Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 18
KETIKA dia
mendengar berita bahwa Souw Li Hwa yang ditakutinya itu bersama suaminya pergi
ke barat, timbul kembali niatnya dan akhirnya, dengan menggunakan pengeroyokan
anak buahnya, dia berhasil mengalahkan dan menculik Richardo de Gama, kakak
kembar dari Kwi Eng dan membawanya sebagai tawanan ke Pulau Hiu. Mulailah dia
melakukan pembalasan terhadap keluarga itu dengan jalan menggunakan Richardo
sebagai sandera dan dia minta ditukar dengan kapal Angin Timur, kapal terbesar
di pantai itu!
Kalau saja
dia dapat memiliki kapal itu, tentu dia akan leluasa melakukan pembajakan,
mengejar kapal-kapal lain yang tidak memberi sumbangan kepadanya! Dan tentu
saja dia akan menggunakan pemuda itu untuk mendapatkan gadis yang
dirindukannya, yaitu Kwi Eng si cantik jelita!
Dapat
dibayangkan betapa girang hati Tokugawa ketika mendengar dari penjaga di pantai
pulaunya bahwa kapal Angin Timur yang dinanti-nantinya telah muncul! Dan lebih
girang lagi hatinya ketika dia mendengar laporan bahwa di antara delapan orang
yang membawa perahu dan tampak di atas geladak itu terdapat Souw Kwi Eng, dara
yang membuatnya tergila-gila sebagai pengganti ibu dara itu! Dia
menggosok-gosok kedua tangannya.
"Bagus,
sekali tepuk dua lalat ini namanya, ha-ha-ha-ha!" Maka cepat dia
mengumpulkan orang-orangnya yang berjumlah empat puluh orang lebih menuju ke
pantai menyambut datangnya kapal itu.
Melihat
munculnya musuh besar yang amat dibencinya itu, Souw Kwi Eng mengerahkan
khikang-nya lantas berseru dengan suara lantang, "Heiiiii...! Tokugawa,
manusia curang! Hayo lekas bebaskan kakakku, baru aku akan menyerahkan kapal
ini kepadamu. Kalau tidak, aku akan memutar kembali kapal ini!"
"Ha-ha-ha,
nona manis. Engkau menjadi tamu kehormatan, silakan turun dan kita bicara
dulu."
"Siapa
percaya omonganmu! Hayo lekas kau bebaskan kakakku!"
"Omongan
seorang pendekar samurai boleh dipercaya seratus prosen seperti percaya kepada
pedangnya!" Tokugawa berseru agak marah karena kehormatannya tersinggung.
Dia segera
memberi aba-aba dalam Bahasa Jepang kepada anak buahnya dan tak lama kemudian
tampaklah seorang pemuda yang tampan dan yang mukanya persis Kwi Eng, hanya
lebih besar dan tegap karena dia adalah seorang lelaki yang gagah, juga matanya
berwarna biru dan rambutnya keemasan. Pemuda ini adalah Souw Kwi Beng dan kini
dia digiring ke pantai dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang.
"Koko...!"
Kwi Eng berseru girang ketika melihat kakaknya dalam keadaan selamat walau pun
menjadi tawanan musuh.
"Moi-moi...
jangan terjebak oleh jahanam Tokugawa! Jangan kau dengarkan omongannya yang
palsu! Bawa anak buah sebanyaknya dan serbu saja, atau tunggu sampai ayah ibu
pulang. Mati pun aku tak akan penasaran kalau kelak dia dan gerombolannya
terbasmi!"
Diam-diam
Tio Sun kagum melihat pemuda itu yang demikian tabah dan bersemangat, persis
seperti sikap dara jelita itu. Sudah berada di tangan musuh, berarti jiwanya
berada di tangan musuh, masih berani bersikap menentang seperti itu.
"Ha-ha-ha!"
Tokugawa tertawa bergelak. "Nona manis, engkau tinggal pilih saja. Engkau
serahkan kapal itu baik-baik dan menjadi tamu kehormatanku, atau kau boleh bawa
pergi kapal itu akan tetapi lebih dahulu kau akan melihat leher kakakmu kupenggal
di sini, di depan matamu!" Tokugawa menggerakkan tangan kanannya dan…
"Srattt…!"
pedang samurai yang melengkung penjang itu telah dihunusnya dan berkilauan
tertimpa sinar matahari pagi. Sebatang pedang yang terbuat dari baja pilihan,
pikir Tio Sun.
"Tokugawa,
aku tidak takut akan ancamanmu. Aku memang mau menyerahkan kapal ini kepadamu
sebagai penukar kakakku, akan tetapi suruh kakakku mendekat dan kau harus
menjauhinya agar kau tidak bermain curang. Baru aku mau turun bersama
kakakku."
"Moi-moi,
jangan...!" Kwi Beng berteriak penuh kekhawatiran.
"Biarlah,
koko, mati pun tidak kenapa, asal kita bisa bersama. Lagi pula, seorang jagoan
samurai tentu tidak akan mencemarkan samurainya sendiri dengan jalan melanggar
janji dan bertindak curang."
"Ha-ha-ha-ha,
kau benar, nona manis. Ha-ha-ha!" Tokugawa menyarungkan samurainya dan
mendorong tubuh Kwi Beng ke arah pantai. "Kau sambutlah adikmu yang manis
dan kalian akan kusambut sebagai tamu-tamu kehormatan, ha-ha-ha!"
Kwi Beng
terhuyung dan menghampiri adiknya dengan kedua tangan masih terbelenggu ke
belakang. Pada saat itu pula, Tio Sun segera mengeluarkan pekik melengking
nyaring dan tubuhnya segera melayang dari atas kapal ke darat, langsung dia
menerkam dan menyerang Tokugawa!
Tokugawa
terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan lengannya yang amat kuat untuk
menangkis.
"Dukkk!"
Benturan dua
tenaga yang sama kuatnya itu membuat Tokugawa dan Tio Sun keduanya terlempar ke
belakang. Tokugawa makin kaget dan cepat dia memberi aba-aba kepada anak
buahnya untuk menyerbu dan menangkap kakak beradik itu.
Akan tetapi
tiba-tiba berserabutan anak buah Kwi Eng keluar dari kapal dengan jumlah yang
sama besarnya dengan jumlah anak buah bajak. Bahkan di antara mereka ada pula yang
memegang pistol seperti juga anak buah Tokugawa. Kwi Eng sendiri cepat-cepat
membebaskan kakaknya dari belenggunya, menyerahkan sebatang pedang dan bersama
kakaknya dia lalu berlari ke depan.
"Tahaaann...!"
Tiba-tiba Tokugawa berseru sebelum anak buahnya bertempur melawan anak buah Kwi
Eng. Dia mengangkat langan ke atas dan Kwi Eng juga cepat memberi aba-aba agar
orang-orangnya menahan senjata.
"Nona
Souw, engkau ternyata curang! Engkau menyembunyikan kaki tanganmu di dalam
kapal yang katanya hendak kau tukarkan dengan kakakmu!" Tokugawa
berteriak, secara diam-diam matanya menghitung dan mengukur kekuatan lawan,
kemudian dia mengerling tajam ke arah pemuda berpakaian kuning sederhana yang
mempunyai kekuatan dahsyat tadi.
"Tokugawa,
manusia tak tahu malu, kau masih berani bicara tentang kecurangan orang lain?
Engkau lari bersembunyi ketika ayah ibu kami masih berada di Yen-tai, kemudian
engkau muncul ketika mareka melakukan perjalanan ke luar negeri, dan engkau
menculik kakakku. Adakah yang lebih curang dari pada itu? Sekarang aku datang
dengan semua pasukanku untuk membasmimu, dan engkau bilang aku curang?"
"Bocah
she Souw yang sombong! Karena aku kagum kepada ibumu dan karena aku cinta
kepadamu maka aku tidak membunuh kakakmu, aku perlakukan dengan baik. Dari pada
engkau dan kakakmu mati konyol, lebih baik engkau menurut saja menjadi isteriku
dan kita semua menjadi keluarga, bukankah kedudukan kita akan menjadi lebih
kuat?"
"Jahanam
hina! Manusia macam engkau hendak memperisteri aku? Lebih baik aku mati bersama
kakakku dari pada dijamah tangan kotormu yang berlumuran darah manusia tak
berdosa itu. Kau adalah orang hina dan curang, yang hendak bersembunyi di
belakang samuraimu yang sudah berkarat!"
Hebat bukan
main hinaan ini bagi seorang jagoan samurai. Tio Sun pun menjadi terkejut
mendengar ucapan dara itu, karena kata-kata itu luar biasa tajamnya menusuk
perasaan.
"Bocah
bermulut lancang! Kau menghina Tokugawa? Ayahmu sendiri seorang pengecut,
bersembunyi di balik nama seorang kapten gagah perkasa yang tewas bersama
kapalnya, namun diam-diam melarikan diri dan hidup dengan sembunyi-sembunyi...!
Kalau memang kalian keluarga gagah, hayo lawan Tokugawa satu lawan satu!"
"Keparat,
siapa takut padamu?!" kini Souw Kwi Beng hendak meloncat ke depan, akan
tetapi adiknya memegang lengannya dan menoleh ke arah Tio Sun.
"Tio-twako,
maukah kau mewakili kami memberi hajaran kepada bajak sombong ini?"
katanya.
Tio Sun
mengangguk dan dia cepat melangkah maju menghadapi Tokugawa. "Tokugawa,
akulah lawanmu. Kita bertanding satu lawan satu ataukah hendak main
keroyokan?"
"Siapakah
kau?" Tokugawa membentak dengan suara yang agaknya keluar dari dalam
perutnya yang gendut.
"Namaku
Tio Sun."
"Kenapa
kau mencampuri urusan ini? Apakah engkau kaki tangan bayaran dari keluarga
berdarah campuran ini? Sungguh memalukan sekali ada seorang pendekar menjadi
antek orang asing!"
"Tokugawa,
mulutmu kotor seperti pecomberan!" Kwi Eng membentak, akan tetapi Tio Sun
tersenyum kepadanya.
"Tokugawa,
kau dengar baik-baik. Ayahku adalah seorang bekas pengawal yang paling
dipercaya dari mendiang Panglima Besar The Hoo. Oleh karena itu, biar pun aku
tidak bekerja kepada pemerintah, namun melihat bahwa engkau adalah kepala bajak
laut yang jahat dan mengganggu ketenteraman, sudah menjadi kewajibanku untuk
menentang dan membasmimu."
"Keparat,
bocah sombong engkau. Sudah bosan hidup agaknya. Hyaaaaattttt...!"
Dengan
tiba-tiba Tokugawa menyerang dengan kedua lengannya yang pendek-pendek namun
kuat sekali itu. Caranya menyerang seperti seekor kerbau hendak menyeruduk,
kepalanya di depan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri, agaknya
hendak meringkus tubuh Tio Sun yang dibandingkan dengan dia hanya kecil saja
meski pun jauh lebih jangkung.
Tio Sun yang
maklum bahwa orang ini mungkin ahli bermain pedang, akan tetapi bukan ahli
berkelahi dengan tangan kosong, hanya mengandalkan tenaga kasarnya saja, maka
dia sengaja tidak mau mengelak, melainkan menangkis pula dengan sepasang
lengannya yang dikembangkan ke kanan kiri.
"Plakk!
Plakkk!"
Untuk kedua
kalinya mereka mengadu tenaga, kini dengan kedua lengan, dan akibatnya, lengan
mereka terpental. Akan tetapi, tiba-tiba saja Tio Sun menjadi terkejut bukan
main karena entah bagaimana, tahu-tahu tangan Tokugawa telah dapat menangkap
lengannya dengan cara yang aneh, kemudian cepat lengannya diputar dan sebelum
Tio Sun sempat membebaskan diri, tubuhnya sudah terlempar!
Untung
pemuda ini memiliki ginkang yang baik sekali, maka cepat dia dapat menguasai
keseimbangan tubuhnya sehingga dia bisa terhindar dari bantingan, dan juga dari
kejaran Tokugawa yang sudah tertawa-tawa.
“Plakk!
Desss…!"
Tokugawa
yang kini terkejut pada saat tubuhnya terkena tamparan dan perutnya tercium
ujung kaki lawan pada waktu dia hendak mengejar lawan yang baru saja
dibantingnya itu. Keduanya lalu meloncat bangun lagi, saling pandang dengan
sinar mata saling mengukur dan marah seperti lagak dua ekor ayam jago yang
berlaga hendak saling terjang.
Tio Sun
merasa kecelik. Walau pun mungkin Tokugawa tidak memiliki ilmu pukulan yang
membahayakan, namun ternyata kepala bajak ini memiliki kepandaian gulat dan
gerakan seperti Ilmu Kim-na-jiu yang mengandalkan kecepatan kedua tangan serta
mematahkan kedudukan kaki lawan.
Tahulah dia
bagaimana harus menghadapi lawan yang pandai Ilmu Kim-na-jiu (Ilmu Silat
Cengkeraman dan Pegangan) ini. Sama sekali dia tidak boleh merapat atau mengadu
tangan! Maka Tio Sun lantas menerjang dengan cepat sekali, mengirim
pukulan-pukulan mengandalkan kecepatan gerakannya dan sama sekali tak memberi
kesempatan kepada lawan untuk merapat.
"Bukkk!
Desss...!"
Tubuh
Tokugawa terpelanting, akan tetapi tubuhnya memang kuat dan kebal sehingga
hantaman tangan kiri Tio Sun yang mengenai pundak kanannya dan disusul
tendangan pemuda itu yang mengenai lambungnya tidak membuat si kate kekar ini
langsung kalah. Dia terpelanting dan bergulingan lalu meloncat ke dekat lawan,
langsung dia menerkam seperti seekor burung garuda menyambar anak kambing.
Sekarang Tio
Sun mengelak cepat, meloncat ke kiri dan sengaja berlaku sedikit lambat
sehingga lawan lewat dekat di sampingnya. Sikunya menyambar disusul tamparan
pada tengkuk lawan.
"Plakkk...!
Desss...!"
Kembali
tubuh Tokugawa terjungkal dan bergulingan, akan tetapi tetap saja dia meloncat
bangun lagi. Kedua matanya menjadi merah, mulutnya mengeluarkan busa dan
jenggot serta kumisnya bergerak-gerak, dari mulutnya terdengar bunyi kerot gigi
beradu. Kedua tangannya direnggangkan dengan jari-jari tangan terbuka, semua
buku jari-jari tangannya mengeluarkan bunyi berkerotokan dan tiba-tiba tampak
sinar kilat menyambar ketika dia mencabut samurainya yang gemerlapan saking
tajamnya itu.
Sesudah
mencabut samurainya, agaknya bangkit semangat jagoan samurai di dalam diri Tokugawa.
Sikapnya menjadi gagah sekali, gagah dan tenang, agaknya dia telah mampu
menguasai kemarahannya sesudah melihat samurainya yang diagungkannya itu. Kedua
tangan memegang gagang samurai yang panjang, tubuhnya agak membongkok, kedua
kakinya memasang kuda-kuda, matanya terang dan tajam memandang gerak-gerik
lawan dan sedikit pun dia tidak bergerak seolah-olah telah berubah menjadi arca
batu.
Tio Sun juga
telah mencabut pedangnya. Pemuda itu sama sekali tak berani memandang rendah
karena meski pun cara memegang pedang lawannya begitu aneh, menggunakan dua
tangan, akan tetapi sikap lawannya, pasangan kuda-kudanya, gerak-geriknya,
jelas membayangkan keahlian. Lagi pula, selama hidupnya belum pernah dia
bertemu dengan lawan yang menggunakan pedang samurai, maka dia belum tahu
bagaimana sifat ilmu pedang ini.
Oleh karena
itu, setelah menghunus pedangnya dan memegang pedang dengan tangan kanannya,
Tio Sun juga memasang kuda-kuda yang gagah, kaki kiri tegak, kaki kanan
diangkat kemudian ditekuk lututnya sehingga ujung sepatu kanan menyentuh lutut
kiri. Pedangnya di depan tubuh menuding ke bawah, ujungnya menyentuh tanah dan
tangan kiri di atas kepala menuding ke langit, mata mengerling ke kanan, ke
arah lawan dengan pandang mata tajam. Inilah pembukaan kuda-kuda yang disebut
Menunjuk Bumi dan Langit yang merupakan pembukaan pertahanan yang amat kuat.
Melihat
lawannya tidak dapat dipancing untuk menyerang terlebih dahulu, Tokugawa yang
menjadi penasaran itu lalu menggerakkan pedangnya.
"Singgg...!
Hyaaaatttttt…!"
Dia berlari
ke depan, pedangnya digerakkan dengan cepat sekali, berputar-putar berubah
menjadi gulungan sinar pedang kilat yang bergulung-gulung sambil mengeluarkan
bunyi dahsyat.
"Sing-singggg...
wuuutt-wuuutt-wuutt...!"
Tio Sun
cepat mengelak dan kini dia mulai mengerti akan kedahsyatan ilmu pedang yang
dimainkan oleh dua tangan itu. Pedang itu agak melengkung dan panjang, lagi
berat, digerakkan oleh kekuatan dua buah tangan maka tentu saja sangat hebat
dan dahsyat, sekali saja mengenai tubuh lawan pasti berarti maut dan gerakan
lawan itu sembilan puluh prosen berupa serangan, dan sedikit sekali
mementingkan pertahanan karena tentu menurut perhitungan Tokugawa, serangannya
yang amat dahsyat dan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan itu
pasti membuat lawan tidak akan mampu balas menyerang. Jadi inti gerakan
Tokugawa itu adalah semata-mata menekan lawan dan tidak memberi kesempatan
kepada lawan untuk membalas!
Sejak kecil
Tio Sun digembleng oleh ayahnya sendiri dan ayahnya itu, Ban-kin-kwi Tio Hok
Gwan, adalah seorang bekas pengawal Panglima Besar The Hoo sehingga sudah
melakukan ribuan pertempuran dan telah mempunyai pengalaman yang luas sekali
dalam menghadapi orang-orang pandai dari berbagai aliran.
Karena tak
mungkin baginya untuk menceritakan semua teori aliran-aliran ilmu silat yang
demikian banyaknya, maka dia hanya memesan kepada puteranya itu supaya setiap
kali menghadapi lawan yang tak dikenal ilmunya, janganlah terburu nafsu untuk
mengalahkan lawan itu sebelum benar-benar tahu akan kelemahan-kelemahannya.
Sikap terburu nafsu ini mungkin akan mencelakakan diri sendiri karena dalam
keadaan terdesak, lawan itu mungkin memiliki suatu ilmu simpanan yang akan
berbalik mencelakakan penyerangnya.
Karena itu,
biar pun Tio Sun sudah tahu bahwa lawannya lebih menekankan penyerangan
sehingga pertahanannya menjadi lemah, dia tidak mau tergesa-gesa membalas
serangan lawannya, apa lagi karena dia maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu
yang aneh-aneh dan tentu saja sebagai seorang tokoh sesat telah memiliki
pengalaman pertempuran yang amat luas. Sebab itu dia hanya mengelak dan
kadang-kadang menangkis dan setiap kali tangkisan, pedangnya tentu segera
terpental karena betapa pun kuatnya, tenaga sebelah tangannya tidak mampu
menandingi tenaga kedua tangan Tokugawa.
"Sing-sing-wuuut-wuuuttt...
trang-cringggg...!"
Sampai lewat
lima puluh jurus Tio Sun kelihatan seolah-olah terdesak oleh Tokugawa dan
anak-anak buah Tokugawa telah menyeringai dan tersenyum girang. Mereka itu
agaknya maklum bahwa pemuda itu adalah ‘jagoan’ yang dibawa oleh musuh, dan
kalau sang jagoan itu sudah dirobohkan, tentu akan mudah membasmi pasukan lawan
yang sudah kehilangan jagoannya yang diandalkan.
Akan tetapi,
di fihak Kwi Eng dan Kwi Beng, hanya para anak buah mereka saja yang kelihatan
gelisah melihat Tio Sun terus didesak mundur, bahkan sering kali samurai yang
tajam bukan main itu hanya berselisih sedikit dari tubuh jagoan mereka! Akan tetapi
Kwi Eng dan Kwi Beng menonton dengan tenang-tenang saja.
Dua orang
muda ini adalah putera-puteri pendekar wanita Souw Li Hwa dan mereka itu dapat
melihat betapa kini Tio Sun bertanding dengan hati-hati dan tenang, tanda bahwa
pemuda itu memang mempunyai kepandaian tinggi dan tidak sembarangan main
seruduk saja yang kemudian akan mengakibatkan kekalahan di fihaknya.
Kini Tio Sun
mulai dapat mempelajari inti gerakan lawan. Juga dengan girang dia melihat
betapa lawannya sudah mulai berkeringat dan napasnya mulai memburu. Hal ini
tidaklah mengherankan karena Tokugawa sudah berusia lima puluh tahun lebih,
menggerakkan samurainya dengan dua tangan dan dengan sepenuh tenaga, ditambah
lagi cara hidupnya yang tidak sehat, maka tentu saja ketangkasan dan daya tahannya
tidak seperti di waktu dia masih menjadi seorang jagoan samurai di negerinya.
Tokugawa
juga maklum bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak boleh dipandang ringan
saja. Dahulu pernah dia memandang ringan kepada Souw Li Hwa dan dia kalah,
hampir saja dia tewas. Maka kini dia harus bersikap hati-hati.
Setelah
mendesak selama lima puluh jurus dan sama sekali tidak ada tanda-tanda pada
lawan untuk kewalahan menghadapi samurainya, malah gerakan lawan makin lama
makin cepat dan ringan, Tokugawa lalu berpikir untuk menggunakan siasat. Maka
dia sengaja memperberat napasnya dan memperlambat gerakannya.
Bagaimana
pun juga, Tio Sun adalah seorang pemuda yang baru saja keluar dari rumah
ayahnya, seperti seekor burung yang baru saja keluar dari sarang. Meski pun dia
sudah mempelajari banyak teori, akan tetapi dia belum banyak pengalaman, maka
dia tidak tahu bahwa lawannya itu berpura-pura kehabisan tenaga. Dia menjadi
gembira sekali melihat kelambatan gerakan samurai, maka mulailah dia menyerang!
"Heiiiiittttt...!"
Pedangnya meluncur seperti kilat.
"Cring-cringgg...
ciuuuutttt...!"
Samurai itu
menangkis dua kali dan tiba-tiba dari pinggir gagangnya meluncur sebatang paku
ke arah Tio Sun.
"Aduhhh...!"
Tio Sun terpekik karena kaget ketika tahu-tahu paku itu menancap di pundak
kirinya. Pedangnya lantas berkelebat cepat laksana kilat dan kini giliran
Tokugawa yang berteriak, tangannya berdarah dan terpaksa dia melepaskan
samurainya.
Pada saat
itu pula Tio Sun yang telah terluka pundaknya itu secepat kilat menusukkan
pedangnya ke arah dada lawan. Tokugawa miringkan tubuhnya membiarkan pedang itu
menancap di pundaknya akan tetapi pada saat itu, kedua tangannya menyambar dan
dia sudah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Tio Sun! Cengkeramannya
itu kuat sekali dan Tio Sun maklum bahwa agaknya tidak mungkin melepaskan kedua
lengannya dari cengkeraman itu, maka secara diam-diam dia lalu mengerahkan
sinkang-nya untuk memberatkan tubuhnya.
Tokugawa
tertawa bergelak. Jagoan samurai ini pun maklum bahwa bagi ahli silat, yang
berbahaya adalah kedua tangannya. Maka kini dia menjadi girang karena telah
berhasil menangkap kedua pergelangan tangan lawan, membuat lawannya tidak
berdaya.
Dia sama
sekali tidak berani melepaskan lengan lawannya, karena maklum bahwa begitu
terlepas, tangan itu akan dapat mengirim pukulan maut dengan cepat sekali dan
hal ini amat membahayakan dirinya. Maka sesudah kini berhasil menangkap lengan
lawan, dia tertawa.
"Ha-ha-ha-ha,
hayo, kau lepaskan dirimu kalau bisa! Dan bersiaplah kau untuk mampus
kubanting!"
Souw Kwi
Beng dan Souw Kwi Eng memandang dengan kaget sekali. Tadi mereka sama sekali
tidak khawatir karena ilmu silat pemuda yang membantu mereka itu ternyata
tinggi sekali. Akan tetapi sekarang, dengan kedua pergelangan tangan
dicengkeram, ilmu silat tidak ada gunanya lagi, karena kedua lengan tidak dapat
digerakkan.
Kwi Beng dan
Kwi Eng merasa heran mengapa pemuda itu tidak mau menggunakan kakinya untuk menendang.
Dan Tokugawa juga bahkan mengharapkan agar lawannya itu menggerakkan kaki
menendangnya.
Akan tetapi
Tio Sun berpendapat lain. Setelah bertempur, dia maklum bahwa dia dapat
mengatasi ilmu silat kepala bajak ini, akan tetapi yang sangat diandalkan oleh
lawannya dan tidak dapat diatasinya hanyalah ilmu gulat yang aneh itu. Karena
itu dia tidak mau mengangkat kaki menendang, karena dia menduga bahwa pada saat
dia menendang, maka kekuatan bawah tubuhnya lenyap dan dia akan mudah diangkat
dan dibanting oleh lawan yang bertenaga gajah ini.
Dan
dugaannya memang benar, sebab Tokugawa juga menanti-nanti saat itu. Karena dia
mendapat kenyataan bahwa lawannya tetap tidak mau menendangnya bahkan kelihatan
seperti memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, Tokugawa tertawa, kemudian mendadak
mengeluarkan suara dari perut sambil kedua lengannya bergerak, otot-otot
sebesar jari tangan di sekitar lengannya menonjol.
"Haaaaaiiiiikkkkk...
hyaaaaatttt...!"
Dia
mengerahkan seluruh tenaganya, dengan ilmu gulat dia berusaha mengangkat tubuh
pemuda itu untuk dilemparkannya atau dibantingnya. Akan tetapi, sedikit pun
kedua kaki Tio Sun tidak terangkat!
Pemuda ini
adalah putera tunggal, sekaligus juga murid dari Tio Hok Gwan yang berjuluk
Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja dia sudah melatih
dirinya dengan ilmu kebanggaan keluarganya ini sehingga kini jangankan baru
tenaga seorang Tokugawa, meski kepala bajak itu menggunakan bantuan sepuluh
orang kaki tangannya, belum tentu akan mampu mengangkat tubuh Tio Sun!
Tentu saja
Tokugawa menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang jagoan samurai yang
terkenal memiliki tenaga hebat dan jarang ada lawan yang dapat menandingi
tenaganya. Akan tetapi sekarang, setelah menguasai kedua lengan lawan ini,
seorang pemuda yang masih sangat muda, bertubuh kecil saja, seorang pemuda yang
belum ternama, dia tidak mampu mengangkatnya! Saking marahnya, dia mengerahkan
seluruh tenaga dalam dan tenaga otot, perutnya mengeluarkan gerengan seperti
seekor harimau terluka.
"Auggghhhh...
haaaiiiikkkkk... prott!"
Sebagai
seorang gadis yang wataknya jenaka dan periang, Kwi Eng tak mampu menahan
kegelian hatinya mendengar suara terakhir tadi, karena suara berperopot itu
keluar dari pantat Tokugawa!
"Hi-hi-hik,
tidak tahu malu...!" Kwi Eng terkekeh sambil menutupi hidungnya,
menjepitnya dengan ibu jari dan telunjuknya.
Pada saat
itu, Tio Sun mengeluarkan pekik dahsyat melengking, tanda bahwa dia telah
mengerahkan Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati) sepenuhnya dan tiba-tiba saja
tubuh Tokugawa terangkat ke atas kemudian sekali Tio Sun menggerakkan kedua
lengannya, terlepaslah pegangan kedua tangan Tokugawa dan tubuh kepala bajak
itu terlempar ke depan sampai enam tujuh meter jauhnya, terbanting ke atas
tanah hingga berdebuk dan mengebullah debu di atas tanah yang tertimpa tubuhnya
itu. Sebelum Tokugawa sempat merangkak bangun, tampak sinar menyambar dibarengi
suara ledakan.
"Tarr-tarrr...!"
Dan tubuh
itu roboh kembali dengan kepala pecah disambar pecut baja, yaitu joan-pian yang
merupakan pecut yang dipakai oleh Tio Sun sebagai ikat pinggang!
Tentu saja
peristiwa ini mengejutkan hati para bajak laut dan serentak mereka menyerbu ke
depan didahului oleh tembakan-tembakan dari pistol beberapa orang anak buah
bajak.
"Tio-twako,
awas pistol...!" Kwi Eng menjerit. Akan tetapi Tio Sun yang bersikap
waspada sudah cepat meloncat ke belakang, kemudian bertiarap di dekat Kwi Eng
dan Kwi Beng.
Kwi Beng
yang merupakan seorang jagoan tembak, cepat menyambar sepucuk pistol dari
tangan seorang anak buahnya, dan bersama para anak buahnya yang memegang pistol
dia lalu maju. Terjadilah tembak-menembak, akan tetapi hanya sebentar saja
karena Kwi Eng yang tahu bahwa fihak lawan sudah kehabisan peluru tak mau
memberi kesempatan kepada lawan untuk mengisi kembali senjata api mereka dan
sudah mengerahkan anak buahnya menyerbu ke depan. Dia sendiri bersama kakaknya
dan Tio Sun sudah meloncat ke depan dan mengamuklah tiga orang muda ini dengan
hebatnya.
Perang
tanding kini terjadi dengan amat seru. Akan tetapi sebentar saja para bajak
yang sudah kehilangan kepalanya itu menjadi kocar-kacir. Banyak di antara
mereka yang tewas dan sebagian lagi berhasil melarikan diri dari Pulau Hiu
dengan perahu-perahu mereka. Kwi Eng hendak mengerahkan anak buahnya untuk
melakukan pengejaran, akan tetapi dicegah oleh Tio Sun.
"Nona,
tidak perlu mereka dikejar. Niat kita hanya ingin menyelamatkan kakakmu dan hal
itu sudah berhasil, sedangkan Tokugawa juga telah tewas."
Kwi Beng
membenarkan pendapat Tio Sun ini dan mereka lalu membakar bekas sarang
gerombolan bajak laut itu, kembali lagi ke kapal membawa teman-teman yang tewas
atau luka dalam pertempuran tadi dan kembali ke pantai daratan.
Sesudah tiba
kembali di dalam gedung mereka, dengan hati penuh rasa kagum, kakak beradik
kembar ini menghaturkan terima kasih kepada Tio Sun yang diterima oleh pemuda
sederhana ini dengan sikap merendahkan diri. Kwi Beng juga gembira mendengar
bahwa pemuda ini ternyata adalah putera pengawal setia dari Panglima Besar The
Hoo, guru dari ibunya sendiri.
"Tio-twako
hendak pergi ke manakah maka kebetulan dapat lewat di Yen-tai dan dapat bertemu
dengan Eng-moi kemudian menolongku?" Kwi Beng bertanya.
Tio Sun
menarik napas panjang. "Sebenarnya aku sedang memikul tugas yang sangat
penting sebagai wakil dari ayahku yang sudah tua dan yang tidak suka lagi
mencampuri urusan dunia. Oleh karena ayah merasa penasaran akan peristiwa dan
mala petaka yang menimpa keluarga ketua Cin-ling-pai yang sangat dihormati dan
disayangnya, maka ayah menyuruh aku untuk pergi melakukan penyelidikan dan
membantu Cin-ling-pai."
Kwi Beng dan
Kwi Eng kelihatan terkejut dan tertarik sekali. "Apakah twako maksudkan
Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya Kwi Beng.
Tio Sun
tidak merasa heran kalau dua orang kakak beradik ini sudah pernah mendengar
tentang nama Cia Keng Hong. Siapakah yang tidak pernah mendengar nama besar
ketua Cin-ling-pai yang merupakan pendekar atau tokoh besar di dunia persilatan
pada masa itu?
"Jadi
ji-wi (anda berdua) sudah mengenal beliau?"
"Mengenal
sih belum," jawab Kwi Eng. "Akan tetapi ibu sering kali bercerita
kepada kami mengenai pendekar-pendekar sakti dan budiman di dunia kang-ouw, di
antaranya adalah Cia Keng Hong locianpwe, ayahmu bekas pengawal Tio Hok Gwan,
dan pendekar Yap Kun Liong. Karena ibu sering bercerita, kami jadi mengenal
nama-nama besar itu walau pun belum pernah berjumpa dengan mereka dan baru
sekarang secara kebetulan kami dapat bertemu dan berkenalan dengan twako."
"Apakah
yang sudah terjadi dengan Cin-ling-pai? Mala petaka apa yang dapat menimpa
ketua Cin-ling-pai yang menurut ibu mempunyai kepandaian yang amat
tinggi?" tanya Kwi Beng.
"Peristiwa
itu terjadi sewaktu Cia-locianpwe (orang tua sakti Cia) beserta isterinya tidak
berada di Cin-ling-san. Lima orang datuk sesat dari dunia hitam yang agaknya
menaruh dendam kepada keluarga Cia-locianpwe menggunakan kesempatan itu untuk
menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai, mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan
membunuh tujuh orang dari Cap-it Ho-han di Cin-ling-pai." Tio Sun mulai
dengan penuturannya dan kemudian dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi
di Cin-ling-san sebagaimana yang didengar dari ayahnya.
Kedua orang
kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan hati diliputi
penuh rasa penasaran karena cara-cara Lima Bayangan Dewa yang mengganggu
Cin-ling-pai itu mereka anggap amat pengecut.
“Dan twako
sekarang hendak menyelidiki Lima Bayangan Dewa itu dan berusaha untuk
mendapatkan kembali pedang Siang-bhok-kiam?” tanya Kwi Beng dengan kagum.
Tio Sun
mengangguk dan Kwi Eng bertanya, “Kalau begitu, apa yang mendorong twako sampai
di Yen-tai ini? Apakah mereka itu tinggal di sini…?”
“Aku
mendengar bahwa seorang di antara mereka yang berjuluk Liok-te Sin-mo Gu Lo It
berasal dari pantai timur daerah sini, maka aku melakukan penyelidikan sampai
Yen-tai. Ji-wi yang tinggal di sini semenjak lahir, tentu akan bisa membantuku
menyelidiki di mana adanya Liok-te Sin-mo Gu Lo It itu yang merupakan orang ke
dua dari Lima Bayangan Dewa.”
“Tentu saja!
Walau pun kami sendiri belum pernah mendengar nama itu, akan tetapi kami akan
mengerahkan orang-orang kami untuk melakukan penyelidikan,” Kwi Beng berkata.
Pada hari
itu juga Kwi Beng menyebar orang-orangnya untuk menyelidiki di sekitar kota
Yen-tai kalau-kalau ada yang tahu di mana tinggalnya datuk kaum sesat yang
berjulukan Liok-te Sin-mo itu.
Dengan ramah
kedua kakak beradik itu mempersilakan Tio Sun tinggal di gedung mereka sambil
menanti hasil penyelidikan orang-orang mereka dan setiap hari Kwi Beng dan Kwi
Eng mengajak Tio Sun berjalan-jalan dan melihat-lihat keindahan alam sepanjang
pantai di tepi laut. Hubungan di antara mereka menjadi semakin akrab dan
perasaan aneh di hati Tio Sun terhadap Kwi Eng jadi makin terbakar.
Tiga hari
kemudian terdapatlah berita tentang datuk kaum sesat yang mereka selidiki itu.
Di antara para penyelidik ada yang dapat mengabarkan bahwa orang yang dicari
itu, yaitu Liok-te Sin-mo Gu Lo It, memang tadinya tinggal di tempat sunyi di
pinggir laut timur, akan tetapi semenjak beberapa bulan yang lalu telah lenyap
dari goa pertapaannya dan tidak ada orang yang tahu ke mana perginya. Hanya ada
dugaan bahwa kakek itu sudah pergi ke pedalaman.
“Kalau
begitu, aku akan mencari di tempat lain,” kata Tio Sun kecewa.
Mendadak
seorang pelayan memberi tahu bahwa ada seorang utusan dari Ciang-tikoan, yaitu
pembesar setempat di kota Yen-tai, datang hendak bertemu dengan dua orang
saudara kembar itu.
Kwi Beng dan
Kwi Eng, diikuti Tio Sun segera keluar menemui utusan tikoan yang segera
menyerahkan sesampul surat dari sang pembesar. Kwi Beng segera membuka surat
itu dan alisnya berkerut, kemudian berkata pada utusan itu,
“Baik,
sampaikan kepada tikoan bahwa sebentar lagi kami akan datang menghadap.”
Setelah
utusan itu pergi, Kwi Beng memperlihatkan surat itu kepada adiknya, kemudian
Tio Sun juga dipersilakan membacanya. Kiranya itu adalah surat panggilan yang
nadanya keras terhadap dua orang asing yang bernama Richardo de Gama dan Maria
de Gama!
"Dengan
menyebutkan nama asing kami, jelas bahwa pembesar korup ini tidak memiliki niat
yang baik," kata Kwi Beng.
"Pembesar
busuk!" Kwi Eng memaki. "Sungguh dia berani menghina kita setelah
ayah ibu tidak berada di sini. Lupakah dia betapa ibu sudah membersihkan
Yen-tai dari gangguan para penjahat dan betapa sudah banyak dia makan uang
hadiah dari ayah?"
Tio Sun
merasa khawatir sekali. "Apa bila sekiranya dia mempunyai niat buruk,
lebih baik ji-wi tidak usah datang menghadapnya."
"Kita
tidak mempunyai pilihan lain," Kwi Beng berkata. "Kalau tidak datang
tentu dianggap membangkang dan memberontak. Biarlah kami berdua datang ke sana
untuk mendengar apa yang akan dikatakannya."
"Dan
aku akan membawa bekal untuk menutup mulutnya kalau perlu," kata pula Kwi
Eng.
Mereka lalu
mempersiapkan segalanya, tidak lupa sekantong terisi uang emas, kemudian minta
kepada Tio Sun supaya menanti sebentar di gedung mereka. Tak lama kemudian
berangkatlah kakak beradik itu menghadap pembesar setempat, diantar pandangan
mata penuh kekhawatiran oleh Tio Sun.
Sampai
hampir sore dua orang kakak beradik itu belum juga pulang dan hati Tio Sun
telah merasa gelisah sekali. Tidak lama kemudian, datang seorang anggota atau
anak buah keluarga itu berlarian lalu dengan terengah-engah dia menceritakan
betapa Kwi Beng dan Kwi Eng telah ditangkap dengan tuduhan memberontak, bahkan
para anak buahnya yang malam tadi menyerbu Pulau Hiu juga ditangkap semua!
"Celaka...!"
Tio Sun berseru kaget dan pada saat itu, sepasukan prajurit keamanan kota
datang menyerbu gedung tempat tinggal Kwi Eng dan Kwi Beng.
"Tio-taihiap,
cepat larilah... kalau tidak taihiap tentu akan ditangkap pula!" kata
orang yang datang pertama tadi.
Tio Sun
maklum bahwa tidak mungkin dia melawan prajurit-prajurit pemerintah. Dia putera
bekas pengawal setia dari kerajaan, maka tentu saja tak mungkin bagi dia untuk
melawan prajurit pemerintah, sungguh pun sekali ini para prajurit itu sudah
digunakan oleh seorang pembesar yang agaknya sewenang-wenang.
"Kalau
begitu, hayo kau ikut aku melarikan diri!" Tio Sun menyambar lengan orang
itu dan segera membawanya lari lewat pintu belakang sesudah mengambil buntalan
pakaian dan pedangnya. Karena dia dapat bergerak cepat sekali, biar pun dia
mengajak seorang anak buah Kwi Beng, dia dapat lolos melalui tembok belakang
ketika para prajurit menyerbu gedung itu, menangkapi pelayan dan menyita gedung
seisinya.
Apakah
sesungguhnya yang telah terjadi atas diri Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng? Mereka
berdua pergi menghadap Ciang-tikoan, akan tetapi begitu mereka tiba, segera
keduanya dikepung oleh sepasukan prajurit kemudian ditangkap dengan tuduhan
sudah membunuhi para nelayan di Pulau Hiu! Tentu saja Kwi Beng menjadi marah
sekali dan hampir saja dia mengamuk kalau tidak dilarang oleh Kwi Eng.
"Kita
difitnah, Beng-ko, dan kita dapat membela diri di pengadilan. Kalau kita
menentang, berarti kita sudah memberontak terhadap penguasa setempat yang
mewakili pemerintah." Demikian kata Kwi Eng dan gadis ini lalu menyerahkan
bungkusan uang emas kepada kepala pasukan supaya disampaikan kepada
Ciang-tikoan. Akan tetapi mereka tetap saja ditawan, dibelenggu dan dihadapkan
kepada tikoan, sedangkan kantong yang berisi uang itu entah ke mana larinya!
Dengan suara
kereng tikoan membentak kedua orang kakak beradik yang sudah dipaksa berlutut
di depannya itu. "Kalian ini keturunan orang-orang asing sudah berani
membuat keonaran di daerah kami? Kalian telah mengandalkan kekuatan, membunuh
para nelayan di Pulau Hiu dan merampok harta benda mereka."
Kedua orang
kakak beradik itu mengangkat muka lantas memandang kepada tikoan itu dengan
heran dan penasaran. Ciang-tikoan ini sudah mengenal baik orang tua mereka,
juga sudah pernah datang ke gedung mereka dan telah banyak memperoleh hadiah,
akan tetapi sikapnya sekarang ini seolah-olah seperti belum pernah kenal saja,
seperti sedang menghadapi dua orang penjahat!
"Maaf,
taijin (sebutan pembesar). Kami sama sekali tidak merasa membunuhi nelayan, apa
lagi merampok harta mereka," jawab Kwi Beng.
"Brakkk…!"
Tikoan menggebrak mejanya.
"Kau
masih berani membohong, Richardo de Gama? Beberapa orang nelayan dari Pulau Hiu
berhasil lolos dan mereka menjadi saksi-saksi utama. Kau tidak mengaku bahwa
tadi malam kalian berdua membawa anak buah, dan naik kapal Angin Timur menyerbu
Pulau Hiu dan membunuhi banyak nelayan tak berdosa di sana?"
"Tidak!
Itu hanya fitnah semata!" kini Kwi Eng menjawab dengan suara lantang.
"Sayalah yang membawa anak buah naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu,
akan tetapi sama sekali bukan untuk membunuhi nelayan, melainkan untuk menolong
kakak saya ini yang diculik oleh gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh
Tokugawa."
"Ha!
Jadi kalian sudah mengaku telah menyerbu Pulau Hiu, bukan? Sudah ada bukti dan
pengakuan, jadi sudah jelas dosa kalian! Jangan mencoba memutar balikkan
kenyataan, ya? Di Pulau Hiu tidak ada bajak, yang ada hanya beberapa orang
petani dan nelayan Bangsa Jepang dan pribumi yang hidup tenteram."
"Taijin!
Mereka itu benar-benar kawanan bajak yang dipimpin oleh Tokugawa!" Kwi Beng
berseru.
Ciang-tikoan
mengangkat tangannya. "Kau hendak membantah? Mana buktinya bahwa ada bajak
laut di sana? Kalau ada bajak laut tentu sudah kusuruh basmi!"
"Tapi
benar-benar kakak saya diculik, taijin!" Kwi Eng membantah.
"Diam!
Tanpa bukti, kalian tidak boleh bicara seenaknya saja. Karena masih mengingat
kebaikan orang tua kalian, aku tidak akan menyuruh hukum rangket kepada kalian,
akan tetapi karena telah melakukan pembunuhan besar-besaran ini kalian harus
diadili di kota raja sebagai pemberontak-pemberontak!"
"Taijin...!"
Kwi Beng berteriak marah.
"Kau
akan memberontak pula di sini?" pembesar itu mengangkat tangan dan para
prajurit pengawal telah mengurung pemuda yang kedua tangannya terbelenggu di
belakang tubuh itu.
"Tidak,
taijin, kami tidak akan memberontak dan kami tidak pernah memberontak,"
Kwi Eng berkata dengan suara halus. "Jika perbuatan kami di Pulau Hiu itu
tidak berkenan di hati taijin, harap Ciang-taijin sudi memaafkan dan suka
memandang muka orang tua kami memberi ampun. Tentu saja kami tidak akan
melupakan semua budi kebaikan taijin ini." Dengan halus Kwi Eng membujuk
dan menjanjikan ‘balas jasa’ yang besar.
Ciang-taijin
mengurut kumisnya yang panjang melengkung ke bawah seperti kumis anjing laut
jantan itu. "Ha-ha-ha, kebaikan apa yang dapat dilakukan oleh kalian ini,
peranakan-peranakan asing yang sudah berani memberontak? Seluruh rumah dan
seisinya sudah kami sita sebagai milik pemerintah dan kalian akan diadili di
kota raja. Pengawal, kurung mereka sambil menanti saat mereka dikirim sebagai
tawanan pemberontak ke kota raja."
"Penasaran!
Tidak adil...!" Kwi Beng meloncat berdiri akan tetapi belasan orang
pengawal sudah meringkusnya kembali.
"Beng-ko,
tenanglah dan jangan melawan," kata Kwi Eng dan mereka lalu digusur keluar
dari ruangan itu.
"Tangkap
semua anak buahnya yang menyerbu ke Pulau Hiu!" Ciang-taijin memerintah
pasukannya.
Mengapa
pembesar she Ciang itu demikian keras dan menekan terhadap kedua orang muda
itu? Ada beberapa sebab yang mendorong pembesar itu berlaku sedemikian rupa
terhadap Kwi Beng dan Kwi Eng.
Pertama-tama,
sebenarnya memang terdapat rasa tidak puas dan tidak senang di dalam hati
pembesar itu terhadap keluarga Yuan de Gama, apa lagi setelah Souw Li Hwa
selalu menentang para penjahat dan bajak yang berkeliaran di Yen-tai.
Lebih-lebih lagi setelah terjadi bentrok antara keluarga pendekar ini dengan
Tokugawa, diam-diam Ciang-tikoan menjadi semakin tidak senang.
Tokugawa
merupakan ‘tangan kanannya’ secara rahasia dan dari bajak laut inilah segala
keinginan hati Ciang-tikoan dapat terlaksana. Mau kekayaan? Mau wanita-wanita
muda yang cantik? Mau membunuh orang yang tidak disukainya? Hanya tinggal
menyuruh para bajak itu, tanggung beres!
Maka
kemudian Souw Li Hwa dan suaminya yang menentang kejahatan dianggap sebagai
ancaman yang dapat menggoyahkan kedudukannya. Akan tetapi dia tidak berani
secara terang-terangan menentang karena Souw Li Hwa dan suaminya merupakan
orang-orang gagah dan berpengaruh, pula tidak ada alasannya. Kini, suami isteri
perkasa itu pergi, dan terjadi peristiwa pembasmian di Pulau Hiu, maka
Ciang-tikoan mendapat kesempatan baik untuk membalas dan melampiaskan semua
kebenciannya.
Dia
kehilangan Tokugawa, maka dia segera menangkap Kwi Beng dan Kwi Eng dengan
tuduhan pemberontak, dan tentu saja rumah gedung dan seisinya itulah yang
merupakan dorongan besar pula untuk menangkap dua orang muda itu. Dia tidak
khawatir bila kelak orang tua dua muda-mudi kembar itu pulang, karena sudah ada
bukti dan banyak saksi betapa dua orang kakak beradik itu membunuhi orang-orang
yang disebutnya ‘nelayan-nelayan tak berdosa’ di Pulau Hiu.
Semenjak
sejarah berkembang, tidak peduli di negara mana pun di bagian dari dunia ini,
terdapat banyak sekali pembesar-pembesar seperti Ciang-tikoan ini. Terutama
sekali di waktu pusat pemerintahan sedang kalut dan pengawasan dari atasan
kurang ketat, maka para pembesar setempat lalu mempergunakan kekuasaannya untuk
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.
Segala
sesuatu kebutuhan rakyat yang harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari para
pembesar, pasti dipersulit sedemikian rupa sehingga rakyat yang membutuhkan
ijin itu secara terpaksa harus mengeluarkan sebagian miliknya untuk ‘memberi
hadiah’ atau istilah umumnya sogokan atau suapan kalau dia menghendaki
pekerjaannya dapat lancar dan ijin yang dibutuhkannya dapat diberi oleh
pembesar yang berwenang. Tentu saja ada pembesar-pembesar yang betul-betul
merupakan pemimpin rakyat, pelindung rakyat yang bijaksana dan menunaikan tugas
kewajibannya dengan baik, yang berhati bersih dan tidak menyalah gunakan
kekuasaan dan kedudukannya, akan tetapi sayang, pembesar seperti ini hanya
dapat dihitung dengan jari tangan saja!
Mengapa
keadaan di Yen-tai dan di kota-kota lainnya di seluruh Tiongkok yang dikuasai
Kerajaan Beng-tiauw seperti itu penuh dengan para pembesar yang menyalah
gunakan kedudukannya untuk memenuhi kesenangan diri pribadi saja tanpa
menghiraukan nasib rakyatnya? Hal ini adalah karena pengaruh dari keadaan di
pemerintahan pusat, yaitu di Kota Raja Peking, di mana pusat pemerintahan di tangan
kaisar juga sedang mengalami kekacauan dan kelemahan.
Seperti
tercatat dalam sejarah, kota Peking dibangun oleh Kaisar Yung Lo yang gagah
perkasa. Bukan saja kaisar ini membangun tembok besar, terutama di bagian
timurnya, akan tetapi juga membangun kota raja yang tadinya menjadi kota raja
Bangsa Mongol itu, dibongkar dan dirubah secara hebat sehingga merupakan sebuah
kota raja yang terbesar dan termegah di dunia.
Kerajaan
Beng-tiauw mengalami kejayaannya sewaktu Kaisar Yung Lo yang memegang kendali pemerintahan,
yang dilakukannya dengan cara tangan besi dan dengan adil, tidak segan-segan
menghukum para pejabat yang bersalah sehingga sebagian besar pejabat melakukan
tugasnya dengan baik. Pada masa itu, rakyat dapat mengecap kenikmatan hidup di
bawah pemerintahan yang adil.
Pada tahun
1425, di dalam perjalanan pulang dari penyerbuan musuh di Mongolia luar, Kaisar
Yung Lo meninggal dunia. Kedudukan kaisar kemudian diwariskan kepada putera
mahkota, yaitu Kaisar Hung Shi yang sudah sakit-sakitan dan kaisar ini pun
meninggal dunia setelah menjadi kaisar selama sepuluh bulan saja.
Kembali
kedudukan kaisar diwariskan kepada salah seorang cucu Yung Lo yang bernama Hian
Tek Ong. Kaisar ini mencoba mempertahankan kebesaran kakeknya, akan tetapi
Kaisar Hian Tek Ong ini pun hanya memegang kekuasaan selama sebelas tahun saja.
Kini singgasana
diserahkan kepada seorang buyut dari Yung Lo, seorang pangeran yang baru
berusia delapan tahun, yang menjadi Kaisar Cheng Tung. Penggantian kekuasaan
yang berusia pendek ini melemahkan Kerajaan Beng-tiauw, karena dengan perubahan
kaisar berarti terjadi pula perubahan politik dan wibawa.
Apa lagi
karena kaisar yang terakhir ini, yaitu Cheng Tung, masih kanak-kanak sehingga
pemerintah dipegang dalam kekuasaan ibu suri yang tentu saja sebagai seorang
wanita kurang pandai mengatur pemerintahan dan seperti biasa, sesungguhnya yang
berkuasa di istana adalah para thaikam, yaitu para pembesar yang bertugas di
dalam istana dan para petugas pria ini semua dikebiri agar jangan sampai
terjadi hal-hal yang melanggar susila antara para petugas ini dengan para wanita
istana.
Ketika
Kaisar Cheng Tung sudah mulai dewasa, dia sudah terbiasa oleh pengaruh para
thaikam ini, karena itu boleh dibilang dia berada dalam cengkeraman yang
membius dari seorang thaikam yang paling dipercayainya, yaitu Thaikam Wang Cin,
seorang thaikam yang berasal dari kota Huai Lai di utara, di daerah Mongol.
Demikianlah,
karena kaisarnya seperti boneka, hanya tahu menanda tangani saja semua hal yang
disetujui dan direncanakan oleh Wang Cin, maka pemerintahannya amat lemah.
Orang macam Wang Cin mana mungkin mau memikirkan keadaan rakyat? Setiap gerak
perbuatannya selalu bersumber kepada kepentingan pribadinya.
Dengan
adanya pemerintah pusat seperti ini, tentu saja para pejabat di daerah menjadi
raja-raja kecil yang berdaulat penuh dan sewenang-wenang seperti yang dilakukan
oleh Ciang-tikoan di Yen-tai yang tentu saja cukup cerdik untuk ‘menempel’ para
pembesar di kota raja, terutama mencari muka terhadap yang dipertuan Wang Cin.
Kini kedua
saudara Kwi Eng dan Kwi Beng menjadi korban dari kesewenang-wenangan pembesar
lalim ini. Beberapa hari kemudian, dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya,
dua orang kakak beradik ini diberangkatkan menuju ke kota raja dengan sebuah
kereta milik mereka sendiri yang telah dirampas dan dikawal ketat oleh tiga losin
orang prajurit, dipimpin oleh seorang perwira yang membawa surat-surat laporan
mengenai ‘dosa-dosa’ dua orang tawanan itu untuk disampaikan kepada pembesar
atasan di kota raja yang berwenang mengadili perkara-perkara besar.
Banyak
rakyat memandang dengan mata merah bahkan ada yang mengucurkan air mata melihat
dua orang muda yang dermawan dan budiman itu menjadi orang-orang pesakitan
diseret ke dalam kereta dan dibawa pergi dari tempat tinggal mereka. Akan
tetapi, seperti biasa, rakyat kecil hanya mampu menangis dan mengeluh,
paling-paling hanya mampu mengepal tinju dengan diam-diam karena mereka tahu
bahwa mereka itu tidak berkuasa atas kehidupan mereka sendiri!
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati Kwi Beng ketika dalam keadaan terbelenggu kuat
dia bersama adiknya diseret ke dalam kereta itu. Mereka duduk saling berhadapan
dan saling pandang.
"Moi-moi,
kalau saja kita memberontak sejak pertama kali dipanggil..." Kwi Beng
segera menyatakan penyesalannya.
"Tenanglah,
koko. Belum tentu kita akan celaka, kita bersabar saja sambil melihat semua
perkembangannya. Tentu nanti akan ada kesempatan bagi kita, dan lagi... aku
percaya bahwa Tio-twako tidak akan tinggal diam saja."
Seorang
pengawal menghardik dan melarang mereka bicara. Kereta lalu diberangkatkan dan
sebelum tirai kereta ditutup oleh pengawal, Kwi Eng sempat melihat
berkelebatnya bayangan seorang pemuda jangkung berpakaian kuning di antara
rakyat yang menonton dan legalah hati gadis ini. Kwi Beng hanya memandang heran
mengapa ada senyum di bibir adiknya itu dalam keadaan seperti itu.
***************
Beberapa
hari kemudian, pasukan yang mengawal kereta berisi dua orang tawanan itu tiba
di kota Cin-an. Di sini para pengawal berganti kuda dan membawa perlengkapan
dan bekal makanan baru dari para pembesar di Cin-an. Sesudah bermalam di kota
Cin-an, pada keesokan harinya pasukan melanjutkan perjalanan menuju ke utara,
ke kota raja.
Pada
sorenya, mereka sudah tiba di tepi Sungai Huang-ho di mana telah tersedia
perahu-perahu besar untuk menyeberangkan mereka. Akan tetapi karena hari telah
mulai gelap, mereka berhenti dan berkemah di dekat sungai sambil beristirahat.
Seperti biasa, kedua orang tawanan itu menerima makanan dan minuman dan mereka
diperbolehkan makan minum dengan dua pergelangan tangan dibelenggu di depan
tubuh mereka dan dipasangi rantai baja yang panjang dan berat. Demikian pula
kedua kaki mereka dibelenggu dengan rantai panjang.
Walau pun
kedua orang kakak beradik ini dijaga ketat sekali, akan tetapi di sepanjang
perjalanan mereka diperlakukan dengan baik dan sopan. Hal ini adalah karena si
perwira yang memimpin pasukan pengawal itu tahu siapa adanya mereka berdua ini,
tahu pula bahwa ibu dua orang muda itu adalah seorang pendekar wanita yang amat
lihai, demikian pula ayah mereka adalah seorang asing yang berpengaruh dan
dermawan. Akan tetapi dia pun maklum betapa penting dan beratnya perkara yang
membuat mereka dikirim ke kota raja, yaitu tuduhan memberontak dan membunuhi
banyak nelayan tidak berdosa!
Tentu saja
dia pun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan ‘nelayan-nelayan tak berdosa’ itu
sebenarnya adalah Tokugawa dan kawanan bajak laut. Akan tetapi sebagai seorang
bawahan, dia tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menentang atasannya.
Pada
keesokan harinya, masih pagi-pagi sekali rombongan itu melakukan penyeberangan
dengan menggunakan perahu besar yang telah tersedia di pantai sungai yang amat
luas itu.
"Sekarang
tiba kesempatan bagi kita, koko. Kau bersiaplah. Rantai tangan dan kaki kita
ini cukup panjang, memudahkan kita bergerak di air."
"Akan
tetapi juga cukup berat untuk membuat kita tenggelam," bisik kembali Kwi
Beng.
"Kita
harus berani mengambil resiko. Kesempatan ini yang terbaik dengan mengandalkan
kepandaian kita di air," bisik lagi Kwi Eng.
Karena
perwira pengawal mendekati mereka, keduanya menghentikan bisikan dan hanya
saling pandang. Akan tetapi mereka sudah bersepakat untuk menggunakan
kesempatan penyeberangan itu untuk melarikan diri.
Ketika
perahu besar yang menyeberang itu mulai meluncur ke tengah sungai, nampak
sebuah perahu kecil juga meluncur cepat sekali seiring dengan perahu besar itu.
Perahu ini ditumpangi dan didayung oleh seorang pemuda berpakaian kuning yang
sama sekali tidak mencurigakan. Para pengawal yang melihat pemuda ini mengira
bahwa dia adalah seorang nelayan atau seorang pelancong saja. Akan tetapi Kwi
Eng menyentuh lengan kakaknya ketika dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain
adalah Tio Sun.
Akan tetapi
Tio Sun tidak segera turun tangan melainkan terus saja mengikuti perahu itu
sampai tiba di dekat pantai sebelah utara. Di pantai selatan dia tidak berani
turun tangan karena tempat itu ramai dan dekat dengan kota Cin-an, berbeda
dengan pantai sebelah utara yang sunyi.
Setelah
perahu besar yang membawa dua orang sahabatnya sebagai tawanan itu berada
kurang lebih tiga ratus meter lagi dari pantai, tiba-tiba Tio Sun meloncat ke
atas perahu besar kemudian tanpa banyak suara lagi dia meloncat ke arah Kwi Eng
dan Kwi Beng yang duduk di atas dek terjaga oleh lima orang pengawal.
"Heii,
siapa kau...?!" Seorang pengawal membentak dan suasana menjadi geger.
Para
prajurit pengawal segera meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing.
Akan tetapi pada saat itu pula, Kwi Eng dan Kwi Beng sudah bangkit berdiri,
dengan kaki tangan mereka yang terbelenggu itu mereka berhasil menampar dan
menendang roboh lima orang penjaganya.
Tio Sun
menggunakan pedangnya, dengan cepat mematahkan belenggu kaki dan tangan mereka
sambil merobohkan setiap orang pengawal yang mencoba untuk menghalanginya.
"Cepatlah
menyingkir...!" Tio Sun berkata sambil menyerahkan dua batang pedang yang
sengaja dibawanya kepada Kwi Eng dan Kwi Beng.
Perwira
pengawal berteriak mengumpulkan anak buahnya dan mulailah mereka itu maju
mengepung dan mengeroyok.
"Apakah
kalian berani hendak memberontak?!" Perwira muda itu berteriak.
"Harap ji-wi jangan menambah dosa ji-wi."
"Kalian
mundurlah!" Kwi Beng yang maklum akan kebaikan perwira itu berseru.
"Kalian tahu bahwa kami bukanlah pemberontak, melainkan Ciang-tikoan yang
bersekutu dengan bajak-bajak laut! Mundurlah!"
"Kami
hanya menjalankan tugas, kalau sampai kalian lolos tentu kami dihukum!"
sang perwira membantah dan terus mengepung ketat.
Kwi Eng, Kwi
Beng, dan Tio Sun mengamuk dengan pedang mereka.
"Jangan
membunuh orang, mereka hanya petugas-petugas biasa," kata Kwi Eng.
Tentu saja
hal ini disetujui oleh Tio Sun yang juga segan untuk memusuhi dan membunuh
prajurit pemerintah. Karena itu mereka itu hanya mempergunakan pedang mereka
untuk menghalau semua serangan senjata lawan, dan hanya merobohkan para
pengeroyok itu dengan tendangan kaki atau tamparan tangan kiri saja.
Akan tetapi
tiga losin orang prajurit pengawal itu yang tentu saja merasa takut bila sampai
tawanan itu lolos, dengan nekatnya mengeroyok terus tanpa mempedulikan
keselamatan mereka sendiri dan hal ini membuat tiga orang muda itu merasa repot
juga. Andai kata mereka bertiga itu mau membagi-bagi pukulan maut dan
merobohkan para pengeroyok itu, agaknya mereka akan berhasil membasmi puluhan
orang itu. Tetapi tanpa membunuh para pengeroyok yang nekat itu, tentu saja
amat sukar bagi mereka untuk meloloskan diri, bahkan kalau pertandingan itu
terus dilanjutkan, tentu mereka akan terancam bahaya oleh hujan serangan itu.
"Tio-twako,
kau pergilah dulu dengan perahumu!" teriak Kwi Eng dan mereka kini mulai
bergerak ke pinggir perahu besar.
"Tidak,
aku takkan meninggalkan kalian!" jawab Tio Sun sambil mengelak dari
sambaran dua batang golok dan menggerakkan kakinya menendang roboh seorang
pembokong dari belakang.
"Twako,
pergilah dulu dengan perahumu, kami akan mengambil jalan dalam air," kata
Kwi Beng dan kini mengertilah Tio Sun.
Teringat dia
akan penuturan Kwi Eng betapa kedua orang saudara kembar itu pernah belajar
ilmu di dalam air dari nelayan yang dulu pernah menyelamatkan ayah ibu mereka,
maka dia mengangguk dan mengamuk dengan pedangnya hingga semua pengeroyoknya
dipaksa mundur.
Setelah
sampai di tepi perahu besar dan melihat perahu kecilnya masih berada di dekat
perahu besar itu, dia berseru, "Berhati-hatilah kalian! Aku pergi
dulu!" Sekali mengayun tubuhnya Tio Sun sudah meloncat keluar dari perahu
besar, tepat di atas perahunya yang segera didayungnya menuju ke seberang
sungai.
Kwi Beng dan
Kwi Eng juga mencontoh perbuatan Tio Sun tadi, mereka mengamuk dan makin
mendekati pinggiran perahu, lalu setelah merobohkan beberapa orang pengeroyok,
mereka pun cepat-cepat meloncat keluar dari perahu besar, langsung terjun ke
dalam air dengan kedua tangan lebih dulu.
"Cluppp!
Cluppp!"
Laksana dua
ekor ikan lumba-lumba saja mereka terjun tanpa menimbulkan banyak suara dan air
pun tidak muncrat banyak, tanda bahwa keduanya memang ahli bermain di air.
Lenyaplah kedua orang muda itu dari permukaan air dan para pengawal yang
bergegas menuju ke pinggir perahu sambil membawa anak panah, tidak melihat
mereka lagi.
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
Akan tetapi
perwira pasukan pengawal itu bersikap tenang-tenang saja. "Cepat jalankan
kembali perahu ke seberang. Mereka tentu sudah ditangkap kembali di sana!"
Semua anak
buahnya merasa heran mendengar ucapan ini dan mereka lantas bersicepat
meluncurkan perahu besar di tepi sungai sebelah utara. Ketika tiba di tempat
itu, benar saja mereka melihat ketiga orang muda tadi sudah dikepung dan
dikeroyok oleh kurang lebih lima puluh orang prajurit yang bersenjata lengkap!
Tentu saja mereka menjadi girang dan serentak mereka berbondong-bondong
mendarat dan membantu mengeroyok pula.
Ternyata
siasat dari tiga orang muda itu sia-sia belaka. Mereka tidak memperhitungkan
kecerdikan Ciang-tikoan. Pembesar ini tentu saja mengerti betul akan kelihaian
dua orang tawanannya, mendengar pula akan keahlian mereka bermain di air, maka
diam-diam dia telah mengutus seorang pembantu secara rahasia menghubungi
rekannya di Cin-an untuk menjaga di seberang sungai kalau-kalau dua orang
tahanannya itu mencoba-coba untuk meloloskan diri ketika diseberangkan,
mengingat akan kelihaian mereka bermain di air.
Dan memang
dugaannya tepat sekali, maka pembesar di Cin-an sudah mempersiapkan pasukan
dari lima puluh orang yang bersembunyi di pantai sungai sebelah utara. Begitu
Tio Sun yang sudah mendarat lebih dahulu dengan perahunya itu menyambut dua
orang kawannya yang muncul dari dalam air bagaikan dua ekor ikan itu, mereka
langsung menyergap sehingga terjadilah pengeroyokan hebat di tepi sungai
sebelah utara itu.
Tentu saja
mereka bertiga menjadi kaget sekali, dan mereka melawan mati-matian. Akan
tetapi, setelah perahu besar pasukan pengawal mendarat pula dan pengeroyokan
menjadi makin ketat, mereka benar-benar terdesak hebat dan keadaan mereka amat
berbahaya, kalau tidak tertawan kembali tentu akan tewas, atau setidaknya
terluka hebat di bawah pengeroyokan lebih dari lima puluh orang itu.
Tanpa
dikomando mereka lalu membela diri dengan cara saling melindungi, berdiri
saling membelakangi dan dengan senjata pedang mereka, dibantu oleh joan-pian di
tangan kiri Tio Sun, mereka menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan
dan sekali ini terpaksa mereka menggunakan senjata untuk merobohkan
pengeroyokan, sungguh pun pedang mereka itu hanya ditujukan kepada
bagian-bagian tubuh yang tidak berbahaya.
Belasan
orang pengeroyok sudah roboh dengan pundak, lengan atau kaki terluka parah akan
tetapi pengeroyokan masih cukup ketat dan tiga orang itu mulai menjadi lelah
sekali, bahkan Kwi Beng telah terluka pahanya dan Kwi Eng telah terluka pangkal
lengan kirinya. Tetapi mereka tak mau menyerah karena ketiganya maklum bahwa
urusan telah menjadi semakin berat sehingga jika mereka tertawan kembali,
hukuman mereka tentu akan jauh lebih berat lagi, mungkin akan dihukum mati
sebagai pemberontak-pemberontak hina.
"Tio-twako,
kau larilah...!" Tiba-tiba Kwi Eng berkata kepada Tio Sun.
“Benar, kau
pergilah, twako dan jangan mengorbankan diri untuk urusan kami!" Kwi Beng
juga berkata.
Hati Tio Sun
rasanya bagai ditusuk, dia merasa terharu dan juga kagum akan kegagahan dua
orang kakak beradik ini yang dalam keadaan seperti itu masih ingat kepadanya
dan tidak mau membawa-bawanya mengalami kecelakaan.
"Tidak!
Aku akan membela kalian sampai titik darah terakhir!" bentaknya.
Pedang dan
joan-pian di tangannya bergerak cepat maka robohlah tiga orang pengeroyok. Akan
tetapi, karena di dalam kemarahannya ini dia mencurahkan seluruh perhatian untuk
merobohkan lawan sebanyak mungkin, Tio Sun tak dapat menghindarkan bacokan
golok dari samping yang mengenai pundaknya.
"Tio-twako...!"
Kwi Eng menjerit ketika melihat darah muncrat dari pundak pemuda itu.
Tio Sun
membalikkan pedangnya dan penyerangnya itu menjerit roboh ketika lengannya
terbabat pedang hampir putus.
"Tidak
apa-apa, nona." Tio Sun tersenyum dan mereka bertiga terus mengamuk biar
pun mereka telah terluka semua.
"Bunuh
saja tiga pemberontak ini!" tiba-tiba terdengar komandan pasukan Cin-an
berteriak marah.
Tadinya
perintah atasannya hanyalah untuk membantu para pengawal dari Yen-tai untuk
menangkap kembali tawanan itu jika melarikan diri. Akan tetapi kini melihat
betapa tiga orang itu memberontak dan merobohkan banyak anak buahnya, dia
menjadi khawatir dan marah sekali, maka dia lantas mengeluarkan perintah untuk
membunuh mereka. Dengan adanya perintah ini, para prajurit kini mendesak makin
ketat dan senjata mereka datang bagaikan hujan menyerang tiga orang muda yang
membela diri mati-matian itu.
"Twako,
kita pun harus membuka jalan darah!" terdengar Kwi Eng berteriak dan
terpaksa Tio Sun tidak membantah. Karena kini para pengeroyok menghendaki nyawa
mereka, tentu saja mereka bertiga harus pula menjaga dan menyelamatkan diri,
bahkan bila perlu dengan jalan membunuh para pengeroyok.
Tio Sun
menggerakkan pedang serta joan-pian-nya secara hebat, demikian pula Kwi Eng dan
Kwi Beng mengamuk dengan pedang mereka. Terdengarlah pekik-pekik mengerikan
ketika beberapa orang prajurit roboh untuk tidak bangun kembali! Pertandingan
menjadi makin seru dan kini merupakan pertempuran mati-matian. Namun karena
tiga orang muda itu sudah terluka dan fihak pengeroyok amat banyaknya, mereka
semakin terdesak dan makin terkurung sehingga ruang gerak mereka menjadi makin
sempit.
Pada saat
yang amat kritis dan berbahaya bagi keselamatan tiga orang muda itu, tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan nyaring kemudian keadaan para pengeroyok di sebelah
luar menjadi kacau-balau. Ketika Tio Sun melirik, dia terkejut dan juga kagum
sekali melihat seorang pemuda tampan dan gagah mengamuk, hanya mempergunakan
kedua tangan kosong saja melempar-lemparkan para prajurit seperti orang
melempar-lemparkan rumput kering saja, sama sekali tidak mempedulikan hujan
senjata tajam yang menyambar ke tubuhnya.
Para
prajurit merasa terkejut dan gentar karena pendatang baru ini benar-benar
sangat lihai, bacokan-bacokan senjata tajam hanya ditangkis oleh lengan yang
kulitnya seperti baja kerasnya dan setiap kali tangan kaki pemuda ini bergerak,
mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya!
"Hai,
pemberontak dari mana yang berani menentang pasukan pemerintah?" Komandan
pasukan menerjang ke depan.
Akan tetapi
pedangnya ditangkap oleh tangan kiri pemuda itu dan sekali remas pedang itu
sudah patah-patah. Kemudian pemuda itu menangkap komandan ini pada pinggangnya
dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Pasukan
pemerintah yang hanya menyalah gunakan kedudukannya sama sekali tak ada bedanya
dengan penjahat-penjahat! Pergilah kalian!" Pemuda itu melemparkan
komandan itu sampai jauh dan jatuh terbanting sampai pingsan. Tentu saja semua
prajurit menjadi makin gentar, kurungan mereka melonggar.
"Sam-wi
yang terkurung, tidak lekas-lekas lari mau tunggu apa lagi?" Pemuda tampan
itu berseru dan mendahului lari, cepat diikuti oleh Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi
Eng. Karena mereka berempat mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja
para prajurit sudah kehilangan jejak mereka.
Di tengah
sebuah hutan, empat orang muda itu berhenti. Pada saat pemuda tampan itu hendak
melanjutkan larinya tanpa mempedulikan tiga orang yang sudah ditolongnya, Tio
Sun cepat mengejar dan berseru,
"Sahabat
yang gagah harap suka berhenti dulu!"
Pemuda
tampan itu menoleh dan melihat pandang mereka penuh harapan, terpaksa dia
berhenti.
"Sam-wi
sudah beruntung dapat terbebas dari kepungan para pasukan itu, ada urusan apa
lagikah dengan aku?"
Tio Sun, Kwi
Beng dan Kwi Eng cepat-cepat menghampiri dan kini mereka berhadapan. Sepasang
mata pemuda tampan itu terbelalak dan jelas dia kelihatan kaget, heran dan
bingung ketika dia memandang kepada Kwi Beng dan Kwi Eng secara bergantian.
"Aihh...
kiranya kalian bukan... bukan..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya sebab
hatinya merasa sangsi. Melihat pakaian dan bentuk tubuhnya, pemuda tampan dan
dara jelita ini jelas adalah orang-orang Han, akan tetapi, mengapa matanya
kebiruan dan rambutnya agak pirang?
Souw Kwi Eng
adalah seorang gadis peranakan barat yang tak dapat disamakan dengan
gadis-gadis pribumi yang biasanya bersikap pendiam dan pemalu. Apa lagi dia
bersama kakak kembarnya mewakili pekerjaan ayahnya sehingga dia sudah biasa
bergaul dan tak malu-malu lagi, bersikap polos dan jujur di samping juga
memiliki kecerdasan sehingga dia sudah segera maklum mengapa pemuda gagah
perkasa yang menolong mereka itu kelihatan begitu kaget, heran dan bingung.
Cepat dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil
tersenyum manis sekali dan berkata,
"Harap
saudara yang gagah perkasa dan yang telah menyelamatkan kami tidak menjadi
curiga. Sungguh pun mungkin warna mata dan rambut kami kakak beradik kembar
agak berbeda, namun kami berdua adalah berdarah Han, kakak kembarku ini bernama
Souw Kwi Beng dan aku sendiri bernama Souw Kwi Eng. Sedangkan dia itu adalah
Tio-twako bernama Tio Sun. Kami bertiga telah kena fitnah dan hendak dibawa ke
kota raja sebagai tawanan pemberontak, maka pertolonganmu tadi merupakan budi
yang amat besar bagi kami."
Mendengar
ucapan yang lancar dan tidak kaku, pemuda itu merasa lega. Gadis ini luar biasa
cantiknya, cantik dan aneh, akan tetapi kata-katanya jelas menunjukkan bahwa
dia seorang Han tulen.
Melihat
pemuda yang usianya masih amat muda dan sikapnya seperti pemalu itu namun yang
telah memiliki kepandaian demikian hebatnya, Tio Sun yang merasa kagum sudah
maju dan berkata, "Saudara yang muda memiliki kelihaian yang amat
mengagumkan hati kami, dan sudah menyelamatkan kami dari bahaya maut. Bolehkan
kami mengetahui she dan namamu yang mulia?"
Pemuda itu
kelihatan meragu. Dia tadi menolong karena melihat ketiga orang muda itu sedang
terancam bahaya, sama sekali tidak mempunyai keinginan lainnya. Akan tetapi
menyaksikan keramahan mereka, terutama sekali keramahan dara jelita yang dengan
mata birunya memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum dan terima kasih,
dia merasa tidak enak bila pergi begitu saja setelah mereka memperkenalkan nama
masing-masing. Akan tetapi dia pun tidak ingin memperkenalkan namanya, maka dia
lalu teringat akan nama yang dulu diperkenalkan kepada gadis aneh bernama
‘Hong’ saja yang baru dijumpainya, maka dia lalu menjura dan berkata,
"Nama
saya Houw, she... Bun."
Pemuda ini
bukan lain adalah Cia Bun Houw, putera ketua Cin-ling-pai. Seperti yang telah
diceritakan pada baglan depan, Bun Houw berpisah dengan In Hong, atau lebih
tepat lagi dara itu yang meninggalkannya karena tidak mau melakukan perjalanan
bersama setelah Bun Houw suka mencegahnya membunuh musuh-musuhnya di
perjalanan.
Bun Houw
merasa kecewa sekali bahwa dara yang telah menjadi penolongnya itu pergi
meninggalkannya. Akan tetapi karena teringat akan tugasnya mencari serta
menyelidiki musuh-musuh besarnya, yaitu Lima Bayangan Dewa, dia pun melanjutkan
perjalanannya dan pada hari itu dia menyeberangi Sungai Huang-ho, dan kebetulan
melihat tiga orang muda yang terancam bahaya oleh pengeroyokan para prajurit
itu, kemudian turun tangan menolong mereka.
Tio Sun
merasa makin kagum dan heran. Pemuda tampan ini sikapnya begitu sederhana,
masih amat muda dan agaknya dia belum pernah mendengar nama pemuda ini di dunia
kang-ouw, akan tetapi melihat kepandaiannya tadi, walau pun hanya bergebrak
dengan para prajurit, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang
sembarangan, tentulah murid seorang yang sakti.
"Bun-enghiong
masih begini muda akan tetapi sudah mempunyai kepandaian luar biasa, sungguh
membuat kami merasa kagum sekali. Jika sekiranya tidak menjadikan halangan dan
kalau sekiranya kami cukup pantas menjadi sahabatmu, kami ingin sekali
bersahabat dengan Bun-enghiong," kata Tio Sun.
Souw Kwi
Beng yang sejak tadi diam saja kini pun berkata, "Kami kakak beradik
kembar pun akan merasa terhormat sekali kalau bisa menjadi sahabat
Bun-taihiap."
Bun Houw
merasa kikuk sekali. Tiga orang muda ini jelas merupakan orang-orang gagah yang
sopan dan terpelajar, maka akan keterlaluanlah di fihaknya kalau dia tidak
melayani uluran tangan mereka. Pula, dara bermata biru itu benar-benar
mempesonakan! Selama hidupnya baru sekarang dia berhadapan dengan seorang dara
yang begitu jelita, matanya bening lebar kebiru-biruan dan rambutnya agak
pirang dan berkilauan halus.
Bun Houw
lalu menjura dengan hormat. "Tentu saja saya suka sekali bersahabat dengan
sam-wi (kalian bertiga). Mengapakah kalian tadi dikeroyok prajurit di pinggir
sungai dan di mana sam-wi tinggal?"
"Mari
kita duduk di tempat yang teduh agar leluasa bicara," kata Tio Sun dan
mereka lalu memilih tempat di bawah pohon yang rindang, duduk di atas batu-batu
di bawah pohon itu.
Secara
singkat Kwi Eng yang pandai bicara itu lalu menceritakan urusannya, mula-mula
dengan Tokugawa ketika kepala bajak itu menculik kakak kembarnya, kemudian
dengan bantuan Tio Sun, dia berhasil menyelamatkan kakaknya. Kemudian betapa
dia difitnah oleh pembesar setempat sebagai pemberontak dan pembunuh kaum
nelayan yang bukan lain hanya bajak-bajak laut. Sampai akhirnya mereka
ditangkap dan akan dikirim ke kota raja, kemudian mereka berusaha meloloskan
diri dan dikeroyok di tepi Sungai Huang-ho.
Bun Houw
menarik napas panjang. "Sudah kudengar akan kekacauan yang mulai terjadi
di mana-mana karena lemahnya pemerintah pusat di kota raja. Jadi ji-wi adalah
putera-puteri seorang ayah bangsa barat dan ibu bangsa pribumi? Pantas saja
keadaan ji-wi agak lain."
"Biar
pun kedua saudara Souw ini putera orang barat, akan tetapi ayahnya bukan orang
sembarangan, karena ayahnya adalah Yuan de Gama, seorang tokoh bangsa barat
yang disegani dan dihormati. Apa lagi ibunya. Ibunya adalah pendekar wanita
terkenal, Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo..."
"Ahhhh...!"
Bun Houw kaget bukan main mendengar ini. Tentu saja pemuda ini pun sudah pernah
mendengar dari ayah dan ibunya tentang Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang
dikabarkan mati tenggelam secara gagah bersama kapalnya.
"Apakah
kau pernah mendengar nama ayah dan ibu, Bun-taihiap?" tanya Kwi Eng sambil
memandang tajam.
Bun Houw
menggelengkan kepala. "Saya terkejut mendengar nama mendiang Panglima
Besar The Hoo." Kemudian dia memandang kepada Tio Sun. "Tio-twako
agaknya juga bukan keturunan sembarangan dan ternyata engkau adalah seorang
pendekar yang suka menolong orang lain yang sedang tertimpa mala petaka seperti
yang sudah kau lakukan terhadap kedua orang saudara Souw ini."
Merah wajah
Tio Sun menerima pujian ini, dan dia menarik napas panjang. "Persoalan
yang kuhadapi tadi benar-benar membuat aku bingung, Bun-hiante. Terus terang
saja, ayahku adalah seorang bekas pengawal kepercayaan Panglima Besar The Hoo,
ayahku bernama Tio Hok Gwan..."
"Ban-kin-kwi...?"
Bun Houw kelepasan bicara karena tentu saja mengenal baik nama ini, nama
seorang sahabat baik ayahnya!
"Kau
sudah mendengar pula julukan ayah? Ayah seorang bekas pengawal yang setia,
tentu saja aku pun segan untuk melawan prajurit pemerintah. Akan tetapi melihat
sikap Ciang-tikoan yang sewenang-wenang, terpaksa aku harus menentangnya. Kini,
sesudah terjadi peristiwa ini, kedua orang saudara Souw tak mungkin lagi
kembali ke Yen-tai, dan inilah yang membikin aku menyesal sekali."
"Ah,
mengapa menyesal, twako? Kami berdua tidak menyesal. Biarlah kami tidak dapat
kembali ke Yen-tai dan menanti sampai ayah ibu pulang dari barat. Kami berdua
malah sudah mengambil keputusan untuk membantu Tio-twako dalam mencari
musuh-musuh Cin-ling-pai itu dan mengerahkan semua kemampuan kami untuk mencari
Lima Bayangan Dewa yang menjadi musuh-musuh besar Cin-ling-pai. Ayah dan ibu
tentu akan bangga kalau mendengar akan sikap kami ini," kata Kwi Eng.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Bun Houw mendengar percakapan
mereka itu. Dia sampai bengong memandang mereka tanpa mampu mengeluarkan satu
kata pun. Kwi Eng yang kebetulan memandang kepada pemuda itu tiba-tiba saja
menjadi merah mukanya dan menunduk karena melihat betapa pemuda tampan itu
memandang kepadanya dengan mata terbelalak seolah-olah hendak menelannya
bulat-bulat!
"Bun-taihiap,
engkau... mengapakah?" Kwi Eng yang tidak pemalu itu menegur halus.
Bun Houw
terkejut, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang kepada mereka bertiga
dengan mata bersinar-sinar. "Sungguh mati saya amat terkejut mendengar
betapa sam-wi menyebut-nyebut soal Lima Bayangan Dewa dan hendak membela
Cin-ling-pai. Kalau boleh saya bertanya, apakah hubungan antara sam-wi dengan
Cin-ling-pai?"
Kini Tio Sun
dan dua orang saudara kembar itu yang menatap wajah Bun Houw dengan tajam penuh
selidik. "Bun-hiante... tahu soal... Lima Bayangan Dewa dan
Cin-ling-pai?" Tio Sun bertanya.
Bun Houw
mengangguk. "Tentu saja, dan saya bahkan tersangkut secara langsung. Akan
tetapi sebelum aku dapat menceritakan hal itu, harap sam-wi lebih dulu
menerangkan apa hubungan sam-wi dengan Cin-ling-pai?"
Tio Sun
menghadapi Bun Houw, sejenak memandang dengan sinar mata tajam, lalu dia
berkata, "Biar pun baru berjumpa pertama kali dan tidak mengenal benar
siapa adanya dirimu, Bun-hiante, akan tetapi aku sudah percaya benar kepadamu,
maka biarlah aku mengaku terus terang. Seperti telah kukatakan kepadamu, aku
adalah putera dari bekas pengawal Panglima The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan
dan ayah adalah seorang sahabat baik dari Cia Keng Hong locianpwe, ketua
Cin-ling-pai. Agaknya tentu engkau juga telah mendengar kegemparan di dunia
kang-ouw dengan adanya penyerbuan Lima Bayangan Dewa di Cin-ling-san yang
membunuh anak-anak murid Cin-ling-pai, bahkan telah mencuri pedang pusaka
Siang-bhok-kiam. Nah, mengingat hubungan persababatan yang amat baik dengan
Cin-ling-pai, ayah kemudian mengutus aku untuk mewakili ayah, membantu Cin-ling-pai
mencari Lima Bayangan Dewa dan apa bila mungkin merampas kembali pedang pusaka
Siang-bhok-kiam. Maka, demi persahabatan itu, aku melupakan kebodohanku
sendiri, melakukan penyelidikan sampai di Yen-tai di mana aku bertemu dan
berkenalan dengan kedua orang saudara Souw ini yang ternyata adalah cucu murid
sendiri dari mendiang Panglima The Hoo."
"Ada
pun kami berdua, setelah terjadi peristiwa di Yen-tai, kami juga telah sepakat
untuk membantu Tio-twako mencari Lima Bayangan Dewa, karena ibu kami pernah bercerita
kepada kami tentang kegagahan ketua Cin-ling-pai yang patut kami bantu
pula," kata Kwi Eng.
Mendengar
ini, Bun Houw segera bangkit dari atas batu. Dia lalu memberi hormat kepada
tiga orang itu dengan menjura. Hal ini mengejutkan serta mengherankan mereka
yang segera bangkit pula untuk membalas penghormatan itu. Dengan suara terharu
Bun Houw lalu berkata,
"Atas
nama Cin-ling-pai, saya menghaturkan banyak terima kasih atas bantuan sam-wi
yang demikian budiman."
"Eh,
siapakah sesungguhnya Bun-taihiap?" tanya Tio Sun yang kembali menyebut
taihiap karena dia menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan orang sembarangan.
"Maafkan
kalau saya tadi kurang berterus terang. Sebetulnya saya she Cia dan bernama Bun
Houw..."
“Aihhhh...!
Kiranya Cia-taihiap, putera dari ketua Cin-ling-pai?" Tio Sun berteriak
girang. "Pantas saja demikian lihainya, kiranya Cia-taihiap sendiri
orangnya! Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat."
"Putera
Pendekar Sakti Cia Keng Hong...?" Kwi Eng berseru sambil memandang dengan
wajah bersinar penuh kekaguman. Juga Kwi Beng memandang penuh kagum dan hal ini
membuat Bun Houw menjadi makin sungkan dan malu.
"Harap
sam-wi jangan berlebihan. Marilah kita duduk kembali dan bicara dengan
leluasa."
Mereka duduk
kembali dan Bun Houw lalu memandang mereka dengan bergantian. "Tak
kusangka bahwa ayah mempunyai demikian banyak sahabat yang diam-diam membela
Cin-ling-pai sehingga hal ini sangat mengharukan hatiku. Akan tetapi sebelum
kita bicara, di antara kita adalah orang satu golongan, apa lagi sam-wi adalah
penolong-penolong Cin-ling-pai, maka harap tinggalkan saja sebutan taihiap yang
tidak pada tempatnya itu. Tio-twako, harap kau suka menyebutku adik saja, dan
kedua adik Souw juga hendaknya menyebutku kakak saja. Bukankah sebagai orang-orang
satu golongan kita boleh dibilang bersaudara atau bersahabat baik?"
Tiga orang
gagah itu menjadi girang melihat sikap putera ketua Cin-ling-pai yang berilmu
tinggi akan tetapi bersikap sederhana dan tidak tinggi hati itu.
"Baiklah,
Houw-te (adik Houw)," kata Tio Sun.
"Terima
kasih, Houw-ko," kata Kwi Eng dan Kwi Bun hampir berbareng.
Bun Houw
menghela napas. "Niat kalian untuk membantu kami amat baik dan tentu saja
saya merasa sangat bersyukur. Akan tetapi apakah kalian tahu di mana tinggalnya
Lima Bayangan Dewa dan ke mana kalian hendak mencari mereka?"
"Tadinya
kami mendengar bahwa seorang di antara mereka yang bernama Liok-te Sin-mo Gu Lo
It tinggal di pantai Laut Timur, akan tetapi setelah kami selidiki, ternyata dia
sudah pergi ke pedalaman dan kami hendak mencari jejaknya di pedalaman."
"Pedalaman
Tiongkok berarti merupakan daerah yang luasnya puluhan ribu mil, lalu bagai
mana kita dapat menyelidiki mereka? Pula, tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa
itu sangat tinggi sehingga kalau sam-wi membantu kami, besar bahayanya sam-wi
akan menghadapi mala petaka. Bukan aku tidak tahu berterima kasih, akan tetapi
ayahku yang telah menugaskan aku untuk menghadapi mereka tentu akan marah
kepadaku kalau aku membiarkan orang lain menjadi korban kejahatan Lima Bayangan
Dewa. Maka, kuharap sam-wi suka kembali saja," Bun Houw berkata dengan
suara sungguh-sungguh.
"Adik
Cia Bun Houw, mengapa berkata demikian?" Tio Sun membantah dengan suara
keras. "Walau pun kepandaianku masih amat rendah, akan tetapi aku bukan
orang yang takut menghadapi bahaya. Ayah sudah menugaskan kepadaku, bagaimana
bisa pulang sebelum lecet kulitku, sebelum patah tulangku? Demi melaksanakan
tugas yang sudah diperintah ayah, selembar nyawaku menjadi taruhan!"
"Kami
berdua pun tidak mempunyai tempat tinggal lagi sebelum orang tua kami pulang,
maka harap Houw-ko tidak menolak bantuan kami yang juga tidak takut bahaya
dalam menentang kejahatan!" Kwi Eng berkata, sikapnya gagah sekali dan Bun
Houw menjadi makin kagum saja.
"Kalau
begitu besar tekad sam-wi, saya tidak berani mencegah dan saya makin berterima
kasih. Ketahuilah bahwa saya sendiri telah memperoleh jejak mereka, bahkan juga
telah bertemu dengan dua orang di antara mereka. Sayang pada saat itu saya tidak
berhasil merobohkan mereka dan sekarang mereka sudah melarikan diri. Menurut
penyelidikan saya, Lima Bayangan Dewa itu kini agaknya berkumpul di
Ngo-sian-chung, tidak jauh dari sini, di lembah muara Huang-ho."
"Bagus!
Kalau begitu mari kita berempat menyerbu ke sana, Houw-te!" Tio Sun
berseru penuh semangat.
"Mereka
itu selain lihai juga amat curang, maka kita harus berlaku hati-hati
sekali!" Bun Houw menerangkan. "Belum lama ini aku sendiri terjebak
dan hampir tewas oleh mereka, kalau tidak tertolong oleh seorang sahabat. Dan
saya minta kepada sam-wi agar nama saya dirahasiakan sebagai putera ketua
Cin-ling-pai sebab selama ini saya hanya dikenal sebagai seorang she Bun
bernama Houw. Sebelum berhasil meringkus atau membasmi mereka, saya tak akan menggunakan
nama sendiri, dan hanya kepada sam-wi saja yang saya tahu adalah putera-puteri
sahabat dari ayah maka saya memperkenalkan diri secara sesungguhnya."
Empat orang
muda itu lalu melanjutkan perjalanan sepanjang Sungai Huang-ho menuju ke timur.
Kwi Eng yang memiliki watak terbuka dan tidak pemalu, dengan terang-terangan
mengatakan sikap kagumnya terhadap putera ketua Cin-ling-pai ini, selalu
berjalan di dekat Bun Houw dan ada saja hal yang dibicarakan, nampaknya begitu
akrab dan sedikit pun Kwi Eng tidak menyembunyikan rasa tertarik dan sukanya.
Di lain
fihak, karena memang Kwi Eng amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang
keras, tentu saja Bun Houw juga senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap
dengan gadis ini. Kwi Beng sebagai saudara kembar memilki hubungan jiwa yang
amat dekat dengan adiknya, maka tentu saja dia pun segera dapat merasakan
debaran jantung adiknya yang mulai disentuh asmara itu. Sambil berjalan di
dekat Tio Sun, Kwi Beng berbisik kepada pendekar muda itu tentang adiknya, menunjuk
dengan gerakan mukanya ke depan,
"Tio-twako,
lihat betapa cocoknya mereka berdua... aihhh…, betapa akan senang hatiku kalau
saja adikku bisa menjadi jodohnya kelak..."
Kwi Beng
sama sekali tidak mengira bahwa bisikannya itu sebenarnya merupakan ujung pisau
berkarat yang menghujam di ulu hati Tio Sun! Kwi Beng sama sekali tidak pernah
menduga bahwa sebetulnya Tio Sun inilah yang sudah bertekuk lutut, jatuh hati
kepada adiknya semenjak saat mereka saling jumpa.
Tio Sun
sudah jatuh cinta kepada Kwi Eng, dara jelita yang bermata lebar kebiruan dan
berambut hitam agak pirang keemasan itu! Hanya karena Tio Sun orangnya pendiam
dan pemalu, maka perasaan cinta itu sedikit pun tidak pernah nampak, baik pada
pandang matanya, kata-katanya mau pun gerak-geriknya.
“Hemmm..."
Hanya begitulah Tio Sun menjawab sambil menundukkan mukanya, karena tidak tahan
melihat betapa Kwi Eng sambil tersenyum-senyum bicara kepada Bun Houw yang
jalan berendeng sedemikian dekatnya sehingga seakan-akan lengan mereka saling
bersentuhan.
Dan Bun Houw
demikian gagahnya, demikian tampannya, juga mempunyai kepandaian demikian
tingginya. Putera ketua Cin-ling-pai pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa,
putera pendekar sakti yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua orang
kang-ouw. Sedangkan dia? Hanya putera dari seorang bekas pengawal miskin dan
tak terkenal. Tio Sun semakin menunduk, berusaha mengusir rasa tidak enak dan
sakit yang berada di rongga dadanya.
Malam itu
mereka melewatkan malam dalam sebuah hutan di tepi sungai karena menurut
nasehat Tio Sun, lebih baik berhati-hati menyelidiki tempat Lima Bayangan Dewa
yang di samping lihai tentu juga mempunyai banyak anak buah itu. Dia sendiri
lalu membuat api unggun, dan dua orang saudara Souw pergi menangkap beberapa
ekor kelinci dan ayam hutan.
Kwi Eng
segera sibuk menguliti dan memanggang kelinci dan ayam hutan, sedangkan Bun
Houw sudah duduk bersama Kwi Beng dan Tio Sun bercakap, saling menceritakan
pengalaman masing-masing di dekat api unggun. Pada waktu Tio Sun bercerita
tentang pengalamannya menolong seorang gadis cilik kemudian bertemu dengan Bun
Hwat Tosu, Bun Houw dan Kwi Beng merasa kagum sekali. Terutama Bun Houw yang
sudah sering mendengar dari ayahnya bahwa pada jaman itu, Bun Hwat Tosu
merupakan seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang jarang muncul di dunia
persilatan, yang merupakan seorang manusia setengah dewa. Tentu saja Bun Houw
sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cilik yang diselamatkan kawannya
itu sebetulnya adalah Yap Mei Lan, anak dari Yap Kun Liong yang masih terhitung
suheng-nya itu!
"Aku
mendengar dari ayah bahwa ilmu kepandaian bekas ketua Hoa-san-pai itu seperti
dewa. Dan Yap Kun Liong suheng juga menerima sebagian dari ilmu-ilmunya dari
kakek dewa itu," kata Bun Houw kagum. "Untung sekali engkau dapat
bertemu dengan beliau, Tio-twako."
"Akan
tetapi engkau sendiri adalah murid seorang manusia dewa, Houw-te. Aku pernah
mendengar dari ayah yang mengenal baik keadaan Cin-ling-pai bahwa engkau sejak
kecil telah menjadi murid Kok Beng Lama di Tibet yang kepandaiannya sulit
dibicarakan saking tingginya."
"Ahhh,
engkau terlalu memuji, twako. Memang, suhu Kok Beng Lama seorang sakti luar
biasa, akan tetapi aku yang muda dan bodoh mana bisa mewarisi seluruh
kepandaian Suhu? Sayang bahwa begitu pulang ke Cin-ling-pai, terdapat mala
petaka itu sehingga aku terus saja berangkat menyelidiki Lima Bayangan Dewa,
tidak sempat mengunjungi enci-ku yang tinggal di Sin-yang dan mengunjungi
Yap-suheng yang tinggal di Leng-kok. Sungguh menggemaskan sekali Lima Bayangan
Dewa itu."
"Mereka
itu pengecut kalau berani bergerak selagi ayahmu tidak berada di Cin-ling-san,
Houw-ko," Kwi Beng ikut pula bicara.
"Aiiiihhhhh...!"
Tiga orang pemuda
itu terkejut sekali. Bun Houw sudah mencelat dan diikuti oleh Tio Sun dan Kwi
Beng. Yang menjerit adalah Kwi Eng dan kini dara itu sudah tidak kelihatan
lagi, hanya kelihatan bayangan orang berkelebat ke barat.
Bun Houw
yang memiliki gerakan paling ringan dan cepat sudah meloncat seperti terbang
cepatnya, disusul oleh Tio Sun dan Kwi Beng lari paling akhir karena pemuda
peranakan ini biar pun juga memiliki kepandaian cukup tinggi, masih kalah jauh
kalau dibandingkan dengan Bun Houw dan kalah setingkat oleh Tio Sun.
"Aihhh...
apa kau gila...?!" Kwi Eng menjerit dan kelihatan terdesak hebat oleh
serangan sesosok bayangan yang bertubuh ramping. Bayangan wanita!
Ketika Bun
Houw sampai di tempat itu, dia melihat Kwi Eng terancam bahaya maut maka cepat
dia menerjang dan sempat menangkis pukulan maut yang telah mengancam kepala Kwi
Eng.
"Dukkkk...!”
“Aihhhh...!"
Bayangan wanita itu terkejut ketika pukulannya tertangkis dan dia terhuyung ke
belakang, lalu dia meloncat sambil terkekeh dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Bun Houw
tidak dapat melihat wajahnya, akan tetapi melihat bentuk tubuh wanita itu dan
melihat caranya bergerak dan menyerang, jantungnya berdebar tegang karena dia
yakin siapa adanya wanita yang menyerang Kwi Eng tadi. Melihat Kwi Eng
terhuyung, cepat dia menyambar, mendukungnya dan membawanya kembali ke tempat
tadi, diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng yang menjadi khawatir sekali.
Bun Houw
dengan hati-hati merebahkan Kwi Eng di dekat api unggun. Hatinya lega ketika
memeriksa dan ternyata Kwi Eng tidak menderita luka parah, hanya mengalami
tamparan yang membuat pipi dan lehernya terdapat tanda jari tangan yang merah,
tanda bahwa tamparan itu keras sekali. Kwi Eng masih nanar, akan tetapi dia
dapat bangkit duduk dan mukanya merah sekali.
"Keparat,
dia entah orang gila entah setan!" dia memaki sambil meraba leher dan
pipinya yang terasa panas.
"Eng-moi,
apakah yang terjadi?" Kakaknya bertanya, kelihatan marah bukan main
melihat adiknya dipukuli orang.
"Aku
sendiri tidak tahu dengan jelas. Seperti kalian tahu, aku baru memanggang
daging dan aku hendak membuang isi perut kelinci dan ayam hutan agak jauh dari
sini agar tidak mendatangkan bau tidak enak. Kulihat kalian masih sibuk
bercakap-cakap. Ketika aku tiba di sana..." Dia menuding ke arah
gerombolan pohon tidak jauh dan yang gelap, "…aku membuang isi perut itu
dan tiba-tiba saja lenganku disambar orang lalu aku dibawa lari seperti terbang
cepatnya!"
“Siapa dia?
Bagaimana orangnya?" Tio Sun bertanya.
Bun Houw
hanya mendengarkan, bahkan menundukkan mukanya karena dia sudah mulai menduga
siapa orang yang mengganggu Kwi Eng itu dan sedang menduga-duga kenapa terjadi
hal itu.
"Aku
tidak dapat melihat mukanya karena gelap sekali, akan tetapi yang jelas dia
adalah seorang wanita, agaknya masih muda dan cantik karena cahaya api unggun
sebentar menimpa pipinya. Dia kuat sekali karena betapa pun aku meronta, aku
tetap tidak dapat melepaskan diri, bahkan dia lalu menampariku dan berbisik
penuh ancaman. Tentu saja aku melawan, namun gerakannya lihai bukan main
sehingga betapa pun aku mengelak dan menangkis, tetap saja aku kena ditampar
beberapa kali," Kwi Eng kembali meraba leher dan pipinya. "Dan...
kalau saja Houw-koko tidak keburu datang, aku... aku agaknya sudah terpukul
mati, aku merasa betul bahwa iblis itu menghendaki kematianku dan ilmu
kepandaiannya begitu hebat!" Kwi Eng bergidik.
"Bagaimana
kau tahu kepandaiannya amat hebat?" kakaknya mendesak.
"Kau
tahu, koko, ketika dia menarikku, aku sudah mengerahkan tenaga, aku diam-diam
mencabut tusuk kondeku. Kau tahu tusuk kondeku itu adalah pemberian ibu,
terbuat dari baja tulen seperti pedang, luarnya diselaputi emas. Aku sempat
menusuknya di tempat gelap, tepat pada lambungnya, tetapi kau lihatlah
ini..." Dara itu mengeluarkan sebatang tusuk konde yang telah patah
menjadi dua!
"Ihhh...!"
Kwi Beng berteriak dengan hati ngeri. Membayangkan lawan yang lambungnya
ditusuk dengan senjata itu malah senjatanya yang patah, benar-benar mengerikan
sekali.
"Adik
Kwi Eng, engkau tadi mengatakan bahwa iblis itu berbisik penuh ancaman. Bisikan
apakah yang dikatakan kepadamu?" Tiba-tiba Tio Sun bertanya.
Kwi Beng dan
Bun Houw juga memandang sementara Kwi Eng kelihatan gugup, bahkan lalu
mengerling dan menatap wajah Bun Houw sampai lama. Pemuda ini mengerutkan
alisnya, hatinya menjadi tidak enak dan akhirnya dia menunduk.
"Aku
sendiri pun merasa heran sekali memikirkan apa yang dibisikkan oleh iblis
betina itu." Kwi Eng akhirnya berkata lirih. "Suaranya halus namun
bisikannya jelas terdengar olehku kelika dia menampariku. Dia berkata, berani
kau mendekati dia? Kubunuh kau kalau kau berani jatuh cinta padanya!"
"Ehhhh...!
Gila!" Kwi Beng berkata marah dan memandang ke kanan kiri.
"Hemmm,
siapakah yang dimaksudkannya itu?" Tio Sun juga berkata sambil mengerling
ke arah Bun Houw yang makin menundukkan mukanya.
Mendengar penuturan
ini, Bun Houw makin yakin siapa wanita yang telah menyerang Kwi Eng itu dan dia
merasa heran, terkejut, bingung serta penasaran. Tentu dara bernama Hong itu!
Akan tetapi mengapa demikian? Kenapa Hong bersikap seperti itu? Apa artinya
semua itu? Cemburu? Ahhh, mengapa cemburu?
"Houw-koko,
apakah engkau mengenal iblis itu?" Tiba-tiba Kwi Eng bertanya kepada Bun
Houw dan pemuda ini terkejut, tersentak dari lamunannya.
"Aku
tidak tahu..." dia menggeleng ragu. "Aku tidak melihat suatu sebab
yang membuat orang dapat bersikap seperti itu kepadamu. Mungkin dia seorang
gila, atau siapa tahu dia adalah seorang mata-mata Lima Bayangan Dewa..."
"Atau
mungkin juga dia salah melihat orang, kau disangka orang lain, adik Kwi
Eng," kata pula Tio Sun yang merasa tidak enak melihat Bun Houw kelihatan
bingung. "Sudahlah, karena tidak ada akibat yang terlalu hebat, mari kita
makan dan beristirahat. Malam ini kita harus berjaga-jaga, siapa tahu
kalau-kalau dia muncul kembali."
Kwi Eng
melanjutkan pekerjaannya memanggang daging, kini tak berani terlalu jauh dari
teman-temannya. Sesudah mereka makan daging dan cukup kenyang, Bun Houw yang
masih merasa tidak enak dan menduga bahwa boleh jadi dara bernama Hong itu yang
melakukan perbuatan kasar terhadap Kwi Eng karena orang aneh seperti dia sulit
diduga sebelumnya apa yang akan dilakukannya, mengusulkan supaya mencari
penginapan di dalam dusun di luar hutan saja.
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan keluar dari hutan sambil membawa obor. Maksud Bun Houw
mencari penginapan di dusun adalah untuk menghindari gangguan dari ‘iblis’
tadi, karena hatinya masih khawatir akan keselamatan Kwi Eng. Ketika dia
menangkis pukulan iblis tadi, dia memperoleh kenyataan alangkah kuatnya tenaga
lengan iblis betina itu dan kalau mereka tetap tinggal di dalam hutan yang
terbuka, sukarlah baginya untuk terus melindungi Kwi Eng.
Benar saja,
tepat di luar hutan, mereka mendapatkan sebuah dusun kecil yang dihuni oleh
puluhan keluarga petani. Tentu saja di dusun yang kecil seperti itu tidak terdapat
rumah penginapan, akan tetapi Kwi Eng yang pandai bicara ramah dan juga
mempunyai banyak uaug bekal itu berhasil mendapatkan sebuah rumah besar tempat
tinggal seorang petani yang agak kaya untuk menampung dan memberi kamar kepada
mereka berempat untuk satu malam itu. Petani yang kecukupan ini she Ma dan
hidup bersama seorang istri, dua orang anak gadis yang sudah dewasa dan dua
orang pelayan.
Keluarga she
Ma ini ternyata ramah sekali. Dengan gembira mereka menyambut empat orang tamu
mereka, bahkan menjamu mereka dengan nasi, lauk pauk serta minuman, memaksa
mereka berempat makan walau pun mereka menyatakan bahwa mereka sudah makan di
hutan.
Memang
kehidupan di dusun jauh bedanya dengan di dalam kota. Biasanya orang-orang kota
terlampau mementingkan diri sendiri, masing-masing hidup memisahkan diri dan
tak saling mengacuhkan keadaan orang lain, jarang sekali nampak keakraban dan
kegotong royongan. Berbeda dengan kehidupan di pedesaan di mana mereka lebih
saling bergaul dengan akrabnya, senasib sependeritaan dan selalu bersikap ramah
apa bila kedatangan tamu.
Demikian
pula keluarga she Ma ini. Ketika mendengar permintaan Kwi Eng untuk dapat
bermalam di situ malam itu, mereka gembira sekali, apa lagi ketika melihat
bahwa Kwi Eng adalah seorang dara yang demikian cantik jelita dan mempunyai
kecantikan yang khas, sedangkan tiga orang pemuda itu begitu gagah-gagah dan
tampan, terutama sekali Bun Houw dan Kwi Beng.
Diam-diam
timbullah keinginan besar di dalam hati suami isteri Ma. Sudah lama mereka itu
ingin sekali memperoleh mantu-mantu yang sesuai dengan keadaan mereka. Sebagai
petani yang paling kaya di dusun itu, tentu saja mereka menganggap
pemuda-pemuda dusun itu kurang memenuhi syarat untuk menjadi mantu-mantu
mereka.
Dan kini
muncul pemuda-pemuda kota yang demikian gagah dan tampan, maka tentu saja
timbul harapan di dalam hati mereka. Sang ibu segera memberi nasehat kepada dua
orang puterinya untuk keluar dan turut pula melayani para tamu makan minum
sambil bersikap ramah dan manis kepada para tamunya. Tentu saja mereka itu tak
lupa berhias diri untuk menarik perhatian para pemuda kota itu, terutama Kwi
Beng dan Bun Houw.
Kwi Eng yang
dapat mengerti sikap ibu dan dua orang anak gadisnya itu merasa geli dan juga
kasihan. Sikap mereka begitu polos dan kaku sehingga amat menyolok mata ketika
perawan pertama dengan manisnya melayani Bun Houw, sedangkan adiknya dengan
sikap memikat melayani Kwi Beng. Beberapa kali Kwi Eng menutup mulutnya menahan
ketawa melihat betapa Kwi Beng dan Bun Houw menjadi merah mukanya dilayani oleh
perawan-perawan dusun yang berbedak tebal dan memakai minyak wangi semerbak
itu.
Karena
keramahan fihak tuan rumah sekeluarga, mereka berempat merasa tidak enak untuk
menolak dan walau pun mereka sudah kenyang makan daging kelinci dan ayam hutan
tadi, kini mereka makan dan minum lagi sekedarnya hanya untuk menyenangkan hati
keluarga tuan rumah.
Begitu pula
setelah mereka makan, keluarga itu mengajak para tamunya bercakap-cakap di
ruangan depan, dan kembali dalam kesempatan ini dua orang anak gadis keluarga
itu memperlihatkan sikap manis dan tertarik sekali kepada Bun Houw dan Kwi
Beng. Tentu saja dua orang pemuda ini menjadi sungkan dan malu-malu, dan baru
mereka merasa terbebas ketika Tio Sun akhirnya minta perkenan dari keluarga itu
untuk mengaso.
Kwi Eng
memperoleh kamar sendiri, sedangkan tiga orang pemuda itu tidur menjadi satu di
dalam sebuah kamar besar sederhana di bagian belakang rumah itu. Menjelang
tengah malam, semua orang terkejut ketika mendengar jerit melengking yang amat
mengerikan.
Sebagai
orang-orang berkepandaian tinggi, tentu saja tiga orang pemuda itu cepat-cepat
meloncat keluar dari kamar mereka, kemudian bertemu dengan Kwi Eng yang juga
telah meloncat keluar kamarnya. Lalu mereka mendengar suara tangis dari kamar
dua orang gadis puteri tuan rumah.
Tentu saja
mereka terkejut dan cepat mendatangi kamar itu. Dapat dibayangkan betapa kaget
hati mereka ketika melihat bahwa gadis pertama she Ma telah rebah tak bernyawa
lagi di atas pembaringannya, sedangkan di dahinya terdapat tanda tiga buah jari
tangan menghitam. Jelas bahwa gadis ini tewas terbunuh orang yang memiliki
kepandaian tinggi! Ketika melihat empat orang itu, suami isteri Ma dan anaknya
yang kedua menangis makin riuh rendah.
Tanpa
diminta lagi, Tio Sun dan ketiga orang temannya sudah menggunakan kepandaian
mereka untuk meloncat dan melakukan pengejaran, mencari di luar belakang dan di
atas genteng rumah, namun tidak nampak bayangan orang lagi. Mereka kembali ke
kamar itu di mana semua keluarga masih menangis.
"Apakah
sebenarnya yang telah terjadi?" Tio Sun bertanya kepada tuan rumah.
"Mengapa puteri ji-wi tahu-tahu meninggal seperti ini?"
Sambil
menangis orang she Ma itu menjawab bahwa mereka suami isteri juga tidak tahu,
akan tetapi menurut penuturan gadis mereka yang kedua, anak pertama mereka itu
telah dibunuh oleh seorang wanita!
"Seorang
wanita?" Bun Houw bertanya dengan suara kaget sekali. Jantungnya berdebar
tegang dan dia langsung bertanya kepada gadis she Ma yang muda dan yang masih
menangis itu, "Nona, harap ceritakan, apa yang telah terjadi dan siapa
yang membunuh enci-mu?"
"Saya...
saya terbangun oleh suara dalam kamar kami...," gadis itu bercerita dengan
air mata bercucuran. "Lampu kami bernyala amat kecil... dan... dan saya
melihat bayangan seorang wanita di kamar... ada bau harum bunga... dan saya
mendengar suara wanita itu berkata kepada enci..." Dia melihat lagi
terisak-isak.
Ibunya
memeluknya dan berkata, "Kau tenanglah dan ceritakan dengan jelas..."
"Saya...
saya mendengar jelas, wanita itu... bayangan itu berkata, ‘Kau berani menggoda
pemuda itu, kau harus mati!’ Enci menjerit dan bayangan itu berkelebat
lenyap... seperti iblis... melalui jendela. Saya lalu menghampiri enci dan...
dan..." gadis itu menangis lagi sesenggukan.
Kwi Eng, Kwi
Beng, dan Tio Sun saling pandang dengan mata terbelalak, sedangkan Bun Houw
yang merasa jantungnya berdebar-debar dan tengkuknya meremang menundukkan
mukanya sambil mengepal tinju tangannya. Benarkah? Benarkah wanita iblis itu
adalah wanita yang telah mengancam Kwi Eng dan sekarang membunuh puteri tuan
rumah ini? Benarkah nona Hong yang cantik jelita, gagah perkasa, penolong dan
penyelamatnya itu, dia itukah iblis betina ini?
Agaknya
tidak mungkin salah lagi! Siapa lagi kalau bukan dia yang berkepandaian begitu
tinggi sehingga Kwi Eng sendiri pun tidak berdaya? Akan tetapi mengapa dia
melakukan hal itu? Mengapa? Karena cinta kepadanya dan karena cemburu melihat
sikap puteri tuan rumah manis kepadanya? Cemburu? Begitu kejamnya? Dia
bergidik.
Tio Sun
menyentuh lengannya dan pemuda itu memberi isyarat kepadanya. Bun Houw
mengangkat muka, melihat betapa tiga orang temannya itu sedang memandang
padanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia menghela napas dan keluar
dari kamar itu bersama tiga orang temannya.
Setelah tiba
di ruangan depan rumah itu, Tio Sun memandang kepada Bun Houw dengan tajam
kemudian berkata, "Houw-te, agaknya pembunuhan ini ada hubungannya dengan
penyerangan atas diri adik Kwi Eng. Apakah engkau bisa menduga siapa yang melakukan
perbuatan ini?"
Melihat
mereka bertiga memandangnya penuh selidik, Bun Houw menghela napas dan
menjawab, "Sungguh, aku sendiri menjadi bingung. Ada seorang pendekar
wanita yang kukenal, akan tetapi agaknya tidak mungkin dia berubah menjadi
iblis betina. Aku tidak dapat percaya. Tidak, tentu ada apa-apa yang aneh di
balik semua ini."
Bun Houw
tetap tidak mau mengaku. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang nona Hong
yang sangat dikagumi dan yang telah menyelamatkan nyawanya itu? Terus terang saja,
di sudut hatinya memang ada dugaan bahwa nona itulah yang melakukan ancaman
terhadap Kwi Eng dan pembunuhan malam ini, karena betapa pun juga, dia tahu
bahwa nona perkasa itu memiliki watak aneh dan hati yang keras, tidak dapat
memberi ampun kepada musuhnya.
Akan tetapi
kenapa menyatakan cemburu secara begini ganas? Dan benarkah perbuatan itu
dilakukan karena cemburu? Apakah nona Hong yang penuh rahasia itu jatuh cinta
kepadanya? Semua pertanyaan ini mengaduk otaknya, akan tetapi karena belum
terdapat bukti-bukti nyata, meski pun dia mulai menduga demikian, dia tidak mau
merusak nama gadis penolongnya itu.
Bagaimana
pun juga dia masih tidak mau percaya bahwa dara yang cantik jelita itu telah
membunuh gadis she Me yang sama sekali tidak berdosa itu. Dia bergidik.
Bagaimana kalau benar nona Hong yang membunuhnya? Betapa kejamnya. Seperti
iblis betina saja!
Dia menjadi
makin penasaran sehingga ingin sekali dia bertemu dengan gadis itu untuk
ditanyainya. Teringat dia betapa ganasnya nona itu ketika hendak membasmi anak
buah Lembah Bunga Merah. Seorang gadis yang cantik jelita, berilmu tinggi dan
sangat ganas menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi membunuh gadis she Ma yang
tidak berdosa dengan darah dingin begitu saja? Sungguh keterlaluan!
Bun Houw
merasa tersiksa batinnya di antara keraguan dan rasa penasaran. Benarkah nona
Hong yang membunuhnya? Seorang dara laksana bidadari, laksana seorang dari
kahyangan! Tapi mengapa begitu kejam? Seperti Dewi Maut saja, bidadari yang
bertugas mencabut nyawa sebagai pembantu Giam-lo-ong!
Dapat
dibayangkan betapa bingungnya hati pemuda itu. Dia amat kagum kepada In Hong
dan merasa berhutang budi karena harus diakuinya bahwa kalau bukan nona itu
yang menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya, tentu dia sekarang sudah
mati. Akan tetapi peristiwa penyerangan terhadap diri Kwi Eng dan pembunuhan
terhadap gadis she Ma itu menunjukkan seolah-olah gadis yang dikaguminya itu
adalah seorang ibils betina yang kejam.
Tangannya
sudah merogoh kantong, menyentuh burung hong kumala yang diterimanya dari nona
itu. Saking gemas dan bencinya hampir saja dia meremas benda itu, akan tetapi
dia segera ingat bahwa belum ada bukti nyata bahwa nona itulah yang melakukan
semua kekejian ini. Kelak dia pasti akan menyelidiki dan membongkar rahasia
ini!
Karena
hatinya amat terganggu oleh peristiwa itu, dan juga karena tiga orang temannya
agaknya mencurigainya, maka dengan dalih mencari dan mengejar pembunuh itu, Bun
Houw mengajak tiga orang temannya meninggalkan rumah keluarga Ma dan malam itu
juga mereka meninggalkan dusun itu dan berusaha mencari jejak pembunuh, akan
tetapi semua usaha mereka sia-sia belaka.
***************
Ngo-sian-chung
(Kampung Lima Dewa) ialah sebuah dusun kuno yang terletak di lembah muara
sungai Huang-ho. Di dusun itu, di dekat sungai, terdapat bukit kecil di mana
orang dapat melihat adanya lima buah batu gunung besar yang berjajar dan kalau
dilihat dari kejauhan mirip lima orang sedang duduk bercakap-cakap. Mungkin
karena itulah maka dusun itu disebut Dusun Lima Dewa.
Akan tetapi,
belasan tahun yang lalu ketika ada seorang datuk kaum sesat datang dan menetap
di dusun itu, lambat-laun para penghuni dusun lalu pindah ke lain tempat dan
akhirnya dusun itu seolah-olah menjadi ‘milik pribadi’ datuk kaum sesat itu
yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok.
Sebetulnya
dia ini adalah seorang peranakan Mongol yang memiliki ilmu tinggi. Ayahnya
seorang bangsa Han akan tetapi ibunya seorang wanita Mongol. Ayahnya adalah
seorang petualang yang berkepandaian tinggi dan ketika bertualang di daerah
Mongol ayahnya itu menikah dengan puteri kepala Suku Bangsa Mongol.
Oleh karena
itu, biar pun dia memakai nama keturunan ayahnya dan mempunyai nama Han, akan
tetapi wajahnya yang tampan itu mirip orang Mongol dari seperti juga orang
Mongol, dia tak begitu suka kepada Bangsa Han, bangsa ayahnya sendiri, dan
lebih setia kepada Bangsa Mongol yang dianggapnya bangsa paling besar dan mulia
di dunia.
Phang Tui
Lok menerima ilmunya dari seorang sakti, dan dia adalah sute dari mendiang Ban-tok
Coa-ong, seorang datuk kaum sesat yang pada puluhan tahun yang lalu sangat
terkenal di dunia persilatan. Seperti yang kita ketahui, di dalam cerita
Petualang Asmara, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok tewas di tangan Pendekar Sakti
Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, dan oleh karena ini maka Pat-pi Lo-sian Phang
Tui Lok menaruh dendam terhadap Cin-ling-pai dan semenjak dia tinggal di
Ngo-sian-chung, dia selalu mencari kesempatan uatuk membalas sakit hatinya itu.
Namun, dia bukanlah seorang bodoh dan ceroboh. Dia maklum betapa lihainya ketua
Cin-ling-pai, maka dia selalu mencari dan menanti kesempatan yang baik sambil
menyusun kekuatan.
Setelah dia
dapat mengumpulkan harta dan menjadi ‘majikan’ dusun Ngo-sian-chung itu,
mulailah dia mengumpulkan teman-teman yang dia tahu juga merupakan musuh-musuh
dari ketua Cin-ling-pai sehingga akhirnya dia berhasil menarik empat orang
lihai lainnya dan bahkan mengangkat saudara dengan mereka ini dan mereka
menggunakan julukan Lima Bayangan Dewa, sesuai dengan Ngo-sian-chung yang
menjadi sarang atau pusat pertemuan mereka.
Setelah
merasa kuat, maka Pat-pi Lo-sian mengajak empat orang saudara angkatnya itu
untuk menyerbu Cin-ling-pai. Seperti sudah dituturkan di bagian depan cerita
ini, mereka berhasil membunuh Cap-it Ho-han murid-murid kepala Cin-ling-pai
sedangkan Phang Tui Lok sendiri sebagai saudara tertua dan yang terpandai,
berhasil pula merampas pedang Siang-bhok-kiam.
Setelah
berhasil menggegerkan dunia kang-ouw dengan serbuan mereka ke Cin-ling-pai itu,
Lima Bayangan Dewa maklum bahwa tentu fihak Cin-ling-pai tidak akan tinggal
diam, maka mereka pun kemudian mengumpulkan teman-teman segolongan untuk
bersiap-siap menghadapi musuh besar mereka. Bahkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok
sendiri lantas membujuk dua di antara Lima Bayangan Dewa, yaitu Liok-te Sin-mo
Gu Lo It yang tadinya tinggal di pantai timur, dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang
tadinya di selatan untuk tinggal di Ngo-sian-chung.
Selain
mengumpulkan tokoh-tokoh besar kaum sesat yang juga memusuhi Cin-ling-pai, juga
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang masih terhitung keluarga para bangsawan
Mongol, diam-diam menghubungi seorang pembesar istana yang pada waktu itu
sedang berkuasa besar, yaitu seorang pembesar thaikam (pembesar kebiri) yang
berpengaruh di istana kaisar.
Kini dusun
Ngo-sian-chung tidaklah seramai dahulu lagi, sebagian besar penghuni asli dusun
itu, yang sudah tinggal di situ selama beberapa keturunan, telah pergi dari
situ dan pindah ke dusun lain semenjak Lima Bayangan Dewa menguasai dusun itu.
Mereka ini, orang-orang dusun yang lemah, tidak mau terlibat dengan urusan
orang-orang kang-ouw yang mengandalkan kepandaian serta kekerasan untuk
melewati hidup. Mereka yang masih tinggal di sana adalah orang-orang yang
memperoleh keuntungan dengan adanya Lima Bayangan Dewa dan bekerja menjadi kaki
tangan mereka...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment