Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Kelana
Jilid 14
Si Kong tak
dapat menolak lagi. Gadis itu bersikap jujur dan terus terang, dapat menerima
kekalahannya dengan wajar. Dia mengambil tongkat bambunya lalu melintangkan
tongkat bambu itu di depan dadanya.
“Kong-ko,”
kata Hui Lan dengan nada suara ragu-ragu. “Engkau perlu mengetahui bahwa dua
pedangku ini adalah Hok-mo Siang-kiam yang amat tajam dan kuat, mudah membuat
patah pedang atau golok lawan. Sedangkan engkau hanya bersenjata tongkat bambu,
ini tidak seimbang sama sekali. Sekali bentur tongkatmu tentu akan patah.”
Si Kong
tersenyum. “Jangan khawatir dan ragu, Lan-moi. Selamanya suhu Yok-sian Lo-kai
tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali tongkat bambu. Akan tetapi
belum pernah tongkat bambunya dipatahkan senjata lawan. Aku akan berusaha
supaya tongkat bambuku ini tidak sampai patah oleh sepasang pedangmu.”
“Baik,
Kong-ko. Awas seranganku!”
Hui Lan
mulai menggerakkan sepasang pedangnya. Demikian cepat gerakan pedang dara ini
sehingga bentuk pedangnya lenyap berubah menjadi dua gulung sinar kebiruan
seperti sepasang naga bermain-main di angkasa.
Dulu ilmu
pedang Hok-mo Siang-kiam ini menjadi andalan Toan Kim Hong atau Lam Sin (Sakti
dari Selatan) yang menjadi isteri kakek Ceng Thian Sin. Ilmu ini diwariskan
kepada Ceng Sui Cin yang kemudian mewariskannya pula kepada anaknya, Cia Kui
Hong yang kemudian menyerahkan pula kepada Tang Hui Lan. Nenek Toan Kim Hong
yang memiliki sepasang pedang lalu mempersatukan ilmu-ilmu pedang yang
dikenalnya, dirangkai dan diambil bagian terpenting dan terlihai sehingga dia
memiliki ilmu pedang rangkaian sendiri yang diberi nama sama dengan pedangnya,
yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka jadilah ilmu pedang pasangan yang amat dahsyat
seperti yang dimainkan Hui Lan sekarang ketika dia menyerang Si Kong.
Si Kong
terkejut dan mengelak dengan cepat. Ia kagum sekali ketika Hui Lan menyerang
secara bertubi-tubi dengan kedua pedangnya.
“Ilmu pedang
yang hebat!” dia berseru dan dia sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat
Ta-kauw Sin-tung. Tubuhnya melesat ke sana-sini menyelinap di antara gulungan
sinar pedang yang kebiruan itu.
Biar pun
ilmu tongkat ini hebat dan menjadi rajanya semua ilmu tongkat, akan tetapi
kalau bukan Si Kong yang memainkannya, belum tentu akan dapat menandingi
kehebatan Hok-mo Siang-kiam. Akan tetapi di tangan Si Kong tongkat itu menjadi
aneh sekali dan begitu diputar mengeluarkan angin dahsyat. Hebatnya, tongkat
bambu itu berkali-kali membentur sepasang pedang namun sama sekali tidak
menjadi patah atau putus! Dan terbentuklah gulungan sinar kuning kehijauan dari
tongkat itu mengimbangi gulungan sinar sepasang pedang.
Hampir
seratus jurus berlalu tanpa ada yang nampak kalah atau menang. Ketika Si Kong
kelihatan sedikit mengendur, Hui Lan menggunting dengan sepasang pedangnya ke
arah pinggang Si Kong. Serangan ini hebat bukan kepalang sehingga kali ini
agaknya Si Kong tidak akan dapat menghindarkan dirinya lagi.
Namun dengan
ilmu Liok-te Hui-teng tubuh Si Kong melesat ke atas sehingga guntingan sepasang
pedang itu luput dan pada saat itu Hui Lan merasa betapa rambut di kepalanya
dijamah sesuatu dan seketika tali pengikat rambutnya yang belum digelung itu
lepas dan rambutnya menjadi awut-awutan dan berkibar-kibar.
Hui Lan
cepat meloncat ke belakang. Dia melihat Si Kong sudah turun pula dan di ujung
tongkat bambunya terdapat pita yang tadinya mengikat rambutnya. Gadis itu
memandang kagum. Kalau pita rambutnya berhasil diambil oleh tongkat Si Kong,
tentu saja berarti dia sudah kalah. Mengambil pita rambut itu dapat saja diubah
menjadi pukulan atau totokan pada kepalanya!
“Ilmu
tongkatmu juga hebat sekali, Kong-ko!” kata Hui Lan kagum dan dia mengambil
pita rambutnya dari ujung tongkat yang disodorkan Si Kong.
“Ilmu
pedangmu tadi juga sangat hebat. Terus terang saja belum pernah aku bertanding
melawan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Ilmu pedangmu
membuat aku kewalahan dan kehabisan akal untuk mencari kemenangan. Baru setelah
melihat pita rambutmu berkibar, aku mendapat akal dan ternyata berhasil
menggunakan tongkat untuk mengambilnya,” kata Si Kong sejujurnya.
“Benarkah
kata-katamu itu, Kong-ko?” tanya Hui Lan yang kehilangan rasa kepercayaan
kepada diri sendiri karena sudah dikalahkan Si Kong.
“Untuk apa
aku berbohong? Apa yang kuucapkan keluar dari dalam hatiku, bukan untuk
menyenangkan hatimu, Lan-moi.”
Hui Lan
cepat membereskan dan mengikat kembali rambutnya dengan pita. “Aku percaya
padamu, Kong-ko, dan ucapanmu itu melegakan hatiku. Mari kita melanjutkan
perjalanan kita, Kong-ko. Mudah-mudahan di depan ada dusun dan kedai makanan
agar kita dapat sarapan.”
“Mari,
Lan-moi. Aku pun sudah siap.”
Pemuda dan
gadis perkasa ini sama sekali tak pernah mengira bahwa tak jauh dari situ, di
belakang semak-semak, ada dua pasang mata yang mengamati dan dua pasang telinga
mendengarkan percakapan mereka. Kenyataan bahwa di sana terdapat dua orang yang
mengintai tanpa diketahui Hui Lan mau pun Si Kong sudah menunjukkan bahwa kedua
orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Mereka dapat membuat gerakan
mereka tidak mengeluarkan suara.
Ketika Si
Kong dan Hui Lan pergi meninggalkan tempat itu, dua orang yang tadi mengintai
itu pun pergi dengan cepatnya. Bahkan mereka berlari cepat mendahului Si Kong
dan Hui Lan yang sama sekali tidak tahu bahwa tadi mereka sudah diamati orang.
Setelah
matahari naik tinggi Si Kong dan Hui Lan tiba di sebuah dusun yang cukup ramai.
Mereka segera mencari penjual makanan dan mendapatkan sebuah kedai makanan dan
minuman yang merupakan satu-satunya kedai makanan di dusun itu. Matahari telah
naik tinggi dan kedai itu telah sepi tamu.
Si Kong dan
Hui Lan lalu memasuki kedai, disambut oleh penjaga kedai yang hanya ada seorang
saja itu, seorang laki-laki yang berusia empat puluh tahun lebih. Penjaga kedai
itu bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang menderita suatu penyakit.
“Selamat
siang, tuan muda dan nona. Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak makan dan minum?
Ji-wi memesan apakah?”
“Jual
makanan apa saja engkau?” tanya Hui Lan.
“Ada bakpau,
roti gandum dan juga nona dapat memesan bakmi kuah.”
“Aku memesan
bakmi kuah dan air teh hangat,” kata Hui Lan.
“Aku juga memesan
yang sama,” kata Si Kong.
“Baik, harap
ji-wi tunggu sebentar. Silakan duduk dan saya akan mempersiapkan pesanan
ji-wi.”
Penjaga
kedai itu lalu masuk ke dalam, terus ke dapur yang terletak di ruangan
belakang. Di dapur itu duduk seorang pemuda dan seorang gadis, ada pun di atas
sebuah bangku panjang duduk seorang wanita dan seorang anak berusia sepuluh
tahun, keduanya terikat pada bangku.
Penjaga
kedai memandang kepada pemuda dan gadis itu dengan muka ketakutan, lalu
memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat itu.
“Mereka
memesan apa?” tanya gadis cantik itu.
“Me...
memesan... Bakmi kuah dan air teh,” jawab penjaga kedai dengan suara gemetar
ketakutan.
“Bagus,
cepat buatkan bakmi kuah itu,” kata pula si gadis itu.
Si penjaga
kedai cepat memasakkan bakmi kuah itu dan tak lama kemudian bakmi kuah sudah
matang. Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku pinggangnya,
membuka bungkusan dan mengambil sedikit bubuk putih yang lalu dimasukkan ke
dalam dua mangkok bakmi kuah. Bakmi itu diaduk-aduk dengan sumpit, lalu gadis
itu berbisik,
“Cepat
hidangkan kepada mereka. Hati-hati kau, jangan sampai kedua orang itu curiga!”
“Kalau
engkau tidak memenuhi perintah, ingat, isteri dan anakmu akan kubunuh!” pemuda
itu pun menghardik lirih.
Penjaga
kedai itu mengangguk-angguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata hanya dapat
memandang dengan hati cemas kepada isteri dan anaknya yang terikat di bangku,
lantas dia membawa dua mangkok mi kuah dan sepocai air teh dan dua cangkir
kosong. Setelah tiba di luar, dia menenangkan hatinya yang berdebar-debar.
Ditaruhnya dua mangkok mi kuah itu bersama poci teh dan dua cangkirnya ke atas
meja di depan Si Kong dan Hui Lan. Sambil menahan agar suaranya tidak gemetar,
dia berkata,
“Silakan
makan dan minum, kongcu dan siocia.”
Hui Lan
memandang tajam wajah penjaga kedai itu. “Mengapa wajahmu demikian pucat dan
suaramu gematar, paman? Apakah engkau sakit?”
Penjaga
kedai itu terkejut dan was-was. Dia segera membungkuk dan menjawab, “Dalam
beberapa hari ini memang badan saya masuk angin dan terasa sakit-sakit, nona.
Akan tetapi sudah saya belikan obat.”
Dia lalu
kembali ke depan untuk menyambut kalau ada tamu memasuki kedainya. Akan tetapi
matanya terus melihat ke arah pemuda dan gadis yang mulai makan mi kuahnya.
Hatinya merasa gelisah sekali.
Dia tidak
tahu benda apa yang dimasukkan ke dalam mangkok mi kuah tadi, akan tetapi dia
menduga bahwa perbuatan itu tentu tidak bermaksud baik. Pemuda dan gadis cantik
yang berpakaian mewah itu telah menyandera isteri dan anaknya. Orang-orang
seperti itu, betapa pun tampan dan cantiknya, tentu bukan orang baik-baik.
Hatinya
terasa lega bukan main ketika melihat Si Kong dan Hui Lan menghabiskan bakmi
mereka dan minum beberapa cangkir air teh. Tergopoh dia maju menghampiri ketika
Si Kong minta agar guci tempat airnya diisi penuh dengan air jernih. Setelah
mengisi guci itu dengan air jernih dan mengembalikannya lagi kepada Si Kong,
penjaga kedai itu dengan wajah gembira melihat dua orang tamunya tidak apa-apa,
lantas memperhitungkan harga makanan dan minuman.
Hui Lan
membayar lalu dia dan Si Kong keluar dari kedai itu untuk melanjutkan
perjalanan mereka. Sedikit pun mereka tidak menyangka buruk.
Sementara
itu, pemuda yang mengintai ke depan bersama gadis cantik itu mengerutkan
alisnya. “Yin-moi, bagaimana sih kau ini? Racun bubuk putihmu ternyata sama
sekali tidak mendatangkan hasil. Lihat mereka pergi dengan tenang!”
Gadis itu
tersenyum. Manis sekali kalau dia tersenyum. Seorang gadis cantik, rambutnya
dihias emas permata, pada lengannya terdapat gelang kemala, mengenakan
anting-anting indah dan pakaiannya juga sangat mewah. Gadis itu bukan lain
adalah Siangkoan Cu Yin yang sudah kita kenal. Dahulu dia merantau dengan
menyamar sebagai seorang pemuda pengemis yang usianya remaja dan memakai nama
Siangkaon Ji.
Seperti kita
ketahui, gadis ini berjumpa dengan Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang
berjuluk Tung Giam-ong. Mereka menjadi sahabat, lantas melakukan perjalanan
bersama menuju ke Kwi-liong-san untuk ikut merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam.
Tanpa
sengaja kedua orang muda yang menunggang dua ekor kuda itu melihat Hui Lan dan
Si Kong. Cu Yin yang merasa masih sakit hati pada Si Kong yang menolak
cintanya, bahkan tak mau melakukan perjalanan bersamanya, tentu saja menjadi
marah sekali saat melihat pemuda itu kini melakukan perjalanan bersama seorang
gadis lain.
“Kita
mengambil jalan lain dan mendahului mereka ke dusun itu!” kata Cu Yin yang
segera membalapkan kudanya diikuti oleh Gin Ciong.
“Tahan dulu,
Yin-moi! Mereka itu siapa dan kenapa kita harus mendahului mereka?”
“Diamlah
dulu, Ciong-ko. Nanti saja kujelaskan. Sekarang cepat balapkan kuda memasuki
dusun di depan itu untuk mendahului mereka!” Mendengar bentakan ini, Gin Ciong
hanya menggerakkan pundak dan membalapkan kudanya.
Mereka mengikat
kuda mereka di luar dusun, lalu memasuki dusun itu. Mereka mencari-cari dan
melihat kedai makanan dan minuman di tepi jalan.
“Sini
Ciong-ko. Mereka tentu akan makan minum di warung ini. Mari kita menyelinap
dari belakang!”
Keduanya
dengan cepat melompat ke belakang kedai itu dan masuk melalui pintu dapur di
belakang. Di dapur itu mereka melihat seorang wanita berusia kurang dari empat
puluh tahun bersama seorang anak berusia sepuluh tahun. Ibu dan anak itu
terkejut, akan tetapi dengan cepat Cu Yin menggerakkan tangannya dua kali dan
kedua orang ibu dan anak itu tak dapat bergerak atau bersuara lagi.
“Ikat mereka
di bangku itu, Ciong-ko!” kata Cu Yin.
Permintaan
ini ditaati oleh Gin Ciong yang segera mengikat ibu dan anak itu pada sebuah
bangku panjang. Kemudian Cu Yin mengintai. Sepi sekali di luar, hanya nampak
pemilik kedai yang berjaga di depan kedainya.
“Ssttt,
paman! Ke sinilah! Isteri dan anakmu ini kenapa?” teriak Cu Yin.
Pemilik
kedai itu terheran, juga terkejut melihat seorang gadis cantik dan mewah
tiba-tiba saja muncul dari dalam dan memanggilnya. Mendengar ada sesuatu yang
terjadi dengan isteri dan anaknya, dia pun bergegas masuk mengikuti Cu Yin ke
dapur. Setelah tiba di dapur melihat isteri dan anaknya terikat dibangku, tentu
saja dia terkejut bukan main.
“Apa yang
terjadi di sini?” Dia langsung menghampiri anak isterinya, akan tetapi Gin
Ciong sudah mencabut pedang dan menodongnya.
“Turuti
semua kehendak kami kalau engkau ingin isteri dan anakmu selamat!” bentak Gin
Ciong yang belum juga mengerti akan tindakan Cu Yin.
“Jika nanti
ada seorang pemuda dan seorang gadis memasuki kedaimu, terimalah mereka dengan
baik dan layani dengan ramah,” kata Cu Yin.
“Baik,
nona... Akan tetapi kasihanilah kami, jangan ganggu isteri dan anak kami...”
“Lihat saja
nanti. Kalau engkau mentaati semua perintah kami, maka anak dan isterimu ini
akan kami bebaskan. Akan tetapi kalau engkau tidak mau menaati kami, maka
isteri dan anakmu akan kami bunuh!” kata Cu Yin.
“Sekarang
keluarlah dan siap-siap menerima dua orang tamu itu!”
Pemilik
kedai itu keluar dengan tergopoh-gopoh, dan ketika itu pula Hui Lan dan Si Kong
memasuki kedainya. Dengan muka pucat karena mengingat keadaan anak dan
isterinya, pemilik kedai menerima Hui Lan dan Si Kong dengan ramah. Dan
selanjutnya kita sudah mengetahui betapa Cu Yin memasukkan racun bubuk putih ke
dalam mangkok mi kuah yang dihidangkan kepada Hui Lan dan Si Kong.
Ketika Gin
Ciong menegur Cu Yin karena racun bubuk putihnya tidak mengganggu sedikit pun
kepada pemuda dan gadis itu, dia tersenyum. Pada saat itu pemilik kedai
memasuki dapur dan Cu Yin menyambutnya dengan totokan. Orang itu mengeluh dan
roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.
“Mari kita
tinggalkan mereka. Sebelum lewat satu jam dia tidak akan sadar. Marilah kita
membayangi mereka!”
“Mau apa
lagi, Yin-moi? Kalau memang mereka itu musuh-musuhmu, mari kita hadang mereka.
Tidak perlu takut, aku akan membasmi mereka kalau engkau menghendakinya.”
“Diamlah
dulu. Nanti akan kujelaskan kepadamu siapa mereka dan mengapa aku berbuat
seperti ini!” Cu Yin menegur pemuda itu. Mereka lalu membayangi Hui Lan dan Si
Kong dari jarak jauh.
Si Kong dan
Hui Lan melangkah seenaknya. Mereka telah memasuki sebuah hutan yang sunyi di
sebelah selatan dusun itu. Hui Lan mengeluh, dan berkata, “Aih, kepalaku pening
dan dadaku rasanya tidak enak sekali!”
Dia berhenti
melangkah dan tangan kirinya meraba dahinya, bahkan dia lantas terhuyung. Si
Kong terkejut dan cepat merangkulnya agar gadis itu tak sampai roboh. Dia
memapah gadis itu ke bawah sebatang pohon dan mengajaknya duduk di atas batu.
“Engkau
kenapa, Lan-moi? Coba kuperiksa sebentar.” Dia lalu menekan nadi pergelangan
tangan gadis itu. “Ahh, denyut nadimu kacau tidak karuan! Coba sekarang kau
kerahkan sinkang untuk melawan rasa nyeri itu.”
Hui Lan
menurut dan segera mengerahkan sinkang-nya. Akan tetapi akibatnya dia malah
terpelanting dan terengah-engah. “Aduhh, aku terpukul tenagaku sendiri, ahh
nyeri, Kong-ko...!”
Si Kong
merasa heran dan dia mencobanya dengan diri sendiri. Dia mengerahkan sinkang
dan merasa dadanya seperti terpukul oleh tenaga yang sangat kuat. Dia pun
terpelanting dan terengah-engah.
“Engkau
kenapa, Kong-ko?” tanya Hui Lan khawatir dan dia sudah lupa akan keadaannya
sendiri.
“Celaka,
Lan-moi. Kita telah keracunan!”
“Keracunan?
Di kedai tadi?”
“Tenanglah,
Lan-moi, aku dapat mengobati kita... ahh, diamlah, ada orang datang...!”
Yang muncul
adalah Cu Yin dan Gin Ciong. Melihat Cu Yin, Si Kong segera mengenalnya dan
saking herannya, dia pun berseru,
“Yin-moi...!
Engkau di sini?”
“Kong-ko,
engkau seorang lelaki kejam, sekarang tahu rasa!” Gadis itu tersenyum manis dan
berkata kepada Gin Ciong. “Lihat, Ciong-ko! Engkau tadi terlalu memandang
rendah terhadap puteri Lam Tok! Percuma ayahku berjuluk Racun Selatan kalau
racunku tidak ampuh! Lihat, sekarang mereka berdua sudah tidak berdaya.”
“Akan
tetapi, siapakah mereka, Yin-moi?”
“Nanti saja
kuceritakan. Aku ingin menikmati pemandangan ini dulu. Si Kong yang gagah
perkasa, yang mempunyai kepandaian tinggi, kini menggeletak tak berdaya, tidak
mampu menyelamatkan kawan perempuannya, bahkan juga tidak dapat menolong
dirinya sendiri. Hi-hi-hik!”
“Yin-moi,
jadi engkaukah yang melakukan ini? Tidak malukah engkau sebagai puteri datuk
besar Lam Tok, menggunakan cara yang curang ini untuk merobohkan kami?”
“Tutup
mulutmu!” Gin Ciong membentak sambil mencabut pedangnya. “Yin-moi, dia berani
membuka mulut besar kepadamu, sebaiknya kuhabisi saja dia!” Lalu dia
mengelebatkan pedangnya. Hatinya penuh dengan rasa cemburu mendengar betapa
pemuda tampan itu menyebut Yin-moi kepada Cu Yin.
“Jangan!
Terlalu enak bagi dia! Biar dia menderita dan mati perlahan-lahan, kecuali
kalau di hutan ini ada binatang buas yang akan merobek-robek dagingnya! Mari
kita pergi saja, Ciong-ko.” Cu Yin segera memutar tubuhnya dan berlari pergi
dari tempat itu, diikuti oleh Gin Ciong. Mereka kembali ke dusun tadi untuk
mengambil kuda mereka.
Ketika
berlari itu Gin Ciong melihat betapa Cu Yin menggunakan punggung tangan untuk
menghapus air matanya. Gadis itu menangis! Dia dapat menduga bahwa ada hubungan
batin antara Cu Yin dan pemuda yang menggeletak tadi. Dia menjadi makin benci
kepada pemuda itu. Kalau saja sekarang berada di depannya, tentu sudah
dibunuhnya.
Setelah
mereka berdua menunggang kuda yang melangkah dengan perlahan, Gin Ciong lalu
bertanya. “Siapakah mereka, Yin-moi? Agaknya engkau jeri kepada mereka sehingga
engkau perlu menggunakan racun.”
Cu Yin
menghela napas panjang. “Engkau tidak tahu. Dia memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi sekali. Tentang gadis itu, aku tidak tahu siapa.”
“Kenapa
engkau hendak membunuhnya, Yin-moi?”
“Karena aku
mencintainya!”
Jawaban yang
jujur ini membuat Gin Ciong tertegun sejenak. Hatinya panas bukan main.
Bagaimana hatinya tidak akan panas mendengar gadis yang dicintanya ternyata
mencinta pemuda lain? Akan tetapi hatinya masih merasa penasaran.
“Kalau
engkau mencintanya, kenapa engkau malah hendak membunuhnya?”
Cu Yin
cemberut dan sampai lama tidak menjawab, kelihatan termenung.
“Kenapa
engkau hendak membunuh orang yang kau cinta itu, Yin-moi?”
“Karena aku…
aku membencinya!”
Hati Gin Ciong
menjadi girang, akan tetapi juga heran. “Engkau mencintanya akan tetapi juga
membencinya?” tanyanya sambil menatap wajah yang cantik itu penuh selidik.
“Cerewet
benar engkau, Ciong-ko! Aku memang mencintainya, akan tetapi dia menolak
cintaku, bahkan menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersama. Kini
tahu-tahu dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis lain!”
Gin Ciong
kini mengerti. Gadis yang membuatnya tergila-gila itu merasa cemburu, dan dia
girang sekali mendengar betapa cinta gadis itu terhadap pemuda yang diracuni
berubah menjadi benci.
“Pemuda
seperti dia itu memang tidak tahu diri! Berani-beraninya dia menolak cintamu!
Dia kira dialah yang paling tampan di dunia ini? Hemm, sayang tadi engkau
melarangku membunuhnya. Ingin kucabik-cabik tubuhnya untuk membalas
penghinaannya terhadap dirimu, Yin-moi.”
Mendadak Cu
Yin termenung. Dia membayangkan tubuh Si Kong diterkam harimau dan tubuhnya
dicabik-cabik. Ia mengerutkan alisnya, terbayang semua pengalamannya ketika
melakukan perjalanan bersama pemuda itu sewaktu ia masih menyamar sebagai
seorang pengemis muda.
Betapa
baiknya sikap Si Kong terhadap dirinya, betapa penuh pembelaan dan keramahan.
Membayangkan Si Kong sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang bersikap sangat
baik kepadanya, tanpa terbendung lagi Cu Yin menangis tersedu-sedu di atas
punggung kudanya.
Gin Ciong
memandang dengan alis berkerut. Watak gadis itu demikian aneh, dan
angin-anginan, mudah berubah-ubah. Maka dia pun menutup mulut, khawatir kalau
dia bicara, gadis itu malah akan marah kepadanya.
Cu Yin yang
menangis tersedu-sedu itu tiba-tiba saja mengangkat mukanya yang basah air
mata. “Tidak...! Dia tidak boleh mati! Kong-ko... ahh, Kong-ko...!”
Dia pun
mencambuk kudanya yang meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali kembali ke
tempat di mana mereka tadi meninggalkan Si Kong dan Hui Lan. Tetapi sesudah
mereka tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan kedua orang itu. Cu Yin
kembali menangis dan terisak-isak.
“Celaka...
Kong-ko... telah diterkam harimau...” Dia pun menangis lagi.
“Tidak,
Yin-moi. Lihat ini. Kalau dia diterkam harimau dan dibawa pergi, tentu ada
tanda darah di sini. Dan lihat ini, Yin-moi. Ada bekas api unggun. Mungkin ada
yang menolong mereka.”
Cu Yin
meloncat turun dari atas kudanya dan ikut memeriksa keadaan tempat itu. Benar
saja. Ada bekas api unggun di situ dan tidak ada tanda darah. Hatinya menjadi
agak lega.
“Kita cari
mereka di sekitar sini. Mungkin mereka ditolong orang-orang dusun itu. Mari
kita cari, Yin-moi!”
Cu Yin hanya
mengangguk dan mereka menunggang kuda mereka lagi, mencari di sekitar tempat
itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan jejak kedua orang itu. Mereka lalu
pergi ke dusun yang tadi baru saja ditinggalkan, bertanya-tanya, akan tetapi
tidak seorang pun mengetahui di mana dua orang yang mereka cari.
“Sudahlah,
Yin-moi. Mereka tidak mati seperti yang kau kehendaki...”
Cu Yin
memandang kepada Gin Ciong dengan mata masih merah bekas tangisan, lantas
mengangguk. “Engkau benar, mereka tidak mati...”
“Nah, lebih
baik kita melanjutkan perjalanan kita ke Kwi-liong-san.”
“Baik,
Ciong-ko, mari kita pergi.”
Keduanya
lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu.
***************
Ke manakah
perginya Si Kong dan Hui Lan? Benarkah mereka mati diterkam harimau atau ada
orang yang menolong mereka? Kedua-duanya tidak benar.
Ketika
mereka berdua ditinggalkan Cu Yin dan Gin Ciong, Si Kong berkata, “Lan-moi,
jangan khawatir. Aku dapat mengobati kita dari racun ini...”
Si Kong lalu
memeriksa kembali nadi pergelangan tangan Hui Lan untuk mengetahui jenis racun
apa yang memasuki tubuh mereka melalui makanan tadi. Dia mengerutkan alisnya.
Racun itu bekerja lambat namun berbahaya sekali, mengandung hawa panas yang
akan membakar dan merusak pencernaan.
Memang ada
ramuan obat yang akan dapat melawan racun itu, akan tetapi ramuan obat itu
sukar di dapat dari hutan, harus dibeli di toko obat yang besar di kota.
Padahal melihat sifatnya racun itu, mereka tidak akan bertahan lebih dari
sehari semalam!
“Bagaimana,
Kong-ko?” tanya Hui Lan melihat wajah Si Kong nampak berduka.
“Obatnya
hanya tersedia di toko obat yang besar, Lan-moi. Kita harus dapat membelinya
dari toko obat itu sebelum lewat sehari semalam. Kalau melewati waktu itu maka
kita tidak dapat diselamatkan lagi.”
“Kong-ko,
aku memiliki sebuah mustika batu giok yang dapat menawarkan segala racun. Ayah
memberikan mustika itu kepadaku. Mungkin mustika ini akan dapat menyembuhkan
kita.” Hui Lan mengeluarkan batu giok itu dari buntalannya dan memberikannya
kepada Si Kong.
Begitu
menerima batu kemala itu dan mengamatinya, Si Kong berseru kagum, “Ini tentu
Liong-cu-giok (Kemala Mustika Naga)! Guruku Yok-sian Lo-kai pernah bercerita
kepadaku mengenai mustika ini!”
“Entahlah,
Kong-ko. Aku menerimanya dari ayah dan kata ayah mustika kemala ini dapat
menawarkan segala macam racun.”
“Bagus
sekali, aku pun sudah mendengar dari suhu tentang cara pemakaiannya.”
Si Kong lalu
membuat api unggun, mengambil guci tempat air yang tadi telah dipenuhi air
jernih oleh pemilik kedai. Kemudian dia memasukkan kemala itu ke dalam tempat
air dan menggantung tempat air itu di atas api. Dia menambah kayu bakar
sehingga api bernyala besar. Tidak lama kemudian air mendidih, lalu
diturunkannya tempat air itu dan dibiarkan mendingin kembali.
“Kalau ini
benar Kemala Mustika Naga maka kita akan tertolong, Lan-moi. Biar aku yang
minum lebih dulu.”
Setelah air
di tempat air itu menjadi dingin, Si Kong lalu minum dari bibir guci itu
beberapa teguk. Dia berdiam diri sambil memejamkan matanya, lalu mengambil
napas panjang dan mencoba untuk mengerahkan sinkang-nya. Tidak terasa sakit
sama sekali.
“Bagus! Aku
sudah sembuh, Lan-moi!” Dia berseru girang sekali. “Mari cepat kau minum air
obat ini.”
Tanpa
ragu-ragu lagi Hui Lan minum air dari guci itu dan dia merasakan hawa yang
dingin memasuki perutnya. Ia mengembalikan guci itu kepada Si Kong, lalu ia pun
memejamkan kedua matanya, mengumpulkan hawa murni dan mencoba mengerahkan
sinkang-nya. Ia pun tidak merasakan sakit lagi!
“Bukan main!
Batu kemala milikmu ini betul-betul merupakan batu ajaib yang amat hebat,
Lan-moi! Harap simpan dengan hati-hati agar jangan sampai dirampas orang
jahat.” Si Kong mengambil batu giok itu dari dalam guci dan menyerahkannya
kepada Hui Lan yang segera menyimpannya kembali ke dalam buntalan pakaiannya.
Pada saat itu pula mereka mendengar derap kaki kuda dari jauh.
“Ahhh,
mereka datang lagi sedangkan kita belum dapat memulihkan sinkang. Cepat, kita
harus bersembunyi, dan hati-hati jangan sampai meninggalkan jejak sepatu.”
Mereka
memadamkan api unggun, lalu menyambar buntalan pakaian masing-masing dan
berindap-indap pergi dari situ, memasuki semak-belukar. Mereka tadi sengaja
menginjak tanah yang tertutup daun sehingga tidak meninggalkan jejak langkah
mereka. Di dalam semak belukar itu mereka menyusup masuk dan mengintai dari
celah-celah rumpun daun yang tebal.
Tidak lama
kemudian mereka melihat Cu Yin dan Gin Ciong melompat turun dari kuda mereka
dan memandang ke sekeliling. Dengan jantung berdebar tegang Si Kong dan Hui Lan
mengintai tanpa berani bergerak sambil menjaga pernapasan mereka supaya jangan
mengeluarkan bunyi. Akhirnya dua orang itu melompat ke atas punggung kuda dan
pergi dari situ.
Sampai lama
Si Kong tidak bergerak, bukan lagi takut ketahuan Cu Yin, melainkan masih
terharu ketika mendengar ucapan dan tangis Cu Yin tadi. Gadis itu sungguh
mencintainya dengan caranya sendiri yang liar. Setelah Hui Lan menyentuh
lengannya, barulah Si Kong sadar dan mereka pun keluar dari semak-semak, lalu
berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan lain dari
jurusan yang diambil Cu Yin tadi.
Setelah
berlari cukup jauh barulah mereka berhenti dan beristirahat di tepi sebuah
sungai kecil. Matahari telah naik tinggi dan mereka merasa amat lelah karena
tadi berlari dengan cepat.
“Kong-ko,
siapakah gadis cantik dan pemuda tadi? Agaknya mereka yang meracuni kita, akan
tetapi mengapa dia melakukan hal itu?”
Si Kong
menarik napas panjang. “Dia bernama Siangkoan Cu Yin, puteri dari datuk besar
Lam Tok.”
“Ahhh, puteri
Si Racun Selatan yang tersohor itu? Pantas kalau begitu, dia pandai sekali
menggunakan racun tanpa kita ketahui. Racun itu rupanya ditaruh di dalam
masakan mi kuah itu, Kong-ko. Dan mengapa dia meracunimu? Meracuni kita?”
Hening
sejenak ketika Hui Lan mengamati wajah Si Kong yang menundukkan kepalanya.
Kemudian Hui Lan mengangguk-angguk dan berkata, “Aku mengerti sekarang,
Kong-ko!”
“Mengerti
apa, Lan-moi?”
“Aku
mengerti mengapa dia meracuni kita. Tadi ketika menemui kita, dia mengaku bahwa
dialah yang meracuni kita, bahkan mengatakan bahwa engkau seorang yang kejam,
lalu meninggalkan kita. Hal itu membuktikan bahwa dia mendendam kepadamu,
merasa sakit hati. Lalu ketika dia datang lagi mencari kita, dia menangis dan
mengira bahwa engkau dimakan harimau. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan
bahwa dia mencintaimu, Kong-ko. Dia mencintaimu, akan tetapi juga membencimu
karena engkau menyakitkan hatinya. Apakah yang telah engkau lakukan sehingga
gadis itu sakit hati kepadamu, Kong-ko?”
Si Kong menghela
napas panjang dan merasa salah tingkah. Kalau tidak diberi tahukan kepada Hui
Lan, tentu Hui Lan akan menyangka dia telah melakukan hal yang tidak-tidak.
Sebaliknya kalau dia berterus terang, dia merasa kikuk dan malu mengatakan
bahwa Cu Yin jatuh cinta padanya! Setelah berpikir sejenak dia pun menjawab.
“Dahulu Cu
Yin pernah mengajakku untuk mencari Pek-lui-kiam. Aku menolak ajakannya karena
aku merasa tidak pantas seorang laki-laki melakukan perjalanan bersama seorang
gadis.”
“Hemm,
Kong-ko, bukankah kini kita berdua melakukan perjalanan bersama? Apakah ini
juga kau anggap tidak pantas?”
“Ah,
tidak... tidak...,” Si Kong menjadi bingung. “Kalau kita berdua lain lagi.
Guruku masih terhitung kakek buyutmu, maka kita ini boleh dibilang orang
sendiri. Nah, mungkin karena penolakanku itu dia merasa sakit hati.”
“Bagaimana
mungkin hanya karena ditolak melakukan perjalanan bersama dia menjadi begitu
sakit hati sehingga hendak membunuhmu?”
“Kalau
mengingat bahwa dia adalah puteri Lam Tok, apa anehnya bila dia bertindak aneh
dan kejam?”
“Tidak
Kong-ko, pasti ada alasan yang lain dan aku mengerti mengapa dia melakukan itu.
Dia bukan hanya meracunimu saja, akan tetapi juga meracuni aku yang sama sekali
tidak mempunyai permusuhan dengannya. Jawabannya hanya satu, yaitu bahwa dia
cemburu kepadaku! Melihat engkau melakukan perjalanan denganku, padahal engkau
menolaknya, dia merasa cemburu dan sakit hati, maka berusaha hendak meracuni
kita.”
“Begitukah
pendapatmu, Lan-moi?”
“Tidak salah
lagi. Cemburu dapat menimbulkan perbuatan kejam. Kenyataan bahwa dia tadi amat
mengkhawatirkan keselamatanmu telah membuktikan bahwa puteri Lam-tok itu amat
mencintaimu, karena cinta itulah maka dia menjadi cemburu.”
“Hemm...” Si
Kong tak menjawab karena dia sudah mengetahui bahwa Siangkoan Cu Yin
mencintanya. Hal ini sudah diakui terus terang oleh Cu Yin. “Apakah cinta harus
disertai cemburu? Cinta adalah perasaan yang menyayang dan melindungi,
sedangkan cemburu adalah perasaan yang membenci dan merusak.”
Hui Lan
memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, lalu dengan kedua pipi
berubah kemerahan dia berkata, “Mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Aku
tidak tahu, aku tidak pernah mencinta, tidak pernah cemburu.”
Si Kong
tersenyum dan balas memandang. “Aku sendiri pun tidak pernah mencinta dan tidak
pernah cemburu. Tetapi setidaknya kita berdua tentu pernah menyayang. Tidakkah
engkau menyayang ayah ibumu? Dan bukankah ibumu juga menyayangmu? Mungkinkah
kalian saling membenci?”
“Ahh, aku
menjadi pusing. Engkau saja yang menerangkan dan menjawab pertanyaanmu sendiri,
Kong-ko. Tentu saja aku menyayang orang tuaku karena mereka adalah orang-orang
yang paling baik dan menyayang diriku.”
“Hemm, akan
kucoba untuk mengupas soal cinta ini, Lan-moi. Akan tetapi aku minta agar
engkau bersungguh-sungguh dan bersikap adil untuk membantuku mengupasnya.
Engkau menyayang kedua orang tuamu karena mereka menyayang dan bersikap baik
kepadamu. Sekarang coba kau renungkan, bagaimana andai kata orang tuamu tak
bersikap baik dan menyayangmu? Pada waktu masih kecil, pernahkah engkau merajuk
dan menangis kalau permintaanmu tidak dipenuhi orang tuamu? Dapatkah engkau
menyayang mereka kalau mereka bersikap jahat dan kejam kepadamu?”
“Tidak
mungkin orang tua kejam dan tidak baik terhadap anaknya!” bantah Hui Lan.
“Nanti dulu,
Lan-moi. Orang tua memang baik dan menyayang anaknya karena si anak patuh dan
berbakti kepada mereka. Seperti juga si anak menyayang orang tuanya karena
orang tuanya itu bersikap baik dan menyayangnya. Coba andai kata si anak tidak
patuh dan tidak berbakti, tentu orang tua akan menjadi marah dan menghukumnya,
bahkan rasa sayangnya pun bisa luntur.”
Hui Lan
mengerutkan alisnya. Tidak bisa dia membayangkan dia membenci orang tuanya atau
orang tuanya membencinya. “Kalau begitu pendapatmu maka di dunia ini tidak ada
rasa cinta di dalam hati manusia?”
“Mari kita
selidiki. Kita lanjutkan lagi. Dapatkah seorang wanita mencinta pria kalau si
pria itu tidak mencintanya, kalau si pria itu bersikap jahat terhadap dirinya?
Sebaliknya begitu pula, seorang pria tentu tidak dapat mencinta wanita yang
bersikap jahat terhadapnya dan tidak mencintainya. Sudah banyak terjadi betapa
cinta itu berbalik menjadi benci, seperti kita lihat pada diri Siangkoan Cu
Yin.”
Hui Lan
mengerutkan alisnya. Dia berpikir dan membayangkan. Bila dia bertemu dengan
seorang pria yang tidak mencinta dirinya dan tidak bersikap baik padanya,
rasanya tidak mungkin dia dapat mencinta seorang pria seperti itu!
“Kalau
begitu menurut pendapatmu, tidak ada manusia yang memiliki cinta murni?”
“Nanti dulu,
Lan-moi. Kenyataan ini sebaiknya kita selidiki bersama, jadi bukan menurut
pendapatku atau pendapatmu. Tadi kita sudah melihat bahwa cinta manusia
mengandung pamrih, minta imbalan. Aku mencinta dia karena cinta kepadaku, atau
lebih jelas lagi, kau mencinta dia karena dia menyenangkan hatiku. Semua ini
terjadi karena manusia sudah dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang
mengaku-aku menjadi si-aku selalu minta agar disenangkan. Kalau disenangkan aku
menyayang dan kalau tidak disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda
karena benda itu menyenangkanku, aku menyayang binatang peliharaan karena
binatang itu patuh dan menyenangkan aku. Maka terjadilah mencinta yang
menyenangkan dan membenci yang tidak menyenangkan.”
Hui Lan
membelalakkan matanya. “Wah, kalau begitu manusia ini semuanya mempunyai cinta
palsu dan tidak murni.”
“Begitulah
kenyataan yang kita lihat. Karena nafsunya, manusia tidak bisa menghilangkan
pamrih atau imbalan dalam perasaan cintanya. Mungkin yang paling mendekati kemurnian
hanyalah kebersihan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, seekor induk
terhadap anak-anaknya. Mendekati kemurnian, tidak murni benar.”
“Hemm, jadi
kalau begitu di dunia ini tidak mungkin ada cinta kasih yang murni, Kong-ko?”
Suara gadis itu begitu sayu seperti orang yang kecewa dan putus asa.
Si Kong
tersenyum. “Sama sekali tidak demikian, Lan-moi. Kita melihat cinta kasih yang
murni terbentang di depan mata kita. Cinta kasih Tuhan terhadap ciptaannya!”
“Apakah
maksudmu dengan cinta kasih Tuhan?”
“Tuhan
memberikan kehidupan kepada semua ciptaannya tanpa menuntut imbalan. Cinta
kasihnya berlimpahan. Contohnya, sinar matahari menghidupkan kita dan semua
makhluk menerimanya, tidak peduli makhluk atau orang itu taat atau tidak
kepadaNya, tidak peduli orang itu percaya atau tidak kepadaNya. Bunga mawar
tetap memberi aroma yang sedap, baik kepada seorang pendeta mau pun kepada
seorang penjahat, baik kepada seorang hartawan mau pun kepada seorang pengemis.
Masih banyak lagi contoh-contohnya, dan itulah Cinta Kasih yang murni,
Lan-moi.”
“Ah, itu kan
Cinta Kasih Tuhan, Kong-ko. Mana bisa manusia disamakan dengan Tuhan?”
“Engkau
benar, Lan-moi. Yang jelas, cinta kasih manusia selalu diliputi nafsu.”
“Bagaimana
kalau cinta kasih antara sahabat? Ini tidak mengharapkan apa-apa.”
“Betulkah
itu? Bagaimana jika sahabatmu yang paling baik pada suatu hari membencimu,
mengkhianatimu, dan mencelakakanmu? Apakah engkau akan tetap menyayangnya?”
“Wah, wah,
engkau menyudutkan aku sehingga aku tak dapat menyangkal lagi, Kong-ko! Kalau
begitu kita ini tidak memiliki cinta kasih?”
“Agaknya
cinta kasih kita telah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri, Lan-moi. Tidak
ada sisanya lagi bagi orang lain.”
“Lalu,
bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan murni?”
“Aku tidak
tahu, Lan-moi. Selama kita tidak bisa menundukkan nafsu sendiri, tak mungkin
kita dapat mencinta tanpa gelimangan nafsu. Dan yang bisa menyisihkan nafsu
hanyalah kekuasaan Tuhan. Yang penting bagi kita adalah melihat kenyataan kalau
kita mencinta, dan melihat betapa cinta kita itu diselimuti nafsu.”
“Wah, wah!
Mudah-mudahan aku tidak mempunyai cinta kasih palsu seperti itu, Kong-ko. Aku
ngeri membayangkannya!”
“Tidak perlu
ngeri atau menyesal, Lan-moi. Memang demikianlah kenyataan cinta kasih
manusiawi, berbeda dengan cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Pemurah.
Jika kita sudah menyadari bahwa cinta kasih nafsu itu tidak bersih, setidaknya
akan lebih mudah bagi kita untuk melawan dan mengendalikan nafsu pribadi.”
“Akan tetapi
alangkah sukarnya melawan perasaan hati sendiri, Kong-ko. Kecewa, marah atau
benci adalah ulah perasaan, bagaimana kita bisa mencegah atau menghalanginya?”
“Memang
berat, Lan-moi, dan sulit sekali. Karena itu kita harus mohon bimbingan kepada
Tuhan, karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah kita akan mampu menundukkan
nafsu kita sendiri.”
Gadis itu
memandang kepada Si Kong dengan kagum dan heran. “Ahh, aku heran sekali,
Kong-ko. Pantasnya yang bicara ini adalah seorang guru besar yang sudah
mendalam pengetahuannya tentang hidup! Akan tetapi engkau yang masih muda
bagaimana dapat mengetahui tentang kehidupan ini?”
Si Kong
tersenyum lalu menjawab. “Tahu dan mengerti tentang kehidupan bukanlah suatu
pengetahuan, Lan-moi. Setiap orang hidup yang sudah dewasa akan mengetahui
tentang hidup karena dia sendiri juga hidup, bukan? Dengan membaca buah pikiran
cerdik pandai dan budiman, dan terutama sekali dengan mawas diri, memperhatikan
dan mengikuti ulah hati akal pikiran sendiri akan menimbulkan pengertian itu.
Akan tetapi mengerti itu saja tidak akan membawa perubahan kepada kita.
Pengamatan yang terus menerus terhadap ulah hati akal pikiran sendiri yang akan
menimbulkan perubahan.”
Hui Lan
menggeleng kepalanya. “Bicaramu mengingatkan aku akan ayahku. Kalau bicara
tentang kehidupan, ayah juga begitu gamblang dan menelanjangi semua kenyataan
hidup, betapa pun pahit kenyataan itu. Sudahlah, Kong-ko, mari kita lanjutkan
perjalanan kita.”
“Nanti dulu,
Lan-moi. Sekarang coba kau kerahkan sinkang-mu, apakah dalam dada dan perutmu
masih terasa sakit?”
Hui Lan lalu
mengerahkan tenaga sinkang-nya ke seluruh bagian tubuhnya. Tak ada yang terasa
nyeri lagi dan karena sudah mengerahkan sinkang, dia lalu menggerakkan tubuh
dan kaki tangannya untuk bersilat. Ia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan
Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajari dari ayahnya.
Si Kong
memandang kagum. Ilmu silat itu kelihatan aneh, seperti gerakan orang mabok namun
setiap gerakannya mengandung tenaga sinkang yang kuat. Sesudah memainkan
delapan belas jurus itu Hui Lan menghentikan gerakannya kemudian memandang
pemuda itu sambil tersenyum girang.
“Tidak ada
yang terasa nyeri sama sekali, Kong-ko.”
“Baguslah! Kalau
begitu kita sudah benar-benar terlepas dari bahaya maut. Batu kemala mustika
itu manjur sekali, Lan-moi. Mustika itu amat langka dan amat berharga,
hati-hati engkau menyimpannya, jangan sampai hilang.”
Dua orang
muda-mudi itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kui-liong-san.
Kui-liong-san
merupakan sebuah pegunungan yang bentuknya memanjang. Dari jarak jauh kelihatan
seperti seekor naga, karena itulah pegunungan itu disebut orang Kui-liong-san
(Gunung Naga Siluman). Tidak ada orang yang berani mendaki pegunungan itu
karena Kui-liong-san terkenal dengan hutan-hutannya yang liar dan penuh dengan
binatang buas seperti harimau, ular besar dan sebagainya lagi.
Akan tetapi
yang terutama menimbulkan rasa takut adalah segerombolan manusia yang
menjadikan tempat itu sebagai sarang mereka. Gerombolan manusia yang sangat
ditakuti ini adalah perkumpulan Kui-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan).
Kui-jiauw-pang
mempunyai anggota sebanyak seratus orang lebih, dan orang-orang Kui-jiauw-pang
terkenal tangguh dan juga kejam. Sudah banyak orang yang memasuki daerah
pegunungan itu namun tidak dapat keluar lagi. Mereka adalah para pemburu yang
tadinya hendak memburu binatang di hutan-hutan pegunungan itu. Mereka tidak
dapat keluar lagi karena mati terbunuh.
Bahkan ada
beberapa orang pendekar gagah yang ingin membasmi gerombolan itu, tetapi bukan
saja mereka tidak berhasil, bahkan mereka tewas dan tidak dapat meninggalkan
daerah pegunungan Kui-liong-san. Sejak saat itu tak ada lagi orang yang berani
mencoba memasuki daerah pegunungan yang angker itu.
Penduduk
dusun-dusun yang terdapat di sekitar kaki pegunungan Kui-liong-san bahkan
beranggapan bahwa Kui-liong-san menjadi sarang setan dan iblis. Mereka yang
takhyul ini merasa takut sekali memasuki hutan-hutan di pegunungan itu, malah
untuk mencari kayu bakar pun mereka tidak berani memasuki hutan yang paling
bawah sekali pun.
Kui-jiauw-pang
kini dipimpin oleh seorang tokoh kangouw terkenal. Karena tokoh ini selalu
mengenakan pakaian yang serba merah, maka dia menyebut diri sendiri sebagai Ang
I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Dari sebutan ini saja tercerminkan
ketinggian hati orangnya yang ingin dianggap sebagai seorang dewa!
Ang I
Sianjin adalah seorang datuk sesat dari barat. Tadinya dia adalah seorang
penjahat besar yang menjadi buruan pemerintah. Dia melarikan diri ke barat lalu
menghilang untuk belasan tahun lamanya. Pada saat itu dia pergi bertapa sambil
mempelajari berbagai ilmu sehingga dia menjadi seorang yang semakin tangguh.
Ketika
muncul kembali dia memperkenalkan diri sebagai Ang I Sianjin. Dia menaklukkan
banyak gerombolan perampok, lalu menghimpun orang-orang terlihai di antara
gerombolan itu dan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama
Kui-jiauw-pang.
Dia melatih
para anak buahnya dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan menggunakan alat
penyambung tangan berupa cakar setan yang terbuat dari baja. Selain dapat
mematahkan senjata lawan, cakar setan ini juga mengandung racun yang amat
jahat. Terkena goresan sedikit saja oleh cakar setan ini maka orang akan
menderita keracunan yang mengancam nyawanya!
Setelah
perkumpulan ini berdiri kokoh, Ang I Sianjin lantas memilih Kui-liong-san
menjadi sarang perkumpulannya. Mereka hidup dari hasil hutan yang tidak pernah
didatangi orang lain, juga mereka mendatangi bandar-bandar perjudian dan tempat
pelesir untuk menuntut pembagian hasil dari mereka, di kota-kota yang
berdekatan dengan wilayah itu.
Pada suatu
pagi para anggota Kui-jiauw-pang digemparkan dengan munculnya dua orang kakek
di dalam hutan dekat puncak, sudah dekat dengan sarang mereka yang berada di
puncak pegunungan itu. Mula-mula ada lima orang anggota Kui-jiauw-pang yang
melihat adanya dua orang kakek itu. Tentu saja mereka menjadi marah dan segera
menghampiri dua orang kakek yang sedang duduk bersila di atas batu besar.
“Hai, kalian
dua orang kakek yang sudah bosan hidup! Berani kalian memasuki daerah kekuasaan
kami!” bentak pemimpin di antara lima orang itu yang bertubuh tinggi besar.
Dua orang
kakek itu saling pandang lalu menyeringai. Kakek berusia empat puluh tahun
lebih yang berkepala besar sekali, kepalanya botak dan telinganya lebar berbaju
putih itu bukan lain adalah Thai-mo-ong Toa Ok, Si Jahat nomor satu.
Orang kedua
adalah Ji-mo-ong Ji Ok si jahat nomor dua. Rambut di kepala Ji Ok sangat
panjang dan tebal, dibiarkan berjuntai sampai ke pinggangnya. Wajahnya penuh
dengan berewok seperti muka monyet dan pakaiannya berbeda sekali dengan Toa Ok.
Kalau Toa Ok berpakaian serba putih, Ji Ok berpakaian serba hitam.
Dua orang
ini telah kita kenal ketika mereka berdua bersama Bu-tek Ngo-sian menyerbu
Pulau Teratai Merah dan menyerang Ceng Lojin atau Ceng Thian Sin, Si Pendekar
Sadis. Mereka dapat dipukul mundur dan karena jeri mereka segera meninggalkan
Pulau Teratai Merah dengan cepat. Mereka menderita luka dalam yang membutuhkan
waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya.
Dan kini
tahu-tahu dua orang datuk besar Dunia Barat itu muncul di Kui-liong-san. Mudah
diduga bahwa kemunculan mereka itu tentu ada hubungannya dengan Pek-lui-kiam
yang hendak diperebutkan semua orang kangouw.
“Ehh, Ji Ok.
Siapa gerangan cacing-cacing busuk ini?” tanya Toa Ok yang merasa jengkel
melihat sikap lima orang itu.
“Agaknya
mereka adalah gerombolan yang merajalela di pegunungan ini,” kata Ji Ok yang
menghadapi mereka. Sesudah menatap tajam kepada anggota Kui-jiauw-pang yang
tinggi besar dan menjadi pemimpin mereka berlima, Ji Ok bertanya, “Apakah
kalian ini anggota gerombolan Kui-jiauw-pang?”
“Hemm,
ternyata kalian sudah tahu, kini bersiap-siaplah kalian untuk mampus. Siapa pun
yang berani memasuki daerah kami harus mati!” Setelah berkata demikian si
tinggi besar itu sudah memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk turun
tangan.
“Nanti
dulu!” kata Ji Ok sambil menyeringai. “Kalian hanya anggota, tidak ada artinya
bagi kami. Cepat panggil Ang I Sianjin ke sini sambil membawa Pek-lui-kiam
untuk diserahkan kepada kami. Jika dia menolak maka seluruh orang
Kui-jiauw-pang akan kami basmi dan sarangnya akan kami bakar habis!”
Si tinggi besar
itu terbelalak. Tidak hanya marah mendengar ucapan itu, akan tetapi juga merasa
heran sekali. Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang, kakek-kakek lagi, yang
berani mengeluarkan ancaman seperti itu terhadap Kui-jiauw-pang?
“Kalian tua
bangka yang bosan hidup.” Dia menoleh kepada empat orang kawannya dan berkata,
“Serbu! Bunuh kedua orang kakek ini!”
Dia sendiri
langsung menerjang sesudah memasang cakar setan pada kedua tangannya. Empat
orang kawannya juga telah memasang cakar setan masing-masing, lantas mereka
berlima menyerang kedua orang kakek yang masih duduk di atas batu besar itu
dengan sikap tenang dan wajah mentertawakan lima orang itu.
Toa Ok
menggerakkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju panjang, maka dua orang
penyerang terlempar seperti disambar angin badai, dan mereka roboh bergulingan
karena merasa tubuh mereka seperti dibakar, lantas mereka diam dan tewas! Ji Ok
juga segera menggerakkan tangan kirinya. Dua orang lainnya terlempar sambil
menggigil kedinginan, lalu mati kaku!
Si tinggi
besar yang melihat ini terbelalak dengan muka pucat, lalu cepat membalikkan
tubuh untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali Ji Ok melambaikan tangan
kirinya, si tinggi besar itu seperti ditarik dari belakang dan dia pun
terjengkang roboh!
Si tinggi
besar menjadi semakin ketakutan dan dia meloncat bangun untuk melarikan diri
lagi, akan tetapi tiba-tiba ujung pecut yang dipegang oleh Ji Ok telah
menyambar kakinya. Kemudian sekali pecut itu ditarik, si tinggi besar
terpelanting dan roboh lagi. Dia menjadi semakin ketakutan dan segera menghadap
dua orang kakek itu dengan tubuh gemetar, lalu dalam keadaan berlutut dia
berkata,
“Mohon
ampun, ji-wi locianpwe! Harap ampuni saya...”
“Heh-heh-heh,
aku mau saja mengampuni engkau, akan tetapi engkau harus cepat berlari
memanggil Ang I Sianjin ke sini dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam
kepada kami!”
Si tinggi
besar itu berulang-ulang menyembah dengan tubuh gemetar, kemudian berkata,
“Baik, locianpwe, saya mentaati perintah...” Dia lalu bangkit berdiri dan
merasa amat lega karena dia tidak dikorbankan lagi. “Sekarang juga saya hendak
mengundang pemimpin ke sini.” Setelah berkata demikian, si tinggi besar lalu
lari secepatnya menuju ke puncak, ke sarang Kui-jiauw-pang.
Ketika si
tinggi besar itu tiba di sarang Kui-jiauw-pang dengan napas terengah-engah, dia
langsung memasuki bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ang I Sianjin. Dia
terus memasuki bangunan dan bertanya kepada pelayan di mana adanya ketua mereka
itu.
“Pangcu
sedang sarapan di kamar makan, harap jangan diganggu,” kata pelayan itu.
Akan tetapi
si tinggi besar tidak peduli. Dia terus memasuki kamar makan dan benar saja,
Ang I Sianjin sedang duduk makan seorang diri. Melihat si tinggi besar
menerobos masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, Ang I Sianjin
mengerutkan alisnya.
“Hemm,
berani mati engkau! Ada urusan apa maka engkau berani mengganggu aku yang
sedang makan?” bentaknya.
“Mala petaka
sudah menimpa kami, Pangcu. Maka saya terpaksa mengganggu Pangcu. Empat orang
saudara kami telah terbunuh!”
“Apa?! Siapa
pembunuhnya dan bagaimana hal itu bisa terjadi?”
“Kami
berlima melihat ada dua orang kakek yang duduk di atas batu dalam hutan bambu
di bawah puncak. Kami segera menegurnya, tapi dua orang kakek itu malah
mengatakan agar kami cepat memanggil pangcu untuk menghadap mereka dan
menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Apa bila pangcu menolak, Kui-jiauw-pang
akan dibasmi dan tempat tinggal kami akan dibakar habis. Kami berlima lalu menyerang
mereka, akan tetapi sekali mereka menggerakkan tangan, empat orang di antara
kami langsung tewas menggeletak. Kemudian mereka melepaskan saya untuk melapor
kepada pangcu.”
Mendengar
laoran itu merahlah muka Ang I Sianjin. “Apa?! Kurang ajar!” Dia marah sekali
dan melemparkan sepasang sumpit yang dipegangnya ke bawah. Sepasang sumpit itu
meluncur deras dan akhirnya menancap ke dalam lantai sampai ke gagangnya!
Ang I
Sianjin berkata dengan suara lantang kepada si tinggi besar. “Kumpulkan seluruh
anggota Kui-jiauw-pang agar ikut aku memberi hajaran kepada kedua orang musuh
itu!”
Sebentar
saja di situ sudah berkumpul delapan puluh orang lebih, karena banyak juga di
antara mereka yang bertugas di luar. Bagaikan pasukan yang hendak berperang
mereka mengikuti ketua mereka yang berjalan di depan.
Ang I
Sianjin yang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka pucat
itu membawa sepasang pedang yang berada pada punggungnya dan sebuah kipas yang
dipegang dengan tangan kirinya. Dengan langkah tegap dan gagah ketua
Kui-jiauw-pang ini menuju ke hutan bambu yang ditunjukkan oleh anak buahnya
yang melapor tadi.
Tidak lama
kemudian mereka tiba di tempat itu. Dua orang kakek yang diceritakan oleh si
tinggi besar tadi masih duduk di atas batu dengan sikap tenang. Melihat dua
orang kakek itu duduk dengan tenang di atas batu besar dan mayat empat orang
anak buahnya masih menggeletak di atas tanah, bangkitlah kemarahan Ang I
Sianjin.
Namun ketika
dia melihat dengan pandang mata penuh selidik ke arah dua orang kakek itu,
melihat pakaian mereka, yang seorang berpakaian putih dan yang kedua berpakaian
hitam, wajah Ang I Sianjin yang sudah pucat itu menjadi bertambah pucat. Tentu
saja dia sudah mendengar tentang dua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak merasa
takut karena bukankah dia membawa anak buah yang delapan puluh orang banyaknya?
Sambil
menekan hatinya yang berdebar tegang, Ang I Sianjin menghampiri kedua orang
kakek itu dan berdiri di hadapannya. Suaranya terdengar lantang untuk menutupi
hatinya yang gelisah dan agak jeri.
“Kalau kami
tidak salah menduga, bukankah yang duduk di depan kami ini Thai-mo-ong Toa Ok
dan Ji-mo-ong Ji Ok?”
Dua orang
kakek tiu saling pandang dan menyeringai. Ji Ok yang bertubuh kurus itu lalu
tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya ketua Kui-jiauw-pang yang berjuluk Ang I Sianjin
itu memiliki pandangan yang tajam juga. Kami memang Toa Ok dan Ji Ok.”
Ang I
Sianjin memandang ke arah empat mayat anak buahnya dan tertawa, “Apakah ji-wi
yang telah membunuh empat orang anak buah kami? Apa kesalahan mereka? Andai
kata mereka memang bersalah, di sini masih ada aku yang dapat menghukumnya.
Mengapa ji-wi membunuh mereka?”
“Mereka
menyerang kami, maka terpaksa kami membunuh mereka dan membebaskan yang seorang
lagi untuk melapor kepadamu. Apakah engkau sudah menerima laporan itu dan
apakah engkau sudah membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami?”
Panas juga
rasa hati Ang I Sianjin mendengar ucapan yang amat meremehkannya itu. Dia
sendiri memiliki ilmu silat yang tinggi, dan di situ terdapat delapan puluh
anak buahnya.
“Pedang
pusaka itu kudapatkan dengan taruhan nyawa, tidak mungkin diserahkan kepada
siapa pun juga.”
Tiba-tiba
Toa Ok yang berkata dengan angkuhnya. “Ang I Sianjin, engkau boleh memilih.
Engkau menyerahkan Pek-lui-kiam kepada kami dan kami tidak akan mengganggu
kalian, atau engkau lebih senang kalau kami mengamuk dan membunuh engkau
beserta seluruh anak buahmu, lantas membakar sarangmu dan menggeledah sampai
kami mendapatkan pedang pusaka itu?”
Ang I
Sianjin tertegun. Dia maklum bahwa kedua orang kakek itu tidak hanya menggertak
kosong belaka. Dia harus dapat menghadapi mereka dengan cerdik, menggunakan cara
yang paling menguntungkan pihaknya.
Dengan
cerdik Ang I Sianjin lalu tersenyum. Dia tahu benar betapa lihainya kedua orang
datuk itu. Walau pun dia memiliki delapan puluh orang anak buah, dia tidak
yakin bahwa pihaknya akan memperoleh kemenangan dan gertakan dua orang kakek
itu dapat menjadi kenyataan. Dia lalu menggunakan sikap menghormat.
“Ji-wi tentu
sudah tahu kebiasaan orang-orang kangouw. Memperebutkan sesuatu harus dilakukan
dengan mengadu kepandaian, bukan saling menghancurkan. Karena itu kami akan
menempuh cara yang sama. Di sini kami berdiri dengan semua anggota
Kui-jiauw-pang kami. Bila ji-wi dapat mengalahkan kami tanpa membunuh, maka
kami akan takluk kepada ji-wi dan kami akan mengangkat ji-wi sebagai pimpinan
kami. Dengan sendirinya Pek-lui-kiam menjadi milik ji-wi. Kalau ji-wi menolak
syarat ini, maka kami akan melawan sampai mati, tetapi jangan harap akan dapat
menemukan Pek-lui-kiam yang sudah kami sembunyikan.”
Kembali
kedua orang datuk besar itu saling pandang sambil menyeringai. “Keputusannya
ada padamu, Toa Ok!” kata Ji Ok kepada rekannya.
Toa Ok
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hemmm, cara itu cukup adil dan baik. Kalau
nanti kalian kalah lalu menakluk, itu cocok sekali dengan keinginan kami karena
kami pun membutuhkan anak buah untuk melawan mereka yang hendak memperebutkan
Pek-lui-kiam!”
“Kalau
begitu bersiaplah, kami akan maju mengeroyok!” Ang I Sianjin berkata dengan
hati lega. Dengan perjanjian itu, andai kata dia serta anak buahnya kalah
sekali pun, mereka tidak akan dibunuh dan menjadi anak buah kedua datuk yang
sakti itu.
“Heh-heh-heh,
sejak tadi kami sudah bersiap. Majulah kalian semua!” kata Ji Ok sambil
menyeringai memandang rendah.
Ang I
Sianjin lalu memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk memecah menjadi
dua kelompok. Kelompok yang lebih kecil hanya berjumlah tiga puluh orang,
membantu dia untuk melawan Toa Ok, sedangkan selebihnya yang lima puluh
mengeroyok Ji Ok.
Mereka lalu
mengepung batu di mana kedua orang datuk itu duduk. Setelah Ang I Sianjin
memberi isyarat, semua anak buahnya cepat memasang cakar setan pada kedua
tangan mereka. Kini mereka nampak menyeramkan, dengan dua tangan menjadi cakar
setan dan sikap mereka yang mengancam. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok
tenang-tenang saja duduk di atas batu besar itu.
Ketika para
anggota Kui-jiauw-pang itu menerjang ke arah batu besar dengan cakar setan
mereka, tiba-tiba saja kedua orang kakek itu lenyap sehingga cakar-cakar setan
itu hanya menghantam batu. Bunga api berpijar ketika batu itu dihajar tangan
cakar setan itu.
Semua orang
cepat memutar tubuh, dan mereka melihat bahwa dua orang kakek itu telah berada
di belakang mereka. Begitu cepat gerakan mereka ketika meloncat tadi sehingga
tidak nampak oleh mereka, seolah dua orang datuk itu pandai menghilang.
Ang I
Sianjin dapat melihat gerakan mereka, karena itu dialah yang lebih dahulu
memutar tubuhnya. Ketua Kui-jiauw-pang yang sudah mencabut pedang dengan tangan
kanan dan memegang kipas di tangan kiri itu lalu menyerang Toa Ok dengan
dahsyatnya. Serangan pedang dan kipasnya dahsyat sekali, cepat dan mengandung
tenaga yang sangat kuat. Melihat ini Toa Ok tidak berani memandang rendah dan
dia sudah menggerakkan tongkat ularnya untuk menangkis.
“Tranggg...!”
Pedang di
tangan Ang I Sianjin terpental ketika bertemu tongkat dan kipasnya hampir saja
terlepas dari tangannya. Pada saat itu puluhan anggota Kui-jiauw-pang sudah
menerjang maju dengan cepat. Puluhan pasang cakar setan menerkam ke arah tubuh
Toa Ok.
Namun
putaran tongkat ular itu merupakan gulungan sinar yang menyelimuti tubuh Toa
Ok. Semua anggota Kui-jiauw-pang yang berani menyerang, begitu menyentuh
gulungan sinar tongkat, segera terdorong ke belakang dan roboh bergelimpangan.
Mereka merasa seperti menyerang dinding baja yang amat kuat kemudian terdorong
oleh kekuatan yang dahsyat sekali.
Begitu pula
dengan lima puluh orang anak buah Kui-jiauw-pang yang mengeroyok Ji Ok. Datuk
yang kurus pendek ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya
sesosok bayangan hitam diselimuti gulungan sinar cambuknya yang diputar sangat
cepat. Setiap kali seorang anggota Kui-jiauw-pang menerjang gulungan sinar ini,
maka mereka segera roboh terjengkang!
Ketika
puluhan orang itu bangkit dan menyerang kembali, Toa Ok dan Ji Ok menghajar
mereka dengan lebih kuat lagi. Bukan hanya senjata dua orang datuk ini yang
melindungi tubuh menangkis, juga kaki dan tangan kiri mereka menyambar sehingga
siapa saja yang terkena tendangan atau tamparan mereka, tentu segera roboh
kemudian mengaduh-aduh karena bagian tubuh yang terkena serangan itu terasa
sakit bukan main.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment