Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 15
PERASAAN
nyeri yang mengentak-entak dan berdenyut-denyut sampai ke ujung ubun-ubun
kepalanya membuat dia memejamkan matanya kembali. Lalu dia teringat akan ilmu
yang dia pelajari dari Kok Beng Lama, yaitu ilmu untuk mematikan rasa.
Setiap orang
pendeta yang suka bertapa dan melakukan upacara menyiksa diri seperti para
pendeta Lama tentu mahir akan ilmu ini. Dengan ilmu mati rasa ini mereka mampu
melakukan segala macam bentuk penyiksaan diri dan puasa tanpa terlalu
menderita.
Bun Houw
memejamkan matanya dan ‘menutup’ saluran pikiran dengan perasaan tubuh melalui
urat syaraf. Tidak lama kemudian dia sudah membuka matanya dan dia seperti
dalam keadaan ‘lupa’ bahwa tubuhnya tersiksa dan rasa nyeri yang hebat itu
tidak lagi terlalu mengganggunya. Dia mulai memeriksa keadaan di sekelilingnya
dengan pandang mata penuh selidik.
Kamar itu
amat kuat, tidak berjendela, hanya berpintu sebuah yang terbuat dari besi dan
pada bagian atasnya berterali. Dari celah-celah terali baja sebesar lengan
tangan itu dia melihat kepala banyak orang yang agaknya menjaganya. Sudah
dibelenggu, dikait kedua tulang punggungya, dikeram di dalam kamar yang kokoh
kuat, masih dijaga ketat lagi. Bagaimana dia akan mampu membebaskan diri?
Bahkan pertolongan dari luar pun, kalau ada, merupakan ketidak mungkinan besar.
Dari
celah-celah terali itu pula Bun Houw dapat menduga bahwa waktu itu masih malam,
terbukti dari penerangan lampu yang menyorot dari luar pintu. Dia merasa heran
sekali. Ketika dia tertawan, hari sudah hampir pagi, mengapa sekarang masih
juga gelap? Dia tidak tahu bahwa dia telah pingsan selama satu hari penuh dan
sekarang memang telah malam lagi.
Pintu besi
terbuka dan muncullah Ciok Lee Kim serta Bu Sit, lalu pintu segera ditutup
kembali. Bun Houw memandang dengan mata terbelalak penuh tantangan.
"Kalian
manusia-manusia tak tahu malu, pengecut besar!" Dia memaki.
"Wah,
sekarang dia sudah siuman, suci. Lekas suci yang menanyai dia, jika dia
berkeras kepala tidak mau terus terang, aku yang akan menyiksanya sampai dia
mengaku!" Bu Sit menghampiri pembaringan batu dengan wajah beringas penuh
kekejaman, siap dengan sebatang jarum panjang hitam.
Sekali
pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa yang dipegang oleh Monyet Pencabut Nyawa
yang kini daun telinganya buntung itu tentu sebatang jarum yang mengandung
racun hebat. Si muka monyet itu pun memegangnya dengan menggunakan sapu tangan
untuk melindungi jari-jarinya yang menjepit ujung gagang jarum.
"Orang
she Bun," Ciok Lee Kim kini menghampiri dan memandang Bun Houw tidak lagi
dengan pandangan mata penuh gairah birahi seperti kemarin malam, melainkan
dengan pandang mata penuh ancaman. "Sudah satu hari kami menunggu dan baru
sekarang kau siuman. Kau tahu bahwa kau tidak mungkin dapat meloloskan dirl
lagi."
"Tidak
perlu banyak cerewet, aku sudah tertangkap karena kalian orang-orang pengecut
menggunakan pengeroyokan. Sekarang mau bunuh lekas bunuh, siapa takut
mati?" Bun Houw mengejek.
"Hi-hi-hik,
justru itulah yang tidak kami kehendaki. Terlalu enak kalau kau mati begitu
saja. Kau lihat apa yang dipegang oleh Bu-sute itu? Bukan jarum sembarang
jarum. Jarum ini sudah direndam dengan racun kelabang hitam yang amat jahat.
Bila mana jalan darah tertentu di tubuhmu tertusuk jarum ini, engkau akan
merasakan siksaan yang belum tentu terdapat di neraka sekali pun. Engkau akan
menderita kenyerian hebat dan engkau tidak akan segera mati, melainkan akan
hidup selama tiga hari tiga malam dan terus menerus menderita siksaan itu. Rasa
gatal-gatal seperti ada ribuan ekor semut menggigiti daging dan tulangmu di
sebelah dalam."
"Banyak
mulut, gertak sambal!" Bun Houw membentak.
"Aku
sebenarnya kasihan kepadamu. Engkau masih muda, tampan dan gagah. Ada jalan
yang lebih baik bagimu, yaitu mati seketika atau mungkin bahkan... kebebasan.
Untuk memperoleh itu, engkau hanya perlu mengaku siapa sebetulnya kau ini, apa
hubunganmu dengan Cin-ling-pai, apakah hubunganmu dengan Cia Keng Hong?"
Bun Houw
membuang muka dan tidak mau menjawab. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya
mengaku bahwa dia putera ketua Cin-ling-pai, karena pengakuan ini hanya akan
mendatangkan kegembiraan dan rasa kemenangan bagi kedua Bayangan Dewa itu. Baik
mengaku atau tidak, dia tentu akan dibunuh, maka tak ada perlunya membuat
pengakuan yang akan memuaskan hati musuh-musuh ini. Lagi pula, hal ini tentu
akan menjadi bahan hinaan dan ejekan terhadap nama orang tuanya. Tidak, biar
dia disiksa atau pun dibunuh, dia tidak akan membiarkan mereka ini menikmati
kemenangan mereka atas nama orang tuanya.
"Bun
Houw, kau tetap tidak mau mengaku?"
"Bunuh
aku, atau pergilah! Kalian menjijikkan hatiku!" Bun Houw membentak.
Wajah dua
orang Bayangan Dewa itu menjadi merah padam.
"Manusia
kepala batu dan sombong!" Ciok Lee Kim berseru. "Sudah tak mampu
bergerak, masih bermulut lebar."
"Suci,
biar kusiksa dia, dan kita lihat apakah dia masih belum juga mau mengaku,"
Bu Sit berkata. Ciok Lee Kim mengangguk dan melangkah mundur.
Dengan
wajahnya yang seperti monyet itu menyeringai kejam dan buas, Bu Sit kemudian
menghampiri Bun Houw. Bu Sit merasa sakit hati sekali kepada pemuda yang
membuat daun telinganya buntung itu. Dia mendekatkan mukanya dan dengan mata
bersinar-sinar penuh kebencian dia menghardik, "Kau membuntungi telinga
kiriku, akan tetapi aku akan menyiksamu sampai engkau terkuik-kuik seperti
anjing, sampai kau minta-minta ampun di depanku, keparat!"
Bun Houw
tidak menjawab melainkan tiba-tiba meludahi muka Monyet Pencabut Nyawa itu. Bu
Sit mengelak dengan miringkan kepalanya, dan tentu saja dia menjadi semakin
marah. Jarum di tangannya didekatkan tengkuk Bun Houw. Pemuda ini siap menerima
datangnya maut, karena dia tidak mampu bergerak lagi.
"Creppp...!"
Jarum itu menusuk tengkuk Bun Houw.
Pemuda ini
menggigit bibirnya ketika merasa tengkuknya ditusuk, rasanya tidak berapa
nyeri. Jarum dicabut dan dua kali lagi Bun Houw ditusuk dengan jarum itu di
kanan kiri atas pundaknya. Sambil terkekeh Bu Sit lalu melangkah mundur dan
memandang puas, membungkus jarum panjang hitam itu dengan sapu tangan dan
mengantonginya.
Pada mulanya
Bun Houw hanya merasa nyeri tusukan biasa saja, akan tetapi tidak lama kemudian
dia mulai merasakan betapa tengkuk dan kedua pundaknya berdenyut-denyut,
disusul perasaan seperti kesemutan dan segera datang serangan yang membuat
sekujur tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam!
Dia berusaha
mengerahkan sinkang-nya untuk melawan akan tetapi rasa panas itu makin lama
makin menghebat. Mukanya menjadi merah, matanya melotot dan seluruh tubuhnya
mengeluarkan uap tipis. Namun tidak ada sepatah pun kata keluhan keluar dari
mulutnya. Dia malah memejamkan matanya dan alisnya berkerut-kerut, keringatnya
jatuh menetes-netes.
"Hi-hi-hik,
kau masih bersikeras? Hayo, lekas kau mengaku dan aku akan memberi obat penawar
kepadamu sebelum terlambat!" Ciok Lee Kim berkata sedangkan Bu Sit masih
tertawa puas.
"Persetan
dengan kalian!" Bun Houw membentak.
Akan tetapi
segera dia dilanda rasa nyeri yang amat hebat. Kini rasa panas itu berubah
dengan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya menggigil! Dia menjadi kaget
karena maklum bahwa racun itu demikian hebatnya sehingga mempengaruhi hawa
murni dalam tubuhnya, membangkitkan hawa panas lalu seolah ‘menelan’ hawa
dingin yang terkumpul di tubuhnya berkat latihan di Tibet sehingga dapat
merusak penguasaannya atas tenaga saktinya sendiri!
Betapa pun
juga, dia tahu bahwa segala siksaan badaniah ada batasnya dan kalau sudah
melampaui batas itu, maka dia akan mati. Paling hebat cuma mati, perlu apa dia
takut menghadapinya. Lebih baik mati namun tetap dapat memukul musuh dengan
membuat kecewa hati mereka dari pada mendengar penghinaan terhadap orang
tuanya, dan andai kata dia mengaku, sama sekali tidak mungkin dia akan selamat,
bahkan hal itu menjadi alasan yang lebih kuat lagi bagi dua Bayangan Dewa untuk
menyiksanya lebih hebat dan membunuhnya.
Setelah rasa
dingin yang membuat tubuhnya menggigil dan gigi-giginya saling beradu itu
lenyap, sekarang mulailah rasa gatal-gatal merayapi seluruh tubuhnya dan benar
seperti ancaman Ciok Lee Kim tadi, seperti ada ribuan ekor semut merayap di
sebelah dalam tubuhnya, atau di bawah kulit, dan semut-semut itu menggigitnya.
Terhadap
serangan hawa panas membakar dan dingin luar biasa tadi, Bun Houw masih mampu
bertahan dan tidak ada sedikit pun suara keluhan terdengar keluar dari
mulutnya. Akan tetapi rasa gatal-gatal di seluruh tubuh ini demikian menyiksa,
begitu mengganggu urat-urat syarafnya, membuat dia ingin sekali menggaruk-garuk
padahal kedua tangannya dalam keadaan tidak bebas, sehingga tubuhnya mulai
menggeliat-geliat di luar kekuasaan pertahanannya.
Mendengar
Ciok Lee Kim dan Bu Sit tertawa-tawa melihat dia menggeliat-geliat itu, Bun
Houw menelan kembali keinginannya untuk bersambat. Dia menggigit bibirnya,
menahan penderitaan itu sampai kulit bibirnya pecah berdarah. Dia berhasil
menahan sehingga tak ada keluhan keluar dari mulut, akan tetapi dia tidak mampu
menahan agar tubuhnya tidak bergerak. Dia tetap menggeliat-geliat dan makin
lama ‘semut-semut’ di bawah kulitnya itu makin hebat menggigiti, menimbulkan
kegatalan yang tidak tertahankan lagi.
Peluhnya
bercucuran. Ingin dia menjerit, hampir dia menangis, hampir dia memaksa diri
menggerakkan kedua lengannya yang tentu akibatnya akan celaka. Akhirnya Bun
Houw terkulai lemas dan pingsan!
Melihat
korban mereka sudah pingsan, tentu saja Ciok Lee Kim dan Bu Sit kehilangan
kegembiraan dan meninggalkannya di dalam tahanan setelah memesan kepada belasan
orang anak buah Lembah Bunga Merah untuk menjaga dengan ketat malam itu secara
bergiliran.
Dapatlah
dibayangkan betapa hebat penderitaan yang dialami oleh Bun Houw. Baru saja
meninggalkan perguruan di Tibet, dia sudah menghadapi mala petaka yang menimpa
keluarganya di Cin-ling-san, dan sekarang ketika baru saja dia dapat menemukan
tempat persembunyian dua di antara Lima Bayangan Dewa, dia sudah tertawan dan
menderita penyiksaan hebat, bahkan sekaligus nyawanya pun terancam maut karena
tusukan jarum beracun yang dilakukan oleh Bu Sit itu bukan hanya untuk menyiksanya,
melainkan juga untuk membunuhnya.
Ucapan Ciok
Lee Kim bukanlah gertak belaka, akan tetapi setelah mengalami penusukan jarum
beracun itu, tanpa mendapatkan obat penawar dari Ciok Lee Kim sendiri, dia
hanya akan hidup selama tiga hari tiga malam saja dan di dunia ini jarang ada
orang yang akan mampu menyelamatkannya dari ancaman maut itu.
Sesungguhnya,
tingkat kepandaian pemuda itu sudah tinggi dan hebat sekali, jarang ada tokoh
persilatan yang akan mampu menandinginya. Andai kata semua musuhnya itu maju
satu demi satu, tentu dengan mudah saja dia akan mampu mengalahkan mereka.
Bahkan Bouw Thaisu yang amat lihai itu belum tentu akan mampu menandinginya.
Akan tetapi,
pengeroyokan lima orang yang semuanya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi
itu, lagi pula karena Bun Houw sendiri belum memiliki banyak pengalaman dan
fihak musuh menggunakan kecurangan, maka akhirnya dia roboh juga dan tertawan.
Andai kata tidak ada Ai-kiauw yang nekat merangkul serta menggigitnya, kiranya
lima orang datuk kaum sesat itu pun tidak akan mudah saja merobohkan pemuda
putera ketua Cin-ling-pai ini.
Menjelang tengah
malam, keadaan di Lembah Bunga Merah itu sunyi sekali, sunyi yang menyeramkan
sesudah apa yang terjadi malam kemarin. Walau pun pemuda perkasa itu sudah
tertawan dan kini berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, namun para
penjaga masih melakukan penjagaan dengan ketat mengingat betapa tawanan
pertama, yaitu tiga orang murid Bu-tong-pai, sudah berhasil lolos dari tempat
tahanan. Akan tetapi karena pemuda itu masih pingsan dan kini lima orang sakti
itu secara bergiliran ikut pula meronda, hati para penjaga menjadi tenang.
Ketika Hwa
Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, sepasang tosu dan tokouw yang sakti itu
bergiliran meronda, mereka menuju ke kamar tahanan, menjenguk ke dalam dan
melihat Bun Houw masih pingsan dalam keadaan terbelenggu dan terkait tulang
pundaknya, maka mereka mengangguk dan berpesan kepada para penjaga agar jangan
tertidur, kemudian mereka meninggalkan kamar tahanan untuk meronda di sekitar
lembah.
Akan tetapi
tak lama kemudian, sesosok bayangan yang berkelebatan seperti bayangan iblis
sendiri, mendekati tempat tahanan itu, kemudian dengan gerakan yang sukar
dlikuti pandang mata para penjaga, bayangan ini berkelebatan dan terdengar
keluhan-keluhan lemah disusul robohnya para penjaga!
Melihat
betapa teman-temannya roboh dan kelihatan bayangan seperti iblis berkelebatan
menyilaukan mata, seorang di antara para penjaga menjodi terkejut sekali dan
ketakutan. Dia berteriak keras, "Toloooonggg!"
Akan tetapi
penjaga ini segera roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Hanya dia seorang
yang sempat berteriak, sebab tiga belas orang yang lainnya telah roboh sebelum
mereka sempat mengeluarkan suara. Mereka tadi terlampau heran dan kaget, bahkan
sebagian besar masih belum mengerti apa yang berkelebatan itu, tahu-tahu mereka
telah ditampar dan dipukul. Setiap tamparan atau pukulan membuat mereka roboh,
ada yang pingsan, ada pula yang tewas seketika.
Bayangan
yang bergerak cepat bagai setan itu kini telah menghampiri Bun Houw, dengan
hati-hati sekali dia menggerakkan pedang, mematahkan rantai yang membelenggu
kaki dan yang dihubungkan dengan kaitan-kaitan pada pundak. Dia bergidik
melihat baja-baja kaitan yang mengait kedua pundak Bun Houw, tidak berani
melepaskan kaitan di sana karena dia maklum bahwa teriakan penjaga tadi tentu
akan mendatangkan para tokoh Lembah Bunga Merah.
Maka,
sesudah mamatahkan belenggu dia mengangkat tubuh Bun Houw, dipondongnya dan
dengan gerakan cepat sekali, bayangan itu lalu melompat keluar. Tubuh Bun Houw
dipanggul di atas pundak kiri dan tangan kanannya mencabut dan memegang
pedangnya, lantas dengan gerakan luar biasa cepatnya, sekali melompat dia telah
keluar dari tempat tahanan itu.
Hwa Hwa
Cinjin dan Hek I Siankouw yang sedang meronda dan belum terlalu jauh dari
tempat tahanan, mendengar teriakan minta tolong tadi. Cepat mereka berdua lari
kembali ke tempat tahanan. Akan tetapi ketika sampai di luar tempat itu, mereka
melihat sesosok bayangan mamanggul sesuatu bergerak cepat di antera
pohon-pohon.
"Heiii,
siapa di situ?!" teriak Hwa Hwa Cinjin.
"Berhenti...!"
Hek I Siankouw juga membentak.
Melihat
bayangan itu tak menghiraukan bentakan mereka, Hek I Slinkouw telah menubruk ke
depan, langsung menyerang dengan pedang hitamnya yang sudah dicabutnya dengan
cepat sekali. Gerakannya ini disusul dengan sambaran hudtim di tangan Hwa Hwa
Cinjin. Kakek dan nenek ini merasa yakin sekali bahwa serangan mereka yang
dilakukan secara hampir berbareng, dengan cepat dan sangat dahsyat itu tentu
cukup untuk merobohkan bayangan yang mencurigakan ini.
"Tringgg...
cringggg...!"
Dua orang
kakek dan nenek itu kaget bukan main ketika mereka berdua merasa tangan mereka
panas oleh tangkisan pedang di tangan bayangan hitam yang bisa menggerakkan
pedangnya sedemikian rupa sehingga sekaligus pedang itu dapat dikelebatkan ke
dua jurusan lantas menangkis kebutan dan pedang hitam dengan kekuatan dahsyat
sehingga tangan mereka menjadi tergetar dan terasa panas!
Akan tetapi,
bayangan hitam yang tentu saja tidak dapat bergerak leluasa karena harus
memanggul tubuh Bun Houw itu telah meloncat ke depan dengan cepat seperti
lompatan seekor kijang. Tentu saja Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw merasa
penasaran.
"Kau
hendak lari ke mana?" Hwa Hwa Cinjin berseru.
"Kau
makanlah ini!" Hek I Siankouw membentak dan dari tangan kirinya menyambar
sinar hitam ke arah bayangan yang melarikan diri itu.
Juga Hwa Hwa
Cinjin menggerakkan kebutannya dan sinar putih menyambar dari tengah kebutan.
Kiranya dua orang tua ini sudah melepas senjata rahasia mereka yang ampuh. Hek
I Siankouw telah melepaskan Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) dan Hwa Hwa Cinjin
sudah melepaskan bulu kebutannya. Benda-benda hitam dan putih langsung
menyambar seperti kilat cepatnya ke arah punggung bayangan yang melarikan diri.
Akan tetapi,
tanpa menoleh seolah-olah di tengkuknya terdapat mata ketiga, bayangan itu
menggerakkan pedangnya ke belakang dan semua senjata rahasia runtuh, sedangkan
dia kini telah berada jauh di depan, menghilang di antara bayangan pohon-pohon
yang gelap.
Hwa Hwa
Cinjin dan Hek I Siankouw kembali terkejut sekali, maklum bahwa bayangan itu
benar-benar amat pandai. Mereka masih melakukan pengejaran beberapa lamanya,
akan tetapi karena tempat itu banyak terdapat pohon-pohon yang gelap dan malam
itu hanya diterangi bintang-bintang yang sinarnya suram, maka mereka tidak
mampu menemukan bayangan itu dan mereka cepat kembali ke tempat tahanan.
Alangkah kaget hati mereka melihat bahwa selain Bun Houw telah lenyap, juga
empat belas orang penjaga itu sudah roboh semua, ada yang tewas dan selebihnya
masih pingsan!
Gegerlah
Lembah Bunga Merah oleh kejadian ini. Terutama sekali Ciok Lee Kim merasa amat
marah dan penasaran. Tawanan itu sudah dijaga ketat, tetap saja masih dapat
dicuri orang! Pada saat lima orang sakti itu menanyai para penjaga yang tidak
tewas dan sudah siuman dari pingsan, para penjaga ini juga tidak dapat memberi
keterangan yang jelas.
"Kami
hanya melihat bayangan yang berkelebat cepat seperti seekor burung beterbangan
menyambar-nyambar di antara kami, dan tahu-tahu kami merasakan pukulan hebat
dan tidak ingat apa-apa lagi," demikianlah rata-rata keterangan mereka.
"Hemm,
sungguh menakjubkan," Hwa Hwa Cinjin berkata, "pinto juga tidak dapat
melihat jelas mukanya karena malam gelap dan ketika kami berdua menyerangnya,
dia berada di dalam bayangan pohon. Akan tetapi yang jelas, dia bukan orang
biasa, dia mempunyai kepandaian tinggi dan dia merupakan lawan tangguh."
"Aku
dapat memastikan bahwa dia tentulah seorang wanita!" kata Hek I Siankouw
dengan tegas. "Biar pun aku juga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas
karena gelap, namun bentuk tubuhnya yang sangat ramping dan gerakannya yang
lemas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita."
Hwa Hwa
Cinjin membenarkan pendapat ini, dan demikian pula para penjaga menyatakan
bahwa memang bayangan itu mempunyai potongan tubuh ramping. Lima orang sakti
itu menduga-duga siapa gerangan orang aneh itu yang telah melarikan Bun Houw.
"Tidak
salah lagi, tentu dia pula yang telah menolong tiga orang murid
Bu-tong-pai," kata Ciok Lee Kim sambil mengerutkan sepasang alisnya karena
peristiwa hilangnya tawanan secara berturut-turut itu merupakan tamparan
baginya.
"Ahh,
jangan-jangan dia yang kembali membikin ribut...," tiba-tiba
Toat-beng-kauw Bu Sit berkata.
"Dia
siapa, Bu-sute?" Ciok Lee Kim bertanya dan yang lain-lain juga
memandangnya.
"Siapa
lagi kalau bukan gadis Giok-hong-pang itu..."
Mendengar
kata-kata ini, segera teringatlah Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw
Thaisu yang pernah bertemu dengan Yap In Hong, tokoh Giok-hong-pang yang amat
lihai itu. Mereka mengangguk-angguk, akan tetapi Bouw Thaisu berkata penuh
keraguan,
"Agaknya
dugaanmu itu amat diragukan kebenarannya, Bu-sicu. Kita mengetahui betapa gadis
itu adalah seorang wanita aneh dari Giok-hong-pang, tidak memusuhi kita secara
langsung dan juga tidak bersahabat dengan fihak Cin-ling-pai, pula kita telah
tahu bahwa Giok-hong-pang adalah perkumpulan yang tidak memiliki hubungan
dengan partai-partai lain. Karena itu, agaknya tidak boleh jadi kalau dia
menolong anak murid Bu-tong-pai dan apa lagi menolong pemuda yang agaknya
mempunyai hubungan erat dengan Cin-ling-pai itu. Aku lebih condong menduga
bahwa orang ini tentulah seorang tokoh Bu-tong-pai. Ingat, partai besar itu
tentu saja memiliki banyak orang pandai maka tidak mengherankan kalau ada
seorang tokoh wanita dari Bu-tong-pai yang turun tangan menolong anak-anak
murid Bu-tong-pai itu dan juga pemuda she Bun yang aneh itu."
Semua orang
mengangguk-angguk. "Bagaimana pun juga, manusia she Bun itu tak akan dapat
menyelamatkan diri dan tentu akan tewas, karena pada tubuhnya telah mengeram
racun yang tidak mungkin dapat disembuhkan oleh orang lain," kata Ciok Lee
Kim.
Toat-beng-kauw
Bu Sit mengerutkan alisnya. "Ciok-suci, setelah apa yang terjadi, malam
ini kurasa sebaiknya kalau kita meninggalkan tempat ini. Fihak Bu-tong-pai
kiranya tidak akan tinggal diam dan kalau sampai mereka mengerahkan
tokoh-tokohnya dan para anak murid Bu-tong-pai yang banyak itu menyerbu ke
Lembah Bunga Merah, berarti kita hanya akan menanam bibit permusuhan yang lebih
mendalam lagi selain juga amat berbahaya. Mereka tentu akan menyerbu ke sini."
"Aku
tidak takut!" Ciok Lee Kim berseru keras.
"Suci,
soalnya bukan takut atau tidak takut. Orang-orang seperti kita ini tentu saja
tidak mengenal apa artinya takut lagi. Pula, dengan adanya sam-wi locianpwe di
sini, sebagai tamu kita dan sahabat-sahabat kita, kita tak perlu takut
menghadapi siapa pun juga. Akan tetapi, kalau sampai kita terlibat permusuhan
dengan Bu-tong-pai, bukankah hal itu dapat melemahkan kedudukan kita? Padahal
tujuan kita semua hanya untuk menghancurkan Cin-ling-pai! Selain itu, pemuda
she Bun itu telah mengetahui tempat kita, dan dia tentulah kaki tangan
Cin-ling-pai. Sekarang dia sudah lolos, tentu dia akan mengabarkan kepada ketua
Cin-ling-pai. Kalau ketua Cin-ling-pai beserta kaki tangannya juga menyerbu ke
sini bersama Bu-tong-pai, bukankah hal itu akan amat merugikan kita? Kukira
lebih baik kita bergabung dengan para suheng di Ngo-sian-chung."
Bouw Thaisu
mengangguk-angguk. "Agaknya benarlah apa yang dikatakan oleh Bu-sicu.
Betapa pun juga, kita harus berhati-hati karena musuh-musuh yang kita hadapi
ini bukan orang-orang lemah. Lagi pula, tujuan pinto pergi meninggalkan
pertapaan di pantai Pohai semata-mata hanya untuk menuntut kematian sahabatku
Thian Hwa Cinjin, dan tujuanku hanya menghadapi orang-orang Cin-ling-pai."
Demikian
pula Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang juga menaruh dendam kepada ketua
Cin-ling-pai, merasa keberatan kalau harus memusuhi Bu-tong-pai, maka akhirnya
Ciok Lee Kim setuju. Pada esok harinya, berangkatlah mereka meninggalkan Lembah
Bunga Merah, menuju ke Ngo-sian-chung yaitu tempat tinggal Pat-pi Lo-sian Phang
Tui Lok yang berada di lembah muara Sungai Huang-ho.
***************
Gadis
berwatak dingin ini ingin merampas pedang Siang-bhok-kiam yang dicuri oleh Lima
Bayangan Dewa, dan juga, sesudah berjumpa dengan Bu Sit, orang termuda dari
Lima Bayangan Dewa, sudah timbul perasaan tidak senangnya kepada Lima Bayangan
Dewa yang akhir-akhir ini telah menggegerkan dunia kang-ouw akibat perbuatan
mereka berani mengacau di Cin-ling-pai.
Oleh karena
itu, pada waktu secara kebetulan dia melihat Toat-beng-kauw Bu Sit, Bouw
Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw melakukan perjalanan untuk
mengunjungi Hui-giakang Ciok Lee Kim di Lembah Bunga Merah, diam-diam dia lalu
mengikuti mereka dan terus membayangi mereka, dan kemudian setiap malam
melakukan penyelidikan di Lembah Bunga Merah dengan niat hati untuk mencuri
Siang-bhok-kiam andai kata pedang pusaka Cin-ling-pai itu disimpan di lembah
itu.
Diam-diam
dia mengetahui akan kunjungan Kiam-mo Liok Sun bersama seorang pemuda tampan
yang didengarnya adalah orang she Bun yang menjadi pengawal pribadi Kiam-mo
Liok Sun itu. Kemudian dia melihat pula betapa pemuda pengawal Kiam-mo Liok Sun
itu menolak ketika dibujuk dan dirayu oleh dua orang murid Ciok Lee Kim, bahkan
menolak ketika dibujuk rayu oleh Si Kelabang Terbang sendiri. Hal ini sungguh
mengherankan hati In Hong dan mendatangkan kesan yang amat mendalam.
Dia tahu
betapa dua orang murid Ciok Lee Kim adalah wanita-wanita muda dan cantik, dan
Ciok Lee Kim sendiri adalah seorang wanita cantik yang berpengaruh, akan tetapi
pemuda itu, seorang pengawal biasa saja, menolak mereka! Padahal majikannya,
Liok Sun, adalah seorang laki-laki yang biasa saja, yaitu seperti anggapan In
Hong sejak kecil bahwa semua laki-laki adalah mata keranjang, cabul dan
pengrusak wanita! Akan tetapi mengapa pemuda ini lain dari pada laki-laki lain?
Kemudian dia
melihat munculnya tiga orang murid Bu-tong-pai. Sikap mereka juga amat
mengagumkan hatinya dan kembali dia terheran-heran menyaksikan sikap ketiga
orang muda Bu-tong-pai yang gagah perkasa itu. Bagaimana di dunia ini terdapat
orang-orang muda yang demikian gagah perkasa, demikian berani menentang
kejahatan dan demikian bersih hatinya sehingga tidak terjatuh oleh rayuan dan
tidak tunduk oleh ancaman maut?
Tentu saja
In Hong tidak tahu bahwa dunia kang-ouw mempunyai banyak orang-orang gagah
perkasa, seperti banyaknya pula terdapat orang-orang sesat, golongan hitam yang
dalam hidupnya hanya mengutamakan pengejaran kesenangan bagi diri sendiri
sehingga untuk memperoleh kesenangan itu, mereka sanggup melakukan apa pun
juga, perbuatan kejam dan cabul yang bagaimana pun dengan mengandalkan
kepandaian mereka.
Semenjak
kecil In Hong hanya berdekatan dengan orang-orang sesat, dengan wanita-wanita
pembenci kaum pria. Belum pernah dia berdekatan dengan para pendekar, maka
sekarang, begitu melihat sikap orang-orang yang berjiwa pendekar, dia menjadi
terheran-heran, terkejut, dan kagum bukan main.
Karena rasa
kagum inilah maka hatinya lantas tergerak untuk menolong tiga orang murid
Bu-tong-pai itu. Andai kata hatinya tidak digerakkan oleh kegagahan mereka,
tentu saja perasaan hatinya yang dingin itu akan membuat dia menutup mata dan
tak mempedulikan urusan orang lain. Kini mulai terbuka hatinya bahwa tidak
semua pria jahat, cabul dan khianat, seperti yang dia selalu mendengar dari
mulut gurunya, dan dari semua anggota Giok-hong-pang. Dia turun tangan
membebaskan ketiga orang murid Bu-tong-pai itu dan membawa mareka lari ke
sebuah hutan di bawah Lembah Bunga Merah, di mana mereka bersembunyi ke dalam
sebuah kuil tua sambil merawat luka mereka.
Ketika pada
keesokan harinya diam-diam In Hong kembali menyelidiki ke Lembah Bunga Merah,
dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa pemuda yang dikenalnya sebagai
pengawal Kiam-mo Liok Sun, pemuda yang menimbulkan rasa kagumnya karena pemuda
ini menolak semua rayuan Ai-kwi dan Ai-kiauw sekarang telah ditawan dan disiksa
secara mengerikan, sebab kedua tulang pundaknya dikaitkan dengan kaitan baja
dan dibelenggu dalam keadaan pingsan.
Timbul
perasaan iba hatinya terhadap pemuda perkasa itu, apa lagi sesudah mendengar
bahwa pemuda itu lebih dahulu mengamuk dan membunuh Ai-kwi dan Ai-kiauw sebelum
akhirnya tertawan, yang didengarnya dari percakapan para penjaga, dia lantas
mengambil keputusan untuk monolong pemuda she Bun yang tidak dikenalnya itu.
In Hong tahu
betul akan kelihaian Toat-beng-kauw Bu Sit, terutama sekali Hek I Siankouw, Hwa
Hwa Cinjin dan Bouw Thaisu, maka dia tidak berani bertindak secara gegabah. Dia
menanti sampai tengah malam sehingga dia tidak tahu betapa malam itu Ciok Lee
Kim dan Bu Sit telah menyiksa pemuda itu yang telah siuman bahkan kemudian
menusuknya dengan jarum beracun dan meninggalkan pemuda itu dalam keadaan
pingsan lagi dan dalam keadaan terancam nyawanya.
Dengan
kepandaiannya yang hebat, In Hong akhirnya berhasil menolong pemuda itu dan
membawanya lari dari Lembah Bunga Merah sesudah dia berhasil meloloskan diri
dari pencegatan Hek I Siankouw dan Hwa Hwa Cinjin. Dia segera membawa pemuda
itu ke dalam hutan di kaki bukit dan memasuki kuil di mana tiga orang murid
Bu-tong-pai masih bersembunyi sambil mengobati luka mereka.
"Lihiap,
dia siapakah dan mengapa dia sampai begitu tersiksa...?" Seorang di antara
tiga orang murid Bu-tong-pai itu bertanya.
Mereka
memandang dengan hati ngeri sesudah melihat keadaan Bun Houw seperti itu. Muka
pemuda itu menghitam, jelas bahwa pemuda itu keracunan, ada pun kedua pundak
yang dikait tulangnya itu benar-benar menimbulkan kengerian dan mendirikan bulu
roma.
"Dia
adalah seorang pengawal biasa yang entah mengapa sudah disiksa seperti ini oleh
manusia-manusia kejam itu." In Hong menjawab, kemudian dia memeriksa
keadaan Bun Houw.
Dengan
sangat hati-hati dia mencabut dua baja kaitan dari pundak Bun Houw. Sesudah
memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa tulang-tulang pundak pemuda itu tidak
patah, hanya kulit dagingnya saja berlubang dan luka parah, dia lalu mengobati
luka-luka pada pundak pemuda itu dengan obat luka yang dibawanya, kemudian
membalut pundak itu dibantu oleh tiga orang murid Bu-tong-pai.
"Dia
keracunan hebat...," kata murid wanita Bu-tong-pai dengan alis berkerut,
masih ngeri hatinya kalau membayangkan penderitaan yang ditanggung oleh pemuda
yang baru saja ditolong oleh In Hong.
In Hong
adalah seorang yang tidak asing dengan racun, karena dari gurunya dia pernah
memperoleh banyak pelajaran tentang racun, bahkan dia juga mengenal racun-racun
dari tumbuh-tumbuhan, dan senjata rahasianya pun adalah Siang-tok-swa, yakni
pasir yang mengandung racun dari kembang yang berbau harum. Akan tetapi dia
menjadi bingung melihat racun yang menyerang darah Bun Houw. Setelah dia
memeriksa dengan teliti, dia menghela napas dan menggelengkan kepala.
"Apakah
kalian mengenal racun yang menyerangnya?" tanyanya kepada tiga orang murid
Bu-tong-pai itu.
Tentu saja
murid-murid Bu-tong-pai ini juga pernah mempelajari mengenai racun-racun untuk
sekedar menjaga diri. Akan tetapi, sesudah mereka memeriksa, orang tertua dari
mereka berkata dengan alis berkerut,
"Lihiap,
racun ini hebat sekali dan saya kira kalau dia tidak cepat mendapatkan obat
yang mujarab, nyawanya sukar ditolong lagi. Tidak jauh dari sini ada seorang
ahli obat yang kiranya dapat menolongnya, akan tetapi sayang..." Dia
menghentikan kata-katanya.
"Sayang
bagaimana?" In Hong bertanya.
"Dia
adalah seorang yang berwatak aneh bukan kepalang. Kakek itu di dunia kang-ouw
terkenal dengan julukan Yok-mo (Setan Obat), akan tetapi juga terkenal dengan
wataknya yang amat luar biasa. Maka sedikit sekali harapan apakah dia akan mau
mengobati orang ini."
"Luar
biasa bagaimana? Harap kau jelaskan." In Hong mendesak.
"Hampir
semua tokoh kang-ouw mengenal Yok-mo ini, sungguh pun tidak ada yang tahu siapa
namanya. Dia selalu mengobati orang-orang sakit dan orang-orang yang tergigit
binatang berbisa apa pun juga, dengan cepat dapat disembuhkannya secara luar
biasa. Bahkan ada orang yang tergigit ular yang paling berbisa, yang kabarnya
tak ada obatnya, dapat pula dia obati, dan ada orang bilang bahwa Setan Obat
itu pernah menyombongkan diri, mengatakan bahwa tidak ada gigitan binatang
berbisa di dunia ini yang tidak dapat dia sembuhkan..."
"Kalau
begitu, dialah yang bisa menolong!" kata In Hong girang. "Menurut
pendengaranku ketika para penjaga Lembah Bunga Merah bercakap-cakap, racun yang
dimasukkan ke tubuh pemuda ini adalah racun dari kelabang hitam. Akan tetapi,
apakah kesulitannya bagi Setan Obat untuk mengobati dia ini?"
"Dia
mau mengobati segala macam penyakit tanpa menerima bayaran sama sekali, akan
tetapi dia paling benci kepada ahli-ahli silat, karena itu dia tidak pernah mau
mengobati orang-orang yang terluka dalam pertempuran. Itulah kesukarannya,
lihiap."
"Hemm,
di mana dia?"
"Dia
tinggal di puncak gunung tak jauh dari sini, di puncak Gunung Cemara di barat
itu." Murid Bu-tong-pai itu menuding ke barat.
"Kalau
begitu, biar aku mengunjunginya ke sana. Menurut percakapan para penjaga tadi,
orang ini hanya dapat hidup tiga hari tiga malam saja, maka harus cepat
mendapatkan obat. Harap kalian suka menjaganya selama aku pergi."
"Baik,
lihiap. Engkau sudah begitu baik kepada kami, sudah menyelamatkan nyawa kami
tanpa pamrih, bahkan memperkenalkan nama pun lihiap tidak mau. Sekarang lihiap
juga menolong seorang lain yang tidak lihiap kenal, hendak mencarikan obat dan
menghadap Yok-mo, sungguh membuat hati kami kagum bukan main. Tentu saja kami
suka sekali membantu lihiap untuk menjaga saudara ini."
In Hong
tersenyum dan sekali berkelebat lenyaplah dia dari hadapan ketiga orang murid
Bu-tong-pai itu. Mereka saling pandang kemudian menarik napas panjang. Selama
hidup, mereka belum pernah bertemu dengan seorang pendekar wanita seperti
penolong mereka itu. Dan mereka menyesal sekali mengapa penolong mereka itu
merahasiakan namanya dan tidak mau mengaku walau pun sudah mereka tanya
berkali-kali.
***************
Kaki gunung
itu penuh dengan hutan yang mengandung pohon-pohon lengkap dan subur, akan
tetapi sungguh mengherankan, di puncaknya hanya ditumbuhi pohon-pohon cemara
belaka. Oleh karena itu meka puncak itu disebut puncak Gunung Cemara, sebuah
gunung yang tidak berapa tinggi akan tetapi lerengnya penuh dengan hutan lebat.
Sebuah rumah
gubuk kecil terdapat di puncak, di antara pohon-pohon cemara yang tinggi,
seperti berlindung di bawah pohon-pohon itu. Atapnya telah penuh dengan
batang-batang daun cemara yang tebal hingga menutupi atap rumah gubuk. Tanah di
sekitar tempat itu pun sudah tertutup batang daun cemara sehingga kalau orang
duduk di atasnya, terasa enak dan empuk pula, bersih tidak becek walau pun di
waktu hujan.
Kakek itu
pakaiannya biasa saja, seperti pakaian seorang petani. Dia sudah tua sekali,
tentu sudah ada tujuh puluh tahun usianya, namun wajahnya masih segar dengan
kulit kemerahan dan tak nampak keriput seperti wajah orang-orang muda, sungguh
pun semua rambut, jenggot dan kumisnya telah putih semua.
Pada pagi
hari itu kakek ini sedang mengeluarkan banyak tampah-tampah. Dia hendak
menjemur rempah-rempah dan bahan-bahan obat di bawah sinar matahari pagi.
Pekerjaan ini dilakukannya dengan penuh kesungguhan, penuh perhatian dan dengan
wajah gembira ria.
Berbahagialah
orang yang melakukan segala sesuatu dalam hidup ini dengan perasaan kasih di
hatinya. Dan pekerjaan apa pun yang dilakukan orang, perbuatan apa pun yang
dilakukannya, apa bila berdasarkan cinta kasih, maka perbuatan itu tentu benar
adanya!
Sayang
sekali bahwa kita pada umumnya sudah tidak lagi mengenal cinta kasih dalam
segala perbuatan kita. Perbuatan kita selalu didorong oleh kepentingan diri
pribadi lahir batin, demi keuntungan, demi kesenangan, demi kebencian, dengki,
iri hati, pamrih dan lain-lainnya. Kalau saja kita dapat melakukan pekerjaan
kita dengan cinta kasih di hati! Bukan demi penghasilannya! Kalau saja kita
dapat melakukan segala sesuatu dengan kasih di hati! Betapa akan indahnya hidup
ini, betapa akan bahagianya hidup ini.
Bagi kakek
tua renta itu, pada saat dia menjemur rempah-rempah itu, tidak ada apa-apa lagi
di dunia ini, tidak ada persoalan, tidak ada pemikiran, tidak ada apa yang
disebut waktu, bahkan dia tidak ingat lagi akan dirinya sendiri. Sinar matahari
pagi, hembusan angin pegunungan, kicau burung, keharuman daun cemara dan
rempah-rempah yang dijemurnya, pergerakan jari-jari tangannya yang mengatur
akar-akaran dan daun-daunan yang dijemur di atas tampah-tampah, semua itu sudah
serasi, sudah selaras, merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
terpisah-pisahkan, merupakan bagian dari keadaan, dari kehidupan, dari cinta
kasih.
Tanpa
disadarinya, terdengarlah dendang disenandungkan dari mulut kakek yang sudah
ompong itu, seakan-akan dia mengikuti irama yang terdengar oleh telinganya,
entah dari mana, seperti terbawa oleh angin yang semilir.
Akan tetapi,
keheningan yang suci itu segera terganggu dengan munculnya seorang gadis cantik
jelita yang membawa sebatang pedang pada punggungnya. Gadis ini bukan lain adalah
Yap In Hong.
Melihat
kakek tua renta ini menjemuri obat-obat di depan gubuknya, membiarkan
tampah-tampah berisi obat-obat itu ditimpa sinar-sinar matahari yang menerobos
turun melalui celah-celah daun cemara, In Hong berhenti sejenak, memandang penuh
perhatian lantas menengok ke kanan kiri. Tidak nampak orang lain di tempat itu.
Dia
melangkah maju menghampiri. "Kakek, apakah engkau yang berjuluk Setan
Obat?"
Kakek itu
terkejut, seperti diseret turun dari sebuah dunia lain di mana tak ada pemikiran,
tidak ada persoalan, kini kembali ke dunia yang banyak pertikaian, banyak
pertentangan yang ditimbulkan oleh manusia. Dia menoleh, memandang gadis muda
itu dan alisnya berkerut-merut pada saat pandang matanya bertemu dengan sarung
pedang di punggung gadis itu. Dia segera menunduk kembali, mengatur akar-akaran
dan daun-daunan obat di atas tampah seolah-olah tidak terjadi sesuatu, akan
tetapi kini lenyaplah seri di wajahnya, lenyaplah senandungnya.
In Hong
sudah diberi tahu oleh murid-murid Bu-tong-pai akan keanehan watak kakek ini,
maka dia tidak menjadi marah melihat betapa kakek itu seolah-olah tak
mengacuhkannya sama sekali.
"Yok-mo."
dia berkata sambil melangkah maju dan menghadapi kakek itu. "Aku Yap In
Hong, datang untuk mohon pertolonganmu memberikan obat untuk seseorang yang
telah terluka hebat oleh racun kelabang hitam."
Setelah
mengulang kata-katanya sampai tiga kali dengan suara sabar, akhirnya kakek itu
mengangkat muka memandang dan In Hong terkejut melihat betapa kakek tua renta
ini di samping berwajah segar dan muda, juga memiliki sepasang mata yang
bersinar jernih seperti mata kanak-kanak.
"Wanita
muda, apakah kau datang untuk membunuh orang?" tiba-tiba kakek itu
bertanya dengan suara lantang.
Tentu saja
In Hong merasa terkejut dan terheran mendengar pertanyaan ini. Dia cepat
menggelengkan kepala.
"Kalau
begitu, kenapa engkau datang membawa-bawa sebatang pedang? Untuk apa lagi orang
membawa-bawa pedang kalau tidak ada niat terkandung di hati untuk menyerang dan
membunuh orang lain?"
In Hong
makin terkejut. Biar pun dia sudah mendengar bahwa kakek ini seorang aneh, akan
tetapi dia tidak menyangka akan diserang dengan kata-kata seperti itu. Akan
tetapi dia tidak menjadi gugup dan cepat menjawab,
"Kakek
yang baik, setiap orang yang melakukan perjalanan, apa lagi kalau dia mengerti
ilmu silat, tentu dia membawa sebatang senjata. Apa anehnya hal itu? Membawa
senjata bukan berarti hendak menyerang orang."
"Huh!
Semua orang yang membawa senjata, mana ada yang baik iktikadnya? Senjata adalah
alat untuk membunuh, maka siapa yang membawanya berarti sudah siap untuk
menyerang dan membunuh orang lain. Setiap orang manusia mesti mati, mengapa
kalian ini orang-orang yang haus darah tidak membiarkan semua orang mati
seperti semestinya dan wajar, akan tetapi menuruti nafsu untuk saling membunuh?
Engkau yang mempunyai hati kejam, yang selalu membawa pedang dan setiap waktu siap
membunuh orang lain, sekarang tidak malu datang kepadaku minta obat untuk
menyelamatkan nyawa orang? Bukankah sudah menjadi kesenanganmu melihat orang
mati?"
In Hong
mengerutkan alisnya. Sungguh berabe menghadapi orang seperti ini, pikirnya.
"Kakek yang
aneh, senjata tajam belum tentu untuk menyerang dan membunuh orang, aku
membawanya untuk menjaga diri dari ancaman bahaya. Coba saja kau pikir, apa
bila aku melakukan perjalanan seorang diri, lalu muncul seekor binatang buas
yang hendak menyerangku, bagaimana aku harus membela diri? Bahkan harimau pun
memiliki taring, ular mempunyai racun, semua binatang mempunyai senjata untuk
membela diri, mengapa manusia tidak?"
"Binatang
tak akan menyerang manusia kalau tidak sedang lapar atau diganggu. Binatang merupakan
makhluk yang lebih baik dari pada manusia! Manusia adalah makhluk paling jahat
dan kejam di permukaan bumi ini. Tak ada satu pun binatang yang membunuh untuk
kesenangan, atau membunuh karena permusuhan dan kebencian. Binatang membunuh
untuk tetap hidup, membunuh karena dorongan perutnya yang lapar. Akan tetapi
manusia membunuh apa saja di dunia ini untuk mencari kesenangan, bahkan
membunuh sesama manusia untuk mencari kesenangan dalam kemenangan, membunuh
karena permusuhan dan kebencian. Phuahh!"
"Akan
tetapi, Yok-mo, aku tidak akan sembarangan memusuhi orang, tidak sembarangan
membenci orang, apa lagi tidak akan sembarangan menyerang atau membunuh orang
lain. Semua itu tentu ada sebab-sebabnya. Seperti sekarang ini, aku sama sekali
tidak mempunyai niat membunuh siapa pun juga, bahkan kedatanganku ingin minta
bantuanmu supaya kau suka memberi obat kepada seorang yang menjadi korban
kejahatan manusia lain yang sangat jahat. Tentu saja keadaan ini dapat berubah
sama sekali. Andai kata engkau lalu tiba-tiba saja menyerang dan hendak
mencelakakan aku, tentu saja aku akan membela diri dan mungkin pula membunuhmu
dalam pertempuran. Jadi, baik menyerang, membenci, memusuhi atau membunuh
sekali pun, semua tentu ada sebab-sebab yang mendorongnya, bukan semata-mata
manusia adalah makhluk yang suka membunuh."
"Memang
ada juga manusia yang tidak suka sama sekali untuk membunuh, baik dengan alasan
apa pun juga, akan tetapi engkau termasuk manusia yang suka membunuh, dan hal
ini dibuktikan dengan adanya pedang pada punggungmu. Dan manusia tukang bunuh
seperti engkau ini datang untuk minta bantuan kepadaku? Huh, aku tidak
sudi!"
Merah wajah
In Hong. Hatinya mulai marah. Kakek ini kasar dan sombong, pikirnya.
"Orang
tua, melihat sikapmu ini, andai kata aku sendiri yang terluka dan terancam
maut, aku pun tidak akan sudi minta pertolongan kepadamu! Akan tetapi yang
terluka adalah orang lain, dan dia menjadi korban dari kejahatan manusia iblis,
dia dilukai dengan jarum yang mengandung racun kelabang hitam, apa bila tidak
mendapatkan obat yang mujarab, dalam waktu tiga hari tiga malam tentu
mati."
"Orang
yang terluka itu tentulah seorang tukang bunuh pula. Tidak! Biarkan dia mampus,
sesuai dengan kesukaannya membunuh manusia lain, aku tidak sudi
menolongnya!"
"Ha-ha-ha-ha,
orang yang tidak mau menolong orang lain yang terancam maut, bukankah seorang
pembunuh pula? Ha-ha-ha, engkau kakek yang bernama Yok-mo? Engkau pun seorang
pembunuh! Seorang pembunuh yang licik dan curang!" Tiba-tiba terdengar suara
orang, suara yang datangnya dari jauh, bergema akan tetapi begitu kalimat
terakhir habis, orangnya pun nampak muncul seperti setan, seorang kakek pendeta
Lama tinggi besar bagai raksasa, berjubah merah dan memanggul tubuh seorang
anak laki-laki yang seluruh tubuhnya sudah kehitaman karena racun yang amat
hebat!
Yok-mo
memutar tubuhnya dan In Hong terkejut bukan main. Melihat kemunculan kakek yang
didahului sambaran angin dahsyat, serta suaranya yang jelas dikerahkan dengan
kekuatan khikang yang hebat bukan main, jelas bahwa pendeta Lama ini bukanlah
orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Akan tetapi
Yok-mo sudah marah bukan kepalang. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka
pendeta gundul itu dan membentak, "Pendeta-pendeta malah merupakan
manusia-manusia yang lebih jahat lagi, seperti serigala-serigala berkedok
domba. Seperti engkau ini, mulutmu lancang sekali mengatakan bahwa aku
pembunuh! Selama hidup aku belum pernah membunuh."
"Ha-ha-ha,
kalau begitu engkau manusia yang paling jahat!"
Pendeta
berjubah merah itu tertawa bergelak dan hal ini tentu saja membuat Yok-mo dan
In Hong memandang dengan mata terbelalak. Yok-mo marah sekali, akan tetapi In
Hong juga terheran-heran karena omongan pendeta ini malah lebih aneh dan nekat
dari pada Yok-mo!
"Eh,
hwesio sesat! Jangan bicara sembarangan kau! Aku melihat engkau membawa anak
laki-laki yang sudah terkena racun hebat, tentu engkau pun tukang berkelahi dan
tukang bermusuhan dengan manusia lain. Aku tidak mau berurusan dengan
orang-orang macam engkau!"
"Ha-ha-ha,
Yok-mo, membunuh dan membunuh ada dua macam. Ada membunuh yang baik dan
membunuh yahg tidak baik. Kau harus obati muridku ini!"
"Tidak,
aku tidak sudi!"
Kakek gundul
itu melepaskan tubuh anak yang kehitaman itu ke atas tanah. In Hong lalu
memandang ke arah anak itu dengan penuh perhatian dan dia langsung terkejut
bukan main melihat gejala anak itu seperti korban keganasan racun
Siang-tok-swa! Dugaannya memang betul karena anak itu adalah Lie Seng yang
telah menjadi korban Siang-tok-swa gurunya, yaitu Yo Bi Kiok dan kakek gundul
itu bukan lain adalah Kok Beng Lama.
"Yok-mo,
kata-katamu membuktikan bahwa memang ada dua macam sifat membunuh, yang baik
dan yang jahat. Kau adalah pembunuh yang jahat, sedangkan nona ini dan aku adalah
pembunuh-pembunuh yang baik. Jika engkau tak mau mengobati muridku, berarti
muridku mati dan engkau menjadi pembunuh yang jahat karena sebetulnya engkau
akan mampu mengobatinya. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu dan aku
adalah pembunuh yang baik karena manusia seperti engkau sudah sepatutnya
dibunuh supaya tidak membunuh orang-orang lain seperti sekarang.
Ha-ha-ha!"
In Hong
menjadi bingung. Kata-kata kakek gundul ini tidak karuan dan bila melihat sinar
matanya, kakek gundul ini seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi,
anehnya, ucapan itu membuat Yok-mo termenung-menung sambil meraba-raba
jenggotnya yang sudah putih semua, lalu dia menjatuhkan diri duduk di atas
bangku, bengong melamun dan mulutnya berkali-kali mengeluarkan kata-kata lirth,
"Aku...
pembunuh? Benarkah aku pembunuh? Pembunuh...?"
"Ha-ha-ha!
Kau pembunuh licik dan curang. Aku selalu membunuh orang lain dengan adil,
memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Tetapi engkau? Engkau membunuh
orang tanpa memberi kesempatan orang itu membela diri. Lihat, kau sedang
membunuh muridku itu, nah, bukankah engkau pembunuh yang curang dan licik? Biar
aku menunggu di sini melihat bagaimana engkau membunuhnya dengan kejam, sesudah
itu, aku akan membunuhmu dengan adil, memberi kau kesempatan untuk membela
dirimu."
Mata Yok-mo
tertutup seperti orang kebingungan. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Hwesio Lama, baru sekarang aku bisa melihat kebenaran omonganmu. Memang
aku pun pembunuh! Benar! Entah sudah berapa banyaknya orang yang kubunuh,
mereka yang kutolak untuk diobati sehingga mereka itu mati karena luka-luka
mereka. Padahal kalau aku mengobati mereka, mereka itu tentu sembuh dan belum
mati. Aku pembunuh dan aku melihat ini karena ucapan seorang pendeta Lama
gendeng!" Kakek itu menepuk dahinya dan menggelengkan kepalanya.
"Lama, engkau menderita tekanan batin hebat sehingga otakmu tergoncang dan
menjadi tidak waras, namun engkau yang gendeng masih mampu mengucapkan
kata-kata yang menyadarkan aku. Engkau benar! Bunuh-membunuh timbul karena
perbedaan perasaan antara cinta dan benci, karena manusia memilih-milih, yang
menguntungkan menjadi sahabat yang merugikan menjadi musuh, dibenci dan
dibunuh. Kalau dalam mengobati orang aku juga membeda-bedakan, memilih-milih,
apa bedanya dengan kalian yang membawa-bawa senjata? Lama, majulah, engkau
menderita tekanan batin hebat, akan tetapi aku bukanlah Yok-mo kalau tidak
mampu menyembuhkanmu!"
"Ha-ha-ha-ha,
kakek gila! Engkau selain pembunuh jahat juga gila! Aku datang membawa muridku
untuk kau obati, bukan aku. Mau atau tidak engkau harus mengobati muridku
ini!"
Yok-mo
menoleh ke arah Lie Seng. "Dia terkena racun yang jahat pula sehingga
untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu panjang, sedikitnya dua pekan perawatan
yang teliti..."
"Kakek
Yok-mo!" In Hong berseru dengan hati khawatir. Sesudah kini ahli obat itu
mau mengobati orang, kalau harus menanti sampai dua pekan, pemuda yang
ditolongnya itu keburu mati! "Aku adalah orang yang datang lebih dulu,
karena itu sudah sepatutnya dan seadilnya kalau engkau lebih dulu memberi obat
kepadaku."
"Heiiittt!"
Kok Beng Lama meloncat dan berdiri di depan In Hong, matanya terbelalak marah.
"Engkau ini bayi kemarin sore berani hendak mendahului aku? Ha-ha-ha, aku
lahir puluhan tahun lebih dulu dari pada kau, maka harus aku yang lebih dulu
mendapat giliran pertolongan Yok-mo!"
Sesungguhnya
Kok Beng Lama hendak mengatakan bahwa sebagai orang muda, sudah sepatutnya
kalau gadis itu mengalah terhadap seorang yang jauh lebih tua, apa lagi dia
datang membawa muridnya, yang kini sudah empas-empis napasnya. Akan tetapi
karena pikirannya tidak waras, maka kata-katanya melantur tidak karuan!
"Tidak
peduli!" In Hong membentak. "Biar pun kau seratus tahun lebih tua,
engkau datang belakangan dan orang yang hendak kumintakan obat itu amat payah keadaannya."
"Ehh,
kau berani menentangku?" Kok Beng Lama menantang.
"Karena
aku benar, mengapa tidak berani?"
"Bocah
sombong engkau! Sombong dan lancang!" Kok Beng Lama sudah membentak marah
dan kedua tangannya bergerak.
In Hong
kaget bukan main karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang
dahsyat bukan main. Cepat dia melempar tubuh ke belakang berjungkir balik
sambil mencabut pedangnya dan ketika tubuhnya masih meluncur turun dia langsung
membalas dengan serang pedangnya yang juga amat dahsyatnya.
"Aihhh...
plak-plak-plak...!"
Kok Beng
Lama terkejut bukan main. Dia tadi memandang rendah, menyangka bahwa seorang
dara remaja seperti ini mana mungkin memiliki kepandaian tinggi? Disangkanya
bahwa sekali dia menyerang dengan hawa pukulan sinkang tentu akan membuat dara
itu jatuh bangun kemudian lari tunggang langgang ketakutan.
Siapa kira,
bukan saja dara itu mampu menghindarkan diri dari serangan pukulan jarak
jauhnya, akan tetapi bahkan mampu membalas dengan serangan pedang yang sangat
dahsyat dan bertubi-tubi datangnya. Dan karena sambaran pedang yang
bertubi-tubi itu mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya, terpaksa kakek
itu menangkis sampai tiga kali berturut-turut dengan lengan kirinya.
In Hong
meloncat turun dengan muka berubah. Kakek itu mampu menangkis pedangnya dengan
tangan kosong! Seolah-olah pedangnya yang merupakan pedang pilihan itu, yang
digerakkan dengan pengerahan sinkang yang sanggup menebas putus senjata-senjata
lawan, hanyalah merupakan pedang-pedangan kayu belaka. Kini dia makin yakin
bahwa kakek ini memang benar-benar hebat, lawan terhebat yang pernah
dihadapinya semenjak dia memasuki dunia ramai.
Akan tetapi,
bukan watak In Hong untuk merasa jeri menghadapi lawan tangguh. Dia lalu
mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya mencelat ke depan, bagaikan
seekor burung walet saja cepatnya dia menerjang kakek itu dan pedangnya
bergulung-gulung menjadi cahaya berkilauan menyilaukan mata. Timbul kegembiraan
hati Kok Beng Lama dan dia melayani In Hong dengan tangkisan-tangkisan kedua
lengannya dan membalas dengan totokan-totokan jari tangannya yang lihai.
"Wah-wah-wah…,
jangan berkelahi! Jangan bertempur di sini! Celaka...! Kalian manusia-manusia
celaka... jangan kotori tempatku dengan pertempuran! Heiii, bocah perempuan,
jangan ugal-ugalan kau. Cepat simpan kembali pedangmu!" Yok-mo
berteriak-teriak dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. "Dan kau Lama gila,
hentikan perkelahian itu!"
Akan tetapi,
seorang dara berhati sekeras baja seperti In Hong, mana mau dia berhenti
setelah ada orang menentang dan menantangya? Dan Kok Beng Lama, sebelum otaknya
agak miring pun sudah berwatak aneh sekali, suka berkelahi, sekarang setelah
otaknya tidak waras, tentu saja kegemarannya itu timbul kembali, dan dia
melayani In Hong sambil tertawa-tawa dan memuji-muji dengan suara keheranan.
"Bagus!
Kiam-hoat (ilmu pedang) hebat...! Akan tetapi tetap saja engkau tak akan mampu
mengalahkan aku, bocah! Ha-ha-ha!"
Memang benar
teriakan Lama ini. Betapa pun In Hong mengamuk sambil menggerakkan senjatanya
secara hebat, sama sekali pedangnya tidak pernah dapat melukai lawannya. Dia
sudah mengerahkan ginkang-nya hingga tubuhnya berkelebat tidak tampak lagi,
yang kelihatan hanya bayangannya, namun kecepatannya itu sia-sia belaka
terhadap kakek ini yang selalu dapat mengikutinya.
Juga
pengerahan sinkang-nya tidak ada gunanya karena dia memang jauh kalah kuat.
Yang membuat In Hong terheran-heran adalah kekuatan tangan kakek itu yang mampu
menangkis pedangnya dan setiap kali kakek itu mendorong dengan pengerahan
tenaga sinkang, dia pasti terhuyung-huyung ke belakang.
"Bagus,
masih begini muda sudah amat lihai... ha-ha-ha-ha, akan tetapi kalau tidak
diberi rasa, kau akan tetap sombong!”
“Plak-plak-desss...!"
Tubuh In
Hong terlempar dan bergulingan. Akan tetapi dara itu biar pun terkejut sekali
karena terdorong oleh tamparan yang amat dahsyat, sudah mencelat bangkit
kembali dan menyerang makin nekat.
"Plak-plak-plak...!
Dessss...!"
Kembali dia
terlempar dan roboh, kali ini malah lebih keras, terbanting sampai kepalanya
menjadi pening. Dan pada saat itu, sambil tertawa-tawa Kok Beng Lama sudah
berada di dekatnya, sudah mengangkat tangan menghantam.
"Plakkk...!"
In Hong
menangkis dengan pedangnya, akan tetapi pedang itu terlepas dari tangannya lalu
menancap di atas tanah, sedangkan kakek itu telah mengangkat lagi tangannya
yang ampuh. Sekali ini In Hong maklum bahwa dia sudah bertemu dengan orang yang
tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya, bahkan jauh lebih tinggi dari
tingkat kepandaian gurunya sendiri, maka dia hanya memandang, siap menghadapi
pukulan maut.
"Locianpwe,
jangan membunuh orang...!" Tiba-tiba saja terdengar suara anak-anak, dan
kiranya Lie Seng yang berteriak itu.
Dia tadi
siuman dan melihat pertandingan antara kakek itu dengan seorang gadis. Kini
melihat kakek itu hendak membunuh lawannya, dia merasa kasihan dan meneriaki
orang tua itu dengan suara nyaring.
Kok Beng
Lama menahan tangannya kemudian menoleh. "Ha-ha-ha, kau kira aku akan
membunuhnya? Tidak, aku tidak bisa membunuhnya... dia... dia mirip
anakku...!" Dia kini menoleh lagi ke arah In Hong. "Ehhh...?"
Ternyata
gadis itu sudah lenyap dari tempatnya ketika terjatuh tadi. Bahkan pedangnya
juga lenyap! Bukan sulap, bukan sihir.
"Kalau
kau menyerang lagi, aku akan membunuh Yok-mo!" Tiba-tiba kakek itu
mendengar suara In Hong.
Dia cepat
menengok dan terbelalak memandang kepada gadis itu yang telah menangkap lengan
Yok-mo dan menekankan pedangnya di leher kakek ahli obat itu!
"Dia
harus memberi obat kepadaku terlebih dahulu. Kalau kau menentang, Lama, biar
dia kubunuh lebih dulu dan kita sama-sama tidak memperoleh obat!"
Kok Beng
Lama terbelalak, kemudian menggeram. "Bocah licik, kalau kau melakukan
itu, engkau akan mati di tanganku!"
"Aku
sudah berani berbuat berani pula bertanggung jawab, Lama. Mati bukanlah apa-apa
bagiku, dan meski pun sesudah itu kau membunuhku, namun kematian tetap tidak
akan menolong nyawa muridmu, bagaimana?"
Kok Beng
Lama menjadi bengong. Semenjak dia menghadapi tekanan batin yang hebat, dimulai
dari kematian puterinya sampai peristiwa di Cin-ling-san, dia sering kali
menjadi bingung bahkan banyak hal-hal lampau yang dilupakannya.
"Wah,
kau bocah memang cerdik! Ha-ha-ha, engkau memang hebat. Biar aku mengaku kalah.
Heiii, Yok-mo, bukankah sudah sepatutnya kalau tua bangka-tua bangka semacam
kita yang sudah mendekati lubang kubur ini mengalah terhadap anak muda? Hayo
kau berikan obat untuk bocah cerdik ini, sesudah itu baru kau obati dan
sembuhkan muridku!"
In Hong
maklum bahwa seorang seperti pendeta Lama yang memiliki kelihaian hebat itu,
walau pun wataknya aneh dan seperti orang gila, namun sudah tentu tidak sudi
menarik omongannya kembali, sebab mempunyai keangkuhan besar dan tinggi hati,
maka dia pun menarik kembali pedangnya dari leher Yok-mo.
Kakek ini
menghela napas panjang dan mengomel, "Kekerasan...! Hemm... di mana-mana
manusia mempergunakan kekerasan..."
In Hong
tidak membuang-buang waktu lagi, segera dia menceritakan keadaan Bun Houw
kepada kakek Setan Obat itu, menceritakan betapa pemuda itu sudah ditusuk
dengan jarum yang mengandung racun kelabang hitam, menceritakan dengan jelas
pada bagian mana yang ditusuk dan gejala-gejala apa yang nampak pada tubuh
pemuda itu.
Yok-mo
mengomel lagi. "Biar di dalam dongeng tentang neraka sekali pun, belum
tentu ada iblis penyiksa di neraka yang sekejam itu! Jalan darah Tiong-cu-hiat
di tengkuk yang ditusuknya, hal itu berarti bahwa si korban paling lama dapat
hidup tiga hari saja. Tusukan di jalan darah itu pun mendatangkan siksaan luar
biasa, seluruh tubuhnya akan terasa gatal-gatal di sebelah dalam seperti
digigiti ribuan ekor semut. Hemm, kalau pemuda itu masih dapat bertahan,
sungguh amat luar biasa..."
"Dua
tulang pundaknya juga dikait dengan baja kaitan, Yok-mo." In Hong
menceritakan lagi dengan nada suara bangga. Heran dia mengapa dia berbangga
hati karena pemuda itu demikian tahan derita!
"Hemm,
untung engkau datang kepadaku, nona. Bukan karena aku pandai mengobatinya,
namun karena kebetulan sekali aku ada menyimpan obat yang mujarab untuk melawan
racun kelabang hitam. Andai kata aku tidak manyimpan obat itu, biar aku sendiri
tidak mungkin sanggup menolongnya, karena mencari obat itu harus di tempat asal
kelabang hitam itu sendiri, yaitu tahi kelabang hitam yang menjadi bahan
bakunya. Dan binatang seperti itu jarang sekali muncul di permukaan bumi,
selalu bersembunyi di dalam tanah."
Kakek tua
renta itu lalu masuk ke dalam gubuknya dan keluar lagi membawa beberapa butir
obat pulung, semacam pil kasar yang berwarna hitam. "Ini ada sembilan
butir pil, sehari beri dia tiga kali, setiap kali sebutir dan dalam waktu tiga
hari, setelah pil ini habis, aku tanggung dia sembuh kembali."
In Hong
gembira bukan main dan cepat menerima bungkusan pil itu, menjura kemudian
menghaturkan terima kasih. "Harap engkau sudi memaafkan kekasaranku tadi,
locianpwe, dan saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu!"
"Ha-ha-ha,
betapa palsunya! Sebelum diberi marah-marah dan mengancam, setelah diberi
merendah dan berterima kasih. Itulah manusia!" Kok Beng Lama tertawa
bergelak.
In Hong
memandang dengan muka berubah merah. Betapa pun kasarnya pendeta Lama itu,
kata-katanya amat jitu menancap di ulu hatinya dan dia merasa malu kalau
mengingat akan sikapnya sendiri tadi. Dia tidak segera pergi karena dia ingin
melihat bagaimana Yok-mo akan menyembuhkan anak itu, yang dia yakin pasti sudah
terluka oleh serangan Siang-tok-swa.
"Hayo
kau obati muridku, Yok-mo. Jangan sampai aku harus mengancammu seperti yang
dilakukan bocah liar itu," Kok Beng Lama berteriak.
Tanpa
menjawab akan tetapi dengan mulut bersungut-sungut karena baru kali ini selama
hidupnya dia dipaksa orang untuk mengobati, Yok-mo menghampiri tubuh anak itu
dan berlutut, membuka bajunya, mencium dekat dada Lie Seng kemudian memeriksa
denyut nadinya yang lemah. Lie Seng yang sudah siuman itu masih rebah dengan
lemah, hanya matanya yang lebar itu memandang dan melirik ke mana-mana.
"Hemm,
tepat seperti dugaanku. Dia terkena racun yang amat jahat, racun kembang yang
berbau harum. Racun harum digunakan untuk melukai seorang bocah sekecil ini!
Betapa kejamnya manusia di dunia ini."
"Memang
kejam sekali iblis betina itu!" Kok Beng Lama berteriak. "Tidak mampu
melawan aku, dia lalu melukai muridku. Awas dia, kalau lain kali bertemu
dengannya, akan kupukul pecah kepalanya!"
Hati Yok-mo
semakin tidak senang mendengar ancaman itu. Dia tidak mempedulikan dan kembali
memeriksa tubuh Lie Seng lalu berkata, "Tentu saja aku sanggup
menyembuhkan anak ini, akan tetapi dia harus dirawat di sini sedikitnya dua
pekan. Racun yang menjalar di seluruh tubuhnya ini sangat halus dan lembut,
akan tetapi cukup mematikan dan untuk membersihkannya sama sekali membutuhkan
waktu lama..."
"Pendeta
Lama yang kasar, aku mampu mengobati dia dan kutanggung dalam waktu tiga hari
saja dia akan sembuh!" tiba-tiba In Hong berkata.
Tadinya dia
menyangka bahwa anak itu tentu terluka oleh Siang-tok-swa. Sesudah dia
mendengar teriakan pendeta Lama itu bahwa yang melukai anak itu adalah seorang
iblis betina, dia menjadi yakin bahwa tentu gurunya yang melakukan itu.
Agaknya
gurunya pernah bentrok dengan pendeta ini dan dia tidak akan merasa heran kalau
gurunya sampai kewalahan menghadapi pendeta Lama yang memang amat hebat ilmu
kepandaiannya ini. Di dunia ini, yang pandai menggunakan Siang-tok-swa hanyalah
dia dan gurunya, maka siapa lagi kalau bukan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok yang melukai
seorang anak itu?
Dia sendiri
merasa penasaran mengapa gurunya mau melukai seorang anak sekecil itu dengan
Siang-tok-swa. Perbuatan ini pasti takkan dia lakukan karena hal itu
dianggapnya terlalu keji dan curang....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment