Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 19
PADA PAGI
hari itu, empat orang muda memasuki dusun Ngo-sian-chung dengan sikap tenang
namun penuh kewaspadaan. Mereka itu adalah Bun Houw, Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi
Eng. Setelah di malam hari itu mereka gagal mencari dan mengejar pembunuh
rahasia yang telah membunuh gadis she Ma, mereka merasa tidak enak untuk
kembali ke dusun dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Ngo-sian-chung.
Karena
Ngo-sian-chung memang telah dekat, berada di lembah muara sungai Huang-ho, maka
pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah memasuki dusun itu dengan sikap
penuh kewaspadaan karena mereka menduga bahwa mereka tentu tiba di sarang Lima
Bayangan Dewa yang mereka cari-cari.
Dugaan
mereka memang tepat. Mereka sedang memasuki sarang naga yang berbahaya sekali.
Tidak percuma tempat itu dijadikan sarang Lima Bayangan Dewa dan meski pun pagi
hari itu empat orang muda ini memasuki pintu gerbang dusun yang sunyi
seolah-olah tempat itu aman dan kosong, seakan-akan tidak terdapat bahaya sama
sekali, namun sesungguhnya sejak malam tadi kedatangan mereka sudah diketahui
oleh para penghuni Ngo-sian-chung dan pagi ini, empat orang itu memang
dibiarkan memasuki dusun seperti empat ekor domba yang dibiarkan masuk ke dalam
jebakan dan di sekeliling tempat itu, secara bersembunyi, sudah menunggu
segerombolan harimau yang kelaparan dan yang memandangi gerakan empat ekor
domba itu!
Sebetulnya,
sebelum mereka memasuki dusun itu, Tio Sun menyatakan tidak setujunya karena
dia menganggap perbuatan mereka ini terlampau ceroboh.
"Lima
Bayangan Dewa yang sudah melakukan perbuatan menentang Cin-ling-pai tentu sudah
selalu bersiap menghadapi lawan," katanya kepada Bun Houw. "Kalau
kita masuk secara berterang, bukankah hal itu sangat berbahaya? Mereka sudah
tahu bahwa kita hanya berempat, dan kita tidak tahu sampai di mana kekuatan
mereka."
"Tio-twako,"
Bun Houw menjawab malam tadi. "Mereka itu merupakan orang-orang dari
golongan sesat. Pada saat mereka menyerbu Cin-ling-pai, mereka sengaja menanti
ketika ayah dan ibu tidak berada di sana, dan mereka juga memancing para suheng
dari Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-san. Akan tetapi, kedatanganku ini
adalah untuk menuntut balas maka aku pantang masuk secara menggelap. Aku
menyesal sekali telah membawa twako dan kedua adik Souw ke dalam bahaya ini."
"Ahhh,
Houw-koko mengapa kau berkata demikian?" Kwi Beng membantah. "Kita
adalah keturunan para pendekar, bahaya, sakit dan kematian dalam membela
kebenaran bukan apa-apa bagi kita."
Tio Sun
menarik napas panjang. "Maaf Houw-te, aku hanya memperingatkan, sama
sekali bukan berarti bahwa aku takut. Kalau begitu, marilah kita masuk dusun
itu."
Demikianlah,
pagi itu mereka memasuki dusun dengan sikap tenang akan tetapi hati-hati dan
penuh kewaspadaan. Mereka tidak melihat adanya fihak musuh yang memang sudah
mengawasi setiap gerak-gerik mereka sambil bersembunyi, namun mereka seperti
dapat merasakan kehadiran musuh yang tidak nampak itu.
Pada waktu
itu, orang tertua dari Lima Bayangan Dewa, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok
tidak berada di Ngo-sian-chung. Dia dan orang ketiga, yaitu Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Ho Siang, beberapa hari yang lalu berangkat ke kota raja
atas panggilan pembesar thaikam di istana yang membutuhkah tenaga bantuan
mereka. Karena itu yang menjaga Ngo-sian-chung adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It,
orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Baru saja rombongan Hui-giakang Ciok Lee
Kim juga tiba di situ, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit, Hwa Hwa Cinjin, Hek I
Siankouw, dan Bouw Thaisu sehingga kini Ngo-sian-chung penuh dengan orang-orang
yang berilmu tinggi!
Di samping
tiga orang Bayangan Dewa dan tiga orang tamu mereka yang bahkan lebih lihai
dari pada mereka sendiri, masih terdapat pula anak-anak buah Ngo-sian-chung
yang hampir tiga puluh orang jumlahnya, masih ditambah lagi beberapa orang pembantu
dan kaki tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim yang ikut datang dari Lembah Bunga
Merah.
Sebetulnya
Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang pada saat itu menjadi wakil tuan rumah, telah
memimpin barisan pendam yang sudah bersiap dengan anak panah dan senjata rahasia
mereka. Kalau dia memberi aba-aba untuk menghujankan senjata rahasia, kemudian
dia bersama teman-temannya yang lihai itu menyerbu, kiranya empat orang muda
itu akan menghadapi bahaya yang amat besar.
Akan tetapi
ketika mereka mengintai itu, para tamu dari Lembah Bunga Merah segera mengenal
Bun Houw! Mereka terkejut sekali karena mereka sudah menyaksikan sendiri
kelihaian pemuda ini, dan sungguh pun mereka sudah berhasil menangkap pemuda
itu, menyiksanya secara hebat, akan tetapi kini tampaknya pemuda itu sudah
sembuh sama sekali!
Mereka tidak
mengenal tiga orang muda lainnya yang ikut datang bersama Bun Houw, akan tetapi
mereka itu memandang rendah dan menduga bahwa mereka agaknya adalah murid-murid
Bu-tong-pai yang hendak membalas dendam kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim. Oleh
karena itu, Ciok Lee Kim cepat menahan suheng-nya dan menyentuh lengan Liok-te
Sin-mo Gu Lo It sambil berbisik-bisik.
"Pemuda
yang di depan itu lihai sekali, dan agaknya dia utusan Cin-ling-pai. Akan
tetapi dia belum mengaku. Dan tiga yang lain itu, boleh jadi murid-murid
Bu-tong-pai. Tidak baik kalau membunuh mereka, dan pemuda bernama Bun Houw itu
harus dipaksa mengaku."
"Tepat
sekali, memang mereka itu harus ditawan hidup-hidup untuk dimintai keterangan.
Kita harus mengetahui gerak-gerik musuh, jangan sampai kita terjebak oleh
Cin-ling-pai." Toat-beng-kauw Bu Sit membenarkan pendapat sucinya.
Sebenarnya
siasat yang dipergunakan oleh dua orang tokoh Lima Bayangan Dewa ini mengandung
maksud lain yang bersumber kepada keinginan pribadi. Begitu Ciok Lee Kim melihat
wajah dan bentuk tubuh Kwi Beng, dengan matanya yang bening kebiruan dan
rambutnya yang agak pirang, wanita ini sudah menjadi tergila-gila dan dia akan
merasa sayang sekali apa bila pemuda seperti itu dibunuh begitu saja. Dia sudah
membayangkan betapa akan senang hatinya kalau dia dapat ditemani oleh pemuda
setampan itu untuk beberapa malam lamanya.
Demikian
pula Toat-beng-kauw Bu Sit si wajah monyet. Begitu dia melihat Kwi Eng yang
cantik jelita, yang memiliki kecantikan yang khas dan aneh namun amat menarik
itu, dia sudah mengilar dan tergila-gila. Betapa pun juga, dia harus dapat
menguasai gadis yang demikian cantiknya!
Gu Lo It
bukan tidak tahu akan watak sumoi dan sute-nya ini, akan tetapi karena memang
usul mereka itu tepat dan dia pun ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya
pemuda tampan yang menurut cerita dua orang adik angkatnya itu memiliki
kepandaian yang amat tinggi, maka dia mengangguk dan segera diaturlah siasat
untuk menghadapi empat orang penyerbu muda yang demikian tenang dan beraninya
memasuki sarang Lima Bayangan Dewa.
Setelah
empat orang muda itu tiba di tengah-tengah dusun Ngo-sian-chung dan di antara
rumah-rumah yang agaknya kosong, mendadak terdengar sorak-sorai dari empat
penjuru dan tahulah mereka bahwa mereka telah terjebak dan terkurung.
"Awas
dan siap-siap, kita harus saling melindungi!" Bun Houw berbisik dan tiga
orang temannya mengangguk, lantas mereka berdiri saling membelakangi,
menghadapi empat penjuru dengan seluruh urat saraf di tubuh mereka menegang,
siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpa mereka.
Kini
nampaklah orang-orang muncul dari balik-balik rumah dengan gendewa terpentang
dan anak panah yang sudah siap ditodongkan ke arah mereka. Sedikitnya ada tiga
puluh orang bersenjata lengkap, kebanyakan dari mereka menodongkan anak panah,
muncul dan mengurung empat orang muda yang sudah siap dan tidak bergerak di
tengah-tengah lapangan yang cukup luas itu.
Dengan sikap
tenang Bun Houw berkata, suaranya nyaring sekali sehingga bukan hanya dapat
terdengar oleh semua pengepung, melainkan juga dapat terdengar sampai jauh di
empat penjuru, "Kami datang bukan hendak mengganggu orang-orang yang tak
memiliki kepentingan, maka harap suruh Lima Bayangan Dewa untuk keluar!"
Tiba-tiba
terdengar suara wanita tertawa mengejek, "Heh-heh-hi-hik! Jadi engkau
belum mampus?" Ciok Lee Kim meloncat keluar.
"Dan
engkau datang untuk mengantar nyawa? Jangan harap sekarang engkau akan bisa
lolos dari tanganku, pemuda sombong!" Bu Sit juga menyusul suci-nya,
meloncat keluar dengan sikap sombong sebab dia merasa yakin bahwa dengan
bantuan teman-temannya mereka akan dapat menangkap empat orang itu dengan
mudah.
Biar pun dia
berkata kepada Bun Houw, namun matanya yang bulat seperti mata monyet, bulat
kecil, mengincar wajah Kwi Eng karena empat orang muda itu kini membalik dan
menghadapi tokoh yang menjadi musuh-musuh besar dan yang baru muncul itu.
Melihat dua
orang ini, tentu saja darah Bun Houw menjadi panas. Teringat dia betapa dia
telah disiksa secara hebat oleh mereka ini. Akan tetapi sebagai seorang
pendekar muda gemblengan orang-orang sakti, dia dapat menahan diri dan hanya
memandang dengan tersenyum ketika melihat dua orang yang telah dikenalnya itu
muncul diikuti oleh Bouw Thaisu yang amat lihai, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw,
dan seorang laki-laki berhidung besar berjubah hitam, bertopi dan bertubuh
kokoh kuat berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Bun Houw
menduga bahwa laki-laki ini agaknya merupakan salah seorang di antara Lima
Bayangan Dewa, dan kalau benar demikian, mana yang dua lagi? Dia ingin
berhadapan dengan mereka berlima sekaligus agar dia dapat membuat perhitungan
secara serentak.
"Aku
telah mengenal Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit, dua orang
berwatak pengecut di antara Lima Bayangan Dewa," kata Bun Houw dengan
lantang dan berani, "akan tetapi mana yang tiga lagi? Apakah tiga orang
Bayangan Dewa yang lain begitu pengecut untuk selalu menyembunyikan diri dan
mengajukan orang-orang lain?"
"Hemmm,
kalau begitu rubah saja julukan Bayangan Dewa menjadi Bayangan Tikus yang
penakut dan pengecut!" Kwi Eng menyambung dengan suara mengejek.
"Bocah
she Bun yang sombong!" Liok-te Sin-mo Gu Lo It membentak sambil melangkah
ke depan. "Dari sumoi dan sute aku telah mendengar bahwa engkau menyamar
sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, akan tetapi sebenarnya engkau dari
Cin-ling-pai! Sebelum engkau mampus, hayo kau perkenalkan dahulu siapa adanya
tiga orang muda yang kau ajak mengantar nyawa ke sini. Apakah kalian bertiga
juga murid-murid Cin-ling-pai?"
Tio Sun
memandang dengan sinar mata berapi dan dia menjawab, "Ketahuilah,
manusia-manusia iblis. Aku bernama Tio Sun dan ayahku adalah Tio Hok Gwan. Kami
sekeluarga sudah biasa menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam
kalian."
Semua orang
merasa terkejut karena mereka tentu saja sudah mendengar nama besar Ban-kin-kwi
Tio Hok Gwan.
"Dan
kami kakak beradik bernama Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng. Ibu kami adalah
pendekar wanita Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo! Hayo kalian
lekas berlutut dan menyerah dari pada terpaksa kami membunuh kalian!" Kwi
Beng juga membentak dengan suara nyaring.
Kembali para
tokoh kang-ouw yang memusuhi Cin-ling-pai itu terkejut. Nama Souw Li Hwa memang
tidak mereka kenal, akan tetapi siapakah yang tidak mengenal nama The Hoo yang
ditakuti lawan disegani kawan? Dan dua orang muda ini adalah putera-puteri
murid The Hoo, hal ini saja sudah membuat mereka memandang dengan sinar mata
lain dan tidak berani memandang rendah.
Akan tetapi,
tetap saja mata Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan Monyet Pencabut Nyawa Bu
Sit seperti akan keluar dari rongganya saking kagumnya setelah kini mereka
berdiri dekat dengan kakak beradik kembar itu yang ternyata memiliki ketampanan
dan kecantikan yang benar-benar sangat menjatuhkan hati mereka dan menimbulkan
nafsu birahi karena memang keelokan mereka itu khas dan belum pernah mereka
temukan dalam petualangan mereka bercinta dengan macam-macam orang!
Liok-te
Sin-mo Gu Lo It yang ditemani tidak hanya oleh dua orang sumoi dan sute-nya,
akan tetapi juga oleh tiga orang sakti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I
Siankouw, belum lagi anak buah Ngo-sian-chung ditambah anak buah Lembah Bunga
Merah, tentu saja sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia memandang rendah
empat orang muda itu.
"Bagus!"
katanya mengejek. "Kiranya kalian adalah keturunan orang-orang pandai,
akan tetapi sayang sekali bahwa guru-guru atau ayah-ayah kalian amat sembrono,
mengirim kalian orang muda hijau datang ke sini. Orang muda she Bun, kalau
engkau benar dari Cin-ling-pai, apa maksud kedatanganmu di sini mengajak tiga
orang temanmu ini?"
"Siapakah
engkau?" Bun Houw balas bertanya sambil memandang penuh selidik.
"Suruh tiga orang lain dari Bayangan Dewa untuk keluar menemui aku!"
"Ha-ha-ha,
betapa sombongnya! Aku adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima
Bayangan Dewa. Dengan adanya kami bertiga dan tiga orang sahabat kami yang
mulia ini, sudah cukup. Orang pertama dan ketiga dari kami sedang ada urusan
keluar, maka kau sampaikan saja kepada kami apa yang menjadi keperluan dan
kehendakmu."
Bun Houw
agak kecewa bahwa dua orang di antara Lima Bayangan Dewa tidak hadir. Kini dia
mengepal tinju dan membentak, "Liok-te Sin-mo, kalian Lima Bayangan Dewa
telah bertindak pengecut, selagi ketua Cin-ling-pai tidak ada, kalian berani
menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai. Sekarang aku datang untuk meminta kembali
pusaka Cin-ling-pai, Siang-bhok-kiam dan nyawa Lima Bayangan Dewa."
"Ha-ha-ha-ha-ha,
sungguh sombong kau, keparat!" Liok-te Sin-mo adalah seorang yang berwatak
keras dan kasar, maka mendengar ucapan Bun Houw, dia tidak dapat menahan
kemarahannya lagi. Cepat dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan kepada
para anak buahnya.
Sambil
bersorak riuh, anak-anak buah Ngo-sian-chung dibantu anak buah Lembah Bunga
Merah lalu maju menyerbu dengan senjata mereka, mengepung dan mengeroyok empat
orang muda itu. Sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It, sesuai dengan rencana,
mundur dan bersama teman-temannya mereka menonton lebih dahulu untuk menilai
siapa di antara empat orang muda itu yang paling lihai dan siapa pula yang
lebih lemah agar lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan yang
menguntungkan.
Akan tetapi,
karena sudah maklum dari laporan dua orang adik angkatnya akan kelihaian Bun
Houw, maka seperti sudah direncanakan, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I
Siankouw sudah menggerakkan tubuh mereka dan tiga orang sakti ini mengurung dan
mengeroyok Bun Houw!
Dari
pengalamannya di Lembah Bunga Merah, Bun Houw sendiri maklum bahwa ketiga orang
tua ini memang hebat sekali kepandaiannya, maka dia pun malah merasa lega bahwa
mereka langsung mengeroyoknya sehingga kawan-kawannya akan menghadapi
pengeroyokan lawan yang tidak selihai mereka bertiga ini. Maka dia pun cepat
meraba pinggangnya dan nampaklah sinar pedang yang sudah dipegang di tangan
kanannya.
Pedang ini
pedang pemberian In Hong, sebatang pedang yang cukup baik. Sebetulnya, berkat
gemblengan dari suhu-nya, Kok Beng Lama, Bun Houw dapat menghadapi lawan yang
betapa lihainya pun dengan kedua tangan kosong saja, akan tetapi karena dia
tahu betapa hebat kepandaian tiga orang pengeroyoknya yang juga mempergunakan
senjata, maka dia tidak mau bersikap ceroboh memandang rendah, dan dia sudah
mengeluarkan pedang itu untuk melakukan perlawanan mati-matian.
Sementara
itu, Tio Sun juga sudah mengeluarkan kedua senjatanya yang ampuh, yaitu
sebatang pedang pada tangan kanan dan sebatang joan-pian, yaitu sabuk yang
dapat digunakan sebagai cambuk, kemudian dia sudah mengamuk hebat, dalam waktu
singkat saja sudah merobohkan dua orang pengeroyoknya.
Kwi Beng dan
Kwi Eng, dua saudara kembar yang tentu saja memiliki perasaan yang amat dekat
dan saling membela, sudah mengamuk pula dengan pedang di tangan, saling
melindungi dan keduanya sudah memutar pedang dengan tangan kanan, ada pun
tangan kiri mereka melemparkan hui-to, yaitu pisau-pisau terbang yang mereka
lempar dengan kegapahan (kecekatan atau ketangkasan) seorang ahli sehingga
masing-masing juga sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan hui-to
mereka.
Melihat ini,
tiga orang Bayangan Dewa menjadi kaget juga. Akan tetapi begitu melihat tiga
orang muda itu menggerakkan senjata, Liok-te Sin-mo Gu Lo It maklum bahwa di
antara mereka, putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan itulah yang paling lihai.
Maka dia pun
segera meloncat ke depan, menyerang Tio Sun dengan kedua ujung lengan bajunya
yang merupakan senjatanya yang istimewa, karena di kedua ujung lengan baju
hitam itu dipasangi baja-baja yang kuat dan tersembunyi sehingga tidak
kelihatan oleh lawan, akan tetapi kalau mengenai tubuh lawan sama bahayanya
dengan senjata tajam mana pun juga.
Melihat
gerakan orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini, Tio Sun cepat menyambut dan di
antara mereka segera terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru. Akan tetapi
atas isyarat Gu Lo It, beberapa orang anak buahnya sudah turun tangan pula
membantu sehingga Tio Sun kembali dikepung dan sekali ini dia harus mengerahkan
seluruh tenaga dan andalannya karena pengepungan itu dipimpin oleh Liok-te
Sin-mo Gu Lo It yang amat lihai.
Sementara
itu, Ciok Lee Kim dan Bu Sit girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa
biar pun dua orang kakak beradik kembar itu memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi pula, namun dibandingkan dengan dua orang muda lainnya, mereka ini
paling lunak dan kedua orang ini segera terjun ke dalam medan pertempuran, dan
otomatis Bu Sit sudah menggerakkan pecut bajanya menahan pedang di tangan Kwi
Eng, sedangkan Ciok Lee Kim mainkan dua helai sapu tangan suteranya menandingi
Kwi Beng sambil tersenyum-senyum penuh gairah!
Dengan cara
memecah-mecah, pertandingan terbagi menjadi empat dan memang Liok-te Sin-mo
beserta kawan-kawannya merupakan orang-orang yang selain berilmu tinggi, juga amat
pandai bersiasat. Andai kata pertempuran itu dilakukan dengan pengeroyokan
biasa, maka dengan gabungan kepandaian mereka, terutama dengan adanya Bun Houw
yang amat lihai dan Tio Sun yang juga bukan orang lemah, maka fihak para
pengeroyok akan mengalami kesukaran dan tentu akan banyak anak buah mereka yang
dirobohkan empat orang muda itu.
Akan tetapi,
setelah dipecah-pecah dan setiap orang muda itu dikepung oleh fihak lawan yang
disesuaikan, tentu saja mereka berempat menjadi kerepotan juga! Terutama sekali
Kwi Beng dan Kwi Eng! Tingkat kepandaian Kwi Beng dan Kwi Eng masih kalah jauh
bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ciok Lee Kim dan Bu Sit. Tanpa
dikeroyok pun mereka berdua akan kalah oleh dua orang Bayangan Dewa itu.
Terlebih lagi kini mereka dikeroyok oleh lima orang yang dipimpin oleh dua
orang lihai itu!
"Awas!
Jangan lukai dia, tangkap hidup-hidup!" Pesan Ciok Lee Kim kepada lima
orang pembantunya yang mengeroyok Kwi Beng dan dia sendiri menujukan sambaran
kedua ujung sapu tangan suteranya ke arah jalan darah untuk menotok pemuda itu
dan untuk menangkapnya. Kwi Beng repot sekali melindungi dirinya, dan tidak
memiliki kesempatan menyerang sama sekali.
“Hati-hati
jangan sampai kulitnya yang putih itu lecet!" Bu Sit tertawa-tawa memesan
lima orang pembantunya pula, dan dia sendiri dengan pecut baja di tangannya
yang meledak-ledak, beberapa kali hampir dapat merampas pedang di tangan Kwi
Eng.
Dara ini
menjadi semakin marah sekali, mukanya berubah merah dan matanya berapi-api
mendengar kata-kata Bu Sit yang ditujukan kepadanya, kata-kata bujuk rayu,
pujian dan lain-lain ucapan yang menusuk hati dan cabul.
Bun Houw
sendiri dikeroyok oleh Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, serta Hek I Siankouw, masih
ditambah oleh sepuluh orang anak buah Ngo-sian-chung yang menyerangnya dari
lingkungan luar. Pemuda ini sama sekali tidak menjadi gentar. Gerakannya
tangkas dan cepat laksana kilat menyambar sehingga diam-diam tiga orang tokoh
tua itu terkejut dan kagum bukan main.
Sekarang,
sesudah pemuda itu dalam keadaan bebas, tidak dirintangi oleh orang seperti
ketika di Lembah Bunga Merah dahulu, ketika dia dipeluk mati-matian oleh murid
Ciok Lee Kim, maka baru ternyata oleh tiga orang tokoh tua ini betapa lihainya
pemuda ini. Mereka terkejut bukan main dan mulai menduga-duga siapa gerangan
adanya pemuda ini.
Mereka
tadinya hendak membalas dendam kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai dan
mereka membayangkan bahwa tingkat kepandaian ketua Cin-ling-pai itu tentu tidak
jauh selisihnya dengan tingkatan mereka sendiri. Akan tetapi sekarang, baru
seorang pemuda Cin-ling-pai saja telah memiliki ilmu kepandaian yang begini
hebat sehingga Bouw Thaisu sendiri, orang yang terpandai di antara mereka,
secara diam-diam merasa sangsi apakah dia akan dapat menang melawan pemuda ini
kalau pertandingan itu dilakukan satu lawan satu!
Beberapa
kali lengannya tergetar apa bila ujung lengan bajunya bertemu dengan jari-jari
tangan kiri pemuda itu, tanda bahwa tenaga sinkang pemuda itu luar biasa
kuatnya, mungkin lebih kuat dari pada tenaganya sendiri! Hal ini dianggapnya
luar biasa dan tentu tidak akan dipercayanya kalau dia tidak mengalaminya
sendiri!
Maka dengan
hati penuh penasaran, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw
mengeluarkan kepandaian mereka sehingga betapa pun lihainya Bun Houw, dia
menjadi repot juga dan hatinya mulai merasa khawatir akan keselamatan
kawan-kawannya. Dia melihat betapa Tio Sun juga terdesak oleh para
pengeroyoknya, sedangkan kedua orang kakak beradik Souw juga amat repot dan
terancam bahaya.
Memang Tio
Sun juga mendapatkan tandingan yang berat dari orang kedua dari Lima Bayangan
Dewa. Akan tetapi, dengan ilmunya Ban-kin-kiat, andai kata Liok-te Sin-mo Gu Lo
It tidak dibantu oleh lima orang anak buah Lima Bayangan Dewa yang mempunyai
kepandaian lumayan, agaknya pemuda ini masih akan sanggup mengalahkan lawannya.
Memang hebat
bukan main pertandingan antara Tio Sun dengan Liok-te Sin-mo. Orang kedua dari
Lima Bayangan Dewa ini terkenal sebagai seorang yang mempunyai tenaga besar,
maka merupakan lawan yang cocok sekali karena Tio Sun juga mewarisi tenaga
mukjijat yang sangat kuat dari ayahnya. Sudah berkali-kali pecut baja di tangan
pemuda ini bertemu dengan dua ujung lengan baju yang dipasangi potongan baja
dan akibatnya, terdengar suara nyaring sekali, bunga api berpijar dan tubuh
kedua orang itu terhuyung ke belakang.
Para
pengeroyoknya, seperti juga para pengeroyok yang membantu tiga orang kakek
mengepung Bun Houw, tidak lagi berani menyerang terlampau dekat karena pedang
dan joan-pian di tangan Tio Sun merupakan tangan-tangan maut yang sangat
mengerikan. Sudah banyak anak buah yang roboh oleh Tio Sun dan Bun Houw, maka
mereka itu hanya bertugas sebagai pengacau saja agar memecah-belah perhatian
para muda yang perkasa itu.
Yang merasa
paling tidak enak dalam pertempuran itu adalah Bun Houw. Diam-diam dia merasa
menyesal mengapa tiga orang muda itu dia perbolehkan membantunya menyerbu
Ngo-sian-chung, karena sebelumnya dia pun maklum akan berbahayanya pekerjaan
ini, bahkan Tio Sun sendiri pun sudah menyatakan betapa fihak lawan amat
berbahaya dan lihai.
Bagi dirinya
sendiri, dia akan rela mengorbankan nyawa kalau perlu demi untuk mencari
Siang-bhok-kiam serta membasmi musuh-musuh Cin-ling-pai, untuk mencuci
penghinaan yang diderita oleh orang tuanya. Akan tetapi, tiga orang muda itu,
terutama sekali Kwi Eng, hanyalah orang-orang muda yang merasa bersahabat
dengan dia dan dengan orang tuanya. Kalau kini mereka sampai menjadi korban,
benar-benar membuat dia merasa tak enak sekali. Pikiran ini membuat Bun Houw
menjadi marah terhadap para musuhnya.
"Tio-twako...!
Adik Kwi Beng dan Kwi Eng...! Larilah kalian bertiga, biar aku sendiri yang
membasmi mereka!" Teriaknya dengan suara nyaring sekali.
Pedangnya
berkelebat seperti halilintar membabat ke arah tubuh Bouw Thaisu dan Hek I
Siankouw dengan kekuatan yang sangat hebat sehingga pedang itu mengeluarkan
suara mengaung laksana ribuan ekor lebah beterbangan. Dua orang sakti ini
terkejut, maklum betapa berbahaya sambaran pedang ini sehingga mereka tidak
berani menangkis, dan cepat mereka meloncat ke belakang untuk menyelamatkan
diri.
Akan tetapi,
pedang itu meluncur lepas dari tangan Bun Houw, merupakan sinar panjang
berkelebat dan terbang dengan amat cepatnya, menyambar tubuh tiga orang
pengeroyok, merobohkan mereka itu dengan leher hampir putus namun masih terus
‘terbang’ seperti seekor naga hidup, membuat gerakan memutar dan kembali lagi
ke arah Bun Houw yang begitu pedang dilepaskan lalu menghantam ke arah kanan
kiri, depan belakang dengan kedua kepalan tangannya sambil mengeluarkan pekik
melengking amat dahsyatnya.
Sambaran
kedua tangan Bun Houw yang memukul ini membuat Hwa Hwa Cinjin yang menggerakkan
kebutannya dengan pengerahan tenaga lweekang sebagai seorang ahli lweekeh yang
kuat, tak dapat menahan sehingga kakek ini terhuyung dengan muka pucat,
sedangkan empat orang pengeroyok lain roboh pula seperti pohon-pohon ditebang!
Itulah jurus Hong-tian Lo-te (Badai Mengamuk di Bumi) yang liar biasa hebat,
merupakan jurus mukjijat dan ampuh sekali dari ilmu pedangnya.
Ketika
pedang yang telah merobohkan tiga orang pengeroyok itu ‘terbang’ membalik, Bun
Houw sudah menangkapnya kembali dan karena para pengeroyoknya gentar dan
terpaku menghadapi jurus Hong-tian Lo-te yang mukjijat tadi, dia cepat-cepat
meloncat ke depan untuk merobohkan dua orang pengeroyok yang sedang mengepung
Tio Sun.
Hal ini
membuat kepungan yang mendesak Tio Sun menjadi bobol dan Tio Sun kembali dapat
menguasai keadaannya, akan tetapi segera Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I
Siankouw bersama para pembantu lainnya sudah kembali mengepung Bun Houw dengan
serangan-serangan maut dan kepungan ketat.
Bun Houw
gelisah sekali melihat betapa Kwi Beng dan Kwi Eng didesak serta dipancing
sehingga menjauhi tempat dia bertempur. Dan memang demikianlah siasat yang
sedang dijalankan oleh para tokoh kaum sesat itu. Kwi Beng terus didesak oleh
Ciok Lee Kim dan dipaksa menjauhi tempat itu, demikian pula Kwi Eng terus
didesak oleh Bu Sit sampai keluar dari lapangan itu dan tidak kelihatan oleh
kawan-kawanannya.
Ketika Kwi
Eng dengan kemarahan meluap-luap mencoba untuk membuka jalan darah, menerobos
dari kepungan, dia berhasil melukai dua orang pengeroyok yang membantu Bu Sit,
akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya terasa sakit, terbelit ujung cambuk
baja di tangan Bu Sit.
Orang
termuda dari Lima Bayangan Dewa ini tertawa mengejek, lalu sekali dia menarik
senjatanya, Kwi Eng lantas menjerit dan pedangnya terlepas karena pergelangan
tangan kanannya seperti hendak patah rasanya. Pada saat itu pula, seorang
pengeroyok lainnya menggunakan gagang tombak memukul ke arah kakinya dari
belakang. Serangan ini tak dapat dihindarkan oleh Kwi Eng. Terdengar suara
tulang patah dan dara ini mengeluh perlahan lalu terguling, tulang kaki kirinya
dekat pergelangan telah patah.
"Desss…!"
Bu Sit menendang orang yang mematahkan tulang kaki Kwi Eng itu.
"Keparat,
kau lukai dia?" bentaknya.
Para
pengeroyok itu menjadi ketakutan dan mereka lalu mundur dan membantu
teman-temannya yang lain, yang masih mengeroyok tiga orang muda lainnya, sedangkan
Bu Sit sudah menubruk Kwi Eng, ditotoknya pundak dara itu, kemudian dia
memondong tubuh Kwi Eng dan dibawa berlari keluar dari dusun menuju ke sebuah
hutan kecil di lembah sungai.
"Adik
Beng...! Di manakah Eng-moi...?" Bun Houw yang dikepung ketat itu masih
sempat berteriak dan bertanya kepada Kwi Beng yang dilihatnya makin didesak
menjauhinya oleh Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim.
Akan tetapi
Kwi Beng hampir tidak sempat menjawab. "Tidak tahu...!" hanya
demikianlah dia mampu menjawab karena Ciok Lee Kim dengan dua helai sapu tangan
suteranya sudah membuat dia terengah-engah kehabisan napas dan pandang matanya
berkunang.
"Pemuda
ganteng, marilah kau ikut aku bersenang-senang..." Ciok Lee Kim berbisik
dan sapu tangannya yang berbau harum itu mengelus dagu Kwi Beng.
Sudah sejak
tadi Ciok Lee Kim membentak para pembantunya untuk mundur dan kini dia seorang
diri mendesak Kwi Beng yang telah kewalahan. Kwi Beng kini juga mulai merasa
kehilangan adiknya dan dia mulai bingung, memandang ke sana ke mari untuk
mencari adiknya. Tentu saja sikapnya ini amat tidak menguntungkan dirinya
karena dengan penuh perhatian saja daya tahannya sudah mulai lemah menghadapi
hujan totokan kedua sapu tangan Ciok Lee Kim, apa lagi sekarang dia memecah
perhatiannya.
"Cuss-cuss...!
Plakk!"
Dua kali
ujung sapu tangan itu menotok jalan darah di leher dan pundak, sedangkan
telapak tangan Ciok Lee Kim menampar belakang telinga dan tanpa mengeluh lagi
Kwi Beng roboh pingsan dalam pelukan Ciok Lee Kim dan seperti juga Bu Sit,
wanita yang tak dapat menahan diri setiap kali melihat pemuda tampan ini segera
memondong tubuh Kwi Beng dengan girang dan membawanya pergi dari dusun itu.
Andai kata
melihat bahwa fihak mereka terancam bahaya oleh musuh, tentu saja dua orang
Bayangan Dewa itu tidak akan meninggalkan gelanggang pertempuran dan betapa pun
mereka tergila-gila kepada orang-orang muda yang menjadi korban mereka itu,
tentu mereka akan membantu teman-teman untuk menundukkan fihak musuh terlebih
dahulu.
Akan tetapi
mereka tadi sudah melihat jelas bahwa sungguh pun pemuda she Bun dan pemuda
putera pengawal Tio Hok Gwan itu memiliki kepandaian tinggi, namun mereka pun
sudah terkurung dan terdesak, tinggal menanti robohnya saja maka mereka berdua
tidak perlu lagi membantu.
Memang Si
Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan si kepala monyet Bu Sit tidak keliru dengan
dugaan mereka bahwa fihak musuh sudah terdesak hebat. Bun Houw sendiri yang
memiliki kepandaian amat tinggi, sekarang mulai terdesak hebat. Dia makin marah
dan menyesal sekali apa bila mengingat bahwa yang mengurungnya bukan
orang-orang Lima Bayangan Dewa, melainkan tiga orang tokoh tua yang berilmu
tinggi. Maka mulailah dia mengambil keputusan untuk menurunkan tangan maut
terhadap tiga orang musuhnya ini.
Tadinya dia
selalu menghindarkan serangan maut karena dia selalu teringat akan pesan ayah
ibunya agar jangan sampai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain dan
hanya menghadapi Lima Bayangan Dewa saja. Sebagai contoh, ayahnya menceritakan
betapa ayahnya dulu terlampau banyak menentang golongan sesat sehingga
akibatnya, sampai tua pun dia masih dimusuhi orang!
"Tahan...!"
bentak Bun Houw sambil memutar pedang yang berubah menjadi gulungan sinar
berkilauan sehingga musuh-musuhnya cepat mundur. "Sam-wi tiga orang tua
kenapa berkeras mencampuri urusan kami dari Cin-ling-pai dengan Lima Bayangan
Dewa? Saya sama sekali bukannya takut, hanya saya tidak ingin menanam bibit
permusuhan dengan orang-orang yang bukan dari Lima Bayangan Dewa."
Bouw Thaisu mengangguk-angguk,
hatinya kagum bukan main karena selama hidupnya baru sekarang dia bertemu lawan
yang begini muda namun yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat
hebatnya.
"Orang
muda, kalau saja tidak ada alasan kuat yang memaksa aku orang tua mati-matian
menghadapimu, tentu aku akan malu sekali mengeroyok seorang pemuda seperti
engkau yang sepantasnya menjadi cucuku. Ketahuilah, seorang sahabat baikku yang
melebihi saudara kandungku sendiri, yaitu Thian Hwa Cinjin, telah tewas di
tangan keluarga ketua Cin-ling-pai! Kami di waktu muda pernah bersumpah bahwa
kami akan saling membela, maka mendengar kematiannya, tentu saja aku tidak mau
melanggar sumpah dan sebelum aku mati, aku harus menghadapi ketua Cin-ling-pai
dan keluarganya."
Bun Houw
mengerti bahwa kembali hal ini adalah sebagai akibat dari orang tuanya yang
terlalu banyak menentang golongan hitam.
"Dan
kau boleh mengetahui bahwa pinto (aku) adalah sute dari Toat-beng Hoatsu yang
biar pun tewas di tangan mendiang The Hoo, akan tetapi juga menjadi musuh dari
ketua Cin-ling-pai dan golongannya. Dan Hek I Siankouw ini adalah tangan
kananku, sehidup semati denganku."
Bun Houw
mengerutkan alisnya. "Sam-wi adalah tiga orang tua yang berilmu tinggi,
akan tetapi mengapa berpandangan picik dan dikuasai oleh dendam kosong yang
tidak ada artinya? Apakah sam-wi tidak tahu bahwa sam-wi diperalat oleh Lima
Bayangan Dewa?"
"Cukup,
kalau kau takut, menyerahlah, orang muda yang sombong!" Hwa Hwa Cinjin
yang walau pun sikapnya halus akan tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi rasa
penasaran dan malu karena menghadapi seorang pemuda saja, biar pun telah
mengeroyok bersama Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu masih belum dapat menang,
sudah menerjang lagi dengan kebutannya.
"Wiir...
siuuuuttt...!"
Ujung
kebutan menyambar ke arah mata Bun Houw, akan tetapi begitu dielakkan, seperti
ekor ular yang hidup saja ujung kebutan itu sudah membalik dan menotok ke arah
ulu hati!
"Kalau
begitu, maaf kalau aku menjadi sebab kematian sam-wi!" Bun Houw membentak.
Tiba-tiba tangan kirinya mendorong dan ujung kebutan itu seperti digerakkan
tangan yang tidak kelihatan, membalik dan menotok ke arah dada Hwa Hwa Cinjin
sendiri!
"Aihhh...!"
Bukan main kagetnya hati kakek ini dan cepat-cepat dia menggerakkan tangan
menarik kebutannya yang hendak menyerang dirinya sendiri.
"Singgg...
tranggg...!”
“Aihhhh…!"
Hek I Siankouw menjerit karena pedangnya yang sudah dia gerakkan untuk menyusul
serangan Hwa Hwa Cinjin tadi kini kena disentil oleh kuku jari tangan kiri Bun
Houw. Pedang itu tergetar dan selagi nenek itu terkejut, pedang pada tangan kanan
Bun Houw sudah menyambar ke arah lehernya!
"Plakkk...!”
“Hemmm, kau
hebat, orang muda!" Bouw Thaisu masih sempat menangkis pedang yang
mengancam nyawa Hek I Siankouw tadi dengan tangkisan ujung lengan bajunya, akan
tetapi ketika dia melihat, ternyata ujung lengan bajunya itu sudah terobek!
Kini Bun
Houw yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang, yaitu
ilmu sinkang simpanan yang dia latih selama bertahun-tahun di bawah gemblengan
Kok Beng Lama. Thian-te Sin-ciang ini merupakan ilmu tangan kosong yang sangat
mukjijat, mengandung tenaga dahsyat dan ketika pemuda ini diuji oleh ayahnya
sendiri, tenaga Thian-te Sin-ciang ini bahkan mampu menghadapi Thi-khi I-beng,
yaitu ilmu sinkang yang tiada taranya, yang dapat menyedot hawa murni lawan!
Karena itu
tidaklah terlalu mengherankan ketika pemuda perkasa ini mulai mengerahkan
Thian-te Sin-ciang, dia sekaligus mampu membuat tiga orang lawannya yang amat
lihai itu terdesak mundur! Akan tetapi, kini mereka bertiga sudah maju lagi dan
kehebatan Bun Houw bahkan membuat mereka menjadi makin berhati-hati dan kini
mereka melakukan penyerangan secara teratur bahkan saling membantu karena
mereka maklum bahwa biar pun mereka bertiga maju bersama, tanpa kerja sama dan
saling bantu, maka sangatlah berbahaya bagi mereka!
Bun Houw
menjadi semakin gelisah. Bukan gelisah memikirkan dirinya sendiri, melainkan
gelisah karena tidak lagi melihat Kwi Beng dan Kwi Eng, ada pun Tio Sun agaknya
sudah kewalahan dan tentu tak lama lagi akan roboh. Celaka, pikirnya dan kini
dia benar-benar menyesal mengapa dia menyeret mereka bertiga ke tempat
berbahaya ini.
Kalau sampai
tugasnya gagal, dia tidak begitu menyesal karena dia sudah melakukannya dengan
sepenuh hati dan dengan pengorbanan nyawa. Akan tetapi jika sampai tiga orang
muda itu tewas, bukan hanya dia yang akan menyesal, bahkan ayah ibunya juga
tentu akan menyalahkan dia!
"Ayah...!
Ibu...! Maafkan kegagalanku...!" Tiba-tiba dia berteriak dan mengamuk
semakin hebat, pedangnya sekaligus merobohkan empat orang anak buah
Ngo-sian-chung hingga tiga orang tua lihai itu makin berhati-hati.
"Adikku,
jangan putus asa. Enci-mu datang membantumu!" Tiba-tiba nampak bayangan
berkelebat didahului sinar merah yang panjang yang melakukan totokan ke arah
pelipis Hek I Siankouw dan sinar kilat seperti perak menyambar ke arah leher
Bouw Thaisu!
"Keng-cici
(kakak Keng)...!" Bun Houw berteriak, gembira bukan main karena meski pun
bayangan itu belum kelihatan jelas siapa orangnya, tapi dia sudah mengenal
sinar merah panjang dari sabuk merah muda dan sinar pedang Gin-hwa-kiam yang
putih seperti perak itu.
Hek I
Siankouw dan Bouw Thaisu terkejut, maklum bahwa serangan itu pun tidak boleh
dipandang ringan, maka mereka cepat mengelak sambil membalas. Akan tetapi, Cia
Giok Keng, wanita itu, adalah seorang wanita yang luar biasa lincah dan
beraninya. Walau pun dibandingkan dengan adiknya, kepandaiannya belumlah dapat
menandingi, tetapi sebagai puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan
pendekar wanita Sie Biauw Eng, tentu saja kepandaian Cia Giok Keng cukup hebat.
Kegembiraan
hati Bun Houw membuat gerakannya makin kuat sehingga tamparan tangan kirinya
yang penuh dengan tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang menyerempet pundak Hwa Hwa
Cinjin, membuat tosu tua itu terhuyung.
"Mampuslah...!"
melihat tosu itu terhuyung Cia Giok Keng sudah menerjang dengan sabuk sutera
dan pedangnya.
"Hayaaaaa...!"
Hwa Hwa Cinjin terkejut akan kegalakan wanita ini yang sama sekali tidak
memberi kesempatan padanya. Akan tetapi dia sudah memutar kebutannya menangkis
dan sekaligus membelit ujung pedang Gin-hwa-kiam.
"Plakk!"
Ujung sabuk sutera merah menotok lehernya membuat tosu itu merasa separoh
tubuhnya seperti lumpuh.
"Sratttt...!"
Giok Keng
yang cerdik secara tiba-tiba menarik pedangnya dan ujung tali kebutan putus,
bulu kebutannya berhamburan. Hal ini mengejutkan Hwa Hwa Cinjin dan dia
meloncat ke belakang, mengambil sikap mempertahankan diri.
"Enci,
aku tidak perlu dibantu. Kau bantulah Tio-twako... dia terdesak!" Bun Houw
berkata.
Giok Keng
menoleh. Dia tidak mengenal siapa pemuda jangkung berpakaian kuning yang
didesak oleh seorang kakek yang dibantu oleh banyak anak buahnya itu. Akan
tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda itu teman adiknya, maka sekali meloncat
dia sudah tiba di gelanggang pertempuran di mana Tio Sun terdesak, dan sabuk
merahnya yang dikawani pedang peraknya mengamuk, merobohkan tiga orang
pengeroyok dalam waktu singkat saja.
Kepungan
ketat terhadap diri Tio Sun menjadi kacau dan kini pertandingan berjalan makin
seru dan mati-matian. Tio Sun berterima kasih dan girang sekali, ada pun
Liok-te Sin-mo yang sudah hampir dapat mengalahkan Tio Sun menjadi marah bukan
kepalang. Cepat dia meneriaki anak buahnya agar makin ketat mengepung dua orang
itu.
Bun Houw
masih gelisah memikirkan dua orang saudara Souw. Keadaan Tio Sun sudah
mendingan, karena dia tahu bahwa enci-nya juga bukan orang sembarangan dan
dengan bantuan enci-nya, tentu Tio Sun dapat membela diri lebih baik.
"Bun
Houw, engkau terlalu sembrono!" sambil membantu Tio Sun, Giok Keng
berteriak menegur adiknya. "Pengecut-pengecut macam ini selalu main
keroyok dan curang!"
Bun Houw
tersenyum. Kakaknya itu sejak dahulu galaknya bukan main! Masa, baru saja datang
dan masih menghadapi pengeroyokan musuh begitu banyaknya, ehh, masih ada
kesempatan untuk marah-marah dan menegurnya.
"Cici,
maaf!" Teriaknya kembali. "Tetapi setelah engkau datang, mari kita
basmi mereka. Yang kau hadapi itu adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It!"
Mendengar
bahwa kakek yang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam, kepalanya memakai topi,
dan ujung lengan bajunya dipasangi baja, yang amat lihai ini adalah orang kedua
dari Lima Bayangan Dewa, Giok Keng amat terkejut dan kemarahannya memuncak,
wajahnya merah, matanya berapi-api.
"Kiranya
Si Iblis Kuburan!" bentaknya dan dia menggerakkan kedua senjatanya semakin
cepat lagi mendesak Liok-te Sin-mo.
Kakek ini
marah dan mendongkol bukan main. Julukannya adalah Iblis Bumi, akan tetapi
wanita yang cantik jelita, gagah dan galak ini memakinya Iblis Kuburan. Belum
pernah dia dihina orang seperti ini.
"Keparat,
siapa engkau?" bentaknya sambil mengelak dari sambaran ujung sabuk merah
dan menangkis tusukan pedang Tio Sun dengan ujung lengan baju kiri.
"Aku
she Cia, mewakili ayah untuk memenggal leher Lima Bayangan Monyet!" bentak
Cia Giok Keng sambil menyerang makin hebat.
Kini
terkejutlah semua tokoh itu. Ternyata wanita ini adalah puteri Cia Keng Hong,
dan melihat hubungan antara wanita ini dengan pemuda itu, jelas bahwa pemuda
itu kiranya adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas begitu lihai!
"Bagus...!
Jadi engkau Cia Giok Keng yang membunuh sahabatku Thian Hwa Cinjin...?"
Tiba-tiba
Bouw Thaisu meloncat tinggi, meninggalkan Bun Houw dan dari atas dia sudah
mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah kepala dan dada Giok Keng.
"Enci,
awassss...!" Bun Houw terkejut dan memperingatkan kakaknya.
"Plak-plak,
cringgg... bresss...!"
Serangan
Bouw Thaisu tadi memang hebat bukan main. Walau pun Giok Keng sudah mengelak,
namun ujung lengan baju dari kakek ini bagaikan hidup. Tio Sun sudah cepat
memapaki dengan pedangnya, akan tetapi juga pedangnya terpukul ke samping
seperti pedang Giok Keng dan totokan sabuk merah Giok Keng pada pundak kakek
itu seperti mengenai baja tebal saja. Sekarang ujung lengan baju kiri Bouw
Thaisu telah mengancam ubun-ubun kepala Giok Keng dengan pukulan maut.
Tiba-tiba
ujung lengan baju itu terpental kembali dan lengan kakek itu bertemu dengan
sebuah lengan lain yang dengan cepat menangkis. Kakek itu lantas terpental dan
hampir terbanting roboh. Dia terkejut bukan main dan melihat. Ternyata seorang laki-laki
gagah dan tampan, berusia hampir empat puluh tahun, telah berdiri di situ
sambil memandang kepadanya dengan sikap tenang.
"Kau...?
Huh...!" demikian kata Giok Keng.
Dan wanita
ini tidak mempedulikan lagi laki-laki yang sebenarnya sudah menyelamatkan
nyawanya itu. Dengan kemarahan hebat Giok Keng kini menyerang Bouw Thaisu yang
masih bengong terlongong dan kaget bukan main. Tangkisan laki-laki yang masih
belum tua ini telah membuat seluruh tubuhnya bagai digerayangi tenaga mukjijat
yang membuat napasnya sesak. Oleh karena itu, ketika Giok Keng menyerang, dia
cepat meloncat jauh ke belakang.
"Yap-suheng...!"
Bun Houw berteriak girang. Biar pun sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan
laki-laki gagah perkasa itu, dia masih mengenalnya.
"Sute,
engkau sekarang hebat bukan main!" Yap Kun Liong, pria itu, memujinya
sambil tersenyum.
Kemudian
sekali tubuhnya berkelebat, Kun Liong sudah meloncat dan menyerang Bouw Thaisu
yang dia lihat tadi gerakannya paling lihai. Bouw Thaisu terpaksa menyambut serangannya
dan keduanya segera bertanding mati-matian tidak mempergunakan senjata karena
Bouw Thaisu menggunakan sepasang lengan baju sedangkan Kun Liong hanya
menggunakan dua lengannya saja. Terdengar suara dak-duk-dak-duk setiap kali
lengan mereka saling bertemu bagaikan dua pasang lengan baja yang amat kuat dan
berkali-kali Bouw Thaisu tergetar tubuhnya dan terhuyung ke belakang!
Melihat
kedatangan wanita dan pria yang gagah perkasa itu, Liok-te Sin-mo Gu Lo It
terkejut dan takut setengah mati. Dia mengerti bahwa Bun Houw dan Giok Keng
adalah putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi, dan setelah
mendengar teguran Bun Houw tadi, dia dapat menduga siapa adanya laki-laki
perkasa yang kini mendesak Bouw Thaisu. Dia sudah mendengar akan nama Yap Kun
Liong, maka gentarlah hatinya dan diam-diam dia memaki sumoi dan sute-nya yang
tidak nampak batang hidungnya lagi.
"Maju
semua...! Kepung dan keroyok...!" teriaknya dan anak buahnya yang
sesungguhnya juga merasa gentar, apa lagi terhadap sikap Giok Keng yang
demikian ganas memainkan pedang dan sabuk merahnya, terpaksa maju mengurung
lagi. Jumlah mereka masih ada dua puluh orang lebih, maka pengepungan mereka
cukup memberi kesempatan kepada Liok-te Sin-mo untuk diam-diam melarikan diri!
Melihat ini
Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mendongkol sekali. Tiga orang dari Lima
Bayangan Dewa, fihak yang mereka bantu, diam-diam telah melarikan diri semua.
Maka Hwa Hwa Cinjin memberi isyarat kepada tokouw berpakaian hitam itu, lalu
mereka pun meloncat ke belakang dan melarikan diri.
"Hemmm,
kelak aku ingin bertemu dan bertanding langsung berhadapan sendiri dengan ketua
Cin-ling-pai!" Bouw Thaisu berkata dan dia pun meninggalkan Kun Liong yang
sibuk dikeroyok banyak anak buah Ngo-sian-chung.
"Cici,
suheng, harap tahan mereka, aku hendak mencari dan menolong kedua saudara
Souw!" Bun Houw berteriak dan tubuhnya mencelat dan lenyap dari tempat
itu.
Melihat ini,
Giok Keng girang dan kagum sekali, sedangkan Kun Liong menarik napas panjang.
Murid ayah mertuanya itu sekarang benar-benar sangat lihai. Kini dengan enak
saja Tio Sun, Giok Keng, serta Kun Liong menghadapi pengeroyokan dua puluh
lebih orang-orang Ngo-sian-chung dan Lembah Bunga Merah.
Diam-diam
Kun Liong memperhatikan dan dia merasa lega bahwa sungguh pun masih kelihatan
amat galak dan ganas, akan tetapi Cia Giok Keng bukanlah gadis belasan tahun
yang lalu, yang seolah-olah merupakan harimau betina haus darah. Dahulu,
menghadapi musuh-musuhnya, apa lagi anak buah Lima Bayangan Dewa yang merupakan
musuh besar, tentu gadis itu akan memperlihatkan sikap kejam tak mengenal ampun
lagi, tentu ujung sabuk merah itu akan mencari sasaran jalan darah kematian,
sedangkan pedang Gin-hwa-kiam tentu akan berlepoton darah sampai ke gagangnya.
Akan tetapi
sekarang, meski pun masih tetap ganas, Giok Keng hanya merobohkan para
pengeroyok tanpa menimbulkan kematian. Demikian pula Tio Sun membuat Kun Liong
diam-diam kagum karena meski pun masih muda, Tio Sun juga jelas tidak
menghendaki kematian terhadap para pengeroyoknya, hanya menjatuhkan mereka
dengan mematahkan tulang dan mendatangkan luka yang ringan saja.
Sementara
itu, Bun Houw sudah mencari di seluruh perkampungan Ngo-sian-chung, akan tetapi
sia-sia belaka. Akhirnya terpaksa dia menangkap seorang wanita anggota keluarga
anak buah Ngo-sian-chung dan menghardik,
"Hayo
cepat katakan di mana adanya Toat-beng-kauw But Sit dan Hui-giakang Ciok Lee
Kim!" Sengaja dia menempelkan pedangnya di leher wanita itu yang tentu
saja menjadi ketakutan sekali.
"Hamba...
hamba tidak tahu... tadi... mungkin... ke hutan di sebelah sana..."
Bun Houw
melepaskannya dan cepat dia berlari seperti terbang menuju ke dusun kecil di
sebelah timur dusun itu. Ketika dia tiba di tepi sungai, di atas lapangan
rumput yang tebal menghijau dan sunyi sekali, lapangan yang dihimpit oleh
sungai dan hutan kecil, tiba-tiba dia berdiri seperti patung dan matanya
terbelalak, mukanya pucat, kemudian pelan-pelan menjadi merah sekali.
Dia melihat
Toat-beng-kaw Bu Sit sedang menanggalkan bajunya sambil tertawa-tawa, sedangkan
di atas rumput rebah Kwi Eng yang sudah tidak berpakaian! Pakaian gadis itu
tertumpuk di sebelahnya dan dia melihat dara itu terbelalak memandang si muka
monyet dengan air mata bercucuran, akan tetapi agaknya dalam keadaan tertotok
karena tidak mampu bergerak sama sekali!
Saking
marahnya, Bun Houw mengayun pedang pemberian In Hong ke depan. Terdengar suara
berdesing nyaring dan Bu Sit terkejut sekali. Cepat dia menoleh dan melihat
sinar terang menyambar, dia mengelak, akan tetapi karena dia sedang membuka
baju atasnya, pedang itu menerobos bajunya dan terus mcluncur ke depan,
menancap ke atas tanah berumput sampai ke gagangnya. Tentu saja Bu Sit menjadi
pucat sekali wajahnya ketika mengenal siapa yang datang.
"Hyaaaaaatttt...!"
Dalam kemarahan yang sukar dilukiskan hebatnya, Bun Houw langsung meloncat dan
bagaikan seekor garuda terbang saja dia menerjang Bu Sit dengan kedua tangan di
depan, jari-jarinya terbuka seperti cakar garuda.
"Heiittttt...!"
Bu Sit yang
sudah melempar jubahnya itu menyambar senjatanya, yaitu joan-pian atau pecut
baja, lalu dia menggerakkan pecut itu. Terdengar suara meledak, pecut itu
dengan tepat menghantam tubuh Bun Houw yang sedang melayang datang, namun Bun
Houw menggerakkan tangan menangkap ujung pecut baja!
Bu Sit
hampir tidak dapat percaya. Pemuda itu menangkap ujung pecut baja! Padahal
perbuatan ini lebih berbahaya dari pada menangkap pedang telanjang. Dia
mengerahkan tenaga, menggetarkan pecutnya untuk membikin telapak tangan Bun
Houw pecah atau mungkin tangan itu akan putus. Akan tetapi sia-sia belaka dan
tahu-tahu pecutnya sendiri sudah melingkar di lehernya!
"Augghhkkkk...!"
Bu Sit mendelik karena lehernya terbelit pecutnya sendiri, menghentikan
pernapasan. Dia melihat lawannya berdiri di hadapannya, maka dia cepat
menggerakkan kedua tangannya, dikepal dan menghantam ke arah perut dan dada Bun
Houw.
"Bukkk!
Dessss...!"
Sedikit pun
tubuh pemuda itu tidak bergoyang, akan tetapi pergelangan tangan kanan Bu Sit
yang memukul dada tadi menjadi patah tulangnya!
"Auukhhh...
auukhhhhh...!" Toat-beng-kauw Bu Sit mendelik, lidahnya terjulur keluar.
Mengingat
penyiksaan Toat-beng-kauw kepadanya masih belum begitu memarahkan hati Bun
Houw, akan tetapi melihat si muka monyet ini menelanjangi Kwi Eng dan hampir
saja memperkosanya, membuat dia menjadi mata gelap dan marah bukan main. Akan
tetapi, terngiang di telinganya segala nasehat orang tuanya, maka dia
terengah-engah menahan kemarahan dan melepaskan libatan pecut itu yang
dirampasnya dari tangan Bu Sit.
Begitu
dilepaskan libatan lehernya, Bu Sit memegangi lehernya dengan kedua tangan,
megap-megap seperti seekor ikan dilempar ke darat, kemudian tanpa malu-malu
lagi dia menjatuhkan dirinya berlutut!
"Ampun...
ampunkan aku..."
Bun Houw
meludah penuh rasa jijik. Kemudian, teringat akan keadaan Kwi Eng, segera dia
menoleh dan dia seperti silau melihat keadaan tubuh dara itu yang rebah
terlentang dalam keadaan polos sama sekali. Cepat dia melempar pandangan
matanya ke bawah, menghindari penglihatan itu, lalu mengambil pakaian Kwi Eng,
tanpa memandangnya lalu melempar pakaian itu menutupi tubuh Kwi Eng, kemudian
dengan muka masih berpaling dan pandang mata terbuang ke samping dia
membebaskan totokan tubuh Kwi Eng.
Terdengar
sedu-sedan dari leher dara itu. Kwi Eng cepat-cepat mengenakan pakaiannya,
kemudian dia terpincang-pincang berloncatan dengan sebelah kaki ke arah pedang
Bun Houw yang menancap di tanah, mencabut pedang itu dan terpincang-pincang
melangkah menghampiri Bu Sit.
Bu Sit
bukanlah seorang yang bodoh. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang datuk kaum
sesat yang amat cerdik. Dia masih terus berlutut setengah menangis minta-minta
ampun, seolah-olah tak melihat dara yang hampir diperkosanya tadi sekarang
terpincang-pincang menghampirinya dengan pedang di tangan!
Akan tetapi,
begitu Kwi Eng telah tiba mendekat dan mengayun pedang ke arah lehernya, cepat
sekali Bu Sit mengelak dengan menggulingkan tubuh dan saat pedang menyambar,
dia lantas meloncat bangun dan sudah menangkap kedua tangan Kwi Eng, memutarnya
ke belakang tubuh dan kini jari tangannya mengancam ke ubun-ubun kepala dara
itu.
"Ha-ha-ha,
engkau majulah dan gadis ini akan mampus dengan kepala berlubang!" Bu Sit
mengancam Bun Houw.
Bun Houw
memandang pucat, tidak mengira bahwa orang termuda dari Lima Bayangan Dewa itu
akan melakukan hal securang itu.
"Serang
dia, Houw-ko! Jangan pedulikan aku! Serang dia dan bunuh si jahanam keparat
ini!" Kwi Eng berteriak-teriak sambil memandang pemuda itu.
"Cobalah,
majulah maka jari-jari tanganku akan menembus ubun-ubunnya, otaknya akan
bereeceran keluar!" Bu Sit menghardik.
Bun Houw
masih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak tahu harus berbuat
bagaimana. Tentu saja dia tidak mau memenuhi permintaan Kwi Eng, menyerang dan
membunuh Bu Sit karena dia tahu bahwa sebelum dia berhasil membunuh penjahat
keji itu, tentu Kwi Eng akan tewas lebih dulu.
"Jangan
maju, selangkah saja aku akan membunuh dia!" Bu Sit berkata lagi dan kini
dia menyeret Kwi Eng mundur-mundur menjauhi Bun Houw yang diam tak bergerak.
Kwi Eng
meronta, akan tetapi sia-sia saja. "Houw-koko, kau serang dia, kau bunuh
dia! Aku lebih suka mati dari pada diculik dan dibawanya!"
Akan tetapi
Bun Houw tetap tak bergerak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap
untuk menyerang apa bila dia diberi kesempatan. Akan tetapi dengan jari-jari
tangan Bu Sit menempel pada ubun-ubun Kwi Eng, bagaimana mungkin dia berani
bergerak? Betapa pun cepat gerakannya, tak mungkin dapat menang cepat dengan
jari tangan yang sudah menempel di ubun-ubun itu.
"Ha-ha-ha,
sampai bagaimana pun engkau tak akan mampu menandingi Lima Bayangan Dewa,
ha-ha-ha..." Pada saat itu, dari belakang tampak sinar hijau menyambar
bagaikan cahaya halilintar, mengenai punggung Bu Sit yang masih telanjang
karena tadi si muka monyet ini telah menanggalkan bajunya.
"Ha-ha-ha...
augghhh...!" Suara tawa dari Bu Sit disambung pekik melengking, matanya
yang kecil bulat terbelalak, mulutnya menyeringai kesakitan, mukanya pucat dan
kini dia mengangkat tangan kanannya ke atas untuk menghantam kepala Kwi Eng!
Akan tetapi,
kesempatan yang hanya beberapa detik ini cukuplah bagi Bun Houw. Kalau tadi dia
tidak berani bergerak karena jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun dara
itu, sekarang, sesudah iblis itu menerima serangan sinar hijau dari arah
belakang yang membuatnya terkejut dan mengangkat tangan baru akan memukul
kepala Kwi Eng, sudah cukuplah kesempatan itu bagi Bun Houw.
Bagaikan
terbang dia meloncat ke depan, tangannya bergerak dan hawa pukulan dahsyat
menyambar, membuat tangan Bu Sit yang memukul itu tertahan di udara dan di lain
saat Bun Houw sudah menyambar pinggang Kwi Eng, dipondongnya dan dari telapak
tangan itu keluar serangkum hawa pukulan yang amat panas mengarah dada lawan.
Pada saat
itu Bu Sit berdiri limbung dengan muka pucat sekali. Dalam keadaan sehat saja
tak mungkin dia dapat menahan pukulan Bun Houw ini, apa lagi dalam keadaan
seperti ini, yaitu setelah dia mengalami luka yang amat hebat di punggungnya.
"Dessss...!"
Tubuhnya
terjengkang dan terbanting ke atas tanah, roboh dan tak dapat bergerak lagi
karena dia telah tewas seketika, isi dada dan perutnya hancur oleh getaran hawa
pukulan dahsyat tadi.
Bun Houw
memandang ke sekeliling, terutama ke arah belakang Bu Sit dari mana tadi datang
sinar hijau, akan tetapi dia tak melihat sesuatu apa pun. Dengan lengan kiri
masih merangkul Kwi Eng, dia menggunakan kakinya membalikkan tubuh Bu Sit dan
tampaklah olehnya betapa punggung laki-laki bermuka monyet itu penuh dengan
lubang-lubang kecil dan luka-luka kecil itu melepuh dan membengkak berwarna
kehijauan.
Dia tahu
bahwa Bu Sit telah terkena serangan senjata rahasia beracun, agaknya seperti
senjata pasir beracun, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit
sudah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum), yaitu senjata
rahasia khas dari Giok-hong-pang!
Tiba-tiba
suara isak tertahan membuat dia memandang Kwi Eng yang masih dia peluk
pinggangnya. Dia terkejut melihat dara itu menangis dan baru teringat bahwa dia
masih merangkul pinggang yang ramping itu, maka cepat-cepat dia melepaskan
rangkulannya. Kwi Eng terhuyung dan hampir saja jatuh, maka cepat Bun Houw
memegang lengannya, menahannya.
"Ahh,
kau... kau terluka, adik Kwi Eng?" Bun Houw bertanya penuh kekhawatiran.
Kwi Eng
menggigit bibirnya. "Hanya... hanya kakiku... agaknya patah tulang
pergelangan kakiku... terpukul gagang tombak tadi..." Dia lalu duduk di
atas tanah.
Bun Houw
cepat berlutut memeriksa. Ternyata benar. Tulang pergelangan kaki kiri dara itu
patah!
"Ah,
benar saja. Kakimu yang kiri ini... tulangnya patah. Harus cepat diobati,
Eng-moi. Kau tahankan rasa nyeri sedikit..."
Dara itu
mengangguk dan Bun Houw lalu menyingkap pipa celana kaki kiri itu. Berdebar
juga hatinya ketika jari-jari tangannya meraba kulit kaki yang halus sekali,
halus lunak dan hangat itu, dengan kulit tipis putih, begitu tipis dan halusnya
sehingga seolah-olah dia bisa melihat urat-urat darah di bawahnya.
Namun dia
mengusir semua ingatan tentang yang indah-indah itu dan cepat dia menotok jalan
darah di dekat lutut, kemudian dia meraba pergelangan kaki yang tulangnya
patah, dengan cekatan dan tanpa ragu-ragu lagi dia menarik lantas membenarkan
letak tulang yang patah itu, kemudian mengambil bungkusan obat untuk penyambung
tulang. Setelah mencampur obat dengan air, kemudian menaruh obat di sekeliling
pergelangan kaki itu, dibalutnya pergelangan kaki itu dengan kain yang dia
ambil dari robekan bajunya dan sebagian sabuknya, dibalut dengan kuat-kuat dan
kanan kiri kaki itu diganjal dengan kayu sehingga kedudukan tulang yang patah
itu tidak akan berubah lagi.
Semua ini
dikerjakan oleh Bun Houw tanpa berkata-kata dan dengan cepat sekali. Dia kagum
karena sedikit pun tidak terdengar keluhan dari bibir dara itu dan setelah
selesai membalut, baru dia mengangkat muka memandang. Dara itu ternyata sedang menatap
wajahnya dengan bulu-bulu mata terhias butiran air mata!
"Sakit...?"
Kini Bun Houw bertanya.
Kwi Eng
menggelengkan kepalanya. "Sedikit...," bisiknya.
Akan tetapi
dia lalu menahan tangis, bibirnya yang merah itu tergetar dan akhirnya dia
menangis sesenggukan sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Butiran-butiran air mata mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.
Bun Houw
menjadi bingung dan dia mengusap pundak dara itu untuk menghibur. "Bahaya
telah lewat, musuh telah tewas. Kenapa kau berduka, Eng-moi? Kau kan tidak...
belum... tertimpa bahaya..."
Tetapi
tangis itu kini bahkan semakin mengguguk. Bun Houw memegang kedua pundak dara
itu, mengguncangnya halus dan berkata, "Eng-moi, kenapakah? Katakan
kepadaku, mengapa kau begini berduka?"
Perlahan-lahan
Kwi Eng mengangkat mukanya. Dari balik tirai air mata dia memandang. Dua pasang
mata bertemu, bertaut ketat lalu dua pasang sinar itu saling melekat, saling
menyelami dan perlahan-lahan Kwi Eng berkata dengan suara menggetar, "Houw-koko,
kau... kau sudah... menyelamatkan aku... dari mala petaka yang bahkan lebih
hebat dari pada maut... Houw-koko, bagaimana aku dapat membalas
budimu...?"
"Hushhhh...
apakah hal itu perlu dibicarakan lagi, moi-moi? Engkau yang membantu aku
menghadapi musuh-musuhku, sampai-sampai engkau hampir mengorbankan nyawa, dan
sekarang kau bicara tentang budi? Sudahlah, mari kita kembali ke tempat
kawan-kawan. Aku yakin semua penjahat telah terbasmi. Tahukah engkau siapa yang
datang membantu kita? Enci-ku Cia Giok Keng dan suheng-ku Yap Kun Liong!"
Kwi Eng
mengangguk dan berusaha untuk berdiri dengan satu kaki. "Ah, jangan
gunakan kakimu yang patah tulangnya. Mari kupondong."
Bun Houw
kemudian menggunakan kedua lengannya, memondong tubuh dara itu. Kwi Eng
menyandarkan kepalanya di dada Bun Houw dan sejenak pemuda ini memejamkan
matanya ketika hidungnya mencium bau harum dari rambut dan muka yang begitu
dekat dengan mukanya.
"Houw-koko...!"
Bun Houw
melangkah perlahan dan menjawab, "Hemmm...?"
Jantungnya
berdebar karena tubuh yang hangat itu terasa begitu ketat di kedua lengan dan
dadanya, maka dalam keadaan seperti itu sukar dia mengeluarkan kata-kata.
"Di
dunia ini... hanya ada dua orang pria yang telah melihat tubuhku... yang
seorang telah mampus... dan orang kedua adalah engkau... dan aku bersumpah,
tidak akan ada laki-laki ketiga yang akan melihatku..."
Bun Houw
terkejut, juga bingung. "Apa... apa yang kau maksudkan, moi-moi?"
Tiba-tiba
Kwi Eng sesenggukan lagi dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan
merangkul leher pemuda itu. Tentu saja Bun Houw menjadi berdebar-debar, seluruh
tubuhnya tergetar oleh gelora darah mudanya. Otomatis pelukan kedua tangannya
makin dipererat seolah-olah dia hendak mendekap tubuh dara yang cantik jelita
itu makin ketat. Rasa rindu akan seorang wanita yang selama ini ditahannya,
rindunya kepada Yalima, wanita pertama yang dicintanya, kini seolah-olah
memperoleh pelepasan pada diri Kwi Eng!
"Koko...
engkaulah satu-satunya pria hidup yang melihat aku... seperti tadi... dan hanya
engkaulah yang boleh melihatku seperti itu... untuk selama hidupku."
"Hemmm...
maksudmu?"
"Engkau
telah menyelamatkan diriku dari bencana yang amat hebat, engkau telah melihat
aku dalam keadaan seperti tadi... semua itu hanya dapat kutebus dengan
penyerahan jiwa ragaku, koko... jika kau sudi menerimanya..."
Hampir saja
pondongan itu terlepas saking kagetnya hati Bun Houw. Ternyata demikian
‘mendalam’ perasaan hati dara ini. Ternyata Kwi Eng hendak menyatakan bahwa
dara yang cantik ini jatuh cinta kepadanya!
"Maksudmu...
kau... kau cinta padaku?" Dia menjelaskan sambil memandang. Kwi Eng juga
mengangkat muka memandang.
Dua muka
saling berdekatan. Otomatis langkah kaki Bun Houw terhenti dan tiba-tiba saja
sepasang lengan Kwi Eng yang merangkul leher itu menarik leher Bun Houw makin
kuat sehingga muka pemuda itu makin menunduk dan tak terhindarkan lagi, sukar
dikatakan siapa yang lebih dahulu bergerak, muka yang tampan dan cantik itu
saling bertemu, dua mulut dengan bibir yang penuh gairah hidup itu saling
berciuman, terdorong oleh getaran perasaan hati mereka.
Mereka lupa
diri, lupa keadaan, seperti dalam keadaan mabok sehingga seakan-akan ciuman itu
tak akan pernah berakhir, seolah-olah dalam ciuman itu mereka hendak saling
mempersatukan diri, selamanya tidak akan terpisah lagi. Namun kebutuhan akan
napas dan gelora perasaan yang melonjak membuat mereka terpaksa melepaskan
bibir dengan napas terengah-engah.
Sejenak
mereka saling pandang. Sepasang pipi mereka menjadi merah sekali, pandang mata
mereka menjadi sungkan dan kemalu-maluan. Kwi Eng menunduk dan Bun Houw
menengadah, degup jantung mereka dapat saling mereka rasakan karena dada mereka
berdekapan.
"Eng-moi..."
"Koko..."
"Jangan...
tak benar ini..."
"Mengapa
tak benar...? Aku rela..."
"Tidak
boleh... kita baru saja bertemu dan saling berkenalan..."
"Bagiku
engkau sudah selamanya kukenal..."
"Sudahlah,
harap kau jangan bicara tentang urusan kita ini dulu, moi-moi. Kau tahu bahwa
tugasku masih jauh dari pada selesai, aku... aku tidak mungkin bisa membagi
perhatian terhadap soal lain. Kita tunda saja dulu urusan ini, maukah kau
berjanji?"
Kembali dua
pasang mata saling bertemu dan Kwi Eng pun tersenyum. Senyum penuh kebahagiaan
karena ciuman tadi baginya sudah lebih dari cukup sebagai tanda bahwa pemuda
yang telah menjatuhkan cinta kasihnya ini, ternyata juga mencintanya. Apa bila
tidak demikian, tak mungkin terjadi ciuman seperti tadi! Terasa benar olehnya
menembus sampai ke dasar hatinya. Maka dia mengangguk sambil tersenyum.
Bukan main
manisnya dan penuh daya pikat sehingga terpaksa Bun Houw harus segera
mengangkat kepala memandang ke atas. Tidak kuat dia untuk memandang wajah yang
sedemikian manisnya, demikian dekatnya, bibir yang segar merah basah, sedikit
terbuka, mulut yang seolah-olah menantang, dan seolah-olah diciptakan untuk
dicium penuh kasih sayang, memandang kesemuanya ini tanpa menciuminya!
Dan Kwi Eng
kembali tersenyum. Senyum kemenangan seorang wanita yang mempunyai naluri
kewanitaannya, yang tahu benar saat-saat seorang pria bertekuk lutut tanpa
syarat! Rangkulannya semakin ketat dan sambil tersenyum-senyum, mata yang masih
basah air mata itu pun tersenyum malu-malu, dara ini menyembunyikan mukanya di
dada kekasih pujaan hatinya!
Pada saat
itu pula, ketika Bun Houw melanjutkan langkahnya dan matanya memandang ke
depan, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon. Dia cepat
mengejar dengan pandang matanya dan dilihatnya bayangan itu berdiri tegak di
samping sebatang pohon, bayangan seorang wanita dengan sinar mata berapi-api
yang ditujukan kepada tubuh Kwi Eng yang dipondongnya. Tentu saja dia segera
mengenal gadis yang berdiri dengan sinar mata berapi-api itu.
"Hong-moi...!"
Tanpa terasa lagi dia berseru memanggil. Akan tetapi bayangan itu cepat
berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan di tepi sungai itu.
"Ehh,
kau memanggil siapa, Houw-koko?" Kwi Eng bertanya dan memandang ke kanan
kiri.
Bun Houw
mengerutkan alisnya. "Pendekar wanita yang pernah menolongku, Eng-moi.
Sepertinya kulihat dia tadi berkelebat di dalam hutan. Akan tetapi mungkin juga
aku salah lihat..." Namun hatinya merasa yakin bahwa gadis penolongnya
itulah yang dilihatnya tadi, dengan sinar mata tajam penuh kemarahan dan
kebencian ditujukan kepada Kwi Eng.
Bun Houw
mengerutkan alisnya dan makin kuat dugaannya. Tidak salah lagi. Tentu gadis
itulah yang pernah menyerang Kwi Eng, dan bahkan yang telah membunuh gadis she
Ma itu. Jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Andai kata betul demikian,
alasannya hanya satu, yaitu cemburu!
Gadis yang
bernama Hong itu agaknya selalu membenci setiap wanita yang berdekatan dengan
dirinya! Cemburu, berarti gadis itu cinta kepadanya! Bun Houw bergidik dan
kalau tadinya dia merasa sangat tertarik kepada In Hong, kini dia mulai merasa
jijik dan tidak suka...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment