Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 17
PADA waktu
mereka sampai di daerah Lembah Bunga Merah, suasana di sana sunyi saja dan
mereka cepat memasuki daerah itu menuju ke perkampungan yang menjadi sarang
Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya. Akan tetapi di dalam
bangunan-bangunan ini pun sunyi tidak kelihatan ada manusianya.
"Hati-hati,
mungkin mereka bermaksud hendak menjebak kita!" Bun Houw berkata dan In
Hong mengangguk.
Bun Houw
mencabut senjatanya karena kalau tidak dia khawatir gadis itu akan menjadi
curiga akan ketenangannya. Dengan berindap mereka memasuki ruangan depan rumah
besar yang tadinya dihuni oleh Ciok Lee Kim dan di mana dia menjamu para
tamunya.
"Ada
orang-orang mengepung kita... " In Hong berbisik. Tentu saja Bun Houw juga
sudah dapat menangkap gerakan orang-orang itu akan tetapi dia diam saja.
"Awas
senjata rahasia...!" In Hong berseru dan dara ini cepat meloncat untuk
melindungi Bun Houw.
Akan tetapi
anak panah dan senjata-senjata rahasia yang bagaikan hujan itu datang dari
empat penjuru. In Hong menangkisi senjata-senjata rahasia itu dengan hawa
pukulan dari kedua tangannya, sedangkan Bun Houw dengan ‘sibuknya’ menangkisi
dengan pedang di tangan yang diputar-putarnya. Sampai habis senjata-senjata
rahasia itu, Bun Houw masih memutar-mutar pedang.
"Bersiaplah,
Bun-ko, biar aku melindungimu, mereka tentu akan muncul." In Hong yang
merasa geli melihat bagaimana pemuda itu memutar-mutar pedang, memegang lengan
pemuda itu dan dia berdiri melindungi Bun Houw.
Benar saja,
dari empat penjuru muncul belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah dengan
segala macam senjata di tangan. Melihat Bun Houw, mereka terkejut bukan main,
maklum bahwa pemuda yang pernah ditawan dan disiksa ini memiliki kepandaian
tinggi. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja terluka parah, bahkan dua
tulang pundak juga dikait, mereka kini memandang rendah. Juga mereka memandang
rendah kepada gadis muda cantik yang datang bersama pemuda itu.
"Ha-ha-ha,
kau sudah berhasil lolos kini kembali lagi hendak mengantar kematian?"
teriak seorang di antara mereka yang berhidung besar terhias kumis kecil.
"Toanio tentu akan senang sekali. Hayo kawan-kawan, lekas tangkap tikus
ini!"
Dua belas
orang itu menyergap ke depan.
"Bun-ko,
biarkan aku membereskan mereka!" In Hong berseru dan tubuhnya berkelebat
cepat sekali, bagai halilintar menyambar-nyambar dan terdengarlah pekik-pekik
kesakitan.
Bun Houw
hanya berdiri menonton dan diam-diam dia pun terkejut. Dia dapat menduga bahwa
gadis yang bernama Hong ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak
pernah disangkanya akan selihai itu. Gerakannya sungguh aneh sekali, gerakan
ilmu silat yang sama sekali tak dikenalnya, akan tetapi kecepatannya belum
tentu kalah oleh dia sendiri.
Jari-jari
tangan yang halus itu seolah-olah berubah menjadi baja-baja yang ampuh. Setiap
tamparan pasti membuat lawan terguling roboh, setiap tangkisan membuat lengan
lawan patah-patah sehingga dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu sudah
roboh semua, merintih-rintih dan mengaduh-aduh!
"Mari
kita cari mereka!" In Hong berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri
bengong, memegang tangan pemuda itu dan menariknya ke dalam.
Mereka hanya
mendapatkan bangunan kosong. Biar pun In Hong sudah mengajak Bun Houw
menggeledah dan memeriksa di seluruh perkampungan itu, namun tidak menemui lima
orang sakti yang mereka cari. Dengan penasaran In Hong lalu mengajak Bun Houw
kembali ke ruangan depan di mana dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah
itu masih rebah malang-melintang dan mengeluh kesakitan.
"Hayo
katakan di mana adanya nenek cabul Ciok Lee Kim dan teman-temannya!" In
Hong membentak sambil mendekati seorang yang patah-patah tulang lengannya.
Orang itu
nampak ketakutan, berlutut sambil merintih-rintih. "Ampunkan kami,
lihiap... ampunkan kami... Ciok-toanio dan yang lain telah pergi dua hari yang
lalu... meninggalkan kami dua belas orang menjaga di sini..."
"Ke
mana mereka pergi?" In Hong membentak lagi.
"Tidak...
tidak... tahu..."
"Keparat,
kalian layak mampus!" In Hong mengangkat tangan.
Akan tetapi
tiba-tiba Bun Houw berkata, "Hong-moi, nanti dulu..."
In Hong
menurunkan kembali tangannya dan menoleh, Bun Houw lalu menghampiri orang itu.
"Srattttt...!"
Dicabutnya pedang In Hong yang diberikan kepadanya itu dan dengan sikap
mengancam dia menempelkan mata pedang di leher orang itu.
"Hayo
lekas kau mengaku terus terang, ke mana perginya Hui-giakang Ciok Lee Kim dan
Toat-beng-kauw Bu Sit! Kalau engkau tidak mau mengaku, pedang ini akan
memenggal lehermu dan leher semua orang di sini!"
"Ampunkan
kami... taihiap, ampunkan kami..." Dua belas orang itu meminta-minta dan
salah seorang di antara mereka lalu berkata, "Ciok-toanio dan yang lain-lain
tentu pergi mengunjungi tempat tinggal Phang-loya (tuan besar Phang)..."
"Hemmm,
kau maksudkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok?" Bun Houw membentak.
"Benar...
benar, taihiap..."
"Di
mana tempat tinggalnya?"
"Di
dusun Ngo-sian-chung, di lembah muara Sungai Huang-ho..."
"Hayo
katakan yang jelas, di mana tempat itu!"
"Benar...
taihiap... di sebelah timur kota Cin-an... kurang lebih dua puluh lima li
jauhnya... saya tidak membohong..."
Bun Houw
mengangguk girang. Kiranya dua orang Bayangan Dewa itu pergi ke tempat tinggal
orang pertama dari Lima Bayangan Dewa! Alamat orang tertua dari Lima Bayangan
Dewa itu saja sudah merupakan keterangan yang amat penting baginya.
"Mari
kita menyusul mereka, Hong-moi."
"Tetapi...
lebih baik kita bunuh dulu mereka ini!" In Hong berkata dan kembali
tubuhnya bergerak. Akan tetapi lengannya sudah dipegang oleh Bun Houw.
"Jangan,
Hong-moi. Mereka tidak perlu dibunuh."
In Hong
mengerutkan alisnya, sejenak mereka saling berpandangan sehingga Bun Houw
merasa betapa sinar mata gadis itu berapi-api penuh kemarahan dan kebencian,
amat mengerikan hatinya. Akan tetapi dia memandang dengan tenang. menentang
pandangan mata yang berapi-api itu. Perlahan-lahan api di dalam mata itu
mengecil dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya, merenggutkan lengannya
kemudian melompat keluar dan meninggalkan ruangan itu.
Bun Houw
segera meloncat keluar mengikutinya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, mereka
meninggalkan Lembah Bunga Merah. In Hong berjalan sambil menundukkan mukanya.
Bun Houw berjalan di sebelahnya. Sampai lama mereka tidak mengeluarkan
kata-kata.
Tiba-tiba In
Hong berhenti melangkah. Bun Houw juga berhenti. In Hong mengangkat muka
memandang, alisnya berkerut. "Mengapa engkau tadi menghalangi aku membunuh
mereka? Mengapa engkau berani menghalangi aku?"
Bun Houw
memandang heran. "Moi-moi, mereka tidak perlu dibunuh."
"Heran
aku, mengapa aku mau menuruti permintaanmu? Belum pernah ada yang berani
menghalangi kehendakku. Hayo katakan, kenapa mereka tidak perlu dibunuh?"
Diam-diam
Bun Houw bergidik. Gadis aneh dan agaknya gadis ini biasanya tidak pernah mau
memberikan ampun kepada musuh-musuhnya dan kalau dia membayangkan betapa gadis
itu tadi hendak membunuh dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu
dengan darah dingin, begitu saja, dia bergidik ngeri.
"Hong-moi
sebelum aku menjawab, lebih dahulu katakanlah, apakah engkau tadi hendak
membunuh mereka karena engkau membenci mereka?"
"Tentu
saja! Aku benci mereka, dan… dan sepatutnya mereka dibunuh!"
"Hong-moi,
karena itulah aku tadi mencegahmu. Di antara kita dan mereka itu tidak ada
permusuhan langsung, mereka hanyalah orang-orang yang mentaati perintah
pemimpin mereka. Dan pula, kita harus turun tangan menghadapi siapa pun dengan
dasar membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Apabila hati kita
dikuasai oleh kebencian, mungkin kita akan membunuh orang yang tidak bersalah
hanya berdasarkan perasaan benci itu."
In Hong
masih mengerutkan alisnya, seakan-akan dia tidak mempedulikan kata-kata itu.
"Baiklah, lain kali harap kau tidak mencegah aku lagi. Sekarang kita
hendak ke mana?"
"Aku
akan menyusul mereka ke Ngo-sian-chung. Dan kau...?"
"Aku
pun akan mencari mereka, mungkin Lima Bayangan Dewa berkumpul di sana dan
pedang Siang-bhok-kiam disimpan di sana pula."
"Kalau
begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama, Hong-moi."
In Hong
tiba-tiba menggeleng kepalanya. "Tidak! Aku akan pergi sendiri. Sampai
jumpa!" Gadis itu hendak membalikkan tubuh untuk pergi meninggalkan Bun
Houw.
"Akan
tetapi, mengapa, moi-moi? Bukankah tujuan kita sama?"
"Kalau
kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan saling bentrok!"
"Tidak
mungkin!"
"Kau
mau berjanji bahwa lain kali tidak akan mencegah aku lagi?"
"Kalau
aku melihat engkau melakukan sesuatu yang tidak benar, sudah semestinya aku
mencegah dan mengingatkan engkau, Hong-moi."
"Nah,
kalau begitu, selamat tinggal!"
"Hong-moi...!"
Bun Houw berteriak memanggil namun bayangan gadis itu sudah lenyap.
Dia hanya
dapat menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala. Gadis yang sangat
hebat, lihai sekali dan cantik jelita pula, akan tetapi juga liar dan
kadang-kadang berwatak aneh dan dingin sekali, seperti setan!
Terpaksa dia
melanjutkan perjalanan seorang diri dengan perlahan-lahan, kadang-kadang
berhenti untuk memulihkan tenaganya, terutama sekali menyembuhkan luka pada
kedua pundaknya.
***************
Semenjak
kematian Panglima Besar The Hoo, walau pun bekas kebesaran panglima itu
mendatangkan banyak kemakmuran dan kemajuan dalam perdagangan serta hubungan
dengan luar negeri, namun tetap saja pengaruh Kerajaan Beng menurun. Kemajuan
yang dipupuk oleh kebesaran The Hoo memang tampak menonjol, membuat Kerajaan
Beng terkenal di seluruh negeri tetangga.
Pada masa
itu, semenjak tewasnya Timur Leng yang amat terkenal di barat, yaitu pada tahun
1404, hubungan dagang dengan Negara Iran dan lain negara barat dapat dilakukan
melalui darat. Oleh karena itu, maka perkembangan armada Kerajaan Beng
dipandang tidak begitu perlu lagi dan perdagangan melalui lautan dilakukan oleh
bangsa-bangsa lain, yaitu bangsa kulit putih dan Jepang. Pemerintah Beng hanya
menerima barang-barang ini di pantai-pantai sehingga banyak timbul kota-kota
besar di pantai lautan yang makin lama menjadi makin ramai dengan perdagangan
dengan bangsa-bangsa asing ini.
Bagaimana
pun juga, bangsa-bangsa asing itu yang masih terkesan oleh kebesaran serta
kekuatan bala tentara yang dulu dipimpin oleh Panglima The Hoo dan para
pembantunya, tidak ada yang berani bermain gila atau mengacau secara berterang,
terlebih lagi karena perdagangan mereka mendatangkan banyak untung, yaitu
dengan mengangkut rempah-rempah dan hasil bumi lain dari pedalaman, serta
menjual barang-barang luar negeri yang masih merupakan benda-benda aneh di masa
itu.
Di
pantai-pantai selatan dan timur, banyak kota-kota dan dusun-dusun pelabuhan
yang menjadi ramai, setiap hari didatangi perahu-perahu asing yang membawa
barang-barang dagangan dan pajak mereka cukup dengan pemberian hadiah terhadap
para pembesar setempat.
Kota Yen-tai
merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai di pantai Lautan Po-hai yang banyak
disinggahi kapal-kapal dari luar negeri. Di tempat ini banyak terdapat
pedagang-pedagang, di dalam kotanya banyak pula berkeliaran orang-orang asing
yang rambutnya beraneka warna, demikian pula matanya. Rambutnya ada yang
berwarna keemasan dan kuning muda, dan mata mereka berwarna biru atau coklat.
Tidak ada di antara mereka yang berambut dan bermata hitam.
Pakaian
mereka juga beraneka warna, dan mereka ini adalah pekerja-pekerja kapal atau
pedagang-pedagang yang datang bersama kapal-kapal yang berlabuh, bahkan ada
pula yang menetap di kota itu sebagai pedagang. Akan tetapi jarang kelihatan
wanita bangsa asing, semuanya pria, tua dan muda, dengan muka penuh brewok dan
gaya mereka yang bagi penduduk setempat tampak kasar dan biadab!
Ada pula
orang-orang yang muka serta kulitnya sama dengan pribumi, akan tetapi tubuh
mereka pendek-pendek dan pakaian mereka agak berbeda. Mereka adalah orang-orang
yang berasal dari negara Jepang, negara yang terdiri dari banyak pulau-pulau.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali, keadaan Yen-tai sudah ramai karena semalam banyak kapal
asing berlabuh di pantai. Pagi-pagi sudah tampak kesibukan di kota itu, ada
yang menurunkan barang dari kapal-kapal dan ada pula yang menaikkan
rempah-rempah dan hasil-hasil bumi lainnya, juga barang-barang kerajinan dari pedalaman,
terutama sutera dan barang-barang ukiran yang serba indah dan mahal.
Di antara
banyak sekali orang-orang yang beraneka macam bahasanya, bermacam pula
pakaiannya, terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh satu
tahun, bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, akan tetapi amat sederhana
gerak-gerik dan pakaiannya yang berwarna kuning itu, dengan sebatang pedang di
pinggangnya. Pemuda itu adalah Tio Sun, yaitu putera tunggal dari Ban-kin-kwi
Tio Hok Gwan bekas pengawal panglima Besar The Hoo yang paling dipercaya.
Seperti kita
ketahui, secara kebetulan Tio Sun menolong Yap Mei Lan kemudian dia pun
tertawan oleh orang-orang liar yang dipimpin Jeng-hwa Sianjin Si Ahli Sihir dan
hampir saja dia celaka oleh kawanan Jeng-hwa-pang di dalam hutan itu kalau saja
tidak tiba-tiba muncul seorang yang luar biasa saktinya, tokoh tua yang sudah
tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, yaitu Bun Hwat Tosu.
Pemuda ini
mewakili ayahnya untuk membantu Cin-ling-pai mencari musuh-musuh besar
Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang telah menyerbu dan mengacau
Cin-ling-pai, membunuh murid-murid Cin-ling-pai serta mencuri Siang-bhok-kiam.
Karena dia sudah mengetahui akan nama-nama Lima Bayangan Dewa, Tio Sun
menyelidiki dan akhirnya dia mendengar berita bahwa Liok-te Sin-mo Gu Lo It,
orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, tinggal di sekitar pantai Po-hai. Berita
inilah yang membawa Tio Sun pergi ke pantai Po-hai dan pada pagi hari itu
tibalah dia di kota Yen-tai.
Dengan
tenang Tio Sun melangkah dan berjalan di atas jalan raya, sambil mengagumi
keramaian kota itu dan terheran-heran melihat banyaknya orang-orang asing yang
warna rambut, mata dan kulitnya demikian mengerikan hatinya itu! Memang belum
pernah dia bertemu dengan orang asing kulit putih, meski pun sudah banyak dia
mendengar tentang mereka dari ayahnya.
Gembira hati
Tio Sun menyaksikan kota pantai yang sangat ramai itu. Sering kali dia berhenti
untuk menonton keramaian, melihat orang-orang berdagang dan mendengarkan
kata-kata yang terdengar agak kaku dan asing keluar dari mulut orang-orang
berkulit putih itu. Juga dia melihat-lihat banyak barang yang aneh dan indah
dipamerkan di toko-toko di sepanjang jalan.
Akan tetapi,
setelah setengah hari berjalan-jalan melihat kota yang ramai ini, akhirnya dia
merasa bosan juga. Kemudian, menjelang senja itu, dia berjalan-jalan di tepi
pantai laut yang hawanya lebih sejuk karena angin bertiup dan tempat ini agak
sunyi tidak terdapat terlalu banyak orang.
Tio Sun
memasuki sebuah warung di tepi laut, warung yang agak sunyi dan ketika dia
masuk, hidungnya disambut oleh bau arak wangi yang memenuhi tempat itu. Suara
tawa bergelak disusul munculnya dua orang asing kulit putih keluar dari dalam
warung makan itu, keduanya membawa seguci arak. Sambil tertawa-tawa mereka
bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Tio Sun.
Ketika
berpapasan, Tio Sun mendapat kenyataan betapa tingginya kedua orang itu. Dia
sendiri sudah terhitung seorang pemuda yang bertubuh jangkung, akan tetapi
ternyata tubuhnya hanya mencapai pundak kedua orang raksasa berkulit putih dan
bermata biru itu.
Tio Sun
segera melupakan mereka dan dia lalu duduk di atas sebuah bangku, memesan
makanan dan minuman kepada pelayan. Tidak banyak tamu sore itu di warung ini,
hanya beberapa orang yang pakaiannya seperti nelayan dan ketika mereka itu
berbicara tentang hasil penangkapan ikan, maka jelaslah apa pekerjaan mereka
itu.
Ketika Tio
Sun sedang makan, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita yang kedengaran agak
jauh dari situ. Seketika Tio Sun bangkit berdiri. Jerit itu terulang lagi.
"Toloooooonggg...!"
Tio Sun
menggeser bangkunya, siap untuk lari keluar. Akan tetapi para nelayan yang juga
menghentikan percakapan mereka dan memperhatikan jeritan itu, menoleh ke arah
Tio Sun dan seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih
berkata,
"Harap
kongcu jangan memperhatikan dan mencampuri urusan kotor itu."
Tio Sun
memandang heran, "Mengapa kau berkata demikian, lopek?"
Pada saat
itu kembali jerit tadi terulang. Kakek nelayan itu hanya menarik napas panjang
dan tidak menjawab, lalu terdengar ucapan pelayan warung.
"Memang
omongan paman nelayan ini benar, kongcu. Tentu keributan itu dilakukan oleh
setan-setan kulit putih pemabok itu, dan yang menjerit itu hanya
perempuan-perempuan lacur. Memalukan sekali dan kongcu akan mendapat malu saja
kalau mencampuri urusan pelacur-pelacur dengan setan-setan pemabok itu. Kalau
melihat itu, lebih baik kita tulikan telinga dan butakan mata."
"Tolonggggg...!"
"Bagaimana
kita dapat menulikan telinga dan membutakan mata kalau mendengar jerit wanita
minta tolong?" Tio Sun berkata dan tanpa menunggu jawaban dia sudah
berlari keluar, langsung ke kanan dari mana dia tadi mendengar suara jeritan
itu.
Cuaca senja
sudah mulai remang-remang, akan tetapi dia masih dapat melihat dua orang
laki-laki yang sedang menarik dan menyeret seorang perempuan di dekat pantai,
agaknya hendak memaksa wanita itu naik ke sebuah perahu.
"Keparat...!"
Tio Sun berlari cepat di sepanjang pantai yang sunyi itu, otot-otot tubuhnya
sudah menegang dan hatinya panas oleh kemarahan.
"Plakk!
Plakk!"
Dua kali Tio
Sun menggerakkan tangannya menampar pundak dua orang raksasa bule itu. Dua
orang itu terhuyung dan melepaskan lengan gadis yang tadi mereka tarik-tarik.
Tamparan itu keras sekali namun hanya membuat mereka terhuyung, maka tahulah
Tio Sun bahwa dua kedua orang raksasa bule itu bertubuh kuat sekali.
Sambil
menangis gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun. "Harap
taihiap menolong saya... mereka hendak menculik saya..."
Tio Sun
memandang. Wanita itu adalah seorang gadis berpakaian nelayan sederhana, akan
tetapi kesederhanaan pakaiannya dan air mata yang membasahi mukanya itu tidak
mengurangi kemanisan wajahnya dan kepadatan tubuhnya yang muda.
"Nona,
kau minggirlah...," kata Tio Sun dengan tenang, lalu dia melangkah
menghadapi dua orang raksasa bule itu.
Kini dua
orang asing itu telah melangkah maju. Muka mereka merah sekali, mata mereka
melotot dan memandang Tio Sun penuh kemarahan. Mula-mula mereka itu
mengeluarkan kata-kata keras dalam bahasa asing itu, telunjuk mereka menuding-nuding,
akan tetapi Tio Sun sama sekali tidak mengerti artinya.
Kemudian
seorang di antara mereka, yang rambutnya kemerahan, berkata dalam bahasa
pribumi yang terdengar kaku tapi sikapnya jelas menunjukkan kemarahannya,
"Kau berani merampas perempuan kami?"
Tio Sun
teringat akan cerita pelayan warung dan para nelayan tadi, karena itu dia dapat
menduga bahwa agaknya dua orang kelasi barat yang mabok ini menganggap gadis
itu sebagai seorang pelacur. Maka, dengan sikap tenang karena dapat mengira
akan kesalah pahaman mereka, dia menjawab, "Kalian salah sangka. Nona ini
adalah seorang wanita baik-baik, maka kalian tidak boleh kurang ajar
terhadapnya."
"Kurang
ajar? Apa kurang ajar?" Si rambut merah itu membentak dan mengepal
tinjunya yang besar, matanya juga merah melotot marah. "Kami cinta
padanya, kami... kami akan membayar!"
Tio Sun
mengerutkan sepasang alisnya. "Kalian orang-orang kasar yang mabok. Jangan
mengganggu wanita dan pergilah!"
Si rambut
merah segera melangkah maju dengan langkah lebar, sedangkan temannya yang
berambut pirang hanya menonton sambil tersenyum-senyum memandang rendah, yakin
bahwa temannya tentu akan memberi hajaran kepada pemuda kecil lemah yang
mencampuri urusan mereka itu.
Si rambut
merah menuding-nuding dengan isyarat agar Tio Sun pergi dari situ, suaranya
parau dan kasar, kemarahannya membuat dia makin sukar mengeluarkan bahasa yang
belum dikuasainya benar-benar itu.
"Pergi
kamu... pergi... dia perempuan kami...!"
Melihat
keributan di tempat itu, beberapa orang yang datang mendekati untuk menonton
dan seorang nelayan tua berkata kepada Tio Sun, "Orang muda, sebaiknya kau
pergi dan tidak mencampuri urusan mereka. Ketahuilah bahwa mereka itu adalah
dua orang terkuat di antara mereka yang mempunyai banyak anak buah. Jangan kau
mencari penyakit..."
Sementara
itu, tampak seorang kakek nelayan lain yang kurus dan berpakaian butut lari
mendatangi, dan melihat kakek ini, gadis nelayan tadi lantas menjerit dan lari
menubruk kakek itu.
"Ayahhh...!"
"Kui-ji...
kau kenapa...?" Nelayan tua itu bertanya sambil mengelus-elus rambut
kepala anaknya.
Akan tetapi
gadis itu tidak dapat menjawab, hanya menangis.
Nelayan tua
yang tadi memperingatkan Tio Sun berkata, "Kalian cepat pergi...!
Lekas...!"
Ayah dan
anak itu terkejut, dan keduanya hendak menyingkir dari tempat itu. Akan tetapi
hanya dengan beberapa langkah lebar, raksasa berambut pirang itu sudah
mendekat, lalu lengannya yang panjang dengan jari-jari tangannya yang besar itu
langsung menangkap pergelangan tangan gadis manis itu.
"Ha-ha-ha-ha,
jangan pergi... jangan pergi... kau manis...," kata raksasa asing itu
sambil tertawa.
Kini sang
ayah mengerti bahwa anak perempuannya hampir menjadi korban kebiadaban para
kelasi asing itu, maka dengan marah dia memukul.
"Bukkk....!"
Dada yang
bidang itu menerima pukulan dengan enak saja, sedikit pun tidak terguncang dan
tangan kiri yang lebar itu mendorong sehingga si kakek terjengkang jauh.
"Ayahhh...!"
"Keparat..!"
Tio Sun melangkah maju.
"Orang
muda, mari kita pergi. Kalau mereka mengamuk..!" Nelayan itu berkata
ketakutan.
Tio Sun
menjadi marah sekali. Di bertolak pinggang, memandang ke sekeliling. Terutama
ke arah beberapa orang nelayan yang berdiri di sekitar tempat itu dengan wajah
dan sikap ketakutan.
"Kalian
ini laki-laki ataukah pengecut yang tak tahu malu! Melihat gadis bangsa kita
dihina dan hendak dipermainkan oleh orang-orang asing biadab ini, kalian sama
sekali tidak mau mengulurkan tangan membantu, malah ketakutan dan hendak menyingkir,
dan yang lebih celaka lagi, kalian juga melarang aku untuk menolongnya. Apakah
kalian tidak mau hidup sebagai laki-laki?"
Tidak ada
seorang pun yang dapat menjawab. Mereka itu hanya nelayan-nelayan yang tahunya
hanya mencari nafkah setiap hari di lautan, dan mereka semua sudah maklum akan
kekuasaan dan kekasaran orang-orang berkulit putih ini.
Orang-orang
kulit putih itu ada kalanya amat baik dan ramah terhadap pribumi, apa lagi
dalam hal perdagangan. Akan tetapi sikap mereka itu rata-rata kasar dan keras,
lebih lagi bila kehendak mereka dihalangi, keramahan berubah menjadi kekerasan
dan kekejaman.
Rata-rata
mereka itu terdiri dari jagoan-jagoan berkelahi yang bertubuh kuat dan berani,
bahkan agaknya mereka itu mempunyai kesukaan untuk berkelahi sehingga para
nelayan yang sering kali mengalami pemukulan mereka, kini menjadi takut.
Lebih-lebih lagi ketika laporan mereka kepada yang berwajib bahkan merugikan
mereka sendiri karena agaknya ada pertalian persahabatan yang erat antara
pembesar-pembesar setempat dengan para orang bule tinggi besar itu. Dan
kenyatannya memang demikian.
Para
pembesar sudah menerima banyak sumbangan dan hadiah dari raksasa-raksasa ini,
maka tentu saja sebagai seorang yang baik hati para pembesar ini merasa sungkan
untuk bersikap memusuhi dan setiap ada pengaduan mereka ini menyalahkan yang
mengadu dan memberi nasehat agar sebagai ‘tuan rumah’ para pribumi suka
mengalah terhadap para tamu yang banyak mendatangkan keuntungan bagi ‘rakyat’
ini. Tentu saja hanya di mulut mereka ini mengucapkan demi rakyat, padahal
sudah tentu, seperti yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia, mereka itu
hanya mementingkan dirinya sendiri dan demi kepadatan kantong mereka sendiri.
Inilah
sebabnya mengapa para nelayan bersikap ketakutan dan teguran Tio Sun itu hanya
membuat muka mereka menjadi merah akan tetapi tetap saja tidak ada seorang pun
yang berani menentang dua orang raksasa kulit putih itu.
Sebaliknya,
ucapan Tio Sun itu membikin marah si rambut merah. "Setan, engkau perlu
dihajar!" bentaknya dan dia langsung menerjang Tio Sun dengan
pukulan-pukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi dan pukulan-pukulannya
ternyata keras sekali!
Tentu saja
Tio Sun sudah siap dan waspada, dengan mudahnya dia menggerakkan tubuh sedikit
saja namun sudah cukup membuat pukulan kanan kiri yang bertubi-tubi datangnya
itu menyambar angin kosong belaka. Pada saat pukulan yang kesekian kalinya
meluncur mengarah ke dagunya, kepalan kanan si rambut merah yang besar sekali
itu menyambar, Tio Sun menggerakkan tangan menangkis dengan tangan kirinya.
Tangkisan ini membuat tulang bawah lengan kirinya bertemu dengan amat kerasnya
dengan tulang atas lengan kanan si rambut merah.
"Dukkkk...
aughhhh...!"
Si rambut
merah berteriak kesakitan sambil memegangi lengan kanannya. Tulang bawah lengan
merupakan bagian yang jauh lebih kuat dari pada tulang atas lengan, sungguh pun
keduanya terlatih sekali pun, apa lagi Tio Sun mempergunakan tulang bawah
lengannya dengan pengerahan tenaga sinkang, tentu saja membuat lawannya yang
terpukul tulang atas lengannya itu merasa nyeri bukan main seakan-akan tulang
lengannya retak-retak rasanya.
Akan tetapi
rasa nyeri ini tidak berlangsung lama dan kemarahan si rambut merah telah
memuncak. Dia mengeluarkan suara gerengan disambung maki-makian dalam bahasa
yang tak dimengerti oleh Tio Sun, kemudian raksasa rambut merah itu menerjang
seperti seekor kerbau mengamuk, kepalanya di depan, tubuhnya sedikit membungkuk
dan kedua lengannya merapat tubuh, kedua kepalan tangan yang besar itu silih
berganti menyambar dengan pukulan-pukulan keras yang mengarah bagian muka dan
tubuh atas Tio Sun.
Tentu saja
serangan sederhana yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini merupakan serangan
yang sama sekali tidak berbahaya bagi Tio Sun. Dengan sangat mudahnya pemuda
ini mengelak dan menangkis, kemudian satu kali tanganya menyambar dia sudah
berhasil memukul leher dekat pundak kiri lawan dengan tangan kanan yang
dimiringkan.
"Ngekkk!"
Raksasa muka
merah itu terjungkal, mengaduh dan memijit-mijit lehernya yang terpukul. Akan
tetapi ternyata dia bertubuh kuat sekali karena dia sudah bangkit kembali,
merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah senjata kalung besi yang ketika
digenggamnya melingkari celah-celah jari kedua tangannya sehingga sekarang
kepalannya tertutup oleh ujung-ujung besi yang menonjol dan agak meruncing.
Dapat dibayangkan betapa kepala akan dapat pecah dan tubuh akan terluka parah
kalau sekali saja terkena pukulan tangan yang diperlengkapi dengan senjata
istimewa ini.
“Wuuuttttt…
siuuuttttt…!”
"Mampus
kamu!" Kembali si rambut merah menyerang dengan ganas. Sepasang matanya
sudah menjadi merah dan lagaknya persis seekor lembu jalang yang mengamuk
karena terluka.
Kalau tadi
si rambut merah menggunakan cara bertinju menurut aturan karena dia merasa
yakin bahwa dengan kepandaiannya bermain tinju dia akan sanggup mengalahkan
lawan yang kelihatan kecil lemah ini, kini dia tidak lagi memperhatikan aturan
dan menggunakan segala akal curang dalam cara berkelahi untuk mencari
kemenangan. Maka kini dia tidak lagi memukul ke arah tubuh atas saja, melainkan
dia memukul ke arah lambung, pusar dan lain-lain, bahkan kedua kakinya yang
memakai sepatu boot itu pun ikut menyerang pula.
Betapa pun
juga, bagi Tio Sun, gerakan raksasa ini masih terlalu lambat dan kacau tidak
teratur, pokoknya asal menyerang saja maka sudah tentu amatlah mudah dihadapi
oleh pemuda gemblengan ini. Dia membiarkan lawan menyerang membabi buta sampai
dia mundur empat langkah, kemudian ketika musuh terus menyerbu, dia melangkah
ke kiri, membiarkan tubuh lawan agak terdorong ke depan dan dengan gerakan kaki
cepat sekali, dia melangkah maju sehingga sekarang dia berada di sisi belakang
lawan. Cepat kakinya bergerak menyentuh lutut kanan lawan, dibarengi dengan
tamparan jari tangan terbuka ke arah tengkuk.
Si rambut
merah kembali terjungkal, kini roboh sambil menyeringai kesakitan, kepalanya
pening, pandang matanya berkunang-kunang dan dia melihat ribuan bintang
beterbangan di sekelilingnya, dan kakinya yang kanan menjadi salah urat di
bagian lutut sehingga dia tidak mampu bangun kembali.
Semua
nelayan yang menyaksikan pertempuran ini dari tempat aman, jadi melongo dan
terheran-heran mengapa ada pemuda yang demikian berani menentang si rambut
merah yang terkenal kuat dan pemberani itu. Bahkan raksasa rambut merah ini
pernah dikeroyok oleh belasan orang nelayan pribumi tanpa merasa takut dan
tidak kalah pula!
Juga si
rambut pirang bengong keheranan, hampir tidak percaya bahwa temannya yang cukup
jagoan itu dikalahkan sedemikian mudahnya oleh si pemuda yang kecil lemah ini.
Keheranannya berubah menjadi kemarahan besar sesudah dia tahu bahwa temannya
itu terluka cukup parah karena buktinya tidak mampu bangkit kembali. Dia segera
mencabut sebatang pisau belati, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menyerang
Tio Sun dengan senjata pisaunya yang mengkilap. Melihat hal ini, para nelayan
menjadi pucat wajahnya. Pemuda itu tentu akan tewas!
Akan tetapi
tentu saja serangan pisau yang menyambar ke arah perutnya itu merupakan
serangan yang tidak ada artinya bagi Tio Sun. Akan tetapi pemuda ini juga sama
sekali tidak ada niat di hatinya untuk membunuh dua orang ini, karena dia masih
menganggap bahwa kesalahan mereka itu hanya timbul karena mungkin terjadi salah
pengertian saja.
Mungkin
karena kurang pandai bicara atau belum begitu menguasai bahasa daerah,
orang-orang asing ini salah menduga dan mengira gadis nelayan itu seorang
perempuan pelacur yang boleh dipermainkan sesukanya asalkan dibayar! Dia sama
sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan mabok seperti itu, kedua orang asing ini
memang menganggap semua perempuan pribumi suka kepada mereka dan boleh mereka
ajak bermain cinta dengan hadiah uang.
Karena tidak
ingin membunuh, maka Tio Sun juga hanya mengelak dari sambaran pisau itu.
Sampai lima kali dia terus mengelak sambil berkata, "Kau pergilah dan
jangan ganggu wanita!"
Akan tetapi
mana mungkin si rambut pirang yang sudah sangat marah dan mabok itu mau
menerima begitu saja? Dia menyerang makin ganas akibat terbawa oleh rasa
penasaran, betapa lawannya dapat mengelak dengan mudah, bahkan sambil
menasehatinya!
Pada saat
itu pula, kelasi barat yang berambut merah sudah berhasil bangkit,
terpincang-pincang dan meniup peluitnya. Terdengar bunyi peluit melengking
nyaring berkali-kali dan para nelayan yang mendengar peluit ini menjadi
terkejut. Mereka pun maklum apa artinya bunyi peluit ini. Kelasi asing itu
memanggil kawan-kawannya dan mereka menjadi takut kalau-kalau terbawa-bawa,
maka mereka segera melarikan diri dari pantai itu untuk pergi melapor kepada yang
berwajib agar pemuda itu tidak sampai dikeroyok dan mati secara mengerikan.
Tadinya Tio
Sun tidak mengerti apa artinya tiupan peluit nyaring itu. Akan tetapi ketika
dia melihat belasan orang asing datang berlarian ke tempat itu, dia baru
mengerti bahwa itu tentulah teman-teman dua orang ini yang datang memenuhi
panggilan suara peluit tadi. Marahlah hatinya dan dia berkata kepada dua orang
itu,
"Gadis
itu dan ayahnya sudah pergi. Perlu apa ribut-ribut lagi? Kalian mundurlah dan
aku tidak akan memperpanjang urusan ini!"
Ucapan Tio
Sun itu dianggap sebagai sikap ketakutan oleh dua orang asing itu, maka si
rambut pirang memperhebat serangan pisaunya, dan si rambut merah
terpincang-pincang memberi isyarat kepada kawan-kawannya agar lebih cepat
datang.
"Keparat!"
Tio Sun membentak.
Pada saat
pisau menyambar untuk yang ke sekian kalinya, dia hanya sedikit miringkan
tubuhnya. Ketika pisau itu meluncur dekat dadanya, dia cepat menggerakkan
tangannya yang dimiringkan, membacok ke arah lengan yang memegang pisau itu.
"Dukkk...!
Plakk!"
Pisau lantas
terpental, sedangkan pukulan ke arah lengan itu disusul tamparannya yang tepat
mengenai bawah telinga lawan. Si rambut pirang terpelanting dan mengaduh-aduh,
kepalanya seperti pecah rasanya.
Pada saat
itu, sebelas orang kulit putih lain yang merupakan anak buah dua orang kelasi
jagoan ini, sudah tiba di situ dan tanpa banyak cakap lagi mengepung dan
menyerang Tio Sun dari berbagi jurusan, dengan senjata macam-macam, besi
pelindung kepalan, pisau dan rantai.
"Kalian
orang-orang biadab yang jahat!" Tio Sun berseru dan kini pemuda ini
mengamuk.
Gerakannya
tangkas dan cepat, membagi-bagi pukulan dan tendangan di antara mereka,
sehingga ramailah pertempuran itu. Para pengeroyok itu jatuh bangun dan setiap
kali kaki atau tangan Tio Sun bergerak pasti ada seorang pengeroyok yang
langsung terjungkal atau terpelanting, setidaknya terhuyung-huyung sambil
mengaduh-aduh.
Tak ada yang
tahu betapa sejak tadi ada sepasang mata jeli yang menonton pertempuran
keroyokan itu dengan mata berseri-seri dan mulut mengeluarkan kekagumannya
melihat ketangkasan Tio Sun. Mata jeli ini milik seorang dara muda yang
memiliki kecantikan yang khas.
Melihat
pakaiannya, dia adalah seorang dara pribumi yang berkecukupan, akan tetapi bila
orang memperhatikan dia di tempat terang, tidak di tempat gelap seperti
sekarang ini karena senja telah tua, orang akan melihat bahwa sepasang matanya
lebar, tidak seperti dara wanita pribumi, dan warnanya kebiruan! Juga rambutnya
tidak hitam seperti biasa, melainkan agak keemasan!
Mata dan
rambutnya seperti orang asing itu, akan tetapi bentuk tubuhnya seperti wanita
pribumi, demikian pula pakaiannya! Karena inilah maka dia memiliki kecantikan
yang khas dan aneh, memiliki daya tarik tersendiri, berbeda dari dara-dara
umumnya.
Tio Sun yang
mengamuk dengan sibuknya, juga karena saat itu cuaca sudah mulai gelap, sama
sekali tidak melihat betapa orang asing berambut merah itu sekarang
mengeluarkan sebuah benda mengkilap, yang dipegang dengan tangan kanannya,
lantas membidikkan benda itu ke arah pundak Tio Sun yang masih mengamuk dengan
hebatnya, merobohkan semua pengeroyoknya dengan pukulan dan tendangan yang
terukur supaya tidak sampai membunuh orang.
Ketika dara
yang menonton pertempuran itu dari tempat tersembunyi melihat si rambut merah
mengeluarkan benda itu, dia kelihatan kaget sekali dan dengan gerakan cepat dia
sudah mencabut sebatang hui-to (pisau terbang) yang bentuknya mungil dan dihias
oleh ronce-ronce merah, kemudian secepat kilat dia menggerakkan tangannya.
Pisau kecil itu langsung meluncur cepat, mengeluarkan suara berdesing dan tepat
mengenai tangan si rambut merah yang memegang pistol dan sedang membidikkan
pistol itu ke punggung Tio Sun.
"Crepp...
auwwww...!"
Pistol itu
terlepas dari tangan si rambut merah yang berteriak kesakitan karena pisau
kecil beronce merah itu telah menancap di tangannya.
"Pedro...!
Berani kau dan kaki tanganmu mengacau di sini, bahkan hendak menggunakan
senjata api? Kalau aku menangkapmu dan mengajukanmu ke depan pengadilan, apakah
kalian tidak akan celaka semua?"
Si rambut
merah yang disebut Pedro oleh dara cantik itu makin terkejut. Dia menoleh,
memandang kepada dara itu dan semua teman-temannya yang sudah jatuh bangun oleh
hajaran Tio Sun juga sangat terkejut. Mereka semua memandang kepada nona itu
yang kini berdiri dengan tegak dan gagahnya bertolak pinggang dan memandang
marah pada si rambut merah.
"Maaf...
nona De Gama... maafkan kami..." Pedro berkata sambil memegangi tangannya
yang terluka.
"Kalian
memang berani mati!" Nona itu kembali menghardik, sikapnya penuh wibawa
dan kata-katanya seperti pisau menusuk jantung tiga belas orang itu.
"Sudah berapa kali kami memperingatkan pimpinanmu agar kalian tidak
membikin ribut di sini, dan terutama tidak boleh mengganggu penduduk pribumi.
Kembalikan pisauku!" bentaknya.
Sambil
menggigit bibir Pedro mencabut pisau terbang yang masih menancap di tangan
kanan itu dengan tangan kirinya, kemudian dia melangkah maju, menyerahkan pisau
kecil itu, wajahnya masih merah karena mabok, akan tetapi pandang matanya penuh
rasa jeri.
Dara itu
menerima kembali pisaunya, lalu berkata dengan sikap dingin dan memerintah,
"Kalian pergilah!"
"Terima
kasih, nona." Pedro membungkuk dengan hormat, mengambil pistolnya kemudian
memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi. Semua temannya juga memberi
hormat kepada dara muda itu.
"Pedro,
aku tidak akan mau mengampunimu lagi kalau lain kali engkau mendarat dengan
membawa pistol,." Nona itu menyusulkan kata-kata ancaman.
Pedro
membalikkan tubuhnya, lalu membungkuk, kemudian mereka pun pergi menuju ke
perahu-perahu yang mereka naiki dan mereka dayung ke tengah lautan di mana
terdapat kapal mereka yang berlabuh.
Kedua orang
itu berdiri saling berhadapan, berusaha untuk meneliti wajah masing-masing
menembus kesuraman cuaca hampir malam. Tio Sun memandang penuh kekaguman.
Dara ini
masih muda dan cantik sekali, akan tetapi mempunyai wibawa begitu besar dan
sanggup mengusir belasan orang laki-laki kasar tadi dengan kata-kata dan
ancaman saja, juga dia melihat hui-to yang tadi menancap di tangan si rambut
merah dan biar pun dia tidak melihat cara gadis itu menyerang si rambut merah,
namun dia maklum juga bahwa dara ini selain cantik jelita dan berpengaruh, juga
tentu memiliki kepandaian tinggi.
Di lain
fihak, nona itu pun memandang Tio Sun dengan rasa kagum, menatap wajah yang
membayangkan kesederhanaan, kejujuran dan kegagahan itu, wajah yang biar pun
tidak dapat dikatakan tampan, namun juga tidak buruk dan cukup jantan.
Tio Sun yang
masih memandang kagum, diam-diam dia merasa terheran-heran juga. Nona ini
adalah seorang gadis pribumi, akan tetapi tadi telah menggunakan bahasa orang
asing, bahasa orang biadab itu ketika bercakap-cakap dengan mereka! Hal ini
tentu saja menambah kekagumannya dan kini dia menjura dengan hormat sambil
berkata,
"Banyak
terima kasih atas bantuan nona yang sudah berhasil menyuruh mereka pergi
sehingga keributan ini dapat dihentikan."
Dara itu
tersenyum dan balas memberi hormat. "Engkau begini sopan dan ramah,
taihiap (pendekar besar), sungguh mengherankan bagaimana dapat bentrok dengan
mereka?"
Kembali Tio
Sun terkejut. Ternyata gadis ini dapat bicara dalam bahasa daerah yang baik
sekali! Hal ini membuktikan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang
gadis pribumi, akan tetapi bagaimana tadi gadis ini dapat bicara dalam bahasa
asing terhadap gerombolan orang kasar itu? Dia makin kagum akan kepintaran
gadis ini, maka dia cepat menjawab,
"Nona,
sesungguhnya tidak ada urusan pribadi antara saya dengan mereka. Saya sedang
makan di warung sana saat saya mendengar jerit seorang wanita. Saya cepat lari
ke sini dan melihat seorang gadis nelayan sedang ditarik-tarik oleh dua orang
di antara mereka tadi, yaitu yang berambut merah dan pirang tadi. Mereka
agaknya sedang mabok, maka melihat gadis nelayan itu berteriak minta tolong dan
mereka mempergunakan kekerasan, saya lalu mencegah. Kemudian datang teman-teman
mereka dan saya dikeroyok."
"Dan
tikus-tikus itu akan mati semua sekiranya taihiap menghendaki. Betapa tidak
tahu diri mereka itu!"
Tio Sun
terkejut karena ucapan ini jelas menunjukkan betapa tajam pandang mata dara ini
dan ini saja sudah jelas membuktikan bahwa dara ini tentu pandai ilmu silat
sehingga tahu bahwa dia tadi melayani pengeroyokan mereka itu dengan
mempergunakan tenaga terukur agar jangan sampai kesalahan tangan membunuh
mereka.
"Ahh,
nona terlalu memuji...!" katanya.
Akan tetapi
dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi begini girang mendengar nona
ini menyebutnya ‘taihiap’ dan mengetahui bahwa dia tadi tidak
bersungguh-sungguh menghajar belasan orang itu? Biasanya, baginya pujian-pujian
hanya akan menimbulkan perasaan muak karena sejak kecil dia telah digembleng ayahnya
hingga dia menganggap pujian orang lain sebagai suatu hal yang amat berbahaya.
Jangan
mendengarkan pujian, demikian kata ayahnya, karena pujian itu merupakan racun
yang dapat membuat dirimu menjadi tinggi hati dan sombong sehingga akan
mengurangi kewaspadaan. Sekarang, nona ini memujinya dan baru pertama kali
selama hidupnya dia merasa girang dan bangga!
"Saya
tidak memuji, hanya bicara tentang apa adanya. Taihiap berilmu tinggi dan sudah
lama sekali saya ingin berjumpa dengan seorang pendekar seperti taihiap yang
banyak saya dengar dari cerita ibu saya. Menurut ibu saya, seorang pendekar
sakti yang budiman seperti taihiap akan selalu siap membantu orang yang dilanda
mala petaka, benarkah itu?"
Tio Sun
merasa tidak enak juga mendengar dia dianggap sebagai seorang pendekar sakti
yang budiman! Sudah terlampau berlebihan pujian ini! Akan tetapi karena sikap
dara itu jujur dan tidak dibuat-buat, dia menjawab juga, "Nona, saya
bukanlah seorang pendekar sakti budiman, akan tetapi sebagai seorang manusia, tentu
saja saya selalu siap untuk menolong manusia lain yang dilanda mala
petaka."
"Kalau
begitu, harap taihiap sudi menolong saya yang sedang dilanda mala petaka dan
menderita kegelisahan hebat ini!" Berkata demikian, nona itu tiba-tiba
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.
Tentu saja
pemuda itu menjadi terkejut bukan kepalang. "Ahhh, nona... Jangan berbuat
demikian... tentu saja saya selalu siap sedia membantumu... harap jangan
berlutut seperti ini."
Tio Sun
memegang kedua lengan yang kecil itu dan menarik nona itu untuk bangun. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa sedikit pun nona
itu tidak dapat diangkatnya naik. Nona itu ternyata telah mengerahkan ilmu
memberatkan tubuh!
"Saya
tidak akan bangkit kalau taihiap belum berjanji akan menolong saya."
"Janji
baru dapat diberikan apa bila saya sudah mendengar urusannya, nona. Bagaimana
pun juga saya hanya akan membantu fihak yang benar." Tio Sun yang maklum
bahwa gadis ini sengaja hendak mengujinya, lalu mengerahkan sinkang-nya.
Gadis itu
mempertahankan diri, akan tetapi Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio
Hok Gwan yang memiliki ilmu menghimpun tenaga selaksa kati yang amat hebat.
Maka dara itu akhirnya tidak kuat bertahan dan tubuhnya dapat diangkat oleh Tio
Sun.
Akan tetapi,
biar pun dengan dipegang kedua lengannya dia dapat diangkat, tetap saja dia
masih dalam keadaan berlutut seakan-akan tubuhnya menjadi kaku seperti batu!
Tio Sun terkejut dan kagum sekali. Tak salah dugaannya bahwa nona ini memiliki
kepandaian yang tinggi juga!
"Harap
nona tidak sungkan-sungkan dan marilah kita bicara," katanya sambil
melepaskan dua lengan itu. Nona itu pun turun dalam keadaan berdiri dan di
dalam kegelapan malam itu dia memandang dengan wajah berseri penuh harapan.
"Di
sini bukan tempat bicara. Marilah saya persilakan taihiap untuk singgah di
rumahku, di sana kita dapat berbicara dengan leluasa, dan saya akan
menceritakan mala petaka apa yang menimpa diri saya."
Tio Sun
mengangguk. Kalau seorang gadis yang memiliki kepandaian begini hebat, dan juga
mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kasar tadi sampai dapat dilanda mala
petaka, tentulah telah terjadi hal yang amat hebat.
Mereka lalu
berangkat menuju ke rumah gadis itu, akan tetapi terlebih dahulu Tio Sun
mengajak nona itu singgah di warung untuk membayar makanan yang tadi dipesannya
dan yang belum dimakannya sampai habis. Pemilik warung yang sudah mendengar
akan perkelahian Tio Sun yang dikeroyok oleh banyak orang-orang asing itu
menyambut sambil membungkuk hormat, akan tetapi sikapnya menjadi makin
menghormat ketika dia melihat nona itu datang bersama Tio Sun.
"Ah,
kiranya Souw-siocia (nona Souw)... silakan duduk, nona...," kata pemilik
warung dan dara itu mengucapkan terima kasih dan menanti di luar sampai Tio Sun
selesai membayar harga makanan.
Diam-diam
nona itu menjadi semakin kagum dan girang. Tidak salah lagi, pikirnya. Seperti
inilah seorang pendekar budiman yang sering kali dia mendengar diceritakan oleh
ibunya akan tetapi yang belum pernah dijumpainya.
Pada lain
fihak Tio Sun tercengang ketika nona itu mengajaknya memasuki pekarangan sebuah
bangunan yang besar dan megah.
"Inikah
rumahmu, nona?" tanyanya dengan ragu-ragu.
Nona itu
tersenyum. "Harap jangan pedulikan rumah, taihiap. Engkau datang untuk bicara
dengan aku, bukan dengan rumah, bukan?"
Tio Sun
mengangguk. Benar, mengapa dia ribut tentang keadaan nona ini? Apa bedanya
andai kata nona ini seorang miskin sekali atau pun seorang yang kaya raya?
Mereka memasuki ruangan depan, disambut oleh dua orang pelayan wanita yang
memberi hormat kepada nona majikan mereka dan kepada tamu itu. Dara itu
mengajak Tio Sun memasuki sebuah ruangan besar, ruang tamu dan memerintahkan
dua orang pelayannya untuk mempersiapkan hidangan.
"Ahh,
tidak perlu repot-repot, nona...," Tio Sun mencegah.
"Tidak
repot, akan tetapi memang seharusnya. Bukankah taihiap sedang makan ketika
taihiap mendengar wanita minta tolong? Nah, aku pun belum makan malam maka
sudah sepatutnya kalau saya mengajak taihiap makan malam bersama."
Mereka duduk
berhadapan terhalang meja dan Tio Sun makin heran melihat sikap dara ini yang
begitu terbuka dan polos, tidak bersikap malu-malu seperti kebanyakan gadis
yang dijumpainya. Akan tetapi ketika dia memandang dan kini wajah gadis itu
nampak jelas karena disinari lampu gantung di atas mereka, Tio Sun terkejut
bukan main.
Gadis itu
cantik sekali! Cantik bukan main, seperti gambar seorang bidadari! Akan tetapi
matanya berwarna kebiruan dan rambutnya keemasan! Seorang gadis asing! Akan
tetapi kulitnya yang kuning, tata rambutnya, pakaiannya, bicaranya adalah
seratus prosen gadis pribumi. Hanya warna mata dan rambutnya! Dia memandang
bengong!
"Eh,
taihiap, engkau sedang memandang apa?" Nona itu menegur ketika melihat Tio
Sun terlongong bagai orang terkena pesona, senyumnya melebar dan di sebelah
kiri mulutnya muncul lesung pipit yang manis sekali.
Kini tampak
jelas oleh Tio Sun betapa dara itu sebetulnya masih amat muda, akan tetapi
agaknya memang mempunyai tubuh yang lebih besar dari pada gadis-gadis biasa,
karena biar pun tubuhnya yang padat itu seperti tubuh dara yang matang, akan
tetapi wajahnya menunjukkan bahwa dia baru saja di ambang pintu kedewasaan,
paling banyak tujuh belas tahun usianya.
"Maaf...
ehh, saya kira nona seorang gadis pribumi, akan tetapi..."
Nona itu
menghela napas panjang. "Kau maksudkan mataku biru dan rambutku agak
keemasan?"
Lega hati
Tio Sun dan dia mengangguk, karena rasanya amat tidak enak kalau dia yang harus
mengatakan hal itu.
"Memang
demikianlah" kata nona itu. "Kalau aku dikatakan gadis pribumi, hal
itu benar, dan namaku adalah Souw Kwi Eng, akan tetapi kalau ada yang
mengatakan bahwa aku seorang gadis asing, itu pun benar dan namaku adalah Maria
de Gama. Ayahku seorang Portugis asli akan tetapi ibuku seorang Tionghoa asli
pula."
"Aihhh,
kiranya begitukah...?" Tio Sun memandang dengan penuh kagum,
terheran-heran karena baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang gadis
peranakan yang berdarah campuran. Akan tetapi harus diakuinya bahwa selama
hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang begini mempesonakan,
begini cantik jelita, kecantikan yang khas dan amat menawan hatinya yang
berdebar-debar.
"Akan
tetapi ayahku bukan seperti orang-orang kasar yang mengeroyokmu tadi, taihiap.
Ayahku adalah seorang terpelajar, yang di negaranya termasuk seorang ahli
pedang yang disegani, dan dulu di sini terkenal sebagai pemilik kapal dan juga
kapten kapal. Ada pun ibuku juga seorang pendekar wanita yang terkenal, karena
ibuku adalah murid Panglima The Hoo yang terkenal itu. Ayahku bernama Yuan de
Gama, maka aku memakai nama Maria de Gama, sedangkan ibuku she Souw, maka aku
pun memakai nama keturunan Souw."
Tio Sun
kelihatan terkejut bukan main mendengar nama-nama itu. Dia pernah mendengar
penuturan ayahnya tentang nama-nama itu.
“Nona...
apakah ibumu bernama Souw Li Hwa...?"
Wajah nona
yang cantik itu berseri gembira. "Kau telah mengenal ibuku?"
Tio Sun
menggeleng kepala. "Aku hanya mendengar dari ayah. Ketahuilah nona, bahwa
ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah bekas pengawal setia dari mendiang
Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu ayah tentu saja mengenali murid beliau,
yaitu ibumu yang bernama, Souw Li Hwa. Akan tetapi..." Dia memandang wajah
yang cantik jelita itu dengan alis berkerut karena dia merasa sangsi, bahkan
agak curiga memandang nona itu.
"Akan
tetapi apakah, taihiap?"
"Menurut
cerita ayahku, pendekar wanita Souw Li Hwa telah tewas, tenggelam bersama Yuan
de Gama di atas kapal... bagaimana mungkin sekarang tiba-tiba muncul seorang
puterinya...?"
"Memang
begitulah yang diketahui oleh semua orang, akan tetapi ada rahasia di balik
semua itu, taihiap. Sebetulnya ayah merahasiakan keadaan kami ini, akan tetapi
karena sekarang aku menghadapi mala petaka dan membutuhkan bantuanmu, apa lagi
setelah aku mengetahui bahwa engkau adalah putera seorang pengawal setia dari
mendiang The-sucouw (kakek guru The), biarlah aku menceritakannya
kepadamu."
Dara itu
kemudian bercerita yang didengarkan oleh Tio Sun dengan penuh perhatian dan
kekaguman. Tentu saja pembaca cerita Petualang Asmara juga merasa
terheran-heran mendengar pengakuan nona peranakan yang bernama Maria de Gama
alias Souw Kwi Eng itu, karena para pembaca tentu masih ingat betapa Souw Li
Hwa, pendekar wanita perkasa murid Perdana Menteri The Hoo itu, telah tewas
bersama pemuda asing yang dicintainya, yaitu Yuan de Gama. Oleh karena itu,
marilah kita mendengarkan penuturan nona cantik yang mengaku sebagai puteri
Souw Li Hwa itu.
Seperti yang
telah diceritakan dalam cerita ‘Petualang Asmara’, Yuan de Gama, seorang pemuda
Portugis yang gagah perkasa, sebagai seorang kapten kapal tidak mau pergi
meninggalkan kapalnya yang terbakar dan tenggelam.
Setiap orang
kapten yang terhormat dan gagah perkasa harus sehidup semati dengan kapalnya,
maka biar pun dia masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri,
meninggalkan kapalnya yang mulai tenggelam, Yuan de Gama tetap berkeras tidak
mau meninggalkannya.
Dan seorang
dara cantik jelita dan perkasa, murid Panglima The Hoo yang bernama Souw Li
Hwa, juga bersikeras tidak mau meninggalkan Yuan de Gama yang dicintanya. Kedua
orang muda-mudi yang saling mencinta ini saling berpelukan dan ikut tenggelam
bersama kapal yang terbakar itu, disaksikan oleh ribuan pasang mata yang merasa
amat terharu dan kagum sekali, termasuk mata pendekar-pendekar Cia Keng Hong,
Yap Kun Liong, Panglima Besar The Hoo dan lain-lain.
Sudah dapat
dipastikan kedua orang muda yang saling mencinta itu akan mati tenggelam di
lautan kalau saja pada saat kapal tenggelam itu tidak terjadi sesuatu yang amat
luar biasa. Seorang laki-laki tua yang berpakaian nelayan, yang tidak mau
mencampuri perang yang terjadi antara pihak pemberontak dan tentara pemerintah
dan yang ikut menyaksikan terbakarnya kapal dan ikut tenggelamnya pasangan yang
saling berpelukan itu bersama kapalnya, memandang peristiwa itu dengan air mata
menitik turun di kedua pipinya yang keriputan. Akhirnya tanpa ada yang
melihatnya, kakek tua renta yang berpakaian sebagai nelayan sederhana lalu
meloncat dan terjun ke dalam air, menyelam dan lenyap.
Demikianlah,
Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang sudah hampir mati lemas, tahu-tahu telah
berada di darat, di tempat yang sunyi dalam hutan. Kiranya mereka sudah
ditolong dan diselamatkan oleh kakek nelayan itu.
Mula-mula
Yuan de Gama marah-marah karena hidupnya itu merupakan suatu hal yang sangat
memalukan, dan dia dapat dianggap seorang pengecut karena sebagai seorang
kapten dia tidak mati tenggelam bersama tenggelamnya kapal. Hampir saja dia
marah dan menyerang kakek itu, akan tetapi dicegah oleh Souw Li Hwa yang
menangis dan menyatakan keinginan hidupnya bersama kekasihnya itu setelah
ternyata mereka berdua masih hidup.
Sedangkan
kakek itu dengan sabar dan tenang lalu berkata, "Mungkin sekali kebiasaan
bangsamu itu dianggap sebagai perbuatan gagah perkasa, akan tetapi di sini
hanya akan dianggap sebagai perbuatan tolol, suatu pembunuhan diri yang konyol.
Bagaimana nyawa manusia disamakan dengan tenggelamnya sebuah benda mati seperti
kapal? Lagi pula, engkau telah memenuhi kebiasaan itu, sudah tenggelam bersama
kapalmu, maka apakah salahnya jika hal itu tidak membuat kau mati karena memang
Thian belum menghendaki engkau mati? Setelah sekarang kapalmu tenggelam dan kau
dapat kuselamatkan di sini, apakah kau lalu akan membunuh dirimu sendiri bersama
wanita yang amat setia padamu ini?"
Mendengar
ucapan kakek nelayan sederhana itu, Yuan de Gama tertegun dan tidak dapat
membantah. Memang, kapalnya sudah tenggelam dan dia ternyata masih hidup, bukan
atas kehendaknya karena dia ditolong dalam keadaan tidak sadar. Tak mungkin
sekarang dia harus mengajak Souw Li Hwa untuk bersama-sama membunuh diri!
Kematian gagah seorang kapten adalah tenggelam bersama kapalnya, bukannya
membunuh diri secara konyol satelah kapalnya tidak ada lagi!
Akhirnya
Yuan de Gama dapat melihat kebenaran itu dan tak lama kemudian dia saling
rangkul dengan Souw Li Hwa yang menangis sesenggukan sehingga Yuan tidak dapat
bertahan lagi untuk tidak ikut mencucurkan air mata. Kakek nelayan itu tertawa
bergelak saking girangnya dan demikianlah, mulai saat itu Yuan de Gama dan Souw
Li Hwa hidup sebagai suami isteri dan kakek nelayan itu yang ternyata memiliki
kepandaian renang dan bermain di dalam air seperti seekor ikan saja, menjadi
pembantu mereka.
Yuan de Gama
masih merasa sungkan untuk muncul di tempat ramai dan ketahuan oleh orang-orang
bahwa dia tidak lagi menjadi seorang kapten yang gagah perkasa. Maka dia
mengajak Souw Li Hwa untuk hidup sunyi di pantai laut dalam hutan, hanya
ditemani oleh kakek nelayan itu.
Akan tetapi,
setelah setahun kemudian Souw Li Hwa melahirkan anak kembar, terpaksa Yuan
mengajak keluarganya pindah ke kota Yen-tai dan di situ dia hidup sebagai
seorang pedagang yang dalam waktu beberapa tahun saja telah menjadi kaya raya.
"Demikianlah,
taihiap, aku diberi nama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng, sedangkan kakak
kembarku bernama Richardo de Gama seperti kakek, alias Souw Kwi Beng. Kakek
nelayan itu mengajar kami berdua ilmu di dalam air, sedangkan ibu mengajar kami
ilmu silat. Dua tahun yang lalu kakek nelayan itu telah meninggal dunia karena
usia tua."
Mendengar
penuturan itu, Tio Sun cepat bangkit dari kursinya dan menjura dengan penuh
hormat. "Maafkan kesangsian saya tadi. Kiranya nona adalah puteri pendekar
Souw Li Hwa yang dipuji-puji oleh ayah, dan setelah mendengar siapa adanya
nona, maka tentu saja saya siap untuk membantu nona."
"Terima
kasih, taihiap..."
"Maaf,
harap nona tidak menyebut saya taihiap. Saya adalah putera ayah saya Tio Hok
Gwan yang mengenal baik ibu nona, dan nama saya Tio Sun. Sekarang, perkenankan
saya menghadap ibu nona untuk menyampaikan hormat saya..."
"Aihhh,
kalau ibu berada di rumah, tentu sudah sejak tadi dia keluar. Tio-taihiap...
eh, baik kusebut kau twako saja, ya?"
"Terserah,
asal jangan menyebut taihiap, karena saya tidak pantas disebut taihiap."
"Baiklah,
Tio-twako. Ketahuilah bahwa sudah hampir setengah tahun ini ayah ibuku pergi
berkunjung ke barat, ke negeri ayahku di Portugal. Aku dan Beng-koko tidak
boleh ikut dan diharuskan melanjutkan perdagangan ayah sambil menjaga rumah.
Akan tetapi baru beberapa hari yang lalu terjadilah mala petaka itu."
"Peristiwa
apakah yang terjadi, nona?"
"Kakakku
diculik orang..." Wajah itu seketika menjadi muram, pandang matanya
diliputi kegelisahan.
Tio Sun amat
terkejut, akan tetapi pada saat itu, empat orang pelayan datang membawa
hidangan yang segera diatur di atas meja.
"Nanti
saja kita lanjutkan, twako,", kata Kwi Eng dan mereka lalu makan.
Tio Sun yang
kini sudah mengenal siapa adanya dara yang amat menarik hatinya ini tidak
sungkan-sungkan lagi. Mereka makan tanpa bicara, kecuali kalau Kwi Eng
menawarkan ini-itu kepada tamunya. Setelah selesai makan dan sisanya diasingkan
oleh para pelayan, mereka kini duduk berdua lagi dan bercakap-cakap.
"Sekarang
ceritakanlah bagaimana kakakmu itu sampai bisa diculik orang, nona. Melihat
kelihaianmu, tentu kakak kembarmu itu pun seorang yang tidak akan mudah diculik
orang begitu saja."
"Dugaanmu
memang benar, twako. Beng-koko memiliki kepandaian yang cukup, bahkah lebih
pandai dari pada aku. Selama belajar aku hanya dapat mengatasi kakakku itu
dalam ilmu di dalam air saja, akan tetapi dalam latihan ilmu silat, dia lebih
pandai dariku. Akan tetapi yang menculiknya juga bukan orang biasa melainkan
gerombolan bajak laut Jepang yang diketuai oleh seorang yang lihai sekali
bernama Tokugawa, yang terkenal sebagai seorang jagoan samurai yang menyeleweng
menjadi kepala bajak. Di antara Tokugawa dan ayah ibu memang terdapat
permusuhan, dimulai ketika Tokugawa dan anak buahnya merampok kapal milik ayah.
Ayah bersama ibu kemudian segera merampasnya. Di dalam pertandingan satu lawan
satu itu Tokugawa dikalahkan oleh ibu. Semenjak itu, Tokugawa agaknya
tergila-gila kepada ibu dan memiliki niat tidak baik, ingin membunuh ayah dan
merampas ibu! Tentu saja ayah dan ibu menentangya dan selalu gerombolan
Tokugawa dikalahkan. Dan kini, setelah ayah dan ibu pergi ke barat, agaknya
Tokugawa berani lagi bermain gila. Setelah dia dikalahkan untuk yang terakhir
kalinya, dia tidak berani muncul lagi dan kabarnya menyembunyikan diri di Pulau
Hiu yang kosong. Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu dia muncul, tentu telah menggunakan
akal sehingga dia berhasil menculik Beng-koko dan mengirim surat kepadaku.
Inilah suratnya!"
Dengan wajah
gelisah Kwi Eng lalu memperlihatkan sesampul surat yang ditulis dengan
huruf-huruf kasar namun cukup jelas untuk dapat dibaca.
‘Apa bila
ingin melihat pemuda peranakan asing pulang dengan selamat, kirimkan kapal
Angin Timur ke Pulau Hiu sebagai penukarnya.’
Di bawah
huruf-huruf itu, terdapat sebuah gambar tengkorak hitam.
"Apakah
artinya gambar ini?" tanya Tio Sun setelah membaca surat itu.
"Itulah
julukan Tokugawa, Si Tengkorak Hitam yang menjadi bendera gerombolannya."
Setelah
mengembalikan surat itu, Tio Sun kembali bertanya, "Dan kapal Angin Timur
itu adalah milik ayahmu?"
"Ya,
kapal itu milik kami, kapal yang terbesar dan belum lama ini dibeli oleh ayah
dari barat."
"Kenapa
kau tidak melaporkan kepada yang berwajib, nona? Bukankah sudah jelas ada bukti
dengan surat itu?"
"Brakkkk…!"
Kwi Eng menggebrak meja sampai meja itu tergetar.
"Itulah
hal yang menjengkelkan dan menggemaskan! Kau tahu, twako, semua pembesar korup
itu telah makan sogokan dari setiap orang. Siapa saja yang mampu menyogoknya,
tentu akan dilindungi, bahkan penjahat sekali pun tidak akan mereka ganggu
selama penjahat itu melakukan sogokan dan membagi hasil!"
"Kau
maksudkan Tokugawa telah menyuap para pembesar?"
"Hal
itu sudah diketahui oleh umum. Karena yang berani menentang mereka hanya ayah
dan ibuku, maka kini Tokugawa menentang kami dan berani mengganggu kami. Hal
ini oleh para pembesar dianggap sebagai permusuhan pribadi sehingga mereka
tidak mau mencampuri."
"Hemmm...
dan tentunya kapal itu amat berharga sehingga engkau merasa sayang untuk
menukarnya dengan kakakmu?"
"Tio-twako!"
Tiba-tiba dara itu bangkit berdiri dan memandang Tio Sun dengan sinar mata
berapi. "Kau kira orang macam apa aku ini?"
Tio Sun
cepat-cepat bangkit berdiri dan menjura. Hebat gadis ini, pikirnya. Penuh
dengan semangat dan api!
"Maafkan,
nona. Aku tidak menyangka apa-apa, hanya bertanya untuk mengetahui bagai mana
tanggapanmu terhadap surat ancaman bajak itu."
Mereka duduk
kembali dan Kwi Eng menarik napas panjang. "Engkau tentu tahu betapa
sayangku kepada kakak kembarku itu, twako. Jangankan hanya sebuah kapal, meski
pun seluruh harta benda kami akan kuserahkan untuk menebus keselamatan kakakku.
Akan tetapi kau tidak tahu siapa adanya Tokugawa, kepala bajak yang seperti
iblis itu. Dia tahu bahwa ayah dan ibu tidak ada, maka dia minta tebusan kapal
dan aku tahu bahwa kalau kapal itu kuberikan, tetap saja Beng-koko tidak akan
dia bebaskan begitu saja. Yang dia kehendaki adalah ibu atau... aku."
"Maksudmu?"
Kwi Eng
menundukkan mukanya. "Dulu Tokugawa pernah tergila-gila kepada ibu karena
ibulah satu-satunya wanita yang pernah mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan
tetapi… sesudah niatnya itu gagal, dia pernah mengajukan… lamaran kepada orang
tuaku untuk minta... aku sebagai isterinya."
"Hemmm,
manusia keparat!"
"Memang,
dia kurang ajar sekali. Kini, dengan ditawannya kakakku, aku mengerti bahwa
tentu dia akan menggunakan kakak sebagai sandera untuk memerasku, dan juga
untuk memaksa agar aku suka menuruti kehendaknya itu."
"Hemm...
lalu bagaimana kehendakmu, nona?"
"Aku
akan melawan! Aku akan melawan mati-matian!"
"Bagus
kalau begitu!"
"Aku
sudah siap, twako. Aku sudah mempersiapkan anak buah ayahku yang terdiri dari
lima puluh orang untuk menyerbu ke Pulau Hiu. Akan tetapi selama ini aku masih
selalu menunda niatku itu karena aku tahu bahwa baik kakakku mau pun aku
sendiri, tidak akan dapat mengalahkan Tokugawa. Bukannya aku takut kalah. Akan
tetapi kalau sampai aku kalah, bukankah berarti hanya mati konyol dan kakakku
pun tidak akan tertolong? Aku tengah menanti-nanti kembalinya ibu atau hendak
mencari seorang pembantu yang punya kepandaian tinggi. Dan... agaknya Thian
telah mengirimkan twako ke sini sehingga aku bertemu dengan twako. Dengan
adanya twako yang membantu, twako tentu akan dapat menandingi Tokugawa dan kita
akan dapat menyelamatkan Beng-koko."
"Kepandaianku
tidak seberapa, nona, akan tetapi sesudah mendengar penuturanmu, aku ingin
berhadapan dengan Tokugawa si keparat kurang ajar itu dan aku mempertaruhkan
nyawaku untuk menolong kakakmu."
"Aku
sudah melihat gerakanmu ketika engkau dikeroyok tadi, twako, dan aku yakin
bahwa engkau tentu akan sanggup menandingi Tokugawa. Hanya saja, kuharap engkau
mau berhati-hati dan tidak memandang rendah senjata pistol mereka."
"Pistol?"
Tio Sun belum pernah mendengar akan senjata ini.
"Agaknya
engkau belum pernah melihat senjata itu. Tadi ketika engkau dikeroyok, hampir
saja engkau ditembak dengan pistol oleh Pedro si pengecut. Baiknya aku melihatnya
dan mendahuluinya."
"Hemm,
jadi itukah sebabnya maka nona mempergunakan hui-to untuk melukai tangan si
rambut merah itu? Dia hendak menggunakan senjata pistol? Senjata rahasia apakah
itu?"
"Sebuah
senjata api, pelurunya digerakkan oleh obat peledak. Berbahaya sekali karena
peluru itu cepat sekali menyambarnya, sukar dielakkan karena cepatnya."
Tio Sun
mengangguk-angguk. "Kiranya senjata api dengan obat peledak. Akan tetapi,
aku pernah mendengar bahwa pemerintah melarang orang-orang membawa senjata
seperti itu."
"Memang
benar demikian, maka tadi pun aku mengancam Pedro dan kawan-kawannya. Akan tetapi
siapa dapat melarang bajak-bajak yang hidupnya liar di atas lautan? Hanya
baiknya, menurut apa yang kudengar, sebagai seorang bekas jagoan samurai
Tokugawa pantang mempergunakan senjata barat itu dan hanya mengandalkan pedang
samurainya yang amat dibanggakannya. Mungkin di antara anak buahnya ada yang
membawa pistol, akan tetapi jangan khawatir, aku pun mempunyai beberapa buah
pistol yang akan kubagi-bagikan kepada anak buahku. Aku sendiri lebih senang
mempergunakan hui-to dari pada pistol yang sebetulnya kalah cepat karena pistol
harus membidik dan mengisi obat peluru. Pendeknya, dengan bantuanmu aku yakin
akan bisa menyelamatkan Beng-koko, bahkan dapat membasmi Tokugawa beserta anak
buahnya." Gadis itu kelihatan bergembira dan bersemangat sekali.
"Kapan
kita berangkat, nona?"
"Besok
sore, twako. Besok akan kupersiapkan anak buahku, lalu pada sore harinya kita
berangkat dengan kapal Angin Timur. Kita bersikap seakan-akan memenuhi
permintaan si jahanam Tokugawa. Hendak kulihat bagaimana macam mukanya kalau
dia melihat kita menyerbu pulau itu."
Malam itu
Tio Sun tidur di dalam sebuah kamar tamu di rumah Kwi Eng. Hatinya gembira
sekali sehingga malam itu tidurnya diisi dengan mimpi indah bersama dara jelita
yang amat menarik hatinya itu…..
***************
Malam itu
bulan purnama muncul di langit yang cerah. Sinar bulan yang sejuk menerangi
permukaan kapal yang meluncur dengan tenangnya, dan Tio Sun yang berdiri di
geladak kapal itu asyik memandangi bayangan bulan yang menari-nari di atas
permukaan air laut, membuat jalur jalan keemasan. Air hanya berkeriput sedikit
saja dan agaknya kalau tidak ada kapal yang meluncur itu, air laut mungkin akan
diam seperti kaca.
"Sebentar
lagi barulah air laut akan bergelombang besar," kata Kwi Eng yang tiba-tiba
muncul di dekat Tio Sun.
"Indah
sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali."
Kwi Eng
tertawa ditahan. "Memang demikianlah bagi yang belum pernah melihatnya.
Hidup merupakan pengulangan-pengulangan yang membosankan sehingga hanya hal-hal
yang baru saja yang akan menarik hati. Cobalah twako tanyakan kepada setiap
orang nelayan atau mereka yang biasa hidup di atas lautan, malam bulan purnama
seperti ini sama sekali tidak ada keindahannya. Para pelaut tentu akan lebih
mengagumi keindahan di pegunungan, akan tetapi sebaliknya para penghuni gunung
sama sekali tidak lagi dapat menikmati tamasya alam di pegunungan."
Tio Sun
menghela napas panjang. "Agaknya engkau suka berfilsafat, nona."
Kwi Eng
tertawa lagi. "Mungkin hanya terpengaruh oleh kitab-kitab yang diajarkan
oleh ibu kepadaku. Lihat, air laut mulai bergelombang, twako. Sebentar lagi
tentu gelombang akan cukup besar sehingga berdiri di sini tidak menyenangkan
lagi. Apa lagi bagi twako yang tidak biasa, jangan-jangan malah memabokkan.
Mari kita masuk saja ke dalam, twako."
Tio Sun
melihat bayangan bulan tadi sudah pecah-pecah dan merasakan goyangan kapal ke
kanan kiri. Dia mengangguk dan keduanya lantas memasuki bilik yang cukup besar
di mana tersedia meja kursi.
"Bagaimana
kau bisa tahu bahwa gelombang akan datang, nona? Padahal tadi tenang-tenang
saja, bahkan air laut hampir tidak bergerak sama sekali."
"Karena
belum tiba saatnya, twako. Akan tetapi setiap malam terang bulan, air laut
pasti bergelombang besar. Karena itu para nelayan lebih senang mencari ikan di
waktu malam gelap."
Kwi Eng
sengaja memberangkatkan kapal itu di malam hari agar tidak menarik perhatian
orang-orang di pantai, karena dia tahu bahwa sudah pasti di antara anak-anak
buah bajak Tengkorak Hitam, ada yang memata-matai gerakannya. Dia mengerahkan
anak buahnya kurang lebih lima puluh orang, sebagian besar adalah pribumi
ditambah belasan orang anak buah bangsa asing yang bekerja pada perusahaan
ayahnya.
Dia sendiri
memakai pakaian ringkas, dengan sepatu yang hitam mengkilap, sepatu boot yang
tinggi sampai di lututnya. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan Tio
Sun memandang kagum karena dara itu benar-benar kelihatan gagah perkasa.
Malam itu
gelombang amat besar dan kapal Angin Timur yang besar itu tidak dapat laju,
harus menentang gelombang dan perlahan-lahan mendekati sebuah pulau yang
terpencil jauh dari pulau-pulau lain. Menjelang pagi, ombak telah mereda dan
kapal itu baru berani membuang sauh di dekat pulau, menanti sampai datangnya
pagi.
Setelah bola
emas besar sekali itu muncul dari permukaan air di sebelah timur, membakar
lautan menjadi merah menyala, barulah kapal itu kembali bergerak menuju ke
pulau yang memanjang dan dari jauh kelihatan seperti seekor ikan hiu sedang
meliuk. Yang berada di atas dek hanya Kwi Eng, Tio Sun bersama beberapa orang anak
buah yang bertugas memegang kemudi dan mengatur layar.
Kapal besar
itu kelihatan sunyi sekali dan kosong, karena yang berada di atas geladak tidak
sampai sepuluh orang. Selebihnya, atas perintah Kwi Eng, menyembunyikan diri di
bawah dan di balik bilik. Pembantu yang mengemudikan kapal itu telah hafal akan
tempat ini, maka dengan hati-hati dia dapat memilih jalan yang aman dan
menempelkan kapal di tepi pulau yang airnya dalam.
Di situ
nampak beberapa buah perahu besar yang bercat hitam. Beberapa orang yang
tadinya berada di situ, segera berlari-lari ke daratan ketika melihat Kapal
Angin Timur itu.
Tak lama
kemudian, muncullah seorang laki-laki setengah tua, usianya kurang lebih lima
puluh lima tahun, bertubuh pendek tegap, kelihatan kokoh kuat dengan kedua
lengannya yang pendek agak membengkok ke dalam. Dia memakai pakaian yang
berlengan pendek sampai ke siku dan berkaki pendek sampai ke lutut hingga
nampaklah otot-otot di lengan serta kakinya yang melingkar-lingkar dan besar
menggembung, tanda bahwa orang itu bertubuh kuat dan bertenaga besar.
Rambutnya
diikat pada bagian atas kemudian dibiarkan terurai di belakang lehernya, dan di
pinggangnya nampak sebatang pedang melengkung panjang, yaitu sebatang pedang
samurai bergagang panjang. Kedua kakinya memakai sandal sederhana, dan mukanya
tertutup kumis dan brewok yang membuat orang ini kelihatan menyeramkan. Inilah
dia Tokugawa, kepala bajak laut Tengkorak Hitam yang amat ditakuti oleh para
pemilik kapal karena kejamnya.
Oleh karena
itu, melalui perantara kepala bajak laut ini yang bukan lain adalah pembesar di
kota Yen-tai sendiri, para pedagang dan pemilik kapal rela membayar uang
sumbangan atau hadiah kepada kepala bajak ini agar kapal-kapal mereka
dibebaskan dari gangguan Tengkorak Hitam. Tentu saja hal ini membuat Tokugawa
menjadi seorang yang kaya raya dan hanya karena permusuhannya dengan Yuan de
Gama beserta isterinya saja yang akhirnya membuat Tokugawa sampai terpaksa
melarikan diri ke Pulau Hiu, di mana dia kemudian membangun sebuah rumah besar dan
menjadikan pulau itu sebagai tempat persembunyiannya atau sebagai pusat dari
gerombolan bajak Tengkorak Hitam.
Tokugawa
tadinya adalah seorang jagoan samurai di Jepang. Golongan samurai ini amat
termasyhur di Jepang yang muncul pada abad ke sebelas. Pertama-tama muncul para
pimpinan golongan-golongan dan menamakan diri mereka sebagai pendekar yang
disebut daimyo (yang bernama besar) dan para daimyo ini yang karena sifatnya
seperti seorang jenderal pemimpin pasukan, maka muncullah golongan samurai (mereka
yang mengabdi).
Senjata
utama para pendekar ini adalah pedang panjang yang bergagang panjang pula, yang
bentuknya agak melengkung. Banyak di antara jagoan-jagoan samurai yang sudah
tidak bertugas dalam pasukan seorang daimyo, lalu menjadi perantau. Sifat
mereka amat menjunjung tinggi nama baik mereka sebagai jagoan samurai,
mengutamakan kagagahan, seperti halnya para pendekar di Tiongkok.
Akan tetapi,
setelah tidak ada lagi disiplin kelompok yang mengikatnya, berubahlah watak
Tokugawa akibat mabok akan wajah cantik wanita dan mabok akan kesenangan
duniawi, sehingga dia lalu dimusuhi oleh para jagoan samurai lainnya, karena
dianggap sebagai seorang yang mencemarkan nama samurai. Tokugawa lalu melarikan
diri dan akhirnya dia muncul sebagai kepala bajak yang disegani di sepanjang
pantai Teluk Po-hai.
Benar
seperti diceritakan oleh Kwi Eng kepada Tio Sun, bekas jagoan samurai ini
ketika bentrok dengan Yuan de Gama dan bertanding satu melawan satu dengan Souw
Li Hwa, samurainya tidak mampu menandingi Li Hwa dan tentu saja dia menjadi
kagum bukan main. Di samping suka akan wanita dan kedudukan serta kehormatan,
juga bekas jagoan samurai ini suka sekali akan kegagahan, maka melihat
kegagahan Li Hwa, dia menjadi tergila-gila kepada nyonya itu!
Akan tetapi
ternyata dia selalu gagal menghadapi pendekar wanita dan suaminya itu. Dan
akhirnya, saat melihat puteri pendekar wanita itu yang sudah besar, dia lalu
mengalihkan harapannya kepada Kwi Eng karena dia tahu bahwa dara cantik ini pun
sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hal ini membuat Yuan de Gama dan Souw Li Hwa
marah sekali, lalu dengan terang-terangan mereka ini memusuhi Tokugawa dan
hendak membunuh serta membasmi gerombolannya. Tokugawa berkali-kali mengalami
kekalahan dan akhirnya dia melarikan diri ke Pulau Hiu itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment