Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 16
Siang-tok-swa
adalah pasir beracun yang hanya patut dipergunakan apabila menghadapi
pengeroyokan banyak orang atau bertemu dengan lawan yang tangguh. Akan tetapi
sama sekali tidak pantas kalau dipergunakan untuk melukai seorang bocah yang
masih begitu kecil dan tentu belum tahu apa-apa!
Rasa
penasaran inilah yang membuat hatinya tergerak untuk mengobati anak itu dengan
obat penawar Siang-tok-swa yang selalu dibawanya bersama pasir beracun itu
sendiri. Akan tetapi dia memang seorang dara yang cerdik, tentu saja dia tidak
mau mengobati begitu saja!
Kok Beng
Lama dan Yok-mo keduanya terkejut mendengar ini. Kok Beng Lama terkejut
bercampur girang, sedangkan Yok-mo terkejut dan marah.
"Bocah
sombong engkau! Aku saja baru akan dapat menyembuhkannya dalam waktu dua pekan
atau... baiklah, kuperpendek menjadi sepuluh hari!"
"Dan
aku tetap dapat menyembuhkannya dalam waktu tiga hari."
"Akan
kukeluarkan semua ilmuku... hemm, aku sanggup menyembuhkannya dalam waktu
sepekan! Aku akan berbohong kalau mengatakan kurang dari sepekan!" Yok-mo
kembali berseru, penasaran bukan main.
"Dan
aku ulangi lagi, paling lama tiga hari obatku pasti akan menyembuhkannya,
paling lama tiga hari, mungkin kurang dari tiga hari."
Kok Beng
Lama menghampiri In Hong. "Nona, benarkah itu? Kau sanggup mengobatinya
secepat itu?"
In Hong
mengangguk.
"Kalau
kau pandai mengobati muridku, kenapa kau sendiri datang minta bantuan kepada
Yok-mo?"
"Luka
yang diderita oleh... sahabatku dan luka yang diderita muridmu tidak sama,
Lama. Dan aku kebetulan mempunyai obat yang paling mujarab untuk mengobati luka
muridmu yang terkena racun itu. Racun itu tentu disebabkan oleh Siong-tok-swa,
bukan?"
Yok-mo
terkejut. Tidak memeriksa sudah mengerti, sungguh hebat dan tepat sekali.
"Benar,
luka itu oleh senjata rahasia pasir yang mengandung racun harum," katanya.
"Kalau
begitu, nona yang baik, kau obatilah muridku ini maka aku akan berterima kasih
sekali kepadamu!" kata Kok Beng Lama.
"Ucapan
terima kasih hanya merupakan kata-kata kosong belaka, apa gunanya bagiku, Lama?
Sudah sepantasnya kalau orang memberi juga meminta, oleh karena itu, aku mau
memberi obat untuk muridmu dengan jaminan bahwa paling lama tiga hari dia pasti
sudah sembuh, sebaliknya aku pun ingin meminta sesuatu darimu."
Kok Beng
Lama tertawa. "Ha-ha-ha, baru sekali ini aku bertemu dengan bocah secerdik
engkau. Baiklah, kau mau minta apa?"
"Karena
engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka aku minta diberi ilmu
yang dapat mengalahkan semua ilmuku, termasuk ilmu pedangku."
Sepasang
mata yang lebar dan besar itu terbelalak. "Wahhh... ilmu silatku banyak
sekali macamnya, aku sendiri sampai tidak hafal lagi. Yang mana yang kau
minta?"
"Yang
mana saja, asal bisa menangkan semua ilmuku. Kau tadi mempergunakan kedua
lengan kosong untuk menghadapi pedangku, nah, aku mau kau ajarkan ilmu sinkang
itu kepadaku."
"Ha-ha-ha,
menggunakan tangan kosong menghadapi senjata hanyalah mampu dilakukan orang
yang mempunyai Thian-te Sin-ciang. Kau mau minta sinkang istimewa yang khas
hanya dimiliki olehku ini?"
"Tidak
peduli apa namanya dan bagaimana macamnya, pokoknya aku hendak menukar obatku
dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang itu. Kalau kau mau, boleh. Kalau tidak, aku mau
pergi sekarang. Sahabatku sudah menunggu dan nyawanya tinggal dua hari
lagi." Sambil berkata demikian, dengan lagak ‘jual mahal’ In Hong
membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"Eeiittt...
nanti dulu...!" Sekali berkelebat Kok Beng Lama sudah mencelat dan
melampaui tubuh In Hong, tahu-tahu sudah berdiri menghadang, membuat dara itu
menjadi makin kagum. Pantas gurunya tidak mampu menandingi hwesio Lama ini,
memang sangat luar biasa kepandaiannya.
"Kau
mau atau tidak?" In Hong berkata.
"Kau
kira mudah saja mempelajari Thian-te Sin-ciang? Untuk memperoleh ilmu ini
engkau harus berlatih sedikitnya lima tahun!"
"Aku
tidak peduli, pendeknya aku ingin memiliki ilmu itu, sekarang juga. Dan jangan
kau mencoba untuk menipuku, Lama, karena aku cukup mengerti bahwa menurunkan
sinkang kepada seseorang, sang guru dapat pula menyalurkan hawa murni kepada si
murid dan dengan cara demikian akan dapatlah ilmu itu dikuasai secara
langsung."
"Wah,
kau minta yang bukan-bukan!"
"Mengapa
yang bukan-bukan? Dengan memberikan ilmu itu kepadaku, engkau tidak akan
kehilangan apa-apa dan tenaga yang hilang akibat penyaluran itu pun akan mudah
terisi kembali."
"Ha-ha,
agaknya engkau cukup tahu akan segala hal ihwal pengoperan tenaga sinkang, nona.
Akan tetapi engkau tentu tahu pula bahwa ilmu simpanan seseorang hanya boleh
diberikan kepada seorang muridnya."
"Aku
tidak akan menjadi muridmu dan engkau bukan guruku. Tak ada hubungan guru dan
murid di antara kita, bahkan saling mengenal nama pun tidak. Kita hanya saling
menukar sesuatu yang berharga. Bagaimana, mau tidak kau menukar Thian-te
Sin-ciang dengan obat untuk muridmu?"
Andai kata
Kok Beng Lama masih waras pikirannya, tentu dia akan memikirkan hal ini lebih
mendalam dan tidak akan memberikan ilmunya begitu saja. Akan tetapi dia dalam
keadaan bingung, karena itu dia lalu menghela nafas. "Baiklah, baiklah...
nah, kau obati muridku dan aku akan memberi Thian-te Sin-ciang kepadamu."
"Tidak,
engkau serahkan dulu ilmu itu, baru aku obati muridmu."
"Hemm,
kenapa begitu?"
"Pendeta
Lama, di antara engkau dan aku, sudah jelas bahwa kepandaianmu jauh lebih
tinggi. Kalau aku obati dulu muridmu dan engkau ingkar janji, aku tidak akan
bisa apa-apa terhadapmu. Sebaliknya, kalau kau berikan dulu ilmu itu, aku tentu
tidak mungkin berani ingkar janji terhadapmu sebab dengan mudah engkau akan
dapat mengalahkan aku. Nah, ini sudah sangat adil, bukan? Dan lagi, setelah kau
memberikan ilmu Thian-te Sin-ciang kepadaku, aku akan menyerahkan obat kepadamu
lalu pergi karena sudah selama satu hari satu malam aku meninggalkan sahabatku
yang terluka itu. Nyawanya tinggal dua hari lagi umurnya, maka aku harus cepat
pergi."
"Wah-wah,
kau memang cerdik dan banyak akal bulusmu. Mana bisa kau mau menipu aku?
Bagaimana kalau obat yang kau berikan itu palsu dan ternyata tidak bisa
menolong muridku dalam tiga hari?"
"Habis,
hadirnya Yok-mo ini untuk apa? Dialah saksi yang paling berharga. Dia akan tahu
apakah obatku itu betul mujarab atau tidak setelah kuobatkan kepada
muridmu."
Yok-mo yang
semenjak tadi mendengarkan perbantahan itu, ingin cepat-cepat terbebas dari dua
orang muda dan tua yang sama-sama tidak disenanginya itu. Dia mengangguk.
"Benar, kalau obat itu palsu dan tidak mujarab, aku tentu akan segera
tahu. Aku pun ingin melihat apakah dia tidak membohongi orang-orang tua."
"Kalau
aku bohong, apa sukarnya bagi Lama ini untuk membunuhku?" In Hong langsung
membantah.
Kok Beng
Lama merasa kalah bicara. Dia mengangguk-angguk lalu duduk bersila. "Kau
ke sinilah dan duduk bersila di depanku," dia berkata dengan nada
memerintah.
In Hong
girang sekali dan cepat dia duduk bersila di hadapan kakek itu. Si kakek
menarik napas panjang. Duduk berhadapan demikian dekatnya dengan dara muda yang
cantik jelita ini membuat dia teringat akan puterinya dan tiba-tiba dia
menangis!
Tentu saja
In Hong menjadi terkejut dan mengangkat muka. Melihat kakek itu menangis
terisak-isak dan air matanya bercucuran, In Hong bergidik dan merasa seram.
Tentu ada suatu hal yang luar biasa hebat menimpa diri kakek sakti ini sehingga
membuat batinnya terguncang dan membuat kakek setua itu dapat menangis
mengguguk seperti ini.
Karena
gemblengan paksaan, In Hong menjadi seorang dara yang berhati dingin, akan
tetapi pada dasarnya dia memiliki watak yang lincah, halus dan perasa seperti
mendiang ibunya. Maka kini menghadapi keadaan kakek tua renta itu, tanpa dapat
dicegah lagi air matanya pun bercucuran!
Ternyata hal
ini amat menguntungkan In Hong. Kok Beng Lama yang sudah agak sinting itu
merasa seolah-olah kini berhadapan dengan puterinya. Dia merangkul dan
mengeluh. "Anakku... ahhh, anakku..."
Dan In Hong
balas merangkul. Sejenak mereka saling berpelukan sambil menangis.
“Gila...!
Gendeng orang-orang kang-ouw ini..." Yok-mo yang menonton pertunjukan aneh
itu menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali.
"Harap...
harap kau berikan ilmu itu kepadaku..." In Hong berbisik, hatinya masih
terharu sekali.
Hal ini
adalah karena kakek itu tadi menyebutnya ‘anakku’ yang tentu saja mengingatkan
dia bahwa dia sudah tidak berayah ibu lagi, bahkan dia belum pernah melihat
atau tidak ingat lagi bagaimana wajah ayahnya dan ibunya. Oleh karena itu, saat
mendengar kakek ini menganggap dirinya sebagai anaknya, tentu saja langsung
mengingatkan dia kepada ayahnya sehingga menimbulkan keharuan.
"Terimalah,
anakku... terimalah... kau bukalah seluruh jalan darahmu, buka pusarmu dan
jangan melawan aku... aku akan memasukkan Thian-te Sinkang kepadamu yang
menjadi dasar Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
In Hong
bersila dan ‘membuka’ semua jalan darah dan pusarnya. Tiba-tiba kedua telapak
tangan yang amat lebar dari pendeta itu menyentuh ubun-ubun kepalanya dan
pusarnya. Terasa olehnya hawa yang hangat dan sangat kuat mamasuki tubuhnya,
berputaran di seluruh tubuh untuk kemudian berkumpul di pusar, bercampur dengan
hawa sakti miliknya sendiri. Tubuhnya tergetar, kemudian menggigil dan
berkelojotan. Hampir dia tidak kuat menahan, kemudian terdengar bisikan suara
kakek itu,
"Perlahan-lahan
kerahkan tenaga dari pusar, kuasai tenaga yang meliar itu sampai bisa
berputaran di pusar, pusatkan kekuatan dan seluruh perhatianmu..."
Dengan
membuta In Hong mentaati perintah ini, dan dia terus mendengarkan perintah
kakek itu yang merupakan petunjuk dan teori mengendalikan tenaga Thian-te
Sinkang. Hampir tiga jam mereka duduk bersila saling berhadapan hingga akhirnya
In Hong dapat menguasai tenaga sakti mukjijat yang liar itu.
Keadaan itu
hampir sama dengan menaklukkan seekor kuda liar. Pada mulanya kuda itu meronta
dan melawan, meloncat dan hendak membedal, akan tetapi sesudah akhirnya dapat
dijinakkan, menjadi penurut dan bergerak ke mana saja menurut kemauan yang
menguasainya.
Sesudah
membuka matanya, dan wajahnya masih pucat sekali, In Hong dengan penuh
perhatian mendengarkan petunjuk-petunjuk tentang teori Thian-te Sin-ciang.
Cukup ruwet teori ilmu silat ini, akan tetapi sebagai seorang gadis yang cerdas
dapat menerima dan menghafal teori itu dalam waktu dua jam. Tentu saja teori
itu membutuhkan latihan, akan tetapi dengan dasar tenaga sinkang Thian-te
Sinkang yang sudah dikuasainya, dia akan dapat melatih ilmu itu dengan cepat.
Kok Beng
Lama bangkit berdiri dengan tubuh agak lemas dan mukanya pucat. Dia telah
mempergunakan banyak tenaga, bahkan kehilangan banyak sinkang, tetapi hatinya
puas sebab anak perempuan yang seperti anaknya ini bisa menerima ilmu demikian
cepatnya.
"Sudah
cukup... kau telah menguasai Thian-te Sin-ciang asal kau rajin
berlatih..."
Hati In Hong
masih diliputi keharuan. Dia tadi merasa betapa kakek itu menurunkan ilmu
kepandaiannya dengan penuh kasih sayang seperti terhadap anaknya sendiri.
Memang demikianlah keadaannya. Andai kata tidak ada kasih sayang ini, kiranya
tak mudah untuk menerima penyaluran tenaga mukjijat seperti Thian-te Sinkang
tadi. Maka segera In Hong menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil
berkata,
"Locianpwe,
teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada locianpwe."
"Hushhh,
ingat. Kita bukan guru dan murid, bukan apa-apa, bukan sanak bukan kadang
bahkan tidak saling mengenal. Hayo, cepat kau obati muridku."
In Hong
tidak berani bersikap kasar lagi. Dia mengangguk, kemudian mengeluarkan obat
penawar Siang-tok-swa, menghampiri Lie Seng dan memeriksa. Diam-diam dia
menyesal sekali atas tindakan gurunya yang terlalu kejam. Anak ini terkena
Siang-tok-swa di dada, muka dan perutnya! Cepat dia menaruhkan obat bubuk yang
dicampur air dan diborehkan ke tempat-tempat yang terluka dan menghitam itu,
kemudian dia memasak satu bungkus obat dan meminumkan obat itu kepada Lie Seng.
Diam-diam
dara ini pun kagum bukan main karena sejak tadi dia tidak mendengar anak itu
mengeluh sedikit pun! Benar-benar seorang bocah yang luar biasa dan sudah patut
menjadi murid seorang sakti seperti pendeta Lama itu.
Satu jam
kemudian, hari sudah mulai sore dan Yok-mo memeriksa keadaan Lie Seng. Dia
mengangguk-angguk. "Lama, kau percayalah. Obat boreh dan obat minum itu
betul-betul manjur sekali dan agaknya memang khusus dibuat untuk mengobati luka
karena Siang-tok-swa. Muridmu sudah hampir sembuh dan dalam waktu dua hari saja
kurasa dia sudah akan terbebas dari pengaruh racun."
Kok Beng
Lama tertawa girang sekali. "Ha-ha-ha, kalau memang begitu, tidak percuma
aku menyerahkan ilmu kepadamu, nona. Ha-ha-ha!"
In Hong lalu
menyerahkan obat untuk Lie Seng kepada Yok-mo, kemudian dia berpamit setelah
menjura kepada Yok-mo dengan ucapan terima kasih, kemudian memberi hormat
kepada Kok Beng Lama sambil berkata,
"Sungguh
pun teecu bukan murid locianpwe, namun teceu berjanji bahwa Ilmu Thian-te
Sin-ciang tidak akan teecu pergunakan secara sembarangan dan akan merupakan
ilmu simpanan teecu. Sekali lagi teecu menghaturkan terima kasih."
"Ha-ha-ha-ha,
apa bila kau pergunakan dengan sembarangan, apa sukarnya bagiku untuk mencarimu
dan mencabutnya kembali berikut nyawamu? Ha-ha-ha!"
In Hong
menjura kemudian membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap dari tempat itu.
Yok-mo bengong dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Nona
itu dahsyat bukan main, sinar dingin di wajahnya menunjukkan dendam kebencian
yang mendalam. Kini ditambah ilmu pemberianmu, Lama, sama dengan memberi sayap
kepada seekor harimau."
Akan tetapi
Kok Beng Lama tidak memperhatikan ucapan itu. Hatinya terlampau girang melihat
Lie Seng tertolong karena dia sudah menganggap bocah itu sebagai muridnya.
Memang Kok Beng Lama telah berubah sekali dibandingkan dengan wataknya sebelum
dia mengalami pukulan batin yang hebat.
Dulu tidak
mudah bagi siapa pun untuk menjadi murid kakek sakti ini. Akan tetapi kini,
begitu bertemu dengan Lie Seng, tanpa tanya-tanya dulu apakah bocah itu mau
atau tidak menjadi muridnya, tanpa menyelidiki lebih dulu siapa bocah itu dan
anak siapa, dia sudah begitu saja menganggap bocah itu sebagai muridnya! Dan
tanpa menanyakan nama In Hong, sama sekali tidak mengenal dara itu, dia sudah
begitu saja menyerahkan ilmu yang merupakan satu di antara ilmu-ilmunya yang
paling rahasia dan ampuh.
***************
“Ah, untung
engkau keburu datang, lihiap!" pemuda murid Bu-tong-pai itu berseru dengan
suara lega. "Aku khawatir dia sudah dalam sekarat..."
In Hong
kaget sekali mendengar sambutan murid Bu-tong-pai itu dan cepat dia mengikuti
masuk ke dalam kuil tua itu. Dan benar saja, orang yang tersiksa itu rebah
dengan mata tertutup, muka kehitaman dan napas tinggal satu-satu.
Dua orang
murid Bu-tong-pai yang sedang menjaga di situ juga kelihatan girang melihat
datangnya penolong mereka. Cepat mereka itu membantu In Hong mencari dan
memasak air, kemudian dengan paksa mereka membantu In Hong mencekokkan obat
yang dibawa oleh In Hong itu ke dalam perut pemuda yang sedang sekarat melalui
mulutnya yang dibuka secara paksa.
Mereka
berempat menanti dengan hati tegang, ingin menyaksikan bagaimana pengaruh obat
yang didapatkan dari Yok-mo yang terkenal itu. Satu jam mereka menunggu penuh
ketegangan, karena mereka seakan-akan melihat pemuda itu bergulat melawan
elmaut. Detik jantung pemuda itu amat lemah dan napasnya sudah senin kemis,
kadang-kadang menggeliat-geliat seperti orang dalam sekarat.
Tiba-tiba
saja terdengar suara berkeruyuk dari perut Bun Houw. Empat orang muda itu
memperhatikan. Suara berkeruyuk itu sambung-menyambung, sedangkan perut pemuda
itu bergerak-gerak, terus bergerak dan kini naik ke dada.
Tiba-tiba
pemuda itu muntah dan cepat sekali In Hong melompat lalu membantu pemuda itu
duduk sehingga pemuda itu dapat muntah ke pinggir dalam keadaan setengah rebah
miring. Lengan In Hong terkena muntahan yang ternyata adalah darah hitam yang
berbau busuk!
Tiga orang
murid Bu-tong-pai itu benar-benar merasa kagum sekali melihat betapa tekun dan
penuh perhatian In Hong merawat Bun Houw. Padahal wanita sakti penolong mereka
itu sama sekali tidak mengenal pemuda itu, seperti juga tidak mengenal mereka.
Juga mereka melihat betapa sinar mata yang biasanya dingin itu menjadi berseri
ketika melihat bahwa pernapasan Bun Houw kini menjadi lebih tenang dan detik
jantungnya lebih kuat, tanda bahwa obat itu memang manjur sekali.
"Dia
tertolong, dan kalian bertiga boleh pergi sekarang," kata In Hong setelah
melihat Bun Houw tidur nyenyak dengan napas tenang dan muka pemuda itu tidak
begitu menghitam lagi.
Dua orang
gadis Bu-tong-pai itu memandang dengan mata terharu dan pemuda yang menjadi
suheng mereka memandang kagum.
"Lihiap,
kami akan kembali ke Bu-tong-pai untuk melapor kepada suhu kami. Sesudah
menerima pertolongan lihiap dan berkumpul beberapa lama, mustahil kalau kami
tidak memperkenalkan diri. Saya bernama Sim Hoat, ini adalah sumoi Lim Soan Li,
dan dia itu adalah sumoi Coa Gin Hwa. Kami bertiga masih tinggal di Bu-tong-san
karena belum tamat belajar dari suhu kami, ketua Bu-tong-pai Thian Cin Cu
Tojin. Sudilah kiranya lihiap memperkenalkan nama, karena tanpa ada pertolongan
lihiap, kami bertiga tentu sudah tidak hidup lagi. Kami berhutang budi dan
tentu suhu akan marah kalau kami tidak dapat memberi tahu kepada beliau siapa
lihiap yang telah menyelamatkan nyawa kami."
In Hong
mengerutkan alisnya. Ia telah berkali-kali mengalami bahwa jika orang mengenal dia
sebagai murid ketua Giok-hong-pang, orang akan menggolongkan dia sebagai orang
sesat atau golongan hitam. Dia merasa malu untuk digolongkan dengan kaum sesat
yang selalu mengumbar nafsu tidak segan-segan melakukan kejahatan. Tidak, dia
bukan orang macam itu!
"Terima
kasih atas kebaikan sam-wi. Akan tetapi aku tidak punya nama dan peristiwa
kecil itu tidak perlu mengikat kita. Sebaiknya kita melupakan saja hal yang
telah lalu dan anggaplah aku tidak pernah menolong sam-wi. Baik ikatan budi mau
pun ikatan dendam hanya merepotkan hidup saja. Pergilah dan di antara kita
tidak ada hubungan apa-apa lagi."
Tiga orang
murid Bu-tong-pai itu saling pandang dan menarik napas panjang. Banyak terdapat
orang sakti yang berwatak aneh di dunia ini, akan tetapi penolong mereka ini
masih begini muda, lebih muda dari mereka, akan tetapi berwatak begini dingin
dan aneh, seolah-olah tidak suka berhubungan dengan manusia lain, akan tetapi
yang jelas sanggup mengorbankan apa saja untuk menolong orang lain yang sama
sekali belum dikenalnya. Seorang dara yang luar biasa!
Apa lagi
bagi Sim Hoat pemuda Bu-tong-pai ini, dia sekaligus sudah jatuh cinta kepada
dara luar biasa yang di samping sakti juga amat cantik jelita ini! Terpaksa
mereka lalu berpamit, memberi hormat meninggalkan kuil di dalam hutan lebat itu
untuk berangkat ke Bu-tong-pai dan melaporkan kepada suhu mereka tentang
kematian suheng mereka di Lembah Bunga Merah dan tentang kegagalan mereka
membalas dendam.
Sesudah
mereka itu pergi, In Hong merawat Bun Houw seorang diri dengan tekun dan penuh
perhatian. Setiap kali dia mencekokkan pil hitam yang dicampur air matang ke
dalam perut pemuda itu, Bun Houw muntahkan darah hitam. Sampai dua hari pemuda
itu terus muntah setiap habis makan pil, akan tetapi sesudah dicekoki pil yang
ketujuh, dia tidak muntah lagi dan mukanya sudah menjadi bersih dari warna
hitam!
Pada hari
ketiga, mukanya mulai agak kemerahan dan kini napasnya sudah teratur sehat dan
detik jantungnya juga sudah menjadi kuat. Tentu saja In Hong menjadi girang
sekali. Sudah tiga hari tiga malam lamanya dia tidak tidur, maka kini saking
lelahnya, dia tertidur menyandar tembok tidak jauh dari Bun Houw yang masih
rebah tidak sadar di atas lantai.
Sehabis
memberi minum pil yang kedelapan di siang hari, In Hong tertidur sambil duduk
bersandar tembok. Saking lelahnya, dia telah tidur setengah hari dan siang
telah terganti senja hampir gelap, namun dia masih juga belum bangun.
Di dalam
tidurnya In Hong bermimpi. Dia diajak berjalan-jalan di dalam sebuah taman
bunga yang indah, penuh bunga-bunga mekar semerbak harum, tangannya digandeng
oleh Bun Houw dan dia mandah saja. Bahkan dia merasakan suatu kebahagiaan yang
belum pernah dialami sebelumnya.
Wajah Bun
Houw berseri-seri, demikian tampan, sikapnya begitu gagah dan melindungi. Dia
sudah begitu hafal akan wajah Bun Houw yang setiap saat dipandangnya itu, hafal
akan garis dan lekak-lekuk wajah itu, dan kini wajah pemuda itu demikian dekat
dengan wajahnya, mata yang bersinar-sinar tajam itu menatap mesra, seolah-olah membelainya
dengan pandang mata, dan senyum yang menawan itu khusus ditujukan kepadanya.
Dia menjadi malu, perasaan malu yang luar biasa, perasaan malu dan jengah yang
sangat mengguncang hatinya, mengusap kalbu dan mendatangkan perasaan bahagia
yang sulit dituturkan dengan kata-kata. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu
mengeluh.
In Hong
terkejut dan... dia pun tersadar, membuka mata, memandang ke kanan, ke arah
pemuda yang tadi masih rebah tak sadar. Oleh karena sebelum tidur seluruh
perhatiannya tercurah kepada Bun Houw, maka biar pun dia tidur nyenyak sekali,
sedikit saja pemuda itu mengeluh sudah cukup untuk menyadarkannya.
"Kenapa
kau tidak membunuhku? Bunuh saja aku, tidak ada gunanya kau siksa dan kau
bujuk. Kau... perempuan hina dina, perempuan keparat jahanam!" Pemuda itu
memaki, pandang matanya penuh kebencian ditujukan ke arah In Hong.
Di dalam
ruangan kuil itu sudah mulai gelap. In Hong cepat meloncat bangun, menjenguk
keluar jendela butut untuk mengira-ngira waktu. Cuaca sudah mulai gelap, sudah
tiba waktunya pemuda itu menelan pil hitam ke sembilan, pil yang terakhir dan
dia gembira sekali karena pemuda itu kini sembuh, buktinya sudah sadar dan
sudah penuh semangat hidup kembali, sudah dapat marah-marah dan memaki-maki!
Dia tahu bahwa pemuda itu mengira dia seorang di antara para musuh-musuh yang
menyiksanya, maka makian itu tidak menyakitkan hati, bahkan menggelikan.
Tanpa
menjawab In Hong mengambil air matang dari panci butut di sudut ruangan, lalu
menuangkan ke dalam mangkok, mengambil obat pil terakhir dan berjalan
menghampiri Bun Houw.
Seperti
biasanya, tanpa bicara sepatah kata pun dia meletakkan mangkok di atas lantai,
menggenggam pil di tangan kanan dan lengan kirinya menyangga punggung pemuda
itu dan diangkatnya pemuda itu untuk bangkit setengah duduk. Akan tetapi Bun
Houw yang dirangkul itu meronta.
"Aku
tidak sudi...! Lepaskan, kau perempuan hina...!"
Pemuda itu
menggerakkan tangannya hendak memukul, akan tetapi dia mengeluh dan dua
lengannya tergantung lemas karena luka di kedua pundaknya masih belum sembuh
benar sehingga sedikit gerakan saja langsung membuat tulang-tulang pundaknya
seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Tenanglah,
engkau harus menelan pil sebutir lagi dan engkau akan sembuh sama sekali. Buka
mulutmu, telah pil ini dan minum air ini."
Akan tetapi
Bun Houw menggelengkan kepalanya dan memandang wajah yang cantik itu dengan
sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. "Perempuan hina, percuma saja
Thian mengaruniai padamu wajah secantik ini, ternyata engkau hanya seorang
manusia berhati iblis, seperti ular beracun, hamba dari nafsu yang cabul!"
Bun Houw menyangka bahwa gadis yang amat cantik ini tentu saudara seperguruan
dari Ai-kwi dan Ai-kiauw.
Wajah In
Hong menjadi merah sekali. Kalau saja bukan pemuda ini yang memakinya seperti
itu, kalau saja dia tidak tidak tahu benar bahwa pemuda ini salah sangka, kalau
saja dia masih seperti In Hong beberapa hari yang lalu, makian itu sudah cukup
baginya untuk membunuh laki-laki ini! Huh, laki-laki berani memaki dia secara
demikian menghina!
Akan tetapi
sekarang dia tahu betul bahwa pemuda ini bukanlah laki-laki perusak wanita,
bahkan sebaliknya, dia mempertahankan diri terhadap bujuk rayu wanita-wanita
cabul dan hina. Makiannya itu hanya menunjukkan betapa pemuda ini pada saat
terakhir pun masih tetap tak sudi melayani bujuk rayu itu, masih tetap teguh
mempertahankan kegagahannya dengan menentang maut! Makin kagumlah hati In Hong.
"Orang
she Bun, engkau salah kira..." Dia berkata lirih. "Engkau sudah bukan
tawanan lagi, dan aku hanya membantumu menelan pil ke sembilan ini yang telah
menyelamatkan nyawamu dari ancaman racun kelabang hitam."
Bun Houw mendengarkan
suara ini kemudian matanya perlahan-lahan terbuka lebar. Dia memandang wajah
itu, yang tidak begitu jelas karena cuaca yang mulai gelap, dan dia memandang
ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di sebuah ruangan kuil
yang rusak.
"Kau...
kau... siapakah...? Kau... bukan... seorang di antara mereka...?"
Ing Hong
tersenyum dan giginya yang putih sempat berkilau di dalam gelap. Dia lantas
menggeleng kepalanya. "Telanlah dulu pil ini, dan minum air di mangkok
ini...," katanya lirih.
Bun Houw
masih bingung, akan tetapi sekarang mulailah kesadarannya kembali. Siapa pun
adanya wanita ini, jelas bahwa wanita ini tidak berniat buruk terhadap dirinya,
bukan meracuni atau pun merayu. Bukan demikian sikap orang merayu, biar pun
lengan wanita ini merangkul punggungnya. Kalau wanita ini hendak membunuhnya
atau meracuninya, bukan demikian pula sikapnya. Dan lagi, setelah mengalami
siksaan seperti itu, apa lagi yang ditakutinya.
Dia lalu
membuka bibirnya menerima pil yang dimasukkan ke dalam mulutnya, pil yang
berbau sedap dan terasa pahit, kemudian menelan pil itu bersama air dari
mangkok yang ditempelkan di bibirnya oleh wanita itu. Kemudian wanita itu
merebahkan dia kembali ke atas lantai.
Tanpa bicara
In Hong mengembalikan mangkok kosong ke sudut ruangan, lalu membuat api dari
kayu-kayu kering di sudut ruangan itu, agak jauh dari Bun Houw. Dengan alat
seadanya yang disediakan oleh murid-murid Bu-tong-pai, dia memasak bubur dan
semua pekerjaan ini dilakukan dengan mulut tertutup, walau pun dia maklum bahwa
sepasang mata selalu mengikuti setiap gerakannya, memandangi dirinya di bawah
penerangan api unggun yang kemerahan. Sepasang mata yang memandang penuh
keheranan, penuh pertanyaan dan keraguan.
Pada waktu
In Hong menyuapkan bubur ke mulut pemuda itu, sepasang mata itu terus
memandanginya seperti mata seorang anak kecil memandang orang yang baru pertama
kali dijumpainya. Akhirnya sepasang mata itu tertutup kembali, tertidur
nyenyak.
In Hong
segera makan pula, makan bubur dengan sayur asin sederhana sebagai lauknya,
akan tetapi karena hatinya lega dan perutnya lapar, rasanya belum pernah dia
makan selezat itu. Kemudian dia pun tidur tidak jauh dari Bun Houw, tidur
dengan nyenyak tanpa mimpi semalam suntuk.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali In Hong sudah bangun. Tubuhnya terasa segar
dan cepat dia keluar dari kuil, kini berlatih ilmu yang baru saja dipelajarinya
dari pendeta Lama raksasa itu. Dia bersila sambil mengumpulkan hawa murni,
menggerak-gerakkan sinkang yang sudah terkumpul di dalam pusarnya, melatih
perlahan-lahan sehingga ‘kuda liar’ yang amat kuat itu tunduk kepada kemauannya
dan dia dapat mengalirkan Thian-te Sinkang itu sampai ke ujung-ujung jari
tangannya, akan tetapi belum dapat sepenuhnya.
Setelah
merasa cukup berlatih, dia kemudian pergi ke sumber air di tengah hutan, lalu
menanggalkan pakaiannya dan mandi sampai bersih. Segar bukan main rasanya,
lenyap seluruh sisa kelesuan dan kelelahan tubuhnya. Sambil berdendang In Hong
mencuci pula rambutnya yang dianggapnya tentu sudah mulai kotor.
Tiba-tiba
saja dia berhenti di tengah-tengah dendangnya dan mukanya terasa panas. Dia
menengok ke kanan kiri, menarik napas lega karena tidak ada orang lain yang
melihat dan mendengarnya, lalu cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membersihkan
seluruh tubuh dan memakai kembali pakaiannya, duduk memeras air dari rambutnya
yang hitam panjang, mengurai rambut itu agar cepat kering sambil melamun.
Baru sadar
dia akan keadaan dirinya sendiri. Dia berdendang? Belum pernah dia melihat
dirinya sendiri seperti ini! Sejak kecil dia tidak pernah bernyanyi, sungguh
pun dia tahu bahwa dia pandai menirukan semua nyanyian yang didengarnya
dinyanyikan oleh para anggota Giok-hong-pang dan bahwa suaranya cukup merdu.
Selama
hidupnya tidak pernah dia merasa begini gembira, begini bebas, begini lapang
dadanya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pagi seindah itu, secerah itu
sinar keemasan matahari pagi, semerdu itu suara kicau burung dan gemericik air
dari sumber air, secantik itu daun-daun hijau terhias embun pagi dan
bunga-bunga beraneka warna, senyaman itu tarikan napasnya, membawa bau sedap
pohon-pohonan dan keharuman bunga-bunga.
Mengapa
begini? Mengapa setelah melihat pemuda she Bun... dia terkejut dan cepat dia
meloncat bangun pada saat teringat kepada pemuda itu. Tentu pemuda itu telah
bangun! Seperti orang takut kehilangan sesuatu yang amat berharga, In Hong
meloncat dan berlari cepat ke arah kuil, memegangi rambutnya yang masih terurai
lepas sehingga terbang melambai-lambai di belakang tubuhnya ketika dia berlari
cepat.
Dengan
berindap-indap dia memasuki kuil, seolah-olah khawatir kalau-kalau mengejutkan
pemuda itu dan dia menarik napas lega ketika melihat betapa Bun Houw masih
rebah terlentang di atas lantai. Dia lalu duduk dengan perlahan, menyanggul
rambutnya yang menjadi agak kering karena dibawa lari tadi, sambil menatap
wajah pemuda itu.
Betapa dia
sudah hafal akan wajah yang tampan dan gagah itu, wajah agak kurus dan pucat
karena banyak menderita dan hanya makan bubur sedikit setiap hari selama lima
hari ini. Akan tetapi warna gelap sudah lenyap sama sekali dan kini wajah itu
kelihatan makin tampan, ada warna merah sedikit pada pipi dan bibir itu, tanda
bahwa dia sudah sehat benar, hanya tinggal memulihkan tenaga saja.
Hati In Hong
dilanda rasa iba melihat pakaian yang kotor itu, rambut yang kusut serta dua
pundak yang masih dibalut. Ada bekas-bekas darah di pakaiannya dan keadaan
pemuda itu amat mengharukan. Pakaian itu perlu dicuci, pikir In Hong yang sudah
membayangkan betapa dia akan dengan senang hati mencucikan pakaian pemuda itu.
Tiba-tiba In
Hong menghentikan lamunannya lalu memandang dengan penuh perhatian. Jantungnya
berdebar tegang. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya yang kuat seperti tubuh seekor
harimau itu menggeliat dan menegang, akan tetapi pada waktu kedua lengannya
direnggangkan, dia menahan rintihan dan membuka mata karena kedua pundaknya itu
terasa nyeri.
Begitu
membuka mata, bagaikan orang yang baru sadar dari mimpi buruk, Bun Houw bangkit
duduk, menggigit bibir ketika merasa pundaknya kembali nyeri. Dia menoleh ke
kanan kiri, lalu ke arah kaki tangan dan pundaknya, dan kini dia menatap wajah
In Hong yang duduk dengan tenang-tenang saja itu dengan mata penuh selidik.
Seperti teringat sebuah mimpi, Bun Houw mengenal wajah ini yang pernah
dilihatnya secara remang-remang, lalu dia menoleh ke sudut di mana terdapat
panci dan mangkok, ke sudut lain di mana terdapat bekas api unggun dan dia
teringat.
"Kau...
ehh, nona... apakah yang sudah terjadi dengan diriku? Di mana aku sekarang ini
berada...?" tanyanya.
Kesadarannya
membuat dia bingung melihat betapa dia yang tadinya ditawan dan disiksa oleh
dua orang musuh besarnya itu tahu-tahu bisa berada di sini terbebas dari
belenggu dan tubuhnya terasa sehat sama sekali, kecuali rasa nyeri pada kedua
tulang pundaknya yang masih terbalut.
Dengan sikap
dingin, bukan dingin sewajarnya seperti yang sudah menjadi sikapnya sejak kecil
menurut gemblengan gurunya, melainkan sekali ini dingin buatan, seperti orang
acuh tak acuh, seperti orang memandang rendah, In Hong menjawab lirih, "Di
dalam sebuah kuil rusak..." Lalu dia menunduk dan merapikan bajunya,
kemudian merapikan rambutnya yang tadi digelung, dan dipasangnya tusuk konde
burung hong kumala di rambutnya.
Bun Houw
tentu saja melihat betapa cantik jelitanya dara yang duduk di depannya itu,
akan tetapi pada saat itu dia lebih memperhatikan keadaan luar kuil dari
jendela ruangan itu yang terbuka karena hatinya masih diliputi keheranan besar.
Dia melihat pohon-pohon lebat dan tahulah dia bahwa kuil tua ini berada di
tengah hutan.
"Hemmm...
di dalam sebuah kuil tua di tengah hutan. Dan... bagaimana aku bisa berada di
sini? Bukankah tadinya aku berada dalam kamar tahanan di Lembah Bunga
Merah?"
In Hong tak
menjawab, hanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu, sejenak bertaut
dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya. Melihat dara itu tidak menjawab,
timbul pula kecurigaan Bun Houw dan dia lantas menduga-duga. Apakah dara ini
murid Hui-giakang Ciok Lee Kim? Akan tetapi agaknya tidak mungkin, karena jelas
bahwa dara ini memperlakukan dirinya dengan baik, memberi obat dan menyiapkan
bubur!
"Ahhh,
tentu ada yang menolongku keluar dari tempat itu, betapa pun anehnya hal itu,
mengingat bahwa aku tersiksa dan dibelenggu, kedua tulang pundakku dikait
dengan besi kaitan..." Tiba-tiba dia teringat akan bayangan rahasia yang
memiliki gerakan cepat luar biasa, yang telah menyelamatkan dan membebaskan
tiga orang tawanan Lembah Bunga Merah, yaitu tiga murid-murid Bu-tong-pai.
"Nona,
apakah engkau yang telah membebaskan tiga orang anak murid Bu-tong-pai dari
Lembah Bunga Merah?" Dia memandang tajam penuh selidik.
In Hong
mengangkat muka, pada saat pandang matanya bertemu dengan pandang mata penuh
selidik itu, dia merasakan sesuatu yang aneh pada jantungnya. Dia berdebar
malu, dan... bangga! Sungguh dia hampir tidak mengenal diriya sendiri,
perasaannya sendiri, mengapa sekarang menjadi begini aneh? Dia hanya mengangguk
dan menunduk lagi.
"Kalau
begitu... agaknya engkau pula yang telah menolong aku, nona?" pertanyaan
ini diajukan oleh Bun Houw dengan pandang mata penuh keheranan, hampir tidak
percaya.
Mana mungkin
seorang gadis muda seperti ini, yang begini cantik jelita, begini pendiam dan
agaknya pemalu, bisa menolong dia yang telah terbelenggu dan tulang punggungnya
dikait dari tangan lima orang sakti dan anak buah Lembah Bunga Merah?
Akan tetapi
kembali dara itu mengangguk!
Hening
sejenak karena Bun Houw terlalu heran dan terkejut sehingga sampai lama dia
hanya bengong saja memandang wajah dara itu. Kalau yang menolongnya itu
gurunya, Kok Beng Lama misalnya, atau ayahnya dan ibunya sendiri, masih tidak
terlalu aneh. Akan tetapi dara ini!
Dan bukan
hanya menolongnya keluar dari tahanan yang berbahaya itu, malah sudah
menyembuhkannya, padahal dia masih ingat betul betapa dia tersiksa hebat oleh
rasa nyeri dan tahu bahwa dia keracunan, bahkan menurut Hui-giakang Ciok Lee
Kim dia hanya dapat bertahan hidup tiga hari saja! Buktinya sekarang dia sudah
sembuh! Gadis ini pulakah yang menyembuhkannya? Tiba-tiba dia teringat dan
cepat Bun Houw bangkit berdiri ketika dia melihat dara itu yang agaknya merasa
tidak enak dipandanginya terus seperti itu telah bangkit berdiri di dekat
jendela, memandang keluar, membelakanginya.
"Kalau
begitu... aku telah kau tolong, nona. Kau telah menyelamatkan nyawaku...!
Betapa hebat dan besar budimu terhadap diriku, nona. Bagaimana aku harus
mengatakan terima kasihku?" kata Bun Houw gagap karena hatinya terharu,
tahu betul dia betapa bahayanya menolong dia dari lembah maut itu, bahaya yang
hanya dapat ditempuh dengan taruhan nyawa.
"Kenapa
mesti bingung-bingung?" In Hong menjawab tanpa menoleh. "Sudah saja
jangan menyatakan terima kasih, aku tidak membutuhkan itu..."
Bun Houw
menjadi makin bingung. Sikap gadis ini sungguh aneh. Melihat budinya yang
begitu besar, jelas bahwa dara ini adalah seorang yang berhati mulia, akan
tetapi kenapa sikapnya demikian dingin? Jangan-jangan ada maksud tertentu di
balik pertolongannya itu! Akan tetapi, tak mungkin!
"Sudikah
engkau menceritakan bagaimana engkau dapat membebaskan aku dari tahanan itu,
nona?"
In Hong
membalikkan tubuhnya. Karena dia berdiri miring, sinar matahari yang menerobos
masuk dari jendela tua itu menimpa separuh mukanya dan kelihatan cantik bukan
main. Rambut yang baru saja dicuci itu berkilauan, anak rambut banyak yang
bergumpal-gumpal kacau dan awut-awutan di sekitar dahi, pelipis dan leher.
Manisnya sukar dilukiskan!
"Apa
yang dapat diceritakan? Aku melihat engkau ditawan dan disiksa, kemudian aku
menggunakan kesempatan selagi lima orang sakti itu tidak menjagamu, aku
merobohkan semua penjaga, anak buah Lembah Bunga Merah, lalu membawamu ke
sini." Kata-kata yang keluar dari mulut dara itu begitu bersahaja,
seolah-olah menceritakan hal yang biasa saja, demikian penuh kerendahan hati
sehingga Bun Houw menjadi makin terheran-heran dan kagum.
"Akan
tetapi... apakah tidak ada di antara mereka yang merintangimu?"
In Hong
mengangguk. "Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw menghadangku, akan tetapi
aku dapat melewati mereka dengan selamat."
Bun Houw
terbelalak. Kakek dan nenek pertapa itu lihai bukan main, dan tentu dara ini
memanggulnya pada saat melarikan dia, akan tetapi toh sanggup membebaskan diri
dari mereka. Bukan main!
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
Cepat dia
menjura dengan penuh hormat yang dibalas oleh In Hong dengan kaku dan
sembarangan. "Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita
yang amat lihai! Sungguh beruntung sekali, karena tanpa pertolonganmu aku tentu
tewas di tangan mereka. Terimalah ucapan terima kasihku yang sedalam-dalamnya,
nona."
Melihat
pemuda itu kembali menjura dengan hormat, In Hong membalas dan berkata,
"Sudah kukatakan, aku tidak membutuhkan terima kasih."
"Dan
aku telah keracunan, Toat-beng-kauw Bu Sit menusukkan jarum mengandung racun
kelabang hitam di tengkukku, sakitnya bukan main, seperti ribuan ekor semut
menggigit dari dalam tubuhku, sampai aku tidak tahan... dan... aku tidak
berdaya, tulang pundakku dikait baja pengait dan Hui-giakang Ciok Lee Kim
mengatakan bahwa aku hanya dapat hidup tiga hari lagi saja. Akan tetapi
sekarang..." Bun Houw memandang kaki tangan dan pundaknya, "sama
sekali tak ada bekas-bekasnya lagi! Agaknya engkau pula yang telah menyembuhkan
aku dari ancaman racun kelabang hitam itu, nona?"
"Bukan
aku, melainkan Yok-mo. Aku pergi ke puncak Gunung Cemara di mana tinggal
Yok-mo, ahli obat gila. Aku memaksa dia memberikan obat untukmu dan ternyata
kau sembuh."
"Dan
nona meninggalkan aku di sini ketika pergi mencari obat?"
"Tidak,
tiga anak murid Bu-tong-pai menjagamu di sini. Sesudah aku kembali membawa
obat, baru mereka pulang ke Bu-tong-pai."
"Aihhhh...
dua kali engkau menyelamatkan nyawaku, nona!" Kembali Bun Houw menjura
dengan terheran-heran dan kagum sekali.
"Sudahlah,
capek aku kalau terus menerus harus membalas penghormatanmu!" In Hong
mengomel dan cemberut, akan tetapi sesungguhnya belum pernah dia merasa
demikian girang hatinya.
"Sungguh
hebat... sungguh mengherankan sekali... engkau yang masih begini muda...
bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia dan terhormat, nona?"
"Hemmm,
pertemuan antara kita hanya kebetulan saja. Aku hanya tahu engkau seorang she
Bun, dari percakapan mereka di Lembah Bunga Merah. Biarlah aku mengenalmu
sebagai orang she Bun, dan engkau tidak perlu mengetahui namaku..."
"Aihh,
mengapa begitu, nona?" Bun Houw bertanya dengan heran lagi.
Diam-diam
dia pun tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia tahu betapa bahayanya kalau
namanya dikenal orang, apa lagi kalau sampai dikenal oleh Lima Bayangan Dewa,
sedangkan nona jelita ini begini aneh dan penuh rahasia.
"Habis,
bagaimana aku harus mengingatmu, harus memanggilmu, kalau aku tidak tahu
namamu, nona?"
In Hong
tereenyum. "Jangan mengingat, jangan memanggil..."
Melihat
sikap yang dingin, kata-kata yang singkat ini, Bun Houw menjadi khawatir sekali
kalau-kalau penolongnya itu marah. Maka dia segera membelokkan percakapan dan
dia bertanya, "Aku sudah tidak memiliki harapan ketika ditusuk jarum
beracun itu, akan tetapi buktinya aku sembuh, sungguh hebat obat itu, bagaimana
macamnya dan bagaimana pula cara kerjanya ketika engkau mengobatiku,
nona?"
"Aku
menerima sembilan butir pil hitam dari Yok-mo. Ketika engkau menelan pil
pertama sampai ke enam, setiap kali menelan pil hitam itu kau muntah darah
hitam yang berbau busuk, akan tetapi mulai dengan pil ke tujuh engkau tidak
muntah lagi."
"Aihh...
sungguh menjijikkan... akan tetapi mengapa lantai ini bersih?"
"Aku
sudah membersihkannya setiap kali kau muntah..."
"Ahh...!
Dan nona merawatku, menjagaku, memberi obat, menyuapkan bubur selama tiga hari
tiga malam... dan..."
Serasa
hampir meledak jantung di dalam dada In Hong melihat pemuda itu menatapnya
dengan mata terbelalak penuh keharuan, penuh rasa syukur dan terima kasih.
"Sudahlan,
pakaianmu kotor, mari... mari... kucucikan... dan kau dapat mandi di sumber air
di dalam hutan..."
Mata yang
sudah terbelalak itu semakin terbelalak berisi penuh dengan sinar keharuan,
kekaguman dan kini bahkan bercampur dengan keheranan. "Apa? Nona... nona
hendak... mencucikan pakaianku...? Ahh, tidak..."
"Mengapa
tidak?" Sikap In Hong biasa saja. "Aku seorang wanita, sudah biasa
mencuci pakaian..."
"Tidak,
tidak boleh nona begitu merendahkan diri. Di mana sumber air itu? Aku akan
membersihkan tubuh dan pakaian ini..."
In Hong
menudingkan telunjuknya dan Bun Houw cepat bangkit lalu melangkah lebar ke
dalam hutan. Pundaknya masih terasa nyeri sedikit kalau dia terlalu keras
menggerakkan kedua tengannya.
Setelah tiba
di sumber air, dia menanggalkan pakaiannya, membersihkan tubuhnya dan tubuhnya
terasa segar kembali. Dia merendam tubuh di dalam air, lalu mengumpulkan hawa
murni, mempergunakan sinkang-nya untuk melancarkan jalan darah dan dengan
kekuatan sinkang-nya ini dia dapat melindungi tulang-tulang pundaknya.
Untung bahwa
di dalam sakunya masih terdapat obat lukanya yang mujarab pemberian ayahnya.
Maka dia segera membuka balutan pundaknya, lalu memberi obat luka setelah
mencucinya bersih, membalutnya kembali setelah dia mandi sampai bersih.
Kemudian dia
baru mencuci pakaiannya, memeras air dengan kekuatan besar sehingga sebentar saja
pakaian itu hampir kering karena semua air dapat diperasnya keluar. Dia
menjemur pakaian ini di atas batu dan sambil menanti keringnya pakaian itu, dia
kembali bersemedhi mengumpulkan hawa murni. Tidak lama kemudian, tenaganya
pulih kembali dan ketika dia menggerakkan kedua lengan, rasa nyeri di pundak
hanya tinggal sedikit. Akan tetapi perutnya terasa lapar bukan main.
Kurang lebih
dua jam kemudian, dia kembali ke kuil dengan baju dan pakaian bersih, juga
sudah kering. Baru saja nampak dinding kuil itu, hidungnya sudah mencium bau
sedap yang membuat perutnya terasa semakin lapar.
Dia
mempercepat langkahnya dan... di depan kuil itu, di bawah pohon, nampak dara
itu sedang memanggang seekor ayam hutan yang gemuk sekali, ada pun dari panci
bekas tempat air itu kelihatan nasi mengepul panas. Bun Houw berdiri memandang,
menelan ludahnya dua kali.
"Kau
sudah selesai?" In Hong menengok dan sejenak pandang mata mereka bertemu.
Gadis itu menunduk dan di lehernya menjalar warna merah terus ke kepalanya,
kemudian terdengar suaranya tanpa dia mengangkat muka. "Tadi aku berhasil
menangkap seekor ayam..."
Bun Houw
tidak menjawab, hanya memandang dara itu, hatinya diliputi keheranan besar.
Sungguh amat sulit untuk mengerti watak dan sifat wanita cantik ini pikirnya.
Masih begitu muda, tentu lebih muda darinya, namun sudah memiliki kepandaian
yang sangat hebat, sungguh pun dia belum menyaksikan sendiri, tapi dari caranya
menolong dia dari Lembah Bunga Merah saja sudah dapat diduga bahwa
kepandaiannya tentu hebat sekali.
Kadang-kadang
wanita ini demikian dingin dan tak acuh, sehingga agaknya sama sekali tak mau
saling berkenalan, tidak mau memperkenalkan nama dan tidak pula menanyakan
namanya, padahal wanita ini sudah mempertaruhkan nyawa untuk monolongnya,
bahkan selama tiga hari tiga malam merawatnya sedemikian rupa! Akan tetapi ada
pula saat-saat tertentu wanita itu kelihatan begitu lemah lembut, seperti
sekarang ini, sama sekali tidak patut menjadi seorang wanita kang-ouw yang
perkasa dan aneh sekali.
"Kau
tentu lapar sekali..."
Bun Houw
sadar dari lamunannya, sadar betapa semenjak tadi dia hanya berdiri bengong
memandang dara itu yang sedang memanggang daging ayam.
"Ohh,
lapar...? Lapar sekali...! Dan panggang ayam itu begitu sedap!"
"Kalau
begitu, mari kita makan. Ayam ini lebih enak dimakan panas-panas sebagai teman
nasi. Sayang tidak ada arak..."
"Ahh,
itu sudah cukup, nona. Air pun sudah cukup menyegarkan," jawab Bun Houw
yang lalu duduk di dekat dara itu.
Mereka lalu
makan nasi dan panggang daging ayam, tidak menggunakan sumpit karena memang
tidak ada, hanya menggunakan lima batang sumpit alam alias lima jari tangan
kanan. Nasinya mengepul panas, daging ayam panggang juga masih mengepul panas,
empuk dan gurih, ditambah kesunyian di pagi indah itu, hadirnya mereka berdua,
perut lapar, semua ini membuat nasi dan daging ayam menjadi lezat bukan main.
Dalam waktu
pendek saja habislah semua nasi beserta daging ayam memasuki perut mereka,
tidak ada ketinggalan sebutir pun nasi dan secuil pun daging. Bun Houw
menjilati jari-jari tangannya yang terbalut gajih panggang ayam dan In Hong
memandang sambil menabur senyum.
Satu di
antara kelemahan wanita adalah, selain senang dipuji-puji tentang
kecantikannya, juga senang dipuji-puji mengenai kelezatan hasil masakannya!
Sekarang, ketika melihat Bun Houw menjilati jari-jari tangannya, In Hong merasa
mendapat pujian yang jauh lebih mengesankan dari pada kata-kata.
"Kau
belum kenyang? Masih kurang?" tanyanya lirih, tersenyum dan tampak deretan
gigi mutiara.
Bun Houw
tertawa. "Makan sesedap ini, agaknya aku tak akan mengenal kenyang. Akan
tetapi sementara ini cukuplah, dan terima kasih." Dia kemudian minum air
tawar dengan segarnya.
"Beras
yang ditinggalkan oleh para murid Bu-tong-pai tinggal itu, aku belum sempat
pergi membeli ke dusun."
Kembali Bun
Houw tersenyum. Percakapan di antara mereka itu seolah-olah percakapan dua
orang sahabat lama yang hidup bersama di suatu tempat. Setelah mencuci tangan
dan mulut, dia lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Nona,
setelah semua yang kau lakukan untukku, setelah kau menyelamatkan nyawaku
dengan mempertaruhkan keselamatanmu sendiri..."
"Cukup,
aku tidak mau bicara tentang itu...," In Hong memotong.
Bun Houw
menunduk. Melihat wajah nona ini ketika itu, dia menduga bahwa di samping semua
keanehannya, gadis ini mempunyai kekerasan hati yang luar biasa. Sebaliknya,
melihat pemuda itu menunduk dan tidak berani bicara lagi, In Hong merasa
kasihan dan sadar bahwa dia terlalu keras.
Betapa pun
juga, tidak aneh kalau pemuda ini amat berterima kasih kepadanya dan ingin
membicarakan tentang pertolongan itu. Akan tetapi justru dia tidak mau
membicarakan urusan itu, karena pertolongannya itu memang terasa aneh olehnya
sendiri, mengapa dia mau begitu bersusah payah untuk pemuda ini. Kejanggalan
ini membuat dia merasa malu sendiri sehingga dia tidak ingin lagi
membicarakannya. Akan tetapi, melihat pemuda itu bingung dan kecewa, dia lalu
ingin membicarakan lain dari pada pertolongan itu sendiri.
"Kenapa
engkau begitu nekat, menentang lima orang yang mempunyai kepandaian tinggi itu
sehingga engkau ditawan dan disiksa?" tiba-tiba In Hong bertanya.
Bun Houw
memandang dan hatinya merasa gembira lagi. Kiranya dara ini bukan marah atau
bersikap dingin, hanya agaknya tidak mau menyinggung mengenai pertolongan itu,
Betapa rendah hati, tidak ingin menonjolkan jasa, pikirnya.
Dia belum
mengenal dara ini, sungguh pun dia sudah percaya sepenuhnya, namun tidak baik
kalau dia memperkenalkan diri dan menceritakan urusan pribadinya. Maka dia lalu
menarik napas panjang dan menjawab, "Yang menjadi gara-gara adalah
lenyapnya tiga orang murid Bu-tong-pai yang kau tolong itu. Ketika mereka
ditawan dan hendak dibunuh, Liok-twako mencegah dan memperingatkan mereka
supaya tidak menanam permusuhan dengan Bu-tong-pai..."
"Siapa
itu Liok-twako?"
"Dia
adalah Kiam-mo Liok Sun, dia... ehh, majikanku..."
"Yang
datang bersamamu? Aku hanya mendengar bahwa engkau orang she Bun adalah
pengawal pribadinya."
"Karena
mencegah itulah, setelah tiga orang murid Bu-tong-pai melarikan diri,
Liok-twako dicurigai dan akhirnya dibunuh. Sebagai... ehh, pengawalnya, tentu
aku melawan dan aku lalu ditawan dan disiksa."
"Orang
she Liok itu dibunuh, akan tetapi mengapa engkau ditawan dan disiksa pula? Apa
yang mereka kehendaki?"
"Mereka
memaksa aku mengaku siapa yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai dan apa
maksud kedatangan Liok-twako di Lembah Bunga Merah."
"Ataukah
karena perempuan-perempuan hina itu hendak memaksamu melayani semua bujuk rayu
mereka?"
Bun Houw
memandang dengah mata terbelalak, "Kau... kau tahu pula akan hal
itu?"
"Aku
tahu penolakanmu terhadap murid-murid Ciok Lee Kim yang tak tahu malu itu, juga
terhadap nenek cabul itu sendiri, dan mungkin karena itulah aku membebaskanmu
dari tahanan."
"Dua
orang wanita murid Ciok Lee Kim itu telah tewas di tanganku, sayang bahwa aku
tak sempat membunuh gurunya. Akan tetapi, aku akan mencari mereka! Aku akan
mencari Ciok Lee Kim serta teman-temannya, terutama sekali dia sendiri dan Bu
Sit, dua orang yang menyiksaku. Kalau bertemu, mereka harus tewas di
tanganku!"
Bun Houw
teringat akan penyiksaan itu dan timbul kemarahannya, otomatis tangannya meraba
pinggang dan tampaklah sinar kilat berkelebat ketika dia tahu-tahu telah
melolos pedangnya, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Pedang ini dia dapatkan dari
gurunya, sebatang pedang pusaka yang terbuat dari baja murni, tipis sekali
sehingga dapat digulung dan dibuat menjadi sabuk pinggang, maka senjata ini
tidak ketahuan dan tidak terampas oleh musuh-musuhnya.
"Aihhh,
pedang yang bagus!" In Hong berseru memuji. "Boleh aku
melihatnya?"
Bun Houw
menyerahkan pedangnya. In Hong menerima kemudian menggerak-gerakkan pedang
sampai berbunyi berdesing dan berubah menjadi kilat. Dia kembali memuji, lalu
menimang-nimang pedang dan memeriksanya. Pada waktu melihat ukiran gambar
burung hong di dekat gagang pedang, dia memuji lagi.
"Sama
benar dengan ini...!" Dia meloloskan hiasan rambutnya yang berupa burung
hong kumala, lalu membandingkan burung hong kumala itu dengan lukisan burung
hong pada pedang Hong-cu-kiam.
"Apanya
yang sama, nona?" Bun Houw tentu saja merasa bingung dan tidak mengerti.
Bagaimana sebatang pedang dipersamakan dengan sebuah hiasan rambut wanita?
"Burung
hong-nya yang sama. Indah bukan main pedangmu ini...!" In Hong
menggerakkan pedang itu dan Bun Houw menjadi kagum.
Memang
sungguh tepat dugaannya. Dara ini bukan sembarang ahli silat. Dari cara dia
menggerakkan pedang saja sudah dapat dikenal sebagai seorang ahli pedang yang
lihai.
"Sing-sing-wirrrrr...
crakk!"
Sebatang
pohon sebesar paha manusia yang berdiri dalam jarak jauh langsung roboh hanya
tersambar hawa pedang yang digerakkan dengan sinkang yang amat kuat.
"Bukan
main...! Engkau lihai sekali, nona...!" Bun Houw memuji karena dia maklum
bahwa hanya seorang yang memiliki sinkang amat kuat saja mampu merobohkan pohon
hanya dengan sinar pedang.
In Hong
menimang-nimang pedang itu, juga meraba-raba mata pedang yang amat tajam.
"Hemmm... pedang ini yang lihai..."
Saking
kagumnya dan senang hatinya, lantas terloncat saja ucapan dari mulut Bun Houw.
"Kalau nona suka, biarlah pedang Hong-cu-kiam ini kupersembahkan kepadamu,
nona."
In Hong
terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Apa?"
"Nona
telah..." Dia teringat dan tidak mau mengulangi tentang pertolongan itu,
maka dia melanjutkan, "...kita telah menjadi kenalan, bukan? Karena itu,
dengan hormat aku ingin menyerahkan pedang Hong-cu-kiam itu padamu. Pedang itu
ringan dan lemas, memang lebih tepat dipergunakan oleh wanita, pula dapat
dipakai sebagai ikat pinggang..."
Wajah In
Hong berseri dan tangannya masih membelai pedang itu dengan rasa sayang, akan
tetapi pandangan matanya kepada Bun Houw masih ragu-ragu dan penuh selidik.
Melihat wajah pemuda itu yang terbuka dan polos, dengan pandang mata yang tajam
dan membayangkan kejujuran, dia lalu berkata, "Apakah dengan tulus
ikhlas...?"
"Tentu
saja nona, dengan sepenuh hatiku yang tulus ikhlas."
"Terima
kasih...!" In Hong kelihatan girang sekali.
Dia lalu
memakai pedang Hong-cu-kiam itu sebagai ikat pinggangnya, kemudian ditutupi
jubahnya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu meraba-raba pedangnya, akan
tetapi tidak jadi diambil dan dia pun berkata,
"Pedangku
ini hanya pedang biasa, sama sekali tak pantas untuk ditukar dengan pedang
pusaka seperti Hong-cu-kiam, akan tetapi ini... Giok-hong-cu (burung hong
kumala) ini tak pernah terpisah dari aku semenjak aku kecil sehingga bagiku
merupakan benda pusaka. Biarlah kuberikan ini kepadamu, Bun-twako (kakak
Bun)." Dia menyerahkan burung hong kumala itu kepada Bun Houw.
Bun Houw
terkejut dan seketika mukanya menjadi merah sekali, jantungnya berdebar. Dia
merasa seolah-olah ada sesuatu yang amat aneh dalam tukar-menukar benda pusaka
ini! Akan tetapi karena maklum akan keanehan watak wanita ini yang agaknya
pasti akan merasa tersinggung dan terhina apa bila dia menolaknya, dia segera
menerimanya dan memandangi perhiasan rambut itu dengan kagum.
"Sebuah
perhiasan yang indah sekali... terima kasih, nona. Sekarang kita benar-benar
sudah menjadi sahabat, bukan?" Bun Houw bertanya sambil menatap wajah yang
cantik jelita dan gagah itu.
In Hong
balas memandang, tersenyum dan mengangguk. Sejak pertama kali melihat Bun Houw
marah-marah serta menolak bujuk rayu kedua orang murid wanita yang genit itu,
hatinya sudah kagum dan tertarik sekali. Kini, setelah pemuda itu siuman dari
pingsannya dan sembuh, dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar
tidak sama seperti kaum lelaki seperti yang disangkanya semula, yaitu seperti
yang sering kali dibicarakan oleh gurunya dan para anggota Giok-hong-pang,
yaitu mata keranjang, cabul, pengganggu wanita dan pengrusak kehidupan wanita.
Pemuda ini tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar, mata keranjang dan
sama sekali tidak pernah mengganggunya.
"Setelah
kita menjadi sahabat, apakah engkau masih juga tidak percaya kepadaku dan tidak
mau memperkenalkan namamu kepadaku?"
In Hong
meraba pedang Hong-cu-kiam di pinggangnya lalu memandang perhiasan burung hong
kumala di tangan pemuda itu, kemudian berkata "Pedang Hong-cu-kiam kau
berikan kepadaku dan perhiasan Giok-hong-cu sudah kuberikan kepadamu, keduanya
merupakan lambang burung hong. Karena itu, biarlah aku mengenalmu sebagai
Bun-twako dan kau mengenalku sebagai Hong."
"Hong
saja? Apakah namamu Hong?"
In Hong
mengangguk.
Bun Houw
tidak berani mendesak lagi. "Baiklah, Hong-moi (adik Hong), memang apakah
artinya nama? Persahabatan adalah antara pribadi, bukan antara nama! Tentu
tidak perlu pula aku menceritakan riwayatku atau mendengar riwayatmu,
bukan?"
In Hong
mengangguk dan Bun Houw menarik napas panjang. Dia mulai tertarik sekali akan
pribadi nona ini yang sangat aneh, seakan-akan hendak merahasiakan dirinya dan
seolah-olah tidak suka berurusan dengan orang-orang lain. Bagaimana pun juga,
di balik sikap dingin dan tidak pedulian itu, dia tahu bahwa pada dasarnya dara
ini mempunyai kegagahan luar biasa dan memiliki jiwa pendekar penentang
kejahatan, juga mempunyai sifat-sifat yang budiman dan mulia.
"Kalau
begitu, agaknya engkau tidak keberatan untuk mengatakan ke mana tujuanmu
sekarang? Kau hendak pergi ke mana, Hong-moi?"
In Hong
termenung. Pertanyaan itu dengan tepat mengenai hatinya sehingga dia menjadi
bingung. Hendak ke manakah dia pergi? Apakah tujuan hidupnya? Tidak ada! Tidak
ada ketentuan!
"Aku
seperti seekor burung di udara," katanya sambil memandang seekor burung
dada kuning yang beterbangan dari dahan ke dahan, mencari-cari ulat di antara
daun-daun hijau. "Entah ke mana aku hendak pergi, aku sendiri pun tidak
tahu, Bun-ko."
Bun Houw termenung
juga, heran mendengar jawaban yang sangat aneh ini. "Apakah engkau tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap, Hong-moi?"
Dara itu
menggelengkan kepala.
"Tidak
mempunyai keluarga?"
Kembali
gelengan kepala.
"Tidak
mempunyai orang tua?"
In Hong
menggeleng lagi, pandang matanya masih mengikuti burung dada kuning yang telah
mendapatkan seekor ulat gemuk yang kini dipatuknya dan dibanting-bantingnya ke
atas ranting pohon.
"Ahhhh...!"
Bun Houw berseru penuh perasaan haru.
"Kenapa?"
In Hong menoleh dan memandangnya, memandang tajam.
"Kasihan
kau, Hong-moi."
"Mengapa
kasihan? Kasihankah engkau kepada burung itu?" In Hong membuang muka.
"Sudahlah, aku tidak mempunyai tujuan tertentu, akan tetapi engkau sendiri
hendak ke manakah, Bun-ko?"
"Yang
jelas, aku akan pergi ke Lembah Bunga Merah!"
"Hemm...
kau hendak membalas dendam kepada mereka? Berbahaya sekali, Bun-koko, mereka
itu lihai."
"Aku
tidak peduli, aku harus membalas penghinaan dan penyiksaan mereka itu, terutama
kepada dua Bayangan Dewa itu."
"Dua
Bayangan Dewa? Kau tahu itu?"
"Aku
mendengar dari Liok-twako bahwa Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu
Sit adalah dua orang di antara Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu."
"Hemm...
aku pun akan ke sana, twako."
"Apa?
Apakah hubunganmu dengan mereka?"
"Aku
pun ingin mencari Lima Bayangan Dewa."
Bun Houw
terkejut sekali. "Kenapa?"
"Tidak
apa-apa. Aku pernah mendengar bahwa mereka sudah mencuri pedang Siang-bhok-kiam
dari Cin-ling-pai."
"Hemmm...
aku pun mendengar itu. Lalu bagaimana kalau begitu?"
"Aku
ingin merampas pedang itu, aku mendengar bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah
pedang pusaka yang amat hebat dan dahulu pernah diperebutkan oleh para datuk
dunia persilatan. Aku ingin merampasnya..."
"Untuk apa,
moi-moi?"
"Untuk
apa? Mungkin kelak kukembalikan kepada ketua Cin-ling-pai." In Hong
kemudian teringat akan kunjungannya ke Cin-ling-pai. "Aku... sekali waktu
aku pasti akan pergi ke Cin-ling-san dan aku akan mengembalikan pedang itu
kepada Cin-ling-pai kalau ternyata aku berhasil merampasnya."
"Engkau
aneh sekali, Hong-moi. Tanpa alasan engkau hendak merampas pedang itu dari
tangan Lima Bayangan Dewa. Apakah itu tidak amat berbahaya?"
"Justru
karena berbahaya aku menempuhnya. Lima Bayangan Dewa itu, apa bila melihat yang
dua ini, pastilah orang-orang jahat. Kalau aku tidak merampas kembali pedang
itu, mereka akan menjadi sombong, mengira bahwa tidak ada orang berani terhadap
mereka setelah mereka menggegerkan dunia kang-ouw dengan serbuan mereka ke
Cin-ling-pai."
"Kalau
begitu, mari kita sama-sama pergi ke Lembah Bunga Merah, Hong-moi."
In Hong
mengangguk, maka berangkatlah pasangan muda-mudi ini meninggalkan kuil itu. Di
tengah perjalanan, tiba-tiba In Hong berhenti.
"Bun-ko,
bagaimana dengan kedua pundakmu?"
Bun Houw
menggerakkan kedua tangannya, mengayun-ayunkan kedua lengannya. Tidak terasa
nyeri lagi.
"Sudah
sembuh sama sekali, Hong-moi," katanya.
"Akan
tetapi masih berbahaya kalau bertemu dengan lawan tangguh, dan mereka itu amat
lihai. Karena itu, kalau tiba di sana, biarkan aku yang turun tangan, kau boleh
lihat saja, twako."
Bun Houw
tersenyum dan mengangguk. Mereka kembali melanjutkan perjalanan dan In Hong
menggunakan ilmunya berlari cepat. Bun Houw tak ingin menonjolkan diri sehingga
menimbulkan kecurigaan kepada dara itu. Bukankah dia hanya dikenal sebagai
seorang pengawal pribadi Liok Sun yang tentunya hanya mempunyai kepandaian
silat biasa saja? Karena itu dia pura-pura mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi
kecepatan dara itu, akan tetapi dengan terengah-engah dia tertinggal jauh.
"Aihhh...
Hong-moi, harap jangan berlari terlalu cepat...!"
In Hong yang
memang hanya ingin mengukur kepandaian pemuda itu lalu memperlambat larinya dan
diam-diam dia tahu bahwa pemuda yang bernyali besar ini sama dengan mengantar
kematian bila ingin mencari lima orang di Lembah Bunga Merah yang berilmu
tinggi itu.
Maka
diam-diam dia mengambil keputusan untuk melindungi pemuda ini, yang di samping
tenaganya belum pulih serta pundaknya baru saja sembuh, juga tingkat
kepandaiannya masih terlampau rendah untuk menghadapi lawan-lawan tangguh
seperti Lima Bayangan Dewa dan sekutu-sekutunya.
"Pedangku
ini biar pun bukan pedang pusaka, akan tetapi terbuat dari baja yang cukup
baik. Kau bawalah pedangku ini untuk menjaga diri, Bun-ko!" In Hong
berkata kemudian menyerahkan pedangnya. "Aku sendiri sudah mempunyai
Hong-cu-kiam."
Bun Houw
tidak mau membantah sungguh pun sebetulnya untuk menghadapi lawan yang betapa
tangguh pun, dia tidak begitu membutuhkan senjata. Kalau tempo hari dia sampai
bisa dirobohkan dan ditawan, hal itu adalah akibat kenekatan Ai-kiauw. Dia
mengucapkan terima kasih dan menggantungkan pedang itu dipinggangnya...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment