuh oleh orang-orang dusun, dan anak buah penjahat itu pun
telah mendapat hajaran keras. Kukira mereka sudah menyadari kejahatan mereka
lantas akan mengubah cara hidup mereka.”
Hui Lan
tidak membantah lagi. Watak pemuda itu seperti watak ayahnya, sangat mudah
memaafkan dan tidak suka sembarangan membunuh orang. Tidak seperti watak ibunya
yang keras dan bertindak tegas terhadap para penjahat sehingga setiap murid
Cin-ling-pai juga memiliki watak seperti itu. Keras tidak mengenal ampun
terhadap orang-orang jahat. Wataknya sendiri berada di tengah-tengah antara
watak ayahnya yang pengampun dan watak ibunya yang tidak mengenal ampun.
“Jika boleh
aku mengetahui, sebenarnya engkau hendak pergi ke mana, Lan-moi?” tanya Si Kong
mengalihkan pembicaraan.
“Aku hendak
pergi ke Kwi-liong-san,” kata Hui Lan berterus terang.
Si Kong
memandang dengan wajah berseri. “Pek-lui-kiam...?”
Hui Lan juga
tercengang. “Ehh, engkau juga mengetahui?”
“Siapa yang
tidak tahu tentang pedang pusaka itu, Lan-moi. Aku bahkan dimintai tolong oleh
puteri pendekar Tan Tiong Bu untuk membantunya mencari pembunuh ayahnya.”
“Hemm, kau
maksudkan Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san?”
Si Kong
mengangguk. “Agaknya engkau bahkan tahu lebih banyak tentang Ang I Sianjin,
Lan-moi.”
“Tahu lebih
banyak juga tidak. Aku hanya pernah mendengar bahwa pendekar Tan Tiong Bu
terbunuh oleh seorang kakek berjubah merah, dan menurut dugaan orang pembunuh
dan pencuri pedang itu adalah Ang I Sianjin.”
“Engkau
hendak merampas Pek-lui-kian, Lan-moi?”
“Jika memang
benar Ang I Sianjin pencurinya, tentu aku akan mencoba untuk merampas pedang
itu. Nama Kwi-jiauw-pang sudah tersohor di empat penjuru sebagai perkumpulan
sesat yang amat kejam. Bila Ang I Sianjin dibiarkan memiliki Pek-lui-kiam,
tentu dia akan menjadi lebih kejam dan sewenang-wenang. Akan tetapi aku tidak
akan mengganggu jika pedang itu ternyata berada di tangan pendekar budiman. Dan
engkau sendiri hendak ke mana, Kong-ko?”
“Sama dengan
engkau, Lan-moi. Sudah kukatakan bahwa aku hendak membantu puteri mendiang Tan
Tiong Bu untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Kalau berhasil tentu akan
kuserahkan kepadanya yang berhak sebagai pewaris pedang milik ayahnya.”
“Tidak
perlukah untuk menyelidiki lebih dulu dari mana Tan Tiong Bu memperoleh pedang
itu? Aku mendengar bahwa pembuat pedang Pek-lui-kiam adalah seorang sakti
berjuluk Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih). Karena itu patut diselidiki
bagaimana pedang pusaka itu dapat jatuh ke tangan pendekar Tan Tiong Bu.”
Si Kong
tertegun kemudian mengangguk-angguk. “Kalau demikian persoalannya, engkau
memang benar. Tadinya aku menyangka bahwa pedang pusaka itu adalah milik sah
dari mendiang pendekar Tan Tiong Bu. Kalau begitu, apakah engkau berkeberatan
melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san bersama aku, Lan-moi?”
Hui Lan
menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. Dia belum
mengenal benar pemuda ini, akan tetapi dia adalah murid kakek buyutnya yang
setia dan berbakti. Dia ingin melihat bagaimana sikap Si Kong selanjutnya kalau
mereka melakukan perjalanan bersama. Kalau sikapnya tak menyenangkan, maka
mudah saja menghentikan perjalanan bersama itu untuk berpisah dan mengambil
jalan sendiri. Tapi sebaliknya kalau sikapnya sopan dan menyenangkan, apa
salahnya melakukan perjalanan? Sebagai murid kakek buyutnya, Si Kong dapat
dikatakan sebagai 'orang sendiri'
Hui Lan
tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. “Tentu saja aku tidak keberatan.
Bukankah tujuan kita sama? Bahkan kita dapat saling bekerja sama dalam
penyelidikan kita terhadap Ang I Sianjin.”
Si Kong
merasa girang sekali. Kemudian mereka melakukan perjalanan bersama dan di
sepanjang jalan Si Kong termenung. Dia teringat kepada Siangkoan Cu Yin! Gadis
puteri datuk Lam Tok itu pernah mengajaknya untuk melakukan perjalanan bersama,
akan tetapi dia menolaknya. Dan kini dia bahkan ingin melakukan perjalanan
bersama seorang gadis lain!
Namun Hui
Lan tidak dapat disamakan dengan Cu Yin. Gadis ini adalah puteri sepasang
pendekar kenamaan yang sikapnya gagah serta lembut. Sedangkan Cu Yin sama
sekali berbeda. Gadis yang suka menyamar sebagai pria itu sangat nakal, sering
mengganggu orang, dan terutama sekali yang membuat dia tidak suka melakukan
perjalanan bersama adalah pengakuan Cu Yin bahwa gadis itu mencintainya!
Andaikan Cu
Yin masih menyamar sebagai pria, tentu dia akan senang sekali melakukan
perjalanan dengannya. Akan tetapi jika melakukan perjalanan dengan seorang
gadis yang mencintainya, padahal dia sendiri belum pernah mencinta gadis mana
pun juga, tentulah akan sangat mengganggu kedamaian hatinya.
Pada hari
itu belum jauh Si Kong melakukan perjalanan bersama Hui Lan, namun senja telah
datang dan matahari sudah tidak nampak, hanya sinarnya yang makin lama makin
lemah masih memungkinkan mereka melakukan perjalanan.
“Wah kita
akan kemalaman di jalan kalau tidak dapat menemukan sebuah dusun, Kong-ko.”
“Biar
kuselidiki apakah ada dusun di sekitar tempat ini,” kata Si Kong.
Dia lalu
melompat ke sebuah pohon besar dan memanjat ke atas. Dari atas pohon itu dia memandang
ke empat penjuru. Akan tetapi yang nampak hanyalah warna hijau gelap dari
puncak-puncak pohon. Di empat penjuru yang ada hanya hutan, sama sekali tak
nampak adanya rumah orang! Dia pun melompat turun kembali.
“Di sekitar
sini sama sekali tidak nampak ada rumah orang, Lan-moi. Agaknya kita akan
kemalaman di tengah hutan. Akan tetapi pada bagian selatan kulihat ada lapangan
rumput yang terbuka, agaknya di sana kita dapat melewatkan malam karena lebih
menyenangkan dari pada di dalam hutan.”
Hui Lan
mengangguk. “Kalau begitu kita pergi ke selatan, Kong-ko, ke lapangan rumput
itu.”
Mereka
segera melakukan perjalanan cepat ke selatan, karena sebentar lagi bumi akan
diselimuti kegelapan dan tidak mungkin melakukan perjalanan lagi. Tidak lama
kemudian tibalah mereka di sebuah lapangan rumput yang terbuka, tepat pada saat
malam tiba dan marga satwa mulai memperdengarkan suara puja-puji terhadap Yang
Maha Kuasa.
“Tempat ini
cukup menyenangkan,” kata Hui Lan dan hati Si Kong menjadi lega. Tadinya dia
sangat khawatir kalau-kalau Hui Lan merasa kecewa dan tidak senang karena
mereka terpaksa harus melewatkan malam di tempat itu.
“Memang
lebih enak dari pada di tengah hutan tadi. Rumputnya bersih, seperti permadani
hijau digelar luas. Aku akan membuat api unggun, Lan-moi.”
Si Kong
cepat pergi ke hutan di sebelah untuk mengumpulkan ranting kering. Walau pun
cuaca sudah mulai gelap, dia masih dapat mengumpulkan ranting dan daun kering
yang banyak. Dia segera membuat api unggun dan setelah api unggun bernyala
besar, mereka berdua merasa gembira sekali. Suasana menjadi demikian indah di
tempat itu.
Asap api
unggun mengusir nyamuk, dan panasnya api unggun mengusir kedinginan hawa udara
yang tentu akan sangat mengganggu mereka dalam melewatkan malam di tempat
terbuka seperti itu. Masih untung bagi mereka bahwa malam itu angin bertiup
sepoi-sepoi saja. Mungkin karena di sekeliling tempat itu tumbuh pohon-pohon
besar yang merupakan benteng hijau yang menahan tiupan angin.
Apa bila
mereka berdongak memandang ke atas, nampak pemandangan yang luar biasa
indahnya. Bersama tenggelamnya matahari, bermunculan bintang-bintang di langit.
Tidak ada awan menghalangi sehingga bintang-bintang berlatar belakang langit
hitam itu seperti ratna mutu manikam ditaburkan di atas beludru hitam.
Bintang-bintang gemerlapan, ada yang berkedap-kedip seperti mata bidadari
memberi isyarat yang mesra kepada mereka!
Suasana
sungguh romantis sekali. Kini tempat itu penuh dengan suara marga satwa yang
beraneka ragam, akan tetapi suara itu sama sekali tidak menimbulkan kebisingan,
malah sebaliknya mengandung irama yang mendatangkan suasana hening penuh
rahasia.
Mereka duduk
di atas rumput menghadapi api unggun. Mereka bisa saling pandang lewat atas
lidah api yang menjilat-jilat. Muka mereka nampak aneh sekali, berwarna merah
dan bergoyang-goyang karena lidah api itu menari-nari dan sinarnya menerangi
wajah mereka.
Tiba-tiba Si
Kong menyadari keadaan ketika dia merasa perutnya bergerak. Lapar! Baru dia ingat
bahwa sejak siang tadi mereka belum makan dan rasa lapar mulai menggerogoti
perutnya. Hatinya menjadi bingung dan merasa menyesal mengapa tidak membawa
bekal makanan di malam itu. Tempat minumnya juga hanya terisi air saja!
“Lan-moi,
menyesal sekali aku tidak membawa bekal apa-apa. Engkau tentu sudah lapar
seperti juga aku.”
Hui Lan
memandang kepadanya dari balik api unggun. Gadis itu tersenyum, lantas meraih
buntalan pakaiannya yang diletakkan didekatnya.
“Jangan
khawatir, Kong-ko. aku masih punya bekal roti dan daging kering. Akan tetapi
air minumku sudah habis.”
“Ahh, aku
masih mempunyai air minum, Lan-moi!” kata Si Kong dengan gembira.
Mereka
membuka buntalan masing-masing. Hui Lan mengeluarkan bungkusan roti berikut
daging asin, sedangkan Si Kong mengeluarkan tempat air minumnya. Setelah
bungkusan dibuka, ternyata bekal roti dan daging asin masih cukup banyak untuk
mereka berdua.
“Cuaca
begini indah, hawa udara begini hangat, perut begini lapar, roti kering dan
daging asin merupakan hidangan yang lezat!” kata Si Kong dan mereka pun mulai
makan.
Hui Lan juga
merasa heran kepada dirinya sendiri. Biasanya makan roti dan daging asin amat
membosankan, tapi dia terpaksa harus membawa bekal makanan seperti itu karena
hanya roti kering dan daging asin yang dapat bertahan berhari-hari. Makanan
seperti itu membuat dia merasa bosan kalau terpaksa harus memakannya karena dia
tiba di tempat yang jauh dari dusun atau kota. Namun malam ini makanan roti
kering dan daging asin itu terasa lezat bukan main!
Makan roti
kering dan daging asin mendatangkan haus. Si Kong lalu memberikan tempat airnya
kepada Hui Lan. “Aku tidak mempunyai cawan atau cangkir, minum saja dari mulut
guci air itu,” katanya kepada Hui Lan.
“Aku membawa
sebuah cawan,” kata Hui Lan sambil mengeluarkan cawan perak itu dari
buntalannya. Ia menuangkan air dari guci itu ke dalam cawan, lalu meminumnya.
Bahkan air biasa itu terasa segar dan melegakan.
“Agaknya
engkau membawa bekal yang sangat lengkap,” kata Si Kong.
“Tentu
saja,” Hui Lan menyerahkan cawan yang sudah kosong itu.
Si Kong
menuangkan air ke dalam cawan lalu meminumnya. Hui Lan memandang dengan kedua
pipinya berubah kemerahan. Akan tetapi hal ini tidak nampak oleh Si Kong karena
wajar saja bila sinar api unggun membuat wajah itu menjadi kemerahan. Hui Lan
merasa sungkan karena Si Kong menggunakan cawan yang bekas diminumnya itu.
Tetapi karena Si Kong bersikap biasa saja, maka rasa sungkan itu perlahan-lahan
lenyap kembali.
“Kong-ko,
sekarang ceritakan pengalamanmu sampai engkau menjadi murid kakek buyut Ceng
Thian Sin di Pulau Teratai Merah,” kata Hui Lan setelah selesai makan dan
minum. “Malam baru saja datang, masih terlampau sore untuk tidur, maka aku akan
senang sekali mendengar riwayatmu sejak engkau kecil.”
Si Kong
menghela napas panjang. “Pengalamanku sejak kecil penuh dengan duka, tidak
menarik untuk diceritakan, Lan-moi.”
“Ahh, justru
pengalaman yang penuh duka itu yang menarik dan selalu menjadi kenangan,
sedangkan pengalaman yang penuh suka mudah dilupakan. Ceritakanlah, Kong-ko,
aku suka mendengarkan.”
Hening
sejenak ketika Si Kong mengumpulkan ingatannya, mengenang kembali semua
pengalamannya sejak kecil yang pantas untuk diceritakan kepada gadis itu.
“Aku
dilahirkan di dusun Ki-ceng. Orang tuaku adalah petani yang sangat miskin.
Musim kering yang panjang membuat keadaan kami lebih payah lagi. Apa lagi yang
harus kami makan? Karena itu ayahku terpaksa menyerahkan enci-ku kepada
Hartawan Lui, supaya dapat menyambung nyawa kami sekeluarga. Enci-ku lalu
menjadi selir hartawan itu, akan tetapi dia seperti di penjara, tak pernah
dapat menjenguk atau menolong kami sekeluarga. Karena kelaparan hampir membunuh
kami, maka kakakku Si Leng nekat memanjat pagar tembok rumah Hartawan Lui untuk
mencari enci Kiok Hwa agar enci-ku dapat membantu. Akan tetapi dia ketahuan
tukang-tukang pukul hartawan itu, lalu dipukuli sampai mati.”
Si Kong
berhenti sebentar untuk mengambil napas panjang. Kenangan tentang semua itu
mendatangkan perasaan duka di dalam hatinya.
“Menyedihkan
sekali, Kong-ko. Ketika hal itu terjadi, berapakah usiamu?”
“Ketika itu
aku baru berusia sepuluh tahun, hanya dapat membantu ayah di sawah, tetapi
dengan adanya musim kering seperti itu, apa yang dapat dilakukan para petani
miskin?”
“Aku dapat
mengerti, Kong-ko, lalu bagaimana kelanjutan ceritamu?”
“Agaknya Tuhan
belum menghentikan cobaan yang menimpa diriku. Dusun kami dilanda wabah
penyakit yang amat ganas. Sore sakit pagi mati dan pagi sakit sore mati.
Keluarga kami yang tinggal ayah, ibu dan aku seorang, juga tak luput dari
amukan wabah penyakit itu. Ayah dan ibu terkena dan mereka meninggal dunia
dalam waktu yang berdekatan.”
“Ahhhh...!”
Tanpa disadarinya kedua mata Hui Lan menjadi basah ketika dia memandang kepada
Si Kong penuh rasa haru dan iba.
Si Kong
kembali menarik napas panjang beberapa kali untuk menekan perasaan dukanya,
kemudian dia melanjutkan ceritanya dan suaranya sudah terdengar tenang.
“Kami
mengubur jenazah ayah dan ibu. Sesudah semua orang pulang, aku tinggal sendiri
di dekat makam. Habis sudah semuanya, tidak ada yang tertinggal lagi. Ayah ibu
beserta saudaraku telah meninggal. Yang ada hanya enci Kiok Hwa, akan tetapi
dia terkurung di rumah gedung sehingga kematian ayah ibu pun tak terdengar
olehnya. Sawah dan rumah sudah dijual untuk biaya pemakaman ayah dan ibu.
Karena merasa sedih dan kelaparan, ditambah tertimpa hujan lebat malam itu,
tanpa terasa aku pun roboh pingsan di makam ayah dan ibu.”
“Ahhh,
kasihan kau, Kong-ko...!” Kini dari kedua mata Hui Lan jatuh menetes dua butir
air mata di atas pipinya.
“Agaknya
Tuhan masih menaruh kasihan kepadaku. Pada keesokan paginya guruku yang pertama
menemukan aku tergeletak pingsan di atas makam itu. Guruku yang pertama itu
adalah Yok-sian Lo-kai. Setelah menolongku, suhu lantas menolong para penduduk
dusun yang dilanda wabah penyakit, dan memberi tahu bagaimana cara mengobati
orang-orang yang terkena wabah. Bukan itu saja, suhu juga mengunjungi para
hartawan, merobohkan semua tukang pukulnya dan menasehati para hartawan sambil
mengancam supaya para hartawan tidak bersikap pelit dan masa bodoh terhadap
kemiskinan para petani dan suka membantu mereka agar tidak sampai kelaparan.”
“Aku pernah
mendengar dari ayah ibuku tentang Yok-sian Lo-kai yang sakti dan budiman itu,”
kata Hui Lan sambil mengusap pipinya yang basah. “Semenjak itu engkau menjadi
murid Yok-sian Lo-kai?”
“Betul, aku
dilatih ilmu silat dan suhu juga mengajarkan ilmu pengobatan sambil merantau
sampai lima tahun lamanya. Dalam perantauan itu kami berdua bertemu dengan
Tung-hai Liong-ong.”
“Hemm,
majikan Pulau Tembaga yang terkenal sebagai datuk sesat itu?”
“Benar, suhu
bentrok dengan Tung-hai Liong-ong karena suhu membela Hek I Kaipang. Kemudian
mereka bertanding. Tung-hai Liong-ong bisa dikalahkan dan terusir pergi, akan
tetapi suhu sendiri menderita luka parah yang beracun. Suhu ingin menyendiri
dan beliau meninggalkan aku agar hidup seorang diri. Pada waktu itu usiaku
sudah lima belas tahun. Walau pun aku sedih dan kecewa ditinggalkan suhu, akan
tetapi aku tidak putus harapan. Aku lalu melanjutkan hidupku dengan bekerja sebagai
kuli atau buruh kasar. Berkat ajaran Yok-sian Lo-kai aku dapat membaca dan
menulis, tetapi aku tidak memiliki pengalaman. Dengan uang hasil kerjaku, aku
membeli pakaian, tidak lagi berpakaian pengemis seperti ketika aku ikut suhu
Yok-sian Lo-kai.”
“Ceritamu
menarik sekali, Kong-ko. Lanjutkanlah.”
“Apakah
engkau tidak lelah dan ingin mengaso?”
“Malam belum
larut dan aku tidak mengantuk. Teruskan ceritamu, Kong-ko. Pengalaman hidupmu
menarik sekali!”
Si Kong
tersenyum. Tentu saja dia hanya dapat menceritakan hal-hal yang penting saja.
“Pada suatu hari secara kebetulan aku bertemu dengan guruku yang kedua.”
“Siapakah
dia, Kong-ko?”
“Dia adalah
seorang sastrawan she Kwa, suka disebut Kwa Siucai (Sastrawan Kwa) atau juga
disebut Penyair Gila.”
“Ahh, aku
juga pernah mendengar tentang Penyair Gila itu dari ayah. Kata ayah, biar pun
disebut Penyair Gila tetapi sebenarnya dia sama sekali tidak gila dan dia
mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali.”
“Kepandaian
manusia itu terbatas, Lan-moi. Bagaimana bisa tinggi sekali? Malam hari itu aku
mengikuti Kwa Siucai merantau. Suhu-ku yang kedua ini berbeda dengan suhu-ku
yang pertama. Kalau Lok-sian Lo-kai lebih suka mengemis dari pada mencuri,
sebaliknya Kwa Siucai lebih suka mencuri harta para hartawan yang terkenal
pelit, lalu membagikan hasil curiannya itu dan menyimpan sebagian kecil untuk
biaya hidup kami. Selama dua tahun aku belajar ilmu kepadanya, lantas tiba-tiba
saja guruku yang kedua ini pun meninggalkan aku karena ingin mengundurkan diri
dan menjadi pertapa.”
“Wahh! Dalam
usia tujuh belas tahun engkau sudah menjadi murid dua orang guru yang sakti.
Nasibmu baik sekali, Kong-ko. apa lagi setelah itu engkau diambil murid
kong-couw (kakek buyut). Lalu bagaimana ceritanya sampai engkau dapat menjadi
murid kong-couw, Kong-ko?”
“Peristiwa
itu terjadi di Bukit Iblis. Karena aku mengintai pertandingan antara
tokoh-tokoh sesat, aku ketahuan oleh pemenang pertandingan itu, yaitu Twa Ok
dan Ji Ok.”
“Ahh…, dua
orang datuk besar golongan sesat dari Barat itu? Ayah pernah menceritakan
tentang mereka.”
“Benar,
mereka adalah dua orang datuk besar yang kejam sekali. Mereka lalu berlomba
untuk membunuhku! Melawan seorang saja dari mereka aku tidak akan menang, apa
lagi mereka maju berbareng untuk membunuhku. Pada saat yang sangat gawat itu
muncullah suhu-ku yang ketiga, yaitu Ceng Lojin. Beliau menandingi dua orang
datuk itu, kemudian mengalahkan mereka hingga mereka melarikan diri. Semenjak
saat itu aku diambil murid dan diajak ke Pulau Teratai Merah, lalu selama tiga
tahun aku diajar ilmu-ilmu yang amat sulit oleh suhu.”
“Dan dua
orang datuk itu bersama Bu-tek Ngo-sian datang ke Pulau Teratai Merah untuk
menantang kong-couw?” tanya Hui Lan.
Si Kong
menghela napas panjang. “Benar, dan aku merasa menyesal sekali bahwa walau pun
dapat mengusir mereka, tetapi suhu telah mempergunakan terlampau banyak tenaga
sehingga terluka dalam pula. Aku merasa menyesal sekali mengapa suhu melarangku
untuk membantunya ketika dikeroyok tujuh orang yang lihai itu.”
“Tidak perlu
disesalkan lagi, Kong-ko. Mungkin kong-couw merasa malu jika harus minta
bantuan muridnya, dan kenyataannya dia memang dapat mengusir tujuh orang
musuhnya. Ah, kalau saja aku dapat bertemu dengan Toa Ok, dan Ji Ok dan kelima
Bu-tek Ngo-sian, tentu akan kutantang dan kuhadapi mereka!”
“Lan-moi,
kuharap engkau menyadari bahwa balas membalas atau dendam mendendam adalah ulah
nafsu yang amat membahayakan diri sendiri. Kelak apa bila aku berhadapan sebagai
musuh ketujuh orang itu, maka tentu bukan karena hendak membalas dendam,
melainkan karena mereka melakukan perbuatan jahat yang harus kutentang. Tentu
hal ini sudah engkau ketahui dari ayah ibumu.”
Hui Lan
mengangguk. “Memang ayah selalu mengatakan demikian, akan tetapi kalau aku
ingat betapa kong-couw yang usianya sudah amat tua itu mereka keroyok, hatiku
menjadi panas sekali.”
“Hati boleh
panas akan tetapi kepala harus tetap dingin, Lan-moi, karena segala tindakan
kita diatur oleh pikiran dalam kepala kita. Nah, aku sudah menceritakan semua,
sekarang harap engkau mengaso. Di sebelah sana sudah kutaburi dengan rumput
kering, dapat kau pakai untuk tidur.”
“Dan engkau
sendiri?”
“Biarlah aku
yang menjaga agar api unggun tidak sampai padam.”
“Aih,
bagaimana aku dapat tidur kalau begitu? Aku tidur nyenyak, ada pun engkau
berjaga seorang diri di sini? Biarlah engkau saja yang mengaso dan tidur, aku
yang menjaga api unggun.”
“Engkau
menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak mungkin, Lan-moi! Semua orang akan
mentertawakan aku kalau mendengar bahwa aku menyuruh seorang gadis berjaga
malam sedangkan aku sendiri tidur mendengkur! Sudah sepantasnya kalau sebagai
laki-laki aku harus mengalah. Tidurlah dan aku dengan senang hati akan menjaga
api unggun ini agar tidak padam.”
“Baiklah,
Kong-ko. Akan tetapi kau harus berjanji akan membangunkan aku setelah lewat
tengah malam agar aku dapat menggantikan engkau berjaga.”
“Baik,
Lan-moi.”
Hui Lan
meratakan daun kering yang menutupi rumput basah, kemudian membaringkan
tubuhnya membelakangi Si Kong dan api unggun. Karena dia memang sudah lelah
sekali, maka sebentar saja dia sudah tidur.
Si Kong
mengetahui bahwa gadis itu telah tidur pulas. Pernapasan gadis itu panjang dan
lembut, tanda bahwa dia telah tidur. Kini dengan leluasa Si Kong dapat
memandang gadis itu.
Wajahnya
tidak kelihatan karena dia membelakangi api unggun, namun dia dapat melihat
kulit tengkuk yang putih mulus itu, juga melihat bentuk tubuh yang ramping dan
padat itu. Alangkah cantiknya dia, dan sukarlah mendapatkan gadis secantik Hui
Lan, demikian dia mendengar bisikan di telinganya.
“Lihat
betapa montok pinggulnya, dan alangkah halus mulus kulit lehernya. Pinggangnya
demikian ramping, jari-jari tangannya demikian mungil,” bisikan itu
melanjutkan.
“Akan tetapi
sungguh tidak sopan memandangi tubuh seorang gadis yang sedang tidur!” suara
lain dari hatinya mencela suara yang datang dari kepala itu.’
“Hah, apanya
yang tidak sopan? Sudah jamak bila lelaki memperhatikan dan mengagumi
perempuan, dan di sini tidak ada siapa-siapa lagi, tidak ada yang melihatnya.
Mungkin dia pun tertarik kepadamu. Sinar matanya begitu lembut kalau
memandangmu, dan bibirnya... ahhh, bukankah bibir itu menantangmu untuk kau
cium…?” suara kepala membujuk.
“Keparat!
Kau sungguh tidak tahu malu! Di mana kesopananmu? Di mana kegagahanmu? Usirlah
keinginan yang bukan-bukan dari pikiranmu!” suara hatinya membentak.
Pikirannya
mentertawakannya. “Jangan berpura-pura alim! Sejak tadi engkau sudah ingin
mencumbunya. Kalian hanya berdua saja di tempat yang sunyi ini. Hanya kalian
berdua! Dan lupakah engkau betapa mancung hidung itu, betapa bibir itu merah
segar dan selalu mengharapkan cumbuan darimu?” Bisikan itu sayup-sayup saja dan
seakan terdengar di belakang kepalanya.
“Iblis!”
Tiba-tiba dia memutar tubuhnya.
“Desss...!”
Batang pohon yang berada di belakangnya terkena pukulannya dan runtuhlah semua
daun kering dan setengah kering.
“Pergi kau,
iblis!”
Si Kong
merasa betapa kepalanya berdenyut dan panas. Dia harus dapat menentang dan
mengusir bisikan iblis, nafsunya sendiri itu. Dia termenung, lantas teringat
akan wejangan dari guru-gurunya.
“Napsu itu
sifatnya seperti api,” demikian kata Si Penyair Gila. “Kalau dapat dikendalikan
maka dia akan menjadi pembantu yang bermanfaat sekali bagi kehidupan, bahkan
tanpa api orang akan hidup tidak normal. Akan tetapi sekali engkau membiarkan
dia merajalela, maka dia akan membakar seluruh hutan dengan lahapnya!”
Si Kong
mengerti bahwa suara yang berbisik tadi adalah nafsu yang memenuhi pikirannya
dengan bayangan-bayangan yang menyenangkan sedangkan suara yang membantah dan
mengingatkannya adalah jiwanya yang murni. Dia teringat akan ujar-ujar dari
Nabi Khong-cu dalam kitab Tiong Yong dan dia pun berbisik lirih mengulang
ujar-ujar itu.
Hi Nouw Ai
Lok Ci Bi Hoat, Wi Ci Tiong. Hwat Ji Kai Tiong Ciat, Wi Ci Ho. Tiong Ya Cia,
Thian He Ci Tai Pun Ya. Ho Ya Cia, Thian He Ci Tat To Ya.
Sebelum
timbul rasa senang, marah, duka dan suka, maka hati, akal pikiran berada dalam
Keadaan Seimbang. Apa bila dapat mengendalikan bermacam perasaan itu, hati,
akal pikiran berada dalam Keadaan Selaras. Keadaan Seimbang itu adalah Pokok
Terbesar dari dunia. Sedangkan Keadaan Selaras adalah Jalan Utama dari dunia.
Si Kong
termenung dan mencoba untuk menguraikan ujar-ujar itu. Perasaan susah, benci,
senang, marah dan sebagainya adalah ulah nafsu. Jika seseorang belum dikuasai
nafsu-nafsu ini maka dia adalah seorang yang berimbang atau lurus, tidak
miring. Tapi begitu nafsu menguasainya dan perasaan-perasaan itu memasukinya,
maka pertimbangannya menjadi miring. Manusia menjadi jahat bila mana sudah
dikuasai nafsu. Akan tetapi kalau dia dapat mengendalikannya, maka dia pun akan
tetap menjadi majikan dari nafsunya dan keadaannya menjadi selaras.
Nafsu telah
ada di dalam diri manusia sejak dia lahir di dunia. Nafsu inilah yang membuat
manusia dapat hidup di dunia seperti sekarang ini, mendapat kemajuan, ada
gairah hidup dan semangat. Nafsu menjadi peserta manusia yang teramat penting
sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan bahagia.
Nafsu dapat
menjadi hamba yang amat baik. Akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan nafsu
merajalela. Kalau begitu halnya, nafsu akan memperbudak kita, membelenggu kita
dan membuat kita menuruti segala kehendaknya. Nafsu akan menjadi majikan dan
kalau dia menjadi majikan maka dia menjadi majikan yang menyeret kita ke dalam
kehancuran.
Si Kong
menghela napas panjang. Samar-samar dia masih dapat mendengar suara yang
membujuknya tadi pergi sambil menyumpah-nyumpah. Untung jiwanya kuat, pikirnya.
Jika tidak tentu dia akan menjadi budak nafsu dan menuruti semua bujukannya.
Dia merasa ngeri!
Kalau tadi
dia membiarkan diri dicengkeram nafsu kemudian melakukan semua perbuatan keji
terhadap Hui Lan, alangkah ngerinya itu. Alangkah besar penyesalannya dan hebat
akibatnya. Dia bergidik. Dia tadi sudah berada di mulut jurang. Dia harus
berhati-hati.
Inilah yang
dikatakan para arif bijaksana bahwa musuh yang paling besar adalah
nafsu-nafsunya sendiri yang berada di dalam diri. Dikatakan pula bahwa
mengalahkan musuh adalah gagah, akan tetapi mengalahkan nafsunya sendiri adalah
bijaksana!
Si Kong
teringat akan sajak yang amat disuka oleh Kwa Siucai, yang diambil dari Kitab
To-tek-keng. Dengan lirih dia pun bersenandung, seperti yang sering kali
dilakukan oleh gurunya yang kedua, Si Penyair Gila.
“Kata-kata
yang jujur tidak bagus, kata-kata yang bagus tidak jujur. Si cerdik tidak
membual, si pembual tidak cerdik. Orang yang tahu tidak sombong, orang yang
sombong tidak tahu. Orang suci tidak menyimpan, dia menyumbang
sehabis-habisnya, akan tetapi makin menjadi kaya, dia memberi sehabis-habisnya.
Jalan yang ditempuh Langit menguntungkan, tidak merugikan. Jalan yang ditempuh
orang suci memberi, tidak merebut.”
Malam
semakin larut. Suasana hening sekali sungguh pun di dalam keheningan itu penuh
dengan suara-suara marga satwa, kadang kala diselingi suara api membakar kayu
kering, berkerotokan.
Si Kong yang
mengamati diri sendiri merasakan betapa bujukan seperti tadi tidak ada lagi,
sedikit pun tak ada bekasnya. Hal ini terjadi karena pikirannya sibuk dengan
ujar-ujar tadi. Jadi jelaslah bahwa yang menjadi penggoda manusia adalah
pikiran dan ingatan. Segala perbuatan diawali dengan pemikiran yang bergelimang
nafsu sehingga lahirlah perbuatan-perbuatan yang hanya mementingkan diri dalam
mencari kesenangan sendiri saja. Demi mencapai kesenangan yang dikehendaki,
manusia tidak segan melakukan segala macam kejahatan yang merugikan orang lain.
Si Kong
menghela napas dan menengadah. “Ya Tuhan, berilah kekuatan kepada hamba untuk
mengekang dan mengendalikan nafsu,” dia berbisik lantas menyibukkan diri dengan
menambah kayu bakar pada api unggun.
Tanpa
dirasakannya, malam telah larut dan hawa udara semakin dingin menyusup tulang.
Bahkan api unggun tidak cukup kuat untuk menghangatkan udara. Dia melihat
betapa Hui Lan tidur miring dengan kedua kaki terlipat. Kasihan, pikir Si Kong,
dia kedinginan.
Ia lalu
membuka buntalannya dan mengeluarkan sehelai kain lebar yang biasa dipakainya
untuk melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin. Dengan perlahan-lahan dan
amat hati-hati agar jangan membangunkan gadis yang sedang tidur nyenyak itu dia
menyelimuti Hui Lan. Kemudian dia duduk kembali dekat api unggun.
Kini ia
duduk bersila sambil memejamkan matanya. Mata dan tubuhnya perlu beristirahat,
akan tetapi kepekaannya tetap menjaga. Sedikit suara saja akan terdengar olehnya
dan akan membuatnya terjaga. Juga akan terasa olehnya kalau api unggun itu
mengecil.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Si Kong sudah bangun. Suara burung-burung
yang berkicau riang gembira membangunkannya. Sesudah menambah kayu bakar pada
api unggun untuk menghangatkan hawa udara yang masih dingin sekali, dia lalu
mencari sumber air di hutan terdekat. Akhirnya dia menemukan sumber air yang
memancur dari celah-celah batu. Bukan main gembira rasa hatinya. Cepat dia
membersihkan tubuhnya, lalu dengan wajah dan rambut masih basah dan meneteskan
air, dia kembali ke padang rumput.
Ternyata Hui
Lan telah bangun. Bajunya agak kusut dan rambutnya terlihat awut-awutan,
sebagian gelung rambutnya terlepas. Si Kong memandang dan dia pun terpesona.
Dalam keadaan bangun tidur seperti itu, Hui Lan nampak lebih menarik!
“Ahh, engkau
sudah bangun, Lan-moi?”
“Kong-ko,
ini kepunyaanmukah?” Ia mengambil selimut yang telah dilipatnya dengan baik
Si Kong
hanya mengangguk dan menerima selimut itu ketika gadis itu menyodorkannya.
“Kong-ko,
engkau tidak membangunkan aku, bahkan menyelimutiku. Aku enak-enak tidur
semalam suntuk dan engkau berjaga hingga pagi! Sungguh engkau membuat aku
merasa malu. Kenapa engkau tidak menggugahku untuk menggantikanmu berjaga?”
“Aku tidak
tega menggugahmu, Lan-moi. Lagi pula aku pun sudah beristirahat. Bahkan aku
sudah membersihkan badan di sumber air di hutan itu.” Dia menunjuk ke kanan.
“Di sana ada pohon yang tertinggi. Nah, di samping pohon itu terdapat batu-batu
besar dan sumber air itu memancur keluar dari celah-celah batu besar.”
“Ahh, itu
bagus sekali! Biar aku membersihkan badan dan berganti pakaian dulu.” Hui Lan
lalu mengambil satu setel pakaian dan berlari kecil menuju ke hutan yang
ditunjuk oleh Si Kong.
Si Kong memandang
dan tersenyum. Alangkah indahnya suasana pagi ini. Kicau burung menggantikan
suara marga satwa yang kini sudah tidak berbunyi lagi. Kicau burung yang amat
meriah dan terdengar merdu sekali. Jarang Si Kong merasakan pagi secerah dan
seindah ini. Ada rasa bahagia menyelinap dalam hatinya. Begini bahagia dan
nikmatnya hidup, pikirnya.
Dia lantas
bangkit berdiri, menghirup napas yang panjang dan dalam sampai hawa murni
terasa memasuki bawah pusar. Dia merasa tubuhnya demikian segarnya sehingga
tanpa disadari dia telah berlatih silat! Dia mainkan delapan jurus Hok-liong
Sin-ciang, mula-mula dengan lambat sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya,
kemudian makin lama semakin cepat dan dia pun mengubah ilmu silatnya, kini
memainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan tubuhnya sudah tidak
terlihat jelas lagi saking cepatnya dia bergerak. Hanya nampak bayangannya saja
berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar.
Setelah
jurus terakhir dia mainkan dan kini tubuhnya tak bergerak lagi dalam posisi
kedua lengan rapat pada tubuh dan kedua kaki sejajar tegak, jurus penutupan
yang disebut jurus 'Burung Walet Beristirahat', tiba-tiba dari belakangnya
terdengar suara orang memuji dan bertepuk tangan.
Si Kong
seperti baru sadar dari mimpi. Ketika dia membalikkan tubuhnya, dia melihat Hui
Lan sudah berdiri di depannya dan gadis ini bertepuk tangan memuji.
“Bagus
sekali ilmu silatmu tadi, Kong-ko. Begitu cepatnya gerakanmu!”
Si Kong
merasa terpesona. Kini Hui Lan telah mengenakan pakaian pengganti, rambutnya
masih agak basah dan dibiarkan terurai supaya cepat kering, wajahnya yang tanpa
bedak atau gincu itu nampak segar berseri, putih kemerahan. Dengan rambut
terurai seperti itu, di bawah sinar matahari yang cerah, dia kelihatan seperti
seorang Dewi dari Langit! Akan tetapi dia segera dapat menguasai dirinya, dan
sambil tersenyum berkata merendah.
“Ahh,
Lan-moi, betapa cepat pun gerakanku, masih tidak mampu menandingimu.”
“Pujianku
bukanlah kosong belaka, Kong-ko. Ilmu silat tangan kosong yang kau latih tadi
sungguh hebat gerakannya. Demikian cepatnya. Ilmu silat apakah itu, Kong-ko?
Apakah engkau mempelajarinya dari kong-couw? Aku tahu bahwa kong-couw mempunyai
banyak ilmu silat yang luar biasa.”
“Bukan dari
suhu Ceng Lojin, Lan-moi. Ilmu silat itu disebut Yan-cu Hui-kun (Silat Burung
Walet Terbang) dan aku mempelajarinya dari Si Penyair Gila.”
“Ahh, pantas
aku belum pernah melihatnya. Engkau beruntung mendapatkan banyak guru yang
sakti, Kong-ko. Aku percaya bahwa dari kong-couw engkau tentu telah mempelajari
ilmu-ilmu yang langka dan lihai. Engkau tentu telah mempelajari ilmu-ilmu
simpanan kong-couw!” Dalam suara itu terkandung nada iri.
“Dari suhu
Ceng Lojin aku hanya mempelajari dua macam ilmu,” Si Kong berkata terus terang.
“Ilmu apa
saja yang kau pelajari dari Pulau Teratai Merah? Aku ingin sekali mengetahui,
Kong-ko.”
“Hanya dua
macam, yaitu Hok-liong Sin-ciang dan Thi-khi I-beng.”
“Wah, kata
nenekku, itu adalah dua macam ilmu yang paling sulit di dunia. Bahkan nenek
sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi I-beng walau pun dia adalah anak kakek
buyut!” seru Hui Lan dengan kagum sekali. “Dan kata ibuku, ilmu silat Hok-liong
Sin-ciang merupakan ilmu yang amat sulit dipelajari.”
“Memang
demikianlah sebenarnya, Lan-moi. Ilmu silat itu hanya terdiri dari delapan
jurus, namun untuk menguasai ilmu itu dengan baik, aku harus berlatih tekun
selama dua tahun! Dan ternyata setiap jurus ilmu itu dapat dikembangkan menjadi
puluhan macam gerakan, tergantung dari bakat dan naluri si murid.”
Hui Lan
menggeleng-gelengkan kepala. “Wah, begitu sulit? Engkau tadi juga memainkan
ilmu silat yang kau peroleh dari Si Penyair Gila. Ilmu apa saja yang kau pelajari
darinya, Kong-ko? Ataukah ini merupakan rahasia pribadi yang tidak boleh
diketahui orang lain?”
Si Kong
tersenyum. “Terhadap orang lain memang aku harus merahasiakan, akan tetapi
engkau bukan orang lain, malah cucu buyut suhu Ceng Lojin, maka aku berterus
terang saja padamu. Dari Suhu Kwa Siucai itu aku mempelajari Yan-cu Hui-kun,
ilmu silat yang tadi kumainkan dan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng
(Lari Terbang Di atas Bumi).”
“Pantas ilmu
meringankan tubuh yang kau kuasai demikian hebat. Dan dari Yok-sian Lo-kai,
engkau mempelajari apa sajakah?”
“Dari suhu
Yok-sian Lo-kai aku mempelajari ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung (Tongkat Sakti
Pemukul Anjing), ilmu pengobatan dan juga ilmu mengemis.”
“Ilmu
mengemis?” tanya Hui Lan terbelalak heran dan geli.
“Ya, ilmu
mengemis. Mengemis pun ada ilmunya, Lan-moi. Ada orang mengemis secara kasar
dan menakut-nakuti. Ada pula yang mengemis dengan cara berpura-pura lumpuh,
buta dan sebagainya. Mengemis dengan cara seperti itu tidak baik, membuat orang
yang dimintai sumbangan menjadi kecewa atau marah. Ilmu mengemis adalah cara
mengemis yang wajar, dilakukan karena terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan
sehingga orang yang dimintai sumbangan merasa iba hati, lalu menolong dengan
sepenuh hati dan rela. Inilah yang kumaksudkan dengan ilmu mengemis.”
Hui Lan
menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandang kepada pemuda itu dengan kagum.
“Wah, banyak sekali pengalaman hidup yang sudah kau peroleh, di samping
ilmu-ilmu tingkat tinggi. Sekarang aku ingin sekali menguji ilmu-ilmu tadi,
Kong-ko. Engkau tak berkeberatan memberi sedikit petunjuk kepadaku, bukan?”
“Wah, aku
mengaku kalah saja, Lan-moi. Aku tidak berani melawanmu.”
“Ini bukan
pertandingan kalah atau menang, Kong-ko. Hanya untuk menguji ilmu masing-masing.
Kalau engkau menolak kuanggap engkau memandang rendah kepadaku dan aku akan
merasa kecewa dan marah kepadamu. Nah, pergunakanlah tongkatmu itu, aku ingin
mencoba ilmu tongkatmu.”
“Kita tidak
bertanding, kenapa harus mempergunakan senjata? Kalau engkau memaksa, marilah
kita latihan sebentar dengan tangan kosong saja.”
“Hemmm,
dengan tangan kosong atau menggunakan senjata, apa bedanya? Kalau sudah
menguasai ilmu dengan baik, senjata dapat ditahan sebelum mengenai tubuh lawan.
Akan tetapi karena engkau menghendaki latihan dengan tangan kosong, baiklah.
Marilah kita berlatih ilmu silat tangan kosong. Engkau mainkanlah Hok-liong
Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga) yang hebat itu, agar mataku terbuka
dan pengetahuanku bertambah.”
“Baik,
Lan-moi,” kata Si Kong sambil berdiri tegak di depan gadis itu.
“Awas,
Kong-ko, aku mulai menyerangmu!” gadis itu berseru dan tubuhnya telah meloncat
ke depan dan mengirim serangan yang cepat sekali. Pukulannya itu mendatangkan
angin menderu!
Si Kong
terkejut dan kagum, maklum bahwa gadis itu mainkan ilmu silat tangan kosong
yang amat hebat, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Dia lalu bersilat
dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, mengelak sambil mencari kesempatan untuk balas
menyerang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu berputar dan kedudukannya
sudah beralih ke sebelah kiri Si Kong sambil menyerang lagi dengan pukulan
tangan miring! Maka Si Kong terpaksa menangkis dengan lengan kirinya.
“Dukkk!”
Dua buah
lengan bertemu dan Si Kong merasa betapa lengannya tergetar sedangkan Hui Lan
juga terpaksa melangkah ke belakang karena tubuhnya terdorong hebat. Keduanya
maklum bahwa tenaga sinkang lawan amat kuat.
Sebelum Si
Kong dapat menemukan lowongan, tubuh Hui Lan sudah kembali berkelebat ke kanan
kiri, bahkan memutari dirinya, membuat Si Kong kagum sekali. Ternyata gadis ini
menggunakan ilmu silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Ilmu Silat Delapan Belas Jurus
Dewa Mabok) sambil menggunakan langkah ajaib Jiauw-pou Poan-san. Langkah kedua
kakinya ini aneh sekali sehingga amat membingungkan bagi lawan karena
langkah-langkah yang berubah-ubah itu membuat tubuhnya berkelebatan ke kanan
kiri secara membingungkan.
Si Kong
merasa kagum bukan main. Diam-diam dia harus mengakui bahwa dia tentu akan
kalah kalau dia tidak mahir ilmu Hok-liong Sin-ciang. Bahkan ilmu tangan kosong
Yan-cu Hui-kun yang amat cepat itu pun akan sulit menghadapi ilmu silat gadis
ini.
Akan tetapi
Hok-liong Sin-ciang adalah dasar ilmu-ilmu silat tinggi. Dengan tegap Si Kong
mengatur langkahnya sambil memainkan kedua lengannya sedemikian rupa sehingga
Hui Lan tidak melihat lowongan untuk menyerang, seakan tubuh pemuda itu sudah
dilindungi oleh perisai baja yang menghalangi setiap pukulan lawan.
Karena
langkah-langkah gadis itu luar biasa dan membingungkan, Si Kong juga tidak tahu
bagaimana mengalahkan gadis itu. Padahal mereka telah saling serang selama lima
puluh jurus lebih. Daun-daun yang berdekatan terlepas dari tangkainya dan
berguguran terkena hawa pukulan mereka.
“Hemmm, kalau
aku mengalah, Lan-moi tentu akan mengetahuinya dan menganggap aku
meremehkannya. Akan tetapi sungguh amat sulit untuk mengalahkannya tanpa
melukai,” demikian pikir Si Kong.
Tiba-tiba
dia teringat akan ilmunya Thi-khi I-beng. Hanya ilmu itulah yang agaknya akan
dapat membantunya mengalahkan Hui Lan tanpa melukainya. Ketika sebuah pukulan
Hui Lan menyambar ke arah lehernya, dia membuat gerakan miring dan sengaja
membiarkan pundaknya terkena pukulan tangan miring itu.
“Plakkk!”
Pukulan itu
mengenai pundak, tetapi tiba-tiba saja Hui Lan berseru kaget. Tangan kirinya
yang memukul melekat pada pundak pemuda itu dan dia merasa betapa tenaga
sinkang-nya menerobos keluar! Hui Lan cepat mengerahkan tenaga untuk melepaskan
tangannya, namun semakin kuat dia mengerahkan tenaga sinkang-nya, semakin kuat
pula pundak itu menyedot sinkang-nya.
Tiba-tiba Si
Kong melepaskan ilmunya dan berbareng mendorong tubuh gadis itu terlontar ke
belakang. Hui Lan membuat gerakan jungkir balik empat kali yang indah sekali
lalu dia turun ke atas tanah dengan tegak.
“Hebat bukan
main caramu pok-sai (jungkir balik) itu, Lan-moi. Ternyata ginkang-mu juga
sudah mencapai tingkat tinggi.”
“Kong-ko,
yang tadi itu… Thi-khi I-beng?” tanyanya kagum.
“Benar,
Lan-moi. Karena aku bingung bagaimana untuk dapat mengalahkanmu, maka aku
terpaksa menggunakan Thi-khi I-beng. Maafkan aku, Lan-moi.”
“Kenapa
mesti minta maaf? Aku girang engkau mempergunakan Thi-khi I-beng sehingga aku
mengenal kehebatannya. Padahal, jika engkau tidak ragu-ragu dan banyak
mengalah, dengan Hok-liong Sin-ciang itu pun aku pasti kalah. Supaya aku merasa
puas, sekarang gunakanlah tongkatmu, Kong-ko. Aku akan menggunakan sepasang
Hok-mo Siang-kiam!” Sesudah berkata demikian, Hui Lan segera mencabut sepasang
pedangnya. Nampak dua sinar gemilang ketika sepasang pedang itu telah berada di
kedua tangannya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment