Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 20
DI CINTA
oleh seorang wanita yang demikian besar cemburunya, yang demikian kejamnya,
sungguh mengerikan sekali. Meski pun cantik seperti dewi, akan tetapi selalu
melakukan kekejaman seperti setan, Dewi Maut! Biar pun gadis itu amat cantik,
amat tinggi ilmunya, dan sudah pernah menolongnya, menyelamatkannya dari bahaya
maut, akan tetapi kalau sekejam itu perangainya, pasti kelak dia akan
menegurnya kalau dia sempat bertemu lagi dengan Si Dewi Maut itu.
Akan
tetapi... kematian Bu Sit tadi! Siapakah yang tadi telah melepas pasir beracun
dan merobohkan Bu Sit, dengan demikian menyelamatkan Kwi Eng? Apakah bukan Si
Dewi Maut itu pula?
Memang tidak
keliru dugaan Bun Houw. Bayangan yang berkelebat di antara pepohonan dan yang
tadi sejenak memandang tajam ke arah Bun Houw yang memondong Kwi Eng, adalah In
Hong. Baru saja gadis perkasa ini juga menyelamatkan Kwi Beng dari ancaman maut
di tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Seperti kita
ketahui, Kwi Beng, seperti juga Kwi Eng yang dipancing menjauhi gelanggang
pertempuran oleh Bu Sit, juga dipancing oleh Hui-giakang Ciok Lee Kim si nenek
cabul yang tergila-gila oleh ketampanan pemuda itu. Kemudian pemuda itu pun
roboh pingsan dan dipondong serta dilarikan oleh Ciok Lee Kim, dibawa ke dalam
hutan di belakang dusun Ngo-sian-chung. Ketika tiba di tempat sunyi, Ciok Lee
Kim menyandarkan pemuda itu dan dia mulai merayu Kwi Beng. Makin dipandang, Si
Kelabang Terbang itu semakin tergila-gila kepada pemuda ini.
Kwi Beng
yang sudah siuman akan tetapi dalam keadaan lemas tertotok, memandang marah dan
memaki, "Perempuan iblis, sesudah aku kalah, kau bunuhlah aku!"
bentaknya dan berusaha menggerakkan kedua kaki dan tangannya, akan tetapi
anggota badannya itu terasa seperti lumpuh.
Ciok Lee Kim
membelai pipi serta leher pemuda itu. "Aihhh, sayang kalau orang seperti
engkau ini dibunuh. Orang muda yang ganteng, aku suka sekali kepadamu. Kau
layanilah aku, maka aku bersumpah akan menjamin keselamatanmu dan selamanya
engkau akan menjadi kekasihku, sahabatku, dan muridku."
"Cih,
perempuan tak tahu malu!" Kwi Beng memaki. "Kau sudah gila!"
"Hi-hik,
memang aku sudah gila, tergila-gila kepadamu, sayang. Apa perlunya mati sia-sia
dalam usia begini muda? Biar pun aku lebih tua darimu, aku adalah seorang ahli
dalam permainan cinta, dan kau akan menjadi muridku, kau akan menikmati hidup
dan apa pun permintaanmu akan kupenuhi, sayang."
Ciok Lee Kim
berlutut, merangkul dan menciumi. Wanita ini benar-benar sudah tergila-gila
melihat mata kebiruan dan rambut agak pirang itu. Sepuluh jemari tangannya yang
sudah mulai keriputan itu kini mulai meraba-raba.
"Bedebah!
Tua bangka gila! Pergilah, atau bunuhlah aku!" Kwi Beng merasa amat jijik
dan muak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu mencegah jari-jari
tangan wanita itu menggerayangi tubuhnya, hal yang membuat pemuda itu merasa
ngeri dan jijik sekali.
Sudah sejak
tadi ada sepasang mata jeli dan tajam yang menonton peristiwa ini. Bahkan sejak
Ciok Lee Kim memasuki hutan memondong tubuh Kwi Beng yang pingsan, pemilik mata
jeli itu sudah membayanginya.
In Hong yang
melihat peristiwa ini, diam-diam merasa kagum kepada Kwi Beng. Untuk ke sekian
kalinya dia tercengang. Setelah dia kagum melihat murid-murid Bu-tong-pai yang
gagah perkasa, kemudian melihat pula Bun Houw yang lebih baik mati dari pada
tunduk terhadap rayuan wanita, kini dia melihat Kwi Beng yang sama sekali tidak
mau tunduk terhadap rayuan Ciok Lee Kim. Rasa kagum dan simpatinya sudah timbul
dan tentu saja sekaligus menimbulkan perasaah muak dan marah kepada Si Kelabang
Terbang itu.
Memang sudah
lama dia merasa benci sekali terhadap Hui-giakang Ciok Lee Kim yang dianggapnya
seorang wanita tak tahu malu, jahat dan keji. Kini, melihat betapa Ciok Lee Kim
secara tak tahu malu menggerayangi tubuh pemuda yang terang-terangan menolak
rayuannya itu, dan betapa jari-jemari tangan nenek itu mulai membuka kancing
baju Kwi Beng, In Hong tidak dapat menahan rasa jijiknya.
"Iblis
betina cabul tak tahu malu!" bentaknya sambil meloncat dekat.
Ciok Lee Kim
terkejut bukan main, segera dia pun meloncat berdiri sambil membalikkan
tubuhnya. Di antara Lima Bayangan Dewa yang pernah bertemu dan berkenalan
dengan dara perkasa ini hanyalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Ciok Lee Kim belum
pernah melihat In Hong, maka kini melihat bahwa yang muncul hanya seorang gadis
muda belia yang cantik jelita, dia memandang rendah dan menjadi marah bukan
main, kemarahan yang didorong rasa jengah dan malu karena perbuatannya merayu
pemuda itu ketahuan orang lain.
Dengan
gerakan galak dan angkuh dia lalu mencabut keluar sepasang senjatanya, yaitu
sepasang sapu tangan sutera merah. Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar
suara bersiutan dan sapu tangan itu diputarnya sedemikian cepat sehingga lenyap
bentuknya dan berubah menjadi dua gulungan sinar merah.
Dengan
demonstrasi tenaga sinkang ini agaknya Ciok Lee Kim hendak menakut-nakuti gadis
muda itu. Sungguh menggelikan! Dia tidak tahu siapa adanya wanita muda ini, dan
tentu saja bagi Yap In Hong, murid tunggal ketua Giok-hong-pang yang sudah mewarisi
ilmu-ilmu simpanan dari bokor pusaka Panglima The Hoo, permainan nenek itu
bagaikan permainan kanak-kanak saja.
"Bocah
yang bosan hidup, siapakah kau mengantar nyawa sia-sia dengan mencampuri
urusanku?" bentak Ciok Lee Kim, karena biar pun dia marah sekali, timbul
pula keinginan tahunya siapa adanya gadis muda yang begini berani
mengganggunya. Padahal banyak orang kang-ouw yang langsung menggigil ketika
baru mendengar namanya saja.
"Hui-giakang
Ciok Lee Kim, sesudah engkau lari terbirit-birit dari Lembah Bunga Merah,
ternyata engkau bersembunyi di Ngo-sian-chung, hanya untuk melanjutkan
perbuatanmu yang tidak tahu malu. Tak perlu kau tahu aku siapa, hanya yang
jelas, akulah yang akan mengantar nyawa kelabangmu terbang ke neraka."
Tentu saja
Ciok Lee Kim menjadi marah bukan kepalang mendengar ucapan yang sangat
memandang rendah dan menghina ini. Kedua matanya melotot, mulutnya mengeluarkan
teriakan yang merupakan lengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuhnya sudah
mencelat ke depan, seperti seekor burung terbang saja dan bayangan tubuhnya
yang berkelebat itu didahului oleh sinar merah dari kanan kiri, yaitu gerakan
sapu tangannya yang di dalam tangannya dapat berubah lemas atau kaku menurut
penyaluran tenaganya.
Kini ujung
sapu tangan merah yang kiri menotok ke arah ubun-ubun kepala In Hong, ada pun
yang kanan menotok ke arah buah dada kiri. Serangan maut yang amat berbahaya
dan Kwi Beng yang menyaksikan ini, menjadi terkejut bukan main dan
mengkhawatirkan nasib dara yang agaknya hendak menolongnya itu.
Gerakan Ciok
Lee Kim memang hebat sekali. Wanita ini mendapat julukan Si Kelabang Terbang,
mungkin dijuluki kelabang karena jahatnya sehingga pantas menjadi kelabang yang
beracun, dan gerakannya memang amat cepat, ginkang-nya amat tinggi seolah-olah
dia pandai terbang. Karena itu serangan yang ditujukan kepada In Hong dalam
keadaan marah itu pun hebat bukan main, cepat laksana kilat menyambar.
Akan tetapi,
In Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari pada Ciok Lee
Kim, hanya berdiri dengan tenang dan menunggu datangnya serangan lawan itu
seperti seorang dewasa memandang lagak seorang kanak-kanak saja layaknya.
Begitu serangan dengan dua helai sapu tangan itu tiba, In Hong menggerakkan
sepasang tangannya, yang satu menyampok sapu tangan yang menotok ubun-ubun
kepala, sedangkan tangan yang ke dua menangkis sapu tangan yang menotok dada,
terus dilanjutkan dengan dorongan tangannya dengan pengerahan tenaga sakti.
"Desss...!
Brukkkk!"
Tubuh Ciok
Lee Kim terbanting ke atas tanah. Wajah nenek itu menjadi luar biasa sekali,
kaget, heran, tak percaya, dan juga kesakitan karena pantatnya yang tepos
(tipis) itu telah terbanting keras ke atas tanah sehingga ujung bawah tulang
pinggulnya terasa bagaikan remuk!
Akan tetapi
semua perasaan ini dilebur menjadi satu, menjadi perasaan kemarahan yang
meluap-luap. Dia melupakan rasa nyeri pada pantatnya dan sudah meloncat lagi
dengan amat cepat, terus dia menerjang kalang kabut dengan mengerahkan seluruh
tenaga dan kecepatannya, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya yang paling
ampuh.
Amat indah
tampaknya karena bayangan nenek ini lenyap, yang nampak hanya bayangan sapu
tangannya yang seperti dua ekor kupu-kupu merah beterbangan cepat mengelilingi
tubuh In Hong yang masih berdiri tegak dan hanya kadang-kadang saja kedua
tangannya bergerak menangkis.
Kwi Beng
menonton sambil melongo. Dia melihat seolah-olah In Hong merupakan seorang dewi
yang sedang menari-nari. Tarian menangkap sepasang kupu-kupu agaknya!
Padahal
nenek itu sudah melakukan penyerangan yang amat dahsyat dan mati-matian, akan
tetapi anehnya, dara itu hanya bergerak sedikit saja, kedua kakinya bahkan
jarang melangkah, hanya kedua lengannya saja bergerak-gerak seperti orang
menari dan semua serangan tidak ada yang mengenai sasaran.
"Nenek
menjemukan, mampuslah!" tiba-tiba gadis itu berseru nyaring.
Tiba-tiba
nampak sinar yang amat menyilaukan mata, sinar emas yang entah dari mana
datangnya tahu-tahu telah berada di tangan dara itu dan sekali sinar emas itu
berkelebat, nampak darah memancar kemudian tubuh nenek itu roboh, lehernya
hampir putus terkena sambaran sebatang pedang yang dengan cepat sekali sudah
lenyap menjadi sabuk dara itu!
Dengan
langkah ringan In Hong menghampiri Kwi Beng, menotoknya hingga seketika Kwi
Beng terbebas dari totokan. Kwi Beng segera bangkit dan memandang mayat Ciok
Lee Kim dengan mata terbelalak, kemudian dia memandang gadis itu dengan mata
kagum. Bukan main cantiknya dara ini, cantik jelita dan gagah perkasa, belum
pernah dia melihat seorang gadis seperti ini! Cepat Kwi Beng maju dan menjura
dengan hormat kepada In Hong.
"Saya
Souw Kwi Beng menghaturkan rasa terima kasih atas budi pertolongan lihiap yang
gagah perkasa. Kalau saja tidak ada pertolongan lihiap, tentu saat ini saya
telah menjadi mayat."
In Hong
balas memandang lantas tersenyum. "Belum tentu iblis ini akan membunuhmu.
Betapa pun juga, kau seorang laki-laki jantan dan siapa pun tentu akan
menentang iblis tak tahu malu ini!"
Dengan gemas
In Hong menggunakan kakinya menendang mayat Ciok Lee Kim sehingga diam-diam Kwi
Beng bergidik, merasa betapa dara cantik jelita yang seperti dewi ini amat
ganas terhadap musuh! Akan tetapi, rasa kagumnya mengusir kengerian ini dan dia
pun memandang dengan rasa kagum yang tak disembunyikannya. In Hong yang
menangkap pandangan mata itu menjadi agak merah kedua pipinya sehingga tentu
saja menambah kejelitaannya.
"Lihiap
sungguh memiliki kepandaian laksana Dewi Kwan Im! Dia ini adalah Hui-giakang
Ciok Lee Kim, orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Kepandaiannya amat
dahsyat, akan tetapi lihiap dapat membunuhnya hanya dalam waktu singkat saja,
bahkan bila saya tak salah lihat, lihiap hanya satu kali saja mempergunakan
pedang! Bukan main! Sungguh kepandaian lihiap seperti dewi..."
"Sudah,
saudara Souw, urusan ini tidak perlu dibicarakan lagi dan harap kau lupakan
saja semua ini." Berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya dan hendak
pergi dari situ.
"Nanti
dulu, lihiap! Betapa mungkin saya melupakan... peristiwa ini, melupakan lihiap
yang sudah melepas budi pertolongan kepada saya? Harap lihiap sudi
memperkenalkan diri."
In Hong
mengerutkan alisnya. Pemuda ini tampan dan gagah sekali, akan tetapi mengapa
begitu bertemu lantas menaruh perhatian dan kekaguman yang demikian berlebihan?
Dia segera teringat kepada Bun Houw maka dia lalu menjawab singkat,
"Namaku
Hong, dan pertemuan kita sampai di sini saja. Selamat berpisah."
"Hong-lihiap...
harap jangan pergi dulu...! Saya... kalau boleh saya ingin berkenalan lebih
erat denganmu, karena... saya kagum sekali dan saya ingin memperkenalkan
Hong-lihiap kepada adikku, kepada teman-teman di sana. Lihiap, percayalah, saya
tidak mempunyai niat yang buruk, melainkan hanya terdorong oleh kekaguman hati
dan mudah-mudahan saja saya akan berkesempatan untuk membalas budi kebaikan
lihiap..."
"Cukup!"
Tiba-tiba In Hong berkata agak keras dan dengan wajah dingin. "Saudara
Souw Kwi Beng terlalu membesar-besarkan urusan kecil ini. Sudah, aku mau
pergi!"
"Nona
Hong...!" Kwi Beng memanggil.
Pada saat
itu, muncul Tio Sun yang dari jauh sudah berteriak girang melihat Kwi Beng.
Melihat munculnya Tio Sun, In Hong lalu berkelebat dan sekali bergerak saja dia
sudah lenyap dari hadapan Kwi Beng yang menjadi kebingungan, mencari-cari
dengan pandang matanya namun tetap saja tidak nampak bayangan nona yang amat
lihai itu. Dia merasa menyesal dan kecewa sekali, merasa kehilangan sesuatu
yang amat berharga sehingga berulang-ulang dia menarik napas panjang.
"Aihhhh,
kau berhasil membunuh dia? Hebat sekali, Beng-te, hebat sekali kau!" Tio
Sun berteriak girang pada saat melihat mayat Ciok Lee Kim yang menggeletak di
situ dengan leher hampir putus.
Kembali Kwi
Beng menarik napas panjang dan sekarang dia malah duduk di atas rumput,
termenung seperti orang kehilangan semangat.
"Ehh,
apa yang terjadi, adik Beng? Kau kenapakah?"
Kwi Beng
mengangkat muka memandang sahabatnya itu. "Hampir saja aku mati di sini,
Tio-twako. Kalau tidak ada dewi yang menolongku, tentu aku sudah mati oleh
iblis betina itu." Dia menuding ke arah mayat Ciok Lee Kim.
"Hehh?
Jadi bukan kau yang membunuhnya? Dewi? Dewi siapa?"
"Dewi
Maut agaknya..." Kwi Beng berkata karena masih ngeri membayangkan
kehebatan nona cantik tadi.
"Harap
jangan main-main, Beng-te. Siapakah yang telah membunuh iblis ini?"
"Aku
sendiri tidak mengenalnya dengan baik. Pada waktu aku terancam maut dan sudah
tidak berdaya, tiba-tiba saja muncul seorang gadis cantik jelita yang lihai
bukan main. Dia mempermainkan Si Kelabang Terbang seperti mempermainkan anak
kecil saja, kemudian sekali dia mencabut pedang dan hanya satu kali pedangnya
bergerak dan... mampuslah iblis itu. Kemudian dia pergi..." Kembali pemuda
ini termangu-mangu.
"Siapa
dia? Siapa gadis yang amat lihai itu?"
Kwi Beng
menggeleng kepala. "Aku tidak berhasil menahannya. Setelah membunuh iblis
itu, dia lalu pergi, hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Hong
begitu saja?"
Kwi Beng
mengangguk dan termenung lagi.
"Kita
harus bersyukur bahwa engkau selamat dan iblis betina ini sudah tewas, adik Kwi
Beng. Akan tetapi di mana adik Eng? Aku sedang mencarinya, dan tadi pun
terpisah saat aku melawan Bu Sit."
Mendengar
ini, seketika timbul semangat Kwi Beng. Dia amat mencinta adiknya, maka
mendengar bahwa adiknya lenyap, seketika dia lupa akan urusannya sendiri, lupa
akan kerinduannya terhadap dara penolongnya yang seperti dewi tadi. Dia
meloncat berdiri dan berseru, "Celaka! Kita harus mencarinya, twako!"
Akan tetapi
Tio Sun tidak menjawab dan pemuda ini berdiri seperti patung, mukanya agak
pucat, memandang ke depan. Kwi Beng cepat memandang pula dan wajahnya menjadi
berseri gembira ketika melihat bahwa yang dipandang itu adalah Bun Houw yang
datang berjalan cepat sambil memondong Kwi Eng!
Tio Sun
merasa betapa ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Melihat Kwi Eng di dalam
pondongan Bun Houw, dan gadis itu merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu
dan menyandarkan muka di dadanya. Begitu mesra! Hanya inilah yang tampak dan
teringat oleh Tio Sun, yang membuat rongga dadanya terasa sesak dan hatinya
terasa panas!
Akan tetapi
Kwi Beng melihat hal lain. Cepat dia menyongsong dan berteriak, "Eng-moi,
kau terluka...?"
Kwi Eng
melepaskan rangkulan kedua lengannya dari leher Bun Houw dan mengangkat muka.
Kedua pipinya merah sekali, matanya bersinar, wajahnya berseri-seri dan
bibirnya tersenyum. "Hanya tulang kaki kiriku... patah..."
"Tulang
kakimu patah?" Kwi Beng bertanya penuh kekhawatiran, akan tetapi juga
penuh keheranan. Tulang kakinya patah kenapa masih bisa tersenyum-senyum dan
berseri-seri wajahnya?
Melihat Kwi
Beng dan Tio Sun, Bun Houw menjadi malu dan cepat dia menyerahkan Kwi Eng
kepada kakak kembarnya. Kwi Beng cepat memondong adiknya yang masih berseri dan
bercerita kepadanya.
"Hampir
saja aku celaka oleh si laknat muka monyet itu, untung datang Houw-koko yang
berhasil membunuhnya..."
"Ahh,
Hui-giakang juga sudah tewas? Sungguh sayang sekali...," tiba-tiba Bun
Houw yang melihat mayat wanita itu berseru.
"Sayang?"
Tio Sun bertanya heran. "Mengapa sayang?"
"Tio-twako,
aku terpaksa merobohkan Toat-beng-kauw tanpa dapat menanyainya terlebih dahulu
dan sekarang tahu-tahu Hui-giakang juga sudah mati. Padahal aku membutuhkan
keterangan mereka mengenai Siang-bhok-kiam... akan tetapi, masih ada Liok-te
Sin-mo. Tentu suheng dan enci berhasil membekuknya. Mari kita ke sana!"
"Beng-koko,
siapa yang membunuh iblis betina itu? Engkau ataukah Tio-twako?" tanya Kwi
Eng yang kini dipondong oleh kakaknya sendiri.
"Bukan
aku bukan pula Tio-twako, melainkan seorang dewi."
"Ehh?
Dewi? Dewi siapakah?"
"Seorang
gadis yang amat lihai, dan jika tidak ada dia yang menolongku, tentu kakakmu
ini sudah menjadi mayat."
"Ihhhh...!
Seperti keadaanku, kalau tidak ada Houw-koko..."
Mendengar
percakapan itu, Bun Houw bertanya, "Adik Kwi Beng, siapakah gadis yang
menolongmu dan membunuh Hui-giakang itu?" Sebetulnya dia sudah dapat
menduganya, akan tetapi dia mendesak untuk merasa yakin.
"Dia
seorang yang aneh sekali, sesudah membunuh iblis itu langsung pergi dan hanya
meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Aihh,
dia... ya, tentu saja, siapa lagi..." Bun Houw menggumam.
Kwi Eng
mengerutkan alisnya. "Houw-koko, apakah yang kau panggil nona Hong
tadi?"
Bun Houw
mengangguk. "Dia seorang pendekar wanita yang amat lihai akan tetapi penuh
rahasia, tidak mau mengenal orang."
Berkata
demikian, Bun Houw meraba hiasan rambut burung hong yang berada di saku bajunya
sebelah dalam. Betul-betul seorang nona yang amat aneh, dan lihai, dan ganas,
dan... benarkah sekejam itu membunuh gadis she Ma karena cemburu?
Mereka tiba
di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti. Banyak anak buah
Ngo-sian-chung yang malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang terluka,
selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa Hwa
Cinjin, Hek I Siankouw, juga berhasil melarikan diri.
"Enci
Keng...!" Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat.
"Bun
Houw...!" Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya.
Ada pun Yap
Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung karena sejak
tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apa lagi bicara dengannya,
kini dihampiri oleh Tio Sun dan Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. Mereka bertiga
tak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu, dan
mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang
mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka
kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan
tiga orang muda itu sambil tersenyum tenang.
"Apakah
kami berhadapan dengan Yap Kun Liong taihiap yang mulia?" Tio Sun bertanya
penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua memberi
hormat.
Kun Liong
menggerak-gerakkan tangannya. "Harap kalian bertiga jangan terlalu
sungkan. Agaknya kalian orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw,
dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan
locianpwe?"
Tio Sun
semakin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar ini dan
kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar ini
sudah mengenal ilmu ayahnya!
"Memang
sudah lama ayah menceritakan saya tentang taihiap, maka sungguh gembira hari
ini saya dapat bertemu dengan Yap-taihiap."
"Aih,
jadi engkau adalah putera Tio-lo-enghiong?" Kun Liong berseru girang,
kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng.
Alisnya agak
berkerut melihat warna mata dan rambut kedua orang kakak beradik yang wajahnya
sama-sama tampan dan cantik itu, yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini
adalah peranakan-peranakan barat.
"Dan
siapakah kalian berdua?"
"Ayah
dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!" Kwi Eng yang lebih lincah dan
berani itu telah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tak berani
menggunakan kakinya yang masih belum sembuh. "Ayah dan ibu adalah
sahabat-sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa."
Kun Liong
menjadi kaget dan juga bingung. "Siapa? Siapakah ayah bundamu?"
Kini Kwi
Beng yang menjawab, "Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu..."
"Souw
Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka... mereka... kukira mereka sudah tidak ada
lagi..."
Kun Liong
makin bingung karena dia sendiri yang dulu membujuk-bujuk kedua orang itu agar
meninggalkan kapal akan tetapi mereka tidak mau, dan dengan matanya sendiri dia
menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama kapalnya.
"Ayah
dan ibu tidak tewas bersama kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan pandai
dan sampai kini masih hidup. Kami berdua adalah putera-puteri mereka, kakak
kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama Maria
de Gama atau Souw Kwi Eng."
Bukan main
girangnya hati Kun Liong mendengar cerita ini dan dia pun melangkah maju,
memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, memandang wajah keduanya kemudian dia
mengangguk-angguk. "Engkau persis ibumu, tetapi matamu persis mata
ayahmu... aihh, betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih
hidup..." Suara Kun Liong tergetar karena terharu.
Tiga orang
muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng.
"Kami
belum menghadap Cia-lihiap puteri ketua Cin-ling-pai..." kata Tio Sun.
Akan tetapi
tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan enci-nya sudah
menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah,
sedangkan Giok Keng jelas baru saja menangis sebab matanya masih merah dan
kedua pipinya basah.
"Yap-suheng...!"
begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan berkata dengan suara
keras dan kaku.
"Sudahlah,
adikku, sudahlah...!" Giok Keng memegang tangan adiknya sambil berusaha
mencegah.
Akan tetapi
agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tadi dia sudah
mendengar penuturan enci-nya mengenai kematian kakak iparnya, Lie Kong Tek yang
membunuh diri untuk menebus ‘dosa’ enci-nya yang sebetulnya tak berdosa. Dapat
dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika mendengar betapa enci-nya
dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama, dituduh membunuh isteri
suheng-nya atau puteri gurunya itu.
"Sute,
engkau hendak bicara apakah?" Kun Liong bertanya, sungguh pun dia sudah
dapat menduga akan kemarahan pemuda ini. Dia bertanya dengan sikap tenang.
"Yap-suheng,
perbuatanmu yang langsung menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng tanpa
bukti-bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang seperti
suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie-cihu (kakak ipar Lie)
disebabkan oleh suheng, seolah-olah suheng yang membunuhnya dengan tangan
suheng sendiri?"
"Houw-te,
jangan... jangan bicara demikian..." Giok Keng cepat-cepat merangkul
adiknya dan menangis. "Kau... kau tidak tahu..."
"Biarlah,
enci!" Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan enci-nya. "Aku
tidak bisa mendiamkannya saja, dan jika Yap-suheng sudah berubah menjadi begitu
kejam, biarlah aku tewas di tangannya pun tidak mengapa!"
"Sute,
apakah maksudmu dengan kata-kata itu?" Kun Liong bertanya, memandang tajam
penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw
hanyalah seorang pemuda yang masih sangat muda dan kini sedang dicengkeram oleh
kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya.
"Maksudku,
aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian cihu dan
membuat hidup enci-ku menderita. Marilah kita selesaikan hal ini antara kita
sebagai laki-laki jantan!" Bun Houw menantang dan melompat ke depan, siap
untuk menghadapi suheng-nya yang selama ini amat dikaguminya.
"Sute,
yang memaksaku menuntut enci-mu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu sendiri.
Apakah kelak engkau pun akan menantang gurumu?" Kun Liong bertanya dengan
suara tenang dan sikap sabar.
"Suhu
tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!"
Kun Liong
menarik napas panjang. "Sute, peristiwa yang telah terjadi itu sungguh
amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Bila engkau menyalahkan aku, biarlah,
aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan mau melayani tantanganmu
yang mentah itu..."
Kun Liong
lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.
"Yap
Kun Liong! Berhenti kau...!"
Bun Houw
membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh.
"Bun
Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih memiliki tugas yang lebih
penting. Lagi pula, Kun Liong tidak bersalah..."
"Tapi,
enci...," Bun Houw bersikeras.
"Bun
Houw! Kau tidak mau mentaati enci-mu?"
Melihat
enci-nya marah, Bun Houw menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan
enci-nya.
"Maaf,
enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu."
"Kau
sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa Kun
Liong sudah terlebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara
kejam." Wanita itu menghapus air matanya, "Dan kau telah berani
menghinanya!"
Bun Houw
menunduk. "Maafkan, enci... maafkan..."
"Sudahlah.
Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biar pun dua orang di antara mereka telah
tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang-orang yang
begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Sekarang
aku akan kembali ke Cin-ling-pai untuk melaporkan hal ini kepada ayah."
"Baik,
enci. Aku akan menyelidiki mereka."
"Akan
tetapi jangan bertindak ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang
aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman-temanmu itu akan terancam
bahaya hebat."
Setelah
mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng segera meninggalkan
tempat itu. Sejak tadi Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng hanya terbelalak
mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan
setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya-tanya
kepada Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya.
Penuturan
enci-nya hanya diambil singkatnya saja, maka dia sendiri pun belum tahu betul
duduknya persoalan. Akan tetapi hati siapa yang tidak akan berduka mendengar
betapa suhu-nya kini berhadapan dengan keluarganya sebagai dua fihak yang
bertentangan?
"Kedua
adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat tulang
pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke tempat
aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti sampai
orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar Lima
Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu."
"Akan
tetapi, aku ingin sekali membantumu, Houw-koko!" Kwi Eng berkata, suaranya
agak manja dan penuh permohonan.
Bun Houw
tersenyum memandang dara itu. "Terima kasih, Eng-moi. Akan tetapi, tulang
kakimu itu sedikitnya dua pekan lagi baru dapat bersambung kembali, itu pun
kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak
musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enci-ku benar,
aku tak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu.
Kalau keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku."
"Aku
akan menyertaimu, Houw-te."
Bun Houw
memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban-kin-kwi ini cukup tinggi
sehingga merupakan pembantu yang sangat baik. "Terima kasih, twako. Nah,
kau bawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Sekarang juga kami
berdua hendak berangkat. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa
kembali."
Bun Houw dan
Tio Sun segera berangkat.
"Houw-koko...!"
Kwi Eng berseru memanggil.
Bun Houw
berhenti, menoleh. Dara itu menangis!
"Selamat
tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali," kata Bun Houw.
Dengan suara
terisak, Kwi Eng berkata, "Kalau... kalau terlalu... lama kau tidak
datang... aku akan mencarimu..."
Bun Houw
hanya mengangguk, kemudian melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia hanya
merasa kasihan kepada Kwi Eng, dan sama sekali tidak tahu betapa pemuda yang
berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandangan mata kosong,
dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng,
dara yang telah menjatuhkan hatinya itu&.
***************
Pria itu
berjalan di dalam hutan sambil menundukkan mukanya. Wajahnya yang tampan dan
gagah terlihat keruh dan muram, pandang matanya sayu diliputi kedukaan
mendalam. Yap Kun Liong, pria itu, merasa seakan-akan semangatnya
melayang-layang, tubuhnya kosong dan pikirannya membayangkan semua hal yang
lalu dalam hidupnya.
Sejak kecil
hidupnya seolah-olah merupakan sebuah perahu kecil yang selalu dihantam dan
dilanda ombak kehidupan yang membadai, yang terus mengombang-ambingkannya,
kadang-kadang hampir menenggelamkannya. Selama ini dia masih mampu mengatasi
itu semua, walau pun perahu hidupnya pecah-pecah, koyak-koyak, akan tetapi
masih belum tenggelam.
Semenjak
peristiwa terakhir yang amat meremukkan hatinya, yaitu kematian isterinya dan
disusul peristiwa di Cin-ling-pai di mana Giok Keng juga harus kehilangan
suaminya yang membunuh diri, dia menjadi seorang pelamun dan pendiam. Hidupnya
telah berubah sama sekali dan di dalam perjalanannya mencari anaknya, Yap Mei
Lan, dia lebih banyak duduk melamun di tempat-tempat sunyi, di mana tak ada
seorang pun manusia lain mengganggu lamunannya.
Kita manusia
tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan medan pertentangan antara susah dan
senang, lebih banyak dukanya dari pada sukanya, lebih banyak kecewanya dari
pada puasnya, karena tanpa kita sadari sendiri, kita memang telah mengikatkan
diri dengan lingkaran setan yang berupa sebab akibat dan im-yang (atau dwi
unsur), yang dapat juga disebut kebalikan-kebalikan. Kita selalu menghendaki
yang satu tapi menolak yang lain, kita selalu mengejar kesenangan namun
menghindari kesusahan, mencari-cari kepuasan menolak kekecewaan dan sebagainya.
Padahal,
suka duka, senang susah, puas kecewa tidaklah pernah terpisah-pisah, seperti
sebuah tangan yang memiliki dua permukaan, yaitu telapak tangan dan punggung
tangan. Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain.
Sudah
menjadi kebiasaan kita semenjak kecil, menjadi suatu hal yang kita terima sebagai
sudah semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam segala gerak perbuatan
kita, selalu didasari atas pamrih demi kepentingan, kepuasan, kesenangan diri
pribadi. Setiap perbuatan yang didasari pamrih seperti itu adalah palsu,
hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan kita, dan perbuatan seperti
itu, betapa pun baik kelihatannya, sudah pasti menimbulkan konflik,
pertentangan lahir dan batin.
Mari kita
tengok diri sendiri, mari kita perhatikan diri kita sendiri, bukan orang lain.
Kita lihat saja segala gerak tubuh, gerak pikiran, dan gerak mulut atau
kata-kata kita. Tidakkah semuanya itu mengandung kepalsuan belaka? Sikap kita
bersopan-santun kepada tamu misalnya, kalau kita mau memandang diri sendiri
secara bebas, kita akan melihat bahwa kesopanan kita itu bukan timbul dari
kasih atau keakraban, melainkan merupakan bentuk penjilatan karena tamu itu
lebih tinggi atau lebih kaya atau lebih pintar, atau pun bentuk perendahan diri
karena takut, dan sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain
sekali pun, di situ tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi
orang baik, agar kita kelak menerima balas jasa.
Tidak
dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan ini? Tidak
dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar kepentingan diri
pribadi? Hal ini hanya mungkin apa bila terdapat CINTA KASIH di dalam diri
kita! Dengan cinta kasih, segala apa pun yang kita lakukan, yang kita pikirkan,
yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah KEBENARAN. Tanpa
cinta kasih, matahari akan kehilangan cahayanya, tumbuh-tumbuhan akan
kehilangan warnanya, bunga-bunga akan kehilangan harumnya, dunia akan
kehilangan keindahannya. Dengan adanya cinta kasih, kita tidak membutuhkan lagi
kebahagiaan karena CINTA KASIH adalah KEBAHAGIAAN!
Namun
sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang murni, yang suci, yang
sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan kita hanya mengenal cinta
terhadap seseorang atau sesuatu benda hidup atau benda mati, suatu yang abstrak
dan yang kita puja-puja. Cinta kasih macam ini sesungguhnya bukanlah cinta
kasih, melainkan hanya alat untuk menyenangkan diri pribadi, hanya untuk
mencari kepuasan seksuil, kepuasan lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga
kepuasan batiniah yang sesungguhnya hanyalah merupakan harapan-harapan untuk
masa depan belaka!
Tentu saja
cinta kasih macam ini, yang sebetulnya bukan cinta kasih namun nafsu-nafsu
keinginan untuk kesenangan diri pribadi belaka, cinta kasih macam ini
mengandung dwi unsur, yaitu senang dan susah, puas dan kecewa, dan karenanya
selalu mendatangkan pertentangan yang tiada habis-habisnya. Sebab dan akibat
adalah suatu lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, akibat dapat menjadi
suatu sebab untuk akibat berikutnya, dan si sebab itu pun dapat menjadi akibat
dari sebab sebelumnya.
Celakalah
kita bila mengikatkan diri dan terjebak dalam lingkaran setan ini. Sebab akibat
berada di dalam tangan kita sendiri! Kitalah yang menentukan apakah sebab
akibat itu akan berlarut-larut ataukah akan habis sampai di situ saja! Apa bila
kita menghadapi setiap peristiwa di dalam hidup kita dan menyelesaikannya
setiap saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan mau menghabiskannya sampai
di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa membayangkan masa depan, maka
sebab akibat sebagai rantai akan pecah berantakan dan lenyap!
Marilah kita
belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap saat, dengan memandang penuh
kewaspadaan serta kesadaran terhadap diri sendiri, setiap saat pula, dengan
perhatian sepenuhnya tercurah pada tiap gerak perbuatan, kata-kata dan pikiran
kita sendiri tanpa campur tangan.
Dengan
perhatian setiap waktu, perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang
mendalam, maka pandangan mata kita akan menembus sampai sedalamnya, pengertian
kita akan bangkit dan kita pun akan terbebas dari segala ikatan karena kita
mengerti bagaimana bahayanya ikatan-ikatan itu, dan kebebasan diri dari segala
ikatan akan memungkinkan kita mengenal apa artinya CINTA KASIH tadi.
Bukan cinta
kasih terhadap sesuatu, atau terhadap semua, yang ada hanya cinta kasih saja.
Cinta kepada seseorang, kepada semua orang, terhadap alam, kemesraan, semua itu
tidak terpisah-pisah dan sudah tercakup di dalamnya.
Kun Liong,
seorang pendekar sakti yang sudah banyak menerima gemblengan hidup, biar pun
dia berilmu tinggi dan berjiwa pendekar, namun dia belum sadar akan hal ini.
Oleh karena itu, betapa pun gagah perkasanya dia, tetap saja dia terseret dan
terjebak dalam lingkaran setan sebab akibat itu sehingga hidupnya menjadi
permainan suka duka yang sesungguhnya hanyalah merupakan penonjolan si aku yang
dikecewakan atau sebaliknya aku yang dipuaskan! Kalau saja dia mau mengenal
diri pribadi setiap saat, maka segala ilmu di dunia ini sudah berada di dalam
diri!
Kun Liong
terbenam di dalam kedukaan karena dia mengingat akan sikap Giok Keng dan Bun
Houw. Dua orang sumoi dan sute-nya itu, putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang
boleh dibilang juga gurunya, jelas amat membencinya! Dan dia tidak bisa
menyalahkan mereka.
Dia tidak
mungkin dapat menyalahkan Bun Houw yang menghinanya, karena dia dapat
membayangkan betapa hancur dan sakit rasa hati pemuda itu mendengar bahwa kakak
iparnya sampai membunuh diri karena enci-nya didakwa membunuh orang. Padahal
dia sendiri kini merasa yakin bahwa bukan Giok Keng yang membunuh isterinya.
Sejak
peristiwa itu terjadi, dia memang sudah tidak percaya kalau Giok Keng membunuh
isterinya! Dia mengenal benar wanita ini, seorang wanita yang biar pun keras
hati, namun gagah perkasa dan tak mungkin mau melakukan perbuatan yang rendah,
keji dan curang. Apa lagi membunuh isterinya dalam keadaan pingsan. Tidak
mungkin dilakukan oleh Cia Giok Keng!
Akan tetapi
ayah mertuanya tidak dapat menahan kemarahan dan telah memaksa Giok Keng, juga
menuntut kepada ketua Cin-ling-pai sehingga terjadi peristiwa yang demikian
menyedihkan, yaitu suami Giok Keng membunuh diri untuk menebus ‘dosa’
isterinya!
Akan tetapi,
dia pun tidak dapat menyalahkan mertuanya yang kemudian bahkan menjadi
terguncang batinnya dan berubah ingatannya oleh peristiwa-peristiwa itu! Ahh,
semua itu terjadi karena aku, pikirnya sedih. Karena diriku yang sial dan
selalu mendatangkan mala petaka bagi orang lain, sejak dahulu!
Mula-mula,
pada waktu dia masih kecil, dia telah mendatangkan mala petaka bagi ayah
bundanya sendiri. Kemudian, saat dia berusia muda, hubungannya dengan banyak
orang terutama dengan beberapa dara cantik, dia pun hanya mendatangkan mala
petaka bagi mereka. Teringat akan semua ini, Kun Liong menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan dia duduk seperti patung dalam keadaan demikian sampai lama
sekali.
Dia sudah
kehilangan segala-galanya dalam hidupnya. Dia kehilangan isteri yang dibunuh
orang, sekaligus juga kehilangan anak kandungnya yang lari entah ke mana,
kemudian dia kehilangan mertuanya yang menjadi gila, dan sekarang kehilangan
hubungan dengan Cin-ling-pai sekeluarga.
Pada saat
dia menutupi mukanya, terbayanglah wajah Giok Keng yang kurus pucat, dan
perasaan iba memenuhi hatinya. Aihhh, dia menjadi sumber segala kesengsaraan
hidup orang-orang lain. Kalau memang demikian, apa pula artinya hidup baginya?
Tiba-tiba dia menurunkan kedua tangannya dan mengepal tinju. Kalau dia mati,
agaknya dunia ini akan lebih tenteram! Perlu apa dia hidup?
"Perlu
mencari pembunuh isteriku!" demikian dia tiba-tiba membentak, seperti
menjawab pertanyaan hatinya sendiri, "Aku harus dapat mencari pembunuh
isteriku, dan harus dapat menemukan kembali Mei Lan anakku!"
Dengan tekad
yang mendadak muncul seperti sinar-sinar terang yang menerangi ruang hatinya
yang gelap pekat tadi, Kun Liong meloncat dan berlari secepatnya seperti
terbang atau seperti sudah miring otaknya! Akan tetapi, baru saja dia tiba di
tepi hutan, Kun Liong cepat meloncat jauh tinggi ke atas dan tubuhnya lenyap di
dalam daun-daun yang lebat dari pohon yang amat tinggi itu.
Dia melihat
berkelebatnya orang dari jauh dan ketika bayangan itu tiba dekat, dia terkejut
sekali karena mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng!
Seperti juga dia, wanita itu berjalan seperti orang yang kehilangan semangat,
sungguh pun Giok Keng mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya, yaitu dia
hendak kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kematian
dua Bayangan Dewa dan tentang bantuan orang-orang pandai yang agaknya bergabung
dengan mereka.
Begitu
melihat Giok Keng, semakin mendalam rasa iba hati yang melanda perasaan Kun
Liong. Wanita ini menjadi sengsara hidupnya karena dia! Tanpa disadarinya,
seperti di dalam mimpi, Kun Liong lalu bergerak dan membayangi Giok Keng dari
jauh agar jangan sampai wanita itu melihatnya.
Mereka sudah
meninggalkan hutan, dan tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kiri, "Nona
Giok Keng...!"
Giok Keng
terkejut sekali. Siapakah yang menyebutnya nona dan mengenal namanya? Dia
berhenti dan menanti datangnya orang yang berlari-lari itu dan setelah dekat,
ternyata orang itu adalah seorang tua yang menjadi pelayan ayahnya.
Pantas saja
orang itu menyebutnya ‘nona’ sungguh pun dia sudah menikah dan sudah mempunyai
anak. Sejak dia kecil memang A-kiong ini sudah menjadi pelayan ayahnya. Begitu
tiba di depan Giok Keng, A-kiong lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan
menangis!
"Ehh,
A-kiong... apakah yang telah terjadi?" tanya Giok Keng, wajahnya yang
sudah layu itu menjadi makin pucat.
"Celaka,
nona... celaka sekali..."
"Tenanglah
dan jangan menangis!" Giok Keng menghardik dan A-kiong cepat menyusuti air
matanya. "Sekarang ceritakan yang jelas!"
"Saya
disuruh oleh taihiap untuk pergi menyusul Lie-kongcu ke Sin-yang..."
A-kiong mulai bercerita dan dia selalu menyebut Cia Keng Hong dengan sebutan
‘taihiap’. "Lie-kongcu puteramu itu dibawa oleh Hong Khi Hoatsu ke
Sin-yang dan saya disuruh menyusul untuk membantu dan melayani di sana."
Giok Keng
mengangguk. Dia tidak merasa heran karena memang sudah sepatutnya kalau guru
suaminya itu membawa Lie Seng ke Sin-yang, selain untuk menghibur hati orang
tua itu, juga tentu orang tua itu hendak mendidik Lie Seng.
"Saya
sudah sampai di Sin-yang... akan tetapi... ahh, celaka sekali, nona...!"
Kembali dia menangis dan tidak dapat melanjutkan ceritanya.
"Diam!
Hayo ceritakan! Kau seperti anak kecil saja, A-kiong!" bentak Giok Keng
marah. Sudah kambuh kembali kekerasan hati wanita ini melihat sikap lemah dari
pelayannya.
"Setibanya
di situ saya mendengar dari para tetangga... bahwa... bahwa... semua pelayan
rumah dari nona, dan Hong Khi Hoatsu... mereka semua sudah... sudah dibunuh
orang, sedangkan Lie-kongcu telah diculik oleh pembunuh-pembunuh itu..."
Terdengar
jerit melengking tinggi sehingga A-kiong langsung terguling karena tidak kuat
mendengar pekik yang menggetarkan seluruh isi dadanya itu.
"Am...
pun... nona...," ratapnya sambil berlutut.
Giok Keng
menutupi mukanya, berdiri menunduk, kemudian terdengar kata-katanya yang
tergetar hebat, "Kau pulanglah... pergilah ke Cin-ling-pai... ceritakan
semua kepada ayah ibu...!" Setelah berkata demikian, kembali terdengar
lengking tinggi seperti jerit kesakitan seekor burung hong dan tubuh Giok Keng
sudah berkelebat lenyap dari hadapan A-kiong yang masih berlutut dan menangis
sesenggukan seperti anak kecil.
A-kiong
mengangkat muka memandang ke kanan dan kiri, kemudian bangkit berdiri dan
berjalan tersaruk-saruk menuju ke Cin-ling-san. Dalam waktu beberapa hari saja
orang tua yang usianya sudah lima puluh tahun lebih ini menjadi makin tua
tampaknya.
Giok Keng
lari memasuki hutan. Dia tadi menahan-nahan hatinya di depan A-kiong, dan
sekarang setelah dia memasuki hutan yang sunyi, dia lalu menjatuhkan diri di
atas rumput dan seperti anak kecil dia menangis mengguguk sambil menutupi
mukanya, memanggil-manggil nama suaminya dan Lie Seng, kemudian menangis lagi,
air matanya bercucuran dan diusapinya dengan lengan baju.
Di balik
sebatang pohon besar, Kun Liong berdiri dengan muka pucat dan beberapa butir
air mata mengalir turun dari kedua matanya, dibiarkannya saja menuruni kedua
pipinya. Dia sudah mendengar semua dan dia makin merasa kasihan kepada wanita
ini.
Betapa hebat
penderitaan batin Giok Keng. Suaminya membunuh diri di depan matanya, dan kini
guru suaminya yang seperti ayah mertua sendiri mati terbunuh orang, anaknya
diculik pula. Betapa hampir sama penderitaan wanita itu dengan penderitaannya
sendiri. Isterinya juga mati, anaknya juga hilang dan ayah mertuanya gila!
Seperti
disayat pisau rasa hati Kun Liong melihat Giok Keng menangis bergulingan di
atas rumput seperti anak kecil, kemudian dia merintih perlahan melihat tubuh
Giok Keng tidak bergerak lagi dan dia tahu bahwa wanita itu roboh pingsan
saking sedihnya.
"Aduhh...
kasihan sekali kau, Giok Keng..."
Kun Liong
menghampiri tubuh wanita itu dan cepat menolongnya, memondong tubuhnya kemudian
merebahkannya pada tempat yang kering. Pakaian wanita itu basah dan kotor,
rambutnya kusut dan mukanya pucat sekali.
Dia
memeriksa nadinya sebentar dan maklum bahwa kalau dia menyadarkan wanita ini
begitu saja, hal itu amat tidak baik bagi jantungnya. Wanita ini mengalami
tekanan batin yang sangat hebat dan tangis tadi, juga pingsannya ini malah merupakan
peringan yang baik. Karena itu dia hanya merapikan pakaian Giok Keng,
merebahkannya terlentang dan mengurut punggung serta tengkuknya sampai
pernapasan wanita itu menjadi teratur dan rata seperti orang sedang tidur,
kemudian dia duduk menjaganya.
Melihat
wanita ini rebah terlentang di hadapannya, memandangi wajah yang cantik dan
mengandung sinar kegagahan itu, Kun Liong menarik napas panjang dan teringatlah
dia akan peristiwa pada waktu dahulu, belasan tahun yang lalu.
Dahulu, ayah
bunda gadis ini mempunyai niat untuk menjodohkan Giok Keng dengan dia. Akan
tetapi entah bagaimana, semenjak bertemu sudah terjadi keributan antara dia dan
Giok Keng yang galak. Dan akhirnya, Giok Keng sendiri yang minta diputuskannya
tali perjodohan yang diikatkan oleh orang tuanya itu karena Giok Keng terbujuk
oleh rayuan seorang pemuda sesat, yaitu Liong Bu Kong putera Kwi Eng Niocu.
Untung bahwa
perjodohan antara dia dengan pemuda sesat itu belum berlangsung dan akhirnya
Giok Keng maklum akan kesesatan pemuda yang menjatuhkan hatinya itu. Dan
akhirnya, karena dia sendiri sudah saling jatuh cinta dengan Pek Hong Ing, maka
Giok Keng lalu berjodoh dengan Lie Kong Tek.
Sekarang,
melihat Giok Keng yang menggeletak dengan wajah pucat seperti mayat, yang dalam
keadaan pingsan saja masih jelas membayangkan penderitaan batin yang hebat,
timbul pertanyaan di hati Kun Liong. Bagaimana andai kata dahulu mereka itu
menjadi suami isteri? Tentu tidak akan timbul peristiwa yang membuat mereka
berdua menderita batin begitu hebat!
“Ooohhhhh...
Seng-ji (anak Seng)... di mana kau...?"
Giok Keng
mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, membuka matanya. Ketika melihat Kun Liong,
dia nampak terkejut sekali dan meloncat bangkit duduk, kemudian meloncat
berdiri dengan mata berapi-api.
"Sumoi,
aku melihat kau rebah pingsan maka..."
"Yap
Kun Liong, manusia iblis! Engkau yang telah membunuh suamiku, engkau pula yang
membunuh mertuaku, juga engkau yang menculik Lie Seng!" Giok Keng sudah
menerjang maju dan menghantam dada Kun Liong dengan kepalan tangan kanannya.
"Dukkkk!"
Pukulan yang
sangat keras itu diterima oleh Kun Liong tanpa melawan sedikit pun, tanpa
mengerahkan tenaganya dan dia terjengkang roboh, lalu bangun kembali dengan
muka pucat.
"Keng-moi,
kalau kau menyalahkan aku... biarlah aku menerima salah..."
"Memang
kau bersalah! Memang kau yang menjadi biang keladi semuanya! Memang kau yang
merusak hidupku! Kau harus dlhajar!" Giok Keng menerjang lagi, mengamuk
kalang kabut dan memberikan pukulan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Dessss...!"
Kun Liong
terpelanting keras oleh pukulan ini. Namun dia tidak mengeluh dan bangkit lagi.
"Bukkkk!"
Tendangan
kaki Giok Keng mengenai lambungnya hingga dia terlempar jauh. Giok Keng
meloncat, mengejar dan memukulinya, menamparnya, menendangnya sampai Kun Liong
babak belur dan matang biru seluruh muka, leher serta tubuhnya. Akan tetapi Kun
Liong sama sekali tidak mau melawan, bahkan sambil menahan rasa nyeri dia
bangkit lagi dan berdiri.
"Kau
bunuhlah aku, Giok Keng... dan… dan aku tidak akan melawan. Aku memang telah
menghancurkan hidupmu, aku salah..."
"Pengecut!
Keparat! Hayo kau lawan aku, marilah kita selesaikan dengan taruhan nyawa.
Engkau atau aku yang mampus di sini!"
Melihat Giok
Keng telah menghunus pedangnya yang berkilauan seperti perak, Kun Liong
mengangkat dadanya. "Bagus, kau tusuklah. Biar aku sajalah yang mati untuk
menebus dosaku terhadapmu, Giok Keng. Untuk apa hidup bagiku, hidup yang penuh
dengan duka, derita dan dosa ini? Kau tusuklah!"
"Kun
Liong, hayo kau lawan aku...!" Giok Keng menjerit.
Kun Liong
menggelengkan kepala sambil tersenyum, dari ujung bibirnya mengalir sedikit darah.
Mukanya matang biru oleh bekas tamparan dan pukulan Giok Keng. Melihat ini,
Giok Keng menjadi semakin penasaran.
"Kau...
kau tidak melawan... kau... menyerahkan nyawa?"
Kun Liong
mengangguk.
"Kalau
begitu kau... mampuslah...!"
Giok Keng
melangkah maju, lalu mengangkat pedangnya. Kun Liong memandang dengan sikap
tenang, sama sekali tidak gentar menghadapi kematian yang hanya akan membuat
dia menyusul isterinya.
"Ouhhhh...!"
Pedang terlepas dari tangan Giok Keng dan wanita ini terkulai lemas. Tentu dia
sudah terjatuh kalau tidak cepat dipeluk oleh Kun Liong. Wanita itu pingsan
lagi.
Kun Liong
kembali merebahkan Giok Keng di atas rumput dan dia duduk sambil menutupi
mukanya dengan kedua tangan. Dia tidak menyesal sudah diperlakukan seperti itu
oleh Giok Keng, bahkan agak lega hatinya bahwa setidaknya dia telah memberi
kesempatan kepada Giok Keng untuk melampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya,
sudah memberi kesempatan kepada wanita itu untuk menghukum dirinya. Dia akan
menanti sampai Giok Keng sadar, dan kalau wanita itu hendak melanjutkan
membunuhnya, dia akan bersedia tanpa melawan!
Karena
batinnya tertindih dan dia menutupi muka dengan kedua tangannya, Kun Liong
tidak tahu bahwa Giok Keng sudah siuman dan membuka matanya. Wanita ini membuka
matanya tanpa bersuara, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan
mata sayu.
Melihat muka
yang bengkak-bengkak dan pinggir bibir yang berdarah, teringatlah dia akan
semua yang telah dilakukannya tadi. Setelah kini nafsu amarah yang membuatnya
seperti buta tadi lenyap, terbukalah mata batinnya dan kini dia bisa melihat
jelas betapa dia telah berbuat keterlaluan! Kini dia teringat betapa Kun Liong
sudah menderita amat hebatnya, setelah kematian isterinya yang dibunuh oleh
orang lain, kehilangan anak tunggalnya lagi.
Melihat Kun
Liong yang sudah dihajarnya habis-habisan tanpa melawan sedikit pun juga,
bahkan yang menyerahkan nyawanya itu kini duduk menjaganya dengan kedua tangan
menutupi muka, tak terasa lagi kedua mata Giok Keng menjadi basah.
"Kun
Liong...," dia berkata lirih, suaranya seperti orang merintih dan dia
bangkit duduk.
Kun Liong
terkejut, menurunkan kedua tangannya, memandang. Keduanya duduk saling
berpandangan, dan dari pandang mata ini Kun Liong merasakan sesuatu yang
membuat dia merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pandang mata Giok Keng
penuh rasa iba, penuh rasa penyesalan, penuh permohonan maaf.
"Giok
Keng..."
Keduanya
saling berpegang tangan dan keduanya menangis sesenggukan.
"Kun
Liong, kau ampunkan aku..."
"Tidak,
Giok Keng, tidak... kaulah yang harus mengampunkan aku..."
Giok keng
menangis, mengguguk dan menyandarkan dahi pada pundak suheng-nya itu, sedangkan
Kun Liong mengusap-usap rambut kepala yang kusut itu. Hati mereka seperti
diremas-remas rasanya.
"Tadi
aku sudah buta... aku sudah gila akibat kemarahan dan kedukaan... Kun Liong...
mengapa justru engkau... orang yang selamanya kukagumi, kupuja dalam hati...
mengapa justru engkaulah yang harus terlibat dalam mala petaka yang menimpa
keluargaku? Ahh, mengapa...?"
"Giok
Keng, sejak semula aku sudah tidak percaya. Aku mengenal siapa engkau... kau
memang keras hati, akan tetapi di balik kekerasan hatimu engkau berbudi mulia,
engkau gagah perkasa dan adil. Tidak mungkin engkau memiliki kekejian membunuh
Hong Ing, tapi... tapi mertuaku yang seperti gila karena duka... ahh, suamimu
menjadi korban dan... dan..."
"Sudahlah,
Kun Liong. Sebenarnya aku pun sudah menyadari bahwa semua peristiwa ini bukan
karena kesalahan kita berdua, sungguh pun harus kuakui bahwa aku marah-marah
kepada isterimu karena sikap adikmu. Aku... aku tahu betapa hebat
penderitaanmu, Kun Liong, aku... aku menyesal sekali dan aku kasihan
kepadamu..."
Kun Liong
bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, memejamkan mata. "Kau... kasihan
kepadaku? Jangan! Aku sudah merusak hidupmu. Akulah yang amat kasihan kepadamu,
Giok Keng, maka aku rela menebus kesalahanku dengan nyawa sekali pun."
Giok Keng
juga meloncat berdiri, lari berputar menghadapi Kun Liong. Kini mereka berdiri
saling pandang dengan mata basah.
"Mengapa
nasib kita begini buruk, Kun Liong? Mengapa kita berdua mengalami semua
ini?"
Kun Liong
tak mampu menjawab, hanya memegang kedua tangan wanita itu. Jari-jemari tangan
mereka saling menggenggam seakan-akan mereka hendak saling minta bantuan
memikul penderitaan batin mereka. Melihat Giok Keng tersedu-sedu, air mata
mengalir pula dari kedua mata Kun Liong.
Giok Keng
mengangkat muka memandang wajah Kun Liong. Kedua pipinya bengkak dan mata
kirinya membiru, ujung bibirnya yang pecah masih terhiaskan darah kering.
Dengan tangan gemetar Giok Keng menyentuh bengkak-bengkak itu.
"Aku...
ahhh, aku telah gila... kau tentu tersiksa lahir batin oleh perbuatanku
tadi..."
"Jangan
ulangi lagi hal itu, Giok Keng. Malah merupakan obat penawar bagiku."
"Kun
Liong, aku bersumpah untuk mencari pembunuh Hong Ing sampai dapat, dan juga
untuk mencari Mei Lan dan mengembalikan kepadamu."
"Dan
aku pun bersumpah akan membasmi Lima Bayangan Dewa dan mencari pembunuh
mertuamu sampai dapat, dan juga mencari Lie Seng untuk kukembalikan
kepadamu."
Giok Keng
tersedu dengan hati terharu, lalu tiba-tiba melepaskan tangannya dan berkata,
"Kun Liong, sampai... sampai jumpa..." Dia lalu lari secepatnya
meninggalkan tempat itu.
Kun Liong
berdiri seperti patung di tempat itu, memandang sampai bayangan Giok Keng
lenyap. Apa yang telah terjadi antara mereka? Dia bengong dan kedua tangannya
masih tergetar, masih merasakan getaran jari-jari tangan Giok Keng tadi.
Pipinya masih merasai sentuhan jari-jari tangan yang gemetar dari Giok Keng.
Apa yang
telah terjadi di antara mereka? Pertanyaan ini bertubi-tubi menghantam dinding
kalbunya. Kenapa dalam hatinya timbul keinginan kuat untuk menghibur Giok Keng,
untuk mengembalikan Giok Keng ke dalam kehidupan bahagia, untuk menjaga,
membela serta melindunginya? Mengapa dia merasa amat berkasihan kepada wanita
itu, yang dia tahu mengalami kekosongan batin dan dia mengisi kekosongan itu?
Mengapa pula dia seperti mengharapkan hiburan dari Giok Keng sehingga sentuhan
jari-jari tangan gemetar pada pipinya itu tadi menggores dalam-dalam di
hatinya?
"Apakah
aku telah gila? Apakah dia telah gila?" demikian Kun Liong berbisik-bisik
sambil pergi meninggalkan hutan itu.
Tidak, para
pembaca yang budiman. Kun Liong tidak gila. Giok Keng pun tidak gila. Dan
pengarang pun tidak gila! Memang belas kasihan adalah getaran yang mendekatkan
hati kepada cinta kasih. Di mana ada belas kasihan, maka berlarianlah
iblis-iblis kemarahan, kebencian, iri hati dan lain-lain sehingga memungkinkan
terujudnya cinta kasih. Dan hati yang penuh dengan cinta kasih selalu ada belas
kasihan. Keduanya itu tak terpisahkan.
***************
"Koko,
bagaimana engkau sampai dapat terbebas dari tangan Si Kelabang Terbang yang
cabul itu? Siapakah sebetulnya wanita yang menolongmu itu?" Kwi Eng
bertanya kepada kakaknya. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di kota
Yen-an, sebab mereka belum berani pulang ke Yen-tai di mana mereka tentu
dianggap sebagai pemberontak dan pelarian.
"Dia
hebat sekali, Eng-moi. Seorang dewi, seorang bidadari yang cantik jelita dan
gagah perkasa. Aihhhh... hebat sekali dia, adikku!"
Kwi Eng
tersenyum. "Ihhh, tentu kau sudah bertekuk lutut kepadanya, kau jatuh
cinta dan tergila-gila kepadanya, koko!"
Kwi Beng
memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak. "Begitukah? Ah, agaknya
benar demikian. Siapa pula orangnya yang tidak jatuh cinta kepada seorang dara
seperti dia? Sayang dia diliputi rahasia dan keanehan, dia tidak mau
memperkenalkan diri secara jelas, hanya mengaku bernama Hong saja. Akan tetapi
bagiku nama itu sudah cukup dan memang nama itu mengingatkan aku akan burung
dewata itu, burung hong yang terbang melayang-layang di antara awan-awan di
angkasa raya, sukar dicapai tangan..."
"Idiihhh...
kalau orang jatuh cinta memang menjadi pengkhayal dan tiba-tiba saja menjadi
ahli filsafat dan sajak!"
"Jangan
main-main, adikku. Aku benar-benar jatuh cinta kepada Hong-moi dan aku akan
mencari dia sampai dapat. Aku akan menceritakan kepada ayah dan ibu supaya
mereka suka mengerahkan segala daya upaya agar bisa menemukan Hong-moi dan
melamarnya menjadi calon isteriku. Amboiiiiii... alangkah akan bahagianya hidup
di samping burung dewata itu..."
"Hi-hik-hik,
dan engkau akan dibawanya terbang ke angkasa raya di antara gumpalan-gumpalan
awan putih...," adiknya menggoda.
"Hush,
jangan main-main. Aku serius. Dan kulihat kau sendiri pun tergila-gila kepada
Bun Houw. Hayo kau sangkal kalau berani!"
Tiba-tiba
kedua pipi yang sudah kemerahan itu menjadi semakin merah. Bukan karena godaan
ini, melainkan karena dia teringat akan peristiwa asyik-masyuk dan mesra antara
dia dan Bun Houw. Kwi Eng memejamkan matanya sehingga dua baris bulu matanya
yang panjang lentik itu menjadi satu, membentuk bayang-bayang indah di atas
pipi bawah matanya. Dia memejamkan mata dan mulutnya terenyum, mukanya terasa
panas ketika dia membayangkan dan mengenangkan ciuman itu!
"Beng-koko,
aku lebih baik mati saja kalau tidak bisa menjadi isterinya!"
Kwi Beng
terkejut. Ternyata adiknya yang bengal ini pun serius sekali! Hatinya menjadi
terharu dan dia memegang tangan adiknya. "Moi-moi, aku doakan semoga akan
terkabul cita-citamu dan bisa menjadi isteri Cia Bun Houw yang gagah perkasa
itu. Aku akan ikut merasa bangga kalau engkau bisa menjadi isterinya, moi-moi.
Akan tetapi, seperti juga aku, apakah engkau tidak mengharap terlampau tinggi?
Kita berdua hanyalah peranakan-peranakan barat. Dan aku ingin menjangkau burung
hong di angkasa, sedangkan engkau menjangkau putera ketua Cin-ling-pai. Apakah
kita tidak akan seperti si cebol merindukan bulan?"
Kwi Eng
cemberut memandang kakaknya. "Koko, engkau telah terlalu merendahkan diri
sendiri. Aku yakin bahwa Houw-koko cinta padaku."
"Ehh,
bagaimana kau bisa tahu? Apakah karena dia telah menolong dan menyelamatkan
engkau? Adikku yang baik, seorang pendekar seperti dia, siapa pun akan
ditolongnya dan hal itu sama sekali bukanlah tanda jatuh cinta."
"Engkau
seorang laki-laki, tentu tidak tahu. Akan tetapi aku yakin akan cintanya,
koko." Kwi Eng tersenyum dan mengenangkan ciuman itu dengan mata
bersinar-sinar.
"Begitukah?
Syukurlah kalau begitu, adikku. Mudah-mudahan engkau berhasil. Andai kata aku
gagal menjadi jodoh Hong-moi, akan tetapi melihat engkau bahagia, maka aku
rela. Kebahagiaanmu lebih penting bagiku, adikku."
Kwi Eng
memeluk kakaknya. "Tidak, aku pun tidak akan berbahagia kalau melihat
engkau gagal, koko. Kita sehidup semati, senasib sependeritaan."
Kwi Beng
menarik napas panjang dan mengelus rambut kepala adiknya. Dia mengerti apa yang
dirasakan oleh adiknya yang cantik itu, perasaan yang hanya mungkin dapat
terasa oleh mereka berdua, atau oleh orang-orang yang dilahirkan kembar, suatu
getaran yang menghubungkan batin mereka berdua.
Beberapa
hari kemudian, dengan girang dua orang kakak beradik kembar ini mendengar akan
kedatangan orang tua mereka di Yen-tai. Mereka cepat-cepat memasuki kota itu
dan seperti biasa, terjadilah ‘jalan damai’ yang sudah lajim terjadi di seluruh
dunia ini, di mana ada manusia-manusia yang menyalah gunakan kekuasaannya.
Setelah
mendengar urusan anak-anaknya, Yuan de Gama bersama isterinya cepat-cepat
menghubungi tikoan dan para pembesar setempat, menghaturkan maaf dan tentu saja
bukan maaf melalui kata-kata dan sikap yang memegang peran penting, melainkan
maaf yang dinyatakan dalam keadaan tertutup dan yang hanya dibuka setelah
berada di dalam kamar para pembesar itu, dan setelah dibuka mereka itu
masing-masing dengan wajah girang menghitung jumlah emas dan perak yang akan
menambah perbendaharaan harta mereka.
Dari mana
timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang telah menjalar di
seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apa pun juga, bentuk harta
benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan sebagainya terjadi di seluruh
dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah berkembang.
Semua ini
terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia itu selalu
memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya, maka
manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya itu merupakan alat
yang amat berguna untuk mencapai apa yang diinginkannya! Maka dipergunakanlah
kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, yaitu demi
terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Padahal,
selama manusia mengejar keinginan, maka kebutuhan hidupnya tidak akan ada
habisnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan melakukan apa pun
juga hingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan, pemerasan dan termasuk
penyuapan dan penyogokan yang menjadi akibat dari pemerasan.
Karena itu,
segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan oleh apa pun juga
selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Selama
manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak sadar bahwa dirinyalah sumber
segala kebusukan.
Dunia akan
menjadi sebuah tempat yang berbeda sekali kalau saja kita sudah tidak lagi
dikejar-kejar atau mengejar kebutuhan! Sandang, pangan serta tempat tinggal
memang merupakan keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang
tiga itulah sebenarnya yang kita kejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita,
melainkan kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan
banyaknya.
Maka
bahagialah mereka yang tidak membutuhkan apa-apa. Bukan berarti menolak dan
memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan tidak akan mengejar. Apa
bila ada, boleh, kalau tidak pun tak akan mengejar, karena pengejaran ini yang
menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di dunia.
Yuan de Gama
dan isterinya, Souw Li Hwa, bukanlah orang-orang yang suka menyuap pembesar.
Kiranya tak ada orang, betapa pun kayanya dia, yang suka membuang-buang uang
untuk menyuap dan menyogok kanan kiri. Namun hal ini dilakukan dalam keadaan
terpaksa, karena hanya itulah merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari
kesulitan yang sengaja ditekankan oleh mereka yang memegang kedudukan.
Mendengar
akan peristiwa anak-anak mereka yang membasmi sarang bajak laut musuh besar
mereka Tokugawa, yang kemudian mengakibatkan kemarahan tikoan, maka Yuan de
Gama cepat mengambil jalan damai itu, menggunakan kekayaan untuk menghabiskan
persoalan yang tentu akan menjadi berlarut-larut kalau dilawan dengan
kekerasan.
"Lain
kali, kalau ayah dan ibu tidak berada di rumah, kalian jangan bertindak ceroboh
dan menanti saja hingga kami pulang," Yuan de Gama menegur kedua orang
anaknya setelah dia berhasil membereskan urusan itu dengan emas dan perak.
"Ayah,
kalau kakak diculik gerombolan Tokugawa, masa aku harus tinggal diam
saja?" Kwi Eng membantah ayahnya.
"Anak-anak
kita tidak bersalah," kata Li Hwa dengan sabar kepada suaminya.
"Agaknya engkau lupa bahwa kita bukan tinggal di barat, di mana petugas
hukum lebih baik dari pada di sini, suamiku. Seolah-olah engkau sudah lupa saja
akan semua pengalaman kita dahulu."
Yuan de Gama
memegang tangan isterinya penuh kasih sayang. "Engkau adalah seorang
pendekar wanita, isteriku sayang, tentu saja pandanganmu selalu demikian, yaitu
hendak menggunakan kekerasan untuk menghadapi kejahatan. Ahh, kalau saja aku
tidak kasihan kepadamu yang tidak betah tinggal di barat, tentu akan kuboyong
semua keluarga kita ke sana."
"Kalau
ayah ingin tinggal di barat, biar kami berdua tinggal di sini saja!" Kwi
Eng tiba-tiba berkata dengan sikap manja. "Kami lahir di sini dan
mencintai tanah ini, dan kami bahkan telah bertemu dengan para pendekar yang
amat mengagumkan hati kami."
Yuan de Gama
tertawa. Dia paling sayang kepada anaknya yang perempuan ini, yang selalu
dimanjanya karena anak itu mirip sekali dengan isterinya. "Ha-ha-ha, darah
ibumu lebih kuat mengalir di tubuhmu dari pada darahku, Maria. Tentu saja
engkau cinta negara dan bangsa ini."
Akan tetapi
Souw Li Hwa memandang kedua orang anaknya itu penuh perhatian, lalu bertanya,
"Bertemu dengan pendekar-pendekar? Siapa mereka dan di mana?"
"Kami
belum menceritakan pengalaman-pengalaman kami yang amat hebat kepada ibu dan ayah,"
jawab Kwi Beng. "Sesungguhnya ketika ayah dan ibu pergi, kami berdua telah
mengalami hal-hal yang amat luar biasa..."
"Keributan
di Pulau Hiu melawan anak-anak buah Tokugawa itu?" tanya Yuan de Gama,
diam-diam merasa girang dan kagum bahwa dua orang anaknya itu mewarisi
keberanian dan kepandaian ibu mereka.
"Ahhh,
itu sih pengalaman kecil tidak berarti!" kata Kwi Eng.
"Akan
tetapi dalam pertempuran kami melawan anak-anak buah Tokugawa, kami sudah
bertemu dengan seorang pendekar yang mengenal baik nama ibu. Dia adalah
Tio-twako, yang bernama Tio Sun dan tahukah ibu siapa dia? Dia adalah putera
tunggal dari seorang bekas pengawal yang setia dari suhu ibu...," kata Kwi
Beng.
"Ahhh,
puteranya Ban-kin-kwi?" Souw Li Hwa bertanya, segera dapat menduga setelah
mendengar she orang itu.
"Benar,
dia amat lihai dan tanpa bantuan dia, sukar bagiku untuk menolong Beng-koko.
Mula-mula aku yang bertemu dengan Tio-twako, ibu." Dan Kwi Eng segera
menceritakan pertemuannya dengan Tio Sun pada saat pemuda perkasa ini dikeroyok
oleh orang-orang mabok, dan dia yang sedang kebingungan akibat kakaknya diculik
oleh Tokugawa, begitu melihat kelihaian Tio Sun lalu belajar kenal dan minta
bantuannya.
Girang
sekali hati Souw Li Hwa mendengar betapa putera dari bekas pengawal suhu-nya
itu sudah menolong menyelamatkan puteranya. "Di mana dia sekarang, mengapa
kalian tidak menahan dia supaya bertemu dengan kami di sini?"
"Dia
sudah pergi, ibu, bersama para pendekar yang lain. Ibu dan ayah tentu terkejut
sekali mendengar pengalaman kami selanjutnya," kata Kwi Beng.
"Beng-koko,
biar aku yang bercerita kepada ibu!" Kwi Eng memotong kata-kata kakaknya.
Kwi Beng tersenyum dan menggerakkan pundaknya, kebiasaan yang merupakan ciri
khas dari ayahnya!
"Pertama-tama
ibu dan ayah berdua agar jangan terkejut. Kami berdua sudah berjumpa dengan
putera ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Bun Houw!"
"Aihhh...!"
Souw Li Hwa sangat terkejut dan Yuan de Gama juga tercengang karena tidak
menyangka bahwa kedua anaknya akan dapat berjumpa dengan putera Pendekar Sakti
Cia Keng Hong.
"Juga
dengan seorang pendekar wanita yang kepandaiannya bagaikan dewi kahyangan,
namanya nona Hong. Sayang kami tidak tahu siapa nama lengkapnya dan murid siapa
dia itu." Kwi Beng yang sudah tidak sabar itu segera memperkenalkan dara
yang menjadi pujaan hatinya.
"Dan
selain putera ketua Cin-ling-pai, juga kami bertemu dengan puterinya..."
"Apa?
Cia Giok Keng?" Souw Li Hwa bertanya dan Kwi Eng mengangguk.
"Aihhh,
singa betina itu masih muncul di dunia kang-ouw?" Yuan de Gama juga
bertanya dengan kagum.
"Masih
ada lagi, ibu," Kwi Eng berkata lagi, gembira menyaksikan betapa ayah dan
ibunya dilanda kekagetan yang bertubi-tubi, "dan ibu pasti tidak dapat menduga
siapa dia."
Suami isteri
itu bengong terlongong mendengar semua cerita itu, kadang kala menahan napas
bila mendengar bagian-bagian yang menegangkan, terlebih lagi ketika mendengar
betapa nyaris puteri mereka diperkosa oleh Toat-beng-kauw Bu Sit.
Sesudah ada
kesempatan berbicara, Yuan de Gama tertawa. "Ha-ha-ha, ternyata kalian
berdua adalah petualang-petualang seperti juga ibu kalian!"
"Aihh,
apakah bapaknya juga bukan seorang petualang besar? Kalau bukan, bagaimana bisa
jauh-jauh dari bagian dunia lain di barat datang ke sini dan menikah dengan
seorang wanita pribumi?" Souw Li Hwa mencela suaminya dan Yuan de Gama
hanya tertawa.
"Ibu,
Eng-moi jatuh cinta kepada penolongnya, kepada Cia Bun Houw!" tiba-tiba
Kwi Beng berkata.
Sebelum ayah
dan ibu itu hilang rasa kagetnya, Kwi Eng juga telah membalas kakaknya,
"Dan Beng-koko tergila-gila kepada burung... ehhh, nona Hong yang
menyelamatkannya dari Hui-giakang Ciok Lee Kim!"
"Eng-moi
bilang lebih baik mati kalau dia tidak menjadi isteri Cia Bun Houw!" Kwi
Beng kembali membalas.
"Dan
Beng-ko bersumpah untuk mencari nona Hong yang seperti dewi itu!" Kwi Eng
pun membalas.
Ayah dan ibu
itu saling pandang, dan Souw Li Hwa mendengar suaminya menarik napas panjang.
"Aha...! Sampai lupa aku bahwa anak-anakku telah menjadi dewasa!"
"Engkau
sih hanya ingat berdagang saja!" Souw Li Hwa mencela. Kemudian, dia
menatap kedua orang anaknya dan berkata, "Beng-ji dan Eng-ji, jangan
kalian main-main dengan urusan cinta. Hati yang muda memang mudah sekali
tergelincir dan tertarik dengan yang indah-indah. Jangan lantas menentukan
bahwa kalian telah jatuh cinta kalau kalian hanya tertarik oleh seseorang
karena kegagahan dan keelokan wajahnya."
"Tidak,
ibu. Aku dengan dia... Houw-koko itu, kami... sudah saling mencinta. Dan... aku
diselamatkan olehnya dalam keadaan seperti itu, ibu. Aku telah bersumpah bahwa
hanya ada dua pria saja yang melihatku dalam keadaan seperti itu, yang pertama
adalah iblis yang telah mampus itu, dan kedua adalah calon suamiku."
"Dan
bagiku juga tidak ada wanita seperti dia, ibu. Aku harus berjodoh dengan dia,
kalau tidak... hidupku tentu akan merana." Kwi Beng juga berkata.
Souw Li Hwa
mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan sinar mata marah.
Melihat ini, Yuan de Gama yang amat mencinta isterinya segera tersenyum dan
berkelakar, "Nah, nah, kenapa marah-marah kepadaku? Mereka sudah dewasa
dan jatuh cinta, apa salahnya?"
"Apa
salahnya? Inilah akibat perbuatanmu, tahu!"
"Ehh,
ehh! Kok jadi aku yang kau salahkan, isteriku yang manis?"
"Yuan
de Gama, semua ini adalah gara-gara engkau telah mengajarkan Bahasa Portugis
kepada mereka, lalu kau suruh mereka baca buku-buku roman itu!"
"Aihhhh...!
Cinta kasih mana bisa dipelajari dari buku? Kalau memang tidak ada rasa di
hati, masa mereka begitu mati-matian?"
"Sudahlah,
kita harus urus hal ini. Anak-anak kita baru saja berkenalan dengan mereka dan
dengan dunia kang-ouw. Anak-anak kita belum berpengalaman. Aku akan mengajak
mereka pergi berkunjung ke Cin-ling-pai. Pertama-tama untuk memberi hormat
kepada Cia-taihiap dan keluarganya, dan kedua untuk mempererat hubungan.
Setelah ada ikatan hubungan persahabatan, baru kita boleh pikir-pikir tentang
hubungan perjodohan itu."
"Kita
ke Cin-ling-pai, ibu? Horaaaayyyyy...!" Kwi Eng sudah girang sekali dan
berloncatan, akan tetapi meringis karena kaki kirinya belum sembuh sama sekali
dan dia terpincang-pincang duduk kembali di atas kursinya.
"Dan
kita selidiki tentang nona Hong itu," kata pula Kwi Beng dan ibunya
mengangguk.
"Memang
sebaiknya begitu, lagi pula, engkau sudah terlalu lama terkurung di sampingku,
isteriku sayang. Padahal dahulu engkau merupakan seorang pendekar wanita yang
biasa terbang bebas. Biarlah kau kukeluarkan dari kurungan untuk sementara,
bersama kedua anakmu. Dengan adanya kau di samping mereka, hatiku tidak akan
merasa gelisah. Aku akan menjaga rumah di sini sambil mengurus pekerjaan."
"Dagang
lagi...!" isterinya mencela.
"Bukan
hanya itu! Kalau aku pergi ke pedalaman, tentu hanya akan menimbulkan hal-hal
yang tidak baik dan tidak enak saja. Engkau tentu mengerti akan hal ini,
isteriku yang tercinta. Ataukah, engkau tidak dapat berpisah dariku, padahal
baru saja kita melakukan perjalanan bulan madu kedua sampai berbulan-bulan ke
barat?" Yuan de Gama memeluk dan mencium isterinya di depan anak-anaknya
karena hal ini memang biasa bagi mereka.
"Phuahhh...!
Siapa yang tidak dapat berpisah?" Li Hwa mencela akan tetapi setelah dia
membalas ciuman suaminya itu.
Kedua orang
anaknya tertawa, sudah biasa mereka menyaksikan ayah dan ibu mereka itu
bergurau, bercinta, dan kadang-kadang pura-pura bercekcok, padahal semua itu
hanya sebagai tanda kasih sayang satu sama lain.
Ibu dan dua
orang anaknya itu lalu bersiap-siap. Mereka akan menanti sampai kaki kiri Kwi
Eng sembuh sama sekali, baru akan melakukan perjalanan. Sebagai keluarga yang
kaya, mereka akan melakukan perjalanan dengan berkuda, karena ketiga orang ini
pandai menunggang kuda dan tentu saja mereka akan membawa bekal secukupnya,
oleh karena perjalanan dari Yen-tai ke Cin-ling-san bukan merupakan perjalanan
yang dekat.
****************
Daya tarik
yang saling mempengaruhi pria dan wanita merupakan suatu kewajaran dan
pembawaan di dalam diri manusia, seperti terdapat pada makhluk apa pun di
permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta di antara
pria dan wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling sentuh,
saling belai dan saling berkasih mesra, sedekat mungkin hingga menimbulkan
keinginan untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar, sudah benar, dan
sudah merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia.
Hubungan
kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah hal yang
kotor, bukan suatu hal yang menjijikkan atau memalukan. Sebaliknya malah, sex
adalah hal yang amat indah, yang suci, asalkan timbul dari naluri yang wajar,
timbul dari gairah yang memang ada di dalam diri manusia, timbul dari rasa
cinta antara pria dan wanita karena daya tarik alamiah itu.
Hubungan sex
adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan hidup yang patut dan layak
dialami oleh setiap orang manusia, asal saja dilakukan dengan wajar dan dengan
mata terbuka, dengan penuh kesadaran dan BUKAN dalam keadaan DIMABOK NAFSU
sehingga menjadi perbuatan membuta dan menjadi hamba dari pada nafsu birahi
belaka. Kalau sudah begini, maka berubahlah sifat hubungan kelamin, menjadi
kotor dan najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang akan membawa kepada
jurang kedukaan dan kesengsaraan lahir batin.
Kenikmatan
hubungan kelamin merupakan suatu karunia hidup, suatu keindahan hihup,
merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah. Sex
bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, tapi bukan pula hal yang
diremehkan. Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, bila sex sudah
merupakan suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka hal itu
hanya akan membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang akhirnya akan
menghancurkan kita sendiri.
Sia-sia
belaka bagi mereka yang mencari kesucian dengan menjauhi serta menganggap
hubungan sex sebagai suatu pantangan, lalu bertapa atau menyendiri, akan tetapi
dalam hatinya tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri! Nafsu apa pun
bukan harus dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya dipandang,
dimengerti! Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu tidak akan
padam, seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula. Api nafsu
itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan, timbul
kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan merusak.
Hubungan
kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di mana manusia
kehilangan akunya, akan berubah menjadi nafsu birahi yang membakar dan
memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan! Dengan
mengingat-ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau pengalaman itu,
timbullah nafsu birahi yang mendesak dan menggelora batin, yang membuat kita
menjadi hambanya dan mulailah kita mengejar dan mencari, ingin mengalami lagi
kenikmatan itu dan dengan demikian, kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-kepentingan
hidup yang dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula langkah-langkah
sesat kita ambil demi untuk memperolehnya!
Karena itu
sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apa bila dilakukan oleh
sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak dari kasih mesra yang
saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apa bila hubungan ini
dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka itu hanya
merupakan dorongan nafsu birahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi tentu
akan mengakibatkan timbulnya duka dan kesengsaraan, penyesalan dan kekecewaan.
Di mana pun,
bilamana pun, siapa pun dapat saja mengalami hal-hal yang berhubungan dengan
asmara antara pria dan wanita, dan siapa pun juga yang belum sadar akan diri
sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala kelemahannya, betapa pun
cintanya dia, betapa pun terpelajarnya dia, tetap dapat saja menjadi korban
yang sangat lemah dari cengkeraman nafsu birahi.....
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment