Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 21
GADIS
berwajah cantik manis dan masih muda belia itu menangis seorang diri di bawah
sebatang pohon besar, terlindung dari perkampungan oleh serumpun bambu kuning
yang tumbuh dengan suburnya dan sedikitnya mempunyai kelompok yang terdiri dari
dua puluh batang lebih.
Angin
Pegunungan Cin-ling-san bertiup lembut, namun cukup untuk menggerak-gerakkan
daun-daun bambu yang lincah sehingga menimbulkan desau dan desah gemersik daun
yang resah, seresah hati dan pikiran dara muda belia yang menangis lirih itu.
Walau pun suara tangisnya amat lirih, namun guncangan pundaknya yang keras
menandakan bahwa tangisnya keluar dari hati yang sedang remuk.
Gadis ini
adalah Yalima, gadis Tibet yang kini tinggal di Cin-ling-san, yang oleh In Hong
ditinggalkan di Cin-ling-pai karena menurut In Hong, Yalima harus dijodohkan
dengan Cia Bun Houw sebab menurut pengakuan Yalima, pemuda putera Cin-ling-pai
itu adalah pacar gadis Tibet itu.
Biar pun
ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, bersikap cukup manis biar pun jarang
bicara terhadap gadis Tibet ini, dan biar pun dia diperlakukan dengan sikap
yang cukup ramah dan dihormati oleh para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai
karena dia dianggap sebagai seorang ‘sahabat baik’ dari Cia Bun Houw, namun
Yalima merasa tidak betah tinggal di situ. Hal ini terutama sekali karena dia
merasa benar bahwa sesungguhnya dirinya tidak disuka di tempat itu, dan
kadang-kadang rasa tidak suka ini tercermin keluar dari wajah nyonya ketua atau
ibu Bun Houw!
Memang
sebenarnya demikianlah. Di dalam hati kecil Sie Biauw Eng, nenek yang menjadi
isteri ketua Cin-ling-pai itu, terdapat rasa tidak puas ketika mendengar bahwa
puteranya berpacaran dengan Yalima, bahwa puteranya ingin memperisteri gadis
Tibet yang bodoh, lemah dan buta huruf itu. Sungguh tidak sesuai untuk menjadi
isteri puteranya, menjadi mantunya!
Nenek
perkasa ini memang maklum bahwa pendapatnya yang demikian itu adalah tidak
benar sama sekali, bahwa perjodohan adalah berdasarkan suka sama suka,
bardasarkan kasih sayang, dan segala macam kedudukan, kepandaian mau pun harta
kekayaan sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu. Namun, sebagai seorang
wanita, sukar baginya untuk merelakan puteranya yang dianggapnya paling tampan,
paling lihai serta paling hebat itu berjodoh dengan seorang gadis dusun Suku
Bangsa Tibet yang pada waktu itu dalam pandangan umum merupakan bangsa setengah
biadab!
Yalima
menangis, di dalam hatinya dia mengeluh dan mengadukan nasibnya kepada para
dewa yang dipujanya, para dewa yang tinggal di puncak-puncak Pegunungan Himalaya,
yang tahu akan segala derita manusia dan yang bertugas mengatur nasib manusia!
Diam-diam
dia menyesali dirinya sendiri yang lemah, yang sudah tergelincir sehingga kini
dia menghadapi mala petaka, menghadapi aib besar dan mungkin sekali akan menerima
kemarahan hebat dari ketua Cin-ling-pai serta isterinya! Semua yang dialaminya
selama empat lima bulan dia tinggal di Cin-ling-san, teringat dengan jelas
menjadi bayang-bayang di antara linangan air matanya.
Mula-mula
terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu. Dia sudah tinggal hampir tiga bulan
di Cin-ling-san dan setiap hari dia merindukan Bun Houw, selalu menanti-nanti
kembalinya pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu tak
kunjung datang dan sikap ibu pemuda itu terhadap dirinya dirasakannya kurang
manis, bahkan kadang kala dia menerima omelan kalau dia kurang rajin membantu
para pelayan.
Mulailah dia
membayangkan betapa akan susah hatinya kalau kelak dia sudah menjadi isteri Bun
Houw, menjadi mantu dari nyonya tua yang agaknya tidak suka kepadanya itu!
Sebagai mertua, tentu nyonya itu akan lebih galak lagi sikapnya! Teringat dia
akan cerita-cerita rakyat bangsanya tentang nasib mantu-mantu yang tidak disuka
mertuanya, yang diperlakukan lebih rendah dan lebih kejam dari pada budak
belian.
Mulailah dia
merasa bimbang hati, dan mulailah terasa olehnya betapa jauh perbedaan tingkat
antara dia dan Bun Houw. Dahulu, di waktu Bun Houw masih ikut dengan gurunya,
yaitu Kok Beng Lama seorang pendeta yang hidupnya sederhana, perbedaan ini
masih tidak nampak benar.
Akan tetapi
sekarang, di rumah ketua Cin-ling-pai, melihat betapa keluarga Bun Houw adalah
keluarga pendekar dan ketua perkumpulan yang begitu dihormat oleh para anak
murid dan pelayan, melihat betapa para pelayan perempuan di rumah itu pun
rata-rata memiliki kepandaian silat dan pandai pula membaca, mulailah dia
melihat betapa rendah kedudukannya dibandingkan dengan Bun Houw.
Demikianlah,
dua bulan yang lalu ketika dia mendapat marah dari nyonya ketua karena
kebodohannya saat diajar menulis membaca oleh seorang pelayan, Yalima lari ke
tempat sunyi di balik rumpun bambu kuning ini dan menangis dengan amat
sedihnya. Dia rindu akan kampung halaman, rindu terhadap ayah bundanya, akan
tetapi mana mungkin dia pulang ke Tibet? Andai kata dia nekat pulang juga,
tidak urung akan dihajar oleh ayahnya dan dipaksa menjadi selir seorang
bangsawan tua, menjadi semacam barang permainan, disayang sewaktu masih baru
dan ditendang serta disia-siakan kalau sudah bosan!
Selagi dia
menangis sedih itu, tiba-tiba saja terdengar teguran halus, "Yalima,
mengapa engkau menangis seorang diri di sini?"
Yalima
terkejut sekali, akan tetapi pada waktu dia mengangkat muka memandang dan
mengenal bahwa yang menegurnya itu adalah Kwee Tiong, pemuda yang selalu
bersikap baik dan halus kepadanya, dia menunduk lagi dan menangis semakin
sedih, seolah-olah datang seorang sahabat baiknya yang berbela sungkawa atas
nasibnya.
Kwee Tiong
segera berlutut di dekat dara itu. Semenjak Yalima tinggal di situ pemuda ini
memang sudah terpikat dan tergila-gila, menganggap bahwa dara itu memiliki
kecantikan yang amat luar biasa, kecantikan yang khas dan aneh namun yang amat
menarik hatinya. Diam-diam Kwee Tiong juga menganggap bahwa dara Tibet itu,
yang jelas merupakan seorang gadis dusun, tidak pantas menjadi isteri Cia Bun
Houw, putera seorang ketua Cin-ling-pai yang terkenal.
Bun Houw
pantasnya berjodoh dengan seorang puteri istana atau setidaknya seorang puteri
bangsawan, hartawan atau puteri seorang pendekar lain. Dan Yalima, bunga dusun
yang segar dan murni itu, lebih pantas jika menjadi jodohnya! Kwee Tiong adalah
putera tunggal dari mendiang Kwee Kin Ta, kini sudah berusia dua puluh lima
tahun dan belum menikah. Pemuda ini tidak terlampau tampan, juga tidak buruk,
sedang-sedang saja akan tetapi seperti rata-rata pemuda Cin-ling-pai, dia
memiliki sifat-sifat kegagahan.
"Yalima,
apakah yang menyusahkan hatimu? Percayalah, aku akan suka menolongmu,
Yalima."
Mendengar
suara yang begitu halus dan penuh getaran, Yalima cepat mengangkat muka
memandang, menghapus air matanya dan dia menggeleng kepala. "Tidak ada
apa-apa, kongcu (tuan muda)... aku hanya... hanya tidak kerasan di sini... dan
aku rindu kampung halamanku..."
"Ahh,
jangan menyebut aku kongcu. Engkau tahu bahwa aku hanyalah anak murid di sini,
dan mendiang ayahku dahulu pun hanya murid dan juga pelayan. Aku orang biasa
seperti juga engkau, Yalima. Kau tahu namaku Kwee Tiong dan kau sebut saja
kakak kepadaku."
"Terima
kasih, Kwee-koko." Mendengar kata-kata yang halus serta sikap yang ramah
ini sudah agak terobatilah rasa hati Yalima dan dia kini dapat tersenyum
sedikit sungguh pun kedua pipinya masih basah air mata.
Melihat
wajah yang demikian cantiknya, pipi yang basah itu kemerahan, mata yang lebar
dan jeli itu seperti mata seekor kelinci ketakutan minta perlindungan, mulut
yang kecil itu dengan bibir penuh kemerahan seperti buah ang-co kemerahan yang
sudah masak dan berkulit tipis sekali sehingga agaknya apa bila tergigit
sedikit saja tentu akan pecah dan mengeluarkan cairan yang manis, jantung Kwee
Tiong berdebar keras dan hatinya penuh keharuan yang mendalam. Dikeluarkannya
sapu tangannya, dan dengan gerakan halus penuh kasih sayang diusapnya kedua
pipi yang basah air mata itu, kemudian sapu tangan itu dia berikan kepada
Yalima sambil tersenyum berkata,
"Nih,
kau keringkanlah mata dan hidungmu."
Yalima
terbelalak, memandang dengan hati penuh rasa syukur dan keharuan, sehingga air
matanya kembali bercucuran. Dia menerima sapu tangan itu, menyusuti air matanya
dari kedua pipinya, menyusut hidungnya sampai sapu tangan itu menjadi basah
semua! Dia akan mengembalikan sapu tangan itu, akan tetapi ketika Kwee Tiong
menerimanya, dia menarik kembali sapu tangan itu sambil berkata,
"Akan
kucuci lebih dulu, kongcu... ehh, koko, besok setelah bersih baru
kukembalikan."
"Tidak
usah...," Kwee Tiong menarik sapu tangannya akan tetapi tetap
dipertahankan oleh Yalima.
"Sapu
tanganmu kotor, koko..."
"Tidak,
sebaliknya malah. Aku ingin menyimpannya bersama... bekas-bekas air matamu,
Yalima."
Merah
seluruh muka dara itu, kemudian dengan tangan gemetar dia melepaskan sapu
tangannya. Dengan mata terbelalak keheranan dia melihat Kwee Tiong mencium sapu
tangan basah itu sebelum menyimpannya di dalam saku bajunya.
"Kwee...
koko... mengapa kau lakukan itu...?" Yalima bertanya, hatinya tergetar
keras.
"Mengapa?
Karena... karena aku cinta padamu, Yalima. Engkau cantik seperti bidadari,
engkau segar seperti bunga di puncak gunung, wajah seperti daun bambu kuning
itu, dan engkau... sendirian dan patut dilindungi mati-matian."
"Kwee-koko...!
Apa artinya ini?" Yalima masih memandang terbelalak, terkejut bukan main
karena sungguh tak disangkanya bahwa pemuda yang dikiranya hanya baik dan
kasihan kepadanya itu ternyata mencintanya sedemikian rupa!
"Artinya?
Aku cinta padamu dan aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku. Akan
tetapi... ah, engkau... engkau adalah calon jodoh Cia-kongcu..." Kwee
Tiong membalikkan tubuhnya memandang ke lain jurusan, suaranya tergetar penuh
kedukaan.
Wanita juga
adalah seorang manusia biasa, terdiri dari darah dan daging, dengan hati dan
perasaan yang amat lemah dan halus. Wanita selalu haus akan kasih sayang orang
lain, terutama kasih sayang pria. Telah lama sekali, semenjak berpisah dari Bun
Houw, Yalima mengalami banyak kesengsaraan dan rasa rindunya terhadap Bun Houw
tidak pernah terobati karena selama itu dia tidak pernah bertemu dengan Bun
Houw.
Dahulu, di
waktu dia masih berada di Tibet, Yalima bertemu dengan Bun Houw dan tentu saja
dia tertarik sekali, bukan hanya karena Bun Houw amat tampan, akan tetapi
karena di perkampungannya dia melihat pemuda-pemuda Tibet tiada yang segagah
Bun Houw. Pemuda-pemuda sekampungnya adalah orang-orang pegunungan yang
sederhana, tidak pandai berlagak, maka tentu saja Bun Houw kelihatan menonjol
dan sekaligus memikat hatinya.
Sekarang, di
Cin-ling-pai, dia melihat banyak sekali pemuda perkasa. Biar pun tak mudah
mencari seorang pemuda seperti Bun Houw, namun dibandingkan dengan para pemuda
di Pegunungan Tibet, para pemuda Cin-ling-pai merupakan pemuda-pemuda yang jauh
lebih unggul dalam segala-galanya!
Sejak
sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah terhadap sikap
manis dan bujuk rayu pria. Memang telah menjadi naluri wanita dan segala jenis
makhluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari lawan jenisnya, untuk
menambah daya tariknya terhadap golongan jantan, dan akan banggalah hatinya
bila mana golongan jantan terpikat oleh kecantikannya.
Wanita haus
akan pujian pria, dan hal ini sangat wajar sungguh pun kaum wanita suka
menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-marah kalau dipuji,
walau pun di dalam hatinya, pujian dari mulut dan pandang mata pria merupakan
peristiwa yang paling mengesankan di dalam hatinya.
Demikian
pula Yalima. Apa lagi dia, seorang dara remaja yang sedang menanjak dewasa,
bagaikan bunga yang sedang mekar semerbak, mempunyai daya tarik yang
tersembunyi di dalam keindahannya, warnanya dan keharumannya agar menarik
datangnya kumbang jantan.
Yalima
sedang kesepian dan rindu akan rayuan dan pujian Bun Houw yang tidak pernah datang,
apa lagi pada saat itu dia sedang merasa sengsara hatinya karena merasa tidak
disuka. Padahal, tidak disuka ini merupakan kedukaan paling hebat bagi wanita.
Tidak disuka
berarti tidak dibutuhkan, padahal wanita haus akan perasaan dibutuhkan ini, terlebih
lagi dibutuhkan oleh pria, dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dalam keadaan ‘kosong’
seperti itu, muncullah Kwee Tiong di dalam hidupnya, tentu saja merupakan embun
pagi bagi setangkai bunga yang kekeringan, menjadi curahan hujan bagi pohon
yang sedang kehausan!
Pada mulanya
hubungan mereka hanya sebagai sahabat yang akrab dan karib sekali. Hati Yalima
mulai bergembira karena Kwee Tiong pandai menghiburnya. Dengan usianya yang
sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup dewasa dan matang, Kwee Tiong bahkan lebih
pandai merayu dibandingkan dengan Bun Houw yang masih hijau.
Ternyata
Kwee Tiong betul-betul jatuh cinta kepada Yalima sehingga akhirnya runtuhlah
pertahanan Yalima, runtuh pula sisa-sisa kesetiaannya terhadap Bun Houw yang
hendak dipertahankannya. Hal ini bukan berarti bahwa Yalima adalah seorang
wanita yang tidak setia, melainkan karena jalinan cintanya dengan Bun Houw
masih belum kuat benar, atau yang lebih terkenal dinamakan cinta monyet, atau
cinta muda-mudi yang masih mentah dan yang hanya sekedar tertarik oleh keadaan
lahir belaka, belum mendalam sampai ke batin sehingga mudah luntur! Sebaliknya,
getaran sayang Kwee Tiong terasa benar oleh Yalima, menjatuhkannya dan
bujukan-bujukan Kwee Tiong membuat Yalima gadis dusun itu menjadi mabok kepayang.
Kwee Tiong
maklum akan bahayanya hal ini. Dia jatuh cinta kepada pacar Cia Bun Houw! Akan
tetapi, karena cintanya memang bukan hanya cinta birahi belaka, pemuda ini
berani menghadapi segala akibatnya, bahkan dia lalu membujuk dan merayu Yalima
sehingga Yalima akhirnya runtuh, lalu menyerahkan dirinya dengan suka rela dan
dengan gairah yang menggelora.
Terjadilah
hubungan badan di antara kedua orang muda itu! Hal ini disengaja oleh Kwee
Tiong karena dia maklum bahwa hanya inilah satu-satunya jalan supaya Yalima
menjadi isterinya!
Kwee Tiong
lupa bahwa jalan menuruti nafsu adalah jalan yang tidak mengenal mundur lagi.
Sekali melangkah, harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain, sebab nafsu
birahi adalah seperti api yang membakar dan terus menjalar semakin membesar.
Sekali dituruti secara membuta, akan makin menggelora. Demikian pula halnya
dengan Kwee Tiong dan Yalima.
Hubungan
pertama kali yang hanya disaksikan oleh tumbuh-tumbuhan, terutama oleh rumpun
bambu kuning, membuat pertahanan mereka bobol dan hubungan itu dilanjutkan
terus-menerus setiap kali terdapat kesempatan. Hanya rumpun bambu kuning itulah
yang menjadi saksi betapa mesranya keadaan mereka, betapa mereka sudah lupa
diri, lupa keadaan dan kehilangan pertimbangan, kehilangan kesadaran, hanya
memejamkan mata menulikan telinga menurut nafsu birahi yang membakar dan yang
memperhamba mereka berdua.
Dan pagi
hari itu, Yalima menangis seorang diri di dekat rumpun bambu kuning! Setelah
dua bulan mereka melakukan hubungan gelap seperti itu, kini terasalah suatu
kelainan di dalam tubuhnya. Naluri kewanitaannya memberi tahu kepada dara yang
bodoh ini akan perubahan itu dan pagi hari itu, sambil menanti munculnya
kekasihnya, dia menangis lirih namun hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Dia
telah mengandung!
Betapa
banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh Yalima.
Betapa banyak gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu birahi,
mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung! Lebih celaka
lagi, betapa banyak akibat-akibat yang amat mengerikan dan hebat terjadi
sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran, pembunuhan dan
sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia!
Salahkah
Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu? Berdosakah mereka itu? Siapakah yang
bersalah apa bila terjadi hal seperti itu? Si gadiskah? Si pemudakah? Ataukah
keadaan? Pergaulan? Pendidikan?
Tidak ada
gunanya menyalahkan siapa pun juga, karena kalau diusut, semuanya salah! Memang
kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti yang kita hayati selama ribuan
tahun ini, salah dan palsu adanya! Kita hidup seperti mesin, kita hidup seperti
alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-garis yang sudah ditentukan oleh
manusia-manusia lain, manusia-manusia terdahulu yang merupakan tradisi,
ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan kaku.
Kita hidup
dituntun, dibimbing, dikurung dan dipaksa agar menyesuaikan diri kita dengan
contoh-contoh dan pola-pola yang sudah dibangun oleh ‘peradaban’ sejak ribuan
tahun. Peradaban yang sebenarnya tidak beradab! Segala sesuatu dalam hidup,
baik buruknya dipandang dari segi hukum dan ketentuan umum, sehingga segalanya
palsu adanya!
Kesopanan
dipandang dari pakaian serta sikap yang sesungguhnya pun hanya pakaian yang tak
nampak, dan ini sudah menjadi pendapat umum yang mati. Padahal kesopanan
letaknya di dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula kebenaran,
kebajikan, budi dan lain-lain ditakar dari pendapat umum yang hanya
memperhatikan lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan
hanya diri sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu,
apakah kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura
belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh
aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar!
Hukum pula
yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar bila mana dilakukan sesudah
pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan oleh orang-orang
yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah demikian? Kalau kita
mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri, menjenguk hati dan
pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya akan terlihat bahwa tidak
benarlah demikian itu.
Meski pun
telah disyahkan oleh hukum pernikahan, meski pun telah disebut suami isteri
oleh umum, apa bila hubungan itu dilakukan tanpa adanya cinta kasih, melainkan
hanya sebagai alat untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi saja,
maka hubungan kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya! Sama saja dengan
perbuatan menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut baik, akan
tetapi kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan pamrih,
dilakukan sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa, maka
‘pertolongan’ macam itu pun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi
mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya.
Pengarang
tidak hendak mengatakan bahwa perbuatan Yalima dan Kwee Tiong itu benar! Sama
sekali tidak! Hanya ingin mengajak pembaca untuk membuka mata melihat segala
kepalsuan dalam hidup ini, termasuk kepalsuan dalam urusan hubungan sex! Kwee Tiong
dan Yalima patut dikasihani. Mereka berdua hanyalah menjadi akibat dari keadaan
hidup kita sejak dahulu sampai sekarang. Mereka berdua belum mengerti, dan
pengertian ini, baik bagi yang muda mau pun bagi yang tua, hanya terdapat kalau
kita sudah mengenal diri sendiri setiap saat! Pengenalan diri sendiri ini akan
mendatangkan kewaspadaan dan kewaspadaan ini menghentikan segala perbuatan yang
tidak benar!
Kita tidak
berhak membenarkan atau pun menyalahkan Yalima dan Kwee Tiong! Setiap perbuatan
yang dilakukan oleh manusia, menjadi tanggung jawab si manusia itu sendiri,
setiap buah dari pohon yang ditanam akan dipetik oleh tangan si penanam itu
sendiri. Yang pasti, segala macam bentuk kesenangan yang dicari-cari,
dikejar-kejar, dinikmati dan mendatangkan kepuasan sementara, sudah pasti
disertai oleh kedukaan karena suka duka merupakan saudara kembar yang tak
terpisahkan!
"Yalima...!"
Yalima
terkejut sekali karena lamunannya yang amat jauh tadi membuat dia seolah-olah
melayang di angkasa dan ada hasrat aneh di dalam hatinya untuk terjun dari
angkasa itu, sehingga tubuhnya akan hancur lebur dan dia akan terbebas dari
siksa batin yang amat menakutkan itu.
"Koko...!"
Dia berlari dan menubruk kekasihnya sambil menangis sesenggukan.
"Tenanglah,
Yalima. Apa yang terjadi? Apakah kau dimarahi oleh subo (ibu guru) lagi?"
"Tidak...
tidak... akan tetapi kita celaka... aku celaka, koko..."
"Eh,
ehh, celaka bagaimana? Aku berada di sini dan aku selalu mencintamu, selalu
akan menjaga dan melindungimu, Yalima."
"Koko...
aku... telah mengandung..."
"Heiiiiiii...!"
Kwee Tiong kaget bukan main, matanya terbelalak dan wajahnya pucat, akan tetapi
hanya sebentar saja karena dia lalu merangkul Yalima, memeluk pinggangnya dan
mengangkat dara itu diputar-putarnya sambil tertawa-tawa gembira!
"Ehh,
ehh, turunkan aku...!" Yalima menjerit dan sesudah dia diturunkan, dia
memegang kedua tangan kekasihnya itu sambil berkata dengan air mata berlinang.
"Koko, apakah engkau sudah gila? Bagaimana engkau bisa bergembira seperti
itu mendengar bahwa aku telah mengandung? Kita berdua, atau setidaknya aku
tentu akan celaka..."
"Tentu
saja kita berbahagia dan gembira! Kita akan mempunyai anak! Siapa pula yang
akan mencelakakan kita?"
"Cia-loya
dan nyonya..."
"Hushh!
Guruku itu adalah seorang pendekar sakti yang budiman, demikian pula isterinya.
Kau tidak perlu khawatir, akulah yang akan memberi tahu kepada mereka, dan aku
pula yang akan menanggung segala hukumannya kalau memang kita berdua
dipersalahkan!"
Yalima
menyandarkan mukanya pada dada kekasihnya. Dia merasa agak terhibur akan tetapi
tetap saja dia merasa menyesaL "Ahhh, koko, mengapa kita melakukan hal
itu? Sekarang kita tertimpa aib dan malu..."
"Memang
itu kusengaja, kekasihku. Aku sendiri pun tahu bahwa perbuatan kita itu tidak
benar dan akan membawa kita kepada aib, malu dan duka. Akan tetapi, aku terlalu
cinta kepadamu, aku tidak ingin melihat engkau menjadi isteri orang lain, maka
aku menempuh jalan nekat itu. Biarlah, sekarang aku yang akan menanggung.
Sekarang juga aku akan menghadap suhu dan subo, dan kau kembalilah ke tempat
kerjamu, bekerja saja seperti biasa dan jangan takut." Kwee Tiong mencium
mulut kekasihnya, lalu meninggalkannya dengan langkah gagah.
Yalima
terisak dan dia lalu berlari kecil kembali ke rumah ketua Cin-ling-pai, hatinya
masih terasa tidak enak sekali dan diam-diam dia merasa amat menyesal mengapa
dia telah melakukan hal itu dengan Kwee Tiong. Rasa takut menerkam hatinya,
bukan hanya takut akan hukuman, melainkan terutama sekali takut akan ketahuan
semua orang sehingga dia akan merasa malu dan rendah.
Bagaimana
jika Bun Houw pulang, dan tahu akan hal ini? Dia sudah tidak mengharapkan diri
Bun Houw lagi, akan tetapi betapa akan malunya kalau dia bertemu dengan bekas
pemuda pujaan hatinya itu.
Memang
demikianlah, derita batin yang menimpa diri seseorang sungguh tidak sepadan
dengan kenikmatan dari kesenangan yang dialaminya! Memang betul bahwa senang
itu hanya selewat saja, namun susahnya lebih lama terderita! Maka, orang yang
telah sadar dan waspada akan segala gerak-geriknya sendiri, tidak mudah
terjebak dan terpikat oleh kesenangan yang hanya merupakan bayangan pikiran
belaka.
Pikiran yang
mengingat-ingat segala kesenangan seakan-akan mengunyah-ngunyahnya sehingga
menimbulkan nafsu keinginan untuk mengejar kesenangan itu. Namun, siapa yang
sudah waspada akan hal ini, akan dapat melihat betapa palsunya semua itu dan
pengertian akan kepalsuan inilah yang kemudian akan menjadi pengubah dari
seluruh jalan hidupnya.
Wajah Cia
Keng Hong menjadi merah bukan main, matanya mengeluarkan sinar berapi ketika
dia mendengar laporan Kwee Tiong yang dengan terus terang menyatakan bahwa dia
bersama Yalima telah melanggar dosa dan bahwa kini Yalima telah mengandung!
"Keparat
tidak tahu malu! Engkau mencemarkan nama baik Cin-ling-pai saja!" Cia Keng
Hong membentak dan tangannya sudah bergerak hendak memukul. Akan tetapi secepat
kilat Sie Biauw Eng memegang lengannya.
"Tenanglah,
dan mari kita pertimbangkan persoalan ini sebaiknya. Kwee Tiong, kau sudah
mengakui kesalahanmu?"
"Sudah,
teecu sudah merasa bersalah dan teecu siap menerima segala macam hukuman, hanya
hendaknya adik Yalima tidak dipersalahkan karena teeculah yang
membujuknya," jawab Kwee Tiong dengan suara tegas dan sikap tenang.
"Dan
kau siap melakukan apa saja sebagai hukumanmu?"
"Teecu
siap, biar dihukum mati pun teecu akan menerimanya."
"Kalau
begitu, kau tunggu di sini, jangan pergi ke mana-mana sampai kami keluar
lagi." Nenek Sie Biauw Eng kemudian menggandeng tangan suaminya dan
diajaknya masuk ke dalam.
Setibanya di
ruangan dalam, Keng Hong menarik napas panjang dan mengepal tinjunya.
"Bedebah! Berani dia main gila seperti itu? Dan gadis itu adalah kekasih
Houw-ji!"
"Aihh,
mengapa engkau berpandangan sesingkat itu, suamiku? Apa bila Yalima mencinta
Houw-ji, tentu dia tidak akan berbuat itu dengan Kwee Tiong. Jelas bahwa gadis
Tibet itu tidak mencinta Bun Houw, melainkan mencinta Kwee Tiong."
"Hemm,
apa kau hendak mengatakan bahwa mereka itu tidak mendatangkan aib kepada
Cin-ling-pai dan aku harus diam saja?"
"Mereka
memang bersalah, akan tetapi apakah dalam hal ini kita juga tidak bersalah?
Kita kurang memperhatikan Yalima sehingga dia mempunyai kesempatan berbuat
seperti itu. Lupakah engkau bahwa apa bila ada anak yang menyeleweng, maka
orang tuanya yang bersalah besar karena kurang mendidik dan kurang
memperhatikan? Dan karena Yalima berada di sini, maka kita berdualah yang
menjadi wakil orang tuanya."
Keng Hong
meraba-raba jenggotnya dan pikirannya melayang pada pengalaman dirinya sendiri
ketika masih muda. Pernah pula dia terjebak bujuk rayu seorang wanita sehingga
dia pun pernah melakukan hubungan kelamin di luar nikah.
"Hemm...
habis apa yang harus kita lakukan dengan mereka?"
"Mereka
sudah berbuat, dan Yalima sudah mengandung. Peristiwa itu tidak bisa dicegah
dan diperbaiki lagi, paling-paling kita dapat merusaknya. Akan tetapi apa
gunanya kalau hubungan itu dirusak? Lebih baik disempurnakan, dan mereka
dinikahkan. Bukankah itu jalan terbaik?"
Keng Hong
mengangguk-angguk. "Hemmm... akan tetapi terlalu enak bagi Kwee Tiong.
Sebagai seorang murid Cin-ling-pai dia harus menerima hukuman atas
perbuatannya."
"Jangan,
suamiku. Ampunkanlah dia, karena dia sudah melakukan suatu kebaikan bagi diri
anak kita..."
"Ehh,
apa maksudmu?"
"Bayangkan
saja, bagaimana kalau yang berdiri di tempat Kwee Tiong itu Bun Houw? Untung
bahwa belum sejauh itu hubungan anak kita dengan Yalima yang ternyata adalah
seorang dara yang sangat lemah sehingga tidak mampu mempertahankan godaan nafsu
dan merendahkan harga dirinya, dengan mudah menyerahkan kehormatannya biar pun
kepada pria yang dicintanya."
Keng Hong
mengangguk-angguk. "Baiklah, namun aku tetap akan mencobanya, apakah dia
benar-benar seorang yang jantan dan patut menerima Yalima sebagai isterinya.
Hayo kita keluar."
Kwee Tiong
masih duduk berlutut di atas lantai ketika suami isteri tua itu keluar.
"Kwee
Tiong...!"
Suara Cia
Keng Hong mengejutkan karena tegas dan keras, menandakan kemarahannya.
"Suhu...!"
"Kau
panggil Yalima menghadap ke sini bersamamu!"
"Ba...
baik, suhu... harap suhu dan subo suka mengampuni dia..." Kwee Tiong lalu
pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah datang lagi menggandeng
tangan Yalima yang berjalan dengan muka menunduk. Keduanya lalu berlutut di
depan suami isteri itu. Yalima terisak perlahan, tubuhnya gemetaran dan mukanya
pucat sekali.
"Yalima,
benarkah engkau sudah mengandung akibat hubunganmu dengan Kwee Tiong ini?"
Biauw Eng bertanya, suaranya halus.
Yalima
terisak-isak dan mengangguk, tak kuasa mengeluarkan kata-kata dan tidak berani
mengangkat mukanya.
"Dan
kau merasa bersalah?"
Kembali
Yalima mengangguk. Dia takut dan malu sekali, dan penyesalannya semakin hebat.
Mengapa dia tidak bunuh diri saja tadi? Akan habislah semua derita, semua rasa
malu ini!
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
Biauw Eng
memberi isyarat kepada suaminya, dan Cia Keng Hong lalu membentak Kwee Tiong,
"Kwee Tiong, kau benar-benar mencinta Yalima?!"
"Kalau
tidak, mana teeeu berani berbuat itu dengan dia? Teecu mencintanya lahir
batin."
"Kau
berani berkorban nyawa untuknya?"
"Teecu
berani dan siap!"
"Nah,
karena kau sudah merasa berdosa, maka engkau harus dihukum. Engkau harus
mengorbankan lengan kananmu untuk Yalima!"
"Tidak...!
Jangan...! Ahhh... loya, bunuh sajalah hamba... tapi jangan hukum Kwee-koko...
karena hamba yang bersalah..." Tiba-tiba Yalima menangis dan menubruk Kwee
Tiong.
Nenek dan
kakek itu saling lirik dan ada cahaya berseri pada lirikan mata mereka.
"Kwee
Tiong, apakah engkau seorang laki-laki sejati?!" bentak Cia Keng Hong.
"Yalima,
kau minggirlah. Suhu telah mengampunkan kita... terima kasih atas kebaikan hati
suhu!"
Kwee Tiong
mendorong tubuh Yalima dengan halus, kemudian dia meloncat ke belakang, cepat
sekali mencabut pedang dengan tangan kiri lalu menyabetkan pedang itu ke arah
pangkal lengan kanannya. Yalima menjerit.
"Trangggg...!"
Pedang itu
terlepas dan terjatuh dari tangan kiri Kwee Tiong sebelum menyentuh lengan
kanannya. Kiranya ketua Cin-ling-pai tadi telah menggerakkan tangannya sehingga
angin pukulan dahsyat membuat pedang itu terlepas dan terjatuh.
Kwee Tiong
menjatuhkan diri berlutut. "Suhu, apa artinya ini...?" tanyanya.
"Kami
hanya ingin melihat apakah benar kalian saling mencinta. Kami ampunkan kalian,
bahkan dalam pekan ini juga kalian akan kami nikahkan. Akan tetapi, melihat
keadaan Cin-ling-pai dalam perkabungan, pernikahan itu akan dilakukan dengan
sederhana saja."
"Suhu...!
Subo...! Terima kasih banyak...!" Suara Kwee Tiong tergagap karena pemuda
yang gagah ini sudah menangis saking gembiranya.
"Sudahlah...
sudahlah, pergilah kalian dari sini dan bersiap-siaplah untuk pernikahan
itu..." kata Sie Biauw Eng.
Sesudah
suami isteri tua ini masuk ke dalam, barulah Kwee Tiong bangkit, memondong
tubuh Yalima dan membawanya berlarian keluar dari tempat itu dengan hati penuh
rasa bahagia.
Beberapa
hari kemudian, dirayakanlah pernikahan itu secara sangat sederhana hanya
dihadiri oleh para anak murid Cin-ling-pai saja, tidak ada seorang pun tamu
dari luar. Hal ini adalah mengingat bahwa Cin-ling-pai dalam beberapa bulan ini
telah mengalami hal-hal yang amat buruk, selain tercurinya pedang pusaka,
matinya Cap-it Ho-han yang tujuh orang itu, disusul pula tewasnya empat orang
lagi dari Cap-it Ho-han dan juga tewasnya Hong Khi Hoatsu dan lenyapnya Lie
Seng.
Dua hari
setelah pernikahan itu dilangsungkan, muncul Cia Giok Keng. Wanita ini hanya
mengerutkan alis mendengar dari ibunya tentang peristiwa Kwee Tiong dengan
Yalima, kemudian dia menceritakan kepada ayah ibunya mengenai matinya dua orang
di antara Lima Bayangan Dewa, dan tentang orang-orang berilmu seperti Bouw
Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang membantu Lima Bayangan Dewa, dan
bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam belum juga ditemukan.
Wajah Cia
Keng Hong yang biasanya selalu tenang itu kini kelihatan marah bukan main.
"Hemmm... kiranya Lima Datuk Kaum Sesat yang dahulu itu biar pun telah
tewas, roh jahatnya masih saja merajalela dan membujuk kawan-kawannya untuk
mengacau dunia! Kalau para tua bangka itu keluar dan mengacau, dunia tidak akan
menyalahkan aku kalau keluar pula untuk menghadapi mereka!"
"Aku
ikut! Aku ingin sekali membagi-bagi pukulan kepada cacing-cacing busuk
itu!" Sie Biauw Eng berseru.
"Dalam
keadaan segawat ini, tidak baik bila Cin-ling-pai ditinggalkan sama sekali.
Karena kita berdua pergi bersama yang lalu, maka dapat terjadi mala petaka di
sini. Kita harus membagi tenaga, isteriku. Kau menjaga Cin-ling-pai bersama
Keng-ji, biar aku yang akan mencari mereka!"
Sie Biauw
Eng terpaksa membenarkan pendapat suaminya ini, maka meski pun hatinya
penasaran, akhirnya dia membiarkan suaminya pergi. Maka, untuk pertama kalinya
sejak belasan tahun hidup tenteram di Cin-ling-pai, sekarang Pendekar Sakti Cia
Keng Hong meninggalkan tempat kediamannya, turun gunung untuk membantu
puteranya karena dia maklum betapa lihai adanya musuh-musuh itu yang terdiri
dari saudara-saudara dan sahabat-sahabat para datuk kaum sesat yang dahulu
telah menjadi musuh-musuhnya.
Giok Keng
tidak lama berdiam di Cin-ling-pai. Dia segera pamit untuk mencari Lie Seng
yang lenyap terculik musuh. Ibunya tak dapat menahannya karena maklum betapa
hebat penderitaan batin puterinya itu, dan dia hanya memesan agar supaya
puterinya itu selalu berhati-hati.
Dengan penuh
keharuan Giok Keng memeluk dan menciumi Lie Ciauw Si, puterinya yang baru
sepuluh tahun usianya itu, yang menangis hendak turut dengan ibunya. Sesudah
menghibur dan memberi nasehat dan pengertian kepada Ciauw Si, berangkatlah Cia
Giok Keng meninggalkan Cin-ling-pai.
Di depan
ibunya dia menyatakan hendak mencari Lie Seng, akan tetapi di dalam hatinya,
dia hendak mencari pembunuh Hong Ing dan mencari Mei Lan yang melarikan diri
karena dia. Sedangkan nasib Lie Seng dia serahkan ke tangan Tuhan dan dia
percaya bahwa Kun Liong akan berusaha mencari puteranya itu.
***************
Kaisar Ceng
Tung diangkat meniadi kaisar ketika dia berusia delapan tahun, yaitu sebagai
pengganti ayahnya yang mangkat, yaitu Kaisar Shian Tek. Seorang bocah yang
berusia delapan tahun tentu saja belum tahu apa-apa, apa lagi memegang tampuk
pemerintahan negara besar sebagai seorang kaisar! Maka, ketika Kaisar Ceng Tung
diangkat menjadi kaisar, kekuasaan terjatuh mutlak ke tangan ibu suri.
Sebagai
seorang kaisar yang pada saat itu dianggap sebagai seorang suci, utusan Tuhan
sendiri, tentu saja Kaisar Ceng Tung menjadi dewasa tidak seperti anak-anak
biasa. Dia hidup di lingkungan istana yang penuh dengan kemuliaan serta
kemewahan, dikerumuni panghormatan dan peraturan, dan sama sekali dia terasing
dari hubungan dengan dunia luar atau dengan kehidupan rakyat biasa. Hal ini
membuat kaisar ini seperti boneka hidup saja dan dia tunduk sepenuhnya kepada
ibu surinya.
Sesudah dia
menjadi dewasa, mulailah dia dapat memperlihatkan kekuasaannya sebagai seorang
kaisar yang ‘maha kuasa’ di dalam istana dan negara. Mulailah terjadi perebutan
di antara para thaikam, yakni bangsawan-bangsawan tinggi yang dikebiri, syarat
mutlak yang merupakan keharusan bagi para ponggawa di dalam istana, beserta ibu
suri untuk menguasai hati kaisar muda itu.
Karena
pandainya membujuk, maka pada akhirnya Kaisar Ceng Tung terjatuh ke dalam
kekuasaan seorang pembesar thaikam yang cerdik, yaitu seorang thaikam berasal
dari utara yang bernama Wang Cin. Wang Cin mempunyai beberapa orang kaki
tangan, yaitu para thaikam lain di dalam istana, dan akhirnya kekuasaan ibu
suri tersisihkan dan semua kepercayaan kaisar muda terjatuh ke tangan Wang Cin
inilah.
Secara
teoritis, Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang memegang tampuk pemerintahan,
akan tetapi secara praktis, Thaikam Wang Cin inilah yang berkuasa memutuskan
segala macam hal, karena apa pun yang hendak diputuskan oleh kaisar, selalu
kaisar yang muda itu minta petunjuk dan nasehat Wang Cin. Bahkan hampir semua
urusan yang melewati tangan kaisar, tanpa diperiksa lebih dahulu oleh kaisar
ini, terus saja disampaikan kepada Thaikam Wang Cin ini untuk diambil keputusan
dan kaisar hanya tinggal menanda tangani dan memberi cap saja!
Betapa pun
juga, sejak kanak-kanak Kaisar Ceng Tung telah mempelajari kesusasteraan dan
sebagai seorang terpelajar, tentu saja tidak akan mudah bagi seorang penjilat
seperti Wang Cin untuk membujuk dan memeluknya dalam pengaruh pembesar kebiri
itu, kalau hanya dengan bujukan dan omongan manis saja. Tidak, Thaikam Wang Cin
terlalu cerdik untuk urusan sebesar ini.
Melihat
betapa kaisar telah mulai dewasa, dia lalu mempergunakan seorang gadis muda
peranakan Mongol, gadis cantik jelita yang masih terhitung keponakannya
sendiri, untuk memikat hati kaisar. Untuk siasat ini, memang Wang Cin sudah
mempersiapkan segala-galanya untuk bertahun-tahun lamanya, bahkan semenjak
kaisar itu naik tahta pada usia delapan tahun.
Pada waktu
itu, meski pun dia masih menjadi seorang thaikam rendahan saja, sudah ada
rencana besar ini di dalam benaknya dan dia telah mendidik keponakannya itu
yang baru berusia tujuh tahun, yang bernama Azisha, dengan demikian cermatnya
dan dia sengaja mendatangkan ahli-ahli pendidik hingga Azisha menjadi seorang
dara yang selain cantik jelita, akan tetapi juga ahli dalam segala macam
kesenian, bernyanyi, menari, pekerjaan tangan, melukis, bersajak, dan bahkan
ahli pula dalam membawa diri untuk merayu!
Mula-mula,
sebagai keponakan Wang Cin yang mulai meningkat pangkatnya, tentu saja keluarga
kaisar tidak keberatan menerima seorang dara secantik Azisha sebagai dayang keraton.
Akan tetapi, berkat kelihaian Wang Cin, maka thaikam yang licik ini mendekati
kaisar yang mulai dewasa, menceritakan tentang Azisha dan tentang kepandaian
wanita-wanita Mongol dalam hal melayani pria, juga menceritakan segala
kecabulan yang dapat membangkitkan birahi, dan akhirnya jatuhlah kaisar dalam
pelukan Azisha yang biar pun masih seorang perawan, akan tetapi sejak kecil
sudah dijejali pelajaran tentang bermain cinta dan merayu pria!
Demikianlah,
dalam usia enam belas tahun saja kaisar sudah tergila-gila dan hampir tidak
pernah dia dapat meninggalkan pelukan dan rayuan Azisha yang memang cantik
jelita. Karena itu kepercayaannya terhadap Wang Cin makin bertambah, tentu saja
atas bujukan Azisha, sehingga di tahun itu juga, yaitu tahun 1443, dia menyerahkan
semua kekuasaan kepada Wang Cin!
Wang Cin
inilah yang menjadi penguasa yang sesungguhnya, yang memerintah serta mengatur
pemerintahan, menerima laporan dan membagi-bagi perintah. Ada pun Kaisar Ceng
Tung hanya bersenang-senang dengan selirnya yang tercinta, mabok kemewahan,
kesenangan dan birahi.
Para menteri
yang setia menjadi amat khawatir menyaksikan perkembangan kekuasaan di dalam
istana ini. Mereka amat khawatir kalau-kalau terulang kembali dongeng-dongeng
seperti yang terjadi dalam dongeng Hong-sin-pong, yaitu ketika Kaisar Tiu-ong
dirayu dan terjatuh ke dalam kekuasaan Tat Ki, seorang wanita cantik jelita
yang sangat kejam dan yang dalam dongeng disebut sebagai siluman rase! Mereka
ini khawatir sekali kalau-kalau kerajaan akan hancur di bawah kekuasaan dan
pengaruh Wang Cin yang tentu saja hanya mementingkan dirinya sendiri beserta
keluarganya, padahal menurut penyelidikan para menteri setia, Wang Cin adalah
keturunan Mongol!
Dan memang
benarlah. Wang Cin adalah seorang keturunan Mongol, bahkan diam-diam dia
menganggap dirinya sebagai ‘darah’ keturunan Jenghis Khan yang maha besar, dan
kini diam-diam dia merencanakan supaya dialah yang membangkitkan kembali
kebesaran nenek moyangnya itu, menjadi yang dipertuan di Kerajaan Beng-tiauw!
Sudah banyak
menteri-menteri setia dan panglima-panglima tua, patriot-patriot setia yang
telah mengabdi kepada kerajaan semenjak jaman Yung Lo menjadi kaisar, mohon
untuk menghadap kaisar muda itu supaya kembali memegang sendiri urusan
kerajaan, jangan sepenuhnya mewakilkan kepada Thaikam Wang Cin. Akan tetapi,
semua peringatan ini tidak ada gunanya. Kaisar Ceng Tung tetap saja terlena di
dalam pelukan hangat Azisha yang cantik molek!
Hanya
baiknya, kaisar ini sama sekali tidak marah, bahkan menghibur para menteri dan
jenderal itu agar jangan khawatir, karena dia yakin benar bahwa Wang Cin amat
pandai mengatur pemerintahan dan juga sangat setia kepadanya. Tentu saja para
pembesar itu hanya mampu menarik napas panjang dan selama Wang Cin tidak
memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan merusak, mereka percaya akan kata-kata
junjungan mereka yang mereka cinta itu.
Dan Wang Cin
memang cerdik. Dia sama sekali bukan tidak tahu akan perasaan tidak senang dari
para jenderal dan menteri tua, maka dia bertindak hati-hati sekali, bahkan
bersikap cukup ‘adil’ mengatur pemerintahan secara benar, bahkan dalam
urusan-urusan khusus, dia tidak ragu-ragu untuk memanggil menteri-menteri atau
jenderal-jenderal yang ahli untuk memberikan nasehat mereka. Sikap ini membuat
para menteri yang setia itu kehabisan akal, bahkan diam-diam kemudian
menganggap bahwa pilihan kaisar mereka ternyata tepat, maka menipislah
kekhawatiran hati mereka yang setia kepada kerajaan itu.
Demikianlah,
tujuh tahun telah lewat semenjak kaisar muda itu terjatuh ke dalam pelukan
Azisha yang cantik dan kini setelah usianya meningkat, yaitu dua puluh dua
tahun, wanita itu menjadi makin matang dan makin menarik hati saja sehingga
sampai usia dua puluh tiga tahun itu, kaisar belum juga mau menikah dan hanya
mempunyai belasan orang selir yang jarang sekali menerima perintah melayaninya,
kecuali hanya kalau Azisha sedang berhalangan.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kesal dan kecewa hati Thaikam Wang Cin karena sampai
tujuh tahun lamanya, walau pun dia sudah memanggil segala macam ahli obat,
pertapa, peramal dan dukun-dukun, biar pun Azisha berhasil melayani kaisar
selama tujuh tahun hampir tak pernah berhenti, tetap saja tidak ada hasilnya
dalam kandungan Azisha! Padahal, dia mengharapkan agar keponakannya itu yang
juga seperti dia memiliki darah keturunan Jenghis Khan, dapat memperoleh
seorang putera dari kaisar supaya dengan mudah dia mengusulkan supaya Azisha
diangkat menjadi permaisuri dan puteranya atau cucu keponakannya darah Mongol,
kelak menjadi kaisar dan dia yang menjadi perdana menterinya!
Tetapi si
tolol Azisha, begitulah dia sering memaki-maki keponakannya yang dianggapnya
tidak ‘becus’, setelah tujuh tahun lamanya tetap saja tidak mempunyai anak!
Karena itu, dia pun tetap menjadi seorang thaikam, betapa pun besar
kekuasaannya. Tidak mungkin menjadi perdana menteri! Dan karena itu pula, harus
diambil cara lain supaya dia dapat menjadi penguasa sepenuhnya, bahkan kalau
mungkin mengangkat diri menjadi kaisar!
Maka pada
suatu hari, sesudah diam-diam dia mengadakan hubungan dengan seorang datuk kaum
sesat yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok agar
menjadi pembantunya untuk berhasilnya rencana tarbesar yang diaturnya itu, Wang
Cin dengan bantuan keponakannya, Azisha, membujuk kaisar untuk mengadakan
pesiar dan sekalian melakukan pembersihan atau pemeriksaan ke daerah perbatasan
Mongolia.
"Kekuasaan
Yang Mulia tidak terbatas, akan tetapi hamba mendengar berita bahwa di luar
perbatasan utara terdapat seorang kepala Suku Mongol yang memperlihatkan sikap
menentang dan memberontak terhadap kedaulatan kerajaan Paduka. Untuk
menunjukkan kebesaran Paduka, sebaiknya Paduka mengerahkan pasukan dan menghajar
gerombolan itu, dan sekalian paduka hamba persilakan untuk melihat-lihat kota
kelahiran hamba dan tempat kelahiran keponakan hamba Azisha, yaitu di kota
Huai-lai," demikian Wang Cin berkata di antara bujukan-bujukannya.
"Hamba
pun sudah amat rindu akan kota kelahiran hamba itu, yang mulia," kata
Azisha dengan suara merdu dan sikap manja. "Bila Paduka berkenan
menginjakkan kaki Paduka yang mulia di tanah kelahiran hamba, tentu hal itu
akan mendatangkan rezeki besar bagi kota Huai-lai dan bagi hamba."
Mula-mula
Kaisar Ceng Tung tidak ada niat untuk pergi melakukan perjalanan itu, apa lagi
untuk menggempur Suku Bangsa Mongol yang memberontak, sebaiknya diserahkan pada
angkatan perangnya. Akan tetapi dengan berbagai akal Wang Cin terus membujuk,
dan terutama sekali bujuk rayu Azisha yang kalau diperlukan pandai pula
mengucurkan air matanya, akhirnya kaisar menyatakan persetujuannya.
Diam-diam
dia terkesan juga akan kesetiaan Wang Cin. Dia tahu bahwa Wang Cin dan Azisha
adalah peranakan bangsa Mongol, akan tetapi sekarang Wang Cin mengusulkan untuk
membasmi pemberontak Mongol. Hal ini baginya merupakan bukti betapa setianya
Wang Cin kepadanya.
"Baiklah,
Wang Cin. Dan karena engkau adalah seorang berasal dari perbatasan utara, maka
tentu saja engkau lebih mengenal dan faham akan daerah itu. Oleh karena itu,
kami mengangkatmu di dalam rombongan ini sebagai komandan atau pemimpin
tertinggi dari pasukan kita."
Keputusan
kaisar ini diumumkan dan tentu saja para jenderal tua menjadi terkejut bukan
main dan merasa tersinggung sekali. Mereka adalah jenderal-jenderal yang telah
puluhan tahun membela negara dan mengatur pasukan membersihkan musuh-musuh
negara, tapi di dalam rombongan pembersihan ke utara yang diikuti sendiri oleh
kaisar, kenapa kaisar mengangkat seorang kebiri yang lemah dan dalam hal
perang, sama sekali tidak mampu menggerakkan pedang apa lagi mengatur barisan
menjadi komandan atau panglima yang tertinggi? Hal ini dianggap penghinaan bagi
mereka sehingga hampir saja terjadi tindakan kekerasan dari para jenderal,
yaitu membunuh Wang Cin atau memberontak terhadap keputusan kaisar!
Akan tetapi
dua orang jenderal terkemuka yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara,
bahkan yang dahulu menjadi tangan kanan Jenderal Yung Lo yang kemudian menjadi
kaisar, lalu mencegah maksud rekan-rekannya itu. Dua orang jenderal ini adalah
Jenderal Kho Gwat Leng, seorang jenderal yang bertubuh kurus kecil namun
mempunyai kegagahan dan wibawa luar biasa dan sangat cerdik serta mahir dalam
mengatur siasat perang. Yang kedua adalah Jenderal Tan Jeng Koan, seorang
jenderal yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan berwatak jujur namun
gagah perkasa seperti tokoh Thio Hui dalam cerita Sam Kok. Dua orang jenderal
inilah yang melerai rekan-rekannya.
"Kita
adalah prajurit-prajurit," kata Jenderal Kho Gwat Leng yang sudah berusia
enam puluh tahun lebih. "Seorang prajurit tugasnya ialah mempertahankan
negara dari serbuan musuh luar. Baik atau buruk adalah negara kita dan
junjungan kita, maka harus kita taati dan kita bela. Kalau junjungan kita
kaisar menghendaki demikian, biarlah, dan kita akan mengamat-amati saja dan
membela sampai titik darah terakhir. Lebih baik mati sebagai seorang prajurit
pembela kaisar yang setia dari pada hidup mulia sebagai pemberontak."
"Kata-kata
Kho-goanswe (Jenderal Kho) ini tidak meleset seujung rambut pun."
terdengar Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suaranya yang mengguntur.
"Semenjak nenek moyang kami, semua merupakan prajurit dan kami tidak akan
mencampuri urusan negara kecuali ada yang mengancam keselamatan kaisar, itulah
tugas kami."
Anehnya, dan
hal ini juga menggirangkan hati para jenderal itu, Wang Cin yang diangkat
menjadi panglima tertinggi justru memilih para jenderal tua yang setia ini
untuk membantu dia memimpin pasukan besar! Terobatilah kekecewaan mereka dan
lenyap pula keraguan dan kecurigaan hati mereka.
Maka
berangkatlah pasukan besar itu mengiringkan rombongan kaisar yang berada di
dalam kereta bersama selirnya tercinta, Azisha dan beberapa orang selir lain di
samping Wang Cin sebagai panglima perang yang berpakaian gagah sungguh pun
gerak-geriknya seperti seorang wadam!
Wang Cin
mempunyai belasan orang pengawal pribadi dan di antara mereka ini, tanpa ada
seorang pun yang mengetahuinya, terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok,
Sin-ciang Siauw-bin-sian, Liok-te Sin-mo Gu Lo it yang sudah menggabung setelah
kekalahannya yang besar di Ngo-sian-chung, dan juga Bouw Thaisu!
Sedangkan
Hwa Hwa Cinjin bersama Hek I Siankouw telah berangkat lebih dulu sebagai utusan
rahasia dari Wang Cin untuk menghubungi kepala suku pemberontak Mongol di
perbatasan Mongolia! Bersama Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw ini, berangkat
pula Go-bi Sin-kouw!
***************
Kita
tinggalkan dahulu pasukan besar yang mewah di bawah pimpinan Panglima Besar
Wang Cin yang dibantu oleh jenderal-jenderal tua di bawah pimpinan Jenderal Kho
Gwat Leng dan Tan Jeng Koan, yaitu sebanyak delapan orang yang terkenal sebagai
Delapan Jenderal Besar bekas pembantu-pembantu Jenderal Yung Lo, dan marilah
kita menengok keadaan di perbatasan Mongol.
Memang
keterangan Wang Cin benar bahwa di perbatasan itu, yaitu di sepanjang tembok
besar, bahkan di sebelah dalam tembok besar, ada Suku Bangsa Mongol yang
dipimpin oleh seorang ketua yang tidak pernah mau tunduk terhadap kedaulatan Pemerintah
Beng. Akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan bahwa sebetulnya ketua
pasukan ini adalah seorang yang telah dihubunginya, bahkan yang diam-diam
menjadi semacam sekutunya, biar pun ketua Suku Mongol ini tidak pernah bertemu
dengannya dan hanya mengadakan hubungan melalui kurir belaka.
Siapakah
ketua Suku Bangsa Mongol ini? Dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh
tahun, seorang yang benar-benar amat gagah perkasa, bertubuh seperti seekor
singa dan dia betul-betul pantas menjadi seorang pemimpin suku bangsa yang
hidupnya berkelana dan selalu menghadapi banyak kesulitan itu.
Kepala suku
ini namanya Sabutai, seorang gagah dan merupakan keturunan dari Jenderal
Sabutai dari jaman Goan, yaitu ketika Bangsa Mongol sedang jaya-jayanya
menguasai seluruh Tiongkok. Sabutai ini adalah seorang gagah perkasa yang
memiliki kepandaian tinggi, karena gurunya, yaitu dua orang kakek dan nenek
yang jarang terlihat orang, lebih menyerupai iblis dari pada manusia!
Dahulu, di
waktu Panglima Beser The Hoo masih sering mengadakan pembersihan keluar daerah,
bahkan ketika Panglima Besar The Hoo memimpin armada berlayar sampai jauh ke
selatan, di Sailan Panglima The Hoo pernah bentrok dengan dua orang jagoan,
lelaki dan perempuan yang berilmu tinggi. Akan tetapi berkat kepandaian
Panglima The Hoo yang sangat sakti, dua orang jagoan Sailan yang suka mengganas
itu dapat dikalahkan, dan biar pun dapat melarikan diri, namun diduga tentu
akan tewas karena telah menerima pukulan-pukulan sakti dari Panglima The Hoo.
Akan tetapi
orang salah duga, karena mereka itu tidak mati, walau pun nyaris mati dan
setelah mereka sembuh akan tetapi tubuh mereka keracunan oleh hawa beracun
mereka yang membalik dan memukul diri sendiri, mereka lantas bertapa sampai
puluhan tahun lamanya dan tahu-tahu mereka kini menjadi kakek dan nenek yang
muncul di perbatasan utara, menjadi guru Sabutai dan mereka ini hendak membalas
kepada Beng-tiauw! Kini mereka hanya dikenal sebagai Pek-hiat Mo-ko (Iblis
Jantan Darah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam).
Sudah lama
Sabutai mengincar ke selatan. Akan tetapi biar pun dia seorang berilmu tinggi
dan pandai pula mengatur siasat perang, akan tetapi dia maklum bahwa dengan
kekuatan pasukannya seperti sekarang ini, melakukan serbuan ke selatan hanya
merupakan bunuh diri belaka. Oleh karena itu, dia selalu menanti kesempatan
baik, dan setelah ada usaha dari Thaikam Wang Cin untuk mengadakan kontak
dengan dia, tentu saja dia menerima dengan baik.
Penerimaan
persekutuan rahasia ini hanya dia lakukan demi terlaksananya cita-citanya,
karena sesungguhnya di dalam hatinya, orang gagah perkasa ini merasa muak
terhadap Wang Cin, apa lagi ketika dia mendengar akan segala sepak terjang Wang
Cin di istana musuh-musuhnya itu. Dia menganggap orang semacam Wang Cin amat
berbahaya dan rendah, dan jika saja dia tak melihat kegunaan persekutuan ini
sebagai jalan tercapainya cita-citanya, dia akan merasa senang sekali membunuh
orang seperti thaikam itu dengan jari-jari tangannya sendiri yang amat kuat dan
dahsyat!
Pada suatu
malam, Sabutai duduk termenung di dalam kamarnya. Dia memiliki seorang isteri
yang sangat cantik, seorang puteri Suku Bangsa Khitan yang mempersembahkan
dirinya atas perintah kepala Suku Khitan kepadanya. Puteri ini masih muda, baru
delapan belas tahun usianya dan sudah tiga tahun menjadi isterinya. Akan
tetapi, yang membuat Sabutai kecewa adalah mengapa isterinya itu belum juga
mengandung. Betapa pun juga, dia amat mencinta isterinya dan dia tidak mau
mengambil selir.
Selain
kekecewaan tidak mempunyai putera, juga dia tahu bahwa isterinya itu sebenarnya
tidak cinta kepadanya, dan hanya karena terpaksa saja menjadi isterinya. Semua
sikap manis isterinya itu hanya karena kewajiban saja, dia memiliki tubuh
isterinya, akan tetapi tidak memiliki hatinya. Hal ini pun kadang-kadang
membuat pria yang jantan dan gagah ini merasa kecewa dan berduka karena dia
sungguh-sungguh mencinta Khamila, isterinya yang cantik rupawan itu.
Sabutai
termenung dan di tangannya dia memegang sehelai surat yang diterimanya dari
Wang Cin, pembesar thaikam yang pada saat itu sedang berkuasa sekali dan
mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Beng. Surat itu dibawa oleh tiga utusan
Wang Cin, yakni tiga orang tokoh berilmu tinggi Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw,
dan Go-bi Sin-kouw. Mereka diterima sebagai tamu-tamu agung dan diberi
kamar-kamar yang mewah sebagai tempat menginap.
Sudah
berjam-jam lamanya Sabutai duduk sambil termenung dengan surat itu di dalam
tangannya. Dadanya terasa panas, kebenciannya terhadap Wang Cin memuncak saat
dia membaca betapa di dalam surat itu Wang Cin menerangkan siasatnya yang
memancing rajanya sendiri ke utara untuk ‘diserahkan’ kepada Sabutai!
Sabutai
adalah seorang yang gagah perkasa dan tentu saja dia amat membenci seorang
pengkhianat besar semacam Wang Cin. Akan tetapi, dia pun melihat kesempatan
baik sekali untuk membangun kembali kekuasaan Bangsa Mongol, maka dia termenung
dan berusaha menggunakan kepala dingin untuk mengatur siasat.
Menurut
surat Wang Cin, orang kebiri itu akan sengaja menjerumuskan kaisar bersama
pasukan-pasukan pengawalnya agar dihancurkan oleh Sabutai. Kaisarnya beserta
semua pengawal kaisar yang setia dibinasakan, kemudian dia akan kembali ke kota
raja lantas diam-diam akan mengatur dari dalam agar bisa membantu barisan Mongol
yang dipimpin Sabutai menyerbu kota raja. Kemudian, sesudah berhasil merampas
kota raja, Wang Cin akan mengangkat diri menjadi kaisar sebagai seorang yang
berdarah keturunan Jenghis Khan dan Sabutai tentu saja akan menerima bagian
yang layak!
"Si keparat...!"
Sabutai memaki di dalam hatinya. "Seorang pengkhianat dan pengecut seperti
dia, seorang yang sudah kehilangan kejantanannya, seorang kebiri yang berhati
palsu, berani mengaku sebagai darah keturunan Jenghis Khan yang besar?"
Dia merasa muak akan tetapi demi tercapainya cita-citanya untuk menyerbu ke
selatan, cita-cita yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, dia tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan itu.
Tiba-tiba
dia bertepuk tangan dan muncullah beberapa orang pengawalnya dari tempat-tempat
tersembunyi. Sabutai kemudian memerintahkan mereka supaya memanggil para
pembantunya agar berkumpul di situ pada malam itu juga karena ada hal yang
sangat penting untuk dirundingkan.
Menjelang
tengah malam, berkumpullah belasan orang pembantunya yang tadinya adalah bekas
kepala-kepala suku yang kemudian ditaklukannya dan yang sekarang menjadi para
pembantunya. Sesudah memerintahkan para pengawalnya supaya menjaga kamar-kamar
tamu sehingga dia yakin bahwa perundingan itu tidak akan diintai dan
didengarkan oleh tiga orang utusan yang dia tahu bukan orang-orang sembarangan
itu, Sabutai kemudian mengajak para pembantunya untuk berunding serta mengatur
siasat untuk menghadapi uluran tangan Wang Cin yang khianat itu.
Akhirnya,
ketika hampir pagi, mereka telah bersepakat akan menggunakan pengkhianatan Wang
Cin itu untuk memperoleh keuntungan, akan tetapi tentu saja Sabutai tak sudi
lagi untuk selanjutnya mengadakan persekutuan dengan thaikam yang dianggapnya
sangat licik, curang dan berbahaya itu.
Pada
keesokan harinya, sesudah menjamu ketiga orang utusan itu, Sabutai kemudian
menyerahkan surat balasannya dan kepada Wang Cin dia menjanjikan untuk
menyambut dan menghancurkan kaisar serta pasukannya di dekat Huai-lai, lewat
lembah Nan-kouw. Surat balasan itu dibawa sendiri oleh Hwa Hwa Cinjin untuk
disampaikan kepada Wang Cin pribadi, sedangkan dua orang nenek, Hek I Siankouw
dan Go-bi Sin-kouw, tinggal di markas Mongol yang dipimpin oleh Sabutai itu.
Sabutai lalu
membuat persiapan, mengumpulkan kekuatan barisan yang besar jumlahnya, kemudian
dia memimpin sendiri seluruh barisan itu menuju selatan, melalui pegunungan
yang sukar dan gurun-gurun pasir yang luas, melewati tembok besar dan
bersembunyi di sekitar kota Huai-lai, di sepanjang lembah Nan-kouw untuk
menanti datangnya rombongan kaisar seperti yang dimaksudkan dalam surat Wang
Cin...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment